Hasil Tesis Adelaide
Hasil Tesis Adelaide
Hasil Tesis Adelaide
Januari 2021
EFEK RENDAMAN AIR CO2 KADAR TINGGI PADA TIKUS GALUR WISTAR
(Rattus Norvegicus) JANTAN YANG DIBUAT ACUTE LIMB ISCHEMIC TERHADAP
PERUBAHAN KADAR SGOT, LDH, DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI
Oleh:
Adelaide Adiwana
Pembimbing :
AF : Arteri Femoralis
ANG : Angiopoetins
AS : Arteri Saphena
CK : Creatine Kinase
DAB : Diaminobenzidine
DF : Degrees of freedom
H+ : Ion Hidrogen
ii
Hb : Hemoglobin
HCO3- : Bikarbonat
IP : Intra-Peritoneal
Min : Minimal
Max : Maximal
NO : Nitrit Oxide
O2 : Oksigen
o
C : Derajat Celcius
PA : Patologi Anatomi
pH : Keasaman
PLA2 : Phospholipase 2
iii
ppm : Part per million
SD : Standar Deviasi
VF : Vena Femoralis
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL........................................................................................................ xi
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................ 1
2.5 Klasifikasi ALI dan Manfaatnya dalam Menentukan Terapi Serta Prognosis........... 12
v
2.9 Efek Fisiologis CO2 pada Pembuluh Darah Perifer................................................. 20
vi
4.5.1 Kriteria Inklusi...................................................................................................... 42
4.8.1 Alat........................................................................................................................ 44
4.8.2 Bahan.................................................................................................................... 44
5.1 Gambaran Perubahan Kadar SGOT, LDH, dan Histopatologi Tikus yang Tidak
Diligasi (Kelompok 1 dan 2) pada Rendaman Air Biasa dan Air CO 2 Kadar Tinggi 61
5.2 Gambaran Perubahan Kadar SGOT, LDH, dan Histopatologi Tikus yang Diligasi
(Kelompok 3 dan 4) pada Rendaman Air Biasa dan Air CO2 Kadar Tinggi.............. 62
vii
5.3 Analisis Pengaruh Air Biasa Versus Air CO2 Kadar Tinggi pada Tikus yang Tidak
5.4 Analisis Pengaruh Air Biasa Versus Air CO2 Kadar Tinggi pada Tikus yang
7.1 Kesimpulan.............................................................................................................. 72
7.2 Saran......................................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 73
LAMPIRAN................................................................................................................. 81
Lampiran 2. Dokumentasi.............................................................................................. 82
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4. Kurva perbandingan kelarutan oksigen dengan CO2 yang dipengaruhi oleh
suhu................................................................................................................. 16
yang terlibat.................................................................................................... 21
Gambar 8. Gelembung CO2 pada lengan yang direndam dalam air CO2......................... 28
Gambar 10. Efek CO2 pada aliran darah kutaneus pada suhu perendaman yang
berbeda.......................................................................................................... 31
Gambar 11. Hubungan antara FMD (Flow Mediated Dilatation) dan SkBF (Skin
Blood Flow).................................................................................................. 31
Gambar 12. Perbandingan laju aliran darah pada air biasa dengan air CO2..................... 32
Obliterans..................................................................................................... 33
Gambar 16. Berbagai metode hind limb ischaemia yang dapat dilakukan....................... 36
ix
Gambar 19. CREA, sumber air (wastafel), tabung CO2, dan pemanas air (water
heater)........................................................................................................... 47
Gambar 21. Arteri femoralis setelah dipisahkan dari vena dan nervus............................ 48
Gambar 22. Ligasi arteri femoralis proksimal dan distal dengan benang silk 3.0............ 48
Gambar 25. Pengukuran suhu dan pH menggunakan termometer air raksa dan
pHmeter........................................................................................................ 50
Gambar 26. Perendaman tikus dalam air biasa dan air CO2 kadar tinggi......................... 50
Gambar 27. Pengambilan sampel darah melalui vena lateralis pada ekor tikus............... 51
Gambar 29. Tungkai bawah tikus setelah dipotong kemudian direndam dalam
formalin 10%................................................................................................ 52
Gambar 30. Preparat PA yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE dan CD31............ 52
Gambar 31. Alat sentrifuge dan pengukur kadar SGOT dan LDH.................................. 53
jumlah vaskularisasi tikus yang tidak diligasi pada rendaman air biasa
jumlah vaskularisasi tikus yang diligasi pada rendaman air biasa (gambar
Gambar 34. Pewarnaan HE untuk menilai derajat kerusakan otot menggunakan skor
histologi pada tikus yang diligasi dalam rendaman air biasa (gambar
x
DAFTAR TABEL
Tabel 5. Gambaran Perubahan Kadar SGOT, LDH, dan Histopatologi Tikus yang
Tidak Diligasi (Kelompok 1 dan 2) pada Rendaman Air Biasa dan Air CO 2
Kadar Tinggi................................................................................................. 61
Tabel 6. Gambaran Perubahan Kadar SGOT, LDH, dan Histopatologi Tikus yang
Diligasi (Kelompok 3 dan 4) pada Rendaman Air Biasa dan Air CO2 Kadar
Tinggi............................................................................................................ 62
Tabel 7. Analisis Pengaruh Air Biasa Versus Air CO2 Kadar Tinggi pada Tikus yang
Tabel 8. Analisis Pengaruh Air Biasa Versus Air CO2 Kadar Tinggi pada Tikus yang
xi
BAB I
PENDAHULUAN
Acute limb ischemia (ALI) merupakan kondisi dimana terjadi penurunan perfusi secara
tiba-tiba dan mengancam viabilitas ekstremitas yang terjadi dalam waktu kurang dari 14 hari
setelah onset gejala (Creager et al., 2012). Kondisi ini tidak saja mengancam ekstremitas yang
terkena, namun juga dapat meningkatkan risiko kematian bagi pasien-pasien yang terkena.
Hipoperfusi pada ekstremitas terutama bila tidak diterapi akan menyebabkan abnormalitas
elektrolit dan gangguan asam basa pada seluruh tubuh yang berakibat pada terganggunya
fungsi ginjal dan kardiopulmonal. Maka dari itu, tatalaksana reperfusi harus segera diberikan
demi menyelamatkan ekstremitas yang terkena dan mencegah pasien jatuh dalam kondisi yang
Insidensi ALI diperkirakan sebanyak 1,5 kasus dari 10.000 orang per tahun (Norgren
et al., 2007). Angka kejadian ALI semakin banyak ditemukan pada populasi usia tua dengan
berbagai penyakit komorbid, terutama gagal jantung kongestif dan atrial fibrilasi. ALI juga
banyak ditemukan pada pasien dengan peripheral artery disease (PAD) yang telah menjalani
terapi reperfusi, baik endovaskular maupun operasi. Kejadian ALI pada ekstremitas atas jarang
ditemukan, hanya sekitar 17% dari seluruh insidensi ALI. Hal ini terjadi karena vaskularisasi
pada ekstremitas atas lebih baik dengan banyaknya kolateral serta proses atherosklerosis lebih
Proses patologis dan faktor risiko yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah
ekstremitas memiliki banyak kesamaan dengan pembuluh darah jantung sehingga sebagian
besar kasus yang terjadi merupakan kombinasi keduanya. Seperti halnya pada kondisi infark
1
miokard akut (IMA), reperfusi segera harus diterapkan dengan prinsip yang sama pada ALI
Komplikasi ALI tergolong tinggi meskipun telah dilakukan upaya revaskularisasi dini,
dimana amputasi terjadi pada 10-15% kasus dengan angka mortalitas mencapai 15-20%. Di
samping itu, terjadinya komplikasi mayor kardiovaskular seperti IMA, eksaserbasi gagal
jantung kongestif, kerusakan fungsi ginjal, dan komplikasi pernafasan selama pasien ALI
dirawat di rumah sakit juga sangat tinggi. Dengan demikian, selain menyelamatkan ekstremitas
yang terkena, managemen ALI juga harus meliputi terapi sistemik yang adekuat (Olinic et al.,
2019).
Berdasarkan uraian di atas, maka sebagian besar penyebab serta komplikasi ALI erat
seperti hipertensi, diabetes mellitus, merokok, dan dislipidemia, baik dengan terapi
penyakit oklusi vaskular perifer sejak abad pertengahan adalah balneoterapi (natural bath
spring) dalam air berkarbonasi. Terapi karbon dioksida (CO2) pertama kali diperkenalkan
berupa spa pada tahun 1932. Metode terapeutik dengan menggunakan CO 2 yang diberikan
secara transkutan ini ditujukan bagi pasien-pasien dengan gangguan vaskular perifer. Sejak
saat itu, sejumlah penelitian berkembang, dimana sebagian besar berupa studi observasional,
yang menjelaskan efek CO2 sebagai terapi dan bagaimana patofisiologinya. Banyak studi klinis
telah menunjukkan keefektifan terapi CO2 terhadap mikrosirkulasi tanpa ditemukan adanya
toksisitas serta efek samping yang bermakna (Toriyama T et al, 2002; Hartmann et al., 1997).
Teori Jordan mengatakan CO2 dapat berdifusi ke dalam jaringan subkutan, mempengaruhi
2
kontraktilitas sel otot polos pembuluh darah menurun. PCO2 dapat ditingkatkan dengan
pemberian air yang mengandung kadar tinggi CO2 pada kulit (Ito et al., 1989).
Beberapa penelitian mengatakan bahwa pada suhu air 34 oC, CO2 meningkatkan aliran
darah kutaneus dua kali lebih cepat dibandingkan pada suhu 23oC. Sebaliknya, pada suhu 41oC
efek CO2 terhadap laju aliran darah kutaneus justru menurun (Nishimura et al., 2002; Hartmann
et al., 1997; Ito et al., 1989). Peningkatan aliran darah kutaneus merupakan kunci stimulus
stress pada dinding pembuluh darah serta meningkatkan fungsi endothelial sebagai vasodilator
(Naylor et al., 2011). Maka dari itu, CO2 dapat digunakan sebagai terapi pada kasus-kasus
penyakit pembuluh darah perifer, membantu penyembuhan luka, serta membantu regenerasi
kulit. Terapi CO2 ini sebagian besar diberikan secara transkutan/topikal dalam bentuk air
rendaman yang mengandung CO2 konsentrasi tinggi (imersi). Didukung dengan banyaknya
penelitian yang telah membuktikan manfaat imersi air yang mengandung CO2 kadar tinggi
khususnya bagi penderita penyakit pembuluh darah perifer, maka suatu perusahaan dari Jepang
telah berhasil membuat alat yang dapat menghasilkan air CO 2 kadar tinggi dengan suhu tertentu
yang mudah digunakan untuk terapi sehari-hari. Alat tersebut bernama Bicarbonated CREA
Dengan adanya Bicarbonated CREA yang mempermudah pembuatan imersi air CO2
kadar tinggi, maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh rendaman air CO2 kadar tinggi
pada pembuluh darah perifer normal (sebagai terapi preventif) maupun pada kondisi ALI
(sebagai terapi kuratif) dengan menggunakan hewan coba tikus galur Wistar jantan (Rattus
Norvegicus) yang dinilai dengan menggunakan parameter kadar lactat dehidrogenase (LDH),
kondisi ALI dibuat dengan metode hind limb ischemic (HLI), yaitu dengan melakukan ligasi
3
1.2 Rumusan Masalah
sebagai berikut: Apakah terdapat pengaruh perendaman kaki tikus galur Wistar jantan (Rattus
Norvegicus) dalam air CO2 kadar tinggi, baik yang tidak dibuat ALI maupun yang dibuat ALI
(dengan ligasi arteri femoralis), yang dinilai dengan menggunakan parameter kadar LDH,
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh perendaman CO2 pada kaki tikus galur Wistar jantan (Rattus
2. Tujuan Khusus
Mengetahui perubahan kadar SGOT pada tikus galur Wistar jantan (Rattus
Norvegicus), baik yang dibuat ALI maupun tidak, antara sebelum dan setelah
Mengetahui perubahan kadar LDH pada tikus galur Wistar jantan (Rattus
Norvegicus), baik yang dibuat ALI maupun tidak, antara sebelum dan setelah
(Rattus Norvegicus), baik yang dibuat ALI maupun tidak setelah direndam dengan
air biasa
Mengetahui perubahan kadar SGOT pada tikus galur Wistar jantan (Rattus
Norvegicus), baik yang dibuat ALI maupun tidak, antara sebelum dan setelah
4
Mengetahui perubahan kadar LDH pada tikus galur Wistar jantan (Rattus
Norvegicus), baik yang dibuat ALI maupun tidak, antara sebelum dan setelah
(Rattus Norvegicus), baik yang dibuat ALI maupun tidak setelah direndam dalam
1. H0 diterima apabila tidak terdapat pengaruh perendaman kaki tikus galur Wistar jantan
(Rattus Norvegicus), baik yang tidak dibuat ALI maupun dibuat ALI dalam campuran
air CO2 kadar tinggi yang dinilai dengan parameter kadar LDH, SGOT, dan
pemeriksaan histopatologi.
2. Ha diterima apabila terdapat pengaruh perendaman kaki tikus galur Wistar jantan
(Rattus Norvegicus), baik yang tidak dibuat ALI maupun dibuat ALI dalam campuran
air CO2 kadar tinggi yang dinilai dengan parameter kadar LDH, SGOT, dan
pemeriksaan histopatologi.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi
bahan bacaan tentang peranan perendaman kaki dalam air CO2 kadar tinggi, baik
5
Menjadi referensi tambahan untuk penelitian-penelitian lebih lanjut terkait manfaat
perendaman kaki dalam air CO2 kadar tinggi terhadap mikrosirkulasi permbuluh
2. Manfaat Aplikatif
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat aplikatif sebagai bahan intervensi
perifer, baik sebagai terapi preventif maupun kuratif, khususnya dalam kondisi ALI.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ALI merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan perfusi pada ekstremitas secara
tiba-tiba yang dapat mengancam viabilitas ekstremitas yang terkena sehingga dibutuhkan
penanganan segera. Kondisi ini dikatakan akut bila terjadi dalam waktu kurang dari 14 hari
dari onset munculnya gejala (Creager et al., 2012). Perburukan gejala dapat terjadi dalam
hitungan jam hingga hari, mulai dari episode klaudikasio intermiten hingga rasa nyeri pada
ekstremitas yang terkena saat istirahat (resting pain), parestesia, kelemahan otot, kelumpuhan
pada ekstremitas yang terkena, bahkan gangren. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tidak
adanya pulsasi di daerah distal dari oklusi, kulit teraba dingin dan pucat, penurunan fungsi
pembuluh darah kolateral, pada ALI belum terbentuk kolateral sebagai kompensasi dari
hilangnya perfusi karena waktu terjadinya sangat singkat, sehingga viabilitas ekstremitas yang
terkena menjadi terancam. Keadaan iskemik mendadak ini mempengaruhi seluruh jaringan
yang secara aktif bermetabolisme, seperti kulit, otot, dan saraf. Maka dari itu, diagnosis dan
tata laksana segera sangat diperlukan untuk menyelamatkan ekstremitas yang terkena serta
menghindari komplikasi sistemik yang dapat mengganggu fungsi organ lain sehingga risiko
Penyebab ALI dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu kausa emboli (40%),
thrombosis (50%), dan lain-lain (10%) seperti dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
7
EMBOLI (40%) THROMBOTIK (50%) PENYEBAB LAIN (10%)
Sumber dari jantung (80%) Berhubungan dengan PAD Trauma arteri
Atrial fibrilasi Ruptur plak de novo (30%) Diseksi aorta
Thrombus ventrikel kiri Thrombosis stent/graft (70%) Arteriopati HIV
Myxoma atrium kiri Thrombus pada aneurisma Sindrom kompartemen
Penyakit katup jantung Tidak berhubungan dengan PAD Phlegmasia cerulea dolens
- Infektif endokarditis Arteritis dengan thrombosis Kompresi eksternal
- Thrombosis katup prostetik - Giant cell arteritis
- Penyakit katup rematik - Thrombangitis obliterans
Paradoksikal emboli Hipercoagubilitas
Sumber dari vaskular - Sindrom antifosfolipid
Aneurisma - Keganasan
Plak atherosklerosis Ergotisme
Terkait prosedur Vasospasme
Coronary artery bypass Kokain
Prosedur endovaskular Vasopresor
Lain-lain
Udara
Air ketuban
Injeksi intra-arteri
Oklusi yang ditimbulkan karena thrombosis biasanya terjadi pada pembuluh darah
dengan lesi stenosis kronik akibat atherosklerosis sehingga sering disertai gejala PAD
sebelumnya dan ditemukan adanya kolateral. Sekitar 15-20% pasien dengan PAD dapat
berkembang menjadi ALI. Obstruksi akut terjadi akibat ruptur plak, kegagalan sirkulasi, atau
pada kondisi hiperkoagubilitas (Obara H et al., 2018). Thrombosis juga dapat disebabkan oleh
oklusi pada stent dan bypass graft yang menjadi penyebab tersering saat ini mengingat semakin
Sebanyak 90% emboli berasal dari kardiak yang biasanya disebabkan oleh atrial
fibrilasi dan thrombus ventrikel kiri akibat infark miokard akut (IMA). Penyebab lain antara
lain penyakit katup jantung seperti pada post-valve replacement, tumor kardiak/aorta, dan
emboli paradoks (Obara H et al., 2018). Emboli cenderung menempel pada percabangan arteri
seperti aortoiliaka, femoralis dan arteri poplitea distal (Ascher E, 2014). Bila emboli terjebak
pada lesi stenotik akibat atherosklerosis, maka sulit dibedakan antara emboli dengan
thrombosis. Penderita ALI kausa emboli memiliki pembuluh darah yang relatif sehat dan tidak
8
ditemukan adanya kolateral, sehingga saat terjadi ALI, gejala yang muncul lebih mendadak
ALI memicu serangkaian kejadian yang mengakibatkan kerusakan otot yang bersifat
ireversibel dalam waktu sekitar 6 jam pada pasien yang tidak memiliki kolateral yang baik
menghasilkan ATP dan cadangan ATP menjadi hilang sehingga terjadi akumulasi laktat.
intraseluler. Peningkatan kadar kalsium yang persisten memicu sejumlah besar enzim yang
diaktivasi oleh kalsium yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis. Dengan hilangnya
integritas membran sel dan mitokondria, maka terjadi proses kematian sel yang ireversibel
9
Gambar 2. Patofisiologi ALI. (1) berkurangnya ATP menghambat fungsi pompa Na+/K+
ATPase sehingga kadar Na intraselular meningkat. (2) 2Na+/Ca2+ exchanger meningkatkan
kadar kalsium intraselular. (3) Ca2+ ATPase tidak dapat memompa kalsium intraselular keluar
karena kekurangan energi. (4) Kalsium intraselular mengaktifkan enzim protease seperti
phospholipase 2 (PLA2) yang merusak komponen struktural dari membran sel, membuat
kalsium yang masuk semakin bertambah. (5) Kadar kalsium yang berlebihan merusak
mitokondria dan merangsang apoptosis yang pada akhirnya membuat sel menjadi nekrosis
(Chavez et al., 2016)
Secara umum, pasien ALI memiliki gejala klasik yang dapat disingkat menjadi “6P”,
yaitu Pain, Pallor, Paralysis, Pulse deficit, Paresthesia, dan Poikilothermia (Olinic et al.,
2019). Kejadian neurologik akut merupakan diagnosis banding tersering dari ALI karena
keduanya dapat menyebabkan nyeri (pain), paralisis, dan parestesia. Tidak jarang ditemukan
manifestasi klinis lanjut berupa kerusakan jaringan yang ireversibel akibat iskemik yang
semula salah didiagnosis sebagai kejadian neurologik akut. Kekeliruan diagnosis ini
mengakibatkan semakin buruknya prognosis karena waktu yang diperlukan untuk mencapai
keberhasilan revaskularisasi akibat emboli akut sangat terbatas. Maka dari itu, pemeriksaan
klinis yang teliti harus dilakukan untuk mencegah kejadian yang dapat berakibat fatal tersebut
10
Pada ALI kausa thrombosis biasanya didahului adanya keluhan claudicatio intermitten
atau riwayat revaskularisasi sebelumnya pada ekstremitas yang terkena. Selain itu, ditemukan
pula komorbid kardiovaskular yang signifikan, seperti penyakit jantung koroner, riwayat
stroke, diabetes, merokok, hipertensi, dislipidemia, riwayat keluarga, dan gagal ginjal kronik
(Fukuda et al., 2015). Komplikasi thrombosis akibat plak atherosklerosis akan membuat onset
serta gejala menjadi tidak jelas. Progresivitas dari atherosklerosis sering diikuti dengan
pembentukan pembuluh darah kolateral ke arah distal, sehingga ketika terjadi oklusi akut tidak
menimbulkan gejala iskemik yang menonjol. Akan tetapi, penyebaran thrombus dapat
Oklusi akut akibat emboli patut dicurigai bila onset terjadinya tiba-tiba dengan derajat
nyeri yang hebat karena belum terbentuk pembuluh darah kolateral, riwayat emboli
sebelumnya, aritmia terutama atrial fibrilasi, diketahui terdapat sumber emboli (jantung,
aneurisma) dan tidak terdapat riwayat claudicatio intermitten (Creager et al., 2012). Oklusi
akut pada arteri akan menyebabkan spasme pembuluh darah dan membuat ekstremitas yang
terkena tampak berwarna keputihan seperti marmer. Beberapa jam kemudian, pembuluh darah
relaksasi, kulit terisi darah miskin oksigen (deoksigenasi) yang mengakibatkan bintik-bintik
Dengan pemeriksaan vaskular secara sistematik dan teliti, penyebab ALI dapat
ditemukan dalam waktu singkat. Palpasi pulsasi arteri bilateral pada daerah femur, lutut, dan
pergelangan kaki dapat menentukan lokasi oklusi serta kelainan irama, seperti atrial fibrilasi.
Pulsus defisit unilateral dengan pulsasi normal kontralateral sugestif suatu emboli. Pulsus
meliputi palpasi pada arteri brakialis, radialis, dan ulnaris untuk menyingkirkan kemungkinan
emboli multipel. Bila ragu terhadap status pulsasi, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan
11
Fungsi sensorik dan motorik dievaluasi pada saat pertama kali pasien masuk dan
dievaluasi kembali secara berkala. Gangguan sensorik dini dapat ditemukan pada pemeriksaan
neurologis seperti sentuhan ringan, diskriminasi sentuhan 2 titik, proprioseptif, dan persepsi
getaran. Paralisis yang menonjol dengan kehilangan sensasi total menandakan iskemik yang
ireversibel, sehingga amputasi merupakan terapi terbaik. Nyeri otot ketika digerakkan baik
secara pasif maupun aktif disertai pengerasan otot menandakan adanya sindrom kompartemen
dan merupakan indikator untuk dilakukan terapi segera (Ram dan George, 2017).
2.5 Klasifikasi ALI dan Manfaatnya dalam Menentukan Terapi Serta Prognosis
Rutherford (Tabel 2). Klasifikasi Rutherford ini terdiri dari pemerikaan klinis yang meliputi
warna kulit, pengisian vena, fungsi sensorik dan motorik, serta ada tidaknya signal pada arteri
dan vena ekstremitas yang terlibat yang didapatkan saat pemeriksaan Doppler vaskular
(Rutherford et al., 2001). Ketika diagnosis ALI ditegakkan, maka heparin intravena harus
mikrosirkulasi. Analgetik juga dapat diberikan untuk meredakan nyeri (Norgren et al., 2007).
12
Derajat kegawatdaruratan dan strategi pemilihan terapi pada penderita ALI sangat
tergantung pada presentasi klinis, terutama adanya defisit neurologis. Bila ditemukan adanya
defisit neurologis, maka harus dilakukan tindakan revaskularisasi segera, dimana pemeriksaan
imaging tidak membuat penundaan intervensi. Pemeriksaan imaging yang relatif cepat dapat
dilakukan pada kondisi ini antara lain duplex ultrasound (DUS) dan digital subtraction
bypass dan/atau arterial repair). Pemilihan strategi terapi tergantung pada ada tidaknya defisit
neurologis, lamanya iskemik, lokasi, komorbid, tipe konduit (arteri atau graft), serta risiko dari
tindakan itu sendiri (Aboyans et al., 2017). Tata laksana ALI dapat dilihat pada Gambar 3.
13
Prognosis pasien setelah mengalami ALI adalah buruk. Frekuensi terjadinya
komplikasi mayor kejadian kardiovaskular seperti infark miokard, stroke iskemik, dan
amputasi meningkat 1,4 kali, kematian meningkat 3,3 kali, dan risiko amputasi mayor
meningkat 14,2 kali bila dibandingkan pasien tanpa ALI. Terapi revaskularisasi turut
memperburuk prognosis ALI, di samping kondisi pasien dengan atrial fibrilasi, penyakit arteri
perifer, usia tua, dan tidak adekuatnya terapi statin. Komplikasi paska revaskularisasi yang
sering terjadi antara lain surgical graft thrombosis dan stent thrombosis (Hess et al., 2019).
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dicarilah terapi alternatif yang dapat membantu
mencegah kerusakan jaringan maupun membantu proses penyembuhan pada pasien dengan
penyakit pembuluh darah perifer, khususnya ALI. Salah satu terapi alternatif yang dapat
membantu penyembuhan penyakit pembuluh darah perifer dan dipercaya sejak dahulu kala
adalah CO2.
Karbon dioksida (CO2) selain merupakan produk akhir dari metabolisme semua
makhluk yang menggunakan oksigen (O2) sebagai sumber energi dan bahan dasar fotosintesis,
telah digunakan sebagai terapi dengan spektrum aplikasi yang luas (Hartmann et al. 2009).
Sejak abad pertengahan, air asam dan gas yang memancar dari dalam tanah diakui
secara efektif dapat menyembuhkan penyakit St. Anthony`s Fire yang disebabkan oleh
keracunan ergot dan sering terjadi pada waktu itu (Hartmann et al. 2009). Di seluruh Eropa,
mata air berkarbonasi telah digunakan sebagai balneoterapi (natural bath spring) bagi pasien-
pasien yang menderita hipertensi atau penyakit oklusi vaskular perifer. Beberapa literatur juga
menyebutkan manfaat CO2 sebagai terapi paliatif pada nyeri muskuloskeletal, intervensi
terapeutik dan rehabilitasi penyakit rematik, serta dapat membantu penyembuhan pada
dermatopati infeksius. Pada tahun 1834-1856, Piderit dan Beneke adalah orang yang pertama
14
kali menggambarkan efek utama yang langsung didapatkan dari balneoterapi dengan
menggunakan CO2 pada bagian tubuh yang direndam, yaitu dapat memberikan sensasi
Terapi CO2 pertama kali diperkenalkan berupa spa pada tahun 1932. Metode terapeutik
dengan menggunakan CO2 yang diberikan secara transkutan ini ditujukan bagi pasien-pasien
dengan gangguan vaskular. Sejak saat itu, sejumlah penelitian berkembang, di mana sebagian
besar berupa studi observasional, untuk menjelaskan efek CO2 sebagai terapi dan bagaimana
patofisiologinya. Banyak studi klinis telah menunjukkan keefektifan terapi CO2 terhadap
mikrosirkulasi tanpa ditemukan adanya toksisitas serta efek samping yang bermakna
CO2 merupakan atom karbon tunggal yang terikat pada dua atom oksigen oleh ikatan
kovalen ganda sehingga membentuk molekul nonpolar. CO2 memiliki sifat tidak berwarna dan
tidak berbau sehingga secara visual tidak dapat dibedakan dengan udara. CO 2 juga memiliki
sifat 20 kali lebih mudah larut dibandingkan dengan oksigen. Kelarutan sebagian besar gas
dipengaruhi oleh suhu. Ketika suhu menurun, lebih banyak CO2 yang larut dalam air. Hal ini
dapat terlihat pada minuman berkarbonasi yang mengeluarkan gas saat dipanaskan (Cherniack
et al., 1970).
15
Gambar 4. Kurva perbandingan kelarutan oksigen dengan CO2 yang dipengaruhi oleh suhu
CO2 mempunyai peran penting dalam darah. Kadar CO2 dalam darah diatur melalui
transpor CO2 ke paru-paru untuk kemudian dikeluarkan saat ekspirasi sehingga pH darah dapat
terjaga.
Gambar 5 memperlihatkan bagaimana CO2 larut dalam darah. CO2 yang larut dalam
darah bereaksi dengan air membentuk asam karbonat (H2CO3). Reaksi ini dikatalisis oleh
enzim karbonik anhidrase sehingga terjadi sangat cepat (Forster dan N. Itada, 1980). Asam
karbonat pada gilirannya dapat melepaskan ion hidrogen menjadi bikarbonat (HCO3-).
Sebagian besar karbon dioksida dalam darah ditemukan dalam bentuk bikarbonat. Perubahan
asam karbonat (H2CO3) menjadi ion hidrogen dan bikarbonat (H+ + HCO3-) hampir terjadi
secara spontan. Bila konsentrasi CO2 meningkat, maka pH darah akan sedikit menurun atau
menjadi sedikit lebih asam. Sejumlah kecil CO2 terlarut menghasilkan sedikit kenaikan ion
hidrogen yang mampu mengubah pH darah. Rasio antara CO2 dan HCO3– kira-kira 1:20. Setiap
kenaikan 1 CO2 membutuhkan 20 HCO3– untuk mencegah perubahan pH darah dan melindungi
16
tubuh dari peningkatan keasaman. Seperti yang dijelaskan dalam reaksi di atas, hanya 1 HCO3–
yang dihasilkan dari setiap CO2 sehingga pH darah akan menjadi lebih asam karena kelebihan
ion hidrogen. Oleh karena itu, harus ada metode transportasi alternatif untuk mencegah asidosis
berat setiap kali kita bernafas dan menghasilkan CO2 (Loerting et al., 2010).
CO2 merupakan produk sisa utama dari respirasi aerobik. Jumlah CO2 yang terlalu
banyak atau terlalu sedikit dalam darah dapat menyebabkan konsekuensi yang serius. Maka
dari itu, diperlukan transportasi CO2 dalam darah yang berfungsi menjaga pH darah. CO2 dalam
darah diangkut melalui 3 cara, yaitu berikatan dengan hemoglobin membentuk senyawa
karbamino, sebagai ion bikarbonat (HCO3-), dan sebagai CO2 terlarut (Geers et al., 2000).
Sekitar 30% dari semua CO2 diangkut sebagai senyawa karbamino. Pada konsentrasi
tinggi, CO2 berikatan langsung dengan asam amino dan gugus amina hemoglobin (Hb) untuk
jaringan perifer, di mana produksi CO2 tinggi karena respirasi sel (Hsia CC, 1998).
Efek Haldane juga berkontribusi pada pembentukan senyawa karbamino, yaitu bila
konsentrasi O2 lebih rendah (seperti pada jaringan perifer aktif di mana O2 dikonsumsi), maka
kapasitas pengangkutan CO2 dari darah meningkat. Hal ini terjadi karena pelepasan O2 dari Hb
1. Stabilisasi pH: CO2 tidak dapat meninggalkan sel darah untuk berkontribusi terhadap
perubahan pH
17
2. Efek Bohr: membantu pelepasan O2 dari subunit lain hemoglobin ke dalam jaringan yang
aktif, di mana respirasi paling banyak terjadi dan menghasilkan paling banyak CO2 (Jensen
FB, 2004).
Ketika sel darah mencapai daerah konsentrasi tinggi O 2 lagi (seperti paru-paru), maka
O2 akan terikat lagi. Hal ini menyebabkan pelepasan CO2 (efek Haldane) yang memungkinkan
lebih banyak O2 untuk diambil dan diangkut dalam darah (Jensen FB, 2004).
teroksigenasi dengan tereduksi pada PCO2 yang sama. Efek ini sebagian disebabkan oleh
kemampuan hemoglobin untuk membuffer ion hidrogen dan sebagian disebabkan oleh daya
ikat hemoglobin tereduksi dengan karbon dioksida yang 3,5 kali lebih efektif daripada
Sekitar 60% dari semua CO2 diangkut melalui produksi ion HCO3- dalam sel darah
merah. CO2 berdifusi ke dalam sel darah merah dan dikonversi menjadi H+ dan HCO3– oleh
enzim karbonik anhidrase. HCO3– kemudian diangkut kembali ke dalam darah melalui penukar
ion klorida-bikarbonat (chloride shift). Maka HCO3– dapat bertindak sebagai buffer terhadap
hidrogen dalam plasma darah (Berend K et al., 2015). Rangkaian reaksi ini dapat dilihat pada
Gambar 5.
Ion H+ yang dihasilkan dari reaksi karbonik anhidrase dalam sel darah merah berikatan
dengan hemoglobin menghasilkan deoksihemoglobin. Hal ini berkontribusi pada efek Bohr,
yaitu pelepasan O2 dari hemoglobin terjadi pada jaringan yang aktif, di mana konsentrasi H+
lebih tinggi. Hal ini juga mencegah hidrogen memasuki darah yang dapat menurunkan pH,
18
Gambar 6. Transpor CO2 dalam darah (Berend K et al., 2015)
Ketika sel-sel darah merah mencapai paru-paru, oksigen berikatan dengan hemoglobin
dan terjadi pelepasan ion H+. Ion hidrogen ini menjadi bebas bereaksi dengan ion bikarbonat
untuk menghasilkan CO2 dan H2O, di mana CO2 dihembuskan. Dengan demikian, konsentrasi
O2 yang tinggi mengurangi kapasitas darah dalam mengangkut CO2. Hal ini sesuai dengan efek
Sekitar 10% dari semua CO2 diangkut sebagai senyawa terlarut dalam plasma. Jumlah
gas terlarut dalam cairan tergantung dari kelarutan dan tekanan parsial gas tersebut. CO2 sangat
larut dalam air (20 kali lebih larut daripada O2) dan tekanan parsial CO2 inspirasi adalah sekitar
40 mmHg. Meskipun kelarutannya tinggi, namun hanya sebagian kecil dari total CO2 dalam
darah yang benar-benar diangkut sebagai senyawa terlarut dalam plasma (Geers et al., 2000;
Tekanan parsial lebih tinggi di jaringan perifer, di mana CO2 diproduksi, dan lebih
rendah di alveoli tempat CO2 dilepaskan. Hal ini menyebabkan lebih banyak CO2 yang terlarut
di jaringan perifer dan dilepaskan dalam bentuk gas di alveoli di mana tekanan parsial lebih
19
2.9 Efek Fisiologis CO2 pada Pembuluh Darah Perifer
CO2 merupakan hasil akhir dari metabolisme aerobik. Bila metabolisme meningkat,
maka jumlah CO2 yang dihasilkan juga akan meningkat. Metabolisme yang berlangsung aktif
dan terus-menerus memerlukan kecukupan supply oksigen dalam darah. Kecepatan aliran
darah bergantung pada kebutuhan metabolisme. Kadar CO2 yang tinggi menandakan
ketidakcukupan supply darah pada jaringan. Bila keadaan ini berlangsung terus menerus, maka
akan merangsang pembentukan pembuluh darah baru untuk memenuhi kecukupan aliran darah
pada jaringan. Sebagai contoh spesifik, stimulasi aktivitas metabolisme aerobik pada otot
skelet akan membentuk pembuluh darah baru. Beberapa penelitian mengatakan, peningkatan
kadar CO2 pada otot akan meningkatkan faktor-faktor biologis yang dapat merangsang
pembentukan sel otot dan pembuluh darah baru, sehingga pelepasan CO 2 pada metabolisme
menjadi sangat penting untuk pembentukan pembuluh darah dan jaringan baru yang sangat
diperlukan pada proses penyembuhan luka (Tune JD et al., 2002). Perlu dicatat bahwa
dengan mekanisme pembentukan pembuluh darah yang terjadi akibat kondisi iskemik (O 2
rendah) di mana metabolisme berlangsung secara anaerobik dan terbentuk pula asam laktat.
Dalam kondisi iskemik, pembuluh darah baru yang terbentuk dalam kondisi anaerobik
berbagai mediator inflamasi yang pada akhirnya menyebabkan fibrosis dan terbentuk jaringan
parut. Hal ini sangat berbeda dengan pembentukan pembuluh darah baru pada metabolisme
aerobik (pembentukan CO2) yang menstimulasi terbentuknya jaringan baru yang sehat
20
Gambar 7. Mekanisme perbaikan vaskular paska iskemik dan faktor pertumbuhan yang
darah (angiogenik) yang dapat terjadi setelah iskemik (oklusi arteri), yang tampak pada
setengah bagian bawah Gambar 7. Oklusi arteri akan menyebabkan terjadinya arteriogenesis
(pembentukan kolateral) yang diinduksi oleh perubahan arah aliran darah, peningkatan shear
stress dan produksi sitokin oleh sel endotelium pembuluh darah, yaitu vascular endothelial
growth factor (VEGF) dan nitrit oxide (NO) yang menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan
kolateral. Platelet-derived growth factor (PDGF) dan fibroblast growth factor (FGF) akan
menstabilkan dinding pembuluh darah yang baru dengan bantuan pericytes. Bagian distal dari
oklusi akan mengalami hipoksia (bagian bawah Gambar 7) kemudian mengeluarkan hypoxia
inducible factor (HIF) yang akan merangsang produksi protein angiogenik, seperti VEGF dan
angiopoetins (ANG) yang pada akhirnya akan memodulasi pembuluh darah distal agar
21
bantuan sel-sel progenitor endotelial yang bersirkulasi untuk memperbaiki struktur pembuluh
kecepatan aliran darah melalui vasodilatasi kapiler (Ito et al., 1989). CO2 yang dilepaskan
jaringan sebagai produk akhir metabolisme yang akan memasuki aliran darah dan diabsorbsi
oleh sel darah merah. Di dalam sel darah merah, sebagian akan berubah menjadi asam karbonat
dan berikatan dengan hemoglobin yang pada akhirnya akan menyebabkan pelepasan O 2 dari
hemoglobin. Dilepaskannya O2 karena CO2 dikenal sebagai efek Bohr (Sakai Y et al., 2011).
Kondisi lingkungan yang menguntungkan untuk pelepasan O2 adalah suhu tinggi, konsentrasi
CO2 yang tinggi, dan pH rendah atau lingkungan asam. Semua kondisi ini menyebabkan kurva
disosiasi O2, yang menunjukkan kemampuan pelepasan O2, bergeser ke kanan. Artinya,
hemoglobin melepaskan O2 lebih mudah dari biasanya, sehingga lebih banyak O2 yang masuk
ke dalam sel. Bila kadar O2 tinggi dalam sel, maka metabolisme sel diaktifkan sehingga
kemampuan regenerasi sel menjadi lebih tinggi. CO2 dapat dengan mudah mencapai pembuluh
darah melalui penyerapan kulit dan mudah larut dalam darah, sehingga hemoglobin
melepaskan lebih banyak O2. Semakin tinggi konsentrasi CO2, maka semakin kuat efeknya (Oe
K et al., 2011).
Beberapa studi juga menunjukkan bahwa CO2 dapat menstimulasi sel endotel
pembuluh darah untuk melepaskan NO yang dapat merelaksasi otot polos pembuluh darah
sehingga terjadi vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah pada jaringan (Carr P et al., 1993).
CO2 juga merupakan messenger pertama sel otot polos. CO2 membuat asidosis ekstraseluler
sehingga kanal kalium terbuka dan terjadi hiperpolarisasi. Keadaan ini juga mengaktivasi kanal
kalsium dan membuat kadar kalsium intrasel berkurang sehingga terjadi vasodilatasi (Hasyar
et al., 2020).
22
2.10 Peran CO2 pada Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Penyakit arteri perifer menyebabkan aliran darah berkurang sehingga terjadi hipoksia
jaringan. Rendahnya kadar O2 akan meningkatkan HIF yang menyebabkan translasi dari
protein yang berfungsi melindungi sel selama hipoksia, sehingga pada akhirnya terjadi
apoptosis (Gao L et al., 2012). Proses ini juga menyebabkan inflamasi (nyeri dan bengkak).
CO2 yang diberikan secara transkutan dapat meningkatkan aliran darah dan oksigenasi
jaringan, menurunkan konsentrasi HIF1alfa (Selfridge AC et al., 2016), dan secara langsung
menurunkan senyawa biologis utama yang mengontrol inflamasi, yaitu NFkB. Mekanisme
kerja ini serupa dengan obat anti-inflamasi, misalnya aspirin (Keogh CE et al., 2017).
Inflamasi merupakan suatu proses metabolik aktif di mana dihasilkan banyak sel
radang, enzim-enzim serta sitokin oleh jaringan yang meradang. Hal ini akan meningkatkan
kebutuhan O2. Hipoksia yang terjadi karena meningkatnya kebutuhan O2 akibat peradangan
akan diperburuk dengan adanya gangguan transpor O2. Keadaan ini terjadi terutama pada
peradangan kronis, di mana kombinasi antara inflamasi yang berkepanjangan akan membentuk
jaringan fibrosis dan trombosis yang pada akhirnya menurunkan aliran darah dan suplai O 2.
Oleh karena itu, peningkatan konsumsi O2 dan infiltrasi sel-sel imun pada daerah peradangan
disertai dengan disfungsi pembuluh darah yang mengganggu suplai O 2 akan merusak jaringan
CO2 merupakan molekul yang sangat kecil yang dapat berdifusi secara cepat sesuai
dengan gradien konsentrasi. CO2 dapat melewati kulit, jaringan lemak, dan otot untuk
dalam air (20 kali lebih larut dibandingkan O2). Bahkan kelarutan CO2 dalam jaringan lemak
dan otot dikatakan lebih tinggi lagi (Sutton I, 2015; Jakobsen M dan Bertelsen G, 2006).
23
Telah banyak bukti ilmiah yang mengatakan bahwa CO2 akan berdifusi melewati kulit
berdasarkan gradien konsentrasi. Setelah mencapai jaringan dan masuk mikrosirkulasi, secara
langsung CO2 menyebabkan vasodilatasi, membentuk pembuluh darah baru, dan membuat
darah melepaskan O2 untuk menyembuhkan jaringan yang rusak (Oe K et al., 2011).
Jaringan target untuk terapi CO2 adalah kulit, jaringan lunak, atau bahkan sendi. Gas
CO2 harus dapat menembus kulit dan berdifusi lebih jauh ke dalam jaringan yang diinginkan.
Difusi CO2 dalam otot adalah 14 kali lebih cepat daripada melalui kulit. Meskipun demikian,
difusi melalui kulit cukup adekuat untuk mendapatkan respons terapeutik pada jaringan yang
lebih dalam. CO2 sangat larut dalam jaringan lunak dan bergerak menuju konsentrasi yang
lebih rendah bersama dengan aliran darah yang mengalir dalam jaringan (Shaw et al., 1992).
jaringan, yaitu:
4. waktu/lamanya difusi
Variabel-variabel ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, anatomi, serta jenis dan derajat
keparahan penyakit, sehingga perhitungan konsentrasi yang tepat dalam jaringan hampir tidak
mungkin dilakukan. Yang dapat diketahui adalah CO2 dapat menembus kulit, kecepatan difusi
meningkat 2-4 kali lipat dalam kondisi basah (mendekati difusi dalam air), dan CO2 sangat
24
CO2 telah lama digunakan untuk pengobatan dalam spektrum aplikasi yang luas. Sejak
abad pertengahan, air asam dan gas yang memancar dari dalam tanah diakui secara efektif dapat
menyembuhkan penyakit St. Anthony`s Fire yang disebabkan oleh keracunan ergot dan sering
terjadi pada waktu itu (Hartmann et al. 2009). Di seluruh Eropa, mata air berkarbonasi telah
digunakan sebagai balneoterapi (natural bath spring) bagi pasien-pasien yang menderita
hipertensi atau penyakit oklusif perifer. Beberapa literatur juga menyebutkan manfaat CO2
sebagai terapi paliatif pada nyeri muskuloskeletal, intervensi terapeutik dan rehabilitasi
penyakit rematik, serta dapat membantu penyembuhan pada dermatopati infeksius. Pada tahun
1834-1856, Piderit dan Beneke adalah orang yang pertama kali menggambarkan efek utama
yang langsung didapatkan dari balneoterapi dengan menggunakan CO2 pada bagian tubuh yang
direndam, yaitu dapat memberikan sensasi kehangatan dan membuat kulit menjadi kemerahan
atau flushing (erythematosus/hyperemic reaction) (Schmidt, 2009). Sejak saat itu, sejumlah
penelitian berkembang, di mana sebagian besar berupa studi observasional, untuk menjelaskan
Sekitar tahun 1950-1960an, setelah melalui berbagai tahap uji klinis dan keamanan, gas
CO2 digunakan sebagai kontras pada sirkulasi vena untuk memberikan gambaran jantung
kanan dan mengevaluasi ada tidaknya efusi perikardial (Boyd-Kranis R et al., 1999). Pada
tahun 1970an, gas CO2 digunakan sebagai kontras intra-arterial. Dengan ditemukannya Digital
Subtraction Angiography (DSA) pada tahun 1980an, angiografi menggunakan kontras CO2
menjadi alat diagnosis yang sangat berguna, terutama bagi pasien yang hipersensitif terhadap
kontras Iodine dan memiliki gangguan fungsi ginjal (Hawkins IF, 1082). Selain digunakan
untuk pencitraan baik vena maupun arteri, CO2 juga digunakan pada intervensi vaskular,
seperti angioplasti dan pemasangan stent, embolisasi transkateter, dan endovascular aortic
25
sebaiknya dihindari pada arteri di atas diafragma karena dapat menyebabkan emboli gas pada
spinal, koroner, dan arteri serebral (Kyung J Cho et al, 2007; Taylor FC et al., 1998).
Savin, dkk melaporkan bahwa transfer CO2 melalui kulit memiliki efek vasomotor lokal
yang bermanfaat (Savin E et al., 1995). Hartmann, dkk mengatakan bahwa peningkatan kadar
O2 jaringan disebabkan oleh efek Bohr selain efek vasodilatasi oleh CO2 dan penurunan kadar
katekolamin plasma (Hartmann et al., 1997). Toriyama, dkk juga melaporkan bahwa efek air
yang diperkaya CO2 pada mikrosirkulasi subkutan menyebabkan vasodilatasi perifer yang
dihasilkan dari peningkatan aktivitas saraf parasimpatis dan penurunan saraf simpatis
(Toriyama T et al., 2002). Sedangkan penemuan pada sirkulasi koroner dan aorta menyebutkan
bahwa vasodilatasi yang terjadi sebagai respons terhadap CO2 dimediasi sebagian oleh NO
Berdasarkan hasil studi-studi yang telah dilakukan, CO2 sebagai terapi dapat digunakan
pada kasus-kasus penyakit pembuluh darah perifer, membantu penyembuhan luka, dan
regenerasi kulit. Terapi CO2 sebagian besar diberikan secara transkutan/topikal dalam bentuk
air rendaman yang mengandung CO2 konsentrasi tinggi (imersi). Selain itu, CO2 dapat pula
diberikan dalam bentuk hydrogel (Sakai Y et al., 2011). CO2 dalam bentuk gas sangat jarang
digunakan karena sulitnya mengontrol kadar gas yang diperlukan. Pemberian terapi gas CO 2
dalam bentuk inhalasi hanya untuk kepentingan penegakkan diagnosis dan penelitian semata
(Ito T, 1989).
Di Eropa, perendaman dengan air dan CO2 telah digunakan untuk mengobati hipertensi
dan penyakit oklusi arteri perifer (Nishimura et al., 2002). Bahkan, penggunaan CO2 dalam
dunia medis telah dibuktikan melalui teknik pencitraan pada hewan coba dan telah dibuktikan
26
bahwa CO2 aman dan dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Namun, teknik dan pemahaman
secara transkutan, dan secara signifikan diperoleh hasil bahwa CO 2 dapat meningkatkan aliran
darah, merangsang neovaskularisasi, dan meningkatkan oksigenasi jaringan, bahkan lebih baik
daripada oksigen itu sendiri. Perlu diketahui pula bahwa CO 2 memiliki sifat bakteriostatik
sehingga bakteri tidak akan bermultiplikasi pada lingkungan yang mengandung CO2. Hal ini
memungkinkan terapi CO2 dapat digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh
sirkulasi darah yang buruk (Xu Y et al., 2017), seperti pada penderita peripheral artery disease
(PAD), kaki diabetik dengan ulkus atau gangren disertai hilangnya jari-jari dan ekstremitas,
bahkan juga dapat mengurangi gejala yang disebabkan oleh penyakit Raynaud (Toriyama T et
al., 2002). Sebagian besar penelitian pada manusia menggunakan air yang mengandung CO 2
konsentrasi tinggi yang diberikan secara berkala dengan merendam bagian tubuh (ekstremitas
bawah dan atas) yang mengalami gangguan pada pembuluh darah perifer.
Terdapat 2 efek yang diperhatikan dan meninggalkan kesan bagi pasien yang direndam,
yaitu gelembung air yang tak terhitung jumlahnya di permukaan kulit dan warna kulit yang
memerah (bisa jelas dibedakan dari bagian tubuh yang tidak direndam dalam bak CO2).
Gelembung air tersebut adalah gelembung air berkarbonasi yang menempel pada kulit seperti
bulu halus, kadang disebut sebagai "sikat gas." Efek kedua adalah kemerahan pada kulit yang
dapat dilihat pada imersi air CO2 dengan konsentrasi 300-400 ppm. Hal ini dipengaruhi oleh
suhu air perendaman. Fenomena ini disebabkan oleh dilatasi arteriol prekapiler dan kapiler.
Selain itu, CO2 dapat menghambat reseptor dingin di kulit dan menstimulasi reseptor hangat.
Dengan kata lain, air tawar terasa dingin pada suhu 33°C, sedangkan dalam rendaman CO2
tidak terasa dingin pada suhu yang sama. Efek langsung dari rendaman CO2 juga dapat
27
Gambar 8. Gelembung CO2 pada lengan yang direndam dalam air CO2 (Schmidt KL, 2009)
Efek primer dari rendaman air CO2 terhadap kulit antara lain (Schmidt KL, 2009):
Aliran darah
Keadaan kulit
setara dengan 1,8-4,5 liter/jam) (=10% dari jumlah CO2 yang dihasilkan tubuh pada
Efek sekunder dari rendaman air CO2 antara lain (Schmidt KL, 2009):
1. Kulit menjadi kemerahan, tampak batas yang jelas dengan daerah iskemik (≥ 300-500
mg CO2/liter)
28
5. Menghambat reseptor dingin dan stimulasi reseptor hangat
6. Penurunan suhu inti tubuh sebanyak 0,5-1,0oC bila berendam pada suhu 32-33oC
7. Perubahan sirkulasi:
Bradikardia
Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan saat terapi imersi dengan
menggunakan air rendaman kaya CO2 ini karena dapat mempengaruhi hasil akhir. Faktor-
faktor tersebut antara lain: konsentrasi CO2, suhu, dan waktu (durasi dan frekuensi
Efek dari aplikasi CO2 sangat dipengaruhi oleh konsentrasinya. Kadar terendah CO2
untuk dapat menimbulkan efek terapeutik adalah 400 mg CO 2/kg air (= 400 ppm). Efek akan
meningkat secara linier hingga 1.400 mg CO2/kg air (= 1.400 ppm). Bila kadarnya lebih tinggi
Didukung dengan banyaknya penelitian yang telah membuktikan manfaat imersi air
dengan kandungan CO2 konsentrasi tinggi, khususnya bagi penderita penyakit pembuluh darah
perifer, maka banyak perusahaan terutama di negara Jepang dan Eropa berlomba-lomba untuk
membuat suatu alat yang dapat menghasilkan campuran air dengan CO 2 kadar tinggi yang
mudah digunakan untuk terapi sehari-hari. Saat ini, telah ditemukan alat yang dapat
menghasilkan air dengan kandungan CO2 kadar tinggi hingga 1.300 ppm, di mana sumber air
dengan konsentrasi lebih dari 1.000 ppm diklasifikasikan sebagai sumber air berkarbonasi
tinggi. Alat tersebut dibuat oleh salah satu perusahaan dari Jepang, dan telah digunakan pula
di Indonesia, khususnya di Makassar. Alat tersebut bernama Bicarbonated CREA (JesC, 2013).
29
Bicarbonated CREA diciptakan untuk mencampurkan dua senyawa yang berbeda
fisiknya, yaitu air dan gas. Alat ini memiliki membran komposit tiga lapis dengan serat
berongga. Membran tersebut terdiri dari film ultra tipis non-berpori dengan permeabilitas
selektif terhadap gas yang terletak di antara 2 lapisan. Lapisan tengah membran memungkinkan
gas seperti oksigen, nitrogen, dan karbon dioksida dapat melewatinya, namun tidak dapat
dilalui oleh air. Di dalam alat tersebut, pada saluran yang terpisah dialirkan air dengan suhu
tertentu. Saluran air tersebut dikelilingi oleh membran yang ketika menerima karbon dioksida
bertekanan tinggi, maka gas CO2 akan berdifusi melalui struktur molekul film tipis dari
membran tersebut dan larut ke dalam air menuju tekanan lebih rendah sehingga mengeluarkan
Gambar 9. Penggabungan air dan CO2 dalam Bicarbonated CREA (JesC, 2013)
Aktivitas CO2 juga menunjukkan respon terhadap efek termal (Nishimura et al., 2002).
Berdasarkan kesimpulan dari beberapa hasil studi mengatakan bahwa aplikasi imersi campuran
air dan CO2 pada suhu tertentu dapat meningkatkan aliran darah dan tekanan oksigen (PO2)
(Hartmann et al., 1997). Pada suhu 34oC didapatkan peningkatan absolut laju aliran darah
kutaneus 2 kali lipat lebih baik dibandingkan pada suhu 23oC. Sebaliknya, pada suhu 41oC efek
CO2 terhadap laju aliran darah kutaneus sangat kurang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
suhu tertentu dimana CO2 dapat memberikan efek yang besar pada laju aliran darah kutaneus.
30
Penyebab CO2 memberikan dampak yang besar pada suhu 34oC karena suhu tersebut sangat
dekat dengan suhu netral yang dapat membantu menyembuhkan luka dan ulkus kronik (Ito T
Gambar 10. Efek CO2 pada aliran darah kutaneus pada suhu perendaman yang berbeda (Ito
Peningkatan aliran darah kutaneus sangat penting karena merupakan kunci stimulus
vasodilatasi kutaneus memicu peningkatan shear stress di conduit artery dan meningkatkan
fungsi endothelial sebagai vasodilator (Ogoh et al., 2016). Hal ini tergambar pada grafik berikut
yang menjelaskan hubungan antara FMD (Flow Mediated Dilatation) dan SkBF (Skin Blood
Flow) dengan membandingkan antara imersi air biasa dan air CO2 serta sebelum dan selama
Gambar 11. Hubungan antara FMD (Flow Mediated Dilatation) dan SkBF (Skin Blood
31
2.13.3 Pengaruh Waktu (Durasi dan Frekuensi)
perifer (PAD, kaki diabetik, ulkus, gangen) pada air yang mengandung kadar tinggi CO 2
kurang dirasakan manfaatnya bila hanya diberikan satu kali perendaman. Efek permanen yang
diharapkan akan dicapai bila perendaman dilakukan secara berulang karena dibutuhkan waktu
untuk pembentukan pembuluh darah baru sehingga dapat memperbaiki suplai oksigen ke
Perendaman air CO2 dapat meningkatkan aliran darah mencapai 200-250% dari nilai
pra imersi. Kecepatan peningkatan aliran darah kutaneus terlihat paling besar selama 10 menit
pertama, setelah itu mulai berkurang. Hal ini sangat kontras dengan perendaman dalam air
murni yang menunjukkan tidak adanya peningkatan aliran darah kutaneus yang signifikan
seperti yang tampak pada gambar di bawah ini (Nishimura et al., 2002).
Gambar 12. Perbandingan laju aliran darah pada air biasa dengan air CO2 (JesC, 2013)
Berdasarkan pemaparan di atas mengenai efek perendaman air CO2, berikut ini adalah
contoh kaki penderita Arteriosclerosis Obliterans yang secara berkala menjalani intervensi
perendaman kaki dalam campuran air CO2 dan hasilnya memberikan perbaikan jaringan yang
32
Gambar 13. Contoh kasus efek perendaman terhadap pasien Arteriosclerosis Obliterans
(JesC, 2013)
Indikasi dari terapi CO2 antara lain: gangguan mikrosirkulasi kutaneus, hipertensi
arteriolar, insufisiensi vena, gagal jantung ringan-sedang (functional class I-II), nyeri
fibromuskular, dan pada keadaan dimana latihan otot tidak mungkin dilakukan atau tidak
Terapi CO2 menjadi kontraindikasi pada keadaan hiperkapnia, terutama bila dilakukan
perendaman pada seluruh tubuh, sedangkan hipotensi hingga saat ini masih diperdebatkan (Xu
Y et al., 2017).
Hewan coba banyak digunakan dalam studi eksperimental berbagai cabang ilmu
diaplikasikan langsung pada manusia karena alasan praktis dan etis. Pemakaian hewan coba
untuk penelitian klinis pada manusia telah memberikan kontribusi yang besar terhadap
pemahaman berbagai proses fisiologis dan patologis yang terjadi pada manusia (Badan
33
Tikus merupakan hewan rodensia yang banyak digunakan dalam penelitian. Tikus
sebagai “mouse model” sangat cocok digunakan untuk penelitian berbagai penyakit pada
manusia karena adanya kesamaan struktur DNA dan ekspresi gen, dimana 98% gen manusia
memiliki gen yang sebanding dengan gen tikus (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2008).
Tikus Wistar (Rattus norvegicus) atau yang dikenal sebagai Norway rat adalah salah
satu hewan coba yang sering digunakan pada penelitian biomedis karena memiliki gen yang
telah terkarakteristik dengan baik, galur yang bervariasi, serta tersedia dalam jumlah banyak.
Rattus norvegicus yang digunakan pada penelitian ini merupakan jenis albino yang tidak
memiliki pigmen melanin. Sifat tersebut diturunkan pada anak-anaknya (Barnett, 2002).
Menurut Boolation dan Stikes (1991), taksonomi dari tikus Wistar adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Divisi : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Model hewan coba yang digunakan untuk penelitian pre-klinis sangat diperlukan untuk
pengembangan terapi baru, penilaian intervensi medis, dan studi jalur molekuler yang terlibat
dalam perkembangan penyakit. Variasi desain penelitian dan perlakuan pada hewan coba dapat
meningkatkan keberhasilan aplikasi dari model hewan coba ke praktik klinis (Krishna et al.,
2016).
34
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk memahami patofisiologi dan terapi
alternatif pada penyakit pembuluh darah perifer, baik pada hewan coba maupun manusia. Akan
tetapi, hingga saat karya tulis ini disusun, belum ada penelitian yang dilakukan pada kondisi
ALI. Seperti telah disebutkan di atas, prognosis ALI adalah buruk, baik yang telah
mendapatkan terapi (farmakologis dan/atau intervensi) maupun tidak diterapi, sehingga perlu
dilakukan pendekatan terapeutik baru bagi pasien ALI untuk memperbaiki prognosis. Salah
satu terapi alternatif yang sering digunakan dalam studi eksperimental baik pada hewan coba
maupun manusia adalah CO2. Bila menggunakan subjek hewan coba, kondisi pembuluh darah
perifer dibuat iskemik dengan meligasi arteri femoralis tikus, atau lazim disebut dengan istilah
hind limb ischaemia. Metode hind limb ischaemia (HLI) ini ternyata memiliki banyak versi,
tidak ada keseragaman antara satu penelitian dengan penelitian yang lain.
Sebelum menjelaskan berbagai metode HLI, terlebih dahulu perlu diketahui anatomi
pembuluh darah tungkai tikus Wistar yang dapat dilihat pada Gambar 15 berikut ini:
Gambar 15. Anatomi pembuluh darah tungkai tikus Wistar (Niiyama et al., 2009)
35
Dari berbagai kepustakaan dan studi-studi eksperimental dengan menggunakan metode
HLI, tidak ditemukan adanya keseragaman dalam penerapannya. Berikut beberapa contoh
Gambar 16. Berbagai metode hind limb ischaemia yang dapat dilakukan. (i) ligasi AF
proksimal dan distal dengan benang silk, (ii) ligasi AF proksimal dan distal diikuti eksisi
segmen di antaranya, (iii) ligasi dan eksisi seluruh AF dengan cabang-cabangnya, (iv) ligasi
AF proksimal dan AS distal diikuti eksisi segmen di antaranya, (v) ligasi dan eksisi AF dan
VF (AF = arteri femoralis, AS = arteri saphena, VF = vena femoralis) (Krishna et al., 2016)
Derajat iskemik yang dihasilkan oleh masing-masing metode HLI adalah tidak sama.
Metode HLI pada (i) menghasilkan derajat iskemik paling rendah, sehingga cocok digunakan
sebagai model gangguan pembuluh darah arteri perifer seperti pada intermitten claudicatio dan
chronic limb threatening ischaemia. Derajat iskemik semakin meningkat dari (ii) hingga terjadi
auto-amputasi pada (v). Metode (iv) dianggap sebagai metode yang paling sesuai dengan
kondisi ALI (oklusi arteri total yang terjadi akut), di mana bagian proksimal dan distal arteri
femoral diikat mati, dan segmen di antaranya dieksisi untuk memastikan tidak ada aliran darah
Terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan induksi
iskemik dengan metode HLI, yaitu dengan menggunakan sistem skoring (Functional Scoring),
36
dan pemeriksaan histopatologi (PA = Patologi Anatomi). Seluruh parameter tersebut juga dapat
Sistem skoring yang paling sering digunakan untuk menilai derajat nekrosis pada
hewan coba setelah menjalani metode HLI adalah Functional Scoring yang meliputi Skor
Tarlov untuk menilai fungsi motorik dan Skor Iskemik yang digunakan untuk menilai luas serta
terdapat pada seluruh jaringan tubuh, kecuali tulang, dimana kadar tertinggi ditemukan pada
organ hepar dan otot skelet sehingga kadarnya akan meningkat bila terdapat kerusakan pada
organ-organ tersebut (Washington dan Goosier, 2012). Waktu paruh SGOT pada tikus Wistar
(Rattus norvegicus) ± 47 jam dalam sirkulasi, 87 jam dalam mitokondria dengan nilai normal
4-688 IU/L (Charles River Laboratories, 2016). Tikus memiliki kadar SGOT yang tinggi,
terutama bila mengalami nekrosis hepatoselular. Akan tetapi, kadar SGOT pada tikus dapat
37
meningkat lebih dari 2 kali lipat tanpa ditemukannya lesi histologis, sehingga SGOT pada tikus
dianggap sebagai indikator kerusakan jaringan yang sensitif namun kurang spesifik. Kadar
SGOT ini tidak dipengaruhi oleh usia maupun jenis kelamin tikus. SGOT merupakan senyawa
yang stabil, tidak berubah bila dibekukan, akan tetapi kadarnya dapat meningkat bila terjadi
hemolisis karena enzim ini juga terdapat dalam eritrosit (Kusmeirczyk et al., 2020).
LDH merupakan enzim yang mengkatalisis perubahan piruvat menjadi laktat dalam
proses glikolisis pada kondisi hipoksia/iskemik (Washington dan Goosier, 2012). LDH
memiliki 5 isoenzim yang akan meningkat kadarnya bila terjadi kerusakan sel. Pada tikus, LDH
paling banyak ditemukan dalam otot rangka dan otot jantung, diikuti oleh hepar, ginjal, dan
usus. Kadar LDH lebih tinggi pada tikus jantan dan meningkat seiring pertambahan usia, baik
pada tikus jantan maupun betina (Kusmeirczyk et al., 2020; Loeb dan Quimby, 1999). Kadar
normal LDH pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) adalah 575-725 IU/L, dan mencapai kadar
puncak dalam 48 jam post injury (Charles River Laboratories, 2016). Peningkatan kadar LDH
akibat injury pada otot skelet dan otot jantung akan diikuti pula dengan kenaikan kadar creatine
kinase (CK) dan SGOT. Kadar LDH akan meningkat bila terjadi hemolisis dan menurun bila
sampel darah dibekukan (Kusmeirczyk et al., 2020; Loeb dan Quimby, 1999).
terapi alternatif pada penyakit pembuluh darah arteri perifer mengatakan bahwa CO 2 dapat
memvisualisasikan sel endotelial tikus dengan baik sehingga memungkinkan untuk dilakukan
38
penghitungan jumlah vaskular/pembuluh darah tikus, dimana angiogenesis akan meningkatkan
Derajat nekrosis, edema jaringan, perdarahan, infiltrasi sel radang, dan struktur jaringan
dapat dinilai dengan sistem skoring melalui pemeriksaan histologi rutin dengan menggunakan
pewarnaan hematoxylin dan eosin (HE). Salah satu sistem skoring (kuantitatif) yang bisa
digunakan dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Skor 0 menandakan otot yang sehat,
39
BAB III
40
BAB IV
METODE PENELITIAN
Tempat melakukan ligasi kaki tikus dengan metode HLI, pengambilan dan pemeriksaan
spesimen darah (SGOT dan LDH) adalah di Laboratorium Biofarmasi Universitas Hasanuddin,
Populasi dalam penelitian ini adalah semua tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus)
jantan yang berusia sekitar 120 hari dengan rentang berat 180-250 gram, memiliki
Makassar.
perlakuan dengan menggunakan desain one-way Anova, dimana sample minimal menggunakan
DF = 10 dan sampel maksimal menggunakan DF = 20, sesuai rumus berikut ini (Arifin, 2017):
41
Sample minimal: Sampel maksimal:
n = DF/k + 1 n = DF/k + 1
n = 10/4 + 1 n = 20/4 + 1
n = 2,5 + 1 n=5+1
n = 3,5 ≈ 4 n=6
Keterangan:
kelompok perlakuan adalah 5, sehingga total tikus yang digunakan adalah 20 ekor.
Tikus galur Wistar jantan yang sakit selama proses penelitian berlangsung (tampak
gerak terbatas)
42
Usulan penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian
a. Replacement
secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab
pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh mahluk hidup lain seperti sel atau
biakan jaringan.
b. Reduction
c. Refinement
43
20 ekor tikus
Aklimatisasi 7 hari Wistar jantan
10 ekor 10 ekor
Rendam selama 7 hari
air biasa air CO2
Ligasi a. Ligasi a.
Ambil darah pra Femoralis Femoralis
Rendam kembali Ambil darah Ambil darah Ambil darah Ambil darah
selama 7 hari post + PA post + PA post + PA post + PA
4.8.1 Alat
Kandang hewan coba, tempat minum dan makan tikus, sekam, bisturi, hecting set, kaca
bicarbonated CREA (BC-2000), tabung berisi CO2, pemanas air (water heater), sumber
air mengalir (wastafel), stopwatch, baskom ukuran sedang, termometer air raksa, pH-
meter, handuk, kawat, tabung merah kecil, tabung vacutainer, spoit (1 cc, 3 cc),
4.8.2 Bahan
Ketamin HCl, eter, alkohol 70%, NaCl 0.9%, formalin 10%, salep neomycin sulphate
dan bacitracin (Nebacetin®), salep perontok bulu (Veet®), benang silk 3.0.
44
Gambar 17. Alat dan bahan penelitian
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor tikus putih jantan galur
Wistar (Rattus norvegicus) sehat berusia sekitar 120 hari dengan berat 180-250 gram.
1) Sebanyak 20 ekor tikus putih jantan galur Wistar (Rattus norvegicus) sehat yang
berusia sekitar 120 hari dengan berat 180-250 gram diaklimatisasi selama 7 hari di
dan minum normal serta pemberian sekam dan pembersihan kandang setiap hari
2) Secara acak, hewan coba dibagi menjadi 4 kelompok, dimana setiap kelompok terdiri
45
Kelompok 3: tungkai tikus direndam dalam air biasa dan dilakukan ligasi pada arteri
Kelompok 4: tungkai tikus direndam dalam air CO 2 kadar tinggi dan dilakukan
ligasi pada arteri femoralis tungkai kanan belakang dengan metode HLI
Untuk membuat rendaman air dengan kadar CO2 yang dianggap cukup untuk bisa
membuat CO2 berdifusi ke dalam pembuluh darah tikus, diperlukan sebuah alat bicarbonated
CREA, 1 buah tabung berisi CO2, sumber air (wastafel) yang terhubung dengan pemanas air
(water heater). Pemanas air digunakan untuk membuat air yang keluar dari sumber air
memiliki suhu 38oC untuk kemudian dihubungkan ke alat CREA menggunakan sebuah selang.
Begitu pula gas CO2 dalam tabung CO2 dihubungkan dengan sebuah selang ke alat CREA. Di
dalam alat CREA, dibentuklah air berkarbonasi dengan kadar CO2 tinggi (mencapai 1300 ppm)
sehingga dapat berdifusi ke dalam pembuluh darah. Air dengan kadar tinggi CO2 bersuhu 38oC
yang keluar dari alat CREA tersebut kemudian ditampung dalam sebuah baskom yang
digunakan sebagai tempat untuk merendam kaki tikus, baik kaki tikus yang diligasi arteri
46
Gambar 19. CREA, sumber air (wastafel), tabung CO2, dan pemanas air (water heater)
Prosedur ligasi arteri femoralis tikus dengan model HLI adalah sebagai berikut (Bitto
1. Tikus dianestesi menggunakan Ketamin HCl dosis 100 mg/kgBB melalui injeksi
intraperitoneal (IP).
2. Rambut di daerah inguinal dan tungkai belakang kanan tikus dibersihkan dengan krim
perontok rambut.
47
3. Aseptik dan antiseptik pada daerah arteri femoralis tungkai belakang kanan dengan alkohol
4. Insisi kurang lebih 2 cm di bawah ligamentum inguinal kanan, lalu dibuka lapis demi lapis
5. Pisahkan arteri femoralis dari vena dan nervus femoralis secara hati-hati.
Gambar 21. Arteri femoralis setelahh dipisahkan dari vena dan nervus
6. Ligasi bagian proksimal dan distal arteri femoralis dengan benang silk 3.0 hingga terjadi
Gambar 22. Ligasi arteri femoralis proksimal dan distal dengan benang silk 3.0
7. Eksisi pembuluh darah di antara kedua ikatan tersebut agar tidak ada aliran darah ke distal
8. Luka insisi kemudian dijahit lapis demi lapis dan tikus kembali pulih.
9. Oleskan salep antibiotik pada bekas luka jahitan dan tutup dengan kassa steril.
48
Gambar 23. Pemberian salep antibiotik pada luka bekas jahitan
10. Derajat nekrosis dinilai dengan functional scoring (Tabel 3). Skor Tarlov dan Skor
Iskemik yang diharapkan berkisar 2-4, dimana gangguan motorik dan jaringan nekrosis
1. Setelah 20 ekor tikus galur Wistar jantan (Rattus Norvegicus) sehat yang berusia sekitar
120 hari dengan berat 180-250 gram diaklimatisasi selama 7 hari dan secara acak dibagi
menjadi 4 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus, dilakukan
perendaman tungkai tikus dalam air biasa dengan suhu 38oC (kelompok 1 dan 3) dan air
CO2 kadar tinggi (kelompok 2 dan 4) dengan suhu 38oC dan pH 4.5-5.5 setiap hari selama
49
Gambar 25. Pengukuran suhu dan pH menggunakan termometer air raksa dan pHmeter
2. Tikus dimasukkan ke dalam kandang kawat berbentuk kotak dengan ukuran sedikit lebih
besar daripada ukuran badannya sehingga pergerakan tikus menjadi terbatas namun
keempat tungkainya dapat terjulur keluar di antara sela-sela kawat. Kemudian, tikus
direndam dalam air biasa atau air CO2 kadar tinggi setinggi perut sehingga seluruh
tungkainya terendam namun hidung serta kepala tikus tidak ikut terbenam.
Gambar 26. Perendaman tikus dalam air biasa dan air CO2 kadar tinggi
3. Setelah 7 hari perendaman, dilakukan pengambilan sampel darah melalui vena lateralis
pada ekor tikus untuk mengukur kadar LDH dan SGOT sebagai parameter awal.
50
Gambar 27. Pengambilan sampel darah melalui vena lateralis pada ekor tikus
4. Tikus kelompok 1 kemudian direndam kembali dalam air biasa, dan tikus kelompok 2
direndam dalam air CO2 kadar tinggi selama 7 hari, sehingga total lamanya perendaman
adalah 14 hari. Pada hari ke-14, dilakukan kembali pengambilan sampel darah melalui vena
lateralis pada ekor tikus untuk mengukur kadar LDH dan SGOT sebagai parameter akhir.
Kemudian, tikus dieutanasia dan dilakukan pemotongan tungkai kanan belakang setinggi
lutut lalu dimasukkan dalam wadah berisi formalin 10%. Sisa bangkai tikus dikubur.
5. Tikus kelompok 3 dan 4 diligasi arteri femoralis pada masing-masing tungkai kanan
belakangnya. Bekas luka jahitan diberi salep antibiotik dan ditutup dengan kassa steril.
Setelah 48 jam post ligasi, kembali dilakukan pengambilan sampel darah melalui vena
lateralis untuk mengukur kadar LDH dan SGOT. Kemudian dilakukan perendaman
kembali dalam air biasa (kelompok 3) dan air CO2 kadar tinggi selama 7 hari berikutnya.
Setelah 7 hari perendaman paska ligasi arteri femoralis, diambil kembali sampel darah
51
untuk mengukur kadar SGOT dan LDH, lalu tikus dieutanasia dan dilakukan pemotongan
tungkai kanan belakang setinggi lutut. Tungkai yang telah dipotong tersebut dimasukkan
dalam wadah berisi formalin 10%. Sisa bangkai tikus kemudian dikubur.
Gambar 29. Tungkai bawah tikus setelah dipotong kemudian direndam dalam formalin 10%
6. Kedua puluh tungkai kanan belakang tikus dalam formalin dari kelompok 1-4 tersebut
dan diberi 2 macam pewarnaan, yaitu hematoxylin eosin (HE) untuk penilaian jaringan otot
dengan sistem scoring (Tabel 4) dan pewarnaan imunohistokimia dengan antibodi CD31
Gambar 30. Preparat PA yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE dan CD31
52
Sebanyak ± 3 cc darah tikus yang telah diambil melalui vena lateralis, dimasukan ke
dalam tabung merah. Kemudian darah di-sentrifuge dengan alat EBA 21® sehingga terpisah
antara sel darah di bagian bawah dan serum di bagian atas. Sebanyak 100 µl serum darah
diambil lalu dicampur dengan 1000 µl reagen GOT (ASAT) IFCC mod. liquiUV® untuk
memeriksa kadar SGOT, sedangkan untuk pemeriksaan kadar LDH dibutuhkan campuran 20
µl serum dengan 1000 µl reagen LDH SCE mod. liquiUV®. Keduanya diinkubasi selama 1
menit pada suhu 37oC kemudian diukur kadarnya menggunakan alat Humalyzer 3500®. Nilai
Gambar 31. Alat sentrifuge dan pengukur kadar SGOT dan LDH
langkah-langkah berikut:
1. Deparafinisasi preparat yang telah kering dalam xylol sebanyak 2 kali (masing-masing
selama 5 menit).
2. Masukkan ke dalam alkohol 96% sebanyak 2 kali (masing-masing selama 5 menit). Lalu
53
3. Masukkan ke dalam larutan hematoxylin selama 5-10 menit. Lalu cuci dengan air mengalir
selama 10 menit.
4. Celupkan ke dalam larutan HCl 0.4% sebanyak 3 kali celup untuk dekolorisasi. Lalu cuci
5. Masukkan ke dalam larutan lithium carbonat selama 30 detik lalu cuci dengan air mengalir
selama 10 menit.
6. Masukkan ke dalam larutan eosin selama 1-2 menit, lalu cuci dengan air mengalir selama
10 menit.
7. Masukkan ke dalam larutan ethanol selama 15 detik sebanyak 3 kali dan selama 1 menit
sebanyak 2 kali.
10. Preparat dibaca di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali
menit dan direhidrasi masing-masing selama 5 menit berturut-turut dengan alkohol 96%,
3. Slide dimasukkan ke dalam larutan TRS, lalu dipanaskan dengan microwave selama 10
menit.
4. Setelah didinginkan, kemudian dicuci dengan PBS 2 kali, masing-masing selama 5 menit.
54
5. Lalu pinggir jaringan ditandai, selanjutnya dilakukan perokside block selama 15 menit.
6. Preparat dicuci kembali dengan PBS 2 kali, masing-masing selama 5 menit, kemudian
diberi protein block selama 5 menit, lalu dicuci lagi dengan PBS 2 kali, masing-masing
selama 5 menit.
7. Antibodi yang dipakai adalah antibodi CD31 dengan pengenceran 1/200 yang diinkubasi
8. Sediaan dicuci dengan PBS 2 kali, masing-masing selama 5 menit. Diberikan Ultratek anti-
polyvalent (ScyTek) selama 10 menit. Sediaan dicuci kembali dengan PBS 2 kali, masing-
9. Kemudian diberi Ultratek HRP (ScyTek) selama 10 menit, lalu dicuci kembali dengan PBS
10. Selanjutnya sediaan diinkubasi dengan chromogen diaminobenzidine (DAB) dan dicuci
dengan air mengalir selama 5 menit, lalu direndam dalam larutan hematoxylin selama 5
menit.
11. Sediaan dicuci kembali dengan air mengalir. Setelah itu dilakukan dehidrasi dengan
alkohol secara bertingkat (alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 96%) masing-masing selama
5 menit lalu dilakukan clearing ( xylol I, xylol II) masing-masing selama 5 menit.
12. Slide dikeringkan, kemudian diberi entelan, lalu ditutup dengan deck glass.
13. Dilakukan penghitungan jumlah vaskular di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali.
55
1. Tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus)
Definisi Operasional:
Tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) atau Norway rat adalah hewan coba yang
sering digunakan pada penelitian biomedis karena memiliki gen yang telah terkarakteristik
dengan baik, galur yang bervariasi, serta tersedia dalam jumlah banyak.
Kriteria Objektif:
Tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan yang berusia sekitar 120 hari dengan
rentang berat 180-250 gram, baik yang tidak dibuat ALI maupun dibuat ALI dengan
metode HLI, yaitu dengan ligasi kuat pada bagian proksimal dan distal arteri femoralis
tungkai kanan belakang. Untuk membuat suplai aliran darah benar-benar tidak mencapai
bagian distal tungkai, maka pembuluh darah di antara kedua ikatan tersebut dipotong.
Derajat nekrosis dinilai dengan functional scoring yang meliputi Skor Tarlov dan Skor
Iskemik (Tabel 3). Nekrosis diharapkan timbul dalam waktu 1-2 hari setelah ligasi dengan
2. Air Biasa
Definisi Operasional:
56
Air yang keluar dari sumber air (keran) yang telah dihubungkan dengan pemanas air (water
heater).
Kriteria Objektif:
Air yang keluar dari sumber air (keran) dengan suhu 38oC yang diatur dengan
menggunakan pemanas air (water heater). Air biasa digunakan untuk merendam tikus
kelompok 1 (tidak diligasi) dan tikus kelompok 3 (diligasi) masing-masing selama 10 menit
3. Air CO2
Definisi Operasional:
Air yang mengandung CO2 kadar tinggi yang dihasilkan oleh alat bicarbonated CREA.
Kriteria Objektif:
Air CO2 kadar tinggi yang dihasilkan oleh alat bicarbonated CREA dengan suhu air dari
sumber air adalah 38oC dan pH 4.5-5.5. Air CO2 digunakan untuk merendam tikus
kelompok 2 (tidak diligasi) dan tikus kelompok 4 (diligasi) masing-masing selama 10 menit
4. SGOT
Definisi Operasional:
terdapat pada seluruh jaringan tubuh, kecuali tulang, dimana kadar tertinggi ditemukan
pada organ hepar dan otot skelet sehingga kadarnya akan meningkat bila terdapat kerusakan
Kriteria Objektif:
57
Kadar SGOT normal pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) berkisar antara 4-688 IU/L
(Charles River Laboratories, 2016). Tikus kelompok 1 dan 2 yang tidak diligasi dilakukan
pengukuran kadar SGOT sebelum dan sesudah perendaman. Sedangkan pada kelompok 3
dan 4 yang diligasi, pengukuran kadar SGOT dilakukan 48 jam setelah ligasi dan 2 minggu
setelah perendaman.
5. LDH
Definisi Operasional:
LDH merupakan enzim yang mengkatalisis perubahan piruvat menjadi laktat dalam proses
Kriteria Objektif:
Kadar normal LDH pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) adalah 575-725 IU/L, dan
mencapai kadar puncak dalam 48 jam post injury (Charles River Laboratories, 2016). Tikus
kelompok 1 dan 2 yang tidak diligasi dilakukan pengukuran kadar LDH sebelum dan
sesudah perendaman. Sedangkan pada kelompok 3 dan 4 yang diligasi, pengukuran kadar
6. Jumlah Vaskularisasi
Definisi Operasional:
Jumlah total pembuluh darah yang dihitung pada jaringan tungkai tikus yang diperiksa
Kriteria Objektif:
dengan pemotongan tungkai kanan belakang tikus pada hari terakhir perlakuan dengan
memotong tungkai 1 cm di atas lutut, dibuang kulitnya, lalu tungkai dimasukkan dalam
wadah berisi formalin. Jaringan yang akan diambil dan dibuat preparat adalah otot
58
imunohistokimia dengan menggunakan antibodi CD31 yang spesifik untuk visualisasi dan
7. Skor Histologi
Definisi Operasional:
Kriteria Objektif:
Untuk menilai skor histologi, dilakukan pemeriksaan histopatologi yang dimulai dengan
pemotongan tungkai kanan belakang tikus pada hari terakhir perlakuan dengan memotong
tungkai 1 cm di atas lutut, dibuang kulitnya, lalu tungkai dimasukkan dalam wadah berisi
formalin. Jaringan yang akan diambil dan dibuat preparat adalah otot gastrocnemius.
hematoxylin dan eosin (HE) untuk menilai struktur jaringan dengan sistem skoring
59
1. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS® (Statistical Package
2. Hasil pengolahan dan analisa data dasar variabel numerik berdistribusi normal akan
disajikan dalam bentuk pengukuran mean ± standar deviasi (SD), sedangkan yang
berdistribusi tidak normal akan disajikan dalam bentuk median ± interquartil range
(IQR)
3. Hasil pengolahan dan analisa data dasar variabel kategorik akan disajikan dalam bentuk
persentase
5. Korelasi antara parameter kategorik dan jenis perlakuan akan dilakukan dengan
Spearman`s correlation
60
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Perubahan Kadar SGOT, LDH, dan Histopatologi Tikus yang Tidak
Diligasi (Kelompok 1 dan 2) pada Rendaman Air Biasa dan Air CO2 Kadar Tinggi
Tabel 5. Gambaran Perubahan Kadar SGOT, LDH, dan Histopatologi Tikus yang Tidak
Diligasi (Kelompok 1 dan 2) pada Rendaman Air Biasa dan Air CO2 Kadar Tinggi
PARAMETER MEAN±SD MIN MAX
Kadar SGOT Sebelum Perendaman 178±84 81 340
Kadar SGOT Setelah Perendaman 122±92 6 167
Perubahan Kadar SGOT 57±56 2 149
Kadar LDH Sebelum Perendaman 877±411 414 1504
Kadar LDH Setelah Perendaman 653±345 321 1195
Perubahan Kadar LDH 224±192 18 640
Jumlah Vaskularisasi 118±51 51 200
Tabel 5 menunjukkan gambaran hasil laboratorium dan histopatologi tikus yang tidak
diligasi (kelompok 1 dan 2). Seluruh parameter yang dideskripsikan pada tikus yang tidak
diligasi berdistribusi normal, sehingga tendensi sentral dan variasi dinyatakan dalam mean ±
standar deviasi. Secara umum, terjadi penurunan kadar SGOT dan LDH setelah dilakukan
perendaman. Rerata kadar SGOT sebelum perendaman adalah 178±84 IU/l dan setelah
perendaman 122±92 IU/l dengan rerata perubahan kadar SGOT 57±56 IU/l. Rerata kadar LDH
sebelum perendaman adalah 877±411 IU/l dan setelah perendaman 653±345 IU/l dengan rerata
perubahan kadar LDH 224±192 IU/l. Rerata jumlah vaskularisasi setelah dilakukan
61
5.2 Gambaran Perubahan Kadar SGOT, LDH, dan Histopatologi Tikus yang Diligasi
(Kelompok 3 dan 4) pada Rendaman Air Biasa dan Air CO2 Kadar Tinggi
Tabel 6. Gambaran Perubahan Kadar SGOT, LDH, dan Histopatologi Tikus yang Diligasi
(Kelompok 3 dan 4) pada Rendaman Air Biasa dan Air CO2 Kadar Tinggi
TENDENSI
PARAMETER SENTRAL MIN MAX
±VARIASI
Kadar SGOT Sebelum Perendaman 196±55 100 284
Kadar SGOT Setelah Perendaman 157±73 65 167
Perubahan Kadar SGOT 63±42 18 126
Kadar LDH Sebelum Perendaman 431±182 163 688
Kadar LDH Setelah Perendaman 359±148 156 657
Perubahan Kadar LDH 44±106 7 250
Jumlah Vaskularisasi 157±73 80 260
Skor Histologi 1.44±1.2 0 3
Tabel 6 menunjukkan deskripsi hasil laboratorium dan histopatologi tikus yang diligasi
(kelompok 3 dan 4). Dari uji normalitas, kadar SGOT sebelum perendaman, perubahan kadar
SGOT, kadar LDH sebelum perendaman, kadar LDH setelah perendaman, jumlah
vaskularisasi, dan skor histologi berdistribusi normal, sehingga tendensi sentral untuk
parameter tersebut dinyatakan dalam mean ± standar deviasi. Akan tetapi, uji normalitas pada
SGOT sesudah perendaman dan perubahan LDH berdistribusi tidak normal, sehingga tendensi
sentral dinyatakan dalam median ± interquartile range. Secara umum, terjadi penurunan kadar
SGOT dan LDH setelah perendaman pada kelompok tikus yang diligasi. Rerata jumlah
vaskularisasi pada kelompok tikus yang diligasi setelah dilakukan perendaman adalah 157±73
62
5.3 Analisis Pengaruh Air Biasa Versus Air CO2 Kadar Tinggi pada Tikus yang Tidak
Tabel 7. Analisis Pengaruh Air Biasa Versus Air CO2 Kadar Tinggi pada Tikus yang Tidak
Diligasi (Kelompok 1 dan 2)
PARAMETER AIR BIASA AIR CO2 KADAR TINGGI NILAI P
Perubahan SGOT 25±23 89±63 0.76
Perubahan LDH 125±76 322±230 0.131
Jumlah Vaskularisasi 92±36 144±54 0.109
Tabel 7 menunjukkan uji analitik pada tikus yang tidak diligasi. Terdapat perbedaan
rerata perubahan SGOT antara tikus yang direndam air biasa dengan air CO2. Pada tikus yang
direndam air biasa, rerata perubahan kadar SGOT adalah 25±23 IU/l, sedangkan pada tikus
yang direndam air CO2 adalah 89±63 IU/l, tetapi perbedaan ini tidak bermakna secara statistik
(nilai p=0.76). Terdapat perbedaan rerata perubahan LDH pada tikus yang direndam air biasa
dengan air CO2. Pada tikus yang direndam air biasa, rerata perubahan kadar LDH adalah
125±76 IU/l, sedangkan pada tikus yang direndam air CO2 rerata perubahan LDH adalah
322±230 IU/l, tetapi perbedaan ini juga tidak bermakna secara statistik (nilai p=0.131).
Terdapat pula perbedaan jumlah vaskularisasi antara tikus yang direndam air biasa dengan air
CO2. Akan tetapi, setelah dilakukan analisis statistik didapatkan hasil tidak bermakna (nilai
p=0.109).
SGOT, LDH, dan jumlah vaskularisasi pada tikus yang tidak diligasi antara yang direndam air
63
Gambar 32. Pewarnaan imunohistokimia dengan antibodi CD31 untuk menghitung jumlah
vaskularisasi tikus yang tidak diligasi pada rendaman air biasa (gambar kolom kiri) dan air
CO2 (gambar kolom kanan)
64
5.4 Analisis Pengaruh Air Biasa Versus Air CO2 Kadar Tinggi pada Tikus yang Diligasi
(Kelompok 3 dan 4)
Tabel 8. Analisis Pengaruh Air Biasa Versus Air CO2 Kadar Tinggi pada Tikus yang Diligasi
(Kelompok 3 dan 4)
PARAMETER AIR BIASA AIR CO2 KADAR TINGGI NILAI P
Perubahan SGOT 32±23 88±37 0.033
Perubahan LDH 26±13 110±102 0.142
Jumlah Vaskularisasi 97±22 205±62 0.013
Skor Histologi 2.5±0.6 0.6±0.9 0.022
Tabel 8 menunjukkan uji analitik pada tikus yang diligasi. Terdapat perbedaan
bermakna terhadap perubahan SGOT pada tikus yang diligasi antara yang direndam air biasa
dengan air CO2 (32±23 IU/l pada air biasa versus 88±37 IU/l pada air CO2, nilai p=0.033).
Pada tikus yang direndam air biasa, rerata jumlah vaskularisasi adalah 97±22, sedangkan pada
tikus yang direndam air CO2 adalah 205±62, dimana perbedaan ini bermakna secara statistik
(nilai p=0.013). Terdapat pula perbedaan bermakna pada skor histologi tikus yang diligasi
antara yang direndam dalam air biasa dengan air CO2 (2.5±0.6 pada air biasa versus 0.6±0.9
pada air CO2, dengan nilai p=0.022). Sedangkan perubahan kadar LDH pada tikus yang diligasi
antara yang direndam air biasa dengan yang direndam air CO 2 kadar tinggi tidak bermakna
jumlah vaskularisasi dan skor histologi pada tikus yang diligasi antara yang direndam air biasa
dengan yang direndam air CO2 kadar tinggi, namun tidak bermakna terhadap perubahan kadar
LDH. Analisis korelasi Spearman’s antara skor histologi dengan jenis air perendaman yang
digunakan menghasilkan nilai koefisien korelasi 0.810 yang menunjukkan bahwa terdapat
korelasi kuat antara jenis air dengan skor histologi, dengan nilai r 0.810.
65
Gambar 33. Pewarnaan imunohistokimia dengan antibodi CD31 untuk menghitung jumlah
vaskularisasi tikus yang diligasi pada rendaman air biasa (gambar kolom kiri) dan air CO 2
(gambar kolom kanan)
66
Gambar 34. Pewarnaan HE untuk menilai derajat kerusakan otot menggunakan skor
histologi pada tikus yang diligasi dalam rendaman air biasa (gambar kolom kiri) dan air CO2
(gambar kolom kanan)
67
BAB VI
PEMBAHASAN
penyakit vaskular di seluruh dunia disebabkan karena ALI (Purushottam et al., 2014).
Meskipun ALI memiliki prognosis yang buruk, akan tetapi hingga saat ini penelitian mengenai
ALI masih sangat sedikit, baik dengan menggunakan hewan coba maupun pada manusia.
Mayoritas penelitian yang dilakukan adalah pada PAD dan CLTI, sedangkan studi mengenai
ALI sendiri masih terpusat pada epidemiologi dengan data-data yang sangat terbatas, yaitu
berupa perkiraan insidensi berdasarkan registri rumah sakit, trial-trial intervensi, dan temuan
Meskipun telah banyak dicapai kemajuan dari segi pengobatan pada berbagai penyakit
vaskular, baik berupa intervensi bedah/non-bedah maupun medikamentosa, akan tetapi hingga
saat ini belum ada satupun terapi yang dianggap memuaskan (Dhalla dan Elimban, 2017).
Morbiditas dan mortalitas ALI masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan penyakit
vaskular lainnya. Oleh karena itu, sangat penting dikembangkan strategi baru untuk
mengurangi angka kematian serta meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penyakit
Telah banyak penelitian klinis dan eksperimental yang menunjukkan manfaat terapi
CO2 pada penyakit arteri perifer, yaitu dapat meningkatkan aliran darah pada bagian tubuh
yang mengalami iskemik (Ito et al., 1989; Hartmann et al., 1997, 2009; Nisihimura et al., 2002;
Toriyama et al., 2002; Schmidt, 2009; Oe et al., 2011; Sakai et al., 2011; Ogoh et al., 2016;
Dhalla et al., 2017; Xu et al., 2017). Akan tetapi, seluruh penelitian tersebut dilakukan pada
kondisi penyakit arteri perifer kronis (PAD dan CLTI), baik pada hewan coba dengan
menggunakan metode HLI untuk induksi iskemik, maupun pada manusia. Akan tetapi, masih
68
diperlukan penelitian yang lebih ekstensif lagi untuk memahami mekanisme CO2 dalam
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah peningkatan aliran darah pada
tungkai yang mengalami iskemik sebagai efek dari terapi CO2 ini berhubungan dengan proses
angiogenesis yang dapat pula membantu proses penyembuhan luka (manfaat kuratif).
Mengingat belum pernah ada penelitian terdahulu yang meneliti efek terapi CO 2 pada penyakit
arteri perifer akut (ALI), maka untuk pertama kalinya, pada penelitian ini digunakan hewan
coba tikus yang dibuat ALI dengan metode HLI. Di samping itu, penelitian ini juga ingin
mengetahui apakah ada manfaat dari terapi CO2 pada tungkai yang sehat (manfaat preventif).
Efek terapi CO2 tersebut diukur dengan menggunakan parameter perubahan kadar SGOT dan
LDH yang merupakan marker kerusakan otot dan jaringan, serta pemeriksaan histopatologi
untuk melihat proses angiogenesis yang dilihat dari jumlah vaskularisasi yang terbentuk dan
perubahan struktur jaringan secara mikroskopis yang dinilai dengan skor histologi setelah
dilakukan perendaman dengan air CO2 kadar tinggi. Air biasa digunakan sebagai kontrol pada
penelitian ini.
SGOT merupakan enzim transaminase yang banyak ditemukan dalam hepar dan otot
skelet, sehingga bila terjadi kerusakan pada organ-organ tersebut, kadarnya akan meningkat.
Pada keadaan normal, terjadi kesetimbangan antara proses kematian dengan regenerasi sel,
sehingga didapatkan rentang kadar SGOT normal (Washington dan Goosier, 2012). Sama
seperti SGOT, LDH juga dapat digunakan sebagai parameter kerusakan jaringan, terutama otot
skelet, dimana kadarnya akan meningkat bila terjadi kerusakan pada jaringan tersebut. LDH
merupakan senyawa protein yang normal ditemukan dalam jumlah kecil dalam tubuh. Pada
kelompok tikus yang tidak diligasi, setelah 2 minggu dilakukan perendaman dalam air biasa
(kelompok 1) dan dalam air CO2 kadar tinggi (kelompok 2), tidak didapatkan perbedaan yang
bermakna antara air biasa dengan CO2 terhadap perubahan kadar SGOT (p=0.76) dan LDH
69
(p=0.131). Hal ini dikarenakan tidak adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan
peningkatan kadar SGOT dan LDH. Brancaccio, dkk mengatakan bahwa individu tanpa
kondisi patologis jarang didapatkan kadar SGOT yang meningkat (Brancaccio et al., 2010).
Pada kelompok tikus yang tidak diligasi, jumlah vaskularisasi didapatkan lebih banyak
pada tikus yang direndam dalam air CO2 kadar tinggi dibandingkan dengan yang direndam
dalam air biasa, akan tetapi perbedaan jumlah vaskularisasi tersebut tidak bermakna secara
statistik (p=0.109). Hal ini menunjukkan bahwa angiogenesis yang terbentuk akibat
peningkatan aliran darah sebagai efek perendaman dalam air CO2 kadar tinggi tidak memiliki
manfaat pada kondisi non-patologis untuk mencegah terjadinya penyakit arteri perifer (tidak
Pada kelompok tikus yang diligasi (kelompok 3 dan 4), terjadi kerusakan jaringan,
khususnya otot skelet dan pembuluh darah, sehingga ditemukan kadar SGOT dan LDH yang
meningkat. Waktu paruh yang dimiliki baik SGOT maupun LDH adalah ± 48 jam, sehingga
pengambilan sampel darah tikus dilakukan pada 48 jam paska ligasi. Kadar SGOT menurun
secara signifikan (p=0.033) pada kelompok tikus yang diligasi yang direndam dalam air CO2
kadar tinggi. Hal ini menandakan bahwa rendaman air CO 2 kadar tinggi membantu proses
Perbedaan signifikan juga ditemukan pada jumlah vaskularisasi (p=0.013), dan skor
histologi (p=0.022) pada kelompok tikus yang diligasi, dimana kelompok tikus yang direndam
dalam air CO2 kadar tinggi memiliki jumlah vaskularisasi yang lebih banyak dan skor histologi
yang lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok tikus yang direndam dalam air biasa. Hal
ini membuktikan bahwa air rendaman yang mengandung CO2 kadar tinggi dapat meningkatkan
angiogenesis dan membantu proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan. Hasil
serupa didapatkan pula oleh Xu, dkk pada tahun 2017. Xu, dkk melakukan penelitian yang
hampir mirip dengan penelitian ini. Yang membedakan adalah tikus diligasi hanya pada bagian
70
proksimal arteri femoralis. Dua minggu setelah ligasi (setting kronis), tikus kemudian
direndam dalam air biasa (kontrol) versus air CO2 dengan suhu 37oC selama 20 menit setiap
hari (5 hari dalam seminggu) selama 4 minggu. Pada temuan histologis dengan pewarnaan HE
didapatkan angiogenesis yang lebih banyak pada grup yang direndam CO2, sedangkan pada
grup kontrol, tidak ditemukan angiogenesis yang bermakna. Angiogenesis yang diinduksi oleh
CO2 ini menyebabkan aliran darah meningkat, terjadi vasodilatasi, dan mengurangi stress
oksidatif yang pada akhirnya akan membantu proses penyembuhan pada penyakit arteri perifer
(Xu et al., 2017). Irie dkk mengatakan angiogenesis yang terbentuk pada ekstremitas yang
mengalami iskemik disebabkan oleh peningkatan kadar NO oleh air rendaman CO2 kadar
Senada dengan kelompok tikus yang tidak diligasi, perubahan kadar LDH pada
kelompok tikus yang diligasi juga didapatkan hasil yang tidak bermakna secara statistik
(p=0.142). Hal ini dapat terjadi karena kadar LDH sangat dipengaruhi oleh kondisi fisiologis,
psikologis, serta stress. Terdapat suatu penelitian yang dilakukan oleh Rahimiyan, dkk
mengenai efek kegaduhan terhadap kadar LDH pada tikus jantan. Dari hasil penelitian tersebut
didapatkan bahwa kegaduhan akan mengaktivasi sistem saraf simpatis dan endokrin,
memberikan efek negatif pada sekresi gaster, hipotalamus dan stimulasi kelenjar adrenal,
mensupresi respon imun dan sistem kardiovaskular, serta meningkatkan hormon stress
(katekolamin dan glukokortikoid) yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan kadar LDH
(Rahimiyan et al., 2014). Pada penelitian ini, ligasi arteri femoralis yang berdampak pada
kerusakan jaringan serta rasa sakit yang ditimbulkan akibat perlakuan tersebut secara otomatis
akan mengganggu kondisi fisiologis, psikologis, serta menimbulkan stress pada tikus yang
diligasi, sehingga didapatkan hasil yang tidak signifikan terhadap penurunan kadar LDH antara
tikus yang direndam air biasa dengan yang direndam air CO2 kadar tinggi.
71
BAB VII
7.1 Kesimpulan
Rendaman air CO2 kadar tinggi dapat membantu proses penyembuhan pada kondisi ALI,
Rendaman air CO2 kadar tinggi tidak memiliki efek pada ekstremitas yang sehat sehingga
tidak bermanfaat untuk mencegah penyakit arteri perifer, khususnya ALI (tidak bermanfaat
sebagai preventif).
Rendaman air CO2 kadar tinggi dapat dipertimbangkan sebagai terapi penyerta pada
kondisi ALI sehingga diharapkan kualitas hidup penderita ALI dapat ditingkatkan dan
7.2 Saran
Untuk membuktikan rendaman air CO2 kadar tinggi tidak memiliki manfaat preventif,
diperlukan waktu penelitian yang lebih lama dan jumlah sampel yang lebih banyak.
Perlu dilakukan penelitian mengenai efek rendaman air CO2 kadar tinggi pada manusia
72
DAFTAR PUSTAKA
1. Aboyans V, Ricco JB, Bartelink ML, et al. 2017 ESC Guidelines on the Diagnosis and
Treatment of Peripheral Arterial Diseases, in collaboration with the European Society for
Vascular Surgery (ESVS). European Heart Journal. 2017. 00:1–60 ESC GUIDELINES.
doi:10.1093/eurheartj/ehx095
2. Acar R.D., Sahin M., Kirma C. One of the most urgent vascular circumstances: Acute limb
4. Arifin, W. and W. Z. 2017. Sample Size Calculation in Animal Studies Using Resource
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. (BPPK). Hewan Coba. 2008;Pp 1–81.
7. Barnett S.A. 2002. The Story of Rats: Their Impact on Us, and Our Impact on Them. Allen
CO2 spa water and dry gas in Royal thermal spa. In: Advances n Vascular Pathology,
1989:1109-1113.
10. Berend K, de Vries AP, Gans RO. Physiological approach to assessment of acid-base
73
11. Bitto A, Polito F, Altavilla D, et al. 2008. Polydeoxyribonucleotide (PDRN) restores blood
Surgery. P:1295.
12. Boyd-Kranis R, Sullivan KL, Eschelman DJ, et al. Accuracy and safety of carbon dioxide
13. Brancaccio P, Lippi G, Maffulli N. Biochemical markers of muscular damage. Clin Chem
14. Brenes R.A, Jadlowiec C.C, Bear M, et al. Toward a mouse model of hind limb ischemia
15. Carr P, Graves JE, Poston L. Carbon dioxide induced vasorelaxation in rat mesenteric
16. Charles River Laboratories: Baseline Hematology and Clinical Chemistry Values for
Charles River Fischer344 Rats‐CDF® (F344)CrIBR as a Function of Sex and Age. 1984.
http://www.criver.com/files/pdfs/rms/f344/rm_td_baselinehematologyf344ratw.asp
17. Chavez L. O., Leon M, Einav S., et al. Beyond muscle destruction: a systematic review of
rhabdomyolysis for clinical practice. Critical Care. 2016; 20:135. doi: 10.1186/s13054-
016-1314-5.
18. Cherniack, Neil S., and G. S. Longobardo. Oxygen and carbon dioxide gas stores of the
19. Cho, K. J. Carbon Dioxide Angiography : Scientific Principles and Practice. 2015;31(3).
20. Creager, M.A, Kaufman, J.A., Conte, M.S. Clinical practice. Acute Limb Ischemia. N. Engl.
74
21. Dhalla, N.S. dan Elimban, V. CO2 water bath therapy promotes blood flow and
doi: 10.1161/circulationaha.115.016424.
23. Flück K and Fandrey J. Oxygen sensing in intestinal mucosal inflammation. Pflugers Arch
24. Forster, R. E., and N. Itada. Carbonic anhydrase activity in intact red cells as measured by
means of 18O exchange between CO2 and water. Biophysics and Physiology of Carbon
25. Fukuda I., Chiyoya M., Taniquchi, S., et al. Acute limb ischemia: Contemporary approach.
26. Gao L, Chen Q, Zhou X, et al. The role of hypoxia-inducible factor 1 in atherosclerosis.
27. Geers, Cornelia, and Gerolf Gros. Carbon dioxide transport and carbonic anhydrase in
28. Goldstein J. A., Mishkel G. Choosing the correct therapeutic option for acute limb
29. Hartmann B, Pittler M, Drews B. 2009. CO2 Balneotherapy for arterial occlusion diseases:
30. Hartmann BR, Bassenge E, Pittler M. Effect of carbon dioxide-enriched water and fresh
water on the cutaneous microcirculation and oxygen tension in the skin of the foot.
75
31. Hasyar, ARB, Muchlis, NY, Dwitama Y, et al. Direct Effects of Carbon Dioxide-rich Water
Bathing on Peripheral Blood Flow. Mal J Med Health Sci 16(SUPP14): 23-28, Dec 2020.
32. Hawkins IF. Carbon dioxide digital subtraction arteriography. AJR Am J Roentgenol. Jul
1982. 139(1):19-24.
33. Hess C. N, Huang Z, Patel M. R, et al. Acute Limb Ischemia in Peripheral Artery Disease:
10.1161/circulationaha.119.039773
35. Howard Dominic P.J, Banerjee A, Fairhead Jack F, et al. Population-Based Study of
Incidence, Risk Factors, Outcome, and Prognosis of Ischemic Peripheral Arterial Events
37. Hudlicka O, Wright AJ, Ziada AM. Angiogenesis in the heart and skeletal muscle. Can J
38. Irie H, Tatsumi T, Takamiya M, Zen K, et al. Carbon Dioxide-Rich Water Bathing
39. Ito T, Moore JI, Koss MC. Topical application of CO2 increases skin blood flow. J Invest
40. Jakobsen M, Bertelsen G. Solubility of carbon dioxide in fat and muscle tissue. Journal of
41. Jensen FB. Red blood cell pH, the Bohr effect, and other oxygenation-linked phenomena in
76
43. Keogh CE, Scholz CC, Rodriguez J, et al. Carbon dioxide-dependent regulation of NF-
kappaB family members RelB and p100 gives molecular insight into CO2-dependent
44. Kihara, T. et al. 2002. Repeated Sauna Treatment Improves Vascular Endothelial and
Cardiac Function in Patients With Chronic Heart Failure. Journal of the American College
1097(01)01824-1.
45. Krishna S. M, Omer S. M, and Golledge J. 2016. Evaluation of the clinical relevance and
4811, Australia.
better simulate human peripheral artery disease. Scientific Reports. 2020; 10:3449
https://doi.org/10.1038/s41598-020-60352-4
47. Kusmeirczyk J, Kling M, Kier A. B, et al. Rats and mice: Exotic Animal Laboratory
Diagnosis, First Edition. Ed. Heatley J dan Russell K. E. John Wiley & Sons, Inc: 2020.
48. Kyung J. Cho, Irvin F, Hawkins. Carbon dioxide angiography. Informa healthcare; 2007.
49. Loeb, W.F dan Quimby, F.W. The Clinical Chemistry of Laboratory Animals, 2e, 1–49.
50. Loerting, Thomas, and Juergen Bernard. Aqueous carbonic acid (H2CO3). ChemPhysChem
51. Naylor, L. H., H. Carter, M. G. FitzSimons, et al. 2011. Repeated increases in blood flow,
77
52. Niiyama H, Huang N. F, Rollins M. D, et al. Murine Model of Hindlimb Ischemia. Journal
53. Nishimura, N., J. Sugenoya, T. Matsumoto, et al. 2002. Effects of repeated carbon dioxide-
rich water bathing on core temperature, cutaneous blood flow and thermal sensation. Eur.
54. Norgren, L, Hiatt, W.R, Dormandy, J.A, et al. Inter-society consensus for the management
of peripheral arterial disease (TASC II). J. Vasc. Surg. 2007, 45, S5–S67.
55. Obara H, Matsubara K, Kitagawa Y. Acute Limb Ischaemia. Ann Vasc Dis Vol. 11, No. 4;
56. Oe K, Ueha T, Sakai Y, et al. The effect of transcutaneous application of carbon dioxide
407(1):148-152.
57. Ogoh, S. et al. 2016. Acute vascular effects of carbonated warm water lower leg immersion
58. Olinic DM, Stanek A, Tataru DA, et al. Acute Limb Ischemia: An Update on Diagnosis and
59. Purushottam B, Gujja K, Zalewski A, et al. Acute limb ischemia. Intervent Cardiol Clin 3
60. Rahimiyan E, Ahmadi R, dan Gohari A. The Effects of Traffic Noise on Serum Levels of
LDH in Male Rats. International Conference on Earth, Environment and Life sciences
61. Ram BL, George RK. Nontraumatic Acute Limb Ischemia – Presentation, Evaluation, and
October-December 2017.
62. Rittner D, Bailey RA. 2005. Encyclopedia of Chemistry. Facts on File: AS.
78
63. Rutherford RB, Baker JD, Ernst C, et al. Recommended standards for reports dealing with
lower extremity ischemia: revised version. J Vasc Surg 1997;26:517-38. Erratum, J Vasc
Surg 2001;33:805.
64. Sakai Y, Miwa M, Oe K, et al. A novel system for transcutaneous application of carbon
dioxide causing an "artificial bohr effect" in the human body. PloS one. 2011. 6(9):e24137.
65. Savin E, Balliart O, Bonnin P, et al. Vasomotor effects of transcutaneous CO2 in stage II
66. Schmidt KL. Carbon dioxide bath (Carbon dioxide spring). Center for Clinical Research
67. Selfridge AC, Cavadas MAS, Scholz CC, et al. Hypercapnia Suppresses the HIF-
11800-11808, 2016.
68. Shaw LA, Messer AC, Weiss S. Cutaneous respiration in manned : I. factors affecting the
rate of carbon dioxide elimination and oxygen absorption. American Journal of Physiology
69. Simon F, Oberhuber A, Floros N, et al. Acute Limb Ischemia—Much More Than Just a
70. Sobieszczyk PS. Acute arterial occlusion. In: Creager MA, Beckman JA, Loscalzo J,
71. Sutton I. Solubility of O2, N2, H2 and CO2 in water. In: Process risk and reliability
72. Taylor FC, Smith DC, Watkins GE, et al. Cardiovasc and Intervent Radiol. 1998. 22:150-
151.
79
73. Toriyama T, Kumada Y, Matsubara T, et al. Effect of artificial carbon dioxide foot bathing
on critical limb ischemia (Fontaine IV) in peripheral arterial disease patients. International
74. Tune JD, Richmond KN, Gorman MW, et al. Control of coronary blood flow during
75. Wang, H. et al. 2016. Stable solid and aqueous H2CO3 from CO2 and H2O at high pressure
and high temperature. Nature Publishing Group. January. pp. 2–9. doi: 10.1038/srep19902.
76. Washington I. M dan Goosier G. Clinical Biochemistry and Hematology. Dalam: The
Laboratory Rabbit, Guinea Pig, Hamster, and Other Rodents. Elsevier. 2012. P:63.
77. Xu Y, Elimban V dan Dhalla NS. Carbon Dioxide Water-bath Treatment Augments
Pharmacol. 2017.
80
LAMPIRAN
81
Lampiran 2. Dokumentasi
82