Alowysius Belawa Kelen 13.75.5263
Alowysius Belawa Kelen 13.75.5263
Alowysius Belawa Kelen 13.75.5263
SKRIPSI
Oleh:
ALOWYSIUS BELAWA KELLEN
NPM: 13.75.5263
In this thesis, the author takes the theme of Anonymous Christians which
was initiated by Karl Rahner. Karl Rahner’s ideas about Anonymous Christians
are assumed to be used to bridge various conflicts in the name of religion that
often occur in Indonesia. The author hopes that by correctly understanding the
concept of Anonymous Christians, Christians in Indonesia can position
themselves better in dealing with people from other religion.
In the Anonymous Christians concept, Rahner argues that all religions are
means to salvation. Salvation is not a Christian monopoly. People of other faiths
are always open to salvation, because basically God wants all humans to be saved.
Rahner’s view provides a kind of warning for Christians, especially Christians in
Indonesia who live in the context of religious pluralism, not to judge other
religions as false beliefs and do not have salvation. Although it is not as perfect as
it is in the Church, but because of the universal gift of God, salvation in Christ
also exists in Anonymous Christians even though it does not use the name of
Christ (Anonymous Christ).
iv
ABSTRAKSI
v
vi
KATA PENGANTAR
Karl Rahner, seorang teolog asal Jerman menawarkan suatu jalan menuju
keselamatan universal. Ia memberikan beberapa catatan penting yang sempat
membuka dialog bagi para teolog-teolog lain. Bagi Rahner, setiap manusia secara
kodratnya dapat diselamatkan. Penyelamatan mengandaikan penciptaan dan itu
berarti penyelamatan menyempurnakan penciptaan. Karya penyelamatan
membawa pengandaian bahwa manusia diselamatkan dengan jalan disapa,
ditawari melalui agama-agama yang hadir dan keselamatan itu dapat terjadi
melalui Kristus. Kristus hadir bukan semata-mata hanya menyelamatkan orang
vii
Kristen melainkan semua orang tanpa memandang agama yang mereka anut. Karl
Rahner menyebutnya sebagai Kristen Anonim atau Kristen tanpa nama.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan pernah terselesaikan tanpa
bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan limpah terima
kasih kepada semua pihak yang telah berusaha dengan caranya masing-masing.
Pertama, terima kasih dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena atas
anugerah dan berkat bimbingan-Nya penulis bisa merampungkan karya ilmiah ini.
Kedua, kepada STFK Ledalero yang telah mengajar dan membekali penulis
dengan begitu banyak pengetahuan dan keterampilan. Terima kasih kepada Pater
Dr. Georg Kirchberger, SVD yang telah membimbing penulis dengan berbagai
saran, kritik, dan motivasi sehingga karya ini bisa diselesaikan dan sekaligus
menjadi dosen penguji I. Terima kasih pula kepada Pater Sefrianus Juhani, S.Fil.,
Lic., SVD yang telah bersedia menjadi dosen penguji II, dan Pater Dr. Alfons
Betan yang bersedia menjadi penanggung jawab skripsi ini.
viii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis dengan rendah hati menerima segala koreksi, usul, saran dan
kritik demi menyempurnakan skripsi ini.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
x
2.5.1 Pengalaman akan Allah ............................................................................. 26
2.5.2 Rahmat ...................................................................................................... 31
2.5.3 Kristologi ................................................................................................... 34
2.5.4 Soteriologi ................................................................................................. 36
xi
BAB I
PENDAHULUAN
Secara historis, agama merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling
efektif bagi eksistensi keyakinan seseorang atau kelompok tertentu. Indonesia
memang bukan merupakan negara agama, melainkan satu bangsa yang unik
dengan adanya pluralitas agama. Apabila terdapat pihak-pihak tertentu yang
mencoba mendorong terciptanya pertentangan antara agama-agama, bangsa
Indonesia akan mudah tercabik-cabik, dan ini merupakan pemicu terjadinya
1
Hans Küng, Global Responsibility: In Search Of a New World Ethics (New York:
Crossroad, 1991), hlm. 15.
konflik. Argumen ini sebenarnya sudah menunjukkan suatu paham bahwa
sesungguhnya pluralitas agama merupakan suatu topik yang kompleks dan perlu
dicermati secara mendalam. Bukan karena setiap orang meyakini bahwa agama
yang diyakininyalah yang paling benar melainkan setiap manusia harus dengan
jeli dan terbuka untuk saling menerima. Bahwasanya, setiap keyakinan yang hadir
di dunia akan selalu membawa kenyataan hidup yang baik, dan melalui sikap
hidup yang baik seperti yang diajarkan oleh agamanya, manusia mendapatkan
kedamaian bahkan sampai pada keselamatan.
2
satu pihak dan umat Kristen di pihak lain. Dampak dari kejadian tersebut ialah
banyak banyak korban yang berjatuhan dan terjadi pengrusakan rumah-rumah
ibadah.2 Contoh lain, yaitu masalah mengenai terorisme di Indonesia yang sempat
menjadi perhatian serius bagi dunia. Banyak pihak mengklaim bahwa terorisme di
Indonesia dipelopori oleh kaum radikalis Islam. Peristiwa Bali Blast, misalnya,
yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 merupakan contoh nyata bagaimana
beroperasinya kriminalitas bertopeng agama. Di sisi lain, kerusuhan yang
mengatasnamakan agama di Indonesia juga kerap terjadi karena adanya
kecemburuan secara ekonomi, yang kemudian dipadukan dengan masalah politik
dan agama.3
2
Bernardus Raho, “Konflik di Indonesia: Problematika dan Pemecahannya, Ditinjau dari
Perspektif Sosiologis”, dalam Guido Tisera (ed.), Mengolah Konflik Mengupayakan Perdamaian
(Maumere: Penerbit LPBAJ, 2002), hlm. 122-125.
3
Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju
Kebangsaan, Cet. ke-5, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009), hlm. 91.
3
menandakan adanya keberagaman tetapi lebih dari itu, yakni perlu dan pentingnya
mengakui serta menghargai kebenaran iman yang terdapat di dalam agama lain.4
4
Muhamad Wahyuni Nafis, “Konflik Agama atau Politik”, dalam Nur Achmad (ed.),
Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia, 2001),
hlm. 84-85.
5
Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu: Pluralisme Agama (Malang: Penerbit Gandum
Mas, 2004), hlm. 15.
4
beragama umat Kristen. Dengan pendekatan filosofisnya, Rahner berusaha
merumuskan pemikiran-pemikirannya hingga sampai pada kesimpulan tentang
Kristen Anonim. Untuk itu, pertama-tama akan ditelaah terlebih dahulu unsur-
unsur dasar yang termuat di dalam gagasan Kristen Anonim tersebut, selanjutnya
bagaimana gagasan itu dapat diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan beragama
umat Kristen di Indonesia. Kiranya dengan itu, dialog antara orang-orang Kristen
dengan umat beragama lain dapat turut dijembatani, sehingga kekristenan itu
sendiri dapat diperkaya melalui interaksi dengan kebenaran-kebenaran yang
terdapat di dalam agama lain. Karena itu, penulis memberi judul skripsi ini:
PEMIKIRAN KARL RAHNER MENGENAI KRISTEN ANONIM DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PRAKSIS HIDUP UMAT KRISTEN
DALAM KONTEKS PLURALISME DI INDONESIA
Ada dua tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini, yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum, skripsi ini dibuat sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero.
5
karyanya, secara khusus padangan Karl Rahner tentang Kristen Anonim. Kedua,
mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan penghayatan pluralisme
dalam konteks kehidupan beragama umat Kristen di Indonesia, baik dalam ranah
sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Ketiga, memahami implikasi gagasan
Karl Rahner tentang Kristen Anonim berkaitan dengan fakta pluralisme di
Indonesia, secara khusus bagaimana relevansi gagasan Kristen Anonim untuk
praksis kehidupan beragama umat Kristen di Indonesia.
6
Sementara itu, untuk mengukur keabsahan atau validasi data kajian ini, dilakukan
dengan cara triangulasi yaitu triangulasi sumber data. Di situ, peneliti berusaha
menelusuri keabsahan data dengan mengecek sumber yang berbeda.
Selanjutnya dalam bab IV yang merupakan bagian inti dari skripsi ini,
penulis membahas hal-hal yang berkaitan dengan pluralisme agama di Indonesia,
dengan memadukan konsep Kristen Anonim dan praksis kehidupan beragama
umat Kristen di Indonesia berhadapan dengan fakta pluralisme di Indonesia.
Penulis juga akan membeberkan relevansi atau implikasi pemikiran Karl Rahner
tentang Kristen Anonim tersebut dalam hubungannya dengan praksis hidup umat
Kristen Indonesia berhadapan dengan fakta pluralisme agama di Indonesia.
7
BAB II
MENGENAL KARL RAHNER DAN KARYANYA
2.1 Biografi
Karl Rahner lahir pada tanggal 5 Maret 1904 di Freiburg, Breisgau, sebuah
kota yang terletak di bagian barat daya Jerman. Rahner adalah anak keempat dari
tujuh orang bersaudara. Bersama keenam orang saudaranya itu, ia dididik di
dalam sebuah keluarga Katolik Bavaria yang sederhana dan religius, yaitu
keluarga Karl dan Luise (Trescher) Rahner. Ayahnya adalah seorang guru
Gymnasium (setara dengan sekolah menengah). Sedangkan ibunya adalah seorang
ibu rumah tangga yang saleh. Kesalehan yang dimiliki ibunya, yang dipadukan
dengan pembawaan ayahnya yang tenang dan sangat disiplin, membuat suasana di
rumah Rahner menjadi tampak harmonis.
6
Roger Haight, Teologi Rahmat dari Masa ke Masa, penerj. Martin Warus dan George
Kirchberger (Ende: Penerbit Nusa Indah, 2007), hlm. 127.
8
Pada tahun 1910-1913, Karl Rahner menempuh pendidikan sekolah dasar
di Freiburg. Sesudah menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah dasar,
Rahner melanjutkan pendidikannya di sekolah menengah di tempat yang sama.
Pendidikan yang ditempuh Rahner selama masa sekolah dasar maupun sekolah
menengah menjadikannya tampak sebagai seorang yang berjiwa toleran dan
berpikir liberal. Pada usia 18 tahun, Rahner memutuskan untuk mengikuti jejak
kakaknya, Hugo Rahner, untuk menjadi seorang biarawan Serikat Yesuit (Society
of Jesus), tepatnya pada tanggal 20 April 1922.7 Karl Rahner memilih hidup
menjadi biarawan karena termotivasi oleh spiritualitas St. Ignatius Loyola. Karena
itu, dalam tahap-tahap perkembangan pemikiran teologisnya, tampak bahwa ia itu
turut dipengaruhi juga oleh spiritualitas dan pemikiran Ignatius, khususnya dalam
konteks “menemukan Tuhan dalam segala hal”. Rahner kemudian menjadi
seorang Yesuit sepanjang hidupnya.8
7
Herbert Vorgrimler, Karl Rahner: His Life, Thought, and Works, penerj. Edward Quinn,
(London: Deus Books Paulist Press, 1966), hlm. 18.
8
“Menemukan Tuhan dalam segala hal” merupakan hasil refleksi St. Ignatius Loyola,
yang diperolehnya melalui Latihan Rohani (Spiritual Exercise). Refleksi ini kemudian dikemas
oleh Anthony de Mello (seorang Pastor Yesuit, hidup pada tahun 1931-1987) dalam bentuk sebuah
buku yang berjudul: Mencari Tuhan dalam Segala. Di dalam buku tersebut, de Mello
mengungkapkan bahwa Latihan Rohani St. Ignatius Loyola yang telah dipelajarinya secara pribadi
menjadi acuan baginya untuk membimbing orang lain, dan mengajar orang untuk menjadi
pembimbing Latihan Rohani. Semuanya itu adalah inti dari praksis “jalan menuju Tuhan”, yang
sekaligus merupakan kekhasan bagi seorang Yesuit. Anthony de Mello, Mencari Tuhan dalam
Segala, penerj. Antonius Puspo Kuntjoro dan Karel Wilhelmus D., (Jakarta: Gramedia, 2013),
hlm. ix.
9
pemikiran kedua orang ini kemudian turut memengaruhi pemahaman Rahner atas
pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas.9
9
David F. Ford, The Modern Theologians Volume 1 (Oxford: Blackwell, 1993), hlm. 183.
10
Herbert Vorgrimler, op. cit., hlm. 19-20.
11
Ibid.
10
Rahner yang pertama sekaligus sebagai dasar filosofis bagi metode teologi Karl
Rahner ke depannya.12
11
yang dianjurkan oleh Rahner dan dieditnya bersama Heinrich Schlier mulai tahun
1958.15
15
Horst G. Poehlmann, Pembaharuan Bersumberkan Tradisi. Potret 6 Teolog Besar
Katolik Abad Ini (Ende: Nusa Indah, 1998), hlm. 83.
16
Ibid., hlm. 202.
17
Karl Rahner (Online), www.answers.com/topic/karl-rahner, diakses pada 28 Februari
2017.
18
Herbert Vorgrimler, op. cit., hlm. 51.
12
Selain itu, Rahner tidak hanya bergelut dalam ranah Konsili. Ia juga
menerima tawaran untuk menjadi dosen di Universitas München untuk mengajar
mata kuliah “Pandangan Kristen tentang Dunia”. Dia mengajar selama tiga tahun
(1964-1967), dan pada tahun 1967 ia menerima tawaran dari Universitas
München untuk menjadi profesor dogmatik. Pada tahun 1971, Karl Rahner
pensiun dari mengajar. Ia pindah ke Innsbruck dan tinggal di sana selama 13
tahun sebagai seorang penulis aktif dan terlibat aktif dalam mengikuti beberapa
kegiatan pelayanan pastoral. Selama tinggal di Innsbruck, ia juga mengumpulkan
materi-materi kuliahnya selama mengajar di Universitas München, dan diterbitkan
dalam buku yang berjudul Foundations of Christian Faith. Setelah merayakan
hari ulang tahun ke-80 pada tanggal 5 Maret 1984, Rahner menjadi sangat
kelelahan. Tubuhnya begitu lemah dan harus dirawat di rumah sakit. Pada tanggal
30 Maret 1984, ia meninggal dunia dan dimakamkan di Gereja Trinitas di
Innsbruck, Austria.19
2.2 Karya-Karya
19
Horst. G. Poehlmann, op. cit., hlm. 83.
13
cemerlang yang menjadi tantangan untuk mereka yang cenderung
mempertahankan status quo.20
Karl Rahner menerbitkan karya keduanya pada tahun 1941 dengan judul
Hörer des Wortes (Pendengar Sabda).23 Karya ini sebenarnya merupakan
20
Ibid., hlm. 84-85.
21
Neo-skolastisisme merupakan sistem intelektual yang sangat terstruktur, tertutup, serta
cenderung mengesampingkan dunia modern dan hambatan intelektual di dalamnya. Sistem ini
didasarkan pada filsafat dan teologi Thomas Aquinas (1225-1274), yang menawarkan suatu dunia
yang tertata rapi di mana segala sesuatu memiliki tempatnya masing-masing. Sebagian besar
tulisan Rahner, secara khusus sebelum tahun 1960-an dan Konsili Vatikan II, dapat dilihat sebagai
usaha untuk membuka wawasan neo-skolatisme ini. Karen Kilby, Karl Rahner. Tokoh Pemikir
Kristen, penerj. Peter Vardy, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 12-13.
22
Karen Kibly, op. cit., hlm. 13.
23
Menurut Rahner, manusia sebagai roh dalam dunia, adalah pendengar dari satu
kemungkinan revelasi historis tentang Allah. Manusia dalam konteks ini dipahami sebagai ens-
ente, ada yang terealisir hanya dalam sejarah, di mana Allah mengaktualisir kehadiran-Nya
melampaui manusia. Oleh karena sejarah maka hanya merupakan kesempatan bagi manusia untuk
bertemu atau akrab dengan “sabda”, kata-kata yang menerangi dan mendasari eksistensi dan yang
kemudian dilanjutkan oleh rasio manusia. Bdk. Bernardus S. Hayong, “Antropologi Metafisika
Karl Rahner. Dari Antropologi ke Filsafat Agama“ (ms), Diktat Kuliah. STFK Ledalero, 2009.
14
kumpulan ceramahnya di Sekolah Musim Panas Salzburg (1937), yang
merepresentasikan jejak peningkatan Rahner dalam bidang teologi antropologi.
Karya ini kemudian menjadi dasar bagi teologinya. Karya kedua Karl Rahner ini
bertolak dari kuliah-kuliahnya mengenai filsafat agama. Di dalamnya, ia
mengemukakan syarat-syarat yang perlu bagi pribadi-pribadi yang memiliki
kebebasan dan pengetahuan untuk menerima kemungkinan wahyu Ilahi
berdasarkan analisa rasional. Ia juga mencoba mengembangkan satu perspektif
teologi sebagai satu ‘antropologi teologi fundamental’. Karya Hörer des Wortes
ini kemudian diolah lagi oleh J. B. Metz pada tahun 1963 dengan memberikan
penjelasan tambahan mengenai unsur filosofis dan teologis.24
Selain itu, ada juga karya-karya lain yang dihasilkan Rahner selain dua
karya besar di atas, di antaranya kumpulan artikel dengan judul Schriften zur
Theologie yang diterbitkan sebanyak 16 jilid (karya edisi bahasa Inggris). Karya
ini dinilai hampir setara dengan Summa Theologiae karya Thomas Aquinas.
Rahner juga terlibat di dalam penyuntingan beberapa karya seperti Lexikon für
Theologie und Kirche I-XI (1957-1965). Karya ini merupakan karya editorial
pertama Rahner. Dari kurang lebih 30.000 artikel yang dimuat di dalam leksikon
itu, Rahner menulis sekitar 135 artikel. Ia juga membantu menyusun buku
pegangan teologi pastoral (Handbuch der Pastoraltheologie I-V, 1964-1972) dan
24
Ibid.
25
Herbert Vorgrimler, op. cit., hlm. 27.
15
enksiklopedi teologi (Herders Theologisches Taschenlexikon I-VII, 1972-1973),
serta mengedit serangkaian risalah tentang pokok-pokok persoalan teologi yang
kontroversial dengan judul Quaestiones Disputatae. Pada tahun 1978, satu buku
karya Rahner kembali diterbitkan dengan judul Foundations of Christian Faith,
yang merupakan ringkasan dari seluruh karya teologisnya.26
26
Bdk. Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani. Mempertanggungjawabkan Iman
akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 83-84.
27
Johanis Ohoitimur, Metafisika sebagai Hermeneutika: Cara Baru Memahami Filsafat
Spekulatif Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead (Jakarta: Penerbit Obor, 2006), hlm. 6.
28
Bernardus S. Hayong, op. cit.
16
aksidental (ens per accidens). Sebagai contoh, “Manusia adalah makluk rasional”.
Kata “rasional” menjelaskan ciri esensial dari manusia sebagai pengada. Rasional
mengada secara esensial pada manusia, sedangkan “warna kulit hitam” adalah
mengada secara aksidental pada manusia. Dengan itu, semua manusia dikatakan
memiliki akal budi. Ketiga, ada perbedaan mengada sebagai potensial dan aktual
(being as potential and actual). Pengada potensial selalu memliki sifat yang
belum lengkap, sedangkan pengada aktual sudah mencapai kesempurnaannya
sebagai aktualitas. Dengan kata lain, sesuatu yang berstatus potensial pun
mengada, tetapi tidak secara aktual dan yang aktual adalah kesempurnaan itu
sendiri.
17
persoalan atau pertanyaan dasariah. Hal ini berarti manusia mampu melahirkan
pertanyaan-pertanyaan baru melampaui realitas empiris yang menjadikannya
sebagai makhluk spritual.30 Dengan demikian, Rahner sendiri mengakui ajaran
dari Aquinas. Kesetiaan Rahner pada Aquinas menggambarkan bahwa manusia
tidak harus menolak hubungan dengan pelbagai perkembangan dunia modern
tetapi hidup dan bergabung dengan dunia saat ini dan terlibat dengan pemikiran
modern.
18
Karl Rahner memang tidak mengikuti secara langsung perkuliahan dari
Josep Maréchal. Namun, konsep Maréchal yang menggambarkan bahwa setiap
afirmasi tentang suatu objek yang mengandaikan keterarahan dinamis rasio pada
Ada Absolut, yaitu Allah, jelas memengaruhi pemikiran Karl Rahner yang
kemudian berkembang dalam karyanya mengenai sifat transendental manusia.32
Rahner rupanya lebih sepakat dengan pemikiran Maréchal dan mengembangkan
apa yang sudah dimulai oleh Maréchal, ketimbang Kant. Bahwasanya,
transendental bukan berdimensi horizon seperti dalam pandangan Kant,
melainkan lebih mengakui kemungkinan adanya pengetahuan metafisis tentang
Allah.33 Dengan demikian, konfrontasi antara metafisika thomistis dan filsafat
Kant berhasil memberikan pencerahan kepada pemikiran thomistis, seperti yang
kemudian tampak dalam karya-karya Rahner mengenai transendental.
32
Ibid.
33
Karl Heinz Weger, Karl Rahner: An Introduction to His Theology, penerj. David
Smith, (London: Burn and Oates Ltd., 1980), hlm. 24.
34
Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat: dari Aristoteles sampai Derrida
(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 114.
19
ia selalu mengikuti seminar-seminar yang diberikan Heidegger. Karl Rahner
secara khusus sangat tertarik dengan karya Heidegger yang berjudul “Ada dan
Waktu” (Sein und Zeit). Di dalam karya tersebut, Heidegger menjelaskan bahwa
tugas filsafat ialah menemukan secara konkret makna “yang ada”, dan tujuan dari
filsafat itu sendiri ialah membuat kebenaran “yang ada” itu berbicara, dan “ada”
yang berbicara itu adalah manusia. Manusia dapat mengajukan pertanyaan tentang
“ada” karena ia mempunyai pengertian tentang “ada” di dalam sesuatu. Oleh
karena itu, dasar untuk menjelaskan makna tentang sesuatu berarti membuat
sesuatu itu menjadi mungkin, dan ia harus menemukan segala kemungkinan yang
ada.35
35
Ibid., hlm. 115-116.
36
Eric Lemay & Jennifer A. Pitts, Heidegger for Beginners (Heidegger untuk Pemula),
penerj. P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 43-48.
20
menempatkan refleksi Heidegger itu untuk kepentingan teologi dengan
membuktikan bahwa kaum beriman secara ontologis terarah kepada Allah.37
Immanuel Kant merintis suatu metode yang kemudian dipakai oleh Karl
Rahner untuk menjelaskan teologinya. Metode ini kemudian disebut sebagai
metode transendental. Dalam penjelasannya, metode transendental memuat
penyelidikan atas prasyarat-prasyarat a priori (prasyarat yang bukan dipelajari
melainkan suatu kondisi yang memampukan manusia untuk belajar) yang hadir
secara implisit tetapi selalu berperan aktif dalam aktivitas berpikir manusia.40
Artinya, realitas bukan dilihat sebagai yang “ada di luar” dan lepas dari
pengenalan manusia, melainkan berada pada dinamika kesadaran diri. Implikasi
teologis yang dikembangkan Rahner dari pemikiran tersebut adalah pengalaman
religius dari setiap pribadi manusia menjadi titik tolak pengenalannya akan Allah,
sebab pewahyuan Ilahi tidak terletak “di luar”, tetapi terjadi di dalam pengalaman
manusia.
37
Bdk. David Edison, (Online), “Heidegger: Sosok Pengubah Zaman”, https://
www.kompasiana.com/heidegger-sosok-pengubah-zaman, diakses pada 8 November 2019.
38
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf
dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 278.
39
Simon Petrus L. Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan
Imperatif Kategoris (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991), hlm. 25.
40
Leo Kleden, “Filsafat Manusia”, Manuskrip, STFK Ledalero, 2014.
21
2.4 Metode Berteologi
Pada tahun 1950-an, situasi hidup orang beriman di Jerman dan Eropa
Tengah pada umumnya telah mengalami perubahan secara fundamental.
Kesadaran baru yang dimiliki banyak orang Katolik di Jerman pada pertengahan
abad ke-20 itu berpapasan dengan suatu teologi yang kaku dan beranggapan tidak
perlu melakukan perubahan lebih banyak, selain mengulang secara terus-menerus
formula yang sudah dirumuskan secara resmi dan dianggap baku. Kenyataan ini
menciptakan suatu kesulitan tersendiri yang tak teratasi bagi kehidupan umat
beriman bersangkutan. Kesulitan tersebut disebabkan oleh teologi itu sendiri,
karena teologi tidak berusaha untuk merefleksikan dan menjelaskan iman atas
suatu cara yang dapat dipahami oleh umat beriman, yang memungkinkan mereka
dapat merasakan relevansi iman bagi hidup dan bagi pertanyaan eksistensial
mereka.41
Karl Rahner mengamati dan menyadari suatu perubahan besar yang terjadi
dalam masyarakat pada masanya dan yang tidak boleh diabaikan oleh teologi.
Pada berbagai kesempatan yang berbeda, ia menyebut tiga hal yang menjadi
41
Georg Kirchberger, “Teologi Karl Rahner sebagai Teologi Kontekstual”, op. cit., hlm.
203.
22
alasan bagi perubahan radikal dalam masyarakat dan kesadaran manusia pada
masa sesudah Perang Dunia II. Pertama, manusia pada pertengahan abad ke-20
hidup dalam situasi plural. Masyarakat plural tidak lagi dengan sendirinya
mendukung iman Katolik. Orang berhadapan dengan sejumlah besar keyakinan
dan pandangan dunia yang berbeda dan dibebaskan dari tekanan sosial dalam
lingkup hidup mereka. Kebebasan, dengan demikian, memungkinkan mereka
dapat memilih di antara pelbagai keyakinan dan pandangan dunia tersebut.42
Kedua, kemajuan yang jauh lebih luas dalam bidang pengetahuan yang
secara de facto dapat dimiliki oleh kebanyakan orang. Pengetahuan tersebut
meliputi pengetahuan mengenai keyakinan dan pandangan dunia yang berbeda-
beda atau pengetahuan tentang adanya fakta pluralisme dalam lingkup hidup
manusia di dunia.43
42
Ibid.
43
Ibid.
44
Ibid., hlm. 204.
23
berdasarkan konsep-konsepnya yang lama dalam berhadapan dengan konteks
hidup manusia yang telah mengalami perubahan secara baru dan signifikan. Sebab
dengan demikian, teologi mesti berhadapan dengan risiko di mana ia tidak dapat
dimengerti dan iman dapat dengan mudah ditinggalkan karena dianggap tidak
relevan.45
45
Ibid., hlm. 204
46
Andreas R. Batlogg & Melvin E. Michalski (eds.), Encounters with Karl Rahner.
Rememberances of Rahner by Those Who Knew Him (Milwaukee: Marquette University Press,
2009), hlm. 102.
47
Tom Jacobs, Paham Allah dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), hlm, 81.
24
mana pengalaman serta aspek-aspek aktual tersebut direfleksikan secara
mendalam hingga menampakkan struktur dasariah manusiawi. Rahner coba
memperlihatkan bagaimana Allah yang mewahyukan diri itu cocok dan sesuai
dengan struktur dasariah manusia.48 Manusia, pada inti eksistensinya, merupakan
pertanyaan terbuka yang tidak bisa dijawab lagi dengan kemampuannya sendiri
yang terbatas, sehingga ia mesti menerima jawaban dari Allah yang mewahyukan
diri sebagai jawaban yang sepadan dengan pertanyaan yang diajukan manusia.49
Di lain pihak, dengan titik tolak antropologis yang berangkat dari manusia,
Rahner mengambil jarak dengan teologi tradisional51 Katolik yang senantiasa
48
Bdk. Karl Rahner, “The Experience of God Today”, dalam Theological Investigations
11, penerj. David Bourke, (London: Longman & Todd, 1974), hlm. 149-165.
49
Kirchberger, “Teologi Karl Rahner sebagai Teologi Kontekstual”, op. cit., hlm. 208.
50
Kibly, op. cit., hlm. 16-17.
51
Teologi tradisional secara prinsipiil tidak pernah bertolak ‘dari bawah’, dari manusia.
Teologi ini yakin bahwa pernyataan iman, sebagaimana dirumuskan dalam Magisterium Gereja
berdasarkan Sabda Allah, berlaku dengan sendirinya dan harus dibawa kepada manusia dengan
tuntutan bahwa manusia mesti menerimanya sebagai sesuatu yang benar, tanpa bertanya, apakah ia
mengerti dan apakah ia masih relevan atau tidak dengan konteks hidup manusia. (Kirchberger,
“Teologi Karl Rahner sebagai Teologi Kontekstual”, op. cit., hlm. 206).
25
bertolak ‘dari atas’. Rahner menelaah pernyataan-pernyataan teologi tradisional
dengan cara mengkonfrontasikan pernyataan-pernyataan itu dengan pengalaman
diri manusia modern dan memperlihatkan bahwa pernyataan tertentu dalam
teologi tradisional tidak bisa dipertemukan dengan pengalaman dan kesadaran diri
manusia modern. Dalam pandangan Rahner, modernitas diwarnai oleh pandangan
dunia rasional dengan pusat perhatian pada ilmu alam, kesadaran historis, dan
keyakinan bahwa manusia sendiri harus bisa merancang dan melakukan
perbaikan-perbaikan dalam dunia. Ciri modernitas demikian didasari oleh suatu
pergantian paradigma dari pandangan kosmosentris dalam masa abad pertengahan
ke pandangan antroposentris zaman modern.52
Ada begitu banyak tema teologis yang dikemukan Karl Rahner. Namun
dalam bagian ini, penulis hanya menguraikan beberapa tema teologis Rahner,
yang memiliki korelasi dengan pandangan Rahner tentang Kristen Anonim.
52
Ibid.
53
Ibid., hlm. 207.
26
eksplisit atau pun implisit dalam setiap pengalaman hidupnya. Dalam usaha untuk
melukiskan pengalaman manusia akan Allah, Rahner menggunakan istilah teknis
Vorgriff (bahasa Jerman), yang berarti ‘mendekati’, dan istilah bahasa Inggris:
pre-apprehension (pra-pemahaman) dan anticipation (antisipasi). Pemahaman
akan konsep Rahner sehubungan dengan istilah-istilah tersebut dapat ditelusuri
melalui contoh berikut.
Hal yang sama berlaku pula dalam konsep tentang pergerakan pikiran yang
dimaksudkan Rahner, yaitu bahwa dalam setiap tindakan melihat yang sifatnya
terbatas, terdapat suatu dinamisme atau suatu dorongan dasar menuju tujuan tanpa
batas, sementara di pihak lain hanya dengan adanya tujuan tak terbatas dan mata
yang tertuju terus pada planet tersebut, maka tindakan-tindakan yang terbatas
yang dilakukan oleh para astronom tadi dapat terjadi. Demikian pula halnya
dengan dinamisme pikiran terhadap yang tak terbatas dan Allah selalu terjadi
dalam tindakan mengetahui benda-benda tertentu yang ada di dunia. Keinginan
untuk dapat menemukan planet tersebut telah menjadi dorongan bagi para
astronom tersebut setelah memperhatikan pergerakan planet Uranus. Menurut
Rahner, penyelidikan terhadap pengalaman terbatas manusia yang memfokuskan
perhatian pada apa yang ia sebut ‘pengalaman-pengalaman transendental’,
menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya berorientasi menuju kepada misteri
kudus yang disebut Allah.55
Untuk menunjuk pada hubungan antara kesadaran manusia akan Allah dan
pengetahuan manusia akan benda-benda yang ada di dunia ini, Rahner memakai
54
Stanley J. Grenz & Roger E. Olson, 20th Century Theology: God & the World in a
Transitional Age (Downers Grove: InterVarsity, 1992), hlm. 241.
55
Ibid., hlm. 242.
27
gambaran tentang cahaya.56 Cahaya tidak dapat dilihat, namun manusia
mempercayai bahwa pada saat ia melihat sebuah buku, ia dapat melihatnya oleh
karena adanya bantuan cahaya yang memantul pada buku tersebut. Menurut
Rahner, kesadaran manusia akan adanya yang tak terbatas dan Allah dapat sama
dengan sinar cahaya yang menjadikan benda-benda tertentu dapat diketahui. Maka
meskipun manusia memiliki kesadaran akan Allah, namun ia tidak bisa memiliki
pengetahuan akan Allah sama seperti ia mengetahui buku itu. Usaha untuk
menunjukkan bahwa pengetahuan manusia akan benda-benda yang ada di dunia
ini selalu disertai dan dimungkinkan oleh adanya kesadaran akan sesuatu yang
jauh lebih besar dari dunia ini, yakni kesadaran akan Allah. Itulah yang hendak
diungkapkan oleh Rahner dengan istilah Vorgriff tersebut.57
Ada satu cara lain lagi yang sedikit lebih teknis dipakai oleh Rahner untuk
merumuskan pandangannya mengenai manusia dan pengalamannya akan Allah. Ia
membuat dua bentuk perbedaan yang disebut sebagai pengalaman transendental
dan pengalaman kategoris. Pengalaman kategoris adalah pengalaman manusia atas
segala sesuatu yang bersifat terbatas dalam pengetahuan manusia, pengalaman
dengan orang lain atau dengan benda-benda yang nyata, pengalaman dengan
segala sesuatu yang dapat dimasukkan ke dalam bentuk kategori, atau pengalaman
dengan benda-benda yang dapat dimasukkan ke dalam konsep dan dapat
dijelaskan dengan menggunakan bahasa.58
56
Bdk. Robertson Tillich, “Two Types and the Transcendental Method”, dalam The
Journal of Religion, Seri 55/2, April 1975, hlm. 212).
57
Ibid., hlm. 214.
58
Kibly, op. cit., hlm. 22.
59
Ibid.
60
Istilah ‘cakrawala’ merupakan salah satu istilah yang digunakan Rahner untuk
menggambarkan bagaimana kesadaran manusia akan Allah dihubungkan dengan pemahaman atau
pengetahuan manusia akan segala sesuatu yang ada di dunia. (Bdk. Ibid., hlm. 19-28).
28
ditangkap sebagai suatu objek tersendiri, cakrawala ini merupakan prasyarat untuk
segala pengetahuan dan intensionalitas manusia. Melalui cakrawala itu, manusia
akhirnya terarah kepada dasar dari segala yang ada. Namun keterarahan semacam
ini tidak pernah menjadi pengetahuan objektif dalam arti konsep-tematis, sebab
cakrawala itu sudah selalu ikut dimengerti dalam proses mengetahui segala objek
yang konkret. Inilah yang disebut dengan pengalaman transendental, yang berasal
dari diri manusia sebagai subjek pengetahuan itu sendiri.61 Dengan demikian,
menurut definisinya, pengalaman transendental adalah bagian dari pengalaman di
mana bahasa tidak dapat dipergunakan untuk menjelaskannya, karena manusia
hanya menggunakan bahasa untuk menyebut suatu objek tertentu, untuk
membedakan suatu benda dari benda lain, tetapi bukan untuk menjelaskan sesuatu
yang pada dasarnya bukanlah suatu objek.62
61
Jacobs, op. cit., hlm. 82.
62
Kibly, op. cit., hlm. 22-23.
63
Ibid.
29
transendentalnya, yang bisa dilakukan dalam bentuk bahasa (filsafat atau puisi),
seni, musik, simbol, tindakan-tindakan religius dan sebagainya. Usaha tersebut
mesti selalu dilakukan, sebab, menurut Rahner, ungkapan atas pengalaman selalu
merupakan pembentukan pengalaman itu sendiri, di mana apa yang dialami
sedikit banyak ditentukan oleh bagaimana pengalaman itu diungkapkan.64
64
Ibid., hlm. 23.
65
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith: An Introduction to the Idea of
Christianity, penerj. W. Dych, (London: Darton, Longman & Todd, 1978), hlm. 29.
30
dimilikinya, yakni kesadaran untuk senantiasa tertuju dan terbuka kepada Allah.
Transendental di sini mengacu pada pengetahuan dan pengalaman manusia yang
dialaminya di dalam dunia, yang kerap mempertanyakan keberadaan dan
pengalamannya sendiri sebagai makhluk dengan cakrawala yang terbatas, tetapi
senantiasa terbuka terhadap misteri Allah. Jadi apa yang menjadi konsep Rahner
tentang manusia tidak dapat dilepaskan dari pemahamannya tentang Allah yang
menyatakan diri-Nya dalam kehidupan manusia. Lewat berbagai peristiwa dan
pengalaman manusia, yang kerap diabaikan, pada dasarnya manusia terarah
kepada Allah. Sebab manusia menurut Rahner adalah makhluk rohani dan sebagai
makhluk rohani, ia senantiasa mengarah kepada Allah.
2.5.2 Rahmat
Pemahaman Rahner tentang rahmat tidak sama dengan apa yang sering
ditemukan dalam teologi sistematika yang membahas arti rahmat secara terpisah
dan sistematis. Bagi Rahner, berbicara tentang rahmat adalah berbicara tentang
bagaimana Allah mengkomunikasikan diri-Nya yang mencapai titik kulminasi
dalam diri Yesus Kristus. Rahner meyakini bahwa persoalan tentang siapa Kristus
itu dapat dimasukkan ke dalam suatu gambaran yang lebih luas, demikian pula
tentang apa yang dilakukan oleh Kristus dan peranan-Nya dalam proses
penyelamatan. Rahner menempatkan Kristus dalam suatu kisah tentang
bagaimana Allah memberi diri-Nya sendiri kepada dunia dalam bentuk rahmat.
Rahmat, menurut Rahner, tidak ditawarkan kepada manusia sebagai akibat dari
inkarnasi, kematian dan kebangkitan Kristus, melainkan mencakup konteks yang
lebih luas.
31
kepada manusia dan hidup di dalam manusia.66 Rahmat yang diciptakan
merupakan konsekuensi dari rahmat yang tidak diciptakan. Menurut Rahner,
rahmat yang diciptakan mengalir dari rahmat yang tidak diciptakan. Komunikasi
diri Allah terjadi melalui Roh Allah dan Roh Allah itu tinggal di dalam manusia,
maka sebagai konsekuensinya manusia mengalami perubahan yang nyata. Allah
mengubah manusia dengan memberikan diri kepada manusia, bukan Allah
memberi diri kepada manusia karena manusia sendiri telah mengubah dirinya.67
Dengan pandangan demikian, Rahner tidak bermaksud membedakan kedua
rahmat tersebut secara radikal, tetapi ia berusaha menempatkan konsep rahmat
yang tidak diciptakan pada pusat gambaran yang lebih sejalan dengan pandangan
bapa-bapa gereja dan rasul Paulus.68 Dengan demikian, rahmat sebagai
komunikasi diri Allah bukanlah soal Allah yang mengatakan sesuatu tentang diri-
Nya. Komunikasi diri Allah berarti Allah menjadikan diri-Nya sebagai unsur
terdalam dari diri manusia. Secara lugas, hal ini berarti Allah memberikan diri-
Nya sendiri untuk menjadi bagian dari manusia. Dengan memberikan diri-Nya
sendiri kepada manusia, Allah memungkinkan manusia untuk berelasi dengan-
Nya.
66
Karl Rahner, “The Dignity and Freedom of Man”, dalam Theological Investigations 2,
penerj. Karl-H. Kruger, (Baltimore: MD Helicon Press, 1963), hlm. 238.
67
Kibly, op. cit., hlm. 37.
68
Karl Rahner, “Some Implications of the Scholastic Concept of Uncreated Grace”,
dalam Theological Investigations 1, penerj. Cornelius Ernst, (Baltimore: MD Helicon Press, 1961),
hlm. 324.
69
Kibly, op. cit., hlm. 37-38.
32
Ketiga, rahmat bersifat universal. Artinya, rahmat tidak hanya terjadi pada
orang-orang tertentu dan pada waktu tertentu saja, melainkan diberikan pada
setiap manusia dan pada setiap waktu. Manusia selalu dikelilingi oleh rahmat dan
pengalaman manusia selalu dipengaruhi oleh rahmat. Jauh sebelum seseorang
dapat mengambil keputusan moral, orang tersebut telah dipengaruhi oleh rahmat,
walaupun orang tersebut adalah seorang berdosa dan tidak percaya.70
Keadaan manusia yang selalu dipengaruhi oleh rahmat tidak berarti bahwa
manusia tidak dapat menolaknya. Manusia masih dapat menerima tawaran itu dan
dapat juga menolaknya. Dalam pandangan Rahner, di satu sisi tujuan penciptaan
dunia dan manusia adalah pewahyuan diri Allah dan pencurahan cinta kasih, yang
tidak lain adalah Allah itu sendiri. Maka, Allah menciptakan manusia sedemikian
rupa, sehingga manusia bisa menerima cinta kasih itu. Di sisi lain, manusia juga
bisa memilih untuk menolak rahmat itu sendiri. Namun, penolakan manusia atas
rahmat tidak berarti manusia dapat ‘mengusirnya’. Bentuk penerimaan atau
penolakan itu merupakan sesuatu yang terjadi pada tingkat yang sangat
mendalam, bahkan keputusan tersebut merupakan keputusan yang sangat
mendasar, yang mungkin terjadi karena faktor ketidaksadaran manusia dan
kurangnya pemahaman tentang konsep rahmat itu sendiri.71
Lebih jauh Rahner mengatakan bahwa sebelum seseorang tiba pada kontak
dengan Injil Yesus Kristus, ia telah ada dalam keadaan yang telah dipersiapkan
oleh rahmat Allah. Pada saat orang itu mendengarkan kabar Injil yang
disampaikan oleh Gereja yang kelihatan, peristiwa tersebut bukanlah saat di mana
ia mengalami kontak rohani untuk pertama kalinya.72 Rahner menyimpulkan
bahwa sebagai konsekuensi logis, Injil yang disampaikan bertujuan untuk
membangunkan kesadaran. Kesadaran itu sebelumnya telah dipengaruhi oleh
rahmat. Hidup manusia selalu dikelilingi oleh rahmat, dan sejauh ini Rahner telah
menggambarkan rahmat bukan hanya dalam kaitannya dengan pemahaman
tentang komunikasi diri Allah pada manusia, namun juga dapat digambarkan
sebagai komunikasi diri Allah pada dunia secara menyeluruh. Allah telah
70
Karl Rahner, “On Grace”, dalam Theological Investigations 4, penerj. Kevin Smyth,
(Baltimore: MD Helicon Press, 1966), hlm. 180.
71
Ibid., hlm. 180-181.
72
Ibid., hlm. 181.
33
mengambil keputusan untuk mengkomunikasikan diri-Nya kepada dunia melalui
umat manusia sebagai suatu keseluruhan dan pada masing-masing individu secara
terpisah. Titik puncak dari komunikasi diri Allah itu, yang merupakan tawaran
bagi semua orang di sepanjang waktu, ada pada diri Yesus Kristus, dan mencapai
titik puncaknya dalam peristiwa inkarnasi.73 Dengan demikian, jelaslah bahwa
rahmat lebih dari sekadar hal baik yang terjadi dalam hidup manusia. Rahmat
adalah undangan untuk bersahabat dengan Misteri Ilahi itu sendiri dan dalam
Kristus sebagai wujud kehadiran nyata Allah di dunia.
2.5.3 Kristologi
Karena itu, Yesus Kristus dalam eksistensi-Nya yang unik dan historis
mempunyai arti bagi setiap manusia, karena eksistensi-Nya yang unik itu
menjamin kerangka dan dasar, di dalam dan di atasnya hidup setiap orang
mendapat arti yang baru, dan karenanya dibebaskan dari ancaman kesia-siaan.
Sebab itu, dalam perspektif demikian menjadi jelas bahwa kristologi menjamin
antropologi. Baru dalam pemberian diri Allah kepada manusia yang menjadi nyata
73
Kibly, op. cit., hlm. 41.
74
Georg Kirchberger, Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2012), Cet. ke-2, hlm. 216.
75
Ibid., hlm. 221.
34
dalam diri Yesus Kristus, eksistensi dan hidup manusiawi memperoleh dasar dan
jaminan yang kokoh tak tergoyahkan.76
Dalam sketsa ini, menjadi jelas bagaimana refleksi atas pribadi Kristus dan
refleksi atas fungsi Kristus saling berhubungan dan saling mendukung. Refleksi
atas fungsi Kristus sebagai pembawa keselamatan hanya bisa berhasil, fungsi
universal hanya bisa diperlihatkan, berdasarkan konstitusi pribadi-Nya yang
istimewa sebagai kesatuan antara Allah dan manusia. Konstitusi pribadi itu
menjadi lebih terang berdasarkan refleksi atas fungsi Kristus yang
memperlihatkan, bagaimana manusia dalam dan seturut eksistensinya yang
konkret justru membutuhkan dan menantikan pribadi dengan ciri-ciri sebagaimana
manusia mengimaninya berada di dalam diri Yesus Kristus.77
Ringkasnya, inti dari kristologi Karl Rahner adalah penegasan peran Yesus
sebagai Perantara yang tak tertandingi bagi kedekatan antara Allah dan manusia.
Peran itu diklaim oleh Yesus sendiri sebelum Ia disalibkan dan bangkit dari antara
orang mati, bahwa Ia merupakan penyingkapan Allah, meskipun di dalam diri-
Nya sendiri terkandung unsur kemanusiaan. Yesus adalah sejarah kehadiran Allah
yang disingkapkan kepada manusia melalui kebangkitan-Nya. Kebangkitan Yesus
menegaskan bahwa Ia adalah satu-satu-Nya Penyelamat, karena itu Ia adalah yang
Ilahi, dan hanya Penyelamat Ilahi yang mampu memediasi penyingkapan Allah
kepada manusia.79
76
Ibid.
77
Ibid., hlm. 222.
78
Ibid.
79
Soetarman, dkk., Fundamentalisme, Agama-Agama, dan Teknologi (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996), hlm. 47
35
Dengan demikian, kristologi Karl Rahner menggarisbawahi bahwa
keselamatan ada dalam diri Yesus. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa
dengan itu agama-agama lain di luar kekristenan atau yang menyakini pribadi lain
sebagai penyelamat tidak memiliki keselamatan. Di dalam agama-agama lain pun
terkandung unsur keselamatan, meskipun tidak memakai nama Kristus. Inilah
yang kemudian dinamakan Karl Rahner sebagai anonymous Christ atau “Kristus
Tanpa Nama”. Oleh sebab itu, penganut agama-agama lain juga sebenarnya
adalah orang-orang “Kristen Tanpa Nama” atau anonymous Christian.80
2.5.4 Soteriologi
80
Ibid., hlm. 48.
81
Herbert Vorgrimler, Understanding Karl Rahner (New York, 1986), hlm. 65.
82
Paul F. Knitter, Pengantar ke dalam Teologi Agama-agama, penerj. Nico A.
Likumahuwa, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 79-87.
36
dan manusia merasakan keselamatan yang Allah berikan berdasarkan pengalaman
kehidupannya.83
83
“Anonimous Christian” (Online), sttbereasalatiga.blogspot.com/2012/07/anonymous-
christian.html, diakses pada 23 Maret 2020.
37
BAB III
PANDANGAN KARL RAHNER MENGENAI KRISTEN ANONIM
Pada masa pra Konsili Vatikan II, hampir semua orang Kristen mengimani
bahwa keselamatan itu diperoleh berkat anugerah Allah. Keyakinan ini
mengandaikan bahwa Allah adalah subjek dalam proses keselamatan dan manusia
bergantung secara mutlak pada anugerah Allah itu. Pernyataan Allah sebagai
subjek dalam proses keselamatan di sini memberikan perbedaan yang esensial
antara kekristenan dengan agama-agama pada umumnya. Hal ini dikarenakan
kekristenan lebih dari sekadar agama, karena setiap agama memiliki karakteristik
dasar, di mana para pengikutnya berusaha untuk dapat menjangkau dan
menemukan Tuhan yang diimaninya melalui usaha sendiri. Sementara itu dalam
kekristenan, Allah-lah yang menjangkau dan menemukan manusia.84 Pengakuan
iman fundamental itu memiliki hubungannya dengan karya keselamatan Kristus
terhadap kehidupan seseorang, yang diperoleh berkat penebusan Kristus melalui
penderitaan, wafat, dan kebangkitan-Nya. Kedatangan Kristus merupakan
representasi dari kehadiran Allah bagi umat-Nya untuk menyelamatkan manusia,
dengan menebus dosa-dosa manusia melalui pengorbanan Kristus di kayu salib.
84
Fritz Ridenour, How To Be a Christian Without Being Religious (Yogyakarta: Gloria
Grafia, 2003), hlm. 12.
38
universalis, kaum armenian (armenianisme) mengajarkan bahwa Kristus tidak
mati untuk sebagian orang tertentu, namun melalui karya penebusan-Nya,
penebusan menjadi “mungkin” bagi setiap orang. Term “mungkin”
mengindikasikan adanya unsur relatif, di mana terbukanya kemungkinan bagi
setiap orang untuk memilih Kristus dan menerima penderitaan serta kematian-Nya
sebagai penebusan bagi dosa-dosanya. Simpul kata, manusia itu harus menerima
keselamatan itu sendiri sehingga ia dapat menjadi objek anugerah. Sementara itu,
bertolak belakang dengan kedua pandangan tersebut (universalisme dan
armenianisme), kaum Calvinis (Calvinisme) meyakini bahwa Kristus hanya mati
bagi orang-orang tertentu yang terbatas jumlahnya, yakni bagi mereka yang
dipilih oleh Bapa (Allah) dan yang sejak dari kekekalan telah diberikan kepada
Kristus (sebagai Anak Bapa) untuk diselamatkan. Doktrin Calivinis yang
kemudian dikenal sebagai Doktrin Penebusan Terbatas ini sekaligus menandai
adanya eksklusivitas di dalam kekristenan.85
85
G. J. Baan, Tulip: Lima Pokok Calvinisme (Surabaya: Momentum, 2009), hlm. 74-76.
39
Melalui gerak sentripental, yaitu masuk ke dalam pusat Yesus Kristus, agama-
agama lain itu ditransformasikan kepada kesempurnaan.86
86
Darianus Mendrofa, “Suatu Evaluasi Kritis terhadap Pendekatan Inklusivisme dalam
Berteologi Religionum” (Online), http://www.kadnet.info, diakses pada 12 Januari 2020.
87
Lesslie New Bigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2000), hlm. 244.
88
Wikipedia, “Karl Rahner” (Online), wikipedia.org/wiki/Karl_Rahner, diakses pada 20
Januari 2020.
40
melalui Kristus (tanpa nama Kristus) di dalam agama-agama lain. Karena itu,
Yesus Kristus bukan hanya monopoli orang Kristen.89
89
Bdk. Paul F. Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christians Attitudes Toward
The World Religions (New York: Orbis Books, 1989), hlm. 186.
90
Declan Marmion dan Mary E. Hines (eds.), Cambridge Companion to Karl Rahner
(London: Cambridge University Press, 2005), hlm. Xiii.
91
Karl Rahner, Theological Investigations, Vol. 14, penerj. David Bourke, (London:
Darton, Longmann & Todd, 1976), hlm. 283.
41
cakupan keselamatan di dalam Allah. Di situ, Kristus (tak bernama) hadir juga di
dalam agama-agama lain di luar kekristenan.92 Konsep ini sekaligus menegasikan
eksklusivisme Kristen, di mana keselamatan diyakini sebagai monopoli
kekristenan, sebab Allah menawarkan anugerah keselamatan-Nya melalui
penebusan Yesus Kristus kepada semua orang di seluruh dunia, tanpa
diskriminasi.
92
Harold Coward, Pluralisme. Tantangan bagi Agama-Agama (Yogyakarta: Kanisius,
1994), hlm. 74.
93
Tony Lane, Runtut Pijar. Sejarah Pemikiran Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2005), hlm. 267.
42
tertentu. Karena itu, manusia secara konstan dan tak terelakkan senantiasa terarah
pada misteri sebagai dasar dan tujuan transendensi manusia.94
Jadi, apa yang menjadi konsep Rahner tentang manusia tidak dapat
dilepaskan dari pemahamannya tentang Allah yang menyatakan diri-Nya dalam
kehidupan manusia. Lewat berbagai peristiwa dan pengalaman manusia, yang
kerap diabaikan, pada dasarnya manusia terarah kepada Allah. Sebab manusia
menurut Rahner adalah makhluk rohani, dan sebagai makhluk rohani ia senantiasa
mengarah kepada Allah. Roh manusia dalam transendensi atau keterbukaannya itu
merupakan potensi atau kesanggupan untuk menerima wahyu atau komunikasi
atau pemberian diri Allah dalam sejarah.
94
Karl Rahner, “Anonymous Christians”, dalam Theological Investigations, Vol. 14,
Penerj. David Bourke, (London: Darton. Longman & Todd, 1976), hlm. 390-391.
95
F. Gions, Karl Rahner tentang Yesus Kristus sebagai Jawaban Atas Pertanyaan
Dasariah Manusia (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2006), hlm. 32.
43
melalui diri Allah sendiri. Rahner menyebut hal ini sebagai komunikasi diri Allah,
atau anugerah yang tidak diciptakan (uncreated grace).96
Rahmat bekerja dalam pribadi setiap orang tanpa melihat keyakinan yang
dianut oleh orang tersebut karena sesungguhnya keselamatan itu sudah ada di
dalam pribadi mereka. Di dalam pribadi setiap orang, ada semacam pengalaman
yang samar, tak bernama, dan bahkan tak dapat dirumuskan. Pengalaman tersebut
mungkin sengaja ditekan, tidak dapat diperhatikan dan dapat diabaikan, dan
pengalaman itu mengarah kepada Allah. Pengalaman akan Allah itu dapat ditekan
tetapi tidak dapat dihancurkan dan itulah pengalaman mistik atau pengalaman
yang terberi.
96
Pandangan ini digagaskan Rahner untuk merevisi pemikiran manusia tentang rahmat
yang sebelumnya telah mengakar di dalam teologi skolastik. Teologi skolastik membuat distingsi
antara anugerah jenis pertama (created grace), di mana melalui anugerah ini Allah mengubah
manusia, dan anugerah jenis kedua (uncreated grace) di mana Allah benar-benar
menganugerahkan diri-Nya kepada manusia dan hidup di dalam manusia. Menurut Rahner,
uncreated grace merupakan konsekuensi dari created grace, atau created grace mengalir dari
uncreated grace. Karl Rahner, “Anonymous Christians”, op. cit., hlm. 324.
97
Ibid., hlm. 392.
44
Rahner juga menghubungkan rahmat keselamatan dengan dosa asali.
Menurut Rahner, tidak ada seorangpun yang dapat dikeluarkan dari keselamatan
karena dosa asali, manusia hanya kehilangan kemungkinan keselamatannya
melalui perbuatan dosa yang serius yang dilakukan oleh dirinya sendiri.
Keselamatan yang dimaksudkan di sini adalah kehadiran Allah sendiri secara
supranatural dan langsung di dalam diri manusia yang diperoleh berkat rahmat itu
sendiri.98 Rahmat ini diperoleh manusia berkat pengalaman transendental sebagai
sesuatu yang ditawarkan dan mungkin diterima.
98
Ibid, hlm. 200.
99
Ibid., hlm. 394-395.
45
wahyu yang terkandung di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan tanpa
referensi eksplisit kepada Allah melalui gagasan objektif tentang Allah.100 Ini
berarti, orang Kristen Anonim diselamatkan bukan karena moralitas alamiah
mereka, tetapi karena mereka telah mengalami kasih karunia Yesus Kristus tanpa
menyadarinya (implisit), yaitu iman yang nyata tetapi tidak diungkapkan. Dengan
kata lain, orang Kristen Anonim memiliki yang iman implisit berhak mengalami
keselamatan, tanpa harus memiliki kesatuan dengan Kristus (iman eksplisit).
Rahner juga menegaskan bahwa keselamatan itu berasal dari Allah melalui
Yesus Kristus. Namun keselamatan yang diberikan oleh Kristus tidak inklusif
hanya berada di dalam Gereja, melainkan di luar Gereja pun ada keselamatan.
Artinya, keselamatan itu adalah keselamatan universal. Sebab, Allah yang
menyelamatkan itu tidak hanya menyatakan diri-Nya melalui berinkarnasi
menjadi manusia di dalam dan melalui Yesus Kristus (bernama) dalam agama
Kristen, juga adalah Allah yang menyatakan diri dengan cara inkarnasi melalui
100
Ibid., hlm. 52.
101
Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Rahner#cite_note-Lane-2, diakses pada
23 Maret 2020.
102
Tony Lane, op. cit., hlm. 482.
46
Kristus (tanpa nama) di dalam agama-agama lain. Karena itu, Kristus bukan hanya
monopoli orang Kristen.103
Kristus hadir dan berkarya dalam diri orang percaya bukan Kristen, karena
itu di dalam agama-agama non Kristen Kristus hadir melalaui roh-Nya. Bahkan,
menurut Rahner, mereka juga dapat merespon wahyu melalui karya Roh Kudus.
Demikianpun iman dari semua agama, sejauh itu adalah iman yang dibawa oleh
Roh Allah, merupakan iman yang membenarkan.104 Walaupun orang-orang non
Kristen tidak dapat dikatakan secara eksplisit mengingat Yesus Kristus, namun
mereka telah memiliki pengalaman mendengar firman Allah secara transendental
dan menanggapinya.
103
Paul F. Knitter, No Other Name?, op. cit., hlm. 186.
104
Karl Rahner, Theologi Investigations, Vol. 16., op. cit., hlm. 318.
47
tentang Allah itu sendiri. Oleh karena itu, semua manusia memiliki kesempatan
untuk diselamatkan. Jika keselamatan dicapai melalui agama lain, itu merupakan
penyelamatan dari agama Kristen anonim. Patokannya adalah semua orang
dicintai Allah. Jadi, semua orang mendapat panggilan universal kepada
keselamatan.
48
BAB IV
IMPLIKASI PANDANGAN RAHNER MENGENAI KRISTEN ANONIM
TERHADAP PRAKSIS HIDUP UMAT KRISTEN
DALAM KONTEKS PLURALISME AGAMA DI INDONESIA
Dalam perspektif filsafat agama, ada tiga sikap dalam beragama, yaitu
eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Eksklusivisme adalah pandangan
yang mengklaim bahwa tradisi dan keyakinan agama yang dianut merupakan satu-
satunya sumber kebenaran, di luar itu tidak ada kebenaran. Dengan kata lain,
kebenaran yang ada di dalam satu agama tertentu menafikkan yang tidak benar
yang dianut oleh agama-agama lain. Berbanding terbalik dengan eksklusivisme,
inklusivisme lebih terbuka terhadap posisi agama-agama lain di luar keyakinan
satu agama tertentu. Meskipun penganut inklusivisme meyakini bahwa agama
yang dianutnya memiliki kebenaran yang kompleks atau sempurna, namun
inklusivisme tetap memberikan ruang bagi kebenaran yang juga diakui terdapat
pada agama lain. Sementara itu, pluralisme memiliki tingkatan yang jauh lebih
tinggi dari inklusivisme. Pluralisme dipandang sebagai puncak dari sikap
keberagamaan manusia, yang dapat menciptakan kerukunan dan perdamaian di
antara umat manusia jika diaplikasikan dengan benar dan tepat. Bagian ini secara
khusus akan membahas hal-hal seputar pluralisme agama di Indonesia dan
korelasinya dengan kehidupan umat Kristen di Indonesia, serta implikasi konsep
Kristen Anonim Karl Rahner terhadap praksis kehidupan umat Kristen dalam
konteks pluralisme agama di Indonesia.
49
atau aliran yang dianut oleh orang atau kelompok tertentu. Karena itu, pluralisme
berarti keadaan masyarakat yang majemuk yang berhubungan dengan suatu sistem
tertentu, seperti sistem politik atau sistem sosial.105 Meskipun demikian, term
“pluralisme” tidak sekadar menunjukkan suatu keadaan atau fakta yang bersifat
plural, jamak, atau banyak. Secara substansional, pluralisme termanifestasi di
dalam sikap untuk saling mengakui, menghargai, menghormati, memelihara, dan
bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang plural, jamak, atau
banyak.106
105
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka: Jakarta, 2010),
hlm. 691.
106
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 75.
50
manusia tersebut terjadi secara nyata dalam kulturnya dan karenanya, kebenaran
setiap agama adalah relatif. Oleh karena itu, setiap agama merupakan manifestasi
dari realitas yang satu dan semua agama sama; tidak ada yang lebih baik dari yang
lain. Pandangan pluralisme tidak melulu adanya pertemuan dalam hal keimanan
tetapi merupakan pengakuan atas keberadaan agama-agama lain.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis. Salah satu indikator yang
menunjukkan adanya pluralitas itu adalah keragaman agama yang dianut oleh
masyarakat Indonesia. Secara umum, ada lima agama besar yang diakui di
Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha. Di
antara agama-agama ini, ada juga agama-agama lain yang telah lebih dulu ada
sebelum lahir dan berkembangnya kelima agama besar itu. Agama-agama ini
disebut agama tradisional.
107
Martyn Sardy, Agama Multidimensional: Kerukunan Hidup Beragama dan Integritas
Nasional (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 3.
51
Di dalam konteks masyarakat pluralis dewasa ini, sering terjadi perdebatan
antarsetiap suku maupun agama. Perdebatan tersebut selalu berlandaskan pada
pengakuan atas kepercayaan siapa yang paling benar. Setiap orang berhak
menyampaikan pendapatnya. Namun, hal yang seringkali terjadi ialah mereka
sulit bahkan tidak dapat menemukan jalan keluar terbaik untuk dijadikan sebagai
simpulan. Selain itu, tidak menutup kemungkinan juga bahwa hasil dari
perdebatan ini ialah terjadinya kericuhan bahkan pembunuhan. Melihat realitas
tersebut, faktor yang dapat dikemukakan ialah kurangnya pemahaman manusia
akan eksistensi Allah bagi dirinya. Manusia telah menciptakan agama untuk
menjamin kehidupan mereka dalam hal bertutur kata dan bertingkah laku yang
baik sehingga berterima di hadapan Allah. Namun, manusia sendiri yang pada
akhirnya melanggar setiap aturan yang telah mereka tetapkan. Ia tidak mampu
untuk mempraktikkan lebih jauh hukum-hukum atau aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh setiap kepercayaannya. Terhadap kenyataan seperti ini, ada tiga
hal yang menjadi acuan dalam memahami keanekaragaman tersebut, yakni: “(1)
Eksklusivisme, pada dasarnya agama-agama lain tidak diakui. (2) Inklusivisme,
sesungguhnya tidak ada perbedaan, agama lain merupakan bentuk kurang
sempurna dari suatu agama yang benar. (3) Pluralisme, agama-agama memang
beda tetapi menyembah Allah yang sama”.108
(1) bahwa pluralisme keagamaan dapat dipahami dengan baik dalam kaitan
dengan sebuah logika yang melihat Satu yang berwujud banyak-realitas
transenden yang menggejala dalam bermacam-macam agama; (2) bahwa
ada suatu pengakuan bersama mengenai kualitas pengalaman agama
partikular sebagai alat; dan (3) bahwa spiritualitas dikenal dan diabsahkan
melalui pengenaan kriteria sendiri pada agama-agama lain. Juga diakui
bersama beberapa kesulitan yang ditimbulkan oleh pluralisme modern.109
108
Tom Jacobs, op. cit., hlm. 197.
109
Harold Coward, op. cit., hlm. 168-169.
52
pluralisme keagamaan. Dalam logika, perumusan paling tua ditemukan pada
gagasan Veda mengenai Yang Satu yang disebut dengan banyak nama. Ini
merupakan penjelasan yang paling mutakhir mengenai pluralisme agama. Dalam
penjabarannya, agama pada satu ide umum yang menjadikan semua agama satu
tidak dapat berterima karena akan melanggar prinsip-prinsip kebebasan. Sebuah
agama universal sama dengan paksaan agama dan dapat menyebabkan pengikaran
kebebasan jika berjalan pada kesatuan tanpa keanekaragaman. Apabila
disandingkan antara Yang Satu dan yang banyak, Yang Satu akan dikedepankan
karena merupakan sumber kreatif. Yang banyak (tradisi-tradisi partikular) boleh
berubah tetapi Yang Satu akan tetap berdiri kokoh dengan menggunakan agama
partikular sebagai alat menuju sumber kreatif (Yang Satu) dalam berelasi dan
berinteraksi satu sama lain.110 Dengan kalimat lain, untuk mencapai Yang Satu,
hadirnya beragam agama akan menegaskan keberadaan agama itu sebagai
medium untuk menciptakan keharmonisan bagi setiap perbedaan.
110
Ibid., hlm.170.
53
Pengakuan kebenaran akan suatu agama ternyata tidak serta-merta
dianggap sebagai suatu pembelaan yang absolut. Dalam banyak kasus ditemukan
ketidakselarasan antara ibadah di dalam doa-doa dengan praktik hidup harian
umat beragama yang ada. Dengan kata lain, munculnya kesenjangan antara iman
dengan praksis hidup penganut agama itu. Faktor yang menjadi alasan dasar
terjadinya sikap demikian dapat berupa banyak bentuk. Pada titik inilah kemudian
munculnya gerakan fundamentalisme. Fundamentalisme di satu sisi dimengerti
sebagai gerakan purifikasi ajaran-ajaran agama, sedangkan di sisi lain ialah satu
bentuk “kekerasan” atas nama agama. Fundamentalisme merupakan pandangan
yang berbau konservatif, anti ekumenis, dan bisa menuntut hidup saleh,
menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama.111 Namun,
fundamentalisme juga merupakan gerakan yang suka menggunakan kekerasan dan
aksi radikal dalam mencapai tujuannya. Ia merujuk pada karakter gerakan
keagamaan yang keras, fanatik, dan reaksioner.112 Dari coraknya seperti ini,
fundamentalisme lantas dipahami sebagai bentuk fanatisme agama. Di Indonesia,
fundamentalisme masih cukup marak terjadi.
111
Efendi Mokhtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Palembang: Penerbit Universitas
Sriwijaya, 2000), hlm. 332.
112
J. Badudu dan Sultan Mohammadzin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 412.
54
penghambatan dalam menjalankan dialog antaragama. Maka bukan lagi menjadi
persoalan baru apabila konflik antaragama terus ada dan terjadi.
55
persoalan pokok dalam pemahaman diri orang Kristen.113 Pernyataan ini menuntut
adanya tanggung jawab bagi umat Kristen Indonesia untuk memahami dirinya
sendiri dan ajaran agamanya sehingga tidak menjadi sumber konflik atas nama
agama. Hal ini memiliki urgensi tersendiri, sebab di Indonesia umat Kristen tidak
dapat hidup terpisah dari agama-agama lain, demikianpun perkembangan
kekristenan di Indonesia dapat berlangsung kondusif jika dibarengi dengan dialog
yang intensif dengan agama-agama lain.
113
Harold Coward, op. cit., hlm. 31.
114
Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004).
56
4.2 Implikasi Pemikiran Karl Rahner terhadap Praksis Hidup Umat Kristen
dalam Konteks Pluralisme Agama di Indonesia
57
dengan orang lain tanpa menonjolkan perbedaan-perbedaan yang
melatarbelakanginya.
115
Bdk. E. Gerrit Singgih, “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang Bersifat
Majemuk”, dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 115.
58
semua manusia dalam semua agama-agama melalui Yesus Kristus. Kata
“universal” mengandung pengertian bahwa Allah menawarkan keselamatan
kepada semua manusia, karena Ia sendiri menghendaki agar semua manusia
diselamatkan. Meskipun demikian, pemahaman tentang universalitas keselamatan
ini tidak dimaksudkan untuk merelatifisir keselamatan yang mengandung makna
partikularistik bahwa Kristus adalah satu-satunya Penyelamat, sebagaimana yang
diimani oleh umat Kristen. Kedua makna tersebut, yaitu keselamatan yang
mengandung makna universalistik dan partikularistik, harus dipahami secara
seimbang. Penekanan yang ekstrim terhadap salah satu aspek akan mengakibatkan
pemahaman yang keliru dan menimbulkan eksklusivitas terhadap agama lain.
59
Kristus tetap dipertahankan. Namun pada saat yang sama, wawasan berpikir
tentang keselamatan itu harus diperluas secara lebih utuh dengan mengefektifkan
pemberitaan keselamatan kepada orang lain, sebab Rahner juga mengindikasikan
bahwa tugas orang Kristen adalah membawa Kristen Anonim mencapai kehadiran
Kristus yang berinkarnasi. Karena itu, orang-orang Kristen di Indonesia harus
memberikan kesempatan kepada Kristen Anonim dan membuat mereka masuk
dalam suatu kepenuhan yang sama seperti kekristenan yang eksplisit. Namun
harus diperhatikan bahwa usaha ini harus ditunjang dengan penghormatan
terhadap kebebasan yang tercakup dalam iman dan keputusan pribadi dan hanya
memakai sarana yang sesuai dengan sifat dasar iman itu, bukannya melanggar
kebebasan seseorang.116 Di sinilah pluralisme agama turut mendapatkan
tempatnya.
116
Karl Lehmann dan Albert Raffelt (eds.), The Content of Faith: The Best of Karl
Rahner’s Theological Writings (New York: Crossroad, 1994), hlm. 449.
60
Kristen Anonim. Ada permasalahan lain yang harus diperhatikan, di mana
anugerah yang ditawarkan Allah dapat diterima atau ditolak. Tanggapan seseorang
atas anugerah itu tidak perlu disertai dengan kesadaran bahwa apakah anugerah itu
benar-benar ada atau tidak atau Allah itu ada atau tidak. Tanggapan manusia atas
anugerah itu diberikan secara implisit. Menurut Rahner, karena anugerah Allah
berpengaruh pada pusat keberadaan manusia maka manusia menerimanya jika
manusia menerima keberadaan dirinya sendiri. Dalam pusat keberadaanya, jika
seorang manusia mampu menerima dirinya sendiri, ia dengan segala haknya dapat
dikatakan sebagai seorang Kristen Anonim.117
Ciri khas lain yang ditunjukkan Rahner bahwa Kristen Anonim patut
dipertimbangkan sebagai orang yang berhak untuk memperoleh keselamatan
adalah kasih Kristen Anonim terhadap sesama dan kepekaan mereka terhadap hati
nuraninya. Rahner menegaskan, mengasihi sesama merupakan ciri untuk
mengenali Kristen Anonim. Orang yang mengasihi sesamanya merupakan bukti
kasihnya kepada Allah. Kitab suci mengajarkan bahwa kasih yang ditunjukkan
kepada sesame merupakan kasih yang ditujukkan kepada diri Allah sendiri.
Karena itu dalam pengertian yang nyata, hubungan kasih antara seseorang dengan
sesamanya menunjukkan hubungan kasih antara orang tersebut dengan Allah. Hal
ini tidak harus dikatakan bahwa orang non-Kristen dapat menunjukkan tindakan
mengasihi sesama tanpa pertolongan dari Allah. Sebaliknya, tindakan kasih ini
adalah bukti nyata dari karya Allah di dalam orang tersebut.
117
Mark Lowery, “Retrieving Rahner for Orthodox Catholicism,”
http://www.ewtn.com/ library/THEOLOGY/FR91302.HTM, diakses
pada 23 Maret 2020.
61
terwujud jika umat Kristen menyadari kasih karunia Allah yang telah diterimanya
dalam kekristenanannya yang harus mengasihi sesamanya sebagai refleksi dari
imannya kepada Allah. Nilai luhur ini, yaitu kasih kepada sesama, sangat
dibutuhkan dalam konteks kehidupan pluralisme agama di Indonesia, sehingga
dengannya orang Kristen Anonim dapat turut melihat dan mengalami terang Allah
yang menyelamatkan.
62
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
63
batas antara ajaran kekristenan dengan keunikan identitas setiap agama. Artinya,
membangun pluralisme tidak dengan mengerucutkan pemikiran dan pemahaman
pada keseragaman pola pikir atau keseragaman tipologi ajaran agama yang
tujuannya menjadi satu dan sepaham. Dalam hal ini, derivatif nilai yang
ditawarkan oleh para teolog, salah satunya Karl Rahner, dapat dijadikan tolok
ukur perbandingan mengenai konsep bahwa berbeda menuju keselarasan bukan
berarti harus menjadi serasi secara identitas.
Pemahaman dan sikap teologis yang dipegang dan dilaksanakan oleh umat
Kristen di Indonesia memiliki implikasi atau pengaruh terhadap usaha untuk
menyalurkan anugerah keselamatan kepada orang lain. Dengan pemahaman,
penerimaan, dan sikap yang tepat, yaitu pluralis dalam menghadapi kondisi
masyarakat Indonesia yang majemuk, tujuan kehadiran Kristen dalam masyarakat
yang majemuk pun mendapatkan makna tersendiri. Di sini, umat Kristen dapat
menjalankan kehidupan beragama atau berimannya secara pribadi dengan efektif,
sekaligus menjalankan peran positifnya di dalam masyarakat sebagai penyalur
anugerah keselamatan Allah kepada seluruh umat manusia. Dengan kata lain,
dalam konteks pluralisme agama di Indonesia, umat Kristen dapat menjadi agen-
agen pendukung terciptanya kerukunan dan persatuan di dalam masyarakat
Indonesia.
5.2 Usul-Saran
64
Indonesia. Jika tidak demikian, akan terjadi banyak kejadian kriminalisasi
terhadap umat beragama. Dalam definisi di atas, sudah dijelaskan bahwa di
Indonesia, sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku, semua orang
berhak memilih agamanya masing-masing. Secara tidak langsung, pemerintah
harus lebih efektif menjalankan tugasnya sebagai pembimbing, pendorong,
pengkoordinasi, pembantu, dan pengintegrasi yang memungkinkan diskusi dan
pengambilan keputusan yang adil di antara pihak-pihak yang bertikai sesuai
dengan undang-undang yang berlaku. Kesejahteraan umum, keadilan, dan
kenyamanan masyarakat harus diutamakan. Kebijakan-kebijakan dan undang-
undang harus berdasarkan kenyataan masyarakat umumnya. Selain itu,
pemerintah harus mampu menangani masalah tersebut dengan membuka lapangan
pekerjaan. Paling tidak memberi peluang bagi generasi muda untuk berkarya.
Dengan bekerja demikian, masyarakat akan mengerti keberadaanya sebagai warga
negara dan warga beragama.
65
umat harus turut merasakan pengalaman iman akan agama lain melainkan dialog
yang jujur dan terbuka akan kehadiran Allah yang menyelamatkan secara
universal. Gereja harus mampu membuka diri dan melahirkan pandangan baru
untuk menjunjung tinggi nilai toleransi, bahwa di dalam setiap agama memiliki
kebenarannya masing-masing. Sebagaimana ensiklik-ensiklik muncul sebagai
reaksi terhadap masalah dunia, hendaknya Gereja sekarang juga demikian
menunjukkan reaksi dan aksinya terhadap semua masalah yang terjadi. Dengan
demikian, kerukunan antarumat beragama dan sikap saling menerima satu sama
lain dapat terwujud melalui nilai-nilai toleransi yang ditanamkan kepada semua
orang.
66
Keempat, kepada semua masyarakat. Masalah-masalah yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat merupakan tanggung jawab bersama. Hal ini bukan
hanya dinilai dari sudut pandang Gereja, tetapi juga dari segi manusia sebagai
makhluk sosial, di mana manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan dari sesamanya
yang lain. Berdasarkan pernyataan tersebut, manusia wajib sadar akan pribadinya
dan kehadiran orang lain di tengah kehidupannya. Saling membantu, berbagi,
menghargai, dan singkatnya mencintai sesama merupakan bagian dari sikap
toleransi kepada orang lain, terkhusus bagi mereka yang memiliki keyakinan lain.
Semua masyarakat dituntut untuk bertanggung jawab terhadap sesamanya bahwa
ketika ada sesamanya menghina atau mengejek orang yang memiliki kepercayaan
lain, ia bisa mengambil tindakan berupa teguran dan menjelaskan bahwa yang
dilakukannya merupakan suatu kesalahan. Setelah itu, ia diberikan pengarahan
agar di kemudian hari tidak terjadi lagi hal-hal semacam itu. Namun, apabila ia
membantahnya, persoalan tersebut bisa diajurkan ke lembaga-lembaga keagamaan
melalui pemerintah sebagai pengarah dan pendamping.
67
DAFTAR KEPUSTAKAAN
BUKU-BUKU
Aritonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004.
Baan, G. J. Tulip: Lima Pokok Calvinisme. Surabaya: Momentum, 2009.
Batlogg, Andreas R. & Melvin E. Michalski (eds.). Encounters with Karl Rahner.
Rememberances of Rahner by Those Who Knew Him. Milwaukee:
Marquette University Press, 2009.
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX, Prancis. Jilid II. Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia, 1985.
Coward, Harold. Pluralisme. Tantangan bagi Agama-Agama. Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Donceel, Joseph. A Rahner Reader. New York: The Seabury Press.
Ford, David F. The Modern Theologians Volume 1. Oxford: Blackwell, 1993.
Gions, F. Karl Rahner tentang Yesus Kristus sebagai Jawaban Atas Pertanyaan
Dasariah Manusia. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2006.
Grenz, Stanley J. & Roger E. Olson. 20th Century Theology: God & the World in
a Transitional Age. Downers Grove: InterVarsity, 1992.
Haight, Roger. Teologi Rahmat dari Masa ke Masa. Penerj. Martin Warus dan
Georg Kirchberger. Ende: Penerbit Nusa Indah, 2007.
Jacobs, Tom. Paham Allah dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi.
Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Kilby, Karen. Karl Rahner. Tokoh Pemikir Kristen. Penerj. Peter Vardy.
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
68
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani. Cet. ke-2.
Maumere: Penerbit Ledalero, 2012.
Knitter, Paul F. No Other Name? A Critical Survey of Christians Attitude Toward
The World Religions. New York: Orbis Books, 1989.
____________. Pengantar ke dalam Teologi Agama-agama. Penerj. Nico A.
Likumahuwa. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Küng, Hans. Global Responsibility: In Search of a New World Ethics. New York:
Crossroad, 1991.
Lane, Tony Runtut Pijar. Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005.
Lehmann, Karl dan Albert Raffelt (eds.). The Content of Faith: The Best of Karl
Rahner’s Theological Writings. New York: Crossroad, 1994.
Lemay, Eric & Jennifer A. Pitts. Heidegger for Beginners (Heidegger untuk
Pemula). Penerj. P. Hardono Hadi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.
Lumintang, Stevri I. Theologia Abu-Abu: Pluralisme Agama. Malang: Penerbit
Gandum Mas, 2004.
Marmion, Declan dan Mary E. Hines (eds.). Cambridge Companion to Karl
Rahner. London: Cambridge University Press, 2005.
Mello, Anthony de. Mencari Tuhan dalam Segala. Penerj. Antonius Puspo
Kuntjoro dan Karel Wilhelmus D. Jakarta: Gramedia, 2013.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. Pendidikan Multikultural, Konsep dan
Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
New Bigin, Lesslie. Injil dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000.
Ohoitimur, Johanis. Metafisika sebagai Hermeneutika: Cara Baru Memahami
Filsafat Spekulatif Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead. Jakarta:
Penerbit Obor, 2006.
Poehlmann, Horst G. Pembaharuan Bersumberkan Tradisi. Potret 6 Teolog Besar
Katolik Abad Ini. Ende: Nusa Indah, 1998.
Rahner, Karl. Theological Investigations, Vol. 14. Penerj. David Bourke. London:
Darton, Longmann & Todd, 1976.
____________. Foundations of Christian Faith: An Introduction to the Idea of
Christianity. Penerj. W. Dych. London: Darton, Longman & Todd, 1978.
Ridenour, Fritz. How To Be a Christian Without Being Religious. Yogyakarta:
Gloria Grafia, 2003.
Sardy, Martyn. Agama Multidimensional: Kerukunan Hidup Beragama dan
Integritas Nasional. Bandung: Penerbit Alumni, 1983.
Siswanto, Joko. Sistem-Sistem Metafisika Barat: dari Aristoteles sampai Derrida.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 1998.
69
Soetarman, dkk. Fundamentalisme, Agama-Agama, dan Teknologi. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996.
Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju
Kebangsaan. Cet. ke-5. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009.
Syukur Dister, Nico. Filsafat Agama Kristiani. Mempertanggungjawabkan Iman
akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus. Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika
dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991.
Vorgrimler, Herbert. Karl Rahner: His Life, Thought, and Works. Penerj. Edward
Quinn. London: Deus Books Paulist Press, 1966.
_________________. Understanding Karl Rahner. New York, 1986.
Weger, Karl Heinz. Karl Rahner: An Introduction to His Theology. Penerj. David
Smith. London: Burn and Oates Ltd., 1980.
ARTIKEL
Kirchberger, Georg. “Teologi Karl Rahner sebagai Teologi Kontekstual”, dalam:
Jurnal Ledalero, Vol. 9 No. 2, Desember 2010.
Nafis, Muhamad Wahyuni. “Konflik Agama atau Politik”, dalam: Nur Achmad
(ed.). Pluralitas Agama: Kerukunan Dalam Keragaman. Jakarta: Penerbit
Kompas Gramedia, 2001.
Rahner, Karl. “Some Implications of the Scholastic Concept of Uncreated Grace”,
dalam: Theological Investigations 1. Penerj. Cornelius Ernst. Baltimore:
MD Helicon Press, 1961.
_____, Karl. “The Dignity and Freedom of Man”, dalam Theological
Investigations 2. Penerj. Karl-H. Kruger. Baltimore: MD Helicon Press,
1963.
______, Karl. “On Grace”, dalam: Theological Investigations 4. Penerj. Kevin
Smyth. Baltimore: MD Helicon Press, 1966.
______, Karl. “The Experience of God Today”, dalam Theological Investigations
11. Penerj. David Bourke. London: Longman & Todd, 1974.
______, Karl. “Anonymous Christians”. Dalam: Theological Investigations. Vol.
14. Penerj. David Bourke. London: Darton. Longman & Todd, 1976.
Raho, Bernardus. “Konflik di Indonesia: Problematika dan Pemecahannya,
Ditinjau dari Perspektif Sosiologis”, dalam: Guido Tisera (ed.). Mengolah
Konflik Mengupayakan Perdamaian. Maumere: Penerbit LPBAJ, 2002.
Singgih, E. Gerrit. “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan yang Bersifat
Majemuk”, dalam Tim Balitbang PGI. Meretas Jalan Teologi Agama-
Agama di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Tillich, Robertson. “‘Two Types’ and the Transcendental Method”, dalam: The
Journal of Religion, Seri 55/2, April 1975.
70
MANUSKRIP
Hayong, Bernardus S. “Antropologi Metafisika Karl Rahner. Dari Antropologi ke
Filsafat Agama“ (ms). Diktat Kuliah. STFK Ledalero, 2009.
Kleden, Leo. “Filsafat Manusia”, Ms., STFK Ledalero, 2014.
INTERNET
“Anonimous Christian” (Online). sttbereasalatiga.blogspot.com/2012/07/
anonymous-christian.html. Diakses: 23 Maret 2020.
Edison, David. Online. “Heidegger: Sosok Pengubah Zaman”. https://
www.kompasiana.com/heidegger-sosok-pengubah-zaman. Diakses: 8
November 2019.
Lowery, Mark. “Retrieving Rahner for Orthodox Catholicism,”
http://www.ewtn.com/ library/THEOLOGY/FR91302.HTM. Diakses: 23 Maret
2020.
Mendrofa, Darianus. “Suatu Evaluasi Kritis terhadap Pendekatan Inklusivisme
dalam Berteologi Religionum” (Online), http://www.kadnet.info. Diakses:
12 Januari 2020.
Rahner, Karl. Online. www.answers.com/topic/karl-rahner. Diakses: 28 Februari
2017.
Wikipedia, “Karl Rahner” (Online), wikipedia.org/wiki/Karl_Rahner. Diakses: 20
Januari 2020.
Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Rahner#cite_note-Lane-2, Diakses: 23
Maret 2020.
71