Konseling Perundungan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

1

MODEL KONSELING KELOMPOK


UNTUK MENANGANI PERILAKU BULLYING Di SEKOLAH
Persepsi Mahasiswa mengenai Konseling Kelompok dalam Menangani Perilaku
Bullying

Abstrak
Background:
Bullying adalah bentuk-bentuk perilaku dimana terjadi pemaksaan atau usaha
menyakiti secara psikologis atau fisik terhadap seseorang atau sekelompok orang
yang lebih lemah, oleh seorang atau sekelompok orang yang lebih kuat.Fenomena
bullying ini kerap kali dijumpai dalam interaksi dan pergaulan antar siswa di
sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan konseling dan
perilaku bullying di sekolah, dan menganalisis tingkat efektivitas model konseling
kelompok sebagai pola penanganan siswa berperilaku bullying
Methodology:
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Secara keseluruhan
tahap-tahap penelitian diantaranya, studi pendahuluan, perencanaan model
konseling, uji kelayakan, revisi, menentukan model konseling.Penelitian
dilakukan pada sebuah sekolah menengah di Kota Bandung, Indonesia.
Berdasarkan tahapannya, penelitian ini termasuk kategori penelitian interpretatif.
Result/ Discusion:
Temuan penelitian menunjukkan bahwa model konseling kelompok dengan
menggunakan model pengembangan komitmen beragama,yang dilakukan dengan
penajaman kaidah dan norma keagamaan dalam pergaulan, dipandang efektif
dalam mengatasi perilaku bullying di sekolah

Contribution/ Significant:
Penelitian ini menghasilkan model konseling yang berkenaan dengan
pengembangan komitmen beragama yang mampu menciptakan kondisi perilaku
yang sehat dan saling menghormati antar individu.

Key Word: konseling, perilaku, bullying,


2

Pendahuluan

Perilaku bullying merupakan suatu siklus yang kompleks. Lebih lanjut,


dijelaskan bahwa, “terjadinya bullying di Sekolah merupakan suatu proses
dinamika kelompok, di mana terdapat pembagian peran-peran” (Salmivalli dkk,
1996 & 1996). Peran-peran tersebut adalah Bully, Asisten Bully, Reinforcer,
Victim, Devender dan Outsider.

Salah satu penyebab terjadinya perilaku bullying menurut National Youth


Violence Prevention Resource Center (2002) adalah iklim sekolah yang tidak
kondusif, kurangnya pengawasan orang dewasa atau guru saat jam istirahat,
ketidakpedulian guru dan siswa terhadap perilaku bullying, serta penerapan
peraturan anti bullying yang tidak konsisten merupakan kondisi-kondisi yang
menumbuh-suburkan terjadinya bullying di sekolah.

Selanjutnya Riauskina dkk, (2005) mengatakan: Perilaku bullying yang


terjadi di lingkungan sekolah dapat berupa kontak fisik langsung seperti
memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang
di dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak
barang-barang yang dimiliki orang lain. Bullying dapat juga berupa kontak verbal
langsung seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu,
memberi panggilan nama, sarkasme, merendahkan, mencela/mengejek,
mengintimidasi, memaki, dan menyebarkan gosip. Perilaku lainpun seperti
melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang
merendahkan dan perilaku lain yang dapat menyakiti orang lain itu termasuk
bentuk bullying.

Survey yang dilakukan Sejiwa (Antara, 2006) menyimpulkan bahwa: “Peran


guru sangat penting guna mengatasi perilaku bullying dan menciptakan
lingkungan yang kondusif di sekolah. Namun, dampak negatif perilaku bullying
masih belum disadari sepenuhnya oleh para guru”. Hasil Survey Sejiwa pada
guru-guru di tiga SMA pada dua kota besar di pulau Jawa menunjukkan data
18,3% guru (sekitar 1 dari 5 guru) menganggap penggencetan dan olok-olok
3

adalah hal biasa dalam kehidupan remaja dan tidak perlu diributkan. Sebanyak
27,5 % guru (sekitar 1 dari 4 guru) berpendapat bahwa sesekali mengalami
penindasan tidak akan berdampak buruk pada kondisi psikologis siswa. Akibat
kurang menyadari dampak negatif tersebut, para guru tidak secara efektif
mengatasi masalah bullying di sekolah. Bahkan, ada kalanya para guru juga
melakukan bullying pada siswa dengan alasan mendidik dan menegakkan disiplin.

Maraknya fenomena bullying ini tentu menjadi masalah terhadap


pencapaian kualitas pendidikan. Terdapat hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa, “Siswa yang menjadi korban bullying akan mengalami kesulitan dalam
bergaul, merasa takut datang ke sekolah sehingga absensi mereka tinggi dan
ketinggalan pelajaran, mengalami konsentrasi belajar yang rendah, serta
berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan mentalnya” (Ratna Djuwita, 2006).

Di lingkungan sekolah, tentu tidak mudah menghilangkan bullying


mengingat adanya faktor pubertas pada masa remaja, krisis identitas,
terbentuknya peer, faktor keluarga, sosial dan lainnya yang dapat menjadi salah
satu yang berpengaruh terhadap perilakunya. Pada masa remaja kebutuhan
identitas sosial adalah sesuatu yang sangat kuat, sehingga mereka akan menerima
saja segala persyaratan yang diberikan oleh kelompoknya.

Proses pencarian identitas diri dilakukan remaja untuk mendapatkan


kejelasan mengenal dirinya dan untuk membentuk diri menjadi seorang yang utuh
dan unik. Pada remaja memiliki keinginan untuk tidak lagi bergantung kepada
keluarganya dan mulai mencari dukungan, rasa aman dari kelompok sebayanya.
Karena itu pencarian identitas diri mereka dapat diperoleh melalui penggabungan
diri dalam kelompok sebaya atau kelompok yang diidolakan. Bagi remaja,
penerimaan kelompok penting karena mereka bisa berbagi rasa dan pengalaman
dengan teman sebaya dan kelompoknya. Kelompok sebaya dalam kaitan ini
termasuk para siswa seniornya yang kemudian menjadi model bagi remaja dalam
upaya pencarian identitas diri”. (Turner & Helms, 1987 dalam Ratna Djuwita).
4

Selanjutnya, kasus bullying yang dipublikasikan media masa adalah antara


lain; Pada Tabloid Cek & Ricek (3 Oktober 2004), “Suci Pratiwi siswi SMA
melakukan bunuh diri karena ada tuduhan mencuri uang guru, di Jakarta Utara”.
Sedangkan, Lely Resna, dalam Semiloka ”Kupas Tuntas Bullying di Sekolah” di
Hotel Papandayan Gatot Subroto Bandung, 24 Agustus 2008), mengungkapkan
bahwa, “Ado (16) siswa SMA di Kota Bandung pasien di Rumah Sakit Jiwa
Bandung yang sering berkhayal jadi jagoan. Karena tidak bisa melawan saat
dimasukkan tong sampah dan menjadi bahan olok-olokkan teman sekelasnya, Ado
pun menutup diri lalu mulai berusaha bunuh diri, ”karena merasa tertindas”.
Fenomena perilaku bullying tersebut tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan
umum, akan tetapi ternyata sudah merambah ke lembaga pendidikan agama
seperti di madrasah (MTs). Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi 16 April 2011,
mengungkapkan bahwa, “Pelajar MTs bunuh temannya karena kesal. Motif
pembunuhan disebabkan sakit hati dan kesal karena korban sering memalak
teman-temannya di Sekolah.

Hasil studi di beberapa Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang ada di Kota


Bandung, melalui wawancara baik dengan guru Bimbingan Konseling dan Kepala
Madrasah diperoleh informasi bahwa, ada beberapa siswa yang melakukan
bullying, yang dilakukan oleh siswa laki-laki maupun perempuan baik secara fisik
maupun psikhis. Selanjutnya dilakukan studi lanjut dengan melakukan wawancara
kepada beberapa siswa (pelaku) bullying.

Hasil wawancara dengan pelaku bullying ditemukan, bahwa perilaku


bullying di beberapa Madrasah Tsanawiyah tersebut seperti memukul, merampas,
memalak bahkan melakukan pelecehan seksual. Adapun bullying kategori psikhis
seperti siswa yang ingin menunjukkan kekuasaan dengan cara mengejek atau
mengolok-olok, dan menyuruh teman yang lebih lemah dengan cara yang tidak
sopan. Fenomena ini merupakan suatu hal yang perlu direspon sebagai wujud
tanggung jawab sosial dalam menciptakan karakter bangsa. Sebagaimana amanat
pendidikan dalam mengimplementasikan pendidikan karakter.
5

Bullying juga sebenarnya tidak hanya terjadi di dunia pendidikan saja, tetapi
juga bisa terjadi di hampir semua aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Bullying di sekolah atau madrasah tidak hanya menjadi masalah
global tetapi juga menjadi masalah sosial yang tidak hanya berdampak negatif
pada hidup anak tetapi juga berdampak pada karir anak pada masa yang akan
datang.

Dari fenomena bullying di sekolah tersebut, dibutuhkan lembaga bimbingan


konseling yang afektif, diantaranya adalah program bimbingan dan konseling
yang mampu menangani perilaku bullying di maksud.

Bimbingan dan konseling di kalangan siswa sekarang ini dipandang sangat


penting, mengingat tantangan pada era globalisasi sekarang ini menawarkan
banyak pilihan yang sangat menggiurkan. Era globalisasi ditandai dengan
dominannya arus informasi yang mungkin bertentangan dengan agama, budaya
dan pandangan bangsa kita. Sebab tidak mustahil akan berdampak pada krisis
nilai-nilai spiritual berupa aliensi dan dehumanisasi.

Berkaitan dengan fenomena dampak globalisasi, terdapat berbagai


fenomena menarik yang perlu dikaji, seperti perilaku kekerasan. Kekerasan yang
saat ini sedang menjadi bahan pembicaraan di setiap media massa maupun
elektronik terutama adalah kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar. Seringkali
kita mendengar masalah-masalah yang terjadi di Sekolah-sekolah, salah satunya
adalah bullying. Bullying adalah bentuk-bentuk perilaku di mana terjadi
pemaksaan atau usaha menyakiti secara psikologis atau fisik terhadap seseorang
atau sekelompok orang yang lebih lemah, oleh seorang atau sekelompok orang
yang lebih kuat. (Ma, Stein & Mah, 2001: Olweus, 1991; Rigby, 1999, dalan
Juwita 2006 )

Salah satu bentuk solusi yang dapat dilakukan adalah melalui layanan
konseling. Konseling adalah proses pemberian bantuan dari seorang konselor
kepada klien dengan tujuan agar klien memahami persoalannya dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
6

Adapun penelitian tentang model konseling untuk menangani perilaku


bullying di Sekolah melalui pengembangan komitmen beragama menjadi
signifikan dilihat dari segi kepentingan dan kebutuhan saat ini. Oleh karena itu,
melalui penelitian ini diharapkan fenomena perilaku bullying di Sekolah dan
upaya penanganannya yang tepat dapat dipahami secara holistik.

Bagi pengembangan teori model konseling ini dapat memberikan nilai


tambah dan kekayaan bagi teori konseling yang sudah berkembang saat ini. Model
ini juga dapat menjadi pegangan bagi keluarga ataupun masyarakat untuk lahirnya
pribadi-pribadi yang soleh yang akan mewujudkan keluarga sakinah mawaddah
warahmah, masyarakat yang marhamah menuju negara yang baldatun tayyibun
warabbun ghofur.

Berbagai hasil penelitian terkait pembahasan bullying, lebih banyak


bersumber pada hasil kajian para peneliti luar negeri. Hal ini disebabkan besarnya
perhatian para peneliti luar terhadap bullying. DaIam konteks dalam negeri kita,
Indonesia penelitian mengenai bullying relatif masih jarang dilakukan. Sekalipun
penelitian dilakukan masih terbatas pada variabel-variabel bullying yang terpisah
dan belum memberikan solusi yang cukup memadai. Disamping itu, kajian
mengenai bullying pun lebih banyak dilakukan pada siswa Sekolah Dasar (SD)
dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Atas dasar pemikiran tersebut maka posisi penelitian ini menjadi penting
dalam memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai perilaku bullying dan
model konseling pengembangan komitmen beragama menjadi efektif . Oleh
karena itu, penelitian ini menjadi urgen untuk ditindaklanjuti dengan melihat
fenomena perilaku bullying di lembaga pendidikan.

Literatur Riview
Bullying adalah perilaku agresi yang dilakukan oleh yang merasa senior
kepada inferior yang dilakukan secara terus menerus dengan tujuan menyakiti.
Bullying bentuknya bermacam-macam. Ada yang bersifat verbal, seperti: ejekan,
hinaan, fitnah, mengancam dan membuat komentar-komentar berbau rasis. Ada
7

juga yang bersifat psikologis, seperti: mengucilkan, mempermalukan di depan


umum, meneror lewat telepon dan membentak. Ada juga yang berupa tindakan
fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan meludahi.
Menurut Sullivan (2000) ada tiga kategori yang termasuk dalam perilaku
bullying yaitu : (1) Bullying fisik, merupakan bentuk bullying yang paling nampak
dan terjadi ketika seseorang secara fisik dilukai, baik dengan digigit, dipukul,
ditendang, bertengkar, menjambak rambut atau bentuk serangan fisik lainnya.(2)
Bullying non-fisik, terkadang mengacu pada agresi sosial baik verbal maupun
nonverbal. Bullying yang bersifat verbal, seperti: panggilan telepon yang kasar,
memeras uang atau kepemilikan materi, intimidasi umum atau ancaman
kekerasan, pemanggilan nama, ucapan rasis atau menggoda, sugesti seksual atau
bahasa yang kasar, mengusik dengan penuh kedengkian atau mengucapkan kata-
kata yang kasar atau kotor, serta menyebarkan rumor palsu dan omongan jahat.
Bullying yang bersifat non-verbal dapat bersifat langsung ataupun tidak langsung.
Bullying non-verbal langsung seringkali disertai dengan bullying verbal atau fisik
seperti: bahasa tubuh yang kasar, menunjukan raut muka yang kasar dan
seringkali tidak dianggap sebagai aksi bullying, jika terlihat secara relatif kurang
membahayakan. Pada kenyataannya, bullying non-verbal langsung ini digunakan
untuk menjaga kontrol emosi terhadap seseorang dan untuk mengintimidasi serta
mengingatkan mereka bahwa mereka mungkin suatu waktu akan dipilih.
Sedangkan bullying non-verbal tidak langsung bersifat manipulatif dan seringkali
bersifat terang-terangan seperti: pengabaian, mengeluarkan, mengisolasi secara
sengaja dan seringkali dilakukan secara sistematis; mengirimkan catatan jahat
(seringkali bersifat anonym) dan menjadikan siswa yang lain membenci
seseorang. (3) Pengrusakan terhadap property, Hal ini dapat meliputi penyobekan
pakaian, merusak buku, menghancurkan property serta mengambil property.
Bullying merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara beramai-ramai, sebab
mereka yang melakukannya tahu bahwa mereka mungkin dapat melepaskan diri
dari tindakan tersebut, sehingga seseorang yang menjadi korbannya tidak
mungkin untuk balas dendam secara efektif, juga mereka tidak mungkin
mengatakannya kepada siapapun mengenai hal itu.
8

”Bullying seringkali disandarkan kepada mereka yang secara tipis terlibat,


seringkali merujuk kepada orang yang menonton aksi tersebut, tanpa melakukan
apapun untuk menghentikan aksi bullying, atau secara aktif terlibat dalam
mendukung aksi bullying tersebut” (Sullivan, Clearly dan Sullivan, 2005).
Kebanyakan aksi bullying bersifat indiskriminasi/tidak pandang bulu serta tidak
disebabkan atau diakibatkan oleh perbedaan yang nampak antara siswa, korban-
korbannya tidak berbeda. Kelompoklah yang memutuskan perbedaan tersebut
(Robinson dan Maines, 1977).

Menurut Riauskina, dkk. (2005), terdapat lima kategori perilaku bullying


sebagai berikut yaitu (1) Kontak fisik langsung, perilaku yang termasuk dalam
kategori ini adalah memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang,
mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras
dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain. (2) Kontak verbal langsung,
perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti mengancam,
mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-
calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela, mengintimidasi, memaki,
menyebarkan gosip. (3) Perilaku non-verbal langsung, perilaku yang termasuk
dalam kategori ini adalah seperti melihat dengan sinis, menjulurkan lidah,
menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam;
biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal. (4) Perilaku non-verbal tidak
langsung, perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti mendiamkan
seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja
mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng. (5) Pelecehan
seksual, perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah perilaku-perilaku yang
dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi fisik atau verbal.

Menurut PeKA (Peduli Karakter Anak) dalam Lisna SD (2008) tindakan


yang termasuk dalam kategori bullying; pelakunya baik individual maupun group,
secara sengaja menyakiti atau mengancam korban yaitu dengan cara menyisihkan
seseorang dari pergaulan, menyebarkan gosip atau membuat julukan yang bersifat
ejekan, mempermalukan korban di depan orang lain, mengintimidasi atau
9

mengancam korban, melukai secara fisik, melakukan pemalakan. Sementara


Olweus dalam bukunya Bullying at School, (1993), “Author of Bullying at School
Bullying bisa di bagi menjadi dua bagian besar yaitu : (a) Direct bullying:
intimidasi secara fisik maupun verbal; dan (b) Indirect bullying : isolasi secara
sosial”.
Elliot (2006) membagi karakteristik pelaku bullying menjadi tiga yaitu (1)
Pelaku bullying agresif. Kebanyakan pelaku bullying berada dalam kelompok ini.
Secara umum pelaku bullying ini agresif dan dipersiapkan untuk mengarahkan
agresi mereka pada guru, orang tua dan orang dewasa lainnya dan juga anak-anak
lain serta mereka melihat kecil kesalahan dalam agresi dan tindak bullying.
Adapun karakteristik tipe pelaku bullying ini meliputi: agresif pada siapapun,
tidak peduli pada posisi kekuasaannya; kontrol impuls yang buruk; memandang
kekerasan sebuah kualitas yang positif; berkeinginan mendominasi; kuat secara
fisik dan emosional; tidak peka dengan perasaan orang lain; memiliki harga diri
yang baik. (2) Pelaku bullying cemas. Kira-kira 20 persen dari pelaku bullying
masuk dalam kategori ini. Mereka secara umum lebih terganggu dibandingkan
tipe pelaku bullying atau korban lainnya. Mereka memiliki karakteristik korban
pada saat yang bersamaan sebagai seorang pelaku bullying, yaitu: cemas dan
agresif; harga diri rendah; tidak aman dan tidak bersahabat; mengambil korban
“yang tidak cocok” (misalnya, lebih kuat dari mereka); memprovokasi serangan
pelaku bullying lainnya; secara emosional tidak stabil. (3) Pelaku bullying pasif.
Para pengikut yang terlibat dalam tindak bullying dalam cara yang pasif memiliki
karakteristik seperti: mudah didominasi; pasif dan gampang diarahkan; tidak
agresif secara khusus; memiliki empati akan perasaan orang lain; kurang merasa
bersalah setelah terjadinya tindak bullying.
Di antara berbagai karakteristik pelaku bullying yang dikemukakan para
ahli, ada satu hal yang tidak menjadi bantahan, yakni agresi. (Olweus, 1993 dalam
Rigby 2002) menyebutkan, "Pada umumnya pelaku bullying memiliki sikap yang
positif terhadap kekerasan dan penggunaan kekerasan itu sendiri". Sedangkan,
Hazier (Rigby 2002) mendukung pernyataan tersebut dengan menambahkan,
10

“Pelaku bullying mengendalikan orang lain melalui ancaman verbal, serangan


fisik dan perilaku agresif kronis yang diulang."
Sementara itu, Sanders dan Phye (2004) merangkum karakteristik pelaku
bullying yang paling lazim menurut para ahli, sebagai berikut : (1) Mengontrol
orang lain melalui ancaman verbal dan tindakan fisik; (2) Lebih cepat marah dan
menggunakan kekuatan lebih cepat disbandingkan yang lain; (3) Cenderung
memiliki sedikit empati untuk perrnasalahan orang lain; (4) Telah sering melihat
model-model perilaku agresif; (5) Memperlihatkan perilaku agresi yang kronis;
(6) Mempersepsikan maksud perrnusuhan yang tidalk tepat pada tindakan-
tindakan orang lain; (7) Marah dan dendam; (8) Memiliki orang tua yang
merupakan model- model peran yang buruk untuk hidup bersama-sama dengan
orang lain; (9) Kemungkinan memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok
agresif; (10) Memiliki orang tua yang merupakan model peran yang buruk untuk
pemecahan masalah yang konstruktif; (11) Memandang agresi sebagai satu-
satunya cara untuk memelihara citra diri mereka; (12) Memiliki prosedur disiplin
yang tidak konsisten di rumah; (13) Memikirkan bayangan/citra fisik itu penting
untuk memelihara perasaan berkuasa atau mengontrol; (14) Memfoksukan pada
pikiran-pikiran marah; (15) Memiliki lebih banyak permasalahan keluarga dari
orang biasanya; (16) Memiliki orang tua yang seringkali tidak mengetahui
keberadaan mereka; (17) Menderita pelecehan flsik dan emosional di rumah; (18)
Menciptakan kemarahan dan frustrasi dalam suatu kelompok teman sebaya; serta
(19) Memperlihatkan tindakan yang obsesif ataru kaku.
“Bullying merupakan bentuk agresivitas antar siswa yang memiliki akibat
paling negatif bagi korbannya. Hal tersebut disebabkan karena dalam peristiwa
bullying terjadi ketidakseimbangan kekuasaan di mana para pelaku memiliki
kekuasaan yang lebih besar yang menyebabkan korban merasa tidak berdaya
untuk melawan mereka sehingga ketika mengalami bullying korban merasakan
banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak
nyaman, terancam) namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang
emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa
dirinya tidak berharga hingga kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan
11

sosial”. (Riauskina, dkk, 2005).


“Salah satu dampak dari bullying yang paling jelas terlihat adalah kesehatan
fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit
kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Bagi para
korban bullying yang mengalami perilaku agresif langsung juga mungkin
mengalami luka-luka pada fisik mereka. Dampak lain yang kurang terlihat, namun
berefek jangka panjang adalah menurunnya kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) gangguan psikologis, dan kesehatan yang memburuk”
(Rigby dalam Riauskina, dkk, 2005).
Korban bullying juga bisa mengalami penyesuaian sosial yang buruk
sehingga ia terlihat seperti membenci lingkungan sosialnya, enggan ke sekolah,
selalu merasa kesepian, dan sering membolos sekolah. Apabila melihat lebih jauh
lagi maka korban bullying juga dapat memancing timbulnya gangguan psikologis
rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-
gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder). Selain itu
bullying juga dapat menghambat aktualisasi diri. Menurut seorang Psikolog
terkemuka bernama Abraham Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki
tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis)
sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Maslow menjelaskan bahwa
seseorang baru dapat melakukan aktualisasi diri, yaitu keinginan untuk
mewujudkan dan mengembangkan potensi diri, apabila orang tersebut telah
merasa bahwa kebutuhan fisiologis (seperti makan dan minum), rasa aman,
kebutuhan sosial, dan kebutuhan akan harga diri telah terpenuhi dengan baik.
Memahami teori Maslow maka hal tersebut dapat membuat siswa korban
bullying kesulitan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam
dirinya. Seorang siswa yang menjadi korban bullying dapat mengalami kesulitan
untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, selalu merasa ketakutan dan tidak
aman, bahkan merasa bahwa dirinya tidak lagi mempunyai harga diri akibat
perilaku bullying yang diterimanya.
Sedangkan menurut Dan Olweus (dalam Lisna S.D, 2008) bullying juga
12

memiliki dampak yang negatif bagi perkembangan karakter anak, bukan saja bagi
pelaku tetapi juga bagi korban. Adapun dampak bullying bagi korban tersebut
adalah depresi, rendahnya kepercayaan diri/minder, Pemalu dan penyendiri,
merosotnya prestasi akademik, merasa terisolasi dalam pergaulan, terpikir atau
bahkan mencoba untuk bunuh diri. Di sisi lain apabila dibiarkan, pelaku bullying
akan belajar bahwa tidak ada resiko apapun bagi mereka bila mereka melakukan
kekerasan, agresi maupun mengancam anak lain. Ketika dewasa pelaku tersebut
memiliki potensi lebih besar untuk menjadi pelaku kriminal dan akan membawa
masalah dalam pergaulan sosial.
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang menjadi
korban bullying akan mengalami kesulitan dalam bergaul, merasa takut datang ke
sekolah sehingga absensi mereka tinggi dan ketinggalan pelajaran, mengalami
kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan kesehatan mental
maupun fisik jangka pendek maupun panjang mereka akan terpengaruh. (Rigby,
2003). Berbagai penelitian menunjukkan adanya korelasi antara bullying dengan
meningkatnya tingkat depresi dan agresif, penurunan nilai akademis dan tindakan
bunuh diri pada seorang yang menjadi korban. Bullying juga menurunkan skor
hasil tes IQ dan kemampuan analisa siswa, serta perasaan kurang berarti. Korban
bullying ada yang trauma atau berhenti sekolah. Tidak sedikit yang depresi,
masuk rumah sakit jiwa, atau bahkan bunuh diri. Menurut Psikolog Seto Mulyadi
(dikutip dari bullying. org), efek negatif tidak hanya pada diri si Korban,
melainkan juga pada si Pelaku. "Si korban akan terluka secara lahir dan batin.
Nantinya, mereka bisa memiliki self-esteem rendah dan bahkan menderita depresi.
Lebih parahnya lagi, bukan tak mungkin di masa depan mereka akan menjadi
pelaku bullying untuk membalas dendam luka di hatinya”, ungkap Snyder dalam
sebuah website milik Charles and Helen Schwab Foundation. Lebih lanjut lagi,
Snyder menuturkan bahwa anak yang sejak kecil kerap melakukan bullying
cenderung untuk terlibat dalam perilaku anti sosial dan kenakalan lain pada masa
remajanya.
Perilaku bullying tentunya tidak terjadi begitu saja. Salah satu faktor yang
menyebabkan seorang anak menjadi pelaku bullying adalah keluarga. Keluarga
13

merupakan lembaga sosial yang mempunyai multi fungsi , dalam membina dan
mengembangkan interaksi antar anggota keluarga. Keluarga merupakan sarana
pengasuhan bagi anak-anak untuk belajar hal-hal yang menyangkut masalah
norma, agama, nilai dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Pengasuhan
dapat didefinisikan sebagai pola perilaku yang diterapkan orangtua terhadap anak-
anaknya, melalui interaksi langsung atau tidak langsung, baik yang sifatnya
memberi dukungan ataupun yang sifatnya menghambat anak, dalam segala
aktifitas eksplorasi dan komitmen demi mencapai status identitas dirinya. Didalam
interaksi orang tua dengan anak tercakup ekspresi atau pernyataan orang tua
tentang sikap, nilai, dan minat orangtua yang pada akhirnya interaksi orang tua
dengan anaknya inilah yang disebut sebagai gaya pengasuhan orangtua.
(Maccoby, 1980).
Selanjutnya menurut Anderson dan Carter (1984), keluarga dianggap dan
dipercaya mempunyai tanggung jawab utama, untuk sosialisasi dalam kehidupan
sehari-hari atau sebagai tuntutan tanggung jawab umum agar manusia dapat
mempertahankan hidupnya. Keluarga dipandang sebagai suatu kelompok kecil,
sebagai pusat lingkaran hidup seseorang, sebagai wada yang penting dalam
harapan sosial, sebagai sumber hidup untuk suatu pertumbuhan. Menurut Brodey
(Anderson & Carter, 1984), keluarga mempunyai fungsi yang penting dalam
pembentukan tingkah laku anak. Tingkah laku anak sangat dipengaruhi oleh
tingkah laku orang tua dengan tipe saling hubungan. Anak-anak yang hidup dalam
suasana keluarga yang hambar dan suram, tidak akan merasakan ketenangan
dalam pikiran dan keyakinannya. Mereka secara berangsur-angsur akan
kehilangan kepercayaan terhadap apa dan siapapun termasuk terhadap dirinya
sendiri.
Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah seperti
orangtua yang kerap kali menghukum anaknya secara berlebihan atau situasi
rumah yang penuh stress, agresi dan permusuhan. Anak akan mempelajari
perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orangtua
mereka dan kemudian meniru untuk kemudian mempraktikkan kepada teman-
temanya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku
14

coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa, "mereka yang memiliki kekuatan


diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan berperilaku agresif inilah yang dapat
meningkatkan status dan kekuasaan seseorang". Sehingga anak tidak hanya
mengembangkan perilaku bullying, melainkan juga sikap dan kepercayaan yang
lebih dalam lagi. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Barbara Coloroso
dalam bukunya The Bully, the Bullied and the Bystander (2003), sebagai berikut :
Bullying is not about anger. It is not a conflict to be resolved, it's about contempt
- a powerful feeling of dislike toward someone considered to be worthless,
inferior or underselling of respect. Contempt comes with three apparent
psychological advantages a sense of entitlement that they have the right to hurt or
control others, an intolerance towards difference and a freedom to exclude, bar,
isolate and segregate others.
Menurut Rigby (2003) selain keluarga ada faktor lain yang terkait dengan
perilaku bullying, yaitu karena anak tersebut memiliki karakteristik perilaku
tertentu seperti (1) Cenderung hiperaktif, disruptive, impulsive dan overactive.
(2) Memiliki temperamen yang sulit dan masalah pada atensi/ konsentrasi. (3)
Pada umumnya juga agresif terhadap guru, orangtua, saudara dan orang lain. (4)
Gampang terprovokasi oleh situasi yang mengundang agresi. (5) Memiliki sikap
bahwa agresi adalah sesuatu yang positif. (6) Pada anak laki-laki, cenderung
memiliki fisik yang lebih kuat daripada teman sebayanya. (7) Pada anak
perempuan, cenderung memiliki fisik yang lebih lemah daripada teman
sebayanya. (8) Berteman dengan anak-anak yang juga memiliki kecenderungan
agresif. (9) Kurang memiliki empati terhadap korbannya dan tidak menunjukkan
penyesalan atas perbuatannya. (9) Biasanya adalah anak yang paling insecure,
tidak disukai oleh teman-temannya dan paling buruk prestasinya di sekolah
hingga sering terancam drop out. (10) Cenderung sulit menyesuaikan diri
terhadap berbagai perubahan dalam hidup.
Terkait faktor penyebab pelaku bullying pada aspek internal di atas adalah
komitmen beragama. Agama merupakan salah satu bagian dari hidup manusia
yang tidak dapat terpisahkan. Dalam setiap agama manapun, akan teradapat
berbagai ajaran yang harus diamalkan oleh para pemeluknya. Dengan kata lain
15

apa yang diperoleh seseorang dalam ajaran agamanya hendaknya dapat tercermin
dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat diperoleh
ketika seseorang benar-benar komitmen terhadap ajaran agamanya.
Mengacu pada persoalan di atas, maka layanan yang dibutuhkan adalah
bimbingan konseling. Dalam konseling terdiri dari berbagai model dan teknik
diantaranya adalah layanan konseling kelompok mengingat perilaku bullying
masih terus kerap terjadi di sekolah.

Metod
Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk
mengungkap realita yang terjadi pada remaja putri yang terlibat prostitusi. Strauss
dan Corbin mengatakan bahwa penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif memang dapat digunakan untuk mempelajari, membuka dan mengerti
apa yang terjadi di belakang setiap fenomena yang baru sedikit diketahui. Karena
itulah kami memandang penting menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat
mengungkapkan sebuah fenomena perilaku bullying di Kota Bnadung Indonesia.
Dengan mengkajinya akan dapat dipelajari kenapa fenomena bullying ini terjadi.
Sehingga langkah selanjutnya dapat mencari upaya perbaikan perilaku ke arah
yang lebih baik.

Sumber data utama dalam penelitian tentang fenomena perilaku bullying


di sekolah ini adalah 15 siswa anak bermasalah berjenis kelamin laki- laki usia
12 sd. 15 tahun yang ada di sekolah menengah pertama di kota Bandung, Pilihan
pada lima belas informan utama ini peneliti lakukan dengan tujuan agar
permasalahan yang diteliti dapat dikaji lebih mendalam dan terfokus. Peneliti
tidak menggunakan sampel yang besar karena menurut Sarantakos sebagaimana
dikutip oleh Kristi Poerwandari:

Prosedur penentuan subjek dan atau sumber data dalam penelitian


kualitatif umumnya menampilkan tiga karakteristik, Pertama, diarahkan tidak
pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai
kekhususan masalah penelitian. Kedua , tidak ditentukan secara kaku sejak awal
tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya,
16

sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian dan


ketiga, tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak,
melainkan pada kecocokan konteks (Kristi Poerwandari, 2005 : 95).

Dalam menentukan informan, peneliti hanya memilih informan yang


mewakili kondisi tertentu yaitu pelaku bullying di sekolah. Sebagaimana Patton
yang dikutip Kristi Poerwandari menyebutnya sebagai sampel kasus tipikal.
Pengambilan sampel ini tidak peneliti maksudkan untuk tujuan generalisasi akan
tetapi bersifat ilustratif, yaitu memberi gambaran tentang kelompok yang
dianggap dapat mewakili sebuah fenomena yang dteliti. Sehingga pemilihan
sampel didasarkan karena informan dan lokasi tersebut secara tipikal mewakili
fenomena yang diteliti.

Studi pendahuluan dan pendekatan terhadap informan dilakukan lewat


observasi ke sekolah saat mendampingi guru Bimbngan dan konseling dalam
menangani anak-anak yang bermasalah. Sehingga peneliti bisa bertemu dengan
informan penelitian yaitu pelaku bullying.

Di dalam keseluruhan proses pengambilan data, kami juga akan


menggunakan metode observasi untuk memperkuat pemahaman pada konteks
masalah. Patton sebagaimana dikutip oleh E.Kristi Poerwandari menyebutkan
pentingnya observasi dalam sebuah penelitian kualitatif untuk mendapatkan data
yang bermanfaat dan akurat sehingga dapat merefleksikan pemikiran subjek
penelitian tentang pengalamannya dan mengungkapkan hal-hal yang belum
dikemukakan dalam proses wawancara (Poerwandari, 2005 : 95).

Adapun tahap pengolahan data sebelum melakukan analisis adalah


sebagaimana berikut:

1. Peneliti menyusun transkip hasil wawancara secara verbatim. Dengan


menulisan hasil rekaman wawancara secara verbatim dapat mempermudah
dalam pengutipan langsung dari subjek penelitian.
2. Dengan membaca transkip verbatim, peneliti menemukan isu-isu besar yang
menonjol dan sama dari beberapa subjek penelitian.
17

3. Setelah isu-isu tersebut ditemukan, peneliti memberikan kode dan nama pada
setiap data yang didapatkan berdasarkan isu yang muncul. Pemberian kode-
kode tersebut dengan tujuan agar peneliti mudah mensistematisasi dan
mengklasifikasi data secara mendetail.
4. Dari berbagai data yang telah terkelompok dalam kode-kode yang spesifik,
barulah menentukan tema-tema penting dalam penelitian ini.
5. Dari tema-tema tersebut, peneliti melakukan analisis tematik yaitu proses
mengkode informasi yang dapat menghasikan daftar tema, model tema, atau
indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema
tersebut atau hal-hal di antara atau gabungan dari yang telah disebutkan.
6. Selanjutnya peneliti menuliskan hasil penelitian yang didasarkan pada
analisisi tema yang muncul dari klasifikasi data yang ada sebagai laporan hasil
penelitian.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan


dengan menggunakan teknik analisis gabungan antara induktif dengan deduktif
yang mengembangkan kategori-kategori analisis berdasarkan gabungan dari
pertanyaan penelitian, teori, penelitian terdahulu dan data. Sehingga diharapkan
kekayaan fenomena dapat dipotret dan ditampikan seutuh mungkin (Burhan
Bungin, 2010 : 96).

Untuk menganalisa fenomena bullying dan pelaksanaan konseling


kelompok, pengumpulan dan analisis data berlangsung secara serempak
(stimultaneously). Analisis data merupakan proses berkelanjutan yang
membutuhkan refleksi terus-menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-
pertanyaan analitis, menulis catatan singkat sepanjang penelitian (John W
Creswell, 2010 : 274). Teknik Analisis data dari hasil lapangan ini kemudian
menggunakan metode genealogi Foucault untuk mengdiagnosis saat ini (history of
the present) yaitu :

1. Peneliti mengidentifikasi kekuasaan-kekuasaan apa/mana saja yang berkaitan


dengan fenomena bullying.
18

2. Mencari unsur-unsur tersembunyi apa/mana yang biasanya tidak


diperhitungkan namun sangat menentukan praktik konseling kelompok.
3. Secara keseluruhan, penelitian ini ahirnya akan diharapkan evektifitas
konseling kelompok dalam menangani perilaku bullying (Gavin Kendal dan
Gary Wickham, 34).

Dengan menggunakan genealogi Foucault ini diharapkan, akan mampu


menampilkan praktik dan norma yang menjadi realita di balik fakta yang tampil
sebagai dokumen/teks yang dipandang sebagai bagian dari praktik sosial. Hal ini
penting mengingat fokus penelitian ini menempatkan seorang pelaku bullying
sehingga dengan analisis ini memberikan hasil yang lebih berpihak pada
penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi pada korban bullying.

Result and Discussion

Fenomena bullying pada siswa Sekolah Menengah Pertama (Madrasah


Tsanawiyah) memerlukan respon yang sistematik karena penyelesaian parsial yang
dilakukan akhirnya hanya ditujukan untuk meredam kejadian pada lembaga pendidikan
yang mengalami kejadian tersebut (Gunawan, 2007). Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengkajian secara mendalam tentang akar masalah yang sebenarnya dari bullying
sebelum dirumuskan berbagai intervensi yang dapat mengurangi gejala dimaksud.

Berkaitan dengn intervensi sebagaimana dikemukakan di atas, maka dalam


menangani perilaku bullying sampai saat ini belum ditemukan prosedur penanganan yang
sistematis dan efektif. Di sisi lain, bullying merupakan salah satu fenomena yang
berhubungan dengan perilaku individu namun sering terjadi secara kelompok, oleh
karena itu layanan konseling kelompok dipandang evektif untuk menangani perilaku
bullying di maksud.

Dalam pelaksanaan pendidikan di Sekolah, salah satu komponen yang


berkaitan adalah bimbingan konseling. Oleh sebab itu, bimbingan konseling
merupakan proses bantuan yang sangat penting di dalam membimbing siswa
untuk memahami permasalahan dirinya guna penyesuaian dengan lingkungannya,
apalagi pada era global sekarang ini kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh
pola berfikir, sikap tindak atau tingkah laku, yang berimplikasi pada munculnya
19

berbagai problematika sosial remaja atau siswa sepertihalnya bullying di sekolah


ini.
Bimbingan dan Konseling adalah sebagai bantuan untuk mengarahkan
kehidupan seseorang yang tujuannya agar orang yang dibantu menjadi mampu
mengatur kehidupannya sendiri, memiliki pandangannya sendiri dan tidak sekedar
mengikuti pendapat orang lain, mengambil sikap sendiri, dan berani menanggung
akibat serta konsekuensi dari tindakan-tindakannya yang memiliki fungsi
Pemahaman, Fasilitasi, Penyaluran, fungsi adaptasi, fungsi pencegahan fungsi
perbaikan, dan fungsi penyembuhan serta fungsi pengembangan.
Pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah dengan berbagai fasilitas
yang representatif, latar belakang guru Bimbingan dan Konseling yang memadai
juga program-program yang dapat memenuhi kebutuhan siwa. Adapun jenis dan
materi/masalah layanan dasar akademik yang dapat dikembangkan di sekolah
antara lain Layanan Orientasi, Layanan Informasi, layanan pengumpulan data,
layanan bimbingan kelas dan bimbingan konseling kelompok.
Konseling kelompok merupakan bantuan dalam bentuk kelompok yang
terdiri dari beberapa klien yang memiliki kebutuhan, tingkat permasalahan dan
kecakapan untuk melibatkan diri dalam proses kelompok dengan tujuan
membantu klien mencapai pengenalan diri, pemahaman diri dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungnnya.
Tahapan konseling kelompok yang dilakukan dalam menangani bullying di
sekolah adalah sebagai berikut:
1. Tahap Awal (Proses utama selama tahap awal adalah orientasi dan eksplorasi)
Langkah-langkah pada tahap awal kelompok adalah :
 Menerima secara terbuka dan mengucapkan terima kasih
 Berdoa
 Menjelaskan pengertian konseling kelompok
 Menjelaskan tujuan konseling kelompok
 Menjelaskan cara pelaksanaan konseling kelompok
 Menjelaskan asas-asas konseling kelompok
20

 Melaksanakan perkenalan dilanjutkan rangkaian nama


2. Tahap Peralihan (membangun iklim saling percaya yang mendorong anggota
menghadapi rasa takut yang muncul pada tahap awal)
Langkah-langkah pada tahap peralihan:
 Menjelaskan kembali kegiatan konseling kelompok
 Tanya jawab tentang kesiapan anggota untuk kegiatan lebih lanjut
 Mengenali suasana apabila anggota secara keseluruhan atau sebagian
belum siap untuk memasuki tahap berikutnya dan mengatasi suasana
tersebut
 Memberi contoh masalah pribadi yang dikemukakan dan dibahas dalam
kelompok

3. Tahap kegiatan (proses penggalian permasalahan yang mendalam dan


tindakan yang efektif)
Langkah-langkah pada tahap kegiatannya sebagai berikut:
 Mempersilakan anggota kelompok untuk mengemukakan masalah pribadi
masing-masing secara bergantian pada sesi ini apa yang terjadi terkait
bullying
 Memillih /menetapkan masalah yang akan dibahas terlebih dahulu
 Membahas masalah terpilih secara tuntas
 Ice breaking
 Menegaskan komitmen anggota yang masalahnya telah dibahas (apa yang
akan dilakukan berkenaan dengan adanya pembahasan demi terentaskan
masalahnya).

4. Tahap Pengakhiran (anggota kelompok mulai melakukan perubahan tingka


laku di dalam kelompok)
Langkah-langkah pada tahap pengakhiran adalah :
 Menjelaskan bahwa kegiatan konseling kelompok akan diakhiri
 Anggota kelompok mengemukakan kesan dan menilai kemajuan yang
dicapai masing-masing
21

 Membahas kegiatan lanjutan


 Pesan serta tanggapan anggota kelompok
 Ucapan terima kasih
 Berdoa
 Perpisahan.

Dari proses konseling kelompok yang telah dilakukan, dapat diketahui,


bahwa problematika bullying tersebut dapat ditangani secara berkelanjutam
dengan tujuan agar siswa dapat memahami masalah pada dirinya dan mampu
mengambil keputuan apa yang harus dilakukannya sepertihalnya yang dijelaskan
oleh Corey & Corey (2006) menjelaskan bahwa seorang ahli dalam konseling
kelompok mencoba membantu peserta untuk menyelesaikan kembali
permasalahan hidup yang umum dan sulit seperti: permasalahan pribadi, sosial,
belajar/akademik, dan karir.
Ohlsen (1977) menyatakan bahwa interaksi dalam konseling kelompok
mengandung banyak unsur terapeutik yang paling efektif apabila seluruh anggota
kelompok memenuhi kriteria berikut ini;
 Memandang kelompoknya sebagai kelompok yang menarik.
 Merasa diterima oleh kelompoknya.
 Menyadari apa yang diharapkan dari para anggota kelompok dan apa yang
dapat diharapkannya dari orang lain.
 Merasa sungguh-sungguh terlibat.
 Merasa aman sehingga mudah membuka diri.
 Menerima tanggung jawab.
 Bersedia membuka diri dan mengubah diri serta membantu konseli lain untuk
berbuat sikap yang sama.
 Menghayati partisipasinya sebagai anggota kelompok sehingga memiliki
makna dalam dirinya.
 Berkomunikasi sesuai dengan isi hatinya dan berusaha menghayati isi hati
orang lain.
22

 Bersedia menerima umpan balik dari orang lain, sehingga lebih memahami
akan kekuatan dan kelemahannya.
 Mengalami rasa tidak puas terhadap dirinya sendiri, sehingga mau berubah
dan menghadapi ketegangan batin yang menyertai suatu proses perubahan diri.
 Bersedia mentaati norma praktis tertentu yang mengatur interaksi dalam
kelompok.

Selanjutnya Prayitno (2015) menjelaskan “Apabila tujuan konseling


kelompok dijabarkan lebih khusus lagi akan menjadi beberapa bagian yaitu
membantu individu di dalam proses sosialisasi, membantu individu di dalam
peningkatan sensitivitas, membantu individu di dalam memperoleh pemahaman
diri, membantu individu di dalam meningkatkan ketrampilan interpersonal,
membantu individu di dalam memperoleh pemahaman yang luas terhadap faktor-
faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan kepribadiannya, membantu
individu di dalam memperoleh pandangan yang luas tentang dirinya dalam
hubungannya dengan orang lain, membantu individu di dalam mengendorkan
ketegangan dan atau frustasi, kecemasan, perasaan berdosa dan sebagainya,
membantu individu agar dapat memperoleh penerimaan yang obyektif tentang
pikitan-pikirannya, perasaan serta motif-motifnya, membantu individu untuk
mendiskusikan masalah pribadinya dan memecahkannya dengan caranya sendiri,
dan membantu individu di dalam memperkecil kegagalan, memperbaiki kebiasaan
kerja dan memperbaiki tingkah laku “.
Paparan di atas, menunjukkan bahwa tujuan utama konseling kelompok
adalah membantu para anggota berhubungan dengan masalah dan pengalamannya,
terutama pada persoalan perkembangan diri siswa tersebut, yang dalam hal ini
termasuk pada usia remaja.
Pada masa remaja seseorang seakan mengalami “kegoncangan jiwa” yang
disebabkan perkembangan yang dilaluinya, salah satu penyebab kegoncangan
emosi remaja ialah pertentangan yang dialami oleh remaja dalam kehidupannya.
Remaja akan gelisah apabila ada perbedaan antara nilai-nilai agama atau moral
yang di ajarkan dengan ilmu pengetahuan. Yang terpenting dalam perkembangan
23

remaja ini karena adanya tugas perkembangan yang sangat hebat adalah
pencapaian status identitasya.
Berkaitan dengan perialku bullying di sekolah telah ditemukan berbagai
faktor kenapa hal ini terjadi baik dikarenakan faktor keluarga, pengaruh teman
sebaya. Yang sangat penting disini adalah dikarenakan faktor internal di antaranya
adalah komitmen beragamanya.
Menurut Glock & Stark (1969) bahwa, “komitmen beragama merupakan
kemampuan yang dimiliki seseorang dalam menetapkan dan menginternalisasikan
nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari sehinggga akan tercermin dalam
bentuk perilaku yang sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya”.
Keberagamaan atau religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika manusia melakukan aktivitas lain
yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan
aktivitas yang nampak dan terlihat oleh mata, tetapi juga aktivitas yang tidak
nampak dan terjadi dalam hati seseorang, karena itu keberagamaan seseorang
akan meliputi berbagai macam sisi.
Keberagaman atau religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi
kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan perilaku ritual (beribadah), melainkan juga ketika manusia melakukan
aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang
berkaitan dengan aktivitas yang nampak dan terlihat oleh mata, tetapi juga
aktivitas yang tak nampak dan terjadi dalam hati sesorang, karena itu,
keberagamaan seseorang meliputi berbagai macam sisi atau dimensi.\
Lebih Lanjut Glock & Stark (1969) mengatakan bahwa terdapat lima
dimensi yang terkandung dalam komitmen beragama yaitu dimensi Pengetahuan
(The Intelectual Dimension), dimensi Keyakinan (The Ideological Dimension),
dimensi Praktek Agama (The Ritualistik Demension), dimensi Pengalaman (The
Experiential Dimension), dimensi konsekuensi (The Consequential Dimension)..
Kelima dimensi ini tidak sepenuhnya independen satu sama lain, melainkan
terjadi interdependensi atau saling berkolerasi secara moderat. Dengan demikian
24

orang yang memiliki kepercayaan yang kuat, semestinya memiliki kebiasaan


melaksanakan ritual yang rajin dan memiliki perasaan religius yang lebih peka
pula. Dari dimensi-dimensi di atas, memiliki hubungan satu sama lainnya Aqidah
pada dasarnya sudah tertanam sejak manusia ada dalam alam azali (pra kelahiran).
Aqidah akan terpelihara dengan baik apabila perjalanan hidup seseorang diwarnai
dengan penanaman tauhid secara memadai. Dalam tahap ini, agar ketuhidan
terjaga maka orang harus melengkapinya dengan pengetahuan (dimensi
pengetahuan) tentang aqidah.
Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjukan pada seberapa tingkat
pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran agamanya, sebagaimana
termuat dalam kitab sucinya. Dalam Islam, dimensi ini menyangkut pengetahuan
tentang al-Qur’an, pokok-pokok ajaran Islam yang harus diimani dan
dilaksanakan (rukun Islam dan rukun iman), hukum-hukum Islam, sejarah Islam,
dan sebagainya. Berbeda dengan tauhid yang telah ada sejak zaman azali, maka
syari’ah (dimensi peribadatan) dan akhlak (dimensi pengalaman) harus dipelajari
dengan sadar dan sengaja oleh manusia. Manusia harus berusaha untuk
mengumpulkan ilmu tentang, bagaimana sesungguhnya syari’ah Islam dan akhlak
Islam, karena itu sebelum seseorang mewujudkan dimensi praktik agama
(syari’ah) dan dimensi pengalaman (akhlak) maka ia harus mendahulukan dimensi
pengetahuan (ilmu). Dimensi pengetahuan adalah prasyarat terlaksananya dimensi
peribadatan dan dimensi pengalaman.
Sedangkan dimensi pengalaman atau penghayatan adalah dimensi
penghayatan menyertai keyakinan pengalaman dan peribadatan. Dimensi
penghayatan menunjukkan pada seberapa jauh tingkat keislaman seseorang dalam
merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman
religius. Dalam keberislaman, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat dengan
Allah SWT, perasaan do’a-do’anya sering terkabul, perasaan tenteram bahagia
karena menuhankan Allah, perasaan khusyu’ melaksanakan shalat atau berdo’a,
perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapatkan peringatan atau
pertolongan dari Allah SWT.
25

Conclusion
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai
bahwa Pelaksanaan konseling memiliki konsep dan perencanaan yang matang
dalam hal visi, misi, dan program layanan yang mengacu pada program
pengembangan diri siswa, sehingga layanan konseling tidak hanya difungsikan
bagi anak-anak yang bermasalah saja. Perilaku bullying terjadi dikarenakan
berbagai faktor, oleh karena itu diperlukan komitmen kebersamaan dari semua
warga sekolah, termasuk orang tua. Model konseling kelompok dengan
memberikan pemahaman tentang pengembangan komitmen beragama dipandang
efektif untuk mengatasi perilaku bullying di Sekolah
Konseling kelompok untuk menangani perilaku bullying di sekolah
menengah ini adalah suatu layanan yang diberikan kepada para siswa
sebagai bagian dari suatu program layanan bimbingan dan konseling
yang komprehensif implementasi layanan konseling kelompok dijelaskan
sebagai satu intervensi yang efektif dan terdapat temuan bahwa banyak
konselor sekolah menengah yang secara efektif merencanakan dan
menerapkan layanan konseling kelompok secara berkelanjutan dalam
menangani perilaku siswanya.

Daftar Pustaka

Adelson Joseph. 1980. Hand Book of Adolescent Psychology, Interscience


Publication, New York.
Best, John W and James V Kahn. 1993. Research in Education, Allyn and Bacon,
Boston,
Bogdan, Robert C and Sari Knopp Biklen. 2003. Qualitatif Research for
Education, Boston.
Coloroso, B. 2007. Stop Bullying; Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Pra
Sekolah Hingga SMU. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Counselling Psychology, S. NarayanaRao. 1984. MC GrawHil, New Delhi.
Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
26

David R. Shaffer. 1994. Social and Personality Development, Pacific Grove,


California.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI. 2007. Kumpulan
Undang-Undang dan Peralatan Pemerintah RI tentang Pendidikan.
Erikson EH. 1968. Identity : Youth and Crisis, Norton, New York.
Fuhrmann, B.S. 1990. Adolescence Adolecents, (Second edition, Foresman and
Company,London.
Glock & Stark. 1969. Religion and Society in tension. California : Rand Mc Nally
Company
Glesne, Corrine. 1999. Becoming Qualitatif Research, and Introduction,
Longman, New York.
Geralf Corey Theory and Practice of Conseling and Psychohterapy. Conseling
and Psychotyerapy, Skill, Theoritis and Practice. Alien E. Ivey &Rynn
Simek-Downing
Hasan, M.t. 2004. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta : Listarafiska Putra.
Hall, C.S. & Lindzey, G., 1993. Pskologi Kepribadian 1; Teori-Teori
Psikodonamik (Klinis). Yogyakarta; Kanisius.
Hurlock, B.E. 1980. Development Psychology, Mc Graw-Hill, New York.
H U Pikiran Rakyat, Bandung, 15 dan 25 Agustus 2008.
Hurlock. Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Ke-Lima. Alih Bahasa Istiwidayanti
dan Soedjarwo. Jakarta : Erlangga.
Ingersol, MG. 1989. Adolescent, Secon Edition Scott. Foresman/Little Brown
Higher Education, Prentice, Inc, New Jesrey
John Dacey and Maureen Kenny, 1997. Adolescent Development, Mc Graw-Hill
Companies, New york.
John W. Santrock. 1998. Adolescence, Mc Graw- Hill Companies New york.
Kendal, Gavin dan Gary Wickham. 2009. Using Foucault Methods, London,
Thousand Oaks New Delhi: SAGE Publication, 1999. No.1 . 11-23. 2009.
Kuhn, Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolution, Herndon: The
University of Chicago Press/
Latipun. 2001. Psikologi Konseling, Malang: UMM Press.
Lerner, M. Richard and David F. Hultsch, 1983. Human Development, A. Life
Span Perspective, Mc. Graw Hill Company New York.
Marcia JE. 1983. Ego Identity Status Interview late Adolescent Form, Simon
Fraser University Burnaby, British Columbia, Canada.
27

Marcia JE, A.S. Waterman; DR. Matteson; SL. Archer; JL. Orlofsky. 1993. Ego
Identity, A. Handbook for Psychosocial Research. Springer-Verlag, New
York.
Mosse, J.C, 1996. Archer, L. Sally. 1994. Interventions for Adolescent Identity,
Sage Publication, Newbury Park.
Marcia, JE. 1993. Ego Identity A Handbook for Psychological Research.
Springer-Verlag, New York.
Olweaus, D. 1993. Bullying at school. Oxford : Balkwell Publishing. Tersedia : :
http://www.Bullying.org/ 18 juni 2007.
Paton, Michael Quinn .1990. Qualitatif Evaluation and Research Methods, Sage
Publication, California,
P. Paul Heppner dkk. 2008. Research Design In Counseling, Thomson
Brooks/Cole. USA.
Prayitno. 2015. Dasar-Dasar Bimbingan Konseling, Rineka Cipta, Jakarta
Indonesia.
Papalia, dkk. 2004. Human development (9th Ed.). New York : McGraw-hill.
Tersedia : http://www.Bullying.org/ 18 Juni 2007.
Poerwandari, Kristi. 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Ed. Ke-3, Depok: LPSP3 FPUI.
PrcticalConseling and Helping Skills. 1993. Richard Nelson Helping Model.
Third Edition
Rigby, K. 2003. Consequences of Bullying in School. Canadian Journal of
Psychiatry, 48, 583-590. Trsedia : http://www.Bullying.org/ 18 juni 2007.
Riauskina, dkk. 2005. ”Gencet-Gencetan” Dimata siswa/siswi Kelas I SMA;
Naskal, Kognitif tentang Arti, Skenario dan Dampak ”Gencet-Gencetan”.
Jurnal Psikologi Sosial. 12 (01). 1-13. tersedia : http;//www.wordpress.com
18 Juni 2007.
Rahmat, J. 2004. Psikologi Islam (Sebuah Pengantar). Bandung : Mizan.
Santrock, John W. 2003. Perkembangan Remaja. Erlangga: Jakarta.
Sonia, S and Smith. K. P (ed.) (tanpa tahun): Tackling Bullying iIn Your school,
New York. (Tanpa tahun).
Sullivan, K. 2000. The Anti Bullying Handbook. New York : Oxford Steinberg. L,
1993. Adolescence, Mc Graw-Hill Inc, New York, Toronto.
Steinberg. L, 1993. Adolescence, Mc Graw-Hill Inc, New York, Toronto.
Sullivan, K.C.M, and Sullivan, G. (2005). Bullying in Secondary School.
California: CORWIN PRESS.
The Conseling Experience a Theoritical and Practical Approach. Michaele
Cavanagh. Montlay.
28

The Art of Helping. Robert R. Carkhuff. 1985. Human Resource Development.


Press.
Waterman, A.S. 1993. Overview of The Identity Status Scoring Criteria, Dalam
JE. Marcia, et. Al. Ego Identity : A Handbook for Psychosocial Research.
Springer-Verlaq, New York Inc.

Anda mungkin juga menyukai

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy