Problematika Budaya Literasi Membaca
di SMAN 1 Aikmel
Marlinda Ramdhani1; Baiq Wahidah2; Wika Wahyuni3
Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mataram
1,2,3Pendidikan
Posel: marlinda.ramdhani@unram.ac.id
Abstrak: Latar belakang penelitian ini mengacu pada peringkat literasi masyarakat Indonesia
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh PISA (Program untuk Penilaian Siswa Internasional)
pada tahun 2019 yang belum meningkat secara signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sementara itu, pemerintah Indonesia telah melakukan program peningkatan literasi, terutama di
sekolah dasar dan menengah. Selain itu, belum banyak penelitian tentang literasi membaca di
Indonesia, khususnya di daerah Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
masalah literasi membaca yang dihadapi oleh siswa di SMAN 1 Aikmel, Lombok Timur, Nusa Tenggara
Barat. Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan studi kasus sebagai
metode penelitian. Informan penelitian ini adalah guru sekolah, siswa, dan staf perpustakaan di lokasi
penelitian. Tindakan, pernyataan, dan dokumentasi peserta yang terkait dengan masalah literasi
membaca digunakan sebagai sumber data. Observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi dan
implementasi program GLS di sekolah. Temuan dari pengamatan kemudian diklarifikasi dengan
mewawancarai kepala sekolah, guru, siswa, dan pegawai sekolah yang berhubungan dengan kegiatan
GLS di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada empat masalah literasi yang dihadapi oleh
siswa sekolah menengah dalam literasi membaca, yaitu (1) kurangnya minat siswa dalam membaca
buku nonpelajaran, (2) kurangnya ketersediaan bahan bacaan selain buku pelajaran, (3) lingkungan
membaca yang kurang kondusif dan mendukung, serta (4) keterbatasan dalam menerapkan program
GLS.
Kata-kata kunci: literasi membaca, siswa, Gerakan Literasi Sekolah.
Problematics Of Reading Literacy Culture In SMAN 1 Aikmel
Abstract: The background of this research was carried out referring to the literacy ranking of the Indonesian people
based on the results of research conducted by PISA (Program for the Assessment of International Students) in 2019 which
had not increased significantly compared to the previous year. Meanwhile, the Indonesian government has carried out
literacy improvement programs, especially in primary and secondary schools. In addition, there has not been much
research on reading literacy in Indonesia, especially in the West Nusa Tenggara region. This study aims to identify reading
literacy problems faced by students in SMAN 1 Aikmel , Lombok East, West Nusa Tenggara. This research design uses a
qualitative approach and uses case studies as a research method. The informants for this research were school teachers,
students, and library staff at the research location. Participants' actions, statements, and documentation related to the
problem literacy reading was used as a data source. Observations were made to determine the condition and
implementation of the program GLS at school. Findings from observations were then clarified by interviewing head
school, teacher, student , and employee school which relate with activity GLS in school . The results of the study show
that there are four literacy problems faced by middle school students literacy reading, namely (1) lack of students' interest
in reading book non-lessons, (2) lack of availability of reading material besides book lesson, (3) reading environment
which not enough conducive and support, and (4) limitations in implementing the program GLS.
Keywords: reading literacy, students, School Literacy Movement.
137 |
Jurnal Bastrindo | Volume 3| Nomor 2| Desember 2022
PENDAHULUAN
Persoalan literasi membaca menjadi topik yang sampai saat ini masih membutuhkan
perhatian lebih, khususnya di Indonesia. Concannon-Gibney dan McCarthy (2012)
mengatakan bahwa semua siswa pada abad ini dirancang memiliki sikap yang kritis dalam
memecahkan masalah, berkomunikasi, dan berpikir. Guna mewujudkan hal tersebut, budaya
membaca yang baik adalah salah satu kunci utamanya. Merujuk pada pendapat tersebut,
wajar saja jika pemerintah Indonesia menaruh perhatian lebih pada perbaikan aspek literasi
dan kemampuan membaca masyarakat Indonesia.
Kemampuan membaca masyarakat, khususnya siswa di Indonesia masih rendah. Hal
tersebut sejalan dengan penelitian Suryaman (2015) yang mengatakan bahwa kemampuan
membaca siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata siswa internasional. Pendapat
tersebut juga didukung oleh Yazid (2018) yang mengatakan bahwa kemampuan literasi
masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Hal ini akan
terus memburuk jika tidak ada penguatan literasi, khususnya literasi membaca di lembaga
pendidikan, maupun lingkungan bermain.
Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, minat baca
masyarakat Indonesia termasuk rendah. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Ismail (dalam
Suwandi, 2019:43)yang mengatakan bahwa buku sastra yang wajib dibaca siswa SMA di
Malaysia adalah 6 judul buku, Singapura 6 judul buku, Brunei Darussalam 7 judul buku,
sedangkan Indonesia 0 judul buku.
Terlebih lagi, menurut hasil PISA (Programme for International Student Assesment)
tahun 2018 yang hasilnya keluar di tahun 2019, skor literasi siswa di Indonesia mengalami
penurunan dibandingkan hasil PISA tahun 2015. Di tahun 2015, rata-rata skor literasi siswa
Indonesia adalah 397, sedangkan di tahun 2018 turun menjadi 371. Penurunan skor tersebut
menjadi salah satu bukti bahwa usaha pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah
literasi siswa di Indonesia belum sepenuhnya berjalan baik.
Salah satu program pemerintah Indonesia yang belum berjalan maksimal berkaitan
dengan upaya memperbaiki literasi siswa adalah program Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2016), GLS merupakan
kegiatan yang bersifat partisipatif dan melibatkan seluruh warga sekolah maupun masyarakat,
guna menumbuhkan budaya literasi di sekolah. Program ini dilaksanakan sejak tahun 2016
dan masih berjalan sampai sekarang.
Pada penerapannya, masih banyak kendala yang terjadi di lapangan terkait
pelaksanaan program GLS. Pendapat tersebut dipertegas oleh hasil penelitian Permatasari
(2019) yang mengatakan bahwa minat baca siswa yang sekolahnya menjalankan program GLS
masih rendah, salah satunya terlihat dari kurang antusiasnya siswa ketika menjalankan
program 15 menit membaca di kelas. Tentu ini harus mendapat perhatian lebih karena hampir
seluruh sekolah di Indonesia menerapkan program GLS.
Salah satu daerah di Indonesia yang membutuhkan perhatian lebih mengenai aspek
literasi membaca adalah Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusat Tenggara Barat, Indonesia.
Daerah ini termasuk dalam kategori daerah tertinggal. Sekolah rujukan GLS di daerah
tertinggal ternyata masih mengalami kendala dalam mengimplementasikan budaya literasi
membaca(Ramdhani et al., 2021). Selain itu, menurut data dari perpustakaan daerah, NTB
menempati ranking 30 dari 34 provinsi di Indoenesia terkait minat baca masyarakat di sana.
Merujuk pada peringkat tersebut, penting adanya penelitian mendalam untuk mengetahui
persoalan yang dialami, khususnya tentang literasi membaca siswa di sekolah menengah.
Walaupun baru terdapat dua sekolah menengah atas yang dijadikan sebagai sekolah
rujukan program GLS, permasalahan literasi membaca siswa di sekolah rujukan tersebut perlu
ditelusuri secara mendalam. Hal tersebut dilakukan sebagai gambaran program pemerintah
yang harus dilanjutkan maupun diperbaiki terkait upaya peningkatan budaya literasi,
khususnya literasi membaca di dua sekolah tersebut.
Penelitian mengenai problematika literasi membaca penting dilakukan, khususnya di
sekolah yang terdapat di kabupaten Lombok Timur. Hal tersebut dapat menjadi gambaran
bagi pemerintah guna evaluasi program perbaikan literasi di daerah tertinggal khususnya agar
dapat dilakukan perbaikan selanjutnya.
LANDASAN TEORI
Literasi
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, istilah literasi juga terus mengalami
perkembangan dalam pemaknaannya. Jika pandangan tradisional menganggap literasi sebagai
suatu kegiatan yang dikhususkan untuk pengganti istilah membaca, pada era modern ini,
literasi mengalami perluasan makna.
Pemaknaan literasi di zaman modern ini tidak hanya dibatasi oleh kegiatan calistung
(baca, tulis, dan hitung) saja. Menurut Yazid (2018), istilah literasi baru dijabarkan menjadi
tiga hal. Pertama, literasi data merujuk pada kemampuan seseorang untuk menafsirkan dan
membentuk pola pikir berdasarkan data. Kedua, literasi teknologi melingkupi kemampuan
seseorang dalam mengendalikan mesin atau teknologi. Ketiga, literasi manusia atau humanisme
melingkupi kemampuan seseorang dalam berpikir kritis, inovatif, kreatif, dan berkolaborasi di
masyarakat atau lingkungan kerjanya.
Selain itu, Harsiati (2018) menerangkan bahwa literasi adalah suatu kemampuan
seorang individu untuk memahami, menggunakan, dan merefleksikan suatu bacaan guna
mencapai tujuan tertentu, mengembangkan kemampuan diri, dan memosisikan diri dalam
masyarakat.
Pemaknaan literasi dalam hal ini difokuskan pada kemampuan seseorang, khususnya
siswa dalam mengembangkan pengetahuan yang dimiliki dengan mengasah keterampilan
berpikir kritis dan kreatif dengan bahan bacaan yang dibaca. Keterampilan tersebut
diharapkan dapat digunakan dalam lingkungannya, tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi
juga di lingkungan masyarakat.
Literasi Membaca
Literasi membaca bukan hanya gerakan yang bersifat interaktif, tetapi juga konstruktif
(Staden & Bosker, 2014). Pengertian literasi membaca sekarang ini juga mengalami
pendalaman makna. Kegiatan membaca tidak hanya difokuskan pada tujuan yang diharapkan
akan dicapai oleh seseorang dari kegiatan membacanya. Lebih dari itu, literasi membaca
mendorong seseorang untuk membaca guna mencapai tujuan membaca tertentu. Kegiatan
membaca harus digunakan untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi yang dimiliki
pembaca sehingga dapat berkontribusi dalam masyarakat (Abidin et al., 2018).
Menurut Kemendikbud (2017), terdapat lima hal yang perlu diperhatikan untuk
menilai budaya literasi membaca yang ada di suatu sekolah. Pertama, jumlah dan variasi bahan
bacaan yang pernah dibaca oleh siswa. Kedua, frekuensi peminjaman bahan bacaan di
perpustakaan atau pojok baca. Ketiga, jumlah kegiatan sekolah yang berkaitan dengan literasi
membaca. Keempat, kebijakan sekolah yang berkaitan dengan literasi membaca. Kelima,
adanya komunitas baca di sekolah. Kelima hal tersebut dijadikan standardisasi guna menilai
problematika budaya literasi membaca di sekolah yang menjadi lokasi penelitian ini.
Gerakan Literasi Sekolah
Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) disebut sebagai salah satu upaya pemerintah
Indonesia untuk meningkatkan budaya literasi siswa Indonesia. GLS dirancang sebagai
kegiatan yang partisipatif dengan mengutakan keterlibatan semua warga sekolah, akademisi,
penerbit, media massa, masyarakat, serta pemangku kepentingan (Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2017).
Tujuan program GLS dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan
umum GLS ialah untuk mengembangkan budi pekerti siswa melalui pembudayaan ekosistem
literasi yang diwujudkan dalam GLS agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat,
sedangkan tujuan khusus GLS dibagi menjadi empat. Pertama, menumbuhkan budaya literasi
di sekolah. Kedua, meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat. Ketiga,
menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga
sekolah mampu mengelola pengetahuan. Keempat, menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan
139 |
Jurnal Bastrindo | Volume 3| Nomor 2| Desember 2022
menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2018)
Terdapat tiga tahapan dalam kegiatan literasi sekolah. Ketiga tahapan tersebut adalah
tahap pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran.
Pertama, tahap pembiasaan. Secara umum, terdapat tiga kegiatan pada tahap pembiasaan,
yaitu membaca selama 15 menit setiap hari, contohnya guru membacakan kutipan buku dan
mendiskusikannya, membaca buku dengan memanfaatkan peran perpustakaan. Dan membaca
terpadu (guide reading) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016).
Kedua, tahap pengembangan. Tahap ini dapat melatih siswa untuk memahami dan
mengkritisi bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan
mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif (Abidin et al., 2018). Terdapat empat
kegiatan umum dalam tahap ini, yaitu menulis komentar singkat terhadap buku yang dibaca
di jurnal membaca harian, bedah buku atau yang lebih dikenal dengan resensi buku (a book
review), reading award atau penghargaan kepada siswa yang telah melaksanakan kegiatan
membacanya dan tagihannya dengan baik, dan mengembangkan iklim literasi di sekolah
(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016).
Ketiga, tahap pembelajaran. Kegiatan pada tahapan ini mengharuskan siswa dapat
mengaitkan hasil bacaan dengan pengalaman pribadi untuk melatih berpikir kritis dan kreatif
siswa. Terdapat lima kegiatan umum dalam tahap pembelajaran, yaitu kegiatan membaca 15
menit setiap hari diikuti dengan kegiatan tagihan nonakademik atau akademik, kegiatan
literasi dalam pembelajaran dengan tagihan akademik, pelaksanaan berbagai strategi untuk
memahami teks dalam semua mata pelajaran, penggunaan lingkungan fisik, sosial dan afektif,
dan akademik sisertai beragam bacaan yang kaya literasi di luar buku teks pelajaran, dan
penulisan biografi siswa dalam kelas sebagai proyek kelas (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2016).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus.
Pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian dilakukan secara langsung dalam konteks
natural dan tidak diatur atau direkayasa sebelumnya. Konteks natural dalam hal ini adalah
problematika literasi membaca di sekolah yang menjadi lokasi penelitian, sedangkan
penelitian ini dikatakan jenis penelitian studi kasus karena terkait dengan masalah sosial yang
berkaitan dengan budaya membaca, khususnya di satu sekolah yang dijadikan situs (lokasi)
penelitian.
Data penelitian ini dibagi menjadi tiga macam, yakni (1) tindakan yang menunjukkan
masalah dalam pelaksanaan literasi membaca di sekolah, (2) pernyataan siswa, guru, dan
kepala sekolah mengenai permasalahan literasi membaca di sekolah, dan (3) dokumentasi
yang berkaitan dengan masalah literasi membaca di sekolah. Sumber data penelitian ini secara
umum dibagi menjadi tiga, yakni person, place, dan paper. Sumber data utama penelitian ini
adalah hasil observasi dan wawancara dengan siswa, guru, dan kepala sekolah berkaitan
dengan masalah literasi membaca di sekolah. Selain itu, terdapat juga sumber data pendukung
berupa foto, video, dan dokumntasi yang berkaitan dengan masalah literasi membaca di
sekolah. Penelitian ini dilakukan di SMAN 1 Aikmel yang merupakan salah satu dari dua
sekolah rujukan program GLS di Kabupaten Lombok Timur.
Terdapat tiga instrumen yang digunakan untuk peneliian ini, yakni instrumen
observasi budaya literasi membaca siswa, instrumen wawancara terbuka, dan instrumen
dokumentasi kegiatan literasi membaca siswa di sekolah. Pengumpulan data penelitian
dilakukan dengan observasi lapangan, wawancara terbuka dengan siswa, guru, dan kepala
sekolah, serta pengumpulan dokumentasi baik berupa foto, video, maupun berkas yang
berkaitan dengan literasi membaca siswa di sekolah.
Setelah data dikumpulkan, proses selanjutnya adalah analisis data. Analisis data
penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis Milles dan Huberman yang meliputi tahap
reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta penarikan simpulan dan
verifikasi (conclusing drawing and verification).
Analisis data penelitian ini secara rinci dilakukan dengan tiga tahapan yakni (1)
mentranskip data hasil observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dalam berntuk tertulis
dan direduksi melalui proses identifikasi, klasifikasi, dan kodifikasi, (2) menyajikan data yang
sudah direduksi sesuai dengan fokus penelitian, dan (3) menarik simpulan dan memverifikasi
data sesuai dengan bukti-bukti berupa teori dan hasil penelitian terdahulu yang sejalan
dengan hasil penelitian ini.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menghasilkan empat temuan terkait problematika literasi membaca yang
dialami siswa di lokasi penelitian. Keempat temuan tersebut yaitu, minat baca siswa,
ketersediaan bahan bacaan, lingkungan membaca, dan keterbatasan program literasi sekolah.
Keempat temuan tersebut dijabarkan sebagai berikut.
Minat Baca Siswa
Rendahnya minat baca siswa menjadi salah satu problematika literasi membaca siswa
di lokasi penelitian. Minat dalam hal ini berkaitan dengan kemauan siswa terhadap kegiatan
literasi memabaca. Terkait minat baca di sekolah, minat sangat berkaitan dengan keinginan
hati seseorang. Keinginan ini didapatkan dari pengalaman anak yang menyenangkan saat
melakukan aktivitas membaca(Maharani, 2017).
Dari hasil wawancara dengan siswa B, ia lebih sering membaca jika diberi tugas oleh
guru, bukan karena kesadaran sendiri untuk membaca. Kejadian yang didapat dari pernyataan
siswa tersebut merupakan problematika literasi membaca karena kurangnya arahan dari guru
untuk terbiasa membaca buku. Masalah pada kasus tersebut dapat memperjelas bahwa salah
satu pengalaman belajar yang dapat menumbuhkan minat baca adalah bimbingan dan
pengarahan seseorang yang mahir menilai kemampuan anak. Dalam kasus di sekolah, orang
tersebut adalah guru sebagai salah satu penilai proses pembelajaran (Budhayanti et al., 2022).
Selain itu, menurut hasil wawancara dengan guru A dan observasi di kelas, guru lebih
memfokuskan kegiatan literasi membaca siswa yang berkaitan dengan membaca buku
pelajaran. Menurut guru A, hal tersebut dilakukan karena terbatasnya waktu untuk setiap
mata pelajaran yang mengakibatkan guru tidak bisa mengarahkan siswa untuk membaca buku
nonpelajaran. Tidak terbiasanya guru mengarahkan siswa untuk membaca buku nonpelajaran
dapat menyebabkan rendahnya minat baca siswa. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Suprapno (2015) yang mengatakan bahwa kurangnya motivasi yang diberikan oleh guru
untuk siswa agar membaca buku nonpelajaran merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan rendahnya minat baca siswa.
Merujuk pada dua problematika tersebut, minat baca siswa tergolong masih rendah.
Hal ini dapat dibuktikan kebiasaan siswa yang membaca jika diberi arahan atau tugas oleh
guru saja, itupun masih mengarah pada buku pelajaran. Kesadaran dan gairah untuk membaca,
khususnya membaca buku nonpelajaran karena keinginan siswa masih tergolong rendah.
Ketersediaan Bahan Bacaan
Ketersediaan bahan bacaan menjadi salah satu faktor problematika rendahnya literasi
membaca siswa di lokasi penelitian. Hal tersebut didasarkan pada hasil observasi bahan
bacaan di perpustakaan maupun pojok baca sekolah. Kedua ruang membaca tersebut memiliki
keterbatasan masing-masing.
Perpustakaan sekolah memiliki area yang dapat menampung siswa dalam satu kelas.
Namun, tidak banyak siswa meminjam atau membaca buku nonpelajaran di perpustakaan.
Hal tersebut karena buku bacaan seperti novel, kumpulan cerpen, majalah, dan lain-lain jarang
diperbaharui. Menurut keterangan pegawai perpustakaan, pihak sekolah memang jarang
memperbaharui buku nonpelajaran. Hal tersebut menurutnya karena buku pelajaran terus
mengalami perubahan sehingga sekolah lebih fokus memperbaharui buku pelajaran. Kurang
beragamnya jenis buku yang tersedia di perpustakaan menjadi penghambat budaya literasi
membaca siswa. Itu juga sejalan dengan pernyataan Eidswick (2009)yang mengatakan bahwa
minat baca seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor situasional, seperti jenis buku dan tempat
membaca.
141 |
Jurnal Bastrindo | Volume 3| Nomor 2| Desember 2022
Berdasarkan hasil observasi bahan bacaan di pojok baca sekolah, buku-buku yang
tersedia berjumlah tidak lebih dari 70 buku. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan gambar 1
berikut.
Gambar 1. Koleksi Buku di Pojok Baca Sekolah
Selain itu, masih terdapat beberapa buku pelajaran yang dipajang di pojok baca
tersebut. Judul-judul buku fiksi yang tersedia juga hampir tidak ada yang termasuk buku
terbitan baru. Kurangnya ketersediaan buku nonpelajaran ini dapat memengaruhi minat baca
siswa. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Suwandi (2019)yang mengatakan bahwa
salah satu determinan kuat yang membuat seseorang membaca adalah ketersediaan buku
(accessibility of materials) sehingga kurangnya ketersediaan buku di perpustakaan dapat
menghambat keinginan siswa untuk membaca di sekolah.
Dari problematika yang ditemukan terkait ketersediaan bahan bacaan, dapat
disimpulkan bahwa masalah utama dalam hal ini adalah kurangnya ragam dan jumlah bahan
bacaan umum atau nonpelajaran di sekolah. Kekurangan ini tidak hanya ditemukan di
perpustakaan yang tidak menyediakan banyak buku nonpelajaran, tetapi juga buku di pojok
baca sekolah yang masih terbatas.
Lingkungan Membaca
Lingkungan membaca dalam hal ini dikategorisasikan menjadi dua hal, yaitu tempat
siswa membaca dan kehidupan sosial siswa di sekolah. Kedua hal ini menjadi faktor
problematika literasi membaca di lokasi penelitian.
Terdapat tiga tempat yang disediakan untuk kegiatan siswa membaca di lingkungan
sekolah, salah satunya adalah pojok baca. Dari hasil observasi lingkungan sekolah, keberadaan
pojok baca sekolah memang kurang efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Pojok Baca Sekolah
Walaupun tergolong luas dan bersih, pojok baca ini kurang diminati siswa karena
lemari bukunya sering dikunci yang menyebabkan siswa jarang memanfaatkan pojok baca ini
bahkan saat jam istirahat. Padahal, menuruk Kurniawan (2020), keberadaan pojok baca yang
baik akan menarik perhatian siswa untuk melakukan kegiatan literasi di pojok baca tersebut.
Berkaitan dengan tempat membaca lain, siswa A menuturkan biasa membaca di kelas
maupun di musala yang letaknya tidak jauh dari pojok baca. Namun dari hasil observasi yang
dilakukan, lingkungan kelas tidak terlihat kondusif sebagai tempat membaca siswa. Hal
tersebut dapat dilihat ketika waktu istirahat, siswa menghabiskan waktu istirahat di kantin
sekolah, sedangkan ketika jam pelajaran, siswa difokuskan hanya membaca buku pelajaran.
Selain tempat membaca, lingkungan sosial yang berkaitan dengan interaksi siswa
dengan siswa lain juga merupakan problematika literasi membaca di lokasi penelitian. Hal
tersebut dapat dilihat dari kebiasaan siswa yang cenderung menghabiskan seluruh waktu di
sekolah secara berkelompok dengan temannya. Menurut keterangan siswa C, kebiasaan teman
juga memengaruhi keinginannya untuk mau membaca. Kejadian tersebut sesuai dengan
pendapat Linnakyla, et. al. (2004)yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang
menentukan kemampuan membaca seseorang adalah motivasi.
Dalam problematika terkait lingkungan membaca, lingkungan membaca siswa
tergolong kurang kondusif dan mendukung. Hal ini dapat dilihat dari keadaan pojok baca
sekolah yang kurang terawatt dan siswa kurang mendapatkan motivasi, khususnya motivasi
membaca dari lingkungan bermainnya di sekolah.
Keterbatasan Program Literasi Sekolah
Menurut pedoman GLS (2016), ada tiga tahap dasar yang harus dilakukan siswa
berkaitan dengan budaya membaca, yaitu tahap pembiasaan, tahap pengembangan, dan tahap
pembelajaran. Akan tetapi, dari hasil observasi lapangan, ketiga tahap tersebut tidak berjalan
sesuai dengan prosedur dalam buku pedoman GLS. Misalnya, program membaca buku
nonpelajaran 15 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai, tidak berjalan seperti aturan
GLS. Sebaliknya, siswa dijadwalkan membaca Al-Quran sebagai gantinya. Menurut Guru B,
kebiasaan membaca Al-quran setiap pagi merupakan program sekolah yang sudah
dilaksanakan sejak lama sehingga sekolah tidak bersedia mengganti kebiasaan tersebut
dengan membaca buku nonpelajaran.
Tidak berjalannya kegiatan membaca buku nonpelajaran 15 menit sebelum jam belajar
dimulai merupakan problematika yang dapat menghambat literasi membaca siswa. Hal
tersebut sesuai arahan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2016) yang mengatakan
bahwa program literasi di sekolah harus terintegrasi dengan kurikulum agar dapat berjalan
dengan terarah. Selain itu, untuk memaksimalkan program 15 menit membaca buku
nonplelajaran tidak harus dengan menghapuskan kebiasaan membaca Al-Qur’an di pagi hari.
Menurut Ramdhani et. al. (2021), sekolah bisa saja tetap mengalokasikan waktu membaca AlQu’an dan kemudian dilanjutkan dengan membaca buku nonpelajaran sebagai penerapan
program GLS di pagi hari.
Program GLS masih sebatas seremonial atau lomba literasi semata. Hal tersebut
terlihat dari program tim GLS yang lebih memfokuskan pelaksanaan GLS dalam bentuk
perayaan hari literasi sekolah di setiap bulan Oktober seperti pada Gambar 3 berikut.
143 |
Jurnal Bastrindo | Volume 3| Nomor 2| Desember 2022
Gambar 3. Festival Literasi Sekolah
Padahal, seharusnya ada program literasi yang berkelanjutan dan terukur. Pendapat
tersebut diperkuat oleh pernyataan Abidin et. al. (2018) yang mengatakan bahwa program
sekolah yang dapat meningkatkan minat baca siswa tidak hanya kegiatan atau lomba besar
saja, melainkan program yang dapat membentuk kebiasaan membaca siswa. Program tersebut
juga harus bersifat berkelanjutan, fleksibel, dan komprehensif.
Merujuk pada hasil penelitain terkait keterbatasan program literasi sekolah tersebut,
dapat disimpulkan bahwa problematika terkait hal ini terjadi karena kurangnya program GLS
yang bersifat pembiasaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan program literasi sekolah yang lebih
memfokuskan pada penyelenggaraan lomba literasi saja, belum ada kegiatan pembiasaan
untuk meningkatkan budaya membaca secara berkelanjutan.
PENUTUP
Dari hasil analisis terhadap data penelitian, terdapat empat faktor yang menjadi
problematika literasi membaca siswa sekolah menengah atas yang dijadikan objek penelitian.
Keempat faktor tersebut yaitu yaitu sebagai berikut. Pertama, minat baca siswa yang masih
rendah. Kedua, ketersediaan bahan bacaan yang belum memadai, tidak hanya di perpustakaan,
tetapi juga di pojok baca sekolah maupun pojok baca kelas. Ketiga, lingkungan membaca
siswa, baik tempat membaca maupun rekan membaca yang kurang mendukung. Keempat,
keterbatasan program literasi sekolah yang lebih fokus pada pelaksanaan program literasi
yang bersifat kompetisi dibandingkan membuat gerakan membudayakan kegiatan literasi.
Keempat permasalah tersebut saling berkaitan dan secara langsung maupun tidak langsung
dan berakibat pada rendahnya literasi membaca siswa di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y., Mulyati, T., & Yunansah, H. (2018). PEMBELAJARAN LITERASI: Strategi
Meningkatkan Literasi Matematika, Sains, Membaca, dan Menulis. Bumi Aksara.
Budhayanti, I. S., Wijayanti, C. H., Dirgantara, S., Emmily, & Vanessa. (2022). Analisis
Instruksional Pembelajaran Terpadu Berbasis Literasi Budaya Pada Pelajaran Matematika
Dan Bahasa Indonesia. Jurnal Cakrawala Pendas, 8(1), 70–81.
Concannon, G.T. dan McCarthy, M. J. (2012). The Explicit Teaching of Reading
Comperhension in Science Class: A Pilot Profesional Development Program. Improving
Schools, 1(15), 73–88.
Eidswick, J. (2009). The Influence of Interest on Reading Comprehension in EFL Students.
Online Submission, 25–38.
Harsiati, T. (2018). Karakteristik Soal Literasi Membaca Pada Program Pisa. Litera, 17(1), 90–
106. https://doi.org/10.21831/ltr.v17i1.19048
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah
Menengah Atas. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Materi Pendukung Literasi Baca Tulis.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2018). Program Kerjas PSMA Direktorat Pembinaan
SMA Tahun 2018. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengahkementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.
Kurniawan, A. R., Destrinelli, D., Hayati, S., Rahmad, R., Riskayanti, J., Wasena, I. S., &
Triyadi, Y. (2020). Peranan Pojok Baca dalam Menumbuhkan Minat Baca Siswa Sekolah
Dasar. Jurnal Inovasi Pendidikan Dan Pembelajaran Sekolah Dasar, 3(2), 48.
https://doi.org/10.24036/jippsd.v3i2.107562
Linnakyla¨, P., Malin, A., & Taube, K. (2004). Factors behind low reading literacy
achievement. Scandinavian Journal of Educational Research, 48(3), 231–249.
https://doi.org/10.1080/00313830410001695718
Maharani, O. D. (2017). Minat Baca Anak-Anak Di Kampoeng Baca Kabupaten Jember. Jurnal
Review Pendidikan Dasar : Jurnal Kajian Pendidikan Dan Hasil Penelitian, 3(1), 320.
https://doi.org/10.26740/jrpd.v3n1.p320-328
Permatasari, F. (2019). Problematika Penerapan Gerakan Literasi Sekolah. Jurnal Koulutus:
Jurnal Pendidikan Kahuripan, 2(1), 139–143.
Ramdhani, M., Rofi’uddin, A., & Santoso, A. (2021). Perbandingan Implementasi Budaya
Literasi Membaca antara Sekolah Rujukan dan Nonrujukan Gerakan Literasi Sekolah.
Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, Dan Pengembangan, 6(3), 445–452.
http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/article/view/14628
Staden, S. Van, & Bosker, R. (2014). Factors that affect South African Reading Literacy
Achievement: Evidence from prePIRLS 2011. South African Journal of Education, 34(3), 1–9.
https://doi.org/10.15700/201409161059
Suprapno, H. (2015). JURNAL PENA INDONESIA (JPI) Jurnal Bahasa Indonesia, Sastra, dan
Pengajarannya. Jurnal Pena Indonesia, 1(1), 79–95.
Suryaman, M. (2015). Analisis Hasil Belajar Peserta Didik Dalam Literasi Membaca Melalui
Studi
Internasional
(Pirls)
2011.
Litera,
14(1),
170–186.
https://doi.org/10.21831/ltr.v14i1.4416
Suwandi, S. (2019). Pendidikan Literasi. PT. Remaja Rosdakarya.
Yazid, A. (2018). JRTIE: Journal of Research and Thought of Islamic Education Vol. 1, No. 1,
2018. Journal of Research and Thought of Islamic Education, 1(1), 1–21.
145 |
Jurnal Bastrindo | Volume 3| Nomor 2| Desember 2022