Konsili Konstantinopel I
Konsili Konstantinopel I (bahasa Yunani: Πρώτη σύνοδος της Κωνσταντινουπόλεως, Proti sinodos tis Konstantinopoleos; bahasa Latin: Concilium Constantinopolitanum Primum) adalah konsili para uskup yang diselenggarakan Kaisar Teodosius I di Konstantinopel pada tahun 381.[2][3] Konsili ekumene yang kedua ini merupakan usaha untuk mencapai mufakat di dalam tubuh Gereja melalui suatu majelis permusyawaratan yang mewakili segenap Dunia Kristen. Selain mengukuhkan Syahadat Nikea dengan memperluas doktrin sehingga melahirkan Syahadat Nikea-Konstantinopel, Konsili Konstantinopel I juga menggumuli bermacam-macam soal lain. Konsili Konstantinopel I bersidang dari bulan Mei sampai bulan Juli 381 di Gereja Haya Irene, dan dikukuhkan sebagai konsili ekumene oleh Konsili Kalsedon tahun 451.
Konsili Konstantinopel I | |
---|---|
Waktu | Mei - Juli 381 |
Diakui oleh | |
Konsili sebelumnya | Konsili Nikea I |
Konsili berikutnya | Konsili Efesus |
Penyelenggara | Kaisar Teodosius I |
Pemimpin | Timotius Uskup Aleksandria Melesius Uskup Antiokhia |
Jumlah peserta | 150 orang — tidak ada wakil Gereja Barat |
Pokok bahasan | Arianisme, Roh Kudus |
Dokumen dan keputusan | Syahadat Nikea-Konstantinopel,[1]
7 kanon (3 diantaranya bermasalah) |
Daftar kronologis Konsili Ekumene |
Bagian dari seri tentang |
Gereja Ortodoks Timur |
---|
Ikhtisar |
Bagian dari seri Gereja Katolik tentang |
Konsili oikumenis |
---|
Abad Klasik (± 50 – 451) |
Abad Pertengahan Awal (431–870) |
Abad Pertengahan Madya dan Abad Pertengahan Akhir (1122–1517) |
Zaman Modern (1545–1965) |
Portal Katolik |
Latar belakang
suntingSejak naik takhta pada tahun 380, Kaisar Teodosius I berusaha menggiring Gereja Timur untuk kembali kepada akidah Kristen versi Konsili Nikea I. Ia bercita-cita mempersatukan segenap warga negara Kekaisaran Romawi di bawah panji-panji akidah yang lurus, dan oleh karena itu memutuskan untuk menyelenggarakan sebuah konsili demi menuntaskan perkara-perkara iman dan tata tertib.[4] Cita-cita Kaisar Teodosius I ternyata sejalan dengan cita-cita Gregorius Nazianzus, yang hendak mempersatukan Kekristenan. Atas prakarsa kedua tokoh inilah, konsili ekumene yang kedua akhirnya terselenggara pada musim semi tahun 381 di Konstantinopel.
Konteks teologi
suntingKonsili Nikea I tahun 325 tidak serta-merta mengakhiri kontroversi ajaran Arius yang melatarbelakangi penyelenggaraannya. Arius dan para simpatisannya seperti Eusebius Uskup Nikomedia diterima kembali ke pangkuan Gereja sesudah bersikap seolah-olah menerima Syahadat Nikea. Atanasius Uskup Aleksandria, tokoh yang paling lantang menentang Arianisme, akhirnya disingkirkan ke pengasingan lewat akal bulus Eusebius Uskup Nikomedia. Sesudah Konstantinus Agung mangkat pada tahun 337 dan digantikan putranya yang berhaluan Arianisme, Konstantius II, wacana mengganti Syahadat Nikea pun mulai digaung-gaungkan. Sampai kira-kira tahun 360, debat-debat teologi lebih banyak berkisar seputar ihwal keilahian Sang Putra, pribadi kedua Tritunggal. Namun lantaran Konsili Nikea tidak memperjelas ihwal keilahian Roh Kudus, pribadi ketiga Tritunggal, ihwal ini akhirnya mengemuka dan menjadi topik perdebatan yang hangat. Golongan Makedonius menyangkal keilahian Roh Kudus. Penyangkalan terhadap hakikat ilahi Roh Kudus dikenal pula dengan sebutan Pneumatomakisme.
Di lain pihak, Kekristenan versi Konsili Nikea I juga punya pembela. Selain Atanasius, para Bapa Kapadokia juga mengangkat wacana Tritunggal yang sangat mempengaruhi sidang konsili di Konstantinopel. Apolinaris Uskup Laodikia, teolog pro-Nikea lainnya, malah menimbulkan kontroversi. Mungkin karena terlampau bersemangat membantah Arianisme dan ajarannya bahwa Kristus bukan Allah, Apolinaris mengajarkan bahwa keberadaan Kristus terdiri atas jasad insani dan akal budi ilahi, dengan mendustakan keyakinan bahwa Kristus berkodrat insani sempurna, termasuk memiliki akal budi insani.[5] Akibatnya ia dituding mencampuradukkan pribadi-pribadi Allah, dan terperosok ke dalam cara-cara sesat Sabellius. Basilius Uskup Kaisarea-Mazaka mendakwa Apolinaris telah berpaling dari makna harfiah Kitab Suci, dan sepenuhnya berpegang kepada makna kiasnya. Pandangan-pandangan Apolinaris dibidahkan dalam sebuah sinode di Aleksandria yang dipimpin Atanasius Uskup Aleksandria pada tahun 362, dan kemudian hari memunculkan beberapa golongan bidah, yang paling menonjol di antaranya adalah golongan Polemius dan golongan Antikomariani.
Konteks geopolitik
suntingKomitmen kuat Kaisar Teodosius terhadap Kekristenan versi Konsili Nikea I bukannya tanpa hitung-hitungan risiko, karena warga Konstantinopel, ibu kota wilayah timur Kekaisaran Romawi, adalah basis penganut Arianisme. Situasi bertambah runyam lantaran dua kubu utama pendukung Kekristenan versi Konsili Nikea I di wilayah timur, yakni kubu Aleksandria dan kubu pendukung Melesius di Antiokhia, sudah "saling berseberangan ... nyaris sampai ke taraf bermusuhan".[6]
Uskup Aleksandria dan Uskup Roma sudah bertahun-tahun berusaha mencegah penguatan Keuskupan Konstantinopel. Oleh karena itu ketika Gregorius Nazianzus digadang-gadangkan menjadi calon Uskup Agung Konstantinopel, baik Aleksandria maupun Roma menyuarakan penentangan karena latar belakang Antiokhianya.
Keuskupan Konstantinopel
suntingUskup Konstantinopel yang menjabat ketika itu adalah Demofilus, seorang penganut Arianisme. Saat naik takhta, Teodosius menawarkan kesediaannya untuk mengukuhkan Demofilus sebagai uskup ibu kota kekaisaran dengan syarat menerima Syahadat Nikea. Karena Demofilus menolak meninggalkan Arianisme, ia langsung diperintahkan melepas jabatan dan angkat kaki dari Konstantinopel.[7][8] Sesudah empat puluh tahun dipimpin uskup-uskup penganut Arianisme, jemaat di Konstantinopel akhirnya dipimpin uskup-uskup yang menerima Syahadat Nikea. Para penganut Arianisme juga ditolak jemaat di kota-kota wilayah timur lainnya sehingga ajaran Kristen yang ortodoks kembali tegak di kawasan itu.[9]
Muncullah persaingan memperebutkan kendali atas keuskupan yang baru pulih itu. Kubu yang dipimpin Maksimus Sinikus berhasil mendapatkan dukungan Petrus Uskup Aleksandria, dengan cara memainkan kecemburuannya terhadap Keuskupan Konstantinopel yang belum lama terbentuk itu. Rencana mereka adalah menaikkan seorang rohaniwan yang taat kepada Petrus ke atas takhta Keuskupan Konstantinopel, dengan demikian Aleksandria dapat melanggengkan kepemimpinannya atas Gereja Timur.[10] Banyak pengamat menggambarkan Maksimus sebagai orang yang angkuh, arogan, dan ambisius. Meskipun demikian, tidak jelas apakah Maksimus mengincar jabatan tersebut karena ambisi pribadi, atau sesungguhnya ia cuma sebuah bidak belaka di tengah-tengah percaturan kekuasaan. Bagaimanapun juga, rencana tersebut akhirnya dijalankan. Suatu malam, tatkala Gregorius Nazianzus sedang tergolek sakit, anggota-anggota komplotan menerobos masuk ke gedung katedral dan menahbiskan Maksimus menjadi Uskup Konstantinopel. Mereka buru-buru mendapuk dirinya menjadi uskup agung, dan baru memangkas rambut gondrongnya saat fajar menyingsing. Peristiwa itu dengan cepat tersiar, sehingga seisi kota berbondong-bondong mendatangi lokasi kejadian. Para magistratus datang bersama pegawai-pegawai mereka. Maksimus berikut para penahbisnya didepak dari gedung katedral, dan terpaksa menuntaskan tonsur di rumah sewa seorang peniup seruling.[11]
Berita tentang upaya penyerobotan takhta Keuskupan Konstantinopel membangkitkan kemarahan warga yang sangat menghormati Gregorius. Maksimus hengkang ke Tesalonika dengan maksud menuntut keadilan dari kaisar yang sedang berada di kota itu, tetapi malah disambut dingin. Kaisar Teodosius melimpahkan penyelesaian perkara Maksimus kepada Askholius, Uskup Tesalonika yang sangat disegani, dengan menugasinya untuk meminta fatwa dari Paus Damasus I.[12]
Paus Damasus menyangkal keabsahan tahbisan Maksimus dan menasihati kaisar untuk menyelenggarakan sebuah konsili guna menuntaskan beragam isu Gereja, misalnya skisma yang timbul di Antiokhia, dan penahbisan uskup yang layak bagi Konstantinopel.[13] Sri Paus mengutuk tindakan memindah-mindahkan uskup dari satu keuskupan ke keuskupan lain, dan mengimbau kaisar untuk "mengusahakan agar orang yang terpilih menjadi Uskup Konstantinopel adalah orang yang bebas dari kecurigaan."[14]
Persidangan
suntingTiga puluh utusan dari golongan Pneumatomaki tiba di Konstantinopel, tetapi dicegah menghadiri konsili ketika menolak menerima Syahadat Nikea.
Karena Petrus Uskup Aleksandria tidak hadir, kepemimpinan sidang dipercayakan kepada Melesius selaku Uskup Antiokhia.[15] Tindakan pertama konsili adalah menyatakan tahbisan diam-diam Maksimus sebagai tahbisan yang tidak sah, kemudian mengukuhkan keputusan Kaisar Teodosius untuk mengangkat Gregorius Nazianzus menjadi Uskup Konstantinopel. Karena Melesius wafat tak lama sesudah konsili dibuka, Gregorius pun dipilih memimpin sidang.
Uskup-uskup Mesir dan Makedonia yang mendukung penahbisan Maksimus datang terlambat. Begitu tiba di Konstantinopel, mereka menolak mengakui keabsahan jabatan Gregorius Nazianzus sebagai kepala Gereja Konstantinopel, dengan dalih kepindahannya dari Keuskupan Sasima merupakan perbuatan yang menyalahi hukum kanon, karena kanon-kanon Konsili Nikea I sudah melarang pemindahan seorang uskup dari takhta keuskupannya.[16]
McGuckin menggambarkan Gregorius sebagai pribadi yang kelelahan secara fisik dan khawatir kehilangan kepercayaan para uskup maupun kaisar.[16] Menurut Lewis Ayres, keputusan Gregorius untuk mendukung calon Uskup Antiokhia yang tidak terpilih dan gigih menentang segala bentuk kompromi dengan golongan Homoiousios membuat dirinya tidak disukai para uskup.[17]
Alih-alih memperjuangkan aspirasinya dengan risiko memperparah perpecahan Gereja, Gregorius justru memilih mengundurkan diri. "Biarlah saya seperti Nabi Yunus! Sayalah yang bersalah mengundang badai, tetapi saya akan mengorbankan diri demi keselamatan kapal. Ringkuslah saya dan buanglah saya... Saya tidak gembira diserahi jabatan, malah bersukacita mengembalikannya," ujar Gregorius.[18] Ia mengejutkan seisi ruang sidang dengan pengunduran dirinya yang tiba-tiba, lalu menyampaikan pidato yang dramatis kepada Teodosius, memohon kesudian sang kaisar untuk menerima pengunduran dirinya. Kaisar tersentuh mendengar penyampaian Gregorius. Baginda bertepuk tangan, memuji segala jerih payah Gregorius, dan mengabulkan permohonan pengunduran dirinya. Para peserta konsili meminta Gregorius menyempatkan diri menghadiri upacara perpisahan dan penyampaian pidato-pidato penghormatan. Gregorius memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyampaikan pidato terakhirnya (Oratio 42), kemudian bertolak meninggalkan Konstantinopel.[16]
Nektarius, seorang pejabat yang belum dibaptis, dipilih menggantikan Gregorius mengetuai sidang konsili.[17]
Kanon
suntingKonsili Konstantinopel I dipercaya menghasilkan tujuh kanon, yakni empat kanon doktrinal dan tiga kanon tata tertib. Ketujuh-tujuhnya diterima Gereja Ortodoks Timur maupun Gereja Ortodoks Oriental. Gereja Katolik hanya menerima empat kanon pertama[19] karena hanya empat kanon itulah yang muncul dalam salinan-salinan tertua ketetapan Konsili Konstantinopel I, malah ada bukti bahwa tiga kanon terakhir baru ditambahkan kemudian hari.[20]
Kanon pertama adalah pembidahan segala bentuk turunan Arianisme, Makedonianisme, dan Apolinarianisme.[19]
Kanon kedua adalah penegasan kembali ketetapan Konsili Nikea I yang mewajibkan para uskup untuk mengindahkan batas-batas keuskupan dan kebatrikan.[19]
Kanon ketiga berbunyi:
Akan tetapi Uskup Konstantinopel harus memiliki prerogatif kehormatan sesudah Uskup Roma karena Konstantinopel adalah Roma Baru.[19][20][21]
Kanon keempat menetapkan bahwa tahbisan Maksimus menjadi Uskup Konstantinopel adalah tahbisan yang tidak sah, dengan menegaskan "bahwasanya [Maksimus] bukanlah seorang uskup, demikian pula orang-orang yang ia tahbiskan bukanlah rohaniwan, apa pun jenjang tahbisan mereka".[19][22] Kanon ini tidak hanya ditujukan kepada Maksimus, tetapi juga kepada uskup-uskup Mesir yang berkomplot menahbiskannya secara diam-diam di Konstantinopel, dan kepada semua rohaniwan yang mungkin sudah ia tahbiskan di Mesir.[23]
Kanon kelima mungkin ditetapkan pada tahun 382, karena adanya tomus dari uskup-uskup Barat, mungkin dari Paus Damasus I.[19]
Kanon keenam mungkin disepakati pada tahun 382, kemudian diloloskan Konsili Quinisextum sebagai kanon 95. Kanon ini membatasi keleluasaan orang mendakwa para uskup berbuat salah.[19]
Kanon ketujuh mengatur prosedur penerimaan kembali ahli-ahli bidah tertentu ke pangkuan Gereja.[19]
Sengketa seputar kanon ketiga
suntingKanon ketiga merupakan langkah pertama ibu kota baru Kekaisaran Romawi ke puncak ketenaran. Konstantinopel, yang baru genap lima puluh tahun umurnya, menjadi pusat perhatian karena mampu menggeser posisi Antiokhia dan Aleksandria. Yerusalem, sebagai tanah kelahiran Gereja, tetap bertahan di jenjang kehormatannya.
Baronius berpendapat bahwa kanon ketiga tidak autektik, karena sesungguhnya tidak ditetapkan Konsili Konstantinopel I. Sejumlah tokoh Yunani pada Abad Pertengahan bersikeras bahwa kanon ini bukanlah pengukuhan supremasi (kewenangan tertinggi) melainkan primasi (keutamaan) Uskup Roma, yakni sebagai "tokoh yang dituakan di antara tokoh-tokoh sederajat", sama dengan kedudukan Uskup Konstantinopel di mata umat Kristen Ortodoks Timur sekarang ini. Selama beberapa abad berikutnya, Gereja Barat memuliakan Uskup Roma sebagai pemangku kewenangan tertinggi, dan melandaskan klaim supremasi Uskup Roma pada suksesi Santo Petrus sejak Skisma Akbar memisahkan Gereja Timur dari Gereja Barat. Ketika Konsili Konstantinopel I disetujui, Roma memprotes penurunan jenjang kehormatan Uskup Antiokhia dan Uskup Aleksandria. Status kedua Batrik Timur ini kemudian hari diungkit kembali para utusan Sri Paus dalam Konsili Kalsedon. Paus Leo Agung[24] mengumumkan bahwa kanon ini tidak pernah diajukan ke Roma, dan penurunan jenjang kehormatan kedua Batrik tersebut sudah merusak tatanan yang ditetapkan Konsili Nikea I. Dalam Konsili Konstantinopel IV tahun 869, para utusan Sri Paus[25] menegaskan bahwa jenjang kehormatan Uskup Roma lebih tinggi daripada jenjang kehormatan Uskup Konstantinopel.
Sesudah Skisma Akbar tahun 1054, Konsili Lateran IV tahun 1215 menetapkan di dalam kanon kelimanya bahwa Gereja Roma "oleh kehendak Allah mengatasi segala kewenangan tertinggi selaku ibunda sekaligus majikan segenap umat beriman".[26][27] Supremasi Roma atas seluruh dunia diumumkan Batrik Latin yang baru. Para penyunting Decretum Gratiani di Roma[28] menyisipkan kalimat "canon hic ex iis est quos apostolica Romana sedes a principio et longo post tempore non recipit" (inilah salah satu kanon yang sejak semula tidak diterima Takhta Apostolik Roma).
Kesudahan
suntingSudah banyak dikemukakan bahwa Paus Damasus I menyelenggarakan sebuah sinode pada tahun 382 yang menentang kanon-kanon tata tertib yang ditetapkan Konsili Konstantinopel I, khususnya kanon ketiga, yakni kanon yang menempatkan Konstantinopel pada jenjang kehormatan di atas Aleksandria dan Antiokhia. Sinode tersebut memprotes kenaikan uskup ibu kota baru Kekaisaran Romawi ke jenjang kehormatan yang lebih tinggi daripada jenjang kehormatan Uskup Aleksandria dan Uskup Antiokhia, dan menegaskan bahwa primasi takhta Keuskupan Roma bukanlah hasil mufakat sidang uskup melainkan ketetapan Kristus sendiri.[29][30][keterangan 1] Thomas Shahan mengemukakan bahwa Fotius pun beranggapan kalau Paus Damasus menyetujui ketetapan-ketetapan Konsili Konstantinopel I, tetapi kemudian menambahkan pula bahwa andaikata ada ketetapan Konsili Konstantinopel I yang disetujui Paus Damasus, mungkin hanya ketetapan revisi Syahadat Nikea, sama halnya seperti terjadi ketika Paus Gregorius Agung mengakui Konsili Konstantinopel I sebagai salah satu dari empat konsili umum, tetapi hanya dalam lingkup ketetapan-ketetapan dogmatisnya saja.[32]
Syahadat Nikea-Konstantinopel
suntingDari generasi ke generasi, Syahadat Nikea-Konstantinopel sudah erat dikaitkan dengan Konsili Konstantinopel tahun 381. Syahadat ini kurang lebih sama dengan Syahadat Nikea ditambah dua pasal baru. Pasal tambahan yang pertama menjelaskan tentang Roh Kudus, yang disifatkan sebagai "Tuhan, yang menghidupkan, yang keluar dari Sang Bapa, yang bersama Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan dimuliakan, yang berfirman melalui para nabi". Pasal tambahan yang kedua berkenaan dengan Gereja, pembaptisan, dan kebangkitan orang mati.
Meskipun demikian, para sarjana berbeda pendapat mengenai keterkaitan Konsili Konstantinopel I dengan Syahadat Nikea-Konstantinopel. Sebagian sarjana modern percaya bahwa syahadat ini, atau suatu syahadat yang mendekatinya, dimufakati para uskup di Konstantinopel, tetapi tidak dipromulgasikan sebagai ketetapan konsili. Para sarjana juga berbeda pendapat mengenai apakah syahadat ini hanya sekadar pengembangan Syahadat Nikea ataukah hasil pengembangan syahadat tradisional lain yang mirip tetapi tidak sama persis dengan Syahadat Nikea.[33] Pada tahun 451, Konsili Kalsedon menyebut syahadat ini sebagai "syahadat ... dari 150 bapa suci yang bersidang di Konstantinopel",[34] yang mengindikasikan bahwa pengait-ngaitan syahadat ini dengan Konsili Konstantinopel tahun 381 sudah terjadi sebelum tahun 451.
Kristologi
suntingKonsili Konstantinopel I membidahkan Arianisme, yang makin kehilangan pamor sesudah sekali lagi dibidahkan oleh Ambrosius Uskup Milan dalam konsili yang diselenggarakan di Aquileia pada tahun 381. Sesudah diskusi mengenai doktrin Tritunggal berkembang dan sejalan dengan pemahaman yang ortodoks dan Alkitabiah, fokus diskusi pun beralih ke Kristologi, yang kemudian hari menjadi pokok bahasan Konsili Efesus tahun 431 dan Konsili Kalsedon tahun 451.
Pergeseran pengaruh dari Roma ke Konstantinopel
suntingDavid Eastman mengedepankan Konsili Konstantinopel I sebagai contoh lain dari pudarnya pengaruh Roma di wilayah timur Kekaisaran Romawi. Menurutnya, ketiga-tiga uskup pemimpin sidang berasal dari wilayah timur. Paus Damasus memandang Melesius maupun Gregorius sebagai uskup-uskup yang tidak sah menduduki takhta keuskupan mereka masing-masing tetapi, seperti yang ditunjukkan Eastman dan sarjana-sarjana lain, uskup-uskup wilayah timur tidak mengekor opininya dalam hal ini.[35]
Dalam Konsili Konstantinopel I inilah istilah "Roma Baru" untuk pertama kalinya dimunculkan sebagai sebutan bagi Konstantinopel. Istilah ini digunakan sebagai alasan yang mendasari penempatan Gereja Konstantinopel yang relatif masih muda itu pada jenjang kehormatan yang lebih tinggi daripada jenjang kehormatan Aleksandria maupun Antiokhia ('karena Konstantinopel adalah Roma Baru').
Peringatan di dalam ibadat
sunting150 peserta Konsili Konstantinopel I diperingati dalam kalender orang kudus Gereja Apostolik Armenia setiap tanggal 17 Februari.
Gereja Ortodoks Timur di beberapa tempat (misalnya di Rusia) memperingati para bapa peserta enam Konsili Ekumene yang pertama pada hari minggu yang terdekat dengan tanggal 13 Juli,[36] dan pada tanggal 22 Mei.[37]
Keterangan
sunting- ^ Francis Dvornik menolak pandangan ini. Ia mengemukakan bahwa bukan saja Paus Damasus tidak mengajukan "protes menentang kenaikan jenjang kehormatan Konstantinopel", tetapi juga bahwasanya perubahan primasi takhta-takhta keuskupan utama terwujud dalam suatu "atmosfer yang penuh keakraban." Menurut Dvornik, "semua orang terus menghargai Uskup Roma sebagai uskup nomor satu di Kekaisaran Romawi dan sebagai kepala Gereja."[31]
Rujukan
sunting- ^ SEC, hlm. 39
- ^ Sokrates Skolastikus, Sejarah Gereja, Jilid 5, Bab 8 & 11, menyebutkan bahwa Konsili Konstantinopel I diselenggarakan pada tahun meletusnya pemberontakan Magnus Maksimus dan wafatnya Grasianus.
- ^ Heather, P. J.; Matthews, John (1991). Goths in the Fourth Century . Liverpool: Bagian Pemberitaan Universitas Liverpool. hlm. 136. ISBN 0-85323-426-4.
- ^ Ruether, Rosemary Radford (1969), Gregory of Nazianzus: Rhetor and Philosopher, Bagian Pemberitaan Universitas Oxford
- ^ McGrath, Alister (1998). "The Patristic Period". Historical Theology, An Introduction to the History of Christian Thought . Oxford: Penerbit Blackwell. ISBN 0-631-20843-7.
- ^ McGuckin, hlm. 235
- ^ Onslow 1911 mengutip Sokr. H. E. v. 7.
- ^ Alban Butler (May 2006). The Lives of the Fathers, Martyrs, and Other Principal Saints; Compiled from Original Monuments, and Other Authentic Records. Penerbit Kessinger. hlm. 280–. ISBN 978-1-4286-1025-5. Diakses tanggal 22 Oktober 2011.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Onslow 1911.
- ^ The Church standard. Walter N. Hering. 1906. hlm. 125–. Diakses tanggal 21 Oktober 2011.
- ^ McGuckin hlm. 318
- ^ Venables 1911 mengutip Migne, Patrologia Latina xiii. hlmn. 366–369; Epp. 5, 5, 6.
- ^ Christopher Wordsworth (Uskup Lincoln.) (1882). A Church history. Rivingtons. hlm. 312–. Diakses tanggal 21 Oktober 2011.
- ^ Joseph Marie Felix Marique (1962). Leaders of Iberean Christianity, 50–650 A.D. St. Paul Editions. hlm. 59. Diakses tanggal 23 Oktober 2011.
- ^ Herbermann, Charles (1907). Catholic Encyclopedia. Diakses tanggal 10 September 2013.
- ^ a b c McGuckin
- ^ a b Lewis Ayres (3 Mei 2006). Nicaea and its legacy: an approach to fourth-century Trinitarian theology. Bagian Pemberitaan Universitas Oxford. ISBN 978-0-19-875505-0. Diakses tanggal 21 Oktober 2011.
- ^ PG, 37.1157–9, Carm. de vita sua, ll 1828–55.
- ^ a b c d e f g h "NPNF2-14. The Seven Ecumenical Councils". Christian Classics Ethereal Library. 2005-06-01. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-06-15. Diakses tanggal 2013-08-25.
- ^ a b "NPNF2-14. First Council of Constantinople". Christian Classics Ethereal Library. Diakses tanggal 2015-08-24.
- ^ "NPNF2-14. Canon III". Christian Classics Ethereal Library. 2005-06-01. Diakses tanggal 27 Oktober 2011.
- ^ Venables 1911 mengutip Philippe Labbe, Concilia, ii. 947, 954, 959.
- ^ Carl Ullmann (1851). Gregory of Nazianzum. Diterjemahkan oleh Cox, G. V. hlm. 241ff. Diakses tanggal 21 Oktober 2011.
- ^ Ep. cvi dalam P.L., LIV, 1003, 1005.
- ^ J. D. Mansi, XVI, 174.
- ^ Kanon-kanon Konsili Lateran IV tahun 1215
- ^ J. D. Mansi, XXII, 991.
- ^ (1582), Decretum Gratiani, dist. xxii, c. 3.
- ^ Henry Chadwick (2001). The church in ancient society: from Galilee to Gregory the Great. Bagian Pemberitaan Universitas Oxford. hlm. 429. ISBN 978-0-19-924695-3. Diakses tanggal 25 Oktober 2011.
- ^ Nichols, Aidan (Januari 2010). Nichols, Rome and the Eastern Churches (T & T Clark 1992 ISBN 978-1-58617-282-4), hlmn. 202-203. ISBN 9781586172824. Diakses tanggal 27 Oktober 2011.
- ^ Dvornik, Francis (1966). Byzantium and the Roman primacy. Bagian Pemberitaan Universitas Fordham. hlm. 47. Diakses tanggal 17 Oktober 2011.
Paus Damasus tidak mengajukan protes menentang kenaikan jenjang kehormatan Konstantinopel, kendati di masa lalu Aleksandria senantiasa menjalin hubungan yang akrab dengan Roma. Peristiwa yang jamak dianggap sebagai konflik pertama Roma dan Bizantium ini sesungguhnya berlangsung dalam atmosfer yang penuh keakraban. Semua orang terus menghargai Uskup Roma sebagai uskup nomor satu di Kekaisaran Romawi, dan sebagai kepala Gereja.
- ^ "Thomas Shahan, "First Council of Constantinople" in The Catholic Encyclopedia". Newadvent.org. Diakses tanggal 27 Oktober 2011.
- ^ "Encyclopædia Britannica". Diakses tanggal 9 November 2012.
- ^ Tanner, Norman; Alberigo, Giuseppe, ed. (1990). Decrees of the Ecumenical Councils . Washington, DC: Bagian Pemberitaan Universitas Georgetown. hlm. 84. ISBN 0-87840-490-2.
- ^ David L. Eastman (21 Maret 2011). Paul the Martyr: The Cult of the Apostle in the Latin West. Society of Biblical Lit. hlm. 103. ISBN 978-1-58983-515-3. Diakses tanggal 27 Oktober 2011.
- ^ "Menaion — July 13" (PDF). Diakses tanggal 25 Agustus 2013.
- ^ "Sunday of the Fathers of the First Six Councils". OrthodoxWiki. Diakses tanggal 25 Agustus 2013.
Bahan bacaan lanjutan
sunting- Giuseppe Alberigo (penyunting), Conciliorum Oecumenicoum Generaliumque Decreta, jld. 1 (Turnhout, 2006), hlmn. 35–70.
- Freeman, Charles (2009). AD 381: Heretics, Pagans and the Christian State. Pimlico. ISBN 978-1-84595-007-1.
- McGuckin, John Anthony (2001). St. Gregory of Nazianzus: An Intellectual Biography. Crestwood, New York: Bagian Pemberitaan Seminari Santo Vladimir. ISBN 0-88141-229-5. Diakses tanggal 25 Oktober 2011.
- Kelly, John N. D. (2006) [1972]. Early Christian Creeds (edisi ke-3). London-New York: Continuum. ISBN 9780826492166.
- Ritter, Adolf Martin (1965). Das Konzil von Konstantinopel und sein Symbol: Studien zur Geschichte und Theologie des II. Ökumenischen Konzils. Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht.