Lapkas Rhabdomyosarcoma
Lapkas Rhabdomyosarcoma
Lapkas Rhabdomyosarcoma
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. ABCP
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir / Usia : 03 Agustus 2015/ 3 tahun 0 bulan
Berat badan lahir : 2900 gram
Partus : Sectio Caesarea
Agama : Protestan
Kebangsaan : Indonesia
Suku Bangsa : Minahasa
Anak ke :2
Masuk Rumah Sakit : 15 Agustus 2018 Pukul 14.36 WITA
II. ANAMNESIS
(Dilakukan aloanamnesis terhadap orangtua pasien pada tanggal 30 Agustus 2018 jam
14.00 WITA di ruang perawatan sub-bagian hemato-onkologi).
Keluhan utama : Bengkak pada wajah
Keluhan tambahan : Muntah
Pasien datang ke poliklinik Estella diantar oleh kedua orang tua dengan keluhan utama
bengkak pada sisi kiri wajah dan telah didiagnosis sebagai rabdomiosarkoma dan
direncanakan untuk dilakukan kemoterapi. Awalnya, bengkak pada sisi kiri wajah muncul
sejak 3 bulan SMRS. Sebelum muncul bengkak, pasien mengeluhkan adanya nyeri gigi,
yang setelah diperiksa ditemukan adanya massa dengan ukuran sebesar bola golf, lama-
kelamaan membesar hingga diameter +/- 7cm dengan disertai nyeri. Nyeri terutama
1
dirasakan saat ditekan. Demam, batuk-beringus, mual-muntah disangkal oleh pasien.
Penurunan nafsu makan dan berat badan juga dikeluhkan pasien.
Dari anamnesis didapatkan, pada awalnya pasien 2 bulan lalu (Juni 2018) datang
berobat ke RSUP Prof Kandou dengan keluhan utama terdapat benjol serta bengkak pada
sisi kiri wajah. Bengkak awalnya muncul terlebih dahulu sekitar 1 bulan SMRS. Bengkak
pada wajah muncul bersamaan dengan gigi yang baru tumbuh, lama-kelamaan bengkak
makin membesar dan pasien mengeluh nyeri. Nyeri terutama dirasakan apabila ditekan.
Bengkak kemudian tampak sebagai benjolan yang timbul dari bagian rongga mulut pasien.
Orang tua pasien juga mengatakan bahwa teraba benjolan-benjolan kecil pada daerah leher
pasien. Pasien juga dikeluhkan muntah sejak 2 hari SMRS dengan frekuensi 4 kali perhari.
Volume muntah pasien sekitar ¼ - ½ gelas air kemasan, berisi cairan dan sisa makanan.
Riwayat mimisan, muntah darah serta BAB berwarna hitam disangkal oleh orang tua
pasien. Riwayat batuk pilek disangkal, riwayat demam juga disangkal oleh orang tua
pasien. BAB dan BAK pasien tidak ada keluhan. Selama sakit, orang tua pasien
mengatakan pasien mengeluhkan nafsu makan menurun dan pasien tampak lesu.
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit maupun gejala yang sama seperti
pasien.
2
SILSILAH KELUARGA
3
maupun merokok. Riwayat terpapar radiasi, bensin dan cat selama hamil juga
disangkal.
b. Riwayat Persalinan
Penderita lahir cukup bulan secara section cesarean di RS. Pancaran Kasih Manado
dengan ditolong oleh dokter spesialis kandungan. Penderita lahir dengan berat badan
2900 gram dan panjang badan tidak diketahui, waktu lahir penderita langsung
menangis.
4
f. Riwayat Imunisasi
Penderita mendapat vaksinasi BCG pada lengan kanan satu kali, polio 4 kali, DPT
sebanyak 4 kali, HiB 4 kali, hepatitis B 3 kali dan campak 2 kali.
Lingkungan
Penderita tinggal di rumah permanen, beratap seng, berdinding beton, dan berlantai
tegel. Terdapat 2 buah kamar yang dihuni oleh 4 orang, terdiri dari 2 dewasa dan 2
anak-anak. Kamar mandi terletak didalam rumah. Sumber air minum dari air kemasan.
Sumber penerangan listrik dari PLN. Penanganan sampah dengan cara dibuang ke
tempat sampah.
Status Antropometri:
Berat Badan : 11 kg
Tinggi Badan : 87 cm
BSA : 0,51
5
Status Gizi:
Laki-laki 3 tahun, BB 11 kg, TB 87 cm. Menurut kurva WHO anak laki-laki 2 to 5
years:
Weight for Height
6
Mata: OD: Edema palpebra (-), konjugtiva anemis (-), sklera ikterik (-), lensa
jernih (+), pupil bulat (+), refleks kornea (+), refleks cahaya (+),
eksoftalmus (-), ptosis (-)
OS: Edema palpebra (-), konjugtiva anemis (-), sklera ikterik (-), lensa
jernih (+), pupil bulat (+), refleks kornea (+), refleks cahaya (+),
eksoftalmus (-), ptosis (+)
Hidung: Bentuk normal, sekret (-/-), deviasi septum (-), pernafasan cuping hidung
(-)
Telinga: Bentuk normal, sekret (-/-), serumen (-/-) minimal
Mulut: Sianosis (-), mukosa basah, atrofi papil lidah (-), caries dentis (-), ulkus (-)
Tenggorokan: Tonsil T1 – T1, hiperemis (-), hiperemis faring (-)
Leher: Trakea letak tengah, pembesaran kelenjar getah bening colli (-)
Dada: Bentuk simetris, retraksi (-)
Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi: Ictus cordis tidak teraba
Perkusi: batas kiri jantung pada linea midclavicularis kiri, batas kanan jantung pada
linea parasternalis kanan, batas atas setinggi sela iga III kiri.
Auskultasi: frekuensi detak jantung 110x/menit, reguler, bising tambahan tidak ada
Paru
Inspeksi: Pergerakan dinding dada simetris, retraksi tidak ada
Palpasi Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi: Suara pernapasan bronkovesikuler kanan = kiri, ronki tidak ada, wheezing
tidak ada.
Abdomen
Inspeksi: datar
Palpasi: lemas, nyeri tekan (-)
7
Hepar: tidak teraba pembesaran
Lien: tidak teraba pembesaran
Auskultasi: bising usus dalam batas normal
Perkusi: timpani, ascites (-)
Anggota gerak: akral hangat, deformitas tidak ada, edema tidak ada, paresis tidak
ada, CRT <2 detik, sianosis tidak ada
Motorik:
5 5
5 5
8
N.IX = tidak ada kelainan
N.X = tidak ada kelainan
N.XI = tidak ada kelainan
N.XII = tidak ada kelainan
9
Basal ganglia, thalamus: normal
Kapsula interna: normal
Midbrain, pons, medulla: normal
Cerebellum: normal
Ventrikel: normal
Sulci dan sisterna basalis: di luar lesi normal
Sinus-sinus vena dural: normal
Arteri intracranial: normal
CV junction: normal
Kesan: sugestif malignant mass + mastoiditis bilateral.
10
Mikroskopik: Hapusan tumor facialis terdiri dari sel-sel bentuk bulat lebih dari 1-2 kali sel
limfosit dengan inti kromatin kasar, sedikit pleomorfik, ada juga sel-sel limfosit matur.
Latar belakang sel darah merah.
Kesimpulan: Round cell tumor sangat mengarah malignansi yang jenisnya sukar
ditentukan.
Setelah dievaluasi lagi sediaan pada tanggal 20 agustus 2018 didapatkan: malignant
tumor dengan dd neuroendocrine carcinoma, sinonasal undifferentiated carcinoma,
sinonasal neuroblastoma, sinonasal embryonal rhabdomyosarcoma.
V. RESUME MASUK
Penderita anak laki-laki usia 3 tahun dengan berat badan 11 Kg, tinggi badan 87cm,
MRS: 15 Agustus 2018 dengan diantar oleh keluarganya ke poliklinik Estella dengan
keluhan utama bengkak pada wajah sisi kiri dan telah didiagnosis sebelumnya dengan
rhabdomyosarcoma dan direncanakan untuk dilakukan kemoterapi.
Dari anamnesis didapatkan, pada awalnya pasien 2 bulan lalu (Juni 2018) datang
berobat ke RSUP Prof Kandou dengan keluhan utama terdapat benjol serta bengkak pada
sisi kiri wajah. Bengkak awalnya muncul terlebih dahulu sekitar 1 bulan SMRS. Bengkak
pada wajah muncul bersamaan dengan gigi yang baru tumbuh, lama-kelamaan bengkak
makin membesar dan pasien mengeluh nyeri. Nyeri terutama dirasakan apabila ditekan.
11
Bengkak kemudian tampak sebagai benjolan yang timbul dari bagian rongga mulut pasien.
Orang tua pasien juga mengatakan bahwa teraba benjolan-benjolan kecil pada daerah leher
pasien.
Selain keluhan utama yaitu benjolan, pasien juga dikeluhkan muntah sejak 2 hari
SMRS dengan frekuensi 4 kali perhari. Volume muntah pasien sekitar ¼ - ½ gelas air
kemasan, berisi cairan dan sisa makanan. Riwayat mimisan, muntah darah serta BAB
berwarna hitam disangkal oleh orang tua pasien. Riwayat batuk pilek disangkal, riwayat
demam juga disangkal oleh orang tua pasien. BAB dan BAK pasien tidak ada keluhan.
Selama sakit, orang tua pasien mengatakan pasien mengeluhkan nafsu makan menurun dan
pasien tampak lesu.
Pada pemeriksaan fisik saat penderita dijadikan laporan kasus panjang tanggal 30
Agustus 2018, didapatkan berat badan 11 kg dengan tinggi badan 87 cm. keadaan umum
tampak sakit dan kesadaran compos mentis. Status gizi menurut kurva WHO anak laki-laki
2 to 5 years: Weight for Height penderita digolongkan pada gizi baik (SD 2 sampai -2).
Tanda vital didapatkan tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 110x/m (reguler, isi cukup, kuat
angkat), laju pernafasan 32x/menit (reguler), suhu badan 36,9oC (aksila). Pada
pemeriksaan kepala dan leher didapatkan konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik.
Status lokalis terdapat benjolan pada rongga mulut sebelah kiri, berukuran 7cm, tidak
bergerak berbatas tidak tegas, konsistensi teraba kenyal tidak berdarah, benjolan berwarna
merah, nyeri saat ditekan. Pemeriksaan abdomen tampak cembung, lemas dengan bising
usus normal. Hepar tidak teraba pembesaran, suhu sama dengan suhu bagian tubuh
disekitarnya. Lien tidak ada pembesaran. Pada ekstremitas tidak sianosis, teraba hangat
dengan capillary refill time (CRT) < 2 detik. Pada pemeriksaan nervus kranial didapatkan
ada kelainan pada nervus II, refkejs cahaya nata kiri terganggu, nervus III, IV, VI ada
kelainan pada bola mata, eksoftalmus dan ptosis, pada nervus VII terjadi kelainan pada
wajah pasien antara kanan dan kiri tidak simetris.
Hasil laboratorium pada saat masuk rumah sakit tanggal 18 agustus 2018 didapakan
leukosit (/uL) 8,7 x 103/uL, eritrosit 4,43 106 /uL, hemoglobin (g/dl) 11,8 g/dL, hematokrit
(%) 35,3%, trombosit (/uL) 396 x 103/uL, MCH 26,7pg, MCHC 33,5g/dL, MCV.79,6 Fl.
Dari pemeriksaan hitung jenis leukosit didapatkan eosinofil 0%, basofil 0%, netrofil batang
12
22%, netrofil segmen 58%, limfosit 12% dan monosit 8%. Pemeriksaan eletrolit
didapatkan natrium 140 mEq/L, kalium 4,84 mEq/L dan klorida 102,1 mEq/L.
Hasil pemeriksaan diagnostik patologi anatomi 13 juli 2018 lokasi jaringan yang
diambil buccal sinistra, mikroskopik: diterima sepotong jaringan putih ukuran panjang 2
cm ukuran diameter 0,2 cm. Makroskopik sediaan telah dipotong seri. Tampak potongan
jaringan tumor dengan sel-sel bentuk bulat lebih besar dari limfosit matur. Sel-sel tersebar
difus dan monoton. Kromatin inti granuler kasar dengan kesimpulan satu keganasan sulit
ditentukan secara pasti jenisnya. Gambaran yang ada sangat cenderung pada suatu
maltoma.
Setelah dilakukan evaluasi kembali sediaan pada tanggal 20 Agustus 2018
didapatkan: malignant tumor dengan dd neuroendocrine carcninoma, sinonasal
undifferentiated carcinoma, sinonasal neuroblastoma, sinonasal embryonal
rhabdomyosarcoma.
VI. DIAGNOSIS
Rabdomiosarkoma tipe embrional (C49.0)
VII. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
Paracetamol 120mg 3x1 cth per oral
Ondansentron 2x2mg intravena
Vincristine 0,75 gram intravena
Doxorubicin 0,5 gram intravena
Cyclophosphamide 0,6 gram intravena
13
FOLLOW UP
14
FOLLOW UP
15
FOLLOW UP
16
FOLLOW UP
17
FOLLOW UP
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
18
BAB II
PEMBAHASAN
Rabdomiosarkoma berasal dari bahasa yunani, (rhabdo yang artinya bentuk lurik,
dan myo yang artinya otot). Rabdomiosarkoma merupakan suatu tumor ganas yang aslinya
berasal dari jaringan lunak (soft tissue) tubuh, termasuk disini adalah jaringan otot, tendon,
dan connective tissue. Pustaka lain juga mengatakan bahwa Rabdomiosarkoma ialah
kanker jaringan lunak yang paling sering pada anak dengan derajat keganasan tinggi dan
diperkirakan timbul dari sel-sel mesenkimal primitif yang kemudian hari menjadi otot
lurik, dapat dijumpai dimana saja dalam tubuh, termasuk di tempat yang tidak biasanya
terdapat otot lurik.1-4
Penyebab pasti rabdomiosarkoma pada anak masih belum diketahui. Dari data
epidemiologi, ada indikasi bahwa faktor genetic tampaknya mempunyai peranan penting
pada penyebab. Perkembangan bidang biomolekuler telah menunjukkan indikasi kelainan
kromosom pada berbagai jenis keganasan jaringan lunak. Pada rabdomiosarkoma
translokasi (2;13) (q35;q14) merupakan keadaan yang selalu dapat ditemukan pada subtype
alveolar. Pada subtype embrional sampai saat ini tidak ditemukan kelainan kariotipik,
namun demikian masih dapat ditemukan hilangnya heterogenosit konstitusional (loss of
constitutional heterozygosity) pada kromosom 11 p 15.5-8
Pada kasus ini, penderita berjenis kelamin laki-laki dan usia 3 tahun. Sesuai
kepustakaan, anak laki-laki dengan usia dibawah 15 tahun merupakan kelompok yang lebih
banyak terserang rabdomiosarkoma. Umur dari pasien yaitu 3 tahun juga merupakan
kelompok umur yang paling sering menderita rabdomiosarkoma.
19
Penentuan histiotipe spesifik perlu untuk terapi dan prognosis. Ada empat tipe
subhistologi yang telah diketahui. Tipe embrional menyebabkan sekitar 60% dari semua
kasus dan mempunyai prognosis sedang. Tipe botrioid, merupakan suatu varian bentuk
embrional dimana sel tumor dan stroma yang membengkak menonjol ke dalam rongga
badan seperti sekelompok buah anggur, menyebabkan 6% kasus dan paling sering tampak
di vagina, uterus, kandung kemih, nasofaring dan telinga tengah. Tumor alveolar
menyebabkan kira-kira 15%, ditandai dengan translokasi kromosom t(2;13). Sel tumor
cenderung tumbuh dalam inti (core) yang sering mempunyai ruang mirip celah yang
menyerupai alveoli. Tumor alveolar paling sering terjadi pada tubuh dan anggota gerak dan
mempunyai prognosis yang paling buruk. Tipe pleomorfik (bentuk dewasa) jarang pada
anakanak (1% kasus). Kira-kira 20% penderita diperkirakan mempunyai sarkoma tidak
berdiferensiasi.7-9
Tipe pleomorfik (sangat jarang) terjadi pada pasien-pasien di atas 45 tahun yang
lainnya tiga dalam 90% kasus terjadi sebelum usia 20 tahun. Varian pleomorfik
mempunyai sel-sel tumor atipik yang besar, beberapa memperlihatkan sitoplasma
yang benyak dengan corakan berlurik yang khas bagi diferensiasi otot rangka.
Varian-varian lain pada dasarnya adalah tumor-tumor kecil sel biru primitif,
berdiferensiasi buruk yang mempunyai diferensiasi otot rangka fokal
(rabdomiosarkoma dengan sitoplasma eusinofilik dan corakan lurik).
Embrional rabdomiosarkoma merupakan jenis yang paling sering ditemukan pada
anak, kira-kira 60% dari semua kasus rabdomiosarkoma. Tumor biasa muncul
dimana saja, tetapi paling sering pada genitourinarius, kepala atau leher. Pada
pemeriksaan histologi jenis ini mempunyai variabilitas histologi yang tinggi,
dimana menggambarkan beberapa tingkatan dari morfogenesis otot skeletal.
Merupakan neoplasma dengan diferensiasi tinggi yang terdiri dari rabdomioblas
dengan sitoplasma eosinofilik. Desmin dan aktin yang terdapat pada otot digunakan
untuk mendiagnosis rabdomiosarkoma.
20
Gambar 1. Imunohistokimia pada alveolar dan embrional rabdomiosarkoma.10
G1: well differentiated (baik), G2: moderately differentiated (sedang) dan G3:
poorly differentiated (buruk).
Pada kasus ini, ditemukan pasien menderita rabdomiosarkoma tipe embrional, yaitu
tipe yang paling sering menyerang anak-anak. Lokasi tersering munculnya RMS tipe
embrional yaitu kepala, leher dan traktus genitourinarius, pada kasus ditemukan tumor
terdapat pada daerah kepala, yaitu pada region buccalis.
21
Walaupun merupakan tumor yang paling sering dijumpai pada anak-anak, etiologi
dari rabdomiosarkoma tidak diketahui. Rabdomiosarkoma diduga timbul dari mesenkim
embrional yang sama dengan otot serat lintang. Atas dasar gambaran mikroskopik cahaya,
rabdomiosarkoma termasuk kelompok sel “tumor sel bulat kecil”, yang meliputi sarkoma
Ewing, neuroblastoma, tumor neuroektodermal primitf dan limfoma non Hodgkin.
Diagnosis pasti adalah histopatologi atau perlu ditambah pemeriksaan imunohistokimia
dengan menggunakan elektron untuk membedakan gambaran khas.10
Pemeriksaan fisik yang teliti untuk menentukan letak dan ukuran tumor dan
kelenjar getah bening regional. Bisa juga ditemukan adanya proptosis mata, polyposis
(telinga, hidung, vagina), hidung selalu berdarah, gangguan saraf otak, rangsang meningen
positif, sesak nafas, retensi urine, anemia, dan perdarahan. Tumor superfisial akan mudah
teraba dan terdeteksi awal, sedangkan tumor profundal bisa jadi membesar sebelum
menimbulkan gejala.11,12
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan termasuk darah lengkap, faal hati dan
ginjal, elektrolit serum, kalsium dan bila mungkin kadar magnesium, asam urat dan fungsi
pembekuan. Aspirasi sumsum tulang juga diperlukan untuk dugaan RMS parameningeal.13
Untuk menentukan grading, maka diperlukan biopsy dari jaringan tumor. Tumor
>3 cm dilakukan biopsy insisi dan pada tumor <3cm dapat dilakukan biopsi eksisional.12
Prosedur diagnostik ditentukan terutama oleh area yang terlibat. Dengan gejala dan
tanda di daerah kepala dan leher, radiografi harus dilakukan untuk mencari bukti massa
tumor dan untuk petunjuk erosi tulang. Computerized Tomography (CT) harus dikerjakan
untuk mengenali perluasan intrakranial dan dapat juga memperlihatkan keterlibatan tulang
pada dasar tengkorak yang sulit divisualisasikan secara radiografis. Untuk tumor di perut
dan pelvis, pemeriksaan USG dan CT dengan media kontras oral dan intravena dapat
22
membantu menentukan batas massa tumor. Sistouretrogram bermanfaat untuk tumor di
kandung kemih. Scan radionuklida dan survey metastasis tulang menyeluruh sebaiknya
dikerjakan sebelum pembedahan defenitif. Radiografi dada dan CT harus dilakukan, dan
sumsum tulang (aspirasi serta biopsi jarum) harus diperiksa. Elemen paling penting pada
tindakan diagnostik adalah pemeriksaan jaringan tumor. Pada kasus ini telah dilakukan
pemeriksaan radiologi berupa MRI dengan kontras pada tanggal 19 juni dengan kesan
sugestif malignant mass + mastoiditis bilateral.9,10
Pada kasus ini telah dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan hasil lokasi
jaringan yang diambil dari buccal sinistra, secara mikroskopik tampak jaringan putih
ukuran panjang 2 cm dan diameter 0,2 cm. Secara makroskopik tampak sediaan telah
dipotong seri. Tampak potongan jaringan tumor dengan sel-sel bentuk bulat lebih besar
dari limfosit matur. Sel-sel tersebar difus dan monoton. Kromatin inti granuler kasar
dengan kesimpulan suatu keganasan sulit ditentukan secara pasti jenisnya. Gambaran yang
ada sangat cenderung pada suatu maltoma.
23
Setelah dilakukan evaluasi ulang pada sediaan tanggal 20 agustus 2018 didapatkan
kesan yaitu malignant tumor dengan dd neuroendocrine carcinoma, sinonasal
undifferentiated carcinoma, sinonasal neuroblastoma, sinonasal embryonal
rhabdomyosarcoma.
Gejala dari RMS tergantung pada tempat tumor primer, dari mulai tanpa gejala
sampai pada proptosis mata, poliposis (tumor) di daerah telinga, hidung, atau vagina atau
hidung selalu berdarah. Tumor didaerah kepala dan leher dapat menyerupai parotitis atau
menyebabkan disfungsi neurologis akibat pendesakan tumor ke dalam otak, tumor di
daerah penis dapat menyebabkan gangguan kencing atau retensi urin. Lesi perifer lebih
dini setelah itu susunan saraf pusat, kelenjar regional, tulang, jaringan lunak dan sumsum
tulang.8,11-13
Perluasan luas ke dalam kranium dapat menyebabkan paralisis saraf cranial, buta
dan tanda peningkatan tekanan intrakranial dengan sakit kepala dan muntah. Bila tumor
timbul di wajah atau di leher dapat timbul pembengkakan yang progresif dengan gejala
neurologis setelah perluasan regional. Tumor primer di orbita biasanya didiagnosis pada
awal perjalanan karena disertai proptosis, edema periorbital, ptosis, perubahan ketajaman
penglihatan dan nyeri lokal. Bila tumor ini timbul di telinga tengah, gejala awal paling
sering adalah nyeri, kehilangan pendengaran, otore kronis atau massa di telinga, perluasan
tumor menimbulkan paralisis saraf cranial dan tanda dari massa intrakranial pada sisi yang
terkena. Croupy cough yang tidak mau reda dan stridor progresif dapat menyertai
rabdomiosarkoma laring.8,10-12
Pada kasus didapatkan gejala klinis terdapat massa pada bagian kiri wajah sehingga
mengakibatkan proptosis pada mata dan edema periorbital, selain itu juga terdapat nyeri
tekan pada massa. Terdapat juga gangguan pada nervus kranialis terutama nervus VII.
24
Staging rabdomiosarkoma
T1 = tidak ada invasi ke N0 = tidak ada nodul Tidak ada metastase jauh
jaringan sekitar
Staging tumor dengan menggunakan sistem staging oleh American Joint Committee on
Cancer staging system yaitu dengan berdasarkan pada ukuran tumor (T), kedalaman, nodul (N)
dan adanya metastase (M), serta grading secara histologis (G). Tumor dengan nekrosis diatas 15%
dan tingkat mitosis diatas 5-10 per high power field
Penatalaksanaan
Tumor primer
25
Tumor yang resektabel: dilakukan pembedahan radikal pada tumor yang resektabel
dengan syarat: tumor dapat diangkat semua dan batas sayatan bebas sel tumor
ganas.
Tumor yang rekuren (kambuh) Pembedahan yang tidak adekuat dan manipulasi tumor
pada saat pembedahan merupakan penyebab timbulnya rekuren local. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan adalah :
Evaluasi kembali derajat keganasan dengan melakukan biopsi insisional.
Nilai kembali ekstensi tumor dalam mempertimbangkan reeksisi tumor untuk tujuan
kuratif.
Pada kasus ini, pasien telah menjalani regimen kemoterapi sesuai dengan protocol
The Soft Tissue Sarcoma Committee of The Children’s Oncology Group (COG) dengan
26
vincristine, dactinomycin, cyclophosphamide dan mesna. Pasien belum dioperasi maupun
diradioterapi dikarenakan dalam proses kemoterapi belum ditemukan tanda-tanda
metastase.
Selain kemoterapi, pilihan terapi lainnya untuk pasien dengan kanker adalah
radioterapi. Radioterapi menggunakan radiasi berenergi tinggi untuk membunuh sel
kanker. Radioterapi dapat digunakan pada sel kanker yang tertinggal setelah dilakukan
tindakan operasi. Radioterapi biasanya dilakukan 6-12 minggu setelah kemoterapi. Efek
samping dari radioterapi diantaranya dapat mengakibatkan luka bakar ringan hingga
sedang pada kulit. jika radioterapi pada daerah perut, pasien dapat merasakan mual,
muntah, dan diare. Sindrom nervus cranialis dapat timbul ketika terjadi metastasis pada
tulang dasar tengkorak sehingga dapat mengakibatkan keluhan nyeri pada bagian wajah,
kelemahan, kehilangan rangsang sensorikm perubahan suara maupun disfagia.
Setelah pasien menjalani terapi lain baik operasi, radioterapi, maupun kemoterapi,
pasien juga dapat menjalani rehabilitasi medis. Rehabilitasi medis terutama bertujuan
untuk mengoptimalkan fungsi atau mengurangi efek samping dari terapi lain. Untuk pasien
post-operasi, rehabilitasi pada pasien RMS bertujuan untuk memaksimalkan range of
motion (ROM), kekuatan otot dan fungsinya. Selain secara fisiologis, intervensi secara
psikologis dapat dilakukan dengan menjelaskan mengenai kemungkinan akibat dari
operasi yang berhubungan dengan kemampuan fungsi di kemudian hari. Pasien juga dapat
mengalami depresi dan anxietas berhubungan dengan keadaannya, oleh sebab itu maka
dibutuhkan pendekatan secara psikologis. Terutama apabila terjadi metastasis dari tumor
sehingga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi dan distress.15,16
Prognosis pada pasien dengan RMS tergantung dari ukuran tumor, lokasi tumor,
kedalaman tumor, derajat keganasan, sel nekrosis, serta gambaran histologis. Pasien
dengan ukuran tumor lebih kecil dari 5cm memiliki prognosis yang lebih baik daripada
tumor dengan ukuran yang lebih besar. Ada atau tidaknya metastasis juga mempengaruhi
prognosis, dimana terdapat adanya metastasis dapat memperburuk prognosis untuk pasien.
Untuk mencapai angka ketahanan hidup (survival rate) yang tinggi diperlukan
kerjasama yang erat dengan disiplin lain, diagnosis klinis yang tepat, strategi pengobatan
27
yang tepat, dimana masalah ini tergantung dari: evaluasi patologi anatomi pasca bedah,
evaluasi derajat keganasan, perlu/tidaknya terapi adjuvant (kemoterapi atau radioterapi).
Pada kasus ini, prognosis ad vitam dari pasien adalah dubia ad malam dikarenakan
ukuran dari tumor yang lebih dari < 5cm dan telah adanya tanda-tanda dari penekanan
nervus kranialis, prognosis ad sanationam dari pasien juga dubia ad malam oleh karena
mata kiri pasien telah mengalami gangguan fungsi akibat penekanan nervus kranialis oleh
benjolan, dan prognosis ad sanationam adalah dubia ad malam oleh karena belum ada
perubahan meski telah dilakukan kemoterapi..
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Wexler LH, Crist WM, Helman LJ. Rhabdomyosarcoma and the undifferentiated
sarcomas. Dalam Pizzo PA and Poplack DG, penyunting. Principle and practice of
pediatric oncology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippicot Williams & Wilkins; 2002 h. 939-
63.
2. Bisogno G & Bergeron C. Soft tissue sarcoma. dalam Voute PA, Barret A, penyunting.
Cancer in children, clinical management. Edisi ke-5. New York: Oxford University Press;
2005 h. 68-77.
3. McDowell HP. Update on childhood rhabdomyosarcoma. Arch dis childhood. 2003; 88:
354-7.
4. Andrea S & Jayant R. Rhabdomyosarcoma. Indian J Pediatr 2004; 71(4): 331-7.
5. Bhurgri Y, Bhurgri A, Puri A, et al. Rhabdomyosarcoma in Karachi 1998-2202. Research
communication. Asian pasific j cancer prev 2004;5: 284-90.
6. Crist W, Anderson J, Meza J, Fryer C, Raney R, Ruymann F, et al. Intergroup
rhabdomyosarcoma studi iv: result for patients with nonmetastatic disease. J clin oncol.
2001, 19: 3091-102.
7. Shouman T, El-kest I, Zaza K, Ezzat M, William H, Ezzat I. Rhabdomyosarcoma in
childhood: A retrospective analysis of 190 patients treated at a single institution. J Egypt
nat cancer inst 2005; 17(2): 67-75.
8. Djajadiman Gatot, dkk. Buku ajar Hematologi – Onkologi Anak. IDAI; Jakarta; 2005.
9. A.D.A.M. Medical Encyclopedia. Rhabdomyosarcoma. March 23, 2014. Available from:
http://www.ncbi.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002402/
10. Leonard H, Wexler MD. Rhabdomyosarcoma. Available from :
http://sarcomahelp.org/rhabdomyosarcoma.html
11. Cripe T Timothy. Pediatric Rhabdomyosarcoma. June 16, 2014. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/988803-overview
29
12. Robbins, Cotran, Kumar. Dasar Patologi Penyakit. Jakarta: EGC; 2007. Pg; 761-2.
13. Steenman M, Westerveld A, Mannens M. Genetics of Beckwith-Wiedemann syndrome-
associated tumors: common genetic pathways. Gene Chromosome Cancer. 2000; 28:1–13.
14. Lanzkowsky P, Lipton J, Fish J. Lanzkowsky’s Manual of Pediatric Hematology and
Oncology. Edisi ke-6. 2016; Pg; 512-3
15. Rankin J, Robb K, Murtagh N, Cooper J, Lewis S. 2008. Rehabilitation in cancer care.
United Kingdom: Wiley-Black Well, pg: 171-9
16. Drake AF, Lee SC, Kelley DJ, Talavera F. 2014: Rhabdomyosarcoma . Medscape.
Emedicine.medscape.com/article/873546-overview. Diakses 19 mei 2015.
30