Bab I Pendahuluan: 1.1 Latar Belakang
Bab I Pendahuluan: 1.1 Latar Belakang
Bab I Pendahuluan: 1.1 Latar Belakang
PENDAHULUAN
1
2
penyebab yang dapat menilai survival rate pasien hemodialisis seperti hipertensi,
diabetes mellitus,glomerulopati primer, pielonefritis kronis, ginjal polisiklik,
penyakit autoimun, neoplasia, dan lain-lain (Indonesian Renal Registry, 2012).
Penelitian oleh Beladi-Mousevi et al., (2012) melaporkan bahwa ketahanan hidup
pada pasien GGK yang menjalani HD dengan penyebab DM lebih rendah survival
rate-nya dari pada non-DM yaitu 22,9 bulan vs 31,9 bulan (Zeraati, 2013).
Kemudian, penelitian oleh Syam (2012) melaporkan penyebab komorbiditas
diabetes mellitus yang lebih cepat untuk terjadinya kematian yaitu 182 hari atau
6,1 bulan dibandingkan dengan pasien tanpa komorbiditas diabetes mellitus yaitu
260 hari atau 8,7 bulan (Syam, 2012). Prognosis buruk pasien diabetes dengan
GGK ini sebagian disebabkan adanya penyakit kardiovaskular yang signifikan,
masalah dengan akses vaskular, lebih rentan terhadap infeksi, ulkus kaki, dan
ketidakstabilan hemodinamik selama HD (Ghaderian, 2015).
Gagal ginjal kronik sangat erat hubungannya dengan diabetes mellitus dan
dapat juga disebabkan oleh karena usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok,
penyalahgunaan obat analgetik dan OAINS. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian faktor risiko GGK diabetes dan non-diabetes pasien hemodialisis di
RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang.
1.4 Hipotesis
Terdapat hubungan gagal ginjal diabetes dan non-diabetes pada pasien
hemodialisis dengan faktor-faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, riwayat
merokok, dan riwayat penggunaan obat analgetik dan OAINS di RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
2.1.2 Etiologi
Berdasarkan data tahun 2010, penyebab gagal ginjal pada pasien
hemodialisis di Indonesia antara lain Glumerulopati Primer/GNC (12%), nefropati
diabetika (26%), nefropati lupus/SLE (1%), penyakit ginjal hipertensi (35%),
ginjal polikistik (1%), nefropati asam urat (2%), nefropati obstruktif (8%),
pielonefritis kronis/PNC (7%), lain-lain (6%) dan tidak diketahui (2%)
5
6
2.1.4 Patofisiologi
Penurunan fungsi renal menyebabkan produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya di sekresikan melalui urin) tertimbun dalam darah, sehingga
10
terbentuk endapan garam kalsium fosfat dalam jaringan tubuh. Tempat lazim
perkembangan kalsium adalah di dalam dan di sekitar sendi mengakibatkan
artritis, dalam ginjal menyebabkan obstruksi, pada jantung menyebabkan
distritmia, kardiomiopati dan fibrosis paru. Endapan kalsium pada mata dan
menyebabkan band keratopati (Price &Wilson, 2005).
6. Penyakit tulang uremik
Penyakit tulang uremik sering disebuat osteodistrofi renal yang terjadi dari
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormon paratiroid.
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit gagal ginjal kronis yang
sering terjadi (Isroin, 2013).
2.1.5 Stadium
Gagal ginjal dapat dibagi menjadi 3 stadium berdasarkan perjalanan klinis
(Suharyanto, 2009), yaitu.
1. Stadium I – Penurunan cadangan ginjal
Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita
asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan tes
pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti.
2. Stadium II – Insufisiensi ginjal
Pada stadium ini dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak.
GFR besarnya 26% dari normal. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai
meningkat dari normal. Gejala-gejala nokturia atau seting berkemih di malam hari
sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.
3. Stadium III – Gagal ginjal stadium akhir atau uremia
Sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya sekitar
200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal.
Kreatinin serum dan BUN akan meningkat dengan mencolok.
Selain itu, The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) (dalam Desita,
2010) mengklasifikasikan gagal ginjal kronis berdasarkan tahapan penyakit dari
waktu ke waktu seperti tertera pada tabel berikut.
13
3. Mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
4. Kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan
bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.
5. Neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat
seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai
pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas).
6. Kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
15
2.1.8 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan
yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan
kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (semakin rendah tekanan darah,
semakin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian berat badan (National Kidney Foundation, 2009).
16
2.1.9 Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat)
harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤
20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
17
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006)
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
18
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120
mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan
8 mL/menit/1,73m2, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai
sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah
kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas
hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).
2) Dialisis Peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan
pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri
(mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
b. Kualitas hidup normal kembali
c. Masa hidup (survival rate) lebih lama
19
Faktor risiko
Nefropati
2
{𝑍1−𝛼/2 √2(𝑃)(1 − 𝑃) + 𝑍1−𝛽 √(𝑃1 )(1 − 𝑃1 ) + (𝑃2 )(1 − 𝑃2 )}
𝑛=
(𝑃1 − 𝑃2 )2
21
22
dibulatkan 77
2. Jenis Kelamin
2
{1.96√2(0.51)(1−0.51)+0.842√(0.43)(1−0.43)+(0.60)(1−0.60)}
𝑛= = 132.28
(0.39−0.13)2
dibulatkan 132
Berdasarkan perhitungan diatas maka jumlah sampel yang dibutuhkan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel Jumlah sampel untuk setiap variabel
NO. Variabel Peneliti P1 P2 P n
1 Umur Siti, 2011 0.44 0.67 0.56 77
2 Jenis Kelamin Siti, 2011 0.43 0.60 0.51 132
Jumlah Sampel Minimum 132