Content-Length: 182632 | pFad | https://www.academia.edu/108421402/Reading_Literacy_Problems_Of_Senior_High_School_Students

(PDF) Reading Literacy Problems Of Senior High School Students
Academia.eduAcademia.edu

Reading Literacy Problems Of Senior High School Students

2022, JURNAL BASTRINDO

Latar belakang penelitian ini mengacu pada peringkat literasi masyarakat Indonesia berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh PISA (Program untuk Penilaian Siswa Internasional) pada tahun 2019 yang belum meningkat secara signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara itu, pemerintah Indonesia telah melakukan program peningkatan literasi, terutama di sekolah dasar dan menengah. Selain itu, belum banyak penelitian tentang literasi membaca di Indonesia, khususnya di daerah Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah literasi membaca yang dihadapi oleh siswa di SMAN 1 Aikmel, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan studi kasus sebagai metode penelitian. Informan penelitian ini adalah guru sekolah, siswa, dan staf perpustakaan di lokasi penelitian. Tindakan, pernyataan, dan dokumentasi peserta yang terkait dengan masalah literasi membaca digunakan sebagai sumber data. Observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi dan implementasi program GLS di sekolah. Temuan dari pengamatan kemudian diklarifikasi dengan mewawancarai kepala sekolah, guru, siswa, dan pegawai sekolah yang berhubungan dengan kegiatan GLS di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada empat masalah literasi yang dihadapi oleh siswa sekolah menengah dalam literasi membaca, yaitu (1) kurangnya minat siswa dalam membaca buku nonpelajaran, (2) kurangnya ketersediaan bahan bacaan selain buku pelajaran, (3) lingkungan membaca yang kurang kondusif dan mendukung, serta (4) keterbatasan dalam menerapkan program GLS.

Problematika Budaya Literasi Membaca di SMAN 1 Aikmel Marlinda Ramdhani1; Baiq Wahidah2; Wika Wahyuni3 Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mataram 1,2,3Pendidikan Posel: marlinda.ramdhani@unram.ac.id Abstrak: Latar belakang penelitian ini mengacu pada peringkat literasi masyarakat Indonesia berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh PISA (Program untuk Penilaian Siswa Internasional) pada tahun 2019 yang belum meningkat secara signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara itu, pemerintah Indonesia telah melakukan program peningkatan literasi, terutama di sekolah dasar dan menengah. Selain itu, belum banyak penelitian tentang literasi membaca di Indonesia, khususnya di daerah Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah literasi membaca yang dihadapi oleh siswa di SMAN 1 Aikmel, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan studi kasus sebagai metode penelitian. Informan penelitian ini adalah guru sekolah, siswa, dan staf perpustakaan di lokasi penelitian. Tindakan, pernyataan, dan dokumentasi peserta yang terkait dengan masalah literasi membaca digunakan sebagai sumber data. Observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi dan implementasi program GLS di sekolah. Temuan dari pengamatan kemudian diklarifikasi dengan mewawancarai kepala sekolah, guru, siswa, dan pegawai sekolah yang berhubungan dengan kegiatan GLS di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada empat masalah literasi yang dihadapi oleh siswa sekolah menengah dalam literasi membaca, yaitu (1) kurangnya minat siswa dalam membaca buku nonpelajaran, (2) kurangnya ketersediaan bahan bacaan selain buku pelajaran, (3) lingkungan membaca yang kurang kondusif dan mendukung, serta (4) keterbatasan dalam menerapkan program GLS. Kata-kata kunci: literasi membaca, siswa, Gerakan Literasi Sekolah. Problematics Of Reading Literacy Culture In SMAN 1 Aikmel Abstract: The background of this research was carried out referring to the literacy ranking of the Indonesian people based on the results of research conducted by PISA (Program for the Assessment of International Students) in 2019 which had not increased significantly compared to the previous year. Meanwhile, the Indonesian government has carried out literacy improvement programs, especially in primary and secondary schools. In addition, there has not been much research on reading literacy in Indonesia, especially in the West Nusa Tenggara region. This study aims to identify reading literacy problems faced by students in SMAN 1 Aikmel , Lombok East, West Nusa Tenggara. This research design uses a qualitative approach and uses case studies as a research method. The informants for this research were school teachers, students, and library staff at the research location. Participants' actions, statements, and documentation related to the problem literacy reading was used as a data source. Observations were made to determine the condition and implementation of the program GLS at school. Findings from observations were then clarified by interviewing head school, teacher, student , and employee school which relate with activity GLS in school . The results of the study show that there are four literacy problems faced by middle school students literacy reading, namely (1) lack of students' interest in reading book non-lessons, (2) lack of availability of reading material besides book lesson, (3) reading environment which not enough conducive and support, and (4) limitations in implementing the program GLS. Keywords: reading literacy, students, School Literacy Movement. 137 | Jurnal Bastrindo | Volume 3| Nomor 2| Desember 2022 PENDAHULUAN Persoalan literasi membaca menjadi topik yang sampai saat ini masih membutuhkan perhatian lebih, khususnya di Indonesia. Concannon-Gibney dan McCarthy (2012) mengatakan bahwa semua siswa pada abad ini dirancang memiliki sikap yang kritis dalam memecahkan masalah, berkomunikasi, dan berpikir. Guna mewujudkan hal tersebut, budaya membaca yang baik adalah salah satu kunci utamanya. Merujuk pada pendapat tersebut, wajar saja jika pemerintah Indonesia menaruh perhatian lebih pada perbaikan aspek literasi dan kemampuan membaca masyarakat Indonesia. Kemampuan membaca masyarakat, khususnya siswa di Indonesia masih rendah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Suryaman (2015) yang mengatakan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata siswa internasional. Pendapat tersebut juga didukung oleh Yazid (2018) yang mengatakan bahwa kemampuan literasi masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Hal ini akan terus memburuk jika tidak ada penguatan literasi, khususnya literasi membaca di lembaga pendidikan, maupun lingkungan bermain. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, minat baca masyarakat Indonesia termasuk rendah. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Ismail (dalam Suwandi, 2019:43)yang mengatakan bahwa buku sastra yang wajib dibaca siswa SMA di Malaysia adalah 6 judul buku, Singapura 6 judul buku, Brunei Darussalam 7 judul buku, sedangkan Indonesia 0 judul buku. Terlebih lagi, menurut hasil PISA (Programme for International Student Assesment) tahun 2018 yang hasilnya keluar di tahun 2019, skor literasi siswa di Indonesia mengalami penurunan dibandingkan hasil PISA tahun 2015. Di tahun 2015, rata-rata skor literasi siswa Indonesia adalah 397, sedangkan di tahun 2018 turun menjadi 371. Penurunan skor tersebut menjadi salah satu bukti bahwa usaha pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah literasi siswa di Indonesia belum sepenuhnya berjalan baik. Salah satu program pemerintah Indonesia yang belum berjalan maksimal berkaitan dengan upaya memperbaiki literasi siswa adalah program Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2016), GLS merupakan kegiatan yang bersifat partisipatif dan melibatkan seluruh warga sekolah maupun masyarakat, guna menumbuhkan budaya literasi di sekolah. Program ini dilaksanakan sejak tahun 2016 dan masih berjalan sampai sekarang. Pada penerapannya, masih banyak kendala yang terjadi di lapangan terkait pelaksanaan program GLS. Pendapat tersebut dipertegas oleh hasil penelitian Permatasari (2019) yang mengatakan bahwa minat baca siswa yang sekolahnya menjalankan program GLS masih rendah, salah satunya terlihat dari kurang antusiasnya siswa ketika menjalankan program 15 menit membaca di kelas. Tentu ini harus mendapat perhatian lebih karena hampir seluruh sekolah di Indonesia menerapkan program GLS. Salah satu daerah di Indonesia yang membutuhkan perhatian lebih mengenai aspek literasi membaca adalah Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusat Tenggara Barat, Indonesia. Daerah ini termasuk dalam kategori daerah tertinggal. Sekolah rujukan GLS di daerah tertinggal ternyata masih mengalami kendala dalam mengimplementasikan budaya literasi membaca(Ramdhani et al., 2021). Selain itu, menurut data dari perpustakaan daerah, NTB menempati ranking 30 dari 34 provinsi di Indoenesia terkait minat baca masyarakat di sana. Merujuk pada peringkat tersebut, penting adanya penelitian mendalam untuk mengetahui persoalan yang dialami, khususnya tentang literasi membaca siswa di sekolah menengah. Walaupun baru terdapat dua sekolah menengah atas yang dijadikan sebagai sekolah rujukan program GLS, permasalahan literasi membaca siswa di sekolah rujukan tersebut perlu ditelusuri secara mendalam. Hal tersebut dilakukan sebagai gambaran program pemerintah yang harus dilanjutkan maupun diperbaiki terkait upaya peningkatan budaya literasi, khususnya literasi membaca di dua sekolah tersebut. Penelitian mengenai problematika literasi membaca penting dilakukan, khususnya di sekolah yang terdapat di kabupaten Lombok Timur. Hal tersebut dapat menjadi gambaran bagi pemerintah guna evaluasi program perbaikan literasi di daerah tertinggal khususnya agar dapat dilakukan perbaikan selanjutnya. LANDASAN TEORI Literasi Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, istilah literasi juga terus mengalami perkembangan dalam pemaknaannya. Jika pandangan tradisional menganggap literasi sebagai suatu kegiatan yang dikhususkan untuk pengganti istilah membaca, pada era modern ini, literasi mengalami perluasan makna. Pemaknaan literasi di zaman modern ini tidak hanya dibatasi oleh kegiatan calistung (baca, tulis, dan hitung) saja. Menurut Yazid (2018), istilah literasi baru dijabarkan menjadi tiga hal. Pertama, literasi data merujuk pada kemampuan seseorang untuk menafsirkan dan membentuk pola pikir berdasarkan data. Kedua, literasi teknologi melingkupi kemampuan seseorang dalam mengendalikan mesin atau teknologi. Ketiga, literasi manusia atau humanisme melingkupi kemampuan seseorang dalam berpikir kritis, inovatif, kreatif, dan berkolaborasi di masyarakat atau lingkungan kerjanya. Selain itu, Harsiati (2018) menerangkan bahwa literasi adalah suatu kemampuan seorang individu untuk memahami, menggunakan, dan merefleksikan suatu bacaan guna mencapai tujuan tertentu, mengembangkan kemampuan diri, dan memosisikan diri dalam masyarakat. Pemaknaan literasi dalam hal ini difokuskan pada kemampuan seseorang, khususnya siswa dalam mengembangkan pengetahuan yang dimiliki dengan mengasah keterampilan berpikir kritis dan kreatif dengan bahan bacaan yang dibaca. Keterampilan tersebut diharapkan dapat digunakan dalam lingkungannya, tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan masyarakat. Literasi Membaca Literasi membaca bukan hanya gerakan yang bersifat interaktif, tetapi juga konstruktif (Staden & Bosker, 2014). Pengertian literasi membaca sekarang ini juga mengalami pendalaman makna. Kegiatan membaca tidak hanya difokuskan pada tujuan yang diharapkan akan dicapai oleh seseorang dari kegiatan membacanya. Lebih dari itu, literasi membaca mendorong seseorang untuk membaca guna mencapai tujuan membaca tertentu. Kegiatan membaca harus digunakan untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi yang dimiliki pembaca sehingga dapat berkontribusi dalam masyarakat (Abidin et al., 2018). Menurut Kemendikbud (2017), terdapat lima hal yang perlu diperhatikan untuk menilai budaya literasi membaca yang ada di suatu sekolah. Pertama, jumlah dan variasi bahan bacaan yang pernah dibaca oleh siswa. Kedua, frekuensi peminjaman bahan bacaan di perpustakaan atau pojok baca. Ketiga, jumlah kegiatan sekolah yang berkaitan dengan literasi membaca. Keempat, kebijakan sekolah yang berkaitan dengan literasi membaca. Kelima, adanya komunitas baca di sekolah. Kelima hal tersebut dijadikan standardisasi guna menilai problematika budaya literasi membaca di sekolah yang menjadi lokasi penelitian ini. Gerakan Literasi Sekolah Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) disebut sebagai salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan budaya literasi siswa Indonesia. GLS dirancang sebagai kegiatan yang partisipatif dengan mengutakan keterlibatan semua warga sekolah, akademisi, penerbit, media massa, masyarakat, serta pemangku kepentingan (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Tujuan program GLS dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum GLS ialah untuk mengembangkan budi pekerti siswa melalui pembudayaan ekosistem literasi yang diwujudkan dalam GLS agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat, sedangkan tujuan khusus GLS dibagi menjadi empat. Pertama, menumbuhkan budaya literasi di sekolah. Kedua, meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat. Ketiga, menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan. Keempat, menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan 139 | Jurnal Bastrindo | Volume 3| Nomor 2| Desember 2022 menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018) Terdapat tiga tahapan dalam kegiatan literasi sekolah. Ketiga tahapan tersebut adalah tahap pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Pertama, tahap pembiasaan. Secara umum, terdapat tiga kegiatan pada tahap pembiasaan, yaitu membaca selama 15 menit setiap hari, contohnya guru membacakan kutipan buku dan mendiskusikannya, membaca buku dengan memanfaatkan peran perpustakaan. Dan membaca terpadu (guide reading) (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016). Kedua, tahap pengembangan. Tahap ini dapat melatih siswa untuk memahami dan mengkritisi bacaan dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif (Abidin et al., 2018). Terdapat empat kegiatan umum dalam tahap ini, yaitu menulis komentar singkat terhadap buku yang dibaca di jurnal membaca harian, bedah buku atau yang lebih dikenal dengan resensi buku (a book review), reading award atau penghargaan kepada siswa yang telah melaksanakan kegiatan membacanya dan tagihannya dengan baik, dan mengembangkan iklim literasi di sekolah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016). Ketiga, tahap pembelajaran. Kegiatan pada tahapan ini mengharuskan siswa dapat mengaitkan hasil bacaan dengan pengalaman pribadi untuk melatih berpikir kritis dan kreatif siswa. Terdapat lima kegiatan umum dalam tahap pembelajaran, yaitu kegiatan membaca 15 menit setiap hari diikuti dengan kegiatan tagihan nonakademik atau akademik, kegiatan literasi dalam pembelajaran dengan tagihan akademik, pelaksanaan berbagai strategi untuk memahami teks dalam semua mata pelajaran, penggunaan lingkungan fisik, sosial dan afektif, dan akademik sisertai beragam bacaan yang kaya literasi di luar buku teks pelajaran, dan penulisan biografi siswa dalam kelas sebagai proyek kelas (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian dilakukan secara langsung dalam konteks natural dan tidak diatur atau direkayasa sebelumnya. Konteks natural dalam hal ini adalah problematika literasi membaca di sekolah yang menjadi lokasi penelitian, sedangkan penelitian ini dikatakan jenis penelitian studi kasus karena terkait dengan masalah sosial yang berkaitan dengan budaya membaca, khususnya di satu sekolah yang dijadikan situs (lokasi) penelitian. Data penelitian ini dibagi menjadi tiga macam, yakni (1) tindakan yang menunjukkan masalah dalam pelaksanaan literasi membaca di sekolah, (2) pernyataan siswa, guru, dan kepala sekolah mengenai permasalahan literasi membaca di sekolah, dan (3) dokumentasi yang berkaitan dengan masalah literasi membaca di sekolah. Sumber data penelitian ini secara umum dibagi menjadi tiga, yakni person, place, dan paper. Sumber data utama penelitian ini adalah hasil observasi dan wawancara dengan siswa, guru, dan kepala sekolah berkaitan dengan masalah literasi membaca di sekolah. Selain itu, terdapat juga sumber data pendukung berupa foto, video, dan dokumntasi yang berkaitan dengan masalah literasi membaca di sekolah. Penelitian ini dilakukan di SMAN 1 Aikmel yang merupakan salah satu dari dua sekolah rujukan program GLS di Kabupaten Lombok Timur. Terdapat tiga instrumen yang digunakan untuk peneliian ini, yakni instrumen observasi budaya literasi membaca siswa, instrumen wawancara terbuka, dan instrumen dokumentasi kegiatan literasi membaca siswa di sekolah. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan observasi lapangan, wawancara terbuka dengan siswa, guru, dan kepala sekolah, serta pengumpulan dokumentasi baik berupa foto, video, maupun berkas yang berkaitan dengan literasi membaca siswa di sekolah. Setelah data dikumpulkan, proses selanjutnya adalah analisis data. Analisis data penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis Milles dan Huberman yang meliputi tahap reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta penarikan simpulan dan verifikasi (conclusing drawing and verification). Analisis data penelitian ini secara rinci dilakukan dengan tiga tahapan yakni (1) mentranskip data hasil observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dalam berntuk tertulis dan direduksi melalui proses identifikasi, klasifikasi, dan kodifikasi, (2) menyajikan data yang sudah direduksi sesuai dengan fokus penelitian, dan (3) menarik simpulan dan memverifikasi data sesuai dengan bukti-bukti berupa teori dan hasil penelitian terdahulu yang sejalan dengan hasil penelitian ini. PEMBAHASAN Penelitian ini menghasilkan empat temuan terkait problematika literasi membaca yang dialami siswa di lokasi penelitian. Keempat temuan tersebut yaitu, minat baca siswa, ketersediaan bahan bacaan, lingkungan membaca, dan keterbatasan program literasi sekolah. Keempat temuan tersebut dijabarkan sebagai berikut. Minat Baca Siswa Rendahnya minat baca siswa menjadi salah satu problematika literasi membaca siswa di lokasi penelitian. Minat dalam hal ini berkaitan dengan kemauan siswa terhadap kegiatan literasi memabaca. Terkait minat baca di sekolah, minat sangat berkaitan dengan keinginan hati seseorang. Keinginan ini didapatkan dari pengalaman anak yang menyenangkan saat melakukan aktivitas membaca(Maharani, 2017). Dari hasil wawancara dengan siswa B, ia lebih sering membaca jika diberi tugas oleh guru, bukan karena kesadaran sendiri untuk membaca. Kejadian yang didapat dari pernyataan siswa tersebut merupakan problematika literasi membaca karena kurangnya arahan dari guru untuk terbiasa membaca buku. Masalah pada kasus tersebut dapat memperjelas bahwa salah satu pengalaman belajar yang dapat menumbuhkan minat baca adalah bimbingan dan pengarahan seseorang yang mahir menilai kemampuan anak. Dalam kasus di sekolah, orang tersebut adalah guru sebagai salah satu penilai proses pembelajaran (Budhayanti et al., 2022). Selain itu, menurut hasil wawancara dengan guru A dan observasi di kelas, guru lebih memfokuskan kegiatan literasi membaca siswa yang berkaitan dengan membaca buku pelajaran. Menurut guru A, hal tersebut dilakukan karena terbatasnya waktu untuk setiap mata pelajaran yang mengakibatkan guru tidak bisa mengarahkan siswa untuk membaca buku nonpelajaran. Tidak terbiasanya guru mengarahkan siswa untuk membaca buku nonpelajaran dapat menyebabkan rendahnya minat baca siswa. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suprapno (2015) yang mengatakan bahwa kurangnya motivasi yang diberikan oleh guru untuk siswa agar membaca buku nonpelajaran merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca siswa. Merujuk pada dua problematika tersebut, minat baca siswa tergolong masih rendah. Hal ini dapat dibuktikan kebiasaan siswa yang membaca jika diberi arahan atau tugas oleh guru saja, itupun masih mengarah pada buku pelajaran. Kesadaran dan gairah untuk membaca, khususnya membaca buku nonpelajaran karena keinginan siswa masih tergolong rendah. Ketersediaan Bahan Bacaan Ketersediaan bahan bacaan menjadi salah satu faktor problematika rendahnya literasi membaca siswa di lokasi penelitian. Hal tersebut didasarkan pada hasil observasi bahan bacaan di perpustakaan maupun pojok baca sekolah. Kedua ruang membaca tersebut memiliki keterbatasan masing-masing. Perpustakaan sekolah memiliki area yang dapat menampung siswa dalam satu kelas. Namun, tidak banyak siswa meminjam atau membaca buku nonpelajaran di perpustakaan. Hal tersebut karena buku bacaan seperti novel, kumpulan cerpen, majalah, dan lain-lain jarang diperbaharui. Menurut keterangan pegawai perpustakaan, pihak sekolah memang jarang memperbaharui buku nonpelajaran. Hal tersebut menurutnya karena buku pelajaran terus mengalami perubahan sehingga sekolah lebih fokus memperbaharui buku pelajaran. Kurang beragamnya jenis buku yang tersedia di perpustakaan menjadi penghambat budaya literasi membaca siswa. Itu juga sejalan dengan pernyataan Eidswick (2009)yang mengatakan bahwa minat baca seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor situasional, seperti jenis buku dan tempat membaca. 141 | Jurnal Bastrindo | Volume 3| Nomor 2| Desember 2022 Berdasarkan hasil observasi bahan bacaan di pojok baca sekolah, buku-buku yang tersedia berjumlah tidak lebih dari 70 buku. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan gambar 1 berikut. Gambar 1. Koleksi Buku di Pojok Baca Sekolah Selain itu, masih terdapat beberapa buku pelajaran yang dipajang di pojok baca tersebut. Judul-judul buku fiksi yang tersedia juga hampir tidak ada yang termasuk buku terbitan baru. Kurangnya ketersediaan buku nonpelajaran ini dapat memengaruhi minat baca siswa. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Suwandi (2019)yang mengatakan bahwa salah satu determinan kuat yang membuat seseorang membaca adalah ketersediaan buku (accessibility of materials) sehingga kurangnya ketersediaan buku di perpustakaan dapat menghambat keinginan siswa untuk membaca di sekolah. Dari problematika yang ditemukan terkait ketersediaan bahan bacaan, dapat disimpulkan bahwa masalah utama dalam hal ini adalah kurangnya ragam dan jumlah bahan bacaan umum atau nonpelajaran di sekolah. Kekurangan ini tidak hanya ditemukan di perpustakaan yang tidak menyediakan banyak buku nonpelajaran, tetapi juga buku di pojok baca sekolah yang masih terbatas. Lingkungan Membaca Lingkungan membaca dalam hal ini dikategorisasikan menjadi dua hal, yaitu tempat siswa membaca dan kehidupan sosial siswa di sekolah. Kedua hal ini menjadi faktor problematika literasi membaca di lokasi penelitian. Terdapat tiga tempat yang disediakan untuk kegiatan siswa membaca di lingkungan sekolah, salah satunya adalah pojok baca. Dari hasil observasi lingkungan sekolah, keberadaan pojok baca sekolah memang kurang efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari Gambar 2 berikut. Gambar 2. Pojok Baca Sekolah Walaupun tergolong luas dan bersih, pojok baca ini kurang diminati siswa karena lemari bukunya sering dikunci yang menyebabkan siswa jarang memanfaatkan pojok baca ini bahkan saat jam istirahat. Padahal, menuruk Kurniawan (2020), keberadaan pojok baca yang baik akan menarik perhatian siswa untuk melakukan kegiatan literasi di pojok baca tersebut. Berkaitan dengan tempat membaca lain, siswa A menuturkan biasa membaca di kelas maupun di musala yang letaknya tidak jauh dari pojok baca. Namun dari hasil observasi yang dilakukan, lingkungan kelas tidak terlihat kondusif sebagai tempat membaca siswa. Hal tersebut dapat dilihat ketika waktu istirahat, siswa menghabiskan waktu istirahat di kantin sekolah, sedangkan ketika jam pelajaran, siswa difokuskan hanya membaca buku pelajaran. Selain tempat membaca, lingkungan sosial yang berkaitan dengan interaksi siswa dengan siswa lain juga merupakan problematika literasi membaca di lokasi penelitian. Hal tersebut dapat dilihat dari kebiasaan siswa yang cenderung menghabiskan seluruh waktu di sekolah secara berkelompok dengan temannya. Menurut keterangan siswa C, kebiasaan teman juga memengaruhi keinginannya untuk mau membaca. Kejadian tersebut sesuai dengan pendapat Linnakyla, et. al. (2004)yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan kemampuan membaca seseorang adalah motivasi. Dalam problematika terkait lingkungan membaca, lingkungan membaca siswa tergolong kurang kondusif dan mendukung. Hal ini dapat dilihat dari keadaan pojok baca sekolah yang kurang terawatt dan siswa kurang mendapatkan motivasi, khususnya motivasi membaca dari lingkungan bermainnya di sekolah. Keterbatasan Program Literasi Sekolah Menurut pedoman GLS (2016), ada tiga tahap dasar yang harus dilakukan siswa berkaitan dengan budaya membaca, yaitu tahap pembiasaan, tahap pengembangan, dan tahap pembelajaran. Akan tetapi, dari hasil observasi lapangan, ketiga tahap tersebut tidak berjalan sesuai dengan prosedur dalam buku pedoman GLS. Misalnya, program membaca buku nonpelajaran 15 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai, tidak berjalan seperti aturan GLS. Sebaliknya, siswa dijadwalkan membaca Al-Quran sebagai gantinya. Menurut Guru B, kebiasaan membaca Al-quran setiap pagi merupakan program sekolah yang sudah dilaksanakan sejak lama sehingga sekolah tidak bersedia mengganti kebiasaan tersebut dengan membaca buku nonpelajaran. Tidak berjalannya kegiatan membaca buku nonpelajaran 15 menit sebelum jam belajar dimulai merupakan problematika yang dapat menghambat literasi membaca siswa. Hal tersebut sesuai arahan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2016) yang mengatakan bahwa program literasi di sekolah harus terintegrasi dengan kurikulum agar dapat berjalan dengan terarah. Selain itu, untuk memaksimalkan program 15 menit membaca buku nonplelajaran tidak harus dengan menghapuskan kebiasaan membaca Al-Qur’an di pagi hari. Menurut Ramdhani et. al. (2021), sekolah bisa saja tetap mengalokasikan waktu membaca AlQu’an dan kemudian dilanjutkan dengan membaca buku nonpelajaran sebagai penerapan program GLS di pagi hari. Program GLS masih sebatas seremonial atau lomba literasi semata. Hal tersebut terlihat dari program tim GLS yang lebih memfokuskan pelaksanaan GLS dalam bentuk perayaan hari literasi sekolah di setiap bulan Oktober seperti pada Gambar 3 berikut. 143 | Jurnal Bastrindo | Volume 3| Nomor 2| Desember 2022 Gambar 3. Festival Literasi Sekolah Padahal, seharusnya ada program literasi yang berkelanjutan dan terukur. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Abidin et. al. (2018) yang mengatakan bahwa program sekolah yang dapat meningkatkan minat baca siswa tidak hanya kegiatan atau lomba besar saja, melainkan program yang dapat membentuk kebiasaan membaca siswa. Program tersebut juga harus bersifat berkelanjutan, fleksibel, dan komprehensif. Merujuk pada hasil penelitain terkait keterbatasan program literasi sekolah tersebut, dapat disimpulkan bahwa problematika terkait hal ini terjadi karena kurangnya program GLS yang bersifat pembiasaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan program literasi sekolah yang lebih memfokuskan pada penyelenggaraan lomba literasi saja, belum ada kegiatan pembiasaan untuk meningkatkan budaya membaca secara berkelanjutan. PENUTUP Dari hasil analisis terhadap data penelitian, terdapat empat faktor yang menjadi problematika literasi membaca siswa sekolah menengah atas yang dijadikan objek penelitian. Keempat faktor tersebut yaitu yaitu sebagai berikut. Pertama, minat baca siswa yang masih rendah. Kedua, ketersediaan bahan bacaan yang belum memadai, tidak hanya di perpustakaan, tetapi juga di pojok baca sekolah maupun pojok baca kelas. Ketiga, lingkungan membaca siswa, baik tempat membaca maupun rekan membaca yang kurang mendukung. Keempat, keterbatasan program literasi sekolah yang lebih fokus pada pelaksanaan program literasi yang bersifat kompetisi dibandingkan membuat gerakan membudayakan kegiatan literasi. Keempat permasalah tersebut saling berkaitan dan secara langsung maupun tidak langsung dan berakibat pada rendahnya literasi membaca siswa di sekolah. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Y., Mulyati, T., & Yunansah, H. (2018). PEMBELAJARAN LITERASI: Strategi Meningkatkan Literasi Matematika, Sains, Membaca, dan Menulis. Bumi Aksara. Budhayanti, I. S., Wijayanti, C. H., Dirgantara, S., Emmily, & Vanessa. (2022). Analisis Instruksional Pembelajaran Terpadu Berbasis Literasi Budaya Pada Pelajaran Matematika Dan Bahasa Indonesia. Jurnal Cakrawala Pendas, 8(1), 70–81. Concannon, G.T. dan McCarthy, M. J. (2012). The Explicit Teaching of Reading Comperhension in Science Class: A Pilot Profesional Development Program. Improving Schools, 1(15), 73–88. Eidswick, J. (2009). The Influence of Interest on Reading Comprehension in EFL Students. Online Submission, 25–38. Harsiati, T. (2018). Karakteristik Soal Literasi Membaca Pada Program Pisa. Litera, 17(1), 90– 106. https://doi.org/10.21831/ltr.v17i1.19048 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Atas. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Materi Pendukung Literasi Baca Tulis. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2018). Program Kerjas PSMA Direktorat Pembinaan SMA Tahun 2018. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengahkementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Kurniawan, A. R., Destrinelli, D., Hayati, S., Rahmad, R., Riskayanti, J., Wasena, I. S., & Triyadi, Y. (2020). Peranan Pojok Baca dalam Menumbuhkan Minat Baca Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Inovasi Pendidikan Dan Pembelajaran Sekolah Dasar, 3(2), 48. https://doi.org/10.24036/jippsd.v3i2.107562 Linnakyla¨, P., Malin, A., & Taube, K. (2004). Factors behind low reading literacy achievement. Scandinavian Journal of Educational Research, 48(3), 231–249. https://doi.org/10.1080/00313830410001695718 Maharani, O. D. (2017). Minat Baca Anak-Anak Di Kampoeng Baca Kabupaten Jember. Jurnal Review Pendidikan Dasar : Jurnal Kajian Pendidikan Dan Hasil Penelitian, 3(1), 320. https://doi.org/10.26740/jrpd.v3n1.p320-328 Permatasari, F. (2019). Problematika Penerapan Gerakan Literasi Sekolah. Jurnal Koulutus: Jurnal Pendidikan Kahuripan, 2(1), 139–143. Ramdhani, M., Rofi’uddin, A., & Santoso, A. (2021). Perbandingan Implementasi Budaya Literasi Membaca antara Sekolah Rujukan dan Nonrujukan Gerakan Literasi Sekolah. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, Dan Pengembangan, 6(3), 445–452. http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/article/view/14628 Staden, S. Van, & Bosker, R. (2014). Factors that affect South African Reading Literacy Achievement: Evidence from prePIRLS 2011. South African Journal of Education, 34(3), 1–9. https://doi.org/10.15700/201409161059 Suprapno, H. (2015). JURNAL PENA INDONESIA (JPI) Jurnal Bahasa Indonesia, Sastra, dan Pengajarannya. Jurnal Pena Indonesia, 1(1), 79–95. Suryaman, M. (2015). Analisis Hasil Belajar Peserta Didik Dalam Literasi Membaca Melalui Studi Internasional (Pirls) 2011. Litera, 14(1), 170–186. https://doi.org/10.21831/ltr.v14i1.4416 Suwandi, S. (2019). Pendidikan Literasi. PT. Remaja Rosdakarya. Yazid, A. (2018). JRTIE: Journal of Research and Thought of Islamic Education Vol. 1, No. 1, 2018. Journal of Research and Thought of Islamic Education, 1(1), 1–21. 145 | Jurnal Bastrindo | Volume 3| Nomor 2| Desember 2022








ApplySandwichStrip

pFad - (p)hone/(F)rame/(a)nonymizer/(d)eclutterfier!      Saves Data!


--- a PPN by Garber Painting Akron. With Image Size Reduction included!

Fetched URL: https://www.academia.edu/108421402/Reading_Literacy_Problems_Of_Senior_High_School_Students

Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy