Bab I Pendahuluan
Bab I Pendahuluan
Bab I Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Systemic Lupus Erythrmatosus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan istilah
Lupus adalah penyakit kronik/menahun. SLE merupakan penyakit daya tahan
tubuh atau disebut penyakit autoimun pada manusia normal. Pada tubuh manusia,
sistem kekebalan tubuh akan membuat antibodi yang berfungsi untuk melindungi
tubuh dari berbagai macam virus, kuman, atau bakteri dan benda-benda asing
lainnya (antigen). Namun, pada penyakit autoimun seperti SLE, sistem kekebalan
tersebut kehilangan kemampuan untuk melihat perbedaan antara substansi asing
dengan sel dan jaringan tubuh sendiri. Pada penderita SLE antibodi yang
dihasilkan terlalu berlebihan.
Sayangnya antibodi yang berlebihan ini tidak “menyerang” benda asing
yang masuk ke dalam tubuh tetapi justru “menyerang” sistem kekebalan sel dan
jaringan tubuh sendiri. Antibodi ini disebut “auto-antibodi” yang kemudian
bereaksi dengan antigen “sendiri” membentuk kompleks imun. Kompleks imun
yang terdapat dalam jaringan dapat menyebabkan peradangan, luka pada jaringan
rasa sakit.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang masih awam ditelinga
masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti tidak banyak orang yang terkena
penyakit ini. Di dunia, penyandang penyakit SLE yang terdeteksi mencapai 5 juta
orang dengan lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Di Indonesia
sendiri, jumlah penderita lupus juga terus meningkat. Data dari Yayasan Lupus
Indonesia mencatat, di Indonesia terdapat 100.000 odapus (orang dengan penyakit
lupus) sepanjang tahun ini. Di luar angka tersebut, masih banyak odapus yang
tidak terdeteksi. Artinya, jumlah odapus bisa jadi lebih banyak dari data tersebut.
SLE dapat menyerang semua usia, namun sebagian besar pasien ditemukan
pada perempuan usia produktif. Sembilan dari 10 orang odapus adalah wanita
dan sebagian besar wanita yang mengidap SLE ini berusia 15-40 tahun. Namun,
masih belum diketahui secara pasti penyebab lebih banyaknya penyakit SLE yang
menyerang wanita
2
SLE dikenal juga dengan penyakit 1000 wajah karena gejala awal penyakit
ini tidak spesifik, sehingga pada awalnya penyakit ini sangat sulit didiagnosa. Hal
tersebut menyebabkan penanganan terhadap penyakit lupus terlambat sehingga
penyakit tersebut banyak menelan korban. Penyakit ini ini dibagi menjadi tiga
kategori yakni discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang
diinduksi oleh obat. Masing-masing kategori tersebut memiliki gejala, tingkat
keparahan serta pengobatan yang berbeda-beda.
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan
induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada
perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka
pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing
individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita
SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria,
kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan). Selain itu terdapat
obat-obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1
fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih
menjadi penelitian para ilmuwan. NSAID dapat digunakan untuk mengobati SLE
ringan. Obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroklorokuin dapat digunakan
untuk mengatasi SLE dengan lesi kulit berbentuk cakram. Apabila terdapat pasien
dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap
penggunaan obat lain baru diberikan terapi kortikosteroid.
Penderita SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan
benar. Pengobatan yang diberikan harus rasional, yakni memenuhi kriteria 4T 1W
(Tepat Indikasi, Tepat Dosis dan Cara Pengunaan, Tepat Pasien, Tepat Obat).
Perawatan pada pasien SLE juga harus diperhatikan, seperti mengurangi paparan
sinar UV terhadap tubuh pasien. Dengan adanya pengobatan dan perawatan yang
tepat dan benar selama masa terapi, diharapkan terapi dapat berjalan optimum
sehingga kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan.
3
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan di atas maka rumusan masalah yang muncul “Bagaimana
Trend dan Issue pada gangguan system imun hematologi (Systemic Lupus
Erythrmatosus)?”
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaimana Trend dan Issue pada gangguan system imun
hematologi (Systemic Lupus Erythrmatosus).
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian trend
Trend adalah hal yang sangat mendasar dalam berbagai pendekatan
analisa, trend juga dapat didefinisikan salah satu gambaran ataupun informasi
yang terjadi pada saat ini yang biasanya sedang populer dikalangan masyarakat
B. Pengertian Issue
Isu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi
atau tidak terjadi pada masa mendatang, yang menyangkut ekonomi, moneter,
sosial, politik, hukum, pembangunan nasional, bencana alam, ataupun tentang
kritis.
Lupus dapat terjadi dari ringan sampai berat. Gejala pada sebagian Odapus cukup
ringan. Sedangkan bagi yang lainnya, lupus bisa menjadi masalah serius dan dapat
berakibat fatal bahkan mengancam kelangsungan hidupnya.
Karena itulah penyakit ini diberi nama “Lupus”. Penjelasan klasik ciri
Lupus secara dermatologis dibuat oleh :
1. Thomas Bateman, seorang siswa dermatologist dari Inggris pada awal
abad ke- 19.
2. Cazenave, seorang siswa dermatologist Perancis, pada pertengahan
abad ke – 19.
3. Moriz Kopasi, siswa dan menantu dari dermatologis Australia
Ferdinant von Hebra, akhir abad ke-19.
Di kalangan kedokteran jenis penyakit ini sudah dikenal sejak tahun 1828
lewat seorang dokter kulit dari Perancis yang bernama Laurent Biett. Pada
awalnya penyakit ini dianggap sebagai penyakit kulit biasa.
Kemudian pada tahun 1833, Cazenave menemukan istilah erthema
centrufugum. Kemudian istilah penyebaran kupu-kupu di wajah (butterfly rash)
diterbitkan pertama kali di Von Hebra tahun 1846 lalu di tahun 1856, gejala
kemerah-merahan di wajah tersebut digambarkan sebagai Lupus Erythematosus.
b. Periode Neoklasik
Pada era neoklasik sejarah Lupus dimulai pada 1872 ketika Kaposi pertama
kali menjelaskan sifat sistemik. Kaposi mengatakan bahwa ada dua jenis
6
berbeda-beda, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang dihasilkan serta
organ yang terkena.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mencatat jumlah penderita
penyakit Lupus di seluruh dunia dewasa ini mencapai 5 juta orang. Sebagian besar
dari mereka adalah perempuan usia produktif dan setiap tahun ditemukan lebih
dari 100 ribu penderita baru.
3. Systemic Lupus Erythrmatosus Lebih Banyak pada Perempuan
Penyakit Lupus menyerang hampir 90% perempuan. Kini tercatat kurang
lebih sekitar 5 juta pasien Lupus tersebar di seluruh dunia dan setiap tahunnya
bertambah sebanyak 100.000 pasien baru.
Data di Amerika menunjukkan indisiden penyakit Lupus Ras Asia lebih
tinggi dibandingkan ras Kaukasia. Di Indonesia jumlah penderita Lupus yang
tercatat sebagai anggota YLI >10.000 orang, tetapi bila kita melakukan pendataan
lebih seksama jumlah pasien Lupus di Indonesia akan lebih besar dari Amerika (
1.500.000 orang).
Siapa saja yang bisa terserang Lupus? Lupus seringkali disebut “ penyakit
wanita “ meskipun faktanya laki- laki juga ada yang terkena. Lupus dapat
diturunkan pada semua umur, namun sebagian besar pasien ditemukan pada
perempuan usia produktif. Sembilan dari 10 orang dengan Lupus (Odapus)
adalah wanita. Alasan mengapa Lupus lebih banyak menyerang kaum perempuan
produktif? . Jumlah terbesar penderitanya dialami oleh perempuan.
Selain itu penyakit Lupus juga berhubungan dengan “hormon estrogen”
yang banyak di produksi oleh perempuan. Tapi, secara pasti, penyakit Lupus ini
(jarang) ditemukan pada anak-anak usia balita atau wanita menopouse. Pada
perempuan usia subur dengan laki-laki perbandingannya adalah 10 : 1 dan
perbandingan ini akan mengecil pada kelompok perempuan usia menopouse.
Karena dialami oleh perempuan di usia subur, penyakit Lupus ini dapat
menganggu kehamilan (terjadinya abortus, gangguan perkembangan janin/bayi
mati sebelum dilahirkan). Terdapat peningkatan risiko dari aktivitas penyakit
selama 3 atau 4 minggu setelah kehamilan. Ada pula penyakit Lupus yang baru
dijumpai pada saat kehamilan atau setelah melahirkan. Tetapi hal ini bukan berarti
kaum perempuan harus ketakutan untuk mendapatkan keturunan. Data YLI
9
butterfly rash (salah satu contoh lupus erythematosus kulit yang akut). Manifestasi
kulit lainnya termasuk vaskulitis (yang mungkin ulceratif), livedo reticularis,
periungual erythema, Raynaud’s phenomenon dan alopesia (Dipiro et al., 2008).
Sumber gejala yang lain pada SLE adalah sistem pulmonari dengan
manifestasi seperti pleurisi, batuk dan dispnea. Pleurisi dapat menghasilkan nyeri
pleuritik, pleural rub, dan efusi pleura yang biasanya bersifat eksudatif. Lupus
pneumonitis dapat menjadi akut dengan demam, dispnea, takipnea, batuk dan
patchy infiltrates atau kronik dengan fibrosis interstitial. Lupus pnemonitis
merupakan manifestasi yang tidak biasa dari SLE dan memiliki sedikit prognosis
(Dipiro et al., 2008).
Manifestasi jantung dari SLE sering terjadi seperti perikarditis, miokarditis,
perubahan electrocardiographic (ECG) atau penyakit katup jantung, termasuk lesi
jantung dari Libman-Sacks endocarditis (nonbacterial verrucous endocarditis).
Diperkirakan bahwa perkembangan penyakit jantung pada pasien ini adalah
multifaktorial. Hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia biasa terjadi pada pasien
dengan SLE. Terapi kortikosteroid dan didasari dari penyakit ginjal dapat
memberikan kontribusi beberapa faktor dalam pengembangan faktor risiko
penyakit jantung (Dipiro et al., 2008).
Manifestasi neuropsychiatric dari SLE dapat terlihat dalam berbagai cara,
termasuk psikosis, depresi, kejang, stroke, neuropati perifer, gangguan kognitif,
dan lain-lain. Psikosis terlihat pada 12% pasien dengan SLE, dan depresi berat
dianggap lebih berkaitan dengan penyakit daripada depresi reaktif (Dipiro et al.,
2008).
Gejala yang berkaitan dengan manifestasi gastrointestinal sering tidak
spesifik untuk lupus dan termasuk dispepsia, nyeri abdominal, mual, dan susah
menelan. Vaskulitis mesenterika mungkin akan bermasalah, terutama jika terjadi
perforasi arteri. Hepatomegali dapat terjadi pada beberapa pasien, meskipun
gangguan fungsi hati tidak karakteristik untuk penyakit lupus. Pankreatitis juga
dapat terjadi pada pasien dengan SLE (Dipiro et al., 2008).
11
Ginjal 31-65
Gastrointestinal
- Mual
7-53
- Nyeri abdominal
8-34
- Perdarahan usus
1-6
(vaskulitis)
Hepatomegali 25
Splenomegali 10-20
Hematologik
- Anemia 30-78
- Leukopenia 35-66
- Trombositopenia 7-30
Limfadenopati 10-59
(Dipiro et al., 2008)
12
D.Pengertian HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
melemahkan sistem kekebalan tubuh atau perlindungan tubuh manusia. Virus
inilah yang menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)
(Brooks, 2004).
1. Perbedaan Antara HIV dengan AIDS
Seorang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat bertahun-tahun tanpa ada
tanda fisik atau gejala infeksi. Orang yang terinfeksi virus tersebut tetapi tanpa
gejala adalah ‘HIV-positif’ atau mempunyai ‘penyakit HIV tanpa gejala.’ Apabila
gej5ala mulai muncul, orang disebut mempunyai ‘infeksi HIV bergejala’
atau‘penyakit HIV lanjutan.’ Pada stadium ini seseorang kemungkinan besar akan
mengembangkan infeksi oportunistik. ‘AIDS’
2. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009
Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang
memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila dilihat jumlah
kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan.
Di Papua epidemi HIV sudah masuk ke dalam masyarakat (generalized epidemic)
dengan prevalensi HIV di populasi dewasa sebesar 2,4%. Sedangkan di banyak
tempat lainnya dalam kategori terkonsentrasi, dengan prevalensi HIV >5% pada
populasi kunci. Namun, saat ini sudah diwaspadai telah terjadi penularan HIV
yang meningkat melalui jalur parental (ibu kepada anaknya), terutama di beberapa
ibu kota provinsi.
2. Tren HIV dan AIDS
Dimasa yang akan datang Dengan memperhitungkan faktor-faktor pemicu
dalam penularan HIV, maka dapat dilakukanproyeksi perkembangan HIV pada
masa yang akan datang.
3. Gambaran dan Manajemen dari HIV pada klinik Sehari-hari
Dampak epidemi HIV-AIDS tidak mudah ditanggulangi, adanya masalah
koinfeksi pada orang-orang yang terkena HIV dengan HCV, HBV, TB, serta
penyakit infeksi lainnya mendorong penanganan yang lebih komprehrensif.
13
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Systemic Lupus Erythrmatosus (SLE) adalah penyakit autoimun pada
manusia normal, dimana tubuh akan memprodukasi antibody yang berlebihan.
Antibodi yang berlebihan ini tidak bisa membedakan antigen dengan sel dan
jaringan yang terdapat dalam tubuh, sehingga antibody juga menyerang jaringan
dan sel tubuh, yang menyebabkan timbulnya peradangan pada sel atau jaringan
dalam tubuh.
Gejala pada penyakit lupus umumnya tidak spesifik seperti ruam pada kulit
wajah, demam, nyeri sendi, kelelahan, dan penurunan berat badan.
Terapi pengobatan SLE dapat dilakukan secara non farmakologis salah
satunya dengan menghindari kontak langsung dengan sinar UV, dan pengobatan
secara farmakologis dengan menggunakan obat golongan NSAID, kortikosteroid,
dan anti malar.
15
DAFTAR PUSTAKA
Umar Zein, Edward Siagian, Yosia Ginting, T.Bachtiar Pandjaitan: Aspek Klinis,
Problema Diagnostik dan Pengobatan Penderita AIDS Dewasa di Medan, Acta
Medica Indonesiana, Volume XXXV Supplemen 2, Agustus 2003, 576 – 81. 17
16
Disusun Oleh :
Kelompok : 11
1. Lili Elpiani : Nim .16010035
2. Mangsur : Nim . 16010036
3. Mardiani Rahmi : Nim .16010037
KATA PENGANTAR
DAFTARi ISI
18
ii
19