Upacara Margondang Dan Tor-Tor Batak Angkola Ditinjau Dari Perspektif Pendidikan Islam
Upacara Margondang Dan Tor-Tor Batak Angkola Ditinjau Dari Perspektif Pendidikan Islam
Upacara Margondang Dan Tor-Tor Batak Angkola Ditinjau Dari Perspektif Pendidikan Islam
Abstract
This study aims to determine the process of presenting the margondang and tor-tor
ceremony for the wedding of the Batak Angkola community and to know the view of
Islamic education on the margondang and tor-tor ceremony of the wedding of the
Batak Angkola community. This study uses a qualitative approach with ethnographic
methods. Data collection methods used were in-depth interviews, observation and
literature study. The results of this study include: 1) The process of the margondang
ceremony starts from martahi ungut-ungut (family deliberation), martahi sahuta (one
village deliberation), martahi godang (deliberation of the kings), after that the
maralok-alok kings (customary session), then panaek gondang (hitting drums). After
that began the manortor of the men, namely suhut bolon, kahanggi and anak boru,
followed by the tortor of the mothers, tortor kings, tortor naposo nauli bulung, then
tortor namora pule (bride). After the manortor is complete, the bride and groom are
taken to the main building's butchers, and the last event is the implementation of the
mangupa. 2) The view of Islamic education on the margondang and tor-tor ceremony
for the wedding of the Batak Angkola community shows that the margondang has
Islamic educational values in each of its traditional ceremonies, such as religious
values, social values and moral values, so that the basis of Islamic education is the basis
of religion and the purpose of Islamic education in social (ahdaf ijtima'iyyah) can be
achieved in this ceremony.
Abstrak
panaek gondang (memukul kendang). Setelah itu dimulailah manortor kaum laki-laki
yaitu suhut bolon, kahanggi dan anak boru, disusul tortor ibu-ibu, tortor raja-raja, tor-
tor naposo nauli bulung, lalu tortor namora pule (pengantin). Setelah manortor
selesai, kedua mempelai diantar ke tapian raya bangunan, dan acara terakhir adalah
pelaksanaan mangupa. 2) Pandangan pendidikan Islam pada upacara margondang
dan tor-tor pernikahan masyarakat Batak Angkola menunjukkan bahwa
margondang memiliki nilai-nilai pendidikan Islam dalam setiap upacara adatnya,
seperti nilai agama, nilai sosial dan nilai moral, sehingga bahwa dasar pendidikan
Islam adalah dasar agama dan tujuan pendidikan Islam secara sosial (ahdaf
ijtima'iyyah) dapat dicapai dalam upacara ini.
A. Pendahuluan
Indonesia sangat kaya akan suku dan budaya. Keaneka ragaman suku dan
budaya ini merupakan kekayaan dan identitas bangsa Indonesia dan menunjukkan
bahwa masyarakat Indonesia memiliki kualitas yang luar biasa (Satrianegara et al.,
2021). Suku batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang berasal
dari Sumatera Utara. Berbagai etnis dan sub suku batak seperti Batak Toba, Batak
Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing
(Nainggolan, 2017). Setiap masyarakat diberbagai daerah suku batak memiliki
kebudayaan, bahasa yang berbeda dengan sub suku batak lainnya, karena itulah
adanya peraturan dan acuan kehidupan yang berbeda di setiap sub suku
masyarakat batak di Sumatera Utara (Simanjuntak, 2006). Dengan terbaginya suku
batak menjadi beberapa sub, maka kebudayaan dari setiap sub suku batak akan
berbeda-beda, baik itu dari segi bahasa, kepercayaan, adat pernikahan, adat
kematian dan lain sebagainya. Pernikahan bagi masyarakat batak adalah rantai
kehidupan dan implementasinya menghubungkan hokum adat yang mengakar.
Tujuan perkawinan dalam masyarakat batak adalah: 1) tanggung jawab biologis,
berarti meneruskan keturunan, 2) menjadikan laki-laki sebagai ahli waris, 3)
menjalin ikatan keluarga, 4) meningkatkan kekerabatan, 5) untuk memperoleh
kebahagiaan, 6) untuk menjalankan ajaran agama, 7) menjadi kewajiban atau
kebutuhan (Mailin, dkk, 2018).
Dalam Islam, pernikahan itu luhur dan suci, artinya ibadah kepada Allah Swt
dan pemenuhan sunnah nabi Muhammad Saw dengan dasar yang tulus,
bertanggung jawab, dan tunduk pada ketentuan hokum yang berlaku. Dalam
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang
menjawab masalah dengan berupa data yang bersumber dari dokumen, wawancara,
dan pengamatan (Wahidmurni, 2017). Penelitian ini menggunakan pendekatan
etnografi. Etnografi merupakan bentuk penelitian melalui observasi lapangan
tertutup dari fenomena sosiokultural yang fokus pada makna sosiologi. Etnografi
adalah penelitian kualitatif dimana peneliti menguraikan dan menafsirkan pola
bersama dan belajar nilai-nilai, perilaku, keyakinan, dan bahasa dari berbagai
kelompok (Mawardi, 2019). Etnografi adalah penelitian yang mendeskripsikan
kebudayaan dengan tujuan memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli. Inti dari etnografi ini adalah memperhatikan makna-makna tindakan
yang menimpa orang yang ingin di teliti, makna tersebut dapat diekspresikan secara
langsung maupun tidak langsung baik dari bahasa, kata-kata dan perbuatan
(Hutagalung). Penelitian etnografi ini dapat menggambarkan suatu kegiatan, kejadian
hanya pada pesta pernikahan, namun ketika kelahiran anak ataupun memasuki
rumah baru, masyarakat Batak Angkola sering menggelar horja ini (Dalimunthe,
2016). Horja godang ataupun margondang merupakan rangkaian pesta Batak
Angkola, dimana dalam upacara pesta ini ada kesenian yang dilengkapi dengan alat
musik seperti gondang dan suling yang disertai dengan tarian manortor
(Dalimunthe, 2016). Dapat disimpulkan bahwa horja godang atau margondang
adalah pesta besar adat Batak Angkola yang dilaksanakan selama tujuh hari tujuh
malam, tiga hari tiga malam atau satu hari satu malam, tetapi pada umumnya
masyarakat biasa hanya melaksanakan satu malam satu hari. Karena yang mampu
melaksanakan sampai tujuh hari tujuh malam atau tiga hari tiga malam adalah
keturunan raja-raja di daerah Tapanuli Bagian Selatan, dalam horja ini juga
dilengkapi dengan kesenian asli Batak Angkola yaitu adanya tarian tor-tor yang
diiringi oleh gondang dan suling.
Nama Tor-tor berasal dari hentakan kaki para penari yang bersuara “tor”
“tor” karena menghentakkan kakinya pada lantai rumah, bersama dengan itu rumah
adat batak adalah rumah dengan lantai beralas papan kayu. Sekitar abad ke-13 tari
Tortor sudah menjadi budaya suku batak (Boruna, 2003). Tari tortor adalah seni
tari dengan menggerakkan seluruh badan dengan dituntun irama Gondang, dengan
pusat gerakan pada tangan dan jari, kaki dan telapak kaki, punggung dan bahu. Tor-
tor mempunyai prinsip semangat kebersamaan, rasa persaudaraan dan solidaritas
untuk kepentingan bersama (Sari, 2020). Gerakan pada tor-tor disebut urdot.
Mangurdot artinya menggerakkan anggota tubuh secara ekspresif, mangurdot
dilakukan sesuai dengan irama gondang. Gondang dan tor-tor adalah perpaduan
irama dan gerak tubuh yang dipraktekkan. Dapat disimpulkan bahwa, acara
margondang dan tortor ini dahulu dilaksanakan di rumah godang Batak yang masih
khas dengan bangunan zaman dahulu yang masih memakai papan kayu sebagai alas
dan dinding serta atap, tari tortor ini ditarikan secara perlahan-lahan dengan
gerakan yang sangat kaku dan gerakan harus sesuai dengan bunyi irama gondang,
ketika penari tortor menghentakkan kakinya maka akan terdengar suara tor-tor
dari alas rumah godang yang terbuat dari papan kayu tersebut. Tor-tor ini memiliki
prinsip kekeluargaan dan persaudaraan.
Tor-tor pada saat pernikahan diberi nama sesuai dengan status adat
pernikahan itu, oleh karenanya tortor dalam upacara pernikahan Batak Angkola
dikategorikan sebagai berikut:
1. Tor-Tor Suhut Bolon
2. Tor-Tor Kahanggi
3. Tor-Tor Anak Boru
4. Tor-Tor Raja-raja Tobing Balok
tolu adalah satu keluarga yang harus saling membantu dan bekerja sama.
Selanjutnya, keluarga mengadakan martahi sahuta yang dihadiri oleh hatobangon,
harajaon, orang kaya dan masyarakat yang diundang dengan tujuan pihak keluarga
akan menyampaikan niat untuk mengadakan margondang serta mengundang dan
meminta bantuan untuk bekerja sama dalam menyukseskan acara margondang
tersebut. Setelah martahi sahuta selesai, maka keluarga melaksanakan martahi
godang yang dihadiri raja-raja di desa tersebut dan raja-raja dari luar desa, tujuan
dari martahi godang ini adalah, pihak keluarga mengundang dan menyerahkan
acara margondang tersebut kepada para raja, karena yang mengetahui aturan dalam
pelaksanaan upacara margondang adalah para raja. Selanjutnya acara maralok-alok
yaitu sidang adat yang dilaksanakan di galanggang oleh para raja-raja yang terdiri
dari raja panusunan bulung, raja naluat, raja torbing balok. Dalam sidang adat ini
akan dibahas waktu yang tepat untuk memulai acara, setelah para raja selesai
maralok-alok maka dilaksanakanlah panaek gondang atau manoko gondang, dengan
panaek gondang inilah maka upacara margondang dapat dimulai.
Setelah panaek gondang dilaksanakan, maka acara selanjutnya adalah
manortor. Manortor ini harus sesuai urutan, dan pihak laki-laki di dahulukukan,
setelah pihak laki-laki dari suhut bolon, kahanggi, anak boru selesai maka
dilanjutkan oleh pihak perempuan dari suhut bolon, kahanggi, anak boru setelah itu
raja-raja, naposo nauli bulung, dan namora pule (Mangalopi, 2021). Berikut ini
urutan tor-tor dalam margondang.
1. Tor-tor suhut bolon, yaitu pihak laki-laki dari keluarga yang mengadakan
margondang.
2. Tor-tor kahanggi, yaitu saudara laki-laki yang satu marga dengan suhut.
3. Tor-tor anak boru, yaitu kelompok keluarga suhut.
4. Tor-tor raja torbing balok, yaitu raja yang berasal dari desa-desa yang diundang
5. Tor-tor raja panusunan bulung, yaitu pimpinan para raja.
6. Tor-tor naposo nauli bulung, yaitu tortor muda mudi yang ada di desa tersebut.
7. Tor-tor namora pule, yaitu tortor kedua pengantin.
Tortor selalu diiringi dengan gendang dan nyanyian onang-onang yang berisi
tentang riwayat hidup pengantin dan perjuangan orang tua yang membesarkan
anaknya mulai dari kandungan sampai menemukan pasangan hidup. Nyanyian
onang-onang dilantunkan dengan irama yang sedih sehingga siapapun yang
mendengarnya akan merasa terharu sampai meneteskan air mata, dan setiap
gerakan tortor akan berubah seiring dengan perubahan irama gendang yang
dimainkan oleh pargondang (Mangalopi, 2021).
Makna dari setiap gerakan tortor adalah: 1) Pangayapi dan panortor
menghadap kepada pihak para raja yang bermakna bahwa mereka menghormati
para petuah yang tertua, 2) Gerakan pangayapi mangido tua bermakna meminta
keberkahan kepada Tuhan yaitu Allah Swt, 3) Gerakan somba panortor bermakna
menghormati yaitu memberi salam kepada penonton, 4) Gerakan berbentuk segi
tiga bermakna dalihan na tolu yaitu melambangkan kekerabatan, 5) Gerakan
mangido berarti meminta berkah yaitu panortor melakukan gerakan setengah
berdiri yang bermakna adab untuk meminta kepada Allah Swt, 6) Menyerser
(gerakan saat berpindah tempat) bermakna kelembutan dan kehati-hatian, 7)
Gerakan tolak bala bermakna menolak musibah sesuai dengan tangan panortor dan
pangayapi yang menghadap ke bawah, 8) Gerakan mangido tua bermakna meminta
berkah dari Allah Swt, 9) Manyerser dan tetap membentuk dalihan na tolu berarti
setiap gerakan tetap menjaga kekerabatan (Pulungan, 2019).
Setelah manortor selesai maka pengantin dibawa ke tapian raya bangunan,
yang bertujuan untuk mangayupkon habujingan dohot mangayupkon haposoan atau
menghanyutkan masa lajang mereka. Pengantin akan marpangir dengan bahan-
bahan yang telah disediakan. Orang tua pengantin akan memberikan hata-hata
sipaingot yaitu kata-kata berupa harapan dan doa kepada pengantin supaya menjadi
keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah (Siregar, 2021). Setelah semua pihak
yang diidentifikasi hadir, upacara dapat dimulai. Piring mangupa-upa akan
diletakkan di mana ujung daun pisang menghadap orang tua kedua mempelai, yang
berarti orang tua tidak lagi bertanggung jawab atas anak-anak mereka yang sudah
menikah. (Pane, 2017). Makna dari hidangan mangupa adalah: 1) Daun sirih berarti
dibakar harapan kebahagiaan dan kemuliaan keluarga, 2) Tiga butir telur rebus
berarti kekebalan jiwa dan raga dari bahaya, penyakit dan perbuatan setan dan
manusia yang tidak puas 3) segenggam garam, berarti menjadi orang yang
menikmati hidup, 4) ikan, udang dan sayuran berarti mereka sehat sepanjang hidup
mereka. 5) Nasi putih artinya orang yang menyuapinya bahagia, santapan ini
merupakan ungkapan kegembiraan yang tidak dikatakan orang tuanya, 6) Tiga helai
daun pisang artinya dalihan natolu, mereka semua berdoa agar kedua mempelai
berperilaku baik, 7) Anduri/kerekan beras berarti orang-orang di upa pandai
melakukan perbuatan baik kepada semua orang yang dicintai dari semua tempat
dan memberikan nasihat yang bermanfaat kepada orang yang dicintai (Pane, 2017).
Acara mangupa merupakan yang terakhir dalam rangkaian upacara
pernikahan margondang di masyarakat Batak Angkola, mangupa merupakan bukti
kasih sayang orang tua kepada anaknya, orang tua memberikan sipaingot dan
harapan dihadapan kedua mempelai. Sebelum melanjutkan ke mangupa, kedua
mempelai akan pergi ke tapian raya bangunan untuk membasuh badan mereka, dan
kedua mempelai akan mandi di pangir untuk membuktikan bahwa mereka siap
untuk menjalankan keluarga. Tujuan mangupa juga untuk mengembalikan
1. Nilai Religius
Nilai merupakan sebuah pemikiran tentang apa yang dianggap penting bagi
seseorang dalam kehidupannya. Kebenaran suatu nilai tidak membutuhkan adanya
pembuktian empirik, namun lebih kepada pemahaman, kesadaran dan apa yang
dikehendaki, disenangi, ataupun tidak disenangi seseorang (Rafa'i, 2016). Maksud
nilai religius dalam penelitian ini adalah dimana adat dan kesenian mampu
menciptakan hubungan yang baik antara manusia dengan penciptanya yaitu Allah
Swt dan hubungan sesama manusia. Nilai ini dapat terlihat pada acara manortor,
yaitu gerakan-gerakan tortor ini memiliki makna yang menggambarkan hubungan
manusia dengan Allah Swt. Gerakan tortor yang dimaksud adalah gerakan mangido,
gerakan setengah berdiri ini bermakna meminta keberkahan kepada Allah Swt.
Gerakan mangido menjadi gerakan yang pertama dalam susunan manortor artinya
sebelum melaksanakan sesuatu kita harus meminta kepada Allah Swt untuk
memberikan keberkahan untuk kita.
Nilai religius juga terkandung pada acara mangupa yaitu bentuk kesyukuran
dan kegembiraan orang tua kepada anaknya yang akan menempuh hidup baru.
Segala doa-doa dan harapan disampaikan pada acara ini. Orang tua mendoakan
anaknya supaya menjadi keluarga yang mendapatkan keberkahan dari Allah Swt.
Acara mangupa bisa disebut sebagai acara kesyukuran paulak tondi tu badan
(mengembalikan semangat diri) karena acara horja godang yang dapat
terselesaikan. Hal ini tentu saja sejalan dengan ajaran Islam, dimana kita harus
selalu bersyukur kepada Allah Swt yang telah memberikan kita nikmat, seperti
firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surah Ibrahim ayat 7.
ٌاب لَ َش ِديد
ٌ ِ يدن ُك ٌْمٌۖ َولَئِن َك َف ْرٌُْت إِنٌ َع َذ
َ ٌَوإِ ٌْذ ََتَذ ٌَن َربُّ ُك ٌْم لَئِن َش َك ْرٌُْت ََلَ ِز
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,
dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih". (QS. Ibrahim (14):7) (Kementerian Agama, 2012).
Dengan demikian nilai-nilai religius yang ada pada acara margondang batak
angkola terlihat pada gerakan tortor mangido dan acara mangupa, dimana orang tua
dan kerabat meminta keberkahan kepada Allah Swt sebagai pembuka dari acara
margondang serta diakhir acara yaitu mangupa, kerabat memberikan nasehat-
nasehat keagamaan dan sosial kepada pengantin.
2. Nilai Sosial
Nilai sosial yang terdapat pada acara margondang dan tortor batak angkola
sangatlah banyak, contohnya untuk mengadakan horja godang maka pihak keluarga
harus melaksanakan martahi (musyawarah) dengan dalihan na tolu, masyrakat dan
para raja-raja. Persyaratan pertama dalam horja godang adalah keluarga harus
mengadakan musyawarah yaitu martahi ungut-ungut yang harus menghadirkan
dalihan na tolu (kahanggi, anak boru dan mora). Dalam musyawarah ini dalihan na
tolu akan menyampaikan pendapat dan saran-saran mengenai acara yang akan
dilaksanakan. Setelah itu diadakanlah martahi sahuta yang bertujuan bahwa
keluarga memiliki niat untuk mengadakan horja. Disini terlihat bahwa nilai sosial
yang dimaksud adalah adanya musyawarah di antara keluarga, dan pihak keluarga
mengundang masyarakat dan para raja untuk menghadiri horja tersebut. Artinya
silaturahmi akan terjalin dalam acara ini, karena para kerabat dan masyarakat turut
menghadiri dan merasa gembira atas horja yang akan dilaksanakan. Tradisi ini
mampu memberikan kesan silaturahmi, dan Islam sangat menganjurkan untuk
menjalin silaturahmi dalam rangka mewujudkan ukhuwah Islamiyah. Hal ini
merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah Swt, seperti firman Allah Swt
dalam Al-Qur’an surah Asy-Syura ayat 23.
ٌَجًرا إِّل ِ
ْ َسَلُ ُك ٌْم َعلَْي ٌه أ ٌِ ٱلصلِ ََٰح
ْ تٌ قُل ٌّلا أ َٰ ٌين ء ٌَامنُواٌ و َع ِملُوا ِ
َ َ ٌَ ٱّللُ عبَ َادٌهُ ٱلذ
ِ ٌ ك ٱل ِذى ي ب ِش ٌر
ُ َُ ٌَ ََِٰذل
ٌٱّللَ َغ ُفورٌ َش ُكور ٌ ٌف َح َسنٌَةً ن ِزٌْد لَهُۥ فِ َيها ُح ْسنًاٌۚ إِنٌْ بٌ َوَمن يَ ْق ََِت ٌ ِ ٱلْ َم َودٌَة
ٌََٰف ٱلْ ُق ْر
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-
hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah:
"Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali
kasih sayang dalam kekeluargaan". Dan siapa yang mengerjakan
kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”. (QS. Asy-
Syura (42): 23) (Kementerian Agama, 2012).
Nilai sosial dalam margondang juga dapat diamati ketika mendirikan
galanggang, memotong kerbau dan kambing, masyarakat akan bergotong royong
untuk membantu pihak keluarga dalam menyukseskan acara, termasuk
mempersiapkan segala kebutuhan untuk pendirian galanggang, masyarakat juga
akan mengolah dan memasak kerbau yang sudah dipotong dan mempersiapkan
hidangan lainnya yang akan disajikan untuk para tamu undangan. Bisa kita amati
bahwa dalam acara ini terdapat nilai sosial bergotong royong dan saling membantu,
hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengharuskan untuk saling tolong
menolong. Selain itu, nilai sosial juga terlihat dalam gerakan tortor manyerser yang
tetap membentuk dalihan na tolu, maknanya adalah diharuskan menjaga
kekerabatan antara kahanggi, anak boru, mora dan masyarakat. Seperti yang
diketahui dalihan na tolu ibarat tiga tungku yang apabila salah satunya tidak ada
maka sesuatu yang diletakkan di atas tungku tersebut akan timpang, akibatnya
sesuatu itu tidak akan seimbang.
3. Nilai Moral
Nilai moral dalam acara margondang dan tortor batak angkola dapat diamati
pada gerakan tortor somba yang bermakna menghormati, yaitu memberi salam
kepada penonton. Gerakan ini bermakna memberikan penghormatan atau salam
kepada para tetua, raja dan orang tua, gerakan ini adalah gerakan yang pertama dari
gerakan tortor. Nilai moral selanjutnya terlihat pada gerakan manyerser yang
bermakna kekuatan kekerabatan dalihan na tolu. Gerakan ini menjelaskan betapa
pentingnya kerja sama dan saling tolong menolong di antara keluarga. Nilai moral
juga dapat diamati pada nyanyian onang-onang, dimana dalam nyanyian onang-
onang ini berisi tentang sejarah perjalanan pengantin mulai dari kandungan sampai
mendapatkan tambatan hati. Dalam nyanyian onang-onang ini juga akan
disampaikan rasa sayang orang tua yang begitu besar kepada anaknya. Onang-
onang ini bertujuan untuk membuktikan betapa perduli dan sayangnya orang tua
kepada anaknya, nilai moralnya adalah supaya anak berbakti kepada orang tua
karena orang tua sudah banyak berkorban kepada anaknya mulai dari kandungan
hingga menikah. Berbakti kepada kedua orang tua adalah salah satu ajaran Islam
yang utama, seperti firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surah Luqman ayat 14.
ِ ِ ٌ ِ ٌَن ٱ ْش ُكر
ِ ٌِ ف عام ِ ِ ِ ِ َٰ ٱْل
ٌك
َ ْل َول ََٰول َدي ْ ٌي أ ْ َ َ ٌ ِ صلُهٌُۥ
ََٰ نس َنٌ ب ََٰول َديٌْه ََحَلَْت ٌهُ أ ُُّمهٌُۥ َوْهنًا َعلَ َٰىٌ َوْه ٌن َوف ِ
َ ْ َوَوصْي نَا
ص ٌُيِ ل ٱلْمِ
َ ٌَ إ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu”. (QS. Luqman (31): 14) (Kementerian Agama, 2012).
Nilai moral lainnya adalah makna dari mangupa yaitu kerukunan rumah
tangga, dimana dalam hidangan mangupa memiliki makna sipaingot atau pesan
moral kepada pengantin, contohnya daun sirih yang bermakna harapan keluarga
untuk kebahagiaan pengantin, tiga butir telur ayam bermakna supaya pengantin
diselamatkan dari segala mara bahaya, daun pisang bermakna supaya pengantin
memiliki perilaku yang baik. Dalam mangupa ini juga pengantin akan diberikan hata
sipaingot oleh raja-raja supaya mereka mampu menghadapi suka duka dalam
pernikahan dan tetap berkasih sayang sehingga keluarga mereka menjadi keluarga
yang sakinah mawaddah warahmah seperti tujuan pernikahan dalam Al-Qur’an
surah Ar-Rum ayat 21.
َوِم ٌْن ءَايََٰتِ ِهۦاٌ أَ ٌْن َخلَ ٌَق لَ ُكم ِم ٌْن أَن ُف ِس ُك ٌْم أ َْزََٰو ًجا لِتَ ْس ُكنُ اوٌا إِلَْي َها َو َج َع ٌَل بَْي نَ ُكم م َودٌةً َوَر َْحٌَةًٌۚ إِ ٌن
ك َلءَايََٰتٌ لَِق ْومٌ يَتَ َفك ُرو ٌَن ٌَ ِف َٰذَل
ٌِ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum (30): 21)
(Kementerian Agama, 2012).
Dengan demikian dasar pendidikan Islam yaitu dasar religius yang
memelihara dan menjunjung tinggi hak-hak manusia yang bersifat humanism-
teosentris dan tujuan pendidikan Islam dalam sosial (ahdaf ijtima’iyyah) akan
tercapai. Tujuan pendidikan ini adalah menjadikan manusia sebagai bagian dari
komunitas masyarakat yang memanusiakan manusia, menggunakan akal untuk
menemukan kebenaran, menggunakan ruh untuk tetap setia menghamba kepada
Allah Swt serta menjadikan jasmani untuk berusaha menjadi khalifah di muka bumi
yang sesuai dengan apa yang Allah sebutkan dalam firman-Nya.
D. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai upacara margondang dan tor-tor
batak angkola ditinjau dari perspektif pendidikan Islam, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut: Proses upacara margondang dimulai dari martahi
ungut-ungut (musyawarah keluarga) yang dihadiri dalihan na tolu, kemudian
martahi sahuta (musyawarah satu desa) yang dihadiri hatobangon, harajaon, orang
kaya, dan masyarakat, kemudian martahi godang (musyawarah para raja) yang
dihadiri para raja-raja, setelah itu para raja maralok-alok (sidang adat), kemudian
panaek gondang (memukul gendang). Dimulailah manortor dari kaum laki-laki yaitu
suhut bolon, kahanggi dan anak boru, setelah itu dilanjutkan oleh tortor kaum ibu-
ibu yang dimulai dari suhut bolon, kahanggi, anak boru, dilanjutkan tortor raja-raja
yang dimulai dari raja torbing balok, dan raja panusunan bulung. Tortor selanjutnya
adalah tortor naposo nauli bulung, kemudian tortor namora pule yaitu tortor
pengantin dihadapan para raja dan orang tua. Setelah manortor selesai maka
pengantin dibawa ke tapian raya bangunan, bertujuan untuk mangayupkon
habujingan dohot mangayupkon haposoan (menghanyutkan masa lajang mereka).
Setelah itu pengantin dibawa ke rumah untuk melaksanakan upa-upa dan
pemberian abit godang dan gelar adat.
Daftar Rujukan
Diana, T. (2017). Makna Tari Tortor Dalam Upacara Adat Perkawinan Suku Batak
Toba. Jom, 4(1), 1–14.
Fanani, A. A., Mashuri, I., & Istiningrum, D. (2019). NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM
DALAM MEMBENTUK BUDAYA RELIGIUS DI SMA NEGERI 1 GENTENG TAHUN
PELAJARAN 2017/2018. Bidayatuna: Pendidikan Dasar Islam, 2(01), 1–15.
Harahap, S. M. (2015). ISLAM DAN BUDAYA LOKAL Studi terhadap Pemahaman,
Keyakinan, dan Praktik Keberagamaan Masyarakat Batak Angkola di
Padangsidimpuan Perspektif Antropologi. Toleransi, 7(2), 154–176.
Hijrati, M., & Rahmah, S. (2018). NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM TOR-TOR. 7(2),
45–51.
Kementerian Agama, R. I. (2012). al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Sinergi
Pustaka Indonesia.
Kholiq, A. (2017). Pendidikan Agama Islam Dalam Kebudayaan Masyarakat Kalang.
At-Taqaddum, 7(2), 327. https://doi.org/10.21580/at.v7i2.1210
Mailin, Efendi, Erwan, J. (2018). Makna Simbolik Mengupa Dalam Upacara Adat
Pernikahan Suku Batak Angkola Di Kabupaten Padang Lawas. At-Balagh, Vol.
2(1), 85–103.
Nainggolan, M. S. (2017). Makna Tari Tortor Sebagai Identitas Orang Batak Di Kota
Balikpapan. EJournal Ilmu Komunikasi, 5(1), 156–169.
Nurkholis. (2013). PENDIDIKAN DALAM UPAYA MEMAJUKAN TEKNOLOGI Oleh: