1993 4279 1 SM

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 22

Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities

Vol. 3, No. 1, Juni 2018: h. 103-124. DOI: 10.18326/millati.v3i1.103-124

Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:


Relevansi Budaya Pendidikan Pesantren terhadap Tantangan
Dunia Islam di Era Globalisasi

M. Baiqun Isbahi
Social Science and Political Science Faculty Universitas Darul ‘Ulum Jombang
baiqunbai@gmail.com
Novy Setia Yunas
Political Science and Social Science Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
novysetiayunas@gmail.com

Abstract
The phenomenon of communication process in pesantren occurs among kyai, ustadz, and
santri creating a distinctive educational culture among pesantren. The relationship among
them is very close, because santri permanently live in a pesantren environment nearby the
kyai’s house. Europe in the mid-century is full of power, doctrine and domination of the
church which has purpose to guide people towards a righteous life, but on the other hand
the dominance of this church without thinking of the dignity and freedom of human beings
who have feelings, thoughts, desires and ideals to determine his own future, therefore the
development of science is inhibited. Meanwhile, the culture of education in pesantren
raises a similar similarity though not the same, where the position of kyai is considered
as the representative of the god who escaped the error. Both of these phenomena are
presenting the dominance of the religious doctrine that can penetrate the layers of public
confidence in various areas of life. Based on the study, it can be concluded that the
leadership in pesantren with the “pekewuh” culture of Islamic religious figures (kyai) is
found in the traditional society, and the leadership in the transitional society-especially
in modern society and the metropolis-has experienced a crisis of legitimacy, irrelevant
sense in the era of globalization , and degradative change, due to the various dynamics
and changes that occur, both internal and external dynamics of the Muslim community.

Keywords: Pekewuh, pesantren, globalization

Abstrak
Fenomena proses komunikasi di pesantren terjadi antara kyai, ustadz, dan santri
melahirkan sebuah budaya pendidikan yang khas di kalangan pesantren. Hubungan
di antara mereka sangat erat, karena seorang santri secara permanen hidup dalam
lingkungan pesantren dan dekat dengan rumah kyai. Eropa di abad pertengahan

103
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124

yang kental dengan kekuasaan dan doktrin gereja dan dominasi gereja yang tujuannya
untuk membimbing umat kearah hidup yang saleh, namun disisi lain dominasi gereja
ini tanpa memikirkan martabat dan kebebasan manusia yang mempunyai perasaan,
pikiran, keinginan, dan cita-cita untuk menentukan masa depannya sendiri, karena
itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat. Sementara, budaya pendidikan di
pesantren memunculkan sebuah kesamaan yang mirip meski tidak sama, dimana
posisi kyai dianggap sebagai wakil tuhan yang terhindar dari kesalahan. Sehingga
kedua fenomena tersebut saling menyuguhkan dominasi sisi doktrin agama yang
mampu menembus lapisan kepercayaan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.
Berdasarkan kajian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan di pesantren dengan
budaya “pekewuh” tokoh keagamaan Islam (kyai) terdapat pada masyarakat yang
masih tradisional dan kepemimpinan tersebut pada masyarakat transisi –apalagi pada
masyarakat modern dan masyarakat metropolis— telah mengalami krisis legitimasi,
irrelevant sense di era globalisasi, dan perubahan secara degradatif, karena berbagai
dinamika dan perubahan yang terjadi, baik yang bersifat internal pesantren maupun
dinamika eksternal komunitas Muslim.

Kata Kunci: Pekewuh, pesantren, globalisasi

Pendahuluan
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Kebudayan memiliki tiga wujud yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya; wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat; wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Selain itu menurut Kluckhohn (1953) kebudayaan juga memiliki unsur-unsur,
unsur itu terdiri dari unsur bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi,
dan kesenian.1
Berbicara mengenai kebudayaan, pasti merujuk pada salah satu kiblat
kebudayaan dunia yaitu kebudayaan Eropa. Bermula dari peradaban Yunani
hingga dilanjutkan peradaban Romawi dengan berbagai macam kebudayaan
yang dihasilkan tentunya. Berbagai macam kebudayaan yang muncul pada kedua
zaman itu telah banyak memberi sumbangsih pada perkembangan kebudayaan
1
C. Kluckhohn, Universal Categories of Culture; Antropology Today, A.L Kroeber Editor,
(Chicago: University Press, 1953), h. 90.

104
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)

di dunia.Setelah zaman itu munculah zaman dimana orang menyebutnya zaman


kegelapan, zaman tidak berkembangnya ilmu pengetahuan dan lebih dominannya
doktrin-doktrin gereja. Sebutan lain untuk zaman ini ialah Abad Pertengahan,
abad kegelapan Eropa dan juga awal berjayanya kebudayaan Eropa. Hal ini cukup
menarik dimana ketika masyarakat Eropa terjatuh dalam keterpurukan, namun
mereka dapat kembali bangkit dari keterpurukan itu serta dapat kembali seperti
masa kejayaan Romawi atau Yunani.
Di sisi lain, perkembangan peradaban Islam pun dimulai sejak abad ke-
7 Masehi, ketika masyarakat islam kala itu dipimpin oleh Khulafa’ al-Rasyidin.2
Kemudian mulai berkembang pada masa Dinasti Umayyah, dan mencapai
puncak kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketinggian peradaban Islam
pada masa Dinasti Abbasiyah merupakan dampak positif dari aktifitas kebebasan
berpikir umat Islam kala itu yang tumbuh subur ibarat cendawan di musim
hujan. Setelah jatuhnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 1258 M, peradaban Islam
mulai mundur. Hal ini terjadi akibat dari merosotnya aktifitas pemikiran umat
Islam yang cenderung kepada ke-jumud-an (stagnan). Setelah berabad-abad umat
Islam terlena dalam “tidur panjangnya”, maka pada abad ke-18 M mereka mulai
tersadar dan bangkit dari stagnasi pemikiran untuk mengejar ketertinggalannya
dari dunia luar dalam hal ini Barat atau Eropa. Kala itu, perkembangan pemikiran
dan kebudayaan Islam ini karena didukung oleh para khalifah yang cinta ilmu
pengetahuan dengan fasilitas dan dana secara maksimal, stabilitas politik dan
ekonomi yang mapan. Di samping itu berkembang juga ilmu-ilmu sosial dan
eksakta, seperti filsafat, logika, metafisika, bahasa, sejarah, matematika, ilmu
alam, geografi, aljabar, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan
kimia. Ilmu-ilmu eksakta melahirkan teknologi yang sangat dibutuhkan dalam
menunjang peradaban umat Islam.3
Pada perkembangan islam di Indonesia, peradaban dan kebudayaannya
banyak dipengaruhi oleh eksistensi pesantren khususnya di Jawa Timur.
Sebuah pesantren diasuh atau dipimpin oleh seorang kyai /gus. Sang kyai /gus
memiliki beragam peran dalam pesantren, misalnya: sebagai pemilik, pengawas,
penanggungjawab, pendidik, pengajar, dan pengendali. Hiroko Horikoshi
2
Sebagai contoh: pada masa Khulafa’ al-Rasyidin sudah lahir pemikiran Islam,
seperti kitab Nahj al-Balaghah karya Imam Ali Bin Abi Thalib. (http://hminews.com/news/
bangkrutnya-tradisi-intelektual-islam redesain gerakan - intelektual-sistemik-nasional/. Diunduh
tanggal 20 Maret 2018
3
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cetakan II, (Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Book Publisher, 2009), h. 173-175.

105
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124

(1987) mendeskripsikan kyai menduduki posisi sentral dalam masyarakat Islam


tradisional dan dapat menyatukan berbagai golongan hingga mampu melakukan
tindakan kolektif, jika diperlukan.4 Mengambil peran sebagai poros interaksi
antara umat dengan Tuhan.Menjadi contoh Muslim yang hendak dicapai.
Seseorang yang dianugerahkan pengetahuan dan rahmat.Sifat hubungan antara
kyai dan masyarakat adalah kolektif.
Kyai mewarisi kekuasaan yang bersumber dari kharisma, terkesan sebagai
pemimpin simbolis yang tidak gampang ditiru oleh orang biasa. Para kyai
adalah orang yang paling tinggi strata dan wibawanya di kalangan umat. Dalam
mengoreksi kesalahan umat, seorang kyai tidak pernah mengatakan bahwa
seseorang telah bersalah. Ia melakukannya dengan jalan mengisahkan cerita
lama, yang mana seseorang dapat menyimpulkan kesalahannya sendiri tanpa
harus mengatakan salah secara langsung.5
Sedangkan istilah santri biasanya digunakan untuk menyebut siswa
yang belajar di sekolah agama (madrasah) atau pondok pesantren. Kata santri
diadopsi dari bahasa India yaitu shastri yang berarti orang yang mengetahui dan
memahami kitab-kitab suci (dalam agama Hindu). Dalam kultur Jawa menyebut
santri dengan “putihan”.Berasal dari kata dasar “putih” yang mendapatkan
akhiran “an”.Kata ini diambil dari warna pakaian dan kopiah yang dipakai oleh
para santri saat shalat berjamaah dan berangkat mengaji, yaitu warna putih.6
Clifford Geertz (2013) menguraikan penghuni pesantren selain kyai
dan ustadz adalah santri sebagai peserta didik. Saat ini, kebanyakan para santri
tinggal di pondok yang menyerupai asrama biara, yang mana mereka hidup
mandiri dengan memasak dan mencuci pakaiannya sendiri. Meskipun pondok
mengingatkan pada biara, santri bukanlah pendeta.Seorang santri bukanlah
orang suci yang magang.Ia hanya seorang anak-anak atau remaja yang menjadi
dewasa di dalam lingkungan keagamaan. Menjadidewasa dengan gemuruh
pengajianyang terdengar di telinga dan nampak terlihat di matanya.7
Pesantren berarti lembaga pendidikan Islam yang pada umumnya
4
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. 232.
5
Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber, Terj.
Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali, 1984), h. 168-169. lihat juga Benedict ROG Anderson,
Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa, Terj. Ali As’ad, (Semarang: Menara Kudus,
1972), h. 32-33.
6
Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta: INIS, 1988) h. 6.
7
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2013), h. 255-256.

106
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)

penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya diberikan dengan cara


nonklasikal (sistem bandongan dan sorogan), di mana seorang kyai mengajar
santri-santrinya berdasarkan kitab-kitab yang ditulis. Menurut Dhofier (1982)
pesantren merupakan lembaga pengajian yang mempunyai lima elemen dasar,
yaitu masjid, kyai, santri, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.8
Sebagai contoh Pesantren Langitan termasuk dalam kategori pesantren tertua
(karena umurnya yang sudah satu setengah abad). Pesantren Langitan didirikan
oleh KH. Muhammad Nur pada 1852 M. Semangat dan tujuan yang ikhlas dan
luhur untuk mendirikan pesantren ini tercapai dengan menghasilkan putradan
putrinya sebagai kader, yang akan meneruskan semangat dan cita-cita luhurnya.
Sistem pengajaran di Pesantren Langitan masih mempertahankan
model salafi, yaitu pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan
di pesantren. Metode yang digunakan dalam mengajar di Pesantren Langitan
adalah metode klasikal (madrasiyyah) dan nonklasikal (ma’hadiyyah), yang
meliputi metode bandongan, wetonan, sorogan, musyâwarah, dan muhâfazhah.
Karakteristik pengaturan pesantren yang turun temurun hampir terjadi disemua
pesantren di Indonesia umumnya, khususnya di Jawa Timur. Di Prenduan,
Sumenep, Tambakberas Jombang, dan Sidogiri Pasuruan adalah model
pesantren salaf yang masih kental dengan sistem pengajaran dan karakteristik
kepemimpinan yang khas yang masih dipertahankan.
Fenomena proses komunikasi di pesantren terjadi antara kyai, ustadz, dan
santri melahirkan sebuah budaya pendidikan yang khas di kalangan pesantren.
Hubungan di antara mereka sangat erat, bahkan hubungan mereka diibaratkan
dengan seorang anak dengan bapaknya. Santri menganggap kyai sebagai sosok
seorang bapak yang memimpin, membimbing, dan mengarahkan jalan hidupnya,
sedangkan kyai menganggap santri sebagai anak yang merupakan titipan Tuhan.
Seorang kyai dapat melakukan komunikasi dengan siapa saja dan kapan saja.
Begitu juga dengan seorang ustadz dan santri. Hanya saja, masing-masing
mempunyai etika sendiri yang harus ditaati.
Menilik sejarah eropa di abad pertengahan yang kental dengan kekuasaan
dan doktrin gereja dan dominasi gereja yang tujuannya untuk membimbing
umat kearah hidup yang saleh, namun disisi lain dominasi gereja ini tanpa
memikirkan martabat dan kebebasan manusia yang mempunyai perasaan,
pikiran, keinginan, dan cita-cita untuk menentukan masa depannya sendiri.
8
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1982), h. 78-80.

107
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124

Karena itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat. Sementara, budaya


pendidikan di pesantren memunculkan sebuah kesamaan yang mirip meski
tidak sama. Dimana posisi kyai dianggap sebagai wakil tuhan yang terhindar dari
kesalahan.Budaya patron klien dalam hubungan antara kyai dan santri. Budaya
ini berdampak pada makin besarnya tingginya derajat seorang kyai di mata santri
dan pesantren terkendali oleh kepemimpinan kharismatik sang kyai. Sowan dan
berkah.dikalangan santri sebagai subyek yang banyak mencari manfaat “berkah”
ini akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan berkah dari sang kyai
seperti menjadi sopir atau abdi dalem kyai.
Kedua fenomena tersebut saling menyuguhkan dominasi sisi doktrin
agama yang mampu menembus lapisan kepercayaan masyarakat dalam berbagai
bidang kehidupan. Hal ini menjadi sebuah diskusi yang menarik ketika dunia
globalisasi saat ini tidak memberikan ruang-ruang perkembangan praktek
doktrin agama, bahkan sebuah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dipacunya untuk kebaikan umat manusia dalam memenuhi perkembangan dan
peningkatan hidup dari peradaban manusia.
Melalui pembandingan budaya inilah penulis melihat fenomena yang
berkembang di dunia pesantren memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi
pada masa abad pertengahan eropa yaitu abad 10 Masehi sampai 15 Masehi,
dimana perkembangan argumentasi, kritik dan ilmu pengetahuan menjadi
terpusat pada doktrin-doktrin gereja yang lemah akan perkembangan iptek dan
gagal dalam menjawab perkembangan zaman. Disaat yang sama dunia Islam
sangat maju pada masa kekhalifahan bani abbasiyah dengan berbagai penemuan
penting dalam bidang teknologi. Inilah yang menjadi titik penting menurut
penulis dimana kemiripan tersebut perlu dikaji dan ditelusuri dalam sebuah
pemikiran yang mendalam tentang relevansi budaya pendidikan di pesantren
terhadap tantangan dunia Islam di era globalisasi.

Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah Studi Kepustakaan (Library
Research). Studi Kepustakaan (Library Research) merupakan penelitian yang
dilakukan berdasarkan informasi dari publikasi ilmiah, penelitian terdahulu,
ataupun sumber tertulis lain yang mendukung. Sumber informasi utama dalam
penelitian ini diperoleh melalui analisis publikasi hasil penelitian sebelumnya
dan dokumen lain yang terkait dengan tujuan kajian. Dalam penelitian ini,
proses analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif. Analisis dan

108
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)

interpretasi atau penafsiran ini dilakukan dengan merujuk kepada landasan


teoritis yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Tantangan Dunia Islam di Era Globalisasi


Era Globalisasi berpandangan bahwa dunia tengah didominasi oleh
perekonomian dan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis serta ideologi
neoliberal yang menopangnya. Untuk mengimbangi derasnya arus dan tantangan
globalisasi, perlu dikembangkan dan ditanamkan karakteristik pendidikan
Islam yang mampu berperan dan menjawab tantangan tersebut yakni pesantren.
Globalisasi merupakan proses strukturisasi dunia sebagai suatu keseluruhan
yang menghadirkan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu proses
penyeragaman (homogenization) dan pemberagaman (differenciation), sehingga
membuat interaksi yang rumit antara hal-hal yang lokal dan global. Globlisasi
ditandai oleh menguatnya ruang pribadi. Ruang kebebasan pribadi untuk
mengekspresikan pendapat, jati diri, dan kepribadian semakin menyempit karena
banyaknya pesanpesan atau tuntutan-tuntutan dari kehidupan modern yang
harus dilaksanakan. Akibatnya beban moral semakin berat, seolah-olah tidak
ada lagi kemerdekaan pribadi untuk mengembangkan ideide aslinya. Ditambah
lagi nilai-nilai lama dijungkirbalikkan dan diganti dengan nilai-nilai baru yang
meterialistis. Tak hanya itu, globalisasi ditandai dengan meningkatnya intensitas
hubungan antar budaya, norma sosial, kepentingan, dan ideologi antar bangsa.
Internet dan satelit-satelit komunikasi menghubungkan banyak negara di dunia
seolah seperti sebuah desa yang secara sosiologis sering disebut global village.
Globalisasi mempunyai rangkaian panjang yang saling terhubung
dari berbagai aspek. Globalisasi menjadikan kebudayaan Barat sebagai trend
kebudayaan dunia.Kebudayaan Barat yang didominasi budaya Amerika yang
sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme menjadi kiblat bagi
kebudayaan-kebudayaan di negara-negara berkembang. Dalam bentuk lain
Haidar Daulaby merumuskan ciri-ciri pergaulan global yang terjadi saat ini dan
masa-masa yang akan datang sebagai berikut.
Pertama terjadi pergeseran; dari konflik ideologi dan politik kearah
persaingan perdagangan, investasi, dan informasi; dari keseimbangan kekuatan
(balance of power) ke arah keseimbangan kepentingan (balance of interest).
Kedua, hubungan antar negara atau bangsa secara struktural berubah
dari sifat ketergantungan (dependency) kearah saling tergantung (interdependency);

109
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124

hubungan yang bersifat primodial berubah menjadi sifat tergantung kepada


posisi tawar-menawar (bargaining position).
Ketiga, batas-batas geografi hampir kehilangan arti operasionalnya.
Kekuatan suatu negara dan komunitas dalam interaksinya dengan negara
(komunitas lain) ditentukan oleh kemampuannya mamanfaatkan keunggulan
komparatif (comparatif advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive
advantage)
Keempat, persaingan antar negara saling diwarnai oleh perang antar
penguasaan teknologi tinggi. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung
mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi
dianggap tidak efisien.
Persoalan agama merupakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan dalam
perkembangan globalisasi karena semenjak era renaissance peran agama secara
bertahap mulai dikebiri sehingga menjadi tuntutan pada setiap pemuka agama
untuk bisa merelevankan ajaran agamanya agar tetap bisa eksis dalam tatanan
baru dunia yang semakin global dan kompetitif. Pengaruh globalisasi, tentunya
tidak bisa dibatasi hanya pada persoalan yang telah diangkat di atas, tetapi lebih
dari itu, langkah pembahasannya merambah hampir semua segi kehidupan.
Sebagai umat beragama (Islam), kita harus merespon problem yang muncul
sebagai konsekuensi logis dari kehadiran globalisasi. Oleh karenanya, pemahaman
bahwa Islam merupakan ajaran global adalah suatu keharusan yang tidak bisa di
tawar lagi.9 Islam sebagai ajaran agama yang universal mampu menjadi tata nilai
sebagai acuan bagi kehidupan yang serba berkembang dan dinamis, sekaligus
menunjukan keagungan, keutuhan, dan keunikannya. Pertama, syari’at Islam
adalah tata nilai, aturan, dan norma ciptaan Allah SWT, yang mengetahui segala
sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Tata nilai tersebut dibuat sesuai dengan
sendi umum kemanusiaan, baik secara individu maupun sosial kemasyarakatan.
Tidak mungkin terjadi pertentangan antara ajaran Islam yang bersumberkan
wahyu Allah SWT dan fitrah manusia sebagai makhluk-Nya.10 Kedua, seluruh
tata nilai dalam ajaran Islam dimaksudkan untuk kesejahteraan agar manusia
terpelihara agamanya, dirinya, akalnya, kehormatannya, dan harta bendanya.
9
Khusnul Khotimah, “Islam dan Globalisasi: Sebuah Pandangan tentang Universalitas
Islam,” Jurnal Komika, Vol.3 No.1 (2009), h.114-132.
10
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada (agama) Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S,
al-Rum: 30).

110
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)

Ajaran Islam tidak pernah menyuruh, kecuali kepada hal-hal yang munkar, tidak
pernah melarang kecuali yang mungkar, tidak pernah menghalalkan kecuali yang
baik, dan tidak pernah mengharamkan kecuali yang buruk.11 Al-Islam minhaj
at-taghyir, Islam adalah agama yang menghendaki perubahan, mengeluarkan
manusia dari keadaan zhulumat menuju kehidupan yang penuh dengan nur. Ada
tiga macam zhulm, yaitu ketidaktahuan tentang syari’at, pelanggaran atas syari’at
Allah, dan penindasan. Islam diturunkan untuk membebaskan manusia dari
kehidupan yang penuh dengan kemaksiatan menuju ketaatan, dari kebodohan
tentang syari’at menuju pemahaman tentang halal, haram, baik, buruk, apa
yang sepatutnya dilakukan, dan apa yang tidak. Juga dari kehidupan yang penuh
dengan belenggu dan penindasan, menuju kehidupan yang penuh dengan
kebebasan, tempat manusia dihargai sebagai manusia yang mempunyai derajat
dan kedudukan yang sama di hadapan Allah, yang membedakannya hanyalah
ketakwaan kepada-Nya. Ketiga, syumuliyah, yaitu mencakup semua segi kehidupan
manusia. Ia adalah ajaran yang berkaitan dengan sistem keyakinan, aturan, moral,
pemikiran, ilmu pengetahuan, nilai-nilai kemanusiaan, hukum, sistem keluarga,
serta hubungan antarmanusia, yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan
satu dengan yang lainnya. Unsur-unsurnya disusun sedemikian rupa, mencakup
seluruh segi kehidupan, melengkapi segala kebutuhan, dan melindungi segala
kegiatan. Dalam lingkup ini, prinsip tauhid merupakan prinsip yang pertama
agama Islam, dan prinsip segala yang Islami. Allah itu tunggal secara mutlak
dan tertinggi dan secara metafisis dan aksiologis. Dia adalah Sang Pencipta,
yang dengan perintah-Nya, segala sesuatu dan peristiwa terjadi. Ia kemudian
menjabarkan dari prinsip tauhid ini ke kesatuan alam semesta, kesatuan
kebenaran, kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan umat
manusia.12 Keempat, tata nilai Islam itu tampil dalam bentuk prinsip-prinsip
umum menyeluruh yang melahirkan gerak maju. Sejarah telah menunjukkan
kepeloporan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan yang sejalan dengan
peningkatan kualitas kemanusiaan itu sendiri. Penguasaan peradaban yang tinggi
dilandasi dengan akidah, persamaan, keadilan, persaudaraan, serta nilai-nilai
tinggi lainnya.
Pada perkembangannya, arus globalisasi yang kian deras pun berdampak
cukup signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan. Salah satunya Pesantren
sebagai institusi pendidikan yang selalu memegang teguh nilai-nilai kebudayaan

11
Q.S, Al-A’raf: 157.
12
Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 22.

111
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124

islam didalam pesantren tidak bisa tidak untuk melakukan penyesuaian dengan
denyut nadi perkembangan zaman dari dampak globalisasi ini. Namun demikian,
pondok pesantren terus berupaya mengimbangi irama dan alur perkembangan
zaman dalam rangka menjawab tantangan globalisasi. Bagaimana pondok
pesantren menjawab tantang perkembangan zaman dan arus globalisasi dengan
berbekal nilai-nilai moral dan budaya yang telah dilestarikan di pesantren
mengimbangi perkembangan zaman dan tetap mempertahankan eksistensinya
sebagai lembaga pendidikan non formal yang selalu menjunjung nilai-nilai moral.
Hal ini menarik untuk ditelusur lebih jauh menilik kentalnya budaya pesantren
yang melekat di masyarakat Jawa khususnya Jawa Timur.
Permasalahan fiqh yang sering dihadapi sekarang ini adalah tidak
bertemunya antara landasan tekstual yang bersifat normative dengan konteks
sosial yang selalu berubah. Salah satu penyebab utamanya adalah perspektif
fiqh yang cenderung formalistik dan tidak terkonsentrasi pada aspek teologis.
Perspektif fiqh tersebut dapat dijelaskan sudah tidak sebanding dengan realitas
sosial yang mengarah pada sudut pandang teologis. Teologi dalam hal ini bukan
bermakna tauhid yang membuktikan keesaan Tuhan, tetapi teologi dilihat
dari pandangan hidup yang menjadi pedoman hidup umat Islam. Di sisi lain,
asumsi formalistik tersebut lambat laun tersisihkan oleh hakikat fiqh itu sendiri.
Kecenderungan formalitas itu seakan mulai mengaburkan entitas fiqh dalam
penerapan kehidupan sehari-hari kaum muslimin. Terlebih lagi, jika melihat
konstruksi masyarakat Islam Indonesia yang masih sangat kuat dipengaruhi
nilai-nilai tradisi peninggalan leluhur. Melalui landasan ini pembahasan akan
menitik beratkan relevansi fenomena terhadap tantangan dunia islam di era
globalisasi pada berbagai bidang terutama bidang pendidikan.

Tantangan Budaya Pendidikan Islam Pesantren di Era Globalisasi


Pendidikan Islam merupakan salah satu media paling strategis dalam
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas perlu kontektual terefleksi
perlunya format baru dalam rangka menyingkapi kondisi masyarakat yang harus
direspon serius baik secara konseptual, strategis dan praktis. Sejalan dengan
itu, masalah pendidikan menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan, karena
pada kenyataannya merupakan faktor penentu bagi perkembangan umat islam.
Kenyataan lain yang tidak dapat disangkal adalah bahwa komunitas muslim
pada zaman modern ini masih mengalami ketertinggalan dibidang pendidikan,
dengan demikian salah satu target yang harus di usahakan semaksimal mungkin

112
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)

adalah revitalisasi pelaksanaan pendidikan bagi umat islam melalui cara-cara


yang sesuai dengan nilai-nilai dan motif ajaran islam, sehingga tidak salah arah
dalam pelaksanaan sebagaimana pendidikan ala barat. Tidak ada jalan lain untuk
memperbaiki keterpurukan umat islam selain menyusun sistem pendidikan yang
berakar pada nilai-nilai, prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan islam.13
Dalam kehidupan, pendidikan islam memiliki tujuan yang cukup sentral
dalam mempersiapkan peserta didik menempuh kesempurnaan insani dalam
menghadapi masyarakat yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT.
Adapun yang bertujuan jangka pendek diarahkan untuk lebih menekankan pada
aspek kebutuhan masyarakat ketika melihat kondisi atau perubahan mayarakat
kekinian. Seperti penyiapan tenaga-tenaga profesional, penciptaan nalar kritis
peserta didik dalam menganalisa fenomena sosial yang terjadi dimasyarakat
dan penyiapan sumber daya manusia sebagai upaya menjawab tantangan zaman
dalam dunia pendidikan islam yang membutuhkan sebuah jawaban solutif.14
Di tengah arus globalisasi, keberadaan pendidikan Islam dituntut untuk
mampu menjadi mitra dalam perkembangan dan pertumbuhan Globalisasi,
bukan menjadi serangan yang justru akan berseberangan dengan semakin
pesatnya kemajuan. Sebab, era ini akan terus berjalan maju dan tidak akan
mengenal siapapun yang akan menjadi penikmatnya, dan kemajuannya akan
mampu menggilas dan menggerus apapun yang menghalanginya. Fenomena
Globalisasi mau tidak mau akan menciptakan dua keniscayaan, pertama
Globalisasi akan menimbulkan Global Village dimana akan terjadi fenomena
desa global dimana tidak ada lagi sekat diantara negara-negara yang ada di dunia
ini. Namun sebaliknya, fenomena Globalisasi akan memunculkan perampokan
global atau yang acapkali disebut Global Pillage dimana negara dengan resources
yang besar akan melakukan tindakan kejahatan ekonomi terhadap negara yang
kurang maju. Fenomena yang terbangun dengan munculnya era globalisasi
telah memberikan berbagai macam problem baik tentang bagaimana informasi
yang terus berkembang tanpa pandang bulu dapat diserap atau juga bagaimana
mensikapi hal baru yang selalu saja datang silih berganti tanpa adanya filter
yang menyaringnya. Era globalisasi dengan teknologi informasinya semakin
dapat dirasakan perkembangannya, dengan medianya yang berupa komputer,

13
Ismail Raji Al-Faruqi, Tawhid: Its Implications for Though and life, (The International
Institute of Islamic Thought, 1989), h. 17.
14
Syamsirin, “Tinjauan Filosofis Tantangan Pendidikan Islam Pada Era Globalisasi,”
Jurnal At-Ta’dib, Vol.7 No.2 (2012), h. 260.

113
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124

televisi, hand phone, dan peralatan canggih lainnya, telah benarbenar


menjadi hal yang komplek dalam transformasi informasi. Pada masyarakat
informasi peranan media elektronika sangat memegang peran penting, bahkan
menentukan corak kehidupan. Sebab lewat komunikasi satelit, orang tidak hanya
memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan
mengemukakannya secara lisan, tulisan, bahkan visual.15 Muhammad Tholchah
Hasan (2006) mengemukakan tantangan pendidikan Islam yang harus dihadapi
di era global ini adalah kebodohan, kebobrokan moral, dan hilangnya karakter
muslim.
Oleh karena itu, Islam memberikan anjuran adanya perubahan yang
positif dalam keadaan apapun sehingga mengarah pada kemajuan dan perbaikan.
Pemahaman yang demikian perlu ditumbuh kembangkan pada cara berfikir
peserta didik sebagai generasi kedepan. Memperluas wawasan dan membentuk
sikap yang toleran terhadap berbagai perubahan dengan tanpa kehilangan
pegangan dan pendirian, sebab perubahan yang terjadi merupakan sunnatullah.
Maksudnya, agar peserta didik menjadi generasi yang mampu menyesuaikan
diri dan tetap efektif berjuang di tengah perubahan sosial yang mendunia tanpa
kehilangan komitmen serta sikap ketakwaan. Dengan demikian, generasi tersebut
dapat mengambil posisi subyek yang ikut memainkan peranan dan tidak sekedar
menjadi penonton atau tamu di sebuah desa global dengan realitas budaya yang
ada.16
Melihat berbagai peluang dan tantangan yang ada, maka kedepan perlu
dilakukan formulasi bagi pendidikan islam khususnya di pesantren dalam rangka
mempersiapkan fenomena globalisasi yang makin hari makin pesat antara lain.
Pertama, Pendidikan semakin dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam
pengembangan kualitas sumberdaya manusia, yaitu manusia yang mempunyai
wawasan, kemampuan dan ketrampilan serta kepribadian yang sesuai dengan
kebutuhan nyata yang dihadapi umat.
Kedua, orientasi pada kemampuan nyata yang dapat ditampilkan oleh
lulusan pendidikan akan semakin kuat, artinya menciptakan dunia kerja yang
cenderung realistisdanpragmatis,di manadunia kerja lebih melihat kompetensi
nyata yang dapat ditampilkan.

15
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Bogor: Kencana, 2003), h. 78.
16
Ahmad Janan Asifudin, Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofis),
(Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2009), h. 83-84.

114
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)

Ketiga, mutu pendidikan suatu komunitas atau kelompok masyarakat,


tidak hanya diukur berdasarkan kriteria internal saja, melainkan dibandingkan
dengan komunitas lain yang lebih riil.
Keempat, apresiasi dan harapan masyarakat dunia pendidikan semakin
meningkat, yaitu pendidikan yang lebih bermutu, relevan dan hasilnya pun
dapat dipertanggungjawabkan.
Kelima, sebagai komunitas atau masyarakat religius, yang mempunyai
keimanan dan tata nilai, maka pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan
yang mampu menanamkan karakter islami disamping kompetensi lain yang
bersifat akademis dan skill.17
Salah satu institusi pendidikan islam yang harus melakukan reformulasi
pada model pendidikan di tengah arus globalisasi saat ini adalah pesantren.
Pesantren di era globalisasi seperti saat ini dituntut untuk mampu memodifikasi
antara kebutuhan masyarakat dengan tujuan pesantren sebagai lembaga
pembinaan dan pemberdayaan umat. Tentunya, untuk mewujudkan hal ini,
pesantren harus bertolak pada paradigma yang digunakan dan melakukan
pembaharuan terhadap kekurangan-kekurangannya. Menurut Ahmad Tafsir
(2008), dalam Islam ada tiga paradigma besar pengetahuan. Pertama, paradigma
sains, pengetahuan yang diperoleh akal dan indera seperti fiqh; kedua, paradigma
logis yaitu pengetahuan dengan objek yang abstrak seperti filsafat; dan ketiga,
paradigma mistik yang diperoleh dengan rasa. Selama ini pondok pesantren
hanya membekali santri paradigma yang pertama dan yang ketiga. Sementara
paradigma yang kedua kurang tersentuh. Untuk itu pondok pesantren saat ini
harus mampu memasukkan paradigma yang kedua, yaitu paradigma logis, agar
semua pengetahuan dapat dibekalkan kepada seluruh peserta didik.18
Jika kita meminjam konsep dari Daulay (2004), ciri-ciri pesantren
masa depan yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan Globalisasi
ada tiga, yaitu: ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi, kompetitif, moral
dan pluralisme. Pondok pesantren modern idealnya bersikap aktif terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, menyuburkan daya saing, tetapi tetap mampu
mempertahankan pembinaan moral yang selama ini dianggap prestasi besar
pondok pesantren. Kyai ibarat sebagai “raja” di setiap pesantren harus memiliki

17
Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, (Bandung : PT.
Refika Aditama, 2009), h. 68.
18
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2008), h. 175.

115
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124

peran sentral dalam menentukan model dan peran pesantren dalam berinteraksi
dengan tren kehidupan masyarakat. Apabila konsep seperti ini mampu dilakukan
dengan baik, maka pesantren akan semakin tumbuh mengakar kuat dan
kredibilitasnya sebagai institusi pendidikan islam akan semakin naik di tengah-
tengah masyarakat.19

Relevansi Budaya “pekewuh” terhadap Kyai di Era Globalisasi


Dunia sebagai suatu panggung yang menekankan berbagai perubahan
dalam peran dan kedudukan (status) yang muncul seiring dengan bergulirnya
waktu, kiranya tepat digunakan dalam meneropong kepemimpinan kyai. Dalam
konteks ini, kyai merupakan status yang dihormati dengan segudang peran
yang dimainkannya dalam masyarakat. Ketokohan dan kepemimpinan kyai
sebagai akibat dari status dan peran yang disandangnya, telah menunjukkan
betapa kuatnya kecakapan dan pancaran kepribadiannya dalam memimpin
pesantren dan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seorang kyai
dapat membangun peran strategisnya sebagai pemimpin masyarakat non formal
melalui suatu komunikasi intensif dengan masyarakat. Kedudukannya yang
penting di lingkungan pedesaan sama sekali bukan hal baru, tetapi justru sejak
masa kolonial, bahkan jauh sebelum itu, tampak lebih menonjol dibandingkan
dengan masa sekarang yang mulai memudar.20
Pesantren, khususnya di Jawa dan Madura, pernah menduduki posisi
strategis dalam perspektif masyarakat. Pesantren waktu itu mendapatkan pe­ngaruh
dan penghargaan besar karena kemampuannya dalam mempengaruhi masyarakat.
Dalam perkembangannya, keperkasaan pesantren dimitoskan karena adanya
kharisma kyai dan dukungan besar para santri yang tersebar di masyarakat.21
Kyai dengan kharismanya dijadikan imam dalam bidang ‘ubudiyah,
upacara keagamaan dan sering diminta kehadirannya untuk menyelesaikan
problem yang menimpa masyarakat. Rutinitas ini semakin memperkuat peran
kyai dalam masyarakat, sebab kehadirannya diyakini membawa berkah.22 Sebagai
implikasi dari peran yang dimainkan kyai ini, kedudukan pesantren menjadi
multi fungsi.

19
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 75.
20
Manfred Ziemek, Pesantren dalam perubahan Sosial, (Jakarta: P3M., 1986), h. 138.
21
Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Sub-Kultur”, dalam M. Dawam Rahardjo,
ed. Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 54-55.
22
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES., 1999), h. 13.

116
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)

Kyai dengan kharisma yang dimilikinya tidak hanya dikategorikan sebagai


elit agama, tetapi juga sebagai elit pesantren dan tokoh masyarakat yang memiliki
otoritas tinggi dalam menyimpan dan menyebarkan pengetahuan keagamaan
Islam serta berkompeten dalam mewarnai corak dan bentuk kepemimpinan
terutama dalam pesantren. Tipe kharismatik yang melekat pada dirinya menjadi
tolok ukur kewibawaan pesantren. Dilihat dari segi kehidupan santri, charisma
kyai merupakan karunia yang diperoleh dari kekuatan dan anugerah Tuhan.
Dari deskripsi tersebut, memunculkan beragam pertanyaan. Dalam
konteks era globalisasi dan kekinian, apakah kharisma kyai masih mampu
menjadi sumber perubahan sosial? apakah pesan dan pandangannya senantiasa
diresponsi masyarakat kita, yang kini, cenderung bergerak ke arah modernitas,
meski pun masih dalam taraf proses atau masa transisi.
Oleh karena proses tersebut menjadi milik masyarakat, maka eksistensi
pondok pesantren sebagai bagian dari masyarakat tidak lagi sentral. Kedudukan
kyai mengalami differensiasi dan tidak lagi menjadi tempat bertumpu, seperti
layaknya tempo dulu. Demikian juga kharisma yang pada awalnya bertumpu pada
kyai, kini telah dikoyak oleh dinamika perkembangan rasionalitas masyarakat.

Kepemimpinan Pesantren dan “Pekewuh” terhadap Kyai


Kajian tentang kyai, mesti mengikutsertakan kajian tentang kepemimpinan
pesantren, dan mengkaji tentang kepemimpinan pesantren,tidak dapat
dilepaskan dari kajian tentang budaya “pekewuh” terhadap Kyai. Kedua hal
tersebut—kepemimpinan pesantren dan “pekewuh” terhadap Kyai—menjadi suatu
bagian integral yang tidak dapat dipisahkan, sebab di dalamnya terkandung status
dan peran yang dimainkan oleh seseorang dengan predikat yang disandangnya
dalam suatu masyarakat.
Istilah kyai dalam bahasa Jawa mempunyai pengertian yang luas. Ia
berarti mencirikan baik benda maupun manusia yang diukur dalam sifat-sifatnya
yang istimewa, dan karenanya, sangat dihormati. Misalnya dikatakan sakti bila
sang empu sanggup memasukkan kesaktian pada keris buatannya. Keris-keris
semacam itu dijuluki atau diberikan predikat kyai. 23Senjata dan benda-benda
keramat yang berkekuatan gaib ini selalu dipuja dan diwarisi sebagai sumber
kekuatan gaib (pusaka). Bahkan turun dan lenyapnya kekuasaan sosial politik

23
Ziemek, Pesantren, h. 131. Bandingkan dengan Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren:
Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 55.

117
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124

selalu diterangkan dengan hilangnya pusaka atau karena mengabaikan upacara-


upacara yang diperlukan untuk memelihara kesaktian tersebut.24
.Di samping dipredikatkan kepada senjata dan benda pusaka, dalam
konteks kebudayaan Jawa, gelar kyai juga diberikan kepada laki-laki yang berusia
lanjut, arif dan dihormati. Bahkan dalam persebaran agama Kristen, sebutan kyai
juga dipakai untuk beberapa pengkabar Injil pribumi, guna membedakannya
dengan pengkabar Injil Barat. Namun pengertian kyai dalam konteks Indonesia
modern telah mengalami transformasi makna, yakni diberikan kepada pendiri
dan pemimpin sebuah pondok pesantren yang membaktikan hidupnya demi
Allah serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan
Islam melalui kegiatan pendidikan.25
Oleh karenanya, predikat kyai senantiasa berhubungan dengan suatu
gelar yang menekankan kemuliaan dan pengakuan yang diberikan secara
sukarela kepada ulama, pemimpin masyarakat setempat sebagai sebuah tanda
kehormatan bagi kehidupan sosial dan bukan merupakan suatu gelar akademik
yang diperoleh melalui pendidikan formal.26
Kemudian, kepemimpinan pesantren yang diidealisasikan sebagai
peran yang melekat pada status kekyaian merupakan suatu peran yang mesti
dipandang signifikan, sebab kepemimpinan adalah salah satu faktor penting yang
mempengaruhi terhadap berhasil atau gagalnya seorang kyai dalam memimpin
masyarakatnya, lebih spesifik lagi pada lembaga yang dipimpinnya, pesantren.
Tegasnya kepemimpinan merupakan faktor penting yang patut dipertimbangkan.
Apabila karakteristik tersebut dikaitkan dengan aktivitas memobilisasi massa,
maka lahirlah pemimpin massa (populis), apabila dikaitkan dengan organisasi
kedinasan pemerintah, maka disebutlah jabatan pimpinan. Jika dikaitkan dengan
bidang administrasi, maka disebutlah administrator. Begitu pula akan muncul
sebutan murshid jika dihubungkan dengan organisasi tarekat, dan sebutan kyai
jika dikaitkan dengan pondok pesantren, sekalipun tidak semua kyai memimpin

24
Moebirman, Keris and Other Weapons of Indonesia, (Jakarta: Martinus Nitjhof, 1970),
h. 34.
25
Kadar semantik dari istilah kyai di sini mencakup secara mutlak komponen tradisional
Jawa, termasuk jugapemimpin pesantren. Gelar tersebut berada dalam kesinambungan tradisional
dan mencakup arti sebagai sebuahdimensi kerohanian masyarakat yang memiliki suatu kesaktian,
misalnya sebagai dukun atau ahli kebatinan dan guru maupun pemimpin di daerah yang
berwibawa, yang memiliki legitimasi atas wewenangnya berdasarkan kepercayaan penduduk.
26
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Terj. Umar Basalim dan Andi Muarly
Sunrawa, (Jakarta: P3M., 1987), h. 1-3.

118
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)

pondok pesantren.27
Hubungan yang melekat antara unsur pribadi dengan sistem sosial ini
adalah faktor utama yang mematangkan kepemimpinan tersebut. Ini berarti
bahwa selama pribadi yang disebut pemimpin dianggap atau dinilai –oleh
masyarakat pengikutnya—telah memenuhi kebutuhan dari sistem sosial dan
komunitas pendukungnya, maka selama itu pula ia dapat mempertahankan ikatan
emosional di antara para pengikutnya, dan selama itu pula kepemimpinannya
tetap berlanjut.28
Kepemimpinan kyai, sering diidentikkan dengan atribut kepemimpinan
yang melahirkan budaya “pekewuh”. Dalam konteks tersebut, kyai- kyai pondok
pesantren, dulu dan sekarang, merupakan sosok penting yang dapat membentuk
kehidupan sosial, kultural dan keagamaan warga muslim di Indonesia. Pengaruh
kyai terhadap kehidupan santri tidak terbatas pada saat santri masih berada di
pondok pesantren, akan tetapi berlaku dalam kurun waktu panjang, bahkan
sepanjang hidupnya, ketika sudah terjun di tengah masyarakat.
Mendefinisikan kepemimpinan sebagai usaha untuk mengarahkan
perilaku orang lain untuk mencapai tujuan29, mempunyai makna bahwa
pemimpin memerankan fungsi penting sebagai pelopor dalam menetapkan
struktur, keadaan, ideologi dan kegiatan kelompoknya. Sehubungan dengan ini,
terdapat tiga perspektif dalam memahami fenomena kepemimpinan. Pertama,
kepemimpinan dapat dipandang sebagai kemampuan yang ada dalam diri
individu. Hal ini berarti aspek tertentu dari seseorang telah memberikan suatu
penampilan berkuasa dan menyebabkan orang lain menerima perintahnya
sebagai sesuatu yang mesti diikuti. Ia diyakini memperoleh bimbingan “wahyu”,
memiliki kualitas yang dipandang sakral dan menghimpun massa dari masyarakat
kebanyakan.
Dalam perspektif Max Weber, kepemimpinan yang bersumber dari
kekuasaan luar biasa disebut kepemimpinan kharismatik atau charismatic
authority30 Kepemimpinan jenis ini didasarkan pada identifikasi psikologis
seseorang dengan orang lain. Kedua,bentuk kepemimpinan terletak bukan pada
27
Sukamto, Kepemimpinan Kyai, h. 19
28
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES.,
1987), h. 64.
29
Franklin S. Haiman, Leadership and Democratic Action, (Houghton: Mifflin Company,
1971), h. 228.
30
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization,. Terj. Talcott Parson, (New
York: The Free Press,1966), h. 358.

119
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124

diri kekuasaan individu, melainkan dalam jabatan atau status yang dipegang
oleh individu. Dalam perspektif Weber, kekuasaan yang bersandar pada tata
aturan disebut sebagai legal authority. Pola aturan normatif dan hak memerintah
dari pemimpin yang terpilih berdasarkan pola aturan yang sah. Ketiga, bentuk
kepemimpinan tradisional, yang bersumber pada kepercayaan yang telah mapan
terhadap kesakralan tradisi kuno. Kedudukan pemimpin ditentukan oleh
kebiasaan-kebiasaan lama yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam
melaksanakan berbagai tradisi.
Berdasarkan penjelasan Max Webber, ketiga bentuk kepemimpinan
tersebut melekat erat dalam budaya “pekewuh” terhadap kyai di pesantren.
Budaya ini tumbuh subur dengan diikuti factor-faktor internal dan eksternal
yang berkembang. Pada perkembangannya budaya “pekewuh” pada kyai menjadi
model khas yang akan ditemukan di daerah-daerah tradisional dengan pesantren
menjadi bagian penting dari lapisan sosial masyarakat tersebut.

Krisis, Memudarnya Budaya “pekewuh” terhadap Kyai di Era Glo­balisasi


Di atas telah dinyatakan bahwa eksistensi budaya “pekewuh” di pesantren
lebih banyak terjadi pada masyarakat tradisional, yang jauh dari rasionalitas
serta terjadi karena suasana chaos yang memerlukan pemecahan secara cepat
untuk mengembalikan keadaan menjadi stabil. Lalu bagaimanakah eksistensi
kepemimpinan yang melahirkan budaya “pekewuh” tatkala masyarakat telah
memasuki zaman modern. Sehubungan dengan zaman modern, setidaknya
terdapat dua ciri mendasar, pertama, semakin hilangnya pengaruh institusi
agama, kedua, semakin tingginya supremasi rasionalitas sains.
Modernisasi menimbulkan globalisasi, sehingga disadari atau tidak,
kemajuan yang ditimbulkannya secara meyakinkan mengubah dan mengarahkan
kebudayaan manusia dan bahkan melebihi angan-angan manusia. Dalam
konteks ini, Lucian W. Pye menyatakan bahwa modernitas adalah budaya
dunia. Menurutnya, proses mondial ini tercipta karena kebudayaan modern
senantiasa didasarkan kepada pertama teknologi yang maju dan semangat dunia
ilmiah; kedua pandangan hidup yang rasional; ketiga pendekatan sekuler dalam
hubungan-hubungan sosial; keempat rasa keadilan sosial dalam masalah-masalah
umum (public affairs), terutama dalam bidang politik dan keenam menerima
keyakinan bahwa unit utama politik mesti berupa negara-negara kebangsaan.31

31
Lucian W. Pye, Aspect of Political Development, (Boston: Little Brown, 1965), h. 8

120
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)

Pada taraf individual, manusia modern senantiasa memiliki sifat-sifat:


kesiapan untuk menerima pengalaman-pengalaman baru dan keterbukaan
kepada pembaharuan; kecenderungan untuk membentuk opini mengenai
sejumlah masalah dan isu yang muncul tidak hanya di lingkungan dekat,
tetapi juga di luarnya; orientasi di bidang opini lebih bercorak demokratis;
lebih berorientasi pada masa kini dan masa depan dari pada masa lampau;
berpijak pada perencanaan dan organisasi dalam menangani kehidupan; efektif;
menjunjung harkat diri dan senantiasa memberikan penghargaan terhadap
prestasi orang lain; berkeyakinan pada ilmu dan teknologi dan memegang teguh
keyakinan terhadap keadilan distributif.32
Hal tersebut sangat bertentengan dengan apa yang telah berjalan di
pesantren. Budaya “pekewuh” sangat bertolak belakang dengan semangan
rasionalitas dan globalisasi yang mengarah pada modernisasi pemikiran,
ilmu pengetahuan dan cara melihat sudut pandang pada sebuah fenomena.
Terbentuknya masyarakat modern sebagai akibat modernisasi dengan berbagai
karakteristiknya tersebut merupakan suatu tantangan sekaligus ancaman
terhadap budaya “pekewuh” terhadap kyai. Dalam hal ini, setidaknya terdapat
beberapa faktor penting yang mempengaruhi pudarnya bahkan hilangnya budaya
“pekewuh” terhadap kyai.33
Pertama, munculnya generasi muda santri yang berkarakter modern,
dalam pengertian bahwa mereka mempunyai kemampuan dan kebebasan yang
lebih besar untuk mengkaji dan mengevaluasi sikap kiai, paling tidak dalam
wilayah politik. Perubahan seperti itu, jelas melahirkan masalah yang berkaitan
dengan legitimasi peran kepemimpinan kiai. Kelahiran santri modern ini adalah
hasil dari program moderniasai dalam sistem pendidikan pesantren yang ditandai
dengan semakin bertambahnya jumlah sekolah dalam lingkungannya.
Kedua, meningkatnya jumlah kelas menengah muslim yang lebih
terdidik. Munculnya intelektual-intelektual muda, baik yang sekular maupun
yang religius di kalangan pesantren tidak hanya membuat posisi kiai sebagai
legitimator menjadi tersaingi, tetapi juga membuat kredibilitas dan otoritasnya
menjadi dipertanyakan. Situasi ini menunjukkan bahwa di pedesaan Jawa dan
Madura dan juga di internal pesantren, sekarang ini orang-orang dapat pergi
32
Said Aqiel Siraj, “Khazanah Pemikiran Islam dan Peradaban Modern”, dalam Marzuki
Wahid et.al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1999), h. 28.
33
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dengan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2004),
h. 3-4.

121
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124

ke berbagai agen yang dapat memberikan kepada mereka pengetahuan tentang


Islam dan kepemimpinan dalam pengertiannya yang lebih umum.
Ketiga, meluasnya wilayah operasi negara di balik peningkatan kualitas
kehidupan umat Islam. Negara sangat peduli dengan problem ketidak-setaraan
(inequality) dan ia terlibat dalam berbagai hal yang sebelumnya berada di bawah
kepedulian kiai. Pengenalan upaya pengendalian angka kelahiran misalnya,
telah melibatkan negara dalam pendefinisian arti sosial kelahiran, yang secara
tradisional sebelumnya berada di bawah wilayah agama, dimana kiai memainkan
peran penting di dalamnya.
Faktor-faktor di atas, tidak hanya melahirkan kalangan Islam muda yang
kritis terhadap kepemimpinan kiai, tetapi juga memberikan alternatif mengenai
adanya bentuk-bentuk kepemimpinan yang lain. Posisi kiai dan kepemimpinan
yang melahirkan budaya “pekewuh” kemudian berubah secara tidak terelakkan,
sehingga bukan merupakan suatu kebetulan misalnya, jika seorang kiai didemo
oleh santri dan masyarakat sekitarnya.
Dalam fenomena ini, tampak jelas bahwa posisi kiai yang kharismatik dan
sekaligus terhormat sudah goyah dan kurang relevan dengan arus modernisasi
juga globalisasi dengan sebab yang tidak hanya bersumberkan pada perilaku
kiai yang “kurang patut diteladani”, tetapi juga –hingga batas tertentu— karena
adanya perubahan dalam norma sosial yang melandasi hubungan sosial di
antara komunitas umat Islam.

Penutup
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, kepemimpinan
di pesantren dengan budaya “pekewuh” tokoh keagamaan Islam (kiai) terdapat
pada masyarakat yang masih tradisional. Kedua, kepemimpinan yang melahirkan
budaya “pekewuh” kiai pada masyarakat transisi –apalagi pada masyarakat
modern dan masyarakat metropolis— telah mengalami krisis legitimasi, irrelevant
sense di era globalisasi, dan perubahan secara degradatif, karena berbagai
dinamika dan perubahan yang terjadi, baik yang bersifat internal pesantren
maupun dinamika eksternal komunitas Muslim, dalam maknanya yang luas.
Dengan melihat perubahan status tersebut, sudah selayaknya, dalam
dinamika kehidupan sosio-kultural yang dinamis ini, kiai, mau tidak mau
pertama, melakukan kaji ulang terhadap statusnya, yakni berusaha melakukan
retrospeksi bahwa dirinya kini bukan satu-satunya institusi tempat masyarakat

122
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)

bertanya mengenai problem kehidupan, sebab kini telah tumbuh dan


berkembang berbagai rujukan yang dapat menjawab berbagai problem yang
dihadapi oleh masyarakat. Kedua pada sisi lain, kiai juga mesti menyadari bahwa
perubahan sikap masyarakat terhadap lembaga keulamaan ini, merupakan akibat
logis dari perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sehingga –suka atau
tidak— mereka perlu menyesuaikan diri dengan situasi yang sedang berubah
jika ingin kepemimpinannya terus diterima oleh umat Islam, meskipun tidak
berada dalam arah kharismatik lagi. Ketiga dengan fenomena demikian, sudah
waktunya bagi kiai –dan calon-calon kiai—untuk melakukan reorientasi terhadap
pola kepemimpinan yang diperankannya dari religio paternalistic ke arah pola
kepemimpinan partisipatif persuatif.
Pada sisi lain, sesuai dengan perubahan orientasi pola kepemimpinan,
ikhtiar meningkatkan kualitas kepribadian dan wawasan intelektualitasnya,
misalnya dengan melakukan studi lanjut (post graduate) di lembaga pendidikan
formal, yang dengan bekal demikian, kiai menjadi lebih siap—dalam arti tidak
gagap dan tidak mengalami post power syndrome— dalam melakukan reposisi
fungsi sosialnya di tengah derasnya dinamika perubahan yang tidak lagi berpihak
padanya untuk diperlakukan sebagai figur kharismatik lagi oleh komunitasnya.

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta:
LP3ES., 1987.
Ahmad, Tafsir Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2008.
Anderson, Benedict ROG, Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa
ter. Ali As’ad, Semarang: Menara Kudus, 1972.
Asifudin, Ahmad Janan, Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofis),
Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2009.
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2004.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1982.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1982.
Geertz, Clifford, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.

123
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124

Hafidhuddin, Didin, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani, 1998.


Haiman, Franklin S., Leadership and Democratic Action, Houghton: Mifflin
Company, 1971.
Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial. Ter. Umar Basalim dan Andi Muarly
Sunrawa, Jakarta: P3M., 1987.
Karim, Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cetakan II Sleman
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Book Publisher, 2009.
Khotimah, Khusnul, “Islam dan Globalisasi: Sebuah Pandangan tentang Universalitas
Islam” Jurnal Komika Vol.3 No.1 (Januari-Juni 2009).
Kluckhohn, C, Universal Categories of Culture. Antropology Today, A.L Kroeber
Editor Chicago: University Press, 1953.
Moebirman, Keris and Other Weapons of Indonesia, Jakarta: Martinus Nitjhof, 1970.
Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta: INIS, 1988.
Muchsin, Bashori, Pendidikan Islam Kontemporer, Bandung : PT. Refika Aditama,
2009.
Nata, Abudin, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, Bogor: Kencana, 2003.
Pye, Lucian W., Aspect of Political Development, Boston: Little Brown, 1965.
Raji Al-Faruqi, Ismail, TAWHID. Its Implications for Though and life, (The
International Institute of Islamic Thought, 1989.
Siraj, Said Aqiel, “Khazanah Pemikiran Islam dan Peradaban Modern”, dalam Marzuki
Wahid et.al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi
Pesantren, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, Jakarta: LP3ES., 1999.
Syamsirin, “Tinjauan Filosofis Tantangan Pendidikan Islam Pada Era Globalisasi”
Jurnal At-Ta’dib Vol.7 No.2 (Desember 2012).
Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kiai dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Turner, Bryan S., Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber.
Ter. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, 1984.
Wahid, Abdurrahman, “Pesantren sebagai Sub-Kultur”, dalam M. Dawam Rahardjo,
ed. Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1988.
Weber, Max, The Theory of Social and Economic Organization. Ter. Talcott Parson,
New York: The Free Press, 1966.
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam perubahan Sosial, Jakarta: P3M., 1986.

124

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy