Pengaruh Diabetes Self Management Education Diabetik Pada Pasien Rawat Jalan Dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 Di RSD Dr. Soebandi Jember

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 119

PENGARUH DIABETES SELF MANAGEMENT EDUCATION

(DSME) TERHADAP RESIKO TERJADINYA ULKUS


DIABETIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DENGAN
DIABETES MELLITUS (DM) TIPE 2
DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER

SKRIPSI

Oleh
Alvinda Yuanita
NIM. 092310101013

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2013
PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME)


terhadap Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan
Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember” telah diuji dan
disahkan oleh Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember pada:
hari : Kamis
tanggal : 26 September 2013
tempat : Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember

Tim Penguji
Ketua,

Ns. Rondhianto, M.Kep


NIP. 19830324 200604 1 002

Anggota I, Anggota II,

Ns. Wantiyah, M.Kep Ns. Tantut Susanto, M. Kep., Sp.Kep.Kom


NIP. 19810712 200604 2 001 NIP. 19800105 200604 1 004

Mengesahkan
Ketua Program Studi,

dr. Sujono Kardis, Sp.K.


NIP. 19490610 198203 1 001

ii
Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap Resiko
Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan Diabetes Mellitus
(DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember (The Influence of Diabetes Self
Management Education (DSME) to The Risk of Diabetic Ulcers on Type 2
Diabetes Mellitus (DM) Outpatients in dr. Soebandi Hospital Jember).

Alvinda Yuanita

Nursing Science Study Program, Jember University

ABSTRACT

Type 2 Diabetes Mellitus (DM) is a glucose metabolism disorders caused by


insulin resistance and impaired of insulin secretion and it can cause any chronic
complications, such as diabetic ulcers. Diabetes Self Management Education
(DSME) can facilitate patients’s knowledge, skills, and abilities for self-care to
prevent diabetic ulcers. This research was intended to analyze the influence of
DSME to the risk of diabetic ulcers on Type 2 DM outpatients. The research
method was quasi experimental with pre-test and post-test with control group
design and used consequtive sampling with 40 Type 2 DM respondents divided
into 2 groups. Data were analyzed by using Paired T-test and Independent T-test
with 95% of CI. The research results showed that P value of Paired T-test in
experimental group is 0,000 and 0,015 in control group, while P value of
Independent T-test was 0,001 (p < α ; α = 0,05). The conclusion of this research
is there was an influence of DSME to reduce the risk of diabetic ulcers on Type 2
DM outpatients in dr. Soebandi Hospital Jember. It is suggested that nurses can
provide DSME to prevent diabetic ulcers on Type 2 DM patients and using DSME
as a health promotion program.

Key words: diabetes mellitus, diabetic ulcers, DSME, self care

iii
RINGKASAN

Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap Resiko


Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan Diabetes
Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember: Alvinda Yuanita,
092310101013; 2013; 107 halaman; Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Jember.

Diabetes Mellitus merupakan suatu kelainan metabolik akibat gangguan


hormonal yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dan
dapat menimbulkan berbagai komplikasi, salah satunya adalah ulkus diabetik.
Salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam penatalaksanaan DM
tipe 2 adalah edukasi. Edukasi kepada pasien DM tipe 2 penting dilakukan sebagai
langkah awal pengendalian DM tipe 2. Salah satu bentuk edukasi yang umum
digunakan dan terbukti efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup
pasien DM tipe 2 adalah Diabetes Self Management Education (DSME).
DSME merupakan suatu proses memberikan pengetahuan kepada pasien
mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk mengoptimalkan
kontrol metabolik, mencegah komplikasi, dan memperbaiki kualitas hidup pasien
DM. Hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala Poli Interna RSD dr.
Soebandi Jember pada bulan Maret tahun 2013, menunjukkan bahwa perawat
tidak pernah memberikan Diabetes Self Management Education (DSME) kepada
pasien DM tipe 2 karena keterbatasan waktu, kurangnya SDM, dan banyaknya
pasien DM tipe 2 yang kontrol ke Poli Interna.
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah menganalisis pengaruh Diabetes
Self Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik
pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr.
Soebandi Jember. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan
baru dan meningkatkan keterampilan pasien DM dalam melakukan perawatan
mandiri sehingga dapat mencegah terjadinya ulkus diabetik, serta memberikan
kontribusi atau manfaat bagi institusi pendidikan, instansi pelayanan kesehatan,
profesi keperawatan, masyarakat dan responden, serta peneliti lain.

iv
Penelitian ini menggunakan metode penelitian quasi experimental dengan
desain penelitian pre-test and post-test with control group design. Teknik
pengambilan sampel menggunakan teknik non probability sampling yaitu
consequtive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 40 orang yang terbagi
menjadi 20 orang pada kelompok intervensi dan 20 orang pada kelompok kontrol.
Analisis data menggunakan uji Paired T-test dan Independent T-test. Uji Paired
T-test digunakan untuk mengetahui perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik
sebelum dan sesudah pemberian DSME pada kelompok intervensi dan
mengetahui perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik saat observasi awal dan
observasi akhir pada kelompok kontrol. Uji Independent T-test digunakan untuk
mengetahui perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok intervensi
dan kelompok kontrol.
Hasil analisis data menggunakan uji Paired T-test diperoleh nilai p pada
kelompok intervensi sebesar 0,000 dan 0,015 pada kelompok kontrol. Nilai p pada
kedua kelompok tersebut < α (α = 0,05) yang berarti ada perbedaan resiko
terjadinya ulkus diabetik sebelum dan sesudah pemberian DSME pada kelompok
intervensi dan ada perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik saat observasi awal
dan observasi akhir pada kelompok kontrol. Hasil analisis data menggunakan uji
Independent T-test diperoleh nilai p < α (α = 0,05) yaitu sebesar 0,001 yang
berarti ada perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok intervensi
dan kelompok kontrol, atau dengan kata lain ada pengaruh DSME terhadap resiko
terjadinya ulkus diabetik.
Kesimpulan penelitian ini adalah ada pengaruh DSME terhadap resiko
terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM)
Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan
DSME dapat dijadikan suatu materi pokok dalam pembelajaran asuhan
keperawatan pada pasien DM tipe 2, sumber referensi bagi perawat maupun
peneliti lain, suatu program promosi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan
perawatan mandiri pasien DM tipe 2, dan dapat diterapkan oleh masyarakat.

v
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
ABSTRAK ........................................................................................................ iii
RINGKASAN ................................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii
BAB 1. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 7
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 7
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................... 7
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 8
1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan .................................................... 8
1.4.2 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan .................................... 8
1.4.3 Bagi Profesi Keperawatan ................................................... 9
1.4.4 Bagi Masyarakat dan Responden ........................................ 9
1.4.5 Bagi Peneliti ........................................................................ 9
1.5 Keaslian Penelitian ..................................................................... 10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 12
2.1 Diabetes Mellitus ......................................................................... 12
2.1.1 Definisi ................................................................................ 12
2.1.2 Klasifikasi ............................................................................ 12
2.1.3 Etiologi ................................................................................ 13
2.1.4 Patofisiologi......................................................................... 13

vi
2.1.5 Manifestasi Klinis................................................................ 15
2.1.6 Diagnosis ............................................................................. 16
2.1.7 Pencegahan .......................................................................... 18
2.1.8 Penatalaksanaan................................................................... 22
2.1.9 Komplikasi .......................................................................... 24
2.2 Ulkus Diabetik ............................................................................. 25
2.2.1 Definisi ................................................................................ 25
2.2.2 Etiologi ................................................................................ 26
2.2.3 Faktor Resiko ...................................................................... 26
2.2.4 Patofisiologi......................................................................... 27
2.2.5 Klasifikasi ............................................................................ 28
2.2.6 Penatalaksanaan................................................................... 31
2.2.7 Penilaian Ulkus Diabetik ..................................................... 33
2.3 Diabetes Self Management Education (DSME) ......................... 34
2.3.1 Definisi DSME .................................................................... 34
2.3.2 Tujuan DSME...................................................................... 34
2.3.3 Prinsip DSME...................................................................... 35
2.3.4 Standar DSME ..................................................................... 35
2.3.5 Komponen DSME ............................................................... 38
2.3.6 Tingkat Pembelajaran DSME .............................................. 39
2.3.7 Pelaksanaan DSME ............................................................. 40
2.4 Keterkaitan Diabetes Self Management Education (DSME)
dengan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik ................................ 40
2.5 Kerangka Teori ........................................................................... 45
BAB 3. KERANGKA KONSEP...................................................................... 46
3.1 Kerangka Konsep ...................................................................... 46
3.2 Hipotesis ...................................................................................... 46
BAB 4. METODE PENELITIAN ................................................................... 48
4.1 Jenis Penelitian ............................................................................ 48
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian................................................. 49
4.2.1 Populasi Penelitian .............................................................. 49

vii
4.2.2 Sampel Penelitian ................................................................ 49
4.2.3 Kriteria Subjek Penelitian ................................................... 50
4.3 Lokasi Penelitian ......................................................................... 51
4.4 Waktu Penelitian......................................................................... 51
4.5 Definisi Operasional ................................................................... 52
4.6 Pengumpulan Data ..................................................................... 52
4.6.1 Sumber Data ........................................................................ 52
4.6.2 Teknik Pengumpulan Data .................................................. 53
4.6.3 Alat Pengumpulan Data....................................................... 57
4.6.4 Uji Validitas dan Reliabilitas .............................................. 59
4.7 Rencana Pengolahan Data ......................................................... 62
4.7.1 Editing ................................................................................. 62
4.7.2 Coding ................................................................................. 63
4.7.3 Processing/entry .................................................................. 63
4.7.4 Cleaning .............................................................................. 63
4.8 Analisis Data ............................................................................... 64
4.9 Etika Penelitian ........................................................................... 66
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 68
5.1 Hasil Penelitian ........................................................................... 68
5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................... 68
5.1.2 Karakteristik Responden ..................................................... 69
5.1.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik ...................................... 71
5.1.4 Hasil Uji Statistik ................................................................ 73
5.2 Pembahasan ................................................................................. 75
5.2.1 Karakteristik Responden ..................................................... 75
5.2.2 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sebelum Dilakukan DSME
pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ............ 81
5.2.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sesudah Dilakukan DSME
pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ............ 82
5.2.4 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik antara Kelompok
Intervensi dan Kelompok Kontrol ....................................... 84

viii
5.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................. 95
BAB 6. PENUTUP............................................................................................ 98
6.1 Simpulan ...................................................................................... 98
6.2 Saran ............................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 102
LAMPIRAN ...................................................................................................... 108

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ..................................... 52


Tabel 5.1 Distribusi Responden Menurut Usia, Lama Mengalami DM, Nilai KGD
Sewaktu, dan Nilai ABI pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di
RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-
September 2013; n : 40) ……………………………………………. 69
Tabel 5.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan, dan
Pekerjaan pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr.
Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September
2013; n : 40)………………………………………………………… 70
Tabel 5.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi pada
Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember
pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20)…… 71
Tabel 5.4 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok
Intervensi pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr.
Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September
2013; n : 20)………………………………………………………… 71
Tabel 5.5 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Kontrol pada Pasien
Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada
Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20) ………… 72
Tabel 5.6 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok
Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr.
Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September
2013; n : 20)………………………………………………………… 72
Tabel 5.7 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok
Intervensi dan Kelompok Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM
Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013
(Agustus-September 2013; n : 40) …………………………………. 73
Tabel 5.8 Hasil Analisis Paired t-test Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada
Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember
pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40)…… 74
Tabel 5.9 Hasil Analisis Independent t-test Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik
pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi
Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40)
………………………………………………………………………. 75

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Patofisiologi DM tipe 2 ....................................................... 14


Gambar 2.2 Langkah-langkah Diagnosis DM Tipe 2 ......................................... 16
Gambar 2.3 Hubungan perilaku, pendidikan kesehatan, dan status kesehatan ... 42
Gambar 2.4 Kerangka teori ................................................................................. 45
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian ............................................................ 46
Gambar 4.1 Pola penelitian pre-test dan post-test with control group design .... 48
Gambar 5.1 Analisis framework terhadap hasil (outcomes) pemberian DSME . 87

xi
DAFTAR LAMPIRAN

A. INFORMED CONSENT ........................................................................... 108


A.1 Lembar Informed ................................................................................ 108
A.2 Lembar Consent .................................................................................. 109
B. INSTRUMEN PENELITIAN ................................................................... 110
B.1 Karakteristik Responden..................................................................... 110
B.2 Lembar Observasi Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik ....................... 111
C. STANDART OPERATIONAL PROCEDURE (SOP) ............................... 116
D. SATUAN ACARA PENDIDIKAN (SAP) ................................................ 118
E. MEDIA (BOOKLET) ................................................................................. 125
F. HASIL PENELITIAN ............................................................................... 141
F.1 Karakteristik Responden Kelompok Intervensi .................................. 141
F.2 Karakteristik Responden Kelompok Kontrol ..................................... 143
F.3 Data Skor Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sebelum dan Sesudah
Pemberian DSME pada Kelompok Intervensi.................................... 145
F.4 Data Skor Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Saat Observasi Awal dan
Observasi Akhir pada Kelompok Kontrol .......................................... 146
F.5 Hasil Uji Normalitas ........................................................................... 146
F.6 Hasil Uji Homogenitas ....................................................................... 147
F.7 Hasil Uji Paired T-test pada Kelompok Intervensi ............................ 147
F.8 Hasil Uji Paired T-test pada Kelompok Kontrol ................................ 148
F.9 Hasil Uji Independent T-test .............................................................. 148
G. DOKUMENTASI KEGIATAN ................................................................ 149
H. SURAT IJIN ............................................................................................... 150

xii
1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang paling

banyak dialami oleh penduduk di dunia. Penyakit DM menempati urutan ke-4

penyebab kematian di negara berkembang (Sicree et.al., 2009). Salah satu jenis

penyakit DM yang paling banyak dialami oleh penduduk di dunia adalah DM tipe

2 (85-95%), yaitu penyakit DM yang disebabkan oleh terganggunya sekresi

insulin dan resistensi insulin (Smeltzer & Bare, 2001; Sicree et.al., 2009).

DM tipe 2 di sebagian besar negara telah berkembang akibat perubahan

budaya dan sosial yang cepat, populasi penuaan yang semakin meningkat,

peningkatan urbanisasi, perubahan pola makan, aktivitas fisik berkurang dan

perilaku lain yang menunjukkan pola perilaku dan gaya hidup yang tidak sehat

(Sicree et.al., 2009). Peningkatan jumlah kasus DM tipe 2 di dunia tersebut

berdampak pada peningkatan komplikasi yang dialami pasien DM tipe 2, yaitu

retinopati diabetik, nefropati diabetik, stroke, penyakit arteri koroner, kaki

diabetik, dan beberapa komplikasi lainnya (Mansjoer dkk., 2005). Komplikasi

tersering yang dialami pasien DM tipe 2 adalah neuropati perifer (10-60%) yang

akan menyebabkan ulkus diabetik (Apelqvist et.al., 2008; Staff, 2012).

Data yang tercantum dalam IDF Diabetes Atlas, Sicree et.al. (2009)

menjelaskan bahwa perkiraan jumlah pasien DM tipe 2 di dunia pada tahun 2010

sebanyak 285 juta jiwa dari total populasi dunia sebanyak 7 miliar jiwa dan

meningkat sebanyak 439 juta jiwa pada tahun 2030 dari total populasi dunia

1
2

sebanyak 8,4 miliar jiwa. Kenaikan insidensi pasien DM tipe 2 juga terjadi di Asia

Tenggara. Total populasi di Asia Tenggara pada rentang usia 20-79 tahun

sebanyak 838 juta jiwa pada tahun 2010. Dari total populasi tersebut, terdapat

58,7 juta jiwa (7,6%) pasien DM tipe 2. Jumlah tersebut meningkat pada tahun

2030, yaitu dari total populasi pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 1,2 miliar,

terdapat 101 juta (9,1%) pasien DM tipe 2.

Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia pada tahun 2010 setelah India,

China, dan USA dengan jumlah pasien DM tipe 2 sebanyak 8,4 juta jiwa dan

diperkirakan meningkat pada tahun 2030 sebanyak 21,3 juta jiwa (Wild et.al.,

2004). Peningkatan prevalensi DM tipe 2 juga terjadi di Jawa Timur. Jawa Timur

memiliki prevalensi DM tipe 2 di atas prevalensi nasional (1,1%) dengan

prevalensi 1,3 % (BPS, 2010). Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur menjelaskan

bahwa jumlah pasien DM tipe 2 yang dirawat di rumah sakit di Jawa Timur pada

tahun 2010 sebanyak 3.622 jiwa dan 161 jiwa di antaranya meninggal dunia.

Jumlah ini meningkat pada tahun 2011 yaitu 5.551 jiwa dan 172 jiwa di antaranya

meninggal dunia (Seputar Indonesia, 2011).

Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret tahun 2013 oleh

peneliti, menunjukkan bahwa jumlah kunjungan pasien DM tipe 2 ke Poli Interna

RSD dr. Soebandi Jember sebanyak 4.300 jiwa pada tahun 2012. Berdasarkan

beberapa data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa prevalensi dan insidensi

DM tipe 2 tetap meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju maupun

negara berkembang.
3

Diabetes Mellitus sebagai suatu kelainan metabolik akibat gangguan

hormonal yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia)

dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan

pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2005; ADA, 2010). Kenaikan kadar glukosa

darah pada DM tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin dan gangguan sekresi

insulin. Insulin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta pankreas

yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam darah dengan mengatur

penyimpanan dan pengeluaran insulin (Smeltzer & Bare, 2001).

Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan

sel yang akan mengakibatkan suatu reaksi metabolisme glukosa dalam sel

(Guyton & Hall, 2007). Resistensi insulin terjadi jika reseptor tersebut menjadi

tidak sensitif terhadap insulin, sehingga insulin tidak dapat berikatan dengan

reseptor. Gangguan sekresi insulin terjadi jika sel beta pankreas tidak

mampu/terganggu untuk mensekresikan insulin (Price & Wilson, 2005).

Kadar glukosa darah yang meningkat dapat mengganggu sirkulasi darah

karena dapat mengakibatkan penumpukan glukosa dalam pembuluh darah,

sehingga pembuluh darah menjadi kaku dan menyempit (aterosklerosis) (Smeltzer

& Bare, 2001). Akibat yang ditimbulkan dari kekakuan pembuluh darah tersebut

adalah terganggunya sirkulasi/aliran darah ke jaringan tubuh. Terganggunya

sirkulasi darah inilah yang mengakibatkan kematian pada jaringan tubuh dan

menimbulkan komplikasi (Tambayong, 2000).

Komplikasi yang dapat muncul dari DM tipe 2 digolongkan menjadi dua,

yaitu komplikasi jangka pendek (akut) dan jangka panjang (kronis). Komplikasi
4

jangka pendek meliputi hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan sindrom HHNK.

Komplikasi jangka panjang meliputi penyakit mikrovaskuler (retinopati diabetik,

nefropati diabetik), penyakit makrovaskuler (penyakit arteri koroner, penyakit

serebrovaskuler, dan penyakit arteri perifer), neuropati diabetik, rentan infeksi,

dan kaki diabetik (Mansjoer dkk., 2005).

Penyakit makrovaskuler merupakan komplikasi yang sering

mengakibatkan kematian. Penyakit makrovaskuler yang muncul pada pasien DM

tipe 2 adalah penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit arteri

perifer (Smeltzer & Bare, 2001). Penyakit makrovaskuler disebabkan oleh adanya

aterosklerosis pada pembuluh darah besar pada pasien DM tipe 2. Aterosklerosis

yang terjadi pada pembuluh darah besar ekstermitas bawah merupakan penyebab

meningkatnya insiden penyakit arteri perifer pada pasien DM tipe 2. Dampak

yang paling umum ditimbulkan oleh penyakit arteri perifer adalah timbul ulkus,

gangren, dan penyembuhan luka yang lambat akibat sirkulasi darah yang buruk

pada ekstermitas (ADA, 2003; Smeltzer & Bare, 2001).

Strategi yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya ulkus dan

komplikasi lebih lanjut pada pasien DM tipe 2 meliputi edukasi kepada pasien,

penanganan multidisiplin, monitoring ketat, dan pencegahan berupa perawatan

kaki (Apelqvist et.al., 2008; Vatankhah et.al., 2009). Menurut PERKENI (2011),

ada 4 pilar utama dalam penatalaksanaan DM tipe 2, yaitu edukasi, terapi gizi

medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.

Salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam penatalaksanaan

DM tipe 2 adalah edukasi. Edukasi kepada pasien DM tipe 2 penting dilakukan


5

sebagai langkah awal pengendalian DM tipe 2. Edukasi diberikan kepada pasien

DM tipe 2 dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

pasien sehingga pasien memiliki perilaku preventif dalam gaya hidupnya untuk

menghindari komplikasi DM tipe 2 jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2001).

Salah satu bentuk edukasi yang umum digunakan dan terbukti efektif dalam

memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien DM tipe 2 adalah Diabetes Self

Management Education (DSME) (McGowan, 2011).

Diabetes Self Management Education (DSME) merupakan komponen

penting dalam perawatan pasien DM dan sangat diperlukan dalam upaya

memperbaiki status kesehatan pasien. DSME adalah suatu proses berkelanjutan

yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan

pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnell et.al., 2008). Menurut

Sidani & Fan (2009), DSME merupakan suatu proses memberikan pengetahuan

kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk

mengoptimalkan kontrol metabolik, mencegah komplikasi, dan memperbaiki

kualitas hidup pasien DM.

Tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan keputusan, perilaku

perawatan diri, pemecahan masalah dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan

untuk memperbaiki hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup (Funnell

et.al., 2008). Beberapa penelitian mengenai DSME telah dilakukan dan

memberikan hasil yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Rondhianto

(2011) mengenai pengaruh Diabetes Self Management Education dalam

Discharge Planning terhadap Self Efficacy dan Self Care Behaviour memberikan
6

hasil bahwa penerapan DSME dalam discharge planning memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap kepercayaan diri dan perilaku pasien.

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh McGowan (2011) mengenai The

Efficacy of Diabetes Patient Education and Self-Management Education in Type

2 Diabetes. Hasil dari penelitian tersebut adalah terdapat perubahan A1C dan

berat badan pada kedua kelompok setelah 6 bulan, namun perubahan perilaku dan

hasil biologis hanya terdapat pada kelompok intervensi. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa DSME memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

perilaku dan hasil klinis pasien DM tipe 2. Penelitian lain mengenai DSME juga

dilakukan oleh Wicaksana (2010) yang menunjukkan bahwa DSME memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap pengelolaan mandiri pasien DM tipe 2 yang

meliputi peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan manajemen diri.

Berdasarkan meta-analisis yang dilakukan oleh Norris et.al. (2002)

terhadap beberapa hasil penelitian mengenai DSME, pemberian DSME lebih

banyak dilakukan di klinik daripada di komunitas, sehingga perlu adanya

penelitian lebih lanjut mengenai pemberian DSME di komunitas. Berdasarkan

Data Rekam Medik Rawat Jalan RSD dr. Soebandi Jember, jumlah kunjungan

pasien DM tipe 2 ke Poli Interna pada bulan Januari tahun 2013 sebanyak 561

orang dan rata-rata kunjungan pasien DM tipe 2 per bulan sebanyak 358 orang.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala Poli Interna RSD dr. Soebandi

Jember pada bulan Maret tahun 2013, menunjukkan bahwa perawat tidak pernah

memberikan Diabetes Self Management Education (DSME) kepada pasien DM

tipe 2 karena keterbatasan waktu, kurangnya SDM, dan banyaknya pasien DM


7

tipe 2 yang kontrol ke Poli Interna. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti

pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko

terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM)

Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember.

1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu adakah pengaruh Diabetes Self

Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada

pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi

Jember?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Diabetes Self

Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada

pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi

Jember.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik pasien DM tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember;

b. Mengidentifikasi resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum pemberian

Diabetes Self Management Education (DSME) pada kelompok kontrol dan

kelompok intervensi;
8

c. Mengidentifikasi resiko terjadinya ulkus diabetik sesudah pemberian

Diabetes Self Management Education (DSME) pada kelompok kontrol dan

kelompok intervensi;

d. Mengidentifikasi perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik saat observasi

awal dan observasi akhir pada kelompok kontrol;

e. Mengidentifikasi perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dan

sesudah pemberian Diabetes Self Management Education (DSME) pada

kelompok intervensi; dan

f. Menganalisis perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok

kontrol dan kelompok intervensi.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber referensi bagi dosen dan

mahasiswa dalam mengembangkan ilmu keperawatan serta dapat digunakan

sebagai materi pokok dalam asuhan keperawatan pasien dengan DM tipe 2 pada

mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.

1.4.2 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi institusi pelayanan

kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien DM tipe 2, yaitu

menjadi sumber referensi, sumber acuan, dan sebagai dasar aturan kebijakan
9

(Standart Operational Procedure) dalam penanganan DM tipe 2 yang berfokus

pada tindakan preventif khususnya terhadap pencegahan terjadinya ulkus diabetik.

1.4.3 Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi, rujukan,

dan bahan acuan tambahan dalam mengaplikasikan SOP (Standart Operational

Procedure) dan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien DM tipe 2.

1.4.4 Bagi Masyarakat dan Responden

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

masyarakat khususnya responden yaitu menambah informasi, pengetahuan, dan

keterampilan dalam melakukan pengelolaan diabetes secara mandiri. Sehingga

harapannya masyarakat mampu mendampingi dan membantu anggota

keluarganya yang mengalami DM tipe 2 untuk melakukan pengelolaan secara

mandiri sebagai tindakan pencegahan resiko terjadinya ulkus diabetik.

1.4.5 Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menjadi awal dari penelitian-penelitian selanjutnya

yang terkait dengan penanganan DM tipe 2 sehingga harapannya dengan adanya

penelitian ini peneliti bisa menemukan berbagai solusi untuk mengatasi

permasalahan DM tipe 2.
10

1.5 Keaslian Penelitian

Salah satu penelitian terkait yang mendasari dan mendukung penelitian ini

adalah penelitian yang dilakukan oleh Hanif (2012) dengan judul penelitian

“Perbedaan Tingkat Stres Sebelum dan Sesudah Dilakukan Diabetes Self

Management Education (DSME) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah

Kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember”. Tujuan dari penelitian tersebut

adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat stres pada pasien DM

tipe 2 sebelum dan sesudah dilakukan Diabetes Self Management Education

(DSME). Metode penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan desain

yang digunakan adalah pre-test and post-test with control group design, terdiri

dari satu kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian tersebut

adalah consecutive sampling dengan sampel sebanyak 15 responden untuk

masing-masing kelompok. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara

menggunakan kuosioner Diabetes Distress Scale yang berisi 17 pertanyaan

mengenai indikator tingkat stres. Analisis data pada penelitian tersebut

menggunakan uji paired T-test dan independent T-test. Hasil dari penelitian

tersebut menunjukkan ada perbedaan tingkat stres pada pasien DM tipe 2 sebelum

dan sesudah dilakukan Diabetes Self Management Education (DSME).

Berdasarkan penelitian tersebut, maka peneliti ingin melakukan penelitian

yang berjudul “Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap

Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan Diabetes

Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember”. Perbedaan penelitian saat ini
11

dengan penelitian sebelumnya terletak pada variabel dependen, tempat penelitian,

dan jumlah sampel. Variabel dependen yang ingin diteliti oleh peneliti saat ini

adalah resiko terjadinya ulkus diabetik. Tempat penelitian saat ini adalah di rumah

masing-masing pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat jalan di Poli Interna RSD

dr. Soebandi Jember pada bulan Juli tahun 2013 yang memenuhi kriteria inklusi.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah consequtive sampling dengan

jumlah sampel sebanyak 20 responden untuk masing-masing kelompok. Teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dengan menggunakan

instrumen penelitian berupa Inlow’s 60-second Diabetic Foot Screen Screening

Tool. Analisis data menggunakan uji paired T-test dan independent T-test dengan

tingkat kepercayaan 95%.


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

2.1.1 Definisi

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan

adanya kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemia), disertai dengan kelainan

metabolik akibat gangguan hormonal, yang dapat menimbulkan berbagai

komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah (Mansjoer dkk.,

2005). Smeltzer & Bare (2001) menyebutkan DM sebagai sekelompok kelainan

yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.

Menurut American Diabetes Association (2010), Diabetes Mellitus adalah suatu

kelompok penyakit metabolik yang memiliki karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Jadi,

dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus merupakan suatu keadaan yang

ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dan disebabkan

oleh adanya resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, atau kedua-duanya.

2.1.2 Klasifikasi

Berdasarkan etiologinya, DM dapat diklasifikasikan 4 (Mansjoer dkk.,

2005; Smeltzer & Bare, 2001), yaitu:

a. DM tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga

mengakibatkan defisiensi insulin absolut, bersifat autoimun;

b. DM tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin;

12
13

c. DM gestasional disebabkan oleh pengaruh hormon kehamilan yang dapat

meningkatkan kadar glukosa darah saat kehamilan; dan

d. DM tipe lain disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat menyebabkan

kerusakan pada pankreas yaitu defek genetik fungsi sel beta, defek genetik

kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, tumor/pankreatektomi,

pankreatopati fibrokalkulus), endokrinopati, obat/zat kimia, infeksi, penyebab

imunologi yang jarang (antibodi antiinsulin), dan sindrom genetik lain yang

berkaitan dengan DM.

2.1.3 Etiologi

Diabetes Mellitus secara umum disebabkan oleh defisiensi insulin akibat

adanya kerusakan pada sel beta pankreas dan gangguan hormonal (Mansjoer dkk.,

2005). DM tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

disebabkan oleh gangguan resistensi insulin dan sekresi insulin. Resistensi insulin

terjadi karena reseptor yang berikatan dengan insulin tidak sensitif sehingga

mengakibatkan menurunnya kemampuan insulin dalam merangsang pengambilan

glukosa dan menghambat produksi glukosa oleh sel hati. Gangguan sekresi insulin

terjadi karena sel beta pankreas tidak mampu mensekresikan insulin sesuai dengan

kebutuhan (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2001).

2.1.4 Patofisiologi

Insulin merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh sel beta pankreas

yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa darah. Secara fisiologis, insulin
14

akan terikat dengan reseptor khusus pada membran sel sehingga menimbulkan

reaksi. Reaksi yang dihasilkan oleh adanya ikatan antara reseptor dengan insulin

tersebut adalah uptake glukosa oleh insulin dan terjadinya metabolisme glukosa

dalam sel (Guyton & Hall, 2007). Resistensi insulin yang terjadi pada DM tipe 2

disebabkan karena fungsi fisiologis insulin terganggu, yaitu menurunnya

kemampuan insulin dalam berikatan dengan reseptor sehingga jumlah glukosa

yang dimetabolisme di dalam sel berkurang. Gangguan sekresi insulin yang terjadi

pada DM tipe 2 disebabkan oleh menurunnya kemampuan sel beta dalam

mensekresikan insulin (Price & Wilson, 2005).

Dampak yang diakibatkan dari adanya resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin adalah meningkatnya kadar glukosa darah karena glukosa tidak

mengalami metabolisme di dalam sel. Cara untuk mengatasi resistensi insulin dan

mencegah terbentuknya glukosa dalam darah adalah harus terdapat peningkatan

jumlah insulin yang disekresikan (Tambayong, 2000). Jika semakin banyak

glukosa yang tidak dapat dimetabolisme dan digunakan oleh jaringan, maka

kebutuhan jaringan terhadap glukosa semakin meningkat. Hal tersebut

mengakibatkan meningkatnya proses pemecahan lemak dan protein atau sering

disebut dengan glukoneogenesis (Smeltzer & Bare, 2001).

Proses glukoneogenesis menghasilkan produk sampingan lemak dan

protein yang berupa asam lemak dan badan keton. Produk sampingan ini akan

menumpuk di dalam pembuluh darah sehingga mengakibatkan penyempitan

pembuluh darah (aterosklerosis). Penyempitan pembuluh darah juga diakibatkan

oleh kerusakan sel endotel pembuluh darah karena kadar glukosa darah yang
15

meningkat. Penyempitan pembuluh darah tersebut mengakibatkan berkurangnya

suplai darah ke jaringan sehingga jaringan mengalami iskemik dan nekrosis serta

memicu terjadinya berbagai komplikasi (Smeltzer & Bare, 2001; Tambayong,

2000). Patofisiologi DM tipe 2 secara skematik dapat dilihat pada bagan di bawah

ini:

↓ kemampuan Glukosa tidak Hiperglikemia


insulin berikatan Resistensi mengalami
dengan reseptor insulin metabolisme
dalam sel
↑ kebutuhan
↓ kemampuan Gangguan jaringan terhadap
sel beta sekresi insulin glukosa

Menumpuk pada dinding Glukoneogenesis


pembuluh darah

↑ produk sampingan
Kerusakan sel endotel lemak dan protein
Komplikasi

↓ suplai darah Penebalan dinding Menumpuk dalam


ke jaringan Aterosklerosis pembuluh darah pembuluh darah

Gambar 2.1. Skema patofisiologi DM tipe 2

2.1.5 Manifestasi Klinis

Diagnosis DM tipe 2 awalnya ditunjukkan dengan adanya gejala khas

berupa polifagia, poliuria, polidipsia (Tambayong, 2000). Gejala lain yang

mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi pada

pria, dan pruritus vulva pada wanita (Mansjoer dkk., 2005). Berdasarkan studi

kohort yang dilakukan oleh Sudore et.al. (2012), hampir setengah pasien DM tipe

2 dewasa (total 13.171 responden) melaporkan telah merasakan gejala selain


16

gejala khas DM yang berupa kelelahan, depresi, dyspnea, insomnia, emosi yang

tidak stabil, dan nyeri. Pasien berusia lebih dari 60 tahun mengeluh sering

merasakan nyeri dan dyspnea (physical symptoms), sedangkan pasien berusia

kurang dari 60 tahun mengeluh sering kelelahan, insomnia, dan depresi

(psychosocial symptoms).

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa

darah dan tidak dapat ditegakkan dengan adanya glukosuria (PERKENI, 2011).

Diagnosis DM tipe 2 juga dapat ditegakkan jika pasien mengalami keluhan

klasik/khas DM seperti poliuria, polidipsia, dan polifagia, dan keluhan lain seperti

kelelahan, kesemutan, gatal, dan mata kabur (Mansjoer dkk., 2005).

Menurut PERKENI (2011), diagnosis DM tipe 2 dapat ditegakkan melalui

tiga cara, yaitu:

a. jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu

lebih dari 200 mg/dl cukup untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2;

b. pemeriksaan glukosa plasma puasa lebih dari 126 mg/dl dengan adanya

keluhan klasik; dan

c. tes toleransi glukosa oral (TTGO).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM tipe 2

dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau

glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Kelompok toleransi glukosa terganggu

(TGT) yaitu bila setelah pemeriksaan TTGO diperoleh glukosa plasma 2 jam
17

setelah beban antara 140-199 mg/dl. Kelompok glukosa darah puasa terganggu

(GDPT) yaitu bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa diperoleh antara

100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl. Langkah-

langkah diagnosis DM tipe 2 secara skematik dapat dilihat pada gambar berikut:

(PERKENI, 2011; Mansjoer dkk., 2005):

Sumber: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PB. PERKENI.

Gambar 2.2. Langkah-langkah diagnosis DM tipe 2

Penegakan diagnosis DM tipe 2 juga didukung dengan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menentukan apakah pasien

mengalami DM tipe 2, TGT, maupun GDPT, sehingga pasien dapat ditangani


18

secara cepat dan tepat. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan melalui

pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa

(Mansjoer dkk., 2005; PERKENI, 2011).

2.1.7 Pencegahan

Pencegahan DM terdiri dari pencegahan primer, sekunder, dan tersier,

meliputi (PERKENI, 2011):

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan yang ditujukan pada

kelompok yang memiliki faktor resiko, yaitu kelompok yang belum mengalami

DM namun berpotensi untuk mengalami DM karena memiliki faktor resiko

sebagai berikut:

1) faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi:

a) ras dan etnik. African Americans, Mexican Americans, American

Indians, Hawaiians dan beberapa Asian Americans memiliki resiko

tinggi mengalami DM dan penyakit jantung, dikarenakan tingginya

kadar glukosa darah, obesitas, dan jumlah populasi DM dalam etnik

tersebut (Shai et.al., 2006);

b) jenis kelamin. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Wexler

et.al. (2005), pria lebih beresiko mengalami DM daripada wanita.

Wanita yang mengalami menopause akan lebih beresiko mengalami

DM daripada wanita yang belum menopause;


19

c) riwayat keluarga dengan DM. Seseorang yang memiliki riwayat

keluarga dengan DM akan lebih beresiko mengalami DM daripada

seseorang yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan DM (Arslanian

et.al., 2005); dan

d) usia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Meneilly &

Elahi (2005), resiko DM lebih tinggi pada usia dewasa daripada lansia.

2) faktor resiko yang bisa dimodifikasi:

a) obesitas. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shai et.al.

(2006), seseorang yang obesitas akan mengalami resiko DM lebih

tinggi daripada seseorang yang tidak obesitas. Hal tersebut dikarenakan

kandungan lemak yang lebih banyak dapat menurunkan sensitivitas

insulin;

b) kurangnya aktivitas fisik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Morato et.al. (2007), seseorang yang kurang bergerak atau sedikit

melakukan aktivitas fisik akan lebih beresiko mengalami DM. Hal

tersebut dikarenakan kurangnya aktivitas fisik dapat menurunkan

sensitivitas insulin terhadap reseptor;

c) hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eyre et.al.

(2004), hipertensi menjadi salah satu faktor resiko DM karena

hipertensi dapat meningkatkan kejadian aterosklerosis yang berdampak

pada penurunan fungsi sel beta pankreas dalam memproduksi insulin;

d) dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL).

Dislipidemia menjadi salah satu faktor resiko DM karena dislipidemia


20

merupakan indikator meningkatnya jaringan adiposa yang berdampak

pada penurunan sensitivitas insulin (Eyre et.al., 2004); dan

e) diet tidak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah

serat akan meningkatkan resiko mengalami DM.

3) faktor lain yang terkait dengan resiko diabetes :

a) pasien Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain

yang terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan

endokrinopati pada wanita usia reproduksi. PCOS lebih sering dikaitkan

dengan adanya timbunan lemak yang berlebih. Timbunan lemak yang

berlebih terutama di rongga perut dapat menyebabkan penurunan

sensitivitas insulin sehingga berdampak pada peningkatan kadar

glukosa darah;

b) pasien sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa

terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)

sebelumnya; dan

c) pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke,

PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases). Pasien yang memiliki

riwayat penyakit kardiovaskular akan lebih beresiko mengalami DM

karena kondisi pembuluh darah dan hemostasis yang buruk akan

menyebabkan ketidakseimbangan endokrin dalam tubuh.

Tindakan penyuluhan dan pengelolaan pada kelompok masyarakat yang

mempunyai resiko tinggi merupakan salah satu aspek penting dalam

pencegahan primer. Materi penyuluhan yang dapat diberikan meliputi program


21

penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani, dan menghentikan

merokok.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah suatu upaya yang dilakukan untuk

mencegah timbulnya komplikasi pada pasien yang telah mengalami DM.

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang

cukup dan tindakan deteksi dini sejak awal pengelolaan penyakit DM. Program

penyuluhan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan sekunder

untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan

dan menuju perilaku sehat.

c. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk

mencegah kecacatan lebih lanjut pada pasien DM yang mengalami komplikasi.

Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan

berkembang dan menetap. Penyuluhan pada pasien dan keluarganya

memegang peranan penting dalam upaya pencegahan tersier. Penyuluhan dapat

dilakukan dengan pemberian materi mengenai upaya rehabilitasi yang dapat

dilakukan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan yang menyeluruh

dan kolaborasi antar tenaga medis. Kolaborasi yang baik antar para ahli di

berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular,

radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dan lain sebagainya) sangat

diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.


22

2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan DM tipe 2 secara umum bertujuan untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien. Penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari penatalaksanaan

jangka pendek dan penatalaksanaan jangka panjang. Tujuan penatalaksanaan

jangka pendek adalah menghilangkan tanda dan gejala DM tipe 2,

mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.

Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah mencegah dan menghambat

progresivitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neuropati diabetik.

Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM tipe 2 adalah turunnya morbiditas dan

mortalitas DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2001; PERKENI, 2011). Pengendalian

glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid perlu dilakukan untuk

mencapai tujuan tersebut, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan

mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku (Mansjoer dkk., 2005).

Menurut PERKENI (2011), ada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu

edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.

a. Edukasi

Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan DM

tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat merubah perilaku pasien

dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi kepada

pasien harus dilakukan dengan melihat latar belakang pasien, ras, etnis,

budaya, psikologis, dan kemampuan pasien dalam menerima edukasi. Edukasi

mengenai pengelolaan DM secara mandiri harus diberikan secara bertahap


23

yang meliputi konsep dasar DM, pencegahan DM, pengobatan DM, dan self-

care (IDF, 2005; Funnell et.al., 2008).

b. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) atau diet merupakan bagian dari penatalaksanaan

DM tipe 2. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh

dari tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi, tenaga kesehatan yang lain serta

pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2

yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi

masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan

merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada

pasien dengan terapi insulin (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2001).

c. Latihan jasmani

Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali seminggu selama

kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval,

Progressive, Endurance training). Prinsip CRIPE tersebut menjadi dasar

dalam pembuatan materi DSME yang memiliki arti latihan jasmani dilakukan

secara terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi

secara teratur, gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-angsur dari

latihan ringan ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam

waktu tertentu. Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh,

menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan

jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti

jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
24

disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani. Pasien DM tipe 2 yang

relatif sehat dapat meningkatkan intensitas latihan jasmani, sedangkan pasien

DM tipe 2 yang mengalami komplikasi dapat mengurangi intensitas latihan

jasmani (PERKENI, 2011; Mansjoer dkk., 2005).

d. Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis meliputi pemberian obat-obatan kepada pasien DM

tipe 2. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa obat oral dan bentuk

suntikan. Obat dalam bentuk suntikan meliputi pemberian insulin dan agonis

GLP-1/incretin mimetic (PERKENI, 2011). Berdasarkan cara kerjanya, obat

hiperglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi

insulin (misalnya sulfonilurea dan glinid), peningkat sensitivitas terhadap

insulin (misalnya metformin dan tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis

(misalnya metformin), penghambat absorpsi glukosa (misalnya penghambat

glukosidase alfa), dan DPP-IV inhibitor (Mansjoer dkk., 2005; PERKENI,

2011).

2.1.9 Komplikasi

Komplikasi yang muncul akibat penyakit DM antara lain (Mansjoer dkk.,

2005; Smeltzer & Bare, 2001):

a. Akut, meliputi koma hipoglikemia, ketoasidosis, dan koma Hiperglikemik

Hiperosmolar Nonketotik (HHNK). Koma hipoglikemia terjadi akibat terapi

insulin secara terus-menerus, ketoasidosis terjadi akibat proses pemecahan

lemak secara terus-menerus yang menghasilkan produk sampingan berupa


25

benda keton yang bersifat toksik bagi otak, sedangkan koma HHNK terjadi

akibat hiperosmolaritas dan hiperglikemia yang menyebabkan hilangnya

cairan dan elektrolit sehingga terjadi perubahan tingkat kesadaran; dan

b. Kronik, meliputi makrovaskuler (mengenai pembuluh darah besar seperti

pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak),

mikrovaskuler (mengenai pembuluh darah kecil : retinopati diabetik, nefropati

diabetik), neuropati diabetik, rentan infeksi, dan kaki diabetik. Komplikasi

tersering dan paling penting adalah neuropati perifer yang berupa hilangnya

sensasi distal dan berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus diabetik dan amputasi

(PERKENI, 2011).

2.2 Ulkus Diabetik

2.2.1 Definisi

Ulkus diabetik adalah salah satu komplikasi DM yang berupa lesi terbuka

pada permukaan kulit yang disebabkan oleh beberapa faktor dan dapat

memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien DM (Kirsner et.al., 2010).

Menurut Frykberg (2002), luka diabetik adalah luka atau lesi pada pasien DM

yang dapat mengakibatkan ulserasi aktif dan merupakan penyebab utama

amputasi kaki. Ulkus diabetik merupakan salah satu komplikasi DM yang paling

menimbulkan kecemasan pada pasien DM karena kejadian ulkus diabetik selalu

dikaitkan dengan amputasi kaki (Adam, 2005 dalam Arief, 2008).


26

2.2.2 Etiologi

Ulkus diabetik disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor tersering penyebab

ulkus diabetik adalah neuropati, trauma, dan deformitas kaki, yang sering disebut

dengan Critical Triad of Diabetic Ulcers. Ulkus diabetik merupakan penyebab

tersering pasien harus diamputasi, sehingga faktor-faktor tersebut juga merupakan

faktor predisposisi terjadinya amputasi (Frykberg, 2002).

2.2.3 Faktor Resiko

Menurut Boulton (2004 dalam Arief, 2008) faktor resiko terjadinya ulkus

diabetik adalah neuropati perifer, penyakit vaskuler, mobilitas sendi yang terbatas,

deformitas kaki, tekanan kaki abnormal, trauma minor, riwayat ulkus atau

amputasi, dan gangguan visual. Faktor resiko yang berasal dari keadaan sistemik

pasien adalah hiperglikemia yang tidak terkontrol, lama penyakit DM lebih dari

10 tahun, usia pasien lebih dari 40 tahun, riwayat merokok, dan memiliki penyakit

ginjal kronis (Smeltzer & Bare, 2001; Boulton, 2004 dalam Arief, 2008).

Menurut Frykberg (2002), faktor resiko terjadinya ulkus diabetik adalah

adanya sensasi normal tanpa deformitas, sensasi normal dengan deformitas atau

tekanan plantar tinggi, insensitivitas tanpa adanya deformitas,

kombinasi/complicated, kombinasi insensitivitas, iskemia, dan deformitas, dan

riwayat adanya tukak (Deformitas Charcot). Indikator resiko terjadinya ulkus

diabetik meliputi kondisi kulit, kondisi kuku, ada tidaknya deformitas, kelayakan

alas kaki, suhu kaki, rentang gerak kaki, tes sensasi kaki dengan monofilamen, tes
27

sensasi kaki dengan 4 pertanyaan, denyut nadi pada kaki, warna pada kaki, dan

ada tidaknya erythema (Canadian Association of Wound Care, 2011).

2.2.4 Patofisiologi

Kejadian ulkus diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien

DM yang dapat menyebabkan kelainan pada pembuluh darah (Frykberg, 2002).

Peningkatan glukosa dalam darah akan merangsang reaksi proliferasi sel endotel

dan proses glukoneogenesis yang menghasilkan produk sampingan lemak dan

protein. Produk sampingan tersebut akan bersirkulasi dalam darah dan menumpuk

di dinding bagian dalam pembuluh darah. Proliferasi sel endotel dan penumpukan

produk sampingan tersebut akan menyebabkan dinding pembuluh darah semakin

menebal dan terbentuk jembatan dengan formasi huruf “A”. Akibat yang

ditimbulkan dari penebalan pembuluh darah tersebut adalah penyempitan

pembuluh darah (aterosklerosis) dan peningkatan viskositas darah, sehingga aliran

darah ke jaringan semakin berkurang termasuk syaraf. Aliran darah yang terus

menerus semakin berkurang ke syaraf dapat menyebabkan syaraf mengalami

iskemia dan kehilangan fungsinya atau neuropati diabetik (Rebolledo et.al., 2012;

Guyton & Hall, 2007).

Neuropati diabetik meliputi gangguan syaraf motorik, sensorik, dan

otonom yang masing-masing memegang peranan penting pada kejadian ulkus

diabetik. Gangguan syaraf motorik menyebabkan paralisis otot kaki yang dapat

menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan dan bentuk pada sendi kaki

(deformitas), perubahan cara berjalan, dan menimbulkan titik tekan baru dan
28

penebalan pada telapak kaki (kalus). Gangguan syaraf sensorik menyebabkan mati

rasa setempat dan hilangnya perlindungan terhadap trauma sehingga pasien

mengalami cedera tanpa disadari. Gangguan syaraf otonom mengakibatkan

hilangnya sekresi kulit sehingga kulit menjadi kering dan mudah mengalami luka

yang sulit sembuh (Rebolledo et.al., 2012; De Jong, 1997 dalam Arief, 2008).

Neuropati diabetik, trauma, dan deformitas merupakan penyebab utama

ulkus diabetik. Penyebab lain yang turut menyebabkan ulkus diabetik adalah

perubahan struktur anatomis, pengaruh lingkungan, dan penyakit vaskuler perifer.

Perubahan struktur anatomis meliputi perubahan struktur plantar metatarsal,

plantar fatty pad, dan Charcot foot. Pengaruh lingkungan meliputi penggunaan

sepatu yang tidak layak, kalus, adanya benda-benda tajam, dan penggunaan kain

yang kasar. Pasien DM yang memiliki beberapa faktor penyebab ulkus diabetik

tersebut akan beresiko untuk mengalami ulkus diabetik yang berarti beresiko pula

untuk mengalami amputasi (Rebolledo et.al.,2012).

2.2.5 Klasifikasi

Ada beberapa macam klasifikasi ulkus diabetik dari klasifikasi sederhana

hingga klasifikasi yang lebih rumit, yaitu klasifikasi sederhana Edmonds dari

King’s College Hospital London, klasifikasi Wagner, dan klasifikasi University of

Texas (Waspadji, 2006 dalam Arief, 2008). Klasifikasi menurut Edmonds (2005

dalam Arief, 2008) yaitu:

a. derajat I : kaki normal;

b. derajat II : kaki memiliki resiko tinggi;


29

c. derajat III : kaki mengalami ulkus;

d. derajat IV : kaki mengalami nekrosis; dan

e. derajat V : kaki yang tidak dapat ditangani.

Menurut Wagner (1987 dalam Frykberg, 2002), ulkus diabetik

diklasifikasikan berdasarkan kedalaman ulkus dan ada tidaknya osteomyelitis atau

gangren, yaitu:

a. derajat 0 : kulit utuh, tidak ada luka terbuka, namun ada kelainan pada kaki

akibat neuropati. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al.

(2008), ulkus diabetik derajat 0 lebih mudah mengalami penyembuhan

daripada ulkus diabetik derajat lainnya;

b. derajat 1 : ulkus diabetik superfisial (sebagian atau seluruh permukaan kulit).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus

diabetik derajat 1 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 70,96%;

c. derajat 2 : ulkus meluas hingga ligamen, tendon, kapsul sendi, atau fasia

dalam tanpa abses atau osteomyelitis. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus diabetik derajat 2 memiliki

kemungkinan untuk sembuh sebesar 41,27%;

d. derajat 3 : ulkus dalam dengan abses, osteomyelitis, atau sepsis sendi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus

diabetik derajat 3 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 41,27%;

e. derajat 4 : gangren terlokalisasi pada bagian jari atau tumit. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Oyibo et.al. (2001), ulkus diabetik derajat 4

biasanya muncul akibat kombinasi infeksi dan iskemia. Amputasi pada bagian
30

gangren yang terlokalisasi merupakan hal yang sering dilakukan karena

kemungkinan pasien untuk sembuh kecil; dan

f. derajat 5 : gangren yang meluas hingga seluruh kaki. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Oyibo et.al., (2001), ulkus diabetik derajat 5

memiliki resiko tinggi untuk diamputasi dan kemungkinan untuk sembuh

sangat kecil.

Klasifikasi ulkus diabetik menurut University of Texas (San Antonio scale)

lebih kompleks. Ulkus diabetik diklasifikasikan berdasarkan kedalaman ulkus, ada

tidaknya infeksi, dan ada tidaknya tanda dan gejala iskemia. Klasifikasi ulkus

diabetik menurut University of Texas dapat dilihat pada tabel di bawah ini

(Armstrong et.al., 1998 dalam Rebolledo et.al., 2012; Oyibo et.al., 2001):

Grade
Stage
0 1 2 3
Pre/post ulkus Ulkus Ulkus dalam Ulkus meluas
A tanpa kerusakan superfisial (hingga ke hingga ke
kulit tendon/kapsul) tulang/sendi
B + infeksi + infeksi + infeksi + infeksi
C + iskemia + iskemia + iskemia + iskemia
+ infeksi dan + infeksi dan + infeksi dan + infeksi dan
D
iskemia iskemia iskemia iskemia

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Parisi et.al. (2008), ulkus

diabetik stage A grade 1 memiliki kemungkinan untuk sembuh sebesar 81,64%,

stage A grade 2-3 sebesar 60,80%, stage B grade 1 sebesar 61,87%, stage B

grade 2-3 sebesar 36,14%, stage C grade 1 sebesar 68,64%, stage C grade 2-3

sebesar 43,29%, stage D grade 1 sebesar 49,17%, dan stage D grade 2-3 memiliki

kemungkinan untuk sembuh sebesar 25,22%.


31

2.2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ulkus diabetik harus dilakukan secara menyeluruh

(komprehensif) dan berpedoman pada karakteristik ulkus. Penatalaksanaan pada

ulkus diabetik mencakup kontrol berbagai aspek (Waspadji, 2006 dalam Arief,

2008; Frykberg, 2002; Rebolledo et.al., 2012; ADA, 1998 dalam Rolikasari,

2007), yaitu:

a. kontrol metabolik

Kontrol metabolik dilakukan dengan cara menjaga kadar glukosa darah dalam

batas normal. Pasien dapat melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah

secara mandiri atau ke fasilitas pelayanan kesehatan. Upaya kontrol metabolik

dilakukan untuk mencegah hiperglikemia dan memperbaiki berbagai faktor

yang dapat menghambat penyembuhan luka.

b. kontrol vaskular

Kontrol vaskular dilakukan dengan cara menghindari atau memodifikasi

faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan aterosklerosis (berhenti

merokok, membatasi makanan berlemak, dan lain sebagainya) dan

rekonstruksi pembuluh darah pada pasien iskemia. Rekonstruksi pembuluh

darah dapat dilakukan dengan cara neovaskularisasi pada bagian distal agar

aliran darah ke kaki meningkat. Tujuan rekonstruksi pembuluh darah adalah

untuk membantu mempercepat penyembuhan luka, mengurangi nyeri, dan

memperbaiki fungsi tubuh.


32

c. kontrol luka

Kontrol luka dapat dilakukan dengan cara perawatan luka yang tepat,

penggunaan teknik dressing dan agen topikal yang tepat pada luka, dan

debridemen pada jaringan nekrosis. Perawatan luka dilakukan sejak ulkus

terbentuk dan dilakukan secara hati-hati dan teliti. Tujuan perawatan luka

adalah mencegah dehidrasi dan kematian sel, mempercepat proses

angiogenesis, dan memfasilitasi proses epitelisasi. Penggunaan teknik dressing

yang tepat dapat membantu menjaga kelembapan area luka. Pemilihan agen

topikal harus mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu kemampuan agen

dalam mengabsorpsi eksudat, membuang jaringan nekrosis dan kontaminasi

bakteri, memberikan rehidrasi pada luka, dan kemampuan agen dalam

mencapai dasar luka. Debridemen pada jaringan nekrosis merupakan suatu

tindakan membuang jaringan mati, jaringan yang tercemar, dan menyisakan

jaringan yang masih sehat. Debridemen dilakukan secara terus menerus

selama proses pemulihan luka untuk mendukung drainase dan mempercepat

penyembuhan luka.

d. kontrol mikrobiologis

Kontrol mikrobiologis dilakukan untuk mencegah infeksi pada luka. Ulkus

diabetik dapat menjadi tempat berkembang biak bakteri jika tidak dirawat

dengan baik. Kultur jaringan harus dilakukan untuk mengetahui jenis bakteri

yang ada pada daerah ulkus sehingga dapat membantu dalam penentuan

antibiotik yang tepat bagi pasien. Adanya pus atau lebih dari satu tanda

inflamasi (bengkak, kemerahan, nyeri, terasa hangat, dan kehilangan fungsi)


33

menjadi tanda berkembang biaknya bakteri pada daerah ulkus dan

menyebabkan infeksi pada daerah ulkus.

e. kontrol tekanan

Kontrol tekanan dilakukan dengan cara pengurangan beban pada kaki (off-

loading) yaitu dengan menghindari semua tekanan mekanis pada kaki yang

terluka maupun pada kaki yang mengalami kalus. Pengurangan beban pada

kaki dilakukan untuk mencegah trauma tambahan pada kaki dan mempercepat

proses penyembuhan luka. Penggunaan sepatu yang layak, tirah baring,

mengurangi aktivitas berat, dan perawatan kaki merupakan cara yang dapat

dilakukan untuk mengurangi beban pada kaki.

f. kontrol edukasi

Kontrol edukasi dilakukan dengan cara memberikan edukasi mengenai

pengelolaan ulkus diabetik dan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian

edukasi yang tepat dapat meningkatkan pengetahuan, motivasi, dan

keterampilan pasien serta merubah perilaku pasien dalam melakukan

perawatan mandiri.

2.2.7 Penilaian Ulkus Diabetik

Penilaian ulkus diabetik merupakan salah satu aspek penting dalam

pemilihan terapi yang tepat bagi pasien. Penilaian ulkus diabetik dimulai dari

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang

dilakukan meliputi aktivitas sehari-hari pasien, alas kaki yang digunakan, keluhan

yang dirasakan pasien, riwayat penyakit, lama mengalami DM, kebiasaan-


34

kebiasaan pasien, dan upaya yang biasa dilakukan oleh pasien. Pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk melakukan penilaian terhadap

karakteristik ulkus dan penatalaksanaan yang tepat (Wijonarko, 2010).

Karakteristik ulkus yang dapat diperoleh dari hasil pemeriksaan yaitu jumlah

ulkus, ukuran ulkus, kedalaman ulkus, ada tidaknya eksudat, tepi ulkus, warna

ulkus, ada tidaknya maserasi, jenis jaringan dalam ulkus, ada tidaknya edema, ada

tidaknya inflamasi, nyeri, dan ada tidaknya infeksi (Rebolledo et.al., 2012).

2.3 Diabetes Self Management Education (DSME)

2.3.1 Definisi DSME

Diabetes Self Management Education (DSME) adalah suatu proses

berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan, dan

kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnell et.al.,

2008). Menurut Sidani & Fan (2009), DSME merupakan suatu proses pemberian

edukasi kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri

untuk mengoptimalkan kontrol metabolik, mencegah komplikasi, dan

memperbaiki kualitas hidup pasien DM.

2.3.2 Tujuan DSME

Tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas

hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan kronis, sekaligus

mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis (Norris et.al., 2002). Menurut

Funnell et.al. (2008) tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan


35

keputusan, perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim

kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup.

2.3.3 Prinsip DSME

Prinsip utama DSME menurut Funnell et.al. (2008) adalah pendidikan DM

efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien meskipun dalam

jangka pendek, DSME telah berkembang dari model pengajaran primer menjadi

lebih teoritis yang berdasarkan pada model pemberdayaan pasien, tidak ada

program edukasi yang terbaik namun program edukasi yang menggabungkan

strategi perilaku dan psikososial terbukti dapat memperbaiki hasil klinis,

dukungan yang berkelanjutan merupakan aspek yang sangat penting untuk

mempertahankan kemajuan yang diperoleh pasien selama program DSME, dan

penetapan tujuan-perilaku adalah strategi efektif mendukung selfcare behaviour.

2.3.4 Standar DSME

DSME memiliki 10 standar yang terbagi menjadi 3 domain (Funnell et.al.,

2008; Haas et.al., 2012) yaitu:

a. struktur

1) standar 1 (internal structure): DSME merupakan struktur organisasi, misi,

dan tujuan yang menjadikan DSME sebagai bagian dari perawatan untuk

pasien DM;
36

2) standar 2 (external input): kesatuan DSME harus menunjuk suatu tim

untuk mempromosikan kualitas DSME. Tim tersebut harus terdiri dari

tenaga kesehatan, pasien DM, komunitas, dan pembuat kebijakan;

3) standar 3 (access): kesatuan DSME akan mengidentifikasi kebutuhan

pendidikan kesehatan merupakan upaya untuk mendukung peningkatan

kualitas hidup bagi pasien DM. DSME mengidentifikasi kebutuhan

pendidikan kesehatan dari populasi target dan mengidentifikasi sumber-

sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut; dan

4) standar 4 (program coordination): koordinator DSME akan ditunjuk untuk

mengawasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi DSME. Koordinator

yang ditunjuk harus memiliki kemampuan akademik dan pengalaman

dalam perawatan penyakit kronis dan manajemen program edukasi.

b. proses

1) standar 5 (instructional staff): DSME dapat dilakukan oleh satu atau lebih

tenaga kesehatan. Edukator DSME harus memiliki kemampuan akademik

dan pengalaman dalam memberikan edukasi dan manajemen DM atau

harus memiliki sertifikat sebagai edukator. Edukator DSME

mempersiapkan materi yang akan disampaikan secara berkelanjutan.;

2) standar 6 (curriculum): penyusunan kurikulum harus menggambarkan

fakta DM, petunjuk praktek, dengan kriteria untuk hasil evaluasi dan akan

digunakan sebagai kerangka kerja DSME. Pengkajian kebutuhan pasien

DM dan pre-DM akan mengindentifikasi informasi-informasi yang harus

diberikan kepada pasien;


37

3) standar 7 (individualization): pengkajian individual dan perencanaan

edukasi akan dilakukan oleh kolaborasi antara pasien dan edukator untuk

menentukan pendekatan pelaksanaan DSME dan strategi dalam

mendukung manajemen pasien. Strategi yang digunakan adalah

mempertimbangkan aspek budaya dan etnis pasien, usia, pengetahuan,

keyakinan dan sikap, kemampuan belajar, keterbatasan fisik, dukungan

keluarga, dan status finansial pasien. Pengkajian, perencanaan edukasi,

dan intervensi akan didokumentasikan pada dokumen DSME; dan

4) standar 8 (ongoing support): perencanaan follow-up pasien untuk

mendukung DSME akan dilakukan dengan kolaborasi antara pasien dan

edukator. Hasil follow-up tersebut akan diinformasikan kepada seluruh

pihak yang terlibat dalam DSME.

c. hasil

1) standar 9 (patient progress): kesatuan DSME akan mengukur keberhasilan

pasien dalam mencapai tujuan dan hasil klinis pasien dengan

menggunakan teknik pengukuran yang tepat untuk mengevaluasi

efektivitas dari DSME; dan

2) standar 10 (quality improvement): Kesatuan DSME akan mengukur

efektivitas proses edukasi dan mengidentifikasi peluang untuk perbaikan

DSME dengan menggunakan perencanaan perbaikan kualitas DSME

secara berkelanjutan yang menggambarkan peningkatan kualitas

berdasarkan kriteria hasil yang dicapai.


38

2.3.5 Komponen DSME

Menurut Schumacher dan Jancksonville (2005 dalam Rondhianto, 2011)

komponen dalam DSME yaitu:

a. pengetahuan dasar tentang diabetes, meliputi definisi, patofisiologi dasar,

alasan pengobatan, dan komplikasi diabetes;

b. pengobatan, meliputi definisi, tipe, dosis, dan cara menyimpan. Penggunaan

insulin meliputi dosis, jenis insulin, cara penyuntikan, dan lainnya.

Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) meliputi dosis, waktu minum,

dan lainnya;

c. monitoring, meliputi penjelasan monitoring yang perlu dilakukan, pengertian,

tujuan, dan hasil dari monitoring, dampak hasil dan strategi lanjutan, peralatan

yang digunakan dalam monitoring, frekuensi, dan waktu pemeriksaan;

d. nutrisi, meliputi fungsi nutrisi bagi tubuh, pengaturan diet, kebutuhan kalori,

jadwal makan, manjemen nutrisi saat sakit, kontrol berat badan, gangguan

makan dan lainnya;

e. olahraga dan aktivitas, meliputi kebutuhan evaluasi kondisi medis sebelum

melakukan olahraga, penggunaan alas kaki dan alat pelindung dalam

berolahraga, pemeriksaan kaki dan alas kaki yang digunakan, dan pengaturan

kegiatan saat kondisi metabolisme tubuh sedang buruk;

f. stres dan psikososial, meliputi identifikasi faktor yang menyebabkan

terjadinya distres, dukungan keluarga dan lingkungan dalam kepatuhan

pengobatan;
39

g. perawatan kaki, meliputi insidensi gangguan pada kaki, penyebab, tanda dan

gejala, cara mencegah, komplikasi, pengobatan, rekomendasi pada pasien

jadwal pemeriksaan berkala; dan

h. sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya, meliputi pemberian informasi

tentang tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan yang ada di

lingkungan pasien yang dapat membantu pasien.

2.3.6 Tingkat Pembelajaran DSME

Menurut Jones et.al. (2008) tingkat pembelajaran DSME terbagi menjadi

tiga tingkatan, yaitu:

a. survival/basic level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan,

keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam upaya

mencegah, mengidentifikasi dan mengobati komplikasi jangka pendek.

b. intermediate level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan,

keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam upaya

mencapai kontrol metabolik yang direkomendasikan, mengurangi resiko

komplikasi jangka panjang dan memfasilitasi penyesuaian hidup pasien.

c. advanced level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi pengetahuan,

keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam upaya


40

mendukung manajemen DM secara intensif untuk kontrol metabolik yang

optimal, dan integrasi penuh ke dalam kegiatan perawatan kehidupan pasien.

2.3.7 Pelaksanaan DSME

DSME dapat dilakukan secara individu maupun kelompok, baik di klinik

maupun komunitas (Norris et.al., 2002). Pelaksanaan DSME dapat dilakukan

sebanyak 4 sesi dengan durasi waktu antara 1-2 jam untuk tiap sesi (Central

Dupage Hospital, 2011), yaitu:

a. sesi 1 membahas pengetahuan dasar tentang DM (definisi, etiologi, klasifikasi,

etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, diagnosis, pencegahan, pengobatan,

komplikasi);

b. sesi 2 membahas pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan fisik yang dapat

dilakukan;

c. sesi 3 membahas perawatan kaki dan monitoring yang perlu dilakukan; dan

d. sesi 4 membahas manajemen stress dan dukungan psikososial, dan akses

pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.

2.4 Keterkaitan Diabetes Self Management Education (DSME) dengan

Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik

Salah satu pilar penanganan DM adalah edukasi. Edukasi memegang

peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 karena pemberian

edukasi kepada pasien dapat membantu merubah perilaku pasien dalam

melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Edukasi dapat diberikan melalui


41

suatu promosi kesehatan. Promosi kesehatan merupakan proses pemberdayaan

atau memandirikan masyarakat agar dapat memelihara dan meningkatkan

kesehatannya (Ottawa Charter, 1986 dalam Maulana, 2009). Proses pemberdayaan

atau memandirikan masyarakat tidak hanya terbatas pada pemberian informasi

(seperti pendidikan kesehatan) tetapi juga upaya untuk merubah perilaku dan

sikap seseorang, sehingga promosi kesehatan dapat meningkatkan kemampuan

kognitif, afektif, dan psikomotor seseorang (Maulana, 2009).

Kesehatan seseorang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor

keturunan, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan perilaku. Lingkungan

merupakan faktor terbesar, dapat mempengaruhi kesehatan dan perilaku, begitu

juga sebaliknya, perilaku dapat mempengaruhi lingkungan dan faktor-faktor

lainnya (Maulana, 2009). Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor

lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat

(Blum, 1974 dalam Maulana, 2009).

Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi seseorang

dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan

tindakan sehingga diperoleh suatu keseimbangan antara kekuatan pendorong dan

kekuatan penahan. Perilaku seseorang dapat berubah jika terjadi

ketidakseimbangan atau perubahan pada kedua kekuatan tersebut dalam diri

seseorang (Maulana, 2009).

Berdasarkan beberapa penelitian dan literatur, perilaku masyarakat yang

erat kaitannya dengan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat terbentuk

melalui kegiatan yang disebut pendidikan kesehatan. Menurut Green (1980 dalam
42

Maulana, 2009), pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam

mengubah dan menguatkan faktor perilaku (predisposisi, pendukung, dan

pendorong) sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat. Perilaku,

pendidikan kesehatan, dan status kesehatan seseorang saling berhubungan,

hubungan tersebut dapat dilihat melalui bagan berikut:

Keturunan

Pelayanan Status kesehatan Lingkungan


kesehatan

Keturunan

Proses perubahan

Faktor predisposisi Faktor pendukung Faktor pendorong

Komunikasi Pemberdayaan masyarakat


Pelatihan
Penyuluhan Pemberdayaan sosial

Pendidikan kesehatan

Gambar 2.3 Hubungan perilaku, pendidikan kesehatan, dan status kesehatan

DSME merupakan salah satu bentuk edukasi yang efektif diberikan kepada

pasien DM karena DSME memiliki prinsip dan standar dalam pelaksanaannya.

Edukasi penting diberikan kepada pasien untuk mendukung pasien dalam

melakukan pengelolaan secara mandiri di rumah. Edukasi yang diberikan secara


43

bertahap merupakan salah satu aspek yang dapat dilaksanakan dengan DSME.

Pelaksanaan DSME terdiri dari 4 sesi yang meliputi pemberian pengetahuan

mengenai konsep dasar penyakit DM, pengobatan DM, monitoring, pengaturan

nutrisi, latihan jasmani, manajemen stress, perawatan kaki, dan akses terhadap

fasilitas pelayanan kesehatan (Funnell et.al., 2008; Schumacher dan Jancksonville

(2005 dalam Rondhianto, 2011)).

DSME bertujuan untuk mendukung pengambilan keputusan, perawatan

diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan, sehingga

dapat meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup (Funnell

et.al., 2008). Adanya pemberian DSME dapat meningkatkan pengetahuan, sikap,

dan perilaku pasien dalam melakukan perawatan diri. Self care (Perawatan diri)

merupakan suatu kontribusi berkelanjutan orang dewasa bagi eksistensinya,

kesehatannya, dan kesejahteraannya. Kebutuhan perawatan diri, menurut Orem,

meliputi pemeliharaan udara, air/cairan, makanan, proses eliminasi normal,

keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, keseimbangan antara solitude dan

interaksi sosial, pencegahan budaya bagi kehidupan, fungsi, dan kesejahteraan

manusia, serta upaya meningkatkan fungsi dan perkembangan individu dalam

kelompok sosial sesuai dengan potensi, keterbatasan, dan keinginan untuk normal

(Asmadi, 2008).

Kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri dipengaruhi oleh

usia, status perkembangan, pengalaman hidup, orientasi sosial budaya, kesehatan,

dan sumber daya yang tersedia. Perawatan diri memiliki beberapa prinsip yaitu

perawatan diri dilakukan secara holistik yang mencakup delapan komponen


44

kebutuhan perawatan diri, perawatan diri dilakukan sesuai tahap kembang

manusia, dan perawatan diri dilakukan karena adanya masalah kesehatan atau

penyakit dengan tujuan mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan (Asmadi,

2008). Adanya kemampuan pasien dalam melakukan perawatan diri inilah yang

akan mencegah resiko terjadinya ulkus diabetik.


2.5 Kerangka Teori
Empat pilar Diabetes Self mendukung: 11
Faktor resiko DM 4
Resistensi insulin penanganan DM4 Management Education7 a. pengambilan
a. faktor yang tidak dan gangguan a. edukasi a. konsep dasar DM keputusan
dapat dimodifikasi sekresi insulin1,2,4 b. terapi nutrisi b. pengobatan DM b. perawatan diri
b. faktor yang dapat medis c. monitoring KGD c. pemecahan masalah
dimodifikasi c. latihan jasmani d. pengaturan nutrisi d. kolaborasi dengan
c. faktor lain d. intervensi e. aktivitas dan latihan tim kesehatan
Hiperglikemia3,5 farmakologis jasmani
f. manajemen stress
g. perawatan kaki
↑ produk sampingan DM tipe 21 h. akses fasilitas Peningkatan pengetahuan,
1
lemak dan protein1,5 Glukoneogenesis pelayanan kesehatan sikap, dan perilaku11

Menumpuk pada dinding Peningkatan kemampuan pasien


pembuluh darah1,5 dalam melakukan pengelolaan
DM secara mandiri 11

Penebalan dinding ↓ suplai darah Neuropati diabetik


Aterosklerosis1,5 Iskemia syaraf6,10
pembuluh darah1,5 ke jaringan6,10 (sensorik, motorik, otonom)6,10

Faktor resiko ulkus diabetik1,9 Resiko ulkus diabetik6


a. Perubahan struktur anatomis
b. Pengaruh lingkungan
c. Penyakit vaskuler perifer Critical Triad8
d. Lama DM > 10 tahun Ulkus diabetik6 a. Neuropati
e. Usia > 40 tahun b. Trauma
f. Riwayat merokok c. Deformitas
Resiko amputasi6

Gambar 2.4 Kerangka teori penelitian (adaptasi dari 1Smeltzer & Bare, 2001; 2Mansjoer dkk, 2005; 3Price & Wilson, 2005; 4PERKENI, 2011;
5
Tambayong, 2000; 6Rebolledo et.al., 2012; 7Schumacher dan Jancksonville (2005 dalam Rondhianto, 2011); 8Frykberg, 2002;
9
Boulton (2004 dalam Arief, 2008); 10Guyton & Hall, 2007; 11Funnell et.al., 2008)
BAB 3. KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada gambar 3.1.

Diabetes Self Management


Education (DSME)

Resiko terjadinya ulkus Resiko terjadinya ulkus


diabetik diabetik
(sebelum intervensi) (sesudah intervensi)

Faktor resiko
1. Perubahan struktur anatomis
2. Pengaruh lingkungan
3. Penyakit vaskuler perifer
4. Lama DM > 10 tahun
5. Usia > 40 tahun
6. Riwayat merokok

Keterangan:
= diteliti
= tidak diteliti
= diteliti
= tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian

3.2 Hipotesis

Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara penelitian yang diajukan

oleh peneliti yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut

46
47

(Setiadi, 2007). Hipotesis yang digunakan dalam penelitian adalah Ha, yaitu ada

pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap resiko

terjadinya ulkus diabetik pada pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM)

Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember. Tingkat kesalahan (α) yang digunakan dalam

penelitian ini adalah 0,05. Ha ditolak jika hasil yang diperoleh p value > α dan Ha

gagal ditolak jika p value ≤ α.


48

BAB 4. METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

eksperimental. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experimental

dengan desain penelitian pre-test and post-test with control group design.

Rancangan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Diabetes Self

Management Education (DSME) terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada

pasien rawat jalan dengan Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi

Jember. Responden pada penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu

kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Kelompok kontrol diobservasi tanpa

dilakukan intervensi, sedangkan kelompok intervensi diobservasi terlebih dahulu

(observasi awal/pre-test) sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi

kembali setelah dilakukan intervensi (post-test) (Nursalam, 2008; Setiadi, 2007).

Pre-test (O1 dan O3) dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya resiko

ulkus diabetik yang dialami pasien DM tipe 2 sebelum Diabetes Self Management

Education (DSME) (X). Post-test dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya resiko

ulkus diabetik yang dialami pasien DM tipe 2 sesudah Diabetes Self Management

Education (DSME). Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

pre-test intervensi post-test


kelompok kontrol O1 O2
kelompok intervensi O3 X O4

Gambar 4.1 Pola penelitian pre-test dan post-test with control group design
(Setiadi, 2007)

48
49

Keterangan :
X : intervensi (Diabetes Self Management Education (DSME))
O1 : pre-test (resiko terjadinya ulkus diabetik awal pada kelompok kontrol)
O2 : post-test (resiko terjadinya ulkus diabetik akhir pada kelompok kontrol)
O3 : pre-test (resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum intervensi)
O4 : post-test (resiko terjadinya ulkus diabetik sesudah intervensi)

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

4.2.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

dan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh peneliti (Nursalam, 2008; Budiarto,

2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien DM tipe 2 yang

menjalani rawat jalan di Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada tahun 2012,

yaitu sebanyak 4300 orang sesuai dengan data sekunder dan studi pendahuluan

yang dilakukan oleh peneliti.

4.2.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang memiliki karakteristik yang

hampir sama dengan populasi dan dapat mewakili populasi. Teknik sampling

yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik consequtive sampling, yaitu

teknik penentuan sampel dengan cara memasukkan setiap pasien yang memenuhi

kriteria sampai kurun waktu tertentu hingga jumlah pasien yang diinginkan

terpenuhi (Setiadi, 2007). Sugiyono (2012) menyatakan bahwa jumlah sampel

pada penelitian eksperimen sederhana berkisar antara 10-20 orang. Jumlah sampel

pada penelitian ini sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi adalah 40 responden
50

yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu 20 responden pada kelompok kontrol

dan 20 responden pada kelompok intervensi.

4.2.3 Kriteria Subyek Penelitian

Kriteria subjek penelitian terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang dipenuhi oleh setiap anggota

populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Kriteria

eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan anggota populasi yang tidak

memenuhi kriteria inklusi karena terdapat penyakit yang mengganggu, keadaan

yang mengganggu kemampuan pelaksanaan, hambatan etis dan menolak

berpartisipasi (Setiadi, 2007).

a. Kriteria inklusi

Sampel pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat

jalan di Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember dengan kriteria sebagai berikut:

1) didiagnosis DM tipe 2;

2) usia 40-65 tahun;

3) pendidikan minimal SMP;

4) mampu melakukan aktivitas mandiri;

5) memiliki kemampuan membaca yang baik;

6) berdomisili di Jember; dan

7) tinggal dengan keluarga.


51

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi penelitian ini yaitu:

1) pasien DM tipe 2 yang memiliki ulkus diabetik dan gangren;

2) pasien DM tipe 2 yang memiliki keterbatasan fisik, mental, atau kognitif

yang dapat mengganggu penelitian (buta, tuli, cacat mental);

3) pasien DM tipe 2 yang memiliki komplikasi yang dapat mengganggu

penelitian (gagal ginjal kronik, gagal jantung, gangguan penglihatan, dan

lain sebagainya); dan

4) pasien DM tipe 2 yang tidak bersedia menjadi responden penelitian.

4.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di rumah masing-masing responden yang

menjalani rawat jalan di Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Juli

2013 yang memenuhi kriteria inklusi.

4.4 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April tahun 2013 sampai dengan bulan

Oktober tahun 2013. Waktu penelitian ini dihitung mulai dari penyusunan

proposal hingga penyusunan laporan dan publikasi penelitian.


52

4.5 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

No Variabel Definisi Indikator Alat Ukur Skala Hasil


1. Variabel Suatu metode Panduan DSME SOP dan SAP - 1. Tidak
independen: pemberian berupa booklet Diabetes Self dilakukan = 0
Diabetes Self pendidikan yang berisi Management 2. Dilakukan = 1
Management kesehatan mengenai materi Education
Education pengelolaan DM pengelolaan (DSME)
(DSME) secara mandiri yang DM secara
dilakukan sebanyak mandiri
4 sesi dalam waktu
1 bulan dengan
durasi 1-2 jam
untuk tiap sesinya.

2. Variabel Tanda dan gejala a. Kondisi kulit Lembar rasio Lembar observasi
dependen: resiko terjadinya b. Kondisi observasi: berisi 12
resiko ulkus pada pedis kuku Inlow’s 60- indikator dengan
terjadinya (kaki) pasien DM c. Ada tidaknya second skor yang
ulkus tipe 2 berdasarkan deformitas Diabetic Foot berbeda untuk
diabetik Inlow’s 60-second d. Kelayakan Screen masing-masing
Diabetic Foot alas kaki Screening indikator. Hasil
Screen Screening e. Suhu kaki Tool yang skor total
Tool. f. Rentang dimodifikasi tertinggi adalah
gerak kaki oleh peneliti 25 dan terendah
g. Tes sensasi adalah 0.
kaki dengan
monofilamen
h. Tes sensasi
kaki dengan
4 pertanyaan
i. Denyut nadi
pada kaki
j. Ada tidaknya
kemerahan
sesaat pada
kaki
k. Ada tidaknya
erythema
pada kaki

4.6 Pengumpulan Data

4.6.1 Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber

data. Menurut Setiadi (2007), data primer merupakan data yang diperoleh sendiri
53

oleh peneliti dari hasil pengukuran, pengamatan, survei, dan lain sebagainya. Data

primer penelitian ini diperoleh dari hasil observasi. Data sekunder dalam

penelitian ini diperoleh dari bagian Rekam Medik dan Poli Interna RSD dr.

Soebandi Jember, yaitu jumlah pasien DM tipe 2 yang berkunjung ke Poli Interna

dan data lengkap kunjungan pasien DM tipe 2 yang berisi nama, usia, jenis

kelamin, dan alamat pasien.

4.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diperlukan untuk mengetahui persebaran data

dan cara memperoleh data tersebut dari subyek penelitian. Teknik pengumpulan

data pada penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan observasi pada

responden. Responden akan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok

kontrol dan kelompok intervensi. Responden pada kedua kelompok akan

diobservasi terlebih dahulu untuk mengetahui resiko ulkus diabetik yang dialami

responden. Tahap selanjutnya responden pada kelompok intervensi akan diberikan

intervensi berupa DSME sebanyak 4 sesi selama 1 bulan dan observasi akan

dilakukan kembali pada kedua kelompok. Langkah-langkah pengumpulan data

yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini diklasifikasi menjadi dua, yaitu:

a. langkah administratif

1) mengajukan surat permohonan ijin penelitian kepada Direktur RSD dr.

Soebandi Jember;
54

2) mengajukan permohonan ijin pengumpulan data kunjungan pasien DM

tipe 2 ke Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember pada bulan Juli tahun

2013;

3) menentukan responden penelitian sesuai kriteria inklusi dan eksklusi;

4) melakukan kunjungan ke rumah masing-masing pasien yang memenuhi

kriteria inklusi untuk menjelaskan mekanisme penelitan;

5) mengajukan ijin dan kesepakatan kepada responden untuk menjadi sampel

dan menandatangani lembar persetujuan menjadi responden (informed

concent) bagi responden yang bersedia untuk menjadi sampel penelitian;

dan

6) mendiskusikan waktu pelaksanaan penelitian dengan responden.

b. langkah teknis penelitian

1) membagi sampel penelitian ke dalam dua kelompok;

2) mempersiapkan lembar observasi dan alat yang dibutuhkan saat

melakukan intervensi untuk masing-masing responden penelitian;

3) menghubungi masing-masing responden untuk mengajukan ijin

melakukan penelitian;

4) melakukan kunjungan ke rumah masing-masing responden sesuai dengan

kesepakatan waktu yang telah disetujui oleh masing-masing responden;

5) menjelaskan kepada responden pada kelompok kontrol bahwa penelitian

pada responden dilakukan dengan cara mengobservasi tanda dan


55

gejala/indikator resiko terjadinya ulkus diabetik sebanyak 2 kali, saat awal

penelitian dan 1 bulan setelah observasi awal;

6) menjelaskan kepada responden pada kelompok intervensi bahwa penelitian

pada responden dilakukan dengan cara mengobservasi tanda dan

gejala/indikator resiko terjadinya ulkus diabetik di awal penelitian,

kemudian dilanjutkan dengan pemberian materi DSME sebanyak 4 sesi

dalam waktu 1 bulan dengan pembagian 1 sesi untuk tiap minggunya, dan

di akhir sesi 4 dilanjutkan dengan mengobservasi kembali tanda dan

gejala/indikator resiko terjadinya ulkus diabetik;

7) melakukan observasi awal tanda dan gejala/indikator resiko terjadinya

ulkus diabetik terhadap responden pada kedua kelompok dan memberikan

materi DSME pada kelompok intervensi dengan menggunakan media

booklet;

8) sesi 1 : memberikan booklet kepada responden, kemudian peneliti

menjelaskan materi tentang pengetahuan dasar DM (definisi, etiologi,

klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, diagnosis,

pencegahan, pengobatan, komplikasi) dilanjutkan dengan sesi tanya

jawab/diskusi dan evaluasi. Evaluasi dilakukan dengan cara menggali

perasaan dan pemahaman responden terhadap materi yang telah

disampaikan (respon verbal dan non verbal). Responden yang tidak

memahami materi yang telah disampaikan akan tetap mengikuti sesi

berikutnya karena seluruh responden merupakan kelompok resiko yang

harus memperoleh materi secara keseluruhan untuk mendukung kognitif,


56

afektif, dan psikomotor responden. Jika tidak ada lagi pertanyaan dari

responden, peneliti membuat kontrak untuk pertemuan sesi 2 yang akan

membahas tentang pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan fisik yang

dapat dilakukan;

9) sesi 2 : melakukan evaluasi berupa respon verbal dan non verbal

responden (menggali perasaan dan pemahaman responden terhadap materi

yang telah disampaikan pada sesi 1), kemudian peneliti menjelaskan

materi tentang pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan fisik yang dapat

dilakukan, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab/diskusi dan evaluasi

(respon verbal dan non verbal). Jika tidak ada lagi pertanyaan dari

responden, peneliti membuat kontrak untuk pertemuan sesi 3 yang akan

membahas tentang perawatan kaki dan monitoring yang perlu dilakukan;

10) sesi 3 : melakukan evaluasi berupa respon verbal dan non verbal

responden, kemudian peneliti menjelaskan materi tentang perawatan kaki

dan monitoring yang perlu dilakukan yang dilanjutkan dengan sesi tanya

jawab/diskusi dan evaluasi (respon verbal dan non verbal). Jika tidak ada

lagi pertanyaan dari responden, peneliti membuat kontrak untuk pertemuan

sesi 4 yang akan membahas tentang manajemen stress dan dukungan

psikososial, dan akses pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan;

11) sesi 4 : melakukan evaluasi berupa respon verbal dan non verbal

responden, kemudian peneliti menjelaskan materi tentang manajemen

stress dan dukungan psikososial, dan akses pasien terhadap fasilitas


57

pelayanan kesehatan, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab/diskusi dan

evaluasi secara keseluruhan terhadap materi DSME; dan

12) melakukan observasi ulang terhadap tanda dan gejala/indikator resiko

terjadinya ulkus diabetik pada responden kedua kelompok dan

mengucapkan terima kasih kepada responden atas kesediaannya untuk

menjadi responden penelitian.

4.6.3 Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data atau instrumen yang digunakan pada penelitian ini

adalah lembar observasi berupa Inlow’s 60-second Diabetic Foot Screen

Screening Tool yang dimodifikasi oleh peneliti. Instrumen penelitian tersebut

merupakan alat untuk melakukan screening pada pasien DM yang belum

mengalami ulkus diabetik. Instrumen penelitian tersebut disusun oleh Canadian

Association of Wound Care yang diadaptasi dari jurnal Wound Care Canada

Volume 2 pada tahun 2004 dengan judul A 60 second foot exam for people with

diabetes. Instrumen penelitian tersebut berisi 12 indikator resiko ulkus diabetik

pada pasien DM dan instruksi/panduan mengenai cara penggunaan dan

interpretasi hasil.

Setiap indikator pada instrumen tersebut memiliki skor yang berbeda, yaitu

kondisi kulit dengan skor tertinggi 3, kondisi kuku dengan skor tertinggi 2, ada

tidaknya deformitas dengan skor tertinggi 4, kelayakan alas kaki dengan skor

tertinggi 2, suhu kaki (dingin) dengan skor tertinggi 1, suhu kaki (panas) dengan

skor tertinggi 1, rentang gerak kaki dengan skor tertinggi 3, tes sensasi kaki
58

dengan monofilamen dengan skor tertinggi 4, tes sensasi dengan 4 pertanyaan

dengan skor tertinggi 2, denyut nadi pada kaki dengan skor tertinggi 1, warna

pada kaki dengan skor tertinggi 1, dan ada tidaknya erythema dengan skor

tertinggi 1. Skor total tertinggi adalah 25 dan terendah adalah 0.

Observasi terhadap indikator kondisi kulit, kondisi kuku, ada tidaknya

deformitas, dan kelayakan alas kaki dilakukan dengan teknik inspeksi selama 20

detik. Observasi terhadap indikator suhu kaki (dingin), suhu kaki (panas), dan

rentang gerak kaki dilakukan dengan teknik palpasi selama 10 detik. Observasi

terhadap indikator tes sensasi kaki dengan monofilamen, tes sensasi kaki dengan 4

pertanyaan, denyut nadi kaki, warna pada kaki, dan ada tidaknya erythema

dilakukan dengan teknik pengkajian (access) selama 30 detik. Setiap indikator

pada instrumen tersebut diobservasi pada kedua kaki pasien dengan memberikan

skor pada masing-masing indikator pada lembar observasi. Hasil observasi yang

akan diinterpretasi adalah skor tertinggi dari kedua kaki. (Canadian Association of

Wound Care, 2011).

Instrumen penelitian ini telah dikembangkan agar dapat digunakan sebagai

alat ukur untuk mengkaji resiko ulkus diabetik pada pasien DM. Beberapa alasan

yang mendasari pengembangan instrumen penelitian ini yaitu (Woodbury, 2009):

a. Discrimination, untuk membedakan karakteristik/dimensi pokok dari individu

atau kelompok, misalnya kualitas hidup;

b. Prediction, untuk mengkaji atau memprediksi kemungkinan resiko yang akan

muncul pada waktu yang akan datang, misalnya timbul ulkus; dan
59

c. Evaluation, untuk mengukur perubahan yang muncul selama masa perawatan

penyakit, misalnya penyembuhan luka.

4.6.4 Uji Validitas dan Reliabilitas

a. Uji validitas

Uji validitas secara umum merupakan suatu alat untuk mengukur apa yang

seharusnya diukur (Woodbury, 2009). Suatu alat ukur dikatakan valid jika

pernyataan dalam alat ukur tersebut mampu menjelaskan sesuatu yang hendak

diukur (Portney & Watskin, 2000). Ada beberapa macam validitas yang dapat

digunakan dalam suatu penelitian, yaitu validitas muka (face validity), validitas isi

(content validity), validitas kriteria (criterion-related validity/concurrent validity),

validitas prediktif (predictive validity), dan validitas konstruk (construct validity)

(Woodbury, 2009; Portney & Watskin, 2000).

Validitas muka (face validity) merupakan jenis validitas yang paling

sederhana. Validitas muka digunakan ketika suatu alat ukur hanya digunakan

untuk mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (Woodbury, 2009). Validitas

muka dilakukan dengan keputusan subjektif peneliti berdasarkan akal sehat

terhadap variabel yang diukur serta didiskusikan dengan pakar terkait

(Sastroasmoro dan Ismael, 2007). Validitas muka pada instrumen penelitian ini

penting untuk dilakukan pada komponen discrimination, predictive, dan

evaluation (Woodbury, 2009).

Validitas isi (content validity) merupakan jenis validitas yang yang

mengukur sejauhmana alat ukur mencakup aspek spesifik atau keseluruhan aspek
60

dari isi yang ingin diukur (Woodbury, 2009). Validitas isi dilakukan dengan

menegakkan telaah dan revisi butir-butir pertanyaan berdasarkan pendapat

profesional (professional judgement) (Suryabrata, 2005). Validitas isi pada

instrumen penelitian ini penting untuk dilakukan pada komponen discrimination,

predictive, dan evaluation (Woodbury, 2009).

Validitas kriteria (criterion-related validity/concurrent validity)

merupakan jenis validitas yang paling kuat (Suryabrata, 2005). Validitas kriteria

digunakan untuk mengukur hubungan/korelasi antara hasil dari alat ukur yang

akan digunakan dengan alat ukur yang sudah terstandar (gold standart) pada

waktu yang sama. Validitas kriteria pada instrumen penelitian ini penting

dilakukan pada komponen discrimination (Woodbury, 2009).

Validitas prediktif (predictive validity) digunakan untuk mengukur

hubungan/korelasi antara hasil dari alat ukur yang akan digunakan dengan alat

ukur yang sudah terstandar (gold standart) pada waktu yang akan datang.

Validitas prediktif pada instrumen penelitian ini penting dilakukan pada

komponen prediction (Woodbury, 2009).

Validitas konstruk (construct validity) merupakan jenis validitas yang

digunakan untuk mengukur sejauh mana alat ukur berhubungan dengan teori yang

ada. Semakin kuat hubungan dengan teori yang ada, maka semakin tinggi validitas

konstruknya (Hamid, 2008). Validitas konstruk dapat dilakukan dengan dua cara

yaitu multi-trait dan multi method dan analisis faktor. Hal-hal yang secara teori

berdekatan harus tinggi korelasinya (convergent validation) dan hal-hal yang

secara teori berjauhan harus rendah korelasinya (discrimination validation).


61

Analisis faktor dilakukan dengan memeriksa ulang atau mengkonfirmasi apakah

data yang dikumpulkan mengandung faktor-faktor yang diteorikan (analisis faktor

konfirmatori), yang dapat dilakukan dengan program SPSS (Suryabrata, 2005).

Uji validitas pada instrumen penelitian ini telah dilakukan oleh Murphy

et.al. (2012) terhadap 69 pasien DM dengan rincian 26 pasien berasal dari acute

care setting (dialysis) dan 43 pasien berasal dari long-term-care (LTC) setting.

Hasil yang diperoleh adalah instrumen penelitian ini valid dalam memprediksi

resiko yang akan muncul di waktu yang akan datang (predictive validity).

b. Uji reliabilitas

Uji reliabilitas secara umum merupakan suatu alat untuk mengukur sejauh

mana alat ukur yang digunakan memiliki hasil yang sama dengan melakukan

pengukuran yang berulang-ulang terhadap kondisi yang sama. Ada beberapa

macam reliabilitas yang dapat digunakan dalam suatu penelitian, yaitu reliabilitas

alat ukur, reliabilitas peneliti (intrarater reliability), dan reliabilitas antara 2

peneliti (interrater reliability) (Woodbury, 2009). Uji reliabilitas dapat dilakukan

dengan beberapa cara antara lain uji stabilitas (test-retest method/metode uji

silang), kesetaraan (equivalence) dan homogenitas (internal consistency) (Hamid,

2008).

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini telah diuji

reliabilitasnya dan menunjukkan hasil bahwa instrumen penelitian ini reliabel. Uji

intrarater reliability dan interrater reliability juga dilakukan dengan

menggunakan intraclass correlation coefficient (2.1) dan tingkat kemaknaan 95%.


62

Hasil yang diperoleh dari kedua uji tersebut adalah nilai intrarater reliability

terhadap pasien yang berasal dari LTC (Long Term Care) 0.96 pada kaki kanan

dan 0.97 pada kaki kiri, sedangkan nilai pada pasien yang berasal dari dialysis

1.00 pada kedua kaki. Nilai interrater reliability terhadap pasien yang berasal dari

LTC 0.92 pada kaki kanan dan 0.93 pada kaki kiri, sedangkan nilai pada pasien

yang berasal dari dialysis 0.83 pada kedua kaki (Murphy et.al., 2012). Hasil kedua

uji tersebut menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini

valid dan reliabel, sesuai untuk digunakan dalam mengidentifikasi (skrining)

resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien DM tipe 2.

4.7 Pengolahan Data

4.7.1 Editing

Editing merupakan pemeriksaan instrumen penelitian sesuai dengan hasil

pengamatan yang dilakukan oleh peneliti (Setiadi, 2007). Pemeriksaan ini

meliputi pemeriksaan kelengkapan isi, keterbacaan tulisan, dan relevansi isi.

Editing pada penelitian ini meliputi pemeriksaan kelengkapan isi lembar

observasi, kesesuaian skor yang dicantumkan oleh peneliti dengan skor masing-

masing indikator, dan pemeriksaan jumlah skor total.

4.7.2 Coding

Coding merupakan pemberian tanda atau mengklasifikasikan jawaban-

jawaban dari para responden ke dalam kategori tertentu (Setiadi, 2007).


63

Pemberian coding pada penelitian ini dilakukan dengan memberikan kode 0 untuk

tidak dilakukan dan 1 untuk dilakukan pada variabel independen.

4.7.3 Processing/entry

Proses memasukkan data ke dalam tabel dilakukan dengan program yang

ada di komputer (Setiadi, 2007). Proses memasukkan data pada penelitian ini

menggunakan program SPSS 15. Data yang diolah pada SPSS 15 meliputi

karakteristik responden, hasil observasi pre-test dan post-test, dan perbedaan hasil

observasi pre-test dan post-test pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.

4.7.4 Cleaning

Cleaning merupakan teknik pembersihan data-data yang tidak sesuai

dengan kebutuhan peneliti (Setiadi, 2007). Cleaning pada penelitian ini dilakukan

dengan cara memeriksa data yang benar-benar dibutuhkan oleh peneliti

(karakteristik responden, hasil observasi pre-test dan post-test) dan menghapus

data-data yang tidak dibutuhkan pada setiap variabel. Semua data yang diperoleh

peneliti merupakan data yang digunakan dan diolah untuk dianalisa.

4.8 Analisis Data

Analisis data memiliki posisi strategis dalam suatu penelitian. Analisis

data dengan pendekatan kuantitatif dapat dilakukan melalui tahap analisa

deskriptif (univariat), analisis analitik (bivariat), dan analisis multivariat. Tujuan

analisis data secara umum adalah untuk memperoleh gambaran masing-masing


64

variabel, membandingkan dan menguji suatu teori dengan fakta yang ada,

menemukan adanya teori baru dari data yang dikumpulkan, dan mencari

penjelasan apakah teori baru yang diuji berlaku secara umum atau hanya pada

kondisi tertentu (Budiarto, 2002).

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data

univariat dan analisis data bivariat. Analisis data univariat bertujuan untuk

mendeskripsikan karakteristik responden dan karakteristik masing-masing

variabel yang diteliti. Variabel yang berbentuk kategorik (jenis kelamin,

pendidikan, dan pekerjaan) disajikan dalam bentuk proporsi, sedangkan variabel

yang berbentuk numerik (usia, lama mengalami DM, KGD sewaktu, dan nilai

ABI) disajikan berupa nilai dalam bentuk mean, median, standar deviasi, dan nilai

minimum-maksimum.

Analisis data bivariat bertujuan untuk menganalisis dua kelompok data

yang terdiri dari variabel independen dan dependen. Kelompok data yang akan

dianalisis yaitu variabel DSME sebagai variabel independen dan variabel resiko

terjadinya ulkus diabetik sebagai variabel dependen. Skala data pada penelitian ini

adalah rasio untuk variabel dependen (resiko terjadinya ulkus diabetik). Teknik

analisis data yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut:

a. perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok kontrol dari

observasi awal dan observasi akhir digunakan paired T-test dengan Ha

diterima jika p < 0,05;


65

b. perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi sebelum

dan sesudah pemberian DSME digunakan paired T-test dengan Ha diterima

jika p < 0,05;

c. perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok kontrol dan

kelompok intervensi digunakan Independent T-test dengan Ha diterima jika p

< 0,05;

Uji paired T-test atau uji beda dua mean dependen digunakan untuk

menguji perbedaan mean antara dua kelompok data dependen yang berskala

interval/rasio, yaitu membandingkan nilai mean resiko terjadinya ulkus diabetik

sebelum dan sesudah pemberian DSME. Uji Independent T-test atau uji beda dua

mean independen digunakan untuk mengetahui perbedaan mean antara dua

kelompok data independen yang berskala interval/rasio, yaitu membandingkan

nilai mean resiko terjadinya ulkus diabetik antara kelompok kontrol dan kelompok

intervensi (Sugiyono, 2012). Uji Kolmogorov Smirnov dan uji Levene’s

dilakukan untuk mengetahui normalitas dan homogenitas data sebelum dilakukan

uji paired T-test dan uji Independent T-test. Data dikatakan terdistribusi normal

jika p > α (α = 0,05) (Hastono, 2007).

4.9 Etika Penelitian

Penelitian yang berkaitan dengan manusia sebagai objek penelitian, wajib

mempertimbangkan etika penelitian agar tidak menimbulkan masalah etik yang

dapat merugikan responden maupun peneliti (Komisi Nasional Etik Penelitian

Kesehatan. 2005). Etika penelitian yang harus dipenuhi oleh peneliti yaitu:
66

a. lembar persetujuan (Informed Consent)

Informed consent merupakan pernyataan kesediaan dari subyek penelitian

untuk diambil datanya dan ikut serta dalam penelitian. Responden dalam

penelitian ini memperoleh lembar informed consent yang berisi penjelasan

mengenai gambaran DSME yang akan diberikan, tujuan penelitian, mekanisme

penelitian, dan pernyataan kesediaan untuk menjadi responden. Responden

yang bersedia mengikuti penelitian harus menandatangani lembar informed

consent dan responden yang tidak bersedia mengikuti penelitian diperkenankan

untuk tidak menandatangani lembar informed consent tersebut.

b. kerahasiaan (Confidentialy)

Kerahasiaan adalah suatu pernyataan jaminan dari peneliti bahwa segala

informasi yang berkaitan dengan responden tidak akan diberikan kepada orang

lain. Kerahasiaan pada penelitian ini dilakukan dengan cara tidak memberikan

identitas responden dan data hasil penelitian kepada orang lain.

c. tanpa nama (Anonimity)

Nama responden tidak perlu dicantumkan pada lembar observasi. Penggunaan

anonymity pada penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan kode dan

alamat responden pada lembar observasi dan mencantumkan tanda tangan pada

lembar persetujuan sebagai responden.

d. keadilan (Justice)

Prinsip keadilan memenuhi prinsip keterbukaan. Penelitian dilakukan secara

jujur, hati–hati, professional, berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-

faktor ketepatan, kecermatan, psikologis dan perasaan subyek penelitian.


67

Penggunaan prinsip keadilan pada penelitian ini dilakukan dengan cara tidak

membedakan jenis kelamin dan usia, dan pemberian booklet mengenai materi

DSME kepada responden pada kelompok kontrol sebagai rencana tindak lanjut

dari penelitian ini.

e. asas kemanfaatan (Beneficiency)

Peneliti harus secara jelas mengetahui manfaat dan resiko yang mungkin terjadi

pada responden. Penelitian boleh dilakukan apabila manfaat yang diperoleh

lebih besar daripada resiko yang akan terjadi. Penelitian tidak boleh

menimbulkan penderitaan kepada subjek penelitian. Penggunaan asas

kemanfaatan pada penelitian ini dilakukan dengan cara menjelaskan secara

detail tujuan, manfaat, dan teknik penelitian kepada responden.


BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

RSD dr. Soebandi Jember merupakan rumah sakit milik pemerintah

kabupaten Jember dan Badan Layanan Umum Daerah yang terletak di Jalan dr.

Soebandi 124 Jember. RSD dr. Soebandi Jember terakreditasi rumah sakit kelas B

Pendidikan berdasarkan SK Menkes No. 1097/MENKES/SK/IX/2002. RSD dr.

Soebandi Jember memiliki luas lahan 43.722,00 m2, luas bangunan 15.552,08 m2,

355 kapasitas tempat tidur, dan 16 jenis pelayanan. Salah satu jenis pelayanan

yang ada di RSD dr. Soebandi Jember adalah pelayanan rawat jalan.

Poli Interna sebagai salah satu pelayanan rawat jalan yang ada di RSD dr.

Soebandi Jember memiliki jumlah Dokter Spesialis Penyakit Dalam sebanyak 5

orang. Jumlah kunjungan pasien secara umum ke Poli Interna pada tahun 2012

sebanyak 16.930 orang, sedangkan jumlah kunjungan pasien DM tipe 2 ke Poli

Interna pada tahun 2012 sebanyak 4.300 orang.

Pasien yang menjalani rawat jalan di Poli Interna berasal dari beberapa

Kabupaten, di antaranya adalah Kabupaten Jember, Banyuwangi, Situbondo,

Bondowoso, dan Lumajang. Lokasi penelitian ini bertempat di masing-masing

rumah pasien DM Tipe 2 yang menjalani rawat jalan di Poli Interna pada bulan

Juli tahun 2013 dan memenuhi kriteria inklusi, yaitu masih di wilayah Kabupaten

Jember yang dapat terjangkau oleh peneliti, di antaranya adalah Perumahan

Gunung Batu Permai, Jalan Moh. Seruji, Jalan Mundu, Jalan Anggur, Jalan S.

68
69

Parman, Jalan Letjen Suprapto, Jalan Manyar, Jalan Manggar, Jalan Hayam

Wuruk, Jalan Lumba-lumba, Jalan Slamet Riyadi, dan lain sebagainya.

