Kesetaraan Gender Dalam Organisasi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 151

KESETARAAN GENDER DALAM ORGANISASI MAHASISWA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS


SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

JUWITA MARFANI HULU

160902045

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021
KESETARAAN GENDER DALAM ORGANISASI MAHASISWA FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dalam Program Studi Kesejahteraan Sosial

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

Juwita Marfani Hulu

160902045

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021
i
Telah diuji pada

Tanggal: 31 Mei 2021

PANITIA PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Agus Suriadi, S.Sos, M.Si

Anggota : 1. Mia Aulina Lubis, S.Sos, M.Kesos

2. Dra. Berlianti, M.SP

ii
PERNYATAAN

Judul Skripsi
KESETARAAN GENDER DALAM ORGANISASI MAHASISWA FAKULTAS
ILMU SOSIL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi ini disusun sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program studi Kesejahteraan Sosial Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan

hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian

tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis

cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan

ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian skripsi ini

bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,

penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang

dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juni 2021

Penulis,

Juwita Marfani Hulu

iii
KESETARAAN GENDER DALAM ORGANISASI MAHASISWA FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Ketimpangan gender yang merugikan salah satu jenis kelamin dalam


masyarakat melahirkan tuntutan kesetaraan gender. Mahasiswa sebagai agen
perubahan negara melalui organisasi mahasiswa dipercaya mampu mewujudkan
kesetaraan gender dalam bentuk konkrit hingga mencapai seluruh lapisan masyarakat.
FISIP USU memiliki 10 organisasi eksternal mahasiswa, di mana peran perempuan
dalam posisi penting organisasi masih sangat minim. Adapun tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana kesetaraan gender dalam organisasi eksternal
mahasiswa FISIP USU. Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menggabungkan
metode penelitian kualitatif dan kuantitatif (mixed method research). Informan
penelitian ini adalah Gubernur PEMA FISIP USU, anggota organisasi eksternal
FISIP USU, demisioner organisasi eksternal FISIP USU, serta 84 responden yang
merupakan anggota aktif organisasi eksternal FISIP USU. Melalui 4 indikator
kesetaraan gender yang terdiri atas akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat. Hasil
penelitian ini mengemukakan bahwa 10 organisasi eksternal FISIP USU memberi
akses yang mudah baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk bergabung dalam
organisasi, memperoleh informasi yang diinginkan dan menduduki posisi yang
diinginkan. Partisipasi setiap anggota juga tidak dibatasi, kontrol atau pemegang
kekuasaan juga tidak dibatasi. Anggota organisasi juga merasakan manfaat positif
dari organisasi yang diikuti. Meskipun organisasi eksternal FISIP USU tidak
membatasi baik laki-laki maupun perempuan dengan tidak membuat aturan atau
kebijakan yang bias, tetapi dalam kehidupan organisasi eksternal FISIP USU masih
ditemukan stereotype yang akhirnya menimbulkan subordinasi. Stereotype dan
subordinasi merupakan salah satu wujud dari ketimpangan gender. Hal ini tidak
begitu disadari karena stereotype yang berkembang dalam kehidupan organisasi
eksternal FISIP USU adalah stereotype yang ada dalam kehidupan masyarakat atau
sudah biasa didengar dalam kehidupan sehari-hari.

Kata kunci : kesetaraan, gender, organisasi, mahasiswa, FISIP.

iv
GENDER EQUALITY IN STUDENT ORGANIZATIONS FACULTY OF
SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
ABSTRACT

Gender inequality that is detrimental to one gender in society creates demands


for gender equality. Students as agents of change through student organizations are
believed to be able to realize gender equality in concrete forms that reach all levels of
society. USU's FISIP has 10 external student organizations, where the role of women
in important organizational positions is still very minimal. The purpose of this
research is to know how gender equality is in the external organization of USU's
FISIP students. This type of research is research that combines qualitative and
quantitative research methods (mixed method research). The informants of this study
were the Governor of USU's FISIP PEMA, members of the external organization of
USU's FISIP, demisioners of USU's FISIP external organizations, and 84 respondents
who were active members of the external organization of USU's FISIP. Through 4
indicators of gender equality consisting of access, participation, control and benefits.
The results of this study suggest that 10 USU FISIP external organizations provide
easy access for both men and women to join the organization, obtain the desired
information and occupy the desired position. The participation of each member is also
not restricted, control or power holders are also not restricted. Members of the
organization also feel positive benefits from the organizations that are joined.
Although the external organization of USU's FISIP does not limit both men and
women by not making biased rules or policies, stereotypes are still found in the life of
the USU FISIP external organizations which eventually lead to subordination.
Stereotypes and subordination are manifestations of gender imbalance. This is not
really realized because the stereotypes that develop in the life of USU's FISIP
external organizations are stereotypes that exist in people's lives or are commonly
heard in everyday life.

Keywords: equality, gender, organization, students, FISIP.

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat,

penyertaan dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

Kesetaraan Gender Dalam Organisasi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima

bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan

terima kasih yang tulus kepada :

1. Kedua orang tua penulis. Alm. Bapak Drs. Faogohuku Hulu, M.Pd dan Mamaku

tersayang ibu Mawarti Hia, terima kasih untuk semua cinta, kasih sayang dan

dukungan tiada henti yang selalu diberikan kepadaku. Untuk mamaku yang

paling baik sedunia, terima kasih karena selalu ada, selalu mendegarkan setiap

keluh kesahku dan selalu memberi kata-kata yang positif serta semua doa-doa

yang selalu mama panjatkan untukku. Untuk alm. Bapakku tersayang yang

sekarang sudah tenang di surga, yang dari awal daftar kuliah di beberapa

Universitas sangat mendukungku bahkan mengantarku ke Medan untuk ikut

beberapa tes. Bapak selalu mengingatkanku untuk mengerjakan skripsi, memberi

nasehat, bahkan menawarkan bantuan. Walaupun akhirnya bapak harus pergi

ditengah-tengah proses pengerjaan skripsi ini, tapi support dan cinta Bapak

sudah dan akan tetap kurasakan.

2. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si, selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara.

vi
3. Bapak Drs. Hendra Harahap, M.Si, PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si, selaku Ketua Departemen Kesejahteraan

Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dra. Berlianti, MSP selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulis

menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih ibu untuk waktu, arahan dan bimbingan

ibu selama pengerjaan skripsi ini.

6. Seluruh dosen dan staff administrasi Departemen Kesejahteraan Sosial Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, terima kasih banyak

sudah memberikan ilmu, dan bantuan selama perkuliahan sampai saat ini.

7. Saudara-saudara penulis. Abang Bonny Hulu, adek Mopo dan adek Bryan, terima

kasih ya untuk suuport kalian selama ini. Kita harus tetap kompak seperti pesan

alm. Bapak. Kita juga harus tetap jaga mama dan selalu melakukan yang terbaik

supaya mama kita tersayang tetap bahagia.

8. Sister from another motherku, Liberty Oktorianty Zendrato manusia yang paling

kusayang setelah keluargaku. Terima kasih ya Berty sayang karena tetap menjadi

saudara untukku, untuk semua waktu yang kau berikan padaku, telingamu yang

selalu siap mendengar ceritaku, dan supportmu yang luar biasa. Walaupun aku

terlahir sebagai anak perempuan tunggal, tapi aku percaya kalau kau adalah

saudara perempuan yang Tuhan kasih untukku.

9. Manusia-manusia luar biasa yang Tuhan hadirkan dalam hidupku. Fenny Rifka

Simbolon, Monica Kristiyanthi, Novaerita Puspa Sari Zega dan Mulia Raja

Napitupulu, kalian adalah support system terbaikku. Tidak akan pernah lelah

bibir dan hatiku mengucapkan syukur kepada Tuhan karena telah menjadikan

kita teman, bahkan lebih dari itu. Terima kasih untuk semua waktu dan semua hal
vii
yang sudah kita lakukan bersama, canda, tawa, dan tangis. Kalian tidak pernah

bosan memberi telinga untuk mendengarkanku dan menemaniku melewati hari-

hari yang buruk. Kalian juga yang membuatku menjadi lebih baik seperti

sekarang. Ayo kita bahagia selamanya!!

10. Kak Niscaya Hia, orang yang dari awal sekali menemaniku. Mulai dari mencari

lokasi ujian, ikut ujin SBMPTN, kuliah dan ngekos bareng.

11. Chrisvon Lase, orang yang selalu meluangkan waktunya untuk meladeni

kebodohanku dan kegilaanku. Maaf kalau aku suka marah-marah dan terima

kasih juga untuk semua bantuanmu selama ini.

12. Yohanes Hulu, Priscila Naibaho, Lidia Putri dan Yusma, terima kasih karena

kalian sudah melengkapi kehidupan perkuliahanku menjadi lebih berwarna.

13. Keluarga „GOMO‟ di Medan, Kak Rika, Bang Tona, Sadartina dan Kak Santi,

terima kasih sudah menerimaku di kontrakan kalian dan membuat kehidupanku

di Medan menjadi lebih menyenangkan.

14. Iin, Milka dan Bei teman seperjuangan sejak kecil. Walaupun sekarang kita

sedang berjauhan, tapi FIBI(S) akan selalu di hati.

15. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Kesejahteraan Sosial FISIP USU. Terima

kasih untuk semua waktu yang sudah kita lalui bersama selama masa

perkuliahan. Terima kasih juga untuk bantuan yang diberikan selama proses

penelitian. Semoga kelak kita dapat berguna bagi masyarakat dan negara ini.

16. Seluruh informan dan responden penelitian yang telah meluangkan waktu untuk

memberi informasi yang berguna dalam penyelesaian skripsi ini.

17. Esrani, Anggi Rikky, Mikael, orang-orang yang banyak sekali membantu

mencari responden dan informan penelitian, serta semua pihak yang terlibat dan

telah memberi dukungan dalam proses pengerjaan skripsi ini.


viii
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan semua pihak yang terlibat dalam

proses penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak

sekali kekurangan dan tidak sempurna. Namun besar harapan penulis semoga skripsi ini

dapat berguna bagi seluruh pembaca. Tuhan memberkati. Terima kasih.

Medan, Mei 2021

Penulis,

Juwita Marfani Hulu

ix
DAFTAR ISI

Pengesahan ..................................................................................................... i

Pernyataan ...................................................................................................... iii

Abstrak ............................................................................................................ iv

Kata Pengantar .............................................................................................. vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 9

1.4 Sistematika Penulisan ............................................................................. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 12

2.1 Landasan Teoritis.................................................................................... 12


2.1.1 Gender ............................................................................................. 12
2.1.1.1 Pengertian Gender ...................................................................... 12
2.1.1.2 Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin ........................................ 13
2.1.1.3 Identitas Gender .......................................................................... 14
2.1.1.4 Ketimpangan Gender .................................................................. 14
2.1.1.5 Kesetaraan Gender ...................................................................... 20
2.1.2 Teori Patriarki .................................................................................. 24
2.1.3 Teori Nurture ................................................................................... 26
2.1.4 Teori Struktur Fungsional ................................................................ 27
2.1.5 Teori Konflik ................................................................................... 29
2.1.6 Teori Feminisme .............................................................................. 30
2.1.7 Organisasi Mahasiswa ..................................................................... 36
x
2.2 Penelitian Yang Relevan......................................................................... 37
2.3 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 45
2.4 Defenisi Konsep...................................................................................... 47

BAB III METODE PENELITIAN.............................................................. 50


3.1 Jenis Penelitian ....................................................................................... 50
3.2 Lokasi Penelitian .................................................................................... 50
3.3 Informan Penelitian ................................................................................ 51
3.4 Populasi dan Sampel ............................................................................... 52
3.3.1 Populasi ........................................................................................... 52
3.3.2 Sampel ............................................................................................. 52
3.4 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 54
3.5 Teknik Analisis Data .............................................................................. 55
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ........................................... 58
4.1 Letak Geografis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara ....................................................................................... 58
4.2 Sejarah dan Perkembangan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara .................................................................... 58
4.3 Profil Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara ....................................................................................................... 59
4.4 Visi, Misi dan Tujuan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara .................................................................... 64
4.4.1 Visi .................................................................................................. 64
4.4.2 Misi .................................................................................................. 65
4.4.3 Tujuan .............................................................................................. 66
4.5 Struktur Organisasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara ....................................................................................... 67
4.6 Kondisi Umum Tentang Klien................................................................ 68
4.7 Sarana dan Prasana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara ....................................................................................... 69
BAB V HASIL PENELITIAN ...................................................................... 71

5.1 Deskripsi Data Hasil Penelitian .............................................................. 71


5.1.1 Hasil Wawancara ...................................................................... 71
5.1.1.1 Informan Kunci ........................................................................ 71
5.1.1.2 Informan Utama I ..................................................................... 74
5.1.1.3 Informan Utama II .................................................................... 77
5.1.1.4 Informan Utama III................................................................... 80
5.1.1.5 Informan Utama IV .................................................................. 83
5.1.1.6 Informan Utama V .................................................................... 86
5.1.1.7 Informan Tambahan I ............................................................... 89
5.1.1.8 Informan Tambahan II .............................................................. 91
xi
5.1.1.9 Informan Tambahan III ............................................................ 94
5.1.2 Hasil Kuesioner ........................................................................ 96
a. Akses .................................................................................. 96
b. Partisipasi ........................................................................... 100
c. Kontrol ................................................................................ 104
d. Manfat................................................................................. 108
5.2 Analisis Pembahasan Hasil Penelitian ................................................. 110
5.2.1 Akses ............................................................................................... 111
5.2.2 Partisipasi ........................................................................................ 113
5.2.3 Kontrol ............................................................................................. 116
5.2.4 Manfaat ............................................................................................ 119
5.3 Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 122
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 124

6.1Kesimpulan ................................................................................................. 124


6.2Saran ............................................................................................................ 126

Daftar Pustaka .................................................................................................. 127

Lampiran-Lampiran ......................................................................................... 131

xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kesetaraan gender merupakan salah satu isu yang semakin sering dibicarakan

akhir-akhir ini. Pembahasan seputar isu kesetaraan tetap faktual bahkan semakin kuat

dari waktu ke waktu. Tuntutan kesetaraan gender tidak hanya digaungkan di negara-

negara maju atau yang memiliki peradaban tinggi, tetapi sudah mulai menjadi salah

satu isu hangat di negara – negara berkembang. Salah satunya Indonesia. Ann Oakley

mengartikan gender sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada

manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia (Oakley dalam Nugroho, 2008:3).

Artinya gender merupakan hasil ciptaan manusia untuk membuat perbedaan peran

antara perempuan dan laki-laki. Peran gender yang berlaku dalam suatu kelompok

masyarakat ditentukan oleh pandangan masyarakat itu sendiri tentang laki-laki dan

perempuan dan hal tersebut belum tentu berlaku pada kelompok masyarakat lainnya.

Gender tidak bersifat universal namun bervariasi dari masyarakat yang satu ke

masyarakat yang lain dari waktu ke waktu (Nugroho, 2008:6). Perbedaan gender

sebenarnya bukan suatu masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan gender

(gender inequalities). Namun pada kenyataannya perbedaan gender malah

menimbulkan ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat. Kesetaraan gender

menuntut agar setiap manusia diperlakukan secara adil tanpa didiskriminasi

berdasarkan identitas gender mereka.

Persoalan yang dihadapi atau ditimbulkan oleh persoalan kesetaraan gender

pada dasarnya bukanlah sekedar persoalan setengah populasi penduduk yang berbeda
1
2

secara biologis, akan tetapi merupakan persoalan keseluruhan penduduk. Masalahnya

adalah setengah dari populasi penduduk (lelaki) belum semuanya peduli gender dan

setengahnya lagi (perempuan) memiliki atribu-atribut sosial yang kebanyakan tidak

mendukung pemberdayaan perempuan dalam meraih kesetaraan berperan. Tanpa

melihat upaya kesetaraan gender dari perspektif perempuan, tampaknya subordinasi

tersembunyi bagi perempuan, walaupun banyak pihak tetak menyanggah dengan

keras, akan tetap berlangsung dan sebaliknya stereotipe pencitraan peran yang

membedakan kemampuan seseorang dalam berperan berdasarkan perbedaan biologis

akan terus melembaga (Hubeis, 2010:208).

Fenomena masih terjadinya ketidakadilan gender, juga disebabkan masih

berlagsungnya budaya patriarki yang dianut oleh sebagian besar bangsa-bangsa di

dunia. Menurut Bressler, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan

laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah

memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat

sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut

subordinasi perempuan (Bressler dalam Susanto, 2015). Menurut Masudi sejarah

masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap

bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan, baik dalam kehidupan

pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-

temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan

perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender (Faturochman,

2002). Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi
3

dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki

kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Dalam semua lini kehidupan, masyarakat

memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya. Ini dapat

dilihat dari data KEMENPPA tahun 2019, tingkat IPM (Indeks Pembangungan

Manusia) wanita di Indonesia masih berada di bawah laki-laki. IPM laki-laki sudah

masuk dalam kategori pencapaian tinggi (antara 70 sampai dengan 80), sedangkan

IPM perempuan masih dalam taraf sedang (antara 60 sampai dengan 70). IPM sendiri

adalah suatu tolak ukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen

dasar kualitas hidup. Hal ini menunjukkan bahwa konstruk sosial yang dibangun

dalam budaya patriarki dalam melihat perbedaan gender telah melahirkan berbagai

ketidakadilan yang menyebabkan banyak kerugian dan ketertinggalan pada

perempuan.

Sebuah studi dari Mastercard mengenai Perkembangan Wanita (Women’s

Advancement) tahun 2017 mengungkap bahwa secara umum perkembangan

perempuan dalam hal peluang kerja maupun posisi-posisi kepemimpinan di

Indonesia masih cenderung stagnan. Dari 19 negara di kawasan Asia Pasifik,

kesenjangan terbesar untuk tingkat partisipasi tersebut terdapat di Indonesia, di mana

tingkat partisipasi wanita hanya mencapai 51% dibandingkan pria yakni sebanyak

83,7%. Perempuan juga masih mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan tetap

maupun berkontribusi terhadap perekonomian sebagai pengusaha, pimpinan

perusahaan maupun tokoh politik. Mayoritas perempuan di Indonesia (36,6%) bekerja

di sektor informal yang tidak menyediakan hak khusus seperti asuransi kesehatan,
4

rencana pensiun, maupun hak cuti berbayar. Dalam kepemimpinan di bidang bisnis,

hanya sekitar dua dari sepuluh wanita yang memiliki posisi sebagai pemimpin 23,5%

dibandingkan dengan laki-laki 76,5% (mastercardcontentexchange.com).

Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan,

yaitu : Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, pembentukan

stereotype atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih banyak, serta

sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 2013:12). Misalnya, salah satu akibat

ketidakadilan gender adalah kekerasan. Kekerasan karena perbedaan gender pada

dasarnya disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Dari

data CATAHU (Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan) tahun 2020 dalam

kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792%

(hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun

meningkat hampir 8 kali lipat. Komnas Perempuan juga menerima pengaduan

langsung sebanyak 1.419 kasus. Jumlah ini mengalami perubahan dari tahun ke

tahun. Ranah kekerasan terbanyak yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan

adalah ranah privat/ personal sebanyak 944 kasus (74%), publik/ komunitas 291

kasus (23%) dan negara 42 kasus (3%). Pengaduan tertinggi atas kasus kekerasan

terhadap perempuan banyak dilakukan oleh orang terdekat yang mempunyai relasi

personal dan sangat dikenal oleh korban. Relasi personal nampak dari hubungan

pelaku dengan korbannya.

Sekitar tahun 1970-1980an, benih-benih kelompok gerakan perempuan

kontemporer mulai bersemi di kalangan menengah intelektual yang berjuang demi


5

terpenuhinya hak-hak perempuan, dikenal dengan sebutan Lembaga Suadaya

Masyarakat (LSM) atau Non-Goverment Organization (NGO). LSM Perempuan yang

tumbuh sekitar dekade 1980-an, contohnya Yayasan Annisa Swasti di Yogya dan

Kalyanamitra di Jakarta, mulanya memusatkan perhatian pada masalah eksploitasi

tenaga kerja perempuan (buruh perempuan). Buruh perempuan adalah realitas kelas

tertindas yang digempur oleh patriarki di dalam rumah tangga, militerisme dan

kapitalisme.

Setelah dekade 1990-an, perjuangan merebut hak perempuan bergerak ke isu

kekerasan terhadap perempuan yang memusatkan aspek seksualitas dan gender. Pada

periode Habibie, dibentuk Komisi Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap

Perempuan yang dikenal dengan Komnas Permpuan pada tahun 1999 lewat Instruksi

Preiden. Ini merupakan jawaban atas tuntutan sejumlah tokoh perempuan kepada

Presiden Habibie pada waktu itu. Dalam perkembangannya sampai sekarang,

lembaga tersebut banyak berperan sebagai lembaga yang aktif memasyarakatkan

pengakuan atas hak-hak perempuan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM).

Tetapi, semua hal itu belum juga membawa angin segar bagi perempuan.

Seperti dalam dunia pendidikan. Perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan

perempuan khususnya dalam bidang pendidikan dimulai oleh RA Kartini sebagai

wujud perlawanan atas ketidakadilan terhadap kaum perempuan pada masa itu.

Dalam dunia pendidikan, subordinasi karena gender juga sering sekali menimpa

perempuan. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan

peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Sebagai contoh dalam memperoleh hak-
6

hak pendidikan, biasanya anak perempuan tidak mendapat akses yang sama

dibanding laki-laki. Data BPS tahun 2018 mencatat persentase laki-laki 15 tahun ke

atas yang telah menamatkan pendidikan SMA ke atas lebih tinggi dibandingkan

perempuan dengan besar persentase masing-masing 37,70 persen dan 32,53 persen

(bps.go.id). Seperti anggapan yang sudah sangat lama berada dalam masyarakat, yaitu

bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga

dan mengurus keluarga.. Anggapan ini mewajarkan jika pendidikan perempuan

dinomorduakan, maka timbulah stereotipe tugas utama perempuan adalah mengurus

rumah tannga dan bukan bekerja diluar rumah.

Riset Mckinsey tahun 2018 mencatat, jumlah lulusan perguruan tinggi di

Indonesia hampir setara antara laki-laki dan perempuan. Namun, saat mereka bekerja,

hanya ada sekitar 20% posisi middle management yang diisi oleh perempuan. Makin

ke atas, jumlahnya semakin menyusut hingga tersisa 5% posisi Chief Executive

Officer (CEO) diduduki oleh perempuan (katadata.co.id). Jika berkaca dari pemilihan

umum DPR tahun 2019 yang lalu, sebanyak 118 kursi atau 21% dari total 575 kursi

di DPR diisi oleh perempuan. Jumlah tersebut meningkat 22% dari pemilu

sebelumnya yang hanya mengisi sebanyak 97 kursi dan untuk pertama kalinya di

Indonesia, perempuan berhasil menjadi pimpinan DPR. Ini membuktikan bahwa

perempuan juga dapat berprestasi dan dapat menduduki posisi sebagai pengambil

keputusan. Meskipun ini merupakan salah satu capaian keberhasilan perempuan, akan

tetapi tetap saja tantangan terbesarnya adalah seksisme yang kuat dalam budaya

politik Indonesia (tirto.id).Sudah seharusnya untuk meningkatkan kedudukan wanita


7

dan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan diilhami dalam perguruan

tinggi. Karena perguruan tinggi memiliki peranan penting dan strategis untuk

menyebarluaskan pengetahuan, nilai, norma, dan ideologi serta pembentukan karakter

bangsa, tidak terkecuali kesetaraan gender. Dalam menanggapi fenomena ini,

mahasiswa dan organisasi mahasiswa memiliki posisi strategis untuk dapat ambil

bagian dalam gerakan mewujudkan kesetaraan gender.

Sejarah panjang gerakan mahasiswa dalam organisasi mahasiswa yang berusaha

memperjuangkan hak masyarkat dan menegakkan nilai-nilai demokrasi telah ada

sejak bangsa Indonesia masih berada dalam kolonialisasi Belanda. Organisasi

mahasiwa yang pertama berdiri pada masa prakemerdekaan adalah Budi Oetomo.

Salah satu bukti berhasilnya gerakan mahasiswa melalui organisasi mahasiswa adalah

peristiwa 1998 yang berhasil mendobrak kemapanan orde baru, meruntuhkan

kekuasaan Presiden Soeharto dan melahirkan reformasi. Pada tahun 2019 organisasi

mahasiswa juga kembali menunjukkan taringnya melalui demo menolak RUU KUHP

dan Revisi UU KPK. Mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia melakukan demo

besar-besaran pada saat itu. Bahkan sampai menjadi trending topic dunia di salah satu

platform media sosial (tirto.id). Mahasiswa yang dipercaya masyarakat sebagai agen

perubahan (agent of change) negara sudah sepatutnya turut serta mewujudkan

kesetaraan gender. Peran mahasiswa dalam organisasi mahasiswa sebagai kaum

terpelajar, calon elite intelektual untuk memikirkan bagaimana cara menuangkan

wacana kesetaraan gender dalam bentuk yang konkrit untuk mencapai semua

golongan masyarakat hingga ke akar rumput Kesetaraan gender merupakan salah satu
8

betuk perjuangan dalam usaha mewujudkan nilai-nilai demokrasi, yaitu persamaan

dan keadilan (Christina,2007).

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP

USU), memiliki beberapa organisasi mahasiswa, internal dan eksternal. Organisasi

internal, seperti PEMA (Pemerintah Mahasiswa), HMD (Himpunan Mahasiswa

Departemen). Organisasi Ekternal adalah organisasi yang berada diluar birokrasi

kampus .Biasanya organisasi ini berperan sebagai organisasi pengkaderan dan

wilayah geraknya cukup luas bahkan sampai pada tingkatan nasional. Beberapa

organisasi eksternal di FISIP USU seperti GMNI, HMI, GMKI, SAPMA PP,

SAPMA IPK, AMPI, GEMAPRODEM. dan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dalam

hal ini terdapat tiga UKM, yaitu UKM SEPAK BOLA, UKMI, dan UKM KMK

FISIP USU. Hampir semua organisasi tersebut dipimpin oleh laki-laki. Menurut

pengurus organisasi eksternal Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara, dalam dua periode terakhir 8 dari 10 organisasi eksternal tersebut

dipimpin oleh laki-laki. Hanya terdapat dua organisasi yang pernah dipimpin oleh

perempuan. Ini membuktikan bahwa dalam organisasi mahasiswa, partisipasi

perempuan masih sedikit. Terutama dalam urusan pengambilan keputusan.

Kesempatan perempuan untuk menduduki posisi-posisi penting dalam politik

dan organisasi masih dibatasi oleh budaya dan masyarakat. Pro kontra budaya

patriarki di Indonesia dan stigma pada kaum perempuan sering sekali menjadi alasan

untuk bersikap tidak adil pada perempuan (Fibrianto, 2016). Pada umumnya

perempuan di dalam organisasi banyak yang diidentikkan dengan peran sebagai


9

sekretaris, bendahara, atau anggota biasa. Jarang yang condong ke arah pemimpin

organisasi. Hal tersebut dan beberapa data yang telah dipaparkan sebelumnya yang

melatarbelakangi peneliti untuk melakukan sebuah penelitian yang berjudul

“Kesetaraan Gender Dalam Organisasi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:Bagaimana Kesetaraan Gender Dalam

Organisasi Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dari penelitian ini yaitu

untuk mengetahui bagaimana kesetaraan gender dalam organisasi mahasiswa

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara .

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara akademis, sebagai tambahan referensi dan kajian ilmu pengetahuan bagi

mahasiswa yang ingin melakukan penelitian seputar gender dan sebagai

tambahan ilmu pengetahuan yang membahas tentang kesejahteraan

perempuan melalui kesetaraan gender.


10

2. Secara praktis, diharapakan dapat memberikan kontribusi pada masyarakat

berupa pemikiran tentang pentingnya kesetaraan gender dan dampak dari

ketidakadilan gender.

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

2. Rumusan Masalah

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

4. Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Landasan Teoritis

2. Penelitian Yang Relevan

3. Kerangka Pemikiran

4. Definisi Konsep

BAB III METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

2. Lokasi Penelitian

3. Populasi danSampel

4. Teknik Pengumpulan Data

5. Teknik Analisis Data


11

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

1. Letak Geografis Lokasi Penelitian

2. Sejarah Perkembangan Lokasi Penelitian

3. Profil Lokasi Penelitian

4. Visi, Misi dan Tujuan Lokasi Penelitian

5. Struktur Organisasi/Lembaga Lokasi Penelitian

6. Kondisi Umum Tentang Klien

7. Sarana dan Prasarana Lokasi Penelitian

BAB V HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi Data Hasil Penelitian

2. Pembahasan Hasil Penelitian

3. Keterbatasan Penelitian

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teoritis

2.1.1 Gender

2.1.1.1. Pengertian Gender

Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender dan

Transformasi Sosial mengatakan bahwa gender merupakan suatu sifat yang melekat

pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.

Women’s Studies Encyclopedia mengatakan bahwa gender adalah suatu konsep

kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,

mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki yang berkembang dalam

masyarakat (Nugroho, 2008:5). Juddith Butler (1990) mengatakan bahwa gender

merupakan bentuk simbolik dari aksi masyarakat yang mengikuti kebiasaan yang

dilakukan. Sejalan dengan pendapat tersebut, pendapat lain berasal dari Hillary M.

Lips (1993) yang berpendapat bahwa gender merupakan harapan-harapan budaya

terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for woman and men) (Lips

dalam Nugroho, 2008:5).

Gender dapat pula diartikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan

untuk menjelaskan sesuatu (Umar, 2001). Hasples dan Suriyasarn (2005),

menyatakan gender adalah sebuah variabel sosial untuk menganalisa perbedaan laki-

laki dan perempuan yang berkaitan dengan peran, tanggung jawab dan kebutuhan

serta peluang dan hambatan. Gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk

12
13

mengidentifikasi perbedaan antara laki – laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi

sosial budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, emosi dan berbagai faktor nonbiologis

lainnya.

2.1.1.2. Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin

Masyarakat sering mengidentikan gender sebagai jenis kelamin yang bersifat

kodrati. Ini merupakan pemahaman yang salah dan sudah dianut sejak lama. Padahal

kedua hal ini jelas berbeda. Menurut Echols (1983) secara etimologis kata gender

berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Menurut Hillary M. Lips

(1993) secara terminologis gender adalah harapan – harapan budaya terhadap

perempuan dan laki – laki(Lips dalam Marzuki, 2007). Gender adalah hasil

konstruksi sosial yang membedakan peran perempuan dan laki – laki dalam suatu

masyarakat. Menurut WHO gender merupakan sifat perempuan dan laki-laki, seperti

norma, peran, dan hubungan antara kelompok pria dan wanita, yang dikonstruksi

secara sosial. Gender dapat berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan

masyarakat lainnya, serta dapat berubah sering waktu. Gender tidak bersifat kodrati.

Berbeda dengan gender, jenis kelamin mengarah pada pembagian fisiologis

atau anatomis manusia secara biologis (Setiadi, 2011:2). Jenis kelamin merupakan

pembagian dua jenis kelamin (penyifatan) manusia yang ditentukan secara biologis

yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Nugroho, 2008:2). Studi seks menekankan

pada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh perempuan dan

laki – laki, studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas dan feminitas

seseorang.
14

2.1.1.3. Identitas Gender

Identitas gender merupakan defenisi diri tentang seseorang, khususnya sebagai

perempuan dan laki – laki. Meissner (2005) mengartikan identitas gender sebagai

pengalaman internal diri tentang gender dan menjadi bagian dari identitas diri sendiri.

Identitas gender mulai berkembang pada saat seseorang dilahirkan, ia dikenali

sebagai perempuan atau laki – laki dari jenis kelaminnya (Meissner dalam Nurohim,

2018). John Money (1955) mengatakan bahwa idenitas gender merupakan sesuatu hal

yang dapat dibentuk dengan pengaruh dari apakah seorang anak dibesarkan sebagai

perempuan atau laki – laki. Identitas gender yang berkembang sejak usia dini

kemudian diperkuat karena interaksi dengan orang dewasa. Orang dewasa akan

cenderung menampilkan identitas dirinya, sikap dan perannya yang merupakan hasil

konstruksi sosial budaya. Melalui interaksi tersebut dan kehidupan dalam masyarakat,

seorang anak akan belajar mengenai peran gender untuk masing – masing jenis

kelamin. Lambat laun bayi tersebut akan terus berkembang, memahami peran gender

sesuai jenis kelaminnya dan menemukan identitas gendernya. Identitas gender

seseorang mencakup sikap tentang dirinya yang berlangsung secara sadar maupun

tidak (Nugroho, 2008:21).

2.1.1.4. Ketimpangan Gender

Perbedaan jenis kelamin dapat menyebabkan perbedaan gender dimana

perempuan dianggap tidak rasional, emosional, dan lemah lembut, sedangkan laki-

laki dianggap rasional, kuat, dan perkasa. Perbedaan gender kemudian melahirkan

ketidakadilan gender, baik bagi laki-laki, terutama bagi perempuan. Secara


15

antropologis ketertindasan perempuan dipandang oleh Sherry Ortner disebabkan leh

sebuah sistem nilai yang diberi makna tertentu secara kultural. Ortner menempatkan

ketertinggalan perempuan pada tataran ideologi dan symbol kebudayaan.

Ketertindasan perempuan dalam budaya universal, merupakan manifestasi dari

pemahaman antarbudaya dan alam yang kemudian dibandingkan dengan posisi laki-

laki dan perempuan pada peran sosialnya (Winarno, 2014:373). Untuk memahami

bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat

melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada(Fakih, 2013:13), yaitu :

1. Marginalisasi; adalah pemiskinan atau peminggiran. Dalam masyarakat

terdapat salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu yang

disebabkan oleh gender, dalam hal ini terjadi pada perempuan. Ada perbedaan

jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi

perempuan kerena perbedaan gender. Bila ditinjau dari sumbernya, bisa berasal

dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan

kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Misalnya program pertanian

green revolution (revolusi hijau) yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki

sehingga secara ekonomis menyebabkan banyak perempuan desa tersingkir

secara ekonomi dan menjadi miskin. Marginalisasi terhadap perempuan, juga

sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota

keluarga laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat.

Misalnya, banyak sekali suku-suku di Indonesia yang menganggap bahwa

perempuan tidak perlu mendapat harta warisan.


16

2. Subordinasi; timbul karena sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum

perempuan. Anggapan bahwa perempuan emosioanal dan irrasional sehingga

perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang

menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi karena

gender terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat

dan dari waktu ke waktu. Misalnya dalam sebuah kelompok atau organisasi , jika

terdapat pembagian kerja sudah pasti perempuan akan tersubordinasikan.

Perempuan biasanya hanya dijadikan sekretaris atau bendahara. Seperti anggapan

yang sudah ada sejak lama dalam masyarakat, bahwa perempuan tidak perlu

sekolah tinggi-tinggi toh akhirnya akan ke dapur jugaa. Hal seperti ini

sesungguhnya muncul karena kesadaran gender yang tidak adil

3. Stereotype; merupakan pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok

atau jenis kelamin tertentu. Stereotype selalu merugikan dan menimbulkan

ketidakdilan. Banyak sekali bentuk stereotipe yang terjadi di masyarakat yang

dilekatkan pada perempuan. Misalnya penandaan yang berawal dari asumsi

bahwa perempuan bersolek untuk memikat laki-laki, maka setiap terjadi

kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe tersebut.

Terdapat pula anggapan, bahwa tugas perempuan adala melayani suami.

Misalnya dalam sebuah organisasi mahasiswa. Laki-laki dan perempuan

memiliki akses untuk dapat menduduki posisi-posisi strategis akan tetapi

perempuan belum sepenuhnya bisa terlepas dari stereotip yang merupakan


17

produk konstruksi sosial budaya yang mengindentifikasikan mahasiswi sebagai

makhluk feminine (Mustopa, 2016).

4. Beban ganda; artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin

lebih banyak dibandingkan jenis kelamin laiinya. Adanya anggapan bahwa kaum

perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi

kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga

menjadi tanggung jawab kaum perempuan (Arbain, dkk., 2015). Bias gender

yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan

oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang

dianggap sebagai “pekerjaan perempuan” dalam hal ini perkejaan domestik,

dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan yang dianggap

sebagai “perkejaan laki-laki”, sertak dikategorikan tidak produktif dan tidak

diperhitungkan dalam statistik ekonomi (Fakih, 1996:21). Peran ganda yang

dilakoni perempuan umumnya meliputi peran domestik dan peran publik yang

umumnya terdapat di tempat kerja di luar rumah. Tugas dan tanggung jawab

perempuan yang berat berlangsung secara terus menerus. Misalnya, dalam

keluarga, selain melayani suami, seorang perempuan juga hamil, melahirkan,

menyususi, mengurus anak, memasak, mengurus rumah dan melakukan semua

pekerjaan domestik lainnya, terlebih-lebih jika si perempuan juga bekerja diluar

rumah untuk mencari tambahan nafkah keluarga, maka ia memikul beban kerja

ganda (Puspitawati, 2013).


18

5. Kekerasan; merupakan invasi (assault) atau serangan terhadap fisik maupun

integritas mental psikologis seseorang. Salah satu kekerasan yang terjadi pada

jenis kelamin tertentu lebih disebabkan oleh gender. Kekerasan yang disebabkan

oleh bias gender disebut gender-related violence. Kekerasan gender pada

dasarnya disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.

Ada beberapa macam bentuk kekerasan gender, yaitu :

a Pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam

perkawinan. Pemerkosaan terjadi apabila seseorang melakukan

pemaksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang

bersangkutan. Ketidakrelaan ini seringkali tidak bisa diekspresikan

karena takut, keterpaksaan ekonomi, sosial maupun kultural sehingga

tidak ada pilihan lain.

b Serangan fisik atau tindakan pemukulan yang terjadi dalam rumah tangga

(domestic violence) termasuk tindakan penyiksaan anak-anak (child

abuse).

c Penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation).

d Prostitution (pelacuran) merupakan bentuk kekerasan yang dilakukan

dengan motif ekonomi yang sangat merugikan perempuan. Negara dan

masyarakat selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerjaan

seksual ini. Masyarakat menganggap rendah pelacur, tetapi pusat kegiatan

mereka selalu ramai.


19

e Pornografi adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan. Kekerasan

nonfisik dalam bentuk pelecehan kepada perempuan, diman tubuh

perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.

f Pemaksaan sterilisasi KB. KB telah menjadi salah satu sumber kekerasan

yang menimpa perempuan. Untuk mengontrol pertumbuhan penduduk,

perempuan seringkali menjadi korban, meskipun semua orang tahu bahwa

persoalannya tidak hanya berasal dari perempuan tetapi juga laki-laki.

g Kekerasan terselubung (molestation) yakni memegang atau menyentuh

bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan

kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh.

h Pelecehan seksual (sexual and emotional harassment). Tindakan ini

seringkali terjadi dan dianggap hanya lelucon atau upaya untuk

bersahabat. Ada beberapa kategori pelecehan seksual, yaitu:

1 Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar padas seseorang

dengan cara yang dirasa sangat ofensif.

2 Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor

3 Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan

seksualnya atau kehidupan pribadinya.

4 Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan

kerja atau untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya

5 Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau

tanpa seizing dari yang bersangkutan


20

Komnas Perempuan juga mengklasifikasikan 15 bentuk pelecehan seksual dari

hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998– 2013), yaitu:

a Perkosaan

b Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan

c Pelecehan seksual

d Eksploitasi seksual

e Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual

f Prostitusi paksa

g Perbudakan seksual

h Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung

i Pemaksaan kehamilan

j Pemaksaan aborsi

k Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi

l Penyiksaan seksual

m Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual

n Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau

mendiskriminasi perempuan

o Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas

dan agama.

2.1.1.5. Kesetaraan gender

Secara historis, perempuan telah disosialisasikan untuk menampilkan sikap

keperempuanan (feminin) seperti menghindari persaingan dan konflik serta mengalah


21

demi kepentingan orang lain yang pada akhirnya menunjukkan peran dan posisi

“siapa melayani siapa” dan “siapa melindungi siapa”; Posisi pertama menunjukkan

tugas perempuan dan tugas laki-laki (Hubeis, 2010:103). Perbedaan-perbedaan peran

gender seperti ini kemudian menyebabkan adanya ketidakadilan gender. Tuntutan

kesetaraan gender muncul sebagai bentuk pemberontakan atas semua ketidakadilan

gender yang terjadi perempuan. Kaum feminis mengembangkan konsep gender pada

tahun 1970 sebagai alat untuk mengenali bahwa perempuan tidak dihubungkan

dengan laki-laki di setiap budaya dan bahwa kedudukan perempuan di

masyarakat pada akhirnya berbeda-beda. Sejak itu para feminis mengusung

konsep gender equality atau kesetaraan gender sebagai mainstream gerakan mereka

(Thisisgender.com).

Kesetaraan gender adalah adalah kesamaan peluang dan kesempatan dalam

bidang social poltik dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Keadilan gender

adalah suatu perlakuan yang sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai manusia yang

bermartabat dalam keluarga dan masyarakat. Perempuan dan laki-laki adalah mahluk

yang memiliki potensi sama. Kerjasama mereka dapat mempercepat kemajuan

pembangunan disegala bidang. Contohnya pembangunan jembatan di desa akan cepat

telaksana apabila melibatkan perempuan dalam perencanaan, karena jumlah

penduduk perempuan lebih banyak dan memberikan kesempatan kepada perempuan

untuk berpartisipasi. (Gultom, 2014:80).

Kementrian Keuangan Republik Indonesia mengartikan kesetaraan gender

sebagai kesempatan yang sama bagi gender laki-laki dan perempuan dalam hal
22

partisipasi ekonomi, kesetaraan akses pendidikan, kesehatan serta political

empowerment (kemenkeu.go.id). Ratna Megawangi (1999) mengatakan istilah

kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap

perempuan, seperti; subordinasi, penindasan, kekerasan, dan semacamnya (Nugroho,

208:28). Kesetaraan gender; merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan

perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar

mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial

budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta

kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut (KEMENPPPA). Kesetaraan

gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik

terhadap laki-laki maupun perempuan. Adapun indikator kesetaraan gender

(kemenkeu.go.id) adalah sebagai berikut:

a Akses atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya

tertentu. Mempertimbangkan bagaimana memperoleh akses yang adil dan

setara antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan laki-laki terhadap

sumberdaya yang akan dibuat. Sebagai contoh dalam hal pendidikan bagi

anak didik adalah akses memperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan untuk

anak didik perempuan dan laki-laki diberikan secara adil dan setara atau tidak.

b Partisipasi merupakan keikutsertaan atau partisipasi seseorang atau kelompok

dalam kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini

perempuan dan laki-laki apakah memiliki peran yang sama dalam

pengambilan keputusan di tempat yang sama atau tidak.


23

c Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil

keputusan. Dalam hal ini apakah pemegang jabatan tertentu sebagai

pengambil keputusan didominasi oleh gender tertentu atau tidak.

d Manfaat adalah kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal. Semua

aktifitas keluarga atau masyarakat harus memberikan manfaat yang sama,

baik bagi perempuan dan juga laki-laki.

Kepekaan dan keadilan gender akan bermanfaat bagi:

1. Diri Sendiri

a. Menumbuhkan kesadaran akan kemampuan hak-hak yang sama antara

laki-laki dan perempuan

b. Menumbuhkan keyakinan dan keberanian untuk memperjuangkan

keadilan

c. Menumbuhkan kemandirian dan kebebasan untuk menentukan pilihan

sendiri.

2. Keluarga

a. Menumbuhkan sadaran dan perilaku kebersamaan untuk saling

menghargai hak dan kewajiban antar individu dalam keluarga

b. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya saling menghargai peran

setiap individu

3. Masyarakat
24

a. Menumbuhkan kesadaran bahwa pembangunan dapat tercapai bila

dilaksanakan secara bersama-sama dalam merencanakan,

memanfaatkan, menikmati, dan memeliharanya secara berkelanjutan.

b. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sikap saling menghargai dan

menghormati hak-hak perorangan atau kelompok.

4. Negara

a. Mempermudah penyusunan dalam menetapkan kebijakan nasional

b. Mempermudah proses terjadinya pembangunan dari, oleh, dan untuk

rakyat (Gultom, 2014:80-81).

Memperjuangkan kesetaraan gender merupakan tugas berat karena masalah

gender adalah masalah yang sangat intens dan proses pencarian solusinya perlu

dilakukan secara komprehensif. Terwujudnya kesetaraan gender ditandai dengan

tidak adanya diskriminasi antara sesama manusia berdasarkan jenis kelamin dan

identitas gender mereka, semua manusia mendapat perlakuan yang sama dalam segala

lini kehidupan.

2.1.2 Teori Patriarki

Patriarki merupakan salah satu pendekatan yang cukup efektif untuk

memahami masalah kesetaraan gender. Patriarki berasal dari kata patriarkat yang

berarti struktur yang menempatkan laki – laki sebagai penguasa tunggal, sentral dan

segala-galanya (Rokhmansyah dalam Sakinah dan Siti A., 2017). Menurut Bressler

sistem patriarki yang mendominasi budaya masyarakat merupakan sistem yang

menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan, mendominasi berbagai peran,


25

seperti peran politik, hak sosial, kepemilikan properti dan otoritas moral (Susanto,

2017). Sejalan dengan pendapat Nandika Ajeng Guamawarti (2009) dominasi laki –

laki tidak hanya terjadi pada ranah personal saja, tetapi menyentuh ranah lain seperti

pendidikan, ekonomi, sosial, politik, hukum dan ranah lainnya. Dalam ranah

personal, budaya patriarki adalah akar munculnya berbagai kekerasan yang

dialamatkan oleh laki-laki kepada perempuan. Atas dasar "hak istimewa" yang

dimiliki laki-laki, mereka juga merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi tubuh

perempuan. Sistem ini menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender

yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kehidupan. Patriarki menjadikan laki –

laki memiliki hak istimewa dan terjadi subordinasi perempuan.

Patriarki adalah sebuah sistem yang menganggap kaum laki-laki ditakdirkan

untuk mengatur perempuan. Walby (1990) menyatakan bahwa patriarki adalah

sebuah sistem struktur sosial dan praktik–praktik yang memosisikan laki – laki

sebagai pihak yang mendominasi, menindas dan mengeksploitasi kaum perempuan.

Maka dapat dikatakan bahwa sistem patriarki yang dianut masyarakat saat ini

melanggengkan dominasi laki – laki terhadap perempuan. Patriarki memiliki struktur

– struktur (Walby, 1990:20) sebagai berikut :

1 Patriarki beroperasi melalui pekerjaan yang dibayar, dimana perempuan

mengalami segregasi horizontal dan vertical yang mengarah secara sistematis

dalam sistem pengupahan kapitalisme.


26

2 Patriarki beroperasi melalui pembagian kerja berdasarkan gender dalam

rumah tangga yang memaksa perempuan untuk mengambil tanggung jawab

utama untuk pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak.

3 Patriarki mengglorifikasi feminitas, yang mana bila perempuan menolak itu,

mereka akan mengalami kerugian – kerugian budaya.

4 Hubungan heteroseksual dilihat oleh Walby pada dasarnya patriarkal,

meskipun ia berpendapat bahwa perempuan telah mendapat beberapa

keuntungan dalam hal ini, misalnya akibat kontrasepsi modern dan liberalisasi

aborsi dan perceraian dalam hukum.

5 Patriarki sering ditopang oleh kekerasan laki – laki terhadap perempuan.

6 Patriarki ditopang dan dipelihara dengan baik oleh negera.

2.1.3 Teori Nurture

Teori ini melihat perbedaan perempuan dan laki – laki adalah produk dari

sosial budaya sehingan menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Teori ini disebut

teori Nurture karena konstruksi sosial budaya menghasilkan dan memelihara atribut

gender dan stereotype dari jenis kelamin tertentu. Misalnya perempuan tidak bisa

menjadi ketua organisasi karena bersifat emosional, lemah lembut dan dianggap tidak

dapat mengambil keputusan. Konstruksi sosial tersebut juga menciptakan perbedaan

kelas antara laki – laki dan perempuan. Laki – laki diindentikkan dengan kelas borjuis

dan perempuan sebagai kelas proletar. Penganut teori ini berusaha menghilangkan

strata masyarakat dan memperjuangkan kesamaan proposional (perfect equality)

dalam masyarakat. Perfect equality pertama kali digaungkan oleh kelompok feminis
27

internasional, yang pada awalnya dikenal sebagai konsep 50:50 (fifty-fifty) (Khuza‟I,

2013). Perjuangan kesamaan yang dipelopori oleh kaum feminis, mereka

menggunakan pendekatan sosial konflik yang diilhami oleh beberapa pemikir dunia

seperti Karl Marx (1818-1883) dan Machiavelli (1469-1527), lalu David Lockwood

(1957), untuk mencapai segala upaya persamaan antara perempuan dan laki – laki,

maka dibuatlah affirmative action untuk memberi perempuan kesempatan menduduki

tempat – tempat yang selama ini didominasi oleh laki – laki (Purba, 2010). Tentu saja

program khusus ini banyak ditentang oleh laki – laki yang kemudian disebut perilaku

man backlash.

2.1.4 Teori Struktur Fungsional

Analisis teori ini berpusat pada organisasi, kelompok, masyarakat dan

kebudayaan. Teori ini memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang memiliki

keragaman dan elemen yang saling berkaitan. Keragaman tersebut yang kemudian

menjadi sumber adanya struktur masyarakat dan menentukan keragaman fungsi

sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Marzuki, 2007).

Robert K Merton berasumsi bahwa setiap masyarakat memilik unsur – unsur yang

berpengaruh dalam suatu masyarakat, kemudian mengindentifikasi fungsi dari setiap

unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi dari unsur – unsur tersebut dalam

masyarakat. Masyarakat memiliki berbagai elemen yang saling berkaitan. Agama,

pendidikan, keluarga, hukum, adat–istiadat, dan politik, dan sebagainya. Setiap

elemen terus menerus mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni agar dapat

saling berhubungan. Jika terjadi ketidakseimbangan, makan masing – masing bagian


28

dengan cepat akan menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan kembali. Jika

masyarakat diibaratkan sebagai sebuah bangunan, maka Merton berpandangan bahwa

struktur dan fungsi adalah fondasi dari bangunan.

Terkait dengan gender, teori ini percaya bahwa, struktur dan fungsi yang

terdapat dalam masyarakat tidak pernah lepas dari pengaruh budaya, norma dan nilai

yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Menurut teori ini pembagian peran secara

seksual adalah hal yang wajar. Terdapat perbedaan peran laki – laki dan perempuan

yang merupakan hasil konstruksi sistem sosial dalam masyarkat. Misalnya dalam

organisasi yang paling kecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Kedudukan seseorang

dalam keluarga akan menentukan fungsinya dalam keluarga tersebut (Fakih,

2013:31). Struktur keluarga juga membentuk kemampuan setiap anggotanya untuk

berfungsi secara efektif. Seperti peran suami lebih banyak diluar rumah dan

mengambil peran instrumental, sementara peran istri terbatas hanya di dalam rumah,

mengurus urusan domestik rumah tangga. Relasi gender dalam teori ini ditentukan

oleh :

1) Kekuasaan dan status. Laki – laki memiliki kekuasaan dan status lebih

tinggi dibandingkan perempuan.

2) Komunikasi laki – laki dan perempuan dalam masyarakat berlangsung

dalam suasana kemampuan kurang (less powerful) bagi perempuan dan

kemampuan lebih (more powerful) bagi laki – laki.

3) Relasi kuasan dan status yang berbeda antara laki – laki dan perempuan

menjadi dasar pembagian kerja.


29

Jika dilihat dari sudut pandang teori ini, kesetaraan gender agaknya sulit

dicapai. Karena teori dianggap membenarkan praktik – praktik yang selalu

mengaitkan peran sosial dengan jenis kelamin dan melanggengkan dominasi laki –

laki terhadap perempuan. Selain itu, masih sangat banyak masyarakat yang menganut

sistem patriarki dalam berbudaya.

2.1.5 Teori Konflik

Sebagian besar teori perubahan meyakini bahwa perubahan terjadi secara

perlahan dan mengabaikan konflik sebagai sebuah perubahan sosial, maka teori –

teori tersebut lebih mendasar atas konflik. Menurut Lockwood, konflik akan selalu

menghiasi kehidupan masyarakat. Prinsip konflik sesungguhnya implisit, dua sisi

mata uang dalam semua teori perubahan dan pembangunan (Nisbet dalam Fakih,

2013:34). Teori ini menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang

kemudian melahirkan konflik.

Keluarga menurut aliran ini bukan suatu yang bersifat normatif (harmonis dan

seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang

menganggap bahwa keberagaman biologis dapat digunakan untuk melegitimasi

adanya kelas-kelas dalam masyarakat (Marzuki, 2007). Menurut Marx, masyarakat

terpolarisasi dalam dua kelas yang selalu bertenangan, kelas yang mengeksploitas dan

kelas yang tereksploitasi. Menurutnya ketimpangan gender adalah bagian dari

penindasan yang berkuasa, bukan karena perbedaan biologis. Laki – laki ibarat kaum

borjuis yang mengeksploitas perempuan sebagai kaum proletar. Maka dengan kata

lain, ketimpangan peran gender yang terjadi dalam masyarakat bukan karena kodrat
30

Tuhan, melainkan karena adanya perbedaan kelas dalam masyarakat yang merupakan

hasil konstruksi sosial.

2.1.6 Teori Feminisme

Teori feminisme hadir untuk menyuarakan isu yang diabaikan oleh sebagian

besar teoritis laki–laki. Seorang aktivis sosialis utopis bernama Charles Fourier

adalah orang yang memunculkan istilah feminisme pada tahun 1837. Feminisme

muncul di tengah–tengah masyarakat penganut patriarki karena fenomena bias gender

dan masyarakat yang melanggengkan dominasi laki – laki atas perempuan (Retnani,

2017). Feminisme adalah kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan kepentingan

perempuan. Penganut teori feminisme disebut feminis. Kelompok feminis sering

sekali dianggap sebagai kelompok yang hanya berisi perempuan – perempuan yang

membenci laki – laki. Pada faktanya, tujuan feminis sejak awal adalah

memperjuangkan kesetaraan antara laki – laki dan perempuan, meniadakan segala

bentuk penindasan terhadap kaum prempuan dan memperoleh hak – hak perempuan.

Jika perempuan setara dengan laki – laki, itu berarti perempuan memilik kebebasan

untuk menentukan dirinya sendiri.Feminisme adalah gerakan dan pendekatan yang

berusaha untuk merombak struktur dalam masyarakat karena dianggap telah

mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan. Gerakan ini dapat dilakukan oleh

perempuan dan laki – laki yang merindukan keadilan dalam kehidupan masyarakat.

Feminisme memilik beberapa aliran, yaitu :

1. Feminisme Liberal
31

Teori ini berasumsi bahwa diantara perempuan dan laki – laki tidak ada

perbedaan. Dasar asumsi yang dipakai adalah doktrin John Locke tentang

natural rights (hak asasi manusia), bahwa setiap manusia mempunyai hak

asasi yaitu hak untuk hidup, mendapatkan kebebasan dan hak untuk mencari

kebahagiaan (Nugroho, 2008:63). Teori ini bertumpu pada kebebasan dan

kesetaraan rasionalitas. Bahwa perempuan juga makhluk rasional dan

memiliki kemampuan yang sama dengan laki – laki. Feminisme liberal

menginginkan perempuan untuk memiliki kebebasan secara penuh dan

individual. Tokoh feminis liberal menyatakan John Stuart Mill bahwa setiap

orang memiliki suatu kebebasan untuk memperoleh apa yang dikehendaki

atau yang diinginkanya selama apa yang dikerjakannya dalam mewujudkan

keinginanya tersebut tidak membatasi atau menghalangi orang lain (Mill

dalam Mustopa, 2016). Aliran ini percaya bahwa kesetaraan perempuan dan

laki – laki dapat terwujud jika semua struktur, sistem, dan hukum yang

membatasi aktualisasi perempuan dihapuskan. Maka dengan demikian

perempuan dapat menikmati kebebasannya.

2. Feminisme Radikal

Teori ini muncul pada pertengahan tahun 1970-an sebagai reaksi atas kultur

seksisme atau dominasi berdasarkan jenis kelamin. Aliran ini menganggap

bahwa kontrol terhadap identitas diri perempuan, fungsi seksual, dan

reproduksi yang selama ini dilakukan oleh masyarakat adalah penindasan

paling keji terhadap perempuan. Penindasaan pada perempuan adalah fakta


32

yang dapat dilihat setiap hari dalam kehidupan masyarakat. Sesuai namanya,

aliran ini radikal. Penganutnya cenderung membenci laki – laki sebagai

individu dan berusaha agar perempuan dapat hidup bahkan tanpa bantuan laki

– laki. Fokus aliran ini pada keluarga yang melegitimasi dominasi laki – laki.

Aliran ini menginginkan kebebasan perempuan tidak hanya perjuangan untuk

mencapai kesetaraan hak saja, tetapi juga meliputi hal transformasi secara

sempurna dalam ruang persahabatan dan hubungan kemanusiaan

(Megawangi dalam Kholil, 2016).

3. Feminisme Marxis/Sosialis

Aliran ini berpandangan bahwa kapitalis adalah akar dari segala macam

bentuk penindasan terhadap perempuan. Kapitalisme menyebabkan

terbentuknya kelas – kelas , terutama dalam keluarga. Menurut Friedrich

Engels kaum perempuan identik dengan kaum proletar dalam masyarakat

kapitalis. Kemunduran perempuan terjadi karena adanya sistem kepemilikan

kekayaan pribadi (private property) yang semuanya dimiliki oleh laki – laki

(Retnani, n.d.). Perempuan juga direduksi menjadi bagian dari properti

tersebut. Karena dalam aliran ini perkawinan dianalogikan sebagai lembaga

yang mendukung suami memiliki istri secara pribadi. Di dalam keluarga

perempuan dianggap inferior, sebagai budak yang tidak mempunyai

kekuasaan apa – apa. Perempuan hanya akan terbebas dari penindasan jika

sistem ekonomi kapitalis diganti dengan masyarakat sosialis. Masyarakat

egaliter tanpa kelas – kelas. Di mulai dari keluarga, di mana istri dibebaskan
33

dahulu agar ia dapat menjadi dirinya sendiri, bukan milik suaminya. Sebab,

tak ada sosialias tanpa pembebasan perempuan, tak ada pembebasan

perempuan tanpa sosialis (Amin, 2013).

4. Feminisme Psikoanalisis

Berdasarkan konsep Freud (1947), feminism psikoanalisis mengklaim bahwa

ketidaksetaraan gender berawal dari kejadian – kejadian pada masa kanak –

kanak perempuan. Kultur patriarki dalam masyarakat yang sudah ada sejak

perempuan dan laki – laki dilahirkan, menjadi akar dari semua permasalahan

yang menentukan identitas perempuan. Pengalaman masa kecil mengajarkan

perempuan untuk melihat dirinya sebagai feminin dan laki – laki sebagai

maskulin. Pada saat yang sama juga menganggap feminitas lebih rendah

daripada maskulinitas (Nugroho, 2008:77). Menurut Freud, tingkat

perkembangan super ego perempuan sangat jauh berbeda dengan laki – laki,

karena perempuan tidak bisa terlalu impersonal. Masyarakat yang patriarkal

telah menyuguhkan satu dogma, bahwa laki – laki adalah pemimpin yang

mengatur dan menjaga perempuan, sehingga perempuan merasa inferior dan

tidak bisa keluar dari cengkraman laki – laki (Amin, 2013).

5. Feminisme Eksistensialis

Aliran ini beranggapan bahwa perempuan selalu berada pada posisi kedua

dan tidak lebih penting daripada laki – laki. Dalam bukunya The Second Sex,

Simone de Beauvior (1949) menjelaskan bagaimana perempuan selalu

ditempatkan di bawah laki – laki. Implikasinya, secara eksistensialis


34

perempuan tidak dapat mengambil keputusan secara bebas. Perempuan

adalah the others dalam masyarakat. Perempuan tidak bisa mendefinisikan

dirinya sendiri, semua bergantung pada defenisi masyarakat, hidup dalam

kontrol dan belas kasihan laki – laki. Pernyataan Beauvior “One is not born,

but rather becomes a woman” menjadi kekuatan penganut aliran ini. Bahwa

perempuan tidak dilahirkan sebagai “perempuan” dalam esensi gender, tetapi

sebagai perempuan secara biologis. Tidak ada perbedaan antara laki – laki

dan perempuan, semuanya dibentuk oleh masyarakat yang patriarkal.

6. Feminisme Postmodern

Aliran ini adalah perpaduan antara post struktualisme, postmodernisme.

Feminisme ini sering disebut feminisme Perancis karena motornya adalah

orang – orang Perancis atau yang tinggal di Perancis. Penganutnya mengajak

perempuan untuk menjadi feminis dengan cara mereka sendiri. Tujuan aliran

ini adalah menggoyahkan norma – norma patriarki yang sudah mengakar

dalam masyarakat yang menyebabkan ketidaksetaraan gender.

7. Ekofeminisme

Istilah ekofeminsime pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974. Pola

kehidupan masyarakat yang patriarkal membentuk nilai, pola pikir,

kepercayaan, tingkah laku, pendidikan yang memakai kerangka kerja

patriarki, dimana terdapat justifikasi hubungan dominasi dan subordinasi,

penindasan terhadapa perempuan oleh laki – laki (Wulan, 2007). Maka para

feminis harus menyadari keterkaitan perempuan dengan alam. Terdapat


35

hubungan kekuasaan yang tidak adil, adanya model relasi dominasi di dalam

lingkungan hidup, sama seperti pada perempuan. Ekofeminisme hadir untuk

mengkritik teori androsentrisme, sebuah teori lingkungan yang berpusat pada

laki – laki. Laki – laki ditempatkan sebagai pusat dari setiap pola dan sistem

yang ada dalam kehidupan (Fahimah, 2017). Ekofiminisme dalam tataran

ekologis adalah sebuah teori dan gerakan (movement) yang berusaha

mendobrak teori lingkungan hidup yang antroposentrisme yang meletakkan

dimensi maskulinitas pada posisi nomor satu. Eksploitasi, hegemoni,

ekspansif atas alam sejalan dengan apa yang dialami kaum perempuan.

Perempuan mengalami subordinasi, marginalisasi dan berada dalam kontrol

laki – laki. Ekofeminisme adalah paham tentang keterikatan perempuan dan

alam semesta terutama dalam ketidakberdayaan dan ketidakadilan perlakuan

pada keduanya (Fahimah, 2017). Perempuan yang selama ini selalu menjadi

kaum yang didominasi oleh laki – laki, diposisikan sebagai bagian dari alam

semesta. Menurut Françoise ada hubungan antara opresi yang dialami alam

semesta dan opresi yang dialami perempuan.

8. Feminisme Multikultural / Global

Feminisme multikultural lahir karena pemikiran feminis sebelumnya tidak

mengakomodasi seluruh realitas perempuan. Aliran ini menyasar

permasalahan – permasalahan yang jauh melampaui kendala struktural,

seperti ras, kebudayaan, tradisi dan etnisitas. Feminis harus mengakui dan

mewadahi segala keberagaman yang ada, dengan tidak menempatkan satu


36

standar untuk keseluruhan, karena opresi terhadap perempuan tidak hanya

dalam relasi seks dan gender, tetapi merupakan hubungan keterkaitan antara

sistem seks/gender, ras kelas, latar belakang pendidikan, orientasi seksual,

agama (praktik penafsiran agama), dan juga stereotip yang berlaku (Nugroho,

2008:84). Feminisme multikultural biasa dianggap sebagai gerakan sosial

intelektual yang mempromosikan nilai – nilai kebergaman sebagai suatu

prinsip dasar.

2.1.7 Organisasi Mahasiswa

Organisasi menurut Munandar (2001) merupakan setiap bentuk perserikatan

manusia untuk mencapai tujuan bersama (Munandar dalam Wahyuningsih,

Romadiana, dan Tommy, 2018). Organisasi terdiri dari beberapa manusia-manusia

yang memiliki visi dan misi yang sama dalam mencapai suatu tujuan tertentu.

Organisasi merupakan kumpulan dari orang-orang yang terhimpun dalam ikatan,

dalam satuan waktu yang relative permanen, memiliki tujuan yang diingin dicapai,

memiliki aturan untuk pencapaian tujuan yang dirumuskan, dan memiliki anggota

serta pengurus (Hubeis, 2010:419). Dalam KBBI mahasiswa diartikan sebagai orang

yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Organisasi mahasiswa/organisasi kemahasiswaan; adalah bentuk kegiatan di

perguruan tinggi yang diselenggarakan dengan prinsip dari, oleh dan untuk

mahasiswa. Organisasi ini adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa

ke arah perluasan wawasan ilmu pengetahuan serta integritas kepribadian mahasiswa.

Widayanto (2012) mengartikan organisasi mahasiswa juga sebagai wadah


37

pengembangan kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa diperguruan tinggi yang meliputi

pengembangan penalaran, keilmuan, minat, bakat dan kegemaran mahasiswa itu

sendiri (Padang, 2017). Organisasi mahasiswa dikategorikan dalam dua jenis, yaitu:

a Organisasi internal kampus; organisasi mahasiswa yang melekat pada

pribadi kampus atau universitas, dan memiliki kedudukan resmi di

lingkungan perguruan tinggi.

b Organisasi eksternal kampus; organisasi yang tidak melekat pada pribadi

kampus atau universitas. Organisasi Ekstra Kampus lebih mengutamakan

independensi nya. Jaringan relasi untuk Organisasi Ekstra Kampus lebih

luas dibandingkan Organisasi Internal Kampus

2.2 Penelitian Yang Relevan

Penelitian ini didasari oleh beberapa penelitian terdahulu yang relevan baik dari

segi kesamaan tema dan tujuan, serta referensi. Berikut beberapa penelitian terdahulu

yg relevan :

1 Penelitian yang berjudul “Eksistensi Mahasiswi Dalam Berorganisasi Di

Lingkungan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas

Pendidikan Indonesia” oleh Zaenal Mustopa (2016). Penelitian ini didasari

karena adanya dominasi laki – laki dalam menempati posisi strategis

sebuah organisasi kemahasiswaan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sosial. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan

kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran

yang komprehensif mengenai eksistensi mahasiswi dalam berorganisasi.


38

Motivasi mahasiswi bergabung dalam sebuah organisasi adalah untuk

mendapatkan pengalaman yang berguna untuk kegiatan akademik dan

bekal jika nanti terjun dalam masyarakat. Mahasiswi memiliki kesempatan

yang bebas dalam memilihi perannya dalam sebuah organisasi. Akses

mahasiswi dalam menduduki posisi – posisi strategis sebuah organisasi

juga terbuka lebar, sama seperti mahasiswa. Tetapi mereka belum

sepenuhnya bisa terlepas dari stereotip yang merupakan produk konstruksi

sosial budaya yang mengindentifikasikan mahasiswi sebagai makhluk

feminin. Masih terdapat pula nilai – nilai tradisional yang streotipe

terhadap posisi ketua yang diidentikan dengan sifat-sifat maskulinitas laki-

laki dan bersifat patriaki yang mendahulukan laki-laki (mahasiswa) untuk

menjadi pemipin atau ketua. Penelitian ini relevan dengan penelitian yang

akan dilakukan karena sama – sama ingin melihat bagaimana keberadaan

perempuan dalam sebuah organisasi kemahasiswaan.

2 Penelitian yang berjudul “Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Organisasi

Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2016” oleh Alan

Sigit Fibrianto, mahasiswa Program Studi Magister Sosiologi Universitas

Sebelas Maret. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui wujud

kesetaraan gender dalam lingkup organisasi mahasiswa Universitas

Sebelas Maret. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif

dengan triangulasi sumber sebagai validitas data. Data diperoleh melalui

observasi dan wawancara yang dilakukan di masing-masing organisasi


39

mahasiswa di Universitas Sebelas Maret. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa dari semua organisasi terdapat dominasi laki-laki sebagai pimpinan

organisasi, sedangkan perempuan menjabat sebagai sekretaris, bendahara

dan anggota. Realitanya belum ada kesetaraan dan keadilan gender (KKG)

serta pengarusutamaan gender (PUG) dari setiap organisasi, sehingga

posisi perempuan masih berada pada nomor dua setelah laki-laki.

Penelitian ini relevan dengan penelitian yang akan dilakukan karena

memiliki tema yang sama. Tujuan penelitian ini dan penelitian yang akan

dilakukan juga sama, yaitu ingin melihat bagaimana wujud kesetaraan

gender dalam organisasi mahasiswa.

3 Penelitian yang berjudul “Subordinasi Perempuan Dalam Organisasi

Mahasiswa IAIN Tulungagung Tahun 2015” oleh Ni‟matun Naharin.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penelitian berangkat dari

isu subordinasi yang terjadi pada perempuan. Perempuan ditempatkan

sebagai “manusia ke dua” dalam masyarakat. Penelitian ini bertujuan

untuk mengungkap fakta bahwa perempuan tersubordinasi dan

termarjinlkan. Relevansinya dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah memilik topik yang sama yaitu isu perempuan. Penelitian ini

membahas tentang subordinasi perempuan yang merupakan salah satu

akibat tidak adanya kesetaraan gender, sedangkan penelitian yang akan

dilakukan membahas tentang kesetaraan gender itu sendiri. Penelitian ini


40

juga menjadi bahan perbandingan serta referensi penelitian yang akan

dilakukan.

4 Penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Dinamika Gerakan

Kesetaraan Gender Di Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (Studi

Deskriptif Mengenai Dinamika Gerakan Kesetaraan Gender di ORMEK

HMI dan LMND Cabang Surabay)” oleh Hanny Christina (2007),

mahasiswa jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode

deskriptif. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi gambaran tentang

pentingnya gerakan kesetaraan gender dalam ORMEK (Organisasi

Mahasiswa Ekstra Kampus) dan hambatan – hambatan yang ditemui

ORMEK dalam melakukan gerakan kesetaraan gender. Hasil dari

penelitian adalah gerakan kesetaraan gender dilakukan untuk kepentingan

setiap anggota dan merupakan strategi utama dalam proses perubahan

secara bertahap yang akan memakan waktu yang cukup lama. ORMEK

juga mengusahakan kebijakan – kebijakan yang mampu mengakomodasi

segala bentuk kepentingan perempuan. Topik yang sama menjadikan

penelitian ini relefan dengan penelitian yang akan dilakukan. Beberapa

teori penting juga terdapat dalam penelitian ini sehingga menjadi sumber

referensi penelitian yang akan dilakukan.

5 Penetlitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Kesetaraan Gender Dalam

Pembagian Kerja Pegawai di Taman Kanak – Kanak” oleh Eny Putriani


41

(2011), mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif

kualitatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesetaraan

gender dalam pembagian kerja antara pegawai laki – laki dan pegawai

perempuan, mengetahui diskriminasi apa saja yang terjadi dalam sistem

pembagian kerja pegawai laki – laki dan perempuan, dan mengetahui bias

gender yang terjadi pada pegawai laki – laki dan perempuan di TK Islam

Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa aktifitas produksi sebagian besar dilakukan oleh perempuan. Untuk

aktifitas reproduksi dan aktifitas sosial terdapat porsi yang sama antara

pegawai perempuan dan laki – laki. Serta dalam urusan akses dan control

pegawai perempuan dan laki – laki juga memiliki porsi dan kesempatan

yang sama. Ini menunjukkan bahwa paradigm patriarki yang menjadikan

laki – laki sebagai pusat dan nomor satu, terpatahkan dengan kenyataan

pembagian kerja di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga.

6 Penelitian yang berjudul “Persepsi Masyarakat Terhadap Kesetaraan

Gender di Desa Buku Kecamatan Mapili Kabupaten Polewali Mandar

Provinsi Sulawesi Barat” oleh Ifa Chaerunisyah (2016), mahasiswa

jurusan Sosiologi Agama pada Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik

UIN Alauddin Makassar. Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif,

dengan menggunakan teknik pengumpulan data, wawancara, observasi

dan dokumentasi.Sumber data yang digunakan adalah sumber primer yaitu


42

informasi yang bersumber dari pengamatan langsung ke lokasi

penelitian.Sedangkan sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari

dokumentasi atau studi kepustakaan untuk melengkapi data-data primer.

Permasalahan yang dibahas skripsi ini adalah 1. Persepsi masyarakat

terhadap kesetaraan gender 2. Bentuk-bentuk kesetaraan dan

ketidaksetaraan gender dalam masyarakat di Desa Buku Kecamatan

Mapilli. Berdasarkan pada rumusan masalah tersebut, penelitian ini

memiliki tujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap

kesetaraan gender, bentuk-bentuk kesetaraan dan ketidaksetaraan gender

di Desa Buku Kecamatan Mapilli Kabupaten Polewali Mandar. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa kata gender masih baru bagi

masyarakat desa tersebut. Bagi masyarakat tersebut, kesetaraan gender

merupakan hal yang baik untuk diterapkan dalam keluarga.

7 Penelitian yang berjudul “Peluang PNS Perempuan Dalam Memperoleh

Jabatan Struktural : Studi Kualitas Kesetaraan Gender di Pemerintah Kota

Semarang” oleh Puji Astuti (2012). Penelitian ini bersifat deskriptif untuk

memperoleh gambaran secara komprehensif tentang peluang PNS

perempuan dalam memperoleh jabatan struktural di Pemerintah Kota

Semarang. Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui wawancara

mendalam dengan berbagai sumber informasi. Penelitian ini bertujuan

untuk melihat bagaimana peluang PNS perempuan dalam memperoleh

jabatan-jabatan strategis di pemerintahan. Terbukanya akses dan peluang


43

yang setara dengan laki-laki untuk memperoleh dan menduduki jabatan-

jabatan strategis di pemerintahan pada hakekatnya akan menjadi

parameter dari kualitas kesetaraan gender. Hasil penelitian ini menunjukan

bahwa ketimpangan antara perempuan dan laki – laki di ranah publik akan

tetap ada, karena meskipun ada pengakuan akan hak – hak perempuan

tetapi jika tidak dibarengi dengan gerakan yang nyata akan sia – sia.

Terbukti pada birokrasi kota Semarang, terdapat sebanyak 2008 posisi

jabatan structural, tetapi yang ditempati oleh PNS perempuan hanya 749

(37,3%) dan yang menduduki pimpinan yaitu Kepala SKPD hanya

delapan (8) orang atau sekitar (21,6 %) dari 37 SKPD yang ada.

8 Penelitian yang berjudul “Eksistensi Komisioner Perempuan dalam

Mewujudkan Kesetaraan Gender pada Komisi Pemilihan Umum di

Provinsi Sumatera Barat” oleh Irma Novita, Jendrius, & M. Fachri

Adnan(2019). Penelitian ini mengkaji tentang eksistensi komisioner

perempuan dalam dalam mewujudkan kesetaraan gender pada Komisi

Pemilihan Umum di Sumatera Barat. Tindakan utama yang dapat

dilakukan oleh perempuan sebagai penyelenggara pemilu pada setiap

tahapan adalah untuk memastikan kebutuhan perempuan dipertimbangkan

serta dimasukkan ke dalam program atau kebijakan yang dirancang dan

diterapkan sebagaimana mestinya. Metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kualitatif menekankan pada aspek gender lebih

tepatnya adalah penelitian feminis (feminisme research). Hasil penelitian


44

jumlah komisioner perempuan sebagai penyelenggara pemilu masih

minim secara kuantitatif. Dan jika melihat komposisi struktur keanggotaan

saat ini, komisioner perempuan ini masih sangat minim akibat belum

terpenuhinya kuota 30 % sehingga masih terjadi diskriminasi dan masih

banyak hambatan dan tantangan yang ditemukan dalam mewujudkan

kesetaran gender serta kesempatan perempuan terbatasi dalam

menjalankan tugas-tugas kepemiluan. Sebagian besar komisioner

perempuan ini juga merasakan masih ada ketiadaksetaraan gender.

9 Penelitian yang berjudul “Identitas dan Peran Gender Pada Masyarakat

Suku Bugis” oleh Sri Nurohim (2018). Data dikumpulkan dengan studi

litelatur, menggunakan pendekatan kualitataif deskriptif analitis.

Penelitian ini menjelaskan tentang ientitas dan peran gender merupakan

sebuah karakteristik yang memiliki determinan lingkungan yang kuat dan

berkaitan dengan dimensi maskulin versus feminine. Keberadaan suku

bugis yang memiliki tradisi dan kebudayaan yang begitu unik dan berbeda

dengan masyarakat Indoensia pada umumnya, yaitu memiliki lima gender

yang berbeda dan memiliki peran masing-masing, menimbulkan

pertanyaan bagaimana fungsi identitas dan peran gender pada masyarakat

bugis tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa identitas dan

Peran gender masih tetap melekat pada setiap individu walau dengan

identitas gender yang lebih beragam. Dan dengan resiko terjadinya

diskriminasi dan penolakan dari lingkungan sekitar mereka.


45

10 Penelitian yang berjudul “Kesetaraan Gender Ditinjau dari Sudut Pandang

Normatif dan Sosiologis” oleh Zulkifli Ismail, Melanie Pita Lestari, Panti

Rahayu, Fransiska Novita Eleanora (2020). Metode penelitian dengan

menggunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji literatur dan

peraturan perundang-undangan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui

bahwa kesetaraan gender harus berasaskan kepada kemanusiaan dan

keadilan, antara laki-laki dan perempuan harus sejajar dan tidak boleh ada

perbedaan atau diskriminasi. Kajian normatif melihat dari sudut pandang

undang – undang yaitu terdapat perlindungang terhadap hak – hak setiap

manusia, dimana hak tersebut sudah ada sejak manusia dilahirkan. Hasil

dari penelitian ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender dalam sudut

pandang normative berdasarkan norma dan aturan yang berlaku dalam

masyarakat serta dilaksanakan dengan penuh konsisten, sedangkan dalam

sudut pandang sosiologis didasarkan pada cara pandang masyarakat yang

menganggap bahwa kesetaraan gender dapat terlaksana jika adanya

persamaan akan hak, keadilan dapat terpenuhi dan terlaksana.

2.3 Kerangka Pemikiran

Dalam memahami konsep kesetaraan gender, berarti harus memahami konsep

gender dan jenis kelamin (sex) berbeda. Hungu (2007) mengatakan jenis kelamin

merupakan perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak

seseorang lahir. Jenis kelamin adalah pembedaan dua jenis kelamin secara biologis

atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan. Linda L. Lindsey (1990) menganggap
46

gender sebagai semua ketetapan masyarakat perihal penentuan perempuan dan laki –

laki. Gender merupakan pembedaan perempuan dan laki – laki oleh masyarakat.

Artinya gender adalah produk konstruksi sosial masyarakat, bukan perbedaan secara

biologis dan hasil pemikiran manusia yang sifatnya fleksibel.

Perguruan tinggi menjadi salah satu tempat yang tepat untuk menggaungkan

kesetaraan gender. Perguruan tinggi memiliki peranan penting dan strategis untuk

menyebarluaskan pengetahuan, nilai, norma, dan ideologi serta pembentukan karakter

bangsa, tidak terkecuali kesetaraan gender. Mahasiswa adalah kaum muda terpelajar,

agen perubahan (agent of change) yang identik sebagai kekuatan moral, senantiasa

merespon terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat. Organisasi mahasiswa

merupakan salah satu wadah aktualisasi diri mahasiswa sebagai kaum terpelajar.

Sejarah panjang mencatat perjuangan organisasi kemahasiswaan dalam menuntut hak

– hak masyarakat dan nilai – nilai demokrasi. Kesetaraan gender adalah suatu usaha

mewujudan nilai – nilai demokrasi, yaitu persamaan dan demokrasi. Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Sumatera Utara memiliki 10 organisasi eksternal

mahasiswa. Dalam setiap organisasi tersebut minim sekali perempuan yang berperan

sebagai pemimpin. Semuanya didominasi oleh laki – laki.


47

Bagan Alur Pikir

ORGANISASI MAHASISWA FISIP


USU

KESETARAAN GENDER

 Akses

 Partisipasi

 Kontrol

 Manfaat

2.4 Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah yang digunakan dalam menggambarkan fenomena yang

dikaji yang dinyatakan melalu rangkaian kata (lambing bahasa). Konsep berarti suatu

kesatuan pengertian tentang suatu hal yang dirumuskan dan dikaji. Defenisi konsep

merupakan proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu

penelitian (Siagian, 2018). Untuk memahami banyak teori dalam penelitian ini, maka

adapun batasan konsep dalam penelitian ini, yaitu :

1. Organisasi Mahasiswa

Organisasi mahasiswa/organisasi kemahasiswaan; adalah bentuk kegiatan

mahasiswa di perguruan tinggi yang diselenggarakan dengan prinsip dari, oleh

dan untuk mahasiswa. Organisasi ini merupakan wadah pengembangan diri

mahasiswa serta sebagai wadah pengembangan kegiatan ekstrakurikuler


48

mahasiswa diperguruan tinggi yang meliputi pengembangan penalaran,

keilmuan, minat, bakat dan kegemaran mahasiswa itu sendiri. Organisasi

mahasiswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Organisasi mahasiswa

ekstra kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,

dalam hal ini terdapat 10 organisasi mahasiswa ekstra kampus, diantaranya HMI,

UKMI, GMNI, GMKI, PP, IPK, AMPI, GEMAPRODEM, UKM SEPAK

BOLA, dan UKM KMK.

2. Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan

untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar

mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi,

sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional

(hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut

(KEMENPPPA). Kesetaraan gender dalam organisasi berarti adanya

perlakuan yang sama atau setara dalam berbagai hal baik bagi perempuan juga

bagi laki-laki dalam organisasi mahasiswa ekstra kampus FISIP USU. Adapun

indikator kesetaraan gender (kemenkeu.go.id) adalah sebagai berikut:

1 Akses atau kesempatan yang sama dalam menduduki berbagai bidang

dan kesempatan yang sama dalam memperoleh atau menggunakan

sumber daya dalam organisasi mahasiswa ekstra kampus FISIP USU.


49

2 Partisipasi merupakan keikutsertaan atau partisipasi seseorang atau

kelompok dalam kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan

dalam organisasi mahasiswa ekstra kampus FISIP USU.

3 Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk

mengambil keputusan dalam organisasi mahasiswa ekstra kampus

FISIP USU.

4 Manfaat adalah kegunaan atau dampak yang dapat dinikmati secara

optimal dalam organisasi mahasiswa ekstra kampus FISIP USU oleh

seluruh anggota.
BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian dengan

metode kombinasi (mixed method research). Metode komibinasi merupakan

pendekatan penelitian dengan mengkombinasikan metode kualitatif dan metode

kuantitatif (Sugiyono, 2017:397). Metode penelitian kombinasi mempermudah

peneliti dalam mengungkap hal-hal yang menjadi tujuan penelitian, serta dapat

memperoleh data dan informasi yang valid, reliabel dan objektif. Metode kombinasi

digunakan bila metode kuantittatif dan metode kualitatif secara sendiri-sendiri tidak

cukup akurat digunakan untuk memahami permasalahan penelitian, atau dengan

menggunakan metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif secara

kombinasi akan dapat memperoleh pemahaman yang paling baik (Sugiyono

2017:401). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kombinasi untuk

menjelaskan bagaimana kondisi kesetaraan gender di dalam Organisasi Mahasiswa

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3.2 Lokasi Penelitian

Peneliti memilih Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sebagai lokasi

penelitian. Alasan peneliti memilih lokasi tersebut, karena peneliti melihat kondisi

organisasi – organisasi mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik cenderung

belum mencerminkan kesetaraan gender, dimana posisi-posisi pemegang kekuasaan

masih banyak dipegang oleh laki – laki. Selain itu universitas merupakan salah satu

50
51

perguruan tinggi yang memiliki peranan penting dan strategis untuk menyebarluaskan

pengetahuan, nilai, norma, dan ideologi serta pembentukan karakter bangsa, tidak

terkecuali kesetaraan gender.

3.3 Informan

Informan adalah orang yang mengetahui dan mampu memberikan berbagai

informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan dalam penelitian

adalah orang-orang yang ambil bagian dan mengetahui permasalahan dalam

penelitian ini. Informan dalam penelitian ini meliputi tiga jenis informan, yaitu:

1. Informan Kunci

Informan kunci adalah mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai

informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Informan kunci dalam penelitian

ini adalah Gubernur PEMA FISIP yaitu Ibnu Prayetno.

2. Informan Utama

Informan adalah mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang

dieliti. Informan utama dalam penelitian ini adalah 5 anggota organisasi eksternal

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Informan Tambahan

Informan tambahan adalah mereka yang dapat memberikan informasi

walaupun tidak terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Informan

tambahan dalam penelitian ini adalah perwakilan demisioner organisasi eksternal

mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
52

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi adalah sekumpulan obyek, benda, peristiwa ataupun individu yang

akan dikaji dalam suatu penelitian, yang memiliki ciri atau sifat yang sama. Populasi

boleh saja berbeda dalam banyak hal, namun harus memiliki persamaan sehingga

dapat berlaku ukuran khusus bagi seluruh populasi (Siagian, 2018). Dalam penelitian

ini populasinya adalah seluruh mahasiswa yang menjadi anggota aktif organisasi

eksternal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang

berjumlah 536 mahasiswa.

3.4.2 Sampel

Sampel berarti contoh. Sampel adalah suatu bagian dari keseluruhan serta

karakteristik yang dimiliki oleh sebuah populasi (Sugiyono, 2008). Sampel harus

memiliki sifat representative dari populasi, sehingga kesimpulan penelitian berlaku

bagi populasi (Siagian, 2018).

Penarikan sampel penelitian, penelitian ini menggunakan metode Proportionate

Stratified Random Sampling. Proportionate stratified random sampling adalah

penarikan sampel dengan memperhatikan strata (tingkatan) di dalam populasi. Teknik

ini di gunakan apabila populasi mempunyai anggota atau unsur yang tidak homogen

dan berstrata secara proporsional (www.portal-statistik.com). Setiap kelompok yang

terpilih sebagai sampel, dipilih lagi sampel elemen dari masing-masing kelompok.

Berdasarkan notasi rumus besar sampel penelitian minimal oleh Slovin, maka

dengan 536 mahasiswa yang menjadi anggota aktif organisasi Fakultas Ilmu Sosial
53

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dapat ditentukan sampel yang akan

diteliti dengan persen kelonggaran ketidaktelitian (margin of error) yang masih dapat

ditolerir atau diinginkan adalah 10% dengan rumus sebagai berikut:

keterangan :

n : jumlah sampel

N : jumlah populasi

e : margin of error

maka :

n=

n=

n=

n = 84.27

Jika dibulatkan makan besar sampel minimal dari 536 pada margin of error

10% maka jumlah sampel adalah 84 mahasiswa. Adapun cara pengambilan sampel

menggunakan Proportionate stratified random sampling adalah sebagai berikut :

keterangan :
n1 : sampel setiap organisasi
54

N1 : populasi setiap organisasi


N : total populasi
n : total sampel

Jumlah Sampel Masing-masing Organisasi Ekstenal FISIP USU

No. Organisasi Jumlah Anggota Jumlah Sampel


(orang)

1. HMI 33 5
2. UKMI 127 20
3. GMNI 45 7
4. GMKI 50 8
5. PP 40 6
6. IPK 60 9
7. AMPI 33 5
8. GEMAPRODEM 17 3
9. UKM SEPAK BOLA 20 4
10. UKM KMK 111 17
JUMLAH 536 84

Sumber Data : Hasil Olah Data Penelitian 2020

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian, adapun teknik pengumpulan data

yang dilakukan oleh peneliti, sebagai berikut :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diambil dari sumber data pertama (primer) secara

langsung dilapangan, dengan metode sebagai berikut :


55

a Kuesioner, adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

menyebarkan daftar pertanyaan dan pernyataan kepada responden baik secara

langsung maupun tidak langsung.

b Wawancara, adalah proses memperoleh data dengan cara tanya jawab yang

dilakukan oleh peneliti dengan responden .

c Dokumentasi, adalah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat

atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau

oleh orang lain tentang subjek.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber data penelitian yang diperoleh melalui media

perantara, dengan metode sebagai berikut :

a Studi kepustakaan, adalah pengumpulan data dan informasi yang

berhubungan dengan masalah penelitian melalui buku, jurnal, surat kabar, dan

karya tulis lainnya.

3.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknis analisis data

kualitatif, dimana aktifitas dalam analisis data menurut Miles and Huberman (1984)

yaitu data reduction, data display, dan verification (Miles and Huberman dalam

Sugiyono, 2017:334). Berikut aktifitas analisis data dalam penelitian ini :


56

1. Data Reduction

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu

perlu dilakukan analisis data melalui reduksti data. Mereduksi data

berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal

yang penting, dicari tema dan polanya. Maka data yang telah direduksi

akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti

untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. Aktifitas reduksi data

dalam penelitian ini untuk memilah semua data yang telah ditemukan,

lalu mengambil data yang sesuai dengan tujuan penelitian.

2. Data Display

Tahapan setelah mereduksi data adalah mendisplay data atau penyajian

data. Mendisplay data kualitatif bisa dilakukan dengan bentuk uraian

singkat, bagan, hubungan antar kategori atau yang paling sering adalah

dengan teks yang bersifat naratif (Sugiyono, 2017:339). Dengan

mendisplay data, maka akan memudahkan unutk memahami apa yang

terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah

dipahami.

3. Verification

Tahap ketiga dalam analisis data kualitatif menurur Miles and Huberman

(1984) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi (Miles and Huberman

dala Sugiyono, 2017:343). Kesimpulan awal yang dikemukakan masih

bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti


57

yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.

Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung

oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke

lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan

merupakan kesimpulan yang kredibel. Verifikasi merupakan tahap

terakhir dalam proses analisis data.


BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara

(USU) terletak di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan,

Provinsi Sumatera Utara. Kampus FISIP USU mulai digunakan pada tahun 1957,

sebelumnya sebelumnya beberapa fakulas di lingkungan USU menggunakan gedung

yang tersebar di kota medan termasuk diantaranya berlokasi di jalan Seram, jalan Cik

Ditiro, Jalan Sampali, dan jalan Gandhi.

Kampus padang bulan yang awalnya terdapat dipinggiran kota Medan,

kemudian dengan perkembangan kota Medan sehingga sekarang berada di

tengahtengah kota. Kampus ini memiliki luas sekitar 122 Ha, dengan zona akademis

seluas 100 Ha yang berada ditengahnya. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara berada di Jalan Dr. Sofyan Nomor 1 kampus USU

Padang Bulan Medan.

4.2 Sejarah dan Perkembangan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP

USU) berdiri sejak tahun 1982 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 36 Tahun 1982 dan menjadi fakultas yang ke-9 (kesembilan) di

58
59

lingkungan Universitas Sumatera Utara. Pada awal berdirinya (1980/1981), FISIP-

USU hanya membuka dua jurusan, yaitu 1) Jurusan Ilmu Administrasi Negara; dan 2)

Jurusan Ilmu Komunikasi. Pembukaan dua jurusan ini tentunya didasarkan pada

pertimbangan kedua jurusan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat,

pembangunan daerah, dan ketersediaan staf pengajar (dosen). Tahun Ajaran

1983/1984, FISIP USU membuka dua jurusan baru yaitu 1) Jurusan Sosiologi; dan 2)

Jurusan Kesejahteraan Sosial; serta menerima perpindahan Jurusan Antropologi dari

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

4.3 Profil Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP

USU) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam aktivitas mencerdaskan

kehidupan bangsa, menguatkan suasana demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat.

Keberadaan FISIP USU di Provinsi Sumatera Utara memberikan sumbangan

pemikiran bagi kemajuan daerah yang dikenal sangat multikultural. Melalui Tri

Dharma Perguruan Tinggi sebagai tugas utama, FISIP USU telah melakukan kegiatan

pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat khususnya kepada masyarakat di

Provinsi Sumatera Utara dan provinsi tetangganya. Meskipun tidak sedikit layanan

pendidikan yang diberikan FISIP USU dirasakan oleh putra-putri terbaik dari seluruh

provinsi di Indonesia.

Kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi ciri khas FISIP USU dalam

merancang program dan produk berupa hasil penelitian yang dipublikasikan, model

pembelajaran yang diterapkan, dan pengabdian masyarakat yang diadaptasikan. FISIP


60

USU menyebutnya sebagai Tri Dharma untuk Negeri yang memberikan kontribusi

pemantapan demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Prioritas utama dari kegiatan Tri

Dharma yang dilakukan FISIP USU sejak 1980 telah mengalami berbagai

perkembangan terutama terkait program studi dan sumber daya manusia (SDM)

untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai dengan SK Mendikbud RI No.

0535/0/83 Tahun 1983 tentang jenis dan jumlah jurusan pada fakultas di lingkungan

Universitas Sumatera Utara, FISIP USU mempunyai 6 (enam) jurusan, yaitu:

1 Jurusan Sosiologi,

2 Jurusan Kesejahteraan Sosial,

3 Jurusan Antropologi Sosial,

4 Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial,

5 Jurusan Ilmu Komunikasi,

6 Jurusan Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU).

7 Jurusan MKDU kemudian diserahkan pengelolaannya di luar FISIP

USU dengan pertimbangan bahwa jurusan tersebut bukan disiplin Ilmu

yang berdiri sendiri, melainkan mengelola mata kuliah yang termasuk

pada kelompok Mata Kuliah Dasar Umum.

Sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, pemerintah daerah dan

didukung oleh ketersediaan staf pengajar, FISIP USU kembali membuka Program

Studi D3 Administrasi Perpajakan, pada Tahun 1996 dengan SK Dikti

No.105/Dikti/Kep/1996 tanggal 18 April 1996 dan membuka program S1 Program

Studi Ilmu Politik dengan SK Dikti No. 108/Dikti/Kep/2001 tanggal 30 April 2001.
61

Tahun 2009 FISIP USU membuka Program Studi Administrasi Bisnis dengan SK

Rektor USU No. 920/H5.1.R/SK/PRS/2009, tanggal 11 Mei 2009. Selain Program S1

dan D3, FISIP USU juga telah membuka Program S2 Program Studi Studi

Pembangunan tahun 2009 dengan SK Rektor USU No.17019/H5.1.R/SK/SPB/2009,

serta Program Studi S2 Ilmu Komunikasi tahun 2011 dengan SK Rektor USU

No.980/H5.1.R/SK/PRS/2011, dan Program Studi S2 Sosiologi dengan SK Rektor

USU No.2356/UN5.1.R/SK/PRS/2011. Setelah itu, di tahun yang sama FISIP USU

juga membuka Program Studi S3Studi Pembangunan dengan SK Rektor USU

No.3122/UN5.1.R/SK/PRS/2011 tanggal 31 Desember 2011.Pembukaan program

studi sejak tahun 2005 dilakukan seiring dengan perubahan statuta Universitas

Sumatera Utara menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan sejak tahun 2016

USU menjadi PTN-BH yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Statuta Universitas Sumatera Utara. Tahun

2015 berdiri Program Studi S2 Ilmu Politik yang ditetapkan dengan Surat Keputusan

Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara No: 1427/UN5.1.R/SK/PRS/2015 tanggal

03 September 2015. Saatini FISIP USU mengelola 13 Program Studi yaitu :

Program Diploma

1. Perpajakan

Program Sarjana

1. Ilmu Administrasi Negara

2. Ilmu Komunikasi
62

3. Ilmu Kesejahteraan Sosial

4. Ilmu Politik

5. Sosiologi

6. Antropologi

7. Ilmu Administrasi Publik

Program Magister

1. Studi Pembangunan

2. Ilmu Komunikasi

3. Sosiologi

4. Ilmu Politik

Program Doktoral

1. Studi Pembangunan

Wadah mahasiswa untuk berekspresi di kampus selain dalam kegiatan

akademis adalah organisasi mahasiswa. Sesuai dengan Keputusan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155 /U/1998 mengenai

pedoman umum organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi. Kegiatan-kegiatan

dari organisasi mahasiswa menurut keputusan tersebut meliputi kegiatan kurikuler

dan kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan kurikuler adalah kegiatan akademik yang

meliputi: kuliah, pertemuan kelompok kecil (seminar, diskusi, responsi), bimbingan

penelitian, praktikum, tugas mandiri, belajar mandiri, penelitian dan pengabdian

kepada masyarakat (kuliah kerja nyata, kuliah kerja lapangan dan sebagainya).
63

Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan kemahasiswaan yang meliputi: penalaran

dan keilmuan, minat dan kegemaran, upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa dan

bakti sosial bagi masyarakat.

Selain keberadaan organisasi intra, terdapat juga organisasi ekstra yang tidak

bisa dinafikan dalam mengambil peran sebagai organisasi mahasiwa. Walaupun

keberadaan organisasi ekstra sebenarnya tidak mencakup di dalam keputusan menteri

maupun TLO USU. Baik organisasi intra maupun organisasi ekstra sama-sama

mempunyai tujuan, tujuan tersebut tergantung dengan kesepakatan yang tercantum

dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (Ad/Rt) masing-masing organisasi.

Organisasi ekstra di FISIP USU mempunyai kedudukan secara struktur di luar

wewenang kampus, tetapi tercatat dalam Pemerintah Mahasiswa FISIP USU.

Organisasi eksternal ini tetap beraktifitas dikampus dan mengambil peran sebagai

organisasi mahasiswa yang mengisi kehidupan mahasiswa di kampus FISIP USU.

Pada umumnya organisasi ekstra kampus adalah organisasi yang terkait dengan aliran

kepercayaan atau ideologi tertentu. Kedudukan tertinggi organisasi ekstra secara

struktural berdasarkan letak teritorial wilayah secara geografis. Berdasarkan

organisasi yang telah dipaparkan, maka setiap organisasi ekstra FISIP USU

mempunyai kedudukan tertinggi pada tingkatan kota yang dikenal dengan sebutan

cabang. Berhubung FISIP USU masih dalam teritorial Kota Medan secara geografis,

maka setiap organisasi ekstra di FISIP USU mempunyai kedudukan struktural tinggi

pada tingkatan kota dengan sebutan Cabang Medan. Wilayah operasional cabang

meliputi organisasi setingkat di bawahnya dengan sebutan komisariat. Komisariat


64

merupakan struktural di bawah cabang. Komisariat dari setiap organisasi tersebutlah

yang beraktifitas di lingkungan FISIP USU. Komisariat mencakup wilayah

universitas dan fakultas, hal ini tergantung organisasinya. Kegiatan-kegiatan

organisasi eksternal FISIP USU banyak dilakukan di lingkungan FISIP USU dan di

sekretariat organisasi masing-masing. Terdapat beberapa organisasi ektra yang

beraktifitas di USU, yaitu:

a. HMI

b. GMKI

c. GMNI

d. GEMAPRODEM

e. SAPMA PP

f. SAPA IPK

g. AMPI

h. UKM SEPAK BOLA

i. UKMI

j. UKM KMK FISIP USU

4.4 Visi, Misi dan Tujuan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

4.4.1 Visi

Sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat Indonesia,

khususnya yang terkait dengan otonomi daerah, demokratisasi, globalisasi dan lain

sebagainya, FISIP USU telah memiliki kontribusi dalam kegiatan penelitian,


65

publikasi, dan pengabdian masyarakat yang aplikatif. Oleh karena itu, agar program

studi lebih fokus pada kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan selama kurun waktu

2016-2021 dan untuk mensinergikan dengan program kerja Universitas Sumatera

Utara, maka ditetapkan VISI FISIP USU 2016-2021

“Menjadi Fakultas yang Memiliki Keunggulan Akademik dan Mampu Bersaing

dalam Pengembangan Ilmu dan Riset Terapan Kebijakan Publik Bidang Sosial

dan Politik Pada Tataran Global Tahun 2021”

Visi FISIP USU diharapkan dapat menjadi motivasi yang tinggi bagi seluruh

civitas akademika untuk secara bersama-sama membangun FISIP khususnya dan

USU pada umumnya melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu

Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat sehingga FISIP USU

menjadi fakultas yang unggul di bidang pendidikan dan riset terapan kebijakan publik

bidang sosial dan politik. Melalui kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut

diharapkan FISIP USU tidak hanya unggul dalam bidang pendidikan dan riset sosial

politik, tetapi juga berkontribusi bagi pembangunan masyarakat yang berkualitas dan

berkarakter.

4.4.2 Misi

Untuk mencapai Visi FISIP USU, maka disusunlah misi yaitu kegiatan yang

harus dilaksanakan organisasi. Melalui misi yang jelas, diharapkan seluruh anggota

organisasi dan pihak-pihak yang berkepentingan mengenal organisasi dan mengetahui

peran serta dan hasil-hasil yang akan diperoleh organisasi di masa yang akan datang.
66

Kompetisi yang semakin ketat menuntut FISIP USU untuk segera dan bergerak lebih

cepat membenahi institusi sekaligus membangun jejaring (network) dengan

lingkungan eksternal. Untuk dapat mengakselerasi pencapaian visi sebagaimana telah

disebut di atas, maka FISIP USU menetapkan misi sebagai berikut:

1 Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran dibidang ilmu sosial dan

ilmu politik dengan mengandalkan kompentensi dosen sesuai materi yang

relevan dan mutakhir, kompetitif, dan bermoral.

2 Menjadi lulusan yang mampu berperan sebagai pelaku perubahan dalam

kehidupan sosial dan politik di masyarakat.

3 Mengembangkan riset terapan dan publikasi untuk memperkaya ilmu

pengetahuan yang berguna bagi masyarakat.

4 Meningkatkan kegiatan pengabdian masyarakat dalam rangka kepedulian

sosial sivitas akademia terhadap masyarakat.

5 Membangun jaringan kerjasama dalam rangka meningkatkan daya saing

dengan instansi pemerintah, pihak swasta dan non government organization

(NGO).

4.4.3 Tujuan

1 Menghasilkan sistem pendidikan dan pengajaran dengan materi yang relevan,

mutakhir, kompetitif, dan bermoral.

2 Menambak kompetensi dosen produkti dan profesional serta menciptakan

lulusan yang dapat mengembangkan ilmu sosial dan ilmu politik agar mampu

bersaing di tingkat internasional berdasarkan nilai etika, moral, dan agama.


67

3 Meningkatnnya jumlah riset terapan dibidang sosial dan politik yang berdaya

saing tinggi dan digunakan sebagai dasar kebijakan publik untuk menambah

kualitas kehidupan sosial dan politik masyarakat.

4 Meningkatnya jumlah pengabdian kepada masyarakat berbasis riset yang

bermanfaat bagi masyarakat.

5 Meningkatnya kerja sama dengan instansi pemerintah, pihak swasta dan Non

Government Organization (NGO) sehingga mendapat nilai tambah hasil

kerjasama bagi semua pihak yang dilibatkan

4.5 Struktur Organisasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

Struktur organisasi atau pengorganisasian yang baik membuat suatu organisasi

dapat mencapai tujuannya. Adanya sebuah struktur dalam organisasi untuk

mercancang, mengelompokan dan membagi tugas diantara anggota organisasi. Hal ini

memungkinkan adanya tindakan koordinasi terhadap setiap kegiatan diantara setiap

bagian dalam struktur tersebut. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara memiliki struktur organisas seperti yang tertera dalam bagan

dibawah.
68

Bagan 4.5.1 Struktur Organisasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

4.6 Kondisi Umum Tentang Klien

Klien yang dimaksud dalam penelitian ini adalah responden dan informan.

Responden adalah anggota aktif organisasi eksternal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara serta informan adalah Gubernur PEMA FISIP

USU Ibnu Prayetno, BPH (Badan Pengurus Harian) dan anggota aktif organisasi

eksternal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, terakhir

perwakilan demisioner organisasi eksternal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.


69

4.7 Sarana dan Prasana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sumatera Utara

(USU) terus berupaya memperbaiki administrasi dan pelayanan kepada para

mahasiswa. Peningkatan pelayanan terhadap mahasiswa ditujukan untuk

memfasilitasi kegiatan belajar-mengajar dan kehidupan sosial mahasiswa di

lingkungan kampus FISIP. Lingkungan kehidupan kampus ini diharapkan mampu

membantu menghasilkan mahasiswa yang berkemampuan teknis, terampil, dan

memiliki wawasan humanis. Kualitas pembentukan manusia yang utuh perlu

ditunjang infrastruktur seperti gedung perkuliahan, gedung laboratorium, ruang

pertemuan, sarana dan prasarana olahraga, sarana ibadah, dan lainnya.

Keberadaan sarana penunjang itu diharapkan membuat sivitas akademika

FISIP USU bisa mengembangkan segenap potensinya untuk menjadi manusia yang

unggul. FISIP USU akan senantiasa terus melakukan standardisasi layanan sejajar

dengan universitas lainnya. Peningkatan kualitas yang berkelanjutan akan terus

dilakukan dengan tujuan membuat kampus FISIP USU nyaman, hijau, rapi, teratur,

dan memudahkan aktivitas civitas akademika. Berikut ini rincian sarana dan

prasarana yang terdapat di lingkungan FISIP USU:

a Gedung Dekanat

b Ruang Dekan

c Ruang Rapat Pimpinan FISIP USU

d Ruang Kantor dan Administrasi Program Studi


70

e Gedung Aula Serbaguna

f Pendopo Mahasiswa FISIP USU

g Ruang Tunggu Absensi Dosen dan Mahasiswa

h Ruang Dosen

i Ruang Meja Hijau/Skripsi

j Kantin

k Musholla

l Sky Cross

m Selasar
71

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Deskripsi Data Hasil Penelitian

Pada bab ini peneliti akan menyajikan data yang diperoleh hasil penelitian.

Baik melalui penyebaran kuesioner atau daftar pertanyaan kepada 84 responden yang

merupak anggota dari 10 organisasi eksternal mahasiswa FISIP USU, maupun

melalui wawancara dengan narasumber, yang mana narasumber merupakan satu

orang informan kunci, lima orang informan utama dan tiga orang informan tambahan.

5.1.1 Hasil Wawancara

5.1.1.1 Informan Kunci

Nama : Ibnu Prayetno

Jurusan : Administrasi Bisnis

Jabatan : Gubernur PEMA FISIP Periode 2020/2021

Alamat : Jl. Setia Budi – Tanjung Sari No.20

Berikut hasil wawancara peneliti dengan Ibnu Prayetno selaku Gubernur

Mahasiswa FISIP USU periode 2020/2021 mengenai kenapa dalam 2 periode

terakhir 8 dari 10 organisasi eksternal mahasiswa dipimpin oleh laki – laki :

“Iya, saat ini organisasi yang masih aktif menurut data dari Dinas

Managemen Organisasi PEMA FISIP memang hanya 7 organisasi dan 3 UKM.


72

Artinya 10 organisasi ini yang masih aktif berkegiatan di FISIP. Tapi perlu diralat,

sekarang sepertinya 9 dari 10 organisasi itu ketuanya laki-laki. Sebenarnya dalam

setiap kepemimpinan itu laki-laki selalu berdiri di depan karena dari segi kekuatan

fisik laki-laki jauh lebih kuat, emosinya juga lebih terkontrol. Misalnya dalam rumah

tangga juga selalu dipimpin oleh laki-laki, karena laki-laki masih lebih layak

menerima amanah sebagai pemimpin, pandangan itu mungkin yang masih

berkembang pada masyarakat FISIP. Permpuan juga ada, tapi biasanya tidak terlalu

menonjol bahkan justru cenderung takut menunjukkan kemampuannya. Bagaimana

pun untuk menjadi seorang pemimpin organisasi juga butuh pengakuan, harus

mampu menunjukkan kapabilitas seorang pemimpin kepada masyarakat atau

pemegang hak suara. Akses untuk menjadi seorang pemimpin dalam organisasi pasti

terbuka lebar, akan tetapi tidak semua mampu.Seseorang terpilih karena ia

mencalonkan dirinya, yang berarti pada masa kontestasi itu jumlah calon laki-laki

lebih banyak.”

Peneliti juga menanyakan apakah dalam pemilihan ketua organisasi selalu

didominasi oleh laki-laki dan laki-laki akan selalu terpilih :

“Perempuan cenderung lebih berhati-hati. Jadi mungkin banyak sekali

pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh perempuan ketika ia mencalonkan

dirinya dalam pemilihan yang malah bisa saja berujung tidak jadi mencalonkan.

Laki-laki biasanya jauh lebih siap menerima resiko yang akan terjadi, karena seperti

yang saya katakana tadi, laki-laki itu lebih kuat mengontrol emosinya. Itu mungkin

yang membuat laki-laki lebih berani tampil atau mencalonkan dirinya saat ada
73

pemilihan ketua sebuah organisasi. Karena kepercayaan diri itu juga maka biasanya

laki-laki selalu menang. Tapi sebenarnya perempuan juga ada yang powerfull dan

berani menghadapi resiko kedepan ketika hendak mencalonkan dirinya sebagai

ketua. Tapi mungkin tidak sebanyak laki-laki dan memang benar dalam setiap

pemilihan organisasi selalu didominasi oleh laki-laki, karena alasan-alasan tadi.”

Selanjutnya peneliti juga menenyakan tentang apakah ada aturan yang

mendiskriminsasi salah satu jenis kelamin dalam pemilihan ketua organisasi atau ada

kebijakan yang mendiskriminasi karena identitas gender:

“Setiap organisasi AD/ARTnya berbeda-beda. Program dan kebijakannya

juga berbeda. Begitu pula dalam teknik pemilihan pimpinannya. Setiap organisasi

sudah pasti memiliki aturan dan kriteria tersendiri. Tapi tentu saja tidak ada aturan

yang mendiskriminasi. Begitu pula dengan penyusunan kebijakan. Sebelum

mengsahkan sebuah kebijakan, tentu saja dirundingkan dulu bersama semua pihak

dalam organisasi tersebut kan, jika dirasa merugikan salah satu jenis kelamin, maka

bisa dirubah dan ditunda pengesahannya. Kita semua kan mahasiswa, orang-orang

intelektual, tentu saja setiap kebijakan yang disusun itu harus disusun tanpa

merugikan salah satu pihak.”

Peneliti juga menanyakan apakah kehidupan dalam organisasi mahasiswa juga

terpengaruh oleh budaya yang dianut masyarakat saat ini, misalnya budaya patriarki:

“Budaya setiap organisasi itu berbeda. Cara mereka bekerja, membuat

kebijakan berbeda-beda. Terbukti dengan AD/ART setiap organisasi yang juga


74

berbeda-beda. Karena kita hidup dalam masyarakat yang patriarkal, bisa saja itu

juga mempengaruhi budaya dalam organisasi. Akan tetapi mahasiswa yang

berorganisasi tentu saja menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan, tidak ada jenis

kelamin yang dinomor satukan atau diutamakan. Semua pasti diperlakukan setara.”

Kemudian peneliti menanyakan apakah ada kebijakan atau kegiatan yang

diadakan 10 organisasi eskternal untuk mendukung kesetaraan gender:

“Diskusi-diskusi soal perempuan, feminis dan kesetaraan menjadi agenda

rutin untuk organisasi mahasiswa. Terutama organisasi gerakan. Kesetaraan

merupakan bagian dari demokrasi, maka sudah seharusnya mahasiswa yang

berorganisasi menaruh minat pada pembahasan kesetaraan.”

5.1.1.2 Informan Utama 1

Nama : Kiki Prisnawinanti

Jurusan : Ilmu Politik 2017

Organisasi : GMNI Kom. FISIP USU

Alamat : Jl. Jamin Gingting no.268, Padang Bulan

Pertanyaan peneliti yang pertama adalah apakah pada saat pengkaderan ada

pembatasan jumlah laki-laki dan perempuan yang akan diterima:

“Pada masa PPAB (Pekan Penerimaan Anggota Baru) pastinya terbuka

untuk semua mahasiswa tanpa adanya pembatasan jumlah yang akan diterima. Kita
75

menampung semua mahasiswa yang ingin bergabung, baik itu laki-laki atau

perempuan.”

Selanjutnya peneliti menanyakan apakah dalam setiap pemilihan pimpinan

organisasi selalu didominasi oleh laki-laki dan laki-laki akan selalu terpilih:

“Karena saat pengkaderan tadi lebih banyak laki-laki, jadi wajar ketika ada

pemilihan pimpinan dan BPH organisasi laki-laki mendominasi. Akan tetapi hal

tersebut tidak menjamin laki-laki selalu menang atau terpilih. Mahasiswa yang sudah

berorganisasi biasanya lebih melihat kualitas calon pimpinannya. Jadi perempuan

juga bisa terpilih.”

Pertanyaan selanjutnya yaitu perempuan diidentikan sebagai makhluk yang

emosional dan laki-laki lebih maskulin, apakah hal tersebut bisa menjadi dasar

terpilihnya seorang pimpinan organisasi :

“Pandangan seperti itu sudah pasti tetap ada. Tapi kembali lagi jika sudah

berorganisasi hal tersebut sudah tidak lagi menjadi tolak ukur. Kredibilitas,

keaktifan, kontribusi dalam organisasi dan kualitas yang menjadi tolak ukurnya.”

Peneliti juga menanyakan teknik pemilihan pimpinan organisasi, apakah ada

aturan atau kriteria khusus yang membedakan identitas gender:

“Teknik pemilihan seorang ketua organisasi sudah diatur dalam AD/ART dan

selama ini tidak pernah ada kriteria yang menyangkut identitas gender. Semua
76

kriteria dan aturannya adalah aturan-aturan umum yang tidak berkaitan dengan

jenis kelamin.”

Kemudian peneliti menanyakan tentang kemudahan mengakses informasi-

informasi penting dalam organisasi:

“Baik laki-laki dan perempuan aksesnya sama-sama mudah.”

Peneliti juga menanyakan bagaimana pembagian peran dalam organisasi,

apakah berdasarkan identitas gender, apakah perempuan dapat dengan mudah

mendapat posisi dan peran yang diinginkan :

“Berbdasar kemauan dan kemampuan. Jika mau dan mampu mengambil

sebuah peran, maka peran itu akan diberikan kepada anggota tersebut tanpa melihat

identitas gender.”

Pertanyaan selanjutnya kepada informan adalah kenapa perempuan selalu

indentik dengan jabatan sekretaris dan bendahara dalam organisasi :

“Karena dalam pemikiran banyak orang perempuan lebih rapih dan lebih

teliti . Jadi orang-orang lebih mempercayakan posisi tersebut pada perempuan. Laki-

laki juga bisa menjabat posisi tersebut, tetapi perempuan selalu lebih dipercaya

untuk memegang dua jabatan itu.”

Peneliti juga menanyakan jika akses terbuka lebar untuk setiap anggota

menjadi ketua, kenapa dalam dua periode terakhir 8 dari 10 organisasi mahasiswa

dipimpin oleh laki-laki :


77

“Karena lebih banyak laki-laki yang mencalonkan diri. Pemilih hanya akan

memilih orang yang mencalonkan dirinya. Kebetulan dalam organisasi yang saya

ikuti, periode sebelumnya dipimpin oleh perempuan, beliau terpilih karena dia

mencalonkan dirinya. Begitu juga dengan laki-laki. Ketika tidak ada perempuan yang

mencalonkan dirinya, sudah pasti laki-laki yang terpilih.”

Terakhir peneliti menanyakan apakah ada program dalam organisasi yang

mendukung kesetaraan gender :

“Lebih tepatnya organisasi mewadahi perempuan untuk berkembang dan

mengekspresikan diri dengan adanya divisi khusus perempuan. Tetapi untuk secara

khusus kesetaran gender belum ada. Hanya dibahas dalam ruang diskusi dan dalam

kehidupan berorganisasi pun tidak ada lagi pembedaan perlakuan kepada laki-laki

dan perempuan.”

5.1.1.3 Informan Utama 2

Nama : Meilinda

Jurusan : Sosiologi 2017

Organisasi : UKMI AS-SIYASAH FISIP USU

Alamat : Desa Sumber Padi, Kec.Lima Puluh, Kab.Batubara

Peneliti menanyakan apakah pada saat pengkaderan anggota baru, ada

pembatasan jumlah laki-laki atau perempuan:


78

“Pada masa pengkaderan semua mahasiswa yang ingin bergabung

dibukakan pintu selebar-lebarnya. Semua diberi kesempatan untuk bergabung, tanpa

adanya batasan jumlah.”

Selanjutnya peneliti menanyakan kenapa biasanya pada masa pemilihan ketua,

calon ketua selalu didominasi oleh laki-laki dan selalu terpilih:

“Jumlah laki-laki yang mencalonkan dirinya memang selalu lebih banyak.

Tapi tidak menjadi jaminan laki-laki akan selalu terpilih. Semua tergantung cara

kandidat berkampanye atau menarik minat minat para pemilih.”

Peneliti juga menanyakan teknik pemilihan pimpinan organisasi, apakah ada

aturan atau kriteria khusus yang membedakan identitas gender:

“Untuk kriteria biasanya loyalitas, sehat jasmani dan rohani, kriteria umum,

tidak ada krieteria khusus. Seperti hanya laki-laki atau hanya perempuan yang boleh

mencalonkan dirinya.”

Peneliti juga menanyakan apakah perempuan yang diidentikan dengan sifat

emosional dan laki-laki dengan sifat maskulin menjadi dasar seseorang untuk

memilih pemimpinnya:

“Itu adalah stereotipe yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki. Hal

itu seharusnya tidak menjadi dasar untuk memilih seorang pemimpin. Meskipun sifat

dan karakter calon pemimpin itu penting untuh diperhatikan, tapi bukan itu tolak

ukur utamanya.”
79

Kemudian peneliti menanyakan tentang kemudahan mengakses informasi-

informasi penting dalam organisasi:

“Akses untuk informasi terbuka selebar-lebarnya untuk semua anggota.”

Kemudian peneliti menanyakan bagaimana pembagian tugas dan peran dalam

organisasi? Apakah berdasarkan identitas gender:

“Pembagian peran atau tugas tentu saja didasari pada kemauan masing-

masing dan kemampuan. Tidak ada tugas –tugas yang hanya dikhususkan untuk laki-

laki atau perempuan.”

Pertanyaan selanjutnya kepada informan adalah kenapa perempuan selalu

indentik dengan jabatan sekretaris dan bendahara dalam organisasi :

“Perempuan cenderung lebih rapih dan teliti jika dibandingkan dengan laki-

laki.”

Peneliti juga menanyakan jika akses terbuka lebar untuk setiap anggota

menjadi ketua, kenapa dalam dua periode terakhir 8 dari 10 organisasi mahasiswa

dipimpin oleh laki-laki :

”Iya, organisasi tidak mungkin membatasi dan mendiskriminasi jenis kelamin

siapa saja yang ingin mencalonkan dirinya menjadi ketua. Tetapi biasanya laki-laki

memang selalu lebih berani untuk mencalonkan dirinya, perempuan terlalu banyak

ragu”
80

Terakhir peneliti menanyakan apakah ada program dalam organisasi informan

yang mendukung kesetaraan gender :

“Untuk kesetaraan gender secara khusus, belum ada. Tapi ada bidang

keputrian yang menunjang aktifitas anggota perempuan.”

5.1.1.4 Informan Utama 3

Nama : Raqin Arya Syahali Lubis

Jurusan : Sosiologi 2019

Organisasi : Sapma Pemuda Pancasila FISIP USU

Alamat : Jl. Beringin 10, Geperta

Peneliti menanyakan apakah pada saat pengkaderan anggota baru, ada

pembatasan jumlah anggota laki-laki dan perempuan yang akan diterima:

“Sebenarnya tidak ada pembatasan jumlah, tapi memang jarang sekali ada

perempuan yang ingin bergabung. Bahkan bisa saja tidak ada perempuan sama

sekali yang mendaftar ketika masa pengkaderan.”

Peneliti juga menanyakan apakah saat masa pemilihan ketua organisasi, calon

ketua selalu didominasi oleh laki-laki dan laki-laki akan selalu terpilih:

“Karena jarang sekali ada perempuan yang bergabung, maka saat ada

pemilihan pimpinan baru sudah pasti laki-laki yang dominan, bahkan semua
81

calonnya bisa saja laki-laki. Tapi kalau ada perempuan yang mencalonkan dirinya,

tidak masalah. Laki-laki juga belum tentu selalu terpilih.”

Selanjutnya peneliti menanyakan bagaimana teknik pemilihan seorang ketua

organisasi? Apakah ada aturan terkait identitas gender:

“Tidak ada, yang terpenting wibawa dan loyalitas saja.”

Peneliti juga menanyakan apakah perempuan yang diidentikan dengan sifat

emosional dan laki-laki dengan sifat maskulin menjadi dasar seseorang untuk

memilih pemimpinnya:

“Tidak. Sifat-sifat seperti itu kan belum tentu dimiliki semua orang. Ada laki-

laki yang lebih emosional dari perempuan. Ada juga perempuan yang lebih tegas

daripada laki-laki. Sifat-sifat seperti itu tidak bisa dipukul rata ke semua orang. Hal

itu juga tidak seharusnya dijadikan dasar atau patokan dalam memilih seorang

pemimpin.”

Kemudian peneliti menanyakan bagaimana pembagian tugas dan peran dalam

organisasi? Apakah berdasarkan identitas gender:

“Tidak ada pembagian peran yang didasari atas identitas gender. Biasanya

didasari sama kemampuan.”

Peneliti juga menanyakan kenapa dalam organisasi perempuan identik dengan

peran sekretaris dan bendahara:


82

“Karena itu seperti sudah mendarah daging pada perempuan. Artinya

memang untuk posisi-posisi yang membutuhkan ketelitian dan keteraturan sudah

pasti diduduki oleh perempuan. Bukan berarti laki-laki tidak teratur, tapi ini fakta

yang sering kita lihat.”

Selanjutnya peneliti menanyakan bagaimana kemudahan mengakses informasi

penting yang berhubungan dengan dunia perkuliahan dalam organisasi:

“Semua diberi kemudahan dalam mengakses informasi yang dibutuhkan.”

Peneliti juga menanyakan jika akses terbuka lebar untuk setiap anggota

menjadi ketua, kenapa dalam dua periode terakhir 8 dari 10 organisasi mahasiswa

dipimpin oleh laki-laki :

“saya juga baru data ini. Mungkin karena saat pemilihan ketua, jumlah laki-

laki yang mencalonkan dirinya lebih banyak. Jadi mereka yang lebih banyak terlihat

memimpin. Laki-laki lebih berani menunjukkan wibawanya, itu kuncinya.”

Terakhir peneliti menanyakan bagaimana organisasi mengamalkan kesetaraan

gender baik itu melalui program, kebijakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan

untuk mendukung kesetaraan:

“Program khusus kesetaraan belum ada. Tapi dalam kehidupan

berorganisasi, anggota laki-laki dan perempuan itu diperlakukan setara. Tidak ada

pembedaan. Semua diberi akses yang sama, diberi tugas dan tanggu jawab sesuai
83

kemampuan, kebijakan-kebijakan organisasi juga tidak ada yang hanya memihak

salah satu jenis kelamin saja.”

5.1.1.5 Informan Utama 4

Nama : Bunga Ria Sitorus

Jurusan : Adm. Publik 2018

Organisasi : GMKI Kom. FISIP USU

Alamat : Jl. Terompet no.13 Padang Bulan - Medan

Peneliti menanyakan apakah pada saat pengkaderan anggota baru, ada

pembatasan jumlah laki-laki atau perempuan:

“Tidak ada pembatasan jumlah saat pengkaderan, baik itu jumlah laki-laki

maupun perempuan.”

Selanjutnya peneliti menanyakan kenapa biasanya pada masa pemilihan ketua,

calon ketua selalu didominasi oleh laki-laki dan selalu terpilih:

“Kalau bicara kemampuan, sebenarnya perempuan juga mampu menjabat

posisi itu. Hanya saja, jumlah anggota laki-laki lebih banyak daripada perempuan.

Maka yang sering terlihat dalam kontestasi adalah laki-laki. Selain itu, laki-laki lebih

berani speak up, maka mereka terlihat lebih mendominasi.”

Peneliti juga menanyakan teknik pemilihan pimpinan organisasi, apakah ada

aturan atau kriteria khusus yang membedakan identitas gender:


84

“Kalau aturan-aturan yang seperti itu tidak ada, aturannya lebih bersifat

general.”

Peneliti juga menanyakan apakah perempuan yang diidentikan dengan sifat

emosional dan laki-laki dengan sifat maskulin menjadi dasar seseorang untuk

memilih pemimpinnya:

“Bisa saja. Karena dua sifat itu melekat sekali pada laki-laki dan perempuan,

menjadi ciri khusus laki-laki dan perempuan.”

Kemudian peneliti menanyakan bagaimana pembagian tugas dan peran dalam

organisasi? Apakah berdasarkan identitas gender:

“Dibagi atas dasar kapasitas dan kemauan. Sebelum tugas itu diberikan

kepada seseorang dan sebelum orang itu menerimanya, tentu saja dilihat dulu

apakah ia mampu atau tidak. Tapi tanpa memandang identitas gendernya. Tidak ada

pembatasan dalam pembagian peran atau tugas.”

Peneliti juga menanyakan kenapa dalam organisasi perempuan identik dengan

peran sekretaris dan bendahara:

“Karena ada stigma bahwa perempuan itu lebih teliti, tertata dan lebih

pandai mengurus keuangan. Jadi sepertinya jabatan itu memang lebih layak dijabat

oleh perempuan. Laki-laki juga bisa menjabat, tapi mungkin perempuan jauh lebih

dipercaya.”
85

Selanjutnya peneliti menanyakan bagaimana kemudahan mengakses informasi

penting yang berhubungan dengan dunia perkuliahan dalam organisasi:

“Semua dapat akses yang sama-sama mudah. Tidak ada informasiyang

sengaja ditutupi atau hanya diberikan kepada beberapa orang saja. Semua bisa

mengakses informasi yang diinginkan dengan mudah.”

Peneliti juga menanyakan jika akses terbuka lebar untuk setiap anggota

menjadi ketua, kenapa dalam dua periode terakhir 8 dari 10 organisasi mahasiswa

dipimpin oleh laki-laki :

“Hal ini sepertinya diluar kendali organisasi.Organisasi sudah memberi

ruang untuk setiap orang mencalonkan dirinya menjadi ketua. Hasil akhirnya

ditentukan oleh kemampuan setiap calon. Kebetulan pada periode ini banyak laki-

laki yang jadi ketua, karena itu tadi saat masa pencalonan mereka mungkin lebih

show of soal kemampuan mereka.”

Terakhir peneliti menanyakan bagaimana organisasi mengamalkan kesetaraan

gender baik itu melalui program, kebijakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan

untuk mendukung kesetaraan:

“Untuk program atau kebijakan belum ada, tapi untuk kegiatan-kegiatan

seputar kesetaraan selalu ada. Misalnya perayaan hari perempuan internasional,

hari Kartini, diskusi seputar kesetaraan gender dan banyak kegiatan lain yang

mendukung kesetaraan.”
86

5.1.1.6 Informan Utama 5

Nama : Wanda Sinaga

Jurusan : Ilmu Kesejahteraan Sosial 2017

Organisasi : UKM KMK FISIP USU

Alamat : Jl. Sembada, Ps.5

Peneliti menanyakan apakah pada saat pengkaderan anggota baru, ada

pembatasan jumlah laki-laki atau perempuan:

“Pembatasan jumlah tidak ada. Tapi untuk UKM KMK sendiri yang banyak

bergabung itu biasanya perempuan. Selama proses seleksi, biasanya satu-persatu

laki-laki itu mundur sampai akhirnya jumlah perempuan lebih banyak. Mungkin

karena ini organisasi keagamaan.”

Selanjutnya peneliti menanyakan kenapa biasanya pada masa pemilihan ketua,

calon ketua selalu didominasi oleh laki-laki dan selalu terpilih:

“Tidak juga. Calon ketua tidak selalu didominasi oleh laki-laki. Untuk siapa

yang akhirnya terpilih, itu hak tim regenerasi untuk memutuskan siapa yang menjadi

ketua.”

Peneliti juga menanyakan teknik pemilihan pimpinan organisasi, apakah ada

aturan atau kriteria khusus yang membedakan identitas gender:


87

“Kriteria dan aturannya adalah kriteria-kriteria umum yang dimiliki laki-laki

dan perempuan. Tidak ada kriteria khusus yang mungkin saja bisa memberatkan

laki-laki atau perempuan.”

Peneliti juga menanyakan apakah perempuan yang diidentikan dengan sifat

emosional dan laki-laki dengan sifat maskulin menjadi dasar seseorang untuk

memilih pemimpinnya:

“Karakter pasti dilihat. Siapa yang lebih bisa mengayomi dan siapa yang

jiwa kepemimpinannya lebih terlihat. Orang-orang seperti itu biasanya yang lebih

mampu menjadi ketua.”

Kemudian peneliti menanyakan bagaimana pembagian tugas dan peran dalam

organisasi? Apakah berdasarkan identitas gender:

“Tugas dan tanggung jawab setiap anggota dibagi berdasarkan kemampuan

mereka. Jika mereka mampu menjalankan amanah disalah satu bidang tertentu,

maka tugas dan tanggung jawab bidang itu akan diberikan kepada mereka. Semua

kembali kepada kemampuan masing-masing orang.”

Peneliti juga menanyakan kenapa dalam organisasi perempuan identik dengan

peran sekretaris dan bendahara:

“Dua peran itu cukup sensitif. Dibutuhkan keseriusan dan ketelitian.

Kebetulan perempuan bisa diandalkan untuk dua peran ini. Laki-laki kadang kurang

teliti, jadi misalnya untuk bagian keuangan, pembukuannya bisa berantakan.”


88

Selanjutnya peneliti menanyakan bagaimana kemudahan mengakses informasi

penting yang berhubungan dengan dunia perkuliahan dalam organisasi:

“Informasi terbuka untuk umum, untuk semua anggota.”

Peneliti juga menanyakan jika akses terbuka lebar untuk setiap anggota

menjadi ketua, kenapa dalam dua periode terakhir 8 dari 10 organisasi mahasiswa

dipimpin oleh laki-laki :

“Karena laki-laki memang lebih berani mengambil resiko menjadi ketua.

Jabatan ketua itu berat sekali tanggung jawabnya. Kita memimpin satu organisasi

mahasiswa. Jadi jika jumlah laki-laki yang menjadi ketua lebih banyak, itu wajar-

wajar saja.”

Terakhir peneliti menanyakan bagaimana organisasi mengamalkan kesetaraan

gender baik itu melalui program, kebijakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan

untuk mendukung kesetaraan:

“Belum ada. Kami lebih fokus pada pengembangan karakter dari segi

keimanan.”
89

5.1.1.7 Informan Tambahan 1

Nama : Bottor Sirait

Jurusan : Ilmu Kesejahteraan Sosial 2013

Status/Jabatan : Demisioner/Waket Akspel GMKI 2015-2016

Alamat : Jl. Sembada – Padang Bulan, Medan

Peneliti apakah dalam setiap pemilihan pimpinan organisasi selalu didominasi

oleh laki-laki, apakah ini berhubungan dengan masa pengkaderan yang mungkin

membatasi jumlah anggota yang diterima berdasarkan jenis kelamin dan apakah

memang laki-laki selalu terpilih:

“Sebenarnya tidak selalu didominasi oleh laki-laki. Saat pengkaderan juga

tidak ada pembatasan jumlah seperti itu. Perempuan ada juga yang mencalon kan

dirinya. Untuk siapa yang akhirnya terpilih, itu tergantung kemampuan setiap calon.

Tidak selalu laki-laki yang terpilih menjadi pemimpin organisasi.”

Peneliti juga menanyakan jika akses terbuka lebar untuk setiap anggota

menjadi ketua, kenapa dalam dua periode terakhir 8 dari 10 organisasi mahasiswa

dipimpin oleh laki-laki :

“Kebetulan pada periode itu posisi ketua banyak diduduki oleh laki-laki saja.

Tidak ada hubungannya akses. Mungkin pada periode itu pemilih melihat calon laki-

laki yang lebih mampu.”


90

Peneliti juga menanyakan bagaimana teknik pemilihan seorang pimpinan

organisasi, apakah ada aturan-aturan terkait identitas gender, atau dirasa menyulitkan

laki-laki maupun perempuan:

“Tidak ada aturan-aturan khusus terkait identitas gender calon ketua, di

AD/ART juga tidak pernah dimuat mengenail hal-hal seperti itu.”

Kemudian peneliti kemudian menanyakan apakah dalam pembagian peran

untuk anggota organisasi didasarkan pada identitas gender :

“Tidak, untuk pembagian tugas dan tanggung jawab berdasarkan

kemampuan setiap anggota dan kemauannya. Tidak ada peran-peran yang hanya

dikhususkan untuk laki-laki atau perempuan.”

Peneliti juga menanyakan apakah ada aturan, kebijakan, program yang dirasa

menyulitkan laki-laki atau perempuan:

“Sejauh ini tidak ada aturan yang seperti itu. Semua kebijakan dan program

disusun untuk menunjang kehidupan organisasi lebih baik. Jika dirasa ada yang

menyinggung atau menyulitkan laki-laki atau perempuan, kebijakan tersebut pasti

dikaji ulang.”

Terakhir peneliti menanyakan bagaimana organisasi mengamalkan kesetaraan

gender melalui program, kebijkan, kegiatan yang sengaja diadakan untuk mendukung

kesetaraan:
91

“Kami mendukung penuh kesetaraan laki-laki dan perempuan, melalui

persamaan hak, diskusi seputar perempuan dan kesetaraan serta kegiatan-kegiatan

lainnya yang bertemakan kesetaraan.”

5.1.1.8 Informan Tambahan 2

Nama : Yuli Assari Butarbutar

Jurusan : Ilmu Adm. Publik 2016

Status/Jabatan : Demisioner/Sekretaris Umum HMI Kom. FISIP USU 2019/

2020

Alamat : Jl. Abadi - Medan

Pertama peneliti menanyakan apakah ketika masa pemilihan ketua organisasi

yang baru, calon ketua selalu didominasi oleh laki-laki? Apakah ini berhubungan

dengan masa pengkaderan yang mungkin membatasi jumlah anggota yang diterima

berdasarkan jenis kelamin dan apakah laki-laki juga akan selalu terpilih:

“Sejauh ini tidak pernah ada pembatasan jumlah anggota yang diterima, baik

laki-laki atau perempuan. Semua mahasiswa memiliki akses yang sama. Tetapi ada

beberapa proses seleksi yang dilalui, ada tes tertulis, wawancara hingga terakhir

nanti forum LK1. Selama mengikuti semua proses itu pun, tidak ada pembedaan

perlakuan atau pembedaan seleksi antara laki-laki atau perempuanMemang dalam

setiap pemilihan ketua yang baru, calon-calonnya selalu didominasi oleh laki-laki.

Tapi bukan berarti perempuan tidak diperbolehkan mencalonkan dirinya. Selama ini
92

juga ada beberapa perempuan yang ikut serta dalam kontestasi tersebut, tapi

memang jumlah calon laki-laki selalu lebih banyak. Ini tidak menjadi jaminan akan

selalu laki-laki yang terpilih. Perempuan juga ada yang terpilih menjadi ketua,

dibuktikan beberapa organisasi eksternal lainnya di FISIP ada yang pernah dipimpin

oleh perempuan.”

Peneliti juga menanyakan jika akses terbuka lebar untuk setiap anggota

menjadi ketua, kenapa dalam dua periode terakhir 8 dari 10 organisasi mahasiswa

dipimpin oleh laki-laki :

“Karena laki-laki lebih berani mencalonkan dirinya. Bukan berarti

perempuan tidak, tetapi selama ini memang yang sering terlihat adalah laki-laki.

Pemegang hak suara yang merupakan anggota organisasi pasti memilih salah satu

dari calon ketua yang menurutnya mampu memegang jabatan itu, jadi ketika laki-laki

lebih banyak yang terpilih, itu kembali pada pemegang hak suara tadi.”

Peneliti juga menanyakan bagaimana teknik pemilihan ketua organisasi?

Apakah ada aturan yang berkaitan dengan identitas gender calon ketua:

“Dari dulu semua kriteria calon ketua tertuang dalam konstitusi HMI, namun

konstitusi tersebut akan dikembalikan kepada masing-masing komisariat jika ada

yang ingin ditambahkan sesuai kebutuhan setiap komisariat. Namun, selama ini

belum pernah ada aturan yang berhubungan dengan identitas gender. Semua kriteria

yang ada dapat dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan.”


93

Kemudian peneliti menanyakan bagaimana pembagian peran atau tugas

kepada setiap anggota, apakah berdasarkan identitas gender?

“Sejauh ini tidak ada perarturan tertulis atau budaya organisasi yang

menjelaskan bahwa pembagian tugas itu berdasarkan identitas gender.Jadi

kedudukan laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan kewajiban dan haknya

sama.”

Peneliti juga menanyakan apakah ada aturan, kebijakan, program yang dirasa

menyulitkan laki-laki atau perempuan:

“Tidak ada. Mahasiswa yang berorganisasi pasti kritis dalam menelaah

setiap kebijakan yang baru disusun. Jika kebijakan itu dirasa merugikan salah satu

pihak, maka akan dikaji ualng atau tidak disahkan.”

Terakhir peneliti menanyakan bagaimana organisasi mengamalkan kesetaraan

gender melalui program, kebijkan, kegiatan yang sengaja diadakan untuk mendukung

kesetaraan:

“Ini menjadi salah satu topik yang selalu dibahas dalam organisasi. Dalam

budaya organisasi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tetap diperhatikan.

Dalam penyusunan setiap kebijakan dan program juga tetap memperhatikan

kesamaan hak dan kewajiban perempuan maupun laki-laki. Diskusi-diskusi seputar

kesetaraan juga rutin dilaksanakan.”


94

5.1.1.9 Informan Tambahan 3

Nama : Catherine Asima

Jurusan : Sosiologi 2013

Status/Jabatan : Demisioner/ Komisaris GMNI Periode 2016-2017

Alamat : Jl. Bibis Raya no.16, Tamantirto Kasihan Bantul

Peneliti menanyakan apakah ketika masa pemilihan ketua organisasi yang

baru, calon ketua selalu didominasi oleh laki-laki? Apakah ini berhubungan dengan

masa pengkaderan yang mungkin membatasi jumlah anggota yang diterima

berdasarkan jenis kelamin dan apakah laki-laki juga akan selalu terpilih:

“Pertama tidak ada batasan jumlah baik laki-laki atau perempuan yang

diterima. Kedua kenapa laki-laki selalu mendominasi? Karena kader perempuan

tidak cukup percaya diri untuk menjadi pemimpin, ini masalah kesadaran secara

personal, bukan karena diciptakan dalam organisasi. Kemudian laki-laki juga tidak

selalu terpilih, sudah terbukti kepemimpinan perempuan dibeberapa organisasi di

FISIP.”

Peneliti juga menanyakan jika akses terbuka lebar untuk setiap anggota

menjadi ketua, kenapa dalam dua periode terakhir 8 dari 10 organisasi mahasiswa

dipimpin oleh laki-laki :

“Seperti yang tadi saya katakana, kesadaran perempuan belum cukup kuat

untuk berani menduduki posisi pemimpin organisasi., tapi ini sedang dalam proses
95

yang terus dibangun agar baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang

setara untuk menjadi pemimpin.”

Peneliti juga menanyakan bagaimana teknik pemilihan ketua organisasi?

Apakah ada aturan yang berkaitan dengan identitas gender calon ketua:

“Mengajukan diri, menyampaikan visi dan misi. Tidak ada aturan yang

seperti itu.”

Kemudian peneliti menanyakan bagaimana pembagian peran atau tugas

kepada setiap anggota, apakah berdasarkan identitas gender?

“Pembagian peran biasanya berdasarkan minat dan kemampuan masing-

masing. Bahkan biasanya langsung ditunjuk tanpa memandang apa jenis kelaminnya.

Pekerjaan domestik dan lapangan sama-sama bisa dikerjakan laki-laki dan

perempuan.”

Peneliti juga menanyakan apakah ada aturan, kebijakan, program yang dirasa

menyulitkan laki-laki atau perempuan:

“selama saya berorganisasi tidak ada.”

Terakhir peneliti menanyakan bagaimana organisasi mengamalkan kesetaraan

gender melalui program, kebijkan, kegiatan yang sengaja diadakan untuk mendukung

kesetaraan:

“Di GMNI sendiri ada materi pengantar Sarinah yang diikuti setiap calon

anggota laki-laki dan perempuan, materi ini diberikan untuk memberi kesadaran
96

kesetaraan gender kepada anggota. Kemudian organisasi berusaha membuat

program dan sop yang tidak bias gender, memberi kesempatan kepada anggota laki-

laki dan perempuan untuk berperan aktif dalam organisasi.”

5.1.2 Hasil Kuesioner

Selain wawancara, peneliti juga menyebarkan kuesioner yang disusun

berdasarkan 4 indikator kesetaraan gender untuk melengkapi data wawancara.

Peneliti menyebarkan kuesioner kepada sampel penelitian, yang mana sampel

penelitian ini merupakan 84 orang anggota organisasi eksternal FISIP USU. Berikut

data yang didapatkan dari hasil penyebaran kuesioner:

a Akses

1. Tabel Akses 1

Tabel Akses 1

Saya mengikuti organisasi yang jumlah anggota perempuan dibatasi

Tanggapan Jumlah Persentase (%)


(orang)
S 3 3,57
R 0 0,00
TS 81 96,43
TOTAL 84 100,00

Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa 96% atau 81 orang dari total 84 orang

responden tidak setuju jika mereka mengikuti organisasi yang membatasi jumlah

anggota perempuan. Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara dengan informan,
97

bahwa organisasi eksternal mahasiswa FISIP USU tidak membatasi jumlah anggota

perempuan atau laki-laki pada saat pengkaderan.

2. Tabel Akses 2

Tabel Akses 2

Mahasiswa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk berorganisasi

Tanggapan Jumlah Persentase (%)


S 81 96,43
R 1 1,19
TS 2 2,38
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Dari tabel 2 diketahui bahwa 81 orang dari total 84 orang responden setuju

bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk berorganisasi.

Hanya 2 orang saja yang tidak setuju akan pernyataan tersebut. Data ini diperkuat

oleh hasil wawancara yang mana setiap organisasi membukakan pintu selebar-

lebarnya kepada siapa saja yang ingin ikut berorganisasi. Tidak ada perbedaan dalam

pemberian hak untuk berorganisasi kepada mahasiswa FISIP USU. Semua dapat

bergabung dan berporses dalam organisasi yang diinginkan.


98

3. Tabel Akses 3

Tabel Akses 3

Dalam organisasi yang saya ikuti, perempuan sulit mendapatkan jabatan/posisi yang
diinginkannya walaupun sebenarnya dia mampu menjabat jabatan/posisi tersebut

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 10 11,90
R 11 13,10
TS 63 75,00
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa 63 orang responden tidak setuju dengan

pernyataan tersebut. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan informan yang

menyatakan bahwa setiap organisasi memberi akses atau kesempatan yang sama

kepada setiap anggotanya untuk menduduki posisi yang diinginkan. Selebihnya 10

orang setuju dan 11 orang ragu-ragu.

4. Tabel Akses 4

Tabel Akses 4

Informasi-informasi penting dalam organisasi biasanya lebih mudah didapatkan


oleh laki-laki

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 15 17,86
R 15 17,86
TS 54 64,29
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021
99

Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa 54 orang dari total 84 orang responden tidak

setuju dengan pernyataan tersebut. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara bersama

informan yang menyatakan bahwa semua informasi-informasi penting yang

berhubungan dengan dunia perkuliahan dapat diakses dengan mudah oleh semua

anggota. Tetapi masih terdapat 15 orang yang setuju dan ragu-ragu dengan

pernyataan tersebut.

5. Tabel Akses 5

Tabel 5

Saya merasa peran perempuan dalam organisasi yang saya ikuti terbatas

Tanggapan Jumlah Persentase (%)


(orang)
S 12 14,29
R 6 7,14
TS 66 78,57
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa 66 orang responden atau 78,57% tidak

setuju dengan pernyataan bahwa organisasi yang diikuti membatasi peran perempuan.

Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara yang menyatakan bahwa, tidak ada

pembatasan peran atau pembagian peran berdasarkan jenis kelamin. Tetapi 12 orang

setuju dengan pernyataan tersebut. Sisanya, 6 orang merasa ragu-ragu.


100

b Partisipasi

1. Tabel Partisipasi 1

Tabel Partisipasi 1
Dalam organisasi yang saya ikuti, perempuan selalu diperlakukan dengan lembut
karena dianggap lemah dan butuh perlindungan

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 32 38,10
R 18 21,43
TS 34 40,48
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Dari tabel 5.6 diketahui bahwa 38,10% responden setujua jika dalam

organisasinya perempuan diperlakukan dengan lembut. Sementara 40,48% atau 34

orang responden dari total 84 orang responden tidak setuju dan 18 orang ragu-ragu.

2. Tabel Partisipasi 2

Tabel Partisipasi 2
Perempuan dalam organisasi yang saya ikuti mendapat peran sesuai kemauan dan
kemampuannya

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 77 91,67
R 3 3,57
TS 4 4,76
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa 91,67% responden menyatakan setuju jika

dalam organisasi yang diikuti perempuan mendapat peran sesuai dengan kemauan

dan kemampuannya. Hasil wawancara juga memperkuat hal tersebut, yang mana
101

menurut informan setiap peran yang diberikan kepada anggota organisasi berdasarkan

kemampuan dan kemauan mereka. Hanya 4,76% yang tidak setuju dengan pernyataan

ini dan 3,57% menyatakan ragu-ragu.

3. Tabel Partisipasi 3

Tabel Partisipasi 3
Peran perempuan dalam organisasi yang saya ikuti hanya seputar urusan
domestik, untuk urusan dilapangan menjadi tanggung jawab laki-laki
Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)
S 22 26,19
R 14 16,67
TS 48 57,14
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Dari tabel 3 diketahui bahwa 57,14% responden tidak setuju dengan pernyataan yang

ke 11. Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara yang menyatakan pembagian

peran atau tanggung jawab kepada setiap responden tidak berdasarkan jenis kelamin.

4. Tabel Partisipasi 4

Tabel Partisipasi 4
Sekretaris dalam organisasi selalu perempuan karena perempuan lebih rapih

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 28 33,33
R 18 21,43
TS 38 45,24
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021
102

Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa 45,24% responden tidak setuju jika perempuaan

selalu menjadi sekretaris organisasi karena lebih rapih. Sementara itu 33,33%

responden setuju dan 21,43% ragu-ragu. Hal ini menarik karena dari hasil wawancara

ditemukan fakta bahwa 5 informan utama setuju dengan pernyataan diatas. Stereotype

seperti ini nyatanya masih ada dalam kehidupan organisasi mahasiswa FISIP USU.

5. Tabel Partisipasi 5

Tabel 5
Perempuan lebih layak menjadi bendahara karena lebih bijak mengatur keuangan
daripada laki-laki

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 42 50,00
R 16 19,05
TS 26 30,95
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa 42 orang dari total 84 orang responden setuju

jika perempuan lebih layak menjadi bendahara organisasi karena lebih bijak mengatur

keuangan. Hal ini juga diperkuat oleh hasil wawancara dengan informan yang

menyatakan bahwa perempuan selalu menjadi bendahara karena dirasa lebih teliti,

tertata dan lebih bijak mengatur keuangan. Tetapi 26 orang responden tidak setuju

dan 16 ragu-ragu.
103

6. Tabel Partisipasi 6

Tabel Partisipasi 6
Suara/pendapat laki-laki dalam organisasi yang saya ikuti biasanya lebih
didengarkan

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 8 9,52
R 9 10,71
TS 67 79,76
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa 67 orang dari total 84 orang responden tidak

setuju dengan pernyataan tersebut. Sementara yang setuju berjumlah 8 orang dan

ragu-ragu sebanyak 9 orang.

7. Tabel Partisipasi 7

Tabel Partisipasi 7
Jika ada kegiatan organisasi, maka yang menjadi kordinator lapangan dan yang
melakukan survei lokasi kegiatan adalah laki-laki karena mereka lebih kuat.

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 45 53,57
R 7 8,33
TS 32 38,10
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa 53,57% atau 45 orang responden dari total 84

orang responden setuju dengan pernyataan tersebut. 32 orang responden tidak setuju

dan 7 orang responden memilih ragu-ragu.


104

8. Tabel Partisipasi 8

Tabel Partisipasi 8
Tugas yang diberikan kepada perempuan dalam organisasi yang saya ikuti,
biasanya lebih ringan

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 27 32,14
R 18 21,43
TS 39 46,43
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa 39 orang tidak setuju dengan pernyataan

tersebut, sedangkan 27 orang dari total 84 orang responden setuju dan 18 orang ragu-

ragu.

c Kontrol

1. Tabel Kontrol 1

Tabel Kontrol 1
Laki-laki lebih mampu menjadi pimpinan organisasi daripada perempuan

Tanggapan Jumlah Persentase (%)


(orang)
S 20 23,81
R 15 17,86
TS 49 58,33
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Dari tabel 1 diketahui bahwa 49 orang dari total 84 orang responden tidak setuju

dengan pernyataan bahwa laki-laki lebih mampu menjadi pemimpin daripada


105

perempuan. Sementara masih terdapat 20 orang yang setuju dengan pernyataan

tersebut, selebihnya 15 orang ragu-ragu.

2. Tabel Kontrol 2

Tabel Kontrol 2

Budaya yang dianut saat ini (budaya patriarki) juga mempengaruhi saya dalam
memilih ketua organisasi

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 17 20,24
R 11 13,10
TS 56 66,67
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa 56 orang atau 66,67% tidak terpengaruh dengan

budaya patriarki yang dianut saat ini ketika memilih ketua organisasi. Tetapi masih

ada 17 orang yang setuju dengan pernyataan tersebut, yang berarti mereka masih

terpangaruh dengan budaya yang dianut masyarakat saat ini ketika memilih ketua

organisasinya.

3. Tabel Kontrol 3

Tabel Kontrol 3
Saya tidak mau dimpimpin oleh perempuan karena lebih emosional dan cengeng

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 10 11,90
R 13 15,48
TS 61 72,62
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021
106

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa 61 orang dari total 84 orang responden tidak

setuju dengan pernyataan di atas. Data hasil wawancara juga menyatakan bahwa

sifat-sifat seperti itu tidak menjadi dasar terpilihnya seseorang sebagai ketua.

Selebihnya 10 orang setuju dan 13 orang ragu-ragu.

4. Tabel Kontrol 4

Tabel Kontrol 4
Sebaiknya organisasi dipimpin oleh laki-laki karena laki-laki lebih tegas dalam
mengambil keputusan dan lebih maskulin

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 26 30,95
R 16 19,05
TS 42 50,00
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa 42 orang tidak setuju dengan pernyataan

organisasi dipimpin oleh laki-laki karena laki-laki lebih tegas dalam mengambil

keputusan dan lebih maskulin. Hasil wawancara juga menyatakan jika sifat-sifat

seperti itu tidak menjadi dasar untuk memilih seorang ketua. Terdapat 26 orang yang

setuju dan 16 orang responden yang ragu-ragu.


107

5. Tabel Kontrol 5

Tabel Kontrol 5
Sebenarnya baik peremuan maupun laki-laki dapat menjadi ketua organisasi, jika
sesuai dengan kapabilitasnya

Tanggapan Jumlah Persentase (%)


(orang)
S 79 94,05
R 3 3,57
TS 2 2,38
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa 79 orang responden setuju jika baik peremuan

maupun laki-laki dapat menjadi ketua organisasi, jika sesuai dengan kapabilitasnya.

Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara bersama informan yang menyatakan

bahwa laki-laki dan perempuan bisa menjadi ketua organisasi. Terdapat 2 orang yang

tidak setuju dan 3 orang yang ragu-ragu.

6. Tabel Kontrol 6

Tabel Kontrol 6
Sifat perempuan yang cenderung manja akan menghambat perkembangan
organisasi

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 28 33,33
R 16 19,05
TS 40 47,62
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021
108

Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa 40 orang tidak setuju dengan pernyataan di atas.

Tetapi terdapat 28 orang atau 33,33% yang setuju jika sifat perempuan yang

cenderung manja akan menghambat perkembangan organisasi dan tersisa 16 orang

yang ragu-ragu.

d Manfaat

1. Tabel Manfaat 1

Tabel Manfaat 1
Dalam organisasi yang saya ikuti, laki-laki menjadi prioritas utama untuk setiap
program organisasi

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 12 14,29
R 8 9,52
TS 64 76,19
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 1diketahui bahwa 64 orang atau 76.19% tidak setuju dengan

pernyataan bahwa organisasi yang diikuti menjadikan laki-laki sebagai prioritas

utama untuk setiap program. Hal ini juga diperkuat dengan hasil wawancara yang

menyatakan bahwa program dalam organisasi tidak pernah mendiskriminsasi salah

satu jenis kelamin.


109

2. Tabel Manfaat 2

Tabel Manfaat 2

Kegiatan-kegiatan dalam organisasi yang saya ikuti memberi dampak positif bagi
anggota laki-laki maupun perempuan

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 82 97,62
R 1 1,19
TS 1 1,19
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa 82 orang atau 97,62% setuju jika

kegiatan-kegiatan dalam organisasi memberi dampak positif bagi seluruh anggotanya,

satu orang tidak setuju dan 1 orang saja yang ragu-ragu.

3. Tabel Manfaat 3

Tabel Manfaat 3
Sebaiknya kebijakan dan program dalam organisasi memihak setiap anggota tanpa
mendiskriminasi berdasarkan jenis kelamin

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 79 94,05
R 3 3,57
TS 2 2,38
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdasarkan tabel 5.18 diketahui bahwa 79 orang responden setuju jika

sebaiknya kebijakan dan program dalam organisasi memihak setiap anggota tanpa

mendiskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Hal ini diperkuat dengan hasil


110

wawancara yang mana tidak ada aturan atau AD/ART organisasi yang berkaitan

dengan jenis kelamin. Terdapat 3 orang ragu-ragu dan 2 orang tidak setuju.

4. Tabel Manfaat 4

Tabel Manfaat 4
Saya merasa ada aturan dalam organisasi yang menyulitkan perempuan

Tanggapan Jumlah (orang) Persentase (%)


S 6 7,14
R 10 11,90
TS 68 80,95
TOTAL 84 100,00
Sumber : Hasil olah data, 2021

Berdsarkan tabel 4 diketahui bahwa 68 orang responden tidak setuju dengan

pernyataan bahwa ada aturan dalam organisasi yang menyulitkan perempuan,

sementara 6 orang setuju dan tersisa 10 orang responden yang ragu-ragu

5.2 Analisis Pembahasan Hasil Penelitian

Kesetaraan gender adalah adalah kesamaan peluang dan kesempatan dalam

bidang social poltik dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. Keadilan gender

adalah suatu perlakuan yang sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai manusia yang

bermartabat dalam keluarga dan masyarakat. Perempuan dan laki-laki adalah mahluk

yang memiliki potensi sama (Gultom, 2014:80). Adapun indikator kesetaraan gender

(kemenkeu.go.id) adalah sebagai berikut, indikator pertama adalan akses, yaitu

kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu.

Mempertimbangkan bagaimana memperoleh akses yang adil dan setara antara

perempuan dan laki-laki dalam organisasi. Indikator kedua yaitu partisipasi yang
111

merupakan keikutsertaan atau partisipasi seseorang dalam kegiatan oragnisasi. Dalam

hal ini perempuan dan laki-laki apakah memiliki peran yang sama dalam oragnisasi

atau dalam pengambilan keputusan. Indikator ketiga adalah kontrol, yaitu penguasaan

atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini apakah

pemegang jabatan tertentu sebagai pengambil keputusan didominasi oleh gender

tertentu atau tidak. Indikator terakhir adalah manfaat, yaitu kegunaan yang dapat

dinikmati secara optimal. Semua aktifitas organisasi harus memberikan manfaat yang

sama, baik bagi perempuan dan juga laki-laki.

5.2.1 Akses

Berdasarkan data hasil wawancara diketahui bahwa setiap organisasi

eksternal mahasiswa FISIP USU memberi akses yang sama kepada seluruh

anggotanya untuk memperoleh informasi, bergabung dengan organisasi dan

menduduki posisi yang diinginkan.

“Pada masa pengkaderan semua mahasiswa yang ingin bergabung

dibukakan pintu selebar-lebarnya. Semua diberi kesempatan untuk bergabung, tanpa

adanya batasan jumlah.”

Ini merupakan salah satu jawaban dari 5 informan utama yang telah

diwawancarai, yang menyatakan bahwa organisasi sama sekali tidak membatasi akses

kepada siapa saja yang ingin bergabung dengan organisasi mahasiswa serta tidak

membatasi peran setiap anggota.

“Baik laki-laki dan perempuan aksesnya sama-sama mudah.”


112

Selain itu, untuk akses informasi-informasi penting yang berhubungan dengan

perkuliahan, seperti informasi beasiswa atau seminar juga dapat diakses dengan

mudah oleh semua anggota. Hasil kuesioner juga menyatakan jika 64,29% tidak

setuju dengan pertanyaan informasi-informasi penting dalam organisasi biasanya

lebih mudah didapatkan oleh laki-laki. Data kuesioner juga memperkuat hasil

wawancara, di mana 96,43% setuju jika organisasi eksternal mahasiswa FISIP USU

sama sekali tidak membatasi jumlah perempuan yang ingin berorganisasi.

Selanjutnya 96,43% juga setuju jika laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang

sama untuk berorganisasi, serta 75,00% juga tidak setuju jika perempuan sulit

mendapat posisi yang diinginkannya dalam organisasi dan untuk mengakses peran

atau tugas yang diinginkan juga tidak dibatasi sama sekali atau tidak ada

hubungannya dengan jenis kelamin setiap anggota.

“Tugas dan tanggung jawab setiap anggota dibagi berdasarkan kemampuan

mereka. Jika mereka mampu menjalankan amanah disalah satu bidang tertentu,

maka tugas dan tanggung jawab bidang itu akan diberikan kepada mereka. Semua

kembali kepada kemampuan masing-masing orang.”

Temuan ini juga sama dengan hasil penelitian yang berjudul “Eksistensi

Mahasiswi Dalam Berorganisasi Di Lingkungan Fakultas Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia” oleh Zaenal Mustopa pada

tahun 2016, yang mana aksesibilitas mahasiswi Fakultas Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia dalam memperoleh posisi

strategis terbilang terbuka tidak ada salah satu jenis kelamin dianggap istimewa
113

semuanya dianggap sama. Hal tersebut sesuai dengan pokok pemikiran feminisme

liberal yang diungkapkan John Stuart Mill bahwa setiap orang memiliki suatu

kebebasan untuk memperoleh apa yang dikehendaki atau yang diinginkanya selama

apa yang dikerjakannya dalam mewujudkan keinginanya tersebut tidak membatasi

atau menghalangi orang lain (Mill dalam Mustopa, 2016).

5.2.2 Partisipasi

Partisipasi sebagai indikator kesetaraan gender fokus pada keikutsertaan

atau partisipasi seseorang atau setiap anggota ogrnaisasi dalam kegiatan maupun

dalam pengambilan keputusan. Hasil wawancara menyatakan bahwa pembagian

peran kepada setiap anggota organisasi sama saja baik untuk laki-laki maupun

perempuan. Artinya partisipasi setiap anggota sama rata dalam organisasi.

“Dibagi atas dasar kapasitas dan kemauan. Sebelum tugas itu diberikan

kepada seseorang dan sebelum orang itu menerimanya, tentu saja dilihat dulu

apakah ia mampu atau tidak. Tapi tanpa memandang identitas gendernya. Tidak ada

pembatasan dalam pembagian peran atau tugas.”

Setiap organsisasi eksternal mahasiswa FISIP USU memberikan

kesempatan kepada setiap anggotanya untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan atau

pengambilan keputusan. Artinya semua anggota baik laki-laki atau perempuan dapat

berpartisipasi dalam organisasi. Setiap organisasi juga tidak memiliki aturan yang

membatasi peran salah satu jenis kelamin. Hasil kuesioner juga menyatakan jika

78,57% tidak setuju jika peran atau partisipasi perempuan dalam organisasi yang
114

dikuti terbatas. Lalu 91,67% juga setuju jika perempuan dalam organisasi eksternal

FISIP USU mendapat peran sesuai dengan kemauan dan kemampuannya. 79,76%

tidak setuju dengan pernyataan suara atau pendapat laki-laki dalam organisasi yang

saya ikuti biasanya lebih didengarkan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada suara atau

pendapat yang diabaikan hanya karena perbedaan jenis kelamin. Sebelum

memutuskan sesuatu, dirundingkan terlebih dahulu bersama semua komponen

organisasi. Namun bukan berarti anggota-anggota organisasi tidak dihadapkan

dengan hambatan sosial seperti sebuah stereotype yang merupakan hasil konstruksi

sosial.

Stareotype yang dimaksud adalah pelabelan atau penandaan negatif

terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu. Banyak sekali bentuk stereotype

(pelabelan) yang terjadi di masyarakat yang selalu merugikan dan menimbulkan

peran gender yang seksis, ketidakadilan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Peran

gender yang seksis ini dipercaya oleh penganut teori struktur fungsional. Struktur dan

fungsi yang terdapat dalam marsyarakat tidak pernah lepas dari pengaruh budaya,

norma dan nilai yang terdapat dalam masyarakat. Pembagian peran menurut jenis

kelamin diwajarkan oleh teori struktut fungsional. Anggapan tersebut jika dianalisis

lebih jauh dengan teori nurture dimana konstruksi sosial budaya menghasilkan dan

memelihara atribut gender seperti peran serta menghasilkan stereotype (pelabelan)

dari jenis kelamin tertentu, maka ditemukan peran gender yang bias dalam organisasi

eksternal mahasiswa FISIP USU, meskipun tidak begitu mencolok. Di mana terdapat

label “laki-laki lebih kuat” masih berkembang dalam budaya organisasi eksternal
115

mahasiswa FISIP USU. 53,57% setuju jika ada kegiatan organisasi, maka yang

menjadi kordinator lapangan dan yang melakukan survei lokasi kegiatan adalah laki-

laki karena mereka lebih kuat.

“Perempuan cenderung lebih rapih dan teliti jika dibandingkan dengan laki-

laki.”

Hasil wawancara dengan informan utama seoalah memvalidasi hal

tersebut, serta stereotype (pelabelan) perempuan lebih teliti dan lebih bijak mengatur

keuangan membuat 50% setuju jika perempuanlah yang lebih layak menjadi

bendahara dan masih terdapat 33,33% yang setuju jika perempuan lebih layak

menjadi sekretaris karena lebih rapih. Pelabelan (stereotype) seperti ini membatasi

peran setiap anggota bahkan berujuang pada subordinasi perempuan dalam

organisasi. Subordinasi merupakan penempatan seseorang pada posisi kedua atau

posisi tidak penting. Fakta yang sama juga ditemukan dalam penelitian yang berjudul

Subordinasi Perempuan Dalam Organisasi Mahasiswa IAIN Tulungagung Tahun

2015 oleh Ni‟matun Naharin. Ditemukan fakta bahwa dalam organisasi mahasiswa

IAIN Tulungagung perempuan juga mengalami subordinasi yang diakibatkan oleh

pelabelan (stereotype). Aturan-aturan atau kebijakan organisasi mungkin tidak

membatasi partisipasi perempuan dan laki-laki, tetapi stereotype dan perbedaan peran

gender sebagai hasil kosntruksi sosial tetap ada. Kesetaraan gender merupakan

kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta

hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan

politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan
116

nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.

Berdasarkan teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa temuan di atas belum

memenuhi indikator kesetaraan gender.

5.2.3 Kontrol

Kontrol yang dimaksud sebagai salah satu indikator kesetaraan gender

adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Dari

hasil wawancara dengan informan dan hasil kuesioner, 94,05% sepakat jika laki-laki

dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan

pemegang kekuasaan atau pemimpin organisasi. Kemudian terdapat 50,00% yang

tidak setuju jika organisasi dipimpin oleh laki-laki karena lebih tegas dalam

mengambil keputusan dan lebih maskulin

“Teknik pemilihan seorang ketua organisasi sudah diatur dalam AD/ART dan

selama tidak pernah ada kriteria yang menyangkut identitas gender. Semua kriteria dan

aturannya adalah aturan-aturan umum yang tidak berkaitan dengan jenis kelamin.”

Meskipun AD/ART organisasi tidak memuat aturan atau kebijakan yang

mendiskriminasi salah satu jenis kelamin, diskriminasi tetap ada karena stigma laki-

laki lebih tegas dan lebih rasional dan karena masih terdapat label (stereotype) yang

berkembang dalam kehidupan organisasi mahasiswa FISIP USU, maka hal ini juga

belum memenuhi syarat kesetaraan gender.

“Kalau bicara kemampuan, sebenarnya perempuan juga mampu

menjabat posisi itu. Hanya saja, jumlah anggota laki-laki lebih banyak daripada
117

perempuan. Maka yang sering terlihat dalam kontestasi adalah laki-laki. Selain itu,

laki-laki lebih berani speak up, maka mereka terlihat lebih mendominasi.”

Data wawancara juga menyatakan jika saat masa pemilihan pemimpin

organisasi yang baru, calon-calon ketua didominasi oleh laki-laki, menjadi bukti

bahwa pengaruh budaya patriarki masih ada.

“saya juga baru tahu data ini. Mungkin karena saat pemilihan ketua, jumlah

laki-laki yang mencalonkan dirinya lebih banyak. Jadi mereka yang lebih banyak

terlihat memimpin. Laki-laki lebih berani menunjukkan wibawanya, itu kuncinya.”

Hasil pra survey yang dilakukan peneliti pada tahun 2020, ditemukan

fakta bahwa 8 dari 10 organisasi eskternal mahasiswa FISIP USU dalam dua periode

terakhir dipimpin oleh laki-laki. Melihat dari teori patriarki yang merupakan sistem

yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan, mendominasi berbagai

peran, seperti peran politik, hak sosial, kepemilikan properti dan otoritas moral

(Susanto, 2015). Hasil akhir dari ajang pemilihan pimpinan baru memang ditentukan

oleh kualitas setiap kandidat, tetapi perempuan selalu terbentur dengan nilai-nilai

tradisional yang memang sudah melekat dalam konstruksi sosial budaya masyarakat,

begitu pula dalam kehidupan berorganisasi di kalangan mahasiswa. Selanjutnya hasil

wawancara dan penyebaran kuesioner mengatakan bahwa posisi sekretaris dan

bendahara selalu diduduki oleh perempuan, karena perempuan lebih teliti dan 50,00%

setuju dengan hal ini.


118

“Karena itu seperti sudah mendarah daging pada perempuan. Artinya

memang untuk posisi-posisi yang membutuhkan ketelitian dan keteraturan sudah

pasti diduduki oleh perempuan. Bukan berarti laki-laki tidak teratur, tapi ini fakta

yang sering kita lihat.”

Pola pikir seperti ini akhirnya menempatkan perempuan pada posisi yang

terbatas. Adanya perbedaan peran yang sangat mendiskriminasi dan ketidakadilan

pada perempuan. Hasil penelitian lainnya, yaitu penelitian yang berjudul “Kesetaraan

Gender Dalam Lingkup Organisasi Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Tahun 2016” oleh Alan Sigit Fibrianto, mahasiswa Program Studi Magister Sosiologi

Universitas Sebelas Maret, juga menyatakan bahwa dari masing-masing struktur

organisasi di organisasi mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

menduduki jabatan sebagai ketua umum atau selaku pemimpin organisasi adalah

sosok seorang laki-laki. Sedangkan peran perempuan rata-rata terletak pada posisi

sekretaris dan bendahara umum. Tidak jauh berbeda dengan peran perempuan di

organisasi eksternal mahasiswa FISIP USU. Jika dianalisis dengan teori nurture yang

menyatakan jika perbedaan laki-laki dan perempuan adalah produk konstruksi sosial

yang menghasilkan atribut gender dan pelabelan kepada jenis kelamin tertentu maka

data di atas membuktikan bahwa pelabelan tersebut akhirnya menimbulkan

subordinasi tersembunyi yang diabaikan yang merupakan wujud dari ketimpangan

gender. Peran seorang perempuan masih terkesan minim dalam menduduki jabatan-

jabatan penting di dalam organisasi kampus. Perempuan merasa cukup dengan

jabatan sekretaris, bendahara, atau wakil ketua karena dari awal dalam pikiran sudah
119

terpatri bahwa yang lebih mampu memimpin adalah laki-laki. Tidak disadari jika

stigma tersebut menimbulkan ketimpangan gender dalam dunia organisasi

mahasiswa, sebuah ketimpangan yang tidak disadari. Teori konflik juga memperkuat

analisis di atas, yang mana teori tersebut percaya bahwa ketimpangan gender yang

terjadi karena adanya perbedaan kelas dalam masyarakat yang merupakan hasil

kontruksi sosial. Teori kesetaraan gender percaya apabila perempuan dan laki-laki

adalah mahluk yang memiliki potensi sama. Kerjasama mereka dapat mempercepat

kemajuan pembangunan disegala bidang (Gultom, 2014:80).

5.2.4 Manfaat

Jika melihat dari sudut pandang kesetaraan gender, manfaat yang

dimaksud adalah kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal. Semua aktifitas

organisasi harus memberikan manfaat yang sama, baik bagi perempuan dan juga laki-

laki. Merujuk pada arti organisasi mahasiswa yang merupakan wadah pengembangan

kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa diperguruan tinggi yang meliputi pengembangan

penalaran, keilmuan, minat, bakat dan kegemaran mahasiswa itu sendiri (Padang,

2017). Maka organisasi eksternal mahasiswa FISIP USU sudah seharusnya memberi

manfaat yang sama untuk setiap anggotanya, baik itu laki-laki atau perempuan.

“Kalau aturan-aturan yang seperti itu tidak ada, aturannya lebih bersifat

general.”

Organisasi eksternal mahasiswa FISIP USU juga tidak memiliki aturan-

aturan yang membatasi setiap anggota ketika ingin menjadi ketua organisasi dan
120

diperkuat dengan hasil kuesioner di mana sebanyak 94,05% setuju jika kebijakan dan

program dalam organisasi memihak setiap anggota tanpa mendiskriminasi

berdasarkan jenis kelamin. Data ini juga diperkuat oleh hasil kuesioner lainnya

dimana 97,62% merasakan manfaat positif dari organisasi eksternal mahasiswa FISIP

USU yang diikuti. Tidak ada program, kebijakan dan kegiatan yang tidak memberi

manfaat positif bagi semua anggotanya. Serta tidak ditemukan program dan kebijakan

yang mendiskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Hasil kuesioner juga menyatakan

jika 80,95% anggota organsisasi eksternal mahasiswa FISIP USU setuju jika tidak

ada aturan dalam organisasi yang mempersulit perempuan. Temuan ini sama dengan

hasil penelitian terdahulu yang berjudul Dinamika Gerakan Kesetaraan Gender Di

Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (Studi Deskriptif Mengenail Dinamika

Gerakan Kesetaraan Gender di ORMEK HMI DAN LMND Cabang Surabaya) pada

tahun 2007 oleh Hanny Christina. Hasi penelitiaan ini juga menyatakan bahwa

ORMEK selalu mengusahakan menyusuh kebijakan-kebijakan yang mampu

mengakomodasi segala bentuk kepentingan setiap anggota organisasi.

“Untuk program atau kebijakan belum ada, tapi untuk kegiatan-kegiatan

seputar kesetaraan selalu ada. Misalnya perayaan hari perempuan internasional,

hari Kartini, diskusi seputar kesetaraan gender dan banyak kegiatan lain yang

mendukung kesetaraan.”

Tetapi organisasi-organisasi eksternal FISIP USU belum memiliki

program khusus kesetaraan gender. Organisasi hanya rutin melakukan diskusi-diskusi

seputar perempuan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.


121

Setiap organisasi eksternal mahasiswa FISIP USU yang terdiri atas HMI,

AMPI, GMKI, GMNI, GEMAPRODEM, SAPMA IPK, SAPMA PP, UKMI, UKM

KMK, dan UKM SEPAK BOLA menjalankan organisasi sesuai dengan visi dan misi

setiap organisasi. Visi dan misi organisasi tidak ada yang berkaitan dengan jenis

kelamin. Selain itu AD/ART setiap organisasi juga tidak memuat aturan atau

kebijakan yang mendiskriminasi berdasarkan jenis kelamin. 10 organisasi eksternal

mahasiswa FISIP USU juga memberi kesempatan yang sama untuk setiap anggotanya

dalam mengakses, berpartisipasi, kontrol dan merasakan manfaat organisasi yang

diikuti. Meskipun aturan-aturan organisasi memberi kesempatan yang sama kepada

setiap anggotanya, namun masalah ketimpangan gender masih ada. Eksistensi

patriarki juga tetap nyata dalam kehidupan organisasi eksternal mahasiswa FISIP

USU, dimana menurut Bressler sistem patriarki yang mendominasi budaya

masyarakat merupakan sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang

kekuasaan, mendominasi berbagai peran, seperti peran politik, hak sosial,

kepemilikan properti dan otoritas moral (Bressler dalam Susanto, 2015). Tidak begitu

menonjol, tetapi diskriminasi gender tersebut dapat dilihat jika merujuk pada teori

nurture yang menyatakan bahwa perbedaan perempuan dan laki – laki adalah produk

dari sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Masyarakat

melalui perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan melegitimasi peran gender

yang seksis. Hal ini juga diperkuat oleh teori konflik yang mempercayai bahwa

ketimpangan peran gender terjadi karena hasil kontruksi sosial. Konstruksi sosial

budaya menghasilkan dan memelihara atribut gender dan stereotype (pelabelan) dari
122

jenis kelamin tertentu. Atribut gender yang dimaksud seperti peran laki-laki dan

perempuan, bagaimana sifat laki-laki dan perempuan yang diatur oleh masyarakat.

Stereotype yang dimaksud adalah pelabelan atau penandaan negatif terhadap

kelompok atau jenis kelamin tertentu. Peran gender yang bias atau lebih

menguntungkan atau merugikan salah satu jenis kelamin membangun label

(stereotype) dan subordinasi perempuan dibiarkan terjadi, mengabaikan fakta bahwa

subordinasi merupakan salah satu wujud ketimpangan gender yang meletakkan salah

satu jenis kelamin pada posisi tidak penting atau posisi kedua. Akhirnya kesetaraan

gender hanya menjadi topik bahasan dalam diskusi dan wacana semata.

5.3 Keterbatasan Penelitian

Ketika menjalankan penelitian ini, ada beberapa keterbatasan yang dialami

peneliti, yaitu :

1 Penelitian yang dilakukan pada masa pandemi COVID – 19 membatasi

interaksi peneliti dengan informan dan responden karena harus mengikuti

protokol kesehatan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

2 Penelitian yang menggunakan metode kombinasi antara metode kuantitatif

dan kualitatif mengharuskan peneliti melakukan wawancara yang mendalam

dengan setiap informan. Tetapi wawancara dengan informan terbatas serta

beberapa informan tidak bisa melakukan wawancara secara langsung dan

wawancara dilakukan secara virtual. Dokumentasi penelitian juga sangat

terbatas.
123

3 Kemudian adanya keterlambatan pengembalian kuesioner online yang telah

disebarkan kepada 10 organisasi eksternal mahasiswa FISIP USU karena

terkendala jarak, waktu dan juga jaringan mengakibatkan proses pengolahan

data sedikit terlambat.


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan peneliti dengan

melakukan wawancara dan menyebarkan kuesioner secara online untuk melihat

bagaiamana kesetaraan gender dalam organisasi mahasiswa FISIP USU serta merujuk

pada empat indikator kesetaraan gender, peneliti menyimpulkan bahwa berdasarkan

AD/ART setiap organisasi mengamalkan kesetaraan gender, tetapi pada praktiknya

tanpa disadari stereotype (pelabelan) dan subordinasi tersembunyi karena perbedaan

jenis kelamin tetap ada. Kesimpulan berdasarkan indikator kesetaraan gender sebagai

berikut:

1. Akses

Setiap organisasi eksternal mahasiswa FISIP USU memberi akses yang

mudah bagi setiap anggotanya antara laki-laki dan perempuan untuk

memperoleh informasi, bergabung dengan organisasi dan menduduki

posisi yang diinginkan. Temuan ini juga sejalan dengan pernyataan

tokoh feminis liberal John Stuart Mill bahwa setiap orang memiliki suatu

kebebasan untuk memperoleh apa yang dikehendaki atau yang

diinginkannya selama apa yang dikerjakannya dalam mewujudkan

keinginan tersebut tidak menghalangi atau membatasi orang lain.

124
125

2. Partisipasi

Organisasi sama sekali tidak membatas partisipasi setiap anggotanya

dalam kegiatan maupun pengambilan keputusan dalam organisasi.

Namun masih terdapat stereotype yang merupakan pelabelan atau

penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, yang

mana pelabelan tersebut mengakibatkan peran gender yang bias atau

peran yang lebih memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin.

3. Kontrol

Setiap organisasi memberi kesempatan penguasaan atau wewenang atau

kekuatan untuk mengambil keputusan kepada setiap anggotanya dengan

tidak membuat aturan yang mendiskriminasi jenis kelamin tertentu.

Hanya saja masih terdapat stereotype atau pelabelan yang dilanggengkan

dalam kehidupan organisasi akhirnya menimbulkan subordinasi atau

penempatan pada posisi yang tidak penting atau posisi kedua.

4. Manfaat

Setiap anggota organisasi eksternal mahasiswa FISIP USU menerima

manfaat atau dampak positif dari organisasi yang diikuti. 10 organisasi

eksternal mahasiswa FISIP USU melakukan perannya sebagai wadah

bagi mahasiswa FISIP USU untuk mengembangkan dirinya dengan baik.


126

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian, peneliti memberikan beberapa saran

yang kiranya dapat digunakan untuk kemajuan organisasi kemahasiswaan di

lingkungan FISIP USU :

a. Setiap organisasi kemahasiswaan secara mandiri menyusun program

atau kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan dan

mengamalkan kesetaraan gender dalam dunia organisasi mahasiswa.

Tidak hanya sebatas diskusi dan wacana. Wujud kesetaraan gender

harus terlihat, tidak hanya dalam aturan AD/ART tetapi juga dalam

praktiknya.

b. Mahasiswa sebagai kaum intelektual dalam organisasi

kemahasiswaan seharusnya tidak lagi melanggengkan stereotype

yang akhirnya mengakibatkan subordinasi. Perlu adanya sebuah

pemahaman terkait konsep Kesetaraan gender di kalangan

mahasiswa pada umumnya, dan keanggotaan mahasiswa di dalam

berorganisasi pada khususnya. Saling menjalin kerjasama demi

terciptanya sebuah integrasi di bidang organisasi, bukan hanya

sebagai sebuah gerakan semata namun juga sebuah gebrakan untuk

saling manghargai dengan tidak membeda-bedakan individu yang

hanya dilihat dari segi fisiknya saja, akan tetapi lebih kepada

kemampuan dan kompetensi dengan berbasis adil gender


127

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku

Fakih, Mansour. 2013. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.
Gultom, Maidin., 2014. Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Permpuan.
Bandung: Refika Aditama
Hubeis, Aida Vitayala S. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa.
Bogor: PT Penerbit IPB Press
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamannya di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Setiadi, Elly M., Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi-Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial : Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
Sugiyono.2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung :Alfabeta.
Suharto, Edi. 2007. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.
Walby, S.2014. Teorisasi Patriarkhi (Terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra.

Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta : CAPS

Sumber Jurnal

Astuti, Puji. (2012). Peluang PNS Perempuan Dalam Memperoleh Jabatan


Struktural : Studi Kualitas Kesetaraan Gender di Pemerintah Kota Semarang.
Dapat dilihat di http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 14 September
2020 pukul 19:17 WIB.
Arbain, Janu., Nur Azizah, Ika Novita Sari. (2015). Pemikiran Gender Menurut Para
Ahli: Telaah atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, dan
Mansour Fakih. Dapat dilihat di http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal
22 Agustus 2020 pukul 00:14 WIB.
Amin, Saidul. (2013). Pasang Surut Gerakan Feminisme. Dapat dilihat di
http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 8 September 2020 13:14 WIB.
Christina, Hanny (2007). Dinamika Gerakan Kesetaraan Gender Di Organisasi
Mahasiswa Ekstra Kampus (Studi Deskriptif Mengenai Dinamika Gerakan
Kesetaraan Gender di ORMEK HMI dan LMND Cabang Surabaya). Dapat
128

dilihat http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 21 Mei 2020 pukul 21:11


WIB.
Chaerunisyah, Ifa. (2016). Persepsi Masyarakat Terhadap Kesetaraan Gender di
Desa Buku Kecamatan Mapili Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi
Barat. Dapat dilihat pada http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 31
Maret 2020 pukul 21:46 WIB
Faturochman. (2002).Keadilan Perspektif Psikologi. Dapat dilihat pada
http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 16 September 2020 pukul 21:46
WIB.
Fahimah, Siti. (2017). Ekofeminisme : Teori dan Gerakan. Dapat dilihat di
http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 11 September 2020 pukul 23:11
WIB.
Fibrianto, Alan Sigit, (2016). Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Organisasi
Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2006. Dapat dilihat di
http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 26 Februari 2020 pukul 17:42
WIB.
Ismail, Zulkifli, dkk. (2020). Kesetaraan Gender Ditinjau dari Sudut Pandang
Normatif dan Sosiologis. Dapat dilihat pada http://scholar.google.co.id/ diakses
pada tanggal 21 Agustus 2020 pukul 22:09 WIB.
Kholil, Muhammad. (2016). FEMINISME DAN TINJAUAN KRITIS TERHADAP
KONSEP GENDER DALAM STUDY ISLAM. Dapat dilihat pada
http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 7 September 2020 pukul 22:02
WIB.

Marzuki.(2007). Kajian Awal Tentang Teori-Teori Gender. Dapat dilihat di


https://journal.uny.ac.id/portal/ di akses pada tanggal 12 Juni 2020 pukul 21:00
WIB

Mustopa, Zaenal. (2016). Eksistensi Mahasiswi Dalam Berorganisasi Di Lingkungan


Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan
Indonesia. Dapat dilihat di http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 1
April 2020 pukul 20:48 WIB.
Nahari, Ni‟matun (2015). Subordinasi Perempuan Dalam Organisasi Mahasiswa
IAIN Tulungagung. Dapat dilihat di http://scholar.google.co.id/ diakses pada
tanggal 20 Juli 2020 pukul 15:00 WIB.
Novita, Irma, dkk (2019). Eksistensi Komisioner Perempuan dalam Mewujudkan
Kesetaraan Gender pada Komisi Pemilihan Umum di Provinsi Sumatera Barat.
129

Dapat dilihat di http://scholar.google.co.id/ diakses pada tangga 16 September


2020 pukul 21:45 WIB.
Nurohim, Sri (2018). Identitas dan Peran Gender Pada Masyarakat Suku Bugis.
Dapat dilihat di http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 23 September
2020 pukul 20:39 WIB.
Padang, Ainul Yakin D., (2017). Peran Organisasi Internal Kampus Terhadap Prestasi
Akademik Mahasiswa Fakultas Terbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Mataram Tahun Akademik 2016/2017. Dapat dilihat pada
http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 11 November 2020 pukul 21:51
WIB.
Puspitawati, Herien. (2013). Konsep, Teori dan Analisis Gender. Dapat dilihat di
http://scholar.google.co.id/ diakses pada 24 Agustus 2020 pukul 23:26 WIB.
Purba, Orinton. (2010). Konsep dan Teori Gender. Dapat dilihat di
http://scholar.google.co.id/ diakses pada 22 Agustus 2020 pukul 01.26 WIB
Putriani, Eny. (2011). Kesetaraan Gender Dalam Pembagian Kerja Pegawai di
Taman Kanak – Kanak. Dapat dilihat pada http://scholar.google.co.id/ diakses
pada tanggal 20 Juli 2020 pukul 14:49 WIB.
Retnani, Siti Dana Panti. (2017). Feminisme Dalam Perkembangan Aliran Pemikiran
Dan Hukum Di Indonesia. Dapat dilihat di https://ejournal.uksw.edu/ diakses
pada 16 September 2020 pukul 13:41 WIB.
Sakina, Ade Irma., Dessy Hasanah Siti A. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki Di
Indonesia. Dapat dilihat pada https://www.scribd.com diakses pada tanggal 23
Agustus pukul 23:24 WIB.
Susanto, Nanang Hasan. (2015). Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam
Budaya Patriarki..
Umar,Nasaruddin, (2001).Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an. Dapat
dilihat di http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 26 Agustus 2020 pukul
14:24 WIB
Wulan, Tyas Retno. (2007). Ekofeminisme Transformatif: Alternatif Kritis
Mendekonstruksi Relasi Perempuan dan Lingkungan. Dapat dilihat di
http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal 13 September 2020 pukul 12:13
WIB.
Wahyuningsih, Delpiah., Parlia Romadiana, Lukas Tommy. (2018). Integrasi Sistem
Organisasi Mahasiswa Atma Luhur Dengan Pendekatan Service Oriented
Architecture. Dapat dilihat di http://scholar.google.co.id/ diakses pada tanggal
13 Agustus 2020 pukul 12:13 WIB.
130

Sumber Online
https://www.kemenpppa.go.id/

https://www.mastercard.com/news/

https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan

https://katadata.co.id/

https://tirto.id/

https://thisisgender.com/

https://www.kemenkeu.go.id/
131

LAMPIRAN
KUESIONER

KESETARAAN GENDER DALAM ORGANISASI MAHASISWA FISIP USU

Nama :
Nim :
Jenis Kelamin :
Organisasi :
Jurusan :
Hp/Telepon :

Petunjuk pengisian
1. Kuesioner semata-mata untuk keperluan penelitian
2. Baca dan pahami setiap pertanyaan maupun pernyataan yang tersedia dengan
teliti
3. Berilah tanda pada kolom pilihan jawaban yang telah disediakan
4. Terima kasih dan selamat menjawab.
Keterangan
S = Setuju
R = Ragu-ragu
TS = Tidak Setuju

No Pernyataan Jawaban

S R TS

1 Saya mengikuti organisasi yang jumlah anggota


perempuan dibatasi
2 Mahasiswa laki-laki dan perempuan mempunyai hak
yang sama untuk berorganisasi
3 Dalam organisasi yang saya ikuti, laki-laki menjadi
prioritas utama untuk setiap program organisasi
4 Laki-laki lebih mampu menjadi pimpinan organisasi
daripada perempuan
132

5 Budaya yang dianut saat ini (budaya patriarki) juga


mempengaruhi saya dalam memilih ketua organisasi
6 Dalam organisasi yang saya ikuti, perempuan selalu
diperlakukan dengan lembut karena dianggap lemah dan
butuh perlindungan
7 Dalam organisasi yang saya ikuti, perempuan sulit
mendapatkan jabatan/posisi yang diinginkannya
walaupun sebenarnya dia mampu menjabat jabatan/posisi
tersebut
8 Informasi-informasi penting dalam organisasi biasanya
lebih mudah didapatkan oleh laki-laki
9 Saya merasa peran perempuan dalam organisasi yang
saya ikuti terbatas
10 Perempuan dalam organisasi yang saya ikuti mendapat
peran sesuai kemauan dan kemampuannya
11 Peran perempuan dalam organisasi yang saya ikuti hanya
seputar urusan domestik, untuk urusan dilapangan
menjadi tanggungjawab laki-laki
12 Sekretaris dalam organisasi selalu perempuan karena
perempuan lebih rapih
13 Perempuan lebih layak menjadi bendahara karena lebih
bijak mengatur keuangan daripada laki-laki
14 Suara/pendapat laki-laki dalam organisasi yang saya ikuti
biasanya lebih didengarkan
15 Jika ada kegiatan organisasi, maka yang menjadi
kordinator lapangan dan yang melakukan survei lokasi
kegiatan adalah laki-laki karena mereka lebih kuat.
16 Tugas yang diberikan kepada perempuan dalam
organisasi yang saya ikuti, biasanya lebih ringan
133

17 Kegiatan-kegiatan dalam organisasi yang saya ikuti


memberi dampak positif bagi anggota laki-laki maupun
perempuan
18 Sebaiknya kebijakan dan program dalam organisasi
memihak setiap anggota tanpa mendiskriminasi
berdasarkan jenis kelamin
19 Saya merasa ada aturan dalam organisasi yang
menyulitkan perempuan
20 Saya tidak mau dimpimpin oleh perempuan karena lebih
emosional dan cengeng
21 Sebaiknya organisasi dipimpin oleh laki-laki karena laki-
laki lebih tegas dalam mengambil keputusan dan lebih
maskulin
22 Sebenarnya baik peremuan maupun laki-laki dapat
menjadi ketua organisasi, jika sesuai dengan
kapabilitasnya
23 Sifat perempuan yang cenderung manja akan
menghambat perkembangan organisasi
134

PEDOMAN WAWANCARA

Informan Kunci:

1. Kenapa dalam 2 periode terakhir 8 dari 10 organisasi mahasiswa dipimpim

oleh laki-laki?

2. Kenapa saat pemilihan ketua organisasi calon ketua berjenis kelamin laki-laki

selalu mendominasi? Apakah laki-laki juga akan selalu terpilih?

3. Apakah ada aturan atau kebijakan yang mendiskriminasi salah satu jenis

kelamin dalam pemilihan ketua organisasi?

4. Apakah budaya yang dianut masyarakat saat ini (budaya patriarki)

mempengaruhi budaya organisasi mahasiswa FISIP?

5. Bagaimana organisasi mengamalkan kesetaraan gender dalam organisasi?

Apakah ada program, kegiatan atau kebijakan dalam organisasi yang disusun

untuk mendukung kesetaraan gender?

Informan Utama:

1. Apakah pada masa pengkaderan ada pembatasan jumlah antara laki-laki dan

perempuan yang diterima?

2. Kenapa saat pemilihan ketua organisasi calon ketua berjenis kelamin laki-laki

selalu mendominasi? Apakah laki-laki juga akan selalu terpilih?

3. Perempuan diindentikan dengan sifat emosional dan laki-laki lebih dengan

sifat maskulin, apa kedua hal ini memang menjadi dasar terpilih atau tidaknya

seseorang sebagai ketua organisasi?


135

4. Bagaimana teknik pemilihan pimpinan organisasi? Apakah ada aturan atau

kriteria khusus yang membedakan identitas gender?

5. Apakah informasi-informasi dalam organisasi dapat diakses dengan mudah

oleh semua anggota organisasi dengan mudah?

6. Bagaimana mekanisme pembagian peran dalam organisasi? Apakah

berdasarkan jenis kelamin?

7. Apakah perempuan dapat dengan mudah menduduki posisi yang diinginkan

dalam organisasi?

8. Kenapa perempuan selalu indentik dengan jabatan sekretaris dan bendahara

dalam organisasi

9. Kenapa dalam 2 periode terakhir 8 dari 10 organisasi mahasiswa dipimpim

oleh laki-laki?

10. Apakah ada program, kegiatan atau kebijakan dalam organisasi yang disusun

untuk mendukung kesetaraan gender?

Informan Tambahan :

1. Kenapa pada masa pemilihan ketua organisasi, calon ketua selalu didominasi

oleh laki-laki? Apakah ini berhubungan dengan masa pengkaderan yang

mungki ada pembatasan jumlah antara laki-laki dan perempuan yang

diterima?

2. Kenapa dalam 2 periode terakhir 8 dari 10 organisasi mahasiswa dipimpim

oleh laki-laki?
136

3. Bagaimana teknik pemilihan pimpinan organisasi? Apakah ada aturan atau

kriteria khusus yang membedakan identitas gender?

4. Bagaimana mekanisme pembagian peran dalam organisasi? Apakah

berdasarkan jenis kelamin?

5. Apakah ada program yang dirasa mempersulit atau lebih memihak jenis

kelamin tertentu?

6. Bagaimana organisasi mengamalkan kesetaraan gender dalam organisasi?

Apakah ada program, kegiatan atau kebijakan dalam organisasi yang disusun

untuk mendukung kesetaraan gender?


137

DOKUMENTASI

Wawancara dengan informan utama I

Wawancara dengan informan utama II

Anda mungkin juga menyukai

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy