Resensi The Triple Helix:
Antara Harapan dan Kenyataan
Judul Buku: The Triple Helix
Penulis: Richard Lewontin
Penerbit: Harvard University Press, 2000
Halaman: 296 Halaman
“For in much wisdom is much vexation, and he who increases knowledge, increases pain.” Kohelet/Ecclesiastes 1: 18
Pendahuluan
Tidak segala sesuatu yang ada di dunia ini mampu diketahui oleh manusia. Sebagian mampu dicerap melalui pancaindra, lalu sebagiannya lagi mungkin takkan mampu ditangkap. Sebagian yang tak mampu tertangkap inilah yang menjadi teka-teki dalam hidup manusia. Jika dulu agama merupakan jawabannya, hari ini sainslah yang memainkan perannya menjelaskan dan berusaha menembus keterbatasan yang dimiliki manusia dalam menjawab pertanyaan teka-teki kehidupan ini. Meski terlihat meyakinkan, kebenaran sains pun nampaknya juga harus selalu diuji. Karena sains, layaknya seni dan agama, bagaikan pisau bermata dua. Esensinya terletak pada relasi-relasi yang menyokongnya. Sehingga alih-alih membebaskan manusia, sains pun menjadi pembenaran atau legitimasi atas apa yang terjadi hari ini di dunia kita. Sejak Renaissance hingga hari ini, dari fisika hingga antropologi seakan hanya berjalan mengikuti laju roda kehidupan, bukannya melampauinya. Sehingga kiranya cara berpikir materialisme historis dan dialektis perlu digunakan sebagai cara berangkat berpikir untuk meruntuhkan menara gading ilmu pengetahuan. Kali ini kita akan membicarakannya dari salah satu ranah sains yang cukup penting yaitu biologi. Seorang ahli biologi bernama Richard Lewontin mencoba membedah biologi dengan cara berpikir dialektis. Ia berusaha memberikan kenyataan mengenai berjalannya dunia biologis ini sambil membendung argumen para ahli biologi dengan cara berpikir liberal yang selama ini menyokong masyarakat kapitalisme.
Richard Lewontin melalui buku The Triple Helix (2000) ini mencoba menguji cara berpikir dialektis di dalam ranah biologi. Buku ini hanya terdiri dari empat bab. Bab pertama berjudul Gene and Organism, lalu bab kedua Organism and Environment, sedangkan yang ketiga Parts and Wholes, Causes and Effects dan yang terakhir Directions in The Study of Biology. Ketiga bab pertama merupakan kumpulan dari materi perkuliahan yang diberikan Lewontin di Lezioni Italiani, Milan. Pada setiap babnya, Lewontin memberikan pemaparan mengenai contoh-contoh pandangan umum yang ada di ranah biologi, memberikan contoh-contoh penelitian, juga memberikan kritik-kritiknya. Maka saya menyarankan untuk langsung membaca langsung buku biologi ini.
Dalam tulisan ini tentu saja saya tidak akan membahas isi dari setiap bab, namun lebih mengambil hal-hal yang menarik dari pandangan Lewontin dalam tulisannya dan apa hikmah yang mampu kita petik dari biologi. Untuk itulah kiranya kita harus segera bersiap menerima kenyataan yang ditawarkan Lewontin dalam biologi yang diceritakannya. Karena biologi atau dunia mahkluk hidup memang seakan terlihat seperti yang pernah kita pelajari dan ada di buku semasa sekolah. Namun pada kenyataannya, mahkluk hidup lebih beragam kisahnya dan tidak semudah penjelasan-penjelasan layaknya yang ada di buku sekolah kita terdahulu.
Biologi dan Masa Lalunya
Buku ini tidak menjelaskan secara spesifik mengenai sejarah dari ilmu biologi, namun lebih ke perkembangan beberapa paradigma yang menghiasi perdebatan akademis dan praktisnya. Di sini saya akan sedikit menceritakan kisah dari ilmu ini. Biologi yang ada hari ini telah hadir sejak masa Yunani melalui Plato dan Aristoteles. Keduanya memiliki pemahaman yang berbeda. Sementara Plato beranggapan bahwa alam akan menuju ke dalam keteraturan dan kecenderungan kearah kompleksitas serta tujuan, Aristoteles berpendapat bahwa hakekat alam bertindak berdasarkan sifatnya (Mayr, 2000: 88). Selain itu ia menambahkan bahwa semua fenomena alam merupakan proses atau manifestasi dari proses tersebut. Konsep inilah yang nantinya membawa perkembangan biologi lebih jauh. Lalu biologi juga hadir pada masa Romawi dengan ahli medis seperti Galen yang menjelaskan sirkulasi darah dan anatomi tubuh (Serafini, 1993: 51-53). Serta di kebudayaan Arab dengan Avicenna atau Ibn Sina dan Aberrhos atau Ibn Rosh yang banyak menelurkan karya serta terjemahan karya-karya Aristoteles. Secara singkat, hingga sebelum abad ke-16, ilmu biologi ini sangatlah terbengkalai. Biologi mulai kembali dipergunakan oleh sekolah-sekolah medis di abad ke-16 dan juga para pemikir yang berpegang pada ilmu pengetahuan alam atau para naturalis. Banyak pemikir-pemikir filsafat yang mengaitkan biologi dengan cara pandang mereka, namun sejauh yang telah ada, biologi didominasi oleh cara berpikir fisikalis sejak Rene Descartes pada abad 17, atau biasa disebut dengan Cartesianisme (Mayr, 2004: 16-17). Hal tersebut terjadi karena biologi merupakan salah satu cabang dari sains yang pada perkembangannya di abad pertengahan berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sains mekanis atau fisikalis. Meski pada pertengahan abad ke-18 sudah terdapat tokoh-tokoh yang mendukung keragaman dari biologi seperti Carl Linneaus dan Comte de Buffon, namun cara berpikir fisikalis ini masih mendominasi biologi modern hari ini. Hal ini masih dapat ditemukan dalam biologi molekuler dan sosiobiologi. Seperti apakah cirinya? Salah satu cirinya yang reduksionistis masih dapat ditemukan contohnya pada Richard Dawkins yang berkesimpulan bahwa organisme merupakan individu yang egois dan individualistis (Dawkins, 2006: 66). Karena seleksi alam berada di ranah gen tersebut, dengan demikian individu cenderung untuk mempertahankan gen dan juga cenderung untuk mereproduksi sebanyak mungkin gen tersebut, maka selain dirinya atau satu gen atau kerabat dekat merupakan sesuatu yang lain dari dirinya yang mampu dieksploitasi.
Dalam biologi sendiri terdapat dua cabang besar, yaitu pemikiran biologi mekanistis atau fungsional dan biologi historis atau biologi evolusioner. Keduanya muncul dan berkembang pada periode tahun 1828 hingga 1866. Biologi fungsional berurusan dengan fisiologi dari seluruh aktivitas mahkluk hidup dan seluruh proses fungsional ini dapat dijelaskan secara mekanis oleh kimia dan fisika. Sedangkan biologi historis berurusan dengan evolusi, segala aspek kehidupan dapat ditelusuri secara historis atau dengan kata lain melalui evolusi itu sendiri. Perkembangan biologi ini mulai memuncak ketika Darwin menerbitkan The Origin of Species pada tahun 1859. Mengingat sebelumnya biologi sangat didominasi oleh cara berpikir vitalisme dan teleologis. Vitalisme merupakan pandangan yang menyatakan bahwa di balik kehidupan di dunia ini terdapat suatu kekuatan yang mengendalikannya, sama seperti gerakan bintang-bintang dan planet-planet yang dikondisikan oleh gravitasi, begitu juga dengan alam biologis yang digerakkan oleh kekuatan tak terlihat yang disebut lebenskraft atau vis vitalis. Sedangkan Teleologi merupakan cara pandang yang menyatakan bahwa alam memiliki proses yang secara otomatis membawanya ke dalam suatu tujuan tertentu. (Mayr, 2004: 22-24). Dengan terbitnya karya Darwin, cara berpikir vitalisme dan teleologis yang selama ini mendominasi dalam cara berpikir biologi pun mulai ditinggalkan karena penjelasan-penjelasan yang ada tak masuk akal.
Darwinlah yang berjasa memperkenalkan pemisahan antara hal-hal yang intern dan ekstern, antara organisme dengan alam (Lewontin, 2000: 42-43). Bahwa hal internal merupakan proses yang terjadi pada organisme, seperti mutasi gen atau rekombinasi. Sedangkan hal eksternal merupakan proses yang terjadi dari luar organisme atau dari alam, contohnya gempa bumi atau gunung meletus. Menurutnya keduanya memiliki proses historis yang berdiri sendiri. Maka organisme terpisah dengan alam, begitu juga sebaliknya, organisme memberikan saran dan alam akan menolak atau menerimanya. Hal inilah yang merupakan konsekuensi dari natural selection atau seleksi alam yang ditawarkan Darwin. Pemahaman ini yang berimplikasi pada biologi modern hingga hari ini. Walau pemisahan ini sangat berguna dalam biologi, namun bila kita tidak cermat dalam hal ini pulalah cara berpikir Cartesian tersebut dimungkinkan hadir kembali dalam biologi. Mengapa? Karena Darwin memisahkan hal yang internal dan eksternal, sehingga memungkinkan terpilahnya antara organisme dan alam atau dengan kata lain antara sebab dan akibat yang menjadi salah satu ciri cara berpikir fisikalis. Hal ini membawa kita kepada reduksionisme dan tipologisme. Contohnya seperti Dawkins yang berangkat dari perilaku-perilaku individu untuk mempertahankan hidup dalam karyanya The Selfish Gene (Dawkins, 2006: 7). Karena pemisahan yang diciptakan Darwin masih sangat kuat pengaruhnya, maka kita akan membahas lebih jauh bagaimana cara berpikir Darwin tersebut mampu terlepas dari tradisi fisikalis yang tentunya tak semestinya digunakan dalam kerangka berpikir ilmu biologi.
Dari Preformasionis hingga Biologi Perkembangan
Apa yang membuat Anda sebagai manusia memiliki tampakan fisik yang berbeda dari kucing atau kuda? Para biolog tentu akan menjawabnya dari gen, namun bagaimana menjelaskan perbedaan bentuk mata atau hidung Anda dengan saudara kandung Anda? Bagaimana Anda yang tadinya bayi dapat berubah menjadi manusia dewasa? Tentu saja hal ini memerlukan penjelasan lebih lanjut. Dalam biologi, permasalahan perkembangan ini banyak menyita perhatian para ahli semenjak biologi masa pra modern abad ke-18 lalu. Di masa itu cara pandang yang mendominasi ialah preformasionis dan teori epigenetis tentang perkembangan (Lewontin, 2000: 5). Preformasionis berpendapat bahwa organisme dewasa sudah terkandung dalam bentuk miniatur di dalam sperma dan bahwa perkembangan merupakan pertumbuhan dan pemadatan dari mahkluk hidup miniatur tersebut. Sedangkan teori epigenetis menjelaskan bahwa organisme belumlah terbentuk pada telur yang fertil, namun ia muncul sebagai konsekuensi dari perubahan mendalam pada rupa dan bentuk selama perkembangan embrio atau embryogenesis. Perdebatan ini dimenangkan oleh pandangan epigenetis yang nantinya mempengaruhi Darwin dalam menjelaskan perkembangan mahkluk hidup yang memiliki keragaman serta bermacam variasi. Dengan itu ia menyatakan bahwa evolusi merupakan proses buta alam yang acak yang bergerak tanpa tujuan apapun, sehingga perubahan yang ada tidak selalu hadir menuju suatu hasil yang progresif namun dapat juga dapat regresif (Blackledge, 2002: 9). Mengingat sebelum masanya, sejarah kehidupan di bumi merupakan proses beraturan yang tentunya bertahap dari sederhana ke yang rumit, dari yang buruk ke yang lebih baik.
Pemahaman bahwa dalam diri makhluk hidup sudah terkandung wujud alamiahnya, merupakan cara berpikir yang masih dipengaruhi oleh pandangan tipologis Plato. Pandangan tersebut yang menyatakan bahwa sesuatu atau keragaman mahkluk hidup merupakan dampak dari realisasi tak sempurna dan hal yang kebetulan dari bentuk yang idealnya (Lewontin, 2000: 8). Pandangan ini masih melekat hingga abad 20, namun harus bertentangan dengan teori evolusi Darwinian yang menyatakan bahwa keragaman yang terdapat pada mahkluk hidup mestilah dicari penyebabnya. Namun perdebatan mendasarnya merupakan cara penjelasan dari perubahan sistem melalui kurun waktu tertentu. Teori Perkembangan Biologis (Development Biology) merupakan teori transformasi dari perubahan, karena itu kalangan Platonis berpendapat bahwa seluruh instrumen dari objek berubah karena setiap objek individual, selama masa hidupnya, mengalami secara bersamaan sejarah yang sifatnya seperti hukum. Sedangkan sebaliknya, teori Darwin mengenai evolusi organik mendasarkan konsep model variasi dalam perubahan. Sekumpulan perubahan individual tidak disebabkan karena individual mengalami perkembangan yang sama selama hidupnya, namun karena terdapat variasi di antara individual dan beberapa individual yang memiliki variasi tersebut meninggalkan keturunan yang banyak ketimbang yang lainnya (Lewontin, 2000: 8-9). Kedua pandangan ini masih memiliki pengaruhnya hingga hari ini.
Hal di atas berdampak kepada cara pandang biologi kini. Bagi yang masih menganut paham evolusionis, beberapa hal masih menjadi cirinya. Misalnya perbedaan antara organisme individual dan perbedaan spesies yang relatif dekat merupakan fokus perhatian, variasi merupakan objek utama penelitian, penyebab harus dijelaskan, lalu harus dihubungkan dengan penjelasan naratif dari asal usul serta evoulsi suatu spesies. Sedangkan sebaliknya, bagi penganut biologi perkembangan, variasi antara organisme individu dan bahkan antara spesies bukan menjadi perhatiannya. Mereka cenderung berfokus pada kumpulan mekanisme yang umum bagi semua individual dan lebih dimungkinkan untuk semua spesies. Sehingga jika ditanyakan mengapa manusia berbeda dari simpanse secara tampakan fisik, para developmental biologist pasti akan cenderung menjawabnya dengan jawaban bahwa mereka memiliki gen yang berbeda. Maka skema utama penjelasan perkembangan ialah mencari semua gen yang menyediakan instruksi untuk perkembangan itu sendiri. Apakah benar demikian? Mari kita bahas lebih lanjut.
Gen atau Lingkungan
Pada developmental biology, terdapat pemahaman bahwa dalam perkembangannya, organisme bergantung pada sel dan organel. Bahwa sifat dan bentuk suatu organisme sudah terdapat pada dirinya sendiri di dalam gen yang nantinya berkembang pada pembuahan. Meski benar adanya, namun kenyataannya tidaklah sesederhana pernyataan di atas. Meski gen berpengaruh dalam penentuan bentuk fenotip dari suatu organisme, namun tak selamanya bentuk-bentuk fenotip tersebut mengikuti kemauan gen. Hal ini disebabkan faktor-faktor lain dalam perkembangan masing-masing organisme. Salah satunya pengaruh lingkungan di luar tubuh organisme. Lewontin memberikan nama pada gejala ini dengan norms of reaction atau norma-norma reaksi. Norms of reaction merupakan pemetaan dari lingkungan kepada suatu fenotip yang mana merupakan wujud karakteristik dari susunan genetik tertentu (Lewontin, 2000: 23). Jadi genotip tidak menetapkan hasil unik, namun agaknya genotip menetapkan norma-norma atau batas-batas reaksi tersebut, yakni suatu pola dari perbedaan hasil perkembangan pada lingkungan yang berbeda. Hal ini dibuktikan melalui penelitian mengenai tumbuhan rambat hutan tropis Syngonium dan Achillea millefolium yang ditanam terpisah-pisah di lingkungan yang berbeda.
Berdasarkan penelitian thesis Thomas S. Ray Jr. pada tahun 1981 disimpulkan bahwa tumbuhan Syngonium yang bertumbuh di hutan hujan tropis dapat memiliki dua sifat sekaligus yaitu geotropis dan juga fototropis. Geotropis yang dimaksud ialah gerak dari bagian tertentu tumbuhan yang mengikuti atau terpengaruh gaya gravitasi bumi. Sedangkan fototropis merupakan gerak dari bagian tertentu tumbuhan yang disebabkan oleh rangsangan yang berupa cahaya matahari. Ketika bertumbuh, pada tahap-tahap dan saat-saat tertentu, tumbuhan tersebut memilih merambat di dasar tanah hutan hujan sedangkan pada kondisi yang lain tumbuhan tersebut bertumbuh ke atas mengikuti arah matahari. Hal ini membuktikan bahwa gen tidak mendominasi sifat dan tahap pertumbuhan dari suatu organisme, melainkan juga terpengaruh oleh lingkungan melalu norma-norma reaksi tersebut. Namun apakah benar hanya lingkungan semata yang mengkondisikan pertumbuhan atau perkembangan organisme? Mari kita lihat bukti yang lain.
Bukti lain yang cukup penting ialah Achillea millefolium yang ditanam oleh para peneliti Jens Clausen, David Keck, dan William Heisey pada tahun 1958 di lingkungan dengan iklim berbeda. Achillea yang sudah dikloning secara identik dari satu tumbuhan ditanamkan pada ketinggian geografis yang berbeda. Tumbuhan pertama pada ketinggian 30 meter di atas permukaan laut (mdpl), yang kedua pada ketinggian menengah yaitu 1.400 mdpl dan yang ketiga tertinggi pada ketinggian 3.050 mdpl. Dari percobaan itu dapat disimpulkan bahwa ternyata perbedaan tak hanya terlihat pada bentuk pertumbuhan yang terdapat pada ketinggian yang berbeda saja, tapi antara tumbuhan pada satu zona ketinggian pun terlihat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Maka jelaslah di sini bahwa tidak mungkin kita dapat memprediksi mana gen yang bagus dan yang tidak. Juga sulit nampaknya menilai manakah lingkungan yang bagus dan yang tidak untuk pertumbuhan Achillea. Karena suatu organisme menyandang suatu tanda yang penting yaitu proses acak atau random process dalam perkembangannya.
Proses yang acak pada norm of reaction tersebut juga perlu kita pelajari lebih lanjut. Lewontin menjelaskan bahwa terdapat empat posisi pemahaman mengenai perkembangan organisme. Posisi pertama ialah yang menyatakan bahwa genetik menentukan organisme. Misalnya pernyataan bahwa orang-orang Pygmy dari Afrika bertubuh pendek sedangkan orang-orang Dinka bertubuh tinggi, tak peduli bagaimana nutrisi yang mereka dapatkan. Posisi kedua mengatakan bahwa lingkungan ikut menentukan gen dari organisme. Contohnya orang Pygmy dan Dinka yang mempelajari bahasa berbeda dari kebudayaan orang tuanya masing-masing, namun dengan ciri anatomi atau sistem syaraf yang sama. Posisi ketiga menyatakan bahwa gen dan lingkungan berinteraksi satu dengan yang lainnya sehingga menentukan organisme, sedangkan posisi keempat menyatakan bahwa interaksi antara gen dan alam bergerak melalui proses yang acak atau disebut random development noise.
Sebelum kita berbicara lebih jauh, kita harus terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan lingkungan. Sejauh ini Darwin berjasa dalam hal memisahkan proses internal dan proses eksternal dari pemahaman mengenai mahkluk hidup. Internal merupakan proses yang terjadi pada organisme, sedangkan eksternal merupakan proses yang terjadi dari luar organisme atau dari alam. Bagi Darwin, variasi di antara organisme merupakan hasil dari proses internal, misalnya mutasi gen dan rekombinasi, yang mana tidak responsif terhadap permintaan dari lingkungan. Variasi tersebut lalu diuji kemampuannya untuk dapat diterima di lingkungan. Sedangkan di sisi lain, lingkungan juga memiliki prosesnya sendiri. Karena menurutnya sejarah dari kehadiran lingkungan merupakan sejarah perubahan geologis, dampak dari jatuhnya meteor, mengeras dan mencairnya zaman es serta naik turunnya ketinggian air laut. Organisme dan lingkungan hanya berinteraksi melalui proses seleksi. Sehingga memunculkan metafora organisme mengusulkan, lalu lingkungan membuang. Dengan kata lain lingkungan memiliki permasalahan dan organisme melemparkan solusi acaknya.
Meski Darwin ada benarnya, namun bukan berarti organisme serta merta terpisah dari keadaan eksternalnya. Organisme yang ada selama ini juga ikut menciptakan lingkungannya sendiri. Menjelaskan permasalahan mengenai organisme dan lingkungan ini, Lewontin angkat suara dengan menyatakan bahwa organisme dan lingkungan ini saling berinteraksi satu sama lain. Namun sebelum menjelaskan lebih lanjut, Lewontin menyatakan bahwa sama seperti tidaklah mungkin ada organisme tanpa lingkungan, juga tak akan ada lingkungan tanpa organisme itu sendiri. Lewontin menegaskan bahwa lingkungan merupakan suatu keadaan yang ada di sekeliling atau mengelilingi organisme. Jadi organisme dan lingkungan terikat satu sama lain. Maka ia menyimpulkannya dengan lima ciri dari relasi tersebut menjadi: Pertama, organisme menentukan elemen mana dari dunia di luar dirinya yang akan diambil untuk dijadikan bagian dari lingkungannya dan mana yang relevan dengan mereka. Kedua, organisme juga membentuk secara aktif dunia di sekelilingnya. Selanjutnya yang ketiga bahwa organisme selalu pada proses yang konstan dalam merubah lingkungannya. Lalu keempat, organisme mengukur sifat-sifat dari kondisi objektif ketika kondisi tersebut menjadi bagian dari lingkungannya. Kelima, organisme melalui sifat biologisnya menentukan sinyal yang aktual dari luar, dengan kata lain mereka merubah satu sinyal fisik ke dalam hal yang berbeda melalui mekanisme biologis. Hasil perubahan itulah yang dirasakan oleh fungsi-fungsi organisme sebagai variabel dari lingkungan.
Kita dapat mengambil contoh dari perilaku beberapa jenis burung dengan lingkungannya masing-masing. Beberapa bukti nyata seperti aktivitas burung-burung dalam suatu keadaan lingkungan tertentu yang memiliki pepohonan, rerumputan dan beberapa batu kerikil. Burung Phoebe mungkin hanya membutuhkan rumput-rumput kering untuk membuat sarangnya, sehingga ia tidak terlalu mementingkan keberadaan kerikil yang ada di sekitarnya. Sedangkan burung Thrush membutuhkan kerikil untuk membantu memecahkan cangkang dari bekicot dan tidak terlalu mementingkan kehadiran dari rumput-rumput di sana. Sehingga burung Phoebe dan Thrush memiliki lingkungannya sendiri, begitu juga dengan burung Woodpecker yang membuat lubang sebagai sarang di batang pohon tidak terlalu mementingkan keberadaan rumput atau kerikil. Oleh karena itu unsur-unsur pembentuk lingkungan ditentukan oleh aktivitas organisme itu sendiri dan aktivitas dari burung-burung tersebut terjadi berulang-ulang semasa hidupnya. Hal ini membuktikan pokok pertama, kedua dan ketiga yang dijelaskan Lewontin di atas.
Bukti lain untuk pokok keempat dan kelima yaitu yang terjadi pada organisme dalam rangka memenuhi kebutuhan energi di tengah ketidakpastian alam. Contohnya seperti hewan yang memiliki semacam jaringan tertentu yang membuatnya mampu menyimpan lemak saat masa penuh sumber daya dan yang mampu memetabolisme ketika kelangkaan terjadi. Pada serangga, burung, dan reptil, penyimpanan lemak ini berwujud kuning telur yang menyediakan energi ketika masa perkembangan ketika hewan yang belum dewasa belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam kebudayaan manusia, khususnya orang Indian di pesisir Pasifik, terdapat potlatch atau ritual pesta perjamuan besar dan upacara pemberian hadiah (Narotzky, 1997: 42-44). Selain sebagai pengukuhan atau untuk mempertahankan status kekuasaan tertentu, potlatch ini berguna sebagai redistribusi sumber daya dan juga resiprositas. Hal ini pun juga ditemukan di kalangan masyarakat Kepulauan Trobriand yang memiliki sistem Kula. Kebudayaan yang diciptakan manusia (adat istiadat, kekerabatan, domestifikasi hewan, barter, alat tukar, pakaian, dll.) tersebut pada kenyataannya tak jarang mampu menyelamatkan manusia dari tantangan ketidakpastian alam. Contohnya seperti keadaan yang ekstrim di zaman es beberapa abad yang lalu, melalui pembagian kerja, kekerabatan, dan perkembangan teknologi kita mampu melewati masa-masa sulit di zaman es tersebut.
Dengan demikian kembali lagi bahwa terdapat suatu proses yang dinamakan random developmental noise. Yaitu suatu perkembangan yang membuktikan bahwa organisme tidak ditentukan langsung dari gen, atau lingkungan, atau bahkan interaksi dari keduanya. Namun menunjukan bahwa terdapat proses acak dalam perkembangan organisme hingga hari ini. Bahwa organisme tidak memperhitungkan atau merencanakan dirinya dari informasi yang diberikan gen semata, atau dari gen yang disertai rangkaian dari lingkungan. Perhitungan atau perencanaan tersebut merupakan bentuk modern dari metafora Descartes mengenai organisme yang digambarkan sebagai sebuah mesin. Mesin yang berjalan beriringan sehingga dapat dipelajari satu persatu bila dipisahkan. Akan tetapi bukan berarti alam mengkondisikan sepenuhnya organisme yang ada, melainkan organisme pun memiliki kemampuan dalam mengkondisikan hal-hal yang berada di luar dirinya untuk dijadikan bagian dari lingkungannya. Meski random atau acak, organisme selalu mempunyai peluang untuk berusaha mengkondisikan hidupnya sebagaimana yang ia inginkan untuk menjadi lingkungannya. Sehingga alam yang ada kini bukanlah alam yang asali atau alamiah, tapi sudah mendapatkan pengaruh atau campur tangan dari semua organisme yang berada di dalamnya. Mengingat oksigen yang kita hirup saat ini tak mungkin hadir tanpa adanya hasil fotosintesis tumbuhan hijau yang secara historis berkembang pada masa sebelum reptile melata di daratan. Gen, organisme, dan lingkungan secara timbal-balik ketiganya merupakan sebab dan juga sekaligus akibat. Gen dan lingkungan merupakan sebab dari organisme, yang mana secara bergantian pula sebab dari lingkungan, sehingga gen menjadi sebab dari lingkungan setelah dimediasi oleh organisme (Lewontin, 2000: 100-101). Timbal balik inilah yang sesungguhnya terjadi di alam hingga kini.
Biologi dan Kenyataan
Dua bagian di atas merupakan garis besar pembahasan menarik dari buku ini. Maka kita mampu menyimpulkan sementara bahwa organisme dalam hal tertentu memang dikondisikan beberapa aspek hidupnya oleh alam, namun di sisi lain organisme juga mampu mengkondisikan alamnya sehingga ia membuat alam yang ada tersebut menjadi lingkungannya yang relevan. Dengan kata lain cara berpikir determinisme kurang tepat digunakan dalam biologi, karena selalu ada peluang yang tercipta dalam setiap gejala di ranah biologi. Berbicara mengenai sains, Ernst Mayr (2004) menjelaskan bahwa sains merupakan ikhtiar atau kerja keras manusia untuk mencapai pemahaman yang lebih baik mengenai dunia melalui observasi, perbandingan, eksperimen, analisis, sintesis, dan konseptualisasi. Lalu apakah biologi memenuhi syarat-syarat di atas dan termasuk ke dalam sains? Tentu saja jawabannya ya, namun apa yang membuat biologi berbeda dari sains yang lainnya? Jawabnya yaitu bahwa realitas biologi tak mampu dengan mudah didapatkan melalui cara berpikir ilmu seperti fisika semata yang prinsipnya terdiri dari esensialisme (tipologisme), determinisme, reduksionisme, dan keberadaan hukum universal. Namun lebih dari itu, biologi menyandang suatu keragaman yang berangkat dari realita biologis.
Cara-cara berpikir inilah yang menjadi konsep utama ilmu fisika yang ikut mempengaruhi biologi hingga abad ke-18 sebelum Darwin. Esensialisme merupakan sebuah pandangan yang diwarisi dari pemikiran Plato, yang menyatakan bahwa segala hal ihwal memiliki bentukan atau wujud idealnya. Bahwa keragaman dunia terdiri dari beberapa hal alami (esensi atau tipe) yang jumlahnya terbatas dan tak berubah. Sedangkan determinisme menyatakan bahwa permasalahan dari sistem dapat diselesaikan ketika sistem tersebut dipecahkan menjadi komponen-komponen terkecilnya (Mayr, 2004: 26-28). Prinsip-prinsip di atas hadir dalam biologi bukan karena kebetulan dan alamiah, melainkan konsekuensi dari sains yang lahir sebagai suatu alat bagi manusia dan kelompoknya untuk bertahan hidup. Oleh karena itu sains tidak pernah terlepas dari basis kebutiuhan manusia, tentu ekonomi dan demikian juga politik. Pertanyaan soal apa dan siapa yang terbantu di sini merupakan permasalahan utamanya.
Jawaban dari pertanyaan di atas tentu saja kategori-kategori kelas tertentu yang eksis dalam masyarakat tertentu pulalah yang mampu memegang kendali penuh atas pengetahuan. Bukti-bukti telah ditemukan para antropolog di dalam masyarakat memburu meramu, yang mana pengetahuan berburu hanya mungkin dimiliki oleh kelompok pemburu dan hanya dapat dipelajari dari relasi antara senior-junior dalam kelompok tersebut. Lain cerita dalam masyarakat feodal atau kapitalisme. Jika pada masyarakat feodal pengetahuan mungkin hanya akan dipahami oleh golongan bangsawan atau rahib-rahib, pada masyarakat kapitalisme pengetahuan tersebut hanya mungkin dimiliki oleh kelas yang menguasai sarana produksi atau golongan-golongannya yang salah satunya yaitu golongan borjuis. Karena sains berguna untuk menggerakan dan melanggengkan tatanan yang ada hari ini yaitu kapitalisme. Maka penegasan kembali biologi sebagai ilmu yang bermanfaat secara teoritis dan praktis bagi perjuangan pembebasan kelas proletariat dari eksploitasi dan penumbangan tatanan kapitalisme ini haruslah selalu dicanangkan. Mengingat sejauh ini biologi, layaknya ilmu-ilmu yang dikenal sebagai ilmu eksakta (matematika, fisika dan juga kimia) dianggap sebagai ilmu yang terlepas dari pengaruh-pengaruh ekonomi-politik. Namun seperti yang sudah penulis paparkan pada tulisan sebelumnya, sesungguhnya bahwa sains tentunya yang memproduksi dan sekaligus produk dari bentuk masyarakat manusia hingga hari ini. Sehingga sains akan selalu beririsan dengan kehidupan praktis yang tentunya selalu memiliki ranah ekonomi-politik.
Apabila kita mengingat apa yang menjadi prasyarat hadirnya masyarakat manusia, tentu kita juga tak akan lupa dengan materialisme historis yang menegaskan bahwa perkembangan kesadaran berkorespondensi dengan perkembangan tenaga produktif dan relasi produksi (Suryajaya, 2012: 53). Selain itu juga tampaknya perlu mengingat bahwa sejarah hingga hari ini merupakan perjuangan kelas, antara siapa yang ditindas dengan siapa yang menindas. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan sendiri merupakan produk dari masyarakat yang di dalamnya terdapat kontradiksi-kontradiksi dan perjuangan kelas tersebut. Dalam The German Ideology, Marx menjelaskan hal yang serupa, bahwa ide-ide dari kelas yang berkuasa merupakan ide yang berkuasa pula pada setiap zamannya dengan kata lain kelas yang menguasai sarana produksi pada saat yang bersamaan juga menguasai kekuatan intelektual (Marx & Engels, 1998: 67). Maka dengan mengubah cara berpikir biologi, yang dengan demikian melalui kekuatan ilmu pengetahuan, kita mampu melanjutkan perjuangan merubah tatanan yang usang ini. Mengingat ilmu pengetahuan hari ini layaknya religi di zaman feodal yang isi dan hukumnya seakan merupakan kebenaran yang tak terbantahkan. Di sisi lain sains layaknya sebuah pisau. Pisau dapat digunakan Chef Farah Quinn memasak Chicken Cordon Bleu, namun di sisi lain pisau dapat pula digunakan seorang Danjen Kopassus untuk menumpas Fretilin di Timor Leste. Oleh karena itu penting kiranya bila kita mengkoreksi kembali sains yang bernuansa borjuasi menggunakan keterbukaan berpikir yang berdasarkan kenyataan di dunia kapitalisme.
Di akhir bab buku ini, Lewontin memberikan sarannya yang cukup membangun. Ia menegaskan bahwa biologi tidak membutuhkan prinsip-prinsip baru, namun hanya membutuhkan kemauan untuk menerima kenyataan bahwa biologi tidaklah seperti ilmu-ilmu pasti lainnya seperti fisika atau juga matematika. Menurutnya, sistem biologi menduduki bidang yang berbeda dengan ruang relasi-relasi fisika, yang mana objeknya mampu dikarakteristikkan. Pertama-pertama karena sifat fisik dan kimiawi yang heterogen, kedua karena pertukaran antara proses internal ke objek dan dunia di luarnya yang dinamis. Maka ia menegaskan bahwa organisme secara internal memiliki sifat sistem terbuka yang heterogen (Lewontin, 2000: 113-114). Dengan demikian alangkah lebih baiknya bila ilmu pengetahuan, khususnya biologi, lebih membuka kembali cakrawala pemikirannya agar tak hanya menjadi ilmu pengetahuan yang tertutup kaku akan kebaruan dan pragmatis saja, melainkan kritis dan juga terbuka akan penemuan kenyataan-kenyataan yang baru di alam. Sehingga ilmu pengetahuan tidak hanya menjadi sekedar alat saja bagi kelas yang berkuasa dan berubah menjadi suatu dogma, namun menjadi sains yang realistis dan revolusioner sehingga berguna untuk merubah tatanan masyarakat hari ini ke tatanan yang lebih baik.
Kesimpulan
Akhir kata, kita sampai ke beberapa kesimpulan yang dapat dirangkum dari tulisan ini. Kesimpulan pertama yaitu bahwa cara berpikir fisikalis yang mana cenderung bercirikan esensialisme atau tipologisme, determinisme, dan reduksionisme kurang tepat digunakan dalam melihat realitas biologis. Dengan pemaparan bukti-bukti di atas, akhirnya dapat disimpulkan beberapa prinsip penting biologi sebagai ilmu pengetahuan yang khas dan tidak dapat disamakan dengan ilmu-ilmu lainnya. Bahwa organisme di satu sisi memang dikondisikan oleh alam yang hadir sebagai prasyaratnya, namun di sisi yang lain organisme juga ikut mengkondisikan kembali lingkungan alamnya. Metode Darwin yang memisahkan antara ihwal interen dan eksteren memang terpengaruh cara berpikir fisikalis, namun pemisahan Darwin ini mampu diimbangi melalui posisi di atas, bahwa terdapat interaksi yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain di antara kedua sisi. Begitu juga dengan sosiobiologi yang diceritakan E. O. Wilson dan Richard Dawkins. Sulit rasanya untuk mereduksi segala hal yang sosiologis ke dalam hal yang biologis semata tanpa melihat adanya peluang dan keragaman mahkluk hidup biologis yang tentunya juga sosiologis. Menurut Lewontin, biologi secara sains hanya perlu memahami posisi ini tanpa perlu mengubah metode atau cara kerja penelitian yang sudah ada. Karena kita tak dapat memungkiri bahwa kemajuan sains hingga hari ini didukung oleh cara berpikir serta metode yang mana muncul dari cara berpikir Cartesianisme itu sendiri.
Kesimpulan kedua yang perlu ditegaskan kembali yaitu meski organisme membutuhkan alam di luar dirinya untuk prasyarat keberadaannya, namun organisme bukanlah subjek pasif saja yang terkondisikan sepenuhnya oleh alam. Organisme mampu secara aktif membuat alam menjadi lingkungannya sendiri. Melalui pemilahan objek-objek yang relevan bagi kehidupannya, organisme menciptakan lingkungan yang dapat ia tinggali dan secara terus menerus merubah alam menjadi sesuai menjadi lingkungan yang ia inginkan. Sehingga alam itu bukanlah merupakan sesuatu yang otonom di luar organisme, melainkan selalu merupakan alam yang sudah dimodifikasi dan dipengaruhi perkembangannya oleh organisme. Dengan demikian kampanye atau usaha-usaha perjuangan berslogan “Save the Environment” nampaknya sia-sia tanpa perjuangan dari segi ekonomi-politik yang relevan hari ini. Selain karena secara alamiah perubahan alam atau kepunahan spesies pasti terjadi, mahkluk hidup pun selalu mengkondisikan lingkungannya terus menerus dan kerusakan ekologi lebih cenderung diciptakan oleh bentuk masyarakat kapitalisme milik manusia. Sehingga sebaiknya mulai kini kita membuang jauh-jauh harapan bahwa bumi akan tetap seperti hari ini. Alangkah baiknya juga bila kita menerima kenyataan bahwa bumi dan segala isinya selalu dalam proses perubahan. Entah itu perubahan yang sifatnya progresif atau bahkan yang regresif. Prinsip itulah yang sesungguhnya merupakan menjadi nafas evolusi, proses yang berjalan random tanpa arah atau dengan kata lain buta.
Kesimpulan ketiga yaitu konsekuensi dari kesimpulan yang kedua. Bahwa organisme selalu berelasi dengan objek di luar dirinya yaitu alam dan juga tentu organisme lainnya. Namun organisme di sini bukan merupakan individu-individu melainkan suatu populasi tertentu. Memang individu memiliki kepentingan pribadi, namun kepentingan tersebut hanya mampu dicapai melalui batas-batas yang memungkinkan secara kelompok biologis atau sosialnya. Dengan kata lain individu membutuhkan kelompoknya. Apalagi bila kita bicara soal manusia. Sulit membayangkan manusia hidup sendiri-sendiri tanpa manusia lainnya, mengingat untuk adanya individu dibutuhkan individu lain. Seorang anak tak mungkin ada tanpa kehadiran ibu, oleh karena itu keberadaan manusia selalu sosial dan dalam suatu masyarakat. Gen memang menentukan banyak aspek dalam suatu organisme, namun dalam perkembangannya organisme memiliki otonomi tertentu yang tidak tergantung sepenuhnya pada gen. Otonomi tersebut ikut dikondisikan oleh lingkungan atau bahkan keberadaan masyarakat beserta kebudayaannya. Inilah yang dimaksud oleh Lewontin dengan The Triple Helix, bahwa ada faktor ketiga selain genetik yang mempengaruhi perkembangan organisme. Faktor ketiga itulah yang tak lain tak bukan merupakan interaksi timbal balik antara mahkluk hidup dengan lingkungan dan juga sosialnya.
Bukti atau fakta-fakta yang diberikan dalam buku ini cukup menguatkan argumen bahwa alam memiliki ciri khasnya, yang mana ciri tersebut dibentuk pula oleh agen aktif yang tentunya organisme, yang di sisi lain juga merupakan produk dari alam sekaligus pada kondisi tertentu merupakan produsen dari alam itu sendiri. Namun buku ini memiliki sedikit kekurangan, salah satunya dari cara penyampaian argumen yang sedikit sulit untuk dicerna oleh yang awam seperti saya. Tentu saja bahasa yang digunakan sedikit sulit karena menampung realitas biologis, tetapi alangkah baiknya bila bahasa yang digunakan sedikit dipermudah agar semua kalangan mampu membacanya. Karena beberapa bukti penelitian dan argumen-argumen dalam buku ini sangat penting, tak hanya bagi ilmu biologi saja tapi juga untuk ilmu-ilmu sosial. Selain itu, tidak seperti buku Lewontin yang pernah saya review sebelumnya, buku ini sedikit sekali mengaitkan pembahasannya kepada gejala-gejala atau gerakan sosial. Lewontin fokus kepada bagaimana ia mengkoreksi dan memperbaharui cara berpikir ilmu biologi. Lewontin menjelaskannya di akhir buku ini bahwa perkembangan biologi tidak bergantung pada konseptual baru yang revolusioner, melainkan pada pembuatan metode baru yang membuat pertanyaan mampu terjawab dalam pengamalan di dunia yang sumber dayanya terbatas ini (Ibid, 2000: 129). Oleh karena itu diharapkan para pembaca agar pandai-pandai mengambil hikmah dan menemukan cara berpikir materialisme dialektis historisnya sebagai metode di dalam tulisannya dan mengamalkan atau mempraktekannya dalam ilmu pengetahuan.
Hikmahnya yaitu biologi menawarkan kita kepada kenyataan yang terjadi di tataran realitas alam. Terkadang beberapa dari kita memang merasa sulit untuk menerima suatu kenyataan dalam hidup ini. Karena memang betul kenyataan sering tidak seperti yang kita harapkan. Namun hal tersebut hanya dimungkinkan bila kita berbicara soal harapan (ngarep) pribadi dan bawa perasaan (baper) masing-masing saja. Jika berbicara soal sains yang objektif mungkin lain ceritanya. Kita mesti ingat bahwa idealisme sering bersembunyi di balik hal-hal yang nampak paling rasional. Ini mungkin disebabkan karena terkadang kita lebih cenderung melihat atau menerima kenyataan hanya sebatas kenyataan yang kita inginkan saja. Bukan melihat kenyataan yang ada di luar diri kita secara keseluruhan dan jujur. Tentunya posisi tak menerima kenyataan ini pun dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang eksis dan kesadaran kelas kita masing-masing. Dengan mulai belajar menerima kenyataan terlebih dahulu, maka kita akan mampu merubah kenyataan tersebut menjadi apa yang kita inginkan. Seperti yang sering guru saya selalu katakan, bahwa Alloh sesungguhnya memberikan rezeki yang sama kepada setiap manusia, namun kembali lagi tergantung bagaimana tiap manusia itu berusaha meraihnya. Maka begitu juga dengan perubahan tatanan yang harus diraih dan bukan hanya ditunggu. Sama seperti jodoh yang harus dicari bukan ditunggu, kecuali kalau memang anda berniat menjadi pastor atau bhikku. Meski tak ada yang salah dengan baper ketika menghadapi kenyataan, mengingat tak dapat dipungkiri bahwa manusia memiliki kognisi dan perasaan. Namun apabila sudah berbicara soal kenyataan yang tidak seperti keinginan kita, alangkah baiknya baper tersebut disimpan dulu. Apalagi kalau bicara soal perjuangan menumbangkan tatanan kapitalisme, kalau hanya ngarep dan baper saja sih rasanya tidak cukup. Harapan ada jika kita sudah berjuang untuk merubah kenyataan tersebut. Para intelektual dan biolog selama ini hanya menjelaskan dunia dengan caranya masing-masing, namun justru yang terpenting ialah merubahnya.
Tenabang, April 2016.
Francesco Hugo.
Daftar Pustaka
Blackledge, P., & Kirkpatrick, G. (2002). Historical Materialism and Social Evolution. Hampshire: Palgrave Macmillan.
Dilworth, C. (2006). The Metaphysics of Science. Netherlands: Springer.
Lewontin, R. (2000). The Triple Helix: Gene, Organism, and Environment. Cambridge: Harvard University Press.
Lewontin, R., & Levins, R. (2007). Biology Under The Influence. New York: Monthly Review Press.
Marx, K., & Engels, F. (1998). The German Ideology. New York: Promotheus Books.
Mayr, E. (2000). The Growth of Biological Thought. Massachussets London: The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge.
Mayr, E. (2004). What Makes Biology Unique? Cambridge: Cambridge University Press.
Mulyanto, D. (2011). Antropologi Marx. Bandung: Ultimus.
Narotzky, S. (1997). New Directions in Economic Anthropology. London: Pluto Press.
Serafini, A. (1993). The Epic History of Biology. New York : Perseus Publishing.
Suryajaya, M. (2012). Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book.
12