104-Article Text-359-1-10-20211126
104-Article Text-359-1-10-20211126
104-Article Text-359-1-10-20211126
http://jurnal.nuruliman.or.id/index.php/alashriyyah
al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020
Abstract
Iblis is a creature of Allah SWT, who created from fire while Adam was created from the
ground. His story is mentioned repeatedly in several surahs in the Qur’an. When Iblis was
ordered by Allah SWT to prostrate to Adam, the Iblis was arrogant and considered himself
better than Adam. So that Iblis becomes a group of infidels. This is expressed by Theological
commentator based on QS. al-Baqarah [2]: 34. While according to Sufistic scholars, the Iblis is
a creature of Allah SWT, who has ever had the most noble position and the highest
monotheism towards Allah SWT. His reluctance to carry out Allah's command to prostrate to
Adam is as proof that Iblis truly tawheed to Allah SWT and does not want to prostrate to other
than Allah SWT.When rejecting the command to prostrate to Adam, Iblis considered the
commandment of prostration as a form of test of monotheism. In the end, Allah SWT will
forgive his sins and put them in heaven. The author tries to analyze these two problems by
using the method of interpretation maudhu 'i, namely by collecting verses related to the story
of Iblis in the Qur’an.
Keywords: Iblis, Theological, Sufistic.
Abstrak
Iblis adalah makhluk Allah SWT, yang diciptakan dari api sementara Adam diciptakan
dari tanah. Kisahnya disebutkan berulang kali dalam beberapa surat di dalam al-Qur'an.
Ketika Iblis diperintahkan oleh Allah SWT, untuk bersujud kepada Adam, Iblis bersikap
sombong dan merasa dirinya lebih baik daripada Adam. Sehingga Iblis menjadi golongan
makhluk yang kafir. Hal inilah yang diungkapkan oleh Mufasir Teologis berdasarkan QS al-
Baqarah/2:34. Sementara menurut Ulama Sufistik, Iblis adalah makhluk Allah SWT, yang
pernah mempunyai kedudukan yang paling mulia dan yang paling tinggi tauhidnya kepada
Allah SWT. Keenganannya menjalankan perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Adam
adalah sebagai bukti bahwa Iblis benar-benar bertauhid secara murni dan tidak mau bersujud
kepada selain Allah SWT. Ketika menolak perintah bersujud kepada Adam, Iblis menganggap
perintah sujud itu adalah sebagai bentuk ujian ketauhidan dan atas kehendaknya Allah SWT.
Pada akhirnya Allah SWT mengampuni dosanya dan memasukkannya ke dalam surga. Penulis
mencoba menganalisis dua permasalahan tersebut dengan menggunakan metode tafsir
tematik (maudhu’I, yakni dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan
kisahnya Iblis dalam al-Qur’an.
Kata Kunci: Iblis, Teologis, Sufistik.
45
al Ashriyyah: Journal of Qur’an and Hadits Studies, Vol. 6 (No. 02), Oktober 2020: 45-60.
keyakinanya bahwa hanya Allah SWT, manusia untuk menundukkan ruh asy-
yang berhak menerima sujudnya.6 Syarr yakni menghilangkan bisikan-
bisikan kotor yang mengantar kepada
Menurut hemat penulis
perselisihan, perpecahan, agresi, dan
penafsiran respon Iblis di atas, tentunya
permusuhan.7 Ketika Tuhan
menuntut sebuah pengkajian dan
memerintahkan kepada para Malaikat
penafsiran yang benar-benar utuh dan
untuk bersujud kepada Adam, mereka
komprehensif. Oleh karena itu, penulis
semua bersujud kecuali Iblis. Ia
tertarik mengangkat judul, Wawasan
membangkang dan menolak bersujud
Al-Qur’an Tentang Respon Iblis
kepada Adam.8 Iblis khawatir Adam
Terhadap Perintah Sujud: Sebuah
akan mengambil “kasih sayang” yang
Pendekatan Teologis dan Sufistik.
selama ini diberikan sepenuhnya oleh
Metode Penelitian Allah kepadanya. Secara sederhana
Penelitian ini masuk dalam kategori hubungan antara Iblis dengan Adam
jenis penelitian kepustakaan (library adalah hubungan senior dan junior
research), olehnya data yang digunakan yang memperebutkan kasih sayang
adalah data sekunder. Adapun Allah. Iblis dimurkai oleh Allah, karena
pendekatan yang digunakan untuk sikap sombongnya yang tidak mau
menganalisa data adalah pendekatan tunduk kepada perintah Allah, untuk
kualitatif, dengan mengadopsi teori sujud kepada Adam. Hal ini banyak
Miles dan Hubermen, yaitu teknik dari kalangan ulama memperdebatkan
analisa data menggunakan tiga tentang sujud dan penghormatan. Di
langkah, reduksi data, penyajian data dalam Al-Qur’an terdapat kata sujud,
kemudian penarikan kesimpulan. dan sebagian ulama mengartikan
sebagai penghormatan, sementara
Tinjauan Analisis Terhadap Respon
sebagian lagi memaknai sebagai
Iblis
penyembahan. Bagaimana mungkin
1. Penafsiran Teologis Iblis mau sujud kepada Adam, sebelum
Berkenaan dengan kisah respon Adam diciptakan oleh Tuhan, posisi
Iblis dalam Al-Qur’an tentunya muncul Iblis sudah menjadi seorang ahli ibadah
berbagai macam penafsiran. yang kehebatannya di atas rata-rata
Muẖammad Abduh ketika menafsirkan semua Malaikat. Iblis terjebak dengan
QS. al-Baqârah [2]: 34, ayat ini adalah pandangan yang nampak sehingga
mengenai keengganan Iblis untuk mata bathinnya tidak mampu melihat
sujud, yang mengimplikasikan
kelemahan dan ketidakmampuan 7
Muẖammad Abduh dan Rasyid Ridhâ,
Tafsîr al-Manar, Juz I (Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
6
Ali bin Anjabi al-Sa’i al-Baghdadî, t.t.), h. 281.
8
Akhbȃr al-Hallȃj (Damaskus: Dar al-Taliy’ah al- Abî al-Fadhl Syihâb al-Dîn Sayyid
Jadidah, 1997), h. 32. Lihat Juga: Michael A. Maẖmûd al-Alûsî al-Baghdâdî, Tafsîr Rûẖ al-
Sells, Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Ma’ânî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sabu’
Spiritual Islam Awal, terj. Alfatri, (Bandung: al-Matsanî, Jiz V (Beirut: al-Turâts al-‘Arabî,
Mizan, 2004), h. 353. t.t.), h. 28.
yang ada di dalam diri Adam yaitu berpendapat, perintah sujud kepada
Allah SWT.9 Adam, sebenarnya ada dua pendapat:
Pertama, pendapat yang shahih
Dalam menaggapi apakah
(benar), bahwa sujud kepada Adam
perintah sujudnya itu kepada Allah
hanya secara hakikat, yang
ataukah kepada Adam, Kamal Faqih
mengandung makna ketaatan kepada
Imani berpendapat, tentu saja sajdah
Allah, yakni dengan menjalankan
atau penghormatan yang
perintah-Nya. Kedua, sujud di sini
diformulasikan dengan tujuan ibadah
adalah sujud sebagai bentuk
hanya layak ditujukan kepada Allah.
memuliakan dan penghormatan bukan
Dan demikian pula makna dari tauhid
sujud ibadah, yakni bukan meletakkan
ibadah yakni hanya menyembah dan
wajah ke bumi.12 Sementara sujud
hormat kepada Allah saja. Jika tidak,
kepada selain Allah, dalam hal ini sujud
maka akan terjerat syirik
kepada makhluk adalah sebagai bentuk
(menyekutukan suatu objek kepada
penghormatan. Berbeda dengan
Allah). Oleh karena itu, tentu saja
komentar al-Baidhâwî, sujud kepada
makhluk ma’sum seperti para Malaikat
Adam, secara hakikatnya yaitu sujud
hanya sujud kepada Allah. Adapun
kepada Allah, yang Allah
sujudnya mereka kepada Adam tidak
menjadikannya (Adam) sebagai kiblat
lebih daripada kekaguman terhadap
terhadap sujudnya para Malaikat.
penciptaan makhluk yang luar biasa ini
Kemudian keengganan Iblis yang
dimana mereka diperintahkan sujud
menyebabkan ia masuk dalam
kepada Adam, sujud mereka sejenis
kekafiran yakni di dalam ilmunya
penghormatan, bukan sebagai laku
Allah.13
ibadah.10
Sementara menurut kaum
Sementara al-Qumî, bahwa sujud
Mu’tazilah, Malaikat itu lebih mulia
kepada Adam bukanlah termasuk
daripada manusia, dan sujudnya
Ibadah, karena Allah tidak
Malaikat kepada Adam itu seperti sujud
memerintahkan kepada kekufuran.
ke arah kiblat.14 Dalam hal ini al-Zuhailî
Beribadah kepada selain Allah maka
berpandangan, semua para malaikat
kufur.11 Namun al-Baghâwî
maka jelas bahwa ia adalah Islam di para malaikat.20 Dalam hal ini Sayyid
dalam asalnya. Setiap orang Islam yang Thanthawî menafsirkan, wa kâna min
kafir maka jelas bahwa ia kafir di dalam al-kâfirîn yakni, yang menjadikan Iblis
asalnya. Oleh karena itu, ia termasuk itu tergolong orang-orang yang jauh
golongan kafir nanti hari akhir.18 dari rahmat dan ridha Allah.21
Sementara Mu’tazilah beranggapan, Dalam menghakimi Iblis, al-
seseorang yang melakukan kekufuran Zamakhsyarî menafsirkan bahwa lafazh
maka ia adalah orang yang kafir, wa kâna min al-kâfirîn yaitu ia kafir
seseorang yang melakukan kefasikan dari jenisnya Jin dan Setan. Oleh karena
maka ia disebut orang fasik, dan itu, ia enggan untuk sujud dan
sesorang yang melakukan kebenaran sombong. Seperti firman Allah: (al-
maka ia disebut orang yang benar. Kahfi/18:50).22 Hamka pun akhirnya
Begitu juga orang yang beriman maka berpandangan, Iblis merupakan takdir
ia adalah orang yang mukmin. yang ditentukan Allah SWT dalam
Kalaupun ada orang yang fasik yang iradad-Nya sebagai bukti akan
tidak beriman dan tidak kafir, maka kekayaan Allah SWT, juga merupakan
baginya tidak kafir dan tidak beriman.19 kenyataan bahwa setiap ada kebaikan
Kamal Faqih Imani beranggapan akan ada keingkaran dan kekufuran.
dengan melihat kenyataan, bahwa Iblis digambarkan Hamka sebagai
penolakan Iblis untuk sujud kepada simbol pembangkangan kepada Allah
Adam bukanlah jenis penolakan biasa SWT.23 Sama halnya Quraish Shihab
dan sederhana, dan juga bukan juga beranggapan, Iblis adalah simbol
termasuk dosa kecil, tetapi merupakan kejahatan, sedangkan keenggananya
pembangkangan yang disertai dengan sujud merupakan bertanda bahwa
protes dan penolakan terhadap apa kejahatan tidak mungkin akan sirna
yang dibanggakan Allah SWT. Atas sama sekali, dan Manusia harus terus
perlawanannya itu kemudian menjadi
jalan kekafiran dan penolakan terhadap
ilmu dan kebijaksanaan Allah SWT.
Akibatnya ia harus kehilangan
kedudukan dan statusnya dirinya di
20
pintu gerbang kedekatan Ilahiah. Maka Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir
Nurul Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju
Allah megusirnya dari kedudukan Cahaya Al-Qur’an,…jilid 5, h. 397
penting yang telah diperoleh di deretan 21
Muẖammad Sayyid Thanthawî, Tafsîr
al-Wasith li Al-Qur’ân al-Karîm: Tafsîr Surat al-
Fâtihah wa al-Baqârah, 1987, h. 126.
22
Abî al-Qâsim Maẖmûd bin ‘Umar Al-
18
Abî Laits Nashr bin Muẖammad bin Zamakhsyarî, al-Kasyâf ‘an Haqâ’iq Ghâwamidh
Aẖmad bin Ibrâhim al-Samarqandî, Tafsîr al- al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fî Wujuh al-Ta’wîl,
Samarqandî: Baẖru al-‘Ulûm, Cet. I, Jilid I Jilid I (Riyadh: Maktabah al-‘Abikân, 1998), h.
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 110. 254.
19 23
Abû al-Hasan al-‘Asy’ arî, Kitâb al- Haji Abdulmalik Karim Amrullah
Luma’ (Matbhba’ah Mashira Syarikah Mâhimah (Hamka), Tafsir al-Azhar, Cet. VI, Juz I (Jakarta:
Madhiriyah, 1955), h. 124. PT Mitra Kerjaya Indonesia, 2005), h. 165.
(copy) dari diri-Nya yang mempunyai Sementara Abu Abd. Allah Amr
segala sifat dan namanya. Bentuk copy bin Ustman al-Makkiy (salah seorang
itu adalah Adam. Setelah menjadikan murid Imam al-Junaid) berpandangan
Adam dengan cari ini, Ia memuliakan bahwa, sujudnya para Malaikat kepada
dan mengagungkan Adam. Ia cinta Adam, sesungguhnya bukan sujud
pada Adam. Pada diri Adamlah Allah kepada makhluk-Nya. Karena sujudnya
menampakkan diri dalam bentukNya.30 Malaikat pada hakikatnya sujud kepada
Di sisi lain, Ibnu ‘Arabi Allah. Sebab Adam mengetahui asmaul
beranggapan bahwa sujudnya Malaikat husna (nama-nama yang baik).
kepada Adam, karena menjadi pilihan Sebagaimana yang dinyatakan dalam
mereka dan sebagai bentuk Al-Qur’an. Adam, dengan demikian
merendahkan diri serta sebagai bentuk telah mencapai wushul ilallah (sampai
menghinakan dirinya kepada Adam.31 kepada Allah) sehingga Allah pun
al-Andalusî pun menafsirkan kata memuliakan Adam dan
usjudû pada lafazh tersebut adalah memerintahkan semua Malaikat
perintah (amr) yang mesti dengan ini bersujud kepadanya.33
mutlaknya kepada yang Maha Pencipta Pujaan.44 Lebih jauh lagi al-Hallâj
Alam Semesta, tidak diragukan lagi. al- berpandangan tentang Iblis, Iblis di situ
Hallâj telah menjadikan Iblis sebagai telah melihat penampakan Dzat Ilahi.
salah satu ikon yang telah bersungguh- Ia pun tercegah bahkan dari
sungguh memperjuangkan kebenaran mengedipkan mata kesadarannya, dan
sejati melalui komitmen cinta dan mulailah ia memuja Sang Esa Pujaan
pengorbanan diri. al-Hallâj dalam pengasingan khusyuknya. Ia
menyebutkan, ketika Iblis dengan tegas dikutuk ketika menjangkau
menolak bersujud kepada Adam, pada pengasingan ganda, dan ia didakwa
hakikatnya Ia mempertahankan ketika menuntut kesendirian (Allah)
keyakinanya bahwa hanya Allah yang mutlak. Allah berfirman kepadanya:
berhak menerima sujudnya. Iblis dalam ‘‘Sujudlah (kepada Adam As)!’’ Iblis
konteks ini adalah sosok yang monoteis menjawab: ‘‘Tidak, kepada yang selain
(muwahhid) yang tidak pernah Engkau.’’ Allah berfirman lagi
menyerah dalam hal apapun terkait kepadanya: ‘‘Bahkan, apabila kutuk-Ku
dengan pengesaan terhadap Allah. jatuh menimpamu?’’ Iblis menjawab
Meskipun ia terancam menjadi lagi: ‘‘Itu tidak akan mengadzabku!
penghuni surga selama-lamanya. Pengingkaranku adalah untuk
Penolakanya untuk sujud merupakan menegaskan Kesucian-Mu, dan
bentuk taqdis, yaitu mensucikan Tuhan alasanku (ingkar) niscaya melanggar
melalui penegasan akan transendensi bagi-Mu. Tetapi, apalah Adam
absolut dan penyatuan.43 dibandingkan dengan-Mu, dan siapalah
aku (Iblis), hingga dibedakan dari-
Kaum Sufi yang paling terjaga pun
Mu!.’’ Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia
tetap bungkam tentang Iblis, dan para
menjadi buta, dan berkata: ‘‘Tidak ada
ʹArifîn (ahli makrifat) tidak memiliki
jalan bagiku kepada yang lain selain
kemampuan untuk menjelaskan apa
dari-Mu. Aku pecinta yang buta!’’. Allah
yang telah dipelajarinya (tentang Iblis).
pun berfirman kepadanya: ‘‘Kamu telah
Iblis lebih kuat daripada mereka dalam
takabur!’’ Iblis menjawab: ‘‘Apabila ada
hal pemujaan, dan lebih dekat daripada
satu saja kilasan pandang diantara kita,
mereka kepada Sang Dzat Wujud. Ia
itu cukup membuatku sombong dan
(Iblis) mengerahkan dirinya lebih dan
takabur. Kendati begitu, aku adalah ia
lebih setia pada perjanjian, serta lebih
yang mengenal-Mu sejak ke-baqa’-an
dekat daripada mereka kepada Sang
masa Terdahulu, dan ‘‘aku lebih baik
daripadanya’’ (QS. al-A’râf[7]:12), sebab
aku lebih lama mengabdi kepada-Mu.
Tidak ada satu pun, di antara dua jenis
43
Ali bin Anjâbi as-Sa’i al-Baghdâdî, makhluk (Adam dan Iblis) ini, yang
Akhbâr al-Hallâj (Damaskus: Dâr at-Taliy’ah al-
Jadîdah, 1997), h. 32. Lihat Juga: Michael A.
44
Sells, Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Qâsim Muẖammad ‘Abbâs, al-Hallâj
Spiritual Islam Awal, terj. Alfatri, (Bandung: al-A’mâl al-Kâmilah (Beirut: Riad el-Rayyes,
Mizan, 2004), h. 353 2002), h. 194.
Pendapat dari Ulama Sufi di atas, seorang makhluk kepada Tuhan, dan
tentunya sangat kontradiksi dengan perintah sujud tersebut kepada Adam
pernyataan Ulama pada umunya. Oleh sebagai penghormatan, serta bukan
karena itu, di dalam kisah Iblis sebagai bentuk ibadah. Adapun
memberikanI pelajaran kepada kengganan Iblis untuk sujud kepada
Manusia tentang sebab-akibat ketaatan Adam, merupakan pembangkangan
dan pelanggaran yang dilakukan oleh yang disebabkan oleh sifat
Iblis baik secara penafsiran teologis kesombongan. Penolakan Iblis untuk
maupun sufistik. Di sisi lain bahwa sujud kepada Adam, yang akhirnya
sujud untuk menegaskan bahwa mengakibatkan ia masuk ke dalam
konsepsi ketundukkan Manusia kepada golongan kafir. Kedua, dalam
Tuhannya sangat diutamakan. Maka penafsiran Sufistik: Perintah sujud
perintah sujud dalam al-Qur'an kepada Adam adalah sebagai bentuk
memiliki kandungan yang sangat ibadah. Kengganan dan penolakan Iblis
mendalam. Sebagai Manusia harus untuk sujud kepada Adam adalah
memiliki kemampuan mengolah dan sebagai bentuk (taqdis), yakni
menundukkan nafsunya, untuk tunduk, mensucikan Allah SWT, yang pada
patuh, berserah diri secara total, sesuai hakikatnya adalah ketatan. Pada
dangan sunatullah dan taqdirullah. akhirnya Allah mengampuni dosa Iblis
dan memasukkannya ke dalam surga.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa, wawasan al-Qur'an ‘Abbâs, Qâsim Muẖammad. al-Hallâj
tentang respon Iblis terhadap perintah al-A’mâl al-Kâmilah. Beirut: Riad
sujud kepada Adam, memunculkan dua el-Rayyes, 2002.
perdebatan pendapat oleh para Ulama Abduh, Muẖammad, dan Rasyid Ridhâ.
yang kontroversial. Bila al-Qur’an saja Tafsîr al-Manar. Juz I. Beirut:
telah menceritakan kisahnya Iblis Dâr al-Ma’rifah, t.t.
maka, sudah pasti itu merupakan hal Abdullah bin Muhammad bin
yang sangat penting untuk Abdurrahman bin Ishaq Alu
diperhatikan bagi umat Manusia. Syaikh. Lubâbu Al-Tafsîr Min
Terlebih lagi kisah tersebut diulang- Ibni Katsîr. Jilid V. Jakarta:
ulang dalam al-Qur’an, di dalam Pustaka Imam Syafi’i, 2017.
beberapa Surat. hal tersebut Abî al-Qâsim Abd al-Kârîm bin
mengindikasikan bahwa banyak Hawâzan bin Abd al-Malik al-
pelajaran dan manfaat yang harus Qusyairî. Tafsîr Al-Qusyairi
diambil untuk kebaikan Manusia. Dua (Lathâ’if Al-Isyârât). Juz I.
pendapat tersebut yang kotroversial Beirut-Libanon: Dâr al-Kutub al-
yaitu: Pertama, dalam penafsiran Ilmiyah, 2007.
teologis perintah sujud, adalah Abî al-Qâsim Maẖmûd bin ‘Umar Al-
merupakan sebagai bentuk ketundukan Zamakhsyarî. al-Kasyâf ‘an
II, Jus 2. Semarang: PT Karya ———. Yang Halus Dan Tak Terlihat:
Toha Putra, 1974. Setan Dalam Al-Qur’an. Jakarta:
Muhammad bin Yusuf (Abu Hayan al- Lentera Hati, 2010.
Andalusî). Tafsîr al-Baẖri al- ———. Yang Tersembunyi: Jin, Iblis,
Muẖith. Cet. I, Juz I. Beirut- Setan & Malaikat Dalam Al-
Lebanon: Dâr al-Kutub al- Qur’an-As-Sunnah Serta Wacana
‘Ilmiyah, 1993. Pemikiran Ulama Masa Lalu dan
Muẖyi Al-Dîn Ibnu ‘Arabî. Tafsîr Ibnu Masa Kini. Cet. V. Jakarta:
‘Arabi, t.t. Lentera Hati, 2003.
Naisabûrî, Al-Qumi al-. “Gharâib Al- Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya
Qur’an wa Raghâ’ib Al-Qur’an.” dalam Islam. Jakarta: Raja
Aplikasi Tafsir Klasik, oktober Grafindo Persada, 2002.
2018. www. Al-tafsir.com. Susetya, Wawan. Kisah Para Sufi:
Nâshir al-Dîn Abî Sa’id Abd. Allah bin Perjalanan Menuju Maqam Cinta
‘Umar bin Muẖâmmad al-Syirâzi Sejati. Cet. I. Solo: Tiga
al-Baidhâwi. Tafsîr Anwâr al- Serangkai, 2006.
Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wil. Juz I. Syarifuddin. Paradigma Tafsir Tekstual
Mesir: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyah dan kontekstual Usaha
al-Kubrâ, t.t. Memaknai Kembali Pesan Al-
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme Qur’an. Cet. I. Yogyakarta:
Dalam Islam. Jakarta: Bulan Pustaka Penerbit, 2009.
Bintang, 1992. Thanthawî, Muẖammad Sayyid. Tafsîr
Qâsimî, Muẖammad Jamâl al-Dîn al-. al-Wasith li Al-Qur’an al-Karim:
Maḥāhasin al-Ta’wil. Juz I. Tafsîr Surat al-Fâtihah wa al-
Beirut: Dâr al-Fikr, 1996. Baqârah. Cet. III, Juz I., 1987.
Qurtubi, Imam al-. Tafsir Al-Qurtubi. ———. Tafsîr al-Wasith li Al-Qur’ân al-
Diterjemahkan oleh Ahsan Karîm: Tafsîr Surat al-Fâtihah wa
Askan. Jakarta: Pustaka Azzam, al-Baqârah, 1987.
t.t. Ulwan, Firyal. Rahasia Alam Gaib. Cet.
Rahmat, Jalaluddin. Membuka Tirai III. Semarang: PT Semarang
Kegaiban: Rahasia-Rahasia Press, 2003.
Sufistik. Cet. I. Bandung: Mizan Zuhailî, Wahbah al-. al-Tafsîr al-Wajîz
Pustaka, 2008. ‘alâ Hamsyi Al-Qur’an al-‘Azhim.
Said, Usman. Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet. II. Damsyiq-Suriah: Dâr al-
Medan: Proyek Pembinaan PTA Fikr, 1994.
IAIN Sumatera Utara, 1982.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah.
Vol. I. Tangerang: PT. Lentera
Hati, 2016.