Dongeng Buaya Ajaib Sungai Tami
Dongeng Buaya Ajaib Sungai Tami
Dongeng Buaya Ajaib Sungai Tami
Buaya ajaib yang dimaksud dalam cerita ini adalah seekor buaya yang pernah
tinggal di Sungai Tami, Jayapura, Papua. Hingga sekarang, seluruh keturunan buaya ini
masih dilindungi oleh masyarakat setempat. Jasa apakah yang pernah diperbuat oleh buaya
ajab ini kepada masyarakat Jayapura sehingga ia begitu dihormati? Berikut kisahnya dalam
cerita Buaya Ajaib Sungai Tami.
Dahulu, di Kampung Sawjatami yang terletak di tepi Sungai Tami, Jayapura, Papua,
hiduplah seorang laki-laki bernama Towjatuwa. Ia tinggal bersama istrinya di sebuah honai
(rumah adat orang Papua). Saat itu, sang istri sedang hamil tua, waktu kelahirannya tinggal
menunggu beberapa hari lagi.
Pada hari yang telah diperkirakan, sang istri pun telah memperlihatkan tanda-tanda akan
melahirkan. Ia tiba-tiba menggigil tanpa sebab yang jelas, sebagai tanda awal kelahiran, dan
mulai mengalami pendarahan. Namun, sudah berjam-jam darah terus keluar, sang bayi di
dalam rahimnya tak kunjung keluar. Towjatuwa menjadi panik dan bingung mesti berbuat
apa. Maka, pergilah ia ke rumah seorang dukun di kampung itu.
Nek, tolong istri saya, pinta Towjatuwa, Ia akan melahirkan.
Baiklah, kau pulanglah dulu, aku segera menyusulmu, kata nenek sang dukun bayi itu.
Towjatuwa pun bergegas kembali ke rumahnya. Sementara itu, sang dukun menyiapkan alat
persalinannya, lalu kemudian berangkat ke rumah Towjatuwa. Setiba di sana, ia mendapati
istri Towjatuwa menjerit-jerit kesakitan.
Nek, tolong aku. Perutku sakit sekali, rintih istri Towjatuwa.
Tenang, Cucuku, kata sang dukun.
Nenek dukun itu pun segera memeriksa kondisi istri Towjatuwa. Towjatuwa terlihat semakin
resah, ia sangat takut jika terjadi apa-apa pada istrinya.
Bagaimana keadaannya, Nek? Kenapa istriku belum juga melahirkan? tanya Towjatuwa.
Maaf, Towjatuwa. Sepertinya istrimu mendapat masalah. Bayi di dalam kandungan istrimu
terlalu besar sehingga susah untuk keluar, kata dukun itu.
Lalu, bagaimana cara menolongnya, Nek? tanya Towjatuwa.
Aku membutuhkan rumput air dari Sungai Tami, jawab nenek dukun.
Towjatuwa segera berlari menuju Sungai Tami. Setiba di sana, ia pun langsung mencari
rumput air yang dimaksud oleh nenek dukun. Ia sudah mencari ke sana ke mari, namun
rumput air itu belum juga ditemukannya. Ketika ia hendak melanjutkan pencarian, tiba-tiba
terdengar suara mengerang dari arah belakangnya.
Hai, suara apa itu! serunya dengan kaget.
Begitu Towjatuwa menoleh ke belakang, tampaklah seekor buaya besar di belakangnya.
Anehnya, punggung buaya itu ditumbuhi bulu-bulu burung kasuari. Buaya itu tampak sangat
menyeramkan. Towjatuwa yang ketakutan hendak melarikan diri sebelum dirinya dimangsa
oleh buaya itu. Namun, ketika ia mau meninggalkan tempat itu, tiba-tiba langkahnya terhenti
oleh sebuah suara teguran.
Tunggu dulu, Towjatuwa! seru suara itu.
Towjatuwa pun menghentikan langkahnya dan kemudian menoleh ke arah buaya itu.
Apakah kamu yang memanggilku? tanya Towjatuwa heran.
Benar, Towjatuwa. Akulah yang memanggilmu, jawab buaya itu, Namaku Watuwe,
penguasa di Sungai Tami ini.
Alangkah terkejutnya Towjatuwa mendengar jawaban dari buaya itu. Ia seolah-olah
tidak percaya bahwa ternyata buaya itu dapat berbicara seperti manusia. Buaya itu tiba-tiba
mengerang kesakitan. Ternyata, ekor buaya itu terjepit batu besar. Towjatuwa yang iba
melihat penderitaan buaya itu segera menolong dengan memindahkan batu besar yang
menjepit ekor Watuwe.
Setelah itu, Towjatuwa berniat pergi untuk melanjutkan pencarian rumput air. Namun,
Watuwe kembali menghentikan langkahnya.
Sebentar, Towjatuwa! Kalau aku boleh tahu, apa yang sedang kamu cari di tempat ini?
tanya Watuwe.
Aku sedang mencari rumput air untuk membantu kelahiran istriku. Tapi, aku belum
menemukannya, jawab Towjatuwa.
Jangan khawatir, Towjatuwa, ujar Watuwe, Karena engkau telah menolongku, maka aku
pun akan menolongmu. Tunggu aku di rumahmu nanti malam.
Terima kasih sebelumnya, Watuwe, ucap Towjatuwa dengan perasaan senang.
Hari sudah sore. Towjatuwa pun bergegas pulang ke rumahnya. Malam harinya, buaya
Watuwe datang ke rumah Towjatuwa. Istri Towjatuwa masih tampak kesakitan di atas
pembaringan. Perlahan-lahan, buaya yang sakti itu mendekat untuk mengobatinya. Alhasil,
dengan kekuatan ajaibnya, istri Towjatuwa pun melahirkan seorang anak laki-laki dengan
selamat. Bayi itu diberi nama Narrowra.
Terima kasih, Watuwe, ucap Towjatuwa dan istrinya.
Sama-sama, Towjatuwa. Aku pun berterima kasih karena engkau telah menolongku, kata
Watuwe seraya berpamitan.
Sebelum meninggalkan rumah itu, Watuwe mengatakan sesuatu kepada Towjatuwa tentang
anaknya.
Ketahuilah, Towjatuwa. Kelak anak kalian akan tumbuh menjadi pemburu yang handal,
ungkap Watuwe, Namun, aku berpesan kepada kalian, tolong jangan pernah membunuh dan
memakanku. Jika suatu saat aku mati, ambillah kantung air seniku, lalu bawalah kantung itu
ke Gunung Sankria. Di sana, manusia langit telah menanti kalian dan akan memberi petunjuk
mengenai apa yang harus kalian lakukan.
Towjatuwa dan istrinya amat berterima kasih kepada Watuwe karena telah menolong
kelahiran anak mereka.
Istriku, walaupun Watuwe berwujud binatang, ia sangat baik dan penyayang. Entah apa yang
dapat kita perbuat untuk membalas budi baiknya kepada kita, kata Towjatuwa kepada
istrinya.
Satu-satu cara yang bisa kita lakukan untuk membalas kebaikannya adalah mengingat dan
melaksanakan semua pesannya, ujar sang istri.
Kamu, benar istriku, kata Towjatuwa.
Sejak itulah, Towjatuwa dan keturunannya selalu melindungi buaya ajaib itu serta buaya-
buaya lainnya yang berada di Sungai Tami.
Demikian cerita Buaya Ajaib Sungai Tami dari Jayapura, Papua. Pesan moral yang
dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hidup saling tolong-menolong
antarsesama makhluk seperti Towjatuwa dengan si buaya ajaib, Watuwe, akan
mendatangkan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan di muka bumi.