Analisis Konsep Keadilan Kepastian Hukum
Analisis Konsep Keadilan Kepastian Hukum
Analisis Konsep Keadilan Kepastian Hukum
20-41
ISSN 1829-9067; EISSN 2460-6588| P a g e DOI: http://dx.doi.org/10.21093/mj.v15i1.590
Suwardi Sagama
Faculty of Sharia, IAIN Samarinda
suwardisagama.recht@gmail.com
Abstract:
Environmental management becomes the attention of environmental existence
because the exploitation is always in contiguity with nature, including forest
exploitation which has positive and negative effects. On the one hand, the forest
provides economical growth, but it also brings the natural demage
(environmental ecosystem) on the other hand. The legal norms become a border
and a sign of legal subject flexibility at once for forest exploitation. According to
Gustav Radburch, the purposes of law are fairness, certainty and usefulness; it
will become the hope to create environmental management which has
environmentally sound based on Law No. 32 of 2009 on the Protection and
Environmental Management. This article uses a normative legal research based
on legal system components including the structure, substance and legal culture.
There are some rights and obligations in environmental management; the right to
live in healty and good environment, and obligation to keep the environment as
well as possible. Justice in environmental management can be actualized if rights
and obligations are run inequilibrium. Whereas, the legal certainty lies in the rule
of law that become the reference of legal subject to exploit the forest resources.
The legal certainty can be run effectively if it supported by good law enforcement.
The legal benefit is achieved when the domminant legal subject perceived to
benefit happiness. Fairness, certainty and benefits provide significant functions to
maintain the environmental management with environmentally sound. But it can
not be implemented simultaneously because of different tasks and functions.
Abstrak:
Pengelolaan lingkungan menjadi sorotan dari eksistensi lingkungan, karena
eksploitasi selalu bersinggungan dengan alam termasuk ekploitasi hutan yang
memberikan dampak positif dan dampak negatif. Pada sisi positif hasil hutan
memberikan pertumbuhan pereonomian, namun pada sisi negatif memberikan
kerusakan kepada alam (ekosistem lingkungan). Norma hukum menjadi pembatas
sekaligus keluwesan subyek hukum untuk menjalankan aktifitas eksploitasi hasil
hutan. Tujuan hukum yang dikatakan oleh Gustav Radburch yaitu keadilan,
kepastian dan kemanfaatan menjadi harapan untuk mewujudkan pengelolaan
lingkungan yang berwawasan lingkungan berdasarkan Undang-undang Nomor
Suwardi Sagama, Analisis Konsep Keadilan,...| 21
A. Pendahuluan
Mencari dan menemukan keserasian dalam hukum tidaklah sulit dan tidak
juga mudah. Kesulitan mencapai hukum yang ideal adalah pihak-pihak yang
bersengketa atau berurusan dengan hukum dalam mencapai kepuasan atau hasil
yang diterima dengan lapang dada. Kemudahan dalam mencapai hukum yang
ideal apabila terjadi keharmonisan antara teori dan praktik. Selain itu, hukum
diharapkan dapat berkembang dengan pesat mengikuti arus perkembangan zaman
untuk mengatur segala tindakan atau perbuatan yang berpotensi terjadinya
perselisihan, baik perselisihan kecil maupun besar. Membiarkan teori atau praktik
berjalan sendiri-sendri tanpa saling melengkapi akan mempengaruhi kinerja dari
hukum itu sendiri. Tidak kalah penting ketika hukum tertinggal oleh zaman,
dimana arus perubahan terus terjadi mengikuti laju pertumbuhan dari masyarakat,
akan berdampak terhadap eksistensi hukum dan tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap hukum.
Secara prinsip hukum diciptakan untuk memberikan kepercayaan kepada
masyarakat (manusia) terhadap kepentingan yang berbeda dimiliki manusia satu
dengan manusia lain dengan tujuan untuk terwujudnya kesejahteraan. Hukum
mengatur secara komprehensif tindak tanduk aktifitas manusia, baik hubungan
manusia dengan manusia, manusia dengan badan hukum, maupun manusia
dengan alam (ekosistem lingkungan). Melalui hukum diharapkan dapat terjalin
pencapaian cita dari manusia (subyek hukum), sebagaimana dikatakan oleh
Gustav Radburch bahwa hukum dalam pencapaiannya tidak boleh lepas dari
keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Eksistensi hukum yang dimaksud ialah baik
hukum yang bersifat pasif (peraturan perundang-undangan) maupun bersifat aktif
(hakim di pengadilan).
Sebagai subyek hukum, manusia memiliki peran yang esensial dalam
mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Manusia dapat
mengendalikan sebagaimana yang diinginkan, namun tetap dalam rambu-rambu
norma hukum, sehingga tidak keluar dari jalur yang seharusnya dilakukan.
Manusia yang juga bagian dari mahluk hidup (tumbuhan, hewan dan manusia)
memilki tanggung jawab untuk menjaga lingkungan, sehingga mahluk hidup lain
ikut berpartisipasi menjaga alam, karena terdapat siklus kehidupan yaitu pada
rantai makanan dimana saling menjaga dengan apa yang menjadi hak dan
kewajibannya. Pada pengelolaan lingkungan, terdapat pengaturan terhadap
pengelolaan lingkungan hidup yang mengatur manusia untuk menjaga alam
(ekosistem lingkungan) dari adanya kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh
mahluk hidup lain,karena membiarkan lingkungan rusak akan berdampak kepada
punahnya ekosistem itu sendiri.
Rusaknya ekosistem berarti telah menggugurkan hak yang melekat pada
setiap orang sebagaimana hak dasar dalam hukum dasar yaitu hak untuk
mendapatkan linkungan yang baik dan sehat. Pada Pasal 28 H Ayat (1) UUD
Negara RI Tahun 1945 disebutkan bahwa, “setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir, dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat...”.
Pada undang-undang derivatif tentang lingkungan hidup diatur tentang
pengelolaan lingkungan yang berhubungan dengan subyek hukum sebagai
Suwardi Sagama, Analisis Konsep Keadilan,...| 23
1
Kuncoro Sejati, Pemanasan Global, Pangan dan Air: Masalah, Solusi, dan Perubahan Konstelasi
Geopolitik Dunia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011) h. 7.
2
Mukti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2013) h. 36.
3
Soerjono Soekanto, Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h. 70.
24 | Mazahib,Vol XV, No. 1 (Juni 2016)
B. Keadilan
1. Substansi
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.4 Hal yang paling
fundamental ketika membicarakan hukum tidak terlepas dengan keadilan
dewi keadilan dari yunani. Dari zaman yunani hingga zaman modern para
pakar memiliki disparitas konsep keadilan, hal ini disebabkan pada kondisi
saat itu. Pada konteks ini sebagaimana telah dijelaskan pada pendahuluan,
bahwa tidak secara holistik memberikan definisi keadilan dari setiap pakar
di zamannya akan tetapi akan disampaikan parsial sesuai penulisan yang
dilakukan.
Dalam bukunya Nichomacen Ethics, Aristoteles sebagaimana
dikutip Shidarta telah menulis secara panjang lebar tentang keadilan. Ia
menyatakan, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan
antar manusia. Kata adil mengandung lebih dari satuarti. Adil dapat berarti
menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Di sini
ditunjukan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu
mengambil lebih dari bagian yang semestinya.5
Pengelolaan hutan yang baik secara proposional, dapat menjaga
kestabilan antara hak dan kewajiban saat mengeksploitasi hasil hutan
tersebut. Peran keadilan pada saat mengelola hutan terlihat saat seberapa
banyak hasil hutan berupa pohon diekploitasi dengan menyesuaikan jumlah
yang dibutuhkan. Dewasa ini penebangan hutan tidak melihat kondisi
lingkungan sekitarnya, karena dilatarbelakangi kepentingan.Dengan
kegiatan tersebut mengakibatkan rusaknya hutan sehingga kondisi
lingkungan akan berada pada titik nadir. Salim berpandangan, bahwa
penyebab lain rusaknya hutan karena banyaknya orang yang melakukan
pencurian kayu dikawasan hutan lindung, hutan produksi maupun hutan
lainnya.6
Hemat penulis, eksistensi hutan tereduksi oleh berbagai
kepentingan, yaitu kepentingan politik dan kepentingan ekonomi.Peran
politik disini terlihat saat oknum tertentu menginginkan lahan yang luas
dengan maksud dikuasai,sehingga akses untuk mencapai tujuan tersebut
maka tempat yang mumpuni berada pada wilayah yang belum terjamah
seperti hutan. Dilakukannya eksploitasi secara besar-besaran untuk
menguasai lahan tersebut dengan melakukan penebangan pohon dan tidak
melihat implikasinya. Sedangkan pada kepentingan ekonomi, kecendrungan
terbesar yang sering dilakukan dengan memanfaatkan hasil dari kedua-
duanya baik pohon dan hasil hutan lainnya. Dominasi kepentingan ekonomi
merupakan implikasi terbesar dari tenggelamnya lingkungan dari oknum
tersebut.
4
Dardji Darmohardjo, Shidarta., Pokok-pokok filsafat hukum: apa dan bagaimana filsafat
hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006) h.155.
5
Ibid., h. 156.
6
Salim, Dasar-dasar hukum Kehutanan (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 3.
Suwardi Sagama, Analisis Konsep Keadilan,...| 25
2. Struktur
Berbicara mengenai keadilan, kita umumnya memikirkan sebagai
keadilan individual, yaitu keadilan yang tergantung dari kehendak baik atau
buruk masing-masing individu.9 Di sini diharapkan bahwa setiap orang
bertindak dengan adil terhadap sesamanya. Artinya, dalam situasi yang sama
memperlakukan siapa tanpa diskriminatif. Apabila terdapat tindakan
pengelolaan hutan tidak terbatas tanpa melihat kondisi lingkungan, maka
berdasarkan teori ini pengelola dan pemberi izin pengelolaan hutan
diberlakukan hukum yang sama dengan kedudukan yang sama didepan
hukum.
Tidak dapat disangkal, bahwa peran dari pemerintah diperlukan
dalam menegakan keadilan karena mempunyai peran yang penting untuk
menciptakan sistem atau struktur sosial politik yang kondusif. Sony Keraf
berpendapat tentang struktur keadilan, bahwa sistem atau struktur yang adil
adalah keterbukaan politik dari pihak pemerintah untuk diproses hukum
7
Kees Bertens, Pengantar etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2010) h. 93.
8
Nasruddin Anshoriy, Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat kebangsaan
(Yogyakarta: LKIS, 2010) h. 96.
9
Antonius Atoshoki, dkk. Relasi Dengan Sesama (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2002) h. 332
26 | Mazahib,Vol XV, No. 1 (Juni 2016)
3. Budaya Hukum
Sebelum menjelaskan bagaimana budaya hukum pada aspek
pengelolaan hutan terhadap signifikansi lingkungan, terlebih dahulu akan
dijelaskan pengertian budaya hukum (legal culture). Friedman berpendapat,
sebagaimana dikutip oleh Irianto pada prinsipnya mengatakan bahwa “by
this we mean ideas, attitude, beliefs, espectations and opinions about law”13.
Lebih jauh Friedman mengemukakan istilah subbudaya hukum (sublegal
culture), maksudnya tidak lain adalah: kepentingan. Suatu faktor yang
sangat relevan untuk dibicarakan dalam masalah penyelesaian
sengketa.Inkonsistensi konstitusi terhadap keberadaan lingkungan seperti
dikatakan friedman karena tertanam kepentingan. Kondisi ini merupakan
implikasi dari faktor sosial akan kesadaran terhadap hukum, yang berasal
pada degradasi moral.
Pemerintah seharusnya tidak mengobral regulasi dengan murah,
sehingga saat diimplementasi masyarakat dan stakholder dapat melakukan
konvergensi terhadap regulasi tersebut. Aplikasinya masyarakat dapat
menjalankan norma yang telah ada dengan baik, seperti menjaga, merawat,
memanfaatkan dan menanam kembali (hasil hutan). Apabila berlaku
sebaliknya, maka masyarakat dan oknum tetentu akan bersikap apatis
terhadap norma yang ada. Rutinitas ini merupakan jawaban terhadap
kepeduliannya tentang lingkungan dengan dimanfaatkan sebaik mungkin
untuk keperluan kehidupan atau penunjang ekonomi. Selain itu, hutan
dimanfaatkan dengan mencari dan mengumpulkan hasil hutan. Kegiatan ini
mencakup mengumpulkan hasil hutan untuk dimakan atau digunakan
sendiri dan mengumpulkan hasil hutan untuk dijual.14
Sering kali kegiatan pengelolaan hutan atas nama masyarakat
dengan mengedepankan lingkungan disalahgunakan oknum tertentu.
Budaya ini merupakan jurang pemisah dan akan menjadi bom waktu, yang
sewaktu-waktu dapat meledak menghancurkan tatanan lingkungan.
Kerugian tidak hanya berada pada lingkungan sekitar, akan tetapi terhadap
mahluk hidup lain termasuk masyarakat. Sangat ironis sekali, karena
pemerintah terkesan bersikap apatis terhadap kondisi konkrit masyarakat.
Diperlukannya tindakan-tindakan nyata yang dapat mengkandaskan para
oknum-oknum beserta stake holder yang melindungi.
Hutan menjadi sumber kehidupan dan lingkungan yang baik
merupakan cita-cita masyarakat, dengan kata lain diperlukan kesetaraan
terhadap kedua (pengelolaan hutan dan lingkungan) komponen tersebut.
Institusi supra struktur dapat bergandeng tangan untuk melakukan
kompromi-kompromi sehat menegaskan kepedulian terhadap lingkungan
yang baik. Pelaku kepentingan diamputasi karena dapat mengurangi nilai
budaya hukum yang diberikan masyarakat. Nilai-nilai keadilan pun
13
Sulistyowati Irianto, Perempuan di antara berbagi Pilihan Hukum: Studi Mengenai
Strategi, Edisi Kedua (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) h. 42.
14
Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat
Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995) h. 141.
28 | Mazahib,Vol XV, No. 1 (Juni 2016)
C. Kepastian Hukum
1. Substansi
Negara Indonesia merupakan penganut sistem hukum eropa
kontinental yang diderivasi dari negara colonial pada era penjajahan. Hukum
tertulis merupakan khas dari eropa kontinental dengan groundnorm.
Pelanggaran atau tindak kejahatan dapat dipidana apabila telah ada undang-
undang atau hukum tertulis terlebih dahulu. Berbeda dengan sistem hukum
anglo saxon yang menggunakan supremasi hukum berasal dari hakim
dengan menggali di pengadilan, maka eropa continental sangat kental
dengan unsur kepastian hukum. Upaya yang diberikan oleh hukum positif
Indonesia untuk memberikan jaminan terhdap korban ataupun tersangka
yang didelegasikan konstitusi melalui legislasi. Peran hakim dalam sistem
hukum eropa continental terlihat pasif dibadingkan sistem hukum anglo
saxon yang lebih aktif, meskipun dalam perkembangannya untuk di
Indonesia hakim tidak dapat menolak perkara yang masuk dengan alasan
tidak ada hukumnya,15 namun tetap mengacu pada hukum tertulis.
Menurut Ade Saptomo, Prinsip-prinsip bagi hakim dalam
mengadili perkara-perkara hukum konkret mencakup tiga pendekatan
sebagai berikut: 16
a. Pendekatan Legalistik (Formal)
Pendekatan legalistik dimaksud merupakan model yang digunakan oleh
hakim dalam menyelesaikan kasus hukum konkret yang hukumnya (baca:
undang-undang) telah mengatur secara jelas sehingga hakim mencari,
memilah, dan memilih unsur-unsur hukum dalam kasus hukum konkret
dimaksud dan kemudian dipertemukan dengan pasal-pasal relevan dalam
undang-undang dimaksud.
b. Pendekatan Interpretatif
Hukum dalam kenyataannya dimungkinkan aturan normatif itu tidak
lengkap atau samar-samar. Dalam upaya menegakan hukum dengan
keadilan dan kebenaran, hakim harus dapat melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding).
c. Pendekatan Antropologis
Terhadap kasus hukum konkrit yang belum diatur undang-udnang maka
hakim harus menemukan hukum dengan cara menggali, mengikuti, dan
menghayati nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Eksistensi ketiga pendekatan tersebut sangat relevansi dengan sistem hukum
eropa kontinental, sistem hukum anglo saxon dan hukum kebiasaan atau
hukum adat. Pendekatan legalistik merupakan unsur yang melekat pada
sistem hukum eropa continental, sedangkan pendekatan interpretatife
15
Pasal Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tetang Kekuasaan Kehakiman.
16
Ade Saptomo, Hukum & Kearifan Lokal (Jakarta: Grasindo, 2009) h. 54-55
Suwardi Sagama, Analisis Konsep Keadilan,...| 29
merupakan diri dari sistem hukum anglo saxon dan pendekatan antropolgis
merupakan identifikasi dari hukum kebiasaan atau hukum adat.
Dalam konteks ini pendekatan yang akan dibahas adalah
pendekatan legalistik sedangkan yang lain akan tetap dimasukan. Dengan
unsur formal, maka kepastian hukum merupakan interpretasi dari hukum
tertulis. Sebagaimana pada pengelolaan hutan maka subyek hukum dapat
saja melakukan eksploitasi saat memiliki izin dari pihak yang berwewenang.
Pemegang otoritas tentunya berdasarkan asas kepastian hukum dapat
memperhatikan kaidah yang berlaku sehingga dalam pelaksanaannya tidak
ada anomali baik dari individu atau corporate maupun oknum pemerintah.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa peran hutan berfugsi sebagai
kebutuhan hidup bagi seluruh komponen mahluk hidup. Indriyanto
menjelaskan, mempelajari ekologi hutan merupakan kegiatan manusia
secara komprehensif dengan tujuan mengarahkan atau memlihara ekosistem
hutan dalam keadaan yang memungkinkan untuk selalu bisa dijadikan
sebagai sumber pemenuhan kebutuhan manusia sepanjang masa.17Hutan
merupakan barang yang fundamental untuk itu perlu dilakukan sinergitas
terhadap komponen lainnya dengan menjaga lingkungan hidup agar tetap
baik. Sintesis hutan dan lingkungan merupakan kebutuhan konkrit untuk
tetap dijaga kelestarian dan konstruksinya dari mahluk hidup lain.
Dinamika pembangunan membawa perubahan terkhusus dari hasil
pengelolaan hutan dengan berwawasan lingkungan ataupun untuk
kepentingan semata. Siahaan membagi dua faktor terhadap dari dinamisasi
pembangunan yagn akan berdampak pada lingkungan hidup. 18Pertama,
manfaat sebagai tujuan dan faktor-faktor yang dikehendaki oleh
pembangunan itu sendiri, dan kedua adalah kerugian-kerugian yang berasal
dari kegiatan pembangunan. Dilanjutkannya, faktor-faktor ini merupakan
sisi yang tidak dikehendaki, namun tetap ada, tergantung pada faktor-faktor
pengelolaan yang dilakukan menurut sistem. Diperlukan produktifitas
pengelolaan hutan baik melalui regulasi maupun peran dari subyek hukum
agar sistem tersebut dapat menjaga tatanan lingkungan yang baik.
Secara eksplisit untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap
pelanggaran atau tindakan kejahatan lingkungan, diatur dalam UU No. 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(PPLH) dengan tujuan menanggulangi pencemaran dan perusakan
lingkungan melalui upaya preventif maupun represif.19 Pencegahan-
pencegahan tersebut tidak terlepas dari adanya masalah-masalah lingkungan
seperti: penggundulan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon,
pemanasan global tumpahan minyak dilaut, ikan mati di anak sungai karena
zat-zat kimia, dan punahnya species tertentu.20 Kompleksitas permasalahan
17
Indriyanto, Ekologi Hutan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006) h. 9.
18
Nommy Horas Thombang Siahaan, Hukum Lingkungan dan ekologi Pembangunan,
Cetakan ke 2 (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2008) h. 256.
19
Arief Hidayat, Adji Samekto. Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era
Otonomi Daerah, (Semarang: Universitas Dipenogoro, 2007) h. 68.
20
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011 h. 1.
30 | Mazahib,Vol XV, No. 1 (Juni 2016)
21
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Cetakan ke 15 (Yogyakarta: Kanisius, 2010) h. 119.
22
Abdul Hakim, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005) h. 33.
23
Pasal 1 Ayat (3), Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Suwardi Sagama, Analisis Konsep Keadilan,...| 31
24
Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1995) h. 46.
32 | Mazahib,Vol XV, No. 1 (Juni 2016)
25
Satjipto Rahardo, Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2003) h. 101.
26
Arifin Arief, 1994, Hutan Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, h 109.
Suwardi Sagama, Analisis Konsep Keadilan,...| 33
D. Kemanfaatan
1. Substansi
Eksistensi hukum bertujuan untuk memberikan keamanan dan
ketertiban serta menjamin adanya kesejahteraan yang diperoleh masyarakat
dari Negara sebagai payung bermasyarakat. Kaidah hukum di samping
kepentingan manusia terhadap bahaya yang mengancamnya, juga mengatur
hubungan di antara manusia.27 Identifikasi setiap permasalahan merupakan
tugas dari hukum untuk memberikan jaminan adanya kepastian hukum.
Masyarakat berkembang secara pesat di dunia komunitasnya atau dalam
bernegara, hal ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman sehingga
kebutuhan harus dipenuhi sesuai zamanya. Keberlakuan ini secara langsung
tidak memiliki relevansi dengan kepastian hukum, karenannya hukum akan
bersifat statis tanpa adanya penyesuaian antara hukum dan perilaku
masyarakat kekinian atau terjadi kekacuan hukum.
Untuk itu perlu hukum yang kontekstual, dalam arti dapat
mengakomodir praktik-praktik sosial di masyarakat dengan diatur oleh
norma hukum. Ajaran-ajaran hukum yang dapat diterapkan, menurut
Johnson, agar tercipta korelasi antara hukum dan masyarakatnya, yaitu
hukum sosial yang lebih kuat dan lebih maju daripada ajaran-ajaran yang
diciptakan oleh hukum perseorangan.28 Artikulasi hukum ini akan
menciptakan hukum yang sesuai cita-cita masyarakat.Karenanya muara
hukum tidak hanya keadilan dan kepastian hukum, akan tetapi aspek
kemanfaatan juga harus terpenuhi. Penganut mazhab utilitarianisme
memperkenalkan tujuan hukum yang ketiga, disamping keadilan dan
27
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cetakan ke 1(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya,
2011) h. 16.
28
Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, Cetakan ke 3 (Jakarta: Asdi Mahastya, 2006) h. 204.
34 | Mazahib,Vol XV, No. 1 (Juni 2016)
2. Struktur
Penegak hukum merupakan pelaksana dari peraturan perundang-
undangan. Masyarakat menyimpan harapan penuh akan terciptanya aspek
hukum yang bertujuan pada kemanfaatan. Bentuk dan pola ini cenderung
tidak dapat terealisasi secara maksimal. Aparat hukum, dalam hal ini sistem
hukum positif yang dianut Indonesia mengedepankan adanya kepastian
hukum. Jika dikaitkan pada eksistensi konstitusi menjaga konstruksi
lingkungan, sejatinya lingkungan beserta komponen lainnya akan terjaga
dengan baik.
Berbagai pemicu rusaknya lingkungan terlihat mulai dari lemahnya
pengawasan pemerintah, peraturan perundang-undangan hingga
inkonsistensi penegakan lingkungan. Pemicu yang terakhir ialah hal
fundamental di negara hukum. Eksploitasi hutan kecendrungannya
bertameng untuk masyarakat. Lahan untuk tempat tinggal, berladang dan
kepentingan masyarakat lainnya merupakan argumen-argumen yang
digunakan. Masyarakat dijadikan tumbal demi menyelamatkan kepentingan
korporasi. Regulasi-regulasi tentang lingkungan terkonsep secara detail
dengan berisikan sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana.
Namun pembentukan hukum tidak eksplisit melihat harapan dan cita-cita
masyarakat sehingga menjadikan titik terlemah dari penegakan hukum
khususnya terhadap tergerusnya fungsi lingkungan.
Menurut montesquieu, para legislator dalam membentuk hukum
harus seperti tabib yang mendiagnosis penyakit pasiennya kemudian
memberikan resep.30 Legislator harus mendiagnosis di masyarakat
kebutuhan atau elemen-elemen apa saja yang dapat di implementasikan saat
diberlakukannya peraturan perundang-undangan. Hal mendasar yang tidak
dapat di pisahkan adalah inherenisasi antara pembuatan peraturan dengan
pelaksana peraturan. Sinergitas keduanya merupakan barometer terciptanya
negara yang aman dan tertib sehingga kondusifitas dapat selalu terjaga.
29
Shidarta, Pokok-pokok filsafat hukum., Halaman 160.
30
Montesquieu, The Spirit of Laws, Cetakan Ke 6 (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2013)
h. 17.
Suwardi Sagama, Analisis Konsep Keadilan,...| 35
3. Budaya Hukum
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat merupakan
suatu gejala yang umum, bahwa perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi
akan gejala sosial .31 Di mana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi
sosiates ibi ius), merupakan adagium dasar menunjukan, bahwa pada
masyarakat yang bagaimana pun pasti memiliki hukum tertentu.32 Eksistensi
masyarakat, sejatinya dapat mempengaruhi lahirnya produk hukum, karena
norma tersebut yang akan dirasakan secara langsung oleh masyarakat
holistik. Kealfaan legilslator dalam memerhatikan norma di masyarakat saat
mengadakan kompromi-kompromi regulasi di gedung parlemen
menghambat pembangunan hukum dan/atau pembangunan masyarakat.
Cita-cita hukum pun tidak terwujudkan dengan baik, karena objek dari
hukum tidak merasakan fungsi dari peraturan perundang-undangan yang
dibentuk.
Kelemahan-kelemahan penerapan hukum tidak terlepas dari
berbagai pandangan tentang esensi hukum yang sebenarnya. Sejatinya
hukum berperan sebagai instrument yang memberikan manfaat kepada
masyarakat holistik. Pengelolaan hutan secara baik akan menghasilkan hasil
hutan yang baik serta dapat berimplikasi positif terhadap seluruh komponen
31
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Cetakan ke 6 (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003) h. 370.
32
Anggota IKAPI, Hukum dan Kemajemukan Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2003) h. 88.
36 | Mazahib,Vol XV, No. 1 (Juni 2016)
E. Kesimpulan
Pada keadilan hukum, hak dan kewajiban dalam melakukan
pengelolaan lingkungan secara substansial ialah subyek hukum yang
mengutamakan keseimbangan dalam melakukan pengelolaan lingkungan
melalui ekploitasi hutan. Masyarakat sosial menjadi terpenuhi rasa adil ketika
pembagian dalam sosial berjalan seimbang. Demi memenuhi suatu keadilan
tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh pemerintah sebagai lembaga
berwenang untuk menjalankan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana
pemerintah sebagai guardian dan/atau pelaksana undang-undang tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup memberikan rasa yang adil
dalam melakukan pengelolaan lingkungan saat eksploitasi hutan
dilaksanakan. Pemerintah bertugas melakukan pengawasan kepada subyek
36
Sartjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologia, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009) h.61.
38 | Mazahib,Vol XV, No. 1 (Juni 2016)
sendirinya saat menerapkan norma hukum, karena dari hal tersebut tujuan
hukum dapat dilihat, apakah telah tepenuhi atau tidak terpenuhi. Oleh karena
masyarakat (subyek hukum) berkembang secara pesat di dunia komunitasnya
atau dalam bernegara sehingga kebutuhan harus dipenuhi sesuai zamanya.
Keberlakuan ini secara langsung tidak memiliki relevansi dengan
kepastian hukum yang terlambat karena tertinggal waktu (masa) dengan
hukum bersifat statis tanpa adanya penyesuaian antara hukum dan perilaku
masyarakat kekinian atau terjadi kekauan hukum. Artinya saat keadilan
diberikan, kepastian menjadi pudar, sebaliknya pula saat kepastian hukum
dikedepankan maka keadilan tidak bisa berjalan. Tidak berjalanya keadilan
dan kepastian hukum secara beriringan, berimplikasi langsung kepada
kemanfaatan, karen anorma hukum akan memberikan kebahagiaan apabila
kemanfaatan dirasakan masyarakat (subyek hukum) banyak.
40 | Mazahib,Vol XV, No. 1 (Juni 2016)
DAFTAR PUSTAKA