205 491 1 PB
205 491 1 PB
205 491 1 PB
Abstract
Poverty is a very complex problem for every nation and must immediately get the right solution.
Indonesia is a developing country and has a large population, of course it cannot avoid this
problem. This is proven by the number of poor people who are increasing every year, even the
majority live in rural areas which are difficult to access. Bima is an area located on the island of
Sumbawa, West Nusa Tenggara, which is far from urban areas. According to Presidential Decree
No. 131 of 2015-2019, when viewed from the data, Bima is an underdeveloped area in terms of
human resources and monthly wages that fall into the poor category, as well as infrastructure
and others. Even though Bima has very rich cultural and natural resources, as well as human
resources that are full of creativity. Therefore this study wants to identify the role of the culture
of taka ra ne'e in alleviating poverty in Bima. This study uses a qualitative descriptive
methodology with a social phenomenological approach. Subsequent data collection was through
observation and unstructured open interviews, then the data was processed with thematic
analysis to draw conclusions. Finally, for the validity of the data, the researcher sent back the data
according to the research to the informant for a correct data. The results of the study show that
the culture of taka ra ne'e is a temporary practice of giving (alms) to the economic life of the Bima
community. The culture continues to grow and develop which can be classified into two forms:
first from a normative approach and second from socio phenomenology. In addition to cultural
practices in Bima using the analysis framework of the charity strategy, this study reveals the
intervention of the giving movement in increasing welfare and alleviating poverty in the Bima
community through the culture of taka ra ne'e.
Abstrak
Kemiskinan merupakan persoalan setiap bangsa yang sangat kompleks dan harus segera
mendapatkan solusi yang tepat. Indonesia negara berkembang dan memiliki jumlah penduduk
yang banyak, tentu tidak dapat menghindari masalah tersebut. Ini terbukti dengan banyaknya
penduduk miskin yang setiap tahun semakin bertambah, bahkan mayoritas tinggal di daerah
pedesaan yang sulit untuk diakses. Bima merupakan daerah yang terletak di Pulau Sumbawa
Nusa Tenggara Barat yang jauh dari perkotaan. Menurut Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun
2015-2019, jika dilihat dari data tersebut Bima merupakan daerah tertinggal dari segi sumber
daya manusia dan tingkat upah perbulan yang masuk pada ketegori miskin, serta infrastruktur
dan lain-lain. Namun Bima memiliki budaya dan sumber daya alam yang sangat kaya, serta
19
ISSN Print: 2654-5543
sumber daya manusianya yang penuh dengan kreatifitas. Oleh karena itu penelitian ini ingin
mengidentifikasi bagaimana peran budaya teka ra ne’e dalam mengentaskan kemiskinan di Bima.
Penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
sosial. Selanjutnya pengumpulan data melalui observasi dan wawancara terbuka tidak
terstruktur, lalu data diolah dengan analisis tematik untuk menarik kesimpulan. Terakhir untuk
kevalidan data, peneliti kembali mengirimkan data yang sesuai riset tersebut kepada informan
untuk sebuah kebenaran data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya teka ra ne’e
merupakan praktik berderma (sedekah) pada kehidupan ekonomi masyarakat Bima yang
dilakukan secara temporer. Budaya tersebut terus tumbuh dan berkembang yang dapat
diklasifikan ke dalam dua bentuk: pertama dari pendekatan normatif dan kedua sosio
fenomenologi. Selain itu praktik budaya di Bima menggunakan kerangka analisis strategi karitas,
studi ini mengungkapkan intervensi gerakan memberi dalam meningkatkan kesejahteraan dan
mengentaskan kemiskinan pada masyarakat Bima melalui budaya teka ra ne’e.
Kata Kunci: Budaya Teka Ra Ne’e; Kemiskinan; Bima
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang kaya budaya dan tradisi yang mengakar sejak
nenek moyang masyarakatnya, yang secara praktik berbeda setiap daerah.
Bahkan daerah-daerah di Indonesia memiliki keyakinan tentang sebuah
kebudayaan tersebut. Kebudayaan ini terkadang memberi pengaruh terhadap
agama, begitu juga sebaliknya, terkadang agama mempengaruhi suatu budaya.
Secara umum, budaya dapat dilihat sebagai ciptaan manusia yang berkembang
dan dimiliki suatu kelompok masyarakat, kemudian dikembangkan menjadi
suatu kebiasaan aktifitas turun-temurun. Kebudayaan dimaknai sebagai suatu
sistem simbolik atau sistem perlambangan. 1 Sementara menurut Daoed Joesoef
budaya adalah sistem nilai yang dihayati dan segala sesuatu yang mencirikan
budaya adalah kebudayaan. Nilai itu meliputi: 1) sesuatu yang berbentu atau
berwujud dan dapat disentuh seperti bangunan, karya seni dan lain lain. 2)
sesuatu yang tidak berbentu dan tidak dapat disentuh seperti adat-istiadat,
tradisi, kebiasaan normative, moral, etika gagasan, ilmu pengetahuan, dan lain-
lain. 2
Warisan kebudayaan yang lahir sejak zaman nenek moyang dijadikan oleh
kelompok masyarakat sebagai pegangan hidup dan kebiasaan kelompok
masyarakat. Demikian halnya dirumuskan Oscar Lewis dengan mengamati
perilaku masyarakat miskin dan budayanya. Dalam pandangan Oscar Lewis
(1959), budaya dan kemiskinan mencakup apa yang diyakini seperti nilai-nilai
yang mengandung didalamnya, respon dalam tindakan, abstraksi dari kelakuan
1 Avi Kaplan and Hanoch Flum, “Identity Formation in Educational Settings: A Critical
Focus for Education in the 21st Century,” Contemporary Educational Psychology 37, no. 3 (July 2012):
171–175.
2 Johan Arifin, Budaya Kemiskinan Dalam Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia Culture
Of Poverty In Poverty Reduction In Indonesia, vol. 6 (Kesejahteraan Sosial, 2020). Fazal Rahim Khan,
Zafar Iqbal, and Osman B Gazzaz, “Communication and Culture: Reflections on the Perspectives
of Influence,” Wulfenia 19, no. 8 (2012).
20
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023
Zaim Isamail et al., “Pemerkasaan Wakaf Di Malaysia: Satu Sorotan (Empowering Waqf In
Malaysia: A Review),” CD PROCEEDINGS THE 5th ISLAMIC ECONOMIC SYSTEM “ Sustainable
Development Through the Islamic Economic System ,” no. September (2013): 1–12.
5 Mohamed Saladin et al., “Poverty Measurement in Malaysia: A Survey of the
21
ISSN Print: 2654-5543
8Nurtika Laelasari, Agus Ahmad Safei, and Ali Aziz Jurusan Pengembangan Masyarakat
Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati, Peranan Program
Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi, Tamkin: Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam, vol. 2, 2017.
9 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2022 (Jakarta: BPS, 2022).
10 Ibid.
11 Presiden RI, Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019, 2015.
22
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023
2. Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif deksriptif dengan
pendekatan fenomenologi.12 Penelitian ini dilakukan dengan terjun langsung ke
lapangan (field research) sehingga dapat dikatakan sebagai penelitian sosiologis.
Sedangkan menurut Soetandyo Wingjosoebroto sebagaimana yang dikutip oleh
Bambang Sunggono dalam bukunya mengatakan bahwa penelitian sosilogis
adalah enelitian berupa studi empiris yaitu penelitian untuk menemukan teori-
teori mengenai proses terjadinya dan proses bekerjanya hukum dalam
masyarakat. Objek penelitian ini adalah di Bima Nusa Tenggara Barat.
Sedangkan sumber data diambil dari data primer yang langsung wawancara
dengan beberapa masyarakat Bima dan data sekunder ialah rujukan yang
menunjang dalam riset ini.
Pada pengumpulan data kajian ini ialah menggunakan teori Sari Wahyuni untuk
menggali data dari informan, yaitu; Observasi, dengan melihat dan mengamati
gejala yang terjadi di lapangan, selanjutnya dianalisis. Obsevasi dilakukan untuk
melihat fenomena dari praktik budaya teka ra ne’e tersebut. Selanjutnya
dilakukan wawancara terbuka dan mendalam namun tidak terstruktur kepada
informan tentang budaya teka ra ne’e. Artinya pedoman pertanyaan hanya dibuat
dengan garis besar dan bercerita lepas untuk mendapatkan data tambahan.
Pengumpulan data terakhir melalui dokumentasi yaitu mencari data yang
berupa catatan sejarah atau gambar dari praktik budaya tersebut.13
Dalam pengolahan data, peneliti menggunakan metode Cresswel yang berawal
dengan editing (pemeriksaan data) terhadap hasil wawancara terhadap
informan serta beberapa rujukan dalam penelitian ini. Selanjutnya
diklasifikasikan agar memudahkan analisis data. Semua data yang dipilih dalam
bagian yang dimiliki persamaan berdasarkan data yang diperoleh pada saat
wawancara dan data yang diperoleh melalui rujukan. Data yang telah
diklasifikasi akan di verifikasi bahwa data yang didapat adalah benar dan valid
serta tidak ada manipulasi di dalamnya. Terakhir adalah concluding
(kesimpulan), akan menjadi sebuah data terkait dengan objek penelitian.14
Data dianalisis dari data-data yang telah dikumpulkan yang berkenaan dengan
permasalahan yang dibahas, lalu disusun dan selanjutnya dianalisa, agar
pembahasan tersebut sesuai dengan judul dan rumusan masalah. Metode
analisis data yaitu analisis tematik yaitu dikoding secara manual yang bertujuan
untuk mengemukakan data yang digambarkan dengan kalimat yang dipisah-
pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.
23
ISSN Print: 2654-5543
15 Henri Chambert Loir and Siti Maryam R. Salahuddin, Bo’ Sangaji Kai (Catatan Kerajaan
Bima), Kedua. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012).
16 Fahru Rizki, Budaya Teka Ra Ne’e (Bima, 2019).
24
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023
25
ISSN Print: 2654-5543
20 Syamsu & Supardin Rizal, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Teka Ra Ne’e
Dalam Perkawinan Di Kecamatan Parado Kabupaten Bima-NTB,” Qadauna Vol.1 No.1 (2019): 73–
87.
21 Ibid.
22 fitri Hayati And Andri Soemitra, “Filantropi Islam Dalam Pengentasan Kemiskinan,”
Indonesia Sebelum Dan Selama Pandemi Covid-19,” in Rural Tourism and Creative Economy to
Develop Sustainable Wellness, 2022, 119–127; Kamal Fachrurrozi, “Pengaruh Kemiskinan Dan
26
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023
Pengangguran Terhadap Kriminalitas Di IndonesiaTahun 2019,” Real Riset 3, no. 2 (2021): 173–
178.
24 Imron Hadi Tamin, “Peran Filantropi Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Dalam
Trends, Strategies and Challenges,” Asian Culture and History 5, no. 2 (March 8, 2013); Tamin,
“Peran Filantropi Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Dalam Komunitas Lokal.”
26 Tamin, “Peran Filantropi Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Dalam Komunitas
Lokal.”
27
ISSN Print: 2654-5543
27 Malingi, Budaya Bima, NTB; Ridwan M Said, Wawancara Sedekah Pertanian (Bima,
2019).
28Irwansyah, Wawancara Tentang Pernikahan Di Bima, 2019.
29Ibrahim Abdullah, Wawancara Tentang Sanksi Budaya (Donggo, Bima, 2019); Siti
Aisyah, Wawancara Siklus Mekanisme Budaya, 2019.
30 Imran, Wawancara Hasil Sedekah, 2 (Bima, 2019).
28
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023
222 unit. Jika dilihat perbandingan dengan daerah lain khususnya di Pulau
Sumbawa, Bima merupakan daerah yang mempunyai pertumbuhan usaha
mikro kecil terbesar dari pada daerah lain. Dari kedua data tersebut,
menerangkan bahwa walaupun keadaan daerah Bima masuk pada daerah
tertinggal dalam Keputusan Presiden No.131 Tahun 2015 dan kondisi Covid-19,
namun aktivitas usaha masyarakat Bima tetap berjalan dengan baik. Sekitar 80%
usaha yang berkembang adalah usaha rumah tangga. Dari usaha rumah tangga
tersebut mayoritas dilakukan oleh keluarga yang baru nikah. Dan dapat
dipastikan melalui amalan budaya yang dilakukan oleh masyarakat di Bima
bahwa modal usaha mereka yang baru nikah adalah dari hasil budaya teka ra ne’e
dalam pernikahan.
Dari gambaran di atas jelas terlihat bagaimana nilai tradisi tersebut
memposisikan setiap manusia di dalamnya berkedudukan sama yaitu sebagai
seorang “pemberi” (tangan di atas) seperti yang dianjurkan oleh Nabi
Muhammad SAW, tanpa melihat status sosial ekonomi diantara mereka. Dalam
kesetaraan sosial tersebut, mereka saling berbagi kebutuhan dasar dan
kesejahteraan seperti beras, padi, buah-buahan, sayur-sayuran, perkakas rumah
tangga, aneka kue, pakaian dan uang.
Sifat berkelanjutan dalam budaya teka ra ne’e sangat memberi kontribusi
terhadap kehidupan masyarakat Bima secara keberlangsungan ekonomi mereka.
Praktik memberi dan tolong menolong yang berbudaya tidak lain adalah sebuah
upaya untuk mengentaskan individu, keluarga, dan masyarakat kondisi miskin
ke kondisi berada, serta meringankan keluarga miskin dari jeratan kebutuhan
hidup setiap hari. Pada dasarnya budaya teka ra ne’e menganut pendekatan
kebutuhan dasar, yaitu memenuhi kebutuhan prioritas utama dalam sebuah
kebiasaan (budaya).
Praktik budaya memberi (teka ra ne’e) berkembang dalam masyarakat Bima
melalui mekanisme karitas yang dampaknya secara langsung, Zul misalnya bisa
melangsungkan pernikahan karena ada proses teka ra ne’e, seperti mengadakan
mbolo weki (musyawarah) sebelum acara pernikahan. Musyawarah ini akan
menentukan terkait pemberian warga. Serupa dengan yang dirasakan Arif,
bahwa walaupun menikah di perantauan praktik teka ra ne’e itu masih berlaku.
Pendapatan yang mereka terima setelah menikah sangat membantu
keberlangsungan ekonomi rumah tangga mereka. Selain itu, hasil observasi, bisa
dilihat juga, pada masyarakat Bima tidak terdapat masyarakat yang tidak bisa
melakukan pernikahan, khitanan, khataman qur’an dan doa kematian. Semua
bisa melakukan karena budaya teka ra ne’e (sedekah) membentuk masyarakat
setara tanpa memperlihatkan kaya dan miskin. Semua sama untuk membentuk
satu kekeluargaan dan persaudaraan sesama Bima.
Oleh karena itu budaya teka ra ne’e adalah sebagai bentuk cara masyarakat Bima
dalam mengentaskan dan menanggulangi kemiskinan di Bima. Budaya tersebut
sangat berperan dalam masyarakat setempat perihal kelaparan dan
ketidakpunyaan.
29
ISSN Print: 2654-5543
4. Penutup
Dalam budaya teka ra ne’e terdapat nilai dalam pengentasan kemiskinan pada
masyarakat Bima. Peran budaya tersebut dilihat ke dalam dua bentuk dan cara
melakukannya: pertama dari pendekatan normatif dan kedua sosio
fenomenologi. Pada pendekatan pertama berbentuk sedekah yaitu upaya
pengentasan kemiskinan pemberian bantuan kepada masyarakat yang
melangsungkan hajatan. Sedangkan pada pendekatan sosio fenomenologi
tersebut, merupakan bentuk ketaatan terhadap dogma agama sekaligus juga
bentuk rasa solidaritas sosial. Kedua bentuk (agama dan sosial) dalam rangka
pengentasan kemiskinan bersifat saling mendukung, sehingga peran budaya
selaras dengan ajaran agama dalam melihat kemiskinan di suatu daerah. Analisis
selanjutnya menunjukkan, bentuk budaya teka ra ne’i merupakan strategi karitas,
studi yang mengungkapkan intervensi gerakan memberi dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Bima.
Penelitian ini memberikan kontribusi kepada suatu negara dalam pengentasan
kemiskinan dan mengatasi kesenjangan ekonomi di suatu daerah. Bahwa apa
yang dilakukan masyarakat Bima merupakan model dalam masalah kemiskinan.
Jika gerakan sedekah atau filantropi dijadikan sebagai budaya setempat, bisa
dipastikan tidak akan ada masyarakat yang merasakan kelaparan dan
kesusahan. Karena gerakan memberi ini akan melahirkan kekuatan secara
psikologi tentang sikap “memberi”, tanpa memandang derajat. Bisa
dibayangkan jika semua orang berderma tanpa melihat status bahkan susah
sekalipun, angka kemiskinan tidak akan bertambah setiap tahun di suatu negara.
Referensi
30
Al-Azhar Journal of Islamic Economics, Vol. 5 No. 1, Januari 2023
31
ISSN Print: 2654-5543
Rizal, S. & S. (2019). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Teka Ra Ne’e Dalam
Perkawinan Di Kecamatan Parado Kabupaten Bima-NTB. Qadauna, Vol.1
No.1, 73–87.
Rizki, F. (2019). Budaya Teka Ra Ne’e.
Said, R. M. (2019). Wawancara Sedekah Pertanian.
Saladin, M., Rasool, A., Fauzi, M., & Harun, M. (2011). Poverty Measurement in
Malaysia: A Survey of the Literature. Akademika, 81(1).
Smith, J. A., & Osborn, M. (2007). Interpretative Phenomenological Analysis. 53–
80.
Suhardjo, E. (2019). Wawancara Teka Ra Ne’e.
Tamin, I. H. (2011). Peran Filantropi dalam Pengentasan Kemiskinan di dalam
Komunitas Lokal. Jurnal Sosiologi Islam, 1(1),.
http://jsi.uinsby.ac.id/index.php/jsi/article/view/4.
Thalib, Al. (2019). Wawancara Karawi Kaboju.
32