Materi 7 Tentang Qiyas
Materi 7 Tentang Qiyas
Materi 7 Tentang Qiyas
QIYAS ()اللياس
A. Pengertian Qiyas
Secara etimologi/bahasa, Qiyas berarti menyamakan, mengukur,
membandingkan. Menyamakan, seperti menyamakan A dengan B karena kedua orang
itu sama-sama pakai kacamata. Mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau
dengan hasta. Membandingkan, seperti membandingkan sesuatu dengan yang lain
dengan mencari persamaan-persamaannya.
، في الحكم الري وزد به الىص،اللياس هى إلحاق واكعت ال هص على حكمها بىاكعت وزد هص بحكمها
لتساوي الىاكعتين في علت هرا الحكم
“Qiyas adalah menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain
yang ada nashnya pada hukum yang nash telah menetapkan lantaran adanya kesamaan
dua kejadian itu dalam illat hukumnya”.
Apabila terjadi suatu kasus atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya,
tetapi kasus tersebut tidak ditemukan hukumnya di dalamnash (Al-Qur‟an dan Hadits)
dan juga belum ada kesepakatan para ulama („ijma) tentang hukumnya. Untuk
menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara Qiyas atau analogi, yaitu dengan
mencari peristiwa lain telah ada ketetapan hukumnya di dalam nash, serta antara
kedua kasus atau peristiwa tersebut ada persamaan illat hukumnya. Untuk
mempermudah memahaminya, ada beberapa contoh:
2
ketentuan apabila hukum dari kasus yang terjadi belum ditemukan ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijma‟.Sedangkan madzhab Nizhamiyah
Zhahiriyah dan sebagian kaum Syi‟ah berpendapat bahwa Qiyas tidak bisa dijadikan
dalil dan metode dalam penggalian hukum syara‟.
Dalil yang digunakan oleh kelompok jumhur ulama yang menerima Qiyas
sebagai dalil dan metode dalam penggalian hukum syara‟ adalah:
a) Ayat Al-Quran
Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟ (4) Ayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa‟ (4): 59).
Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada perbedaan pendapat di antara ulama
tentang hukum suatu masalah, maka solusinya mengembalikan hukum dari masalah
tersebut kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW.Cara seperti ini adalah
Qiyas.
Firman Allah SWT dalam Surat Al-Hasyr (59) Ayat 2:
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-
kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa
mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada
mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah
melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin.Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai wawasan”(Q.S. Al-Hasyr (59): 2).
3
Ayat ini berbicara tentang hukum Allah SWT terhadap kaum kafir.Di akhir
ayat Allah SWT memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai „itibar
(pelajaran). Kata „itibar menurut penjelasan dari riwayat dari Tsalab dalam bahasa
arab berarti mengembalikan hukum sesuatu kepada yang sebanding dengannya.Hal ini
disebut Qiyas.
b) Hadits Rasulullah SAW
Hadits Rasulullah SAW yang berisi dialog antara Rasul SAW dengan Mu‟adz
Ibn Jabal, ketika Rasul SAW mengutus Mu‟adz Ibn Jabal ke negeri Yaman untuk
menjadi seorang Qadhi, yang berbunyi:
،ًِ الي َمَ عً الحازث بً عمس وعً زجال مً أصحاب معاذ أن زسىل هللا صلى هللا عليه وسل َب َع َث ُم َع ًاذا إلى
َْ َ َ َ َ ََ َْ
: فئن لم تجد في كتاب هللا؟ كال: كال. أك ِض ي بكتاب هللا:ض ل َك كظ ٌاء؟ كال كيف تل ِض ي إذا عس:فلال
،ص ْد َز ُهَ فظسب زسى ُل هللا، أجتهد زأيي وال آلى: فئن لم تجد في سىت زسىل هللا؟ كال: كال.فبسىت زسىل هللا
ُ َّ
ُ وف َم زسى َل زسىل هللا ِلَا ًَ ْس َض ى
)هللا وزسىل ُه (زواه أحمد وأبى داود والترمري ِ ِ الح ْم ُد هلل الري
َ :وكال
“Dari Al-Haris Ibn Amr, dari sekelompok sahabat Mu‟adz bahwa Rasulullah
mengutus Mu‟adz ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu‟adz, “Bagaimana
caramu menetatapkan hukum apabila datang kepadamu persoalan?”Mu‟adz
menjawab, “Berdasarkan kitab Allah”.Nabi bertanya, “Kalau tidak kamu temukan
hukumnya di dalam kitab Allah?”Mu‟adz menjawab, “Akan aku tetapkan berdasarkan
Sunnah Rasulullah”.Nabi Bertanya lagi, “Kalau tidak ditemukan hukumnya dalam
Sunnah Rasul?”Mu‟adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan menggunakan
akalku dengan berusaha sungguh-sungguh”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dadanya
dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan
Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasulnya” (H.R.
Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).
Hadits ini menurut mayoritas ulama ushul fiqh mengandung pengakuan
Rasulullah SAW terhadap Qiyas, karena Qiyas merupakan salah satu kegiatan ijtihad
yang mendapat pengakuan dari Rasulullah SAW dalam dialog tersebut.
c) Atsar Sahabat
Para Sahabat Rasul SAW banyak melakukan Qiyas dalam menetapkan hukum
terhadap kasus yang belum ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur‟an dan As-
Sunnah.Seperti pengangkatan khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat, Abu Bakar
lebih utama diangkat menjadi khalifah disbanding sahabat-sahabat lain, karena dia
yang diutus Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang
sakit. Jika Rasul SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu
beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai khalifah.
d) Logika (Dalil ‘Aqli/Akal)
Tujuan Allah SWT menetapkan hukum syara‟ adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia.Dengan demikian, setiap peristiwa ada yang diterangkan dasar
hukumnya di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul SAW, dan ada pula yang belum
diterangkan hukumnya secara tegas dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Untuk peristiwa
yang belum diterangkan hukumnya di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah, tetapi peristiwa
tersebut ada persamaan illat dengan peristiwa yang sudah ada ketetapan hukumnya di
4
dalam nash, maka hukumnya bisa disamakan karena diduga kuat akan memberikan
kemaslahatan kepada manusia. Cara seperti ini disebut dengan Qiyas.
Sedangkan alasan kelompok yang tidak menerima Qiyas sebagai dalil dan
metode penggalian hukum syara‟ adalah:
a) Menurut kelompok ini, Qiyas dilakukan atas dasar dugaan keras (zhan) dan
illatnya pun ditetapkan berdasarkan dugaan juga, sedangkan Allah SWT melarang
kaum muslimin mengikuti sesuatu yang berdasarkan dugaan. Hal ini berdasarkan
firman Allah SWT dalam Surat Al-Isra‟ (17) Ayat 36:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya” (Q.S. Al-Isra‟ (17): 36).
Ayat di atas menurut kelompok ini, melarang seseorang untuk beramal dengan
sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, sedang Qiyas tergolong ke dalam sesuatu
yang tidak pasti.Oleh sebab itu, menetapkan hukum dengan Qiyas dilarang karena
karena Qiyas hanya berdasarkan dugaan (tidak pasti).
b) Sebagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata
berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar Ibn Khattab:
فظلىا وأطلىا، فلالىا بالسأي، أعيتهم ألاحادًث أن ًحفظىها،إًاكم وأصحاب السأي فئنهم أعداء السنن
“Jauhilah olehmu golongan rasionalisme karena mereka adalah musuh ahli sunnah,
karena mereka tidak sanggup menghafal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan
pendapat mereka berdasarkan akal pikiran mereka saja, sehingga mereka sesat dan
menyesatkan orang”.
Umar Ibn Khattab memandang bahwa golongan rasionalisme adalah golongan
yang menomorsatukan rasio, tidak berpegang kepada Al-Qur‟an dan Hadits, sehingga
kedudukan Al-Qur‟an dan Hadits, sehingga kedudukan Al-Qur‟an bagi mereka adalah
nomor dua setelah rasio atau dengan mudah untuk dikesampingkan. Dalam hal ini,
jelas bahwa cara berpikir golongan ra‟yu (rasionalisme) yang dikecam oleh khalifah
Umar Ibn Khattab tersebut tidak berpikir secara Islami, dan kaum rasionalisme
tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subjektivitas kepentingan individu dan
golongannya.
5
7
dengan yang lain. Oleh sebab itu, ia secara sah bisa dijadikan „illat bagi
terhalangnya mendapat harta warisan bilamana yang membunuh adalah anak dari
yang terbunuh atau ahli waris lain dari yang terbunuh. Atas dasar itu, maka hal ini
bisa juga berlaku bagi wasiat dengan mengqiyaskan kepada kewarisan, yaitu
bilamana seseorang penerima wasiat membunuh pihak yang berwasiat, maka
pembunuh tidak lagi berhak terhadap harta yang diwasiatkan, dengan „illat karena
membunuh.
8
9
dalil yang menyatakan bahwa syara‟ membolehkan atau tidak membolehkan. Seperti
membukukan Al-Qur‟an dalam satu Mushaf, tidak ada dalil yang membolehkan dan
juga tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi khlifah Utsman bin Affan melihat ada
kemaslahatan bagi seluruh kaum muslimin, dimana Al-Qur‟an tidak lagi berserakan
karena ditulis dalam satu Mushaf.
d) Al-Munasib Al-Mulgha ()اِلىاسب اِللغى
Al-Munasib Al-Mulgha adalah munasib yang diungkapkan oleh syara‟
sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan hukum atas
dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan.Tetapi syara‟ tidak menyusun
hukum sesuai dengan sifat atau „illat tersebut, bahkan syara‟ memberi petunjuk atas
pembatalan sifat tersebut. Seperti status laki-laki dan perempuan dalam kekerabatan,
dan atas persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan mereka dalam hak
kewarisan. Dalam hal ini, syara‟ membatalkan dengan firmannya bahwa laki-laki
mendapat dua kali again perempuan.
Adapun Metode Mencari „Illat (Masalik Al-„Illah) adalah dasar-dasar teori
untuk mengetahui „illat dari satu peristiwa atau kasus yang dapat dijadikan dasar
untuk menetapkan hukum. Ada Enam Metode Mencari „Illat (Masalik Al-„Illah),
yaitu:
a) Nash ‘Ala ‘Illah ()الىص على العلت
„Illat hukum dari suatu kasus atau peristiwa diterangkan langsung oleh nash.
„Illat seperti ini disebut dengan Manshus „Alaih. Dan mengqiyaskan sesuatu kasus
hukum perdasarkan „illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah
menetapkan hukum sesuatu berdasarkan nash.
Petunjuk nash tentang sifat sesuatu kasus atau peristiwa yang merupakan „illat
itu ada dua macam, yaitu Dalalah Sharihah dan Dalalah Ima‟.
1) Dalalah Sharihah ()داللت صسيحت, yaitu penunjukan lafadz yang terdapat dalam
nash kepada „illat hukum sangat jelas. Artinya, lafadz nash itu sendiri yang
menunjukkan „illat hukum secara jelas. Seperti ungkapan yang terdapat dalam
nash dalam firman Allah SWT Surat An-Nisa‟ (4) Ayat 165:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (Q.S. An-Nisa‟ (4): 165).
Ayat di atas menjelaskan bahwa para Rasul diutus untuk membawa khabar
gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak mencari-cari alasan dengan
mengatakan bahwa mereka belum pernah mendapat peringatan dari Rasul yang diutus
10
kepada mereka. Perkataan لئال ًكىنdan بعد السسلmerupakan „illat hukum yang jelas
dan tidak mungkin dialihkan kepada yang lain.
Sabda Rasulullah SAW:
إال فادخسوا (زواه البخازي ومسلم واليسائي وأبى داود،إهما نهيتكم عً ادخاز لحىم ألاطاحي ألجل الدافت
)وابً ماجه
“Dahulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban untuk kepentingan para
tamu dari perkampungan Badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging
kurban (daffah), sekarang simpanlah daging itu” (H.R. Bukhari, Muslim, An-Nasa‟i,
Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Dalam Hadits di atas, Rasulullah SAW secara tegas menunjukkan bahwa „illat
larangan menyimpan daging kurban adalah untuk kepentingan masyarakat Badui yang
miskin dan datang dari perkampungan mereka untuk meminta daging. Ketika
masyarakat Badui itu tidak membutuhkan lagi maka Rasulullah SAW membolehkan
menyimpan daging kurban.Artinya, ketika „illat hukum sudah hilang, maka hukum
pun jadi tiada.
2) Dalalah Ima’ (Isyarah), yaitu petunjuk yang dipahami dari sifat yang
menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada sifat yang menyertai petunjuk
itu dengan sifat itu merupakan „illat ditetapkannya suatu hukum.
Ada Tujuh Macam Dalalah Ima’ (Isyarah), yaitu:
a) Mengerjakan suatu pekerjaan karena ada terjadi sesuatu peristiwa
sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi,
karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat. Dengan
demikian, lupa menjadi „illat dilakukannya sujud sahwi.
b) Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan
hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai „illat tentulah tidak
perlu disebutkan.
Seperti Sabda Rasulullah SAW:
)ال ًحكم أحدكم بين اثىين وهى غظبان (زواه البخازي ومسلم
“Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berpekara)
dalam keadaan ia sedang marah” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dari Hadits di atas dapat diambil pengertian bahwa sifat marah disebut
bersamaan dengan larangan memberikan keputusan antara dua orang yang
berperkara yang merupakan „illat dari larangan mengadili perkara itu.
c) Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang
berbeda pula. Seperti sabda Rasulullah SAW:
)للسجال سهم وللفازس سهم (زواه البخازي ومسلم
“Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedangkan barisan berkuda
mendapat dua bagian” (H.R. Bukhari dan Muslim).
d) Membedakan dua hukum dengan syarat. Seperti firman Allah SWT dalam
Surat Ath-Thalaq (65) Ayat 6:
11
12
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-
isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa
yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Baqarah (2): 237).
Ayat di atas menerangkan bahwa memaafkan merupakan pengecualian („illat)
hapusnya kewajiban membayar mas kawin (mahar).
g) Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istidrak). Seperti
firman Allah SWT dalam Surat Al-Maidah (5) Ayat 89:
13
c) Al-Munasabah ()اِلىاسبت
Al-Munasabah bisa juga disebut dengan Ikhalah (persangkaan) atau
Mazhinnah (praduga), karena adanya keserasian sifat dengan hukum bisa
mendatangkan dugaan bahwa sifat itulah yang layak untuk dijadikan „illat. Menurut
Ibn al-Hajib, Al-Munasabah adalah sifat yang jelas dan terbatasi, yang secara rasio,
dengan persambungan hukum dengan sifat tersebut akan tercapailah tujuan
pensyari‟atan, berupa menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan. Namun, jika
sifat tersebut samar atau tidak bisa dibatasi, maka yang dianggap „illat adalah
mulazim (sesuatu yang selalu menetap) dari sifat tersebut, yang nampak jelas dan
terbatasi. Seperti safar (bepergian) yang merupakan salah satu hal yang menimbulkan
masyaqqah (kesulitan). Pada asalnya, yang menimbulkan keringanan (rukhshah)
adalah masyaqqah itu sendiri. Akan tetapi, karena masyaqqah tidak bisa terbatasi
karena perbedaan standar penilaian dari masing-masing individu, kondisi, dan masa,
maka disandarkanlah hukum rukhshah tersebut pada sesuatu yang diduga
menimbulkan masyaqqah, yaitu bepergian (safar).
d) Assabru Wa Taqsim ()السبروالتلسيم/Takhrij Al-Manath ()تخسيج اِلىاط
Assabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan Taqsim berarti
menyeleksi atau memisah-misahkan. Assabru Wa Taqsim maksudnya ialah meneliti
kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atu kejadian, kemudian
memisahkan atau memilih di antara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebagai
„illat hukum. Assabru Wa Taqsim dilakukan apabila ada nash tentang suatu peristiwa
atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma‟ yang menerangkan „illatnya. Misalnya
Rasulullah SAW mengharamkan riba fadhal, yaitu menukar benda-benda tertentu
yang sejenis dengan takaran atau timbangan yang berbeda dalam sabda beliau:
ٌ
سىاء ُ الرهب بالرهب والفظت بالفظت
والبر بالبر والشعير بالشعير والتمس بالتمس واِللح باِللح مثال بمثل
)فبيعىا كيف شئتم إذا كان ًدا بيد (زواه مسلمُ ألاجىاس
ُ فئذا اختلف هره،بسىاء ًدا بيد
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, padi belanda
dengan padi belanda, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama
jenisnya, sama ukurannya lagi kontan.Apabila berbeda jenisnya, maka juallah
menurut kehendakmu, bila hal itu dilakukan dengan kontan” (H.R. Muslim).
Dalam menetapkan hukum haramnya riba fadhal sesuai Hadits di atas, tidak
ada nash yang lain atau ijma‟ yang menerangkan „illatnya. Karena itu, perlu dicari
„illatnya dengan Assabru Wa Taqsim. Para Mujtahid mencari sifat-sifat dari enam
macam yang disebutkan dalam Hadits di atas, kemudian menetapkan sifat yang sama
dan patut dijadikan „illat. Gandum sifatnya adalah termasuk jenis yang dapat diukur
dengan takaran, dan juga termasuk jenis makanan, bahkan termasuk jenis makanan
pokok, dan juga termasuk jenis tanaman. Kemudian jika diterapkan sifat ini kepada
lima macam yang lain yang tertera dalam Hadits di atas, maka pada emas hanya
didapati sifat pertama, pada padi dan kurma terdapat ketiga macam sifat di atas,
sedang pada garam didapati sifat pertama dan kedua. Berdasar penerapan itu maka
diperoleh satu sifat yang dipunyai oleh keenam macam benda yang tersebut pada
Hadits di atas, yaitu sifat pertama bahwa keenam macam jenis itu termasuk jenis yang
14
dapat dipastikan dengan ukurannya, baik dengan timbangan atau dengan takaran. Sifat
ini dapat ditetapkan sebagai „illat untuk menetapkan hukum bahwa haram dapat
mempertukarkan barang yang sejenis yang dapat dipastikan bila tidak sama
timbangannya, takaran, kualiatas dan tidak pula dilakukan kontan.
Takhrij Al-Manath adalah pencurahan pikiran seorang mujtahid untuk
mengeluarkan „illat hukum yang ditetapkan oleh nash ataupun ijma‟. Dari definisi ini
dapat diketahui bahwa fokus seorang mujtahid adalah mengeluarkan „illat yang masih
tersembunyi dalam kandungan nash ataupun ijma‟. Hal ini berbeda dengan tanqiih,
karena dalam tanqiih, yang dilakukan oleh mujtahid adalah memperbaiki hukum yang
ditetapkan nash, dan dari hukum tersebut daimbilnya sifat-sifat yang patut dijadikan
„illat serta membuang sifat-sifat yang tidak patut dijadikan „illat. Takhrij Al-Manath
bisa ditempuh dengan beragam cara dari berbagai metode pencarian „illat, seperti
Assabru Wa Taqsim. Contohnya adalah penentuan sifat makanan (al-tha‟m), sifat bisa
ditimbang (al-kail), dan sifat makanan pokok (al-qut), sebagai „illat dari hukum
keharaman riba dengan menggunakan metode altaqsiim wa al-sabru. Takhriij al-
manaath juga merupakan jembatan awal dan dasar dalam berijtihad dengan metode
qiyas. Karena bermula dari situlah dikeluarkan sifat-sifat yang nantinya akan
dijadikan „illat.
e) Tanqih Al-Manath ()تىليح اِلىاط
Secara harfiah, Tanqih berarti perbaikan, pemisahan dan pemurnian,
sedangkan Manath mempunyai arti sesuatu yang dijadikan hubungan atau
persambungan („illat). Dalam terminologi ushul fiqh, terdapat dua versi dalam
mendefinisikannya:
Pembersihan hukum dari sifat yang tidak patut untuk dijadikan „illat yang
terdapat dalam nash yang dzahir, dan hanya menetapkan satu sifat untuk diplot
sebagai „illat dari hukum tersebut.
Sama seperti pengertian di atas, hanya saja kekhususan sifat yang telah diplot
sebagai „illat tersebut diarahkan pada sifat keumumannya.
f) Tahqiq Al-Manath ()تحليم اِلىاط
Tahqiiq Al-Manath adalah pencurahan daya pikiran guna mencari wujud „illat
pada suatu kejadian atau kasus yang belum ada kejelasan hukumnya, dari nash atau
ijma‟, untuk diqiyaskan pada kasus lain yang sudah ada kejelasannya dari nash atau
ijma. Artinya, status „illat telah disepakati oleh para ulama‟ dengan dalil nash ataupun
ijma‟, namun para ulama masih meneliti dengan seksama wujud „illat pada masalah-
masalah yang masih dalam perdebatan para ulama‟. Dari sini, ditemukan perbedaan
antara Takhrij Al-Manath dengan Tahqiq Al-Manath. Bila Takhrij Al-Manath adalah
penjelasan „illat dalam ashl, maka Tahqiq Al-Manath adalah penetapan „illat dalam
far‟i.
Kalau secara Umum Metode Mencari „Illat (Masalik Al-„Illah) ada tiga, yaitu:
a) Al-Syabah ()الشبه
Al-Subki dalam Jam‟ al-jawami‟ berpendapat, tidak ada batasan yang paling
tepat untuk mendefinisikan Al-Syabah. Namun definisi yang paling mendekati
15
kebenaran adalah definisi versi Abu Bakar al-Baqillani yang juga dijadikan sebagai
definisi oleh Wahbah al-Zuhailiy, yaitu suatu sifat yang tidak mempunyai keserasian
sama sekali dengan hukum. Namun, oleh Syaari‟ sifat tersebut dijadikan sebagai „illat
pada sebagian hukum (kasus) yang lain.
Pendefinisian tersebut akan menjadi jelas dalam contoh yang dikomentarkan
Imam Al-Syafi‟i, “Bersuci (thaharah) dilakukan untuk mendirikan shalat”. Maka,
dengan berpegangan pada komentar ini, tidak boleh bersuci selain dengan air,
sebagaimana bersuci dari hadats karena adanya titik temu dari keduanya berupa
thahaaroh. Akan tetapi, setelah dikaji secara mendalam, tenyata tidak ditemukan
keserasian antara hukum thahaaroh dan kekhususan memakai air. Hanya saja, pada
sebagian kasus yang lain, seperti shalat dan thawaf, Syari‟ sendiri sudah menegaskan
bahwa keberadaan sifat tersebut diperhitungkan sebagai „illat. Berangkat dari sinilah
timbul suatu dugaan kuat bahwa sifat tersebut mempunyai keserasian dengan hukum
yang ada.
b) Al-Thardu ()الطسد
Banyak sekali perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama‟ dalam
pendefinisian dan status kehujjahan Al-Thardu. Namun yang dimaksud dengan Al-
Thardu disini adalah, bahwa „illat hukum tidaklah sesuai (munasib) dan berpengaruh
(al-muatstsir). Perlu juga ditegaskan, perbedaaan antara Al-thardu dengan Al-Dawran.
Al-Thardu merupakan kebersamaan antara hukum dan „illat dalam keberadaannya
saja. Artinya, jika salah satu dari keduanya ada, maka yang lain juga ada, namun jika
salah satu dari keduanya tidak ada, belum tentu yang lain juga tidak ada. Sedangkan
al-dawaraan adalah suatu bentuk kebersamaan antara hukum dan „illat, baik dalam
keberadaannya maupun tidak.
c) Al-Dawran ()الدوزان
Al-Dawran (perputaran) adalah tetapnya suatu hukum dengan sebab adanya
suatu sifat, dan tidak wujudnya hukum tersebut juga disebabkan tidak ditemukannya
sifat itu pada hukum, atau dalam arti lain, keberadaan hukum berbanding lurus dengan
keberadaan suatu sifat. Para ulama berbeda persepsi mengenai penunjukkan dawaraan
atas „illat dari sebuah hokum, apakah secara pasti ataukah hanya perkiraan saja, atau
justru tidak bisa menunjukkan pada „illat sama sekali? Dalam hal ini, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mempreferensikan (mentarjih) pendapat yang kedua, yaitu
menunjukkan „illat secara perkiraan saja (zhanniy).
16
ucapan “ah” yang terdapat dalam firman Allah SWT dalam Surat Al-Isra‟
(17) Ayat 23:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia” (Q.S. Al-Isra‟ (17): 23).
Mengucapkan kata “ah” saja kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama,
apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar
daripada itu.Para ahli Ushul fiqh mengatakan bahwa „illat larangan itu adalah
menyakiti orang tua, karena sifat menyakiti melalui pukulan lebih kuat daripada
ucapan “ah”.
2) Qiyas Musawi ()كياس مساوي, yaitu hukum yang terdapat pada furu‟ sama
kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashal, karena kualitas „illat pada
keduanya sama. Seperti pada firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟ (4)
Ayat 10:
17
tetapi, berlakunya hukum riba pada buah-buahan lebih lemah
dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum karena „illat riba fadhal
pada gandum lebih kuat.
b) Dilihat dari segi kejelasan „illat yang terdapat pada hukum, Qiyas dibagi kepada
Dua macam, yaitu:
1) Qiyas Jali ()كياس جلي, yaitu Qiyas yang „illatnya ditetapkan oleh nash
bersamaan dengan hukum ashal, atau nash tidak menetapkan „illatnya,
tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashal dengan
furu‟. Seperti mengqiyaskan memukul kepada mengatakan “ah”,
hukumnya adalah sama-sama haram karena keduanya adalah menyakiti
hati orang tua.
2) Qiyas Khafi ()كياس خفي, yaitu Qiyas yang „illatnya tidak disebutkan dalam
nash. Seperti mengqiyaskan wakaf kepada sewa-menyewa, bukan kepada
jual beli, karena kalau diqiyaskan kepada jual beli, yang terpenting dalam
jual beli hanya perpindahan milik tanpa mempertimbangkan harta wakaf
itu bermanfaat atau tidak. Tetapi kalau diqiyaskan kepada sewa-menyewa,
yang terpenting dalam sewa-menyewa itu adalaha manfaat. Jadi, secara
Qiyas Khafi lebih tepat diqiyaskan kepada sewa-menyewa, biar harta
wakaf bermanfaat sesuai tujuan wakif.
18
Rasulullah SAW dalam shalat dan haji misalnya. Demikian juga manusia tidak bisa
merubah waktu-waktu pelaksanaan ibadah mahdah baik salat lima waktu, puasa
Ramadan, maupun haji ke waktu-waktu di luar yang telah disyariatkan.
Makna Ta‟abbudi di atas pada dasarnya selaras dengan Hadits Nabi SAW
bahwa:
مً عمل عمال ليس عليه أمسها فهى زد
“man „amila „amalan laysa „alaihi amrunả fahuwa raddun” („barangsiapa yang
mengamalkan suatu amalan (ibadah) yang tidak kami perintahkan, maka dia
tertolak‟).
Demikian juga diisyaratkan dalam Q.S. Al-Bayyinah (98): 5:
19
agar manusia (mukallaf) dapat memetik kemaslahatan dari hukum-hukum Allah, baik
bagi bagi individu maupun publik.
Jadi, nash-nash yang bersifat Ta‟aqquli adalah ma‟qul al-ma‟na, atau relatif,
sehingga membutuhkan pemikiran dalam pelaksanaannya agar ketentuan hukumnya
dapat beradaptasi dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat di setiap
zaman dan tempat. Sehingga al-Islām shālihun likulli zaman wa makan.
Perbedaan konsep Ta‟abbudi dan Ta‟aqquli tersebut hanya terletak pada
kemungkinan akal manusia dapat menalar makna maupun hikmah-hikmah hukum
yang terkandung di dalamnya. Pada pada hakekatnya, hukum yang ma‟qul al-ma‟na
sendiri tidak terlepas dari kerangka ta‟abbudi dan ta‟aqquli dalam arti luas.
Makna Ta‟abbudi dan Ta‟aqquli di atas berkaitan dengan asumsi, bahwa
manusia diciptakan Tuhan sebagai hamba yang harus patuh kepada-Nya.Untuk itu
manusia harus melakukan perbuatan yang menunjukkan kepatuhannya kepada
Tuhan.Kepatuhan manusia kepada tuhan dapat dibedakan dalam dua bentuk.Pertama,
ibadat yang fungsi utamanya mendekatkan manusia kepada tuhan, yakni beriman
kepada-Nya dan segala konsekuensinya berupa ibadat yang biasa disebut mahdah.
Kedua, muamalah yang berlaku menurut tradisi kebiasaan (adat), yang merupakan
tulang punggung bagi kemaslahatan hidup manusia, tanpa ini kehidupan manusia
akan rusak binasa. Jika yang terakhir ini bersifat duniawi dan dapat dipahami oleh
nalar manusia (al-ma‟qul al-ma‟na), maka yang pertama tadi bersifat ukhrawi dan
merupakan kewenangan mutlak Tuhan (haq Allah).
Dapat dikatakan, bahwa Ta‟abbudi adalah segala ketentuan hukum Islam atau
ketentuan nash (Al-Qur‟an dan Hadits) yang harus ditaati oleh seorang hamba sebagai
wujud penghambaan dan kepatuhan kepada Allah semata, bukan karena alasan
rasional, sehingga bersifat mutlak. Namun dalam ibadah tertentu, objeknya bisa
mengalami perluasan seperti objek zakat bisa diperluas objek zakat yang telah ada di
zaman klasik, sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia.Karena itu
dalam ibadah tetap terkandung unsur rasio serta dimensi kemaslahatan bagi manusia
(dimensi ta‟aqqulat).
Sedangkan Ta‟aqquli adalah segala ketentuan hukum Islam ketentuan nash
(Al-Qur‟an dan Hadits) yang diterima dan ditaati oleh seorang hamba karena ada
maslahatnya bagi manusia berdasarkan nalar rasio manusia selaras dengan
kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia. Sehingga bersifat relatif sesuai
perubahan zaman, tempat dan situasi. Namun demikian hukum-hukum yang bersifat
Ta‟aqquli tetap mengandung dimensi ibadah.Karena itu muamalah tidak terlepas dari
kerangka Ta‟abbudi.
Dapat dipahami, bahwa hukum Islam dalam garis besarnya dapat dibagi dua,
yaitu yang bisa dinalar akal (rasio) manusia dan yang tidak bisa dinalar akal (rasio)
manusia. Dalam kaitan ini menurut hasil penelitian ulama, jumlah nash yang bisa
dinalar akal manusia jauh lebih banyak dibanding nash yang tidak bisa dinalar rasio.
Tegasnya, bahwa hukum Islam, ada yang masuk dalam wilayah Ta‟abbudi dan ada
sebagian lainnya masuk dalam wilayah Ta‟aqquli.
Objek Ta‟abbudi dan Ta‟qquli menjadi kajian ulama ushul fiqh. Dalam kaitan
ini ulama ushul fiqh telah konsensus, bahwa hukum-hukum yang berhubungan
20
dengan masalah ibadah mahdah (murni) dan hal-hal yang daruriyyah termasuk dalam
objek Ta‟abbudi. Umat Islam tidak dapat dan tidak boleh melakukan interpretasi
terhadap nash dan hukum-hukum yang bersifat Ta‟abbudi, seperti jumlah rakaat
shalat lima waktu, puasa Ramadan, kewajiban zakat, dan haji. Semua ketentuan itu
bersifat mutlak dan manusia hanya melaksanakannya saja sesuai dengan nash (Al-
Qur‟an, Hadits).
Demikian juga hukum-hukum daruriyyah yang merupakan kebutuhan primer
manusia untuk mempertahankan eksistensinya dan mengembangkan fungsinya
sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam hal ini ada lima aspek daruriyyah yang harus
dipelihara umat manusia, yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Semua
ketentuan nas dalam aspek ini bersifat ta‟abbudi, tidak membutuhkan interpretasi akal
manusia untuk memodifikasi atau mengubahnya.
Dapat dikemukakan, bahwa objek Ta‟abbudi adalah ibadah mahdah,
sedangkan objek Ta‟aqquli adalah muamalah dan ibadah gairu mahdah, yaitu ibadah
yang dilakukan di samping merupakan alat komunikasi dengan Tuhan juga secara
langsung merupakan alat komunikasi sosial dengan sesama manusia. Ketika
seseorang membayar zakat, sedekah, infak, maka ia telah melakukan komunikasi
dengan Tuhan (ibadah), serta sekaligus menjalin hubungan harmonis melalui
pemberian bantuan kepada sesama manusia (ibadah sosial).
Walaupun dalam ibadah mahdah tidak dapat diketahui illatnya secara pasti
namun dalam tataran tertentu minimal bisa ditelusuri makna filosofisnya, misalnya
ketentuan membasuh bejana yang dijilati anjing sebanyak 7 kali dan salah satu di
antaranya dengan tanah. Ijtihad dalam hal ini bukan untuk merubah ketentuan
hukumnya namun justru untuk lebih menguatkan keyakinan dalam mentaati ketentuan
hukum yang Ta‟abbudi itu.
21