5.1.2 Karakteristik Responden

Karakteristik responden terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, lama mengalami DM, nilai KGD sewaktu, dan nilai ABI. Distribusi

responden berdasarkan usia, lama mengalami DM, nilai KGD sewaktu, dan nilai

ABI dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.1 Distribusi Responden Menurut Usia, Lama Mengalami DM, Nilai KGD
Sewaktu, dan Nilai ABI pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr.
Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40)
Variabel Mean Median SD Min - Maks
Usia (tahun)
Kelompok intervensi 57,05 59 5,898 47 - 65
Kelompok kontrol 58,75 58 4,375 49 - 65
Lama mengalami DM (tahun)
Kelompok intervensi 6 5 5,506 1 - 22
Kelompok kontrol 6 4,5 5,638 1 - 20
Nilai KGD sewaktu (mg/dl)
Kelompok intervensi 216,45 210 47,698 123 – 326
Kelompok control 236,75 218 90,391 127 – 512
Nilai ABI
Kelompok intervensi 1,04 1,03 0,07511 0,94 – 1,15
Kelompok control 1,06 1,07 0,06802 0,93 – 1,17
Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa usia responden pada kelompok

intervensi rata-rata berusia 57,05 tahun, dan pada kelompok kontrol rata-rata

berusia 58,75 tahun. Rata-rata lama mengalami DM responden pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol sama yaitu 6 tahun. Nilai KGD sewaktu pada

kelompok intervensi rata-rata sebesar 216,45 mg/dl, sedangkan nilai KGD

sewaktu pada kelompok kontrol rata-rata adalah 236,75 mg/dl. Nilai ABI pada

kelompok intervensi rata-rata 1,04 dan nilai ABI pada kelompok kontrol rata-rata

adalah 1,06.
70

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan

dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan, dan


Pekerjaan pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi
Jember pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40)
No. Variabel Frekuensi Persentase
(%)
1. Jenis Kelompok intervensi : Laki-laki 9 45
Kelamin Perempuan 11 55
Jumlah 20 100
Kelompok kontrol : Laki-laki 7 35
Perempuan 13 65
Jumlah 20 100
2. Pendidikan Kelompok intervensi : SMP sederajat 8 40
SMA sederajat 6 30
PT sederajat 6 30
Jumlah 20 100
Kelompok kontrol : SMP sederajat 8 40
SMA sederajat 8 40
PT sederajat 4 20
Jumlah 20 100
3. Pekerjaan Kelompok intervensi : Tidak bekerja 7 35
PNS 4 20
Wiraswasta 4 20
Pensiunan 5 25
Jumlah 20 100
Kelompok kontrol : Tidak bekerja 8 40
PNS 2 10
Wiraswasta 1 5
Pensiunan 9 45
Jumlah 20 100
Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar jenis kelamin

responden pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah perempuan,

yaitu pada kelompok intervensi sebanyak 11 orang (55%) dan pada kelompok

kontrol berjumlah 13 orang (65%). Distribusi tingkat pendidikan responden pada

kelompok intervensi sebagian besar berpendidikan SMP sederajat sebanyak 8

orang (40%), sedangkan pada kelompok kontrol responden yang berpendidikan

SMP sederajat dan SMA sederajat sama besar yaitu 8 orang (40%) berpendidikan
71

SMP sederajat dan 8 orang (40%) berpendidikan SMA sederajat. Distribusi

pekerjaan responden pada kelompok intervensi sebagian besar adalah tidak

bekerja sebanyak 7 orang (35%), sedangkan distribusi pekerjaan pada kelompok

kontrol sebagian besar adalah pensiunan sebanyak 9 orang (45%).

5.1.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik

a. Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi


Tabel 5.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi pada
Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada
Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20)
Variabel Mean Median SD Min - Maks
Pretest 3,70 3 1,342 1–6
Posttest 2,45 2 0,999 1–5
Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa rata-rata skor resiko terjadinya

ulkus diabetik pada responden kelompok intervensi sebelum dilakukan DSME

adalah 3,70, sedangkan rata-rata skor pada kelompok intervensi sesudah

intervensi DSME adalah 2,45.

Tabel 5.4 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi
pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada
Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20)
Kode Difference Kode Difference
Pretest Posttest Pretest Posttest
Responden (Δ) Responden (Δ)
I.1 3 2 -1 I.11 3 2 -1
I.2 5 3 -2 I.12 5 3 -2
I.3 3 2 -1 I.13 3 3 0
I.4 1 1 0 I.14 2 1 -1
I.5 5 3 -2 I.15 2 2 0
I.6 4 2 -2 I.16 3 2 -1
I.7 5 5 0 I.17 3 3 0
I.8 5 3 -2 I.18 5 2 -3
I.9 3 1 -2 I.19 5 3 -2
I.10 6 4 -2 I.20 3 2 -1
Total 74 49 25
Mean 3,70 2,45 - 1,25
Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013
72

Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa terjadi penurunan resiko

terjadinya ulkus diabetik rata-rata pada kelompok intervensi sebesar 1,25 poin

yaitu dari rata-rata sebelum DSME sebesar 3,70 poin menjadi 2,45 poin setelah

DSME. Tanda negatif pada kolom difference menunjukkan bahwa ada

penurunan resiko terjadinya ulkus diabetik pada responden.

b. Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Kontrol

Tabel 5.5 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Kontrol pada
Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada
Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20)
Variabel Mean Median SD Min - Maks
Pretest 3,75 4 1,372 1-6
Posttest 3,40 3 1,231 1-5
Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013

Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa rata-rata skor resiko terjadinya

ulkus diabetik pada responden kelompok kontrol saat observasi awal adalah

3,75, sedangkan rata-rata skor pada kelompok intervensi saat observasi akhir

adalah 3,40.

Tabel 5.6 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Kontrol
pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada
Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 20)
Kode Difference Kode Difference
Pretest Posttest Pretest Posttest
Responden (Δ) Responden (Δ)
K.1 3 3 0 K.11 3 3 0
K.2 4 3 -1 K.12 2 2 0
K.3 5 5 0 K.13 5 5 0
K.4 5 4 -1 K.14 6 5 -1
K.5 3 3 0 K.15 1 1 0
K.6 4 4 0 K.16 5 5 0
K.7 5 3 -2 K.17 2 2 0
K.8 4 4 0 K.18 5 4 -1
K.9 2 2 0 K.19 3 3 0
K.10 3 2 -1 K.20 5 5 0
Total 75 68 7
Mean 3,75 3,40 -0,35
Sumber: Data Primer, Agustus-September 12013
73

Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa terjadi penurunan resiko

terjadinya ulkus diabetik rata-rata pada kelompok kontrol sebesar 0,35 poin

yaitu dari rata-rata saat observasi awal sebesar 3,75 poin menjadi 3,40 poin saat

observasi akhir. Tanda negatif pada kolom difference menunjukkan bahwa ada

penurunan resiko terjadinya ulkus diabetik pada responden.

c. Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi dan

Kelompok Kontrol

Tabel 5.7 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok


Intervensi dan Kelompok Kontrol pada Pasien Rawat Jalan dengan DM
Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada Bulan Juli Tahun 2013
(Agustus-September 2013; n : 40)
Mean Mean
Variabel
Pretest Posttest Difference
Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik
Kelompok Intervensi 3,70 2,45 -1,25
Kelompok Kontrol 3,75 3,40 -0,35
Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013

Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa penurunan resiko terjadinya ulkus

diabetik yang terjadi pada responden kelompok intervensi lebih besar daripada

kelompok kontrol, yaitu penurunan rata-rata resiko terjadinya ulkus diabetik

pada kelompok intervensi sebesar 1,25 poin dan kelompok kontrol sebesar 0,35

poin.

5.1.4 Hasil Uji Statistik

Hasil uji normalitas dengan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan data

resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

memiliki nilai p > α yang menunjukkan data terdistribusi normal. Data yang

terdistribusi normal menjadi syarat untuk dilakukan uji Paired t-test dan
74

Independent t-test. Hasil Levene’s test menunjukkan data resiko terjadinya ulkus

diabetik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol memiliki nilai p > α

yang menunjukkan data homogen.

a. Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sebelum dan Sesudah dilakukan

DSME

Analisis data Paired t-test digunakan untuk mengetahui perbedaan nilai

observasi awal dan akhir pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Berikut adalah tabel perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok

intervensi dan kelompok kontrol.

Tabel 5.8 Hasil Analisis Paired t-test Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada
Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember pada
Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40)
Resiko Terjadinya Std.
Kelompok Mean Min-Max t P
Ulkus Diabetik Deviation
Intervensi Sebelum - 1,676 –
- 1,25 0,910 - 6,140 0,000
Sesudah - 0,824
Kontrol Sebelum - 0,625 –
- 0,35 0,587 - 2,666 0,015
Sesudah - 0,075
Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013 (dengan pengolahan data)

Hasil Paired t-test pada kelompok intervensi diperoleh nilai t hitung

- 6,140 dan p 0,000 < 0,05 (α) yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan

resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dan sesudah dilakukan DSME. Hasil

Paired t-test pada kelompok kontrol diperoleh nilai t hitung – 2,666 dan p

0,015 < 0,05 (α) yang berarti terdapat perbedaan resiko terjadinya ulkus

diabetik antara observasi awal dan observasi akhir. Pada kedua kelompok

diperoleh t hitung negatif yang menunjukkan bahwa nilai observasi awal lebih

tinggi daripada nilai pengukuran akhir yang berarti terdapat penurunan resiko

terjadinya ulkus diabetik.


75

b. Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Kelompok Intervensi dan

Kelompok Kontrol

Analisis data Independent t-test digunakan untuk mengetahui perbedaan

resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol. Berikut adalah tabel perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Tabel 5.9 Hasil Analisis Independent t-test Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik
pada Pasien Rawat Jalan dengan DM Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember
pada Bulan Juli Tahun 2013 (Agustus-September 2013; n : 40)
Kelompok t p df Mean Difference Min-Max
Intervensi 0,40959 –
3,715 0,001 38 0,90
Kontrol 1,39041
Sumber: Data Primer, Agustus-September 2013 (dengan pengolahan data)

Hasil Independent t-test terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik antara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat diketahui nilai t = 3,715

dengan p 0,001 < 0,05 yang berarti bahwa terdapat perbedaan resiko terjadinya

ulkus diabetik yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok

kontrol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh DSME terhadap

resiko terjadinya ulkus diabetik. Nilai positif pada t menunjukkan bahwa

penurunan resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok intervensi lebih

besar daripada kelompok kontrol.

5.2 Pembahasan

5.2.1 Karakteristik Responden

Responden pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang termasuk

dalam kelompok usia yang sama, yaitu usia 40 – 65 tahun. Usia mempengaruhi
76

kemampuan seseorang dalam melakukan perawatan mandiri DM. Semakin

bertambah usia seseorang, maka semakin tinggi kemampuan dalam membimbing

dan menilai diri sendiri (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan American Diabetes

Association (2007), kelompok usia 40 tahun ke atas merupakan kelompok usia

yang beresiko tinggi mengalami DM dan penyakit jantung. Diet yang buruk,

peningkatan berat badan, kebiasaan merokok, dan kurang aktivitas merupakan

faktor resiko DM yang banyak terjadi pada kelompok usia tersebut. Resiko DM

semakin meningkat seiring peningkatan usia. The Canadian Diabetes Association

merekomendasikan skrining kadar gula darah puasa dilakukan saat seseorang

berusia 40 tahun dan setiap 3 bulan seiring peningkatan usia (CDA, 2008).

Menurut Nugroho (2000 dalam Efendi dan Makhfudli, 2009), kelompok

usia 40 – 65 tahun merupakan masa setengah umur (Presenium). Menurut Papalia

(2008 dalam Rondhianto, 2011), kemampuan kognitif perseptual dan numerik

seseorang mengalami penurunan pada masa setengah umur, sedangkan

kemampuan kognitif penalaran induktif, orientasi spasial, kosakata, dan memori

verbal mengalami peningkatan. Kemampuan pemecahan masalah dan pemikiran

integratif juga cenderung meningkat seiring dengan peningkatan usia karena

semakin bertambah usia semakin terjadi peningkatan cristalized intelligence.

Cristalized intelligence diperoleh dari pengalaman masa lalu. Cristalized

intelligence akan selalu berubah karena setiap informasi baru yang diperoleh akan

meningkatkan pengetahuan (Roach, 2011). Karakteristik usia yang sama pada

responden ini dapat memudahkan melakukan pendekatan dalam pemberian

DSME. Pendekatan yang dapat dilakukan pada kelompok usia Presenium berupa
77

pendekatan yang berpusat pada masalah, pendekatan proyektif, dan pendekatan

aktualisasi diri (Mappa dan Basleman, 1994 dalam Suprayogi, 2005).

Nilai rata-rata usia pada kedua kelompok menunjukkan bahwa rata-rata

pasien termasuk kelompok lansia. Penuaan pada pasien lansia dengan DM lebih

cepat terjadi daripada pasien lansia nondiabetes, karena pada pasien lansia dengan

DM terjadi peningkatan ikatan kolagen, penebalan membrane basal,

aterosklerosis, dan katarak. Peningkatan resiko terjadinya komplikasi

makrovaskuler dan mikrovaskuler juga terjadi pada pasien lansia dengan DM, dan

resiko akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia, lama mengalami

DM, dan nilai hemoglobin terglikosilasi. Pasien lansia dengan DM memiliki

kualitas hidup yang buruk dan lebih sering menggunakan perawatan medis.

Kontrol gula darah yang baik pada pasien lansia dengan DM dapat memperbaiki

kualitas hidup pasien dan hasil jangka panjang (Morley, 1998; Meneilly & Elahi

2005).

Lama mengalami DM/durasi waktu penyakit pada pasien rata-rata adalah 6

tahun. Durasi waktu penyakit memiliki hubungan negatif terhadap kepatuhan.

Semakin lama seseorang mengalami penyakit maka semakin kecil kemungkinan

seseorang menjadi patuh terhadap pengobatan (World Health Organization, 2003).

Kepatuhan pasien DM dalam melakukan perawatan mandiri juga memiliki

peranan penting dalam terjadinya ulkus diabetik. Berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan oleh LeMone & Burke (2008), sekitar 60-70 % pasien DM

mengalami jenis neuropati dan dapat terjadi kapan saja, namun risiko meningkat

pada usia dan lama mengalami DM. Kejadian terbanyak terjadi pada pasien DM
78

minimal selama 25 tahun, gula darah yang tidak terkontrol, hiperlipidemia,

hipertensi dan kelebihan berat badan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

oleh peneliti, peneliti menarik kesimpulan bahwa semakin lama seseorang

mengalami DM maka ada kecenderungan untuk menjadi tidak patuh terhadap

pelaksanaan perawatan mandiri, namun ada kecenderungan lain pasien memiliki

pengalaman perawatan mandiri yang lebih baik daripada pasien yang baru

terdiagnosa DM. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Sulistiari (2013), kepatuhan pasien DM tipe 2 dalam melakukan perawatan kaki

cenderung tetap karena setiap individu dapat berespon secara berbeda sekalipun

dengan keadaan stimulus dan kondisi kesehatan yang sama.

Nilai kadar gula darah sewaktu pada kelompok intervensi rata-rata sebesar

216,45 mg/dl dan 236,75 mg/dl pada kelompok kontrol. Fakta tersebut sesuai

dengan teori yang menyatakan bahwa pada pemeriksaan gula darah sewaktu,

seseorang dapat didiagnosis mengalami DM jika memiliki kadar gula darah di

atas 200 mg/dl. Kadar gula darah yang tinggi dapat menjadi pemicu terjadinya

ulkus diabetik. Kadar gula darah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

pelaksanaan diet, aktivitas sehari-hari, olahraga, gaya hidup seperti merokok,

minum obat diabetes dan penggunaan insulin, serta stres yang dialami (Smeltzer

& Bare, 2001).

Nilai ABI (Ankle-Brachial Index) pada kelompok intervensi rata-rata 1,04

dan nilai ABI pada kelompok kontrol rata-rata adalah 1,06. Nilai tersebut

menunjukkan bahwa rata-rata pasien dalam penelitian ini memiliki tingkat

sirkulasi perifer yang normal/baik. Nilai ABI pada pasien DM dapat dipengaruhi
79

oleh kadar gula darah, aktivitas sehari-hari, hingga kadar trigliserida yang

berbeda-beda pada masing-masing pasien. Nilai ABI pada pasien DM dapat

dipengaruhi oleh salah satu atau lebih dari faktor tersebut. Nilai ABI yang buruk

dapat menyebabkan neuropati di kemudian hari karena nilai ABI yang buruk

mengindikasikan terjadinya penyempitan pembuluh darah akibat penebalan

dinding pembuluh darah dan viskositas darah yang semakin meningkat, sehingga

dapat memicu terjadinya ulkus diabetik. Nilai ABI yang normal pada pasien

dalam penelitian ini disebabkan pasien telah memperoleh informasi perawatan

mandiri meskipun secara singkat, sehingga pasien melakukan perawatan diri

sesuai dengan kemauan dan kemampuan pasien (Data Primer, 2013).

Berdasarkan tabel 5.2, mayoritas pasien pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol adalah perempuan, yaitu 11 orang (55%) pada kelompok

intervensi dan 13 orang (65%) pada kelompok kontrol. Hasil penelitian tersebut

sesuai dengan teori dan beberapa hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa

penyakit DM lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki. Hal

tersebut dikarenakan tiga faktor. Faktor pertama, kadar kolesterol HDL, LDL, dan

trigliserida lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki. Jumlah lemak pada

laki-laki dewasa rata-rata berkisar antara 15 – 20% dan berat badan total, dan pada

perempuan sekitar 20 – 25%. Faktor kedua, tingginya kadar kolesterol HDL,

LDL, dan trigliserida pada perempuan dapat menyebabkan penurunan sensitivitas

insulin. Faktor ketiga, mekanisme protektif pada dinding pembuluh darah

perempuan lebih tinggi daripada laki-laki sehingga dapat memperparah


80

penyumbatan pembuluh darah (Juutilainen et.al., 2004; Soeharto, 2003 dalam

Nurlaily, 2010).

Berdasarkan tabel 5.2, mayoritas tingkat pendidikan pasien adalah SMP

sederajat, yaitu 8 orang (40%) pada kelompok intervensi dan 8 orang (40%) pada

kelompok kontrol. Menurut Notoatmodjo (2007), tingkat pendidikan juga

menentukan kemampuan seseorang memahami pengetahuan yang diperoleh, yaitu

semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah seseorang

tersebut menerima informasi. Menurut Mink Young (2010 dalam Gamara, 2013),

tingkat pengetahuan perawatan diabetes melitus dapat dipengaruhi oleh lama

penyakit yang diderita, tingkat pendidikan dan faktor ekonomi, sehingga pasien

dengan tingkat pendidikan rendah namun memiliki kemampuan manajemen

perawatan diri yang baik akan memiliki hasil yang baik pula. Kriteria responden

minimal berpendidikan SMP bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan

informasi yang diberikan. Seseorang yang telah melalui tingkat pendidikan SMP

diharapkan telah mengalami perkembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan

dasar sebagai bekal hidup dan dapat digunakan untuk menghadapi kehidupan di

masyarakat (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2009). Pasien yang telah

melalui tingkat pendidikan SMP menunjukkan bahwa pasien telah mengetahui

kemampuan dasar yang diajarkan pada pendidikan SD seperti membaca,

berhitung, berlogika, berkomunikasi yang baik, dan menulis. Pasien yang telah

melalui tingkat pendidikan SMP juga menunjukkan terjadinya peningkatan

cristalized intelligence, sehingga dengan kemampuan tersebut diharapkan pasien

mampu memahami materi yang diberikan dalam pemberian DSME. Cristalized


81

intelligence diperoleh dari pengalaman masa lalu. Cristalized intelligence akan

selalu berubah karena setiap informasi baru yang diperoleh akan meningkatkan

pengetahuan (Roach, 2011).

Berdasarkan tabel 5.2, mayoritas pasien pada kelompok intervensi tidak

bekerja yaitu sebanyak 7 orang (35%), sedangkan mayoritas pekerjaan pasien

pada kelompok kontrol sebagian besar adalah pensiunan sebanyak 9 orang (45%).

Jenis pekerjaan pasien mempengaruhi pasien dalam melakukan perawatan

mandiri. Jenis pekerjaan pasien dapat secara tidak langsung menggambarkan

aktivitas fisik yang sehari-hari dilakukan oleh pasien dan kebutuhan kalori yang

dibutuhkan pasien. Seseorang yang melakukan aktivitas berat akan membutuhkan

kalori/energi yang banyak. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Aerenhouts et.al. (2011) yang menunjukkan bahwa semakin berat

aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang, maka akan semakin meningkat

kalori yang dibutuhkan. Perhitungan kalori untuk setiap aktivitas fisik yang

dilakukan dapat menggunakan TEE (Total Energy Expenditure). Manfaat latihan

fisik untuk penderita DM adalah untuk memperlancar peredaran darah,

mengontrol gula darah, memperkuat otot-otot, dan untuk menurunkan tekanan

darah.

5.2.2 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sebelum Dilakukan DSME pada


Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
Hasil penelitian pada tabel 5.3 dan 5.5 menunjukkan bahwa kelompok

intervensi dan kelompok kontrol memiliki skor minimum dan maksimum yang

sama untuk beresiko terjadinya ulkus diabetik. Kedua kelompok memiliki nilai
82

rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik yang hampir sama, yaitu 3,70 untuk

kelompok intervensi dan 3,75 untuk kelompok kontrol. Nilai rata-rata pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol menunjukkan bahwa hanya sedikit

indikator dari 12 indikator resiko terjadinya ulkus diabetik yang muncul pada

pasien, yaitu pada kondisi kulit, kondisi kuku, kelayakan alas kaki, tes sensasi

dengan monofilamen, dan tes sensasi dengan 4 pertanyaan. Nilai tersebut juga

menunjukkan bahwa kemungkinan pasien beresiko mengalami ulkus diabetik

adalah kecil. Ulkus diabetik disebabkan oleh tiga hal, yaitu neuropati, deformitas,

dan trauma (Frykberg, 2002).

Indikator resiko terjadinya ulkus diabetik menurut Canadian Association

of Wound Care (2011) adalah kondisi kulit, kondisi kuku, ada tidaknya

deformitas, kelayakan alas kaki, suhu kaki, rentang gerak kaki, tes sensasi dengan

monofilamen, tes sensasi kaki dengan 4 pertanyaan, denyut nadi pada kaki, warna

pada kaki, dan ada tidaknya erythema. Skor minimum dan maksimum yang sama

dan nilai rata-rata yang hampir sama pada kedua kelompok dapat disebabkan oleh

beberapa faktor, salah satunya adalah pengetahuan dan pengalaman yang sama

mengenai konsep dasar DM dan perawatan mandiri DM. Berdasarkan hasil

wawancara dengan Kepala Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember, saat menjalani

rawat jalan pasien diberikan informasi secara singkat mengenai konsep DM dan

perawatan mandiri yang harus dilakukan. Beberapa pasien juga menyatakan

bahwa pasien telah melakukan perawatan mandiri sesuai yang diajarkan oleh

perawat dan dokter di Poli Interna RSD dr. Soebandi Jember, namun perawatan
83

mandiri yang dilakukan hanya sebatas kontrol gula darah dan olahraga ringan

(Data Primer, 2013).

5.2.3 Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik Sesudah Dilakukan DSME pada


Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Hasil penelitian pada tabel 5.3 dan 5.5 menunjukkan bahwa skor minimum

dan maksimum pada kedua kelompok sama namun terdapat penurunan skor

maksimum dari skor maksimum sebelum dilakukan DSME. Nilai rata-rata skor

resiko terjadinya ulkus diabetik menurun pada kedua kelompok, yaitu menjadi

2,45 pada kelompok intervensi dan 3,40 pada kelompok kontrol. Berdasarkan

tabel 5.4, terdapat penurunan nilai rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik

pada kelompok intervensi sebesar 1,25 poin. Penurunan nilai rata-rata skor resiko

terjadinya ulkus diabetik juga terjadi pada kelompok kontrol, yaitu sebesar 0,35

poin (tabel 5.6). Penurunan resiko pada kelompok intervensi lebih besar daripada

penurunan resiko pada kelompok control.

Menurut Norris et.al. (2002), tujuan DSME adalah mengoptimalkan

kontrol metabolik dan kualitas hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi

akut dan kronis, sekaligus mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis.

Edukasi yang diberikan melalui DSME dapat memfasilitasi pengetahuan,

keterampilan, dan kemampuan pasien DM dalam melakukan perawatan mandiri

(Funnell et.al., 2008). Pemberian DSME pada kelompok intervensi dapat

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pasien dalam melakukan perawatan

mandiri, sehingga indikator/tanda dan gejala resiko terjadinya ulkus diabetik yang

muncul sebelum pemberian DSME berkurang lebih banyak daripada kelompok


84

kontrol. Penurunan yang terjadi pada kelompok kontrol dapat disebabkan oleh

pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pasien. Pasien pada kelompok

kontrol telah mengetahui konsep dasar DM tipe 2 secara umum dan perawatan

mandiri yang harus dilakukan, namun rata-rata pasien pada kelompok kontrol

menyatakan tidak melakukan perawatan mandiri secara rutin dan komprehensif,

seperti perawatan kaki, pengaturan nutrisi, dan jenis olahraga yang dianjurkan

(Data Primer, 2013). Berdasarkan hasil pernyataan pasien tersebut, peneliti

berasumsi penurunan resiko yang terjadi pada kelompok kontrol disebabkan

sebagian pasien melakukan perawatan mandiri namun tidak rutin dan tidak

komprehensif.

5.2.4 Perbedaan Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik antara Kelompok Intervensi


dan Kelompok Kontrol

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok intervensi dan kelompok

kontrol sama-sama mengalami penurunan skor resiko terjadinya ulkus diabetik,

namun berdasarkan hasil Paired t-test (tabel 5.8) diperoleh hasil bahwa penurunan

skor pada kelompok intervensi lebih besar daripada dengan kelompok kontrol.

Hasil ini diperkuat oleh hasil Independent t-test (tabel 5.9) yang menunjukkan

terdapat perbedaan resiko terjadinya ulkus diabetik yang signifikan antara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil ini juga menunjukkan bahwa

ada pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien DM

tipe 2.

Menurut Aalaa et.al. (2012), ulkus diabetik dapat beresiko untuk

diamputasi, sedangkan 80% amputasi dapat dicegah dengan pemberian


85

informasi/edukasi kepada pasien dan keluarganya. Hal tersebut diperkuat oleh

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2011) yang menyatakan bahwa ada empat

pilar penanganan utama pada pasien DM tipe 2, yaitu edukasi, terapi nutrisi

medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Edukasi memegang peranan

yang sangat penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 karena pemberian edukasi

kepada pasien dapat merubah perilaku pasien dalam melakukan perawatan

mandiri DM.

Edukasi dapat diberikan melalui suatu promosi kesehatan. Promosi

kesehatan merupakan proses pemberdayaan atau memandirikan masyarakat agar

dapat memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Ottawa Charter, 1986 dalam

Maulana, 2009). Proses pemberdayaan atau memandirikan masyarakat tidak

hanya terbatas pada pemberian informasi (seperti pendidikan kesehatan) tetapi

juga upaya untuk merubah perilaku dan sikap seseorang, sehingga promosi

kesehatan dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor

seseorang (Maulana, 2009). Durasi waktu untuk perubahan perilaku tidak

ditentukan secara jelas karena kemampuan setiap individu dalam menerima dan

merespon stimulus berbeda. Perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan

kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Roger, dalam Notoatmodjo, 2003).

Hosland et.al. (1953 dalam Notoatmodjo, 2003) menyatakan bahwa proses

perubahan perilaku sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku

menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari stimulus

(rangsang), proses dan efek tindakan (perilaku). Stimulus yang diberikan dapat

diterima atau ditolak. Stimulus yang ditolak akan berhenti dan stimulus yang
86

diterima berarti ada perhatian dari individu terhadap stimulus. Stimulus yang

diterima akan diolah sehingga timbul reaksi kesediaan untuk bertindak atau

bersikap. Stimulus pada akhirnya akan mempunyai efek tindakan atau perubahan

perilaku dengan bantuan dukungan baik fasilitas maupun lingkungan

(Notoatmodjo, 2003).

World Health Organization (dalam Notoatmodjo, 2003) menyatakan

bahwa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku terutama dalam perilaku

kesehatan dapat menggunakan kekuatan atau dorongan, pemberian informasi dan

diskusi serta partisipasi. Perubahan perilaku yang dilakukan dengan kekuatan dan

dorongan yaitu perubahan perilaku yang dipaksakan kepada individu sehingga

individu mau berperilaku seperti yang diharapkan. Perubahan perilaku dengan

pemberian informasi adalah perubahan perilaku yang dihasilkan karena adanya

pemberian informasi yang akan meningkatkan cara-cara mencapai hidup sehat,

cara pemeliharaan kesehatan, dan cara menghindari penyakit. Diskusi dan

partisipasi adalah strategi untuk merubah perilaku dengan meningkatkan

pemberian informasi. Sasaran tidak lagi pasif tetapi berpartisipasi dalam kegiatan

sehingga pengetahuan akan diperoleh lebih dalam dan perilaku yang diperoleh

akan lebih bersifat kuat. Setiap individu bisa memiliki respon yang berbeda pada

stimulus yang sama (Notoatmodjo, 2003).

DSME merupakan salah satu bentuk edukasi yang efektif diberikan kepada

pasien DM karena pemberian DSME dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan

perilaku pasien dalam melakukan perawatan mandiri. DSME bertujuan untuk

mendukung pengambilan keputusan, perawatan diri, pemecahan masalah, dan


87

kolaborasi aktif dengan tim kesehatan, sehingga dapat meningkatkan hasil klinis,

status kesehatan, dan kualitas hidup (Funnell et.al., 2008). Pemberian DSME

dapat merubah perilaku pasien melalui informasi yang diberikan kepada pasien.

Pemberian informasi kepada pasien merupakan suatu stimulus yang dapat

meningkatkan pengetahuan, sehingga menimbulkan kesadaran untuk berperilaku

sesuai dengan yang diharapkan. Pasien DM tipe 2 memiliki kemampuan dan

respon yang berbeda terhadap stimulus yang diberikan, sehingga perilaku dan

kemampuan pasien dalam melakukan perawatan mandiri juga berbeda. Pemberian

DSME dapat menghasilkan berbagai outcomes, yaitu hasil jangka pendek, hasil

jangka menengah, dan hasil jangka panjang (Norris et.al., 2002) yang dapat

dilihat pada bagan di bawah ini.

Gambar 5.1 Analisis framework terhadap hasil (outcomes) pemberian DSME

Berdasarkan bagan 5.1 di atas, pemberian DSME dapat memberikan

banyak manfaat bagi pasien DM. Pemberian DSME dapat memberikan hasil yang

positif, baik hasil jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.

Hasil jangka pendek meliputi kontrol glikemik (hemoglobin terglikosilasi dan


88

gula darah), kontrol fisik (berat badan, kadar lipid, luka pada kaki, tekanan darah,

mikroalbuminuria, retinopati), modifikasi gaya hidup (aktivitas fisik, diet,

kebiasaan merokok), dan kontrol status mental (depresi dan ansietas). Hasil

jangka menengah meliputi peningkatan pengetahuan, keterampilan (memecahkan

masalah, kontrol gula darah secara mandiri, dan penggunaan obat-obatan), status

psikologis (kepercayaan diri, perilaku, koping), dan pemanfaatan fasilitas

pelayanan kesehatan (rutin kontrol). Hasil jangka panjang meliputi pencegahan

komplikasi makrovaskular (penyakit vaskuler perifer, penyakit jantung coroner,

penyakit serebrovaskuler), pencegahan komplikasi mikrovaskuler (penurunan

penglihatan, neuropati perifer, penyakit ginjal, penyakit gigi dan mulut, ulkus

diabetik, dan amputasi), penurunan angka kematian, peningkatan kualitas hidup,

dan perbaikan sosial ekonomi (Norris et.al., 2002).

Ulkus diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskuler yang dapat

dialami oleh semua pasien DM di kemudian hari. Pencegahan terjadinya ulkus

diabetik sangat penting dilakukan agar tidak terjadi komplikasi lain yang lebih

parah (seperti amputasi). Ulkus diabetik biasanya muncul bertahun-tahun setelah

pasien didiagnosis mengalami DM, bergantung pada perawatan mandiri yang

dilakukan pasien (Rebolledo et.al., 2012). Ulkus diabetik disebabkan oleh tiga

hal, yaitu neuropati, deformitas, dan trauma. Seiring dengan lamanya penyakit

yang dialami oleh pasien, pasien bisa beresiko untuk mengalami ulkus diabetik.

Canadian Association of Wound Care (2011) telah membuat suatu alat untuk

skrining pasien terhadap tanda dan gejala yang muncul pada pasien yang beresiko

untuk berkembang menjadi ulkus. Alat tersebut berisi 12 indikator yang


89

merupakan tanda dan gejala yang dapat dialami oleh pasien dan beresiko untuk

terjadinya ulkus, yaitu kondisi kulit, kondisi kuku, ada tidaknya deformitas,

kelayakan alas kaki, suhu kaki, rentang gerak kaki, tes sensasi dengan

monofilamen, tes sensasi kaki dengan 4 pertanyaan, denyut nadi pada kaki, warna

pada kaki, dan ada tidaknya erythema.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sidani & Fan (2009),

pasien DM yang menerima DSME dapat mengalami perbaikan kontrol metabolik,

perbaikan kualitas hidup, dan mengurangi komplikasi. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Rondhianto (2011) juga menyatakan bahwa DSME terbukti

memiliki pengaruh yang positif terhadap peningkatan kepercayaan diri dan

perubahan perilaku perawatan diri pasien DM tipe 2. Sesuai dengan analisis

framework terhadap hasil dari pemberian DSME, maka dapat dianalisis bahwa

DSME mampu mengurangi tanda dan gejala yang beresiko untuk berkembang

menjadi ulkus. Dengan adanya pemberian DSME pada pasien DM dalam

penelitian ini, pasien memperoleh informasi terkait perawatan mandiri DM.

Pengetahuan, keterampilan, dan status psikologis pasien mengalami peningkatan,

sehingga pasien mulai melakukan perawatan mandiri terhadap penyakitnya dan

hal tersebut dapat membantu mengurangi resiko untuk terjadinya ulkus diabetik.

Komponen DSME yang diajarkan selama pemberian DSME kepada pasien

DM dalam penelitian ini adalah pengetahuan dasar tentang DM, pengobatan DM,

monitoring yang harus dilakukan, pengaturan nutrisi/diet, olahraga dan aktivitas

sehari-hari, manajemen stress dan dukungan psikososial, perawatan kaki, dan

akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan. Selama proses pemberian DSME,


90

peneliti mengeksplorasi pengetahuan yang telah dimiliki pasien dan perawatan

yang telah dilakukan. Peneliti juga mengeksplorasi perasaan dan keluhan yang

dirasakan pasien.

Komponen-komponen DSME yang diajarkan kepada pasien dapat

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pasien sekaligus memperbaiki

perawatan yang dilakukan pasien yang kurang benar. Pasien diajarkan untuk

mengenal apa itu DM, penyebab DM, faktor resiko DM, tanda dan gejala DM,

proses perjalanan penyakit DM, penatalaksanaan DM, dan komplikasi DM.

Sebelum pemberian DSME, peneliti terlebih dahulu menanyakan kepada pasien

tentang apa yang diketahui pasien mengenai penyakit DM karena persepsi pasien

terhadap penyakitnya akan mempengaruhi perawatan yang dilakukan pasien.

Pasien diajarkan beberapa jenis obat DM yang biasanya diberikan dokter,

dalam hal ini peneliti juga menanyakan obat apa saja yang diperoleh pasien dan

bagaimana efek yang dirasakan pasien. Rata-rata pasien dalam penelitian ini

menyatakan telah mengetahui kegunaan masing-masing obat dan

mengkonsumsinya secara rutin, yaitu metformin, glucodex, decolin, dan neurodex

(Data Primer, 2013). Pemberian informasi mengenai pengobatan DM perlu

diberikan karena pengobatan merupakan pilar keempat dalam penatalaksanaan

DM yang dianjurkan oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2011).

Pasien diajarkan monitoring apa yang harus dilakukan, yaitu monitoring

KGD, monitoring kolesterol, monitoring tekanan darah, dan monitoring metabolik

secara umum. Pasien diajarkan pentingnya pemeriksaan gula darah secara rutin,

baik pemeriksaan gula darah secara mandiri maupun dengan pemeriksaan ke


91

laboratorium. Pasien diajarkan bagaimana cara menggunakan alat glucotest dan

waktu yang tepat untuk memantau kadar gula darahnya, yaitu saat sebelum

makan, 2 jam setelah makan, menjelang waktu tidur, dan saat tidur (PERKENI,

2011). Beberapa pasien telah memiliki alat glucotest namun pasien mengatakan

pemeriksaan kadar gula darah yang dilakukan hanya saat sebelum makan dan 2

jam setelah makan (Data Primer, 2013). Peneliti memberikan penguatan kepada

pasien untuk rutin memeriksakan gula darahnya terutama jika kondisi finansial

mencukupi, peneliti juga memberikan penguatan melalui komunikasi sehari

sebelum pemberian DSME pada masing-masing sesi agar peneliti dapat

memantau dan mengkaji perubahan kadar gula darah pada pasien.

Pada penelitian ini, pasien juga diajarkan cara pengaturan nutrisi/diet yang

tepat. Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2 yaitu makanan yang

seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing

individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan merupakan aspek yang

sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pasien dengan terapi insulin

(PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2001). Peneliti memberikan penguatan

kepada pasien untuk sebaiknya mematuhi pengaturan nutrisi yang tepat agar

penyakitnya tidak berkembang semakin parah.

Olahraga dan aktivitas fisik merupakan salah satu dari empat pilar

penatalaksanaan DM. Olahraga dan aktivitas fisik dapat menjaga kebugaran,

menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Olahraga yang

dilakukan sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive,

Endurance training) (PERKENI, 2011). Rata-rata pasien dalam penelitian ini


92

menyatakan bahwa olahraga yang dilakukan pasien adalah olahraga ringan seperti

jalan kaki pada pagi hari (Data Primer, 2013). Peneliti memberikan saran kepada

pasien agar sebaiknya menghindari kebiasaan hidup sedentary, yaitu kebiasaan

hidup bermalas-malasan dan mengkonsumsi makanan siap saji. Peneliti

memberikan informasi mengenai jenis olahraga yang bisa dilakukan dan sesuai

dengan kemampuan pasien, waktu olahraga, dan hal-hal yang harus dilakukan

sebelum olahraga.

Pasien diajarkan bagaimana cara manajemen stres dan pengaruh dukungan

sosial terhadap kondisi psikologis pasien. Stres yang dialami pasien DM telah

terbukti mampu memperburuk kondisi kesehatan pasien DM (Smeltzer & Bare,

2001). Pada keadaan stress terjadi aktivasi pada amygdala pada sistem limbik.

Sistem ini akan menstimulasi pelepasan hormon dari hipotalamus yaitu

corticotropic releasing hormone (CRH). Hormon ini secara langsung akan

menghambat sekresi GnRH hipotalamus dari tempat produksinya di nukleus

arkuata. Proses ini kemungkinan terjadi melalui penambahan sekresi opioid

endogen. Peningkatan CRH akan menstimulasi pelepasan endorfin dan

adrenocorticotropic hormone (ACTH) ke dalam darah. Peningkatan kadar ACTH

akan menyebabkan peningkatan pada kadar kortisol darah dan penyumbatan

pembuluh darah (Guyton & Hall, 1997).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hanif (2012), DSME

terbukti mampu menurunkan tingkat stres dan meningkatkan mekanisme koping

pasien DM tipe 2. Peneliti mengeksplorasi perasaan pasien, stres yang dialami

pasien, harapan-harapan pasien, dan masalah yang mungkin dialami pasien.


93

Pasien diajarkan bagaimana stres dapat mempengaruhi kadar gula darah dan

memperparah penyakit. Pasien juga diajarkan pentingnya keterbukaan kepada

keluarga terhadap masalah yang dialaminya, sehingga pasien dapat memperoleh

dukungan sosial. Manajemen stress yang baik terbukti dapat menurunkan kadar

hormon kortisol dalam darah dan memperbaiki kontrol metabolik pasien (Wade &

Tavris, 2007).

Komponen terakhir yang diajarkan kepada pasien adalah mengenai sistem

pelayanan kesehatan dan akses pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.

Sebelum memberikan informasi terkait sistem pelayanan kesehatan ini, peneliti

terlebih dahulu mengkaji fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di sekitar pasien.

Peneliti memberikan saran kepada pasien untuk kontrol secara rutin ke rumah

sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan terdekat, sehingga pasien dapat

mengetahui perkembangan penyakitnya dan berkonsultasi dengan dokter.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Poli Interna RSD dr. Soebandi

Jember, pemeriksaan kadar gula darah pada pasien DM dilakukan 1 bulan sekali,

sedangkan pemeriksaan kadar kolesterol dilakukan 3 bulan sekali. Rata-rata

pasien dalam penelitian menjalani rawat jalan untuk memeriksakan kadar gula

darah ke Poli Interna sebanyak 1 bulan sekali, namun beberapa pasien menjalani

rawat jalan 1 bulan 2 kali dan 3 bulan sekali, tergantung pada keluhan yang

dirasakan pasien dan ketersediaan obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien (Data

Primer, 2013).

Komponen-komponen DSME yang telah diajarkan kepada pasien dapat

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawatan mandiri pasien.


94

Kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri (self care) dipengaruhi

oleh usia, status perkembangan, pengalaman hidup, orientasi sosial budaya,

kesehatan, dan sumber daya yang tersedia. Perawatan diri dilakukan karena

adanya masalah kesehatan atau penyakit dengan tujuan mencegah penyakit dan

meningkatkan kesehatan (Asmadi, 2008).

Self care sangat penting dilakukan oleh pasien DM tipe 2 untuk mencegah

terjadinya ulkus diabetik dan komplikasi lain yang lebih parah. Self care yang

dilakukan oleh pasien erat kaitannya dengan teori Orem dalam keperawatan.

Model konseptual keperawatan Orem dikenal sebagai self care deficit theory of

nursing (SDCTN) yang terdiri dari tiga teori yang saling berhubungan, yaitu teori

perawatan diri yang menggambarkan mengapa dan bagaimana manusia

melakukan perawatan terhadap dirinya sendiri, teori defisit perawatan diri yang

menggambarkan dan menjelaskan mengapa manusia dapat dibantu melalui

keperawatan, dan teori sistem keperawatan yang menggambarkan dan

menjelaskan bagaimana asuhan keperawatan dapat diterapkan pada pasien

(Tomey dan Alligood, 2006 dalam Rondhianto, 2011).

Kebutuhan self care yang harus dipenuhi dalam jangka waktu tertentu

disebut dengan therapeutic self care demand. Seorang individu mempunyai

kekuatan untuk melaksanakan perawatan diri sendiri, kekuatan tersebut disebut

self care agency. Self care agency dapat berubah setiap waktu, dipengaruhi oleh

kondisi kesehatan seseorang. Ketika terjadi ketidakseimbangan antara self care

agency dengan therapeutic self care demand, maka terjadilah self care deficit

(Parker, 2001 dalam Rondhianto, 2011). Kemampuan pasien DM tipe 2 dalam


95

melakukan perawatan mandiri juga mengacu pada teori tersebut. Setiap pasien

memiliki kemampuan masing-masing untuk melakukan perawatan diri sendiri dan

kebutuhan perawatan diri pada masing-masing pasien berbeda. Perbedaan

kemampuan perawatan diri pada pasien inilah yang menyebabkan perbedaan skor

resiko terjadinya ulkus diabetik pada pasien.

Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah dijabarkan di atas, DSME

mampu menurunkan resiko terjadinya ulkus diabetik melalui perawatan mandiri

yang dilakukan oleh pasien pada kelompok intervensi. Penurunan yang terjadi

pada kelompok kontrol dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya

adalah pasien pada kelompok kontrol telah mengetahui secara singkat mengenai

konsep dasar DM dan perawatan mandiri yang harus dilakukan. Pasien telah

mengetahui definisi DM, klasifikasi DM, penyebab DM, faktor resiko DM, tanda

dan gejala DM, komplikasi DM, monitoring yang harus dilakukan, namun pasien

tidak mengetahui perawatan kaki yang harus dilakukan, pengaturan nutrisi yang

tepat, jenis-jenis olahraga yang dianjurkan, dan manajemen stres yang bisa

dilakukan (Data Primer, 2013).

5.3 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam pelaksanaannnya. Keterbatasan

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non probability sampling.

Kelemahan teknik sampling ini adalah hasil yang diperoleh kurang mampu

mewakili populasi. Untuk mengatasi hal ini, maka peneliti melakukan teknik
96

sampling menggunakan consecutive sampling yang merupakan teknik

sampling non probability sampling terbaik yang mendekati teknik random

sampling. Teknik pemilihan sampel dilakukan dengan memilih pasien yang

bisa dijangkau dan memenuhi kriteria inklusi, dengan harapan sampel yang

dipilih oleh peneliti dapat mewakili populasi.

b. Pengukuran KGD adalah pengukuran sewaktu, sehingga tidak mampu

menggambarkan kondisi pasien secara tepat. Peneliti mengatasi masalah ini

dengan mengeksplorasi keluhan yang dirasakan pasien, penanganan yang

sudah dilakukan, dan kendala yang dihadapi, dengan harapan gejala subjektif

yang dirasakan pasien dapat membantu menggambarkan kondisi pasien yang

sebenarnya.

c. Monofilamen yang digunakan pada penelitian ini bukan monofilamen

Semmes-Weinstein asli karena peneliti kesulitan memperoleh monofilamen

tersebut. Peneliti mengatasi masalah tersebut dengan cara menggunakan senar

pancing dengan bahan dan diameter yang menyerupai monofilamen Semmes-

Weinstein dan melakukan uji terhadap monofilamen tersebut. Kelemahan

monofilamen tersebut adalah kurang sensitif daripada monofilamen Semmes-

Weinstein.

d. Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

teori Sugiyono (2012), sehingga kurang akurat daripada penentuan jumlah

sampel dengan menggunakan rumus. Peneliti mengatasi masalah ini dengan

cara menggunakan batas maksimal jumlah sampel pada teori Sugiyono (2012)
97

yaitu sebanyak 20 orang pada tiap kelompok, dengan harapan jumlah sampel

tersebut dapat mewakili populasi.

e. Desain penelitian yang digunakan adalah pretest and posttest with control

group design. Desain penelitian tersebut tidak mengukur resiko terjadinya

ulkus diabetik setiap pertemuan, sehingga tidak dapat diketahui perkembangan

tanda dan gejala yang muncul pada pasien setiap pertemuan.


BAB 6. PENUTUP

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan

sebagai berikut:

a. karakteristik responden pada distribusi umur responden menunjukkan bahwa

rata-rata usia responden adalah 57,05 tahun pada kelompok intervensi dan 58,75

tahun pada kelompok kontrol dengan rata-rata mengalami DM selama 6 tahun,

rata-rata nilai KGD sewaktu responden adalah 216,45 mg/dl pada kelompok

intervensi dan 236,75 mg/dl pada kelompok kontrol, rata-rata nilai ABI

responden adalah 1,04 pada kelompok intervensi dan 1,06 pada kelompok

kontrol, mayoritas jenis kelamin responden adalah perempuan, mayoritas tingkat

pendidikan responden adalah SMP sederajat, dan mayoritas jenis pekerjaan

responden adalah tidak bekerja pada kelompok intervensi dan pensiunan pada

kelompok kontrol;

b. rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik sebelum dilakukan DSME pada

kelompok intervensi adalah 3,70; dan saat observasi awal pada kelompok

kontrol sebesar 3,75;

c. rata-rata skor resiko terjadinya ulkus diabetik sesudah dilakukan DSME pada

kelompok intervensi adalah 2,45; dan saat observasi akhir pada kelompok

kontrol adalah 3,40;

d. terdapat perbedaan skor resiko terjadinya ulkus diabetik pada kelompok kontrol,

(p: 0,015; α: 0,05);

98
99

e. terdapat perbedaan yang signifikan terhadap skor resiko terjadinya ulkus

diabetik pada kelompok intervensi, (p: 0,000; α: 0,05); dan

f. terdapat perbedaan yang signifikan skor resiko terjadinya ulkus diabetik antara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah dilakukan DSME, yang

berarti pula bahwa ada pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus

diabetik pada pasien DM tipe 2, (p: 0,001; α: 0,05).

6.2 Saran

Saran yang dapat diberikan terkait dengan hasil penelitian ini antara lain

sebagai berikut.

a. Bagi Institusi Pendidikan

DSME dapat dijadikan suatu materi pokok dalam pembelajaran asuhan

keperawatan pada pasien DM tipe 2 dan sumber referensi bagi dosen dan

mahasiswa dalam mengembangkan ilmu keperawatan atau penelitian terkait.

b. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

DSME dapat dijadikan sebagai suatu program promosi kesehatan untuk

meningkatkan kemampuan perawatan mandiri pasien DM tipe 2. DSME dapat

dijadikan suatu SOP, sumber referensi, atau sumber acuan dalam penanganan

pasien DM tipe baik dalam lingkup klinik maupun komunitas.

c. Bagi Profesi Keperawatan

DSME dapat dijadikan sumber informasi bagi perawat dalam memberikan

edukasi kepada pasien DM tipe 2 baik perawat klinik maupun perawat


100

komunitas. Sehingga harapannya perawat ikut membantu pasien dalam upaya

mencegah terjadinya ulkus diabetik dan komplikasi DM lainnya.

d. Bagi Masyarakat dan Responden

Masyarakat dan responden diharapkan dapat menerapkan ilmu yang telah

diperoleh melalui perawatan mandiri yang benar dan memberikan ilmu tersebut

kepada orang lain yang belum mengetahuinya, sehingga diharapkan masyarakat

juga ikut serta membantu mencegah terjadinya ulkus diabetik dan mengurangi

komplikasi yang terjadi pada pasien akibat penyakit DM.

e. Bagi Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan

peneliti lain yang ingin meneliti tentang pengaruh DSME terhadap aspek lain

terkait penyakit DM. Rekomendasi penelitian yang perlu dilakukan oleh peneliti

lain di antaranya sebagai berikut:

1) Pengaruh DSME terhadap resiko terjadinya ulkus diabetik dengan

menggunakan teknik probability sampling dan jumlah sampel yang lebih

besar, metode penelitian lain yang lebih baik, monofilamen yang digunakan

adalah monofilamen Semmes-Weinstein asli, dan menggunakan jenis dan

rancangan penelitian yang berbeda;

2) Pengaruh DSME terhadap kualitas hidup pasien DM tipe 2;

3) Pengaruh DSME terhadap profil lipid dan HbA1C pasien DM tipe 2;

4) Pengaruh DSME terhadap tingkat sirkulasi perifer pasien DM tipe 2;

5) Penelitian kualitatif mengenai persepsi pasien DM tipe 2 terhadap

pemberian DSME yang dilakukan secara individual maupun kelompok; dan


101

6) Penelitian kuantitatif mengenai efektivitas DSME yang diberikan kepada

pasien DM tipe 2 dengan setting kelompok atau FGD (Focus Group

Discussion).
DAFTAR PUSTAKA

Aalaa et.al.. 2012. Nurses’s Role in Diabetic Foot Prevention and Care; A
Review. Journal of Diabetes & Metabolic Disorders, p. 1-6.

Aerenhouts, D., Zinzen, E., Clarys, P.. 2011. Energy expenditure and habitual
physical activities in adolescent sprint athletes. Journal of Sports Science
and Medicine (10), p. 362-368.

American Diabetes Association. 2003. Consensus statement: Peripheral Arterial


Disease In People With Diabetes. Diabetes Care (26), p. 3333-3341.

American Diabetes Association. 2007. Preventing Type 2 Diabetes and Heart


Disease: Surveying Attitudes, Knowledge and Risk. CheckUp America,
Research Overview & Executive Summary, p. 1-4.

American Diabetes Association. 2010. Position statement: Standards of Medical


Care in Diabetes. Diabetes Care (33).

Apelqvist, J., Bakker, K., Houtum, W. H. v., & Schaper, N. C. 2008. Practical
Guidelines On The Management and Prevention of The Diabetic Foot.
Diabates Metab Res Rev (24):1, p. 181-187.

Arief, F. 2008. Profil Penderita Diabetes Mellitus dengan Ulkus Kaki di SMF
Penyakit Dalam RSUD dr. Soebandi Jember Periode Januari 2003-
Desember 2007. [skripsi]. Jember: Fakultas Kedokteran Universitas
Jember.

Arslanian, S. A., Bacha, F., Saad, R., & Gungor, N. 2005. Family History of Type
2 Diabetes Is Associated With Decreased Insulin Sensitivity and an
Impaired Balance Between Insulin Sensitivity and Insulin Secretion in
White Youth. Diabetes Care Volume 28 (1) : p. 127-131.

Asmadi. 2008. Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Evaluasi Pelaksanaan


Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. [serial on line].
http://bappenas.go.id/get-file-server/node/10815/ [diakses tanggal 31
September 2013].

Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus Penduduk 2010. [serial on line].


http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/index. [diakses tanggal 9 Oktober
2012].

102
103

Budiarto, E. 2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat.


Jakarta : EGC.

Canadian Association of Wound Care. 2011. Inlow’s 60-second Diabetic Foot


Screen Screening Tool. [serial on line]. www.cawc.net. [diakses tanggal 30
Maret 2013].

Canadian Diabetes Association. 2008. Prediabetes Prevention. CDA Clinical


Practice Guidelines, p. 1-2.

Efendi, F. dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan


Praktik dalam Keperawatan. Jakata: Salemba Medika.

Eyre, H., Kahn, R., & Robertson, R. M. 2004. Preventing Cancer, Cardiovascular
Disease, and Diabetes. Diabetes Care Volume 27 (7) : p. 1812-1824.

Frykberg, R. G. 2002. Diabetic Foot Ulcers: Pathogenesis and Management.


American Family Physician Journal Volume 66 (9): p. 1655-1622.

Funnell, M. M., et.al. 2008. National Standards for Diabetes Self-Management


Education. Diabetes Care Volume 31 Supplement 1: p. S87-S94.

Gamara, S. E. 2013. Hubungan Antara Pengetahuan Perawatan dengan


Kemampuan Manajemen Perawatan Diri pada Pasien Diabetes Mellitus
di Rumah Sakit Umum Daerah Kuningan 45 Kuningan 2013.

Guyton, A. C. & Hall, J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9.


Terjemahan oleh Irawati Setiawan, dkk. Jakarta: EGC.
Haas, L., et.al. 2012. National Standards for Diabetes Self-Management
Education and Support. Diabetes Care Volume 35: p. 2393-2401.

Hamid. A. Y. 2008. Pengenalan Konsep Komite Keperawatan dan


Kedudukkanya di Dalam Rumah Sakit Jiwa: Jurnal Manajemen dan
Administrasi Rumah Sakit Indonesia.

Hanif, R. A. 2012. Perbedaan Tingkat Stres Sebelum dan Sesudah Dilakukan


Diabetes Self Management Education (DSME) pada Pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten
Jember. [skripsi]. Jember: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Jember.

Hastono, S. P. 2007. Analisis Data Kesehatan. Jakarta: FKM UI.

International Diabetes Federation. 2005. Panduan Global untuk Diabetes Tipe 2.


Terjemahan oleh Dr. Benny Kurniawan. Brussels: International Diabetes
Federation.
104

Jones, H., Berard, L. D., & Nichol, H. 2008. Self-management Education.


Canadian Journal of Diabetes Volume 32 Supplement 1: p. S25-S28.

Juutilainen et.al., 2004. Gender Difference in the Impact of Type 2 Diabetes on


Coronary Heart Disease Risk. Diabetes Care (27), p. 2898–2904.

Kirsner, R. S. et.al. 2010. The Standard of Care for Evaluation and Treatment of
Diabetic Foot Ulcers. Florida: Barry University School of Podiatric
Medicine.

Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. 2005. Pedoman Nasional Etik


Penelitian Kesehatan. [serial online].
http://www.knepk.litbang.depkes.go.id/knepk/. [diakses tanggal 9 Oktober
2012].

LeMone & Burke. 2008. Medical surgical nursing: Critical thinking in client care,
Edisi 4. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Mansjoer, A., dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Maulana, H. D. J. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC.

McGowan, P. 2011. The Efficacy of Diabetes Patient Education and Self-


Management Education in Type 2 Diabetes. Canadian Journal of Diabetes
Volume 35 (1): p. 46-53.

Meneilly, G. S., & Elahi, D. 2005. Metabolic Alterations in Middle-Aged and


Elderly Lean Patient With Type 2 Diabetes. Diabetes Care Volume 28 (6)
: p. 1498-1499.

Morato, E. H., et.al. 2007. Physical Activity in U.S Adult With Diabetes and At
Risk For Developing Diabetes, 2003. Diabetes Care Volume 30 (2) : p.
203-209.

Morley, J. E. 1998. The Elderly Type 2 Diabetic Patient: Special Considerations.


Diabet. Med. 15 (Suppl. 4), p. S41–S46.

Murphy, C. A., et.al. 2012. Reliability and predictive validity of Inlow's 60-
Second Diabetic Foot Screen Tool. Abstract. [serial on line]
http://www.torna.do/s/Reliability-and-predictive-validity-of-Inlow-s-60-
Second-Diabetic-Foot-Screen-Tool/ [diakses tanggal 19 Maret 2013].

Norris, S. L., et.al. 2002. Increasing Diabetes Self-Management Education in


Community Settings. Am J Prev Med Volume 22 (4S): p. 39–66.
105

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka


Cipta.

Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Cetakan Pertama.


Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurlaily. 2010. Analisis Beberapa Faktor Risiko Terjadinya Diabetes Mellitus


pada RSUD dr. Mm. Dunda Limboto Kab.Gorontalo. [serial on line].
http://dc162.4shared.com/doc/lYqjkf5o/preview.html [diakses tanggal 21
September 2013].

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Oyibo, S. O. 2001. A Comparison of Two Diabetic Foot Ulcer Classification


Systems: The Wagner and The University of Texas would classification
systems. Diabetes Care Volume 24 (1) : p. 84-88.

Parisi, M. C. R., et.al. 2008. Comparison of three systems of classification in


predicting the outcome of diabetic foot ulcers in Brazilian population.
European Journal of Endocrinology 159 : p. 417-422.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB.
PERKENI.

Portney L. G. & Watkins M.P. 2000. Fundamentals of Clinical Research:


Application to Practice, 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall Health.

Potter, P. A. & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep,


proses, dan praktik. Jakarta: EGC.

Price, S. A. & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit Volume 2, Edisi 6. Terjemahan oleh Brahm U. Pendit, dkk.
Jakarta: EGC.

Rebolledo, F. A., Soto, J. M. T., & Pena, J. E. d. l. 2012. The Pathogenesis of the
Diabetic Foot Ulcer: Prevention and Management. Unknown Publisher.

Roach, C. 2011. The Differences Between Fluid and Cristallized Intelligence.


[serial on line]. http://voices.yahoo.com/the-differences-between-fluid-
crystallized-intelligence-7758930.html [diakses tanggal 30 September
2013].
106

Rolikasari, R. 2007. Profil Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 yang Mengalami


Komplikasi Penyerta Foot Diabetic di RSUD dr. Soebandi Jember Periode
1 Agustus 2005 – 31 Juli 2006. [skripsi]. Jember: Fakultas Kedokteran
Universitas Jember.

Rondhianto. 2011. Pengaruh Diabetes Self Management Education dalam


Discharge Planning terhadap Self Efficacy dan Self Care Behaviour
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. [tesis]. Surabaya: Program Studi
Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

Sastroasmoro & Ismael. 2010. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi-3


Jakarta: Bina Rupa Aksara .
Seputar Indonesia. 2011. Angka Kematian Diabetes Tinggi. [serial on line].
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/455166/
[diakses tanggal 9 Oktober 2012].

Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Shai, I., et.al. 2006. Ethnicity, Obesity, and Risk of Type 2 Diabetes in Women.
Diabetes Care Volume 29 (7) : p. 1585-1590.

Sicree, R.,Shaw, J., & Zimmet P. 2009. The Global Burden. IDF Diabetes Atlas
4th Ed.

Sidani, S. & Fan, L. 2009. Effectiveness of Diabetes Self-management Education


Intervention Elements: A Meta-analysis. Canadian Journal of Diabetes
Volume 33 (1): p. 18-26.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner dan Suddarth Volume 2, Edisi 8. Terjemahan oleh Agung Waluyo,
dkk. Jakarta: EGC.

Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sulistiari, D. A. 2013. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Perawatan Kaki terhadap


Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dalam Melakukan Perawatan
Kaki di Wilayah Kerja Puskesmas Jenggawah Kabupaten Jember.
[skripsi]. Jember: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember.

Suprayogi, U. 2005. Pendidikan Usia Lanjut. [serial on line].


http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN_LUAR_SEKOL
AH/196005091986031-
UGI_SUPRAYOGI/Pendidikan_Usia_Lanjut_2.pdf [diakses tanggal 21
September 2013]
107

Suryabrata S. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Vatankhah, N., et.al. 2009. The effectiveness of foot care education on people with
type 2 diabetes in Tehran, Iran. [abstract]. [serial online].
http://www.primary-care-diabetes.com/article/S1751-9918(09)00041-
2/abstract . [diakses tanggal 18 Maret 2013].

Wade, C., & Tavris, C. 2007. Psikologi. Edisi Kesembilan, Jilid 2. Terjemahan
oleh Padang Mursalin dan Dinastuti. Jakarta: Erlangga.

Wexler, D. J., et.al. 2005. Sex Disparities in Treatment of cardiac Risk Factors in
Patient With Type 2 Diabetes. Diabetes Care Volume 28 (3) : p. 514-520.

Wicaksana, A. L. 2010. Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME)


terhadap Pengelolaan Diabetes Mandiri pada Penderita DM Tipe 2 di
Wilayah Kerja Puskesmas Pacar Keling Surabaya. [abstract]. Surabaya:
Universitas Airlangga.

Wijonarko. 2010. Tehnik Dressing Pada Ulkus Kaki Diabetikum. [serial on line].
http://www.fik.ui.ac.id/pkko/files/Manajemen%20Ulkus%20Kaki%20Dia
betik.rtf. [diakses tanggal 13 April 2013].

Wild, S., et.al. 2004. Global Prevalence of Diabetes: Estimates for The Year 2000
and Projections for 2030. Diabetes Care Volume 27 (5), p. 1047-1053.

Woodbury, M. G. 2009. The BWAT Pictorial Guide and the 60-second Diabetic
Foot Screen: A Commentary on Developing and Validating Clinical
Materials. Wound Care Canada Volume 7 (2): p. 44-46.

World Health Organization (WHO). 2003. Adherence To Long-Term Therapies-


Evidence for action. [serial online]. adherence@who.int [diakses tanggal
21 September 2013].

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy