Konseling Perundungan
Konseling Perundungan
Konseling Perundungan
Abstrak
Background:
Bullying adalah bentuk-bentuk perilaku dimana terjadi pemaksaan atau usaha
menyakiti secara psikologis atau fisik terhadap seseorang atau sekelompok orang
yang lebih lemah, oleh seorang atau sekelompok orang yang lebih kuat.Fenomena
bullying ini kerap kali dijumpai dalam interaksi dan pergaulan antar siswa di
sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan konseling dan
perilaku bullying di sekolah, dan menganalisis tingkat efektivitas model konseling
kelompok sebagai pola penanganan siswa berperilaku bullying
Methodology:
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Secara keseluruhan
tahap-tahap penelitian diantaranya, studi pendahuluan, perencanaan model
konseling, uji kelayakan, revisi, menentukan model konseling.Penelitian
dilakukan pada sebuah sekolah menengah di Kota Bandung, Indonesia.
Berdasarkan tahapannya, penelitian ini termasuk kategori penelitian interpretatif.
Result/ Discusion:
Temuan penelitian menunjukkan bahwa model konseling kelompok dengan
menggunakan model pengembangan komitmen beragama,yang dilakukan dengan
penajaman kaidah dan norma keagamaan dalam pergaulan, dipandang efektif
dalam mengatasi perilaku bullying di sekolah
Contribution/ Significant:
Penelitian ini menghasilkan model konseling yang berkenaan dengan
pengembangan komitmen beragama yang mampu menciptakan kondisi perilaku
yang sehat dan saling menghormati antar individu.
Pendahuluan
adalah hal biasa dalam kehidupan remaja dan tidak perlu diributkan. Sebanyak
27,5 % guru (sekitar 1 dari 4 guru) berpendapat bahwa sesekali mengalami
penindasan tidak akan berdampak buruk pada kondisi psikologis siswa. Akibat
kurang menyadari dampak negatif tersebut, para guru tidak secara efektif
mengatasi masalah bullying di sekolah. Bahkan, ada kalanya para guru juga
melakukan bullying pada siswa dengan alasan mendidik dan menegakkan disiplin.
Bullying juga sebenarnya tidak hanya terjadi di dunia pendidikan saja, tetapi
juga bisa terjadi di hampir semua aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Bullying di sekolah atau madrasah tidak hanya menjadi masalah
global tetapi juga menjadi masalah sosial yang tidak hanya berdampak negatif
pada hidup anak tetapi juga berdampak pada karir anak pada masa yang akan
datang.
Salah satu bentuk solusi yang dapat dilakukan adalah melalui layanan
konseling. Konseling adalah proses pemberian bantuan dari seorang konselor
kepada klien dengan tujuan agar klien memahami persoalannya dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
6
Atas dasar pemikiran tersebut maka posisi penelitian ini menjadi penting
dalam memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai perilaku bullying dan
model konseling pengembangan komitmen beragama menjadi efektif . Oleh
karena itu, penelitian ini menjadi urgen untuk ditindaklanjuti dengan melihat
fenomena perilaku bullying di lembaga pendidikan.
Literatur Riview
Bullying adalah perilaku agresi yang dilakukan oleh yang merasa senior
kepada inferior yang dilakukan secara terus menerus dengan tujuan menyakiti.
Bullying bentuknya bermacam-macam. Ada yang bersifat verbal, seperti: ejekan,
hinaan, fitnah, mengancam dan membuat komentar-komentar berbau rasis. Ada
7
memiliki dampak yang negatif bagi perkembangan karakter anak, bukan saja bagi
pelaku tetapi juga bagi korban. Adapun dampak bullying bagi korban tersebut
adalah depresi, rendahnya kepercayaan diri/minder, Pemalu dan penyendiri,
merosotnya prestasi akademik, merasa terisolasi dalam pergaulan, terpikir atau
bahkan mencoba untuk bunuh diri. Di sisi lain apabila dibiarkan, pelaku bullying
akan belajar bahwa tidak ada resiko apapun bagi mereka bila mereka melakukan
kekerasan, agresi maupun mengancam anak lain. Ketika dewasa pelaku tersebut
memiliki potensi lebih besar untuk menjadi pelaku kriminal dan akan membawa
masalah dalam pergaulan sosial.
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang menjadi
korban bullying akan mengalami kesulitan dalam bergaul, merasa takut datang ke
sekolah sehingga absensi mereka tinggi dan ketinggalan pelajaran, mengalami
kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan kesehatan mental
maupun fisik jangka pendek maupun panjang mereka akan terpengaruh. (Rigby,
2003). Berbagai penelitian menunjukkan adanya korelasi antara bullying dengan
meningkatnya tingkat depresi dan agresif, penurunan nilai akademis dan tindakan
bunuh diri pada seorang yang menjadi korban. Bullying juga menurunkan skor
hasil tes IQ dan kemampuan analisa siswa, serta perasaan kurang berarti. Korban
bullying ada yang trauma atau berhenti sekolah. Tidak sedikit yang depresi,
masuk rumah sakit jiwa, atau bahkan bunuh diri. Menurut Psikolog Seto Mulyadi
(dikutip dari bullying. org), efek negatif tidak hanya pada diri si Korban,
melainkan juga pada si Pelaku. "Si korban akan terluka secara lahir dan batin.
Nantinya, mereka bisa memiliki self-esteem rendah dan bahkan menderita depresi.
Lebih parahnya lagi, bukan tak mungkin di masa depan mereka akan menjadi
pelaku bullying untuk membalas dendam luka di hatinya”, ungkap Snyder dalam
sebuah website milik Charles and Helen Schwab Foundation. Lebih lanjut lagi,
Snyder menuturkan bahwa anak yang sejak kecil kerap melakukan bullying
cenderung untuk terlibat dalam perilaku anti sosial dan kenakalan lain pada masa
remajanya.
Perilaku bullying tentunya tidak terjadi begitu saja. Salah satu faktor yang
menyebabkan seorang anak menjadi pelaku bullying adalah keluarga. Keluarga
13
merupakan lembaga sosial yang mempunyai multi fungsi , dalam membina dan
mengembangkan interaksi antar anggota keluarga. Keluarga merupakan sarana
pengasuhan bagi anak-anak untuk belajar hal-hal yang menyangkut masalah
norma, agama, nilai dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Pengasuhan
dapat didefinisikan sebagai pola perilaku yang diterapkan orangtua terhadap anak-
anaknya, melalui interaksi langsung atau tidak langsung, baik yang sifatnya
memberi dukungan ataupun yang sifatnya menghambat anak, dalam segala
aktifitas eksplorasi dan komitmen demi mencapai status identitas dirinya. Didalam
interaksi orang tua dengan anak tercakup ekspresi atau pernyataan orang tua
tentang sikap, nilai, dan minat orangtua yang pada akhirnya interaksi orang tua
dengan anaknya inilah yang disebut sebagai gaya pengasuhan orangtua.
(Maccoby, 1980).
Selanjutnya menurut Anderson dan Carter (1984), keluarga dianggap dan
dipercaya mempunyai tanggung jawab utama, untuk sosialisasi dalam kehidupan
sehari-hari atau sebagai tuntutan tanggung jawab umum agar manusia dapat
mempertahankan hidupnya. Keluarga dipandang sebagai suatu kelompok kecil,
sebagai pusat lingkaran hidup seseorang, sebagai wada yang penting dalam
harapan sosial, sebagai sumber hidup untuk suatu pertumbuhan. Menurut Brodey
(Anderson & Carter, 1984), keluarga mempunyai fungsi yang penting dalam
pembentukan tingkah laku anak. Tingkah laku anak sangat dipengaruhi oleh
tingkah laku orang tua dengan tipe saling hubungan. Anak-anak yang hidup dalam
suasana keluarga yang hambar dan suram, tidak akan merasakan ketenangan
dalam pikiran dan keyakinannya. Mereka secara berangsur-angsur akan
kehilangan kepercayaan terhadap apa dan siapapun termasuk terhadap dirinya
sendiri.
Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah seperti
orangtua yang kerap kali menghukum anaknya secara berlebihan atau situasi
rumah yang penuh stress, agresi dan permusuhan. Anak akan mempelajari
perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orangtua
mereka dan kemudian meniru untuk kemudian mempraktikkan kepada teman-
temanya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku
14
apa yang diperoleh seseorang dalam ajaran agamanya hendaknya dapat tercermin
dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat diperoleh
ketika seseorang benar-benar komitmen terhadap ajaran agamanya.
Mengacu pada persoalan di atas, maka layanan yang dibutuhkan adalah
bimbingan konseling. Dalam konseling terdiri dari berbagai model dan teknik
diantaranya adalah layanan konseling kelompok mengingat perilaku bullying
masih terus kerap terjadi di sekolah.
Metod
Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk
mengungkap realita yang terjadi pada remaja putri yang terlibat prostitusi. Strauss
dan Corbin mengatakan bahwa penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif memang dapat digunakan untuk mempelajari, membuka dan mengerti
apa yang terjadi di belakang setiap fenomena yang baru sedikit diketahui. Karena
itulah kami memandang penting menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat
mengungkapkan sebuah fenomena perilaku bullying di Kota Bnadung Indonesia.
Dengan mengkajinya akan dapat dipelajari kenapa fenomena bullying ini terjadi.
Sehingga langkah selanjutnya dapat mencari upaya perbaikan perilaku ke arah
yang lebih baik.
3. Setelah isu-isu tersebut ditemukan, peneliti memberikan kode dan nama pada
setiap data yang didapatkan berdasarkan isu yang muncul. Pemberian kode-
kode tersebut dengan tujuan agar peneliti mudah mensistematisasi dan
mengklasifikasi data secara mendetail.
4. Dari berbagai data yang telah terkelompok dalam kode-kode yang spesifik,
barulah menentukan tema-tema penting dalam penelitian ini.
5. Dari tema-tema tersebut, peneliti melakukan analisis tematik yaitu proses
mengkode informasi yang dapat menghasikan daftar tema, model tema, atau
indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema
tersebut atau hal-hal di antara atau gabungan dari yang telah disebutkan.
6. Selanjutnya peneliti menuliskan hasil penelitian yang didasarkan pada
analisisi tema yang muncul dari klasifikasi data yang ada sebagai laporan hasil
penelitian.
Bersedia menerima umpan balik dari orang lain, sehingga lebih memahami
akan kekuatan dan kelemahannya.
Mengalami rasa tidak puas terhadap dirinya sendiri, sehingga mau berubah
dan menghadapi ketegangan batin yang menyertai suatu proses perubahan diri.
Bersedia mentaati norma praktis tertentu yang mengatur interaksi dalam
kelompok.
remaja ini karena adanya tugas perkembangan yang sangat hebat adalah
pencapaian status identitasya.
Berkaitan dengan perialku bullying di sekolah telah ditemukan berbagai
faktor kenapa hal ini terjadi baik dikarenakan faktor keluarga, pengaruh teman
sebaya. Yang sangat penting disini adalah dikarenakan faktor internal di antaranya
adalah komitmen beragamanya.
Menurut Glock & Stark (1969) bahwa, “komitmen beragama merupakan
kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menetapkan dan menginternalisasikan
nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari sehinggga akan tercermin dalam
bentuk perilaku yang sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya”.
Keberagamaan atau religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika manusia melakukan aktivitas lain
yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan
aktivitas yang nampak dan terlihat oleh mata, tetapi juga aktivitas yang tidak
nampak dan terjadi dalam hati seseorang, karena itu keberagamaan seseorang
akan meliputi berbagai macam sisi.
Keberagaman atau religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi
kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan perilaku ritual (beribadah), melainkan juga ketika manusia melakukan
aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang
berkaitan dengan aktivitas yang nampak dan terlihat oleh mata, tetapi juga
aktivitas yang tak nampak dan terjadi dalam hati sesorang, karena itu,
keberagamaan seseorang meliputi berbagai macam sisi atau dimensi.\
Lebih Lanjut Glock & Stark (1969) mengatakan bahwa terdapat lima
dimensi yang terkandung dalam komitmen beragama yaitu dimensi Pengetahuan
(The Intelectual Dimension), dimensi Keyakinan (The Ideological Dimension),
dimensi Praktek Agama (The Ritualistik Demension), dimensi Pengalaman (The
Experiential Dimension), dimensi konsekuensi (The Consequential Dimension)..
Kelima dimensi ini tidak sepenuhnya independen satu sama lain, melainkan
terjadi interdependensi atau saling berkolerasi secara moderat. Dengan demikian
24
Conclusion
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai
bahwa Pelaksanaan konseling memiliki konsep dan perencanaan yang matang
dalam hal visi, misi, dan program layanan yang mengacu pada program
pengembangan diri siswa, sehingga layanan konseling tidak hanya difungsikan
bagi anak-anak yang bermasalah saja. Perilaku bullying terjadi dikarenakan
berbagai faktor, oleh karena itu diperlukan komitmen kebersamaan dari semua
warga sekolah, termasuk orang tua. Model konseling kelompok dengan
memberikan pemahaman tentang pengembangan komitmen beragama dipandang
efektif untuk mengatasi perilaku bullying di Sekolah
Konseling kelompok untuk menangani perilaku bullying di sekolah
menengah ini adalah suatu layanan yang diberikan kepada para siswa
sebagai bagian dari suatu program layanan bimbingan dan konseling
yang komprehensif implementasi layanan konseling kelompok dijelaskan
sebagai satu intervensi yang efektif dan terdapat temuan bahwa banyak
konselor sekolah menengah yang secara efektif merencanakan dan
menerapkan layanan konseling kelompok secara berkelanjutan dalam
menangani perilaku siswanya.
Daftar Pustaka
Marcia JE, A.S. Waterman; DR. Matteson; SL. Archer; JL. Orlofsky. 1993. Ego
Identity, A. Handbook for Psychosocial Research. Springer-Verlag, New
York.
Mosse, J.C, 1996. Archer, L. Sally. 1994. Interventions for Adolescent Identity,
Sage Publication, Newbury Park.
Marcia, JE. 1993. Ego Identity A Handbook for Psychological Research.
Springer-Verlag, New York.
Olweaus, D. 1993. Bullying at school. Oxford : Balkwell Publishing. Tersedia : :
http://www.Bullying.org/ 18 juni 2007.
Paton, Michael Quinn .1990. Qualitatif Evaluation and Research Methods, Sage
Publication, California,
P. Paul Heppner dkk. 2008. Research Design In Counseling, Thomson
Brooks/Cole. USA.
Prayitno. 2015. Dasar-Dasar Bimbingan Konseling, Rineka Cipta, Jakarta
Indonesia.
Papalia, dkk. 2004. Human development (9th Ed.). New York : McGraw-hill.
Tersedia : http://www.Bullying.org/ 18 Juni 2007.
Poerwandari, Kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Ed. Ke-3, Depok: LPSP3 FPUI.
PrcticalConseling and Helping Skills. 1993. Richard Nelson Helping Model.
Third Edition
Rigby, K. 2003. Consequences of Bullying in School. Canadian Journal of
Psychiatry, 48, 583-590. Trsedia : http://www.Bullying.org/ 18 juni 2007.
Riauskina, dkk. 2005. ”Gencet-Gencetan” Dimata siswa/siswi Kelas I SMA;
Naskal, Kognitif tentang Arti, Skenario dan Dampak ”Gencet-Gencetan”.
Jurnal Psikologi Sosial. 12 (01). 1-13. tersedia : http;//www.wordpress.com
18 Juni 2007.
Rahmat, J. 2004. Psikologi Islam (Sebuah Pengantar). Bandung : Mizan.
Santrock, John W. 2003. Perkembangan Remaja. Erlangga: Jakarta.
Sonia, S and Smith. K. P (ed.) (tanpa tahun): Tackling Bullying iIn Your school,
New York. (Tanpa tahun).
Sullivan, K. 2000. The Anti Bullying Handbook. New York : Oxford Steinberg. L,
1993. Adolescence, Mc Graw-Hill Inc, New York, Toronto.
Steinberg. L, 1993. Adolescence, Mc Graw-Hill Inc, New York, Toronto.
Sullivan, K.C.M, and Sullivan, G. (2005). Bullying in Secondary School.
California: CORWIN PRESS.
The Conseling Experience a Theoritical and Practical Approach. Michaele
Cavanagh. Montlay.
28