Niat Beli Ulang Mahasiswa Terhadap Kopi Berkonsep Coffee-To-Go Shop

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

Volume 20, Nomor 2, Mei 2021, pp 185-196.

Copyright © 2021 Jurnal


Manajemen Maranatha, Program Studi S-1 Manajemen, Fakultas Ekonomi,
Universitas Kristen Maranatha. ISSN 1411-9293 | e-ISSN 2579-4094.
https://journal.maranatha.edu/index.php/jmm

Niat beli ulang mahasiswa terhadap kopi berkonsep coffee-to-go shop

Nur Afifah Fibriyanti


Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas YARSI
Jl. Let. Jend. Suprapto. Cempaka Putih, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Indonesia. 10510
nurafifah.f12@gmail.com

La Diadhan Hukama*
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas YARSI
Jl. Let. Jend. Suprapto. Cempaka Putih, Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Indonesia. 10510
adhanhuk@gmail.com

*Penulis Korespondensi

Submitted: Apr 22, 2021; Reviewed: Apr 28, 2021; Accepted: May 20, 2021

Abstract: The competition for coffee shops in Indonesia is getting tighter, especially the coffee shop
business with the coffee-to-go shop (take away) concept. The to-go coffee shop is a coffee shop that
provides coffee drinks that are sold in packs that are ready to take (take away) so that they can be
enjoyed in other places due to limited space. This study aims to analyze the effect of experiential
marketing on repurchase intentions. The questionnaire in the study was distributed to 100 respondents
with purposive sampling technique as a data collection technique. The findings in this study are that
only the relate variable has a positive and significant effect on repurchase intention. Three other
variables such as sensory, feel, and think have a positive but insignificant effect. While the act variable
has a negative and insignificant effect. Thus, only a part of the experiential marketing dimension has an
effect on the intention to repurchase students of the Faculty of Economics and Business, YARSI
University.

Keywords: act; experiential marketing; feel; relate; repurchase intention; sensory; think

Abstrak: Persaingan kedai kopi di Indonesia saat ini semakin ketat, khususnya bisnis kedai kopi dengan
konsep coffee-to-go shop (take away). Kedai kopi to-go merupakan kedai kopi yang menyediakan
minuman kopi yang dijual dalam kemasan yang siap bawa (take away) sehingga bisa dinikmati di
tempat lain karena keterbatasan tempat. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh experiential
marketing terhadap niat beli ulang. Kuesioner dalam penelitian disebar kepada 100 orang responden
dengan teknik purposive sampling sebagai teknik pengumpulan data. Temuan dalam penelitian ini
adalah hanya variabel relate yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat beli ulang. Tiga
variabel lainnya seperti sensory, feel, dan think berpengaruh positif namun tidak signifikan. Sedangkan
variabel act berpengaruh negatif dan tidak signifikan. Dengan demikian, hanya sebagian dimensi
experiential marketing yang berpengaruh terhadap niat beli ulang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas YARSI.

Kata kunci: act; experiential marketing; feel; niat beli ulang; relate; sensory; think

DOI: https://doi.org/10.28932/jmm.v20i2.3574 185


Jurnal Manajemen Maranatha ■ Vol. 20 Nomor 2, Mei (2021)

1. PENDAHULUAN

Saat ini, salah satu minuman yang sedang digemari dan populer di semua kalangan, khususnya anak
muda adalah kopi. Fenomena ini telah dimulai sejak era tahun 1985-an yang ditandai dengan banyaknya
coffee shop atau kafe yang menyediakan produk kopi dalam bentuk ready to drink (RTD) yang diseduh
dari kopi bubuk instan (dalam kemasan sachet). Masa tersebut disebut dengan gelombang pertama
industri kedai kopi Indonesia (Toffin & Mix, 2020).
Pada tahun 2001, Indonesia mulai memasuki gelombang kedua industri kedai kopi yang ditandai
dengan terjadinya perubahan perilaku konsumen dalam meminum kopi. Perubahan tersebut adalah
kebiasaan meminum kopi yang sebelumnya dianggap sebagai kebutuhan fungsional berubah menjadi
kebutuhan emosional (Toffin & Mix, 2020). Kebutuhan fungsional atau nilai fungsional terdiri dari
harga yang dibayar, kualitas, dan kuantitas produk (Guerin, 2003; dalam Sudarso, 2016). Sedangkan
kebutuhan emosional/ nilai emosional berasal dari manfaat yang dirasakan konsumen yang bersumber
dari perasaan atau emosi positif. Perasaan tersebut muncul ketika konsumen mengonsumsi produk/ jasa
(Sweeney & Soutar, 2001; dalam Sudarso, 2016). Bagi sebagian masyarakat perkotaan, meminum kopi
bukan hanya sekedar tuntutan selera namun telah menjadi menjadi bagian dari gaya hidup (Herlyana,
2012). Ketika seseorang minum kopi di kedai-kedai tertentu, dia terpersepsikan memiliki status sosial
tertentu seperti status sosial atau gengsi yang meningkat. Hal tersebut sejalan dengan hasil survei Jakpat
(2017) bahwa salah satu motivasi dasar konsumen mengonsumsi kopi adalah selain mengonsumsi kopi
karena menyukai rasanya dan membantu tetap terjaga dengan kandungan kafein di dalamnya,
mengonsumsi kopi dianggap sebagai bagian dari gaya hidup.
Saat ini, keberadaan kedai kopi diyakini sebagai tempat yang nyaman untuk berkumpul atau
melakukan rapat, bahkan dijadikan sebagai tempat sarapan karena di tempat tersebut tersedia makanan
yang siap dikonsumsi atau cepat saji. Masyarakat bisa menikmati kopi sambil beristirahat dan
berbincang-bincang dengan rekan yang lain. Kebisaan tersebut yang diyakini telah menjadi salah satu
gaya hidup bagi bagi masyarakat tertentu, sehingga tanpa ragu mereka menghabiskan uang dan mengisi
waktu luang dengan meminum kopi di kedai-kedai kopi tertentu (Herlyana, 2012).
Selain terjadi pergeseran perilaku konsumen dalam mengonsumsi kopi, pada tahun 2016 terjadi
diversifikasi bisnis kedai kopi yaitu kedai kopi yang berkonsep coffee-to-go shop (take away), yang
mana sebelumnya konsep bisnis kedai kopi disebut kedai kopi artisan. Kedai kopi artisan adalah kedai
yang menjual dan menyajikan kopi dengan cita rasa tinggi dengan aroma yang khas yang diseduh
dengan teknik penyajian yang cermat, tidak terburu-buru, serta menggunakan bahan berkualitas dengan
memprioritaskan suasana kafe sebagai (Toffin & Mix, 2020; Wulandari, 2020). Sedangkan konsep
coffee-to-go shop (take away) adalah kedai kopi yang masih menyediakan kursi, namun dengan jumlah
terbatas atau tidak menyediakan tempat duduk dengan menjual kopi RTD yang berkualitas dengan harga
yang lebih terjangkau, dikemas secara khusus sehingga kopi tersebut siap dibawa (ready to go) dan bisa
dinikmati di tempat lain (Toffin & Mix, 2020; Awaliyah & Dwinanda, 2019). Kopi Kenangan, Janji
Jiwa, Tuku, dan Fore dianggap sebagai pelopor kedai kopi berkonsep coffee-to-go shop (take away) atau
kedai kopi to-go.

Gambar 1. Penjualan ritel kopi RTD di Indonesia pada tahun 2013-2018 (juta liter)
Sumber: Euromonitor passport (2019); dalam Toffin & Mix (2020)

186
Jurnal Manajemen Maranatha ■ Vol. 20 Nomor 2, Mei (2021)

Menurut riset Toffin & Mix (2020), kedai kopi berkonsep coffee-to-go shop (take away) seperti Kopi
Janji Jiwa, Kulo, Kenangan, dan lain sebagainya, banyak diminati oleh para pecinta kopi generasi
milenial khususnya kalangan pemula kopi dari generasi Z (berusia 10-24 tahun) dan Y (berusia 25-39
tahun). Kedua generasi tersebut adalah kaum yang saat ini menguasai jumlah penduduk Indonesia.
Tingginya minat kedua generasi tersebut khususnya minat mereka terhadap kedai kopi to-go, merupakan
salah satu penyebab tingginya jumlah konsumsi kopi di Indonesia (Gambar 1). Seperti terlihat pada
gambar tersebut, penjualan di Indonesia khususnya produk kopi RTD dalam enam tahun terakhir terus
meningkat, yang mana pada tahun 2018 meningkat sampai mencapai 120 juta liter dan diperkirakan
penjualan tersebut masih akan terus meningkat. Tingginya minat tersebut direspon oleh produsen dan
pemasar kopi (pengusaha kedai kopi), baik pebisnis kedai lama dengan menambah jumlah kedai maupun
pebisnis kedai kopi baru yang baru memulai usaha. Hal tersebut terlihat dari kedai kopi yang ada di
mana-mana, mulai kedai kopi terkenal (misalnya Starbucks, Harvest, JCo, Dunkin Donut, Kopi
Kenangan, Janji Jiwa, dan lain-lain) serta merek kepemilikan kecil perseorangan lainnya. Kedua
fenomena tersebut telah menjadi salah satu pemicu tumbuhnya konsumsi kopi di Indonesia. Perkiraan
laju pertumbuhan konsumsi tersebut mengindikasikan bahwa adanya ruang pasar baru yang besar dan
dapat dimanfaatkan oleh para pebisnis kopi. Ruang pasar yang besar tersebut dapat menjadi peluang
bagi pelaku bisnis kedai kopi, baik pebisnis lama maupun baru apabila disikapi dengan strategi
pemasaran yang tepat. Apabila tidak disikapi dengan strategi pemasaran yang tepat, kemunculan kedai
kopi baru akan menjadi ancaman bagi pebisnis lama.
Salah satu strategi pemasaran yang digunakan saat ini adalah konsep experiential marketing.
Experiential marketing secara luas didefinisikan sebagai segala bentuk aktivitas/ kegiatan pemasaran
yang berfokus pada pelanggan dalam rangka menciptakan hubungan dengan pelanggan (Schmitt, 1999).
Salah satu tujuan dari experiential marketing adalah meningkatkan citra merek perusahaan. Saat ini,
citra merek suatu perusahaan adalah salah satu aset terpenting yang tidak hanya membentuk keunggulan
kompetitif, tetapi juga membantu perusahaan tetap berada di benak pelanggannya dan menghasilkan
loyalitas pelanggan kepada perusahaan (Deheshti et al., 2016). Saat ini, konsep experiential marketing
telah diperkenalkan secara luas ke banyak industri, seperti olahraga, rekreasi, dan pariwisata (Cuellar et
al., 2015), restoran (Pratminingsih et al, 2018), bisnis ritel (Rosadi et al., 2019), maskapai penerbangan
(Alagoz & Ekici, 2014), layanan medis (Gheorghe et al., 2017), dan kedai kopi (Chang, 2020).
Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada beberapa riset yang terkait bisnis kedai kopi dan
experiential marketing. Terdapat temuan empiris menarik terhadap riset yang mayoritas respondennya
didominasi oleh generasi Z yang berusia 10-24 tahun dan generasi yang berusia 25-39 tahun. Penelitian
Chang (2020) dengan dominasi responden yang berusia di bawah 20 tahun, menemukan bahwa
experiential marketing tidak dapat memengaruhi loyalitas pelanggan kedai kopi Starbucks di Taiwan.
Temuan empiris menarik lain adalah hasil penelitian Setyono et al. (2017) dengan dominasi responden
yang berusaia 17-25 tahun, menemukan bahwa hanya sense dan feel yang tidak berpengaruh terhadap
niat beli ulang konsumen Konig Coffee & Bar. Sedangkan temuan empiris lainnya, Febrini et al. (2019)
dengan dominasi responden yang berusia 21-30, menemukan bahwa experiential marketing
berpengaruh positif terhadap niat beli ulang di Warung Kopi Klotok.
Berdasarkan hasil riset Toffin & Mix (2020), sejak tahun 2016 mulai terjadi peningkatan kedai kopi
di Indonesia. Kedai kopi di Indonesia tahun 2019 berjumlah sekitar 2.950 gerai, jumlah tersebut
mengalami kenaikan hampir tiga kali lipat dibanding tahun 2016 dengan jumlah kedai kopi sekitar 1.000
gerai. Seperti terlihat pada Tabel 1, dari tahun 2017 sampai tahun 2018, kedai kopi dengan konsep
coffee-to-go shop pertama kali muncul di Indonesia yang langsung didominasi oleh kedai kopi merek
Janji Jiwa dengan membuka 500 gerai, kemudian disusul kedai kopi merek Kulo sebanyak 300 gerai,
dan Kopi Kenangan sebanyak 175 gerai.

Tabel 1. Jumlah kedai kopi konsep coffee-to-go shop Indonesia 2019


No. Kedai kopi Mulai beroperasi Jumlah outlet
1. Kopi Kenangan 2017 175
2. Kopi Soe 2017 150
3. Fore 2018 100
4. Janji Jiwa 2018 500

187
Jurnal Manajemen Maranatha ■ Vol. 20 Nomor 2, Mei (2021)

5. Kulo 2018 300


Sumber: Toffin & Mix (2020)

Bisnis kedai kopi, baik konsep kedai kopi artisan maupun kedai konsep coffee-to-go shop, adalah
tergolong bisnis yang unik karena dalam bisnis tersebut memadukan antara usaha penyediaan barang
(minuman kopi yang berkualitas) dan layanan jasa yang berkualitas secara bersamaan. Untuk
menghasilkan minuman kopi yang berkualitas, pelaku bisnis kedai kopi akan memerhatikan seluruh
aspek produksi. Dimulai dari pemilihan jenis kopi, proses sangrai/ roasting, proses penggilingan kopi,
sampai pada proses penyeduhan kopi, serta bahan baku tambahan seperti susu dengan kualitas terbaik.
Seluruh proses tersebut dilakukan secara seksama, cermat, dan tidak terburu-buru. Sedangkan dalam
layanan jasa kedai kopi to-go menawarkan layanan yang berkualitas kepada konsumen. Layanan
tersebut antara lain adalah adanya tawaran berbagai jenis varian rasa produk kopi susu, kemudahan
dalam membeli (pesan lewat aplikasi), kemudahan dalam proses pengiriman kopi, serta kemudahan
dalam pembayaran seperti menggunakan uang elektronik (Toffin & Mix, 2020).
Ketika kinerja produk dan layanan yang diberikan oleh produsen melebihi harapan/ ekspektasi
konsumen, maka konsumen akan merasa puas. Namun jika sebaliknya, kinerja produk dan layanan jauh
dari ekspektasi maka konsumen akan merasa tidak puas. Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa
seseorang yang dihasilkan dari membandingkan kinerja produk dengan harapan (Kotler & Keller, 2016).
Kepuasan pelanggan adalah anteseden penting dari loyalitas (Azoury et al., 2014). Loyalitas merupakan
komitmen konsumen untuk membeli dan mengonsumsi kembali atau berlangganan kembali terhadap
produk/ layanan yang disukai secara konsisten di masa depan, meskipun dipengaruhi oleh situasi tertentu
atau upaya pemasaran yang berpotensi menyebabkan terjadinya perubahan perilaku (Oliver, 1997).
Dampak positif dari kepuasan pelanggan salah satunya ditunjukkan dengan perilaku pembelian, niat
pembelian kembali, word of mouth positif, retensi pelanggan, dan penggunaan secara terus menerus
terhadap layanan diberikan oleh perusahaan (Anderson & Sullivan, 1993; dalam Azoury et al., 2014).
Pada tingkat kepuasan tertentu, konsumen akan memiliki kemauan yang kuat untuk melakuan pembelian
ulang (Choi & Kim, 2013).
Niat beli ulang (repurchase intention) merupakan perilaku konsumen yang direncanakan dalam
pengambilan keputusan berdasarkan hasil evaluasi terhadap suatu produk atau jasa yang pernah
dibelinya dengan kondisi konsumen yang memengaruhinya (Widjajanta et al., 2020). Niat beli ulang
adalah perilaku pelanggan yang mana pelanggan memberikan respon secara positif terhadap apa yang
telah diterima dari suatu perusahaan dan konsumen tersebut memiliki minat untuk berkunjung kembali
atau membeli dan mengonsumsi kembali barang/ jasa perusahaan tersebut (Cronin & Taylor, 1992).
Niat beli ulang merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap hubungan
antara konsumen dengan perusahaan di masa depan, seperti keuntungan dan kesuksesan perusahaan
(Nikbin et al., 2011). Konsumen yang setia, secara konsisten dapat berkontribusi terhadap pendapatan
perusahaan yang bersumber dari meningkatnya pembelian ulang serta akan terjadi pengurangan biaya
promosi sehingga dapat meningkatkan keutungan perusahaan (Li & Green, 2011). Pembelian ulang
dimungkinkan dengan membangun dan mengelola hubungan dengan pelanggan yang mana secara terus-
menerus organisasi/ produsen menyesuaikan tawarannya sesuai dengan keinginan pelanggan serta
memberikan nilai tambah dalam rangka meningkatkan kepuasan pelanggan (Varga et al., 2014).
Perusahaan selalu berusaha menjaga kualitas produk dan layanan yang diberikan agar pelanggan
tetap memertahankan atau bahkan meningkatkan frekuensi pembeliannya. Grewal et al. (2008)
merumuskan pengukuran niat beli ulang dengan empat indikator yang merupakan hasil modifikasi dari
pengukuran niat beli ulang yang dirumuskan oleh Zeithaml et al. (1996). Indikator tersebut adalah (1)
produk yang dikonsumsi dianggap sebagai pilihan utama di masa mendatang, (2) akan
merekomendasikan produk tersebut kepada yang meminta saran, (3) akan merekomendasikan produk
tersebut kepada teman, dan (4) akan mengonsumsi kembali produk tersebut di masa mendatang.
Perusahaan akan berusaha memberikan layanan yang berbeda dari pesaingnya. Layanan yang
berbeda diharapkan dapat memberikan pengalaman yang berbeda terhadap konsumen dibandingkan
dengan pesaingnya, dengan harapan dapat membentuk kesan positif yang tidak terlupakan. Salah satu
konsep pemasaran yang dapat digunakan untuk memengaruhi sisi emosional konsumen dalam membeli
sebuah produk atau jasa adalah melalui experiential marketing. Para pemilik usaha kedai kopi, selalu
188
Jurnal Manajemen Maranatha ■ Vol. 20 Nomor 2, Mei (2021)

berusaha membentuk kesan positif yang tidak terlupakan di benak para konsumennya. Ada beberapa
usaha yang dilakukan oleh pebisnis kedai kopi untuk memberikan pengalaman kepada konsumennya,
antara lain menawarkan menu-menu kopi dengan nama yang unik seperti es kopi selingkuhan, es kopi
mantan, es kopi kekasih, dan es kopi (Pasha, 2020). Selain itu, ada juga yang memberikan kebebasan
kepada konsumennya untuk mencoba secara langsung bagaimana membuat segelas kopi secara manual
atau menggunakan mesin dengan baik dan benar. Atau para pengunjung kedai kopi selain menikmati
kopi, mereka dapat melihat seluruh proses pembuatan kopi. Tawaran yang lain adalah menawarkan
kedai kopi dengan interior dan desain bagus atau instagramable. Ketika perusahaan berhasil
menumbuhkan kesan positif dan kesan tersebut tidak terlupakan, sebenarnya hal tersebut sama dengan
menumbuhkan pengalaman tertentu kepada konsumen. Ketika yang tersimpan di benak konsumen
adalah ingatan positif yang dikarenakan dia puas, maka ada potensi konsumen tersebut menjadi loyal
sehingga salah satu hal yang dilakukan adalah melakukan pembelian ulang.
Experiential berarti sebuah pengalaman yang berasal kata dari experience (Schmitt, 2009).
Experience adalah ketika sensasi atau pengetahuan didapatkan oleh pelanggan yang diperoleh dari
interaksi dengan berbagai unsur yang diciptakan oleh penyedia layanan (Nasermoadeli et al., 2013).
Experiential marketing adalah suatu usaha yang dilakukan oleh para pemasar atau perusahaan, dalam
mengemas produk/ jasa dengan menawarkan pengalaman emosi bahkan sampai kepada menggugah hati
dan perasaan konsumen (Schmitt, 1999). Experiential marketing merupakan salah satu konsep
pemasaran yang memiliki tujuan membentuk pelanggan yang loyal dengan cara menggugah emosi
pelanggan yang terwujud melalui pengalaman-pengalaman positif dan suatu emosi yang positif terhadap
jasa dan produk (Kertajaya, 2010; dalam Dewi et al., 2015). Sedangkan menurut Chandra (2008; dalam
Huda & Anisa, 2020) bahwa experiential marketing adalah merupakan salah satu strategi pemasaran
yang dikemas dalam bentuk aktivitas tertentu, sehingga dapat memberi pengalaman positif dan sulit
dilupakan oleh konsumen. Dengan demikian, tujuan akhir dari experiential marketing adalah
menciptakan pengalaman positif dan sempurna dengan memberikan pengalaman yang mengesankan,
menggugah hati, dan perasaan konsumen melalui kinerja produk dan jasa sehingga muncul keinginan
untuk menggunakan produk dan jasa perusahaan tersebut secara terus menerus.
Ide utama strategi pemasaran berdasarkan pengalaman (experiential marketing) adalah menciptakan
berbagai macam pengalaman positif bagi konsumen/ pelanggan. Rerangka dasar untuk mewujudkan
pengalaman tersebut salah satu di antaranya adalah melalui konsep Strategic Experiential Moduls
(SEMs). Strategic Experiential Moduls (SEMs) menguraikan lima jenis pengalaman konsumen/
pelanggan dan menjadi dasar dari experiential marketing meliputi pengalaman sense, feel, think, act,
dan relate (Schmitt, 1999).
Sense marketing dititikberatkan pada perasaan pelanggan dengan tujuan untuk menciptakan
pengalaman melalui panca indra. Sense marketing dapat dimanfaatkan oleh perusahaan melalui produk
yang menjadi terdiferensiasi khususnya dengan produk saingannya, membuat konsumen semakin
termotivasi dalam membeli produk dan jasa tanpa promosi yang intensif, serta berkontribusi dalam
memberi menambah nilai produk/ jasa kepada pelanggan (Hestanto, 2008). Sense marketing bertujuan
menciptakan kesan yang elegan dan menyenangkan melalui stimulan panca indra pelanggan sehingga
konsumen merasa puas (Schmitt, 1999).
Titik berat feel marketing adalah usaha yang dilakukan dengan mengusahakan dan membangkitkan
emosi konsumen agar terus merasa enak dan nyaman dengan produk/ jasa yang dikonsumsinya. Feel
(pengalaman afektif) adalah hasil interaksi yang meningkat dan tumbuh sepanjang waktu yang
berkembang melalui perasaan terdalam dan emosi konsumen (Schmitt & Roger, 2008). Pengusaha ingin
mewujudkan konsumen yang memiliki kebanggaan dan prestise terhadap produk dan jasa yang
ditawarkan sehingga memiliki loyalitas kuat. Produsen dapat mengelola perasaan konsumen melalui dua
hal, yaitu suasana hati (moods) dan emosi (emotion) konsumen (Hestanto, 2008).
Titik berat think marketing adalah produsen menginginkan pelanggan dapat berpikir secara
mendalam, sehingga memberikan pendapat yang positif terhadap produk dan jasa perusahaan (Hestanto,
2008). Think (pengalaman kognitif kreatif) adalah berusaha menggerakkan konsumen agar tertarik dan
berpikir kreatif, sehingga perusahaan mendapatkan masukan dari konsumen melalui umpan balik yang
diberikan oleh konsumen (Schmitt & Roger, 2008). Ketika konsumen diberikan keleluasaan dalam

189
Jurnal Manajemen Maranatha ■ Vol. 20 Nomor 2, Mei (2021)

berpikir kreatif dan memberikan umpan balik, maka umpan balik tersebut direspon oleh perusahaan
dengan memodifikasi produk dan jasa sesuai dengan yang dibutuhkan oleh konsumen.
Titik berat act marketing adalah membentuk persepsi pelanggan melalui pengalaman tubuh fisik,
pola perilaku, gaya hidup, dan interaksi dengan orang lain (Schmitt & Roger, 2008). Sehingga persepsi
yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman tersebut akan memengaruhi perilaku konsumen dalam
membeli barang dan jasa atau menjadi konsumen yang loyal. Dengan act marketing, perusahaan dapat
mendesain atau membuat barang dan jasa yang berkaitan dengan perilaku dan gaya hidup konsumen.
Sehingga melalui barang dan jasa, konsumen dapat mengekspresikan gaya hidupnya.
Titik berat relate marketing adalah mempertemukan pelanggan secara personal dengan masyarakat
atau budaya. Relate marketing terbentuk dari dampak sense, feel, think, dan act. Fokus utama relate
marketing adalah terciptanya persepsi positif dan pengalaman positif dengan pelanggan. Relate
marketing adalah suatu usaha membangun dan mewujudkan suatu komoditas pelanggan lewat
komunikasi (Kartajaya, 2004; dalam Rahmi et al., 2018). Saat ini, konsumen kopi dengan mudah dapat
menikmati minuman kopi yang berkualitas, namun hal lain yang lebih penting adalah membuat
konsumen mengingat layanan yang didapatkan sejak memesan kopi sampai kopi tersebut dikonsumsi.
Uraian tersebut dapat terkonfirmasi melalui beberapa temuan empiris terdahulu, antara lain Yang &
He (2011) bahwa pengalaman pelanggan berperan penting terhadap niat membeli. Hal yang sama juga
terkonfirmasi dari temuan empiris lain bahwa experiential marketing berpengaruh positif terhadap niat
beli ulang (Liang et al., 2013; Lunnette & Andreani, 2017). Sedangkan hasil penelitian Febrini et al.
(2019); Bellinda et al. (2020); Muhammad & Artanti (2016) menemukan bahwa kepuasan konsumen
mampu memediasi pengaruh experiential marketing terhadap niat beli ulang. Hal yang sama juga
ditemukan dalam penelitian Astari & Pramudana (2016) bahwa experiential value mampu memediasi
pengaruh experiential marketing terhadap niat beli ulang. Sedangkan hasil penelitian Zena &
Hadisumarto (2012) menemukan bahwa experiential marketing dapat memengaruhi tingkat kepuasan
dan loyalitas konsumen.
Sedikit berbeda dengan temuan-temuan empiris sebelumnya, namun ada beberapa temuan lain yang
mana hanya ada beberapa komponen experiential marketing yang berpengaruh terhadap niat beli ulang.
Hendarsono & Sugiharto (2013) menemukan bahwa komponen act tidak berpengaruh terhadap niat beli
ulang. Sementara Sayuti & Dewi (2015) menemukan bahwa feel, think, dan act tidak berpengaruh
terhadap niat beli ulang. Hal yang sama seperti temuan empiris Suhono et al. (2020) bahwa act, think,
feel, sense, dan relate tidak berpangaruh terhadap loyalitas pelanggan. Hasil temuan empiris Rosadi et
al. (2019) menemukan bahwa komponen yang berpengaruh terhadap bahwa niat beli ulang adalah sense
dan act. Sedangkan temuan empiris Setyono et al. (2017) menemukan hanya sense dan feel yang tidak
berpengaruh terhadap niat beli ulang.
Permasalahan dan fenomena experiential marketing dan niat beli ulang kedai kopi to-go menarik
untuk dikaji. Berdasarkan hasil kajian literatur, belum ada peneliti yang mengeksplorasi secara khusus
fenomena tersebut secara khususnya bagi kelompok generasi Z (10-24 tahun) dan generasi Y (25-39
tahun) bagi mahasiswa Program S-1 yang tergolong dalam kedua generasi tersebut. Dengan demikian,
rumusan hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh positif sense, feel, think, act, dan relate
terhadap niat beli ulang kedai kopi to-go XYZ.

Gambar 2. Model penelitian


Sumber: Diolah dari berbagai sumber (2020)
190
Jurnal Manajemen Maranatha ■ Vol. 20 Nomor 2, Mei (2021)

2. METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Target populasi dalam penelitian ini adalah
mahasiswa FEB Universitas YARSI yang telah membeli dan mengonsumsi kopi kedai to-go XYZ.
Mahasiswa FEB Universitas YARSI yang memenuhi kriteria populasi dan akan memiliki peluang/
kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel (Malhotra et al., 2017). Peneliti menetapkan
kriteria/ syarat dalam pengambilan sampel, yaitu mahasiswa FEB YARSI yang minimal telah membeli
dan mengonsumsi kopi kedai to-go XYZ. Dengan menentukan kriteria/ syarat tertentu, sehingga yang
digunakan adalah teknik purposive sampling (Cooper & Schindler, 2016).
Dalam penelitian ini, jumlah populasinya secara pasti tidak diketahui. Karena sifat tidak diketahui,
dengan menggunakan rumus Lemeshow untuk menentukankan jumlah sampelnya (Levy & Lemeshow,
1990). Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan level kepercayaan 90%, sehingga
didapat jumlah sampel minimum sebesar 96 orang. Proses pengolahan dalam penelitian dibutuhkan
minimal 30 sampel dan akan lebih baik jika jumlahnya semakin besar (Cohen et al., 2018). Sehingga
dalam penelitian ini, jumlah sampelnya ditetapkan menjadi 100 sampel.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengolahan instumen data dalam penelitian ini menggunakan program SPSS dan diperoleh hasil yang
valid, karena nilai seluruh indikator memiliki nilai rhitung yang lebih besar dari 0,3.

Tabel 2. Hasil uji reliabilitas


Variabel/ indikator Cronbach's alpha (α) Keterangan
Sensory 0,846 Reliabel
Feel 0,699 Reliabel
Think 0,845 Reliabel
Act 0,711 Reliabel
Relate 0,772 Reliabel
Repurchase Intention 0,795 Reliabel
Sumber: Hasil pengolahan data (2020)

Dalam penelitian ini, digunakan uji reliabilitas dengan standar nilai Cronbach alpha (α) > 0,6.
Berdasarkan hasil pengujian seperti terlihat pada Tabel 2, diketahui bahwa seluruh variabel/ indikator
dinyatakan reliabel. Setelah didapat hasil uji validitas dan reliabilitas, selanjutnya dilakukan uji asumsi
klasik yang terdiri dari uji normalitas, uji multikolinieritas, dan uji heteroskedastisitas. Data yang telah
valid, reliabel, dan memenuhi syarat asumsi klasik, maka data selanjutnya dianalisis menggunakan
regresi linier berganda.

Tabel 3 Hasil analisis regresi linier berganda


Unstandardized Standardized
Model coefficients coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
(Constant) 0,838 0,400 2,095 0,039
Sensory 0,179 0,129 0,171 1,387 0,169
Feel 0,138 0,161 0,117 0,858 0,393
Think 0,079 0,145 0,077 0,548 0,585
Act -0,120 0,147 -0,114 -0,814 0,418
Relate 0,498 0,117 0,469 4,240 0,000
a. Dependent Variable: Repurchase Intention
Sumber: Hasil pengolahan data (2020)

191
Jurnal Manajemen Maranatha ■ Vol. 20 Nomor 2, Mei (2021)

Dari hasil olah data pada Tabel 3, maka persamaan regresi sebagai berikut:
Y = 0,838 + 0,179X1 + 0,138X2+ 0,079X3 – 0,120X4 + 0,498X5 + e

Berdasarkan ilustrasi pada Tabel 4, maka pengujian hipotesis penelitian ini didasarkan pada hasil
pengujian terhadap pengaruh setiap variabel bebas terhadap variabel terikat.

Tabel 4. Pengujian hipotesis penelitian


Pengaruh Sig. Kriteria Hasil
Sensory Experience  Repurchase Intention 0,169 < 0,05 Tidak terbukti
Feel Experience  Repurchase Intention 0,393 < 0,05 Tidak terbukti
Think Experience  Repurchase Intention 0,585 < 0,05 Tidak terbukti
Act Experience  Repurchase Intention 0,418 < 0,05 Tidak terbukti
Relate Experience  Repurchase Intention 0,000 < 0,05 Terbukti
Sumber: Hasil pengolahan SPSS (2020)

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis penelitian di antara dimensi experiential marketing, salah satu
variabel yang secara statistik berpengaruh positif dan signifikan adalah variabel relate memiliki nilai
signifikan sebesar 0,000 < 0,05. Dengan nilai tersebut, dapat diketahu bahwa hipotesis diterima.
Sedangkan tiga dimensi yang lainnya, sensory, feel, dan think, berpengaruh positif namun tidak
signifikan. Sedangkan satu variabel yang secara statistik berpengaruh negatif dan tidak signifikan, yaitu
act. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tidak semua dimensi experiential marketing dapat
menciptakan pengalaman bagi konsumen, khususnya mahasiswa FEB YARSI untuk melakukan
pembelian ulang kopi kedai to-go XYZ.
Berdasarkan hasil pengolahan data seperti terlihat pada Tabel 3, diketahui bahwa nilai koefesien
regresi variabel sensory experience terhadap repurchase intention bernilai positif, yaitu sebesar 0,179.
Besarnya pengaruh tersebut berdasarkan hasil analisis, diduga bahwa beberapa mahasiswa FEB YARSI
merasa kemasan kopi to-go XYZ belum menarik.
Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa nilai koefesien regresi variabel feel terhadap repurchase
intention bernilai positif, yaitu sebesar 0,138. Besarnya pengaruh tersebut berdasarkan hasil analisis,
diduga bahwa beberapa mahasiswa FEB YARSI merasa status sosialnya belum meningkat dengan
membeli kopi di kedai to-go XYZ dan masih ada karyawan yang belum bersikap ramah dalam melayani
pelanggan.
Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa nilai koefesien regresi variabel think terhadap repurchase
intention bernilai positif, yaitu sebesar 0,079. Besarnya pengaruh tersebut berdasarkan hasil analisis,
diduga bahwa beberapa mahasiswa FEB YARSI merasa kopi kedai to-go XYZ belum memiliki citra
positif di masyarakat.
Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa nilai koefesien regresi variabel act terhadap repurchase
intention bernilai negatif, yaitu sebesar -0,120. Besarnya pengaruh tersebut berdasarkan hasil analisis,
diduga bahwa beberapa mahasiswa FEB YARSI merasa kopi kedai to-go XYZ belum menjadi bagian
dari gaya hidup.
Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda seperti terlihat pada Tabel 3, diketahui bahwa nilai
koefesien regresi variabel relate terhadap repurchase intention bernilai positif, yaitu sebesar 0,498.
Besarnya pengaruh tersebut berdasarkan hasil analisis, diduga bahwa beberapa mahasiswa FEB YARSI
mendapat informasi mengenai tentang kopi dari sesama pelanggan kopi kedai to-go XYZ dan ada kesan
yang menyenangkan ketika berkumpul bersama teman atau keluarga di kedai kopi to-go XYZ.
Temuan empiris penelitian ini menunjukkan bahwa hanya dimensi relate yang signifikan
berpengaruh terhadap repurchase intention. Relate secara signifikan berpengaruh terhadap repurchase
intention kopi kedai to-go XYZ. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa beberapa responden
mendapat informasi mengenai tentang kopi dari sesama pelanggan kopi kedai to-go XYZ dan ada kesan
yang menyenangkan ketika mereka berkumpul bersama teman atau keluarga di kedai kopi to-go XYZ.
Beberapa dimensi lain, seperti sensory, feel, dan think, tidak signifikan dalam memengaruhi
repurchase intention kopi kedai to-go XYZ. Berdasarkan hasil analisis, tidak signifikannya pengaruh
dimensi tersebut antara lain disebabkan karena sebagian responden merasa bahwa kemasan kopi belum
192
Jurnal Manajemen Maranatha ■ Vol. 20 Nomor 2, Mei (2021)

menarik, status sosial mereka belum meningkat dengan membeli kopi di kedai to-go XYZ, masih ada
karyawan yang belum bersikap ramah dalam melayani pelanggan dan mereka merasa bahwa kedai to-
go XYZ belum memiliki citra positif di masyarakat.

4. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data, di antara dimensi experiential marketing, salah satu variabel yang secara
statistik, variabel relate berpengaruh positif dan signifikan terhadap repurchase intention. Tiga dimensi
experiential marketing lainnya, sensory, feel, dan think berpengaruh positif namun tidak signifikan.
Sedangkan satu variabel yang secara statistik berpengaruh negatif dan tidak signifikan positif, yaitu act.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tidak semua dimensi experiential marketing memiliki pengaruh
terhadap niat beli ulang mahasiswa FEB YARSI.
Ada beberapa masukan atau saran bagi pemilik kedai kopi to-go XYZ dalam rangka meningkatkan
niat beli ulang kopi kedai to-go XYZ (khususnya mahasiswa FEB YARSI), antara lain adalah
mempertahankan kinerja relate serta mengoptimalkan kinerja sensory, feel, dan think. Dalam
mengoptimalkan kinerja sensory, feel, dan think, ada beberapa saran yang dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan oleh manajemen kedai to-go XYZ, antara lain seperti memperbaiki kemasan kopi RTD, perlu
merumuskan strategi yang tepat agar status sosial konsumen kopi bisa meningkat ketika konsumen
mengonsumsi kopi to-go XYZ, serta strategi yang tepat dalam rangka meningkatkan citra kedai kopi to-
go XYZ di masyarakat.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain adalah ruang lingkup populasi yang masih
terbatas. Hal tersebut dapat menjadi saran penelitian selanjutnya dengan memperluas ruang lingkup
populasi. Di samping itu, saran lain adalah memperkaya variabel-variabel lain yang masih terkait dengan
experiential marketing dan niat beli ulang, seperti kepuasan pelanggan, persepsi nilai, persepsi kualitas,
word of mouth, dan lain-lain.

5. REFERENSI

Alagoz, S. B., & Ekici, N. (2014). Experiential marketing and vacation experience: The sample of
Turkish Airlines. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 150, 500-510.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.09.065
Astari, W. F., & Pramudana, K. A. S. (2016). Peran experiential value dalam memediasi pengaruh
experiential marketing terhadap repurchase intention. Jurnal Manajemen, Strategi Bisnis dan
Kewirausahaan, 10(1), 16-30. https://ojs.unud.ac.id/index.php/jmbk/article/view/21486
Awaliyah, G., & Dwinanda, R. (2019, 18 Desember). Ada tujuh jenis kedai kopi, mana yang jadi favorit
milenial? https://gayahidup.republika.co.id/berita/q2opvz414/ada-tujuh-jenis-kedai-kopi-mana-
yang-jadi-favorit-milenial
Azoury, N., Daou, L., & El Khoury, C. (2014). University image and its relationship to student
satisfaction - Case of the Middle Eastern private business schools. International Strategic
Management Review, 2, 1-8. https://doi.org/10.1016/j.ism.2014.07.001
Bellinda, B., Dolorosa, E., & Kurniati, D. (2020). Kepuasan dan loyalitas pelanggan Aming Coffee:
Experiential marketing. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, 22(2), 335-346.
https://doi.org/10.34208/jba.v22i2.760
Chang, W. J. (2020). Experiential marketing, brand image, and brand loyalty: A case study of Starbucks.
British Food Journal, 123(1), 209-223. https://doi.org/10.1108/BFJ-01-2020-0014
Choi, E. J., & Kim, S. H. (2013). The study of the impact of perceived quality and value of social
enterprises on customer satisfaction and re-purchase intention. International Journal of Smart Home,
7(1), 239-252. https://gvpress.com/journals/IJSH/vol7_no1/22.pdf
Cohen, L., Manion, L., & Morrison K. (2018). Research methods in education. Routledge Taylor &
Francis E-Library
Cooper, D. R., & Schindler, P. S. (2016). Business research methods. McGraw-Hill/ Irwin

193
Jurnal Manajemen Maranatha ■ Vol. 20 Nomor 2, Mei (2021)

Cronin. Jr, J., & Taylor, S. (1992). Measuring service quality - A reexamination and extension. The
Journal of Marketing, 56, 55-68. https://doi.org/10.2307/1252296
Cuellar, S., Eyler, C., & Fanti, R. (2015) Experiential marketing and long-term sales. Journal of Travel
& Tourism Marketing, 32(5), 534-553. https://doi.org/10.1080/10548408.2014.918925
Deheshti, M., Firouzjah, J. A., & Alimohammadi, H. (2016). The relationship between brand image and
brand trust in sporting goods consumers. Annals of Applied Sport Science, 4(3), 27-34.
https://doi.org/10.18869/acadpub.aassjournal.4.3.27
Dewi, R. K., Kumadji, S., & Mawardi M. K. (2015). Pengaruh experiential marketing terhadap kepuasan
pelanggan dan dampaknya pada loyalitas pelanggan (Survei pada pelanggan tempat Wisata Jawa
Timur Park 1 Kota Wisata Batu). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), 28(1), 1-6.
https://administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id
Febrini, I. Y., Widowati, R., & Anwar, M. (2019). Pengaruh experiential marketing terhadap kepuasan
konsumen dan minat beli ulang di Warung Kopi Klotok, Kaliurang, Yogyakarta. Jurnal Manajemen
Bisnis, 10(1), 35-54. http://journal.umy.ac.id/index.php/mb. doi:10.18196/mb.10167
Gheorghe, C., Gheorghe, I., & Purcarea, V. (2017). Modeling the consumer’s perception of experiential
marketing in the Romanian private ophthalmologic services. Romanian Journal of Ophthalmology,
61(3), 219-228. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29450402/ doi:10.22336/rjo.2017.40
Grewal, D., Roggeveen, A. L., & Tsiros, M. (2008). The effect of compensation on repurchase intentions
in service recovery. Journal of Retailing, 84(4), 424-434. https://doi.org/10.1016/j.jretai.2008.06.002
Hendarsono, G., & Sugiharto, S. (2013). Analisa pengaruh experiential marketing terhadap minat beli
ulang konsumen Cafe Buntos 99 Sidoarjo. Jurnal Manajemen Pemasaran, 1(2), 1-8.
http://publication.petra.ac.id/index.php/manajemen-pemasaran/article/view/524
Herlyana, E. (2012). Fenomena coffee shop sebagai gejala gaya hidup baru kaum muda. Thaqãfiyyãt,
13(1), 187-204. http://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/thaqafiyyat/article/view/43
Hestanto. (2008). Konsep experiential marketing. https://www.hestanto.web.id/niat-beli-purchase-
intentions/
Huda, M., & Anisa, F. (2020). The influence of experiential marketing, e-service quality (web-based
tracking system) and trust on customer satisfaction in J&T express service users in Kab. Pasuruan.
Primanomics: Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 18(1), 1-11. https://doi.org/10.31253/pe.v18i3.395
Jakpat. (2017). Segmentation survey: Motivation based coffee drinker – Survey report.
https://blog.jakpat.net/segmentation-survey-motivation-based-coffee-drinker-survey-report
Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing management. Pearson Education Inc
Levy, P. S., & Lemeshow, S. (1999). Sampling of populations: Methods and applications. Wiley-
Interscience
Li, M. L., & Green, R. D. (2011). A mediating influence on customer loyalty: The role of perceived
value. Journal of Management and Marketing Research, 7, 1-12.
http://www.aabri.com/manuscripts/10627.pdf
Liang, J. L., Chen, Y. Y., Duan, Y. S., Ni, J. J., & Jinwen. (2013). Gender differences in the relationship
between experiential marketing and purchase intention. The Journal of International Management
Studies, 8(1), 10-19. http://www.jimsjournal.org/2%20Liang,%20Jin-Long.pdf
Lunnette, C., & Andreani, F. (2017). Kepuasan experiential marketing terhadap minat beli ulang di Gyu
Kaku Galaxy Mall. Jurnal Hospitality dan Manajemen Jasa, 5(2), 138-150.
http://publication.petra.ac.id/index.php/manajemen-perhotelan/article/view/5946/5431
Malhotra, N. K., Nunan, D., & Birks, D. F. (2017). Marketing research: An applied approach. Prentice-
Hall
Muhammad, M., & Artanti, Y. (2016) The impact of experiential marketing on word of mouth (WOM)
with customer satisfaction as the intervening variable. Jurnal Dinamika Manajemen, 7(2), 182-190.
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jdm/article/view/8201/5619
Nasermoadeli, A., Ling, K. C., & Maghnati, F. (2013). Evaluating the impacts of customer experience
on purchase intention. International Journal of Business and Management, 8(6), 128-138.
https://doi.org/10.5539/ijbm.v8n6p128

194
Jurnal Manajemen Maranatha ■ Vol. 20 Nomor 2, Mei (2021)

Nikbin, D., Ismail, I., Marimuthu, M., & Abu-Jarad, I. Y. (2011). The impact of firm reputation on
customers' responses to service failure: The role of failure attributions. Business Strategy Series,
12(1), 19-29. https://doi.org/10.1108/17515631111106849
Oliver, R. L. (1997). Satisfaction: A behavioral perspective on the consumer. McGraw-Hill Education
Pasha, A. R. (2020, 4 Januari) Konsepnya unik, ini 6 kedai kopi paling hits di Indonesia versi Instagram.
https://www.cermati.com/artikel/konsepnya-unik-ini-6-kedai-kopi-paling-hits-di-indonesia-versi-
instagram
Pratminingsih, S. A., Astuty. E., & Widyatami, K. (2018). Increasing customer loyalty of ethnic
restaurant through experiential marketing and service quality. Journal of Entrepreneurship
Education, 21(3). https://www.abacademies.org/journals/month-august-year-2018-vol-21-issue-3-
journal-ajee-past-issue.html
Rahmi, H. O., Budiarto, W., & Indrawati, M. (2018) Pengaruh experiential marketing & customer
relationship management terhadap loyalitas pelanggan PT. PAL Indonesia (PERSERO). Jurnal
Manajemen dan Administrasi Publik, 1(1), 1-14. https://doi.org/10.37507/map.v1i01.45
Rosadi, N., Suharyanti, & Anitawati, M. T. (2019). Dampak experiential marketing terhadap minat beli
produk IKEA. Journal Communication Spectrum, 9(2), 176-188.
https://doi.org/10.36782/jcs.v9i2.1986
Sayuti, M. H., & Dewi, C. K. (2015). Analisis pengaruh customer experience terhadap minat beli ulang
konsumen pada kafe Nom Nom Eatery Bandung. E-Proceeding of Management, 2(2), 1932-1940.
https://openlibrary.telkomuniversity.ac.id/pustaka/files/101779/jurnal_eproc
Schmitt, B. H. (1999). Experiential marketing: How to get customers to sense, feel, think, act, relate to
your company and brands. Free Press.
Schmitt, B. H., & Rogers, D. L. (2008). Handbook on Brand and Experience Management. Edward Elga
Setyono, D., Widyanata, O. Y., Siaputra, H., & Jokom, R. (2017). Analisa pengaruh experiential
marketing terhadap minat beli ulang konsumen Konig Coffee & Bar. Jurnal Hospitality dan
Manajemen Jasa, 5(1). http://publication.petra.ac.id/index.php/manajemen-perhotelan/article/view/
5268.
Sudarso, E. (2016) Kualitas layanan, nilai fungsional, nilai emosional, dan kepuasan konsumen: Sebuah
studi kasus. Jurnal Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan, 5(3), 165-178.
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/JJ/article/view/19079/15961
Suhono, Hurriyati, R., & Sultan, M. A. (2020). Analysis of the relationship between consumer-based
brand equity, experiential marketing, customer satisfaction, and customer loyalty at Starbucks Coffee
in Karawang. Jurnal Riset Bisnis, 4(1), 58-69. https://doi.org/10.35592/jrb.v4i1.1692
Toffin & Mix. (2020). Brewing in Indonesia: Insights for successful coffee shop business
Varga, A., Dlacic, J., & Vujicic, M. (2014). Repurchase intentions in a retail store - Exploring the impact
of colours. Ekonomski Vjesnik, 27(2), 229-244. https://hrcak.srce.hr/file/196118
Widjajanta, B., Rahayu, A., & Salsabila, A. (2020). Pengaruh perceived quality dan brand reputation
terhadap repurchase intention pada reviewers Sepatu Bata aplikasi Shopee. Strategic, 20, 48-59.
https://doi.org/10.17509/strategic.v20i1.27094
Wulandari, A. R. (2020, 26 April). Kopi artisan coba peruntungan di ranah daring.
https://lokadata.id/artikel/kopi-artisan-coba-peruntungan-berjualan-online
Yang, Z. Y., & He, L. Y. (2011). Goal, customer experience and purchase intention in a retail context
in China: An empirical study. African Journal of Business Management, 5(16), 6738-6746.
https://doi.org/10.5897/AJBM10.1287
Zeithaml, V. A., Berry, L. L., & Parasuraman, A. (1996). The behavioral consequences of service
quality. Journal of Marketing, 60, 31–47
Zena, P. A., & Hadisumarto, A. D. (2012). The study of relationship among experiential marketing,
service quality, customer satisfaction, and customer loyalty. Asean Marketing Journal, 4(1), 37-46.
https://doi/org/10.21002/amj.v4i1.2030

195
Jurnal Manajemen Maranatha ■ Vol. 20 Nomor 2, Mei (2021)

196

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy