205 491 1 PB

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Al-Azhar Journal of Islamic Economics

Volume 5 Nomor 1, Januari 2023


ISSN Print: 2654-5543
DOI: 10.37146/ajie V5i1.205
Penerbit: Program Studi Ekonomi Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Azhar
Gowa
Al-Azhar Journal of Islamic Economics (AJIE) is indexed by Google Scholar and licensed under a
Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Peran Budaya Teka Ra Ne'e dalam Mengentaskan


Kemiskinan di Bima, NTB
Mega Oktaviany*, Nadhirah Nordin, Rahimah Embong
Universitas Gunadarma
*E-mail: Mega.octaviany@gmail.com

Abstract

Poverty is a very complex problem for every nation and must immediately get the right solution.
Indonesia is a developing country and has a large population, of course it cannot avoid this
problem. This is proven by the number of poor people who are increasing every year, even the
majority live in rural areas which are difficult to access. Bima is an area located on the island of
Sumbawa, West Nusa Tenggara, which is far from urban areas. According to Presidential Decree
No. 131 of 2015-2019, when viewed from the data, Bima is an underdeveloped area in terms of
human resources and monthly wages that fall into the poor category, as well as infrastructure
and others. Even though Bima has very rich cultural and natural resources, as well as human
resources that are full of creativity. Therefore this study wants to identify the role of the culture
of taka ra ne'e in alleviating poverty in Bima. This study uses a qualitative descriptive
methodology with a social phenomenological approach. Subsequent data collection was through
observation and unstructured open interviews, then the data was processed with thematic
analysis to draw conclusions. Finally, for the validity of the data, the researcher sent back the data
according to the research to the informant for a correct data. The results of the study show that
the culture of taka ra ne'e is a temporary practice of giving (alms) to the economic life of the Bima
community. The culture continues to grow and develop which can be classified into two forms:
first from a normative approach and second from socio phenomenology. In addition to cultural
practices in Bima using the analysis framework of the charity strategy, this study reveals the
intervention of the giving movement in increasing welfare and alleviating poverty in the Bima
community through the culture of taka ra ne'e.

Keywords: Teka Ra Ne’e Cultire; Poverty; Bima

Abstrak
Kemiskinan merupakan persoalan setiap bangsa yang sangat kompleks dan harus segera
mendapatkan solusi yang tepat. Indonesia negara berkembang dan memiliki jumlah penduduk
yang banyak, tentu tidak dapat menghindari masalah tersebut. Ini terbukti dengan banyaknya
penduduk miskin yang setiap tahun semakin bertambah, bahkan mayoritas tinggal di daerah
pedesaan yang sulit untuk diakses. Bima merupakan daerah yang terletak di Pulau Sumbawa
Nusa Tenggara Barat yang jauh dari perkotaan. Menurut Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun
2015-2019, jika dilihat dari data tersebut Bima merupakan daerah tertinggal dari segi sumber
daya manusia dan tingkat upah perbulan yang masuk pada ketegori miskin, serta infrastruktur
dan lain-lain. Namun Bima memiliki budaya dan sumber daya alam yang sangat kaya, serta

19
ISSN Print: 2654-5543

sumber daya manusianya yang penuh dengan kreatifitas. Oleh karena itu penelitian ini ingin
mengidentifikasi bagaimana peran budaya teka ra ne’e dalam mengentaskan kemiskinan di Bima.
Penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
sosial. Selanjutnya pengumpulan data melalui observasi dan wawancara terbuka tidak
terstruktur, lalu data diolah dengan analisis tematik untuk menarik kesimpulan. Terakhir untuk
kevalidan data, peneliti kembali mengirimkan data yang sesuai riset tersebut kepada informan
untuk sebuah kebenaran data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya teka ra ne’e
merupakan praktik berderma (sedekah) pada kehidupan ekonomi masyarakat Bima yang
dilakukan secara temporer. Budaya tersebut terus tumbuh dan berkembang yang dapat
diklasifikan ke dalam dua bentuk: pertama dari pendekatan normatif dan kedua sosio
fenomenologi. Selain itu praktik budaya di Bima menggunakan kerangka analisis strategi karitas,
studi ini mengungkapkan intervensi gerakan memberi dalam meningkatkan kesejahteraan dan
mengentaskan kemiskinan pada masyarakat Bima melalui budaya teka ra ne’e.
Kata Kunci: Budaya Teka Ra Ne’e; Kemiskinan; Bima

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang kaya budaya dan tradisi yang mengakar sejak
nenek moyang masyarakatnya, yang secara praktik berbeda setiap daerah.
Bahkan daerah-daerah di Indonesia memiliki keyakinan tentang sebuah
kebudayaan tersebut. Kebudayaan ini terkadang memberi pengaruh terhadap
agama, begitu juga sebaliknya, terkadang agama mempengaruhi suatu budaya.
Secara umum, budaya dapat dilihat sebagai ciptaan manusia yang berkembang
dan dimiliki suatu kelompok masyarakat, kemudian dikembangkan menjadi
suatu kebiasaan aktifitas turun-temurun. Kebudayaan dimaknai sebagai suatu
sistem simbolik atau sistem perlambangan. 1 Sementara menurut Daoed Joesoef
budaya adalah sistem nilai yang dihayati dan segala sesuatu yang mencirikan
budaya adalah kebudayaan. Nilai itu meliputi: 1) sesuatu yang berbentu atau
berwujud dan dapat disentuh seperti bangunan, karya seni dan lain lain. 2)
sesuatu yang tidak berbentu dan tidak dapat disentuh seperti adat-istiadat,
tradisi, kebiasaan normative, moral, etika gagasan, ilmu pengetahuan, dan lain-
lain. 2
Warisan kebudayaan yang lahir sejak zaman nenek moyang dijadikan oleh
kelompok masyarakat sebagai pegangan hidup dan kebiasaan kelompok
masyarakat. Demikian halnya dirumuskan Oscar Lewis dengan mengamati
perilaku masyarakat miskin dan budayanya. Dalam pandangan Oscar Lewis
(1959), budaya dan kemiskinan mencakup apa yang diyakini seperti nilai-nilai
yang mengandung didalamnya, respon dalam tindakan, abstraksi dari kelakuan

1 Avi Kaplan and Hanoch Flum, “Identity Formation in Educational Settings: A Critical
Focus for Education in the 21st Century,” Contemporary Educational Psychology 37, no. 3 (July 2012):
171–175.
2 Johan Arifin, Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia Culture

Of Poverty In Poverty Reduction In Indonesia, vol. 6 (Kesejahteraan Sosial, 2020). Fazal Rahim Khan,
Zafar Iqbal, and Osman B Gazzaz, “Communication and Culture: Reflections on the Perspectives
of Influence,” Wulfenia 19, no. 8 (2012).

20
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023

yang berlangsung terus menerus. Lewis mengidentifikasi budaya dan


kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan reaksi kaum
miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam masyarakat yang berstrata
kelas. 3 Wujud budaya dalam mengentaskan kemiskinan adalah sebuah tradisi
lokal yang mampu membentuk sikap saling tolong menolong yang dilakukan
secara terus menerus, sehingga tidak terlihat masyarakat merasakan kesusahan
dan kelaparan. Suatu tradisi akan memberikan dampak positif secara ekonomi
jika masyarakatnya kuat untuk keluar dari garis kemiskinan. 4
Persoalan Kemiskinan di Indonesia merupakan dimensi sosial yang senantiasa
hadir di tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang.
Kemiskinan terbentuk tidak di zaman sekarang saja, namun ada sejak masa
perjuangan dan kemerdekaan sebuah negara. Bahkan semakin meningkat
sejalan dengan krisis multimensional yang masih dihadapi oleh bangsa
Indonesia. Karena kemiskinan adalah multidimensi, yang dimana masyarakat
miskin membutuhkan kemampuan pada tingkat individu (seperti kesehatan,
pendidikan dan perumahan) dan pada tingkat kolektif (seperti bertindak
bersama untuk mengatasi masalah).5 Memperdayakan masyarakat miskin dan
terbelakang menuntut upaya menghilangkan penyebab ketidakmampuan
mereka meningkatkan kualitas hidupnya.6
Kemiskinan merupakan kondisi di maa seseorang atau sekelompok orang, tidak
terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang layak. Hak-hak dasar itu terdiri dari hak-hak yang dipahami
masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang
layak dan hak yang diakui dalam peraturan kebijakan pemerintah. Hak-hak
dasar yang dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan. pekerjaan, memiliki rumah, dan lain lain dalam memenuhi
kebutuhan hidup mereka.7
Menurut Machendrawaty, kemiskinan terjadi ketika individu tidak mampu
memperdayakan potensi dirinya secara maksimal untuk mencapai kesejahteraan

3 Arifin, Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia Culture Of


Poverty In Poverty Reduction In Indonesia, vol. 6, p. .
4 Dirk Baecker, “The Meaning of Culture,” Thesis Eleven 51, no. 1 (1997): 37–51; Mohamad

Zaim Isamail et al., “Pemerkasaan Wakaf Di Malaysia: Satu Sorotan (Empowering Waqf In
Malaysia: A Review),” CD PROCEEDINGS THE 5th ISLAMIC ECONOMIC SYSTEM “ Sustainable
Development Through the Islamic Economic System ,” no. September (2013): 1–12.
5 Mohamed Saladin et al., “Poverty Measurement in Malaysia: A Survey of the

Literature,” Akademika 81, no. 1 (2011): 73–81.


6
Nurtika Laelasari, Agus Ahmad Safei, and Ali Aziz Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati, Peranan Program Pemberdayaan
Masyarakat Kelurahan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi, Tamkin: Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam, vol. 2, 2017; Rawyat Deonandan, “Defining Poverty: A Summary of Competing
Models,” Journal of Social and Political Sciences 2, no. 1 (March 30, 2019),
https://www.asianinstituteofresearch.org/JSParchives/Defining-Poverty%3A-A-Summary-of-Competing-
Models.
7
Theories of Poverty to the Integrative Theory. A Comparative Analysis: Accordance to the
Situation of Iraq,” IOSR Journal of Humanities and Social Science 22, no. 5 (June 2017): 47–50.

21
ISSN Print: 2654-5543

dalam kehidupanyya secara mandiri. Kemiskinan yang diderita masyarakat


Indonesia tidak hanya persoalan kecerdasan, tetapi juga masalah keahlian hidup
yang tidak mampu berpikir keras untuk berusaha. Karena keahlian dapat
membuat masyarakat menjadi survive dalam menghadapi hidup dan mencapai
apa yang mereka inginkan.8
Kemiskinan hari ini telah mejadi problem, karena untuk menjadi negara yang
makmur, masyarakatnya pun harus mempunyai hidup yang layak. Setiap
tahunnya persoalan kemiskinan tidak dapat dituntaskan dengan baik, karena
solusi yang selalu ditawarkan hanya bantuan sementara dan sekali saja, tidak
kepada cara yang terus menerus dilakukan sehingga tidak satupun masyarakat
yang dengan bersamaan merasakan kesusahan. Dalam arti perlu adanya sikap
budaya berderma antara satu dengan yang lain untuk mewujudkan
kesejahteraan ekonomi suatu bangsa. Jika dilihat persentase penduduk miskin
di Indonesia pada Maret 2021 sebesar 10,14%. Angka inipun telah dikatakan
turun 0,05% terhadap September 2020.9 Menurunnya suatu angka kemiskinan
belum dapat dikatakan bahwa kemiskinan telah selesai, namun masih banyak
yang belum mendapatkan kelayakan hidup. Sedangkan angka kemiskinan Bima
tahun 2021 mencapai 16.220 jiwa jika dibandingkan tahun 2020 mencapai 14.660
jiwa.10 Menurut Peraturan Presiden No. 131 Tahun 2015-2019, Bima masuk
daerah tertinggal, ini diukur dengan beberapa indikator, diantaranya ialah
perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
kemampuan keuangan daerah, aksebilitas dan karakteristik daerah. Namun
indikator ini jika disandingkan dengan fenomena masyarakat Bima, tidak
terlihat seimbang. Karena masyarakat Bima sangat berkemampuan secara
ekonomi, tidak terdapat masyarakat miskin dan merasakan kesusahan.
Sementara jika dilihat dengan pendekatan agama, Bima merupakan daerah yang
makmur dan kaya akan budaya serta alamnya.11
Oleh karena itu untuk mengentaskan kemiskinan di suatu daerah diperlukan
suatu model yang berbeda untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi, seperti
membudayakan suatu praktik ekonomi yang secara berterusan, seperti amalan
berderma. Dari latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah adalah
bagaimana peran budaya teka ra ne’e dalam mengentaskan kemiskinan di Bima,
Nusa Tenggara Barat. Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
mengidentifiasi peran budaya teka ra ne’e dalam masyarakat Bima yang menjadi
kebiasaan berderma dalam penanggulangan kemiskinan.

8Nurtika Laelasari, Agus Ahmad Safei, and Ali Aziz Jurusan Pengembangan Masyarakat
Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati, Peranan Program
Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi, Tamkin: Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam, vol. 2, 2017.
9 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2022 (Jakarta: BPS, 2022).
10 Ibid.
11 Presiden RI, Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019, 2015.

22
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023

2. Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif deksriptif dengan
pendekatan fenomenologi.12 Penelitian ini dilakukan dengan terjun langsung ke
lapangan (field research) sehingga dapat dikatakan sebagai penelitian sosiologis.
Sedangkan menurut Soetandyo Wingjosoebroto sebagaimana yang dikutip oleh
Bambang Sunggono dalam bukunya mengatakan bahwa penelitian sosilogis
adalah enelitian berupa studi empiris yaitu penelitian untuk menemukan teori-
teori mengenai proses terjadinya dan proses bekerjanya hukum dalam
masyarakat. Objek penelitian ini adalah di Bima Nusa Tenggara Barat.
Sedangkan sumber data diambil dari data primer yang langsung wawancara
dengan beberapa masyarakat Bima dan data sekunder ialah rujukan yang
menunjang dalam riset ini.
Pada pengumpulan data kajian ini ialah menggunakan teori Sari Wahyuni untuk
menggali data dari informan, yaitu; Observasi, dengan melihat dan mengamati
gejala yang terjadi di lapangan, selanjutnya dianalisis. Obsevasi dilakukan untuk
melihat fenomena dari praktik budaya teka ra ne’e tersebut. Selanjutnya
dilakukan wawancara terbuka dan mendalam namun tidak terstruktur kepada
informan tentang budaya teka ra ne’e. Artinya pedoman pertanyaan hanya dibuat
dengan garis besar dan bercerita lepas untuk mendapatkan data tambahan.
Pengumpulan data terakhir melalui dokumentasi yaitu mencari data yang
berupa catatan sejarah atau gambar dari praktik budaya tersebut.13
Dalam pengolahan data, peneliti menggunakan metode Cresswel yang berawal
dengan editing (pemeriksaan data) terhadap hasil wawancara terhadap
informan serta beberapa rujukan dalam penelitian ini. Selanjutnya
diklasifikasikan agar memudahkan analisis data. Semua data yang dipilih dalam
bagian yang dimiliki persamaan berdasarkan data yang diperoleh pada saat
wawancara dan data yang diperoleh melalui rujukan. Data yang telah
diklasifikasi akan di verifikasi bahwa data yang didapat adalah benar dan valid
serta tidak ada manipulasi di dalamnya. Terakhir adalah concluding
(kesimpulan), akan menjadi sebuah data terkait dengan objek penelitian.14
Data dianalisis dari data-data yang telah dikumpulkan yang berkenaan dengan
permasalahan yang dibahas, lalu disusun dan selanjutnya dianalisa, agar
pembahasan tersebut sesuai dengan judul dan rumusan masalah. Metode
analisis data yaitu analisis tematik yaitu dikoding secara manual yang bertujuan
untuk mengemukakan data yang digambarkan dengan kalimat yang dipisah-
pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.

12 Jonathan A Smith and Mike Osborn, “Interpretative Phenomenological Analysis”


(2007): 53–80.
13 Hardani et al., Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, 2020.
14 John W Creswell, Research Desaign, SAGE, 2014.

23
ISSN Print: 2654-5543

3. Hasil dan Analisis


3.1 Budaya Teka Ra Ne’e Pada Masyarakat Bima, NTB
Budaya teka ra ne’e merupakan praktik tolong menolong yang telah menjadi
tradisi di daerah Bima Nusa Tenggara Barat. Praktik ini telah lama dilakukan
sejak sebelum lahirnya sebuah agama di daerah Bima. Sejak abad ke 14 M Bima
masih meyakini sebuah kepercayaan yang disebut dengan makamba makimbi.
Kepercayaan ini mengajarkan banyak tentang humanism, salah satunya adalah
karawi kaboju yang dikenal dengan gotong royong. Ketika agama Hindu dan
Budha diyakini masyarakat Bima, praktik karawi kaboju dilakukan dengan cara
ajaran tersebut namun substansinya tetap sama, yaitu sikap gotong royong
antara sesama warga.
Ketika kedatangan Islam di Bima, praktik karawi kaboju semakin
disempurnakan oleh kesultanan, pengertiannya semakin luas, amalannya
semakin berkembang. Bahkan ditulis dalam kitab Bo’15 bahwa mewajibkan
masyarakat Bima agar mengeluarkan zakat, infaq dan sedekahnya, baik yang
panen kecil maupun panen besar, ini untuk membantu saudara mereka yang
sedang merasakan kesusahan. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Bima dengan
penuh keyakinan. Karena mereka percaya kepada sultan, bahwa apa yang
diperintahkan adalah penuh dengan kebaikan dan sesuai dengan perintah Allah
SWT. Sehingga hasil dari setiap usaha masyarakat Bima kala itu wajib
mengeluarkan dermanya untuk kepentingan bersama, yaitu membantu saudara
yang sedang berkesusahan.
Berawal dari praktik karawi kaboju inilah masyarakat Bima melestarikan budaya
teka ra ne’e yang dilaksanakan dalam acara atau upacara tradisional, seperti
ketika mengadakan pernikahan, khitanan, kematian dan lain-lain. Dalam
masyarakat Bima budaya ini sering dilakukan, terutamanya di daerah
pedalaman. Walaupun di wilayah kota telah menggeserkan budaya ini, namun
pelestariannya tidak akan punah selama daerah pedalaman masih kuat
melakukan amalan tersebut.
Secara leksikal dalam kamus Bima Indonesia, pengertian teka ra ne’e adalah teka
berarti naik, sedangkan ne’e artinya mau. Sedangkan makna harfiah dari teka ra
ne’e adalah naik dan mau. Kata “naik” yang dimaksud adalah “menaikkan” atau
menghantarkan sesuatu untuk disumbangkan kepada orang lain yang sedang
membuat hajatan. Sedangkan “mau” bermakna keinginan atau Tindakan yang
berdasarkan sikap keikhlasan. Menurut Fahru Rizki seorang sejarawan Bima,
teka ra ne’e adalah tindakan sosio ekonomi yang bersifat membantu untuk
meringankan beban keluarga yang sedang melangsungkan acara, seperti
pernikahan.16

15 Henri Chambert Loir and Siti Maryam R. Salahuddin, Bo’ Sangaji Kai (Catatan Kerajaan
Bima), Kedua. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012).
16 Fahru Rizki, Budaya Teka Ra Ne’e (Bima, 2019).

24
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023

Al Farisi memperjelas definisi kata teka ra ne’e bahwa mengandung makna


sosiologis, dimana secara umum menggambarkan keadaan kehidupan
masyarakat Bima yang berawal hidup secara berkelompok dan tersebar
bermukim di pegunungan dengan menggunakan kayu hutan seperti jati, mahoni
dan kayu akasia. Menurutnya untuk mempunyai rumah seperti itu harus
menggunakan tangga yang berasal dari kayu kuat dan panjang. Sehingga ketika
orang mau membawa sesuatu yang akan diberi kepada orang yang
melaksanakan acara, maka orang tersebut harus mendaki bukit (teka) dan naik
ke tangga yang tinggi (ne’e). Keadaan inilah yang disebut dengan teka ra ne’e,
yaitu mendaki dan naik tangga rumah untuk membawa beras, padi, kayu bakar
dan lain-lain sesuai kebutuhan yang punya acara.17
Oleh karena itu jika dapat dianalisis bahwa teka ra ne’e adalah amalan yang
bermakna proses membawakan suatu barang yang didermakan kepada orang
yang sedang berhajat tanpa mengharapkan imbalan. Tradisi ini merupakan
simbol utama dalam penerapan budaya memberi dan sikap karawi kaboju di
Bima yang masih bertahan hingga sekarang, walapun perkembangann arus
globalisasi sangat pesat, namun karena amalan ini memiliki nilai tradisi yang
kuat, tetap masih kekal dan kekuatan ekonomi masih bertahan hingga saat ini.
Budaya teka ra ne’e dilakukan berbagai upacara adat yang hampir semua tidak
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Ada beberapa yang paling umum
dilakukan, diantaranya ialah pernikahan, khitanan, ketika berduka cita, dan
khataman qur’an.18 Empat bentuk praktik teka ra ne’e merupakan intrepretasi
dari budaya karawi kaboju yang sebagai medium utama dalam pelaksanaan
budaya memberi pada masyarakat Bima.
Saat ini pelaksanaan budaya teka ra ne’e telah diberlakukan sanksi bagi
masyarakat yang tidak ikut dalam partisipasi acara tersebut. Sebelumnya sanksi
ini tidak pernah ada, akan tetapi seiring perkembangannya budaya ini terbentuk
menjadi arisan. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh informan Edi Suhardjo
berikut: “sebenarnya budaya teka ra ne’e aslinya tidak ada sanksi, namun seiring
berjalannya budaya ini jika masyarakat tidak ikut berpartisipasi akan
diberlakukan sanksi dan telah berbentuk arisan”.19
Sanksi yang berlaku dalam teka ra ne’e berbentuk sanksi sosial, seperti
masyarakat akan menilai ketika tetangganya sering terlibat dalam kegiatan
tersebut atau tidak, jika tidak maka ketika orang tersebut buat acara, masyarakat
juga tidak akan terlibat dalam acara yang dilakukannya. Hal tersebut juga seperti
yang dikatakan informan diatas, bahwa budaya teka ra ne’e sekarang cenderung
dijadikan sistem arisan. Walaupun terjadi perubahan secara praktik, namun
secara keseluruhan tata cara pelaksanaan teka ra ne’e masih menggunakan tata
cara tradisional dan sikap gotong royong dalam masyarakat Bima masih tetap
terjaga dengan baik, seperti mengumpulkan kursi dari rumah ke rumah,

17 Alfarisi Thalib, Wawancara Karawi Kaboju (Bima, 2019).


18 Alan Malingi, Budaya Bima, NTB (Bima, 2019).
19 Edi Suhardjo, Wawancara Teka Ra Ne’e (Bima, 2019).

25
ISSN Print: 2654-5543

mengambil kayu bakar, membangun tenda, hingga membantu memasak di


dapur.20
Makna dan tujuan budaya teka ra ne’e adalah gotong royong saling membantu
dan berpartsipasi dalam mensukseskan suatu acara perkawinan, khitanan dan
lain sebagainya. Sebenarnya, bukan tanpa alasan masyarakat Bima melestarikan
budaya tersebut, melainkan karena memiliki nilai dan menyumbangkan
kebaikan serta tidak melanggar perintah Allah SWT seperti yang dicontohkan
oleh Nabi SAW. Sehingga nilai praktik yang lain bukan saja amalan memberi
bantuan kepada orang lain, lebih kuat dari itu adalah menjalin silaturahim
dengan baik.21
Jika dilihat dalam pendekatan normatif, budaya teka ra ne’e merupakan praktik
sedekah. Karena berpartisipasi dalam membantu antara sesama untuk
meringankan beban tetangga atau saudara mereka. Sedekah yang dilakukan
pada masyarakat Bima sangat unik, mereka lakukan bukan karena paksaan,
namun telah menjadi kebiasaan hidup dan aktivitas dalam berumah tangga.
Aktivitas sedekah atau teka ra ne’e dilakukan hingga masa kesultanan Bima di era
kontemporer. Bahkan semakin kuat, walaupun dalam praktiknya setelah panen
dalam bersedekah tidak harus disimpan di uma lengge. Tetapi masyarakatnya
sendiri yang salurkan secara alami dengan saling tolong menolong dan
meningkatkan kebersamaan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan
mengurangi kemiskinan antara warga.
3.2 Peran Budaya Teka Ra Ne’e Dalam Mengentaskan Kemiskinan di Bima,
NTB
Teori ekonomi selalu menunjukkan kepada konsep keadilan dan kemakmuran
suatu bangsa. Pada mekanisme konsep berderma dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Tujuan dari ekonomi keadilan adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan fakir dan miskin. Konteks jangka pendek
akan mampu mambantu fakir miskin memenuhi kebutuhan hidup, sementara
dalam konteks jangka panjang dapat menguatkan pertahanan ekonomi.22
Menurut Rizal dan Mukaromah menerangkan bahwa konsep berderma atau
tolong menolong mampu menjadi solusi kemiskinan yang terjadi di tengah
masyarakat. Upaya dalam pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan
melalui pengembangan dan pengelolaan dana yang telah diperoleh dari praktik
berderma, dengan menitikberatkan pada pengelolaan dana secara produktif.23

20 Syamsu & Supardin Rizal, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Teka Ra Ne’e

Dalam Perkawinan Di Kecamatan Parado Kabupaten Bima-NTB,” Qadauna Vol.1 No.1 (2019): 73–
87.
21 Ibid.
22 fitri Hayati And Andri Soemitra, “Filantropi Islam Dalam Pengentasan Kemiskinan,”

Jurnal Ekonomi Manajemen dan Bisnis 23, no. 2 (2022): 109–121.


23 Rini Andika, DIjan Rahajuni, and M. Farid Alfarisyi, “Determin Kemiskinan Di

Indonesia Sebelum Dan Selama Pandemi Covid-19,” in Rural Tourism and Creative Economy to
Develop Sustainable Wellness, 2022, 119–127; Kamal Fachrurrozi, “Pengaruh Kemiskinan Dan

26
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023

Berdasarkan hasil observasi, penduduk Bima mayoritas muslim yang bisa


dikatakan sangat taat agama Islam, namun tidak semua memahami fiqh secara
luas. Tetapi hampir semua paham tentang budaya teka ra ne’e, dan hampir semua
masyarakat melakukan praktik derma untuk tetap menjalin silaturahim. Peran
tersebut dapat membantu terkait masalah ekonomi sehingga menjadi kabar
gembira bagi masyarakat.
Pengentasan kemiskinan dalam budaya teka ra ne’e pada masyarakat Bima
bersifat temporer yang berlaku secara alami. Analisis peneliti, dari budaya
tersebut masyarakat Bima menggunakan strategi karitas dalam mengetas
kemiskinan, yaitu dimana pengentasan kemiskinan melalui pemberian bantuan
berupa bahan makanan, uang, pakaian dan sejenisnya. Gerakan yang dilakukan
masyarakat Bima menggambarkan pada strategi karitas yang praktiknya
menyentuh level kehidupan dengan bentuk pelayanan kehidupan. Kita bisa
melihatnya pada praktik budaya teka ra ne’e dalam perkawinan.24 Sehingga
beban yang pelaksana acara sangat ringan karena telah dibantu para tetangga.
Pada strategi karitas, tradisi ini menggunakan paradigma social service.
Paradigma social service dalam tindakan memberi secara esensial berbeda
dengan paradigma social service dalam perspektif developmentalis, namun
secara substansial mempunyai kesamaan dalam praktik dan tujuan yaitu tentang
kemiskinan. Social service dalam tindakan memberi masyarakat melakukan
untuk meringankan beban keluarga atau kerabat.25
Dengan demikian budaya tersebut sangat menentukan kekuatan ekonomi lokal.
Dapat dilihat diberbagai wilayah di Bima, khususnya di kecmatan Ambalawi,
Parado, Belo, Bolo, Donggo, Lambitu, Lambu, Langgudu, Palibelo, Sape, Wera,
Wawo, dan Monta, daerah-daerah tersebut masih sangat kuat dan kental dengan
tradisi teka ra ne’e. Menurut Prihatna, strategi karitas pada masyarakat berbudaya
mempunyai cakupan pada kebutuhan yang bersifat secara berulang. 26
Bagi masyarakat muslim Bima, budaya teka ra ne’e bukan hanya sebagai sebuah
aktivitas memberi semata, yaitu berbagi sedikit harta atau benda kepada orang
yang membutuhkan karena perasaan kasihan. Lebih dari itu, merupakan sebuah
dorongan moral dan institusi sosial yang dilestarikan masyarakat lokal untuk
menguatkan hubungan sosial, mengeratkan hubungan kekerabatan dan
kekeluargaan, membantu kemandirian rumah tangga dan mengentaskan

Pengangguran Terhadap Kriminalitas Di IndonesiaTahun 2019,” Real Riset 3, no. 2 (2021): 173–
178.
24 Imron Hadi Tamin, “Peran Filantropi Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Dalam

Komunitas Lokal,” Jurnal Sosiologi Islam 1, no. 1 (2011): 35–58,


http://jsi.uinsby.ac.id/index.php/jsi/article/view/4.
25 Zulkarnain A. Hatta and Isahaque Ali, “Poverty Reduction Policies in Malaysia:

Trends, Strategies and Challenges,” Asian Culture and History 5, no. 2 (March 8, 2013); Tamin,
“Peran Filantropi Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Dalam Komunitas Lokal.”
26 Tamin, “Peran Filantropi Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Dalam Komunitas

Lokal.”

27
ISSN Print: 2654-5543

kemiskinan.27 Selain itu budaya teka ra ne’e dalam pernikahan, khitanan,


khataman qur’an dan kematian termasuk dalam sistem sosial kebudayaan
masyarakat Bima yang telah menciptakan menjadi sistem ekonomi rumah
tangga yang kokoh. Serta dapat membantu masyarakat setempat dalam memulai
usaha, membantu dalam melakukan pernikahan, melanjutkan sekolah sampai ke
perguruan tinggi.28
Secara simulatif dapat kita ilustrasikan bagaimana sistem budaya teka ra ne’e di
Bima bekerja mengentaskan kemiskinan. Misalnya rata-rata terdapat 100
keluarga dalam satu Rukun Tetangga (RT) terdapat 5% kelompok keluarga yang
kurang mampu. 5% keluarga yang kurang mampu ini akan menjadi tanggung
jawab 95% pada RT tersebut untuk membawakan makanan dan bahan apa saja,
seperti beras, padi, buah-buahan, sayur-sayuran dan lain-lain secara bergantian
dan berkelanjutan. Selain diberikan secara berkala, pada momentum upacara
adat teka ra ne’e pun yang terkadang dilakukan tiga kali dalam sebulan disetiap
desa, penduduk yang 5% ini akan semakin banyak mendapatkan bantuan.
Ilustrasi ini, penyelenggara upacara adat bukan kelompok yang rentan 5% tadi.
Dapat dibayangkan jika posisi kelompok 5% (rentan) tersebut sebagai
penyelenggara tradisi teka ra ne’e, seperti menikahkan anaknya atau
mengkhatamkan qur’an anaknya atau hajatan lain, maka akan jauh lebih banyak
hantaran yang dibawa masyarakat setempat.29
Menurut Imran seorang ustadz di Desa Sondosia mengatakan bahwa jumlah
derma beras yang dibawakan warga saat upacara teka ra ne’e dalam pernikahan
dan kematian biasanya mencapai 20 karung beras, padi dan bahkan sampai
jutaan uang tunai. Sementara yang digunakan untuk kebutuhan acara hanya
sekitar 20% dari hasil hantaran tersebut. Sehingga beras yang lebih akan menjadi
bekal bagi keluarga yang baru nikah atau bagi keluarga yang ditinggal wafat,
selain untuk dikonsumsi sendiri, Sebagian biasanya mereka jual lagi untuk
kembali membuka usaha, atau menjadi bekal mereka untuk melakukan hal yang
sama (memberi) kepada keluarga atau kerabat yang melakukan hajatan. 30
Pada masa Covid-19, hampir seluruh tatanan ekonomi di Indonesia ambruk,
masyarakat banyak yang menderita bahkan pengangguran dimana-mana, angka
kemiskinan naik dengan pesat. Namun itu tidak terjadi di Bima, mereka mampu
melewati krisis masa Covid-19, aktivitas ekonomi berjalan seperti biasa, usaha
pertanian pada petani jagung, bawang merah tetap melakukan aktivitas seperti
biasa. Bahkan mereka mampu membentuk usaha kecil mikro dengan angka lebih
besar di Pulau Sumbawa. Ini bisa dilihat pada data koperasi tahun 2022, bahwa
Usaha Kecil Mikro Kabupaten Bima sebanyak 22.349 unit dan Koperasi sebanyak

27 Malingi, Budaya Bima, NTB; Ridwan M Said, Wawancara Sedekah Pertanian (Bima,
2019).
28Irwansyah, Wawancara Tentang Pernikahan Di Bima, 2019.
29Ibrahim Abdullah, Wawancara Tentang Sanksi Budaya (Donggo, Bima, 2019); Siti
Aisyah, Wawancara Siklus Mekanisme Budaya, 2019.
30 Imran, Wawancara Hasil Sedekah, 2 (Bima, 2019).

28
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023

222 unit. Jika dilihat perbandingan dengan daerah lain khususnya di Pulau
Sumbawa, Bima merupakan daerah yang mempunyai pertumbuhan usaha
mikro kecil terbesar dari pada daerah lain. Dari kedua data tersebut,
menerangkan bahwa walaupun keadaan daerah Bima masuk pada daerah
tertinggal dalam Keputusan Presiden No.131 Tahun 2015 dan kondisi Covid-19,
namun aktivitas usaha masyarakat Bima tetap berjalan dengan baik. Sekitar 80%
usaha yang berkembang adalah usaha rumah tangga. Dari usaha rumah tangga
tersebut mayoritas dilakukan oleh keluarga yang baru nikah. Dan dapat
dipastikan melalui amalan budaya yang dilakukan oleh masyarakat di Bima
bahwa modal usaha mereka yang baru nikah adalah dari hasil budaya teka ra ne’e
dalam pernikahan.
Dari gambaran di atas jelas terlihat bagaimana nilai tradisi tersebut
memposisikan setiap manusia di dalamnya berkedudukan sama yaitu sebagai
seorang “pemberi” (tangan di atas) seperti yang dianjurkan oleh Nabi
Muhammad SAW, tanpa melihat status sosial ekonomi diantara mereka. Dalam
kesetaraan sosial tersebut, mereka saling berbagi kebutuhan dasar dan
kesejahteraan seperti beras, padi, buah-buahan, sayur-sayuran, perkakas rumah
tangga, aneka kue, pakaian dan uang.
Sifat berkelanjutan dalam budaya teka ra ne’e sangat memberi kontribusi
terhadap kehidupan masyarakat Bima secara keberlangsungan ekonomi mereka.
Praktik memberi dan tolong menolong yang berbudaya tidak lain adalah sebuah
upaya untuk mengentaskan individu, keluarga, dan masyarakat kondisi miskin
ke kondisi berada, serta meringankan keluarga miskin dari jeratan kebutuhan
hidup setiap hari. Pada dasarnya budaya teka ra ne’e menganut pendekatan
kebutuhan dasar, yaitu memenuhi kebutuhan prioritas utama dalam sebuah
kebiasaan (budaya).
Praktik budaya memberi (teka ra ne’e) berkembang dalam masyarakat Bima
melalui mekanisme karitas yang dampaknya secara langsung, Zul misalnya bisa
melangsungkan pernikahan karena ada proses teka ra ne’e, seperti mengadakan
mbolo weki (musyawarah) sebelum acara pernikahan. Musyawarah ini akan
menentukan terkait pemberian warga. Serupa dengan yang dirasakan Arif,
bahwa walaupun menikah di perantauan praktik teka ra ne’e itu masih berlaku.
Pendapatan yang mereka terima setelah menikah sangat membantu
keberlangsungan ekonomi rumah tangga mereka. Selain itu, hasil observasi, bisa
dilihat juga, pada masyarakat Bima tidak terdapat masyarakat yang tidak bisa
melakukan pernikahan, khitanan, khataman qur’an dan doa kematian. Semua
bisa melakukan karena budaya teka ra ne’e (sedekah) membentuk masyarakat
setara tanpa memperlihatkan kaya dan miskin. Semua sama untuk membentuk
satu kekeluargaan dan persaudaraan sesama Bima.
Oleh karena itu budaya teka ra ne’e adalah sebagai bentuk cara masyarakat Bima
dalam mengentaskan dan menanggulangi kemiskinan di Bima. Budaya tersebut
sangat berperan dalam masyarakat setempat perihal kelaparan dan
ketidakpunyaan.

29
ISSN Print: 2654-5543

4. Penutup
Dalam budaya teka ra ne’e terdapat nilai dalam pengentasan kemiskinan pada
masyarakat Bima. Peran budaya tersebut dilihat ke dalam dua bentuk dan cara
melakukannya: pertama dari pendekatan normatif dan kedua sosio
fenomenologi. Pada pendekatan pertama berbentuk sedekah yaitu upaya
pengentasan kemiskinan pemberian bantuan kepada masyarakat yang
melangsungkan hajatan. Sedangkan pada pendekatan sosio fenomenologi
tersebut, merupakan bentuk ketaatan terhadap dogma agama sekaligus juga
bentuk rasa solidaritas sosial. Kedua bentuk (agama dan sosial) dalam rangka
pengentasan kemiskinan bersifat saling mendukung, sehingga peran budaya
selaras dengan ajaran agama dalam melihat kemiskinan di suatu daerah. Analisis
selanjutnya menunjukkan, bentuk budaya teka ra ne’i merupakan strategi karitas,
studi yang mengungkapkan intervensi gerakan memberi dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Bima.
Penelitian ini memberikan kontribusi kepada suatu negara dalam pengentasan
kemiskinan dan mengatasi kesenjangan ekonomi di suatu daerah. Bahwa apa
yang dilakukan masyarakat Bima merupakan model dalam masalah kemiskinan.
Jika gerakan sedekah atau filantropi dijadikan sebagai budaya setempat, bisa
dipastikan tidak akan ada masyarakat yang merasakan kelaparan dan
kesusahan. Karena gerakan memberi ini akan melahirkan kekuatan secara
psikologi tentang sikap “memberi”, tanpa memandang derajat. Bisa
dibayangkan jika semua orang berderma tanpa melihat status bahkan susah
sekalipun, angka kemiskinan tidak akan bertambah setiap tahun di suatu negara.

Referensi

Abdullah, I. (2019). Wawancara Tentang Sanksi Budaya.


Abdullatif, A. S., Omar, Prof. M. Dr. R. bin, & Udin, Dr. M. B. M. (2017). Theories
of Poverty to the Integrative Theory. A Comparative Analysis:
Accordance to the Situation of Iraq. IOSR Journal of Humanities and Social
Science, 22(5), 47–50. https://doi.org/10.9790/0837-2205104750.
Aisyah, S. (2019). Wawancara Siklus Mekanisme Budaya.
Andika, R., Rahajuni, Di., & Alfarisyi, M. F. (2022). Determin Kemiskinan Di
Indonesia Sebelum Dan Selama Pandemi Covid-19. Rural Tourism and
Creative Economy to Develop Sustainable Wellness.
Arifin, J. (2020). Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di
Indonesia Culture Of Poverty In Poverty Reduction In Indonesia (Vol. 6,
Issue 02). Kesejahteraan Sosial.
Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Indonesia 2022. BPS.

30
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023

Baecker. Dirk. (1997). The Meaning of Culture. Thesis Eleven, 51(1),


https://doi.org/10.1177/0725513697051000004.
Creswell, J. W. (2014). Research Desaign. In SAGE.
Deonandan, R. (2019). Defining Poverty: A Summary of Competing Models.
Journal of Social and Political Sciences, 2(1).
https://doi.org/10.31014/aior.1991.02.01.44.
Fachrurrozi, K. (2021). Pengaruh Kemiskinan dan Pengangguran terhadap
Kriminalitas di IndonesiaTahun 2019. Real Riset, 3(2).
Hardani, Auliya, N. H., Andriani, H., Sukmana, D. J., Mada, U. G., Hardani,
S.Pd., M. Si., Nur Hikmatul Auliya, Grad. Cert. B., Helmina Andriani, M.
Si., Fardani, R. A., Ustiawaty, J., Utami, E. F., Sukmana, D. J., & Istiqomah,
R. R. (2020). Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif (Issue March).
Hatta, Z. A., & Ali, I. (2013). Poverty Reduction Policies in Malaysia: Trends,
Strategies and Challenges. Asian Culture and History, 5(2).
https://doi.org/10.5539/ach.v5n2p48.
Hayati, F., & Soemitra, A. (2022). FILANTROPI ISLAM DALAM
PENGENTASAN KEMISKINAN. In Jurnal Ekonomi Manajemen dan
Bisnis (Vol. 23, Issue 2).
Imran. (2019). Wawancara Hasil Sedekah. In 2.
Irwansyah. (2019). Wawancara Tentang Pernikahan di Bima.
Isamail, M. Z., Ahmad, K., Md.Ariffin, M. F., & Rosele, M. I. (2013). Pemerkasaan
Wakaf Di Malaysia: Satu Sorotan (Empowering Waqf In Malaysia: A
Review). CD PROCEEDINGS THE 5th ISLAMIC ECONOMIC SYSTEM “
Sustainable Development Through the Islamic Economic System ,”
September.
Kaplan, A., & Flum, H. (2012). Identity formation in educational settings: A
critical focus for education in the 21st century. Contemporary Educational
Psychology, 37(3), https://doi.org/10.1016/j.cedpsych.2012.01.005.
Laelasari, N., Ahmad Safei, A., & Aziz Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati, A. (2017).
Peranan Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan dalam
Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi. In Tamkin: Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam (Vol. 2, Issue 2).
Loir, H. C., & Salahuddin, S. M. R. (2012). Bo’ Sangaji Kai (Catatan Kerajaan Bima)
(Kedua). Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Malingi, A. (2019). Budaya Bima, NTB.
Presiden RI. (2015). Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019.
Rahim Khan, F., Iqbal, Z., & Gazzaz, O. B. (2012). Communication and Culture:
Reflections on the Perspectives of Influence. Wulfenia, 19(8).

31
ISSN Print: 2654-5543

Rizal, S. & S. (2019). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Teka Ra Ne’e Dalam
Perkawinan Di Kecamatan Parado Kabupaten Bima-NTB. Qadauna, Vol.1
No.1, 73–87.
Rizki, F. (2019). Budaya Teka Ra Ne’e.
Said, R. M. (2019). Wawancara Sedekah Pertanian.
Saladin, M., Rasool, A., Fauzi, M., & Harun, M. (2011). Poverty Measurement in
Malaysia: A Survey of the Literature. Akademika, 81(1).
Smith, J. A., & Osborn, M. (2007). Interpretative Phenomenological Analysis. 53–
80.
Suhardjo, E. (2019). Wawancara Teka Ra Ne’e.
Tamin, I. H. (2011). Peran Filantropi dalam Pengentasan Kemiskinan di dalam
Komunitas Lokal. Jurnal Sosiologi Islam, 1(1),.
http://jsi.uinsby.ac.id/index.php/jsi/article/view/4.
Thalib, Al. (2019). Wawancara Karawi Kaboju.

32

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy