Jurnal Manajemen Bencana (JMB)
Jurnal Manajemen Bencana (JMB)
This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution 4.0
International License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided
[47]
the original work is properly cited. © 2022, Sania Maulida, Myrna A. Safitri, & Endra Wijaya.
Sania Maulida, Myrna A. Safitri, & Endra Wijaya
Sinkronisasi Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Mengenai Pengendalian …
*Corresponding Author:
Endra Wijaya
Email: endra.wijaya333@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setiap tahun wilayah
Indonesia mengalami ribuan kali bencana alam, mulai dari kekeringan, kebakaran lahan,
tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, tsunami hingga banjir yang dijelaskan pada
Gambar 1. Dilihat dari data tersebut, bencana alam yang setiap musim melanda Indonesia
ialah banjir. Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan sekitarnya menjadi
salah satu kota besar yang sering menghadapi banjir. Pada awal tahun 2020, banjir terjadi di
Jakarta dan sekitarnya karena curah hujan ekstrim, yaitu lebih dari 150 mm perhari, yang
turun cukup merata di wilayah ini dan berlangsung selama berhari-hari.
Berdasarkan Gambar 2, banjir di Jakarta pada awal tahun 2020 tersebut mengenai
60% (157) kelurahan yang ada di Ibu Kota. Kelurahan terdampak banjir terbanyak ada di
Jakarta Timur (sebesar 77%), lalu diikuti oleh Jakarta Utara (74%), Jakarta Barat (57%),
Jakarta Selatan (50%) dan Jakarta Pusat (39%). Banjir ini menyebabkan belasan korban
jiwa dan lebih dari 35.000 orang mengungsi (Nisa, 2020). Fasilitas publik di Jakarta pun ikut
terkena dampak banjir. Fasilitas yang paling banyak terkena banjir ialah sekolah. Sekitar 400
lebih sekolah terendam banjir. Selain itu, fasilitas lainnya yang terkena banjir terdiri atas
puskesmas, ruas jalan Transjakarta dan lintas rel terpadu (Nisa, 2020).
Gambar 2. Kelurahan Terdampak Banjir di Provinsi DKI Jakarta 2020 (Nisa, 2020)
Pada tahun 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan data tentang puluhan
kecamatan rawan banjir, yang meliputi Kecamatan Johar Baru, Kemayoran, Tanah Abang,
Cilincing, Kelapa Gading, Koja, Pademangan, Penjaringan, Tanjung Priok, Cengkareng,
Grogol, Petamburan, Cilandak, Jagakarsa, Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Mampang
Prapatan, Pasar Minggu, Pesanggrehan, Setia Budi, Tebet, Cakung, Cipayung, Ciracas,
Duren Sawit, Jatinegara, Keramat Jati, Makasar, Matraman, Pasar Rebo, Pulo Gadung,
Kepulauan Seribu Selatan, dan Kepulauan Seribu Utara (Nisa, 2020). Banjir bisa terjadi
ketika daya dukung lingkungan terganggu. Hal ini sekaligus juga menunjukkan telah
terjadinya kerusakan lingkungan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa salah satu cara
mencegah kerusakan lingkungan ialah melalui instrumen tata ruang. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa permasalahan banjir yang mencerminkan adanya kerusakan
lingkungan sebenarnya dapat diatasi dengan pengaturan tata ruang yang baik.
Penataan ruang mengacu pada 3 konsep utama, yaitu perencanaan, pemanfaatan
hingga pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang merupakan suatu proses
untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan
rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk mewujudkan struktur ruang
dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya, sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan
upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 pada Pasal 1 angka 5.
Peristiwa banjir yang terjadi berulang kali menunjukkan ketidakselarasan antara
konsep dan praktik penataan ruang kota di Jakarta dan sekitarnya (Tasya, 2020), dan begitu
juga yang terjadi di wilayah lainnya di Indonesia yang telah beberapa kali mengalami banjir
(Qodriyatun, 2020). Pemanfaatan ruang di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Puncak, dan Cianjur banyak yang tidak sesuai dengan fungsi yang seharusnya. Di kawasan
Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) di mana secara geografis merupakan daerah hulu,
penyimpangan telah banyak terjadi, seperti banyaknya bangunan vila, hotel dan rumah
penduduk. Seharusnya, fungsi kawasan Bopunjur merupakan kawasan yang memberikan
perlindungan bagi kawasan di bawahnya untuk menjamin ketersediaan air tanah, air untuk
pemukiman dan penanggulangan banjir di daerah hilirnya.
Selain aspek konsep dan praktik penataan ruang kota seperti tersebut di atas, perihal
penyebab banjir juga telah dikaji oleh banyak peneliti, dan salah satu di antaranya ialah
kajian dari Harsoyo (2013) yang sudah mengungkapkan bahwa penyebab banjir di Provinsi
DKI Jakarta ialah karena faktor geologi dan geomorfologi dari wilayah Jakarta yang dari
sejak dulu memang sudah merupakan daerah banjir. Keberadaan morfometri dari 13 (tiga
belas) aliran sungai yang melintasi wilayah Jakarta juga menjadi akses bagi aliran air
permukaan (direct runoff) yang bersumber dari curah hujan di daerah hulu untuk masuk ke
wilayah Jakarta (Harsoyo, 2013).
Pada April 2020, Presiden menetapkan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur)
melalui Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Perpres ini
berisikan arahan umum bagi pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan
tersebut. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur, menurut Perpres
ini, berperan sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan
sebagai alat koordinasi pelaksanaan pembangunan di kawasan perkotaan Jabodetabek-
Punjur. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan ini juga berfungsi sebagai pedoman untuk
pengembangan kawasan perkotaan Jabodetabek-Punjur yang sesuai dengan daya dukung
dan daya tampung lingkungan, serta pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Pasal 139 Perpres Nomor 60 Tahun 2020 menyebutkan bahwa Peraturan Daerah
mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Peraturan Daerah mengenai Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota, dan Peraturan Daerah mengenai Rencana Rinci Tata
Tuang beserta Peraturan Zonasi yang bertentangan dengan Peraturan Presiden ini harus
disesuaikan pada saat revisi Peraturan-Peraturan Daerah tersebut dilakukan. Dengan
demikian, Perpres Nomor 60 Tahun 2020 ini secara eksplisit telah memerintahkan
dilakukannya sinkronisasi antarperaturan mengenai rencana tata ruang pada level pusat dan
daerah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi DKI
Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Untuk merincikan
rencana tata ruang itu, diterbitkan pula Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1
Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Perda ini memuat
ketentuan, antara lain mengenai rencana detail tata ruang kecamatan, peraturan zonasi,
perizinan dan rekomendasi, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Namun, sesuai dengan
Perpres Nomor 60 Tahun 2020, rencana detail tata ruang (RDTR) dan peraturan zonasi itu
harus disesuaikan.
Mengingat Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 dibentuk sebelum
terbitnya Perpres Nomor 60 Tahun 2020, dan melihat pula bahwa ada perintah dari Perpres
Nomor 60 Tahun 2020 untuk melakukan penyesuaian, maka dapat diduga potensi terjadinya
ketidaksinkronan antara kedua peraturan itu yang cukup besar. Oleh karena itu, kajian
mengenai masalah sinkronisasi peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam hal
ini ialah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui perangkat peraturan mengenai tata ruang
nasional dan daerah terkait upaya pengendalian banjir di Jakarta menjadi menarik untuk
dilakukan. Hal itu pulalah yang menjadi fokus dalam kajian berikut ini. Berdasarkan latar
belakang tersebut, adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengurai
METODE PENELITIAN
Kajian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, dan dengan metode
pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) serta konseptual (conceptual
approach). Sebagian besar bahan-bahan kajian ini diambil dari peraturan perundangan-
undangan sebagai data sekundernya. Fokus permasalahan yang diangkat dalam kajian ini
terkait erat dengan norma dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itulah, maka
metode penelitian hukum yuridis normatif dirasakan lebih tepat digunakan oleh peneliti
dalam melakukan kajian ini.
Menurut Soekanto (1986), hal-hal yang dikaji dalam penelitian hukum yuridis normatif
bisa meliputi persoalan asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum,
perbandingan hukum dan sejarah hukum (Soekanto, 1986). Adapun kajian ini lebih
mengarah pada persoalan sinkronisasi hukum yang vertikal, yaitu antara beberapa peraturan
perundang-undangan yang secara hierarki berbeda, namun substansinya sama-sama
mengatur atau berkaitan erat dengan perihal pengendalian banjir di Provinsi DKI Jakarta.
Data sekunder yang dihimpun oleh peneliti kemudian dianalisis secara kualitatif melalui
serangkaian penjelasan yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari beberapa
peraturan perundang-undangan yang diterbitkan untuk mengatur pengendalian banjir di
Jakarta. Setelah itu, barulah simpulan ditarik oleh peneliti untuk menjawab rumusan
permasalahan dalam kajian ini.
kegiatan yang berdampak pada terganggunya daya dukung lingkungan. Hal ini dapat
dilakukan berupa pengambilan kebijakan yang tepat serta memberikan kesadaran kepada
masyarakat dan juga pengguna tata ruang tentang arti pentingnya pemanfaatan tata ruang
sesuai dengan kebutuhan (Jazuli, 2017).
Penegakan hukum secara represif dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 jo
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dituangkan ke dalam beberapa
bentuk sanksi, yaitu sanksi administrasi, perdata serta pidana, dan diatur dalam beberapa
ketentuan mulai dari Pasal 62 sampai dengan Pasal 75. Rencana tata ruang terdiri dari
rencana umum dan rencana rinci. Rencana umum tata ruang terdiri atas: Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional; Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Sedangkan rencana rinci tata
ruang terdiri atas: Rencana Tata Ruang Pulau/ Kepulauan dan Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Nasional; dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/ Kota. Menurut
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16
Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan
Zonasi Kabupaten/ Kota, muatan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) meliputi: tujuan
penataan Bagian Wilayah Perencanaan (BWP), yang merupakan bagian dari kabupaten/
kota dan/ atau kawasan strategis kabupaten/k ota yang akan atau perlu disusun RDTR-nya,
sesuai arahan atau yang ditetapkan di dalam RTRW kabupaten/ kota yang bersangkutan;
rencana struktur ruang; rencana pola ruang; penetapan sub-BWP yang diprioritaskan
penanganannya; dan ketentuan pemanfaatan ruang. Sedangkan muatan RDTR tersebut
mencakup perencanaan tata ruang darat, ruang udara, ruang dalam bumi, dan/atau ruang
laut sesuai kebutuhan.
Pengendalian Penataan Ruang dan Banjir Melalui Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
dan Peraturan Zonasi
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang untuk
meminimalisasi adanya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dan terjaganya kesesuaian
pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan. Pelaksanaan penataan
ruang memerlukan pengendalian pemanfaatan ruang, dan salah satunya ialah dengan
menggunakan RDTR dan peraturan zonasi. RDTR menurut Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007, merupakan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi, kemudian peraturan
zonasi berfungsi sebagai rujukan teknis untuk pemanfaatan dan mengendalikan
pemanfaatan ruang. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar pemanfaatan ruang yang
berkembang tetap sesuai dengan karakteristik zona serta untuk meminimalkan dampak
negatif. Peraturan zonasi hakikatnya merupakan instrumen pengendalian pemanfaatan
lahan (Korlena et al., 2011).
Peraturan zonasi merupakan pengendalian pemanfaatan ruang yang masih relatif baru
dikenal di Indonesia. Saat ini belum banyak kota dan kabupaten yang telah menyusun dan
menerapkanya (Korlena et al., 2011). Peraturan zonasi telah diakui sebagai salah satu
instrumen untuk mengatur penggunaan lahan, tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga
banyak negara lainnya. Menurut Levy, zonasi juga bermakna sebagai peraturan yang
menjadi alat yang lazim untuk para perancang perkotaan untuk membentuk lingkungan yang
tertata (Stoker et al., 2019). Pada beberapa negara, peraturan zonasi (zoning regulation)
dikenal juga dengan istilah land development code, zoning code, zoning ordinance, zoning
resolution, zoning bylaw, urban code, planning act, dan lain-lain (Korlena et al., 2011).
Zonasi sendiri menurut Babcock (dalam Korlena et al., 2011) didefinisikan sebagai “the
division of a municipality into districts for the purpose of regulating the use of private land”
(Korlena et al., 2011). Dengan kata lain, zonasi merupakan proses pembagian wilayah
menjadi beberapa kawasan dengan aturan-aturan hukum yang ditetapkan lewat peraturan
zonasi, yang pada prinsipnya bertujuan untuk memisahkan pembangunan kawasan industri
dan komersial dari kawasan perumahan (Korlena et al., 2011).
Konsep zonasi mulai dikembangkan di Jerman pada akhir abad ke-19 dan menyebar
ke negara lain atau mulai diadopsi gagasannya, seperti di Amerika Serikat dan Kanada pada
awal abad ke-20 sebagai respons atas industrialisasi dan meningkatnya pengaduan
masyarakat yang mengalami gangguan privasi. Gangguan ini merupakan dampak buruk dari
urbanisasi dan pertumbuhan populasi penduduk sehingga pemerintah harus segera
bertindak mencari cara penyelesaian (Hirt, 2007; Korlena et al., 2011).
Peraturan zonasi merupakan perangkat bagi pemerintah selaku pemegang
kewenangan untuk melindungi kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan publik. Pandangan
serupa dikemukakan oleh Lai dan Schultz yang menyatakan bahwa peraturan zonasi
merupakan salah satu peraturan yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan kota
terkait dengan kepentingan publik (Korlena et al., 2011). Peraturan zonasi fokus pada
penyehatan lingkungan, pengaturan distribusi peruntukan lahan dan menciptakan pola
sirkulasi yang efisien.
Pada kawasan rawan bencana, termasuk bencana banjir, RDTR dan peraturan zonasi
berfungsi sebagai perangkat pengendalian pembangunan pada wilayah rawan bencana.
Sebagai pedoman penyusunan rencana operasional, penyusunan dan penerapan peraturan
zonasi hendaknya dilakukan dengan memperhatikan kondisi sosial, ekonomi budaya dan
karakteristik setiap wilayah rawan bencana. Setiap wilayah dan kawasan rawan bencana
memiliki perbedaan-perbedaan yang tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, keberhasilan
penyusunan dan penerapan RDTR dan peraturan zonasi akan terwujud bila memperhatikan
kondisi di masing-masing wilayah rawan bencana.
Menurut Zukaidi & Natalivan (dalam Korlena et al., 2011), berkaitan dengan penerapan
peraturan zonasi di kawasan bencana, peraturan zonasi memiliki beberapa fungsi sebagai
berikut.
a. Sebagai perangkat pengendalian pembangunan pada wilayah rawan bencana. Peraturan
zonasi yang lengkap akan memuat prosedur pelaksanaan pembangunan sampai ke tata
cara pengawasannya. Ketentuan-ketentuan yang ada, karena dikemas menurut
penyusunan perundangan yang baku, dapat menjadi landasan dalam penegakan hukum
bila terjadi pelanggaran.
b. Sebagai pedoman penyusunan rencana operasional. Ketentuan atau peraturan zonasi
menjadi dasar dalam penyusunan rencana tata ruang yang operasional, karena memuat
ketentuan tentang penjabaran rencana yang bersifat submakro sampai pada rencana
yang rinci sehingga dapat menjadi panduan teknis pemanfaatan lahan atau ruang.
Kota Tangerang, Kota Balaraja dan Kota Tigaraksa di Kabupaten Tangerang, Kota Ciputat,
Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi dan Kota Cikarang di Kabupaten Bekasi. Baik
kawasan perkotaan inti maupun kawasan perkotaan di sekitarnya membentuk kawasan
metropolitan.
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja, kawasan metropolitan merupakan kawasan perkotaan yang terdiri
atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan
kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang
dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah
penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa. Berdasarkan
Perpres Nomor 60 Tahun 2020, Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-
Punjur berperan sebagai alat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan
sebagai alat koordinasi pelaksanaan pembangunan di kawasan perkotaan Jabodetabek-
Punjur. Sementara itu, Pasal 5 Perpres tersebut mengatakan fungsi Rencana Tata
Ruangnya adalah sebagai pedoman untuk:
a. Penyusunan rencana pembangunan di kawasan perkotaan Jabodetabek-Punjur;
b. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan
Jabodetabek-Punjur;
c. Perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah
kabupaten/ kota, serta keserasian antarsektor di kawasan perkotaan Jabodetabek-
Punjur;
d. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi di kawasan perkotaan Jabodetabek-
Punjur;
e. Penataan ruang wilayah provinsi dan wilayah kota/ kabupaten di kawasan perkotaan
Jabodetabek-Punjur;
f. Pengelolaan kawasan perkotaan Jabodetabek-Punjur;
g. Perwujudan keterpaduan rencana pengembangan kawasan perkotaan Jabodetabek-
Punjur dengan kawasan sekitarnya;
h. Perwujudan pengembangan kawasan perkotaan Jabodetabek-Punjur sesuai dengan
daya dukung dan daya tampung lingkungan; dan
i. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan di kawasan perkotaan
Jabodetabek-Punjur.
Masalah lingkungan menjadi problem yang penting yang berpengaruh terhadap risiko
bencana alam di Jabodetabek-Punjur. Ketika ketidakseimbangan lingkungan terjadi, maka
dapat mempengaruhi besarnya kemungkinan terjadinya bencana alam yang salah satunya
berupa banjir. Untuk mengatasi permasalahan banjir diperlukan pengendalian rencana tata
ruang dengan baik, yang dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Namun demikian, secara
umum pengendalian banjir yang dilakukan selama ini belum didasarkan pada langkah-
langkah yang sistematis dan terencana, sehingga sering terjadi tumpang tindih dan bahkan
terdapat langkah upaya yang penting, namun ternyata tidak tertangani.
Pemerintah berperan besar dalam mengurangi risiko banjir melalui peraturan
perundang-undangan. Terbitnya Perpres Nomor 60 Tahun 2020 memang dibutuhkan karena
salah satu penyebab banjir di Jakarta ialah adanya air kiriman dari hulu. Meluapnya kanal
banjir barat dengan kanal banjir timur ialah akibat luapan air Kali Pesanggrahan, Kali
Ciliwung, Kali Angke, Kali Krukut, Kali Cisadane, dan aliran sungai lainnya yang hulunya ada
di beberapa provinsi di sekitar Provinsi DKI Jakarta. Akibatnya beberapa titik tanggul di
Jakarta meluap atau bahkan jebol. Sekitar 50-an situ di daerah Jakarta, Tangerang, dan
Depok seluas ratusan hektar juga sudah mendangkal sehingga tidak mampu lagi
menampung debit air bah secara memadai. Akhirnya Kota Jakartalah yang menjadi area
retensi air sebelum meresap dan mengalir ke laut. Seiring dengan persoalan tersebut, maka
produk hukum terkait tata ruang yang dapat menjadi alat pengendalian banjir di
Jabodetabek-Punjur menjadi sangat penting. Dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2020,
pengaturan mengenai pengendalian banjir terdapat dalam kebijakan penataan ruang secara
umum, strategi pelaksanaan, kebijakan struktur, dan pola ruang, serta arahan peraturan
zonasi. Berikut dijelaskan satu per satu.
konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta
menanggulangi banjir dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang
berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan. Selain itu, juga dengan menetapkan aturan
prinsip Zero Delta Q Policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun.
Berdasarkan Perpres Nomor 60 Tahun 2020, kebijakan pengembangan sistem
prasarana serta penerapan dan pemantapan program-program pengendalian banjir dan rob
di kawasan Jabodetabek-Punjur secara komprehensif dijalankan melalui strategi sebagai
berikut.
a. Memperhatikan pengembangan pola ruang hulu-tengah-hilir pesisir, terutama
pengembangan kawasan budi daya.
b. Menetapkan aturan ketat terhadap pembangunan di sepanjang sempadan sungai.
c. Meningkatkan fungsi situ, danau, embung, dan waduk.
d. Melakukan pengendalian banjir di sungai.
e. Mengendalikan debit air sungai dan peningkatan kapasitas sungai.
Sementara untuk kebijakan penerapan dan pemantapan konsep pengembangan
kawasan budi daya dan pembangunan sarana prasarananya di kawasan pesisir pantai utara
sebagai upaya antisipasi pemenuhan kebutuhan ruang perkotaan dengan memperhatikan
keberlanjutan ekologis dan keberlanjutan ekosistem perairan, serta mempertimbangkan
upaya pengendalian terhadap ancaman bencana banjir dan/ atau rob dan kenaikan muka air
laut dijalankan dengan strategi sebagai berikut.
a. Mengembangkan kegiatan budi daya darat dan laut yang berbasis mitigasi bencana dan
adaptasi perubahan iklim global.
b. Memanfaatkan wilayah pesisir serta perairan pantai untuk pemanfaatan kegiatan
transportasi, pariwisata, perikanan, permukiman secara terpadu serta memperhatikan
ancaman bahaya rob di kawasan pantai utara Jabodetabek-Punjur.
c. Rehabilitasi dan revitalisasi kawasan budi daya di kawasan pesisir pantai utara
Jabodetabek-Punjur yang telah mengalami kerusakan dalam rangka optimalisasi fungsi
kawasan budi daya.
d. Mengembangkan sistem pengendalian banjir terpadu di pesisir utara Jabodetabek-
Punjur.
DKI Jakarta, Situ Rawa Kendal dan Situ Rawa Rorotan di Kecamatan Cilincing pada
Kota Administrasi Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta.
c. Embung sebagai sistem pengendalian banjir di Jakarta, yaitu: Embung Jln. Pekayon di
Kecamatan Pasar Rebo, Embung Pulo Gebang 1, Embung Pulo Gebang 2, Embung
Pulo Gebang 3, dan Embung Jln. Cakung Cilincing di Kecamatan Cakung, Embung Jln.
Sejuk di Kecamatan Cipayung, Embung Jln. Penganten Ali dan Embung Jln. Kaja II di
Kecamatan Ciracas, Embung Kelurahan Kramat Jati di Kecamatan Kramatjati, serta
Embung RPTRA Kebon Pala di Kecamatan Makasar pada Kota Administrasi Jakarta
Timur Provinsi DKI Jakarta, Embung Jln. Aselih dan Embung Jln. Lapangan Merah di
Kecamatan Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta.
Pengendalian Banjir dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun
2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Strategi pengendalian banjir yang diatur dalam Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1
Tahun 2014 lebih memfokuskan ke perencanaan prasarana drainase. Sarana drainase
penting bagi kawasan perkotaan, sebab saat hujan, air hujan akan jatuh langsung ke
permukaan atap rumah lalu mengalir ke talang dan dari talang masuk ke saluran drainase
rumah, kemudian mengalir ke drainase perkotaan atau jalan, dan selanjutnya langsung
menuju anak sungai atau sungai. Air hujan yang jatuh ke permukaan yang keras, seperti
beton di halaman rumah atau aspal jalan, maka akan langsung mengalir ke saluran drainase
dan lalu mengalir ke sungai. Proses mengalirnya air hujan tersebut dari tempatnya jatuh ke
permukaan hingga mengalir ke sistem sungai bisa jadi berlangsung cepat. Dengan demikian,
maka aliran air yang masuk ke saluran dan/atau sungai relatif jauh lebih banyak atau besar
dan lebih cepat. Oleh sebab itu, menjadi penting adanya pengaturan drainase yang baik
agar dapat mengurangi risiko terjadinya banjir yang disebabkan oleh meluapnya air sungai.
Kebijakan pengaturan mengenai drainase dalam Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1
Tahun 2014 meliputi normalisasi kali untuk mengalirkan curah hujan dengan kala ulang 25
(dua puluh lima) sampai 100 (seratus) tahunan, peningkatkan kinerja sistem polder,
meningkatkan kinerja saluran mikro untuk mengalirkan curah hujan dengan kala ulang 2
(dua) sampai 10 (sepuluh) tahunan, menata kali, kanal, waduk, situ, danau dan badan air
lain, pembangunan jalan inspeksi di sepanjang pinggir sungai, kali, kanal, waduk, situ dan
danau, pembangunan menghadap badan air di sepanjang aliran sungai, tidak mengubah
fungsi dan peruntukan saluran, sungai, kali, kanal, situ, waduk dan embung. Selain dinilai
efektif mengatasi banjir, kebijakan drainase ini juga bisa membantu perbaikan ekosistem
untuk keberlangsungan ketersediaan air tanah di Jakarta. Selain itu, upaya mengoptimalkan
ruang terbuka hijau juga penting, karena berfungsi untuk menampung kelebihan air saat
curah hujan tinggi, mempertahankan sempadan sungai, kali, kanal, waduk, situ dan danau
sebagai ruang terbuka hijau dan juga menjadi salah satu prasarana pengendali banjir.
Pengelolaan air limbah dan sampah di sepanjang aliran sungai, kali, kanal, waduk, situ
dan danau yang baik dan benar dapat membantu lancarnya air dari sungai ke laut agar tidak
meluap sehingga dapat menyebabkan banjir. Yang juga penting ialah pembangunan sumur
resapan dangkal, sumur resapan dalam, biopori, dan wadah air dengan memperhatikan
struktur geologi dan jenis tanah sebagai bagian dari konservasi dan penurunan debit puncak
di saluran publik. Banjir di Provinsi DKI Jakarta umumnya terjadi saat hujan yang merata di
seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) Jakarta, namun dapat juga terjadi karena hujan di
daerah hulu tetapi tidak memberikan dampak yang terlalu buruk bila tidak disertai dengan
hujan lokal di Jakarta. Banjir di Jakarta karena hujan yang terjadi di hulu DAS hanya mampu
menaikan muka air di Manggarai sampai pada +8 m, dan bila disertai dengan hujan lokal di
Jakarta, maka dapat menaikan muka air sampai pada +9 m. Lama perjalanan air banjir dari
Katulampa sampai dengan Depok sekitar 4 jam, dan perjalanan banjir dari Depok sampai
dengan Manggarai berkisar antara 10 sampai dengan 13 jam tergantung pada kondisi muka
air di hilirnya, apakah muka air tinggi atau rendah (Bappenas, 2016; Kodar et al., 2020;
Hakim et al., 2020; Banjarnahor et al., 2020; Adri et al., 2020; Pratikno et al., 2020; Rahmat
et al., 2020).
Efektivitas pengendalian banjir dengan melakukan sodetan dari Sungai Ciliwung ke
Banjir Kanal Timur (BKT) untuk kejadian banjir pada tahun 2007 dapat menurunkan muka air
sekitar 0.5 sampai 1 m di hulu dari sodetan, dan mengurangi luas genangan banjir sekitar
11.7% dari total genangan di daerah layanannya. Sodetan dari Sungai Ciliwung ke Banjir
Kanal Barat (BKB) dapat menurunkan muka air sekitar 1 sampai 2 m di hulu dari sodetan,
dan mengurangi luas genangan banjir sekitar 8.3%. Pembangunan Multi Purpose Deep
Tunnel (MPDT) dapat menurunkan muka air sekitar 2 m di Kampung Melayu dan sekitarnya,
dan mengurangi luas genangan banjir sekitar 45.9%. Normalisasi di Sungai Ciliwung dapat
mengurangi luas genangan banjir sekitar 24%. Kanal Banjir Cengkareng Drain II dapat
menurunkan muka air sekitar 1.5 m di Kali Angke dan 0.5 m di Cengkareng Drain dan luas
genangan banjir dapat berkurang sekitar 14.7%. Polder Lower Angke dan Muara Karang
dapat menurunkan muka air sekitar 2 m di Muara Karang dan sekitar 1.5 m di Lower Angke,
dan mengurangi luas genangan banjir sekitar 1.5%. Polder Ancol-Sentiong dapat
menurunkan muka sekitar 1.5 m di Ancol dan sekitarnya, serta mengurangi luas genangan
banjir sekitar 7.6%. Polder Marina dapat menurunkan muka air sekitar 3 m di Gunung
Sahari, dan mengurangi frekuensi kejadian banjir.
Dalam Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 ini diberi penanganan secara
khusus pada drainase di masing-masing kecamatan di Provinsi DKI Jakarta. Hal tersebut
cukup beralasan mengingat fakta bahwa dari 44 kecamatan yang ada di Jakarta, lebih dari
separuhnya merupakan kecamatan rawan banjir (BPBD Provinsi DKI Jakarta, 2019), dan
maka dari itu, pengaturan mengenai drainase lebih diperhatikan dengan pemeliharaan
dan/atau peningkatan saluran makro di setiap kelurahan yang dilalui daerah resapan air di
setiap kecamatannya, seperti di Kecamatan Cempaka Putih, Sungai Ciliwung yang melewati
Kelurahan Cempaka Putih Timur dan Kelurahan Rawa Sari.
Sinkronisasi antara Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 dan Peraturan Daerah
Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014
Penyebab dari banjir di wilayah Provinsi DKI Jakarta juga dapat dipengaruhi karena
adanya perbedaan kebijakan dan kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan, baik
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dalam konsep
keruangan terkait dengan upaya pengendalian banjir. Secara implisit, kendala-kendala
tersebut sudah diupayakan untuk direspons dan ditangani melalui mekanisme keharusan
melakukan sinkronisasi, di mana peraturan pada level daerah, dalam hal ini yang terkait
dengan upaya pengendalian banjir, diperintahkan agar disesuaikan dengan peraturan pada
level pusat.
Dalam konteks pengendalian banjir, penerbitan Perpres Nomor 60 Tahun 2020
diharapkan lebih bisa memantapkan program-program pengendalian banjir di wilayah-
wilayah yang dekat dengan sungai, situ, embung, dan laut secara komprehensif, agar dapat
lebih menjaga fungsi hidro-orologis dan hidrogeologis daerah tangkapan air yang dapat
mengurangi risiko banjir. Selain itu, Perpres tersebut juga sudah mengatur pengendalian
banjir melalui struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang memfokuskan kepada setiap
kawasan perkotaan untuk menyediakan setidaknya ruang terbuka hijau seluas 30% dari luas
perkotaan tersebut, sedangkan pola ruang berfokus kepada zona-zona yang sudah
ditentukan. Zona ini dinamakan zona lindung yang kemudian disebut zona L yang terbagi ke
dalam 5 bagian dan setiap kawasan zona tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang
dapat mengurangi risiko banjir.
Jika dicermati secara detail, maka sistem yang dibangun untuk mengendalikan banjir
melalui Perpres Nomor 60 Tahun 2020 memang lebih komprehensif, karena sudah meliputi
beberapa aspek sekaligus, yaitu melalui penyediaan serta pemanfaatan situ, danau, embung
atau waduk, banjir kanal, kolam retensi, tanggul pantai serta tanggul laut, jaringan drainase,
dan sistem pengaturan zonasi. Selain itu, sistem pengendalian banjir juga dirancang untuk
dilakukan secara terintegrasi dengan wilayah-wilayah lainnya di sekitar Jakarta, yaitu Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi dan Puncak Cianjur.
Pengaturan pengendalian banjir dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2020 tampak
berbeda dengan yang diatur melalui Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014.
Kebijakan yang terkait dengan pengendalian banjir di dalam Perda Provinsi DKI Jakarta
Nomor 1 Tahun 2014 masih terfokus pada prasarana drainase di setiap kecamatan di
daerah Provinsi DKI Jakarta, padahal problem banjir di Jakarta sangat kompleks dan terkait
dengan banyak aspek yang mempengaruhinya, termasuk aspek keadaan wilayah lain yang
berada di sekitar Jakarta.
Di dalam Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 masih belum fokus ke
kebijakan pengendalian banjir melalui sistem peraturan zonasi. Karena itulah pengaturan
kebijakan pengendalian banjir pada level peraturan daerah perlu memuat atau ditambahkan
aturan mengenai pengendalian banjir dalam peraturan zonasi agar sesuai dan sejalan
dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 maupun Perpres Nomor 60 Tahun 2020.
Pentingnya peraturan zonasi ini, terutama untuk konteks Provinsi DKI Jakarta, sangat
diperlukan mengingat Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah yang memiliki fungsi strategis
di negara, serta sekaligus merupakan wilayah yang memiliki tingkat ancaman tinggi terhadap
bahaya banjir. Hal ini dapat berpotensi menghasilkan tingginya risiko kerugian terhadap
bencana. Berdasarkan kondisi tersebut, untuk itulah penting melakukan zonasi terkait
daerah rawan banjir dan inventarisasi elemen berisiko di wilayah Provinsi DKI Jakarta
sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi bencana untuk penurunan tingkat risiko (Dahlia et
al., 2018).
PENUTUP
Kebijakan pengendalian banjir dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2020 mengatur secara
terperinci mengenai pengendalian banjir dalam kebijakan umum rencana tata ruang, strategi
pelaksanaan, struktur ruang, pola ruang dan arahan peraturan zonasi di Jabodetabek-
Punjur. Beberapa hal yang diatur detail, misalnya perlindungan dan optimalisasi fungsi situ,
danau, embung, dan waduk di kawasan Jabodetabek-Punjur, serta sistem pengamanan
pantai melalui tanggul pantai dan laut. Pada level daerah, Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor
1 Tahun 2014 memuat aturan mengenai pengendalian banjir yang lebih fokus pada
normalisasi sungai yang meliputi drainase di setiap kecamatan di kawasan Provinsi DKI
Jakarta.
Terdapat ketidaksinkronan norma terkait pengendalian banjir antara Perpres Nomor 60
Tahun 2020 dengan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014. Perpres Nomor 60
Tahun 2020 lebih menyeluruh dan lengkap dalam pengaturan pengendalian banjir, meliputi
pengendalian banjir di sungai, danau, embung, dan waduk dari hulu ke hilir hingga
pengendalian banjir dalam peraturan zonasi di struktur ruang dan pola ruang, sedangkan
Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 mengatur pengendalian banjir hanya pada
aspek pemeliharaan drainase di setiap kecamatan di wilayah Provinsi DKI Jakarta, tidak ada
kebijakan pengendalian banjir yang lebih menyeluruh yang diatur dalam peraturan zonasi ini.
Pengaturan mengenai pengendalian banjir dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2020
harus diikuti dan dijadikan acuan oleh peraturan perundangan-undangan di tingkat daerah,
terutama di kawasan Jabodetabek-Punjur. Oleh karena itu, maka Perda Provinsi DKI Jakarta
Nomor 1 Tahun 2014 perlu segera direvisi agar memuat norma terkait pengendalian banjir
yang lebih lengkap dan komprehensif, sebagaimana arahan yang diberikan oleh Perpres
Nomor 60 Tahun 2020. Dibutuhkan kerja sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah di kawasan Jabodetabek-Punjur untuk bersama-sama memperbaiki sistem peraturan
terkait tata ruangnya agar dapat memberikan kepastian hukum serta kemanfaatan yang
memadai bagi pengendalian banjir, baik untuk kawasan Provinsi DKI Jakarta maupun
kawasan lainnya yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adri, K., Rahmat, H. K., Ramadhani, R. M., Najib, A., & Priambodo, A. (2020). Analisis
Penanggulangan Bencana Alam dan Natech Guna Membangun Ketangguhan
Bencana dan Masyarakat Berkelanjutan di Jepang. NUSANTARA: Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial, 7(2), 361-374.
Arumingtyas, L. (2021). Catatan Awal Tahun: Antisipasi dan Kesadaran Hidup di Negeri
Rawan Bencana. Retrieved from https://www.mongabay.co.id/2021/01/11/catatan-
awal-tahun-antisipasi-dan-kesadaran-hidup-di-negeri-rawan-bencana/, diakses 12
Maret 2022.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. (2019).
Data Daerah Rawan Banjir DKI Jakarta. Retrieved from
https://data.jakarta.go.id/dataset/daerahrawanbanjirdkijakarta, diakses 17 Maret 2022.
Banjarnahor, J., Rahmat, H. K., & Sakti, S. K. (2020). Implementasi sinergitas lembaga
pemerintah untuk mendukung budaya sadar bencana di Kota Balikpapan.
NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(2), 448-461.
Dahlia, S., Nurharsono, T., & Rosyidin, W. F. (2018). Analisis Kerawanan Banjir
Menggunakan Pendekatan Geomorfologi di DKI Jakarta. Jurnal Alami, 2(1), 1-8.
https://doi.org/10.29122/alami.v2i1.2259
Hakim, F. A., Banjarnahor, J., Purwanto, R. S., Rahmat, H. K., & Widana, I. D. K. K. (2020).
Pengelolaan obyek pariwisata menghadapi potensi bencana di Balikpapan sebagai
penyangga ibukota negara baru. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(3),
607-612.
Harsoyo, B. (2013). Mengulas Penyebab Banjir di Wilayah DKI Jakarta dari Sudut Pandang
Geologi, Geomorfologi dan Morfometri Sungai. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi
Cuaca, 14(1), 37-43. https://doi.org/10.29122/jstmc.v14i1.2680
Hirt, S. (2007). The Devil Is in the Definitions: Contrasting American and German
Approaches to Zoning. Journal of the American Planning Association, 73(4), 436-450.
https://doi.org/10.1080/01944360708978524
Jepson, J., Edward, J., & Haines, H. L. (2014). Zoning for Sustainability: A Review and
Analysis of the Zoning Ordinances of 32 Cities in the United States. Journal of the
American Planning Association, 80(3), 239-252.
https://doi.org/10.1080/01944363.2014.981200
Kodar, M. S., Rahmat, H. K., & Widana, I. D. K. K. (2020). Sinergitas Komando Resor Militer
043/Garuda Hitam dengan Pemerintah Provinsi Lampung dalam Penanggulangan
Bencana Alam. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(2), 437-447.
Korlena, K., Djunaedi, A., Probosubanu, L., & Ismail, N. (2011). Peraturan Zonasi: Peran
Dalam Pemanfaatan Ruang dan Pembangunan Kembali di Kawasan Rawan Bencana
Kasus: Arkadelphia City, Arkansas USA. Forum Teknik, 34(1).
Najib, A., & Rahmat, H. K. (2021). Analisis Pelaksanaan Program Desa Tangguh Bencana di
Desa Buluh Cina, Siak Hulu, Kampar, Riau. Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal Ilmu
Sosial, Politik dan Hummanioramaniora, 5(1), 14-23.
Nisa, K. (2020). Rekapitulasi Data Banjir DKI Jakarta dan Penanggulangannya Tahun 2020.
Retrieved from https://statistik.jakarta.go.id/rekapitulasi-data-banjir-dki-jakarta-dan-
penanggulangannya-tahun-2020/, diakses 12 Maret 2022.
Pratikno, H., Rahmat, H. K., & Sumantri, S. H. (2020). Implementasi Cultural Resource
Management dalam Mitigasi Bencana pada Cagar Budaya di Indonesia. NUSANTARA:
Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(2), 427-436.
Rahmat, H. K., Nurmalasari, E., & Basri, A. S. H. (2018). Implementasi Konseling Krisis
Terintegrasi Sufi Healing Untuk Menangani Trauma Anak Usia Dini pada Situasi Krisis
Pasca Bencana. In Prosiding Seminar Nasional PIT ke-5 Riset Kebencanaan IABI (pp.
671-678).
Rahmat, H. K., Pratikno, H., Gustaman, F. A. I., & Dirhamsyah, D. (2020). Persepsi Risiko
dan Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam Menghadapi Bencana Tanah Longsor di
Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor. SOSIOHUMANIORA: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial
dan Humaniora, 6(2), 25-31.
Rahmat, H. K., Syarifah, H., Kurniadi, A., Putra, R. M., & Wahyuni, S. W. (2021).
Implementasi Kepemimpinan Strategis Guna Menghadapi Ancaman Bencana Banjir
Dan Tsunami Di Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Manajemen Bencana (JMB), 7(1).
Stoker, P., Chang, H., Wentz, E., Crow-Miller, B., Jehle, G., & Bonnette, M. (2019). Building
Water-Efficient Cities: A Comparative Analysis of How the Built Environment Influences
Water Use in Four Western US Cities. Journal of the American Planning Association,
85(4), 511-524.
Tasya, T. (2020). Kegagalan Konsep Penataan Ruang Jakarta: Banjir Jakarta dan Sekelumit
Penyebabnya. Retrieved from https://icel.or.id/isu/kegagalan-konsep-penataan-ruang-
jakarta-banjir-jakarta-dan-sekelumit-penyebabnya/, diakses 23 Februari 2022.
Widarjoto, P., Budiarto, A., & Triutomo, S. (2019). PENGETAHUAN DAN KESIAPSIAGAAN
MASYARAKAT MISKIN DALAM MENGHADAPI BANJIR ROB DI KECAMATAN
PENJARINGAN JAKARTA UTARA. Jurnal Manajemen Bencana (JMB), 5(1), 73-90.
https://doi.org/10.33172/jmb.v5i1.610