Jurnal STIT
Jurnal STIT
Jurnal STIT
Idrak
Journal of Islamic Education
Dewan Redaksi
Ketua Penyunting
Radinal Mukhtar Harahap
Penyunting Pelaksana:
Tarikh Al Hafizh Hasibuan
Ahmad Fauzi Ilyas
Penyunting Ahli:
Rasyidin
Mukhlis Mubarrok Dalimunthe
Fakhrurrazi Ismail
Supriadi
Hamdan Noor
Abdullah Sani
Administrasi
Hesty Asnita Lubis
Ihdina Khairunnisa
Alamat Redaksi
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ar-Raudlatul Hasanah, Medan
Jl. Setia Budi, Simpang Selayang, Medan Tuntungan
Medan-Sumatera Utara-Indonesia
20135
http://jurnal.stit-rh/index.php/idrak
Vol. 01, No. 2, Juli 2019 ISSN 2655-254X (Cetak)
ISSN 2654-9239 (Online)
Idrak
Journal of Islamic Education
Daftar Isi
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji
Kitab al-Minah al-Saniyah Karangan
Syaikh Abd. Al-Wahab al-Sya’rani 85
Fikriansyah
Abstrak
Noble character is a mirror of someone's personality, besides that noble character will be
able to deliver someone to high dignity. One of the attention of the Messenger of All āh
Muhammad sawis to make his peopleto have good personality. A noble character can be
trained by individuals so that they become characters in themselves, one of the place
which can train individual to doing good morality is by education. Islamic boarding
school education is an educational institution that highly upholds the morals of its
students.Islamic boarding school education in perpetuating moral teaching always comes
from classic books, one of which is the book is Al-Minah al-Saniyyah written by Abd al-
Wahhab al-Sya'rani which is a direct description of the Prophet Muhammad, who was
directly nuked by author of his hadiths. Some types of akhak in it are repentance,
sincerity, resignation, dzikrullah, generous and honest.
A. Pendahuluan
P
ersoalan akhlak menjadi persoalan yang pokok dalam perjalanan kehidupan umat
manusia. Sebabnya adalah akhlak selalu berhubungan dengan tingkah laku
manusia dalam rangka pembentukan peradaban. Tingkah laku manusia menjadi
tolak ukur untuk mengetahui perbuatan atau sikap mereka. Wajar kiranya persoalan ini
selalu dikaitkan dengan persoalan sosial kemasyarakatan, karena ia menjadi simbol
peradaban suatu kelompok manusia.1 Bangsa-bangsa di dunia, yang kini sedang
memasuki era global tanpa sekat-sekat wilayah negara, bahkan ditandai dengan ilmu
pengetahuan, teknologi dan informasi. Arus globalisasi tersebut berdampak pada
penyusupan budaya-budaya (buruk) negara maju terhadap negara-negara sedang
berkembang, khususnya negara-negara Islam. Tak terkecuali bangsa Indonesia serta
bangsa-bangsa lain yang penduduknya didominasi oleh umat Islam. Hal itu semakin
menyingkirkan nilai-nilai moral (akhlak) yang baik dan agama oleh budaya-budaya asing
yang bermental materialis, kapitalis dan hedonis.
1
Zainuddin, Pendidikan Akhlak Generasi Muda, (Tulungagung: STAIN Tulungagung, 2013), h.85.
Dalam sejarah bangsa-bangsa yang diabadikan dalam Alquran seperti kaum „Ad,
Samud, Madyan dan Saba‟, gambaran kaumnya adalah sekelompok orang yang memiliki
serendah-rendahnya akhlak. Ditemukan juga pernyataan dalam buku-buku sejarah yang
menunjukkan bahwa “suatu bangsa yang kokoh akan runtuh apabila akhlaknya rusak”.3
Kerusakan akhlak ini yang yang dijelakan oleh Nabi Muhammad saw. sebagai latar
belakang pengutusannya. Dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Baihaqi dia bersabda:
“sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Keterangan di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa akhlak yang buruk
dapat diubah menjadi baik. Dengan cara-cara yang umum digunakan yaitu melalui
nasihat-nasihat yang didapatkan melalui pendidikan baik formal, non formal atau
informal. Selain alasan di atas, kecenderungan setiap manusia untuk selalu mengarah
kepada yang baik menjadi faktor pendukung untuk bisa diubahnya akhlak. Imam al-
Ghazali mengatakan ”Seandainya akhlak tidak bisa diubah, maka pasti tidak ada
manfaatnya memberikan pesan-pesan, nasehat-nasehat dan didikan”.4
Terkait itu, di antara kitab yang menyinggung masalah akhlak ialah kitab al-Minah
al-Saniyyah yang ditulis oleh Abd al-Wahhab al-Sya‟rani seorang sufi kenamaan asal
Mesir. Kitab ini yang menjadi bahasan pokok tulisan ini.
Nama lengkapnya adalah Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Muhammad ibn Zawfan ibn Syaikh
Musa. Imam al-Sya‟rani adalah seorang sufi asal Mesir yang juga ahli fikih
Syafi‟i.5 Keterangan lain menjelaskan ia adalah seorang ahli fikih perbandingan hanafi.6
Penjelasan lainnya mengatakan bahwa ia menganut Asy‟ariyah dalam teologi dan
Syafi‟iyyah7 dalam fikih. Ia banyak menulis buku-buku tentang fikih dan tasawuf
sebagaimana akan disebutkan di akhir bagian tulisan ini.
2
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2009), h.43.
3
Susiwo, Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibn Miskawaih, (Disertasi), (Jakarta: Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1995), h.1.
4
Al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulûmiddîn, Juz III, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th), h.54.
5
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah, (Bandung: Prangkasa, 2008), h.31.
6
Muhammad Hisyam Kabbani, Ensiklopedia Aqidah Ahlusunah Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta,
Serambi), h.169.
7
Azyumardi Azra, Ensiklopedia, h.31.
Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 87
Kedua orang tuanya meninggal saat ia berumur sepuluh tahun. Oleh sebab itu,
tanggung jawab beralih pada kakaknya, Syaikh Abd al-Qadir. Sebagai seorang terpelajar,
sang kakak membimbingnya dalam suasana keilmuan, kendati hanya beberapa tahun.
Bimbingan orang tua dan kakak al-Sya‟rani meninggalkan pengaruh yang demikian
mendalam dalam perjalanan hidupnya. Kehidupan keluarga dalam suasana kesufian yang
sederhana ternyata telah membangkitkan semangat belajar dan keuletan hidup yang luar
biasa pada diri al-Sya‟rani. Sejak umur 8 tahun ia telah menghafal Alquran9. Ia juga
menghafal Matn Abi Syuja‟, kitab permulaan pelajaran fikih, dan Matn al-Ajrumiyyah,
kitab permulaan tata bahasa arab. Kedua kitab itu dipelajarinya dari kakaknya sendiri,
Abd al-Qadir ibn Ahmad, yang menggantikan ayahnya mengajar di Zawiyah.
Al-Sya‟rani pindah ke Madrasah Umm Khund setelah umur tujuh belas tahun. Di
sana, kepiawaian dan kecerdasannya semakin terlihat. Pengetahuan yang luas telah
membawa keharuman namannya dalam berbagai bidang ilmu keagamaan, sehingga ia
dikenal sebagai seorang ulama yang didatangi oleh para siswa untuk menimba ilmu.
Sri Mulyati mendata bahwa al-Sya‟rani memiliki jumlah guru kurang lebih 50
syaikh. Guru-gurunya tersebut adalah mereka yang selalu mengkombinasikan ilmu dan
amal. Walaupun Sya‟rani tidak pernah sekolah dan tinggal (mujawir) di al-Azhar,
beberapa orang gurunya mempunyai kedudukan sebagai dosen, mufti, dan da‟i di
lembaga pendidikan tersebut. Diantara guru-gurunya adalah Amin al-Din (w. 1523),
pendidik pertamanya di Kairo, murid dari Ibn Hajar al-„Asqalani (w. 1449). Gurunya
yang lain yaitu Hakim Madzhab Syafi‟i (Syaikh al-Islam), Zain al-Din Zakariyya al-
Anshari, murid Muhammad al-Ghamri dan penulis komentar Risalah al-Qusyairiyah.
Beliau juga seorang sufi yang telah membai‟at Sya‟rani menjadi muridnya. 10
Khusus mengenai tarekat, perjalanan ruhani al-Sya‟rani tidak dapat dipisahkan dari
tradisi Syadziliyah dikarenakan Ali al-Khawwas adalah pembimbing ruhaninya yang
merupakan penganut tarekat tersebut. Ia banyak mendapatkan bimbingan ruhani, selain
juga dari Muhammad al-Syinnawi. Selain itu al-Sya‟rani menerima inisiasi (pengajaran)
8
Azyumardi Azra, Ensiklopedia, h.31.
9
Azyumardi Azra, Ensiklopedia, h.95
10
Sri Mulyati.dkk, Hasil Penelitian Kolektif, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta), h. 33
Berikut ini adalah beberapa karya al-Sya‟rani selain yang telah disebutkan di atas:
Al-Jawâhir wa al-Dirar al-Kubrâ, Al-Yawâqit wa al-Jawâhir fi Aqâ‟id al-Akâbir, Al-
Anwar al-Qudsuiyyah fî ma‟rifat qawâ‟id al-Sûfiyyah, Lawâqih al-Anwâr al-Qudsiyah fi
bayân al-„Uhûd al-Muhammadiyah, Al-Kibrit al-Ahmar fî Uluww al-Syaikh al-Akbar, Al-
Qawâ‟id al-Kasfiyyah fî al-Ilâhiyyah, Masyâriq al-Anwâr al-Qudsiyah fî bayân al-„Uhûd
al-Muhammadiyah, Madârik al-Sâfilin Ilâ Rusûm Tarîq al-„Ârifin, Lathâ‟if al-Minan
(kelembutan-kelembutan karuni) dan Mîzân al-Kubrâ.
Akhlak diambil dari bahasa arab yang asal katanya khalaqa– yakhluqu – ikhlaq yang bisa
diartikan al-Sajiyyah (perangai/tabiat/pembawaan/karakter), al-„adat (kebiasaan/
kelaziman), al-murû‟ah (perdaban yang baik).12 Pada pendapat lain akhlak adalah bentuk
jamak dari khulūq yang berarti perbuatan atau penciptaan. Dalam konteks agama, akhlak
bermakna perangai, budi, tabiat, adab atau tingkah laku.13 Kata ini digunakan dalam
Alquran ketika Allah menyatakan keagungan budi pekerti Rasullullah Saw, yaitu dalam
firmannya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.(QS. Al-
Qolam: 4). Ayat di atas mendukung pendapat yang menyatakan akhlak berasal dari kata
khuluq, yang diartikan sebagai budi pekerti.
Dengan pengertian ini, dapat dipahami bahwa Ibn Maskawaih melihat bahwa
perbuatan dapat dikatakan akhlak ketika ia berasal dari hati/jiwa seseorang dan
melakukannya tanpa pertimbangan terlebih dahulu.
11
Sri Mulyati.dkk, Hasil Penelitian Kolektif, h.34
12
Beni Ahmad Saebani, Ilmu akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h.13
13
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2013), h.115
14
Muhammad Yusuf Musa, Falsafatul Akhlâk Fî Al-Islâm, (Kairo: Muassasah Khanji, 1936 M),
h.81.
Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 89
Al-Qurthuby menyatakan pengertian akhlak lebih pada adab, dan adab dapat
diartikan sebagai kebiasaan. Maka akhlak dalam pandangan Al-Qurthuby dimaknai
dengan tindakan-tindakan yang sudah menjadi hal yang sudah biasa dilakukan oleh
seseorang.
Selanjutnya dalam kitab Dairat al-Ma‟arif, secara singkat akhlak diartikan sebagai
berikut:
ُ ََ ْ ْ َ
ِ ُا ِْلان َس ِن ْلا ِب
“Sifat –sifat manusia yang terdidik”.16
Akhlak secara umum terdiri atas dua macam, yaitu akhlak terpuji atau akhlak mulia
(al-akhlaq al-mahmudah/al-akhlaq al-karimah), dan akhlak tercela atau akhlak dibenci
(al-akhlaq al-mazmumah).17 Penggunaan istilah baik dan buruk di atas didukung oleh
pendapat Barmawy yang menyatakan ada dua jenis akhlak dalam Islam, yaitu akhlâqul
karîmah (akhlak terpuji) ialah yang baik menurut syariat Islam, dan akhlâqul madzmûmah
(akhlak tercela) ialah yang tidak baik dan tidak benar menurut Islam.18 Mahjuddin
menambahkan di dalam bukunya Akhlak Tasawuf. Menurutnya, akhlak dilakukan kepada
Tuhan dan manusia serta makhluk tuhan lainnya seperti hewan, tumbuhan dan alam
semesta.19
15
Al-Qurthuby, Tafsir Al-Qurthuby, Juz VIII, (Kairo: Dal al-Sya‟bi, 1913 M), h.6706.
16
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996),h.4
17
Beni Ahmad Saebani, Ilmu akhlak, h.199
18
Barmawi Umary, Materi Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1993), h.196
19
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulis, 2009), h.10
Islam, dasar atau alat ukur yang menyatakan bahwa sifat seseorang itu baik atau buruk
adalah Alquran dan al-Sunnah.20
Ahmad Saebani sedikit berbeda dalam hal ini. Ia menyatakan bahwa landasan
normatif akhlak manusia selain Alquran dan al-Sunnah, adalah adat kebiasaan atau norma
budaya, dan pandangan-pandangan filsafat dan landasan hukum perundang-undangan
yang berlaku di sebuah negara.21 Dikenal beberapa aliran dalam menentukan baik dan
buruk seperti yang ditulis oleh Abuddin Nata, beberapa aliran yang bisa digunakan dalam
menilai baik atau buruknya suatu perilaku, yaitu; Adat-Istiadat (Sosialisme), Hedonisme,
Intuisisme (Humanisme) Utilitarianisme, Vitalisme, Religiosisme, Evolusi (Evolution).22
Rosihan Anwar menuliskan beberapa aliran untuk menentukan baik dan buruk antara lain:
Naturalisme, Hedonisme, Eudaemonisme, Pragmatisme, Vitalisme, Idealisme,
Eksistensialisme, Utilitarisme, Deontologi, Teologis.23
Kedua pendapat diatas secara umum digunakan oleh seluruh umat Islam, karena
tidak bisa di pungkiri, Islam sebagai agama yang inklusif sangat menghargai hasil daya
pikir manusia dan mengakui adanya pengaruh sosial-budaya dari setiap masyarakat.
20
M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.11.
21
Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h.35.
22
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h.90-98
23
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf, h.72-79
24
Muhammad Abdullah Draz, Dustur al-Akhlāq fīal-Qur‟an, (Beirut: Muassasah ar-Risalah Kuwait,
1973), h.687-771.
Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 91
Kitab al-Minah al-Saniyyah merupakan kitab nasihat yang tergolong kitab hadis dan
berisikan wasiat atau pesan Nabi Muhammad saw kepada sayyidina Ali. Wasiat yang
dimaksud di dalam kitab ini mencakup beberapa dimensi, mulai dari dimensi tauhid,
ibadah akhlak hingga dzikir dan doa-doa yang baik untuk diamalkan. Berikut adalah
uraian isi kitab yang memiliki dimensi akhlak ialah sebagai berikut:
a. Bertaubat
Imam Nawawi berpendapat bahwa taubat adalah meninggalkan sesuatu yang tercela
menurut syara‟ menuju sesuatu yang terpuji dan mengetahui bahwa dosa-dosa dan
maksiat menimbulkan kebinasaan dan menjauhkan dari Allah swt dan surga-Nya.26A
Hasan Rahimahullah mengatakan bahwa taubat itu terdiri dari empat tonggak, yaitu
istighfar dengan lisan, menyesal di dalam hati, meninggalkan perbuatan dosa dan tekad
anggota tubuh untuk tidak kembali berbuat dosa.27
Pesan Rasulullah dalam kitab al-Minah al-Saniyyah dalam pembahasan ini adalah:
َ َّن ْ ْ ْ َ ََ
َي َا ٍر ُ ْو َ ِ َّنلل ِا ِ َ َّن ى َي ُس ُ َب َل ُه ِ َ ال َ َ ِاا ِب ِّ ِ ْس ِ ِه
“Hai Ali, tidak ada taubat bagi orang yang bertaubat, hingga ia bisa membersihkan
perutnya dari barang haram dengan mata pencahariannya yang baik”.28
25
A. Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 1999), h.73.
26
Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani, Syarah Tanqihul Qoul, (Semarang: Alawiyah, t.th)
h.38.
27
Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani, Syarah Tanqihul Qoul, h.40
28
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, (Majalengka: Dar al-Ihya, t.th), h.11.
b. Sabar
Makna kata sabar adalah al-man‟u yang berarti menahan dan al-habsu berarti
mencegah.29 Jadi, sabar adalah menahan dan mencegah dari perbuatan yang mengarah
kepada keburukan dalam keadaan sempit. Menurut Syeikh Ibn Qoyyim Al-Jauziyah,
bahwa sabar merupakan budi pekerti yang bisa dibentuk oleh seseorang. Ia menahan
nafsu, menahan sedih, menahan jiwa dari kemarahan, menahan lidah dari rintihan sakit
dan juga menahan anggota badan dari melakukan hal-hal yang tidak pantas.30
Dalam pembahasan sabar terdapat wasiat Rasulullah Saw., kepada Sayyidina Ali
Ibn Thalib, yaitu:
َ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ ي َ َا ُّ َ ل َّن ُ ْو َث َال ُث َا َال َ ا ا َّن ْب ُ َا َ َط َا هللا َت
ِ ا َّن ب ُ ا اْل ِ ي ِ ا َّن ب ُ ا قض ِء
هللا ِ ِ ٍر ِ ِ ِ
“Hai Ali, untuk orang-orang yang sabar itu ada tiga tanda, yaitu bersabar
menjalani ketaatan kepada Alah Swt., bersabar menghadapi musibah dan
berrsabar atas takdir Allah”.31
Menurut Imam al-Qusyairi, sabar itu terbagi kepada beberapa macam: sabar di atas
upaya sebagai hamba dan sabar terhadap sesuatu di luar upaya hamba. Adapun sabar yang
dapat diupayakan yaitu dalam rangka taat menjalankan perintah Allah maupun menjauhi
larangan-Nya. Sementara sabar terhadap sesuatu yang di luar upaya hamba, seperti
kesulitan dalam menggapai hal-hal yang berhubungan dengan hukum-hukum Allah swt.32
c. Ikhlas
29
Al-Raghib al-Ashfahani, Mu‟jam Mufradât Alfâzh al-Qur‟ân, (Beirut, Dar al-Fikr, t.th), h.280.
30
Akhmad Sagir, “Pertemuan Sabar dan Syukur dalam Hati” dalam Studia Insania, Vol.2, No.1,
2014, h.20.
31
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah,h.16.
32
Akhmad Sagir, “Pertemuan Sabar dan Syukur dalam Hati”, h.22.
33
Alwan Khoiri, dkk, Akhlak/Tasawwuf, (Yogyakarta, UIN Sunan kalijaga 2005), h.20.
34
Hasyim Asy‟ari, Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim, terjemahan Tim Dosen Mahad Aly Tebuireng
(Jawa Timur, Pustaka Tebuireng, 2016), h.8.
Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 93
Dalam kitab al-Minah al-Saniyyah, ditemukan pesan nabi bahwa wajib bagi setiap
hamba melakukan suatu amal perbuatan dengan ikhlas dan meniatkan perbuatan yang
dilakukan hanya demi mengharap ridha Allah swt:
َ َ َ َ َ َ
ي َا ِ ُّ ِ ْا َ ْ خأ ِ ً ِ ِله َّنن اَ َي ْق َ ُ َ ْ َن خ ِ ً ِ َو ْ ِ ِه
“Hai Ali, beramal-lah dengan ikhlas karena Allah, karena Allah tidak akan
menerima, kecuali hanya orang yang (amalnya) ikhlas karena Zat-nya”.35
Ikhlas merupakan ruh suatu amal, dan amal kebajikan yang diamalkan seseorang
tanpa adanya niat ikhlas, maka amal yang demikian tidak memiliki ruh dan ditolak oleh
Allah Swt.36 Ketika amal kebaikan yang dilakukan tidak terdapat ruhnya serta tertolak
amal tersebut maka seorang hamba hanya akan mendapat lelah tanpa adanya ganjaran
yang ia terima, sesuai dengan hadits qudsi Rasulullah yang berasal dari Abu Hurairah
yang artinya: “Allah Swt,. berfirman: Aku tidak membutuhkan sekutu ataupun amal syirik
kepada-Ku, barang siapa melakukannya, maka terlepaslah dariku.”
d. Tawakkal
Hakikat tawakkal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah swt serta
membersihkan dari ikhtiar yang keliru dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan
ketentuan.37 Bertawakkal tidak sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah swt. Namun,
harus ada usaha terlebih dahulu oleh orang yang bertawakkal tersebut. Orang yang
bertawakkal harus menyerahkan segala bentuk hasil dari urusannya dan apa yang telah ia
usahakan kepada keputusan Allah swt. Baik atau buruk baginya harus diterima dengan
ikhlas karena pada hakikatnya apa yang ia usahakan masih keliru. Allah swt. berfirman:
ّ ُ ۡم َّن َّن َ َ َ َ َ َ ۡم َ َ َ َ َّن ۡم
ل ِه ِ َّنن ل َه ُي ِ ُّ ْل َل َو ِ ِل َن لو ا ِ اا
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”(QS.
Ali Imran [3]:159).
Dalam potongan hadis yang dinukil pengarang kitab al-Minah al-Saniyyah adalah
sebagai berikut;
َ َ ل َّن لح َث َال ُث َا َال َ ٍرا َي ْ ُل ُح َب ْ َن هللا َ َ ْي َل ُه ب ْ َ َ ا َّن لح َ َي ْ ُل ُح ْي َل ُه ب ْ َ َ َ َي ْ َض ى َّنلل س
ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِِ ِ
ي ْ َض ى ِ َل ْ ِس ِه
“Orang yang sholih itu ada tiga tanda, yaitu memperbaiki(hubungan) antara
dirinya dengan Allah dengan senantiasa melakukan amal shalih, selalu
35
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h.8.
36
Ibnu Athaillah, Mempertajam Mata Hati, (Lamongan, Bintang Pelajar, 1990), h.45.
37
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf, h.93.
memperbaiki agama dengan beramal, dan dia selalu rela kepada orang lain
terhadap yang ia sendiri rela kepada dirinya.”38
Yusuf al-Qaradhawi berkata “Tawakkal adalah bagian dari ibadah hati yang paling
afdhal. Ia juga merupakan akhlak yang paling agung dari sekian akhlak keimanan lainnya.
Tawakkal adalah memohon pertolongan, sedangkan penyerahan diri secara totalitas
adalah salah satu bentuk ibadah”.39 Seorang hamba hendaknya senantiasa berserah diri
(tawakkal) kepada Allah swt., setelah berikhtiar dengan maksimal. Meminta pertolongan
kepada Allah merupakan satu tanda yang menunjukkan bahwa seorang hamba seorang
yang shalih dan satu bentuk ibadah yang disenangi oleh-Nya. Selanjutnya, tawakkal
merupakan hal yang dianjurkan sejak sebelum masa kenabian Nabi Muhammad saw.
Tawakkal hati dapat menjadi tenang tanpa ada ketakutan karena sesuatu sudah
sepenuhnya diserahkan kepada Allah swt.
Dalam kaitannya tentang berdzikir, wasiat Nabi di dalam kitab al-Minah al-
Saniyyah ialah:
Pesan pertama nabi kepada Ali adalah terkait waktu yang afdhal (utama) untuk
melakukan dzikrullah adalah sebelum terbenamnya fajar dan sebelum terbenamnya
matahari. Maka apabila diperhatikan kedua waktu itu adalah setelah wahtu shalat subuh
dan sesudah waktu shalat asar. Dan siapa saja yang melakukan dzikir di waktu tersebut
maka Allah tidak akan menyiksanya dengan api neraka.
38
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h.15.
39
Yusuf al-Qaradhawi, Tawakkal Jalan Menuju Keberhasilan Dan Kebahagiaan Hakiki, (Jakarta:
PTAl-Mawardi Prima, 2004), h.5.
40
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta, PustakaPelajar,
2001), h.158.
41
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h.9.
Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 95
Berkaitan dengan hadits di atas, bahwa berdzikir tiadak hanya dengan bertasbih,
tahmid, takbir atau tahlil semata, tetapi juga ketika hendak melakukan hal-hal sederhana
seperti ketika hendak makan. Rasulullah bersabda dari Aisyah RA yang artinya: “ketika
kamu hendak makan, hendaklah membaca “Bismillah” dan ketika lupa pada awalnya
maka baca bacalah pada akhirnya”. Merupakan suatu keharusan dalam melakukan suatu
perbuatan sesederhana apapun bentuknya dan ketika lupa maka dianjurkan untuk
berdzikir di akhir perbuatan tersebut.
a. Persahabatan
Seorang sahabat tidak akan menyebarkan rahasia apalagi aib (cacat) sahabatnya
kepada orang lain. Hal itu dikarenakan ikatan yang sudah terbentuk akan membuat saling
percaya dan saling menjaga diantara mereka.
Ketiga tanda yang disebutkan Nabi Muhammad di atas mengandung makna bahwa
seorang sahabat akan senantiasa mendahulukan kebaikan sahabatnya. Ia akan selalu
menganggap baik terhadap apapun yang dilakukan atau dimiliki oleh sahabatnya. Seorang
sahabat akan selalu menjaga sahabatnya dan akan senantiasa memuliakannya.
Persahabatan harus dijaga setiap individu karena pada dasarnya manusia tidak bisa hidup
secara individual. Setiap orang membutuhkan oranng lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Begitu juga kebutuhan manusia dengan saudara/sahabat harus dijaga
keeratannya karena mereka yang akan membantu apabila saudaranya mengalami
hambatan atau dalam masalah. Dalam bersahabat hedaklah harus memilih sahabat yang
bisa membawa ke dalam kebaikan dan membawa kepada surga.
b. Kejujuran
Jujur adalah hukum yang sesuai dengan kenyataan, dengan kata lain merupakan
lawan dari bohong.46 Adanya kesesuaian antara apa yang diucapkan seeorang dengan
kenyataan yang berlaku merupakan sikap jujur. Umat Islam dianjurkan berlaku jujur baik
dalam perkataan maupun perbuatan. Benar dalam perkataan berarti mengatakan keadaan
yang sebenarnya, tidak mengada-ada dan tidak pula menyembunyikan.47
44
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h.11.
45
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h.11
46
Jurjani, At-Ta‟rîf (Mesir, Dar Al-Fadhilah, 1369 H), h.132.
47
M. Ali hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.44.
Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 97
Dalam penjelasan tentang jujur ditemukan beberapa pesan Nabi Muhammad Saw.,
di dalam kitab al-Minah al-Saniyyah, di antaranya:
َ ْ ََ َ ُ َ َ َ
ْ ِ ْب َ ْن ن َ َ ِف ا َ ِ ِ َّنن ُه:ِ ِ َ َا َي َا ِ ُّ أ ْ ِ ْ َ ِ ْن َ َّن َ ِف ا َ ِ ِ َّنن ُه َي ْل َ ِف
َ ُّ ُ َ
ِ ِ يض ِف
“Hai Ali, berlaku jujurlah, meskipun membahayakanmu di waktu dekat, karena
sesungguhnya hal itu dapat memberi manfaat kepadamu di masa akan datang.”48
Berlaku jujur akan berdampak pada kepercayaan seseorang untuk masa yang akan
datang. Seperti seseorang yang berdagang dengan jujur, maka pembelinya pasti akan
merasa senang. Kemudian, layaknya Rasulullah yang senantiasa berkata jujur hingga
mendapat gelar al-Amin ketika kecil, maka orang-orang akan terus percaya dengan apa
yang dikatakannya hingga ia di hari-hari selanjutnya.
c. Dermawan
Dermawan adalah iklas memberi, menolong atau rela berkorban di jalan Allah baik
dengan harta bahkan dengan jiwa dan raganya baik berupa berbentuk uluran tangan untuk
bersedekah, infak, zakat, dan sebagainya.50 Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Imran: 92
yang artinya:“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Disebutkan bahwa menafkahkan
harta yang dicintai merupakan ibadah yang memiliki nilai kebaikan sempurna. Ini
dikarenakan sulitnya seseorang ketika harus berbagi kepada orang lain terhadap harta
yang telah didapatkan dengan usahanya.
48
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah,h.10.
49
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah,h.15.
50
Fifi Nofiaturrahmah, “Penanaman Karakter Dermawan Melalui Sedekah” dalam Jurnal Zakat dan
Wakaf, Vol. 4, No.2. 2017, h.316
“Hai Ali, sesungguhnya para wali Allah tidak mendapat keluasan rahmat Allah
dan keridhaan-Nya dengan sebab banyak beribadah, akan tetapi mereka
memperolehnya dengan jiwa dermawan dan menganggap rendah terhadap dunia.51
d. Menjaga lisan
Lisan merupakan alat indra yang berfungsi sebagai alat pengecap rasa dan juga alat
untuk berbicara. Menjaga lisan berarti memelihara serta merawat lisan/lidah dari
perkataan perkataan yang jelek agar lisan tetap berada pada keadaan yang baik yaitu
dengan selalu berucap hal-hal yang baik. Allah Swt., berfirman dalam QS. Qâf: 18) yang
artinya: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir. Ini merupakan peringatan bagi setiap manusia agar
dapat memelihara lisannya dari perkataan-perkataan kotor dan perkataan yang dapat
51
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 6.
52
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 7.
53
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 8.
54
M. Abdul Mujieb, Syafiah, Ahmad Ismail, Ensiklopedia Tasawuf (3rd ed) (Jakarta Selatan:
Hikmah, 2009), h.79.
Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 99
menyakiti orang lain. Karena setiap perkataan yang terlontar dari lidah akan dicatat oleh
malaikat yang bertugas mencatat amal kebaikan dan keburukan yang kita lakukan.
Wasiat Nabi Muhammad kepada Ali Ibn Abi Thalib dalam kitab al-Minah al-
Saniyyah ialah sebagai berikut:
َ ْ َ َّن ْ َ َ َ ْ َّن َ ْ ََ ْ َ َ َت ْ ُ أ َ ً ا ب
َ ِ ْ ِه َ ٌل َ َّن َ ة ِ ل ِ ْ َ ِ َي ْس َل ِ ل ُه أ ْ َي ْس َل ِ ْ ُه ِ ل ٍر ِه ِ
“Jangan engkau menjelek-jelekkan seseorang karena kejelekan yang ada pada
dirnya, karena tidaklah dari daging, melainkan di dalamnya terdapat tulang.”55
Maksud wasiat Nabi Muhammad di atas adalah larangan untuk mencela seseorang
karena kekurangan yang dimilki. Misalnya: seseorang yang memilki kekurangan fisik
dengan terlahir dalam keadaan tuna netra (buta), tuna rungu (tuli) atau cacat di bagian
lainnya. Karena pada hakikatnya tak ada manusia yang terlahir sempurna walaupunia di
sisi lain adalah sesempurnanya makhluk ciptaan-Nya. Begitupun sebaliknya, dalam hal
kelebihan.
Seseorang lebih dianjurkan untuk berdiam daripada berkata yang tidak sepantasnya
diucapkan, seperti yang diterangkan pada hadis dari Abu Hurairah, yaitu ketika Nabi
saw., bersabda “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka
hendaklah ia berkata baik atau diam. (HR. Bukhari)”
Pada wasiat yang kedua ini, Rasulullah mengabarkan bahwa lidah/lisan merupakan
anggota badan yang memiliki keutamaan. Lisan dapat mengantarkan seseorang ke dalam
surga atau ke dalam neraka. Ketika lisan digunakan untuk hal kebaikan seperti saling
menasihati sesama umat Islam dalam kebaikan dan taqwa, atau seseorang yang selalu
membanjiri lisannya untuk membaca Alquran. Namun sebaliknya, ketika lisan dilakukan
untuk mencela orang, mencaci, menghardik dan digunakan untuk membicarakan aib
seseorang, maka mereka akan masuk ke dalam neraka.
55
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 11.
56
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 12.
“Lidah memang tak bertulang” itulah pepatah yang sering diucapkan orang. Itu
menunjukkan bahwa bahaya yang diakibatkan oleh lidah sangat besar. Betapa banyak
petaka-petaka besar yang hanya berawal dari ucapan yang kurang diperhitungkan. Betapa
banyak jiwa yang melayang akibat sebuah perkataan. Banyak dari kaum muslimin yang
kurang memperdulikan ucapan-ucapannya, apakah ucapannya itu mendatangkan Ridha
Allah atau malah mendatangkan murka-Nya.57 Maka sudah selayaknya seorang hamba
untuk berhati-hati dalam bertutur kata, karena ditakutkan akan timbul banyak keburukan
yang dihasilkan karena perkataan dari lisan.
e. Malu
Hakikat malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan semua
yang buruk, menghalanginya dari ketidaksungguhan dalam menunaikan hak kepada yang
berhak.58 Malu merupakan sikap emosional seseorang yang dialami akibat sebuah
tindakan yang dilakukan sebelumnya, kemudian ingin ditutupi dan mendorong seseorang
untuk meninggalkan perbuatan yang telah dilakukannya tersebut.
Dalam al-Minah al-Saniyyah pengarang menukil satu hadits nabi terkait sikap malu
yang berbunyi:
ْ ْ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ َ ْ ُ ُّ ُ ُ ْ ّ ُّ َ َ
أس َ َ َ َوى َ ا َ َ َ َ َ َع
َ ظ ا َّن ي ا ِ ا ِ ن له ِف ال ِء هو أن ي إل
“Hai Ali, Agama seluruhnyaitu ada di sikap malu, yaitu hendakah menjaga kepala
dan apa yang diwadahinya, dan (menjaga) perut dan apa yang ditampungnya.”59
Pesan Nabi di atas menerangkan bahwa malu merupakan sikap yang tidak hanya
diajarkan di dalam agama Islam saja, tetapi agama lain diluar Islam juga menganjurkan
penganutnya untuk memiliki rasa malu. Malu yang dimaksudkan disini ialah malu ketika
melakukan kesalahan dan melanggar perintah Allah swt. namun, seseorang tidak
diperkenankan merasa malu ketika melakukan sebuah tindakan yang dibenarkan.
Umat Islam dianjurkan memilki sifat malu untuk melindungi dirinya dari perbuatan
yang memalukan. Perbuatan memalukan dapat diartikan ketika melalaikan kewajban dan
melakukan hal yang dilarang Allah swt.
E. Kesimpulan
Dalam tradisi pesantren, dari perkembangan pertamanya hingga saat ini masih konsisten
untuk mempelajari kitab-kitab klasik. Mereka memelajari setiap dimensi dalam agama
Islam mulai dari aqidah, akhlak, sejarah, tafsir hingga ilmu kebahasaan. Kitab al-Minah
al-Saniyyah karya Syaikh Abd al-Wahhab al-Sya’rani adalah salah satu kitab yang
menjadi rujukan banyak pesantren di Indonesia. Cakupan dalam kitab tersebut pada
57
Heru Yulias Wibowo, Menjaga Lisan, (Cikarang, An-Nashihah, 2016), h.5.
58
M. Al-Muqodam, Malu Kunci surgamu, (Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2016), h.7.
59
Abd al-Wahhab al-Sya‟rani, al-Minah al-Saniyyah, h. 12.
Jurnal Idrak
Materi Pendidikan Akhlak Terpuji Kitab Al-Minah Al-Saniyyah | 101
Adapun beberapa nilai akhlak pada kitab al-minah al-Saniyyah ini yang mencakup
akhlak kepada Allah swt. dan akhlak kepada sesama manusia. Materi akhlak terpuji
kepada Allah swt., yang terdapat di dalam kitab al-Mināh al-Saniyyah adalah bertaubat,
sabar, ikhlas, tawakkal dan zikrullah. Sedangkan materi akhlak terpuji kepada sesama
manusia adalah memberi nasehat, rasa persaudaraan, kejujuran, dermawan, menjaga
lidah (perkataan) dan malu.
F. Referensi
Jurnal Idrak
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Ahmad Zaki Muntafi
moentafy@gmail.com
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Abstrak
A. Pendahuluan
E
ksistensi pendidikan Islam dalam perkembangan modernisasi menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan dan masif. Dalam pandangan Ahmad Munir
Mulkhan, modernisasi dalam bidang pendidikan adalah bagian terpenting dari
modernisasi sosial, ekonomi dan politik.1 Itu berarti, untuk mewujudkan modernisasi di
bidang sosial, ekonomi, dan politik, harus dilakukan modernisasi di bidang pendidikan
terlebih dahulu sebagai prioritas mewujudkan masyarakat urban yang terdidik.
Selain itu, kajian dan pengembangan tentang pendidikan Islam semakin gencar
dilaksanakan. Itu karena implementasi pendidikan Islam juga semakin meluas secara
global. Pendidikan Islam dianggap sebagai pendidikan yang selaras dengan zaman dan
diidentikkan dengan basis intelektual dan spiritual. Meski demikian, ia masih memiliki
persoalan, mulai dari yang bersifat fondasional ataupun operasional, yang belum
terselesaikan dengan baik.2 Persoalan ini yang kemudian terus dikaji solusinya agar,
1
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan dan
Dakwah,(Yogyakarta: SI Press, 1993), h. 123
2
Ahmad Fauzi, “Model Manajemen Pendidikan Islam: Telaah atas Pemikiran dan Tindakan Sosial”,
At-Ta’lim: Jurnal Pendidikan, Vol. 2, No. 2, 2016, h. 1
sebagaimana dikemukakan oleh Syafi’i Ma’arif, fungsi pendidikan sebagai hal yang
membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan,3 dapat diwujudkan.
Terkait itu, maka, merujuk kembali kepada Alquran dan Hadis, di mana di
dalamnya termuat esensi ajaran Islam yang perlu dimanifestasikan dalam pendidikan
Islam secara nyata dan berkelanjutan, perlu untuk dipertimbangkan. Hal ini, di antaranya,
terkait dengan bagaimana menyusun dan mengkonsep manajemen pendidikan Islam
secara teologis dan humanis. Itu karena pada dasarnya konsep manajemen pendidikan
Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Fauzi, adalah rangkaian kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pengevaluasian, dan pengelolaan dalam pendidikan Islam
yang berpedoman pada nilai-nilai Alquran dan Hadis.4
Nilai-nilai yang ada di dalam Alquran dan Hadis itu yang diharapkan mampu
memberikan perubahan dan pembaharuan secara signifikan terhadap kegiatan manajerial.
Dalam hal ini, melalui kepemimpinan yang kuat (strong leadership), nilai tersebut
diharapkan mampu memiliki konsepsi yang berbeda dengan manajemen pendidikan pada
umumnya.5 Oleh sebab itu, tulisan ini akan menguraikan manajemen pendidikan Islam
secara komprehensif dan mapan dalam sudut pandang dan pendekatan Alquran.
Kata manajemen secara etimologis berasal dari kata managio yang berarti kepengurusan
atau managaire yaitu melatih dan mengatur langkah-langkah, atau dapat berarti getting
done through other people. Ada juga yang berpendapat bahwa kata manajemen berasal
dari bahasa Inggris to manage.6 Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) menajemen berarti pengunaan sumber secara efektif untuk mencapai sasaran. 7
3
Syafi’i Ma’arif, Peta Intelektual Muslim Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), h. 40
4
Ahmad Fauzi, h. 4
5
Gary Yuki, Kepemimpinan dalam Organisasi, (Jakarta: Prenhallindo, 1994), h. 2
6
Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang:
AM.Publishing,2012), h. 87
7
Hasan Alwi dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 588
8
Tim Disen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), h.
86
9
George R. Terry, Principles of Management, (New York: Irwin, 1956), h. 6
Jurnal Idrak
Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Alquran | 105
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt adalah pengatur (manager) utama atas
alam. Keteraturan yang ada di alam raya ini merupakan bukti kebesaran-Nya dalam
mengelola. Dalam hal itu, pada diri manusia diembankan juga tugas sebagai khalifah di
10
Ahmad Fauzi, h. 4
11
George R.Terrydan Leslie W. Rue, Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta: PT.Bumi Akasara, 2003),
h. 1
12
Sulistyorini,Manajemen Pendidikan Islam: Konsep, Strategi dan Aplikasi, (Yogyakarta: TERAS,
2009), h. 7
13
Sulistyorini, h.10
14
Sulistyorini, h.13
15
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 11
16
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010),h. 259-261
bumi. Secara tidak langsung manusia berkewajiban mengatur alam dan bagian yang ada
di dalamnya dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah Swt. telah mengaturnya. Pada
tataran inilah manusia juga berfungsi sebagai manajer yang melaksanakan konsep
manajemen.
Pelaksanaan manajemen pendidikan Islam semestinya mengikut acuan dan arah yang
jelas. Hal ini menjadi indikator penting dalam menyukseskannya di dalam implementasi
nyata. Pada dasarnya implementasi ini memiliki tujuan yang konkrit. Tujuan
dilakukannya manajemen dalam pendidikan Islam adalah agar pelaksanaan usaha
pendidikan Islam terencana secara sistematis dan dapat dievaluasi secara benar, akurat
dan lengkap sehingga mencapai tujuan secara produktif, berkualitas, efektif dan efisien.17
Di sisi lain, fungsi manajemen pendidikan Islam terdiri dari empat hal, yakni
planning, organizing, actuating dan controlling, atau yang biasa disingkat menjadi
POAC. Planning (perencanaan) merupakan kegiatan sistematis merancang sumber daya
yang ada, meliputi apa yang akan dicapai (diidealkan), merumuskan metode dan tata cara
untuk merealisasikannya dengan seoptimal mungkin, serta kegiatan yang perlu dilakukan
untuk mencapai tujuan dan memilih pelaksana kegiatan yang tepat bagi usaha pencapaian
tujuannya. Dalam hal itu, ada lima kegiatan yang perlu dilakukan, yaitu: (1) menetapkan
tentang apa yang harus dilakukan, kapan dan bagaimana melakukannya; (2) membatasi
sasaran dan menetapkan pelaksanaan-pelaksanaannya melalui proses penentuan target;
(3) mengumpulkan dan menganalisa informasi; (4) mengembangkan alternatif-alternatif;
dan (5) mempersiapkan dan mengomunikasikan rencana-rencana dan keputusan-
keputusan.18
17
Tim Disen Administrasi Pendidikan UPI, h. 88-89
18
Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, h. 126-130
19
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h.272
Jurnal Idrak
Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Alquran | 107
20
Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, h. 138
21
Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, h. 140-141
22
Muhammad Ilyasin dan Nanik Nurhayati, h. 144
23
Ahmad Afan Zaini, “Urgensi Manajemen Pendidikan Islam”, Jurnal Ulumul Qura, Vol 5, No. 1,
2015, h. 28-30
24
Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h.12
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. al-Hasyr: 18)
Menurut Muhammad Ali al-Shabuni, yang dimaksud dengan “wal tandzuru nafsun
mâ qaddamat li ghadin“ adalah hendaknya masing-masing individu memperhatikan
amal-amal saleh apa yang diperbuat untuk mengahadapi Hari Kiamat.26 Ayat di atas
memberikan arahan kepada setiap orang yang beriman untuk mendesain sebuah rencana
apa yang akan dilakukan kemudian hari. Tentunya ketika menyusun rencananya tidak
dilakukan hanya untuk mencapai tujuan dunia semata, tetapi harus lebih jauh dari itu,
yakni melampaui batas-batas target kehidupan duniawi.27 Oleh sebab itu, landasan
teologis dalam pendidikan Islam sebagai parameter dalam penentuan masa depan peserta
didik adalah mewujudkan spiritualitas yang akan menunjang kehidupan di akhirat kelak.
25
Abdurrahman Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta: Gema
Insani, 1995), h. 116
26
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafsir, (Beirut: Dar al Fikr, t.t.), h. 355
27
Ahmad Afan Zaini, h. 33
Jurnal Idrak
Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Alquran | 109
Suatu contoh perencanaan yang gemilang dan terasa sampai saat ini adalah
peristiwa khalwat Rasulullah di gua Hira. Pada dasarnya, tujuan Rasul berkhalwat dan
bertafakkur dalam gua adalah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi pada
masyarakat saat itu. Selain itu, kegiatan khalwat dan tafakkur juga mendatangkan
ketenangan dalam diri, serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, mencari
jalan memenuhi kerinduan akan kebenaran yang selalu makin besar, dan mencapai
ma’rifat, serta mengetahui rahasia alam semesta.28
“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu dan
berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. al-Hajj: 77)
Dalam kaitannya dengan ini, Rasulullah saw. telah mencontohkan ketika memimpin
peperangan Uhud. Saat itu pasukan Islam berhadapan dengan pasukan kafir Quraisy
didekat gunung Uhud. Rasul mengatur dan memberikan strategi peperangan dengan
sempurna, yakni dalam hal terkait penempatan pasukan. Beberapa orang pemanah
ditempatkan pada suatu bukit kecil untuk menghalang majunya musuh. Dengan
perencanaan tersebut awalnya musuh mengalami kekalahan, sehingga sebagian kabur.
Namun, rencana itu kemudian tidak berjalan sempurna ketika pemanah Muslim
meninggalkan pos-pos mereka di bukit untuk mengumpulkan barang rampasan. Musuh
yang justru mengambil kesempatan dan menyerang pasukan perang Muslim dari arah
yang direncanakan. Banyak dari kaum Muslim yang mati syahid dan bahkan Rasul
terluka parah.29
Contoh pelaksanaan dari fungsi ini juga terlihat dalam pribadi agung dan luhur diri
Rasulullah saw., Ia adalah orang yang memerintahkan sesuatu pekerjaan, dan menjadikan
dirinya sebagai model dan teladan bagi umatnya. Rasulullah adalah Alquran yang hidup
28
M. Ma’ruf, “Konsep Manajemen Pendidikan Islam dalam Al-Qur’an dan Hadis”, Didaktika
Religia, Vol. 3, No. 2, 2015, h. 24
29
M. Ma’ruf, h. 27
(the living Qur’an).30 Dalam dirinya tercermin semua ajaran Alquran yang menjadi
realitas kehidupan. Oleh karena itu, melalui tauladan dari pribadi Rasul, para sahabat
dimudahkan dalam mengamalkan ajaran Islam.
Pada dasarnya dalam Alquran pengawasannya bersifat transendental. Dalam hal ini,
pengawasan bersumber langsung dari Allah swt. Adanya penghayatan akan pengawasan
ini akan memunculkan inner dicipline (tertib diri dari dalam).31 Oleh karenanya,
implementasi nyata pengawasan atas dasar Alquran memberikan nuansa teologis bahwa
sesungguhnya Allah swt. sebagai pengawas mutlak. Sedangkan, manusia hanya sebagai
pengawas pengganti.
Pertama, fleksibel, yakni tidak kaku atau bersifat lentur, sehingga mudah
dilaksanakan. Imam Suprayogo berpendapat bahwa sekolah atau madrasah akan dapat
meraih prestasi unggul justru karena fleksibilitas pengelolaannya dalam menjalankan
tugas-tugasnya.33 Ayat Alquran yang berkaitan dengan itu terlihat dalam surat al-Baqarah
ayat 185
ُي ي ُي ى َّسال ُي ى ُي ُي ى َأْلاا ُي َأْلال َد ى َد َد ى ُي ي ُي ى ُي ُي ى َأْلاا ُي َأْلال َد
ِم ِم ِم ِم
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (Q.s. al-Baqarah/2: 185)
Kedua, efektif dan efisien. Menurut Made Sidarta, pekerjaan yang efektif adalah
pekerjaan yang memberikan hasil seperti rencana semula, sedangkan pekerjaan yang
efisien adalah pekerjaan yang megeluarkan biaya sesuai dengan rencana semula atau lebih
rendah. Biaya yang dimaksud dapat berupa uang, waktu, tenaga, orang, material, media
dan sarana.34 Dalam pandangan M. Yacoeb, kata efektif dan efisien selalu dipakai
bergandengan dalam manajemen. Hal ini karena manajemen yang efektif saja sangat
30
M. Ma’ruf, h. 29
31
M. Ma’ruf, h. 29
32
M. Yacoeb, “Konsep Manajemen Dalam Perspektif Alquran Suatu Analisis dalam Bidang
Administrasi Pendidikan”, Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol. XIV, No. 1, 2013, 47-89, h. 83
33
Imam Suprayogo, Reformulasi Visi Pendidikan Islam, (Malang: STAIN Malang Press, 1994), h.74
34
Made Sidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1999). h. 4
Jurnal Idrak
Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Alquran | 111
Ketiga, terbuka, yang bukan saja dalam memberikan informasi yang benar, tetapi
juga mau memberi dan menerima saran atau pendapat orang lain. Terbuka dalam hal ini
kepada semua pihak, terutama staff dalam rangka mengembangkan diri sesuai dengan
kemampuannya, baik dalam jabatan maupun bidang lainnya.36 Kunci utama dalam
keterbukaan adalah sikap jujur dan adil yang harus bergandengan secara langsung.
Adapun ayat Alquran yang menyeru umat manusia untuk berlaku jujur dan adil adalah
surat al-Nisa ayat 58:
َّس َأْلا َد َد ُي
ىح َأْلا ُي َأْلا ى َد َأْلا َداى ا َّس ِمسى َأْلااىا َأْلاح ُي ى ِم ا َد َأْلا ِملىۚ ى ِم َّساى ال َد ى
َد َد ٰ َد َأْلا َد َد َد َد َد
ِمتى ِم ى ه ِمله ى ِم ذ ۞ى َّساى َّسال َد ى َد َأْلاأ ُي ُي ُي َأْلا ى َد َأْلاا ُيىا َدؤ ُّد ى َأْلا َد َد
ِم
َّس َد ُي ُي
ى َد ِم َأْلا ى ِم ِم ىۗى ِم َّساى ال َد ى َداى َد ِم ً ى َد ِمص ًي ِمن ِم َّس
pendidikan Islam tampil melalui tujuan yang sarat dengan konsepsi ketuhanan.38
Manifestasi akan konsepsi ketuhanan akan melahirkan nuansa teologis yang luhur.
E. Kesimpulan
Implementasi manajemen pendidikan Islam sejatinya selaras dengan nilai-nilai yang ada
di dalam Alquran sebagai pijakan teologis dalam Islam. Eksistensi Alquran sebagai
pijakan utama dalam pendidikan Islam juga menunjukkan kontribusi yang nyata.
Pendidikan Islam sudah seharusnya untuk selalu kembali dan selalu berpijakan pada
eksistensi ajaran Alquran tentang pendidikan. Manajemen pendidikan dalam perspektif
Alquran telah menjadi batu loncatan penting dalam menyelesaikan persoalan yang
membelengu pendidikan Islam, sehingga merawat manajemen pendidikan Islam dengan
tetap berpegang teguh kepada Alquran menjadi mutlak dilaksanakan.
F. Referensi
38
Abdurrahman Nahlawi, h. 131
Jurnal Idrak
Manajemen Pendidikan Islam Perspektif Alquran | 113
Jurnal Idrak
KONSELING ISLAMI DAN KULTUR
PESANTREN
M. Syukri Azwar Lubis
msyukriazwarlubis@gmail.com
Fakultas Agama Islam Universitas Al-Washliyah Medan
Abstrak
Konseling Islami sebenarnya bukan hal yang baru sebagai sebuah pendekatan yang
secara langsung menyentuh kehidupan psikis manusia. Ia sejatinya telah ada sejak zaman
Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, fenomena konseling Islami dan korelasinya
dengan Pondok Pesantren juga bukan sesuatu yang baru. Para kiyai merupakan tokoh
kunci dan ajengan yang menjadi pusat tempat bertanya dan mengadu para santri dan
masyarakat. Berbagai problematika yang dihadapi mulai dari masalah keluarga,
pendidikan, masalah jodoh, kegelisahan jiwa, hingga gangguan psikis yang dalam
kategori kronis selalu dihadapkan pada seorang kiyai. Dengan demikian keberadaannya
dapat menjadi sebuah alternatif bagi peradaban masyarakat sekitar.
A. Pendahuluan
B
imbingan dan konseling merupakan alih bahasa dari istilah inggris guidance dan
counseling. Konseling sebagai suatu profesi pada awalnya berasal dari Amerika,
yaitu ketika 1986 terungkap – a psychological counseling clinic was establised
by Lightner Witmer at the University of Pennysylvania.”1 Shertzer dan Stone mencatat
bahwa konseling mulai ada pada tahun 1898 melalui ungkapan, “Counseling may have
begun in 1989 when Jesse B. Davis begun work as a counselor at Central High School in
Detroit, Michigan.”2 Meskipun kedua kutipan di atas menyajikan data yang sama kuat
dan jelas, yang terakhir tampak lebih praktis karena adanya keterangan seorang konselor
yang bertugas dan tidak sekedar mendirikan klinik.
1
John J. Pietrofesa, et.al., Counseling: Theory, Research, and Practice (Chicago: Rand McNally
College Publishing Company, 1978), h. 11.
2
Bruce Shertzer dan Shelly C. Stone, Fundamentals of Counseling (Boston: Hougton Mifflin
Company, 1974), h. 22.
diberikan pertolongan agar mereka dapat mengenal dan memahami berbagai kekuatan
dan kelemahan yang ada pada dirinya dengan tujuan agar dapat dipergunakan secara
intelegen dalam memilih pekerjaan yang tepat bagi dirinya.4
4
Saiful Akhyar, Konseling Islami, h. 14.
5
Andi Mappiare, Pengantar Bimbingan dan Konseling di Sekolah (Surabaya: Usaha Nasional,
1984), h. 100-120. Lihat juga dalam Andi Mappiare, Pengantar Konseling dan Psikotrapi, cet. 1, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1992), h. 10.
6
Kuratif merupakan suatu kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit,
pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit atau pengendalian kecacatan agar
kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
7
Korektif merupakan sebuah tindakan yang dilakukan setelah terjadinya pelanggaran peraturan,
tindakan ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya pelanggaran lebih lanjut sehingga tindakan di masa
yang akan datang sesuai standar.
8
Tohari Musnamar, Urgensi dan Asas-asas Bimbingan dan Konseling Islami (Yogyakarta: UII,
1997), h. 123
Jurnal Idrak
Konseling Islami dan Kultur Pesantren | 117
2. Layanan bimbingan dan konseling umum hanya didasarkan pada pikiran manusia
semata. Semua teori bimbingan dan konseling yang ada hanya didasarkan atas
pengalaman-pengalaman masa lalu, sedangkan Islam mendasarinya dengan
Alquran dan sunnah Rasul di samping aktivitas akal dan juga pengalaman
manusia.
3. Konsep layanan bimbingan dan konseling umum tidak membahas adanya
kehidupan sesudah mati, sedangkan konsep layanan bimbingan dan konseling
Islami meyakini keberadaannya. Begitu juga dengan kaitan kondisi manusia
terkait pahala dan dosa. Umum tidak mengkaitkannya sedangkan Islam
membahasnya.
Dari titik perbedaan yang cukup mendasar tersebut di atas, para ahli kemudian
merumuskan definisi bimbingan dan konseling Islami, diantaranya:
1. Tohari mengartikan bimbingan dan konseling Islami sebagai suatu proses
memberi bantuan terhadap individu agar menyadari kembali eksistensinya
sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan
petunjuk Allah swt, sehingga dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.14
2. Yahya Jaya menyatakan bahwa bimbingan dan konseling Islami merupakan
pelayanan bantuan yang diberikan oleh seorang konselor agama kepada manusia
yang mengalami masalah dalam hidup keberagamaannya seoptimal mungkin,
baik secara individu maupun kelompok, agar menjadi manusia yang mandiri dan
dewasa dalam beragama, dalam bidang bimbingan akidah, ibadah, akhlak, dan
muamalah, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung yang
berdasarkan keimanan dan ketaqwaan kepada yang tercantum dalam Alquran
maupun Hadis.15
3. Ainur Rahim Faqih mengartikan bahwa bimbingan dan konseling Islami adalah
proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan
ketentuan dan petunjuk Allah swt, sehingga dapat mencapai kebahagiaan dunia
maupun akhirat.16
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling
Islami merupakan suatu usaha yang dapat dilakukan dalam rangka mengembangkan
potensi dan pengentasan masalah yang dialami konseli atau klien agar dapat mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat berdasarkan ajaran Islam. Dengan melekatkan kata Islami
setelah bimbingan dan konseling diharapkan secara langsung tergambar karakteristik dan
identitasnya yang bermuara pada nilai-nilai yang Islami.
Lagi pula, jika ditelusuri melalui Alquran dan hadis, bimbingan dan konseling
Islami mempunyai landasan yang kuat, yang bersifat filsafat dan keilmuan. Di antaranya
14
Tohari, Asas, h. 133
15
Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental (Jakarta: YPI Ruhama, 1999),
h. 67
16
Ainur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling Dalam Islam (Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia, 2001), h. 97
adalah ketika Alquran memperkenalkan dirinya sebagai obat bagi manusia dalam QS.
Al-Isra: 82.
َو ٌء َو َو ْل َو ٌء ْل ُن ْل َو َو َو َو ُن َّظ
ً الاا َوآ َّظ َوخ َوسا َو ُن َو ِّز ُن َو ْلا ُن ْل آ َو ا ُن َو
ي ۙآ ا اا
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-
orang yang zalim selain kerugian.
B. Kultur Pesantren
17
Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren
di Masa Depan (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 16.
18
Ibid., h. 18.
19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES,
1982), h. 18.
20
Ibid.
21
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, cet. 3, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h.
279.
22
Manfred Ziemek, Pesantren Islamiche Bildung In Sozialen Wandel, Butche B. Soendjojo, (terj.),
(Jakarta: Guna Aksara,1986) h. 16.
23
Ictiar Baru Van Houve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Houve, 1993) h. 107.
Jurnal Idrak
Konseling Islami dan Kultur Pesantren | 119
beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen
dalam segala hal.24 Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya
sarat dengan pendidikan Islam yang dipahami dan dihayati serta diamalkan dengan
menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup.25
Berangkat dari beberapa pengertian tentang pondok pesantren di atas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam
yang terdiri dari komplek yang di dalamnya terdapat seorang kyai (pendidik), yang
mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana-sarana seperti masjid
yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung dengan
adanya asrama atau pondok sebagai tempat tinggal para santri.
24
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi
(Jakarta: Erlangga, 2002), h. 2.
25
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren:Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sisten
Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Seri INIS XX, 1994), h. 6.
26
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001),
h.3.
27
Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 44.
Kehadiran pesantren sebagai pusat pendidikan Islami yang memegang teguh prinsip
syariat islam dan konseling Islami sebagai metode dalam menggiring dan membentuk
kepribadian para santri. Eksistensi pesantren sebagai lembaga yang memiliki kultur dan
iklim yang Islami diharapkan akan mampu membawa angin segar di tengah-tengah krisis
moral dan karakter zaman modern yang semakin hari kian menggerus moral dan
kepribadian anak bangsa ini. Dengan itu, santri diharapkan mampu menjadi manusia yang
seutuhnya sesuai dengan maksud penciptaannya, yaitu menjadi khalifah di muka bumi
dan ‘âbid kepada Allah swt.
Beberapa ahli berpendapat bahwa masa remaja sebagaimana yang dilalui oleh para
santri merupakan masa stress sehingga pada masa ini sering timbul dalam diri mereka
konflik atau pertentangan antara dominasi dan peraturan, tuntutan orang tua dan
kebutuhan. Hal ini juga yang diharapkan mampu untuk dicari jalan keluarnya melalui
bimbingan konseling Islami.
Kehidupan serta budaya di lingkungan pesantren yang sangat kental dengan nilai
religi, selain kedisiplinan serta ketaatan terhadap peraturan yang berlaku menjadi salah
satu semangat yang selalu diterapkan di pesantren. Pesantren dengan kultur dan sistem
pendidikan agamanya yang sangat kuat diharapkan mampu menjawab tantangan zaman
dengan segala problematika yang terus melilitnya.
Jurnal Idrak
Konseling Islami dan Kultur Pesantren | 121
D. Penutup
E. Referensi
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:
LP3ES, 1982)
Jurnal Idrak
TRADISI KEMAZHABAN NU DAN
PENDIDIKAN PESANTREN
Ibnu Hajar Ansori
ibnuhajar93@iainkediri.ac.id
IAIN Kediri
Abstrak
A. Pendahuluan
A
swaja NU dikenal mengembangkan sebuah tradisi penting dalam beragama
yang disebut mazhabiyah tradition (tradisi kemaz}haban).1 Hal itu bisa
dibenarkan karena dalam memahami teks Alquran sebagai referensi
keberagamaan, baik dalam hal istidla>l (induktif) maupun istinba>t} (deduktif), bukan hal
yang sederhana dan dapat dipahami oleh setiap orang. Tidak cukup hanya mengetahui
terjemah dari teks tersebut seseorang bisa menyimpulkan maksud dari sebuah dalil. Perlu
penguasaan yang baik tentang kaidah-kaidah pokok yang mengarah pada pemahaman
dalil-dalil nas}: seperti aspek kebahasaan2, aspek hukum Alquran dan sunnah,3 aspek
ma’a>ni> al-Qur’a>n wa al-Sunnah dan keterkaitannya antara satu dalil dengan dalil yang
lain, juga pemahaman tentang konteks yang melatarbelakangi turunnya ayat (asba>b al-
nuzu>l) atau disabdakannya hadis (asba>b al-wuru>d). Dengan demikian, akan diperoleh
1
Istilah mazhabiyah tradition digunakan oleh Djohan Effendi, A Renewal Breaking Tradition: The
Emergence of a New Discourse in Indonesia’s Nahdlatul Ulama During The Abdurrahman Wahid Era
(Yogyakarta: Interfidei, 2008), 21–22.
2
Termasuk aspek kebahasaan adalah ‘ilm al-lugha>t (filologi), Nahwu, S{arf, ‘ilm al-ishtiqa>q (akar
kata), Bala>ghah meliputi ma’a>ni>, baya>n dan badi>’. Termasuk juga ‘ilm al-qira>’at.
3
dari sisi keumuman dan kekhususan lafalnya, dari sisi mujmal dan mubayyan, aspek mut}laq dan
muqayyad, aspek muh}kam dan mutasha>bih.
pemahaman yang komprehensif, adil dan sesuai dengan muqtad>a> al-ah}wa>l atau maqa>s}id-
nya untuk kemudian diaplikasikan dalam ijtiha>d.
Demikian juga dalam memahami hadis Nabi, diperlukan seperangkat ‘ulu>m al-
hadi>s untuk mengawal pemahaman, selain juga diperlukan pengetahuan yang memadai
tentang cara atau metode pemahaman hadis hasil ijtihad para ulama. Tanpa pengetahuan
yang memadai, tidak jarang pemahaman yang dihasilkan bersifat kontraproduktif dan
menyimpang dari pesan yang terkandung dalam hadis tersebut.4
Mengingat luasnya kajian Aswaja, khususnya terkait dengan jam’iyyah NU, maka
tidak cukup rasanya merepresantikan semua aspek kajiannya dalam satu artikel singkat
ini. Oleh karena itu, sebagai garis batas, kajian dalam artikel ini dititikberatkan pada
kesesuaian paham dan manhaj Aswaja NU dengan kehidupan masyarakat –dalam
beragama dan bernegara- dari aspek tradisi kemaz}haban yang ditanamkan sejak dini
melalui pendidikan-pendidikan berbasis pesantren sebagai upaya moderasi sikap dalam
beragama dan bernegara.
4
Abdul Karim Munthe dkk., Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis (Jakarta: Yayasan
Pengkajian Hadis el-Bukhori, 2017), 1–6.
Jurnal Idrak
Tradisi Kemazhaban NU dan Pendidikan Pesantren | 125
Di sisi lain, kelompok kedua berupaya mengedepankan Islam sebagai agama yang
selalu sejalan dengan perkembangan zaman, namun secara bebas mereka mengimpor
berbagai pandangan dan pemikiran dari budaya dan peradaban asing yang saat ini
didominasi oleh pandangan materialistik. Di tangan mereka Islam terkesan sebagai
agama yang sangat terbuka tanpa batas dan semua ayat-ayat Alquran maupun sabda
Rasul semua bisa dikontekstualisasikan, sehingga tidak jarang teks-teks keagamaan
dikorbankan melalui penafsiran yang semua cenderung ekstrim kontekstual.
Dua sikap tersebut tentu bertentangan dengan karakteristik umat Islam yang
digambarkan dalam Alquran sebagai ummatan wasat}an5 dengan pengertian umat yang
moderat dan berimbang6, tidak taqs}i>r dan tidak ghuluw. Sikap berlebihan tidak akan
menguntungkan Islam. Sebaliknya, ia akan merugikan Islam dan menutupinya dari
keberkembangan. Umat Islam harus bersikap wasat} karena mereka merupakan umat yang
akan menjadi saksi dan atau disaksikan oleh seluruh umat manusia agar diterima
kesaksiannya.
Fakta sikap tawassut} juga dapat dilihat dalam hal tasawwuf. Aswaja NU mengakui
bahwa tasawwuf adalah bagian dari perjalanan spiritual yang bertujuan menemukan
hakikat dan kesempurnaan hidup sebagai insa>n ka>mil. Akan tetapi, tidak dibenarkan
meninggalkan syariat yang telah ditetapkan dalam Alquran dan Sunnah Rasu>lilla>h.
Keberadaan syariat tetap merupakan dasar untuk mencapai hakikat. Oleh karena itu,
dalam konsep Aswaja NU, ajaran sufi yang diterima adalah yang bersanad sampai ke
Rasu>lilla>h dan tidak meninggalkan syariat beliau.
5
QS. Al-Baqarah: 143
6
Kata wasat} secara h}arafiah artinya ‚di tengah‛, seperti dalam ayat berikut: ‚ Peliharalah segala
shalat(mu), dan (peliharalah pula) shalat wust}a> (tengah). Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu’.‛(2:238). Fa wasat}na bihi> jam’an (dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh).‛ (100:5).
Dari kata wasat} lahir pula kata ‚wasit‛ dalam bahasa Indonesia, yang berarti penengah, perantara,
penentu, pemimpin pertandingan atau pemisah, pelerai antara yang berselisih. Lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 1270. Secara maknawiah, dapat diartikan sebagai sikap
moderat, yakni selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yg ekstrem; dan berkecenderungan ke
arah dimensi atau jalan tengah, sehingga mau mempertimbangkan pandangan pihak lain.
Sikap tawassut} dalam Aswaja NU tercermin juga misalnya pada sikap tidak secara
bebas menerima ajaran-ajaran yang dikhawatirkan akan mengaburkan esensi ajaran
agama ketika diakses oleh masyarakat luas. Di sisi lain, Aswaja NU menolak cara
dakwah dari kelompok garis keras (radikal) yang suka menyelesaikan persoalan-
kemungkaran dan perbedaan-dengan mengikuti pola dan paradigma kaum khawarij,7
yakni dengan kekerasan, pemaksaan, bahkan perusakan dan teror.
Secara bahasa, kata maz}hab merupakan bentuk mas}dar dari z}ahaba-yaz}habu yang bisa
diartikan t}ari>qah (jalan) atau mu’taqad (sesuatu yang diyakini).9 Sedangkan secara
istilah berarti jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid
dalam menetapkan suatu peristiwa berdasarkan kepada Alquran dan Hadis. Bisa juga
didefisikan sebagai fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum atau
peristiwa yang diambil dari Alquran dan Hadis.10
Jurnal Idrak
Tradisi Kemazhaban NU dan Pendidikan Pesantren | 127
Yang pertama merupakan upaya mempertahankan hal positif yang telah ada (tura>s)
dan yang kedua merupakan upaya membangun pola baru sebagai langkah pembaharuan
(tajdi>d) yang dirumuskan dalam kaidah al-muh}a>fazah ‘ala> al-qadi>m al-s}a>lih} wa al-akhz}u
bi al-jadi>d al-as}lah}.12 Dialektika antara tura>s dan tajdi>d tersebut akan melahirkan
dinamika keberagamaan yang harmonis.13
Bermaz}hab bukan pula berarti berhenti mengakses dalil-dalil nas}, merasa malas
untuk mengkajinya14 dan merasa cukup dengan mengikuti pendapat para imam mujtahid.
Akan tetapi, bermaz}hab berarti mengikuti manhaj (metode) para mujtahid dan
menjadikannya referensi dalam beristinba>t} atas dalil-dalil nas}, sekaligus merupakan
ekspresi keterbukaan diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan khila>fiyya>t di
dalamnya yang akan mengantarkan pada sikap tawa>zun dalam beragama.
Selain itu, bermaz}hab juga merupakan pemberdayaan asas ijtiha>d jama’i>15 dengan
mempertimbangkan aspek pluralistik dalam beragama dan bernegara. Tradisi
kemadzhaban bukan merupakan bentuk penolakan terhadap upaya pemurnian ajaran
agama. Akan tetapi lebih merupakan sistem dan metodologi yang sudah disepakati
ulama untuk kembali kepada ajaran agama.16
12
Abu> Zahrah menyebut bahwa tradisi kemaz}haban termasuk bagian dari ijtiha>d. Lebih lanjut dia
membagi tingkat mujtahid menjadi mujtahid mut}laq, mujtahid fi> al-maz}hab, mujtahid fi> al-fatwa>
kemudian tingkat terakhir adalah muqallid. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh al-Maz}a>hib al-
Isla>miyyah, vol. 1 (Kairo, n.d.), 112.
13
Ahmad Arifi, ‚Dinamika Pemikiran Fiqh dalam NU (Analisis atas Nalar Fiqh Pola Mazhab),‛
Ulumuna: Journal of Islamic Studies 13, no. 1 (2009): 189–216,
https://doi.org/https://doi.org/10.20414/ujis.v13i1.377.
14
Statement ini pernah dinyatakan oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya The Reconstuction of
Religious Thought in Islam (Lahore: Kashmiri Bazar, 1971), 148-150. Tidak sepenuhnya salah, tetapi
diperlukan kehati-hatian dalam memahami pernyataan tersebut. Karena tidak sepenuhnya taqli>d berarti
kemalasan dalam berijtihad
15
ijtiha>d yang dilakukan secara kolektif
16
Lihat Mahrus As’ad dalam Pembaruan Pendidikan Islam Nahdlatul Ulama, Jurnal NIZHAM, Vol.
3, No. 2, 2014, 51—87
17
Istilah ini dipopulerkan oleh Syeikh Muhammad Ramadlan al-Buthi dalam bukunya al-La>
Madhhabiyyah. Dalam buku tersebut, al-Buthi mengemukakan bahwa kelompok yang tidak bermadzhab
berbahaya untuk eksistensi syari’at Islam, karena mereka akan cenderung sulit bertoleransi dengan
perbedaan pendapat. Untuk beragama menurut mereka tidak harus bermadzhab, cukup kembali kepada
Alquran dan Sunnah. Padahal memahami Alquran dan Sunnah memerlukan kompnen keilmuan dan hasil
analisis yang tidak lain pintunya adalah ulama pendahulu kita. Lihat al-Buthi, al-La> Maz}habiyyah Akht}aru
Bid’atin Tuhaddidu al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, (Suriah: Darul Farabi, 2005), 48—50
sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Nah{l: 43. Konsep ‚bertanya jika tidak
mengetahui‛ hakikatnya adalah dasar dari keniscayaan konsep bermaz}hab. Menolak
konsep bermazhab berarti menolak substansi ayat tersebut.
Sebagai wujud sikap tawassut} dan tasa>muh dalam bermaz}hab, dalam Aswaja NU,
tradisi kemaz}haban tidak hanya berlaku dalam satu aspek, namun beberapa aspek, seperti
Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Dalam hal Aqidah, Aswaja NU bermaz}hab Ash’ariyyah dan
Ma>tu>ridiyyah; dalam hal Fiqh bermaz}hab pada empat Imam, yaitu Abu H{ani>fah Nu’ma>n
bin Tha>bit (w 150 H.), Ma>lik bin Anas (w. 179 H.), Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fi’i> (w.
204 H.) dan Ah}mad bin H{anbal (w. 241 H.) dan dalam hal tasawwuf, Aswaja NU
menganut manhaj Abu al-Qa>sim al-Junaydi> al-Baghda>di> (w. 298 H.) dan al-Ghaza>li> (w.
505 H.).
Istilah pesantren memiliki pengertian sebagai model pendidikan tradisional yang para
siswanya –disebut santri- tinggal bersama dan belajar dan menginap di sebuah asrama di
bawah bimbingan guru yang dikenal dengan sebutan kiai.19 Terkait dengan sejarah asal-
usul pesantren, muncul beberapa spekulasi teori untuk mengungkapnya. 20 Terlepas dari
adanya beberapa spekulasi tersebut, pendidikan pesantren telah menjadi identitas dan
tonggak pendidikan Islam tertua di Indonesia.
18
Abu Zahrah, Ta>ri>kh al-Maz}a>hib al-Isla>miyyah, 12.
19
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3S,
1983), 18
20
Mohammad Hasan mengemukakan ringkasannya terkait asal usul pendidikan model pesantren.
Setidak-tidaknya ada tujuh teori yang untuk menelusuri asal usul terbentuknya pesantren di negeri ini:
pertama, pesantren sebagai bentuk tiruan dari pendidikan Hindu dan Buda sebelum Islam; kedua, model
pendidikan ala pesantren berasal dari India; ketiga, merujuk pada model pendidikan dari Baghdad;
keempat, perpaduan model pendidikan Hindu-Buda Indonesia dan India; kelima, perpaduan antara Hindu-
Buda Indonesai dan Baghdad; keenam, murni bentuk pendidikan Islam Indonesia berpadu dengan India dan
ketujuh, perpaduan antara model pendidikan di India, Timur Tengah dan tradisi lokal yang lebih tua. Lihat
Mohammad Hasan, Perkembangan Pendidikan Pesantren di Indonesia, Jurnal Tadris, Vol. 10, No. 1, 2015,
55—73
Jurnal Idrak
Tradisi Kemazhaban NU dan Pendidikan Pesantren | 129
21
Penulis hanya mengambil beberapa kitab yang lazim dikaji di pesantren sebagai sampel.
I II III IV V VI
‘Aqidat al- Al-Ashba>h wa Al-Muhaz}z}ab, Is’a>d al- Al-La-a>li al- Minha>j al-
‘Awa>m, karya al-Naz}a>ir, karya karya Syeikh Rafi>q, karya Bahiyyah, ‘A<bidin, karya
Syeikh Ahmad Ibn Najim al- Muhammad al- Syeikh karya Syeikh Syeikh Abu
bin Muhammad Hanafi Mujaji Muhammad Muhammad Hamid
bin Sayyid bin Salim bin bin Muhammad
Ramadlan al- Sa’id al- Abdirrahman bin
Marzuqi Syafi’i Ali Ismail Muhammad al-
Ghazali
Ti>ja>n al-Durari, Ta’si>s al-Naz}ar, Al-Kulliyya>t Niha>yat al- Al-Muh}arrar Was}aya> al-
karya Syeikh karya Abu> Zaid al-Fiqhiyyah, Zain, karya fi al-H{adi>th, A<ba’ li al-
Ibrahim al-Bajuri al-Dabusi karya Syeikh Syeikh karya Syeikh Abna>, karya
Abu Abdillah Muhammad Syamsuddin Syeikh
al-Muqari bin Umar al- Muhammad Muhammad
Bantani bin Ahmad Syakir
al-Hanbali
Al-Iba>nah ‘an Al-Maba>di al- ‘Umdat al- Muka>shafat al-
Shari>’ati al- Fiqhiyyah, Ah}ka>m, karya Qulu>b, karya
Firqah al-Na>jiyah karya Syeikh Syeikh Abdul Syeikh Abu
wa Muja>nabat al- Umar Abdul Ghani al- Hamid
Firqah al- Jabbar Maqdisi Muhammad
Madhmu>mah, bin
karya Syeikh Abu Muhammad al-
Abdillah Ghazali
Ubaidillah bin
Muhammad bin
Batthah al-
Hanbali
Al-Iba>nah ‘an Al-H{ujaj al- Qurratul Mawa>hib al-
Us}u>l al-Diya>nah, Mabniyyah, ‘Ain, karya Fatta>h al-
karya Syeikh Abu karya Syeikh Syeikh Kari>m, karya
al-Hasan al- Jalaluddin al- Muqbil bin Syeikh Abdul
Asy’ari Suyuti Hadi al- Fattah al-
Wadi’i Yafi’i
Sullam al- Al-Qawa’id al-
Muna>jah, Kashfiyyah,
karya Syeikh karya Syeikh
Muhammad Abdul Wahhab
bin Umar al- al-Sya’rani
Bantani
Fata>wa> al- Tanbi>h al-
Subki, karya Mughtarri>n,
Syeikh karya Syeikh
Taqiyyuddin Abdul Wahhab
al-Subki al-Sya’rani
Nas}a>ih} al-
‘Iba>d, karya
Syeikh
Muhammad
Nawawi bin
Umar al-
Bantani
Jurnal Idrak
Tradisi Kemazhaban NU dan Pendidikan Pesantren | 131
I II III IV V VI
Qat}r al-Ghaith,
karya Syeikh
Muhammad
Nawawi bin
Umar al-
Bantani
Al-Risa>lah al-
Qushairiyyah,
karya Syeikh
Abul Qasim al-
Qusyairi
Busta>n al-
‘A<rifi>n, karya
Syeikh
Zakariya
Muhyiddin bin
Syarf al-
Nawawi
E. Kesimpulan
Adalah hak dan kewajiban bagi kita untuk memahami dengan baik tentang prinsip-
prinsip ajaran Aswaja dan meneguhkannya sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr)22 dan
berperilaku, selanjutnya mewariskannya kepada generasi berikutnya sebagai upaya
penyelamatan dan peneguhan diri juga keluarga agar tetap mengikuti manhaj ahl al-
sunnah wa al-jama>’ah. Termasuk wujud kepedulian tersebut adalah upaya mengawal
ajaran Aswaja agar tetap dipahami dan diterapkan secara baik dalam hidup beragama
dan bermasyarakat.
Selain itu, kemurnian ajaran Aswaja tetap perlu mendapat perhatian serius, tidak
terkecuali dalam dunia akademis yang merupakan pintu terbuka untuk masuknya
pelbagai paham lintas maz}hab dan lintas kultur, bahkan lintas agama. Dalam hal ini,
pesantren berperan penting sebagai pusat kontrol untuk merevitalisasi tradisi
kemadzhaban melalui kurikulum pendidikannya, karena melaui tradisi kemadzhaban
tersebut manhaj berfikir dan prilaku keberagamaan akan lebih terarah.
22
Lihat Tejo Waskito, Pergeseran Paradigma Keislaman Nahdlatul Ulama dan Implikasinya
terhadap Pengembangan Institusi Pendidikan Nahdlatul Ulama, Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2017, 159--185
F. Referensi
Jurnal Idrak
KARAKTERISTIK PENDIDIK
MENURUT QS. MARYAM: 12-15
Muhammad Toguan
ntoguan71@gmail.com
Pascasarjana UIN Sumatera Utara
Abstrak
A. Pendahuluan
D
ada yang dikeluarkan UNESCO pada tahun 2016 tentang Pendidikan,1
sebagaimana diolah oleh Aisya Maura menjadi tulisan yang berjudul Fakta
Kualitas Guru di Indonesia yang Perlu Anda Ketahui menyatakan bahwa
pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Dalam
hal itu, kualitas guru yang ada di Indonesia menempati ukuran ke-14 dari 14 negara
berkembang di dunia. Secara statistik, jumlah guru mengalami peningkatan sebanyak
382% dari 1999/2000 menjadi sebanyak 3 juta orang lebih, padahal jumlah peserta didik
hanya mengalami peningkatan 17%. Dari 3.9 juta guru yang ada, terdapat 25% guru
yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% di antaranya belum
1
The Global Education Monitoring Report Team, Education for People and Planet: Creating
Sustainable Futures for All (France: UNESCO Publishing, 2016)
memiliki sertifikat profesi. Dengan itu, awalnya, muncul harapan kegiatan belajar yang
optimal dapat tercapai. Sayangnya, kuantitas guru tidak sejalan dengan kualitasnya.2
Hal itu tentu menjadi sesuatu keprihatinan, yaitu kualitas guru yang tidak sejalan
dengan kuantitasnya. Baik lingkup pendidikan secara umum ataupun pendidikan Islam
secara khusus. Hal itu karena guru merupakan faktor penting dalam menjalankan
pendidikan. Al-Rasyidin, dalam kajian filsafat pendidikan Islam, menyatakan bahwa
pendidik –yang di antara penerjemahan praktisnya adalah guru, adalah salah satu unsur
yang dapat mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan dan harus dipenuhi secara esensial,
selain peserta didik, kurikulum, metode dan evaluasi.3
2
https://blog.ruangguru.com/fakta-kualitas-guru-di-indonesia-yang-perlu-anda-ketahui. Diakses 13
Maret 2019, 09.35 WIB.
3
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi Praktik Pendidikan Islami, Cet. V (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2017), h.vii
4
Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang: UMM Press, 2007) h. 2.
5
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung:
Penerbit Risalah, 1986), h.153
6
Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987), h.43.
Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 135
Ayat-ayat QS. Maryam 12-15 secara menyeluruh dapat dipahami sebagai potongan
sketsa dari keseluruhan kehidupan Nabi Yahya as. Tentang Nabi ini, dalam Alquran, ada
di tiga tempat. Selain QS. Maryam 12-15 adalah QS. Ali Imran 38-39 dan QS. Maryam
7.
Sampai di sini, terlihat bahwa sebenarnya kelompok ayat QS. Maryam 12-15
adalah kelompok yang menceritakan lebih detail perihal sketsa kehidupan Nabi Yahya,
dibanding dua kelompok lainnya tersebut di atas. Para ahli juga, ketika menceritakan
kehidupan Nabi Yahya, tidak akan jauh dari penjelasan ayat-ayat di atas. Di antaranya
adalah yang diuraikan oleh Ahmad Bahjat dalam kitab berjudul Anbiya>’ Alla>h.7
Diceritakan oleh sejarawan asal Kairo tersebut bahwa Yahya adalah seorang Nabi
yang memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh siapapun sebelum dirinya (lam
yaj’al lahu min qabl syabi>ha), dan tidak diserupai siapapun (la> matsi>l). Itu karena, ia
adalah Nabi yang telah menyaksikan kebenaran Allah swt., (syahida al-haq ‘azza wa
jalla) dan diakui Allah memiliki kelembutan dari sisi-Nya (wa huwa an-Nabiy allazi>
qa>lahu al-Haq wa hana>nan min ladunna).8
Terkait hal ini juga menjadikan Yahya sebagai contoh dalam menetapkan
karakteristik pendidik menjadi menarik untuk dilakukan. Lebih-lebih, ketika dikaitkan
dengan proses kelahiran Yahya sendiri yang diceritakan oleh dua kelompok ayat selain
QS. Maryam 12-15 yaitu QS. Ali Imran 38-39 dan QS. Maryam 7, yaitu ketika Nabi
Zakariya mendoakannya dengan suara pelan ()إذ نادى ربه نداء خفيا9 karena tidak mau
dianggap mengada-ngada karena umurnya telah beranjak sangat tua (al-ra’wanah
likibarihi).10
Ahmad Bahjat, dalam literatur yang telah disebutkan sebelumnya menilai bahwa
doa Nabi Zakariya dan kelahirannya di masa tua sang ayah adalah mukjizat di antara
mukjizat-mukjizat lainnya yang diberikan Allah kepadanya. Mukjizat-mukjizat yang
dimaksud itulah yang menjadikan Nabi Yahya begitu berbeda karakteristiknya di
banding dengan Nabi-Nabi yang lainnya. ‚Dalam kelahiran Nabi Yahya, ada mukjizat,
yaitu ketika muncul dorongan dalam benak ayahnya Nabi Zakariya untuk berdoa
meminta generasi penerus sedangkan umurnya telah lanjut dan hampir putus asa di
dalam keadaannya (tanpa generasi tersebut).‛11
7
Ahmad Bahjat, Anbiya>’ Alla>h, (Kairo: Da>r al-Syuru>q, 2003), h.324-329
8
Ibid, 324.
9
QS. Maryam: 3
10
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.10
11
Ahmad Bahjat, Anbiya>’ Alla>h, (Kairo: Da>r al-Syuru>q, 2003), h.325-326
Dari penjelasan ayat tersebut terlihat bahwa bahkan sebelum lahirnya Nabi Yahya,
Nabi Zakariya telah merencanakannya untuk menjadi generasi yang meneruskan
perjuangannya sebagai Nabi. Itu karena, kehidupan Nabi Zakariya, yang dilanjutkan oleh
Nabi Yahya, adalah kehidupan yang dipimpin oleh pemimpin yang bodoh sekaligus
zalim. Tentang kebodohan itu, Ahmad Bahjat menulis bahwa karakteristik berbeda yang
ditunjukkan oleh Nabi Yahya terlihat bahkan ketika ia kecil (ghari>bah ‘an dunya al-
athfa>l), yaitu ketika setiap anak disibukkan dengan canda-tawa kesenangan (yuma>risu>n
al-lahw), ia justru menyibukkan dengan perbaikan sepanjang waktu (ja>da thu>la al-waqt).
Jika anak-anak yang lainnya bergembira dengan menyiksa hewan-hewan, Nabi Yahya
justru memberikan makan hewan-hewan itu dengan kasih sayangnya (hana>nan ‘alaiha>),
bahkan ketika ia tidak mendapat sisa makanan untuk dinikmati (wa huwa bighair al-
ta’a>m). Dalam hal tersebut, Nabi Yahya kemudian muncul sebagai seseorang yang
memiliki hikmah dari masa kecilnya, yang melengkapi kesenangannya membaca, yang
tidak disenangi oleh anak-anak lain seumurannya.12
Dalam hal ini, sebenarnya ada nilai penting yang dapat dipetik dalam ranah
pendidikan. Dari sisi praktis, nilai ini telah dikejewantahkan oleh para Kyai di pondok-
pondok Pesantren, terutama di Jawa untuk kemudian dibahasakan dalam system
manajemen Pesantren sebagai open-close of selection system, yaitu ketika ada beberapa
pesantren yang open terhadap kepemimpinan pesantren terhadap orang-orang yang
kompeten dari tubuh keluarga Kyai, dan sementara itu pula ada yang lebih
mengutamakan zurriyah atau keluarganya sendiri sehingga dianggap close terhadap
kader-kader binaan dari kelompok penpendidiks lainnya atau santri-santri pesantren itu
sendiri. 13 Untuk kasus yang close biasanya terdapat cerita bahwa amalan-amalan yang
dilakukan Nabi Zakariya dilakukan juga oleh para Kyai, yaitu mengkhususkan doa-doa
dan harapan-harapannya untuk melahirkan anak yang akan meneruskan perkembangan
pesantrennya.
Maka, ketika ditemukan keterangan yang jelas dari sketsa kehidupan Nabi Yahya
di atas bahwa ia memang telah dipersiapkan jauh-jauh sebelum kelahirannya, dalam hal
inilah membahasnya dalam perihal karakteristik dianggap tepat. Itu karena, yang
dimaksud dengan karakteristik lebih dikhususkan kepada sifat seseorang yang melekat
12
Ibid, h.326.
13
Tentang ini dapat dibaca dalam penelitian Mardiyah, ‚Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara
Budaya Organisasi di Pondok Modern Gontor, Lirboyo-Kediri, dan Pesantren Tebuireng-Jombang‛ dalam
Jurnal Tsaqafah, Vol.8, No.1, April, 2012, h.67-104
Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 137
secara khas dalam dirinya dan menjadi watak tertentu, yang itu kemudian tercorakkan
dalam karakter yang bermakna kepribadian, ciri khas seseorang, gaya atau sifat khas.14
Untuk itu, karakteristik Nabi Yahya yang kemudian muncul dalam sketsa
kehidupannya adalah hana>n (lemah lembut), zaka>h (suci), ‘ilm (cerdas), fadl
(berwibawa). Ia pun seorang yang rajin beribadah (al-tanassuk) hingga diceritakan bahwa
dirinya sering keluar ke pegunungan-pegunungan atau lembah-lembah, untuk kemudian
berdiam di sana beberapa bulan lamanya untuk beribadah kepada Allah, menangis di
depannya, bahkan ketika dirinya harus makan dari dedaunan pohon yang ditemuinya, dan
minum dari air sungai Yordan, dan tak terkecuali, hingga makan rerumputan hanya
karena tidak memiliki kekayaan sama sekali.15
Untuk itu pula, mencermati bagaimana sketsa kehidupan Nabi Yahya dan melihat
relevansinya dengan pendidikan zaman kini, akan terlihat bagaimana perbedaan
pandangannya dengan pandangan pendidik-pendidik masa kini terhadap profesinya yaitu
pendidik. Jika Nabi Yahya diibaratkan sebagai pendidik dalam persoalan kenabiannya,
maka ia menjalaninya dengan teguh bahkan mengeluarkan pengorbanan atasnya. Maka,
pendidik-pendidik saat ini justru melihat bahwa pendidik adalah peluang profesi yang
dapat berkorban untuknya. Terlepas dari itu, perihal relevansi ini akan dibahas setelah
menguraikan karakteristik pendidik dalam QS. Maryam 12-15, yang tentunya juga
sedikit banyak akan merujuk kepada sketsa kehidupan Nabi Yahya di atas.
14
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial
sebagai Wujud Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.11
15
Ahmad Bahjat, Anbiya>’ Alla>h, (Kairo: Da>r al-Syuru>q, 2003), h.327
16
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.216
17
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, jilid 8 (Tangerang:
Lentera Hati, 2002), h.160
Terkait itu, karya Muhammad bin Khalifah al-Tamimy berjudul Tha>lib al’ilm:
Bayn Ama>nah al-Tahammul wa Mas’u>liyah al-Ada>’ patut untuk diperhatikan karena,
sebagaimana tercorak dalam judul buku tersebut, kegiatan menuntut ilmu sebenarnya
tidak sebatas pencarian terhadap ilmu yang merupakan amanah agama untuk
menunaikannya, tetapi juga melekat dalam amanah itu tanggung jawab untuk
melaksanakan dan mengamalkannya. Itu karena, kegiatan menuntut ilmu dalam Islam
sering didasarkan pada QS. At-Taubah: 122 yang melingkupi dua pembahasan, pertama
tentang kewajiban sebagian orang untuk memahami (al-Tafaqquh) ilmu-ilmu agama, dan
kedua tentang kewajiban sebagian orang yang telah memahami ilmu-ilmu agama itu
untuk mengingatkan (al-Inza>r) kaumnya ketika telah kembali kepada mereka.18
Dengan demikian, maka penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Katsir ataupun M.
Quraish Shihab terhadap al-Kita>b yang harus dipahami Nabi Yahya adalah dalam
kerangka berpikir dua dimensi: memahaminya dan bertanggungjawab atas
pemahamannya. Demikian juga halnya dengan pendidik. Karakteristik pertama yang
harus melekat dalam diri seorang pendidik ialah harus berdedikasi terhadap ilmu:
pendidik paham atas yang diajarkannya dan pendidik juga mengerti bagaimana tanggung
jawab yang melekat terhadap kepadanya.
Untuk itu, ayat tersebut tidak serta merta mencukupkan seruan memahami al-kita>b
dengan perintah (al-amr) berbunyi ‚ambillah‛ saja, melainkan juga menerangkan
bagaimana seharusnya upaya memahami al-kita>b tersebut, yaitu bi quwwah. Ibnu Katsir
menjelaskan pengertian al-quwwah yaitu dengan sungguh-sungguh (Jidd), penuh
antusias (Hirs) dan semaksimal mungkin (ijtiha>d).‛19 Sedangkan M. Quraish Shihab
mencukupkan penafsiran al-quwwah dengan kata sungguh-sungguh sebagaimana
dipahami pembaca Indonesia sambil menguatkan pemahaman bahwa memahami al-kita>b
itu adalah karena sesungguhnya al-Kita>b adalah anugerah lain selain keterkabulan doa
orang tuanya. 20
18
Muhammad bin Khalifah al-Tamimy, Tha>lib al’ilm: Bayn Ama>nah al-Tahammul wa Mas’u>liyah
al-Ada>’ (Kuwait: Muassasah Gharas, 2002), h.4-5
19
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.216
20
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran h.160
Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 139
(hukum, yakni pemahaman tentang kandungan Taurat), ada yang memahaminya dalam
arti kecerdasan akal, atau firasat, ada juga yang memahaminya dalam arti kenabian, atau
pengatahuan tentang etika pergaulan dan pelayanan. 22 Oleh karena pemaknaan yang
begitu beragam yang ditampilkan oleh kedua mufassir di atas, peneliti memandang
bahwa makna-makna itu dapat disatukan dalam konteks karakteristik pendidik dengan
istilah integritas.
21
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.216
22
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran h.160
23
Iswantir M, ‚Integritas Pendidik Profesional dalam Melaksanakan Tugas dan Tanggung
Jawabnya Perspektif Pendidikan Islam‛ dalam Conference Proceeding Annual International Conference on
Islamic Studies (AICIS XII), h.3047
24
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik
(Medan: Perdana, 2017), h.117-119
Dalam karya yang disebut terakhir itu, Guru Besar UIN Sumatera Utara tersebut
mengkaji fakultas-fakultas pengetahuan yang dibahas Imam al-Ghazali dalam karya-
karyanya, yaitu Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, Ayyuha al-Walad, Fati>hat al-‘Ulu>m, Miza>n al-
‘Amal, Misyka>t al-Anwa>r dan al-Munqiz min Dhala>l. Melalui pendekatan kitab-kitab
tersebut, maka disimpulkan olehnya bahwa Al-Ghazali membagi fakultas pengetahuan
menjadi dua aspek: aspek eksternal, yaitu panca indera yang lima, yang tidak dibahasnya
secara rinci, dan aspek internal psikologis yang dapat dirinci menjadi lima daya. Dengan
catatan, kelima daya tersebut dapat ditemui dari buku-buku yang telah disebut
sebelumnya, meskipun dalam penggunaan terminologi saling berbeda, walaupun tidak
terlalu jauh.25
Kita>b Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, misalnya, dalam kajian Hasan Asari menyebutkan
bahwa ada lima daya yang menjadi fakultas pengetahuan bagi manusia, yaitu akal sehat
(al-Hiss al-Musytarak), daya imajinasi (takhayyul), daya pikir (tafakkur), daya ingat
(tazakkur), dan daya pemeliharaan (al-hifz). Kesemuanya ini adalah tentara hati (judu>d
al-Qalb), yang selaras dengan mara>tib al-arwa>h al-basyariyah (tingkatan-tingkatan jiwa
manusia) yang dibahas Al-Ghazali dalam Misyka>t al-Anwa>r, yaitu al-hassa>s (panca
indera), al-ru>h al-khaya>li (jiwa imajinatif), al-ru>h al-‘aqly (jiwa intelektual), al-ru>h al-fikr
(jiwa kontemplatif) dan al-ru>h al-qudsi al-nabawi (jiwa kenabian transendental).26
25
Ibid, h.118
26
Ibid.
27
Ibid, h.119
Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 141
Tentang integritas juga, Nurmaida dalam Simposium Guru Nasional 2016 pernah
mengulasnya panjang lebar. Dijelaskan olehnya bahwa terkait integritas guru, ada dua
hal yang harus diuraikan. Pertama, adalah bagaimana membentuk integritas tersebut.
Kedua, bagaimana kemudian mengevaluasinya.
Untuk yang pertama, dalam membentuk integritas guru, yang harus dilakukan
adalah (1) memiliki kejujuran akademik, (2) terus belajar sehingga menjadi profesional,
(3) mengembangkan SQ, EQ, dan IQ dalam hidup, (4) tepat waktu dan janji, (5)
konsisten dengan apa yang dikatakan dan dipikirkan, (6) saling terbuka dengan teman,
(7) selalu refleksi tentang apa yang dibuat, (8) tidak melanggar kode etik, (9) menjadi
teladan, (10) berani saling menegur dan mengungkapkan ketidakberesan, (11) jujur
antara guru dan siswa, dan (12) berani mengakui kesalahan. Adapun yang kedua, yang
mengevaluasi integritas adalah didekatinya dengan pendekatan kuantitatif, yaitu
membuat indikator-indikator.28
Maka, kembali ke penafsiran Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab di atas, hal-hal
yang tersebut di atas seperti pemahaman (al-fahm), ilmu (al-‘ilm), kesungguhan (al-jidd),
tekad (al-‘azm), senang dan gemar kebaikan (al-iqba>l ‘ala al-khair), serta amat
bersungguh-sungguh di dalamnya (al-ikba>b wa al-ijtiha>d) yang dirangkai dengan
kecerdasan akal, atau firasat, kenabian, atau pengetahuan tentang etika pergaulan dan
pelayanan, adalah bentuk integritas yang ditawarkan oleh Pendidikan Islam.
Dalam konteks QS. Maryam 12-15 yang menceritakan Nabi Yahya misalnya, sang
Nabi dijelaskan sebagai pribadi yang integratif yang memiliki pemahaman, ilmu,
kesungguhan, tekad, baik, dan bersungguh-sungguh dalam pengetahuan dan etikanya.
Keterangan yang dimaksud telah dibahas dari buku Ahmad Bahjat yang diuraikan
sebelumnya dalam Sketsa Kehidupan Nabi Yahya as, sehingga kiranya tidak perlu untuk
diulang. Hanya sebagai penekanan, Nabi Yahya adalah seorang Nabi yang memiliki
karakteristik berbeda yang ditunjukkan ketika ia kecil (ghari>bah ‘an dunya al-athfa>l),
setiap anak disibukkan dengan canda-tawa kesenangan (yuma>risu>n al-lahw), sedangkan
ia justru menyibukkan diri dengan perbaikan sepanjang waktu (ja>da thu>la al-waqt). Di
antara perbaikan tersebut adalah ketika Abdullah bin Mubarok mengatakan bahwa
28
Nurmaida, Membangun Integritas Guru dalam Melaksanakan Pembelajaran , Makalah Simposium
Guru Nasional 2016. Tidak diterbitkan. h.1-19
Ma’mar berkata, ‚Beberapa anak kecil berkata kepada Yahya bin Zakariya: ‚Pergilah
main bersama kami‛. Yahya menjawab: ‚Kami diciptakan bukan untuk main‛. Itulah
yang menjadi penyebab diturunkannya potongan ayat ( صبِيًّا
َم ‚ ) َموآتَم ُحْلي نَماه ُحْلا ُحْل َمDan Kami
berikan kepadanya hikmah selagi ia masih anak-anak‛.29
Dari sikap seperti itu kemudian muncul pemahaman, ilmu, kesungguhan, tekad,
dan kebaikan dalam diri Nabi Yahya. Hal itu pula yang harus diwacanakan sebagai
karakteristik seorang pendidik, yaitu mempunyai pemahaman, ilmu, kesungguhan, tekad,
dan kebaikan.
Tentang hal ini juga, ada kritik yang menggelisahkan dari Syed Muhammad
Naquib al-Attas. Katanya, ilmu zaman sekarang banyak dimiliki oleh para ilmuwan dan
sarjanawan muslim. Namun, mereka, para ilmuwan dan sarjanawan muslim itu,
membahayakan diri dengan memelajari ilmu yang tidak benar sebagai antitesis dari
kebodohan zaman sekarang. Secara sederhana dapat diungkapkan bahwa jika
sebelumnya tantangan keilmuan adalah kebodohan, maka zaman sekarang tantangan
keilmuan adalah ilmu yang salah yang dicemari dengan nilai-nilai sekularisasi yang
menjelma dalam sekularisme.30 Oleh karena itu, hal-hal seperti pemahaman, ilmu,
kesungguhan, tekad, dan kebaikan dari seorang pendidik dibutuhkan sebagai
karakteristik yang dijiwainya dan menjadi sifat yang melekat secara khas dalam dirinya
dan menjadi watak tertentu.31
Ibnu Katsir menyatakan bahwa makna al-hana>n adalah rasa kasih sayang dari sisi
Kami. Demikian perkataan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas. Demikian pula
pendapat ‘Ikrimah, Qatadah dan al-Dhahhak.33 Adapun M. Quraish Shihab
29
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, h.216
30
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: IBFIM, 2014), h.133
31
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional dan Sosial
sebagai Wujud Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.11
32
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab dan Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif),
hlm.305
33
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.216
Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 143
Maka, sebagai mu’allim, Allah swt., pada hakikatnya adalah ‘A<lim yakni pemilik
perbendaharaan ilmu pengetahuan yang men-ta’li>m atau mengajarkan kepada manusia
segala sesuatu yang tidak atau belum diketahui manusia mengenai perbendaharaan ilmu
pengetahuan yang dimiliki-Nya. Dalam ayat lain, Allah berfirman eksplisit tentang itu
dalam QS>. Al-Alaq: 5
Namun demikian, dalam proses ta’li>m itulah, Allah tidak berinteraksi langsung
dengan manusia. Karena itulah, pemaknaan kenabian menjadi relevan dalam konteks
pendidikan Islam. Itu karena, Allah mengutus para nabi dan rasul untuk mendidik
manusia ke jalan yang diridhai-Nya. Dalam hal ini, Nabi dan Rasul pada dasarnya
merupakan ‘wakil’ Allah swt., yang bertugas sebagai pendidik, baik konteks mu’allim,
murabbi maupun muaddib, bagi ummat manusia dan alam semesta.
Maka, dalam hal kenabian inilah, karakteristik pendidik yang dibahas dalam bagian
ini harus dikemukakan. Kasih sayang dan lemah lembut adalah karakteristik yang harus
dimiliki oleh seorang pendidik. Lebih-lebih untuk konteks kekinian yang dipenuhi oleh
berita-berita mengenai kelakuan negatif pendidik.
34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, h.160-161
35
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi Praktik Pendidikan Islami, Cet. V (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2017), h.136
4. Suci (zaka>h)
Telah disinggung sebelumnya bahwa pembahasan kali ini adalah pembahasan yang
terkait dengan tazkiyah al-nasf sebagai sebuah proses yang mengawali setiap orang
dalam kaitannya dengan lingkup Pendidikan Islam. Al Rasyidin merekontruksinya dari
kejadian yang dialami Rasulullah saw., sebelum men-ta’li>m, men-tarbiyah, atau men-
ta’di>b ummatnya. Ia lebih dulu didatangi oleh Malaikat Jibril lalu membelah dadanya
dan kemudian mengeluarkan hati beliau, mencuci dan membersihkannya dari
kemaksiatan, baru kemudian mengisinya dengan ilmu dan keimanan. Kisah yang dinukil
guru besar Falsafah Pendidikan Islam itu diperkuat lagi dengan kebiasaan Rasul ber-
uzlah ke Gua Hira’ yang dalam penilaiannya adalah upaya untuk mensucikan diri dan
menghindari pengaruh-pengaruh negatif-destruktif masyarakat yang penuh dengan
kemaksiatan. Peristiwa-peristiwa itu yang menandakan keistimewaan proses tazkiyah al-
nafs dalam lingkup Pendidikan Islam.36
Maka, hal itu juga yang menjadi karakteristik bagi seorang pendidik selanjutnya.
Tanpa menyebutkan proses tazkiyah al-nafs seperti uraian di atat, ayat QS. Maryam 13
menyebutkan hasil atau output dari proses tersebut, yaitu kesucian seorang pendidik.
Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai berikut:37
berkah, ( تقيا )وكانDan ia adalah seorang yang bertakwa’, suci tidak melakukan
suatu dosa.
Dari penafsiran tersebut, terlihat bahwa karakteristik yang dibahas kali ini sangat
erat kaitannya dengan karakteristik yang dibahas sebelumnya, yaitu hana>n yang
diterjemahkan sebagai karakteristik lemah lembut dan kasih sayang. Maka, kedudukan
karakteristik tersebut yang diperlihatkan oleh seorang pendidik di hadapan para peserta
didiknya, ataupun rekan-rekan seprofesinya, bahkan atasannya, adalah sikap kasih
sayang yang bersih atau suci dari kesalahan dan dosa. Bukan karena kondisi-kondisi
ataupun alasan-alasan tertentu bahkan dikarenakan kepentingan-kepentingan khusus.
Singkatnya, karakteristik sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah yang dilakukan
dengan karakteristik yang bersih dari dosa.
36
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, h.87
37
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.216
Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 145
Man has a dual nature, he is both soul and body, he is at once physical being and
spirit. (Manusia memiliki hakikat ganda atau dwi hakikat. Manusia adalah jiwa
dan raga. Manusia adalah suatu diri jasmani dan ruh sekaligus).
5. Bertakwa (taqiy)
Karakteristik selanjutnya yang digambarkan oleh QS. Maryam: 13 yang ditafsirkan
oleh Ibnu Kasir dan M. Quraish Shihab adalah seorang pendidik harus bertakwa. Ibnu
Katsir menerangkan bahwa takwa yang dimaksud adalah suci (thuhrun) tidak melakukan
suatu dosa (lam ya’mal al-zanba).40 Sedangkan M. Quraish Shihab menafsirkan hanya
dengan menyebut dia (Nabi Yahya) bertakwa.41Dari penafsiran ini, dapat disimpulkan
bahwa baik Ibnu Katsir maupun Quraish Shihab tidak juga berbeda pendapat dalam
membaca ayat-ayat QS. Maryam. Bedanya, mereka berdua kadang-kadang
merincikannya, dan terkadang pula tidak terlalu melakukan itu. Hanya menjelaskannya
secara umum.
Maka takwa, sebagai informasi tambahan, adalah kata yang berasal dari Bahasa
Arab, ittaqa-yattaqi-ittiqa>’, yang pada dasarnya berarti takut42 dan keinsyafan.43 Adapun
secara luas, seperti yang diterangkan oleh Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry,
adalah memelihara diri dari ancaman siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-
38
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education; Islamic Education
Series (Jeddah: King Abdulaziz University, 1979), h.20
39
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education; Islamic Education
Series (Jeddah: King Abdulaziz University, 1979), h.23
40
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.217
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, h.161
42
Abboed S. Abdullah, Kamus Istilah Agama Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1988), h.50
43
Nazwar Syamsu, Kamus Al-Qur’an, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), h.82
44
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994),
h.735
45
Abu Ahmadi dan Abdullah, Kamus Pintar Agama Islam, (Solo: Aneka, 1991), h. 227
46
Imam al Qusairy an Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Terj. Moh. Lukman Hakiem, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1999), h.97
47
Syeikh Abdul Qadir al Jailani, Rahasia Sufi,Terj. Abdul Majid dan Khatib, (Yogyakarta: Pustaka
Sufi, 2002), h. 51.
48
Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi Praktik Pendidikan Islami, Cet. V (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2017), h.136
49
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII
(Bandung: Mizan, 1998), h.294-295
Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 147
Sanad, dalam ranah diskursus studi Islam, memang lebih dikenal dalam keilmuan
hadis. Sanad, dalam pengertian keilmuan itu adalah, rangkaian nama-nama perawi yang
menyampaikan sebuah hadis dari sumbernya atau rangkaian para perawi yang
menyampaikan kepada matan.50 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, sebagai ulama yang
senantiasa dikutip pendapatnya dalam perihal ini, menerjemahkan istilah sanad untuk
menyebutkan nama-nama perawi dalam menyandarkan matan kepada sumbernya, atau
para huffa>zh yang selalu berpedoman kepada sanad dalam menilai apakah sebuah hadis
itu shahi>h atau dha’i>f. Dengan demikian, dalam hal ini sanad benar-benar menjadi
tempat pijakan, sandaran, standar dan penentu kualitas matan hadis.51 Dari konsepsi
sedemikian rupa, maka hadis akan dapat diterima ataupun ditolak. Imam al-Nawawi>,
sebagaimana dikutip Syuhudi Ismail, menerangkan bahwa ‚Jika sanad suatu hadis
berkualitas shahi>h maka hadis itu dapat diterima. Akan tetapi, jika sanad hadis tersebut
tidak shahi>h maka hadis itu ditolak.‛ 52
Dengan demikian, maka penafsiran barran (berbakti) dalam QS. Maryam 14 tidak
hanya sebatas perbuatan bakti seorang anak kepada orang tua semata, melainkan juga
bagaimana seorang peserta didik yang tumbuh menjadi pendidik tetap memuliakan
kedudukan pendidiknya yang telah meletakkan karakteristik pendidik dalam dirinya. Hal
itu kiranya tidak menyalahi konteks penafsiran Ibnu Katsir maupun M. Quraish Shihab
yang masing-masing menafsirkan barran sebagai berikut:
Ketika Allah swt., menyebut ketaatan Yahya kepada Rabbnya dan menciptakannya
sebagai orang yang memiliki rahmat, suci dan bertakwa, Dia pun menyambungnya
dengan menyebutkan ketaatan dan kebaktian Yahya kepada kedua orang tuanya
serta jauh dari sikap mendurhakai keduanya, dengan perkataan dan perbuatan, baik
perintah maupun larangan.53
Sifat-sifat yang disebut oleh ayat-ayat di atas yang menghiasi kepribadian Yahya
as., mencerminkan hubungan beliau yang demikian harmonis dengan Allah swt.,
dengan kedua orang tuanya, dan kepada masyarakat manusia, bahkan makhluk
umum. Hubungannya dengan Allah dituliskan dengan kata ( )تَقِيًّاtaqiyyan;
hubungan dengan kedua orang tuanya dilukiskan dengan kata ( )بَ ًّرا بِ َ ااِ َد ْي ِهbarra bi
walidaihi/ bakti kepada kedua orang tuanya, sedangkan kepada sesama makhluk
dilukiskan oleh kalimat (َصيًّا
ِ )اَ ْي َ ُك ْي َجبَّارًّ ا عlam yakun jabba>ran ‘ashiyyan/ bukanlah
ia orang yang sombong pendurhaka. 54
50
Muhammad Mushthafa ‘Azamî, Dira>sat fi> al-Hadi>s al-Nabawi> (Riya>dh: Jamî’ah al-Riya>dh,
1396), h. 391
51
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usu>l al-Hadi>s: ‘Ulu>muh wa Mushtala>huh (Beirut: Dar al-Fikr,
1975), h. 33
52
Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
24
53
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.217
54
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, h.161
Selain dengan argumentasi di atas, landasan lain tentang pentingnya hal yang
dibahasakan Azyumardi Azra dengan sanad keilmuan di atas telah ditemukan dalam
berbagai literatur klasik studi Islam. Di antaranya adalah yang dikemukakan oleh
Muhammad bin Sirin (w. 110 H/728 M), yang dikutip Muhammad Abu> Syuhbah, yang
mengatakan bahwa ‚Sesungguhnya pengetahuan terhadap hadis adalah agama, maka
perhatikanlah dari siapa engkau mengambil agamamu itu.‛55 Demikian juga dengan
pernyataan Imam al-Sya>fi’i yang dinukil Akram Dhiya’ al-‘Umari, bahwa
‚Perumpamaan orang yang mempelajari hadis tanpa sanad adalah seperti seseorang yang
membawa kayu bakar pada malam hari. Di dalam ikatan kayu itu ada seekor ular sangat
ganas yang siap menggigitnya, sedangkan dia tidak menyadari keadaan tersebut.‛56
Dengan berlandaskan perkataan-perkataan ulama tersebut, maka Zulhedi yang
membahas Eksistensi Sanad dalam Hadis di Jurnal Miqot UINSU menjelaskan bahwa,
‚Beberapa nilai lebih yang terdapat dalam kajian sanad, membuatnya menjadi pembeda
umat Islam dari umat lainnya.‛57 Pernyataan yang senada dengan ungkapan Abu Hatim
al-Razi (w.227 H), yang mengatakan bahwa ‚Tidak ada satu umat pun sejak Nabi Adam
as. diciptakan yang memiliki suatu standar (pegangan) untuk memelihara atsar para
rasulnya selain dari umat Islam ini.‛ Juga demikian dengan pernyataan Muhammad bin
Hatîm al-Mazhfar juga mengatakan, ‚Sesungguhnya Allah SWT. telah memuliakan dan
melebihkan umat Islam dengan isnâd.‛58
55
Muhammad Abu> Syuhbah, Fi Riha>b al-Sunnah al-Kutub al-Shihha>h al-Sittah (Azhar: Majma’ al-
Turats, 1969), h. 37.
56
Akram Dhiya’ al-’Umari>, Buhu>ts fî Ta>ri>kh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirut: Basath, 1984),
h.54
57
Zulhedi, ‚Eksistensi Sanad dalam Hadis‛ dalam Jurnal Miqot, Vol.XXXIV, No.2, Juli-Desember,
2010, h.165-166
58
Akram Dhiya’ al-’Umari>, Buhu>ts fî Ta>ri>kh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirut: Basath, 1984),
h.54
Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 149
dialog teologis yang berlangsung antara umat Islam dan umat non Muslim (Yahudi,
Majusi, Kristen). Dengan dialog-dialog tersebut, maka terjadi secara natural interaksi
masyarakat yang multi religius. Dialog itu bahkan berlangsung juga di kalangan Muslim
sendiri yakni mengenai prinsip-prinsip akidah Islam, sekedar untuk menjawab
pertanyaan atau fitnah dari kalangan Muslim. Itu karena masa-masa awal terbentuknya
komunitas Muslim adalah masa dimana persoalan keagamaan cenderung berporos pada
masalah akidah.59
Dalam tradisi muna>zarah ini kiranya karakteristik tidak sombong dan durhaka
berlaku bagi seorang pendidik. Jika empat karakteristik awal (dedikasi, integrasi, lemah
lembut, suci) adalah berkaitan dengan diri pendidik itu sendiri, dan takwa adalah
karakteristik yang terkait dengan ‚Pendidiknya‛ si pendidik, maka karakteristik tidak
sombong dan durhaka berlaku bagi pendidik dengan rekannya. Meskipun dalam tradisi
muna>zarah seorang pendidik dibenturkan pendapatnya dengan rekan-rekan seprofesi,
maka ia tidak boleh sombong dan durhaka atas ilmu yang ia miliki.
Tradisi muna>zarah ini, dalam kritik Al-Ghazali yang dibahas Hasan Asari dalam
literatur yang dibahas sebelumnya memang mempunyai sisi negatif, yaitu ketika muncul
benih persaingan yang inheren dan mudah beralih menjadi keributan yang emosional,
lebih-lebih karena muna>zarah biasanya dilakukan secara publik. Hal itu karena tidak
semua orang mampu menghadapi bayangan kekalahan dengan kepala dingin. Idealnya,
seseorang harus mampu mengendalikan diri dalam muna>zarah dan tidak terbawa hanyut
oleh emosi atau keinginan untuk mengalahkan lawanya. Dengan menukil pernyataan Al-
Katib al-Isbahani, Hasan kemudian melukiskan tentang tradisi muna>zarah ini dan
kaitannya dengan sisi negatif berupa emosi: ia seperti geretan. Bagian luarnya dingin
tetapi di dalamnya menyimpan bara api.60
Sebagai contoh barangkali yang paling populer adalah kasus Imam al-Syafi’i yang
melakukan muna>zarah dengan Fitya>n, seorang faqi>h Maliki dari Mesir. Sebagai seorang
ilmuwan besar, muna>zarah tersebut mengundang banyak pengunjung. Digambarkan oleh
literatur-literatur bahwa muna>zarah memang disaksikan kerumunan masa, mulai dari
yang awam hingga para ilmuwan, rakyat jelata hingga para pembesar kerajaan. Dua
orang tersebut berjuang keras membangun argumennya masing-masing yang lebih
unggul dan dapat mengalahkan lawannya. Pada akhirnya, Fitya>n tersebut diambang
kekalahan dan tidak dapat mengendalikan dirinya dan secara emosional mencaci maki
Imam al-Sya>fi’i. Sontak, para pendukung Imam al-Sya>fi’i mengajukan tuntutan untuk
menghukum Fitya>n yang menuduh ulama besar keturunan Rasul tersebut. Meskipun
pada waktu itu imam al-Sya>fi’i terlihat tenang dan tidak memperhatikan cercaat
tersebut, tuntutan para pendukung mengakibatkan pendukung Fitya>n menuntut balas
59
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik
(Medan: Perdana, 2017), h.179
60
Ibid, h.190
Menariknya kemudian adalah ketika penafsiran yang ditampilkan oleh Ibnu Katsir
ataupun Quraish Shihab tidak membatasi lingkup keselamatan pada hal-hal yang bersifat
material ataupun duniawi sebagaimana ayatnya sendiri juga menyertakan kehidupan
setelah kehidupan di dunia. Ibnu Katsir menafsirkan sebagai berikut:62
‚Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal
serta pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.‛ Yaitu, ia akan memperoleh rasa
aman di tiga kondisi tersebut (lahir, mati dan hari berbangkit). Sufyan bin
‘Uyainah berkata, ‚Alangkah mencekamnya (keadaan) seseorang yang berada di
tiga kondisi tersebut; pada saat ia dilahirkan, ia melihat dirinya keluar dari tempat
yang selama ini di dalaminya, pada saat ia mati, ia akn melihat suatu keadaan yang
belum pernah dialaminya, dan di saat ia dibangkitkan, ia melihat dirinya berada di
padang Mahsyar yang besar (luas)‛. Dia (Sufyan) pun berkata, ‚Allah swt., telah
menghormati Yahya bin Zakariya pada saat itu, lalu mengistimewakannya dengan
salam sejahtera untuknya.
Dengan maksud yang sama, tetapi memiliki pendekatan berbeda, M. Quraish
Shihab menafsirkan sebagai berikut: 63
Kata (ٌم ) َم َمsala>m terambil dari akar kata ( ل ) salima yang maknanya berkisar
pada keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Thabathaba’i
berpendapat bahwa makna kata ini mirip dengan makna kata aman hanya saja kata
aman digunakan untuk menggambarkan ketiadaan bahaya atau hal-hal yang tidak
menyenangkan atau menakutkan seseorang pada tempat tertentu, sedang kata
sala>m digunakan untuk menggambarkan bahwa tempat di mana seseorang berada
61
Aybak al-Safadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t, jilid 9 (Istanbul: Matba’ah al-Daulah, 1931), h.185-186
62
Abu al-Fida>’ Isma>’il, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azhi>m, editor: Sa>my bin Muhammad Sala>mah, Juz V,
Cet. II, (Saudi: Da>r Thayyibah, 1999), h.218
63
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, h.161-162
Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 151
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas mengenai karakteristik pendidik dalam QS. Maryam ayat 12-15
ditemukan bahwa sosok Nabi Yahya yang dalam hidupnya memiliki delapan karakteristik
mendasar, yaitu berdedikasi terhadap ilmu, memiliki integritas, lemah lembut dan
berkasih sayang, sekaligus suci dari dosa dan pelangggaran-pelanggaran agama adalah
cerminan bagi gagasan mengenai karakteristik pendidik. Nabi Yahya juga adalah orang
yang bertakwa, berbakti pada orang tuanya, dan tidak sombong serta durhaka. Ia adalah
pribadi yang selamat dan menyelamatkan. Dalam konteks pendidikan, karakteristik-
karakteristik tersebut dapat diterjemahkan sesuai konteksnya.
E. Referensi
64
Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini
(Malaysia: Casis-Hakim, 2019).
Jurnal Idrak
Karakteristik Pendidik dalam QS. Maryam 12-15 | 153
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994)
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional dan
Sosial sebagai Wujud Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional dan
Sosial sebagai Wujud Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education; Islamic
Education Series (Jeddah: King Abdulaziz University, 1979)
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: IBFIM, 2014)
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan Islam, terj. Rahmani Astuti
(Bandung: Penerbit Risalah, 1986)
Syeikh Abdul Qadir al Jailani, Rahasia Sufi,Terj. Abdul Majid dan Khatib, (Yogyakarta:
Pustaka Sufi, 2002)
The Global Education Monitoring Report Team, Education for People and Planet:
Creating Sustainable Futures for All (France: UNESCO Publishing, 2016)
Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan
Masa Kini (Malaysia: Casis-Hakim, 2019).
Zulhedi, ‚Eksistensi Sanad dalam Hadis‛ dalam Jurnal Miqot, Vol.XXXIV, No.2, Juli-
Desember, 2010