Pengelolaan Lahan Gambut Tanpa Bakar: Upaya Alternatif Restorasi Pada Lahan Gambut Basah
Pengelolaan Lahan Gambut Tanpa Bakar: Upaya Alternatif Restorasi Pada Lahan Gambut Basah
Pengelolaan Lahan Gambut Tanpa Bakar: Upaya Alternatif Restorasi Pada Lahan Gambut Basah
Pengelolaan lahan gambut tanpa bakar: Upaya alternatif restorasi pada lahan
gambut basah
Peatland management without burning: Alternative restoration efforts in (re)wet peatlands
Haris Gunawanac, Dian Afriyantiad, Ivan A. Humama, Fajar C. Nugrahaa, Rahmawati I. Wetadewia, Lutfiah Surayaha,
Adi Nugrohoa, Sarjiya Antoniusb
a Badan Restorasi Gambut, Menteng, Kota Jakarta Pusat, 10350, Indonesia
b Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Sasana Widya Sarwono (SWS) Jakarta, 12710, Indonesia [+62 21-5225711]
c Kampus Bina Widya KM 12.5, Universitas Riau, Tampan, Kota Pekanbaru, 28293, Indonesia
d Fakultas Teknik Lingkungan, Universitas Batanghari Jambi, Kota Jambi, 36122, Indonesia
Article Info: Abstract. In the last two decades, peatland management has resulted in the
Received: 02 - 11 - 2020 susceptibility of peatlands to fires due to peat degradation associated with
Accepted: 20 - 12 - 2020
drainages, climate, and culture in opening peatlands. Rewet peatlands are the
Keywords: ultimate goal of peat restoration. Nevertheless, the needs for production in
Anaerobic, productivity, water- peatlands require a milestone to bridge the measure to restore peatlands
zone, wet peat, without fires hydrologically. Peatland management without fires is a method, and the
Corresponding Author:
combination with methods to supply nutrients in wet/moist/anaerobic
Haris Gunawan peatlands would be innovative technology. It is aimed to provide nutrients of
Badan Restorasi Gambut, organic materials without stimulating the decomposition of peat materials.
Menteng, Jakarta Pusat; Along with restoration measure hydrologically, agriculture in cultivation zone
Email:
haris.gunawan@brg.go.id
of peatlands shall consider water-zone as a specific and small unit within a
wide peat hydrological unit.
PENDAHULUAN
Ekosistem servis dari hutan rawa gambut tropis memberikan manusia manfaat secara ekologi, mitigasi
perubahan iklim, manfaat secara sosial-ekonomi, dan penting bagi keanekaragaman hayati (Harrison et al.,
2019; Posa et al., 2011). Indonesia sebagai pemilik bentang ekosistem gambut tropis terluas di dunia
(BBSDLP, 2011), mengalami degradasi yang sangat mengancam keberlanjutan sumber daya alam ini semasa
dua dekade terakhir. Sehingga, kolapsnya ekosistem gambut merupakan ancaman bagi berbagai pihak,
terutama masyarakat yang rentan terhadap risiko bencana karena daya mitigasi dan adaptasinya yang rendah.
Walaupun secara global, kebakaran lahan gambut adalah penyumbang emisi yang tinggi terutama selama El
Niño (Liu et al., 2017), rentannya masyarakat lokal terhadap katastropi degradasi ekosistem gambut ini perlu
upaya mitigasi yang inklusif secara sosial dan ekonomi.
Rentannya masyarakat ini dapat digambarkan dari besarnya dampak kebakaran dan kurangnya
pengetahuan akan perubahan karakteristik gambut setelah drainase. Kabut asap kebakaran berdampak negatif
pada ekonomi, kesehatan hewan, manusia, dan kondisi pohon (Harrison et al., 2016) serta dapat menyebabkan
penurunan pH di sungai gambut yang bersifat asam, sehingga hasil tangkapan ikan dapat menurun (Thornton
668
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(4): 668-678
et al., 2018). Kebakaran juga menyebabkan kehilangan permukaan lahan gambut, sehingga mempercepat
subsidensi lahan (Hooijer et al., 2012). Sebagai contoh adalah masyarakat Pulau Rangsang, Kabupaten
Kepulauan Meranti, Provinsi Riau yang memiliki budaya memerun (membakar dengan dalam skala kecil untuk
membersihkan halaman atau kebun). Budaya pertanian memerun yang dahulu ketika gambut masih relatif lebih
basah masih aman dilaksanakan. Tetapi, drainase menyebabkan rentannya lahan gambut di Pulau Rangsang
mengalami kebakaran ketika drainase sudah luas di lahan gambut semakin kering. Budaya bertani ini praktik
tebang-bakar oleh masyarakat untuk kegiatan pembukaan lahan atau persiapan pertanian di lahan gambut
merupakan aktivitas yang dominan (Akbar, 2015; Anwar et al., 2010) karena mudah dan murah. Pengelolaan
lahan dengan cara dibakar merupakan kegiatan yang telah dilakukan secara turun temurun dan telah menjadi
budaya masyarakat karena dianggap sebagai cara yang paling murah dan mudah untuk membersihkan lahan
(Yuliani et al., 2019). Penggunaan api sering dipraktikkan oleh perkebunan industri dan masyarakat lokal,
khususnya di area yang terdegradasi (Harrison et al., 2016).
Perlindungan dan restorasi terhadap ekosistem gambut menjadi prioritas yang memerlukan tindakan
segera (Posa et al., 2011), tetapi pembasahan gambut tidak dapat merestorasi hidrologi gambut secara cepat.
Upaya antara diperlukan dalam rangka mencapai tujuan restorasi gambut yang sebenarnya. Lahan gambut
masih rentan terhadap risiko kebakaran dengan luasnya kanal yang mengeringkan gambut yang sudah terlanjur
dibangun sejak dua dekade terakhir. Upaya pencegahan kebakaran memberikan kesempatan bagi upaya
pemulihan ekosistem gambut. Diharapkan gambut yang tersisa dapat dikembalikan fungsinya (Cole et al.,
2015). Upaya yang dapat dilakukan adalah mengurangi risiko kebakaran di masa depan dengan pendekatan
sosial dalam model produksi pertanian di lahan gambut dangkal. Teknik pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB)
menjadi salah satu pendekatan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut yang bermanfaat untuk
meminimalkan faktor pemicu kebakaran (Hendromono et al., 2007). Khusus untuk lahan gambut, teknik ini
juga bisa disebut pengelolaan lahan gambut tanpa bakar (PLGTB). PLGTB diharapkan menjadi salah satu
kegiatan yang mendukung upaya pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan (Purnomo dan Puspitaloka,
2020). Penelitian ini bertujuan untuk mendiskusikan pentingnya pengelolaan lahan gambut tanpa bakar secara
hidrologi dan inovasi dalam penyediaan unsur hara yang mencegah dekomposisi gambut.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu penyebab utama deforestasi di Indonesia, yang
berdampak signifikan terhadap lingkungan, kehilangan konservasi, polusi udara dan kerugian ekonomi
(Rezainy et al., 2020). Solusi permasalahan tersebut adalah dengan membuat peraturan yang tegas dan adil
untuk mengatasi kebakaran hutan. Pemerintah sebagai regulator dalam pelaksanaan kebijakan ekosistem
gambut perlu membuka ruang yang lebih luas untuk perbaikan kebijakan agar seimbang antar aspek
pembangunan berkelanjutan, yaitu kelestarian lingkungan, keberlanjutan sosial dan ekonomi (Maulana et al.,
2019). Penelitian ini memberikan inovasi dalam pengelolaan lahan gambut tanpa bakar, yang dapat berdampak
pada peningkatan produktivitas lahan dan mencegah kebakaran lahan gambut.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian berdasarkan basis data di Kesatuan Hidrologi Gambut Pulau Rangsang, di Kabupaten
Kepulauan Meranti. Basis data yang dimaksud adalah data pemantauan tinggi muka air sejak 18 Agustus 2019
hingga 8 Mei 2020. Sedangkan pembuatan agen hayati dilakukan oleh LIPI di Laboratorium Mikrobiologi
LIPI dan pembuatan kompos dilakukan langsung di lokasi penelitian di Siak (Riau) dan Palangka Raya
(Kalimantan Tengah) oleh masyarakat yang dipandu oleh LIPI bekerjasama dengan BRG.
kelengkapan alat pemantau tinggi muka air tanah. Dua titik yang akan dibandingkan berada di pulau Rangsang
dengan karakteristik yang disyaratkan. Data TMAT dikumpulkan sejak tahun 2009 sampai dengan 2019
menggunakan data VIRSS dan MODIS serta studi literatur. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan
kualitatif. Deskriptif kuantitatif dilakukan untuk data-data hidrologi, dan desktiptif kuantitatif dilaksanakan
untuk literatur dan praktik-praktik PLTGB.
