Hak Kawin Muda KH Husein Muhammad
Hak Kawin Muda KH Husein Muhammad
Hak Kawin Muda KH Husein Muhammad
Husein Muhammad)
Faisol Rizal, M. HI
Institut Agama Islam Bani Fattah Jombang, Indonesia
faal_rz@yahoo.co.id
Pendahuluan
Perkawinan dalam usia yang masih muda atau perkawinan dini
menjadi fenomena di sebagian masyarakat Indonesia terutama di daerah
1 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta: Lkis,2001),89.
2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
وبتلوا اليتامى حىت اذا بلغوا النكاح فان انستم منهم رشدا فادفعوا اليهم امواهلم وال تأكلوىا اسرافا
و بدارا ان يكربوا و من كان غنيا فليستعفف و من كان فقًنا فلياكل باملعروف فاذا دفعتم اليهم
امواهلم فاشهدوا عليهم و كفى باهلل شهيدا
prosedur penelitian, metode ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan. Lihat Marzuki, Metodologi Riset, (Yogyakarta: Ekonisia, 2005), 14.
6 Sangadji, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dalam Penelitian, 28. Untuk lebih
و ليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا اهلل و ليقولوا قوال سديدا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan orang-orang di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Ayat di atas bersifat umum, yang secara tidak langsung
menunjukkan bahwa perkawinan anak di bawah umur akan
meninggalkan keturunan yang dikhwatirkan kesejahteraannya. Akan
tetapi, berdasarkan pengamatan dari berbagai pihak, rendahnya usia
perkawinan dominan akan menimbulkan hasil yang tidak sesuai dengan
tujuan perkawinan.
9Amir Syarifudin, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1992),
114.
Volume 8, Nomor 2, Desember 2020 264
Perkawinan di usia muda merupakan perkawinan antara laki-laki
dan perempuan yang belum baligh. Secara redaksional, baligh
menggunakan tiga terma yaitu sinnul al-bulugh, sinnu al-rushdi dan sinnu
al-nudhuji. 10 Secara etimologis, kedewasaan berasal dari kata dewasa
yang berarti sampai umur, akil baligh (bukan anak-anak atau remaja lagi),
telah mencapai kematangan kelamin, matang (tentang pikiran, pandangan
dan sebagainya) cara berpikirnya sudah dewasa.
Dalam syariat agama Islam, kedewasaan terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Al-Tamyiz. Tamyiz yaitu kekuatan daya pikir dimana seseorang
mampu untuk menemukan dan menetapkan beberapa redaksi
makna. Mengacu pada keterangan ini, dapat ditangkap indikasi
bahwa seseorang yang telah mencapai usia tamyiz ini adalah
ketiak dia mampu berkomunikasi dengan orang lain baik
memulai pembicaraan, merespon pembicaraan yang diucapkan.
Indikator lainnya yaitu mampu makan, minum dan istinja’
secara mandiri. Terkait hal ini, imam Nawawi memberikan
catatan bahwa tamyiz tidak terjadi pada usia tertentu akan
tetapi sesuai dengan perkembangan pemahaman seseorang.11
2. Al-rushd. Rushd yaitu kemampuan dalam mengatur harta
benda sehingga tidak menjadi sia-sia, baik orang tersebut adil
maupun fasiq dalam agamanya; akan tetapi ulama menetapkan
syarat usia seseorang yang telah mencapai rushd ketia telah
mencapai usia 15 tahun dan tidak ada kemungkinan maupun
potensi menjadikan hartanya sia-sia.
3. Baligh. Baligh merupakan salah satu indikator (selain aqil)
seseorang yang cakap hukum (mukallaf). Ulama Syafi‟iyyah dan
Hanabilah menetapkan fase kedewasaan adalah ketika seorang
perempuan sudah mengalami menstruasi dan bagi lelaki ketika
sudah mengalami mimpi basah. Indikasi ini berbeda antara tiap
individu tergantung kondisi biologis dan antropologis yang
berbeda, sehingga Syafi‟iyyah dan Hanabilah menentukan
kedewasaan dengan usia yaitu 15 tahun sebagai fase awal
kedewasaan. Berbeda dengan golongan di atas, Imam Abu
Hanifah menentukan kedewasaan seseorang dengan usia 18
tahun bagi lelaki dan 17 tahun bagi perempuan berdasarkan
keterangan dalam Al-Qur‟an:
10Ahmad Mukhtar, „Abd Al-Hamid Umar, Mu’jam al-Lughah al-Arabiyyah, vol. 2, 1112.
11Yahya Ibn Sharaf Al-Nawawi, Tahrir Alfaz At-Tanbih, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, 2016), 153.
12 Muhammad Ali Al-Shobuni, Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam, vol. 2, (Damaskus:
Maktabah Al-Ghazali, 1980), 212.
13 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), 6.
واالئي يئسن من احمليض من نسآئكم ان ارتبتم فعدهتن ثالثة أشهر و االئي مل حيضن
Bagi mereka yang telah putus haidnya (menopouse) iddahnya adalah 3
bulan. Demikian juga bagi mereka yang belum haid.
Ayat ini menjelaskan masa iddah bagi perempuan-perempuan yang
sudah menopouse dan bagi perempuan yang belum pernah haid. Secara
jelas bisa ditangkap juga penjelasan bahwa perempuan yang belum haid
dapat melangsungkan perkawinan, karena masa iddah hanyalah bagi
perempuan yang sudah melangsungkan perkawinan dan bercerai.
2. QS. An-Nur (24): 32
اخرجو البخاري و مسلم و أبو.تزوجين النيب وأنا ابنة ست و بىن يب وأنا ابنة تسع
داود و النسائي
Nabi SAW mengawiniku pada saat usiaku 6 tahun dan hidup
bersama saya pada usiaku 9 tahun. (H.R. al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud dan an-Nasa‟i).
Disamping penjelasan di atas, Nabi SAW juga mengawinkan
anak perempuan pamannya (Hamzah) dengan lelaki dari Abu
Salamah yang saat itu berusia belia.
4. Terdapat para sahabat Nabi SAW yang mengawinkan
putera-puteri atau keponakannya yang masih belia seperti Ali
bin Abi Thalib yang mengawinkan anak perempuannya yang
bernama Ummi Kultsum saat masih muda.14
14 Ibn Qudamah, Al-Mughni, Juz VI, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1405 H), 487.
وبتلوا اليتامى حىت اذا بلغوا النكاح فان انستم منهم رشدا فادفعوا اليهم امواهلم وال تأكلوىا اسرافا
و بدارا ان يكربوا و من كان غنيا فليستعفف و من كان فقًنا فلياكل باملعروف فاذا دفعتم اليهم
امواهلم فاشهدوا عليهم و كفى باهلل شهيدا
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-
.و يستحب لآلب أن ال يزوجها حىت تبلغ لتكون من أىل اإلذن وألنو يلزمها بالنكاح حقوق
Sebaiknya ayah tidak mengawinkannya (anak perempuan belia)
sampai dia baligh, agar dia bisa menyampaikan izinnya karena
perkawinan akan membawa pelbagai kewajiban tanggung jawab.15
Menurut madzhab Syafi‟i, perkawinan tergolong perbuatan orang
dewasa, yang menjadi makruh hukumnya ketika yang bersangkutan tidak
mampu memenuhi kewajiban yang muncul sebab perkawinan dengan
catatan lelaki dan perempuan tersebut masih mampu menahan diri dari
berbuat zina. Hal ini juga berlaku makruh bagi lelaki yang tidak
berkeinginan untuk menikah dan tidak pula mempunyai kemampuan
memberikan mahar dan nafkah bagi istrinya.
Apabila lelaki tersebut berkemampuan atas biaya tersebut namun
pada waktu yang bersamaan dia tidak tidak mempunyai alasan yang
Abdurrahman Al-Jazairi, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah, Juz IV, (Istanbul: Dar
16