Kartika Ning Tyas
Kartika Ning Tyas
Kartika Ning Tyas
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Indonesia has high diversity of pummelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.) which
economically potential. The pummelo diversity must be conserved to overcome
its extinction due to biotic and abiotic stresses. In vitro conservation using slow
growth technique can be considered as an alternative of ex-situ conservation. The
objective of this research was to study pummelo organogenesis and to find out an
effective medium to conserve pummelo using slow growth technique. Three
experiments were conducted in this research to conserve pummelo. Organogenesis
was induced on pummelo leaf, root and epicotyl to find out the best explant and
medium to produce pummelo shoot effectively. Two conservation experiments
using slow growth were conducted to find out the best medium to conserve
pummelo. The first conservation experiment was done using reduction of MS
medium and sucrose concentration, while the second conservation method was
done using osmotic regulator and retardant. The results showed effective direct
organogenesis of pummelo could be induced by culturing epicotyl explant
vertically in MS medium without plant growth regulator under 24 hour light. In
the first conservation experiment, the best medium to conserve pummelo using
reduction of MS medium and sucrose concentration was MS medium without
sucrose that inhibited leaf formation 37%, shoot elongation 75%, root elongation
49,4%, and the estimation to conserve pummelo was 30,7 months. While in the
second conservation experiment, the best medium to conserve pummelo using
osmoticum and retardant is MS + sorbitol 2% + paclobutrazol 7,5 ppm, that
inhibited shoot length 65,1%, leaf formation 84,6%, root number 20%, root
length 81%, and the estimation to conserve pummelo was 22,2 months. However,
based on percentage of growth inhibition to the planlet and the appearance of the
conserved planlet, the more suitable medium to conserve pummelo was MS +
sorbitol 2% + paclobutrazol 7,5 ppm. After conservation periode, pummelo could
grow normally in recovery medium (MS0) and aclimatization medium (soil :
husk : compos = 2 : 1 :1).
Keyword : pummelo, slow growth, conservation, osmoticum, paclobutrazol
RINGKASAN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Ujian Tertutup:
NRP : A 262070071
Program Studi : Agronomi dan Hortikultura
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Prof. Dr. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
disertasi yang berjudul “Organogenesis dan Konservasi In Vitro Pamelo (Citrus
maxima (Burm.) Merr.)”.
Penelitian dan penulisan disertasi ini berlangsung dibimbing Prof. Dr.
Slamet Susanto, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan dua Anggota
Komisi Pembimbing yakni Dr. Iswari Saraswati Dewi, dan Dr. Nurul Khumaida,
M.S. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang tulus atas waktu dan kesempatan yang telah diluangkan dalam mengarahkan
dan membimbing penulis.
Penelitian dan penyelesaian disertasi ini sebagian didanai oleh KKP3T
2009 dan Ristek 2010, karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih
kepada Kementerian Pertanian dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi
selaku pemberi dana, serta tim peneliti KKP3T 2009 dan Ristek 2010. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan juga kepada Dr. Arifah Rahayu M.Si., M. Randi
Ginting, SP dan Nugroho, SP atas kebersamaannya dalam penelitian.
Penghargaan yang setinggi-tingginya serta rasa terima kasih yang tulus,
penulis sampaikan juga kepada :
1. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang telah memberikan ijin belajar dan
beasiswa pada semester lima sampai tujuh kepada penulis.
2. Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor LIPI yang telah
memberikan ijin belajar.
3. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Program
Studi Agronomi dan Hortikultura Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor yang telah menerima penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian
Bogor.
4. Dr. Sandra Arifin Azis, M.S. dan Dr. Dewi Sukma, M.Si., selaku penguji luar
komisi saat ujian prelim lisan; Dr. Agus Purwito, M.Sc. Agr. dan Dr. Dewi
Sukma, M.Si. selaku penguji luar komisi saat sidang tertutup serta Prof. Dr.
Ika Mariska, M.Sc. dan Dr. Diny Dinarti, M.Si, selaku penguji luar komisi
saat sidang terbuka yang telah memberikan saran-saran dan koreksi untuk
menyempurnakan tulisan ini.
5. Staf pengajar di Program Studi Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian
IPB yang telah mengajarkan berbagai ilmu untuk penulis.
6. Prof. Dr. Didy Sopandie M.Agr. dan Dr. Dorly untuk semua bantuannya.
7. Kepala beserta Staf Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman dan Laboratorium
Mikroteknik Faperta IPB, atas kerjasama, kebersamaan, dan bantuannya.
8. Rekan-rekan AGH 2007 atas kebersamaan dan bantuannya yang tanpa pamrih.
9. Keluarga Dr. La Muhuria M.P. (alm); Dr. Sri Rahayu M.Si., Tri Lestari, M.Si
dan Bapak Sukimin atas bantuan dan doanya.
10. Ayahanda Drs. Mulyadi (alm) dan ibunda Siti Kartini (alm) serta Ibunda Dra.
Siti Rochani, M.Pd. yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan
kasih sayang dan do‟anya.
11. Suami tercinta Ir. Gunawan Setyono yang telah memberi dana dan ijin untuk
melanjutkan studi ke Sekolah Pascasarjana IPB dan anak-anak yang
tersayang: Aslam, Nabil dan Arkaan atas do‟a, dorongan, pengertian, dan
pengorbanannya.
12. Keluarga besar Wignyo Sartono, Bani Sidiq dan Bani Chusaini atas doanya.
13. Adik-adik sekeluarga: Endah Safitri, M.T.; Ratna Adi Jaya, SE; dr. Evi
Rokhayati, SpA atas iringan do‟a dan motivasinya.
14. Rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana IPB, PKT-Kebun Raya Bogor-LIPI,
Laboratorium Kultur Jaringan IPB serta semua pihak yang telah memberikan
dukungan dan bantuan serta doa.
Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang pertanian. Amin.
Penulis lahir di Surakarta pada 7 April 1969, merupakan putri pertama dari
empat bersaudara dari ayah Drs. Mulyadi dan Ibu Siti Kartini. Penulis dididik dan
dibesarkan Ibu Dra. Siti Rochani, M.Pd. Penulis menikah dengan Ir. Gunawan
Setyono dan telah dikaruniai tiga putra.
Pada Juli 1987, penulis diterima melalui jalur PMDK di Fakultas Pertanian
Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Jurusan Budidaya Pertanian Program
Studi Agronomi dan lulus pada bulan Maret 1992. Jenjang Strata dua (S-2) diikuti
pada Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
mulai pada Agustus 2003 dan selesai September 2006. Selanjutnya, sejak
Agustus 2007 penulis mengikuti pendidikan jenjang Strata tiga (S-3) di Program
Studi Agronomi dan Hortikultura Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Tahun 1992-1993 penulis bekerja sebagai dosen honorer di Fakultas
Pertanian Universitas Islam Batik Surakarta. Sejak 1 April 1994 penulis bekerja di
Pusat Konservasi Tumbuhan (PKT) Kebun Raya Bogor-LIPI sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii
1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................................. 1
Tujuan .......................................................................................................... 3
Hipotesis ...................................................................................................... 3
Manfaat ........................................................................................................ 4
Bagan Alur penelitian ................................................................................. 4
5
2. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
Botani, Asal Usul dan Manfaat Pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr. ..... 5
Perbanyakan dan Budidaya Pamelo ............................................................ 6
Konservasi Plasma Nutfah ........................................................................... 7
Konservasi in vitro ....................................................................................... 9
Penurunan konsentrasi media untuk konservasi in vitro ..................... 10
Pengaturan potensial osmotik pada media untuk konservasi in
vitro...................................................................................................... 11
Penggunaan retardan dalam konservasi in vitro................................... 12
Organogenesis Langsung ............................................................................... 14
Zat Pengatur Tumbuh yang mempengaruhi organogenesis ................. 17
Auksin .................................................................................................. 18
Sitokinin ............................................................................................... 20
Giberelin .............................................................................................. 21
3. ORGANOGENESIS TUNAS SECARA LANGSUNG PADA DAUN,
AKAR DAN EPIKOTIL DARI BIJI PAMELO {Citrus maxima (Burm.)
23
Merr.} YANG DIKECAMBAHKAN SECARA IN VITRO........................
23
Abstrak ........................................................................................................ 23
Abstract .......................................................................................................
Pendahuluan.................................................................................................. 24
Bahan dan Metode........................................................................................ 25
Hasil dan Pembahasan ................................................................................. 28
Simpulan....................................................................................................... 36
Saran ........................................................................................................... 36
4. KONSERVASI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Merr.} DENGAN
37
PENURUNAN KONSENTRASI MEDIA MS DAN SUKROSA ..............
Abstrak ......................................................................................................... 37
Abstract ........................................................................................................ 37
Pendahuluan.................................................................................................. 38
Bahan dan Metode........................................................................................ 39
Hasil dan Pembahasan ................................................................................. 40
Simpulan ...................................................................................................... 51
Saran ............................................................................................................ 52
5. KONSERVASI PAMELO (Citrus maxima (Burm.) Merr.) DENGAN
REGULATOR OSMOTIK DAN RETARDAN .......................................... 53
Abstrak ......................................................................................................... 53
Abstract ........................................................................................................ 53
Pendahuluan.................................................................................................. 54
Bahan dan Metode........................................................................................ 55
Hasil dan Pembahasan ................................................................................. 57
Simpulan ...................................................................................................... 68
Saran ............................................................................................................ 69
6. 6. PEMBAHASAN UMUM ............................................................................ 70
7. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 77
LAMPIRAN ..................................................................................................... 83
xvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1 Bagan alur penelitian ............................................................................. 4
2.1 Model pengendalian dalam siklus sel pada transisi dari G1 ke S oleh
sukrosa, auksin dan sitokinin .................................................................. 11
2.2 Struktur kimia paklobutrazol (Milfont et al. 2008) ............................... 12
2.3 Penghambatan oleh paklobutrazol (----) pada tiga tahap pembentukan
Gibberelin yang dapat menyebabkan akumulasi phytol (klorofil),
asam absisik dan squalene .................................................................... 13
2.4 Tahapan yang dilalui sel-sel eksplan dalam organogenesis langsung . ...... 15
2.5 Regulasi phytohormon dalam tanaman ...................................................... 17
2.6 Konsentrasi relatif auksin dan sitokinin diperlukan secara khusus
untuk pertumbuhan dan morfogenesis ................................................... 18
2.7 Interkonversi IAA dan IBA ........................................................................ 19
2.8 NAA. Auksin sintetik yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman 20
2.9 Benzyl adenine, sitokinin yang digunakan dalam kultur jaringan
tanaman .................................................................................................. 21
2.10 Struktur kimia GA3................................................................................ 21
3.1 Organogenesis pada daun pamelo yang diinkubasi di ruang gelap ....... 29
3.2 Irisan melintang eksplan daun pamelo „Adas Duku‟ yang membentuk
akar adventif .......................................................................................... 29
3.3 Tunas adventif yang tumbuh pada eksplan akar pamelo yang
diinkubasi di ruang terang 4 BSK .......................................................... 31
3.4 Tunas adventif pada eksplan epikotil pamelo yang diinkubasi di
ruang gelap ............................................................................................. 33
3.5 Tunas adventif pada eksplan epikotil pamelo yang diinkubasi di
ruang terang .......................................................................................... 35
3.6 Irisan melintang pada eksplan epikotil menunjukkan tunas adventif
tumbuh secara langsung dari kambium di antara berkas pembuluh ...... 35
4.1 Pertumbuhan tunas pamelo pada konservasi dengan penurunan
konsentrasi media MS dan sukrosa ........................................................ 41
4.2 Pertumbuhan daun pamelo pada perlakuan konservasi dengan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ...................................... 41
4.3 Penambahan jumlah daun pada konservasi dengan penurunan
konsentrasi media MS dan sukrosa tujuh bulan setelah konservasi ...... 43
4.4 Waktu tumbuh akar pada konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa ........................................................................... 44
4.5 Jumlah akar pamelo pada konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa tujuh bulan setelah konservasi ......................... 44
4.6 Anatomi akar pamelo pada konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa ...........................................................................
46
4.7 Keragaan visual pamelo „Adas Duku‟ pada konservasi dengan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa tujuh bulan setelah
konservasi .............................................................................................. 46
4.8 Persentase pertumbuhan relatif tinggi tunas pamelo pada konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ......................... 47
4.9 Persentase pertumbuhan relatif pembentukan daun pamelo pada
konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ....... 48
4.10 Persentase pertumbuhan relatif pembentukan akar pamelo pada
konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ....... 48
4.11 Persentase pertumbuhan relatif panjang akar pamelo pada konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ......................... 49
5.1 Penambahan tinggi tunas pamelo pada konservasi dengan osmotikum
dan retardan tujuh bulan setelah konservasi .......................................... 58
5.2 Penambahan jumlah daun pamelo pada konservasi dengan osmotikum
dan retardan tujuh bulan setelah konservasi .......................................... 59
5.3 Jumlah akar pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan retardan
tujuh bulan setelah konservasi ............................................................... 60
5.4 Panjang akar pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan retardan
tujuh bulan setelah konservasi ............................................................... 61
5.5 Anatomi akar plantlet pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan
retardan .................................................................................................. 61
5.6 Keragaan visual plantlet yang berasal dari pucuk kecambah pamelo
„Adas Duku‟ pada konservasi dengan osmotikum dan retardan ........... 62
5.7 Keragaan visual plantlet yang berasal dari tunas adventif pamelo
„Adas Duku‟ tujuh bulan setelah konservasi dengan osmotikum dan
retardan .................................................................................................. 63
5.8 Persentase pertumbuhan relatif jumlah daun pamelo pada konservasi
dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi ........... 64
5.9 Persentase pertumbuhan relatif panjang tunas pamelo pada konservasi
dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi ........... 65
5.10 Persentase pertumbuhan relatif jumlah akar pamelo pada konservasi
dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi ......... 65
5.11 Persentase pertumbuhan relatif panjang akar pamelo pada konservasi
dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi .......... 66
xviii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
3.1 Organogenesis pada eksplan daun pamelo „Adas Duku‟ dua bulan
setelah kultur ........................................................................................... 28
3.2 Respon akar pamelo „Adas Duku‟ pada empat bulan setalah kultur ....... 31
3.3 Inisiasi tunas pada eksplan epikotil pamelo „Adas Duku‟ di ruang gelap
pada media yang berespon dua bulan setelah kultur ................................ 33
3.4 Pengaruh posisi eksplan epikotil pamelo „Adas Duku‟ terhadap inisiasi
tunas di media MS0 dua bulan setelah kultur ........................................... 34
4.1 Pengaruh tunggal penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
terhadap tinggi tunas pamelo „Adas Duku‟ tujuh bulan setelah
konservasi ................................................................................................. 42
4.2 Pengaruh tunggal penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
terhadap panjang akar pamelo „Adas Duku‟ tujuh bulan setelah
konservasi ................................................................................................. 45
4.3 Pemulihan dan aklimatisasi pamelo „Adas Duku‟ setelah konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ............................ 50
4.4 Perkiraan lama konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS
dan sukrosa berdasar pertumbuhan panjang tunas.................................... 51
5.1 Pemulihan dan aklimatisasi pamelo „Adas Duku‟ setelah konservasi
dengan menggunakan osmotikum dan retardan ...................................... 67
5.2 Perkiraan lama konservasi dengan osmotikum dan retardan berdasar
pertumbuhan panjang tunas ...................................................................... 68
6.1 Persentase pertumbuhan relatif pamelo „Adas Duku‟ pada media
konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
selama tujuh bulan .................................................................................... 72
6.2 Persentase pertumbuhan relatif pamelo „Adas Duku‟ pada media
konservasi dengan osmotikum dan retardan selama tujuh bulan ............. 74
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Pamelo „Adas Duku‟ dari Magetan Jawa Timur ...................................... 84
2 Karakter pamelo „Adas Duku‟.................................................................. 85
3 Komposisi Media MS (Murashige dan Skoog 1962) ............................... 88
4 Hasil uji percobaan konservasi dengan penurunan konsentrasi media
MS dan sukrosa ......................................................................................... 89
5 Hasil uji percobaan konservasi dengan osmotikum dan retardan ............. 91
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
2
melalui organogenesis dari bagian-bagian tanaman yang bersifat meristematik
sehingga perubahan genetik yang terjadi relatif kecil (Trigiano dan Gray 2005).
Jenis tanaman yang telah berhasil disimpan dengan teknik pertumbuhan
lambat antara lain ubi jalar (Roostika dan Sunarlim 2001), ubi kayu (Sunarlim dan
Zuraida 2001), gembili (Sunarlim et al. 2004), kentang hitam (Roostika et al.
2005), talas (Dewi 2002). Pada pamelo cv Sri Nyonya, Dewi et al. (2010)
melaporkan bahwa dari pengamatan sampai dengan lima bulan setelah kultur,
pertumbuhan lambat dapat diinduksi menggunakan media MS + sorbitol 2%.
Namun, konservasi in vitro untuk menginduksi pertumbuhan lambat pada pamelo
menggunakan media kombinasi penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
serta kombinasi perlakuan osmotikum dan retardan belum dilakukan pada pamelo.
Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini untuk mempelajari konservasi pamelo
secara in vitro melalui pertumbuhan lambat.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mendapatkan eksplan dan media yang efektif menginduksi tunas melalui
organogenesis langsung pada pamelo.
2. Mendapatkan media konservasi pamelo melalui pertumbuhan lambat
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa.
3. Mendapatkan media konservasi pamelo melalui pertumbuhan lambat
dengan penggunaan osmotikum dan retardan.
Hipotesis
1. Terdapat jenis eksplan dan media yang efektif dalam membentuk tunas
melalui organogenesis langsung pada pamelo.
3
Manfaat
PAMELO
Organogenesis langsung:
Macam eksplan (daun, akar, epikotil)
ZPT : BAP (0,1,2 ppm) dan NAA (0; 0,5; 1 ppm)
Kondisi inkubasi : terang dan gelap
Posisi eksplan : vertikal dan horisontal
Gambar 1.1 Bagan alur penelitian organogenesis dan konservasi in vitro pamelo
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
Botani, Asal Usul dan Manfaat Pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.
Jeruk (Citrus) terdiri atas tiga spesies asal, yaitu Citrus medica L. (citron),
Citrus maxima (Burm.) Merr. (pamelo) dan Citrus reticulata Blanco (mandarin).
Pamelo memiliki sinonim C. grandis (L.) Osbeck, C. decumana L., C. aurantium
var. grandis L. dan C. aurantium var. decumana L. (Manner et al. 2006). Pamelo
memiliki jumlah kromosom 2n = 18 (Niyomdham 1997). Hasil persilangan antara
pamelo dan mandarin (Citrus × aurantium) menghasilkan tiga hibrid pamelo
yaitu: 1. Citrus × aurantium (pomelo × mandarin) sering disebut sebagai jeruk
asam (sour orange) yang lebih banyak membawa sifat pamelo daripada mandarin.
2. Citrus × sinensis (pomelo × mandarin) yang sering disebut jeruk manis (sweet
orange) yang lebih banyak membawa sifat mandarin daripada pamelo. Kelompok
ini termasuk semua silangan dari orange, mandarin dan grapefruit seperti tangor,
ortanique, tangelo dan hasil persilangan baliknya (Page dan Nova). 3. Citrus ×
paradisi (pomelo × orange) sering disebut sebagai grapefruit (Mabberley 1997).
Tanaman pamelo berbentuk pohon dengan tinggi dapat mencapai 15 meter
(Manner et al. 2006). Daun pamelo berbentuk bulat telur sampai jorong; dengan
ukuran 5-20 cm x 2-12 cm; pangkal membundar sampai menjantung; tepi daun
rata sampai beringgit dangkal; ujung daun lancip sampai tumpul. Terdapat bintik-
bintik kelenjar minyak. Panjang tangkai daun dapat mencapai 5 cm, bersayap
yang lebarnya dapat mencapai 2 cm. Daun muda berwarna hijau muda, daun tua
berwarna hijau agak suram (Niyomdham 1997). Bunga pamelo tunggal atau
dalam tandan bunga; kuncup berwarna putih, kelopak bunga 3-5. Stamen 25-35,
beberapa tidak berkembang sempurna. Tangkai putik panjang (Dianxiang dan
Mabberley 2008).
Buah pamelo termasuk buah buni, berbentuk agak bulat seperti bola sampai
berbentuk seperti buah pir (pyriform). Diameter buah 10-30 cm. Kulit buah
berwarna hijau dan menjadi kuning ketika masak. Bintik-bintik kelenjar minyak
banyak terdapat pada permukaan kulit. Tebal kulit buah 1-4 cm. Buah terdiri atas
8-16 bagian (septa/juring). Septa-septa buah mudah dilepas satu sama lain. Septa
berisi daging buah. Kotiledon berwarna putih, embrio tunggal. Biji bersifat
rekalsitran (Niyomdham 1997).
Pamelo berasal dari Malesia yang meliputi Semenanjung Malaysia,
Filipina, Thailand bagian selatan, Sarawak, Brunai, Indonesia, Papua Nugini dan
pulau-pulau kecil di sekitar Papua Nugini. Pamelo kemudian tersebar sampai ke
Indochina; Cina bagian selatan dan bagian selatan Jepang dan dan menyebar ke
arah barat ke India, wilayah Mediteran dan Amerika Tropik. Pamelo telah
dibudidayakan dengan baik di China, Jepang, Vietnam, Malaysia, Indonesia dan
Thailand (Niyomdham 1997).
Menurut Ara et al. (2008) buah pamelo mengandung 90,3 g air, 0,3 g
mineral, energi 38 k.cal, 0,5 g protein, 0,3 g lemak, 8,5 g karbohidrat, 37 mg
kalsium, 0,2 mg zat besi, 120 μg karoten, 0,06 mg vitamin-B1, 0,04 mg vitamin-
B2 dan 105 mg vitamin C per 100g bagian yang dapat dimakan. Buah pamelo
biasanya dimakan segar atau dibuat jus, kadang dibuat selai dan sirop. Kulit buah
mengandung beberapa senyawa volatil dan secara tradisional digunakan untuk
mengobati batuk, memar dan epilepsi. Lapisan kulit luar dapat dimanfaatkan
untuk membuat manisan. Lapisan kulit bagian tengah (albedo) dapat diekstrak
untuk diambil pektinnya yang digunakan sebagai serat diet untuk mengurangi
berat badan (Morton 1987).
6
raya biasanya terjadi pada bulan April-Juli dan panen kecil dilakukan pada bulan
Desember-Januari. Perawatan tanaman pamelo meliputi pemupukan,
pengendalian hama penyakit, pemangkasan dan pembungkusan buah (Deptan
2007). Dosis pupuk N, P dan K yang direkomendasikan berdasarkan hasil panen
untuk tanaman pamelo Nambangan di tanah Entisol Sukomoro, Kabupaten
Magetan adalah 150% dari total NPK yang terangkut buah atau setara dengan
2,775% (N : P : K = 2 : 1 : 4) dari bobot buah yang dipanen per tahun. Dosis
tersebut 50% diaplikasikan pada awal musim hujan dan sisanya diaplikasikan
empat bulan dari pemupukan pertama (Sutopo et al. 2006).
Penyakit yang dapat menyerang tanaman pamelo antara lain CVPD (Citrus
Vein Phloem Degeneration) yang disebabkan oleh Liberobacter asiaticus (bakteri
gram negatif) melalui perantaraan vektor kutu loncat Diaphorina citri. Penyakit
lainya adalah tristeza (CTV), puru berkayu (CVEV), exocortis (CEV), psorosis
(CPsV), cachexia xyloporosis (CcaV), dan tatter leaf (CTLV) (Anonim 2007).
Keanekaragaman hayati adalah variasi yang ada pada spesies tumbuhan dan
hewan, material genetiknya dan ekosistem tempat spesies tersebut berada
(Indrawan et al. 2007). Pamelo Indonesia juga memiliki keragaman yang khas
pada masing-masing sentra produksi. Kultivar pamelo yang terdapat di Indonesia
antara lain „Giri Matang‟ (Putih Manis), „Putih Asam‟, „Merah Manis‟ dan „Merah
Asam‟ (Aceh), „Bageng Taji‟ (Pati), „Muria Putih‟ dan „Muria Merah‟ (Kudus),
„Nambangan‟, „Bali Merah‟, „Bali Putih‟, „Adas Duku‟, „Jawa‟, „Magetan‟, „Sri
Nyonya‟ (Magetan) (Susanto 2010). Beberapa kultivar pamelo telah
dibudidayakan secara luas di sentra produksi seperti Giri Matang, Bageng Taji,
Nambangan dan Bali Merah yang juga merupakan varietas unggulan yang telah
dilepas pemerintah. Keberadaan pamelo yang bersifat khas dan budidayanya di
lahan pekarangan ini rentan terhadap kerusakan habitat dan serangan hama
penyakit, sehingga upaya konservasi diperlukan untuk menjaga kelestariannya.
Tujuan utama dari kegiatan konservasi adalah untuk mengoleksi dan
mengelola keragaman genetik agar terjamin keberadaannya di masa yang akan
datang (Rao 2004). Konservasi perlu dilakukan sesuai prinsip etika biologi
7
konservasi yang meliputi: 1. Keanekaragaman spesies dan komunitas biologi
harus dilindungi, 2. Kepunahan spesies yang terlalu cepat harus dihindari, 3.
Kompleksitas ekologi harus dipelihara, 4. Evolusi harus berlanjut, dan 5.
Keanekaragaman hayati memiliki nilai intrinsik (Indrawan et al. 2007).
Konservasi dapat dilakukan secara in-situ dan eks-situ. Konservasi secara
in-situ meliputi pengelolaan sumber daya genetik di habitat alaminya, baik
sebagai komunitas tumbuhan liar dan tidak dibudidayakan atau kultivar-kultivar
tanaman di lahan petani sebagai komponen pada sistem budidaya tradisional.
Konservasi eks-situ meliputi konservasi di luar habitat alami melalui bank biji,
kebun-kebun koleksi dan kebun raya. Penyimpanan DNA dan polen secara tidak
langsung juga berkontribusi pada konservasi eks-situ sumber daya genetik
tanaman (Towill 2005).
Konservasi eks-situ pamelo antara lain telah dilakukan oleh kebun koleksi
Balai Penelitian Jeruk dan Tanaman Tropika di Batu Malang. Konservasi eks-situ
dengan menanam koleksi hidup pada tanaman jeruk dilakukan di dalam rumah
kassa yang bebas serangga (insect-proof screenhouse) dan di kebun koleksi. Di
dalam rumah kassa, koleksi diharapkan akan terlindungi dari patogen yang ada di
tanah dan udara. Untuk keperluan tersebut, maka rumah kassa biasanya memiliki
dua lapis dinding kassa dan dua lapis pintu masuk serta jadwal pengendalian hama
penyakit pada interval waktu tertentu. Selain itu, koleksi ditanam di dalam wadah
supaya terhindar dari aliran permukaan. Jumlah koleksi yang ditanam minimum
dua tanaman/genotipe, yang diperbarui setiap 10 tahun (Carimi et al. 2012).
Koleksi pamelo dapat ditanam pada kebun koleksi jeruk, yang sebaiknya
memenuhi syarat: 1. berlokasi sekurang-kurangnya 100 m dari kebun komersial,
bebas patogen dan inokulum jamur perusak (Phoma traecheiphila), 2. tanahnya
subur dan tidak ditanami jeruk selama lima tahun, bebas dari tunggul-tunggul
jeruk, bebas nematoda dan jamur penting dalam pertanian, 3. terhindar dari aliran
permukaan, 4. tidak ada tanaman selain jeruk. Jumlah koleksi yang ditanam 4–8
tanaman/genotipe, koleksi dipetakan dan dilabel dengan baik. Penanaman
dilakukan pada plot yang homogen untuk satu spesies tunggal. Pengendalian
hama penyakit dilakukan secara rutin. Plot diperbarui setiap 40 tahun (Carimi et
al. 2012).
8
Keuntungan dari koleksi hidup adalah bersifat sama dengan induknya (true
to type). Namun demikian, konservasi eks-situ pada kebun koleksi rawan terhadap
kerusakan akibat hama penyakit dan bencana alam, perlu lahan luas, tenaga dan
biaya untuk perawatan koleksi (Rao 2004). Untuk itu diperlukan metode lainnya
yang dapat mengatasi kelemahan metode konservasi ini yaitu dengan konservasi
eks-situ secara in vitro.
Konservasi In Vitro
9
penghambat pertumbuhan dan penggunaan tempat kultur yang lebih besar dan
volume media yang lebih banyak (Withers 1985; Hu dan Wang 1983).
Penggunaan suhu rendah merupakan teknik utama yang dilakukan untuk
konservasi in vitro. Teknik ini dapat mengurangi masalah penyakit, frekuensi
subkultur, hemat tenaga, dan ruang, tetapi memerlukan energi listrik untuk
menjaga kestabilan suhu. Penghambatan pertumbuhan dapat terjadi pada suhu
rendah karena dinding sel planlet menjadi tebal akibat akumulasi lemak tidak
jenuh, sehingga pembelahan dan pemanjangan sel terhambat (Shibli et al. 2006).
Suhu yang diperlukan untuk konservasi tergantung ekologi dan asal geografi
masing-masing spesies yang dikoleksi, umumnya berkisar 0–5oC. Beberapa
tanaman telah berhasil dikonservasi pada suhu rendah seperti kopi (Debrunais et
al. 1992) dan minth (Reed 1999).
Penurunan konsentrasi media untuk konservasi in vitro
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara in vitro dipengaruhi oleh
faktor genetik, lingkungan dan komponen media. Media kultur dapat dengan
mudah dimanipulasi sesuai tujuan. Media kultur in vitro terdiri dari 95% air, hara
makro dan mikro, zat pengatur tumbuh, vitamin, gula dan kadang ditambahkan
material organik sederhana sampai komplek (Beyl 2005).
Media MS (Murashige dan Skoog 1962) merupakan media yang paling
sesuai dan paling sering digunakan dalam kultur in vitro. Media ini dikembangkan
dari hasil analisis mineral jaringan tembakau. Media MS merupakan media
dengan kandungan „garam tinggi‟ karena kandungan garam K dan N tinggi (Beyl
2005). Dalam konservasi in vitro, untuk menghambat pertumbuhan kultur dapat
dilakukan dengan penurunan konsentrasi media MS. Besarnya penghambatan
pertumbuhan akan berpengaruh pada periode konservasi (Catana et al. 2010)
Gula merupakan bagian penting dari media yang akan mensuplai nutrisi
bagi kultur, sumber energi dan sumber karbon yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan kultur (Javed dan Ikram 2008). Gula diperlukan
dalam media karena sebagian besar kultur tanaman tidak dapat berfotosintesis
secara efisien disebabkan pembentukan jaringan dan organisasi seluler yang
belum sempurna, kurangnya klorofil, pertukaran gas terbatas, dan kondisi
lingkungan yang tidak optimum seperti intensitas cahaya yang rendah (Beyl
10
2005). Penyerapan molekul gula ke jaringan tanaman terjadi melalui osmosis dan
transpor aktif dengan pompa proton (H+) (Thorpe et al. 2008). Jenis dan
konsentrasi gula tergantung pada jenis dan tahap perkembangan tanaman yang
dikultur (Beyl 2005). Gula dalam media juga berfungsi sebagai regulator osmotik
atau osmotikum (Hilae dan Te-chato 2005).
Gula yang yang digunakan dalam kultur antara lain glukosa, fruktosa, dan
sukrosa. Sukrosa merupakan sumber karbon yang biasa digunakan dalam kultur
jaringan karena dapat dimanfaatkan semua tanaman. Sukrosa bersama auksin dan
sitokinin juga berperan dalam menginduksi terjadinya siklus sel (Gambar 2.1),
sehingga kekurangan sukrosa pada tanaman akan berpengaruh terhadap siklus sel
(Gahan 2007). Konsentrasi sukrosa dalam kultur jaringan tanaman yang
menghasilkan pertumbuhan optimal berkisar antara 20–60 gL-1 (Beyl 2005).
CycD2 Sucrose induced
Inactive
Rb-E2F
CycD 3-cdk-phophosphorylated
Rb- phophosphorylated+
active E2F
START
G1 S
G1-> S
Gambar 2.1 Model pengendalian dalam siklus sel pada transisi dari G1 ke S oleh
sukrosa, auksin dan sitokinin (Gahan 2007). G1 = fase istirahat, S =
periode pembentukan DNA.
11
adanya osmotikum maka potensial osmotik media menjadi lebih rendah,
menyebabkan penyerapan hara oleh sel tanaman menjadi lambat (Bessembinder et
al. 1993).
Osmotikum yang sering digunakan dalam kultur jaringan antara lain gula,
biasanya berupa sukrosa, sorbitol dan manitol pada konsentrasi tertentu. Sorbitol
(C6H14O6) digunakan sebagai osmotikum pada kultur karena tidak semua tanaman
dapat mengkonversi sorbitol dan memanfaatkannya sebagai sumber karbon
(Montalvo-Peniche et al. 2007). Namun, pada pada jagung, apel dan kerabatnya,
sorbitol dapat ditranslokasi secara efektif karena dapat dikonversi dengan baik
menjadi glukosa oleh enzim sorbitol oksidase, atau menjadi fruktosa oleh enzim
sorbitol dehidrogenase (Traore dan Guiltinan 2006). Sorbitol juga dapat
dimetabolisme oleh tembakau, padi, jeruk dan chichory (Thorpe et al. 2008).
12
tiga tahap lintasan terpenoid yang menghasilkan giberelin. Paklobutrasol mengikat
enzim sehingga menghambat kerja enzim yang mengkatalisis reaksi pembentukan
giberelin (Gambar 2.3). Salah satu peran utama giberelin bagi tanaman adalah
merangsang pemanjangan sel. Jika produksi giberelin dihambat, pembelahan sel
masih terjadi, tetapi sel yang baru tidak memanjang. Kondisi ini akan
menghasilkan tunas dengan ruas yang memendek. Penghambatan tersebut juga
menyebabkan akumulasi senyawa antara yang terbentuk sebelum daerah yang
dihambat, sehingga menyebabkan peningkatan produksi asam absisik dan phytol
yang merupakan komponen klorofil, yang berguna untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (Chaney 2004).
ent-kaurene Paklobutrazol
chlorophyll Campesterol
Cholesterol
ent-kaurenol (in fungi)
ent-kaurenal
ent-kaurenoic acid
GA12-aldehyde
Gibberellin
Gambar 2.3 Penghambatan oleh paklobutrasol (----) pada tiga tahap pembentukan
gibberelin yang dapat menyebabkan akumulasi phytol (klorofil),
asam absisik dan squalene (dimodifikasi dari Chaney 2004 dan
Hazarika 2003).
13
penyakit yang disebabkan oleh fungi karena pembentukan campesterol yang
menghasilkan steroid pada fungi tersebut dihambat oleh keberadaan paklobutrasol
dalam tanaman (Chaney 2004).
Organogenesis langsung
14
adalah diferensiasi membentuk suatu organ (Schwarz et al. 2005, Zhang et al.
2005).
Kompeten Determinasi
Eksplan + + Organ
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Dediferensiasi Induksi Diferensiasi
Gambar 2.4 Tahapan yang dilalui sel-sel eksplan dalam organogenesis langsung
(Schwarz et al. 2005). Keterangan: + = berespon.
Tunas terbentuk dari pembelahan beberapa sel (multiseluler) yang terjadi
secara serentak (Schwarz et al. 2005). Pembentukan meristem tunas melibatkan
gen-gen dalam lintasan sinyal transduksi sitokinin. Gen tersebut antara lain CRE1
(reseptor sitokinin), AHPs, APRS, ERS1 (menginduksi pembentukan tunas
adventif, bahkan dalam keadaan tanpa zat pengatur tumbuh), KN1, STM, WUS,
CLV 1-3, p34cdc2 yang berperan meregulasi siklus sel, pembelahan sel,
perkembangan dan pemeliharaan meristem tunas. Dengan demikian, pembentukan
primordia tunas memerlukan interaksi secara molekuler antara sitokinin, siklus sel
dan lintasan pembentukan meristem tunas (Zhang et al. 2005).
Berbeda dengan pembentukan tunas, proses pembentukan akar adventif
meliputi empat tahap. Tahap awal yaitu pembentukan lokus meristematis melalui
dediferensiasi satu atau beberapa sel. Tahap kedua, terjadi multiplikasi sel-sel
menjadi kumpulan sel (spherical cluster). Tahap ketiga meliputi multiplikasi sel
lebih lanjut dengan inisiasi pembelahan sel sebidang (planar) untuk membentuk
meristem akar. Tahap keempat adalah pemanjangan sel pada bagian pangkal
meristem akar yang sedang berkembang sehingga akar yang terbentuk mulai
muncul (Schwarz et al. 2005).
Beberapa penelitian tentang organogenesis pada jeruk untuk mendapatkan
eksplan dan media yang sesuai antara lain dilakukan menggunakan eksplan
hipokotil C. halimii dengan media BA 2,2 - 11,1 uM dan NAA 2,7 uM (Normah
et al. 1997); ruas C. sinensis (L.) Osbeck dengan media BAP (1, 2, 3 ppm) dan
NAA 0,5 ppm (Silva et al. 2006); ruas batang C. reticulata (L.) Blanco, C.
limmetoides L. C. sinensis Osbeck dengan media BA 1 ppm dan NAA 10 ppm
(Usman et al. 2005), batang C. jambhiri Lush umur 3 minggu dengan media BA 3
ppm NAA 0,5 ppm (Ali dan Mirza 2006). Selain itu, Khan et al. (2009) juga
15
berhasil menginduksi tunas secara langsung dari daun jeruk manis (C. sinensis
(L.) Osbeck) kultivar Bingtangcheng dan Valencia. Pada penelitian jeruk manis
tersebut, media yang paling efektif untuk menginduksi tunas dari daun adalah
media MT (Murashige and Tucker) + BA 0,5 ppm + kinetin 0,5 ppm + NAA
0,1 ppm + sukrosa 3% + agar 0,8%, dengan pH 5,8. Kultur yang berasal dari
eksplan daun yang telah berkembang penuh menunjukkan regenerasi tunas yang
lebih baik daripada yang berasal dari daun yang belum berkembang. Analisis
RAPD menunjukkan bahwa semua tanaman yang dihasilkan secara genetik
identik dengan tanaman donor, tidak terdeteksi adanya variasi genetik. Lebih
lanjut Almeida (2002) berhasil menginduksi tunas adventif dari mata tunas tiga
kultivar jeruk manis dengan hasil terbaik diperoleh pada media MS + BAP 1 ppm,
sedangkan untuk lemon „Rangpur‟ yang terbaik adalah MS + 2,5 ppm BAP.
Proses organogenesis juga dipengaruhi cahaya. Pembentukan kloroplas
dan klorofil yang berpengaruh terhadap warna hijau pada kultur dipengaruhi oleh
cahaya. Enzim NADPH:Prothochlorophyllide (photo) oxidoreductase tidak aktif
dalam keadaan tanpa cahaya sehingga tahap awal pembentukan korofil yaitu
perubahan prothochlorophyllide menjadi chlorophyllide tidak dapat berlangsung
(Sandmann dan Scherr 1998). Hal ini menyebabkan kultur yang terbentuk di
ruang gelap menjadi berwarna putih. Aktivitas hormon tanaman juga dipengaruhi
oleh cahaya (Taiz dan Zeiger 2002). Etiolasi terjadi karena pengaruh auksin
(Srivastava 2002), yang menyebabkan kultur yang ditempatkan di ruang gelap
lebih panjang dibandingkan kultur di ruang terang.
Posisi eksplan berpengaruh pada translokasi hara, hormon dan air. Posisi
eksplan vertikal lebih efisien dalam penyerapan hara, air dan translokasi auksin
pada planlet yang berpengaruh terhadap pembentukan tunas pada eksplan (Peer et
al. 2011). Auksin ditranslokasi secara basipetal, sedangkan sitokinin secara
akropetal (Davies 2004), yang akan berpengaruh pada konsentrasi hormon pada
eksplan. Disamping itu, translokasi auksin juga dipengaruhi oleh gravitasi dan
polaritas (Srivastava 2002).
16
Zat Pengatur Tumbuh yang Mempengaruhi Organogenesis
Pembentukan
[Phytohormon] Transpor
Kompartementasi
Degradasi Konjugasi
17
menentukan determinasi sel (Staden et al. 2008 Gambar 2.6). Rasio sitokinin
auksin yang sedang akan menginduksi pembentukan akar adventif dari kalus dan
inisiasi kalus pada dikotil, sedangkan rasio yang tinggi menginduksi pembentukan
tunas adventif dan produksi tunas aksiler pada kultur tunas. Dengan demikian,
interaksi sitokinin dan auksin penting dalam mengontrol beberapa proses
pertumbuhan dan perkembangan secara in vitro (Gaba 2005).
Auksin Sitokinin
rendah
tinggi
Gambar 2.6 Konsentrasi relatif auksin dan sitokinin diperlukan secara khusus
untuk pertumbuhan dan morfogenesis (Staden et al. 2008).
Auksin
Auksin berperan penting dalam mengatur beberapa pertumbuhan dan
proses-proses lainnya dalam siklus hidup tanaman. Pada tingkat sel, auksin
berperan dalam menginduksi tahap awal siklus sel bersama dengan sukrosa dan
sitokinin (Gambar 2.1) (Gahan 2007), yang mempengaruhi pertumbuhan sel
melalui pembelahan dan pembesaran sel. Konsentrasi auksin bersama dengan
faktor lainnya berperan dalam diferensiasi dan spesifikasi sel (Dewitte dan
Murray 2002). Peran auksin dalam kultur in vitro tergantung pada struktur kimia,
konsentrasi, dan jaringan tanaman yang diberi perlakuan. Auksin menyebabkan
pembentukan kalus, akar dan pembesaran batang. Secara umum, auksin
merangsang pemanjangan sel, pembelahan sel dalam jaringan kambium, dan
bersama dengan sitokinin merangsang diferensiasi xilem dan floem. Auksin
18
eksogen dengan konsentrasi tinggi dapat menginduksi terjadinya embriogenesis
somatik, tetapi dapat juga menjadi beracun karena merangsang pembentukan
etilen yang dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan (Gaba 2005).
Auksin dibentuk dari triptofan atau indol, terutama di primordia daun,
daun muda dan biji yang sedang berkembang (Taiz dan Zeiger 2002). Auksin
terdapat dalam jaringan meristimatik, daun muda, dan terdapat dalam jumlah
sedikit pada daun dan sel akar yang telah dewasa. Auksin ditranspor secara aktif
dari sel ke sel, dan dalam kambium vaskuler dari pucuk ke akar, kemungkinan
juga dalam sel epidermis. Transpor auksin ke akar melalui floem (Davies 2004).
Sebagian besar auksin alami yang terdeteksi adalah IAA (indole-3-acetic
acid). Pada tanaman, IAA dibentuk dari tryptophan melalui tiga lintasan yaitu
melalui lintasan indole-3-pyruvic acid (IPA), tryptamine (TAM) atau indole-3-
acetonitrile (IAN), sedangkan lintasan indole-3-acetamide (IAM) terdapat pada
bakteri patogenik (Taiz dan Zeiger 2002). Selain IAA, terdapat juga auksin yang
terbentuk endogen yaitu 4-chloro-IAA dan indole-3-butyric acid (IBA), serta
phenylacetic acid (PAA) auksin lemah yang terbentuk alami pada tanaman
(Machakova et al. 2008).
IBA sebenarnya sejak lama dikenal sebagai auksin sintetik yang digunakan
untuk menginduksi akar, tetapi hasil penelitian terbaru telah mengidentifikasi IBA
sebagai senyawa yang terbentuk secara alami pada beberapa spesies seperti
jagung, kacang dan Arabidopsis (Machacova et al. 2008, Srivastava 2002). Pada
jagung dan Arabidopsis, IBA dibentuk dari IAA melalui suatu reaksi
pemanjangan rantai yang mirip dengan pembentukan asam lemak. IBA juga dapat
19
dikonversi ke IAA (Gambar 2.7), sehingga IBA kemungkinan juga merupakan
bagian dari pemeliharaan homeostasis IAA (Srivastava 2002).
Jenis auksin sintetik yang biasa digunakan dalam kultur in vitro adalah 1-
naphthaleneacetic acid (NAA, Gambar 2.8), 2,4-dichlorophenoyacetic acid (2,4-
D), dan 4-amino-3,5,6-trichloro-2-pyridinecarboxylic acid (picloram). Auksin
yang terbentuk secara alami indole-3-acetic acid (IAA) dan indole-3-butyric acid
(IBA) juga digunakan dalam kultur in vitro (Beyl 2005).
CH2COOH
Gambar 2.8 NAA, auksin sintetik yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman
(Gaba 2005).
Sitokinin
Sitokinin merupakan fitohormon yang berperan dalam pembelahan sel dan
morfogenesis tunas dan akar (Campbell et al. 2008), pertumbuhan tunas lateral,
dan perkembangan daun (Srivastava 2002). Sitokinin mempengaruhi beberapa
tahap dalam siklus sel sehingga terjadi pembelahan sel yaitu pada transisi G1/S
(fase istirahat ke sintesa DNA), G2/M (fase istirahat ke pembelahan sel) dan pada
fase S (sintesa DNA) (Dewitte dan Murray 2002). Sitokinin dibedakan atas dua
tipe, yaitu adenin (kinetin, zeatin dan 6-benzylaminopurine) dan fenilurea
(difenilurea dan thidiazuron (TDZ)) (Campbell et al. 2008). Sitokinin turunan
adenin dibentuk pada ujung akar dan pada biji yang sedang berkembang. Sitokinin
terekpresi pada sel perisikel dan parenkim berkas pembuluh pada bagian atas akar
(Dewitte dan Murray 2002). Sitokinin ditranspor dari akar ke pucuk melalui xilem
(Campbell et al. 2008).
Dalam tanaman, sitokinin berperan untuk memelihara aktivitas
metabolisme dan mencegah senesen (Davies 2004). Dalam kultur in vitro,
sitokinin digunakan untuk merangsang pembentukan tunas adventif, multiplikasi
tunas aksiler dan menghilangkan pengaruh dominasi apikal (Gaba 2005). Rasio
auksin terhadap sitokinin berperan penting pada efek sitokinin terhadap
20
pertumbuhan tanaman. Sitokinin secara tersendiri tidak mempunyai pengaruh
pada sel parenkim (Campbell et al. 2008).
Jenis sitokinin yang digunakan dalam kultur jaringan antara lain BA
(benziladenin, Gambar 2.9), kinetin (fulfuril-aminopurin), 2-iP (isopentenil-
adenine) atau TDZ (thidiazuron). Benzyl Adenine (BA) sering digunakan sebagai
sumber sitokinin dalam kultur jaringan karena tidak mudah dirombak oleh sistem
enzim dalam tanaman (Gaba 2005).
NH CH2
N
N
N N
H
Gambar 2.9 Benzyl adenine, sitokinin yang digunakan dalam kultur jaringan
tanaman (Gaba 2005).
Giberelin
21
GA dibentuk dari gliseraldehida-3-fosfat melalui isopentenil difosfate
(Buchanan et al. 2000, Davies 2004) pada pucuk dan pada biji yang sedang
berkembang, dimulai di dalam kloroplas kemudian melibatkan tahapan dalam
membran dan sitoplasma dan ditranspor melalui xilem dan floem (Davies 2004).
22
3. ORGANOGENESIS TUNAS SECARA LANGSUNG PADA DAUN,
AKAR DAN EPIKOTIL DARI BIJI PAMELO {Citrus maxima (Burm.)
Merr.} YANG DIKECAMBAHKAN SECARA IN VITRO
ABSTRAK
Pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} merupakan tanaman yang
potensial dikembangkan secara ekonomi, tetapi baru beberapa kultivar yang
dikembangkan secara luas. Konservasi pamelo perlu dilakukan untuk mencegah
hilangnya kultivar pamelo, yang antara lain melalui konservasi eks-situ secara in
vitro menggunakan teknik pertumbuhan lambat. Tunas in vitro diperlukan dalam
konservasi untuk mempermudah pemulihan dan penggunaannya setelah
konservasi. Dua percobaan dilakukan untuk mendapatkan eksplan dan media yang
efektif untuk memperoleh tunas in vitro pamelo secara langsung. Eksplan daun,
akar dan epikotil diperoleh dari biji pamelo „Adas Duku‟ yang dikecambahkan
secara in vitro. Percobaan pertama dilakukan untuk mendapatkan media
mengandung sitokinin dan auksin yang efektif dalam menginduksi tunas adventif.
Percobaan disusun dengan rancangan acak lengkap. Media MS mengandung
kombinasi BAP (0; 1; 2 ppm) dan NAA (0; 0,5; 1 ppm) digunakan sebagai
perlakuan. Eksplan yang digunakan dalam percobaan terpisah adalah daun, akar
dan epikotil pamelo. Percobaan kedua dilakukan pada eksplan epikotil pamelo
untuk mengetahui pengaruh posisi kultur pada pembentukan tunas. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa tunas dapat terbentuk secara langsung pada
eksplan daun, akar dan epikotil. Eksplan daun hanya berespon di ruang gelap,
yaitu sebanyak 5,55% dapat membentuk 1 tunas/eksplan di media MS + BAP 1
ppm. Eksplan akar hanya berespon di ruang terang, yaitu sebanyak 60% dapat
membentuk 1 tunas/eksplan di media MS0. Eksplan epikotil yang dikultur
horisontal dapat membentuk tunas secara langsung di ruang terang pada media
MS0, yaitu sebanyak 30% dapat membentuk 1 - 2 tunas/eksplan, sedangkan di
ruang gelap yaitu di media MS0 dan MS + BAP 1 ppm namun dengan penampilan
tunas yang lemah karena etiolasi. Epikotil yang dikultur secara vertikal di ruang
terang sebanyak 100% dapat menghasilkan 1 - 3 tunas/eksplan.
Kata kunci: pamelo, organogenesis, daun, akar, epikotil.
ABSTRACT
Pendahuluan
24
dan akar serta stimulasi pembelahan dan pembesaran sel pada eksplan di media
kultur (Beyl 2005).
Zat pengatur tumbuh yang sering ditambahkan dalam media untuk induksi
organogenesis adalah auksin dan sitokinin. Peran auksin dalam pertumbuhan
tanaman antara lain untuk inisiasi akar, pertumbuhan batang, diferensiasi jaringan
vaskuler dan penghambatan senesen pada daun (Srivastava 2002). Sitokinin
berperan pada pembentukan tunas adventif, multiplikasi tunas aksiler dan
penghilang pengaruh dominasi apikal. Rasio auksin sitokinin yang tinggi akan
merangsang pembentukan akar adventif, rasio sedang akan menginduksi
pembentukan akar adventif dari kalus dan inisiasi kalus pada dikotil, sedangkan
rasio yang rendah menginduksi pembentukan tunas adventif dan produksi tunas
aksiler pada kultur tunas (Gaba 2005).
Penelitian organogenesis pada beberapa spesies jeruk untuk mendapatkan
jenis eksplan dan media yang terbaik antara lain telah dilakukan melalui hipokotil
C. halimii dengan media BA 2,2-11,1 uM dan NAA 2,7 uM (Normah et al.
1997); ruas C. sinensis (L.) Osbeck dengan media BAP (1; 2; 3 ppm) dan NAA
0,5 ppm (Silva et al. 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan eksplan
dan media yang efektif dalam menginduksi tunas melalui organogenesis langsung
pada pamelo.
25
Bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber penghasil eksplan adalah
biji pamelo „Adas Duku‟ (Keragaan dan karakteristik „Adas Duku‟ ditampilkan
dalam Lampiran 1 dan 2). Induksi perkecambahan dilakukan pada biji pamelo
25
yang telah dikupas kulit luarnya (testa), kemudian disterilisasi dengan clorox 20%
selama 20 menit dan dibilas dengan aquades steril tiga kali. Setelah itu biji
direndam menggunakan aquades steril selama minimal dua hari pada suhu 5 oC.
Setelah perlakuan perendaman, biji dikupas kulit bagian dalamnya (tegmen)
kemudian disterilisasi dua kali dengan clorox 20% selama 20 menit dan dibilas
dengan aquades steril tiga kali. Biji kemudian ditanam pada media mengandung
pupuk daun komersial 2 g L-1 dan sukrosa 3%. Biji umumnya berkecambah 100%
secara serentak pada hari ketiga setelah kultur. Pucuk kecambah umur tiga
minggu dipotong, kemudian disubkultur pada media MS0 untuk memperoleh
sumber eksplan daun dan epikotil pada organogenesis. Eksplan akar diperoleh dari
kecambah sebelum pucuknya disubkultur.
26
panjang organ yang terbentuk serta persen eksplan yang membentuk organ pada
akhir pengamatan dan analisis histologi.
Pada percobaan organogenesis dari eksplan akar, akar diperoleh dari akar
kecambah in vitro biji pamelo „Adas Duku‟ berumur tiga minggu yang dipotong
sepanjang 0,5 cm kemudian ditanam horisontal dalam media. Tiap botol berisi
sepuluh eksplan. Masing-masing perlakuan diulang lima kali. Botol kultur
diinkubasikan di ruang kultur pada suhu 20 oC. Pengamatan dilakukan setiap
minggu selama 4 bulan. Peubah yang diamati adalah waktu tumbuh tunas, jumlah
tunas, dan persen eksplan yang membentuk tunas.
Pada percobaan organogenesis dari eksplan epikotil, eksplan berasal dari
pucuk kecambah pamelo yang telah disubkultur pada media MS0. Epikotil hasil
subkultur dipotong sepanjang 0,5 cm dan ditanam horisontal pada media. Tiap
botol berisi sepuluh eksplan. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Botol
kultur diinkubasikan pada suhu 29 oC. Pengamatan dilakukan setiap minggu
selama dua bulan. Peubah yang diamati adalah waktu munculnya organ, macam
organ yang terbentuk, dan persen eksplan yang membentuk organ pada akhir
pengamatan.
27
Analisis data
28
45 HSK (Tabel 3.1, Gambar 3.1A), sedangkan akar adventif yang terbentuk secara
tidak langsung muncul pada 23 HSK (Tabel 3.1, Gambar 3.1B).
Berdasarkan pengamatan histologis, akar terbentuk secara langsung pada
sel mesofil daun (Gambar 3.2), yang diduga berasal dari sel-sel prokambial yang
terinduksi oleh pengaruh keseimbangan auksin dan sitokinin pada jaringan
pembuluh (Rose et al. 2006). Daun pamelo dapat membentuk akar adventif secara
langsung pada media MS0. Hal ini kemungkinan karena kandungan auksin
endogen pada eksplan daun tersebut cukup tinggi untuk inisiasi dan pembentukan
28
akar. Sebagaimana diketahui, daun merupakan salah satu tempat pembentukan
auksin (Davies 2004) yang berperan dalam inisiasi akar (Srivastava 2002).
a. b. c.
Epidermis bagian
atas
Sel mesofil
eksplan daun Akar adventif
Epidermis bagian
bawah
Gambar 3.2 Irisan melintang eksplan daun pamelo „Adas Duku‟ yang membentuk
akar adventif. Akar adventif terbentuk dari sel mesofil (pembesaran
4x).
Dibandingkan dengan media MS0, pada penelitian ini juga tampak bahwa
pemberian auksin eksogen (NAA) dapat mempercepat induksi akar pada eksplan
daun di media MS + NAA 1 ppm dan MS + NAA 0,5 ppm (Tabel 3.1). Rataan
29
pembentukan akar pada media yang diperkaya dengan auksin tersebut adalah 7-8
HSK. Hal ini sesuai dengan dengan pendapat yang menyatakan bahwa proses
determinasi pembentukan akar dari eksplan daun pada media yang kaya auksin
memerlukan waktu sekitar tujuh hari (Yamaguci et al. 2004, Imin et al. 2007).
Hasil penelitian serupa dijumpai pada tanaman Nicotiana tabacum cv Petite
Havana SR1 (Yamaguci et al. 2004), Medicago trunculata (Imin et al. 2007) dan
Rauwolfia serpentina L. (Pandey et al. 2010) yang dapat membentuk akar
adventif dari eksplan daun pada 7 HSK.
Pembentukan akar pada media MS + BAP 1 ppm + NAA 1 ppm terjadi
secara tidak langsung, yaitu didahului dengan pembentukan kalus pada 10 HSK
sedangkan akar mulai muncul 23 HSK. Hal ini diduga karena rasio auksin
sitokinin pada media tidak tepat untuk pembentukan akar secara langsung
(Gambar 3.1 B).
Pada penelitian ini, eksplan daun pamelo yang membentuk tunas secara
langsung hanya terjadi pada media MS + BAP 1 ppm (Tabel 3.1). Pemberian
sitokinin eksogen (BAP 1 ppm) pada media MS mengubah rasio auksin dan
sitokinin menjadi rendah, sehingga diduga sesuai untuk pembentukan tunas,
karena sitokinin berperan dalam inisiasi tunas (Davies 2004). Tunas mulai tumbuh
pada 40 HSK pada tulang daun utama pada bagian pangkal daun. Setelah 4 BSK,
tinggi tunas 0,5 cm (Gambar 3.1 C). Namun demikian, pemberian sitokinin
eksogen juga dapat meningkatkan enzim sitokinin oksidase yang berperan
memelihara keseimbangan sitokinin dalam sel tanaman dengan mengoksidasi
kelebihan sitokinin bila tidak diperlukan (Staden et al. 2008). Kemungkinan hal
ini yang menyebabkan eksplan daun tidak menunjukkan respon pada penambahan
sitokinin eksogen yang lebih tinggi (BAP 2 ppm) pada media MS.
30
Pembentukan tunas adventif pada eksplan akar di media MS0 diduga
karena sitokinin endogen pada akar cukup tinggi untuk inisiasi dan pertumbuhan
tunas. Eksplan akar berespon sebanyak 60%, membentuk 1 tunas/eksplan pada 20
HSK. Pada 4 BSK tunas adventif memiliki tinggi 0,8 cm, dengan bentuk daun dan
batang yang normal (Tabel 3.2, Gambar 3.3A).
Tabel 3.2 Respon eksplan akar pamelo „Adas Duku‟ pada empat bulan setelah
kultur
Peubah Media yang memberikan respon
MS0 MS BAP 1 ppm
Organ yang terbentuk Tunas Tunas
Inisiasi tunas (HSK) 20 ± 1,4 35 ± 2,0
Rerata eksplan berespon/ulangan 6 ± 0,7 1,5 ± 0,7
Rerata jumlah tunas/eksplan 1 ± 0,0 3,5 ± 0,7
Tinggi tunas (cm) 0,8 ± 0,1 0,1 ± 0,0
Jumlah daun per eksplan 2,8 ± 0,8 6,5 ± 0,7
Keterangan: Percobaan ini menggunakan lima ulangan dengan sepuluh eksplan/botol di ruang
terang
A B
Gambar 3.3 Tunas adventif yang tumbuh pada eksplan akar pamelo yang diinkubasi
di ruang terang 4 BSK, A. Media MS0, B. Media MS + BAP 1 ppm.
Pada media MS + BAP 1 ppm sebanyak 15% eksplan akar berespon.
Tunas mulai tumbuh pada 35 HSK, dengan rataan 3,5 tunas/eksplan. Tunas yang
terbentuk vitrous, lemah, berukuran kecil (tinggi 0,1 cm pada 4 BSK) dengan ruas
sangat pendek sehingga membentuk roset (Gambar 3.3 B). Ukuran tunas yang
kecil kemungkinan disebabkan efek kompetisi antar tunas dengan cara tunas yang
terbentuk memberi sinyal ke lingkungan sekitarnya yang berupa auksin. Sinyal
31
tersebut berpengaruh menghambat pertumbuhan tunas-tunas yang terbentuk
berikutnya, efek penghambatan akan semakin meningkat dengan membesarnya
tunas (Gahan dan George 2008).
Namun, tunas yang dihasilkan dari organogenesis langsung dari ekplan
akar ini tidak efisien untuk percobaan konservasi. Hal ini disebabkan karena
31
inisiasi memerlukan waktu 20 hari dan hanya menghasilkan 1 tunas/eksplan
dengan tingkat keberhasilan 60%.
32
Tabel 3.3 Inisisasi tunas pada eksplan epikotil pamelo „Adas Duku‟ di media yang
berespon dua bulan setelah kultur
Media MS Inisiasi organ Pada 2 BSK
BAP NAA (HSK) Rerata Rerata
(ppm) (ppm) eksplan Jumlah tunas
berespon
0 0 30 0,7d 0,7d
1 0 25 2,0c 2,0cd
1 0,5 17* 2,0c 2,6bc
1 1 16* 7,0b 3,6 b
2 0 15* 10,0a 3,3bc
2 0,5 15* 10,0a 13,3a
2 1 16* 9,0a 2,3bc
Keterangan: Percobaan ini menggunakan tiga ulangan dengan 10 eksplan/botol di ruang gelap.
* = dari kalus
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
DMRT.
A. B.
C. D.
Gambar 3.4 Tunas adventif pada eksplan epikotil pamelo yang diinkubasi di
ruang gelap. A. Tunas pada media MS + BAP 1 ppm, B. Kalus dan tunas
pada media MS + BAP 1ppm + NAA 0,5 ppm, C. Kalus dan tunas pada
media MS + BAP 2 ppm + NAA 0,5 ppm, D. Tunas pada media MS + BAP 2
ppm + NAA 1 ppm.
33
aktif dalam keadaan tanpa cahaya sehingga tahap awal pembentukan korofil yaitu
perubahan prothochlorophyllide menjadi chlorophyllide tidak dapat berlangsung
(Sandmann dan Scherr 1998). Tunas yang terbentuk dari eksplan epikotil di
tempat terang memiliki pertumbuhan dan bentuk normal, berwarna hijau tua, dan
lebih vigor dibandingkan dengan tunas yang terbentuk di ruang gelap. Dengan
demikian untuk percobaan yang mempelajari posisi eksplan terhadap
pertumbuhan tunas adventif digunakan eksplan epikotil yang dikultur di ruang
terang.
34
A. B.
Gambar 3.5 Tunas adventif pada eksplan epikotil pamelo yang diinkubasi di ruang
terang, A. vertikal 1 BSK, B. horisontal 2 BSK. Tanda panah
menunjukkan tempat terbentuknya tunas adventif.
Tunas adventif yang ditanam secara vertikal tumbuh dari bagian ujung
potongan epikotil, demikian juga dengan epikotil yang ditanam horisontal
(Gambar 3.5). Hal ini berhubungan dengan polaritas yang disebabkan pergerakan
zat pengatur tumbuh dalam jaringan tanaman terutama transpor polar auksin.
Secara alami auksin ditranspor secara basipetal pada batang dan akropetal pada
akar (Wattimena et al. 1992) yang berpengaruh pada rasio auksin sitokinin pada
bagian ujung.
Berdasarkan analisis histologi, tunas adventif pada eksplan epikotil
terbentuk secara langsung tanpa melalui pembentukan kalus. Tunas diduga berasal
dari sel-sel kambium bukan dari sel berkas pembuluh (Gambar 3.6). Sel-sel
kambium adalah sel-sel yang bersifat meristematik (Trigiano dan Gray 2005).
Menurut Gahan (2007) inti sel berkas pembuluh menghilang pada saat terjadi
diferensiasi, sehingga tidak dapat ber-rediferensiasi kembali.
tunas adventif
berkas pembuluh
endodermis
kortek
epidermis
Gambar 3.6 Irisan melintang pada eksplan epikotil menunjukkan tunas adventif
tumbuh secara langsung dari kambium di antara berkas pembuluh.
35
Simpulan
1. Tunas adventif pada pamelo dapat diperoleh melalui organogenesis langsung
dari eksplan daun, akar dan epikotil.
2. Media terbaik untuk menginduksi tunas secara langsung pada eksplan epikotil
dan akar pamelo adalah media MS0, sedangkan pada eksplan daun pamelo
adalah media MS + BAP 1 ppm.
3. Berdasarkan waktu munculnya tunas, eksplan epikotil lebih efisien
dibandingkan eksplan akar.
4. Eksplan epikotil yang dikultur secara vertikal pada media MS0 di ruang
terang merupakan cara yang paling efisien dan efektif untuk mendapatkan
tunas secara langsung.
Saran
Berdasarkan pertumbuhan tunas yang normal dan vigor serta kecepatan
multiplikasinya, tunas adventif yang dihasilkan melalui organogenesis langsung
dari epikotil pamelo yang ditanam secara vertikal di tempat terang dapat
digunakan untuk konservasi pamelo.
36
4. KONSERVASI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Merr.} DENGAN
PENURUNAN KONSENTRASI MEDIA MS DAN SUKROSA
ABSTRAK
Indonesia memiliki plasma nutfah pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.}
yang beragam, tetapi hanya beberapa kultivar yang dibudidayakan secara luas.
Kultivar yang tidak dibudidayakan dapat terancam kepunahan. Plasma nutfah ini
perlu dicegah kepunahannya melalui konservasi, baik secara eks-situ maupun in-
situ. Salah satu alternatif untuk konservasi eks-situ adalah konservasi secara in
vitro menggunakan teknik pertumbuhan lambat. Dalam penelitian ini
pertumbuhan lambat dilakukan dengan menggunakan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa. Tujuan penelitian adalah memperoleh media yang sesuai
untuk konservasi pamelo melalui pertumbuhan lambat dengan menggunakan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa. Percobaan dilakukan secara
faktorial. Faktor pertama adalah konsentrasi media MS yang terdiri atas dua taraf
yaitu 1/2MS dan MS. Faktor kedua adalah konsentrasi sukrosa, terdiri atas empat
taraf, yaitu 0%, 1%, 2% dan 3%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa interaksi
media dan sukrosa menurunkan jumlah daun, tetapi dapat meningkatkan jumlah
akar. Pada penelitian ini, berdasarkan pertumbuhan relatif dan visual planlet,
diperoleh media konservasi terbaik yaitu media MS tanpa sukrosa yang dapat
menghambat pemanjangan tunas (75%), pembentukan daun (37%) dan
pemanjangan akar (49,4%). Pamelo diperkirakan dapat dikonservasi pada media
tersebut selama 30,7 bulan atau 2,5 tahun sebelum disubkultur ke media baru.
Kata kunci : pamelo, preservasi, sukrosa, pertumbuhan lambat, MS.
ABSTRACT
Indonesia has high variety of pummelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.},
but only several cultivated extensively. Others became vurnerable. The pummelo
germplasm must be conserved to prevent its extinction due to biotic and abiotic
stresses. One of the conservation method is in vitro conservation using slow
growth technique. Factorial experiment was conducted to obtain suitable medium
to conserved pummelo using reduction of MS medium and sucrose concentration.
The first factor was MS medium concentration, i.e. 1/2MS and MS. The second
factor was sucrose concentration, i.e. 0; 1; 2; and 3%. The results showed that
reduced concentration of MS medium and low consentration of sucrose reduced
leaf number and shoot length but increased root number and length. In this
experiment, based on inhibition of growth through reducing leaf number, shoot
and root length, the best medium to preserve pummelo was MS without sucrose
that could inhibite shoot length (75%), leaf formation (37%) and root length
(49.4%). Pummelo in this medium can approximatelly be conserved until 30.7
month or 2.5 years before subculturing into fresh medium.
Key word : pummelo, preservation, slow growth, sucrose, MS
Pendahuluan
38
callizonus Schott et Kotschy (Catană et al. 2010). Kombinasi perlakuan
konservasi ini pada pamelo belum dilakukan. Tujuan dari percobaan ini adalah
untuk mendapatkan media yang sesuai untuk konservasi pamelo dengan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa.
39
Setelah konservasi selama tujuh bulan maka planlet yang telah dipotong
akarnya dipindahkan ke dalam media pemulihan selama dua bulan. Hal ini
dilakukan untuk menguji daya tumbuh kultur. Media pemulihan yang digunakan
adalah media MS + sukrosa 3% tanpa zat pengatur tumbuh. Peubah yang diamati
adalah persen planlet yang membentuk daun baru pada media pemulihan.
Planlet hasil pemulihan diaklimatisasi dengan menanam langsung pada
media campuran tanah liat : sekam : kompos = 2 : 1 : 1. Aklimatisasi dilakukan
pada suhu lingkungan 20–25oC, kelembaban 60–80% dan intensitas cahaya 50%.
Pengamatan dilakukan terhadap persentase tanaman yang bertahan hidup satu
bulan setelah aklimatisasi.
Analisis Data
Data kuantitatif dianalisis menggunakan uji F pada taraf 5%. Jika perlakuan
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap hasil pengamatan maka dilakukan uji
lanjut dengan Duncan Multiple Range Test pada taraf 5%. Analisis penghambatan
pertumbuhan dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan planlet pada semua
perlakuan dengan kontrol. Dalam hal ini yang dijadikan kontrol adalah planlet
yang ditanam pada media MS + sukrosa 3%, karena memiliki pertumbuhan yang
terbaik.
% Pertumbuhan relatif = pertumbuhan planlet perlakuan – kontrol x 100%
kontrol
Pendugaan lama konservasi dibuat berdasarkan analisis regresi pertumbuhan
panjang tunas dengan kontrol (MS sukrosa 3%). Model persamaan regresi yang
digunakan yaitu y = a + bx, dengan y = tinggi tunas saat subkultur dan x=
perkiraan lama waktu konservasi (bulan).
40
Lampiran 4.4). Laju pertumbuhan tunas dan daun yang paling cepat dijumpai pada
perlakuan media MS + sukrosa 3%. Pertumbuhan tunas yang paling lambat
dijumpai pada perlakuan MS tanpa sukrosa (Tabel Lampiran 4.4, Gambar 4.1),
sedang jumlah daun paling sedikit dijumpai pada perlakuan 1/2MS tanpa sukrosa
(Tabel Lampiran 4.3 Gambar 4.2).
Gambar 4.1 Pertumbuhan tunas pamelo „Adas Duku‟ pada konservasi dengan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa.
41
Hara diperlukan tanaman untuk membentuk senyawa berkarbon (N, S),
penyimpanan energi (P, Si, B), regulator osmotik (K, Ca, Mg, Cl, Mn, Na) dan
reaksi redoks (Fe, Zn, Cu, Ni, Mo) (Taiz dan Zeiger 2002).
Penurunan konsentrasi hara dan sukrosa menyebabkan pertumbuhan
planlet terhambat. Tanaman akan melakukan efisiensi penggunaan hara dalam
pertumbuhannya pada media yang miskin hara. Efisiensi tersebut berhubungan
dengan penyerapan, transpor dan penggunaannya di dalam tanaman (Marschner
1995). Efisiensi yang dilakukan planlet yang tumbuh pada media ½MS pada
percobaan ini adalah dengan mengurangi pemanjangan tunas dan pembentukan
daun, dan meningkatkan pembentukan akar.
Penambahan tinggi tunas pamelo setelah tujuh bulan konservasi
dipengaruhi oleh konsentrasi media MS dan konsentrasi sukrosa, tetapi tidak
dipengaruhi oleh interaksi antara keduanya (Tabel Lampiran 4.1). Hasil uji
kontras (Tabel Lampiran 4.2) dan uji lanjut (Tabel 4.1) menunjukkan bahwa tunas
yang tumbuh pada media ½MS lebih pendek dibandingkan dengan tunas yang
tumbuh pada media MS, yang disebabkan penurunan konsentrasi nutrisi. Tunas
pada media yang mengandung sukrosa 3% nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan tunas pada media tanpa sukrosa karena sukrosa diperlukan untuk proses
pembentukan dan pembelahan sel (Dewitte dan Murray 2002) yang akan
berpengaruh pada pemanjangan tunas dan pembentukan daun.
Tabel 4.1 Pengaruh tunggal penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
terhadap penambahan tinggi tunas pamelo pada tujuh bulan setelah
konservasi
Perlakuan Penambahan tinggi tunas (cm)
Konsentrasi media
½ MS 0,64b
MS 1,43a
Konsentrasi sukrosa
0% 0,51b
1% 0,99ab
2% 1,08ab
3% 1,56a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Sukrosa diperlukan tanaman sebagai sumber energi dan sumber karbon
(Javed dan Ikram 2008), serta regulator terjadinya pembelahan sel (Dewitte dan
Murray 2007). Sukrosa juga berperan dalam menginduksi siklus sel pada transisi
42
dari fase istirahat (G1) ke fase pembentukan DNA (S) yang merupakan bagian
awal siklus sel yang akan diakiri dengan pembelahan sel (Gahan 2007).
Kekurangan sukrosa akan menyebabkan tanaman memperlambat siklus selnya
atau menuju ke tahap G0 (fase diam) (Dewitte dan Murray 2002).
Konsentrasi media, konsentrasi sukrosa dan interaksi keduanya berpengaruh
pada penambahan jumlah daun (Tabel Lampiran 4.1). Planlet yang kekurangan
hara dan sukrosa mengalami penambahan daun yang lebih sedikit dibandingkan
dengan media MS + sukrosa 3% (Gambar 4.3). Proses pembentukan daun
merupakan proses yang memerlukan energi, karbon dan nutrisi sehingga
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa menyebabkan pembentukan daun
lebih lambat.
Gambar 4.3 Penambahan jumlah daun pamelo pada konservasi dengan penurunan
konsentrasi media MS dan sukrosa tujuh bulan setelah konservasi.
Pada percobaan konservasi ini, tunas pamelo dapat membentuk akar pada
semua media perlakuan. Pembentukan akar pada tunas tanpa induksi auksin
kemungkinan karena kandungan auksin endogen pada tunas pamelo cukup tinggi
untuk pembentukan akar, karena auksin berperan dalam induksi dan pembentukan
akar (Davies 2004).
Interaksi antara konsentrasi media dan sukrosa mempengaruhi waktu
pembentukan dan jumlah akar, tetapi konsentrasi sukrosa tidak berpengaruh
(Tabel Lampiran 4.1). Hal ini disebabkan karena pengurangan hara akan
menyebabkan planlet memperluas daerah penyerapan hara (Marschner 1995)
dengan membentuk akar dan meningkatkan jumlah akar pada planlet. Tunas pada
43
media 1/2MS lebih cepat membentuk akar dibandingkan pada media MS,
sehingga akar pada planlet yang tumbuh pada media 1/2MS lebih cepat muncul
dan jumlah akar juga lebih banyak (Gambar 4.4 dan 4.5).
Akar planlet yang paling cepat tumbuh dijumpai di media 1/2MS + sukrosa
2%, yaitu pada hari ke 18. Planlet yang memerlukan waktu inisiasi akar paling
lama dijumpai pada media MS tanpa sukrosa, yaitu pada hari ke 103 (Gambar
4.4). Proses pembentukan akar memerlukan energi dan rantai karbon sehingga
planlet yang tumbuh pada media tanpa sukrosa memerlukan waktu lama untuk
inisiasi akar.
Gambar 4.4 Waktu tumbuh akar pamelo pada konservasi dengan penurunan
konsentrasi media MS dan sukrosa.
Planlet yang memiliki jumlah akar terbanyak dijumpai pada media 1/2MS +
sukrosa 1%, sedangkan planlet di media MS + sukrosa 1% memiliki jumlah akar
paling sedikit (Gambar 4.5). Pembentukan akar dipengaruhi hara. Pembentukan
akar pada planlet pamelo dapat menyebabkan penyerapan hara pada media
menjadi lebih efisien sehingga planlet dapat bertahan hidup pada media
konservasi, tetapi hal ini juga dapat mengurangi periode konservasi.
Gambar 4.5 Jumlah akar pamelo pada konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa pada tujuh bulan setelah konservasi.
44
Konsentrasi media MS dan konsentrasi sukrosa mempengaruhi panjang akar
planlet, tetapi interaksinya berpengaruh tidak nyata (Tabel Lampiran 4.1).
Tanaman yang mendapat perlakuan penurunan konsentrasi hara akan memperluas
daerah penyerapan hara dengan memperpanjang akarnya. Namun demikian,
pemanjangan akar dipengaruhi oleh sumber energi dan sumber karbon yang ada
pada media, sehingga akar akan lebih panjang pada media yang mengandung
sukrosa lebih tinggi.
Tabel 4.2 Pengaruh tunggal penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
terhadap panjang akar pamelo pada tujuh bulan setelah konservasi
Perlakuan Panjang akar (cm)
Konsentrasi media
½ MS 12,91a
MS 9,19b
Konsentrasi sukrosa
0% 6,96b
1% 10,23ab
2% 13,32a
3% 13,70a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% DMRT.
Pada percobaan ini tampak akar planlet yang tumbuh pada media 1/2MS
nyata lebih panjang dibandingkan akar planlet pada media MS. Panjang akar
pada konsentrasi sukrosa 0% berbeda nyata dengan panjang akar pada konsentrasi
sukrosa 2% dan 3% (Tabel Lampiran 4.2). Penurunan konsentrasi sukrosa
menurunkan panjang akar (Tabel 4.2).
45
Dengan demikian, karena tidak terdapat perbedaan anatomi yang akan
berpengaruh pada penyerapan hara, maka perbedaan pertumbuhan pada planlet
disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi hara dan sukrosa pada media.
epidermis
kortek
endodermis
stele
a b
Gambar 4.6 Irisan melintang akar planlet pamelo „Adas Duku‟ pada konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa a. MS +
sukrosa 3% (kontrol), b. perlakuan lainnya.
a b c d
a
e f g h
Gambar 4.7 Keragaan visual planlet yang berasal dari tunas adventif
pamelo „Adas Duku‟ tujuh bulan setelah konservasi dengan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa a. 1/2MS +
sukrosa 0%, b. 1/2MS + sukrosa 1%, c. 1/2MS + sukrosa
2%, d. 1/2MS + sukrosa 3%, e. MS + sukrosa 0%, f. MS +
sukrosa 1%, g. MS + sukrosa 2%, h. MS + sukrosa 3%.
46
Pertumbuhan relatif planlet
Pertumbuhan relatif planlet adalah perbandingan pertumbuhan planlet pada
media perlakuan lain dengan kontrol (media MS + sukrosa 3%). Hal ini
dilakukan untuk mengetahui persentase penghambatan pertumbuhan planlet akibat
perngaruh media perlakuan konservasi. Persentase penghambatan pertumbuhan
dan penampilan visual kultur digunakan untuk menentukan media terbaik pada
teknik konservasi yang dilakukan.
Hasil perbandingan pertumbuhan dengan kontrol menunjukkan, bahwa
planlet pada perlakuan media lain memiliki tinggi tunas yang lebih pendek
(Gambar 4.8), jumlah daun yang relatif lebih sedikit (Gambar 4.9), dengan
jumlah akar relatif lebih banyak (Gambar 4.10). Pada media 1/2MS yang diberi
perlakuan sukrosa 2% dan 3% panjang akar planlet meningkat (Gambar 4.11),
sedangkan pada kombinasi pelakuan lain menurun. Proses pembentukan dan
pembesaran sel pada tunas, daun dan akar memerlukan hara dan sukrosa, sehingga
planlet yang tumbuh di media yang kekurangan hara dan sukrosa akan terhambat
pertumbuhannya. Pada percobaan ini, planlet yang memiliki pemanjangan tunas
yang paling terhambat adalah planlet yang tumbuh pada media 1/2MS tanpa
sukrosa. Planlet yang paling sedikit mengalami hambatan pemanjangan tunas
adalah planlet yang tumbuh pada media MS + sukrosa 2% (Gambar 4.8).
Gambar 4.8 Persentase pertumbuhan relatif tinggi tunas pamelo pada konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
Pembentukan daun pada planlet di media 1/2MS lebih terhambat
dibandingkan planlet yang tumbuh pada media MS, demikian juga penurunan
konsentrasi sukrosa akan menghambat pembentukan daun. Planlet yang paling
terhambat pembentukan daunnya adalah planlet yang tumbuh pada media 1/2MS
47
tanpa sukrosa, sedangkan planlet yang tumbuh pada media MS + sukrosa 2%
yang paling sedikit mengalami hambatan pembentukan daun (Gambar 4.9).
Jumlah akar pada planlet yang tumbuh pada media 1/2MS lebih banyak
dibandingkan dengan kontrol, karena planlet memerlukan sarana untuk menyerap
hara yang lebih efisien pada media yang kekurangan hara, sehingga planlet
menghasilkan akar yang lebih banyak (Marschner 1995). Planlet yang paling
terhambat pembentukan akarnya adalah planlet yang tumbuh di media MS +
sukrosa 1% (Gambar 4.10).
48
planlet yang tumbuh pada media MS tanpa sukrosa, sedangkan planlet yang
tumbuh pada media MS + sukrosa 1% yang paling sedikit mengalami hambatan
pemanjangan akar (Gambar 4.11).
49
yang berasal dari media konservasi yang mengandung sukrosa adalah 83,33%,
sedangkan dari media konservasi tanpa sukrosa adalah 66,67% (Tabel 4.3).
Tabel 4.3 Pemulihan dan aklimatisasi planlet pamelo „Adas Duku‟ setelah
konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
Peubah yang diamati Asal Konsentrasi sukrosa
Komposisi (%)
Media 0 1 2 3
%Planlet yang 1/2MS 66,67 83,33 83,33 83,33
membentuk daun baru
setelah pemulihan 1 MS 66,67 83,33 83,33 83,33
BSK
%Planlet hidup 1/2MS 100 100 100 100
setelah 1 bulan MS 100 100 100 100
aklimatisasi
Keterangan: Planlet yang digunakan 6 planlet. BSK = Bulan setelah kultur.
Dalam penelitian ini, aklimatisasi planlet menunjukkan tingkat keberhasilan
tinggi (Tabel 4.3). Semua planlet tetap hidup setelah satu bulan aklimatisasi di
media campuran tanah liat, sekam dan kompos. Keberhasilan ini antara lain
dipengaruhi oleh penggunaan tanah liat dalam media tanam, yang mampu
memelihara kelembaban media. Laju transpirasi pada tanaman hasil kultur in
vitro umumnya tinggi, yang disebabkan oleh pengurangan pembentukan lilin
epikutikular pada tanaman (Hazarika et al. 2002). Dengan media yang tetap
lembab, kegagalan aklimatisasi akibat transpirasi yang berlebihan pada saat
diaklimatisasi dapat dicegah.
50
perlakuan konservasi. Persamaan regresi yang diperoleh pada kontrol (MS +
sukrosa 3%): y = 0,5 + 0,318x; dimana y = panjang tunas dan x = lama
konservasi.
Dengan cara yang sama, planlet yang tumbuh lambat di media terbaik pada
metode konservasi ini (MS tanpa sukrosa) diperkirakan dapat bertahan selama
30,7 bulan atau 2,5 tahun (Tabel 4.4). Planlet yang dikonservasi pada media
tersebut tetap dapat tumbuh walaupun tanpa sukrosa karena dapat membentuk
klorofil untuk berfotosintesis guna memenuhi kebutuhan karbon dan energinya
dengan memanfaatkan CO2 hasil respirasi sehingga bersifat autotrof (Thorpe et al.
2008). Dengan demikian, planlet yang kapasitas fotosintesisnya terbatas dan juga
fotosintat yang hanya sedikit tersebut digunakan untuk mengatasi stres yang
terjadi selama periode konservasi. Planlet akan memperlambat siklus selnya,
sehingga pembelahan sel juga berjalan lambat tetapi tanaman tetap tumbuh
(Dewitte dan Murray 2002).
Tabel 4.4 Perkiraan waktu konservasi pamelo pada masing-masing media
konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
Media konservasi Persamaan regresi R2 Perkiraan lama konservasi
(bulan)
1/2MS Sukrosa 0% y = 0,50 + 0,081x 0,356 31,4
1/2MS Sukrosa 1% y = 0,45 + 0,104x 0,644 24,9
1/2MS Sukrosa 2% y = 0,42 + 0,121x 0,497 21,7
1/2MS Sukrosa 3% y = 0,52 + 0,114x 0,334 22,1
MS Sukrosa 0% y = 0,40 + 0,086x 0,678 30,7
MS Sukrosa 1% y = 0,50 + 0,167x 0,361 15,2
MS Sukrosa 2% y = 0,34 + 0,194x 0,657 13,9
MS Sukrosa 3% y = 0,50 + 0,318x 0,821 8 kontrol
Keterangan: y = tinggi tunas kontrol 3,044 cm dan x = perkiraan lama konservasi (bulan)
Simpulan
1. Berdasarkan pertumbuhan relatif dan visual kultur, media terbaik untuk
konservasi pamelo dengan metode penurunan konsentrasi media MS dan
sukrosa adalah media MS tanpa sukrosa.
2. Konservasi pada media MS tanpa sukrosa diperkirakan mencapai 30,7 bulan
atau 2,5 tahun.
51
Saran
Konservasi pamelo dengan media MS tanpa sukrosa dapat diterapkan untuk
mengurangi periode sub kultur dan merupakan metode konservasi yang hemat
biaya.
52
5. KONSERVASI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Merr.} DENGAN
REGULATOR OSMOTIK DAN RETARDAN
ABSTRAK
ABSTRACT
The Indonesian pummelo germplasm must be conserved to prevent its
extinction due to biotic and abiotic stresses. In vitro conservation using slow
growth technique can be considered as an alternative of exsitu conservation.
Factorial experiment was conducted to obtain suitable medium to conserved
pummelo using MS medium supplemented with osmoticum and retardant. The
first factor was explant type, i.e. one cm of pamelo shoot tip with two leaves
derived from pummelo seedling germinated in vitro and shoot with four leaves
derived from adventitious bud. The second factor was MS medium supplemented
with osmoticum and retardant, i.e. MS + sukrosa 3%, MS + sukrosa 3% +
paclobutrazol 7.5 ppm, MS + sukrosa 3% + paclobutrazol 15 ppm, MS + sorbitol
2%, MS + sorbitol 2% + paclobutrazol 7.5 ppm, MS + sorbitol 2% +
paclobutrazol 15 ppm. The results showed there was an interaction between
explant type and medium. Number of leaf, root number and length were reduced
in medium containing sorbitol. Paclobutrazol reduced leaf size, shoot and root
length but increased root diameter. In this research, based on inhibition of growth
through reducing leaf number (84.6%), shoot length (65.1%), root length (81%)
and root number (20%), as well as the appearance of culture such as vigorous
planlet and greener colour of leaf, the best treatment to preserve pummelo was
shoot with four leaves in MS medium + sorbitol 2% + paclobutrazol 7,5 ppm.
Pummelo conservation in this medium can be done until 22.2 month before
subculturing into fresh medium.
Keyword: pummelo, conservation, slow growth, osmoticum, retardant.
Pendahuluan
Pamelo {C. maxima (Burm.) Merr.} atau jeruk besar merupakan tanaman
asli Indonesia (Niyomdham 1997). Beberapa sentra produksi pamelo Indonesia
seperti Bireun (Aceh); Pati, Kudus dan Magetan memiliki aksesi pamelo yang
khas yang potensial dikembangkan karena berbagai keunggulan karakternya
(Susanto 2010). Salah satu aksesi pamelo yang potensial dikembangkan tersebut
adalah „Adas Duku‟. Aksesi ini dibudidayakan secara terbatas di Magetan karena
potensinya belum dikenal luas seperti „Nambangan‟. Upaya pelestarian plasma
nutfah pamelo perlu dilakukan karena kekayaan plasma nutfah dapat digunakan
sebagai bahan pengembangan pamelo di masa yang akan datang.
Konservasi pamelo dapat dilakukan secara eks-situ dengan membuat
kebun-kebun koleksi atau melalui konservasi in vitro. Konservasi in vitro dapat
menjadi suatu alternatif yang sangat berguna bagi konservasi keragaman genetik,
khususnya untuk spesies yang bijinya tidak dapat disimpan lama (Rao 2004).
Pelestarian secara in vitro mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya
penghematan area, tenaga kerja, biaya dan waktu, juga kemudahan dalam
pertukaran plasma nutfah (Towill 2005). Selain itu, dapat mencegah hilangnya
genotipe akibat cekaman biotik dan abiotik yang banyak terjadi di kebun-kebun
koleksi.
Konservasi in vitro sebagai koleksi aktif dapat diterapkan dengan
menggunakan teknik pertumbuhan minimal. Dengan teknik ini plasma nutfah
dapat disimpan sampai 15 tahun dengan subkultur secara periodik tergantung pada
jenis tanamannya (Rao 2004). Teknik pertumbuhan minimal dapat dilakukan
54
antara lain melalui penggunaan regulator osmotik (Withers 1985; Bessembinder et
al. 1993), dan penggunaan zat penghambat tumbuh atau retardan (Withers 1985).
Osmotikum adalah bahan yang dapat menurunkan potensial osmotik (Shibli
et al. 2006), sehingga akan membatasi penyerapan air dan hara pada kultur
(Thorpe et al. 2008). Gula dalam bentuk sukrosa, manitol dan sorbitol selain
berfungsi sebagai sumber karbon dan energi pada media kultur, juga dapat
berfungsi sebagai regulator osmotik atau osmotikum (Javed dan Ikram 2008).
Konservasi pamelo cv Sri Nyonya pada pengamatan lima bulan menunjukkan
konsentrasi sorbitol 2% paling sesuai dalam memperlambat pertumbuhan, namun
planlet masih tetap vigor (Dewi et al. 2010).
Penggunaan retardan dalam media konservasi digunakan untuk menghambat
pertumbuhan melalui penghambatan pemanjangan sel. Retardan yang sering
digunakan pada media konservasi antara lain paklobutrasol dan ancymidol
(Whithers 1985). Paklobutrasol menghambat pertumbuhan melalui
penghambatan pembentukan giberelin yang berperan dalam pemanjangan sel
(Wang et al. 1986). Konservasi in vitro menggunakan paklobutrasol sudah
diterapkan antara lain pada tanaman lada (Yelnitis dan Bermawie 2003); bengle
(Ibrahim 2005); dan temulawak (Syahid 2007). Pada pamelo, pengaruh kombinasi
osmotikum dan retardan terhadap pertumbuhan planlet belum diketahui, sehingga
dilakukan percobaan ini. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mendapatkan
media kombinasi mengandung osmotikum dan retardan yang sesuai untuk
konservasi pamelo.
55
Percobaan disusun secara faktorial yang terdiri atas dua faktor yaitu macam
eksplan dan kombinasi media. Macam eksplan terdiri dari dua taraf yaitu pucuk
kecambah pamelo dan tunas adventif dari eksplan epikotil pamelo „Adas Duku‟.
Konsentrasi media perlakuan merupakan kombinasi osmotikum (sukrosa 3% dan
sorbitol 2%) dan retardan (paklobutrasol) yang ditambahkan pada media dasar MS
(Murashige and Skoog 1962, Tabel Lampiran 3.1). Konsentrasi sorbitol 2% yang
digunakan berdasarkan percobaan pada pamelo „Sri Nyonya‟ (Dewi 2010),
sedangkan konsentrasi sukrosa 3% berdasarkan pada konsentrasi yang
memberikan pertumbuhan terbaik pada percobaan konservasi sebelumnya yang
menggunakan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa (Bab 4). Perlakuan
media yang dicobakan terdiri atas enam taraf, yaitu MS + sukrosa 3%, MS +
sukrosa 3% + paklobutrasol 7,5 ppm, MS + sukrosa 3% + paklobutrasol 15 ppm,
MS + sorbitol 2%, MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm, MS + sorbitol 2%
+ paklobutrasol 15 ppm. Dengan demikian, terdapat 12 kombinasi perlakuan.
Masing-masing unit percobaan diulang tiga kali. Setiap unit percobaan terdiri atas
dua eksplan.
Eksplan pucuk kecambah dengan dua daun sepanjang satu cm diambil dari
kecambah berumur tiga minggu yang tumbuh dalam gelap dan masih berwarna
putih. Tunas adventif yang digunakan merupakan tunas yang memiliki empat
daun hasil organogenesis langsung dari eksplan epikotil pamelo yang ditanam
secara vertikal. Kultur diinkubasi di ruangan kultur dengan suhu 27 oC – 29 oC
dengan lama penyinaran 24 jam menggunakan lampu TL 18 watt (237–620 lux
yang diukur menggunakan Luxtron 4 in 1).
Pengamatan dilakukan tujuh bulan setelah perlakuan. Peubah yang diamati
meliputi penambahan jumlah daun, tinggi tunas, jumlah dan panjang akar,
penampilan visual kultur serta anatomi akar. Data kuantitatif dianalisis
menggunakan uji F pada taraf 5%. Jika perlakuan menunjukkan pengaruh nyata
maka dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test pada taraf 5%.
Pembandingan pertumbuhan planlet pada semua perlakuan dengan kontrol
dilakukan untuk mengetahui persentase penghambatan pertumbuhan. Dalam hal
ini yang dijadikan kontrol adalah planlet yang tumbuh pada media MS + sukrosa
3% tanpa paklobutrasol karena memiliki pertumbuhan terbaik.
56
% pertumbuhan relatif = pertumbuhan planlet perlakuan – kontrol x 100%
kontrol
Perkiraan lama konservasi dibuat berdasarkan analisis regresi
pertumbuhan tinggi tunas, y = a + bx dimana y = tinggi tunas dan x = lama
konservasi (bulan). Tinggi tunas yang digunakan sebagai kontrol untuk subkultur
adalah tinggi tunas yang dikultur pada media MS + sukrosa 3%, pada planlet yang
berasal dari pucuk kecambah maupun tunas adventif. Pada pendugaan perlakuan
lain, digunakan tinggi kontrol untuk memperkirakan periode konservasi.
Subkultur planlet yang berasal dari pucuk kecambah dilakukan pada tinggi 5,5
cm. Tinggi tunas untuk tunas adventif didasarkan pada percobaan konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa, 3,04 cm (Bab 4).
Tujuh bulan setelah konservasi, planlet yang telah dipotong akarnya
dipindahkan ke dalam media pemulihan, berupa media MS + sukrosa 3% tanpa
zat pengatur tumbuh. Aklimatisasi dilakukan dengan menanam langsung planlet
di media campuran tanah liat : sekam : kompos = 2 : 1 : 1 dengan suhu lingkungan
20–25 oC, kelembaban 70–80% dan intensitas cahaya 50%. Peubah yang diamati
adalah persentase planlet yang membentuk daun baru setelah satu bulan
disubkultur pada media pemulihan dan persentase planlet yang tumbuh setelah
satu bulan aklimatisasi.
57
energi pada jeruk (Thorpe et al. 2008), sehingga akan menyebabkan stres osmotik
yang menghambat pertumbuhan planlet. Disamping itu, paklobutrasol pada media
menghambat pemanjangan sel melalui penghambatan pada pembentukan giberelin
(Wang et al. 1986). Oleh karena itu planlet yang tumbuh pada kombinasi media
sorbitol dan paklobutrasol lebih terhambat pertumbuhannya dibandingkan dengan
yang dikonservasi pada media kombinasi sukrosa dengan paklobutrasol (Gambar
5.1).
Pada planlet yang berasal dari pucuk kecambah, penambahan tinggi
planlet antar perlakuan tidak berbeda nyata (Gambar 5.1, Tabel Lampiran 5.3).
Kemungkinan hal ini disebabkan kandungan sitokinin pada pucuk kecambah
relatif tinggi (Taiz dan Zeiger 2002), sehingga efek penghambatan pertumbuhan
dari sorbitol dan paklobutrasol menjadi tidak nyata.
Gambar 5.1 Penambahan tinggi tunas pamelo pada konservasi dengan osmotikum
dan retardan tujuh bulan setelah konservasi.
Penambahan jumlah daun terbanyak pada planlet yang berasal dari pucuk
kecambah dijumpai pada planlet pada media MS + sukrosa 3% tanpa
paklobutrasol. Penambahan jumlah daun terendah dijumpai pada media MS +
sorbitol 2% + paklobutrasol 15 ppm yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan
selain kontrol (Tabel Lampiran 5.3 Gambar 5.2). Kombinasi media sorbitol dan
paklobutrasol tampaknya menghambat pembentukan daun karena sorbitol yang
dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dan sumber karbon hanya sedikit
(Montalvo-Peniche et al. 2007), disamping itu paklobutrasol dapat menghambat
pemanjangan sel (Wang et al. 1986).
58
Gambar 5.2 Penambahan jumlah daun pamelo pada konservasi dengan osmotikum
dan retardan tujuh bulan setelah konservasi.
Tunas pamelo mampu membentuk akar pada semua media konservasi yang
menggunakan osmotikum dan retardan. Kemampuan tunas membentuk akar pada
media konservasi, diduga karena auksin endogen pada planlet pamelo cukup
tinggi untuk insisasi akar, karena auksin berperan dalam inisiasi dan pembentukan
akar (Srivastava 2002).
Jumlah dan panjang akar dipengaruhi macam eksplan, macam media dan
interaksi keduanya (Tabel Lampiran 5.1, Gambar 5.3 dan 5.4 ). Jumlah akar
eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak berbeda nyata pada semua
kombinasi media. Pada eksplan yang berasal dari pucuk kecambah, jumlah akar
terbanyak terdapat pada media MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol, sedangkan
planlet pada media MS + sorbitol 2% tanpa paklobutrasol memiliki jumlah akar
paling sedikit, yang tidak berbeda nyata dengan jumlah akar pada media MS +
sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm (Tabel Lampiran 5.2 Gambar 5.3).
Pembentukan akar memerlukan energi dan sumber karbon, sehingga akar yang
terbentuk pada media tanpa sukrosa (sorbitol 2%) lebih sedikit dibanding pada
media yang diberi sukrosa.
59
Gambar 5.3 Jumlah akar pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan retardan
tujuh bulan setelah konservasi.
Akar terpanjang pada planlet yang berasal dari tunas adventif dijumpai
pada planlet di media MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol, sedangkan akar
terpendek dijumpai pada media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 15 ppm yang
tidak berbeda nyata dengan media lainnya yang mengandung paklobutrasol. Pada
eksplan yang berasal dari pucuk kecambah akar planlet yang tumbuh pada media
MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol lebih panjang dibandingkan akar planlet
pada media MS + sorbitol 2% tanpa paklobutrasol. Namun, panjang akar pada
media yang mengandung paklobutrasol tidak berbeda nyata antara yang diberi
sukrosa 3% dan sorbitol 2% (Tabel Lampiran 5.2 Gambar 5.4).
Berdasarkan pengamatan terhadap jumlah dan panjang akar pamelo
dengan konservasi menggunakan kombinasi osmotikum dan retardan tampak
bahwa perlakuan paklobutrasol tidak menghambat pembentukan akar, tetapi
hanya menghambat pemanjangan sel sehingga akar planlet pada perlakuan
paklobutrasol menjadi pendek, karena paklobutrasol tidak mengubah pola
perkembangan tanaman (Wang et al. 1986).
60
Gambar 5.4 Panjang akar pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan
retardan tujuh bulan setelah konservasi.
epidermis
kortek
endodermis
stele
a b
Gambar 5.5 Anatomi akar planlet pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan
retardan. a. Media MS sukrosa 3%, b. Media mengandung sorbitol
dan atau paklobutrasol.
Diameter akar pada perlakuan tanpa paklobutrasol dapat mencapai 1,1 mm,
sedangkan diameter akar pada perlakuan dengan paklobutrasol lebih besar karena
61
dapat mencapai 2,4 mm. Hal serupa juga diamati pada kentang yang diberi
perlakuan paklobutrasol, pembesaran diameter akar disebabkan penebalan lapisan
kortek pada akar akibat perlakuan paklobutrasol (Tsegaw et al. 2005). Diduga hal
tersebut akan membatasi penyerapan air dan hara pada planlet pamelo yang
tumbuh pada media yang mengandung paklobutrasol, sehingga pertumbuhan
planlet terhambat.
Hasil pengamatan menunjukkan tunas yang berasal dari pucuk kecambah dapat
terus tumbuh menjadi planlet pada semua media konservasi yang dicobakan.
Planlet pada media MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol (kontrol) memiliki
pertumbuhan terbaik, dengan bentuk daun normal. Sebaliknya, planlet yang
berasal dari pucuk kecambah pada media MS + sorbitol 2% tanpa paklobutrasol
memiliki daun lebih kecil, berwarna hijau muda, agak menggulung. Planlet yang
tumbuh pada media yang mengandung paklobutrasol mempunyai daun dengan
ukuran lebih kecil dibanding yang tumbuh pada media kontrol (Gambar 5.6).
a b c
d e f
Gambar 5.6 Keragaan visual planlet yang berasal dari pucuk kecambah pamelo
„Adas Duku‟ pada konservasi dengan osmotikum dan retardan a.
sukrosa 3% + paklobutrasol 0 ppm, b. sukrosa 3% + paklobutrasol
7,5 ppm, c. sukrosa 3% + paklobutrasol 15 ppm, d. sorbitol 2% +
paklobutrasol 0 ppm, e. sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm, f.
sorbitol 2% + paklobutrasol 15 ppm
62
Planlet yang berasal dari tunas adventif lebih lambat pertumbuhannya
dibandingkan yang berasal dari pucuk kecambah. Namun semua planlet memiliki
bentuk daun normal (Gambar 5.7).
a b c
d e f
Gambar 5.7 Keragaan visual planlet yang berasal dari tunas adventif pamelo
„Adas Duku‟ tujuh bulan setelah konservasi dengan osmotikum dan
retardan a. sukrosa 3% + paklobutrasol 0 ppm, b. sukrosa 3% +
paklobutrasol 7,5 ppm, c. sukrosa 3% + paklobutrasol 15 ppm, d.
sorbitol 2% + paklobutrasol 0 ppm, e. sorbitol 2% + paklobutrasol
7,5 ppm, f. sorbitol paklobutrasol 15 ppm
63
Pertumbuhan relatif planlet
Gambar 5.8 Persentase pertumbuhan relatif jumlah daun pamelo pada konservasi
dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi.
Pertumbuhan tunas pada planlet yang berasal dari tunas adventif lebih
terhambat dibandingkan planlet yang berasal dari pucuk kecambah. Planlet yang
paling terhambat pertumbuhannya terjadi pada media yang mengandung sorbitol
2% + paklobutrasol 15 ppm, sedangkan planlet yang berasal dari pucuk kecambah
pada media sukrosa 3% + paklobutrasol 7,5 ppm paling sedikit mengalami
hambatan pertumbuhan tinggi (Gambar 5.9).
64
Gambar 5.9 Persentase pertumbuhan relatif tunas pamelo pada konservasi dengan
osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi.
Pembentukan akar pada planlet yang berasal dari tunas adventif lebih
terhambat dibandingkan planlet yang berasal dari pucuk kecambah. Planlet yang
paling terhambat pembentukan akarnya terjadi pada media MS yang mengandung
sorbitol 2%, sedangkan planlet yang berasal dari pucuk kecambah pada media MS
+ sukrosa 3% + paklobutrasol 15 ppm paling sedikit mengalami hambatan
pembentukan akar (Gambar 5.10)
65
paklobutrasol 15 ppm paling sedikit mengalami hambatan pemanjangan akar
(Gambar 5.11)
66
Tabel 5.1 Pemulihan dan aklimatisasi pamelo „Adas Duku‟ setelah konservasi
menggunakan osmotikum dan retardan
Macam Asal Media Perlakuan Konservasi
Peubah yang eksplan Sukrosa 3% Sorbitol 2%
diamati Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo
0 ppm 7,5 ppm 15 ppm 0 ppm 7,5 ppm 15 ppm
Planlet Pucuk
membentuk kecambah 66,7ab 66,7ab 66,7ab 0,0d 33,3c 50,0ac
daun baru 1 Tunas
BSK pemulihan adventif 100a 100a 100a 100a 100a 100a
% tumbuh Pucuk
setelah kecambah 100 100 100 30 100 100
aklimatisasi Tunas
adventif 100 100 100 100 100 100
Keterangan : enam planlet. paklo = paklobutrazol. BSK = Bulan setelah kultur
Semua planlet dapat diaklimatisasi, kecuali planlet pada media MS +
sorbitol 2% karena klorosis (Tabel 5.1). Keberhasilan aklimatisasi ditentukan
oleh kondisi planlet dan media aklimatisasi. Umumnya, tanaman hasil kultur in
vitro dicirikan dengan pembentukan lilin epikutikular yang berkurang yang
menyebabkan transpirasi berlebihan ketika diaklimatisasi (Hazarika et al. 2002).
Untuk itu, diperlukan media yang dapat menjaga suplai air untuk tanaman. Media
dengan campuran tanah liat, sekam dan kompos mampu memelihara kelembaban
media dan suplai air pada tanaman yang diaklimatisasi. Perlakuan paklobutrasol
juga dapat meningkatkan keberhasilan aklimatisasi, karena paklobutrasol dapat
mempertebal lapisan lilin epikutikular dan epidermis daun (Tsegaw et al. 2005),
sehingga dapat mengurangi transpirasi pada daun jeruk saat aklimatisasi.
67
Tabel 5.2 Perkiraan waktu konservasi pamelo pada setiap media konservasi
dengan osmotikum dan retardan
Media Persamaan regresi Perkiraan lama
pertumbuhan konservasi
tunas (bulan)
Pucuk kecambah
Sukrosa 3% paklobutrasol 0 ppm y = 1 + 0,426x 10,2
Sukrosa 3% paklobutrasol 7,5 ppm y = 1 + 0,339x 13,2
Sukrosa 3% paklobutrasol 15 ppm y = 1 + 0,334x 14.2
Sorbitol 2% paklobutrasol 0 ppm y = 1 + 0,257x 17.2
Sorbitol 2% paklobutrasol 7,5 ppm y = 1 + 0,256x 18.3
Sorbitol 2% paklobutrasol 15 ppm y = 1 + 0,309x 15.2
Tunas adventif
Sukrosa 3% paklobutrasol 0 ppm y = 0,2 + 0,271x 15,2
Sukrosa 3% paklobutrasol 7,5 ppm y = 0,2 + 0,195x 17,8
Sukrosa 3% paklobutrasol 15 ppm y = 0,2 + 0,057x 24,2
Sorbitol 2% paklobutrasol 0 ppm y = 0,3 + 0,151x 19,2
Sorbitol 2% paklobutrasol 7,5 ppm y = 0,2 + 0,095x 22,2
Sorbitol 2% paklobutrasol 15 ppm y = 0,2 + 0,095x 31,2
Keterangan: y = a + bx dengan y = tinggi tunas kontrol saat subkultur dan x = perkiraan lama
konservasi. Tinggi tunas kontrol (MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol) saat sub
kultur dari planlet yang berasal dari pucuk kecambah 5,5 cm, sedangkan planlet
yang berasal dari tunas adventif 3,04 cm.
Hasil perhitungan menunjukkan planlet yang berasal dari pucuk kecambah
dapat dikonservasi selama 10,2 sampai 18,3 bulan, sedangkan planlet yang berasal
dari tunas adventif dapat dikonservasi selama 15,2 sampai 31,2 bulan. Planlet
pada media konservasi terbaik pada metode ini, yaitu tunas adventif yang
dikonservasi pada media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 persen dapat
dikonservasi selama 22,2 bulan (Tabel 5.2). Planlet yang tumbuh lambat pada
media ini diduga karena planlet terinduksi menjadi bersifat autotrof (Thorpe et al.
2008), sedangkan perlakuan paklobutrasol dapat meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap stres osmotik maupun stres karena adanya radikal bebas dalam
botol kultur selama periode konservasi.
68
Simpulan
Saran
69
6. PEMBAHASAN UMUM
71
yang dikonservasi juga ditentukan oleh konsentrasi sukrosa dalam media, karena
sukrosa berperan sebagai sumber energi dan sumber karbon bagi kultur (Javed dan
Ikram 2008), dan regulator siklus sel (Gahan 2007).
Konservasi in vitro dengan pertumbuhan lambat melalui penurunan
konsentrasi media MS dan sukrosa dilakukan untuk menghambat pertumbuhan
planlet sehingga dapat memperpanjang jarak subkultur. Ketersediaan hara pada
konsentrasi yang lebih rendah akan mempengaruhi pertumbuhan. Pada penelitian
ini tampak bahwa konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS menjadi
setengahnya yang dikombinasikan dengan penurunan konsentrasi sukrosa dari 3%
menjadi 0% tetap dapat membuat eksplan tumbuh, namun secara lambat. Planlet
yang diberi perlakuan pengurangan nutrisi dan energi akan melakukan efisiensi
(Marschner 1995). Planlet pada percobaan dengan menggunakan media ½ MS
melakukan efisiensi dengan mengurangi pembentukan daun dan panjang tunas,
namun jumlah dan panjang akar sebagai sarana penyerapan hara meningkat (Tabel
6.1). Penurunan konsentrasi sukrosa nyata menghambat pertumbuhan planlet
(Gambar 4.7).
Tabel 6.1 Persentase pertumbuhan relatif pamelo „Adas Duku‟ pada konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa tujuh bulan
setelah konservasi
Konsentrasi Konsentrasi sukrosa
Peubah Media 0% 1% 2% 3%
............% pertumbuhan relatif ........
Panjang tunas 1/2MS -79,2 -75,0 -66,7 -70,8
MS -75,0 -41,7 -41,7 0,0 (kontrol)
Penambahan daun 1/2MS -49,4 -23,5 -32,1 -38,3
MS -37,0 -33,3 -8,6 0,0 (kontrol)
Panjang akar 1/2MS -27,2 -13,6 +55,7 42,7
MS -49,4 -5,2 -19,6 0,0 (kontrol)
Jumlah akar 1/2MS +7,1 +35,7 +21,4 14,3
MS 0,0 -14,3 +21,4 0,0 (kontrol)
Keterangan : Tanda (-) = pertumbuhan menurun, tanda (+) = pertumbuhan meningkat
Pada tanaman yang kekurangan sukrosa, siklus sel akan berjalan lambat,
sehingga pembelahan sel berjalan lambat karena sukrosa juga berperan dalam
menginduksi siklus sel (Gahan 2007, Dewitte dan Murray 2002). Konsentrasi
sukrosa yang rendah juga akan membatasi pembesaran sel akibat terbatasnya
energi dan sumber karbon (Dewitte dan Murray 2002). Pembatasan terjadinya
72
siklus sel dan pembesaran sel akan menyebabkan pertumbuhan tanaman
terhambat. Hal ini tampak pada penurunan persentase pertumbuhan relatif planlet
pada berbagai media dibandingkan media MS + sukrosa 3% yang digunakan
sebagai kontrol (Tabel 6.1).
Persentase pertumbuhan relatif yang rendah, tetapi dengan keragaan visual
kultur yang tetap berwarna hijau dihasilkan oleh planlet pada media MS tanpa
sukrosa, sehingga media ini merupakan media terbaik untuk konservasi pamelo
dengan metode penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa. Hal yang
menyebabkan planlet dapat tumbuh pada media MS tanpa sukrosa selama periode
konservasi diduga karena planlet pada media tanpa sukrosa dapat bersifat autotrof
dan dapat membentuk klorofil (Thorpe et al. 2008). Proses fotosintesis dapat
berlangsung dengan menggunakan CO2 yang terbentuk dari hasil respirasi selama
periode konservasi. Namun pertumbuhan terjadi secara lambat, akibat hasil
fotosintesisnya digunakan untuk mengatasi cekaman terhadap kekurangan energi
(sukrosa) dan cekaman radikal bebas yang terbentuk pada botol kultur (Thorpe et
al. 2008). Oleh karena itu, metode konservasi dengan media MS tanpa sukrosa
ini mungkin merupakan metode konservasi yang hemat biaya karena tidak
memerlukan substansi lain selain media MS. Selain itu diperkirakan, dengan
media ini planlet dapat dikonservasi selama 30,7 bulan atau 2,5 tahun.
73
Kombinasi osmotikum dan retardan menyebabkan pertumbuhan planlet
melambat terutama pada pemanjangan tunas dan akar serta pembentukan daun,
tetapi membuat diameter akar menjadi lebih besar (Gambar 5.7). Paklobutrasol
menekan pertumbuhan melalui penghambatan salah satu dari tiga tahap lintasan
terpenoid yang menghasilkan giberelin yaitu pembentukan ent-kaurenol, ent-
kaurenal dan ent-kaurenoic acid. Penghambatan dapat melalui pengikatan dengan
enzim atau menghambat kerja enzim yang mengkatalisis reaksi pembentukan
giberelin (Wang et al. 1986). Pada akar, paklobutrasol menyebabkan penebalan
lapisan kortek yang menyebabkan diameter akar membesar, namun menghambat
penebalan dinding sel floem sehingga menurunkan luas lingkaran xilem (Tsegaw
et al. 2005). Luas lingkaran berkas pembuluh yang menyempit pada akar
mempengaruhi translokasi karbohidrat, hara dan air. Oleh karena itu planlet yang
tumbuh pada media yang mengandung sorbitol dan paklobutrasol lebih terhambat
pertumbuhannya bila dibandingkan dengan planlet yang tumbuh pada media MS
+ sukrosa 3% (Tabel 6.2).
Tabel 6.2 Persentase pertumbuhan relatif pamelo „Adas Duku‟ pada konservasi
menggunakan media osmotikum dan retardan pada tujuh bulan setelah
konservasi
Peubah Macam Media
yang Eksplan Sukrosa 3% Sorbitol 2%
diamati
Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo
0 ppm 7,5 ppm 15 ppm 0 ppm 7,5 ppm 15 ppm
.................. % pertumbuhan relatif..............................
Jumlah Pucuk 0 -25,43 -38 -56 -50.8 -56
daun
Tunas 0 -7,69 -62 -38 -84,6 -100
Tinggi Pucuk 0 -11,54 -15 -31 -34,6 -23
planlet Tunas 0 -22,67 -75 -46 -65,1 -87
Panjang Pucuk 0 -53,12 -51 -88 -89,9 -70
akar Tunas 0 -84,62 -79 -68 -81 -92
Jumlah Pucuk 0 -53,57 -57 -93 -75 -64
akar Tunas 0 -20 0 -30 -20 -50
Keterangan : Kontrol = MS + sukrosa 3% + paklobutrasol 0 ppm.
Tanda (-) = pertumbuhan menurun
74
2% + paklobutrasol 7,5 ppm. Planlet pada media konservasi tersebut diperkirakan
dapat dikonservasi selama 22,2 bulan. Bila dibandingkan dengan penelitian
pertama yaitu planlet yang dikonservasi pada media MS tanpa sukrosa, planlet
pada media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm tampak lebih hijau dan
vigor. Pada saat pemulihan juga daun baru lebih cepat terbentuk pada planlet
tunas adventif asal MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm, sehingga pada satu
bulan setelah pemulihan semua planlet memiliki daun baru (100%). Selain itu,
planlet dengan perlakuan paklobutrasol juga memiliki lapisan epikutikular dan
epidermis yang lebih tebal (Hazarika 2003), sehingga dapat meningkatkan
keberhasilan aklimatisasi.
75
7. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Penggunaan eksplan epikotil pamelo yang dikultur secara vertikal pada media
MS0 di tempat terang, merupakan cara yang paling efektif dibandingkan
penggunaan eksplan daun dan akar, untuk mendapatkan tunas adventif melalui
organogenesis secara langsung.
2. Media terbaik dengan menggunakan metode konservasi in vitro berdasarkan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa adalah media MS tanpa sukrosa,
yang diperkirakan dapat mengkonservasi pamelo selama 30,7 bulan.
3. Eksplan dan media terbaik pada metode konservasi in vitro dengan penggunaan
osmotikum dan retardan adalah eksplan yang berasal dari tunas adventif
dengan media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm yang diperkirakan
dapat mengkonservasi pamelo selama 22,2 bulan.
Saran
1. Berdasarkan pertumbuhan relatif dan visual kultur yaitu planlet normal yang
lebih hijau dan vigor sehingga dapat dipulihkan lebih cepat, maka media MS +
sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm merupakan media yang lebih tepat
digunakan untuk konservasi pamelo dibandingkan dengan media MS tanpa
sukrosa.
2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang uji stabilitas genetik pada planlet setelah
konservasi.
DAFTAR PUSTAKA
78
Ibrahim MSD. 2005. Pengaruh pemberian paklobutrasol terhadap pertumbuhan
Bangle (Zingiber purpureum) dalam penyimpanan in vitro. Bul Tan
Rempah dan Obat 16: 49-55.
Imin N, Nizamidin M, Wu T, Rolfe BG. 2007. Factors involved in root formation
in Medicago trunculata. J Exp Bot 58: 439-451.
Javed F, Ikram S. 2008. Effect of sucrose induced osmotic stress on callus growth
and biochemical aspect of two wheat genotypes. Pak J Bot 40: 1487-1495.
Kane ME. 2005. Shoot culture procedures. Di dalam Trigiano RN, Gray DJ,
editor. Plant Development and Biotechnology. New York: CRC Press. hlm
145-172.
Kartha KK. 1985. Meristem culture and germplasm preservation. Di dalam Kartha
KK, editor. Cryopreservation of Plant Cell and Organs. Florida: Cue
Press. hlm 116-134.
Khan EU, Fu XZ, Wang J, Fan QJ, Huang XS, Zhang GN, Shi J, Liu JH. 2009.
Regeneration and characterization of plants derived from leaf in vitro
culture of two sweet orange (Citrus sinensis (L.) Osbeck) cultivars. Scient
Hort 120: 70-76.
Leunufna S. 2004. Improvement of the in vitro maintenance and cryopreservation
of yams (Dioscorea spp.) [Dissertation]. Berlin: Martin-Luther–
Universitat Halle-Wittenberg. Unpublished. 12 p.
Mabberley DJ. 1997. A classification for edible Citrus. Telopea 7: 167–172.
Machakova I, Zazimalova E, George EF. 2008. Plant growth regulator I:
Introduction, Auxin, their analogues and inhibitor. Di dalam George EF,
Hall MA, De Klerk GJ, editor. Plant Propagation by Tissue Culture Vol. I
The Background. Dordrecht: Springer. hlm 175-204.
Manner HI, Buker RS, Smith VE, Ward D, Elevitch CR. 2006. Citrus (citrus)
and Fortunella (kumquat), Rutaceae (true family). Species Profiles for
Pacific Island Agroforestry. www.traditionaltree.org. 12 Des 2009.
Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plant. Cambridge: Academic
Press. 859 hlm.
Milfont ML, Martins JMF, Antonino ACD, Gouveia ER, Netto AM, Guiné V,
Mas H, Freire MBGS. 2008. Reactivity of the plant growth regulator
paclobutrazol (Cultar) with two tropical soils of the northeast semiarid
region of Brazil. J. Environ. Qual. 37:90–97.
Moges AD, Karam NS, Shibli RA. 2003. Slow growth in vitro of African violet
(Saintpaulia ionantha Wendl.) shoot tips. Adv Hort Sci 17:1-8.
Montalvo-Peniche MC, Iglesias-Andreu LG, Mijangos-Cortes JO, Nahuat-Dzib
SL, Barahona-Perez F, Canto-Flick A, Santana-Buzzy N. 2007. In vitro
germplasm conservation of Habanero Pepper (Capsicum chinense Jacq.).
HortSci 42: 1247-1252.
79
Morton J. 1987. Pummelo. Di dalam Morton JF, editor. Fruits of warm climates.
Miami: FL. hlm 147–151 http://www.hort.purdue.edu/newcrop/morton/
pummelo.html 23 Maret 2011.
Moshkov IE, Novikova GV, Hall MA, George EF. 2008. Plant growth regulator
III: Gibberellins, Ethylene, Absisic Acid, their analogues and inhibitor;
miscellaneous compounds. Di dalam George EF, Hall MA, De Klerk GJ,
editor. Plant Propagation by Tissue Culture Vol. I The Background.
Dordrecht: Springer. hlm 227-282.
Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay
with tobacco tissue cultures. Physiol Plant 15: 473-497.
Neto VB de P, Otoni WC. 2003. Carbon sources and their osmotic potential in
plant tissue culture: does it matter? Sci Hort 97: 193–202.
Niyomdham C. 1997. Citrus maxima (Burm.) Merr. Di dalam Verheij EWM,
Coronel E, editor. Plant Resources of South-East Asia 2: Edible Fruits and
Nuts. Bogor: Prosea Foundation. hlm 153-157.
Normah MN, Hamidah S, Ghani FD. 1997. Micropropagation of Citrus halimii –
an endangered spesies of South East Asia. Plant Cell Tissue Organ Cult
50: 225-227.
Pandey VP, Cherian E, Patani G. 2010. Effect of growth regulators and culture
conditions on direct root induction of Rauwolfia serpentina L.
(Apocynaceae) Benth. by leaf explants. Trop J Pharm Res 9 : 27-34.
Peer WA, Blakeslee JJ, Yang H, Murphy AS. 2011. Seven things we think we
know about auxin transport. Mol Plant 4: 487–504.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. 2006. Katalog teknologi
unggulan hortikultura, tanaman sayuran, tanaman buah, tanaman hias.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Rahayu A. 2012. Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo (Citrus maxima
(Burm.) Merr. Berbiji dan Tidak Berbiji Asli Indonesia [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana IPB, Institut Pertanian Bogor.
Rao NK. 2004. Plant genetic resources: Advancing conservation and use through
biotechnology. Afr J Biotech 3: 136-145.
Read DB, Bengough AG, Gregory PJ, Crwford JW, Robinson D, Scrimgeour CM,
Young IM, Zhang K, Zhang X. 2003. Plant root release phospholipid
surfactants that modify the physical and chemical properties of soil. New
Phytol 157 : 315–326.
Roostika I, Sunarlim N, Arief VN. 2005. Penyimpanan kentang hitam (Coleus
tuberosus) secara kultur in vitro. J Pen Pert 24: 46-52.
Rose RJ, Wang XD, Nolan KE, Rolfe BG. 2006. Root meristem in Medicago
trunculata tissue culture arise from vascular-derived procambial-like cells
in a process regulated by ethylene. J Exp Bot 57: 2227-2235.
80
Sandmann G, Scherr H. 1998. Chloroplast pigment: chlorophylls and carotenoids.
Di dalam Raghavendra, editor. Photosynthesis A Comprehensive Treatise.
New York: Cambridge University Press. hlm 44-57.
Schwart OJ, Sharma AR, Beaty RM. 2005. Propagation from non meristimatic
tissues: Organogenesis. Di dalam Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant
Development and Biotechnology. New York: CRC Press. hlm 159-172.
Shibli RA, Shatnawi MA, Subaih WS, Ajlouni MM. 2006. In vitro conservation
of plant genetic resources: A review. World J Agric Sci 2: 372–382.
Silva RP da, Almeida WAB de, Souza ES ES, Filho FAAM. 2006. In vitro
organogenesis from adult tissue of „Bahia‟ Sweet Orange (Citrus sinensis
(L.) Osbeck). Fruit 61: 367-371.
Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development, Hormon and Environment.
London: Academic Press. 772 p.
Staden J van, Zazimalova E, George EF. 2008. Plant growth regulator II:
Cytokinin, their analogues and antagonists. Di dalam George EF, Hall
MA, De Klerk GJ, editor. Plant Propagation by Tissue Culture Vol. I The
Background. Dordrecht: Springer. hlm 205–226.
Sunarlim N, Roostika I, Arief VN. 2004. Penyimpanan in vitro gembili melalui
pertumbuhan minimal. Prosiding Seminar Kinerja Penelitian Mendukung
Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. BALITKABI. Malang.
Sunarlim N, Zuraida N. 2001. Penyimpanan ubi kayu secara in vitro dengan
pertumbuhan minimal. Bul Plasma Nutfah 7: 7-12.
Susanto S. 2004. Perubahan kualitas buah jeruk besar (Citrus grandis (L.)
Osbeck) yang disimpan dan dibiarkan di pohon. Hayati 11: 25-29.
Susanto S. 2010. Laporan Penelitian Program Insentif Riset Terapan 2010:
Perbaikan Potensi Pembentukan Buah Jeruk Pamelo Tanpa Biji untuk
Meningkatkan Daya Saing Buah Nasional. Bogor: Departemen Agronomi
dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB (tidak diterbitkan).
Sutopo, Supriyanto A, Suhariyono. 2006. Penentuan dosis pupuk NPK
berdasarkan hasil panen pada tanaman pamelo (Citrus grandis (L). Osbeck).
Prosiding Seminar Nasional Jeruk Tropika Indonesia; Batu, 28-29 Juli 2005.
hlm 243-251.
Syahid SF. 2007. Pengaruh retardan paklobutrazol terhadap pertumbuhan temu
lawak (Curcuma xanthorriza) selama konservasi in vitro. J Litrri 13: 93-97.
Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. New York: The Benjamin/Cummings
Publishing Co. Inc. 672 hlm.
Thorpe T, Stasolla C, Yeung EC, Klerk G-J de, Roberts A, George EF. 2008. The
Components of Plant Tissue Culture Media II : Organic Additions, Osmotic
and pH Effects, and Support Systems. Di dalam George EF, Hall MA, De
Klerk GJ, editor. Plant Propagation by Tissue Culture Vol. I The
Background. Dordrecht: Springer. hlm 115–174.
81
Towill LE. 2005. Germplasm preservation. Di dalam Trigiano RN, Gray DJ,
editor. Plant Development and Biotechnology. New York: CRC Press. hlm
277-284.
Traore A, Guiltinan MJ. 2006. Effect of carbon source and explant type on
somatic embryogenesis of four cacao genotypes. Hort Sci 41: 753-758.
Trigiano RN, Gray DJ. 2005. A brief introduction to plant anatomy. Di dalam
Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology.
New York: CRC Press. hlm 87-99.
Tsegaw T, Hammes S, Robbertse J. 2005. Paclobutrazol-induced leaf, stem and
root anatomical modification in potato. Hort Sci 40: 1343-1346.
Usman M, Muhammad S, Fatima B. 2005. In vitro multiple shoot induction from
nodal explants of Citrus cultivars. J Central Eur Agric 6: 435-442.
Wang SY, Sun T, Faust M. 1986. Translocation of paclobutrazol, a gibberellin
biosynthesis inhibitor, in Apple seedlings. Plant Physiol 82: 11-14.
Wattimena GA, Gunawan LW, Matjik NA, Syamsudin E, Wiendi NMA, Ernawati
A. 1992. Bioteknologi tanaman. Bogor : PAU IPB. 306 hal.
Whiters LA. 1985. Cryopreservation and storage of germplasm. Di dalam Dixon
DA, editor. Plant Cell Culture. Washington: IRL Press. p. 169-190.
Yamaguci M, Kato H, Yoshida S, Yamamura S, Uchimiya H, Umeda M. 2004.
Control of in vitro organogenesis by cyclin-dependent kinase activities in
plants. PNAS 100 : 8019-8023.
Yelnitis, Bermawie N. 2001. Konservasi tanaman Lada (Piper nigrum L.) secara
in vitro. J Littri 7: 88-92.
Zhang S, Lemaux PG. 2005. Molecular aspects of in vitro shoot organogenesis. Di
dalam Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and
Biotechnology. New York: CRC Press. p 173-185.
Ziv M, Chen J. 2008. The anatomy and morphology of tissue cultured plant. Di
dalam George EF, Hall MA, De Klerk GJ, editor. Plant Propagation by
Tissue Culture Vol. I The Background. Dordrecht: Springer. hlm 465-477.
82
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pamelo Adas Duku dari Magetan, Jawa Timur.
b c
d e
Gambar 1. Pamelo Adas Duku dari Magetan Jawa Timur, daging buah
merah, rasa buah manis. a. habitus pohon, b. daun, c. buah, d.
bunga, e. irisan membujur buah dengan biji (Foto : KN Tyas)
84
Lampiran 2. Karakter pamelo adas duku (Rahayu 2012)
85
Tabel 2.4 Karakteristik buah pamelo‟Adas Duku‟ (Rahayu 2012)
Buah Karakter
Bobot buah (g) 1394,68
Bentuk buah spheroid
Bentuk pangkal buah convex
Bentuk ujung buah truncate
Tebal epikarp 1,18
Warna kulit buah kuning
Tekstur permukaan buah agak kasar
Kelekatan albedo dengan kantung jus kuat
Keberadaan kelenjar minyak jelas
Tebal mesokarp 13,27
Warna albedo merah muda
Ujung buah tertutup
Jumlah juring per buah 15,5
Kelekatan antar juring kuat
Keseragaman bentuk juring tidak
Ketebalan dinding juring sedang
Axis (inti buah) padat
Bentuk potongan melintang inti tidak teratur
Warna kantong jus merah muda
Intensitas warna kantong jus terang
Keseragan warna kantong jus tidak seragam
Ketegaran kantong jus sedang
Tekstur kantong jus berdaging
Panjang kantong jus pendek
Tebal kantong jus tipis
Jumlah biji rata-rata per buah 55,6
Bentuk biji fusiform, semi-deltoid
Permukaan biji keriput
Warna biji krem
Warna kotiledon putih
Warna titik kalaza krem
Embrioni biji mono-embrioni
Panjang biji (mm) 15,4
Lebar biji (mm) 8,2
86
Tabel 2.6 Karakteristik fisik pamelo‟Adas Duku‟ (Rahayu 2012)
Karakter fisik %
Bobot kulit 30,80
Bobot bagian dapat dimakan 58,82
Sekat 8,02
Aksis 0,88
Biji 1,48
87
Lampiran 3. Komposisi Media MS (Murashige dan Skoog 1962)
88
Lampiran 4. Hasil Uji pada konservasi dengan pengenceran media MS dan
konsentrasi sukrosa
Tabel 4.1 Rekapitulasi hasil sidik ragam peubah konservasi dengan pengenceran
media MS dan konsentrasi sukrosa
Peubah Macam media Konsentrasi Media x Sukrosa
MS Sukrosa
Penambahan jumlah daun 25,79** 11,60** 9,65**
Pemanjangan tunas 1,14** 0,37** 0,17tn
Panjang akar 193,51** 137,84** 55,25tn
Jumlah akar 0,06** 0,01tn 0,03*
Waktu muncul akar 0,49** 0,26tn 0,48**
Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata, tn = tidak nyata
Tabel 4.2 Rekapitulasi hasil uji kontras konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa
Contrast Panjang tunas Panjang akar
½ MS vs MS 1,14** 193,51**
0 vs 10 20 30 0,75** 311,88**
10 vs 20 0,03tn 67,12tn
10 vs 30 0,34* 84,36tn
20 vs 30 0,1tn 0,98tn
Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata, tn = tidak nyata
Tabel 4.3 Rekapitulasi hasil uji DMRT konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa
Peubah yang diamati Komposisi Konsentrasi sukrosa
Media (%)
0 1 2 3
Penambahan 1/2MS 4,07d 6,21bc 5,50cd 5,00cd
jumlah daun MS 5,14cd 5,43cd 7,50b 8,14a
Jumlah akar 1/2MS 1,25abc 1,35a 1,30ab 1,27ab
MS 1,22bc 1,16c 1,30ab 1,22bc
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah tidak berbeda nyata
pada taraf 5% DMRT.
89
Tabel 4.4 Interaksi antara konsentrasi media MS dan sukrosa terhadap tinggi
tunas pamelo „Adas Duku‟ selama periode konservasi
BSK Konsentrasi Konsentrasi sukrosa (%)
media MS 0 1 2 3
2 1/2MS 0.66b 0.49b 0.65b 0.71b
MS 0.47b 0.61b 0.66b 0.96a
90
Lampiran 5. Hasil uji pada konservasi dengan osmotikum dan retardan
Tabel 5.1 Rekapitulasi hasil sidik ragam peubah konservasi dengan osmotikum
dan retardan
Peubah Macam Macam Eksplan x Media
Eksplan Media
Penambahan jumlah daun 5,96** 1,87** 0,42**
Pemanjangan tunas 1,65** 0,09** 0,09**
Panjang akar 1,53** 2,14** 0,59*
Jumlah akar 0,15* 0,22** 0,13**
Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata
Tabel 5.2 Rekapitulasi uji DMRT konservasi dengan osmotikum dan retardan
Peubah yang Macam Macam Media
diamati Eksplan
Sukrosa 3% Sorbitol 2%
Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo
0ppm 7,5 ppm 15 ppm 0 ppm 7,5 ppm 15 ppm
Penambahan Pucuk 10,50a 7,83ab 6,50bc 4,67bcd 5,17bc 4,67bcd
jumlah daun Tunas 6,50bc 6,00bc 2,50de 4,00cd 1,00ef 0,00f
Pemanjangan Pucuk 2,60a 2,30a 2,20a 1,80a 1,70a 2,00a
batang Tunas 1,72ab 1,33bc 0,43e 0,93cd 0,60de 0,23e
Panjang akar Pucuk 4,97b 2,33bcd 2,45bcd 0,58d 0,50d 1,50cd
Tunas 11,83a 1,82bcd 2,45bcd 3,83 bc 2,25bcd 1,00d
Jumlah akar Pucuk 2,8a 1,3b 1,2bc 0,2d 0,7bcd 1,0bc
Tunas 1,0bc 0,8bcd 1,0bc 0,7bcd 0,8bc 0,5cd
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah tidak berbeda nyata
pada taraf 5% DMRT.
91