Gambar 1 Peta lokasi alat pantau TMA (Data : Prims.brg.co.id dan tides.big.co.id)
670
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(4): 668-678
671
Gunawan H, Afriyanti D, Humam IA, Nugraha FC, Wetadewi RI, Nugroho A, Antonius S
Menurut Hendromono et al. (2007), pembukaan lahan tanpa bakar adalah konsep pengelolaan lahan
gambut berkelanjutan, dimana pada tahapan pembukaan lahan hingga pasca panen tidak melakukan
pembakaran sama sekali. Inovasi ini dikembangkan menjadi PLGTB dengan memperhatikan upaya-upaya
yang secara khusus harus dilakukan di ekosistem gambut. Upaya ini tentunya akan mempertahankan gambut
untuk tetap basah, bersifat mudah menyerap air (hidrofilik), tidak terjadi subsiden, dan berujung pada
konservasi gambut secara holistik yang mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar.
Di sisi lain peningkatan produktivitas tanaman tetap harus diperhatikan. Dalam rangka meningkatkan
produktivitas lahan gambut di zona budidaya, penyediaakan nutrisi yang ramah gambut (tidak menyebabkan
percepatan dekomposisi dan emisi gas rumah kaca) diperlukan. Aplikasi dalam upaya peningkatan
produktivitas perlu inovasi dalam teknologi decomposer di lahan gambut salah satunya adalah StarTmik.
StarTmik LIPI adalah dekomposer berupa jamur aerob. Isolasi dan seleksi berbasiskan aktivitas-aktivitas
enzim lignin peroxidase, selulase, atau protease), yang berperan dalam proses humifikasi dari seresah lantai
tanaman hutan dalam uji laboratorium. Agen decomposer ini diaplikasikan pada proses pengomposan yang
terpisah dari lahan gambut, menggunakan bahan-bahan yang tersedia di sekitar, seperti serasah hasil
pembersihan lahan, kotoran hewan ternak, hijauan liar yang tumbuh di sekitar lahan. Sumber utama adalah
dari pembersihan gulma atau tanaman perdu dan rumput liar di jalan sekitar dan di kebun lahan gambut dengan
cara dipotong, sehingga ramah lingkungan dibanding kebiasaan yang dilakukan dengan penyemprotan
herbisida. Disamping meracuni tanah, penyemprotan herbisida juga akan menjadikan gulma, rumput dan perdu
menjadi kering sehingga sangat rentan sebagai pemicu terjadinya kebakaran. Pembuatan kompos yang berbasis
tanaman penutup tanah penambat N dari kelompok leguminoseae juga dapat menghasilkan kompos yang
berkualitas dengan kandungan N yang tinggi (Gambar 4).
672
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(4): 668-678
Gambar 4 Tahapan proses pembuatan kompos (Dokumentasi: LIPI dan Badan Restorasi Gambut)
Gambar 5 Tahapan proses pembuatan POH (Dokumentasi: LIPI dan Badan Restorasi Gambut)
673
Gunawan H, Afriyanti D, Humam IA, Nugraha FC, Wetadewi RI, Nugroho A, Antonius S
LIPI dengan berbasis Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR) telah melakukan inovasi dan
mengembangkan pupuk organik hayati (POH) (Patent ID Paten No. 00064813, 2019). POH ini dinamakan
Beyonic (Beyond Bio-Organic) StarTmik. Agen hayati PGPR dalam POH telah diseleksi dan dikarakterisasi
aktivitas enzimatiknya sesuai dengan peruntukannya sebagai agen penyubur tanaman, biokontrol dan
bioremediasi lahan (Gambar 5). Aktivitas multibiokatalis pupuk ini mampu menyediakan N, melarutkan P dan
K, merombak polutan, serta menghasilkan Zat Pengatur Tubuh (ZPT), asam-asam organik, dan Biopestisida
yang cocok dengan karakteristik berbagai macam jenis lahan, termasuk lahan gambut yang terkenal dengan
tingkat keasamannya yang tinggi.
Prinsip inovasi POH adalah menumbuhkan bebeberapa isolat PGPR pada media tumbuh yang sangat
tinggi kandungan nutrisinya seperti tepung ikan (pakan ikan) dengan kadungan sekitar 40%, ekstrak rebusan
tauge (kacambah kacang hijau), rumput laut (agar-agar), air kelapa muda, bekatul dan molase/gula merah dan
selanjutkan difermentasikan secara aerob penuh dengan otomatis pengadukan dan suplai oksigen dengan mesin
aerator (Antonius dan Agustiyani, 2016; Antonius et al., 2016). Dengan teknologi inovasi tersebut maka sel
PGPR akan tumbuh menjadi sekitar 108 pembentuk koloni (CFU) dan menghasilkan ZPT dan metabolit-
metabolit penting bagi pertumbuhan dan mengatasi stres tanaman seperti pada lahan gambut yang sengaja
dijaga air muka yang tinggi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa adanya urgensi mencegah kebakaran menuju penataan kembali
ekosistem gambut berbasiskan neraca air dengan meminimalkan kehilangan fungsi fisik lahan gambut dalam
memegang air. Pada bagian 3.1 diperoleh bahwa lahan gambut yang sering terbakar memiliki TMA yang lebih
rendah, dan semakin rentan terhadap kebakaran berikutnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan gambut
kepulauan seperti di Pulau Rangsang. Diperlukan pencegahan kebakaran gambut dalam upaya restorasi
ekosistem gambut, dan dalam hal ini aspek hidrologi adalah aspek kunci. Lahan gambut yang sudah terbakar
dan sering terbakar cenderung semakin rentan. Hal ini dapat disebabkan oleh laju degradasi lahan gambut
dipercepat dengan perubahan lahan (tutupan dan drainase) dan perubahan iklim (Dohong et al., 2017).
Drainase menyebabkan feedback loop yang positif, yaitu menyebabkan dampak kerusakan semakin tinggi
intensitasnya. Dalam hal ini, drainase menyebabkan rentannya lahan gambut terhadap kebakaran, dan kedua
kejadian ini semakin mengurangi ketersediaan air tanah, sehingga air tanah dalam komponen neraca air
semakin defisit (Thompson et al., 2014). Lahan gambut yang sudah terbakar cenderung memiliki kemampuan
menahan air yang lebih rendah daripada lahan gambut yang tidak terbakar. Sehingga hujan mudah terlepas
(discharge) dengan limpasan (stream flow) yang semakin tinggi (Neary et al., 2005).
Sementara itu, terbakarnya vegetasi dan pepohonan mengurangi kelembapan tanah dengan berkurangnya
transpirasi dan intersepsi (Van Seters dan Price, 2001; Simorangkir, 2006). Sehingga, kebakaran lahan gambut
dan vegetasi di atasnya menyebabkan keseimbangan air (water balance) menjadi berada pada kondisi
tingginya out flow. Vegetasi mempengaruhi keseluruhan hidrologi untuk lahan gambut, karena lahan yang
terbuka menyebabkan evaporasi dan evapotranspirasi lebih tinggi serta menguras tampungan air. Vegetasi
yang rusak tersebar di wilayah kebakaran. Bekas kebakaran tersebut jarang ditumbuhi kembali anakan pohon,
pakis dan tanaman merambat (Ballhorn et al., 2009). Dalam penelitian di Kalimantan tengah menunjukkan
dampak kebakaran terhadap kerusakan kanopi hutan serta serasah mengering rentan terhadap kebakaran (Page
et al., 2019).
Secara umum, prinsip restorasi gambut adalah pembasahan serta terjaganya kelembapan (Tapio-Biström
et al., 2012). Pada saat muka air turun terjadi oksidasi, gambut akan mengalami dekomposisi (Dommain et al.,
2010), dan dapat berpotensi terjadi kebakaran. Kebakaran terhenti apabila turun hujan dan muka air tanah
kembali naik (Page dan Hooijer, 2016). Muka air dijaga tidak lebih rendah dari -40 cm agar tidak terjadi
kebakaran (Putra, 2011). Perlu dibangun sekat kanal pada kanal yang menguras tampungan air (Ritzema et al.,
2014). Disisi lain pengelolaan air harus dapat menyediakan kebutuhan air yang optimal untuk tanaman dan
restorasi gambut (Wosten dan Ritzema, 1997).
674
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(4): 668-678
PLTGB adalah alternatif antara menuju restorasi gambut. Selain pembersihan lahan dalam persiapan
lahan untuk pertanian, pembakaran lahan gambut adalah praktik untuk mendapatkan unsur hara dari abu-abu
pembakaran secara instan. Tanpa disadari oleh masyarakat, sebenarnya proses hidrologi mencuci unsur hara
dari abu-abu tersebut secara cepat apalagi pada lahan yang sudah mengalami kebakaran yang berulang karena
limpasan permukaan lebih cepat, infiltrasi dan perkolasi tanah gambut. Hal ini disebabkan oleh gambut yang
kering dan sudah mengalami tebakar menurun kemampuannya dalam menahan air.
Urgensi pemanfaatan gambut berbasiskan gambut basah dan tanpa bakar penting untuk mencegah
rusaknya ekosistem gambut. Pertanian di lahan gambut terdegradasi yang sudah terlanjur perlu meminimalkan
dampak negatif kerusakan lingkungan (Surahman et al., 2018). Pemanfaatan tersebut perlu memastikan bahwa
lahan gambut yang tersisa masih memiliki kawasan yang penting untuk melindungi lingkungan untuk generasi
sekarang dan masa depan (Joosten dan Clarke, 2002). Rusaknya ekosistem gambut ditandai dengan subsidensi
dan hilangnya lapisan lahan gambut akibat muka air tanah (MAT) yang turun drastis (Silvius dan Suryadiputra,
2005). Selanjutnya, permukaan lahan berada pada elevasi yang tidak memungkinkan aliran air dari daerah
kubah (lebih tinggi) ke kaki kubah, sehingga lahan tidak dapat di drainase (undrainabilitiy) (Ritzema, 2001).
Rusaknya ekosistem gambut akan semakin dipercepat dengan pembukaan lahan dengan cara membakar. Jika
gambut habis terbakar dan hanya tersisa lapisan di bawahnya, maka hamparan yang terbentuk tidak akan dapat
dipulihkan kembali (Pinem, 2016).
Kompos yang diberikan adalah alternatif sumber hara yang baiknya diaplikasikan pada musim hujan
karena kondisi anaerob dapat tercipta. Fluktuasi muka air di lahan gambut tropis sangat bergantung pada curah
hujan. Dalam beberapa bulan periode musim hujan, kondisi akar cenderung anaerob karena terendam air,
sedangkan selama musim kemarau dihadapkan dengan fisiologis defisit air. Sehingga musim kemarau tidak
disarankan untuk diaplikasikannya kompos ini. Musim kemarau pada berbagai KHG berbeda, terutama KHG
kepulauan yang mengalami dua kali musim kemarau dalam setahun. Pengecualian pada hal ini adalah pada
daerah-daerah yang stabil TMA di atas -40 cm sepanjang tahun, yang mana masih sulit dicapai kestabilan ini
kecuali dengan penataan zona air yang spesifik, .sehingga diperlukan penentuan dan perencanaan zona air
untuk pembangunan lahan pertanian pada fungsi gambut budidaya. Hal tersebut agar memastikan
ketercukupan air selama proses produksi dengan tetap memprioritaskan tujuan restorasi gambut.
PLGTB memberikan implikasi secara hidrologi dan sosial. Lahan gambut, vegetasi dan air memiliki
keterkaitan dan saling membutuhkan (Page et al., 1999), PLGTB memberikan implikasi secara hidrologi dan
sosial. Secara hidrologi, PLTGB memberikan waktu pembenahan dalam penataan hidrologi gambut dengan
rewetting dan revegetasi. Secara sosial, dalam kompleksitas sosial dalam merestorasi gambut diperlukan
pendekatan sosial yang khas dan unik, berbeda dengan upaya restorasi gambut di Eropa misalnya. BRG
menyelenggarakan sekolah lapang untuk melatih petani membuka lahan tanpa bakar. Hal ini diperlukan
masyarakat untuk beradaptasi pada kebijakan larangan membakar lahan. Diharapkan dengan adanya
keterikatan masyarakat dengan lahannya ini dan alternatif yang mencegah pengelolaan lahan dengan
membakar memberikan ruang bagi pengertian masyarakat akan pentingnya restorasi gambut, dan mengurangi
konflik kepentingan. Selain itu, pembinaan dan pengawasan petani harus terus dilakukan (Herman, 2015).
Mahalnya proses pembukaan lahan jika tidak dilakukan dengan membakar perlu dicarikan solusi kepada petani
untuk menaikkan produktivitas lahan agar menutupi biaya di awal bertani. Berbagai jenis teknologi tanah dan
air yang sesuai tersedia untuk meningkatkan kesuburan dan pemeliharaan ketinggian air tanah. Ini termasuk
pengelolaan air makro dan mikro, perbaikan, pemupukan, varietas tanaman adaptif, pengelolaan hama terpadu
dan mekanisasi pertanian (Suriadikarta, 2009).
Dalam penelitian ini terdapat keterbatasan dalam kajiannya dan merupakan implikasi dalam langkah
selanjutnya. Keseimbangan air penting untuk restorasi dan menata fungsi budidaya. Data neraca air di suatu
wilayah selama periode tertentu diperlukan (Moghadas, 2009). Tata Kelola air di lahan gambut perlu meninjau
pemodelan neraca air untuk perencanaan pembukaan lahan. Dalam beberapa penelitian digunakan aplikasi
MODFLOW (Ishii et al., 2016; Rossi et al., 2014) dan SIMGRO (Wosten et al., 2006) untuk menghitung
komponen neraca air. PLTGB perlu memperhatikan tata kelola air untuk proses rewetting dan juga
675
Gunawan H, Afriyanti D, Humam IA, Nugraha FC, Wetadewi RI, Nugroho A, Antonius S
pertumbuhan tanaman. Pada gambut yang telah terdegradasi akibat kanal maka dilakukan pemetaan dan
perhitungan air yang keluar dari sistem akibat kanal. Pembangunan sekat kanal diperlukan untuk rewetting
(Jaenicke et al., 2010), sekaligus memberikan kebutuhan tanaman dan pencegahan kebakaran. Tata Kelola air
berbeda tergantung fungsi dari lahan tersebut termasuk perkebunan di lahan gambut (Wosten et al., 2008).
Hubungan antara tinggi muka air dan kebutuhan optimal produktivitas tanaman direncanakan untuk jangka
waktu tahunan. Tujuan restorasi di lahan gambut menjadi tujuan utama dengan optimalisasi produktivitas
pertanian, maka dikenal konsep paludikultur. Pembukaan lahan tanpa bakar dapat dilakukan untuk mendukung
konsep tersebut.
SIMPULAN
Degradasi ekosistem gambut perlu dicegah dengan penataan kembali ekosistem gambut. Penataan
kembali ekosistem gambut tropis memerlukan alternatif antara dalam mencapai terestorasinya gambut secara
permanen. PLGTB merupakan salah satu alternatif antara tersebut, karena trade-off kebutuhan masyarakat
untuk mengelola lahan diperlukan. Integrasi dengan tujuan restorasi gambut adalah mempertemukan
kebutuhan masyarakat tersebut dengan praktik yang menstimulasi gambut tetap basah. Penggunaan ameliorant
seperti kompos dan agen hayati dapat dilakukan pada kondisi gambut basah saja (pada musim hujan atau pada
area yang lembab stabil sepanjang tahun). Pada saat gambut basah, kompos yang sudah matang dapat
diaplikasikan, dan ini dapat mencegah mikroba aerob untuk aktif mendekomposisi, Tujuan menjaga gambut
basah dapat dilakukan sementara unsur hara dapat disediakan.
DAFTAR PUSTAKA
[BBSDLP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. Peta Lahan
Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Bogor (ID): Badan Pertanian dan Pengembangan Pertanian.
Akbar A. 2015. Studi kearifan lokal penggunaan api persiapan lahan: Studi kasus di Hutan Mawas, Kalimantan
Tengah. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 8(3): 211-223.
Antonius S, Agustiyani D, Lailii N, Hartati I, Sutisna E. 2019. Pupuk Organik Hayati Cair dan Proses
Pembuatannya. Paten Indonesia. ID Patent IDP 000064813.
Antonius S, Agustiyani D. 2016. Pengaruh pupuk organik hayati yang mengandung mikroba bermanfaat
terhadap pertumbuhan dan hasil panen tanaman semangka serta sifat biokimia tanahnya pada percobaan
lapangan. Jurnal Berkala Penelitian Hayati. 16: 203-206.
Antonius S, Budisatria R, Dewi TK. 2016. The use of sprout as precursor for the production of indole acetic
acid by selected plant growth promoting rhizobacteria grown in the fermentor. Microbiology Indonesia.
10(4): 131-138.
Anwar A, Juneng L, Othman MR, Latif MT. 2010. Correlation between hotspots and air quality in Pekanbaru,
Riau, Indonesia in 2006-2007. Sains Malays. 39: 169-174.
Ballhorn U, Siegert F, Mason M, Limin S. 2009. Derivation of burn scar depths and estimation of carbon
emissions with LIDAR in Indonesian peatlands. Proc Natl Acad Sci. 106(50): 21213-21218. doi:
https://doi.org/10.1073/pnas.0906457106.
Cole LES, Bhagwat SA, Willis KJ. 2015. Long-term disturbance dynamics and resilience of tropical peat
swamp forest. J Ecol. 103(1): 16-30.
Dohong A, Aziz AA, Dargusch P. 2017. A review of the drivers of tropical peatland degradation in South-East
Asia. Land Use Policy. 69: 349-360. doi: https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2017.09.035.
Dommain R, Couwenberg J, Joosten H. 2010. Hydrological self-regulation of domed tropical peatlands. Mires
and Peat. 6: 1-17.
676
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(4): 668-678
Harrison ME, Capilla BR, Thornton SA, Cattau ME, Page SE. 2016. Impacts of the 2015 fire season on peat‐
swamp forest biodiversity in Indonesian Borneo. Di dalam: Salo H, Warnecke S, editor. Peatlands in
harmony-Agriculture, Industry & Nature Proceedings of the 15th International Peat Congress 2016;
2016 August 15-19; Sarawak, Malaysia. Sarawak (MY): International Peat Society. hlm 713-717.
Harrison ME, Ottay JB, D’Arcy LJ, Cheyne SM, Anggodo, Belcher C, Cole L, Dohong A, Ermiasi Y,
Feldpausch, et al. 2019. Tropical forest and peatland conservation in Indonesia: Challenges and
directions. People and Nature. 1-25. doi: https://doi.org/10.1002/pan3.10060.
Hendromono, Wibowo A, Martono D, Santoso E, Djarwanto, Prahasto H, Sallata MK, Rufi’ie, Suharyanto,
Siran SA, Heriansyah. 2007. Penyiapan Lahan Tanpa Bakar untuk Penanaman. Jakarta (ID):
Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Herman. 2015. Analysis of the farming system performance and the opportunity cost of CO2 emissions on peat
farming system in Kubu Raya District, West Kalimantan. Di dalam: Suradisastra K, Hutabarat B,
Swastika DKS, editor. Proceeding National Seminar ‘Farmers Agriculture Development [Internet].
[diunduh 2020 Aug 16]. Tersedia pada: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_05A_
MP_Herman.pdf.
Hooijer A, Page S, Jauhiainen J, Lee WA, Lu XX, Idris A, Anshari G. 2012. Subsidence and carbon loss in
drained tropical peatlands. Biogeosciences. 9: 1053-1071. doi: https://doi.org/10.5194/bg-9-1053-2012.
Ishii Y, Koizumi K, Fukami H, Yamamoto K, Takahashi H, Limin SH, Kusin K, Usup A, Susilo GE. 2016.
Groundwater in peatland. Di dalam: Osaki M, Tsuji N, editor. Tropical Peatland Ecosystems. Tokyo
(JP): Springer Japan. hlm 265-279.
Jaenicke J, Wosten H, Budiman A, Siegert F. 2010. Planning hydrological restoration of peatlands in Indonesia
to mitigate carbon dioxide emissions. Mitig Adapt Strateg Glob Change. 15: 223-239. doi:
https://doi.org/10.1007/s11027-010-9214-5
Joosten H, Clarke D. 2002. Wise Use of Mires and Peatlands-Background and Principles including a
Framework for Decision-Making. Saarijärvi (FI): International Mire Conservation Group and
International Peat Society.
Liu J, Bowman KW, Schimel DS, Parazoo NC, Jiang Z, Lee M, Bloom AA, Wunch D, Frankenberg C, Sun
Y, et al. 2017. Contrasting carbon cycle responses of the tropical continents to the 2015–2016 El Niño.
Science. 358: 1-7. doi: https://doi.org/10.1126/science.aam5690.
Maulana SI, Syaufina L, Prasetyo LB, Aidi MN. 2019. Pola tutupan, penggunaan, serta tantangan kebijakan
perlindungan ekosistem gambut di Kabupaten Bengkalis. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan.
9(3): 549-565. doi: https://doi.org/10.29244/jpsl.9.3.549-565.
Moghadas S. 2009. Long-term water balance of an inland River Basin in an Arid Area, North-Western China
[tesis]. Lund (SE): Lund University.
Neary DG, Ryan KC, Debano LF. 2005. Wildland Fire in Ecosystems: Effects of Fire on Soils and Water.
Ogden (US): Rocky Mountain Research Station.
Page SE, Hooijer A. 2016. In the line of fire: the Peatlands of Southeast Asia. Phil Trans R Soc B. 371: 1-9.
doi: 10.1098/rstb. 2015.0176.
Page SE, Rieley JO, Shotyk OW, Weiss D. 1999. Interdependence of peat and vegetation in a tropical peat
swamp forest. Phil Trans R Soc B. 354: 1885-1897.
Page S, Hoscilo A, Langner A, Tansey K, Siegert F, Limin S, Rieley J. 2019. Tropical Peatland Fires in
Southeast Asia. Chichester (UK): Praxis Publishing. hlm 263-287.
Pinem T. 2016. Kebakaran hutan dan lahan gambut. Jurnal Gema Teologika. 1(2): 61-68.
Posa MRC, Wijedasa LS, Corlett RT. 2011. Biodiversity and conservation of tropical peat swamp forests.
BioScience. 61: 49-57. doi: https://doi.org/10.1525/bio.2011.61.1.10.
Purnomo H, Puspitaloka D. 2020. Pembelajaran Pencegahan Kebakaran dan Restorasi Gambut Berbasis
Masyarakat. Bogor (ID): CIFOR.
677
Gunawan H, Afriyanti D, Humam IA, Nugraha FC, Wetadewi RI, Nugroho A, Antonius S
Putra EI. 2011. The effect of the precipitation pattern of the dry season on peat fire occurrence in the mega
rice project area, Central Kalimantan, Indonesia. Tropics. 19(4): 145-156.
Rezainy A, Syaufina L, Sitanggang IS. 2020. Pemetaan daerah rawan kebakaran di lahan gambut berdasarkan
pola sekuens titik panas Di Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Jurnal Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Lingkungan. 10(1): 66-76. doi: http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.66-76.
Ritzema.H. 2001. Water Management Guidelines for Agricultural Development in Lowland Peat Swamps of
Sarawak. Sarawak, Malaysia.
Ritzema HP, Limin S, Kusin K, Jauhiainen J, Wösten H. 2014. Canal blocking strategies for hydrological
restoration of degraded tropical peatlands in Central Kalimantan, Indonesia. CATENA. 114: 11-20.
Rossi PM, Ala-aho P, Doherty J, Kløve B. 2014. Impact of peatland drainage and restoration on esker
groundwater resources: Modeling future scenarios for management. Hydrogeol J. 22: 1131-1145. doi:
https://doi.org/10.1007/s10040-014-1127-z.
Silvius M, Suryadiputra N. 2005. Review of Policies and Practices in Tropical Peat Swamp Forest
Management in Indonesia. Wageningen (NL): Wetlands International.
Simorangkir D. 2006. Fire use: Is it really the cheaper land preparation method for large-scale plantations?.
Mitig Adapt Strateg Glob Change. 12: 147-164. doi: https://doi.org/10.1007/s11027-006-9049-2.
Surahman A, Soni P, Shivakoti GP. 2018. Are peatland farming systems sustainable? Case study on assessing
existing farming systems in the peatland of Central Kalimantan, Indonesia. J Integr Environ Sci. 15: 1-
19. doi: https://doi.org/10.1080/1943815X.2017.1412326.
Suriadikarta DA. 2009. Pembelajaran dari kegagalan penanganan kawasan PLG sejuta hektar menuju
pengelolaan lahan gambut berkelanjutan [learning from the failure of mega rice project towards
sustainable peatland management]. Pengemb Inov Pertan Agric Dev Innov J. 2(4): 229-249.
Tapio-Biström ML, Joosten H, Tol S. 2012. Peatlands: Guidance for Climate Change Mitigation through
Conservation, Rehabilitation and Sustainable Use. 2nd ed. Rome (RO): Food and Agriculture
Organization of the United Nations and Wetlands International.
Thompson DK, Benscoter BW, Waddington JM. 2014. Water balance of a burned and unburned forested
boreal peatland: Water balance of boreal peatlands subject to wildfire. Hydrol Process. 28: 5954-5964.
doi: https://doi.org/10.1002/hyp.10074.
Thornton SA, Dudin, Page SE, Upton C, Harrison ME. 2018. Peatland fish of Sebangau, Borneo: Diversity,
monitoring and conservation. Mires and Peat. 22(4): 1-25.
Van Seters TE, Price JS. 2001. The impact of peat harvesting and natural regeneration on the water balance of
an abandoned cutover bog, Quebec. Hydrol Process. 15: 233-248. doi: https://doi.org/10.1002/hyp.145.
Wosten JHM, Ritzema HP. 1997. Land and Water Management Option for Peatland Development in Sarawak,
Malaysia. International Peat Journal. 11: 59-66.
Wosten H, Ritzema H, Rieley J. 2008. Requirement for and Operational Aspects of Water Management in
Tropical Peatlands. Wageningen (NL): Wageningur.
Wosten H, Hooijer A, Siderius C, Rais DS, Idris A, Rieley J. 2006. Tropical peatland water management
modelling of the air hitam laut catchment in Indonesia. Int J River Basin Manag. 4: 233-244. doi:
https://doi.org/10.1080/15715124.2006.9635293.
Yuliani F, Saktioto S, Rosnita R, Pailis E, Murniati M, Tjarsono, I. 2019. Sistem pengolahan lahan tanpa bakar
dalam kebakaran hutan dan lahan pada kawasan gambut Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis.
Di dalam: Arifudin, Dini IS, editor. Unri Conference Series: Community Engagement. Pekanbaru (ID):
Universitas Riau. hlm 645-651. doi: https://doi.org/10.31258/unricsce.1.645-651.
678