Medicinus
Medicinus
Medicinus
1 Contents
3 Instruction for Authors
LEADING ARTICLE
Contribution
Medicinus Editors accept participation in
form of writings, photographs and other
materials in accordance with the mission of
this journal. Editors reserve the right to edit
or modify the writings, particulary redactionally without changing the content of the
published articles, if necessary.
M E D I C I N U S
contents
56 MEDICAL NEWS
58 TIP SEHAT
59 CALENDAR EVENT
MEDICINUS
MEDICINUS
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
13. Editor(s), compiler(s) as author
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996
14. Organization(s) as author
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid
program. Washington:The Institute; 1992
15. Chapter in a book
Note: This Vancouver patterns according to the page marked with
p, not a colon punctuation like the previous pattern).
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH,
Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis
and Management. 2nd ed. New York:Raven Press; 1995.p.465-78
16. Conference proceedings
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of
EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan.
Amsterdam:Elsevier; 1996
17. Conference paper
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P,
Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World
Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5
18. Scientific or technical report
Issued by funding/sponsoring agency:
Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed
during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.
of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860
Issued by performing agency:
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work Force and Education Issues. Washington:National
Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research
19. Dissertation
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The elderys access
and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington University; 1995
20. Newspaper article
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates
50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;
Sept A:3 (col.5)
21. Audiovisual material
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis
(MO): Mosby-Year Book; 1995
electronic material
22. Journal article on the Internet
Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the
ANA acts in an advisory role. Am J Nurs [serial on the Internet].
2002 Jun [cited 2002 Aug 12]; 102(6):[about 3 p.]. Available from:
http://www.nursingworld.org/AJN/2002/june/Wawatch.htm
23. Monograph on the Internet
Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [monograph on the Internet]. Washington: National Academy
Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.nap.
edu/books/0309074029/html/
24. Homepage/Web site
Cancer-Pain.org [homepage on the Internet]. New York: Association of Cancer Online Resources, Inc.; c2000-01 [updated 2002
May 16; cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.cancerpain.org/
25. Part of a homepage/Web site
American Medical Association [homepage on the Internet]. Chicago: The Association; c1995-2002 [updated 2001 Aug 23; cited
2002 Aug 12]. AMA Office of Group Practice Liaison; [about 2
screens]. Available from: http://www.ama-assn.org/ama/pub/
category/1736.html
26. CD-ROM
Anderson SC, Poulsen KB. Andersons electronic atlas of hematology [CD-ROM]. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2002
MEDICINUS
Leading article
PENDAHULUAN
Kanker payudara lanjut lokal atau Locally Advanced Breast Cancer (LABC) adalah kanker
besar. LABC sampai saat ini masih merupakan
bagian terbesar (50-60%) dari penderita kanker
payudara yang dating di klinik payudara atau
bedah tumor sebagian besar RS non pemerintah atau RS pemerintah di Indonesia. Sampai
saat ini, penanganan LABC masih menarik payudara stadium IIIA, IIIB dan sebagian menyebutkan stadium II dengan tumor untuk didiskusikan. Pada umumnya, perdebatan lebih
berkisar pada urutan terapi yang diberikan dan
manfaatnya. Berbagai pihak sependapat bahwa
multi modalitas terapi sudah harus dipikirkan
sejak awal.
Cara pengobatan yang banyak dianjurkan
adalah melalui pemberian kemoterapi neoajuvan, terutama untuk LABC yang telah lama dan
sudah banyak dilakukan. Bahkan cara kemoterapi neoajuvan yang semulan untuk LABC
mulai banyak dilakukan untuk kanker payudara dengan stadium lebih rendah.1 Respon
pengobatan kemoterapi neoajuvan dilakukan
dengan melihat pengecilan tumor baik secara
klinis maupun pencitraan, serta pengurangan
keluhan keluhan yang mungkin ada. Bila ditinjau dari laporan studi yang lalu, terlihat bahwa
pengecilan tumor primer secara klinis terjadi
pada 50-60% kasus, tetapi respon komplit hanya terjadi sekitar 15%. Adanya respon terhadap
kemoterapi neoajuvan merupakan faktor prognostik untuk perbaikan disease free survival dan
overall survival. Oleh karena itu perlu dipikirkan
berbagai upaya untuk meningkatkan respon
pengobatan kemoterapi neoajuvan pada LABC.
Tulisan ini akan membahas sekilas tentang
MEDICINUS
kanker payudara lanjut lokal, pengertian tentang kemoterapi neoajuvan, juga akan dibahas
pemikiran tentang upaya meningkatkan respon kemoterapi neoajuvan pada LABC.
OVERVIEW KANKER PAYUDARA
LANJUT LOKAL (LABC)
Yang dimaksud dengan kanker payudara lanjut lokal atau LABC adalah kanker payudara
stadium III menurut sistem TNM dari UICC dan
AJCC; yaitu terdiri dari stadium IIIA (T0-T2 N2
Mo atau T3 N1-2 Mo) dan stadium IIIB (T4 tiap
N Mo). De vita mengelompokkan LABC dalam
kelompok heterogen, neglected, pertumbuhan relatif tidak cepat, dapat disertai dengan
metastase ekstensif pada kelenjar getah bening regional. Kanker payudara inflamatori dapat
juga digolongkan dalam LABC bentuk virulent.
Beberapa ahli juga memasukkan stadium yang
lebih rendah tetapi dengan T2 yang besar.2 Singletary mencatat kanker payudara inflamatori
dapat dikelompokkan dalam LABC meskipun
berbeda secara histologi, pola pertumbuhan
dan prognosa. Namun beberapa ahli lain kanker
payudara inflamatori dikategorikan dalam kelompok yang berbeda; dan harus dibedakan
dengan LABC disertai perubahan inflamsi
sekunder. Kanker payudara inflamatori mempunyai agresifitas dan prognosa yang lebih buruk.3
KEMOTERAPI NEOAJUVAN
Kemoterapi neoajuvan adalah pemberian kemoterapi ajuvan pada LABC yang diberikan
sebelum terapi utama, dalam hal ini adalah operasi. Konsep ini sebenarnya didasarkan pada
pengalaman pemberian terapi medikal (kemo-
Schwartz et al
1994
Merajver et al
1997
Morelli et al
1998
Kuerer et al,
1999
Zambetti et al,
1999
Bcs
rate
Survival
36.00%
5YSR
69%
for
responding time ( 67%
for mastec vs 80% for
lumpectomy
28% of
27 weeks of anthracyciclin
no
based, mastectomy or RT
RR 97% with pCR 28% tumor
depend on negativity of
had RT
biopsy
alone
Treatment regimen
89 Px with AJCC
stage III
until maximal
55 px with LABC or MVAC
response surgery RR 89% with pCR 27%
IBC
MVAC X 6- RT
88 with LABC
No
5 Yr DFS 51% OS 63%
BCS
29.00%
residual tu
52 months DFS 52%
Therasse et al,
2003
Response
to
RR 90 % in both group,
Not
5yr OS 51% for CEF
448 with T4 tumor cycles of CE or 6 cyles of pcr 14% inf CEF and reporte
53% for EC
10% in EC
dose-intense
EC
d
surgery RT
Note :
AJCC, American Joint Committee on Cancer; CEF, cycclophosphamide-Epirubicin-5 fluorouracil;DFS, disease free survival; EC,
epirubicin-cyclophosphamide; IBC , inflammatory breast cancer; LABC, loclly advanced breast cancer; MVAC, methotrexatevinblastin-doxorubicin-cisplatin; RR, response rate; RT, radiotherapy; OS, overall survival; pCR, pathologic complete response.
Page 1
MEDICINUS
Leading article
MEDICINUS
Leading article
MEDICINUS
Leading article
KESIMPULAN
Kanker payudara lanjut local atau locally advanced breast cancer (LABC) masih merupakan insiden
dan prevalen terbesar dari pasien pasien kanker payudara yang mencari pengobatan di Indonesia.
Pengobatan selalu memerlukan multi modalitas; kemoterapi neoajuvan sering kali merupakan pengobatan pertama kali. Beberapa obat atau regimen kemoterapi banyak digunakan untuk meningkatkan respon. Dipikirkan juga upaya upaya untuk selalu meningkatkan respon; karena respon yang
baik sangat memperbaiki prognosa.
REFERENCES:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
MEDICINUS
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Leading article
Sindrom Guillain-Barre
Manfaluthy Hakim
Sindrom Guillain-Barre atau Guillain-Barre Syndrome (GBS) merupakan kelainan saraf perifer
yang menyebabkan kelumpuhan ekstremitas
secara asenden dan simetris yang diperantarai
mekanisme imunologi. Kasus GBS pertama kali
dilaporkan pada tahun 1859 oleh Jean Baptiste
Octave Landry de Thezillat. Landry de Thezillat
melaporkan sepuluh pasien dengan paralisis
asenden. Istilah paralisis asenden Landry digunakan hingga 1876.
EPIDEMIOLOGI
Insiden GBS berkisar 0.6-1.9 per 100.000 populasi dan angka tersebut hampir sama di semua
negara. GBS dapat dialami pada semua usia dan
ras. Dengan usia antara 30-50 tahun merupakan
puncak insiden GBS, jarang terjadi pada usia
ekstrim. Laki-laki kulit putih sedikit lebih sering
mengalami GBS.2
Etiologi
Pada tahun 1976 terjadi peningkatan kasus GBS
lima kali lipat setelah program vaksinasi influenza babi. Tetapi asosiasi tersebut masih kontroversial. Hubungan risiko GBS dengan imunisasi
lainnya belum dapat dipastikan.
Sekitar 1-4 minggu sebelum onset GBS terjadi
sindrom viral akut atau manifestasi penyakit
infeksi lainnya. Tetapi rentang waktu yang
lebih singkat atau lama masih dapat terjadi
sebagai variasi antar individu. Pada saat onset
GBS dimulai biasanya infeksi antesenden telah berakhir. Infeksi yang sering mendahului
GBS adalah infeksi saluran respirasi dan saluran
pencernaan. Kondisi antesenden yang berkaitan dengan GBS, yaitu infeksi virus (Cocksackie,
CMV, Echo, EBV, virus hepatitis A dan B, HSV, virus Herpes Zoster, HIV, Influenza, Parainfluenza,
Rubella, Mumps, Measles), infeksi bakteri (Borrelia burgdorferi, Campylobacter jejuni, Legionella
pneumoniae, Mycoplasma pneumonia, Shigella, Typhoid, Brucellosis, Yersinia enterocolitica),
kondisi sistemik (penyakit Addison, limfoma
Hodgkin, leukemia, paraproteinemia, kehamilan, sarkoidosis, tumor padat terutama tumor
paru, operasi, eritematosus lupus sistemik, penyakit tiroid, trauma, dan vaksinasi).2,3
Infeksi CMV antesenden merupakan infeksi virus paling sering yang mendahului GBS dengan
konversi serologi hampir 15%. Infeksi CMV antesenden lebih sering mengenai individu usia
muda dengan manifestasi GBS yang lebih berat,
kegagalan respirasi, gangguan sensorik prominen, keterlibatan saraf kranial, dan peningkatan
antibodi terhadap gangliosida GM2.2
Infeksi C. Jejuni merupakan infeksi bakteri yang
paling banyak mendahului GBS terutama strain
Penner 19 dan Lior 11. Sebelum onset GBS, individu mengalami demam, diare cair, dan nyeri
perut. Sekitar 30% kasus GBS hanya disertai
bukti infeksi antesenden C. Jejuni secara serologi tanpa manifestasi enteritis. GBS terkait infeksi
C. Jejuni mengalami proses pemulihan lebih
lama, kerusakan aksonal yang lebih ekstensif,
dan adanya antibodi gangliosida GM1. Lipopolisakarida C. Jejuni memiliki kemiripan dengan
epitop gangliosida saraf perifer (GM1, GQ1b, Ga1NAc-GD1a) sehingga terjadi mimikri molekular
pada keduanya, antibodi yang dirancang untuk
mengeradikasi C. Jejuni menginduksi inflamasi
pada sistem saraf perifer.2
Infeksi antesenden M. pneumonia dengan
gejala batuk nonproduktif, demam, dan sakit
kepala terjadi pada 5% kasus GBS. Penyakit
Lyme yang disebabkan oleh B. burgdorferi
merupakan penyebab polineuropati sensori-
MEDICINUS
Leading article
10
MEDICINUS
Leading article
bervariasi dan distribusinya menjelaskan varian-varian GBS. Antigen yang dieskpresikan oleh
saraf tepi adalah gangliosida (GM1, asialo-GM1,
GQ1b, GD1a, GT1a) dan distribusi anatomisnya
pada saraf tepi menjelaskan patofisiologi varian GBS. Tabel di bawah memaparkan antibodi
yang terlibat pada berbagai varian GBS. Sindrom Miller-Fisher berkaitan dengan antibodi
IgG anti-GQ1b. Antigen GQ1b banyak terdapat
di saraf motorik ekstraokular dibandingkan
di saraf motorik ekstremitas sehingga menjelaskan manifestasi Sindrom Miller-Fisher. Antibodi monoclonal anti-GQ1b yang diinduksi oleh
C. jejuni juga memblok transmisi neuromuskular
secara eksperimental.2
4
Barre_tbl
1
Tabel 1. Antibodi pada GBSLA_Guilian
dan Variannya
AMAN
Sindrom Miller-Fisher
Varian Faringeal, Servikal,
dan Bravikal
Target Antibodi
IgG poliklonal
GT1a
GBS dengan keterlibatan aksonal yang prominen, produk aktivasi komplemen (C3d) berikatan dengan aksolema akson motorik dan pada
kasus yang berat Ig dan C3d juga ditemukan di
ruang periaksonal internodal.2
Target invasi sistem imun adalah gangliosida,
yaitu suatu kompleks glikosfingolipid yang
terdiri dari satu atau lebih residu asam sialat.
Gangliosida berperan dalam interaksi antarsel (akson dan sel glia), modulasi reseptor, dan
regulasi pertumbuhan. Gangliosida terdapat
di membran sel sehingga rentan terhadap paparan sistem imun. Gangliosida terdistribusi
luas pada jaringan saraf terutama pada nodus
Ranvier. Antibodi antigangliosida, terutama antibodi antiGM1, banyak terdapat pada kasus GBS
(20-50% kasus) terutama yang dipicu infeksi C.
jejuni. Terdapat kesamaan struktur dan reaksi
silang antara glikolipid C. jejuni dengan gangliosida.4
Antibodi yang terlibat dalam patofisiologi GBS
IgG poliklonal
IgG poliklonal
IgG poliklonal
KLASIFIKASI
Page 1
GBS memiliki beberapa varian, yaitu:5
MEDICINUS
11
Leading article
12
MEDICINUS
Leading article
Tabel 2. Varian
GBS4
LA_Guilian
Barre_tbl 1
Subtipe
Acute Inflammatory
Demyelinating
Polineuropathy (AIDP)
AMAN
AMSAN
MFS
Manifestasi
Lebih banyak pada dewasa
dibandingkan anak; 90%
kasus di negara Barat;
pemulihan cepat; antibodi
anti-GM1 (<50%)
Anak dan dewasa muda;
banyak di Cina dan Meksiko;
antibodi anti-GD1a
DIAGNOSIS
Diagnosis GBS berdasarkan manifestasi klinis,
profil CSF dan elektrofisiologis seperti yang dijelaskan pada tabel dihalaman 14.2,4
Gambaran elektrofisiologis berkembang selama
5-8 minggu sejak onset. Abnormalitas elektrofisiologi tertinggal bila dibandingkan manifestasi
klinis. Pada tipe demielinisasi terjadi pemanjangan
latensi distal, penurunan kecepatan hantar saraf,
blok konduksi, dan disperse temporal CMAP.
Pada tipe gangguan aksonal terjadi penurunan
amplitudo. Pada 1-2 minggu sejak onset, kecepatan konduksi saraf masih normal. Abnormalitas awal yang dapat ditemukan adalah hilangnya gelombang F dan refleks H. Blok konduksi
dapat ditemukan di sepanjang trunkus saraf
termasuk di akson terminal. Gambaran tersebut
dapat disertai disperse temporal CMAP yang
menghasilkan kompleks gelombang berdurasi
Elektrodiagnosis
Patologi
Aksonal
Demielinisasi
Menyerupai AIDP
Demielinisasi
Aksonal
MEDICINUS
13
Leading article
2,4
Tabel 3. Kriteria Diagnostik GBS
LA_Guilian Barre_tbl 1
Manifestasi klinis
Kriteria Laboratorium
eritrosit
Kriteria Elektrofisiologis (3
dari 4 kriteria)
14
MEDICINUS
Leading article
MEDICINUS
15
Leading article
16
5. Steroid
Studi tentang penggunaan steroid pada GBS
meliputi penggunaan ACTH IM 100 unit selama
10 hari, metiplrednisolon IV 500 mg selama 5 hari,
dan prednison 100 mg atau prednisolon 40-60
mg oral. Tidak ada perbedaan antara kelompok
yang diberikan steroid dengan kelompok plasebo dalam hal perbaikan grade dalam 4 minggu
setelah pemberian, perbaikan kekuatan motorik,
ketergantungan ventilator, mortalitas, disabilitas
dalam 1 tahun. Komplikasi antara kelompok steroid dan plasebo setara kecuali hipertensi lebih
banyak pada kelompok plasebo. Pada kesimpulannya, steroid tidak direkomendasikan untuk
GBS (level A, kelas I). Efektivitas kombinasi IVIG
dan streroid belum dapat dibuktikan.
PROGNOSIS
Prognosis GBS tergantung dari variannya. Faktor
prognostik buruk meliputi usia > 60 tahun, progresi cepat menjadi tetraparesis dalam 1 minggu,
intubasi, dan amplitudo motorik distal < 20%.
REFERENCES:
1.
2.
3.
4.
4. Kombinasi
5.
6.
MEDICINUS
7.
MEDICINUS
17
Atas dasar hal tersebut, kami dengan bangga memperkenalkan PHALECARPS yang
merupakan hasil penelitian Dexa Laboratories
of Biomolecular Sciences (DLBS) dengan kandungan bioactive Fraction DLBS1425 dari buah
Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl. (famili:
Thymelaeaceae). DLBS mempunyai visi menjadi
organisasi yang berbasis penelitian untuk penemuan, pengembangan dan produksi produk
farmasi, biofarmasi, dan nutrasetikal serta misi
untuk meningkatkan kualitas hidup melalui
penelitian dan pengembangan produk pengobatan dan nutrisi yang bermanfaat secara klinis
dalam berbagai bentuk sediaan.
18
MEDICINUS
Phalecarps memberikan efek pada viabilitas dan proliferasi sel yaitu menghambat proliferasi sel PC3, HepG2, AGS and
HCT116. Aktifitas tertinggi antiproliferasi
Phalecarps terlihat di sel kanker payudara
MDA-MB-231.
Phalecarps juga menginduksi apoptosis di sel kanker payudara MDA-MB-231.
Tetapi Phalecarps tidak membunuh sel
payudara normal MCF10A. Ini membuktikan bahwa Phalecarps mempunyai daya
selektif hanya membunuh sel kanker.
Phalecarps sebagai antiinflamasi yaitu
berhubungan dengan pemicu meningkatnya eikosanoid dengan menekan
mRNA pada COX-2 yang ada pada pemicu
tumor TPA, serta terbukti bekerja melalui
jalur PI3-Kinase.
MEDICINUS
19
Sekilas Produk
INTRAGAM
Imunoglobulin Manusia Normal 6% (5g/50 mL)
20 MEDICINUS
setidaknya 98% protein berupa IgG dan INTRAGAM P hanya mengandung sedikit
sekali IgA (< 0,025 mg/ml)2
INTRAGAM P mengandung agregat imunoglobulin dalam kadar rendah (0,1%)3
Integritas struktural molekul-molekul IgG
dalam INTRAGAM P dipertahankan selama fraksionasi2
INTRAGAM P rata-rata bersifat isotonik
dan osmolalitasnya mendekati osmolalitas fisiologik2
INTRAGAM P tersedia dalam sediaan yang nyaman dan dapat langsung dipakai, dalam bentuk sediaan cair dengan kemasan 3 g (50 mL).2
Mempunyai waktu paruh selama tiga tahun6 pada suhu 20C sampai 80C.
INTRAGAM P dikemas dalam materi bebas lateks.6
INTRAGAM P mempunyai label penggantung (hanging label) agar dapat diberikan dengan
mudah.
Label INTRAGAM P yang mudah disobek memungkinkan pencatatan dan penyimpanan data
yang cepat dan akurat.
Terapi Pengganti
ITP
Sindroma Guillain-Barre
Penyakit Kawasaki
Kesimpulan
Intragam merupakan Ig Iv yang memiliki kelebihan sebagai berikut:
Daftar Pustaka
1.INTRAGAM P Approved Product Information. Pakistan: November 2010
2.Product Monograph. Jakarta: Dexa Medica: 2010
MEDICINUS
21
22
MEDICINUS
Reseacrh
Abstract
Stroke is the leading cause of death and disability. Among of neurological diseases, stroke is
the most preventable. Many of established risk factors for stroke, including hypertension, high
cholesterol, diabetes, heart disease and smoking can be prevented either through the healthy
lifestyle choices or by medication. Greater understanding of perceived risk factors and warning
signs for stroke would facilitate health interventions aim at reducing morbidity and mortality
caused by stroke. We performed cross sectional study among 272 adults who never had stroke
before. Our study showed that hypertension, high cholesterol level, and central obesity are
the most prominent risk factors. Our focus group discussion showed that this program was
feasible. Programs to increase public awareness of stroke risk factors and warning signs should
become priority in the future.
PENDAHULUAN
Stroke merupkan penyebab kematian dan kecacatan yang utama di seluruh dunia. Pencegahan
stroke dimulai dengan kemampuan mengenali
faktor risiko stroke yang dapat dikendalikan
(misalnya: hipertensi, merokok, diabetes, dan
dislipidemia).1,2 Permasalahan yang muncul
adalah kurang dikenalinya berbagai faktor risiko
tersebut, dan kurang terkendalinya berbagai
faktor risiko tersebut di atas.3,4 Hipertensi dan
dislipidemia seringkali tidak terdeteksi akibat
dari tidak munculnya gejala yang khas dari seorang penderita hipertensi dan dislipidemia.5
Penatalaksanaan yang kurang ditandai dengan rendahnya proporsi penderita hipertensi
yang mencapai target tekanan darah yang diinginkan.6
Di berbagai belahan dunia, kampanye secara
aktif untuk deteksi dini dan pengendalian faktor
risiko stroke telah dilakukan.2-8 Program serupa
di Indonesia masih sangat terbatas, dan kurang
dipublikasikan. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat kemampulaksanaan (feasibility) dari
program kampanye pencegahan stroke yang
dilakukan Rumah Sakit Bethesda di komunitas. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk
mendeteksi proporsi anggota komunitas yang
memiliki faktor risiko vaskuler.
METODE
Desain penelitian ini adalah cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif
selama dua hari pelaksanaan pekan budaya di
Yogyakarta. Data diperoleh dari laki-laki atau
perempuan yang belum pernah menderita penyakit kardiovaskuler dan stroke dari anamnesis. Pencarian dan pencatatan faktor risiko
vaskuler dilakukan secara sistematis.
Tekanan darah diukur sesuai dengan rekomendasi JNC VII oleh perawat yang terlatih. Pengukuran dilakukan selama 2 kali. Hipertensi
dinyatakan bila tekanan darah pada 2 kali pengukuran lebih besar atau sama dengan 140/90
mmHg. Pengambilan gula darah dan kadar kolesterol dilakukan sewaktu oleh petugas laboratorium terlatih dengan cara yang terstandar.
MEDICINUS
23
Research
24
MEDICINUS
lensi hiperglikemia adalah 69/272 (25,4%). Penelitian menunjukkan bahwa proporsi obesitas
sentral mencapai 173/272 (63,6%), dan hiperkolesterolemia dijumpai pada 129/272 (47,4%).
Secara proporsi, obesitas sentral lebih sering
dijumpai pada perempuan.
Gambar 1.
Prevalensi hipercholesterolemia pada saat skrining
Gambar 2.
Proporsi obesitas sentral diantara responden
Research
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
Hasil penelitian memperlihatkan adanya minat yang cukup tinggi dari masyarakat. Hal ini
tampak dari banyaknya jumlah kunjungan ke
booth pelayanan rumah sakit. Hal ini cukup
menggembirakan dan menandakan kepedulian
yang sudah cukup tinggi tentang bahaya penyakit stroke dan kardiovaskuler.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hickey A, et al. Stroke awareness in the general population: knowledge of stroke risk factors and warning signs in older adults. BMC Geriatr 2009; 5(9):35
2. Yoon SS, Byles J. Perceptions of stroke in the general
public and patients with stroke: a qualitative study.
BMJ 2002; 324:1065-68
3. Yoon SS, Heller RF, Levi C, Wiggers J, Fitzgerald PE.
Knowledge of stroke risk factors, warning symptoms, and treatment among an Australian urban
population. Stroke 2001; 32:1926-30
4. Reeves MJ, Hogan JG, Rafferty AP. Knowledge of
stroke risk factors and warning signs among Michigan adults. Neurology 2002; 59:1547-52
5. Pandian JD, et al. Public awareness of warning
symptoms, risk factors, and treatment of stroke in
northwest India. Stroke 2005; 36:644-8
6. Pancioli AM, et al. Public perception of stroke warning signs and knowledge of potential risk factors.
JAMA 1998; 279:1288-92
7. Blades LL, et al. Rural community knowledge of
stroke warning signs and risk factors. Prev Chronic
Dis 2005; 2:14
8. Reeves MJ, Hogan JG, Rafferty AP. Knowledge of
stroke risk factors and warning signs among Michigan adults. Neurology 2002; 59:1547-52
9. Mller-Nordhorn J, et al. Knowledge about risk
factors for stroke: a population-based survey with
28,090 participants. Stroke 2006; 946-50
10. Stern EB, Berhman M, Thomas JJ, Klassen AC. Community education for stroke awareness. An efficacy
study. Stroke 1999; 30:720-3
11. Silver F, Rubini F, Black D, Hodgson CS. Advertising strategies to increase public knowledge of the
warning signs of stroke. Stroke 2003; 34:1965-8
MEDICINUS
25
Reseacrh
Abstrak
Abstract
26
MEDICINUS
Research
PENDAHULUAN
Wajah adalah permukaan yang kompleks dengan variabilitas yang sangat banyak. Satu tujuan analisis wajah adalah dapat memberikan
gambaran jelas untuk membandingkan hasil
sebelum operasi dan setelah operasi.1
Wajah dapat dibagi menjadi tiga garis horizontal pada pemeriksaan dari dari frontal.2,3,4,5 Wajah juga dapat dibagi secara vertikal menjadi
lima. Lebar satu mata harus sama dengan jarak
interkantus dan lebar ini harus sama dengan
seperlima lebar wajah. Garis yang ditarik dari
Gambar 3. Aspek lateral hidung (Jewwet B)
INDEKS-INDEKS HIDUNG
kantus luar harus berada pada sekitar lebar leher. Seperlima lateral wajah memanjang dari
lateral kantus hingga ke titik lateral terjauh dari
pinna. Nasal base adalah jarak antara kedua alar
crease, idealnya seimbang dengan jarak interkantus dan meliputi 1/5 lebar wajah.6,7
Sepertiga superior adalah dahi dari trichion
hingga glabela.
Sepertiga tengah atau midface memanjang
dari glabela ke subnasal.
Sepertiga inferior atau lower face adalah region dari sub nasal hingga menton.
Gambar 2.
Garis vertikal
yang membagi
wilayah ke
dalam 5 bagian
yang sama
(Papel D, et al)
GARIS WAJAH
Garis horizontal Frankfort (FHL)7
FHL adalah garis pada tulang tengkorak yang
berasal dari tepi inferior orbita ke tepi superior
tragus. Dalam praktek klinik, defenisi tersebut
juga dipakai. Letak FHL ini harus horizontal bila
diambil foto dari arah samping.
Garis fasial (FL)7
Adalah garis dari glabela ke pogonion. Garis
ini berperan sebagai garis dasar untuk menghitung sudut nasofrontal dan sudut nasolabial.
FL membantu dalam menganalisis dan menentukan dimensi piramid hidung dalam kaitannya
dengan mid face, dahi dan dagu.
MEDICINUS
27
Research
Sudut nasomental adalah sudut yang terbentuk antara garis tangent yang melalui dorsum
nasi dan garis yang menghubungkan puncak
hidung dengan menton melalui pogonion.
Besarnya berkisar 120o-132
Sudut mentocervikal adalah sudut yang
dibentuk antara garis vertikal yang melalui
forehead pada glabella ke pogonion dan garis
pada dagu. Idealnya antara 80o-90o0
Sudut nasofasial adalah sudut yang dibentuk
oleh garis fasial dan garis tangent yang melalui dorsum nasi, idealnya adalah 36o-40o0.
ukurannya lebih besar. Sudut ini tidak berhubungan dengan fungsi hidung sedangkan
dari sudut pandang estetik, variasi yang besar
umumnya, ini menunjukkan keragaman etnis.1,2,3,4,9
Sudut nasolabial adalah sudut antara kolumela
(SN) dan bibir atas. Pada pria kulit putih, sudut
ini berukuran 80o-90o0 sedang pada wanita
berukuran 90o-110o0, pada bangsa kulit hitam
dan bangsa Asia ukurannya lebih besar. Sudut
ini sangat berkaitan dengan fungsi hidung,
makin kecil sudut ini makin vertikal aliran udara
yang masuk ke dalam kavum nasi dan makin
besar permukaan kavum nasi yang dilalui
udara. Secara estetik sudut ini juga dianggap
lebih penting daripada sudut naso-frontal.
28
MEDICINUS
Research
ETNIS DI INDONESIA
Etnis atau suku adalah suatu masyarakat yang
mempunyai sejarah budaya dan organisasi sosial yang sama, menghuni suatu teritori tertentu dan memiliki kesadaran akan kebersamaan
yang sama. Glinka dan Yandianto yang dikutip
oleh Mattulada dan Suasonopriyo, mengatakan
bahwa ras adalah penggolongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik, misalnya bentuk wajah,
rambut dan warna kulit.8,11
Populasi adalah semua suku yang ada di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Sampel penelitian
adalah tiga generasi asli suku Bugis, Makassar,
Mandar dan Toraja. Cara pengambilan sampel
adalah purposif yaitu semua sampel di tempat
penelitian tanpa keluhan di hidung yang memenuhi syarat diambil sebagai sampel. Jumlah
sampel yang dibutuhkan sebanyak 294 sampel.
HASIL PENELITIAN
Penelitian analisis fotometrik wajah pada bulan
MaretJuli 2006 pada empat suku di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dengan jumlah sampel 294
yaitu 147 wanita (50%) dan 147 laki-laki (50%).
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
JENIS KELAMIN
SUKU
LAKI-
PEREMP.
TOT.
BUGIS
LAKI
36
12,24
37
12,59
73
24,8
MKSR
37
12,59
38
12,93
75
25,5
MANDAR
37
12,59
36
12,24
73
24,8
TORAJA
37
12,59
36
12,24
73
24,8
TOTAL
147
50
147
50
294
100
Jenis kelamin
Ukuran hidung
Alarbase (mm)
Interkantus (mm)
N-SN (mm)
SN-MN (mm)
Sudut Nasofrontal (o)
Sudut Nasofasial (o)
Sudut Nasolabial (o)
Sudut Mentocervikal (o)
Sudut Nasomental (o)
Ukuran
Minimal
29
13
30
52
100
30
42
85
120
Laki-laki
Ukuran
Maksimal
42
35
50
75
135
45
120
106
135
Rerata
35,861
24,972
40,236
61,750
122,556
38,611
93,222
93,611
126,083
Ukuran
Minimal
27
13
32
49
120
25
79
86
91
Perempuan
Ukuran
Rerata
Maksimal
38
32,175
30
24,040
48
37,919
67
57,297
150
135,189
40
35,027
125
93,000
130
95,365
140
128,162
MEDICINUS
29
Research
Dari tabel 2 ditemukan bahwa pada sampel suku Bugis rerata jarak alar base, interkantus, N-SN
dan SN-MN pada seluruh laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, begitu pula dengan sudut
nasofasial dan sudut nasolabial. Sudut nasofrontal, sudut mentocervikal, dan sudut nasomental
ditemukan lebih besar pada perempuan.
Tabel 3. Ukuran hidung sampel suku Makassar berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin
Ukuran hidung
Ukuran
Minimal
30
26
36
60
115
30
67
85
120
Laki-laki
Ukuran
Maksimal
43
34
46
75
150
90
110
125
137
Rerata
36,324
30,378
41,054
64,540
133,730
40,541
93,730
98,865
128,838
Ukuran
Minimal
26
13
26
35
125
25
35
82
18
Perempuan
Ukuran
Rerata
Maksimal
40
32,184
35
24,790
47
38,580
69
59,184
152
136,210
65
37,605
120
93,605
116
97,290
145
130,000
Dari tabel 3 ditemukan bahwa pada sampel suku Makassar rerata jarak alar base, interkantus, N-SN
dan SN-MN pada seluruh laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, begitu pula dengan sudut
nasofasial, sudut mentocervikal dan sudut nasolabial. Sudut nasofrontal dan sudut nasomental
ditemukan lebih besar pada perempuan.
Jenis kelamin
Ukuran hidung
Alar base (mm)
Interkantus (mm)
N-SN (mm)
SN-MN (mm)
Sudut Nasofrontal (o)
Sudut Nasofasial (o)
Sudut Nasolabial (o)
Sudut Mentocervikal (o)
Sudut Nasomental (o)
Ukuran
Minimal
20
11
46
54
118
22
65
88
95
Laki-laki
Ukuran
Maksimal
48
44
62
72
145
53
112
136
141
Rerata
34,513
19,378
55,162
63,676
132,622
34,838
92,297
98,405
126,351
Ukuran
Minimal
22
12
42
50
115
23
54
82
94
Perempuan
Ukuran
Rerata
Maksimal
41
30,417
39
18,861
60
50,139
71
58,944
150
136,778
49
35,528
116
94,833
110
96,556
143
125,417
Dari tabel 4 ditemukan bahwa pada sampel suku Mandar rerata jarak alar base, interkantus, N-SN
dan SN-MN pada seluruh laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, begitu pula dengan sudut
mentocervikal dan sudut nasomental. Sudut nasofrontal, sudut nasofasial dan sudut nasolabial
ditemukan lebih besar pada perempuan.
30
MEDICINUS
Research
Jenis kelamin
Ukuran hidung
Laki-laki
Ukuran
Maksimal
42
30
66
75
150
48
125
121
140
Ukuran
Minimal
27
11
34
58
110
27
67
88
104
Rerata
Ukuran
Minimal
27
11
31
49
120
25
70
68,5
96
35,432
17,216
49,108
65,487
133,487
36,432
90,514
99,351
127,703
Perempuan
Ukuran
Rerata
Maksimal
38
31,667
30
20,194
58
46,667
72
60,333
150
137,278
42
35,944
120
91,250
110
93,167
140
128,806
Dari tabel 5 ditemukan bahwa pada sampel suku Toraja rerata jarak alar base, interkantus, N-SN dan
SN-MN pada seluruh laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, begitu pula dengan sudut mentocervikal dan sudut nasomental. Sudut nasofrontal, sudut nasofasial dan sudut nasolabial ditemukan lebih besar pada perempuan.
Tabel 6. Rerata indeks nasal suku-suku di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
Suku
Nasal
Indeks
(mm)
Bugis
LakiPerem
laki
puan
90,05
85,19
Makassar
LakiPerem
laki
puan
88,68
84,13
Mandar
Laki-laki Peremp
uan
62,65
60,94
Toraja
Laki-laki perem
puan
75,03
69,29
Rerata= mean
Tabel 6 menunjukkan indeks nasal laki-laki (90,05 mm) dan perempuan (85,19 mm) suku Bugis termasuk dalam kategori Chamaerrhine, indeks nasal laki-laki suku Makassar (88,68 mm) termasuk
dalam kategori Chamaerrhine, Sedangkan indeks nasal perempuan suku Makassar termasuk ke
dalam kategori Mesorrhine. Indeks nasal laki-laki (62,65 mm) dan perempuan (60,94 mm) pada suku
Mandar tergolog ke dalam kategori Leptorrhine. Indeks nasal laki-laki (75,03 mm) suku Toraja tergolong ke dalam kategori Mesorrhine, sedangkan indeks nasal perempuan (69,29 mm) pada suku Toraja
termasuk ke dalam kategori Leptorrhine.
Tabel 7. Rerata ukuran wajah berdasarkan suku dan ras
Rerata Ukuran
wajah
Alarbase (mm)
Interkantus (mm)
N-SN (mm)
SN-MN (mm)
Sdt Nasofrontal (o)
Sdt Nasofasial (o)
Sdt Nasolabial (o)
Sdt Mentocervikal (o)
Sdt Nasomental (o)
Ras
Bugis
33,993
24,500
39,061
59,493
128,959
36,795
93,110
95,500
127,137
Deutro Melayu
Makassar
34,227
27,547
39,800
61,827
134,987
39,053
93,667
98,067
129,427
Mandar
32,493
19,123
52,685
61,343
134,671
35,178
93,548
97,493
125,890
Proto Melayu
Toraja
33,575
18,685
47,904
62,945
135,356
36,192
90,877
96,301
128,247
MEDICINUS
31
Research
Pada tabel 7 tampak bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara ukuran-ukuran wajah
pada ras Deutero Melayu dan Proto Melayu, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soni S
(2004) bahwa suku Bugis yang mewakili kelompok Deutero Melayu dan suku Toraja yang mewakili
kelompok Proto Melayu termasuk dalam satu kelompok yang disebut Western Malayo-Polynesian.
Berdasarkan hasil analisis One way Anova dan LSD, ditemukan perbedaan yang bermakna (p< 0,05).
Dari hasil uji tersebut tampak jarak alar base suku Bugis sama dengan suku Makassar dan suku Toraja
namun berbeda dengan suku Mandar. Jarak interkantus suku Bugis dan suku Makassar adalah sama
namun berbeda dengan suku Mandar dan Toraja. Jarak N-SN suku Bugis dan suku Makassar sama naTabel 8. Perbandingan ukuran fotometrik wajah yang signifikan pada suku-suku
di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Variabel
1. Alar base
2. Interkantus
3. N-SN
4. SN-MN
5. NFR
7. NFS
8. MNTCV
9. NSMT
Suku
Bugis -- Mandar
Makassar-- Mandar
Bugis -- Makassar
Bugis -- Mandar
Bugis --Toraja
Makassar -- Mandar
Makassar -- Toraja
Bugis -- Mandar
Bugis -- Toraja
Makassar -- Mandar
Makassar -- Toraja
Mandar -- Toraja
Bugis -- Makassar
Bugis -- Mandar
Bugis -- Toraja
Bugis -- Makassar
Bugis -- Mandar
Makassar -- Toraja
Bugis -- Makassar
Maksssar -- Mandar
Makassar --Toraja
Bugis -- Makassar
Bugis -- Mandar
Bugis -- Makassar
Makassar -- Mandar
Mandar -- Toraja
0,025
0,009
0,001
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,009
0,040
0,000
0,000
0,000
0,000
0,031
0,000
0,006
0,005
0,018
0,037
0,001
0,033
Keterangan :
N-SN
= Nasion-Subnasion
SN-MN = Sub Nasion-Menton
NFR
= Sudut Nasofrontal
32
MEDICINUS
NSL
NS MT
Research
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan ukuran alar base, jarak N-SN,
dan sudut nasofrontal hidung antara suku Bugis
dan Makassar terhadap suku Toraja dan Mandar.
Berdasarkan pengukuran bentuk hidung suku
Bugis tergolong Chamaerrhine pada kedua jenis
kelamin; bentuk hidung laki-laki suku Makassar tergolong Chamaerrhine sedangkan perempuan tergolong Mesorrhine. Bentuk hidung suku
Mandar tergolong Leptorrhine pada kedua jenis
kelamin. Bentuk hidung laki-laki suku Toraja tergolong Mesorrhine sedangkan perempuannya
tergolong Leptorrhine.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Jewwet B. Anatomic considerations. In : Principles of nasal reconstruction. 2nd ed: Toronto: Mosby.p.13-24
2.
Ridley BM, Van Hook MS. Aesthetic facial proportions. In: Facial plastic and reconstructive surgery. 2nd ed.
New York: Thieme; 2002.p.96-109
3.
York:Thieme;2002.p.135-44
4.
Jain et al. Photometric facial analysis-baseline study. Available from: http://medinc.in/jal /t04/12
5.
Papel ID, Capone RB. Facial proportions and esthetic ideals. In: Essentials of septorhinoplasty. Philadelphia:
Thieme.p.66-74
6.
Affandi D. Bedah Kosmetik pada Hidung. Dalam: Bedah palstik kosmetik muka dan badan. Jakarta:FKUI;1985
7.
Swasonoprijo S. Analisis ukuran kepala, wajah dan hidung dalam hubungannya dengan lebar medoistal
gigi. Karya Akhir Program Pasca Sarjana UNHAS; 2004
8.
Huizing HE. Surgical anatomy. In: Functional reconstructive nasal sugery. New York:Thieme; 2003.p.1-25
9.
10. Powell NB. Aesthetic evaluation of nasal contours. In: Otolaryngology-Head and Neck Surgery Vil.3 .2nd ed.
Baltimore:Mosby Year Book; 2002.p.687-700
11. Mattulada. Kebudayaan Bugis-Makassar. Dalam : Koentjaraningrat ed. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta:Djambatan.p.266-85
12. Fisher, CA. Racial, cultural and historical bases of Indonesian regionalism. In : South east Asia, A social, economic and political geography.Methuen and Co Ltd;1964. p.77-83
MEDICINUS
33
Case Report
Abstract
Hypertensive crises can be divided into two categories as hypertensive emergency and hypertensive urgency. Most authorities have defined hypertensive emergency as a situation that requires immediate reduction in blood pressure (BP) with parenteral agents because of acute or
progressing target organ damage, whereas hypertensive urgency is a situation with markedly
elevated BP but without severe symptoms or progressive target organ damage, wherein the BP
should be reduced within hours, often with oral agents. Adolescent with hypertension should
be suspected of having renovascular hypertension in spite of other causes.
This case presents a 16-year-old boy with hypertensive crises due to suspected renovascular
hypertension. His blood pressure was 240/120 at admission with hypertensive retinopathy
grade III and there was increase in creatinine after administering ACE-inhibitor but his renal
arteriography revealed normal, other physical examinations and laboratory findings were normal. Regarding these findings, the conclusion was that this patient suffered from essential hypertension.
As many hypertensive crises occur in any age, clinicians should be aware of the possibility of
renovascular hypertension in young patients with hypertensive crises. An early detection and
urgent treatment are needed to prevent the complications of progressive target organ damage.
Keywords : hypertensive crises, adolescent
INTRODUCTION
Hypertension affects more than 1 billion people
worldwide and is one of the leading causes of
death. Among hypertension population, 70%
is mild hypertension, 20% is moderate hypertension, 10% is severe hypertension, and 1% is
hypertensive crises for each hypertension type.
Depending on the degree of blood pressure (BP)
elevation and presence of end-organ damage,
severe hypertension can be defined as either a
hypertensive emergency or a hypertensive urgency. A hypertensive emergency is associated
with acute end-organ damage and requires immediate treatment with a titratable short-acting
IV antihypertensive agent. Severe hypertension
without acute end-organ damage is referred to
34
MEDICINUS
2
Table 1. Initial
Evaluation of Crises_tbl
Hypertensive
CR_Hypertensive
1 danEmergency
2
History
Physical examination
Laboratory evaluation
Chest radiograph
Electrocardiogram
MEDICINUS
35
Case Report
Renal ultrasonography was normal, Renal Doppler Ultrasound showed suspicion of right renal
artery stenosis. Coronary and renal arteriography was normal. He went home with clonidine
3x0.15 mg, amlodipine 1x10 mg, bisoprolol 1x5
mg, and HCT 1x25 mg and should have followed
up in renal polyclinic.
DISCUSSION
Hypertensive emergency is defined as a situation that requires immediate reduction in blood
pressure (BP) with parenteral agents because
of acute or progressing target organ damage.1
Table 1 shows the initial evaluation of patients
with a hypertensive emergency.
Physical examination revealed BP was 240/180
mmHg with hypertensive retinopathy OS gr III
and hypertensive retinopathy OD gr II. These
are the signs of hypertensive emergency with
the eye as target organ damage. This patient
had gallop sound in heart auscultation, no abdominal bruit sound was found. If cardiomegaly
is present, in some patients, a third heart sound
(S3 or protodiastolic gallop) is audible. About
50% of patients with renovascular hypertension
have an abdominal bruit.3
Laboratory examination revealed creatinine serial 1.2, 1.7, and 2.2 after given captopril 25 mg
three times daily. Administration of ACEI can reduce glomerular capillary hydrostatic pressure
to cause a decrease in glomerular ultrafiltration
and produces a rise in serum creatinine. Filtration usually recovers rapidly after discontinuation of the offending drug. Unexplained deterioration of renal function associated with an
ACEI should raise the possibility of renovascular
hypertension.4
Proteinuria was 556 mg/day. The renal lesion associated with malignant hypertension consists
of fibrinoid necrosis of the afferent arterioles,
sometimes extending into the glomerulus, and
may result in focal necrosis of the glomerular
tuft. Clinically, macroalbuminuria (> 300 mg/d)
or microalbuminuria (30300 mg/d) are early
markers of renal injury.5
36
MEDICINUS
A PTT was normal, excluding hypercoagulable states concerning Anti Phospholipids Syndrome. There was no hypokalemia, excluding
hyperaldosteronism, plasma aldosterone to
renin ratio was unable to be performed due to
lack of facility. Vanolic Mandelic Acid (VMA) also
was unable to be performed due to lack of facility, to exclude pheochromocytoma, but there
were no symptoms of flushing and autonomic
instability.
Electrocardiography (ECG) shows left ventricular hypertrophy. Hypertensive heart disease
(HHD) is the result of structural and functional
adaptations leading to left ventricular hypertrophy and diastolic dysfunction. Renovascular
hypertension is associated with increased sympathetic neural activity leading to target organ
injury, including left ventricular hypertrophy.6
Chest radiography shows cardiomegaly with
rounded appearance of left heart border which
is the sign of left ventricular hypertrophy. Renal
Ultrasonography shows normal interpretation.
Renal Doppler Ultrasound shows suspicions of
right renal artery stenosis, the distal portion was
unable to be examined because of thick peritoneal fat and presence of bowel gas. Limitations
of Doppler Ultrasound are often related to inadequate examinations, particularly in obese
patients and overlying bowel gas. Measuring
peak systolic velocity (PSV), end-diastolic velocity and the ratio of the PSV in the renal artery
to PSV in the aorta, gives its high sensitivity and
specificity to 90% and 95%.7
Renal Doppler Ultrasound shows Renal Aortic
velocity Ratio (RAR) in right renal artery 2.78 (<
3.5), this ratio represents renovascular hypertension if > 3.5 but at ratio of 2.78, theres a possibility of renovascular hypertension.8
PSV > 200 cm/s and RAR > 2.0 were the flow
velocity criteria utilized to indicate hemodynamically significant fibromuscular dysplasia
(FMD), but it has limited specificity so most
studies used RAR > 3.5 as accepted standard.
Some studies revealed that RAR > 3.5 was found
in 40% and RAR between 2.5 - 3.5 was found in
60% of patients. Doopler abnormalities in mid-
Case Report
Study by Leung et al which enrolled hypertensive patients and angiography of 85 renal arteries, using angiography as the gold standard is
of questionable applicability, given only 5 of the
45 abnormal arteries had FMD. By this study, its
questionable whether renal arteriography still
serve as the gold standard for diagnosing FMD,
and they suggest that Doppler and intravenous
ultrasonography (IVUS) should be studied further to define its role. 13
Renovascular hypertension is one of the causes
of hypertensive crises, presenting between 0.232% and it has been reported that about 1-5% of
an entire hypertensive population has renovascular hypertension.14
17
Table 2. Clinical
Clues for Renovascular
CR_Hypertensive
Crises_tblHypertension
1 dan 2
History
Examination
Laboratory
location of renal artery stenosis, however it provides no information about the functional role
and the clinical significance of the lesion.11
Study by Hansen et al shows that arteriography
in FMD that had classic appearance was found
in 40% patients, 30% had borderline abnormalities, and 20% had normal arteriograms. There
are some reasons that angiography failed to detect the stenosis abnormality, it can be due to
view selection and likely missed accessory renal
arteries, and perhaps the membranous intimal
folds were not clearly seen when surrounded on
both surfaces by contrast medium.12
MEDICINUS
37
Case Report
Suspected etiology ?
Suspected etiology ?
Fibromuscular disease
Atherosclerotic disease
Fibromuscular disease
High index
of suspicion
High index
of suspicion
Atherosclerotic disease
Moderate index
of suspicion
Moderate index
of suspicion
Unable to hold
ACE-inhibitor
Able to hold
ACE-inhibitor
Contrast angiography
Unable to hold
ACE-inhibitor
Unable to hold
ACE-inhibitor
ACEI renography
Contrast angiography
Impaired renal
function
Normal renal
function
Able to hold
ACE-inhibitor
Unable to hold
ACE-inhibitor
Impaired renal
function
Normal renal
function
ACEI renography
+ RAS
Unavailable or
poor quality study
Unavailable or
poor quality study
*MRA
Captopril
Scintigraphy
- RAS
+ RAS
Angiography
and
intervention
Good
study
No
more
work
up
Technically
poor study Technically
but still with good study
wrong
clinical
suspicion
MRA or
Angiography
and
intervention
Stop
Technically
poor study
but still with
wrong
clinical
suspicion
Angiography
and
intervention
**Angiography
and intervention
- RAS
Poor study
or with
wrong
clinical
suspicion
Angiography
and
intervention
38
MEDICINUS
11
Case Report
Dosage
6 amp/250 cc gluc 5%
microdrip
10-50 ug per 500 cc
0.5-6 ug/kg/min
5-15 ug/kg/min then 1-5 ug/kg
0.25 ug/kg/min
OOA
30-60 min
2-5 min
1-5 min
1-5 min
Immediate
renovascular hypertension.20
This patient was concluded to have essential hypertension due to complication of chronic hypertension and normal arteriography.
MEDICINUS
39
Case Report
CONCLUSION
As many hypertensive crises occur in any ages, clinicians should remember the possibility of renovascular hypertension in young patients with hypertensive crises. An early detection and urgent
treatment are needed to prevent the complications of progressive target organ damage.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
40 MEDICINUS
Medical Review
PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan metabolisme glukosa (hiperglikemia) yang disebabkan
karena defisiensi sekresi atau kombinasi dengan
resistensi insulin.1 Pada 2002 diperkirakan 18.2
juta orang di USA menderita DM, di mana sekitar
1 juta menderita DM tipe 1, dan sisanya DM tipe
2. Sedangkan DM tipe lain hanya sekitar ribuan
jumlahnya.1 Secara global populasi DM tipe 2
meningkat dari 171 juta tahun 2000 menjadi 366
juta pada 2030. Prevalensi DM di Indonesia pada
2 dekade terakhir menunjukkan kecenderungan meningkat, paralel dengan peningkatan
obesitas dan naiknya berat badan.2
Gejala klinik DM tipe 1 yaitu peningkatan urinasi
akibat dari hiperglikemia, menyebabkan hilangnya glukosa maupun air dan elektrolit. Enuresis
nocturnal akibat poliuria merupakan tanda dini
dari DM pada anak sangat muda. Penurunan berat badan dan peningkatan nafsu makan sampai
beberapa minggu merupakan gambaran umum
DM tipe 1 subakut. DM tipe 1 terjadi penurunan
insulin, bahkan pada fase akut penurunan sangat berat, dapat terjadi dehidrasi, postural hipotensi, ketoasidosis, gangguan keseimbangan air
& elektrolit. DM tipe 2 gambaran klasik adalah
poliuria, haus, penurunan penglihatan rekuren,
parestesi, dan kelemahan. DM tipe 2 onsetnya
insidious dan awalnya relatif tak memberi gejala,
disertai riwayat keluarga dan obesitas, terutama
obesitas sentral.1,3 DM dapat berkembang menjadi End State Renal Diseases (ESRD), amputasi
non trauma, kebutaan, peningkatan resiko penyakit kardio dan serebro vaskule.4
Pemeriksaan laboratorium DM dibutuhkan untuk diagnostik (Dx), monitoring, mencari komplikasi. Disini akan dibahas berbagai pemeriksaan laboratorium pada DM.
MEDICINUS
41
Medical Review
1
2
3
4
MR_Pemeriksaan
Lab(A.D.A
DM 2010)7
Tabel 2. Kategori Peningkatan
Risiko Untuk DM
1
2
3
FPG 100 mg/dl (5.6 mmol/L) sampai 125 mg/dl (6.9 mmol/L) (IFG)
2 jam sesudah 75-g OGTT 140 mg/dl (7.8 mmol/L) sampai199 mg/dl (11.0
mmol/L) (IGT)
A1C 5.7 6.4 %
42
MEDICINUS
Medical Review
MR_Pemeriksaan
Lab 75
DM
Tabel 3 : Dx GDM dengan
beban 100 g atau
g (A.D.A 2010).6
100 g beban glukosa
Puasa
1 jam sesudah beban
2 jam sesudah beban
3 jam sesudah beban
75 g beban glukosa
Puasa
1 jam sesudah beban
2 jam sesudah beban
mg/dl
mmol/L
95
180
155
140
5,3
10
8,6
7,8
95
180
155
5,3
10
8,6
MEDICINUS
43
Medical Review
klasifikasi etiologi DM dan memberikan informasi tentang kemampuan sekresi dari sel beta
pankreas. Pemeriksaan ini jarang dilakukan rutin, tetapi lebih banyak untuk penelitian.7,9,10
Pada DM tipe 1 dilakukan pengukuran C-peptide, otoantibodi.4,7 Otoantibodi meliputi Ab
terhadap asam glutamat dekarboksilase isoform
65 kilodalton (GAD65), insulin autoantibodies
(IAA) dan islet cell antigen 512 autoantibodies
(ICA512). ICA512 adalah otoantibodi bagian dari
tyrosine phosphate IA-2 antigen. Tyrosine phosphate IA-2 (phogrin) terpisah tapi sebagian
homolog antigen IA-2. Pemeriksaan otoantibodi ICA512 lebih sering digunakan dibanding
otoantibodi IA-2. Meskipun adanya antibodi
dapat membantu membedakan DM tipe 1 dengan tipe lain, tetapi tak adanya antibodi tidak
menyingkirkan Dx. Individu yang mempunyai
antibodi multipel mempunyai resiko besar untuk terjadinya DM tipe 1. Anti GAD65 mempunyai sensitifitas tinggi (91%) sebagai uji saring
tunggal untuk mendeteksi individu yang mempunyai antibodi multipel. IAA lebih umum terjadi pada anak muda yang berkembang jadi DM
tipe 1, sedangkan GAD65 lebih umum pada dewasa. Antibodi tersebut banyak digunakan untuk penelitian, tetapi tidak dianjurkan sebagai
uji saring rutin.7
5. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
UNTUK MONITORING DM
DM membutuhkan kontrol glikemik, untuk
pencegahan terjadinya komplikasi. Glikemik
kontrol dapat dilakukan dengan SMBG (SelfMonitoring of Blood Glucose) dan pemeriksaan AIC, 1,5-anhydroglucositol (1,5-AG), fruktosamin.4,7,11-26
A1C adalah Hb yang terglikosilasi pada 1 atau
2 N-terminal valin dari rantai molekul Hb tetramer.4 A1C merupakan fraksi utama dari Hb
yang terikat glukosa (gliko-Hb) yang pada keadaan normal jumlahnya dalam darah rendah.
Pada DM dengan Hb normal, kadar A1C berkorelasi baik dengan kadar glukosa darah. Pada
Hb pati, misalnya sickle cell (Hb S) yang nyata
maupun (Hb AS) trait di mana terdapat kelainan
varian Hb, maka juga mempengaruhi pengu-
44
MEDICINUS
Medical Review
dan presisinya tetap baik, juga harus diperhatikan cara penanganan alat dan reagen, pelaksaan pemeriksaan serta mutu hasilnya.7,11-12
Fruktosamin adalah hasil glikasi protein serum
yang dapat memperkirakan rata-rata kadar
glukosa darah selama 12 minggu. Kadar fuktosamin tidak dipengaruhi hemoglobinopati
(Hb pati), sehingga dapat dipakai sebagai monitoring glikemik kontrol pada penderita dengan
Hb pati, di mana pada penderita ini kadar A1C
nya kurang akurat untuk monitoring glikemik.
Secara umum fruktosamin menunjukkan korelasi sedang sampai kuat dengan A1C pada DM.
Meskipun demikian kelemahan fruktosamin
adalah dipengaruhi oleh kadar albumin, tetapi
apakah pengukuran kadar fruktosamin harus
dikoreksi terhadap kadar protein atau albumin
plasma belum ada kesatuan pendapat (kontroversial).14,23
Satu koma lima-anhydroglucositol (1,5-AG)
adalah bentuk 1-deoksi glukosa (monosakrida dengan 6 karbon yang terdapat dalam
makanan dari tumbuhan, soy, nasi, roti, daging, ikan, buah, teh, susu, keju), merupakan
metabolik dalam poliol. 1,5 AG akan berkompetisi dengan glukosa pada absorbsi di tubulus
ginjal. Fungsi fisiologi 1,5 AG tidak diketahui,
tetapi karena strukturnya sama dengan glukosa, maka memungkinkan glukosa secara
kompetitif menghambat absorbsi 1,5 AG pada
tubulus ginjal. Secara normal 1,5 AG difiltrasi
glomerulus dan direabsorbsi di tubulus untuk
mempertahankan pool internal 1,5 AG. Intake
oral dan ekskresi urine dapat mempertahankan
kadar 1,5 AG dalam darah tetap konsisten. Jika
terjadi peningkatan kadar glukosa darah pada
Tabel 4. Perbandingan
antar marker
glikemik16
MR_Pemeriksaan
Lab DM
Parameter
Waktu untuk perubahan nyata
Menggambarkan glukosa rata-rata
Menggambarkan ekskursi glukosa / glukosa pos prandial
Hubungan dengan komplikasi
Varian
Derajat lebih besar dari perubahan selama itu
Hb A1C
Fruktosamin
1-3 bulan
++
+
++
kecil
Hiperglikemi
moderat- berat
1-2 minggu
++
+
Tak ada
kecil
Hiperglikemi
moderat- berat
MEDICINUS
45
Medical Review
46
MEDICINUS
Jika menggunakan urine 24 jam dapat dilakukan dengan pemeriksaan albumin saja menggunakan immuno-assay atau dipstik pemeriksaan
yang spesifik untuk mikro albuminuria, tetapi
harganya relatif lebih mahal.7 Albumin normal
adalah < 30 g/mg kreatinin, mikroalbuminuria
jika albuminuria 30-299 g/mg kreatinin, dan
makro(klinikal) albuminuria jika albumin urine
300 g/mg kreatinin.7 GFR dapat diperkirakan
dengan formula Cockroft.7 Untuk mengurangi
kelemahan dari klirens kreatinin pada pengukuran GFR dicoba menggunakan perhitungan
GFR = [140 Usia] X BB ( kg ) / 0.825 X kreatinin plasma (mol / L)
Medical Review
untuk anak-anak:29
DM tipe 1 menunjukkan gejala celiac disease
harus diperiksa terhadap transglutaminase atau
anti-endomesial antibodi jaringan, jika kadar Ig
A serum normal. Anak dengan antibodi positif harus dirujuk ke gastroenterologi. DM tipe
1 frekuensi untuk menjadi celiac disease lebih
tinggi dibanding populasi normal (1-16% vs 0.31% ). Pada DM tipe 1 dianjurkan untuk uji saring
terhadap anti tiroid peroksidase (anti TPO) dan
anti tiroglobulin, serta TSH (Thyroid Stimulating
Hormone). Pemeriksaan TSH harus di ulang setiap 1-2 tahun, atau pasien yang memberikan gejala disfungsi tiroid, tireomegali atau gangguan
pertumbuhan. Jika TSH abnormal maka harus
diperiksa T4 bebas.7 DM tipe 1 menunjukkan
frekuensi penyakit otoimmun tiroid lebih banyak dibanding populasi normal. DM tipe 1 yang
berkembang menjadi tiroid otoimun (17-30%),
sehingga dapat diperkirakan terjadinya hipotiroid dan ebih jarang terjadi hipertiroid. Hipoti-
roid subklinik sering dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadiinya hipoglikemia dan
penurunan kecepatan pertumbuhan. Hipertiroidisme mempengaruhi metabolisme glukosa,
berpotensi merusak kontrol metabolik.7 Pada
nefropati perlu juga dilakukan pemeriksaan
Complete Blood Count (CBC) karena pada gagal
ginjal sering terjadi penurunan eritropoitin
yang menyebabkan produksi eritrosit dari sumsum tulang menurun. Tetapi saat ini sudah ada
eritropoitin rekombinan yang dijual dipasaran
dan banyak dipakai pada gagal ginjal.
KESIMPULAN
Telah dibahas tentang berbagai pemeriksaan
laboratorium pada DM, di mana meliputi Dx
(FPG, 2-h PG, OGTT), monitoring (A1C, fruktosamin, 1,5-AG, SMBG, CBMG), komplikasi (CVD,
nefropati, koma, ketosis infeksi) dan lain-lain
(GAD-65, IAA, ICA-512, insulin, C-peptide). Setiap
pemeriksaan mempunyai positif dan negatif
palsu tergantung pada sensitifitas dan spesifitas
pemeriksaan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
MEDICINUS
47
Medical Review
Abstrak
Abstract
PENDAHULUAN
Acne vulgaris merupakan salah satu kelainan
kulit terbanyak yang dijumpai dalam praktek
dokter kulit sehari-hari. Kelainan kulit ini dapat
muncul sejak bayi bahkan sampai dewasa, dengan 80% kasus muncul saat usia remaja, sebagian kecil terjadi pada bayi dan dewasa.1,2
Penyebab acne adalah multi faktorial dengan
manifestasi klinis beragam sehingga penatalaksanaannya pun sangat beragam, baik berupa
pemakaian antibiotik topikal atau oral, tretinoin,
isotretinoin oral, terapi hormonal, dan terapi adjuvan. Terapi adjuvan tersebut berupa injeksi
48
MEDICINUS
kor-tikosteroid intralesi, ekstraksi komedo, elektrofulgurasi, terapi fotodinamik, terapi sinar, terapi laser dan chemical peeling.1,2 Chemical peeling
(pengelupasan kimiawi) merupakan terapi tambahan acne vulgaris yang dapat dilakukan di tempat praktek dengan tujuan untuk mempercepat
perbaikan acne, perbaikan jaringan parut acne
dan hiperpigmentasi pasca acne. Beberapa bahan
chemical peeling yang dapat dipakai antara lain
asam glikolat, asam salisilat, asam triklor asetat
(TCA), atau kombinasi 2 atau lebih bahan chemical
peeling. Secara umum keberhasilan tindakan ini
tergantung pada pengetahuan, keterampilan
Medical Review
praktisi (doctor dependence), jenis serta sifat bahan (chemical dependence) dan kepatuhan pasien dalam perawatan pra dan pasca tindakan
(patient dependence).3-6
Makalah ini membahas beberapa bahan chemical peeling yang banyak dipakai pada pena-nganan acne, mekanisme kerjanya, indikasi, kontraindikasi, manfaat dan berbagai komplikasi
dari chemical peeling pada terapi acne.
ASAM GLIKOLAT
Bahan chemical peeling (CP) yang tersedia di
pasaran sangat bervariasi baik dari jenis maupun teknik penggunaannya, tetapi sayang sampai saat ini belum ada penelitian klinis yang
baik untuk membandingkan efektivitas dan tolerabilitas bahan-bahan yang tersedia. Berdasarkan kedalaman penetrasinya ke dalam kulit dan
histologisnya, chemical peeling dibagi menjadi
superficial very light, superficial light, medium
depth dan deep. Berikut kedalaman penetrasi
dan jejas yang ditimbulkan oleh CP berturutturut dari superficial very light ke deep adalah
stratum spinosum, seluruh lapisan epidermis,
dermis pars retikularis bagian atas dan dermis
pars retikularis bagian tengah. Bahan CP yang
masuk dalam kategori superficial, nedium depth,
dan deep adalah sebagai berikut:6-7
SUPERFICIAL
Very light:
Light:
Medium depth
Deep
TCA 10-20%
AHA potensi rendah
BHA
Tretinoin
TCA 20-30 %
Jessners solution
GA 70%
TCA 35-50%
Phenol 88%
CO2 plus TCA
Jessners solution plus TCA 35%
GA 70% plus TCA 35%
Baker-Gordon phenol peel
MEDICINUS
49
Medical Review
ASAM SALISILAT.
Asam salisilat diperkenalkan oleh Unna seorang
dermatologis dari Jerman. Bahan ini sangat baik
untuk terapi acne baik yang inflamatif maupun
non inflamatif, karena SA bersifat lipofilik yang
mampu menghilangkan lipid intraselular, mengurangi kohesi antar sel-sel korneosit dan
lebih mudah penetrasi ke dalam sel-sel sebasea.
SA juga mempunyai efek antihiperplastik pada
epidermis, efek antiinflamasi, dan antimikroba.
Sediaan SA untuk chemical peeling umumnya
dalam konsentrasi 20-30%.13-14
sekali (multipel treatment) sampai acne terkontrol. Prosedur ini dinamakan acne peel. Keuntungaan acne peel pada terapi acne adalah dengan
chemical peeling dapat membantu mengatasi
faktor-faktor penyebab acne, chemical peeling memudahkan absorpsi obat-obat topikal
seperti antibiotik topikal dan bahan-bahan
keratolitik, memperbaiki lesi hiperpigmentasi
pasca inflamasi, dan mempercepat perbaikan
kulit menjadi normal.14 Acne peel bukan bertujuan untuk menggantikan terapi standar acne
melainkan sebagai terapi adjuvan.
SELEKSI PASIEN
JESSNERS SOLUTION.
Jessners solution merupakan kombinasi dari
asam laktat, resorsinol, asam salisilat, dan etanol. Diantara komposisi ini resorsinol sering
menyebabkan dermatitis kontak alergi, sehingga resorsinol diganti dengan asam sitrat
dan dikenal dengan modifikasi Jessner.15
ASAM TRIKLORASETAT (TCA).
TCA sebagai bahan dalam terapi acne dapat
digunakan sebagai bahan tunggal atau kombinasi. Sebagai bahan tunggal digunakan dalam
konsentrasi 10-20%, sedangkan dalam kombinasi dipakai konsentrasi 35%. Dikenal beberapa
kombinasi antara lain kombinasi Brody yaitu
CO2 plus TCA 35%, kombinasi Coleman (GA 70%
plus TCA 35%), dan kombinasi Monheit (Jessner
plus TCA 35%). TCA peel dengan konsentrasi
yang lebih tinggi (50%, 65% dan 100%) dipakai
dalam penanganan jaringan parut acne.16-19
50
MEDICINUS
Medical Review
PROSEDUR
Pasien acne yang akan dilakukan chemical peeling harus menjalani prosedur dasar terdiri dari pre
treatment, chemical peeling dan post treatment.
dipilih seperti GA peel, SA peel, TCA peel, Jessners peel, maupun kombinasi dari 2 atau lebih
bahan. Protokol tiap-tiap bahan dilakukan sesuai dengan protokol chemical peeling oleh masing-masing produsen.
SKIN PRIMING
SETELAH PERAWATAN
KOMPLIKASI
RINGKASAN
Chemical peeling merupakan terapi tambahan
acne vulgaris yang dapat dilakukan di tempat
praktek dengan tujuan untuk mempercepat
perbaikan acne, perbaikan jaringan parut acne
atau hyperpigmentacy post acne. Terapi optimal akan dapat diharapkan apabila operator
memahami karakter bahan chemical peeling
untuk acne, mekanisme kerja CP dalam membantu terapi acne, seleksi pasien, prosedur CP,
MEDICINUS
51
Medical Review
manfaat dan komplikasi CP yang dapat terjadi dalam penanganan acne, sehingga mutlak pemberlakuan prosedur baku sejak sebelum perawatan, chemical peeling dan setelah perawatan terhadap
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
52
MEDICINUS
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
MEDICINUS
53
54
MEDICINUS
Medical
News
Kekuatan
Bahan
Alami
Sebagai
Anti
diabetik
MEDICINUS
55
Konsumsi
Serat,
Kanker
Payudara pun
Lewat
Medical News
56
MEDICINUS
Salah satu anggota tim peneliti, Jia-Yi-Dong mengutarakan bahwa kemungkinan besar wani-ta
yang mengonsumsi serat sangat tinggi memang
memiliki kebiasaan dan gaya hidup yang sehat.
Sementara faktor pendukung yang disebutkan sebelumnya membantu mereka dalam melindungi
tubuhnya dari serangan kanker payudara. (NDA)
Vol. 24, No.4, Edition December 2011
Medical News
MEDICINUS
57
Tips Sehat
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
58
MEDICINUS
3.
4.
American Cancer Society. Breast Cancer Facts & Figures 2009-2010. Atlanta: American Cancer Society.
Osteen, R. Breast Cancer. In: Lenhard RE, Osteen RT,
Gansler R, Clinical Oncology, American Cancer Society; 2001:251268
Breast cancer risk factors. http: //www.breastcancer.
org/risk/factors/
http://ykpjabar.org/2011/03/kanker-payudara-diindonesia/
NOVEMBER 2011
The 13th International Meeting on Respiratory
Care Indonesia (RESPINA)
Tema: Bridging The Past and The Future in Respiratory Care
30 November-1 Desember 2011 (Workshop) dan 2-3
Desember 2011 (Symposium and Exhibition)
Contact Person:
RS Persahabatan
Gedung Asma Lt. 2
Jl. Persahabatan Raya No.1
Jakarta 13230
Telp: 021-4786 4646
Faks: 021-4786 6543
Email: info-respina@cbn.net.id
Website: www.respina.org
Calendar
Event
DECEMBER 2011
The 4th Surabaya Gynecologic Surgery Symposium
2 Desember 2011, Sheraton Hotel, Surabaya
Contact Person:
Sekretariat POGI Cabang Surabaya
Telp: 031-5031304 (Ms Yani) atau
031-5015113 (Ms Duwi)
Email: info-respina@cbn.net.id
Website: www.respina.org
2011 ISICM End Year Symposium
Tema: Provide Highest Quality Care Through Knowledge, Technology and Compassion
2-5 Desember 2011 (End Year Symposium and Exhibition), On High Sea
Contact Person:
Nn. Ade Syariah
Telp: 021-68599155/319909033
Faks: 021-319 09033
Email: info@perdici.org
Website: www.perdici.org
The 4th Jakarta Meeting On Medical Education V
Tema: Transforming Medical and Health Professions
Education Through Better Understanding and Organization of Students Learning
MEDICINUS
59
Memperbaiki resistensi
insulin melalui mekanisme:
INLACIN 50
Box, 5 strip @ 6 kapsul
INLACIN 100
Box, 5 strip @ 6 kapsul
Menurunkan TNF-
Research by:
60 MEDICINUS
MEDICINUS
61
62
MEDICINUS