Penegakan Diagnosis Dan Pengelolaan Pada Penderita Dengue Syok Syndrome

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 16

Penegakan Diagnosis dan Pengelolaan pada Penderita Dengue Syok Syndrome

Arditya Destian 102013136


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
ardityadestian8@gmail.com

Abstract
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is an endemic disease that attacks various regions
including Indonesia. Dengue virus serotype is divided into four DEN1-4 transmitted by the
mosquito Aedes aegypti and Aedes albopictus. In patients with Dengue Fever is almost not
found abnormalities. On examination of the pulse, the patient's pulse at first quickly became
normal and slow. At Dengue Shock Syndrome, symptoms of shock is characterized by skin
that feels damp and cold, peripheral cyanosis which mainly looks at the tip of the nose,
fingers and toes, as well as a decrease in blood pressure. Definitive diagnosis is usually
using virus isolation with material blood tests taken during the stage of viremia, the virus
then cultured in a medium that is usually the network and inspection takes about two weeks,
but because it is more complicated, which is more commonly used is the detection of specific
antibodies to dengue, namely dengue IgM and IgG. the difference between DF and DHF is to
found a DBD plasma leakage, caused by dengue virus belonging to the genus Flavivirus,
family Flaviviridae. The first infections occurred and will give the symptoms of dengue fever
and dengue virus when exposed for a second time will cause symptoms of dengue fever. When
we are dealing with Dengue Shock Syndrome (SSD), the first thing to remember is that the
shock must be overcome and therefore the replacement of intravascular fluid. Prevention can
be done very dependent on vector control due to dengue vaccine has not been found.

Keywords: dengue virus, flavivirus, IgM and IgG dengue, dengue shock syndrome

Abstrak
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis yang
menyerang berbagai wilayah termasuk Indonesia. Virus dengue yang terbagi menjadi empat
serotype yaitu DEN1-4 ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Pada pasien Demam Dengue hampir tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan nadi, nadi
pasien mula-mula cepat kemudian menjadi normal dan melambat. Pada Dengue Syok

1
Sindrome, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab dan dingin, sianosis
perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan dan kaki, serta penurunan
tekanan darah. Diagnosis pasti biasanya menggunakan isolasi virus dengan bahan
pemeriksaan darah yang diambil saat dalam stadium viremia, virus kemudian dibiakkan
dalam suatu media yang biasanya jaringan dan pemeriksaan memerlukan waktu dua minggu,
tetapi karena lebih rumit, yang lebih sering digunakan adalah deteksi adanya antibodi spesifik
untuk dengue, yaitu IgM dan IgG dengue. perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD
ditemukan adanya kebocoran plasma, disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Infeksi pertama kali terjadi dan akan memberikan
gejala demam dengue dan ketika terkena virus dengue untuk kedua kalinya akan
menimbulkan gejala demam berdarah dengue. Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok
Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera
diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular. Pencegahan yang dapat
dilakukan sangat bergantung pada pengendalian vektornya karena vaksin untuk DBD belum
ditemukan.

Kata kunci: virus dengue, flavivirus, IgM dan IgG dengue, sindrom syok dengue

Pendahuluan
Sektor kesehatan Indonesia saat ini berada dalam situasi transisi epidemologi yang harus
menanggung beban berlebih. Meskipun banyak penyakityang bisa ditangani, namun masih
banyak penyakit lain yang belum teratasi, salah satunya demam berdarah dengue. DBD
merupakan penyakit infeksi yang di sebabkan oleh virus dengue dengan manisfestasi klinis
demam, nyeri ototdan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang di tandai
oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah deman berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis
yang menyerang berbagai wilayah termasuk Indonesia. Virus dengue yang terbagi menjadi
empat serotype yaitu DEN1-4 ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Gejala khas dari penyakit ini adalah demam yang naik turun, nyeri otot dan
timbulnya ruam pada kulit. Penyakit DBD dapat menimbulkan berbagai komplikasi bahkan
kematianbagi penderita. Oleh karena itu pasien harus segera mendapat penanganan tepat dan
segera sesuai dengan derajat penyakitnya. Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk
2
mengetahui anamnesa, pemeriksaan, diagnosis, epidemiologi, patofisiologi, gejala,
penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, dan pencegahan penyakit DBD.1

Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan fakta tentang keadaan penyakit pasien dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Dalam melakukan anamnesis diperlukan teknik komunikasi
dengan rasa empati yang tinggi yang terdiri dari komunikasi verbal dan komunikasi
nonverbal. Bila anamnesis dilakukan dengan baik maka kurang lebih sekitar 70% diagnosis
penyakit dapat ditegakkan. Bagan anamnesis terdiri atas identitas pasien termasuk nama,
umur, alamat, status keluarga, pekerjaan, pendidikan, keluhan utama yang menjadi sebab ia
datang kedokter, riwayat penyakit sekarang, penyakit dahulu, riwayat sosial ekonomi
budaya.1 adapun data yang diperoleh dari hasil anamnesis adalah sebagai berikut:
 Identitas : seorang laki-laki usia 20 tahun
 Keluhan Utama : PS tidak sadarkan diri sejak 1 jam yang lalu
 Riwayat Penyakit Sekarang
 Riawayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Keluarga
 Riwayat Sosial
.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang biasanya dilakukan atau ditemukan pada tersangka demam berdarah
adalah sebagai berikut :

Pada pasien Demam Dengue hampir tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan nadi,
nadi pasien mula-mula cepat kemudian menjadi normal dan melambat. 1 Bradikardi
(pelambatan denyut jantung, seperti ditunjukan dengan melambatnya nadi <60) dapat
menetap selama beberapa hari selama masa penyembuhan. Lalu dapat ditemukan lidah
kotor dan kesulitan buang air besar.2 Pada mata dapat ditemukan pembengkakan, injeksi
konjungtiva, lakrimasi dan fotofobia. Eksantem (bercak merah pada kulit yang muncul
saat demam) dapat muncul di awal demam yang terlihat jelas dimuka dan dada,
berlangsung beberapa jam lalu akan mucul kembali pada hari ke 3-6 berupa bercak
ptekie di lengan dan kaki lalu seluruh tubuh.

3

Pada Demam Berdarah Dengue dapat terjadi gejala perdarahan berupa ptekiae, purpura,
ekimosis, hematemesis (muntah darah), melena (tinja berwarna hitam karena adanya
perdarahan pada lambung sehingga Hb akan bereaksi dengan asam lambung dan
menyebabkan tinja berwarna kehitaman) dan epitaksis.2 Hati umumnya membesar dan
terdapat nyeri tekan yang tak sesuai dengan berat penyakit, nyeri tekan epigatrium juga
menandakan kemungkinan adanya perdarahan pada organ. Pada kasus ini didapatkan
tinja berwarna kehitaman.

Pemeriksaan pada demam dengue juga dapat dilakukan dengan uji tornikuet dengan cara
mempertahankan tekanan pada manset sebesar rata-rata antara tekanan sistolik dengan
diastolik selama 5 menit. Hasil positif dikatakan jika terdapat 10 ptchiae dalam area 2.5
cm2 tetapi hasil dapat negatif atau positif palsu pada keadaan DBD tipe III dan IV.

Pada Dengue Syok Sindrome, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab
dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari tangan
dan kaki, serta penurunan tekanan darah.2

Pemeriksaan Penunjang3-4
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui demam dengue adalah
dengan melakukan pemeriksaan laboratorium dan radiologis.
Pada pemeriksaan laboratorium, paling utama yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
darah untuk melihat kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan sel darah
tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif dan gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis
pasti biasanya menggunakan isolasi virus dengan bahan pemeriksaan darah yang diambil saat
dalam stadium viremia, virus kemudian dibiakkan dalam suatu media yang biasanya jaringan
dan pemeriksaan memerlukan waktu dua minggu, tetapi karena lebih rumit, yang lebih sering
digunakan adalah deteksi adanya antibodi spesifik untuk dengue, yaitu IgM dan IgG.
Parameter laboratories yang dapat diperiksa adalah:
 Leukosit: dapat normal atau menurun (leukopenia). Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru lebih
dari 15% dari total leukosit yang dalam keadaan syok dapat lebih meningkat.
 Trombosit: umumnya terjadi trombositopenia pada hari ke 3-8 (<100.000/µl darah).
 Hematokrit: terjadinya peningkatan hematokrit darah >20% dari hematokrit awal yang
dimulai pada hari ke-3 demam. Peningkatan hematokrit ini menandakan adanya
kebocoran pada plasma darah, dimana pada kebocoran plasma darah ini bisa juga
menyebabkan timbulnya hipoproteinemia dan ascites.

4
 SGOT dan SGPT: merupakan enzim-enzim yang terdapat dihati. Dalam pemeriksaan,
akan didapatkan kadar kedua enzim tersebut meningkat didalam darah. Hal ini terjadi
karena adanya kerusakan pada membran sel-sel hati sehingga enzim tersebut akan keluar
dari sitoplasma sel yang rusak sehingga kadar didalam darah akan meningkat. Selain itu,
pada keadaan yang disertai dengan adanya kerusakan fungsi ginjal, akan didapati adanya
peningkatan ureum dan kreatinin.

Manifestasi Klinik dan Diagnosis3-5


Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari dengan rentang 3-14 hari, ada
gejala prodromal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan
lelah.
Demam dengue (DD), Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai
dengan 2 atau lebih manifestasi klinik yaitu; nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/atralgia
(nyeri otot/sendi), ruam kulit, leukopenia, dan tes bendung positif.
Demam Berdarah Dengue (DBD), ditegakkan bila ada demam atau riwayat demam
akut antara 2-7 hari, terdapat minimal salah satu manifestasi perdarahan, yaitu: (uji bendung
positif, petekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan melena),
trombositopenia (<100.000/µl darah), terdapat minimal satu tanda kebocoran plasma, yaitu:
(peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan dengan standar sesuai umur dan jenis kelamin,
penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
sebelumnya, efusi pleura, aschites, hipoproteinemia). Dari semua ciri-ciri yang ada,
perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.

Dengan gejala dan pemeriksaan yang telah dilakukan:


Diagnosis Kerja (Working Diagnosis) yang dapat dipastikan adalah DBD derajat 4 atau
dikenal juga dengan Dengue Syok Syndrome. Kriterianya adalah seluruh ciri-ciri pada DBD disertai
dengan adanya kegagalan sirkulasi dan manifestasi nadi yang lemah dan cepat, tekanan darah turun
(≤ 20 mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab serta gelisah. Lihat tabel 1.
DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium

Demam disertai 2 atau lebih Serologi


DD tanda: Leukopenia Dengue
Trombositopenia, tidak
sakit kepala, nyeri retro-orbital, ditemukan Positif
mialgia, artralgia bukti kebocoran plasma

DBD I Gejala di atas ditambah uji Trombositopenia (<100.000/ul),

5
bendung
Positif bukti ada kebocoran plasma

Gejala di atas ditambah


DBD II perdarahan Trombositopenia (<100.000/ul),
Spontan bukti ada kebocoran plasma

Gejala di atas ditambah


DBD III kegagalan Trombositopenia (<100.000/ul),
sirkulasi (kulit dingin dan lembab bukti ada kebocoran plasma
serta gelisah)

Syok berat disertai dengan


DBD IV tekanan Trombositopenia (<100.000/ul),
darah dan nadi tidak terukur bukti ada kebocoran plasma

DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)

Differential Diagnosis (Diagnosis Banding)


 Demam Tifoid, merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric
fever) biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan
pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. Demam, kesadaran menurun, mulut bau,
bibir kering dan pecah-pecah (rhagaden), lidah kotor (coated tongue) dengan ujung dan
tepi kemerahan dan tremor, perut kembung, pembesaran hati dan limpa yang nyeri pada
perabaan. Tanda komplikasi di dalam saluran cerna perdarahan usus tinja berdarah
(melena). Dapat pula ditemukan adanya leukopenia atau normal, trombositopenia,
peningkatan kadar SGOT dan SGPT.
 Malaria Serebral, paling sering disebabkan oleh Plasmodium falciparum, ditandai
dengan adanya penurunan kesadaran berupa apatis, disorientasi, somnolen, stupor, sopor,
dan koma yang dapat terjadi secara perlahan. Terjadinya ikterus karena timbulnya
mekanisme yang menyebabkan obstruksi mikrovaskuler, adanya kerusakan sel-sel
hepatosit sehingga terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT, adanya edema paru,
anemia karena adanya peningkatan destruksi sel darah merah dan gangguan eritropoiesis.
Komplikasi dapat menyebabkan timbulnya haemoglobinuria (black water fever) dengan
gejala demam, anemia hemolitik, olguria, dan ikterik. Terjadinya gagal sirkulasi atau
syok sehingga didapatkan tekanan darah < 70 mmHg, dan adanya nyeri disekitar perut.

 Chikungunya

6
Chikungunya memiliki gejala yang khas berupa nyeri pada sendi lutut, pergelangan kaki
serta persendian tangan dan kaki, demam mendadak yang dapat mencapai 39 o C, ruam
pada kulit seperti pada demam berdarah, sakit kepala dan sedikit fotofobia. Meskipun
terjadi ruam, namun yang harus diperhatikan bahwa pasien tidak mengalami nyeri yang
menusuk hingga tulang dan persendian pada demam berdarah. Selain itu pada
chikungunya jarang dijumpai pendarahan sebagai manifestasi kebocoran plasma yang
dapat terlihat pada penderita demam berdarah. Chikungunya biasanya tidak akan diikuti
shock seperti akral yang tiba-tiba terasa dingin. Penyakit ini dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa harus menggunakan obat.

Etiologi
Demam dengue ataupun deman berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang
termasuk dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm yang terdiri dari asam ribonukkeat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106. Terdapat empat jenis serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat jenis
serotype ini ditemukan juga terdapat di Indonesia dengan serotype tipe 3 yang paling banyak.
Infeksi oleh satu tipe virus dengue akan memberikan imunitas yang menetap terhadap infeksi
virus yang sama pada masa yang akan datang. Namun, hanya memberikan imunitas
sementara dan parsial terhadap infeksi tipe virus lainnya. Misalnya, seseorang yang telah
terinfeksi oleh virus DEN-2, akan mendapatkan imunitas menetap terhadap infeksi virus
DEN-2 pada masa yang akan datang. Namun, ia tidak memiliki imunitas menetap jika
terinfeksi oleh virus DEN-3 di kemudian hari. Selain itu, ada bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa jika seseorang yang pernah terinfeksi oelh salah satu tipe virus dengue, kemudian
terinfeksi lagi oleh virus tipe lainnya, gejala klinis yang timbul akan jauh lebih berat dan
sering kali fatal. Kondisi inilah, yang menyulitkan pembuatan vaksin untuk penyakit DBD.
Meskipun demikian, saat ini para ahli masih terus berupaya memformulasikan vaksin yang
diharapkan akan memberikan kekebalan terhadap seluruh tipe virus dengue.3

Penularan penyakit DBD juga dipengaruhi oleh interaksi tiga faktor, yaitu sebagai berikut :
(1) Faktor pejamu (Target penyakit, inang), dalam hal ini adalah manusia yang rentan tertular
penyakit DBD. (2) Faktor penyebar (Vektor) dan penyebab penyakit (Agen), dalam hal ini
adalah virus DEN tipe 1-4 sebagai agen penyebab penyakit, sedangkan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus berperan sebagai vektor penyebar penyakit DBD. (3) Faktor

7
lingkungan, yakni lingkungan yang memudahkan terjadinya kontak penularan penyakit
DBD.6

Epidemiologi
Penyakit yang kini kita kenal sebagai DBD pertama dikenali di Filipna pada 1953. Gejala
klinis yang muncul diketahui akibat infeksi virus DEN-2 dan DEN-4, yang berhasil diisolasi
di Filipina pada 1956. Dua tahun kemudian, keempat tipe virus berhasil diisolasi di Thailand.
Selang tiga dekade berikutnya, penyakit DBD ditemukan di Kamboja, Cina, Indonesia, Laos,
Malaysia, Maldives, Myanmar, Singapura, Sri Lanka, Vietnam dan beberapa wilayah di
kepulauan Pasifik. Di Indonesia, penyakit DBD pertama kalidicurigai di Surabaya pada tahun
1968. Namun, konfirmasi pasti melalui isolasi virus baru didapat pada 1970.6

Di Indonesia, penyakit DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968. Namun,
konfirmasi pasti melalui isolasi virus baru didapat pada 1970. Di Jakarta, kasus pertama
dilaporkan pada 1969. Kemudian, DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta
pada 1972. Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada 1972 di Sumatera Barat dan
Lampung, disusul oleh daerah Riau, Sulawesi Utara dan Bali pada 1973. Pada 1974, wabah
DBD dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada 1994, DBD telah
menyebar ke seluruh propinsi (pada waktu itu berjumlah 27 propinsi-penyesuaian di
Indonesia. Saat ini DBD menjadi endemi di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975
penyakit ini telah sampai ke daerah pedesaan. Sejak 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah
melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan terjadinya kasus DBD juga
meningkat. Namun, angka kematian menurun tajam dari 41,3% (1968) menjadi 3% (1984),
dan sejak tahun 1991 angka kematian in istabil di bawah 3%. Sewaktu terjadi wabah,
berbagai tipe virus dengue berhasil diisolasi. Virus dengue tipe 2 dan tipe 3 secara bergantian
merupakan tipe dominan. Di Indonesia virus dengue tipe 3 sangat berkaitan dengan kasus
penyakit DBD derajat berat dan fatal. Penyakit DBD mesti mendapatkan perhatian serius dari
semua pihak, mengingat jumlah kasusnya yang cenderung meningkat setiap tahun. Menurut
data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pada awal 2007 ini saja jumlah penderita
DBD telah mencapai 16.803 orang dan 267 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah
orang yang meninggal tersebut jauh lebih banyak dibandingkan kasus kematian manusia
karena flu burung atau Avian Influenza (AI).6

Patofisiologi
8
Nyamuk Aedes aegepti dan Aedes albopictus membawa virus dengue dan menggigit manusia.
Infeksi pertama kali terjadi dan akan memberikan gejala demam dengue dan ketika terkena
virus dengue untuk kedua kalinya akan menimbulkan gejala demam berdarah dengue. Virus
dengue akan bereplikasi di nodus limfatikus regional dan akan menyebar ke jaringan lain
terutama ke sistem retikuloendotelial dan kulit. Sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1)
aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke
ruang ekstravaskular ;(2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan
menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi trombosit muda dari
sumsum tulang; dan (3) kerusakan sel endotel pembuluh darah akan mengaktivasi faktor
pembekuan. Ketiga faktor diatas akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
kelainan homeostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia dan koagulopati.7

Komplikasi8
Ensefalopati dengue, Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai
syok. Gangguan metabolik seperti hipokalsemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat
menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara,
maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak, sementara
sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue
dapat menembus sawar darah-otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan
dengan kegagalan hati akut. Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak dan alkalosis,
maka bila syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03 - dan
jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan
larutan NaCl(0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan
dexametason 0,5mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna
sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin
K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila
perludiberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas
dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberik
anneomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan
(misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

9
Kelainan ginjal, gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik
walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan
menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi
dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh
karenabilayok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat ter
jadi syokberulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditan
dai penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

Udem paru, adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang
diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan
gambaran udem paru pada foto rontgen dada.

Kerusakan Hati, pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit,
bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkung
iga kanan (arcus costae), derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit.
Untuk menemukan pembesaran hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di
daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri
tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan
adanya perdarahan.

Penatalaksanaan3
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demem dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari
1%. Pemeliharaan volume carian sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika

10
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.7
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersana dengan Divisi
Penyakit Trofik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa
berdasarkan kriteria :7
 Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi.
 Praktis dalam pelaksanaannya.
 Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
1. Protokol 1
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
2. Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%
4. Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
5. Protokol 5
Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok


Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama
pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalansi Gawat Darurat dan juga dipakai
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.7
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:
 Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 – 150.000 pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalansi Gawat Darurat.
 Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

11
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif tanpa syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}
Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :
 Bila Hb, Ht meningkat 10 – 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap
seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan tiap 12 jam.
 Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit > 20%


Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5%. Pada keadan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus
cairan kristaloid sebanyak 6 – 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3 – 4 jam
pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun,
frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus
dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap
membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24 - 48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah
menurun , 20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus
menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBb/jam tetapi bila
keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15
ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan
tanda – tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindroma syok
dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti
terapi pemberian cairan awal.

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa


Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan
hidung / epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,

12
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran
kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah
perdarahan sebanyak 4 – 5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan
pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah,
nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht,
dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit
sebaiknya diulangi setiap 4 – 6 jam.
Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskulat diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa


Bila kita berhadapan dngan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian
cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok
dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan
dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 – 4 liter/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.7
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 – 20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15 – 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100
mHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat disertai diuresis 0,5 – 1
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120
menit kemudian tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60
– 120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24
- 48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis
13
cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma
yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus
terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi.)
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan terutama
dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit
masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam
pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah
renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran,
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan naps, pembesaran hati, nyeri tekan
daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. diuresis diusahakan 2
ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 – 30 ml/kgBB/jam dan kemudian
dievaluasi setelah 20 – 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung
maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berati
terjadi perdarah (internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10
ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10 -
20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10 - 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka
untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan
pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1 -
1,51/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cm H 2O. Bila keadaan tetap belum
teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit,
hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah
sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik /
vasopresor.

Prognosis dan Pencegahan


Prognosis, tergantung dari beberapa faktor seperti : lama dan beratnya renjatan,waktu,
metode, adekuat tidaknya penanganan, ada tidaknya rekuren syok yangterjadi terutama dalam
6 jam pertama pemberian infus di mulai, panas selama renjatan, dan tanda-tanda serebral.2

14
Pencegahan yang dapat dilakukan sangat bergantung pada pengendalian vektornya karena
vaksin untuk DBD belum ditemukan. Hal yang dapat dilakukan antara lain: (1)
Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau menaburkan
bubuk larvasida (abate). (2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air. (3)
Mengubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air. Pemberantasan nyamuk
dewasa dengan pengasapan/fogging dengan menggunakan malathion , fenthion, piretroid
sintetik dan karbamat. Antisipasi juga dapat dilakukan dengan memelihara ikan pemakan
jentik nyamuk bila di tempat tinggal terdapat kolam.9

Kesimpulan
Penyakit demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang
disebarkan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus. Pasien menderita demam berdarah
karena beberapa gejala yang dideritanya seusai dengan gejala penyakit DBD. Lebih tepatnya
ia menderita DBD grade IV dikarenakan terjadinya syok yang di alami olehnya. Cara yang
paling efektif menghindari penyakit ini adalah melakukan pencegahan sedini mungkin
dengan memberantas keberadaan nyamuk Aedes aegpty dan Aedes albopictus.

Daftar Pustaka.
1. Sudoyo AW, Setiyohadi BS, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-1. Jakarta:
Pusat Penerbitan FK UI; 2006: h. 20-3.
2. Tumbelaka AR, Darwis D, Gatot D, dkk. Demam berdarah dengue. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2006: h. 245-50.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi BS, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-3. Jakarta:
Pusat Penerbitan FK UI; 2006: h. 1710-13, 1752-3, 1732-45, 1840-3.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5 jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2009:h. 2773-79.
5. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD. Editor, Asdie AH. Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Jakarta: EGC; 2006: h. 948.
6. Ginanjar G. Demam berdarah. Bandung: PT. Mizan Publika; 2006: h. 6-9, 12-8.
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2005: h. 167-8.
8. Longo DL, Kasper DL, Jameson LJ, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J.
Harrison’sPrinciples of Internal Medicine. 16 ed. New York: Mc-Graw Hill. 2005.
15
9. Departemen Parasitologi FKUI. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2008: h. 265-6.

16

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy