2696 5820 1 SM PDF
2696 5820 1 SM PDF
2696 5820 1 SM PDF
2016
32.3.2016 [309-328]
DISKURSUS MENGENAI
KEADILAN SOSIAL:
KAJIAN TEORI KEADILAN
DALAM LIBERALISME
LOCKE, PERSAMAAN MARX,
DAN JUSTICE AS FAIRNESS
RAWLS
Alfensius Alwino1 Kwik Kian Gie School of Business
Jakarta, Indonesia
(Postgraduate Student, STF Drijarkara,
Jakarta, Indonesia)
Abstract:
Through the history of philosophy, the theme of justice has become
a very important topic. Thinkers of the theories such as utilitarianism,
intuitionism, eudaimonism, perfectionism, liberalism, communitarianism,
and socialism have discussed the theme. As French philosopher Alain
Badiou has pointed out, the central of political studies from the time
of Plato to the present day is justice. The question is what is justice?
For John Rawls, justice is the supreme virtue of human. In A Theory of
Justice, Rawls asserts that justice is the first priority in social institutions,
as is truth in the system of thought. A theory, however elegant and
economical, must be rejected or revised if it is not true, so the laws and
institutions, however efficient and neat, must be reformed or removed if
it is unfair. Rawls criticizes the theory of justice in Lockean liberalism and
Marxian socialism. Both theories of justice are very strong colouring the
landscape of debate on the roots of thinking about justice. For Rawls,
liberalism that accentuates basic freedoms can create inequality between
people who have better abilities with less fortunate people. Similarly,
309
A. Alwino: Diskursus Keadilan Sosial, Justice as Fairness Rawls
Keywords:
theories of justice liberalism socialism justice as fairness veil of ignorance
social justice
Pendahuluan
Di sepanjang sejarah filsafat, tema tentang keadilan (justice) menjadi
satu topik yang sangat penting. Sedemikian pentingnya tema tersebut,
sehingga pelbagai penganut teori seperti utilitarianisme, intuisionisme,
eudaimonisme, perfeksionisme, liberalisme, komunitarianisme, sosialisme,
dan lain sebagainya, telah berusaha membahasnya. Dikemukakan oleh
filsuf Perancis, Alain Badiou, bahwa kajian sentral politik sejak zaman Plato
hingga saat ini adalah keadilan. Pertanyaannya adalah apa itu keadilan?
Badiou mengatakan, “injustice is clear, justice is obscure”.2 Ketidakadilan
itu mudah dipahami, dimengerti, dan dialami. Siapapun tidak mengalami
kesulitan menjumpai orang-orang yang menderita, buruh, orang miskin,
gelandangan, dan masyarakat kecil yang ditindas. Ini adalah sinyal
ketidakadilan, sementara sinyal keadilan lebih sulit terdeteksi.3
Bagi John Rawls, keadilan merupakan keutamaan tertinggi manusia.
Dalam buku A Theory of Justice, Rawls menegaskan bahwa keadilan
merupakan keutamaan pertama dalam institusi sosial, sebagaimana
kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan
ekonomisnya, harus ditolak dan direvisi jika ia tidak benar, demikian juga
hukum dan institusi, betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi dan
dihapus jika tidak adil.4 Satu-satunya hal yang mengizinkan setiap orang
menerima teori yang salah adalah karena tidak adanya teori yang lebih baik.
Dengan kata lain, ketidakadilan hanya bisa dibiarkan apabila dibutuhkan
untuk menghindari ketidakadilan yang lebih besar.5
Tulisan ini membahas teori keadilan dalam liberalisme klasik,6
sosialisme,7 dan liberalisme Rawls. Dua teori keadilan yang pertama sangat
310
MELINTAS 32.3.2016
311
A. Alwino: Diskursus Keadilan Sosial, Justice as Fairness Rawls
bebasnya, dan tidak ada yang lebih berkuasa daripada yang lain.11 Manusia
bebas karena mereka lahir dari species dari perkawinan yang sama, yakni
manusia yang secara alamiah (kodrati) terlahir bebas dan menikmati alam
secara sama. Akan tetapi, “keadaan alamiah” yang digambarkan Locke
tersebut tidak seekstrem yang dikemukakan Hobbes. Menurut Hobbes,
keadaan alamiah itu digambarkan sebagai keadaan “perang semua lawan
semua” lantaran merasa berhak atas semuanya.12 Bagi Hobbes, manusia
adalah “serigala bagi yang lain” (homo homini lupus est)’. Sementara itu, bagi
Locke, keadaan alamiah itu ditandai dengan keharmonisan. Dalam keadaan
sebagaimana yang dikemukakan Locke, setiap manusia bebas menentukan
dirinya dan menggunakan apa yang dimilikinya tanpa bergantung kepada
kehendak orang lain.13 Meski demikian, tiap-tiap individu tidak bertindak
semaunya sendiri. Tiap-tiap orang tidak bebas untuk menghancurkan
dirinya sendiri dan makhluk lain ataupun apa yang dimilikinya.14 Hukum
alam mewajibkan setiap orang untuk memandang yang lain setara dan
sederajat. Locke menegaskan bahwa dalam “keadaaan alamiah” setiap orang
tidak boleh saling menghancurkan orang lain. Tidak boleh menghilangkan
atau merusakkan hidup, kebebasan, kesehatan, anggota badan, atau milik
properti.15 Masing-masing orang dalam “keadaan alamiah” hidup dalam
kebebasan tanpa ancaman. Kondisi seperti itu terjadi karena tiap-tiap
orang hidup berdasarkan ketentuan hukum kodrat yang diberikan oleh
Tuhan.16 Selanjutnya, keadaan alamiah yang serba harmonis itu lambat laun
berubah menjadi perang, yaitu keadaan penuh permusuhan, kejahatan,
kekerasan, saling menghancurkan dan melenyapkan.17 Keadaan seperti itu
tegas Locke muncul seiring terciptanya uang.
Locke menjelaskan, apabila dalam “keadan alamiah” orang hanya
memiliki barang sedapat yang dipergunakannya, namun seiring
terciptanya uang, manusia mengumpulkan dan menimbun kekayaan
secara berlebihan.18 Apabila dalam keadaan alamiah perbedaan kekayaan
antarmanusia tidak mencolok karena tidak mengumpulkan lebih daripada
yang dapat dikonsumsinya sendiri untuk waktu tertentu, seiring terciptanya
uang, manusia justru mengusahakan kekayaan melebihi kemampuan
konsumsinya dan untuk jangka waktu yang lama. Locke menulis, “...
penggunaan uang, sesuatu yang bertahan lama, yang dapat disimpan tanpa
rusak. Uang memberi orang-orang kesempatan untuk melangsungkan dan
memperbanyak barang-barang milik pribadi”.19 Seiring dengan munculnya
312
MELINTAS 32.3.2016
uang, manusia juga menyepakati untuk memberi nilai tinggi pada jenis-
jenis barang tertentu. Emas, perak, dan intan adalah barang-barang yang
oleh persetujuan manusia telah diberi nilai melebihi penggunaan yang
sebenarnya. Locke menambahkan bahwa tiap-tiap orang, oleh karena
kodratnya sebagai makhluk yang bebas, memiliki peluang yang sama
dan tanpa batas untuk menumpuk uang dan properti-properti berharga.
“Sebanyak tanah yang telah digarap, ditanami, diperbaiki, dan dipelihara,
serta digunakan hasilnya, sebanyak itu hak miliknya”.20 Menurut Locke,
inilah keadaan yang menjadi cikal-bakal terciptanya ketidaksamaan.21
Ketidaksamaan dalam jumlah harta kekayaan ini membuat manusia
terpecah dalam status tuan-budak, majikan-pembantu, borjuis-buruh.
Mereka yang lebih tekun, terampil, dan lebih pintar, akan lebih cepat
menjadi lebih kaya. Sebaliknya, mereka yang tidak kreatif, pemalas, miskin,
cacat, dan tidak memiliki properti akan tetap miskin. Status berdasarkan
harta kekayaan itu membuat jurang antara yang miskin dan yang kaya
semakin lebar. Akibatnya muncullah sikap iri, dengki, saling curiga, dan
manusia hidup dalam persaingan. Manusia yang satu berhadapan dengan
manusia lain dengan pikiran dan perasaan negatif. Dengan demikian,
“keadaan alamiah” yang serba harmonis berubah menjadi keadaan
perang yang ditandai dengan permusuhan, kedengkian, kekerasan, dan
saling menghancurkan. Keadaan perang seperti inilah yang berpotensi
memusnahkan kehidupan sesama manusia dan seluruh harta miliknya.22
Akan tetapi menurut Locke, pemusnahan dan penghancuran bisa
diatasi ketika masyarakat sepakat untuk mengadakan “perjanjian asali”.
Bagi Locke, perjanjian inilah yang melahirkan negara persemakmuran
(commonwealth). Tujuan berdirinya negara bukanlah untuk menciptakan
kesamarataan setiap orang, melainkan untuk menjamin dan melindungi
milik pribadi setiap warga negara yang mengadakan perjanjian tersebut.23
Bagi Locke, hukum diciptakan bukan pertama-tama pembatasan,
melainkan pembimbingan hidup kepada seseorang yang bebas dan cerdas
demi kepentingannya sendiri.24 Dengan kata lain, tujuan hukum adalah
untuk melestarikan dan memperbesar kebebasan.25 Locke mengemukakan
bahwa negara yang terbentuk sebagai hasil “perjanjian asali” bukanlah
negara absolut seperti yang dikemukakan Hobbes. Locke sendiri
menggagas pembentukan sebuah negara dengan peran yang sangat terbatas.
Kekuasaan negara tidak mutlak, karena kekuasaannya berasal dari warga
313
A. Alwino: Diskursus Keadilan Sosial, Justice as Fairness Rawls
314
MELINTAS 32.3.2016
315
A. Alwino: Diskursus Keadilan Sosial, Justice as Fairness Rawls
316
MELINTAS 32.3.2016
adanya persaingan liar di antara para pemodal besar dan pemodal kecil.
Menurut Marx, para pemodal besar menjadi yang paling berhasil pada
perusahaan besar, karena perusahaan-perusahaan besar tersebut akan
memonopoli sehingga perusahaan-perusahaan kecil lenyap. Persaingan
liar seperti ini akan berujung pada krisis ekonomi, yakni ketika keuntungan
yang diperlukan menurun. Karena produksi makin bertambah, akhirnya
pasar akan dibanjiri barang-barang sampai tidak terdapat pembeli lagi.
Lalu, produksi macet, buruh-buruh dipecat dan menjadi makin miskin.
Pada puncaknya, kaum buruh akan memberontak dan mengambil alih
kekuasaan.42
Menurut Marx, kesadaran revolusioner buruh itu bukanlah suatu konsep
yang dihasilkan dari refleksi para intelektual, melainkan hasil dari dialektika
perjuangan proletariat itu sendiri. Kesadaran revolusioner proletariat akan
tumbuh dan berkembang di dalam pergulatannya. Lenin, yang mengaku
diri sebagai pewaris tunggal gagasan Marx,43 mengatakan bahwa kesadaran
kaum buruh itu dipompakan dari luar (partai komunis). Menurut Lenin,
revolusi tidak akan muncul dengan sendirinya. Demikian juga kesadaran
revolusioner kaum buruh tidak otomatis tumbuh. Dibutuhkan sebuah
partai yang mendorong dan membidani terciptanya kesadaran tersebut.
Ada tidaknya revolusi sangat tergantung pada kehendak revolusioner,
dan kehendak revolusioner tidak dapat otomatis ada, melainkan harus
‘diadakan’. Disitulah fungsi partai revolusioner, yakni menyuntikkan
kesadaran revolusi. Penyuntikan kesadaran revolusioner ini bertolak
dari pengandaian bahwa kaum proletariat tidak bisa secara sendirian
mengembangkan kesadaran revolusioner mereka, karena kemampuan
intelektual mereka lemah. Kesadaran mereka harus dipompakan dari
luar. Menurut Lenin, apabila kaum buruh mengikuti spontanitas mereka
saja, mereka hanya akan mengembangkan kesadaran trade-unionistic
(berpikir mengikuti pola borjuasi). Dan mengikuti pola borjuasi berarti
mempersiapkan tanah bagi pengalihan gerakan buruh menjadi alat
demokrasi borjuis. Gerakan buruh spontan hanya mampu menghasilkan
trade-unionism, dan politik trade-unionistic kelas buruh adalah politik borjuis
kelas buruh. Pada Lenin, yang berkuasa sebenarnya bukan kelompok
proletariat, melainkan sekelompok orang, yakni komite eksekutif, Komite
Sentral Partai Komunis. Kaum proletariat hanya menjadi instrumen para
elit partai.
317
A. Alwino: Diskursus Keadilan Sosial, Justice as Fairness Rawls
318
MELINTAS 32.3.2016
319
A. Alwino: Diskursus Keadilan Sosial, Justice as Fairness Rawls
320
MELINTAS 32.3.2016
321
A. Alwino: Diskursus Keadilan Sosial, Justice as Fairness Rawls
Penutup
Pada satu sisi, liberalisme Lockean berjasa untuk mengakhiri,
menyingkirkan kepemimpinan tiranis dan absolutisme negara.58 Namun
pada sisi lainnya, liberalisme Lockean justru mencerminkan kepentingan
kaum borjuis, yakni agar kebebasannya untuk mengakumulasi modal
dijamin oleh negara. Liberalisme Lockean memaksa negara berperan sangat
minimal, yakni hanya sebagai “penjaga malam”. Seperti seorang penjaga
malam yang hanya menjaga keamanan di daerah pabrik dan tidak boleh
ikut campur tangan dalam pekerjaan perusahaan, begitu pula negara liberal
dibatasi pada perlindungan kehidupan, hak milik, dan kebebasan berusaha
para warganya.59 Negara sendiri tidak bertugas untuk mengimbangi
ketidakmerataan kekayaan, dan juga negara tidak melindungi kaum lemah
dari pemusatan kekayaan di tangan kaum kapitalis. Negara hanya sebagai
regulator untuk memuluskan usaha privatisasi dan akumulasi modal kaum
kapitalis.
Bagi Marx, peran minimal negara hanya melembagakan konflik
berkepanjangan antara kelas buruh dan kelas kapitalis. Pada puncaknya,
kaum buruh akan memberontak dan mengambil alih kekuasaan serta
mengusahakan sosialisme – yaitu kekayaan dunia ini merupakan milik
semua. Sosialisme berpendirian bahwa pemilikan bersama lebih baik
daripada milik pribadi. Dikatakan lebih baik karena prinsip ini meniadakan
perbedaan kaya-miskin, borjuis-buruh, dan pemodal-pekerja. Sosialisme
membatasi hasrat untuk mengejar keuntungan pribadi, sehingga
kepentingan pribadi yang menjadi sumber keburukan, iri hati, dan perang,
dapat ditiadakan karena semua orang dianggap bersaudara. Karl Marx
322
MELINTAS 32.3.2016
323
A. Alwino: Diskursus Keadilan Sosial, Justice as Fairness Rawls
Bibliography:
Alwino, Alfensius. Perkembangan Pemikiran John Rawls tentang Keadilan. Tesis.
Jakarta: STF Driyarkara, 2014.
Badiou, Alain. Infinite Thought: Truth and the Return to Philosophy. Tran. Oliver
Feltham & Justin Clemens. New York: Continuum. 2004.
Daniels, Norman (Ed.). Reading Rawls. Critical Studies on Rawls’ A Theory of
Justice. New York: Basic Books, Inc., Publisher. 1975.
Dutt, Clemmens (Ed.). Fundamentals of Marxism – Leninism. Moskow:
Foreign Languages Publishing House. 1963.
Gaus, Gerald F & Chandran Kukathas. Handbook Teori Politik. Bandung:
Nusamedia. 2012.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.
1982.
Kymlicka, Will. Pengantar Filsafat Politik Kontemporer. Terj. Agus Wahyudi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Locke, John. Kuasa itu Milik Rakyat. Esai mengenai Asal Mula Sesungguhnya,
Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil. Terj. A.
Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Losco, Joseph & Williams, Leonard A. Political Theory: Kajian Klasik dan
Kontemporer Vol. II Machiavelli – Rawls. Terj. H. Munandar. Jakarta:
PT Grafindo Persada. 2005.
324
MELINTAS 32.3.2016
Endnotes:
1 Penulis adalah dosen tetap di Kwik Kian Gie School of Business dan pengajar di
Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Universitas Bina Nusantara, Jakarta, dan
Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta; saat ini menjalani studi doktoral di STF
Drijarkara, Jakarta. E-mail: alcohen180@gmail.com.
2 Alain Badiou, Infinite Thought: Truth and the Return to Philosophy, trans. Oliver Feltham
and Justin Clemens (New York: Continuum, 2004) 53.
325
A. Alwino: Diskursus Keadilan Sosial, Justice as Fairness Rawls
326
MELINTAS 32.3.2016
327
A. Alwino: Diskursus Keadilan Sosial, Justice as Fairness Rawls
328