Tojo Una Una

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 291

MODEL INTEGRASI WISATA-PERIKANAN DI GUGUS

PULAU BATUDAKA KABUPATEN TOJO UNA-UNA


PROVINSI SULAWESI TENGAH












DWI SULISTIAWATI



















SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011





















































PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Integrasi Wisata-
Perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi
Tengah adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.


Bogor, April 2011


Dwi Sulistiawati
NIM C261060031





















ABSTRACT
DWI SULISTIAWATI. Model of Tourism-Fisheries Integration on Batudaka
Islands Tojo Una-Una Regency Central Sulawesi Province. Under supervision of
LUKY ADRIANTO, ISMUDI MUCHSIN, and A. MASYAHORO.
Social and ecological characteristics are very important for small-island
management and development. The objectives of the study are: 1) to analyze
marine ecological character interactions and to estimate resource carrying
capacity, and 2) to formulate tourism-fisheries integration on Batudaka islands.
The DPSIR (drivers- pressures - states - impacts - responses) framework was used
in scoping biodiversity management issues and problems. Data were analyzed
using spatial analysis with GIS (Geographic Information System) approach, TEF
(Touristic Ecological Footprint) and FEF (Fisheries Ecological Footprint),
HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productivity), CLSA (Coastal
Livelihood System Analysis), supply-demand approach for economic valuaion and
dynamic simulation using Stella software. Results of the study showed that the
suitability index obtained on the category of tourism (diving, snorkeling) and
fisheries (reef fishes, seagrass) were in accordance with the carrying capacity
utilization of 23 195 tourists per year. Rate of marine fisheries exploitation was
0.04 ha/capita (local scale/Una-Una district), or 0.3 ha/capita (regional
scale/Tojo Una-Una regency). This supported HANNP to higher regional level
appealed by local level. The available CLSA strategies were alternative
employment creation, proximity to capital source, new technological introduction,
market, collectivity and solidarity action on society. Analysis of supply demand
obtained a consumer surplus value of US$ 21 817 per individual per year and the
regions economic value of US$ 58 273. The model of tourism-fisheries
integration indicated that ecological surplus can be maintained at the level of 5
917 tourists on the end simulation with surplus fisheries area, as sustainable
indicator on tourism and fisheries activity.

Key words: tourism, fisheries, Batudaka islands, integration model















RINGKASAN

DWI SULISTIAWATI. Model Integrasi Wisata-Perikanan di Gugus Pulau
Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah. Dibimbing Oleh :
LUKY ADRIANTO, ISMUDI MUCHSIN, dan A. MASYAHORO.
Gugus Pulau Batudaka terletak di Kepulauan Togean Teluk Tomini yang
ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Sumberdaya Alam dengan status Taman
Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Kawasan ini memiliki potensi sumberdaya
alam pulau-pulau kecil (PPK) yang dimanfaatkan untuk aktivitas ekonomi
masyarakat. Meningkatnya aktivitas masyarakat seperti kegiatan wisata, dan
perikanan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap ekosistem
yang mengancam eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya PPK.
Pengembangan Gugus Pulau Batudaka dapat dilakukan apabila penataan ruang
dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dilakukan dengan baik, yaitu
memperhatikan karakteristik pulau kecil terkkait interaksi sifat ekologis perairan
tehadap keterkaitan kesesuaian pemanfaatan ruang, daya dukung kawasan melalui
integrasi wisata-perikanan, dan pengelolaan yang efektif, lestari serta dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut. Tujuan umum
penelitian adalah mendesain pemanfaatan ruang kawasan berbasis sistem sosial
ekologi secara berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian adalah (1) Menganalisis
interaksi sifat ekologis perairan dan mengestimasi daya dukung lingkungan dan
sumberdaya kawasan yang dimanfaatkan bagi kegiatan wisata dan perikanan
berkelanjutan, dan (2) Merumuskan pengelolaan wisata-perikanan yang
terintegrasi secara spasial di Gugus Pulau Batudaka.
Penelitian dilakukan di Gugus Pulau Batudaka pada bulan Oktober 2008
Juni 2010 dalam wilayah administratif Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una-
Una Provinsi Sulawesi Tengah. Wilayah penelitian yakni kawasan pulau yang
memiliki kegiatan pemanfaatan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka
dengan 15 stasiun pengamatan biofisik dan pengambilan data sosial ekonomi 6
desa. Jenis data yang dikumpulkan yakni data biofisik kimia perairan, sosial
ekonomi (wisatawan, nelayan dan masyarakat setempat) dan kelembagaan
(institusi), serta data citra satelit. Data tersebut bersumber dari data primer
(dilakukan dengan metode wawancara dan pengukuran/pengamatan langsung di
lapangan dan laboratorium) dan sumber data sekunder dari instansi terkait.
Penggalian isu dan permasalahan difokuskan pada pendekatan DPSIR (Drivers
PressuresStatesImpactsResponses) untuk mengetahui keterkaitan faktor-faktor
penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem dan dampak berupa respon
ekologi, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan untuk pengelolaan Gugus Pulau
Batudaka. Ketiga respon tersebut dihitung dengan analisis kesesuaian
pemanfaatan ruang (GIS) yang dapat memberikan gambaran dampak aktivitas
utama masyarakat terhadap tata guna lahan dan kondisi perairan di Gugus Pulau
Batudaka; Penilaian pemanfaatan wisata dan perikanan dalam hubungannya
dengan kapasitas area di kawasan tersebut menggunakan pendekatan Ecological
Footprint Analysis/EFA, HANPP (Human Appropriation of Net Primary
Production), CLSA (Coastal Livelihood System Analysis) serta valuasi ekonomi
pemanfaatan gugus pulau yang diintegrasikan dengan optimasi model dinamik
untuk kegiatan wisata dan perikanan secara berkelanjutan.

Penilaian dampak pembangunan dan aktivitas masyarakat terhadap kondisi
ekosistem Gugus Pulau Batudaka meliputi faktor pengarah (driving force) yaitu
aktivitas masyarakat maupun proses ekonomi yang menpengaruhi kualitas dan
kuantitas ekosistem sepeti konsumsi, produksi, pemukiman, perpindahan
penduduk. Pressure atau tekanan pada ekosistem akibat faktor pengarah tersebut,
yakni polusi, limbah, ekstraksi sumberdaya alam, penggunaan lahan. State
merupakan indikator status yang menggambarkan kondisi sistem dan tipe maupun
karakteristik secara fisik, kimiawi, dan biologi. Impact merupakan akibat tekanan
pada kondisi ekosistem, kesehatan masyarakat dan kondisi kehidupan atau dengan
kata lain bagaimana kondisi perubahan ekosistem yang diakibatkan hasil aplikasi
tekanan yang terjadi. Penilaian tekanan yang terjadi di Gugus Pulau Batudaka
menggunakan kerangka DPSIR maka pada aspek ekologi ditekankan bahwa
penyusunan tata ruang di kawasan tersebut harus sesuai dengan daya dukung,
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan sehingga dalam
penyusunannya harus melibatkan partisipasi masyarakat dan stakeholder yang
memanfaatkan sumberdaya pesisir serta pada aspek kebijakan, arahan penyusunan
tata ruang harus bersesuaian dengan pembangunan berkelanjutan.
Hasil analisis kesesuaian wisata dan daya dukung ekologis kawasan Gugus
Pulau Batudaka masih layak untuk mendukung kegiatan wisata dengan kategori
sangat sesuai (79 ha) untuk wisata selam, sangat sesuai (129 ha) untuk wisata
snorkeling dan kategori sangat sesuai (845 ha) untuk penangkapan ikan karang
dan kategori sesuai (2 858 ha) untuk kegiatan budidaya rumput laut serta dengan
daya dukung sebanyak 21 817 wisatawan/tahun yang ditunjang pemanfaatan
wilayah perairan untuk perikanan yang rendah yaitu sebesar 0.04 ha/kapita (skala
lokal) dan 0.3 ha/kapita untuk skala regional dan didukung hasil analisis
HANNP untuk level regional lebih tinggi dibanding lokal.
Hasil CLSA bahwa mata pencahariannya dikategorikan sebagai usaha
sumberdaya perikanan (produksi, pengolahan, distribusi, pemasaran), usaha
pemanfaatan sumberdaya lainnya (pariwisata, penelitian) dan usaha pendukung
lainnya (transportasi, indutri perdagangan, usaha penyedia konsumsi rumah
tangga nelayan). Pengaruh aktivitas masyarakat terhadap ekosistem pesisir
terutama terjadi perubahan pada ekosisitem terumbu karang akibat terjadinya
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (bom dan bius). Kebutuhan
masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka adalah bagaimana meningkatkan taraf
hidup dari usaha yang dilakukan melalui tambahan pengetahuan dan keterampilan
serta diversifikasi usaha sebagai alternatif mata pencaharian serta modal, dengan
pilihan insentif dari pemerintah. Strateginya yakni penciptaan lapangan kerja
alternatif, mendekatkan dengan sumber modal, teknologi, pasar serta aksi
solidaritas di masyarakat. Hasil valuasi ekonomi untuk wisata memperoleh nilai
surplus konsumen sebesar US$ 21 813 per individu per tahun dan nilai ekonomi
kawasan wisata kawasan Gugus Pulau Batudaka sebesar US$ 58 273.
Hasil simulasi integrasi wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka
menunjukkan surplus ekologis (0.02 kali dari kapasitas area tangkapan) dapat
menampung wisatawan sebanyak 5 917 wisatawan pada akhir tahun simulasi,
didukung kebutuhan area sumberdaya perikanan yang surplus sebagai indikator
keberlanjutan bagi kegiatan wisata perikanan.
Kata Kunci: Wisata, Perikanan, Gugus Pulau Batudaka, Model Integrasi
vi
















Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.



















































MODEL INTEGRASI WISATA-PERIKANAN DI GUGUS
PULAU BATUDAKA KABUPATEN TOJO UNA-UNA
PROVINSI SULAWESI TENGAH








DWI SULISTIAWATI





Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan









SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011















Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup
1. Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc.
2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.




Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka
1. Dr. Sudirman Saad
2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri
















Judul Disertasi : Model Integrasi WisataPerikanan di Gugus Pulau
Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi
Sulawesi Tengah
Nama : Dwi Sulistiawati
NRP : C261060031
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan




Disetujui,
Komisi Pembimbing




Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc.
Ketua




Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Dr. Ir. A. Masyahoro, M.Si.
Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Sumberdaya Pesisir dan Lautan



Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian : 21 Maret 2011 Tanggal Lulus :






































PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga Disertasi yang berjudul Model Integrasi Wisata-Perikanan di
Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah
dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku
Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir. Ismudi Muchsin dan Dr.Ir. A. Masyahoro,
M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan
dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan Proposal Penelitian sampai
penulisan Disertasi ini, juga kepada Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc,
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian
Tertutup, Dr. Sudirman Saad dan Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri selaku Penguji
Luar Komisi pada Ujian Terbuka, Ketua Program Studi SPL, Dosen dan
Mahasiswa Program Studi SPL yang telah memberikan masukan yang sangat
berarti bagi perbaikan Disertasi ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula
kepada Rektor Universitas Tadulako yang telah memberikan izin tugas belajar
dengan beasiswa BPPS Dikti, Lembaga Penelitian Universitas Tadulako yang
memfasilitasi dan membantu percepatan penyelesaian studi pascasarjana seluruh
staf pengajarnya di seluruh perguruan tinggi melalui pemberian bantuan dana
penelitian, Hibah Penelitian Dikti (Hibah Doktor dan Penelitian Strategis
Nasional), Pemda Provinsi Sulawesi Tengah, dan bantuan penulisan disertasi dari
Coremap II.
Penulis menyadari bahwa Disertasi penelitian ini masih banyak
kekurangannya, untuk itu penulis memohon masukan dari berbagai pihak.

Bogor, April 2011
Penulis































RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palu Provinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 30
Agustus 1969 sebagai anak kedua dari pasangan H. Supandi Abd. Aziz dan H.
Muznah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, lulus pada tahun 1993. Pada tahun
1996 penulis melanjutkan pendidikan Magister Pertanian di Program Studi Ilmu
Peternakan Universitas Gadjah Mada dan menamatkannya pada 1998.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh
pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako sejak tahun 1994. Bidang keilmuan yang penulis geluti
adalah nutrisi ternak berbasis ikan dan bidang penelitian yang ditekuni sejak
penulisan tesis sampai disertasi dan penelitian-penelitian hibah strategis, serta
berbagai kegiatan di tingkat nasional difokuskan pada kajian nutrisi ikan dan
manajemen sumberdaya pesisir dan lautan.
Karya ilmiah berjudul Manajemen Konflik Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan (Kasus di Teluk Palu Sulawesi Tengah) telah diterbitkan dalam
Prosiding Konferensi Sains Kelautan dan Perikanan Indonesia I yang diterbitkan
oleh Masyarakat Sains Kelautan dan Perikanan Indonesia (MKSPI) tahun 2007.
Sebuah artikel berjudul Penilaian Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Berdasarkan Produktivitas Primer di Kecamatan Una-Una dan Kabupaten Tojo
Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial ekonomi
Kelautan dan Perkanan, Penilaian Integrasi Dampak Biodiversitas Laut (Kasus
di Gugus Pulau Batudaka Provinsi Sulawesi Tengah) pada Jurnal Mutiara.
Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.


















































DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xxi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxiv
1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 5
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 8
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 8
1.5 Kebaruan (Novelty) ................................................................................... 9
2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 11
2.1 Batasan dan Definisi Pulau-Pulau Kecil (PPK) ..................................... 11
2.2 Sistem Ekologi dan Ekonomi Pulau-Pulau Kecil.................................... 13
2.3 Konservasi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil ............................................ 20
2.4 Model Keberlanjutan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ............................ 27
2.4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses) ...... 27
2.4.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological footprint Analysis) ................. 30
2.4.3 Pendekatan HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production)
.......................................................................................................................... 32
2.4.4 Pendekatan Keberkelanjutan Mata Pencaharian(Coastal Livelihood
System Analysis-CLSA) ......................................................................... 34
2.4.5 Konsep Pemodelan Dinamik Integrasi Wisata Perikanan ....................... 38
2.5 Integrasi Wisata dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu ............................. 41
2.6 Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu ......................... 44
2.7 Konsep Model Integrasi Wisata-Perikanan dalam Pengelolaan Daerah
Konservasi ............................................................................................... 47
2.7.1 Wisata ...................................................................................................... 49
2.7.2 Perikanan ................................................................................................. 50
2.8 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 51
3 METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 55
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 55
3.2 Metode Penelitian .................................................................................... 55
3.3 Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 55
3.3.1 Jenis Data ................................................................................................ 55
3.3.2 Metode Pengambilan Data ...................................................................... 57
3.4 Metode Analisis Data .............................................................................. 64
3.4.1 Pendekatan DPSIR (DriversPressuresStatesImpactsResponses) ... 65
3.4.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan ........................................................... 65
3.4.3 Analisis Daya Dukung (Ecological Footprint Analysis) ........................ 70
3.4.4 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity) ................ 75
3.4.5 Analisis Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir (Coastal Livelihood
System Analysis-CLSA) ......................................................................... 76
3.4.6 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau .......................................... 76
3.4.7 Analisis Dinamik Strategi Pengelolaan ................................................... 80
4 SISTEM SOSIAL EKOLOGI WILAYAH PENELITIAN ............................. 91
4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses) ...... 92

4.1.1 Faktor-faktor Sosial Ekonomi (Socio-economic Drivers) ....................... 92
4.1.2 Tekanan Lingkungan (Enviromental Pressures) ..................................... 95
4.1.3 Perubahan Kondisi Lingkungan (Environmental State Changes) ........... 96
4.1.4 Dampak (Impact) ................................................................................... 101
4.1.5 Kebijakan (Policy Response Options) ................................................... 106
4.2 Sistem Ekologi ....................................................................................... 109
4.2.1 Batas Sistem Ekologi ............................................................................. 109
4.2.2 Kondisi Morfologi ................................................................................. 115
4.2.3 Kondisi Iklim ......................................................................................... 118
4.2.4 Kondisi Oseanografi Perairan ................................................................ 119
4.3 Sistem Sosial Ekonomi dan Kelembagaan ........................................... 124
4.3.1 Sistem Sosial ......................................................................................... 124
4.3.2 Kegiatan Ekonomi ................................................................................. 126
4.3.3 Kelembagaan ......................................................................................... 134
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 137
5.1 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan ......................................................... 137
5.1.1 Karakteristik Lingkungan Perairan Gugus Pulau Batudaka .................. 137
5.1.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Spasial Gugus Pulau Kecil ............. 141
5.1.3 Analisis Eksisting Zonasi Kawasan Konservasi Gugus Pulau Batudaka
........................................................................................................................ 160
5.2 Analisis Daya Dukung Pemanfaatan Gugus Pulau Kecil ...................... 172
5.2.1 Daya Dukung Wisata ............................................................................. 172
5.2.2 Daya Dukung Perikanan ........................................................................ 176
5.3 Analisis HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production) . 180
5.3.1 Profil Metabolik ..................................................................................... 180
5.3.2 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity) .............. 184
5.4 Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System
Analysis-CLSA) ..................................................................................... 186
5.4.1 Kondisi Sumberdaya Alam dan Mata Pencaharian Masyarakat ........... 186
5.4.2 Analisis Pengaruh Masyarakat Pesisir terhadap Kondisi Sumberdaya
Pesisir dan Laut Gugus Pulau Batudaka ............................................... 189
5.4.3 Identifikasi Kebutuhan Masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka ..... 200
5.4.4 Pemilihan Insentif .................................................................................. 205
5.4.5 Menyusun Strategi Pilihan Mata Pencaharian. ...................................... 206
5.5 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau ........................................ 208
5.5.1 Wisata .................................................................................................... 208
5.5.2 Perikanan ............................................................................................... 217
5.6 Analisis Skenario Pengelolaan Gugus Pulau ......................................... 218
5.6.1 Sub Model Wisata ................................................................................. 219
5.6.2 Sub Model Perikanan ............................................................................ 222
6 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 233
6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 233
6.2 Saran ...................................................................................................... 233
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 235



xviii



DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran model integrasi wisata-perikanan Gugus Pulau Batudaka 7
2 Perbandingan antara paradigma pengelolaan saat ini dengan pengelolaan
berdasarkan pendekatan ekosistem (Nganro dan Suantika 2009) .................... 16
3 Model DPSIR yang diperluas : turunan indikator lingkungan untuk meng-
evaluasi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam (Turner et al. 2000) .... 28
4 Pendekatan ECCO untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil (dimodifikasi dari Moffat dan Hanley 2001) .... 31
5 Keterkaitan antara sistem sosial ekologi pulau-pulau kecil (Modifikasi Erb et
al. 2007) ............................................................................................................ 34
6 Kerangka konseptual untuk analisis keberlanjutan mata pencaharian
(DFID 1999 dalam Clark dan Carney 2008).................................................... 35
7 Kerangka makro pengembangan mata pencaharian alternatif
(Ellison dan Allis 2001) ................................................................................... 36
8 Langkah-langkah mendisain CLSA (Emmerton 2001) ................................... 37
9 Interaksi Komponen Minimal Model keberlanjutan Pariwisata
T = wisatawan, E = lingkungan, C = modal (Casagrandi dan Rinaldi 2002) .. 44
10 Pendekatan dinamik EF perikanan untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil (Adrianto dan Matsuda 2004) ................................................................. 47
11 Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan wilayah pesisir
(Kay dan Alder 2005) ...................................................................................... 48
12 Lokasi pengambilan contoh biofisik dan sosial ekonomi ............................... 58
13 Kerangka sampling sosial ekonomi ................................................................. 63
14 Tahapan penelitian model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
.......................................................................................................................... 64
15 Struktur model integrasi pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus Pulau
Batudaka ........................................................................................................... 80
16 Causal loop daya dukung wisata ..................................................................... 82
17 Causal loop populasi ........................................................................................ 83
18 Causal loop produksi perikanan lokal.............................................................. 85
19 Causal loop produksi perikanan regional ........................................................ 85
20 Causal loop daya dukung perikanan ................................................................ 87
21 Causal loop model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ..... 88
22 Pendekatan DPSIR sebagai indikator dalam keberlanjutan pengelolaan
Gugus Pulau Batudaka ..................................................................................... 91
23 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur produktif Tahun 2003-2008
di Kecamatan Una-Una .................................................................................... 93
24 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000 .................................... 98
25 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2010 .................................... 99
26 Persentase rata-rata fraksi subtrat di lokasi penelitian (Hasil Analisis Lab. Ilmu
Tanah UNTAD 2009) ..................................................................................... 112
27 Curah hujan dan hari hujan rata-rata Tahun 2002-2008 (BPS Kab. Tojo
Una-Una 2003-2009) ..................................................................................... 118
28 Grafik pasang surut di Gugus Pulau Batudaka .............................................. 121


29 Aksesibilitas ke Kepulauan Togean .............................................................. 127
30 (a) Korelasi antara variabel dan sumbu faktorial utama ................................. 138
(b) Sebaran titik stasiun pada sumbu faktorial utama .................................... 138
31 Analisis temporal kesesuaian wisata selam berdasarkan empat waktu .......... 142
32 Hasil overlay wisata selam di Gugus Pulau Batudaka ................................... 144
33 Analisis temporal kesesuaian wisata snorkeling berdasarkan empat waktu... 146
34 Hasil overlay wisata snorkeling di Gugus Pulau Batudaka ............................ 148
35 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka ....................................... 149
36 Hasil overlay kesesuaian penangkapan ikan karang di Gugus Pulau Batudaka
........................................................................................................................ 151
37 Analisis temporal kesesuaian budidaya rumput laut berdasarkan empat waktu
........................................................................................................................ 153
38 Hasil overlay kesesuaian budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka ... 155
39 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) di Gugus Pulau
Batudaka ......................................................................................................... 158
40 Hasil overlay pemanfaatan perikanan (penangkapan ikan karang, budidaya
rumput laut) di Gugus Pulau Batudaka ........................................................... 159
41 Hasil overlay pemanfaatan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ....... 161
42 Peta rencana zonasi kawasan Kepulauan Togean (RDTR Kepulauan Togean
2007) ............................................................................................................... 164
43 Zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR Kepulauan Togean ........ 165
44 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) dengan zonasi RDTRKP
di Gugus Pulau Batudaka ................................................................................ 167
45 Hasil overlay penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut, dan zonasi
RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka ............................................................... 169
46 Hasil overlay wisata-perikanan dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau
Batudaka ......................................................................................................... 171
47 Perbandingan EF wisatawan dan KS wisata .................................................. 175
48 Perbandingan EF perikanan dan KS perikanan .............................................. 179
49 HANPP perikanan lokal dan regional ............................................................ 185
50 Komposisi keluarga yang bekerja di sektor perikanan (Bappeda Touna
Touna 2009) .................................................................................................... 188
51 Perubahan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka dalam 10 tahun terakhir ...... 192
52 Banyaknya usaha industri di Kecamatan Una-Una (BPS 2009) .................... 194
53 Grafik hasil CLSA di Gugus Pulau Batudaka ................................................ 202
54 Kurva penawaran wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka ........................ 210
55 Kurva permintaan wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka ....................... 212
56 Kondisi kesetimbangan pasar aktivitas wisata ............................................... 215
57 Kunjungan wisman ke Kepulauan Togean (Disbudpar 2010)........................ 216
59 Model dinamik jumlah wisatawan, EF dan BC .............................................. 221
60 Diagram alir sektor populasi .......................................................................... 222
61 Diagram alir sektor produksi .......................................................................... 224
62 Diagram alir sektor ecological footprint ........................................................ 226
63 Hasil simulasi EF perikanan ........................................................................... 227
64 Model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ........................ 228
65 Model dinamik integrasi wisata-perikanan..................................................... 228


xx



DAFTAR TABEL

Halaman
1 Keterbatasan (limitation) yang ada di metode penelitian ................................... 9
2 Karakteristik geografi, geologi, biologi dan ekonomi pulau kecil, pulau
besar, dan benua ............................................................................................... 13
3 Potensi kemampuan, pemanfaatan jasa, dan ancaman pada ekosistem di
sub-wilayah pesisir pulau-pulau kecil .............................................................. 17
4 Fungsi ekologis barang dan jasa dari ekosistem terumbu karang .................... 19
5 Perbandingan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh beberapa tipe ekosistem dan
jasa utama yang diperankan ............................................................................. 19
6 Perkiraan nilai ekonomi sumberdaya perikanan .............................................. 20
7 Pengembangan strategi untuk peningkatan pendapatan pada kegiatan
perikanan berkelanjutan ................................................................................... 51
8 State of the art dan tinjauan hasil penelitian terdahulu .................................... 53
9 Jenis data biofisik yang digunakan dalam penelitian ....................................... 56
10 Jenis data sosial ekonomi yang digunakan dalam penelitian ........................... 57
11 Ukuran sampel responden sosial ekonomi ....................................................... 62
12 Matriks kesesuaian area untuk wisata kategori selam ...................................... 67
13 Matriks kesesuaian area untuk wisata ketegori snorkeling .............................. 67
14 Matriks kesesuaian perairan untuk ikan karang ............................................... 68
15 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut .................................... 68
16 Tropik Level berbagai jenis ikan untuk Gugus Pulau Batudaka ...................... 74
17 Produksi ikan di Kecamatan Una-Una Tahun 2005-2008 ............................... 75
18 Keterkaitan tujuan dengan metode penelitian .................................................. 90
19 Kondisi kualitas perairan Gugus Pulau Batudaka ............................................ 96
20 Hasil klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000 dan 2010 .................... 100
21 Penggunaan lahan Kecamatan Una-Una Tahun 2007 .................................... 102
22 PDRB Kabupaten Tojo Una-Una berdasarkan harga berlaku per kecamatan
(Rp) ................................................................................................................ 105
23 Hasil tekanan terhadap ekosistem pesisir Gugus Pulau Batudaka
berdasarkan kerangka DPSIR ........................................................................ 108
24 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka (%) ................................ 110
25 Lokasi terumbu karang terbaik di Kecamatan Una-Una ............................... 110
26 Jumlah tegakan, kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif dan indeks
nilai penting pada tiap tingkatan pohon ........................................................ 113
27 Data jenis dan kelimpahan lamun di Gugus Pulau Batudaka ........................ 114
28 Persentase bentuk permukaan tanah dan ketinggian menurut desa ............... 115
di Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo UnaUna Tahun 2008 ................... 115
29 Pola angin di Kepulauan Togean ................................................................... 119
30 Karakteristik arus di Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una .................. 120
31 Parameter demografi Kecamatan Una-Una (BPS Touna 2002-2009) ........... 124
32 Pencapaian kapal motor menuju Gugus Pulau Batudaka melalui laut ........... 128
33 Jumlah sarana dan prasarana akomodasi di Gugus Pulau Batudaka
Kecamatan Una-Una ...................................................................................... 129
33 Karakteristik responden wisatawan di Gugus Pulau Batudaka ...................... 130
34 Kronologi pembentukan pengelolaan kelembagaan Kepulauan Togean ...... 136

35 Akar ciri dan persentase ragam pada kedua komponen utama untuk
pengamatan di 15 Stasiun Biofisik ................................................................. 137
36 Kontribusi variabel terhadap sumbu utama karakteristik perairan Gugus
Pulau Batudaka ............................................................................................... 139
37 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata selam .............................. 143
38 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata snorkeling ....................... 145
39 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian penangkapan ikan karang .......... 150
40 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian rumput laut ................................ 152
41 Luasan untuk kegiatan wisata ......................................................................... 156
42 Luasan untuk kegiatan perikanan ................................................................... 157
43 Luasan untuk kegiatan wisata-perikanan ........................................................ 160
44 Luasan rencana zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR .............. 163
Kepulauan Togean Tahun 2007 ...................................................................... 163
45 Luasan kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR
Kepulauan Togean .......................................................................................... 163
46 Persentase kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR
Kepulauan Togean .......................................................................................... 168
47 Built-up land footprint (EF lahan buatan) ...................................................... 172
48 Footprint konsumsi sandang dan pangan ....................................................... 173
49 Total ecological footprint (EF) dan biocapacity (BC) Gugus Pulau Batudaka
........................................................................................................................ 173
50 Kebutuhan ruang ekologis sistem akuatik lokal dan regional ........................ 177
51 Perbandingan kebutuhan ruang ekologis untuk perikanan antara Gugus
Pulau Batudaka dengan daerah lain ................................................................ 178
52 Parameter demografi Kecamatan Una-Una dan Kabupaten Tojo Una-Una ... 180
53 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat tangkap yang beroperasi
di perairan Kecamatan Una-Una Tahun 2009 ................................................ 181
54 Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Tojo
Una-Una Tahun 2008 ..................................................................................... 181
55 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton) 182
56 Perhitungan exosomatic energy lokal dan regional ........................................ 184
57 Kategori dan jenis usaha masyarakat Gugus Pulau Batudaka ........................ 189
58 Kondisi aset kapital di Gugus Pulau Batudaka ............................................... 190
59 Kondisi aset alam di Gugus Pulau Batudaka .................................................. 191
60 Pendidikan dan kesehatan sebagai indikator aset manusia di Gugus Pulau
Batudaka ......................................................................................................... 193
61 Kondisi aset sosial di Gugus Pulau Batudaka ................................................ 195
62 Kondisi aset keuangan di Gugus Pulau Batudaka .......................................... 197
63 Kondisi aset buatan di Gugus Pulau Batudaka ............................................... 199
64 Kinerja aktivitas masyarakat Gugus Pulau Batudaka ..................................... 201
65 Perubahan aset alam di Gugus Pulau Batudaka ............................................. 203
66 Tekanan alam pesisir dan laut pada masyarakat Gugus Pulau Batudaka ....... 204
68 Biaya operasional pengusaha wisata di Gugus Pulau Batudaka..................... 209
66 Biaya perjalanan wisatawan, pendapatan dan jarak ke kawasan Gugus
Pulau Batudaka ............................................................................................... 211
67 Kondisi keseimbangan pasar wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka ...... 216
68 Volume dan nilai produksi kerapu dari tiga alat tangkap .............................. 217

xxii



69 Nilai dugaan parameter pada model integrasi wisata-perikanan di Gugus
Pulau Batudaka ............................................................................................. 218
70 Proyeksi jumlah wistawan, EF dan BC selama 10 tahun .............................. 220
71 Parameter yang digunakan untuk sektor populasi penduduk ........................ 223
72 Parameter yang digunakan untuk sektor produksi ........................................ 225
73 Estimasi konsumsi impor dan konsumsi riil di Gugus Pulau Batudaka ....... 225
74 Proyeksi jumlah penduduk, produksi ikan, konsumsi domestik dan EF
perikanan ........................................................................................................ 226
75 Proyeksi jumlah wisatawan, EF wisata, jumlah penduduk, laju konsumsi .... 229
domestik dan EF perikanan ............................................................................ 229
76 Hasil analisis statistik berdasarkan persyaratan validasi ................................ 231



































xxiii


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Produksi ikan di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton) ............................ 247
2 Matrik korelasi hasil PCA karakteristik lingkungan perairan Gugus Pulau
Batudaka ......................................................................................................... 249
3 Karakteristik beberapa lokasi spot penyelaman di Gugus Pulau Batudaka.... 250
4 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Gugus Pulau Batudaka
Kecamatan Una-Una ....................................................................................... 252
5 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Kabupaten Tojo Una-Una.... 253
6 HANPP sistem akuatik di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una ....... 254
7 Hasil perhitungan analisis penawaran ............................................................ 256
8 Hasil perhitungan analisis permintaan ............................................................ 257
9 Rekap kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara di
Kabupaten Tojo Una-Una ............................................................................... 259
10 Jumlah wisatawan yang mengunjungi Kepulauan Togean berdasarkan asal
begara Tahun 2006-2009 ................................................................................ 259
11 Hasil identifikasi responden wisatawan ........................................................ 260
12 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis alat
tangkap di perairan Gugus Pulau Batudaka (lokal) ........................................ 262
13 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis alat
tangkap di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (regional) .............................. 263
14 Estimasi konsumsi ikan impor dan konsumsi nyata di Gugus Pulau Batudaka
........................................................................................................................ 264
15 Formulasi model integrasi wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka .. 265

1



1 PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Gugus Pulau Batudaka dengan luas daratan sebesar 30 075 ha dan perairan
sebesar 61 038 ha (4 mil dari pantai), secara administrasi termasuk wilayah
Kecamatan Una-Una dengan jumlah penduduk 13 106 jiwa (BPS Touna 2009),
terletak di Kepulauan Togean Teluk Tomini. Gugus Pulau Batudaka merupakan
bagian Kawasan Pelestarian Sumberdaya Alam dengan status Taman Nasional
Kepulauan Togean (TNKT) yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 418/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober
2004 yakni seluas 362 605 ha sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi
Taman Nasional.
Manfaat yang telah diperoleh dari kawasan ini selain sebagai obyek
wisata, juga merupakan tempat/areal pemancingan tradisional etnis Bajo sejak
dulu. Hal ini berkaitan dengan tradisi bapongka, yaitu suatu pola penangkapan
ikan yang dilakukan secara berkelompok (beberapa keluarga) yang memerlukan
waktu sekitar dua bulan menjajaki terumbu karang yang satu ke terumbu karang
lainnya hingga kembali lagi ke terumbu karang semula (Damanik et al. 2006).
Pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir di Gugus Pulau Batudaka
Kecamatan Una-Una pada sektor perikanan masih dilakukan dalam skala kecil,
mereka masih sangat mengandalkan kekuatan unit ekonomi keluarga dan
penggunaan peralatan tangkap tradisional (misalnya : pancing, jaring, bubu).
Jenis biota seperti teripang, lobster, penyu dan ikan hiu merupakan obyek
penangkapan nelayan-nelayan setempat. Penangkapan ikan karang semakin
marak dilakukan saat diperkenalkannya perdagangan ikan karang hidup untuk
keperluan ekspor. Pengusaha ikan hidup pertama kali masuk di Kepulauan Togean
sekitar tahun 1992, dan sedikitnya terdapat 4 perusahaan perdagangan ikan hidup
yang beroperasi di Kepulauan Togean (CII 2006). Pada Tahun 2009 ekspor ikan
hidup Kecamatan Una-Una sekitar 500 kg/bulan (DKP Kec. Una-Una 2010).
Berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomis (ekspor) juga
merupakan aset yang potensial dari perikanan karang. Berdasaran hasil penelitian
yang dilakukan Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) pada tahun 2003-2004 di
2



daerah Pagimana dan Bualemo (Kab. Banggai) sebagai pusat pendaratan ikan
karang dari sekitar Kepulauan Togean, diperoleh jenis dominan yang tertangkap
pancing adalah ikan kakap dan ikan kerapu, masing-masing sekitar 7% dan 13%
dari total pendaratan; gurita/suntung batu merupakan target penangkapan lain dan
memberi kontribusi sekitar 17%. Ikan karang yang paling dominan tertangkap
dikelompokan dengan nama daging putih (Lethrinidae) sebesar 34% dari total
hasil tangkapan. Selain itu, terdapat ikan lolosi (Caesio erithrogaster) yang cukup
banyak didaratkan (kira-kira 15%), namun jenis ini diduga merupakan hasil
tangkapan secara ilegal (pengeboman atau pembiusan) (BRPL 2005).
Kepulauan Togean juga memiliki potensi yang besar pada sektor
pariwisata khususnya bagi wisatawan mancanegara (wisman) yang ingin
menikmati pemandangan bawah laut. Sejak 20 tahun lalu, Kepulauan Togean
telah didatangi oleh wisman, dan makin berkembang pada pertengahan tahun 90-
an. Sejak saat itu beberapa investor melihat Kepulauan Togean sebagai tempat
potensial untuk mengembangkan usaha jasa wisata, terutama penyediaan tempat
penginapan dan penyewaan peralatan selam Scuba Diving dan Snorkeling. Pada
Tahun 2003, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mencanangkan Kepulauan
Togean sebagai Kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional (CII 2006).
Beberapa atraksi wisata alam, seperti pembuatan jalur tracking di hutan
Malenge serta pembuatan jembatan kayu menyusuri hutan bakau di Desa
Lembanato. Berkaitan dengan kegiatan-kegiatan tersebut, tahun 1999 JET
(Jaringan Ekowisata Togean) dianugerahi British Airways Award untuk kategori
Highly Recommended Tourism for Tomorrow. Data kunjungan wisatawan manca
negara (wisman) yang mengunjungi Kepulauan Togean pada tahun 1995 hanya
1 500 orang dan meningkat menjadi 5 000 orang tahun 1996, tahun 1999 sekitar
8 000 orang dengan lama menginap 5-10 hari. Kunjungan wisatawan menurun
tajam lebih dari 80% pada tahun 2000 ketika terjadi kerusuhan Poso, namun
meningkat kembali pada tahun 2004 (Disbudpar Kab. Touna 2006). Data tahun
2005 jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kepulauan Togean berjumlah 5 000
orang (Kasim 2007). Selanjutnya dinyatakan bahwa lama tinggal wisman 4-7
hari dengan rata-rata pengeluaran Rp. 79 190/hari serta sumber informasi
3


diperoleh dari iklan, teman dan pameran (masing-masing sebesar 63%, 21% dan
17%).
Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) merupakan Taman Nasional
yang tergolong baru dalam pengelolaannya masih menghadapi banyak tantangan
utamanya yang bersumber dari konflik kepentingan para pihak dalam kegiatan di
antaranya penangkapan ikan, pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan area
wisata. Konflik kepentingan kawasan wisata, budidaya perikanan, budidaya
kerang mutiara dan area pemancingan juga merupakan hal yang perlu
mendapatkan pemecahan, disamping efek lain dari kegiatan-kegiatan tersebut
misalnya polusi, dari buangan limbah rumah tangga (padat dan cair). Laapo
(2010) melaporkan Selat Batudaka telah tercemar ringan yang terkait dengan
meningkatnya aktivitas masyarakat termasuk wisata dan kegiatan pemanfaatan
lain (perikanan dan transportasi).
Penangkapan ikan dengan cara yang merusak seperti dengan
menggunakan bahan peledak (bom), peracunan dengan menggunakan sianida dan
pengambilan hasil laut dengan pembiusan menggunakan kompresor sangat
mengancam kehidupan dan sumberdaya perairan taman nasional karena berakibat
rusaknya habitat (terumbu karang dan mangrove) dan sumberdayanya sendiri
(ikan dan invertebrata). Ancaman di daratan cenderung terus meningkat, tekanan
terhadap hutan tropis dataran rendah dan hutan bakau untuk memenuhi kebutuhan
areal pemukiman, perkebunan/ pertanian, infrastruktur dan kebutuhan kayu
pertukangan maupun kayu bakar.
Pengelolaan kawasan ini dapat dikatakan kurang optimal, dimana sejak
ditetapkannya sebagai TNKT hingga saat ini belum ada zonasi kawasan yang jelas
dalam pengelolaannya. Dalam perkembangannya kemudian, kawasan ini
ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut Pulau Togean dan Pulau Batudaka
melalui Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Wilayah
Nasional pada tanggal 10 Maret 2008. Kebijakan pengelolaan kawasan tersebut
pada dasarnya diarahkan untuk pencapaian tujuan pembangunan, yaitu
pendayagunaan potensi sumberdaya pesisir dan laut untuk meningkatkan
kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat serta
untuk tetap menjaga kelestarian kawasan tersebut. Sampai saat ini,
4



pengelolaannya belum dilakukan secara efektif yaitu hampir semua kawasan
muncul fenomena pemanfaatan yang bersifat sektoral, dan eksploitatif.
Pengurangan luas hutan, konversi hutan mangrove, perusakan habitat terumbu
karang, menurunnya kualitas obyek wisata laut serta penangkapan hasil laut
secara berlebih (overfishing) juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan ekonomi dan kebutuhan sosial
penduduk.
Pengelolaan Kepulauan Togean yang kurang efektif tersebut didorong oleh
bererapa faktor seperti kurangnya kapasitas kelembagaan dalam mengatasi isu
dasar pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, juga berbagai kepentingan sektor
dunia usaha maupun masyarakat setempat. Sebelum menjadi Taman Nasional,
kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan tersebut sebagian besar
berada pada pemerintah Kabupaten Tojo Una-Una (Touna). Sebagai kabupaten
baru, pemda Kabupaten Touna memiliki kepentingan sangat besar terhadap
Kepulauan Togean, baik bagi pertumbuhan ekonomi kawasan maupun
pembangunan kualitas hidup penduduk setempat (Manaf 2007). Semua pihak
yang berkepentingan memegang dasar hukum dan kebijakan dari instansi yang
berwenang. Setiap kebijakan yang dikeluarkan memuat tujuan dan sasaran yang
sering berbeda sehingga muncul gap atau pun tumpang tindih dalam
pelaksanaannya di lapangan. Kebijakan pemanfaatan dan penyelesaian masalah
yang selama ini dilakukan secara sektoral dan parsial yaitu setiap instansi
menyusun perencanaan sendiri sesuai dengan tugas dan fungsi sektornya sehingga
kurang mengakomodasi kepentingan sektor lain, daerah, masyarakat setempat dan
lingkungannya. Perbedaan tersebut memicu konflik pemanfaatan dan kewenangan
termasuk aspek penegakan hukum, yang belum mampu menjamin pemanfaatan
jasa lingkungan secara berkelanjutan sesuai tingkat kebutuhan pihak-pihak
(stakeholders) yang berkepentingan.
Mengingat luasnya Kepulauan Togean dan pertimbangan pemanfaatan
ruang untuk kegiatan pariwisata, perikanan, pemukiman terpadat dan sentra
ekonomi berada di Gugus Pulau Batudaka maka wilayah penelitian dibatasi di
kawasan tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian
5


Model Integrasi Wisata-Perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kabupaten Tojo
Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah.

1.2 Perumusan Masalah
Secara alami kawasan pesisir Gugus Pulau Batudaka memiliki ekosistem
antara lain terumbu karang, mangrove, dan padang lamun Ketiga komponen
ekosistem tersebut pada saat ini mengalami penurunan daya dukung seperti
rusaknya ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut yang diakibatkan oleh
aktivitas penangkapan ikan sebagian nelayan dengan menggunakan bahan peledak
(CII 2005) yang sangat mengancam perkembangbiakkan dan pertumbuhan
terumbu karang termasuk biota ikan. Ancaman lain adalah banyaknya pohon
mangrove yang ditebang untuk lahan pertanian (kelapa dan coklat) oleh penduduk
setempat dan pemukiman (Wallace 1999). Pembukaan lahan ini memberikan
kontribusi terhadap abrasi pantai, yang pada gilirannya akan mengakibatkan
terbentuknya deposit sedimen yang dapat menyebabkan kerusakan bahkan
kematian terumbu karang dan padang lamun.
Zamani et al. (2007) melaporkan bahwa secara spasial luasan terumbu
karang di Kepulauan Togean dari hasil klasifikasi citra tahun 2001 dibandingkan
hasil klasifikasi citra tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luasan
karang dari 11 064 ha pada tahun 2001 turun menjadi 9 768 ha pada tahun 2007
atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas terumbu karang sebesar 1 296 ha
(11.72%). Perbandingan hasil pengamatan MRAP pada tahun 1998 dengan hasil
survey lapang pada tahun 2007 dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept
Transect), penurunan luas ini tidak selalu menyebabkan terjadinya penurunan
persentase penutupan terumbu karang pada setiap stasiun pengamatan.
Luasan mangrove dari 5 323 ha pada tahun 2001 turun menjadi 5 051 ha
pada tahun 2007, atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas mangrove sebesar
272 ha (5.1% dari luas pada tahun 2001). Ekosistem padang lamun di Kepulauan
Togean relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan ekosistem karang maupun
ekosistem mangrove, pada tahun 2001 seluas 281 ha dan pada tahun 2007 terjadi
penurunan menjadi 190 ha. atau selama 6 tahun terjadi penurunan sebesar 92 ha
(32.6%). Penurunan ini mengakibatkan berbagai dampak baik fisik seperti abrasi
6



dan sedimentasi, maupun dampak biologi seperti hilangnya zonasi mangrove dan
habitat fauna mangrove. Selain itu, tangkap lebih terhadap penyu, kimah,
teripang, ikan napoleon juga terjadi dan semuanya diperuntukkan bagi
kepentingan ekonomi dan kebutuhan sosial penduduk. Namun, beberapa lokasi
obyek wisata memiliki kualitas dan kuantitas terumbu karang yang baik dibanding
kawasan yang dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan (Zamani et al. 2007).
Kebijakan pengelolaan sumberdaya Kepulauan Togean khususnya di
Gugus Pulau Batudaka yang dilakukan selama ini belum memberikan hasil yang
nyata terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dari sisi sosial ekonomi kegiatan
wisata bahari karena kurangnya melibatkan masyarakat. Penetapan kawasan ini
menjadi taman nasional juga menimbulkan keresahan masyarakat saat ini.
Disamping itu, masih banyak terjadi kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang
sifatnya merusak. Hal ini menunjukkan ketidakberhasilan TNKT, pemerintah
setempat dan masyarakat lokal dalam menangani berbagai permasalahan
pengelolaan kawasan baik dalam penetapan zonasi maupun pemanfaatannya
untuk berbagai kegiatan.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan pokok yang perlu dijawab yaitu :
1 Bagaimana interaksi sifat ekologis perairan tehadap keterkaitan kesesuaian
pemanfaatan ruang serta berapa besar daya dukung lingkungan di zona
pemanfaatan Gugus Pulau Batudaka untuk kegiatan wisata dan perikanan;
2 Bagaimana pengelolaan yang efektif dan lestari dalam pemanfaatan untuk
wisata dan perikanan yang terintegrasi secara spasial di kawasan tersebut.
Adapun kerangka pemikiran integrasi wisata-perikanan dalam pengelolaan Gugus
Pulau Batudaka tertera pada Gambar 1.








7
















































Gambar 1 Kerangka pemikiran model integrasi wisata-perikanan Gugus Pulau
Batudaka
Sistem Sosial Ekologi
Gugus Pulau Batudaka
Permasalahan :
- Interaksi ekologis terhadap
keterkaitan kesesuaian
pemanfaatan ruang
dan daya dukung lingkungan
antara wisata dan perikanan?
- Pengelolaan lestari?
Sesuai
Sistem Sosial Ekologi


Valuasi ekonomi :
- Wisata
- Perikanan
Kesesuaian ruang (GIS)
Daya dukung (EFA)
Pemanfaatan Ruang Optimal
Kebijakan PPK
Berkelanjutan
Model Integrasi Wisata-Perikanan
di Gugus Pulau Batudaka
No (-)
F
e
e
d
b
a
c
k

A
n
a
l
y
s
i
s

Pendekatan DPSIR :
Analisis faktor-faktor penyebab tekanan terhadap ekosistem
di Gugus Pulau Batudaka
Pemanfaatan Gugus Pulau Batudaka
(Wisata, Perikanan dan lainnya)
Potensi Sumberdaya dan
Sosial Ekonomi PPK
Analisis Sosial (CLSA,
HANPPP)
Pengelolaan PPK

Verifikasi dan Validasi
No (-)
Model Dinamik
Yes (+)
Sesuai
Yes (+)
8



1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan utama penelitian adalah mendesain pemanfaatan ruang kawasan
Gugus Pulau Batudaka berbasis sistem sosial ekologi secara berkelanjutan.
Tujuan khusus penelitian :
1 Menganalisis interaksi sifat ekologis perairan dan mengestimasi daya
dukung lingkungan dan sumberdaya kawasan Gugus Pulau Batudaka yang
dapat dimanfaatkan bagi kegiatan wisata dan perikanan berkelanjutan;
2 Merumuskan pengelolaan wisata-perikanan yang terintegrasi secara spasial
di Gugus Pulau Batudaka.
Manfaat penelitian adalah :
1 Tersedianya data dan informasi tentang kesesuaian pemanfaatan ruang
untuk kegiatan wisata dan perikanan sesuai daya dukung lingkungan di
Gugus Pulau Batudaka;
2 Sebagai salah satu acuan bagi pengambil kebijakan dalam perumusan dan
pengimplementasian pengelolaan PPK di Kepulauan Togean;
3 Sebagai salah satu contoh pendekatan aplikasi model integrasi wisata-
perikanan dalam pengelolaan PPK di Indonesia.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian adalah :
1 Penelitian difokuskan pada pendekatan DPSIR (DriversPressures
StatesImpactsResponses) untuk mengetahui keterkaitan faktor-faktor
penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem dan kesesuaian
pemanfaatan ruang (GIS) yang memberikan gambaran dampak aktivitas
utama masyarakat terhadap tata guna lahan dan kondisi perairan di Gugus
Pulau Batudaka;
2 Penilaian intensitas penggunaan wisata dan perikanan dalam hubungannya
dengan kapasitas area di kawasan tersebut menggunakan pendekatan
Ecological Footprint Analysis/EFA, HANPP (Human Appropriation of
Net Primary Production), CLSA (Coastal Livelihood System Analysis)
serta valuasi ekonomi pemanfaatan Gugus Pulau yang diintegrasikan
dengan optimasi model dinamik untuk kegiatan wisata dan perikanan
secara berkelanjutan.
9


1.5 Kebaruan (Novelty)
Kebaruan dari penelitian berdasarkan kerangka pendekatan sistem sosial
ekologi dengan mengintegrasikan faktor metabolisme sosial yang
direpresentasikan berdasarkan daya dukung ekologis (EF, HANPP) dan analisis
temporal kesesuaian menghasilkan adaptif zoning bagi pemanfaatan wisata dan
perikanan sebagai alat bantu desain tata letak pemilihan kawasan wisata,
perikanan di PPK.
Inti dari kerangka pemikiran-analisis (Core of Analytical Framework)
yakni pendekatan sistem sosial ekologi menggunakan DPSIR untuk penggalian
isu dan permasalahan pemanfaatan Gugus Pulau Batudaka yang dijabarkan
melalui respon sosial, ekonomi, dan ekologi menggunakan metode analisis yang
sesuai, maka keterbatasan (limitation) dalam penelitian tertera pada tabel berikut.

Tabel 1 Keterbatasan (limitation) yang ada di metode penelitian

No. Metode Keterbatasan
1 DPSIR Tidak semua unsur yang difokuskan pada masalah
penelitian dapat tercakup dengan cepat dan mudah,
terutama semua komponen masyarakat tidak dapat
duduk bersama yang berimplikasi pada kebutuhan
maupun penurunan respon (sosial, ekonomi, dan
ekologi).
2 Kesesuaian
pemanfaatan (GIS)
Pemanfaatan ruang untuk kegiatan budidaya rumput
laut memerlukan analisis temporal yang lebih detail
berkaitan waktu pemeliharaan.
3 TEF, FEF Ketersediaan data sekunder untuk wisata dan perikanan
yang terbatas.
4 HANPP Data produksi ikan di kawasan studi
5 CLSA Implementasi pengembangan mata pencaharian
masyarakat berbasis insentif
6 Valuasi ekonomi Ketersediaan data primer dan sekunder untuk wisata,
perikanan
7 Analisis dinamik Kelambatan waktu (delay time) pertumbuhan populasi
penduduk dan ikan tidak dipertimbangkan dalam
model karena hal tersebut merupakan kajian tersendiri;









10













































11


2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Batasan dan Definisi Pulau-Pulau Kecil (PPK)
Secara umum pulau-pulau kecil atau gugusan pulau-pulau kecil adalah
kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi
ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara
sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa pulau kecil adalah
pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km
2
beserta kesatuan
ekosistemnya.
Secara ekologis pulau kecil terpisah dari pulau induk (mainland island),
memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil sehingga bersifat insular, memiliki
sejumlah biota endemik, keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai
ekonomis tinggi. Pulau kecil memiliki daerah tangkapan air (water catchment
area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran permukaan dan sedimen akan
langsung masuk ke laut. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat bersifat
khas dibandingkan dengan pulau induknya (DKP 2001).
Ada tiga kriteria tentang batasan PPK yaitu : 1) batasan fisik pulau (luas
pulau), 2) batasan ekologis, proporsi spesies endemik dan terisolasi, dan 3)
keunikan budaya. Selain kriteria tersebut, indikasi besar-kecilnya pulau terlihat
dari kemandirian penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok (Dahuri 1998).
Bengen dan Retraubun (2006) menggolongkan pulau berdasarkan proses
geologinya :
1. Pulau Benua (Continental Island), terbentuk sebagai bagian dari benua dan
setelah itu terpisah dari daratan utama, tipe batuan kaya akan silika. Biota
yang terdapat dalam tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama;
2. Pulau Vulkanik (Volcanic Island), terbentuk dari kegiatan gunung berapi
yang timbul perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Tipe batuan
dari ini adalah basalt, silika (kadar rendah);
3. Pulau Karang Timbul (Raised Coral Island) terbentuk oleh terumbu
karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena proses geologi. Jika
12



proses ini berlangsung terus, maka karang yang timbul ke permukaan laut
berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan;
4. Pulau Daratan Rendah (Low Island), adalah pulau dengan ketinggian
daratannya dari muka laut rendah. Pulau-pulau dari tipe ini paling rawan
terhadap bencana alam, seperti angin taufan dan tsunami;
5. Pulau Atol (Atolls) adalah pulau karang yang berbentuk cincin, umumnya
adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang yang
berbentuk fringing reef kemudian menjadi barrier reef dan akhirnya
menjadi pulau atol.
Hehanusa (1993) membuat klasifikasi PPK di Indonesia berdasarkan
morfologi dan genesis pulau yaitu : (1) Pulau Berbukit dan, (2) Pulau Datar.
Pulau Berbukit terdiri atas : Pulau Vulkanik, Pulau Tektonik, Pulau Teras
Terangkat, Pulau Petabah (monadnock) dan Pulau Gabungan. Pulau Datar terdiri
atas : Pulau Aluvium, Pulau Koral dan Pulau Atol yang memiliki luas daratan
lebih kecil dari 50 km
2
. Ongkosongo (1998) lebih menekankan pada proses
pembentukan pulau tersebut, yaitu:
1 Penurunan muka laut, contohnya, P. Akat, P. Sekikir, P. Abang Besar di
Kepulauan Riau;
2 Kenaikan muka laut, contohnya Kepulauan Lingga, P. Batam, P. Karimun
Kecil, juga di Kepulauan Riau;
3 Tektonik, zona penunjaman (subduction), contohnya P. Christmas, P. Nias
4 Tektonik, zona pemekaran (spreading), contohnya Kepulauan Hawai;
5 Amblesan daratan, contohnya P. Digul;
6 Erosi, contohnya P. Popole di Jawa Barat;
7 Sedimentasi contohnya : pulau-pulau di Segara Anakan, P. Bengkalis;
8 Volkanisme, contohnya P. Krakatau, P. Ternate, P. Manado Tua;
9 Biologi, biota terumbu karang dan asosiasinya, contoh di Kep. Seribu;
10 Biologi, Biota lain (mangrove, lamun dan lain-lain), contohnya P. Karang
Anyar, P. Klaces, dan P. Mutean di Segara Anakan;
11 Pengangkatan Daratan, contohnya P. Manui di Sulawesi Tengah;
12 Buatan Manusia, contohnya Lapangan Udara Kansai Osaka Jepang;
13 Kombinasi berbagai proses, contohnya P. Rupat.
13


Karakteristik PPK yang dibandingkan dengan pulau besar dan benua
berdasarkan karakteristik geografis, geologi, biologi, dan ekonomi (Tabel 2).

Tabel 2 Karakteristik geografi, geologi, biologi dan ekonomi pulau kecil, pulau
besar, dan benua

Pulau Kecil Pulau Besar Benua
Karakteristik Geografis
- Jauh dari benua - Dekat dari benua - Area sangat besar
- Dikelilingi oleh laut luas - Dikelilingi sebagian oleh
laut
yang sempit
- Suhu udara bervariasi
- Area kecil - Area besar - Iklim musiman
- Suhu udara stabil - Suhu udara agak bervariasi
- Iklim sering berbeda dengan
pulau besar terdekat
- Iklim mirip benua terdekat
Karakteristik Geologi
- Umumnya karang atau
vulkanik
- Sedimen atau
metamorphosis
- Sedimen atau metamorfosis
- Sedikit mineral penting - beberapa mineral penting - beberapa mineral penting
- Tanahnya porous/ permeabel - Beragam tanahnya - Beragam tanahnya
Karakteristik Biologi
- Keanekaragaman hayati
teresterial rendah, namun
memiliki sejumlah spesies
endemik yang bernilai
ekologis tinggi
- Keanekaragaman hayati
sedang
- Keanekaragaman hayati
tinggi
- Keanekaragaman hayati laut
tinggi, dengan laju
pergantian jumlah jenis
tinggi akibat perubahan
lingkungan
- Pergantian spesies agak
rendah
- Pergantian spesies biasanya
rendah
- Tinggi pemijahan massal
hewan laut bertulang
belakang
- Sering pemijahan massal
hewan laut bertulang
belakang
- Sedikit pemijahan massal
hewan laut bertulang
belakang
Karakteristik Ekonomi
- Sedikit sumberdaya daratan - Sumberdaya daratan agak
luas
- Sumberdaya daratan luas
- Sumberdaya laut lebih
penting
- Sumberdaya laut lebih
penting
- Sumberdaya laut sering
tidak penting
- Jauh dari pasar - Lebih dekat pasar - Pasar relatif mudah
Sumber : Modifikasi Salm et al. (2000) dalam Bengen dan Retraubun (2006)


2.2 Sistem Ekologi dan Ekonomi Pulau-Pulau Kecil
Menurut Briguglio (1995) karakteristik PPK yang unik yaitu berukuran
kecil, terisolasi, ketergantungan, rentan dan secara ekonomi hal ini tidak
menguntungkan karena akan menimbulkan keterbatasan sokongan sumberdaya,
ketergantungan kisaran diversifikasi produk, keterbatasan mempengaruhi
perubahan harga produk, keterbatasan kompetensi lokal dan pengembangan skala
14



ekonomi. Faktor isolasi akan mengakibatkan tingginya biaya transpor per unit
serta ketidakpastian suplai, namun beberapa pulau yang telah dikembangkan
untuk pariwisata seperti di Kepulauan Maldive, Fiji, Karibia, keterbatasan tersebut
dapat diatasi secara ekonomi (Ghina 2003). Maldive yang telah berkembang
sebagai negara pariwisata bahari dikunjungi sekitar 500 000 turis setiap tahunnya.
Kepulauan Karibia mampu mengembangkan pariwisata bahari berbasis pulau-
pulau kecil dengan kontribusi 12% bagi PDB dari kunjungan 100 juta turis setiap
tahunnya. Pulau kecil Newfoundland (Kanada), dan Texel (Belanda),
dikembangkan sebagai sumber energi berbasis tenaga matahari dan angin,
budidaya perikanan dan pertanian, serta pariwisata.
PPK cenderung rentan terhadap bencana alam. Sifat rentan dimaksudkan
karena memiliki kerapuhan ekologis (ecological fragility). Ghina (2003)
merangkum dari berbagai sumber mengenai karakteristik pengelolaan PPK
berdasarkan sifat kerentanannya yaitu karena keterpencilan, ukuran fisik kecil,
kerapuhan dan keunikan ekologis, pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan
kepadatan tinggi, sumber alam yang terbatas terutama daratannya, ketergantungan
tinggi pada sumberdaya laut, peka dan mudah terekspose akibat bencana alam,
peka terhadap naiknya permukaan air laut dan perubahan iklim. Karakteristik
lainnya yakni pasar domestik kecil, ketergantungan barang ekspor dan impor yang
tinggi, ketidak-mampuan untuk mempengaruhi harga internasional, tingginya
biaya/unit pengangkutan, marginal, ketidakpastian persediaan barang, harus
menyimpan sejumlah besar barang, kerentanan perdagangan : ketergantungan
tinggi pada pajak perdagangan, industri domestik yang rentan, ketergantungan
pada pilihan/preferensi perdagangan, pembatasan pada kompetisi domestik,
berbagai kesulitan dalam menarik investasi langsung dari luar, peluang investasi
dan jasa komunikasi terbatas, permasalahan administrasi pemerintahan,
ketergantungan pada keuangan eksternal. Kaly et al. (2004) menambahkan bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan tersebut karena bencana alam,
masalah perbatasan, migrasi, kerusuhan, pemisahan secara geografis, pemanfaatan
ekonomi, pasar internal yang kecil dan kerusakan sumberdaya.
Prinsip utama pembangunan PPK secara terpadu dan berkelanjutan, harus
mempertimbangkan kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial (Kay dan Alder 2005).
15


Hal ini didasarkan pada karakteristik dan dinamika PPK yang merupakan suatu
sistem dinamis saling terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam
sehingga kedua sistem inilah yang bergerak dinamik dalam kesamaan besaran,
untuk itu diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan PPK.
Integrasi inilah yang dikenal dengan paradigma Social Ecological System (SES)
(Adrianto dan Aziz 2006). Pemikiran alternatif yang memberikan penjelasan
bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem sangat
diperlukan. Arus pemikiran utama ecological economics (EE) yang berkaitan
dengan nilai lebih (surplus value) dalam konteks keterbatasan ekosistem yakni
memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan waktu yang
lebih panjang antara sistem alam dan sistem ekonomi. Komitmen normatif dari
arus pemikikan utama EE adalah berusaha mewujudkan terciptanya masyarakat
yang bukan tanpa batas (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat
berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya
maupun penyerap limbah (Adrianto 2004). Paradigma SES membicarakan unit
ekosistem seperti wilayah pesisir PPK, ekosistem mangroves, terumbu karang dan
lainnya berasosiasi dengan struktur dan proses sosial yang ada di mana aspek
sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan.
Pengelolaan pendekatan ekosistem di pesisir dan PPK dapat dinyatakan
sebagai suatu simbiosis pandangan yang respek kepada sistem alam, yang
mengintegrasikan pandangan ekonom, enjinir, dan ekolog, untuk bersama-sama
untuk melindungi fungsi sistem alam untuk secara terus menerus menghasilkan
jasa-jasa ekosistemnya. Begitu pula sebaliknya para ekonom/enjinir senantiasa
membutuhkan ekolog, dengan maksud jika terjadi penurunan jasa sumberdaya
alam maka akan menghasilkan pula penurunan nilai ekonomi ekosistem tersebut
dan berimplikasi pada penurunan kesejahteraan sosial. Kedua pandangan ini dapat
dianalogikan sebagai suatu potret perpaduan pandangan Charles Darwin (ekolog)
Adam Smith (ekonom). kolaboratif, dalam suatu area geografik dengan
multifaktor eksternal/internal yang terkait indikator kunci pengelolaan pendekatan
ekosistem adalah membangun keberlanjutan keseimbangan ekologis dan sosio-
ekonomi. Pendekatan ini menjadi prinsip dasar pemandu dalam strategi
perencanaan untuk wilayah Pesisir PPK. Pemangku kepentingan terlibat secara
16



kolaboratif dalam perencanaan, sehingga bagi mereka akan bermanfaat dan dapat
mengerti dan memprediksi adaptasi pengelolaan ke depan (Nganro dan Suantika
2009). Pemilihan pendekatan ekosistem ini berdasarkan kompleksitas sebagai
proses interaksi, interkoneksi, jejaring, dinamik dan adaptif. Perubahan
paradigma tersebut tertera pada Gambar 2.



Gambar 2 Perbandingan antara paradigma pengelolaan saat ini dengan
pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem (Nganro dan Suantika
2009)


Pengelolaan pesisir pulau-pulau kecil dengan Konsep Ekosistem adalah
lebih tepat dewasa ini digunakan sebagai falsafah dasar untuk pengelolaan
sumberdaya alam di Indonesia, karena merupakan konsep induk dengan perspektif
lebih luas, integratif, mencakup proses interaksi dinamika lingkungan hidup,
ruang, wilayah, kawasan dan lain-lain, secara saintifik terukur dan terprediksi, dan
telah diadopsi luas oleh negara-negara maju di dunia dan negara-negara lain
anggota PBB, khususnya yang tergabung dalam Small Islands Development
States/SIDS (Bass and Dalal-Clayton 1995). Informasi ekologis dalam Tabel 3
menunjukkan bahwa di wilayah pesisir perairan laut dangkal (perairan teritorial)
dari pantai sampai kedalaman 200 m, merupakan wilayah yang paling produktif
karena pengaruh kontribusi interaksi dari darat, tetapi perairan ini sangat rentan dari
dampak degradasi akibat aktivitas manusia. Adapun produktivitas di perairan laut
Zona Ekonomi Eksklusif (kedalaman >200 m) sangat dipengaruhi oleh produktivitas
perairan dangkal.
17


Tabel 3 Potensi kemampuan, pemanfaatan jasa, dan ancaman pada ekosistem di
sub-wilayah pesisir pulau-pulau kecil

Sub-
wilayah
Penjelasan Potensi Kemampuan
Jasa Ekosistem
Pemanfaatan Jasa
Ekosistem
Ancaman
1) Pantai
berpasir

di pantai terbuka, jauh
dari muara sungai
(estuari)
tempat bersarang
penyu
rekreasi konservasi perusakan habitat,
tambang pasir,
tumpahan minyak
2) Pantai
berbatu
terbuka kena ombak Kaya biodiversitas Rekreasi Erosi pantai
3) Terumbu
karang

di perairan jernih,
perairan dangkal,
kedalaman 200 m;
sangat peka
kekeruhan, kenaikan
suhu, pencemaran,
sedimentasi; Jika
terumbu karang hidup
sehat meluas, pertanda
banyak ikan tuna.
sangat produktif,
tempat berbiak,
berlindung ikan
kerapu, tuna, kakap,
udang, penyu, biota
laut lain, rumput laut

Konservasi,
pariwisata, perikanan
perlindungan pantai,
pulau- pulau kecil dari
gelombang besar dan
kenaikan muka laut

tangkapan ikan
berlebih, racun ikan,
pemboman,
penambangan
karang, erosi dari
penggundulan
vegetasi di darat
4) Padang
lamun
rumput
laut

terdapat di antara
terumbu karang dan
mangrove (bakau)
sangat produktif,
tempat berbiak,
tumbuh, berlindung
ikan, udang, kepiting
dan biota laut lain,
kaya nutrisi alami
sumber makanan,
farmasi, kosmetik,
industri biotek, dan
sumber energi biofuel.
Tangkapan ikan
berlebih, perusakan
karang dan mangrove,
pencemaran minyak,
sedimentasi
5) Pantai
berlumpur
terdapat di sekitar
muara sungai (estuari),
atau delta
produktivitas biologis
tinggi, kaya siklus
nutrisi.
Konservasi perusakan habitat,
pencemaran minyak.
6) Estuari/
Delta
pertemuan air tawar
dan laut (perairan
payau)
sangat produktif, kaya
nutrisi, berbiak ikan,
udang, kepiting,
jalur pelayaran,
akuakultur, perikanan
tradisionil
sampah, pencemaran
banjir, sedimentasi

7)Mangrove
(hutan
bakau)
terdapat di sekitar
muara sungai, tempat
berlumpur, bau sulfur,
perangkap debris
sampah, kaya nutrisi,
pencegah erosi,
pelindung pantai
kaya udang, kepiting,
udang; tempat
beberapa mamalia,
reptil, burung;
produksi primer
sangat tinggi
sumber kayu untuk
konstruksi, reklamasi
lahan, akuakultur,
pariwisata, industri
biotek dan
perlindungan bentuk
pantai
tumpahan minyak,
pestisida-pupuk dari
pertanian,
pembabatan kayu
mangrove,
pembukaan tambak
berlebihan
8) Hutan
rawa
pasang
surut
sepenuhnya mangrove
atau didominasi
tumbuhan nipah

siklus nutrisi tinggi,
tempat makan ikan,
udang, kepiting saat
pasang naik,
perangkap sedimen
sumber kayu, rumah
tradisional, reklamasi
lahan basah, tempat
akuakultur dan
sumber gula atau
bioethanol
tumpahan minyak
pestisida-pupuk
berlebih dari
pertanian,
pembabatan
nipah/bakau
9) Laguna agak tertutup, sedikit
terbuka, jalan masuk
dari laut dapat
berubah-ubah
produktivitas ikan,
udang, kepiting,
tempat berbiak secara
alami biota laut lain
pariwisata, navigasi,
tangkap ikan,
budidaya.
pencemaran
10) Pulau-
Pulau
Kecil
Terdiri dari gosong
karang, pulau karang
muncul, atol,
vulkanik; pulau benua;
ukuran luas kurang
dari 2 000 km
2
.
Jumlah seluruh
Indonesia > 17 000
ragam pulau-pulau.
masing-masing pulau
dianggap mempunyai
ekosistem unik.
pariwisata,
pemukiman, stasiun
pengamat, pertanian
subsisten, marikultur
sumber bioindustri
masa depan, termasuk
biofood & biofuel.
air tanah minim,
intrusi air laut;
limbah; penduduk
padat; Penebangan
vegetasi, pemanasan
global, lenyapnya
pulau- pulau kecil
akibat kenaikan
muka laut 15-19
mm/tahun.
Sumber : Bass dan Dalal-Clayton (1995)

18



Keberadaan ekosistem yang sehat pasti akan menghasilkan jasa-jasa
ekosistem. Indikasi ini sesungguhnya mengandung komponen-komponen jasa
yang diperlukan untuk kehidupan manusia dan mahluk lainnya di wilayah pesisir.
Jasa-jasa ekosistem tersebut dapat menjadi motor penggerak keberlanjutan
kegiatan ekonomi masyarakat. Jasa-jasa ekosistem sehat yang dapat diperoleh
masyarakat (Millennium Ecosystem Assessment 2005), meliputi: (1) Keamanan
dalam hal kenyamanan individu masyarakat karena makanan tercukupi; akses
terpenuhi untuk memperoleh sumberdaya hayati laut; aman dari bencana karena
lingkungan disekitarnya tidak rusak; (2) Kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi
untuk berkehidupan, misalnya mata pencaharian mudah karena ikan melimpah;
makanan bergizi terpenuhi; pemukiman sehat; akses mudah untuk mendapatkan
barang-barang yang diperlukan; (3) Kondisi kesehatan masyarakat baik, kuat,
sehat, mudah mendapatkan air dan udara bersih; (4) Hubungan sosial baik, saling
menghormati dan mempunyai kemampuan saling membantu satu dengan lainnya.
Holling (1986) menyatakan bahwa tantangan pengelolaan sumberdaya
alam saat ini adalah semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial yang
menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang semakin tinggi.
Pesisir dan pulau kecil merupakan sebuah sistem dimana aspek ekologi dan aspek
sosial terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem yang terintegrasi. Kedua
aspek ini memiliki kompleksitas dan terus berubah dimana keduanya bersifat non-
linier dan menempati batas tertentu dalam dinamikanya (Folke et al. 2002).
Pengelolaan pesisir dan PPK sebagaimana dengan pengelolaan
sumberdaya lain umumnya masih didasarkan pada asumsi adanya daya dukung
ekosistem untuk menghasilkan produksi dan jasa lingkungan secara terus
menerus, dan kegiatan produksi dapat dikontrol sepenuhnya. Gunderson et al.
(1995) menyatakan bahwa simplifikasi lansekap darat dan laut untuk produksi
sumberdaya tertentu dalam jangka pendek memang dapat menyuplai kebutuhan
pasar, tetapi dengan pengorbanan penurunan diversitas umumnya pengelola
sumberdaya berupaya untuk mengontrol proses perubahan pada lansekap tersebut
untuk menstabilisasi output dari ekosistem dan mempertahankan pola konsumsi
manusia (Holling dan Meffe 1996).
19


Pentingnya keberadaan ekosistem terumbu karang bagi manusia dapat
dilihat dalam fungsi ekologisnya bagi biota laut dan lingkungan sekitarnya.
Adapun produk barang dan jasa yang menghasilkan manfaat/ nilai ekonomi
(Tabel 4).

Tabel 4 Fungsi ekologis barang dan jasa dari ekosistem terumbu karang

Barang dan Jasa Fungsi Ekologis
Sumberdaya terbarui Produk makanan laut, material dasar dan obat-obatan, material
dasar lainnya (seperti rumput laut), bahan souvenir dan
perhiasan, koleksi karang dan ikan hidup untuk perdagangan
akuarium
Penambangan terumbu karang Pasir untuk bangunan dan jalan
Jasa struktur fisik Perlindungan garis pantai, membentuk daratan, mendukung
pertumbuhan mangrove dan lamun, pembangkitan pasir
karang
Jasa biotik (di dalam ekosistem) Merawat habitat, pustaka genetik dan biodiversitas, regulasi
fungsi dan proses ekosistem, merawat daya lentur kehidupan
Jasa biotik (antar ekosistem) Mendukung kehidupan mobile link, ekspor produksi organik
seperti jaring makanan (food web) pelagis
Jasa bio-geo-kimia Fiksasi Nitrogen, Kontrol neraca CO
2
/Ca, asimilasi limbah
Jasa informasi Memantau dan rekaman polusi, pengawasan iklim
Jasa sosial dan budaya Dukungan rekreasi, turisme, nilai estetika dan inspirasi
artistik, kelangsungan mata pencaharian masyarakat,
dukungan budaya, nilai spiritual dan reliji
Sumber : diadopsi dari Moberg dan Folke (1999)

Potensi Ekonomi Sumberdaya Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
seperti yang diinformasikan oleh Costanza et al. (1997) tentang perkiraan kasar
Global Economic Values of Annual Ecosystem Services tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Perbandingan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh beberapa tipe ekosistem
dan jasa utama yang diperankan

Tipe Ekosistem Nilai per Ha
(US$/tahun)
Nilai Global
(milyar $/tahun)
Jasa Utama
Estuari 22 832 4 100 Siklus nutrient
Rawa 19 580 3 231 Suplai air dan gangguannya
Padang lamun 19 004 3 801 Siklus nutrien, makanan
Mangrove/intertidal 9 990 1 649 Penanganan lembah dan gangguannya
Danau, Sungai 8 498 1 700 Regulasi air
Terumbu Karang 6 075 375 Wisata
Hutan Tropis 2 007 3 813 Regulasi iklim, Siklus nutrien, material
kasar
Pesisir 1 610 4 283 Siklus nutrient
Hutan subtropics 302 894 Regulasi iklim, siklus nutrient
Laut terbuka 252 8 381 Siklus nutrient
Padang rumput 232 906 Penanganan limbah
Lahan tanaman 92 128 Makanan
Padang pasir - - 1 925 Juta Ha
Tundra - - 74.3 Juta Ha
Kutub - - 1 640 Juta Ha
Urban - - 332 Juta Ha
Sumber : Costanza et al. (1997)
20



Tabel 6 Perkiraan nilai ekonomi sumberdaya perikanan

Komoditi Potensi
(Ribu Ton/tahun)
Perkiraan Nilai
(US$ Juta/tahun)
Perikanan Tangkap Laut 5 006 15 101
Tangkap Perairan Umum 356 1 068
Budidaya Laut (Mariculture) 46 700 46 700
Budidaya Tambak 1 000 10 000
Budidaya Air Tawar 1 039 5 195
Industri Biotek Laut - 4 000
Total Nilai 82 064
Sumber : Adrianto dan Wahyudin (2007)

Berdasarkan data LIPI, terdapat luas ekosistem terumbu karang di
Indonesia sekitar 85 700 ha. Perhitungan kasar dapat ditaksir potensi wisata laut
pada ekosistem ini mencapai US$ 520.6 Juta per-tahun. Terumbu karang di
Perairan Nusantara ini mencakup fringing reef seluas 14 542 km
2
; barrier reefs
(50 223 km
2
); oceanic platform reefs (1 402 km
2
) dan atolls (19 540 km
2
). Pada
World Ocean Conference (WOC) di Manado 2009, menyebutnya Perairan
Nusantara (terutama di Wilayah Indonesia Timur) sebagai Coral Triangle of the
World, karena terdapat biodiversitas karang 500-600 spesies yang terbesar di
dunia sehingga di wilayah perairan ini menjadi pusat produktivitas ikan tuna
dunia. Selanjutnya, luas perairan dangkal nasional yang cocok untuk budidaya
laut (rumput laut, ikan kerapu, kakap, baronang, kerang) sekitar 24.5 juta ha (DKP
2002). Jika ditaksir kasar berdasarkan nilai yang dihitung oleh Costanza et al.
(1997), maka dapat diperkirakan potensi nilai ekonomi ekosistem perairan
tersebut (as coastal shelf) adalah sekitar US$ 39.4 Milyar per tahun (Nganro dan
Suantika 2009).

2.3 Konservasi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil
Dalam Agenda 21 disebutkan bahwa untuk pengembangan pulau kecil
diperlukan pengelolaan yang terintegrasi untuk mencapai pembangunan yang
berkelanjutan serta perlindungan atas habitat dan sumberdaya alam. Dalam arti,
skema pengelolaan membutuhkan penyatuan dalam hal dimensi ekologi, sosial-
ekonomi dan budaya, sosial politik dan kelembagaan. Prasyarat dalam dimensi
ekologi :
21


1 Aktivitas harus didasari perimbangan ekologi dan perencanaan spatial serta
perencanaan penggunaan lahan merupakan puncak aktivitas yang sangat
penting;
2 Kegiatan yang ada saat ini dan di masa mendatang harus terencana dan
dikelola agar limbah yang dihasilkan di bawah kapasitas asimilasi lokal;
3 Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tidak dieksploitasi di atas kapasitas
regenerasi.
Dimensi sosial ekonomi dan budaya, pembangunan harus menyediakan
kebutuhan dasar manusia dan pelayanannya dalam kerangka kapasitas regenerasi
ekosistem asli. Dimensi sosial politik, aktivitas masa depan harus menjamin
pengikutsertaan luas dari masyararakat dan bentuk partisipasi aktif pada setiap
pengambilan keputusan. Dimensi kelembagaan, instansi pemerintah bertanggung
jawab dalam integrasi dan koordinasi pembangunan kepulauan kecil dengan
undang-undang maupun peraturan yang menjamin pelaksanaan yang bijaksana
setiap aktivitas pembangunan yang dijalankannya. Instansi ini perlu menjabarkan
tingkatan kompensasi masalah lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam,
serta mempunyai kemampuan untuk berkerjasama dengan pihak luar (Cincin-Sain
et al. 2002).
Departemen Kelautan dan Perikanan (2001) telah menetapkan kebijakan
mencakup 3 (tiga) aspek penting sebagai implementasi pengelolaan pulau kecil
dan wilayah pesisir secara terpadu, yaitu :
1 Kebijakan tentang hak-hak atas tanah dan wilayah perairan pulau kecil. Aspek
yang paling penting dalam kebijakan ini adalah bahwa untuk PPK dan wilayah
perairannya yang dikuasai/dimiliki/ diusahakan oleh masyarakat hukum adat,
maka kegiatan pengelolaan sepenuhnya berada di tangan masyarakat hukum
adat itu sendiri. Oleh sebab itu, setiap kerjasama pengelolaan pulau-pulau
kecil antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada
kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memperhatikan daya dukung
lingkungan dan kelestarian sumberdaya.
2 Kebijakan pemanfaatan ruang pulau kecil. Dalam pemanfaatan ruang pulau
faktor penting yang perlu diperhatikan di antaranya adalah :
22



a Tingkat kerentanan terhadap bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
ekologi,
b Ketersediaan sarana prasarana, kawasan konservasi, endemisme flora dan
fauna termasuk didalamnya yang terancam punah,
c Karakter sosial, budaya, dan kelembagaan masyarakat lokal,
d Tata guna lahan dan pemintakatan (zonasi) laut,
e Tingkat pengelolaan suatu pulau kecil harus sebanding dengan skala
ekonominya agar dapat diperoleh tingkat efisiensi yang optimal.
3 Kebijakan pengelolaan pulau kecil dan wilayah pesisir. Beberapa aspek penting
dalam pengelolaan PPK yang perlu dipertimbangkan di antaranya adalah :
keseimbangan/stabilitas lingkungan, keterpaduan kegiatan antar wilayah darat
dan laut sebagai satu kesatuan ekosistem dan efisiensi pemanfaatan
sumberdaya. Selain itu, pemerintah harus menjamin bahwa pantai dan perairan
pulau-pulau kecil merupakan akses yang terbuka bagi masyarakat. Pengelolaan
PPK yang dilakukan oleh pihak ketiga harus memberdayakan masyarakat
lokal, baik dalam bentuk penyertaan saham maupun kamitraan lainnya secara
aktif dan memberikan keleluasaan aksesibilitas terhadap PPK tersebut.
Secara umum, pengelolaan pembangunan harus mengacu pada kadah
pembangunan yang berkelanjutan. Beller (1990) menyatakan bahwa
pembangunan berkelanjutan di pulau kecil bergantung kepada seberapa besar
jumlah penduduknya dapat mempertahankan kondisi sumberdaya alam, termasuk
energi dan air, serta lingkungan ekosistem baik biofisik maupun tata nilai budaya.
Salah satu upaya awal untuk mendorong dan mempertahankan dinamika
pembangunan yang berkelanjutan di wilayah pesisir dan laut adalah melalui
pengelolaan kawasan yang mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam dan
pemanfaatan yang tidak melebihi kapasitas daya dukung lingkungan yang
dimilikinya. Konsep daya dukung lingkungan yang paling mendasar adalah
menjelaskan hubungan antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumberdaya
dimana populasi tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu
ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut.
Daya dukung merupakan satu sistem manajemen diarahkan pada pemeliharaan
atau restorasi dari ekologis dan kondisi sosial yang bisa diterima, disesuaikan
23


dengan sasaran manajemen area dimana tak satu pun sistem diarahkan pada
manipulasi dari taraf penggunaannya (Hall dan Lew 1998), serta berkaitan dengan
wisata maka daya dukung wisata adalah jumlah maksimum orang yang
berkunjung pada satu tujuan wisata dalam waktu yang sama tanpa merusak
lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial (WTO 1992).
Pembangunan merupakan suatu proses terjadinya perubahan dalam
meningkatkan taraf kehidupan manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan
sumberdaya alam tersebut. Perubahanperubahan yang terjadi dalam suatu
sumberdaya suatu kawasan, baik yang diakibatkan oleh aktivitas manusia,
maupun yang terjadi secara alami (natural process) merupakan wujud dinamika
adanya proses kehidupan di kawasan tersebut yang berdampak kepada kestabilan
pada semua ekosistem kehidupan. Perencanaan pembangunan pada suatu kawasan
pesisir harus didasari dengan konsepkonsep model kajian yang strategis dan
efektif untuk menjamin keberlanjutan melalui pendekatan sistem ekologi,
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pesisir. Pembangunan berkelanjutan
menjadi paradigma utama dalam khasanah dunia pengelolaan wilayah pesisir pada
akhir abad 20 yang mendasari konsep berkelanjutan yaitu integritas lingkungan,
efisiensi ekonomi, dan keadilan sosial (Kay dan Alder 2005). Konsep
pengelolaan wilayah pesisir di dalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan
antara pembangunan dan konservasi.
Menurut The Encyclopedia Americana, konservasi diartikan sebagai
manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga menjamin
pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa konservasi didefinisikan sebagai
manajemen biosfer secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi
sekarang dan generasi yang akan datang.
Kawasan pelestarian alam untuk kawasan laut dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan ini memiliki 2 (dua) bentuk
kawasan perlindungan, yaitu Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman
24



Wisata Alam. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam laut
yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Wisata Alam adalah kawasan
pelestarian alam laut dengan tujuan utama pemanfaatannya bagi kepentingan
parawisata dan rekreasi alam.
IUCN (1994) menyatakan kawasan dilindungi (protected area) adalah
suatu areal, baik darat maupun laut yang secara khusus diperuntukkan bagi
perlindungan, pemeliharaan keanekaragaman hayati, budaya yang terkait dengan
sumberdaya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau
upaya-upaya efektif lainnya. Marine protected area (MPA) pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1935 ketika didirikannya The Fort Jefferson National
Monument di Florida seluas 18 850 ha wilayah laut dan 35 ha wilayah pesisir,
menjadi pendorong bagi pembentukan MPA berikutnya. The Fort Jefferson
National Monument telah mendapat perhatian khusus pada The World Congress
on National Park tahun 1962. Selanjutnya, pada tahun 1982 kesatuan kerja dari
MPA meliputi perpaduan antara wilayah laut, pesisir dan perairan tawar di
daratan. MPA memiliki perbedaan bentuk, ukuran, karakteristik pengelolaan dan
dibentuk berdasarkan perbedaan tujuan. Secara umum terdapat empat jenis MPA,
yaitu: konservasi kawasan, konservasi jenis, konservasi jenis peruaya dan Marine
Management Area (MMA) atau Area Terkelola Laut (IUCN 1991).
Pengelolaan MPA mendapat perhatian khusus pada The World Congress on
National Park and Protected Area yang ke-4 tahun 1992 di Caracas, yang
tertuang dalam Action 3.5 meliputi: (1) Menggolongkan daerah pesisir-laut
sebagai perlindungan alam di berbagai wilayah yang telah memberi sumbangan
pada sistem global; (2) Melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir dan
memastikan keberhasilan pengelolaan perlindungan alam daratan dan laut; (3)
Mengembangkan dan menerapkan program pengelolaan MPA secara terpadu
(IUCN 1994). Pada prinsipnya MPA berperan untuk memenuhi tujuan dari World
Conservation Strategy, yaitu memadukan aktivitas konvervasi dengan non-
konservasi secara simultan, sehingga dapat meningkatkan manfaat dari pengguna.
Aktivitas konservasi bertujuan untuk : (1) memelihara proses ekologis dan
25


melindungi sistem penyangga kehidupan, (2) mempertahankan/pengawetan
keanekaragaman jenis beserta ekosistemnya, dan (3) pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sedangkan aktivitas non-konservasi
digunakan sebagai obyek penelitian, sarana pendidikan tentang flora-fauna dan
ekosistemnya, sarana dan parasarana wisata alam. Tujuan pengembangan MPA
adalah melakukan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hayati laut secara
berkelanjutan, terutama yang terkait dengan keberlanjutan sumberdaya perikanan
dan mengurangi dampak perubahan global climate (iklim dunia).
Konservasi wilayah pesisir dan PPK menurut UU Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah upaya perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan PPK serta ekosistemnya
untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya
pesisir dan PPK dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamanya. Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan PPK adalah
kawasan pesisir dan PPK dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk
mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan PPK secara berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut secara berkelanjutan
dilakukan dengan menyeimbangkan prinsip-prinsip perlindungan, pelestarian dan
kepentingan pemanfaatan secara tepat dalam konteks sesuai dengan kondisi sosial,
budaya dan ekonomi masyarakat setempat, terutama masyarakat setempat yang
telah memiliki akses turun-temurun terhadap kawasan konservasi tersebut.
Bentuk-bentuk pengembangan konservasi di Indonesia dilakukan dengan
pendekatan wilayah berupa konsep pengembangan Kawasan Konservasi Laut
(KKL) skala besar, KKL skala kecil, KKL daerah dan konsep MMA. Pengelolaan
kawasan konservasi laut skala besar, seyogyanya dikelola dengan melibatkan
seluruh pihak yang berkepentingan, atau pengelolaan bersama/pendekatan co-
management. Menurut CIT (2004), manajemen adaptif adalah suatu proses
formal pembelajaran dari yang dikerjakan, dimana aktivitas manajemen yang
dirancang sebagai percobaan untuk menguji perbedaan asumsi manajemen dan
hipotesis. Adaptive Co-Management (ACM) adalah suatu pendekatan kolaboratif
ke manajemen adaptif yang melibatkan pemerintah, penasehat dan perencana
yang dengan tegas dalam penetapan isu, pengembangan rencana dan luaran
26



manajemen. ACM bermakna sebagai hak tanggung-jawab, penetapan pihak yang
terkait untuk belajar dalam suatu masa melalui tindakan sedemikian sehingga
mereka dapat memodifikasi keputusan masa depan (bagian yang adaptif).
Menurut Kay dan Alder (2005) zonasi didasarkan pada konsep pemisahan
dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, merupakan suatu
sarana yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk
disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik.
Sebagian ahli berpendapat bahwa zonasi adalah sebagai pembagian kawasan
(lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam
untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna
memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan (Dahuri et al. 2003).
Pekerjaan penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena
bersifat multi sektor, multi proses, dan multi disiplin. Beberapa aspek yang harus
dikaji dalam penyusunan tata ruang pesisir PPK, yaitu aspek ekologi (biofisik),
sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem
pengelolaannya, kawasan taman nasional ditata dalam sistem zonasi, yaitu
pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti
zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada
prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur/mengelola
jenis-jenis kegiatan manusia di dalam taman nasional laut, sehingga dapat saling
mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasikan semua kegiatan masyarakat
di sekitar taman nasional tersebut. Pengelolaan kawasan konservasi laut skala
kecil melalui pendekatan partisipatif (community-based), dalam hal ini masyarakat
harus dilibatkan mulai dari identifikasi isu dan masalah sampai pada evaluasi dan
monitoring.
Persoalan sumberdaya dan lingkungan pada dasarnya terletak pada
kenyataan manusia dapat melalui sebuah proses pembelajaran (learning process)
secara evolusioner antar waktu sehingga manusia melakukan kegiatan ekonomi
pada level terbaik pada suatu waktu sesuai dengan daya dukung lingkungan.
Sistem manusia dan sistem alam pada dasarnya adalah proses berubahnya postulat
dunia kosong (empty world) ke Postulat dunia penuh (full world). Postulat dunia
kosong yakni dunia relatif kosong dari manusia dan infrastruktur, sedangkan
27


sumberdaya alam dan aset sosial berlimpah, atau dengan kata lain dunia dengan
jumlah penduduk dan artefak yang sedikit namun penuh dengan sumberdaya alam
sehingga fokus pembangunan pada pertumbuhan dan ekspansi, kompetisi bebas,
siklus limbah terbuka (open waste cycles). Postulat dunia penuh berkaitan dengan
kebutuhan manusia untuk perbaikan kualitas hubungan antara unsur
pembangunan, aliansi kerjasama dan aliran tertutup daur limbah (recycled closed
loop waste flows) (Costanza 2001; Adrianto 2005)
Perubahan dari postulat dunia kosong ke dunia penuh menggambarkan
bahwa pertumbuhan eonomi memiliki keterbatasan hingga suatu titik ekonomi
menuju kondisi stabil (steady state ekonomi) (Costanza 2009). Arus pemikiran
utama pembangunan ekonomi saat ini seringkali dipisahkan dari kenyataan lain
yang muncul dari sistem alam. Pentingnya perhatian pada sistem alam menjadi
alasan yang kuat bagi kebutuhan analisis dan pengelolaan lingkungan yang
inovatif (Adrianto 2005).

2.4 Model Keberlanjutan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
2.4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses)
Elliot et al. (2002) menyatakan penunjukan kawasan konservasi
menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dalam hal pemanfaatannya.
Berkaitan dengan pemantauan dan pengaturan keberlanjutan pengelolaan,
diperlukan tools untuk menilai tingkat tekanan terhadap ekosistem yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia pada lingkungan dengan menggunakan model
DPSIR/Drivers Pressures States Impacts Responses. Model ini
diperkenalkan oleh European Environment Agency (EEA) yaitu konsep hubungan
sebab akibat berdasarkan indikator lingkungan dengan menggunakan kategori
berbeda (RIVM 1995). Model DPSIR bertujuan mengidentifikasi aspek-aspek
atau parameter-parameter kunci pada suatu sistem dan memantau tingkat
keberlanjutan dari pengelolaan (Bowen dan Riley 2003). Selanjutnya dinyatakan
bahwa DPSIR merupakan suatu kerangka kerja untuk menentukan indikator-
indikator tekanan pembangunan oleh manusia yaitu mengamati perubahan-
perubahan pada faktor sosial, ekonomi dan lingkungan pada suatu periode waktu
tertentu. Isu-isu utama yang dipadukan dengan indikator pembangunan wilayah
pesisir diukur dalam ukuran skala yakni skala spasial dan temporal. Isu-isu spasial
28



berkaitan dengan kondisi geografis atau luasan area yang di dalamnya termasuk
perkembangan individu, rumah tangga, desa, kecamatan, kabupaten, nasional,
regional maupun secara global. Isu-isu temporal adalah berkaitan dengan
perubahan berdasarkan waktu pada saat indikator-indikator yang ada dipantau
berdasarkan suatu interval waktu.
Model DPSIR ini dapat digunakan untuk permasalahan pengelolaan
biodiversity yang kompleks akibat dari kerusakan habitat/menurunnya spesies
yang berhubungan dengan aktivitas sosial ekonomi masyarakat dalam skala ruang
dan waktu. Penekanan ini juga memberikan gambaran penting hubungan antara
perubahan ekosistem dan dampak perubahannya terhadap kondisi kesejahteraan
masyarakat (Turner et al. 2000). Perubahan indikator lingkungan yang relevan
terlihat pada Gambar 3.


Gambar 3 Model DPSIR yang diperluas : turunan indikator lingkungan untuk
mengevaluasi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam (Turner et
al. 2000)


Model DPSIR ini dikembangkan untuk mengevaluasi masalah kerentanan
di pulau kecil berdasarkan dengan tujuan, dimulai dengan definisi dan identifikasi
tujuan sebagai indikator yang dibutuhkan. Berhubungan kerentanan penilaian,
tujuan yang ada dapat mengurangi kerentanan alami yang ada. Langkah-langkah
berikut merupakan pengembangan dari indikator kerentanan :
29


1 Ruang lingkup, berupa analisis yang menyangkut target sistem indikator,
kebutuhan, persepsi, dan kapasitas untuk memahami dan menginterpretasikan
hasil tersebut dibutukan ruang dan wilayah serta batasan waktu.
2 Pemilihan kerangka indikator yang sesuai, yang meliputi daerah (lingkungan,
ekonomi, masyarakat); tujuan (kebutuhan dasar manusia, kemakmuran
ekonomi); sektor publik (perumahan, kesehatan, pendidikan); isu (polusi
industri, tingkat pengangguran); sebab akibat (kondisi-kondisi, tekanan,
reaksi), dan kombinasi faktor-faktor yang ada;
3 Kriteria pemilihan berkaitan dengan kebenaran, perhitungan yang mudah,
ketelitian, dan keefektifan biaya untuk mengumpulkan dan memproses data;
4 Identifikasi indikator potensial berkaitan dengan kerangka dan kriteria
pemilihan;
5 Pemilihan indikator akhir berkaitan dengan tingkatan sebelumnya
6 Evaluasi pelaksanaan indikator berkaitan dengan langkah-langkah sebelumnya
(Bowen dan Riley 2003).
Melalui penggunaan model DPSIR dimungkinkan untuk pemahaman
mengenai suatu dampak yang ditimbulkan terhadap ekosistem dalam pengelolaan
wilayah pesisir, yakni : 1) alasan mengapa dampak itu terjadi; 2) alternatif
kemungkinan terjadinya tekanan oleh faktor-faktor pengarah (drivers) pada suatu
lingkungan pesisir seperti hal-hal yang dikaitkan dengan berbagai parameter
penilaian; 3) kebijakan-kebijakan politis apa yang harus dilakukan oleh
pemerintah daerah berkaitan dengan kondisi dan tingkat kerentanan lingkungan
yang dipengaruhinya. Setiap parameter yang telah dikelompokkan sebagai
drivers oleh peneliti ditentukan oleh kesesuaian dan kapasitas lingkungan yang
ada. Pengembangan resiliensi/daya lenting sistem sosial ekologi merupakan kunci
bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes dan Seixas 2005). Resiliensi
berhubungan dengan gabungan dinamika sistem manusia dan lingkungan yang
menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor lingkungan dan sosial, serta
mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas dinamika yang ada di dalamnya
(Berkes 2007) sehingga sangat sesuai dengan konsep ICM (Integrated Coastal
Management) yang merupakan paradigma pengelolaan yang digunakan saat ini.

30



2.4.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological footprint Analysis)
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus selalu memperhatikan daya
dukung lingkungan untuk keberlanjutannya. Banyak pendekatan yang dapat
digunakan untuk menilai keberlanjutan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya
alam. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Analisis Ruang
Ekologis (Ecological Footprint Analysis) yang menunjukkan pemanfaatan
sumberdaya alam oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari, untuk
menghitung penggunaan lahan bioproduktif yang digunakan untuk menyokong
populasi dunia yang dinyatakan dalam satuan hektar. Konsep ecological footprint
pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees pada tahun 1996 dalam
bukunya yang berjudul Our Ecological Footprint: reducing Human Impact on the
Earth, dijelaskan bahwa setiap manusia memerlukan lahan untuk konsumsi
pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan, dan
infrastruktur lainnya, dan untuk kebutuhan energi (energy footprint), maka harus
ada lahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Jumlah footprint tersebut yang
disebut ecological footprint diri kita (Lyndhurst 2003). Indikator Ecological
footprint disebut juga indikator ecospace didefinisikan untuk menjawab seberapa
besar area produktif dari daratan dan perairan (sebagai sumberdaya) bagi
keberlajutan hidup manusia secara langsung untuk standar kehidupan dan dengan
teknologi (Wackernegel dan Rees 1996).
Analisis footprint di suatu wilayah penangkapan ikan dapat dihitung
berdasarkan hasil tangkapan maksimum berbagai jenis ikan (Gulland 1991). Hasil
tangkapan tersebut dikonversi dengan produktivitas primer berdasarkan trophic
level berbagai jenis ikan yang tertangkap (Ewing et al. 2008; WWF 2008).
Kebutuhan ruang ekologis adalah perbandingan Primary Productivity
Requirements/PPR dengan produktivitas primer sistem perairan (Pauly dan
Christensen 1995).
Menurut Moffat (2000) salah satu model ekologi-ekonomi yang dapat
digunakan untuk menganalisis sebuah sektor dalam kerangka pembangunan
kawasan pesisir secara berkelanjutan ini adalah pendekatan dinamika sistem
(system dynamics) yang diiniasi oleh Forrester Tahun 1961 (Forrester 1994)
Pendekatan tersebut menitikberatkan pada pemodelan perilaku antar variabel
31


(variable behavior) dalam sebuah sistem yang dalam studi ini adalah sistem
pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir dan pulau kecil. Salah satu
pendekatan dinamika sistem dalam kerangka pembangunan kawasan pesisir dan
pulau kecil berkelanjutan adalah pendekatan model ECCO/Enhanced Carrying
Capacity Option (Moffat dan Hanley 2001). Model ini memfokuskan diri pada
identifikasi beberapa ukuran keberlanjutan yang kemudian digabungkan dengan
kerangka model ekonomi makro.
Dalam konteks pembangunan sumberdaya pesisir dan PPK, model ECCO
lebih cocok karena konsep daya dukung tidak dapat dilepaskan sebagai input
balance bagi pembangunan sektor ini. Pengembangan kawasan pesisir dan PPK
harus mempertimbangkan faktor ketersediaan sumberdaya dan kelayakan
ekologis. Kerangka pemodelan dinamika sistem untuk pengembangan sektor
perikanan dan kelautan dalam konteks model ECCO tertera pada Gambar 4.


Gambar 4 Pendekatan ECCO untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (dimodifikasi dari Moffat dan
Hanley 2001)

Gambar diatas memperlihatkan bahwa optimasi pemanfaatan sumberdaya
ke-n di kawasan pesisir dan PPK harus mempertimbangkan 4 (empat) variabel
utama yaitu :
32



(1) populasi;
(2) sumberdaya alam (dapat pulih dan yang tidak dapat pulih);
(3) kegiatan ekonomi (investasi dan perdagangan), dan
(4) kondisi lingkungan (indeks polusi).
Sementara itu, terkait dengan pembangunan pesisir dan PPK melalui UU No. 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pemerintah telah
mengatur bahwa pemanfaatan PPK dan perairan di sekitarnya dilakukan
berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu
dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih
kepentingan berikut :
(1) konservasi;
(2) pendidikan dan pelatihan;
(3) penelitian dan pengembangan;
(4) budidaya laut;
(5) pariwisata;
(6) usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;
(7) pertanian organik, dan/atau;
(8) peternakan.
Dalam konteks ini, pengembangan kawasan pesisir dan pulau kecil sebagai
kawasan pariwisata dan perikanan merupakan salah satu pilihan utama bagi
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau kecil.

2.4.3 Pendekatan HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production)
Perkembangan ilmiah yang terintegrasi berkaitan dengan interaksi sistem
ekologi dan sosial yang kompleks antara manusia dan lingkungan melalui
kombinasi lingkungan dan ilmu-ilmu sosial (Haberl et al. 2001; Berkes dan Folke
2002). Masyarakat sebagai penggabungan struktur alami dan sistem berbudaya,
merupakan suatu unit sosial berfungsi untuk reproduksi suatu populasi manusia,
baik secara fisik maupun budaya, di dalam suatu wilayah sehingga terkait
dengan kedua sistem tersebut untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui
pemanfaatan sumberdaya alam (Fischer-Kowalski 2001).
Aplikasi dari konsep metabolisme biologi ke sistem sosial tergantung pada
keberlanjutan material dan energi dalam rangka pemeliharaaan struktur
33


internalnya (Fischer-Kowalski dan Haberl 1993; Ayres dan Ayres 2002). Haberl
et al. (2001); Fischer-Kowalski et al. (2001); memandang metabolisme sosial
sebagai sistem ekonomi berkaitan dengan aliran material dan energi yang diubah
dalam bentuk nilai barang dan jasa yang dikonsumsi manusia, menghasilkan
limbah, panas dan emisi lain yang dibuang ke lingkungan. Proses aliran material
dan energi dimetabolisme dalam sistem alam. Dampaknya terhadap lingkungan
dapat diukur besarannya melalui kebutuhan sejumlah material dari dan kembali ke
lingkungannya (EUROSTAT 2000).
Profil Metabolik suatu daerah atau negara-negara dewasa ini disajikan
dalam bentuk statistik berupa MEFA (Material and Energy Flow Accounting) dan
HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production), perubahan tata guna
lahan, waktu tenaga kerja dan ketersediaan air, kondisi geografi, tingkat
pembangunan, pertambahan penduduk, ketersedian teknologi, kebijakan dan
regulasi lingkungan merupakan bentuk profil metabolik masyarakat (Martinez-
Alier 2008). Profil metabolik suatu daerah dapat digambarkan secara statistik
melalui pendekatan HANPP berupa perkembangan ekonomi, geografi, kepadatan
penduduk, hubungan eksternal komersil, perubahan teknologi dan peraturan
lingkungan yang menjelaskan profil metabolik spesifik, hal ini berhubungan
antara masing-masing profil metabolik dan konflik ekologi pada skala yang
berbeda (lokal, regional, nasional dan internasional) (Martines-Alier 2005).
Pendekatan HANPP digunakan untuk menilai dampak manusia terhadap fungsi
ekosistem yaitu tekanan tata guna lahan dan jasa ekosistem (produksi dan jasa
pendukung). Masyarakat sebagai kombinasi dari struktur alam dan budaya,
merupakan unit sosial yang berfungsi reproduksi manusia baik secara fisik
maupun budaya. Metabolisme sosial merupakan proses yang kompleks yang
secara fungsional dari berbagai macam aktivitas manusia (Fischer-Kowalski et al.
2001).
Secara rasional, tata guna lahan sejauh ini memberikan pengaruh secara
global terhadap perubahan siklus biogeokimia sehingga diperlukan identifikasi
aktivitas manusia dan jumlah dampak yang ditimbulkan pada ekosistem dan
menganalisisnya sebagai faktor penggerak/ drivers sosial ekonomi (Erb et al.
2009). Sistem sosial ekologi untuk pulau-pulau kecil tertera pada Gambar 5.
34






Gambar 5 Keterkaitan antara sistem sosial ekologi pulau-pulau kecil (Modifikasi
Erb et al. 2007)


Karakterisitik sistem sosial ekologi PPK dapat dipelajari dengan
mengetahui investasi sistem sosial ke sistem ekologi dan sebaliknya seberapa
besar jasa sistem ekologi memberikan manfaat pada sistem sosial yang terkait
dengan pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang pesisir PPK berdasarkan
karakteristik dan daya dukungnya sehingga pengembangan setiap kawasan PPK
disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan kawasan pengembangan.

2.4.4 Pendekatan Keberkelanjutan Mata Pencaharian(Coastal Livelihood
System Analysis-CLSA)
Konsep Coastal Livelihood Analysis/ CLA dikembangkan dalam rangka
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, dimana aspek sistem alam (ekosistem)
dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan, yaitu CLA merupakan sebuah
pendekatan untuk strategi identifikasi mata pencaharian alternatif bagi
masyarakat pesisir terkait dengan tujuan umum pengelolaan pesisir dan laut untuk
keberlanjutan sistem sumberdaya itu sendiri (Adrianto 2005). Secara etimologis,
makna livelihood meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial dan
fisik/buatan), aktivitas di mana akses atas aset dimaksud dimediasi oleh
35


kelembagaan dan relasi sosial) yang secara bersama mendikte hasil yang
diperoleh oleh individu maupun keluarga (Saragih et al. 2007). Pendekatan
CLSA tersebut tertera pada Gambar 6.



Gambar 6 Kerangka konseptual untuk analisis keberlanjutan mata
pencaharian (DFID 1999 dalam Clark dan Carney 2008)


Gambar di atas menunjukkan bahwa identifikasi kerentanan merupakan
aspek penting dalam kerangka CLSA dimana masyarakat pesisir biasanya rentan
terhadap kerusakan sumberdaya. Hubungan antara manusia, sumberdaya alam,
keuangan dan kapital sosial merupakan hubungan timbal balik yang tidak dapat
terpisahkan. CLSA merupakan upaya mengurangi pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut yang memberikan alternatif tambahan pendapatan sekaligus
mejaga kelestarian sumberdaya alam. Dalam konteks ini, menurut Ellison dan
Allis (2001) kerangka makro dari pengembangan masyarakat pesisir terkait
dengan identifikasi mata pencaharian alternatif disajikan pada Gambar 7.

36


G


L
sistem
Step
kondis
sosial
merup
bersam
diiden
Step 2
pesisir
langsu
dilaku
memp
maupu
Step 3
yang h
Gambar 7

Langkah-lan
m insentif (E
1 : Mengum
si sumberda
ekonomi m
pakan salah s
maan interak
ntifikasi.
2 : Mengana
r dan laut,
ung berkontr
ukan. Pada
pengaruhi (d
un ekonomi.
3 : Mengide
harus dilakuk
Kerangka m
(Allison da
ngkah penen
Emerton 2001
mpulkan inf
aya alam.
masyarakat pe
satu faktor p
ksi antara m
alisis pengar
melalui ide
ribusi terha
saat yang b
driven factor

entifikasi ke
kan pada tah
makro penge
n Allis 2001
ntuan mata
1), terdiri ata
formasi tent
Dalam taha
esisir dan ko
penting yang
masyarakat pe
ruh masyara
entifikasi ak
adap kerusak
bersamaan d
rs) aktivitas
ebutuhan ma
hap ini. Perta
embangan m
1)
pencaharian
as 5 (lima tah
tang mata p
ap ini, infor
ondisi sumb
g harus diku
esisir dan su
akat pesisir t
ktivitas masy
kan sumber
dilakukan pu
s tersebut, b
asyarakat pe
ama adalah i
ata pencahar
n masyaraka
hap) yaitu:
pencaharian
rmasi tentan
berdaya alam
umpulkan da
umberdaya a
terhadap kon
yarakat pes
daya pesisir
ula identifik
baik dalam
esisir. Ada d
identifikasi k
rian alternati
at berbasis
masyarakat
ng kondisi k
m pesisir dan
n pada saat
alam (ekosis
ndisi sumber
isir yang se
r dan laut p
kasi faktor
perspektif s
dua aspek u
kebutuhan si

if
pada
t dan
kunci
n laut
yang
stem)
rdaya
ecara
perlu
yang
sosial
utama
istem
37


insentif yang diperlukan oleh masyarakat khususnya dalam kerangka konservasi
sumberdaya pesisir dan lautan. Kedua adalah peluang penerapan sistem insentif
dalam konservasi sumberdaya pesisr dan lautan.
Step 4 : Memilih sistem insentif yang tepat untuk pengelolaan sumberdaya
berbasis masyarakat. Dalam konteks tahap ini, identifikasi dan pemilihan sistem
insentif menjadi faktor penting. Sistem insentif harus disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan masyarakat pesisir seperti yang telah dilakukan pada tahap
sebelumnya.
Step 5 : Implementasi sistem insentif mata pencaharian terpilih (Gambar 8).
Pemilihan faktor insentif menjadi faktor penting, dimana harus disesuaikan
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pesisir.















Gambar 8 Langkah-langkah mendisain CLSA (Emmerton 2001)


Mata pencaharian alternatif dapat dikembangkan dengan langkah berikut
(DKP 2006) yaitu : 1) Menganalisis kegiatan ekonomi seluruh masyarakat
(menurut jenis kelamin, umur, pendidikan, ketrampilan, pendapatan, besarnya
keluarga, preferensi, pilihan) untuk menilai kebutuhan mereka; 2)
Mengidentifikasi berbagai program pemulihan pendapatan (perseorangan dan per
Step 1.
Mengumpulkan informasi tentang
karakteristik mata pencaharian
masyarakat dan kondisi SDA

Step 2.
Menganalisis pengaruh
masyarakat terhadap kondisi
sumberdaya alam
Step 3.
Identifikasi sistem insentif terkait
dengan pengembangan mata
pencaharian masyarakat
Step 4.
Memilih sistem insentif ekonomi
yang tepat untuk konservasi
berbasis masyarakat
Step 5.
Implementasi pengembangan
mata pencaharian masyarakat
berbasis insentif
38



kelompok) melalui konsultasi dengan pengusaha dan analisis kelayakan pasar dan
keruangan: 3) Menguji program pelatihan dan pengembangan pendapatan dengan
masyarakat terpilih atas dasar percobaan; 4) Merumuskan kerangka pengawasan
kelembagaan dan anggaran; 5). Memacu pemasaran produk di dalam dan di luar
tempat relokasi; 6) Mengevaluasi program dan memberi bantuan teknis tambahan.

2.4.5 Konsep Pemodelan Dinamik Integrasi Wisata Perikanan
Model secara terminologi penelitian operasional diartikan sebagai suatu
perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno 1999).
Model memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan
timbal balik (sebab akibat). Suatu model merupakan seperangkat anggapan
(asumsi) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami
dunia nyata yang memiliki sifat beragam sehingga mempelajari sistem sangat
diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah (variabel)
penting dan tepat, serta menemukan hubungan-hubungan antar peubah di dalam
sistem tersebut. Pengelompokkan model yakni berupa model ikonik seperti yang
berdimensi dua (foto, peta, cetak biru), atau tiga dimensi (prototip mesin, alat),
model analog (kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi statistik, diagram alir),
dan model simbolik seperti persamaan (equation). Kenyataannya suatu model
dapat bersifat statik dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang
peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu, sedangkan model
dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model.
Permodelan sistem merupakan salah satu metode analisis dalam
pemecahan suatu masalah dengan mengabstraksikan dari suatu objek pada situasi
yang aktual ke dalam konsep dan stukturisasi model. Tahapan dalam membangun
model simulasi komputer menurut Djojomartono (1993) adalah 1) Identifikasi dan
defenisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran, definisi, karakteristik yang
bersifat dinamik atau stokastik dari masalah yang dihadapi dan memerlukan
pemecahan dan mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah
tersebut. Batasan dari permasalahannya juga harus dibuat untuk menentukan
ruang lingkup sistem; 2) Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pandangan
yang lebih dalam lagi terhadap struktur sistem dan mengetahui dengan jelas
pengaruhpengaruh penting yang akan beroperasi di dalam sistem. Struktur dan
39


kuantitatif dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya
akan mempengaruhi efektivitas model; 3) Formulasi model. Tahap ini biasanya
model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat dimasukkan ke dalam
komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok
pada tahap formulasi model; 4) Simulasi model. Tahap simulasi komputer
digunakan untuk menyatakan dan menentukan bagaimana semua peubah dalam
sistem berperilaku terhadap waktu. Tahapan ini perlu menetapkan periode waktu
simulasi; 5) Evaluasi model. Berbagai uji dilakukan terhadap model yang telah
dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar memeriksa
konsistensi logis, membandingkan keluaran model dengan data pengamatan, atau
lebih jauh menguji secara statistik parameterparameter yang digunakan dalam
simulasi. Analisis sensitivitas dapat dilakukan setelah model divalidasi; 6)
Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup aplikasi model
dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanakan.
Konsep model awal merepresentasikan secara kualitatif seluruh aspek
relevan dari sistem yang dibangun (Forrester 1994; Grant et al. 1997) untuk model
integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka dengan tahapan berikut ini.
1 Penetapan tujuan, dimulai pertanyaan yang ingin dijawab dalam pemodelan.
Bagaimana skenario pemanfaatan ruang berdasarkan keterkaitan antara
kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung kawasan melalui integrasi wisata dan
perikanan.
2 Batasan sistem yang dibangun
Sistem yang dibangun berdasarkan kesesuaian pemanfaatan ruang dan daya
dukung secara ekologis untuk wisata dan perikanan.
3 Pengelompokan komponen yang dibatasi
Komponen sistem dikelompokkan menjadi tujuh kategori komponen sistem
yaitu :
- Variabel Keadaan (State Variables)
Variabel ini mencerminkan titik akumulasi materi di dalam sistem seperti
populasi penduduk, populasi wisatawan, total footprint, biomassa ikan.
- Variabel Pendorong (Driving Variables)
40



Variabel pendorong mempengaruhi tetapi tidak dipengaruhi oleh bagian lainnya
dari sistem integrasi wisata-perikanan yakni laju pertumbuhan intrinsik
- Konstanta (Constants)
Konstanta adalah nilai numerik yang menerangkan ciri suatu sistem yang tidak
berubah atau yang dapat digambarkan tidak berubah dibawah semua kondisi
yang disimulasikan oleh model seperti yield factor (YF), laju (kelahiran,
kematian, emigrasi, imigrasi).
- Variabel Pembantu (Auxiliary Variables)
Variabel ini muncul sebagai bagian perhitungan yang menentukan tingkat alih
materi atau nilai variabel yang lain, dan mencerminkan konsep yang
menunjukkan secara eksplisit di dalam model. Variabel pembantu mungkin juga
menggambarkan suatu produk akhir dari perhitungan seperti biocapacity (BC),
komponen footprint (built-up, energy, food and fibre), fraksi tangkapan, rasio
biomassa ikan, produksi lokal/regional per area.
- Alih Materi dan Informasi (Material and Information Transfers)
Sebuah alih materi mencerminkan peralihan secara fisik materi selama periode
tertentu : (1) antara dua variabel keadaan, (2) antara sebuah sumber (source) dan
variabel keadaan, atau (3) antara variabel keadaan dengan sebuah muara (sink).
Misalnya menghitung ecological footprint pada sub-model wisata (alih materi
biocapacity dari jumlah wisatawan di Gugus Pulau Batudaka ke ecological
footprint) atau menghitung produksi lokal/regional pada sub-model perikanan
(alih materi individu dari biomassa ikan di daerah penangkapan lokal/regional
ke produksi lokal/regional).
- Sumber dan Muara (Sources and Sinks)
Sumber dan muara menggambarkan masing-masing adalah titik asal mula
(awal) dan titik akhir alih materi masuk dan keluar dari sistem.
4 Identifikasi hubungan antar komponen
Tahapan dari perumusan model konseptual mencakup identifikasi hubungan
antar komponen sistem yang sedang dipelajari sebagai dasar pemahaman
analisis sistem yang lebih luas.


41


5 Penggambaran model konseptual
Penggambaran model konseptual pada umumnya berupa bentuk diagram
kotak dan panah. Diagram model konseptual juga menyediakan sebuah kerangka
kerja yang membantu kuantifikasi berikutnya dari model tersebut karena
persamaan dapat dikaitkan secara langsung terhadap bagian tertentu dari model
konseptual. Model konseptual tersebut dapat digunakan sebagai landasan
kebijakan, perubahan struktur, dan strategi pengelolaan sistem tersebut. Analisis
sistem dinamik bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai elemen penyusun
sistem, memahami prosesnya serta memprediksi berbagai kemungkinan keluaran
sistem yang terjadi akibat adanya perubahan di dalam sistem itu sendiri, sehingga
didapatkan berbagai alternatif pilihan yang menguntungkan secara optimal.

2.5 Integrasi Wisata dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu
Wisata (tourism) merupakan kegiatan perpindahan/perjalanan orang secara
temporer dari tempat biasa mereka menetap/bekerja ke tempat luar guna
mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau ditempat tujuan (Holloway dan
Plant 1989 dalam Yulianda 2007). Dalam perkembangannya sekitar tahun 1980-
an, konsep ekowisata dipopulerkan sebagai perjalanan wisata berbasis pada alam
yang mengandung dimensi learning dan pesan pembangunan berkelanjutan
(Weaver 2001), sedangkan menurut UU Nomor 10 tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan
rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata
yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Kegiatan wisata yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut sebagai
obyek wisata disebut wisata bahari. Wisata bahari merupakan aktivitas berkenaan
dengan rekreasi yang melibatkan jalan/cara perjalanan seseorang dari suatu
tempat kediaman ke tempat lain dengan fokus lingkungan laut (Orams 1999).
Sesungguhnya wisata bahari merupakan kegiatan yang memadukan antara dua
sistem yang kompleks yaitu sistem pariwisata (didominasi oleh sistem kegiatan
manusia) dan ekosistem alam laut. Berbagai kegiatan wisata bahari yang
umumnya dilakukan wisatawan di antaranya adalah, berenang, berselancar,
snorkeling, diving, beachcombing, berdayung. Menurut Wong (1998) terdapat
42



delapan macam pola wisata bahari dan empat pola di antaranya, yaitu Beach-
huts/bungalows, Beach hotels, Island-resort, dan Coastal-resort adalah
lazim dijumpai di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pemahaman tentang pengembangan wisata bahari berada di dalam lingkup
pengembangan usaha wisata tirta, seperti yang dijelaskan di dalam pasal 14 UU
No. 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yakni usaha wisata tirta merupakan
usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan
sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan
laut, pantai, sungai dan waduk. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun
2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, bahwa Wisata alam
adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan
secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan
keindahan alam di kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam.
Pariwisata berbasis pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi potensi yang
sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat kekayaan sumberdaya dan
keanekaragaman hayati laut yang tertinggi di dunia, serta keindahan alam pulau-
pulau kecil tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi pengembangan pariwisata,
khususnya pariwisata bahari. Ekowisata (eco-tourism) sebagai kegiatan wisata
yang bertanggung jawab yang berbasis utama pada kegiatan wisata alam, yang
dilakukan pada skala kecil untuk pengunjung wisata (Wood 2002). Ekowisata
PPK (Bengen dan Retraubun 2006) berpijak pada :
(1) Partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengelolaan;
(2) Pengelolaan berkelanjutan pada perlindungan sumberdaya alam, lingkungan;
(3) Kolaborasi antara pemangku kepentingan (stakeholders)
Gunn (1993) mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata yang baik dan
berhasil bila secara optimal didasarkan kepada empat aspek yaitu: (1)
mempertahankan kelestarian lingkungannya, (2) meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di kawasan tersebut, (3) menjamin kepuasan pengunjung, dan (4)
meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat di sekitar
kawasan dan zona pengembangannya.
43


Atas dasar karakteristik PPK, maka arahan peruntukan dan pemanfaatan
pariwisata memiliki kriteria sebagai berikut (Bengen 2002):
(1) Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang
ditimbulkan tidak menyebar dan mencapai kawasan perikanan.
(2) Berjarak aman dengan kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan
mencapai kawasan lindung.
(3) Sirkulasi massa air di kawasan pariwisata perlu lancar.
(4) Pembangunan sarana dan prasarana periwisata tidak mengubah kondisi
pantai, dan daya dukung PPK yang ada, sehingga proses erosi atau
sedimentasi dapat dihindari.
Davis dan Tisdell (1996) mengemukakan bahwa daya dukung (Carrying
Capacity) di dalam tourism didefinisikan sebagai maksimum jumlah turis yang
dapat ditoleransi tanpa menimbulkan dampak tidak dapat pulih dari ekosistem dan
pada saat yang sama dan tidak mengurangi kepuasan kunjungan. Penentuan daya
dukung pada tourism dapat dibedakan dua macam yaitu (1) melihat kemampuan
fisik wilayah tujuan wisata untuk menerima kunjungan sebelum dampak negatif
timbul (biophysical component) dan (2) menemukan level dimana arus turis
mengalami penurunan akibat keterbatasan kapasitas yang muncul dari tingkah
laku (behaviour) turis itu sendiri (behavioral component) (Savariades 2000).
Selain daya dukung sumberdaya, dituntut pula perubahan perilaku manusia untuk
mengeksploitasi sumberdaya yang ada dalam pemenuhan kebutuhannya karena
semua faktor tergantung pada perbedaan pola dan dinamika konsumsi
masyarakat, infrastruktur, teknologi (Seidl dan Tisdell 1999).
Casagrandi dan Rinaldi (2002) menggunakan model wisata minimal yang
sederhana karena tidak dapat mewakili sistem spesifik tertentu secara detil, namun
model ini berisi fitur-fitur utama dari beberapa sistem. Model ini menunjukkan
suatu lokasi generik dan hanya memiliki tiga variabel yaitu: wisatawan,T(t) yang
berada dalam suatu area pada waktu t, kualitas lingkungan alam E(t) dan modal
C(t) yang ditujukan sebagai struktur untuk aktivitas wisatawan. C(t) menunjukkan
asset nyata (berupa investasi) dan tidak digabung dengan jasa pelayanan yang
disediakan bagi wisatawan (Gambar 9).
44




Gambar 9 Interaksi Komponen Minimal Model keberlanjutan Pariwisata
T = wisatawan, E = lingkungan, C = modal (Casagrandi dan
Rinaldi 2002)


Model pengembangan wisata yang optimal (Gambar 9) dengan
mempertimbangkan tiga aspek yaitu lingkungan (Environmental/E), sosial
(Tourist/T) dan ekonomi (Capital/C), dimana wisatawan (T) dan fasilitas wisata
(memberikan dampak negatif bagi kualitas lingkungan (E). Pengaruh positif
kualitas lingkungan dan fasilitas wisata dapat menarik wisatawan serta dapat
menumbuhkan investasi penyediaan fasilitas baru bagi pengunjung yang
berhubungan dengan keuntungan kegiatan wisata.

2.6 Integrasi Perikanan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu
Sejak Food and Agricultural Organization (FAO) menerbitkan Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)/ Kode Etik Perikanan yang
Bertanggung Jawab pada tahun 1995 maka telah terjadi pergeseran paradigma
tentang pendekatan pengelolaan perikanan, yang sebelumnya menggunakan
pendekatan konvensional dimana pendekatan yang dipakai lebih sektoral sehingga
sedikit mengabaikan kaidah-kaidah ekologis. FAO menyebutkan bahwa
meskipun pendekatan ekosistem bukan merupakan hal yang baru dalam
pengelolaan perikanan namun masih belum banyak pembelajaran dalam
pendekatan ini, sehingga diperlukan melakukan penelitian pendekatan ekosistem
dalam pengelolaan perikanan baik secara konsep maupun teknis. Pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat didefinisikan sebuah proses yang terpadu antara
pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan
konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya, serta
perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan menggunakan penegakan hukum dari
45


aturan dan peraturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk
menjamin keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan
perikanan yang lainnya (FAO 1995).
Dokumen CCRF tersebut terdiri dari satu bab umum dan enam bab khusus
yang terdiri dari pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, budidaya, integrasi
perikanan dalam pengelolaan pesisir, pasca panen, dan penelitian perikanan.
Pasal 6 ayat (4), disebutkan bahwa "Keputusan - keputusan yang mengenai
konservasi dan pengelolaan perikanan haruslah didasarkan atas bukti - bukti dan
informasi ilmiah terbaik yang tersedia, disamping juga perlu mempertimbangkan
pengetahuan tradisional mengenai sumberdaya dan habitatnya, serta faktor -
faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi yang relevan".
Integrasi perikanan kedalam pengelolaan pesisir untuk membantu
pencapaian pemanfaatan sumberdaya pesisir yang makin langka secara rasional
khususnya ditujukan pada masalah tentang bagaimana sektor perikanan dapat
diintegrasikan ke dalam perencanaan pengelolaan pesisir sehingga interaksi antara
perikanan dan sektor lain dapat diperhitungkan dalam membuat kebijakan dan
penerapan pengelolaan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir.
FAO (1996) telah membuat panduan (Article 10 in CCRF) untuk menjelaskan
pentingnya perikanan yang bertanggung jawab. Artikel 10 berhubungan dengan
Integrasi Fisheries ke dalam Coastal Management untuk membantu pencapaian
pemanfaatan sumberdaya yang makin langka. Secara khusus, dengan
mengarahkan pada permasalahan bagaimana sektor perikanan dapat terintegrasi
ke dalam perencanaan pengelolaan pesisir sehingga interaksi-interaksi antara
sektor perikanan dan sektor-sektor lain dapat dipertimbangkan di dalam penetapan
kebijakan dan prakteknya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
Potensi sumberdaya dan jasa lingkungan yang prospektif untuk
dikembangkan di kawasan PPK adalah pariwisata dan sumberdaya perikanan
(Bengen dan Retraubun 2006) yang paling banyak berhubungan dengan ekosistem
karang. Adanya jenis-jenis ikan yang hidup di ekosistem karang merupakan daya
tarik yang sangat kuat bagi manusia, baik untuk kegiatan penelitian (scientific
interest), untuk penyelaman (wisata bahari) ataupun untuk diambil untuk
dikonsumsi dan dijadikan ikan hias akuarium. Berdasarkan penelitian Pusat
46



Pengembangan Oseanologi (P2O) LIPI yang dilakukan pada tahun 2000 bahwa
kondisi terumbu karang Indonesia saat ini 41.8% dalam keadaan rusak; 28.3%
dalam keadaan sedang; 23.7% dalam kondisi baik, dan hanya 6.2% masih dalam
keadaan sangat baik (DKP 2004). Kondisi terumbu karang berhubungan erat
dengan keberadaan ikan karang di suatu perairan. Semakin rusak kondisi terumbu
karang di perairan Indonesia dapat berdampak kemerosotan terhadap produksi
ikan karang di Indonesia. Diperkirakan dari 12 000 jenis ikan laut sebanyak 7 000
spesies hidup di daerah terumbu karang atau di sekitarnya, di perairan dekat pantai
(Subani dan Barus 1989). Selanjutnya dinyatakan bahwa sumberdaya perikanan
demersal merupakan sumberdaya yang poorly behaved, karena makanan
utamanya adalah plankton, kelimpahan sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan
tergantung kepada faktor-faktor lingkungan perairannya.
Sumberdaya ikan demersal termasuk jenis-jenis ikan sidentari yang
banyak terdapat di perairan pantai (inshore), baik perairan yang bersubstrat pasir,
berbatu dan berlumpur. Pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Indonesia
sampai saat ini masih berkisar pada usaha perikanan rakyat berskala kecil (small
scale fisheries) dan penggunaan alat tangkap yang masih sangat sederhana.
Lazimnya perikanan model ini dikenal dengan istilah perikanan artisanal (Eidman
1991). Produksi perikanan demersal yang merupakan bagian dari usaha perikanan
skala kecil sebagian besar didistribusikan pada pasar lokal (local market) dan
pasar regional (regional market). Potensi perikanan demersal tersebut dapat
memberikan kontribusi bagi pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah, maka
pemanfaatannya harus dikendalikan dengan tetap mempertahankan kelangsungan
sumberdaya ikan dalam jangka panjang melalui tindakan antisipasi terhadap
tekanan penangkapan.
Kondisi riil sumberdaya perikanan tangkap hubungannya dengan tingkat
pemanfaatan yang terjadi dapat dianalisis dalam bentuk CPUE yaitu hubungan
antara hasil tangkapan (kg) per upaya tangkap (trip) dari masing-masing jenis ikan
yang akan menghasilkan parameter biologi (konstanta laju pertumbuhan intrinsik
dari ikan = r), teknologi penangkapan (konstanta kemampuan tangkap dari alat =
q), lingkungan (kemampuan daya dukung dari perairan = K), estimasi upaya
tangkap optimum, sediaan ikan, pertumbuhan, dan produksi hasil tangkapan
47


sebagai pembanding. Hasil penelitian Laapo et al. (2007) menunnjukkan bahwa
penentuan besarnya potensi lestari sumberdaya ikan karang dan upaya
penangkapan optimum di perairan Tojo Una-Una untuk menentukan nilai
parameter biologi, teknologi, dan lingkungan menggunakan pedekatan Model
Equilibrium Schaefer sebagai model yang paling baik dibandingkan dengan yang
lain.
Perilaku variabel populasi dan produktivitas perikanan dapat dianalisis
dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik, untuk mengestimasi tingkat
pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan di kawasan pesisir PPK. Pendekatan
dinamik untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan tetera pada Gambar 10.













Gambar 10 Pendekatan dinamik EF perikanan untuk kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil (Adrianto dan Matsuda 2004)


Pendekatan sistem dinamik EF perikanan dibangun dari tiga sub ststem
yaitu populasi, sektor hasil perikanan dan konsumsi nyata. Submodel populasi
dihitung berdasarkan model verhulst, Submodel sektor hasil perikanan
berdasarkan model logistik Gompertz dan Submodel konsumsi nyata berdasarkan
Haberl (2001).

2.7 Konsep Model Integrasi Wisata-Perikanan dalam Pengelolaan Daerah
Konservasi
Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan
sumberdaya di wilayah pesisir yang mengelola semua orang dan segala sesuatu
yang ada di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda dengan
Sistem Dinamik
Produktivitas Hasil
Sistem Dinamik
Konsumsi
Sistem Dinamik
Populasi
Sistem Dinamik Ecological
Footprint Perikanan
48



pengelolaan wilayah pesisir : pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai,
pendidikan dan kesehatan, namun contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah
pesisir sebagai target. Fokus utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir
adalah pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri yakni inti dari konsep
pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif,
lingkungan, ekonomi, dan terintegrasi dengan sistem sosial. Selanjutnya konsep
pengelolaan wilayah pesisir didalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan
antara pembangunan dan konservasi. Pembangunan berkelanjutan berdasarkan
prinsip-prinsip lingkungan juga memasukkan konsep keseimbangan (Gambar 11)
ketergantungan waktu dan keadilan sosial (Kay and Alder, 2005).

Gambar 11 Konsep sederhana keseimbangan di dalam pengelolaan wilayah
pesisir (Kay dan Alder 2005)

Pembangunan berkelanjutan menjadi paradigma utama dalam khasanah
dunia pengelolaan wilayah pesisir pada akhir abad 20. Young pada tahun 1992
memperkenalkan sejumlah tema yang mendasari konsep berkelanjutan, yakni
integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan sosial (Kay dan Alder
2005). Prinsip pembangunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir :
1. Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi instrumen pengambilan
keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat ke
depan melalui analisis biaya manfaat;
2. Isu lingkungan di dalam pembangunan berkelanjutan seperti konservasi
keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan
keputusan;
3. Kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan datang
sangat diperhatikan dalam pembangunan berkelanjutan.
Kata integrasi menjadi begitu penting dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Beberapa kelompok integrasi yang harus dilakukan di dalam pengelolaan wilayah
49


pesisir (Cicin-Sain 2002) adalah : integrasi antar sektor di wilayah pesisir,
integrasi antar kawasan perairan dan daratan di dalam zonasi pesisir, integrasi
antar pengelola tingkat pemerintahan, integrasi antar negara, dan integrasi antar
berbagai disiplin.
Keterpaduan merupakan aspek yang sangat esensial dalam sistem
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, yang tidak hanya menjamin kecocokan
secara internal antara kebijakan dan program aksi, antara proyek dan program,
tetapi juga menjamin keterkaitan antara perencanaan dan pelaksanaan.
Berdasarkan jenis keterpaduan dapat dibedakan atas tiga jenis keterpaduan, yaitu
keterpaduan sistem, keterpaduan fungsi dan keterpaduan kebijakan (Chua 1993).
Keterpaduan sistem memasukkan pertimbangan dimensi spasial dan temporal
sistem sumberdaya pesisir dalam persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola
pemanfaatan sumberdaya dan penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini
menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi,
sosial dan ekonomi ditangani secara cukup, sertan membutuhkan berbagai
ketersediaan informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan
pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan
sasarannya, mengupayakan tidak terjadinya duplikasi antar lembaga yang terlibat,
tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi pesisir yang mengalokasikan
pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan salah satu bentuk efektif dari
keterpaduan fungsional. Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin
konsistensi dari program pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan
pemerintah pusat dan daerah serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir
adalah mengintegrasikan program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam
rencana pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Kebijakan dan strategi
penyuluhan pesisir harus dapat mengadopsi perubahan yang terjadi di wilayah
pesisir dan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional.

2.7.1 Wisata
Pendekatan pembangunan wisata berkelanjutan dengan memelihara
sumberdaya alam, budaya dan sumberdaya lain untuk satu penggunaan
berkepanjangan di masa mendatang, namun masih bermanfaat bagi generasi
50



sekarang. Pendekatan ini adalah penting karena pembangunan wisata bergantung
kepada atraksi dan aktivitas terkait ke lingkungan alami, warisan bersejarah dan
pola budaya dari daerah tersebut. Apabila sumberdaya alam ini terdegradasi atau
punah, maka daerah wisata tersebut tidak menarik bagi wisatawan dan pariwisata
tidak akan berhasil. Satu hal yang penting dari manfaat wisata adalah bila
dikembangkan melalui konsep keberlanjutan ini dapat membantu dan membayar
biaya konservasi dari satu kawasan sumberdaya alam dan budaya tersebut (WTO
1994). Perencanaan wisata dan implementasi yang tidak konsisten dilakukan
dapat mengakibatkan perkembangan wisata akan menghancurkan sumberdaya
dan menjadi tidak berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan membuat industri
wisata sadar akan pentingnya menyatukan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan pada perencanaan dan bertambahnya kunjungan yang terus menerus
seharusnya tidak lagi menjadi kriteria utama untuk pengembangan wisata. Hal
penting yang diperlukan adalah pendekatan pengembangan wisata yang integratif
yang bertujuan memproteksi lingkungan, menjamin bahwa wisata menguntungkan
penduduk lokal dan membantu pelestrian warisan budaya di negara tujuan wisata
(WTO 2000). Kode etik tersebut meliputi ketentuan yang mencakup aturan bagi
daerah tujuan wisata, pemerintah, penyelenggara tour, pengembang, biro
perjalanan, pekerja dan bagi para wisatawan. Industri wisata yang berkelanjutan
yaitu menggunakan sumberdaya alam yang berkelanjutan, penurunan konsumsi
berlebihan dan sampah, mempertahankan keberagaman, integrasi wisata ke dalam
perencanaan, ekonomi pendukung, pelibatan komunitas lokal, konsultasi
pemegang saham dan masyarakat, pelatihan staf, tanggung jawab pemasaran
wisata dan pelaksanaan penelitian (Farsari dan Prastacos 2001).

2.7.2 Perikanan
Pengelolaan sumberdaya dan partisipasi masyarakat di PPK memberikan
dampak yang baik dengan melibatkan masyarakat, seperti pengalaman
pengelolaan pada Pulau Pohnpei di Micronesia, dengan konsep integrasi
pengelolaan kawasan pesisir harus menyesuaikan dengan kondisi-kondisi geografi
dan sosial di PPK. Pengelolaan dan perencanaan PPK sebagai fokus strategi
dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam usaha perencanaan yang
mengacu pada tiga dimensi: spatial-ecological, structural-political dan
51


processural-temporal. Dimensi spatial-ecological berdasarkan pertimbangan
geografi mengingat PPK mempunyai ukuran kecil, konsep yang holistik suatu
kawasan pesisir semua pulau-pulau yang terfokus mengenai ruang (Dahl 1997).
Keterpaduan dalam pengelolaan daerah konservasi dapat didekati dengan
pemodelan sistem secara spasial, sehingga diperlukan penataan dan penempatan
setiap kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan laut secara tepat dan akurat
berdasarkan potensi dan kemampuan lahan pesisir (Kusumastanto 2004). Sebagai
contoh, pengembangan strategi yang dapat dilakukan untuk mendukung
penguatan progran mata pencaharian alternatif pada kegiatan perikanan
berkelanjutan (Smith et al 2005) tertera pada Tabel 7.

Tabel 7 Pengembangan strategi untuk peningkatan pendapatan pada kegiatan
perikanan berkelanjutan

No.

Strategi mata
pencaharian
Fungsi mata pencaharan perikanan
1 Bertahan/survival Subsisten (produksi makanan dan pendapatan)
Nutrisi (protein, mikronutrien, vitamin)
2 Diversifikasi semi subsisten Konsumsi sendiri-nutrisi dan keamanan pangan
Tenaga kerja dalam pertanian
Sumber keruangan
Diversifikasi untuk :
- Tenaga kerja dan konsumsi rokok
- pengurangan resiko
- strategi perlawanan terhadap schok
3 Spesialisasi sebagai nelayan Pasar (produksi dan pendapatan)
Akumulasi
4 Akumulasi diversifikasi Akumulasi
Retensi dari strategi akumulasi diversifikasi
Rekreasi
Sumber : Smith et al (2005)


2.8 Penelitian Terdahulu
Kajian pemanfaatan wisata-perikanan di kawasan pulau-pulau kecil
banyak dilakukan dengan mengacu pada konsep pendekatan ekosistem (Bass dan
Dalal-Clayton 1995). Pengelolaan dan pembangunan PPK dilakukan dengan
pendekatan yang bersifat spesifik lokasi (site spesifik) sesuai dengan karakteristik
masing-masing PPK tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu,
sustainability/ keberlanjutan pengelolaan PPK merupakan suatu konsep
pengelolaan yang memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam berdasarkan
sifat strong sustainability maupun weak sustainability. Keberlanjutan berdasarkan
52



weak sustainability merupakan konsep dasar aset/modal ekonomi (mesin, lahan,
tenaga kerja, dan pengetahuan) dan aset alam (sumberdaya alam dan lingkungan)
sebagai total aset, aset buatan sebagai bagian dari aset alam. Strong sustainability
memuat tiap jenis aset secara terpisah, menilai keberlanjutan terhadap daya
dukung sumberdaya alam, melindungi ekosistem kritis (Ayres et al. 2000; Bergh
2000). Beberapa kajian dengan konsep strong sustainability yang relevan dengan
penelitian ini tertera pada Tabel 8.
53



Tabel 8 State of the art dan tinjauan hasil penelitian terdahulu

No. Peneliti Pendekatan
Penelitian
Isu dan
Permasalahan
Kesesuaian
Pemanfaatan
Daya
Dukung
Ekologi
Daya
Dukung
Sosial
Daya
Dukung
Ekonomi
Tinjauan
1 Manafi
(2010)
Ekologi-
Ekonomi
Deskriptif GIS, LIT
(sekunder)
Air Tawar,
Yulianda et
al. (2009)
Deskriptif TEV Optimasi pemanfaatan ruang secara
spasial untuk pariwisata dan perikanan
(ecovalue space)
2 Kasnir
(2010)
Ekologi-
Sosial
Deskriptif GIS, LIT Yulianda et
al. (2009)
Deskriptif Valuasi
Ekonomi
Optimasi pemanfaatan ruang secara
spasial untuk minawisata bahari
menggunakan Linier Goal programming/
LGP dan Multi Dimension Scale/MDS)
3 Laapo
(2010)
Ekologi-
Ekonomi
Deskriptif GIS, LIT Yulianda et
al. (2009),
Indeks
Pencemaran
Deskriptif Valuasi
Ekonomi
Optimasi pengelolaan ekowisata
menggunakan LGP, MDS, dan analisis
dinamik dapat dicapai dengan
menerapkan kebijakan terpadu antara
program konservasi sumberdaya
ekowisata (fee konservasi), kegiatan
ekowisata berbasis terumbu karang,
mangrove dan budaya (diversifikasi
kegiatan ekowisata dan peningkatan
harga produk ekowisata bahari),
peningkatan kenyamanan, partisipasi
masyarakat lokal, peningkatan
penyediaan infrastruktur penunjang,
pembatasan dan distribusi kunjungan
wisman pada lokasi dan waktu tertentu.
4 Sulistiawati
(2011)
SES DPSIR GIS, LIT
Temporal
EFA (TEF,
FEF)
HANPP,
CLSA
Valuasi
Ekonomi
Integrasi pemanfaatan ruang secara
spasial dan temporal untuk wisata-
perikanan
54



55



3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Gugus Pulau Batudaka pada bulan Oktober 2008
Juni 2010 dalam wilayah administratif Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una-
Una Provinsi Sulawesi Tengah.

3.2 Metode Penelitian
Penelitian dirancang menggunakan pendekatan sistem sosial ekologi
(SSE) berdasarkan integrasi pengetahuan untuk menilai sistem dinamis yang
terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam (Erb et al. 2008)
dalam implementasi pengelolaan Gugus Pulau Batudaka. Identifikasi
permasalahan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
DPSIR (DriversPressuresStatesImpactsResponses), untuk mengetahui
keterkaitan faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem
sehingga dapat digunakan untuk mengukur intensitas penggunaan sumberdaya
oleh manusia dan aktivitas (wisata dan perikanan) menghasilkan limbah di
kawasan Gugus Pulau Batudaka. Penilaian terhadap tekanan ekosistem dianalisis
berdasarkan pada pendekatan keseluruhan sistem dan integrasi ekosistem yang
berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsinya (Turner et al. 2000).
Penelitian diarahkan untuk memperoleh data kondisi saat ini dan data optimal
pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka.

3.3 Metode Pengumpulan Data
3.3.1 Jenis Data
3.3.1.1 Data Biofisik
Data biofisik yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode observasi dan
pengukuran secara langsung di lapangan terhadap objek penelitian, sedangkan
data sekunder dikumpulkan dengan cara penelusuran berbagai literatur dan
pustaka pada instansi terkait sesuai materi yang dikaji (Tabel 9).



56



Tabel 9 Jenis data biofisik yang digunakan dalam penelitian

Komponen Biofisik Metode Pengumpulan
Data
Sumber Data Alat/bahan yang
digunakan
Komponen Biologi
Tutupan Komunitas karang
(%)
LIT/Line Intercept
Transect
Insitu, Bappeda,
BKSDA, CII, Citra
Landsat
Fin, Masker,
Snorkel, GPS
Jenis Terumbu Karang
(Genus)
English et al. (1994) Insitu, Bappeda,
BKSDA, CII
Fin, Masker,
Snorkel, GPS
Jenis Ikan Karang (Genus) Visual Sensus Ikan Insitu, Bappeda,
BKSDA, CII, Laporan
Penelitian
Fin, Masker,
Snorkel, GPS
Mangrove (Spesies) Transek Kuadran Insitu, Bappeda,
BKSDA, CII, Laporan
Penelitian
Meteran, GPS,
Daftar Isian
Lamun Transek Kuadran Insitu, Bappeda,
BKSDA, CII, Laporan
Penelitian
Meteran, GPS,
Daftar Isian
Komponen Fisik-kimia
Tipe pantai Observasi Insitu Meteran, GPS,
Daftar Isian
Penutupan lahan pantai Observasi Insitu Meteran, GPS,
Daftar Isian
Keterlindungan dari arus,
angin dan gelombang
Observasi Insitu GPS, Daftar Isian
Ketersediaan air tawar Observasi Insitu Meteran, GPS,
Daftar Isian
Material dasar perairan
(fraksi substrat, %)
Observasi Insitu, analisis Lab. GPS, Daftar Isian,
kantong plastik
Kedalaman perairan (m) Observasi Insitu, Peta Bathimetri Tali, pemberat
Meteran, GPS,
Daftar Isian
Pasang surut (cm) Observasi Insitu, Laporan Papan Berskala,
Daftar Isian
Arus (cm/detik) Observasi Insitu, Bappeda Current-meter, drift
float, GPS, Daftar
Isian
Suhu
0
C Observasi Insitu Thermometer GPS,
Daftar Isian
Kecerahan perairan (cm) Observasi Insitu Sechhi Disk, GPS,
Daftar Isian
Salinitas () Observasi Insitu Refraktometer, ,
GPS, Daftar Isian
pH Observasi Insitu pH meter, GPS,
Daftar Isian
Oksigen terlarut/DO
(dissolved Oxygen (ppm)
Observasi Insitu DO meter, GPS,
Daftar Isian

57


3.3.1.2 Data Sosial Ekonomi
Pengumpulan data primer sosial ekonomi yang dilakukan melalui
wawancara terhadap stakeholders yang terkait dengan materi penelitian. Data
sekunder diperoleh melalui penelurusan penelitian yang bersumber dari
Dinas/Instansi/Lembaga terkait tertera pada Tabel 10.

Tabel 10 Jenis data sosial ekonomi yang digunakan dalam penelitian

Komponen Sosek Metode
Pengumpulan Data*
Sumber Data Alat/bahan yang
digunakan
Komponen Sosial
Kependudukan Pustaka BPS Kab. Touna
Mata pencaharian Wawancara Bappeda dan BPS
Kab. Touna
Kuesioner
Kunjungan Wisatawan Wawancara, pustaka Disbudpar
kabupaten dan
provinsi, pengelola
wisata
Kuesioner
Daerah penangkapan Ikan
(fishing ground)
Survey, wawancara nelayan, masyarakat Kuesioner
Komponen Ekonomi
Biaya operasional wisata
Kunjungan wisatawan
Wawancara
Wawancara
Pengelola Wisata
Pengelola Wisata
Kuesioner
Kuesioner
Data wisatawan

Wawancara, pustaka

Pengelola Wisata,
Disbudpar
kabupaten dan
provinsi

Biaya operasional
penangkapan
wawancara

Nelayan,
masyarakat
Kuesioner
Harga ikan
Data produksi ikan
Survey, wawancara
Wawancara, Pustaka
Nelayan,
masyarakat, DKP
UPTD kecamaan,
kabupaten dan
provinsi
Kuesioner
Kuesioner
Keterangan : * Moleong (2005)


3.3.2 Metode Pengambilan Data
3.3.2.1 Metode pengambilan Contoh Biofisik
Lokasi pengambilan data komponen fisik-kimia perairan ada 15 (lima
belas) stasiun pengamatan (Gambar 12) dan yang ditentukan secara sengaja
(purposive sampling) dengan pertimbangan lokasi stasiun penelitian adalah yang
mempunyai keterwakilan pemanfaatan wisata dan perikanan berdasarkan
58




Gambar 12 Lokasi pengambilan contoh biofisik dan sosial ekonomi
59


pengamatan pada empat titik waktu yakni peralihan musim barat (Oktober 2008),
musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim
timur (Agustus 2009).
Pengamatan terumbu karang dan ikan dilakukan pada stasiun 6, 8 dan 10,
selain dengan pertimbangan keterwakilan pemanfaatan tersebut, juga berdasarkan
gambaran kondisi dan penyebaran terumbu karang dari hasil pengolahan citra
awal. Kebutuhan data primer biofisik untuk ekosistem terumbu karang dilakukan
secara horisontal (sejajar garis pantai) menggunakan Line Intercept Transect 100
m dari reef flat sampai reef slope berdasarkan kedalaman 3 m dan 10 m
(Supriharyono 2007), persentase tutupan, keanekaragaman jenis dan keseragaman
(English et al. 1997). Demikian pula pengamatan ikan karang ditentukan dengan
metode Sensus Visual Ikan Karang (Coral Reef Fish Visual Census) (English et
al. 1997).
Pengumpulan data biofisik pada ekosistem mangrove pada stasiun 2, 3, 12,
13 dan Umpagi (Desa Bomba). Pada setiap stasiun pengamatan ditetapkan
transek kuadran dengan cara menarik garis lurus dari arah laut tegak lurus garis
pantai sepanjang zonasi hutan mangrove (Bengen 2001; Fachrul 2007). Pada
setiap transek kemudian diletakkan secara acak petak-petak sampel (plot)
berbentuk bujur sangkar berukuran 10 x10 m
2
untuk kelompok pohon (diameter >
10 cm) yang ditempatkan di sepanjang garis transek, jarak antar kuadran
ditetapkan secara sistematis terutama berdasarkan perbedaan struktur vegetasi.
Kelompok tiang (diameter 2-10 cm) diambil pada petak berukuran 5x5 m
2
.
Kelompok semai (diameter <2 cm) diambil pada petak 1x1 m
2
yang ditempatkan
pada petak kelompok tiang. Pada setiap petak sampel dilakukan determinasi
setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, dihitung induvidu tiap jenis, dan
ukuran lingkar batang setiap pohon mangrove yang ada, parameter lingkungan
(suhu, salinitas, DO dan pH), tipe substrat, dampak kegiatan manusia pada setiap
stasiun (Bengen 2001).
Identifikasi lamun pada stasiun 2, 5 dan Umpagi (Desa Bomba) ditentukan
dengan metode transek kuadran yang ditarik dari pantai menuju ke arah tubir pada
ekosistem lamun secara tegak lurus garis pantai sampai batas terumbu karang.
Pada masing-masing transek diletakkan plot berukuran 1 x 1 m
2
, jarak antar
60



plot 10 m dan antar transek berjarak 100 m (Fachrul 2007),dengan kriteria
berdasarkan KMNLH No. 200 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Kerusakan dan
Penentuan Status Padang Lamun, untuk kondisi baik/kaya (dominan) dengan
penutupan >60%, rusak : kurang kaya/kurang sehat (sedang) dengan penutupan
30-59.9% dan miskin (sedikit) dengan penutupan <29.9%.
Komponen fisik-kimia yakni tipe pantai, penutupan lahan pantai,
keterlindungan dari arus dan gelombang, ketersedian air tawar, material dasar
perairan dilakukan dengan mengobservasi komponen tersebut di lokasi penelitian.
Fraksi substrat di lokasi mangrove diambil masing-masing sebanyak + 300 g pada
stasiun 2, 3, 12, 13 dan Umpagi (Desa Bomba) dan komposisi fraksi dianalisis di
laboratorium.
Pengukuran pasang surut dengan menggunakan tiang skala semi permanen
untuk memperoleh data perubahan elevasi muka air. Tiang skala ditempatkan di
daerah yang tetap tergenang air laut pada saat surut terendah. Pengamatan
dilakukan dengan pembacaan secara langsung ketinggian air pada tiang skala,
dicatat secara kontinyu setiap 1 jam selama 39 jam (metode Doodson) dan
minimal selama 15 hari untuk mengamati harmoni pasut (Ongkosongo 1989).
Pengukuran kecepatan arah arus dilakukan pada setiap stasiun pengamatan
dengan menggunakan layang-layang arus (drift float) untuk arus permukaan dan
current meter untuk mengukur kecepatan arus kedalaman. Pengukuran kecepatan
dan arah arus ditempatkan di sekitar penempatan transek, diukur setiap jarak 10 m
(Richards 1998).
Suhu permukaan perairan diukur dengan menggunakan termometer
batang. Sampel air laut dimasukkan ke dalam gelas piala, selanjutnya termometer
batang. dimasukkan kedalam sampel air. Air raksa dalam termometer batang
menunjukkan nilai suhu permukaan perairan dalam satuan
o
C. Kecerahan adalah
ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual dengan alat bantu secchi
disk. Pengukuran kecerahan dilakukan pada saat cuaca cerah antara pukul 09.00
15.00 dan matahari tidak tertutup awan.
Prinsip kerja refraktometer adalah pembiasan cahaya dari larutan sampel
pada skala refraktometer yang menunjukkan nilai salinitas. Alat dikalibrasi dengan
menggunakan aquadest sebelum digunakan dengan cara pada meja objek diitetesi
61


aquadest, kemudian diamati pada skala lensa (tepat pada angka nol). Larutan sampel
(air laut) ditetesi pada meja objek dan dicatat nilai salinitas yang ditunjukkan pada
skala lensa. dalam satuan .
Derajat keasaman/pH air laut diukur dengan menggunakan pH meter. Alat
ini memiliki sensor, dengan cara sensor dimasukkan kedalam wadah berisi sampel
air laut. Selanjutnya pembacaan nilai pH yang terdapat pada layar. Pengukuran
oksigen terlarut di dalam air laut dilakukan dengan metoda elektrokimia yakni
elektroda yang terdiri dari katoda dan anoda yang terendam dalam larutan
elektrolit (larutan garam) menggunakan DO-meter.

3.3.2.2 Metode Pengambilan Contoh Sosial Ekonomi
Data primer sosial ekonomi dilakukan dengan menggunakan metode
survei melalui teknik wawancara. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh
informasi mengenai kondisi wilayah penelitian dan persepsi atau sudut pandang
stakeholders yang terlibat langsung (responden) yang dianggap mempunyai
kemampuan dan mengerti permasalahan yang terkait dengan pemanfaatan
sumberdaya pesisir di kawasan tersebut, yaitu dengan responden terdiri dari
kelompok wisatawan (lokal dan mancanegara), pengelola wisata, nelayan, tokoh
masyarakat, pemerintah dan stakeholders lainnya. Pengumpulan data primer
dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Prosedur pemilihan dan penentuan jumlah responden tertera pada
Gambar 13.
Responden untuk wisatawan dibagi menjadi dua kategori, yaitu wisatawan
mancanegara (wisman) dan wisatawan domestik atau nusantara (wisnus). Jumlah
Wisnus sebagai responden dalam penelitian ini sebanyak 18 orang dan wisman
sebanyak 25 orang. Pemilihan responden wisatawan dilakukan pada beberapa
lokasi, dengan pertimbangan di lokasi tersebut telah ada aktivitas wisata.
Pelaksanaannya secara accidental sampling, yaitu sampel yang diambil dari siapa
saja yang kebetulan ada dan bersedia menjadi responden (Soeratno dan Arsyad
1993).
Jumlah desa di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una adalah 13 desa
dan lokasi pengambilan contoh sosial ekonomi ada 6 (enam) desa (Gambar 13)
yaitu Desa Wakai, Bambu, Siatu, Bomba, Malino dan Kulingkinari. Jumlah
62



contoh diambil dengan pertimbangan keterwakilan wilayah yaitu desa-desa yang
ada di Gugus Pulau Batudaka secara sengaja (purposive sampling) yang diambil
langsung untuk setiap kelompok responden sesuai dengan tujuan penelitian dan
berdasarkan kriteria tertentu (Adrianto 2007), yakni lokasi penelitian adalah desa
yang mempunyai potensi dalam pemanfaatan wisata dan perikanan serta
responden yang dipilih berdasarkan pertimbangan : responden dari unsur
masyarakat adalah penduduk dewasa yang sekurang-kurangnya telah menetap
selama 3 tahun dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut di Gugus Pulau
Batudaka. Responden terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh agama, PNS, nelayan,
petani, pedagang. Pengusaha wisata/pemilik guesthouse sebanyak 4 orang .
Unit populasi sebagai dasar penentuan responden dari unsur masyarakat
dan nelayan adalah Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di Gugus Pulau Batudaka
Kecamatan Una-Una. Jumlah KK di 6 desa tersebut pada tahun 2008 (BPS Kec.
Una-Una 2009) sebanyak 1 637 KK dengan profesi sebagai nelayan sekitar 50%
atau 818 orang, maka berdasarkan perhitungan rumus jumlah sampel (responden)
dari persamaan Slovin (1960) yang diacu dalam Sevilla et al. (1993), yaitu :
2
1 Ne
N
n
+
= .............................................................................................. (1)
di mana, n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
e = persentase ketidaktelitian karena pengambilan contoh (10%)

diperoleh jumlah sampel masyarakat sebanyak 94 orang (Tabel 11) dan 46 orang
nelayan.

Tabel 11 Ukuran sampel responden sosial ekonomi

No. Desa Populasi Rumah Tangga Ukuran Sampel
1 Wakai 619 35
2 Bambu 330 19
3 Bomba 285 16
4 Kulingkinari 254 14
5 Malino 92 5
6 Siatu 93 5
Jumlah 1 637 94



63






























Gambar 13 Kerangka sampling sosial ekonomi


Data Sosial Ekonomi
Pemanfaat Sumberdaya
Wisman Pengusaha Wisata Masyarakat
Pengambil Kebijakan
Nelayan
PEMDA
N
6
=8
Jenis Responden
N
2
=818
N
1
=1637
N
3
N
5
= 4

Purposive
sampling
n =25 n = 18
n = 94 n=46 n = 8
Random Sampling Sensus
n =12
n=231
Estimasi Proporsi Ukuran sampel
Pemilihan
responden
Jumlah unit
Responden
Wisnus
N
4

n=4
Accidental Sampling
64



3.4 Metode Analisis Data
Secara umum analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap.
Tahap I, Deskriptif, dengan mengidentifikasi permasalahan menggunakan
pendekatan DPSIR sehingga terpetakannya potensi dan pemanfaatan ruang untuk
wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka. Tahap II, Kondisi pembatas
berdasarkan kelayakan pemanfaatan secara ekologi, ekonomi, sosial kelembagaan.
Tahap III, Kolaborasi kondisi pembatas (analisis kelayakan pemanfaatan ruang
dan daya dukung lingkungan) yang diintegrasikam dengan optimasi model
dinamik. Tahap IV, Implementasi strategi model integrasi wisata-perikanan di
Gugus Pulau Batudaka, dan tahapan penelitian tertera pada Gambar 14.
Mulai


Tahap I
Deskriptif



Tahap II
Kondisi Pembatas



Tahap III
Kolaborasi


Tahap IV
Implementasi




Gambar 14 Tahapan penelitian model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau
Batudaka
Identifikasi Permasalahan
Pendekatan DPSIR
Analisis Kelayakan Pemanfaatan :
- Ekologi(EcologicalFootprintanlysis)
- Sosial/kelembagaan (HANPP dan CLSA)
- Valuasi Ekonomi
Analisis Kesesuaian Pemanfaatan
(GIS)
Dynamic Modelling (Stella)
Perumusan Model Integrasi
Verifikasi dan Validasi Model
Selesai
Wisata
Perikanan
I
N
P
U
T
P
R
O
S
E
S
O
U
T
P
U
T
65


3.4.1 Pendekatan DPSIR (DriversPressuresStatesImpactsResponses)
Pendekatan DPSIR untuk mengetahui keterkaitan faktor-faktor penyebab
terjadinya tekanan terhadap ekosistem sehingga dapat digunakan untuk menilai
intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas (wisata dan
perikanan) di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Penilaian tekanan terhadap
ekosistem dianalisis berdasarkan pendekatan keseluruhan sistem dan integrasi
ekosistem yang berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsinya berdasarkan
indikator ruang meliputi bentang alam, tata guna air, dan biodiversity (Turner et
al. 2000).

3.4.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan
Analisis variasi spasial karakteristik kualitas perairan antara stasiun
pengamatan digunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yaitu
Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis/PCA) (Bengen
2000). Analisis ini bermanfaat untuk mereduksi variabel yang berukuran besar ke
dalam variabel baru berukuran sederhana dan berguna untuk menduga suatu
fenomena sekaligus melihat hubungan antar variabel karakteristik perairan.
Melalui analisis tersebut diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai
gambaran setiap lokasi pengamatan memiliki karateristik fisika-kimia yang
dianggap memenuhi syarat untuk kegiatan pemanfaatan tersebut antara lain
kecerahan, salinitas, suhu, pH, dan DO. Analisis PCA dalam penelitian ini
menggunakan software XLSTAT 2010.
Penentuan kesesuaian pemanfaatan di Gugus Pulau Batudaka berdasarkan
Geographic Information System (GIS) menggunakan ArcGIS ver. 9.2. Secara
umum terdapat empat tahapan analisis kesesuaian pemanfaatan yang dilakukan,
yaitu (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matrik kesesuaian, (3)
pembobotan dan pengharkatan, dan (4) analisis spasial untuk kesesuaian wisata
dan perikanan.
(1) Penyusunan peta kawasan Gugus Pulau Batudaka
Penyusunan peta Gugus Pulau Batudaka menggunakan : (1) Data citra
Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper (ETM+) tanggal 17 Oktober 2000, dan 12
April 2007 dari BTIC Biotrop, 13 Juli 2000, 16 Juli 2001, 13 Desember 2009, 19
Maret 2010 dan 13 Oktober 2010 (http://glovis.usgs.gov/) (2) Peta Rupabumi
66



Indonesia 1:50.000 wilayah Gugus Pulau Batudaka Lembar 2215-13~14, 2215-
41~42 Tahun 1992 dari Bakosurtanal; (3) Peta informasi bathimetri 1:75.000
perairan Pulau-Pulau Togian-Dishidros Tahun 2008; (4) Data Landuse diperoleh
dari pengolahan citra tersebut yang membagi wilayah studi dalam kelas
penggunaan lahan untuk pemukiman, terumbu karang, mangrove, padang lamun;
(4) Pemanfaatan kegiatan mengacu pada zonasi kawasan yang dirinci dalam
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean (Bappeda Touna 2007).
Proses pengolahan citra Landsat TM untuk pemetaan terumbu karang,
mangrove, lamun dengan menggunakan model transformasi Lyzenga (1978)
menggunakan software ER Mapper versi 7.0. Klasifikasi penutup lahan dilakukan
dengan cara interpretasi visual yaitu dengan cara mendelineasi kenampakan-
kenampakan yang sama ke dalam satu kelas penggunaan atau penutup lahan
dengan menggunakan data tutupan lahan yang sudah ada. Penyusunan peta
kawasan dengan melakukan query terhadap data GIS dengan menggunakan
prinsip-prinsip kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui.
(2) Membuat matriks kesesuaian tiap kegiatan yang ada
Penyususnan matriks kesesuaian setiap kegiatan wisata dan perikanan
selengkapnya diuraikan sebagai berikut.

3.4.2.1 Wisata
Identifikasi dilakukan dengan mempertimbangkan faktor pembatas
(parameter) setiap jenis kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata, yaitu:
1 Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati,
sehingga memberikan rasa relaksasi dan memulihkan semangat daya
produktivitasnya;
2 Memiliki keaslian panorama alamnya (pantai berpasir, terumbu karang, ikan
hias) dan keaslian budaya;
3 Keunikan ekosistemnya;
4 Di lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin
besar dan topografi dasar laut yang curam;
5 Tersedianya sarana dan prasarana (mudah dijangkau, baik melalui darat
maupun laut, dan kemungkinan pengembangan aksesibilitas cukup baik, dekat
dengan restoran, tempat penginapan, dan ketersediaan air bersih).
67


Pemanfataan ruang berdasarkan parameter biofisik untuk kegiatan wisata yakni
jenis wisata minat khusus yang memiliki aktivitas yang berkaitan dengan kelautan
baik di atas permukaan laut maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan
laut/selam (scuba diving). Matrik kesesuaian kegiatan wisata di Gugus Pulau
Batudaka difokuskan pada kegiaatan wisata selam dan snorkeling, terinci pada
Tabel 12, dan 13.

Tabel 12 Matriks kesesuaian area untuk wisata kategori selam

No. Parameter Bobot
Kelas Kesesuaian (Skor)
S1 (3) S2 (2) N(1)
1 Kecerahan perairan (m) 25 >10 6-10 <6
2 Tutupan komunitas karang (%) 25 >75 50-75 <50
3 Jenis life form (unit) 15 >12 7-12 <7
4 Jenis ikan karang (Genus) 15 >100 50-100 <50
5 Kedalaman terumbu karang (m) 10 5-15 15-30 >30, <5
6 Kecepatan arus (cm/det)* 10 0-15 15-50 >50
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai N : Tidak Sesuai (Not Suitable); Modifikasi Yulianda (2007)
* : dinamik berdasarkan musim

Tabel 13 Matriks kesesuaian area untuk wisata ketegori snorkeling

No. Parameter Bobot
Kelas Kesesuaian (Skor)
S1 (3) S2 (2) N(1)
1 Kecerahan perairan (m) 20 <6 6-10 >10
2 Tutupan komunitas karang (%) 20 >75 50-75 <50
3 Jenis life form (unit) 15 >12 7-12 <7
4 Jenis ikan karang (genus) 15 >100 50-100 <50
5 Kedalaman terumbu karang (m) 10 1-5 5-10 >10
6 Lebar hamparan datar karang (m) 10 >500 50-500 <50
7 Kecepatan arus (cm/det)* 10 0-15 1-50 >50
Keterangan: S1 :Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); Modifikasi Yulianda (2007)
* : dinamik berdasarkan musim

3.4.2.2 Perikanan
Kesesuaian ruang untuk perikanan tangkap dilakukan untuk spesies
tertentu yang dominan sebagai spesies yang bernilai ekonomis penting.
Berdasarkan analisis terhadap hasil tangkapan ikan, diketahui bahwa spesies
ekonomis penting yang dominan di Gugus Pulau Batudaka adalah ikan lolosi, ikan
kakap dan rumput laut sehingga dibatasi untuk kesesuaian penangkapan ikan
karang dan budidaya rumput laut. Kriteria yang diperlukan untuk daerah kegiatan
perikanan dari aspek alokasi penetapan ruang terinci dalam Tabel 14 dan 15.

68



Tabel 14 Matriks kesesuaian perairan untuk ikan karang

No. Parameter Bobot
Kelas Kesesuaian (Skor)
S1 (3) S2 (2) N(1)
1 Kedalaman perairan (m) 20 > 5 3 - 5 < 3
2 Topografi dasar perairan 10 Curam landai-curam landai
3 Kecerahan perairan (m) 10 > 10 5 10 < 5
4 Perubahan cuaca 10 Jarang sedang sering
5 Kondisi terumbu karang 20 Baik sedang buruk
6 Pencemaran 10 tidak ada sedikit ada
7 Kelimpahan ikan target (ind/350 m
2
) 20 > 200 100 200 < 100
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); modifikasi DKP (2006)

Tabel 15 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut

No. Parameter Bobot
Kelas Kesesuaian (Skor)
S1 (3) S2 (2) N(1)
1 Kedalaman perairan (m) 20 3-15 2-3 atau >15-40 <2 atau >40
2 Material dasar perairan 15 karang berpasir pasir- pasir berlumpur lumpur
3 Kecerahan (m) 15 >10 5-10 < 5
4 DO (ppm) 10 >7 5-7 <5
5 Arus (cm/dt)* 20 21-30 11-<21 atau >30-45 <11 atau >45
6 Suhu (
0
C)* 10 28-30 25-28 atau 30-33 <25 atau >33
7 Salinitas ()* 10 30-32 25-<30 atau >32-35 <25 atau >35
8 pH* 10 8.2-8.7 7.0-8.2 atau 8.7-9 <7
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); * : dinamik berdasarkan musim
Modifikasi Wijaya (2007)


(3) Memberikan pembobotan dan pengharkatan
Pada tahap awal dilakukan pembobotan terhadap beberapa parameter yang
berpengaruh terhadap pengembangan wisata dan perikanan menggunakan matriks
pembobotan (Tabel 12-15). Proses pemberian bobot dan skor dilakukan melalui
pendekatan Indeks Overlay Model (Bonham dan Carter 1994) yaitu :

=
=
=
n
j
j
n
j
j j
i
W
W S
S
1
1
'

....................................... (2)
di mana S
i
= Indeks kesesuaian dari kategori ke-i, i = 4 kategori;
S
j
= Skor parameter ke-j;
W
j
= Bobot parameter ke-j;
n = Jumlah parameter

Pembobotan dilakukan secara bertahap, di mana overlay dilakukan terlebih
dahulu pada parameter yang berbobot paling tinggi kemudian hasilnya dioverlay
kembali dengan parameter yang berbobot lebih rendah dan seterusnya. Selain itu
setiap tema akan dibagi menjadi beberapa kelas yang diberi skor berdasarkan
69


tingkat kesesuaiannya dan hasilnya diperoleh nilai akhir atau matriks atribut
yang merupakan hasil perkalian antara bobot dengan skor kelas.
Kelas kesesuaian pada penelitian ini, dibagi kedalam 3 (tiga) kategori
berdasarkan FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) yaitu :
Kategori (S1) : Sangat Sesuai (highly suitable).
Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan
perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak
berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya
dan tidak akan menaikkan masukan tingkatan perlakuan yang diberikan.
Kategori (S2) : Sesuai (suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk
mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini
akan meningkatkan masukan/tingkat perlakuan yang diperlukan.
Kategori (N) : Tidak Sesuai (Not Suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala
kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.
Pada kegiatan ini diperoleh range nilai kesesuaian lahan antara 0-500. Range ini
selanjutnya dibagi dalam 3 kelas, sehingga pembagian nilai kesesuaian berikut ini.
Nilai 100-233 (N) = tidak sesuai
Nilai 234-367 (S2) = sesuai
Nilai 368-500 (S1) = sangat sesuai
(4) Melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian setiap kegiatan yang
ada di Gugus Pulau Batudaka
Tahapan dalam analisis spasial ini adalah setelah penyusunan matriks
kesesuaian berdasarkan kriteria dan persyaratan masing-masing, yang dilanjutkan
dengan kegiatan overlay. Proses pembobotan semua kegiatan berdasarkan
matriks kesesuaian di atas dilakukan untuk kondisi peralihan musim barat
(Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei
2009) dan musim timur (Agustus 2009), hal ini dilakukan agar hasil akhir dapat
mewakili kondisi musim. Hasil kesesuaian yang diperoleh dioverlay (tumpang
susun) untuk mendapatkan daerah kesesuaian pada kondisi musim tersebut serta
dioverlay dengan Rencana Zonasi Kawasan berdasarkan RDTR Kepulauan
70



Togean. Selanjutnya dilakukan analisis beberapa faktor yang mempengaruhi
kesesuaian lahan yang diperoleh, yakni :
(a) Keterlindungan perairan
Memperhatikan keberadaan terumbu karang sebagai pelindung dan pemecah
ombak di perairan wilayah pesisir, daerah teluk dan perairan yang terlindung
pulau yang besar ombak dan arusnya relatif rendah dan tenang;
(b) Wilayah konservasi atau jalur hijau pantai
Memperhatikan keberadaan hutan mangrove dan sumberdaya alam pesisir
lainnya yang perlu dilestarikan;
(c) Aksesibilitas
Meperhatikan sarana/prasarana, jaringan jalan dan bentuk pantai.
Hasil analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
merekomendasikan daerah yang berpotensi untuk dikembangkan usaha wisata dan
perikanan serta pengembangan potensi wilayah pesisir Gugus Pulau Batudaka.

3.4.3 Analisis Daya Dukung (Ecological Footprint Analysis)
Daya dukung pemanfaatan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka untuk
kawasan wisata dan perikanan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
Ecological Footprint Analysis (EFA). Daya dukung menjadi fokus perhitungan
EFA, agar pemanfaatan sumberdaya alam menjadi optimal terhadap kondisi
populasi dan aktual kegiatan ekonominya. Secara teoritis, EFA bertujuan
mengekspresikan kesesuaian area yang produktif secara ekologi terhadap
kebutuhan penduduk atau tingkat ekonomi tertentu melalui indeks keruangan
(Haberl et al. 2001; Adrianto 2006).

3.4.3.1 Daya Dukung Wisata
EFA untuk aktivitas wisata atau Touristic Ecological Footprint (TEF) :

...... (3)

di mana : TEF= total footprint wisatawan ke Gugus Pulau Batudaka (ha/orang/th)
TEF
b
= jumlah agregat komponen built-up land
TEF
e
= agregat fossil energy land;
TEF
c
= agregat konsumsi food and fibre dari arable land/crop land;
TEF
p
= agregat konsumsi food and fibre dari pasture land;,
TEF
f
= agregat konsumsi food and fibre dari

forest land;
TEF
s
= agregat konsumsi food and fibre dari sea space.
s f p c e b
TEF TEF TEF TEF TEF TEF TEF + + + + + =
71


TEF dari perjalanan wisatawan dengan memanfaatkan sumberdaya dan
lahan Gugus Pulau Batudaka (built-up land), dibagi beberapa komponen yaitu
transportasi, akomodasi, dan aktivitas (Gossling et al. 2002; Li Peng dan Guihua
2007).
...... (4)

di mana : TEF
b
= footprint built-up land (ha/orang/tahun)
TEF
t
= footprint transportasi (ha/orang/tahun)
TEF
a
= footprint akomodasi (ha/orang/tahun)
TEF
ea
= footprint energi untuk akomodasi (ha/orang/tahun)

Komponen built-up land untuk transportasi adalah semua perjalanan yang
berhubungan dengan wisata yang menuju dan kembali dari Gugus Pulau
Batudaka, dengan mempertimbangkan kebutuhan infrastruktur (jalan dan
pelabuhan). Total area perjalanan wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk
infrastruktur dalam proses perjalanan. Area yang dibutuhkan tiap wisatawan
disebut Built-up land dari komponen transportasi, dihitung dengan membagi total
area perjalanan dengan jumlah kedatangan wisatawan (domestik, mancanegara)
(Disbudpar Sulteng 2008).

............ (5)

di mana TEF
t
= ecological footprint wisata komponen transportasi (ha/orang/th);
t
j
= luasan area untuk infrastruktur jalan (ha)
t
p
= luasan area untuk infrastruktur pelabuhan) (ha)
x
i
= jumlah wisatawan tahun ke-i (orang/th)

Footprint perjalanan wisatawan untuk akomodasi terdiri dari area yang
diperlukan untuk akomodasi (guesthouse) dan fossil energy land. Total area
akomodasi wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk infrastruktur
(guesthouse, homestay, dll). Total area diperoleh dengan mengalikan luas area
setiap jenis infrastruktur dengan jumlah infrastruktur yang tersedia. Footprint dari
built-up land dari akomodasi dihitung dengan membagi total area kebutuhan
akomodasi dengan jumlah kedatangan wisatawan pada tahun 2007.



ea a t b
TEF TEF TEF TEF + + =
i
p
i
j
t
x
t
x
t
TEF + =
72




.......... (6)


di mana TEF
a
= ecological footprint wisata komponen akomodasi (ha/orang/th);
a
n
= luasan area infrastruktur akomodasi (guesthouse, homestay) (ha),
x
i
= jumlah wisatawan tahun ke-i (orang/th)

Footprint energi dari komponen akomodasi dihitung dengan mengalikan
penggunaan energi (penerangan) tiap guesthouse dengan jumlah guesthouse
kemudian dibagi dengan jumlah wisatawan.
Aktivitas meliputi kunjungan ke lokasi yang spesifik untuk tujuan wisata
bawah laut, rekreasi pantai, olah raga dll. Dalam hal ini, Footprint aktivitas
wisatawan yang berhubungan dengan ruang laut (luas yang dibutuhkan untuk
wisatawan untuk selam/diving dan snorkeling) dan dianggap merupakan bagian
dari buil-up land. Luasan untuk kegiatan wisata tersebut di Gugus Pulau
Batudaka diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan menggunakan GIS.
Fossil energy land untuk menghitung penggunaan energi (penerangan).
Ketersedian energi dihitung berdasarkan data produksi listrik (PLN dan Non PLN)
di Kecamatan Una-Una yaitu sebesar 661 KWH (Bappeda Touna 2007),
selanjutnya dikonversi dalam satuan Joule atau sebesar 2.38 GJ/ha/tahun.
Konsumsi sandang dan pangan untuk wisata merupakan footprint
berdasarkan lahan pertanian (crop land), hutan (forest land), produktivitas ruang
laut (sea space) dan padang rumput (pasture land) dihitung degan asumsi bahwa
kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi seharian di rumah (Li Peng dan
Guihua 2007), sehingga footprint sandang pangan dalam Living Planet Report
2008 (WWF 2008) dapat digunakan untuk menghitung data footprint nasional
yang dominan mengunjungi lokasi ini (Perancis, Belanda dan Indonesia). Jumlah
sumbangan rata-rata tahunan untuk konsumsi sandang dan pangan adalah 5 hari
yang merupakan rata-rata lama tinggal di Gugus Pulau Batudaka.
Kategori ruang yang berbeda terhadap total footprint dijumlahkan dengan
cara mengalikan area yang ada (hasil GIS) dengan equivalent factors, yang
menggambarkan produktivitas relatif rata-rata dunia (ha) dalam tipe lahan yang
berbeda. Equivalent factors dapat digunakan dalam perhitungan biocapacity,
dinyatakan dalam satuan global hektar (gha) (Gossling et al. 2002; WWF 2008).
i
n
n
n
a
x
a
TEF

=
=
1
73


Dalam konteks ini, pemanfaatan sumberdaya secara optimal tercapai apabila nilai
EF sama dengan nilai kapasitas biologis (biocapacity) dari sumberdaya alam yang
dianalisis. Sementara itu biocapacity (BC) dapat dihitung dengan menggunakan
rumus BC (Lenzen dan Murray 2001) :

YF A BC
i i
= ............................................ (7)

di mana : BC
i
= biocapacity ruang ke-i yang diperlukan untuk wisata
A
i
= luas land cover ruang ke-i (ha);
YF = yield factor land cover.

Yield factor land cover yang digunakan dalam perhitungan biocapacity pada
pendekatan ecological footprint di sini, didasarkan pada setiap tipe land use
(Lenzen dan Murray 2001; WWF 2008). Selanjutnya daya dukung lingkungan
(CC/carrying capacity) dihitung dengan rumus :
i
i
i
EF
BC
CC = .......... (8)

di mana CC
i
= carrying capacity ke-i untuk wisata (orang)
BCi = biocapacity ruang ke-i untuk wisata (ha)
EFi = ecological footprint wisata ke-i (ha/orang)

3.4.3.2 Daya Dukung Perikanan
Pendekatan ecological footprint/EF secara statis (Moffat 2000) dengan
memperhitungkan kebutuhan produktivitas primer (Primary Productivity
Requirements/PPR) (Pauly dan Christensen 1995; Wada 1999 dalam Adrianto dan
Matsuda 2004). Secara teoritik, sistem perairan dibagi menjadi 6 yaitu : (1)
sistem perairan terbuka (Open Oceanic System), (2) Sistem Upwelling, (3)
Tropical Shelves, (4) Non Tropical Shelves, (5) Coastal and Coral System dan (6)
Freshwater System (sungai dan danau) (Pauly dan Christensen 1995).
Selanjutnya dinyatakan produktivitas primer (PP/ primary productivity) untuk
masing-masing sistem tersebut adalah : (1) 103, (2) 973, (3) 310, (4) 310, (5) 890
dan (6) 290 gC/m
2
/th. Kebutuhan produktivitas primer tiap jenis ikan dapat
dihitung berdasarkan tabel referensi tiap kelompok ikan berdasarkan rata-rata
trohpic level (TL) dari sistem perairan. Untuk Gugus Pulau Batudaka ada dua
sistem yaitu Tropical Shelves dan Coastal and Coral System. Tropik level untuk
kedua sistem tersebut tertera pada Tabel 16.
74



Tabel 16 Tropik Level berbagai jenis ikan untuk Gugus Pulau Batudaka

Sistem Perairan Kelompok Spesies Tropic Level
Tropical shelves Small Pelagics 2.8
Misc. teleosteans 3.5
Jack, Mackerel 3.3
Tuna, bonitos, bilifishes 4.0
Squids, cuttlefish, octopuses 3.2
Shrimps, prawn 2.7
Lobster, crabs, other 2.6
Sharks, rays, and chimaeras 3.6
Coastal and Coral System Bivalves and other mollusca 2.1
Misc. Marine fishes 2.8
Herrings, sardines and anchovies 3.2
Seaweeds 1.0
Jack, Mackerel 3.3
Diadromous Fishes 2.8
Shrimps, prawn 2.6
Turtles 2.4
Sumber : Pauly and Christensen (1995).

PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Christensen (1995) yaitu :
) 1 (
10
9
+
=
TLi i
i
C
PPR ......... (9)
di mana : PPR
i
= kebutuhan produksivitas primer spesies ikan ke-i;
C = hasil tangkapan spesies ikan ke-i, C dibagi 9 sebagai konversi
berat atom C (Wada 1999 dalam Adrianto dan Matsuda 2004);
TL-i = rata-rata jumlah transfer tropic level produktivitas primer hasil
tangkapan ke-i.

Estimasi EF sumberdaya perikanan secara statis dimulai dengan produksi utama
biomassa ikan di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (Tabel 17) dan di
perairan Kabupaten Tojo Una-Una (Lampiran 1). Jika rata-rata efisiensi transfer
adalah 10% (Pauly dan Christensen 1995) maka ruang ekologis sistem perairan
untuk Gugus Pulau Batudaka dapat dihitung dengan formula (Wada 1999 dalam
Adrianto and Matsuda 2004) sebagai berikut.

a
n
i
ia
a
PP
PPR
EF

=
=
1
...... (9)
di mana : EF
a
= ruang ekologis sistem perairan a;
PPR
ia
= kebutuhan produktivitas primer spesies i di sistem perairan a;
PP
a
= produktivitas primer sistem perairan a; n = jumlah ikan

75


Tabel 17 Produksi ikan di Kecamatan Una-Una Tahun 2005-2008

Nama
Indonesia/lokal
Nama Inggris
Nama Ilmiah
Volume (kg)* Sistem
Trophic
Level
2005 2006 2007 2008 Perairan
Kerapu sunu Grouper
Plecrtopormus
leopardus
4 346 5 348 4 229 3 461 2 2.8
Kakap
Giant sea
pearch/Baramundi
Lutjanus sp. 7 963 7 880 5 753 8 060 2 2.8
Tongkol Frigate mackerel Auxis sp. 15 200 12 000 12 600 15 060 1 4.0
Teri/lureh/ rono
Commerson's
anchovy
(Anchovies)
Stolephorus
commersonii
(Stolephorus
sp.)
6 850 7 700 6 685 4 500 1 2.8
Tenggiri
Spotted spanish
mackerel (Indo-
pasific king
mackerel)
Scomberomorus
guttatus
450 250 450 150 1 4.0
Ekor
Kuning/lolosi
Redbely yellow
tail fusilier
Caesio cuning 6 220 5 150 4 160 3 831 2 2.8
Teripang Sea cucumber Stichopus sp 2 070 839 624 1 319 2 2.4
Kepiting bakau Mud carb Scylla serata 80 175 145 185 2 2.6
Udang Barong Spiny lobster Penulirus sp 585 75 560 115 2 2.6
Gurita Octopuses Octopus 300 230 830 280 2 3.2
Sumber : * Data Primer Terolah, DKP Kec. Una-Una 2006-2009
Keterangan : 1) Tropical Shelves; 2) Coastal and Coral System

3.4.4 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity)
Analisis metabolisme sosial ekologis gugus pulau kecil dapat dilakukan
menggunakan pendekatan HANPP yang dikembangkan Haberl et al. (2004).
Profil metabolik masyarakat lokal dan regional dapat digambarkan secara statistik
melalui pendekatan HANPP berupa pertambahan dan kepadatan penduduk,
produksi perikanan laut, serta tata guna ruang perairan. HANPP dapat
menggambarkan ekstraksi sumberdaya perikanan pada ekosistem di Gugus Pulau
Batudaka berdasarkan kebutuhan produktivitas primer (Primary Productivity
Requirements/ PPR). Formula HANPP :

h o
PPR PPR HANPP =
..................................................................... (10)


di mana : HANPP = Kebutuhan produktivitas primer untuk perikanan (kJ);
PPR
O
= potensial kebutuhan produktivitas primer (kJ) diperoleh dari
PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Christensen
(1995) dikalikan energi spesies ikan (kJ/100 g);
PPR
h
= produksi tiap spesies ikan (volume of landing, kg) dikalikan
energi spesies ikan (kJ/100 g) (Adrianto dan Matsuda 2004).

Selanjutnya efisiensi tiap spesies ikan dapat dihitung dengan membandingkan
HANPP dengan PPR
h
.
76



3.4.5 Analisis Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir (Coastal Livelihood
System Analysis-CLSA)
Analisis sosial dan budaya dengan melibatkan masyarakat dilakukan
dengan metode pengkajian CLSA merupakan salah satu penilaian yang objektif dalam
menentukan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pesisir (Adrianto, 2005).
Tahapan yang dilakukan adalah:
(1) Pengumpulan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi
sumberdaya alam;
(2) Menganalisis pengaruh masyarakat pesisir terhadap kondisi sumberdaya
alam;
(3) Identifikasi kebutuhan masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka;
(4) Pemilihan insentif;
(5) Menyusun strategi pilihan mata pencaharian.

3.4.6 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau
Perhitungan nilai ekonomi sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil (PPK)
dimulai dari analisis supply merupakan identifikasi potensi dan kondisi
sumberdaya yaitu tipologi PPK meliputi tipe ekosistem, tipe spesies dan
komunitas yang ada di dalamnya yang dilakukan penilaian ekonomi berbasis pada
teknik valuasi yang relevan untuk setiap sub-tipologi tersebut (Huttche et al.
2002; Adrianto 2005). Teknik penilaian ekonomi penelitian ini melalui
identifikasi manfaat dan biaya (benefit dan cost) kegiatan wisata dan perikanan.


3.4.6.1 Wisata
Manfaat objek wisata dan barang-barang lingkungan lainnya digunakan
pendekatan valuasi ekonomi objek wisata yakni Travel cost method (TCM). TCM
atau metode valuasi dengan biaya perjalanan merupakan salah satu teknik
penilaian yang secara konsep dapat dipergunakan untuk: (1) menilai daerah tujuan
wisata alam; (2) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya
terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; (3) biaya perjalanan total
merupakan biaya perjalanan, makan, dan penginapan; serta (4) surplus konsumen
merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut (Kusumastanto2000).
77


Penawaran (supply) wisata pada dasarnya merupakan gambaran dari
kuantitas dan kualitas dari jasa yang ditawarkan oleh pihak pengelola wisata pada
tingkat harga tertentu. Jasa yang ditawarkan berupa atraksi wisata pada berbagai
tingkat harga, ditentukan oleh beberapa faktor seperti: harga atraksi wisata itu
sendiri; harga atraksi wisata yang lain; biaya pengelolaan dan tingkat teknologi
yang digunakan (Sukirno, 2002). Laju pertumbuhan penawaran produk wisata
akan tergantung dari biaya dan jumlah produk yang ditawarkan, sehingga untuk
menduga laju penawaran produk wisata atau mengestimasi kurva penawaran
produk wisata bahari diturunkan dari fungsi biaya (khususnya biaya jangka
pendek). Beberapa atribut yang mempengaruhi laju penawaran dapat diperoleh
melalui analisis regresi linear berganda menggunakan Excel dan kurva penawaran
dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Mapple 9.5.
Hubungan penawaran/derived supply kunjungan wisata diperoleh dengan
melakukan regresi pada variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah
kunjungan Perhitungan penawaran wisata terkait dengan kegiatan pelayanan
wisata oleh perusahaan yang berkonsekuensi pada biaya produksi. Total biaya
(TC) yang dikeluarkan perusahaan wisata merupakan fungsi penawaran yang
nilainya tergantung dari jumlah kunjungan turis (V) atau secara matematis
dituliskan TC = f(V). Pada umumnya peubah yang dimasukkan dalam fungsi
hanyalah peubah yang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Peubah yang paling
berpengaruh dalam hal ini diantaranya adalah biaya konsumsi dan akomodasi (V
1
)
biaya pemeliharaan fasilitas wisata (V
2
) sebagai peubah bebas dan peubah tidak
bebasnya adalah Total cost (TC) yakni biaya operasional yang dikeluarkan
pengusaha untuk melayani wisatawan atas semua atraksi/produk wisata yang
disuguhkan, sehingga fungsi penawaran produk wisatanya adalah :

TC

=

0
+


1
Ln V
1
+
2
(V
2
)
2
............................................. (11)

di mana : TC = Total biaya operasional pengusaha wisata (US$)
V
1
= Biaya konsumsi dan akomodasi (US$)
V
2
= Biaya pemeliharaan setiap kunjungan wisatawan (US$)

0
= nilai variabel dari total biaya operasional

1
= nilai variabel dari biaya konsumsi dan akomodasi

2
= nilai variabel dari biaya pemeliharaan setiap kunjungan

78



Permintaan (demand) umumnya diartikan jumlah dari suatu barang atau
jasa yang dapat dibeli oleh konsumen pada berbagai kemungkinan harga, dalam
jangka waktu tertentu dengan anggapan hal-hal lain tetap sama atau ceteris
paribus. Permintaan wisata umumnya diapresiasikan dalam bentuk daftar volume
atau tingkat kunjungan yang dilakukan pada berbagai tingkat biaya perjalanan.
Keinginan seseorang untuk melakukan rekreasi dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti umur, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, waktu luang yang dimilikinya,
dan tempat tinggal (Sukirno 2000).
Analisis permintaan (demand) untuk wisata dapat digunakan pendekatan
Travel Cost Method (TCM) berdasarkan Fauzi (2004) dan Adrianto (2006). TCM
merupakan metode yang mengkaji biaya yang dikeluarkan tiap individu untuk
mendatangi tempat wisata di sekitar lokasi penelitian. Prinsip yang mendasari
adalah bahwa biaya yang dikeluarkan untuk berwisata ke suatu area dianggap
sebagai harga akses area tersebut. Jarak merupakan faktor yang menentukan
biaya perjalanan untuk mengunjungi suatu kawasan wisata. Pendekatana zonasi
dapat digunakan bila data mengenai jumlah pengunjung berdasarkan zona (jarak
ke kawasan wisata) tersedia. Namun, bila data jumlah pengunjung menurut zona
tidak tersedia maka dapat dilakukan pendekatan individu untuk menghitung
consumer surplus. Analisis biaya perjalanan yang digunakan di sini adalah
dengan pendekatan individu, dengan tahapan (Fauzi 2004; Adrianto 2006; Sobari
2007; Yudasmara 2010) :
(1) Mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan wisata ke
lokasi tersebut (seperti biaya perjalanan, pendapatan, jarak ke lokasi wisata,
umur, tingkat pendidikan ;
(2) Mengumpulkan data tentang faktor-faktor yang sangat mempengaruhi
permintaan, dalam penelitian diperoleh biaya perjalanan, pendaatan, jarak ke
lokasi wisata merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kunjungan wisata;
(3) Menentukan derived demand diperoleh dengan melakukan regresi pada
variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah kunjungan. Pada umumnya
peubah yang dimasukkan dalam fungsi hanyalah peubah yang memiliki
pengaruh yang sangat kuat. Peubah yang paling berpengaruh adalah biaya
perjalanan (TC), pendapatan (Y) dan jarak ke lokasi wisata (D). Untuk model
79


zonasi, dilakukan regresi untuk masing-masing zona sehingga diperoleh
fungsi permintaan atas kunjungan wisata untuk masing-masing zona. Fungsi
permintaan atas kunjungan wisata untuk model zonasi adalah sebagai berikut :
i i i i
D Y TC V ln ln ln ln
3 2 1 0
| | | | + + = . (12)

di mana : V
i
= trip kunjungan individu ke-i;
TC
i
= biaya perjalanan individu ke-i;
Y
i
= pendapatan individu ke-i;
D
i
= jarak ke lokasi wisata dari lokasi asal individu ke-i;

0
= nilai parameter dari trip kunjungan;

1
= nilai parameter dari biaya perjalanan;

2
= nilai parameter dari pendapatan;

3
= nilai parameter dari jarak ke lokasi wisata;

(4) Menghitung consumer surplus
Setelah mendapatkan kurva permintaan, selanjutnya dapat diperkirakan
manfaat ekonomi yang diperoleh dari kunjungan wisata. Manfaat ekonomi
tersebut diukur dari surplus konsumen wisatawan. Surplus konsumen adalah
perbedaan antara keinginan masyarakat untuk membayar dengan apa yang
dibayarkan konsumen, dihitung dengan langkah-langkah berikut :
(a) Masukkan rata-rata peubah bebas ke dalam persamaan (12);
(b) Selanjutnya CS dihitung dengan menggunakan formula di bawah ini :
1
_
|
i
V
CS
j
= ........................................................................................ (13)


di mana : CS
i
= consumer surplus individu ke-i;
V
i
= jumlah kunjungan individu ke-i;

1
= nilai parameter dari total biaya perjalanan

(5) Menghitung total benefit (nilai rekreasi) lokasi wisata
Dalam model zonasi, maka Total Benefit (TB) diperoleh dengan
menjumlahkan benefit per zona dengan formula berikut :

=
=
n
i
i
TV CS TB
1
....................................................... (14)

di mana : TB = total manfaat ekonomi lokasi wisata
CS
i
= consumer surplus individu i
TV = total kunjungan per tahun (diambil data sekunder)
n = jumlah pengunjung

80



3.4.6.2 Perikanan
Manfaat dari kegiatan perikanan (Gordon 1954 dalam Ruslan 2005) di
Gugus Pulau Batudaka dapat dihitung secara matematis :
TC TR = t ................................... (15)


n n n
X P Y P = t ............... (16)

di mana : = keuntungan;
TR = total revenue (penerimaan total);
TC = total cost (biaya total);
P
n
= harga per satuan produk ikan (Rp/kg);
Y = pendapatan dari total produksi ikan (kg);
X
n
= jumlah input yang digunakan (unit).


3.4.7 Analisis Dinamik Strategi Pengelolaan
Struktur dasar dari model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau
Batudaka yang dibangun mekanismenya dimulai dari masukan, proses, keluaran
dan umpan balik. Mekanisme kerja berkelanjutan yang menunjukkan adanya
perubahan menurut waktu atau bersifat dinamis. Perubahan tersebut akan
menghasilkan petunjuk kerja model yang dapat diamati perilakunya. Adapun
struktur model dalam penelitian ini tertera pada Gambar 15.


















Gambar 15 Struktur model integrasi pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus
Pulau Batudaka
SUB MODEL
WISATA
SUB MODEL
PERIKANAN
MODEL
INTEGRASI
OPTIMAL
ARAHAN
KEBIJAKAN
EKOSISTEM
81


Konsep model awal merepresentasikan secara kualitatif seluruh aspek
relevan dari sistem yang akan dibangun (Grant et al. 1997) dengan tahapan sebagai
berikut :
1 Penetapan tujuan, yaitu untuk megestimasi daya dukung lingkungan berbasis
ekologi kawasan terkait dengan dinamika kegiatan wisata dan perikanan.
2 Batasan sistem yang dibangun pada model integrasi wisata- perikanan adalah :
- Sub model wisata
- Sub model perikanan
Selanjutnya komponen-komponen yang didalam sub model tersebut ditentukan
dan dikelompokan sesuai fungsinya.
3 Identifikasi hubungan antar komponen. Secara kualitatif, struktur model yang
dibangun digambarkan dalam diagram alir (Causal loop diagram/CLD) untuk
memahami bagaimana proses, informasi dan strategi dari struktur sistem yang
dibangun (Gambar 16-20).
Secara kuantitatif, struktur model yang dibangun diuraikan masing-masing
sebagai berikut.

3.4.7.1 Sub Model Daya Dukung Wisata
Perumusan model wisata Gugus Pulau Batudaka pada kondisi ecological
footprint 10 tahun ke depan dan prediksi pertumbuhan jumlah wisatawan sebagai
dasar dalam membangun causal loop dan model dinamik yang diacu dari
Solarbesain (2009), yang merupakan pengembangan konsep dan hasil perhitungan
touristic ecological footprint (TEF) dan biocapacity secara manual (Lihat Sub
3.3.2) Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan Gugus
Pulau ini dengan segala sumberdaya yang ada di dalamnya untuk mendukung
jumlah wisatawan yang datang berkunjung di kawasan tersebut. Causal loop
model konseptual dari TEF tertera pada Gambar 16.
82




Gambar 16 Causal loop daya dukung wisata


3.4.7.2 Sub Model Perikanan
Pendekatan secara konseptual untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan
di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang khas dimana
aliran cadangan sumberdaya ikan (flow of fish stock) menjadi faktor penting dalam
keberlanjutan kegiatan ini, sehingga dinamika sumberdaya perikanan menjadi titik
sentral bagi optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan ini, selain
faktor populasi dan degradasi lingkungan.
Sektor Populasi
Verhulst model untuk variabel populasi penduduk di Gugus Pulau
Batudaka diberikan sebagai berikut :

|
.
|

\
|
=
K
N
r r 1
0
.............(16)

di mana r = laju pertumbuhan penduduk
ro = laju pertumbuhan awal;
N = jumlah populasi penduduk pada waktu tertentu (orang);
EF
Penginapan
EF
Energi
Area
Selam
Tot al
Turis
EF
Jalan
EF
Pelabuhan
EF Built -
Up
Exist ing
Energy
Biocapacit y
Exist ing
Cropland
Exist ing
Fishing
Ground
Exist ing
Past ure
Land
Exist ing
Built -up
Exist ing
Past ure
Land
Tot al EF
Wisat a
+
+
+
+
+
+
+
EF
Sandang
Pangan
Sea
Space
Forest
Land
Past ure
Land
Forest
Land
+
- +
+
+
Jumlah
energi
Konsumsi
Energi
Lama
Wisat a
EF
Akt ivit as
Area
Snorkeling
Area W.
Pant ai
+
+
+
+
+
+
Luas
Pengnp
Luas
Pelab
Luas
Jalan
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
83


K = batas atas jumlah populasi (orang)
Laju pertumbuhan populasi penduduk akan turun pada saat jumlah penduduk
(populasi) sebesar N dan akan sama dengan 0 ketika N = K, di mana parameter K
adalah batas atas dari pertumbuhan populasi. Dinamika populasi selanjutnya
dinyatakan secara formal sebagai berikut :

|
|
.
|

\
|
|
.
|

\
|
= =
K
N
N r rN
dt
dN
1
0
.....................................................................(17)

Persamaan di atas memiliki solusi :

( )
t r t
o
e N K N
K N
N

+
=
0 0
0
................................................ (18)

di mana N
t
= populasi pada saat t (orang);
N
0
= populasi awal (orang);
K = populasi maksimal (orang);
r
0
= pertumbuhan bersih populasi setelah mempertimbangkan fertility,
mortality, dan migration multiplier.

Causal loop model konseptual dari sektor populasi tertera pada Gambar 17.


Gambar 17 Causal loop populasi


Sektor Produksi Perikanan
Dasar pemikiran untuk sektor produksi perikanan adalah seberapa besar
sumberdaya perikanan mendukung konsumsi dan kehidupan penduduk di gugus
Pulau Batudaka. Variabel terpenting dalam analisis dinamika perikanan adalah
variabel produksi perikanan (yields). Tidak seperti sumberdaya lainnya, cadangan
Kelahiran
I migrasi
Populasi
Penduduk
Emigrasi
Kemat ian
+
+
-
-
+
+ +
+
+
+ -
-
84



sumberdaya perikanan tidak dapat diestimasi secara langsung. Produktivitas
perikanan dapat diduga dengan menggunakan pendekatan model kuantitatif .
Dalam literatur perikanan, terdapat 2 tipe model fungsional yang sering
digunakan dalam pendugaan produktivitas perikanan yaitu model logistik dan
model Gompertz (Tai et al. 2001). Model logistik diberikan sebagai berikut :

t
t
t
h
K
X
rX
dt
dX

|
|
.
|

\
|
|
.
|

\
|
= 1
.......... (19)
sedangkan model Gompertz diformulasikan sebagai berikut :
t
t
t
h
X
K
rX
dt
dX

|
|
.
|

\
|
= ln ............... (20)
di mana r = intrinsic growth rate,
K = daya dukung lingkungan;
h
t
= laju penangkapan (harvest rate) yang biasanya diasumsikan sebagai
h
t
= qE
t
X
t
, di mana q adalah koefisien tangkap (catchability
coefficient), E adalah tingkat upaya tangkap (fishing effort), dan X
adalah biomassa ikan.

Untuk menyelesaikan model di atas dan menduga parameter-parameter r, K dan q,
digunakan pendekatan model Schnute untuk menyusun persamaan surplus
produksi. Pendekatan Schnute tersebut adalah :
| |
(

+
+ =
(

+
+
+
2
1
1
1 t t
t t
t
T
E E
q CPUE CPUE
Kq
r
r
CPUE
CPUE
Ln ..................... (21)

Dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik, perilaku variabel
populasi dan produktivitas perikanan akan dianalisis untuk mengestimasi tingkat
pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan. Causal loop model konseptual dari
sub-sub model produksi perikanan skala lokal (Kecamatan Una-Una) dan regional
(Kabupaten Tojo Una-Una) tertera pada Gambar 18-19.
85



Gambar 18 Causal loop produksi perikanan lokal


Gambar 19 Causal loop produksi perikanan regional


Sektor Daya Dukung Perikanan
Model dasar daya dukung perikanan berdasarkan Ecological Footprint
dinamik dapat diformulasikan dengan persamaan :


lokij
ij
regij
ij
lokij
ij
ij
Y
EX
Y
IM
Y
DE
EF + = ...................................... `(22)

di mana : EF
ij
= ecological footprint perikanan di pulau ke-i (ha/orang);
DE
ij
= produksi domestik perikanan ke-i (kg/orang);
IM
ij
= produksi perikanan yang diimpor dari pulau lain (kg/ ha);
EX
ij
= produksi perikaan yang diekspor ke pulau lain (kg/ ha);
Y
lok ij
= yield (produktivitas) perikanan lokal di pulau ke-i (kg/ha);
Y
reg ij
= yield (produktivitas) perikanan regional di pulau ke-i (kg/ha).


Produksi
I kan lokal
per area
Fraksi
Tangkapan
Jumlah
armada
Produksi
I kan
Lokal
Biomassa
I kan
Kemat ian
I kan
Pert umbu
han
Marj inal
Koefisien
Tangkap
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
Area lokal
+
Produksi
I kan lokal
per reg
Fraksi
Tangkapan
Jumlah
t rip
Produksi
ikan reg
Biomassa
I kan
Kemat ian
I kan
Pert umbu
han
Marj inal
Koefisien
Tangkap
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
Area
regional
+
86



Elemen dasar dari model tersebut dalam literatur Ecological Footprint
disebut konsumsi riil (Apparent Consumption) yang digunakan untuk mengukur
konsumsi sesungguhnya terhadap sumberdaya (Haberl 2001).

t t t t
EX IM DE AC + = ............................................................................ (23)

di mana : AC
t
= konsumsi riil (kg)
DE
t
= produksi domestik (kg)
IM
t
= jumlah produksi perikanan yang diimpor pada tahun ke- t (kg)
EX
t
= jumlah produksi perikanan yang diekspor pada tahun ke-t (kg)
Impor produk perikanan dapat diestimasi rumus seperti yang diuraikan
Adrianto dan Matsuda (2004) :

( ) b P t CP CP IM
t act pot t
= .................... (24)

di mana IM
t
= estimasi impor ikan pada tahun ke-t (kg);
CP
pot
= konsumsi ikan potensial pada tahun ke-t (kg/orang);
CP
act
= konsumsi ikan aktual kapita pada tahun ke-t (kg/orang);
P
t
= populasi pada tahun ke-t (orang);
t = waktu;
b = koefisien penangkapan.

Adapun causal loop model konseptual dari sektor daya dukung perikanan tertera
pada Gambar 20.
87



Gambar 20 Causal loop daya dukung perikanan

3.4.7.3 Analisis Integrasi Wisata Perikanan
Integrasi Wisata-Perikanan digambarkan dalam diagram alir seperti yang
tertera pada Gambar 21.
Area
Lokal
Area
Regional
Produksi
Regional
Fakt or
Ekivalen
Dat a
Ekspor
EF
Perikanan
Dat a
I mpor
Produksi
Lokal
Laj u
Konsumsi
Domest ik
Dat a
Domest ik
I mpor EF Tot al EF Ekspor EF -
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
88




Gambar 21 Causal loop model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
EF
Penginapan
EF
Energi
Area
Selam
Tot al
Turis
EF
Jalan
EF
Pelabuhan
EF Built -
Up
Exist ing
Energy
Biocapacit y
Exist ing
Cropland
Exist ing
Fishing
Ground
Exist ing
Past ure
Land
Exist ing
Built -up
Exist ing
Past ure
Land
Tot al EF
Wisat a
+
+
+
+
+
+
+
EF
Sandang
Pangan
Sea
Space
Forest
Land
Past ure
Land
Forest
Land
+
- +
+
+
Jumlah
energi
Konsumsi
Energi
Lama
Wisat a
EF
Akt ivit as
Area
Snorkeling
Area W.
Pant ai
+
+
+
+
+
Luas
Pengnp
Luas
Pelab
Luas
Jalan
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Kelahiran
I migrasi
Populasi
Penduduk
Emigrasi
Kemat ian
+
+
-
-
+
+
+
+
+ -
Produksi
I kan lokal
per area
Area
Lokal
Fraksi
Tangkapan
Jumlah
t rip
Produksi
I kan
Lokal
Biomassa
I kan
Kemat ian
I kan
Pert umbu
han
Marj inal
Koefisien
Tangkap
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
Biomassa
I kan 2
Produksi
I kan
Regional
Area
Regional
Jumlah
armada
Fraksi
Tangkapan
2
Produksi I kan
Regional per
area
Koefisien
Tangkap
2
+
+
+
-
-
Produksi
Regional
Fakt or
Ekivalen
Dat a
Ekspor
EF
Perikanan
Dat a
I mpor
Produksi
Lokal
Laj u
Konsumsi
Domest ik
Dat a
Domest ik
I mpor EF Tot al EF Ekspor EF
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
Pet umbuhan
Marginal 2
Kemat ian
I kan 2
+
+
+
+
-
+
-
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
89


3.4.7.4 Verifikasi dan Validasi Model
Prediksi alur proses dari pemanfaatan ruang Gugus Pulau Batudaka
dianalisis menggunakan software StellaResearch 8.0.2 untuk memperoleh model
optimal berdasarkan kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung. Tahapan
verifikasi model sebagai pembuktian bahwa model komputer yang telah disusun
pada tahap sebelumnya mampu melakukan simulasi dari model abstrak yang
dikaji (Eriyatno 1999). Adapun tahapan yang dilakukan adalah tahap analisis
perilaku model dan evaluasi model. Pada tahap analisis perilaku model, model
simulasi komputer digunakan untuk menyatakan serta menentukan bagaimana
semua peubah dalam model berperilaku terhadap waktu. Dalam model dinamik
ini, yang akan diamati secara cermat adalah bagaimana informasi dari peubah-
peubah model dalam sistem pemanfaatan ruang untuk wisata dan perikanan di
Gugus Pulau Batudaka berperilaku terhadap semua titik pada jalur waktu.
Informasi ini akan sangat berguna dalam proses pengujian atau evaluasi model
dan mengestimasi kualitas luaran (output) dari operasi model tersebut.
Pada tahap evaluasi model, berbagai uji harus dilakukan terhadap model
yang telah dibangun untuk mengevaluasi atau validasi suatu model. Keabsahan
suatu model dapat dilihat melalui proses secara iteratif berupa pengujian secara
berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. Uji ini berkisar dari
memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan luaran model dengan data
pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameter yang digunakan di
dalam simulasi model (Masyahoro et al. 2004).
Verifikasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun dengan
cara yang benar, sedangkan validasi model untuk mengetahui apakah model yang
dibangun adalah model yang benar. Penentuan cara pengujian yang paling tepat
untuk memvalidasi suatu model dilakukan melalui pendekatan (1) berdasarkan
asumsi model, yakni pemeriksaan secara kritis atas asumsi-asumsi dasar yang
dibuat pada model yang dibangun, (2) berdasarkan model behavior, yakni hanya
menguji kesesuaian antara perilaku model dengan perilaku sistem nyata, (3)
berdasarkan asumsi dan perilaku model, yakni pemeriksaan asumsi, dan menguji
kesesuaian perilaku model dengan sistem nyata (Murthy et al. 1990).

90



Sintesis dari keseluruhan analisis berdasarkan kerangka pikir penelitian
tertera pada tabel berikut.

Tabel 18 Keterkaitan tujuan dengan metode penelitian

No. Tujuan Metode
1 Menganalisis interaksi sifat ekologis perairan
dan mengestimasi daya dukung lingkungan
dan sumberdaya kawasan Gugus Pulau
Batudaka yang dapat dimanfaatkan bagi
kegiatan wisata dan perikanan berkelanjutan
Analisis Kesesuaian Pemanfaatan (GIS)
Analisis Kelayakan Pemanfaatan :
- Ekologi (Ecological Footprint
anlysis)
- Sosial/kelembagaan (HANPP dan
CLSA)
- Valuasi Ekonomi
2 Merumuskan pengelolaan wisata-perikanan
yang terintegrasi secara spasial di Gugus
Pulau Batudaka.
Analisis Dinamik






















91


4 SISTEM SOSIAL EKOLOGI WILAYAH PENELITIAN

Secara Geografis Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean terletak di
tengah Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur pada posisi koordinat
0
0
21-0
0
35LS dan 12135-12158BT Kepulauan Togean terdiri atas 4 wilayah
kecamatan yaitu Una Una, Togean, Walea Besar dan Walea kepulauan, dengan
jumlah desa keseluruhan mencapai 47 desa. Gugus Pulau Batudaka masuk dalam
wilayah administrasi Kecamatan Una-Una. Berdasarkan hasil Survei BRKP tahun
2007, Kecamatan Una-Una memiliki 254 pulau dan pulau yang besar adalah
Pulau Batudaka dan Pulau Una-Una
Ekosistem pesisir dan laut merupakan penunjang bagi kelangsungan hidup
penduduk Gugus Pulau Batudaka. Kondisi ekosistem yang mulai terdegradasi di
beberapa wilayah perairan pesisir dan laut, baik sebagai akibat dari kegiatan
manusia maupun secara alami, memberikan kontribusi kehilangan (loss) dari rente
sumberdaya yang harusnya diterima oleh mayarakat. Indikator keberlanjutan
pengelolaan Gugus Pulau Batudaka mengacu pada penilaian dampak biodiversity
pada model DPSIR (Bin et al. 2009), secara lengkap tertera pada Gambar 22.


Gambar 22 Pendekatan DPSIR sebagai indikator dalam keberlanjutan
pengelolaan Gugus Pulau Batudaka
Populasi
penduduk,
Ekonomi
(permint aan
wisaya,
kegiat an
perikanan)
Dampak
sosial,
ekonomi dan
ekologi
Abrasi dan
sediment asi,
polusi air,
kehilangan
habit at ,
menurunnya
keanekaraga
man hayat i
Konversi
lahan
(pembukaan
mangrove
unt uk
pemukiman
dan t ambak)
sampah
domest ik
Respon sosial,
Respon ekonomi,
Respon ekologi
FAKTOR
PENGGERAK/
DRI VERS (D)
TEKANAN
LI NGKUNGAN/
ENVI ROMENTAL
PRESSURES (P)
PERUBAHAN KONDI SI
LI NGKUNGAN/
ENVI RONMENTAL
STATES CHANGES(S)
DAMPAK/
I MPACTS (I )
Pengurangan
P
e
n
g
u
r
a
n
g
a
n
Peningkat an
P
e
n
g
u
r
a
n
g
a
n
K
e
b
u
t
u
h
a
n
RESPONSES (R)
92



Kondisi ekosistem Gugus Pulau Batudaka dipengaruhi oleh faktor
demografi maupun aktivitas ekonomi seperti permintaan wisata, kegiatan
perikanan mengakibatkan terjadinya tekanan berupa konversi lahan, peningkatan
sampah domestik dan polutan lainnya sehingga status lingkungan berubah dengan
terjadinya abrasi, sedimentasi, pengayaan nutrien perairan, kehilangan hbitat,
penurunan keanekaragaman hayati mangrove yang berdampak pada ekosistem
dan sosial ekonomi serta implikasi kebijakan sesuai arahan penyusunan tata ruang
wilayah pesisir PPK yakni aspek ekologi berdasarkan daya dukung lingkungan,
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan, aspek sosial
ekonomi budaya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses)
Penilaian dampak pembangunan dan aktivitas masyarakat terhadap kondisi
ekosistem Gugus Pulau Batudaka berdasakan analisis DPSIR. Faktor pengarah
(driving force) yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu aktivitas masyarakat
maupun proses ekonomi yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas ekosistem
sepeti konsumsi, produksi, transportasi, pemukiman, perpindahan penduduk.
Pressure atau tekanan pada ekosistem akibat faktor pengarah tersebut adalah
pemanfaatan sumberdaya alam baik untuk wisata maupun perikanan, penggunaan
lahan. State merupakan indikator status yang menggambarkan kondisi sistem dan
tipe maupun karakteristik secara fisik, kimiawi, dan biologi. Impact merupakan
akibat tekanan pada kondisi ekosistem yang memberikan dampak sosial, ekonomi
dan ekologi. Response adalah berbagai tindakan yang dilakukan oleh masyarakat
baik induvidual maupun secara kolektif untuk mengatasi dampak lingkungan,
mengoreksi kerusakan yang ada atau mengkonservasi sumberdaya alam, meliputi
penetapan peraturan, pengeluaran biaya penelitian, pendapat masyarakat dan
preferensi konsumen, perubahan strategi manajemen dan lain-lain (Pinter et al.
1999; Mattei 2007).

4.1.1 Faktor-faktor Sosial Ekonomi (Socio-economic Drivers)
4.1.1.1 Demografi Kependudukan
Faktor-faktor driver pada kawasan Gugus Pulau Batudaka antara lain
yang berkaitan dengan kondisi demografi kependudukan (pertumbuhan,
93


kepadatan dan tingkat ketergantungan penduduk) yang mempengaruhi hubungan
fungsional terhadap kerentanan ekosistem pesisir gugus pulau.
Jumlah penduduk di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una dalam
periode Tahun 2001-2008 mengalami pertumbuhan sebesar 2% per tahun, yaitu
dari 11 325 jiwa pada Tahun 2001 menjadi 13 106 jiwa pada tahun 2008, terdiri
atas 3 547 rumah tangga dengan sebaran rata-rata per rumah tangga sebanyak 4
jiwa dengan kepadatan 44 jiwa/km
2
(BPS Touna 2009). Sementara pertumbuhan
penduduk rata-rata di Kabupaten Tojo Una - Una berdasarkan hasil perhitungan
penduduk dari tahun 2001-2005 adalah 0.04 atau 4% per tahunnya dan
pertumbuhan penduduk menurut kecamatan yang berada di daratan Pulau
Sulawesi berkisar antara 4%-7% (Bappeda Touna 2007).
Penduduk Kecamatan Una-Una pada Tahun 2008 sebagian besar termasuk
dalam kelompok umur produktif (15-55 tahun) sebesar 60%, dan kelompok umur
muda (0-15 Tahun) 32% dan kelompok umur tua (>55 tahun) sebesar 8%, dengan
jumlah penduduk yang sementara bersekolah (SD-SMA) sebesar 23% (BPS
2009).

Gambar 23 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur produktif
Tahun 2003-2008 di Kecamatan Una-Una


Klasifikasi penduduk menurut kelompok umur di Kecamatan Una - Una
terbagi atas penduduk usia produktif terdiri atas kelompok usia 15-55 tahun dan
penduduk usia non produktif yang tergolong dalam usia 0-14 tahun dan 55 tahun
keatas (Gambar 23). Pengklasifikasian penduduk berdasarkan kelompok umur
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
2003 2004 2005 2006 2007 2008
Produktif
NonProduktif
94



memberikan gambaran mengenai tingkat ketergantungan penduduk usia non
produktif terhadap penduduk usia produktif pada Tahun 2008. Usia produktif di
Kecamatan Una-Una yaitu sejumlah 7 819 jiwa dengan jumlah usia non produktif
5 286 jiwa sehingga angka ketergantungannya mencapai 68%. Semakin besar
penduduk usia non produktif maka akan semakin besar pula tingkat
ketergantungan terhadap penduduk produktif dan sebaliknya. Besarnya kelompok
usia produktif ini merupakan faktor driver yang mempengaruhi kualitas ekosistem
di kawasan ini.

4.1.1.2 Permintaan Wisata
Berdasarkan analisis pasar wisata Sulawesi Tengah tahun 2008 bahwa
50% kunjungan wisatawan mancangara (wisman) menurut minat wisata adalah
wisata selam, dan obyek wisata selam yang dikunjungi sebesar 64% ke Kepulauan
Togean dengan pengunjung terbanyak yaitu 78% berasal dari Eropa (Jerman, dan
Italia) dan trend kunjungan tertinggi bulan Agustus-Desember dimana 60%
wisman memiliki lama tinggal 510 hari, 23% dengan lama tinggal 11-15 hari dan
9% memiliki lama tinggal >15 hari dengan minat terbesar karena kondisi alam,
laut dan menyelam. Peningkatan tersebut berkaitan dengan aktivitas liburan di
negara-negara Eropa (Disbudpar Prov. Sulteng 2009). Pintu kedatangan
wisatawan ke Gugus Batudaka Kepulauan Togean adalah dari Gorontalo,
Makassar, dan Balikpapan, dengan tipe perjalanan wisman adalah individual dan
bersama keluarga. Motif wisman sebagian besar adalah wisata selam ini
berkonsekuensi terhadap daerah yang mampu menyediakan pelayanan wisata
selam dam aksesibilitas ke obyek tersebut.
Pelayanan wisata selam di Gugus Pulau Batudaka disediakan oleh 2
pengusaha yaitu di Wakai Cottage (Desa Wakai) dan Retreat Island Cottages
(Pantai Tipae Desa Bomba), juga tersedia sarana penginapan di Desa Wakai dan
Desa Bomba (Pantai Tipae dan Pulau Poya). Aksesibilitas pencapaian menuju
tempat wisata ke kawasan ini dari Kota Ampana menuju Bomba (3-4 kali
seminggu), Wakai (4-5 kali seminggu), dan dari Gorontalo ke Wakai (sekali
seminggu). Kebutuhan wisman atau pasar dalam hal ini adalah daya tarik obyek
wisata beserta sarana penunjang merupakan faktor driver dalam pengelolaan
Gugus Pulau Batudaka.
95


4.1.1.3 Kegiatan Perikanan
Pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir di Gugus Pulau Batudaka
masih dilakukan dalam skala kecil (unit ekonomi keluarga) dan nelayan di sini
kebanyakan adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap sederhana seperti
pancing, jaring, dan bagan. Usaha budidaya perikanan di kawasan ini relatif
sedikit yaitu Karamba Jaring Tancap (ikan hidup seperti kerapu, napoleon ikan
karang lain karamba jaring apung (bandeng), budidaya rumput laut, dan teripang.
Usaha pembukaan tambak berkaitan dengan pencarian lahan berusaha, hal ini
merupakan faktor driver di kawasan ini.
Jumlah tenaga kerja (10 tahun keatas) pada Tahun 2008 sebanyak 78%
(1 266 orang) di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una bergerak di bidang
pertanian termasuk perikanan, dengan kepemilikan perahu motor sebanyak 369
buah dan perahu tidak bermotor 438 buah dengan alat tangkap berupa pancing
807 buah dan bagan 48 buah. Kegiatan perikanan tersebut juga memberikan
kontribusi terhadap kondisi ekosistem di Gugus Pulau Batudaka.

4.1.2 Tekanan Lingkungan (Enviromental Pressures)
Pressure atau tekanan pada lingkungan/ekosistem akibat faktor-faktor
pengarah/drivers tersebut yaitu perkembangan penduduk yang pesat
mengakibatkan kebutuhan lahan pemukiman dan lahan berusaha (perikanan dan
pertanian) juga semakin meningkat. Kebutuhan akan pemukiman dan
prasarananya seperti jalan mendorong pembukaan lahan mangrove di Desa
Taningkola dan untuk tambak di Luangon Desa Bambu. Pesatnya pertambahan
penduduk juga memberi tekanan yang besar pada upaya konservasi yang telah
dilakukan selama ini, seperti kesadaran masyarakat menangani sampah domestik
masih kurang, hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan membuang sampah ke laut.
Dalam beberapa kasus masyarakat cenderung melakukan pemanfaatan
sumberdaya hayati dengan cara yang tidak ramah lingkungan, cara yang dipakai
cukup sederhana tapi efek kerusakan dan kehancuran eksosistem yang diakibatkan
sistem ini sangat besar, misalnya penggunaan bom dan racun dalam penangkapan
ikan maupun fauna lain yang dilindungi dan kemudian diselundupkan keluar
Gugus Pulau Batudaka yang merupakan kawasan Taman Nasional Kepulauan
96



Togean. Selain tekanan karena penduduk dan kegiatan perikanan tersebut, adanya
aktivitas wisata pun memberikan kontribusi terhadap kualitas perairan
Indikator stress terhadap tekanan lingkungan yang terjadi di kawasan
Gugus Pulau Batudaka adalah a) konversi lahan, khususnya hutan mangrove
untuk pemukiman dan tambak, b) jumlah sampah domestik dan polutan lainnya
yang cenderung meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk, aktivitas wisata
dan perikanan (terutama yang menggunakan perahu bermotor).

4.1.3 Perubahan Kondisi Lingkungan (Environmental State Changes)
Faktor status ekosistem berhubungan dengan kondisi perubahan kualitas
perairan, perubahan lingkungan pesisir berupa dampak fisik seperti abrasi dan
sedimetasi, polusi air/pengayaan nutrien perairan, kehilangan habitat dan
menurunnya biodiversity/ keanekaragaman hayati. Indikator referensi yang
berkaitan dengan status ekosistem di Gugus Pulau Batudaka yakni kualitas
perairan seperti yang tertera pada Tabel 19. Kondisi lingkungan perairan di Gugus
Pulau Batudaka relatif sesuai. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengukuran di
lapangan dibandingkan dengan baku mutu lingkungan untuk kegiatan perikanan
dan pariwisata menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH)
No. 51 Tahun 2004.

Tabel 19 Kondisi kualitas perairan Gugus Pulau Batudaka

Parameter Baku Mutu KMNLH Kondisi/Status Keteragan
Wisata bahari Biota Laut
pH 7.00-8.50 7.00-8.50 7.20-8.08* Sesuai
Salinitas () <34 <34 29.5-34.5* Sesuai
DO (mg/L) >5 >5 6.41-8.16* Sesuai
BOD (mg/L) 10 20 2.90-3.05** Sesuai
PO
4
(mg/L) 0.015 0.001*** 0.0070-0.0078** Sesuai
NO
3
(mg/L) 0.008 5.0*** 2.13-3.84** Sesuai
Keterangan : * Data Primer, semua stasiun biofisik (2009)
** Stasiun 5, 6, 7, Hasil Analisis Laboratorium Terpadu Fakultas Pertanian UNTAD (2009);
*** US EPA (1973)

Secara umum kondisi kualitas perairan di Gugus Pulau Batudaka masih
relatif baik sehingga memungkinkan untuk aktifitas kegiatan wisata dan
perikanan. Kandungan nitrat dalam suatu perairan menjadi indikator kesuburan
perairan tersebut. Dalam keadaan cukup oksigen terlarut (aerob), nitrogen dapat
97


diikat oleh organisme renik (bakteri) yang kemudian diubah menjadi nitrat
sehingga tingginya nitrat di perairan diduga karena banyaknya organisme renik
yang melakukan aktivitas tersebut sehingga menjadi subur. Kandungan nitrat di
perairan untuk lokasi budidaya rumput laut sebaiknya antara 0.10.7 mg/l (Aslan
1998), di luar kisaran tersebut maka nitrat menjadi pembatas pertumbuhan
fitoplankton. Kadar nitrat yang normal di perairan laut berkisar antara 0.0150
mg/L (Brotowidjoyo et al. 1995).
Ditinjau dari indikator lingkungan, dari lima parameter kimia yang
digunakan (pH, Salinitas, BOD, Fosfat dan Nitrat), satu parameter yaitu nitrat
telah berada diatas baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Hal ini dipengaruhi adanya aktivitas
masyarakat yang membuang sampah domestik ke laut maupun adanya pembukaan
lahan mengakibatkan peningkatan nitrat di perairan. Sumber amonia di perairan
adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen
anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan
organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh
mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendie 2004).
KMNLH (2004) memberikan Nilai Ambang Batas (NAB) nitrat untuk
wisata bahar dan biota laut, namun tidak memberikan NAB untuk karang. Hal ini
disebabkan nitrat merupakan nutrisi bagi organisme perairan, sehingga
diperkirakan tidak memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan dan
perkembangan karang. Indikator referensi perubahan lingkungan berupa dampak
fisik seperti abrasi dan sedimetasi serta kehilangan habitat dan menurunnya
keanekaragaman hayati, hal ini tergambar dari hasil Citra Landsat 7 ETM+ tahun
2000 dibandingkan dengan Tahun 2010 (Gambar 24-25). Selama kurun waktu
10 tahun di Gugus Pulau Batudaka terjadi peningkatan luasan mangrove, karang
hidup dan penurunan lamun (Tabel 20).
98




Gambar 24 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000
99


Gambar 25 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2010
100



Tabel 20 Hasil klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000 dan 2010

Hasil Klasifikasi
Tahun
Perubahan
Luasan
%
2000 2010
--------------------- (ha) ---------------------
Karang Hidup 1 192 1 781 588 49
Karang Mati 1 112 1 761 649 58
Pecahan Karang 369 256 -113 -31
Lamun Kerapatan Rendah 231 193 -38 -16
Lamun Kerapatan Tinggi 267 112 -155 -58
Pasir 1 691 658 -1 033 -61
Tidak Teridentifikasi 487 441 -46 -9
Mangrove 1976 2031 55 3
Sumber : Hasil olahan data Primer (2011)

Luasan karang hidup di Gugus Pulau Batudaka dalam waktu 10 tahun
mengalami peningkatan 49% atau sekitar 5%/tahun. Peningkatan luasan karang
hidup dan karang mati juga diikuti penurunan pecahan karang. Hasil ini ditunjang
dengan pengamatan pada stasiun Karangan Timur Tahun 2009 memiliki tingkat
penutupan karang hidup rata-rata 59%, dan CEPI (Collaborative Environmental
Project in Indonesia) pada Tahun 2000 mengamati penutupan karang hidup pada
stasiun yang sama sekitar 50% (Allen et al. 2002). Peningkatan luasan karang
hidup ini juga ditemukan seperti pada kawasan lain yakni adanya indikasi
pertumbuhan dan perkembangan koloni karang muda dari berbagai spesies,
terutama Acropora berbentuk ACT (Acropora tabulate) dengan rataan diameter
koloni 10-30 cm/th yang rusak akibat pemanfaatan di TWAL 17 Pulau Riung
NTT (Sahetapi dan Manuputty 2003).
Luasan lamun menurun sekitar 16-58% atau sekitar 2-6%/tahun. Hal yang
sama ditunjukkan dengan hasil analisis spasial pada luas ekosistem padang lamun
di Kepulauan Togean pada tahun 2001 dan tahun 2007 terjadi penurunan sekitar
5.5%/tahun (Zamani et al. 2007).
Luasan mangrove meningkat 3% atau sekitar 0.3%/tahun, walaupun hasil
penelitian Zamani et al. (2007) menunjukkan penurunan luasan mangrove sekitar
1%/tahun (Citra Tahun 2001 dan 2007) di kawasan Kepulauan Togean.
Pembukaan areal mangrove di Gugus Pulau Batudaka di Desa Taningkola dan
Luangon Desa Bambu sekitar tahun 2000. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai
101


dampak fisik seperti abrasi pantai pada daerah yang lebih terbuka (di Taningkola)
dan sedimentasi akibat penebangan mangrove dan pembukaan hutan untuk areal
perkebunan (Taningkola, dan Bambu), maupun dampak biologi seperti
berkurangnya frekuensi, densitas dan dominasi mangrove yang terjadi di Luangon
(Desa Bambu). Adhiasto (2001) melaporkan mangrove di Desa Bambu
didominasi oleh tegakan Bruguiera gymnorrhyza dengan frekuensi mencapai
100%, namun dengan adanya pembukaan tambak di Desa Bambu dan
pemukiman di Desa Taningkola menyebabkan zonasi tersebut terbuka dan terjadi
perubahan zonasi karena zonasi yang terbuka tersebut akan ditumbuhi semak dan
anak pohon dari Genus Rhizophora. Berdasarkan Laporan Pemantauan Ekosistem
wilayah pesisir Teluk Tomini Tahun 2008 bahwa status kerusakan lingkungan laut
Kecamatan Una-Una cenderung masih baik dan terlindungi, namun ekosistem
mangrove yang rusak sebagian besar diakibatkan alih fungsi lahan mangrove
menjadi tambak tradisional, pewarna jaring, kayu bakar, perkebunan campuran
(kelapa, palawija), lahan pemukiman baru, sebagian kecil disebabkan oleh proses
alam seperti abrasi, banjir.

4.1.4 Dampak (Impact)
Proses perubahan fungsi ekosistem Gugus Pulau Batudaka
konsekuensinya berdampak pada kesejahteraan manusia yang berkaitan dengan
produktivitas, kesehatan, kenyamanan dan perubahan nilai kondisi yang ada.
Indikator dampak akibat tekanan akivitas pembangunan di kawasan tersebut
dikelompokkan sebagai dampak terhadap ekosistem dan sosial ekonomi.

4.1.4.1 Dampak Ekosistem
Pendekatan sistem secara keseluruhan terhadap integrasi ekosistem yang
berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsi ekosistem pesisir Gugus Pulau
baik kualitatif maupun kuantitatif. Integrasi ekosistem berdasarkan indikator
ruang meliputi Lanscape, wter regim dan biodiversity (Turner et al. 2000).
(1) Bentang Alam/Landscape
Struktur wilayah Gugus Pulau Batudaka dengan topografi dataran adalah
datar sampai berombak dengan sedikit bagian yang berbukit yaitu 28% daratan,
51% bagian berbukit dan 21% pegunungan. Komposisi penggunaan lahan di Kec.
102



Una-Una pada Tahun 2007 (Tabel 21) dengan penggunaan lahan terbesar untuk
konversi hutan produksi dan perkebunan. Kawasan permukiman relatif rendah
mengingat jumlah penduduk yang kecil dengan tingkat pertumbuhan penduduk
2%/tahun. Kecenderungan di kawasan ini terjadi pembukaan lahan tidak
produktif untuk perkebunan, pembukaan mangrove untuk permukiman dan jalan
di Desa Taningkola dan untuk tambak di Luangon Desa Bambu.

Tabel 21 Penggunaan lahan Kecamatan Una-Una Tahun 2007

Guna Lahan Luasan (Ha)
%
Dermaga 0.42 0.00
Hutan Lindung 3 985.92 10.79
Hutan Produksi Terbatas 17.52 0.05
Hutan Produksi Tetap 3 604.28 9.76
Hutan Produksi yang dapat dikonversi 9 533.46 25.82
Kawasan Pantai 27.18 0.07
Kawasan Perkebunan 8 015.94 21.71
Kawasan Permukiman 206.15 0.56
Kawasan Pertanian Lahan Kering 2 662.50 7.21
Lahan Terbuka 141.58 0.38
Rawa 1 456.70 3.95
Semak Belukar 2 473.65 6.70
Sungai 810.57 2.20
Terumbu Karang 3 988.21 10.80
Total 36 924.08 100.00
Sumber : RTRW Kab. Tojo Una-Una (Bappeda Touna 2007)

Peningkatan jumlah penduduk mendorong masyarakat untuk membuka
ruang untuk pemukiman dan untuk usaha (wisata dan perikanan). Hal ini
mengakibakan perubahan struktur tata guna lahan daratan termasuk pantai dan
laut dalam arti terjadi pengurangan luasan hutan dan kawasan mangrove.
Perubahan ini menunjukkan bahwa tekanan demografis dan ekonomis telah
berdampak pada perubahan tata guna lahan baik struktur lanscape, komposisi
maupun fungsi di Kawasan Gugus Pulau Batudaka.
(2) Tata guna Air/Wter Regime
Struktur rejim air berkaitan dengan hidrologi (pergerakan, distribusi dan
kualitas air di muka bumi). Daerah Gugus Pulau Batudaka dihubungkan dengan
perairan laut dan PPK dengan kedalaman 0200 m. Secara keseluruhan daratan
dan perairan kawasan ini merupakan satu kesatuan dari Kepulauan Togean.
103


Pulau Batudaka memiliki 3 sungai yaitu Sungai Taningkola (panjangnya 1 km),
Sungai Tinompo (1 km) dan Sungai Malintang (3 km), yang berasal dari dua
gunung yaitu Gunung Pinaat (100 m) dan Gunung Papoko (92 m). Tekstur
tanah di Gugus Pulau Batudaka termasuk sedang sampai kasar dengan drainase
cukup baik. Peningkatan pertumbuhan penduduk juga berimplikasi terhadap
peningkatan konsumsi air. Sumber air bersih di Gugus Pulau Batudaka berasal
dari mata air, air sungai maupun sumur gali untuk memenuhi kebutuhan air di 13
desa yang ada di daerah tersebut. Berkurangnya debit air di Desa Kulingkinari
dan Molowagu akibat mesin pompa rusak, sehingga kebutuhan air bersih menjadi
terbatas, terutama bagi penduduk pulau kecil lainnya yang tidak memiliki sumber
air tawar seperti pulau Taufan menjadi lebih jauh untuk memperoleh air.
Komposisi rejim air berkaitan dengan biogeokimia air yaitu berhubungan
dengan siklus nutrien di bumi dimana proses ekosistem dan fungsinya
berhubungan dengan barang dan jasa yang dapat diukur dalam nilai ekonomi
(pada bagian Analisis Valuasi Ekonomi).
(3) Biodiversity
Struktur Biodiversity/keanekaragaman hayati berhubungan dengan struktur
rantai makanan. Pengurangan salah satu tingkatan trofik level dapat
mempengaruhi keseimbangan dalam rantai makanan. Komposisi keanekaragaman
hayati berhubungan dengan spesies kunci dan payungnya. Gugus Pulau Batudaka
memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi, baik di laut maupun darat.
Pengamatan terumbu karang (Data primer 2009) dan hasil penelitian Zamani et
al. (2007) di Gugus Pulau Batudaka ditemukan 8 genus terumbu karang. Hasil
Marine Rapid Assessment Program (MRAP) di Kepulauan Togean, yang
dilakukan oleh CII bekerjasama dengan Lembaga Oceanografi LIPI dan
Universitas Hasanuddin, tahun 1998 lalu berhasil mengidentifikasi sedikitnya 262
spesies karang yang tergolong kedalam 19 familia pada 25 stasiun terumbu karang
yang tersebar di Kepulauan Togean. Hasil MRAP juga mencatat adanya jenis
karang endemik Togean, yaitu Acropora togeanensis pada 3 titik pengamatan
terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka. Berdasarkan hasil penelitian Wallace
et al.(1998) dari total 91 jenis Acropora yang ditemukan di Indonesia (merupakan
tertinggi di dunia), 78 diantaranya terdapat di Kepulauan Togean.
104



Pengamatan jenis ikan terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka
ditemukan sebanyak 17 genus (Data Primer 2009), sedangkan Zamani et al.
(2007) menemukan sebanyak 21 famili dan 112 spesies ikan, untuk Kepulauan
Togean tercatat 596 spesies ikan yang termasuk dalam 62 familia. Jenis
Paracheilinus togeanensis dan Escenius sp diduga kuat merupakan endemik yang
hanya bisa ditemukan di Kepulauan Togean. Selain itu juga tercatat 555 spesies
moluska dari 103 familia, 336 gastropoda, 211 bivalvia, 2 cephalopoda, 2
scaphopoda dan 4 spesies chiton.
Menurut data BKSDA (2006) luas hutan mangrove Kepulauan Togean
diperkirakan sekitar 4 800 ha yang tersebar di beberapa pulau besar seperti
Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian pulau Walea Bahi, khusus Gugus
Pulau Batudaka sekitar 2 031 ha (Data Primer 2010). Survey oleh CII dan
Yayasan Pijak tahun 2001 mengidentifikasi 33 spesies mangrove di Kepulauan
Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14
spesies mangrove ikutan (associate mangrove). Ke-33 jenis mangrove tersebut
dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia. Fauna yang teridentifikasi hidup
di hutan mangrove sedikitnya 50 spesies yang tergolong dalam 47 genus, yaitu
golongan Aves (10 genus), Pisces (10 genus), Amphibia (2 genus), Reptilia (3
genus), Mamalia (2 genus), dan Benthos (20).
Fungsi keanekaragaman hayati berkaitan dengan transfer energi antara
trofik level. Keberadaan hutan mangrove (hutan bakau) di Gugus Pulau Batudaka
selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan
ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakatnya.
Meski memiliki luasan yang tidak terlalu besar, namun hutan mangrove memiliki
fungsi penting bagi Gugus Pulau Batudaka yang merupakan kawasan pulau-pulau
kecil. Berdasarkan indikator ruang terhadap integrasi ekosistem maka tekanan
aktivitas manusia akan memberikan dampak terhadap sistem alam Gugus Pulau
Batudaka yaitu ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Kurangnya
kesadaran masyarakat akan mempengaruhi ekosistem alamiah gugus pulau, juga
berkaitan dengan pembangunan berwawasan lingkungan yakni kerentanan
ekosistem akan menurun sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat.

105


4.1.4.2 Dampak Sosial Ekonomi
Salah satu indikator yang menjelaskan mengenai kondisi perekonomian
suatu daerah adalah PDRB. PDRB merupakan dasar penyusunan nilai tambah
yang mampu diciptakan akibat timbulnya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu
wilayah tertentu dan besarannya menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam
mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. PDRB
perkapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh masing-
masing penduduk akibat adanya aktivitas produksi. Indikator ini menggambarkan
tingkat kemakmuran suatu daerah, makin tinggi PDRB perkapita makin tinggi
kemakmuran penduduk daerah tersebut. Kecamatan Una-Una menyumbangkan
PDRB sebesar 7.12% terhadap Kabupaten Tojo Una-Una per tahunnya (Tabel
22), yang terbesar berasal dari lapangan usaha pertanian (43.56%) sedangkan
sektor perikanan hanya menyumbang sebesar 3.2%, jasa-jasa (16.96%) dan
perdagangan, hotel, restauran (12.73%) (BPS Touna 2009).

Tabel 22 PDRB Kabupaten Tojo Una-Una berdasarkan harga berlaku per
kecamatan (Rp)

No.
Lapangan
Usaha 2000 2001 2002 2003 2004
1 Tojo 2 973 664 3 282 062 3 498 024 3 801 114 4 144 071
2 Tojo Barat 2 996 271 3 298 613 3 506 848 3 804 176 4 137 688
3 Ulu Bongka 1 991 688 2 202 589 2 394 815 2 602 356 2 828 983
4 Ampana Tete 2 899 271 3 312 788 3 639 922 3 963 233 4 308 329
5 Ampana Kota 2 819 113 3 226 923 3 695 014 4 001 559 4 388 472
6 Una Una 1 290 901 1 397 453 1 498 624 1 623 390 1 762 129
7 Togean 1 368 178 1 368 178 1 368 178 1 368 178 1 368 178
8 Walea Kepulauan 1 581 096 1 851 096 1 581 096 1 581 096 1 581 096
PDRB Kabupaten 17920 182 19939702 21 182 521 22745102 24 518 946
Sumber : BPS Touna (2005)

Aktivitas penduduk dan pembangunan di wilayah daratan dapat menekan
fungsi ekosistem melalui pembuangan limbah domestik dan kebutuhan lahan
untuk pemanfaatan penduduk sehingga akan mempengaruhi kualitas perairan dan
ekosistem pesisir Gugus Pulau Batudaka baik langsung maupun tidak langsung
seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan
berbagai upaya untuk menentukan batas optimasi penggunaan lahan aktivitas
ekonomi yang tidak berdampak buruk pada ekosistem pulau-pulau kecil.
106



Berdasarkan optimasi tersebut dapat dirancang berbagai strategi yang berpihak
pada konservasi dan keberlanjutan pembangunan di Gugus Pulau Batudaka.
Kondisi ekosistem baik akan menghasilkan produktivitas yang baik pula
dan secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan
pendapatan per kapita masyarakat menyebabkan kerentanan ekosistem meningkat
atau menurun, hal ini tergantung pada kebijakan lingkungan yang
diimplementasikan, kerentanan akan menurun apabila kebijakan pro pada
konservasi sumberdaya pulau-pulau kecil. Pengembangan kelenturan (resilience)
ekososio sistem merupakan kunci bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes
dan Seixas 2005). Kelenturan berhubungan dengan gabungan dinamika sistem
manusia dan lingkungan yang menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor
lingkungan dan sosial serta mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas
dinamika yang ada di dalamnya (Berkes 2007) sehingga sangat sesuai dengan
konsep ICM (integrated coastal management) yang merupakan paradigma
pengelolaan yang digunakan saat ini.

4.1.5 Kebijakan (Policy Response Options)
Kebijakan yang dipilih berkaitan dengan pembangunan di Gugus Pulau
Batudaka antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah dan pembangunan yang
melibatkan masyarakat. Gugus Pulau Batudaka secara administrasi masuk
wilayah Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una-Una (Touna), dan merupakan
wilayah Taman Nasional Pulau Togean dengan implementasi kebijakan mengacu
pada RTRW Kabupaten Touna (Bappeda Touna 2007) dan dituangkan dalam
RDTR Kepulauan Togean maupun Peraturan Daerah Kawasan Kepulauan Togean
(BKSDA 2006) yang mengatur perwilayahan pembangunan berwawasan
lingkungan.
Implementasi kebijakan tersebut hanya bersifat simbolik apabila pelibatan
masyarakat secara menyeluruh tidak terlaksana dengan baik. Hal ini
menimbulkan konflik yang berkepanjangan seiring dengan pemanfaatan
sumberdaya alam Gugus Pulau Batudaka. Mengingat, sebelumnya terjadi konflik
masyarakat dengan pengusaha budidaya mutiara, disusul dengan dengan
ditetapkannya kawasan tersebut menjadi Taman Nasional, walaupun sampai
sekarang belum ada penetapan zonasi, masyarakat setempat beranggapan adanya
107


TNKT maka hak-hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam menjadi
terbatas/dilarang seperti hasil tangkapan lola/kimah dan teripang akan dibuang ke
laut oleh pihak keamanan bila diambil dari zona terlarang TNKT, juga masyarakat
kesulitan memperoleh izin untuk memanfaatkan rotan maupun kayu untuk rumah.
Di sisi lain, Pemerintahan Daerah dengan kewenangannya berdasarkan UU No. 32
Tahun 2004 untuk mengelola sumberdaya alam meliputi eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengeloaan kekayaan laut. Kesemua permasalahan tersebut dapat
diatasi apabila semua pihak terkait duduk bersama untuk memikirkan arah
pembangunan yang akan dilaksanakan di kawasan tersebut. Pentingnya pelibatan
masyarakat yang merupakan aktor dan obyek pembangunan, mengingat sampai
saat ini masyarakat Gugus Pulau Batudaka masih menerapkan kearifan lokalnya
dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kearifan lokal tersebut dapat dijadikan
acuan dalam pengelolaan sumberdaya alam, sehingga konflik yang terjadi dapat
diatasi dan ekosistem alami dapat terjaga.
Berdasarkan kerangka DPSIR diatas, pada aspek ekologi ditekankan
bahwa penyusunan tata ruang wilayah pesisir pulau-pulau kecil di kawasan Gugus
Pulau Batudaka harus sesuai dengan daya dukung lingkungan serta
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan. Aspek sosial
ekonomi budaya, pembuatan tata ruang diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sehingga dalam penyusunannya melibatkan partisipasi
masyarakat dan stakeholder yang berkaitan langsung dengan pemanfaatan
sumberdaya pesisir. Aspek kebijakan, arahan penyusunan tata ruang harus
bersesuaian dengan pembangunan pemerintah.
Aplikasi kerangka DPSIR terhadap faktor-faktor pengarah (Driving
forces), tekanan dan konflik penggunaan area laut kawasan Gugus Pulau Batudaka
secara detail diuraikan pada Tabel 23, yakni beberapa kelompok memanfaatkan
daerah ini (masyarakat, pengusaha wisata dan perikanan) serta terdapat
kepentingan pemerintah berupa respon dalam mengelola kawasan ini.

108



Tabel 23 Hasil tekanan terhadap ekosistem pesisir Gugus Pulau Batudaka
berdasarkan kerangka DPSIR

Indikator Penyebab/Akibat Deskripsi dan Hubungan Fungsional terhadap
kerentanan ekosistem
Faktor
Penggerak
(Drivers)
Demografi Pertumbuhan, kepadatan dan tingkat ketergantungan
penduduk yang tinggi sebagai faktor pengarah/ drivers.
Kerentanan sejalan dengan jumlah penduduk ,
perluasan pembukaan lahan usaha dan kebutuhan lahan
pemukiman
Permintaan Wisata kebutuhan wisman atau pasar dalam hal daya tarik obyek
wisata beserta sarana penunjang
Kegiatan Perikanan Kerentanan sejalan dengan kebutuhan lahan untuk
pertambakan dan aktivitas penangkapan ikan
Tekanan
(Pressures)
Konversi Lahan Pembukaan hutan mangrove untuk pemukiman dan
tambak. Kerentanan sejalan dengan kebutuhan lahan
permukiman dan usaha pertambakan
Sampah Domestik
dan polutan lainnya
Peningkatan sampah domestik dan polutan lainnya
akibat peningkatan penduduk dan aktivitas wisata dan
perikanan. Kerentanan sejalan dengan jumlah sampah
dan polutan yang meningkat
Keadaan
(States)
Abrasi dan
Sedimentasi
Penebangan mangrove dan pembukaan hutan untuk areal
perkebunan menyebabkan sedimentasi berakibat
ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang
rusak/berkurang dan pada daerah yang terbuka terjadi
abrasi pantai. Kerentanan sejalan dengan usaha
perluasan pembukaan lahan
Polusi air/
pengayaan nutrien
perairan
Sedimentasi berlebihan dan sampah (padat maupun cair)
berkontribusi akibat aktivitas manusia pengayaan nutrien
perairan. Kerentanan sejalan dengan jumlah polutan
yang meningkat
Kehilangan habitat
dan penurunan
keanekaragaman
hayati
Penebangan mangrove menyebabkan zonasi terbuka,
sehingga tumbuh semak dan tanaman lainnya.
Kerentanan sejalan dengan usaha pembukaan lahan
Dampak
(Impacts)
Dampak Ekosistem Proses perubahan fungsi ekosistem Gugus Pulau
Batudaka berdampak pada kesejahteraan manusia yang
berkaitan dengan produktivitas, kesehatan, kenyamanan
dan perubahan nilai kondisi yang ada
Dampak Sosial
Ekonomi
Peningkatan pendapatan per kapita setiap tahunnya.
Kerentanan atau , tergantung pada kebijakan
lingkungan yang diimplementasikan
Tanggapan
(Responses)
Rencana Tata
Ruang Wilayah
Kerentanan jika kebijakan dilaksanakan dengan baik
Kerentanan atau tergantung pada kemampuan
menjaga keseimbangan ekosistem
Pembangunan
melibatkan
masyarakat
Kerentanan jika masyarakat dilibatkan dalam
pembangunan PPK yang berkelanjutan
Keterangan : meningkat, menurun
Sumber : Data Primer (2009)


109


4.2 Sistem Ekologi
4.2.1 Batas Sistem Ekologi
Luas wilayah Gugus Pulau Batudaka menurut desa sebesar 298.07 km
2

(BPS Touna 2009). Gugus Pulau Batudaka memiliki berbagai tipe ekosistem baik
di darat maupun di laut, mulai dari hutan dataran rendah (low-land forest), hutan
bakau (mangrove), padang lamun (sea grass bed), pantai berbatu (rocky beach)
serta terumbu karang (coral reefs). Pulau Batudaka memiliki pantai dengan
tebing-tebing karang yang lebih panjang dibanding Pulau Togean, terutama di
bagian tengah dan barat. Vegetasi di Pulau Batudaka umumnya didominasi oleh
pohon kelapa (Cocus nucifera), semak dan mangrove. Pohon kelapa (Cocus
nucifera) banyak dibudidayakan oleh masyarakat dan merupakan vegetasi yang
dominan di pulau ini. Selain itu juga terdapat kayu besi (Intsia bijuga), Garuga
floribunda, Sterculia macrocarpa, Dysoxylum aliaceum, beberapa jenis
Sapotaceae dan ditemukan satu jenis yang langka yaitu Kibatalia macgregori,
yang hanya terdapat di Pulau Sebuyan Philiphina. Hal ini berbeda dengan Pulau
Togean yang banyak ditumbuhi pohon buah-buahan, uru (elmerrillia ovalis), aren
(Arengga pinnata), siuri (Koodersiodendron pinnatum) (Sidiyasa 2000).

4.2.1.1 Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu potensi laut yang
dimiliki oleh Gugus Pulau Batudaka. Perkembangan terumbu karang di Gugus
Pulau Batudaka mengalami pengaruh oseanografi dimana terumbu karang
terkonsentrasi di sekeliling pulau. Rataan terumbu karang yang terhampar
panjangnya hingga mencapai +1500 meter dari garis pantai hingga tubir terumbu.
Terumbu karang memiliki tipe terumbu tepi atau terumbu pantai, dan karang
tumbuh pada kedalaman 1-10 meter, Pertumbuhan terumbu tersebut di bagian
barat 50 meter (sementara makin ke timur makin dalam sampai 100 meter).
Rataan terumbu (reef flat) dibentuk oleh terumbu hidup ditemukan di beberapa
tempat dan hampir tidak pernah melebihi 200 meter dari garis pantai (BKSDA
2006). Selanjutnya merupakan hamparan teras pasir halus yang dihuni oleh
organisme penggali pasir (infauna) dan lamun (Sea Grass). Pada keadaan surut
terendah, karang-karang di rataan terumbu dan di daerah tubir terekspose di udara
dan terkena terikan matahari langsung sehingga menyebabkan sebagian karang
110



mengalami kematian, walaupun sebagian besar dapat beradaptasi dengan kondisi
seperti ini.
Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 24) terdiri dari
berbagai jenis, antara lain karang batu (hard coral/HC), karang lunak (soft
coral/SC), serta sponges dan algae. Terumbu karang di sekitar Gugus Pulau
Batudaka memiliki tingkat penutupan karang hidup rata-rata 73% (HC: 52-80%,
SC; 3-14%). Hal ini menunjukkan terumbu karangnya dalam kondisi sedang dan
didominasi oleh jenis karang arcopora dan non-acropora dengan bentuk
pertumbuhan (live form) dominan branching dan masif.

Tabel 24 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka (%)

Lokasi Stasiun HC SC SP
ALG
/OT
R DC S
14 (Tambangoni) 79.83+5.67 3.17+0.50 0 0 1.17+0.52 10.83+0.87 5.00+0.87
6 (Taufan Selatan) 77.00+1.67 14.33+1.33 0 0 0 8.33+2.00 0.33+0.10
15 (Karangan Timur) 52.33+3.61 6.33+0.42 0 0 0 41.33+1.41 0
Sumber : Data Primer (2009)
Keterangan : HC = Hard Coral R = Rubble
SC = Soft Coral DC = Dead Coral
SP = Sponge S = Sand
ALG/OT = Algae/Other


Pengamatan terhadap ikan karang pada tiga stasiun ditemukan sebanyak
8-17 genus yang didominasi genus Lutjanus dan Pterocaesio. Keanekaragaman
jenis-jenis ikan karang tinggi pada perairan Tambangoni dan Taufan. Hal ini
disebabkan jenis terumbu karang pada daerah tersebut masih tinggi (Tambangoni
80% HC, 3% SC; Taufan 77% HC dan 14% SC) dan belum banyak ditemukan
kerusakan yang berarti akibat aktivitas manusia. Berdasarkan hasil survei MRAP
2001 ditemukan 4 lokasi terbaik kondisi terumbu karang di Gugus Pulau
Batudaka Kecamatan Una-Una dengan jumlah spesies ikan karang yang tinggi
seperti tertera pada Tabel 25 berikut ini.

Tabel 25 Lokasi terumbu karang terbaik di Kecamatan Una-Una

Lokasi
Spesies
Terumbu Karang
Spesies Ikan Kondisi
Southern Batudaka Island 83 216 Baik
Western Batudaka Island 62 208 Baik
Northern-east side Una Una Island 69 161 Sedang
Pasir Tengah Atoll 84 202 Sedang
Sumber : MRAP (2001) dalam Zamani et al. (2007)


111


Eksistensi terumbu karang di perairan Gugus Pulau Batudaka Kepulauan
Togean telah berasosiasi dengan banyak organisme penting dan bernilai ekonomis
tinggi seperti berbagai jenis kima (Tridacna spp), kerang kepala kambing (Cassis
cornuta), dan teripang (Holothurian). Tridacna spp terutama jenis yang berukuran
besar seperti kima raksasa (Tridacna gigas), kima air (T. derasa), kima cina
(Hippopus porcellanus), dan kima sisik (T. Scuamosa) merupakan species laut
yang langka atau terancam punah dan termasuk species yang dilindungi
(endangered species IUCN; Apendiks I dan II CITES; UU No. 5 Tahun 1990).
Selain itu, beberapa jenis karang bernilai ekonomis untuk biota hiasan aquarium
(aquarium ornament) banyak ditemui di lokasi ini, antara lain Lobophyllia,
Goniopora, Pectinia, Euphyllia, Plerogyra dan Physogyra (Bappeda Touna
2007).

4.2.1.2 Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai yang tumbuh subur
menyebar tidak merata di seluruh pesisir di Gugus Pulau Batudaka. Keberadaan
hutan bakau terutama ditemui di pantai yang mempunyai topografi dangkal dan
terlindung sedangkan di pantai-pantai curam yang berdinding batu tidak
ditumbuhi mangrove. Mangrove dapat ditemui mulai dari pantai utara bagian
utara dan selatan pulau Batudaka dengan ketebalan mangrove mencapai 500 m.
Vegetasi ini didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur, berlempung
atau berpasir. Jenis tekstur substrat di ekosistem mangrove Gugus Pulau Batudaka
pada keseluruhan pengamatan adalah lempung berpasir dan lempung liat berdebu
dengan komponen fraksi substrat terdiri dari liat, debu, pasir halus dan pasir kasar.
Komponen fraksi substrak pada stasiun mangrove tertera pada Gambar 26.
112




Gambar 26 Persentase rata-rata fraksi subtrat di lokasi penelitian (Hasil Analisis
Lab. Ilmu Tanah UNTAD 2009)

Hasil analisis terhadap substrat berdasarkan kelas tekstur tanah
(Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001) menunjukkan bahwa kandungan lumpur
diperoleh persentase tertinggi pada stasiun pengamatan di Luangon/Desa Bambu
dan Taningkola bertekstur lempung liat berdebu yang didominasi fraksi liat dan
debu berkisar diatas 90%, Stasiun Sope (Desa Una-Una) dan Umpagi (Desa
Bomba) mempunyai tekstur lempung berpasir yang didominasi pasir yang
berkisar diatas 50%. Mangrove dapat tumbuh pada substrat berpasir, berkerikil,
koral maupun tanah gambut (Kusmana et al. 2005). Stasiun Sope dan Umpagi
didominasi Rhizopora spp disusul Bruguiera spp, hal ini sesuai dengan Yulianda
et al (2009) pertumbuhan komunitas vegetasi. mangrove umumnya mengikuti
pola zonasi yaitu yang paling dekat laut dengan subtrak berpasir sering ditumbuhi
avicennia spp yang berasosiasi dengan Sonneratia yang tumbuh pada lumpur dan
lebih ke arah darat (Stasiun Luangon dan Taningola) didominasi Rhizopora spp
disusul Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. Brower et al. (1990) menyatakan
bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang
tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing
spesies relatif merata, dengan kata lain, apabila suatu komunitas hanya terdiri dari
sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata maka komunitas
tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah. Hasil identifikasi mangrove di
Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 26.

0
10
20
30
40
50
60
70
Umpagi Taningkola Sope Luangon
PasirKasar
PasirHalus
Debu
Liat
113


Tabel 26 Jumlah tegakan, kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif dan indeks nilai penting pada tiap
tingkatan pohon

Spesies Magrove Jumlah Tegakan Kerapatan Relatif (%) Frekuensi Relatif (%) Dominasi Relatif (%) Indeks Nilai Penting
Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Pohon Anakan Semai
Taningkola
Rhizopora apiculata 15 11 88 62.50 40.74 47.06 37.50 37.50 37.50 34.67 16.07 134.67 94.31 84.56
Avicennia alba 2 7 16 8.33 25.93 8.56 25.00 25.00 25.00 29.23 43.09 62.56 94.02 33.56
Bruguiera gymnorrhiza 7 9 83 29.17 33.33 44.39 37.50 37.50 37.50 36.11 40.84 102.77 111.67 81.89
Jumlah 24 27 187 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00
Sope
Rhizopora apiculata 10 17 121 58.82 58.62 69.14 50.00 50.00 50.00 38.41 46.74 147.24 155.37 119.14
Bruguiera gymnorrhiza 7 12 54 41.18 41.38 30.86 50.00 50.00 50.00 61.59 53.26 152.76 144.63 80.86
Jumlah 17 29 175 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00
Luangon
Rhizopora apiculata 4 8 25 23.53 21.05 21.74 23.08 21.43 18.75 17.76 10.26 64.37 52.74 40.49
Rhizopora mucronata 5 9 12 29.41 23.68 10.43 23.08 21.43 18.75 14.26 13.71 66.75 58.82 29.18
Bruguiera gymnorrhiza 4 10 52 23.53 26.32 45.22 23.08 21.43 18.75 26.69 9.92 73.29 57.66 63.97
Xylocarpus granatum 1 5 8 5.88 13.16 6.96 7.69 14.29 18.75 11.97 9.86 25.55 37.30 25.71
Soneratia alba 1 2 6 5.88 5.26 5.22 7.69 7.14 6.25 7.82 21.69 21.39 34.10 11.47
Lumnitzera littorea 1 2 4 5.88 5.26 3.48 7.69 7.14 6.25 10.40 14.80 23.97 27.20 9.73
Aegiceras corniculatum 1 2 8 5.88 5.26 6.96 7.69 7.14 12.50 11.11 19.76 24.68 32.17 19.46
Jumlah 17 38 115 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00
Umpagi
Rhyzophora apiculata 13 16 34 50.00 47.06 40.96 27.27 30.00 27.27 17.21 29.97 94.48 107.03 68.24
Rhyzophora mucronata 8 12 25 30.77 35.29 30.12 27.27 30.00 27.27 13.95 27.55 72.00 92.85 57.39
Bruguiera gymnoriza 3 4 15 11.54 11.76 18.07 27.27 20.00 27.27 36.85 29.00 75.66 60.76 45.35
Avicennia alba 1 0 6 3.85 0.00 7.23 9.09 10.00 9.09 13.33 0.00 26.26 10.00 16.32
Xylocarpus granatum 1 2 3 3.85 5.88 3.61 9.09 10.00 9.09 18.66 13.48 31.60 29.36 12.71
Jumlah 26 34 83 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00
Sumber : Data Primer (2009)
114



Tabel 26 menunjukkan bahwa pada stasiun Taningkola (terdapat 3 jenis
mangrove) dan Sope (2 jenis) memiliki nilai Indeks Nilai Penting yang paling
tinggi untuk jenis Rhizopora apiculata disusul Bruguiera gymnorrhiza, sedangkan
Stasiun Luangon (7 jenis) memiliki nilai Indeks Nilai Penting yang paling tinggi
untuk jenis Bruguiera gymnorrhiza disusul Rhizopora mucronata dan Rhizopora
apiculata. Kondisi ini menggambarkan bahwa untuk kategori jenis Rhizopora
apiculata, Rhizopora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza memberikan
pengaruh atau peranan yang sangat besar dalam komunitas mangrove di kawasan
Gugus Pulau Batudaka. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh CII
(Conservation International for Indonesia), ditemukan 33 spesies mangrove di
Kepulauan Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove)
dan 14 spesies mangrove ikutan (asociate mangrove). Semua jenis mangrove
tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia (Adhiasto 2001).


4.2.1.3 Padang Lamun
Ekosistem padang lamun di Kepulauan Togean relatif sedikit bila
dibandingkan dengan ekosistem karang maupun ekosistem mangrove. Jenis dan
kelimpahan lamun tersebut tertera pada Tabel 27.

Tabel 27 Data jenis dan kelimpahan lamun di Gugus Pulau Batudaka

No Jenis-jenis
Nama Pulau/lokasi Stasiun
P.Batudaka* P.Poya** Umpagi** Sope**
1 Enhalus acoroides (Pama) +++ +++ +++ +++
2 Thalassia hemprichii ++ - + +
3 Halophila ovalis + ++ + ++
4 Cymodocea serrulata +++ +++ +++ +++
5 Halodule uninervis ++ - - ++
Keterangan : * = RTRW Kabupaten Tojo Una-Una (Bappeda Touna 2007)
** = Data Primer (2009) : - = Tidak ditemukan; + = Ada, sedikit; ++ = Ada, sedang; +++ = Ada,dominan


Terdapat 5 (lima) jenis lamun, yaitu: Thallasia hemprichii, Enhalus
acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata. Dari
ke-5 jenis lamun yang terdapat di sekitar perairan Gugus Pulau Batudaka, jenis
lamun Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata merupakan jenis yang dominan.
Hasil analisis spasial CII menunjukkan luas ekosistem padang lamun di
Kepulauan Togean pada tahun 2001 seluas 281.3 ha dan pada tahun 2007 terjadi
115


penurunan menjadi 189.69 ha, atau dalam kurun waktu 6 tahun terjadi penurunan
sebesar 91.61 ha (32.57%). Kawasan yang mengalami penurunan luas padang
lamun adalah Pulau Malenge dan perairan di sebelah barat Pulau Batudaka.
Kawasan yang mengalami penurunan luas padang lamun ini ternyata juga
merupakan kawasan yang mengalami penurunan luas terumbu karang.

4.2.2 Kondisi Morfologi
Gugus Pulau Batudaka masuk dalam wilayah di Kecamatan Una-Una
dengan luas daratan 298.08 km
2
dan ketinggian 0-85 meter dari permukaan air
laut. Topografi dataran adalah datar sampai berombak dengan sedikit bagian yang
berbukit. Bagian wilayah yang datar berada di sekitar pantai, sedangkan ke arah
daratan atau jauh dari pantai kondisi topografi berombak dan sedikit bagian
berbukit. Tekstur tanah sedang sampai kasar dengan drainase cukup baik. Kondisi
tanah termasuk subur karena berbagai macam tanaman dapat tumbuh di daerah
ini. Persentase bentuk permukaan tanah serta ketinggian desa di Kecamatan Una-
Una tertera pada Tabel 28.

Tabel 28 Persentase bentuk permukaan tanah dan ketinggian menurut desa
di Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo UnaUna Tahun 2008

No. Desa
Persentase Bentuk Permukaan Tanah Ketinggian
Permukaan Laut
(m)
Dataran Perbukitan Pegunungan
1 Kulingkinari - 35 65 2
2 Molowagu 10 60 30 85
3 Bomba 5 75 20 10
4 Tumbulawa 15 80 5 10
5 Taningkola 80 15 5 8
6 Bambu 10 80 10 15
7 Una Una 20 40 40 3
8 Lembanya 70 30 - 4
9 Wakai 45 35 20 3
10 Tanjung Pude 50 35 15 3
11 Malino - 75 25 75
12 Siatu 50 50 - 5
13 Kambutu 10 55 35 3
Kecamatan Una-Una 28.08 51.15 20.80 3
Sumber : BPS Touna (2009)

Litologi pulau Batudaka (BKSDA 2006) terdiri atas :
(1) Batu gamping terumbu koral dan klastik (Ql), batu gamping terumbu ini
berwarna putih, bagian atas telah mengalami pelapukan, berukuran butir pasir
116



sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar oleh koral dan cangkang
moluska.
(2) Konglomerat, batu pasir, batu lempung dan lensa batu gamping (Tmpb) yang
terubah kuat dan lensa-lensa batu gamping.
Geologi Pulau Batudaka mempunyai jenis litologi yang didapat berdasarkan hasil
Grab Sample di sepanjang lokasi pengamatan Pulau Una Una adalah : pecahan
karang dan sedikit pasir halus berwarna coklat muda berisi pecahan karang.
Material yang ada diduga berasal dari hasil proses pelapukan serta erosi batuan
yang ada di permukaan yang dipengaruhi oleh kondisi iklim, hempasan
gelombang dan material-material yang tertransportasi oleh media air melalui
sungai-sungai yang mengalir sampai ke laut.
Struktur geologi yang berkembang pada daerah ini adalah struktur lipatan
monoklin. Geomorfologinya terdiri dari 4 satuan geomorfologi dengan 5
subsatuan geomorfologi, dengan penjelasan sebagai berikut:
(1) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Struktural (S) dengan subsatuan
Geomorfologi Blok Pegunungan, lereng tidak teratur, pipih, runcing, pola
memanjang (S1). Subsatuan ini terdapat di bagian Timur dengan penyebaran
berarah Barat laut-Tenggara. Lahan ini mempunyai morfologi, topografi
pegunungan, dengan pinggir tajam dan banyak dilalui oleh sistem patahan
atau kelurusan dan berkesan terkotak-kotak dengan lereng curam sampai
terjal. Litologi yang mendominasi satuan ini adalah : konglomerat, batupasir,
batu lempung dan lensa batu gamping yang terubah kuat dan lensa-lensa batu
gamping. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 15 hingga 30%
dengan beda tinggi antara 50 sampai dengan 150 m. Ketinggian (elevasi)
subsatuan ini berkisar antara 25 hingga 100 m di atas permukaan laut.
(2) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Kars (K) dengan Subsatuan
Geomorfologi Perbukitan Kars, dengan puncak membulat (K2). Subsatuan
ini penyebarannya hampir diseluruh Pulau Batudaka, lahan ini mempunyai
morfologi perbukitan (hillock), dengan puncak membundar (kubah), dengan
topografi rendah, Litologi yang mendominasi satuan ini adalah: batugamping
klastik, batugamping terumbu berwarna putih, bagian atas telah mengalami
pelapukan, berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar
117


oleh koral dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan
berkisar antara 0 hingga 2% dengan beda tinggi antara 25 sampai dengan 150
m. Ketinggian (elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 100 m di atas
permukaan laut.
(3) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Fluvial (F) dengan Subsatuan
Geomorfologi Dataran Banjir (F16). Subsatuan ini terletak di bagian Utara
penyebarannya setempat memanjang timur lautBarat daya di sepanjang
pesisir pantai. Bentuk lahan morfologi ini merupakan terbentuknya dataran
banjir terdiri dari proses fluvial, yakni adanya luapan sungai pada musim
penghujan dan menggenangi daerah sekitar yang lebih rendah dalam beberapa
hal tergantung intensitas dan lamanya hari hujan. Litologi yang menempati
satuan ini adalah: batu batu gamping terumbu koral dan klastik batu gamping
terumbu ini berwarna putih, bagian atas telah mengalami pelapukan,
berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar oleh koral
dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 0
hingga 2% dengan beda tinggi antara 0 sampai dengan 10 m. Ketinggian
(elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 4 m di atas permukaan laut.
(4) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Marine (M) dengan 2 Sub satuan
yaitu: Subsatuan Geomorfologi Terumbu karang (M1). Subsatuan ini
terdapat di bagian Selatan penyebarannya di sekitar pesisir pantai. Bentuk
lahan seperti ini mempunyai ciri pengenal karang lunak, masih berada di
bawah muka air laut, dengan berbagai macam tipe serta pola tumbuh. Litologi
yang mendominasi satuan ini adalah : batugamping terumbu dan batugamping
klastik. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 0 hingga 2%
dengan beda tinggi antara 0 sampai dengan 1 m. Ketinggian (elevasi)
subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 5 m di atas permukaan laut. Subsatuan
Geomorfologi Pulau Karang (M3). Subsatuan ini terdapat di bagian Utara
dan Selatan penyebarannya dekat dengan pantai dan membentuk pulau-pulau
kecil. Bentuk lahan seperti ini merupakan pulau yang terbentuk karena
munculnya karang ke atas permukaan akibat pengangkatan atau muka air laut
turun setelah masa Meosin, sehingga mencapai keadaan seperti saat ini,
akibat air yang turun maka karang menjadi mati dan lapuk sehingga menjadi
118



pulau. Litologi yang mendominasi satuan ini adalah: batu gamping klastik,
batugamping terumbu berwarna putih, bagian atas telah mengalami
pelapukan, berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar
oleh koral dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan
berkisar antara 0-20% dengan beda tinggi antara 0-30 m. Ketinggian
(elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0-25 m di atas permukaan laut
(BKSDA 2006).

4.2.3 Kondisi Iklim
Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean beriklim laut tropis dengan sifat
iklim musiman dipengaruhi oleh dua musim yang tetap, yakni musim barat dan
musim timur. Musim kemarau terjadi antara bulan Agustus dan November,
sedangkan musim hujan terjadi sekitar Desember dan Juli. Daerah sekitar Teluk
Tomini memiliki bulan basah selama 7-9 bulan dengan bulan kering berlangsung
selama 3 bulan. Temperatur berkisar antara 17-32
o
C, kelembaban udara antara
74-82% dan kecepatan angin berkisar 3-6 knot (BRPL 2005).



Gambar 27 Curah hujan dan hari hujan rata-rata Tahun 2002-2008 (BPS Kab.
Tojo Una-Una 2003-2009)

Berdasarkan data Stasiun Pengamatan Gunung Colo di Wakai Tahun
2002-2008, hari hujan tertinggi di Kecamatan Una-Una terjadi pada bulan Maret
yaitu selama 11 hari, sedangkan curah hujan tertinggi terjadi antara bulan Maret-
Agustus dan Desember-Januari. Curah hujan berkisar 52-398 mm/bulan.
Berdasarkan klasifikasi Koppen, kawasan Kepulauan Togean termasuk tipe iklim
C
u
r
a
h
H
u
j
a
n
(
m
m
)
7
6
11 10 10
8
7
8
6
3
6
9
0
100
200
300
400
500
0
2
4
6
8
10
12
H
a
r
i

H
u
j
a
n

Bulan
Harihujan
curahhujan(mm)
119


Alpha, sedang menurut klasifikasi Schmidt-Fergusson termasuk tipe A, yaitu
hujan berlangsung sepanjang tahun dan jarang terjadi bulan kurang curah hujan.
Arah angin secara umum dari Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean
akan mengikuti musim yang ada di Indonesia, yaitu musim Barat dan musim
Timur. Kecepatan angin paling rendah terjadi pada bulan November-Desember
yang mencapai 4.3 knot dengan arah rata-rata 330. Kecepatan angin musiman
terjadi pada bulan Juli-Agustus dengan arah 270 (Tabel 29)

Tabel 29 Pola angin di Kepulauan Togean

Bulan Pola Angin Suhu
Jan Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 2 m/d (angin utara) 28.0 C
Feb Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 28.5 C
Mar Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 28.0 C
April Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.0 C
Mei Angin bergerak ke arah barat daya dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.5 C
Juni Angin bergerak ke arah barat dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 28.5 C
Juli Angin bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan rata-rata 4 m/d 28.5 C
Agt Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d (angin selatan) 28.5 C
Sep Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.0 C
Okt Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.5 C
Nov Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 2 m/d 28.0 C
Des Angin bergerak ke arah timur laut dengan kecepatan rata-rata 1 m/d 28.5 C
Sumber : Bappeda Touna (2007) .

4.2.4 Kondisi Oseanografi Perairan
4.2.4.1 Arus
Kecepatan arus maksimum di perairan pesisir Gugus Pulau Batudaka
terjadi pada sisi selatan pulau yang berbatasan langsung dengan daratan utama
Sulawesi. Besarnya kecepatan arus di sisi pulau ini disebabkan massa air yang
bergerak melalui selat di antara Kepulauan Togean dengan daratan Sulawesi.
Laut Sulawesi merupakan salah satu perairan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)
yaitu arus yang bergerak melintasi perairan Indonesia akibat perbedaan tinggi
muka laut antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Arus ini berasal dari
Samudera Pasifik dan kecepatannya sangat dipengaruhi sistem arus ekuatorial
akibat hembusan angin Pasat Timur Laut di Samudera Pasifik. Musim timur
terjadi bulan JuniAgustus dan arus permukaan bergerak dari arah laut seram
menuju barat yang sebagian memasuki Teluk Tomini.
Pola arah arus di Pulau Batudaka cenderung bergerak ke arah Barat Daya
dengan kisaran sudut 85
o
-350
o
. Arus ini bergerak dengan kecepatan rata-rata
120



0.654 meter/detik. Secara umum pola dan kecepatan arus tahunan yang terjadi di
perairan sekitar Kepulauan Togean antara 20 cm/detik hingga 50 cm/detik. Pola
arus di perairan ini selain dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut, juga dipengaruhi
oleh pola arus utama di perairan laut Sulawesi (Bappeda 2007). Karakteristik arus di
Pulau Batudaka tertera pada Tabel 30.

Tabel 30 Karakteristik arus di Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una

No.
Waktu
Stasiun
Karakteristik Arus
Waktu Kec. (m/dtk) Arah (
o
)
1

08:00 00'06.3" 0.794 235
11:05 00'07.4" 0.676 250
2

08:35 00'09.4" 0.532 230
11:40 00'11.0" 0.455 350
3

09:00 00'06.5" 0.769 260
12:00 00'07.6" 0.658 85
4

10:00 00'07.0" 0.714 175
13:00 00'08.0" 0.625 210
Kecepatan Rata-Rata = 0.654
Sumber : Bappeda Touna (2007)

4.2.4.2 Gelombang
Gelombang adalah pergerakan naik dan turunnya air dengan arah tegak
lurus permukaan air laut yang membentuk kurva/grafik sinusoidal. Gelombang
laut disebabkan oleh angin. Angin di atas lautan mentransfer energinya ke
perairan, menyebabkan riak-riak, alun/bukit, dan berubah menjadi gelombang.
Gelombang di perairan Gugus Pulau Batudaka Teluk Tomini secara umum
tingginya berkisar 1-2 meter. Selama Musim Barat (Desember-Pebruari), Musim
peralihan Barat ke Timur (Maret-Mei) dan musim peralihan Timur ke Barat
(September-Nopember) tinggi gelombang maksimum sekitar 1.5 meter,
sedangkan tinggi gelombang pada Musim Timur (Juni-Agustus) adalah sekitar 2
meter (BRKP 2004).

4.2.4.3 Pasang Surut
Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya permukaan air laut
secara periodik karena adanya gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan
dan matahari. Pasut dapat terjadi sehari sekali (pasut tunggal) atau diurnal, dua
kali sehari (pasut ganda) atau semi-diurnal dan pasut yang berlaku keduanya atau
121


dikenal pasut campuran, dapat berupa pasut campuran dominasi ganda dan
dominasi tunggal (Pariwono 1997).

Gambar 28 Grafik pasang surut di Gugus Pulau Batudaka


Secara umum, berdasarkan data DISHIDROS-AL dan pengamatan
fluktuasi pasang surut pantai Gugus Pulau Batudaka memiliki tipe pasang surut
campuran yang cenderung bersifat harian ganda (mixed prevailing semi diurnal).
Dalam satu hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut. Sifat khas dari naik
turunnya permukaan air laut ini terjadi dua kali sehari sehingga terdapat dua
periode pasang tinggi dan dua periode pasang rendah. Pasang dengan tinggi
maksimum terjadi pada bulan baru dan bulan penuh, sedangkan pasang dengan
tinggi minimum terjadi pada waktu perempatan bulan pertama dan perempatan
bulan ketiga. Tunggang pasang surut (tidal range) di Pulau Batudaka mencapai
maksimum 1.6 m dan perairan Kepulauan Togean mencapai 2.1 m. Pasang surut
dengan tipe sedemikian memiliki periode gelombang pasut sekitar 12 jam (BRKP
2004; Bappeda Touna 2007).

4.2.4.4 Kecerahan
Menurut Effendie (2004) kecerahan adalah ukuran transparansi perairan
yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk atau lebih dikenal
dengan sebutan kecerahan. Nilai kecerahan dinyatakan dengan satuan meter dan
hasilnya sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengamatan, kekeruhan
dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
1 30 59 88 117 146 175 204 233 262 291 320 349 378 407 436 465 494 523 552 581 610 639 668 697 726
N
i
l
a
i

P
a
s
u
t

(
m
e
t
e
r
)
Jam
122



Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam
perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang
memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan
kekeruhan (Nybakken 1988).
Kecerahan perairan Gugus Pulau Batudaka mencapai nilai 2-16 m, artinya
sampai kedalaman 2-16 m di bawah permukaan air laut objek/benda masih bisa
dilihat dengan mata telanjang secara langsung. Nilai kecerahan sangat rendah di
stasiun Luangon dan selat Batudaka mempunyai nilai terendah dan stasiun lain
memiliki nilai tingkat kecerahan hingga 100%.


4.2.4.5 Suhu Perairan
Pengamatan suhu perairan di Gugus Pulau Batudaka antara 30-31
0
C. Suhu
Rata-rata di Gugus Pulau Batudaka adalah 30.8
0
C. Berdasarkan RTRW
Kabupaten Tojo Una-Una, suhu perairan Kepulauan Togean berkisar antara 28-
31
0
C dengan suhu rata-rata 29.55
0
C. Kisaran suhu tersebut dalam kisaran yang
normal untuk perairan dan sesuai untuk kehidupan biota air.
Distribusi vertikal suhu di perairan Togean menunjukkan bahwa terjadi
penurunan suhu dari permukaan hingga kedalam 40 m dengan perbedaan suhu
sekitar 2
0
C. Pola perubahan suhu secara vertikal di 16 stasiun relatif sama. Hasil
penyelaman di lapang menunjukkan bahwa terumbu karang masih banyak
ditemukan di kedalaman sekitar 40 m (Zamani et al. 2007).

4.2.4.6 Salinitas Perairan
Salinitas merupakan konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Salinitas
menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi
menjadi oksida, semua bromide dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan
organik telah diokasidasi (Effendie 2004). Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat
dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai. Perairan laut Gugus Pulau Batudaka
relatif sedikit masukan air sungai yaitu hanya terdapat 2 sungai yakni Sungai
Taningkola yang panjangnya sekitar 1 km dan Sungai Malintang + 3 km (BPS 2009).
Salinitas perairan di lokasi pengamatan berkisar antara 29.5-34.5 dengan rata-
rata 32.08.
123


Hasil penelitian BRPL tahun 2004, menunjukkan bahwa salinitas di
perairan Togean pada musim timur bervariasi antara 33.90-35.00. Umumnya
salinitas di bagian utara lebih rendah dibandingkan dengan bagian selatan perairan
Togean. Secara spasial terlihat perbedaan, umumnya salinitas di wilayah yang
lebih dekat dengan muara sungai lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain,
dengan perbedaan salinitas sekitar 0.3. Pola distribusi vertikal salinitas
menunjukkan bahwa salinitas semakin meningkat dengan meningkatnya
kedalaman dimana pada kedalaman sekitar 40 meter mengalami peningkatan
sekitar 0.3 (Zamani et al. 2007).

4.2.4.7 Derajat Keasaman/pH
Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk
mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan
memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat
menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO
2
yang dapat
membahayakan kehidupan biota laut. pH air laut permukaan di Indonesia
umumnya bervariasi dari lokasi ke lokasi antara 6.08.5. pH perairan Gugus
Pulau Batudaka berkisar antara 78 dengan nilai rata-rata 7.76. Tidak terlihat
perbedaan pH yang signifikan antara lokasi pengamatan dan kisaran pH perairan
tersebut tergolong normal untuk biota air.

4.2.4.8 Oksigen Terlarut(DO/Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan
hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen
terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses
respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut
(disolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan
akuatik, terutama ikan
,
mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut
(Levina 1984). Menurunnya kadar O
2
terlarut dapat mengurangi efisiensi
pengambilan O
2
oleh biota laut yang dapat menurunkan kemampuan biota
tersebut untuk hidup normal dalam lingkungannya. Kadar O
2
terlarut di perairan
Indonesia berkisar antara 4.5 dan 7.0 ppm.
124



Nilai oksigen terlarut perairan Gugus Pulau Batudaka antara 6-8 mg/l
dengan rata-rata 7.21 mg/l. Menurut Suseno (1974) perairan yang mengandung
oksigen terlarut 5.0 ppm pada suhu 20-30
o
C, dapat dikatakan sebagai perairan
yang cukup baik untuk kehidupan biota laut.

4.3 Sistem Sosial Ekonomi dan Kelembagaan
4.3.1 Sistem Sosial
4.3.1.1 Demografi
Jumlah penduduk di Gugus Pulau Batudaka termasuk Pulau Una-Una pada
Tahun 2008 seluas 38 797.13 ha mencapai 13 106 jiwa terdiri atas 3 459 rumah
tangga dengan sebaran rata-rata rumah tangga sebanyak 4 jiwa dengan kepadatan
43 jiwa/km
2
atau 0.43 jiwa/ha (BPS Touna 2009). Berdasarkan Tabel 23, jumlah
penduduk Kecamatan Una-Una dalam periode tahun 2001-2008 mengalami
pertumbuhan 2% per tahun (Tabel 31).

Tabel 31 Parameter demografi Kecamatan Una-Una (BPS Touna 2002-2009)

No. Parameter Nilai Unit
1 Jumlah Penduduk 2008 13 106 Jiwa
2 Kepadatan Penduduk 42 Jiwa/km
2

3 Rumah Tangga (RT) 3 547 RT
4 Sebaran rata-rata Rumah Tangga 4 Jiwa/RT
5 Sex Rasio Laki-laki/Perempuan 104
6 Tingkat Ketergantungan penduduk (Usia Non Produktif
terhadap Usia Produktif)
68 %
7 Tingkat Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001-2008 2 %/Tahun
Keterangan : Hasil analisis (2010)

4.3.1.2 Pendidikan
Tingkat pendidikan di lokasi penelitian kondisinya relatif kurang baik
yaitu ditunjukkan dengan tingginya penduduk tidak tamat SD serta rendahnya
yang berpendidikan Perguruan tinggi. Penduduk Kepulauan Togean yang tamat
SD 39.86%, SLTP 14.45%, SLTA 8.0% dan Perguruan Tinggi 0.38% (Dinas
Perikanan dan Kelautan 2004). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
pendidikan di Kecamatan Una-Una telah dibangun gedung Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU).
Kecamatan Una-Una memiliki fasilitas TK sebanyak 2 unit, SD 19 unit, SMP 1
125


unit dan SMU/SMK 1 unit. Dari 13 106 jiwa penduduk di Kecamatan Una-Una,
sebanyak 10 255 orang merupakan tenaga kerja berusia di atas 10 tahun dan
1 156 orang tenaga kerja di luar sektor pertanian (BPS Touna 2009).

4.3.1.3 Pengetahuan Lokal
Pengelolaan sumberdaya perikanan di Gugus Pulau Batudaka yang
menggunakan kearifan tradisional yaitu menyangkut pengetahuan atau
pemahaman masyarakat adat kebiasaan tentang manusia dan bagaimana relasi
yang baik di antara manusia dengan alam serta di antara semua penghuni
komunitas ekologi. Penduduk gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una
memiliki latar belakang etnis yang beragam seperti Bajo, Bobongko, Togian,
Kaili, Baree, Taa, Gorontalo, dan Bugis. Masyarakat Bajo dan Bobongko lebih
menyebar tapi umumnya terkonsentrasi pada beberapa desa tertentu. Desa-desa
Bajo antara lain terdapat di Pulau Salaka, Siatu, Taufan, Kulingkinari; sementara
etnis Bobongko menetap di Tumbulawa dan tersebar di beberapa desa lainnya.
Etnik Bobongko telah mulai memeluk agama Kristen dan Islam. Adat-istiadat
yang dijadikan norma dalam pergaulan adalah adat Bobongko yang sudah mulai
mendapatkan pengaruh dari kepercayaan yang baru terutama nilai-nilai agama
Kristen dan Islam, sehingga tradisi upacara selalu dikaitkan dengan agama
walaupun nilai budaya kepercayaan leluhur masih dapat ditemukan dalam tradisi
Bobongko terutama dalam pesta panen dan upacara perkawinan dan kematian
(Bappeda Touna 2007). Selain itu, masyarakat di kawasan ini bersifat terbuka
dalam menerima budaya lain misalnya penduduk dari etnik Togean mengenakan
pakaian dari suku Jawa pada prosesi pernikahannya. Namun, budaya yang
bertentangan dengan agama Islam, masyarakat setempat lebih bersifat preventif,
seperti dengan semakin meningkatnya wisatawan mancanegara yang datang dan
berbusana terbuka membuat masyarakat meminta pengelola wisata untuk
memindahkan lokasi cottage yang terletak pada jalur masuk pelayaran menuju
Desa Bomba ke lokasi lain (Pulau Poya).
Masyarakat kawasan ini, ini masih memiliki sistem pemanfaatan SDA
yang diperoleh secara turun-temurun dengan menerapkan beberapa aturan serta
praktek pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan dan berdampak
positif terhadap kelestarian alam. Masyarakat Bajo juga biasa melakukan
126



bapongka, yaitu suatu kegiatan melaut yang dilakukan secara berkelompok.
Mereka biasanya pergi untuk beberapa hari (atau minggu) untuk mengumpulkan
hasil laut yaitu beberapa jenis ikan yang terkait dengan ekosistem terumbu karang
seperti Lolosi (Caesio sp) dan juga teripang.
Pengetahuan lokal lainnya yang diyakini suku bajo adalah melarang
masyarakatnya melakukan penangkapan terhadap Tuturuga (penyu) dan tidak
boleh semena-mena terhadap jenis ikan tertentu seperti paus dan lumba-lumba.
Hal ini berkaitan dengan anggapan mereka tentang penunggu laut, bahwa bila
menangkap Tuturuga atau mengganggu paus dan lumba-lumba akan
mendatangkan penyakit. Selain itu, kepercayaan masyarakat akan adanya mahluk
halus yang mendiami hutan bakau disebut dengan pongko lolap memberikan
pengaruh untuk tidak berlama-lama di dalam hutan. Tempat tersebut dijadikan
tempat keramat oleh masyarakat. Kepercayaan ini mulai memudar ketika adanya
pendatang yang mengenalkan chainsaw dan menebang wilayah yang
dikeramatkan tersebut, sehingga masyarakat menjadi lebih berani untuk masuk ke
wilayah hutan bakau (Adhiasto 2001).

4.3.2 Kegiatan Ekonomi
Pemanfaatan sumberdaya alam laut di Gugus Pulau Batudaka memberikan
nilai ekonomi yang paling besar pada sektor perikanan maupun pariwisata
dibandingkan sektor pertanian dan perkebunan. Kontribusi perikanan yang
menonjol berasal dari perdagangan ikan hidup (khususnya jenis kakap dan
kerapu), teripang, ikan-ikan pelagis, ikan teri, dan ikan garam. Di sektor
pariwisata, kepulauan Togean juga memiliki potensi yang besar khususnya bagi
wisatawan yang ingin menikmati pemandangan bawah laut, ataupun jungle
trecking.
Infrastruktur ekonomi yaitu sarana yang dapat mendukung berlangsungnya
kegiatan perekonomian di wilayah Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una
yang dapat menunjang perkembangan perekonomian wilayah baik dalam lingkup
lokal maupun regional. Sarana ekonomi ini berupa fasilitas perdagangan dan jasa.
Jenis fasilitas perdagangan yang terdapat di Kecamatan Una-Una yaitu
pasar, toko, warung dan kios. Fasilitas perdagangan menyebar di seluruh desa di
kecamatan Una -Una dengan jumlah bervariasi. Aktivitas pasar dilakukan di Desa
127


Wakai Setiap hari serta untuk desa Kulingkinari, bomba dan bambu merupakan
pasar mingguan. Fasilitas jasa yang terdapat di Kecamatan Una-Una adalah
bengkel, servis radio, tukang jahit, tukang kayu/batu, dan salon. Jumlah tertinggi
dari masing-masing fasilitas tersebut yaitu jumlah bengkel 10 unit, servis radio 5
unit, tukang jahit 16 unit, tukang kayu/batu 187 unit, dan salon 1 unit.
Transportasi udara dapat melalui pintu masuk dari Makassar, Balikpapan,
dan Manado lewat Gorontalo, Palu, dan Luwuk (Gambar 29), yang dilanjutkan
melalui darat menuju Ampana. Aksessibilitas ke Gugus Pulau Batudaka hanya
dapat dilakukan dengan trasportasi laut (dari Ampana, Poso, Parigi, Gorontalo,
Manado) menggunakan kapal penumpang. Lama perjalanan dari Ampana ke
Kecamatan Wakai yaitu 5 jam dan menggunakan speedboat dengan waktu
tempuh akan lebih pendek yaitu 2 jam. Wisatawan yang berkunjung ke
Kepulauan Togean umumnya melalui Pelabuhan Parigi (jaraknya + 90 mil),
Ampana (+ 48 mil) dan Gorontalo (+ 83 mil). Selain itu, ada pula Kapal Perintis
Pelni Sangiang satu bulan sekali ke Wakai dengan rute Gorontalo-Wakai-Poso-
Wakai-Gorontalo-Ternate dst (Tabel 32).
Airport
Airport
Airport
Airport
Airport
MANADO GORONTALO
PALU
MAKASSAR
LUWUK
TOGEAN
POSO
AMPANA
MAUTONG
KETERANGAN :
UDARA
DARAT
LAUT
KOTA
KEPULAUAN TOGEAN
1 JAM
1 JAM 10 MENIT
1 JAM 25 MENIT
1 JAM 35 MENIT
+ 83 Mill
+ 70 Mill
+ 48 Mill
+ 130 Mill
+ 120 Mill
PARIGI
+ 90 Mill
307 km 79 km
161 km
60 km
425 km
379 km
300 km

Gambar 29 Aksesibilitas ke Kepulauan Togean
128





Tabel 32 Pencapaian kapal motor menuju Gugus Pulau Batudaka melalui laut

Dari-Ke Armada/Kapal Waktu
Gorontalo-Wakai-
Ampana
Ampana-Wakai-
Gorontalo
Puspitasari Hari Kamis, Minggu 10.00 di
Wakai
Hari Senin, 10.00 Wita dari
Ampana

Gorontalo-Wakai-Ampana
Ampana-Wakai-Gorontalo

Tuna Tomini

Rabu, Sabtu, 09.00 Wita di Wakai
Hari Kamis, Minggu 10.00 Wita

Ampana-Wakai

Lumba-lumba
Duta Samudera


Selasa,Sabtu
Hari Senin, Rabu, Sabtu10.00 Wita
Ampana-Bomba Nusantara I, II
Surya Indah
Karya Mandiri
Hari Minggu, Selasa, Kamis
09.30 Wita
Wakai- Ampana Lumba-lumba
Duta Samudera


Bomba- Ampana Nusantara I, II
Surya Indah
Karya Mandiri
Hari Senin, Rabu, Sabtu
08.30-09.00 Wita

Kulingkinari- Ampana

Nusantara I, II
Surya Indah
Karya Mandiri

Hari Senin, Rabu, Sabtu
09.00-10.00 Wita

Ampana-Kandala-Lindo-
Kambutu-Bambu-dst

Arjuna


Hari Senin, Rabu, Sabtu
Hari Selasa, Kamis, Minggu
Sumber : Data Primer (2010)

4.3.2.1 Wisata
Kepulauan Togean juga memiliki potensi yang besar di sektor pariwisata,
khususnya bagi wisatawan yang ingin menikmati pemandangan bawah laut. Sejak
lebih dari 20 tahun lalu Kepulauan Togean telah didatangi oleh wisatawan
mancanegara, dan makin berkembang pada pertengahan tahun 90-an. Kebanyakan
dari mereka adalah wisatawan lepas (backpacker) yang datang ke Indonesia tanpa
melalui Biro Perjalanan Wisata (BPW), sehingga beberapa investor mulai melirik
Togean sebagai tempat potensial untuk mengembangkan usaha jasa wisata,
terutama penyediaan tempat penginapan dan penyewaan peralatan SCUBA Diving
dan snorkeling.

129


Atraksi wisata bahari (snorkeling dan diving) dan menikmati indahnya
pasir putih di Gugus Pulau Batudaka yaitu di Pulau Taufan, Pantai Capatana
(Desa Kulingkinari), Pantai Tipae, Pulau Poya (Desa Bomba), Pulau Tangkubi
dan Pasir putih Lindo (Desa Tumbulawa) serta Pantai Bambu (Desa Bambu), juga
memiliki potensi wisata lainnya seperti tracking dan Pengamatan Burung Allo (bird
watching) di Tumbulawa, air terjun Tanimpo di Desa Una-Una, seni budaya dan
masyarakat adat yang dapat dinikmati di Gugus Pulau Batudaka (Disbudpar
Touna 2006).
Sarana dan prasarana pariwisata di Gugus Pulau Batudaka bertujuan untuk
memberikan pelayanan dalam mendukung sektor perekonomian daerah dan untuk
menarik kunjungan wisata ke daerah-daerah tujuan wisata berupa tersedianya
sarana dan prasarana penunjang pariwisata antara lain akomodasi yang berupa
perhotelan serta aksesibilitas pencapaian menuju tempat wisata. Akomodasi yang
tersedia di Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 33.

Tabel 33 Jumlah sarana dan prasarana akomodasi di Gugus Pulau Batudaka
Kecamatan Una-Una

Akomodasi
Tahun
Berdiri
Lokasi
-Reatreat Cottages
-Poyalisa Bungalows
-Wakai Cottages
-Wakuna Cottages
-Penginapan Surya
-Penginapan Sederhana
-Penginapan Taurus
1990an
1990an
1990an
1990
1990
1990
2003
-Pulau Tipae, Desa Bomba 15 kamar
-Pulau Poyalisa, Desa Bomba 5 kamar
-Desa Wakai 10 kamar
-Desa Wakai 10 kamar
-Desa Wakai, 5 kamar
-Desa Wakai 5 kamar
-Desa Wakai, Sempiniti 5 kamar
Sumber : Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una (2006), Data Primer (2010)

Identifikasi Wisatawan. Jumlah responden wisatawan mancanegara
sebanyak 25 orang dan wisatawan domestik 18 orang. Gambaran profil wisatawan
yang mengunjungi Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 33.
Gugus Pulau Batudaka (Wakai, Pulau Poya, Pantai Tipae) merupakan
tujuan utama bagi wisatawan domestik sedangkan bagi wisatawan mancanegara
daerah tersebut bukan sebagai tujuan utama. Kunjungan wisatawan mancanegara
ke daerah ini merupakan persinggahan dari kunjungan utama mereka di kawasan
wisata lain atau juga merupakan bagian dari paket wisata untuk menikmati
seluruh wisata yang ada di Pulau Sulawesi. Adanya kenyataan ini berarti kawasan
130



ini merupakan kawasan wisata yang mulai diminati oleh wisatawan mancanegara,
sehingga untuk ke depan perlu adanya peningkatan dalam promosi agar dapat
menjadi tujuan utama dari kunjungan wisatawan yang berkunjung.

Tabel 33 Karakteristik responden wisatawan di Gugus Pulau Batudaka

Parameter Wisatawan
Domestik (orang)
Wisatawan
Mancanegara (orang)
Persentase
Tujuan Wisata
-Utama 8 5 18.60
-Persinggahan 10 20 81.40
Tujuan Kunjungan
-Berwisata 7 22 64.29
-Penelitian/Pend 8 2 28.57
-Tugas instansi 2 0 4.76
-Lain-lain 1 0 2.38
Frekuensi Kunjungan
-Pertama kali 8 17 60.47
-Kedua kali 4 6 23.26
-Ketiga kali 4 2 11.63
-Lebih dari tiga kali 2 0 4.65
Pekerjaan
-Pelajar/mhsw 1 4 11.63
-PNS 4 0 9.30
-Swasta 9 14 53.49
-Wiraswasta 4 7 25.58
Sumber Informasi
-Biro perjalanan 0 9 20.93
-Media cetak TV/Radio 12 0 27.91
-Teman 4 15 44.19
-Internet 2 1 6.98
Aktivitas Wisata
-Menikmati pemandangan alam 9 6 34.88
-Diving 6 10 37.21
-Snorkeling 3 9 27.91
Sumber : Analisis Data (2010)


Sumber informasi wisata ke kawasan ini bagi para wisatawan domestik
umumnya mengetahuinya dari media cetak, TV/Radio, sedangkan bagi wisatawan
mancanegara, umumnya mengetahui dari Teman, biro-biro perjalanan melalui
paket-paket wisata, dan ada juga yang dari internet. Motivasi kunjungan bagi
wisatawan untuk berwisata ke daerah ini yang terutama adalah karena potensi
alamnya (39.53%) serta lingkungan yang sepi dan alami (60.47%), sedangkan
faktor yang paling menarik dari kawasan ini menurut wisatawan adalah karena
alam dan terumbu karangnya (100%). Untuk faktor yang lain seperti masyarakat
dan makanan, menurut wisatawan tidak ada kekhasan tersendiri, jadi serupa
131


dengan daerah lain. Sementara fasilitas penginapan justru dirasa kurang memadai
bagi wisatawan, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Persentase jenis pekerjaan wisatawan yang terbesar adalah sebagai
pegawai swasta/wiraswasta, baik pada wisatawan domestik maupun wisatawan
mancanegara. Kondisi ini dapat menjadi gambaran bahwa masyarakat yang
bermatapencaharian sebagai pegawai swasta/wiraswasta, secara keuangan
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berwisata di daerah tersebut,
disamping kebutuhan untuk bersantai dari rutinitas pekerjaan yang dijalani.
Aktivitas wisatawan yang terbanyak adalah berperahu, biasanya
wisatawan berperahu untuk menyeberang ke pulau-pulau kecil atau juga untuk
berkeliling menikmati pemandangan di sekitar perairan gugusan pulau-pulau kecil
yang ada di lokasi penelitian (35%), aktivitas menyelam (37%) dan snorkeling
(28%). Aktivitas wisata snorkeling dan diving, secara umum lebih banyak
dilakukan oleh wisatawan mancanegara dibandingkan wisatawan domestik. Hal
ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah dibutuhkan
ketrampilan khusus untuk melakukan kedua aktivitas wisata tersebut, disamping
itu juga biaya yang dikeluarkan cukup mahal. Contohnya, untuk melakukan satu
kali dive atau penyelaman selama 45 menit dikenakan biaya sebesar US$ 25 dan
malam hari US$ 31, snorkeling selama 6 jam US$ 20 ke Pulau Taufan, atau ke
Atol Pasir Tengah. Kurangnya permintaan wisatawan ke kawasan ini dapat
disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya adalah kurangnya sarana dan prasarana
wisata, kurangnya promosi dalam menawarkan obyek wisata yang ada di kawasan
ini. Hal ini diungkapkan oleh Douglass (1970) permintaan wisata di alam terbuka
dipengaruhi oleh selera, alternatif wisata, atraksi, tingkat pendapatan, kondisi
masyarakat, ketersediaan waktu, waktu perjalanan dan penawaran wisata yang
ditawarkan kepada pengunjung.

4.3.2.2 Perikanan
Sentra perikanan di Gugus Pulau Batudaka terdapat di Wakai.
Pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir di Gugus Pulau Batudaka masih
dilakukan dalam skala kecil (unit ekonomi keluarga) dan nelayan di sini
kebanyakan adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap sederhana seperti
pancing dan jaring. Jumlah alat penangkap ikan pada tahun 2008 yaitu bagan
132



sebanyak 48 unit dan pancing sebanyak 807 unit dengan kapal penangkap ikan
berupa perahu motor sebanyak 369 unit dan perahu tidak bermotor 438 unit BPS
(2009). Usaha pengangkapan ikan di lokasi penelitian menggunakan alat tangkap
berikut ini.
(1) Pancing
Alat ini digunakan untuk menangkap jenis-jenis ikan karang khususnya ikan
kerapu dan ikan ekor kuning. Ikan kerapu yang tertangkap berukuran 1-2
ekor/kg dengan harga jual Rp. 25 000/kg. Operasi penangkapan ikan
dilakukan pada siang hari dengan daerah penangkapan (fishing ground)
berjarak 3-4 mil dari pantai dengan hasil yang diperoleh 7-10 ekor/trip.
Nelayan pancing menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul yang
ada di Gugus Pulau Batudaka sebelum dijual ke pedagang besar di Ampana,
Poso maupun Palu.
(2) Jaring
Alat tangkap ini digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan kembung,
tongkol dan cakalang dengan hasil tangkapan 15-30 keranjang/trip, kemudian
dijual seharga Rp. 5 000/ikat untuk pasar lokal (1 ikat 6-8 ekor, tiap keranjang
5-8 ikat). Pengoperasian alat tangkap ini pada siang menjelang malam hari.
Daerah pemasaran umumnya Ampana dan untuk konsumsi lokal.
(3) Bagan
Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil, dengan
operasi penangkapan dilakukan pada malam hari. Hasil tangkapan yang diperoleh
rata-rata 4-7 keranjang/trip. Bagan yang ada di Gugus Pulau Batudaka adalah
bagan dua perahu dengan panjang perahu 46 m. Daerah penangkapannya sekitar
34 mil dari pemukiman nelayan dan biasanya melakukan penangkapan pada
daerah yang perairannya tenang. Tangkapan semua jenis ikan teri saat turoh
(malam dalam satu bulan di mana bulan tidak muncul di langit/bulan gelap, atau
pada malam tersebut, ikan teri biasanya naik. Nelayan yang beroperasi di Gugus
Pulau Batudaka rata-rata mendapatkan 2030 kg ikan teri basah dari berbagai
ukuran dalam sekali operasi sepanjang turoh. Hasil itu belum dihitung pendapatan
dari tangkapan ikan jenis lain, seperti temba jawa (Decapterus sp), katombo
(Carangidae) dan cakalang (Katsuwonus pelamis)
133


Beberapa jenis ikan banyak ditangkap di sekitar perairan Gugus Pulau
Batudaka antara lain ikan kakap, cakalang, kerapu sunu, ketombo, layang, lolosi
dan lain-lain. Jenis biota seperti teripang, lobster, dan gurita juga merupakan
obyek penangkapan nelayan-nelayan setempat. Aktivitas perekonomian lainnya
adalah penangkapan ikan pelagis, yang sudah dilakukan dalam 15 tahun terakhir
oleh masyarakat di kawasan ini. Penangkapan ikan pelagis dilakukan dengan
menggunakan rakit yang diikat jangkar dan diletakkan di laut dalam (istilah
daerah rompong). Jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan antara lain
tuna, layang dan cakalang.
Nelayan di Gugus Pulau Batudaka berasal dari suku Bajo, Taa, Togian,
Bugis, Babongko, Gorontalo, Baree dan Saluan. Tingkat pendidikan nelayan
tersebut sebagian besar lulusan SD dengan kemampuan keterampilan sebagai
nelayan diperoleh secara turun-temurun dari orang tua mereka atau nelayan lain
yang sudah berpengalaman melakukan penangkapan ikan, yakni menyelam untuk
menangkap ikan karang dan mutiara sampai kedalaman 30 m tanpa alat selam
yang memadai.
Pengembangan usaha budidaya perikanan di Gugus Pulau Batudaka
masih terbatas dan relatif sedikit penduduk yang memiliki usaha tersebut, yaitu :
(1) Budidaya Karamba Jaring Apung (KJA)
Usaha ini dimiliki sebagian penduduk yang bekerja pada pemilik modal besar
untuk mengembangkan usahanya, usaha ini hanya digunakan untuk
penampungan ikan hidup yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti ikan
kerapu dan ikan napoleon. Setelah ikan terkumpul baru dijual kepada
pengusaha yang melakukan penangkaran lebih besar. Selain itu, ada juga
budidaya ikan kerapu bebek yang semula dilakukan oleh Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Poso di Desa Taningkola. Budidaya kerapu dikelola
dalam bentuk keramba-keramba, perdesa masing-masing memiliki 2 unit
keramba. Pengelolaan budidaya ini dilakukan oleh perorangan dengan hasil
produksi 2 ton per bulan.
(2) Budidaya kerang mutiara
Usaha ini dikembangkan oleh PT. Tamatsu dengan melibatkan beberapa
tenaga kerja lokal. Kegiatan budidaya mutiara berada di perairan yang cukup
134



tenang, namun adanya konflik dengan masyarakat Bomba, Siatu, Tumbulawa
karena merasa akses terhadap lokasi pemancingan tradisional mereka tertutup
oleh areal budidaya maka usaha ini pindah ke daerah lain.
(3) Budidaya rumput laut
Terdapat di Desa Tumbulawa, Taningkola, Kulingkinari, Wakai dan Desa
Siatu. Budidaya rumput laut di Desa Taningkola memiliki kawasan budidaya
seluas 10 ha dengan hasil produksi 10 ton pada bulan kering yang dikelola
secara tradisional oleh masyarakat setempat. Di Desa Siatu luas kawasan
budidaya yaitu 2 ha dengan produksi 2 ha, sedangkan budidaya rumput laut
di Desa Wakai produksinya mencapai 15 ton per bulan dengan luas kawasan
budidaya 20 ha. /
(4) Budidaya Teripang.
Budidaya teripang saat ini terdapat di Desa Bomba, Desa Taningkola dan
Desa Tumbulawa. Pengelolaan budidaya teripang tersebut diusahakan oleh
masyarakat sekitar dengan cara tradisional. Bibit yang digunakan diperoleh
dari alam yaitu sekitar 500 kg/bulan pada masing-masing desa. Pemerintah
memberikan bantuan untuk pengelolaan budidaya teripang semi intensif.

4.3.3 Kelembagaan
4.3.3.1 Pemerintahan
Kabupaten Tojo Una-Una merupakan kabupaten yang baru dimekarkan
dari Kabupaten Poso sesuai Undang-undang No 32 Tahun 2003 pada Tanggal 18
Desember 2003. Pengelolaannya mengacu pada Rencana Detail Tata Ruang
(RDTR) Kepulauan Togean 2008-2027 yang dibuat oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Tojo Una-Una dan juga berdasarkan arahan Peraturan Pemerintah RI
No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Wilayah Kabupaten Tojo Una-Una terdiri atas wilayah kepulauan dan
daratan yang terdiri atas 8 kecamatan, 6 kelurahan dan 118 desa (termasuk desa
persiapan). Secara Administratif Kepulauan Togean terdiri dari 4 wilayah
kecamatan, yaitu Una- Una (ibu kota Wakai), Togean (Lebiti) Walea Kepulauan
(Popolii), dan Walea Besar (Pasokan) dengan jumlah desa keseluruhan mencapai
43 desa yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Desa. Secara administratif
Kecamatan Una-Una terdiri dari 13 desa definitif. Desa-desa ini tersebar di
135


beberapa pulau seperti Batudaka, Una-Una dan Salaka yang semuanya masih
dalam Kepulauan Togean. Masing-masing desa dikepalai oleh seorang kepala
desa yang dibantu oleh seorang sekretaris desa dan beberapa orang perangkat
desa. Pemerintahan Kecamatan Una-Una dipusatkan di Pulau Batudaka yaitu
dengan ibukota kecamatan di Wakai.

4.3.3.2 Kronologi Pembentukan Taman Nasional Kepulauan Togean
Usulan Kepulauan Togean menjadi kawasan konservasi telah dimulai
sejak tahun 1989 ketika Gubernur Sulawesi Tengah mengirim surat rekomendasi
kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan agar 100 000 hektar kawasan laut
Kepulauan Togean ditetapkan sebagai Taman Wisata Laut. Dokumen lain dari
tahun 1989 sampai 2008 dari berbagai usulan kawasan ini tertera pada Tabel 34.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi
Tengah nomor 136/1028/Bappeda tahun 1996, kawasan hutan di Kepulauan
Togean dibagi menjadi Hutan Lindung, Area Penggunaan Lain, Hutan Produksi
yang dapat dikonversi, Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Gubernur
Sulawesi Tengah pada tanggal 21 Pebruari 2004 mengusulkan kepada Menteri
Kehutanan untuk penetapan kawasan Kepulauan Togean, seluas 411 373 ha di
Kepulauan Togean Sebagai Taman Wisata Laut, kemudian juga didukung
pernyataan Bupati Tojo Una Una, Sulawesi Tengah 27 Pebruari 2004. Berkaitan
dengan usulan tersebut, tim khusus terdiri gabungan antar instansi yaitu Badan
Planologi Kehutanan (BAPLAN), Puslitbang Kehutanan, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan
Conservation International Indonesia, datang ke Kepulauan Togean untuk
mengadakan peninjauan lapangan dan merekomendasikan Kepulauan Togean
sebagai Taman Nasional Laut.
Pada tanggal 19 Oktober 2004 telah ditetapkan sebagai Taman Nasional
melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 418/Menhut-II/2004. Pada
tanggal 10 Maret 2008 dengan keluarnya Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun
2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional, Taman Nasional Kepulauan Togean
tidak ada lagi dan arahan kawasan lindung yang tertuang dalam Lampiran PP
tersebut sebagai Taman Wisata Alam Laut Pulau Togean dan Pulau Batudaka.
Walaupun Kabupaten Tojo Una-Una telah memiliki RTRW Kabupaten dan
136



RDTR Kepulauan Togean, sampai saat ini zonasi tata ruang TNKT belum ada,
karena masih adanya konflik antara masyarakat, LSM, TNKT dan Pemerintahan
Daerah Setempat.

Tabel 34 Kronologi pembentukan pengelolaan kelembagaan Kepulauan Togean

TAHUN DASAR KEBIJAKAN STATUS
1989
Surat Gubernur Sulawesi Tengah no. 503/391/DINHUT/89
tanggal 30 Agustus 1989 kepada Menteri Kehutanan RI
merekomendasikan kawasan Kepulauan Togean Seluas
100.000 hektar Taman Wisata Laut (TWL)
Taman Wisata Alam Laut
(Usulan)
RePPProT mencantumkan Kepulauan Togean sebagai Suaka
Margasatwa yang mencakup seluruh kawasan (darat dan laut)
Suaka Margasatwa
(Usulan)
1990 Surat Keputusan Gubernur KDH I Sulawesi Tengah No.
188.14/0840/Dephut/90 tanggal 10 Pebruari 1990 tentang
Penunjukkan Sementara Kepulauan Togean seluas 100.000
sebagai Taman Wisata Alam
Taman Wisata Alam Laut
(Penunjukkan sementara)
1992 Laporan Kantor Kementerian Negara Kependuduka dan
Lingkungan Hidup Tahun 1992 (Country Study on Biological
Diversity) yang mengusulkan status Kepulauan Togean
sebagai Cagar Alam Laut seluas 100.000 hektar.
Cagar Alam Laut (Usulan)
1993 BAPPENAS dalam Biodiversity Action Plan for Indonesia
tahun 1993 mengusulkan status Kepulauan Togean sebagai
Cagar Alam Multiguna.
Cagar Alam Multiguna
(Usulan)
1997 Surat Keputusan Gubernur KDH I Sulawesi Tengah No.
556/138/DIPARDA/1997 tanggal 18 Marer 1997 tentang
Penetapan Obyek/Kawasan Daya Tarik Wisata di Provinsi
Sulawesi Tengah, pada salah satu point lampirannya
menunjuk Taman Laut Kepulauan Togean sebagai
obyek/kawasan daya tarik wisata bahari.
Taman Laut Kepulauan
Togean (Penetapan sebagai
obyek Wisata Bahari di
Sulawesi Tengah)
2003 Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI mencanangkan
Kepulauan Togean sebagai Kawasan Ekowisata Bahari
Unggulan Nasional
Daerah tujuan Ekowisata
Bahari Unggulan Nasional
(Pencanangan)
2004
Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah No.
556/38/Dishut/GST tanggal 21 Pebruari 2003 tentang usul
penetapan Taman Wisata Laut (TWL) Kepulauan Togean
seluas 411.373 hektar di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi
Sulawesi Tengah.
Taman Wisata Laut
(usulan)
Surat Bupati Tojo Una-Una No. 558.1/0144/B-TU perihal
dukungan atas Usulan Taman Wisata Laut Kepulauan Togean
Taman Wisata Laut
(Dukungan pada usulan
Gubernur)
Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah No.
556/38/DISHUT tanggal 14 Oktober 2004 tentang usulan
penetapan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas
411.373 hektar di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi
Sulawesi Tengah.55
Taman Nasional
(Perubahan atas usulan
Taman Wisata Laut)
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 418/Menhut-
II/2004tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi
dan penunjukkan kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi
Terbatas, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi yang dapat
dikonversi, dan wilayah perairan laut Kepulauan Togean di
Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah seluas +
362.605 ha sebagai Kawasan Taman Nasional Kepulauan
Togean.
Taman Nasional Kepulauan
Togean (Penunjukkan)
2008* Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008
tanggal 10 Maret 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional
Taman Wisata Alam Laut
Pulau Togean dan Pulau
Batudaka
Sumber : CII (2006), * PPRI (2008)

137


5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan
5.1.1 Karakteristik Lingkungan Perairan Gugus Pulau Batudaka
Identifikasi kesesuaian kegiatan wisata dan perikanan menggunakan
analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA). Melalui analisis
tersebut (Lampiran 2) diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai gambaran
setiap lokasi pengamatan memiliki karateristik fisika-kimia yang dianggap
memenuhi syarat untuk kegiatan pemanfaatan tersebut antara lain kecerahan,
salinitas, suhu, pH, dan DO yaitu diperoleh ragam sumbu utama hingga kedua
mencapai 77.18%. Hal ini berarti 77.18% dari data hasil analisis dapat
diterangkan hingga sumbu kedua dan memiliki akar ciri (eigenvalue) secara
berurutan adalah 2.8002, dan 1.0587 (Tabel 35).

Tabel 35 Akar ciri dan persentase ragam pada kedua komponen utama untuk
pengamatan di 15 Stasiun Biofisik

Hasil analisis kontribusi variabel diperoleh total ragam sebesar 77% pada
dua sumbu utama yaitu sumbu 1 dan sumbu 2, dengan ragam masing-masing
sebesar 56%, dan 21% (Gambar 30). Korelasi antara variabel dengan sumbu
utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yaitu dengan koordinat variabel atau
representasi dari variabel pada sumbu utama yang ditunjukkan dengan jauh
dekatnya variabel tersebut terhadap sumbu utama. Semakin dekat variabel dengan
sumbu utama semakin besar pula korelasi dan interpretasi dari setiap variabel
tersebut dengan melihat sebaran individu pada sumbu utama. Pada sumbu 1
memperlihatkan adanya korelasi kuat positif terhadap variabel suhu, pH, dan dan
DO, sedangkan variabel kecerahan, salinitas berkorelasi negatif terhadap sumbu
utama. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ke-15 stasiun pengamatan
dapat tertera pada Tabel 36.

Eigenvalues
Komponen Utama
Sumbu 1 Sumbu 2
Nilai Eigen (akar ciri) 2.8002 1.0587
Ragam 0.5600 0.2117
Kumulatif 0.5600 0.7718
138




(a)

(b)
Gambar 30 (a) Korelasi antara variabel dan sumbu faktorial utama
(b) Sebaran titik stasiun pada sumbu faktorial utama
.
Kecerahan
S
T
pH
DO
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5
-
-
a
x
i
s

2

(
2
1
%

)

-
-
>
-- axis 1 (56% ) -->
Correlations circle on axes 1 and 2 (77% )
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Kecerahan
S
T
pH
DO
2
1,5
1
0,5
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
4 2 0 2 4

a
x
e

(
2
1
%

>
axe1(56%)>
Biplot on axes 1 and 2 (77% )
139


Tabel 36 Kontribusi variabel terhadap sumbu utama karakteristik perairan
Gugus Pulau Batudaka

Variabel Faktor Utama ke-i Faktor Kedua ke-i
Kecerahan -0.6931 0.6016
Salinitas -0.7229 -0.4572
Temperatur (suhu) 0.8657 0.1371
pH 0.7130 0.4689
DO 0.7346 -0.4990


Tabel 36 memperlihatkan bahwa suhu, pH dan DO berkorelasi positif
dengan faktor utama (karakteristik lingkungan perairan) dan berkurangnya
kecerahan (69.31%) dan salinitas (72.29%) akan mempengaruhi kualitas perairan
bagi kegiatan wisata dan perikanan di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Hasil
analisis ini menunjukkan basis faktor karakteristik lingkungan perairan yang
mempengaruhi kesesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata dan
perikanan.
Hasil pengukuran kualitas air pada 15 stasiun pengamatan, menunjukkan
bahwa tingkat kecerahan berfluktuatif berkisar 2.04-16.05m, salinitas berkisar
33.88-31.38 ppt, suhu antara 30.49-31.26C, pH berada pada kisaran 7.51-7.70,
dan pada oksigen terlarut berkisar 6.82-7.31 ppm. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa tingkat kecerahan tinggi pada stasiun 4, 6, 7 dan 15. Ini
disebabkan substratnya umumnya berpasir sehingga padatan terlarut dan
tersuspensi mudah mengendap, Tingginya tingkat salinitas pada 15 stasiun ini
disebabkan lokasi penelitian umumnya hanya memiliki sungai-sungai dengan
debit air yang kecil dan curah hujan yang minimal sehingga kurang pengenceran
air laut dan terjadi penguapan yang tinggi. Suhu dan pH tidak berfluktuasi
disebabkan pada umumnya perairan ini memiliki intensitas cahaya matahari yang
tinggi, dengan laut yang rata-rata dalam maka hanya lapisan permukaan saja yang
lebih banyak terkena sinar matahari. Oksigen terlarut menunjukkan nilai yang
relatif hampir sama dan dalam kisaran yang layak. Secara keseluruhan
menunjukkan kisaran parameter kualitas air pada lokasi penelitian adalah optimal.
Variabel suhu dengan salinitas dan kecerahan memiliki korelasi negatif,
hal ini disebabkan kenaikan salinitas perairan tidak mempengaruhi suhu perairan.
Pada lokasi penelitian rata-rata nilai suhu tertinggi 31
o
C terdapat pada Stasiun
140



1-6, 9-13 dan 15, sedangkan terendah 30
o
C terletak pada Stasiun 7, 8 dan 14.
Kecenderungan lokasi yang memiliki suhu yang lebih tinggi disebabkan kondisi
cuaca pada saat pengukuran lebih terik dan sebaliknya pada lokasi dengan
kecenderungan nilai suhu yang rendah. Kondisi cuaca pada daerah Gugus Pulau
Batudaka sangat fluktuatif, khususnya pada saat memasuki musim pancaroba.
Bengen dan Retraubun (2006) menyebutkan bahwa perubahan suhu perairan
dipengaruhi oleh perubahan cuaca atau iklim, sedangkan perubahan salinitas
dipengaruhi oleh angin muson yaitu musim hujan dan musim kemarau. Hasil
identifikasi komponen utama untuk kegiatan wisata, penangkapan ikan karang,
dan budidaya rumput laut di kawasan ini diperoleh bahwa daerah bagian Utara,
Barat dan Selatan Pulau Batudaka lebih dicirikan dengan salinitas yang lebih
tinggi, bagian terlindungi pulau lain dicirikan salinitas yang rendah, dan parameter
fisik-kimia lainnya (pH, oksigen terlarut, suhu dan kecerahan) tidak menjadi
faktor pembatas tersebut, kecuali kegiatan perikanan dimana variabel kecerahan
dan suhu dipengaruhi oleh cuaca dapat mempengaruhi budidaya tersebut terutama
pada musim hujan. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan
untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu
dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak
langsung yakni dalam mengubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat
mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997). Di Indonesia, suhu
udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat berkisar antara 28.2-34.6
0
C dan
pada malam hari suhu berkisar antara 12.8
-
30.0
0
C. Keadaan suhu tersebut
tergantung pada ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya
beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara di sekitarnya. Secara umum,
suhu air di perairan Indonesia sangat mendukung bagi pengembangan budidaya
perikanan (Cholik et al, 2005).
Kisaran nilai rata-rata salinitas tertinggi 32-34 ppm terdapat pada Stasiun
2, 4, 7, 8, 9, 14 dan 15, sebaliknya kisaran nilai terendah 29-31 ppm terdapat di
Stasiun 1, 3, 5, 6, 10, 11, 12 dan 13. Daerah dengan kisaran salinitas yang tinggi
umumnya terdapat pada daerah yang terletak jauh dari daratan induk dan berada
pada daerah yang tidak terlindung dari pengaruh gelombang dan arus yang masuk
141


ke Teluk Tomini, sebaliknya kisaran salinitas yang rendah cenderung lebih dekat
dengan daratan Pulau Batudaka. Hal ini disebabkan daerah tersebut masih
mendapat pengaruh dari aliran Sungai Taningkola dan Sungai Malintang terutama
pada musim hujan, serta lokasi tersebut lebih terlindung dengan adanya pulau
sebagai penghalang (khususnya stasiun 10, 11 dan 12).
Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses
respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi
pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1% dari seluruh intensitas
cahaya yang mengalami penetrasi di permukaan air. Kedalaman kompensasi
sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi
secara harian dan musiman (Effendie 2003). Kecerahan merupakan ukuran
transparansi perairan, yang ditemukan secara visual dengan menggunakan secchi
disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter, nilai ini sangat dipengaruhi
oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta
ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan
sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendie 2003). Untuk budidaya
perikanan laut, kecerahan air yang dipersyaratkan adalah > 3 m (KMLH 2004).

5.1.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Spasial Gugus Pulau Kecil
Analisis kesesuaian lahan diarahkan pada peruntukan kawasan wisata
bahari (selam dan snorkeling), perikanan tangkap yang dominan (ikan karang),
pengembangan budidaya rumput laut. Selain karakteristik lingkungan perairan
(suhu, pH, DO, kecerahan, salinitas) juga kedalaman, arus, kemiringan pantai dan
substrak dasar perairan menjadi pembatas dalam penentuan kesesuaian
berdasarkan matrik kesesuaian kegiatan wisata-perikanan di Gugus Pulau
Batudaka.


5.1.2.1 Wisata Selam
Berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografis (SIG) dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil analisis
kesesuaian lokasi untuk wisata selam berdasarkan pengamatan pada empat titik
waktu (Gambar 31) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat
(Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus
142



Gambar 31 Analisis temporal kesesuaian wisata selam berdasarkan empat waktu
143


2009). Hasil overlay tersebut diperoleh luas wilayah perairan Gugus Pulau
Batudaka berdasarkan kesesuaian lokasi untuk wisata selam, yaitu dari total luas
sebesar 61 038 ha, maka 62-78 ha (sekitar 0.11%) digolongkan sangat sesuai, 893-
927 ha (1.49%) dikategorikan sesuai, dan 60 047-60 067 ha (98.39%)
dikategorikan tidak sesuai (Tabel 37). Rendahnya luasan kategori kelas sesuai
(S1) karena adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori
tersebut. Pembatas ini terutama adalah kecepatan arus yang memenuhi syarat
wisata selam di perairan kawasan ini sehingga memberikan luasan yang berbeda
tiap musimnya.

Tabel 37 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata selam

Bulan
Luasan (ha)
Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai
Oktober 63 927 60 048
Desember 63 916 60 059
Mei 77 894 60 067
Agustus 78 911 60 049
Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis temporal pemanfaatan wisata selam menghasilkan luasan dengan
kategori sesuai yang tidak jauh berbeda selama setahun. Hal ini berarti kawasan
Gugus Pulau Batudaka untuk kegiatan wisata selam dapat dilakukan sepanjang
tahun. Hasil analisis spasial (Gambar 32) diperoleh ruang yang sesuai untuk
wisata selam, dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : kecerahan cukup
optimal yaitu lebih dari 10 m. Tutupan komunitas karang diatas 75%, life form
lebih dari 12 jenis ikan karang lebih dari 100 jenis, kecepatan arus cukup bagus
yaitu berkisar antara 015 cm/dtk dan kedalaman cukup memadai yakni berkisar
yakni berkisar 615 m. Lokasi penyelaman dengan kategori baik di Barrier Reef
(Barat P. Batudaka), moderat antara lain di Atol Pasir Tengah, Goa-Goa, Taufan,
Tj. Capatana, Bambu, Lindo dan kategori jelek di Donut Reef/ Sebelah selatan
Selat Batudaka (Yusuf dan Allen 2001). Secara rinci kondisi karakteristik spot
penyelaman tersebut tertera pada Lampiran 3.
144





















Gambar 32 Hasil overlay wisata selam di Gugus Pulau Batudaka
145


5.1.2.2 Wisata Snorkeling
Hasil overlay untuk wisata snorkeling berdasarkan pengamatan pada
empat titik waktu (Gambar 33) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008),
musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim
timur (Agustus 2009) diperoleh luas wilayah perairan berdasarkan kesesuaian
lokasi untuk Wisata tersebut, yaitu dari total luas sebesar 61 038 ha, maka 73-627
ha (sekitar 0.42%) digolongkan sangat sesuai, 983-1516 ha (2.22%) sesuai, dan 59
384-59 479 ha (97.36%) dikategorikan tidak sesuai (Tabel 38). Rendahnya luasan
kategori kelas sangat sesuai (S1) karena adanya faktor pembatas yang tidak
memenuhi sebagai kategori tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor
kondisi kedalaman yang memenuhi syarat wisata snorkeling, lebar hamparan datar
dan kondisi terumbu karang, di perairan Gugus Pulau Batudaka.

Tabel 38 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata snorkeling

Bulan
Luasan (ha)
Sangat Sesuai Sesuai Tidak sesuai
Oktober 627 983 59 427
Desember 180 1 448 59 409
Mei 74 1 485 59 479
Agustus 137 1 516 59 385
Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis temporal terhadap kegiatan wisata snorkeling menunjukkan
bahwa luasan dengan kategori sesuai pada musim peralihan timur (Bulan Mei)
paling rendah dibandingkan musim lainnya dan cenderung mulai musim barat
sampai musim timur (Nopember-Agustus) luasannya lebih rendah dibanding
musim peralihan barat (September-Oktober). Rendahnya luasan kategori sesuai
pada Bulan Mei, selain dipengaruhi oleh arus, yakni arus pada kedalaman 5 m
pada bulan Mei (Stasiun 6, 8 dan 10) sebesar 0.53-0.76 m/detik, ditunjang dengan
curah hujan yang tinggi pada bulan April-Mei (BPS 2009). Hal ini berarti perlu
pengaturan jumlah wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling untuk
kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas wisata tersebut, disamping
alternatif lain yang dapat ditawarkan yakni menikmati atraksi-atraksi lain seperti
rekreasi pantai, berjemur, olah raga pantai, berjalan ke hutan sambil melihat
burung khas Sulawesi.
146



Gambar 33 Analisis temporal kesesuaian wisata snorkeling berdasarkan empat waktu
147


Hasil analisis spasial diperoleh ruang yang sesuai untuk snorkeling,
dicirikan dengan kecerahan cukup optimal yaitu lebih dari 10 m, tutupan
komunitas karang di atas 75%, life form lebih dari 12 jenis, ikan karang lebih dari
100 jenis, kecepatan arus cukup bagus yaitu berkisar antara 0-15 cm/dtk,
kedalaman cukup memadai yaitu berkisar antara 0-5 m dan lebar hamparan datar
karang diatas 500 m. Luasan yang berbeda untuk kegiatan snorkeling kategori
sesuai pada masing-masing musim sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus yaitu
pada musim timur sampai musim barat memiliki arus yang cukup kuat. Pola arus
di perairan Gugus Pulau Batudaka selain dipengaruhi oleh pasut, juga dipengaruhi
oleh arus utama di perairan Teluk Tomini. Pada musim timur, arus permukaan
datang dari arah timur/tenggara (laut Seram) mengalir ke arah barat (bagian
dalam teluk), sebaliknya pada musim barat, dari barat ke timur. Hasil
pengukuran kecepatan arus permukaan pada stasiun biofisik di Gugus Pulau
Batudaka sebesar 0-0.3 m/detik. Pola arah arus di Pulau Batudaka cenderung
bergerak ke arah Barat Daya dengan kisaran sudut 85
o
-350
o
. Arus ini bergerak
dengan kecepatan rata-rata 0.654 m/detik (Bapedda Touna 2007). Menurut Wong
(1991) parameter arus dalam kegiatan wisata bahari sangat penting karena
pergerakan air laut secara kontinyu dapat membawa material dan membahayakan
bagi penyelam dan perenang.
Kecerahan perairan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam
kegiatan wisata snorkeling. Perairan yang jernih mengundang rasa keingintahuan
yang tinggi untuk melihat keindahan bawah laut sehingga semakin cerah suatu
perairan maka keindahan yang dapat dinikmati wisatawan juga akan semakin
tinggi. Persentase penutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang,
kedalaman dan lebar hamparan dasar karang juga menjadi hal penting karena
merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Secara umum, kondisi karang,
ikan laut hias di dasar laut sangat indah dan masih alami, hanya beberapa lokasi
(seperti di Sebelah Timur P. Taufan) yang karangnya rusak akibat pengeboman
oleh manusia. Kesesuaian kawasan untuk kegiatan snorkeling terdapat hampir di
semua pesisir Pulau Batudaka (Gambar 34) dan sebaran kondisi penutupan
terumbu karang tertera pada Gambar 35.
148




Gambar 34 Hasil overlay wisata snorkeling di Gugus Pulau Batudaka
149





Gambar 35 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka


Lokasi Snorkeling dengan kategori sangat baik di Barrier Reef (Barat P.
Batudaka), P. Tambangoni, Taufan Selatan, kategori baik pada Taufan Barat,
Taufan Timut, Atoll Pasir Tengah, Atoll Goa-Goa, Karangan Barat, Karangan
Timur, kategori sedang antara lain di P. Taufan, Tj. Capatana, Bambu, Lindo dan
Donut Reef (sebelah timur P. Batudaka).

5.1.2.3 Kesesuaian Penangkapan Ikan Karang
Hasil overlay untuk penangkapan ikan karang yang tertangkap di Gugus
Pulau Batudaka sama berdasarkan pengamatan pada empat titik waktu yakni
peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan
musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009). Kesesuaian lokasi
untuk penangkapan ikan karang di wilayah Gugus Pulau Batudaka dari total luas
perairan sebesar 61 038 ha, maka 407 ha (sekitar 0.67%) digolongkan sangat
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

T
u
t
u
p
a
n
Stasiun
HC
SC
SP
R
DC
S
150



sesuai, 40 493 ha (66.34%) dikategorikan sesuai, dan 20 138 ha (32.99%)
dikategorikan tidak sesuai (Tabel 39).

Tabel 39 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian penangkapan ikan karang

No. Kelas Kesesuaian Luas (ha)
1 Sangat Sesuai 407
2 Sesuai 40 493
3 Tidak Sesuai 20 138
Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis temporal terhadap penangkapan ikan karang menunjukkan tidak
ada perbedaan waktu untuk kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat melakukan
penangkapan sepanjang tahun (Gambar 36). Luasan kategori kelas sangat sesuai
(S1) dipengaruhi oleh adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai
kategori tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor kedalaman >5 m,
topografi dasar perairan landai, kecerahan perairan >10 m, Jarang terjadi
perubahan cuaca, kondisi terumbu karang baik, tidak ada pencemaran dan
kelimpakan ikan target >200 individu/350 m
2
. Lokasi penangkapan ikan karang
dengan kategori baik terdapat di reef yang mengelilingi Gugus Pulau Batudaka.
Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas di suatu wilayah pesisir
dan termasuk ekosistem dominan yang terdapat sebuah pulau kecil. Semakin
rusaknya kondisi terumbu karang di perairan Indonesia dapat berdampak
kemerosotan terhadap produksi ikan karang. Keberadaan ekosistem terumbu
karang dapat menunjang berbagai kehidupan komponen organisme, salah satunya
adalah komunitas ikan karang yang merupakan organisme target tangkapan bagi
nelayan. Penurunan nilai tutupan karang menyebabkan suatu pengurangan yang
drastis pada ikan karang yaitu menurunkan keanekaragaman ikan sekitar 15%
baik di area tertutup maupun terbuka bagi penangkapan ikan (open to fishing)
sehingga diindikasikan bahwa terumbu karang yang sehat dapat meningkatkan
persentasi tutupan karang yang menjamin keberadaan ikan karang dan mendukung
keanekaragaman ikan karang (Jones et al. 2004).

151


Gambar 36 Hasil overlay kesesuaian penangkapan ikan karang di Gugus Pulau Batudaka
152



5.1.2.4 Kesesuaian Budidaya Rumput Laut
Hasil overlay untuk budidaya rumput laut berdasarkan pengamatan pada
empat titik waktu (Gambar 37) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008),
musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim
timur (Agustus 2009) diperoleh luas wilayah perairan Gugus Pulau Batudaka
berdasarkan kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut, yaitu dari total luas
sebesar 61 038 ha, maka tidak ada ruang yang digolongkan sangat sesuai (0%), 9
537-16 013 ha (9.42%) dikategorikan sesuai, dan 45 024-51 500 ha (90.58%)
dikategorikan tidak sesuai (Tabel 40). Luasan kategori kelas sangat sesuai (S1)
dipengaruhi oleh adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori
tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor kedalaman 3-15 m, arus 21-30
cm/detik, rumput laut dapat hidup baik pada dasar perairan yang stabil yang terdiri
dari potongan karang mati bercampur dengan pasir karang, kecerahan 80-100%,
suhu perairan berkisar 28-30
0
C, salinitas 30-32 dan pH 8.2-8.7.

Tabel 40 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian rumput laut

Bulan
Luasan (ha)
Sangat Sesuai Sesuai Tidak sesuai
Oktober - 7 499 53 538
Desember - 4 513 56 524
Mei - - 61 038
Agustus - 5 242 55 796
Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis temporal untuk kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut
menunjukkan kawasan Gugus Pulau Batudaka tidak ada yang sangat sesuai untuk
kegiatan ini, namun kegiatan budidaya rumput laut dapat dilakukan mulai musim
timur sampai musim barat, pada peralihan musim timur (Maret-Mei) dapat
melakukan penanaman rumput laut untuk bibit saja. Budidaya rumput laut tidak
dilakukan jika kondisi cuaca dan lingkungan yang tidak mendukung misalnya
pada musim barat di mana curah hujan tinggi dan angin yang bergerak kencang
sehingga mengakibatkan gelombang yang tinggi. Gelombang yang tinggi akan
menyebabkan tempat budidaya rumput laut menjadi tidak aman karena tali-tali
pengikat rumput laut putus dan thallus rumput laut patah .
Iklim di kawasan ini dipengaruhi oleh musim (Barat, Timur dan peralihan
kedua musim tersebut), yakni perubahan cuaca setiap tahunnya yang dipengaruhi
153


Gambar 37 Analisis temporal kesesuaian budidaya rumput laut berdasarkan empat waktu
154



oleh angin. Pada musim angin, menyebabkan gelombang besar sehingga
membantasi pergerakan masyarakat dalam beraktivitas. Kondisi arus yang cukup
kuat kurang menguntungkan secara teknis bagi kegiatan budidaya rumput laut.
Kemiringan pantai dari sisi Timur-Selatan Pulau Batudaka lebih curam
dibandingkan dengan bagian utara pulau tersebut bagian barat dimana tidak ada
pulau-pulau penghalang. Hal ini mempengaruhi besarnya arus dan gelombang
yang masuk ke Teluk Tomini, yang penting dalam menentukan zona kesesuaian
untuk rumput laut. Lokasi budidaya rumput laut harus terlindung dari arus
(pergerakan air) dan hempasan ombak yang terlalu kuat, apabila hal ini terjadi
maka arus dan ombak akan merusak dan menghanyutkan tanaman ini. Lokasi
budidaya rumput laut dengan kategori baik terdapat di reef yang mengelilingi
Gugus Pulau Batudaka. Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan
berhasil tidaknya suatu usaha budidaya, yakni yang sesuai dengan ekobiologi
(persyaratan tumbuh) rumput laut.
Kawasan sesuai (S2) dapat dilakukan kegiatan budidaya rumput laut di
kawasan ini dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang cukup berarti
untuk mempertahankan pengelolaan rumput laut secara berkelanjutan. Faktor
pembatas tersebut adalah : (i) lokasi pada perairan dengan kondisi pergerakan arus
dan gelombang pada musim tertentu (barat, timur maupun peralihan kedua musim
tersebut) bersifat ekstrim, sehingga pada peralihan musim timur tidak dapat
dilakukan usaha budidaya tersebut, (ii) kualitas/kesuburan perairan tidak cukup
mendukung pertumbuhan rumput laut, sehingga pertumbuhan lebih lambat, (iii)
lokasi yang cukup jauh dari pemukiman, sehingga memerlukan tambahan biaya
untuk pengangkutan.
Faktor ekologi lainnya yang berpengaruh terhadap budidaya rumput laut,
adalah: (1) Kedalaman air, pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air
minimal 50 cm, supaya rumput laut tidak mengalami kekeringan karena terkena
sinar matahari secara langsung dan sekitar 210 cm saat pasang tinggi; (2) Salinitas
perairan yang tinggi dengan kisaran 28-34 dengan nilai optimum 32 untuk itu
155



Gambar 38 Hasil overlay kesesuaian budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka
156



hindari lokasi dari sekitar muara sungai (Zatnika 1985); rumput laut dapat
mentolerir salinitas antara 25.5-34.5 (De Castro dan Guanzon, 1993); (3) Suhu
air yang sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar 27-30C (Zatnika 1985); (4)
Kecerahan yang ideal dengan angka transparansi sekitar 1.5 m (Zatnika 1985); (7)
Keasaman (pH), Kisaran pH antara 7-9; (6) Aman dari predator dan competitor,
lokasi budidaya bukan merupakan tempat berkumpulnya predator rumput laut,
seperti ikan, penyu, bulu babi, dan herbivor lainnya, sehingga kerusakan tanaman
dapat ditekan, di samping juga dapat menghemat biaya pemeliharaan dan
perlindungan terhadap hama tanaman; dan (7) Untuk keamanan dan keberlanjutan
budidaya maka lokasi yang dipilih bukan merupakan tempat yang menjadi jalur
pelayaran (Anggadiredja 2006).
Lokasi budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka (Gambar 38)
berdasarkan empat waktu (musim barat, peralihan timur, timur dan peralihan
barat) dengan kategori sesuai bersyarat, sehingga dalam pengusahaan budidaya
rumput laut harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
rumput laut dan pemanfaatan ruang laut untuk kegiatan lainnya agar usaha ini
berhasil. Namun demikian, pembatas utama dalam usaha rumput laut di Gugus
Pulau Batudaka adalah kecepatan arus. Rumput laut membutuhkan kecepatan
arus yang tinggi (20-30 cm/detik), sedangkan kecepatan arus aktual di kawasan ini
sebesar 0-30 cm/detik sehingga mempengaruhi lokasi yang sesuai untuk kegiatan
tersebut.

5.1.2.5 Kawasan Wisata
Hasil overlay kegiatan wisata (selam dan snorkling) di Gugus Pulau
Batudaka tertera pada Tabel 41 dan Gambar 39.

Tabel 41 Luasan untuk kegiatan wisata

No Kegiatan Wisata Luas (ha)
1 Selam 539
2 Snorkeling 3 892
3 Selam-Snorkeling 688
Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis spasial pemanfataan ruang untuk kegiatan wisata snorkeling
menempati ruang yang lebih besar dibanding selam dan sekitar 688 ha yang dapat
157


dilakukan untuk kedua kegiatan tersebut. Besarnya luasan tersebut sangat
dipengaruhi kondisi sumberdaya alam terutama tutupan karang, jenis life form
karang, jenis ikan karang dan parameter fisik seperti kecerahan, kedalaman,
kecepatan arus.
Berdasarkan analisis temporal untuk kegiatan wisata di Gugus pulau
Batudaka dapat dilakukan sepanjang tahun, dan tentu saja perlu memperhatikan
kondisi cuaca untuk kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas wisata. Hal
yang perlu dilakukan adalah meningkatkan atraksi yang ditawarkan pada
wisatawan seperti menikmati atraksi-atraksi lain seperti rekreasi pantai, berjemur,
olah raga pantai, berjalan ke hutan sambil melihat burung khas Sulawesi.

5.1.2.6 Kawasan Perikanan
Hasil overlay kegiatan perikanan (penangkapan ikan karang dan budidaya
rumput laut) untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 42 dan Gambar 40.

Tabel 42 Luasan untuk kegiatan perikanan

No Kegiatan Perikanan Luas (ha)
1 Penangkapan ikan karang 3209
2 Budidaya rumput laut 38
3 Penangkapan ikan karang-Budidaya rumput laut 2824
Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis spasial pemanfataan ruang untuk kegiatan penangkapan ikan
karang menempati ruang yang lebih besar dibanding rumput laut dan sekitar 2 824
ha yang dapat dilakukan untuk kedua kegiatan tersebut. Besarnya luasan tersebut
sangat dipengaruhi kondisi terumbu karang, kelimpahan ikan target, pencemaran
dan parameter fisik lainnya. Berdasarkan analisis temporal untuk kegiatan
penangkapan ikan karang di Gugus pulau Batudaka dapat dilakukan sepanjang
tahun, dan tentu saja perlu memperhatikan kondisi cuaca untuk kenyamanan dan
keamanan dalam kegiatan penangkapan. Pada musim peralihan timur tidak
direkomendasian untuk melakukan kegiatan produksi budidaya rumput laut
mengingat besarnya faktor pembatas dalam usaha tersebut.

158





Gambar 39 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) di Gugus Pulau Batudaka

159



Gambar 40 Hasil overlay pemanfaatan perikanan (penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut) di Gugus Pulau Batudaka
160



5.1.2.7 Kawasan Wisata-Perikanan
Hasil overlay kegiatan wisata-perikanan untuk Gugus Pulau Batudaka
tertera pada Tabel 43 dan Gambar 41.

Tabel 43 Luasan untuk kegiatan wisata-perikanan

No Kegiatan Luas (ha)
1 Selam 30
2 Snorkeling 196
3 Wisata-ikan karang 688
4 Ikan karang 2 021
5 Rumput laut 38
6 Perikanan (ikan karang-rumput laut) 2 173
7 Selam-ikan karang 509
8 Snorkeling ikan karang 753
9 Snorkeling-rumput laut 2
10 Snorkeling-perikanan 2 942
Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis spasial seperti tabel diatas, terlihat bahwa pemanfataan ruang
bersama untuk kegiatan wisata-perikanan terutama untuk selam-snorkeling-
penangkapan ikan karang. Hal tersebut karena ketiga kegiatan tersebut
memanfaatkan ekosistem terumbu karang yang ada di Gugus Pulau Batudaka.
Pemanfaatan ruang tersebut sangat penting berkaitan dengan penataan lokasi
pemanfaatan kawasan berdasarkan daya dukung dan kapasitas kawasan sehingga
diharapkan kegiatan yang ada baik wisata dan perikanan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

5.1.3 Analisis Eksisting Zonasi Kawasan Konservasi Gugus Pulau Batudaka
Gugus Pulau Batudaka masuk dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan
Togean (TNKT) dan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-
II/2006 disebutkan bahwa zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan
taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat, terdiri atas : Zona Inti, Zona Rimba, Zona
Perlindungan Bahari untuk wilayah perairan; Zona Pemanfaatan; Zona lain, antara
lain : Zona Tradisional, Zona Rehabilitasi, Zona Religi, budaya dan sejarah serta
Zona Khusus.

161



Gambar 41 Hasil overlay pemanfaatan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
162



Arahan zonasi kawasan konservasi Gugus Pulau Batudaka yang terdapat
dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean (Bappeda Touna
2007 (Gambar 42) dan secara rinci untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada
Gambar 43 dengan peruntukkan zonasi tersebut, meliputi :
a Zona Inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas
beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber
plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang
budidaya. Zona ini memiliki luas sebesar 489 ha di daratan dan 639 ha di
perairan laut.
b Zona Rimba dan Perlindungan Bahari untuk kegiatan pengawetan dan
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan
penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan
menunjang budidaya serta mendukung zona inti. Luasan Zona Rimba sebesar
6 900 ha dan Zona Perlindungan Bahari sebesar 8 679 ha
c Zona Pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa
lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang
pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya. Zona ini memiliki luas sebesar
177 ha di daratan dan 1 074 ha di perairan laut.
d Zona Tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh
masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Zona ini memiliki luas sebesar 15 558
ha di daratan dan 4 058 ha di perairan laut.
e Zona Rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak
menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Zona ini memiliki
luas sebesar 637 ha di daratan dan 4 454 ha di perairan laut.
f Zona Khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal
di wilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan
sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari
berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Zona ini
memiliki luas sebesar 370 ha (Tabel 44).

163


Tabel 44 Luasan rencana zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR
Kepulauan Togean Tahun 2007

Zona Luasan (ha)
Luasan di Darat
(ha)
Luasan di Perairan
(ha)
Zona Inti 1 128 489 639
Zona Khusus 370 370 0
Zona Pemanfaatan 1 251 177 1 074
Zona Perlindungan Bahari 8 679 0 8 679
Zona Rehabilitasi 5 091 637 4 454
Zona Rimba 6 900 6 830 70
Zona Tradisional 19 616 15 558 4 058
Total 43 036 24 061 18 975
Sumber : Analisis Data (2010)

Pengelolaan zonasi dilakukan dengan memperhatikan berbagai
pemanfaatan berdasarkan tujuan dan sasaran perlindungan seperti yang
dirumuskan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kepulauan Togean/RDTRKP
Tahun 2007 yakni kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat dikembangkan di
kawasan tersebut. Berdasarkan analiss kesesuaian pemanfaatan spasial di Gugus
Pulau Batudaka maka dilakukan rezonasi pemanfaatan wisata dan perikanan
(overlay pemanfatan wisata (Selam dan Snorkeling), kegiatan perikanan
(penangkapan ikan karang dan budidaya rumput laut), wisata-perikanan dengan
rencana zonasi RDTRKP) tertera pada Tabel 45 dan Gambar 44-46.

Tabel 45 Luasan kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR
Kepulauan Togean

No Zona
Luas
(ha)
Kesesuaian
Wisata
Luas
(ha)
Kesesuaian
Perikanan
Luas
(ha)
1 Zona Inti 639
- - - -
- - - -
- - - -
2
Zona
Pemanfaatan
1 051
Selam 0.2 Ikan Karang 855.7
Snorkeling 20.4 Rumput Laut 0.0
Selam-Snorkeling 2.0 I Karang-Rumput L 44.7
3
Zona
Perlindungan
Bahari 8 679
Selam - Ikan Karang -
Snorkeling - Rumput Laut -
Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L -
4
Zona
Rehabilitasi
4 454
Selam - Ikan Karang -
Snorkeling - Rumput Laut -
Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L -
5
Zona
Tradisional
4 058
Selam - Ikan Karang 758.1
Snorkeling - Rumput Laut 0.0
Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L 862.4

Kesesuaian
Pemanfaatan

Selam 102.5 Ikan Karang 460.2
Snorkeling 276.0 Rumput Laut 19.0
Selam-Snorkeling 91.3 I Karang-Rumput L -
Total 18 881 492.5 3,000.3
Sumber : Analisis Data (2010)
164






















Gambar 42 Peta rencana zonasi kawasan Kepulauan Togean (RDTR Kepulauan Togean 2007)
165





















Gambar 43 Zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR Kepulauan Togean
166



Zona inti Gugus Pulau Batudaka untuk perairannya seluas 639 ha dengan
kegiatan yang boleh dilakukan di dalam Zona Inti hanyalah kegiatan penelitian,
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan menunjang budidaya
(Peraturan Menteri Kehutanan No. P 56/Menhut-II /2006). Berdasarkan PP
No.60/Tahun 2007) untuk mencegah kehilangan sumberdaya laut yang lebih
parah, maka ditempuh upaya perlindungan (konservasi) yaitu dengan menyisihkan
lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis hewan maupun
tumbuhan, keunikan dan gejala alam, beserta ekosistemnya menjadi beberapa
zona antara lain zona inti (daerah larang ambil), yakni zona dengan lokasi tersebut
tidak dapat lagi dimanfaatkan secara umum, karena zona ini menjadi lokasi
ekologis yang mensuplai energi dan plasma nutfah ke wilayah sekitarnya. Upaya
ini selain melindungi sumberdaya yang masih tersisa, juga memberikan
kesempatan bagi ekosistem untuk pulih dari kerusakan.
Luasan Zona Pemanfaatan sebesar 1 051 ha dengan kegiatan wisata seluas
22.6 ha (2.15% Zona Pemanfaatan) dan kegiatan perikanan seluas 900.4 ha
(85.67% Zona Pemanfaatan). Kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini yakni
pengusahaan pariwisata alam, pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan,
penelitian, pendidikan, wisata alam dan kegiatan dengan memanfaatkan zona ini
secara optimal dengan cara-cara yang legal, misalnya untuk kegiatan budidaya
laut, kegiatan penangkapan ikan, dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan.
Luasan Zona Perlindungan Bahari sebesar 8679 ha. Kegiatan yang dapat
dilakukan yaitu pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan
penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas. Luasan Zona Rehabilitasi
sebesar 4 454 ha. Zona ini berfungsi untuk mengembalikan ekosistem kawasan
yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Alokasi
penentuan Zona Rehabilitasi selain mempertimbangkan ekosistem yang
direhabilitasi, juga melibatkan partisipasi masyarakat.
Luasan Zona Tradisional sebesar 4 058 ha yang sesuai dengan kegiatan
perikanan seluas 1 621 ha (39.93% Zona Tradisional). Kegiatan pemanfaatan
potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan
yang berlaku. Hasil overlay kesesuaian pemanfaatan wisata-perikanan dengan
zonasi RDTR Kepulauan Togean untuk kegiatan perikanan (penangkapan ikan
167




Gambar 44 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) dengan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka
168



karang dan budidaya rumput laut) mempunyai proporsi paling besar dibanding wisata
dalam pemanfaatan ruang perairan di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 46 dan Gambar 48).

Tabel 46 Persentase kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR
Kepulauan Togean

Zona Luasan Zona (%) Wisata (%) Perikanan (%)
Inti 100.00 0 0
Pemanfaatan 12.18 2.15 85.67
Perlindungan Bahari 100.00 0 0
Rehabilitasi 100.00 0 0
Tradisional 60.07 0 39.93
Sumber : Analisis Data (2011)

Rencana zonasi RDTRKP kurang tersosialisasi dengan baik, sehingga umumnya
masyarakat Gugus Pulau Batudaka tidak mengetahui adanya pembagian zona-zona tersebut
khususnya di kawasan perairannya. Bedasarkan hasil analisis diatas, zonasi dalam
RDTRKP perlu dilakukan kajian ulang, khususnya untuk zona rehabilitasi sesuai fungsinya
untuk mengembalikan fungsi ekosistem secara alami, namun sebagian besar merupakan
wilayah yang dekat pemukiman, alur pelayaran, daerah penangkapan tradisional, dan
dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Arahan Rencana pengelolaan zonasi wilayah pesisir
Kepulauan Togean mencakup tahapan kebijakan pengaturan (Bappeda Touna 2007)
sebagai berikut :
1 Pemanfaatan dan pengusahaan zonasi wilayah perairan pesisir dilaksanakan melalui
pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin
pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan
masing-masing instansi terkait.
2 Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di kawasan perairan budidaya atau
zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.
3 Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dimulai dari perencanaan, pemanfaatan,
pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat,
kewenangan, kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik.
Pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan ekologi,
keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau
169


Gambar 45 Hasil overlay penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut, dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka
170



induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sehingga zonasi ini dapat
diakomodir pemerintah daerah Kabupaten Tojo Una-Una.
Terumbu karang merupakan daya tarik utama bagi wisatawan dalam melakukan
aktivitas wisata bahari, terutama menyelam dan snorkeling, serta merupakan lokasi
penangkapan ikan bagi masyarakat setempat. Berdasarkan analisis kesesuaian maupun
secara aktual, kegiatan wisata dan perikanan maka harus menjadi perhatian dalam
rangka pengelolaaan zonasi wilayah pesisir Gugus Pulau Batudaka. Melalui peta hasil
zonasi ini dapat diperkirakan kegiatan apa saja yang dapat dilakukan pada zona-zona
tersebut terutama dalam rangka mengembangkan wilayah Gugus Pulau Batudaka.
Pemanfaatan yang ada saat ini belum mengakomodasi bentuk pengendalian
pemanfaatan ruang sesuai zonasi, yakni pada zona-zona yang seharusnya membutuhkan
pengendalian justru dimanfaatkan untuk kegiatan wisata, perikanan, dan beberapa areal
mangrove yang terkonversi menjadi pemukiman, dan tambak. Hal tersebut sangat
berbahaya untuk waktu mendatang apabila tidak segera dilakukan pengendalian
pemanfaatan ruang terutama untuk zona-zona yang seharusnya menjadi daerah
konservasi/ perlindungan laut. Jika merujuk pada hasil analisis, perlu dilakukan upaya
pengendalian pemanfaatan ruang sehingga bahaya yang mungkin terjadi di waktu yang
akan datang dapat diatasi sedini mungkin. Selanjutnya untuk lebih memperdalam materi
zonasi perlu dilakukan konsultasi publik, yakni masyarakat berperan dalam melakukan
evaluasi terhadap hasil zonasi dari analisis yang telah dilakukan pada daerah yang
bermasalah dengan pemanfaatan ruang pesisir PPK.
Penggunaan ruang/wilayah yang multiuse menimbulkan kompetisi, konflik, dan
perbedaan kepentingan, sehingga dengan penzonasian yang berfungsi untuk
menclusterkan kegiatan yang sesuai dan memisahkan yang tidak sesuai. Pengalokasian
ruang laut belum menjadi kebijakan dalam perencanaan pembangunan, dan penzonaan
ini didasarkan aktivitas dan fungsi-fungsinya. Pemanfaatan yang direkomendasikan oleh
RDTR Kepulauan Togean kurang memperhatikan kesesuaian lahan dalam pemanfaatan
ruang wilayah pesisir di Gugus Pulau Batudaka. Dengan melihat hasil komparasi ini
sebaiknya perlu dilakukan revisi RDTR Kepulauan Togean dengan beberapa
pertimbangan terutama terkait dengan perlindungan dan daya dukung lingkungan di
pesisir Gugus Pulau Batudaka.


171



Gambar 46 Hasil overlay wisata-perikanan dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka
172



5.2 Analisis Daya Dukung Pemanfaatan Gugus Pulau Kecil
Analisis daya dukung ini menggunakan Ecological Footprint Analysis,
ditujukan untuk pengembangan wisata dan perikanan dengan memanfaatkan
sumberdaya pesisir dan laut Gugus Pulau Batudaka secara lestari berdasarkan luas
total kawasan yang sesuai untuk kegiatan tersebut. Analisis Tapak Ekologis
merupakan konsep untuk mencermati pengaruh (impact) manusia terhadap cadangan
kekayaan dan kemampuan dukung bumi (terutama SDA yang terbarukan) yang masih
tersisa, dan seberapa besar pengaruh konsumsi manusia terhadap ketersediaannya
(Wackernagel 2001). Biocapaciy/BC digunakan untuk melihat seberapa besar
pengaruh manusia maupun sekelompok manusia terhadap kapasitas kekayaan
sumberdaya alam terbarukan di bumi atau disebut juga areal potensial secara ekologis
di Gugus Pulau Batudaka.

.
5.2.1 Daya Dukung Wisata
Total ecological footprint/EF tiap wisatawan yang mengunjungi Gugus Pulau
Batudaka terdiri dari jumlah agregat komponen built-up land, fosil energy land, food
dan fibre consumption (meliputi pasture land, arable land, forest land dan sea space)
dengan rata-rata waktu tinggal selama 5 hari. Asal wisatawan terbesar yang
berkunjung di Gugus Pulau Batudaka pada Tahun 2008 berasal dari Indonesia,
Perancis dan Belanda. Komponen dari EF tersebut tertera pada tabel di bawah ini.

Tabel 47 Built-up land footprint (EF lahan buatan)

Kategori ha/cap/tahun Persentase (%)
Jalan 0.00122 6.18
Pelabuhan 0.00003 0.14
Akomodasi 0.00008 0.39
Aktivitas 0.01847 93.29
Total Footprint 0.01980 100.00
Sumber : Analisis Data (2011)

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa rata-rata pemanfaatan lahan untuk
wisata sebesar 185 m
2
tiap wisatawan/tahun. Hal ini berarti built-up land yang
dihasilkan oleh aktivitas wisata sebesar 93.29%, artinya sumberdaya dan ruang untuk
173


aktivitas wisatawan yang sedikit tiap tahunnya sehingga permintaan built-up
perkapita menjadi besar. Footprint dari komponen food and fibre consumption
sebesar 3 007 m
2
yang dimanfaatkan setiap wisatawan untuk konsumsi sandang dan
pangan selama berwisata di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 48).

Tabel 48 Footprint konsumsi sandang dan pangan

Asal Wisatawan
Cropland Pasture Forest Fishing Ground
(ha/cap/th) (ha/cap/th) (ha/cap/th) (ha/cap/th)
Indonesia 0.0379
0.0000
0.0182 0.0800
Perancis 0.0970 0.1280 0.0591
0.0850
Belanda
0.0924 -0.0120
0.0583 0.0000
Rata rata 0.0758
0.0387
0.0452 0.0550
Area dalam satuan global 0.1992 0.0193 0.0601 0.022
Total EF sandang dan pangan 0.3007
Sumber : Analisis Data (2011)

Footprint konsumsi sandang dan pangan dengan rata-rata kunjungan
wisatawan selama 5 hari adalah 0.3007 ha atau 3 007 m
2
lahan yang dimanfaatkan
untuk konsumsi sandang dan pangan selama berwisata di Gugus Pulau Batudaka.
Secara ringkas keenam komponen utama ruang produktif dalam perhitungan EF
tertera pada Tabel 49.

Tabel 49 Total ecological footprint (EF) dan biocapacity (BC) Gugus Pulau Batudaka

Tipe
Komponen
Eqivalen
Faktor
(gha/ha)
Footprint
(ha/cap/th)
Area dalam
Ruang global
(gha/cap/th)
Existing
area (ha) YF
Biocapacity
(ha)
Biocapacity
(gha)
Energy Land 1.33 0.0001 0.0001 2.38 1.30 3.09 4.11
Built-up land 2.64 0.0198 0.0523 19.54 1.00 19.54 51.60
Cropland 2.64 0.0758 0.2000 453.28 1.70 770.58 2034.34
pasture land 0.50 0.0387 0.0193 173.30 2.20 381.26 190.63
forest land 1.33 0.0452 0.0601 1839.60 1.30 2391.47 3180.66
Seaspace 0.40 0.0550 0.0220 2610.00 0.60 1566.00 626.40
Total EF tiap wisatawan 0.2345 0.3538 5098.10 5131.96 6087.74
Total EF semua wisatawan 2 498.38 3 769.63 0.48 0.57
Daya Dukung 21 887
Sumber : Analisis Data (2011)

Hasil perhitungan EF menunjukkan bahwa rata-rata perjalanan wisatawan ke
Gugus Pulau Batudaka memerlukan 0.23 ha lahan atau sekitar 2 345 m
2
untuk
174



keperluan sumberdaya bagi wisatawan ke daerah tersebut dan dilihat dari sudut
pandang global, maka perjalanan ke Gugus Pulau Batudaka memerlukan lebih dari
0.48 ha rata-rata ruang dunia untuk keperluan sumberdaya. Perhitungan Biocapacity
menunjukkan bahwa komponen forest land memberikan kontribusi yang sangat besar
bagi ketersediaan lahan produktif Gugus Pulau Batudaka sebesar 2 391 ha, sedangkan
komponen energy land memberikan kontribusi yang sangat kecil 3.09 ha. Hal ini
disebabkan wilayah daratan lebih luas dibandingkan terumbu karangnya dan
kecilnya ketersediaan energi berhubungan dengan jumlah penduduk yang relatif
sedikit di wilayah tersebut. BC untuk tiap wisatawan secara lokal 0.48 ha/kapita dan
0.57 gha/kapita, berdasarkan laporan WWF (2009) BC yang tersedia untuk Indonesia
sebesar 1.4 gha/kapita dan secara global 2.1 gha/kapita,dengan demikian kondisi BC
Gugus Pulau Batudaka sekitar sepertiga kali BC nasional dan global, kondisi kegiatan
wisata di Gugus Pulau Batudaka mengalami yang disebut sebagai ecological reserve
artinya area produktif secara biologi atau area potensial secara ekologis masih cukup
untuk menampung jumlah wisatawan yang datang berwisata.
Pendekatan TEF ini menghasilkan jumlah wisatawan minimal berdasarkan
perhitungan input-output sumberdaya (kebutuhan akan sumberdaya di pulau) baik di
lahan daratan dan perairan per tahun dengan dengan rata rata lama kunjungan
wisata 5 hari, dan bila penyebaran wisatawan berdasarkan musim puncak kedatangan
wisatawan (Disbudpar 2008) maka Gugus Pulau Batudaka pada bulan Agustus dapat
menampung sekitar 1 933 orang/bulan, namun fasilitas akomodasi yang ada hanya
dapat menampung sekitar 200 orang/bulan. Jika menggunakan pendekatan kehati-
hatian (precautionary approach) dalam pengelolaan sumberdaya, maka pendekatan
TEF yang digunakan untuk menghitung daya dukung wisata di Gugus Pulau
Batudaka dikaitkan dengan penentuan kebijakan pengelolaan, banyaknya wisatawan
yang diperkenankan mengunjungi kawasan Gugus Pulau Batudaka setiap tahun harus
mengacu pada hasil pendekatan TEF.
Daya dukung (CC) pada tourism dapat dibedakan dua cara yaitu (1) melihat
kemampuan fisik wilayah tujuan wisata untuk menerima kunjungan sebelum dampak
negatif timbul (biophysical component) dan (2) menemukan level dimana arus turis


m
(
4
a

0
T
h
s
y
E
d
f
C
t
s
mengalami p
(behaviour)
47, disajikan
analisis GIS
Tota
0.2345 ha/k
Tahun 2009
ha. Bila di
selam, snork
yakni sebesa
EF wisata le
dimana sum
fungsi eko
Capacity/TC
tanpa menim
saat yang sam

penurunan a
turis itu sen
n gambaran
(KS).
Gambar 4
l Ef tiap wi
apita. Jika j
9 sebanyak 6
ibandingkan
keling dan r
ar 277 ha ma
ebih kecil da
mberdaya me
ologisnya. D
CC) didefini
mbulkan dam
ma dan tidak
akibat keterb
ndiri (behavio
luasan EF w
47 Perbandi
isatawan ya
jumlah turis
628 orang (D
dengan lua
rekreasi pant
aka kondisi i
ari luasan wis
emiliki kesem
Daya duku
sikan sebag
mpak tidak
k mengurang
batasan kapa
oral compon
wisatawan d
ingan EF wi

ang mengunj
s yang meng
Disbudpar 2
asan wisata
tai di Gugus
ini disebut u
sata kategori
mpatan untu
ung di da
ai maksimum
dapat pulih
gi kepuasan
asitas yang
nent) (Savari
dengan luasa
isatawan dan
jungi Gugus
gunjungi Gu
2010) maka
dengan kate
s Pulau Batu
undershoot a
i sesuai sehi
uk memperb
alam wisata
m jumlah tu
dari ekosis
kunjungan (
muncul dar
iades 2000).
an kesesuaia
n KS wisata
s Pulau Bat
ugus Pulau B
luasan EF s
egori sesuai
udaka (hasil
artinya pema
ingga ada rua
aiki dan me
a (Touri
uris yang da
stem/lingkun
(Davis and T
1
ri tingkah la
. Pada Gamb
an wisata ha
tudaka sebes
Batudaka pa
sebesar 138.
i untuk wisa
l analisis GI
anfaatan rua
ang dan wak
empertahank
ism Carryi
apat ditoleran
ngan dan pa
Tisdell 1996)
75
aku
bar
asil

sar
ada
95
ata
IS)
ang
ktu
kan
ing
nsi
ada
).
176



5.2.2 Daya Dukung Perikanan
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus selalu memperhatikan daya dukung
lingkungan untuk keberlanjutannya. Penilaian keberlanjutan dari kegiatan
pemanfaatan sumberdaya alam dapat digunakan Analisis Ruang Ekologis (Ecological
Footprint Analysis/EFA), merupakan suatu konsep daya dukung yang menjelaskan
hubungan didasarkan pada tingkat pemanfaatan terhadap suatu sumberdaya dan luas
lahan yang tersedia/biocapacity (Adrianto dan Matsuda 2004). Pendekatan ini dapat
diketahui berapa maksimal penggunaan sumberdaya dengan luas lahan yang tersedia
sehingga keberadaan ekosistem tetap lestari (Adrianto 2006).
Analisis footprint di suatu wilayah penangkapan ikan dapat dihitung
berdasarkan hasil tangkapan maksimum berbagai jenis ikan (Gulland 1991). Hasil
tangkapan tersebut dikonversi dengan produktivitas primer berdasarkan trophic level
berbagai jenis ikan yang tertangkap (Ewing et al. 2008; WWF 2008). Indikator
Ecological footprint disebut juga indikator ecospace didefinisikan untuk menjawab
seberapa besar area produktif dari daratan dan perairan (sebagai sumberdaya) bagi
keberlajutan hidup manusia secara langsung untuk standar kehidupan dan dengan
teknologi (Wackernegel 1996). Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu
ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut
(Adrianto dan Matsuda 2004).
Produksi biomassa ikan di Gugus Batudaka Kecamatan Una-Una di dominasi
oleh ikan tongkol, ikan lolosi dan ikan kakap (Tabel 14), sementara di Kabupaten
Tojo Una-Una didominasi ikan tongkol, ikan kembung, ikan layar, ikan selar dan
ikan teri (Lampiran 1) Hasil perhitungan untuk indikator EF sistem perikanan di
Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (EF Lokal) dan Kabupaten Tojo Una-
Una (EF Regional) untuk periode 2005-2008 (Tabel 50) dan dan pehitungannya
dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.






177


Tabel 50 Kebutuhan ruang ekologis sistem akuatik lokal dan regional

Karakteristik 2005 2006 2007 2008
Kecamatan Una-Una
PPR Coastal and Coral
System (kg)) 1 794 782 1 419 475 1 513 960 1 726 988
PPR Tropical Shelves (kg
132 131 131 672 101 287 109 591
Jumlah Penduduk (jiwa)
12 287 12476 12811 13 106
EF (km
2
/kapita)
0.05 0.04 0.04 0.04
Kebutuhan ruang (km
2
)
5 938 4 727 4 998 5 694
Cakupan (kali)
20 16 17 19
Kabupaten Tojo Una-Una
PPR Coastal and Coral
System (ton) 116 196 108 625 148 920 155 573
PPR Tropical Shelves (ton)
20 706 19 406 117 74.0 17 665
Jumlah Penduduk (jiwa)
125 691 126 918 129 708 131 283
EF (km
2
/kapita)
0.3 0.3 0.4 0.4
Kebutuhan ruang (km
2
)
3 981 3 722 4 936 5 217
Cakupan (kali)
70 65 86 91
Keterangan : Luas Kecamatan Una-Una 298 km
2
, Kabupaten Una-Una 5 722 km
2

Sumber : Analisis data (2010)


EF lokal rata-rata sebesar 0.04 ha/kapita atau membutuhkan area seluas
53.39 ha atau sekitar 19 kali luas daratan Kecamatan Una-Una, sementara EF
regional sebesar 0.3 ha/kapita atau membutuhkan area seluas 4 464.02 ha atau sekitar
78 kali luas daratan Kabupaten Tojo Una-Una. Rendahnya kebutuhan ruang lokal
disebabkan kecilnya jumlah produksi perikanan Kecamatan Una-Una, hal ini
berhubunan erat dengan alat tangkap yang digunakan hanya berupa pancing, jarring
ingsang, bubu dan bagan, sedangkan untuk alat tangkap yang digunakan di
Kabupaten Tojo Una-Una lebih beragam.
Produksi perikanan/jumlah tangkapan, populasi penduduk sangat
mempengaruhi besarnya kebutuhan ruang ekologis bagi kegiatan perikanan.
Berdasarkan analisis ruang ekologis pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk perikanan
di Gugus Pulau Batudaka, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan ruang perairan sekitar
53.39 ha dengan pemanfaatan wilayah perairan untuk perikanan yang rendah yaitu
sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 4 464.02 ha dengan pemanfaatan wilayah
178



perairan untuk perikanan sekitar 0.3 ha/kapita untuk skala regional. Hal ini
menunjukkan bahwa masih terdapat ruang ekologis yang dapat dilakukan untuk
kegiatan pemanfaatan perikanan dan merupakan indikator keberlanjutan bagi
kegiatan perikanan di kawasan tersebut.

Tabel 51 Perbandingan kebutuhan ruang ekologis untuk perikanan antara Gugus
Pulau Batudaka dengan daerah lain

Negara/Daerah/Pulau EF untuk Perikanan Kebutuhan Area
Sumberdaya Global(a) 0.30 2.3 x 10
6

Hongkong (b) 0.20 14 220 km
2

Guernsey UK(c)

1.41 84 000 km
2

Japan (d) 1.90 -
Yoron Islands Japan (e) 0.014 87 168 km
2

Gugus Pulau Batudaka 0.0004 5 339 km
2
Kabupaten Tojo Una-Una 0.003 446 402 km
2

sumber : a) WWF (2002) ; b) Warren-Rhodes and Koenig (2001); c) Chambers et al. (2000);
d) Wada (1999); e) Adrianto and Matsuda (2004)


Dibandingkan dengan daerah lain, EF perikanan Gugus Pulau Batudaka
Kecamatan Una-Una maupun Kabupaten Tojo Una-Una lebih kecil dibanding
Hongkong (0.2 km
2
/kapita), Guernsey UK (1.41 km
2
/kapita) maupun Yoron Island
Japan (0.014 km
2
/kapita). Tabel 49 mempresentasikan perbandingan EE untuk
perikanan lokal mapun regional dengan beberapa daerah lain di dunia. EF merupakan
penilaian total wilayah bioproduktif yang dibutuhkan untuk keberlanjutan di bumi
yang menggambarkan aktivitas manusia dengan menghitung tiga fungsi ekosistem
meliputi suplai sumberdaya, absorbs limbah dan ruang untuk infrastruktur (Haberl et
al. 2004). Pada Gambar 48, disajikan gambaran luasan EF perikanan dengan luasan
kesesuaian penangkapan ikan karang hasil analisis GIS (KS)



P
2
d
(
p
p
m
P
b
o
l
d
e
l


EF p
Pulau Batud
2009) maka
dengan kate
(hasil analisi
pemanfaatan
penangkapan
memiliki ke
Pengelolaan
beberapa fa
oseanografi,
lainnya. Hal
dalam mene
ekosistem s
lahan.
Gambar 48
perikanan lo
daka Kecama
luasan EF p
egori sesuai
is GIS) yakn
n ruang EF
n ikan kar
esempatan un
n wilayah pe
aktor antara
, memiliki k
l tersebut me
entukan prio
setempat dan
8 Perbandin
okal sebesar
atan Una-Un
perikanan s
untuk pena
ni sebesar 84
F perikanan
ang sehingg
ntuk mempe
esisir dan pu
a lain kon
arateristik su
erupakan ba
oritas peman
n kemampu
ngan EF peri
r 0.04 ha/ka
na pada Tah
sebesar 5.5 h
angkapan ik
45 ha maka k
lebih keci
ga ada rua
erbaiki dan
ulau-pulau k
ndisi wilaya
umberdaya y
ahan pertimb
nfaatan sum
uan daya du
ikanan dan K
apita. Jika
hun 2009 seb
ha. Bila dib
kan karang d
kondisi ini d
l dari luasa
ang dan wa
mempertaha
kecil sangat
ah yang d
yang berbed
bangan bagi
mberdaya yan
ukung lingk
KS perikanan
jumlah pen
banyak 1310
bandingkan
di Gugus Pu
disebut under
an kategori
aktu dimana
ankan fungs
penting, dis
dipengaruhi
da antara satu
para pengam
ng sesuai d
kungan serta
1
n
nduduk Gug
06 orang (BP
dengan luas
ulau Batuda
rshoot artin
sesuai unt
a sumberda
si ekologisny
sebabkan ol
oleh kond
u dengan ya
mbil kebijak
dengan kond
a kemampu
79
gus
PS
san
aka
nya
tuk
aya
ya.
leh
disi
ang
kan
disi
uan
180



5.3 Analisis HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production)
5.3.1 Profil Metabolik
Profil metabolik masyarakat lokal dan regional dapat digambarkan secara
statistik melalui pertambahan dan kepadatan penduduk (Tabel 52).

Tabel 52 Parameter demografi Kecamatan Una-Una dan Kabupaten Tojo Una-Una

Parameter Lokal Regional Unit
Jumlah Penduduk 2008 13 106 131 283 Jiwa
Kepadatan Penduduk 2008 42 23 Jiwa/km
2

Rumah Tangga (RT) 2008 3 547 33 872 RT
Sebaran rata-rata Rumah Tangga 4 4 Jiwa/RT
Sex Rasio Laki-laki/Perempuan 104 104
Tingkat Ketergantungan penduduk (Usia
Non Produktif terhadap Usia Produktif)
67.60 70.24 %
Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001-2008 2.0 2.39 %/Tahun
Tingkat Kelahiran penduduk Tahun 2008 0.013 0.0086
Tingkat Kematian Penduduk Tahun 2008 0.005 0.0034
Sumber : BPS (2002-2009)

Hasil registrasi penduduk tahun 2001-2008, penduduk Kecamatan Una-Una
peningkatan 2%/tahun, sedangkan Kabupaten Tojo Una -Una mengalami peningkatan
2.39% setiap tahunnya, dengan tingkat kelahiran dan kematian yang lebih rendah
dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Salah satu pendorong tingginya
pertumbuhan penduduk adalah arus migrasi masuk yang cukup signifikan, sebagian
besar adalah pendatang yang mencari nafkah di daerah ini.
Produksi hasil tangkapan nelayan di laut tidak terlepas daripada keadaan alam,
yang berkaitan dengan musim penangkapan ikan. Hasil tangkapan melimpah pada
musim puncak dan pada musim panceklik, dimana keadaan alam ditandai dengan
angin kencang (musim timur dan barat) hasil tangkapan menurun bahkan tidak sedikit
nelayan tidak mendapatkan hasil. Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat
tangkap yang beroperasi di perairan Kecamatan Una-Una (Tabel 53). Berdasarkan
jumlah alat tangkap yang ada di kecamatan Una-Una maka estimasi produksi
perikanan pada Tahun 2009 sebesar 1 698.67 ton (DKP Kecamatan Una-Una 2010).
181


Produksi perikanan laut Kecamatan Una-Una pada Tahun 2008 sebesar 1 123 ton
(BPS Touna 2009), sedangkan menurut Bappeda Touna (2009) sebesar 1 759.68 ton.

Tabel 53 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat tangkap yang beroperasi
di perairan Kecamatan Una-Una Tahun 2009

No Alat Tangkap Jumlah
(unit)
Trip/tahun Laju Tangkap rata-
rata (kg/trip)
Estimasi Produksi
rata-rata (ton/tahun)
1 Pancing 317 96 10 304.32
2 Jaring Ingsang 211 120 50 1266.00
3 Bagan 11 96 100 105.60
4 Bubu 158 48 3 22.75
Sumber : DKP UPTD Kecamatan Una-Una (2010)

Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang digunakan masih tergolong
sederhana dan didominasi penggunaan perahu tanpa motor sehingga berdampak pada
hasil penangkapan yang tidak maksimal. Pada tingkat regional dimana hasil
tangkapan nelayan tidak semua didaratkan ke TPI-TPI Kabupaten Tojo Una-Una
namun lebih banyak didaratkan ke TPI di Gorontalo, Poso maupun Pagimana
Kabupaten Luwuk. Jumlah TPI di Kabupaten Tojo Una-Una sebanyak 3 buah yang
bertempat di Kecamatan Ampana Kota, Kecamatan Tojo dan Kecamatan Walea
Kepulauan tetapi dari ketiga TPI tersebut belum ada yang difungsikan secara
maksimal. Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Tojo
Una-Una tertera pada Tabel 54.

Tabel 54 Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten
Tojo Una-Una Tahun 2008

NO Kecamatan
Perairan Umum Perairan Kolam Budidaya Tambak
Perikanan
Laut
Luas
(Ha)
Produksi
(Ton)
Luas
(Ha)
Produksi
(Ton)
Luas
(Ha)
Produksi
(Kg)
Produksi
(Ton)
1 Tojo Barat 0 0 0 0 4.10 400 6 383
2 Tojo 5.10 0 7.50 0.60 120.00 1 300 1 901
3 Ulubongka 0 0 13.02 0.40 0 0 953
4 Ampana Tete 0.70 0 3 0.30 0 0 2 817
5 Ampana Kota 0 0 19.15 1.20 0 0 55 099
6 Una-una 10.40 1.40 0 0 20.90 2 800 1 123
7 Togean 0 0 0 0 0 0 2 083
8 Walea Kepulauan 0 0 0 0 0 0 852
9 Walea Besar 0 0 0 0 0 0 558
Kab. Tojo Unauna 16.20 1.40 42.67 2.50 145.00 4 500 71 773
Sumber: BPS (2009)
182



Produksi perikanan laut terbesar terdapat di Kecamatan Ampana Kota yaitu
sebesar 55 099 ton, yang disusul oleh Kecamatan Tojo Barat yaitu sebesar 6 383 ton,
artinya sebagian besar hasil tangkapan nelayan dari kecamatan kepulauan di Teluk
Tomini didaratkan di kecamatan tersebut. Kecamatan Una-Una memberikan
kontribusi sebesar 1.56% dari seluruh produksi perikanan laut di Kabupaten Tojo
Una-Una.
Jenis ikan dominan yang dtangkap nelayan pada kedalaman kurang dari atau
sama dengan 10 m adalah kelompok ikan demersal dan ikan karang, sedangkan pada
kedalaman lebih dari 10 m, jenis ikan dominan yang ditangkap adalah kelompok
pelagis dan beberapa jenis ikan pada kelompok ikan demersal dan Karang.
Berdasarkan jumlah hasil tangkapan ikan, jumlah tangkapan tertinggi per tahun
diperoleh nelayan di wilayah pulau yang mengoperasikan alat tangkap purse seine
dan bagan yakni untuk jenis ikan pelagis kecil, sedangkan jumlah tangkapan terendah
diperoleh nelayan yang mengoperasikan alat tangkap bubu dan pancing ulur untuk
ikan karang dan demersal. Produksi ikan yang tertangkap di Kabupaten Tojo Una-
Una tertera pada Lampiran 2. Jumlah hasil tangkapan ikan demersal tersebut tertera
pada Tabel 55.

Tabel 55 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton)

NO JENIS IKAN TAHUN
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 Bawal Hitam 1.36 1.20 1.20 1.80 8.00 10.00 1.28
2 Bawal Putih 1.20 1.00 1.00 2.80 13.50 11.50 0.92
3 Kakap 56.80 49.50 52.50 15.10 26.70 23.60 48.24
4 Kakap merah 53.76 46.80 49.80 16.10 34.70 41.00 44.73
5 Kerapu Sunu 73.44 63.90 67.90 101.60 464.20 507.00 62.54
6 Kurisi 8.40 7.30 8.30 5.80 22.10 15.60 7.50
7 Sunglir 18.56 16.20 17.20 7.90 24.00 15.00 15.46
8 Tenggiri 23.36 20.30 21.30 22.40 96.00 50.00 19.14
9 Tenggiri Papan 20.24 17.60 18.60 8.90 28.20 15.00 16.66
Sumber : DKP Prov Sulteng (2010)

Data hasil perikanan tangkap ikan demersal menunjukkan bahwa kerapu sunu dan
kakap merupakan jenis yang dominan penting dengan kecenderungan yang fluktuatif
dari tahun ke tahun.
183


Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap pada perairan Kabupaten
Tojo Una-Una meliputi total jam dan hari kerja melaut, jumlah trip per bulan dan per
tahun, jumlah hasil tangkapan per trip dan dalam tahun. Jumlah jam kerja melaut
pada setiap trip melaut berkisar antara 7-24 jam kerja, sedangkan hari kerja melaut
yang diperlukan pada setiap trip penangkapan ikan berkisar 1.0-2 hari. Trip
penangkapan ikan sepanjang tahun selalu berbeda di setiap musim, namun antara
nelayan di pesisir dengan pulau hampir tidak ada perbedaan dalam jumlah jam dan
hari melaut. Musim penangkapan ikan di wilayah penelitian terbagi atas dua musim
yakni musim puncak dan paceklik. Musim puncak (surplus ikan) umumnya
berlangsung selama 8-10 bulan (September/Oktober sampai April/Mei). Jumlah trip
penangkapan ikan tertinggi pada musim puncak dilakukan oleh unit usaha purse seine
yakni 25 trip per bulan. Musim paceklik (kekurangan ikan) umumnya berlangsung
selama 2-4 bulan (Mei/Juni sampai Agustus/September). Jumlah trip penangkapan
ikan pada musim paceklik pada setiap unit usaha penangkapan yakni berkisar antara
2-12 trip per bulan. Trip terendah terjadi pada unit usaha Bagan antara 2 - 5 trip per
bulan (Laapo et al. 2006). Tinggi rendahnya jumlah trip penangkapan ikan, selain
dipengaruhi oleh keadaan musim (perubahan iklim dan cuaca), juga dipengaruhi oleh
harga ikan, hari kerja melaut, sarana penangkapan dan ketersediaan tenaga kerja
melaut. Jam dan hari kerja melaut yang lebih lama menyebabkan jumlah trip per
bulan dan tahun menjadi lebih kecil jumlahnya.
Pada kondisi iklim dan cuaca yang tidak kondusif dan tidak menentu, hasil
tangkapan menurun, nelayan lebih memilih untuk tidak melaut oleh karena biaya
yang dikeluarkan akan lebih besar daripada hasil penjualan ikan. Pada kondisi yang
sama, harga ikan mengalami peningkatan, sehingga ada insentif bagi nelayan untuk
melaut terutama bagi nelayan yang mengusahakan alat tangkap dengan wilayah
perairan maksimum 4 mil. Ketersediaan sarana penangkapan, tenaga kerja melaut
dan sarana penunjang berpengaruh pada peningkatan aktivitas dan mobilitas melaut
secara intensif.

184



5.3.2 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity)
Tiga langkah dalam menghitung HANPP perikanan atau disebut pula sebagai
Exosomatic energy di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (tingkat lokal) dan
Kabupaten Una-Una (tingkat regional) yaitu (1) menghitung potensi kebutuhan
produktivitas primer (2) Produktivitas aktual (produksi tiap spesies ikan (volume of
landing) (DKP Prov. Sulteng 2005-2008); (3) kandungan energi tiap spesies ikan
(Adrianto 2004), perhitungannya secara lengkap tertera pada Lampiran 5. Hasil
analisis HANPP tersebut tertera pada Tabel 56 dan Gambar 50.

Tabel 56 Perhitungan exosomatic energy lokal dan regional

Tahun
Produksi
Aktual/NPP
PPR (kJ) HANPP (kJ)
Colonizing
Efficiency

Rasio
HANPP
NPP
Lokal (kJ) (kJ) (kJ) (%)
2005 159 367 245 9 010 184 221 8 850 816 976 1.80 55.54
2006 141 073 720 7 146 220 211 7 005 146 491 2.01 49.66
2007 132 943 895 7 570 285 074 7 437 341 179 1.79 55.94
2008 138 459 890 8 559 664 732 8 421 204 842 1.64 60.82
Rata-
rata
142 961 188 8 071 588 559 7 928 627 372 1.81 55.49
Regional (MJ) (MJ) (MJ) (%)
2005 31 623 085 1 164 740 859 1 133 117 774 2.79 35.83
2006 33 942 042 1 251 164 735 1 217 222 693 2.79 35.86
2007 31 815 755 1 338 174 994 1 306 359 239 2.44 41.06
2008 36 261 576 2 183 193 633 2 146 932 057 1.69 59.21
Rata-
rata
33 410 614 1 484 318 555 1 450 907 941 2.43 42.99
Sumber : Data Primer Terolah (2010)

Hasil perhitungan exosomatic energy pada tingkat lokal (kecamatan) bahwa
rata-rata exosomatic energy perikanan dari Tahun 2005-2008 sebesar 7.93x10
9
kJ
dengan efisiensi koloni ikan yang tertangkap sebesar 1.81 dan rasio HANPP-NPP
sebesar 55.50, sedangkan tingkat regional sebesar 1.45x10
12
kJ dengan efisiensi
koloni ikan yang tertangkap sebesar 2.43 dan rasio HANPP-NPP sebesar 42.99.
Hasil ini menunjukkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan produktivitas primer yang
merupakan sebuah proses energi dari luar pelaku sebagai penggabungan faktor
manusia dan alam untuk nelayan lokal mempunyai nilai efisiensi yang rendah, artinya
185


mereka memerlukan energi yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan
produktivitas primernya dibandingkan nelayan regional. Pada ekosistem global, rasio
HANPP dengan NPP potensial sekitar 40 di seluruh dunia (Martines-Alier 2005);
HANPP menghitung secara luas dominasi manusia atau kolonisasi sosial ekonomi
dari suatu ekosistem, tingginya rasio tersebut menggambarkan dominasi manusia
terhadap ekosistem dimana pengurangan produktivitas aktual (NPP) yang besar
sebagai indikasi kurang efisiennya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Haberl
et al. 2004). Perbandingan HANPP lokal dan regional tertera pada Gambar 49.

Gambar 49 HANPP perikanan lokal dan regional


HANPP perikanan besarnya tergantung dari banyak hasil tangkapan tiap jenis
ikan dan kandungan energi tiap energi ikan. Gambar diatas mengindikasikan secara
proporsional bila dibandingkan kebutuhan produktivitas primer potensial (NPP
o
)
dengan HANPP maka untuk tingkat regional lebih tinggi dibandingkan tingkat lokal,
sehingga pengaturan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya lebih ditekankan pada
penentuan alokasi sumberdaya, peningkatan SDM perikanan, peningkatan teknologi,
pengaturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin
keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan yang
lainnya sesuai yang diamanatkan dalam CCRF atau Kode Etik Perikanan yang
Bertanggung (FAO 1995).
186



5.4 Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System
Analysis-CLSA)
Analisis keberlanjutan Mata Pencaharian bagi masyarakat Pesisir dikenal pula
sebagai Mata Pencaharian Alternatif (MPA) merupakan usaha pengganti yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam meningkatkan pendapatan
masyarakat. Pengembangan MPA berkelanjutan memegang peranan penting dalam
menjamin kesejahteraan dan ekonomi masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka.
Ada lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial di
dalam upayanya mengembangkan kehidupannya disebut sebagai aset kapital yakni:
modal alam, manusia, keuangan, fisik, dan sosial. Keberhasilan penghidupan masyarakat
bertumpu pada nilai pelayanan yang mengalir dari stok modal total tersebut. Lima bentuk
modal ini tidak memiliki karakteristik yang sama. Modal alami merupakan elemen-
elemen biofisik seperti air, udara, tanah, sinar matahari, hutan, mineral, dan lain-lain.
Aset-aset yang terjadi secara alami ini bisa diperbaharui. Modal manusia merupakan
faktor yang sangat penting, karena manusia sekaligus merupakan objek dan subjek
pembangunan. Modal keuangan adalah media pertukaran dan dengan demikian ini
merupakan fungsi sentral ekonomi pasar. Modal fisik adalah aset buatan manusia seperti
perumahan, jalan, dan bentuk modal fisik lainnya atau modal keras yang membentuk
lingkungan. Modal sosial adalah produktif yang memungkinkan pencapaian tujuan
tertentu yang tidak mungkin dicapai tanpa itu. Dalam kerangka Sustainable Livelihood,
modal sosial memerlukan jaringan-jaringan sosial dan hubungan-hubungan dengan
manusia (Coleman 1990).

5.4.1 Kondisi Sumberdaya Alam dan Mata Pencaharian Masyarakat
Sumberdaya alam pesisir dan laut yang terkandung di kawasan Gugus Pulau
Batudaka cukup beragam sehingga wilayah ini menjadi sumber penciptaan usaha
wisata dan perikanan yang dapat dikembangkan. Potensi tersebut, secara garis besar
di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu (a) sumberdaya yang dapat pulih (renewable
recources) seperti sumberdaya perikanan baik tangkap maupun budidaya, (b)
sumberdaya tidak dapat pulih (unrenewable recources) seperti tambang, (c) jasa-jasa
lingkungan seperti wisata dan transportasi.
187


(1) Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap merupakan kegiatan yang menggunakan teknologi untuk
mendapatkan sumberdaya ikan laut. Berdasarkan tujuan penangkapannya maka
perikanan tangkap dapat dibagi menjadi kegiatan penangkapan sumberdaya ikan
pelagis dan ikan demersal (termasuk ikan karang). Perikanan laut baik tangkap
maupun budidaya di pesisir dan laut adalah jenis pengusahaan sumberdaya dan
mejadi sumber penghidupan masyarakat. Permintaan sumberdaya ikan hidup,
terutama ikan demersal dari pasar internasional memicu meningkatkan aktivitas
pemanfaatan melalui teknologi budidaya. Selain aspek ekonomi, kegiatan ini juga
bermanfaat untuk melestarikan sumberdaya perikanan.
Kawasan ini merupakan salah satu wilayah sumber penangkapan yang kaya
akan keanekaragaman hayati (biodiversity) ikan-ikan karang, karena kawasan ini
merupakan wilayah coral reef triangle dengan biodiversity terumbu karang terbesar
di dunia. Potensi perairan kawasan ini masih cukup besar utuk penyediaan bahan
baku industri perikanan, baik yang dikonsumsi di dalam negeri maupun yang
diekspor ke luar negeri. Potensi perikanan terdiri dari berbagai jenis produk
penangkapan ikan laut, budidaya pantai dan ikan tambak. Penangkapan ikan laut
sebagian besar berupa ikan cakalang, tongkol, kakap, lolosi, kerapu, teri, teripang,
gurita, dan beberapa jenis ikan kering.
Penduduk Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una sebanyak 82%
merupakan keluarga pertanian dan keluarga yang bekerja di subsektor perikanan laut
(nelayan pengusaha dan buruh) sebanyak 95.23% (Bappeda 2009), secara rinci dapat
dilihat pada Gambar 50.
(2) Perikanan Budidaya
Luas daratan Gugus Pulau Batudaka sekiar 300.75 km
2
dan luas perairannya
61.038 ha, dimana pantai-pantainya (termasuk perairan pesisir) dapat digunakan
untuk kegiatan dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan seperti budidaya
perikanan di perairan dangkal/marikultur (budidaya alga : rumput laut, budidaya
kerang-kerangan, teripang, sistem karamba baik jarring tancap (KJT), Jaring Apung
188



(KJA) : umumnya ikan karang), penangkapan perikanan pantai (bagan, bubu dan
lain-lain), serta kegiatan lain seperti pariwisata, transportasi.


Gambar 50 Komposisi keluarga yang bekerja di sektor perikanan (Bappeda
Touna 2009)

(3) Jasa-Jasa Lingkungan
Potensi jasa-jasa lingkungan Pesisir dan laut kawasan Gugus Pulau Batudaka
antara lain wisata bahari, jasa transportasi dan pelayaran laut.
Jenis mata pencaharian masyarakat Gugus Pulau Batudaka secara umum terkait
dengan sektor perikanan dan kelautan secara langsung terkait dengan keberadaan
sumberdaya alamnya dan usaha lain yang masih terkait dengan sumberdaya pesisir
dan laut adalah usaha jasa pariwisata dan transportasi (Tabel 57). Jenis usaha atau
mata pencaharian utama yang digeluti masyarakat di Gugus Pulau Batudaka pada
dasarnya dapat digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu (1) nelayan penangkap ikan, (2)
pedagang atau pengumpul, (3) pengusahaan pelayaran, dan (4) usaha pemenuhan
kebutuhan rumah tangga nelayan. Merujuk pada pengertian CLSA, maka analisis
peluang dan potensi usaha yang dilakukan adalah jenis usaha di luar dari mata
pencaharian utama masyarakat yang dapat memberikan pendapatan alternatif
masyarakat.

Nelayan
pengusaha
83%
NelayanBuruh
12%
tambak
0.12%
budidayalaut
2%
karamba
3%
189


Tabel 57 Kategori dan jenis usaha masyarakat Gugus Pulau Batudaka

Kategori Usaha Jenis Usaha
Usaha Sumberdaya Perikanan
Produksi Penangkapan ikan (berbagai jenis alat tangkap)
Budidaya Perikanan : Budidaya ikan karang
Rumput laut
Teripang
Mutiara
Bandeng
Ikan air tawar
Pengolahan Pengawetan ikan (penggaraman dan pengeringan)
Distribusi Penampungan ikan segar dan ikan hidup
Usaha angkutan hasil perikanan
Pemasaran Pedagang Perantara
Pedagang ekspor
Pemasaran produk hasil olahan
Usaha Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya
Pariwisata Penyedia sarana wisata (penginapan, rumah makan, transportasi dan
peralatan bantu wisata)
Jasa pandu wisata
Jasa konservasi dan Pelestarian SD
Penelitian Kegiatan penelitian dalam pemanfaatan SD
Usaha pendukung Lainnya
Transportasi Usaha transportasi umum bagi penduduk pulau
Industri & perdagangan
sarana produksi prikanan
Pengrajin perahu
Alat penangkapan ikan
Usaha penyedia
Konsumsi Rumah
Tangga Nelayan
Warung serba ada (kelontong), warung makan, jasa telekomunikasi


5.4.2 Analisis Pengaruh Masyarakat Pesisir terhadap Kondisi Sumberdaya
Pesisir dan Laut Gugus Pulau Batudaka
Pengumpulan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi
sumberdaya alam di Gugus Pulau Batudaka merupakan faktor penting sebagai
kondisi kunci sosial ekonomi masyarakat pesisir dan kondisi sumberdaya alam pesisir
dan laut untuk menilai interaksi antara masyarakat pesisir dan sumberdaya alam
(ekosistem). Tahapan selanjutnya dalam CLSA adalah analisis pengaruh masyarakat
pesisir melalui identifikasi aktivitas masyarakat pesisir yang secara langsung
berkontribusi terhadap kerusakan sumberdaya pesisir dan laut dalam perspektif sosial
maupun ekonomi. Analisis pengaruh masyarakat terhadap kondisi sumberdaya di
Gugus Pulau Batudaka secara lengkap tertera pada Tabel 58.

190



Tabel 58 Kondisi aset kapital di Gugus Pulau Batudaka

Aset kapital (AK) Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu Kisaran Skor
Alam 14 15 16 14 17 11 0-24
Manusia 19 18 18 14 14 12 0-33
Sosial 9 10 10 10 10 9 0-27
Keuangan 8 6 7 7 6 6 0-15
Buatan 22 14 16 13 13 12 0-33
Jumlah 72 63 67 58 60 50 0-120
Sumber : Analisis Data (2011)

5.4.2.1 Aset Alam
Sumberdaya alam merupakan persediaan alam yang menghasilkan daya
dukung dan nilai manfaat bagi penghidupan masyarakat. Sumberdaya alam juga
meliputi keuntungan strategis dari suatu kondisi geografis khususnya kawasan pesisir,
selain sentra penghasil ikan, juga menarik sebagai obyek wisata yang membawa
pengaruh bagi pendapatan masyarakat sekitarnya. Sumberdaya alam sangat besar
manfaat dan penting keberadaannya bagi masyarakat yang penghidupannya
bergantung pada alam seperti; petani, nelayan, pengumpul hasil hutan. Sumberdaya
alam sangat erat kaitannya dengan konteks kerentanan, banyak bencana alam yang
merusak penghidupan masyarakat merupakan proses alam seperti; banjir, gempa,
tsunami. perubahan cuaca serta musim, yang mempengaruhi produktvitas alam.
Berdasarkan Tabel 59 menunjukkan bahwa Desa Siatu memiliki skor aset alam yang
rendah dibandingkan desa-desa lainnya. Rendahnya skor aset alam mencerminkan
buruknya kondisi sumberdaya alam, kondisi ini mempengaruhi penentuan
perkembangan sistem sosial ekonomi suatu komunitas masyarakat yang mayoritas
mengantungkan kehidupan di sektor pertanian dan perikanan yang memiliki tingkat
ketergantungan tinggi dengan sumberdaya alam. Skor yang tinggi diperoleh Desa
Malino yang berarti bahwa sumberdaya alam yang tersedia mempunyai produktivitas
yang tinggi dalam menunjang penghidupan masyarakatnya.

191


Tabel 59 Kondisi aset alam di Gugus Pulau Batudaka

No. Aset Alam
Skor
Kisaran
Skor
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
1 Ekosistem pesisir 1 2 2 2 2 2 0-3
2 Oceanografi 2 2 2 1 2 2 0-3
3 Pantai 1 2 2 2 2 1 0-3
4 Air bersih 2 2 2 1 3 1 0-3
5
Lahan (pekarangan,
Perkebunan) 2 2 2 2 2 1 0-3
6 Pertanian 2 2 2 2 2 1 0-3
7 Perikanan 2 2 2 2 2 2 0-3
8 Peternakan 2 1 2 2 2 1 0-3
Jumlah 14 15 16 14 17 11 0-24
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik
Sumber : Analisis Data (2010)

Hasil observasi dan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussions)
yang melibatkan masyarakat lokal secara partisipatif di Gugus pulau Batudaka
diperoleh gambaran tentang seluruh komponen asat alam di lokasi penelitian,
meliputi : (1) ekosistem pesisir, (2) oceanografi, (3) pantai, (4) air bersih, (5) lahan
(pekarangan dan perkebunan), (6) pertanian, (7) perikanan, (8) peternakan.
Kondisi aset alam sangat menentukan keberlanjutan penghidupan masyarakat
di Gugus Pulau Batudaka. Skor kurang dari 16 dari asset alam perlu mendapat
perhatian khusus karena berhubungan dengan daya dukung dan nilai manfaat bagi
penghidupan masyarakat. Indikasi kerusakan aset alam ditunjukkan dengan : (1)
perubahan ekosistem pesisir secara alami maupun akibat aktivitas manusia.
Responden menyatakan sebesar 86.47% berhubungan dengan sumberdaya alam di
Gugus Pulau Batudaka (mangrove, lamun, terumbu karang, pantai sungai, laut
maupun pulau-pulau kecil/PPK) dan kondisi sumberdaya tersebut sebesar 16.26%
mengalami perubahan akibat aktivitas manusia. Perubahan sumberdaya Gugus Pulau
Batudaka dalam waktu 10 tahun terakhir sebesar 11.7% (Gambar 51) dengan
perubahan tersebut terutama terjadi pada terumbu karang.
192


G

hasil l
Pulau
untuk
pembo
umum
mendo


5.4.2.2
manus
dalam
untuk
kemam
secara
sumbe
pendid
pendid
berusa
pengh
kurang
Gambar 51

Aktivitas y
laut dengan m
Batudaka a
daerah seb
oman di pe
m masih baik
orong pembu
2 Aset Man
Aset manu
sia (Dharma
m penghidup
mengolah
mpuan untuk
a optimal, s
erdaya lainn
dikan dan ke
Indikator
dikan (fisik
aha) dan ke
idupan serta
g, hal ini ter
0
10
20
30
40

Perubahan s
terakhir
yang merus
menggunaka
aktivitas ter
elah barat P
sisir Desa B
k, namun keb
ukaan lahan
nusia
usia berupa
awan 2006)
pan, pengeta
empat as
k mengemba
sekaligus pe
nya. Faktor p
esehatan (Tab
sumberdaya
dan sosial
esehatan ya
a mencapai
rcermin dari
sumberdaya
ak terumbu
an bom dan
sebut dalam
Pulau Batud
Bambu. Ek
butuhan akan
mangrove u
kemampuan
. Sumberd
ahuan dan k
set penghid
angkan strat
erilaku man
penting yang
bel 60).
a manusia d
seperti kete
ang memun
tujuan pen
i ketersediaa
Gugus Pulau

karang teru
bius. Untuk
m 5 tahun te
daka pada B
kosistem ma
n pemukima
untuk tambak
n, keteramp
daya manusi
kemampuan
dupan lainn
egi pemanfa
nusia sanga
g menentuk
di Gugus Pu
erampilan, p
ngkinkan se
nghidupan m
an sarana da
u Batudaka
utama diseb
k daerah di
erakhir telah
Bulan Maret
angrove, lam
an dan prasar
k di Luangon
pilan dan ka
ia adalah ko
n yang dim
nya. Manu
aatan tiap-tia
t mempeng
an kondisi a
ulau Batuda
pengetahuan,
seorang me
mereka. In
an prasarana
dalam 10 tah
babkan peng
sebelah utar
h berkurang
t-April 2010
mun, sungai
rananya sepe
n Desa Bamb
apasitas sum
omponen te
milikinya diip
sia juga m
ap jenis sum
garuhi keber
aset manusi
aka melipu
, kemampua
elaksanakan
ndikator fisi
a untuk tingk


hun
gambilan
ra Gugus
g namun
0 terjadi
i, secara
erti jalan
bu.
mberdaya
erpenting
perlukan
memiliki
mberdaya
rlanjutan
a adalah
uti aspek
an untuk
strategi
k relatif
kat SMP
193


terdapat di Desa Wakai dan Bambu, untuk SMA hanya ada di Desa Wakai. Hal ini
mempengaruhi secara langsung terhadap pendidikan masyarakat. Indikator sosial
untuk pendidikan menunjukkan cenderung lemah terlihat dari kesadaran dan
partisipasi yang kurang dalam pendidikan. Hasil analisis terhadap 94 responden
diperoleh struktur umur adalah >30 sebesar 20%, 30-40 tahun sebesar 33%, 41-50
tahun sebesar 24% dan >50 tahun sebesar 22% dengan rataan tingkat pendidikan
yang diperoleh adalah 7.22 tahun setara dengan kelas 1 SMP atau lulus SD. Hal ini
berarti bahwa responden memiliki produktivitas masih tinggi karena berada dalam
struktur usia produktif dengan taraf pendidikan yang rendah yaitu lulusan SD.

Tabel 60 Pendidikan dan kesehatan sebagai indikator aset manusia di Gugus Pulau
Batudaka

No. Aset manusia
Skor
Kisaran
Skor
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
1 Pendidikan
a Fisik
a1 Sarana Prasarana
2 2 1 1 1 1 0-3
a2 Biaya Sekolah
2 2 2 2 2 2 0-3
b Sosial
b1 Kesadaran
2 1 2 1 1 1 0-3
b2 Partisipasi
1 1 1 1 2 1 0-3
b3 Pendidian masyarakat
1 1 1 1 1 1 0-3
b4 Ketrampilan berusaha
2 2 2 1 1 1 0-3
2 Kesehatan
a Sarana Prasarana
2 2 2 2 1 1 0-3
b Tenaga Ahli
2 1 2 1 0 0 0-3
c Pelayanan
2 2 2 1 1 1 0-3
d Kesadaran masyarakat
1 2 1 1 2 1 0-3
e Partisipasi masyarakat
2 2 2 2 2 2 0-3
Jumlah 19 18 18 14 14 12 0-33
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik; Analisis Data (2010)

Dalam hal ketrampilan berusaha, menunjukkan kemampuan yang cukup baik
untuk Desa Wakai, Bambu dan Bomba. Hal ini dilihat dari industri yang berkembang
di wilayah ini yakni industri kecil dan kerajinan rumah tangga (Gambar 52) berupa
usaha pengawetan ikan (penggaraman dan pengeringan), pengrajin perahu,
pembuatan atap rumah, gula merah dan makanan.
194




Gambar 52 Banyaknya usaha industri di Kecamatan Una-Una (BPS 2009)


Aset manusia dari aspek kesehatan yang teridentifikasi meliputi : (1) Sarana
dan prasarana, (2) Tenaga ahli, (3) Pelayanan, (4) Kesadaran masyarakat, (5)
Partisipasi masyarakat. Pada tahun 2008 terdapat 1 unit puskesmas di Desa Wakai, 1
unit puskesmas pembantu (Pustu) di Desa Kulingkinari dan Bomba dan unit pos KB
telah ada di semua desa. Tenaga dokter (1 orang) hanya terdapat di Desa Wakai,
mantri/bidan ada di Desa Bambu, Bomba dan Kulingkinari serta dukun bayi telah ada
di semua desa. Terkait dengan sarana dan prasarana serta tenaga ahli di bidang
kesehatan dapat menggambarkan kualitas pelayanan kesehatan sangat kurang
terutama di Desa Kulingkinari, Malino dan Siatu.
Potensi manusia baik yang diperoleh sebagai hasil pengembangan diri,
melalui pendidikan maupun potensi yang terkait dengan kualitas kesehatan, daya
tahan, kecerdasan dan faktor-faktor genetis lainnya merupakan bagian dari
sumberdaya yang tak ternilai. Di tingkat rumah tangga, ukuran sumberdaya manusia
meliputi jumlah dan mutu tenaga kerja yang ada. Tingkat sumberdaya manusia di tiap
keluarga bervariasi sesuai tingkat keterampilan, pendidikan, kepemimpinan dan
kondisi kesehatan. Dalam hal partisipasi masyarakat terhadap kesehatan di semua
desa temasuk dalam kategori sedang/cukup sedangkan kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan masih buruk/kurang. Hal ini ditunjukkan dengan kesadaran
masyarakat menangani sampah domestik dengan kebiasaan membuang sampah ke
laut, tingginya kasus meninggal akibat diare Selain itu, juga kegiatan penangkapan
ikan dengan menyelam pada kedalamam 20-30 m tanpa peralatan yang memadai
0
10
20
30
40
50
60
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
Industrikecil
KerajinanRT
195


menyebabkan pemuda ataupu kepala keluarga yang merupakan tulang punggung
rumah tangga tersebut mengalami kelumpuhan.

5.4.2.3 Aset Sosial
Aset sosial yang dimaksudkan dalam pendekatan CLSA adalah sumberdaya
sosial yang bermanfaat dan digunakan masyarakat untuk mencapai tujuan
penghidupan mereka, yang umumnya bersifat intangible tidak mudah untuk diukur
karena berkaitan dengan perubahan struktur dan proses, namun memiliki nilai
manfaat bagi masyarakat. Kondisi aset sosial terebut tertera pada Tabel 61.

Tabel 61 Kondisi aset sosial di Gugus Pulau Batudaka

No Aset Sosial
Skor
Kisaran
Skor
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
1
Sistem pengelolaan
SDP 1 2 2 2 2 1 0-3
2 Lembaga Sosial 2 2 2 2 2 2 0-3
3 Jaringan Sosial 2 2 2 2 2 2 0-3
4 Adat budaya 2 2 2 2 2 2 0-3
5 Tingkat Konflik 2 2 2 2 2 2 0-3
9 10 10 10 10 9 0-15
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik
Sumber : Analisis Data (2011)


Aset sosial yang teridentifikasi, meliputi (1) sistem pengelolaan sumberdaya
pesisir, (2) lembaga sosial, (3) jaringan sosial, (4) adat dan budaya dan (5) tingkat
konflik. Secara keseluruhan aset sosial di Gugus Pulau Batudaka hampir sama. Di
antara aset-aset kapital, aset sosial merupakan aset yang paling berkaitan dengan
perubahan struktur dan proses. Aset sosial memiliki nilai manfaat bagi penghidupan
masyarakat, namun perlu juga diwaspadai kemungkinan negatif yang dapat
berkembang, atau dampak yang mungkin dirasakan oleh sekelompok orang. Ikatan
dan relasi sosial yang ada mungkin didasarkan pada hubungan hirarkis yang sangat
ketat, dan mungkin pula membatasi atau menghalangi seseorang untuk berupaya
keluar dari kemiskinan. Aset sosial dapat terganggu oleh intervensi dari luar, yang
memaksakan kepentingan tertentu tanpa mempertimbangkan relasi dan ikatan sosial
196



yang telah terbina sebelumnya dalam masyarakat. Intervensi dari luar dapat berupa
tekanan kekuatan atau kekuasaan untuk memaksakan kepentingan, atau motif
ekonomi tertentu yang mengakibatkan konflik dalam masyarakat dani bentuk-bentuk
kekerasan terjadi dalam situasi semacam itu. Pemanfaatan ruang perairan bagi
masyarakat Bomba, Siatu, Tumbulawa dengan adanya usaha budidaya mutiara yang
menutup akses terhadap areal pemancingan tradisional, maka konflik yang terjadi
memaksa perusahaan tersebut memindahkan lokasi usahanya ke daerah lain.
Masyarakat memiliki kemampuan untuk menumbuhkan atau memperbaiki
asset sosial. Hubungan yang baik di antara masyarakat dapat memperkuatnya,
sebaliknya sumberdaya sosial dapat menurun apabila anggota masyarakat mulai
mengabaikan peran dan fungsinya atau tidak mentaati aturan. Aset sosial
membutuhkan hubungan timbal balik terus menerus dan pengembangan aset sosial
dapat dilakukan melalui penguatan lembaga-lembaga lokal, baik melalui
pengembangan kapasitas maupun mendorong perubahan lingkungan yang kondusif.
Selain mempunyai nilai-niai tersendiri, aset sosial sangat diperlukan oleh masyarakat
miskin pada situasi dan kondisi tertentu, misal: membantu menopang penghidupan
mereka pada saat salah satu tulang punggung keluarga meninggal, memberikan
perlindungan pada saat situasi tidak aman atau tidak stabil, atau dapat pula
menggantikan atau menutupi kekurangan sumberdaya yang dimiliki keluarga miskin.
Gotong royong membangun rumah misalnya, dapat menutupi kekurangan tenaga atau
keahlian tertentu yang tidak dimiliki keluarga miskin.

5.4.2.4 Aset Keuangan
Aset keuangan/finansial berhubungan dengan sumber-sumber keuangan yang
dapat digunakan dan dimanfaatkan masyarakat dalam mencapai tujuan penghidupan
masyarakat Gugus Pulau Batudaka, meliputi (1) Lembaga keuangan informal. (2)
Lembaga keuangan formal, (3) pendapatan, (4) tabungan, dan (5) proyek bantuan.
Kondisi asset keuangan di Gugus Pulau Batudaka tertera pada tabel berikut.

197


Tabel 62 Kondisi aset keuangan di Gugus Pulau Batudaka

No. Aset Keuangan
Skor
Kisaran
Skor Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
1 Lembaga
Keuangan
Informal
2 1 2 2 1 1 0-3
2 Lembaga
Keuangan Formal 1 0 0 0 0 0 0-3
3
Pendapatan 2 2 2 2 2 2 0-3
4
Tabungan 1 1 1 1 1 1 0-3
5
Proyek Bantuan 2 2 2 2 2 2 0-3
8 6 7 7 6 6 0-15
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik
Sumber : Analisis Data (2011)

Lembaga keuangan formal bank tidak ada di daerah ini dan terdapat 1 unit
koperasi di Desa Wakai. Lembaga keuangan non formalnya, umumnya dapat
ditemukan di tiap desa, yakni masyarakat perorangan yang memiliki kemampuan
modal lebih, sehingga masyarakat lain yang memerlukan modal untuk melaut dapat
meminjam dan memberikan hasil tangkapannya sebagai pengembalian hutangnya.
Penghasilan rata-rata responden sebesar Rp. 1 945 745/bulan, dengan penghasilan <1
juta sebesar 4%, 1-2 juta sebesar 73%, dan >3 juta sebesar 3%. Hal ini
menggambarkan penghidupan masyarakat di Gugus Pulau Batudaka cukup baik,
ditunjang dari sumberdaya alamnya baik dari hasil laut maupun hasil perkebunan
(kelapa).
Aset keuangan merupakan sumberdaya yang paling fleksibel, dapat ditukar
dengan berbagai kemudahan sesuai sistem yang berlaku, juga dapat digunakan secara
langsung untuk memenuhi kebutuhan penghidupan. Aset keuangan dapat berupa (1)
cadangan atau persediaan; meliputi sumber keuangan berupa tabungan, deposito, atau
barang bergerak yang mudah diuangkan, yang bersumber dari milik pribadi, juga
termasuk sumber keuangan yang disediakan oleh bank atau lembaga perkreditan. (2)
Aliran dana teratur; sumberdana ini meliputi uang pensiun, gaji, bantuan dari negara,
kiriman dari kerabat yang merantau. Aset keuangan bersifat serbaguna, namun tidak
dapat memecahkan persoalan kemiskinan secara otomatis. Ada kemungkinan
198



masyarakat tidak dapat memanfaatkannya karena beberapa hal; masyarakat yang
tidak memiliki cukup pengetahuan dan keahlian, sementara untuk meningkatkan
keterampilan dan keahlian mereka juga dibutuhkan uang yang tidak sedikit, atau
mungkin masyarakat terhambat oleh struktur dan kebijakan yang kurang
menguntungkan, pasar tidak berkembang, sehingga usaha kecil mati atau merugi.
Hal semacam itu perlu menjadi pertimbangan dalam merencanakan bentuk dukungan
keuangan bagi masyarakat. Pilihan bentuk tabungan juga perlu dipertimbangkan,
mungkin masyarakat kurang cocok dengan tabungan konvensional, atau mereka lebih
cocok menabung dalam bentuk barang atau ternak misalnya.

5.4.2.5 Aset Buatan/fisik
Aset buatan merupakan infrastruktur fisik penopang pembangunan berupa
prasarana dasar dan fasilitas lain yang dibangun untuk mendukung proses
penghidupan masyarakat. Prasarana yang dimaksud meliputi pengembangan
lingkungan fisik yang membantu masyarakat dalam melaksanakan tugas kehidupan
lebih produktif. Prasarana umumnya merupakan fasilitas umum yang digunakan
tanpa dipungut biaya langsung, terkecuali prasarana tertentu seperti listrik.
Kekurangan prasarana tertentu dapat dijadikan salah satu ukuran kemiskinan.
Kelangkaan akses terhadap fasilitas air bersih dan energi sangat merugikan kesehatan
manusia. Selain itu, masyarakat akan disibukan dengan kegiatan yang tidak produktif
seperti mencari kayu bakar atau sumber air bersih, yang dapat menghalangi
masyarakat untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan serta kesempatan
untuk meningkatkan penghasilan. Kondisi asset buatan di Gugus Pulau Batudaka
tertera pada Tabel 63.
Ketersediaan dermaga dan pasar di Gugus Pulau Batudaka termasuk kategori
sedang/cukup, namun untuk jalan dan jembatan masih kurang. Kebutuhan air bersih
masih kurang, khususnya Desa Kulingkinari kebutuhan air bersih diperoleh dari desa
tetangganya (Bomba, Malino). Jaringan listrik (PLN dan Non PLN) yang menyala
mulai jam 6 sore sampai jam 12 malam, dengan jaringan telepon tersedia di Desa
Wakai yang dapat menjangkau beberapa desa di sekitarnya. Tempat beribadah
199


seperti masjid, gereja telah tersedia di desa-desa yang ada pemeluk agama tersebut,
juga rumah permanen. Analisis terhadap responden adalah 22% memiliki kondisi
rumah baik, sedang 63%, dan kurang baik 14% dengan kriteria semi permanen dan
tidak memiliki MCK. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan sumberdaya di
Gugus Pulau Batudaka cukup memenuhi kebutuhan masyarakatnya.

Tabel 63 Kondisi aset buatan di Gugus Pulau Batudaka

No. Aset Buatan
Skor
Kisaran
Skor
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
1 Dermaga 3 2 2 2 2 2 0-3
2 Jalan 1 1 1 1 1 1 0-3
3 Air bersih 3 2 2 1 2 2 0-3
4 MCK 2 1 2 1 1 1 0-3
5 Pasar 2 2 2 2 2 1 0-3
6 Jembatan 2 1 1 1 0 1 0-3
7 PPI 0 0 0 0 0 0 0-3
8
Jaringan
Listrik 2 1 2 2 1 1 0-3
9
Jaringan
Telepon 3 0 0 0 0 0 0-3
10
Rumah
Permanen 2 2 2 1 2 1 0-3
11
Tempat
Ibadah 2 2 2 2 2 2 0-3
22 14 16 13 13 12 0-33
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik
Sumber : Analisis Data (2010)

Peningkatan kualitas penghidupan masyarakat memerlukan pendekatan
penghidupan berkelanjutan, yakni menekankan pentingnya penyediaan dan akses
terhadap sarana/prasarana sehingga masyarakat memanfaatkannya untuk mencapai
tujuan penghidupan mereka. Penyediaan barang atau alat produksi secara langsung
dapat menimbulkan masalah, antara lain disebabkan oleh beberapa alasan;
menimbulkan ketergantungan dan menggangu mekanisme pasar, mengganggu
perhatian terhadap pentingnya perubahan struktur dan proses, serta berpeluang terjadi
salah sasaran atau hanya menguntungkan kelompok tertentu.

200



5.4.3 Identifikasi Kebutuhan Masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka
Secara umum respon yang dilakukan oleh masyarakat pesisir Gugus Pulau
Batudaka terhadap kondisi sumberdaya pesisir dan dimana hampir seluruh
masyarakat melakukan respon membuat kelompok nelayan, menangkap lebih jauh
dari kondisi yang ada sebelumnya karena sumberdaya yang mulai menurun,
kemudian keinginan melakukan perbaikan lingkungan, walaupun ini hanya
merupakan harapan yang belum diikuti dengan berbagai tindakan nyata dari mereka
sendiri, namun paling tidak harapan ini menjadi bahan arahan kebijakan bagi
pemerintah daerahnya. Hampir seluruh responden menyatakan perlunya menjaga
kelestarian lingkungan pesisir dan laut untuk kelanjutan pencaharian mereka.
Masyarakat Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una sekitar 50%
berprofesi sebagai nelayan sekaligus petani, 7% PNS dan tenaga kerja di luar
pertanian, 2% usaha jasa dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga nelayan, 23%
siswa dan 18% sisanya kelompok usia dini dan lanjut usia (BPS Kecamatan Una-
Una 2009). Kondisi perairan yang fluktuatif, menyebabkan sebagian besar
masyarakat memiliki pekerjaan ganda, terutama memanfaatkan sumberdaya laut
maupun daratan. Kebutuhan masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka adalah
bagaimana meningkatkan taraf hidup dari usaha yang dilakukan melalui tambahan
pengetahuan dan keterampilan serta diversifikasi usaha sebagai alternatif mata
pencaharian serta modal.
Budidaya perikanan telah banyak disosialisasikan pemerintah, namun banyak
kendala yang ditemui dalam pelaksanaannya sehingga beberapa anggota masyarakat
yang telah membudidayakan komoditas tersebut tidak berlanjut. Budidaya teripang
belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Pemeliharaan/pembesaran ikan dalam
kolong rumah banyak diusahakan masyarakat sebelum dijual ke pedagang
penggumpul. Pemeliharaan bandeng di danau asin (Pulau Taufan), maupun ikan air
tawar (Patoyan) memberikan prospek yang baik dimasa mendatang. Demikian pula
budidaya rumput laut, untuk Desa Siatu, Bomba, Wakai, belum memberikan hasil
yang menggembirkan. Namun, daerah lain seperti Tumbulawa, Kulingkinari,
201


Taningkola cukup berhasil usaha budidaya ini, dan mereka membutuhkan sentuhan
teknologi dalam rangka meningkatkan nilai tambah rumput laut.
Skor aset kapital secara umum adalah kurang optimal, hal ini terkait berbagai
kondisi yang bersifat alami dan secara langsung mempengaruhi kinerja aktivitas
masyarakat, yang tercermin pada kesempatan, kesulitan, penghargaan ekonomi dan
sosial, serta dampak lingkungan dari seluruh aktivitas masyarakatnya (Tabel 64).

Tabel 64 Kinerja aktivitas masyarakat Gugus Pulau Batudaka

Aktivitas Kesempatan Kesulitan
Penghargaan
Dampak
Lingkungan
Ekonomi Sosial
Rumah Tangga xxx xxx xx xx -
Ekonomi-Produktif x xxx xx xx --
Sosial-Politik xx xx xx xx -
Ibadah xxx x 0 xxx 0
Rekreasi xx x xx xx -
Konservasi xxx xxx x xxx xxx
Keterangan : -- : sangat buruk, - : buruk, 0 : tidak ada, x : rendah, xx : sedang, xxx : tinggi,
xxxx : sangat tinggi
Sumber : Analisis Data (2010)


Kondisi aset penghidupan masyarakat Gugus Pulau Batudaka (aset kapital)
secara keseluruhan tertera pada Gambar 53. Kekuatan aset kapital Desa Wakai paling
besar, diikuti Desa Bomba, Bambu, Malino, Kulingkinari dan yang terendah Desa
Siatu. Penguasaan/pemilikan/akses terhadap asset kapital terbatas menyebabkan
masyarakat Desa Siatu harus mencari cara untuk memperoleh dan memaksimalkan
penggabungan aset-aset yang benar-benar mereka miliki dengan cara yang inovatif
guna mempertahankan hidup.karena kepemilikan sumber daya alam yang juga lebih
sedikit, akses pada sumberdaya finansial dan infrastruktur yang kecil dan juga sosial
kapital yang kecil.

202






Gambar 53 Grafik hasil CLSA di Gugus Pulau Batudaka
0
5
10
15
20
25
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Wakai
0
5
10
15
20
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Bambu
0
5
10
15
20
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Bomba
0
5
10
15
20
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Kulingkinari
0
5
10
15
20
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Malino
0
5
10
15
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Siatu
203


Kesempatan yang paling luas adalah aktivitas rumah tangga, ibadah dan
konservasi, namun memiliki tingkat kesulitan yang tinggi terkait faktor alam seperti
(letak geografis yang jauh dari pusat fasilitas seperti pabrik es, PPI, pasar). Kesulitan
yang tinggi juga terjadi pada aktivitas ekonomi produktif yakni pada pertanian,
wisata, dan perikanan tangkap karena kelangkaan lapangan pekerjaan atau sedikitnya
kesempatan kerja. Kesadaran yang tinggi untuk aktivitas konservasi walaupun
memperoleh penghargaan ekonomi yang rendah, secara keseluruhan kondisi ini,
masyarakat dapat memperoleh insentif sesuai konstelasi CLSA (Adrianto 2005).
Dinamika aset alam sebagai Coastal Livelihood System dalam kurun waktu 20
tahun tertera pada Tabel 65.

Tabel 65 Perubahan aset alam di Gugus Pulau Batudaka

No. Faktor kunci
Tahun
1995 2000 2005 2010
1
Hutan bakau xxx xxx xx xx
2
Hutan Alam xxx xx xx xx
3
Jumlah rumah x xx xx xx
4
Air Bersih xx xx xx xx
5
Areal Pertanian x xx xx xxx
6
Tangkapan Ikan laut xxx xxx xxx xxx
7
Abrasi x x x xx
8
Hasil Pertanian xx xx xxx xx
9
Tambak 0 x x x
10
Kelapa xxx xxx xxx xx
Keterangan : 0 = tidak ada/habis, x = sedikit, xx = sedang, xxx = banyak
Sumber : Analisis Data (2010)

Proses interaksi sistem alam dan sosial terakumulasi pada dinamika
perubahan aset alam. Sistem alam pesisir Gugus Pulau Batudaka menyediakan
berbagai barang dan jasa, yang mendukung perkembangan sistem sosial, juga
membatasi ataupun menghancurkan perkembangan sistem sosial ekologi dalam
bentuk berbagai tekanan (Tabel 66) .
Tekanan alam yang teridentifikasi di Gugus Pulau Batudaka adalah (1) abrasi,
(2) sedimentasi, (3) musim, dan (4) Badai. Tekanan tersebut mempengaruhi
204



penghidupan masyarakat yang menimbulkan dampak/resiko berupa kehilangan asset,
pekerjaan, pendapatan, meningkatkan biaya operasional penangkapan dan
ketidakpastian berusaha. Kerentanan dalam masyarakat merupakan hal yang
dianggap mengganggu atau dapat merugikan penghidupan mereka, berkaitan dengan
sense of problem yang penting untuk diketahui, khususnya pada konteks
masyarakat yang telah memiliki kesadaran tinggi untuk mengantisipasi perubahan,
atau pada konteks masyarakat sangat rentan dan membutuhkan dukungan.
Pengetahuan masyarakat tentang konteks kerentanan membantu memahami prioritas
dan upaya dalam mensikapi setiap perubahan, dan pada konteks dukungan yang lebih
tepat diberikan. Pemahaman ini penting untuk mengetahui potensi dan pengalaman
masyarakat dalam mengantisipasi dan mengelola perubahan, atau bahkan mungkin
terdapat mekanisme yang telah dibangun oleh masyarakat untuk melindungi
penghidupan masyarakat.

Tabel 66 Tekanan alam pesisir dan laut pada masyarakat Gugus Pulau Batudaka

No
Tekanan Alam
Kelompok Rentan Dampak/Resiko
1
Abrasi
Pemilik pinggir pantai Kehilangan asset secara permanen




2




Sedimentasi
Petambak
Nelayan
Petani

Nelayan
Kehilangan pekerjaan
Kehilangan pendapatan


Kehilangan pendapatan
3 Musim Nelayan

Meningkatkan ketidakpastian
Meningkatkan resiko penangkapan
Meningkatkan biaya operasional
Kehilangan pendapatan

4 Badai Semua
Meningkatkan ketidakpastian
Meningkatkan biaya operasional
Kehilangan pendapatan
Kehilangan asset hingga nyawa
Sumber : Analisis Data (2010)


Pada situasi-situasi tertentu mungkin masyarakat sangat bergantung pada
dukungan dari pemerintah. Pemahaman ambang batas kemampuan masyarakat
205


menghadapi perubahan sangat diperlukan, terutama bagi pihak-pihak terkait untuk
meningkatkan sensitifitas mereka terhadap ancaman atau gangguan yang dialami
masyarakat, yaitu kapan dukungan atau bantuan langsung perlu diberikan sehingga
pemilihan insentif menjadi tepat guna.

5.4.4 Pemilihan insentif
Pilihan insentif bagi masyarakat Gugus Pulau Batudaka hampir seluruhnya
mengharapkan dari pemerintah, sehingga pengembangan mata pencaharian alternatif
ini diarahkan untuk mengalihkan profesi nelayan atau sebagai tambahan pendapatan.
Berbagai program, proyek dan kegiatan pemerintah telah dilakukan untuk
mengentaskan kemiskinan. Motorisasi armada nelayan skala kecil adalah program
yang dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan
produktivitas dan daerah ini juga memperolehnya. Pada tahun 2009, Kecamatan
Una-Una memperoleh 25 unit motor tempel 5.5 PK yang didistribusikan pada 5 desa.
Program motorisasi ini membawa dampak positif, dilihat dari bertambahnya jumlah
perahu bermotor di Gugus Pulau Batudaka. Saat ini bila ada program pemerintah
untuk mengadakan armada kapal/perahu nelayan, atau bila ada rencana investasi oleh
nelayan, selalu pengadaan motor penggerak perahu menjadi permintaan nelayan.
Demikian pula di bidang pariwisata, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi telah melakukan berbagai program terkait dalam pengembangan pariwisata
di kawasan Kepulauan Togean.
Mulai tahun 2006, Pemerintah meresmikan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri dengan tujuan meningkatkan keberdayaan dan
kemandirian masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan dan perluasan
kesempatan kerja. PNPM bukan program yang baru, namun merupakan wadah bagi
terintegrasinya program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis
pemberdayaan masyarakat dan diperluas secara nasional. Untuk tahun 2007, dua
program diintegrasikan, yaitu Program Pengembangan Kecamatan dan PNPM
Mandiri merupakan instrumen program untuk pencapaian Millenium Development
Goals (MDGs). Program Pengembangan Kecamatan merupakan salah satu upaya
206



Pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan, memperkuat institusi lokal, dan meningkatkan kinerja pemerintah daerah.
Program diimplementasikan melalui pengelolaan di tingkat kecamatan dalam bentuk
pemberian dana bergulir untuk usaha ekonomi produktif dan penyediaan prasarana
dan sarana yang menunjang kegiatan ekonomi, yang kesemuanya itu diarahkan
sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (capacity building investment).
Program pemberdayaan masyarakat ini berada di bawah binaan Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri (Depdagri) (Hadi
2009). Kecamatan Una-una tahun 2010 memperoleh Rp 3 milyar dengan pembiayaan
program berasal dari Pemerintah Pusat (APBN), Pemerintah Daerah (APBD), dan
swadaya masyarakat. Hall (2001) menyatakan bahwa salah satu strategi pengelolaan
wisata pesisir berkelanjutan yakni dengan pemberlakuan insentif keuangan (financial
incentives) seperti pajak, harga, subsidi, dan bantuan yang diperuntukkan bagi
pembangunan infrastruktur wisata dan pemberdayaan masyarakat lokal.

5.4.5 Menyusun Strategi Pilihan Mata Pencaharian.
Strategi pilihan mata pencaharian dapat dilakukan melalui :
(1) Penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga
melalui diversifikasi pendapatan nelayan untuk dikembangkan, yang diarahkan
bukan saja untuk nelayan tetapi juga untuk anggota keluarganya, khususnya istri
atau perempuan nelayan yang memang besar potensinya. Pengembangan mata
pencaharian alternatif bukan saja dalam bidang perikanan, seperti pengolahan,
pemasaran, atau budidaya ikan, juga diarahkan ke kegiatan non-perikanan;
(2) mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada
penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri (self financing mechanism).
Masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan pembudidaya ikan sangat sulit untuk
memperoleh modal. Sifat bisnis perikanan yang musiman, ketidakpastian serta
resiko tinggi sering menjadi alasan keengganan bank menyediakan modal bagi
bisnis ini. Sifat bisnis perikanan seperti ini yang disertai dengan status nelayan
yang umumnya rendah dan tidak mampu secara ekonomi membuat mereka sulit
207


untuk memenuhi syarat-syarat perbankan yang selayaknya diberlakukan seperti
perlu adanya collateral, insurance dan equity;
(3) mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan
berdaya guna. Teknologi yang digunakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan,
pada umumnya masih bersifat tradisional, maka produktivitas rendah. Upaya
meningkatkan pendapatan dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai dari
teknologi produksi hingga pasca produksi dan pemasaran. Dengan
mempertimbangkan sifat dan karakteristik masyarakat;
(4) mendekatkan masyarakat dengan pasar, Pasar adalah faktor penarik dan bisa
menjadi salah kendala utama bila pasar tidak berkembang, maka membuka akses
pasar adalah cara untuk mengembangkan usaha karena bila tidak ada pasar maka
usaha sangat terhambat perkembangannya. Pengembangan pasar bagi produk-
produk yang dihasilkan masyarakat pesisir maka upaya yang dilakukan adalah
mendekatkan masyarakat dengan perusahaan-perusahaan besar khususnya
eksportir komoditas perikanan, untuk mendapatkan jaminan pasar dan harga,
pembinaan terhadap masyarakat terutama dalam hal kualitas barang bisa
dilaksanakan, serta bantuan modal bagi pengembangan usaha. Meskipun
hubungan seperti ini sudah ada, secara umum boleh dikatakan bahwa masyarakat
masih menghadapi pasar yang tidak sempurna strukturnya, monopoli ketika
masyarakat membeli faktor produksi serta monopsoni ketika masyarakat menjual
produk yang dihasilkan. Struktur pasar yang tidak menguntungkan masyarakat ini
disebabkan karena informasi yang kurang mengenai harga, komoditas, kualitas,
kuantitas serta kontinyutas produk. Kelangkaan informasi ini begitu rupa
sehingga umumnya masyarakat hanya menghasilkan produk-produk yang serupa
sehingga akhirnya membuat kelebihan pemasokan dan kejatuhan harga;
(5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Kelima
pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi, keinginan,
kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat
(Nikijuluw 2001).
208



Strategi lain, pembelajaran dari keberhasilan alternatif mata pencaharian di
Aceh, yaitu 1) diperlukan fasilitator/petugas penyuluh lapang (dengan pengetahuan
teknis yang memadai) yang tinggal bersama masyarakat binaannya sehingga
permasalahan teknis dalam pengusahaan alternatif mata pencaharian; 2)
penggabungan pemberian modal usaha (misal untuk budidaya perikanan) yang
dikaitkan dengan kegiatan rehabilitasi (penanaman mangrove) dipandang sangat
mendidik sehinga masyarakat merasa ikut memiliki/bertanggung jawab akan hasil
rehabilitasinya; 3) pemberian berbagai pelatihan untuk meningkatkan keterampilan
tentang teknik rehabilitasi, budidaya perikanan maupun alternatif usaha lainnya; 4)
kegiatan rehabilitasi (melalui pemulihan ekosistem mangrove) akan dapat melindungi
pemukiman dari bencana badai maupun air pasang dan memulihkan sumber mata
pencaharian masyarakat pesisir (Wetland 2009). Budidaya rumput laut merupakan
mata pencaharian alternatif yang berkembang di masyarakat Gugus Pulau Batudaka
dan untuk daerah Lindo Desa Tumbulawa, kegiatan ini telah menjadi mata
pencaharian utama, karena telah merasakan hasil yang lebih baik dibandingkan usaha
penangkapan ikan dan secara langsung dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.

5.5 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau
Analisis supply dapat digunakan untuk valuasi nilai ekonomi sumberdaya
pesisir pulau-pulau kecil (PPK) melalui identifikasi potensi dan kondisi sumberdaya
yaitu tipologi PPK meliputi tipe ekosistem, tipe spesies dan komunitas yang ada di
dalamnya berbasis pada teknik valuasi sesuai tipe-tipe tersebut.

5.5.1 Wisata
5.5.1.1 Analisis Penawaran Wisata
Suatu penawaran akan melukiskan jumlah maksimum yang siap disediakan
pada setiap kemungkinan harga dalam jangka waktu tertentu. Laju pertumbuhan
penawaran produk wisata akan tergantung dari biaya dan jumlah produk yang
ditawarkan, sehingga untuk menduga laju penawaran wisata atau mengestimasi kurva
penawaran wisata bahari diturunkan dari fungsi biaya (khususnya biaya jangka
pendek). Fungsi penawaran produk wisata yang diperoleh dengan meregresikan
209


peubah terikat biaya operasional pengusaha wisata (TC/total cost) terhadap peubah
bebas biaya konsumsi dan akomodasi (V
1
), serta biaya pemeliharaan (V
2
). (Tabel 68).

Tabel 68 Biaya operasional pengusaha wisata di Gugus Pulau Batudaka

Nama Usaha
Q (orang)
TC (US)
Konsumsi/V
1

(US$)
Pemeliharaan/V
2

(US$)
Wakai Cottoge 420 103700 76000 26700
Poya Cottage 704 78000 58750 19250
Island Retreat 428 157000 117500 38500
Penginapan
Surya 290 58625 41125 17500
Uraian Keterangan
R dan R
2
F-hit dan significance F
Konstanta
Nilai variabel biaya konsumsi dan akomodasi
Nilai variabel biaya pemeliharan
Jumlah sampel (n)
0.9998 dan 0.9996
13896 dan 0.0006
0.4870
0.7233
0.2874
4
Sumber : Analisis Data (2011)

Model penawaran wisata tersebut diperoleh dengan menggunakan pendekatan
logaritma natural sebagai berikut:

Ln TC = 0.4870 + 0.7233 LnV
1
+ 0.2874 LnV
2


Model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F untuk mengetahui sejauh mana
ketepatan model yang menjelaskan hubungan nyata antara biaya operasional usaha
wisata dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil uji F menunjukkan F hitung
13 896 > F tabel 9.55 pada selang kepercayaan 95%. Nilai F hitung yang lebih besar
daripada F tabel berarti menolak H
0
(H
0
:
1
=
2
=
i
= 0), yang berarti menerima H
1

(H
1
: minimal ada satu
i
0), yaitu setidaknya ada satu peubah bebas dalam fungsi
penawaran tersebut yang berpengaruh nyata terhadap biaya operasional usaha wisata.
Selain itu, nilai koefisien determinasi (R
2
) juga menunjukkan nilai sebesar 0,9996,
berarti peubah bebas yang digunakan dalam model (biaya konsumsi dan akomodasi,
pemeliharaan) mampu menjelaskan keragaman peubah tak bebas, yaitu total biaya
operasional pengusaha wisata sebesar 99.96%. Hasil regresi yang didapatkan dapat
210


diguna
Gugus
Batuda

wisata
pada
pengu
dan ak
biaya
mengg
sumbu
pada k
operas
P
Total B
(TC
akan untuk
s Pulau Bat
aka tertera p
Gambar 54

Kurva di a
a dengan Q
sumbu Y
usaha akan d
komodasi se
operasional
gambarkan
u X akan me
kurva di at
sional pengu
Biaya
C)

membangun
tudaka. Ku
pada Gambar
` Kurva pen
atas membe
pada sumbu
pada waktu
dipresentasik
erta pemelih
l yang dike
biaya oper
empengaruhi
as tergamba
usaha wisata
n kurva pen
urva penawa
r 54 berikut
nawaran wisa
erikan penje
u X dengan
u tertentu,
kan oleh tin
haraan fasili
eluarkan pe
rasional pen
i nilai dari h
ar terus me
a sampai ko
(Biaya
nawaran da
aran produk
ini.

ata di kawas
lasan tentan
tingkatan ha
artinya seti
ngkatan harg
itas wisata.
engusaha ju
gusaha deng
harga P yang
ningkat seir
ondisi terten
Operasional
ari kegiatan
k wisata kaw
an Gugus Pu
ng biaya ope
arga yang di
iap besaran
ga tertentu d
Semakin ti
uga meningk
gan besaran
g berada pad
ring dengan
ntu, sehingga
l)
wisata di
wasan Gugu
ulau Batudak
erasional pe
inotasikan d
n biaya ope
dari biaya k
inggi harga
kat. Kurva
n nilai terten
da sumbu Y
n peningkata
a untuk men

kawasan
us Pulau

ka
engusaha
dengan P
erasional
konsumsi
P maka
tersebut
ntu pada
. Nilai P
an biaya
ngetahui
211


posisi dimana harga diinginkan oleh pasar atau kecocokan harga yang ditawarkan
pihak pengelola wisata maka harus diketahui tingkatan permintaan dari wisatawan
agar terjadi harga keseimbangan pasar (price equilibrium).

5.5.1.2 Analisis Permintaan Wisata
Metode yang digunakan untuk menghitung biaya perjalanan adalah melalui
individual travel cost method/TCM. Hasil analisis permintaan wisata di kawasan
Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean melalui metode TCM dengan menghitung
biaya perjalanan yang dikeluarkan individu untuk melakukan kegiatan wisata di
kawasan ini. Fungsi permintaan wisata yang diperoleh dengan meregresikan peubah
terikat biaya perjalanan (TC), pendapatan (Y) dan jarak ke lokasi wisata (D) dengan
jumlah kunjungan (V) (Tabel 66), kemudian digunakan untuk membangun kurva
permintaan dan surplus konsumen kegiatan wisata yang kemudian menjadi nilai
manfaat wisata kawasan ini.

Tabel 66 Biaya perjalanan wisatawan, pendapatan dan jarak ke kawasan Gugus
Pulau Batudaka

Negara
Jumlah
Kunjungan
Biaya Perjalanan (US$)
Pendapatan
(US$)
Jarak
(km)
Italia 77 1049 30400 12554
Prancis 80 1041 33200 13480
Belanda 61 942 38500 13264
Spanyol 23 986 30100 12491
Jerman 34 972 34200 12890
Swiss 17 1036 41100 13113
Inggris 18 1116 35100 13644
Belgia 17 959 35300 13296
USA 15 1056 45800 17304
Lokal 458 267 3700 515
Uraian Keterangan
R dan R
2
0.8639 dan 0.7464
F-hit dan significance F 5.8861 dan 0.0321
Konstanta 26.2728
Nilai variabel biaya perjalanan -3.4082
Nilai variabel pendapatan -1.0981
Nilai variabel jarak 1.2707
Jumlah sampel (n) 10
Sumber : Analisis Data (2011)
212


berasa
1 041
jiwa d
perjala
untuk
kedata
Batuda
diband
memp
survei
biaya
minat
Batuda
Gamb

dengan
mence
tersebu
P
(harg
Berdasarka
al dan Peran
per orang, s
dengan biaya
anan wisataw
berwisata. H
angan wisata
aka ketiga p
dingkan den
pengaruhi ora
, motivasi k
perjalanan y
wisatawan u
aka tertera p

ar 55 Kurv
Tingkat ku
n seberapa s
erminkan tin
ut. Fungsi p
ga)

an hasil yan
ncis sebesar
sedangkan ju
a perjalanan
wan suatu n
Hal ini dapat
awan yang
paling banya
ngan wisataw
ang dalam b
kunjungan w
yang murah,
untuk berku
pada Gambar
va permintaa
unjungan wi
sering seoran
ngkat kepua
permintaan w
g diperoleh,
80 jiwa den
umlah wisat
rata-rata seb
negara, seben
t dilihat dari
berasal dari
ak, padahal
wan dari neg
berwisata, sa
wisatawan un
namun keun
unjung. Kurv
r 55.
n wisata di k
isatawan ke
ng wisatawan
asan dan tin
wisatawan ke
(jumlah w
, terlihat bah
ngan rata-rat
tawan terend
besar US$ 1
narnya buka
data wisata
i negara ters
biaya perja
gara lain. Ar
alah satunya
ntuk berwisa
nikan alam y
va permintaa

kawasan Gug
kawasan G
n berkunjun
ngkat kesuk
e kawasan G
wisatawan)
hwa jumlah
ta biaya perj
dah berasal d
056 per ora
an merupaka
awan asal Pe
sebut ke kaw
lanan indivi
rtinya ada f
a adalah mot
ata ke kawas
yang ditawa
an wisata ka
gus Pulau B
Gugus Pulau
g ke lokasi t
kaan wisataw
Gugus Pulau
wisatawan,
jalanan sebe
dari USA se
ang. Tinggin
an penghalan
rancis, yakn
wasan Gugu
idunya palin
faktor lain y
tivasi. Menu
san ini bukan
arkan mempe
awasan Gugu

atudaka
Batudaka b
tersebut. Hal
wan terhada
u Batudaka d

tertinggi
esar US$
besar 15
nya biaya
ng orang
ni jumlah
us Pulau
ng tinggi
yang ikut
urut hasil
n karena
engaruhi
us Pulau
berkaitan
l ini juga
ap lokasi
diperoleh
213


dengan meregresikan peubah terikat jumlah kunjungan (Q) terhadap peubah bebas
biaya perjalanan (TC), pendapatan invidividu (I) dan jarak (D) dengan menggunakan
pendekatan logaritma natural, maka diperoleh model permintaan sebagai berikut:

LnQ = 26.2728 3.4082 LnTC 1.0981 LnY + 1.2707D

Model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F untuk mengetahui
sejauh mana ketepatan model yang menjelaskan hubungan nyata antara tingkat
kunjungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil uji F menunjukkan F
hitung 5.88 > F tabel 4.76 pada selang kepercayaan 95%. Nilai F hitung yang lebih
besar daripada F tabel berarti menolak H
0
(H
0
:
1
=
2
=
i
= 0), yang berarti
menerima H
1
(H
1
: minimal ada satu
i
0), yaitu setidaknya ada satu peubah bebas
dalam fungsi permintaan tersebut yang berpengaruh nyata terhadap jumlah
kunjungan. Selain itu, nilai koefisien determinasi (R
2
) juga menunjukkan nilai sebesar
0.7464, berarti peubah bebas yang digunakan dalam model (biaya perjalanan,
pendapatan invidividu dan jarak) mampu menjelaskan keragaman peubah tak bebas,
yaitu jumlah kunjungan sebesar 74.64%. Model permintaan yang diperoleh juga
dapat menunjukkan hubungan yang berlawanan antara jumlah kunjungan dan biaya
perjalanan. Berdasarkan hasil perhitungan regresi di atas, nilai terhadap permintaan
sebesar -3.4082 dapat diartikan apabila terjadi perubahan biaya perjalanan sebesar
0.05 atau 5% maka akan menurunkan tingkat kunjungan sebesar 3.41%. Tanda
negatif menunjukkan bahwa pada fungsi permintaan tersebut terdapat hubungan
terbalik antara biaya perjalanan dengan tingkat kunjungan. Apabila terjadi kenaikan
biaya perjalanan menuju kawasan Gugus Pulau Batudaka, maka akan menyebabkan
penurunan tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan tersebut. Hal ini sesuai dengan
hukum permintaan yang menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditas
maka semakin rendah tingkat permintaannya. Yoeti (1997) berpendapat, bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan adalah harga. Kenyataan ini juga
sesuai dengan pendapat Gaspersz (2000) tentang hukum permintaan (law of demand)
yang menyatakan bahwa kuantitas produk yang diminta akan meningkat apabila
harga menurun dan kuantitas produk yang diminta akan menurun apabila harga
214



meningkat (dengan asumsi nilai-nilai dari peubah lain yang mempengaruhi
permintaan produk tersebut dianggap konstan atau ceteris paribus.
Hasil regresi yang didapatkan dapat digunakan untuk membangun kurva
permintaan dan menentukan surplus konsumen dari kegiatan ekowisata bahari di
kawasan Gugus Pulau Batudaka. Surplus konsumen pada penelitian ini merupakan
selisih antara tingkat kesediaan membayar dari wisatawan dengan biaya atau harga
yang harus dikeluarkan untuk memperoleh kepuasan dalam menikmati jasa alam
(Yudasmara 2010) berupa obyek wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Tingkat
kepuasan wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut dapat dilihat dari intensitas
kunjungannya. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin sering seorang wisatawan
berkunjung ke kawasan ekowisata Gugus Pulau Batudaka mencerminkan semakin
puas terhadap lokasi wisata tersebut.
Pada kurva permintaan jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan
Gugus Pulau Batudaka yang dinotasikan dengan Q pada sumbu X dengan tingkatan
harga yang dinotasikan dengan P pada sumbu Y pada waktu tertentu, namun
penjelasan kurva permintaan berbeda dengan penawaran dimana semakin rendah nilai
harga yang ditawarkan maka jumlah wisatawan akan semakin meningkat atau
sebaliknya semakin tinggi harga yang ditawarkan maka jumlah kunjungan wisatawan
semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat pada kurva di atas, dimana harga pada
tingkat sekitar 910 nilai Q = 0 (tidak ada wisatawan yang datang) sedangkan bila
harga berada pada level 300 maka nilai Q sekitar 1 400 orang. Selain itu, dari kurva
permintaan diperoleh hasil perhitungan surplus konsumen sebesar US$ 21 813 per
individu per tahun atau Rp 207 223 500 per individu per tahun dengan nilai tukar
rupiah terhadap dollar sebesar Rp 9 500. Nilai surplus konsumen didapatkan nilai
ekonomi kawasan ekowisata kawasan Gugus Pulau Batudaka yang diperoleh
berdasarkan jumlah wisatawan yang berkunjung tahun 2007 adalah sebesar US$
58 273 atau Rp. 553 593 500. Nilai ekonomi ini merupakan nilai riil pemanfaatan
ekowisata di kawasan ini dan nilai tersebut akan meningkat bila jumlah wisatawan
yang berkunjung ke kawasan ini bertambah banyak. Hal ini dapat terjadi apabila
potensi dan kondisi daya tarik wisata yang ada di kawasan ini dapat dipertahankan,


d
m
p
a

k
h
k
d
s
k
b
m
p
m
disertai den
manajemenn
Setel
perpotongan
aktivitas wis

Kurv
keseimbanga
harga (P) 37
konsumen s
didapatkan
sebesar US$
kawasan saa
berkunjung
menambah j
pada kondis
mampu dita
P
(harga)
ngan pening
nya.
lah hasil ku
n kedua kur
sata di kawa
Gambar 5
va keseimb
an aktivitas
70 dan nilai Q
sebesar US$
juga nilai e
$ 58 273. N
at ini dan n
ke kawasan
jumlah kunj
si keseimban
ampung oleh
gkatan sara
urva penawa
rva tersebut,
san Gugus P
6 Kondisi k
bangan di
wisata di ka
Q (jumlah w
$ 21 813 p
ekonomi ka
Nilai ekonom
nilai tersebu
n ini bertam
jungan wisa
ngan baru se
h kawasan
(jum
ana prasaran
aran dan per
, untuk men
Pulau Batuda

kesetimbanga
atas mem
awasan Gug
wisatawan) s
per individu
awasan wisa
mi ini merup
ut akan men
mbah banyak
atawan meng
ebesar 640 o
atau batas
mlah wisataw
na penduku
rmintaan dip
ngetahui kon
aka (Gambar
an pasar akti
mberikan p
gus Pulau Ba
ebesar 640 o
per tahun.
ata kawasan
pakan nilai r
ningkat bila
k atau masi
gingat jumla
orang, jumla
daya dukun
wan)
ung wisata
peroleh mak
ndisi keseim
r 56).
ivitas wisata
penjelasan,
atudaka bera
orang denga
Nilai surp
n Gugus Pu
riil pemanfa
a jumlah wi
ih ada kese
ah kunjung
ah wisatawa
ng kawasan
2
dan kualit
ka dapat dic
mbangan pas

a
bahwa tit
ada pada lev
an nilai surpl
lus konsum
ulau Batuda
aatan wisata
isatawan ya
empatan unt
gan wisataw
an yang mas
Gugus Pul
15
tas
ari
sar
tik
vel
lus
men
aka
di
ang
tuk
wan
sih
lau
216



Batudaka adalah sebesar 21 887 orang. Kondisi keseimbangan pasar wisata tertera
pada Tabel 67.

Tabel 67 Kondisi keseimbangan pasar wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka

No Parameter Nilai Satuan
1 Harga 370 US$
2 Jumlah wisatawan7 640 Orang
3 Surplus Konsumen 21 813 US$
4 Nilai ekonomi 58 273 US$
Sumber : Analisis Data (2011).


Gugus Pulau Batudaka memiliki karakteristik obyek wisata yang spesifik,
dimana peminatnya juga terbatas pada wisatawan yang mempunyai ketertarikan
tersendiri terhadap obyek wisata berupa panorama alam yang ditawarkan di kawasan
ini dengan atraksi yang dominan berupa selam dan snorkeling. Jumlah kunjungan
wisatawan berdasarkan asal negara dari tahun 2006-2009 tertera pada Gambar 57.

Gambar 57 Kunjungan wisman ke Kepulauan Togean (Disbudpar 2010)


Berdasarkan informasi dari masyarakat dan pengelola penginapan yang ada di
lokasi penelitian, biasanya jumlah wisatawan mancanegara yang cukup banyak terjadi
pada bulan Juli dan Agustus. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut merupakan masa
libur musim panas bagi wisatawan yang berasal dari negara-negara Eropa, dan juga
masa libur musim dingin bagi wisatawan yang berasal dari Australia dan New
Zealand, sedangkan pada bulan-bulan yang lainnya, permintaan rata-rata per-hari
hanya sekitar lima sampai sepuluh orang saja.

0
50
100
150
200
250
300
P
r
a
n
c
i
s
B
e
l
a
n
d
a
J
e
r
m
a
n
S
p
a
n
y
o
l

I
n
g
g
r
i
s
I
t
a
l
i
a
B
e
l
g
i
a
S
w
i
s
s
U
S
A
A
u
s
t
r
a
l
i
a
S
l
o
v
e
n
i
a
A
u
s
t
r
i
a
C
h
e
c
h
K
a
n
a
d
a
s
w
e
d
i
a
2009
2008
2007
2006
217


5.5.2 Perikanan
Jenis-jenis ikan yang tertangkap di Gugus Pulau Batudaka antara lain ikan
tongkol, tenggiri, teri, ekor kuning, kerapu, kakap, dan beberapa jenis ikan lainnya.
Adapun jenis ikan yang dihitung nilai produktivitasnya dalam penelitian ini adalah
ikan kerapu karena ikan tersebut memiliki habitat menetap di terumbu karang,
bernilai ekonomis tinggi, disamping dukungan ketersediaan data sekundernya.
Besaran jumlah hasil tangkapan ikan kerapu hampir tidak tergantung kepada musim,
kecuali pada musim-musim dimana terjadi gelombang besar (musim barat) nelayan
sedikit mengurangi aktivitas penangkapannya. Harga ikan kerapu pada bulan
Pebruari 2009-Pebruari 2010 sebesar Rp 25 000/kg. Hasil valuasi ekonomi ikan
kerapu tertera pada Tabel 68.

Tabel 68 Volume dan nilai produksi kerapu dari tiga alat tangkap

No Variabel Pancing J. Insang Bubu
1 Produksi/trip/tahun 2 017 2 193 175
2 Pendapatan/trip/tahun 50 427 500 54 812 500 4 385 000
3 Tenaga Kerja 2 2 2
4 Trip (hari) 1 1 1
5 Trip/tahun 96 120 48
6 BBM/unit 3 4 2
7 BBM/tahun/unit 288 480 96
8 Harga BBM/tahun 2 016 000 3 360 000 672 000
9 Umpan (kg/tahun) 73
10 Harga umpan 365 000
11 Biaya/trip 47 575 48 000 34 000
12 Pendapatan bersih 43 479 267 45 692 500 2 081 000
Sumber : Analisis Data (2010)

Berdasarkan Tabel diatas, pendapatan bersih nelayan yang menggunakan alat
tangkap jaring ingsang dan pancing lebih tinggi dibanding bubu, masing-masing
sebesar Rp. 3 623 273/bulan (pancing), Rp. 3 808 125/bulan (jaring ingsang), Rp.
173 416/bulan (bubu). Nelayan di Gugus Pulau Batudaka umumnya menggunakan
kombinasi alat tangkap tersebut, seperti pancing-bubu sehingga tidak diperhitngkan
penggunaan umpan pada alat tangkap bubu.

218




5.6 Analisis Skenario Pengelolaan Gugus Pulau
Skenario pengelolaan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ditujukan
untuk arahan kebijakan dari model integrasi optimal berdasarkan kondisi saat ini.
Nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun model integrasi wisata-
perikanan secara lengkap tertera pada Tabel 69.

Tabel 69 Nilai dugaan parameter pada model integrasi wisata-perikanan di Gugus
Pulau Batudaka

Submodel dan parameter Nilai Dugaan Keterangan
Sub Model Wisata
1. Jumlah wisatawan 3000 Disbudpar Prov. (2008)
2. Yield Factor (YF) Built-up 1.00
Lenzen dan Murray (2001); WWF
(2008)
Cropland 1.70
Energy 1.30
Fishery 0.60
Forest 1.30
Pasture 2.20
3. Komponen :
Hasil analisis manual komponen
TEF, luasan area dari hasil analisis
GIS
- Foot Built-up : luas jalan, 18.36
pelabuhan, 0.43
penginapan 1.16
-Foot aktivitas : luas area selam, 18.70
snorkeling, 129.40
rekreasi pantai 68.69
- Foot energy : jumlah energi 2.38
- Food &Fibre : cropland, 4532.85
pasture, 1733.00
forest, 18395.95
Sea space 2610.00
4. Lama wisata 5
Hasil analisis kuesioner wisatawan
(2010)
Sub model Perikanan
Sektor populasi
1. Jumlah penduduk (jiwa) 13 500 Hasil proyeksi tahun 2010
2. Laju kelahiran 0.012
Hasil analisis berdasarkan BPS
Touna (2004-2009)
3. Laju kematian 0.003
4. Laju imigrasi 0.029
5. Laju emigrasi 0.014
Sektor Produksi (lokal dan regional)
1. Biomassa ikan (X) Lokal 137.911 Hasil analisis, rumus (20)
Regional 12 864
2. Laju pertumbuhan intrinsik (r) Lokal 0.365
Hasil analisis rumus (21)
Regional 0.043
3. Koefisien tangkap (q) Lokal 0.00001
Regional 0.00002
4. Daya dukung (K) Lokal 14.28
Regional 2103
219


Tentukan persamaan TEF, BC
Sesuai ?
TEF = BC
Data :
-Jumlah wisatawan
-Luasan jalan, pelabuhan (GIS)
-Luasan tata guna lahan (GIS)
-Akomodasi wisata
-Produksi listrik
Sesuai
Hitung :
-Agregrat kmponen footprint
-Biocapacity
Cetak : Pemanfaatan optimal
TEF = BC
Submodel dan parameter Nilai Dugaan Keterangan

Sektor Footprint perikanan
1. Data ekspor 5.58
Hasil analisis rumus (29) 2. Data impor 17.28
3. Data konsumsi domestik 300.56
4. Faktor ekivalen laut (YF) 0.06 Lenzen dan Murray (2001)
5. Luas perairan regional 338 575 Hasil analisis GIS
6. Luas perairan lokal 61 052 Hasil analisis GIS
7. Total EF perikanan 0.34 Hasil analisis FEF, rumus (9)

5.6.1 Sub Model Wisata
Keberlanjutan aktifitas wisata di Gugus Pulau Batudaka membutuhkan ruang
dan sumberdaya dimana prediksi wisatawan yang datang setiap tahunnya untuk
keperluan alokasi ruang dan sumberdaya agar dapat dilakukan pengelolaan secara
efektif. Diagram alir TEF (Touristic ecological Footprint) tertera pada Gambar 58.


























Gambar 58 Diagram alir TEF
Tidak
Ya
Mulai
Tidak
Selesai
220



Tabel 70 Proyeksi jumlah wistawan, EF dan BC selama 10 tahun

Tahun
Jumlah
Wisatawan
(orang)
EF Total
(ha/tahun)
Biocapacity
Total (ha)
EF tiap
wisatawan
(ha/kapita/tahun)
Biocapacity
wisatawan
(ha)
2010 3 000 759 5 132 0.25 1.71
2011 7 372 1 698 5 132 0.23 0.70
2012 10 806 2 435 5 132 0.23 0.47
2013 13 503 3 014 5 132 0.22 0.38
2014 15 620 3 469 5 132 0.22 0.33
2015 17 283 3 826 5 132 0.22 0.30
2016 18 589 4 106 5 132 0.22 0.28
2017 19 615 4 327 5 132 0.22 0.26
2018 20 420 4 500 5 132 0.22 0.25
2019 21 052 4 635 5 132 0.22 0.24
Final 21 549

Total BC dan EF pada tabel diatas dari keseluruhan wisatawan dan untuk
wisatawan per tahun (kapita/ha/tahun) yang mengunjungi Gugus Pulau Batudaka
dengan jumlah wisatawan awal sebanyak 3 000 orang pada tahun 2010 dan kondisi
ruang ekologis (BC) sekitar 5 132 ha, maka pada tahun pertama Gugus Pulau
Batudaka dapat menampung 7 372 orang dengan lahan yang dibutuhkan sebesar
1 698 ha dengan kebutuhan lahan untuk setiap wistawan (per kapita) 0.23 ha. Sampai
tahun kedua peningkatan jumlah wisatawan cenderung tinggi disebabkan oleh
luasnya lahan produktif masih tersedia. Pada tahun selanjutnya, wisatawan yang
dapat ditampung di Gugus Pulau Batudaka terjadi sedikit peningkatan dan cenderung
stabil sehingga pemanfaatan lahan untuk tiap wisatawan juga tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Peningkatan wisatawan yang berkunjung di Gugus Pulau
Batudaka akan meningkatkan total luas lahan yang dimanfaatkan sebagai akibat dari
konsumsi yang dilakukan, namun tidak sampai melebihi BC. Model dinamik dari
penjelasan diatas tertera pada Gambar 59.
Peningkatan jumlah wisatawan berhubungan dengan konsumsi terhadap
sumberdaya di Gugus Pulau Batudaka dan secara langsung mempengaruhi
peningkatan EF total, namun perubahan EF total tersebut tiap tahunnya sangat kecil.
Hal ini dapat dilihat dari EF per kapita tiap wisatawan yang cenderung tetap dan
221


masih dibawah BC. Hasil perhitungan manual EF total minimal dapat menampung
jumlah wisatawan sebesar 21 887 orang, sedangkan perhitungan model dinamik
jumlah wisatawan dalam kurun waktu 10 tahun mendatang, Gugus Pulau Batudaka
dapat menampung sekitar 21 549 orang. TEF merupakan pendekatan yang digunakan
dalam menghitung kemapuan kawasan dalam menampung jumlah wisatawan di
gugus Pulau Batudakan berdasarkan biocapacity yang tersedia dan konsumsi terhadap
sumberdaya dalam satuan luas area baik di lahan daratan dan perairan per tahun untuk
rata-rata lama kunjungan 5 hari.

Gambar 59 Model dinamik jumlah wisatawan, EF dan BC

BC merupakan daya dukung ruang secara ekologis untuk menunjang tingkat
konsumsi dari wisatawan terhadap suberdya yang ada di Gugus Pulau Batudaka.
Pertambahan jumlah wisatawan yang mengunjungi kawasan tersebut setiap tahun
akan diikuti peningkatan EF dari pulau tersebut karena permintaan akan ruang.
Kondisi BC yang konstan, maka jumlah wisatawan setiap tahun akan bertambah
secara eksponensial hingga mencapai relatif konstan karena EF masih berada
dibawah BC dan bila EF melampaui BC menandakan kegiatan wisata tidak
berkelanjutan (unsustainable). Hal ini berarti Gugus Pulau Batudaka masih dapat
menerima kehadiran wisatawan dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu yang
lama.
222



5.6.2 Sub Model Perikanan
Sub model perikanan tersusun atas : sektor populasi, sektor produksi, dan
sektor ecological footprint. Diagram alir sub model perikanan tertera pada Gambar
60-62.
5.6.2.1 Sektor Populasi
Sumber daya manusia adalah seluruh kemampuan atau potensi penduduk
yang berada di dalam suatu wilayah tertentu beserta karakteristik atau ciri demografi,
sosial dan ekonominya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan.
Karakteristik demografi merupakan aspek kuantitatif sumberdaya manusia yang dapat
digunakan untuk menggambarkan jumlah dan pertumbuhan penduduk, penyebaran
dan komposisi penduduk. Parameter yang digunakan sub model populasi diestimasi
menggunakan data populasi pada Tabel 71.


Gambar 60 Diagram alir sektor populasi
223


Tabel 71 Parameter yang digunakan untuk sektor populasi penduduk

No Desa

Tahun
2004 2005 2006 2007 2008
1 Kulingkinari 910 945 924 930 987
2 Molowagu 1021 1.253 1.235 1.239 1197
3 Bomba 738 811 829 834 736
4 Tumbulawa 988 998 992 1.057 1214
5 Taningkola 1329 1. 386 1.375 1.371 1069
6 Bambu 1389 1.116 1.187 1.229 1268
7 Una-Una 1447 1.455 1.146 1.447 1370
8 Lembanya 459 489 513 510 572
9 Wakai 1989 2.232 2.324 2.355 2765
10 Tanjung Pude 385 388 397 572 592
11 Malino 286 345 381 364 379
12 Siatu 373 391 398 410 422
13 Kambutu 449 473 475 493 535
Jumlah 11763 12287 12476 12811 13106
Lahir 131 103 143 185 170
Mati 9 48 30 36 71
Emigrasi
533 237 365 331 333
Imigrasi
393 86 192 110 92
Laju kelahiran

0.0117
0.0031
0.0290
0.0143
Laju Kematian

Laju Emigrasi

Laju Imigrasi

Sumber :BPS (2004-2009), Analisis Data (2011)


5.6.2.2 Sektor Produksi

Estimasi kemampuan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka dalam menopang
kehidupan penduduknya, khususnya sumberdaya perikanan terbarui, dalam hal ini
produkivitas berhubungan dengan stok ikan yang dipengaruhi faktor alam dan
manusia (Adrianto dan Matsuda 2004). Perhitungan stok ikan di perairan Gugus
Pulau Batudaka (lokal) dan perairan Kabupaten Tojo Una-Una (regional)
membutuhkan data series (tahun 2007-2009) baik produksi ikan maupun data upaya
penangkapan (DKP Kec. Una-Una 2010; DKP Prov Sulteng 2010) yang dikumpulkan
selama penelitian sehingga diperoleh nilai perkiraan jumlah produksi dan jumlah
224



upaya penangkapan ikan. Estimasi potensi sumberdaya ikan hasil tangkapan lokal dan
regional dilakukan dengan cara menganalisis data total hasil tangkapan dan upaya
penangkapan ikan, serta perhitungannya terdapat pada Lampiran 11 dan 12. Adapun
diagram alir produksi lokal dan regional tertera pada Gambar 63.

Gambar 61 Diagram alir sektor produksi

Berdasarkan data hasil tangkap per unit usaha/CPUE dengan menggunakan
model Schunete dapat diestimasi parameter sektor produksi dan biomassa ikan
(Lampiran 12 dan 13) dihitung dengan model fungsi pertumbuhan ikan dari
Gompertz (Tabel 72).

225


Tabel 72 Parameter yang digunakan untuk sektor produksi

Parameter Produksi Lokal Produksi Regional
Laju pertumbuhan intrinsik (r) 0.365 0.043
Koefisien tangkap (q) 0.00001 0.00002
Daya dukung (K) 90 469 kg 1 071 ton
Biomassa ikan (X) 137 911 kg 12 863 ton
Sumber : Analisis Data (2011)

5.6.2.3 Sektor Ecological Footprint
Pada sektor ini, ecological footprint perikanan sebagai stok dan sebagai
variabel adalah konsumsi domestik, konsumsi ekspor dan konsumsi impor. Menurut
Folke (1996) pengertian konsumsi disini adalah total suplai atau produksi dari
konsumsi manusia dan limbah yang dihasilkan. Berdasarkan data dari BPS yaitu
jumlah penduduk dan ekspor ikan, dan konsumsi ikan per kapita dari DKP, namun
karena data impor tidak tersedia, maka dapat diestimasi menggunakan rumus ikan
impor (rumus 35), sehingga konsumsi riil dapat dihitung (Tabel 73). Diagram alir
sektor ecological footprint tertera pada Gambar 63.

Tabel 73 Estimasi konsumsi impor dan konsumsi riil di Gugus Pulau Batudaka

Tahun
Konsumsi
Aktual Loka1
1


(ton)
Penduduk
Konsumsi
Potensial
1

(ton)
Estimasi
impor
2
(ton)
Estimasi Impor
konsumsi dari hasil
tangkap
3
(ton)
Expor
4

(ton)
Konsumsi
Riil (ton)
2001 245 11325 253.68 9.06 11.51 2.53 254
2002 255 11346 256.87 1.59 2.02 0.10 257
2003 241 11710 264.65 24.01 30.49 10.70 260
2004 261 11592 261.75 0.46 0.59 4.80 257
2005 294 12287 301.03 6.76 8.58 7.80 295
2006 312 12476 323.63 11.35 14.42 5.70 321
2007 333 12811 362.30 29.21 37.10 4.04 366
2008 370 13206 395.92 26.15 33.21 9.00 394
Rata-Rata 288.90 12094.13 302.48 13.57 17.24 5.58 300.56
Keterangan : 1 Perhitungan berdasarkan data konsumsi ikan/kapita/tahun (DKP 2010)
2 IMt = (Konsumsi potensial Konsumsi Akttual) x Penduduk tahun t
3 Koefisien tangkap, 27% dari total produksi (Wada 2002)
4 Data ekspor ikan BPS Kab. Tojo Una-Una (2005, 2009)

226




Gambar 62 Diagram alir sektor ecological footprint

Hasil simulasi ecological footprint perikanan yakni populasi penduduk,
produktivitas tangkapan ikan dan EF perikanan tertera pada Tabel 74 dan Gambar 65.

Tabel 74 Proyeksi jumlah penduduk, produksi ikan, konsumsi domestik dan EF
perikanan

Tahun
Jumlah
penduduk
Produksi
lokal (ton)
Produksi
regional (ton)
konsumsi
domestik (ton)
EF Perikanan
(ha/kapita/th)
2010 13 500 307 4 545 0.02 0.02
2011 13 824 291 4 070 0.02 0.02
2012 14 156 277 3 645 0.02 0.02
2013 14 496 265 3 265 0.02 0.02
2014 14 843 254 2 925 0.02 0.03
2015 15 200 245 2 621 0.02 0.03
2016 15 565 236 2 349 0.02 0.03
2017 15 938 229 2 105 0.02 0.03
2018 16 321 222 1 887 0.02 0.03
2019 16 712 216 1 692 0.02 0.03
Final 17 113 0.03
Sumber : Hasil analisis (2011)
227



Gambar 63 Hasil simulasi EF perikanan


Hasil simulasi (Gambar 63) terlihat bahwa populasi penduduk di Gugus
Pulau Batudaka cenderung meningkat berdasarkan input (kelahiran dan emigrasi)
dan output (kematian dan imigrasi). Pada awal tahun simulasi, jumlah total penduduk
sekitar 13 500 jiwa dan pada 10 tahun kemudian menjadi 17 113 jiwa. Hasil simulasi
peningkatan jumlah penduduk diiringi penurunan laju konsumsi domestik dan sektor
produksi (lokal dan regional).

5.6.2.4 Penggambaran model konseptual
Model konseptual wisata-perikanan digambarkan dalam model dinamik
lengkap yang tertera pada Gambar 64 dan tren hasil simulasi tertera pada Gambar 65,
serta proyeksi jumlah wisatawan, EF wisata, jumlah penduduk, konsumsi domestik
dan EF perikanan pada Tabel 75.
228




Gambar 64 Model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka


Gambar 65 Model dinamik integrasi wisata-perikanan
Jml Wisatawan
Total BC ha
EF ha\cap\th
BC Energy ha
BC Buit up
BC Cropland
BC Pasture
BC Forest
BC sea space
YF Fishery
Exist sea area ha
YF Forest
exist f orest area ha
YF Pasture
exist pasture area ha
YF Cropland
Exist Crop area ha
Exist Builtup ha
YF Built up
Exist area ha
YF Energy
Foot Food & Fibre
cropland\ha\kap\th
Sea space ha\kap\th
f orest ha\kap\th
Pasture ha\kap\th
Lama wisata
f oot Energy ha\kap\th
kons Energy GJ\kap
Jml Energy GJ\ha\th
Foot Aktiv itas
Luas Area Div e
Luas Area Snork
Luas Wst Pantai
Foot Penginapan
Foot Builtup ha\kap\th
Foot Jalan
Luas Jalan ha
Luas Pelab
Foot Pelabuhan
Luas Penginapan ha
Total EF
Impor EF
Ekspor EF
Produksi Lokal
Konsumsi Domestik EF
Areal lokal
Data Ekspor
data domestik
data impor
produkai regional
Areal Regional
f aktor ekiv alen laut
EF Perikanan
Jml Penduduk
kelahiiran
Kematian
Imigrasi
Laju Kelahiran
Laju imigrasi
Laju Kematian
Emigrasi
Laju Emigrasi
Biomassa Ikan
Pertumbhan Marginal
produksi
Regional
Kematian 2
Laju pertmbuhan Intrinsik
Fraksi Kematian
Normal
Fraksi Tangkapan
Produksi Regional
per area
Area Fishing Ground
Regional
Koef isien Tangkap
Jumlah Trip
Rasio Biomassa Ikan
Day a DUkung
Biomassa Ikan 2
Pertumbhan Marginal 2
produksi Lokal
Kematian 3
Laju pertmbuhan Intrinsik 2
Fraksi Kematian
Normal 2
Fraksi Tangkapan 2
Produksi lokal
per area
Area Fishing Ground
Lokal
Koef isien Tangkap 2
Jumlah Trip 2
Rasio Biomassa Ikan 2
Day a DUkung 2
229


Tabel 75 Proyeksi jumlah wisatawan, EF wisata, jumlah penduduk, laju konsumsi
domestik dan EF perikanan

Tahun
Jumlah
wisatawan
EF wisata
(ha/tahun)
Jumlah
Penduduk
Laju
KonsumsiDomestik
(ton)
EF perikanan
(ha/th)
2010 3 000 4 177 13 500 0.02 0.02
2011 3 955 4 336 13 824 0.02 0.02
2012 4 751 4 518 14 156 0.02 0.02
2013 5 365 4 691 14 496 0.02 0.02
2014 5 805 4 844 14 843 0.02 0.03
2015 6 094 4 975 15 200 0.02 0.03
2016 6 251 5 086 15 564 0.02 0.03
2017 6 296 5 181 15 938 0.02 0.03
2018 6 247 5 262 16 321 0.02 0.03
2019 6 117 5 332 16 712 0.02 0.03
Final 5 917 17 113 0.03
Sumber : Hasil analisis (2011)

Hasil simulasi menunjukkan peningkatan penduduk dengan masuknya
wisatawan di Gugus Pulau Batudaka dengan penurunan laju konsumsi domestik yang
konstan. Integrasi EF wisata dan perikanan pada awal tahun simulasi, estimasi EF
perikanan atau kebutuhan sumberdaya perikanan membutuhkan area seluas 0.02
ha/tahun yang meningkat menjadi 0.03 ha/tahun pada akhir tahun simulasi. Dengan
asumsi produktivitas area laut hanya sebesar 8.2% (Pauly dan Christensen 1995;
Wackernagel and Rees 1996; Warren-Rhodes dan Koenig 2001) atau 214 ha, maka
konsumsi ikan di Gugus Pulau Batudaka mengalami surplus pada akhir tahun
simulasi dengan kebutuhan area sebesar 0.03 kali kebutuhan area laut produktif.
Hasil dinamik integrasi EF ini menunjukkan keberlajutan surplus ekologis
(0.03 kali dari kapasitas area tangkapan). Hal ini sejalan dengan perhitungan EF
secara statis bahwa masih terdapat ruang ekologis yang dapat dilakukan untuk
kegiatan pemanfaatan perikanan yakni pemanfaatan wilayah perairan untuk perikanan
yang rendah yaitu sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 0.3 ha/kapita untuk skala
regional. Hal ini menunjukkan bahwa Gugus Pulau Batudaka dapat menampung
wisatawan sebanyak maksimal 6 247 wisatawan pada tahun ke-7 dan pada akhir
230



tahun simulasi menjadi 5 917 wisatawan dengan sumberdaya yang ada dan
didukung kebutuhan area sumberdaya perikanan yang surplus, sebagai indikator
keberlanjutan bagi kegiatan wisata perikanan di kawasan tersebut.
Hasil simulasi integrasi wisata-perikanan pada akhir tahun tersebut
menghasilkan jumlah kunjungan wisatawan dan populasi penduduk pada akhir tahun
simulasi sebesar 23 030 kapita/tahun (4 326 wisatawan/tahun) dengan tren penurunan
wisatawan seiring dengan peningkatan populasi penduduk setelah tahun ke-7
simulasi. Penggunaan pendekatan kehati-hatian (precusionary approach) dalam
penggunaan sumberdaya yakni lahan potensial yang tersedia di Gugus Pulau
Batudaka (ruang untuk wisata 0.93 ha/tahun dan perikanan 0.03 ha/tahun), maka bila
dikaitkan dengan kebijakan pengelolaan dengan jumlah kunjungan wisatawan yang
belum melampai daya dukung kawasan maka kegiatan yang dapat dilakukan adalah
promosi dan meningkatkan atraksi wisata.

5.6.2.5 Verifikasi dan Validasi Model
Verifikasi dan validasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun
dengan cara yang benar dan sah sebagai perwakilan dunia nyata (Murthy et al. 1990).
Uji verifikasi dan validasi pada model integrasi wisata-perikanan dilakukan terhadap
struktur model integrasinya. Model dinamik kinerja integrasi wisata-perikanan
mengadopsi teori sistem penilaian kinerja pemanfaatan ruang untuk wisata
(Solarbesain 2009) dan perikanan (Adrianto dan Matsuda 2004) yang telah dikaji
secara akademis merupakan model yang dibuat melalui pengembangan dari beberapa
model sistem penilaian pemanfaatan ruang perairan secara spasial dan temporal
(Moffat 2000; Warren-Rhodes dan Koenig 2001; Adrianto dan Matsuda 2004). Oleh
karena itu validasi teoritis untuk model sistem penilaian kinerja pada penelitian ini
berdasarkan rujukan teoritis yang digunakannya.
Simulasi model ini bertujuan untuk memprediksi pemanfaatan ruang wisata
perikanan berdasarkan nilai variabel keadaan (state variable) stok dari data primer
dan sekunder. Model divalidasi dengan membandingkan perfomansi model dari hasil
analisis basis model dari beberapa level (stok) sumberdaya dengan hasil analisis data
231


pengamatan dan sekunder melalui pengujian secara statistik. Level sumberdaya yang
digunakan untuk validasi model adalah jumlah wisman dan jumlah penduduk.
Persyaratan statistik yang diuji adalah nilai (intercept), besaran koefisien
determinasi (R
2
), dan rata-rata nilai prediksi dari level (Y). Nilai statistik untuk uji
validasi model disajikan pada Tabel 76.

Tabel 76 Hasil analisis statistik berdasarkan persyaratan validasi

No. Jenis persyaratan statistik
Nilai hasil analisis dinamik
Nilai hasil analisis data
lapangan
Intercept R
2
Rataan
Y predik
Intercept R
2
Rataan Y
predik
1. Jumlah penduduk (X)
terhadap kunjungan
wisman (Y)
- 5 821 0.6565 5 436 - 11 688 0.9057 2 767
2. Jumlah penduduk dan
wisman (X) terhadap EF
wisata (Y)
3 061 0.8869 4 840 342 0.9401 3 396

Tabel 76 menunjukkan bahwa baik persyaratan nilai intercept maupun rata-rata
nilai prediksi level (kunjungan wisman dan EF wisata) umumnya menunjukkan nilai
yang relatif sama, kecuali pada nilai koefisien determinasi (R
2
) jumlah penduduk (X)
terhadap kunjungan wisman (Y) dari analisis data analisis dinamik lebih rendah
dibanding data lapangan. Perbedaan ini terkait dengan penggunaan data kunjungan
wisman` (Lampiran 9) menunjukan bahwa pada kondisi ril lapangan, variasi nilai
kunjungan wisman dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang tidak dimasukan dalam
model ini. Nilai intercept yang diperoleh relatif sama yakni tanda negatif untuk
hubungan jumlah penduduk (X) terhadap kunjungan wisman (Y) dan tanda positif
untuk jumlah penduduk dan wisman (X) terhadap EF wisata (Y) untuk seluruh
dimensi sehingga hasil analisis dalam penelitian ini dianggap valid. Model dinamik
integrasi wisata-perikanan yang dibuat mampu untuk melakukan sebuah proses
simulasi sebagai kajian model dunia abstrak mengikuti dari perilaku realitas dunia
nyata yang dikaji sehingga model dinamik integrasi wisata-perikanan tersebut telah
memenuhi prosedur verifikasi dan validasi model.


232

































233


6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka hal-hal yang dijadikan sebagai
kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
1 Pemanfaatan sumberdaya untuk wisata (selam, snorkeling) dan perikanan
(budidaya rumput laut) dilakukan berdasarkan kesesuaian temporal karena
kesesuaian ruangnya yang bersifat dinamik. Integrasi wisata-perikanan di
Gugus Pulau Batudaka dapat menampung sebanyak 21 887 wisatawan/tahun
yang memanfaatkan ruang untuk perikanan sebesar 0.04 ha/kapita (skala
lokal) dan 0.3 ha/kapita (skala regional) dan didukung hasil analisis HANNP,
CLSA dan valuasi ekonomi sehingga Gugus Pulau Batudaka dapat
dikembangkan menjadi kawasan wisata dan perikanan.
2 Keberlanjutan sistem sosial ekologi di kawasan ini dapat menampung
wisatawan rata-rata setiap tahun sebanyak 4 326 orang yang memanfaatkan
ruang untuk wisata (0.93 ha/tahun) dan ruang untuk perikanan (0.3 ha/tahun).

6.2 Saran
Saran untuk keberlanjutan pengelolaan kawasan ini adalah :
1 Perlu adanya perubahan zonasi di Gugus Pulau Batudaka berdasarkan
kebutuhan masyarakat, kesesuaian ruang dan daya dukung kawasan.
2 Pengembangan Gugus Pulau Batudaka sebagai kawasan wisata dengan
menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) dalam
pengelolaan sumberdaya, maka untuk meningkatkan jumlah kunjungan
wistawan dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi obyek wisata saat
ini (wisata selam, dan snorkeling) yang didukung oleh ketersediaan
infrastruktur penunjang melalui peningkatan atraksi wisata dan kegiatan
promosi.


234

































235


DAFTAR PUSTAKA

Adhiasto. 2001. Laporan penelitian mangrove di Kepulauan Togean. Conservation
International Indonesia Yayasan Pijak. Palu.
Adrianto, L. 2004. Reformasi pemikiran ekonomi : perlunya reintegrasi ilmu alam
dengan ilmu ekonomi. http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=4 (Diakses 18
Mei 2007)
Adrianto L, and Y. Matsuda 2004. Fishery Resources Appropriation in Yoron Island,
Kagoshima Prefecture, Japan : A Static and Dynamic Analysis. Kagoshima
University. Japan.
Adrianto, l., 2005. Konsep dan pengertian ekonomi sumberdaya pesisir dan Laut.
Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Adrianto L. 2005. Analisis Sosial Ekonomi dalam Strategi Konservasi Sumberdaya
Pesisir dan Laut: Sebuah Pendekatan (Coastal Livelihood Analysis). Working
Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Adrianto, L. 2006. Sinopsis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. Working Paper.
Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. IPB, Bogor.
Adrianto, L and N. Aziz. 2006. Valuing the social-ecological interactions in coastal
zone management : a lesson learned from the case of economic valuation of
mangrove ecosystem in Barru Sub-District, South Sulawesi Province. Seminar
in Social-Ecological System Analysis. 12 June 2006. ZMT, Bremen
University, Bremen.
Adrianto, L. 2007. Teknik pengambilan data untuk Contingent Valuation Method.
Modul yang disampaikan pada kegiatan pelatihan teknik dan metode
pengumpulan data valuasi ekonomi. Bogor, 05-09 Maret 2007. Kerjasama
PKSPL-IPB dengan BAKOSURTANAL, Bogor.
Adrianto, L dan Y. Wahyudin, 2007. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Perairan.
Makalah Seminar Kelautan di Makassar 7-8 Juni 2007.
Allison, E.H., and F. Ellis, 2001. The livelihoods approach and management of small-
scale fisheries. Marine Policy, 25 (5):377-388
Anggadiredja, J.T., 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Aslan, L.M., 1988. Budidaya Rumput Laut. Kanisius Yogyakarta.
Ayres, R.U. and L.W. Ayres, 2002. Handbook of Industrial Ecology. Cheltenham,
UK and Lyme, US. Edward Elgar.
Ayres, R.U., JC.J.M van den Bergh, 2000. Weak versus strong sustainability :
economic, natural science and consilience. Environmental Ethichs,
forthcoming.
Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una 2007. Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Tojo Una-Una. Ampana.
Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una 2007. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Kepulauan Togean. Ampana.
236



Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una. 2009. Survei sosial ekonomi daerah
Kabupaten Tojo Una-Una (SUSEDA) 2009. Bappeda & PM Kabupaten Tojo
Una-Una, Ampana.
Barton, D.N. 1994. Economic factors and valuation of tropical coastal resources.
University of Bergen, Norway.
Bass, S and B. Dalal-Clayton, 1995. Small Island States and Sustainable
Development: Strategic Issues and Experience. Environmental Planning
Issues, 8:35-42
Bengen, D.G., 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor.
Bengen, D.G., 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan Laut.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.
Bengen, D.G., 2002. Pengembangan konsep daya dukung dalam pengelolaan
lingkungan pulau-pulau kecil. Laporan Akhir Kerjasama antara Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, IPB, Bogor.
Bengen, D.G. dan A.S.W. Retraubun, 2006. Menguak realitas dan urgensi
pengelolaan berbasis eko-sosio sistem pulau-pulau kecil. Pusat Pembelajaran
dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor, Indonesia.
Bergh, J.C. and J.M. van den, 2001. Themes, Approaches, and differences with
environmental economics. Ecological Economics : rev version. p 1-38
Berkes, F and C. Folke, 2002. Back to The Future : Ecosystem Dynamic and Local
knowledge. In Panarchy understanding transformations in Human and
Ntaural system. (Gunderson and Holling eds). Island Press, Washington-
Cavelo-London. p 121-146
Berkes. F, and C.S.Seixas, 2005. Building resilience in lagoon social-ecological
systems: a local-level perspective. Ecosys. 8:967-974
Berkes, F., 2007. Understanding uncertainty and reducing vulnerability : lessons from
resilience thinking. Springer Science Nat Hazards. 41:283295
Beller, W., 1990. How to sustain a small island. In : Beller, W., P. dAlaya dan P.
Hein (eds.) : Sustainable developtment and environmental management of
small islands. Man and Biosphere Series : Vol 5 UNESCO and Parthenon
Group, Paris. p:15-22
Bin, C., H. Hao, Y. Weiwei, Z. Senlin, W. Jinkeng, J. Jinlong, 2009. Marine
biodiversity conservation based on integrated coastal zone management
(ICZM) a case study in Quanzhou Bay, Fujian, China. Ocean & Coastal
Management 52:612619
BKSDA-Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah, 2006. Rencana
Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Kepulauan Togean 2005-2030.
BKSDA Sulteng Dirjen Perlindungan Konservasi Alam Departemen
Kehutanan, Palu.
BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Poso, 2004. Kabupaten Poso dalam Angka
2003. Poso.
237


BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2004. Laporan Tahunan.
Ampana.
BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2004-2008. Kecamatan Una-Una
dalam Angka. Ampana.
BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2009. Kabupaten Tojo Una-Una
dalam Angka 2008. Ampana.
BRPL-Balai Riset Perikanan Laut, 2005. Teluk Tomini: ekologi, potensi sumberdaya,
profil perikanan dan biologi beberapa komoditi yang penting. Pusat Riset
Perikanan Tangkap. Jakarta.
Briguglio, L., 1995. Small island state and their economic vurnerabilities. World
Development 23:1615-1623.
BRKP-Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2004. Profil sumberdaya kelautan dan
perikanan Teluk Tomini. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta
Bonham GF, and Carter, 1994. Geographic information system for geoscientist;
modeling with GIS. Pergamon. Ottawa, Ontario, Canada.
Bowen, R.E. and C. Riley, 2003. Socio-economic indicators and integrated coastal
management. Ocean & Coastal Management 46:299312.
Brotowidjoyo, M.D., D. Tribowo, dan E. Mubyarto, 1995. Pengantar Lingkungan
Perairan dan Budidaya Air, Liberty, Yogyakarta.
Brower, J., Z. Jerold and C. Von Ende, 1990. Field laboratory and method for
general ecology. 3
th
ed. W.m.C. Brow Publishers, USA.
Casagrandi, R. and S. Rinaldi. 2002. A Theoretical approach to tourism
sustainability. Conservation. Ecology, 6 (1):13-21.
Chambers, N., C. Simmons and M. Wackernagel, 2000. Sharing natures interest :
ecological footprint as an indicator of sustainability. Earthscan Publicaton,
London.
Cholik, F., 2005. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia, Central Research
Institute for Fisheries, PO Box 6650 Slipi, Jakarta.
Chua, T. E., 1992. Integrative Framework and Methods for Coastal Area
Management. ICLARM, Manila.
Chua, T.E., 1993. Essential Elements of Integrated Coastal Zone Management. Ocean
& Coastal Management. ELsevier Science Publishers Ltd, England Printed in
Northern Ireland.
Cicin-Sain, B., P. Bernal, V. Vandeweerd, S. Belfiore and K. Goldstein, 2002. A
guide to oceans, coasts and islands at the World Summit on sustainable
development. Integrated Management from Hilltops to Oceans. World
Summit on Sustainable Development Johannesburg, South Africa August 26-
September 4.
CII-Conservation International for Indonesia, 2005. Konservasi berbasis masyarakat
melalui daerah perlindungan laut di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.
Palu.
CII-Conservation International for Indonesia, 2006. Laporan monitoring dan evaluasi
kondisi biologi daerah perlindungan laut berbasis masyarakat di Kabalutan
dan Teluk Kilat Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Palu
238



CIT-Coast Information Team, 2004. Ecosystem Based Management Planning
Handbook. Cortex Consultants Inc., 3A1218 Langley St. Victoria.
Clark, C. W., 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley
and Sons. Toronto Canada.
Clark, J. and D. Carney, 2008. Sustainable Livelihoods Approaches What have we
learnt?: A review of DFIDs experience with Sustainable Livelihoods. ESRC
Research Seminar Paper, London.
Costanza, R., J.Cumbeland, T. Maxwell, 1997. An Introduction to Ecological
Economics. St.Lucie, Boca Raton, Florida
Costanza, R., 2001. Vision, values, valuation, and the need for an ecological
economics. BioScience 51 (6):459-468
Costanza, R., 2009. A new development model or a full world Development 52
(3):369376
Dahl, C., 1997. Integrated coastal resources management and community
participation in a small isl setting. Ocean & Coastal Management, 36 (1-
3):23-45
Dahuri, R., 1998. Pendekatan ekonomi-ekologi pembangunan pulau-pulau kecil
berkelanjutan. Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan pulau-
Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta, 7-10 Desember 1998. Kerjasama
DEPDAGRI, TPSA, BPPT, CRMP (USAID), PKSPL-IPB, Bogor. Hal : B32-
B34.
Dahuri, R J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2003. Pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Dahuri, R., 2003. Keanekaragaman hayati laut aset pembangunan Indonesia
berkelanjutan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Daniel, M., 2003. Metode penelitian sosial ekonomi. Dilengkapi beberapa alat
analisa dan penuntun penggunaan. PT Bumi Aksara, Jakarta.
Damanik, R., B. Prasetyamartati dan A. Satria, 2006. Menuju konservasi laut yang
pro rakyat dan pro lingkungan. WALHI, Jakarta.
Davis D, and C. Tisdell, 1995. Recreational scuba-diving and carrying capacity in
marine protected areas. Ocean and coastal Management, 26 (1):19-40.
Dharmawan, A.H., 2006. Pendekatan-Pendekatan Pembangunan Pedesaan dan
Pertanian: Klasik dan Kontemporer. Makalah. Apresiasi Perencanaan
Pembangunan Pertanian Daerah bagi Tenaga Pemandu Teknologi Mendukung
Prima Tani, Hotel Jaya-Raya, Cisarua Bogor, 19-25 November 2006.
Disbudpar-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tojo Una-Una, 2006.
Informasi obyek dan daya tarik wisata Kabupaten Tojo Una-Una. Ampana.
DKP-Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001. Pedoman umum pengelolaan
pulau-pulau kecil berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Ditjen Pesisir dan
Pulau Pulau Kecil, Jakarta.
DKP-Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004. Pedoman Umum Pengelolaan
Terumbu Karang. DKP Coral Reef Rehabilitation and Management Program.
Jakarta.
DKP-Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Selayar, 2006. Studi Pengembangan
mata pencaharian alternatif. DKP Pemkab Selayar-Coremap II Kab. Selayar.
239


DKP-Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tojo Una-Una, 2005. Profil investasi
perikanan dan kelautan Kabupaten Tojo Una-Una, Ampana.
DKP-Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah, 2010. Laporan
statistik tangkap 2003-2009. Palu.
DKP Unit Pelaksana Teknis Kecamatan Una-Una, 2010. Laporan data potensi
perikanan tangkap dan produksi kelautan dan perikanan. Wakai.
Djojomartono, M., 1993. Pengantar Umum Analisis Sistem. Pelatihan Analisis
Sistem dan Informasi Pertanian. Kerjasama BPP Teknologi-Fakultas
Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Eidman, E., 1991. Pengaruh hukum adat terhadap sistem bagi hasil perikanan :
Kasus di Muara Angke. Tesis. IPB, Bogor.
Effendie, I., 2003. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Elliot, G., B. Mitchell, B. Wiltshire, A. Manan and S. Wismer, 2000. Community
participation in marine protected area management : Wakatobi National Park,
Sulawesi, Indonesia. Coastal Management, 29:295316
Emmerton L., 2001. Community-Based Incentives for Nature Conservation. IUCN.
English S, C Wilkinson, V Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville.
Erb, K-H., V. Gaube, F. Krausmann, C. Plutzar, A. Bondeau, H. Haberl, 2007. A
comprehensive global 5min resolution land-use dataset for the year 2000
consistent with national census data. Journal of Land Use Science 2 (3):191-
224
Erb, K-H., E., F. Krausmann, V. Gaube, S. Gingrich, A. Bondeau, M. Fischer-
Kowalski and H. Haberl, 2009. Analyzing the global human appropriation of
net primary production-processes, trajectories, implications. An introduction.
Ecological Economics 69:250259
Eriyatno, 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB
Press. Bogor.
Ewing, B., S. Goldfinger, M. Wackernagel, M. Stechbart, S. M. Rizk, A. Reed, and
Justin Kitzes, 2008. The Ecological Footprint ATLAS 2008. Global
Footprint Network, Oakland.
EUROSTAT, 2000. Towards environmental pressure indicator for the EU. Office
for Official Publications of the European Communities, Luxembourg.
Fachrul, M.F., 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
FAO-Food and Agriculture Organisation of the United Nations, 1995. Code of
conduct for fisheries. Rome.
FAO-Food and Agriculture Organisation of the United Nations, 1996. Integration of
fisheries into coastal area management. Fishery Development Planning
Service, Fisheries Department. FAO Technical Guidelines for Responsible
Fisheries. No. 3. Rome.
Fauzi, A., 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.


240



Ferdaa, Z. and M.W. Beck, 2007. Putting life into ecosystem-based management
theory : a planning application using spatial information on marine
biodiversity and fisheries. Proceedings of Coastal Zone 07 July 22 to 26, 2007
Portland, Oregon.
Farsari, Y., and P. Prastacos, 2001. Sustainable tourism indicators for Mediterranean
established destinations. Tourism Today, 1 (1):103-121
Fischer-Kowalski, M. and H. Haberl, 1993: Metabolism and Colonization. Modes of
Production and the Physical Exchange between Societies and Nature. In:
Innovation -The European Journal of Social Sciences 6 (4):415-442
Fischer-Kowalski, M., C. Amann, Beyond IPAT and K. Curves, 2001. globalization
as a vital factor in analysing the environmental impact of socio-economic
metabolism, Population and Environment, 23 (1):42-50
Folke, C., Carpenter, S.R., Walker, B.H., Scheffer, M., Elmqvist, T., Gunderson,
L.H., Holling, C.S., 2002. Regime shifts, resilience and biodiversity in
ecosystem management. Annual Review in Ecology, Evolution and
Systematics 35:557581
Forrester, JW., 1994. System Dynamics, System Thinking, and Soft OR. System
Dinamic Review, 10 (2):254-256
Gaspersz, V., 2000. Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ghina, F., 2003. Sustainable development in small islan developing : The case of the
Maldvies. Environment, Development and Sustainability 5:139165
Gossling, S., C. B. Hansson, O. Horstmeier, and S. Saggel, 2002. Ecological footprint
analysis as a tool to assess tourism sustainability. Ecological Economics 43:
199-211
Grant, W.E., E.K. Pedersen, and S.L. Marin, 1997. Ecology and natural resource
management system analysis and simulation. John Willey & Sons Inc, New
York, Singapore, Toronto.
Gulland, J.A., 1991. Fish Stock Assessment. A. Manual of Basic Methods. John
Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapure Gulland,
J.A., 1991. Fish Stock Assessment. A. Manual of Basic Methods. John
Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapure.
Gunderson L. H., C. S. Holling, and S. S. Light, 1995. Barriers and bridges to the
renewal of ecosystems and institutions. Columbia University Press, New
York.
Gunn, C.A., 1993. Tourism planning. Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Taylor
& Francis Publisher.
Hall, M.C., and A. A. Lew (eds.), 1998: Sustainable Tourism: A Geographical
Perspective. Harlow: Longman.
Hall, M.C., 2001. Trends in ocean and coastal tourism: the end of the last frontier?
Ocean & Coastal Management, 44:601618
Hardjowigeno, S., Widiatmaka, A.S., Yogaswara, 2001. Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor
241


Haberl, H., E. Karl-Heinz, F. Krausmann. 2001. How to calculate and interpret
ecological footprints for long periods of time : the case of Austria 1926-1995.
Ecological Economics 38:25-45
Haberl, H., M. Wackernagel, F. Krausmann, Erb. K-H, C. Monfreda. 2004.
Ecological footprints and human appropriation of net primary production: a
comparison. Land Use Policy 21:279288
Hehanusa, P.E., 1993. Morphogenetic classification of small islands as a basic for
water resources planning in indonesia, Prog. Reg. Work, on Small Island
Hydrology. UNESCO-ROSTSEA, RIWRD-LIPI and Batam Industrial
Development Authority, Jakarta.
Holling, C.S., 1986. The resilience of terrestrial ecosystems: local surprise and global
change. In : Clark, WC, Munn RE (eds) Sustainable development of the
biosphere. Cambridge University Press, Cambridge.
Holling, C. S., and G. K. Meffe, 1996. Command and control and the pathology of
natural resource management. Conservation Biology 10:328-337
Holling, C.S., 2001. Understanding the Complexity of Economic, Ecological, and
Sosial Systems. Ecosystem (2001) 4:390-405
Hutabarat A, F. Yulianda, A. Fahrudin, S. Harteti, dan Kusharjani, 2009.
Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu. Edisi I Pusdiklat Kehutanan,
Deptan, SECEN-KOREA International Cooperation Agency, Bogor.
IUCN-International Union fo The Conservation`of Nature, 1991. Caring for the
earth : a strategy for sustainable living. IUCN, UNEP and WWF (United
Nation Environment Programme and World Wide Fund for Nature) Gland and
Cambridge.
IUCN-Internacional Union fo The Conservation`of Nature, 1994. United Nation list
of national park and protected area. Switzerland : IUCN Gland and
Cambridge.
Jones, GP, I.M. Mark, S. Maya dan V.E. Janelle, 2004. Coral Decline Threatens
Fish Biodiversity in Marine Reserves. Proceedings of the National Academy
of Sciences of the United States of America 101(21):82518253
Kay, R., and J. Alder, 2005. Coastal planning and management. E & FN Spon,
London and New York.
Kaly, U.L., C.R. Pratt and J. Mitchell, 2004. The environmental vulnerability index
(EVI) 2004. SOPAC Technical Report 384.
Kasim, H., 2007. Analisis pengaruh mutu layanan kepariwisataan terhadap loyalitas
wisatawan di kawasan Kepulauan Togean. Tesis. Program pascasarjana
Universitas Tadulako. Palu.
Kasnir, M., 2010. Penatakelolaan minawisata bahari di Kepulauan Spermonde
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Propinsi Sulawesi Selatan. Disertasi.
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A.
Triswanto, Yunasfi dan Hamzah, 2005. Teknik Rehabiliasi Mangrove.
Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Kusumastanto, T., 2004. Konsep pengelolaan pesisir dan laut pasca tsunami Aceh.
Paper disampaikan pada Working Group for Aceh recovery, IPB.
242



Laapo A., A. Masyahoro, dan J. Nilawati, 2007. Estimasi potensi ekonomi
sumberdaya perikanan tangkap di perairan kab. Tojo Una-Una. Jurnal
Agroland 14(2):140-144
Laapo, A., 2010. Optimasi pengelolaan ekowisata bahari pulau-pulau kecil (Kasus
gugus pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean). Disertasi. Sekolah
Pascasarjana IPB, Bogor.
Lenzen M, and S.A.Murray, 2001. A modified ecological footprint method and its
application to Australia. Ecol. Econ. 37:229-255
Levina, HG., 1984. The Use the Seaweeds for Monitoring Control Water Alga as
Ecological Indicator, Academic Press London.
Li Peng and Y. Guihua, 2007. Ecological footprint study on tourism itinerary
products in Shangri-La, Yunnan Province, China. Acta Ecologica Sinica 27
(7):2954-2963
LP3L-Lembaga Pengkajian Pengembangan Pesisir dan Laut Talinti, 2004. Selayang
pandang gambaran umum Kepulauan Togean. Dinas Perikanan dan
Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu.
Lyndhurst, B., 2003. Londons ecological footprint a review. GLA Economics.
Greater London Authority, London.
Lyzenga, D.R., 1978. Passive Remote-Sensing Techniques for Mapping Water Depth
and Bottom Features. Applied Optics, 17:379-383
Manaf, F., 2007. Kebijakan lahirnya TNKT dinilai tak populis.
http://www.alamsulawesi.net/news.php?hal=1&id=173 (Diakses 25 Januari
2008)
Mennecke, B.E., 2000. Understanding the Role of Geographic Information
Technologies in Business: Applications and Research Directions. Journal of
Geographic Information and Decision Analysis, 1 (1):44-68
Manafi, M.R., 2010. Rancangbangun Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis
Pemanfaatan Ruang (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi).
Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Martinez-Alier, J., 2005. Social metabolism and ecological distribution conflicts.
Australian New Zealand Society for Ecological Economics, Massey
University, Palmerston North.
Martinez-Alier, J., 2008. Social Metabolism and pattern material use Mexico, South
America and Spain. Thesis. ICTA, UAB Barcelona.
Masyahoro, A., I. Jaya, dan D. Manurung, 2004. Aplikasi model surplus produksi
dalam pendugaan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan
Kabupaten Parigi Moutong, Teluk Tomini. Agroland 11 (3):289-297
Mattei, F.E.E., 2007. Capacity Building Workshop on Problem Analysis and
Creative System Modelling. Yaella Depietri, Alessandra Sgobbi, NetSyMod
MEA, 2005. Millennium Ecosystem Assessment Synthesis Report, 2005.
www.millenniumassessment.org (Diakses 25 Januari 2008)
MPP-EAS, 1999. Manual on economic instrumen for coastal and marine resource
management. GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and
Management of Marine Pollution in the East Asian Seas, Quezon City
243


Moberg, F., and C. Folke, 1999. Ecological good and services of coral reef
ecosistems. Ecological Economic. 29:215-233
Moffat, I., 2000. Ecological footprint and sustainable development. Ecological
Economic 32 (3):359-362
Moffat, I., N. Hanley, and M.D. Wilson, 2001. Measuring and modeling sustainable
development. New York: Parthenon.
Moleong, L.J., 2005. Metodologi penelitian kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Murthy, D.N.P., N.W. Page, and E.Y.Rodin, 1990. Mathematical Modelling.
Pergamon Press, New York.
Nugroho, I., 2004. Ecotourism. Buku Ajar. Program Studi Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Widyagama, Malang.
Nganro, N.R. dan G. Suantika, 2009. Urgensi Ecosystem Approach dan pengelolaan
pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Solusi
Kehidupan Bangsa Indonesia Kedepan, 24-25 Juli 2009. Makalah Round
Table Discussion Majelis Guru Besar - ITB, Bandung.
Nybakken, J., 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT.
Gramedia Jakarta. Penterjemah Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M.
Hutomo dan S. Sukardjo Okey, T.A., S. Banks, A.F. Born, R.H. Bustamante,
M. Calvopia, G.J. Edgar, E. Espinoza, J.M. Faria, L.E. Garske, G.K. Recke,
S. Salazar, S. Shepherd, V. Toral-Granda, P. Wallem, 2004. A trophic model
of a Galpagos subtidal rocky reef for evaluating fisheries and conservation
strategies. Ecological Modelling 172:383401
Nikijuluw, V.W.H., 2001. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta
Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir Secara Terpadu. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu.
Proyek Pesisir, Hotel Permata, Bogor, 29 Oktober 2001. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.
Niu, X., R. Ma, T. Ali, and R. Li, 2005. Integration of Mobile GIS and Wireless
Technology for Coastal Management and Decision-Making Photogrammetric
Engineering & Remote Sensing 71(4):453459
Ongkosongo, O.S.R. dan Suyarso, 1989. Pasang-Surut. P3O-LIPI. Jakarta
Ongkosongo, O.S.R., 1998. Permasalahan dan pengelolaan pulau-pulau kecil.
Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di
Indonesia. Jakarta, 7 -10 Desember 1998. Kerjasama DEPDAGRI, TPSA,
BPPT, CRMP, PKSPL-IPB, Bogor.
Orams, M.B., 1999. Marine tourism, development, impacts and management.
London. Routledge.
Ostrom, E., W. Reid, J. Rockstrm, H. Savenije and U. Svedin, 2002. Resilience and
sustainable development : building adaptive capacity in a world of
transformations. Scientific Background Paper on Resilience for the process of
the World Summit on Sustainable Development. The Environmental Advisory
Council to the Swedish Government.

244



Pariwono, J.I., 1997. Dinamika Perairan Pantai di Daerah Laut dan perikanan
(pesisir) Mangrove. Makalah. Pelatihan dan Pengembangan Ekosistem
Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Proyek Pengembangan Pusat
Studi Lingkungan Dirjen Dikti Depdikbud, Malang.
Patterson, T., T.Gulden, K. Cousin, dan E. Kraev, 2004. Integrating Environmental,
Social and Economic System: A Dynamic Model of Tourism in Dominica.
Ecological Modeling 175:121-136
Pauly, D. and V. Christensen, 1995. Primary production required to sustain global
fisheries. Nature 374:255-257
Pinter, L., D.R. Cressman, and K. Zahedi, 1999. Capacity Building fot Integrated
Environmental assessment and Reporting: Trainning Manual. UNEP, IISD
and Ecologistics International Ltd.
Rais, J., B. Sulistiyo, S. Diamar T. Gunawan, M. Sumampouw, T.A. Soeprapto, I.
Suhardi, A. Karsidi dan M.S. Widodo, 2004. Menata ruang laut terpadu. PT.
Pradnya Paramita, Jakarta.
Richards, P.R., 1998 Manual of Standard Operating Procedures for Hydrometric
Surveys in British Columbia Resources Inventory Committee. BC-Canada
RIVM, 1995 A General Strategy for Integrated Environmental Assessment at the
European Environmental Agency. Bilthoven.
Ruslan, D., 2005. Model analisis ekonomi dan optimasi pengusahaan sumberdaya
perikanan. Jurnal Sistem Teknik Industri 6 (3):48-53
Sahetapy, D., dan J. Manupputy, 2003. Komposisi, kemiripan dan status terumbu
karang Taman Wisata Alam Laut (TWAL) 17 Pulau Riung di pesisir utara
Flores Tengah, Nusa tenggara Timur. Ichthyos 2 (2):83-88
Saragih, S., J. Lassa, dan A. Ramli, 2007. Kerangka penghidupan berkelanjutan-
sustainable livelihood framework. Hivos Aceh Program, Banda Aceh.
Saveriades A., 2000. Establishing the social tourism carrying capacity for the tourist
resorts of the east coast of the Republic of Cyprus. Journal of Tourism
Management, 21:147-156
Seidl, I., and C. Tisdell, 1999. Carrying capacity reconsidered: from Malthus
population theory to cultural carrying capacity. Ecological Economics,
31:395408
Sevilla, C.G., PG. Twila, R.P. Bella and U.G. Gabriel, 1993. Pengantar metode
penelitian (terjemahan). Universitas Indonesia, Jakarta.
Shewchuck, M., 2007. Developing An Ecosystem Approach. United Nations.
Sidiyasa, K., 2000. Laporan survey vegetasi dan tumbuhan di Kepulauan Togean,
Sulawesi Tengah. Wanariset Samboja (tidak dipublikasikan).
Smith, L.E.D., S.N. Khoa and K. Lorenzen, 2005. Livelihood functions of inland
fisheries: policy implications in developing countries. Water Policy 7:359
383
Sobari, M.P., 2007. Teknik pengambilan data untuk Travel Cost Method. Modul
kegiatan pelatihan teknik dan metode pengumpulan data valuasi ekonomi,
Bogor, 05-09 Maret 2007. Kerjasama PKSPL-IPB dengan
BAKOSURTANAL.
245


Soeratno dan L. Arsyad, 1993. Metodelogi penelitian untuk ekonomi dan bisnis. Unit
Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.
Yogyakarta.
Solarbesain, S., 2009. Pengelolaan sumberdaya pulau kecil untuk ekowisata bahari
berbasis kesesuaian dan daya dukung (Studi kasus Pulau Matakus, Kabupaten
Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku) Tesis. IPB, Bogor.
Subani W, dan H.R. Barus, 1989. Alat Penangkapan ikan dan udang laut di
Indonesia. Ed Khusus Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
Sukirno, S., 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi. Edisi Ketiga. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Supriharyono, 2007. Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Djambatan, Jakarta.
Sunarto, 1998. Perencanaan dan Pengembangan Wisata Sungai, Danau dan Pantai.
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Tai, Y. Z., M.N. Kusairi, Ishak H.A., R.A. Mustapha and Y. Matsuda, 2001. Valuing
fisheries resources Change in The Straits of Malacca : Resources accounting
approach. Working Paper. University of Putra Malaysia, Kuala Lumpur.
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji dan M.K. Moosa, 1997. The ecology of Indoneia
seas. Part 1-2. Periplus Editions, Singapore.
Turner, R.K. and W.N. Adger, 1995. Coastal zone resources assessment guidelines.
LOICZ Reports & Studies No. 4. Manila.
Turner, R.K., R. Brouwer, S. Georgiou and I. J. Bateman, 2000. Ecosystem functions
and services : an integrated framework and case study for environmental
evaluation. The Centre for Social and Economic Research on the Global
Environment (CSERGE),UK.
Yoeti, O,A., 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Yudasmara, G.A., 2010. Model pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau
Menjangan Bali Barat. Disertasi. IPB, Bogor.
Yulianda, F., 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya
pesisir berbasis konservasi. Makalah. Seminar Sains 21 Pebruari 2007.
Departemen MSP FPIK IPB, Bogor
Yulianda, F., A. Fachrudin, A.A. Hutabarat dan Kusharjani. 2009. Ekologi
Ekosistem Perairan. Pusdiklat Kehutanan-DEPHUT RI, SECAM-Korea
International Cooperation Agency, Bogor.
Yusuf, S and G.R. Allen, 2001. Condition of Coral Reefs in the Togean and Banggai
Islands, Sulawesi, Indonesia. In : A Marine Rapid Assessment of the Togean
and Banggai Islands, Sulawesi, Indonesia (G.R. Allen and S.A. McKenna
(eds.). Conservation International Center for Applied Biodiversity Science
Department of Conservation Biology, Washington.
US EPA-United States Environmental Protection Agency, 1973. Water quality
criteria 1992. EPA R3-73-033
Vallega A., 2001. Sustainable ocean governance a geographical perspective.
(Ocean Management and Policy Series). Routledge. London
Wallace, C.C., 1999. The Togian Islands: coral reefs with a unique coral fauna and an
hypothesised Tethys Sea signature. Coral Reefs 18:162
246



WALHI, 2006. CO-Management : memanipulasi legitimasi rakyat atas sumberdaya
pesisir dan laut (Diakses 25 Januari 2008)
http://www.walhi.or.id/kampanye/pela/0603_comanajemen_ps/
Wackernagel, M., and W. Rees, 1996. Our ecological footprint. Reducing human
impact on the earth. Gabriola Island, BC: New Society Publishers.
Wackernagel, M., and D. Yount, 2000. Footprint for sustainability : the next steps.
Environmental Development an Sustainability 2:21-42
Wackernagel, M., 2001. Using ecological footprint analysis for problem formulation,
policy development and communications. Advancing sustainable resource
management. Oakland, USA www.rprogress.org (Diakses 25 Januari 2008)
Warren-Rhodes, K., and A. Koenig, 2001. Ecosystem appropriation by Hong Kong
and its implication for sustainable development. Ecological Economic 39:
347-359
Weaver, D.B., 2001. Ecotourism as mass tourism: contradiction or reality? Hotel and
Restaurant Administration Quarterly 42 (2):104-112
Wetlands, 2009. Menghijaukan tambak-tambak di Aceh dengan mangrove:
menyelamatkan pesisir. Green Coast for nature and people after tsunami.
Http://www.wetland.or.id (Diakses 2 Januari 2010)
Wijaya, N.I., 2007. Analisis kesesuaian lahan dan pengembangan kawasan perikanan
budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur. Tesis. IPB, Bogor.
Wong, P.P., 1998. Coastal tourism development in Southeast Asia : relevance and
lessons for coastal zone management. Ocean & Coastal manag. 38:89-109
Wong, P.P., 1991. Coastal tourism in Southeast Asia. ICLARM, Education Series 13,
Manila.
Wood, E.M., 2002. Ecotourism Principles, Practices and Policies for Sustainability.
United Nations environment Programme, Paris.
WTO-World Tourism Organization, 1992. Guidelines : Development of National
Park and perotected area. Madrid.
WTO-World Tourism Organization, 1994. National and Regional Tourism Planning:
Methodologies and Case Studies, World Tourism Organisation, Madrid.
WWF, 2008. Guidebook to the national footprint accounts 2008. Global Footprint
Network, Oakland.
Zamani, N.P., Jonson L. Gaol, H. Madduppa, R.E. Arhatin, K.S. Putra, M. Khazali,
K. Anwar, dan L. Zulkah, 2007. Profil sumberdaya pesisir Kepulauan
Togean. Conservation Internasional Indonesia, Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Pemerintah
Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Sulawesi Tengah, Taman Nasional
Kepulauan Togean.
Zatnika, A., 1985. Uji Coba Budidaya Rumput Laut di Nusa Dua Bali. Laporan
Penelitian. BPPT. Jakarta.

247



Lampiran 1 Produksi ikan di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton)

No
Nama
Indonesia
Nama Inggris Nama Ilmiah SA

2005 2006 2007 2008
1 Cumi Squid (Common squid) Loligo spp 1 3.2 14.10 13.16 13.10 53.50
2 Gurita Octopuses Octopus
1 3.2
10.30 9.31 9.30 4.90
3 Kepiting bakau Mud carb Scylla serata
2 2.4
2.50 2.52 2.50 2.00
4 Udang Barong Spiny Lobster Penulirus spp
1 2.6
0.40 0.42 0.40 0.40
5 Teripang Sea cucumber Stichopus spp
2 2.4
36.90 35.07 34.90 1.50
6 Alu Alu Obtuse barracuda (Great barracuda) Sphyraena spp (Sphyraena barracuda)
2 2.8
19.10 20.80 18.10 0.00
7 Bawal Hitam Black pomfret Formio niger (Parastromateus niger)
2 2.8
1.20 1.36 1.20 10.00
8 Bawal Putih White pomfret (Silver pomfret) Pampus argenteus
2 2.8
1.00 1.20 1.00 11.50
9 Belanak
Mangrove mullets (Blue-spot mullet, Blue-
tail mullet)
Mugil cephalus (Valamugil seheli)
2 2.8
4.40 5.04 4.40 0.00
10 Biji Nangka Yellow-stripe goatfish) Mullidae (Upeneus vittatus)
2 2.8
11.50 12.08 10.50 0.00
11 Cakalang Skipjack tuna, Striped tuna Katsuwonus pelamis
1 4.0
510.70 548.64 477.70 3000.00
12 Cucut Dog fish, shark Carcharhinida,Scyliohinidae,
1 2.8
10.10 10.48 9.10 9.05
13 Daun Bambu Queen fishes Chorinemus spp
2 2.8
12.70 13.44 11.70 0.00
14 Ekor Kuning Redbely Yellowtail Fusilier Caesio cuning
2 2.8
200.60 215.44 187.60 30.00
15 Gerot Gerot
Bloched grunt (Saddle grunt, Spotted
javelinfish)
Pomadasys spp (Pomadasys maculatus)
2 2.8
3.80 4.64 3.80 0.00
16 Golok Golok Wolf herring (Dorab wolf-herring) Chirocentrus dorab
2 2.8
9.40 9.68 8.40 0.00
17 Gulamah Silver pennah croaker (Croaker) Pennahia argentata (Nibea albiflora)
2 2.8
5.20 6.00 5.20 0.00
18 Ikan lain
All fishes other than those listed above or
below
1 2.8
221
237.76 207.00 2200.00
19 Ikan Terbang Flying fishes Cypselurus spp
1 2.8
5.50 6.32 5.50 35.00
20 Julung Julung Garfish and Hallfbeaks Thylosurus spp and Hemirhamphuss spp
2 2.8
574.30 616.00 536.30 12.20
21 Kakap Giant sea pearch/Baramundi Lutjanus sp.
1 2.8
52.50 56.80 49.50 23.60
22 Kembung Striped mackerel (Short-bodied mackerel) Restrelliger brachysoma
1 2.8
700.20 751.36 654.20 1000.00
23 Kerapu Grouper Epinephelus spp
2 2.8
67.90 73.44 63.90 507.00
248



No
Nama
Indonesia
Nama Inggris Nama Ilmiah SA

2005 2006 2007 2008
24
Kerong
Kerong
Banded grunter (Jarbua terapon, Largescale
terapon)
Therapon spp (Terapon jarbua, Terapon
Theraps) 2 2.8
0.00 0.00 0.00 120.00
25 Kurisi Treadfin bream (Ornate threadfin bream)
Nemipterus nematophorus (Nemimterus
hexodon) 2 2.8
8.30 8.40 7.30 15.60
26 Kuwe Great trevally, Dusky jack (Bigeye trevally) Caranx sexfasciatus
2 2.8
51.10 55.20 48.10 0.00
27 Layang Layang scad (Shortfin scad) Decapterus macrosoma
1 2.8
1163.70 1249.28 1087.70 700.00
28 Layur Hairtail Trichiurus savala
1 2.8
4.40 5.12 4.40 0.00
29 Lemuru Indonesia oil sardine (Bali sardinella) Sardinella longiceps (Sardinella Lemuru)
2 3.2
18.80 20.40 17.80 17.30
30 Lencam Orangestriped emperor (Emperors) Lethrinus spp
2 2.8
10.30 10.64 9.30 0.00
31 Madidihang Yellowfin tuna Thunnus albacares
1 4.0
0.00 0.00 504.00 0.00
32 Manyung Giant sea catfish Arius thalassinus
2 2.8
3.50 4.00 3.50 0.00
33
Merah/
Bambangan
Blood snaper (Red snappers) Lutjanus sanguineus
2 2.8
49.80 53.76 46.80 41.00
34 Nomei Bombay duck Harpodon nahereus
2 2.8
5.90 6.72 5.90 0.00
35 Pari Sting ray Gymnara sp
1 3.5
3.70 4.24 3.70 3.32
36 Peperek Splended pony fish Leiognatidae
2 2.8
21.70 23.76 20.70 0.00
37 Selar Yellowstripe trevally (Yellowstripe scad) Selaroides leptolepis
1 2.8
1189.70 1276.88 1111.70 40.00
38 Sunglir rainbow runner Elegatis bipinnulatus
2 2.8
17.20 18.56 16.20 15.00
39 Swanggi Big eyes Priacanthus spp
2 2.8
17.40 18.80 16.40 0.00
40 Tembang Fringescalle sardine Sardinella fimbriata
1 3.2
470.20 504.56 439.20 400.00
41 Tenggiri
Spotted spanish mackerel (Indo-pasific king
mackerel)
Scomberomorus guttatus
1 4.0
39.90 43.56 37.90 65.00
42 Teri Commerson's anchovy (Anchovies) Stolephorus commersonii (Stolephorus spp)
1 2.8
791.80 849.68 739.80 300.00
43 Tetengkek Hardtail scad (Torpedo scad) Megalaspis cordyla
2 2.8
21.30 23.36 20.30 0.00
44 Tongkol Frigate mackerel Auxis sp
1 4.0
980.70 1052.88 916.70 612.00
45 Tuna Tunas Thunnus spp
1 4.0
429.40 461.04 401.40 400.00
Keterangan : SA = Sistem Akuatik, 1 = Tropical Shelves; 2= Coastal and Coral System



249



Lampiran 2 Matrik korelasi hasil PCA karakteristik lingkungan perairan Gugus
Pulau Batudaka

Kecerahan S T pH DO
Kecerahan 1 0.2510 -0.5007 -0.2216 -0.6466
S 0.2510 1 -0.6041 -0.5304 -0.3080
T -0.5007 -0.6041 1 0.5867 0.4851
pH -0.2216 -0.5304 0.5867 1 0.3248
DO -0.6466 -0.3080 0.4851 0.3248 1

Eigenvalues dan eigenvectors (berdasarkan matrik korelasi) :
Eigenvalues 1 2 3 4 5
Value 2.8002 1.0587 0.4759 0.3788 0.2864
% of variability 0.5600 0.2117 0.0952 0.0758 0.0573
Cumulative % 0.5600 0.7718 0.8670 0.9427 1.0000
Vectors : 1 2 3 4 5
Kecerahan -0.4142 0.5847 0.1216 0.4097 0.5513
S -0.4320 -0.4444 0.6529 -0.3482 0.2615
T 0.5173 0.1333 -0.1079 -0.5201 0.6576
pH 0.4261 0.4558 0.7149 -0.0069 -0.3157
DO 0.4390 -0.4850 0.1905 0.6636 0.3090
Korelasi antara variabel dengan komponen utama :
faktor 1 faktor 2 faktor 3 faktor 4 faktor 5
Kecerahan -0.6931 0.6016 0.0839 0.2521 0.2950
S -0.7229 -0.4572 0.4504 -0.2143 0.1399
T 0.8657 0.1371 -0.0744 -0.3201 0.3519
pH 0.7130 0.4689 0.4932 -0.0043 -0.1689
DO 0.7346 -0.4990 0.1314 0.4084 0.1654

Stasiun (Coordinates of observations )` pada sumbu utama :
Stasiun Sumbu 1 Sumbu 2 Sumbu 3 Sumbu 4 Sumbu 5
1 2.1352 0.1809 0.2509 -0.5436 -0.1957
2 -0.8091 -0.9748 0.5287 -0.2677 0.6906
3 1.2200 -0.3866 0.4822 0.2200 0.1796
4 -1.6646 0.7703 0.7753 -0.2278 0.0722
5 0.4942 1.3067 0.6831 -0.6661 -0.6277
6 -0.4044 2.4132 -0.1232 0.2857 -0.1671
7 -1.4002 0.4207 -0.2326 1.4361 0.6268
8 -1.0685 -0.8047 -0.7070 1.0259 -1.0731
9 -1.0234 0.0444 -1.4929 -0.7271 0.8756
10 3.6475 0.5870 -0.9944 0.1596 -0.1978
11 1.4083 -1.1250 -0.4044 -0.2287 0.0479
12 1.3719 -1.5325 0.3684 0.0317 0.1247
13 0.4886 -0.3490 1.1667 0.5963 0.2392
14 -2.8703 -1.1600 -0.1938 -0.6246 -0.8968
15 -1.5252 0.6096 -0.1069 -0.4696 0.3018
250



Lampiran 3 Karakteristik beberapa lokasi spot penyelaman di Gugus Pulau Batudaka

Lokasi Karakteristik Nilai
Atoll
Pasir
Tengah
Waktu dan durasi penyelaman 730 jam, 80 menit
Rataan kedalaman, jarak pandang 3 -36 m, 10-15 m
Suhu dan arus 31
0
C , Tenang
Diskripsi Lokasi Lingkungan atoll dengan slop kemiringan bagian luar yang curam, tutupan karang
58% pada 4-5 m, 57% 9-12 m, 56% 18-21 m
Status moderat (RCI 186.76)
Barier-
Barat
Batudaka
Waktu dan durasi penyelaman 1100 jam, 70 menit
Rataan kedalaman, jarak pandang 3 -50 m, + 10 m
Suhu dan arus 30-31
0
C, Tenang
Deskripsi lokasi Terumbu karang penghalang luar dengan tutupan karang 62% pada 4-5 m, 33% 11-
12 m, 17% 18-21 m, peningkatan coralline algae dan sponge di bawah kedalaman
10 m
Status Baik (RCI 199.25)
Capatana
Selatan
Waktu dan durasi penyelaman 1545, 70 menit
Rataan kedalaman, jarak pandang 1-35 m, 10 m
Suhu dan arus 30-31
0
C, Tenang
Deskripsi lokasi Terumbu karang penghalang dengan slope bagian luar dan karang terpi pada bagian
dalam laguna, tutupan karang 65% pada 5-6 m, 57% 9-10 m, 65% 18-21 m
Status Moderat (RCI 168)
Capatana Waktu dan durasi penyelaman 1030 jam, 70 menit
Rataan kedalaman, jarak pandang 3-40 m, 10-15 m
Suhu dan arus 30-32
0
C, Tenang
Deskripsi lokasi Terumbu karang penghalang dengan slope bagian luar dan karang terpi pada bagian
dalam laguna, tutupan karang 55% pada 5-7 m, 47% 13-15 m, 50% pada 20 m
Status Moderat (RCI 178)
251


Lokasi Karakteristik Nilai
Lindo Waktu dan durasi penyelaman 745 jam, 70 menit
Rataan kedalaman 1 23 m, 5 7 m
Suhu 31
0
C, Tenang
Deskripsi lokasi Terumbu karang tepi sepanjang teluk lapisan bawah dominan pasir, tutupan karang
38% pada 4-5 m, 26% 13-14 m, 0% dibawah 20 m
Status Moderat (RCI 174,36)
Bambu Waktu dan durasi penyelaman 1345 jam, 70 menit
Rataan kedalaman 3-26 m, 7-10 m
Suhu 31-33
0
C, Tenang
Deskripsi lokasi Terumbu karang tepi sepanjang teluk lapisan bawah dominan pasir, tutupan karang
35% pada 5-6 m, 37% 10-12 m, 54% 20-23 m
Status Moderat (RCI 173.46)
Selat
Batudaka
luar
bagian
selatan
Waktu dan durasi penyelaman 1430 jam, 80 menit
Rataan kedalaman, jarak pandang 3-23 m, 7 - 8 m
Suhu dan arus 31-32
0
C, Tenang
Diskripsi lokasi Terumbu karang tepi yang dominan karang mati pada lapisan bawah dengan tutupan
karang 33% pada 5-6 m, 29% 10-11 m, 25% 20-21 m
Status Jelek (RCI 142.42)
Keterangan : RCI = Reef Condition Index
Sumber : Yusuf and Allen (2001)
252



Lampiran 4 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Gugus Pulau
Batudaka Kecamatan Una-Una

Sistem Aquatik PPR (kg)
Primary
productivity
(kgC/m
2
/tahun)
Ecological
Footprint
(m
2
/tahun)
Ecological
Footprint
(m
2
/kapita)
Ecological
Footprint
(km
2
/kapita)
Tahun 2005
Tropical Shelves
1 794 82.43 0.31

5,789,620.73 471.20

0.000471
Coastal and Coral
132 130.78 0.89

148,461.55 12.08

0.000012
Total

5,938,082.28 483.28

0.000483
Area yang dibutuhkan (km
2
)


5,938.08
Cakupan (kali)


19.92
Tahun 2006
Tropical Shelves
1 419 475.06 0.31 4 578 951.79 367.02

0.000367
Coastal and Coral
131 671.55 0.89 147 945.56 11.86

0.000012
Total
4 726 897.35 378.88

0.000379
Area yang dibutuhkan (km
2
)
4 726.90
Cakupan (kali)


15.86
Tahun 2007
Tropical Shelves
1 513 959.46 0.31 4 883 740.19 381.21

0.000381
Coastal and Coral
101 287.19 0.89 113 805.83 8.88

0.000009
Total
4 997 546.02 390.10

0.000390
Area yang dibutuhkan (km
2
)


4,997.55
Cakupan (kali)


16.77
Tahun 2008
Tropical Shelves
1 726 987.57 0.31 5 570 927.64 425.07

0.000425
Coastal and Coral
109 590.75 0.89 123 135.68 9.40

0.000009
Total
5 694 063.32 434.46

0.000434
Area yang dibutuhkan (km
2
)


5,694.06
Cakupan (kali)


19.10
Keterangan : a. EF Sistem Akuatik = PPR/PP (m
2
/tahun)
b. Jumlah penduduk Kecamatan Tojo Una-Una Tahan 2005-2008 (BPS 2006-2009)
c. Konversi 1 m
2
= 0.000001 km
2

d. Luas Kecamatan Una-Una 298 km
2





253


Lampiran 5 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Kabupaten Tojo Una-
Una

Sistem Aquatik PPR (kg) Primary
productivity
(kgC/m
2
/tahun)
Ecological
Footprint
(m
2
/tahun)
Ecological
Footprint
(m
2
/kapita)
Ecological
Footprint
(km
2
/kapita)
Tahun 2005
Tropical Shelves 116 195 563.9 0.31 374 824 399.7 2 982.11 0.00298
Coastal and Coral 20 705 749.1 0.89 23 264 886.6 185.10 0.00019
Total 398 089 286.3 3 167.21 0.00317
Area yang dibutuhkan
(km
2
)

398 089.29
Cakupan (kali) 69.57
Tahun 2006
Tropical Shelves 108 624 881.3 0.31 350 402 843.0 2 760.86 0.00276
Coastal and Coral 19 405 960.6 0.89 21 804 450.1 171.80 0.00017
Total 372 207 293.0 2 932.66 0.00293
Area yang dibutuhkan
(km
2
)

372 207.29
Cakupan (kali) 65.05
Tahun 2007
Tropical Shelves 148 920 086.4 0.31 480 387 375.3 3 703.61 0.00370
Coastal and Coral 11 773 995.4 0.89 13 229 208.5 101.99 0.00010
Total 493 616 583.7 3 805.60 0.00381
Area yang dibutuhkan
(km
2
)

493 616.58
Cakupan (kali) 86.27
Tahun 2008
Tropical Shelves 155 573 115.8 0.31 501 848 760.6 3 822.65 0.00382
Coastal and Coral 17 664 515.1 0.89 19 847 769.8 151.18 0.00015
Total 521 696 530.4 3 973.83 0.00397
Area yang dibutuhkan
(km
2
)

521 696.53
Cakupan (kali) 91.17
Keterangan : a. EF Sistem Akuatik = PPR/PP (m
2
/tahun)
b. Jumlah penduduk Kabupaten Tojo Una-Una Tahan 2005-2008 (BPS 2006-2009)
c. Konversi 1 m
2
= 0.000001 km
2

d. Luas Kabupaten Una-Una 5 722 km
2

254



Lampiran 6 HANPP sistem akuatik di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una

Nama Ikan
Trophic
Level
Volume of Landing PPR
Energi *
(kJ/100 g)
Harvest PPR HANPP

(kg) (kg) (kJ) (kJ) (kJ)
Kerapu sunu
2.8 4,229
29,644.48 335 14,165,475.00 99,309,005.44 85,143,530.44
Kakap
2.8 5,753
40,332.20 335 19,272,550.00 135,112,855.22 115,840,305.22
Tongkol
4.0 12,600
1,400,000.00 477 60,102,000.00 6,678,000,000.00 6,617,898,000.00
Teri/lureh/rono
2.8
6,685
46,866.11 335 22,394,750.00 157,001,466.56 134,606,716.56
Tenggiri
4.0
450
50,000.00 791 3,559,500.00 395,500,000.00 391,940,500.00
Ekor Kuning/lolosi
2.8
4,160
29,164.25 142 5,907,200.00 41,413,235.84 35,506,035.84
Teripang
2.4
624
1,741.57 318 1,984,320.00 5,538,207.20 3,553,887.20
Kepiting
2.6
145
641.39 414 600,300.00 2,655,374.83 2,055,074.83
Udang Barong
2.6
560
2,477.11 414 2,318,400.00 10,255,240.71 7,936,840.71
Gurita
3.2
830
14,616.24 318 2,639,400.00 46,479,634.36 43,840,234.36
Tahun 2005 Jumlah

1,615,483.35 132,943,895.00 7,571,265,020.15 7,438,321,125.15
Kerapu sunu
2.8
5,348
37,492.89 335 17,915,800.00 125,601,173.25 107,685,373.25
Kakap
2.8
7,880
55,243.82 335 26,398,000.00 185,066,799.77 158,668,799.77
Tongkol
4.0
12,000
1,333,333.33 477 57,240,000.00 6,360,000,000.00 6,302,760,000.00
Teri/lureh/rono
2.8 7,700
53,981.91 335 25,795,000.00 180,839,385.57 155,044,385.57
Tenggiri
4.0 250
27,777.78 791 1,977,500.00 219,722,222.22 217,744,722.22
Ekor Kuning/lolosi
2.8 5,150
36,104.78 142 7,313,000.00 51,268,789.56 43,955,789.56
Teripang
2.4 839
2,341.64 318 2,668,020.00 7,446,403.60 4,778,383.60
Kepiting
2.6 175
774.10 414 724,500.00 3,204,762.72 2,480,262.72
Udang Barong
2.6 75
331.76 414 310,500.00 1,373,469.74 1,062,969.74
Gurita
3.2 230
4,050.28 318 731,400.00 12,879,898.68 12,148,498.68
Tahun 2006 Jumlah

1,551,432.28 141,073,720.00 7,147,402,905.10 7,006,329,185.10
255


Nama Ikan
Trophic
Level
Volume of Landing PPR
Energi *
(kJ/100 g)
Harvest PPR HANPP

(kg) (kg) (kJ) (kJ) (kJ)
Kerapu sunu
2.8 4,229
29,644.48 335 14,165,475.00 99,309,005.44 85,143,530.44
Kakap
2.8 5,753
40,332.20 335 19,272,550.00 135,112,855.22 115,840,305.22
Tongkol
4.0 12,600
1,400,000.00 477 60,102,000.00 6,678,000,000.00 6,617,898,000.00
Teri/lureh/rono
2.8
6,685
46,866.11 335 22,394,750.00 157,001,466.56 134,606,716.56
Tenggiri
4.0
450
50,000.00 791 3,559,500.00 395,500,000.00 391,940,500.00
Ekor Kuning/lolosi
2.8
4,160
29,164.25 142 5,907,200.00 41,413,235.84 35,506,035.84
Teripang
2.4
624
1,741.57 318 1,984,320.00 5,538,207.20 3,553,887.20
Kepiting
2.6
145
641.39 414 600,300.00 2,655,374.83 2,055,074.83
Udang Barong
2.6
560
2,477.11 414 2,318,400.00 10,255,240.71 7,936,840.71
Gurita
3.2
830
14,616.24 318 2,639,400.00 46,479,634.36 43,840,234.36
Tahun 2007 Jumlah

1,615,483.35 132,943,895.00 7,571,265,020.15 7,438,321,125.15
Kerapu sunu
2.8 3,461
24,263.82 335 11,594,350.00 81,283,780.97 69,689,430.97
Kakap
2.8 8,060
56,505.74 335 27,001,000.00 189,294,213.98 162,293,213.98
Tongkol
4.0 15,060
1,673,333.33 477 71,836,200.00 7,981,800,000.00 7,909,963,800.00
Teri/lureh/rono
2.8
4,500
31,547.87 335 15,075,000.00 105,685,355.20 90,610,355.20
Tenggiri
4.0
150
16,666.67 791 1,186,500.00 131,833,333.33 130,646,833.33
Ekor Kuning/lolosi
2.8
3,831
26,857.75 142 5,440,020.00 38,138,006.37 32,697,986.37
Teripang
2.4
1,319
3,681.31 318 4,194,420.00 11,706,562.98 7,512,142.98
Kepiting
2.6
185
818.33 414 765,900.00 3,387,892.02 2,621,992.02
Udang Barong
2.6
115
508.69 414 476,100.00 2,105,986.93 1,629,886.93
Gurita
3.2
280
4,930.78 318 890,400.00 15,679,876.65 14,789,476.65
Tahun 2008 Jumlah

1,839,114.28 138,459,890.00 8,560,915,008.44 8,422,455,118.44
Keterangan : * Adrianto (2004)


Lampi


> TC:
> Sup
> plo









iran 7 Hasil
:=d0+d1*Q
pply:=dif
ot(Supply
l perhitungan
Q+d2*Q^2
ff(TC,Q)
y,Q=0..2
n analisis pen
;
;
000);
nawaran


256




L


>
>
>
>
Lampiran 8
:> lna:=b
> a:=exp(
> b:=b1;
> demand:
> plot(de
Hasil perhi
b0+b2*rat
(lna);
:=(Q/a)^(
emand,Q=0
itungan anal
ta_ln(X2)
(1/b);
0..10000
lisis permint
)+b3*rata
);
aan
a_ln(X3);




;
2

57
258


> U:=
> P:=
> C:=
> CS:
> Nil
D:> p
> dem
> sol
=int(dema
=(Vrata/a
=P*Vrata;
:=U-C;
lai_Ekono
plot({dem
mand=Supp
lve(deman

mand,Q=0.
a)^(1/b)
;
omi:=CS*
mand,Supp
ply;
nd=Suppl
.Vrata);
;
N/L;
ply},Q=0.
y,Q);





..2000);




259


Lampiran 9 Rekap kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara
di Kabupaten Tojo Una-Una

Tahun Jumlah Wisatawan Jumlah
Nusantara Mancanegara
2000 5 315 923 6 239
2001 11 484 2 540 11 748
2002 17 314 1 650 17 479
2003 12 860 3 040 15 900
2004 49 418 2 715 52 133
2005 84 291 2 125 86 416
2006 86 109 2 243 88 352
2007 100 213 3 122 103 335
Sumber : Disbudpar Prov. Sulteng (2008)


Lampiran 10 Jumlah wisatawan yang mengunjungi Kepulauan Togean berdasarkan
asal begara Tahun 2006-2009

Asal Negara 2006 2007 2008 2009 jumlah
Prancis 32 48 80 76 236
Belanda 29 32 61 17 139
Jerman 8 26 34 59 127
Spanyol 13 10 23 86 132
Inggris 5 13 18 20 56
Italia 8 9 17 205 239
Belgia 5 12 17 6 40
Swiss 7 10 17 56 90
USA 7 8 15 9 39
Australia 3 7 10 12 32
Slovenia 4 4 8 12 28
Austria 3 4 7 4 18
Chech 2 5 7 4 18
Kanada 4 2 6 10 22
Swedia 1 2 3 11 17
Polandia 2 0 2 1 5
Lainnya 1 28 29 40 98
Jumlah 134 220 354 628 1336
Sumber : Disbudpar Prov. Sulteng (2010)



260



Lampiran 11 Hasil identifikasi responden wisatawan

Jumlah responden wisatawan ke lokasi wisata Gugus Pulau Batudaka


Wisatawan Jumlah wisatawan ke lokasi wisata (orang)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%) Wakai
Pulau Poyalisa
(Bomba)
Pulau Tipae
(Bomba)
Domestik 8 4 6 18 41.86
Mancanegara 10 6 9 25 58.14
Jumlah (orang) 18 10 15 43
Persentase (%) 41.86 23.26 34.88 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).

Wisatawan berdasarkan tujuan wisata
Tujuan Wisata Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Tujuan utama 8 0 8 18.60
Persinggahan 10 25 35 81.40
Total 18 25 43 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).

Wisatawan berdasarkan tujuan kunjungan
Tujuan kunjungan Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Berwisata 7 22 27 64.29
Penelitian/Pend 8 2 12 28.57
Tugas instansi 2 0 2 4.76
Lain-lain 1 1 1 2.38
Total 18 25 42 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan frekwensi kunjungan
Frekwensi
kunjungan
Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Pertama kali 8 18 26 60.47
Kedua kali 4 6 10 23.26
Ketiga kali 4 1 5 11.63
Lebih dari tiga kali 2 0 2 4.65
Total 18 25 43 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).

261


Wisatawan berdasarkan jenis pekerjaan

Jenis Pekerjaan
Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Pelajar/ Mahasiswa 1 4 5 11.63
Swasta 4 0 4 9.30
PNS 9 14 23 53.49
Wiraswasta 4 7 11 25.58
Total 18 25 43 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).

Wisatawan berdasarkan sumber informasi wisata
Sumber Informasi Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Biro perjalanan 0 9 9 20.93
Media TV/cetak 12 0 12 27.91
Teman 4 15 19 44.19
Internet 2 1 3 6.98
Total 18 25 43 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan aktivitas wisata
Jenis Aktivitas
Wisata
Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Menikmati
pemandangan alam
9 6 15 34.88
Diving 6 10 16 37.21
Snorkeling 3 9 12 27.91
Total 18 25 43 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).

Wisatawan berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin








Sumber : Analisis Data (2010).
Kelompok umur
(tahun)
Laki-Laki
(orang)
Wanita
(orang)
Jumlah
(orang)
Persentase (%)
0-15 1 0 1 2.33
15-30 0 3 3 6.98
30-45 7 5 12 27.91
45-60 5 9 14 32.56
>60 9 4 13 30.23
Total 22 21 43 100.00
262



Lampiran 12 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis
alat tangkap di perairan Gugus Pulau Batudaka (lokal)

Tahun
Pancing Jaring Insang Bubu
Catch
(kg)
Effort
(trip)
CPUE
Catch
(kg)
Effort
(trip)
CPUE
Catch
(kg)
Effort
(trip)
CPUE
2005 17 085 11 426

1.50

21 357 4 857

4.40 4 271 2 798

1.53
2006 15 859 11 582

1.37

19 824 4 852

4.09 3 965 2 810

1.41
2007 14 414 11 050

1.30

18 018 4 699

3.83 3 604 2 853

1.26
2008 14 464 11 321

1.28

18 080 4 942

3.66 3 616 2 908

1.24
2009 15 528 12 109

1.28

19 410 5 072

3.83 3 882 2 605

1.49
Total 77 351 57 488

6.73 96 689

24 422 19.80 19 338 13 974 6.93
Rataan 15 470 11 498

1.35 19 338

4 884

3.96 3 868 2 795

1.39


Nilai Fishing Power Index (FPI), Total Effort dan CPUE Standar

Tahun
FPI Standardisasi
Pancing Jaring. Insang Bubu C.Total (kg) Effort (trip) CPUE
2005 1 2.94

1.02 42 714 28 565 1.50
2006 1 2.98

1.03 39 647

28 955

1.37
2007 1 2.94

0.97 36 036

27 625

1.30
2008 1 2.86

0.97 36 161

28 303

1.28
2009 1 2.98

1.16 38 820

30 273

1.28
Total 5 14.71

5.15 193 377

143 720

6.73
Rataan 1 2.94

1.03 38 675

28 744

1.35




263


Lampiran 13 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa
jenis alat tangkap di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (regional)


Tahun
Pancing Jaring Insang Bubu
Catch
(ton)
Effort
(trip)
CPUE
Catch
(ton)
Effort
(trip)
CPUE
Catch
(ton)
Effort
(trip)
CPUE
2003 2 484 7 044 0.3527 4 969 71 450 0.0695 828.14 21 643 0.0383
2004 2 186 6 903 0.3167 4 373 76 341 0.0573 728.80 24 143 0.0302
2005 2 313 7 659 0.3020 4 626 82 414 0.0561 770.99 24 689 0.0312
2006 2 338 7 040 0.3321 4 676 85 622 0.0546 779.30 28 643 0.0272
2007 2 731 7 490 0.3646 5 461 88 302 0.0618 910.20 27 543 0.0330
2008 2 600 8 235 0.3157 5 199 90 509 0.0574 866.50 29 453 0.0294
2009 1 905 8 926 0.2135 3 811 92 425 0.0412 635.16 24 353 0.0261
Total 16 557 53 297 2.1972 33 115 587 063 0.3981 5519 180 467 0.2154
Rataan 2 365 7 614 0.3139 4 731 83 866 0.0569 788.44 25 781 0.0308


Nilai Fishing Power Index (FPI), Total Effort dan CPUE Standar

Tahun
FPI Standardisasi
Pancing Jaring. Insang Bubu C.Total (ton) Effort (trip) CPUE
2003 1 0.1972

0.1085 8 281 23 482

0.3527
2004 1 0.1808

0.0953 7 288 23 010

0.3167
2005 1 0.1859

0.1034 7 710 25 529

0.3020
2006 1 0.1644

0.0819 7 793 23 467

0.3321
2007 1 0.1696

0.0906 9 102 24 967

0.3646
2008 1 0.1820

0.0932 8 665 27 450

0.3157
2009 1 0.1932

0.1222 6 352 29 753

0.2135
Total 7 1.2731

0.6952 55 191 177 657

2.1972
Rataan 1 0.1819

0.0993 7 884 25 380

0.3139
264



Lampiran 14 Estimasi konsumsi ikan impor dan konsumsi nyata di Gugus Pulau Batudaka

Tahun
Konsumsi
Aktual Loka1
1


(ton)
Penduduk
Konsumsi
potensial
1

(kg/kapita)
Konsumsi
Potensial
(ton)
Estimasi
impor
2
(ton)
Estimasi Impor
konsumsi dari hasil
tangkap
3
(ton)
Expor
4

(ton)
Konsumsi
Nyata
(ton)
2001 245 11325 22.40 253.68 9.06 11.51 2.53 254
2002 255 11346 22.64 256.87 1.59 2.02 0.10 257
2003 241 11710 22.60 264.65 24.01 30.49 10.70 260
2004 261 11592 22.58 261.75 0.46 0.59 4.80 257
2005 294 12287 24.50 301.03 6.76 8.58 7.80 295
2006 312 12476 25.94 323.63 11.35 14.42 5.70 321
2007 333 12811 28.28 362.30 29.21 37.10 4.04 366
2008 370 13106 29.98 395.92 26.15 33.21 9.00 394
Rata-
Rata 288.90 12081.63 24.87 302.48 13.57 17.24 5.58 300.56
Keterangan : 1 Perhitungan berdasarkan data konsumsi ikan/kapita/tahun (DKP 2010)
2 IMt = (Kons pot Kons Akt) x Penduduk tahun t
3 Koef tangkap, 27% dari total produksi (Wada 2002)
4 Data ekspor ikan BPS Kab. Tojo Una-Una (2005, 2009)


265


Lampiran 15 Formulasi model integrasi wisata dan perikanan di Gugus Pulau
Batudaka

Sector Wisata
Jml_Wisatawan(t) = Jml_Wisatawan(t - dt) + (Total_BC_ha - EF_ha\cap\th) * dtINIT
Jml_Wisatawan = 3000

INFLOWS:
Total_BC_ha =
BC_Buit_up+BC_Cropland+BC_Energy_ha+BC_Forest+BC_Pasture+BC_sea_spac
e

OUTFLOWS:
EF_ha\cap\th =
(Foot_Builtup_ha\kap\th+Foot_Food_&_Fibre+foot_Energy_ha\kap\th)*Jml_Wisata
wan

BC_Buit_up = Exist_Builtup_ha*YF_Built_up
BC_Cropland = Exist_Crop_area_ha*YF_Cropland_
BC_Energy_ha = Exist_area_ha*YF_Energy
BC_Forest = exist_forest_area_ha*YF_Forest
BC_Pasture = exist_pasture_area_ha*YF_Pasture
BC_sea_space = Exist_sea_area_ha*YF_Fishery
cropland\ha\kap\th = 0.0758
Exist_area_ha = 2.38
Exist_Builtup_ha = 19.54
Exist_Crop_area_ha = 453.28
exist_forest_area_ha = 1839.6
exist_pasture_area_ha = 173.3
Exist_sea_area_ha = 2610
Foot_Aktivitas =
(Luas_Area_Dive/Jml_Wisatawan/Lama_wisata)+(Luas_Area_Snork/Jml_Wisatawa
n/Lama_wisata)+(Luas_Wst_Pantai/Jml_Wisatawan/Lama_wisata)
Foot_Builtup_ha\kap\th =
Foot_Aktivitas+Foot_Jalan+Foot_Pelabuhan+Foot_Penginapan
foot_Energy_ha\kap\th = kons_Energy_GJ\kap/Jml_Energy_GJ\ha\th
Foot_Food_&_Fibre =
cropland\ha\kap\th+forest_ha\kap\th+Pasture_ha\kap\th+Sea_space_ha\kap\th
Foot_Jalan = Luas_Jalan_ha/Jml_Wisatawan/Lama_wisata
Foot_Pelabuhan = Luas_Pelab/Jml_Wisatawan/Lama_wisata
Foot_Penginapan = Luas_Penginapan_ha/Jml_Wisatawan/Lama_wisata
forest_ha\kap\th = 0.0452
Jml_Energy_GJ\ha\th = 2.38
kons_Energy_GJ\kap = 667/Jml_Wisatawan/Lama_wisata
Lama_wisata = 5
266



Luas_Area_Dive = 78.7
Luas_Area_Snork = 129.4
Luas_Jalan_ha = 18.36
Luas_Pelab = 0.43
Luas_Penginapan_ha = 1.16
Luas_Wst_Pantai = 68.55
Pasture_ha\kap\th = 0.0387
Sea_space_ha\kap\th = 0.0550
YF_Built_up = 1
YF_Cropland_ = 1.7
YF_Energy = 1.3
YF_Fishery = 0.6
YF_Forest = 1.3
YF_Pasture = 2.2
Total_EF(t) = Total_EF(t - dt) + (Impor_EF + Konsumsi_Domestik_EF -
Ekspor_EF) * dtINIT Total_EF = 0.34

INFLOWS:
Impor_EF = produkai_regional/Jml_Penduduk+data_impor/Jml_Penduduk
Konsumsi_Domestik_EF =
(Produksi_Lokal_+data_domestik)/(Jml_Penduduk+(Jml_Wisatawan)*(Lama_wisata
/365))

OUTFLOWS:
Ekspor_EF = Data_Ekspor/Jml_Penduduk
Areal_lokal = 61052
Areal__Regional = 338575
data_domestik = 300.56
Data_Ekspor = 5.58
data_impor = 17.24
EF_Perikanan = Total_EF*faktor_ekivalen__laut
faktor_ekivalen__laut = 0.06
produkai_regional = Produksi_Regional_per_area/Areal__Regional
Produksi_Lokal_ = Produksi_lokal__per_area/Areal_lokal

Jml_Penduduk(t) = Jml_Penduduk(t - dt) + (kelahiiran + Emigrasi - Imigrasi -
Kematian) * dtINIT Jml_Penduduk = 13500
INFLOWS:
kelahiiran = Jml_Penduduk*Laju_Kelahiran
Emigrasi =
Jml_Penduduk*Laju_Emigrasi+((Jml_Wisatawan*(Lama_wisata/365)/Jml_Pendudu
k))

OUTFLOWS:
Imigrasi = Jml_Penduduk*Laju_imigrasi
267


Kematian = Jml_Penduduk*Laju_Kematian
Laju_Emigrasi = 0.029
Laju_imigrasi = 0.014
Laju_Kelahiran = 0.012
Laju_Kematian = 0.003

Biomassa_Ikan_2(t) = Biomassa_Ikan_2(t - dt) + (Pertumbhan_Marginal_2 -
Kematian_3 - produksi_Lokal) * dtINIT Biomassa_Ikan_2 = 3.38

INFLOWS:
Pertumbhan_Marginal_2 = Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2

OUTFLOWS:
Kematian_3 = Fraksi_Kematian__Normal_2*Rasio_Biomassa_Ikan_2
produksi_Lokal = Biomassa_Ikan_2*Fraksi_Tangkapan_2
Area_Fishing_Ground__Lokal = 61052
Daya_DUkung_2 = 0.501
Fraksi_Kematian__Normal_2 = Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2
Fraksi_Tangkapan_2 = Jumlah_Trip_2*Koefisien_Tangkap_2
Jumlah_Trip_2 = 424
Koefisien_Tangkap_2 = 0.005
Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2 = 0.308
Produksi_lokal__per_area = produksi_Lokal/Area_Fishing_Ground__Lokal
Rasio_Biomassa_Ikan_2 = Daya_DUkung_2*Pertumbhan_Marginal_2

Biomassa_Ikan(t) = Biomassa_Ikan(t - dt) + (Pertumbhan_Marginal - Kematian_2 -
produksi__Regional) * dtINIT Biomassa_Ikan = 23452

INFLOWS:
Pertumbhan_Marginal = Laju_pertmbuhan_Intrinsik

OUTFLOWS:
Kematian_2 = Fraksi_Kematian__Normal*Rasio_Biomassa_Ikan
produksi__Regional = Biomassa_Ikan*Fraksi_Tangkapan
Area_Fishing_Ground__Regional = 338575
Daya_DUkung = 7906
Fraksi_Kematian__Normal = Laju_pertmbuhan_Intrinsik
Fraksi_Tangkapan = Jumlah_Trip*Koefisien_Tangkap
Jumlah_Trip = 399849
Koefisien_Tangkap = 0.00000084
Laju_pertmbuhan_Intrinsik = 0.088
Produksi_Regional_per_area =
produksi__Regional/Area_Fishing_Ground__Regional
Rasio_Biomassa_Ikan = Daya_DUkung*Pertumbhan_Marginal

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy