MAKALAH TRADE AND ENVIRONMENT
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Hukum Lingkungan Internasional
Disusun oleh:
Kristi Ardiana (1306381332)
Ananda Kurniawan Sukarmaji (1306380632)
Reguler
Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Depok, 2016
I. SISTEM PERDAGANGAN MULTILATERAL
1.1 Lahirnya Sistem Perdagangan Multilateral dan Dampaknya Terhadap Perdagangan Internasional
Berdirinya World Trade Organization (WTO) pada 1 Januari 1995 melalui Marrakesh Agreement di Moroko
WTO, Understanding the WTO, (Geneva Switzerland Information and Media Relations Division, 2008), hal. 9. sebagai organisasi internasional sangat berpengaruh terhadap sistem perdagangan di dunia. Dengan berdirinya WTO, WTO memiliki peran sebagai forum bagi negara-negara di dunia untuk membahas dan bernegosiasi mengenai persoalan perdagangan secara multilateral.
Patricia Birnie, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell, International Law and the Environment, (New York: Oxford University Press Inc., 2009), hal. 754. WTO lahir setelah adanya melalui fase negosiasi yang panjang (dari tahun 1947-1994) setelah adanya General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT) pada tahun 1947.
GATT sendiri lahir sebagai bentuk komitmen dari negara-negara di dunia pada tahun itu adalah pelajaran dari peristiwa the Great Depression dan Perang Dunia II serta maraknya kebijakan proteksi ekonomi yang diadopsi oleh negara-negara yang menyebabkan sulitnya proses perdagangan internasional.
Brookings Media Press, The WTO and GATT: A Principled History, (New York: Brookings Media Press, 2009), hal. 2. Proses terbentuknya GATT juga melalui perjalanan yang sangat panjang. Pada awalnya, 43 negara berkumpul di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, pada Juli 1944 untuk membentuk suatu organisasi ekonomi tingkat internasional, supaya dapat memperbaiki sistem perekonomian di dunia pasca perang dunia. Tujuan dari pertemuan Bretton Woods adalah untuk membuat regulasi mengenai masalah finansial dan moneter di level internasional.
http://www.brettonwoodsproject.org/2005/08/art-320747/, diakses pada 14 Mei 2016, pada pukul 21:45.
Dampak signifikan dari berdirinya WTO sebagai organisasi internasional di ranah perdagangan dapat kita lihat dari mandat WTO sebagai organisasi Internasional, fungsi, serta tata cara kerja WTO dalam mengatur perdagangan dunia.
Tujuan dari pendirian WTO adalah untuk mendorong arus perdagangan antarnegara melalui pengurangan tarif dan hambatan dalam perdagangan serta membatasi perlakuan diskriminasi dalam hubungan perdagangan internasional.
Sjamsul Arifin, Dian Ediana Rae, dan Charles P. R. Joseph, ed., Kerja Sama Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007), hal. 73. Selain itu, secara umum tujuan pendirian WTO dapat dikategorikan menjadi empat tujuan lebih lanjut yang adalah:
(1) Meningkatkan taraf hidup umat manusia;
(2) Meningkatkan kesempatan kerja;
(3) Meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia;
(4) Meningkatkan produksi dan tukar-menukar barang.
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), hlm. 98.
Secara sederhana, hasil perundingan Putaran Uruguay (atau yang dikenal dengan Uruguay Round) yang disepakati di Marrakesh itu adalah kesepakatan antarnegara untuk memperbaiki situasi hubungan perdagangan internasional melalui upaya:
Syahmin A.K., S.H., M.H., Hukum Dagang Internasional, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 226.
Menyempurnakan berbagai peraturan perdagangan;
Memperluas cakupan dari ketentuan dan disiplin General Agreement on Tariffs and Trade (GATT); dan
Memperbaiki kelembagaan/institusi perdagangan multilateral.
Adapun tujuan tersebut direfleksikan ke dalam kelima fungsi dari WTO yang terdapat dalam Pasal 3 Marrakesh Agreement yakni:
Ibid., hlm. 246. pertama, WTO berfungsi sebagai lembaga yang memberikan fasilitas implementasi, administrasi, dan pelaksanaan dari perjanjian WTO serta memberikan kerangka kerja untuk implementasi, administrasi, dan pelaksanaan dari perjanjian multilateral maupun plurilateral
Adapun yang dimaksud dengan perjanjian plurilateral adalah sebagaimana yang diatur dalam Annex 4 – Plurilateral Trade Agreements yang terdiri dari: (1) Agreement on Trade in Civil Aircraft; (2) Agreement on Government Procurement; (3) International Dairy Agreement; dan (4) International Bovine Meat Agreement., serta mengawasi pelaksanaan komitmen akses pasar di bidang tarif maupun non-tarif. Kedua, WTO berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan forum untuk melakukan perundingan di antara anggotanya terkait dengan isu yang diatur dalam perjanjian WTO termasuk menyediakan forum dan kerangka kerja untuk implementasi hasil-hasil perundingan yang telah dicapai. Ketiga, WTO bertindak selaku administrator dari aturan penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Understanding. Keempat, WTO berfungsi selaku administrator mekanisme pengujian kebijakan perdagangan yang secara reguler melakukan peninjauan terhadap ketentuan perdagangan dari masing-masing negara anggota. Kelima, WTO bekerja sama dengan organisasi-organisasi internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Atas dasar fungsi-fungsi tersebutlah WTO bekerja dalam rangka pembuatan kebijakan ekonomi global.
Selanjutnya, mandat dari organisasi ini telah mengalami beberapa perubahan jika dibandingkan dengan pendahulunya yang adalah GATT 1947 sebagai konsekuensi dari adanya perubahan-perubahan pada GATT 1994. Adapun mandat awal yang digariskan oleh GATT 1947 adalah pertama,
Richard Blackhurst, “The WTO and the Global Economy,” World Economy (1997): hlm. 6, diakses pada 18 Mei 2016, doi: 10.1111/1467-9701.00087. WTO yang menyediakan berbagai macam peraturan terkait kebijakan negara dalam ranah perdagangan khususnya ranah exchange of goods atau transaksi barang dan kedua, WTO yang menyediakan forum untuk penyelesaian sengketa. Dalam perkembangan selanjutnya pun, yaitu antara tahun 1947 hingga 1994, mandat tersebut diperluas lagi sehingga mencakup dengan apa yang kini disebut sebagai Trade Policy Review Mechanism (TPRM) atau mekanisme tinjauan kebijakan perdagangan negara anggotanya melalui prosedur notifikasi.
Syahmin A.K., S.H., M.H., Op. Cit., hlm. 235.
Selanjutnya, pada tahap Putaran Uruguay, Pasal 3 dari WTO Agreement memanglah merupakan perubahan yang sangat terasa sebab pasal tersebut adalah pasal yang pertama kali mencanangkan fungsi dari WTO itu sendiri. Namun perlu diketahui bahwa kehadiran pasal tersebut bukanlah perubahan yang paling signifikan. Perubahan terpenting dari mandat WTO adalah bahwa multilateral rules atau peraturan yang kini menjadi ranah WTO telah mencakup bukan hanya barang (exchange of goods) namun juga jasa (services).
Ibid.
Adapun perluasan mandat dari WTO ini bukanlah hanya dalam hal perdagangan atau ekonomi global namun juga dalam hal perlindungan lingkungan hidup. Dalam bagian preamble dari Marrakesh Agreement dikatakan:
“Recognizing that their relations in the field of trade and economic endeavour should be conducted with a view to raising standards of living….and expanding the production of and trade in goods and services, while allowing for the optimal use of the world's resources in accordance with the objective of sustainable development, seeking both to protect and preserve the environment”—[bold dari Penulis].
Pasal 1 Bagian Pembukaan the Agreement Establishing the World Trade Organization.
1.2 Sistem Perdagangan Multilateral, Perdagangan Bebas, dan Permasalahan Lingkungan
Paska berdirinya WTO, pola perdagangan multilateral di taraf internasional merupakan perdagangan yang mengedepankan prinsip kebebasan. Bahkan, dalam beberapa tahun ini, fokus dari liberalisasi perdagangan bukan lagi mengurangi tarif, namun menghapuskan restriksi dalam perdagangan secara keseluruhan dan menciptakan kebebasan pasar dengan sebebas mungkin.
John H. Jackson, “World Trade Roles and Environmental Policies: Congruence or Conflict?, 49 Wash & Lee L. Rev 1227 (1992), , 49 Wash. & Lee L. Rev. 1227 (1992), http://scholarlycommons.law.wlu.edu/wlulr/vol49/iss4/4, hal. 1232 Contoh nyata dalam pola perdagangan internasional ini adalah usaha yang dilakukan oleh negara-negara eksportir agrkultur yang mendorong untuk dihapuskannya tarif dalam ekspor agrikultur.
Nigel Grimwade, International Trade: New Patterns of Trade, Production and Investment, (London: Routledge Publishing, 2003), hal. 335 Dengan berkurangnya restriksi perdagangan antara negara, serta dilindunginya kebebasan negara untuk berdagang secara Internasional, hal ini tentu mempengaruhi perlindungan lingkungan. Para aktivis lingkungan hidup juga menunjukkan rasa prihatin mereka terhadap ekploitasi lingkungan hidup yang dilakukan negara-negara maju demi mencapai keuntungan ekonomi.
Loc. Cit., hal. 338
Permasalahan lingkungan yang marak terjadi dan berhubungan dengan perdanganan internasional adalah sebagai berikut:
Penanganan sampah (waste management);
Standar kesehatan publik;
Standar keamanan makanan;
Pembatasan emisi;
Eco-labelling (sistem pemberian label terhadap produk);
Metode yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya alam seperti metode penanaman, pemancingan ikan, dll;
Proses pembungkusan produk;
Proses recycling;
Dan lain-lain.
Daniel C.Etsy, “Brigding the Trade-Environment Divide”, Journal of Economic Perspectives Vol 15, (2001), hal. 114.
Selain itu, WTO juga membahas mengenai masalah dumping dan menyediakan sistem penyelesaian sengketa mengenai dumping. Penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab dispute settlement body yang merupakan penjelmaan dari Dewan Umum (General Council) dari WTO.
Christhoporus Barutu, “Dumping dalam Perdagangan Internasional dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dumping Melalui World Trade Organization”, Indonesian Journal of International Law Vol 4 Nomor 2 2007 (Depok: LPHI, 2007), hal. 385 Dikarenakan kebijakan-kebijakan yang menjunjung tinggi kebebasan berdagang memiliki potensi besar untuk dapat menimbulkan konflik dengan persoalan lingkungan, bahkan banyak ahli lingkungan yang beranggapan bahwa free trade (perdagangan bebas) secara umum memiliki dampak negatif terhadap lingkungan hidup
Lihat Daly, 15, ICLJ (1992) 36 dan OECD, The Environmental Effect of Trade (Paris, 1994) , maka penting bagi organisasi Internasional yang berhubungan dengan perdagangan untuk menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan perlindungan lingkungan hidup.
Contoh kasus yang terkenal mengenai perdagangan bebas dan perlindungan lingkungan hidup adalah kasus Tuna-Dolphin antara Amerika Serikat dengan Mexico pada tahun 1991. Kasus ini diajukan oleh Mexico kepada WTO disputes settlement body dan ditangani dengan menggunakan metode dikarenakan Amerika Serikat melakukan embargo terhadap import ikan tuna dari Mexico yang dirasa oleh Mexico merupakan pelanggaran dari prinsip GATT yang mempromosikan liberalisasi pasar dan menghapuskan diskriminasi terhadap negara-negara dalam hal impor dan ekspor.
John H. Jackson dan William J.Davey, Legal Problems of International Economic Relations (1986), hal. 297 Prinsip tersebut dicerminkan dalam Pasal 1 dalam GATT dalam pembahasan mengenai Most Favored Nation (MFN).
General Agreement on Tariffs and Trade, 30 Oktober 1947, Pasal I.
Amerika Serikat mengajukan embargo karena Mexico menggunakan teknik memancing ikan Tuna di areal Laut Pasifik yang menyebabkan kematian mamalia lumba-lumba. Di bagian timur area tropis pada Laut Pasifik, ikan tuna biasanya berenang dibawah mamalia lumba-lumba, sehingga jika terjadi pemancingan, maka jika tidak berhat-hati akan menyebabkan dampak terhadap ikan lumba-lumba.
https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/edis04_e.htm, diakses pada 18 Mei 2016. Yang terjadi dalam kasus Tuna-Dolphin adalah ikut matinya mamalia lumba-lumba di perairan tersebut akibat jaring dengan metode penjaringan purse seine nets yang menjaring ikan Tuna.
Carol J.Beyers, “The U.S./Mexico Tuna Embargo Dispute: A Case Study of the GATT and Environmental Progress”, Marylan Journal of International Law Vol 16 Issue 2, 1992, hal. 233. Hal tersebut melanggar US United States Marine Mammal Protection Act.
Ibid. Pada bagian 1371 (a) (2) (B) dari peraturan tersebut, Amerika Serikat dilarang untuk mengimpor ikan yellowfin tuna dari negara yang memperbolehkan penggunaan penjaringan ikan menggunakan metode purse-seine nets karena dapat membahayakan makhluk hidup lainnya.
Loc.Cit., hal. 234 Meskipun begitu, namun ternyata keputusan dari panelist berpihak kepada Meksiko atas nama perdagangan bebas dan menyatakan bahwa tindakan Amerika Serikat yang melakukan embargo atas hasil ikan tuna dari Mexico melanggar Article XX (b) dalam GATT.
Panel Report Mexico/US Dispute, supra note 32, hal. 24. Pada kasus tersebut kita lihat bahwa memang sering kali prinsip perdagangan bebas berbenturan dengan usaha perlindungan lingkungan hidup dan hayati.
II. PEMBATASAN PERDAGANGAN UNTUK MELINDUNGI LINGKUNGAN (TRADE RESTRICTIONS FOR ENVIRONMENTAL PROTECTION)
Seiring dengan berjalannya waktu serta meningkatnya kesadaran manusia terhadap pentingnya menjaga lingkungan, hal ini tercermin dalam meningkatnya perjanjian Internasional mengenai lingkungan yang disebut dengan Multilateral Environmental Agreements (MEAs). Contoh dari MEAs adalah antara lain The Cartagena Protocol on Biosafety 2003, Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal, Basel Convention 1989, Kyoto Protocol, dan lain-lain. WTO sebagai organisasi internasional yang mengurus masalah perdagangan dunia juga memegang peran yang besar dalam melindungi lingkungan. Hal ini tercermin dai pembukaan WTO yang berbunyi sebagai berikut:
“Recognizing that their relations in the field of trade and economic endeavour should be conducted with a view to raising standard of living, ensuring full employment and a large and steadily growing volume of real income and effective demand, and expanding the production of and trade in good and services, while allowing for the optimal use of the world’s resources in accorance with the objective of sustainable development and to enhance the means for doing so in a manner consisistent with their respective needs and concerns at different levels of economic development.”
Fiona Macmillan, WTO and the Environment, (London: Sweet and Maxwell, 2001), hal.1
Melalui pembukaan tersebut dapat disimpulkan bahwa WTO juga berpegang teguh terhadap prinsip sustainable development (pembangunan berkelanjutan) dalam usaha menjaga lingkungan hidup. Menurut identifikasi dari sekertariat WTO, terdapat lebih dari 14 MEAs yang berkaitan dengan perdagangan.
Matrix on Trade Measures Pursuant to Multilateral Trade Agreements, WT/CTE/W/160/Rev 3 TN/TE/S/5/Rev 1, 16 Februari 2005. Secara spesifikpun, terdapat MEAs yang membahas mengenai pembatasan perdagangan, seperti contohnya Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer dan the Convention on International Trade in Engdangered Species (CITES).
Patricia Birnie, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell, Op.Cit., hal. 766. MEAs dan WTO bekerja saling melengkapi dalam mencapai tujuan-tujuan perlindungan lingungan hidup bagi negara-negara di dunia.
Sehingga, anggapan bahwa WTO hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi saja tanpa menilik faktor-faktor lain non ekonomi seperti lingkungan merupakan suatu hal yang keliru. Dalam WTO sendiri terdapat kebijakan dan aturan yang signifikan yang bertujuan untuk mengatur tentang permasalahan lingkungan. Terdapat lima set peraturan mengenai domestic health, safety, and environmental protection dalam WTO yang mencakup dalam General Agreement on Trade and Tariffs (GATT), General Agreement on Trade in Service (GATS), the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP Agreement), Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement), dan the Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement).
Fiona Macmillan, Loc.Cit., hal. 8 Contoh eksepsi terhadap prinsip perdagangan bebas adalah pada Article XX (b) dan (g) dalam GATT yang menyatakan bahwa penting untuk menjaga kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, serta melakukan konservasi terhadap alam.
Ibid.
2.1 Trade Restictions to Protect Resources Beyond National Jurisdictions (Pembatasan Perdagangan untuk Melindungi Sumber Daya di Luar Yurisdiksi Nasional)
Pembahasan mengenai kemampuan negara untuk secara unilateral melakukan aksi untuk mendorong negara lain melakukan perlindungan terhadap lingkungan atau keanekaragaman hayati di luar yurisdiksi nasionalnya timbul setelah kasus Tuna-Dolphin antara Amerika Serikat dengan Mexico.
Tuna-Dolphin I, supra note 67.
Kemampuan bagi negara dengan tingkat kesadaran terhadap perlindungan lingkungan yang lebih tinggi untuk membantu menegakkan peraturan diluar yurisdiksi nasionalnya sangat berpengaruh terhadap perlindungan lingkungan global. Hal ini dapat meningkatkan standar lingkungan hidup secara global
Steinberg, “Trade-Environment Negotiations in the EU, NAFTA, and WTO: Regional Trajectories of Rule Development”, (1997) 91, American Journal of International Law,
hal. 235. Contoh kasus lain selain kasus Tuna-Dolphin adalah kasus the Sea Turtle case
United States—Import Prohibition on Certain Shrimp & Shrimp Products, Panel Report: WT/DS58/R, dimana Amerika Serikat mengenalkan aturan mengenai penangkapan udang yang tidak boleh mengganggu habitat kura-kura laut yang dalam proses migrasi dan sering mati karena terjaring jaring yang digunakan untuk menangkap udang.
2.2 Trade Restrictions to Protect The Domestic Environment
Terdapat tiga jenis dari pembatasan perdagangan domestik, yaitu:
a. Pembatasan impor terhadap barang atau jasa yang tidak memenuhi syarat yang sesuai dengan norma lingkungan yang berlaku secara domestik dalam negara;
b. Pembatasan impor barang atau jasa yang tidak memenuhi syarat yang telah diatur oleh negara tujuan impor seperti labelling, packaging, dan recyling.
c. Pembatasan expor bagi sumber daya alam yang harus dilindungi.
Patricia Birnie, Alan Boyle, Catherine Redgwell, Op.Cit., hal. 779 Dalam Article XI (2) (a) GATT diperbolehkan adanya larangan melakukan ekspor serta dalam Article XX (g) juga diatur mengenai pentingnya melakukan konservasi terhadap sumber daya alam pada suatu negara.
Contoh kasus yang terkenal mengenai recycling dan packaging adalah kasus di Jerman di mana Jerman merupakan negara pelopor yang melakukan regulasi mengenai packaging melalui Verpackungverordnung (Packaging Ordinance).
20 Agustus 1991 BGBI I S 1234 ditranslate ke bahasa Inggris dalam 21 ILM (1992), 1135. Aturan ini kemudian diadopsi oleh Uni Eropa pada Desember 1994.
III. PEMBATASAN PERDAGANGAN UNTUK MENINGKATKAN PERLINDUNGAN TERHADAP LINGKUNGAN NEGARA LAIN (TRADE RESTRICTIONS TO IMPROVE THE ENVIRONMENT OF OTHER COUNTRIES)
Permasalahan yang mendasar dalam perlindungan lingkungan adalah berbedanya standar perlindungan lingkungan maupun kesadaran suatu negara terhadap pentingnya perlindungan lingkungan. Hal ini menyebabkan pentingnya sebuah negara untuk membantu meningkatkan standar perlindungan lingkungan hidup negara lain apabila ia memiliki kapasitas untuk melakukannya. Yang masih menjadi perdebatan adalah cara apa yang secara prinsip dan efektitivas baik sehingga seharusnya digunakan.
Patricia Birnie, Alan Boyle, Catherine Redgwell, Op.Cit., hal. 788
Contoh Metode yang dapat digunakan:
Menilai metode proses produksi negara lain dalam melakukan perdagangan;
Melakukan perjanjian internasional mengenai perlindungan lingkungan hidup dengan negara lain;
Melalui sistem managemen lingkungan hidup;
Melalui Investment (menggunakan pendekatan ekonomi).
IV. EKSPOR BAHAN BERBAHAYA DAN LIMBAH
4.1. Barang-barang yang Dilarang di Dalam Negeri
Barang-barang yang dilarang di dalam negeri adalah produk yang penjualan dan penggunaannya dibatasi di pasar domestik suatu negara dengan alasan bahwa mereka menghadirkan bahaya bagi manusia, hewan, atau tanaman hidup, kesehatan, atau lingkungan.
Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, Op.Cit. Hal. 794 Barang-barang tersebut termasuk pestisida yang tidak terdaftar, bahan-bahan farmasi kadaluarsa, alkohol, tembakau, bahan-bahan kimia berbahaya, dan produk makanan tercemar. Misalnya, di Amerika Serikat, ekspor pestisida yang tidak terdaftar hanya diperbolehkan di bawah sistem pemberitahuan yang memerlukan persetujuan resmi sebelumnya.
7 USC &1360 (West Supp, 1994).
Jelas negara dapat menghalangi atau melarang mengimpor produk yang dilarang untuk dijual atau konsumsi dalam negeri. Namun, bisakah ekspor terhadap produk tersebut juga dibatasi? Masalah ini ditangani oleh sebuah kelompok kerja GATT pada tahun 1991,
Lihat report by the chairman of GATT Working Group in Export of Domestically Prohibited Goods and Other Hazardous Substances, (GATT Doc L/6872, 1991). tapi tidak ada Konsensus dalam laporan tersebut; masalah tersebut dipindahkan ke agenda Komite Perdagangan dan Lingkungan/ Committee on Trade and Environment (CTE). Hal ini diikuti pada tahun 1998 oleh negosiasi Konvensi Rotterdam pada Sebelum Prosedur yang sudah disepakati untuk bahan kimia Berbahaya Tertentu dan Pestisida dalam Perdagangan Internasional (The Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade) dalam membangun rezim kesepakatan yang sudah diberitahu terlebih dahulu/ Prior Informed Consent (PIC) untuk produk kimia dilarang atau dibatasi dan formulasi pestisida berbahaya yang dapat menyebabkan kesehatan atau masalah lingkungan.
Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, Loc.cit. Pengiriman produk internasional ini akan dilarang tanpa pemberitahuan sebelumnya dan persetujuan eksplisit dari otoritas nasional yang ditunjuk di negara tujuan. Apakah melakukan kontrol ekspor ini dan rezim PIC untuk produk berbahaya sesuai dengan aturan WTO? Hubungan Konvensi PIC dengan perjanjian WTO adalah isu kontroversial selama negosiasi, dengan kurangnya konsensus mengenai kata-kata dari ketentuan membuat urutan prioritas antara hal-hal tersebut. Sebagaimana Kummer mengamati, "kontroversi tentang hal ini terlihat menjadi melekat dalam negosiasi lingkungan multilateral menangani perpindahan lintas batas dari zat yang berpotensi berbahaya, karena kesepakatan yang berkaitan erat dengan pertimbangan akan lingkungan dan perdagangan".
Hal yang patut digarisbawahi adalah bahwa kebijakan perdagangan dan lingkungan harus saling mendukung dengan tujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Cartagena Protocol tahun 2000 dan Stockholm POP Convention tahun 2001 kedua-duanya menggunakan prinsip ini.
Ibid. Konvensi PIC secara lebih lanjut menekankan bahwa tidak ada dalam konvensi ini bisa diartikan dalam cara apapun sebagai penyiratan setiap perubahan dalam hak dan kewajiban Pihak dalam perjanjian internasional yang ada dalam penerapannya ke bahan-bahan kimia dalam perdagangan internasional atau untuk perlindungan lingkungan, memahami bahwa pernyataan diatas tidak dimaksudkan untuk membuat hirarki antara konvensi ini dan perjanjian internasional lainnya.
Ibid. The Cartagena Protocol (tapi tidak 2001 Stockholm POP Convention) mengulangi ketentuan-ketentuan prinsip ini kata demi kata, meskipun menggantikan "hierarki" dengan "bawahan". Pendekatan-pendekatan yang ada ini sebenarnya tidak sangat membantu, paling tidak karena tidak ada bimbingan khusus diberikan pada bagaimana "perdagangan dan lingkungan" konflik harus diselesaikan dimana seharusnya hal tersebut muncul. Ketentuan penyelesaian sengketa Konvensi PIC mengadopsi rumus penyelesaian sengketa yang familiar dan tidak wajib (non-compulsory) yang ditemukan di begitu banyak perjanjian lingkungan hidup internasional.
Ibid., Hal.795.
Apakah hal ini akan diperbolehkan untuk negara untuk melampaui PIC dan mengadopsi larangan total di ekspor kategori tertentu dari Barang-barang yang Dilarang di Dalam Negeri? Pembatasan PIC atau larangan total
Misalnya, dalam POPS Convention. dapat dilakukan dalam batas-batas hukum yang didirikan saat ini. GATT Pasal XX (b) memungkinkan langkah-langkah perdagangan (mempengaruhi baik impor atau ekspor) yang diperlukan untuk melindungi manusia, hewan, tumbuhan atau kesehatan. Selain itu, menurut Tuna-Dolphin II dan Shrimp-Turtle Cases, tidak ada dalam Pasal XX yang mencegah negara dari pengenaan ukuran perdagangan untuk melindungi kesehatan atau keselamatan orang atau lingkungan di luar yang wilayah negara itu. Di bawah penafsiran ini, maka, rezim ekspor PIC atau ekspor larangan total akan dibenarkan.
Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, Loc.cit.
Namun, klarifikasi lebih lanjur oleh CTE akan menghapus ketidakpastian yang tersisa dengan menegaskan kembali persyaratan hukum saat ini dan menyatakan secara eksplisit bahwa mereka berlaku untuk Barang-barang yang Dilarang di Dalam Negeri. CTE juga bisa mengadopsi persyaratan transparansi yang akan memaksa negara-yang-membatasi-perdagangan (trade-restricting states) untuk memberitahu WTO dan mempublikasikan secara penuh semua hukum, peraturan, dan keputusan yang berkaitan dengan produk yang bersangkutan. WTO lalu akan memberikan “tempat” untuk pemberitahuan dan publikasi pembatasan barang dalam negeri yang dilarang, dan mereka akan sepenuhnya tunduk pada rezim penyelesaian sengketa WTO.
Ibid.
4.2. Limbah
Ekspor limbah berbahaya telah mendapat perhatian besar dari masyarakat internasional. Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangan (The Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal) membutuhkan pemberitahuan terlebih dahulu dan persetujuan dari negara penerima sebagai prasyarat untuk otorisasi pengiriman limbah internasional. Selanjutnya, Konvensi menetapkan bahwa pihak harus melarang ekspor limbah setiap kali ada alasan untuk percaya bahwa itu tidak akan dapat dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan.
Ibid.
Dua aspek Basel Convention menimbulkan masalah sehubungan dengan aturan WTO. Pertama, berdasarkan Konferensi yang dilakukan oleh para pihak, hasilnya yaitu mengadopsi amandemen untuk melarang ekspor limbah berbahaya dari negara-negara industri (OECD, Uni Eropa, dan Liechtenstein) ke negara berkembang. Larangan itu berlaku baik untuk limbah berbahaya dimaksudkan untuk pembuangan dan, sejak akhir tahun 1997, untuk limbah berbahaya dimaksudkan untuk digunakan kembali atau didaur ulang. Kedua, Pasal 4 (5) dari konvensi ini melarang ekspor dan impor limbah berbahaya dan limbah lainnya didasarkan pada pengalaman yang sudah terjadi dan ketakutan masa yang akan datang yang berkaitan dengan eksploitasi dari negara-negara berkembang. Aspek-aspek ini juga mencerminkan prinsip-prinsip tertentu yang diadopsi pada Konferensi 1992 PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan, terutama prinsip 14 Deklarasi Rio, yang mengatur bahwa negara harus saling bekerja sama untuk mencegah pergerakan bahan berbahaya bagi lingkungan dan manusia, dan prinsip 19, yang mengharuskan sebelum melihat ke negara-negara yang berpotensi terkena dampak sehubungan dengan kegiatan yang berpotensi membahayakan.
Ibid., hal. 796.
Larangan ekspor limbah berbahaya dapat dibenarkan dalam GATT Pasal XX (b) atas dasar yang sama seperti pembatasan ekspor atas barang dalam negeri yang dilarang. Limbah berbahaya memiliki potensi membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup; sehingga pasal XX (b) dapat ditafsirkan untuk memungkinkan pelarangan ekspor untuk melindungi daerah di luar wilayah negara yang membatasi perdagangan. Bahkan larangan ekspor diskriminatif dapat ditegakkan berdasarkan Pasal XX (b) jika diskriminasi tidak "sewenang-wenang ... antara negara-negara di mana dalam kondisi yang sama". Larangan yang membedakan antara OECD dan negara-negara berkembang, bisa dibilang setidaknya, bisa melewati tes ini karena kondisi yang sangat berbeda di negara-negara berkembang. Dengan demikian, muncul rezim limbah berbahaya internasional tampaknya dipertemukan di bawah sistem WTO / GATT.
Ibid.
V. PAJAK LINGKUNGAN
Banyak pihak berkomentar dalam meminta pemerintah dan otoritas publik untuk menggunakan insentif ekonomi
Terdapat empat macam insentif ekonomi: 1)taxes on charges, 2) transferables pollution permits, 3) deposit-and-return systems, and 4) information strategies. Lihat Stewart 102 Yale Law Journal (1993), hal. 2039, 2093-4; Galizzi, 6 Euro Environment Law Review (1997), hal. 155. berbasis pasar daripada regulasi perintah-dan-kontrol (command-and-control regulation) untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Sebagai hasilnya, pajak dapat digunakan lebih sering di masa depan, baik untuk meningkatkan pendapatan dan untuk mencapai tujuan lingkungan. Pajak lingkungan didasarkan pada prinsip bahwa banyak sumber daya di bawah harga dan, oleh karena itu, terlalu sering digunakan. Pajak lingkungan, pada dasarnya, menaikkan harga penggunaan sumber daya tersebut. Pajak Lingkungan memiliki tiga tujuan:
Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, op.cit., hal. 797.
Untuk mencegah konsumsi barang dan jasa yang menciptakan biaya lingkungan (environmental costs);
Untuk mendorong produsen dalam mengembangkan metode produksi alternatif dan produk yang kurang berbahaya bagi lingkungan; dan
Untuk melaksanakan pencemar-membayar prinsip (polluter-pays principle), yang menyatakan bahwa pencemar harus menanggung biaya yang dikenakan pada masyarakat untuk memastikan bahwa lingkungan dalam keadaan diterima.
Meskipun dengan adanya daya tarik akan adanya pajak lingkungan, pajak lingkungan itu sendiri belum dikenal secara luas karena beberapa alasan. Pertama, banyak orang yang menentang pada prinsip untuk menaikkan pajak. Kedua, analisis menunjukkan bahwa beberapa pajak lingkungan akan regresif, akan menjatuhkan paling berat pada orang miskin. Ketiga, ada kekhawatiran bahwa negara-negara yang menggunakan pajak lingkungan akan tidak lagi kompetitif di pasar global, karena industri mereka akan menderita dibandingkan dengan industri di negara-negara tanpa pajak.
Ibid. Ada, secara umum, dua solusi untuk masalah ini. Negara dapat bekerja sama dan masuk ke dalam perjanjian internasional yang mengharuskan semua pihak untuk memungut pajak lingkungan pada produsen mereka; atau negara-negara yang mengambil pajak produsen mereka sendiri dapat memungut biaya serupa di produk impor.
Ada tiga kategori yang berbeda dari pajak lingkungan yang pemerintah dapat digunakan, yaitu:
Pajak dapat langsung dikenakan atas penjualan produk yang memiliki konsekuensi lingkungan yang berpotensi merugikan. Kategori ini mencakup sistem deposit-dan-kembali, di mana pajak yang dipotong, dan pajak yang tidak dipotong, pada produk tidak bersahabat dengan lingkungan, seperti rokok, beberapa jenis energi, dan bahan kimia tertentu;
Pajak dapat dikenakan pada penggunaan sumber daya lingkungan itu sendiri. Contohnya termasuk biaya untuk emisi polutan ke udara, pembuangan ke sungai atau sistem saluran pembuangan, kemacetan jalan raya, dan penggunaan tempat pembuangan sampah atau fasilitas pembuangan limbah berbahaya; dan
Pajak Lingkungan dapat dikenakan pada input yang menjadi produk. Di sini, dua jenis tindakan dapat dibedakan; pajak masukan yang secara fisik dimasukkan ke dalam produk akhir, dan pajak atas masukan yang benar-benar dikonsumsi selama produksi.
GATT membedakan dua kategori utama pajak dan biaya dan menyerahkan mereka ke kontrol yang berbeda.
Fauchald, Environmental Taxes and Trade Discrimination, (The Hague: 1998) Pasal II (1), yang berlaku untuk bea masuk dan biaya impor, melarang anggota WTO dari pengenaan biaya yang lebih tinggi dari yang ditentukan dalam jadwal yang disepakati konsesi. Pasal III, yang berlaku untuk pajak internal dan biaya, memerlukan perlakuan nasional. Untuk membedakan antara dua hal tersebut, Pasal II (2) (a) menyediakan:
“Nothing in this Article shall prevent any contracting party from imposing at any time on the importation of any product:
a charge equivalent to an internal tax imposed consistently with the provision of paragraph 2 article III in respect of an article from which the imported product has been manufactured or produced in while or in part”
Untuk lebih memperjelas perbedaannya, Nota interpretif A Pasal III menyatakan bahwa setiap pajak internal .... yang berlaku untuk produk impor dan produk dalam negeri dan dikumpulkan atau diberlakukan dalam kasus produk yang diimpor pada saat impor adalah tetap dianggap sebagai pajak internal.
Penyesuaian pajak perbatasan/ Border tax agreement (BTA) adalah mekanisme yang diciptakan untuk menyelaraskan perpajakan internasional dari produk sesuai dengan prinsip tujuan, yang menyatakan bahwa barang harus dikenakan pajak di mana mereka digunakan atau dikonsumsi. BTA, yang dapat ditelusuri ke abad kedelapan belas,
P. Demaret and R. Stewardson, Border Tax Adjustment under GATT and EC Law and General implications for Environmental Taxes,28 J World Trade, (1994), Hal. 5-7. memungkinkan setiap negara untuk menerapkan rezim mereka sendiri dalam perpajakan domestik, juga sementara memastikan bahwa barang-barang yang bergerak dalam perdagangan internasional tidak dikecualikan dari pajak atau pengenaan pajak ganda. BTA memungkinkan 1) pajak internal akan dikenakan pada produk impor, dan 2) pengampunan (remission) pajak internal pada produk dalam negeri yang diperuntukan untuk diekspor.
Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, Loc.cit.
Apa jenis pajak dalam negeri yang memenuhi syarat untuk BTA? Dari asalnya pada tahun 1947, GATT telah menegakkan perbedaan mendasar antara pajak yang dikenakan atas produk (disebut "tidak langsung" pajak) dan pajak atas berbagai bentuk pendapatan dan kepemilikan properti (disebut "langsung" pajak).
P. Demaret and R. Stewardson, op.cit., hal. 9-12. Hanya pajak yang dikenakan atas produk, pajak tidak langsung, memenuhi syarat untuk BTA.
Perbedaan ekonomi antara pajak langsung dan tidak langsung awalnya didasarkan pada gagasan bahwa pajak tidak langsung awalnya didasarkan pada pemikiran bahwa pajak tidak langsung umumnya ditanggungkan kepada konsumen akhir, sedangkan pajak langsung tidak. Sekarang diakui bahwa perbedaan ini terlalu sederhana; banyak pajak tidak langsung diserap oleh produsen dan pajak langsung juga dapat ditularkan dalam harga produk.
Hufbauer and Erb, Subsidies in International Trade, (Washington DC: 1984), hal. 23 Dengan demikian, saat ini perbedaan terletak pada tradisi dan kepraktisan. Hal ini pada dasarnya merupakan suatu kompromi politik yang memungkinkan pemerataan akan beberapa hal, tapi tidak semua, dari perbedaan rezim pajak internal, didasarkan pada kepraktisan administratif yang BTA akan jauh lebih sulit untuk diterapkan pada pajak langsung; dan juga didasarkan pada kenyataan bahwa pajak dalam produk dapat disalahgunakan lebih mudah untuk tujuan proteksionis.
Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, op.cit., hal. 799.
Dalam pendekatan lainnya, ada tiga macam Pajak Lingkungan, yaitu:
A. Pajak atas Produk
Pajak lingkungan yang dikenakan pada produk yang memenuhi syarat untuk BTA selama mereka konsisten dengan standard perlakuan nasional dari GATT Pasal III. GATT hanya membutuhkan bahwa 'seperti' impor dan produk dalam negeri dikenakan pajak yang sama. Selain itu, ada beberapa fleksibilitas dalam standar perlakuan nasional ini. Sebagaimana dinyatakan di atas, ketika produk yang 'seperti' hanya dalam arti menjadi "subtitutable atau kompetitif" satu sama lain, akan lebih tinggi pajak impor yang diijinkan. Sebuah sistem deposit-dan-kembali (Deposit-and-return system) akan pajak atas produk juga diperbolehkan di bawah aturan GATT.
Ibid. Dalam Canada Beer Cases,
Canada – Import, Distribution, and the Sale of Alcoholic Drinks by Canadian Provincial Marketing Agencies, 22 Maret 1988, GATT BISD (35th Supp) 37 (1989) (hereafter “Canada Beet I”) ; Canada – Import, Distributin, and Sle of Alcoholic Drinks by Canadian Provincial Marketing Agencies, 18 Februari 1992, GATT BISD (39th Supp) 27 (1993) (hereafter” Canada Beer II”) panel menegakkan deposit-and-return system Kanada pada wadah bir yang diterapkan pada impor; untuk menyamakan standar perlakuan nasional, bagaimanapun, sistem harus diterapkan sama tanpa sistem yang berbeda dari pengiriman ke tempat penjualan untuk impor dan domestik bir.
Canada Beer II,Ibid., para 5.33. Dengan demikian, norma GATT bebas membolehkan BTA mengenai pajak lingkungan pada produk.
B. Pajak atas Penggunaan Sumber Daya
Pajak dan biaya penggunaan sumber daya, seperti biaya limbah dan emisi lingkungan, tidak tunduk pada BTA di bawah aturan GATT. Pajak tersebut bukanlah produk dari hal tersebut, meskipun mereka berhubungan dengan pembuatan produk. GATT akan mengklasifikasikan biaya ini sebagai pajak langsung yang dibayarkan dari pendapatan kotor dan tidak memenuhi syarat untuk BTA.
Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, Op.cit., hal. 800
C. Pajak atas Input
Pajak lingkungan pada input yang secara fisik hadir dalam beberapa bentuk dalam produk impor akhir adalah benar tunduk pada BTA. Ini berarti bahwa BTA dapat dibuat, misalnya, untuk pajak atas Chlorofluorocarbon (CFC) dan zat perusak ozon lainnya sehubungan dengan ekspor / impor lemari es di mana mereka tergabung. Tapi GATT ambigu mengenai BTA untuk pajak masukan yang dikonsumsi selama proses produksi. Pasal III tidak berurusan dengan masalah ini, tapi Pasal II (2) (a) tampaknya menghalangi BTA, karena memungkinkan pajak sehubungan dengan Pasal III hanya pada masukan "dari mana", bukan "dengan bantuan yang", impor dan produk dalam negeri seperti yang diproduksi.
Ibid., hal. 801. Oleh karena itu, pajak energi ternyata tidak dapat dikenakan pada produk impor karena energi yang dikonsumsi dan secara fisik tidak dimasukkan ke dalam produk selama produksi. Kelompok Kerja GATT pada Penyesuaian Pajak Perbatasan tahun 1970 mencatat perbedaan pandangan tentang pajak tersembunyi, yaitu, pajak pada energi, iklan, mesin, dan transportasi. Dengan demikian, hal ini perlu diklarifikasi.
VII. Perjanjian TRIPS dan Konvensi Keanekaragaman Hayati
Perjanjian WTO tentang Aspek-aspek Perdagangan Hak Kekayaan Intelektual/ The WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)
The Text of TRIPS is reprinted in WTO, The Legal Texts, supra, n 1. menjamin pengakuan dan penegakan hak kekayaan intelektual yang didukung oleh otoritas mekanisme sengketa penyelesaian masalah dari WTO. Seperti ditunjukkan di atas, hubungan antara TRIPS dan lingkungan adalah salah satu dari tiga bidang fokus untuk CTE yang diidentifikasi pada Deklarasi Doha tahun 2001, dengan dua fitur kemudian mendominasi diskusi CTE: (i) transfer teknologi ramah lingkungan, dan (ii) hubungan umum antara TRIPS dan konvensi Keanekaragaman Hayati.
Article 94 TRIPS Sementara itu, Konvensi Keanekaragaman Hayati menyediakan bahwa sumber daya genetik tanaman dan hewan berada di bawah kedaulatan negara di mana mereka berada, dan negara-negara berkembang memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan dari pengembangan sumber daya ini juga dari transfer teknologi yang relevan untuk pengembangan dan pemanfaatan sumber daya genetik.
Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, op.cit., hal. 802. Kedua perjanjian mengandung benih-benih-benih potensial untuk berkonflik dengan implikasi luas tidak hanya untuk lingkungan, tetapi juga untuk bioteknologi, farmasi, dan industri pertanian.
Mengingat dua rezim tersebut terpisah, sengketa yang timbul di bawah kedua Konvensi Keanekaragaman Hayati / Cartagena Protocol dan TRIPS mungkin akan ditangani oleh rezim penyelesaian sengketa WTO. Hal ini karena proses WTO adalah wajib jika salah satu pihak membawa keluhan; pihak lain akan ikut hanya jika kedua pihak yang terlibat setuju untuk mengorbankan resor ke WTO. Dalam beberapa kasus perselisihan mungkin timbul antara negara-negara yang telah menerima arbitrase yang mengikat atau ajudikasi oleh Mahkamah Internasional serta rezim WTO. Dalam kasus seperti konflik yang benar mungkin timbul sebagai mana “tubuh” penyelesaian sengketa memiliki yurisdiksi primernya masing-masing.
Ibid., Hal. 803.
Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan kedua konvensi di atas ini:
A. Akses ke Sumber Daya Genetik
Tiga cara dasar:
Sebuah Spesies dapat digunakan secara langsung sebagai sumber bahan kimia alami atau senyawa untuk produksi obat-obatan atau produk lainnya;
Sebuah Bahan kimia alami dari sebuah spesies dapat memberikan informasi dan ide-ide yang dapat menyebabkan produksi akan berguna di bidang bahan kimia sintetis, obat-obatan, dan produk; dan
Sebuah spesies alam dapat menjadi sumber gen atau urutan genetik yang dapat digunakan untuk mengembangkan varietas baru melalui pemuliaan atau organisme hasil rekayasa genetika melalui implantasi.
Pasal 15 Konvensi keanekaragaman hayati memberi wewenang kepada negara untuk membatasi atau menempatkan kondisi pada akses terhadap sumber daya genetik. Bahasa samar dalam Pasal 15 memberikan dasar potensial untuk berbagai tindakan, dari larangan ekspor ke pemerian harga pasar. Namun, anggota WTO diharuskan untuk mengamati norma GATT 1994 dalam pelaksanaannya.
Ibid., Hal. 804.
B. Paten
Paten penting untuk pengembangan bioteknologi yang menguntungkan dan teknologi lingkungan berharga yang menghasilkan lebih sedikit limbah dan polusi. Perjanjian TRIPS, dengan memperkuat perlindungan kekayaan intelektual global, akan memiliki efek positif pada kedua kategori dengan memberikan insentif untuk penelitian dan pengembangan. Namun Pasal 27 (2) memungkinkan anggota untuk mengecualikan dari penemuan paten yang membahayakan manusia, hewan, atau tanaman hidup, atau kesehatan, atau lingkungan tetapi pengecualian harus "diperlukan", bukan "hanya karena eksploitasi yang dilarang oleh hukum mereka" . Pasal 27 (3) juga memungkinkan tanaman, hewan, dan proses biologis untuk dikecualikan dari paten, tetapi mikro-organisme, non-biologis, dan proses mikrobio-logis harus dipatenkan.
Ibid., Hal. 806. Formulasi ini memastikan bahwa kebanyakan bioteknologi, farmasi, dan penemuan bioteknikal pertanian harus dilindungi oleh hukum paten. Tanaman yang Terjadi secara alami dan hewan tidak dipatenkan, tapi mikro-organisme yang dimodifikasi secara genetik, gen hewan, urutan DNA manusia, protein manusia, dan gen manusia semuanya telah dipatenkan di Amerika Serikat dan Eropa.
Konvensi Keanekaragaman Hayati, secara umum, konsisten dengan ketentuan paten dari TRIPS dan menempatkan tidak ada batasan pada perlindungan sumber daya genetik. Namun konvensi memerintahkan untuk menghormati dan melestarikan pengetahuan, inovasi, dan praktek masyarakat adat dan lokal. Tidak jelas apa dampaknya, jika ada, ketentuan ini dimaksudkan untuk memiliki hak-hak intelektual. Agaknya, undang-undang domestik bisa memberikan hak-hak pemulia tanaman untuk masyarakat tradiotional dan jenis tertentu dari pengetahuan dapat dilindungi sebagai rahasia dagang.
J. Starr dan K. Hardy, Not by Seeds Alone: The Biodiversity Treaty and the Role for Native Agriculture, 12 Stand ELJ, (1993), Hal. 85. Dengan demikian ketentuan ini dari Konvensi Keanekaragaman Hayati dapat diakomodasi di bawah kategori yang ada hak kekayaan intelektual.
C. Akses dan Transfer Teknologi
Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Perjanjian TRIPS mungkin datang ke dalam konflik tergantung bagaimana Pasal 16 Konvensi ditafsirkan mengenai akses dan transfer teknologi. TRIPS memandatkan kepada sisi privat, sistem pasar bebas untuk perolehan dan pengalihan hak kekayaan intelektual. Konvensi Keanekaragaman Hayati, sebaliknya, mensyaratkan bahwa para pihak menyediakan 1) prioritas atau akses lunak untuk negara-negara berkembang, 2) preferensial untuk negara-negara tersebut, dan 3) penelitian bersama dan pengembangan usaha dengan perusahaan-perusahaan yang mengembangkan HKI dan negara memasok sumber daya genetik.
Articles 15 (7), 16 (2) dan (3), 19 (1) and (2)
D. Perizinan Wajib
Pertanyaan penting yang mungkin timbul di bawah Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Perjanjian TRIPS adalah apakah negara berkembang yang percaya haknya berdasarkan Konvensi ditolak dapat mendapatkan resor untuk lisensi wajib. Konvensi Keanekaragaman Hayati tidak mengandung otorisasi lisensi wajib yang spesifik, tetapi tidak mengotorisasi "legislatif, administratif atau upaya kebijakan, yang sesuai" untuk mendapatkan hak yang diberikan oleh akses dan transfer teknologi dan ketentuan bioteknologi.
Articles 15 (4), 16 (3), 19 (1)
Lisensi wajib oleh anggota WTO akan dikontrol oleh Perjanjian TRIPS, yang memiliki ketentuan khusus menangani masalah ini. Pasal 30 TRIPS memungkinkan "pengecualian terbatas untuk hak eksklusif yang diberikan oleh paten, yang tersedia tidak bertentangan secara tidak wajar dengan eksploitasi normal paten dan tidak masuk akal prasangka kepentingan yang sah dari pemilik paten ....". Kondisi ini membuat Pasal 30 TRIPS sebuah kendaraan yang tidak baik untuk mengklaim transfer manfaat teknologi yang diberikan oleh Biological Diversity Convention.
7.1 Kasus Terkait
Tuna Dolphin Case United States v. Mexico
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds381_e.htm, diakses pada tanggal 18 Mei 2016, pukul 20:00.
Kasus tuna sirip kuning merupakan kasus embargo yang dikenakan Amerika Serikat atas produk tuna sirip-kuning milik Meksiko yang diimpor ke Amerika Serikat, pada Februari 1991. Meksiko membawa kasus tersebut ke hadapan GATT. Meksiko meminta kepada GATT untuk membentuk sebuah panel guna memeriksa legalitas dari ketentuan Undang-Undang Perlindungan Mamalia Laut atau Marine Mammal Protection Act (MMPA) milik Amerika Serikat.
Kasus ini bergulir atas terjadinya peningkatan kasus kematian lumba-lumba oleh para nelayan yang menangkap ikan tuna di wilayah pasifik timur. Untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan tuna yang biasanya selalu berenang secara berkelompok di bawah lumba-lumba, nalayan ini akhirnya menangkap ikan tuna dengan ikut membawa serta lumba-lumba tersebut dan kebanyakan lumba-lumba yang ikut tertangkap ini akan mati ataupun terluka dalam proses penangkapannya.
Melihat kekhawatiran publik dari meningkatnya kematian terhadap lumba-lumba yang hampir “mendekati nol ini”, pihak Kongres Amerika Serikat meloloskan Undang-Undang Perlindungan Mamalia Laut atau Marine Mammal Protection Act (MMPA), yang mensyaratkan nelayan penangkap tuna untuk menyesuaikan teknik penangkapan mereka dengan standar yang telah ditetapkan dalam MMPA. Lebih jauh lagi, undang-undang ini membentuk sebuah sistem perizinan yang merancang batasan maksimal jumlah lumba-lumba yang terbunuh dan membatasi rasio penangkapan untuk spesies yang dianggap terancam punah. Jika negara-negara tidak mematuhi aturan tersebut, maka Amerika Serika berhak mengembargo negara pelanggar aturan tersebut.
Salah sau negara yang terkena embargo langsung dari Amerika Serikat terkait kasus ini adalah Meksiko yang pada akhirnya membawa kasus ini ke ranah GATT dengan meminta dibentuknya sebuah panel. Kasus Tuna Dolphin ini sebenarnya adalah kasus pertama yang ditangani oleh Panel GATT di mana terjadi perbenturan antara kepentingan perdagangan bebas dan kepentingan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya.
Ketentuan dalam Perjanjian-perjanjian WTO Mengenai Lingkungan
Pasal XX GATT: Pengecualian terhadap Lingkungan
Proses Penyelesaian
Amerika Serikat berpendapat bahwa aturan MMPA sesuai dengan Article III GATT yang megatakan bahwa MMPA merupakan aturan yang non-diskriminatif karena persyaratan yang terkait dengan produksi tuna yang diimpor adalah setara dengan tuna yang ditangkap oleh armada laut Amerika Serikat. Argumen ini kemudian ditolak oleh Panel. Panel menyimpulkan bahwa Article III hanya mencakup undang-undang yang mempengaruhi sebuah barang impor dalam bentuk produk dan beranggapan bahwa embargo MMPA tidak tercakup dalam ketentuan Article III karena pelarangan impor yang dikenakan Amerika Serikat atas tuna milik Meksiko tidak ada hubungannya dengan karakteristik produk tuna itu sendiri.Panel menyatakan bahwa MMPA hanya mengatur penangkapan domestik tuna untuk mengurangi jumlah angka terbunuhnya lumba-lumba dan karena itu tidak bisa dianggap sebagai aturan yang diberlakukan terhadap tuna dalam bentuk produk mengingat aturan tersebut tidak secara langsung mengatur penjualan tuna.
Panel juga menyimpulkan bahwa Amerika Serikat melanggar ketentuan Article XI GATT yang melarang penerapan kuota, embargo dan pembatasan kuantitatif lainnya atas ekspor dan impor dan memperbolehkan negara anggota GATT untuk mengatur ekspor dan impornya melalui tarif. Embargo yang dilakukan oleh Amerika secara terang-terangan melanggar pelarangan umum akan pembatasan impor yang bersifat kuantitatif.
Tindakan embargo yang dilakukan Amerika Serikat juga tidak dibenarkan dalam General Exeptions Article XX GATT poin (b) dan (g), Panel mengatakan bahwa embargo yang dikenakan Amerika tidak bersifat “penting” berdasarkan tujuan Article XX (b) yang bertujuan ‘untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan, apabila terdapat usaha perlindungan domestik yang serupa dalam kondisi yang sama di negara pengimpor’ karena setiap undang-undang perdagangan harus bersifat “penting” dan tidak dirancang sebagai usaha untuk menyamarkan upaya pembatasan perdagangan.
Laporan Akhir Panel
Oleh karena itulah Hasil Panel GATT memenangkan Meksiko dan memutuskan bahwa embargo yang dilakukan oleh Amerika Serikat adalah tidak sah/illegal dan tidak sesuai dengan aturan-aturan dalam GATT.
Sebagai tindak lanjut dari Laporan Akhir Panel ini Pihak Amerika Serikat bersedia mencabut embargo terhadap Meksiko setelah negara tersebut meratifikasi International Dolphin Conservation Program (IDCP) dan bersedia memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1991. Report by the Chairman of GATT Working Group in Export of Domestically Prohibited Goods and Other Hazardous Substances. GATT Doc L/6872.
7 USC& 1360. (1994). West Supp.
Adolf,Huala. 2005. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Arifin, Sjamsul, Rae, Ediana, dan P. R. Joseph. 2007. Kerja Sama Perdagangan Internasional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Barutu, Christhoporus. 2007. Dumping dalam Perdagangan Internasional dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dumping Melalui World Trade Organization. Indonesian Journal of International Law Vol 4 Nomor 2 (Depok: LPHI).
Bernie, Patricia, Boyle, Alan dan Ridgewell, Catherine. 2009. International Law and The Environment. Oxford: University Press.
Blackhurst, Richard. 1997. The WTO and the Global Economy. World Economy diakses pada 18 Mei 2016, doi: 10.1111/1467-9701.00087.
Brookings Media Press. 2009. The WTO and GATT: A Principled History, New York: Brookings Media Press.
C.Etsy, Daniel. 2001. Brigding the Trade-Environment Divide. Journal of Economic Perspectives Vol 15.
Canada – Import, Distribution, and the Sale of Alcoholic Drinks by Canadian Provincial Marketing Agencies, 22 Maret 1988, GATT BISD (35th Supp) 37 (1989) (hereafter “Canada Beet I”) ; Canada – Import, Distributin, and Sle of Alcoholic Drinks by Canadian Provincial Marketing Agencies, 18 Februari 1992, GATT BISD (39th Supp) 27 (1993) (hereafter” Canada Beer II”)
Cartagena Protocol 2000
Cordero, Paula., Sepulveda, Sergio., dan Rodriguez, Adrian. (2004). Trade and Environment Issues. San Jose:Inter-American Institute for Cooperation on Agriculture.
Demaret, P. Dan Stewardson, R. 1994. Border Tax Adjustment under GATT and EC Law and General implications for Environmental Taxes. 28 J World Trade.
Fauchald. 1998. Environmentak Taxes and Trade Discrimination. The Hague
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)
Grimwade, Nigel. 2003. International Trade: New Patterns of Trade, Production and Investment. London: Routledge Publishing
H. Jackson, John. 1992. World Trade Roles and Environmental Policies: Congruence or Conflict?. 49 Wash & Lee L. Rev 1227.
http://www.brettonwoodsproject.org/2005/08/art-320747/, diakses pada 14 Mei 2016, pada pukul 21:45.
Hufbauer dan Erb. 1984. Subsidies in International Trade. Washington DC.
J.Beyers, Carol. 1992. The U.S./Mexico Tuna Embargo Dispute: A Case Study of the GATT and Environmental Progress. Marylan Journal of International Law Vol 16 Issue 2.
Macmillan, Fiona. 2001. WTO and the Environment. London: Sweet and Maxwell.
Panel Report Mexico/US Dispute, supra note 32
Starr, J dan Hardy, K. 1993. Not by Seeds Alone: The Biodiversity Treaty and the Role for Native Agriculture. 12 Stand ELJ.
Steinberg. 1997. Trade-Environment Negotiations in the EU, NAFTA, and WTO: Regional Trajectories of Rule Development. 91, American Journal of International Law.
Stockholm POP Convention 2001
The Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal
The Convention on Biological Diversity
The Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade
The WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)
WTO. 2008. Understanding the WTO. Geneva: Geneva Switzerland Information and Media Relations Division.
30