Patofisiologi Difteri
Patofisiologi Difteri
Patofisiologi Difteri
C. diphtheriae
Toxin
Local effect
accompanied by outpouring of a
fibrinosuppurative exudate
Systemic Effect
exotoxin is absorbed
into the blood
Myocard, periferal
nerve
Referensi :
Hadfield,TL., McEvoy P., Polotsky Y., Tzinserling, V.A., and Yakovlev, AA. The Pathology of Diphteriae.
The Journal of Infectious Diseases 2000;181(Suppl 1):S11620.
not high, even though the patient may appear quite toxic. Patients with severe disease may
develop marked edema of the submandibular areas and the anterior neck along with
lymphadenopathy, giving a characteristic bullneck appearance.
Laryngeal Diphtheria
Laryngeal diphtheria can be either an extension of the pharyngeal form or can only
involve this site. Symptoms include fever, hoarseness, and a barking cough. The membrane
can lead to airway obstruction, coma, and death.
Cutaneous (Skin) Diphtheria
In the United States, cutaneous diphtheria has been most often associated with
homeless persons. Skin infections are quite common in the tropics and are probably
responsible for the high levels of natural immunity found in these populations. Skin
infections may be manifested by a scaling rash or by ulcers with clearly demarcated edges
and membrane, but any chronic skin lesion may harbor C. diphtheriae along with other
organisms. Generally, the organisms isolated from recent cases in the United States were
nontoxigenic. The severity of the skin disease with toxigenic strains appears to be less than
in other forms of infection with toxigenic strains. Skin diseases associated with nontoxigenic
strains are no longer reported to the National Notifiable Diseases Surveillance System in the
United States.
Other sites of involvement include the mucous membranes of the conjunctiva and
vulvovaginal area, as well as the external auditory canal.
Reference:
Diphtheria: Reporting and Surveillance Guidelines. Washington State Department of Health
(DOH). DOH # 420-052. Last Revised: January 2011
Mengurangi minum es. Minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat
mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan terasa sakit.
Memberikan vaksinasi DPT pada anak-anak sebelum difteri menyerang.
Vaksin dapat merangsang terbentuknya antibodi tubuh untuk melawan kuman serta
meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap jenis penyakit tertentu. Vaksinasi DPT
biasanya diberikan sejak bayi berumur 3 bulan. Untuk pemberian kekebalan dasar perlu
diberi 3 kali berturut-turut dengan jarak 1-1 bulan, lalu 2 tahun kemudian diulang kembali.
Menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah
menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah,
selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah
warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik
untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain.
Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk
membunuh kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri
satu kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup.
Berikut ini beberapa ramuan tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk membantu mengatasi
difteri
Resep 1 :
2 buah mengkudu yang matang + 10 lembar daun jinten dicuci dan dijus atau dihaluskan dan diperas
airnya. Air tersebut digunakan untuk berkumur dalam tenggorokan selama sekitar 3 menit, lalu
ditalan. Lakukan 3 kali sehari, setiap kali 3 sendok makan.
Resep 2 :
Umbi bidara upas dijus atau diparut dan diperas airnya hingga terkumpul 100 cc, lalu airnya tersebut
Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali
berturut-turut negatif.
b.
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam pengamatan
terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi
imunisasi terhadap difteri.
c.
Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT
diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6
tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan
pada usia 1 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan
vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak
mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.
Cara Pencegahan
1.
Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada
para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan
anak-anak.
2.
Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (missal)
dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang
mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di
Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung whole cell pertusis (DTP). Vaksin yang
mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen whole cell pertussis, dan tipe b
haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
3.
Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain mungkin
menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).
a)
b)
pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan
diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga
1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian
imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan
remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap
10 tahun kemudian.
4.
Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti kepada
para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun
sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
5.
Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka
(immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin
diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini
tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.
Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
a.
Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit
dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi
kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak
kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika
kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian
antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
b.
Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan
terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
c.
d.
Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung
dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian
dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan
untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat
status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus
dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis
menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar
lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah
lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan
mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia
mereka.
e.
Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari sampel
yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier dengan kultur hanya
bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.