Lapkas Tetanus Anak
Lapkas Tetanus Anak
Lapkas Tetanus Anak
TETANUS ANAK
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Aceh Utara
Oleh:
Harida Fitri, S.Ked
2106111018
Preseptor:
dr. Mardiati, M.Ked (Ped) Sp.A
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Tetanus Anak” sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada dr. Mardiati, M.Ked (Ped) Sp.A sebagai pembimbing yang
telah meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti
KKS di bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
referat ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
2.8 Penatalaksanaan ............................................................................ 9
2.9 Prognosis ........................................................................................ 9
2.10 Follow up ..................................................................................... 10
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 15
3.1 Definisi ......................................................................................... 15
3.2 Epidemiologi ................................................................................ 15
3.3 Etiologi ......................................................................................... 15
3.4 Patofisiologi ................................................................................. 16
3.5 Manifestasi Klinis ........................................................................ 18
3.6 Diagnosa....................................................................................... 23
3.7 Diagnosis Banding19..................................................................... 26
3.8 Tatalaksana ................................................................................. 26
3.9 Pencegahan .................................................................................. 29
3.10 Prognosis ...................................................................................... 31
3.11 Komplikasi ................................................................................... 31
3.12 Otitis Media Akut ........................................................................ 31
BAB 4 PEMBAHASAN ................................................................................... 36
BAB 5 KESIMPULAN .................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 40
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pemeriksaan laboratorium pada 07 Agustus 2022 di RSU Cut Meutia .. 7
Tabel 3.1 Klasifikasi Ablett’s ............................................................................. 22
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1
angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi
pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun,
dan sisanya pada bayi <12 bulan (7).
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar
penyebab kematian pada anak (8). Meskipun insidensi tetanus saat ini sudah
menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%.
Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun
penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan
imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu,
diperlukan kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus
guna menurunkan angka kematian penderita tetanus, khususnya pada anak (9).
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
2.1.1 Identitas Pasien
Nama : Muhammad Azis
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 18 Juli 2011
Umur : 11 tahun
Alamat : Ds. Cot Ara, Baktiya, Aceh Utara
Nomor RM : 019418
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 07 Agustus 2022
Tanggal Pemeriksaan : 08 Agustus 2022
2.1.2 Identitas Orang Tua
1. Ayah
Nama : Iskandar
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Ds. Cot Ara, Baktiya, Aceh Utara
2. Ibu
Nama : Darmiati
Umur : 41 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Ds. Cot Ara, Baktiya, Aceh Utara
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Kaku saat membuka mulut
3
4
2.3.2 Antropometri
BB : 38 kg
PB : 125 cm
2.3.3 Status Gizi
BB/U : 105 % (BB Normal)
PB/U : 86 % (Mild Stunting)
BB/TB : 126 % (Gizi Cukup)
Status Generalis
1 Kulit
Warna Ikterik (-), sianosis (-)
Turgor Cepat Kembali
Oedema (-)
Anemia (-)
Pigmen Tidak terdapat hipopigmentasi ataupun hiperpigmentasi
2 Kepala
Wajah Simetris, deformitas (-)
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
Mata palpebra normal, gerakan bola mata normal, pupil bulat, isokor
(+/+), diameter 2mm/2mm
Telinga Bentuk normal, discharge (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
Hidung Sekret (-/-), darah (-/-), deviasi septum nasi (-/-)
Mulut Trismus (+), pemeriksaan dalam tidak dapat diperiksa
3 Leher
Inspeksi Pembesaran KGB (-)
Palpasi Distensi vena jugularis (-)
4 Thorax
Paru
Inspeksi Bentuk dada normal, gerak dada simetris kanan dan kiri saat
statis dan dinamis
Palpasi Tidak ada benjolan, massa (-), ekspansi dada simetris
Perkusi Tidak dapat diperiksa
Auskultasi Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
7
2.5 Resume
Pasien datang ke IGD RSU Cut Meutia dibawa oleh keluarganya dengan
keluhan utama kaku dan sulit saat membuka mulut sejak 1 hari. Berdasarkan
allonamnesis ibu pasien, 14 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien tertusuk duri
sawit di bagian telinga kiri, menimbulkan nyeri dan keluarnya cairan kental
berwarna putih kekuningan. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien
mendapati mulut pasien makin sulit dibuka. Badan pasien kaku, sehingga tidak
dapat bangun sendiri dari tempat tidur. Pada telinga kiri masih dijumpai cairan
putih kental, berbau, dan terasa nyeri. Pasien berbicara kurang jelas, demam naik
turun ± 3 hari. Kejang rangsang (-). Pasien juga mengeluhkan nyeri punggung
disertai nyeri perut yang teraba keras seperti papan. BAK tidak ada keluhan,
pasien tidak BAB 2 hari ini.
Dari pemeriksaan fisik awal, pasien dengan kesadaran Compos Mentis,
Frekuensi nadi 117x/menit, teratur; frekuensi pernapasan 22x/menit, suhu 38,3°C.
BB/U= 105%, TB/U= 86%, BB/ TB=126%. Kesan klinis status antropometri gizi
baik. Riwayat imunisasi tidak lengkap. Pada pemeriksaan mata didapatkan
konjungtiva palpebra tidak anemis, sklera tidak ikterus, tidak ada edema palpebra.
Pada pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorokan ditemukan adanya otore pada
telinga kanan yang bersifat mukopurulen, otore ini menyebabkan membran
timfani telinga kanan tidak dapat dilihat dengan baik. Pemeriksaan jantung dan
paru dalam batas normal. Didapati opistotonus dan perut seperti papan.
Ekstremitas kesan normal, refleks fisiologis dalam batas normal, tidak ada refleks
patologis. Pada pemeriksaan neurologis tidak didapatkan kelainan. Pada
pemeriksaan khusus ditemukan trimus 2 cm (+), defans muscular (+), opistotonus
(+). Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 13,99 g/dL, Ht 37,95%, leukosit
11.870/UL, trombosit 531.000/ UL, hitung jenis basofil 0,49%, eosinophil 0,41%,
neutrofil segmen 82,42%, limfosit 13,43%, monosit 3,25%, dan KGDS 67 mg/
dL.
9
2.10 Follow up
Tanggal SOAP Terapi
08/08/2022 S/ IVFD RL 10 tpm
H+2 Trismus (+) >1 cm, nyeri perut Drip Paracetamol 400 mg/8 jam
(+), nyeri punggung (+), Kejang IV Metronidazole 400 mg/8 jam
rangsang (-), nyeri telinga (+), IV Diazepam 4 mg/3 jam
telinga berair (-) BAB (-), BAK
(+)
O/
KU: lemah
HR: 117 x/menit
RR: 22 x/menit
T: 37⁰C
SpO2: 96%
Mulut: trismus
A/ Tetanus + OMA
P/ Konsul THT
09/08/2022 S/ IVFD D5% + NaCl 0,45% 16 tpm
H+3 Trismus (+) >1 cm, nyeri perut Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
(+), nyeri punggung (+), nyeri IV Metronidazole 400 mg/8 jam
telinga (+), BAB (-), BAK (+) IV Diazepam 4 mg/6 jam
O/ IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
KU: lemah Sucralfat syr 3x cth 1
HR: 87 x/menit Solvita syr 1xcth 1
RR: 21 x/menit H2O2 2x4 gtt
SpO2: 99% Ofofloxacin 2x4 gtt
T: 37⁰C
A/ Tetanus + OMA
P/ Terapi lanjut
10/08/2022 S/ IVFD D5% + NaCl 0,45% 16 tpm
H+4 Trismus (+) >1,5 cm, nyeri Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
perut (-), nyeri punggung (+), IV Metronidazole 400 mg/8 jam
nyeri telinga (-), BAB (-), BAK IV Diazepam 4 mg/6 jam
(+) IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
O/ Sucralfat syr 3x cth 1
11
jam
- Nystatin drop 3x1
15/08/2022 S/ IVFD 2:1 16 tpm
H+9 Trismus (-), nyeri perut (-), Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
nyeri punggung (+), BAB (-), IV Metronidazole 400 mg/12 jam
BAK (+), sariawan (+) IV Diazepam 4 mg/4 jam
O/ IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
KU: lemah Sucralfat syr 3x cth 1
HR: 95 x/menit Solvita syr 1xcth 1
RR: 21 x/menit H2O2 2x4 gtt
SpO2: 100% Ofofloxacin 2x4 gtt
T:36,8⁰C Nystatin drop 3x1
A/ Tetanus + OMA
P/ Terapi dilanjutkan
3.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit yang menyebabkan gangguan neurologis sporadis
yang disebabkan oleh tetanospasmin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium
tetani dengan karakteristik gejala seperti peningkatan tonus otot dan spasme (10).
Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang yang menyebabkan
penutupan rahang (trismus, lockjaw), serta melibatkan tidak hanya otot
ekstremitas, tetapi juga otot-otot batang tubuh (11).
3.2 Epidemiologi
Program eliminasi tetanus maternal-neonatal (maternal and neonatal
tetanus elimination, MNTE) yang dimulai pada tahun 1988 memiliki dampak
yang signifikan dalam menurunkan angka kematian pada neonatus akibat tetanus
di dunia, yaitu berkurang hampir 78%. Secara keseluruhan, angka kematian yang
diakibatkan oleh tetanus mencapai 57.000 kematian pada tahun 2015, dimana
20.000 diantaranya merupakan neonates (12). Meskipun angka mortalitas dari
penyakit ini mengalami penurunan di banyak negara, berbeda pada negara
berkembang, dimana penyakit ini mengakibatkan 213.000-293.000 kematian
setiap tahunnya (13). Sebagian besar kasus tetanus ditemukan pada Asia Selatan
dan Afrika Sub-Sahara (14).
Angka kejadian tetanus di Indonesia mengalami penurunan yang
signifikan, terutama setelah program MNTE dilaksanakan di Indonesia. Angka
kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada
kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan
sisanya pada bayi <12 bulan (7).
3.3 Etiologi
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh Clostridium tetani, kuman
berbentuk batang dengan sifat, basil gram-positif dengan spora pada ujungnya
sehingga berbentuk seperti pemukul genderang (drum stick), obligat anaerob
(berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anerob) dan dapat bergerak
15
16
gejala yang lebih parah terkait dengan masa inkubasi yang lebih pendek. Setelah
neurotoksin memasuki batang otak, terjadi disfungsi otonom, biasanya pada
minggu kedua onset gejala. Dengan hilangnya kontrol otonom, pasien dapat
datang dengan tekanan darah dan detak jantung yang labil diaforesis, bradiaritmia,
dan henti jantung. Gejala dapat berlangsung selama berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan dengan tingkat kematian 10% pada mereka yang terinfeksi,
bahkan lebih tinggi pada mereka yang tidak divaksinasi sebelumnya. Ada
komplikasi neuropsikiatri motorik dan jangka panjang yang sering terjadi pada
orang yang selamat; namun, banyak yang sembuh total (18).
3.5 Manifestasi Klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari.
Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat
penyakit selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari
lama masa inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot
setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai
gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan
ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai
busur. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan
sering merupakan gejala dini (15,16,19-22).
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang
makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit
ini menjadi nyata dengan (15):
• Trismus
Adalah kekakuan otot maseter sehingga sukar membuka mulut. Pada
neonates kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan
sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan
kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
19
• Risus sardonikus
Akibat spasme otot muka, sehingga tampak dahi mengkerut, alis tertarik
ke atas, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah,
bibir tertekan kuat pada gigi.
• Opistotonus
Adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot
leher (kaku kuduk), otot badan, dan trunk muscles. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur. Spasme mula-
mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan
serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan
intramusculus karena kontraksi yang kuat.
• Ketegangan otot dinding perut sehingga dinding perut seperti papan.
• Kejang umum
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya
hanya terjadi setelah dirangsang (karena toksin terdapat di kornu anterior),
misalnya dicubit, digerakkan dengan kasar, atau terkena sinar yang kuat.
Lambat laun “masa istirahat” kejang semakin pendek sehingga anak jatuh
dalam status konvulsivus.
• Asfiksia dan sianosis
Terjadi akibat kejang yang terus menerus atau serangan pada otot
pernapasan dan laring (spasme laring). Retensi urin dapat terjadi karena
spasme otot sfingter uretra. Fraktur tulang panjang dan kolumna
vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
• Gangguan saraf autonom
Pengaruh toksin terhadap saraf autonom menyebabkan gangguan irama
jantung atau kelainan pembuluh darah, suhu tubuh yang tinggi (febris)
atau keringat banyak.
20
2. Chepalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung. Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII yang
paling sering terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang
setelah menembus luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf
kranial III dan adanya ptosis. Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X,
XI, dapat sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari
bahkan berbulan-bulan.
Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya
prognosisnya buruk.
3. Generalized tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-
diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), bersamaan
dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan
kesulitan menelan. Gejala lain berupa risus sardonicus (Sardonic grin),
opistotonus, dan kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan
bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianosis, dan asfiksia.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi dapat mencapai 40o C.
Bila dijumpai hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil, dan dijumpai
takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis.
22
4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali
pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang
tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme. Posisi tubuh klasik: trismus, opistotonus yang berat dengan lordosis
lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan
mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi,
dan kegagalan jantung paru.
3.6 Diagnosa
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena
pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya
didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan
diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap.
Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi
(imunokompeten) (24,25)
3.6.1. Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: (24)
• Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang?
• Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
• Apakah pernah menderita gigi berlubang?
• Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi
yang terakhir?
• Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?
24
sehingga terjadi retensio alvi atau retensio urine atau spasme laring; patah
tulang panjang dan kompresi tulang belakang.
• Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif,
jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil
negatif berupa refleks muntah.
3.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien tetanus secara garis besar terdiri atas tatalaksana
umum dan khusus. Pada penatalaksanaan umum, hal-hal yang harus diperhatikan
adalah sebagai berikut: (15)
1. Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi.
2. Menjaga saluran napas agar tetap bebas.
3. Penanganan spasme, diazepam menjadi pilihan pertama.
4. Mencari port d’entree.
27
Penatalaksanaan umum
- Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang
pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.
- Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus
memberikan obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah
kejang mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-
obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
- Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
- Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
- Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.
Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot
yang kuat tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan
28
adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis
yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan
oral dalam dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian
diazepam 5 mg per rektal untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk BB > 10 kg, atau
dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti,
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis
pasien. Alternatif lain untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari
untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgBB/hari.
Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui OGT. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai kejang
spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik, tidak dijumpai gangguan nafas.
Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau
mengalami spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang
perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan
pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan
telah memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari.
Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap 2
hari).
Penatalaksanaan khusus
- Antibiotik
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang diberikan
adalah metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading dose 15 mg/kgBB
dalam 1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus setiap 6 jam
selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-
100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin
dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak usia > 8 tahun). Penyulit
yang ada diberikan antibiotik yang sesuai.
29
- Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan
50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi
anafilaksis. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai imunisasi aktif
DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat diberikan
HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-6000 IU IM.
3.9 Pencegahan
Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka, dan
pemberian ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam
memberikan proteksi pada infeksi tetanus. Pencegahan sangat penting, mengingat
perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan: (15)
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus (TT) merupakan salah satu pencegahan
yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. TT pertama kali
diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi TT digunakan secara luas pada militer
selama perang dunia II. Terdapat dua jenis TT yang tersedia, adsorbed
(aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. TT tersedia dalam kemasan
antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan
toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DaPT. Kombinasi toksoid
difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak
yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung
dari golongan umur dan jenis kelamin. Untuk mencegah tetanus neonatorum,
salah satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia
subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas
pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila
diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi
imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut: dosis pertama
diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini
30
mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah
dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau
setiap saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis
dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan
fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total
5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup.
WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT pada waktu
anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan
memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan.
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka
dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan
benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat
bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan
tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting
diperhatikan adalah jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan
cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat, mengoleskan alkohol/povidon
iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali
pusat lembab.
3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam)
dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000
IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7
tahun: 4 IU/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥ 7 tahun: 250 IU
IM dosis tunggal.
31
3.10 Prognosis
Prognosis pada tetanus dipengaruhi oleh waktu munculnya gejala sampai
timbulnya spasme. Pasien dengan tetanus, baik tetanus neonatorum dan tetanus
sefalik memiliki prognosis yang buruk. Pada pasien yang selamat, memerlukan
waktu perbaikan yang lama, dan sebagian besar akan mengalami hipotonus.
Beberapa kriteria yang dapat menilai prognosis pada pasien tetanus meliputi: (27)
a. Waktu inkubasi kurang dari 7 hari
b. Onset kurang dari 48 jam
c. Penyebab tetanus: akibat luka bakar, luka pembedahan, tindakan
abortus septik, kontaminasi pada tali pusat, fraktur, atau akibat
tindakan injeksi intramuskular
d. Penggunaan opiate
e. Tetanus generalisata
f. Suhu tubuh melebihi 40⁰C
g. Takikardi - >120 kali/menit (>150 kali/menit pada neonatus)
Setiap kriteria memiliki nilai satu poin, kemudian total skor dapat menilai
mortalitas pasien, yaitu:
a. Skor 0 – 1: mortalitas <10%
b. Skor 2 – 3: mortalitas 10 – 20%
c. Skor 4: mortalitas 20 – 40%
d. Skor 5 – 7: mortalitas >50%
Mortalitas tetanus masih tinggi, di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM
Jakarta didapatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 % untuk tetanus
anak (15).
3.11 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada: (19,20)
- Sistem saluran pernafasan
32
Oleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi
sekresi saliva serta sukar menelan air liur, makanan, dan minuman
sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi dan atelektasis akibat
obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan emfisema mediastinal
biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
- Sistem kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer, dan ransangan
miokardium.
- Sistem muskuloskeletal
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat
kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa,
beberapa peneliti melaporkan dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.
- Komplikasi yang lain :
▪ Laserasi lidah akibat kejang
▪ Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
▪ Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat oengatur suhu.
Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa
bronkopneumonia, cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.
33
❖ Pengobatan
Terapi tergantung dari kuman dan hasil uji sensitivitas. Organisme
penyebab yang paling sering adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza. Pada neonatus berusia kurang dari 2 minggu, bakteri gram negatif,
Staphylococcus aureus, Streptococcus grup B lebih sering ditemukan (30).
Sebelum didapatkannya hasil uji sensitivitas, amoksisilin oral merupakan
antibiotik pilihan awal. Amoksisilin diberi dengan dosis 40 mg/kgbb/24 jam, 3
kali sehari selama 10 hari. Pemberian obat tersebut selama 5 hari dapat
memperkecil resiko timbulnya efek samping terapi. Akan tetapi telah banyak
kuman yang resisten terhadap amoksisilin, khususnya penghasil BLaktamase,
dalam kasus ini perlu kiranya memberikan antibiotika dari kelas yang berbeda.
Pilihan obat lainnya adalah Eritromisin (50 mg/kgbb/24 jam) bersama dengan
sulfonamid (100mg/kgbb/24 jam trisulfa atau 150 mg mg/kgbb/24 jam
sulfisoksazol) empat kali sehari, trimetroprim-sulfametoksasol (8 dan 40
mg/kgbb/24 jam) diberi 2 kali sehari, sefaklor (40 mg/kgbb/24 jam, 3 kali sehari,
amoksisilin-klavulanat 40 mg/kgbb/24 jam 3 kali sehari, atau sefiksim 8
mg/kgbb/24 jam sekali atau 2 kali sehari. Jika penderita sensitif terhadap
antibiotik golongan penisilin, maka dapat diberikan kombinasi dari eritromisin
dan sulfonamid atau sulfisoksazol. Pada Otitis Media tanpa komplikasi,
pemberian antibiotika cukup selama 5 hari. Apabila dalam perjalanannya terdapat
perburukan gejala klinis atau ditemukannya kuman yang telah resisten, maka
timpanosentesis perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kuman penyebab (31).
Terapi suportif lain dapat diberikan, antara lain analgetik, antipiretik,
dekongestan. Pada penderita dengan nyeri telinga berat, miringotomi dapat
dilakukan untuk memberi kelegaan. Kadang insisi yang besar perlu dilakukan
ketika miringotomi agar memungkinkan drainase telinga tengah yang cukup. Jika
dalam 24 jam terdapat penambahan gejala dan tanda sedangkan pasien masih
dalam pemberian antibiotik, maka kita harus mencurigai adanya infeksi bersama
35
seperti meningitis dan komplikasi otitis media supuratif. Anak harus dilakukan
pemeriksaan ulang dan timpanosentesis serta miringotomi harus segera dilakukan.
Setelah 2 minggu, penderita perlu dievaluasi, khususnya penyembuhan otoskopik
(31).
BAB 4
PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD RSU Cut Meutia dibawa oleh keluarganya dengan
keluhan utama kaku dan sulit saat membuka mulut sejak 1 hari. Berdasarkan
allonamnesis ibu pasien, 14 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien tertusuk duri
sawit di bagian telinga kiri, menimbulkan nyeri dan keluarnya cairan kental
berwarna putih kekuningan. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien
mendapati mulut pasien makin sulit dibuka. Badan pasien kaku, sehingga tidak
dapat bangun sendiri dari tempat tidur. Pada telinga kiri masih dijumpai cairan
putih kental, berbau, dan terasa nyeri. Pasien berbicara kurang jelas, demam naik
turun ± 3 hari. Kejang rangsang (-). Pasien juga mengeluhkan nyeri punggung
disertai nyeri perut yang teraba keras seperti papan. BAK tidak ada keluhan,
pasien tidak BAB 2 hari ini.
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme (1). Tetanus disebabkan neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, yang merupakan basil gram positif, obligat anaerob. Proses
infeksi dimulai dengan masuknya spora ke dalam tubuh melalui Port d’ entry, dan
berada dalam lingkungan anaerobik. Port d’ entry pada tetanus neonatorum
berasal dari perawatan tali pusat yang tidak higienis, dan cakupan imunisasi
tetanus pada ibu hamil. Spora tersebut akan berubah menjadi bentuk vegetatif,
kemudian berbiak dengan cepat untuk menghasilkan neurotoksin. Eksotosin akan
menempel pada polisialogangliosida serebri dan menyebabkan penghambatan
pelepasan neurotransmitter berupa glisin dan GABA, hal ini mengakibatkan
kekakuan dan kejang (15,16,17).
Dari pemeriksaan fisik awal, pasien dengan kesadaran Compos Mentis,
Frekuensi nadi 117x/menit, teratur; frekuensi pernapasan 22x/menit, suhu 38,3°C.
Pemeriksaan fisik generalisata didapatkan trismus 2 cm, defans muscular dan
opistotonus. Toksin yang mengenai saraf simpatis akan menimbulkan hipertermia
atau takikardia. Pemeriksaan laboratorium memperlihatkan peningkatan jumlah
36
37
Tetanus merupakan salah satu penyakit dengan tanda utama kekakuan otot
(spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Tetanus disebabkan oleh eksotoksin
Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-
mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama
karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu
jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh
setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan
umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat
masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka
bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan
abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada
lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang
biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Toksin yang
dihasilkan oleh bakteri tersebut akan mengenai sistem saraf dan menimbulkan
gejala kejang rangsang. Penegakkan diagnosa tetanus dinilai melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Tatalaksana berfokus pada menimalisir toksin tetanus serta
mengurangi rangsangan yang dapat memicu kejang.
Telah dilaporkan sebuah kasus, pasien laki-laki usia 11 tahun
dengankeluhan utama kaku dan sulit saat membuka mulut sejak 1 hari.
Berdasarkan allonamnesis ibu pasien, 14 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien
tertusuk duri sawit di bagian telinga kiri, menimbulkan nyeri dan keluarnya cairan
kental berwarna putih kekuningan. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, ibu
pasien mendapati mulut pasien makin sulit dibuka. Badan pasien kaku, sehingga
tidak dapat bangun sendiri dari tempat tidur. Pada telinga kiri masih dijumpai
cairan putih kental, berbau, dan terasa nyeri. Pasien berbicara kurang jelas,
demam naik turun ± 3 hari. Kejang rangsang (-). Pasien juga mengeluhkan nyeri
punggung disertai nyeri perut yang teraba keras seperti papan. BAK tidak ada
keluhan, pasien tidak BAB 2 hari ini. Dari pemeriksaan fisik awal, pasien dengan
38
39
40
41