Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia: Sumarno

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 25

Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia


(Studi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan)

Sumarno
STIT Muhammadiyah Tempurrejo Ngawi
E-mail: gusmarno1912@gmail.com

Abstract: The renewal of Islamic education in Indonesia is inseparable from the


character of educational thinkers. This paper deals with the study of the
thought of KH. Ahmad Dahlan with the method examines how the concept of
Islamic education according to KH. Ahmad Dahlan, KH. Ahmad Dahlan's
thinking about how education reform and social theology of Islam, what are the
contributions of K.H. Ahmad Dahlan in the world of Islamic education in
Indonesia and how relevance thought KH. Ahmad Dahlan in the national
education system. The concept of Islamic education is the concept that has a
valid epistimologi, because the Foundation or base of Islamic education,
educational objectives of Islam, and Islamic educational material, all sourced
from the Qur'an and Hadith of Prophet Muhammad. Similarly, with the aim of
education in Muhammadiyah moslem materialize i.e. adopting noble, ably,
believe in yourself, as well as useful for the society and the State. The
Muhammadiyah movement in the early days of its founding, also enshrined the
failed conditions of the people in all fields. Therefore, it is very reasonable if the
base with the basic theology of Qur'an surat al-Ma'un, became a cornerstone in
settling all its people. Al-Ma'un Charity framework, namely in the form of
strengthening and empowering of a wealth of physical, moral, spiritual,
economic, social, and environmental. Meanwhile Charity al-Ma'un pillar
consists of series of orphaned, to serve the poor, embodying the values of
worship (Salat), purifying the intention, steer clear of riya, and build the useful
of partnerships.
Keywords: Renewal, Islamic Education, Theology, KH. Ahmad Dahlan

Pendahuluan
Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan untuk mewujudkan
insan yang berperadaban dan bermartabat. Pendidikan mempunyai peranan penting
dalam membentuk sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Kualitas SDM
yang dibentuk mesti sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan kebutuhan zaman.
Oleh karena itu, pembaruan-pembaruan di bidang pendidikan merupakan upaya
mutlak untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang
sangat urgen dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Karena dengan pendidikan akan
membantu manusia untuk menyingkapkan dan menemui rahasia alam,
mengembangkan fitrah manusia yang merupakan potensi untuk berkembang.
Sangat urgennya masalah pendidikan, sehingga begitu banyak para pakar
ataupun tokoh yang senantiasa berupaya untuk melahirkan pemikiran-pemikiran
tentang pendidikan. Pemikiran itu ada yang sifatnya pengetahuan yang benar-benar

AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 227


Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

baru yang sebelumya belum ada ataupun pemikiran-pemikiran yang sifatnya


pengembangan atau diadakan inovasi dari pemikiran yang ada. Hal ini dilakukan
semuanya tidak lain adalah supaya pendidikan benar-benar mengena pada sasaran,
yakni dapat bermanfaat dalam kehidupan terlebih lagi supaya peradaban yang ada
semakin maju dan berkembang.1
Oleh karena itu kehidupan dan peradaban manusia senantiasa mengalami
perubahan. Maka dalam merespon fenomena itu, manusia berpacu untuk
mengembangkan kualitas pendidikan. Menurut Jusuf Amir Faisal dalam Bahaking
Rama bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan yang mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan intelektual manusia, baik sebagai makhluk individu maupun
sebagai makhluk sosial dalam beragam interaksinya.2 Oleh karena itu pendidikan
dipandang sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan dengan efektif.
Hal ini dimaksudkan agar tujuan pendidikan yakni untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dapat diwujudnyatakan. Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 tahun 2003 telah dikemukakan bahwa ”Pendidikan nasional
bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.3
Abdul Munir Mulkhan berpendapat bahwa pendidikan merupakan model
rekayasa sosial yang sangat efektif dalam membentuk generasi ideal di masa yang
akan datang.4 Hal ini berarti bahwa pendidikan menempati posisi sentral dalam
konteks perubahan dan pembangunan manusia seutuhnya. Tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa perwujudan idealisasi manusia seutuhnya (insan kamil) hanya
dapat diwujudkan melalui pendidikan yang berkualitas. Dalam artian bahwa format
kehidupan masyarakat yang akan datang dapat direkayasa melalui pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan bagi bangsa Indonesia telah dimulai sejak zaman
penjajahan, baik sejak zaman penjajahan Belanda maupun zaman penjajahan Jepang.
Pada zaman penjajahan Belanda, telah diperkenalkan sistem dan metode pendidikan.
Tetapi tujuannya bukan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia, tetapi

1
Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan, (Yogyakarta: Kanisius; 2005), hlm. 7
2
Bahaking Rama, Jejak Pembaharuan Pendidikan Pesantren: Kajian Pesantren As’adiyah Sengkang
Sulawesi Selatan (Cet. I; Jakarta Pusat: PT. Parodatama Wiragemilang, 2003), hlm. 1.
3
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.
4
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Cet. I; Yogyakarta: Sipres, 1993), hlm. v
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 228
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan penjajah Belanda.


Sehingga apa yang disebut oleh pemerintah Belanda dengan pembaruan pendidikan,
sebenarnya adalah westernisasi dan kristenisasi yang tujuannya untuk kepentingan
Negara Belanda.5
Selain terjadinya pemberontakan dimana-mana, dunia pendidikanpun secara
umum mengalami keterbengkalaian. Para murid sekolah hanya disuruh melakukan
gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan lain sebagainya.
Namun walaupun dalam kondisi seperti itu, seorang tokoh pendiri organisasi
Muhammadiyah, yaitu: K.H. Ahmad Dahlan berusaha dengan segala kemampuan
yang ada pada diri beliau, untuk membebaskan rakyat Indonesia pada umumnya dan
umat Islam pada khususnya, agar tetap dapat menikmati pendidikan yang jauh lebih
baik, tidak ada keraguan lagi betapa Muhammadiyah sangat anti terhadap
penjajahan. Menurut Alwi Shihab (1998), Selain menimbulkan penderitaan rakyat,
penjajahan juga bertentangan dengan prinsip tauhid Islam. Para tokoh
Muhammadiyah seperti K.H. Fachrudin, bahkan K.H. Ahmad Dahlan menentang
keras penjajahan. Penentangan Muhammadiyah terhadap misi Kristen di Indonesia
bukan disebabkan oleh sikap atau kebencian Muhammadiyah terhadap Agama
Kristen, tetapi lebih disebabkan oleh sikap pemerintahan Belanda yang tidak netral
dan kebijakan pemerintahan yang selalu berpihak kepada kelompok Kristen.6
Meskipun demikian, sikap antikolonialisme tidak serta merta membuat
K.H.Ahmad Dahlan dan para tokoh Muhammadiyah bermusuhan dengan Belanda.
Secara resmi Muhammadiyah mengajukan ijin pendirian organisasi kepada
pemerintah Belanda. Sistem pendidikan Muhammadiyah juga mengakomodir sistem
sekolah Belanda. Oleh karenanya, Belanda tidak menaruh kecurigaan kepada
gerakan Muhammadiyah. Sikap akomodatif membuat sekolah-sekolah
Muhammadiyah mendapatkan subsidi pemerintah. Akibat dari sikap “akomodatif”
dan kooperatif tersebut K.H.Ahmad Dahlan dituding sebagai Kyai kafir dan anti
penjajahan. Bahkan, Muhammadiyah juga sempat dikucilkan oleh gerakan-gerakan
Islam dan politik yang mengambil sikap oposisi dan konfrontasi kepada

5
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis Ideologis dan Organisasi (Cet. VII;
Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-ilmu Dasar (LPID) Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2008), hlm. 43-54
6
Alwi Shihab, Membendung Arus”Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi misi Kristen di
Indonesia” , (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2016), hlm. 140-158
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 229
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Belanda.7
Muhammadiyah memiliki alasan-alasan teologis dan politis yang mendasari
kerjasama dan kesediaan menerima subsidi dari pemerintah Belanda. Menurut K.H.
Hisyam, Muhammadiyah menerima bantuan dari belanda karena uang tersebut
hakikatnya adalah uang rakyat Indonesia. Jika Muhammadiyah tidak mau menerima
maka subsidi tersebut akan dialokasikan kepada organisasi lain (Djamawi
Hadikusumo, t.th.). Walaupun menerima subsidi, tidak berarti Muhammadiyah
menjadi sub ordinat pemerintah Belanda. Ketika pemerintah Belanda
memberlakukan Ordonansi Guru dan Haji, Muhammadiyah tampil di barisan
terdepan menentang pemberlakuan Ordonansi tersebut.
Muhammadiyah aktif melakukan tekanan politik dan menggalang kekuatan
berbagai elemen sosial dan politik melawan pemberlakuan Ordonansi Guru. Adapun
madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren berada dalam
situasi yang sedikit baik. Karena bebas dari pengawasan langsung pemerintah
Belanda, sehingga pendidikan Islam dalam pondok pesantren masih dapat berjalan
dengan agak wajar. Pendidikan Islam selain mengalami kondisi terpuruk
sebagaimana telah dijelaskan, metode pendidikan Islam yang digunakan juga masih
bersifat tradisional. Hal ini nampak dari metode pembelajaran yang digunakan
dalam dunia pesantren. Metode klasik tersebut antara lain adalah metode sorogan
dan metode wetonan. Metode sorogan dalam dunia pesantren biasanya dilakukan
kepada para santri yang masih memerlukan bimbingan dari para gurunya secara
individual. Metode ini merupakan bagian yang sangat sulit dari sistem pendidikan
Islam tradisional. Karena sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan
disiplin pribadi dari murid.8
Fenomena tersebut menimbulkan keinginan K.H. Ahmad Dahlan untuk
melakukan pembaruan pada bidang pendidikan. Keinginan K.H. Ahmad Dahlan
yang mendorong dirinya untuk melakukan pembaruan dalam dunia pendidikan
karena adanya dikotomi pendidikan. Pada satu sisi ada sistem yang hanya
menekankan sisi religiusitas sedangkan sistem yang lainnya hanya menekankan
pada sisi duniawi. Sehingga tujuan pendidikan ini hanya mampu melahirkan
manusia “cacat” yang sempit dalam religiusitasnya atau manusia-manusia sekuler

7
Ibid.
8
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studitentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES,
1994), ke-4, hlm. 28.
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 230
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

yang tak mengenal agama. K.H. Ahmad Dahlan menawarkan konsep baru yang
bertolak pada pemahaman hakikat manusia secara utuh. Pendidikan seyogyanya
melahirkan manusia-manusia tangguh yang siap menghadapi problema masa depan.
Untuk itulah, K.H. Ahmad Dahlan membuat alternatif baru yaitu dengan
memadukan sistem pendidikan pribumi atau pesantren dengan sistem pendidikan
kolonial yang sesuai dengan ajaran Islam. Dari hasil pemikiran ini, para peneliti
pendidikan sepakat bahwa Muhammadiyah merupakan pioner pembaruan
pendidikan Islam yang cukup berpengaruh di Indonesia. Ahmad Dahlan dan
generasi awal Muhammadiyah pada awal abad ke-20 berhasil menyerukan
pembaruan pendidikan Islam yang diimplementasikan dalam bentuk pendirian
lembaga pendidikan, baik yang berbentuk pesantren, madrasah ataupun sekolah.
Seruan modernisasi pendidikan ini menggema dimana-mana, menembus sampai luar
wilayah Yogyakarta sebagai basis gerakannya. Bahkan, sampai ke berbagai kota dan
pelosok desa di tanah air.9 Dan sekarang ini, berbagai jenjang pendidikan, mulai dari
pendidikan pra sekolah, jenjang pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan
tinggi, telah banyak dimiliki oleh organisasi Muhammadiyah. Bahkan jumlah
pendidikan tinggi yang dikelola oleh Muhammadiyah saat ini, oleh organisasi yang
didirikan K.H. Ahmad Dahlan ini diklaim sebagai yang terbesar di negeri ini, yang
jumlahnya melebihi sekolah yang dikelola oleh pemerintah republik Indonesia.

Pembahasan
1. Konsep Pendidikan Islam di Indonesia K.H. Ahmad Dahlan
a. Mengenal K.H. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1868 Miladiyah dengan
nama Muhammad Darwis, ia adalah anak dari seorang Kyai yang bernama Kyai Haji
Abubakar bin Kyai Sulaiman, seorang khatib di masjid sulthan kota itu. Sedangkan
ibunya bernama Siti Aminah Binti Kyai Haji Ibrahim, penghulu besar di
Yogyakarta.10 Muhammad Darwis adalah anak ke empat dari tujuh bersaudara. dan
masih keturunan salah seorang walisongo yaitu Maulana Malik Ibrahim.
Muhammad Darwis putra H. Abu Bakar, putra K.H Muhammad Sulaiman, putra

9
James L. Peacock, Gerakan muhammadiyah memurnikan ajaran Islam di Indonesia , (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2016), hlm. 40-48.
10
Junus Solom, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Tangerang: Al-Wasat Publising House;
2009), hlm. 56
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 231
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Kyai Murtadla, putra kyai Ilyas, putra Demang Jurang Juru Kapindo, putra Jurang
Juru Sapisan, putra Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig, putra Maulana Muhammad
Fadlullah (prapen), putra Maulana ‘Ainul Jaqin, putra Maulana Ishaq dan Maulana
Ibrahim.11 Muhammad Darwis lahir dan dibesarkan di daerah Yogyakarta, yang
terkenal dengan nama kampung Kauman. KH. Ahmad Dahlan menikah pada tahun
1888 dengan memperistri Siti Walidah, putrid KH. Pengulu K.H. Fadzil (adik
sepupunya). Pernikahan ini menghasilkan 6 putra. Selain itu K.H. Ahmad Dahlan
juga menikah dengan Nyai Rum (adik Kyai Munawir Krapyak), Nyai Aisjah (adik
ajangan pengulu Cianjur), dan Nyai Shalihah putri Kyai Pengulu M. Syafi’i (pengulu
pekalongan). Pernikahan dengan ketiga istrinya strategi untuk penyebaran faham
reformis Islam di tengah pengaruh Islam tradisional yang masih kuat. Ketika masa
dewasa (tahun 1890) K.H. Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji ke Makkah. Di
Makkah beliau tidak hanya menunaikan ibadah haji saja, tetapi juga memperluas
pengetahuannya, Salah seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib. Dalam salah
satu kesempatan ketika belajar, seorang gurunya yang bernama Sayyid Bakri Syatha
memberikan nama baru kepada Muhammad Darwis, yaitu Ahmad Dahlan, selain itu
pula K.H. Ahmad Dahlan berguru kepada para Alim Ulama’ Indonesia yang sudah
bermukim di sana seperti: K.H. Makhfudz dari Termas, K.H. Nakhrawi (Muhtaram)
dari Banyumas, K.H. Muhammad Nawawi dari Banten, serta kepada para alim
ulama’ Makkah yang sudah dikenalnya di jawa.
Sekembalinya dari pergi haji yang pertama, K.H. Ahmad Dahlan memang
sudah cukup menghayati makna dan cita-cita pembaruan. Meski, sukar untuk dapat
dibuktikan dengan pasti, apakah K.H. Ahmad Dahlan sampai pada pemikiran
pembaruan itu secara perseorangan atau dipengaruhi oleh orang lain. K.H. Ahmad
Dahlan mulai melaksanakan cita-citanya itu dengan mengubah arah orang
bersembah yang kepada kiblat sebenarnya. Saat masih kecil beliau diasuh oleh
ayahnya sendiri yang bernama K.H. Abubakar. Karena sejak kecil Muhammad
Darwis mempunyai sifat yang baik, budi pekerti yang halus dan hati yang lunak
serta berwatak cerdas, maka ayah bundanya sangat sayang kepadanya. Ketika
Muhammad Darwis menginjak usia 8 tahun sudah dapat membacaAlquran dengan
lancar. Dalam hal ini Muhammad Darwis memang seorang yang cerdas fikirannya

11
Junus Solom, K.H Ahmad Dahlan Amal dan Perjuangannya., hlm. 56.
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 232
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

karena dapat mempengaruhi teman-teman sepermainannya dan dapat mengatasi


segala permasalahan yang terjadi diantara mereka.
Muhammad Darwis kecil tinggal di kampung Kauman. bahwa kampung
Kauman anti dengan penjajah. Suasana seperti ini tidak memungkinkan bagi
Muhammad Darwis untuk memasuki sekolah yang dikelola oleh pemerintah
penjajah. Pada waktu itu siapa yang memasuki sekolah Gubernamen, yaitu sekolah
yang diselenggarakan oleh pemerintah jajahan, dianggap kafir atau kristen. Sebab itu
Muhammad Darwis tidak menuntut ilmu pada sekolah Gubernamen, ia
mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan dari ayahnya sendiri.
Pada abad ke-19 berkembang suatu tradisi mengirimkan anak kepada guru untuk
menuntut ilmu, dan menurut Karel Steebbrink sebagaimana yang dikutip oleh
Weinata Sairin ada enam macam guru yang terkenal pada masa itu; guru ngaji
Qur’an, guru kitab, guru tarekat, guru untuk ilmu ghaib, penjual jimat dan lain-lain,
guru yang tidak menetap di suatu tempat. Dari lima macam guru tadi, Muhammad
Darwis belajar mengaji Qur’an pada ayahnya, sedangkan belajar kitab pada guru-
guru lain.12
Setelah menginjak dewasa, Muhammad Darwis mulai membuka kebetan
kitab mengaji kepada K.H. Muhammad Saleh dalam bidang pelajaran ilmu Fiqih dan
kepada K.H. Muhsin dalam bidang ilmu Nahwu. Kedua guru tersebut, merupakan
kakak ipar yang rumahnya berdampingan dalam satu komplek. Sedangkan pelajaran
yang lain berguru kepada ayahnya sendiri, juga berguru kepada K.H. Muhammad
Noor bin K.H. Fadlil, Hoofd Panghulu Hakim Kota Yogyakarta dan K.H.
Abdulhamid di Kampung Lempuyang Wangi Yogyakarta.13 Selain itu Muhammad
Darwis juga berguru kepada beberapa guru, di antaranya: belajar ilmu fikih kepada
Kyai Haji Muhammad Shaleh, belajar ilmu nahwu kepada K.H. Muhsin, ilmu falak
kepada Kyai Raden Haji Dahlan, ilmu hadis kepada Kyai Mahfudh dan Syaikh
Khayyat, ilmu Qiraah kepada Syaikh Amin dan Syaikh Bakri Satock. Guru-guru
Muhammad Darwis lain yang bisa disebut adalah: Kyai Haji Abdul Khamid, Kyai
Haji Muhammad Nur, Syaikh Hasan, dan lain-lain.14

12
Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, hlm. 39.
13
Muhammad Soedja’, Cerita Tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan, hlm. 202
14
Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, hlm. 39
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 233
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

b. Konsep Pendidikan Menurut K.H. Ahmad Dahlan


K.H. Ahmad Dahlan menekankan bahwa pendidikan Islam merupakan suatu
wadah untuk menuju kepada kesempurnaan budi, yaitu mengerti baik-buruk,
benar-salah, kebahagiaan atau penderitaan. Kondisi ini dicapai jika akalnya
sempurna, yakni akal kritis dan kreatif-bebas yang di peroleh dari belajar. Setiap
orang wajib mengikuti pendidikan, menyebarkan ilmu sekaligus Islam kesemua
orang di semua tempat. Menjadi guru sekaligus murid, belajar dan mengajar untuk
kebaikan hidup seluruh umat manusia. Sekolah, madrasah, dan pesantren adalah
instrumen dan media bagi kebaikan hidup, penyempurnaan budi dan akal yang terus
diubah dan disempurnakan sesuai zaman dan perkembangan ilmu.15
Menurut K.H. Ahmad Dahlan Tujuan Pendidikan Islam hendaknya
diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim
dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan
pembaruan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu
pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda.
Pendidikan pesantren pada satu sisi bertujuan untuk menciptakan individu
yang shaleh dan mengamalkan ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model
Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan
pendidikan agama. Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub
intelegensia: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu
umum dan sekolah belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu
agama. Melihat ketimpangan tersebut K.H. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa
tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai
ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual serta dunia dan akhirat.
K.H. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kedua hal tersebut (agama dan
umum, material dan spiritual, serta dunia dan akhirat) merupakan hal yang tidak
bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa K.H. Ahmad
Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah
Muhammadiyah. Sehingga tujuan pendidikan Muhammadiyah adalah terwujudnya
manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri, serta
berguna bagi masyarakat dan negara, itulah cita-cita K.H. Ahmad Dahlan dalam
15
Robert W. Hefner, dkk, Api Pembaharuan Kiai Ahmad Dahlan (Yogyakarta : Multi Pressindo,
Maret 2008), Cet. Ke-I, hlm. 25-26.
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 234
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

bidang pendidikan Islam. Dari beberapa rumusan di atas, penulis dapat


menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya nilai-nilai Islam
dalam setiap pribadi manusia dengan berdasar pada citacita hidup yang
menginginkan kebahagiaan dunia akhirat secara harmonis. Hal ini sesuai dengan
firman Allah swt dalam Q.S. al-Qashas / 28 : 77.

‫َح ِس ْن َك َما‬ ِ َ ‫صيب‬ ِ ‫اك اللَّه الدَّار ْاْل ِخرَة ۖ وََل تَ ْن‬ ِ
ْ ‫ك م َن الدُّنْيَا ۖ َوأ‬ َ َ‫س ن‬
َ َ َ َ ُ َ َ‫يما آت‬ َ ‫َوابْتَ ِغ ف‬
ِِ ُّ ‫ض ۖ إِ َّن اللَّهَ ََل ُُِي‬
‫ين‬
َ ‫ب الْ ُم ْفسد‬ َ ‫َح َس َن اللَّهُ إِلَْي‬
ِ ‫ك ۖ َوََل تَ ْب ِغ الْ َف َس َاد ِِف ْاْل َْر‬ ْ‫أ‬
Terjemahnya :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.16

c. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Pembaruan Pendidikan Islam dan


Teologi Sosial
1) Paradigma Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan
beberapa Gerakan pembaruan Islam yang dilakukan oleh K.H. Ahmad
Dahlan dalam bidang pendidikan, khususnya dalam bidang pendidikan Islam, sudah
begitu banyak, kita menengok kembali Kultur pendidikan Islam tradisional
(pesantren) yang membelenggu sebagian besar masyarakat Indonesia itulah yang
hendak dibongkar oleh K.H. Ahmad Dahlan. Paradigma mengenai reformasi
pendidikan Islam tentunya dibidikkan dalam rangka mengembalikan kemampuan
pendidikan Islam untuk mengimbangi produk (siswa) sekolah Belanda. Menurut
soebardi dan lee dikutip oleh Achmad Jainuri, K.H. Ahmad Dahlan sangat
berkeinginan untuk mencetak ”elit” muslim terdidik dan memiliki identitas Islam
yang kuat sehingga mampu memberikan bimbingan dan keteladanan terhadap
masyarakat, dan sekaligus sebagai kekuatan untuk mengimbangi tantangan kaum
elit sekuler berpendidikan Barat yang dihasilkan oleh sistem pendidikan Belanda.17

16
Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam- Direktorat
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta Pusat; PT. Sinergi
Pustaka Indonesia, 2012), hlm..556
17
Achmad Jainuri, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Pembaharuan Islam, dalam Din Syamsuddin, (ed),
Muhammadiyah Kini dan Esok, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990) hlm. 43
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 235
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Agaknya, semangat juang K.H. Dahlan untuk selalu memberikan pencerahan melalui
dunia pendidikan tidak pernah berlaku surut.
Hal ini bisa kita lihat lewat perjalanan yang telah ditempuh oleh pergerakan
Muhammadiyah yang telah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dia telah mempunyai
pengalaman dalam zaman penjajahan Barat dan Timur Selain itu, bidang pendidikan
juga dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang mendorong berdirinya
Muhammadiyah. Pada tanggal 1 Desember 1911, beliau mendirikan Sekolah Dasar di
lingkungan Kraton Yogyakarta yang mengajarkan mata pelajaran umum. Sekolah
yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan diselenggarakan dengan sistem pendidikan
modern yang kemudian dikembangkan secara luas setelah Muhammadiyah didirikan
pada tahun 1912. Kehadiran pendidikan Muhammadiyah dengan sistem baru
merupakan elemen modern di dalam Kraton Yogyakarta, yang oleh Steenbrink
disebut ”ultra konservatif”.18
Pendidikan Muhammadiyah memiliki idealisme untuk menyiapkan generasi
muda yang mampu menjadi khalifah Allah di muka bumi, dan sekaligus responsif
terhadap tuntutan perkembangan zaman. Perpaduan antara idealism dan konteks
perkembangan zaman dalam pengembangan pendidikan dimaksudkan sebagai
upaya untuk menyiapkan kader-kader persyarikatan dan umat Islam yang sesuai
dengan perkembangan zaman. Kini, pendidikan Muhammadiyah telah berlangsung
selama satu abad (seratus tahun), dan secara gemilang terus mengalami
perkembangan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Namun demikian, dalam proses
perkembangannya itu, perbagai tantangan dan bahkan ancaman selalu muncul
ditengah dinamika pendidikan itu sendiri.
Ancaman yang dikhawatirkan bagi pendidikan Muhammadiyah adalah
fenomena kualitas pendidikan ilmu agama Islam, sebagai core pendidikan
Muhammadiyah, yang belum memuaskan. Pendidikan ilmu agama Islam yang
notabene merupakan unsur fundamental dalam pendidikan Muhammadiyah, secara
sadar maupun tidak sadar, mengalami pergeseran kedudukan dan fungsinya.
Bahkan, ada dugaan dibeberapa sekolah Muhammadiyah telah terjadi upaya sadar
untuk menggeser kedudukan pendidikan ilmu agama Islam dari core curriculum
menjadi mata pelajaran pelengkap. Apabila hal ini benar-benar terjadi, tentu akan

18
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, 1994, hlm. 52
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 236
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

merongrong hakikat pendidikan Muhammadiyah. Sebab tanpa ilmu agama Islam,


pendidikan Muhammadiyah bagaikan jasad tanpa ruh.19

2) Corak Pembaruan Menurut K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah


a. Pembaruan dan Purifikasi
K.H. Ahmad Dahlan selama di Mekah dalam hajinya yang pertama dan kedua
banyak berguru demi memperdalam wawasan ke-Islamannya. Dan kita ketahui
bersama bahwa Timur Tengah pada waktu itu, tidak bisa kita lepaskan dari
dinamika politik dan pemikiran yang berkembang di sana pada akhir abad ke-19.
Kala itu kita semua mafhum akan adanya gerakan kaum Wahabi yang
mendengungkan purifikasi dari segala hal yang dianggap bid’ah dan khurafat.
Dari hal inilah kita ambil benang merah terkait perkembangan pemikiran
K.H. Ahmad Dahlan sepulang dari Mekah. Ketika pemahamnnya akan keberagaman
kian matang ia pulang dan berhadapan dengan kenyataan-kenyataan sosial
masyarakatnya yang terkadang tidak sejalan dengan pengetahuan yang beliau terima
di Mekah. Persentuhan intelektual ini jelas meninggalkan bekas mendalam bagi K.H.
Ahmad Dahlan. Bertolak dari hal inilah K.H. Ahmad Dahlan mulai menghayati
perlunya suatu gerakan pembaruan Islam di kampong halamannya. Ketika Islam
telah tercampur aduk dengan tradisi dan umat muslim kian terjebak dalam
formalitas agama jelas harus ada yang ‘meluruskannya’ kembali. Inilah peran besar
yang diambil oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan penuh keinsyafan.
Pemikiran pembaruan dan pemurnian Islam K.H. Ahmad Dahlan merupakan
sebuah sistesis pemikiran, K.H. Ahmad Dahlan sampai pada cita-citanya setelah
terlibat dialog intelektual dari pembacaannya terhadap gagasan-gagasan serupa di
Timur Tengah dan kegelisahannya menghadapi kenyataan sosio-kultural masyarakat
muslim Jawa yang terjebak formalitas keagamaan. Yang otentik dari K.H. Ahmad
Dahlan adalah model gerakannya yang mengakar. Tajdid atau pembaruan dihayati
sebagai sebuah gerakan sosial yang tidak hanya berhenti di tataran ide, tapi juga
tindakan nyata yang menyentuh langsung kehidupan umat islam. Formalitas
beragama adalah fokus utama yang ingin didekonstruksi oleh K.H. Ahmad Dahlan,
ide pembaruannya menyangkut akidah dan syariat, maka melalui persyerikatan

19
Farid Setiawan, dkk, Mengokohkan Spirit Pendidikan Muhammadiyah, Dalam Revitalisasi
Pendidikan Muhammadiyah : Upaya Memadukan Cita-cita dan Kenyataan, oleh Dr. Tasman Hamami, M.A
(Yogyakarta : Pyramedia, Januari 2010), Cet. Ke-I, hlm. xvii-xix
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 237
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlam lebih memperluas ide pembaruan dan


pemurnian Islam. Islam yang diperjuangkan Muhammadiyah bentuknya bisa
berbeda sesuai ijtihad elit pada suatu kurun waktu atau tempat,
Konsep Islam murni syariahitis baru muncul sesudah masa K.H. Ahmad
Dahlan sebagai akibat dominasi elite ahli syariah. Formalisasi syariahitis ini
memuncak sesudah masa kemerdekaan ketika tarjih berkembang sebagai lembaga
fatwa syariah. Sesudah peran ahli syariah menyusut akibat modernisasi pendidikan
Islam, Islam-nya K.H. Ahmad Dahlan tampak mengambil peran kembali. Pola
pemurnian Islam yang dijalankan selama lebih ½ abad, dikoreksi ulang melalui
program nasional spiritualisasi syariah. Hal itu menunjukkan dinamika penerapan
ijtihad yang selama ini didominasi ahli syariah dengan kesalehan syariahnya, tampak
diubah menjadi kesalehan spiritual sesudah didominasi elite intelektual.
b. Pendidikan dan Pengajaran
Usaha-usaha Muhammadiyah lain, disamping mengembalikan ajaran Islam
kepada sumbernya yaitu al-Qur’an dan Hadits, Muhammadiyah juga bertujuan
meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama Islam secara modern serta
memperteguh keyakinan tentang agama Islam, sehingga terwujudlah masyarakat
yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, Muhammadiyah mendirikan sekolah-
sekolah yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Masalah pendidikan dan pengajaran
menjadi perhatian utama dari Muhammadiyah. Pada 30 Maret-2 April 1923,
Muhammadiyah secara mendalam membicarakan lembaga yang menentukan corak
masyarakat di kemudian hari. Sebagai hasilnya pada tanggal 14 juli 1923 berdirilah
suatu badan yang diberi nama Majelis Pimpinan Pengajaran Muhammadiyah. Ketua
pertama Majelis Pimpinan Pengajaran Muhammadiah yaitu Mas Ngabehi
Joyosugito. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah
mengadakan pembaruan pendidikan agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan
dijalankan dengan menukar sistem pondok pesantren dengan pendidikan modern
sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman. Pengajaran agama Islam diberikan di
sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Muhammadiyah telah
mendirikan sekolah-sekolah baik yang khas agama maupun yang bersifat umum.
Muhammadiyah menanamkan keyakinan paham tentang Islam dalam system
pendidikan dan pengajaran. Penerapan system pendidikan Muhammadiyah ini
ternyata membawa hasil yang tidak ternilai harganya bagi kemajuan, bangsa

AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 238


Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Indonesia pada umumnya dan khususnya umat Islam Indonesia. Muhammadiyah


berpendirian, bahwa para guru memegang peranan yang penting disekolah dalam
usaha menghasilkan anak-anak didik seperti yang dicita-citakan muhammadiyah.
Yang penting bagi para guru ialah memahami dan menghayati serta ikut beramal
dalam Muhammadiyah, para guru dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan apa
yang dicita-citakan Muhammadiyah.
Dalam muhammadiyah, guru menduduki tempat penting, tidak hanya
sekedar alat mekanis tanpa pengetahuan, kesadaran,motivasi, dan tujuan. Di dalam
pengertian Muhammadiyah, guru merupakan subjek pendidikan, dan subjek
dakwah yang sangat penting fungsi dan amal pengabdiannya. Perlu diketahui bahwa
tujuan Muhammadiyah dalam lapangan pendidikan yaitu membentuk manusia yang
cakap, berakhlak mulia, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat. Jadi
tidak hanya bertujuan membentuk manusia intelektual saja, tetapi juga manusia
muslim, manusia moralis, dan manusia yang berwatak.
Hal yang menarik pada sekolah Muhammadiyah, pemisahan Bahasa Arab
sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri merupakan langkah yang menentukan
dalam pandangan kaum pembaharu. Di pondok pesantren, Bahasa Arab diajarkan
sebagai bagian membaca al-Quran. Setelah mempelajari huruf Arab dan cara
pengucapan, ayat-ayat al-Qur’an dipelajari secara utuh, dan tafsir ayat-ayat tertentu
diberikan dalam bahasa Jawa. Tidak ada pengajaran bahasa Arab sebagai bahasa.
Sekolah Muhammadiyah mengajarkan bahasa Arab sebagai mata pelajaran yang
berdiri sendiri. Ini telah dicoba sebagai pembaruan dalam mempelajari al-Qur’an di
kalangan masyarakat Jawa di Mekah akhir abad ke-19 ketika Snouck Hurgronje
tinggal di sana.
Metode baru yang diterapkan oleh sekolah Muhammadiyah mendorong
pemahaman al-Qur’an dan Hadits secara bebas oleh para pelajar sendiri. Tanya
jawab dan pembahasan makna dan ayat tertentu juga dianjurkan di kelas. “Bocah-
bocah dimardikaake pikire (anak-anak diberi kebebasan berpikir)”, suatu pernyataan
yang dikutip dari seorang pembicara kongres Muhammadiyah tahun 1925,
melukiskan dengan baik suasana sekolah-sekolah Muhammadiyah pertama kali
(lihat Mailraport No. 467X/25 : 13).20

20
HM. Nasruddin Anshoriy Ch, Matahari Pembaruan, (Yogyakarta: Penerbit Jogja Bangkit
Publisher, 2010), Cet. Ke-I, h. 110-112
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 239
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

K.H. Ahmad Dahlan memberikan beberapa nasihat dan wasiat, di antaranya :


Muhammadiyah bagi semua “ Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukanlah
satu pekerjaan yang mudah. Karena itu aku senantiasa berdoa setiap saat hingga
saat-saat terakhir aku akan menghadap kepada Ilahi Rabbi. Aku juga berdoa berkat
dan keridhaan serta limpahan rahmat karunia Ilahi agar Muhammadiyah tetap maju
dan bisa memberi manfaat bagi seluruh umat manusia sepanjang sejarah dari zaman
ke zaman.”
Memajukan Muhammadiyah
“Aku berdoa agar kamu sekalian yang mewarisi, menjaga dan memajukan
Muhammadiyah, semoga Allah Swt. Senantiasa mengaruniai taufik dan hidayahnya
dalam mengamalkan dan memperjuangkan agama Islam yang sempurna. Melalui
usaha demikian aku berharap semoga segala macam penyakit yang selama ini
menyebabkan kemunduran umat Islam dan segala macam penyakit dalam tubuh
masyarakat semakin hilang sehingga tubuh masyarakat itu menjadi semakin sehat.”
Kutitipkan Muhammadiyah
“Mengingat keadaan tubuhku, kiranya aku tidak lama lagi akan meninggalkan
anak-anakku semua. Sedangkan aku tidak memiliki harta-benda yang bisa
kutinggalkan kepadamu. Aku hanya memiliki Muhammadiyah yang akan
kuwariskan kepadamu sekalian.” 21

2. Urgensi Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan


a) Teologi Al-Ma’un
Dalam pengajian rutin Subuh, K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surah
Al-Ma’un berulang-ulang selama beberapa hari. Salah seorang murid dan peserta
pengajian bernama Sudjak, lalu bertanya kepada K.H. Ahmad Dahlan, mengapa
bahan pengajian tidak ditambah-tambah dan hanya mengulang-ulang surah
tersebut. Mendengar pertanyaan itu K.H.Ahmad Dahlan balik bertanya kepada para
muridnya, apakah mereka sudah benar-benar mengerti akan maksud surah Al-
Ma’un, para murid serentak menjawab bahwa mereka bukan hanya sudah mengerti,
tapi sudah hafal. K.H.Ahmad Dahlan lalu bertanya, apakah arti ayat-ayat yang sudah
dihafal tersebut sudah pula diamalkan. Para murid pengajian itu menjawab bertanya;
“Apanya yang diamalkan, bukankah surah Al-Ma’un sudah seringkali dibaca saat

21
Ibid. hlm. 159
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 240
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

menjalankan shalat?” K.H. Ahmad Dahlan menjawab bahwa bukan itu yang ia
maksud diamalkan, tapi apa yang sudah dipahami itu dipraktikkan dan dikerjakan.
Kemudian K.H.Ahmad Dahlan memerintahkan para muridnya untuk mencari orang
miskin di sekitar tempat tinggal masing-masing, jika sudah menemukan, mereka
harus membawa orang miskin dan anak yatim itu kerumah masing-masing,
dimandikan dengan sabun dan sikat gigi yang baik, dan diberi pakaian seperti yang
biasa mereka pakai. Orang miskin itu juga diberi makan dan minum serta tempat
tidur yang layak. Pengajian pagi itu kemudian ditutup dan K.H. Ahmad Dahlan
memerintahkan agar para murid melakukan apa yang sudah dijelaskan kepada
mereka. Pesan yang disampaikan oleh K.H.Ahmad Dahlan yang sangat getol
mengajak murid-muridnya mengamalkan surat Al-Ma’un itu, dapat juga dijadikan
sebagai salah satu langkah teori untuk memperdalam amalan-amalan yang telah
diperbuat oleh Muhammadiyah dalam bermasyarakat.
K.H. Ahmad Dahlan tidak hanya terpesona pada keindahan susunan ayat al-
Qur’an pada juz 30 itu. Tapi dia menyuruh santrinya mengulang Al-Ma’un untuk
meresapkan sekaligus untuk mengamalkan perintah pada surat yang menjelaskan
sifat buruk manusia yang mendustakan agama, menghardik anak yatim piatu, tak
menyantuni dhuafa’, bahkan enggan menolong dengan barang berguna. Untuk
mengamalkan surat itu, selain yang telah penulis uraikan diatas, K.H. Ahmad Dahlan
juga mengajak santri-santrinya ke pasar Beringharjo, Malioboro, dan Alun-alun
utara Yogyakarta. Di tempat-tempat itu berkeliaran pengemis dan kaum fakir. K.H.
Ahmad Dahlam memerintahkan setiap santrinya untuk membawa fakir itu ke
Mesjid Besar. Dihadapan para santri, K.H. Ahmad Dahlan membagikan sabun,
sandang dan pangan kepada kaum fakir. K.H. Ahmad Dahlan meminta fakir miskin
untuk tampil bersih. Sejak saat itulah, Muhammadiyah aktif dalam menyantuni fakir
miskin dan yatim piatu.22
Dalam setiap ceramah dan pengajian, K.H. Ahmad Dahlan terus-menerus
menyerukan agar setiap orang yang mampu, bersedia memenuhi hak dan berlaku
adil kepada orang miskin, para fakir, anak yatim, dan orang-orang terlantar. Seruan
tersebut kemudian melahirkan gerakan pengelolaan zakat dan zakat fitrah. Zakat
dibagikan kepada kaum fakir miskin, orang terlantar di jalan, dan mereka yang
menderita karena berbagai sebab. Dari sini pula kemudian lahir rumah miskin, panti
22
Pusat Dakwah Muhammadiyah, Tabligh Menyatukan Visi dan Misi Umat, Majalah Bulanan
Muhammadiyah, (No. 10/XI Syawal-Dzulqaidah 1435 H), hlm. 30.
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 241
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

asuhan yatim-piatu, rumah orang terlantar, dan rumah sakit. Sikap ikhlas K.H.
Ahmad Dahlan dalam berdakwah dan bersandar pada ketentuan takdir Allah
tercermin dalam kisah berikut. Suatu ketika, K.H. Ahmad Dahlan sedang mengajar
di daerah Jetis yang jarak sekitar 5 km dari tempat tinggalnya. Saat K.H. Ahmad
Dahlan serius mengajar, tiba-tiba datang utusan dari rumah. Utusan itu meminta
K.H. Ahmad Dahlan segera pulang karena anak laki-laki satu-satunya, Djumhan,
sakit keras. K.H. Ahmad dahlan pun segera pulang kerumahnya di Kampung
Kauman. Setibanya di rumah, K.H. Ahmad Dahlan segera ke kamar anaknya. Ia
mendapati sang anak sedang terlentang di tempat tidur. K.H. Ahmad Dahlan lalu
mendoakan dan mencari obat bagi kesembuhan anaknya tersebut.
Sesudah itu K.H. Ahmad Dahlan lalu berkata kepada Djumhan bahwa jika ia
memang belum ditakdirkan mati. Tapi jika memang telah sampai pada ajal, ia
mengatakan bahwa insya Allah putranya itu akan bertemu dengan sang kakak yang
sudah lebih dahulu meninggal dunia. K.H. Ahmad Dahlan lalu kembali mengajar.
Sebelum berangkat, ia berpesan kepada isterinya, jangan sekali-kali percaya bahwa
anaknya akan sembuh jika ia tunggui, atau sebaliknya akan mati ketika ia tinggal
pergi.23
Pendidikan dan pengajaran yang diterapkan dan sudah di contohkan oleh
K.H. Ahmad Dahlan adalah sebuah penerapan tingkah laku, dimana setiap
pembelajaran yang dilakukan menekankan pada perubahan tingkah laku, bukan
hanya sekedar diketahui, dihafal, namun tidak dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.
b) Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan Tentang Teologi Sosial
K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh pembaruan yang terlebih dahulu
mengawali cita-citanya melalui gerakan sosial dan pendidikan. K.H. Ahmad dahlan,
melalui gerakan organisasi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern, tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran pembaruan Islam seperti yang digagas
oleh Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, ataupun rasyid
Ridha, karena mereka sering dirujuk sebagai penyeru pembaruan Islam. Bahkan,
pendirian Muhammadiyah merupakan “Perpanjangan tangan” pembaruan di Timur
Tengah.24

23
HM. Nasruddin Anshoriy Ch, Matahari Pembaruan, hlm.. 67-69
24
Firdaus Syam, MA, Amin Rais, Politisi yang Merakyat dan Intelektual yang Saleh, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 60
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 242
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Jamaluddin al-Afghani dirujuk karena gerakan pan-Islamisme, sementara


Muhammad Abduh lebih menonjolkan perlunya pembaruan dalam bidang
“pendidikan”. Adapun Muhammad bin Abdul Wahab, lebih sempit lagi, lantaran
Cuma terkait dengan aspek “aqidah”, dan kemudian menyatu juga dengan gerakan
politik. 25
K.H. Ahmad Dahlan sebagai tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah,
menjadikan teologi sebagai ruh yang menggerakkan amal usahanya, karena
wataknya sebagai gerakan Islam yang beramal nyata. Pencitraan bahwa teologi yang
dianut Muhammadiyah bersifat teologi modernis, memunculkan pertanyaan, apakah
teologi yang dianut oleh Muhammadiyah merupakan teologi modernis atau teologi
“tradisional”? 26
Menurut Azyumardi Azra yang menyebut bahwa Muhammadiyah hanya
berpaham modernis pada tingkat praksis, sementara pada tingkat ideologisnya
masih menganut aliran Asy’ariyah. Dia mengatakan : “pada tingkat praksis,
Muhammadiyah tampaknya dapat dimasukkan ke dalam tingkat modernis…,
sementara pada tingkat ideologis jauh lebih sulit untuk menentukan tipologinya”.27
Meski teologi K.H. Ahmad Dahlan yang digagas melalui organisasi
Muhammadiyah terkesan bersifat rasional dan modern, namun menurut Aryalubis,
teologi Muhammadiyah tersebut tidak seluruhnya mengikuti teologinya Muhammad
Abduh yang rasional dan lebih dekat kepada sistem teologi Mu’tazilah. Karena
teologi Muhammadiyah juga dekat dengan teologi Asy’ariyah yang bersifat
“tradisional”.28
Antara rasionalisme teologi Abduh dan tradisionalisme teologi Asy’ariyah
bukanlah dua hal yang harus dipermasalahkan, karena Muhammadiyah tetap
memiliki jatidiri dan konsep sendiri tentang kebenaran kalam yang harus dianutnya.
Sungguh pun suatu kalam, misalnya Asy’ariyah, mengandung banyak kebenaran dan
sesuai dengan ajaran Islam yang autentik, tetap akan diikuti oleh Muhammadiyah.
Sebaliknya, jika suatu kalam atas dasar rasionalisme, tetapi mengandung banyak
penyimpangan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni, maka

25
M. Amin Abdullah, Pendekatan Teologis dalam Memahami Muhammadiyah dalam Kelompok Studi
Lingkaran, Intelektualisme Muhammadiyah, Menyongsong Era Baru, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 27
26
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, (Bandung: Rosdakarya, 1999), hlm.112
27
Ibid, hlm. 114
28
Arbiyah Lubis, Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Studi Perbandingan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989), hlm. 99
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 243
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

muhammdiyah pun mengabaikan. Pembaruan Islam yang cukup mendasar dari K.H.
Ahmad Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan pengamalan surat Al-Maun,
artinya Teologi utama yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan mendasari
berdiri serta berkembangnya Muhammadiyah adalah teologi Al-Maun. (Teologi yang
didasarkan pada Al-Qur’an S. Al-Maun ayat 1-7).

ِ‫ ُّض َللَط عَاا‬ ُّ ُ‫يم () َوََل َُي‬ ِ ِ َّ ِ‫أَرأَيت الَّ ِذي ي َك ِّذب بِالدِّي ِن () فَ َذل‬
َ َ ‫ك الذي يَ ُدعُّ الْيَت‬َ ُ ُ َ َْ
‫ين ُه ْم يَُراءُو َن‬ ِ َّ ِِ ‫ني () فَويل لِْلمصلِّني () الَّ ِذين هم لن‬ ِ ‫الْ ِمس ِك‬
َ ‫اهو َن () الذ‬ ُ ‫ص ََلِت ْم َس‬ َ َْ ُْ َ َ َ ُ ٌ َْ ْ
)( ‫() َوَيَْنَ اُو َن الْ َمالُو َن‬
Terjemahnya :
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang
menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang
miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan
(menolong dengan) barang berguna.” 29

Warga Muhammadiyah tentu tidak asing dengan cerita tentang “pengajian


Al-Maun” oleh K.H. Ahmad Dahlan. Bagi K.H. Ahmad Dahlan, surat Al-Maun
bukanlah hanya sekedar surat yang hanya dibaca dan dihafal. Banyak umat muslim
yang hafal surat ini namun masih miskin penghayatannya. K.H. Ahmad Dahlan
menekankan pentingnya pengejewantahan pemahaman dalam aksi yang nyata.
Dalam setiap ceramahnya, K.H. Ahmad Dahlan secara istiqamah menyerukan bagi
setiap orang yang mampu untuk memenuhi hak dan berlaku adil terhadap orang-
orang miskin, yatim piatu, dan mereka-mereka yang terlantar. Dari seruan itu
lahirlah lembaga pengelola zakat. Dari pemikiran itulah lalu lahirlah rumah sakit
dan panti asuhan.
Dalam surah ini seringkali diterjemahkan dalam tiga pilar kerja, yaitu :
Schooling (Pendidikan), Healing (pelayanan Kesehatan), dan Feeding (Pelayanan Sosial).
Melalui teologi ini pulalah yang membuat K.H. Ahmad Dahlan punya semangat
tinggi dalam merubah masyarakat ketatanan yang lebih baik. Sehingga lewat
organisasi Muhammadiyah yang sudah mampu bertahan hingga ± 1 Abad dengan
memiliki ribuan sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan layanan kesejahteraan sosial
yang lain. Yang tak kalah penting dalam pembicaraan kita tentang K.H. Ahmad

29
Kementerian Agama RI. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam- Direktorat
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta Pusat: PT. Sinergi
Pustaka Indonesia, 2012), hlm. 508
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 244
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Dahlan adalah semangatnya sebagai seorang pendidik. Beliau begitu intens


mengkritik dualism pendidikan pada masanya.
Pandangan muslim tradisional terhadap pendidikan terlalu menitikberatkan
pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari lembaga
pendidikannya yaitu pesantren. Pesantren lebih mengembangkan ilmu agama
dibanding ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan kemunduran pada dunia Islam
karena umat Islam hanya memikirkan masalah akhirat dan menimbulkan sikap
pasrah. Begitu pun dengan sistem pendidikan kolonial. Dilihat dari metode
pengajaran dan alatalat pendidikannya, memang terbilang banyak sekali manfaat
dan kemajuan yang bisa diraih siswa dari pendidikan kolonial ini. Hanya saja, dalam
sekolah kolonial tidak terdapat pelajaran tentang agama, khususnya Islam. Hal ini
meyebabkan siswa cakap secara intelektual namun lemah karakter dan
moralitasnya. Karena itulah K.H. Ahmad Dahlan memandang penting persoalan
sinergi antara ilmu umum dan agama. Karena itulah intitusi pendidikan
Muhammadiyah tidak memberlakukan pemisahan antara ilmu umum dan agama,
sekolah Muhammadiyah yang pertama telah berdiri satu tahun sebelum
Muhammadiyah sebagai organisasi berdiri. Pada tahun 1911 K.H. Ahmad Dahlan
mendirikan sebuah madrasah dirumahnya yang diharapkan bisa memenuhi
kebutuhan kaum muslim terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama
memberikan mata pelajaran umum. Di sekolah itu, pendidikan agama diberikan oleh
K.H. Ahmad Dahlan sendiri dan pelajaran umum diajarkan oleh seorang anggota
Budi Utomo yang juga guru di sekolah pemerintah.
Materi utama pendidikan yang diajarkan K.H. Ahmad Dahlan, kepada
muridmuridnya adalah pemahaman surat Al-Maun, Pada Intinya, surat ini
mangajarkan bahwa ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak
melakukan amal sosial, sehingga pada pelaksanaannya pendidikan yang sudah
diprakarsai oleh K.H. Ahmad Dahlan bukan hanya sekedar pengetahuan tetapi
langsung dihayati dan diamalkan oleh anak didiknya. Selain bidang pendidikan,
pilar kerja K.H. Ahmad Dahlan adalah Pelayanan sosial. Dimana gagasan dan
pelajaran tentang surat Al-Maun merupakan contoh yang paling monumental dari
pembaruan yang berorientasi pada amal sosial kesejahteraan, karena Islam tidak
sekedar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah dan “hablum min Allah”
(hubungan dengan Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam

AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 245


Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah “teologi amal”


yang khas dari K.H. Ahmad Dahlan dan awal kehadiran Muhammadiyah, sebagai
bentuk dari gagasan dan amal pembaruan lainnya dinegara Indonesia ini.
K.H. Ahmad Dahlan mengembangkan gerakan dakwahnya dengan
memadukan pemahaman terhadap nilai Ilahiah dan pemahaman terhadap manusia,
gerakan dalam teologi Al-Maun yang sering disuarakan Ahmad Dahlan, bukanlah
perilaku individu yang memberi makna kepada mereka yang kekurangan, tetapi
gerakan kolektif yang dilandasi spirit ke-Tuhan-an. K.H. Ahmad Dahlan tidak hanya
menerjemahkan teologi itu dalam tindakan karikatif, dengan menggandeng Budi
Utomo dan Kraton Yogyakarta, K. H. Ahmad Dahlan lantas mendirikan Sekolah,
Rumah Sakit, dan Panti Asuhan. Apa yang dirintisnya ± 1 abad yang lalu kini telah
berkembang pesat diseluruh Indonesia. Dengan mendirikan begitu banyak Rumah
Sakit K.H. Ahmad Dahlan pun memprakarsai bidang kesehatan, selain bidang
pendidikan dan pelayanan sosial melalui organisasi Muhammadiyah. Pertayaan
dasar yang perlu dikemukakan sekarang , di era kapitalisme, apakah pemaknaan
teologi Al-Maun seperti yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan ± 1 abad yang lalu
itu masih efektif dan manjur, terutama untuk 100 tahun yang akan datang ? orang
menjadi miskin itu kebanyakan bukan karena mereka malas bekerja. Banyak sekali
orang miskin yang justru bekerja banting tulang 24 jam sehari. Mereka menjadi
miskin karena hidup di dalam sistem yang menciptakan kemiskinan dan
mendukung penindasan terhadap orang miskin.
Cara-cara tradisional dalam pengentasan kemiskinan, terutama yang bersifat
karikatif, terlihat tak berdaya dan kedodoran menghadapi sistem kapitalisme global
dan pemiskinan struktural oleh negara terhadap rakyatnya. Muhammadityah
melakukan program pemberdayaan masyarakat miskin dibeberapa tempat, namun
upaya itu sangat mudah bubar tergilas oleh kapitalisme global. Definisi orang miskin
itu tak boleh dibatasi pada mereka yang miskin secara ekonomi. Orang miskin
adalah mereka yang mengalami marjinalisasi sosial, seperti petani, pemulung, dan
pelacur, dan mereka yang mengalami subordinasi sosial seperti kelompok agama
minoritas (Ahmadiyah, Syiah, dsb). Bagaimana menerapkan teologi Al-Maun bagi
orang-orang miskin kontemporer itu? Caranya tentu tak bisa dilakukan dengan
memberi mereka uang, tapi melawan sebab-sebab yang membuat mereka miskin,
seperti kapitalisme global dan budaya kemiskinan. Jika Muhammadiyah ingin

AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 246


Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

bertahan dan berkembang pada 100 tahun yang akan datang, maka selain
mempertahankan upaya-upaya penerjemahan teologi Al-Maun dalam tiga pilar
diatas (schooling, healing, dan feeding), organisasi ini perlu juga mengadopsi sistem
baru untuk mengejawantahkan teologi Al-Maun diera kapitalisme global.30
Bagaimana dengan pemikiran sosial dari organisasi Muhammadiyah, yang
tidak lain organisasi ini diprakarsai langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan, jadi secara
umum jika kita berbicara tentang pemikiran sosial Muhammadiyah berarti kita
berbicara tentang apa yang sudah dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Dimana
muhammadiyah memandang bahwa suatu masyarakat tidak akam maju jika hanya
mengandalkan kerja individu. Suatu aktivitas akan dapat memberikan manfaat
secara lebih luas jika dikelola bersama-sama. Dari sini, peranan organisasi menjadi
keniscayaan dalam mewujudkan cita-cita bersama memajukan masyarakat.
Perubahan mentalitas dan carabekerja dari yang semula bersifat “individu” ke arah
yang bersifat “sosial” akan menjadikan citacita dan tujuan bersama lebih mudah
diraih.31
Pemahaman teologi Muhammadiyah terhadap aspek sosial yang lain adalah
dengan mengawinkan antara normativitas Al-Qur’an dengan realisasi sosial. Ketika
dalam surat Al-Maun menegaskan pentingnya memelihara anak yatim dan orang
miskin, maka Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Pembina Kesejahteraan
Umat). Hal ini berangkat dari analisis sosial (ijtihad sosial) Muhammadiyah tentang
kesimpulannya adalah selain produk pemikiran, kelahiran amal usaha
Muhammadiyah juga terkait dengan misi dan ikatan organisasi Muhammadiyah.32
Selain itu, ketika normativitas Al-Qur’an menyatakan, “Wa idza maridhtu fa
huwa yasyfin”, maka Muhammadiyah mengaktualisasikannya menjadi amal konkret
dan wujud amal usaha berupa rumah sakit, sekolah perawat, rumah bersalin, dan
begitu seterusnya. Hal tersebut merupakan contoh “ijtihad” Muhammadiyah di
bidang sosial dalam bentuknya yang lain.33
Dari sini dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah melakukan usaha
menjabarkan dan mengamalkan dimensi normativitas Al-Qur’an dengan sistem kerja
“organisasi” modern. Dengan bahasa lain, dari diskursus teologi Islam yang bercorak

30
James L. Peacock, Gerakan muhammadiyah memurnikan ajaran Islam di Indonesia.. hlm..8-9
31
M. Amin Abdullah, Pendekatan Teologis dalam Memahami Muhammadiyah, dalam Drs. M. Din
Syamsudin, MA, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 25
32
Ibid..35-37
33
M. Amin Abdullah, Pendekatan Teologis dalam Memahami Muhammadiyah, hlm. 30
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 247
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

rasionalistis-intelektualistis ke arah wilayah yang bersifat historis-empiris praktis.


Norma-norma dasarnya berinspirasikan Al-Qur’an dan sunnah (sesuai ajaran untuk
kembali pada Al-Qur’an dan sunnah), dan dalam pelaksanaan dan oprasionalisasi
program organisasinya sematamata merupakan wilayah historis. Segala bentuk
perjuangan membutuhkan kerja keras dan usaha yang nyata dalam mewujudkannya.
Muhammadiyah yang bercitacita memurnikan ajaran Islam dari pengaruh bid’ah,
syirik dan khurafat, juga mendapatkan tantangan yang cukup keras. Hal ini adalah
hal yang biasa ditemui dari suatu gerakan “sempalan” yang berbeda dari mayoritas
masyarakat yang belum siap menerima pembaruan dan modernisasi.
Pemikiran Muhammadiyah, yang digagas oleh sang tokoh pencerah, baik
dalam bidang teologi, fiqih, tasawuf, dan sosial, pada intinya adalah mengembalikan
masyarakat pada ajaran tauhid dan implementasi konkretnya. Bentukbentuk
aktualisasi dari pemikiran tersebut menjadi amal usaha nyata yang dapat dirasakan
oleh masyarakat secara umum. Usaha-usaha pembersihan aqidah dari unsur-unsur
syirik dan lainnya menjadikan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan salafiyah,
gerakan reformasi modernisasi, tajdid, dan gerakan ishlah bahkan tahdits. Sebagai
gerakan pembaruan, Muhammadiyah mengambil bentuk sebagai organisasi dengan
tata kerja modern, yang memadukan antara pandangan teologinya dengan realitas di
lapangan. Normativitas Al-Qur’an dan Hadits sebagai acuan utamanya
diaktualisasikan melalui bentuk-bentuk amal usaha nyata yang memberi manfaat
langsung pada masyarakat.
Hal ini terlihat dari kiprah Muhammadiyah di Indonesia, sejak kelahirannya
sampai sekarang, telah memberi andil yang cukup besar bagi pemanfaatan sumber
daya dan pembangunan nasional.

Catatan Akhir
Muhammadiyah membawa dampak yang luar biasa dalam pembaharuan
pendidikan Indonesia. Hal ini terlihat dari kiprah Muhammadiyah di Indonesia,
sejak kelahirannya sampai sekarang, telah memberi modernisasi, tajdid, dan gerakan
ishlah bahkan tahdits. Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah mengambil
bentuk sebagai organisasi dengan tata kerja modern, yang memadukan antara
pandangan teologinya dengan realitas di lapangan.

AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 248


Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Normativitas Al-Qur’an dan Hadits sebagai acuan utamanya diaktualisasikan


melalui bentuk-bentuk amal usaha nyata yang memberi manfaat langsung pada
masyarakat. Hal ini terlihat dari kiprah Muhammadiyah di Indonesia, sejak
kelahirannya sampai sekarang, telah memberi andil yang cukup besar bagi
pemanfaatan sumber daya dan pembangunan nasional realitas masyarakat yang
banyak melakukan taklid, bid’ah, dan khufarat. K.H. Ahmad Dahlan juga
mengintegrasi sistem pendidikan yaitu memadukan ilmu agama Islam dan ilmu
umum, sebab keduanya memiliki kedudukan yang sama dan berada dalam naungan
Islam Meski teologi K.H. Ahmad Dahlan yang digagas melalui organisasi
Muhammadiyah terkesan bersifat rasional dan modern, namun menurut Aryalubis,
teologi Muhammadiyah tersebut tidak seluruhnya mengikuti teologinya Muhammad
Abduh yang rasional dan lebih dekat kepada sistem teologi Mu’tazilah. Karena
teologi Muhammadiyah juga dekat dengan teologi Asy’ariyah yang bersifat
“tradisional”.34
Antara rasionalisme teologi Abduh dan tradisionalisme teologi Asy’ariyah
bukanlah dua hal yang harus dipermasalahkan, karena Muhammadiyah tetap
memiliki jatidiri dan konsep sendiri tentang kebenaran kalam yang harus dianutnya.
Sungguh pun suatu kalam, misalnya Asy’ariyah, mengandung banyak kebenaran dan
sesuai dengan ajaran Islam yang autentik, tetap akan diikuti oleh Muhammadiyah.
Sebaliknya, jika suatu kalam atas dasar rasionalisme, tetapi mengandung banyak
penyimpangan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni, maka
muhammdiyah pun mengabaikan. Pembaruan Islam yang cukup mendasar dari K.H.
Ahmad Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan pengamalan surat Al-Maun,
artinya Teologi utama yang dilakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan dan mendasari
berdiri serta berkembangnya Muhammadiyah adalah teologi Al-Maun untuk
pengajaran secara nyata dalam keagamaan kepada para muridnya.

Daftar Rujukan

Abdullah, M. Amin 1995, Pendekatan Teologis dalam Memahami Muhammadiyah dalam


Kelompok Studi Lingkaran, Intelektualisme Muhammadiyah, Menyongsong Era Baru,
Bandung: Mizan.

34
Arbiyah Lubis, Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Studi Perbandingan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989), hlm. 99
AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 249
Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

______ 1995, Pendekatan Teologis dalam Memahami Muhammadiyah, dalam Drs. M. Din
Syamsudin, MA, Bandung: Mizan.

Anshoriy Ch, HM. Nasruddin 2010, Matahari Pembaruan, Yogyakarta: Jogja Bangkit
Publisher.

Azra, Azyumardi 1999, Menuju Masyarakat Madani, Bandung: Rosdakarya.

Dhofier, Zamakhsyari, 1994, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES

Freire, Paulo 2005, Pedagogi Pengharapan, Yogyakarta: Kanisius

Jainuri, Achmad, 1990, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Pembaharuan Islam, dalam Din
Syamsuddin,(ed), Muhammadiyah Kini dan Esok, Jakarta: Pustaka Panjimas.

Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam-


Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, 2012. Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Jakarta Pusat; PT. Sinergi Pustaka Indonesia.

L. Peacock James, 2016,Gerakan muhammadiyah memurnikan ajaran Islam di


Indonesia , Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Lubis, Arbiyah 1989, Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Studi Perbandingan,


Jakarta: Bulan Bintang.

Mulkhan Abdul Munir, 1993, Paradigma Intelektual Muslim, Cet. I; Yogyakarta: Sipres.

Pusat Dakwah Muhammadiyah, Tabligh Menyatukan Visi dan Misi Umat, Majalah
Bulanan Muhammadiyah, No. 10/XI Syawal-Dzulqaidah 1435 H

Rais, Firdaus Syam, MA, Amin 2003, Politisi yang Merakyat dan Intelektual yang Saleh,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Rama, Bahaking, 2003, Jejak Pembaharuan Pendidikan Pesantren: Kajian Pesantren As’adiyah
Sengkang Sulawesi Selatan, Cet. I; Jakarta Pusat: PT. Parodatama Wiragemilang

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.

Setiawan, Farid dkk, Mengokohkan Spirit Pendidikan Muhammadiyah, Dalam Revitalisasi


Pendidikan Muhammadiyah : Upaya Memadukan Cita-cita dan Kenyataan, oleh Dr.
Tasman Hamami, M.A Yogyakarta : Pyramedia, Januari 2010

Shihab Alwi, 2016, Membendung Arus”Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap


Penetrasi misi Kristen di Indonesia” , Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 250


Sumarno, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

Shobron Sudarno, 2003, Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis Ideologis dan Organisasi,
Cet. VII; Surakarta Lembaga Pengembangan Ilmu-ilmu Dasar (LPID)
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008.

Solom, Junus, 2009, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, Tangerang: Al-Wasat


Publising House.

W. Hefner, Robert, dkk,2008, Api Pembaharuan Kyai Ahmad Dahlan, Yogyakarta : Multi
Pressindo.

AL MURABBI Vol.3, No. 2, Januari 2017 p-ISSN: 2406-775X/e-ISSN: 2540-7619 251

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy