Tojo Una Una
Tojo Una Una
Tojo Una Una
=
=
=
n
j
j
n
j
j j
i
W
W S
S
1
1
'
....................................... (2)
di mana S
i
= Indeks kesesuaian dari kategori ke-i, i = 4 kategori;
S
j
= Skor parameter ke-j;
W
j
= Bobot parameter ke-j;
n = Jumlah parameter
Pembobotan dilakukan secara bertahap, di mana overlay dilakukan terlebih
dahulu pada parameter yang berbobot paling tinggi kemudian hasilnya dioverlay
kembali dengan parameter yang berbobot lebih rendah dan seterusnya. Selain itu
setiap tema akan dibagi menjadi beberapa kelas yang diberi skor berdasarkan
69
tingkat kesesuaiannya dan hasilnya diperoleh nilai akhir atau matriks atribut
yang merupakan hasil perkalian antara bobot dengan skor kelas.
Kelas kesesuaian pada penelitian ini, dibagi kedalam 3 (tiga) kategori
berdasarkan FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) yaitu :
Kategori (S1) : Sangat Sesuai (highly suitable).
Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan
perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak
berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya
dan tidak akan menaikkan masukan tingkatan perlakuan yang diberikan.
Kategori (S2) : Sesuai (suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk
mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini
akan meningkatkan masukan/tingkat perlakuan yang diperlukan.
Kategori (N) : Tidak Sesuai (Not Suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala
kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.
Pada kegiatan ini diperoleh range nilai kesesuaian lahan antara 0-500. Range ini
selanjutnya dibagi dalam 3 kelas, sehingga pembagian nilai kesesuaian berikut ini.
Nilai 100-233 (N) = tidak sesuai
Nilai 234-367 (S2) = sesuai
Nilai 368-500 (S1) = sangat sesuai
(4) Melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian setiap kegiatan yang
ada di Gugus Pulau Batudaka
Tahapan dalam analisis spasial ini adalah setelah penyusunan matriks
kesesuaian berdasarkan kriteria dan persyaratan masing-masing, yang dilanjutkan
dengan kegiatan overlay. Proses pembobotan semua kegiatan berdasarkan
matriks kesesuaian di atas dilakukan untuk kondisi peralihan musim barat
(Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei
2009) dan musim timur (Agustus 2009), hal ini dilakukan agar hasil akhir dapat
mewakili kondisi musim. Hasil kesesuaian yang diperoleh dioverlay (tumpang
susun) untuk mendapatkan daerah kesesuaian pada kondisi musim tersebut serta
dioverlay dengan Rencana Zonasi Kawasan berdasarkan RDTR Kepulauan
70
Togean. Selanjutnya dilakukan analisis beberapa faktor yang mempengaruhi
kesesuaian lahan yang diperoleh, yakni :
(a) Keterlindungan perairan
Memperhatikan keberadaan terumbu karang sebagai pelindung dan pemecah
ombak di perairan wilayah pesisir, daerah teluk dan perairan yang terlindung
pulau yang besar ombak dan arusnya relatif rendah dan tenang;
(b) Wilayah konservasi atau jalur hijau pantai
Memperhatikan keberadaan hutan mangrove dan sumberdaya alam pesisir
lainnya yang perlu dilestarikan;
(c) Aksesibilitas
Meperhatikan sarana/prasarana, jaringan jalan dan bentuk pantai.
Hasil analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
merekomendasikan daerah yang berpotensi untuk dikembangkan usaha wisata dan
perikanan serta pengembangan potensi wilayah pesisir Gugus Pulau Batudaka.
3.4.3 Analisis Daya Dukung (Ecological Footprint Analysis)
Daya dukung pemanfaatan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka untuk
kawasan wisata dan perikanan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
Ecological Footprint Analysis (EFA). Daya dukung menjadi fokus perhitungan
EFA, agar pemanfaatan sumberdaya alam menjadi optimal terhadap kondisi
populasi dan aktual kegiatan ekonominya. Secara teoritis, EFA bertujuan
mengekspresikan kesesuaian area yang produktif secara ekologi terhadap
kebutuhan penduduk atau tingkat ekonomi tertentu melalui indeks keruangan
(Haberl et al. 2001; Adrianto 2006).
3.4.3.1 Daya Dukung Wisata
EFA untuk aktivitas wisata atau Touristic Ecological Footprint (TEF) :
...... (3)
di mana : TEF= total footprint wisatawan ke Gugus Pulau Batudaka (ha/orang/th)
TEF
b
= jumlah agregat komponen built-up land
TEF
e
= agregat fossil energy land;
TEF
c
= agregat konsumsi food and fibre dari arable land/crop land;
TEF
p
= agregat konsumsi food and fibre dari pasture land;,
TEF
f
= agregat konsumsi food and fibre dari
forest land;
TEF
s
= agregat konsumsi food and fibre dari sea space.
s f p c e b
TEF TEF TEF TEF TEF TEF TEF + + + + + =
71
TEF dari perjalanan wisatawan dengan memanfaatkan sumberdaya dan
lahan Gugus Pulau Batudaka (built-up land), dibagi beberapa komponen yaitu
transportasi, akomodasi, dan aktivitas (Gossling et al. 2002; Li Peng dan Guihua
2007).
...... (4)
di mana : TEF
b
= footprint built-up land (ha/orang/tahun)
TEF
t
= footprint transportasi (ha/orang/tahun)
TEF
a
= footprint akomodasi (ha/orang/tahun)
TEF
ea
= footprint energi untuk akomodasi (ha/orang/tahun)
Komponen built-up land untuk transportasi adalah semua perjalanan yang
berhubungan dengan wisata yang menuju dan kembali dari Gugus Pulau
Batudaka, dengan mempertimbangkan kebutuhan infrastruktur (jalan dan
pelabuhan). Total area perjalanan wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk
infrastruktur dalam proses perjalanan. Area yang dibutuhkan tiap wisatawan
disebut Built-up land dari komponen transportasi, dihitung dengan membagi total
area perjalanan dengan jumlah kedatangan wisatawan (domestik, mancanegara)
(Disbudpar Sulteng 2008).
............ (5)
di mana TEF
t
= ecological footprint wisata komponen transportasi (ha/orang/th);
t
j
= luasan area untuk infrastruktur jalan (ha)
t
p
= luasan area untuk infrastruktur pelabuhan) (ha)
x
i
= jumlah wisatawan tahun ke-i (orang/th)
Footprint perjalanan wisatawan untuk akomodasi terdiri dari area yang
diperlukan untuk akomodasi (guesthouse) dan fossil energy land. Total area
akomodasi wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk infrastruktur
(guesthouse, homestay, dll). Total area diperoleh dengan mengalikan luas area
setiap jenis infrastruktur dengan jumlah infrastruktur yang tersedia. Footprint dari
built-up land dari akomodasi dihitung dengan membagi total area kebutuhan
akomodasi dengan jumlah kedatangan wisatawan pada tahun 2007.
ea a t b
TEF TEF TEF TEF + + =
i
p
i
j
t
x
t
x
t
TEF + =
72
.......... (6)
di mana TEF
a
= ecological footprint wisata komponen akomodasi (ha/orang/th);
a
n
= luasan area infrastruktur akomodasi (guesthouse, homestay) (ha),
x
i
= jumlah wisatawan tahun ke-i (orang/th)
Footprint energi dari komponen akomodasi dihitung dengan mengalikan
penggunaan energi (penerangan) tiap guesthouse dengan jumlah guesthouse
kemudian dibagi dengan jumlah wisatawan.
Aktivitas meliputi kunjungan ke lokasi yang spesifik untuk tujuan wisata
bawah laut, rekreasi pantai, olah raga dll. Dalam hal ini, Footprint aktivitas
wisatawan yang berhubungan dengan ruang laut (luas yang dibutuhkan untuk
wisatawan untuk selam/diving dan snorkeling) dan dianggap merupakan bagian
dari buil-up land. Luasan untuk kegiatan wisata tersebut di Gugus Pulau
Batudaka diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan menggunakan GIS.
Fossil energy land untuk menghitung penggunaan energi (penerangan).
Ketersedian energi dihitung berdasarkan data produksi listrik (PLN dan Non PLN)
di Kecamatan Una-Una yaitu sebesar 661 KWH (Bappeda Touna 2007),
selanjutnya dikonversi dalam satuan Joule atau sebesar 2.38 GJ/ha/tahun.
Konsumsi sandang dan pangan untuk wisata merupakan footprint
berdasarkan lahan pertanian (crop land), hutan (forest land), produktivitas ruang
laut (sea space) dan padang rumput (pasture land) dihitung degan asumsi bahwa
kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi seharian di rumah (Li Peng dan
Guihua 2007), sehingga footprint sandang pangan dalam Living Planet Report
2008 (WWF 2008) dapat digunakan untuk menghitung data footprint nasional
yang dominan mengunjungi lokasi ini (Perancis, Belanda dan Indonesia). Jumlah
sumbangan rata-rata tahunan untuk konsumsi sandang dan pangan adalah 5 hari
yang merupakan rata-rata lama tinggal di Gugus Pulau Batudaka.
Kategori ruang yang berbeda terhadap total footprint dijumlahkan dengan
cara mengalikan area yang ada (hasil GIS) dengan equivalent factors, yang
menggambarkan produktivitas relatif rata-rata dunia (ha) dalam tipe lahan yang
berbeda. Equivalent factors dapat digunakan dalam perhitungan biocapacity,
dinyatakan dalam satuan global hektar (gha) (Gossling et al. 2002; WWF 2008).
i
n
n
n
a
x
a
TEF
=
=
1
73
Dalam konteks ini, pemanfaatan sumberdaya secara optimal tercapai apabila nilai
EF sama dengan nilai kapasitas biologis (biocapacity) dari sumberdaya alam yang
dianalisis. Sementara itu biocapacity (BC) dapat dihitung dengan menggunakan
rumus BC (Lenzen dan Murray 2001) :
YF A BC
i i
= ............................................ (7)
di mana : BC
i
= biocapacity ruang ke-i yang diperlukan untuk wisata
A
i
= luas land cover ruang ke-i (ha);
YF = yield factor land cover.
Yield factor land cover yang digunakan dalam perhitungan biocapacity pada
pendekatan ecological footprint di sini, didasarkan pada setiap tipe land use
(Lenzen dan Murray 2001; WWF 2008). Selanjutnya daya dukung lingkungan
(CC/carrying capacity) dihitung dengan rumus :
i
i
i
EF
BC
CC = .......... (8)
di mana CC
i
= carrying capacity ke-i untuk wisata (orang)
BCi = biocapacity ruang ke-i untuk wisata (ha)
EFi = ecological footprint wisata ke-i (ha/orang)
3.4.3.2 Daya Dukung Perikanan
Pendekatan ecological footprint/EF secara statis (Moffat 2000) dengan
memperhitungkan kebutuhan produktivitas primer (Primary Productivity
Requirements/PPR) (Pauly dan Christensen 1995; Wada 1999 dalam Adrianto dan
Matsuda 2004). Secara teoritik, sistem perairan dibagi menjadi 6 yaitu : (1)
sistem perairan terbuka (Open Oceanic System), (2) Sistem Upwelling, (3)
Tropical Shelves, (4) Non Tropical Shelves, (5) Coastal and Coral System dan (6)
Freshwater System (sungai dan danau) (Pauly dan Christensen 1995).
Selanjutnya dinyatakan produktivitas primer (PP/ primary productivity) untuk
masing-masing sistem tersebut adalah : (1) 103, (2) 973, (3) 310, (4) 310, (5) 890
dan (6) 290 gC/m
2
/th. Kebutuhan produktivitas primer tiap jenis ikan dapat
dihitung berdasarkan tabel referensi tiap kelompok ikan berdasarkan rata-rata
trohpic level (TL) dari sistem perairan. Untuk Gugus Pulau Batudaka ada dua
sistem yaitu Tropical Shelves dan Coastal and Coral System. Tropik level untuk
kedua sistem tersebut tertera pada Tabel 16.
74
Tabel 16 Tropik Level berbagai jenis ikan untuk Gugus Pulau Batudaka
Sistem Perairan Kelompok Spesies Tropic Level
Tropical shelves Small Pelagics 2.8
Misc. teleosteans 3.5
Jack, Mackerel 3.3
Tuna, bonitos, bilifishes 4.0
Squids, cuttlefish, octopuses 3.2
Shrimps, prawn 2.7
Lobster, crabs, other 2.6
Sharks, rays, and chimaeras 3.6
Coastal and Coral System Bivalves and other mollusca 2.1
Misc. Marine fishes 2.8
Herrings, sardines and anchovies 3.2
Seaweeds 1.0
Jack, Mackerel 3.3
Diadromous Fishes 2.8
Shrimps, prawn 2.6
Turtles 2.4
Sumber : Pauly and Christensen (1995).
PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Christensen (1995) yaitu :
) 1 (
10
9
+
=
TLi i
i
C
PPR ......... (9)
di mana : PPR
i
= kebutuhan produksivitas primer spesies ikan ke-i;
C = hasil tangkapan spesies ikan ke-i, C dibagi 9 sebagai konversi
berat atom C (Wada 1999 dalam Adrianto dan Matsuda 2004);
TL-i = rata-rata jumlah transfer tropic level produktivitas primer hasil
tangkapan ke-i.
Estimasi EF sumberdaya perikanan secara statis dimulai dengan produksi utama
biomassa ikan di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (Tabel 17) dan di
perairan Kabupaten Tojo Una-Una (Lampiran 1). Jika rata-rata efisiensi transfer
adalah 10% (Pauly dan Christensen 1995) maka ruang ekologis sistem perairan
untuk Gugus Pulau Batudaka dapat dihitung dengan formula (Wada 1999 dalam
Adrianto and Matsuda 2004) sebagai berikut.
a
n
i
ia
a
PP
PPR
EF
=
=
1
...... (9)
di mana : EF
a
= ruang ekologis sistem perairan a;
PPR
ia
= kebutuhan produktivitas primer spesies i di sistem perairan a;
PP
a
= produktivitas primer sistem perairan a; n = jumlah ikan
75
Tabel 17 Produksi ikan di Kecamatan Una-Una Tahun 2005-2008
Nama
Indonesia/lokal
Nama Inggris
Nama Ilmiah
Volume (kg)* Sistem
Trophic
Level
2005 2006 2007 2008 Perairan
Kerapu sunu Grouper
Plecrtopormus
leopardus
4 346 5 348 4 229 3 461 2 2.8
Kakap
Giant sea
pearch/Baramundi
Lutjanus sp. 7 963 7 880 5 753 8 060 2 2.8
Tongkol Frigate mackerel Auxis sp. 15 200 12 000 12 600 15 060 1 4.0
Teri/lureh/ rono
Commerson's
anchovy
(Anchovies)
Stolephorus
commersonii
(Stolephorus
sp.)
6 850 7 700 6 685 4 500 1 2.8
Tenggiri
Spotted spanish
mackerel (Indo-
pasific king
mackerel)
Scomberomorus
guttatus
450 250 450 150 1 4.0
Ekor
Kuning/lolosi
Redbely yellow
tail fusilier
Caesio cuning 6 220 5 150 4 160 3 831 2 2.8
Teripang Sea cucumber Stichopus sp 2 070 839 624 1 319 2 2.4
Kepiting bakau Mud carb Scylla serata 80 175 145 185 2 2.6
Udang Barong Spiny lobster Penulirus sp 585 75 560 115 2 2.6
Gurita Octopuses Octopus 300 230 830 280 2 3.2
Sumber : * Data Primer Terolah, DKP Kec. Una-Una 2006-2009
Keterangan : 1) Tropical Shelves; 2) Coastal and Coral System
3.4.4 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity)
Analisis metabolisme sosial ekologis gugus pulau kecil dapat dilakukan
menggunakan pendekatan HANPP yang dikembangkan Haberl et al. (2004).
Profil metabolik masyarakat lokal dan regional dapat digambarkan secara statistik
melalui pendekatan HANPP berupa pertambahan dan kepadatan penduduk,
produksi perikanan laut, serta tata guna ruang perairan. HANPP dapat
menggambarkan ekstraksi sumberdaya perikanan pada ekosistem di Gugus Pulau
Batudaka berdasarkan kebutuhan produktivitas primer (Primary Productivity
Requirements/ PPR). Formula HANPP :
h o
PPR PPR HANPP =
..................................................................... (10)
di mana : HANPP = Kebutuhan produktivitas primer untuk perikanan (kJ);
PPR
O
= potensial kebutuhan produktivitas primer (kJ) diperoleh dari
PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Christensen
(1995) dikalikan energi spesies ikan (kJ/100 g);
PPR
h
= produksi tiap spesies ikan (volume of landing, kg) dikalikan
energi spesies ikan (kJ/100 g) (Adrianto dan Matsuda 2004).
Selanjutnya efisiensi tiap spesies ikan dapat dihitung dengan membandingkan
HANPP dengan PPR
h
.
76
3.4.5 Analisis Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir (Coastal Livelihood
System Analysis-CLSA)
Analisis sosial dan budaya dengan melibatkan masyarakat dilakukan
dengan metode pengkajian CLSA merupakan salah satu penilaian yang objektif dalam
menentukan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pesisir (Adrianto, 2005).
Tahapan yang dilakukan adalah:
(1) Pengumpulan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi
sumberdaya alam;
(2) Menganalisis pengaruh masyarakat pesisir terhadap kondisi sumberdaya
alam;
(3) Identifikasi kebutuhan masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka;
(4) Pemilihan insentif;
(5) Menyusun strategi pilihan mata pencaharian.
3.4.6 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau
Perhitungan nilai ekonomi sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil (PPK)
dimulai dari analisis supply merupakan identifikasi potensi dan kondisi
sumberdaya yaitu tipologi PPK meliputi tipe ekosistem, tipe spesies dan
komunitas yang ada di dalamnya yang dilakukan penilaian ekonomi berbasis pada
teknik valuasi yang relevan untuk setiap sub-tipologi tersebut (Huttche et al.
2002; Adrianto 2005). Teknik penilaian ekonomi penelitian ini melalui
identifikasi manfaat dan biaya (benefit dan cost) kegiatan wisata dan perikanan.
3.4.6.1 Wisata
Manfaat objek wisata dan barang-barang lingkungan lainnya digunakan
pendekatan valuasi ekonomi objek wisata yakni Travel cost method (TCM). TCM
atau metode valuasi dengan biaya perjalanan merupakan salah satu teknik
penilaian yang secara konsep dapat dipergunakan untuk: (1) menilai daerah tujuan
wisata alam; (2) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya
terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; (3) biaya perjalanan total
merupakan biaya perjalanan, makan, dan penginapan; serta (4) surplus konsumen
merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut (Kusumastanto2000).
77
Penawaran (supply) wisata pada dasarnya merupakan gambaran dari
kuantitas dan kualitas dari jasa yang ditawarkan oleh pihak pengelola wisata pada
tingkat harga tertentu. Jasa yang ditawarkan berupa atraksi wisata pada berbagai
tingkat harga, ditentukan oleh beberapa faktor seperti: harga atraksi wisata itu
sendiri; harga atraksi wisata yang lain; biaya pengelolaan dan tingkat teknologi
yang digunakan (Sukirno, 2002). Laju pertumbuhan penawaran produk wisata
akan tergantung dari biaya dan jumlah produk yang ditawarkan, sehingga untuk
menduga laju penawaran produk wisata atau mengestimasi kurva penawaran
produk wisata bahari diturunkan dari fungsi biaya (khususnya biaya jangka
pendek). Beberapa atribut yang mempengaruhi laju penawaran dapat diperoleh
melalui analisis regresi linear berganda menggunakan Excel dan kurva penawaran
dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Mapple 9.5.
Hubungan penawaran/derived supply kunjungan wisata diperoleh dengan
melakukan regresi pada variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah
kunjungan Perhitungan penawaran wisata terkait dengan kegiatan pelayanan
wisata oleh perusahaan yang berkonsekuensi pada biaya produksi. Total biaya
(TC) yang dikeluarkan perusahaan wisata merupakan fungsi penawaran yang
nilainya tergantung dari jumlah kunjungan turis (V) atau secara matematis
dituliskan TC = f(V). Pada umumnya peubah yang dimasukkan dalam fungsi
hanyalah peubah yang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Peubah yang paling
berpengaruh dalam hal ini diantaranya adalah biaya konsumsi dan akomodasi (V
1
)
biaya pemeliharaan fasilitas wisata (V
2
) sebagai peubah bebas dan peubah tidak
bebasnya adalah Total cost (TC) yakni biaya operasional yang dikeluarkan
pengusaha untuk melayani wisatawan atas semua atraksi/produk wisata yang
disuguhkan, sehingga fungsi penawaran produk wisatanya adalah :
TC
=
0
+
1
Ln V
1
+
2
(V
2
)
2
............................................. (11)
di mana : TC = Total biaya operasional pengusaha wisata (US$)
V
1
= Biaya konsumsi dan akomodasi (US$)
V
2
= Biaya pemeliharaan setiap kunjungan wisatawan (US$)
0
= nilai variabel dari total biaya operasional
1
= nilai variabel dari biaya konsumsi dan akomodasi
2
= nilai variabel dari biaya pemeliharaan setiap kunjungan
78
Permintaan (demand) umumnya diartikan jumlah dari suatu barang atau
jasa yang dapat dibeli oleh konsumen pada berbagai kemungkinan harga, dalam
jangka waktu tertentu dengan anggapan hal-hal lain tetap sama atau ceteris
paribus. Permintaan wisata umumnya diapresiasikan dalam bentuk daftar volume
atau tingkat kunjungan yang dilakukan pada berbagai tingkat biaya perjalanan.
Keinginan seseorang untuk melakukan rekreasi dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti umur, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, waktu luang yang dimilikinya,
dan tempat tinggal (Sukirno 2000).
Analisis permintaan (demand) untuk wisata dapat digunakan pendekatan
Travel Cost Method (TCM) berdasarkan Fauzi (2004) dan Adrianto (2006). TCM
merupakan metode yang mengkaji biaya yang dikeluarkan tiap individu untuk
mendatangi tempat wisata di sekitar lokasi penelitian. Prinsip yang mendasari
adalah bahwa biaya yang dikeluarkan untuk berwisata ke suatu area dianggap
sebagai harga akses area tersebut. Jarak merupakan faktor yang menentukan
biaya perjalanan untuk mengunjungi suatu kawasan wisata. Pendekatana zonasi
dapat digunakan bila data mengenai jumlah pengunjung berdasarkan zona (jarak
ke kawasan wisata) tersedia. Namun, bila data jumlah pengunjung menurut zona
tidak tersedia maka dapat dilakukan pendekatan individu untuk menghitung
consumer surplus. Analisis biaya perjalanan yang digunakan di sini adalah
dengan pendekatan individu, dengan tahapan (Fauzi 2004; Adrianto 2006; Sobari
2007; Yudasmara 2010) :
(1) Mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan wisata ke
lokasi tersebut (seperti biaya perjalanan, pendapatan, jarak ke lokasi wisata,
umur, tingkat pendidikan ;
(2) Mengumpulkan data tentang faktor-faktor yang sangat mempengaruhi
permintaan, dalam penelitian diperoleh biaya perjalanan, pendaatan, jarak ke
lokasi wisata merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kunjungan wisata;
(3) Menentukan derived demand diperoleh dengan melakukan regresi pada
variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah kunjungan. Pada umumnya
peubah yang dimasukkan dalam fungsi hanyalah peubah yang memiliki
pengaruh yang sangat kuat. Peubah yang paling berpengaruh adalah biaya
perjalanan (TC), pendapatan (Y) dan jarak ke lokasi wisata (D). Untuk model
79
zonasi, dilakukan regresi untuk masing-masing zona sehingga diperoleh
fungsi permintaan atas kunjungan wisata untuk masing-masing zona. Fungsi
permintaan atas kunjungan wisata untuk model zonasi adalah sebagai berikut :
i i i i
D Y TC V ln ln ln ln
3 2 1 0
| | | | + + = . (12)
di mana : V
i
= trip kunjungan individu ke-i;
TC
i
= biaya perjalanan individu ke-i;
Y
i
= pendapatan individu ke-i;
D
i
= jarak ke lokasi wisata dari lokasi asal individu ke-i;
0
= nilai parameter dari trip kunjungan;
1
= nilai parameter dari biaya perjalanan;
2
= nilai parameter dari pendapatan;
3
= nilai parameter dari jarak ke lokasi wisata;
(4) Menghitung consumer surplus
Setelah mendapatkan kurva permintaan, selanjutnya dapat diperkirakan
manfaat ekonomi yang diperoleh dari kunjungan wisata. Manfaat ekonomi
tersebut diukur dari surplus konsumen wisatawan. Surplus konsumen adalah
perbedaan antara keinginan masyarakat untuk membayar dengan apa yang
dibayarkan konsumen, dihitung dengan langkah-langkah berikut :
(a) Masukkan rata-rata peubah bebas ke dalam persamaan (12);
(b) Selanjutnya CS dihitung dengan menggunakan formula di bawah ini :
1
_
|
i
V
CS
j
= ........................................................................................ (13)
di mana : CS
i
= consumer surplus individu ke-i;
V
i
= jumlah kunjungan individu ke-i;
1
= nilai parameter dari total biaya perjalanan
(5) Menghitung total benefit (nilai rekreasi) lokasi wisata
Dalam model zonasi, maka Total Benefit (TB) diperoleh dengan
menjumlahkan benefit per zona dengan formula berikut :
=
=
n
i
i
TV CS TB
1
....................................................... (14)
di mana : TB = total manfaat ekonomi lokasi wisata
CS
i
= consumer surplus individu i
TV = total kunjungan per tahun (diambil data sekunder)
n = jumlah pengunjung
80
3.4.6.2 Perikanan
Manfaat dari kegiatan perikanan (Gordon 1954 dalam Ruslan 2005) di
Gugus Pulau Batudaka dapat dihitung secara matematis :
TC TR = t ................................... (15)
n n n
X P Y P = t ............... (16)
di mana : = keuntungan;
TR = total revenue (penerimaan total);
TC = total cost (biaya total);
P
n
= harga per satuan produk ikan (Rp/kg);
Y = pendapatan dari total produksi ikan (kg);
X
n
= jumlah input yang digunakan (unit).
3.4.7 Analisis Dinamik Strategi Pengelolaan
Struktur dasar dari model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau
Batudaka yang dibangun mekanismenya dimulai dari masukan, proses, keluaran
dan umpan balik. Mekanisme kerja berkelanjutan yang menunjukkan adanya
perubahan menurut waktu atau bersifat dinamis. Perubahan tersebut akan
menghasilkan petunjuk kerja model yang dapat diamati perilakunya. Adapun
struktur model dalam penelitian ini tertera pada Gambar 15.
Gambar 15 Struktur model integrasi pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus
Pulau Batudaka
SUB MODEL
WISATA
SUB MODEL
PERIKANAN
MODEL
INTEGRASI
OPTIMAL
ARAHAN
KEBIJAKAN
EKOSISTEM
81
Konsep model awal merepresentasikan secara kualitatif seluruh aspek
relevan dari sistem yang akan dibangun (Grant et al. 1997) dengan tahapan sebagai
berikut :
1 Penetapan tujuan, yaitu untuk megestimasi daya dukung lingkungan berbasis
ekologi kawasan terkait dengan dinamika kegiatan wisata dan perikanan.
2 Batasan sistem yang dibangun pada model integrasi wisata- perikanan adalah :
- Sub model wisata
- Sub model perikanan
Selanjutnya komponen-komponen yang didalam sub model tersebut ditentukan
dan dikelompokan sesuai fungsinya.
3 Identifikasi hubungan antar komponen. Secara kualitatif, struktur model yang
dibangun digambarkan dalam diagram alir (Causal loop diagram/CLD) untuk
memahami bagaimana proses, informasi dan strategi dari struktur sistem yang
dibangun (Gambar 16-20).
Secara kuantitatif, struktur model yang dibangun diuraikan masing-masing
sebagai berikut.
3.4.7.1 Sub Model Daya Dukung Wisata
Perumusan model wisata Gugus Pulau Batudaka pada kondisi ecological
footprint 10 tahun ke depan dan prediksi pertumbuhan jumlah wisatawan sebagai
dasar dalam membangun causal loop dan model dinamik yang diacu dari
Solarbesain (2009), yang merupakan pengembangan konsep dan hasil perhitungan
touristic ecological footprint (TEF) dan biocapacity secara manual (Lihat Sub
3.3.2) Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan Gugus
Pulau ini dengan segala sumberdaya yang ada di dalamnya untuk mendukung
jumlah wisatawan yang datang berkunjung di kawasan tersebut. Causal loop
model konseptual dari TEF tertera pada Gambar 16.
82
Gambar 16 Causal loop daya dukung wisata
3.4.7.2 Sub Model Perikanan
Pendekatan secara konseptual untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan
di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang khas dimana
aliran cadangan sumberdaya ikan (flow of fish stock) menjadi faktor penting dalam
keberlanjutan kegiatan ini, sehingga dinamika sumberdaya perikanan menjadi titik
sentral bagi optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan ini, selain
faktor populasi dan degradasi lingkungan.
Sektor Populasi
Verhulst model untuk variabel populasi penduduk di Gugus Pulau
Batudaka diberikan sebagai berikut :
|
.
|
\
|
=
K
N
r r 1
0
.............(16)
di mana r = laju pertumbuhan penduduk
ro = laju pertumbuhan awal;
N = jumlah populasi penduduk pada waktu tertentu (orang);
EF
Penginapan
EF
Energi
Area
Selam
Tot al
Turis
EF
Jalan
EF
Pelabuhan
EF Built -
Up
Exist ing
Energy
Biocapacit y
Exist ing
Cropland
Exist ing
Fishing
Ground
Exist ing
Past ure
Land
Exist ing
Built -up
Exist ing
Past ure
Land
Tot al EF
Wisat a
+
+
+
+
+
+
+
EF
Sandang
Pangan
Sea
Space
Forest
Land
Past ure
Land
Forest
Land
+
- +
+
+
Jumlah
energi
Konsumsi
Energi
Lama
Wisat a
EF
Akt ivit as
Area
Snorkeling
Area W.
Pant ai
+
+
+
+
+
+
Luas
Pengnp
Luas
Pelab
Luas
Jalan
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
83
K = batas atas jumlah populasi (orang)
Laju pertumbuhan populasi penduduk akan turun pada saat jumlah penduduk
(populasi) sebesar N dan akan sama dengan 0 ketika N = K, di mana parameter K
adalah batas atas dari pertumbuhan populasi. Dinamika populasi selanjutnya
dinyatakan secara formal sebagai berikut :
|
|
.
|
\
|
|
.
|
\
|
= =
K
N
N r rN
dt
dN
1
0
.....................................................................(17)
Persamaan di atas memiliki solusi :
( )
t r t
o
e N K N
K N
N
+
=
0 0
0
................................................ (18)
di mana N
t
= populasi pada saat t (orang);
N
0
= populasi awal (orang);
K = populasi maksimal (orang);
r
0
= pertumbuhan bersih populasi setelah mempertimbangkan fertility,
mortality, dan migration multiplier.
Causal loop model konseptual dari sektor populasi tertera pada Gambar 17.
Gambar 17 Causal loop populasi
Sektor Produksi Perikanan
Dasar pemikiran untuk sektor produksi perikanan adalah seberapa besar
sumberdaya perikanan mendukung konsumsi dan kehidupan penduduk di gugus
Pulau Batudaka. Variabel terpenting dalam analisis dinamika perikanan adalah
variabel produksi perikanan (yields). Tidak seperti sumberdaya lainnya, cadangan
Kelahiran
I migrasi
Populasi
Penduduk
Emigrasi
Kemat ian
+
+
-
-
+
+ +
+
+
+ -
-
84
sumberdaya perikanan tidak dapat diestimasi secara langsung. Produktivitas
perikanan dapat diduga dengan menggunakan pendekatan model kuantitatif .
Dalam literatur perikanan, terdapat 2 tipe model fungsional yang sering
digunakan dalam pendugaan produktivitas perikanan yaitu model logistik dan
model Gompertz (Tai et al. 2001). Model logistik diberikan sebagai berikut :
t
t
t
h
K
X
rX
dt
dX
|
|
.
|
\
|
|
.
|
\
|
= 1
.......... (19)
sedangkan model Gompertz diformulasikan sebagai berikut :
t
t
t
h
X
K
rX
dt
dX
|
|
.
|
\
|
= ln ............... (20)
di mana r = intrinsic growth rate,
K = daya dukung lingkungan;
h
t
= laju penangkapan (harvest rate) yang biasanya diasumsikan sebagai
h
t
= qE
t
X
t
, di mana q adalah koefisien tangkap (catchability
coefficient), E adalah tingkat upaya tangkap (fishing effort), dan X
adalah biomassa ikan.
Untuk menyelesaikan model di atas dan menduga parameter-parameter r, K dan q,
digunakan pendekatan model Schnute untuk menyusun persamaan surplus
produksi. Pendekatan Schnute tersebut adalah :
| |
(
+
+ =
(
+
+
+
2
1
1
1 t t
t t
t
T
E E
q CPUE CPUE
Kq
r
r
CPUE
CPUE
Ln ..................... (21)
Dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik, perilaku variabel
populasi dan produktivitas perikanan akan dianalisis untuk mengestimasi tingkat
pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan. Causal loop model konseptual dari
sub-sub model produksi perikanan skala lokal (Kecamatan Una-Una) dan regional
(Kabupaten Tojo Una-Una) tertera pada Gambar 18-19.
85
Gambar 18 Causal loop produksi perikanan lokal
Gambar 19 Causal loop produksi perikanan regional
Sektor Daya Dukung Perikanan
Model dasar daya dukung perikanan berdasarkan Ecological Footprint
dinamik dapat diformulasikan dengan persamaan :
lokij
ij
regij
ij
lokij
ij
ij
Y
EX
Y
IM
Y
DE
EF + = ...................................... `(22)
di mana : EF
ij
= ecological footprint perikanan di pulau ke-i (ha/orang);
DE
ij
= produksi domestik perikanan ke-i (kg/orang);
IM
ij
= produksi perikanan yang diimpor dari pulau lain (kg/ ha);
EX
ij
= produksi perikaan yang diekspor ke pulau lain (kg/ ha);
Y
lok ij
= yield (produktivitas) perikanan lokal di pulau ke-i (kg/ha);
Y
reg ij
= yield (produktivitas) perikanan regional di pulau ke-i (kg/ha).
Produksi
I kan lokal
per area
Fraksi
Tangkapan
Jumlah
armada
Produksi
I kan
Lokal
Biomassa
I kan
Kemat ian
I kan
Pert umbu
han
Marj inal
Koefisien
Tangkap
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
Area lokal
+
Produksi
I kan lokal
per reg
Fraksi
Tangkapan
Jumlah
t rip
Produksi
ikan reg
Biomassa
I kan
Kemat ian
I kan
Pert umbu
han
Marj inal
Koefisien
Tangkap
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
Area
regional
+
86
Elemen dasar dari model tersebut dalam literatur Ecological Footprint
disebut konsumsi riil (Apparent Consumption) yang digunakan untuk mengukur
konsumsi sesungguhnya terhadap sumberdaya (Haberl 2001).
t t t t
EX IM DE AC + = ............................................................................ (23)
di mana : AC
t
= konsumsi riil (kg)
DE
t
= produksi domestik (kg)
IM
t
= jumlah produksi perikanan yang diimpor pada tahun ke- t (kg)
EX
t
= jumlah produksi perikanan yang diekspor pada tahun ke-t (kg)
Impor produk perikanan dapat diestimasi rumus seperti yang diuraikan
Adrianto dan Matsuda (2004) :
( ) b P t CP CP IM
t act pot t
= .................... (24)
di mana IM
t
= estimasi impor ikan pada tahun ke-t (kg);
CP
pot
= konsumsi ikan potensial pada tahun ke-t (kg/orang);
CP
act
= konsumsi ikan aktual kapita pada tahun ke-t (kg/orang);
P
t
= populasi pada tahun ke-t (orang);
t = waktu;
b = koefisien penangkapan.
Adapun causal loop model konseptual dari sektor daya dukung perikanan tertera
pada Gambar 20.
87
Gambar 20 Causal loop daya dukung perikanan
3.4.7.3 Analisis Integrasi Wisata Perikanan
Integrasi Wisata-Perikanan digambarkan dalam diagram alir seperti yang
tertera pada Gambar 21.
Area
Lokal
Area
Regional
Produksi
Regional
Fakt or
Ekivalen
Dat a
Ekspor
EF
Perikanan
Dat a
I mpor
Produksi
Lokal
Laj u
Konsumsi
Domest ik
Dat a
Domest ik
I mpor EF Tot al EF Ekspor EF -
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
88
Gambar 21 Causal loop model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
EF
Penginapan
EF
Energi
Area
Selam
Tot al
Turis
EF
Jalan
EF
Pelabuhan
EF Built -
Up
Exist ing
Energy
Biocapacit y
Exist ing
Cropland
Exist ing
Fishing
Ground
Exist ing
Past ure
Land
Exist ing
Built -up
Exist ing
Past ure
Land
Tot al EF
Wisat a
+
+
+
+
+
+
+
EF
Sandang
Pangan
Sea
Space
Forest
Land
Past ure
Land
Forest
Land
+
- +
+
+
Jumlah
energi
Konsumsi
Energi
Lama
Wisat a
EF
Akt ivit as
Area
Snorkeling
Area W.
Pant ai
+
+
+
+
+
Luas
Pengnp
Luas
Pelab
Luas
Jalan
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Kelahiran
I migrasi
Populasi
Penduduk
Emigrasi
Kemat ian
+
+
-
-
+
+
+
+
+ -
Produksi
I kan lokal
per area
Area
Lokal
Fraksi
Tangkapan
Jumlah
t rip
Produksi
I kan
Lokal
Biomassa
I kan
Kemat ian
I kan
Pert umbu
han
Marj inal
Koefisien
Tangkap
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
Biomassa
I kan 2
Produksi
I kan
Regional
Area
Regional
Jumlah
armada
Fraksi
Tangkapan
2
Produksi I kan
Regional per
area
Koefisien
Tangkap
2
+
+
+
-
-
Produksi
Regional
Fakt or
Ekivalen
Dat a
Ekspor
EF
Perikanan
Dat a
I mpor
Produksi
Lokal
Laj u
Konsumsi
Domest ik
Dat a
Domest ik
I mpor EF Tot al EF Ekspor EF
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
Pet umbuhan
Marginal 2
Kemat ian
I kan 2
+
+
+
+
-
+
-
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
89
3.4.7.4 Verifikasi dan Validasi Model
Prediksi alur proses dari pemanfaatan ruang Gugus Pulau Batudaka
dianalisis menggunakan software StellaResearch 8.0.2 untuk memperoleh model
optimal berdasarkan kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung. Tahapan
verifikasi model sebagai pembuktian bahwa model komputer yang telah disusun
pada tahap sebelumnya mampu melakukan simulasi dari model abstrak yang
dikaji (Eriyatno 1999). Adapun tahapan yang dilakukan adalah tahap analisis
perilaku model dan evaluasi model. Pada tahap analisis perilaku model, model
simulasi komputer digunakan untuk menyatakan serta menentukan bagaimana
semua peubah dalam model berperilaku terhadap waktu. Dalam model dinamik
ini, yang akan diamati secara cermat adalah bagaimana informasi dari peubah-
peubah model dalam sistem pemanfaatan ruang untuk wisata dan perikanan di
Gugus Pulau Batudaka berperilaku terhadap semua titik pada jalur waktu.
Informasi ini akan sangat berguna dalam proses pengujian atau evaluasi model
dan mengestimasi kualitas luaran (output) dari operasi model tersebut.
Pada tahap evaluasi model, berbagai uji harus dilakukan terhadap model
yang telah dibangun untuk mengevaluasi atau validasi suatu model. Keabsahan
suatu model dapat dilihat melalui proses secara iteratif berupa pengujian secara
berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. Uji ini berkisar dari
memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan luaran model dengan data
pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameter yang digunakan di
dalam simulasi model (Masyahoro et al. 2004).
Verifikasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun dengan
cara yang benar, sedangkan validasi model untuk mengetahui apakah model yang
dibangun adalah model yang benar. Penentuan cara pengujian yang paling tepat
untuk memvalidasi suatu model dilakukan melalui pendekatan (1) berdasarkan
asumsi model, yakni pemeriksaan secara kritis atas asumsi-asumsi dasar yang
dibuat pada model yang dibangun, (2) berdasarkan model behavior, yakni hanya
menguji kesesuaian antara perilaku model dengan perilaku sistem nyata, (3)
berdasarkan asumsi dan perilaku model, yakni pemeriksaan asumsi, dan menguji
kesesuaian perilaku model dengan sistem nyata (Murthy et al. 1990).
90
Sintesis dari keseluruhan analisis berdasarkan kerangka pikir penelitian
tertera pada tabel berikut.
Tabel 18 Keterkaitan tujuan dengan metode penelitian
No. Tujuan Metode
1 Menganalisis interaksi sifat ekologis perairan
dan mengestimasi daya dukung lingkungan
dan sumberdaya kawasan Gugus Pulau
Batudaka yang dapat dimanfaatkan bagi
kegiatan wisata dan perikanan berkelanjutan
Analisis Kesesuaian Pemanfaatan (GIS)
Analisis Kelayakan Pemanfaatan :
- Ekologi (Ecological Footprint
anlysis)
- Sosial/kelembagaan (HANPP dan
CLSA)
- Valuasi Ekonomi
2 Merumuskan pengelolaan wisata-perikanan
yang terintegrasi secara spasial di Gugus
Pulau Batudaka.
Analisis Dinamik
91
4 SISTEM SOSIAL EKOLOGI WILAYAH PENELITIAN
Secara Geografis Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean terletak di
tengah Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur pada posisi koordinat
0
0
21-0
0
35LS dan 12135-12158BT Kepulauan Togean terdiri atas 4 wilayah
kecamatan yaitu Una Una, Togean, Walea Besar dan Walea kepulauan, dengan
jumlah desa keseluruhan mencapai 47 desa. Gugus Pulau Batudaka masuk dalam
wilayah administrasi Kecamatan Una-Una. Berdasarkan hasil Survei BRKP tahun
2007, Kecamatan Una-Una memiliki 254 pulau dan pulau yang besar adalah
Pulau Batudaka dan Pulau Una-Una
Ekosistem pesisir dan laut merupakan penunjang bagi kelangsungan hidup
penduduk Gugus Pulau Batudaka. Kondisi ekosistem yang mulai terdegradasi di
beberapa wilayah perairan pesisir dan laut, baik sebagai akibat dari kegiatan
manusia maupun secara alami, memberikan kontribusi kehilangan (loss) dari rente
sumberdaya yang harusnya diterima oleh mayarakat. Indikator keberlanjutan
pengelolaan Gugus Pulau Batudaka mengacu pada penilaian dampak biodiversity
pada model DPSIR (Bin et al. 2009), secara lengkap tertera pada Gambar 22.
Gambar 22 Pendekatan DPSIR sebagai indikator dalam keberlanjutan
pengelolaan Gugus Pulau Batudaka
Populasi
penduduk,
Ekonomi
(permint aan
wisaya,
kegiat an
perikanan)
Dampak
sosial,
ekonomi dan
ekologi
Abrasi dan
sediment asi,
polusi air,
kehilangan
habit at ,
menurunnya
keanekaraga
man hayat i
Konversi
lahan
(pembukaan
mangrove
unt uk
pemukiman
dan t ambak)
sampah
domest ik
Respon sosial,
Respon ekonomi,
Respon ekologi
FAKTOR
PENGGERAK/
DRI VERS (D)
TEKANAN
LI NGKUNGAN/
ENVI ROMENTAL
PRESSURES (P)
PERUBAHAN KONDI SI
LI NGKUNGAN/
ENVI RONMENTAL
STATES CHANGES(S)
DAMPAK/
I MPACTS (I )
Pengurangan
P
e
n
g
u
r
a
n
g
a
n
Peningkat an
P
e
n
g
u
r
a
n
g
a
n
K
e
b
u
t
u
h
a
n
RESPONSES (R)
92
Kondisi ekosistem Gugus Pulau Batudaka dipengaruhi oleh faktor
demografi maupun aktivitas ekonomi seperti permintaan wisata, kegiatan
perikanan mengakibatkan terjadinya tekanan berupa konversi lahan, peningkatan
sampah domestik dan polutan lainnya sehingga status lingkungan berubah dengan
terjadinya abrasi, sedimentasi, pengayaan nutrien perairan, kehilangan hbitat,
penurunan keanekaragaman hayati mangrove yang berdampak pada ekosistem
dan sosial ekonomi serta implikasi kebijakan sesuai arahan penyusunan tata ruang
wilayah pesisir PPK yakni aspek ekologi berdasarkan daya dukung lingkungan,
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan, aspek sosial
ekonomi budaya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4.1 Pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses)
Penilaian dampak pembangunan dan aktivitas masyarakat terhadap kondisi
ekosistem Gugus Pulau Batudaka berdasakan analisis DPSIR. Faktor pengarah
(driving force) yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu aktivitas masyarakat
maupun proses ekonomi yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas ekosistem
sepeti konsumsi, produksi, transportasi, pemukiman, perpindahan penduduk.
Pressure atau tekanan pada ekosistem akibat faktor pengarah tersebut adalah
pemanfaatan sumberdaya alam baik untuk wisata maupun perikanan, penggunaan
lahan. State merupakan indikator status yang menggambarkan kondisi sistem dan
tipe maupun karakteristik secara fisik, kimiawi, dan biologi. Impact merupakan
akibat tekanan pada kondisi ekosistem yang memberikan dampak sosial, ekonomi
dan ekologi. Response adalah berbagai tindakan yang dilakukan oleh masyarakat
baik induvidual maupun secara kolektif untuk mengatasi dampak lingkungan,
mengoreksi kerusakan yang ada atau mengkonservasi sumberdaya alam, meliputi
penetapan peraturan, pengeluaran biaya penelitian, pendapat masyarakat dan
preferensi konsumen, perubahan strategi manajemen dan lain-lain (Pinter et al.
1999; Mattei 2007).
4.1.1 Faktor-faktor Sosial Ekonomi (Socio-economic Drivers)
4.1.1.1 Demografi Kependudukan
Faktor-faktor driver pada kawasan Gugus Pulau Batudaka antara lain
yang berkaitan dengan kondisi demografi kependudukan (pertumbuhan,
93
kepadatan dan tingkat ketergantungan penduduk) yang mempengaruhi hubungan
fungsional terhadap kerentanan ekosistem pesisir gugus pulau.
Jumlah penduduk di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una dalam
periode Tahun 2001-2008 mengalami pertumbuhan sebesar 2% per tahun, yaitu
dari 11 325 jiwa pada Tahun 2001 menjadi 13 106 jiwa pada tahun 2008, terdiri
atas 3 547 rumah tangga dengan sebaran rata-rata per rumah tangga sebanyak 4
jiwa dengan kepadatan 44 jiwa/km
2
(BPS Touna 2009). Sementara pertumbuhan
penduduk rata-rata di Kabupaten Tojo Una - Una berdasarkan hasil perhitungan
penduduk dari tahun 2001-2005 adalah 0.04 atau 4% per tahunnya dan
pertumbuhan penduduk menurut kecamatan yang berada di daratan Pulau
Sulawesi berkisar antara 4%-7% (Bappeda Touna 2007).
Penduduk Kecamatan Una-Una pada Tahun 2008 sebagian besar termasuk
dalam kelompok umur produktif (15-55 tahun) sebesar 60%, dan kelompok umur
muda (0-15 Tahun) 32% dan kelompok umur tua (>55 tahun) sebesar 8%, dengan
jumlah penduduk yang sementara bersekolah (SD-SMA) sebesar 23% (BPS
2009).
Gambar 23 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur produktif
Tahun 2003-2008 di Kecamatan Una-Una
Klasifikasi penduduk menurut kelompok umur di Kecamatan Una - Una
terbagi atas penduduk usia produktif terdiri atas kelompok usia 15-55 tahun dan
penduduk usia non produktif yang tergolong dalam usia 0-14 tahun dan 55 tahun
keatas (Gambar 23). Pengklasifikasian penduduk berdasarkan kelompok umur
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
2003 2004 2005 2006 2007 2008
Produktif
NonProduktif
94
memberikan gambaran mengenai tingkat ketergantungan penduduk usia non
produktif terhadap penduduk usia produktif pada Tahun 2008. Usia produktif di
Kecamatan Una-Una yaitu sejumlah 7 819 jiwa dengan jumlah usia non produktif
5 286 jiwa sehingga angka ketergantungannya mencapai 68%. Semakin besar
penduduk usia non produktif maka akan semakin besar pula tingkat
ketergantungan terhadap penduduk produktif dan sebaliknya. Besarnya kelompok
usia produktif ini merupakan faktor driver yang mempengaruhi kualitas ekosistem
di kawasan ini.
4.1.1.2 Permintaan Wisata
Berdasarkan analisis pasar wisata Sulawesi Tengah tahun 2008 bahwa
50% kunjungan wisatawan mancangara (wisman) menurut minat wisata adalah
wisata selam, dan obyek wisata selam yang dikunjungi sebesar 64% ke Kepulauan
Togean dengan pengunjung terbanyak yaitu 78% berasal dari Eropa (Jerman, dan
Italia) dan trend kunjungan tertinggi bulan Agustus-Desember dimana 60%
wisman memiliki lama tinggal 510 hari, 23% dengan lama tinggal 11-15 hari dan
9% memiliki lama tinggal >15 hari dengan minat terbesar karena kondisi alam,
laut dan menyelam. Peningkatan tersebut berkaitan dengan aktivitas liburan di
negara-negara Eropa (Disbudpar Prov. Sulteng 2009). Pintu kedatangan
wisatawan ke Gugus Batudaka Kepulauan Togean adalah dari Gorontalo,
Makassar, dan Balikpapan, dengan tipe perjalanan wisman adalah individual dan
bersama keluarga. Motif wisman sebagian besar adalah wisata selam ini
berkonsekuensi terhadap daerah yang mampu menyediakan pelayanan wisata
selam dam aksesibilitas ke obyek tersebut.
Pelayanan wisata selam di Gugus Pulau Batudaka disediakan oleh 2
pengusaha yaitu di Wakai Cottage (Desa Wakai) dan Retreat Island Cottages
(Pantai Tipae Desa Bomba), juga tersedia sarana penginapan di Desa Wakai dan
Desa Bomba (Pantai Tipae dan Pulau Poya). Aksesibilitas pencapaian menuju
tempat wisata ke kawasan ini dari Kota Ampana menuju Bomba (3-4 kali
seminggu), Wakai (4-5 kali seminggu), dan dari Gorontalo ke Wakai (sekali
seminggu). Kebutuhan wisman atau pasar dalam hal ini adalah daya tarik obyek
wisata beserta sarana penunjang merupakan faktor driver dalam pengelolaan
Gugus Pulau Batudaka.
95
4.1.1.3 Kegiatan Perikanan
Pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir di Gugus Pulau Batudaka
masih dilakukan dalam skala kecil (unit ekonomi keluarga) dan nelayan di sini
kebanyakan adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap sederhana seperti
pancing, jaring, dan bagan. Usaha budidaya perikanan di kawasan ini relatif
sedikit yaitu Karamba Jaring Tancap (ikan hidup seperti kerapu, napoleon ikan
karang lain karamba jaring apung (bandeng), budidaya rumput laut, dan teripang.
Usaha pembukaan tambak berkaitan dengan pencarian lahan berusaha, hal ini
merupakan faktor driver di kawasan ini.
Jumlah tenaga kerja (10 tahun keatas) pada Tahun 2008 sebanyak 78%
(1 266 orang) di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una bergerak di bidang
pertanian termasuk perikanan, dengan kepemilikan perahu motor sebanyak 369
buah dan perahu tidak bermotor 438 buah dengan alat tangkap berupa pancing
807 buah dan bagan 48 buah. Kegiatan perikanan tersebut juga memberikan
kontribusi terhadap kondisi ekosistem di Gugus Pulau Batudaka.
4.1.2 Tekanan Lingkungan (Enviromental Pressures)
Pressure atau tekanan pada lingkungan/ekosistem akibat faktor-faktor
pengarah/drivers tersebut yaitu perkembangan penduduk yang pesat
mengakibatkan kebutuhan lahan pemukiman dan lahan berusaha (perikanan dan
pertanian) juga semakin meningkat. Kebutuhan akan pemukiman dan
prasarananya seperti jalan mendorong pembukaan lahan mangrove di Desa
Taningkola dan untuk tambak di Luangon Desa Bambu. Pesatnya pertambahan
penduduk juga memberi tekanan yang besar pada upaya konservasi yang telah
dilakukan selama ini, seperti kesadaran masyarakat menangani sampah domestik
masih kurang, hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan membuang sampah ke laut.
Dalam beberapa kasus masyarakat cenderung melakukan pemanfaatan
sumberdaya hayati dengan cara yang tidak ramah lingkungan, cara yang dipakai
cukup sederhana tapi efek kerusakan dan kehancuran eksosistem yang diakibatkan
sistem ini sangat besar, misalnya penggunaan bom dan racun dalam penangkapan
ikan maupun fauna lain yang dilindungi dan kemudian diselundupkan keluar
Gugus Pulau Batudaka yang merupakan kawasan Taman Nasional Kepulauan
96
Togean. Selain tekanan karena penduduk dan kegiatan perikanan tersebut, adanya
aktivitas wisata pun memberikan kontribusi terhadap kualitas perairan
Indikator stress terhadap tekanan lingkungan yang terjadi di kawasan
Gugus Pulau Batudaka adalah a) konversi lahan, khususnya hutan mangrove
untuk pemukiman dan tambak, b) jumlah sampah domestik dan polutan lainnya
yang cenderung meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk, aktivitas wisata
dan perikanan (terutama yang menggunakan perahu bermotor).
4.1.3 Perubahan Kondisi Lingkungan (Environmental State Changes)
Faktor status ekosistem berhubungan dengan kondisi perubahan kualitas
perairan, perubahan lingkungan pesisir berupa dampak fisik seperti abrasi dan
sedimetasi, polusi air/pengayaan nutrien perairan, kehilangan habitat dan
menurunnya biodiversity/ keanekaragaman hayati. Indikator referensi yang
berkaitan dengan status ekosistem di Gugus Pulau Batudaka yakni kualitas
perairan seperti yang tertera pada Tabel 19. Kondisi lingkungan perairan di Gugus
Pulau Batudaka relatif sesuai. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengukuran di
lapangan dibandingkan dengan baku mutu lingkungan untuk kegiatan perikanan
dan pariwisata menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH)
No. 51 Tahun 2004.
Tabel 19 Kondisi kualitas perairan Gugus Pulau Batudaka
Parameter Baku Mutu KMNLH Kondisi/Status Keteragan
Wisata bahari Biota Laut
pH 7.00-8.50 7.00-8.50 7.20-8.08* Sesuai
Salinitas () <34 <34 29.5-34.5* Sesuai
DO (mg/L) >5 >5 6.41-8.16* Sesuai
BOD (mg/L) 10 20 2.90-3.05** Sesuai
PO
4
(mg/L) 0.015 0.001*** 0.0070-0.0078** Sesuai
NO
3
(mg/L) 0.008 5.0*** 2.13-3.84** Sesuai
Keterangan : * Data Primer, semua stasiun biofisik (2009)
** Stasiun 5, 6, 7, Hasil Analisis Laboratorium Terpadu Fakultas Pertanian UNTAD (2009);
*** US EPA (1973)
Secara umum kondisi kualitas perairan di Gugus Pulau Batudaka masih
relatif baik sehingga memungkinkan untuk aktifitas kegiatan wisata dan
perikanan. Kandungan nitrat dalam suatu perairan menjadi indikator kesuburan
perairan tersebut. Dalam keadaan cukup oksigen terlarut (aerob), nitrogen dapat
97
diikat oleh organisme renik (bakteri) yang kemudian diubah menjadi nitrat
sehingga tingginya nitrat di perairan diduga karena banyaknya organisme renik
yang melakukan aktivitas tersebut sehingga menjadi subur. Kandungan nitrat di
perairan untuk lokasi budidaya rumput laut sebaiknya antara 0.10.7 mg/l (Aslan
1998), di luar kisaran tersebut maka nitrat menjadi pembatas pertumbuhan
fitoplankton. Kadar nitrat yang normal di perairan laut berkisar antara 0.0150
mg/L (Brotowidjoyo et al. 1995).
Ditinjau dari indikator lingkungan, dari lima parameter kimia yang
digunakan (pH, Salinitas, BOD, Fosfat dan Nitrat), satu parameter yaitu nitrat
telah berada diatas baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Hal ini dipengaruhi adanya aktivitas
masyarakat yang membuang sampah domestik ke laut maupun adanya pembukaan
lahan mengakibatkan peningkatan nitrat di perairan. Sumber amonia di perairan
adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen
anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan
organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh
mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendie 2004).
KMNLH (2004) memberikan Nilai Ambang Batas (NAB) nitrat untuk
wisata bahar dan biota laut, namun tidak memberikan NAB untuk karang. Hal ini
disebabkan nitrat merupakan nutrisi bagi organisme perairan, sehingga
diperkirakan tidak memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan dan
perkembangan karang. Indikator referensi perubahan lingkungan berupa dampak
fisik seperti abrasi dan sedimetasi serta kehilangan habitat dan menurunnya
keanekaragaman hayati, hal ini tergambar dari hasil Citra Landsat 7 ETM+ tahun
2000 dibandingkan dengan Tahun 2010 (Gambar 24-25). Selama kurun waktu
10 tahun di Gugus Pulau Batudaka terjadi peningkatan luasan mangrove, karang
hidup dan penurunan lamun (Tabel 20).
98
Gambar 24 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000
99
Gambar 25 Peta analisis hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2010
100
Tabel 20 Hasil klasifikasi Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000 dan 2010
Hasil Klasifikasi
Tahun
Perubahan
Luasan
%
2000 2010
--------------------- (ha) ---------------------
Karang Hidup 1 192 1 781 588 49
Karang Mati 1 112 1 761 649 58
Pecahan Karang 369 256 -113 -31
Lamun Kerapatan Rendah 231 193 -38 -16
Lamun Kerapatan Tinggi 267 112 -155 -58
Pasir 1 691 658 -1 033 -61
Tidak Teridentifikasi 487 441 -46 -9
Mangrove 1976 2031 55 3
Sumber : Hasil olahan data Primer (2011)
Luasan karang hidup di Gugus Pulau Batudaka dalam waktu 10 tahun
mengalami peningkatan 49% atau sekitar 5%/tahun. Peningkatan luasan karang
hidup dan karang mati juga diikuti penurunan pecahan karang. Hasil ini ditunjang
dengan pengamatan pada stasiun Karangan Timur Tahun 2009 memiliki tingkat
penutupan karang hidup rata-rata 59%, dan CEPI (Collaborative Environmental
Project in Indonesia) pada Tahun 2000 mengamati penutupan karang hidup pada
stasiun yang sama sekitar 50% (Allen et al. 2002). Peningkatan luasan karang
hidup ini juga ditemukan seperti pada kawasan lain yakni adanya indikasi
pertumbuhan dan perkembangan koloni karang muda dari berbagai spesies,
terutama Acropora berbentuk ACT (Acropora tabulate) dengan rataan diameter
koloni 10-30 cm/th yang rusak akibat pemanfaatan di TWAL 17 Pulau Riung
NTT (Sahetapi dan Manuputty 2003).
Luasan lamun menurun sekitar 16-58% atau sekitar 2-6%/tahun. Hal yang
sama ditunjukkan dengan hasil analisis spasial pada luas ekosistem padang lamun
di Kepulauan Togean pada tahun 2001 dan tahun 2007 terjadi penurunan sekitar
5.5%/tahun (Zamani et al. 2007).
Luasan mangrove meningkat 3% atau sekitar 0.3%/tahun, walaupun hasil
penelitian Zamani et al. (2007) menunjukkan penurunan luasan mangrove sekitar
1%/tahun (Citra Tahun 2001 dan 2007) di kawasan Kepulauan Togean.
Pembukaan areal mangrove di Gugus Pulau Batudaka di Desa Taningkola dan
Luangon Desa Bambu sekitar tahun 2000. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai
101
dampak fisik seperti abrasi pantai pada daerah yang lebih terbuka (di Taningkola)
dan sedimentasi akibat penebangan mangrove dan pembukaan hutan untuk areal
perkebunan (Taningkola, dan Bambu), maupun dampak biologi seperti
berkurangnya frekuensi, densitas dan dominasi mangrove yang terjadi di Luangon
(Desa Bambu). Adhiasto (2001) melaporkan mangrove di Desa Bambu
didominasi oleh tegakan Bruguiera gymnorrhyza dengan frekuensi mencapai
100%, namun dengan adanya pembukaan tambak di Desa Bambu dan
pemukiman di Desa Taningkola menyebabkan zonasi tersebut terbuka dan terjadi
perubahan zonasi karena zonasi yang terbuka tersebut akan ditumbuhi semak dan
anak pohon dari Genus Rhizophora. Berdasarkan Laporan Pemantauan Ekosistem
wilayah pesisir Teluk Tomini Tahun 2008 bahwa status kerusakan lingkungan laut
Kecamatan Una-Una cenderung masih baik dan terlindungi, namun ekosistem
mangrove yang rusak sebagian besar diakibatkan alih fungsi lahan mangrove
menjadi tambak tradisional, pewarna jaring, kayu bakar, perkebunan campuran
(kelapa, palawija), lahan pemukiman baru, sebagian kecil disebabkan oleh proses
alam seperti abrasi, banjir.
4.1.4 Dampak (Impact)
Proses perubahan fungsi ekosistem Gugus Pulau Batudaka
konsekuensinya berdampak pada kesejahteraan manusia yang berkaitan dengan
produktivitas, kesehatan, kenyamanan dan perubahan nilai kondisi yang ada.
Indikator dampak akibat tekanan akivitas pembangunan di kawasan tersebut
dikelompokkan sebagai dampak terhadap ekosistem dan sosial ekonomi.
4.1.4.1 Dampak Ekosistem
Pendekatan sistem secara keseluruhan terhadap integrasi ekosistem yang
berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsi ekosistem pesisir Gugus Pulau
baik kualitatif maupun kuantitatif. Integrasi ekosistem berdasarkan indikator
ruang meliputi Lanscape, wter regim dan biodiversity (Turner et al. 2000).
(1) Bentang Alam/Landscape
Struktur wilayah Gugus Pulau Batudaka dengan topografi dataran adalah
datar sampai berombak dengan sedikit bagian yang berbukit yaitu 28% daratan,
51% bagian berbukit dan 21% pegunungan. Komposisi penggunaan lahan di Kec.
102
Una-Una pada Tahun 2007 (Tabel 21) dengan penggunaan lahan terbesar untuk
konversi hutan produksi dan perkebunan. Kawasan permukiman relatif rendah
mengingat jumlah penduduk yang kecil dengan tingkat pertumbuhan penduduk
2%/tahun. Kecenderungan di kawasan ini terjadi pembukaan lahan tidak
produktif untuk perkebunan, pembukaan mangrove untuk permukiman dan jalan
di Desa Taningkola dan untuk tambak di Luangon Desa Bambu.
Tabel 21 Penggunaan lahan Kecamatan Una-Una Tahun 2007
Guna Lahan Luasan (Ha)
%
Dermaga 0.42 0.00
Hutan Lindung 3 985.92 10.79
Hutan Produksi Terbatas 17.52 0.05
Hutan Produksi Tetap 3 604.28 9.76
Hutan Produksi yang dapat dikonversi 9 533.46 25.82
Kawasan Pantai 27.18 0.07
Kawasan Perkebunan 8 015.94 21.71
Kawasan Permukiman 206.15 0.56
Kawasan Pertanian Lahan Kering 2 662.50 7.21
Lahan Terbuka 141.58 0.38
Rawa 1 456.70 3.95
Semak Belukar 2 473.65 6.70
Sungai 810.57 2.20
Terumbu Karang 3 988.21 10.80
Total 36 924.08 100.00
Sumber : RTRW Kab. Tojo Una-Una (Bappeda Touna 2007)
Peningkatan jumlah penduduk mendorong masyarakat untuk membuka
ruang untuk pemukiman dan untuk usaha (wisata dan perikanan). Hal ini
mengakibakan perubahan struktur tata guna lahan daratan termasuk pantai dan
laut dalam arti terjadi pengurangan luasan hutan dan kawasan mangrove.
Perubahan ini menunjukkan bahwa tekanan demografis dan ekonomis telah
berdampak pada perubahan tata guna lahan baik struktur lanscape, komposisi
maupun fungsi di Kawasan Gugus Pulau Batudaka.
(2) Tata guna Air/Wter Regime
Struktur rejim air berkaitan dengan hidrologi (pergerakan, distribusi dan
kualitas air di muka bumi). Daerah Gugus Pulau Batudaka dihubungkan dengan
perairan laut dan PPK dengan kedalaman 0200 m. Secara keseluruhan daratan
dan perairan kawasan ini merupakan satu kesatuan dari Kepulauan Togean.
103
Pulau Batudaka memiliki 3 sungai yaitu Sungai Taningkola (panjangnya 1 km),
Sungai Tinompo (1 km) dan Sungai Malintang (3 km), yang berasal dari dua
gunung yaitu Gunung Pinaat (100 m) dan Gunung Papoko (92 m). Tekstur
tanah di Gugus Pulau Batudaka termasuk sedang sampai kasar dengan drainase
cukup baik. Peningkatan pertumbuhan penduduk juga berimplikasi terhadap
peningkatan konsumsi air. Sumber air bersih di Gugus Pulau Batudaka berasal
dari mata air, air sungai maupun sumur gali untuk memenuhi kebutuhan air di 13
desa yang ada di daerah tersebut. Berkurangnya debit air di Desa Kulingkinari
dan Molowagu akibat mesin pompa rusak, sehingga kebutuhan air bersih menjadi
terbatas, terutama bagi penduduk pulau kecil lainnya yang tidak memiliki sumber
air tawar seperti pulau Taufan menjadi lebih jauh untuk memperoleh air.
Komposisi rejim air berkaitan dengan biogeokimia air yaitu berhubungan
dengan siklus nutrien di bumi dimana proses ekosistem dan fungsinya
berhubungan dengan barang dan jasa yang dapat diukur dalam nilai ekonomi
(pada bagian Analisis Valuasi Ekonomi).
(3) Biodiversity
Struktur Biodiversity/keanekaragaman hayati berhubungan dengan struktur
rantai makanan. Pengurangan salah satu tingkatan trofik level dapat
mempengaruhi keseimbangan dalam rantai makanan. Komposisi keanekaragaman
hayati berhubungan dengan spesies kunci dan payungnya. Gugus Pulau Batudaka
memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi, baik di laut maupun darat.
Pengamatan terumbu karang (Data primer 2009) dan hasil penelitian Zamani et
al. (2007) di Gugus Pulau Batudaka ditemukan 8 genus terumbu karang. Hasil
Marine Rapid Assessment Program (MRAP) di Kepulauan Togean, yang
dilakukan oleh CII bekerjasama dengan Lembaga Oceanografi LIPI dan
Universitas Hasanuddin, tahun 1998 lalu berhasil mengidentifikasi sedikitnya 262
spesies karang yang tergolong kedalam 19 familia pada 25 stasiun terumbu karang
yang tersebar di Kepulauan Togean. Hasil MRAP juga mencatat adanya jenis
karang endemik Togean, yaitu Acropora togeanensis pada 3 titik pengamatan
terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka. Berdasarkan hasil penelitian Wallace
et al.(1998) dari total 91 jenis Acropora yang ditemukan di Indonesia (merupakan
tertinggi di dunia), 78 diantaranya terdapat di Kepulauan Togean.
104
Pengamatan jenis ikan terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka
ditemukan sebanyak 17 genus (Data Primer 2009), sedangkan Zamani et al.
(2007) menemukan sebanyak 21 famili dan 112 spesies ikan, untuk Kepulauan
Togean tercatat 596 spesies ikan yang termasuk dalam 62 familia. Jenis
Paracheilinus togeanensis dan Escenius sp diduga kuat merupakan endemik yang
hanya bisa ditemukan di Kepulauan Togean. Selain itu juga tercatat 555 spesies
moluska dari 103 familia, 336 gastropoda, 211 bivalvia, 2 cephalopoda, 2
scaphopoda dan 4 spesies chiton.
Menurut data BKSDA (2006) luas hutan mangrove Kepulauan Togean
diperkirakan sekitar 4 800 ha yang tersebar di beberapa pulau besar seperti
Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian pulau Walea Bahi, khusus Gugus
Pulau Batudaka sekitar 2 031 ha (Data Primer 2010). Survey oleh CII dan
Yayasan Pijak tahun 2001 mengidentifikasi 33 spesies mangrove di Kepulauan
Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14
spesies mangrove ikutan (associate mangrove). Ke-33 jenis mangrove tersebut
dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia. Fauna yang teridentifikasi hidup
di hutan mangrove sedikitnya 50 spesies yang tergolong dalam 47 genus, yaitu
golongan Aves (10 genus), Pisces (10 genus), Amphibia (2 genus), Reptilia (3
genus), Mamalia (2 genus), dan Benthos (20).
Fungsi keanekaragaman hayati berkaitan dengan transfer energi antara
trofik level. Keberadaan hutan mangrove (hutan bakau) di Gugus Pulau Batudaka
selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan
ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakatnya.
Meski memiliki luasan yang tidak terlalu besar, namun hutan mangrove memiliki
fungsi penting bagi Gugus Pulau Batudaka yang merupakan kawasan pulau-pulau
kecil. Berdasarkan indikator ruang terhadap integrasi ekosistem maka tekanan
aktivitas manusia akan memberikan dampak terhadap sistem alam Gugus Pulau
Batudaka yaitu ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Kurangnya
kesadaran masyarakat akan mempengaruhi ekosistem alamiah gugus pulau, juga
berkaitan dengan pembangunan berwawasan lingkungan yakni kerentanan
ekosistem akan menurun sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat.
105
4.1.4.2 Dampak Sosial Ekonomi
Salah satu indikator yang menjelaskan mengenai kondisi perekonomian
suatu daerah adalah PDRB. PDRB merupakan dasar penyusunan nilai tambah
yang mampu diciptakan akibat timbulnya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu
wilayah tertentu dan besarannya menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam
mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. PDRB
perkapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh masing-
masing penduduk akibat adanya aktivitas produksi. Indikator ini menggambarkan
tingkat kemakmuran suatu daerah, makin tinggi PDRB perkapita makin tinggi
kemakmuran penduduk daerah tersebut. Kecamatan Una-Una menyumbangkan
PDRB sebesar 7.12% terhadap Kabupaten Tojo Una-Una per tahunnya (Tabel
22), yang terbesar berasal dari lapangan usaha pertanian (43.56%) sedangkan
sektor perikanan hanya menyumbang sebesar 3.2%, jasa-jasa (16.96%) dan
perdagangan, hotel, restauran (12.73%) (BPS Touna 2009).
Tabel 22 PDRB Kabupaten Tojo Una-Una berdasarkan harga berlaku per
kecamatan (Rp)
No.
Lapangan
Usaha 2000 2001 2002 2003 2004
1 Tojo 2 973 664 3 282 062 3 498 024 3 801 114 4 144 071
2 Tojo Barat 2 996 271 3 298 613 3 506 848 3 804 176 4 137 688
3 Ulu Bongka 1 991 688 2 202 589 2 394 815 2 602 356 2 828 983
4 Ampana Tete 2 899 271 3 312 788 3 639 922 3 963 233 4 308 329
5 Ampana Kota 2 819 113 3 226 923 3 695 014 4 001 559 4 388 472
6 Una Una 1 290 901 1 397 453 1 498 624 1 623 390 1 762 129
7 Togean 1 368 178 1 368 178 1 368 178 1 368 178 1 368 178
8 Walea Kepulauan 1 581 096 1 851 096 1 581 096 1 581 096 1 581 096
PDRB Kabupaten 17920 182 19939702 21 182 521 22745102 24 518 946
Sumber : BPS Touna (2005)
Aktivitas penduduk dan pembangunan di wilayah daratan dapat menekan
fungsi ekosistem melalui pembuangan limbah domestik dan kebutuhan lahan
untuk pemanfaatan penduduk sehingga akan mempengaruhi kualitas perairan dan
ekosistem pesisir Gugus Pulau Batudaka baik langsung maupun tidak langsung
seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan
berbagai upaya untuk menentukan batas optimasi penggunaan lahan aktivitas
ekonomi yang tidak berdampak buruk pada ekosistem pulau-pulau kecil.
106
Berdasarkan optimasi tersebut dapat dirancang berbagai strategi yang berpihak
pada konservasi dan keberlanjutan pembangunan di Gugus Pulau Batudaka.
Kondisi ekosistem baik akan menghasilkan produktivitas yang baik pula
dan secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan
pendapatan per kapita masyarakat menyebabkan kerentanan ekosistem meningkat
atau menurun, hal ini tergantung pada kebijakan lingkungan yang
diimplementasikan, kerentanan akan menurun apabila kebijakan pro pada
konservasi sumberdaya pulau-pulau kecil. Pengembangan kelenturan (resilience)
ekososio sistem merupakan kunci bagi pembangunan yang keberlanjutan (Berkes
dan Seixas 2005). Kelenturan berhubungan dengan gabungan dinamika sistem
manusia dan lingkungan yang menghindari penekanan atau pemisahan dari faktor
lingkungan dan sosial serta mempertimbangkan sepenuhnya kompleksitas
dinamika yang ada di dalamnya (Berkes 2007) sehingga sangat sesuai dengan
konsep ICM (integrated coastal management) yang merupakan paradigma
pengelolaan yang digunakan saat ini.
4.1.5 Kebijakan (Policy Response Options)
Kebijakan yang dipilih berkaitan dengan pembangunan di Gugus Pulau
Batudaka antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah dan pembangunan yang
melibatkan masyarakat. Gugus Pulau Batudaka secara administrasi masuk
wilayah Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo Una-Una (Touna), dan merupakan
wilayah Taman Nasional Pulau Togean dengan implementasi kebijakan mengacu
pada RTRW Kabupaten Touna (Bappeda Touna 2007) dan dituangkan dalam
RDTR Kepulauan Togean maupun Peraturan Daerah Kawasan Kepulauan Togean
(BKSDA 2006) yang mengatur perwilayahan pembangunan berwawasan
lingkungan.
Implementasi kebijakan tersebut hanya bersifat simbolik apabila pelibatan
masyarakat secara menyeluruh tidak terlaksana dengan baik. Hal ini
menimbulkan konflik yang berkepanjangan seiring dengan pemanfaatan
sumberdaya alam Gugus Pulau Batudaka. Mengingat, sebelumnya terjadi konflik
masyarakat dengan pengusaha budidaya mutiara, disusul dengan dengan
ditetapkannya kawasan tersebut menjadi Taman Nasional, walaupun sampai
sekarang belum ada penetapan zonasi, masyarakat setempat beranggapan adanya
107
TNKT maka hak-hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam menjadi
terbatas/dilarang seperti hasil tangkapan lola/kimah dan teripang akan dibuang ke
laut oleh pihak keamanan bila diambil dari zona terlarang TNKT, juga masyarakat
kesulitan memperoleh izin untuk memanfaatkan rotan maupun kayu untuk rumah.
Di sisi lain, Pemerintahan Daerah dengan kewenangannya berdasarkan UU No. 32
Tahun 2004 untuk mengelola sumberdaya alam meliputi eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengeloaan kekayaan laut. Kesemua permasalahan tersebut dapat
diatasi apabila semua pihak terkait duduk bersama untuk memikirkan arah
pembangunan yang akan dilaksanakan di kawasan tersebut. Pentingnya pelibatan
masyarakat yang merupakan aktor dan obyek pembangunan, mengingat sampai
saat ini masyarakat Gugus Pulau Batudaka masih menerapkan kearifan lokalnya
dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kearifan lokal tersebut dapat dijadikan
acuan dalam pengelolaan sumberdaya alam, sehingga konflik yang terjadi dapat
diatasi dan ekosistem alami dapat terjaga.
Berdasarkan kerangka DPSIR diatas, pada aspek ekologi ditekankan
bahwa penyusunan tata ruang wilayah pesisir pulau-pulau kecil di kawasan Gugus
Pulau Batudaka harus sesuai dengan daya dukung lingkungan serta
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan. Aspek sosial
ekonomi budaya, pembuatan tata ruang diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sehingga dalam penyusunannya melibatkan partisipasi
masyarakat dan stakeholder yang berkaitan langsung dengan pemanfaatan
sumberdaya pesisir. Aspek kebijakan, arahan penyusunan tata ruang harus
bersesuaian dengan pembangunan pemerintah.
Aplikasi kerangka DPSIR terhadap faktor-faktor pengarah (Driving
forces), tekanan dan konflik penggunaan area laut kawasan Gugus Pulau Batudaka
secara detail diuraikan pada Tabel 23, yakni beberapa kelompok memanfaatkan
daerah ini (masyarakat, pengusaha wisata dan perikanan) serta terdapat
kepentingan pemerintah berupa respon dalam mengelola kawasan ini.
108
Tabel 23 Hasil tekanan terhadap ekosistem pesisir Gugus Pulau Batudaka
berdasarkan kerangka DPSIR
Indikator Penyebab/Akibat Deskripsi dan Hubungan Fungsional terhadap
kerentanan ekosistem
Faktor
Penggerak
(Drivers)
Demografi Pertumbuhan, kepadatan dan tingkat ketergantungan
penduduk yang tinggi sebagai faktor pengarah/ drivers.
Kerentanan sejalan dengan jumlah penduduk ,
perluasan pembukaan lahan usaha dan kebutuhan lahan
pemukiman
Permintaan Wisata kebutuhan wisman atau pasar dalam hal daya tarik obyek
wisata beserta sarana penunjang
Kegiatan Perikanan Kerentanan sejalan dengan kebutuhan lahan untuk
pertambakan dan aktivitas penangkapan ikan
Tekanan
(Pressures)
Konversi Lahan Pembukaan hutan mangrove untuk pemukiman dan
tambak. Kerentanan sejalan dengan kebutuhan lahan
permukiman dan usaha pertambakan
Sampah Domestik
dan polutan lainnya
Peningkatan sampah domestik dan polutan lainnya
akibat peningkatan penduduk dan aktivitas wisata dan
perikanan. Kerentanan sejalan dengan jumlah sampah
dan polutan yang meningkat
Keadaan
(States)
Abrasi dan
Sedimentasi
Penebangan mangrove dan pembukaan hutan untuk areal
perkebunan menyebabkan sedimentasi berakibat
ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang
rusak/berkurang dan pada daerah yang terbuka terjadi
abrasi pantai. Kerentanan sejalan dengan usaha
perluasan pembukaan lahan
Polusi air/
pengayaan nutrien
perairan
Sedimentasi berlebihan dan sampah (padat maupun cair)
berkontribusi akibat aktivitas manusia pengayaan nutrien
perairan. Kerentanan sejalan dengan jumlah polutan
yang meningkat
Kehilangan habitat
dan penurunan
keanekaragaman
hayati
Penebangan mangrove menyebabkan zonasi terbuka,
sehingga tumbuh semak dan tanaman lainnya.
Kerentanan sejalan dengan usaha pembukaan lahan
Dampak
(Impacts)
Dampak Ekosistem Proses perubahan fungsi ekosistem Gugus Pulau
Batudaka berdampak pada kesejahteraan manusia yang
berkaitan dengan produktivitas, kesehatan, kenyamanan
dan perubahan nilai kondisi yang ada
Dampak Sosial
Ekonomi
Peningkatan pendapatan per kapita setiap tahunnya.
Kerentanan atau , tergantung pada kebijakan
lingkungan yang diimplementasikan
Tanggapan
(Responses)
Rencana Tata
Ruang Wilayah
Kerentanan jika kebijakan dilaksanakan dengan baik
Kerentanan atau tergantung pada kemampuan
menjaga keseimbangan ekosistem
Pembangunan
melibatkan
masyarakat
Kerentanan jika masyarakat dilibatkan dalam
pembangunan PPK yang berkelanjutan
Keterangan : meningkat, menurun
Sumber : Data Primer (2009)
109
4.2 Sistem Ekologi
4.2.1 Batas Sistem Ekologi
Luas wilayah Gugus Pulau Batudaka menurut desa sebesar 298.07 km
2
(BPS Touna 2009). Gugus Pulau Batudaka memiliki berbagai tipe ekosistem baik
di darat maupun di laut, mulai dari hutan dataran rendah (low-land forest), hutan
bakau (mangrove), padang lamun (sea grass bed), pantai berbatu (rocky beach)
serta terumbu karang (coral reefs). Pulau Batudaka memiliki pantai dengan
tebing-tebing karang yang lebih panjang dibanding Pulau Togean, terutama di
bagian tengah dan barat. Vegetasi di Pulau Batudaka umumnya didominasi oleh
pohon kelapa (Cocus nucifera), semak dan mangrove. Pohon kelapa (Cocus
nucifera) banyak dibudidayakan oleh masyarakat dan merupakan vegetasi yang
dominan di pulau ini. Selain itu juga terdapat kayu besi (Intsia bijuga), Garuga
floribunda, Sterculia macrocarpa, Dysoxylum aliaceum, beberapa jenis
Sapotaceae dan ditemukan satu jenis yang langka yaitu Kibatalia macgregori,
yang hanya terdapat di Pulau Sebuyan Philiphina. Hal ini berbeda dengan Pulau
Togean yang banyak ditumbuhi pohon buah-buahan, uru (elmerrillia ovalis), aren
(Arengga pinnata), siuri (Koodersiodendron pinnatum) (Sidiyasa 2000).
4.2.1.1 Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu potensi laut yang
dimiliki oleh Gugus Pulau Batudaka. Perkembangan terumbu karang di Gugus
Pulau Batudaka mengalami pengaruh oseanografi dimana terumbu karang
terkonsentrasi di sekeliling pulau. Rataan terumbu karang yang terhampar
panjangnya hingga mencapai +1500 meter dari garis pantai hingga tubir terumbu.
Terumbu karang memiliki tipe terumbu tepi atau terumbu pantai, dan karang
tumbuh pada kedalaman 1-10 meter, Pertumbuhan terumbu tersebut di bagian
barat 50 meter (sementara makin ke timur makin dalam sampai 100 meter).
Rataan terumbu (reef flat) dibentuk oleh terumbu hidup ditemukan di beberapa
tempat dan hampir tidak pernah melebihi 200 meter dari garis pantai (BKSDA
2006). Selanjutnya merupakan hamparan teras pasir halus yang dihuni oleh
organisme penggali pasir (infauna) dan lamun (Sea Grass). Pada keadaan surut
terendah, karang-karang di rataan terumbu dan di daerah tubir terekspose di udara
dan terkena terikan matahari langsung sehingga menyebabkan sebagian karang
110
mengalami kematian, walaupun sebagian besar dapat beradaptasi dengan kondisi
seperti ini.
Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 24) terdiri dari
berbagai jenis, antara lain karang batu (hard coral/HC), karang lunak (soft
coral/SC), serta sponges dan algae. Terumbu karang di sekitar Gugus Pulau
Batudaka memiliki tingkat penutupan karang hidup rata-rata 73% (HC: 52-80%,
SC; 3-14%). Hal ini menunjukkan terumbu karangnya dalam kondisi sedang dan
didominasi oleh jenis karang arcopora dan non-acropora dengan bentuk
pertumbuhan (live form) dominan branching dan masif.
Tabel 24 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka (%)
Lokasi Stasiun HC SC SP
ALG
/OT
R DC S
14 (Tambangoni) 79.83+5.67 3.17+0.50 0 0 1.17+0.52 10.83+0.87 5.00+0.87
6 (Taufan Selatan) 77.00+1.67 14.33+1.33 0 0 0 8.33+2.00 0.33+0.10
15 (Karangan Timur) 52.33+3.61 6.33+0.42 0 0 0 41.33+1.41 0
Sumber : Data Primer (2009)
Keterangan : HC = Hard Coral R = Rubble
SC = Soft Coral DC = Dead Coral
SP = Sponge S = Sand
ALG/OT = Algae/Other
Pengamatan terhadap ikan karang pada tiga stasiun ditemukan sebanyak
8-17 genus yang didominasi genus Lutjanus dan Pterocaesio. Keanekaragaman
jenis-jenis ikan karang tinggi pada perairan Tambangoni dan Taufan. Hal ini
disebabkan jenis terumbu karang pada daerah tersebut masih tinggi (Tambangoni
80% HC, 3% SC; Taufan 77% HC dan 14% SC) dan belum banyak ditemukan
kerusakan yang berarti akibat aktivitas manusia. Berdasarkan hasil survei MRAP
2001 ditemukan 4 lokasi terbaik kondisi terumbu karang di Gugus Pulau
Batudaka Kecamatan Una-Una dengan jumlah spesies ikan karang yang tinggi
seperti tertera pada Tabel 25 berikut ini.
Tabel 25 Lokasi terumbu karang terbaik di Kecamatan Una-Una
Lokasi
Spesies
Terumbu Karang
Spesies Ikan Kondisi
Southern Batudaka Island 83 216 Baik
Western Batudaka Island 62 208 Baik
Northern-east side Una Una Island 69 161 Sedang
Pasir Tengah Atoll 84 202 Sedang
Sumber : MRAP (2001) dalam Zamani et al. (2007)
111
Eksistensi terumbu karang di perairan Gugus Pulau Batudaka Kepulauan
Togean telah berasosiasi dengan banyak organisme penting dan bernilai ekonomis
tinggi seperti berbagai jenis kima (Tridacna spp), kerang kepala kambing (Cassis
cornuta), dan teripang (Holothurian). Tridacna spp terutama jenis yang berukuran
besar seperti kima raksasa (Tridacna gigas), kima air (T. derasa), kima cina
(Hippopus porcellanus), dan kima sisik (T. Scuamosa) merupakan species laut
yang langka atau terancam punah dan termasuk species yang dilindungi
(endangered species IUCN; Apendiks I dan II CITES; UU No. 5 Tahun 1990).
Selain itu, beberapa jenis karang bernilai ekonomis untuk biota hiasan aquarium
(aquarium ornament) banyak ditemui di lokasi ini, antara lain Lobophyllia,
Goniopora, Pectinia, Euphyllia, Plerogyra dan Physogyra (Bappeda Touna
2007).
4.2.1.2 Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai yang tumbuh subur
menyebar tidak merata di seluruh pesisir di Gugus Pulau Batudaka. Keberadaan
hutan bakau terutama ditemui di pantai yang mempunyai topografi dangkal dan
terlindung sedangkan di pantai-pantai curam yang berdinding batu tidak
ditumbuhi mangrove. Mangrove dapat ditemui mulai dari pantai utara bagian
utara dan selatan pulau Batudaka dengan ketebalan mangrove mencapai 500 m.
Vegetasi ini didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur, berlempung
atau berpasir. Jenis tekstur substrat di ekosistem mangrove Gugus Pulau Batudaka
pada keseluruhan pengamatan adalah lempung berpasir dan lempung liat berdebu
dengan komponen fraksi substrat terdiri dari liat, debu, pasir halus dan pasir kasar.
Komponen fraksi substrak pada stasiun mangrove tertera pada Gambar 26.
112
Gambar 26 Persentase rata-rata fraksi subtrat di lokasi penelitian (Hasil Analisis
Lab. Ilmu Tanah UNTAD 2009)
Hasil analisis terhadap substrat berdasarkan kelas tekstur tanah
(Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001) menunjukkan bahwa kandungan lumpur
diperoleh persentase tertinggi pada stasiun pengamatan di Luangon/Desa Bambu
dan Taningkola bertekstur lempung liat berdebu yang didominasi fraksi liat dan
debu berkisar diatas 90%, Stasiun Sope (Desa Una-Una) dan Umpagi (Desa
Bomba) mempunyai tekstur lempung berpasir yang didominasi pasir yang
berkisar diatas 50%. Mangrove dapat tumbuh pada substrat berpasir, berkerikil,
koral maupun tanah gambut (Kusmana et al. 2005). Stasiun Sope dan Umpagi
didominasi Rhizopora spp disusul Bruguiera spp, hal ini sesuai dengan Yulianda
et al (2009) pertumbuhan komunitas vegetasi. mangrove umumnya mengikuti
pola zonasi yaitu yang paling dekat laut dengan subtrak berpasir sering ditumbuhi
avicennia spp yang berasosiasi dengan Sonneratia yang tumbuh pada lumpur dan
lebih ke arah darat (Stasiun Luangon dan Taningola) didominasi Rhizopora spp
disusul Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. Brower et al. (1990) menyatakan
bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang
tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing
spesies relatif merata, dengan kata lain, apabila suatu komunitas hanya terdiri dari
sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata maka komunitas
tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah. Hasil identifikasi mangrove di
Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 26.
0
10
20
30
40
50
60
70
Umpagi Taningkola Sope Luangon
PasirKasar
PasirHalus
Debu
Liat
113
Tabel 26 Jumlah tegakan, kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominasi relatif dan indeks nilai penting pada tiap
tingkatan pohon
Spesies Magrove Jumlah Tegakan Kerapatan Relatif (%) Frekuensi Relatif (%) Dominasi Relatif (%) Indeks Nilai Penting
Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Pohon Anakan Semai
Taningkola
Rhizopora apiculata 15 11 88 62.50 40.74 47.06 37.50 37.50 37.50 34.67 16.07 134.67 94.31 84.56
Avicennia alba 2 7 16 8.33 25.93 8.56 25.00 25.00 25.00 29.23 43.09 62.56 94.02 33.56
Bruguiera gymnorrhiza 7 9 83 29.17 33.33 44.39 37.50 37.50 37.50 36.11 40.84 102.77 111.67 81.89
Jumlah 24 27 187 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00
Sope
Rhizopora apiculata 10 17 121 58.82 58.62 69.14 50.00 50.00 50.00 38.41 46.74 147.24 155.37 119.14
Bruguiera gymnorrhiza 7 12 54 41.18 41.38 30.86 50.00 50.00 50.00 61.59 53.26 152.76 144.63 80.86
Jumlah 17 29 175 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00
Luangon
Rhizopora apiculata 4 8 25 23.53 21.05 21.74 23.08 21.43 18.75 17.76 10.26 64.37 52.74 40.49
Rhizopora mucronata 5 9 12 29.41 23.68 10.43 23.08 21.43 18.75 14.26 13.71 66.75 58.82 29.18
Bruguiera gymnorrhiza 4 10 52 23.53 26.32 45.22 23.08 21.43 18.75 26.69 9.92 73.29 57.66 63.97
Xylocarpus granatum 1 5 8 5.88 13.16 6.96 7.69 14.29 18.75 11.97 9.86 25.55 37.30 25.71
Soneratia alba 1 2 6 5.88 5.26 5.22 7.69 7.14 6.25 7.82 21.69 21.39 34.10 11.47
Lumnitzera littorea 1 2 4 5.88 5.26 3.48 7.69 7.14 6.25 10.40 14.80 23.97 27.20 9.73
Aegiceras corniculatum 1 2 8 5.88 5.26 6.96 7.69 7.14 12.50 11.11 19.76 24.68 32.17 19.46
Jumlah 17 38 115 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00
Umpagi
Rhyzophora apiculata 13 16 34 50.00 47.06 40.96 27.27 30.00 27.27 17.21 29.97 94.48 107.03 68.24
Rhyzophora mucronata 8 12 25 30.77 35.29 30.12 27.27 30.00 27.27 13.95 27.55 72.00 92.85 57.39
Bruguiera gymnoriza 3 4 15 11.54 11.76 18.07 27.27 20.00 27.27 36.85 29.00 75.66 60.76 45.35
Avicennia alba 1 0 6 3.85 0.00 7.23 9.09 10.00 9.09 13.33 0.00 26.26 10.00 16.32
Xylocarpus granatum 1 2 3 3.85 5.88 3.61 9.09 10.00 9.09 18.66 13.48 31.60 29.36 12.71
Jumlah 26 34 83 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 300.00 300.00 200.00
Sumber : Data Primer (2009)
114
Tabel 26 menunjukkan bahwa pada stasiun Taningkola (terdapat 3 jenis
mangrove) dan Sope (2 jenis) memiliki nilai Indeks Nilai Penting yang paling
tinggi untuk jenis Rhizopora apiculata disusul Bruguiera gymnorrhiza, sedangkan
Stasiun Luangon (7 jenis) memiliki nilai Indeks Nilai Penting yang paling tinggi
untuk jenis Bruguiera gymnorrhiza disusul Rhizopora mucronata dan Rhizopora
apiculata. Kondisi ini menggambarkan bahwa untuk kategori jenis Rhizopora
apiculata, Rhizopora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza memberikan
pengaruh atau peranan yang sangat besar dalam komunitas mangrove di kawasan
Gugus Pulau Batudaka. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh CII
(Conservation International for Indonesia), ditemukan 33 spesies mangrove di
Kepulauan Togean yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove)
dan 14 spesies mangrove ikutan (asociate mangrove). Semua jenis mangrove
tersebut dikelompokkan dalam 26 genus dan 21 familia (Adhiasto 2001).
4.2.1.3 Padang Lamun
Ekosistem padang lamun di Kepulauan Togean relatif sedikit bila
dibandingkan dengan ekosistem karang maupun ekosistem mangrove. Jenis dan
kelimpahan lamun tersebut tertera pada Tabel 27.
Tabel 27 Data jenis dan kelimpahan lamun di Gugus Pulau Batudaka
No Jenis-jenis
Nama Pulau/lokasi Stasiun
P.Batudaka* P.Poya** Umpagi** Sope**
1 Enhalus acoroides (Pama) +++ +++ +++ +++
2 Thalassia hemprichii ++ - + +
3 Halophila ovalis + ++ + ++
4 Cymodocea serrulata +++ +++ +++ +++
5 Halodule uninervis ++ - - ++
Keterangan : * = RTRW Kabupaten Tojo Una-Una (Bappeda Touna 2007)
** = Data Primer (2009) : - = Tidak ditemukan; + = Ada, sedikit; ++ = Ada, sedang; +++ = Ada,dominan
Terdapat 5 (lima) jenis lamun, yaitu: Thallasia hemprichii, Enhalus
acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata. Dari
ke-5 jenis lamun yang terdapat di sekitar perairan Gugus Pulau Batudaka, jenis
lamun Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata merupakan jenis yang dominan.
Hasil analisis spasial CII menunjukkan luas ekosistem padang lamun di
Kepulauan Togean pada tahun 2001 seluas 281.3 ha dan pada tahun 2007 terjadi
115
penurunan menjadi 189.69 ha, atau dalam kurun waktu 6 tahun terjadi penurunan
sebesar 91.61 ha (32.57%). Kawasan yang mengalami penurunan luas padang
lamun adalah Pulau Malenge dan perairan di sebelah barat Pulau Batudaka.
Kawasan yang mengalami penurunan luas padang lamun ini ternyata juga
merupakan kawasan yang mengalami penurunan luas terumbu karang.
4.2.2 Kondisi Morfologi
Gugus Pulau Batudaka masuk dalam wilayah di Kecamatan Una-Una
dengan luas daratan 298.08 km
2
dan ketinggian 0-85 meter dari permukaan air
laut. Topografi dataran adalah datar sampai berombak dengan sedikit bagian yang
berbukit. Bagian wilayah yang datar berada di sekitar pantai, sedangkan ke arah
daratan atau jauh dari pantai kondisi topografi berombak dan sedikit bagian
berbukit. Tekstur tanah sedang sampai kasar dengan drainase cukup baik. Kondisi
tanah termasuk subur karena berbagai macam tanaman dapat tumbuh di daerah
ini. Persentase bentuk permukaan tanah serta ketinggian desa di Kecamatan Una-
Una tertera pada Tabel 28.
Tabel 28 Persentase bentuk permukaan tanah dan ketinggian menurut desa
di Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo UnaUna Tahun 2008
No. Desa
Persentase Bentuk Permukaan Tanah Ketinggian
Permukaan Laut
(m)
Dataran Perbukitan Pegunungan
1 Kulingkinari - 35 65 2
2 Molowagu 10 60 30 85
3 Bomba 5 75 20 10
4 Tumbulawa 15 80 5 10
5 Taningkola 80 15 5 8
6 Bambu 10 80 10 15
7 Una Una 20 40 40 3
8 Lembanya 70 30 - 4
9 Wakai 45 35 20 3
10 Tanjung Pude 50 35 15 3
11 Malino - 75 25 75
12 Siatu 50 50 - 5
13 Kambutu 10 55 35 3
Kecamatan Una-Una 28.08 51.15 20.80 3
Sumber : BPS Touna (2009)
Litologi pulau Batudaka (BKSDA 2006) terdiri atas :
(1) Batu gamping terumbu koral dan klastik (Ql), batu gamping terumbu ini
berwarna putih, bagian atas telah mengalami pelapukan, berukuran butir pasir
116
sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar oleh koral dan cangkang
moluska.
(2) Konglomerat, batu pasir, batu lempung dan lensa batu gamping (Tmpb) yang
terubah kuat dan lensa-lensa batu gamping.
Geologi Pulau Batudaka mempunyai jenis litologi yang didapat berdasarkan hasil
Grab Sample di sepanjang lokasi pengamatan Pulau Una Una adalah : pecahan
karang dan sedikit pasir halus berwarna coklat muda berisi pecahan karang.
Material yang ada diduga berasal dari hasil proses pelapukan serta erosi batuan
yang ada di permukaan yang dipengaruhi oleh kondisi iklim, hempasan
gelombang dan material-material yang tertransportasi oleh media air melalui
sungai-sungai yang mengalir sampai ke laut.
Struktur geologi yang berkembang pada daerah ini adalah struktur lipatan
monoklin. Geomorfologinya terdiri dari 4 satuan geomorfologi dengan 5
subsatuan geomorfologi, dengan penjelasan sebagai berikut:
(1) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Struktural (S) dengan subsatuan
Geomorfologi Blok Pegunungan, lereng tidak teratur, pipih, runcing, pola
memanjang (S1). Subsatuan ini terdapat di bagian Timur dengan penyebaran
berarah Barat laut-Tenggara. Lahan ini mempunyai morfologi, topografi
pegunungan, dengan pinggir tajam dan banyak dilalui oleh sistem patahan
atau kelurusan dan berkesan terkotak-kotak dengan lereng curam sampai
terjal. Litologi yang mendominasi satuan ini adalah : konglomerat, batupasir,
batu lempung dan lensa batu gamping yang terubah kuat dan lensa-lensa batu
gamping. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 15 hingga 30%
dengan beda tinggi antara 50 sampai dengan 150 m. Ketinggian (elevasi)
subsatuan ini berkisar antara 25 hingga 100 m di atas permukaan laut.
(2) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Kars (K) dengan Subsatuan
Geomorfologi Perbukitan Kars, dengan puncak membulat (K2). Subsatuan
ini penyebarannya hampir diseluruh Pulau Batudaka, lahan ini mempunyai
morfologi perbukitan (hillock), dengan puncak membundar (kubah), dengan
topografi rendah, Litologi yang mendominasi satuan ini adalah: batugamping
klastik, batugamping terumbu berwarna putih, bagian atas telah mengalami
pelapukan, berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar
117
oleh koral dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan
berkisar antara 0 hingga 2% dengan beda tinggi antara 25 sampai dengan 150
m. Ketinggian (elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 100 m di atas
permukaan laut.
(3) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Fluvial (F) dengan Subsatuan
Geomorfologi Dataran Banjir (F16). Subsatuan ini terletak di bagian Utara
penyebarannya setempat memanjang timur lautBarat daya di sepanjang
pesisir pantai. Bentuk lahan morfologi ini merupakan terbentuknya dataran
banjir terdiri dari proses fluvial, yakni adanya luapan sungai pada musim
penghujan dan menggenangi daerah sekitar yang lebih rendah dalam beberapa
hal tergantung intensitas dan lamanya hari hujan. Litologi yang menempati
satuan ini adalah: batu batu gamping terumbu koral dan klastik batu gamping
terumbu ini berwarna putih, bagian atas telah mengalami pelapukan,
berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar oleh koral
dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 0
hingga 2% dengan beda tinggi antara 0 sampai dengan 10 m. Ketinggian
(elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 4 m di atas permukaan laut.
(4) Satuan Geomorfologi Bentuk Lahan Asal Marine (M) dengan 2 Sub satuan
yaitu: Subsatuan Geomorfologi Terumbu karang (M1). Subsatuan ini
terdapat di bagian Selatan penyebarannya di sekitar pesisir pantai. Bentuk
lahan seperti ini mempunyai ciri pengenal karang lunak, masih berada di
bawah muka air laut, dengan berbagai macam tipe serta pola tumbuh. Litologi
yang mendominasi satuan ini adalah : batugamping terumbu dan batugamping
klastik. Subsatuan ini memiliki kelerengan berkisar antara 0 hingga 2%
dengan beda tinggi antara 0 sampai dengan 1 m. Ketinggian (elevasi)
subsatuan ini berkisar antara 0 hingga 5 m di atas permukaan laut. Subsatuan
Geomorfologi Pulau Karang (M3). Subsatuan ini terdapat di bagian Utara
dan Selatan penyebarannya dekat dengan pantai dan membentuk pulau-pulau
kecil. Bentuk lahan seperti ini merupakan pulau yang terbentuk karena
munculnya karang ke atas permukaan akibat pengangkatan atau muka air laut
turun setelah masa Meosin, sehingga mencapai keadaan seperti saat ini,
akibat air yang turun maka karang menjadi mati dan lapuk sehingga menjadi
118
pulau. Litologi yang mendominasi satuan ini adalah: batu gamping klastik,
batugamping terumbu berwarna putih, bagian atas telah mengalami
pelapukan, berukuran butir pasir sedang hingga kasar, tersusun sebagian besar
oleh koral dan cangkang moluska. Subsatuan ini memiliki kelerengan
berkisar antara 0-20% dengan beda tinggi antara 0-30 m. Ketinggian
(elevasi) subsatuan ini berkisar antara 0-25 m di atas permukaan laut
(BKSDA 2006).
4.2.3 Kondisi Iklim
Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean beriklim laut tropis dengan sifat
iklim musiman dipengaruhi oleh dua musim yang tetap, yakni musim barat dan
musim timur. Musim kemarau terjadi antara bulan Agustus dan November,
sedangkan musim hujan terjadi sekitar Desember dan Juli. Daerah sekitar Teluk
Tomini memiliki bulan basah selama 7-9 bulan dengan bulan kering berlangsung
selama 3 bulan. Temperatur berkisar antara 17-32
o
C, kelembaban udara antara
74-82% dan kecepatan angin berkisar 3-6 knot (BRPL 2005).
Gambar 27 Curah hujan dan hari hujan rata-rata Tahun 2002-2008 (BPS Kab.
Tojo Una-Una 2003-2009)
Berdasarkan data Stasiun Pengamatan Gunung Colo di Wakai Tahun
2002-2008, hari hujan tertinggi di Kecamatan Una-Una terjadi pada bulan Maret
yaitu selama 11 hari, sedangkan curah hujan tertinggi terjadi antara bulan Maret-
Agustus dan Desember-Januari. Curah hujan berkisar 52-398 mm/bulan.
Berdasarkan klasifikasi Koppen, kawasan Kepulauan Togean termasuk tipe iklim
C
u
r
a
h
H
u
j
a
n
(
m
m
)
7
6
11 10 10
8
7
8
6
3
6
9
0
100
200
300
400
500
0
2
4
6
8
10
12
H
a
r
i
H
u
j
a
n
Bulan
Harihujan
curahhujan(mm)
119
Alpha, sedang menurut klasifikasi Schmidt-Fergusson termasuk tipe A, yaitu
hujan berlangsung sepanjang tahun dan jarang terjadi bulan kurang curah hujan.
Arah angin secara umum dari Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean
akan mengikuti musim yang ada di Indonesia, yaitu musim Barat dan musim
Timur. Kecepatan angin paling rendah terjadi pada bulan November-Desember
yang mencapai 4.3 knot dengan arah rata-rata 330. Kecepatan angin musiman
terjadi pada bulan Juli-Agustus dengan arah 270 (Tabel 29)
Tabel 29 Pola angin di Kepulauan Togean
Bulan Pola Angin Suhu
Jan Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 2 m/d (angin utara) 28.0 C
Feb Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 28.5 C
Mar Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 28.0 C
April Angin bergerak ke arah selatan dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.0 C
Mei Angin bergerak ke arah barat daya dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.5 C
Juni Angin bergerak ke arah barat dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 28.5 C
Juli Angin bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan rata-rata 4 m/d 28.5 C
Agt Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d (angin selatan) 28.5 C
Sep Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.0 C
Okt Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 3 m/d 29.5 C
Nov Angin bergerak ke arah utara dengan kecepatan rata-rata 2 m/d 28.0 C
Des Angin bergerak ke arah timur laut dengan kecepatan rata-rata 1 m/d 28.5 C
Sumber : Bappeda Touna (2007) .
4.2.4 Kondisi Oseanografi Perairan
4.2.4.1 Arus
Kecepatan arus maksimum di perairan pesisir Gugus Pulau Batudaka
terjadi pada sisi selatan pulau yang berbatasan langsung dengan daratan utama
Sulawesi. Besarnya kecepatan arus di sisi pulau ini disebabkan massa air yang
bergerak melalui selat di antara Kepulauan Togean dengan daratan Sulawesi.
Laut Sulawesi merupakan salah satu perairan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)
yaitu arus yang bergerak melintasi perairan Indonesia akibat perbedaan tinggi
muka laut antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Arus ini berasal dari
Samudera Pasifik dan kecepatannya sangat dipengaruhi sistem arus ekuatorial
akibat hembusan angin Pasat Timur Laut di Samudera Pasifik. Musim timur
terjadi bulan JuniAgustus dan arus permukaan bergerak dari arah laut seram
menuju barat yang sebagian memasuki Teluk Tomini.
Pola arah arus di Pulau Batudaka cenderung bergerak ke arah Barat Daya
dengan kisaran sudut 85
o
-350
o
. Arus ini bergerak dengan kecepatan rata-rata
120
0.654 meter/detik. Secara umum pola dan kecepatan arus tahunan yang terjadi di
perairan sekitar Kepulauan Togean antara 20 cm/detik hingga 50 cm/detik. Pola
arus di perairan ini selain dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut, juga dipengaruhi
oleh pola arus utama di perairan laut Sulawesi (Bappeda 2007). Karakteristik arus di
Pulau Batudaka tertera pada Tabel 30.
Tabel 30 Karakteristik arus di Pulau Batudaka Kabupaten Tojo Una-Una
No.
Waktu
Stasiun
Karakteristik Arus
Waktu Kec. (m/dtk) Arah (
o
)
1
08:00 00'06.3" 0.794 235
11:05 00'07.4" 0.676 250
2
08:35 00'09.4" 0.532 230
11:40 00'11.0" 0.455 350
3
09:00 00'06.5" 0.769 260
12:00 00'07.6" 0.658 85
4
10:00 00'07.0" 0.714 175
13:00 00'08.0" 0.625 210
Kecepatan Rata-Rata = 0.654
Sumber : Bappeda Touna (2007)
4.2.4.2 Gelombang
Gelombang adalah pergerakan naik dan turunnya air dengan arah tegak
lurus permukaan air laut yang membentuk kurva/grafik sinusoidal. Gelombang
laut disebabkan oleh angin. Angin di atas lautan mentransfer energinya ke
perairan, menyebabkan riak-riak, alun/bukit, dan berubah menjadi gelombang.
Gelombang di perairan Gugus Pulau Batudaka Teluk Tomini secara umum
tingginya berkisar 1-2 meter. Selama Musim Barat (Desember-Pebruari), Musim
peralihan Barat ke Timur (Maret-Mei) dan musim peralihan Timur ke Barat
(September-Nopember) tinggi gelombang maksimum sekitar 1.5 meter,
sedangkan tinggi gelombang pada Musim Timur (Juni-Agustus) adalah sekitar 2
meter (BRKP 2004).
4.2.4.3 Pasang Surut
Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya permukaan air laut
secara periodik karena adanya gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan
dan matahari. Pasut dapat terjadi sehari sekali (pasut tunggal) atau diurnal, dua
kali sehari (pasut ganda) atau semi-diurnal dan pasut yang berlaku keduanya atau
121
dikenal pasut campuran, dapat berupa pasut campuran dominasi ganda dan
dominasi tunggal (Pariwono 1997).
Gambar 28 Grafik pasang surut di Gugus Pulau Batudaka
Secara umum, berdasarkan data DISHIDROS-AL dan pengamatan
fluktuasi pasang surut pantai Gugus Pulau Batudaka memiliki tipe pasang surut
campuran yang cenderung bersifat harian ganda (mixed prevailing semi diurnal).
Dalam satu hari terjadi 2 kali air pasang dan 2 kali air surut. Sifat khas dari naik
turunnya permukaan air laut ini terjadi dua kali sehari sehingga terdapat dua
periode pasang tinggi dan dua periode pasang rendah. Pasang dengan tinggi
maksimum terjadi pada bulan baru dan bulan penuh, sedangkan pasang dengan
tinggi minimum terjadi pada waktu perempatan bulan pertama dan perempatan
bulan ketiga. Tunggang pasang surut (tidal range) di Pulau Batudaka mencapai
maksimum 1.6 m dan perairan Kepulauan Togean mencapai 2.1 m. Pasang surut
dengan tipe sedemikian memiliki periode gelombang pasut sekitar 12 jam (BRKP
2004; Bappeda Touna 2007).
4.2.4.4 Kecerahan
Menurut Effendie (2004) kecerahan adalah ukuran transparansi perairan
yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk atau lebih dikenal
dengan sebutan kecerahan. Nilai kecerahan dinyatakan dengan satuan meter dan
hasilnya sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengamatan, kekeruhan
dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
1 30 59 88 117 146 175 204 233 262 291 320 349 378 407 436 465 494 523 552 581 610 639 668 697 726
N
i
l
a
i
P
a
s
u
t
(
m
e
t
e
r
)
Jam
122
Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam
perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang
memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan
kekeruhan (Nybakken 1988).
Kecerahan perairan Gugus Pulau Batudaka mencapai nilai 2-16 m, artinya
sampai kedalaman 2-16 m di bawah permukaan air laut objek/benda masih bisa
dilihat dengan mata telanjang secara langsung. Nilai kecerahan sangat rendah di
stasiun Luangon dan selat Batudaka mempunyai nilai terendah dan stasiun lain
memiliki nilai tingkat kecerahan hingga 100%.
4.2.4.5 Suhu Perairan
Pengamatan suhu perairan di Gugus Pulau Batudaka antara 30-31
0
C. Suhu
Rata-rata di Gugus Pulau Batudaka adalah 30.8
0
C. Berdasarkan RTRW
Kabupaten Tojo Una-Una, suhu perairan Kepulauan Togean berkisar antara 28-
31
0
C dengan suhu rata-rata 29.55
0
C. Kisaran suhu tersebut dalam kisaran yang
normal untuk perairan dan sesuai untuk kehidupan biota air.
Distribusi vertikal suhu di perairan Togean menunjukkan bahwa terjadi
penurunan suhu dari permukaan hingga kedalam 40 m dengan perbedaan suhu
sekitar 2
0
C. Pola perubahan suhu secara vertikal di 16 stasiun relatif sama. Hasil
penyelaman di lapang menunjukkan bahwa terumbu karang masih banyak
ditemukan di kedalaman sekitar 40 m (Zamani et al. 2007).
4.2.4.6 Salinitas Perairan
Salinitas merupakan konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Salinitas
menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi
menjadi oksida, semua bromide dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan
organik telah diokasidasi (Effendie 2004). Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat
dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai. Perairan laut Gugus Pulau Batudaka
relatif sedikit masukan air sungai yaitu hanya terdapat 2 sungai yakni Sungai
Taningkola yang panjangnya sekitar 1 km dan Sungai Malintang + 3 km (BPS 2009).
Salinitas perairan di lokasi pengamatan berkisar antara 29.5-34.5 dengan rata-
rata 32.08.
123
Hasil penelitian BRPL tahun 2004, menunjukkan bahwa salinitas di
perairan Togean pada musim timur bervariasi antara 33.90-35.00. Umumnya
salinitas di bagian utara lebih rendah dibandingkan dengan bagian selatan perairan
Togean. Secara spasial terlihat perbedaan, umumnya salinitas di wilayah yang
lebih dekat dengan muara sungai lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain,
dengan perbedaan salinitas sekitar 0.3. Pola distribusi vertikal salinitas
menunjukkan bahwa salinitas semakin meningkat dengan meningkatnya
kedalaman dimana pada kedalaman sekitar 40 meter mengalami peningkatan
sekitar 0.3 (Zamani et al. 2007).
4.2.4.7 Derajat Keasaman/pH
Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk
mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan
memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat
menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO
2
yang dapat
membahayakan kehidupan biota laut. pH air laut permukaan di Indonesia
umumnya bervariasi dari lokasi ke lokasi antara 6.08.5. pH perairan Gugus
Pulau Batudaka berkisar antara 78 dengan nilai rata-rata 7.76. Tidak terlihat
perbedaan pH yang signifikan antara lokasi pengamatan dan kisaran pH perairan
tersebut tergolong normal untuk biota air.
4.2.4.8 Oksigen Terlarut(DO/Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan
hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen
terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses
respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut
(disolved oxygen) di dalam perairan merupakan zat yang utama bagi kehidupan
akuatik, terutama ikan
,
mikroorganisme dan tumbuhan air termasuk rumput laut
(Levina 1984). Menurunnya kadar O
2
terlarut dapat mengurangi efisiensi
pengambilan O
2
oleh biota laut yang dapat menurunkan kemampuan biota
tersebut untuk hidup normal dalam lingkungannya. Kadar O
2
terlarut di perairan
Indonesia berkisar antara 4.5 dan 7.0 ppm.
124
Nilai oksigen terlarut perairan Gugus Pulau Batudaka antara 6-8 mg/l
dengan rata-rata 7.21 mg/l. Menurut Suseno (1974) perairan yang mengandung
oksigen terlarut 5.0 ppm pada suhu 20-30
o
C, dapat dikatakan sebagai perairan
yang cukup baik untuk kehidupan biota laut.
4.3 Sistem Sosial Ekonomi dan Kelembagaan
4.3.1 Sistem Sosial
4.3.1.1 Demografi
Jumlah penduduk di Gugus Pulau Batudaka termasuk Pulau Una-Una pada
Tahun 2008 seluas 38 797.13 ha mencapai 13 106 jiwa terdiri atas 3 459 rumah
tangga dengan sebaran rata-rata rumah tangga sebanyak 4 jiwa dengan kepadatan
43 jiwa/km
2
atau 0.43 jiwa/ha (BPS Touna 2009). Berdasarkan Tabel 23, jumlah
penduduk Kecamatan Una-Una dalam periode tahun 2001-2008 mengalami
pertumbuhan 2% per tahun (Tabel 31).
Tabel 31 Parameter demografi Kecamatan Una-Una (BPS Touna 2002-2009)
No. Parameter Nilai Unit
1 Jumlah Penduduk 2008 13 106 Jiwa
2 Kepadatan Penduduk 42 Jiwa/km
2
3 Rumah Tangga (RT) 3 547 RT
4 Sebaran rata-rata Rumah Tangga 4 Jiwa/RT
5 Sex Rasio Laki-laki/Perempuan 104
6 Tingkat Ketergantungan penduduk (Usia Non Produktif
terhadap Usia Produktif)
68 %
7 Tingkat Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001-2008 2 %/Tahun
Keterangan : Hasil analisis (2010)
4.3.1.2 Pendidikan
Tingkat pendidikan di lokasi penelitian kondisinya relatif kurang baik
yaitu ditunjukkan dengan tingginya penduduk tidak tamat SD serta rendahnya
yang berpendidikan Perguruan tinggi. Penduduk Kepulauan Togean yang tamat
SD 39.86%, SLTP 14.45%, SLTA 8.0% dan Perguruan Tinggi 0.38% (Dinas
Perikanan dan Kelautan 2004). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
pendidikan di Kecamatan Una-Una telah dibangun gedung Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU).
Kecamatan Una-Una memiliki fasilitas TK sebanyak 2 unit, SD 19 unit, SMP 1
125
unit dan SMU/SMK 1 unit. Dari 13 106 jiwa penduduk di Kecamatan Una-Una,
sebanyak 10 255 orang merupakan tenaga kerja berusia di atas 10 tahun dan
1 156 orang tenaga kerja di luar sektor pertanian (BPS Touna 2009).
4.3.1.3 Pengetahuan Lokal
Pengelolaan sumberdaya perikanan di Gugus Pulau Batudaka yang
menggunakan kearifan tradisional yaitu menyangkut pengetahuan atau
pemahaman masyarakat adat kebiasaan tentang manusia dan bagaimana relasi
yang baik di antara manusia dengan alam serta di antara semua penghuni
komunitas ekologi. Penduduk gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una
memiliki latar belakang etnis yang beragam seperti Bajo, Bobongko, Togian,
Kaili, Baree, Taa, Gorontalo, dan Bugis. Masyarakat Bajo dan Bobongko lebih
menyebar tapi umumnya terkonsentrasi pada beberapa desa tertentu. Desa-desa
Bajo antara lain terdapat di Pulau Salaka, Siatu, Taufan, Kulingkinari; sementara
etnis Bobongko menetap di Tumbulawa dan tersebar di beberapa desa lainnya.
Etnik Bobongko telah mulai memeluk agama Kristen dan Islam. Adat-istiadat
yang dijadikan norma dalam pergaulan adalah adat Bobongko yang sudah mulai
mendapatkan pengaruh dari kepercayaan yang baru terutama nilai-nilai agama
Kristen dan Islam, sehingga tradisi upacara selalu dikaitkan dengan agama
walaupun nilai budaya kepercayaan leluhur masih dapat ditemukan dalam tradisi
Bobongko terutama dalam pesta panen dan upacara perkawinan dan kematian
(Bappeda Touna 2007). Selain itu, masyarakat di kawasan ini bersifat terbuka
dalam menerima budaya lain misalnya penduduk dari etnik Togean mengenakan
pakaian dari suku Jawa pada prosesi pernikahannya. Namun, budaya yang
bertentangan dengan agama Islam, masyarakat setempat lebih bersifat preventif,
seperti dengan semakin meningkatnya wisatawan mancanegara yang datang dan
berbusana terbuka membuat masyarakat meminta pengelola wisata untuk
memindahkan lokasi cottage yang terletak pada jalur masuk pelayaran menuju
Desa Bomba ke lokasi lain (Pulau Poya).
Masyarakat kawasan ini, ini masih memiliki sistem pemanfaatan SDA
yang diperoleh secara turun-temurun dengan menerapkan beberapa aturan serta
praktek pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan dan berdampak
positif terhadap kelestarian alam. Masyarakat Bajo juga biasa melakukan
126
bapongka, yaitu suatu kegiatan melaut yang dilakukan secara berkelompok.
Mereka biasanya pergi untuk beberapa hari (atau minggu) untuk mengumpulkan
hasil laut yaitu beberapa jenis ikan yang terkait dengan ekosistem terumbu karang
seperti Lolosi (Caesio sp) dan juga teripang.
Pengetahuan lokal lainnya yang diyakini suku bajo adalah melarang
masyarakatnya melakukan penangkapan terhadap Tuturuga (penyu) dan tidak
boleh semena-mena terhadap jenis ikan tertentu seperti paus dan lumba-lumba.
Hal ini berkaitan dengan anggapan mereka tentang penunggu laut, bahwa bila
menangkap Tuturuga atau mengganggu paus dan lumba-lumba akan
mendatangkan penyakit. Selain itu, kepercayaan masyarakat akan adanya mahluk
halus yang mendiami hutan bakau disebut dengan pongko lolap memberikan
pengaruh untuk tidak berlama-lama di dalam hutan. Tempat tersebut dijadikan
tempat keramat oleh masyarakat. Kepercayaan ini mulai memudar ketika adanya
pendatang yang mengenalkan chainsaw dan menebang wilayah yang
dikeramatkan tersebut, sehingga masyarakat menjadi lebih berani untuk masuk ke
wilayah hutan bakau (Adhiasto 2001).
4.3.2 Kegiatan Ekonomi
Pemanfaatan sumberdaya alam laut di Gugus Pulau Batudaka memberikan
nilai ekonomi yang paling besar pada sektor perikanan maupun pariwisata
dibandingkan sektor pertanian dan perkebunan. Kontribusi perikanan yang
menonjol berasal dari perdagangan ikan hidup (khususnya jenis kakap dan
kerapu), teripang, ikan-ikan pelagis, ikan teri, dan ikan garam. Di sektor
pariwisata, kepulauan Togean juga memiliki potensi yang besar khususnya bagi
wisatawan yang ingin menikmati pemandangan bawah laut, ataupun jungle
trecking.
Infrastruktur ekonomi yaitu sarana yang dapat mendukung berlangsungnya
kegiatan perekonomian di wilayah Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una
yang dapat menunjang perkembangan perekonomian wilayah baik dalam lingkup
lokal maupun regional. Sarana ekonomi ini berupa fasilitas perdagangan dan jasa.
Jenis fasilitas perdagangan yang terdapat di Kecamatan Una-Una yaitu
pasar, toko, warung dan kios. Fasilitas perdagangan menyebar di seluruh desa di
kecamatan Una -Una dengan jumlah bervariasi. Aktivitas pasar dilakukan di Desa
127
Wakai Setiap hari serta untuk desa Kulingkinari, bomba dan bambu merupakan
pasar mingguan. Fasilitas jasa yang terdapat di Kecamatan Una-Una adalah
bengkel, servis radio, tukang jahit, tukang kayu/batu, dan salon. Jumlah tertinggi
dari masing-masing fasilitas tersebut yaitu jumlah bengkel 10 unit, servis radio 5
unit, tukang jahit 16 unit, tukang kayu/batu 187 unit, dan salon 1 unit.
Transportasi udara dapat melalui pintu masuk dari Makassar, Balikpapan,
dan Manado lewat Gorontalo, Palu, dan Luwuk (Gambar 29), yang dilanjutkan
melalui darat menuju Ampana. Aksessibilitas ke Gugus Pulau Batudaka hanya
dapat dilakukan dengan trasportasi laut (dari Ampana, Poso, Parigi, Gorontalo,
Manado) menggunakan kapal penumpang. Lama perjalanan dari Ampana ke
Kecamatan Wakai yaitu 5 jam dan menggunakan speedboat dengan waktu
tempuh akan lebih pendek yaitu 2 jam. Wisatawan yang berkunjung ke
Kepulauan Togean umumnya melalui Pelabuhan Parigi (jaraknya + 90 mil),
Ampana (+ 48 mil) dan Gorontalo (+ 83 mil). Selain itu, ada pula Kapal Perintis
Pelni Sangiang satu bulan sekali ke Wakai dengan rute Gorontalo-Wakai-Poso-
Wakai-Gorontalo-Ternate dst (Tabel 32).
Airport
Airport
Airport
Airport
Airport
MANADO GORONTALO
PALU
MAKASSAR
LUWUK
TOGEAN
POSO
AMPANA
MAUTONG
KETERANGAN :
UDARA
DARAT
LAUT
KOTA
KEPULAUAN TOGEAN
1 JAM
1 JAM 10 MENIT
1 JAM 25 MENIT
1 JAM 35 MENIT
+ 83 Mill
+ 70 Mill
+ 48 Mill
+ 130 Mill
+ 120 Mill
PARIGI
+ 90 Mill
307 km 79 km
161 km
60 km
425 km
379 km
300 km
Gambar 29 Aksesibilitas ke Kepulauan Togean
128
Tabel 32 Pencapaian kapal motor menuju Gugus Pulau Batudaka melalui laut
Dari-Ke Armada/Kapal Waktu
Gorontalo-Wakai-
Ampana
Ampana-Wakai-
Gorontalo
Puspitasari Hari Kamis, Minggu 10.00 di
Wakai
Hari Senin, 10.00 Wita dari
Ampana
Gorontalo-Wakai-Ampana
Ampana-Wakai-Gorontalo
Tuna Tomini
Rabu, Sabtu, 09.00 Wita di Wakai
Hari Kamis, Minggu 10.00 Wita
Ampana-Wakai
Lumba-lumba
Duta Samudera
Selasa,Sabtu
Hari Senin, Rabu, Sabtu10.00 Wita
Ampana-Bomba Nusantara I, II
Surya Indah
Karya Mandiri
Hari Minggu, Selasa, Kamis
09.30 Wita
Wakai- Ampana Lumba-lumba
Duta Samudera
Bomba- Ampana Nusantara I, II
Surya Indah
Karya Mandiri
Hari Senin, Rabu, Sabtu
08.30-09.00 Wita
Kulingkinari- Ampana
Nusantara I, II
Surya Indah
Karya Mandiri
Hari Senin, Rabu, Sabtu
09.00-10.00 Wita
Ampana-Kandala-Lindo-
Kambutu-Bambu-dst
Arjuna
Hari Senin, Rabu, Sabtu
Hari Selasa, Kamis, Minggu
Sumber : Data Primer (2010)
4.3.2.1 Wisata
Kepulauan Togean juga memiliki potensi yang besar di sektor pariwisata,
khususnya bagi wisatawan yang ingin menikmati pemandangan bawah laut. Sejak
lebih dari 20 tahun lalu Kepulauan Togean telah didatangi oleh wisatawan
mancanegara, dan makin berkembang pada pertengahan tahun 90-an. Kebanyakan
dari mereka adalah wisatawan lepas (backpacker) yang datang ke Indonesia tanpa
melalui Biro Perjalanan Wisata (BPW), sehingga beberapa investor mulai melirik
Togean sebagai tempat potensial untuk mengembangkan usaha jasa wisata,
terutama penyediaan tempat penginapan dan penyewaan peralatan SCUBA Diving
dan snorkeling.
129
Atraksi wisata bahari (snorkeling dan diving) dan menikmati indahnya
pasir putih di Gugus Pulau Batudaka yaitu di Pulau Taufan, Pantai Capatana
(Desa Kulingkinari), Pantai Tipae, Pulau Poya (Desa Bomba), Pulau Tangkubi
dan Pasir putih Lindo (Desa Tumbulawa) serta Pantai Bambu (Desa Bambu), juga
memiliki potensi wisata lainnya seperti tracking dan Pengamatan Burung Allo (bird
watching) di Tumbulawa, air terjun Tanimpo di Desa Una-Una, seni budaya dan
masyarakat adat yang dapat dinikmati di Gugus Pulau Batudaka (Disbudpar
Touna 2006).
Sarana dan prasarana pariwisata di Gugus Pulau Batudaka bertujuan untuk
memberikan pelayanan dalam mendukung sektor perekonomian daerah dan untuk
menarik kunjungan wisata ke daerah-daerah tujuan wisata berupa tersedianya
sarana dan prasarana penunjang pariwisata antara lain akomodasi yang berupa
perhotelan serta aksesibilitas pencapaian menuju tempat wisata. Akomodasi yang
tersedia di Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 33.
Tabel 33 Jumlah sarana dan prasarana akomodasi di Gugus Pulau Batudaka
Kecamatan Una-Una
Akomodasi
Tahun
Berdiri
Lokasi
-Reatreat Cottages
-Poyalisa Bungalows
-Wakai Cottages
-Wakuna Cottages
-Penginapan Surya
-Penginapan Sederhana
-Penginapan Taurus
1990an
1990an
1990an
1990
1990
1990
2003
-Pulau Tipae, Desa Bomba 15 kamar
-Pulau Poyalisa, Desa Bomba 5 kamar
-Desa Wakai 10 kamar
-Desa Wakai 10 kamar
-Desa Wakai, 5 kamar
-Desa Wakai 5 kamar
-Desa Wakai, Sempiniti 5 kamar
Sumber : Disbudpar Kabupaten Tojo Una-Una (2006), Data Primer (2010)
Identifikasi Wisatawan. Jumlah responden wisatawan mancanegara
sebanyak 25 orang dan wisatawan domestik 18 orang. Gambaran profil wisatawan
yang mengunjungi Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 33.
Gugus Pulau Batudaka (Wakai, Pulau Poya, Pantai Tipae) merupakan
tujuan utama bagi wisatawan domestik sedangkan bagi wisatawan mancanegara
daerah tersebut bukan sebagai tujuan utama. Kunjungan wisatawan mancanegara
ke daerah ini merupakan persinggahan dari kunjungan utama mereka di kawasan
wisata lain atau juga merupakan bagian dari paket wisata untuk menikmati
seluruh wisata yang ada di Pulau Sulawesi. Adanya kenyataan ini berarti kawasan
130
ini merupakan kawasan wisata yang mulai diminati oleh wisatawan mancanegara,
sehingga untuk ke depan perlu adanya peningkatan dalam promosi agar dapat
menjadi tujuan utama dari kunjungan wisatawan yang berkunjung.
Tabel 33 Karakteristik responden wisatawan di Gugus Pulau Batudaka
Parameter Wisatawan
Domestik (orang)
Wisatawan
Mancanegara (orang)
Persentase
Tujuan Wisata
-Utama 8 5 18.60
-Persinggahan 10 20 81.40
Tujuan Kunjungan
-Berwisata 7 22 64.29
-Penelitian/Pend 8 2 28.57
-Tugas instansi 2 0 4.76
-Lain-lain 1 0 2.38
Frekuensi Kunjungan
-Pertama kali 8 17 60.47
-Kedua kali 4 6 23.26
-Ketiga kali 4 2 11.63
-Lebih dari tiga kali 2 0 4.65
Pekerjaan
-Pelajar/mhsw 1 4 11.63
-PNS 4 0 9.30
-Swasta 9 14 53.49
-Wiraswasta 4 7 25.58
Sumber Informasi
-Biro perjalanan 0 9 20.93
-Media cetak TV/Radio 12 0 27.91
-Teman 4 15 44.19
-Internet 2 1 6.98
Aktivitas Wisata
-Menikmati pemandangan alam 9 6 34.88
-Diving 6 10 37.21
-Snorkeling 3 9 27.91
Sumber : Analisis Data (2010)
Sumber informasi wisata ke kawasan ini bagi para wisatawan domestik
umumnya mengetahuinya dari media cetak, TV/Radio, sedangkan bagi wisatawan
mancanegara, umumnya mengetahui dari Teman, biro-biro perjalanan melalui
paket-paket wisata, dan ada juga yang dari internet. Motivasi kunjungan bagi
wisatawan untuk berwisata ke daerah ini yang terutama adalah karena potensi
alamnya (39.53%) serta lingkungan yang sepi dan alami (60.47%), sedangkan
faktor yang paling menarik dari kawasan ini menurut wisatawan adalah karena
alam dan terumbu karangnya (100%). Untuk faktor yang lain seperti masyarakat
dan makanan, menurut wisatawan tidak ada kekhasan tersendiri, jadi serupa
131
dengan daerah lain. Sementara fasilitas penginapan justru dirasa kurang memadai
bagi wisatawan, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Persentase jenis pekerjaan wisatawan yang terbesar adalah sebagai
pegawai swasta/wiraswasta, baik pada wisatawan domestik maupun wisatawan
mancanegara. Kondisi ini dapat menjadi gambaran bahwa masyarakat yang
bermatapencaharian sebagai pegawai swasta/wiraswasta, secara keuangan
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berwisata di daerah tersebut,
disamping kebutuhan untuk bersantai dari rutinitas pekerjaan yang dijalani.
Aktivitas wisatawan yang terbanyak adalah berperahu, biasanya
wisatawan berperahu untuk menyeberang ke pulau-pulau kecil atau juga untuk
berkeliling menikmati pemandangan di sekitar perairan gugusan pulau-pulau kecil
yang ada di lokasi penelitian (35%), aktivitas menyelam (37%) dan snorkeling
(28%). Aktivitas wisata snorkeling dan diving, secara umum lebih banyak
dilakukan oleh wisatawan mancanegara dibandingkan wisatawan domestik. Hal
ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah dibutuhkan
ketrampilan khusus untuk melakukan kedua aktivitas wisata tersebut, disamping
itu juga biaya yang dikeluarkan cukup mahal. Contohnya, untuk melakukan satu
kali dive atau penyelaman selama 45 menit dikenakan biaya sebesar US$ 25 dan
malam hari US$ 31, snorkeling selama 6 jam US$ 20 ke Pulau Taufan, atau ke
Atol Pasir Tengah. Kurangnya permintaan wisatawan ke kawasan ini dapat
disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya adalah kurangnya sarana dan prasarana
wisata, kurangnya promosi dalam menawarkan obyek wisata yang ada di kawasan
ini. Hal ini diungkapkan oleh Douglass (1970) permintaan wisata di alam terbuka
dipengaruhi oleh selera, alternatif wisata, atraksi, tingkat pendapatan, kondisi
masyarakat, ketersediaan waktu, waktu perjalanan dan penawaran wisata yang
ditawarkan kepada pengunjung.
4.3.2.2 Perikanan
Sentra perikanan di Gugus Pulau Batudaka terdapat di Wakai.
Pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir di Gugus Pulau Batudaka masih
dilakukan dalam skala kecil (unit ekonomi keluarga) dan nelayan di sini
kebanyakan adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap sederhana seperti
pancing dan jaring. Jumlah alat penangkap ikan pada tahun 2008 yaitu bagan
132
sebanyak 48 unit dan pancing sebanyak 807 unit dengan kapal penangkap ikan
berupa perahu motor sebanyak 369 unit dan perahu tidak bermotor 438 unit BPS
(2009). Usaha pengangkapan ikan di lokasi penelitian menggunakan alat tangkap
berikut ini.
(1) Pancing
Alat ini digunakan untuk menangkap jenis-jenis ikan karang khususnya ikan
kerapu dan ikan ekor kuning. Ikan kerapu yang tertangkap berukuran 1-2
ekor/kg dengan harga jual Rp. 25 000/kg. Operasi penangkapan ikan
dilakukan pada siang hari dengan daerah penangkapan (fishing ground)
berjarak 3-4 mil dari pantai dengan hasil yang diperoleh 7-10 ekor/trip.
Nelayan pancing menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul yang
ada di Gugus Pulau Batudaka sebelum dijual ke pedagang besar di Ampana,
Poso maupun Palu.
(2) Jaring
Alat tangkap ini digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan kembung,
tongkol dan cakalang dengan hasil tangkapan 15-30 keranjang/trip, kemudian
dijual seharga Rp. 5 000/ikat untuk pasar lokal (1 ikat 6-8 ekor, tiap keranjang
5-8 ikat). Pengoperasian alat tangkap ini pada siang menjelang malam hari.
Daerah pemasaran umumnya Ampana dan untuk konsumsi lokal.
(3) Bagan
Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil, dengan
operasi penangkapan dilakukan pada malam hari. Hasil tangkapan yang diperoleh
rata-rata 4-7 keranjang/trip. Bagan yang ada di Gugus Pulau Batudaka adalah
bagan dua perahu dengan panjang perahu 46 m. Daerah penangkapannya sekitar
34 mil dari pemukiman nelayan dan biasanya melakukan penangkapan pada
daerah yang perairannya tenang. Tangkapan semua jenis ikan teri saat turoh
(malam dalam satu bulan di mana bulan tidak muncul di langit/bulan gelap, atau
pada malam tersebut, ikan teri biasanya naik. Nelayan yang beroperasi di Gugus
Pulau Batudaka rata-rata mendapatkan 2030 kg ikan teri basah dari berbagai
ukuran dalam sekali operasi sepanjang turoh. Hasil itu belum dihitung pendapatan
dari tangkapan ikan jenis lain, seperti temba jawa (Decapterus sp), katombo
(Carangidae) dan cakalang (Katsuwonus pelamis)
133
Beberapa jenis ikan banyak ditangkap di sekitar perairan Gugus Pulau
Batudaka antara lain ikan kakap, cakalang, kerapu sunu, ketombo, layang, lolosi
dan lain-lain. Jenis biota seperti teripang, lobster, dan gurita juga merupakan
obyek penangkapan nelayan-nelayan setempat. Aktivitas perekonomian lainnya
adalah penangkapan ikan pelagis, yang sudah dilakukan dalam 15 tahun terakhir
oleh masyarakat di kawasan ini. Penangkapan ikan pelagis dilakukan dengan
menggunakan rakit yang diikat jangkar dan diletakkan di laut dalam (istilah
daerah rompong). Jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan antara lain
tuna, layang dan cakalang.
Nelayan di Gugus Pulau Batudaka berasal dari suku Bajo, Taa, Togian,
Bugis, Babongko, Gorontalo, Baree dan Saluan. Tingkat pendidikan nelayan
tersebut sebagian besar lulusan SD dengan kemampuan keterampilan sebagai
nelayan diperoleh secara turun-temurun dari orang tua mereka atau nelayan lain
yang sudah berpengalaman melakukan penangkapan ikan, yakni menyelam untuk
menangkap ikan karang dan mutiara sampai kedalaman 30 m tanpa alat selam
yang memadai.
Pengembangan usaha budidaya perikanan di Gugus Pulau Batudaka
masih terbatas dan relatif sedikit penduduk yang memiliki usaha tersebut, yaitu :
(1) Budidaya Karamba Jaring Apung (KJA)
Usaha ini dimiliki sebagian penduduk yang bekerja pada pemilik modal besar
untuk mengembangkan usahanya, usaha ini hanya digunakan untuk
penampungan ikan hidup yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti ikan
kerapu dan ikan napoleon. Setelah ikan terkumpul baru dijual kepada
pengusaha yang melakukan penangkaran lebih besar. Selain itu, ada juga
budidaya ikan kerapu bebek yang semula dilakukan oleh Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Poso di Desa Taningkola. Budidaya kerapu dikelola
dalam bentuk keramba-keramba, perdesa masing-masing memiliki 2 unit
keramba. Pengelolaan budidaya ini dilakukan oleh perorangan dengan hasil
produksi 2 ton per bulan.
(2) Budidaya kerang mutiara
Usaha ini dikembangkan oleh PT. Tamatsu dengan melibatkan beberapa
tenaga kerja lokal. Kegiatan budidaya mutiara berada di perairan yang cukup
134
tenang, namun adanya konflik dengan masyarakat Bomba, Siatu, Tumbulawa
karena merasa akses terhadap lokasi pemancingan tradisional mereka tertutup
oleh areal budidaya maka usaha ini pindah ke daerah lain.
(3) Budidaya rumput laut
Terdapat di Desa Tumbulawa, Taningkola, Kulingkinari, Wakai dan Desa
Siatu. Budidaya rumput laut di Desa Taningkola memiliki kawasan budidaya
seluas 10 ha dengan hasil produksi 10 ton pada bulan kering yang dikelola
secara tradisional oleh masyarakat setempat. Di Desa Siatu luas kawasan
budidaya yaitu 2 ha dengan produksi 2 ha, sedangkan budidaya rumput laut
di Desa Wakai produksinya mencapai 15 ton per bulan dengan luas kawasan
budidaya 20 ha. /
(4) Budidaya Teripang.
Budidaya teripang saat ini terdapat di Desa Bomba, Desa Taningkola dan
Desa Tumbulawa. Pengelolaan budidaya teripang tersebut diusahakan oleh
masyarakat sekitar dengan cara tradisional. Bibit yang digunakan diperoleh
dari alam yaitu sekitar 500 kg/bulan pada masing-masing desa. Pemerintah
memberikan bantuan untuk pengelolaan budidaya teripang semi intensif.
4.3.3 Kelembagaan
4.3.3.1 Pemerintahan
Kabupaten Tojo Una-Una merupakan kabupaten yang baru dimekarkan
dari Kabupaten Poso sesuai Undang-undang No 32 Tahun 2003 pada Tanggal 18
Desember 2003. Pengelolaannya mengacu pada Rencana Detail Tata Ruang
(RDTR) Kepulauan Togean 2008-2027 yang dibuat oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Tojo Una-Una dan juga berdasarkan arahan Peraturan Pemerintah RI
No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Wilayah Kabupaten Tojo Una-Una terdiri atas wilayah kepulauan dan
daratan yang terdiri atas 8 kecamatan, 6 kelurahan dan 118 desa (termasuk desa
persiapan). Secara Administratif Kepulauan Togean terdiri dari 4 wilayah
kecamatan, yaitu Una- Una (ibu kota Wakai), Togean (Lebiti) Walea Kepulauan
(Popolii), dan Walea Besar (Pasokan) dengan jumlah desa keseluruhan mencapai
43 desa yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Desa. Secara administratif
Kecamatan Una-Una terdiri dari 13 desa definitif. Desa-desa ini tersebar di
135
beberapa pulau seperti Batudaka, Una-Una dan Salaka yang semuanya masih
dalam Kepulauan Togean. Masing-masing desa dikepalai oleh seorang kepala
desa yang dibantu oleh seorang sekretaris desa dan beberapa orang perangkat
desa. Pemerintahan Kecamatan Una-Una dipusatkan di Pulau Batudaka yaitu
dengan ibukota kecamatan di Wakai.
4.3.3.2 Kronologi Pembentukan Taman Nasional Kepulauan Togean
Usulan Kepulauan Togean menjadi kawasan konservasi telah dimulai
sejak tahun 1989 ketika Gubernur Sulawesi Tengah mengirim surat rekomendasi
kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan agar 100 000 hektar kawasan laut
Kepulauan Togean ditetapkan sebagai Taman Wisata Laut. Dokumen lain dari
tahun 1989 sampai 2008 dari berbagai usulan kawasan ini tertera pada Tabel 34.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi
Tengah nomor 136/1028/Bappeda tahun 1996, kawasan hutan di Kepulauan
Togean dibagi menjadi Hutan Lindung, Area Penggunaan Lain, Hutan Produksi
yang dapat dikonversi, Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Gubernur
Sulawesi Tengah pada tanggal 21 Pebruari 2004 mengusulkan kepada Menteri
Kehutanan untuk penetapan kawasan Kepulauan Togean, seluas 411 373 ha di
Kepulauan Togean Sebagai Taman Wisata Laut, kemudian juga didukung
pernyataan Bupati Tojo Una Una, Sulawesi Tengah 27 Pebruari 2004. Berkaitan
dengan usulan tersebut, tim khusus terdiri gabungan antar instansi yaitu Badan
Planologi Kehutanan (BAPLAN), Puslitbang Kehutanan, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan
Conservation International Indonesia, datang ke Kepulauan Togean untuk
mengadakan peninjauan lapangan dan merekomendasikan Kepulauan Togean
sebagai Taman Nasional Laut.
Pada tanggal 19 Oktober 2004 telah ditetapkan sebagai Taman Nasional
melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 418/Menhut-II/2004. Pada
tanggal 10 Maret 2008 dengan keluarnya Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun
2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional, Taman Nasional Kepulauan Togean
tidak ada lagi dan arahan kawasan lindung yang tertuang dalam Lampiran PP
tersebut sebagai Taman Wisata Alam Laut Pulau Togean dan Pulau Batudaka.
Walaupun Kabupaten Tojo Una-Una telah memiliki RTRW Kabupaten dan
136
RDTR Kepulauan Togean, sampai saat ini zonasi tata ruang TNKT belum ada,
karena masih adanya konflik antara masyarakat, LSM, TNKT dan Pemerintahan
Daerah Setempat.
Tabel 34 Kronologi pembentukan pengelolaan kelembagaan Kepulauan Togean
TAHUN DASAR KEBIJAKAN STATUS
1989
Surat Gubernur Sulawesi Tengah no. 503/391/DINHUT/89
tanggal 30 Agustus 1989 kepada Menteri Kehutanan RI
merekomendasikan kawasan Kepulauan Togean Seluas
100.000 hektar Taman Wisata Laut (TWL)
Taman Wisata Alam Laut
(Usulan)
RePPProT mencantumkan Kepulauan Togean sebagai Suaka
Margasatwa yang mencakup seluruh kawasan (darat dan laut)
Suaka Margasatwa
(Usulan)
1990 Surat Keputusan Gubernur KDH I Sulawesi Tengah No.
188.14/0840/Dephut/90 tanggal 10 Pebruari 1990 tentang
Penunjukkan Sementara Kepulauan Togean seluas 100.000
sebagai Taman Wisata Alam
Taman Wisata Alam Laut
(Penunjukkan sementara)
1992 Laporan Kantor Kementerian Negara Kependuduka dan
Lingkungan Hidup Tahun 1992 (Country Study on Biological
Diversity) yang mengusulkan status Kepulauan Togean
sebagai Cagar Alam Laut seluas 100.000 hektar.
Cagar Alam Laut (Usulan)
1993 BAPPENAS dalam Biodiversity Action Plan for Indonesia
tahun 1993 mengusulkan status Kepulauan Togean sebagai
Cagar Alam Multiguna.
Cagar Alam Multiguna
(Usulan)
1997 Surat Keputusan Gubernur KDH I Sulawesi Tengah No.
556/138/DIPARDA/1997 tanggal 18 Marer 1997 tentang
Penetapan Obyek/Kawasan Daya Tarik Wisata di Provinsi
Sulawesi Tengah, pada salah satu point lampirannya
menunjuk Taman Laut Kepulauan Togean sebagai
obyek/kawasan daya tarik wisata bahari.
Taman Laut Kepulauan
Togean (Penetapan sebagai
obyek Wisata Bahari di
Sulawesi Tengah)
2003 Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI mencanangkan
Kepulauan Togean sebagai Kawasan Ekowisata Bahari
Unggulan Nasional
Daerah tujuan Ekowisata
Bahari Unggulan Nasional
(Pencanangan)
2004
Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah No.
556/38/Dishut/GST tanggal 21 Pebruari 2003 tentang usul
penetapan Taman Wisata Laut (TWL) Kepulauan Togean
seluas 411.373 hektar di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi
Sulawesi Tengah.
Taman Wisata Laut
(usulan)
Surat Bupati Tojo Una-Una No. 558.1/0144/B-TU perihal
dukungan atas Usulan Taman Wisata Laut Kepulauan Togean
Taman Wisata Laut
(Dukungan pada usulan
Gubernur)
Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah No.
556/38/DISHUT tanggal 14 Oktober 2004 tentang usulan
penetapan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas
411.373 hektar di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi
Sulawesi Tengah.55
Taman Nasional
(Perubahan atas usulan
Taman Wisata Laut)
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 418/Menhut-
II/2004tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi
dan penunjukkan kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi
Terbatas, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi yang dapat
dikonversi, dan wilayah perairan laut Kepulauan Togean di
Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah seluas +
362.605 ha sebagai Kawasan Taman Nasional Kepulauan
Togean.
Taman Nasional Kepulauan
Togean (Penunjukkan)
2008* Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008
tanggal 10 Maret 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional
Taman Wisata Alam Laut
Pulau Togean dan Pulau
Batudaka
Sumber : CII (2006), * PPRI (2008)
137
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan
5.1.1 Karakteristik Lingkungan Perairan Gugus Pulau Batudaka
Identifikasi kesesuaian kegiatan wisata dan perikanan menggunakan
analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA). Melalui analisis
tersebut (Lampiran 2) diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai gambaran
setiap lokasi pengamatan memiliki karateristik fisika-kimia yang dianggap
memenuhi syarat untuk kegiatan pemanfaatan tersebut antara lain kecerahan,
salinitas, suhu, pH, dan DO yaitu diperoleh ragam sumbu utama hingga kedua
mencapai 77.18%. Hal ini berarti 77.18% dari data hasil analisis dapat
diterangkan hingga sumbu kedua dan memiliki akar ciri (eigenvalue) secara
berurutan adalah 2.8002, dan 1.0587 (Tabel 35).
Tabel 35 Akar ciri dan persentase ragam pada kedua komponen utama untuk
pengamatan di 15 Stasiun Biofisik
Hasil analisis kontribusi variabel diperoleh total ragam sebesar 77% pada
dua sumbu utama yaitu sumbu 1 dan sumbu 2, dengan ragam masing-masing
sebesar 56%, dan 21% (Gambar 30). Korelasi antara variabel dengan sumbu
utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yaitu dengan koordinat variabel atau
representasi dari variabel pada sumbu utama yang ditunjukkan dengan jauh
dekatnya variabel tersebut terhadap sumbu utama. Semakin dekat variabel dengan
sumbu utama semakin besar pula korelasi dan interpretasi dari setiap variabel
tersebut dengan melihat sebaran individu pada sumbu utama. Pada sumbu 1
memperlihatkan adanya korelasi kuat positif terhadap variabel suhu, pH, dan dan
DO, sedangkan variabel kecerahan, salinitas berkorelasi negatif terhadap sumbu
utama. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ke-15 stasiun pengamatan
dapat tertera pada Tabel 36.
Eigenvalues
Komponen Utama
Sumbu 1 Sumbu 2
Nilai Eigen (akar ciri) 2.8002 1.0587
Ragam 0.5600 0.2117
Kumulatif 0.5600 0.7718
138
(a)
(b)
Gambar 30 (a) Korelasi antara variabel dan sumbu faktorial utama
(b) Sebaran titik stasiun pada sumbu faktorial utama
.
Kecerahan
S
T
pH
DO
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5
-
-
a
x
i
s
2
(
2
1
%
)
-
-
>
-- axis 1 (56% ) -->
Correlations circle on axes 1 and 2 (77% )
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Kecerahan
S
T
pH
DO
2
1,5
1
0,5
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
4 2 0 2 4
a
x
e
(
2
1
%
>
axe1(56%)>
Biplot on axes 1 and 2 (77% )
139
Tabel 36 Kontribusi variabel terhadap sumbu utama karakteristik perairan
Gugus Pulau Batudaka
Variabel Faktor Utama ke-i Faktor Kedua ke-i
Kecerahan -0.6931 0.6016
Salinitas -0.7229 -0.4572
Temperatur (suhu) 0.8657 0.1371
pH 0.7130 0.4689
DO 0.7346 -0.4990
Tabel 36 memperlihatkan bahwa suhu, pH dan DO berkorelasi positif
dengan faktor utama (karakteristik lingkungan perairan) dan berkurangnya
kecerahan (69.31%) dan salinitas (72.29%) akan mempengaruhi kualitas perairan
bagi kegiatan wisata dan perikanan di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Hasil
analisis ini menunjukkan basis faktor karakteristik lingkungan perairan yang
mempengaruhi kesesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata dan
perikanan.
Hasil pengukuran kualitas air pada 15 stasiun pengamatan, menunjukkan
bahwa tingkat kecerahan berfluktuatif berkisar 2.04-16.05m, salinitas berkisar
33.88-31.38 ppt, suhu antara 30.49-31.26C, pH berada pada kisaran 7.51-7.70,
dan pada oksigen terlarut berkisar 6.82-7.31 ppm. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa tingkat kecerahan tinggi pada stasiun 4, 6, 7 dan 15. Ini
disebabkan substratnya umumnya berpasir sehingga padatan terlarut dan
tersuspensi mudah mengendap, Tingginya tingkat salinitas pada 15 stasiun ini
disebabkan lokasi penelitian umumnya hanya memiliki sungai-sungai dengan
debit air yang kecil dan curah hujan yang minimal sehingga kurang pengenceran
air laut dan terjadi penguapan yang tinggi. Suhu dan pH tidak berfluktuasi
disebabkan pada umumnya perairan ini memiliki intensitas cahaya matahari yang
tinggi, dengan laut yang rata-rata dalam maka hanya lapisan permukaan saja yang
lebih banyak terkena sinar matahari. Oksigen terlarut menunjukkan nilai yang
relatif hampir sama dan dalam kisaran yang layak. Secara keseluruhan
menunjukkan kisaran parameter kualitas air pada lokasi penelitian adalah optimal.
Variabel suhu dengan salinitas dan kecerahan memiliki korelasi negatif,
hal ini disebabkan kenaikan salinitas perairan tidak mempengaruhi suhu perairan.
Pada lokasi penelitian rata-rata nilai suhu tertinggi 31
o
C terdapat pada Stasiun
140
1-6, 9-13 dan 15, sedangkan terendah 30
o
C terletak pada Stasiun 7, 8 dan 14.
Kecenderungan lokasi yang memiliki suhu yang lebih tinggi disebabkan kondisi
cuaca pada saat pengukuran lebih terik dan sebaliknya pada lokasi dengan
kecenderungan nilai suhu yang rendah. Kondisi cuaca pada daerah Gugus Pulau
Batudaka sangat fluktuatif, khususnya pada saat memasuki musim pancaroba.
Bengen dan Retraubun (2006) menyebutkan bahwa perubahan suhu perairan
dipengaruhi oleh perubahan cuaca atau iklim, sedangkan perubahan salinitas
dipengaruhi oleh angin muson yaitu musim hujan dan musim kemarau. Hasil
identifikasi komponen utama untuk kegiatan wisata, penangkapan ikan karang,
dan budidaya rumput laut di kawasan ini diperoleh bahwa daerah bagian Utara,
Barat dan Selatan Pulau Batudaka lebih dicirikan dengan salinitas yang lebih
tinggi, bagian terlindungi pulau lain dicirikan salinitas yang rendah, dan parameter
fisik-kimia lainnya (pH, oksigen terlarut, suhu dan kecerahan) tidak menjadi
faktor pembatas tersebut, kecuali kegiatan perikanan dimana variabel kecerahan
dan suhu dipengaruhi oleh cuaca dapat mempengaruhi budidaya tersebut terutama
pada musim hujan. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan
untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu
dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak
langsung yakni dalam mengubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat
mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997). Di Indonesia, suhu
udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat berkisar antara 28.2-34.6
0
C dan
pada malam hari suhu berkisar antara 12.8
-
30.0
0
C. Keadaan suhu tersebut
tergantung pada ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya
beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara di sekitarnya. Secara umum,
suhu air di perairan Indonesia sangat mendukung bagi pengembangan budidaya
perikanan (Cholik et al, 2005).
Kisaran nilai rata-rata salinitas tertinggi 32-34 ppm terdapat pada Stasiun
2, 4, 7, 8, 9, 14 dan 15, sebaliknya kisaran nilai terendah 29-31 ppm terdapat di
Stasiun 1, 3, 5, 6, 10, 11, 12 dan 13. Daerah dengan kisaran salinitas yang tinggi
umumnya terdapat pada daerah yang terletak jauh dari daratan induk dan berada
pada daerah yang tidak terlindung dari pengaruh gelombang dan arus yang masuk
141
ke Teluk Tomini, sebaliknya kisaran salinitas yang rendah cenderung lebih dekat
dengan daratan Pulau Batudaka. Hal ini disebabkan daerah tersebut masih
mendapat pengaruh dari aliran Sungai Taningkola dan Sungai Malintang terutama
pada musim hujan, serta lokasi tersebut lebih terlindung dengan adanya pulau
sebagai penghalang (khususnya stasiun 10, 11 dan 12).
Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses
respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi
pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1% dari seluruh intensitas
cahaya yang mengalami penetrasi di permukaan air. Kedalaman kompensasi
sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi
secara harian dan musiman (Effendie 2003). Kecerahan merupakan ukuran
transparansi perairan, yang ditemukan secara visual dengan menggunakan secchi
disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter, nilai ini sangat dipengaruhi
oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta
ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan
sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendie 2003). Untuk budidaya
perikanan laut, kecerahan air yang dipersyaratkan adalah > 3 m (KMLH 2004).
5.1.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Spasial Gugus Pulau Kecil
Analisis kesesuaian lahan diarahkan pada peruntukan kawasan wisata
bahari (selam dan snorkeling), perikanan tangkap yang dominan (ikan karang),
pengembangan budidaya rumput laut. Selain karakteristik lingkungan perairan
(suhu, pH, DO, kecerahan, salinitas) juga kedalaman, arus, kemiringan pantai dan
substrak dasar perairan menjadi pembatas dalam penentuan kesesuaian
berdasarkan matrik kesesuaian kegiatan wisata-perikanan di Gugus Pulau
Batudaka.
5.1.2.1 Wisata Selam
Berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografis (SIG) dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil analisis
kesesuaian lokasi untuk wisata selam berdasarkan pengamatan pada empat titik
waktu (Gambar 31) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat
(Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus
142
Gambar 31 Analisis temporal kesesuaian wisata selam berdasarkan empat waktu
143
2009). Hasil overlay tersebut diperoleh luas wilayah perairan Gugus Pulau
Batudaka berdasarkan kesesuaian lokasi untuk wisata selam, yaitu dari total luas
sebesar 61 038 ha, maka 62-78 ha (sekitar 0.11%) digolongkan sangat sesuai, 893-
927 ha (1.49%) dikategorikan sesuai, dan 60 047-60 067 ha (98.39%)
dikategorikan tidak sesuai (Tabel 37). Rendahnya luasan kategori kelas sesuai
(S1) karena adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori
tersebut. Pembatas ini terutama adalah kecepatan arus yang memenuhi syarat
wisata selam di perairan kawasan ini sehingga memberikan luasan yang berbeda
tiap musimnya.
Tabel 37 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata selam
Bulan
Luasan (ha)
Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai
Oktober 63 927 60 048
Desember 63 916 60 059
Mei 77 894 60 067
Agustus 78 911 60 049
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis temporal pemanfaatan wisata selam menghasilkan luasan dengan
kategori sesuai yang tidak jauh berbeda selama setahun. Hal ini berarti kawasan
Gugus Pulau Batudaka untuk kegiatan wisata selam dapat dilakukan sepanjang
tahun. Hasil analisis spasial (Gambar 32) diperoleh ruang yang sesuai untuk
wisata selam, dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : kecerahan cukup
optimal yaitu lebih dari 10 m. Tutupan komunitas karang diatas 75%, life form
lebih dari 12 jenis ikan karang lebih dari 100 jenis, kecepatan arus cukup bagus
yaitu berkisar antara 015 cm/dtk dan kedalaman cukup memadai yakni berkisar
yakni berkisar 615 m. Lokasi penyelaman dengan kategori baik di Barrier Reef
(Barat P. Batudaka), moderat antara lain di Atol Pasir Tengah, Goa-Goa, Taufan,
Tj. Capatana, Bambu, Lindo dan kategori jelek di Donut Reef/ Sebelah selatan
Selat Batudaka (Yusuf dan Allen 2001). Secara rinci kondisi karakteristik spot
penyelaman tersebut tertera pada Lampiran 3.
144
Gambar 32 Hasil overlay wisata selam di Gugus Pulau Batudaka
145
5.1.2.2 Wisata Snorkeling
Hasil overlay untuk wisata snorkeling berdasarkan pengamatan pada
empat titik waktu (Gambar 33) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008),
musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim
timur (Agustus 2009) diperoleh luas wilayah perairan berdasarkan kesesuaian
lokasi untuk Wisata tersebut, yaitu dari total luas sebesar 61 038 ha, maka 73-627
ha (sekitar 0.42%) digolongkan sangat sesuai, 983-1516 ha (2.22%) sesuai, dan 59
384-59 479 ha (97.36%) dikategorikan tidak sesuai (Tabel 38). Rendahnya luasan
kategori kelas sangat sesuai (S1) karena adanya faktor pembatas yang tidak
memenuhi sebagai kategori tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor
kondisi kedalaman yang memenuhi syarat wisata snorkeling, lebar hamparan datar
dan kondisi terumbu karang, di perairan Gugus Pulau Batudaka.
Tabel 38 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata snorkeling
Bulan
Luasan (ha)
Sangat Sesuai Sesuai Tidak sesuai
Oktober 627 983 59 427
Desember 180 1 448 59 409
Mei 74 1 485 59 479
Agustus 137 1 516 59 385
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis temporal terhadap kegiatan wisata snorkeling menunjukkan
bahwa luasan dengan kategori sesuai pada musim peralihan timur (Bulan Mei)
paling rendah dibandingkan musim lainnya dan cenderung mulai musim barat
sampai musim timur (Nopember-Agustus) luasannya lebih rendah dibanding
musim peralihan barat (September-Oktober). Rendahnya luasan kategori sesuai
pada Bulan Mei, selain dipengaruhi oleh arus, yakni arus pada kedalaman 5 m
pada bulan Mei (Stasiun 6, 8 dan 10) sebesar 0.53-0.76 m/detik, ditunjang dengan
curah hujan yang tinggi pada bulan April-Mei (BPS 2009). Hal ini berarti perlu
pengaturan jumlah wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling untuk
kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas wisata tersebut, disamping
alternatif lain yang dapat ditawarkan yakni menikmati atraksi-atraksi lain seperti
rekreasi pantai, berjemur, olah raga pantai, berjalan ke hutan sambil melihat
burung khas Sulawesi.
146
Gambar 33 Analisis temporal kesesuaian wisata snorkeling berdasarkan empat waktu
147
Hasil analisis spasial diperoleh ruang yang sesuai untuk snorkeling,
dicirikan dengan kecerahan cukup optimal yaitu lebih dari 10 m, tutupan
komunitas karang di atas 75%, life form lebih dari 12 jenis, ikan karang lebih dari
100 jenis, kecepatan arus cukup bagus yaitu berkisar antara 0-15 cm/dtk,
kedalaman cukup memadai yaitu berkisar antara 0-5 m dan lebar hamparan datar
karang diatas 500 m. Luasan yang berbeda untuk kegiatan snorkeling kategori
sesuai pada masing-masing musim sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus yaitu
pada musim timur sampai musim barat memiliki arus yang cukup kuat. Pola arus
di perairan Gugus Pulau Batudaka selain dipengaruhi oleh pasut, juga dipengaruhi
oleh arus utama di perairan Teluk Tomini. Pada musim timur, arus permukaan
datang dari arah timur/tenggara (laut Seram) mengalir ke arah barat (bagian
dalam teluk), sebaliknya pada musim barat, dari barat ke timur. Hasil
pengukuran kecepatan arus permukaan pada stasiun biofisik di Gugus Pulau
Batudaka sebesar 0-0.3 m/detik. Pola arah arus di Pulau Batudaka cenderung
bergerak ke arah Barat Daya dengan kisaran sudut 85
o
-350
o
. Arus ini bergerak
dengan kecepatan rata-rata 0.654 m/detik (Bapedda Touna 2007). Menurut Wong
(1991) parameter arus dalam kegiatan wisata bahari sangat penting karena
pergerakan air laut secara kontinyu dapat membawa material dan membahayakan
bagi penyelam dan perenang.
Kecerahan perairan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam
kegiatan wisata snorkeling. Perairan yang jernih mengundang rasa keingintahuan
yang tinggi untuk melihat keindahan bawah laut sehingga semakin cerah suatu
perairan maka keindahan yang dapat dinikmati wisatawan juga akan semakin
tinggi. Persentase penutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang,
kedalaman dan lebar hamparan dasar karang juga menjadi hal penting karena
merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Secara umum, kondisi karang,
ikan laut hias di dasar laut sangat indah dan masih alami, hanya beberapa lokasi
(seperti di Sebelah Timur P. Taufan) yang karangnya rusak akibat pengeboman
oleh manusia. Kesesuaian kawasan untuk kegiatan snorkeling terdapat hampir di
semua pesisir Pulau Batudaka (Gambar 34) dan sebaran kondisi penutupan
terumbu karang tertera pada Gambar 35.
148
Gambar 34 Hasil overlay wisata snorkeling di Gugus Pulau Batudaka
149
Gambar 35 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka
Lokasi Snorkeling dengan kategori sangat baik di Barrier Reef (Barat P.
Batudaka), P. Tambangoni, Taufan Selatan, kategori baik pada Taufan Barat,
Taufan Timut, Atoll Pasir Tengah, Atoll Goa-Goa, Karangan Barat, Karangan
Timur, kategori sedang antara lain di P. Taufan, Tj. Capatana, Bambu, Lindo dan
Donut Reef (sebelah timur P. Batudaka).
5.1.2.3 Kesesuaian Penangkapan Ikan Karang
Hasil overlay untuk penangkapan ikan karang yang tertangkap di Gugus
Pulau Batudaka sama berdasarkan pengamatan pada empat titik waktu yakni
peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan
musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009). Kesesuaian lokasi
untuk penangkapan ikan karang di wilayah Gugus Pulau Batudaka dari total luas
perairan sebesar 61 038 ha, maka 407 ha (sekitar 0.67%) digolongkan sangat
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
P
e
r
s
e
n
t
a
s
e
T
u
t
u
p
a
n
Stasiun
HC
SC
SP
R
DC
S
150
sesuai, 40 493 ha (66.34%) dikategorikan sesuai, dan 20 138 ha (32.99%)
dikategorikan tidak sesuai (Tabel 39).
Tabel 39 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian penangkapan ikan karang
No. Kelas Kesesuaian Luas (ha)
1 Sangat Sesuai 407
2 Sesuai 40 493
3 Tidak Sesuai 20 138
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis temporal terhadap penangkapan ikan karang menunjukkan tidak
ada perbedaan waktu untuk kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat melakukan
penangkapan sepanjang tahun (Gambar 36). Luasan kategori kelas sangat sesuai
(S1) dipengaruhi oleh adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai
kategori tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor kedalaman >5 m,
topografi dasar perairan landai, kecerahan perairan >10 m, Jarang terjadi
perubahan cuaca, kondisi terumbu karang baik, tidak ada pencemaran dan
kelimpakan ikan target >200 individu/350 m
2
. Lokasi penangkapan ikan karang
dengan kategori baik terdapat di reef yang mengelilingi Gugus Pulau Batudaka.
Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas di suatu wilayah pesisir
dan termasuk ekosistem dominan yang terdapat sebuah pulau kecil. Semakin
rusaknya kondisi terumbu karang di perairan Indonesia dapat berdampak
kemerosotan terhadap produksi ikan karang. Keberadaan ekosistem terumbu
karang dapat menunjang berbagai kehidupan komponen organisme, salah satunya
adalah komunitas ikan karang yang merupakan organisme target tangkapan bagi
nelayan. Penurunan nilai tutupan karang menyebabkan suatu pengurangan yang
drastis pada ikan karang yaitu menurunkan keanekaragaman ikan sekitar 15%
baik di area tertutup maupun terbuka bagi penangkapan ikan (open to fishing)
sehingga diindikasikan bahwa terumbu karang yang sehat dapat meningkatkan
persentasi tutupan karang yang menjamin keberadaan ikan karang dan mendukung
keanekaragaman ikan karang (Jones et al. 2004).
151
Gambar 36 Hasil overlay kesesuaian penangkapan ikan karang di Gugus Pulau Batudaka
152
5.1.2.4 Kesesuaian Budidaya Rumput Laut
Hasil overlay untuk budidaya rumput laut berdasarkan pengamatan pada
empat titik waktu (Gambar 37) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008),
musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim
timur (Agustus 2009) diperoleh luas wilayah perairan Gugus Pulau Batudaka
berdasarkan kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut, yaitu dari total luas
sebesar 61 038 ha, maka tidak ada ruang yang digolongkan sangat sesuai (0%), 9
537-16 013 ha (9.42%) dikategorikan sesuai, dan 45 024-51 500 ha (90.58%)
dikategorikan tidak sesuai (Tabel 40). Luasan kategori kelas sangat sesuai (S1)
dipengaruhi oleh adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori
tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor kedalaman 3-15 m, arus 21-30
cm/detik, rumput laut dapat hidup baik pada dasar perairan yang stabil yang terdiri
dari potongan karang mati bercampur dengan pasir karang, kecerahan 80-100%,
suhu perairan berkisar 28-30
0
C, salinitas 30-32 dan pH 8.2-8.7.
Tabel 40 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian rumput laut
Bulan
Luasan (ha)
Sangat Sesuai Sesuai Tidak sesuai
Oktober - 7 499 53 538
Desember - 4 513 56 524
Mei - - 61 038
Agustus - 5 242 55 796
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis temporal untuk kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut
menunjukkan kawasan Gugus Pulau Batudaka tidak ada yang sangat sesuai untuk
kegiatan ini, namun kegiatan budidaya rumput laut dapat dilakukan mulai musim
timur sampai musim barat, pada peralihan musim timur (Maret-Mei) dapat
melakukan penanaman rumput laut untuk bibit saja. Budidaya rumput laut tidak
dilakukan jika kondisi cuaca dan lingkungan yang tidak mendukung misalnya
pada musim barat di mana curah hujan tinggi dan angin yang bergerak kencang
sehingga mengakibatkan gelombang yang tinggi. Gelombang yang tinggi akan
menyebabkan tempat budidaya rumput laut menjadi tidak aman karena tali-tali
pengikat rumput laut putus dan thallus rumput laut patah .
Iklim di kawasan ini dipengaruhi oleh musim (Barat, Timur dan peralihan
kedua musim tersebut), yakni perubahan cuaca setiap tahunnya yang dipengaruhi
153
Gambar 37 Analisis temporal kesesuaian budidaya rumput laut berdasarkan empat waktu
154
oleh angin. Pada musim angin, menyebabkan gelombang besar sehingga
membantasi pergerakan masyarakat dalam beraktivitas. Kondisi arus yang cukup
kuat kurang menguntungkan secara teknis bagi kegiatan budidaya rumput laut.
Kemiringan pantai dari sisi Timur-Selatan Pulau Batudaka lebih curam
dibandingkan dengan bagian utara pulau tersebut bagian barat dimana tidak ada
pulau-pulau penghalang. Hal ini mempengaruhi besarnya arus dan gelombang
yang masuk ke Teluk Tomini, yang penting dalam menentukan zona kesesuaian
untuk rumput laut. Lokasi budidaya rumput laut harus terlindung dari arus
(pergerakan air) dan hempasan ombak yang terlalu kuat, apabila hal ini terjadi
maka arus dan ombak akan merusak dan menghanyutkan tanaman ini. Lokasi
budidaya rumput laut dengan kategori baik terdapat di reef yang mengelilingi
Gugus Pulau Batudaka. Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan
berhasil tidaknya suatu usaha budidaya, yakni yang sesuai dengan ekobiologi
(persyaratan tumbuh) rumput laut.
Kawasan sesuai (S2) dapat dilakukan kegiatan budidaya rumput laut di
kawasan ini dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang cukup berarti
untuk mempertahankan pengelolaan rumput laut secara berkelanjutan. Faktor
pembatas tersebut adalah : (i) lokasi pada perairan dengan kondisi pergerakan arus
dan gelombang pada musim tertentu (barat, timur maupun peralihan kedua musim
tersebut) bersifat ekstrim, sehingga pada peralihan musim timur tidak dapat
dilakukan usaha budidaya tersebut, (ii) kualitas/kesuburan perairan tidak cukup
mendukung pertumbuhan rumput laut, sehingga pertumbuhan lebih lambat, (iii)
lokasi yang cukup jauh dari pemukiman, sehingga memerlukan tambahan biaya
untuk pengangkutan.
Faktor ekologi lainnya yang berpengaruh terhadap budidaya rumput laut,
adalah: (1) Kedalaman air, pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air
minimal 50 cm, supaya rumput laut tidak mengalami kekeringan karena terkena
sinar matahari secara langsung dan sekitar 210 cm saat pasang tinggi; (2) Salinitas
perairan yang tinggi dengan kisaran 28-34 dengan nilai optimum 32 untuk itu
155
Gambar 38 Hasil overlay kesesuaian budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka
156
hindari lokasi dari sekitar muara sungai (Zatnika 1985); rumput laut dapat
mentolerir salinitas antara 25.5-34.5 (De Castro dan Guanzon, 1993); (3) Suhu
air yang sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar 27-30C (Zatnika 1985); (4)
Kecerahan yang ideal dengan angka transparansi sekitar 1.5 m (Zatnika 1985); (7)
Keasaman (pH), Kisaran pH antara 7-9; (6) Aman dari predator dan competitor,
lokasi budidaya bukan merupakan tempat berkumpulnya predator rumput laut,
seperti ikan, penyu, bulu babi, dan herbivor lainnya, sehingga kerusakan tanaman
dapat ditekan, di samping juga dapat menghemat biaya pemeliharaan dan
perlindungan terhadap hama tanaman; dan (7) Untuk keamanan dan keberlanjutan
budidaya maka lokasi yang dipilih bukan merupakan tempat yang menjadi jalur
pelayaran (Anggadiredja 2006).
Lokasi budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka (Gambar 38)
berdasarkan empat waktu (musim barat, peralihan timur, timur dan peralihan
barat) dengan kategori sesuai bersyarat, sehingga dalam pengusahaan budidaya
rumput laut harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
rumput laut dan pemanfaatan ruang laut untuk kegiatan lainnya agar usaha ini
berhasil. Namun demikian, pembatas utama dalam usaha rumput laut di Gugus
Pulau Batudaka adalah kecepatan arus. Rumput laut membutuhkan kecepatan
arus yang tinggi (20-30 cm/detik), sedangkan kecepatan arus aktual di kawasan ini
sebesar 0-30 cm/detik sehingga mempengaruhi lokasi yang sesuai untuk kegiatan
tersebut.
5.1.2.5 Kawasan Wisata
Hasil overlay kegiatan wisata (selam dan snorkling) di Gugus Pulau
Batudaka tertera pada Tabel 41 dan Gambar 39.
Tabel 41 Luasan untuk kegiatan wisata
No Kegiatan Wisata Luas (ha)
1 Selam 539
2 Snorkeling 3 892
3 Selam-Snorkeling 688
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis spasial pemanfataan ruang untuk kegiatan wisata snorkeling
menempati ruang yang lebih besar dibanding selam dan sekitar 688 ha yang dapat
157
dilakukan untuk kedua kegiatan tersebut. Besarnya luasan tersebut sangat
dipengaruhi kondisi sumberdaya alam terutama tutupan karang, jenis life form
karang, jenis ikan karang dan parameter fisik seperti kecerahan, kedalaman,
kecepatan arus.
Berdasarkan analisis temporal untuk kegiatan wisata di Gugus pulau
Batudaka dapat dilakukan sepanjang tahun, dan tentu saja perlu memperhatikan
kondisi cuaca untuk kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas wisata. Hal
yang perlu dilakukan adalah meningkatkan atraksi yang ditawarkan pada
wisatawan seperti menikmati atraksi-atraksi lain seperti rekreasi pantai, berjemur,
olah raga pantai, berjalan ke hutan sambil melihat burung khas Sulawesi.
5.1.2.6 Kawasan Perikanan
Hasil overlay kegiatan perikanan (penangkapan ikan karang dan budidaya
rumput laut) untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 42 dan Gambar 40.
Tabel 42 Luasan untuk kegiatan perikanan
No Kegiatan Perikanan Luas (ha)
1 Penangkapan ikan karang 3209
2 Budidaya rumput laut 38
3 Penangkapan ikan karang-Budidaya rumput laut 2824
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis spasial pemanfataan ruang untuk kegiatan penangkapan ikan
karang menempati ruang yang lebih besar dibanding rumput laut dan sekitar 2 824
ha yang dapat dilakukan untuk kedua kegiatan tersebut. Besarnya luasan tersebut
sangat dipengaruhi kondisi terumbu karang, kelimpahan ikan target, pencemaran
dan parameter fisik lainnya. Berdasarkan analisis temporal untuk kegiatan
penangkapan ikan karang di Gugus pulau Batudaka dapat dilakukan sepanjang
tahun, dan tentu saja perlu memperhatikan kondisi cuaca untuk kenyamanan dan
keamanan dalam kegiatan penangkapan. Pada musim peralihan timur tidak
direkomendasian untuk melakukan kegiatan produksi budidaya rumput laut
mengingat besarnya faktor pembatas dalam usaha tersebut.
158
Gambar 39 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) di Gugus Pulau Batudaka
159
Gambar 40 Hasil overlay pemanfaatan perikanan (penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut) di Gugus Pulau Batudaka
160
5.1.2.7 Kawasan Wisata-Perikanan
Hasil overlay kegiatan wisata-perikanan untuk Gugus Pulau Batudaka
tertera pada Tabel 43 dan Gambar 41.
Tabel 43 Luasan untuk kegiatan wisata-perikanan
No Kegiatan Luas (ha)
1 Selam 30
2 Snorkeling 196
3 Wisata-ikan karang 688
4 Ikan karang 2 021
5 Rumput laut 38
6 Perikanan (ikan karang-rumput laut) 2 173
7 Selam-ikan karang 509
8 Snorkeling ikan karang 753
9 Snorkeling-rumput laut 2
10 Snorkeling-perikanan 2 942
Sumber : Analisis Data (2010)
Analisis spasial seperti tabel diatas, terlihat bahwa pemanfataan ruang
bersama untuk kegiatan wisata-perikanan terutama untuk selam-snorkeling-
penangkapan ikan karang. Hal tersebut karena ketiga kegiatan tersebut
memanfaatkan ekosistem terumbu karang yang ada di Gugus Pulau Batudaka.
Pemanfaatan ruang tersebut sangat penting berkaitan dengan penataan lokasi
pemanfaatan kawasan berdasarkan daya dukung dan kapasitas kawasan sehingga
diharapkan kegiatan yang ada baik wisata dan perikanan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
5.1.3 Analisis Eksisting Zonasi Kawasan Konservasi Gugus Pulau Batudaka
Gugus Pulau Batudaka masuk dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan
Togean (TNKT) dan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-
II/2006 disebutkan bahwa zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan
taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat, terdiri atas : Zona Inti, Zona Rimba, Zona
Perlindungan Bahari untuk wilayah perairan; Zona Pemanfaatan; Zona lain, antara
lain : Zona Tradisional, Zona Rehabilitasi, Zona Religi, budaya dan sejarah serta
Zona Khusus.
161
Gambar 41 Hasil overlay pemanfaatan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
162
Arahan zonasi kawasan konservasi Gugus Pulau Batudaka yang terdapat
dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean (Bappeda Touna
2007 (Gambar 42) dan secara rinci untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada
Gambar 43 dengan peruntukkan zonasi tersebut, meliputi :
a Zona Inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas
beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber
plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang
budidaya. Zona ini memiliki luas sebesar 489 ha di daratan dan 639 ha di
perairan laut.
b Zona Rimba dan Perlindungan Bahari untuk kegiatan pengawetan dan
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan
penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan
menunjang budidaya serta mendukung zona inti. Luasan Zona Rimba sebesar
6 900 ha dan Zona Perlindungan Bahari sebesar 8 679 ha
c Zona Pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa
lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang
pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya. Zona ini memiliki luas sebesar
177 ha di daratan dan 1 074 ha di perairan laut.
d Zona Tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh
masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Zona ini memiliki luas sebesar 15 558
ha di daratan dan 4 058 ha di perairan laut.
e Zona Rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak
menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Zona ini memiliki
luas sebesar 637 ha di daratan dan 4 454 ha di perairan laut.
f Zona Khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal
di wilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan
sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari
berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Zona ini
memiliki luas sebesar 370 ha (Tabel 44).
163
Tabel 44 Luasan rencana zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR
Kepulauan Togean Tahun 2007
Zona Luasan (ha)
Luasan di Darat
(ha)
Luasan di Perairan
(ha)
Zona Inti 1 128 489 639
Zona Khusus 370 370 0
Zona Pemanfaatan 1 251 177 1 074
Zona Perlindungan Bahari 8 679 0 8 679
Zona Rehabilitasi 5 091 637 4 454
Zona Rimba 6 900 6 830 70
Zona Tradisional 19 616 15 558 4 058
Total 43 036 24 061 18 975
Sumber : Analisis Data (2010)
Pengelolaan zonasi dilakukan dengan memperhatikan berbagai
pemanfaatan berdasarkan tujuan dan sasaran perlindungan seperti yang
dirumuskan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kepulauan Togean/RDTRKP
Tahun 2007 yakni kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat dikembangkan di
kawasan tersebut. Berdasarkan analiss kesesuaian pemanfaatan spasial di Gugus
Pulau Batudaka maka dilakukan rezonasi pemanfaatan wisata dan perikanan
(overlay pemanfatan wisata (Selam dan Snorkeling), kegiatan perikanan
(penangkapan ikan karang dan budidaya rumput laut), wisata-perikanan dengan
rencana zonasi RDTRKP) tertera pada Tabel 45 dan Gambar 44-46.
Tabel 45 Luasan kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR
Kepulauan Togean
No Zona
Luas
(ha)
Kesesuaian
Wisata
Luas
(ha)
Kesesuaian
Perikanan
Luas
(ha)
1 Zona Inti 639
- - - -
- - - -
- - - -
2
Zona
Pemanfaatan
1 051
Selam 0.2 Ikan Karang 855.7
Snorkeling 20.4 Rumput Laut 0.0
Selam-Snorkeling 2.0 I Karang-Rumput L 44.7
3
Zona
Perlindungan
Bahari 8 679
Selam - Ikan Karang -
Snorkeling - Rumput Laut -
Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L -
4
Zona
Rehabilitasi
4 454
Selam - Ikan Karang -
Snorkeling - Rumput Laut -
Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L -
5
Zona
Tradisional
4 058
Selam - Ikan Karang 758.1
Snorkeling - Rumput Laut 0.0
Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L 862.4
Kesesuaian
Pemanfaatan
Selam 102.5 Ikan Karang 460.2
Snorkeling 276.0 Rumput Laut 19.0
Selam-Snorkeling 91.3 I Karang-Rumput L -
Total 18 881 492.5 3,000.3
Sumber : Analisis Data (2010)
164
Gambar 42 Peta rencana zonasi kawasan Kepulauan Togean (RDTR Kepulauan Togean 2007)
165
Gambar 43 Zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR Kepulauan Togean
166
Zona inti Gugus Pulau Batudaka untuk perairannya seluas 639 ha dengan
kegiatan yang boleh dilakukan di dalam Zona Inti hanyalah kegiatan penelitian,
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan menunjang budidaya
(Peraturan Menteri Kehutanan No. P 56/Menhut-II /2006). Berdasarkan PP
No.60/Tahun 2007) untuk mencegah kehilangan sumberdaya laut yang lebih
parah, maka ditempuh upaya perlindungan (konservasi) yaitu dengan menyisihkan
lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis hewan maupun
tumbuhan, keunikan dan gejala alam, beserta ekosistemnya menjadi beberapa
zona antara lain zona inti (daerah larang ambil), yakni zona dengan lokasi tersebut
tidak dapat lagi dimanfaatkan secara umum, karena zona ini menjadi lokasi
ekologis yang mensuplai energi dan plasma nutfah ke wilayah sekitarnya. Upaya
ini selain melindungi sumberdaya yang masih tersisa, juga memberikan
kesempatan bagi ekosistem untuk pulih dari kerusakan.
Luasan Zona Pemanfaatan sebesar 1 051 ha dengan kegiatan wisata seluas
22.6 ha (2.15% Zona Pemanfaatan) dan kegiatan perikanan seluas 900.4 ha
(85.67% Zona Pemanfaatan). Kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini yakni
pengusahaan pariwisata alam, pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan,
penelitian, pendidikan, wisata alam dan kegiatan dengan memanfaatkan zona ini
secara optimal dengan cara-cara yang legal, misalnya untuk kegiatan budidaya
laut, kegiatan penangkapan ikan, dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan.
Luasan Zona Perlindungan Bahari sebesar 8679 ha. Kegiatan yang dapat
dilakukan yaitu pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan
penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas. Luasan Zona Rehabilitasi
sebesar 4 454 ha. Zona ini berfungsi untuk mengembalikan ekosistem kawasan
yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Alokasi
penentuan Zona Rehabilitasi selain mempertimbangkan ekosistem yang
direhabilitasi, juga melibatkan partisipasi masyarakat.
Luasan Zona Tradisional sebesar 4 058 ha yang sesuai dengan kegiatan
perikanan seluas 1 621 ha (39.93% Zona Tradisional). Kegiatan pemanfaatan
potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan
yang berlaku. Hasil overlay kesesuaian pemanfaatan wisata-perikanan dengan
zonasi RDTR Kepulauan Togean untuk kegiatan perikanan (penangkapan ikan
167
Gambar 44 Hasil overlay pemanfaatan wisata (selam, snorkeling) dengan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka
168
karang dan budidaya rumput laut) mempunyai proporsi paling besar dibanding wisata
dalam pemanfaatan ruang perairan di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 46 dan Gambar 48).
Tabel 46 Persentase kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR
Kepulauan Togean
Zona Luasan Zona (%) Wisata (%) Perikanan (%)
Inti 100.00 0 0
Pemanfaatan 12.18 2.15 85.67
Perlindungan Bahari 100.00 0 0
Rehabilitasi 100.00 0 0
Tradisional 60.07 0 39.93
Sumber : Analisis Data (2011)
Rencana zonasi RDTRKP kurang tersosialisasi dengan baik, sehingga umumnya
masyarakat Gugus Pulau Batudaka tidak mengetahui adanya pembagian zona-zona tersebut
khususnya di kawasan perairannya. Bedasarkan hasil analisis diatas, zonasi dalam
RDTRKP perlu dilakukan kajian ulang, khususnya untuk zona rehabilitasi sesuai fungsinya
untuk mengembalikan fungsi ekosistem secara alami, namun sebagian besar merupakan
wilayah yang dekat pemukiman, alur pelayaran, daerah penangkapan tradisional, dan
dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Arahan Rencana pengelolaan zonasi wilayah pesisir
Kepulauan Togean mencakup tahapan kebijakan pengaturan (Bappeda Touna 2007)
sebagai berikut :
1 Pemanfaatan dan pengusahaan zonasi wilayah perairan pesisir dilaksanakan melalui
pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin
pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan
masing-masing instansi terkait.
2 Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di kawasan perairan budidaya atau
zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.
3 Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dimulai dari perencanaan, pemanfaatan,
pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat,
kewenangan, kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik.
Pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan ekologi,
keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau
169
Gambar 45 Hasil overlay penangkapan ikan karang, budidaya rumput laut, dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka
170
induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sehingga zonasi ini dapat
diakomodir pemerintah daerah Kabupaten Tojo Una-Una.
Terumbu karang merupakan daya tarik utama bagi wisatawan dalam melakukan
aktivitas wisata bahari, terutama menyelam dan snorkeling, serta merupakan lokasi
penangkapan ikan bagi masyarakat setempat. Berdasarkan analisis kesesuaian maupun
secara aktual, kegiatan wisata dan perikanan maka harus menjadi perhatian dalam
rangka pengelolaaan zonasi wilayah pesisir Gugus Pulau Batudaka. Melalui peta hasil
zonasi ini dapat diperkirakan kegiatan apa saja yang dapat dilakukan pada zona-zona
tersebut terutama dalam rangka mengembangkan wilayah Gugus Pulau Batudaka.
Pemanfaatan yang ada saat ini belum mengakomodasi bentuk pengendalian
pemanfaatan ruang sesuai zonasi, yakni pada zona-zona yang seharusnya membutuhkan
pengendalian justru dimanfaatkan untuk kegiatan wisata, perikanan, dan beberapa areal
mangrove yang terkonversi menjadi pemukiman, dan tambak. Hal tersebut sangat
berbahaya untuk waktu mendatang apabila tidak segera dilakukan pengendalian
pemanfaatan ruang terutama untuk zona-zona yang seharusnya menjadi daerah
konservasi/ perlindungan laut. Jika merujuk pada hasil analisis, perlu dilakukan upaya
pengendalian pemanfaatan ruang sehingga bahaya yang mungkin terjadi di waktu yang
akan datang dapat diatasi sedini mungkin. Selanjutnya untuk lebih memperdalam materi
zonasi perlu dilakukan konsultasi publik, yakni masyarakat berperan dalam melakukan
evaluasi terhadap hasil zonasi dari analisis yang telah dilakukan pada daerah yang
bermasalah dengan pemanfaatan ruang pesisir PPK.
Penggunaan ruang/wilayah yang multiuse menimbulkan kompetisi, konflik, dan
perbedaan kepentingan, sehingga dengan penzonasian yang berfungsi untuk
menclusterkan kegiatan yang sesuai dan memisahkan yang tidak sesuai. Pengalokasian
ruang laut belum menjadi kebijakan dalam perencanaan pembangunan, dan penzonaan
ini didasarkan aktivitas dan fungsi-fungsinya. Pemanfaatan yang direkomendasikan oleh
RDTR Kepulauan Togean kurang memperhatikan kesesuaian lahan dalam pemanfaatan
ruang wilayah pesisir di Gugus Pulau Batudaka. Dengan melihat hasil komparasi ini
sebaiknya perlu dilakukan revisi RDTR Kepulauan Togean dengan beberapa
pertimbangan terutama terkait dengan perlindungan dan daya dukung lingkungan di
pesisir Gugus Pulau Batudaka.
171
Gambar 46 Hasil overlay wisata-perikanan dan zonasi RDTRKP di Gugus Pulau Batudaka
172
5.2 Analisis Daya Dukung Pemanfaatan Gugus Pulau Kecil
Analisis daya dukung ini menggunakan Ecological Footprint Analysis,
ditujukan untuk pengembangan wisata dan perikanan dengan memanfaatkan
sumberdaya pesisir dan laut Gugus Pulau Batudaka secara lestari berdasarkan luas
total kawasan yang sesuai untuk kegiatan tersebut. Analisis Tapak Ekologis
merupakan konsep untuk mencermati pengaruh (impact) manusia terhadap cadangan
kekayaan dan kemampuan dukung bumi (terutama SDA yang terbarukan) yang masih
tersisa, dan seberapa besar pengaruh konsumsi manusia terhadap ketersediaannya
(Wackernagel 2001). Biocapaciy/BC digunakan untuk melihat seberapa besar
pengaruh manusia maupun sekelompok manusia terhadap kapasitas kekayaan
sumberdaya alam terbarukan di bumi atau disebut juga areal potensial secara ekologis
di Gugus Pulau Batudaka.
.
5.2.1 Daya Dukung Wisata
Total ecological footprint/EF tiap wisatawan yang mengunjungi Gugus Pulau
Batudaka terdiri dari jumlah agregat komponen built-up land, fosil energy land, food
dan fibre consumption (meliputi pasture land, arable land, forest land dan sea space)
dengan rata-rata waktu tinggal selama 5 hari. Asal wisatawan terbesar yang
berkunjung di Gugus Pulau Batudaka pada Tahun 2008 berasal dari Indonesia,
Perancis dan Belanda. Komponen dari EF tersebut tertera pada tabel di bawah ini.
Tabel 47 Built-up land footprint (EF lahan buatan)
Kategori ha/cap/tahun Persentase (%)
Jalan 0.00122 6.18
Pelabuhan 0.00003 0.14
Akomodasi 0.00008 0.39
Aktivitas 0.01847 93.29
Total Footprint 0.01980 100.00
Sumber : Analisis Data (2011)
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa rata-rata pemanfaatan lahan untuk
wisata sebesar 185 m
2
tiap wisatawan/tahun. Hal ini berarti built-up land yang
dihasilkan oleh aktivitas wisata sebesar 93.29%, artinya sumberdaya dan ruang untuk
173
aktivitas wisatawan yang sedikit tiap tahunnya sehingga permintaan built-up
perkapita menjadi besar. Footprint dari komponen food and fibre consumption
sebesar 3 007 m
2
yang dimanfaatkan setiap wisatawan untuk konsumsi sandang dan
pangan selama berwisata di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 48).
Tabel 48 Footprint konsumsi sandang dan pangan
Asal Wisatawan
Cropland Pasture Forest Fishing Ground
(ha/cap/th) (ha/cap/th) (ha/cap/th) (ha/cap/th)
Indonesia 0.0379
0.0000
0.0182 0.0800
Perancis 0.0970 0.1280 0.0591
0.0850
Belanda
0.0924 -0.0120
0.0583 0.0000
Rata rata 0.0758
0.0387
0.0452 0.0550
Area dalam satuan global 0.1992 0.0193 0.0601 0.022
Total EF sandang dan pangan 0.3007
Sumber : Analisis Data (2011)
Footprint konsumsi sandang dan pangan dengan rata-rata kunjungan
wisatawan selama 5 hari adalah 0.3007 ha atau 3 007 m
2
lahan yang dimanfaatkan
untuk konsumsi sandang dan pangan selama berwisata di Gugus Pulau Batudaka.
Secara ringkas keenam komponen utama ruang produktif dalam perhitungan EF
tertera pada Tabel 49.
Tabel 49 Total ecological footprint (EF) dan biocapacity (BC) Gugus Pulau Batudaka
Tipe
Komponen
Eqivalen
Faktor
(gha/ha)
Footprint
(ha/cap/th)
Area dalam
Ruang global
(gha/cap/th)
Existing
area (ha) YF
Biocapacity
(ha)
Biocapacity
(gha)
Energy Land 1.33 0.0001 0.0001 2.38 1.30 3.09 4.11
Built-up land 2.64 0.0198 0.0523 19.54 1.00 19.54 51.60
Cropland 2.64 0.0758 0.2000 453.28 1.70 770.58 2034.34
pasture land 0.50 0.0387 0.0193 173.30 2.20 381.26 190.63
forest land 1.33 0.0452 0.0601 1839.60 1.30 2391.47 3180.66
Seaspace 0.40 0.0550 0.0220 2610.00 0.60 1566.00 626.40
Total EF tiap wisatawan 0.2345 0.3538 5098.10 5131.96 6087.74
Total EF semua wisatawan 2 498.38 3 769.63 0.48 0.57
Daya Dukung 21 887
Sumber : Analisis Data (2011)
Hasil perhitungan EF menunjukkan bahwa rata-rata perjalanan wisatawan ke
Gugus Pulau Batudaka memerlukan 0.23 ha lahan atau sekitar 2 345 m
2
untuk
174
keperluan sumberdaya bagi wisatawan ke daerah tersebut dan dilihat dari sudut
pandang global, maka perjalanan ke Gugus Pulau Batudaka memerlukan lebih dari
0.48 ha rata-rata ruang dunia untuk keperluan sumberdaya. Perhitungan Biocapacity
menunjukkan bahwa komponen forest land memberikan kontribusi yang sangat besar
bagi ketersediaan lahan produktif Gugus Pulau Batudaka sebesar 2 391 ha, sedangkan
komponen energy land memberikan kontribusi yang sangat kecil 3.09 ha. Hal ini
disebabkan wilayah daratan lebih luas dibandingkan terumbu karangnya dan
kecilnya ketersediaan energi berhubungan dengan jumlah penduduk yang relatif
sedikit di wilayah tersebut. BC untuk tiap wisatawan secara lokal 0.48 ha/kapita dan
0.57 gha/kapita, berdasarkan laporan WWF (2009) BC yang tersedia untuk Indonesia
sebesar 1.4 gha/kapita dan secara global 2.1 gha/kapita,dengan demikian kondisi BC
Gugus Pulau Batudaka sekitar sepertiga kali BC nasional dan global, kondisi kegiatan
wisata di Gugus Pulau Batudaka mengalami yang disebut sebagai ecological reserve
artinya area produktif secara biologi atau area potensial secara ekologis masih cukup
untuk menampung jumlah wisatawan yang datang berwisata.
Pendekatan TEF ini menghasilkan jumlah wisatawan minimal berdasarkan
perhitungan input-output sumberdaya (kebutuhan akan sumberdaya di pulau) baik di
lahan daratan dan perairan per tahun dengan dengan rata rata lama kunjungan
wisata 5 hari, dan bila penyebaran wisatawan berdasarkan musim puncak kedatangan
wisatawan (Disbudpar 2008) maka Gugus Pulau Batudaka pada bulan Agustus dapat
menampung sekitar 1 933 orang/bulan, namun fasilitas akomodasi yang ada hanya
dapat menampung sekitar 200 orang/bulan. Jika menggunakan pendekatan kehati-
hatian (precautionary approach) dalam pengelolaan sumberdaya, maka pendekatan
TEF yang digunakan untuk menghitung daya dukung wisata di Gugus Pulau
Batudaka dikaitkan dengan penentuan kebijakan pengelolaan, banyaknya wisatawan
yang diperkenankan mengunjungi kawasan Gugus Pulau Batudaka setiap tahun harus
mengacu pada hasil pendekatan TEF.
Daya dukung (CC) pada tourism dapat dibedakan dua cara yaitu (1) melihat
kemampuan fisik wilayah tujuan wisata untuk menerima kunjungan sebelum dampak
negatif timbul (biophysical component) dan (2) menemukan level dimana arus turis
m
(
4
a
0
T
h
s
y
E
d
f
C
t
s
mengalami p
(behaviour)
47, disajikan
analisis GIS
Tota
0.2345 ha/k
Tahun 2009
ha. Bila di
selam, snork
yakni sebesa
EF wisata le
dimana sum
fungsi eko
Capacity/TC
tanpa menim
saat yang sam
penurunan a
turis itu sen
n gambaran
(KS).
Gambar 4
l Ef tiap wi
apita. Jika j
9 sebanyak 6
ibandingkan
keling dan r
ar 277 ha ma
ebih kecil da
mberdaya me
ologisnya. D
CC) didefini
mbulkan dam
ma dan tidak
akibat keterb
ndiri (behavio
luasan EF w
47 Perbandi
isatawan ya
jumlah turis
628 orang (D
dengan lua
rekreasi pant
aka kondisi i
ari luasan wis
emiliki kesem
Daya duku
sikan sebag
mpak tidak
k mengurang
batasan kapa
oral compon
wisatawan d
ingan EF wi
ang mengunj
s yang meng
Disbudpar 2
asan wisata
tai di Gugus
ini disebut u
sata kategori
mpatan untu
ung di da
ai maksimum
dapat pulih
gi kepuasan
asitas yang
nent) (Savari
dengan luasa
isatawan dan
jungi Gugus
gunjungi Gu
2010) maka
dengan kate
s Pulau Batu
undershoot a
i sesuai sehi
uk memperb
alam wisata
m jumlah tu
dari ekosis
kunjungan (
muncul dar
iades 2000).
an kesesuaia
n KS wisata
s Pulau Bat
ugus Pulau B
luasan EF s
egori sesuai
udaka (hasil
artinya pema
ingga ada rua
aiki dan me
a (Touri
uris yang da
stem/lingkun
(Davis and T
1
ri tingkah la
. Pada Gamb
an wisata ha
tudaka sebes
Batudaka pa
sebesar 138.
i untuk wisa
l analisis GI
anfaatan rua
ang dan wak
empertahank
ism Carryi
apat ditoleran
ngan dan pa
Tisdell 1996)
75
aku
bar
asil
sar
ada
95
ata
IS)
ang
ktu
kan
ing
nsi
ada
).
176
5.2.2 Daya Dukung Perikanan
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus selalu memperhatikan daya dukung
lingkungan untuk keberlanjutannya. Penilaian keberlanjutan dari kegiatan
pemanfaatan sumberdaya alam dapat digunakan Analisis Ruang Ekologis (Ecological
Footprint Analysis/EFA), merupakan suatu konsep daya dukung yang menjelaskan
hubungan didasarkan pada tingkat pemanfaatan terhadap suatu sumberdaya dan luas
lahan yang tersedia/biocapacity (Adrianto dan Matsuda 2004). Pendekatan ini dapat
diketahui berapa maksimal penggunaan sumberdaya dengan luas lahan yang tersedia
sehingga keberadaan ekosistem tetap lestari (Adrianto 2006).
Analisis footprint di suatu wilayah penangkapan ikan dapat dihitung
berdasarkan hasil tangkapan maksimum berbagai jenis ikan (Gulland 1991). Hasil
tangkapan tersebut dikonversi dengan produktivitas primer berdasarkan trophic level
berbagai jenis ikan yang tertangkap (Ewing et al. 2008; WWF 2008). Indikator
Ecological footprint disebut juga indikator ecospace didefinisikan untuk menjawab
seberapa besar area produktif dari daratan dan perairan (sebagai sumberdaya) bagi
keberlajutan hidup manusia secara langsung untuk standar kehidupan dan dengan
teknologi (Wackernegel 1996). Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu
ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut
(Adrianto dan Matsuda 2004).
Produksi biomassa ikan di Gugus Batudaka Kecamatan Una-Una di dominasi
oleh ikan tongkol, ikan lolosi dan ikan kakap (Tabel 14), sementara di Kabupaten
Tojo Una-Una didominasi ikan tongkol, ikan kembung, ikan layar, ikan selar dan
ikan teri (Lampiran 1) Hasil perhitungan untuk indikator EF sistem perikanan di
Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (EF Lokal) dan Kabupaten Tojo Una-
Una (EF Regional) untuk periode 2005-2008 (Tabel 50) dan dan pehitungannya
dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
177
Tabel 50 Kebutuhan ruang ekologis sistem akuatik lokal dan regional
Karakteristik 2005 2006 2007 2008
Kecamatan Una-Una
PPR Coastal and Coral
System (kg)) 1 794 782 1 419 475 1 513 960 1 726 988
PPR Tropical Shelves (kg
132 131 131 672 101 287 109 591
Jumlah Penduduk (jiwa)
12 287 12476 12811 13 106
EF (km
2
/kapita)
0.05 0.04 0.04 0.04
Kebutuhan ruang (km
2
)
5 938 4 727 4 998 5 694
Cakupan (kali)
20 16 17 19
Kabupaten Tojo Una-Una
PPR Coastal and Coral
System (ton) 116 196 108 625 148 920 155 573
PPR Tropical Shelves (ton)
20 706 19 406 117 74.0 17 665
Jumlah Penduduk (jiwa)
125 691 126 918 129 708 131 283
EF (km
2
/kapita)
0.3 0.3 0.4 0.4
Kebutuhan ruang (km
2
)
3 981 3 722 4 936 5 217
Cakupan (kali)
70 65 86 91
Keterangan : Luas Kecamatan Una-Una 298 km
2
, Kabupaten Una-Una 5 722 km
2
Sumber : Analisis data (2010)
EF lokal rata-rata sebesar 0.04 ha/kapita atau membutuhkan area seluas
53.39 ha atau sekitar 19 kali luas daratan Kecamatan Una-Una, sementara EF
regional sebesar 0.3 ha/kapita atau membutuhkan area seluas 4 464.02 ha atau sekitar
78 kali luas daratan Kabupaten Tojo Una-Una. Rendahnya kebutuhan ruang lokal
disebabkan kecilnya jumlah produksi perikanan Kecamatan Una-Una, hal ini
berhubunan erat dengan alat tangkap yang digunakan hanya berupa pancing, jarring
ingsang, bubu dan bagan, sedangkan untuk alat tangkap yang digunakan di
Kabupaten Tojo Una-Una lebih beragam.
Produksi perikanan/jumlah tangkapan, populasi penduduk sangat
mempengaruhi besarnya kebutuhan ruang ekologis bagi kegiatan perikanan.
Berdasarkan analisis ruang ekologis pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk perikanan
di Gugus Pulau Batudaka, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan ruang perairan sekitar
53.39 ha dengan pemanfaatan wilayah perairan untuk perikanan yang rendah yaitu
sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 4 464.02 ha dengan pemanfaatan wilayah
178
perairan untuk perikanan sekitar 0.3 ha/kapita untuk skala regional. Hal ini
menunjukkan bahwa masih terdapat ruang ekologis yang dapat dilakukan untuk
kegiatan pemanfaatan perikanan dan merupakan indikator keberlanjutan bagi
kegiatan perikanan di kawasan tersebut.
Tabel 51 Perbandingan kebutuhan ruang ekologis untuk perikanan antara Gugus
Pulau Batudaka dengan daerah lain
Negara/Daerah/Pulau EF untuk Perikanan Kebutuhan Area
Sumberdaya Global(a) 0.30 2.3 x 10
6
Hongkong (b) 0.20 14 220 km
2
Guernsey UK(c)
1.41 84 000 km
2
Japan (d) 1.90 -
Yoron Islands Japan (e) 0.014 87 168 km
2
Gugus Pulau Batudaka 0.0004 5 339 km
2
Kabupaten Tojo Una-Una 0.003 446 402 km
2
sumber : a) WWF (2002) ; b) Warren-Rhodes and Koenig (2001); c) Chambers et al. (2000);
d) Wada (1999); e) Adrianto and Matsuda (2004)
Dibandingkan dengan daerah lain, EF perikanan Gugus Pulau Batudaka
Kecamatan Una-Una maupun Kabupaten Tojo Una-Una lebih kecil dibanding
Hongkong (0.2 km
2
/kapita), Guernsey UK (1.41 km
2
/kapita) maupun Yoron Island
Japan (0.014 km
2
/kapita). Tabel 49 mempresentasikan perbandingan EE untuk
perikanan lokal mapun regional dengan beberapa daerah lain di dunia. EF merupakan
penilaian total wilayah bioproduktif yang dibutuhkan untuk keberlanjutan di bumi
yang menggambarkan aktivitas manusia dengan menghitung tiga fungsi ekosistem
meliputi suplai sumberdaya, absorbs limbah dan ruang untuk infrastruktur (Haberl et
al. 2004). Pada Gambar 48, disajikan gambaran luasan EF perikanan dengan luasan
kesesuaian penangkapan ikan karang hasil analisis GIS (KS)
P
2
d
(
p
p
m
P
b
o
l
d
e
l
EF p
Pulau Batud
2009) maka
dengan kate
(hasil analisi
pemanfaatan
penangkapan
memiliki ke
Pengelolaan
beberapa fa
oseanografi,
lainnya. Hal
dalam mene
ekosistem s
lahan.
Gambar 48
perikanan lo
daka Kecama
luasan EF p
egori sesuai
is GIS) yakn
n ruang EF
n ikan kar
esempatan un
n wilayah pe
aktor antara
, memiliki k
l tersebut me
entukan prio
setempat dan
8 Perbandin
okal sebesar
atan Una-Un
perikanan s
untuk pena
ni sebesar 84
F perikanan
ang sehingg
ntuk mempe
esisir dan pu
a lain kon
arateristik su
erupakan ba
oritas peman
n kemampu
ngan EF peri
r 0.04 ha/ka
na pada Tah
sebesar 5.5 h
angkapan ik
45 ha maka k
lebih keci
ga ada rua
erbaiki dan
ulau-pulau k
ndisi wilaya
umberdaya y
ahan pertimb
nfaatan sum
uan daya du
ikanan dan K
apita. Jika
hun 2009 seb
ha. Bila dib
kan karang d
kondisi ini d
l dari luasa
ang dan wa
mempertaha
kecil sangat
ah yang d
yang berbed
bangan bagi
mberdaya yan
ukung lingk
KS perikanan
jumlah pen
banyak 1310
bandingkan
di Gugus Pu
disebut under
an kategori
aktu dimana
ankan fungs
penting, dis
dipengaruhi
da antara satu
para pengam
ng sesuai d
kungan serta
1
n
nduduk Gug
06 orang (BP
dengan luas
ulau Batuda
rshoot artin
sesuai unt
a sumberda
si ekologisny
sebabkan ol
oleh kond
u dengan ya
mbil kebijak
dengan kond
a kemampu
79
gus
PS
san
aka
nya
tuk
aya
ya.
leh
disi
ang
kan
disi
uan
180
5.3 Analisis HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production)
5.3.1 Profil Metabolik
Profil metabolik masyarakat lokal dan regional dapat digambarkan secara
statistik melalui pertambahan dan kepadatan penduduk (Tabel 52).
Tabel 52 Parameter demografi Kecamatan Una-Una dan Kabupaten Tojo Una-Una
Parameter Lokal Regional Unit
Jumlah Penduduk 2008 13 106 131 283 Jiwa
Kepadatan Penduduk 2008 42 23 Jiwa/km
2
Rumah Tangga (RT) 2008 3 547 33 872 RT
Sebaran rata-rata Rumah Tangga 4 4 Jiwa/RT
Sex Rasio Laki-laki/Perempuan 104 104
Tingkat Ketergantungan penduduk (Usia
Non Produktif terhadap Usia Produktif)
67.60 70.24 %
Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001-2008 2.0 2.39 %/Tahun
Tingkat Kelahiran penduduk Tahun 2008 0.013 0.0086
Tingkat Kematian Penduduk Tahun 2008 0.005 0.0034
Sumber : BPS (2002-2009)
Hasil registrasi penduduk tahun 2001-2008, penduduk Kecamatan Una-Una
peningkatan 2%/tahun, sedangkan Kabupaten Tojo Una -Una mengalami peningkatan
2.39% setiap tahunnya, dengan tingkat kelahiran dan kematian yang lebih rendah
dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Salah satu pendorong tingginya
pertumbuhan penduduk adalah arus migrasi masuk yang cukup signifikan, sebagian
besar adalah pendatang yang mencari nafkah di daerah ini.
Produksi hasil tangkapan nelayan di laut tidak terlepas daripada keadaan alam,
yang berkaitan dengan musim penangkapan ikan. Hasil tangkapan melimpah pada
musim puncak dan pada musim panceklik, dimana keadaan alam ditandai dengan
angin kencang (musim timur dan barat) hasil tangkapan menurun bahkan tidak sedikit
nelayan tidak mendapatkan hasil. Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat
tangkap yang beroperasi di perairan Kecamatan Una-Una (Tabel 53). Berdasarkan
jumlah alat tangkap yang ada di kecamatan Una-Una maka estimasi produksi
perikanan pada Tahun 2009 sebesar 1 698.67 ton (DKP Kecamatan Una-Una 2010).
181
Produksi perikanan laut Kecamatan Una-Una pada Tahun 2008 sebesar 1 123 ton
(BPS Touna 2009), sedangkan menurut Bappeda Touna (2009) sebesar 1 759.68 ton.
Tabel 53 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat tangkap yang beroperasi
di perairan Kecamatan Una-Una Tahun 2009
No Alat Tangkap Jumlah
(unit)
Trip/tahun Laju Tangkap rata-
rata (kg/trip)
Estimasi Produksi
rata-rata (ton/tahun)
1 Pancing 317 96 10 304.32
2 Jaring Ingsang 211 120 50 1266.00
3 Bagan 11 96 100 105.60
4 Bubu 158 48 3 22.75
Sumber : DKP UPTD Kecamatan Una-Una (2010)
Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang digunakan masih tergolong
sederhana dan didominasi penggunaan perahu tanpa motor sehingga berdampak pada
hasil penangkapan yang tidak maksimal. Pada tingkat regional dimana hasil
tangkapan nelayan tidak semua didaratkan ke TPI-TPI Kabupaten Tojo Una-Una
namun lebih banyak didaratkan ke TPI di Gorontalo, Poso maupun Pagimana
Kabupaten Luwuk. Jumlah TPI di Kabupaten Tojo Una-Una sebanyak 3 buah yang
bertempat di Kecamatan Ampana Kota, Kecamatan Tojo dan Kecamatan Walea
Kepulauan tetapi dari ketiga TPI tersebut belum ada yang difungsikan secara
maksimal. Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Tojo
Una-Una tertera pada Tabel 54.
Tabel 54 Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten
Tojo Una-Una Tahun 2008
NO Kecamatan
Perairan Umum Perairan Kolam Budidaya Tambak
Perikanan
Laut
Luas
(Ha)
Produksi
(Ton)
Luas
(Ha)
Produksi
(Ton)
Luas
(Ha)
Produksi
(Kg)
Produksi
(Ton)
1 Tojo Barat 0 0 0 0 4.10 400 6 383
2 Tojo 5.10 0 7.50 0.60 120.00 1 300 1 901
3 Ulubongka 0 0 13.02 0.40 0 0 953
4 Ampana Tete 0.70 0 3 0.30 0 0 2 817
5 Ampana Kota 0 0 19.15 1.20 0 0 55 099
6 Una-una 10.40 1.40 0 0 20.90 2 800 1 123
7 Togean 0 0 0 0 0 0 2 083
8 Walea Kepulauan 0 0 0 0 0 0 852
9 Walea Besar 0 0 0 0 0 0 558
Kab. Tojo Unauna 16.20 1.40 42.67 2.50 145.00 4 500 71 773
Sumber: BPS (2009)
182
Produksi perikanan laut terbesar terdapat di Kecamatan Ampana Kota yaitu
sebesar 55 099 ton, yang disusul oleh Kecamatan Tojo Barat yaitu sebesar 6 383 ton,
artinya sebagian besar hasil tangkapan nelayan dari kecamatan kepulauan di Teluk
Tomini didaratkan di kecamatan tersebut. Kecamatan Una-Una memberikan
kontribusi sebesar 1.56% dari seluruh produksi perikanan laut di Kabupaten Tojo
Una-Una.
Jenis ikan dominan yang dtangkap nelayan pada kedalaman kurang dari atau
sama dengan 10 m adalah kelompok ikan demersal dan ikan karang, sedangkan pada
kedalaman lebih dari 10 m, jenis ikan dominan yang ditangkap adalah kelompok
pelagis dan beberapa jenis ikan pada kelompok ikan demersal dan Karang.
Berdasarkan jumlah hasil tangkapan ikan, jumlah tangkapan tertinggi per tahun
diperoleh nelayan di wilayah pulau yang mengoperasikan alat tangkap purse seine
dan bagan yakni untuk jenis ikan pelagis kecil, sedangkan jumlah tangkapan terendah
diperoleh nelayan yang mengoperasikan alat tangkap bubu dan pancing ulur untuk
ikan karang dan demersal. Produksi ikan yang tertangkap di Kabupaten Tojo Una-
Una tertera pada Lampiran 2. Jumlah hasil tangkapan ikan demersal tersebut tertera
pada Tabel 55.
Tabel 55 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton)
NO JENIS IKAN TAHUN
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 Bawal Hitam 1.36 1.20 1.20 1.80 8.00 10.00 1.28
2 Bawal Putih 1.20 1.00 1.00 2.80 13.50 11.50 0.92
3 Kakap 56.80 49.50 52.50 15.10 26.70 23.60 48.24
4 Kakap merah 53.76 46.80 49.80 16.10 34.70 41.00 44.73
5 Kerapu Sunu 73.44 63.90 67.90 101.60 464.20 507.00 62.54
6 Kurisi 8.40 7.30 8.30 5.80 22.10 15.60 7.50
7 Sunglir 18.56 16.20 17.20 7.90 24.00 15.00 15.46
8 Tenggiri 23.36 20.30 21.30 22.40 96.00 50.00 19.14
9 Tenggiri Papan 20.24 17.60 18.60 8.90 28.20 15.00 16.66
Sumber : DKP Prov Sulteng (2010)
Data hasil perikanan tangkap ikan demersal menunjukkan bahwa kerapu sunu dan
kakap merupakan jenis yang dominan penting dengan kecenderungan yang fluktuatif
dari tahun ke tahun.
183
Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap pada perairan Kabupaten
Tojo Una-Una meliputi total jam dan hari kerja melaut, jumlah trip per bulan dan per
tahun, jumlah hasil tangkapan per trip dan dalam tahun. Jumlah jam kerja melaut
pada setiap trip melaut berkisar antara 7-24 jam kerja, sedangkan hari kerja melaut
yang diperlukan pada setiap trip penangkapan ikan berkisar 1.0-2 hari. Trip
penangkapan ikan sepanjang tahun selalu berbeda di setiap musim, namun antara
nelayan di pesisir dengan pulau hampir tidak ada perbedaan dalam jumlah jam dan
hari melaut. Musim penangkapan ikan di wilayah penelitian terbagi atas dua musim
yakni musim puncak dan paceklik. Musim puncak (surplus ikan) umumnya
berlangsung selama 8-10 bulan (September/Oktober sampai April/Mei). Jumlah trip
penangkapan ikan tertinggi pada musim puncak dilakukan oleh unit usaha purse seine
yakni 25 trip per bulan. Musim paceklik (kekurangan ikan) umumnya berlangsung
selama 2-4 bulan (Mei/Juni sampai Agustus/September). Jumlah trip penangkapan
ikan pada musim paceklik pada setiap unit usaha penangkapan yakni berkisar antara
2-12 trip per bulan. Trip terendah terjadi pada unit usaha Bagan antara 2 - 5 trip per
bulan (Laapo et al. 2006). Tinggi rendahnya jumlah trip penangkapan ikan, selain
dipengaruhi oleh keadaan musim (perubahan iklim dan cuaca), juga dipengaruhi oleh
harga ikan, hari kerja melaut, sarana penangkapan dan ketersediaan tenaga kerja
melaut. Jam dan hari kerja melaut yang lebih lama menyebabkan jumlah trip per
bulan dan tahun menjadi lebih kecil jumlahnya.
Pada kondisi iklim dan cuaca yang tidak kondusif dan tidak menentu, hasil
tangkapan menurun, nelayan lebih memilih untuk tidak melaut oleh karena biaya
yang dikeluarkan akan lebih besar daripada hasil penjualan ikan. Pada kondisi yang
sama, harga ikan mengalami peningkatan, sehingga ada insentif bagi nelayan untuk
melaut terutama bagi nelayan yang mengusahakan alat tangkap dengan wilayah
perairan maksimum 4 mil. Ketersediaan sarana penangkapan, tenaga kerja melaut
dan sarana penunjang berpengaruh pada peningkatan aktivitas dan mobilitas melaut
secara intensif.
184
5.3.2 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity)
Tiga langkah dalam menghitung HANPP perikanan atau disebut pula sebagai
Exosomatic energy di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (tingkat lokal) dan
Kabupaten Una-Una (tingkat regional) yaitu (1) menghitung potensi kebutuhan
produktivitas primer (2) Produktivitas aktual (produksi tiap spesies ikan (volume of
landing) (DKP Prov. Sulteng 2005-2008); (3) kandungan energi tiap spesies ikan
(Adrianto 2004), perhitungannya secara lengkap tertera pada Lampiran 5. Hasil
analisis HANPP tersebut tertera pada Tabel 56 dan Gambar 50.
Tabel 56 Perhitungan exosomatic energy lokal dan regional
Tahun
Produksi
Aktual/NPP
PPR (kJ) HANPP (kJ)
Colonizing
Efficiency
Rasio
HANPP
NPP
Lokal (kJ) (kJ) (kJ) (%)
2005 159 367 245 9 010 184 221 8 850 816 976 1.80 55.54
2006 141 073 720 7 146 220 211 7 005 146 491 2.01 49.66
2007 132 943 895 7 570 285 074 7 437 341 179 1.79 55.94
2008 138 459 890 8 559 664 732 8 421 204 842 1.64 60.82
Rata-
rata
142 961 188 8 071 588 559 7 928 627 372 1.81 55.49
Regional (MJ) (MJ) (MJ) (%)
2005 31 623 085 1 164 740 859 1 133 117 774 2.79 35.83
2006 33 942 042 1 251 164 735 1 217 222 693 2.79 35.86
2007 31 815 755 1 338 174 994 1 306 359 239 2.44 41.06
2008 36 261 576 2 183 193 633 2 146 932 057 1.69 59.21
Rata-
rata
33 410 614 1 484 318 555 1 450 907 941 2.43 42.99
Sumber : Data Primer Terolah (2010)
Hasil perhitungan exosomatic energy pada tingkat lokal (kecamatan) bahwa
rata-rata exosomatic energy perikanan dari Tahun 2005-2008 sebesar 7.93x10
9
kJ
dengan efisiensi koloni ikan yang tertangkap sebesar 1.81 dan rasio HANPP-NPP
sebesar 55.50, sedangkan tingkat regional sebesar 1.45x10
12
kJ dengan efisiensi
koloni ikan yang tertangkap sebesar 2.43 dan rasio HANPP-NPP sebesar 42.99.
Hasil ini menunjukkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan produktivitas primer yang
merupakan sebuah proses energi dari luar pelaku sebagai penggabungan faktor
manusia dan alam untuk nelayan lokal mempunyai nilai efisiensi yang rendah, artinya
185
mereka memerlukan energi yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan
produktivitas primernya dibandingkan nelayan regional. Pada ekosistem global, rasio
HANPP dengan NPP potensial sekitar 40 di seluruh dunia (Martines-Alier 2005);
HANPP menghitung secara luas dominasi manusia atau kolonisasi sosial ekonomi
dari suatu ekosistem, tingginya rasio tersebut menggambarkan dominasi manusia
terhadap ekosistem dimana pengurangan produktivitas aktual (NPP) yang besar
sebagai indikasi kurang efisiennya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Haberl
et al. 2004). Perbandingan HANPP lokal dan regional tertera pada Gambar 49.
Gambar 49 HANPP perikanan lokal dan regional
HANPP perikanan besarnya tergantung dari banyak hasil tangkapan tiap jenis
ikan dan kandungan energi tiap energi ikan. Gambar diatas mengindikasikan secara
proporsional bila dibandingkan kebutuhan produktivitas primer potensial (NPP
o
)
dengan HANPP maka untuk tingkat regional lebih tinggi dibandingkan tingkat lokal,
sehingga pengaturan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya lebih ditekankan pada
penentuan alokasi sumberdaya, peningkatan SDM perikanan, peningkatan teknologi,
pengaturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin
keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan yang
lainnya sesuai yang diamanatkan dalam CCRF atau Kode Etik Perikanan yang
Bertanggung (FAO 1995).
186
5.4 Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System
Analysis-CLSA)
Analisis keberlanjutan Mata Pencaharian bagi masyarakat Pesisir dikenal pula
sebagai Mata Pencaharian Alternatif (MPA) merupakan usaha pengganti yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam meningkatkan pendapatan
masyarakat. Pengembangan MPA berkelanjutan memegang peranan penting dalam
menjamin kesejahteraan dan ekonomi masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka.
Ada lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial di
dalam upayanya mengembangkan kehidupannya disebut sebagai aset kapital yakni:
modal alam, manusia, keuangan, fisik, dan sosial. Keberhasilan penghidupan masyarakat
bertumpu pada nilai pelayanan yang mengalir dari stok modal total tersebut. Lima bentuk
modal ini tidak memiliki karakteristik yang sama. Modal alami merupakan elemen-
elemen biofisik seperti air, udara, tanah, sinar matahari, hutan, mineral, dan lain-lain.
Aset-aset yang terjadi secara alami ini bisa diperbaharui. Modal manusia merupakan
faktor yang sangat penting, karena manusia sekaligus merupakan objek dan subjek
pembangunan. Modal keuangan adalah media pertukaran dan dengan demikian ini
merupakan fungsi sentral ekonomi pasar. Modal fisik adalah aset buatan manusia seperti
perumahan, jalan, dan bentuk modal fisik lainnya atau modal keras yang membentuk
lingkungan. Modal sosial adalah produktif yang memungkinkan pencapaian tujuan
tertentu yang tidak mungkin dicapai tanpa itu. Dalam kerangka Sustainable Livelihood,
modal sosial memerlukan jaringan-jaringan sosial dan hubungan-hubungan dengan
manusia (Coleman 1990).
5.4.1 Kondisi Sumberdaya Alam dan Mata Pencaharian Masyarakat
Sumberdaya alam pesisir dan laut yang terkandung di kawasan Gugus Pulau
Batudaka cukup beragam sehingga wilayah ini menjadi sumber penciptaan usaha
wisata dan perikanan yang dapat dikembangkan. Potensi tersebut, secara garis besar
di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu (a) sumberdaya yang dapat pulih (renewable
recources) seperti sumberdaya perikanan baik tangkap maupun budidaya, (b)
sumberdaya tidak dapat pulih (unrenewable recources) seperti tambang, (c) jasa-jasa
lingkungan seperti wisata dan transportasi.
187
(1) Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap merupakan kegiatan yang menggunakan teknologi untuk
mendapatkan sumberdaya ikan laut. Berdasarkan tujuan penangkapannya maka
perikanan tangkap dapat dibagi menjadi kegiatan penangkapan sumberdaya ikan
pelagis dan ikan demersal (termasuk ikan karang). Perikanan laut baik tangkap
maupun budidaya di pesisir dan laut adalah jenis pengusahaan sumberdaya dan
mejadi sumber penghidupan masyarakat. Permintaan sumberdaya ikan hidup,
terutama ikan demersal dari pasar internasional memicu meningkatkan aktivitas
pemanfaatan melalui teknologi budidaya. Selain aspek ekonomi, kegiatan ini juga
bermanfaat untuk melestarikan sumberdaya perikanan.
Kawasan ini merupakan salah satu wilayah sumber penangkapan yang kaya
akan keanekaragaman hayati (biodiversity) ikan-ikan karang, karena kawasan ini
merupakan wilayah coral reef triangle dengan biodiversity terumbu karang terbesar
di dunia. Potensi perairan kawasan ini masih cukup besar utuk penyediaan bahan
baku industri perikanan, baik yang dikonsumsi di dalam negeri maupun yang
diekspor ke luar negeri. Potensi perikanan terdiri dari berbagai jenis produk
penangkapan ikan laut, budidaya pantai dan ikan tambak. Penangkapan ikan laut
sebagian besar berupa ikan cakalang, tongkol, kakap, lolosi, kerapu, teri, teripang,
gurita, dan beberapa jenis ikan kering.
Penduduk Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una sebanyak 82%
merupakan keluarga pertanian dan keluarga yang bekerja di subsektor perikanan laut
(nelayan pengusaha dan buruh) sebanyak 95.23% (Bappeda 2009), secara rinci dapat
dilihat pada Gambar 50.
(2) Perikanan Budidaya
Luas daratan Gugus Pulau Batudaka sekiar 300.75 km
2
dan luas perairannya
61.038 ha, dimana pantai-pantainya (termasuk perairan pesisir) dapat digunakan
untuk kegiatan dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan seperti budidaya
perikanan di perairan dangkal/marikultur (budidaya alga : rumput laut, budidaya
kerang-kerangan, teripang, sistem karamba baik jarring tancap (KJT), Jaring Apung
188
(KJA) : umumnya ikan karang), penangkapan perikanan pantai (bagan, bubu dan
lain-lain), serta kegiatan lain seperti pariwisata, transportasi.
Gambar 50 Komposisi keluarga yang bekerja di sektor perikanan (Bappeda
Touna 2009)
(3) Jasa-Jasa Lingkungan
Potensi jasa-jasa lingkungan Pesisir dan laut kawasan Gugus Pulau Batudaka
antara lain wisata bahari, jasa transportasi dan pelayaran laut.
Jenis mata pencaharian masyarakat Gugus Pulau Batudaka secara umum terkait
dengan sektor perikanan dan kelautan secara langsung terkait dengan keberadaan
sumberdaya alamnya dan usaha lain yang masih terkait dengan sumberdaya pesisir
dan laut adalah usaha jasa pariwisata dan transportasi (Tabel 57). Jenis usaha atau
mata pencaharian utama yang digeluti masyarakat di Gugus Pulau Batudaka pada
dasarnya dapat digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu (1) nelayan penangkap ikan, (2)
pedagang atau pengumpul, (3) pengusahaan pelayaran, dan (4) usaha pemenuhan
kebutuhan rumah tangga nelayan. Merujuk pada pengertian CLSA, maka analisis
peluang dan potensi usaha yang dilakukan adalah jenis usaha di luar dari mata
pencaharian utama masyarakat yang dapat memberikan pendapatan alternatif
masyarakat.
Nelayan
pengusaha
83%
NelayanBuruh
12%
tambak
0.12%
budidayalaut
2%
karamba
3%
189
Tabel 57 Kategori dan jenis usaha masyarakat Gugus Pulau Batudaka
Kategori Usaha Jenis Usaha
Usaha Sumberdaya Perikanan
Produksi Penangkapan ikan (berbagai jenis alat tangkap)
Budidaya Perikanan : Budidaya ikan karang
Rumput laut
Teripang
Mutiara
Bandeng
Ikan air tawar
Pengolahan Pengawetan ikan (penggaraman dan pengeringan)
Distribusi Penampungan ikan segar dan ikan hidup
Usaha angkutan hasil perikanan
Pemasaran Pedagang Perantara
Pedagang ekspor
Pemasaran produk hasil olahan
Usaha Pemanfaatan Sumberdaya Lainnya
Pariwisata Penyedia sarana wisata (penginapan, rumah makan, transportasi dan
peralatan bantu wisata)
Jasa pandu wisata
Jasa konservasi dan Pelestarian SD
Penelitian Kegiatan penelitian dalam pemanfaatan SD
Usaha pendukung Lainnya
Transportasi Usaha transportasi umum bagi penduduk pulau
Industri & perdagangan
sarana produksi prikanan
Pengrajin perahu
Alat penangkapan ikan
Usaha penyedia
Konsumsi Rumah
Tangga Nelayan
Warung serba ada (kelontong), warung makan, jasa telekomunikasi
5.4.2 Analisis Pengaruh Masyarakat Pesisir terhadap Kondisi Sumberdaya
Pesisir dan Laut Gugus Pulau Batudaka
Pengumpulan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi
sumberdaya alam di Gugus Pulau Batudaka merupakan faktor penting sebagai
kondisi kunci sosial ekonomi masyarakat pesisir dan kondisi sumberdaya alam pesisir
dan laut untuk menilai interaksi antara masyarakat pesisir dan sumberdaya alam
(ekosistem). Tahapan selanjutnya dalam CLSA adalah analisis pengaruh masyarakat
pesisir melalui identifikasi aktivitas masyarakat pesisir yang secara langsung
berkontribusi terhadap kerusakan sumberdaya pesisir dan laut dalam perspektif sosial
maupun ekonomi. Analisis pengaruh masyarakat terhadap kondisi sumberdaya di
Gugus Pulau Batudaka secara lengkap tertera pada Tabel 58.
190
Tabel 58 Kondisi aset kapital di Gugus Pulau Batudaka
Aset kapital (AK) Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu Kisaran Skor
Alam 14 15 16 14 17 11 0-24
Manusia 19 18 18 14 14 12 0-33
Sosial 9 10 10 10 10 9 0-27
Keuangan 8 6 7 7 6 6 0-15
Buatan 22 14 16 13 13 12 0-33
Jumlah 72 63 67 58 60 50 0-120
Sumber : Analisis Data (2011)
5.4.2.1 Aset Alam
Sumberdaya alam merupakan persediaan alam yang menghasilkan daya
dukung dan nilai manfaat bagi penghidupan masyarakat. Sumberdaya alam juga
meliputi keuntungan strategis dari suatu kondisi geografis khususnya kawasan pesisir,
selain sentra penghasil ikan, juga menarik sebagai obyek wisata yang membawa
pengaruh bagi pendapatan masyarakat sekitarnya. Sumberdaya alam sangat besar
manfaat dan penting keberadaannya bagi masyarakat yang penghidupannya
bergantung pada alam seperti; petani, nelayan, pengumpul hasil hutan. Sumberdaya
alam sangat erat kaitannya dengan konteks kerentanan, banyak bencana alam yang
merusak penghidupan masyarakat merupakan proses alam seperti; banjir, gempa,
tsunami. perubahan cuaca serta musim, yang mempengaruhi produktvitas alam.
Berdasarkan Tabel 59 menunjukkan bahwa Desa Siatu memiliki skor aset alam yang
rendah dibandingkan desa-desa lainnya. Rendahnya skor aset alam mencerminkan
buruknya kondisi sumberdaya alam, kondisi ini mempengaruhi penentuan
perkembangan sistem sosial ekonomi suatu komunitas masyarakat yang mayoritas
mengantungkan kehidupan di sektor pertanian dan perikanan yang memiliki tingkat
ketergantungan tinggi dengan sumberdaya alam. Skor yang tinggi diperoleh Desa
Malino yang berarti bahwa sumberdaya alam yang tersedia mempunyai produktivitas
yang tinggi dalam menunjang penghidupan masyarakatnya.
191
Tabel 59 Kondisi aset alam di Gugus Pulau Batudaka
No. Aset Alam
Skor
Kisaran
Skor
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
1 Ekosistem pesisir 1 2 2 2 2 2 0-3
2 Oceanografi 2 2 2 1 2 2 0-3
3 Pantai 1 2 2 2 2 1 0-3
4 Air bersih 2 2 2 1 3 1 0-3
5
Lahan (pekarangan,
Perkebunan) 2 2 2 2 2 1 0-3
6 Pertanian 2 2 2 2 2 1 0-3
7 Perikanan 2 2 2 2 2 2 0-3
8 Peternakan 2 1 2 2 2 1 0-3
Jumlah 14 15 16 14 17 11 0-24
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik
Sumber : Analisis Data (2010)
Hasil observasi dan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussions)
yang melibatkan masyarakat lokal secara partisipatif di Gugus pulau Batudaka
diperoleh gambaran tentang seluruh komponen asat alam di lokasi penelitian,
meliputi : (1) ekosistem pesisir, (2) oceanografi, (3) pantai, (4) air bersih, (5) lahan
(pekarangan dan perkebunan), (6) pertanian, (7) perikanan, (8) peternakan.
Kondisi aset alam sangat menentukan keberlanjutan penghidupan masyarakat
di Gugus Pulau Batudaka. Skor kurang dari 16 dari asset alam perlu mendapat
perhatian khusus karena berhubungan dengan daya dukung dan nilai manfaat bagi
penghidupan masyarakat. Indikasi kerusakan aset alam ditunjukkan dengan : (1)
perubahan ekosistem pesisir secara alami maupun akibat aktivitas manusia.
Responden menyatakan sebesar 86.47% berhubungan dengan sumberdaya alam di
Gugus Pulau Batudaka (mangrove, lamun, terumbu karang, pantai sungai, laut
maupun pulau-pulau kecil/PPK) dan kondisi sumberdaya tersebut sebesar 16.26%
mengalami perubahan akibat aktivitas manusia. Perubahan sumberdaya Gugus Pulau
Batudaka dalam waktu 10 tahun terakhir sebesar 11.7% (Gambar 51) dengan
perubahan tersebut terutama terjadi pada terumbu karang.
192
G
hasil l
Pulau
untuk
pembo
umum
mendo
5.4.2.2
manus
dalam
untuk
kemam
secara
sumbe
pendid
pendid
berusa
pengh
kurang
Gambar 51
Aktivitas y
laut dengan m
Batudaka a
daerah seb
oman di pe
m masih baik
orong pembu
2 Aset Man
Aset manu
sia (Dharma
m penghidup
mengolah
mpuan untuk
a optimal, s
erdaya lainn
dikan dan ke
Indikator
dikan (fisik
aha) dan ke
idupan serta
g, hal ini ter
0
10
20
30
40
Perubahan s
terakhir
yang merus
menggunaka
aktivitas ter
elah barat P
sisir Desa B
k, namun keb
ukaan lahan
nusia
usia berupa
awan 2006)
pan, pengeta
empat as
k mengemba
sekaligus pe
nya. Faktor p
esehatan (Tab
sumberdaya
dan sosial
esehatan ya
a mencapai
rcermin dari
sumberdaya
ak terumbu
an bom dan
sebut dalam
Pulau Batud
Bambu. Ek
butuhan akan
mangrove u
kemampuan
. Sumberd
ahuan dan k
set penghid
angkan strat
erilaku man
penting yang
bel 60).
a manusia d
seperti kete
ang memun
tujuan pen
i ketersediaa
Gugus Pulau
karang teru
bius. Untuk
m 5 tahun te
daka pada B
kosistem ma
n pemukima
untuk tambak
n, keteramp
daya manusi
kemampuan
dupan lainn
egi pemanfa
nusia sanga
g menentuk
di Gugus Pu
erampilan, p
ngkinkan se
nghidupan m
an sarana da
u Batudaka
utama diseb
k daerah di
erakhir telah
Bulan Maret
angrove, lam
an dan prasar
k di Luangon
pilan dan ka
ia adalah ko
n yang dim
nya. Manu
aatan tiap-tia
t mempeng
an kondisi a
ulau Batuda
pengetahuan,
seorang me
mereka. In
an prasarana
dalam 10 tah
babkan peng
sebelah utar
h berkurang
t-April 2010
mun, sungai
rananya sepe
n Desa Bamb
apasitas sum
omponen te
milikinya diip
sia juga m
ap jenis sum
garuhi keber
aset manusi
aka melipu
, kemampua
elaksanakan
ndikator fisi
a untuk tingk
hun
gambilan
ra Gugus
g namun
0 terjadi
i, secara
erti jalan
bu.
mberdaya
erpenting
perlukan
memiliki
mberdaya
rlanjutan
a adalah
uti aspek
an untuk
strategi
k relatif
kat SMP
193
terdapat di Desa Wakai dan Bambu, untuk SMA hanya ada di Desa Wakai. Hal ini
mempengaruhi secara langsung terhadap pendidikan masyarakat. Indikator sosial
untuk pendidikan menunjukkan cenderung lemah terlihat dari kesadaran dan
partisipasi yang kurang dalam pendidikan. Hasil analisis terhadap 94 responden
diperoleh struktur umur adalah >30 sebesar 20%, 30-40 tahun sebesar 33%, 41-50
tahun sebesar 24% dan >50 tahun sebesar 22% dengan rataan tingkat pendidikan
yang diperoleh adalah 7.22 tahun setara dengan kelas 1 SMP atau lulus SD. Hal ini
berarti bahwa responden memiliki produktivitas masih tinggi karena berada dalam
struktur usia produktif dengan taraf pendidikan yang rendah yaitu lulusan SD.
Tabel 60 Pendidikan dan kesehatan sebagai indikator aset manusia di Gugus Pulau
Batudaka
No. Aset manusia
Skor
Kisaran
Skor
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
1 Pendidikan
a Fisik
a1 Sarana Prasarana
2 2 1 1 1 1 0-3
a2 Biaya Sekolah
2 2 2 2 2 2 0-3
b Sosial
b1 Kesadaran
2 1 2 1 1 1 0-3
b2 Partisipasi
1 1 1 1 2 1 0-3
b3 Pendidian masyarakat
1 1 1 1 1 1 0-3
b4 Ketrampilan berusaha
2 2 2 1 1 1 0-3
2 Kesehatan
a Sarana Prasarana
2 2 2 2 1 1 0-3
b Tenaga Ahli
2 1 2 1 0 0 0-3
c Pelayanan
2 2 2 1 1 1 0-3
d Kesadaran masyarakat
1 2 1 1 2 1 0-3
e Partisipasi masyarakat
2 2 2 2 2 2 0-3
Jumlah 19 18 18 14 14 12 0-33
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik; Analisis Data (2010)
Dalam hal ketrampilan berusaha, menunjukkan kemampuan yang cukup baik
untuk Desa Wakai, Bambu dan Bomba. Hal ini dilihat dari industri yang berkembang
di wilayah ini yakni industri kecil dan kerajinan rumah tangga (Gambar 52) berupa
usaha pengawetan ikan (penggaraman dan pengeringan), pengrajin perahu,
pembuatan atap rumah, gula merah dan makanan.
194
Gambar 52 Banyaknya usaha industri di Kecamatan Una-Una (BPS 2009)
Aset manusia dari aspek kesehatan yang teridentifikasi meliputi : (1) Sarana
dan prasarana, (2) Tenaga ahli, (3) Pelayanan, (4) Kesadaran masyarakat, (5)
Partisipasi masyarakat. Pada tahun 2008 terdapat 1 unit puskesmas di Desa Wakai, 1
unit puskesmas pembantu (Pustu) di Desa Kulingkinari dan Bomba dan unit pos KB
telah ada di semua desa. Tenaga dokter (1 orang) hanya terdapat di Desa Wakai,
mantri/bidan ada di Desa Bambu, Bomba dan Kulingkinari serta dukun bayi telah ada
di semua desa. Terkait dengan sarana dan prasarana serta tenaga ahli di bidang
kesehatan dapat menggambarkan kualitas pelayanan kesehatan sangat kurang
terutama di Desa Kulingkinari, Malino dan Siatu.
Potensi manusia baik yang diperoleh sebagai hasil pengembangan diri,
melalui pendidikan maupun potensi yang terkait dengan kualitas kesehatan, daya
tahan, kecerdasan dan faktor-faktor genetis lainnya merupakan bagian dari
sumberdaya yang tak ternilai. Di tingkat rumah tangga, ukuran sumberdaya manusia
meliputi jumlah dan mutu tenaga kerja yang ada. Tingkat sumberdaya manusia di tiap
keluarga bervariasi sesuai tingkat keterampilan, pendidikan, kepemimpinan dan
kondisi kesehatan. Dalam hal partisipasi masyarakat terhadap kesehatan di semua
desa temasuk dalam kategori sedang/cukup sedangkan kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan masih buruk/kurang. Hal ini ditunjukkan dengan kesadaran
masyarakat menangani sampah domestik dengan kebiasaan membuang sampah ke
laut, tingginya kasus meninggal akibat diare Selain itu, juga kegiatan penangkapan
ikan dengan menyelam pada kedalamam 20-30 m tanpa peralatan yang memadai
0
10
20
30
40
50
60
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
Industrikecil
KerajinanRT
195
menyebabkan pemuda ataupu kepala keluarga yang merupakan tulang punggung
rumah tangga tersebut mengalami kelumpuhan.
5.4.2.3 Aset Sosial
Aset sosial yang dimaksudkan dalam pendekatan CLSA adalah sumberdaya
sosial yang bermanfaat dan digunakan masyarakat untuk mencapai tujuan
penghidupan mereka, yang umumnya bersifat intangible tidak mudah untuk diukur
karena berkaitan dengan perubahan struktur dan proses, namun memiliki nilai
manfaat bagi masyarakat. Kondisi aset sosial terebut tertera pada Tabel 61.
Tabel 61 Kondisi aset sosial di Gugus Pulau Batudaka
No Aset Sosial
Skor
Kisaran
Skor
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
1
Sistem pengelolaan
SDP 1 2 2 2 2 1 0-3
2 Lembaga Sosial 2 2 2 2 2 2 0-3
3 Jaringan Sosial 2 2 2 2 2 2 0-3
4 Adat budaya 2 2 2 2 2 2 0-3
5 Tingkat Konflik 2 2 2 2 2 2 0-3
9 10 10 10 10 9 0-15
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik
Sumber : Analisis Data (2011)
Aset sosial yang teridentifikasi, meliputi (1) sistem pengelolaan sumberdaya
pesisir, (2) lembaga sosial, (3) jaringan sosial, (4) adat dan budaya dan (5) tingkat
konflik. Secara keseluruhan aset sosial di Gugus Pulau Batudaka hampir sama. Di
antara aset-aset kapital, aset sosial merupakan aset yang paling berkaitan dengan
perubahan struktur dan proses. Aset sosial memiliki nilai manfaat bagi penghidupan
masyarakat, namun perlu juga diwaspadai kemungkinan negatif yang dapat
berkembang, atau dampak yang mungkin dirasakan oleh sekelompok orang. Ikatan
dan relasi sosial yang ada mungkin didasarkan pada hubungan hirarkis yang sangat
ketat, dan mungkin pula membatasi atau menghalangi seseorang untuk berupaya
keluar dari kemiskinan. Aset sosial dapat terganggu oleh intervensi dari luar, yang
memaksakan kepentingan tertentu tanpa mempertimbangkan relasi dan ikatan sosial
196
yang telah terbina sebelumnya dalam masyarakat. Intervensi dari luar dapat berupa
tekanan kekuatan atau kekuasaan untuk memaksakan kepentingan, atau motif
ekonomi tertentu yang mengakibatkan konflik dalam masyarakat dani bentuk-bentuk
kekerasan terjadi dalam situasi semacam itu. Pemanfaatan ruang perairan bagi
masyarakat Bomba, Siatu, Tumbulawa dengan adanya usaha budidaya mutiara yang
menutup akses terhadap areal pemancingan tradisional, maka konflik yang terjadi
memaksa perusahaan tersebut memindahkan lokasi usahanya ke daerah lain.
Masyarakat memiliki kemampuan untuk menumbuhkan atau memperbaiki
asset sosial. Hubungan yang baik di antara masyarakat dapat memperkuatnya,
sebaliknya sumberdaya sosial dapat menurun apabila anggota masyarakat mulai
mengabaikan peran dan fungsinya atau tidak mentaati aturan. Aset sosial
membutuhkan hubungan timbal balik terus menerus dan pengembangan aset sosial
dapat dilakukan melalui penguatan lembaga-lembaga lokal, baik melalui
pengembangan kapasitas maupun mendorong perubahan lingkungan yang kondusif.
Selain mempunyai nilai-niai tersendiri, aset sosial sangat diperlukan oleh masyarakat
miskin pada situasi dan kondisi tertentu, misal: membantu menopang penghidupan
mereka pada saat salah satu tulang punggung keluarga meninggal, memberikan
perlindungan pada saat situasi tidak aman atau tidak stabil, atau dapat pula
menggantikan atau menutupi kekurangan sumberdaya yang dimiliki keluarga miskin.
Gotong royong membangun rumah misalnya, dapat menutupi kekurangan tenaga atau
keahlian tertentu yang tidak dimiliki keluarga miskin.
5.4.2.4 Aset Keuangan
Aset keuangan/finansial berhubungan dengan sumber-sumber keuangan yang
dapat digunakan dan dimanfaatkan masyarakat dalam mencapai tujuan penghidupan
masyarakat Gugus Pulau Batudaka, meliputi (1) Lembaga keuangan informal. (2)
Lembaga keuangan formal, (3) pendapatan, (4) tabungan, dan (5) proyek bantuan.
Kondisi asset keuangan di Gugus Pulau Batudaka tertera pada tabel berikut.
197
Tabel 62 Kondisi aset keuangan di Gugus Pulau Batudaka
No. Aset Keuangan
Skor
Kisaran
Skor Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
1 Lembaga
Keuangan
Informal
2 1 2 2 1 1 0-3
2 Lembaga
Keuangan Formal 1 0 0 0 0 0 0-3
3
Pendapatan 2 2 2 2 2 2 0-3
4
Tabungan 1 1 1 1 1 1 0-3
5
Proyek Bantuan 2 2 2 2 2 2 0-3
8 6 7 7 6 6 0-15
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik
Sumber : Analisis Data (2011)
Lembaga keuangan formal bank tidak ada di daerah ini dan terdapat 1 unit
koperasi di Desa Wakai. Lembaga keuangan non formalnya, umumnya dapat
ditemukan di tiap desa, yakni masyarakat perorangan yang memiliki kemampuan
modal lebih, sehingga masyarakat lain yang memerlukan modal untuk melaut dapat
meminjam dan memberikan hasil tangkapannya sebagai pengembalian hutangnya.
Penghasilan rata-rata responden sebesar Rp. 1 945 745/bulan, dengan penghasilan <1
juta sebesar 4%, 1-2 juta sebesar 73%, dan >3 juta sebesar 3%. Hal ini
menggambarkan penghidupan masyarakat di Gugus Pulau Batudaka cukup baik,
ditunjang dari sumberdaya alamnya baik dari hasil laut maupun hasil perkebunan
(kelapa).
Aset keuangan merupakan sumberdaya yang paling fleksibel, dapat ditukar
dengan berbagai kemudahan sesuai sistem yang berlaku, juga dapat digunakan secara
langsung untuk memenuhi kebutuhan penghidupan. Aset keuangan dapat berupa (1)
cadangan atau persediaan; meliputi sumber keuangan berupa tabungan, deposito, atau
barang bergerak yang mudah diuangkan, yang bersumber dari milik pribadi, juga
termasuk sumber keuangan yang disediakan oleh bank atau lembaga perkreditan. (2)
Aliran dana teratur; sumberdana ini meliputi uang pensiun, gaji, bantuan dari negara,
kiriman dari kerabat yang merantau. Aset keuangan bersifat serbaguna, namun tidak
dapat memecahkan persoalan kemiskinan secara otomatis. Ada kemungkinan
198
masyarakat tidak dapat memanfaatkannya karena beberapa hal; masyarakat yang
tidak memiliki cukup pengetahuan dan keahlian, sementara untuk meningkatkan
keterampilan dan keahlian mereka juga dibutuhkan uang yang tidak sedikit, atau
mungkin masyarakat terhambat oleh struktur dan kebijakan yang kurang
menguntungkan, pasar tidak berkembang, sehingga usaha kecil mati atau merugi.
Hal semacam itu perlu menjadi pertimbangan dalam merencanakan bentuk dukungan
keuangan bagi masyarakat. Pilihan bentuk tabungan juga perlu dipertimbangkan,
mungkin masyarakat kurang cocok dengan tabungan konvensional, atau mereka lebih
cocok menabung dalam bentuk barang atau ternak misalnya.
5.4.2.5 Aset Buatan/fisik
Aset buatan merupakan infrastruktur fisik penopang pembangunan berupa
prasarana dasar dan fasilitas lain yang dibangun untuk mendukung proses
penghidupan masyarakat. Prasarana yang dimaksud meliputi pengembangan
lingkungan fisik yang membantu masyarakat dalam melaksanakan tugas kehidupan
lebih produktif. Prasarana umumnya merupakan fasilitas umum yang digunakan
tanpa dipungut biaya langsung, terkecuali prasarana tertentu seperti listrik.
Kekurangan prasarana tertentu dapat dijadikan salah satu ukuran kemiskinan.
Kelangkaan akses terhadap fasilitas air bersih dan energi sangat merugikan kesehatan
manusia. Selain itu, masyarakat akan disibukan dengan kegiatan yang tidak produktif
seperti mencari kayu bakar atau sumber air bersih, yang dapat menghalangi
masyarakat untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan serta kesempatan
untuk meningkatkan penghasilan. Kondisi asset buatan di Gugus Pulau Batudaka
tertera pada Tabel 63.
Ketersediaan dermaga dan pasar di Gugus Pulau Batudaka termasuk kategori
sedang/cukup, namun untuk jalan dan jembatan masih kurang. Kebutuhan air bersih
masih kurang, khususnya Desa Kulingkinari kebutuhan air bersih diperoleh dari desa
tetangganya (Bomba, Malino). Jaringan listrik (PLN dan Non PLN) yang menyala
mulai jam 6 sore sampai jam 12 malam, dengan jaringan telepon tersedia di Desa
Wakai yang dapat menjangkau beberapa desa di sekitarnya. Tempat beribadah
199
seperti masjid, gereja telah tersedia di desa-desa yang ada pemeluk agama tersebut,
juga rumah permanen. Analisis terhadap responden adalah 22% memiliki kondisi
rumah baik, sedang 63%, dan kurang baik 14% dengan kriteria semi permanen dan
tidak memiliki MCK. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan sumberdaya di
Gugus Pulau Batudaka cukup memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Tabel 63 Kondisi aset buatan di Gugus Pulau Batudaka
No. Aset Buatan
Skor
Kisaran
Skor
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
1 Dermaga 3 2 2 2 2 2 0-3
2 Jalan 1 1 1 1 1 1 0-3
3 Air bersih 3 2 2 1 2 2 0-3
4 MCK 2 1 2 1 1 1 0-3
5 Pasar 2 2 2 2 2 1 0-3
6 Jembatan 2 1 1 1 0 1 0-3
7 PPI 0 0 0 0 0 0 0-3
8
Jaringan
Listrik 2 1 2 2 1 1 0-3
9
Jaringan
Telepon 3 0 0 0 0 0 0-3
10
Rumah
Permanen 2 2 2 1 2 1 0-3
11
Tempat
Ibadah 2 2 2 2 2 2 0-3
22 14 16 13 13 12 0-33
Keterangan : 0 = tidak ada, 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik
Sumber : Analisis Data (2010)
Peningkatan kualitas penghidupan masyarakat memerlukan pendekatan
penghidupan berkelanjutan, yakni menekankan pentingnya penyediaan dan akses
terhadap sarana/prasarana sehingga masyarakat memanfaatkannya untuk mencapai
tujuan penghidupan mereka. Penyediaan barang atau alat produksi secara langsung
dapat menimbulkan masalah, antara lain disebabkan oleh beberapa alasan;
menimbulkan ketergantungan dan menggangu mekanisme pasar, mengganggu
perhatian terhadap pentingnya perubahan struktur dan proses, serta berpeluang terjadi
salah sasaran atau hanya menguntungkan kelompok tertentu.
200
5.4.3 Identifikasi Kebutuhan Masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka
Secara umum respon yang dilakukan oleh masyarakat pesisir Gugus Pulau
Batudaka terhadap kondisi sumberdaya pesisir dan dimana hampir seluruh
masyarakat melakukan respon membuat kelompok nelayan, menangkap lebih jauh
dari kondisi yang ada sebelumnya karena sumberdaya yang mulai menurun,
kemudian keinginan melakukan perbaikan lingkungan, walaupun ini hanya
merupakan harapan yang belum diikuti dengan berbagai tindakan nyata dari mereka
sendiri, namun paling tidak harapan ini menjadi bahan arahan kebijakan bagi
pemerintah daerahnya. Hampir seluruh responden menyatakan perlunya menjaga
kelestarian lingkungan pesisir dan laut untuk kelanjutan pencaharian mereka.
Masyarakat Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una sekitar 50%
berprofesi sebagai nelayan sekaligus petani, 7% PNS dan tenaga kerja di luar
pertanian, 2% usaha jasa dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga nelayan, 23%
siswa dan 18% sisanya kelompok usia dini dan lanjut usia (BPS Kecamatan Una-
Una 2009). Kondisi perairan yang fluktuatif, menyebabkan sebagian besar
masyarakat memiliki pekerjaan ganda, terutama memanfaatkan sumberdaya laut
maupun daratan. Kebutuhan masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka adalah
bagaimana meningkatkan taraf hidup dari usaha yang dilakukan melalui tambahan
pengetahuan dan keterampilan serta diversifikasi usaha sebagai alternatif mata
pencaharian serta modal.
Budidaya perikanan telah banyak disosialisasikan pemerintah, namun banyak
kendala yang ditemui dalam pelaksanaannya sehingga beberapa anggota masyarakat
yang telah membudidayakan komoditas tersebut tidak berlanjut. Budidaya teripang
belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Pemeliharaan/pembesaran ikan dalam
kolong rumah banyak diusahakan masyarakat sebelum dijual ke pedagang
penggumpul. Pemeliharaan bandeng di danau asin (Pulau Taufan), maupun ikan air
tawar (Patoyan) memberikan prospek yang baik dimasa mendatang. Demikian pula
budidaya rumput laut, untuk Desa Siatu, Bomba, Wakai, belum memberikan hasil
yang menggembirkan. Namun, daerah lain seperti Tumbulawa, Kulingkinari,
201
Taningkola cukup berhasil usaha budidaya ini, dan mereka membutuhkan sentuhan
teknologi dalam rangka meningkatkan nilai tambah rumput laut.
Skor aset kapital secara umum adalah kurang optimal, hal ini terkait berbagai
kondisi yang bersifat alami dan secara langsung mempengaruhi kinerja aktivitas
masyarakat, yang tercermin pada kesempatan, kesulitan, penghargaan ekonomi dan
sosial, serta dampak lingkungan dari seluruh aktivitas masyarakatnya (Tabel 64).
Tabel 64 Kinerja aktivitas masyarakat Gugus Pulau Batudaka
Aktivitas Kesempatan Kesulitan
Penghargaan
Dampak
Lingkungan
Ekonomi Sosial
Rumah Tangga xxx xxx xx xx -
Ekonomi-Produktif x xxx xx xx --
Sosial-Politik xx xx xx xx -
Ibadah xxx x 0 xxx 0
Rekreasi xx x xx xx -
Konservasi xxx xxx x xxx xxx
Keterangan : -- : sangat buruk, - : buruk, 0 : tidak ada, x : rendah, xx : sedang, xxx : tinggi,
xxxx : sangat tinggi
Sumber : Analisis Data (2010)
Kondisi aset penghidupan masyarakat Gugus Pulau Batudaka (aset kapital)
secara keseluruhan tertera pada Gambar 53. Kekuatan aset kapital Desa Wakai paling
besar, diikuti Desa Bomba, Bambu, Malino, Kulingkinari dan yang terendah Desa
Siatu. Penguasaan/pemilikan/akses terhadap asset kapital terbatas menyebabkan
masyarakat Desa Siatu harus mencari cara untuk memperoleh dan memaksimalkan
penggabungan aset-aset yang benar-benar mereka miliki dengan cara yang inovatif
guna mempertahankan hidup.karena kepemilikan sumber daya alam yang juga lebih
sedikit, akses pada sumberdaya finansial dan infrastruktur yang kecil dan juga sosial
kapital yang kecil.
202
Gambar 53 Grafik hasil CLSA di Gugus Pulau Batudaka
0
5
10
15
20
25
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Wakai
0
5
10
15
20
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Bambu
0
5
10
15
20
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Bomba
0
5
10
15
20
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Kulingkinari
0
5
10
15
20
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Malino
0
5
10
15
Alam
Manusia
Sosial Keuangan
Buatan
Siatu
203
Kesempatan yang paling luas adalah aktivitas rumah tangga, ibadah dan
konservasi, namun memiliki tingkat kesulitan yang tinggi terkait faktor alam seperti
(letak geografis yang jauh dari pusat fasilitas seperti pabrik es, PPI, pasar). Kesulitan
yang tinggi juga terjadi pada aktivitas ekonomi produktif yakni pada pertanian,
wisata, dan perikanan tangkap karena kelangkaan lapangan pekerjaan atau sedikitnya
kesempatan kerja. Kesadaran yang tinggi untuk aktivitas konservasi walaupun
memperoleh penghargaan ekonomi yang rendah, secara keseluruhan kondisi ini,
masyarakat dapat memperoleh insentif sesuai konstelasi CLSA (Adrianto 2005).
Dinamika aset alam sebagai Coastal Livelihood System dalam kurun waktu 20
tahun tertera pada Tabel 65.
Tabel 65 Perubahan aset alam di Gugus Pulau Batudaka
No. Faktor kunci
Tahun
1995 2000 2005 2010
1
Hutan bakau xxx xxx xx xx
2
Hutan Alam xxx xx xx xx
3
Jumlah rumah x xx xx xx
4
Air Bersih xx xx xx xx
5
Areal Pertanian x xx xx xxx
6
Tangkapan Ikan laut xxx xxx xxx xxx
7
Abrasi x x x xx
8
Hasil Pertanian xx xx xxx xx
9
Tambak 0 x x x
10
Kelapa xxx xxx xxx xx
Keterangan : 0 = tidak ada/habis, x = sedikit, xx = sedang, xxx = banyak
Sumber : Analisis Data (2010)
Proses interaksi sistem alam dan sosial terakumulasi pada dinamika
perubahan aset alam. Sistem alam pesisir Gugus Pulau Batudaka menyediakan
berbagai barang dan jasa, yang mendukung perkembangan sistem sosial, juga
membatasi ataupun menghancurkan perkembangan sistem sosial ekologi dalam
bentuk berbagai tekanan (Tabel 66) .
Tekanan alam yang teridentifikasi di Gugus Pulau Batudaka adalah (1) abrasi,
(2) sedimentasi, (3) musim, dan (4) Badai. Tekanan tersebut mempengaruhi
204
penghidupan masyarakat yang menimbulkan dampak/resiko berupa kehilangan asset,
pekerjaan, pendapatan, meningkatkan biaya operasional penangkapan dan
ketidakpastian berusaha. Kerentanan dalam masyarakat merupakan hal yang
dianggap mengganggu atau dapat merugikan penghidupan mereka, berkaitan dengan
sense of problem yang penting untuk diketahui, khususnya pada konteks
masyarakat yang telah memiliki kesadaran tinggi untuk mengantisipasi perubahan,
atau pada konteks masyarakat sangat rentan dan membutuhkan dukungan.
Pengetahuan masyarakat tentang konteks kerentanan membantu memahami prioritas
dan upaya dalam mensikapi setiap perubahan, dan pada konteks dukungan yang lebih
tepat diberikan. Pemahaman ini penting untuk mengetahui potensi dan pengalaman
masyarakat dalam mengantisipasi dan mengelola perubahan, atau bahkan mungkin
terdapat mekanisme yang telah dibangun oleh masyarakat untuk melindungi
penghidupan masyarakat.
Tabel 66 Tekanan alam pesisir dan laut pada masyarakat Gugus Pulau Batudaka
No
Tekanan Alam
Kelompok Rentan Dampak/Resiko
1
Abrasi
Pemilik pinggir pantai Kehilangan asset secara permanen
2
Sedimentasi
Petambak
Nelayan
Petani
Nelayan
Kehilangan pekerjaan
Kehilangan pendapatan
Kehilangan pendapatan
3 Musim Nelayan
Meningkatkan ketidakpastian
Meningkatkan resiko penangkapan
Meningkatkan biaya operasional
Kehilangan pendapatan
4 Badai Semua
Meningkatkan ketidakpastian
Meningkatkan biaya operasional
Kehilangan pendapatan
Kehilangan asset hingga nyawa
Sumber : Analisis Data (2010)
Pada situasi-situasi tertentu mungkin masyarakat sangat bergantung pada
dukungan dari pemerintah. Pemahaman ambang batas kemampuan masyarakat
205
menghadapi perubahan sangat diperlukan, terutama bagi pihak-pihak terkait untuk
meningkatkan sensitifitas mereka terhadap ancaman atau gangguan yang dialami
masyarakat, yaitu kapan dukungan atau bantuan langsung perlu diberikan sehingga
pemilihan insentif menjadi tepat guna.
5.4.4 Pemilihan insentif
Pilihan insentif bagi masyarakat Gugus Pulau Batudaka hampir seluruhnya
mengharapkan dari pemerintah, sehingga pengembangan mata pencaharian alternatif
ini diarahkan untuk mengalihkan profesi nelayan atau sebagai tambahan pendapatan.
Berbagai program, proyek dan kegiatan pemerintah telah dilakukan untuk
mengentaskan kemiskinan. Motorisasi armada nelayan skala kecil adalah program
yang dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan
produktivitas dan daerah ini juga memperolehnya. Pada tahun 2009, Kecamatan
Una-Una memperoleh 25 unit motor tempel 5.5 PK yang didistribusikan pada 5 desa.
Program motorisasi ini membawa dampak positif, dilihat dari bertambahnya jumlah
perahu bermotor di Gugus Pulau Batudaka. Saat ini bila ada program pemerintah
untuk mengadakan armada kapal/perahu nelayan, atau bila ada rencana investasi oleh
nelayan, selalu pengadaan motor penggerak perahu menjadi permintaan nelayan.
Demikian pula di bidang pariwisata, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi telah melakukan berbagai program terkait dalam pengembangan pariwisata
di kawasan Kepulauan Togean.
Mulai tahun 2006, Pemerintah meresmikan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri dengan tujuan meningkatkan keberdayaan dan
kemandirian masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan dan perluasan
kesempatan kerja. PNPM bukan program yang baru, namun merupakan wadah bagi
terintegrasinya program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis
pemberdayaan masyarakat dan diperluas secara nasional. Untuk tahun 2007, dua
program diintegrasikan, yaitu Program Pengembangan Kecamatan dan PNPM
Mandiri merupakan instrumen program untuk pencapaian Millenium Development
Goals (MDGs). Program Pengembangan Kecamatan merupakan salah satu upaya
206
Pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan, memperkuat institusi lokal, dan meningkatkan kinerja pemerintah daerah.
Program diimplementasikan melalui pengelolaan di tingkat kecamatan dalam bentuk
pemberian dana bergulir untuk usaha ekonomi produktif dan penyediaan prasarana
dan sarana yang menunjang kegiatan ekonomi, yang kesemuanya itu diarahkan
sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat (capacity building investment).
Program pemberdayaan masyarakat ini berada di bawah binaan Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri (Depdagri) (Hadi
2009). Kecamatan Una-una tahun 2010 memperoleh Rp 3 milyar dengan pembiayaan
program berasal dari Pemerintah Pusat (APBN), Pemerintah Daerah (APBD), dan
swadaya masyarakat. Hall (2001) menyatakan bahwa salah satu strategi pengelolaan
wisata pesisir berkelanjutan yakni dengan pemberlakuan insentif keuangan (financial
incentives) seperti pajak, harga, subsidi, dan bantuan yang diperuntukkan bagi
pembangunan infrastruktur wisata dan pemberdayaan masyarakat lokal.
5.4.5 Menyusun Strategi Pilihan Mata Pencaharian.
Strategi pilihan mata pencaharian dapat dilakukan melalui :
(1) Penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga
melalui diversifikasi pendapatan nelayan untuk dikembangkan, yang diarahkan
bukan saja untuk nelayan tetapi juga untuk anggota keluarganya, khususnya istri
atau perempuan nelayan yang memang besar potensinya. Pengembangan mata
pencaharian alternatif bukan saja dalam bidang perikanan, seperti pengolahan,
pemasaran, atau budidaya ikan, juga diarahkan ke kegiatan non-perikanan;
(2) mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada
penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri (self financing mechanism).
Masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan pembudidaya ikan sangat sulit untuk
memperoleh modal. Sifat bisnis perikanan yang musiman, ketidakpastian serta
resiko tinggi sering menjadi alasan keengganan bank menyediakan modal bagi
bisnis ini. Sifat bisnis perikanan seperti ini yang disertai dengan status nelayan
yang umumnya rendah dan tidak mampu secara ekonomi membuat mereka sulit
207
untuk memenuhi syarat-syarat perbankan yang selayaknya diberlakukan seperti
perlu adanya collateral, insurance dan equity;
(3) mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan
berdaya guna. Teknologi yang digunakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan,
pada umumnya masih bersifat tradisional, maka produktivitas rendah. Upaya
meningkatkan pendapatan dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai dari
teknologi produksi hingga pasca produksi dan pemasaran. Dengan
mempertimbangkan sifat dan karakteristik masyarakat;
(4) mendekatkan masyarakat dengan pasar, Pasar adalah faktor penarik dan bisa
menjadi salah kendala utama bila pasar tidak berkembang, maka membuka akses
pasar adalah cara untuk mengembangkan usaha karena bila tidak ada pasar maka
usaha sangat terhambat perkembangannya. Pengembangan pasar bagi produk-
produk yang dihasilkan masyarakat pesisir maka upaya yang dilakukan adalah
mendekatkan masyarakat dengan perusahaan-perusahaan besar khususnya
eksportir komoditas perikanan, untuk mendapatkan jaminan pasar dan harga,
pembinaan terhadap masyarakat terutama dalam hal kualitas barang bisa
dilaksanakan, serta bantuan modal bagi pengembangan usaha. Meskipun
hubungan seperti ini sudah ada, secara umum boleh dikatakan bahwa masyarakat
masih menghadapi pasar yang tidak sempurna strukturnya, monopoli ketika
masyarakat membeli faktor produksi serta monopsoni ketika masyarakat menjual
produk yang dihasilkan. Struktur pasar yang tidak menguntungkan masyarakat ini
disebabkan karena informasi yang kurang mengenai harga, komoditas, kualitas,
kuantitas serta kontinyutas produk. Kelangkaan informasi ini begitu rupa
sehingga umumnya masyarakat hanya menghasilkan produk-produk yang serupa
sehingga akhirnya membuat kelebihan pemasokan dan kejatuhan harga;
(5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Kelima
pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi, keinginan,
kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat
(Nikijuluw 2001).
208
Strategi lain, pembelajaran dari keberhasilan alternatif mata pencaharian di
Aceh, yaitu 1) diperlukan fasilitator/petugas penyuluh lapang (dengan pengetahuan
teknis yang memadai) yang tinggal bersama masyarakat binaannya sehingga
permasalahan teknis dalam pengusahaan alternatif mata pencaharian; 2)
penggabungan pemberian modal usaha (misal untuk budidaya perikanan) yang
dikaitkan dengan kegiatan rehabilitasi (penanaman mangrove) dipandang sangat
mendidik sehinga masyarakat merasa ikut memiliki/bertanggung jawab akan hasil
rehabilitasinya; 3) pemberian berbagai pelatihan untuk meningkatkan keterampilan
tentang teknik rehabilitasi, budidaya perikanan maupun alternatif usaha lainnya; 4)
kegiatan rehabilitasi (melalui pemulihan ekosistem mangrove) akan dapat melindungi
pemukiman dari bencana badai maupun air pasang dan memulihkan sumber mata
pencaharian masyarakat pesisir (Wetland 2009). Budidaya rumput laut merupakan
mata pencaharian alternatif yang berkembang di masyarakat Gugus Pulau Batudaka
dan untuk daerah Lindo Desa Tumbulawa, kegiatan ini telah menjadi mata
pencaharian utama, karena telah merasakan hasil yang lebih baik dibandingkan usaha
penangkapan ikan dan secara langsung dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
5.5 Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau
Analisis supply dapat digunakan untuk valuasi nilai ekonomi sumberdaya
pesisir pulau-pulau kecil (PPK) melalui identifikasi potensi dan kondisi sumberdaya
yaitu tipologi PPK meliputi tipe ekosistem, tipe spesies dan komunitas yang ada di
dalamnya berbasis pada teknik valuasi sesuai tipe-tipe tersebut.
5.5.1 Wisata
5.5.1.1 Analisis Penawaran Wisata
Suatu penawaran akan melukiskan jumlah maksimum yang siap disediakan
pada setiap kemungkinan harga dalam jangka waktu tertentu. Laju pertumbuhan
penawaran produk wisata akan tergantung dari biaya dan jumlah produk yang
ditawarkan, sehingga untuk menduga laju penawaran wisata atau mengestimasi kurva
penawaran wisata bahari diturunkan dari fungsi biaya (khususnya biaya jangka
pendek). Fungsi penawaran produk wisata yang diperoleh dengan meregresikan
209
peubah terikat biaya operasional pengusaha wisata (TC/total cost) terhadap peubah
bebas biaya konsumsi dan akomodasi (V
1
), serta biaya pemeliharaan (V
2
). (Tabel 68).
Tabel 68 Biaya operasional pengusaha wisata di Gugus Pulau Batudaka
Nama Usaha
Q (orang)
TC (US)
Konsumsi/V
1
(US$)
Pemeliharaan/V
2
(US$)
Wakai Cottoge 420 103700 76000 26700
Poya Cottage 704 78000 58750 19250
Island Retreat 428 157000 117500 38500
Penginapan
Surya 290 58625 41125 17500
Uraian Keterangan
R dan R
2
F-hit dan significance F
Konstanta
Nilai variabel biaya konsumsi dan akomodasi
Nilai variabel biaya pemeliharan
Jumlah sampel (n)
0.9998 dan 0.9996
13896 dan 0.0006
0.4870
0.7233
0.2874
4
Sumber : Analisis Data (2011)
Model penawaran wisata tersebut diperoleh dengan menggunakan pendekatan
logaritma natural sebagai berikut:
Ln TC = 0.4870 + 0.7233 LnV
1
+ 0.2874 LnV
2
Model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F untuk mengetahui sejauh mana
ketepatan model yang menjelaskan hubungan nyata antara biaya operasional usaha
wisata dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil uji F menunjukkan F hitung
13 896 > F tabel 9.55 pada selang kepercayaan 95%. Nilai F hitung yang lebih besar
daripada F tabel berarti menolak H
0
(H
0
:
1
=
2
=
i
= 0), yang berarti menerima H
1
(H
1
: minimal ada satu
i
0), yaitu setidaknya ada satu peubah bebas dalam fungsi
penawaran tersebut yang berpengaruh nyata terhadap biaya operasional usaha wisata.
Selain itu, nilai koefisien determinasi (R
2
) juga menunjukkan nilai sebesar 0,9996,
berarti peubah bebas yang digunakan dalam model (biaya konsumsi dan akomodasi,
pemeliharaan) mampu menjelaskan keragaman peubah tak bebas, yaitu total biaya
operasional pengusaha wisata sebesar 99.96%. Hasil regresi yang didapatkan dapat
210
diguna
Gugus
Batuda
wisata
pada
pengu
dan ak
biaya
mengg
sumbu
pada k
operas
P
Total B
(TC
akan untuk
s Pulau Bat
aka tertera p
Gambar 54
Kurva di a
a dengan Q
sumbu Y
usaha akan d
komodasi se
operasional
gambarkan
u X akan me
kurva di at
sional pengu
Biaya
C)
membangun
tudaka. Ku
pada Gambar
` Kurva pen
atas membe
pada sumbu
pada waktu
dipresentasik
erta pemelih
l yang dike
biaya oper
empengaruhi
as tergamba
usaha wisata
n kurva pen
urva penawa
r 54 berikut
nawaran wisa
erikan penje
u X dengan
u tertentu,
kan oleh tin
haraan fasili
eluarkan pe
rasional pen
i nilai dari h
ar terus me
a sampai ko
(Biaya
nawaran da
aran produk
ini.
ata di kawas
lasan tentan
tingkatan ha
artinya seti
ngkatan harg
itas wisata.
engusaha ju
gusaha deng
harga P yang
ningkat seir
ondisi terten
Operasional
ari kegiatan
k wisata kaw
an Gugus Pu
ng biaya ope
arga yang di
iap besaran
ga tertentu d
Semakin ti
uga meningk
gan besaran
g berada pad
ring dengan
ntu, sehingga
l)
wisata di
wasan Gugu
ulau Batudak
erasional pe
inotasikan d
n biaya ope
dari biaya k
inggi harga
kat. Kurva
n nilai terten
da sumbu Y
n peningkata
a untuk men
kawasan
us Pulau
ka
engusaha
dengan P
erasional
konsumsi
P maka
tersebut
ntu pada
. Nilai P
an biaya
ngetahui
211
posisi dimana harga diinginkan oleh pasar atau kecocokan harga yang ditawarkan
pihak pengelola wisata maka harus diketahui tingkatan permintaan dari wisatawan
agar terjadi harga keseimbangan pasar (price equilibrium).
5.5.1.2 Analisis Permintaan Wisata
Metode yang digunakan untuk menghitung biaya perjalanan adalah melalui
individual travel cost method/TCM. Hasil analisis permintaan wisata di kawasan
Gugus Pulau Batudaka Kepulauan Togean melalui metode TCM dengan menghitung
biaya perjalanan yang dikeluarkan individu untuk melakukan kegiatan wisata di
kawasan ini. Fungsi permintaan wisata yang diperoleh dengan meregresikan peubah
terikat biaya perjalanan (TC), pendapatan (Y) dan jarak ke lokasi wisata (D) dengan
jumlah kunjungan (V) (Tabel 66), kemudian digunakan untuk membangun kurva
permintaan dan surplus konsumen kegiatan wisata yang kemudian menjadi nilai
manfaat wisata kawasan ini.
Tabel 66 Biaya perjalanan wisatawan, pendapatan dan jarak ke kawasan Gugus
Pulau Batudaka
Negara
Jumlah
Kunjungan
Biaya Perjalanan (US$)
Pendapatan
(US$)
Jarak
(km)
Italia 77 1049 30400 12554
Prancis 80 1041 33200 13480
Belanda 61 942 38500 13264
Spanyol 23 986 30100 12491
Jerman 34 972 34200 12890
Swiss 17 1036 41100 13113
Inggris 18 1116 35100 13644
Belgia 17 959 35300 13296
USA 15 1056 45800 17304
Lokal 458 267 3700 515
Uraian Keterangan
R dan R
2
0.8639 dan 0.7464
F-hit dan significance F 5.8861 dan 0.0321
Konstanta 26.2728
Nilai variabel biaya perjalanan -3.4082
Nilai variabel pendapatan -1.0981
Nilai variabel jarak 1.2707
Jumlah sampel (n) 10
Sumber : Analisis Data (2011)
212
berasa
1 041
jiwa d
perjala
untuk
kedata
Batuda
diband
memp
survei
biaya
minat
Batuda
Gamb
dengan
mence
tersebu
P
(harg
Berdasarka
al dan Peran
per orang, s
dengan biaya
anan wisataw
berwisata. H
angan wisata
aka ketiga p
dingkan den
pengaruhi ora
, motivasi k
perjalanan y
wisatawan u
aka tertera p
ar 55 Kurv
Tingkat ku
n seberapa s
erminkan tin
ut. Fungsi p
ga)
an hasil yan
ncis sebesar
sedangkan ju
a perjalanan
wan suatu n
Hal ini dapat
awan yang
paling banya
ngan wisataw
ang dalam b
kunjungan w
yang murah,
untuk berku
pada Gambar
va permintaa
unjungan wi
sering seoran
ngkat kepua
permintaan w
g diperoleh,
80 jiwa den
umlah wisat
rata-rata seb
negara, seben
t dilihat dari
berasal dari
ak, padahal
wan dari neg
berwisata, sa
wisatawan un
namun keun
unjung. Kurv
r 55.
n wisata di k
isatawan ke
ng wisatawan
asan dan tin
wisatawan ke
(jumlah w
, terlihat bah
ngan rata-rat
tawan terend
besar US$ 1
narnya buka
data wisata
i negara ters
biaya perja
gara lain. Ar
alah satunya
ntuk berwisa
nikan alam y
va permintaa
kawasan Gug
kawasan G
n berkunjun
ngkat kesuk
e kawasan G
wisatawan)
hwa jumlah
ta biaya perj
dah berasal d
056 per ora
an merupaka
awan asal Pe
sebut ke kaw
lanan indivi
rtinya ada f
a adalah mot
ata ke kawas
yang ditawa
an wisata ka
gus Pulau B
Gugus Pulau
g ke lokasi t
kaan wisataw
Gugus Pulau
wisatawan,
jalanan sebe
dari USA se
ang. Tinggin
an penghalan
rancis, yakn
wasan Gugu
idunya palin
faktor lain y
tivasi. Menu
san ini bukan
arkan mempe
awasan Gugu
atudaka
Batudaka b
tersebut. Hal
wan terhada
u Batudaka d
tertinggi
esar US$
besar 15
nya biaya
ng orang
ni jumlah
us Pulau
ng tinggi
yang ikut
urut hasil
n karena
engaruhi
us Pulau
berkaitan
l ini juga
ap lokasi
diperoleh
213
dengan meregresikan peubah terikat jumlah kunjungan (Q) terhadap peubah bebas
biaya perjalanan (TC), pendapatan invidividu (I) dan jarak (D) dengan menggunakan
pendekatan logaritma natural, maka diperoleh model permintaan sebagai berikut:
LnQ = 26.2728 3.4082 LnTC 1.0981 LnY + 1.2707D
Model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F untuk mengetahui
sejauh mana ketepatan model yang menjelaskan hubungan nyata antara tingkat
kunjungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil uji F menunjukkan F
hitung 5.88 > F tabel 4.76 pada selang kepercayaan 95%. Nilai F hitung yang lebih
besar daripada F tabel berarti menolak H
0
(H
0
:
1
=
2
=
i
= 0), yang berarti
menerima H
1
(H
1
: minimal ada satu
i
0), yaitu setidaknya ada satu peubah bebas
dalam fungsi permintaan tersebut yang berpengaruh nyata terhadap jumlah
kunjungan. Selain itu, nilai koefisien determinasi (R
2
) juga menunjukkan nilai sebesar
0.7464, berarti peubah bebas yang digunakan dalam model (biaya perjalanan,
pendapatan invidividu dan jarak) mampu menjelaskan keragaman peubah tak bebas,
yaitu jumlah kunjungan sebesar 74.64%. Model permintaan yang diperoleh juga
dapat menunjukkan hubungan yang berlawanan antara jumlah kunjungan dan biaya
perjalanan. Berdasarkan hasil perhitungan regresi di atas, nilai terhadap permintaan
sebesar -3.4082 dapat diartikan apabila terjadi perubahan biaya perjalanan sebesar
0.05 atau 5% maka akan menurunkan tingkat kunjungan sebesar 3.41%. Tanda
negatif menunjukkan bahwa pada fungsi permintaan tersebut terdapat hubungan
terbalik antara biaya perjalanan dengan tingkat kunjungan. Apabila terjadi kenaikan
biaya perjalanan menuju kawasan Gugus Pulau Batudaka, maka akan menyebabkan
penurunan tingkat kunjungan wisatawan ke kawasan tersebut. Hal ini sesuai dengan
hukum permintaan yang menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditas
maka semakin rendah tingkat permintaannya. Yoeti (1997) berpendapat, bahwa
salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan adalah harga. Kenyataan ini juga
sesuai dengan pendapat Gaspersz (2000) tentang hukum permintaan (law of demand)
yang menyatakan bahwa kuantitas produk yang diminta akan meningkat apabila
harga menurun dan kuantitas produk yang diminta akan menurun apabila harga
214
meningkat (dengan asumsi nilai-nilai dari peubah lain yang mempengaruhi
permintaan produk tersebut dianggap konstan atau ceteris paribus.
Hasil regresi yang didapatkan dapat digunakan untuk membangun kurva
permintaan dan menentukan surplus konsumen dari kegiatan ekowisata bahari di
kawasan Gugus Pulau Batudaka. Surplus konsumen pada penelitian ini merupakan
selisih antara tingkat kesediaan membayar dari wisatawan dengan biaya atau harga
yang harus dikeluarkan untuk memperoleh kepuasan dalam menikmati jasa alam
(Yudasmara 2010) berupa obyek wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Tingkat
kepuasan wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut dapat dilihat dari intensitas
kunjungannya. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin sering seorang wisatawan
berkunjung ke kawasan ekowisata Gugus Pulau Batudaka mencerminkan semakin
puas terhadap lokasi wisata tersebut.
Pada kurva permintaan jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan
Gugus Pulau Batudaka yang dinotasikan dengan Q pada sumbu X dengan tingkatan
harga yang dinotasikan dengan P pada sumbu Y pada waktu tertentu, namun
penjelasan kurva permintaan berbeda dengan penawaran dimana semakin rendah nilai
harga yang ditawarkan maka jumlah wisatawan akan semakin meningkat atau
sebaliknya semakin tinggi harga yang ditawarkan maka jumlah kunjungan wisatawan
semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat pada kurva di atas, dimana harga pada
tingkat sekitar 910 nilai Q = 0 (tidak ada wisatawan yang datang) sedangkan bila
harga berada pada level 300 maka nilai Q sekitar 1 400 orang. Selain itu, dari kurva
permintaan diperoleh hasil perhitungan surplus konsumen sebesar US$ 21 813 per
individu per tahun atau Rp 207 223 500 per individu per tahun dengan nilai tukar
rupiah terhadap dollar sebesar Rp 9 500. Nilai surplus konsumen didapatkan nilai
ekonomi kawasan ekowisata kawasan Gugus Pulau Batudaka yang diperoleh
berdasarkan jumlah wisatawan yang berkunjung tahun 2007 adalah sebesar US$
58 273 atau Rp. 553 593 500. Nilai ekonomi ini merupakan nilai riil pemanfaatan
ekowisata di kawasan ini dan nilai tersebut akan meningkat bila jumlah wisatawan
yang berkunjung ke kawasan ini bertambah banyak. Hal ini dapat terjadi apabila
potensi dan kondisi daya tarik wisata yang ada di kawasan ini dapat dipertahankan,
d
m
p
a
k
h
k
d
s
k
b
m
p
m
disertai den
manajemenn
Setel
perpotongan
aktivitas wis
Kurv
keseimbanga
harga (P) 37
konsumen s
didapatkan
sebesar US$
kawasan saa
berkunjung
menambah j
pada kondis
mampu dita
P
(harga)
ngan pening
nya.
lah hasil ku
n kedua kur
sata di kawa
Gambar 5
va keseimb
an aktivitas
70 dan nilai Q
sebesar US$
juga nilai e
$ 58 273. N
at ini dan n
ke kawasan
jumlah kunj
si keseimban
ampung oleh
gkatan sara
urva penawa
rva tersebut,
san Gugus P
6 Kondisi k
bangan di
wisata di ka
Q (jumlah w
$ 21 813 p
ekonomi ka
Nilai ekonom
nilai tersebu
n ini bertam
jungan wisa
ngan baru se
h kawasan
(jum
ana prasaran
aran dan per
, untuk men
Pulau Batuda
kesetimbanga
atas mem
awasan Gug
wisatawan) s
per individu
awasan wisa
mi ini merup
ut akan men
mbah banyak
atawan meng
ebesar 640 o
atau batas
mlah wisataw
na penduku
rmintaan dip
ngetahui kon
aka (Gambar
an pasar akti
mberikan p
gus Pulau Ba
ebesar 640 o
per tahun.
ata kawasan
pakan nilai r
ningkat bila
k atau masi
gingat jumla
orang, jumla
daya dukun
wan)
ung wisata
peroleh mak
ndisi keseim
r 56).
ivitas wisata
penjelasan,
atudaka bera
orang denga
Nilai surp
n Gugus Pu
riil pemanfa
a jumlah wi
ih ada kese
ah kunjung
ah wisatawa
ng kawasan
2
dan kualit
ka dapat dic
mbangan pas
a
bahwa tit
ada pada lev
an nilai surpl
lus konsum
ulau Batuda
aatan wisata
isatawan ya
empatan unt
gan wisataw
an yang mas
Gugus Pul
15
tas
ari
sar
tik
vel
lus
men
aka
di
ang
tuk
wan
sih
lau
216
Batudaka adalah sebesar 21 887 orang. Kondisi keseimbangan pasar wisata tertera
pada Tabel 67.
Tabel 67 Kondisi keseimbangan pasar wisata di kawasan Gugus Pulau Batudaka
No Parameter Nilai Satuan
1 Harga 370 US$
2 Jumlah wisatawan7 640 Orang
3 Surplus Konsumen 21 813 US$
4 Nilai ekonomi 58 273 US$
Sumber : Analisis Data (2011).
Gugus Pulau Batudaka memiliki karakteristik obyek wisata yang spesifik,
dimana peminatnya juga terbatas pada wisatawan yang mempunyai ketertarikan
tersendiri terhadap obyek wisata berupa panorama alam yang ditawarkan di kawasan
ini dengan atraksi yang dominan berupa selam dan snorkeling. Jumlah kunjungan
wisatawan berdasarkan asal negara dari tahun 2006-2009 tertera pada Gambar 57.
Gambar 57 Kunjungan wisman ke Kepulauan Togean (Disbudpar 2010)
Berdasarkan informasi dari masyarakat dan pengelola penginapan yang ada di
lokasi penelitian, biasanya jumlah wisatawan mancanegara yang cukup banyak terjadi
pada bulan Juli dan Agustus. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut merupakan masa
libur musim panas bagi wisatawan yang berasal dari negara-negara Eropa, dan juga
masa libur musim dingin bagi wisatawan yang berasal dari Australia dan New
Zealand, sedangkan pada bulan-bulan yang lainnya, permintaan rata-rata per-hari
hanya sekitar lima sampai sepuluh orang saja.
0
50
100
150
200
250
300
P
r
a
n
c
i
s
B
e
l
a
n
d
a
J
e
r
m
a
n
S
p
a
n
y
o
l
I
n
g
g
r
i
s
I
t
a
l
i
a
B
e
l
g
i
a
S
w
i
s
s
U
S
A
A
u
s
t
r
a
l
i
a
S
l
o
v
e
n
i
a
A
u
s
t
r
i
a
C
h
e
c
h
K
a
n
a
d
a
s
w
e
d
i
a
2009
2008
2007
2006
217
5.5.2 Perikanan
Jenis-jenis ikan yang tertangkap di Gugus Pulau Batudaka antara lain ikan
tongkol, tenggiri, teri, ekor kuning, kerapu, kakap, dan beberapa jenis ikan lainnya.
Adapun jenis ikan yang dihitung nilai produktivitasnya dalam penelitian ini adalah
ikan kerapu karena ikan tersebut memiliki habitat menetap di terumbu karang,
bernilai ekonomis tinggi, disamping dukungan ketersediaan data sekundernya.
Besaran jumlah hasil tangkapan ikan kerapu hampir tidak tergantung kepada musim,
kecuali pada musim-musim dimana terjadi gelombang besar (musim barat) nelayan
sedikit mengurangi aktivitas penangkapannya. Harga ikan kerapu pada bulan
Pebruari 2009-Pebruari 2010 sebesar Rp 25 000/kg. Hasil valuasi ekonomi ikan
kerapu tertera pada Tabel 68.
Tabel 68 Volume dan nilai produksi kerapu dari tiga alat tangkap
No Variabel Pancing J. Insang Bubu
1 Produksi/trip/tahun 2 017 2 193 175
2 Pendapatan/trip/tahun 50 427 500 54 812 500 4 385 000
3 Tenaga Kerja 2 2 2
4 Trip (hari) 1 1 1
5 Trip/tahun 96 120 48
6 BBM/unit 3 4 2
7 BBM/tahun/unit 288 480 96
8 Harga BBM/tahun 2 016 000 3 360 000 672 000
9 Umpan (kg/tahun) 73
10 Harga umpan 365 000
11 Biaya/trip 47 575 48 000 34 000
12 Pendapatan bersih 43 479 267 45 692 500 2 081 000
Sumber : Analisis Data (2010)
Berdasarkan Tabel diatas, pendapatan bersih nelayan yang menggunakan alat
tangkap jaring ingsang dan pancing lebih tinggi dibanding bubu, masing-masing
sebesar Rp. 3 623 273/bulan (pancing), Rp. 3 808 125/bulan (jaring ingsang), Rp.
173 416/bulan (bubu). Nelayan di Gugus Pulau Batudaka umumnya menggunakan
kombinasi alat tangkap tersebut, seperti pancing-bubu sehingga tidak diperhitngkan
penggunaan umpan pada alat tangkap bubu.
218
5.6 Analisis Skenario Pengelolaan Gugus Pulau
Skenario pengelolaan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka ditujukan
untuk arahan kebijakan dari model integrasi optimal berdasarkan kondisi saat ini.
Nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun model integrasi wisata-
perikanan secara lengkap tertera pada Tabel 69.
Tabel 69 Nilai dugaan parameter pada model integrasi wisata-perikanan di Gugus
Pulau Batudaka
Submodel dan parameter Nilai Dugaan Keterangan
Sub Model Wisata
1. Jumlah wisatawan 3000 Disbudpar Prov. (2008)
2. Yield Factor (YF) Built-up 1.00
Lenzen dan Murray (2001); WWF
(2008)
Cropland 1.70
Energy 1.30
Fishery 0.60
Forest 1.30
Pasture 2.20
3. Komponen :
Hasil analisis manual komponen
TEF, luasan area dari hasil analisis
GIS
- Foot Built-up : luas jalan, 18.36
pelabuhan, 0.43
penginapan 1.16
-Foot aktivitas : luas area selam, 18.70
snorkeling, 129.40
rekreasi pantai 68.69
- Foot energy : jumlah energi 2.38
- Food &Fibre : cropland, 4532.85
pasture, 1733.00
forest, 18395.95
Sea space 2610.00
4. Lama wisata 5
Hasil analisis kuesioner wisatawan
(2010)
Sub model Perikanan
Sektor populasi
1. Jumlah penduduk (jiwa) 13 500 Hasil proyeksi tahun 2010
2. Laju kelahiran 0.012
Hasil analisis berdasarkan BPS
Touna (2004-2009)
3. Laju kematian 0.003
4. Laju imigrasi 0.029
5. Laju emigrasi 0.014
Sektor Produksi (lokal dan regional)
1. Biomassa ikan (X) Lokal 137.911 Hasil analisis, rumus (20)
Regional 12 864
2. Laju pertumbuhan intrinsik (r) Lokal 0.365
Hasil analisis rumus (21)
Regional 0.043
3. Koefisien tangkap (q) Lokal 0.00001
Regional 0.00002
4. Daya dukung (K) Lokal 14.28
Regional 2103
219
Tentukan persamaan TEF, BC
Sesuai ?
TEF = BC
Data :
-Jumlah wisatawan
-Luasan jalan, pelabuhan (GIS)
-Luasan tata guna lahan (GIS)
-Akomodasi wisata
-Produksi listrik
Sesuai
Hitung :
-Agregrat kmponen footprint
-Biocapacity
Cetak : Pemanfaatan optimal
TEF = BC
Submodel dan parameter Nilai Dugaan Keterangan
Sektor Footprint perikanan
1. Data ekspor 5.58
Hasil analisis rumus (29) 2. Data impor 17.28
3. Data konsumsi domestik 300.56
4. Faktor ekivalen laut (YF) 0.06 Lenzen dan Murray (2001)
5. Luas perairan regional 338 575 Hasil analisis GIS
6. Luas perairan lokal 61 052 Hasil analisis GIS
7. Total EF perikanan 0.34 Hasil analisis FEF, rumus (9)
5.6.1 Sub Model Wisata
Keberlanjutan aktifitas wisata di Gugus Pulau Batudaka membutuhkan ruang
dan sumberdaya dimana prediksi wisatawan yang datang setiap tahunnya untuk
keperluan alokasi ruang dan sumberdaya agar dapat dilakukan pengelolaan secara
efektif. Diagram alir TEF (Touristic ecological Footprint) tertera pada Gambar 58.
Gambar 58 Diagram alir TEF
Tidak
Ya
Mulai
Tidak
Selesai
220
Tabel 70 Proyeksi jumlah wistawan, EF dan BC selama 10 tahun
Tahun
Jumlah
Wisatawan
(orang)
EF Total
(ha/tahun)
Biocapacity
Total (ha)
EF tiap
wisatawan
(ha/kapita/tahun)
Biocapacity
wisatawan
(ha)
2010 3 000 759 5 132 0.25 1.71
2011 7 372 1 698 5 132 0.23 0.70
2012 10 806 2 435 5 132 0.23 0.47
2013 13 503 3 014 5 132 0.22 0.38
2014 15 620 3 469 5 132 0.22 0.33
2015 17 283 3 826 5 132 0.22 0.30
2016 18 589 4 106 5 132 0.22 0.28
2017 19 615 4 327 5 132 0.22 0.26
2018 20 420 4 500 5 132 0.22 0.25
2019 21 052 4 635 5 132 0.22 0.24
Final 21 549
Total BC dan EF pada tabel diatas dari keseluruhan wisatawan dan untuk
wisatawan per tahun (kapita/ha/tahun) yang mengunjungi Gugus Pulau Batudaka
dengan jumlah wisatawan awal sebanyak 3 000 orang pada tahun 2010 dan kondisi
ruang ekologis (BC) sekitar 5 132 ha, maka pada tahun pertama Gugus Pulau
Batudaka dapat menampung 7 372 orang dengan lahan yang dibutuhkan sebesar
1 698 ha dengan kebutuhan lahan untuk setiap wistawan (per kapita) 0.23 ha. Sampai
tahun kedua peningkatan jumlah wisatawan cenderung tinggi disebabkan oleh
luasnya lahan produktif masih tersedia. Pada tahun selanjutnya, wisatawan yang
dapat ditampung di Gugus Pulau Batudaka terjadi sedikit peningkatan dan cenderung
stabil sehingga pemanfaatan lahan untuk tiap wisatawan juga tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Peningkatan wisatawan yang berkunjung di Gugus Pulau
Batudaka akan meningkatkan total luas lahan yang dimanfaatkan sebagai akibat dari
konsumsi yang dilakukan, namun tidak sampai melebihi BC. Model dinamik dari
penjelasan diatas tertera pada Gambar 59.
Peningkatan jumlah wisatawan berhubungan dengan konsumsi terhadap
sumberdaya di Gugus Pulau Batudaka dan secara langsung mempengaruhi
peningkatan EF total, namun perubahan EF total tersebut tiap tahunnya sangat kecil.
Hal ini dapat dilihat dari EF per kapita tiap wisatawan yang cenderung tetap dan
221
masih dibawah BC. Hasil perhitungan manual EF total minimal dapat menampung
jumlah wisatawan sebesar 21 887 orang, sedangkan perhitungan model dinamik
jumlah wisatawan dalam kurun waktu 10 tahun mendatang, Gugus Pulau Batudaka
dapat menampung sekitar 21 549 orang. TEF merupakan pendekatan yang digunakan
dalam menghitung kemapuan kawasan dalam menampung jumlah wisatawan di
gugus Pulau Batudakan berdasarkan biocapacity yang tersedia dan konsumsi terhadap
sumberdaya dalam satuan luas area baik di lahan daratan dan perairan per tahun untuk
rata-rata lama kunjungan 5 hari.
Gambar 59 Model dinamik jumlah wisatawan, EF dan BC
BC merupakan daya dukung ruang secara ekologis untuk menunjang tingkat
konsumsi dari wisatawan terhadap suberdya yang ada di Gugus Pulau Batudaka.
Pertambahan jumlah wisatawan yang mengunjungi kawasan tersebut setiap tahun
akan diikuti peningkatan EF dari pulau tersebut karena permintaan akan ruang.
Kondisi BC yang konstan, maka jumlah wisatawan setiap tahun akan bertambah
secara eksponensial hingga mencapai relatif konstan karena EF masih berada
dibawah BC dan bila EF melampaui BC menandakan kegiatan wisata tidak
berkelanjutan (unsustainable). Hal ini berarti Gugus Pulau Batudaka masih dapat
menerima kehadiran wisatawan dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu yang
lama.
222
5.6.2 Sub Model Perikanan
Sub model perikanan tersusun atas : sektor populasi, sektor produksi, dan
sektor ecological footprint. Diagram alir sub model perikanan tertera pada Gambar
60-62.
5.6.2.1 Sektor Populasi
Sumber daya manusia adalah seluruh kemampuan atau potensi penduduk
yang berada di dalam suatu wilayah tertentu beserta karakteristik atau ciri demografi,
sosial dan ekonominya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan.
Karakteristik demografi merupakan aspek kuantitatif sumberdaya manusia yang dapat
digunakan untuk menggambarkan jumlah dan pertumbuhan penduduk, penyebaran
dan komposisi penduduk. Parameter yang digunakan sub model populasi diestimasi
menggunakan data populasi pada Tabel 71.
Gambar 60 Diagram alir sektor populasi
223
Tabel 71 Parameter yang digunakan untuk sektor populasi penduduk
No Desa
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008
1 Kulingkinari 910 945 924 930 987
2 Molowagu 1021 1.253 1.235 1.239 1197
3 Bomba 738 811 829 834 736
4 Tumbulawa 988 998 992 1.057 1214
5 Taningkola 1329 1. 386 1.375 1.371 1069
6 Bambu 1389 1.116 1.187 1.229 1268
7 Una-Una 1447 1.455 1.146 1.447 1370
8 Lembanya 459 489 513 510 572
9 Wakai 1989 2.232 2.324 2.355 2765
10 Tanjung Pude 385 388 397 572 592
11 Malino 286 345 381 364 379
12 Siatu 373 391 398 410 422
13 Kambutu 449 473 475 493 535
Jumlah 11763 12287 12476 12811 13106
Lahir 131 103 143 185 170
Mati 9 48 30 36 71
Emigrasi
533 237 365 331 333
Imigrasi
393 86 192 110 92
Laju kelahiran
0.0117
0.0031
0.0290
0.0143
Laju Kematian
Laju Emigrasi
Laju Imigrasi
Sumber :BPS (2004-2009), Analisis Data (2011)
5.6.2.2 Sektor Produksi
Estimasi kemampuan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka dalam menopang
kehidupan penduduknya, khususnya sumberdaya perikanan terbarui, dalam hal ini
produkivitas berhubungan dengan stok ikan yang dipengaruhi faktor alam dan
manusia (Adrianto dan Matsuda 2004). Perhitungan stok ikan di perairan Gugus
Pulau Batudaka (lokal) dan perairan Kabupaten Tojo Una-Una (regional)
membutuhkan data series (tahun 2007-2009) baik produksi ikan maupun data upaya
penangkapan (DKP Kec. Una-Una 2010; DKP Prov Sulteng 2010) yang dikumpulkan
selama penelitian sehingga diperoleh nilai perkiraan jumlah produksi dan jumlah
224
upaya penangkapan ikan. Estimasi potensi sumberdaya ikan hasil tangkapan lokal dan
regional dilakukan dengan cara menganalisis data total hasil tangkapan dan upaya
penangkapan ikan, serta perhitungannya terdapat pada Lampiran 11 dan 12. Adapun
diagram alir produksi lokal dan regional tertera pada Gambar 63.
Gambar 61 Diagram alir sektor produksi
Berdasarkan data hasil tangkap per unit usaha/CPUE dengan menggunakan
model Schunete dapat diestimasi parameter sektor produksi dan biomassa ikan
(Lampiran 12 dan 13) dihitung dengan model fungsi pertumbuhan ikan dari
Gompertz (Tabel 72).
225
Tabel 72 Parameter yang digunakan untuk sektor produksi
Parameter Produksi Lokal Produksi Regional
Laju pertumbuhan intrinsik (r) 0.365 0.043
Koefisien tangkap (q) 0.00001 0.00002
Daya dukung (K) 90 469 kg 1 071 ton
Biomassa ikan (X) 137 911 kg 12 863 ton
Sumber : Analisis Data (2011)
5.6.2.3 Sektor Ecological Footprint
Pada sektor ini, ecological footprint perikanan sebagai stok dan sebagai
variabel adalah konsumsi domestik, konsumsi ekspor dan konsumsi impor. Menurut
Folke (1996) pengertian konsumsi disini adalah total suplai atau produksi dari
konsumsi manusia dan limbah yang dihasilkan. Berdasarkan data dari BPS yaitu
jumlah penduduk dan ekspor ikan, dan konsumsi ikan per kapita dari DKP, namun
karena data impor tidak tersedia, maka dapat diestimasi menggunakan rumus ikan
impor (rumus 35), sehingga konsumsi riil dapat dihitung (Tabel 73). Diagram alir
sektor ecological footprint tertera pada Gambar 63.
Tabel 73 Estimasi konsumsi impor dan konsumsi riil di Gugus Pulau Batudaka
Tahun
Konsumsi
Aktual Loka1
1
(ton)
Penduduk
Konsumsi
Potensial
1
(ton)
Estimasi
impor
2
(ton)
Estimasi Impor
konsumsi dari hasil
tangkap
3
(ton)
Expor
4
(ton)
Konsumsi
Riil (ton)
2001 245 11325 253.68 9.06 11.51 2.53 254
2002 255 11346 256.87 1.59 2.02 0.10 257
2003 241 11710 264.65 24.01 30.49 10.70 260
2004 261 11592 261.75 0.46 0.59 4.80 257
2005 294 12287 301.03 6.76 8.58 7.80 295
2006 312 12476 323.63 11.35 14.42 5.70 321
2007 333 12811 362.30 29.21 37.10 4.04 366
2008 370 13206 395.92 26.15 33.21 9.00 394
Rata-Rata 288.90 12094.13 302.48 13.57 17.24 5.58 300.56
Keterangan : 1 Perhitungan berdasarkan data konsumsi ikan/kapita/tahun (DKP 2010)
2 IMt = (Konsumsi potensial Konsumsi Akttual) x Penduduk tahun t
3 Koefisien tangkap, 27% dari total produksi (Wada 2002)
4 Data ekspor ikan BPS Kab. Tojo Una-Una (2005, 2009)
226
Gambar 62 Diagram alir sektor ecological footprint
Hasil simulasi ecological footprint perikanan yakni populasi penduduk,
produktivitas tangkapan ikan dan EF perikanan tertera pada Tabel 74 dan Gambar 65.
Tabel 74 Proyeksi jumlah penduduk, produksi ikan, konsumsi domestik dan EF
perikanan
Tahun
Jumlah
penduduk
Produksi
lokal (ton)
Produksi
regional (ton)
konsumsi
domestik (ton)
EF Perikanan
(ha/kapita/th)
2010 13 500 307 4 545 0.02 0.02
2011 13 824 291 4 070 0.02 0.02
2012 14 156 277 3 645 0.02 0.02
2013 14 496 265 3 265 0.02 0.02
2014 14 843 254 2 925 0.02 0.03
2015 15 200 245 2 621 0.02 0.03
2016 15 565 236 2 349 0.02 0.03
2017 15 938 229 2 105 0.02 0.03
2018 16 321 222 1 887 0.02 0.03
2019 16 712 216 1 692 0.02 0.03
Final 17 113 0.03
Sumber : Hasil analisis (2011)
227
Gambar 63 Hasil simulasi EF perikanan
Hasil simulasi (Gambar 63) terlihat bahwa populasi penduduk di Gugus
Pulau Batudaka cenderung meningkat berdasarkan input (kelahiran dan emigrasi)
dan output (kematian dan imigrasi). Pada awal tahun simulasi, jumlah total penduduk
sekitar 13 500 jiwa dan pada 10 tahun kemudian menjadi 17 113 jiwa. Hasil simulasi
peningkatan jumlah penduduk diiringi penurunan laju konsumsi domestik dan sektor
produksi (lokal dan regional).
5.6.2.4 Penggambaran model konseptual
Model konseptual wisata-perikanan digambarkan dalam model dinamik
lengkap yang tertera pada Gambar 64 dan tren hasil simulasi tertera pada Gambar 65,
serta proyeksi jumlah wisatawan, EF wisata, jumlah penduduk, konsumsi domestik
dan EF perikanan pada Tabel 75.
228
Gambar 64 Model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
Gambar 65 Model dinamik integrasi wisata-perikanan
Jml Wisatawan
Total BC ha
EF ha\cap\th
BC Energy ha
BC Buit up
BC Cropland
BC Pasture
BC Forest
BC sea space
YF Fishery
Exist sea area ha
YF Forest
exist f orest area ha
YF Pasture
exist pasture area ha
YF Cropland
Exist Crop area ha
Exist Builtup ha
YF Built up
Exist area ha
YF Energy
Foot Food & Fibre
cropland\ha\kap\th
Sea space ha\kap\th
f orest ha\kap\th
Pasture ha\kap\th
Lama wisata
f oot Energy ha\kap\th
kons Energy GJ\kap
Jml Energy GJ\ha\th
Foot Aktiv itas
Luas Area Div e
Luas Area Snork
Luas Wst Pantai
Foot Penginapan
Foot Builtup ha\kap\th
Foot Jalan
Luas Jalan ha
Luas Pelab
Foot Pelabuhan
Luas Penginapan ha
Total EF
Impor EF
Ekspor EF
Produksi Lokal
Konsumsi Domestik EF
Areal lokal
Data Ekspor
data domestik
data impor
produkai regional
Areal Regional
f aktor ekiv alen laut
EF Perikanan
Jml Penduduk
kelahiiran
Kematian
Imigrasi
Laju Kelahiran
Laju imigrasi
Laju Kematian
Emigrasi
Laju Emigrasi
Biomassa Ikan
Pertumbhan Marginal
produksi
Regional
Kematian 2
Laju pertmbuhan Intrinsik
Fraksi Kematian
Normal
Fraksi Tangkapan
Produksi Regional
per area
Area Fishing Ground
Regional
Koef isien Tangkap
Jumlah Trip
Rasio Biomassa Ikan
Day a DUkung
Biomassa Ikan 2
Pertumbhan Marginal 2
produksi Lokal
Kematian 3
Laju pertmbuhan Intrinsik 2
Fraksi Kematian
Normal 2
Fraksi Tangkapan 2
Produksi lokal
per area
Area Fishing Ground
Lokal
Koef isien Tangkap 2
Jumlah Trip 2
Rasio Biomassa Ikan 2
Day a DUkung 2
229
Tabel 75 Proyeksi jumlah wisatawan, EF wisata, jumlah penduduk, laju konsumsi
domestik dan EF perikanan
Tahun
Jumlah
wisatawan
EF wisata
(ha/tahun)
Jumlah
Penduduk
Laju
KonsumsiDomestik
(ton)
EF perikanan
(ha/th)
2010 3 000 4 177 13 500 0.02 0.02
2011 3 955 4 336 13 824 0.02 0.02
2012 4 751 4 518 14 156 0.02 0.02
2013 5 365 4 691 14 496 0.02 0.02
2014 5 805 4 844 14 843 0.02 0.03
2015 6 094 4 975 15 200 0.02 0.03
2016 6 251 5 086 15 564 0.02 0.03
2017 6 296 5 181 15 938 0.02 0.03
2018 6 247 5 262 16 321 0.02 0.03
2019 6 117 5 332 16 712 0.02 0.03
Final 5 917 17 113 0.03
Sumber : Hasil analisis (2011)
Hasil simulasi menunjukkan peningkatan penduduk dengan masuknya
wisatawan di Gugus Pulau Batudaka dengan penurunan laju konsumsi domestik yang
konstan. Integrasi EF wisata dan perikanan pada awal tahun simulasi, estimasi EF
perikanan atau kebutuhan sumberdaya perikanan membutuhkan area seluas 0.02
ha/tahun yang meningkat menjadi 0.03 ha/tahun pada akhir tahun simulasi. Dengan
asumsi produktivitas area laut hanya sebesar 8.2% (Pauly dan Christensen 1995;
Wackernagel and Rees 1996; Warren-Rhodes dan Koenig 2001) atau 214 ha, maka
konsumsi ikan di Gugus Pulau Batudaka mengalami surplus pada akhir tahun
simulasi dengan kebutuhan area sebesar 0.03 kali kebutuhan area laut produktif.
Hasil dinamik integrasi EF ini menunjukkan keberlajutan surplus ekologis
(0.03 kali dari kapasitas area tangkapan). Hal ini sejalan dengan perhitungan EF
secara statis bahwa masih terdapat ruang ekologis yang dapat dilakukan untuk
kegiatan pemanfaatan perikanan yakni pemanfaatan wilayah perairan untuk perikanan
yang rendah yaitu sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 0.3 ha/kapita untuk skala
regional. Hal ini menunjukkan bahwa Gugus Pulau Batudaka dapat menampung
wisatawan sebanyak maksimal 6 247 wisatawan pada tahun ke-7 dan pada akhir
230
tahun simulasi menjadi 5 917 wisatawan dengan sumberdaya yang ada dan
didukung kebutuhan area sumberdaya perikanan yang surplus, sebagai indikator
keberlanjutan bagi kegiatan wisata perikanan di kawasan tersebut.
Hasil simulasi integrasi wisata-perikanan pada akhir tahun tersebut
menghasilkan jumlah kunjungan wisatawan dan populasi penduduk pada akhir tahun
simulasi sebesar 23 030 kapita/tahun (4 326 wisatawan/tahun) dengan tren penurunan
wisatawan seiring dengan peningkatan populasi penduduk setelah tahun ke-7
simulasi. Penggunaan pendekatan kehati-hatian (precusionary approach) dalam
penggunaan sumberdaya yakni lahan potensial yang tersedia di Gugus Pulau
Batudaka (ruang untuk wisata 0.93 ha/tahun dan perikanan 0.03 ha/tahun), maka bila
dikaitkan dengan kebijakan pengelolaan dengan jumlah kunjungan wisatawan yang
belum melampai daya dukung kawasan maka kegiatan yang dapat dilakukan adalah
promosi dan meningkatkan atraksi wisata.
5.6.2.5 Verifikasi dan Validasi Model
Verifikasi dan validasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun
dengan cara yang benar dan sah sebagai perwakilan dunia nyata (Murthy et al. 1990).
Uji verifikasi dan validasi pada model integrasi wisata-perikanan dilakukan terhadap
struktur model integrasinya. Model dinamik kinerja integrasi wisata-perikanan
mengadopsi teori sistem penilaian kinerja pemanfaatan ruang untuk wisata
(Solarbesain 2009) dan perikanan (Adrianto dan Matsuda 2004) yang telah dikaji
secara akademis merupakan model yang dibuat melalui pengembangan dari beberapa
model sistem penilaian pemanfaatan ruang perairan secara spasial dan temporal
(Moffat 2000; Warren-Rhodes dan Koenig 2001; Adrianto dan Matsuda 2004). Oleh
karena itu validasi teoritis untuk model sistem penilaian kinerja pada penelitian ini
berdasarkan rujukan teoritis yang digunakannya.
Simulasi model ini bertujuan untuk memprediksi pemanfaatan ruang wisata
perikanan berdasarkan nilai variabel keadaan (state variable) stok dari data primer
dan sekunder. Model divalidasi dengan membandingkan perfomansi model dari hasil
analisis basis model dari beberapa level (stok) sumberdaya dengan hasil analisis data
231
pengamatan dan sekunder melalui pengujian secara statistik. Level sumberdaya yang
digunakan untuk validasi model adalah jumlah wisman dan jumlah penduduk.
Persyaratan statistik yang diuji adalah nilai (intercept), besaran koefisien
determinasi (R
2
), dan rata-rata nilai prediksi dari level (Y). Nilai statistik untuk uji
validasi model disajikan pada Tabel 76.
Tabel 76 Hasil analisis statistik berdasarkan persyaratan validasi
No. Jenis persyaratan statistik
Nilai hasil analisis dinamik
Nilai hasil analisis data
lapangan
Intercept R
2
Rataan
Y predik
Intercept R
2
Rataan Y
predik
1. Jumlah penduduk (X)
terhadap kunjungan
wisman (Y)
- 5 821 0.6565 5 436 - 11 688 0.9057 2 767
2. Jumlah penduduk dan
wisman (X) terhadap EF
wisata (Y)
3 061 0.8869 4 840 342 0.9401 3 396
Tabel 76 menunjukkan bahwa baik persyaratan nilai intercept maupun rata-rata
nilai prediksi level (kunjungan wisman dan EF wisata) umumnya menunjukkan nilai
yang relatif sama, kecuali pada nilai koefisien determinasi (R
2
) jumlah penduduk (X)
terhadap kunjungan wisman (Y) dari analisis data analisis dinamik lebih rendah
dibanding data lapangan. Perbedaan ini terkait dengan penggunaan data kunjungan
wisman` (Lampiran 9) menunjukan bahwa pada kondisi ril lapangan, variasi nilai
kunjungan wisman dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang tidak dimasukan dalam
model ini. Nilai intercept yang diperoleh relatif sama yakni tanda negatif untuk
hubungan jumlah penduduk (X) terhadap kunjungan wisman (Y) dan tanda positif
untuk jumlah penduduk dan wisman (X) terhadap EF wisata (Y) untuk seluruh
dimensi sehingga hasil analisis dalam penelitian ini dianggap valid. Model dinamik
integrasi wisata-perikanan yang dibuat mampu untuk melakukan sebuah proses
simulasi sebagai kajian model dunia abstrak mengikuti dari perilaku realitas dunia
nyata yang dikaji sehingga model dinamik integrasi wisata-perikanan tersebut telah
memenuhi prosedur verifikasi dan validasi model.
232
233
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka hal-hal yang dijadikan sebagai
kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
1 Pemanfaatan sumberdaya untuk wisata (selam, snorkeling) dan perikanan
(budidaya rumput laut) dilakukan berdasarkan kesesuaian temporal karena
kesesuaian ruangnya yang bersifat dinamik. Integrasi wisata-perikanan di
Gugus Pulau Batudaka dapat menampung sebanyak 21 887 wisatawan/tahun
yang memanfaatkan ruang untuk perikanan sebesar 0.04 ha/kapita (skala
lokal) dan 0.3 ha/kapita (skala regional) dan didukung hasil analisis HANNP,
CLSA dan valuasi ekonomi sehingga Gugus Pulau Batudaka dapat
dikembangkan menjadi kawasan wisata dan perikanan.
2 Keberlanjutan sistem sosial ekologi di kawasan ini dapat menampung
wisatawan rata-rata setiap tahun sebanyak 4 326 orang yang memanfaatkan
ruang untuk wisata (0.93 ha/tahun) dan ruang untuk perikanan (0.3 ha/tahun).
6.2 Saran
Saran untuk keberlanjutan pengelolaan kawasan ini adalah :
1 Perlu adanya perubahan zonasi di Gugus Pulau Batudaka berdasarkan
kebutuhan masyarakat, kesesuaian ruang dan daya dukung kawasan.
2 Pengembangan Gugus Pulau Batudaka sebagai kawasan wisata dengan
menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) dalam
pengelolaan sumberdaya, maka untuk meningkatkan jumlah kunjungan
wistawan dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi obyek wisata saat
ini (wisata selam, dan snorkeling) yang didukung oleh ketersediaan
infrastruktur penunjang melalui peningkatan atraksi wisata dan kegiatan
promosi.
234
235
DAFTAR PUSTAKA
Adhiasto. 2001. Laporan penelitian mangrove di Kepulauan Togean. Conservation
International Indonesia Yayasan Pijak. Palu.
Adrianto, L. 2004. Reformasi pemikiran ekonomi : perlunya reintegrasi ilmu alam
dengan ilmu ekonomi. http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=4 (Diakses 18
Mei 2007)
Adrianto L, and Y. Matsuda 2004. Fishery Resources Appropriation in Yoron Island,
Kagoshima Prefecture, Japan : A Static and Dynamic Analysis. Kagoshima
University. Japan.
Adrianto, l., 2005. Konsep dan pengertian ekonomi sumberdaya pesisir dan Laut.
Working Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Adrianto L. 2005. Analisis Sosial Ekonomi dalam Strategi Konservasi Sumberdaya
Pesisir dan Laut: Sebuah Pendekatan (Coastal Livelihood Analysis). Working
Paper. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Adrianto, L. 2006. Sinopsis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. Working Paper.
Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. IPB, Bogor.
Adrianto, L and N. Aziz. 2006. Valuing the social-ecological interactions in coastal
zone management : a lesson learned from the case of economic valuation of
mangrove ecosystem in Barru Sub-District, South Sulawesi Province. Seminar
in Social-Ecological System Analysis. 12 June 2006. ZMT, Bremen
University, Bremen.
Adrianto, L. 2007. Teknik pengambilan data untuk Contingent Valuation Method.
Modul yang disampaikan pada kegiatan pelatihan teknik dan metode
pengumpulan data valuasi ekonomi. Bogor, 05-09 Maret 2007. Kerjasama
PKSPL-IPB dengan BAKOSURTANAL, Bogor.
Adrianto, L dan Y. Wahyudin, 2007. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Perairan.
Makalah Seminar Kelautan di Makassar 7-8 Juni 2007.
Allison, E.H., and F. Ellis, 2001. The livelihoods approach and management of small-
scale fisheries. Marine Policy, 25 (5):377-388
Anggadiredja, J.T., 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Aslan, L.M., 1988. Budidaya Rumput Laut. Kanisius Yogyakarta.
Ayres, R.U. and L.W. Ayres, 2002. Handbook of Industrial Ecology. Cheltenham,
UK and Lyme, US. Edward Elgar.
Ayres, R.U., JC.J.M van den Bergh, 2000. Weak versus strong sustainability :
economic, natural science and consilience. Environmental Ethichs,
forthcoming.
Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una 2007. Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Tojo Una-Una. Ampana.
Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una 2007. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Kepulauan Togean. Ampana.
236
Bappeda Touna-Kabupaten Tojo Una-Una. 2009. Survei sosial ekonomi daerah
Kabupaten Tojo Una-Una (SUSEDA) 2009. Bappeda & PM Kabupaten Tojo
Una-Una, Ampana.
Barton, D.N. 1994. Economic factors and valuation of tropical coastal resources.
University of Bergen, Norway.
Bass, S and B. Dalal-Clayton, 1995. Small Island States and Sustainable
Development: Strategic Issues and Experience. Environmental Planning
Issues, 8:35-42
Bengen, D.G., 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor.
Bengen, D.G., 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan Laut.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.
Bengen, D.G., 2002. Pengembangan konsep daya dukung dalam pengelolaan
lingkungan pulau-pulau kecil. Laporan Akhir Kerjasama antara Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, IPB, Bogor.
Bengen, D.G. dan A.S.W. Retraubun, 2006. Menguak realitas dan urgensi
pengelolaan berbasis eko-sosio sistem pulau-pulau kecil. Pusat Pembelajaran
dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor, Indonesia.
Bergh, J.C. and J.M. van den, 2001. Themes, Approaches, and differences with
environmental economics. Ecological Economics : rev version. p 1-38
Berkes, F and C. Folke, 2002. Back to The Future : Ecosystem Dynamic and Local
knowledge. In Panarchy understanding transformations in Human and
Ntaural system. (Gunderson and Holling eds). Island Press, Washington-
Cavelo-London. p 121-146
Berkes. F, and C.S.Seixas, 2005. Building resilience in lagoon social-ecological
systems: a local-level perspective. Ecosys. 8:967-974
Berkes, F., 2007. Understanding uncertainty and reducing vulnerability : lessons from
resilience thinking. Springer Science Nat Hazards. 41:283295
Beller, W., 1990. How to sustain a small island. In : Beller, W., P. dAlaya dan P.
Hein (eds.) : Sustainable developtment and environmental management of
small islands. Man and Biosphere Series : Vol 5 UNESCO and Parthenon
Group, Paris. p:15-22
Bin, C., H. Hao, Y. Weiwei, Z. Senlin, W. Jinkeng, J. Jinlong, 2009. Marine
biodiversity conservation based on integrated coastal zone management
(ICZM) a case study in Quanzhou Bay, Fujian, China. Ocean & Coastal
Management 52:612619
BKSDA-Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah, 2006. Rencana
Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Kepulauan Togean 2005-2030.
BKSDA Sulteng Dirjen Perlindungan Konservasi Alam Departemen
Kehutanan, Palu.
BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Poso, 2004. Kabupaten Poso dalam Angka
2003. Poso.
237
BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2004. Laporan Tahunan.
Ampana.
BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2004-2008. Kecamatan Una-Una
dalam Angka. Ampana.
BPS-Biro Pusat Statistik Kabupaten Tojo Una-Una, 2009. Kabupaten Tojo Una-Una
dalam Angka 2008. Ampana.
BRPL-Balai Riset Perikanan Laut, 2005. Teluk Tomini: ekologi, potensi sumberdaya,
profil perikanan dan biologi beberapa komoditi yang penting. Pusat Riset
Perikanan Tangkap. Jakarta.
Briguglio, L., 1995. Small island state and their economic vurnerabilities. World
Development 23:1615-1623.
BRKP-Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2004. Profil sumberdaya kelautan dan
perikanan Teluk Tomini. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta
Bonham GF, and Carter, 1994. Geographic information system for geoscientist;
modeling with GIS. Pergamon. Ottawa, Ontario, Canada.
Bowen, R.E. and C. Riley, 2003. Socio-economic indicators and integrated coastal
management. Ocean & Coastal Management 46:299312.
Brotowidjoyo, M.D., D. Tribowo, dan E. Mubyarto, 1995. Pengantar Lingkungan
Perairan dan Budidaya Air, Liberty, Yogyakarta.
Brower, J., Z. Jerold and C. Von Ende, 1990. Field laboratory and method for
general ecology. 3
th
ed. W.m.C. Brow Publishers, USA.
Casagrandi, R. and S. Rinaldi. 2002. A Theoretical approach to tourism
sustainability. Conservation. Ecology, 6 (1):13-21.
Chambers, N., C. Simmons and M. Wackernagel, 2000. Sharing natures interest :
ecological footprint as an indicator of sustainability. Earthscan Publicaton,
London.
Cholik, F., 2005. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia, Central Research
Institute for Fisheries, PO Box 6650 Slipi, Jakarta.
Chua, T. E., 1992. Integrative Framework and Methods for Coastal Area
Management. ICLARM, Manila.
Chua, T.E., 1993. Essential Elements of Integrated Coastal Zone Management. Ocean
& Coastal Management. ELsevier Science Publishers Ltd, England Printed in
Northern Ireland.
Cicin-Sain, B., P. Bernal, V. Vandeweerd, S. Belfiore and K. Goldstein, 2002. A
guide to oceans, coasts and islands at the World Summit on sustainable
development. Integrated Management from Hilltops to Oceans. World
Summit on Sustainable Development Johannesburg, South Africa August 26-
September 4.
CII-Conservation International for Indonesia, 2005. Konservasi berbasis masyarakat
melalui daerah perlindungan laut di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.
Palu.
CII-Conservation International for Indonesia, 2006. Laporan monitoring dan evaluasi
kondisi biologi daerah perlindungan laut berbasis masyarakat di Kabalutan
dan Teluk Kilat Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Palu
238
CIT-Coast Information Team, 2004. Ecosystem Based Management Planning
Handbook. Cortex Consultants Inc., 3A1218 Langley St. Victoria.
Clark, C. W., 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley
and Sons. Toronto Canada.
Clark, J. and D. Carney, 2008. Sustainable Livelihoods Approaches What have we
learnt?: A review of DFIDs experience with Sustainable Livelihoods. ESRC
Research Seminar Paper, London.
Costanza, R., J.Cumbeland, T. Maxwell, 1997. An Introduction to Ecological
Economics. St.Lucie, Boca Raton, Florida
Costanza, R., 2001. Vision, values, valuation, and the need for an ecological
economics. BioScience 51 (6):459-468
Costanza, R., 2009. A new development model or a full world Development 52
(3):369376
Dahl, C., 1997. Integrated coastal resources management and community
participation in a small isl setting. Ocean & Coastal Management, 36 (1-
3):23-45
Dahuri, R., 1998. Pendekatan ekonomi-ekologi pembangunan pulau-pulau kecil
berkelanjutan. Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan pulau-
Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta, 7-10 Desember 1998. Kerjasama
DEPDAGRI, TPSA, BPPT, CRMP (USAID), PKSPL-IPB, Bogor. Hal : B32-
B34.
Dahuri, R J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2003. Pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Dahuri, R., 2003. Keanekaragaman hayati laut aset pembangunan Indonesia
berkelanjutan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Daniel, M., 2003. Metode penelitian sosial ekonomi. Dilengkapi beberapa alat
analisa dan penuntun penggunaan. PT Bumi Aksara, Jakarta.
Damanik, R., B. Prasetyamartati dan A. Satria, 2006. Menuju konservasi laut yang
pro rakyat dan pro lingkungan. WALHI, Jakarta.
Davis D, and C. Tisdell, 1995. Recreational scuba-diving and carrying capacity in
marine protected areas. Ocean and coastal Management, 26 (1):19-40.
Dharmawan, A.H., 2006. Pendekatan-Pendekatan Pembangunan Pedesaan dan
Pertanian: Klasik dan Kontemporer. Makalah. Apresiasi Perencanaan
Pembangunan Pertanian Daerah bagi Tenaga Pemandu Teknologi Mendukung
Prima Tani, Hotel Jaya-Raya, Cisarua Bogor, 19-25 November 2006.
Disbudpar-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tojo Una-Una, 2006.
Informasi obyek dan daya tarik wisata Kabupaten Tojo Una-Una. Ampana.
DKP-Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001. Pedoman umum pengelolaan
pulau-pulau kecil berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Ditjen Pesisir dan
Pulau Pulau Kecil, Jakarta.
DKP-Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004. Pedoman Umum Pengelolaan
Terumbu Karang. DKP Coral Reef Rehabilitation and Management Program.
Jakarta.
DKP-Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Selayar, 2006. Studi Pengembangan
mata pencaharian alternatif. DKP Pemkab Selayar-Coremap II Kab. Selayar.
239
DKP-Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tojo Una-Una, 2005. Profil investasi
perikanan dan kelautan Kabupaten Tojo Una-Una, Ampana.
DKP-Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah, 2010. Laporan
statistik tangkap 2003-2009. Palu.
DKP Unit Pelaksana Teknis Kecamatan Una-Una, 2010. Laporan data potensi
perikanan tangkap dan produksi kelautan dan perikanan. Wakai.
Djojomartono, M., 1993. Pengantar Umum Analisis Sistem. Pelatihan Analisis
Sistem dan Informasi Pertanian. Kerjasama BPP Teknologi-Fakultas
Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Eidman, E., 1991. Pengaruh hukum adat terhadap sistem bagi hasil perikanan :
Kasus di Muara Angke. Tesis. IPB, Bogor.
Effendie, I., 2003. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Elliot, G., B. Mitchell, B. Wiltshire, A. Manan and S. Wismer, 2000. Community
participation in marine protected area management : Wakatobi National Park,
Sulawesi, Indonesia. Coastal Management, 29:295316
Emmerton L., 2001. Community-Based Incentives for Nature Conservation. IUCN.
English S, C Wilkinson, V Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville.
Erb, K-H., V. Gaube, F. Krausmann, C. Plutzar, A. Bondeau, H. Haberl, 2007. A
comprehensive global 5min resolution land-use dataset for the year 2000
consistent with national census data. Journal of Land Use Science 2 (3):191-
224
Erb, K-H., E., F. Krausmann, V. Gaube, S. Gingrich, A. Bondeau, M. Fischer-
Kowalski and H. Haberl, 2009. Analyzing the global human appropriation of
net primary production-processes, trajectories, implications. An introduction.
Ecological Economics 69:250259
Eriyatno, 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB
Press. Bogor.
Ewing, B., S. Goldfinger, M. Wackernagel, M. Stechbart, S. M. Rizk, A. Reed, and
Justin Kitzes, 2008. The Ecological Footprint ATLAS 2008. Global
Footprint Network, Oakland.
EUROSTAT, 2000. Towards environmental pressure indicator for the EU. Office
for Official Publications of the European Communities, Luxembourg.
Fachrul, M.F., 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
FAO-Food and Agriculture Organisation of the United Nations, 1995. Code of
conduct for fisheries. Rome.
FAO-Food and Agriculture Organisation of the United Nations, 1996. Integration of
fisheries into coastal area management. Fishery Development Planning
Service, Fisheries Department. FAO Technical Guidelines for Responsible
Fisheries. No. 3. Rome.
Fauzi, A., 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
240
Ferdaa, Z. and M.W. Beck, 2007. Putting life into ecosystem-based management
theory : a planning application using spatial information on marine
biodiversity and fisheries. Proceedings of Coastal Zone 07 July 22 to 26, 2007
Portland, Oregon.
Farsari, Y., and P. Prastacos, 2001. Sustainable tourism indicators for Mediterranean
established destinations. Tourism Today, 1 (1):103-121
Fischer-Kowalski, M. and H. Haberl, 1993: Metabolism and Colonization. Modes of
Production and the Physical Exchange between Societies and Nature. In:
Innovation -The European Journal of Social Sciences 6 (4):415-442
Fischer-Kowalski, M., C. Amann, Beyond IPAT and K. Curves, 2001. globalization
as a vital factor in analysing the environmental impact of socio-economic
metabolism, Population and Environment, 23 (1):42-50
Folke, C., Carpenter, S.R., Walker, B.H., Scheffer, M., Elmqvist, T., Gunderson,
L.H., Holling, C.S., 2002. Regime shifts, resilience and biodiversity in
ecosystem management. Annual Review in Ecology, Evolution and
Systematics 35:557581
Forrester, JW., 1994. System Dynamics, System Thinking, and Soft OR. System
Dinamic Review, 10 (2):254-256
Gaspersz, V., 2000. Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ghina, F., 2003. Sustainable development in small islan developing : The case of the
Maldvies. Environment, Development and Sustainability 5:139165
Gossling, S., C. B. Hansson, O. Horstmeier, and S. Saggel, 2002. Ecological footprint
analysis as a tool to assess tourism sustainability. Ecological Economics 43:
199-211
Grant, W.E., E.K. Pedersen, and S.L. Marin, 1997. Ecology and natural resource
management system analysis and simulation. John Willey & Sons Inc, New
York, Singapore, Toronto.
Gulland, J.A., 1991. Fish Stock Assessment. A. Manual of Basic Methods. John
Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapure Gulland,
J.A., 1991. Fish Stock Assessment. A. Manual of Basic Methods. John
Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapure.
Gunderson L. H., C. S. Holling, and S. S. Light, 1995. Barriers and bridges to the
renewal of ecosystems and institutions. Columbia University Press, New
York.
Gunn, C.A., 1993. Tourism planning. Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Taylor
& Francis Publisher.
Hall, M.C., and A. A. Lew (eds.), 1998: Sustainable Tourism: A Geographical
Perspective. Harlow: Longman.
Hall, M.C., 2001. Trends in ocean and coastal tourism: the end of the last frontier?
Ocean & Coastal Management, 44:601618
Hardjowigeno, S., Widiatmaka, A.S., Yogaswara, 2001. Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor
241
Haberl, H., E. Karl-Heinz, F. Krausmann. 2001. How to calculate and interpret
ecological footprints for long periods of time : the case of Austria 1926-1995.
Ecological Economics 38:25-45
Haberl, H., M. Wackernagel, F. Krausmann, Erb. K-H, C. Monfreda. 2004.
Ecological footprints and human appropriation of net primary production: a
comparison. Land Use Policy 21:279288
Hehanusa, P.E., 1993. Morphogenetic classification of small islands as a basic for
water resources planning in indonesia, Prog. Reg. Work, on Small Island
Hydrology. UNESCO-ROSTSEA, RIWRD-LIPI and Batam Industrial
Development Authority, Jakarta.
Holling, C.S., 1986. The resilience of terrestrial ecosystems: local surprise and global
change. In : Clark, WC, Munn RE (eds) Sustainable development of the
biosphere. Cambridge University Press, Cambridge.
Holling, C. S., and G. K. Meffe, 1996. Command and control and the pathology of
natural resource management. Conservation Biology 10:328-337
Holling, C.S., 2001. Understanding the Complexity of Economic, Ecological, and
Sosial Systems. Ecosystem (2001) 4:390-405
Hutabarat A, F. Yulianda, A. Fahrudin, S. Harteti, dan Kusharjani, 2009.
Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu. Edisi I Pusdiklat Kehutanan,
Deptan, SECEN-KOREA International Cooperation Agency, Bogor.
IUCN-International Union fo The Conservation`of Nature, 1991. Caring for the
earth : a strategy for sustainable living. IUCN, UNEP and WWF (United
Nation Environment Programme and World Wide Fund for Nature) Gland and
Cambridge.
IUCN-Internacional Union fo The Conservation`of Nature, 1994. United Nation list
of national park and protected area. Switzerland : IUCN Gland and
Cambridge.
Jones, GP, I.M. Mark, S. Maya dan V.E. Janelle, 2004. Coral Decline Threatens
Fish Biodiversity in Marine Reserves. Proceedings of the National Academy
of Sciences of the United States of America 101(21):82518253
Kay, R., and J. Alder, 2005. Coastal planning and management. E & FN Spon,
London and New York.
Kaly, U.L., C.R. Pratt and J. Mitchell, 2004. The environmental vulnerability index
(EVI) 2004. SOPAC Technical Report 384.
Kasim, H., 2007. Analisis pengaruh mutu layanan kepariwisataan terhadap loyalitas
wisatawan di kawasan Kepulauan Togean. Tesis. Program pascasarjana
Universitas Tadulako. Palu.
Kasnir, M., 2010. Penatakelolaan minawisata bahari di Kepulauan Spermonde
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Propinsi Sulawesi Selatan. Disertasi.
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A.
Triswanto, Yunasfi dan Hamzah, 2005. Teknik Rehabiliasi Mangrove.
Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.
Kusumastanto, T., 2004. Konsep pengelolaan pesisir dan laut pasca tsunami Aceh.
Paper disampaikan pada Working Group for Aceh recovery, IPB.
242
Laapo A., A. Masyahoro, dan J. Nilawati, 2007. Estimasi potensi ekonomi
sumberdaya perikanan tangkap di perairan kab. Tojo Una-Una. Jurnal
Agroland 14(2):140-144
Laapo, A., 2010. Optimasi pengelolaan ekowisata bahari pulau-pulau kecil (Kasus
gugus pulau Togean Taman Nasional Kepulauan Togean). Disertasi. Sekolah
Pascasarjana IPB, Bogor.
Lenzen M, and S.A.Murray, 2001. A modified ecological footprint method and its
application to Australia. Ecol. Econ. 37:229-255
Levina, HG., 1984. The Use the Seaweeds for Monitoring Control Water Alga as
Ecological Indicator, Academic Press London.
Li Peng and Y. Guihua, 2007. Ecological footprint study on tourism itinerary
products in Shangri-La, Yunnan Province, China. Acta Ecologica Sinica 27
(7):2954-2963
LP3L-Lembaga Pengkajian Pengembangan Pesisir dan Laut Talinti, 2004. Selayang
pandang gambaran umum Kepulauan Togean. Dinas Perikanan dan
Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu.
Lyndhurst, B., 2003. Londons ecological footprint a review. GLA Economics.
Greater London Authority, London.
Lyzenga, D.R., 1978. Passive Remote-Sensing Techniques for Mapping Water Depth
and Bottom Features. Applied Optics, 17:379-383
Manaf, F., 2007. Kebijakan lahirnya TNKT dinilai tak populis.
http://www.alamsulawesi.net/news.php?hal=1&id=173 (Diakses 25 Januari
2008)
Mennecke, B.E., 2000. Understanding the Role of Geographic Information
Technologies in Business: Applications and Research Directions. Journal of
Geographic Information and Decision Analysis, 1 (1):44-68
Manafi, M.R., 2010. Rancangbangun Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis
Pemanfaatan Ruang (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi).
Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Martinez-Alier, J., 2005. Social metabolism and ecological distribution conflicts.
Australian New Zealand Society for Ecological Economics, Massey
University, Palmerston North.
Martinez-Alier, J., 2008. Social Metabolism and pattern material use Mexico, South
America and Spain. Thesis. ICTA, UAB Barcelona.
Masyahoro, A., I. Jaya, dan D. Manurung, 2004. Aplikasi model surplus produksi
dalam pendugaan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan
Kabupaten Parigi Moutong, Teluk Tomini. Agroland 11 (3):289-297
Mattei, F.E.E., 2007. Capacity Building Workshop on Problem Analysis and
Creative System Modelling. Yaella Depietri, Alessandra Sgobbi, NetSyMod
MEA, 2005. Millennium Ecosystem Assessment Synthesis Report, 2005.
www.millenniumassessment.org (Diakses 25 Januari 2008)
MPP-EAS, 1999. Manual on economic instrumen for coastal and marine resource
management. GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and
Management of Marine Pollution in the East Asian Seas, Quezon City
243
Moberg, F., and C. Folke, 1999. Ecological good and services of coral reef
ecosistems. Ecological Economic. 29:215-233
Moffat, I., 2000. Ecological footprint and sustainable development. Ecological
Economic 32 (3):359-362
Moffat, I., N. Hanley, and M.D. Wilson, 2001. Measuring and modeling sustainable
development. New York: Parthenon.
Moleong, L.J., 2005. Metodologi penelitian kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Murthy, D.N.P., N.W. Page, and E.Y.Rodin, 1990. Mathematical Modelling.
Pergamon Press, New York.
Nugroho, I., 2004. Ecotourism. Buku Ajar. Program Studi Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Widyagama, Malang.
Nganro, N.R. dan G. Suantika, 2009. Urgensi Ecosystem Approach dan pengelolaan
pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Solusi
Kehidupan Bangsa Indonesia Kedepan, 24-25 Juli 2009. Makalah Round
Table Discussion Majelis Guru Besar - ITB, Bandung.
Nybakken, J., 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT.
Gramedia Jakarta. Penterjemah Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M.
Hutomo dan S. Sukardjo Okey, T.A., S. Banks, A.F. Born, R.H. Bustamante,
M. Calvopia, G.J. Edgar, E. Espinoza, J.M. Faria, L.E. Garske, G.K. Recke,
S. Salazar, S. Shepherd, V. Toral-Granda, P. Wallem, 2004. A trophic model
of a Galpagos subtidal rocky reef for evaluating fisheries and conservation
strategies. Ecological Modelling 172:383401
Nikijuluw, V.W.H., 2001. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta
Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir Secara Terpadu. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu.
Proyek Pesisir, Hotel Permata, Bogor, 29 Oktober 2001. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.
Niu, X., R. Ma, T. Ali, and R. Li, 2005. Integration of Mobile GIS and Wireless
Technology for Coastal Management and Decision-Making Photogrammetric
Engineering & Remote Sensing 71(4):453459
Ongkosongo, O.S.R. dan Suyarso, 1989. Pasang-Surut. P3O-LIPI. Jakarta
Ongkosongo, O.S.R., 1998. Permasalahan dan pengelolaan pulau-pulau kecil.
Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di
Indonesia. Jakarta, 7 -10 Desember 1998. Kerjasama DEPDAGRI, TPSA,
BPPT, CRMP, PKSPL-IPB, Bogor.
Orams, M.B., 1999. Marine tourism, development, impacts and management.
London. Routledge.
Ostrom, E., W. Reid, J. Rockstrm, H. Savenije and U. Svedin, 2002. Resilience and
sustainable development : building adaptive capacity in a world of
transformations. Scientific Background Paper on Resilience for the process of
the World Summit on Sustainable Development. The Environmental Advisory
Council to the Swedish Government.
244
Pariwono, J.I., 1997. Dinamika Perairan Pantai di Daerah Laut dan perikanan
(pesisir) Mangrove. Makalah. Pelatihan dan Pengembangan Ekosistem
Mangrove Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Proyek Pengembangan Pusat
Studi Lingkungan Dirjen Dikti Depdikbud, Malang.
Patterson, T., T.Gulden, K. Cousin, dan E. Kraev, 2004. Integrating Environmental,
Social and Economic System: A Dynamic Model of Tourism in Dominica.
Ecological Modeling 175:121-136
Pauly, D. and V. Christensen, 1995. Primary production required to sustain global
fisheries. Nature 374:255-257
Pinter, L., D.R. Cressman, and K. Zahedi, 1999. Capacity Building fot Integrated
Environmental assessment and Reporting: Trainning Manual. UNEP, IISD
and Ecologistics International Ltd.
Rais, J., B. Sulistiyo, S. Diamar T. Gunawan, M. Sumampouw, T.A. Soeprapto, I.
Suhardi, A. Karsidi dan M.S. Widodo, 2004. Menata ruang laut terpadu. PT.
Pradnya Paramita, Jakarta.
Richards, P.R., 1998 Manual of Standard Operating Procedures for Hydrometric
Surveys in British Columbia Resources Inventory Committee. BC-Canada
RIVM, 1995 A General Strategy for Integrated Environmental Assessment at the
European Environmental Agency. Bilthoven.
Ruslan, D., 2005. Model analisis ekonomi dan optimasi pengusahaan sumberdaya
perikanan. Jurnal Sistem Teknik Industri 6 (3):48-53
Sahetapy, D., dan J. Manupputy, 2003. Komposisi, kemiripan dan status terumbu
karang Taman Wisata Alam Laut (TWAL) 17 Pulau Riung di pesisir utara
Flores Tengah, Nusa tenggara Timur. Ichthyos 2 (2):83-88
Saragih, S., J. Lassa, dan A. Ramli, 2007. Kerangka penghidupan berkelanjutan-
sustainable livelihood framework. Hivos Aceh Program, Banda Aceh.
Saveriades A., 2000. Establishing the social tourism carrying capacity for the tourist
resorts of the east coast of the Republic of Cyprus. Journal of Tourism
Management, 21:147-156
Seidl, I., and C. Tisdell, 1999. Carrying capacity reconsidered: from Malthus
population theory to cultural carrying capacity. Ecological Economics,
31:395408
Sevilla, C.G., PG. Twila, R.P. Bella and U.G. Gabriel, 1993. Pengantar metode
penelitian (terjemahan). Universitas Indonesia, Jakarta.
Shewchuck, M., 2007. Developing An Ecosystem Approach. United Nations.
Sidiyasa, K., 2000. Laporan survey vegetasi dan tumbuhan di Kepulauan Togean,
Sulawesi Tengah. Wanariset Samboja (tidak dipublikasikan).
Smith, L.E.D., S.N. Khoa and K. Lorenzen, 2005. Livelihood functions of inland
fisheries: policy implications in developing countries. Water Policy 7:359
383
Sobari, M.P., 2007. Teknik pengambilan data untuk Travel Cost Method. Modul
kegiatan pelatihan teknik dan metode pengumpulan data valuasi ekonomi,
Bogor, 05-09 Maret 2007. Kerjasama PKSPL-IPB dengan
BAKOSURTANAL.
245
Soeratno dan L. Arsyad, 1993. Metodelogi penelitian untuk ekonomi dan bisnis. Unit
Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.
Yogyakarta.
Solarbesain, S., 2009. Pengelolaan sumberdaya pulau kecil untuk ekowisata bahari
berbasis kesesuaian dan daya dukung (Studi kasus Pulau Matakus, Kabupaten
Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku) Tesis. IPB, Bogor.
Subani W, dan H.R. Barus, 1989. Alat Penangkapan ikan dan udang laut di
Indonesia. Ed Khusus Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
Sukirno, S., 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi. Edisi Ketiga. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Supriharyono, 2007. Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Djambatan, Jakarta.
Sunarto, 1998. Perencanaan dan Pengembangan Wisata Sungai, Danau dan Pantai.
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Tai, Y. Z., M.N. Kusairi, Ishak H.A., R.A. Mustapha and Y. Matsuda, 2001. Valuing
fisheries resources Change in The Straits of Malacca : Resources accounting
approach. Working Paper. University of Putra Malaysia, Kuala Lumpur.
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji dan M.K. Moosa, 1997. The ecology of Indoneia
seas. Part 1-2. Periplus Editions, Singapore.
Turner, R.K. and W.N. Adger, 1995. Coastal zone resources assessment guidelines.
LOICZ Reports & Studies No. 4. Manila.
Turner, R.K., R. Brouwer, S. Georgiou and I. J. Bateman, 2000. Ecosystem functions
and services : an integrated framework and case study for environmental
evaluation. The Centre for Social and Economic Research on the Global
Environment (CSERGE),UK.
Yoeti, O,A., 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Yudasmara, G.A., 2010. Model pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau
Menjangan Bali Barat. Disertasi. IPB, Bogor.
Yulianda, F., 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya
pesisir berbasis konservasi. Makalah. Seminar Sains 21 Pebruari 2007.
Departemen MSP FPIK IPB, Bogor
Yulianda, F., A. Fachrudin, A.A. Hutabarat dan Kusharjani. 2009. Ekologi
Ekosistem Perairan. Pusdiklat Kehutanan-DEPHUT RI, SECAM-Korea
International Cooperation Agency, Bogor.
Yusuf, S and G.R. Allen, 2001. Condition of Coral Reefs in the Togean and Banggai
Islands, Sulawesi, Indonesia. In : A Marine Rapid Assessment of the Togean
and Banggai Islands, Sulawesi, Indonesia (G.R. Allen and S.A. McKenna
(eds.). Conservation International Center for Applied Biodiversity Science
Department of Conservation Biology, Washington.
US EPA-United States Environmental Protection Agency, 1973. Water quality
criteria 1992. EPA R3-73-033
Vallega A., 2001. Sustainable ocean governance a geographical perspective.
(Ocean Management and Policy Series). Routledge. London
Wallace, C.C., 1999. The Togian Islands: coral reefs with a unique coral fauna and an
hypothesised Tethys Sea signature. Coral Reefs 18:162
246
WALHI, 2006. CO-Management : memanipulasi legitimasi rakyat atas sumberdaya
pesisir dan laut (Diakses 25 Januari 2008)
http://www.walhi.or.id/kampanye/pela/0603_comanajemen_ps/
Wackernagel, M., and W. Rees, 1996. Our ecological footprint. Reducing human
impact on the earth. Gabriola Island, BC: New Society Publishers.
Wackernagel, M., and D. Yount, 2000. Footprint for sustainability : the next steps.
Environmental Development an Sustainability 2:21-42
Wackernagel, M., 2001. Using ecological footprint analysis for problem formulation,
policy development and communications. Advancing sustainable resource
management. Oakland, USA www.rprogress.org (Diakses 25 Januari 2008)
Warren-Rhodes, K., and A. Koenig, 2001. Ecosystem appropriation by Hong Kong
and its implication for sustainable development. Ecological Economic 39:
347-359
Weaver, D.B., 2001. Ecotourism as mass tourism: contradiction or reality? Hotel and
Restaurant Administration Quarterly 42 (2):104-112
Wetlands, 2009. Menghijaukan tambak-tambak di Aceh dengan mangrove:
menyelamatkan pesisir. Green Coast for nature and people after tsunami.
Http://www.wetland.or.id (Diakses 2 Januari 2010)
Wijaya, N.I., 2007. Analisis kesesuaian lahan dan pengembangan kawasan perikanan
budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur. Tesis. IPB, Bogor.
Wong, P.P., 1998. Coastal tourism development in Southeast Asia : relevance and
lessons for coastal zone management. Ocean & Coastal manag. 38:89-109
Wong, P.P., 1991. Coastal tourism in Southeast Asia. ICLARM, Education Series 13,
Manila.
Wood, E.M., 2002. Ecotourism Principles, Practices and Policies for Sustainability.
United Nations environment Programme, Paris.
WTO-World Tourism Organization, 1992. Guidelines : Development of National
Park and perotected area. Madrid.
WTO-World Tourism Organization, 1994. National and Regional Tourism Planning:
Methodologies and Case Studies, World Tourism Organisation, Madrid.
WWF, 2008. Guidebook to the national footprint accounts 2008. Global Footprint
Network, Oakland.
Zamani, N.P., Jonson L. Gaol, H. Madduppa, R.E. Arhatin, K.S. Putra, M. Khazali,
K. Anwar, dan L. Zulkah, 2007. Profil sumberdaya pesisir Kepulauan
Togean. Conservation Internasional Indonesia, Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Pemerintah
Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Sulawesi Tengah, Taman Nasional
Kepulauan Togean.
Zatnika, A., 1985. Uji Coba Budidaya Rumput Laut di Nusa Dua Bali. Laporan
Penelitian. BPPT. Jakarta.
247
Lampiran 1 Produksi ikan di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton)
No
Nama
Indonesia
Nama Inggris Nama Ilmiah SA
2005 2006 2007 2008
1 Cumi Squid (Common squid) Loligo spp 1 3.2 14.10 13.16 13.10 53.50
2 Gurita Octopuses Octopus
1 3.2
10.30 9.31 9.30 4.90
3 Kepiting bakau Mud carb Scylla serata
2 2.4
2.50 2.52 2.50 2.00
4 Udang Barong Spiny Lobster Penulirus spp
1 2.6
0.40 0.42 0.40 0.40
5 Teripang Sea cucumber Stichopus spp
2 2.4
36.90 35.07 34.90 1.50
6 Alu Alu Obtuse barracuda (Great barracuda) Sphyraena spp (Sphyraena barracuda)
2 2.8
19.10 20.80 18.10 0.00
7 Bawal Hitam Black pomfret Formio niger (Parastromateus niger)
2 2.8
1.20 1.36 1.20 10.00
8 Bawal Putih White pomfret (Silver pomfret) Pampus argenteus
2 2.8
1.00 1.20 1.00 11.50
9 Belanak
Mangrove mullets (Blue-spot mullet, Blue-
tail mullet)
Mugil cephalus (Valamugil seheli)
2 2.8
4.40 5.04 4.40 0.00
10 Biji Nangka Yellow-stripe goatfish) Mullidae (Upeneus vittatus)
2 2.8
11.50 12.08 10.50 0.00
11 Cakalang Skipjack tuna, Striped tuna Katsuwonus pelamis
1 4.0
510.70 548.64 477.70 3000.00
12 Cucut Dog fish, shark Carcharhinida,Scyliohinidae,
1 2.8
10.10 10.48 9.10 9.05
13 Daun Bambu Queen fishes Chorinemus spp
2 2.8
12.70 13.44 11.70 0.00
14 Ekor Kuning Redbely Yellowtail Fusilier Caesio cuning
2 2.8
200.60 215.44 187.60 30.00
15 Gerot Gerot
Bloched grunt (Saddle grunt, Spotted
javelinfish)
Pomadasys spp (Pomadasys maculatus)
2 2.8
3.80 4.64 3.80 0.00
16 Golok Golok Wolf herring (Dorab wolf-herring) Chirocentrus dorab
2 2.8
9.40 9.68 8.40 0.00
17 Gulamah Silver pennah croaker (Croaker) Pennahia argentata (Nibea albiflora)
2 2.8
5.20 6.00 5.20 0.00
18 Ikan lain
All fishes other than those listed above or
below
1 2.8
221
237.76 207.00 2200.00
19 Ikan Terbang Flying fishes Cypselurus spp
1 2.8
5.50 6.32 5.50 35.00
20 Julung Julung Garfish and Hallfbeaks Thylosurus spp and Hemirhamphuss spp
2 2.8
574.30 616.00 536.30 12.20
21 Kakap Giant sea pearch/Baramundi Lutjanus sp.
1 2.8
52.50 56.80 49.50 23.60
22 Kembung Striped mackerel (Short-bodied mackerel) Restrelliger brachysoma
1 2.8
700.20 751.36 654.20 1000.00
23 Kerapu Grouper Epinephelus spp
2 2.8
67.90 73.44 63.90 507.00
248
No
Nama
Indonesia
Nama Inggris Nama Ilmiah SA
2005 2006 2007 2008
24
Kerong
Kerong
Banded grunter (Jarbua terapon, Largescale
terapon)
Therapon spp (Terapon jarbua, Terapon
Theraps) 2 2.8
0.00 0.00 0.00 120.00
25 Kurisi Treadfin bream (Ornate threadfin bream)
Nemipterus nematophorus (Nemimterus
hexodon) 2 2.8
8.30 8.40 7.30 15.60
26 Kuwe Great trevally, Dusky jack (Bigeye trevally) Caranx sexfasciatus
2 2.8
51.10 55.20 48.10 0.00
27 Layang Layang scad (Shortfin scad) Decapterus macrosoma
1 2.8
1163.70 1249.28 1087.70 700.00
28 Layur Hairtail Trichiurus savala
1 2.8
4.40 5.12 4.40 0.00
29 Lemuru Indonesia oil sardine (Bali sardinella) Sardinella longiceps (Sardinella Lemuru)
2 3.2
18.80 20.40 17.80 17.30
30 Lencam Orangestriped emperor (Emperors) Lethrinus spp
2 2.8
10.30 10.64 9.30 0.00
31 Madidihang Yellowfin tuna Thunnus albacares
1 4.0
0.00 0.00 504.00 0.00
32 Manyung Giant sea catfish Arius thalassinus
2 2.8
3.50 4.00 3.50 0.00
33
Merah/
Bambangan
Blood snaper (Red snappers) Lutjanus sanguineus
2 2.8
49.80 53.76 46.80 41.00
34 Nomei Bombay duck Harpodon nahereus
2 2.8
5.90 6.72 5.90 0.00
35 Pari Sting ray Gymnara sp
1 3.5
3.70 4.24 3.70 3.32
36 Peperek Splended pony fish Leiognatidae
2 2.8
21.70 23.76 20.70 0.00
37 Selar Yellowstripe trevally (Yellowstripe scad) Selaroides leptolepis
1 2.8
1189.70 1276.88 1111.70 40.00
38 Sunglir rainbow runner Elegatis bipinnulatus
2 2.8
17.20 18.56 16.20 15.00
39 Swanggi Big eyes Priacanthus spp
2 2.8
17.40 18.80 16.40 0.00
40 Tembang Fringescalle sardine Sardinella fimbriata
1 3.2
470.20 504.56 439.20 400.00
41 Tenggiri
Spotted spanish mackerel (Indo-pasific king
mackerel)
Scomberomorus guttatus
1 4.0
39.90 43.56 37.90 65.00
42 Teri Commerson's anchovy (Anchovies) Stolephorus commersonii (Stolephorus spp)
1 2.8
791.80 849.68 739.80 300.00
43 Tetengkek Hardtail scad (Torpedo scad) Megalaspis cordyla
2 2.8
21.30 23.36 20.30 0.00
44 Tongkol Frigate mackerel Auxis sp
1 4.0
980.70 1052.88 916.70 612.00
45 Tuna Tunas Thunnus spp
1 4.0
429.40 461.04 401.40 400.00
Keterangan : SA = Sistem Akuatik, 1 = Tropical Shelves; 2= Coastal and Coral System
249
Lampiran 2 Matrik korelasi hasil PCA karakteristik lingkungan perairan Gugus
Pulau Batudaka
Kecerahan S T pH DO
Kecerahan 1 0.2510 -0.5007 -0.2216 -0.6466
S 0.2510 1 -0.6041 -0.5304 -0.3080
T -0.5007 -0.6041 1 0.5867 0.4851
pH -0.2216 -0.5304 0.5867 1 0.3248
DO -0.6466 -0.3080 0.4851 0.3248 1
Eigenvalues dan eigenvectors (berdasarkan matrik korelasi) :
Eigenvalues 1 2 3 4 5
Value 2.8002 1.0587 0.4759 0.3788 0.2864
% of variability 0.5600 0.2117 0.0952 0.0758 0.0573
Cumulative % 0.5600 0.7718 0.8670 0.9427 1.0000
Vectors : 1 2 3 4 5
Kecerahan -0.4142 0.5847 0.1216 0.4097 0.5513
S -0.4320 -0.4444 0.6529 -0.3482 0.2615
T 0.5173 0.1333 -0.1079 -0.5201 0.6576
pH 0.4261 0.4558 0.7149 -0.0069 -0.3157
DO 0.4390 -0.4850 0.1905 0.6636 0.3090
Korelasi antara variabel dengan komponen utama :
faktor 1 faktor 2 faktor 3 faktor 4 faktor 5
Kecerahan -0.6931 0.6016 0.0839 0.2521 0.2950
S -0.7229 -0.4572 0.4504 -0.2143 0.1399
T 0.8657 0.1371 -0.0744 -0.3201 0.3519
pH 0.7130 0.4689 0.4932 -0.0043 -0.1689
DO 0.7346 -0.4990 0.1314 0.4084 0.1654
Stasiun (Coordinates of observations )` pada sumbu utama :
Stasiun Sumbu 1 Sumbu 2 Sumbu 3 Sumbu 4 Sumbu 5
1 2.1352 0.1809 0.2509 -0.5436 -0.1957
2 -0.8091 -0.9748 0.5287 -0.2677 0.6906
3 1.2200 -0.3866 0.4822 0.2200 0.1796
4 -1.6646 0.7703 0.7753 -0.2278 0.0722
5 0.4942 1.3067 0.6831 -0.6661 -0.6277
6 -0.4044 2.4132 -0.1232 0.2857 -0.1671
7 -1.4002 0.4207 -0.2326 1.4361 0.6268
8 -1.0685 -0.8047 -0.7070 1.0259 -1.0731
9 -1.0234 0.0444 -1.4929 -0.7271 0.8756
10 3.6475 0.5870 -0.9944 0.1596 -0.1978
11 1.4083 -1.1250 -0.4044 -0.2287 0.0479
12 1.3719 -1.5325 0.3684 0.0317 0.1247
13 0.4886 -0.3490 1.1667 0.5963 0.2392
14 -2.8703 -1.1600 -0.1938 -0.6246 -0.8968
15 -1.5252 0.6096 -0.1069 -0.4696 0.3018
250
Lampiran 3 Karakteristik beberapa lokasi spot penyelaman di Gugus Pulau Batudaka
Lokasi Karakteristik Nilai
Atoll
Pasir
Tengah
Waktu dan durasi penyelaman 730 jam, 80 menit
Rataan kedalaman, jarak pandang 3 -36 m, 10-15 m
Suhu dan arus 31
0
C , Tenang
Diskripsi Lokasi Lingkungan atoll dengan slop kemiringan bagian luar yang curam, tutupan karang
58% pada 4-5 m, 57% 9-12 m, 56% 18-21 m
Status moderat (RCI 186.76)
Barier-
Barat
Batudaka
Waktu dan durasi penyelaman 1100 jam, 70 menit
Rataan kedalaman, jarak pandang 3 -50 m, + 10 m
Suhu dan arus 30-31
0
C, Tenang
Deskripsi lokasi Terumbu karang penghalang luar dengan tutupan karang 62% pada 4-5 m, 33% 11-
12 m, 17% 18-21 m, peningkatan coralline algae dan sponge di bawah kedalaman
10 m
Status Baik (RCI 199.25)
Capatana
Selatan
Waktu dan durasi penyelaman 1545, 70 menit
Rataan kedalaman, jarak pandang 1-35 m, 10 m
Suhu dan arus 30-31
0
C, Tenang
Deskripsi lokasi Terumbu karang penghalang dengan slope bagian luar dan karang terpi pada bagian
dalam laguna, tutupan karang 65% pada 5-6 m, 57% 9-10 m, 65% 18-21 m
Status Moderat (RCI 168)
Capatana Waktu dan durasi penyelaman 1030 jam, 70 menit
Rataan kedalaman, jarak pandang 3-40 m, 10-15 m
Suhu dan arus 30-32
0
C, Tenang
Deskripsi lokasi Terumbu karang penghalang dengan slope bagian luar dan karang terpi pada bagian
dalam laguna, tutupan karang 55% pada 5-7 m, 47% 13-15 m, 50% pada 20 m
Status Moderat (RCI 178)
251
Lokasi Karakteristik Nilai
Lindo Waktu dan durasi penyelaman 745 jam, 70 menit
Rataan kedalaman 1 23 m, 5 7 m
Suhu 31
0
C, Tenang
Deskripsi lokasi Terumbu karang tepi sepanjang teluk lapisan bawah dominan pasir, tutupan karang
38% pada 4-5 m, 26% 13-14 m, 0% dibawah 20 m
Status Moderat (RCI 174,36)
Bambu Waktu dan durasi penyelaman 1345 jam, 70 menit
Rataan kedalaman 3-26 m, 7-10 m
Suhu 31-33
0
C, Tenang
Deskripsi lokasi Terumbu karang tepi sepanjang teluk lapisan bawah dominan pasir, tutupan karang
35% pada 5-6 m, 37% 10-12 m, 54% 20-23 m
Status Moderat (RCI 173.46)
Selat
Batudaka
luar
bagian
selatan
Waktu dan durasi penyelaman 1430 jam, 80 menit
Rataan kedalaman, jarak pandang 3-23 m, 7 - 8 m
Suhu dan arus 31-32
0
C, Tenang
Diskripsi lokasi Terumbu karang tepi yang dominan karang mati pada lapisan bawah dengan tutupan
karang 33% pada 5-6 m, 29% 10-11 m, 25% 20-21 m
Status Jelek (RCI 142.42)
Keterangan : RCI = Reef Condition Index
Sumber : Yusuf and Allen (2001)
252
Lampiran 4 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Gugus Pulau
Batudaka Kecamatan Una-Una
Sistem Aquatik PPR (kg)
Primary
productivity
(kgC/m
2
/tahun)
Ecological
Footprint
(m
2
/tahun)
Ecological
Footprint
(m
2
/kapita)
Ecological
Footprint
(km
2
/kapita)
Tahun 2005
Tropical Shelves
1 794 82.43 0.31
5,789,620.73 471.20
0.000471
Coastal and Coral
132 130.78 0.89
148,461.55 12.08
0.000012
Total
5,938,082.28 483.28
0.000483
Area yang dibutuhkan (km
2
)
5,938.08
Cakupan (kali)
19.92
Tahun 2006
Tropical Shelves
1 419 475.06 0.31 4 578 951.79 367.02
0.000367
Coastal and Coral
131 671.55 0.89 147 945.56 11.86
0.000012
Total
4 726 897.35 378.88
0.000379
Area yang dibutuhkan (km
2
)
4 726.90
Cakupan (kali)
15.86
Tahun 2007
Tropical Shelves
1 513 959.46 0.31 4 883 740.19 381.21
0.000381
Coastal and Coral
101 287.19 0.89 113 805.83 8.88
0.000009
Total
4 997 546.02 390.10
0.000390
Area yang dibutuhkan (km
2
)
4,997.55
Cakupan (kali)
16.77
Tahun 2008
Tropical Shelves
1 726 987.57 0.31 5 570 927.64 425.07
0.000425
Coastal and Coral
109 590.75 0.89 123 135.68 9.40
0.000009
Total
5 694 063.32 434.46
0.000434
Area yang dibutuhkan (km
2
)
5,694.06
Cakupan (kali)
19.10
Keterangan : a. EF Sistem Akuatik = PPR/PP (m
2
/tahun)
b. Jumlah penduduk Kecamatan Tojo Una-Una Tahan 2005-2008 (BPS 2006-2009)
c. Konversi 1 m
2
= 0.000001 km
2
d. Luas Kecamatan Una-Una 298 km
2
253
Lampiran 5 Ecologial Footprint sistem akuatik di perairan Kabupaten Tojo Una-
Una
Sistem Aquatik PPR (kg) Primary
productivity
(kgC/m
2
/tahun)
Ecological
Footprint
(m
2
/tahun)
Ecological
Footprint
(m
2
/kapita)
Ecological
Footprint
(km
2
/kapita)
Tahun 2005
Tropical Shelves 116 195 563.9 0.31 374 824 399.7 2 982.11 0.00298
Coastal and Coral 20 705 749.1 0.89 23 264 886.6 185.10 0.00019
Total 398 089 286.3 3 167.21 0.00317
Area yang dibutuhkan
(km
2
)
398 089.29
Cakupan (kali) 69.57
Tahun 2006
Tropical Shelves 108 624 881.3 0.31 350 402 843.0 2 760.86 0.00276
Coastal and Coral 19 405 960.6 0.89 21 804 450.1 171.80 0.00017
Total 372 207 293.0 2 932.66 0.00293
Area yang dibutuhkan
(km
2
)
372 207.29
Cakupan (kali) 65.05
Tahun 2007
Tropical Shelves 148 920 086.4 0.31 480 387 375.3 3 703.61 0.00370
Coastal and Coral 11 773 995.4 0.89 13 229 208.5 101.99 0.00010
Total 493 616 583.7 3 805.60 0.00381
Area yang dibutuhkan
(km
2
)
493 616.58
Cakupan (kali) 86.27
Tahun 2008
Tropical Shelves 155 573 115.8 0.31 501 848 760.6 3 822.65 0.00382
Coastal and Coral 17 664 515.1 0.89 19 847 769.8 151.18 0.00015
Total 521 696 530.4 3 973.83 0.00397
Area yang dibutuhkan
(km
2
)
521 696.53
Cakupan (kali) 91.17
Keterangan : a. EF Sistem Akuatik = PPR/PP (m
2
/tahun)
b. Jumlah penduduk Kabupaten Tojo Una-Una Tahan 2005-2008 (BPS 2006-2009)
c. Konversi 1 m
2
= 0.000001 km
2
d. Luas Kabupaten Una-Una 5 722 km
2
254
Lampiran 6 HANPP sistem akuatik di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una
Nama Ikan
Trophic
Level
Volume of Landing PPR
Energi *
(kJ/100 g)
Harvest PPR HANPP
(kg) (kg) (kJ) (kJ) (kJ)
Kerapu sunu
2.8 4,229
29,644.48 335 14,165,475.00 99,309,005.44 85,143,530.44
Kakap
2.8 5,753
40,332.20 335 19,272,550.00 135,112,855.22 115,840,305.22
Tongkol
4.0 12,600
1,400,000.00 477 60,102,000.00 6,678,000,000.00 6,617,898,000.00
Teri/lureh/rono
2.8
6,685
46,866.11 335 22,394,750.00 157,001,466.56 134,606,716.56
Tenggiri
4.0
450
50,000.00 791 3,559,500.00 395,500,000.00 391,940,500.00
Ekor Kuning/lolosi
2.8
4,160
29,164.25 142 5,907,200.00 41,413,235.84 35,506,035.84
Teripang
2.4
624
1,741.57 318 1,984,320.00 5,538,207.20 3,553,887.20
Kepiting
2.6
145
641.39 414 600,300.00 2,655,374.83 2,055,074.83
Udang Barong
2.6
560
2,477.11 414 2,318,400.00 10,255,240.71 7,936,840.71
Gurita
3.2
830
14,616.24 318 2,639,400.00 46,479,634.36 43,840,234.36
Tahun 2005 Jumlah
1,615,483.35 132,943,895.00 7,571,265,020.15 7,438,321,125.15
Kerapu sunu
2.8
5,348
37,492.89 335 17,915,800.00 125,601,173.25 107,685,373.25
Kakap
2.8
7,880
55,243.82 335 26,398,000.00 185,066,799.77 158,668,799.77
Tongkol
4.0
12,000
1,333,333.33 477 57,240,000.00 6,360,000,000.00 6,302,760,000.00
Teri/lureh/rono
2.8 7,700
53,981.91 335 25,795,000.00 180,839,385.57 155,044,385.57
Tenggiri
4.0 250
27,777.78 791 1,977,500.00 219,722,222.22 217,744,722.22
Ekor Kuning/lolosi
2.8 5,150
36,104.78 142 7,313,000.00 51,268,789.56 43,955,789.56
Teripang
2.4 839
2,341.64 318 2,668,020.00 7,446,403.60 4,778,383.60
Kepiting
2.6 175
774.10 414 724,500.00 3,204,762.72 2,480,262.72
Udang Barong
2.6 75
331.76 414 310,500.00 1,373,469.74 1,062,969.74
Gurita
3.2 230
4,050.28 318 731,400.00 12,879,898.68 12,148,498.68
Tahun 2006 Jumlah
1,551,432.28 141,073,720.00 7,147,402,905.10 7,006,329,185.10
255
Nama Ikan
Trophic
Level
Volume of Landing PPR
Energi *
(kJ/100 g)
Harvest PPR HANPP
(kg) (kg) (kJ) (kJ) (kJ)
Kerapu sunu
2.8 4,229
29,644.48 335 14,165,475.00 99,309,005.44 85,143,530.44
Kakap
2.8 5,753
40,332.20 335 19,272,550.00 135,112,855.22 115,840,305.22
Tongkol
4.0 12,600
1,400,000.00 477 60,102,000.00 6,678,000,000.00 6,617,898,000.00
Teri/lureh/rono
2.8
6,685
46,866.11 335 22,394,750.00 157,001,466.56 134,606,716.56
Tenggiri
4.0
450
50,000.00 791 3,559,500.00 395,500,000.00 391,940,500.00
Ekor Kuning/lolosi
2.8
4,160
29,164.25 142 5,907,200.00 41,413,235.84 35,506,035.84
Teripang
2.4
624
1,741.57 318 1,984,320.00 5,538,207.20 3,553,887.20
Kepiting
2.6
145
641.39 414 600,300.00 2,655,374.83 2,055,074.83
Udang Barong
2.6
560
2,477.11 414 2,318,400.00 10,255,240.71 7,936,840.71
Gurita
3.2
830
14,616.24 318 2,639,400.00 46,479,634.36 43,840,234.36
Tahun 2007 Jumlah
1,615,483.35 132,943,895.00 7,571,265,020.15 7,438,321,125.15
Kerapu sunu
2.8 3,461
24,263.82 335 11,594,350.00 81,283,780.97 69,689,430.97
Kakap
2.8 8,060
56,505.74 335 27,001,000.00 189,294,213.98 162,293,213.98
Tongkol
4.0 15,060
1,673,333.33 477 71,836,200.00 7,981,800,000.00 7,909,963,800.00
Teri/lureh/rono
2.8
4,500
31,547.87 335 15,075,000.00 105,685,355.20 90,610,355.20
Tenggiri
4.0
150
16,666.67 791 1,186,500.00 131,833,333.33 130,646,833.33
Ekor Kuning/lolosi
2.8
3,831
26,857.75 142 5,440,020.00 38,138,006.37 32,697,986.37
Teripang
2.4
1,319
3,681.31 318 4,194,420.00 11,706,562.98 7,512,142.98
Kepiting
2.6
185
818.33 414 765,900.00 3,387,892.02 2,621,992.02
Udang Barong
2.6
115
508.69 414 476,100.00 2,105,986.93 1,629,886.93
Gurita
3.2
280
4,930.78 318 890,400.00 15,679,876.65 14,789,476.65
Tahun 2008 Jumlah
1,839,114.28 138,459,890.00 8,560,915,008.44 8,422,455,118.44
Keterangan : * Adrianto (2004)
Lampi
> TC:
> Sup
> plo
iran 7 Hasil
:=d0+d1*Q
pply:=dif
ot(Supply
l perhitungan
Q+d2*Q^2
ff(TC,Q)
y,Q=0..2
n analisis pen
;
;
000);
nawaran
256
L
>
>
>
>
Lampiran 8
:> lna:=b
> a:=exp(
> b:=b1;
> demand:
> plot(de
Hasil perhi
b0+b2*rat
(lna);
:=(Q/a)^(
emand,Q=0
itungan anal
ta_ln(X2)
(1/b);
0..10000
lisis permint
)+b3*rata
);
aan
a_ln(X3);
;
2
57
258
> U:=
> P:=
> C:=
> CS:
> Nil
D:> p
> dem
> sol
=int(dema
=(Vrata/a
=P*Vrata;
:=U-C;
lai_Ekono
plot({dem
mand=Supp
lve(deman
mand,Q=0.
a)^(1/b)
;
omi:=CS*
mand,Supp
ply;
nd=Suppl
.Vrata);
;
N/L;
ply},Q=0.
y,Q);
..2000);
259
Lampiran 9 Rekap kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara
di Kabupaten Tojo Una-Una
Tahun Jumlah Wisatawan Jumlah
Nusantara Mancanegara
2000 5 315 923 6 239
2001 11 484 2 540 11 748
2002 17 314 1 650 17 479
2003 12 860 3 040 15 900
2004 49 418 2 715 52 133
2005 84 291 2 125 86 416
2006 86 109 2 243 88 352
2007 100 213 3 122 103 335
Sumber : Disbudpar Prov. Sulteng (2008)
Lampiran 10 Jumlah wisatawan yang mengunjungi Kepulauan Togean berdasarkan
asal begara Tahun 2006-2009
Asal Negara 2006 2007 2008 2009 jumlah
Prancis 32 48 80 76 236
Belanda 29 32 61 17 139
Jerman 8 26 34 59 127
Spanyol 13 10 23 86 132
Inggris 5 13 18 20 56
Italia 8 9 17 205 239
Belgia 5 12 17 6 40
Swiss 7 10 17 56 90
USA 7 8 15 9 39
Australia 3 7 10 12 32
Slovenia 4 4 8 12 28
Austria 3 4 7 4 18
Chech 2 5 7 4 18
Kanada 4 2 6 10 22
Swedia 1 2 3 11 17
Polandia 2 0 2 1 5
Lainnya 1 28 29 40 98
Jumlah 134 220 354 628 1336
Sumber : Disbudpar Prov. Sulteng (2010)
260
Lampiran 11 Hasil identifikasi responden wisatawan
Jumlah responden wisatawan ke lokasi wisata Gugus Pulau Batudaka
Wisatawan Jumlah wisatawan ke lokasi wisata (orang)
Jumlah
(orang)
Persentase
(%) Wakai
Pulau Poyalisa
(Bomba)
Pulau Tipae
(Bomba)
Domestik 8 4 6 18 41.86
Mancanegara 10 6 9 25 58.14
Jumlah (orang) 18 10 15 43
Persentase (%) 41.86 23.26 34.88 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan tujuan wisata
Tujuan Wisata Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Tujuan utama 8 0 8 18.60
Persinggahan 10 25 35 81.40
Total 18 25 43 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan tujuan kunjungan
Tujuan kunjungan Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Berwisata 7 22 27 64.29
Penelitian/Pend 8 2 12 28.57
Tugas instansi 2 0 2 4.76
Lain-lain 1 1 1 2.38
Total 18 25 42 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan frekwensi kunjungan
Frekwensi
kunjungan
Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Pertama kali 8 18 26 60.47
Kedua kali 4 6 10 23.26
Ketiga kali 4 1 5 11.63
Lebih dari tiga kali 2 0 2 4.65
Total 18 25 43 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
261
Wisatawan berdasarkan jenis pekerjaan
Jenis Pekerjaan
Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Pelajar/ Mahasiswa 1 4 5 11.63
Swasta 4 0 4 9.30
PNS 9 14 23 53.49
Wiraswasta 4 7 11 25.58
Total 18 25 43 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan sumber informasi wisata
Sumber Informasi Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Biro perjalanan 0 9 9 20.93
Media TV/cetak 12 0 12 27.91
Teman 4 15 19 44.19
Internet 2 1 3 6.98
Total 18 25 43 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan aktivitas wisata
Jenis Aktivitas
Wisata
Wisatawan
Domestik
Wisatawan
Mancanegara
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
Menikmati
pemandangan alam
9 6 15 34.88
Diving 6 10 16 37.21
Snorkeling 3 9 12 27.91
Total 18 25 43 100.00
Sumber : Analisis Data (2010).
Wisatawan berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin
Sumber : Analisis Data (2010).
Kelompok umur
(tahun)
Laki-Laki
(orang)
Wanita
(orang)
Jumlah
(orang)
Persentase (%)
0-15 1 0 1 2.33
15-30 0 3 3 6.98
30-45 7 5 12 27.91
45-60 5 9 14 32.56
>60 9 4 13 30.23
Total 22 21 43 100.00
262
Lampiran 12 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis
alat tangkap di perairan Gugus Pulau Batudaka (lokal)
Tahun
Pancing Jaring Insang Bubu
Catch
(kg)
Effort
(trip)
CPUE
Catch
(kg)
Effort
(trip)
CPUE
Catch
(kg)
Effort
(trip)
CPUE
2005 17 085 11 426
1.50
21 357 4 857
4.40 4 271 2 798
1.53
2006 15 859 11 582
1.37
19 824 4 852
4.09 3 965 2 810
1.41
2007 14 414 11 050
1.30
18 018 4 699
3.83 3 604 2 853
1.26
2008 14 464 11 321
1.28
18 080 4 942
3.66 3 616 2 908
1.24
2009 15 528 12 109
1.28
19 410 5 072
3.83 3 882 2 605
1.49
Total 77 351 57 488
6.73 96 689
24 422 19.80 19 338 13 974 6.93
Rataan 15 470 11 498
1.35 19 338
4 884
3.96 3 868 2 795
1.39
Nilai Fishing Power Index (FPI), Total Effort dan CPUE Standar
Tahun
FPI Standardisasi
Pancing Jaring. Insang Bubu C.Total (kg) Effort (trip) CPUE
2005 1 2.94
1.02 42 714 28 565 1.50
2006 1 2.98
1.03 39 647
28 955
1.37
2007 1 2.94
0.97 36 036
27 625
1.30
2008 1 2.86
0.97 36 161
28 303
1.28
2009 1 2.98
1.16 38 820
30 273
1.28
Total 5 14.71
5.15 193 377
143 720
6.73
Rataan 1 2.94
1.03 38 675
28 744
1.35
263
Lampiran 13 Series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa
jenis alat tangkap di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (regional)
Tahun
Pancing Jaring Insang Bubu
Catch
(ton)
Effort
(trip)
CPUE
Catch
(ton)
Effort
(trip)
CPUE
Catch
(ton)
Effort
(trip)
CPUE
2003 2 484 7 044 0.3527 4 969 71 450 0.0695 828.14 21 643 0.0383
2004 2 186 6 903 0.3167 4 373 76 341 0.0573 728.80 24 143 0.0302
2005 2 313 7 659 0.3020 4 626 82 414 0.0561 770.99 24 689 0.0312
2006 2 338 7 040 0.3321 4 676 85 622 0.0546 779.30 28 643 0.0272
2007 2 731 7 490 0.3646 5 461 88 302 0.0618 910.20 27 543 0.0330
2008 2 600 8 235 0.3157 5 199 90 509 0.0574 866.50 29 453 0.0294
2009 1 905 8 926 0.2135 3 811 92 425 0.0412 635.16 24 353 0.0261
Total 16 557 53 297 2.1972 33 115 587 063 0.3981 5519 180 467 0.2154
Rataan 2 365 7 614 0.3139 4 731 83 866 0.0569 788.44 25 781 0.0308
Nilai Fishing Power Index (FPI), Total Effort dan CPUE Standar
Tahun
FPI Standardisasi
Pancing Jaring. Insang Bubu C.Total (ton) Effort (trip) CPUE
2003 1 0.1972
0.1085 8 281 23 482
0.3527
2004 1 0.1808
0.0953 7 288 23 010
0.3167
2005 1 0.1859
0.1034 7 710 25 529
0.3020
2006 1 0.1644
0.0819 7 793 23 467
0.3321
2007 1 0.1696
0.0906 9 102 24 967
0.3646
2008 1 0.1820
0.0932 8 665 27 450
0.3157
2009 1 0.1932
0.1222 6 352 29 753
0.2135
Total 7 1.2731
0.6952 55 191 177 657
2.1972
Rataan 1 0.1819
0.0993 7 884 25 380
0.3139
264
Lampiran 14 Estimasi konsumsi ikan impor dan konsumsi nyata di Gugus Pulau Batudaka
Tahun
Konsumsi
Aktual Loka1
1
(ton)
Penduduk
Konsumsi
potensial
1
(kg/kapita)
Konsumsi
Potensial
(ton)
Estimasi
impor
2
(ton)
Estimasi Impor
konsumsi dari hasil
tangkap
3
(ton)
Expor
4
(ton)
Konsumsi
Nyata
(ton)
2001 245 11325 22.40 253.68 9.06 11.51 2.53 254
2002 255 11346 22.64 256.87 1.59 2.02 0.10 257
2003 241 11710 22.60 264.65 24.01 30.49 10.70 260
2004 261 11592 22.58 261.75 0.46 0.59 4.80 257
2005 294 12287 24.50 301.03 6.76 8.58 7.80 295
2006 312 12476 25.94 323.63 11.35 14.42 5.70 321
2007 333 12811 28.28 362.30 29.21 37.10 4.04 366
2008 370 13106 29.98 395.92 26.15 33.21 9.00 394
Rata-
Rata 288.90 12081.63 24.87 302.48 13.57 17.24 5.58 300.56
Keterangan : 1 Perhitungan berdasarkan data konsumsi ikan/kapita/tahun (DKP 2010)
2 IMt = (Kons pot Kons Akt) x Penduduk tahun t
3 Koef tangkap, 27% dari total produksi (Wada 2002)
4 Data ekspor ikan BPS Kab. Tojo Una-Una (2005, 2009)
265
Lampiran 15 Formulasi model integrasi wisata dan perikanan di Gugus Pulau
Batudaka
Sector Wisata
Jml_Wisatawan(t) = Jml_Wisatawan(t - dt) + (Total_BC_ha - EF_ha\cap\th) * dtINIT
Jml_Wisatawan = 3000
INFLOWS:
Total_BC_ha =
BC_Buit_up+BC_Cropland+BC_Energy_ha+BC_Forest+BC_Pasture+BC_sea_spac
e
OUTFLOWS:
EF_ha\cap\th =
(Foot_Builtup_ha\kap\th+Foot_Food_&_Fibre+foot_Energy_ha\kap\th)*Jml_Wisata
wan
BC_Buit_up = Exist_Builtup_ha*YF_Built_up
BC_Cropland = Exist_Crop_area_ha*YF_Cropland_
BC_Energy_ha = Exist_area_ha*YF_Energy
BC_Forest = exist_forest_area_ha*YF_Forest
BC_Pasture = exist_pasture_area_ha*YF_Pasture
BC_sea_space = Exist_sea_area_ha*YF_Fishery
cropland\ha\kap\th = 0.0758
Exist_area_ha = 2.38
Exist_Builtup_ha = 19.54
Exist_Crop_area_ha = 453.28
exist_forest_area_ha = 1839.6
exist_pasture_area_ha = 173.3
Exist_sea_area_ha = 2610
Foot_Aktivitas =
(Luas_Area_Dive/Jml_Wisatawan/Lama_wisata)+(Luas_Area_Snork/Jml_Wisatawa
n/Lama_wisata)+(Luas_Wst_Pantai/Jml_Wisatawan/Lama_wisata)
Foot_Builtup_ha\kap\th =
Foot_Aktivitas+Foot_Jalan+Foot_Pelabuhan+Foot_Penginapan
foot_Energy_ha\kap\th = kons_Energy_GJ\kap/Jml_Energy_GJ\ha\th
Foot_Food_&_Fibre =
cropland\ha\kap\th+forest_ha\kap\th+Pasture_ha\kap\th+Sea_space_ha\kap\th
Foot_Jalan = Luas_Jalan_ha/Jml_Wisatawan/Lama_wisata
Foot_Pelabuhan = Luas_Pelab/Jml_Wisatawan/Lama_wisata
Foot_Penginapan = Luas_Penginapan_ha/Jml_Wisatawan/Lama_wisata
forest_ha\kap\th = 0.0452
Jml_Energy_GJ\ha\th = 2.38
kons_Energy_GJ\kap = 667/Jml_Wisatawan/Lama_wisata
Lama_wisata = 5
266
Luas_Area_Dive = 78.7
Luas_Area_Snork = 129.4
Luas_Jalan_ha = 18.36
Luas_Pelab = 0.43
Luas_Penginapan_ha = 1.16
Luas_Wst_Pantai = 68.55
Pasture_ha\kap\th = 0.0387
Sea_space_ha\kap\th = 0.0550
YF_Built_up = 1
YF_Cropland_ = 1.7
YF_Energy = 1.3
YF_Fishery = 0.6
YF_Forest = 1.3
YF_Pasture = 2.2
Total_EF(t) = Total_EF(t - dt) + (Impor_EF + Konsumsi_Domestik_EF -
Ekspor_EF) * dtINIT Total_EF = 0.34
INFLOWS:
Impor_EF = produkai_regional/Jml_Penduduk+data_impor/Jml_Penduduk
Konsumsi_Domestik_EF =
(Produksi_Lokal_+data_domestik)/(Jml_Penduduk+(Jml_Wisatawan)*(Lama_wisata
/365))
OUTFLOWS:
Ekspor_EF = Data_Ekspor/Jml_Penduduk
Areal_lokal = 61052
Areal__Regional = 338575
data_domestik = 300.56
Data_Ekspor = 5.58
data_impor = 17.24
EF_Perikanan = Total_EF*faktor_ekivalen__laut
faktor_ekivalen__laut = 0.06
produkai_regional = Produksi_Regional_per_area/Areal__Regional
Produksi_Lokal_ = Produksi_lokal__per_area/Areal_lokal
Jml_Penduduk(t) = Jml_Penduduk(t - dt) + (kelahiiran + Emigrasi - Imigrasi -
Kematian) * dtINIT Jml_Penduduk = 13500
INFLOWS:
kelahiiran = Jml_Penduduk*Laju_Kelahiran
Emigrasi =
Jml_Penduduk*Laju_Emigrasi+((Jml_Wisatawan*(Lama_wisata/365)/Jml_Pendudu
k))
OUTFLOWS:
Imigrasi = Jml_Penduduk*Laju_imigrasi
267
Kematian = Jml_Penduduk*Laju_Kematian
Laju_Emigrasi = 0.029
Laju_imigrasi = 0.014
Laju_Kelahiran = 0.012
Laju_Kematian = 0.003
Biomassa_Ikan_2(t) = Biomassa_Ikan_2(t - dt) + (Pertumbhan_Marginal_2 -
Kematian_3 - produksi_Lokal) * dtINIT Biomassa_Ikan_2 = 3.38
INFLOWS:
Pertumbhan_Marginal_2 = Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2
OUTFLOWS:
Kematian_3 = Fraksi_Kematian__Normal_2*Rasio_Biomassa_Ikan_2
produksi_Lokal = Biomassa_Ikan_2*Fraksi_Tangkapan_2
Area_Fishing_Ground__Lokal = 61052
Daya_DUkung_2 = 0.501
Fraksi_Kematian__Normal_2 = Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2
Fraksi_Tangkapan_2 = Jumlah_Trip_2*Koefisien_Tangkap_2
Jumlah_Trip_2 = 424
Koefisien_Tangkap_2 = 0.005
Laju_pertmbuhan_Intrinsik_2 = 0.308
Produksi_lokal__per_area = produksi_Lokal/Area_Fishing_Ground__Lokal
Rasio_Biomassa_Ikan_2 = Daya_DUkung_2*Pertumbhan_Marginal_2
Biomassa_Ikan(t) = Biomassa_Ikan(t - dt) + (Pertumbhan_Marginal - Kematian_2 -
produksi__Regional) * dtINIT Biomassa_Ikan = 23452
INFLOWS:
Pertumbhan_Marginal = Laju_pertmbuhan_Intrinsik
OUTFLOWS:
Kematian_2 = Fraksi_Kematian__Normal*Rasio_Biomassa_Ikan
produksi__Regional = Biomassa_Ikan*Fraksi_Tangkapan
Area_Fishing_Ground__Regional = 338575
Daya_DUkung = 7906
Fraksi_Kematian__Normal = Laju_pertmbuhan_Intrinsik
Fraksi_Tangkapan = Jumlah_Trip*Koefisien_Tangkap
Jumlah_Trip = 399849
Koefisien_Tangkap = 0.00000084
Laju_pertmbuhan_Intrinsik = 0.088
Produksi_Regional_per_area =
produksi__Regional/Area_Fishing_Ground__Regional
Rasio_Biomassa_Ikan = Daya_DUkung*Pertumbhan_Marginal