Tantangan Tasawuf Di Tengah Modernitas
Tantangan Tasawuf Di Tengah Modernitas
Tantangan Tasawuf Di Tengah Modernitas
A. Pendahuluan
Tidak sedikit orang yang salah faham terhadap tasawuf. Sebagian orang
mengindentikkan tasawuf dengan orang-orang yang hidupnya anti dunia, anti
kekayaan bendawi, anti komunitas sosial, dan lain sebagainya. Sementara lainnya,
bahkan ada pula yang lebih ekstrim, yaitu ketika tasawuf didekatkan dengan
kehidupan yang penuh dengan kemiskinan, kumuh dan jauh dari kemapanan
finansial1.
Tasawuf dipandang sebagai “ancaman” bagi gaya hidup (life style) modern
yang saat ini digandrungi mayoritas masyarakat. Tasawuf dikira sebagai suatu
kehidupan yang tidak boleh mengikuti perkembangan zaman, miskin, terasing, dan
beribadah tanpa henti (seperti Puasa, Shalat, Dzikir dan sebagainya dalam waktu dan
porsi yang tidak terbatas). Sehubungan dengan salah pemahaman seperti di atas,
maka banyak orang awam yang anti terhadap tasawuf2.
Pemahaman tersebut tentu saja pemahaman yang keliru. Tasawuf memang tidak
ada sejak awal Islam di masa Rasulullah SAW dan para Sahabat, akan tetapi praktik
sufistik telah kental dalam kehidupan mereka. Pada zaman Rasulullah SAW hidup,
semua orang menjadi shufi, yaitu keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk ke
dalam budi perangai yang terpuji. Baik Nabi dan sahabatnya yang berempat atau yang
beribu-ribu itu semuanya berakhlak tinggi, berbudi mulia, sanggup menderita lapar
1
Hal ini terjadi ketika orang awam melihat bahwa para Sufi (baca: Penganut Tarekat), banyak menghabiskan
waktunya untuk berdzikir dan berdiam diri di padepokan atau di rumah, seolah hanya dengan berdzikir rezeki
akan datang dengan sendirinya meski tanpa harus bekerja keras. Lihat: Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme
Ibn Arabi (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 19.
2
Syeikh Muhammad Hisyam Kabbani, Ensiklopedia Akidah Ahlusunah: Tasawuf dan Ihsan, Antivirus Kebatilan
dan Kezaliman (Jakarta: PT Serambi Semesta, 2007), hlm. 21.
dan haus, dan jika mereka beroleh kekayaan, tidaklah kekayaan itu lekat ke dalam
hatinya sehingga melukakan hati itu jika terpisah3.
Jika dilihat dalam lembaran sejarah, ada banyak sufi yang bergerak membela
Islam dengan Pedang dan Pena, seperti pengikut Tarekat Naqsyabandiyah, Syamil
Daghestani, yang berjuang melawan pasukan Rusia di Kaukasia pada abad
kesembilan belas; Ini menunjukkan bahwa tasawuf sama sekali tidak mendorong
manusia untuk berdiam diri, melarikan diri dari dunia, dan merintangi kemajuan
masyarakat, tetapi jusru mendorong nilai-nilai sosial serta pengkajian agama dan ilmu
serta tak kenal lelah melawan ketidak adilan sosial4.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana memahamkan dan mengamalkan
tasawuf, terutama pada zaman modern yang banyak tantangan dan tuntutan? Oleh
karena itu pembahasan tentang tantangan tasawuf di tengah modernitas sangat perlu
dan menarik untuk dibahas, agar pembaca tidak salah faham lagi dan alergi dengan
tasawuf. Selain itu, pembahasan ini dapat dijadikan solusi dalam menghadapi
problematika hidup di abad ini.
B. Pemahaman Tasawuf
Tasawuf atau Sufisme adalah salah satu cabang keilmuan dalam Islam, yang
secara keilmuan merupakan hasil kebudayaan Islam yang lahir kemudian sepeninggal
Rasulullah SAW. Jika dilihat dari akar pemikirannya, maka tasawuf berasal dari
konsep Ihsan. Ihsan sendiri merupakan semua tingkah laku Muslim, baik tindakan
lahir maupun batin, dalam ibadah maupun muamalah. Ihsan adalah jiwa atau roh dari
Iman dan Islam5.
1. Pengertian Tasawuf
3
Hamka, Tasauf Modern (Jakarta:Pustaka Panjimas,1990), hlm. 15.
4
Syeikh Muhammad Hisyam Kabbani, Ensiklopedia Akidah…, hlm. 20.
5
M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 3-5.
Secara etimologi, terdapat sejumlah kata atau istilah yang berkenaan dengan
tasawuf yaitu ahlu suffah (sekelompok orang di masa Rasulullah SAW yang
hidupnya banyak berdiam di serambi-serambi masjid), shafa (bersih atau suci), shaf
(barisan shalat) dan shuf (bulu domba atau wool). Kata-kata tersebut bisa-bisa saja
dihubungkan dengan tasawuf6. Sedangkan seecara terminology, menurut Muhammad
Amin Al-Kurdy tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-ihwal
kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan
mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju
keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju kepada perintah-Nya7.
Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa tasawuf adalah norma atau aturan
agar orang berakhlak mulia, memerangi nafsu syahwat, membersihkan dan
mempertinggi rohani dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan mencari
ridha-Nya. Tasawuf adalah jalan yang mesti ditempuh siapa saja yang ingin mencari
keselamatan hidup di dunia dan akhirat, baik orang orang yang hidup masa lalu, kini
maupun yang akan datang. Tapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana
mengamalkan tasawuf tersebut, terutama pada zaman modern sekarang yang banyak
memiliki tantangan dan tuntutan sesuai dengan kebutuhan zaman?
6
M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 208-209.
7
Mustofa, AkhlakTasawuf …, hlm. 203.
8
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 193.
sehingga ia berpindah ke maqam yang lebih tinggi 9. Setiap ulama sufi berbeda dalam
urutan maqam yang ditetapkannya, misalnya Muhammad al-Kalabadzi, maqamat
diurutkan sebagai berikut: Taubat, Taqwa, Tawakkal, Ridha, Mahabbah dan
Makrifah. Sedangkan Abu Nasr Saraj alThusi, menyebutkan maqamat sebagai:
Taubat, Wara’, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal dan Ridha10.
Terlepas dari urutan mana yang paling benar atau sering digunakan oleh para
sufi, yang terpenting adalah bahwa maqamat merupakan inti ajaran tasawuf. Praktik
riyadhah berupa maqamat inilah yang menjadi ciri khas para sufi yang sedang
menjalani kehidupan tasawuf. Melalui praktik ini pula, para sufi akan memperoleh
ahwal (suatu keadaan sebagai pemberian Tuhan), sebagai bagian dari tanda kedekatan
diri dengan Tuhan-nya. Belumlah dianggap sufi seseorang, ketika ia belum menjalani
maqamat dan memperoleh ahwal.
9
Abdul Fatah, Tasawuf: Antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah (Jakarta: Khalifah, 2005), hlm. 108.
10
Nasruddin, Historisitas dan Normatifitas Tasawuf (Jakarta: Aksi Media, 2008), hlm. 63- 64
dan sesama manusia. Jika secara konkret bentuk Tasawuf modern ini tidak lain dan
tidak bukan adalah Ihsan.
Tetapi ihsan di sini terbagi kepada dua bentuk, yaitu ihsan kepada Allah dan
ihsan kepada sesama manusia. Sebenarnya hampir sama dengan bentuk Tasawuf
klasik, tetapi kalau dalam Tasawuf klasik lebih dipentingkan dan ditonjolkan adalah
ihsan kepada Allah, sedangkan pada Tasawuf modern ini adalah bagaimana menjaga
keseimbangan antara ihsan kepada Allah dan ihsan kepada sesama manusia. Sehingga
tercapai apa yang dinamakan dengan kebahagiaan dunia dan akhirat yang merupakan
tujuan utama dari Tasawuf modern itu sendiri11
Ada dua dimana mereka di zaman sekarang, ikut mempelajari bahkan
mengamalkan ilmu Tasawuf yaitu (1) Mereka mendapatkan pemahaman bahwa Islam
tidak hanya sekedar fikih, aqidah tapi juga ada level spiritual. (2) Karena mereka
yang belajar kebanyakan secara ekonomi berada pada post basic-needs atau untuk
melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kehidupan sekunder, maka mereka bisa
berbagi juga ketika ada rezeki lebih. Jadi timbullah keharmonisan di berbagai aspek
antara elemen Si kaya dan Si miskin bahkan mungkin di luar itu sehingga
menciptakan kondusifitas kehidupan12.
Bentuk pengaplikasian Tasawuf sekarang ini tidak bisa kita polarisasi dengan
pengklasifikasian kehidupan Tasawuf baik akhlaki, amali, falsafi, sunni dan
seterusnya. Hal itu sudah tidak relevan, karena sederhananya sekarang sudah ada
orang yang kaya raya tapi berlaku sufistik, tapi di sisilain ada orang secara terlihat di
lapangan miskin tapi justru serakah, pencemburu dll. Contohnya dulu Tasawuf
akhlaki yang hanya mengedepankan akhlak atau perilaku tapi kan sekarang, filosof,
enginer, doctor, arsitektur semuanya berkakhlak. Jadi Tasawuf akhlaki itu bukan di
miliki suatu kelompok tertentu tapi semua lapisan/elemen masyarakat atau pekerjaan
bisa menjalanakan Tasawuf akhlaki atau Tasawuf secara keseluruhan secara
11
Nasaruddin Umar, Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014) Hlm.
33-67
12
Ibid.
bersamaan. Tapi di sisilain juga dapat memunculkan sebagai orang yang
mengamalkan Tasawuf falsafi13.
Tasawuf modern ini merupakan imbas dari perkembangan pemikiran modern
yang mengembangkan dimensi logika rasional, sehingga berdampak serius terhadap
karakteristik dari Tasawuf modern ini, yang tentunya mau tidak mau Tasawuf modern
ini harus menyesuikan dengan perkembangan masa dan waktu serta harus
menyesuikan dengan kondisi dan situasi suautu tempat di mana Tasawuf modern ini
timbul dan berkembang, sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pengalaman
Tasawuf ini dengan kondisi sosial kemasyarakatan di tempat itu.
13
Ibid
14
Ibid
hanya mind tapi juga berkaitan sama alam rohani. Atau jangan hanya ilmu ilmu
rasional ilmu ladunni juga perlu saatnya kita munculkan sekarang15
Dari uraian diatas Penyusun berkesimpulan bahwa Tasawuf menjanjikan visi
penyelamatan. Apalagi di tengah berbagai krisis kehidupan yang serba matealis,
hedonis, secular, plus kehidupan yang semakin hari semakin cepat berubah secara
sosial. Tasawuf memberikan obat penawar atau solusi rohani yang memberi daya
tahan. Dalam wacana kontemporer Tasawuf sering dibahas Tasawuf sebagai obat
mengatasi krisis sosial manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga
ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari kehdupan dunia ini. Maka
Tasawuf yang sejuk dan memberikan penyegaran dan penyelamatan pada manusia
manusia yang terasing itu sebagai solusi yang tawarkan.
15
Ibid.
nilai spiritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek
esoteris (kebatinan) Islam. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa
sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam,
sehingga jika wilayah ini kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek
lain ajaran Islam. Nilai-nilai Spiritual yang harus dicapai dalam menghadapi abad
modern ini adalah hidup yang bersungguh-sungguh, bersyukur, bisa menghargai
waktu, berfikir positif, silaturrahmi, berjiwa besar, belajar dan mengajar, bertobat jika
telah melakukan dosa dan kesalahan dan jangan lupa berdoa kepada Allah SWT.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut tasawuf punya metode yaitu dengan
jalan menempuh Maqamat dan ahwal. Maqomat adalah jama’ dari maqom yang
mengandung arti kedudukan, yakni kedudukan hamba dalam pandangan Allah,
menurut apa yang diusahakan menurut Ibadah, perjuangan, latihan dan perjalanan
menuju Allah SWT. sedangkan ahwal adalah jama dari hal yang berarti sifat atau
keadaan sesuatu yakni keadaan atau kondisi psikologis yang dirasakan ketika
seseorang mencapai maqam tertentu.
Maqam-maqam yang harus di jalani yaitu: Tobat, Zuhud, Faqir, Sabar,
Syukur, Ridha, dan Tawakkal. Jika maqamat telah dilakukan dengan sungguh, benar
dan istiqamah maka ahwal yang akan diperoleh di antaranya: Muhasabah dan
muraqabah (Waspada & mawas diri), Hubb (cinta), Khauf dan Raja’ (takut &
berharap), Syauq (rindu), Uns (intim), Thuma’ninah (tentram), Musyahadah
(penyaksian), dan Yaqin (percaya). Selain melalui tahapan-tahapan maqamat dan
ahwal tersebut untuk memperoleh ketinggian spiritual dan ma’rifat maka seseorang
harus melakukan upaya-upaya tertentu, yaitu: Riyadhah dan mujahadah; Tafakur;
Tadzkiyatun nafs; dan, Dzikrullah. Jika totalitas jiwa dan hatinya telah suci dan
dipenuhi dzikrullah, tidak mustahil bila hidupnya dipenuhi kearifan dan dalam
bimbingan Allah, maka hidupnya selamat dan bahagia dunia dan akherat.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
1. Tasawuf adalah salah satu dimensi ke-Islam-an yang dibangun dari pilar Ihsan
untuk menguatkan Iman dan Islam. Tasawuf bergerak dari sisi esoterik, terfokus pada
dimensi ruhaniah. Tasawuf memberikan makna atas hakikat keimanan seseorang
yang dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi syari’at. Orang yang menjalankan
syari’at dengan tanpa diiringi dengan hakikat (tasawuf), maka ibadahnya akan
menjadi formalitas belaka, tanpa esensi yang dapat dirasakan, baik bagi diri sendiri
maupun bagi sekitar. Ia akan terjebak pada formalisme yang kaku tanpa makna.
Namun di sisi lain, jika hanya tasawuf (hakikat) tanpa syari’at, ibadah seseorang akan
tersesat pada jalan yang salah yang tidak diridhai oleh Allah SWT.
2. Kemajuan dan kemakmuran masyarakat dunia telah tercukupi di era modern, dari
hasil penemuan-penemuan yang terus berkembang. Sementara itu tasawuf merupakan
sarana pemenuhan atas kebutuhan manusia dari sisi ruhaniah. Persoalan-persoalan
masyarakat modern, seperti pecahnya kepribadian, penyalahgunaan iptek,
pendangkalan iman, materialistis, dan frustasi, dapat diselesaikan dengan tasawuf.
Tasawuf dengan tarekat (metode)-nya, selama ini terbukti mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan masyarakat modern.
DAFTAR PUSTAKA
Corbin, Henry. Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi (Yogyakarta: LKiS, 2002).
Fatah, Abdul. Tasawuf: Antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah (Jakarta: Khalifah, 2005).
Kabbani, Syeikh Muhammad Hisyam. Ensiklopedia Akidah Ahlusunah: Tasawuf dan Ihsan,
Antivirus Kebatilan dan Kezaliman (Jakarta: PT Serambi Semesta, 2007).
Nasaruddin Umar, Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin, Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2014.
Sholihin, M. dan Anwar, Rosihon. Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).