1993 4279 1 SM
1993 4279 1 SM
1993 4279 1 SM
M. Baiqun Isbahi
Social Science and Political Science Faculty Universitas Darul ‘Ulum Jombang
baiqunbai@gmail.com
Novy Setia Yunas
Political Science and Social Science Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
novysetiayunas@gmail.com
Abstract
The phenomenon of communication process in pesantren occurs among kyai, ustadz, and
santri creating a distinctive educational culture among pesantren. The relationship among
them is very close, because santri permanently live in a pesantren environment nearby the
kyai’s house. Europe in the mid-century is full of power, doctrine and domination of the
church which has purpose to guide people towards a righteous life, but on the other hand
the dominance of this church without thinking of the dignity and freedom of human beings
who have feelings, thoughts, desires and ideals to determine his own future, therefore the
development of science is inhibited. Meanwhile, the culture of education in pesantren
raises a similar similarity though not the same, where the position of kyai is considered
as the representative of the god who escaped the error. Both of these phenomena are
presenting the dominance of the religious doctrine that can penetrate the layers of public
confidence in various areas of life. Based on the study, it can be concluded that the
leadership in pesantren with the “pekewuh” culture of Islamic religious figures (kyai) is
found in the traditional society, and the leadership in the transitional society-especially
in modern society and the metropolis-has experienced a crisis of legitimacy, irrelevant
sense in the era of globalization , and degradative change, due to the various dynamics
and changes that occur, both internal and external dynamics of the Muslim community.
Abstrak
Fenomena proses komunikasi di pesantren terjadi antara kyai, ustadz, dan santri
melahirkan sebuah budaya pendidikan yang khas di kalangan pesantren. Hubungan
di antara mereka sangat erat, karena seorang santri secara permanen hidup dalam
lingkungan pesantren dan dekat dengan rumah kyai. Eropa di abad pertengahan
103
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124
yang kental dengan kekuasaan dan doktrin gereja dan dominasi gereja yang tujuannya
untuk membimbing umat kearah hidup yang saleh, namun disisi lain dominasi gereja
ini tanpa memikirkan martabat dan kebebasan manusia yang mempunyai perasaan,
pikiran, keinginan, dan cita-cita untuk menentukan masa depannya sendiri, karena
itu perkembangan ilmu pengetahuan terhambat. Sementara, budaya pendidikan di
pesantren memunculkan sebuah kesamaan yang mirip meski tidak sama, dimana
posisi kyai dianggap sebagai wakil tuhan yang terhindar dari kesalahan. Sehingga
kedua fenomena tersebut saling menyuguhkan dominasi sisi doktrin agama yang
mampu menembus lapisan kepercayaan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.
Berdasarkan kajian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan di pesantren dengan
budaya “pekewuh” tokoh keagamaan Islam (kyai) terdapat pada masyarakat yang
masih tradisional dan kepemimpinan tersebut pada masyarakat transisi –apalagi pada
masyarakat modern dan masyarakat metropolis— telah mengalami krisis legitimasi,
irrelevant sense di era globalisasi, dan perubahan secara degradatif, karena berbagai
dinamika dan perubahan yang terjadi, baik yang bersifat internal pesantren maupun
dinamika eksternal komunitas Muslim.
Pendahuluan
Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar. Kebudayan memiliki tiga wujud yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya; wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat; wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Selain itu menurut Kluckhohn (1953) kebudayaan juga memiliki unsur-unsur,
unsur itu terdiri dari unsur bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi,
dan kesenian.1
Berbicara mengenai kebudayaan, pasti merujuk pada salah satu kiblat
kebudayaan dunia yaitu kebudayaan Eropa. Bermula dari peradaban Yunani
hingga dilanjutkan peradaban Romawi dengan berbagai macam kebudayaan
yang dihasilkan tentunya. Berbagai macam kebudayaan yang muncul pada kedua
zaman itu telah banyak memberi sumbangsih pada perkembangan kebudayaan
1
C. Kluckhohn, Universal Categories of Culture; Antropology Today, A.L Kroeber Editor,
(Chicago: University Press, 1953), h. 90.
104
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)
105
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124
106
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)
107
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124
Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah Studi Kepustakaan (Library
Research). Studi Kepustakaan (Library Research) merupakan penelitian yang
dilakukan berdasarkan informasi dari publikasi ilmiah, penelitian terdahulu,
ataupun sumber tertulis lain yang mendukung. Sumber informasi utama dalam
penelitian ini diperoleh melalui analisis publikasi hasil penelitian sebelumnya
dan dokumen lain yang terkait dengan tujuan kajian. Dalam penelitian ini,
proses analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif. Analisis dan
108
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)
109
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124
110
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)
Ajaran Islam tidak pernah menyuruh, kecuali kepada hal-hal yang munkar, tidak
pernah melarang kecuali yang mungkar, tidak pernah menghalalkan kecuali yang
baik, dan tidak pernah mengharamkan kecuali yang buruk.11 Al-Islam minhaj
at-taghyir, Islam adalah agama yang menghendaki perubahan, mengeluarkan
manusia dari keadaan zhulumat menuju kehidupan yang penuh dengan nur. Ada
tiga macam zhulm, yaitu ketidaktahuan tentang syari’at, pelanggaran atas syari’at
Allah, dan penindasan. Islam diturunkan untuk membebaskan manusia dari
kehidupan yang penuh dengan kemaksiatan menuju ketaatan, dari kebodohan
tentang syari’at menuju pemahaman tentang halal, haram, baik, buruk, apa
yang sepatutnya dilakukan, dan apa yang tidak. Juga dari kehidupan yang penuh
dengan belenggu dan penindasan, menuju kehidupan yang penuh dengan
kebebasan, tempat manusia dihargai sebagai manusia yang mempunyai derajat
dan kedudukan yang sama di hadapan Allah, yang membedakannya hanyalah
ketakwaan kepada-Nya. Ketiga, syumuliyah, yaitu mencakup semua segi kehidupan
manusia. Ia adalah ajaran yang berkaitan dengan sistem keyakinan, aturan, moral,
pemikiran, ilmu pengetahuan, nilai-nilai kemanusiaan, hukum, sistem keluarga,
serta hubungan antarmanusia, yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan
satu dengan yang lainnya. Unsur-unsurnya disusun sedemikian rupa, mencakup
seluruh segi kehidupan, melengkapi segala kebutuhan, dan melindungi segala
kegiatan. Dalam lingkup ini, prinsip tauhid merupakan prinsip yang pertama
agama Islam, dan prinsip segala yang Islami. Allah itu tunggal secara mutlak
dan tertinggi dan secara metafisis dan aksiologis. Dia adalah Sang Pencipta,
yang dengan perintah-Nya, segala sesuatu dan peristiwa terjadi. Ia kemudian
menjabarkan dari prinsip tauhid ini ke kesatuan alam semesta, kesatuan
kebenaran, kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan umat
manusia.12 Keempat, tata nilai Islam itu tampil dalam bentuk prinsip-prinsip
umum menyeluruh yang melahirkan gerak maju. Sejarah telah menunjukkan
kepeloporan umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan yang sejalan dengan
peningkatan kualitas kemanusiaan itu sendiri. Penguasaan peradaban yang tinggi
dilandasi dengan akidah, persamaan, keadilan, persaudaraan, serta nilai-nilai
tinggi lainnya.
Pada perkembangannya, arus globalisasi yang kian deras pun berdampak
cukup signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan. Salah satunya Pesantren
sebagai institusi pendidikan yang selalu memegang teguh nilai-nilai kebudayaan
11
Q.S, Al-A’raf: 157.
12
Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 22.
111
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124
islam didalam pesantren tidak bisa tidak untuk melakukan penyesuaian dengan
denyut nadi perkembangan zaman dari dampak globalisasi ini. Namun demikian,
pondok pesantren terus berupaya mengimbangi irama dan alur perkembangan
zaman dalam rangka menjawab tantangan globalisasi. Bagaimana pondok
pesantren menjawab tantang perkembangan zaman dan arus globalisasi dengan
berbekal nilai-nilai moral dan budaya yang telah dilestarikan di pesantren
mengimbangi perkembangan zaman dan tetap mempertahankan eksistensinya
sebagai lembaga pendidikan non formal yang selalu menjunjung nilai-nilai moral.
Hal ini menarik untuk ditelusur lebih jauh menilik kentalnya budaya pesantren
yang melekat di masyarakat Jawa khususnya Jawa Timur.
Permasalahan fiqh yang sering dihadapi sekarang ini adalah tidak
bertemunya antara landasan tekstual yang bersifat normative dengan konteks
sosial yang selalu berubah. Salah satu penyebab utamanya adalah perspektif
fiqh yang cenderung formalistik dan tidak terkonsentrasi pada aspek teologis.
Perspektif fiqh tersebut dapat dijelaskan sudah tidak sebanding dengan realitas
sosial yang mengarah pada sudut pandang teologis. Teologi dalam hal ini bukan
bermakna tauhid yang membuktikan keesaan Tuhan, tetapi teologi dilihat
dari pandangan hidup yang menjadi pedoman hidup umat Islam. Di sisi lain,
asumsi formalistik tersebut lambat laun tersisihkan oleh hakikat fiqh itu sendiri.
Kecenderungan formalitas itu seakan mulai mengaburkan entitas fiqh dalam
penerapan kehidupan sehari-hari kaum muslimin. Terlebih lagi, jika melihat
konstruksi masyarakat Islam Indonesia yang masih sangat kuat dipengaruhi
nilai-nilai tradisi peninggalan leluhur. Melalui landasan ini pembahasan akan
menitik beratkan relevansi fenomena terhadap tantangan dunia islam di era
globalisasi pada berbagai bidang terutama bidang pendidikan.
112
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)
13
Ismail Raji Al-Faruqi, Tawhid: Its Implications for Though and life, (The International
Institute of Islamic Thought, 1989), h. 17.
14
Syamsirin, “Tinjauan Filosofis Tantangan Pendidikan Islam Pada Era Globalisasi,”
Jurnal At-Ta’dib, Vol.7 No.2 (2012), h. 260.
113
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124
15
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Bogor: Kencana, 2003), h. 78.
16
Ahmad Janan Asifudin, Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofis),
(Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2009), h. 83-84.
114
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)
17
Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, (Bandung : PT.
Refika Aditama, 2009), h. 68.
18
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2008), h. 175.
115
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124
peran sentral dalam menentukan model dan peran pesantren dalam berinteraksi
dengan tren kehidupan masyarakat. Apabila konsep seperti ini mampu dilakukan
dengan baik, maka pesantren akan semakin tumbuh mengakar kuat dan
kredibilitasnya sebagai institusi pendidikan islam akan semakin naik di tengah-
tengah masyarakat.19
19
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 75.
20
Manfred Ziemek, Pesantren dalam perubahan Sosial, (Jakarta: P3M., 1986), h. 138.
21
Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Sub-Kultur”, dalam M. Dawam Rahardjo,
ed. Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 54-55.
22
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES., 1999), h. 13.
116
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)
23
Ziemek, Pesantren, h. 131. Bandingkan dengan Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren:
Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 55.
117
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124
24
Moebirman, Keris and Other Weapons of Indonesia, (Jakarta: Martinus Nitjhof, 1970),
h. 34.
25
Kadar semantik dari istilah kyai di sini mencakup secara mutlak komponen tradisional
Jawa, termasuk jugapemimpin pesantren. Gelar tersebut berada dalam kesinambungan tradisional
dan mencakup arti sebagai sebuahdimensi kerohanian masyarakat yang memiliki suatu kesaktian,
misalnya sebagai dukun atau ahli kebatinan dan guru maupun pemimpin di daerah yang
berwibawa, yang memiliki legitimasi atas wewenangnya berdasarkan kepercayaan penduduk.
26
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Terj. Umar Basalim dan Andi Muarly
Sunrawa, (Jakarta: P3M., 1987), h. 1-3.
118
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)
pondok pesantren.27
Hubungan yang melekat antara unsur pribadi dengan sistem sosial ini
adalah faktor utama yang mematangkan kepemimpinan tersebut. Ini berarti
bahwa selama pribadi yang disebut pemimpin dianggap atau dinilai –oleh
masyarakat pengikutnya—telah memenuhi kebutuhan dari sistem sosial dan
komunitas pendukungnya, maka selama itu pula ia dapat mempertahankan ikatan
emosional di antara para pengikutnya, dan selama itu pula kepemimpinannya
tetap berlanjut.28
Kepemimpinan kyai, sering diidentikkan dengan atribut kepemimpinan
yang melahirkan budaya “pekewuh”. Dalam konteks tersebut, kyai- kyai pondok
pesantren, dulu dan sekarang, merupakan sosok penting yang dapat membentuk
kehidupan sosial, kultural dan keagamaan warga muslim di Indonesia. Pengaruh
kyai terhadap kehidupan santri tidak terbatas pada saat santri masih berada di
pondok pesantren, akan tetapi berlaku dalam kurun waktu panjang, bahkan
sepanjang hidupnya, ketika sudah terjun di tengah masyarakat.
Mendefinisikan kepemimpinan sebagai usaha untuk mengarahkan
perilaku orang lain untuk mencapai tujuan29, mempunyai makna bahwa
pemimpin memerankan fungsi penting sebagai pelopor dalam menetapkan
struktur, keadaan, ideologi dan kegiatan kelompoknya. Sehubungan dengan ini,
terdapat tiga perspektif dalam memahami fenomena kepemimpinan. Pertama,
kepemimpinan dapat dipandang sebagai kemampuan yang ada dalam diri
individu. Hal ini berarti aspek tertentu dari seseorang telah memberikan suatu
penampilan berkuasa dan menyebabkan orang lain menerima perintahnya
sebagai sesuatu yang mesti diikuti. Ia diyakini memperoleh bimbingan “wahyu”,
memiliki kualitas yang dipandang sakral dan menghimpun massa dari masyarakat
kebanyakan.
Dalam perspektif Max Weber, kepemimpinan yang bersumber dari
kekuasaan luar biasa disebut kepemimpinan kharismatik atau charismatic
authority30 Kepemimpinan jenis ini didasarkan pada identifikasi psikologis
seseorang dengan orang lain. Kedua,bentuk kepemimpinan terletak bukan pada
27
Sukamto, Kepemimpinan Kyai, h. 19
28
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES.,
1987), h. 64.
29
Franklin S. Haiman, Leadership and Democratic Action, (Houghton: Mifflin Company,
1971), h. 228.
30
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization,. Terj. Talcott Parson, (New
York: The Free Press,1966), h. 358.
119
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124
diri kekuasaan individu, melainkan dalam jabatan atau status yang dipegang
oleh individu. Dalam perspektif Weber, kekuasaan yang bersandar pada tata
aturan disebut sebagai legal authority. Pola aturan normatif dan hak memerintah
dari pemimpin yang terpilih berdasarkan pola aturan yang sah. Ketiga, bentuk
kepemimpinan tradisional, yang bersumber pada kepercayaan yang telah mapan
terhadap kesakralan tradisi kuno. Kedudukan pemimpin ditentukan oleh
kebiasaan-kebiasaan lama yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam
melaksanakan berbagai tradisi.
Berdasarkan penjelasan Max Webber, ketiga bentuk kepemimpinan
tersebut melekat erat dalam budaya “pekewuh” terhadap kyai di pesantren.
Budaya ini tumbuh subur dengan diikuti factor-faktor internal dan eksternal
yang berkembang. Pada perkembangannya budaya “pekewuh” pada kyai menjadi
model khas yang akan ditemukan di daerah-daerah tradisional dengan pesantren
menjadi bagian penting dari lapisan sosial masyarakat tersebut.
31
Lucian W. Pye, Aspect of Political Development, (Boston: Little Brown, 1965), h. 8
120
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)
121
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124
Penutup
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, kepemimpinan
di pesantren dengan budaya “pekewuh” tokoh keagamaan Islam (kiai) terdapat
pada masyarakat yang masih tradisional. Kedua, kepemimpinan yang melahirkan
budaya “pekewuh” kiai pada masyarakat transisi –apalagi pada masyarakat
modern dan masyarakat metropolis— telah mengalami krisis legitimasi, irrelevant
sense di era globalisasi, dan perubahan secara degradatif, karena berbagai
dinamika dan perubahan yang terjadi, baik yang bersifat internal pesantren
maupun dinamika eksternal komunitas Muslim, dalam maknanya yang luas.
Dengan melihat perubahan status tersebut, sudah selayaknya, dalam
dinamika kehidupan sosio-kultural yang dinamis ini, kiai, mau tidak mau
pertama, melakukan kaji ulang terhadap statusnya, yakni berusaha melakukan
retrospeksi bahwa dirinya kini bukan satu-satunya institusi tempat masyarakat
122
Budaya “Pakewuh” Santri pada Kyai:... (M. Baiqun Isbahi, Novy Setia Yunas)
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta:
LP3ES., 1987.
Ahmad, Tafsir Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2008.
Anderson, Benedict ROG, Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa
ter. Ali As’ad, Semarang: Menara Kudus, 1972.
Asifudin, Ahmad Janan, Mengungkit Pilar-pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofis),
Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press, 2009.
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2004.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1982.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1982.
Geertz, Clifford, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.
123
Millatī, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 1, Juni 2018: 103-124
124