Masalah Kemanusiaan Hingga Lingkungan Hidup: Studi Kasus Konflik Nagorno-Karabakh (Azerbaijan Vs Armenia)

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 33

Uti Possidetis: Journal of International Law

ISSN 2721-8333 (online); 2721-8031 (print)


Vol. 2 No.3 (2021): 235-267

Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan


Hidup: Studi Kasus Konflik Nagorno-
Karabakh (Azerbaijan Vs Armenia)

Hanna Arinawati; Fathimah Azzahrah Putri; Shereena El Islamy


Fakultas Hukum Universitas Indonesia
*Corresponding Author : hannaarinawati@gmail.com

Submission : 12 Juli 2021


Revision : 06 September 2021
Publication : 12 Oktober 2021

Abstract
Armed conflict in a war is recognized as one way to resolve disputes
between countries. However, armed conflict has negative impacts on
humanity and the environment. This study discusses the conflict
between Azerbaijan and Armenia which resulted in the deaths of 150
civilians and 5000 soldiers died and had a negative impact on the
environment. Azerbaijan was accused that in this war it used White
Phosphorus or fireworks with white smoke which carries a very
dangerous chemical, it can cause disability or the extinction of wildlife
forever. Meanwhile, the Armenians exploited the natural resources of
the occupied territories without considering the superiority of
population interests and changes in regional cultural heritage. The
results showed that in the Nagorno-Karabakh conflict 2020 (Azerbaijan
vs. Armenia) there were violations of international agreements in
international environmental law and international humanitarian law
that occurred as a result of the conflict which could be held accountable
internationally. Then in relation to accountability due to armed conflict,
Armenia and its affiliates in the occupied territory of Azerbaijan are
responsible for acts of international violations.

Keywords: armed conflict; environment; humanity


Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

Abstrak
Konflik bersenjata dalam sebuah perang diakui menjadi salah satu
cara untuk menyelesaikan sengketa antar negara. Namun, konflik
bersenjata menimbulkan dampak negatif terhadap kemanusiaan dan
lingkungan. Penelitian ini membahas mengenai konflik antara
Azerbaijan dan Armenia yang mengakibatkan adanya korban jiwa 150
warga sipil tewas dan 5000 tentara tewas dan memiliki dampak buruk
terhadap lingkungan. Azerbaijan mendapat tuduhan bahwa dalam
perang ini pihaknya menggunakan White Phosphorus atau kembang
api dengan asap putih yang membawa bahan kimia yang sangat
berbahaya, dapat mengakibatkan cacat tubuh maupun kepunahan
margasatwa selamanya. Sedangkan pihak Armenia melakukan
eksploitasi sumber daya alam wilayah pendudukan tanpa
mempertimbangkan keunggulan kepentingan populasi dan
perubahan cagar budaya daerah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada konflik Nagorno-Karabakh 2020 (Azerbaijan vs Armenia)
terlihat adanya pelanggaran perjanjian internasional dalam hukum
lingkungan internasional dan hukum humaniter internasional yang
terjadi akibat konflik tersebut yang dapat dimintakan pertanggung
jawaban secara internasional. Kemudian dalam kaitannya dengan
pertanggungjawaban akibat konflik bersenjata, Armenia dan
afiliasinya di wilayah pendudukan Azerbaijan bertanggung jawab atas
tindakan pelanggaran internasional.

Kata Kunci: konflik bersenjata; lingkungan; kemanusiaan

A. Pendahuluan
Kemampuan suatu negara dalam menjalin hubungan
dengan negara lain pada saat ini tentunya memiliki makna yang
penting bagi sebuah negara. Hal tersebut mencerminkan bahwa
mereka telah memiliki kecakapan dalam menjaga integritas
teritorialnya. Kemampuan tersebut pun dinilai dapat
menciptakan persamaan kedudukan dan derajat antar masing-
masing negara, dan juga sebagai bukti adanya kemerdekaan

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


236
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

dan kedulatan yang dimiliki oleh suatu negara.1 Dalam suatu


pergaulan masyarakat internasional, tidak menjadi hal yang
asing lagi apabila negara-negara selalu mengadakan hubungan
satu sama lainnya, hubungan ini didasarkan atas kepentingan
negara masing-masing. Kepentingan yang dimaksud meliputi
antara lain, kepentingan ekonomi, hukum, pendidikan, sosial
budaya, dan sebagainya.2 Adanya hubungan yang tetap dan
terus menerus ini merupakan salah satu unsur dari eksistensi
masyarakat internasional.3 Artikel ini mencoba membahas
bagaimana persoalan mekanisme dalam penanggalan
kekebalan (immunity waiver) oleh negara pengirim terhadap
pejabat diplomatik.
Hubungan antara satu negara dengan negara yang lain,
tidak selamanya berjalan dengan baik dikarenakan dapat
timbul adanya perbedaan ideologi, keinginan untuk
memperluas kekuasaan dari suatu negara, perbedaan
kepentingan dan perampasan sumber daya alam4. Hal ini dapat
menimbulkan sengketa dalam hubungan antar negara yang

1 Hanna Safira Nasution. Penyalahgunaan Wewenang Oleh Pejabat


Diplomatik Dalam Melaksanakan Tugas Diplomatiknya Ditinjau
Dari Aspek Hukum Internasional. Jurnal Ilmu Hukum, 2017, hal. 4.
2 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum
Internasional. Edisi Ke-2. Bandung: PT. Alumni. 2003. hal. 12.
3 Masyarakat Internasional merupakan suatu kompleks kehidupan
bersama yang terdiri dari aneka ragam masyarakat yang jalin-
menjalin dengan erat. Ibid., hal.13.
4 Daniel S. Papp. Contemporary International Relations : Frameworks
for Understanding. Macmillan. 1988. hal 147.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


237
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

berwujud pada terjadinya peperangan.5 Mochtar


Kusumaatmadja dalam bukunya menyatakan bahwa
merupakan kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400
tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal
2500 tahun perdamaian.6
Penggunaan kekuatan bersenjata dalam perang diakui
sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa internasional,
selain dengan menggunakan penyelesaian sengketa
internasional melalui cara berdamai. Konflik bersenjata akan
terjadi apabila negara-negara saling bertentangan dan merasa
bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak bisa dicapai,
kecuali melalui cara-cara kekerasan.7 Penggunaan senjata
dalam peperangan tidak sebatas hanya dalam penggunaan
peluru atau bahan ledakan. Namun, dimungkinkan bagi negara
tersebut menggunakan senjata yang dapat memusnahkan serta
mengandung zat kimia yang dapat berdampak buruk bagi
kehidupan manusia serta lingkungannya. Dalam hal ini,
manusia bisa saja kehilangan nyawanya secara langsung karena
menjadi korban akibat peperangan yang sedang terjadi.
Aktivitas peperangan seperti ini akan berdampak pada
lingkungan sebagai media, dimulai dari ketika dilakukannya

5 Huala Adolf. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta:


Sinar Grafika. Cetakan ketiga. 2008. hal 1.
6 Mochtar Kusumaatmadja. Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949.
Bandung : PT Alumni. 2002. hal. 11.
7 Ambarwati, Denny Ramdhany dan Rina Rusman. Hukum
Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2012. hal 2.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


238
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

pembuatan, percobaan, pemeliharaan dan penggunaan senjata-


senjata perang, baik senjata yang konvensional, senjata kimia,
biologi serta senjata nuklir yang mengandung racun berbahaya
serta zat radioaktif.8
Pasal 2 Ayat (3) Piagam PBB yang menyatakan “All
members shall settle their international disputes by peaceful
means in such a manner that international peace and security are
not endangered.” Piagam tersebut menghendaki penyelesaian
sengketa dengan cara-cara yang damai serta tidak
membahayakan keamanan dunia. Meskipun perang akan
membawa suatu kesengsaraan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, perang juga diakui sebagai suatu
mekanisme dalam penyelesaian sengketa dalam hukum
Internasional.
Dalam pembahasan kali ini, kami akan membahas
mengenai perlindungan lingkungan hidup dalam situasi konflik
bersenjata dengan mengambil studi kasus Perang Azerbaijan
dengan Armenia yang terjadi kembali pada baru-baru ini pada
Juli 2020. Yang mana kasus ini menjadi perhatian internasional
dikarenakan perang ini berdampak pada kerusakan lingkungan
serta juga memakan korban. Selain itu, kerusakan yang terjadi
akibat perang ini juga berdampak pada lingkungan manusia
pasca perang tersebut.

8 Sri Wartini. Perlindungan Lingkungan dalam Hukum Humaniter.


Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 2003. hal 151.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


239
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

B. Pembahasan
1. Perlindungan Lingkungan Hidup oleh Hukum
Humaniter Internasional
Hukum humaniter internasional merupakan satu bagian
dari hukum internasional yang diterapkan pada waktu
pertikaian bersenjata. Tujuan hukum humaniter
internasional adalah menjamin penghormatan manusia
dalam batas keperluan militer dan ketertiban umum, serta
mengurangi akibat-akibat permusuhan.9 Selain itu, hukum
humaniter internasional merupakan cabang dari hukum
internasional yang mengatur tentang perlindungan korban
perang dan mengatur tentang penggunaan alat dan cara
berperang.10 Hubungan antara hukum lingkungan
internasional dengan hukum humaniter internasional
merupakan hubungan horizontal antar dua cabang hukum
internasional. Selama ini pembahasan perlindungan
lingkungan dalam konflik bersenjata dilakukan terpisah
antara hukum lingkungan internasional dengan hukum
humaniter internasional.11

a. Perjanjian Internasional

9 Sulaiman. Sengketa Bersenjata Non-Internasional. Jurnal Hukum


dan Pembangunan 2000. hal. 24.
10 Sulaiman. “Sengketa Bersenjata…”, hal. 23.
11 J. Wyatt. Law Making at the Intersection of International
Environmental Law, Humanitarian Law, and Criminal Law: The
Issue of Damage to The Environment in International Armed
Conflict. International Review of the Red Cross. 2010. hal 594.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


240
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

1. The 1976 Convention on the Prohibition of Military or Any


Other Hostile Use of Environmental Modification
Techniques (ENMOD 1976)
Kepedulian manusia terhadap lingkungan hidup
dalam situasi konflik bersenjata mulai terbuka saat
meletusnya peristiwa Perang Vietnam yang
berlangsung pada tahun 1955 hingga tahun 1975
sehingga dibentuklah Environmental Modification
Convention (ENMOD) dibuat pada tahun 1976 yang
berisi larangan para pihak untuk menggunakan cara-
cara dan persenjataan serta teknik-teknik modifikasi
lingkungan yang bertujuan untuk menimbulkan
kerusakan atau penderitaan yang mendalam kepada
pihak lain.
Pasal 1 ayat (1) ENMOD 1976 mensyaratkan
bahwa setiap negara pihak kepada Konvensi ini berjanji
untuk tidak terlibat dalam militer atau penggunaan lain
dari modifikasi lingkungan yang tidak bersahabat
teknik yang tersebar luas, tahan lama atau parah efek
sebagai sarana penghancuran, kerusakan atau cedera
kepada negara pihak lainnya. Konvensi ini
mendefinisikan teknik modifikasi lingkungan sebagai
“any technique for changing - through the deleberate
manipulation of natural processes the dynamics
composition or structure of the Earth, including its biota,

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


241
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

lithosphere, hydrosphere and atmosphere, or of outer


space”. 12
2. Additional Protocol I to the Geneva Conventions of 12
August 1949 (1977)
Protokol Tambahan I dan II ke Konvensi Jenewa
terjadi dengan latar belakang berbagai perang,
termasuk Perang Vietnam yang menimbulkan
pertanggungjawaban serius tentang perlindungan
populasi sipil dan lingkungan. Pertumbuhan kesadaran
lingkungan, serta kekhawatiran atas taktik militer yang
digunakan selama perang ini, menyebabkan inklusi dua
ketentuan dalam Protokol Tambahan I yang secara
eksplisit membahas bahaya lingkungan yakni Pasal 35
ayat (3) dan Pasal 55 yang melarang aktivitas konflik
bersenjata yang mengakibatkan kerusakan yang parah,
meluas, atau berkepanjangan terhadap lingkungan
hidup.
3. Convention on Prohibitions or Restrictions on the Use of
Certain Conventional Weapons Which May be Deemed to
be Excessively Injurious or to have Indiscriminate Effects
(CCW 1980)
Konvensi ini juga dikenal sebagai Konvensi
tentang Senjata Konvensional Tertentu dan Konvensi
Senjata Tidak Manusiawi yang menyatakan dalam
Pembukaannya bahwa: "it is prohibited to employ

12 United Nations General Assembly, Convention on The Prohibition of


Military or Any Other Hostile of Environmental Modification
Techniques (1976), Ps. 2.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


242
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

methods or means of warfare which are intended, or may


be expected, to cause widespread, long-term and severe
damage to the natural environment”.13 Selanjutnya,
Pasal 2 (4) Protokol III CCW 1980 tentang Larangan
atau Batasan Penggunaan Senjata Pembakaran juga
secara langsung mengatur mengenai perlindungan
lingkungan dalam situasi konflik bersenjata.
4. Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War
on Land and its annex: Regulations concerning the Laws
and Customs of War on Land. The Hague ( Den Haag
Convention IV 1907)
Terdapat dua ketentuan dari Konvensi Den
Haag IV tahun 1907 mengatur mengenai penggunaan
senjata di dalam konflik bersenjata yang relevan untuk
melindungi lingkungan, yaitu pasal 22 dan 23.14
5. Protocol for the Prohibition of the Use in War of
Asphyxiating, Poisonous or other Gases, and of
Bacteriological Methods of Warfare 1925 (Geneva
Protocol)
Protokol ini mengatur larangan penggunaan senjata
kimia dan biologi dalam konflik bersenjata
Internasional. Konvensi tersebut ditandatangani pada
tanggal 17 Juni 1925 di Jenewa dan mulai berlaku pada
tanggal 8 Februari 1928.
6. Convention for the Protection of Cultural Property in the
Event of Armed Conflict 1954 (Hague Convention)

13 Convention on Prohibitions or Restrictions on the Use of Certain


Conventional Weapons Which May be Deemed to be Excessively
Injurious or to have Indiscriminate Effects. Geneva: ICRC. 2004. hal.
11.
14 David Jensen dan Silja Halle. Protecting the Environment..., hal. 14.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


243
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

Dalam konvensi ini, dijelaskan mengenai


Perlindungan Benda Budaya pada waktu konflik
bersenjata, serta memberikan pengaturan tentang
upaya waktu damai untuk mencegah dampak konflik
terhadap benda budaya. Dilanjut pada protokol kedua
Convention for the Protection of Cultural Property in the
Event of Armed Conflict tahun 1999, memuat mengenai
langkah konkrit dalam persiapan inventarisasi,
perencanaan langkah darurat untuk kebakaran dan
runtuhnya bangunan, persiapan bagi pemindahan atau
pun pengembalian dan pembentukan otoritas
berwenang terhadap penjagaan benda budaya dalam
konflik bersenjata.15
b. Prinsip-Prinsip Umum Hukum Humaniter Internasional
Dalam hukum humaniter internasional terdapat beberapa
prinsip, diantaranya adalah Prinsip Pembedaan (Distinction
Principle), Prinsip Pembatasan Senjata (Limitation Principle),
Prinsip Proporsionalitas, Prinsip Diskriminasi, dan Prinsip
Memperhatikan Lingkungan.

15 Eka Martiana Wulansari. Perlindungan Hukum Benda Budaya Dari


Bahaya Konflik Bersenjata. Disertasi. Universitas Pamulang. 2016.
hal. 370.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


244
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

2. Perlindungan Lingkungan Hidup oleh Hukum


Lingkungan Internasional
Perlindungan lingkungan hidup dalam konflik bersenjata
tidak cukup apabila hanya dilakukan dengan hukum humaniter
saja karena hukum lingkungan internasional-lah yang dapat
memahami lingkungan hidup yang sebenar-benarnya. Prinsip-
prinsip dasar perlindungan, pendekatan, norma, dan
mekanisme perlindungan lingkungan hanya dapat ditemukan
di hukum lingkungan internasional.16 Hukum lingkungan
internasional dapat memperkuat hukum humaniter
internasional dalam mencegah lingkungan hidup agar tidak
menjadi korban konflik bersenjata sehingga perlindungan
lingkungan hidup dalam konflik bersenjata, dapat diterapkan
lebih spesifik.17
a) Prinsip 23, 24, 25, & 26 Rio Declaration
Dalam dua puluh tujuh prinsip yang terdapat dalam
Deklarasi Rio, terdapat empat prinsip yang berkaitan dengan
perlindungan lingkungan hidup dalam konflik bersenjata yakni
pada prinsip ke 23, ke 24, ke 25, dan ke 26.
b) Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants 2001
Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants yang
diadopsi pada tahun 2001 menjadi panduan utama dalam
penggunaan senyawa kimia sebagai senjata dalam perang.
Pasal 1 konvensi ini mengatur bahwa “Mindful of the

16 Michael Bothe, et.al. International Law. hal. 569.


17 Ibid.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


245
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

precautionary approach as set forth in Principle 15 of the Rio


Declaration on Environment and Development, the objective of
this Convention is to protect human health and the
environment from persistent organic pollutants.” Ketentuan
dalam hukum internasional terkait dengan larangan
penggunaan senjata kimia dalam keadaan perang telah menjadi
hal yang diakui bersama oleh mayoritas masyarakat hukum
internasional.
Dalam hukum internasional, secara jelas menjelaskan
bahwa terdapat keinginan dalam penerapan prinsip kehati-
hatian antara konflik bersenjata dengan lingkungan hidup.
Akan terdapat banyak dampak yang diberikan yang diakibatkan
oleh sebuah operasi militer yang tidak dapat dipastikan bahwa
pihak-pihak terkait akan diberikan kebebasan dalam
melakukan tindakan kehati-hatian serta pihak tersebut
dimungkinkan akan meninggalkan kewajibannya dalam
melindungi lingkungan hidup pada saat sebuah konflik sedang
terjadi. Pernyataan Mahkamah Internasional yang berbunyi
“The environment is not an abstraction but represents the living
space, the quality of life and the very health of human beings,
including generations unborn” 18 diakui bahwa perlindungan
lingkungan hidup tergolong ke dalam aspek yang perlu
diperhatikan. Dalam pengaplikasian prinsip maxim sic utero tuo

18 Yoram Dinstein. Protection of the Environment in International


Armed Conflict. Max Planck Yearbook of United Nations Law,
Volume 5. 2001. hal. 523.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


246
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

ut alienum laodas, negara-negara diwajibkan untuk tidak


merusak lingkungan hidup negara orang lain ketika sedang
sedang berperang.
Selain itu, Mahkamah Internasional juga memiliki prinsip
lain yakni necessity and proportionality yang ada dalam hukum
lingkungan internasional dan konflik bersenjata. Prinsip ini
menyatakan bahwa “States must take environmental
considerations into account when assessing what is necessary
and proportionate in the pursuit of legitimate military objectives.
Respect for the environment is one of the elements that go to
assessing whether an action is in conformity with the principles
of necessity and proportionality.” . Proporsional yang dimaksud
dalam hal ini adalah bentuk kerusakan yang timbul nantinya
tidak boleh melampaui batas dari target militer yang
diharapkan dan tidak boleh lebih besar dari keuntungan yang
didapatkan19.
Sebagai penegasan mengenai perlindungan lingkungan
dalam masa perang adalah, jika kita lihat prinsip hukum konflik
bersenjata, hukum internasional terutama yang mengatur
mengenai perlindungan lingkungan akan ditangguhkan
pengaplikasiannya ketika perang berlangsung dan hanya
berlaku ketika masa damai dan menjadi satu perjanjian masa
damai “peacetime agreement”. Namun, perspektif ini dianggap
terlalu sempit, karena jika dilihat dari hukum internasional

19 Yoram Dinstein. Protection, hal. 24.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


247
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

modern mengakui bahwa hukum internasional yang berlaku


selama konflik bersenjata berlangsung akan lebih luas
implementasinya daripada hukum konflik bersenjata, terutama
dalam hal perlindungan lingkungan. Karena pada masa perang
pelanggaran yang dapat terjadi bukan hanya mengenai
humaniter saja tetapi lingkungan juga terdampak maka hukum
yang berlaku kaitannya dengan konflik bersenjata jika hanya
menggunakan hukum konflik bersenjata saja yang merujuk
pada hukum humaniter sebagai lex specialis akan tidak cukup
untuk menemukan solusinya, dibutuhkan hukum internasional
lainnya seperti hukum mengenai hak asasi manusia dan hukum
lingkungan internasional. Jika ditarik kesimpulan, bahwa
perjanjian atau hukum internasional akan tetap beroperasi
meskipun perang berlangsung.20

3. Kasus
Pada tahun 2020, Azerbaijan terlibat konflik bersenjata
dengan negara jirannya yakni Armenia. Lokasi terjadinya
konflik tersebut berada di wilayah Nagorno-Karabakh
(sekarang dikenal dengan Republik Artsakh). Pertempuran ini
berlangsung selama 6 minggu (27 September 2020-10
November 2020) dan dalam kurun waktu tersebut sebelum
terjadi gencatan senjata yang ditengahi oleh Rusia,

20 Marie G. Jacobsson. International Law Commision: Preliminary


report on the protection of the environment in relation to armed
conflicts. 2014. hal 2-3.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


248
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

mengakibatkan korban jiwa 150 warga sipil tewas dan 5000


tentara tewas, dengan 130.000 orang mengungsi ke Armenia.
Dalam perjalanan konflik ini, kedua negara saling melempar
propaganda tuduhan mengenai siapa yang benar-benar
melakukan perusakan lingkungan saat terjadinya konflik ini di
Artsakh.
Propaganda mengenai tuduhan siapa yang melakukan
perusakan lingkungan ini sangat kuat disuarakan melalui media
sosial, baik oleh akun masyarakat sipil, para pasukan maupun
oleh akun resmi sosial media milik negara. Cuitan-cuitan
tersebut banyak yang membahas bahwa perusakan lingkungan
yang terjadi dalam konflik bersenjata dua negara ini adalah
terjadinya suatu Ecocide atau kepanjangannya dari Eco
Genocide. Ecocide adalah istilah dari pemusnahan lingkungan
dan dinilai sebagai bentuk kejahatan berat yang memiliki
dampak buruk yang sangat luas bagi kehidupan manusia
maupun makhluk hidup lainnya yang berada di wilayah Ecocide
tersebut.21 Dalam kasus ini terjadi tuduh menuduh mengenai
penggunaan bahan dalam perang serta perilaku pengrusakan
lingkungan dalam perang. Azerbaijan mendapat tuduhan
bahwa dalam perang ini pihaknya menggunakan White
Phosphorus atau kembang api dengan asap putih yang
membawa bahan kimia yang sangat berbahaya, dapat

21 Hizbullah Arief. Mengurai “Ecocide” untuk menyelamatkan


Lingkungan? https://www.walhi.or.id/mengurai-ecocide-untuk-
menyelamatkan-lingkungan. diakses 31 Mei 2021.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


249
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

mengakibatkan cacat tubuh maupun kepunahan margasatwa


selamanya. Sedangkan pihak Armenia mendapat tuduhan
bahwa melalui video yang tersebar di sosial media
menggambarkan orang-orang Armenia yang membakar sarang
lebah dan pepohonan di hutan ketika melarikan diri dari
Nagorno-Karabakh. Namun, perlu diingat bahwa tuduhan ini
belum sepenuhnya terbukti. Terjadinya kesimpangsiuran
informasi mengenai apa-apa saja yang telah terjadi adalah
karena memang di Azerbaijan memiliki kebebasan dan
ketidakberpihakan pers yang rendah. Sehingga sangat terlihat
sekali bahwa lingkungan telah digunakan sebagai senjata
propaganda oleh kedua belah pihak untuk mendapatkan
kemenangannya.
Mengesampingkan mengenai siapa yang melakukan
perusakan lingkungan, terdapat fakta yang menunjukkan
adanya titik api di wilayah tutupan hutan Nagorno-Karabakh
yang terdeteksi oleh instrumen Suomi-NPP VIIRS diantara
tanggal 26 Oktober - 4 November dengan puncaknya yakni 31
Oktober. Dalam periode tersebut terdeteksi adanya 447
kebakaran yang muncul dengan luas wilayah yang terbakar
untuk tingkat moderat dan berat seluas 102 km2. Jumlah
kebakaran tersebut merupakan angka yang tertinggi daripada
tahun-tahun sebelumnya sejak instrumen Suomi-NPP VIIRS
diluncurkan pada tahun 2012. Akibat adanya kebakaran ini
menyebabkan munculnya kabut asap yang bergerak ke arah
timur dan timur laut Azerbaijan. Asap ini juga meningkatkan

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


250
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

kadar karbon monoksida, nitrogen dioksida, metana, dan


aerosol penyerap (karbon hitam). Disekitar titik munculnya api
juga ditemui bahwa terdapat Formaldehid (Formalin) dengan
kadar yang cukup tinggi. Asap kebakaran ini dapat
menyebabkan masalah kesehatan yang akut bagi kelompok
masyarakat rentan.
Dampak asap kebakaran juga dirasakan oleh
keanekaragaman hayati baik secara langsung maupun untuk
jangka panjang seperti rusaknya habitat karena terkontaminasi
dari sisi-sisa bahan kimia berbahaya yang digunakan saat
perang. Perekonomian juga salah satu bidang yang terkena
dampak, dimana hutan menjadi mother source bagi penduduk
sekitar hutan yang mata pencahariannya sangat bergantung
pada kondisi hutan, dengan rusaknya hutan maka akan
mengganggu stabilitas penghidupan mereka. Selain hutan,
lahan pertanian juga menjadi titik kebakaran, dan
dimungkinkan bahwa itu merupakan kerusakan tambahan.
Melihat kembali penggabungan data titik-titik kebakaran yang
mayoritas terjadi di hutan tertutup dengan peta penggunaan
lahan, menguatkan teori hilangnya tutupan hutan untuk
keuntungan militer terutama keuntungan udara.

4. Pertanggungjawaban Armenia terhadap Konflik


Penyelesaian sengketa di bawah pengawasan PBB
ditentukan oleh tujuan dasar dari PBB dan kewajiban-
kewajiban anggota-anggotanya. Salah satu tujuan dasar

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


251
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

pembentukan PBB adalah penyelesaian sengketa secara damai


atas sengketa antar negara. Adapun salah satu kewajiban
anggota PBB adalah mereka harus menahan diri untuk
mengancam perang atau menggunakan kekerasan. Peranan
PBB dalam penyelesaian sengketa secara damai dapat
dilakukan melalui penyelesaian secara politik dan hukum.
Penyelesaian sengketa secara politik dilakukan oleh Majelis
Umum dan Dewan Keamanan sedang penyelesaian sengketa
secara hukum dilakukan oleh Mahkamah Internasional.
Dalam Pasal 1 Piagam PBB dijelaskan bahwa salah satu
tujuan dari PBB adalah mengadakan tindakan bersama yang
tepat untuk mencegah dan melenyapkan ancaman bagi
perdamaian, dan karenanya setiap sengketa hendaknya
diselesaikan dengan jalan damai sesuai dengan prinsip keadilan
dan hukum internasional agar tidak mengganggu perdamaian.
Pasal 33 (1) UN Charter menjelaskan bahwa cara
penyelesaian sengketa para pihak dapat dilakukan melalui
negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, serta
penyelesaian menurut hukum melalui badan atau pengaturan
regional, atau cara damai lainnya yang dipilih sendiri.
Pada kasus ini, para pihak yaitu Azerbaijan dan Armenia
sepakat untuk menyelesaikan sengketa secara mediasi dengan
rusia sebagai mediatornya yang ditaungkan dalam suatu
Perjanjian Perdamaian (The Statement by the President of the
Republic of Azerbaijan, Prime Minister of the Republic of Armenia
and President of the Russian Federation).

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


252
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

Kemudian dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban


para pihak, di dalam perjanjian perdamaian tidak diatur
mengenai siapa yang bertanggung jawab atas konflik bersenjata
tersebut. Oleh karena itu berdasarkan hukum internasional
bahwa pertanggungjawaban atas konflik tersebut dapat
diselesaikan dengan menuntut Armenia ke hadapan Mahkamah
Internasional untuk meminta tanggung jawab serta ganti
kerugian yang ditimbulkan akibat agresi. Hal ini berdasar
kepada Article 93 (1) UN Charter yang berbunyi All Members of
the United Nations are ipso facto parties to the Statute of the
International Court of Justice. Pasal ini menjelaskan bahwa
semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah pihak ipso
facto (secara nyata) Statuta Mahkamah Internasional). Oleh
karena baik Azerbaijan dan Armenia merupakan negara
anggota PBB maka masing-masing termasuk juga merupakan
para pihak dari statuta Mahkamah Internasional.
Namun berdasarkan fakta bahwa Permanent
Representative of Azerbaijan pada tanggal 3 Oktober 2017
bersurat kepada UN yang ditunjukkan kepada Sekjen PBB
dengan merekomendasikan agar surat ini bisa menjadi
Dokumen Majelis Umum di bawah agenda 35, 40, 70, 72 dan 84,
dan Dewan Kemanan (sebagai dokumen yang mengikat secara
hukum).
Selanjutnya menurut Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB,
integritas teritorial negara lebih penting daripada hak rakyat
untuk menentukan nasib sendiri. Dalam hal ini, Piagam PBB

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


253
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

berlaku untuk konflik Nagorno-Karabakh, sebagai integritas


teritorial dari Azerbaijan dan tindakan agresi yang dilakukan
oleh Armenia tidak dapat dibenarkan. Hal ini harus dipatuhi
Armenia dikarenakan tatanan dunia didasarkan pada prinsip-
prinsip PBB dan ada dua dokumen utama yang mengikat secara
hukum internasional (legally binding) adalah Piagam PBB dan
resolusi Dewan Keamanan. Dalam bukunya Shaw menyatakan
bahwa pasal antara lain melarang penggunaan kekerasan
terhadap kedaulatan teritorial negara mana pun, mengacu pada
1949 Declaration of the Rights and Duties of the States, yang
menyerukan tidak diakuinya perolehan wilayah yang diperoleh
dengan menggunakan kekerasan atau cara lain yang tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip inti hukum internasional.
Kejahatan paling serius yang menjadi perhatian
masyarakat internasional, seperti kejahatan perang, kejahatan
terhadap kemanusiaan, genosida, pembersihan etnis dan
kejahatan terhadap lingkungan telah dilakukan oleh pasukan
Armenia selama agresi. Berbeda dengan pernyataan Armenia
dan terlepas dari berbagai makalah yang beredar di
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi internasional
lainnya atas nama rezim boneka yang telah didirikannya di
wilayah pendudukan Azerbaijan, yang null dan void ab initio,
ilegalitas rezim itu telah berulang kali dinyatakan di tingkat
internasional dengan cara yang paling tidak ambigu. Berikut
beberapa contohnya.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


254
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

Dalam resolusi Dewan Keamanan PBB 822 (1993), 853


(1993), 874 (1993) dan 884 (1993), UNSC mengutuk
penggunaan kekuatan terhadap Azerbaijan, pemboman,
pendudukan wilayahnya dan menegaskan kembali
penghormatan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah
Azerbaijan, sifat internasional yang tidak dapat diganggu gugat
perbatasan dan tidak dapat diterimanya penggunaan kekuatan
untuk akuisisi wilayah. Dalam menanggapi klaim teritorial
Armenia dan tindakan paksa, Dewan menegaskan kembali
bahwa wilayah Nagorno-Karabakh merupakan bagian integral
dari Azerbaijan dan menuntut penarikan pasukan pendudukan
segera, lengkap dan tanpa syarat dari semua wilayah-wilayah
yang diduduki. Dalam resolusi, Dewan Keamanan mengakui
fakta bahwa tindakan kekuatan militer dilakukan terhadap
Azerbaijan; bahwa tindakan tersebut melanggar hukum dan
tidak sesuai dengan larangan penggunaan kekuatan bersenjata
dalam hubungan internasional international dan bertentangan
dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tujuannya;
dan untuk itu mereka merupakan pelanggaran nyata terhadap
kedaulatan dan integritas teritorial Azerbaijan.
Penting untuk dicatat bahwa Dewan Keamanan
mengadopsi resolusinya setelah Penduduk Armenia di wilayah
Nagorno-Karabakh yang dimiliki Azerbaijan secara sepihak
mendeklarasikan “kemerdekaan”, sehingga sangat jelas bahwa
deklarasi tersebut tidak mengakibatkan hukum apapun.
Banyak dokumen yang diadopsi oleh otoritas internasional

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


255
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

lainnya organisasi dibingkai di sepanjang garis yang sama.


Penolakan terus-menerus Armenia atas tanggung jawabnya
atas agresinya terhadap Azerbaijan dan pendudukan yang
melanggar hukum dan kehadiran militer di wilayah negara
Azeri telah secara efektif diakhiri oleh Grand Chamber of
European Court of Human Rights dalam keputusan penting
(Merits) tanggal 16 Juni 2015 dalam kasus Chiragov dan lainnya
v. Armenia. Pengadilan memenangkan para pemohon, yang
merupakan enam warga Azerbaijan yang dipindahkan secara
paksa dari distrik Lachyn yang diduduki Azerbaijan, mengakui
pelanggaran terus-menerus oleh Armenia atas sejumlah hak
mereka di bawah Convention for the Protection of Human
Rights and Fundamental Freedoms.
Setelah memeriksa bukti-bukti yang diajukan, Mahkamah,
antara lain, sampai pada kesimpulan:
 “Republik Armenia, melalui kehadiran militernya dan
penyediaan peralatan dan keahlian militer, telah secara
signifikan terlibat dalam Konflik Nagorno-Karabakh
sejak dini ”;
 “Dukungan militer ini telah — dan terus menjadi —
menentukan bagi penaklukan dan kendali terus atas
wilayah yang dipermasalahkan ”;
 Rezim separatis di wilayah tersebut “Bertahan karena
kekuatan militer, dukungan politik, keuangan dan
lainnya yang diberikan kepadanya oleh Armenia yang,

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


256
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

akibatnya, melakukan kontrol yang efektif atas Nagorno-


Karabakh dan wilayah sekitar… ”.22
Pengadilan juga mengonfirmasi kesimpulannya dari
keputusan admissibility tanggal 14 Desember 2011,
menurutnya entitas separatis “is not recognized as a State under
international law by any countries or international
organisations…” dan, “against this background, the invoked laws
cannot be considered legally valid for the purposes of the
Convention and the applicants cannot be deemed to have lost
their alleged rights to the land in question by virtue of these laws
... ”.23
Akibatnya, rezim separatis yang didirikan oleh Armenia di
pendudukan wilayah Azerbaijan pada akhirnya tidak lain
adalah nyata-nyata sebuah agresi, diskriminasi rasial dan
pembersihan etnis; rezim berada di bawah arahan dan kendali
atas Armenia sehingga Armenia bertanggung jawab secara
penuh atas konflik termasuk di dalamnya kerusakan dan ganti
rugi yang telah ditimbulkan sebagai akibatnya. Mengenai upaya
Armenia untuk mengubah nama geografis sebagian Wilayah
Azerbaijan yang diakui secara internasional,
ketidakabsahannya berasal dari keadaan yang jelas akan
pelanggaran hukum internasional, Konstitusi dan undang-
undang Azerbaijan serta prinsip dan prosedur standarisasi

22 Chiragov and others v. Armenia, Grand Chamber of the European


Court of Human Rights, Judgment (Merits) of 16 June 2015,
application No. 13216/05, paras. 180, 183, 185, 186.
23 Ibid., paras. 148 dan 182.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


257
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

internasional nama geografis yang didirikan di dalam


Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kenyataannya, dengan
mempropagandakan keberadaan rezim separatis boneka,
Armenia menyangkal fakta dan dengan tegas menunjukkan
pengabaian totalnya terhadap posisi komunitas internasional
dan keengganannya untuk mematuhi norma dan prinsip hukum
internasional.
Fakta menunjukkan bahwa orang Armenia muncul dalam
apa yang mereka sebut sebagai “Ancestral homeland” hanya
pada abad kesembilan belas. Pemindahan massal mereka
selanjutnya di Kaukasus Selatan dan upaya perluasan wilayah
telah menjadi dasar jangka panjang ketidakstabilan,
ketegangan dan konflik di kawasan yang terus berlanjut hingga
saat ini dan telah disertai dengan pembantaian dan deportasi
paksa penduduk Azerbaijan.24
Tak satupun dari komitmen perlindungan cara-cara
perang dan hak asasi manusia yang bersifat preferensial
perlakuan untuk suatu negara, kelompok atau orang, atau dapat
diartikan sebagai menyiratkan hak apapun untuk terlibat dalam
aktivitas apa pun atau melakukan tindakan apapun yang

24 lihat the report entitled The Armed Aggression of the Republic of


Armenia against the Republic of Azerbaijan: Root Causes and
Consequences (A/64/475-S/2009/508), and the “Commentary to
the remarks made by President Serzh Sargsyan of the Republic of
Armenia at the Third International Forum of Moscow State
Institute of International Relations Alumni”, held on 23 October
2015 in Yerevan, Armenia. Available from
www.mfa.gov.az/files/file/MFA_Commentary_to_the_
remarks_by_Serzh_Sargsyan.pdf.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


258
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Piagam


Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kewajiban lainnya
berdasarkan hukum internasional, termasuk di dalamnya
perlindungan terhadap lingkungan dan khususnya yang
berkaitan dengan kedaulatan dan integritas teritorial negara.
Perlu diingat pasal 29 (3) dari Universal Declaration of Human
Rights, yang secara khusus mencatat bahwa “These rights and
freedoms may in no case be exercised contrary to the purposes
and principles of the United Nations”. Pasal 30 dari Deklarasi
Universal bahkan menegaskan kembali bahwa “Nothing in this
Declaration may be interpreted as implying for any State, group
or person any right to engage in any activity or to perform any
act aimed at the destruction of any of the rights and freedoms set
forth herein”.
Common article 1.2 of the International Covenant on
Economic Social and Cultural Rights and the International
Covenant on Civil and Political Rights berfokus tentang “The
principle of mutual benefit and international law”, sedangkan
pasal umum 5.1 dari kedua Kovenan menetapkan bahwa “Tidak
ada dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai
menyiratkan untuk setiap Negara, kelompok atau orang hak
untuk terlibat dalam kegiatan atau untuk melakukan tindakan
apapun yang bertujuan untuk menghancurkan hak atau
kebebasan yang diakui di sini, atau pada batasannya ke tingkat
yang lebih besar daripada yang ditentukan di masa sekarang
Perjanjian". Menurut pasal 24 dan 25 Konvensi Internasional

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


259
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya dan pasal 46 dan 47


Internasional Konvensi tentang Hak Sipil dan Politik, “tidak ada
apa pun dalam Kovenan ini yang akan ditafsirkan sebagai
merusak ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa…”
dan…” “… Hak yang melekat pada semua orang untuk
menikmati dan memanfaatkan secara penuh dan bebas akan
kekayaan dan sumber daya alam”.
Dengan mengutip pasal 9 of the Charter of Economic Rights
and Duties of States, Armenia tidak menyebutkan bahwa
dokumen yang sama menegaskan kembali, di antara
fundamental prinsip-prinsip yang mengatur hubungan
ekonomi antar negara, kedaulatan, teritorial integritas,
kemerdekaan politik dan kesetaraan kedaulatan semua Negara,
non-agresi dan non-intervensi. Piagam tersebut juga
menekankan, dalam pasal 2, bahwa “setiap Negara memiliki
dan harus bebas melaksanakan kedaulatan permanen penuh,
termasuk kepemilikan, penggunaan dan pembuangan, atas
semua kekayaan, sumber daya alam, dan kegiatan
ekonominya”.
Bukan kebetulan bahwa, dengan mengingat secara selektif
provisions of the Charter of Economic Rights and Duties of
States (article 9) and the Declaration on the Right to
Development (article 3), yang menekankan kewajiban Negara
untuk bekerja sama satu sama lain di berbagai bidang, Armenia
gagal memberikan satu bagian dari bukti keberadaan setiap
contoh sukses dari kerjasama semacam itu, di antaranya satu

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


260
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

adalah agresor dan yang lainnya adalah objek agresi. Itu hanya
menjadi omong kosong untuk negara yang wilayahnya di
bawah pendudukan militer, yang ratusan ribuan warga menjadi
sasaran kejahatan keji dan pembersihan etnis, untuk
memberikan akses penyerang ke wilayahnya dan terlibat
dengannya dalam segala hal hubungan ekonomi dan
perdagangan terutama kerusakan lingkungan sebagai akibat
dari agresi.
Sebagaimana ditegaskan kembali dalam Deklarasi dan
Program Wina Aksi tahun 1993, “semua hak asasi manusia
bersifat universal, tidak dapat dibagi dan saling bergantung dan
saling berhubungan. Komunitas internasional harus
memperlakukan hak asasi manusia secara global secara adil
dengan cara yang setara, pada pijakan yang sama, dan dengan
penekanan yang sama ”(lihat A / CONF.157 / 24 (Bagian I), psl.
III, paragraf. 5). Sebaliknya, setelah menerapkan "kebijakan
bumi hangus", memenuhi syarat sebagai tidak dapat diterima
dan dikutuk keras oleh Organisasi (saat itu Konferensi) karena
Keamanan dan Kerjasama di Eropa, Armenia sekarang menolak
bahkan untuk menerima keberadaan komunitas Azerbaijan di
wilayah Nagorno-Karabakh Azerbaijan.25
Sebagai dasar argumen Armenia menggunakan pendapat
Mahkamah terkait dengan kasus Afrika Selatan, tidak adanya
pengakuan menyiratkan abstain dari hubungan perjanjian

25 CSCE Communication No. 301, Prague, 19 November 1993.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


261
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

tentang Namibia; penghentian "kerja sama antar pemerintah


yang aktif" di bawah perjanjian bilateral yang ada terkait
dengan Namibia; pantang dari semua kegiatan diplomatik atau
konsuler di Namibia, dan, terutama, abstain dari "ekonomi" dan
bentuk hubungan lain atau berurusan dengan Afrika Selatan
atas nama atau terkait Namibia yang dapat memperkuat
otoritasnya atas Wilayah”.26 Dengan menyebut Pendapat
Namibia, sebenarnya Armenia mengakui bahwa kesimpulan
Pengadilan Internasional tersebut di atas dalam kasus tersebut
dapat diterapkan oleh analogi dengan kebijakan dan praktiknya
sendiri terkait dengan wilayah Nagorno-Karabakh dan wilayah
pendudukan Azerbaijan lainnya.
Sehingga Armenia mengakui kehadiran di wilayah
Azerbaijan adalah ilegal; bahwa tindakannya melanggar hukum
internasional dan harus menimbulkan konsekuensi khusus,
yaitu: tidak diakuinya situasi dengan ilegal; larangan bantuan
atau bantuan dalam mempertahankannya; dan tanggung jawab
masyarakat dunia untuk memastikan ketat kepatuhan oleh
Armenia dengan kewajiban internasionalnya. Menurut
pendapatnya di Namibia, Pengadilan Internasional juga
memasukkan unsur fleksibilitas dalam doktrin non-pengakuan,
dengan menyatakan bahwa: “Secara umum, tidak diakuinya
administrasi Afrika Selatan atas Wilayah seharusnya tidak

26 Legal Consequences for States of the Continued Presence of South


Africa in Namibia (South-West Africa) Notwithstanding Security
Council Resolution 276 (1970), para. 124.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


262
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

mengakibatkan orang-orang Namibia kehilangan keuntungan


apapun berasal dari kerjasama internasional.
Sudah jelas bahwa ekonomi ilegal dan kegiatan lainnya di
wilayah pendudukan Azerbaijan telah berubah menjadi bisnis
yang menguntungkan dan merupakan salah satu sumber
pendapatan untuk Armenia dan rezim boneka yang
didirikannya di sana. Armenia berusaha untuk memperpanjang
pendudukan untuk mempertahankan kendali atas sumber daya
mineral, pertanian dan air di wilayah tersebut dan yang diambil
alih kekayaan mereka untuk keuntungan ekonominya sendiri. 27
Di atas segalanya, upaya untuk mengubah komposisi
demografis penduduk yang diduduki wilayah Azerbaijan ada
sebelum pecahnya konflik secara artifisial meningkatkan
jumlah orang Armenia di sana dan mencegah pemulangan ke
rumah mereka dan harta benda ratusan ribu pengungsi internal
Azerbaijan, bersama dengan perusakan dan perampasan
properti, eksploitasi dan penjarahan sumber daya alam dan
kekayaan lainnya di wilayah pendudukan sama sekali tidak
dapat bersifat kemanusiaan dan konsisten dengan standar hak
asasi manusia. Untuk itu, Wakil Tetap Azerbaijan berharap agar
suratnya dapat diedarkan sebagai dokumen Majelis Umum, di
bawah agenda 35, 40, 70, 72 dan 84, dan Dewan Keamanan.

27 Lihat the report of the Ministry for Foreign Affairs of the Republic of
Azerbaijan entitled Illegal economic and other activities in the
occupied territories of Azerbaijan (A/70/1016-S/2016/711,
annex).

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


263
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

Dengan demikian, pengabaian hukum oleh Armenia


sebagai anggota PBB tidak dapat diterima dan memicu
konsekuensi hukum bagi Armenia. Sebagai akibatnya, Armenia
melanggar pasal 2 (4) Piagam PBB karena menggunakan
larangan penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial
Azerbaijan. PBB mendukung negara-negara anggota untuk
tidak mengakui kemerdekaan negara-negara yang dibentuk di
wilayah atau bagian dari wilayah yang diduduki. Penaklukan
wilayah negara lain tidak dapat diterima, dan terlebih lagi
penggunaan kekerasan sebagai metode untuk memperoleh
wilayah itu tidak sah menurut hukum dan kebiasaan masing-
masing.

C. Penutup
Berdasarkan pada studi kasus konflik Nagorno-Karabakh
2020 (Azerbaijan vs Armenia) terlihat adanya pelanggaran
perjanjian internasional dalam hukum lingkungan
internasional dan hukum humaniter internasional yang terjadi
akibat konflik tersebut yang dapat dimintakan pertanggung
jawaban secara internasional. Dalam prakteknya memang salah
satu pihak yakni Azerbaijan tidak meratifikasi beberapa
perjanjian internasional yang terkait kasus ini namun perlu
diketahui bahwa Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa Tahun
1977, protokol Jenewa 1925 dan Konvensi Stockholm telah
diakui sebagai bentuk hukum kebiasaan internasional sehingga,
bagi negara non-anggota seperti Azerbaijan tetap harus tunduk

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


264
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

terhadap peraturan perang yang diatur dalam perjanjian-


perjanjian internasional tersebut.
Kemudian dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban
akibat konflik bersenjata, Armenia dan afiliasinya di wilayah
pendudukan Azerbaijan bertanggung jawab atas tindakan
pelanggaran internasional, yakni: Pertama, penggunaan
kekuatan untuk memaksakan pemisahan de facto wilayah
Nagorno-Karabakh dan distrik-distrik lainnya di Azerbaijan
yang diduduki oleh Armenia dengan melanggar Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedua, pelanggaran selanjutnya
atas kedaulatan dan keutuhan wilayah Azerbaijan. Ketiga,
pembersihan etnis di wilayah pendudukan Azerbaijan,
termasuk pendirian pemukiman dan penanaman pemukim
etnis Armenia dengan pandangan untuk mengubah komposisi
demografis wilayah tersebut. Keempat, pendapatan kotor
pelanggaran hukum dan kebiasaan perang. Kelima, eksploitasi
sumber daya alam wilayah pendudukan tanpa
mempertimbangkan keunggulan kepentingan populasi dan
perubahan cagar budaya daerah.

Referensi

Instrumen Hukum
United Nations General Assembly, Convention on The Prohibition
of Military or Any Other Hostile of Environmental
Modification Techniques (1976)

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


265
Masalah Kemanusiaan hingga Lingkungan Hidup…

Buku
Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.
Jakarta: Sinar Grafika. Cetakan ketiga. 2008.
Ambarwati, Denny Ramdhany dan Rina Rusman. Hukum
Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan
Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2012.
Kusumaatmadja, Mochtar dan R. Agoes, Etty. Pengantar Hukum
Internasional. Edisi Ke-2. Bandung: PT. Alumni. 2003.
Kusumaatmadja, Mochtar. Konvensi-Konvensi Palang Merah
1949. Bandung : PT Alumni. 2002.

Artikel/Jurnal/Karya Ilmiah
Convention on Prohibitions or Restrictions on the Use of Certain
Conventional Weapons Which May be Deemed to be
Excessively Injurious or to have Indiscriminate Effects.
Geneva: ICRC. 2004.
Dinstein, Yoram. Protection of the Environment in International
Armed Conflict. Max Planck Yearbook of United Nations Law.
Volume 5. 2001.
Jacobsson, Marie G. International Law Commision: Preliminary
report on the protection of the environment in relation to
armed conflicts. 2014.
Nasution, Hanna Safira. Penyalahgunaan Wewenang Oleh
Pejabat Diplomatik Dalam Melaksanakan Tugas
Diplomatiknya Ditinjau Dari Aspek Hukum Internasional.
Jurnal Ilmu Hukum, 2017
Papp, Daniel S. Contemporary International Relations :
Frameworks for Understanding. Macmillan. 1988.
Sulaiman. Sengketa Bersenjata Non-Internasional. Jurnal
Hukum dan Pembangunan 2000.
United Nations General Assembly, Convention on The Prohibition
of Military or Any Other Hostile of Environmental
Modification Techniques (1976).
Wartini, Sri. Perlindungan Lingkungan dalam Hukum
Humaniter. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum
Wulansari, Eka Martiana. Perlindungan Hukum Benda Budaya
Dari Bahaya Konflik Bersenjata. Disertasi. Universitas
Pamulang. 2016.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


266
Hanna Arinawati, Fathimah Azzahrah Putri & Shereena El Islamy

Wulansari, Eka Martiana. Perlindungan Hukum Benda Budaya


Dari Bahaya Konflik Bersenjata. Disertasi. Universitas
Pamulang. 2016.
Wyatt, J. Law Making at the Intersection of International
Environmental Law, Humanitarian Law, and Criminal Law:
The Issue of Damage to The Environment in International
Armed Conflict. International Review of the Red Cross. 2010.

Website
Hizbullah Arief. Mengurai “Ecocide” untuk menyelamatkan
Lingkungan? https://www.walhi.or.id/mengurai-ecocide-
untuk-menyelamatkan-lingkungan
www.mfa.gov.az/files/file/MFA_Commentary_to_the_remarks_
by_Serzh_Sargsyan.pdf.

Uti Possidetis: Journal of International Law, Vol. 2, No. 3 (2021)


267

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy