Kartika Ning Tyas

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 118

ORGANOGENESIS DAN KONSERVASI IN VITRO

PAMELO (Citrus maxima (Burm.) Merr.)

KARTIKA NING TYAS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Organogenesis dan Konservasi


In Vitro Pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.).” adalah karya saya sendiri
dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Kartika Ning Tyas


NRP A262070071
ABSTRACT
KARTIKA NING TYAS. Organogenesis and In Vitro Conservation of
Pummelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.). Under the direction of Slamet
Susanto, Iswari Saraswati Dewi and Nurul Khumaida.

Indonesia has high diversity of pummelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.) which
economically potential. The pummelo diversity must be conserved to overcome
its extinction due to biotic and abiotic stresses. In vitro conservation using slow
growth technique can be considered as an alternative of ex-situ conservation. The
objective of this research was to study pummelo organogenesis and to find out an
effective medium to conserve pummelo using slow growth technique. Three
experiments were conducted in this research to conserve pummelo. Organogenesis
was induced on pummelo leaf, root and epicotyl to find out the best explant and
medium to produce pummelo shoot effectively. Two conservation experiments
using slow growth were conducted to find out the best medium to conserve
pummelo. The first conservation experiment was done using reduction of MS
medium and sucrose concentration, while the second conservation method was
done using osmotic regulator and retardant. The results showed effective direct
organogenesis of pummelo could be induced by culturing epicotyl explant
vertically in MS medium without plant growth regulator under 24 hour light. In
the first conservation experiment, the best medium to conserve pummelo using
reduction of MS medium and sucrose concentration was MS medium without
sucrose that inhibited leaf formation 37%, shoot elongation 75%, root elongation
49,4%, and the estimation to conserve pummelo was 30,7 months. While in the
second conservation experiment, the best medium to conserve pummelo using
osmoticum and retardant is MS + sorbitol 2% + paclobutrazol 7,5 ppm, that
inhibited shoot length 65,1%, leaf formation 84,6%, root number 20%, root
length 81%, and the estimation to conserve pummelo was 22,2 months. However,
based on percentage of growth inhibition to the planlet and the appearance of the
conserved planlet, the more suitable medium to conserve pummelo was MS +
sorbitol 2% + paclobutrazol 7,5 ppm. After conservation periode, pummelo could
grow normally in recovery medium (MS0) and aclimatization medium (soil :
husk : compos = 2 : 1 :1).
Keyword : pummelo, slow growth, conservation, osmoticum, paclobutrazol
RINGKASAN

KARTIKA NING TYAS. Organogenesis dan Konservasi In Vitro Pamelo


(Citrus maxima (Burm.) Merr.). Dibimbing oleh Slamet Susanto, Iswari Saraswati
Dewi dan Nurul Khumaida.

Indonesia memiliki plasma nutfah pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.)


yang beragam dan potensial secara ekonomi. Budidaya pamelo pada sebagian
besar sentra produksi dilakukan di lahan pekarangan yang rentan terhadap alih
fungsi lahan dan dilakukan tidak secara intensif sehingga tanaman mudah
terserang hama penyakit. Kekayaan plasma nutfah pamelo pada masing-masing
sentra produksi bersifat khas sehingga perlu dijaga kelestariannya, antara lain
melalui konservasi eks-situ secara in vitro menggunakan teknik pertumbuhan
lambat (slow growth). Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
organogenesis pada pamelo dan mendapatkan media yang efektif untuk
konservasi in vitro pamelo melalui pertumbuhan lambat.
Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan. Percobaan pertama adalah
organogenesis untuk menginduksi pembentukan tunas adventif pada eksplan
daun, akar dan epikotil pamelo untuk mendapatkan eksplan dan media yang
efektif dalam menghasilkan tunas adventif secara langsung. Dua percobaan
konservasi dilakukan untuk mendapatkan media yang sesuai untuk konservasi
pamelo. Percobaan konservasi pertama dilakukan menggunakan penurunan
konsentrasi media MS dan sukrosa, sedangkan percobaan konservasi kedua
dilakukan menggunakan osmotikum dan retardan.
Hasil pengamatan menunjukkan penggunaan eksplan epikotil yang dikultur
secara vertikal pada media MS0 dengan lama penyinaran selama 24 jam
merupakan cara paling efektif untuk memperoleh tunas secara langsung. Eksplan
dapat menghasilkan 1 – 3 tunas/eksplan, dengan tingkat keberhasilan 100%. Pada
Pada percobaan konservasi dengan menggunakan penurunan konsentrasi media
MS dan sukrosa, media terbaik adalah MS tanpa sukrosa, media ini menyebabkan
penghambatan pembentukan daun 37%, pemanjangan tunas 75% dan
pemanjangan akar 49,4%. Media MS tanpa sukrosa diperkirakan dapat digunakan
untuk konservasi pamelo selama 30,7 bulan. Sementara itu pada percobaan
konservasi dengan osmotikum dan retardan, planlet yang berasal dari tunas
adventif dengan empat daun yang dikonservasi pada media MS + sorbitol 2% +
paklobutrasol 7,5 ppm merupakan yang terbaik. Media ini menyebabkan
penghambatan pemanjangan tunas 65,1%, pembentukan daun 84,6%,
pembentukan akar 81% serta panjang akar 20%. Tunas adventif yang dikonservasi
pada media ini diperkirakan dapat dikonservasi selama 22,2 bulan. Jika
dibandingkan dengan konservasi pamelo pada media MS tanpa sukrosa maka
berdasarkan persen penghambatan pertumbuhan dan visual planlet yang tetap
hijau tampak konservasi pamelo yang paling sesuai adalah dengan menggunakan
tunas adventif pada media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm.
Media konservasi tetap dapat memelihara kemampuan tumbuh planlet
selama tujuh bulan periode konservasi. Planlet dapat membentuk daun baru satu
bulan setelah subkultur pada media pemulihan (MS0). Pada konservasi dengan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa, planlet yang dapat membentuk
daun baru sebanyak 83,33% pada media yang mengandung sukrosa dan 66,67%
pada media yang tidak mengandung sukrosa. Pada konservasi dengan osmotikum
dan retardan, semua planlet yang berasal dari tunas adventif dapat membentuk
daun baru. Planlet yang berasal dari pucuk kecambah yang dapat membentuk
daun baru sebanyak 66,7% pada media yang mengandung sukrosa 3%, 33,3%
pada media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5%, 50% pada media MS +
sorbitol 2% + paklobutrasol 15 ppm, sedangkan planlet yang tumbuh di media MS
+ sorbitol 2% tanpa paklobutrasol belum membentuk daun baru.
Aklimatisasi planlet pada media campuran tanah liat, sekam dan kompos (2
: 1 : 1) memberikan tingkat keberhasilan yang tinggi. Semua planlet pada
perlakuan konservasi tetap hidup setelah satu bulan aklimatisasi, kecuali planlet
yang berasal dari media MS + sorbitol 2%. Planlet pada media tersebut masih
mengalami klorosis ketika diaklimatisasi.
Keyword : pamelo, pertumbuhan lambat, konservasi, osmotikum,
paklobutrasol
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya
untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya tulis
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah;
dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ORGANOGENESIS DAN KONSERVASI IN VITRO
PAMELO (Citrus maxima (Burm.) Merr.)

KARTIKA NING TYAS

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Ujian Tertutup:

1. Dr. Agus Purwito, MSc. Agr.


Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian
IPB.
2. Dr. Dewi Sukma, M.Si.
Staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas
Pertanian IPB.

Penguji Ujian Terbuka:


1. Prof. Riset Dr. Ika Mariska, M.Sc.
Staf Peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Sumber Daya Genetik Pertanian.
2. Dr. Diny Dinarti, M.Si.
Staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas
Pertanian IPB.
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Organogenesis dan Konservasi In Vitro Pamelo


(Citrus maxima (Burm.) Merr.).
Nama Mahasiswa : Kartika Ning Tyas

NRP : A 262070071
Program Studi : Agronomi dan Hortikultura

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Slamet Susanto, M.Sc.


Ketua

Dr. Iswari Saraswati Dewi Dr. Nurul Khumaida, M.S.


Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Agronomi dan Hortikultura

Prof. Dr. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian: 30 Juli 2012 Tanggal lulus: 31 Agustus 2012


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
disertasi yang berjudul “Organogenesis dan Konservasi In Vitro Pamelo (Citrus
maxima (Burm.) Merr.)”.
Penelitian dan penulisan disertasi ini berlangsung dibimbing Prof. Dr.
Slamet Susanto, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan dua Anggota
Komisi Pembimbing yakni Dr. Iswari Saraswati Dewi, dan Dr. Nurul Khumaida,
M.S. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang tulus atas waktu dan kesempatan yang telah diluangkan dalam mengarahkan
dan membimbing penulis.
Penelitian dan penyelesaian disertasi ini sebagian didanai oleh KKP3T
2009 dan Ristek 2010, karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih
kepada Kementerian Pertanian dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi
selaku pemberi dana, serta tim peneliti KKP3T 2009 dan Ristek 2010. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan juga kepada Dr. Arifah Rahayu M.Si., M. Randi
Ginting, SP dan Nugroho, SP atas kebersamaannya dalam penelitian.
Penghargaan yang setinggi-tingginya serta rasa terima kasih yang tulus,
penulis sampaikan juga kepada :
1. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang telah memberikan ijin belajar dan
beasiswa pada semester lima sampai tujuh kepada penulis.
2. Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor LIPI yang telah
memberikan ijin belajar.
3. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Program
Studi Agronomi dan Hortikultura Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor yang telah menerima penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian
Bogor.
4. Dr. Sandra Arifin Azis, M.S. dan Dr. Dewi Sukma, M.Si., selaku penguji luar
komisi saat ujian prelim lisan; Dr. Agus Purwito, M.Sc. Agr. dan Dr. Dewi
Sukma, M.Si. selaku penguji luar komisi saat sidang tertutup serta Prof. Dr.
Ika Mariska, M.Sc. dan Dr. Diny Dinarti, M.Si, selaku penguji luar komisi
saat sidang terbuka yang telah memberikan saran-saran dan koreksi untuk
menyempurnakan tulisan ini.
5. Staf pengajar di Program Studi Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian
IPB yang telah mengajarkan berbagai ilmu untuk penulis.
6. Prof. Dr. Didy Sopandie M.Agr. dan Dr. Dorly untuk semua bantuannya.
7. Kepala beserta Staf Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman dan Laboratorium
Mikroteknik Faperta IPB, atas kerjasama, kebersamaan, dan bantuannya.
8. Rekan-rekan AGH 2007 atas kebersamaan dan bantuannya yang tanpa pamrih.
9. Keluarga Dr. La Muhuria M.P. (alm); Dr. Sri Rahayu M.Si., Tri Lestari, M.Si
dan Bapak Sukimin atas bantuan dan doanya.
10. Ayahanda Drs. Mulyadi (alm) dan ibunda Siti Kartini (alm) serta Ibunda Dra.
Siti Rochani, M.Pd. yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan
kasih sayang dan do‟anya.
11. Suami tercinta Ir. Gunawan Setyono yang telah memberi dana dan ijin untuk
melanjutkan studi ke Sekolah Pascasarjana IPB dan anak-anak yang
tersayang: Aslam, Nabil dan Arkaan atas do‟a, dorongan, pengertian, dan
pengorbanannya.
12. Keluarga besar Wignyo Sartono, Bani Sidiq dan Bani Chusaini atas doanya.
13. Adik-adik sekeluarga: Endah Safitri, M.T.; Ratna Adi Jaya, SE; dr. Evi
Rokhayati, SpA atas iringan do‟a dan motivasinya.
14. Rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana IPB, PKT-Kebun Raya Bogor-LIPI,
Laboratorium Kultur Jaringan IPB serta semua pihak yang telah memberikan
dukungan dan bantuan serta doa.
Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang pertanian. Amin.

Bogor, Agustus 2012

Kartika Ning Tyas


RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Surakarta pada 7 April 1969, merupakan putri pertama dari
empat bersaudara dari ayah Drs. Mulyadi dan Ibu Siti Kartini. Penulis dididik dan
dibesarkan Ibu Dra. Siti Rochani, M.Pd. Penulis menikah dengan Ir. Gunawan
Setyono dan telah dikaruniai tiga putra.
Pada Juli 1987, penulis diterima melalui jalur PMDK di Fakultas Pertanian
Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Jurusan Budidaya Pertanian Program
Studi Agronomi dan lulus pada bulan Maret 1992. Jenjang Strata dua (S-2) diikuti
pada Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
mulai pada Agustus 2003 dan selesai September 2006. Selanjutnya, sejak
Agustus 2007 penulis mengikuti pendidikan jenjang Strata tiga (S-3) di Program
Studi Agronomi dan Hortikultura Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Tahun 1992-1993 penulis bekerja sebagai dosen honorer di Fakultas
Pertanian Universitas Islam Batik Surakarta. Sejak 1 April 1994 penulis bekerja di
Pusat Konservasi Tumbuhan (PKT) Kebun Raya Bogor-LIPI sampai sekarang.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii
1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................................. 1
Tujuan .......................................................................................................... 3
Hipotesis ...................................................................................................... 3
Manfaat ........................................................................................................ 4
Bagan Alur penelitian ................................................................................. 4
5
2. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
Botani, Asal Usul dan Manfaat Pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr. ..... 5
Perbanyakan dan Budidaya Pamelo ............................................................ 6
Konservasi Plasma Nutfah ........................................................................... 7
Konservasi in vitro ....................................................................................... 9
Penurunan konsentrasi media untuk konservasi in vitro ..................... 10
Pengaturan potensial osmotik pada media untuk konservasi in
vitro...................................................................................................... 11
Penggunaan retardan dalam konservasi in vitro................................... 12
Organogenesis Langsung ............................................................................... 14
Zat Pengatur Tumbuh yang mempengaruhi organogenesis ................. 17
Auksin .................................................................................................. 18
Sitokinin ............................................................................................... 20
Giberelin .............................................................................................. 21
3. ORGANOGENESIS TUNAS SECARA LANGSUNG PADA DAUN,
AKAR DAN EPIKOTIL DARI BIJI PAMELO {Citrus maxima (Burm.)
23
Merr.} YANG DIKECAMBAHKAN SECARA IN VITRO........................
23
Abstrak ........................................................................................................ 23
Abstract .......................................................................................................
Pendahuluan.................................................................................................. 24
Bahan dan Metode........................................................................................ 25
Hasil dan Pembahasan ................................................................................. 28
Simpulan....................................................................................................... 36
Saran ........................................................................................................... 36
4. KONSERVASI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Merr.} DENGAN
37
PENURUNAN KONSENTRASI MEDIA MS DAN SUKROSA ..............
Abstrak ......................................................................................................... 37
Abstract ........................................................................................................ 37
Pendahuluan.................................................................................................. 38
Bahan dan Metode........................................................................................ 39
Hasil dan Pembahasan ................................................................................. 40
Simpulan ...................................................................................................... 51
Saran ............................................................................................................ 52
5. KONSERVASI PAMELO (Citrus maxima (Burm.) Merr.) DENGAN
REGULATOR OSMOTIK DAN RETARDAN .......................................... 53
Abstrak ......................................................................................................... 53
Abstract ........................................................................................................ 53
Pendahuluan.................................................................................................. 54
Bahan dan Metode........................................................................................ 55
Hasil dan Pembahasan ................................................................................. 57
Simpulan ...................................................................................................... 68
Saran ............................................................................................................ 69
6. 6. PEMBAHASAN UMUM ............................................................................ 70
7. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 77
LAMPIRAN ..................................................................................................... 83

xvi
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1.1 Bagan alur penelitian ............................................................................. 4
2.1 Model pengendalian dalam siklus sel pada transisi dari G1 ke S oleh
sukrosa, auksin dan sitokinin .................................................................. 11
2.2 Struktur kimia paklobutrazol (Milfont et al. 2008) ............................... 12
2.3 Penghambatan oleh paklobutrazol (----) pada tiga tahap pembentukan
Gibberelin yang dapat menyebabkan akumulasi phytol (klorofil),
asam absisik dan squalene .................................................................... 13
2.4 Tahapan yang dilalui sel-sel eksplan dalam organogenesis langsung . ...... 15
2.5 Regulasi phytohormon dalam tanaman ...................................................... 17
2.6 Konsentrasi relatif auksin dan sitokinin diperlukan secara khusus
untuk pertumbuhan dan morfogenesis ................................................... 18
2.7 Interkonversi IAA dan IBA ........................................................................ 19
2.8 NAA. Auksin sintetik yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman 20
2.9 Benzyl adenine, sitokinin yang digunakan dalam kultur jaringan
tanaman .................................................................................................. 21
2.10 Struktur kimia GA3................................................................................ 21
3.1 Organogenesis pada daun pamelo yang diinkubasi di ruang gelap ....... 29
3.2 Irisan melintang eksplan daun pamelo „Adas Duku‟ yang membentuk
akar adventif .......................................................................................... 29
3.3 Tunas adventif yang tumbuh pada eksplan akar pamelo yang
diinkubasi di ruang terang 4 BSK .......................................................... 31
3.4 Tunas adventif pada eksplan epikotil pamelo yang diinkubasi di
ruang gelap ............................................................................................. 33
3.5 Tunas adventif pada eksplan epikotil pamelo yang diinkubasi di
ruang terang .......................................................................................... 35
3.6 Irisan melintang pada eksplan epikotil menunjukkan tunas adventif
tumbuh secara langsung dari kambium di antara berkas pembuluh ...... 35
4.1 Pertumbuhan tunas pamelo pada konservasi dengan penurunan
konsentrasi media MS dan sukrosa ........................................................ 41
4.2 Pertumbuhan daun pamelo pada perlakuan konservasi dengan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ...................................... 41
4.3 Penambahan jumlah daun pada konservasi dengan penurunan
konsentrasi media MS dan sukrosa tujuh bulan setelah konservasi ...... 43
4.4 Waktu tumbuh akar pada konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa ........................................................................... 44
4.5 Jumlah akar pamelo pada konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa tujuh bulan setelah konservasi ......................... 44
4.6 Anatomi akar pamelo pada konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa ...........................................................................
46
4.7 Keragaan visual pamelo „Adas Duku‟ pada konservasi dengan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa tujuh bulan setelah
konservasi .............................................................................................. 46
4.8 Persentase pertumbuhan relatif tinggi tunas pamelo pada konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ......................... 47
4.9 Persentase pertumbuhan relatif pembentukan daun pamelo pada
konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ....... 48
4.10 Persentase pertumbuhan relatif pembentukan akar pamelo pada
konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ....... 48
4.11 Persentase pertumbuhan relatif panjang akar pamelo pada konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ......................... 49
5.1 Penambahan tinggi tunas pamelo pada konservasi dengan osmotikum
dan retardan tujuh bulan setelah konservasi .......................................... 58
5.2 Penambahan jumlah daun pamelo pada konservasi dengan osmotikum
dan retardan tujuh bulan setelah konservasi .......................................... 59
5.3 Jumlah akar pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan retardan
tujuh bulan setelah konservasi ............................................................... 60
5.4 Panjang akar pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan retardan
tujuh bulan setelah konservasi ............................................................... 61
5.5 Anatomi akar plantlet pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan
retardan .................................................................................................. 61
5.6 Keragaan visual plantlet yang berasal dari pucuk kecambah pamelo
„Adas Duku‟ pada konservasi dengan osmotikum dan retardan ........... 62
5.7 Keragaan visual plantlet yang berasal dari tunas adventif pamelo
„Adas Duku‟ tujuh bulan setelah konservasi dengan osmotikum dan
retardan .................................................................................................. 63
5.8 Persentase pertumbuhan relatif jumlah daun pamelo pada konservasi
dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi ........... 64
5.9 Persentase pertumbuhan relatif panjang tunas pamelo pada konservasi
dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi ........... 65
5.10 Persentase pertumbuhan relatif jumlah akar pamelo pada konservasi
dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi ......... 65
5.11 Persentase pertumbuhan relatif panjang akar pamelo pada konservasi
dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi .......... 66

xviii
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
3.1 Organogenesis pada eksplan daun pamelo „Adas Duku‟ dua bulan
setelah kultur ........................................................................................... 28
3.2 Respon akar pamelo „Adas Duku‟ pada empat bulan setalah kultur ....... 31
3.3 Inisiasi tunas pada eksplan epikotil pamelo „Adas Duku‟ di ruang gelap
pada media yang berespon dua bulan setelah kultur ................................ 33
3.4 Pengaruh posisi eksplan epikotil pamelo „Adas Duku‟ terhadap inisiasi
tunas di media MS0 dua bulan setelah kultur ........................................... 34
4.1 Pengaruh tunggal penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
terhadap tinggi tunas pamelo „Adas Duku‟ tujuh bulan setelah
konservasi ................................................................................................. 42
4.2 Pengaruh tunggal penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
terhadap panjang akar pamelo „Adas Duku‟ tujuh bulan setelah
konservasi ................................................................................................. 45
4.3 Pemulihan dan aklimatisasi pamelo „Adas Duku‟ setelah konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa ............................ 50
4.4 Perkiraan lama konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS
dan sukrosa berdasar pertumbuhan panjang tunas.................................... 51
5.1 Pemulihan dan aklimatisasi pamelo „Adas Duku‟ setelah konservasi
dengan menggunakan osmotikum dan retardan ...................................... 67
5.2 Perkiraan lama konservasi dengan osmotikum dan retardan berdasar
pertumbuhan panjang tunas ...................................................................... 68
6.1 Persentase pertumbuhan relatif pamelo „Adas Duku‟ pada media
konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
selama tujuh bulan .................................................................................... 72
6.2 Persentase pertumbuhan relatif pamelo „Adas Duku‟ pada media
konservasi dengan osmotikum dan retardan selama tujuh bulan ............. 74
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1 Pamelo „Adas Duku‟ dari Magetan Jawa Timur ...................................... 84
2 Karakter pamelo „Adas Duku‟.................................................................. 85
3 Komposisi Media MS (Murashige dan Skoog 1962) ............................... 88
4 Hasil uji percobaan konservasi dengan penurunan konsentrasi media
MS dan sukrosa ......................................................................................... 89
5 Hasil uji percobaan konservasi dengan osmotikum dan retardan ............. 91
1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara asal dan tempat penyebaran


tanaman jeruk (Niyomdham 1997). Berbagai jenis jeruk telah ditemukan tumbuh
dari dataran rendah sampai tinggi. Salah satu jenis jeruk yang potensial untuk
dikembangkan adalah jeruk pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.}. Renstra
Badan Litbang Pertanian 2005-2009 juga menyebutkan bahwa pamelo merupakan
salah satu jenis buah-buahan yang mendapatkan prioritas utama untuk
dikembangkan.
Pamelo potensial dikembangkan karena mempunyai karakteristik yang
khas yaitu buahnya berukuran besar, memiliki rasa segar dan daya simpan lama
sampai empat bulan (Susanto 2004) dan beberapa kultivar pamelo mengandung
105 mg vitamin C per 100g bagian yang dapat dimakan (Ara et al. 2008).
Disamping itu pamelo memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi bagi petani
karena harga per buahnya dapat mencapai Rp. 5.000 (di Sumedang, Magetan, dan
Pangkep) sampai Rp. 15.000 (di Aceh, Pati/Kudus), sedangkan rata-rata
produksinya dapat mencapai 200 buah/pohon per tahun.
Kekayaan plasma nutfah pamelo beragam, masing-masing sentra produksi
memiliki kultivar pamelo yang berbeda. Sampai saat ini ada 17 aksesi pamelo
yang telah diidentifikasi dan dilepas menjadi varietas unggulan nasional,
diantaranya Cikoneng ST dari Sumedang; Nambangan, Sri Nyonya, dan Magetan
dari Magetan; dan Giri Matang dari Aceh. Namun demikian, masih banyak aksesi
pamelo potensial yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia yang belum
mendapat perhatian seperti Muria Merah berbiji, Muria Putih tanpa biji dan Muria
Putih berbiji di Kudus; serta Jawa dan Adas Duku di Magetan (Susanto 2010).
Keragaman plasma nutfah pamelo merupakan kekayaan yang dapat dimanfaatkan
untuk perbaikan tanaman dan pengembangan varietas baru tanaman pamelo.
Masalah yang dihadapi dalam pelestarian plasma nutfah pamelo antara lain aksesi
yang hanya terdapat pada sentra produksi tertentu, budidaya yang sebagian besar
di lahan pekarangan, perawatan tanaman yang tidak intensif dan kesukaan
konsumen terhadap aksesi tertentu yang dapat berpengaruh terhadap kelestarian
plasma nutfah karena pamelo yang dibudidayakan secara luas adalah pamelo yang
disukai konsumen. Pamelo „Adas Duku‟ merupakan salah satu pamelo yang
potensial dikembangkan karena mempunyai daging buah berwarna merah dan
kandungan naringin yang lebih rendah dibandingkan pamelo „Nambangan‟
(Rahayu 2012), sehingga tingkat kegetirannya lebih rendah dibandingkan
„Nambangan‟. Pamelo „Adas Duku‟ termasuk salah satu pamelo yang terancam
punah karena jarang dibudidayakan disebabkan daging buahnya yang cepat
mengering jika tidak segera dipanen setelah masak. Pada umumnya, penundaan
masa panen dilakukan petani untuk menunggu harga yang sesuai.
Upaya konservasi perlu dilakukan untuk mencegah kepunahan pamelo,
baik akibat tidak dibudidayakan maupun akibat cekaman biotik dan abiotik.
Konservasi dapat dilakukan, baik secara in-situ dengan membuat kebun koleksi
di sentra produksi pamelo maupun secara eks-situ. Pelestarian eks-situ dilakukan
bukan di habitat alamiahnya melainkan di suatu tempat penyimpanan atau bank
gen (Towill 2005), dan konservasi secara in vitro (Wattimena et al. 1992).
Teknik konservasi in vitro meliputi (1) konservasi jangka pendek
(penyimpanan dalam keadaan tumbuh), (2) konservasi jangka menengah
(penyimpanan dengan metode pertumbuhan lambat atau pertumbuhan minimal),
dan (3) konservasi jangka panjang dengan metode kriopreservasi (Rao 2004;
Leunufna 2004). Pelestarian secara in vitro mempunyai beberapa kelebihan,
seperti penghematan area, tenaga kerja, biaya dan waktu, juga kemudahan dalam
pertukaran plasma nutfah (Towill 2005).
Teknik pertumbuhan lambat dapat dilakukan melalui: 1) penurunan suhu
lingkungan dan intensitas cahaya (Hu dan Wang 1983; Withers 1985), 2)
penggunaan osmotikum seperti sukrosa dan manitol (Withers 1985; Bessembinder
et al. 1993), 3) penurunan taraf beberapa faktor esensial seperti pengenceran
media (Desbrunais et al. 1992), dan 4) penggunaan zat penghambat tumbuh
seperti paklobutrasol, cycocel, dan ancymidol (Withers 1985).
Pada konservasi in vitro, penggunaan tunas sebagai eksplan akan
mempermudah pemulihan dan penggunaannya setelah konservasi (Botau et al.
2005). Tunas sebagai sumber eksplan harus dapat diinduksi secara langsung

2
melalui organogenesis dari bagian-bagian tanaman yang bersifat meristematik
sehingga perubahan genetik yang terjadi relatif kecil (Trigiano dan Gray 2005).
Jenis tanaman yang telah berhasil disimpan dengan teknik pertumbuhan
lambat antara lain ubi jalar (Roostika dan Sunarlim 2001), ubi kayu (Sunarlim dan
Zuraida 2001), gembili (Sunarlim et al. 2004), kentang hitam (Roostika et al.
2005), talas (Dewi 2002). Pada pamelo cv Sri Nyonya, Dewi et al. (2010)
melaporkan bahwa dari pengamatan sampai dengan lima bulan setelah kultur,
pertumbuhan lambat dapat diinduksi menggunakan media MS + sorbitol 2%.
Namun, konservasi in vitro untuk menginduksi pertumbuhan lambat pada pamelo
menggunakan media kombinasi penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
serta kombinasi perlakuan osmotikum dan retardan belum dilakukan pada pamelo.

Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini untuk mempelajari konservasi pamelo
secara in vitro melalui pertumbuhan lambat.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mendapatkan eksplan dan media yang efektif menginduksi tunas melalui
organogenesis langsung pada pamelo.
2. Mendapatkan media konservasi pamelo melalui pertumbuhan lambat
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa.
3. Mendapatkan media konservasi pamelo melalui pertumbuhan lambat
dengan penggunaan osmotikum dan retardan.

Hipotesis

1. Terdapat jenis eksplan dan media yang efektif dalam membentuk tunas
melalui organogenesis langsung pada pamelo.

2. Terdapat komposisi media MS dan konsentrasi sukrosa tertentu yang


dapat menghambat pertumbuhan planlet pamelo.

3. Terdapat komposisi media MS mengandung osmotikum dan konsentrasi


retardan yang dapat menghambat pertumbuhan planlet pamelo.

3
Manfaat

1. Media dan eksplan yang efektif untuk mendapatkan tunas melalui


organogenesis langsung pada pamelo.
2. Media konservasi untuk jangka menengah (lebih dari lima bulan) melalui
pertumbuhan lambat untuk pamelo.
Alur Penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga percobaan. Pada percobaan pertama
dilakukan organogenesis pada daun, akar dan epikotil pamelo (Citrus maxima
(Burm.) Merr.). Media dan eksplan terbaik yang dapat menghasilkan tunas
melalui induksi tunas secara langsung kemudian digunakan untuk menyediakan
eksplan bagi percobaan kedua dan ketiga. Percobaan kedua adalah konservasi
pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.) menggunakan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa, dan percobaan ketiga adalah konservasi pamelo (Citrus
maxima (Burm.) Merr. dengan osmotikum dan retardan. Bagan alur kerangka
penelitian “Organogenesis dan Konservasi In Vitro Pamelo (Citrus maxima
(Burm.) Merr.)” disajikan pada Gambar 1.1.

PAMELO

Organogenesis langsung:
 Macam eksplan (daun, akar, epikotil)
 ZPT : BAP (0,1,2 ppm) dan NAA (0; 0,5; 1 ppm)
 Kondisi inkubasi : terang dan gelap
 Posisi eksplan : vertikal dan horisontal

Konservasi in vitro pamelo:


 Konsentrasi media MS (1/2 MS dan MS) dan sukrosa (0, 1, 2, 3%)
 Osmotikum (sukrosa 3%, sorbitol 2%) dan retardan (paklobutrasol 0; 7,5
dan 15 ppm)

Eksplan dan media efektif untuk organogenesis


langsung dan media konservasi pamelo dengan
pertumbuhan lambat

Gambar 1.1 Bagan alur penelitian organogenesis dan konservasi in vitro pamelo

4
2. TINJAUAN PUSTAKA

Botani, Asal Usul dan Manfaat Pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.
Jeruk (Citrus) terdiri atas tiga spesies asal, yaitu Citrus medica L. (citron),
Citrus maxima (Burm.) Merr. (pamelo) dan Citrus reticulata Blanco (mandarin).
Pamelo memiliki sinonim C. grandis (L.) Osbeck, C. decumana L., C. aurantium
var. grandis L. dan C. aurantium var. decumana L. (Manner et al. 2006). Pamelo
memiliki jumlah kromosom 2n = 18 (Niyomdham 1997). Hasil persilangan antara
pamelo dan mandarin (Citrus × aurantium) menghasilkan tiga hibrid pamelo
yaitu: 1. Citrus × aurantium (pomelo × mandarin) sering disebut sebagai jeruk
asam (sour orange) yang lebih banyak membawa sifat pamelo daripada mandarin.
2. Citrus × sinensis (pomelo × mandarin) yang sering disebut jeruk manis (sweet
orange) yang lebih banyak membawa sifat mandarin daripada pamelo. Kelompok
ini termasuk semua silangan dari orange, mandarin dan grapefruit seperti tangor,
ortanique, tangelo dan hasil persilangan baliknya (Page dan Nova). 3. Citrus ×
paradisi (pomelo × orange) sering disebut sebagai grapefruit (Mabberley 1997).
Tanaman pamelo berbentuk pohon dengan tinggi dapat mencapai 15 meter
(Manner et al. 2006). Daun pamelo berbentuk bulat telur sampai jorong; dengan
ukuran 5-20 cm x 2-12 cm; pangkal membundar sampai menjantung; tepi daun
rata sampai beringgit dangkal; ujung daun lancip sampai tumpul. Terdapat bintik-
bintik kelenjar minyak. Panjang tangkai daun dapat mencapai 5 cm, bersayap
yang lebarnya dapat mencapai 2 cm. Daun muda berwarna hijau muda, daun tua
berwarna hijau agak suram (Niyomdham 1997). Bunga pamelo tunggal atau
dalam tandan bunga; kuncup berwarna putih, kelopak bunga 3-5. Stamen 25-35,
beberapa tidak berkembang sempurna. Tangkai putik panjang (Dianxiang dan
Mabberley 2008).
Buah pamelo termasuk buah buni, berbentuk agak bulat seperti bola sampai
berbentuk seperti buah pir (pyriform). Diameter buah 10-30 cm. Kulit buah
berwarna hijau dan menjadi kuning ketika masak. Bintik-bintik kelenjar minyak
banyak terdapat pada permukaan kulit. Tebal kulit buah 1-4 cm. Buah terdiri atas
8-16 bagian (septa/juring). Septa-septa buah mudah dilepas satu sama lain. Septa
berisi daging buah. Kotiledon berwarna putih, embrio tunggal. Biji bersifat
rekalsitran (Niyomdham 1997).
Pamelo berasal dari Malesia yang meliputi Semenanjung Malaysia,
Filipina, Thailand bagian selatan, Sarawak, Brunai, Indonesia, Papua Nugini dan
pulau-pulau kecil di sekitar Papua Nugini. Pamelo kemudian tersebar sampai ke
Indochina; Cina bagian selatan dan bagian selatan Jepang dan dan menyebar ke
arah barat ke India, wilayah Mediteran dan Amerika Tropik. Pamelo telah
dibudidayakan dengan baik di China, Jepang, Vietnam, Malaysia, Indonesia dan
Thailand (Niyomdham 1997).
Menurut Ara et al. (2008) buah pamelo mengandung 90,3 g air, 0,3 g
mineral, energi 38 k.cal, 0,5 g protein, 0,3 g lemak, 8,5 g karbohidrat, 37 mg
kalsium, 0,2 mg zat besi, 120 μg karoten, 0,06 mg vitamin-B1, 0,04 mg vitamin-
B2 dan 105 mg vitamin C per 100g bagian yang dapat dimakan. Buah pamelo
biasanya dimakan segar atau dibuat jus, kadang dibuat selai dan sirop. Kulit buah
mengandung beberapa senyawa volatil dan secara tradisional digunakan untuk
mengobati batuk, memar dan epilepsi. Lapisan kulit luar dapat dimanfaatkan
untuk membuat manisan. Lapisan kulit bagian tengah (albedo) dapat diekstrak
untuk diambil pektinnya yang digunakan sebagai serat diet untuk mengurangi
berat badan (Morton 1987).

Perbanyakan dan Budidaya Pamelo

Pamelo dapat diperbanyak dengan biji, stek, cangkok, dan penyambungan.


Perbanyakan dengan biji menghasilkan tanaman yang memerlukan waktu sekitar
5-6 tahun untuk berbuah (Niyomdham 1997). Tanaman juga peka terhadap
penyakit, dan sulit memperoleh tanaman yang sama dengan induknya (true to
type) serta cenderung berduri lebih banyak dibanding dari hasil penyambungan
(Manner et al. 2006). Secara komersial, pamelo biasanya diperbanyak dengan
menempel/okulasi mata tunas (Anonim 2007).
Pamelo tumbuh baik pada ketinggian kurang dari 400 m di atas permukaan
laut, pada tanah dalam dengan tekstur medium. Suhu harian 25–30 oC, curah
hujan 1.500-1.800 mm dengan 3-5 bulan kemarau. Pamelo biasanya ditanam
dengan jarak tanam 8-10 m x 6-8 m (Niyomdham 1997).
Bunga pamelo tumbuh pada awal musim hujan. Buah matang 7-10 bulan
setelah muncul bunga. Hasil buahnya dapat mencapai 200 buah per pohon. Panen

6
raya biasanya terjadi pada bulan April-Juli dan panen kecil dilakukan pada bulan
Desember-Januari. Perawatan tanaman pamelo meliputi pemupukan,
pengendalian hama penyakit, pemangkasan dan pembungkusan buah (Deptan
2007). Dosis pupuk N, P dan K yang direkomendasikan berdasarkan hasil panen
untuk tanaman pamelo Nambangan di tanah Entisol Sukomoro, Kabupaten
Magetan adalah 150% dari total NPK yang terangkut buah atau setara dengan
2,775% (N : P : K = 2 : 1 : 4) dari bobot buah yang dipanen per tahun. Dosis
tersebut 50% diaplikasikan pada awal musim hujan dan sisanya diaplikasikan
empat bulan dari pemupukan pertama (Sutopo et al. 2006).
Penyakit yang dapat menyerang tanaman pamelo antara lain CVPD (Citrus
Vein Phloem Degeneration) yang disebabkan oleh Liberobacter asiaticus (bakteri
gram negatif) melalui perantaraan vektor kutu loncat Diaphorina citri. Penyakit
lainya adalah tristeza (CTV), puru berkayu (CVEV), exocortis (CEV), psorosis
(CPsV), cachexia xyloporosis (CcaV), dan tatter leaf (CTLV) (Anonim 2007).

Konservasi Plasma Nutfah

Keanekaragaman hayati adalah variasi yang ada pada spesies tumbuhan dan
hewan, material genetiknya dan ekosistem tempat spesies tersebut berada
(Indrawan et al. 2007). Pamelo Indonesia juga memiliki keragaman yang khas
pada masing-masing sentra produksi. Kultivar pamelo yang terdapat di Indonesia
antara lain „Giri Matang‟ (Putih Manis), „Putih Asam‟, „Merah Manis‟ dan „Merah
Asam‟ (Aceh), „Bageng Taji‟ (Pati), „Muria Putih‟ dan „Muria Merah‟ (Kudus),
„Nambangan‟, „Bali Merah‟, „Bali Putih‟, „Adas Duku‟, „Jawa‟, „Magetan‟, „Sri
Nyonya‟ (Magetan) (Susanto 2010). Beberapa kultivar pamelo telah
dibudidayakan secara luas di sentra produksi seperti Giri Matang, Bageng Taji,
Nambangan dan Bali Merah yang juga merupakan varietas unggulan yang telah
dilepas pemerintah. Keberadaan pamelo yang bersifat khas dan budidayanya di
lahan pekarangan ini rentan terhadap kerusakan habitat dan serangan hama
penyakit, sehingga upaya konservasi diperlukan untuk menjaga kelestariannya.
Tujuan utama dari kegiatan konservasi adalah untuk mengoleksi dan
mengelola keragaman genetik agar terjamin keberadaannya di masa yang akan
datang (Rao 2004). Konservasi perlu dilakukan sesuai prinsip etika biologi

7
konservasi yang meliputi: 1. Keanekaragaman spesies dan komunitas biologi
harus dilindungi, 2. Kepunahan spesies yang terlalu cepat harus dihindari, 3.
Kompleksitas ekologi harus dipelihara, 4. Evolusi harus berlanjut, dan 5.
Keanekaragaman hayati memiliki nilai intrinsik (Indrawan et al. 2007).
Konservasi dapat dilakukan secara in-situ dan eks-situ. Konservasi secara
in-situ meliputi pengelolaan sumber daya genetik di habitat alaminya, baik
sebagai komunitas tumbuhan liar dan tidak dibudidayakan atau kultivar-kultivar
tanaman di lahan petani sebagai komponen pada sistem budidaya tradisional.
Konservasi eks-situ meliputi konservasi di luar habitat alami melalui bank biji,
kebun-kebun koleksi dan kebun raya. Penyimpanan DNA dan polen secara tidak
langsung juga berkontribusi pada konservasi eks-situ sumber daya genetik
tanaman (Towill 2005).
Konservasi eks-situ pamelo antara lain telah dilakukan oleh kebun koleksi
Balai Penelitian Jeruk dan Tanaman Tropika di Batu Malang. Konservasi eks-situ
dengan menanam koleksi hidup pada tanaman jeruk dilakukan di dalam rumah
kassa yang bebas serangga (insect-proof screenhouse) dan di kebun koleksi. Di
dalam rumah kassa, koleksi diharapkan akan terlindungi dari patogen yang ada di
tanah dan udara. Untuk keperluan tersebut, maka rumah kassa biasanya memiliki
dua lapis dinding kassa dan dua lapis pintu masuk serta jadwal pengendalian hama
penyakit pada interval waktu tertentu. Selain itu, koleksi ditanam di dalam wadah
supaya terhindar dari aliran permukaan. Jumlah koleksi yang ditanam minimum
dua tanaman/genotipe, yang diperbarui setiap 10 tahun (Carimi et al. 2012).
Koleksi pamelo dapat ditanam pada kebun koleksi jeruk, yang sebaiknya
memenuhi syarat: 1. berlokasi sekurang-kurangnya 100 m dari kebun komersial,
bebas patogen dan inokulum jamur perusak (Phoma traecheiphila), 2. tanahnya
subur dan tidak ditanami jeruk selama lima tahun, bebas dari tunggul-tunggul
jeruk, bebas nematoda dan jamur penting dalam pertanian, 3. terhindar dari aliran
permukaan, 4. tidak ada tanaman selain jeruk. Jumlah koleksi yang ditanam 4–8
tanaman/genotipe, koleksi dipetakan dan dilabel dengan baik. Penanaman
dilakukan pada plot yang homogen untuk satu spesies tunggal. Pengendalian
hama penyakit dilakukan secara rutin. Plot diperbarui setiap 40 tahun (Carimi et
al. 2012).

8
Keuntungan dari koleksi hidup adalah bersifat sama dengan induknya (true
to type). Namun demikian, konservasi eks-situ pada kebun koleksi rawan terhadap
kerusakan akibat hama penyakit dan bencana alam, perlu lahan luas, tenaga dan
biaya untuk perawatan koleksi (Rao 2004). Untuk itu diperlukan metode lainnya
yang dapat mengatasi kelemahan metode konservasi ini yaitu dengan konservasi
eks-situ secara in vitro.

Konservasi In Vitro

Teknik kultur in vitro merupakan teknologi alternatif yang dapat


diterapkan untuk menghindari kepunahan tanaman. Tujuan utama dari konservasi
plasma nutfah secara in vitro adalah mengurangi jumlah subkultur dan
memelihara keragaman genetik pada suatu spesies dalam kondisi steril tanpa
mengubah stabilitas genetik (Moges et al. 2003). Teknik konservasi in vitro
mempunyai beberapa kelebihan, seperti penghematan area, tenaga kerja, biaya
dan waktu, juga kemudahan dalam pertukaran plasma nutfah. Selain itu, dapat
mencegah hilangnya genotipe akibat cekaman biotik dan abiotik yang banyak
terjadi di kebun-kebun koleksi (Rao 2004, Towill 2005).
Teknik konservasi in vitro dapat dilakukan untuk jangka pendek dengan
cara sub kultur secara rutin setiap dua bulan sekali ke dalam media yang sama.
Teknik konservasi jangka menengah dengan pertumbuhan lambat dapat dilakukan
dengan menggunakan satu atau kombinasi beberapa faktor dengan periode
konservasi sampai 15 tahun. Konservasi jangka panjang dilakukan melalui
kriopreservasi di dalam nitrogen cair pada suhu -192 oC (Rao 2004). Teknik
penyimpanan in vitro jangka pendek dan jangka menengah dengan tindakan
subkultur yang berulang-ulang kurang efisien, karena memerlukan waktu, tenaga,
ruangan, dan biaya. Subkultur juga dapat menyebabkan kultur mengalami
kontaminasi dan kehilangan vigoritas karena kehabisan unsur hara yang terdapat
dalam media dan berpeluang terjadinya perubahan genetik akibat penggunaan zat
penghambat tumbuh dalam jangka waktu yang relatif lama (Kartha 1985).
Konservasi dengan induksi pertumbuhan lambat dapat dilakukan melalui
berbagai cara antara lain berupa pengurangan komposisi hara media,
penyimpanan pada suhu rendah, induksi stres osmotik, penggunaan zat

9
penghambat pertumbuhan dan penggunaan tempat kultur yang lebih besar dan
volume media yang lebih banyak (Withers 1985; Hu dan Wang 1983).
Penggunaan suhu rendah merupakan teknik utama yang dilakukan untuk
konservasi in vitro. Teknik ini dapat mengurangi masalah penyakit, frekuensi
subkultur, hemat tenaga, dan ruang, tetapi memerlukan energi listrik untuk
menjaga kestabilan suhu. Penghambatan pertumbuhan dapat terjadi pada suhu
rendah karena dinding sel planlet menjadi tebal akibat akumulasi lemak tidak
jenuh, sehingga pembelahan dan pemanjangan sel terhambat (Shibli et al. 2006).
Suhu yang diperlukan untuk konservasi tergantung ekologi dan asal geografi
masing-masing spesies yang dikoleksi, umumnya berkisar 0–5oC. Beberapa
tanaman telah berhasil dikonservasi pada suhu rendah seperti kopi (Debrunais et
al. 1992) dan minth (Reed 1999).
Penurunan konsentrasi media untuk konservasi in vitro
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara in vitro dipengaruhi oleh
faktor genetik, lingkungan dan komponen media. Media kultur dapat dengan
mudah dimanipulasi sesuai tujuan. Media kultur in vitro terdiri dari 95% air, hara
makro dan mikro, zat pengatur tumbuh, vitamin, gula dan kadang ditambahkan
material organik sederhana sampai komplek (Beyl 2005).
Media MS (Murashige dan Skoog 1962) merupakan media yang paling
sesuai dan paling sering digunakan dalam kultur in vitro. Media ini dikembangkan
dari hasil analisis mineral jaringan tembakau. Media MS merupakan media
dengan kandungan „garam tinggi‟ karena kandungan garam K dan N tinggi (Beyl
2005). Dalam konservasi in vitro, untuk menghambat pertumbuhan kultur dapat
dilakukan dengan penurunan konsentrasi media MS. Besarnya penghambatan
pertumbuhan akan berpengaruh pada periode konservasi (Catana et al. 2010)
Gula merupakan bagian penting dari media yang akan mensuplai nutrisi
bagi kultur, sumber energi dan sumber karbon yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan kultur (Javed dan Ikram 2008). Gula diperlukan
dalam media karena sebagian besar kultur tanaman tidak dapat berfotosintesis
secara efisien disebabkan pembentukan jaringan dan organisasi seluler yang
belum sempurna, kurangnya klorofil, pertukaran gas terbatas, dan kondisi
lingkungan yang tidak optimum seperti intensitas cahaya yang rendah (Beyl

10
2005). Penyerapan molekul gula ke jaringan tanaman terjadi melalui osmosis dan
transpor aktif dengan pompa proton (H+) (Thorpe et al. 2008). Jenis dan
konsentrasi gula tergantung pada jenis dan tahap perkembangan tanaman yang
dikultur (Beyl 2005). Gula dalam media juga berfungsi sebagai regulator osmotik
atau osmotikum (Hilae dan Te-chato 2005).
Gula yang yang digunakan dalam kultur antara lain glukosa, fruktosa, dan
sukrosa. Sukrosa merupakan sumber karbon yang biasa digunakan dalam kultur
jaringan karena dapat dimanfaatkan semua tanaman. Sukrosa bersama auksin dan
sitokinin juga berperan dalam menginduksi terjadinya siklus sel (Gambar 2.1),
sehingga kekurangan sukrosa pada tanaman akan berpengaruh terhadap siklus sel
(Gahan 2007). Konsentrasi sukrosa dalam kultur jaringan tanaman yang
menghasilkan pertumbuhan optimal berkisar antara 20–60 gL-1 (Beyl 2005).
CycD2 Sucrose induced

CycD3 Cytokinin induced

Cdk Auxin induced

CycD 3-cdk complex

Inactive
Rb-E2F
CycD 3-cdk-phophosphorylated

Rb- phophosphorylated+
active E2F
START

G1 S
G1-> S

Gambar 2.1 Model pengendalian dalam siklus sel pada transisi dari G1 ke S oleh
sukrosa, auksin dan sitokinin (Gahan 2007). G1 = fase istirahat, S =
periode pembentukan DNA.

Pengaturan potensial osmotik pada media untuk konservasi in vitro

Osmotikum adalah substansi yang dapat menurunkan potensial osmotik


pada media kultur (Shibli et al. 2006). Potensial osmotik total pada media
disebabkan oleh substansi yang terlarut, yang dapat digambarkan dengan
persamaan: Ψs media = Ψs makronutrien + Ψs gula. Pada suhu 25 °C penambahan
3% w/v sukrosa pada media MS (Murashige dan Skoog 1962), menyebabkan
osmolaritas naik dari 0,096 menjadi 0,186 Osm/kg dan potensial osmotik pada
media turun dari -0,237 menjadi -0,460 MPa (Thorpe et al. 2008). Dengan

11
adanya osmotikum maka potensial osmotik media menjadi lebih rendah,
menyebabkan penyerapan hara oleh sel tanaman menjadi lambat (Bessembinder et
al. 1993).
Osmotikum yang sering digunakan dalam kultur jaringan antara lain gula,
biasanya berupa sukrosa, sorbitol dan manitol pada konsentrasi tertentu. Sorbitol
(C6H14O6) digunakan sebagai osmotikum pada kultur karena tidak semua tanaman
dapat mengkonversi sorbitol dan memanfaatkannya sebagai sumber karbon
(Montalvo-Peniche et al. 2007). Namun, pada pada jagung, apel dan kerabatnya,
sorbitol dapat ditranslokasi secara efektif karena dapat dikonversi dengan baik
menjadi glukosa oleh enzim sorbitol oksidase, atau menjadi fruktosa oleh enzim
sorbitol dehidrogenase (Traore dan Guiltinan 2006). Sorbitol juga dapat
dimetabolisme oleh tembakau, padi, jeruk dan chichory (Thorpe et al. 2008).

Penggunaan retardan dalam konservasi in vitro

Retardan adalah regulator pertumbuhan tanaman yang digunakan untuk


menekan pertumbuhan tanaman tanpa mengubah pola perkembangannya (Wang
et al.1986). Retardan berperan dalam menghambat pembentukan giberelin,
sehingga sering dikenal sebagai anti giberelin. Retardan dengan sifat translokasi
yang baik dapat digunakan dalam konservasi in vitro (Wattimena et al. 1992).
Retardan yang digunakan dalam konservasi in vitro antara lain ancymidol,
cyclocel dan paklobutrasol (Whiters 1985).

Gambar 2.2 Struktur kimia paklobutrasol (Milfont et al. 2008).

Paklobutrasol (Gambar 2.2) bekerja sebagai penghambat hormon


giberelin. Bila diaplikasikan melalui media tanam akan diserap akar dan
ditranspor melalui xilem dan diakumulasi dalam daun (Wang et al. 1986).
Paklobutrasol dapat menekan pertumbuhan tanaman melalui penghambatan pada

12
tiga tahap lintasan terpenoid yang menghasilkan giberelin. Paklobutrasol mengikat
enzim sehingga menghambat kerja enzim yang mengkatalisis reaksi pembentukan
giberelin (Gambar 2.3). Salah satu peran utama giberelin bagi tanaman adalah
merangsang pemanjangan sel. Jika produksi giberelin dihambat, pembelahan sel
masih terjadi, tetapi sel yang baru tidak memanjang. Kondisi ini akan
menghasilkan tunas dengan ruas yang memendek. Penghambatan tersebut juga
menyebabkan akumulasi senyawa antara yang terbentuk sebelum daerah yang
dihambat, sehingga menyebabkan peningkatan produksi asam absisik dan phytol
yang merupakan komponen klorofil, yang berguna untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (Chaney 2004).

Deoxy-D-xylulose phospate Phaseic acid

Isopentyl pyrophosphate Abscisic acid

Farnesyl pyrophosphate Squalene

phytol Geranylgeranyl pyrophosphate Lanosterol

ent-kaurene Paklobutrazol
chlorophyll Campesterol
Cholesterol
ent-kaurenol (in fungi)

ent-kaurenal

ent-kaurenoic acid

GA12-aldehyde

Gibberellin

Gambar 2.3 Penghambatan oleh paklobutrasol (----) pada tiga tahap pembentukan
gibberelin yang dapat menyebabkan akumulasi phytol (klorofil),
asam absisik dan squalene (dimodifikasi dari Chaney 2004 dan
Hazarika 2003).

Struktur paklobutrasol yang unik memudahkan untuk mengikat atom besi


dari enzim yang terlibat dalam pembentukan giberelin sehingga menghambat
aktivitas enzim tersebut. Paklobutrasol juga mempunyai kemampuan mengikat
enzim yang berperan dalam produksi steroid pada jamur dan enzim yang
mendegradasi asam absisik. Tanaman yang diberi perlakuan paklobutrasol
mempunyai toleransi lebih tinggi terhadap stres lingkungan dan resisten terhadap

13
penyakit yang disebabkan oleh fungi karena pembentukan campesterol yang
menghasilkan steroid pada fungi tersebut dihambat oleh keberadaan paklobutrasol
dalam tanaman (Chaney 2004).

Organogenesis langsung

Sumber eksplan untuk konservasi in vitro dapat berupa potongan ruas,


tunas dan planlet. Tunas memberikan hasil yang lebih baik karena persentase
hidup, regenerasi dan stabilitas genetiknya tinggi (Shibli et al. 2006), dan mudah
diaklimatisasi setelah konservasi (Botau et al. 2005). Dengan demikian diperlukan
penyediaan sumber eksplan yang berupa tunas untuk konservasi pamelo dengan
menginduksi pembentukan tunas secara langsung pada eksplan pamelo melalui
organogenesis.
Organogenesis adalah proses terbentuknya organ pada jaringan
meristematik atau non meristematik, baik secara langsung atau tidak langsung
melalui pembentukan kalus terlebih dahulu (Kane 2005). Dasar dari
organogenesis adalah sifat totipotensi. Totipotensi merupakan kemampuan suatu
sel tumbuhan yang belum terdiferensiasi untuk menjadi tumbuhan lengkap. Secara
teori, sel mengandung informasi genetik untuk membentuk suatu individu,
sehingga sel diploid yang mempunyai inti sel dapat mengalami diferensiasi
menjadi tumbuhan (Gahan 2007). Faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan
sel untuk mengekpresikan sifat totipotensi adalah tingkat diferensiasi dan
spesialisasi pada sel. Selain itu, ekspresi gen juga dipengaruhi jaringan yang ada
di dekatnya (Dewitte dan Murray 2002). Kemampuan sel tunggal membentuk
tunas sebelum menjadi tumbuhan seutuhnya tergantung pada keadaaan sel
tersebut, kompeten atau rekalsitran. Sel yang kompeten didefinisikan sebagai sel
yang mampu merespon sinyal epigenetik misalnya zat pengatur tumbuh (Gahan
2007, Gahan dan George 2008).
Organogenesis meristem tunas secara in vitro berasal dari diferensiasi sel-
sel somatik. Pada organogenesis langsung, eksplan akan mengalami beberapa
tahapan sebelum membentuk suatu organ (Gambar 2.4), yaitu sel-selnya
mengalami dediferensiasi untuk menjadi sel yang kompeten, kemudian tahapan
induksi agar sel dapat dideterminasi arah perkembangannya dan tahap terakhir

14
adalah diferensiasi membentuk suatu organ (Schwarz et al. 2005, Zhang et al.
2005).
Kompeten Determinasi
Eksplan + + Organ
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Dediferensiasi Induksi Diferensiasi

Gambar 2.4 Tahapan yang dilalui sel-sel eksplan dalam organogenesis langsung
(Schwarz et al. 2005). Keterangan: + = berespon.
Tunas terbentuk dari pembelahan beberapa sel (multiseluler) yang terjadi
secara serentak (Schwarz et al. 2005). Pembentukan meristem tunas melibatkan
gen-gen dalam lintasan sinyal transduksi sitokinin. Gen tersebut antara lain CRE1
(reseptor sitokinin), AHPs, APRS, ERS1 (menginduksi pembentukan tunas
adventif, bahkan dalam keadaan tanpa zat pengatur tumbuh), KN1, STM, WUS,
CLV 1-3, p34cdc2 yang berperan meregulasi siklus sel, pembelahan sel,
perkembangan dan pemeliharaan meristem tunas. Dengan demikian, pembentukan
primordia tunas memerlukan interaksi secara molekuler antara sitokinin, siklus sel
dan lintasan pembentukan meristem tunas (Zhang et al. 2005).
Berbeda dengan pembentukan tunas, proses pembentukan akar adventif
meliputi empat tahap. Tahap awal yaitu pembentukan lokus meristematis melalui
dediferensiasi satu atau beberapa sel. Tahap kedua, terjadi multiplikasi sel-sel
menjadi kumpulan sel (spherical cluster). Tahap ketiga meliputi multiplikasi sel
lebih lanjut dengan inisiasi pembelahan sel sebidang (planar) untuk membentuk
meristem akar. Tahap keempat adalah pemanjangan sel pada bagian pangkal
meristem akar yang sedang berkembang sehingga akar yang terbentuk mulai
muncul (Schwarz et al. 2005).
Beberapa penelitian tentang organogenesis pada jeruk untuk mendapatkan
eksplan dan media yang sesuai antara lain dilakukan menggunakan eksplan
hipokotil C. halimii dengan media BA 2,2 - 11,1 uM dan NAA 2,7 uM (Normah
et al. 1997); ruas C. sinensis (L.) Osbeck dengan media BAP (1, 2, 3 ppm) dan
NAA 0,5 ppm (Silva et al. 2006); ruas batang C. reticulata (L.) Blanco, C.
limmetoides L. C. sinensis Osbeck dengan media BA 1 ppm dan NAA 10 ppm
(Usman et al. 2005), batang C. jambhiri Lush umur 3 minggu dengan media BA 3
ppm NAA 0,5 ppm (Ali dan Mirza 2006). Selain itu, Khan et al. (2009) juga

15
berhasil menginduksi tunas secara langsung dari daun jeruk manis (C. sinensis
(L.) Osbeck) kultivar Bingtangcheng dan Valencia. Pada penelitian jeruk manis
tersebut, media yang paling efektif untuk menginduksi tunas dari daun adalah
media MT (Murashige and Tucker) + BA 0,5 ppm + kinetin 0,5 ppm + NAA
0,1 ppm + sukrosa 3% + agar 0,8%, dengan pH 5,8. Kultur yang berasal dari
eksplan daun yang telah berkembang penuh menunjukkan regenerasi tunas yang
lebih baik daripada yang berasal dari daun yang belum berkembang. Analisis
RAPD menunjukkan bahwa semua tanaman yang dihasilkan secara genetik
identik dengan tanaman donor, tidak terdeteksi adanya variasi genetik. Lebih
lanjut Almeida (2002) berhasil menginduksi tunas adventif dari mata tunas tiga
kultivar jeruk manis dengan hasil terbaik diperoleh pada media MS + BAP 1 ppm,
sedangkan untuk lemon „Rangpur‟ yang terbaik adalah MS + 2,5 ppm BAP.
Proses organogenesis juga dipengaruhi cahaya. Pembentukan kloroplas
dan klorofil yang berpengaruh terhadap warna hijau pada kultur dipengaruhi oleh
cahaya. Enzim NADPH:Prothochlorophyllide (photo) oxidoreductase tidak aktif
dalam keadaan tanpa cahaya sehingga tahap awal pembentukan korofil yaitu
perubahan prothochlorophyllide menjadi chlorophyllide tidak dapat berlangsung
(Sandmann dan Scherr 1998). Hal ini menyebabkan kultur yang terbentuk di
ruang gelap menjadi berwarna putih. Aktivitas hormon tanaman juga dipengaruhi
oleh cahaya (Taiz dan Zeiger 2002). Etiolasi terjadi karena pengaruh auksin
(Srivastava 2002), yang menyebabkan kultur yang ditempatkan di ruang gelap
lebih panjang dibandingkan kultur di ruang terang.
Posisi eksplan berpengaruh pada translokasi hara, hormon dan air. Posisi
eksplan vertikal lebih efisien dalam penyerapan hara, air dan translokasi auksin
pada planlet yang berpengaruh terhadap pembentukan tunas pada eksplan (Peer et
al. 2011). Auksin ditranslokasi secara basipetal, sedangkan sitokinin secara
akropetal (Davies 2004), yang akan berpengaruh pada konsentrasi hormon pada
eksplan. Disamping itu, translokasi auksin juga dipengaruhi oleh gravitasi dan
polaritas (Srivastava 2002).

16
Zat Pengatur Tumbuh yang Mempengaruhi Organogenesis

Pola perkembangan dalam organogenesis dipengaruhi oleh jenis, jumlah


dan perbandingan zat-zat pengatur tumbuh yang digunakan (Gaba 2005). Zat
pengatur tumbuh (ZPT) pada tanaman atau fitohormon adalah senyawa organik
yang bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan
mengubah proses fisiologi tumbuhan. ZPT diperlukan untuk proses tertentu, pada
waktu tertentu, dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal yang sangat
penting adalah tanaman dapat membentuk zat tersebut bila diperlukan dan dapat
menjadikannya tidak aktif bila tidak diperlukan (Gambar 2.3) (Srivastava 2002).
Kandungan ZPT di dalam tanaman dikontrol melalui tiga mekanisme: 1.
pengaturan kecepatan pembentukan; 2. penonaktifan melalui pengikatan/
konjugasi dengan karbohidrat, asam amino atau peptida dan selanjutnya disimpan
(kompartementasi); dan 3. perombakan yang tidak dapat balik/degradasi
(Srivastava 2002).

Pembentukan

[Phytohormon] Transpor

Kompartementasi

Degradasi Konjugasi

Gambar 2.5 Regulasi fitohormon dalam tanaman (Srivastava 2002).

Secara umum, ZPT diperlukan untuk mengatur inisisasi dan perkembangan


tunas dan akar pada eksplan di media kultur, juga menstimulasi pembelahan dan
pembesaran sel (Beyl 2005). ZPT dapat menyebabkan sel-sel somatik melakukan
atau mempercepat waktu siklus sel dan memprogram ulang sel ke arah
perkembangan yang baru (Zhang et al. 2005).
Auksin dan sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang sering
ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi pertumbuhan dan
organogenesis dalam kultur jaringan dan organ. Peran terpenting dari auksin dan
sitokinin adalah untuk memprogram ulang sel-sel meristematik yang telah
terdeterminasi. Pemrograman ulang ini akan menyebabkan diferensiasi ulang sel
ke dalam lintasan perkembangan yang baru (Gaba 2005). Rasio auksin sitokinin

17
menentukan determinasi sel (Staden et al. 2008 Gambar 2.6). Rasio sitokinin
auksin yang sedang akan menginduksi pembentukan akar adventif dari kalus dan
inisiasi kalus pada dikotil, sedangkan rasio yang tinggi menginduksi pembentukan
tunas adventif dan produksi tunas aksiler pada kultur tunas. Dengan demikian,
interaksi sitokinin dan auksin penting dalam mengontrol beberapa proses
pertumbuhan dan perkembangan secara in vitro (Gaba 2005).

Auksin Sitokinin

tinggi Pengaruh auksin + sitokinin rendah


Pembentukan akar pada stek
Kalus pada monokotil
Inisisasi embrio

Akar adventif dari kalus

Inisiasi kalus pada dikotil

Pembentukan tunas adventif

Proliferasi tunas aksiler

rendah
tinggi

Gambar 2.6 Konsentrasi relatif auksin dan sitokinin diperlukan secara khusus
untuk pertumbuhan dan morfogenesis (Staden et al. 2008).

Auksin
Auksin berperan penting dalam mengatur beberapa pertumbuhan dan
proses-proses lainnya dalam siklus hidup tanaman. Pada tingkat sel, auksin
berperan dalam menginduksi tahap awal siklus sel bersama dengan sukrosa dan
sitokinin (Gambar 2.1) (Gahan 2007), yang mempengaruhi pertumbuhan sel
melalui pembelahan dan pembesaran sel. Konsentrasi auksin bersama dengan
faktor lainnya berperan dalam diferensiasi dan spesifikasi sel (Dewitte dan
Murray 2002). Peran auksin dalam kultur in vitro tergantung pada struktur kimia,
konsentrasi, dan jaringan tanaman yang diberi perlakuan. Auksin menyebabkan
pembentukan kalus, akar dan pembesaran batang. Secara umum, auksin
merangsang pemanjangan sel, pembelahan sel dalam jaringan kambium, dan
bersama dengan sitokinin merangsang diferensiasi xilem dan floem. Auksin

18
eksogen dengan konsentrasi tinggi dapat menginduksi terjadinya embriogenesis
somatik, tetapi dapat juga menjadi beracun karena merangsang pembentukan
etilen yang dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan (Gaba 2005).
Auksin dibentuk dari triptofan atau indol, terutama di primordia daun,
daun muda dan biji yang sedang berkembang (Taiz dan Zeiger 2002). Auksin
terdapat dalam jaringan meristimatik, daun muda, dan terdapat dalam jumlah
sedikit pada daun dan sel akar yang telah dewasa. Auksin ditranspor secara aktif
dari sel ke sel, dan dalam kambium vaskuler dari pucuk ke akar, kemungkinan
juga dalam sel epidermis. Transpor auksin ke akar melalui floem (Davies 2004).
Sebagian besar auksin alami yang terdeteksi adalah IAA (indole-3-acetic
acid). Pada tanaman, IAA dibentuk dari tryptophan melalui tiga lintasan yaitu
melalui lintasan indole-3-pyruvic acid (IPA), tryptamine (TAM) atau indole-3-
acetonitrile (IAN), sedangkan lintasan indole-3-acetamide (IAM) terdapat pada
bakteri patogenik (Taiz dan Zeiger 2002). Selain IAA, terdapat juga auksin yang
terbentuk endogen yaitu 4-chloro-IAA dan indole-3-butyric acid (IBA), serta
phenylacetic acid (PAA) auksin lemah yang terbentuk alami pada tanaman
(Machakova et al. 2008).

Gambar 2.7 Interkonversi IAA dan IBA (Srivastava 2002).

IBA sebenarnya sejak lama dikenal sebagai auksin sintetik yang digunakan
untuk menginduksi akar, tetapi hasil penelitian terbaru telah mengidentifikasi IBA
sebagai senyawa yang terbentuk secara alami pada beberapa spesies seperti
jagung, kacang dan Arabidopsis (Machacova et al. 2008, Srivastava 2002). Pada
jagung dan Arabidopsis, IBA dibentuk dari IAA melalui suatu reaksi
pemanjangan rantai yang mirip dengan pembentukan asam lemak. IBA juga dapat

19
dikonversi ke IAA (Gambar 2.7), sehingga IBA kemungkinan juga merupakan
bagian dari pemeliharaan homeostasis IAA (Srivastava 2002).
Jenis auksin sintetik yang biasa digunakan dalam kultur in vitro adalah 1-
naphthaleneacetic acid (NAA, Gambar 2.8), 2,4-dichlorophenoyacetic acid (2,4-
D), dan 4-amino-3,5,6-trichloro-2-pyridinecarboxylic acid (picloram). Auksin
yang terbentuk secara alami indole-3-acetic acid (IAA) dan indole-3-butyric acid
(IBA) juga digunakan dalam kultur in vitro (Beyl 2005).
CH2COOH

Gambar 2.8 NAA, auksin sintetik yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman
(Gaba 2005).

Sitokinin
Sitokinin merupakan fitohormon yang berperan dalam pembelahan sel dan
morfogenesis tunas dan akar (Campbell et al. 2008), pertumbuhan tunas lateral,
dan perkembangan daun (Srivastava 2002). Sitokinin mempengaruhi beberapa
tahap dalam siklus sel sehingga terjadi pembelahan sel yaitu pada transisi G1/S
(fase istirahat ke sintesa DNA), G2/M (fase istirahat ke pembelahan sel) dan pada
fase S (sintesa DNA) (Dewitte dan Murray 2002). Sitokinin dibedakan atas dua
tipe, yaitu adenin (kinetin, zeatin dan 6-benzylaminopurine) dan fenilurea
(difenilurea dan thidiazuron (TDZ)) (Campbell et al. 2008). Sitokinin turunan
adenin dibentuk pada ujung akar dan pada biji yang sedang berkembang. Sitokinin
terekpresi pada sel perisikel dan parenkim berkas pembuluh pada bagian atas akar
(Dewitte dan Murray 2002). Sitokinin ditranspor dari akar ke pucuk melalui xilem
(Campbell et al. 2008).
Dalam tanaman, sitokinin berperan untuk memelihara aktivitas
metabolisme dan mencegah senesen (Davies 2004). Dalam kultur in vitro,
sitokinin digunakan untuk merangsang pembentukan tunas adventif, multiplikasi
tunas aksiler dan menghilangkan pengaruh dominasi apikal (Gaba 2005). Rasio
auksin terhadap sitokinin berperan penting pada efek sitokinin terhadap

20
pertumbuhan tanaman. Sitokinin secara tersendiri tidak mempunyai pengaruh
pada sel parenkim (Campbell et al. 2008).
Jenis sitokinin yang digunakan dalam kultur jaringan antara lain BA
(benziladenin, Gambar 2.9), kinetin (fulfuril-aminopurin), 2-iP (isopentenil-
adenine) atau TDZ (thidiazuron). Benzyl Adenine (BA) sering digunakan sebagai
sumber sitokinin dalam kultur jaringan karena tidak mudah dirombak oleh sistem
enzim dalam tanaman (Gaba 2005).

NH CH2

N
N

N N
H

Gambar 2.9 Benzyl adenine, sitokinin yang digunakan dalam kultur jaringan
tanaman (Gaba 2005).

Giberelin

Giberelin (GA) merupakan suatu diterpen tetrasiklik, produk dari lintasan


terpenoid. GA berperan untuk mengendalikan pemanjangan batang, pembungaan,
menginduksi perkecambahan, pembentukan enzim pada proses perkecambahan
serta pembentukan buah (Davies 2004). GA yang digunakan dalam kultur in vitro
adalah GA3 (Gambar 2.10) dan GA7. Pemberian GA dalam kultur in vitro
biasanya digunakan untuk menstimulasi pemanjangan tunas (Moshkova et al.
2008), mengurangi pembentukan akar dan menghambat inisiasi mata tunas pada
tahap paling awal pembentukan meristem, sehingga bila GA diberikan pada tahap
inisiasi mata tunas akan mengurangi pembentukan mata tunas (Gaba 2005).

Gambar 2.10 Struktur kimia GA3 (Moshkov et al. 2008).

21
GA dibentuk dari gliseraldehida-3-fosfat melalui isopentenil difosfate
(Buchanan et al. 2000, Davies 2004) pada pucuk dan pada biji yang sedang
berkembang, dimulai di dalam kloroplas kemudian melibatkan tahapan dalam
membran dan sitoplasma dan ditranspor melalui xilem dan floem (Davies 2004).

22
3. ORGANOGENESIS TUNAS SECARA LANGSUNG PADA DAUN,
AKAR DAN EPIKOTIL DARI BIJI PAMELO {Citrus maxima (Burm.)
Merr.} YANG DIKECAMBAHKAN SECARA IN VITRO

Direct Shoot Organogenesis on Leaf, Root and Epicotyl from In Vitro


Germinated Seedling of Pummelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.}

ABSTRAK
Pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} merupakan tanaman yang
potensial dikembangkan secara ekonomi, tetapi baru beberapa kultivar yang
dikembangkan secara luas. Konservasi pamelo perlu dilakukan untuk mencegah
hilangnya kultivar pamelo, yang antara lain melalui konservasi eks-situ secara in
vitro menggunakan teknik pertumbuhan lambat. Tunas in vitro diperlukan dalam
konservasi untuk mempermudah pemulihan dan penggunaannya setelah
konservasi. Dua percobaan dilakukan untuk mendapatkan eksplan dan media yang
efektif untuk memperoleh tunas in vitro pamelo secara langsung. Eksplan daun,
akar dan epikotil diperoleh dari biji pamelo „Adas Duku‟ yang dikecambahkan
secara in vitro. Percobaan pertama dilakukan untuk mendapatkan media
mengandung sitokinin dan auksin yang efektif dalam menginduksi tunas adventif.
Percobaan disusun dengan rancangan acak lengkap. Media MS mengandung
kombinasi BAP (0; 1; 2 ppm) dan NAA (0; 0,5; 1 ppm) digunakan sebagai
perlakuan. Eksplan yang digunakan dalam percobaan terpisah adalah daun, akar
dan epikotil pamelo. Percobaan kedua dilakukan pada eksplan epikotil pamelo
untuk mengetahui pengaruh posisi kultur pada pembentukan tunas. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa tunas dapat terbentuk secara langsung pada
eksplan daun, akar dan epikotil. Eksplan daun hanya berespon di ruang gelap,
yaitu sebanyak 5,55% dapat membentuk 1 tunas/eksplan di media MS + BAP 1
ppm. Eksplan akar hanya berespon di ruang terang, yaitu sebanyak 60% dapat
membentuk 1 tunas/eksplan di media MS0. Eksplan epikotil yang dikultur
horisontal dapat membentuk tunas secara langsung di ruang terang pada media
MS0, yaitu sebanyak 30% dapat membentuk 1 - 2 tunas/eksplan, sedangkan di
ruang gelap yaitu di media MS0 dan MS + BAP 1 ppm namun dengan penampilan
tunas yang lemah karena etiolasi. Epikotil yang dikultur secara vertikal di ruang
terang sebanyak 100% dapat menghasilkan 1 - 3 tunas/eksplan.
Kata kunci: pamelo, organogenesis, daun, akar, epikotil.

ABSTRACT

Pummelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} is an economic potential plant.


There are only several cultivated extensively. Pummelo conservation is needed to
prevent its extinction. Exsitu conservation using slow growth whould need shoot
as explant, because it make easier in recovery and uses after conservation. Two
experiments was conducted to find out an effective method to induce pamelo
shoot directly. First experiment was conducted in a completely randomized
design, using medium combination of MS + BAP (0; 1; 2 ppm) + NAA (0; 0,5; 1
ppm) as treatments. In vitro pummelo leaf, root and epicotyl were used as explants
in separate experiments. Second experiment was conducted to study the effect of
epycotyl explant position in culture to the shoot emergence. The result showed
that leaf, root and epycotyl could produce direct shoot organogenesis. Leaf
explant (5,5%) produced 1 shoot/explant in MS + BAP 1 ppm. Root explant
(60%) produced 1 shoot/explant in MS0. Epicotyl explant produced shoot in MS0.
Epicotyl explant cultured vertically in light condition (100%) produced 1 - 3
shoot/explant.
Key word: pummelo, organogenesis, leaf, root, epicotyl

Pendahuluan

Indonesia memiliki beragam pamelo, tetapi hanya sebagian kultivar yang


sudah dibudidayakan secara luas karena bernilai komersial seperti „Nambangan‟,
„Magetan‟, „Sri Nyonya‟, „Raja‟ dan „Ratu‟ (Puslitbang Hortikultura 2006).
Beberapa aksesi pamelo lain seperti „Jawa‟ dan „Adas Duku‟ masih
dibudidayakan secara terbatas oleh petani di Magetan. Plasma nutfah pamelo
yang beragam tersebut perlu dijaga kelestariannya. Upaya konservasi perlu
dilakukan antara lain melalui konservasi eks-situ secara in vitro.
Konservasi in vitro pamelo memerlukan ketersediaan tunas in vitro sebagai
sumber eksplan yang dapat diperoleh melalui organogenesis secara langsung.
Tunas digunakan sebagai eksplan karena mudah dipulihkan dan digunakan
setelah konservasi (Botau et al. 2005). Tunas yang akan digunakan dalam
kegiatan konservasi in vitro harus dihasilkan dari organogenesis langsung karena
perubahan genetik yang terjadi pada pembentukan tunas secara langsung tanpa
melalui pembentukan kalus relatif kecil (Trigiano dan Gray 2005).
Organogenesis dapat dilakukan pada sel-sel yang bersifat meristematik dan
kompeten yaitu sel-sel yang mampu memberikan tanggapan terhadap sinyal
lingkungan atau hormonal sehingga berakhir dengan terbentuknya organ. Respon
tersebut tergantung fase dari siklus sel pada sel tersebut yaitu fase G1 (Trigiano
dan Gray 2005). Menurut Gahan (2007) terdapat dua faktor yang mempengaruhi
kemampuan sel untuk melakukan organogenesis yaitu 1). tingkat diferensiasi dan
spesialisasi dan 2). pengaruh jaringan di dekatnya terhadap ekspresi gen pada sel
tersebut. Selain itu, disamping dipengaruhi sinyal lingkungan, zat pengatur
tumbuh juga berpengaruh terhadap pengaturan inisisasi dan perkembangan tunas

24
dan akar serta stimulasi pembelahan dan pembesaran sel pada eksplan di media
kultur (Beyl 2005).
Zat pengatur tumbuh yang sering ditambahkan dalam media untuk induksi
organogenesis adalah auksin dan sitokinin. Peran auksin dalam pertumbuhan
tanaman antara lain untuk inisiasi akar, pertumbuhan batang, diferensiasi jaringan
vaskuler dan penghambatan senesen pada daun (Srivastava 2002). Sitokinin
berperan pada pembentukan tunas adventif, multiplikasi tunas aksiler dan
penghilang pengaruh dominasi apikal. Rasio auksin sitokinin yang tinggi akan
merangsang pembentukan akar adventif, rasio sedang akan menginduksi
pembentukan akar adventif dari kalus dan inisiasi kalus pada dikotil, sedangkan
rasio yang rendah menginduksi pembentukan tunas adventif dan produksi tunas
aksiler pada kultur tunas (Gaba 2005).
Penelitian organogenesis pada beberapa spesies jeruk untuk mendapatkan
jenis eksplan dan media yang terbaik antara lain telah dilakukan melalui hipokotil
C. halimii dengan media BA 2,2-11,1 uM dan NAA 2,7 uM (Normah et al.
1997); ruas C. sinensis (L.) Osbeck dengan media BAP (1; 2; 3 ppm) dan NAA
0,5 ppm (Silva et al. 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan eksplan
dan media yang efektif dalam menginduksi tunas melalui organogenesis langsung
pada pamelo.

Bahan dan Metode

Percobaan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan I Departemen


Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB mulai Juni 2010 sampai Juni
2011. Peralatan yang digunakan adalah peralatan standar untuk penelitian kultur
jaringan. Pengamatan histologi dilakukan di laboratorium mikroteknik AGH IPB
dengan mengamati irisan segar menggunakan mikroskop Olympus DX51 yang
dihubungkan ke kamera Olympus DP25.
Media dasar yang digunakan dalam kultur adalah media MS (Murashige and
Skoog 1962, Tabel lampiran 3.1) yang ditambah sukrosa 3%. Keasaman (pH)
media diatur menjadi 5,6 dengan penambahan 0,1 N KOH sebelum disterilisasi.
Media dipadatkan dengan penambahan 8 g L-1 agar. Setiap botol kultur diisi ± 30
ml media.

25
Bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber penghasil eksplan adalah
biji pamelo „Adas Duku‟ (Keragaan dan karakteristik „Adas Duku‟ ditampilkan
dalam Lampiran 1 dan 2). Induksi perkecambahan dilakukan pada biji pamelo
25
yang telah dikupas kulit luarnya (testa), kemudian disterilisasi dengan clorox 20%
selama 20 menit dan dibilas dengan aquades steril tiga kali. Setelah itu biji
direndam menggunakan aquades steril selama minimal dua hari pada suhu 5 oC.
Setelah perlakuan perendaman, biji dikupas kulit bagian dalamnya (tegmen)
kemudian disterilisasi dua kali dengan clorox 20% selama 20 menit dan dibilas
dengan aquades steril tiga kali. Biji kemudian ditanam pada media mengandung
pupuk daun komersial 2 g L-1 dan sukrosa 3%. Biji umumnya berkecambah 100%
secara serentak pada hari ketiga setelah kultur. Pucuk kecambah umur tiga
minggu dipotong, kemudian disubkultur pada media MS0 untuk memperoleh
sumber eksplan daun dan epikotil pada organogenesis. Eksplan akar diperoleh dari
kecambah sebelum pucuknya disubkultur.

Organogenesis pada eksplan daun, akar dan epikotil pamelo

Percobaan dilakukan di ruang gelap dan ruang terang dengan lama


penyinaran 24 jam menggunakan lampu neon 18 watt (237–620 lux yang diukur
menggunakan Luxtron 4 in 1). Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap
satu faktor, yaitu media MS yang mengandung kombinasi sitokinin (BAP) dan
auksin (NAA). Kombinasi media yang digunakan ada sembilan kombinasi, yaitu
MS0, MS + BAP 1 ppm, MS + BAP 2 ppm, MS + BAP 1 ppm + NAA 0,5 ppm,
MS + BAP 1 ppm + NAA 1 ppm, MS + NAA 0,5 ppm dan MS + NAA 1 ppm.
Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan pada percobaan terpisah adalah
daun, akar dan epikotil pamelo „Adas Duku‟ hasil kultur in vitro.
Pada percobaan organogenesis dari eksplan daun, daun pamelo yang
digunakan sebagai eksplan adalah tiga daun pertama dari atas yang dipotong
menjadi dua secara melintang, kemudian ditanam dengan posisi permukaan atas
daun menyentuh media (adaxial) di media sesuai perlakuan. Tiap botol berisi
enam eksplan. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Botol kultur diinkubasi
pada suhu 20 oC. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama dua bulan. Peubah
yang diamati adalah waktu munculnya organ, macam organ yang terbentuk, dan

26
panjang organ yang terbentuk serta persen eksplan yang membentuk organ pada
akhir pengamatan dan analisis histologi.
Pada percobaan organogenesis dari eksplan akar, akar diperoleh dari akar
kecambah in vitro biji pamelo „Adas Duku‟ berumur tiga minggu yang dipotong
sepanjang 0,5 cm kemudian ditanam horisontal dalam media. Tiap botol berisi
sepuluh eksplan. Masing-masing perlakuan diulang lima kali. Botol kultur
diinkubasikan di ruang kultur pada suhu 20 oC. Pengamatan dilakukan setiap
minggu selama 4 bulan. Peubah yang diamati adalah waktu tumbuh tunas, jumlah
tunas, dan persen eksplan yang membentuk tunas.
Pada percobaan organogenesis dari eksplan epikotil, eksplan berasal dari
pucuk kecambah pamelo yang telah disubkultur pada media MS0. Epikotil hasil
subkultur dipotong sepanjang 0,5 cm dan ditanam horisontal pada media. Tiap
botol berisi sepuluh eksplan. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Botol
kultur diinkubasikan pada suhu 29 oC. Pengamatan dilakukan setiap minggu
selama dua bulan. Peubah yang diamati adalah waktu munculnya organ, macam
organ yang terbentuk, dan persen eksplan yang membentuk organ pada akhir
pengamatan.

Pengaruh posisi tanam pada kultur eksplan epikotil pamelo

Sebagai sumber eksplan digunakan epikotil yang berasal dari pucuk


kecambah pamelo yang telah disubkultur pada media MS0 selama empat bulan.
Epikotil dipotong sepanjang 0,5 cm, kemudian dikultur secara horisontal dan
vertikal di media yang terpilih dari percobaan sebelumnya. Pada epikotil yang
dikultur horisontal ditanam 10 eksplan per botol. Eksplan yang dikultur vertikal
setiap botol berisi lima eksplan, sehingga dua botol kultur dihitung sebagai satu
ulangan. Masing-masing perlakuan diulang lima kali. Inkubasi kultur dilakukan
sesuai dengan cara inkubasi terbaik dari percobaan sebelumnya. Pengamatan
dilakukan setiap minggu selama dua bulan. Peubah yang diamati adalah waktu
munculnya tunas dan persen eksplan yang membentuk tunas pada akhir
pengamatan.

27
Analisis data

Analisis data hanya dilakukan pada perlakuan yang memberikan respon


menggunakan uji F pada taraf 5%. Bila menunjukkan pengaruh nyata dilanjutkan
dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) 5%.

Hasil dan Pembahasan 27

Organogenesis pada eksplan daun


Eksplan daun pamelo hanya berespon di ruang gelap dengan membentuk
akar, kalus dan tunas, namun tidak semua media perlakuan berespon (Tabel 3.1).
Pembentukan akar, tunas dan kalus ini berhubungan dengan rasio auksin dan
sitokinin. Rasio auksin dan sitokinin yang rendah dapat menginduksi
pembentukan tunas dan sebaliknya dapat menginduksi pembentukan akar,
sedangkan rasio auksin sitokinin yang sedang dapat menyebabkan terbentuknya
kalus (Gaba 2005).
Tabel 3.1 Organogenesis eksplan daun pamelo „Adas Duku‟ dua bulan setelah
kultur
Media berespon Organ yang Inisisasi Total eksplan Panjang organ
BAP NAA terbentuk organ berespon 2 BSK
(ppm) (ppm) (HSK) (cm)
0 0 Akar 45 2b 0,50b
0 0,5 Akar 8 13a 1,35a
0 1 Akar 7 13a 0,95a
1 0 Tunas 40 1 0,20
1 1 Akar* 23 1b 0,20b
Keterangan : Percobaan ini menggunakan tiga ulangan dengan enam eksplan/botol.
* = melalui kalus.
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
DMRT. DMRT hanya dilakukan pada perlakuan yang memberikan respon
membentuk akar adventif.
Akar adventif pada eksplan daun pamelo dapat terbentuk secara langsung
dan tidak langsung (Tabel 3.1). Proses pembentukan akar meliputi empat tahap,
yaitu pembentukan lokus meristematis melalui dediferensiasi satu atau beberapa
sel, multiplikasi sel menjadi sekumpulan sel, pembelahan sel secara planar
membentuk meristem akar dan pemanjangan sel pada bagian pangkal meristem
akar sehingga akar yang terbentuk mulai muncul (Schwarz et al. 2005). Pada
percobaan ini akar adventif yang terbentuk secara langsung mulai muncul pada 7–

28
45 HSK (Tabel 3.1, Gambar 3.1A), sedangkan akar adventif yang terbentuk secara
tidak langsung muncul pada 23 HSK (Tabel 3.1, Gambar 3.1B).
Berdasarkan pengamatan histologis, akar terbentuk secara langsung pada
sel mesofil daun (Gambar 3.2), yang diduga berasal dari sel-sel prokambial yang
terinduksi oleh pengaruh keseimbangan auksin dan sitokinin pada jaringan
pembuluh (Rose et al. 2006). Daun pamelo dapat membentuk akar adventif secara
langsung pada media MS0. Hal ini kemungkinan karena kandungan auksin
endogen pada eksplan daun tersebut cukup tinggi untuk inisiasi dan pembentukan
28
akar. Sebagaimana diketahui, daun merupakan salah satu tempat pembentukan
auksin (Davies 2004) yang berperan dalam inisiasi akar (Srivastava 2002).

a. b. c.

Gambar 3.1 Organogenesis


A pada daun pamelo yang diinkubasi
B di ruang gelap,Ca.
Tampak bawah dari eksplan daun dengan akar yang tumbuh pada
media MS + NAA 0,5 ppm dan MS + NAA 1 ppm, b. Kalus dan
akar tumbuh pada media MS + BAP 1 ppm + NAA 1 ppm, c.
Tunas tumbuh pada media MS + 1 ppm BAP. Tanda panah
menunjukkan organ yang terbentuk.

Epidermis bagian
atas

Sel mesofil
eksplan daun Akar adventif

Epidermis bagian
bawah

Gambar 3.2 Irisan melintang eksplan daun pamelo „Adas Duku‟ yang membentuk
akar adventif. Akar adventif terbentuk dari sel mesofil (pembesaran
4x).

Dibandingkan dengan media MS0, pada penelitian ini juga tampak bahwa
pemberian auksin eksogen (NAA) dapat mempercepat induksi akar pada eksplan
daun di media MS + NAA 1 ppm dan MS + NAA 0,5 ppm (Tabel 3.1). Rataan

29
pembentukan akar pada media yang diperkaya dengan auksin tersebut adalah 7-8
HSK. Hal ini sesuai dengan dengan pendapat yang menyatakan bahwa proses
determinasi pembentukan akar dari eksplan daun pada media yang kaya auksin
memerlukan waktu sekitar tujuh hari (Yamaguci et al. 2004, Imin et al. 2007).
Hasil penelitian serupa dijumpai pada tanaman Nicotiana tabacum cv Petite
Havana SR1 (Yamaguci et al. 2004), Medicago trunculata (Imin et al. 2007) dan
Rauwolfia serpentina L. (Pandey et al. 2010) yang dapat membentuk akar
adventif dari eksplan daun pada 7 HSK.
Pembentukan akar pada media MS + BAP 1 ppm + NAA 1 ppm terjadi
secara tidak langsung, yaitu didahului dengan pembentukan kalus pada 10 HSK
sedangkan akar mulai muncul 23 HSK. Hal ini diduga karena rasio auksin
sitokinin pada media tidak tepat untuk pembentukan akar secara langsung
(Gambar 3.1 B).
Pada penelitian ini, eksplan daun pamelo yang membentuk tunas secara
langsung hanya terjadi pada media MS + BAP 1 ppm (Tabel 3.1). Pemberian
sitokinin eksogen (BAP 1 ppm) pada media MS mengubah rasio auksin dan
sitokinin menjadi rendah, sehingga diduga sesuai untuk pembentukan tunas,
karena sitokinin berperan dalam inisiasi tunas (Davies 2004). Tunas mulai tumbuh
pada 40 HSK pada tulang daun utama pada bagian pangkal daun. Setelah 4 BSK,
tinggi tunas 0,5 cm (Gambar 3.1 C). Namun demikian, pemberian sitokinin
eksogen juga dapat meningkatkan enzim sitokinin oksidase yang berperan
memelihara keseimbangan sitokinin dalam sel tanaman dengan mengoksidasi
kelebihan sitokinin bila tidak diperlukan (Staden et al. 2008). Kemungkinan hal
ini yang menyebabkan eksplan daun tidak menunjukkan respon pada penambahan
sitokinin eksogen yang lebih tinggi (BAP 2 ppm) pada media MS.

Organogenesis pada eksplan akar pamelo

Eksplan akar pamelo hanya berespon di ruang terang, dengan membentuk


tunas adventif secara langsung di media MS0 dan MS + BAP 1 ppm (Tabel 3.2).
Eksplan akar dapat membentuk tunas adventif karena akar merupakan salah satu
tempat pembentukan sitokinin (Taiz dan Zeiger 2002) yang berperan dalam
inisiasi tunas (Srivastava 2002).

30
Pembentukan tunas adventif pada eksplan akar di media MS0 diduga
karena sitokinin endogen pada akar cukup tinggi untuk inisiasi dan pertumbuhan
tunas. Eksplan akar berespon sebanyak 60%, membentuk 1 tunas/eksplan pada 20
HSK. Pada 4 BSK tunas adventif memiliki tinggi 0,8 cm, dengan bentuk daun dan
batang yang normal (Tabel 3.2, Gambar 3.3A).
Tabel 3.2 Respon eksplan akar pamelo „Adas Duku‟ pada empat bulan setelah
kultur
Peubah Media yang memberikan respon
MS0 MS BAP 1 ppm
Organ yang terbentuk Tunas Tunas
Inisiasi tunas (HSK) 20 ± 1,4 35 ± 2,0
Rerata eksplan berespon/ulangan 6 ± 0,7 1,5 ± 0,7
Rerata jumlah tunas/eksplan 1 ± 0,0 3,5 ± 0,7
Tinggi tunas (cm) 0,8 ± 0,1 0,1 ± 0,0
Jumlah daun per eksplan 2,8 ± 0,8 6,5 ± 0,7
Keterangan: Percobaan ini menggunakan lima ulangan dengan sepuluh eksplan/botol di ruang
terang

A B

Gambar 3.3 Tunas adventif yang tumbuh pada eksplan akar pamelo yang diinkubasi
di ruang terang 4 BSK, A. Media MS0, B. Media MS + BAP 1 ppm.
Pada media MS + BAP 1 ppm sebanyak 15% eksplan akar berespon.
Tunas mulai tumbuh pada 35 HSK, dengan rataan 3,5 tunas/eksplan. Tunas yang
terbentuk vitrous, lemah, berukuran kecil (tinggi 0,1 cm pada 4 BSK) dengan ruas
sangat pendek sehingga membentuk roset (Gambar 3.3 B). Ukuran tunas yang
kecil kemungkinan disebabkan efek kompetisi antar tunas dengan cara tunas yang
terbentuk memberi sinyal ke lingkungan sekitarnya yang berupa auksin. Sinyal
31
tersebut berpengaruh menghambat pertumbuhan tunas-tunas yang terbentuk
berikutnya, efek penghambatan akan semakin meningkat dengan membesarnya
tunas (Gahan dan George 2008).
Namun, tunas yang dihasilkan dari organogenesis langsung dari ekplan
akar ini tidak efisien untuk percobaan konservasi. Hal ini disebabkan karena

31
inisiasi memerlukan waktu 20 hari dan hanya menghasilkan 1 tunas/eksplan
dengan tingkat keberhasilan 60%.

Organogenesis pada eksplan epikotil pamelo


Eksplan epikotil pamelo di ruang terang hanya berespon pada media MS0
(sebanyak 30%) dengan membentuk 1-2 tunas/eksplan secara langsung. Tunas
memiliki bentuk dan pertumbuhan yang normal dan berwarna hijau. Sitokinin
endogen pada epikotil pamelo diduga cukup tinggi untuk inisiasi dan
pertumbuhan tunas karena epikotil dapat membentuk tunas pada media MS0
dengan bentuk dan pertumbuhan yang normal.
Eksplan epikotil di ruang gelap dapat membentuk tunas secara langsung
dan tidak langsung. Eksplan epikotil yang dapat membentuk tunas secara
langsung diperoleh pada media pada media MS0 dan media MS + BAP 1 ppm
(Tabel 3.3). Eksplan epikotil membentuk tunas secara tidak langsung melalui
kalus pada semua media MS yang mengandung BAP, kecuali MS + BAP 1 ppm.
Eksplan epikotil tidak menunjukkan respon pada media MS + NAA 0,5 ppm dan
MS + NAA 1 ppm.
Eksplan epikotil berespon yang menghasilkan tunas secara tidak langsung
pada kombinasi media MS + BAP + NAA lebih banyak dibandingkan MS + BAP
tanpa NAA. Tunas terbanyak dijumpai pada media MS + BAP 2 ppm + NAA 0,5
ppm, peningkatan konsentrasi NAA menjadi 1 ppm menurunkan jumlah tunas
pada eksplan (Tabel 3.3).

32
Tabel 3.3 Inisisasi tunas pada eksplan epikotil pamelo „Adas Duku‟ di media yang
berespon dua bulan setelah kultur
Media MS Inisiasi organ Pada 2 BSK
BAP NAA (HSK) Rerata Rerata
(ppm) (ppm) eksplan Jumlah tunas
berespon
0 0 30 0,7d 0,7d
1 0 25 2,0c 2,0cd
1 0,5 17* 2,0c 2,6bc
1 1 16* 7,0b 3,6 b
2 0 15* 10,0a 3,3bc
2 0,5 15* 10,0a 13,3a
2 1 16* 9,0a 2,3bc
Keterangan: Percobaan ini menggunakan tiga ulangan dengan 10 eksplan/botol di ruang gelap.
* = dari kalus
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
DMRT.

A. B.

C. D.

Gambar 3.4 Tunas adventif pada eksplan epikotil pamelo yang diinkubasi di
ruang gelap. A. Tunas pada media MS + BAP 1 ppm, B. Kalus dan tunas
pada media MS + BAP 1ppm + NAA 0,5 ppm, C. Kalus dan tunas pada
media MS + BAP 2 ppm + NAA 0,5 ppm, D. Tunas pada media MS + BAP 2
ppm + NAA 1 ppm.

Tunas yang terbentuk secara langsung di ruang gelap mengalami etiolasi


dan berwarna putih, sedangkan tunas yang terbentuk secara tidak langsung pada
media yang mengandung sitokinin (BAP) selain etiolasi juga mengalami
malformasi, bentuk tidak normal berwarna putih. Tunas berwarna putih
disebabkan enzim NADPH:Prothochlorophyllide (photo) oxidoreductase tidak

33
aktif dalam keadaan tanpa cahaya sehingga tahap awal pembentukan korofil yaitu
perubahan prothochlorophyllide menjadi chlorophyllide tidak dapat berlangsung
(Sandmann dan Scherr 1998). Tunas yang terbentuk dari eksplan epikotil di
tempat terang memiliki pertumbuhan dan bentuk normal, berwarna hijau tua, dan
lebih vigor dibandingkan dengan tunas yang terbentuk di ruang gelap. Dengan
demikian untuk percobaan yang mempelajari posisi eksplan terhadap
pertumbuhan tunas adventif digunakan eksplan epikotil yang dikultur di ruang
terang.

Pengaruh posisi tanam pada kultur eksplan epikotil pamelo


Posisi eksplan mempengaruhi waktu inisiasi tunas adventif. Pada penelitian
ini, tampak eksplan epikotil pamelo yang dikultur secara vertikal pada media MS0
mulai bertunas pada 14 HSK, dengan menghasilkan 1-3 tunas/eksplan. Pada 2
BSK 100% eksplan yang dikultur secara vertikal telah menghasilkan tunas (Tabel
3.4). Eksplan yang dikultur secara horisontal tunas tumbuh pada 32 HSK pada
30% eksplan, menghasilkan 1-2 tunas/eksplan (Tabel 3.4, Gambar 3.5). Dengan
demikian, posisi eksplan yang ditanam secara vertikal lebih cepat menghasilkan
tunas adventif dibandingkan eksplan yang ditanam secara horisontal.
Kemungkinan hal ini berhubungan dengan transport auksin, penyerapan hara dan
air pada planlet yang lebih efisien yang akan berpengaruh terhadap pembentukan
tunas pada eksplan (Peer et al. 2011).
Tabel 3.4 Pengaruh posisi eksplan terhadap organogenesis pada eksplan epikotil
pamelo „Adas Duku‟ di media MS0 dua bulan setelah kultur
Peubah Posisi eksplan
Vertikal Horisontal
Organ yang terbentuk Tunas Tunas
Inisiasi tunas (HSK) 14,0 ± 0,7 32,0 ± 1,2
Rerata eksplan berespon 10,0 ± 0,0 3,0 ± 0,7
Jumlah tunas per ulangan 13,0 ± 1,2 3,0 ± 0,7
Tinggi tunas (cm) 0,7 ± 1,0 ± 0,2
0,2
Jumlah daun per tunas 2,0 ± 0,7 1,6 ± 0,5
Keterangan: Percobaan ini menggunakan lima ulangan dengan sepuluh eksplan/botol

34
A. B.

Gambar 3.5 Tunas adventif pada eksplan epikotil pamelo yang diinkubasi di ruang
terang, A. vertikal 1 BSK, B. horisontal 2 BSK. Tanda panah
menunjukkan tempat terbentuknya tunas adventif.

Tunas adventif yang ditanam secara vertikal tumbuh dari bagian ujung
potongan epikotil, demikian juga dengan epikotil yang ditanam horisontal
(Gambar 3.5). Hal ini berhubungan dengan polaritas yang disebabkan pergerakan
zat pengatur tumbuh dalam jaringan tanaman terutama transpor polar auksin.
Secara alami auksin ditranspor secara basipetal pada batang dan akropetal pada
akar (Wattimena et al. 1992) yang berpengaruh pada rasio auksin sitokinin pada
bagian ujung.
Berdasarkan analisis histologi, tunas adventif pada eksplan epikotil
terbentuk secara langsung tanpa melalui pembentukan kalus. Tunas diduga berasal
dari sel-sel kambium bukan dari sel berkas pembuluh (Gambar 3.6). Sel-sel
kambium adalah sel-sel yang bersifat meristematik (Trigiano dan Gray 2005).
Menurut Gahan (2007) inti sel berkas pembuluh menghilang pada saat terjadi
diferensiasi, sehingga tidak dapat ber-rediferensiasi kembali.

tunas adventif

berkas pembuluh

endodermis

kortek

epidermis

Gambar 3.6 Irisan melintang pada eksplan epikotil menunjukkan tunas adventif
tumbuh secara langsung dari kambium di antara berkas pembuluh.

35
Simpulan
1. Tunas adventif pada pamelo dapat diperoleh melalui organogenesis langsung
dari eksplan daun, akar dan epikotil.
2. Media terbaik untuk menginduksi tunas secara langsung pada eksplan epikotil
dan akar pamelo adalah media MS0, sedangkan pada eksplan daun pamelo
adalah media MS + BAP 1 ppm.
3. Berdasarkan waktu munculnya tunas, eksplan epikotil lebih efisien
dibandingkan eksplan akar.
4. Eksplan epikotil yang dikultur secara vertikal pada media MS0 di ruang
terang merupakan cara yang paling efisien dan efektif untuk mendapatkan
tunas secara langsung.

Saran
Berdasarkan pertumbuhan tunas yang normal dan vigor serta kecepatan
multiplikasinya, tunas adventif yang dihasilkan melalui organogenesis langsung
dari epikotil pamelo yang ditanam secara vertikal di tempat terang dapat
digunakan untuk konservasi pamelo.

36
4. KONSERVASI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Merr.} DENGAN
PENURUNAN KONSENTRASI MEDIA MS DAN SUKROSA

Pummelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} Conservation Using Reduction of MS


Medium and Sucrose Concentration

ABSTRAK
Indonesia memiliki plasma nutfah pamelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.}
yang beragam, tetapi hanya beberapa kultivar yang dibudidayakan secara luas.
Kultivar yang tidak dibudidayakan dapat terancam kepunahan. Plasma nutfah ini
perlu dicegah kepunahannya melalui konservasi, baik secara eks-situ maupun in-
situ. Salah satu alternatif untuk konservasi eks-situ adalah konservasi secara in
vitro menggunakan teknik pertumbuhan lambat. Dalam penelitian ini
pertumbuhan lambat dilakukan dengan menggunakan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa. Tujuan penelitian adalah memperoleh media yang sesuai
untuk konservasi pamelo melalui pertumbuhan lambat dengan menggunakan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa. Percobaan dilakukan secara
faktorial. Faktor pertama adalah konsentrasi media MS yang terdiri atas dua taraf
yaitu 1/2MS dan MS. Faktor kedua adalah konsentrasi sukrosa, terdiri atas empat
taraf, yaitu 0%, 1%, 2% dan 3%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa interaksi
media dan sukrosa menurunkan jumlah daun, tetapi dapat meningkatkan jumlah
akar. Pada penelitian ini, berdasarkan pertumbuhan relatif dan visual planlet,
diperoleh media konservasi terbaik yaitu media MS tanpa sukrosa yang dapat
menghambat pemanjangan tunas (75%), pembentukan daun (37%) dan
pemanjangan akar (49,4%). Pamelo diperkirakan dapat dikonservasi pada media
tersebut selama 30,7 bulan atau 2,5 tahun sebelum disubkultur ke media baru.
Kata kunci : pamelo, preservasi, sukrosa, pertumbuhan lambat, MS.

ABSTRACT
Indonesia has high variety of pummelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.},
but only several cultivated extensively. Others became vurnerable. The pummelo
germplasm must be conserved to prevent its extinction due to biotic and abiotic
stresses. One of the conservation method is in vitro conservation using slow
growth technique. Factorial experiment was conducted to obtain suitable medium
to conserved pummelo using reduction of MS medium and sucrose concentration.
The first factor was MS medium concentration, i.e. 1/2MS and MS. The second
factor was sucrose concentration, i.e. 0; 1; 2; and 3%. The results showed that
reduced concentration of MS medium and low consentration of sucrose reduced
leaf number and shoot length but increased root number and length. In this
experiment, based on inhibition of growth through reducing leaf number, shoot
and root length, the best medium to preserve pummelo was MS without sucrose
that could inhibite shoot length (75%), leaf formation (37%) and root length
(49.4%). Pummelo in this medium can approximatelly be conserved until 30.7
month or 2.5 years before subculturing into fresh medium.
Key word : pummelo, preservation, slow growth, sucrose, MS
Pendahuluan

Sebagai negara kepulauan tempat asal dan penyebaran pamelo, Indonesia


memiliki plasma nutfah pamelo beragam. Pelestarian plasma nutfah pamelo perlu
dilakukan untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatannya.
Konservasi dapat dilakukan antara lain melalui konservasi in vitro, karena
konservasi secara in vitro terutama diterapkan pada tanaman yang mempunyai
biji rekalsitran, berkembang biak secara vegetatif dan tanaman berkayu (Rao
2004; Towill 2005). Konservasi in vitro sebagai koleksi aktif dapat diterapkan
dengan menggunakan teknik pertumbuhan lambat untuk penyimpanan jangka
menengah (Leunufna 2004). Teknik pertumbuhan lambat dapat dilakukan antara
lain melalui penggunaan regulator osmotik seperti sukrosa dan manitol (Withers
1985; Bessembinder et al. 1993) dan penurunan konsentrasi beberapa faktor
esensial (Desbrunais et al. 1992).
Teknik penurunan konsentrasi media dimaksudkan untuk memperlambat
pertumbuhan planlet. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan mengurangi
konsentrasi jumlah hara yang akan diperoleh planlet dari media. Penurunan
konsentrasi media dapat dilakukan dengan menurunkan konsentrasi hara makro
atau konsentrasi seluruh hara pada komposisi media tersebut seperti yang
dilakukan Catana et al. (2010).
Selain konsentrasi hara, konservasi in vitro dapat dilakukan dengan
penurunan konsentrasi sukrosa yang dimaksudkan untuk mengurangi sumber
karbon dan energi untuk memperlambat pertumbuhan kultur. Sukrosa pada
konsentrasi rendah diperlukan untuk pertumbuhan optimal dan multiplikasi
(Hazarika 2003). Konsentrasi sukrosa dalam kultur untuk pertumbuhan optimal
berkisar antara 20–60 gL-1 (Beyl 2005). Penurunan konsentrasi sukrosa dapat
menghambat pertumbuhan, karena selain sebagai sumber energi dan sumber
karbon, sukrosa juga berperan dalam menginduksi terjadinya siklus sel yang
berhubungan dengan pembelahan sel (Gahan 2007).
Teknik konservasi dengan penurunan konsentrasi media dan sukrosa telah
dilakukan pada tanaman keluarga Caryophyllaceae selama satu tahun dengan
dengan media terbaik berupa media 1/4MS + sukrosa 2% untuk Gypsophila
petraea (Baumg.) Rchb. dan media 1/10MS + sukrosa 2% untuk Dianthus

38
callizonus Schott et Kotschy (Catană et al. 2010). Kombinasi perlakuan
konservasi ini pada pamelo belum dilakukan. Tujuan dari percobaan ini adalah
untuk mendapatkan media yang sesuai untuk konservasi pamelo dengan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa.

Bahan dan Metode


Percobaan dilaksanakan mulai Januari 2011 sampai Mei 2012. Percobaan
konservasi in vitro dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan I, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Peralatan yang digunakan
adalah peralatan standar untuk penelitian kultur jaringan. Pengamatan anatomi
dikerjakan di Laboratorium Mikroteknik, Departemen Agronomi dan Hortikutura,
Fakultas Pertanian IPB dengan pengamatan irisan segar menggunakan mikroskop
Olympus DX51 dengan kamera Olympus DP25.
Media dasar yang digunakan dalam kultur adalah media MS (Murashige and
Skoog 1962, Tabel Lampiran 3.1). Rancangan percobaan yang digunakan adalah
rancangan faktorial dengan dua faktor yaitu penurunan konsentrasi media MS dan
konsentrasi sukrosa yang disusun secara acak lengkap. Konsentrasi komposisi
media MS terdiri dari dua taraf, yaitu 1/2MS dan MS. Pada media 1/2MS maka
komposisi hara makro, mikro, vitamin dan bahan organik adalah setengah dari
MS. Konsentrasi sukrosa terdiri dari empat taraf, yaitu 0; 1; 2 dan 3%, sehingga
terdapat delapan kombinasi perlakuan. Setiap unit percobaan diulang tujuh kali.
Bahan tanaman yang digunakan adalah tunas pamelo „Adas Duku‟ yang
diinduksi dari epikotil dan diperbanyak secara in vitro. Tunas yang digunakan
memiliki empat daun tanpa akar. Dua eksplan ditanam dalam 30 ml media sesuai
perlakuan. Kultur kemudian diinkubasikan di ruang kultur pada suhu 27-29 oC
dengan lama penyinaran 24 jam menggunakan lampu TL 18 watt (237–616 lux,
diukur dengan Luxtron 4 in 1).
Pengamatan jumlah daun, panjang tunas dan awal munculnya akar
dilakukan setiap bulan selama tujuh bulan tanpa sub kultur. Penampilan visual
kultur, jumlah dan panjang akar, serta anatomi akar diamati setelah planlet tujuh
bulan dikonservasi.

39
Setelah konservasi selama tujuh bulan maka planlet yang telah dipotong
akarnya dipindahkan ke dalam media pemulihan selama dua bulan. Hal ini
dilakukan untuk menguji daya tumbuh kultur. Media pemulihan yang digunakan
adalah media MS + sukrosa 3% tanpa zat pengatur tumbuh. Peubah yang diamati
adalah persen planlet yang membentuk daun baru pada media pemulihan.
Planlet hasil pemulihan diaklimatisasi dengan menanam langsung pada
media campuran tanah liat : sekam : kompos = 2 : 1 : 1. Aklimatisasi dilakukan
pada suhu lingkungan 20–25oC, kelembaban 60–80% dan intensitas cahaya 50%.
Pengamatan dilakukan terhadap persentase tanaman yang bertahan hidup satu
bulan setelah aklimatisasi.

Analisis Data
Data kuantitatif dianalisis menggunakan uji F pada taraf 5%. Jika perlakuan
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap hasil pengamatan maka dilakukan uji
lanjut dengan Duncan Multiple Range Test pada taraf 5%. Analisis penghambatan
pertumbuhan dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan planlet pada semua
perlakuan dengan kontrol. Dalam hal ini yang dijadikan kontrol adalah planlet
yang ditanam pada media MS + sukrosa 3%, karena memiliki pertumbuhan yang
terbaik.
% Pertumbuhan relatif = pertumbuhan planlet perlakuan – kontrol x 100%
kontrol
Pendugaan lama konservasi dibuat berdasarkan analisis regresi pertumbuhan
panjang tunas dengan kontrol (MS sukrosa 3%). Model persamaan regresi yang
digunakan yaitu y = a + bx, dengan y = tinggi tunas saat subkultur dan x=
perkiraan lama waktu konservasi (bulan).

Hasil dan Pembahasan

Pertumbuhan tunas dan daun pada konservasi dengan penurunan konsentrasi


media MS dan sukrosa
Pada metode konservasi ini, tunas pamelo dapat tumbuh pada semua media
sampai akhir pengamatan (tujuh bulan), yang ditandai dengan peningkatan tinggi
plantlet dan jumlah daun (Gambar 4.1 dan 4.2). Interaksi antara konsentrasi media
MS dan sukrosa hanya berpengaruh nyata pada 2, 3, 5, 6, dan 7 BSK (Tabel

40
Lampiran 4.4). Laju pertumbuhan tunas dan daun yang paling cepat dijumpai pada
perlakuan media MS + sukrosa 3%. Pertumbuhan tunas yang paling lambat
dijumpai pada perlakuan MS tanpa sukrosa (Tabel Lampiran 4.4, Gambar 4.1),
sedang jumlah daun paling sedikit dijumpai pada perlakuan 1/2MS tanpa sukrosa
(Tabel Lampiran 4.3 Gambar 4.2).

Gambar 4.1 Pertumbuhan tunas pamelo „Adas Duku‟ pada konservasi dengan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa.

Gambar 4.2 Pertumbuhan daun pamelo pada konservasi dengan penurunan


konsentrasi media MS dan konsentrasi sukrosa.
Planlet yang memperoleh nutrisi dan sukrosa lebih tinggi mempunyai
pertumbuhan yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena konsentrasi media MS
berpengaruh pada jumlah hara yang akan diperoleh planlet selama dalam kultur.

41
Hara diperlukan tanaman untuk membentuk senyawa berkarbon (N, S),
penyimpanan energi (P, Si, B), regulator osmotik (K, Ca, Mg, Cl, Mn, Na) dan
reaksi redoks (Fe, Zn, Cu, Ni, Mo) (Taiz dan Zeiger 2002).
Penurunan konsentrasi hara dan sukrosa menyebabkan pertumbuhan
planlet terhambat. Tanaman akan melakukan efisiensi penggunaan hara dalam
pertumbuhannya pada media yang miskin hara. Efisiensi tersebut berhubungan
dengan penyerapan, transpor dan penggunaannya di dalam tanaman (Marschner
1995). Efisiensi yang dilakukan planlet yang tumbuh pada media ½MS pada
percobaan ini adalah dengan mengurangi pemanjangan tunas dan pembentukan
daun, dan meningkatkan pembentukan akar.
Penambahan tinggi tunas pamelo setelah tujuh bulan konservasi
dipengaruhi oleh konsentrasi media MS dan konsentrasi sukrosa, tetapi tidak
dipengaruhi oleh interaksi antara keduanya (Tabel Lampiran 4.1). Hasil uji
kontras (Tabel Lampiran 4.2) dan uji lanjut (Tabel 4.1) menunjukkan bahwa tunas
yang tumbuh pada media ½MS lebih pendek dibandingkan dengan tunas yang
tumbuh pada media MS, yang disebabkan penurunan konsentrasi nutrisi. Tunas
pada media yang mengandung sukrosa 3% nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan tunas pada media tanpa sukrosa karena sukrosa diperlukan untuk proses
pembentukan dan pembelahan sel (Dewitte dan Murray 2002) yang akan
berpengaruh pada pemanjangan tunas dan pembentukan daun.
Tabel 4.1 Pengaruh tunggal penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
terhadap penambahan tinggi tunas pamelo pada tujuh bulan setelah
konservasi
Perlakuan Penambahan tinggi tunas (cm)
Konsentrasi media
½ MS 0,64b
MS 1,43a
Konsentrasi sukrosa
0% 0,51b
1% 0,99ab
2% 1,08ab
3% 1,56a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Sukrosa diperlukan tanaman sebagai sumber energi dan sumber karbon
(Javed dan Ikram 2008), serta regulator terjadinya pembelahan sel (Dewitte dan
Murray 2007). Sukrosa juga berperan dalam menginduksi siklus sel pada transisi

42
dari fase istirahat (G1) ke fase pembentukan DNA (S) yang merupakan bagian
awal siklus sel yang akan diakiri dengan pembelahan sel (Gahan 2007).
Kekurangan sukrosa akan menyebabkan tanaman memperlambat siklus selnya
atau menuju ke tahap G0 (fase diam) (Dewitte dan Murray 2002).
Konsentrasi media, konsentrasi sukrosa dan interaksi keduanya berpengaruh
pada penambahan jumlah daun (Tabel Lampiran 4.1). Planlet yang kekurangan
hara dan sukrosa mengalami penambahan daun yang lebih sedikit dibandingkan
dengan media MS + sukrosa 3% (Gambar 4.3). Proses pembentukan daun
merupakan proses yang memerlukan energi, karbon dan nutrisi sehingga
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa menyebabkan pembentukan daun
lebih lambat.

Gambar 4.3 Penambahan jumlah daun pamelo pada konservasi dengan penurunan
konsentrasi media MS dan sukrosa tujuh bulan setelah konservasi.

Pembentukan dan pertumbuhan akar pamelo pada konservasi dengan


penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa

Pada percobaan konservasi ini, tunas pamelo dapat membentuk akar pada
semua media perlakuan. Pembentukan akar pada tunas tanpa induksi auksin
kemungkinan karena kandungan auksin endogen pada tunas pamelo cukup tinggi
untuk pembentukan akar, karena auksin berperan dalam induksi dan pembentukan
akar (Davies 2004).
Interaksi antara konsentrasi media dan sukrosa mempengaruhi waktu
pembentukan dan jumlah akar, tetapi konsentrasi sukrosa tidak berpengaruh
(Tabel Lampiran 4.1). Hal ini disebabkan karena pengurangan hara akan
menyebabkan planlet memperluas daerah penyerapan hara (Marschner 1995)
dengan membentuk akar dan meningkatkan jumlah akar pada planlet. Tunas pada

43
media 1/2MS lebih cepat membentuk akar dibandingkan pada media MS,
sehingga akar pada planlet yang tumbuh pada media 1/2MS lebih cepat muncul
dan jumlah akar juga lebih banyak (Gambar 4.4 dan 4.5).
Akar planlet yang paling cepat tumbuh dijumpai di media 1/2MS + sukrosa
2%, yaitu pada hari ke 18. Planlet yang memerlukan waktu inisiasi akar paling
lama dijumpai pada media MS tanpa sukrosa, yaitu pada hari ke 103 (Gambar
4.4). Proses pembentukan akar memerlukan energi dan rantai karbon sehingga
planlet yang tumbuh pada media tanpa sukrosa memerlukan waktu lama untuk
inisiasi akar.

Gambar 4.4 Waktu tumbuh akar pamelo pada konservasi dengan penurunan
konsentrasi media MS dan sukrosa.

Planlet yang memiliki jumlah akar terbanyak dijumpai pada media 1/2MS +
sukrosa 1%, sedangkan planlet di media MS + sukrosa 1% memiliki jumlah akar
paling sedikit (Gambar 4.5). Pembentukan akar dipengaruhi hara. Pembentukan
akar pada planlet pamelo dapat menyebabkan penyerapan hara pada media
menjadi lebih efisien sehingga planlet dapat bertahan hidup pada media
konservasi, tetapi hal ini juga dapat mengurangi periode konservasi.

Gambar 4.5 Jumlah akar pamelo pada konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa pada tujuh bulan setelah konservasi.

44
Konsentrasi media MS dan konsentrasi sukrosa mempengaruhi panjang akar
planlet, tetapi interaksinya berpengaruh tidak nyata (Tabel Lampiran 4.1).
Tanaman yang mendapat perlakuan penurunan konsentrasi hara akan memperluas
daerah penyerapan hara dengan memperpanjang akarnya. Namun demikian,
pemanjangan akar dipengaruhi oleh sumber energi dan sumber karbon yang ada
pada media, sehingga akar akan lebih panjang pada media yang mengandung
sukrosa lebih tinggi.
Tabel 4.2 Pengaruh tunggal penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
terhadap panjang akar pamelo pada tujuh bulan setelah konservasi
Perlakuan Panjang akar (cm)
Konsentrasi media
½ MS 12,91a
MS 9,19b
Konsentrasi sukrosa
0% 6,96b
1% 10,23ab
2% 13,32a
3% 13,70a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% DMRT.
Pada percobaan ini tampak akar planlet yang tumbuh pada media 1/2MS
nyata lebih panjang dibandingkan akar planlet pada media MS. Panjang akar
pada konsentrasi sukrosa 0% berbeda nyata dengan panjang akar pada konsentrasi
sukrosa 2% dan 3% (Tabel Lampiran 4.2). Penurunan konsentrasi sukrosa
menurunkan panjang akar (Tabel 4.2).

Anatomi akar pamelo


Akar planlet pada perlakuan konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa memiliki bentuk yang relatif sama. Akar memanjang
dengan diameter dapat mencapai 1 mm. Anatomi akar planlet tidak berbeda pada
semua perlakuan (Gambar 4.6). Stele mempunyai bentuk dan ukuran yang relatif
sama pada media ½MS dan MS dengan berbagai konsentrasi sukrosa. Bentuk dan
diameter stele sangat penting bagi tanaman karena di dalam stele terdapat xilem
yang berfungsi dalam transpor air dan hara, floem yang berfungsi dalam tanspor
asimilat dari daun (Taiz dan Zeiger 2002). Xilem dan floem juga berfungsi dalam
translokasi hormon tanaman, antara lain sitokinin dan auksin (Davies 2004).

45
Dengan demikian, karena tidak terdapat perbedaan anatomi yang akan
berpengaruh pada penyerapan hara, maka perbedaan pertumbuhan pada planlet
disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi hara dan sukrosa pada media.

epidermis

kortek

endodermis

stele
a b
Gambar 4.6 Irisan melintang akar planlet pamelo „Adas Duku‟ pada konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa a. MS +
sukrosa 3% (kontrol), b. perlakuan lainnya.

Penampilan visual kultur pamelo


Pada perlakuan konservasi ini, tunas pamelo dapat tumbuh pada semua
media konservasi sampai akhir pengamatan. Tunas adventif yang digunakan
sebagai eksplan dapat tumbuh menjadi planlet. Planlet tumbuh dan mempunyai
daun dengan bentuk normal dan berwarna hijau, warna batang hijau dan akar
panjang. Daun yang baru terbentuk biasanya berwarna hijau muda (Gambar 4.7).

a b c d
a

e f g h
Gambar 4.7 Keragaan visual planlet yang berasal dari tunas adventif
pamelo „Adas Duku‟ tujuh bulan setelah konservasi dengan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa a. 1/2MS +
sukrosa 0%, b. 1/2MS + sukrosa 1%, c. 1/2MS + sukrosa
2%, d. 1/2MS + sukrosa 3%, e. MS + sukrosa 0%, f. MS +
sukrosa 1%, g. MS + sukrosa 2%, h. MS + sukrosa 3%.

46
Pertumbuhan relatif planlet
Pertumbuhan relatif planlet adalah perbandingan pertumbuhan planlet pada
media perlakuan lain dengan kontrol (media MS + sukrosa 3%). Hal ini
dilakukan untuk mengetahui persentase penghambatan pertumbuhan planlet akibat
perngaruh media perlakuan konservasi. Persentase penghambatan pertumbuhan
dan penampilan visual kultur digunakan untuk menentukan media terbaik pada
teknik konservasi yang dilakukan.
Hasil perbandingan pertumbuhan dengan kontrol menunjukkan, bahwa
planlet pada perlakuan media lain memiliki tinggi tunas yang lebih pendek
(Gambar 4.8), jumlah daun yang relatif lebih sedikit (Gambar 4.9), dengan
jumlah akar relatif lebih banyak (Gambar 4.10). Pada media 1/2MS yang diberi
perlakuan sukrosa 2% dan 3% panjang akar planlet meningkat (Gambar 4.11),
sedangkan pada kombinasi pelakuan lain menurun. Proses pembentukan dan
pembesaran sel pada tunas, daun dan akar memerlukan hara dan sukrosa, sehingga
planlet yang tumbuh di media yang kekurangan hara dan sukrosa akan terhambat
pertumbuhannya. Pada percobaan ini, planlet yang memiliki pemanjangan tunas
yang paling terhambat adalah planlet yang tumbuh pada media 1/2MS tanpa
sukrosa. Planlet yang paling sedikit mengalami hambatan pemanjangan tunas
adalah planlet yang tumbuh pada media MS + sukrosa 2% (Gambar 4.8).

Gambar 4.8 Persentase pertumbuhan relatif tinggi tunas pamelo pada konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
Pembentukan daun pada planlet di media 1/2MS lebih terhambat
dibandingkan planlet yang tumbuh pada media MS, demikian juga penurunan
konsentrasi sukrosa akan menghambat pembentukan daun. Planlet yang paling
terhambat pembentukan daunnya adalah planlet yang tumbuh pada media 1/2MS

47
tanpa sukrosa, sedangkan planlet yang tumbuh pada media MS + sukrosa 2%
yang paling sedikit mengalami hambatan pembentukan daun (Gambar 4.9).

Gambar 4.9 Persentase pertumbuhan relatif pembentukan daun pamelo pada


konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa.

Jumlah akar pada planlet yang tumbuh pada media 1/2MS lebih banyak
dibandingkan dengan kontrol, karena planlet memerlukan sarana untuk menyerap
hara yang lebih efisien pada media yang kekurangan hara, sehingga planlet
menghasilkan akar yang lebih banyak (Marschner 1995). Planlet yang paling
terhambat pembentukan akarnya adalah planlet yang tumbuh di media MS +
sukrosa 1% (Gambar 4.10).

Gambar 4.10 Persentase pertumbuhan relatif pembentukan akar pamelo pada


konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa.

Pemanjangan akar planlet pada semua perlakuan terhambat dibandingkan


kontrol, kecuali planlet yang tumbuh pada media 1/2MS + sukrosa 2% dan 1/2MS
+ sukrosa 3% yang pemanjangan akarnya meningkat. Hal ini disebabkan karena
pemanjangan akar merupakan proses yang memerlukan nutrisi, sumber energi dan
sumber karbon. Planlet yang paling terhambat pemanjangan akarnya adalah

48
planlet yang tumbuh pada media MS tanpa sukrosa, sedangkan planlet yang
tumbuh pada media MS + sukrosa 1% yang paling sedikit mengalami hambatan
pemanjangan akar (Gambar 4.11).

Gambar 4.11 Persentase pertumbuhan relatif panjang akar pamelo pada


konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa.

Berdasarkan persentase pertumbuhan relatif, planlet pada media 1/2MS


tanpa sukrosa menunjukkan pertumbuhan yang paling terhambat. Namun
berdasarkan persentase pertumbuhan relatif dan penampilan visual kultur (vigor
dan kehijauan daun) pada tujuh bulan setelah konservasi, maka pada penelitian ini
media terbaik untuk konservasi pamelo adalah dengan media MS tanpa sukrosa.
Pada media ini planlet mengalami penghambatan pemanjangan tunas 75%
(Gambar 4.8), pembentukan daun 37% (Gambar 4.9), pemanjangan akar 49,4%
(Gambar 4.11), namun dengan warna daun lebih hijau dan planlet lebih vigor
dibandingkan planlet pada media 1/2MS tanpa sukrosa.

Pemulihan dan aklimatisasi kultur setelah konservasi


Kemungkinan planlet untuk dapat atau tidak dapat tumbuh normal setelah
masa konservasi dapat dilihat melalui masa pemulihan. Kegiatan pemulihan
dengan menggunakan media MS + sukrosa 3% dilakukan untuk melihat
kemampuan regenerasi tunas setelah melewati periode konservasi. Persentase
planlet yang mampu membentuk daun baru tidak berbeda nyata antar perlakuan.
Sebagian besar planlet mulai membentuk daun baru satu bulan setelah ditanam di
media pemulihan. Persentase planlet yang membentuk daun baru untuk planlet

49
yang berasal dari media konservasi yang mengandung sukrosa adalah 83,33%,
sedangkan dari media konservasi tanpa sukrosa adalah 66,67% (Tabel 4.3).

Tabel 4.3 Pemulihan dan aklimatisasi planlet pamelo „Adas Duku‟ setelah
konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
Peubah yang diamati Asal Konsentrasi sukrosa
Komposisi (%)
Media 0 1 2 3
%Planlet yang 1/2MS 66,67 83,33 83,33 83,33
membentuk daun baru
setelah pemulihan 1 MS 66,67 83,33 83,33 83,33
BSK
%Planlet hidup 1/2MS 100 100 100 100
setelah 1 bulan MS 100 100 100 100
aklimatisasi
Keterangan: Planlet yang digunakan 6 planlet. BSK = Bulan setelah kultur.
Dalam penelitian ini, aklimatisasi planlet menunjukkan tingkat keberhasilan
tinggi (Tabel 4.3). Semua planlet tetap hidup setelah satu bulan aklimatisasi di
media campuran tanah liat, sekam dan kompos. Keberhasilan ini antara lain
dipengaruhi oleh penggunaan tanah liat dalam media tanam, yang mampu
memelihara kelembaban media. Laju transpirasi pada tanaman hasil kultur in
vitro umumnya tinggi, yang disebabkan oleh pengurangan pembentukan lilin
epikutikular pada tanaman (Hazarika et al. 2002). Dengan media yang tetap
lembab, kegagalan aklimatisasi akibat transpirasi yang berlebihan pada saat
diaklimatisasi dapat dicegah.

Perkiraan lama konservasi


Perkiraan lama konservasi diperlukan untuk menduga jumlah subkultur
yang harus dilakukan dalam satu periode konservasi. Perkiraan lama konservasi
didasarkan pada tinggi plantlet pada saat subkultur. Jumlah daun akan bertambah
bila tinggi plantlet semakin meningkat. Konservasi yang dilakukan dengan dua
eksplan per botol di suhu ruang 27-29 oC, dengan intensitas cahaya 237–616 lux
menunjukkan bahwa media kontrol (MS + sukrosa 3%) mulai berubah warna
menjadi kecoklatan dan menipis pada delapan bulan setelah kultur dengan tinggi
planlet 3,04 cm, sehingga perlu disubkultur ke media yang baru. Oleh karena itu
perkiraan konservasi dibuat berdasarkan pertumbuhan pada tinggi plantlet kontrol
yang dikonservasi selama delapan bulan. Berdasarkan analisis regresi pada
pertumbuhan tunas dibuat perkiraan lama waktu konservasi pada masing-masing

50
perlakuan konservasi. Persamaan regresi yang diperoleh pada kontrol (MS +
sukrosa 3%): y = 0,5 + 0,318x; dimana y = panjang tunas dan x = lama
konservasi.
Dengan cara yang sama, planlet yang tumbuh lambat di media terbaik pada
metode konservasi ini (MS tanpa sukrosa) diperkirakan dapat bertahan selama
30,7 bulan atau 2,5 tahun (Tabel 4.4). Planlet yang dikonservasi pada media
tersebut tetap dapat tumbuh walaupun tanpa sukrosa karena dapat membentuk
klorofil untuk berfotosintesis guna memenuhi kebutuhan karbon dan energinya
dengan memanfaatkan CO2 hasil respirasi sehingga bersifat autotrof (Thorpe et al.
2008). Dengan demikian, planlet yang kapasitas fotosintesisnya terbatas dan juga
fotosintat yang hanya sedikit tersebut digunakan untuk mengatasi stres yang
terjadi selama periode konservasi. Planlet akan memperlambat siklus selnya,
sehingga pembelahan sel juga berjalan lambat tetapi tanaman tetap tumbuh
(Dewitte dan Murray 2002).
Tabel 4.4 Perkiraan waktu konservasi pamelo pada masing-masing media
konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa
Media konservasi Persamaan regresi R2 Perkiraan lama konservasi
(bulan)
1/2MS Sukrosa 0% y = 0,50 + 0,081x 0,356 31,4
1/2MS Sukrosa 1% y = 0,45 + 0,104x 0,644 24,9
1/2MS Sukrosa 2% y = 0,42 + 0,121x 0,497 21,7
1/2MS Sukrosa 3% y = 0,52 + 0,114x 0,334 22,1
MS Sukrosa 0% y = 0,40 + 0,086x 0,678 30,7
MS Sukrosa 1% y = 0,50 + 0,167x 0,361 15,2
MS Sukrosa 2% y = 0,34 + 0,194x 0,657 13,9
MS Sukrosa 3% y = 0,50 + 0,318x 0,821 8 kontrol
Keterangan: y = tinggi tunas kontrol 3,044 cm dan x = perkiraan lama konservasi (bulan)

Simpulan
1. Berdasarkan pertumbuhan relatif dan visual kultur, media terbaik untuk
konservasi pamelo dengan metode penurunan konsentrasi media MS dan
sukrosa adalah media MS tanpa sukrosa.
2. Konservasi pada media MS tanpa sukrosa diperkirakan mencapai 30,7 bulan
atau 2,5 tahun.

51
Saran
Konservasi pamelo dengan media MS tanpa sukrosa dapat diterapkan untuk
mengurangi periode sub kultur dan merupakan metode konservasi yang hemat
biaya.

52
5. KONSERVASI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Merr.} DENGAN
REGULATOR OSMOTIK DAN RETARDAN

Pummelo {Citrus maxima (Burm.) Merr.} Conservation Using Osmotic


Regulator and Retardant

ABSTRAK

Plasma nutfah pamelo Inidonesia perlu dicegah kepunahannya melalui


konservasi, baik secara eks-situ maupun in-situ. Salah satu alternatif untuk
konservasi ek-situ adalah konservasi secara in vitro menggunakan teknik
pertumbuhan lambat. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh media konservasi
pamelo dari kombinasi osmotikum dan retardan yang dapat menginduksi
pertumbuhan lambat. Percobaan dilakukan secara faktorial dan media MS
digunakan sebagai media dasar. Faktor pertama adalah macam eksplan yang
terdiri atas dua taraf yaitu pucuk kecambah berdaun dua dan tunas adventif
berdaun empat. Faktor kedua adalah media MS dengan kombinasi osmotikum dan
retardan yang terdiri atas enam taraf, yaitu MS + sukrosa 3%, MS + sukrosa 3% +
paklobutrasol 7,5 ppm, MS + sukrosa 3% + paklobutrasol 15 ppm, MS + sorbitol
2%, MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm, MS + sorbitol 2% +
paklobutrasol 15 ppm. Hasil percobaan menunjukkan terdapat interaksi antara
macam eksplan dan macam media terhadap semua peubah yang diamati. Jumlah
daun, panjang tunas, jumlah dan panjang akar pamelo pada media yang
mengandung sorbitol lebih rendah dibandingkan dengan yang ditanam pada media
sukrosa. Pemberian paklobutrasol menyebabkan jumlah daun, panjang tunas dan
akar menurun, tetapi diameter akar meningkat. Pada penelitian ini, berdasarkan
pertumbuhan relatif dan visual kultur, kombinasi perlakuan yang paling sesuai
untuk konservasi eksplan pamelo adalah tunas adventif pada media MS + sorbitol
2% + paklobutrasol 7,5 ppm yang dapat menghambat pemanjangan tunas
(65,1%), jumlah daun (84,6%), panjang akar (81%), jumlah akar (20%),
sedangkan planlet tetap berwarna hijau. Konservasi pamelo pada media ini
diperkirakan dapat dilakukan selama 22,2 bulan sebelum disubkultur ke media
yang baru.
Kata kunci: pamelo, konservasi, pertumbuhan minimal, osmotikum,
retardan

ABSTRACT
The Indonesian pummelo germplasm must be conserved to prevent its
extinction due to biotic and abiotic stresses. In vitro conservation using slow
growth technique can be considered as an alternative of exsitu conservation.
Factorial experiment was conducted to obtain suitable medium to conserved
pummelo using MS medium supplemented with osmoticum and retardant. The
first factor was explant type, i.e. one cm of pamelo shoot tip with two leaves
derived from pummelo seedling germinated in vitro and shoot with four leaves
derived from adventitious bud. The second factor was MS medium supplemented
with osmoticum and retardant, i.e. MS + sukrosa 3%, MS + sukrosa 3% +
paclobutrazol 7.5 ppm, MS + sukrosa 3% + paclobutrazol 15 ppm, MS + sorbitol
2%, MS + sorbitol 2% + paclobutrazol 7.5 ppm, MS + sorbitol 2% +
paclobutrazol 15 ppm. The results showed there was an interaction between
explant type and medium. Number of leaf, root number and length were reduced
in medium containing sorbitol. Paclobutrazol reduced leaf size, shoot and root
length but increased root diameter. In this research, based on inhibition of growth
through reducing leaf number (84.6%), shoot length (65.1%), root length (81%)
and root number (20%), as well as the appearance of culture such as vigorous
planlet and greener colour of leaf, the best treatment to preserve pummelo was
shoot with four leaves in MS medium + sorbitol 2% + paclobutrazol 7,5 ppm.
Pummelo conservation in this medium can be done until 22.2 month before
subculturing into fresh medium.
Keyword: pummelo, conservation, slow growth, osmoticum, retardant.

Pendahuluan

Pamelo {C. maxima (Burm.) Merr.} atau jeruk besar merupakan tanaman
asli Indonesia (Niyomdham 1997). Beberapa sentra produksi pamelo Indonesia
seperti Bireun (Aceh); Pati, Kudus dan Magetan memiliki aksesi pamelo yang
khas yang potensial dikembangkan karena berbagai keunggulan karakternya
(Susanto 2010). Salah satu aksesi pamelo yang potensial dikembangkan tersebut
adalah „Adas Duku‟. Aksesi ini dibudidayakan secara terbatas di Magetan karena
potensinya belum dikenal luas seperti „Nambangan‟. Upaya pelestarian plasma
nutfah pamelo perlu dilakukan karena kekayaan plasma nutfah dapat digunakan
sebagai bahan pengembangan pamelo di masa yang akan datang.
Konservasi pamelo dapat dilakukan secara eks-situ dengan membuat
kebun-kebun koleksi atau melalui konservasi in vitro. Konservasi in vitro dapat
menjadi suatu alternatif yang sangat berguna bagi konservasi keragaman genetik,
khususnya untuk spesies yang bijinya tidak dapat disimpan lama (Rao 2004).
Pelestarian secara in vitro mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya
penghematan area, tenaga kerja, biaya dan waktu, juga kemudahan dalam
pertukaran plasma nutfah (Towill 2005). Selain itu, dapat mencegah hilangnya
genotipe akibat cekaman biotik dan abiotik yang banyak terjadi di kebun-kebun
koleksi.
Konservasi in vitro sebagai koleksi aktif dapat diterapkan dengan
menggunakan teknik pertumbuhan minimal. Dengan teknik ini plasma nutfah
dapat disimpan sampai 15 tahun dengan subkultur secara periodik tergantung pada
jenis tanamannya (Rao 2004). Teknik pertumbuhan minimal dapat dilakukan

54
antara lain melalui penggunaan regulator osmotik (Withers 1985; Bessembinder et
al. 1993), dan penggunaan zat penghambat tumbuh atau retardan (Withers 1985).
Osmotikum adalah bahan yang dapat menurunkan potensial osmotik (Shibli
et al. 2006), sehingga akan membatasi penyerapan air dan hara pada kultur
(Thorpe et al. 2008). Gula dalam bentuk sukrosa, manitol dan sorbitol selain
berfungsi sebagai sumber karbon dan energi pada media kultur, juga dapat
berfungsi sebagai regulator osmotik atau osmotikum (Javed dan Ikram 2008).
Konservasi pamelo cv Sri Nyonya pada pengamatan lima bulan menunjukkan
konsentrasi sorbitol 2% paling sesuai dalam memperlambat pertumbuhan, namun
planlet masih tetap vigor (Dewi et al. 2010).
Penggunaan retardan dalam media konservasi digunakan untuk menghambat
pertumbuhan melalui penghambatan pemanjangan sel. Retardan yang sering
digunakan pada media konservasi antara lain paklobutrasol dan ancymidol
(Whithers 1985). Paklobutrasol menghambat pertumbuhan melalui
penghambatan pembentukan giberelin yang berperan dalam pemanjangan sel
(Wang et al. 1986). Konservasi in vitro menggunakan paklobutrasol sudah
diterapkan antara lain pada tanaman lada (Yelnitis dan Bermawie 2003); bengle
(Ibrahim 2005); dan temulawak (Syahid 2007). Pada pamelo, pengaruh kombinasi
osmotikum dan retardan terhadap pertumbuhan planlet belum diketahui, sehingga
dilakukan percobaan ini. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mendapatkan
media kombinasi mengandung osmotikum dan retardan yang sesuai untuk
konservasi pamelo.

Bahan dan Metode

Percobaan dilakukan mulai Januari 2011 sampai Mei 2012 di Laboratorium


Kultur Jaringan I Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.
Peralatan yang digunakan adalah peralatan standar untuk penelitian kultur
jaringan. Pengamatan anatomi dilakukan di Laboratorium Mikroteknik
Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dengan pengamatan irisan segar
menggunakan mikroskup Olympus DX51 yang dihubungkan ke kamera Olympus
DP25.

55
Percobaan disusun secara faktorial yang terdiri atas dua faktor yaitu macam
eksplan dan kombinasi media. Macam eksplan terdiri dari dua taraf yaitu pucuk
kecambah pamelo dan tunas adventif dari eksplan epikotil pamelo „Adas Duku‟.
Konsentrasi media perlakuan merupakan kombinasi osmotikum (sukrosa 3% dan
sorbitol 2%) dan retardan (paklobutrasol) yang ditambahkan pada media dasar MS
(Murashige and Skoog 1962, Tabel Lampiran 3.1). Konsentrasi sorbitol 2% yang
digunakan berdasarkan percobaan pada pamelo „Sri Nyonya‟ (Dewi 2010),
sedangkan konsentrasi sukrosa 3% berdasarkan pada konsentrasi yang
memberikan pertumbuhan terbaik pada percobaan konservasi sebelumnya yang
menggunakan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa (Bab 4). Perlakuan
media yang dicobakan terdiri atas enam taraf, yaitu MS + sukrosa 3%, MS +
sukrosa 3% + paklobutrasol 7,5 ppm, MS + sukrosa 3% + paklobutrasol 15 ppm,
MS + sorbitol 2%, MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm, MS + sorbitol 2%
+ paklobutrasol 15 ppm. Dengan demikian, terdapat 12 kombinasi perlakuan.
Masing-masing unit percobaan diulang tiga kali. Setiap unit percobaan terdiri atas
dua eksplan.
Eksplan pucuk kecambah dengan dua daun sepanjang satu cm diambil dari
kecambah berumur tiga minggu yang tumbuh dalam gelap dan masih berwarna
putih. Tunas adventif yang digunakan merupakan tunas yang memiliki empat
daun hasil organogenesis langsung dari eksplan epikotil pamelo yang ditanam
secara vertikal. Kultur diinkubasi di ruangan kultur dengan suhu 27 oC – 29 oC
dengan lama penyinaran 24 jam menggunakan lampu TL 18 watt (237–620 lux
yang diukur menggunakan Luxtron 4 in 1).
Pengamatan dilakukan tujuh bulan setelah perlakuan. Peubah yang diamati
meliputi penambahan jumlah daun, tinggi tunas, jumlah dan panjang akar,
penampilan visual kultur serta anatomi akar. Data kuantitatif dianalisis
menggunakan uji F pada taraf 5%. Jika perlakuan menunjukkan pengaruh nyata
maka dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test pada taraf 5%.
Pembandingan pertumbuhan planlet pada semua perlakuan dengan kontrol
dilakukan untuk mengetahui persentase penghambatan pertumbuhan. Dalam hal
ini yang dijadikan kontrol adalah planlet yang tumbuh pada media MS + sukrosa
3% tanpa paklobutrasol karena memiliki pertumbuhan terbaik.

56
% pertumbuhan relatif = pertumbuhan planlet perlakuan – kontrol x 100%
kontrol
Perkiraan lama konservasi dibuat berdasarkan analisis regresi
pertumbuhan tinggi tunas, y = a + bx dimana y = tinggi tunas dan x = lama
konservasi (bulan). Tinggi tunas yang digunakan sebagai kontrol untuk subkultur
adalah tinggi tunas yang dikultur pada media MS + sukrosa 3%, pada planlet yang
berasal dari pucuk kecambah maupun tunas adventif. Pada pendugaan perlakuan
lain, digunakan tinggi kontrol untuk memperkirakan periode konservasi.
Subkultur planlet yang berasal dari pucuk kecambah dilakukan pada tinggi 5,5
cm. Tinggi tunas untuk tunas adventif didasarkan pada percobaan konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa, 3,04 cm (Bab 4).
Tujuh bulan setelah konservasi, planlet yang telah dipotong akarnya
dipindahkan ke dalam media pemulihan, berupa media MS + sukrosa 3% tanpa
zat pengatur tumbuh. Aklimatisasi dilakukan dengan menanam langsung planlet
di media campuran tanah liat : sekam : kompos = 2 : 1 : 1 dengan suhu lingkungan
20–25 oC, kelembaban 70–80% dan intensitas cahaya 50%. Peubah yang diamati
adalah persentase planlet yang membentuk daun baru setelah satu bulan
disubkultur pada media pemulihan dan persentase planlet yang tumbuh setelah
satu bulan aklimatisasi.

Hasil dan Pembahasan

Pertumbuhan tunas dan pembentukan daun pamelo pada konservasi dengan


menggunakan osmotikum dan retardan
Pertumbuhan planlet dan pembentukan daun dipengaruhi oleh macam
eksplan, macam media dan interaksi keduanya (Tabel Lampiran 5.1). Pada planlet
yang berasal dari tunas adventif, penambahan tinggi planlet dan jumlah daun
terbesar terdapat pada media MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol. Penambahan
tinggi dan jumlah daun terkecil terdapat pada media MS + sorbitol 2% +
paklobutrasol 15 ppm (Gambar 5.1 dan 5.2). Perbedaan pertumbuhan ini
disebabkan karena perbedaan komposisi media. Pada media yang mengandung
sukrosa, planlet dapat memanfaatkan sukrosa sebagai sumber karbon sehingga
efek osmotiknya berkurang seiring berjalannya waktu (Montalvo-Peniche et al.
2007). Di sisi lain, sorbitol sedikit dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan

57
energi pada jeruk (Thorpe et al. 2008), sehingga akan menyebabkan stres osmotik
yang menghambat pertumbuhan planlet. Disamping itu, paklobutrasol pada media
menghambat pemanjangan sel melalui penghambatan pada pembentukan giberelin
(Wang et al. 1986). Oleh karena itu planlet yang tumbuh pada kombinasi media
sorbitol dan paklobutrasol lebih terhambat pertumbuhannya dibandingkan dengan
yang dikonservasi pada media kombinasi sukrosa dengan paklobutrasol (Gambar
5.1).
Pada planlet yang berasal dari pucuk kecambah, penambahan tinggi
planlet antar perlakuan tidak berbeda nyata (Gambar 5.1, Tabel Lampiran 5.3).
Kemungkinan hal ini disebabkan kandungan sitokinin pada pucuk kecambah
relatif tinggi (Taiz dan Zeiger 2002), sehingga efek penghambatan pertumbuhan
dari sorbitol dan paklobutrasol menjadi tidak nyata.

Gambar 5.1 Penambahan tinggi tunas pamelo pada konservasi dengan osmotikum
dan retardan tujuh bulan setelah konservasi.

Penambahan jumlah daun terbanyak pada planlet yang berasal dari pucuk
kecambah dijumpai pada planlet pada media MS + sukrosa 3% tanpa
paklobutrasol. Penambahan jumlah daun terendah dijumpai pada media MS +
sorbitol 2% + paklobutrasol 15 ppm yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan
selain kontrol (Tabel Lampiran 5.3 Gambar 5.2). Kombinasi media sorbitol dan
paklobutrasol tampaknya menghambat pembentukan daun karena sorbitol yang
dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dan sumber karbon hanya sedikit
(Montalvo-Peniche et al. 2007), disamping itu paklobutrasol dapat menghambat
pemanjangan sel (Wang et al. 1986).

58
Gambar 5.2 Penambahan jumlah daun pamelo pada konservasi dengan osmotikum
dan retardan tujuh bulan setelah konservasi.

Pembentukan dan panjang akar pamelo pada konservasi dengan menggunakan


osmotikum dan retardan

Tunas pamelo mampu membentuk akar pada semua media konservasi yang
menggunakan osmotikum dan retardan. Kemampuan tunas membentuk akar pada
media konservasi, diduga karena auksin endogen pada planlet pamelo cukup
tinggi untuk insisasi akar, karena auksin berperan dalam inisiasi dan pembentukan
akar (Srivastava 2002).
Jumlah dan panjang akar dipengaruhi macam eksplan, macam media dan
interaksi keduanya (Tabel Lampiran 5.1, Gambar 5.3 dan 5.4 ). Jumlah akar
eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak berbeda nyata pada semua
kombinasi media. Pada eksplan yang berasal dari pucuk kecambah, jumlah akar
terbanyak terdapat pada media MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol, sedangkan
planlet pada media MS + sorbitol 2% tanpa paklobutrasol memiliki jumlah akar
paling sedikit, yang tidak berbeda nyata dengan jumlah akar pada media MS +
sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm (Tabel Lampiran 5.2 Gambar 5.3).
Pembentukan akar memerlukan energi dan sumber karbon, sehingga akar yang
terbentuk pada media tanpa sukrosa (sorbitol 2%) lebih sedikit dibanding pada
media yang diberi sukrosa.

59
Gambar 5.3 Jumlah akar pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan retardan
tujuh bulan setelah konservasi.
Akar terpanjang pada planlet yang berasal dari tunas adventif dijumpai
pada planlet di media MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol, sedangkan akar
terpendek dijumpai pada media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 15 ppm yang
tidak berbeda nyata dengan media lainnya yang mengandung paklobutrasol. Pada
eksplan yang berasal dari pucuk kecambah akar planlet yang tumbuh pada media
MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol lebih panjang dibandingkan akar planlet
pada media MS + sorbitol 2% tanpa paklobutrasol. Namun, panjang akar pada
media yang mengandung paklobutrasol tidak berbeda nyata antara yang diberi
sukrosa 3% dan sorbitol 2% (Tabel Lampiran 5.2 Gambar 5.4).
Berdasarkan pengamatan terhadap jumlah dan panjang akar pamelo
dengan konservasi menggunakan kombinasi osmotikum dan retardan tampak
bahwa perlakuan paklobutrasol tidak menghambat pembentukan akar, tetapi
hanya menghambat pemanjangan sel sehingga akar planlet pada perlakuan
paklobutrasol menjadi pendek, karena paklobutrasol tidak mengubah pola
perkembangan tanaman (Wang et al. 1986).

60
Gambar 5.4 Panjang akar pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan
retardan tujuh bulan setelah konservasi.

Anatomi akar pamelo


Pengamatan anatomi pada akar planlet menunjukkan bahwa akar planlet
pada kontrol (media MS + 3% sukrosa) berbeda dengan perlakuan lainnya
(Gambar 5.5). Akar planlet yang tumbuh pada media yang mengandung sorbitol
atau paklobutrasol memiliki lingkaran stele yang lebih tipis dibandingkan
kontrol, sehingga berkas pengangkutan yang terdapat di dalam stele (xilem dan
floem) juga lebih kecil. Hal ini disebabkan karena paklobutrasol menghambat
penebalan dinding sel floem yang menurunkan luas lingkaran xilem (Tsegaw et
al. 2005).

epidermis

kortek

endodermis

stele

a b

Gambar 5.5 Anatomi akar planlet pamelo pada konservasi dengan osmotikum dan
retardan. a. Media MS sukrosa 3%, b. Media mengandung sorbitol
dan atau paklobutrasol.
Diameter akar pada perlakuan tanpa paklobutrasol dapat mencapai 1,1 mm,
sedangkan diameter akar pada perlakuan dengan paklobutrasol lebih besar karena

61
dapat mencapai 2,4 mm. Hal serupa juga diamati pada kentang yang diberi
perlakuan paklobutrasol, pembesaran diameter akar disebabkan penebalan lapisan
kortek pada akar akibat perlakuan paklobutrasol (Tsegaw et al. 2005). Diduga hal
tersebut akan membatasi penyerapan air dan hara pada planlet pamelo yang
tumbuh pada media yang mengandung paklobutrasol, sehingga pertumbuhan
planlet terhambat.

Penampilan visual kultur

Hasil pengamatan menunjukkan tunas yang berasal dari pucuk kecambah dapat
terus tumbuh menjadi planlet pada semua media konservasi yang dicobakan.
Planlet pada media MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol (kontrol) memiliki
pertumbuhan terbaik, dengan bentuk daun normal. Sebaliknya, planlet yang
berasal dari pucuk kecambah pada media MS + sorbitol 2% tanpa paklobutrasol
memiliki daun lebih kecil, berwarna hijau muda, agak menggulung. Planlet yang
tumbuh pada media yang mengandung paklobutrasol mempunyai daun dengan
ukuran lebih kecil dibanding yang tumbuh pada media kontrol (Gambar 5.6).

a b c

d e f

Gambar 5.6 Keragaan visual planlet yang berasal dari pucuk kecambah pamelo
„Adas Duku‟ pada konservasi dengan osmotikum dan retardan a.
sukrosa 3% + paklobutrasol 0 ppm, b. sukrosa 3% + paklobutrasol
7,5 ppm, c. sukrosa 3% + paklobutrasol 15 ppm, d. sorbitol 2% +
paklobutrasol 0 ppm, e. sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm, f.
sorbitol 2% + paklobutrasol 15 ppm

62
Planlet yang berasal dari tunas adventif lebih lambat pertumbuhannya
dibandingkan yang berasal dari pucuk kecambah. Namun semua planlet memiliki
bentuk daun normal (Gambar 5.7).

a b c

d e f
Gambar 5.7 Keragaan visual planlet yang berasal dari tunas adventif pamelo
„Adas Duku‟ tujuh bulan setelah konservasi dengan osmotikum dan
retardan a. sukrosa 3% + paklobutrasol 0 ppm, b. sukrosa 3% +
paklobutrasol 7,5 ppm, c. sukrosa 3% + paklobutrasol 15 ppm, d.
sorbitol 2% + paklobutrasol 0 ppm, e. sorbitol 2% + paklobutrasol
7,5 ppm, f. sorbitol paklobutrasol 15 ppm

Stres osmotik dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan perubahan


bentuk dan fisiologi tanaman seperti daun mengalami distorsi, menggulung dan
klorosis. Hal ini dijumpai pada konservasi Capsicum chinnense Jacq. in vitro pada
media dengan osmotik tinggi (Montalvo-Peniche et al. 2007). Pada percobaan ini
planlet yang berasal dari pucuk kecambah yang tumbuh pada media sorbitol tanpa
paklobutrasol, tampak berwarna hijau muda dengan daun lebih kecil dan agak
menggulung. Namun pemberian paklobutrasol dapat meningkatkan ketahanan
planlet terhadap stres osmotik, karena penghambatan pembentukan giberelin
akibat perlakuan paklobutrasol menyebabkan akumulasi senyawa antara, seperti
phytol yang merupakan komponen klorofil, meningkat sehingga pertumbuhan
menjadi lebih baik (Chaney 2004). Hal ini terlihat pada planlet yang tumbuh pada
media yang mengandung sorbitol dan diberi perlakuan paklobutrasol, dimana
selain pertumbuhan tunas, jumlah dan panjang akar meningkat, juga warna batang
dan daun menjadi lebih hijau dibandingkan dengan planlet yang tidak diberi
perlakuan paklobutrasol.

63
Pertumbuhan relatif planlet

Osmotikum dan retardan pada media menghambat pertumbuhan planlet


karena terjadi penghambatan penyerapan hara dan pemanjangan sel. Hasil
perbandingan pertumbuhan relatif menunjukkan bahwa planlet pada media selain
kontrol (MS + sukrosa 3%) menunjukkan pertumbuhan yang lebih lambat, seperti
tampak pada jumlah daun (Gambar 5.8), panjang tunas (Gambar 5.9), jumlah akar
(Gambar 5.10) dan panjang akar (Gambar 5.11).
Pembentukan daun pada planlet yang berasal dari tunas adventif lebih
terhambat dibandingkan planlet yang berasal dari pucuk kecambah. Planlet yang
paling terhambat pembentukan daunnya terjadi pada media yang mengandung
sorbitol 2% + paklobutrasol 15 ppm, sedang yang paling sedikit terhambat
pembentukan daunnya dijumpai pada media sukrosa 3% + paklobutrasol 7,5 ppm
(Gambar 5.8)

Gambar 5.8 Persentase pertumbuhan relatif jumlah daun pamelo pada konservasi
dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi.
Pertumbuhan tunas pada planlet yang berasal dari tunas adventif lebih
terhambat dibandingkan planlet yang berasal dari pucuk kecambah. Planlet yang
paling terhambat pertumbuhannya terjadi pada media yang mengandung sorbitol
2% + paklobutrasol 15 ppm, sedangkan planlet yang berasal dari pucuk kecambah
pada media sukrosa 3% + paklobutrasol 7,5 ppm paling sedikit mengalami
hambatan pertumbuhan tinggi (Gambar 5.9).

64
Gambar 5.9 Persentase pertumbuhan relatif tunas pamelo pada konservasi dengan
osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah konservasi.
Pembentukan akar pada planlet yang berasal dari tunas adventif lebih
terhambat dibandingkan planlet yang berasal dari pucuk kecambah. Planlet yang
paling terhambat pembentukan akarnya terjadi pada media MS yang mengandung
sorbitol 2%, sedangkan planlet yang berasal dari pucuk kecambah pada media MS
+ sukrosa 3% + paklobutrasol 15 ppm paling sedikit mengalami hambatan
pembentukan akar (Gambar 5.10)

Gambar 5.10 Persentase pertumbuhan relatif pembentukan akar pamelo pada


konservasi dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah
konservasi.
Pertumbuhan akar pada planlet yang berasal dari tunas adventif dan pucuk
kecambah terhambat lebih dari 50%. Planlet yang paling terhambat pemanjangan
akarnya terjadi pada media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm, sedangkan
planlet yang berasal dari pucuk kecambah pada media MS + sukrosa 3% +

65
paklobutrasol 15 ppm paling sedikit mengalami hambatan pemanjangan akar
(Gambar 5.11)

Gambar 5.11 Persentase pertumbuhan relatif panjang akar pamelo pada


konservasi dengan osmotikum dan retardan tujuh bulan setelah
konservasi.
Berdasar persen pertumbuhan relatif dan visual kultur maka eksplan dan
media yang sesuai untuk konservasi pamelo menggunakan osmotikum dan
retardan adalah tunas adventif dengan media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol
7,5 ppm. Persen penghambatan pertumbuhan pada perlakuan tersebut untuk
jumlah daun sebesar 84,8%, tinggi tunas sebesar 65,1%, panjang akar sebesar
81% dan jumlah akar sebesar 20%.

Pemulihan dan aklimatisasi kultur setelah konservasi

Pemulihan planlet setelah tujuh bulan konservasi dilakukan melalui


subkultur di media MS0. Semua planlet yang berasal dari tunas adventif mampu
membentuk daun baru setelah satu bulan pemulihan. Namun, regenerasi planlet
yang berasal dari pucuk kecambah berbeda-beda menurut asal media. Hal ini
disebabkan karena perlakuan sorbitol dan paklobutrasol menunjukkan pengaruh
langsung pada daun-daun yang terbentuk pada planlet yang berasal dari pucuk
kecambah yang menjadi lebih kecil dan agak menggulung, sehingga ketika planlet
disubkultur ke media pemulihan maka energi yang ada pada media yang baru
digunakan untuk memulihkan bentuk daun daripada untuk membentuk daun baru
(Tabel 5.1).

66
Tabel 5.1 Pemulihan dan aklimatisasi pamelo „Adas Duku‟ setelah konservasi
menggunakan osmotikum dan retardan
Macam Asal Media Perlakuan Konservasi
Peubah yang eksplan Sukrosa 3% Sorbitol 2%
diamati Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo
0 ppm 7,5 ppm 15 ppm 0 ppm 7,5 ppm 15 ppm
Planlet Pucuk
membentuk kecambah 66,7ab 66,7ab 66,7ab 0,0d 33,3c 50,0ac
daun baru 1 Tunas
BSK pemulihan adventif 100a 100a 100a 100a 100a 100a
% tumbuh Pucuk
setelah kecambah 100 100 100 30 100 100
aklimatisasi Tunas
adventif 100 100 100 100 100 100
Keterangan : enam planlet. paklo = paklobutrazol. BSK = Bulan setelah kultur
Semua planlet dapat diaklimatisasi, kecuali planlet pada media MS +
sorbitol 2% karena klorosis (Tabel 5.1). Keberhasilan aklimatisasi ditentukan
oleh kondisi planlet dan media aklimatisasi. Umumnya, tanaman hasil kultur in
vitro dicirikan dengan pembentukan lilin epikutikular yang berkurang yang
menyebabkan transpirasi berlebihan ketika diaklimatisasi (Hazarika et al. 2002).
Untuk itu, diperlukan media yang dapat menjaga suplai air untuk tanaman. Media
dengan campuran tanah liat, sekam dan kompos mampu memelihara kelembaban
media dan suplai air pada tanaman yang diaklimatisasi. Perlakuan paklobutrasol
juga dapat meningkatkan keberhasilan aklimatisasi, karena paklobutrasol dapat
mempertebal lapisan lilin epikutikular dan epidermis daun (Tsegaw et al. 2005),
sehingga dapat mengurangi transpirasi pada daun jeruk saat aklimatisasi.

Perkiraan lama konservasi

Perkiraan lama konservasi dibuat berdasarkan analisis regresi terhadap


panjang tunas dengan menggunakan planlet pada media MS + sukrosa 3% tanpa
paklobutrasol sebagai kontrol. Perkiraan lama konservasi perlakuan lain dihitung
berdasarkan analisis regresi dengan panjang tunas kontrol sebagai penduga
disajikan pada Tabel 5.2. Planlet yang berasal dari pucuk kecambah pada media
MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol sebagai kontrol, disubkultur setelah
tingginya mencapai 5,5 cm. Planlet yang berasal dari tunas adventif pada media
MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol sebagai kontrol, disubkultur setelah
tingginya mencapai 3,04 cm (berdasar percobaan sebelumnya, yaitu konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa).

67
Tabel 5.2 Perkiraan waktu konservasi pamelo pada setiap media konservasi
dengan osmotikum dan retardan
Media Persamaan regresi Perkiraan lama
pertumbuhan konservasi
tunas (bulan)
Pucuk kecambah
Sukrosa 3% paklobutrasol 0 ppm y = 1 + 0,426x 10,2
Sukrosa 3% paklobutrasol 7,5 ppm y = 1 + 0,339x 13,2
Sukrosa 3% paklobutrasol 15 ppm y = 1 + 0,334x 14.2
Sorbitol 2% paklobutrasol 0 ppm y = 1 + 0,257x 17.2
Sorbitol 2% paklobutrasol 7,5 ppm y = 1 + 0,256x 18.3
Sorbitol 2% paklobutrasol 15 ppm y = 1 + 0,309x 15.2
Tunas adventif
Sukrosa 3% paklobutrasol 0 ppm y = 0,2 + 0,271x 15,2
Sukrosa 3% paklobutrasol 7,5 ppm y = 0,2 + 0,195x 17,8
Sukrosa 3% paklobutrasol 15 ppm y = 0,2 + 0,057x 24,2
Sorbitol 2% paklobutrasol 0 ppm y = 0,3 + 0,151x 19,2
Sorbitol 2% paklobutrasol 7,5 ppm y = 0,2 + 0,095x 22,2
Sorbitol 2% paklobutrasol 15 ppm y = 0,2 + 0,095x 31,2
Keterangan: y = a + bx dengan y = tinggi tunas kontrol saat subkultur dan x = perkiraan lama
konservasi. Tinggi tunas kontrol (MS + sukrosa 3% tanpa paklobutrasol) saat sub
kultur dari planlet yang berasal dari pucuk kecambah 5,5 cm, sedangkan planlet
yang berasal dari tunas adventif 3,04 cm.
Hasil perhitungan menunjukkan planlet yang berasal dari pucuk kecambah
dapat dikonservasi selama 10,2 sampai 18,3 bulan, sedangkan planlet yang berasal
dari tunas adventif dapat dikonservasi selama 15,2 sampai 31,2 bulan. Planlet
pada media konservasi terbaik pada metode ini, yaitu tunas adventif yang
dikonservasi pada media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 persen dapat
dikonservasi selama 22,2 bulan (Tabel 5.2). Planlet yang tumbuh lambat pada
media ini diduga karena planlet terinduksi menjadi bersifat autotrof (Thorpe et al.
2008), sedangkan perlakuan paklobutrasol dapat meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap stres osmotik maupun stres karena adanya radikal bebas dalam
botol kultur selama periode konservasi.

68
Simpulan

1. Berdasarkan pertumbuhan relatif dan visual planlet maka media konservasi


untuk pamelo dengan menggunakan kombinasi osmotikum dan retardan yang
terbaik adalah media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm.
2. Eksplan terbaik untuk konservasi pamelo pada media MS + sorbitol 2% +
paklobutrasol 7,5 ppm adalah tunas adventif.
3. Planlet yang berasal dari tunas adventif yang dikultur pada media MS +
sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm diperkirakan dapat dikonservasi selama
22,2 bulan.

Saran

Konservasi pamelo dengan media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm


dapat digunakan untuk mendapatkan koleksi plasma nutfah dalam kondisi tumbuh
lambat namun memiliki keragaan visual planlet yang normal dan proporsional
dengan daun yang hijau dan dapat dipulihkan dengan cepat.

69
6. PEMBAHASAN UMUM

Organogenesis dan Konservasi Pamelo

Organogenesis diperlukan untuk memperoleh tunas sebagai sumber


eksplan untuk konservasi pamelo in vitro melalui pertumbuhan lambat.
Penggunaan tunas sebagai eksplan pada konservasi in vitro akan mempermudah
pemulihan dan penggunaannya setelah konservasi (Botau et al. 2005).
Keberhasilan organogenesis in vitro tergantung pada berbagai faktor, meliputi
status fisiologi sumber eksplan, macam dan umur eksplan, komposisi media, jenis,
konsentrasi dan keseimbangan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan (Gaba
2005). Tunas sebaiknya diperoleh dari organogenesis langsung karena perubahan
genetik yang terjadi pada pembentukan tunas secara langsung tanpa melalui
pembentukan kalus relatif kecil (Trigiano dan Gray 2005). Organogenesis secara
langsung dapat dilakukan dengan menginduksi tunas adventif pada eksplan yang
bersifat meristematik, misalnya dari daun, akar, dan epikotil tunas in vitro pamelo.
Pada penelitian ini, eksplan yang berasal dari daun, akar dan epikotil
pamelo dapat membentuk tunas adventif secara langsung (Bab 3). Tunas adventif
diduga berasal dari sel-sel prokambial yang bersifat meristematik (Trigiano dan
Gray 2005, Schwart et al. 2005). Dari analisis histologi, tampak bahwa tunas
adventif yang terbentuk di epikotil berasal dari jaringan kambium (Gambar 3.6).
Sebagai tanaman dikotil, pamelo memiliki kambium yang terletak antara xilem
dan floem. Kedua berkas pembuluh ini merupakan tempat untuk translokasi
hormon tanaman (Davies 2004), yang perimbangannya dapat mempengaruhi sel-
sel di dekatnya terutama sel-sel prokambial (Rose et al. 2006). Rasio auksin
sitokinin yang rendah akan menginduksi pembentukan tunas adventif, sedangkan
rasio yang tinggi menginduksi pembentukan akar adventif (Gaba 2005).
Tunas adventif pada eksplan daun terbentuk pada rasio auksin/sitokinin
yang lebih rendah. Penurunan rasio auksin sitokinin memerlukan penambahan
sitokinin eksogen, karena daun merupakan tempat yang menghasilkan auksin
(Davies 2004). Pada percobaan ini penambahan BAP 1 ppm pada media MS dapat
menginduksi pembentukan tunas pada eksplan daun pamelo (Gambar 3.1C), tetapi
pemberian sitokinin eksogen dalam jumlah yang lebih besar akan menginduksi
aktivitas enzim sitokinin oksidase yang berperan memelihara keseimbangan
hormon sitokinin dalam tanaman dengan mengoksidasi sitokinin bila tidak
diperlukan (Staden et al. 2008), sehingga pemberian sitokinin BAP 2 ppm tidak
memberikan respon pada eksplan daun pamelo (Tabel 3.1)
Akar pamelo dapat membentuk tunas karena akar merupakan tempat
sintetis sitokinin dalam bentuk bebas pada tanaman (Taiz dan Zeiger 2002).
Kandungan sitokinin endogen pada eksplan akar dan epikotil pamelo diduga
cukup tinggi sehingga mampu menginisiasi pembentukan tunas pada media MS0
dan mampu memelihara pertumbuhan tunas untuk tumbuh normal. Namun, tunas-
tunas yang dihasilkan dari daun dan akar tidak sesuai untuk konservasi karena
memerlukan waktu inisiasi lama dan pertumbuhannya lambat.
Posisi eksplan mempengaruhi pembentukan akar dan tunas. Eksplan
epikotil pamelo yang ditanam vertikal lebih cepat menghasilkan tunas dibanding
eksplan yang ditanam horisontal (Bab 3). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan
translokasi auksin yang bersifat polar dan basipetal (Srivastava 2002), sehingga
membuat rasio auksin/sitokinin pada bagian ujung eksplan menurun, yang
menginduksi pembentukan tunas. Selain itu posisi eksplan vertikal juga membuat
penyerapan hara dan air pada eksplan lebih efisien (Peer et al. 2011), yang
menyebabkan pembentukan tunas yang lebih cepat dan lebih baik. Demikian juga
penanaman eksplan epikotil di ruang terang lebih baik dan efektif dibanding di
ruang gelap, karena tunas adventif yang terbentuk tidak mengalami etiolasi seperti
yang terjadi di ruang gelap. Tunas yang etiolasi umumnya sukar untuk dipulihkan.
Oleh karena itu, penggunaan eksplan epikotil yang dikultur secara vertikal pada
media MS0 di ruang terang merupakan cara yang paling efektif untuk
mendapatkan tunas adventif pamelo sebagai sumber bahan eksplan untuk
konservasi pamelo.

Hubungan Pengurangan Konsentrasi Media dan Sukrosa pada Konservasi


Pamelo
Media MS berisi unsur makro, mikro dan vitamin (Beyl 2005) yang paling
sesuai dan paling sering digunakan dalam kultur in vitro. Komposisi media
berpengaruh terhadap pertumbuhan karena menentukan jumlah nutrisi yang akan
diperoleh kultur selama periode konservasi. Disamping hara, pertumbuhan kultur

71
yang dikonservasi juga ditentukan oleh konsentrasi sukrosa dalam media, karena
sukrosa berperan sebagai sumber energi dan sumber karbon bagi kultur (Javed dan
Ikram 2008), dan regulator siklus sel (Gahan 2007).
Konservasi in vitro dengan pertumbuhan lambat melalui penurunan
konsentrasi media MS dan sukrosa dilakukan untuk menghambat pertumbuhan
planlet sehingga dapat memperpanjang jarak subkultur. Ketersediaan hara pada
konsentrasi yang lebih rendah akan mempengaruhi pertumbuhan. Pada penelitian
ini tampak bahwa konservasi dengan penurunan konsentrasi media MS menjadi
setengahnya yang dikombinasikan dengan penurunan konsentrasi sukrosa dari 3%
menjadi 0% tetap dapat membuat eksplan tumbuh, namun secara lambat. Planlet
yang diberi perlakuan pengurangan nutrisi dan energi akan melakukan efisiensi
(Marschner 1995). Planlet pada percobaan dengan menggunakan media ½ MS
melakukan efisiensi dengan mengurangi pembentukan daun dan panjang tunas,
namun jumlah dan panjang akar sebagai sarana penyerapan hara meningkat (Tabel
6.1). Penurunan konsentrasi sukrosa nyata menghambat pertumbuhan planlet
(Gambar 4.7).
Tabel 6.1 Persentase pertumbuhan relatif pamelo „Adas Duku‟ pada konservasi
dengan penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa tujuh bulan
setelah konservasi
Konsentrasi Konsentrasi sukrosa
Peubah Media 0% 1% 2% 3%
............% pertumbuhan relatif ........
Panjang tunas 1/2MS -79,2 -75,0 -66,7 -70,8
MS -75,0 -41,7 -41,7 0,0 (kontrol)
Penambahan daun 1/2MS -49,4 -23,5 -32,1 -38,3
MS -37,0 -33,3 -8,6 0,0 (kontrol)
Panjang akar 1/2MS -27,2 -13,6 +55,7 42,7
MS -49,4 -5,2 -19,6 0,0 (kontrol)
Jumlah akar 1/2MS +7,1 +35,7 +21,4 14,3
MS 0,0 -14,3 +21,4 0,0 (kontrol)
Keterangan : Tanda (-) = pertumbuhan menurun, tanda (+) = pertumbuhan meningkat

Pada tanaman yang kekurangan sukrosa, siklus sel akan berjalan lambat,
sehingga pembelahan sel berjalan lambat karena sukrosa juga berperan dalam
menginduksi siklus sel (Gahan 2007, Dewitte dan Murray 2002). Konsentrasi
sukrosa yang rendah juga akan membatasi pembesaran sel akibat terbatasnya
energi dan sumber karbon (Dewitte dan Murray 2002). Pembatasan terjadinya

72
siklus sel dan pembesaran sel akan menyebabkan pertumbuhan tanaman
terhambat. Hal ini tampak pada penurunan persentase pertumbuhan relatif planlet
pada berbagai media dibandingkan media MS + sukrosa 3% yang digunakan
sebagai kontrol (Tabel 6.1).
Persentase pertumbuhan relatif yang rendah, tetapi dengan keragaan visual
kultur yang tetap berwarna hijau dihasilkan oleh planlet pada media MS tanpa
sukrosa, sehingga media ini merupakan media terbaik untuk konservasi pamelo
dengan metode penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa. Hal yang
menyebabkan planlet dapat tumbuh pada media MS tanpa sukrosa selama periode
konservasi diduga karena planlet pada media tanpa sukrosa dapat bersifat autotrof
dan dapat membentuk klorofil (Thorpe et al. 2008). Proses fotosintesis dapat
berlangsung dengan menggunakan CO2 yang terbentuk dari hasil respirasi selama
periode konservasi. Namun pertumbuhan terjadi secara lambat, akibat hasil
fotosintesisnya digunakan untuk mengatasi cekaman terhadap kekurangan energi
(sukrosa) dan cekaman radikal bebas yang terbentuk pada botol kultur (Thorpe et
al. 2008). Oleh karena itu, metode konservasi dengan media MS tanpa sukrosa
ini mungkin merupakan metode konservasi yang hemat biaya karena tidak
memerlukan substansi lain selain media MS. Selain itu diperkirakan, dengan
media ini planlet dapat dikonservasi selama 30,7 bulan atau 2,5 tahun.

Hubungan antara Osmotikum dan Retardan pada Konservasi Pamelo

Dalam konservasi in vitro, osmotikum dapat digunakan untuk menurunkan


potensial osmotik pada media sehingga aliran hara ke jaringan planlet berjalan
lambat (Thorpe et al. 2008). Pada penelitian ini, sukrosa dan sorbitol digunakan
baik sebagai sumber karbon dan energi maupun sebagai osmotikum. Secara umum
pertumbuhan planlet yang diberi sorbitol lebih rendah dibandingkan dengan yang
diberi sukrosa (Bab 5). Hal ini diduga disebabkan karena pamelo tidak dapat
mengkonversi sorbitol, karena tidak semua tanaman dapat mengkonversi sorbitol
(Montalvo-Peniche et al. 2007). Tampaknya pamelo kekurangan enzim untuk
mengkonversi sorbitol. Selain itu, keberadaan sorbitol yang tidak dapat dikonversi
pada media dapat menyebabkan stres osmotik dan memperlambat penyerapan
hara.

73
Kombinasi osmotikum dan retardan menyebabkan pertumbuhan planlet
melambat terutama pada pemanjangan tunas dan akar serta pembentukan daun,
tetapi membuat diameter akar menjadi lebih besar (Gambar 5.7). Paklobutrasol
menekan pertumbuhan melalui penghambatan salah satu dari tiga tahap lintasan
terpenoid yang menghasilkan giberelin yaitu pembentukan ent-kaurenol, ent-
kaurenal dan ent-kaurenoic acid. Penghambatan dapat melalui pengikatan dengan
enzim atau menghambat kerja enzim yang mengkatalisis reaksi pembentukan
giberelin (Wang et al. 1986). Pada akar, paklobutrasol menyebabkan penebalan
lapisan kortek yang menyebabkan diameter akar membesar, namun menghambat
penebalan dinding sel floem sehingga menurunkan luas lingkaran xilem (Tsegaw
et al. 2005). Luas lingkaran berkas pembuluh yang menyempit pada akar
mempengaruhi translokasi karbohidrat, hara dan air. Oleh karena itu planlet yang
tumbuh pada media yang mengandung sorbitol dan paklobutrasol lebih terhambat
pertumbuhannya bila dibandingkan dengan planlet yang tumbuh pada media MS
+ sukrosa 3% (Tabel 6.2).
Tabel 6.2 Persentase pertumbuhan relatif pamelo „Adas Duku‟ pada konservasi
menggunakan media osmotikum dan retardan pada tujuh bulan setelah
konservasi
Peubah Macam Media
yang Eksplan Sukrosa 3% Sorbitol 2%
diamati
Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo
0 ppm 7,5 ppm 15 ppm 0 ppm 7,5 ppm 15 ppm
.................. % pertumbuhan relatif..............................
Jumlah Pucuk 0 -25,43 -38 -56 -50.8 -56
daun
Tunas 0 -7,69 -62 -38 -84,6 -100
Tinggi Pucuk 0 -11,54 -15 -31 -34,6 -23
planlet Tunas 0 -22,67 -75 -46 -65,1 -87
Panjang Pucuk 0 -53,12 -51 -88 -89,9 -70
akar Tunas 0 -84,62 -79 -68 -81 -92
Jumlah Pucuk 0 -53,57 -57 -93 -75 -64
akar Tunas 0 -20 0 -30 -20 -50
Keterangan : Kontrol = MS + sukrosa 3% + paklobutrasol 0 ppm.
Tanda (-) = pertumbuhan menurun

Berdasarkan pertumbuhan relatif dan visual planlet setelah tujuh bulan


konservasi, maka eksplan dan media konservasi dengan osmotikum dan retardan
yang paling baik untuk pamelo adalah tunas adventif dengan media MS + sorbitol

74
2% + paklobutrasol 7,5 ppm. Planlet pada media konservasi tersebut diperkirakan
dapat dikonservasi selama 22,2 bulan. Bila dibandingkan dengan penelitian
pertama yaitu planlet yang dikonservasi pada media MS tanpa sukrosa, planlet
pada media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm tampak lebih hijau dan
vigor. Pada saat pemulihan juga daun baru lebih cepat terbentuk pada planlet
tunas adventif asal MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm, sehingga pada satu
bulan setelah pemulihan semua planlet memiliki daun baru (100%). Selain itu,
planlet dengan perlakuan paklobutrasol juga memiliki lapisan epikutikular dan
epidermis yang lebih tebal (Hazarika 2003), sehingga dapat meningkatkan
keberhasilan aklimatisasi.

Pemulihan dan Aklimatisasi Planlet Pamelo


Pemulihan planlet dilakukan dengan subkultur pada media MS0. Setelah
melewati masa konservasi, planlet dapat membentuk daun baru satu bulan setelah
disubkultur pada media pemulihan. Hal ini menunjukkan bahwa media konservasi
tetap dapat menjaga kemampuan kultur untuk tumbuh setelah konservasi selama
tujuh bulan.
Aklimatisasi planlet pamelo setelah perlakuan konservasi memperlihatkan
tingkat keberhasilan yang tinggi. Kegagalan aklimatisasi biasanya disebabkan
transpirasi pada planlet karena tanaman hasil kultur in vitro biasanya memiliki
dinding sel tipis, stomata besar, dan kandungan klorofil rendah (Ziv dan Chen
2008) serta lapisan lilin epikutikular daun yang tipis (Hazarika 2003) karena itu
fotosintesis terbatas sedangkan transpirasi yang terjadi berlebihan. Oleh karena itu
dalam kegiatan aklimatisasi diperlukan tempat yang lembab dan media
aklimatisasi yang mampu menahan air sehingga pasokan air untuk tanaman pada
periode aklimatisasi tetap terjaga, tanpa memerlukan penyiraman yang intensif.
Tanah liat yang digunakan sebagai komponen media aklimatisasi pamelo mampu
menahan air, sehingga dapat mengimbangi kehilangan air akibat proses transpirasi
yang berlebihan pada saat aklimatisasi.

75
7. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Penggunaan eksplan epikotil pamelo yang dikultur secara vertikal pada media
MS0 di tempat terang, merupakan cara yang paling efektif dibandingkan
penggunaan eksplan daun dan akar, untuk mendapatkan tunas adventif melalui
organogenesis secara langsung.
2. Media terbaik dengan menggunakan metode konservasi in vitro berdasarkan
penurunan konsentrasi media MS dan sukrosa adalah media MS tanpa sukrosa,
yang diperkirakan dapat mengkonservasi pamelo selama 30,7 bulan.
3. Eksplan dan media terbaik pada metode konservasi in vitro dengan penggunaan
osmotikum dan retardan adalah eksplan yang berasal dari tunas adventif
dengan media MS + sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm yang diperkirakan
dapat mengkonservasi pamelo selama 22,2 bulan.

Saran

1. Berdasarkan pertumbuhan relatif dan visual kultur yaitu planlet normal yang
lebih hijau dan vigor sehingga dapat dipulihkan lebih cepat, maka media MS +
sorbitol 2% + paklobutrasol 7,5 ppm merupakan media yang lebih tepat
digunakan untuk konservasi pamelo dibandingkan dengan media MS tanpa
sukrosa.
2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang uji stabilitas genetik pada planlet setelah
konservasi.
DAFTAR PUSTAKA

Ali S, Mirza B. 2006. Micropropagation of rough lemon (Citrus jambhiri Lush.):


Effect of explant type and hormone concentration. Acta Bot Croatia 65:
137-146.
Almeida WAB de, Filho FAAM, Mendes BMJ, Rodriguez APM. 2002. In vitro
organogenesis: optimatization and plantlet regeneration in Citrus sinensis
and C. limonia. Scient Agric.59 : 35-40.
Anonim. 2007. Brosur Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat. Departemen
Pertanian.
Ara N, Bashar MK, Uddin MK, Khalequzzaman KM. 2008. Evaluation of
pummelo (Citrus grandis L.) cultivars in northern area of Bangladesh. J
Agric Res 46: 65-75.
Bessembinder JJE, Staritsky G, Zandvoort EA. 1993. Longterm in vitro storage of
Colocasia esculenta under minimal growth conditions. Plant Cell Tissue
Organ Cult 33:121-127.
Beyl CA. 2005. Getting Started with Tissue Culture: Media Preparation, Sterile
Technique, and Laboratory Equipment. Di dalam Trigiano RN, Gray DJ,
editor. Plant Development and Biotechnology. New York: CRC Press. hlm
11-37.
Botau D, Danci M, Danci O. 2005. In vitro medium term preservation of different
romanian landraces. Acta Biol Szegediensis 499 : 41-42.
Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL. 2000. Biochemistry and Molecular
Biology of Plant. New York: American Society of Plant Physiologists.
Campbell NA, Reece JB, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky PV,
Jackson RB. 2008. Biology (8th ed.). San Francisco: Pearson, Benjamin
Cummings. hlm 827–830.
Carimi F, Pasquale F de, D‟Onghia AM. 2012. Conservation strategies of Citrus
germplasm: in vitro and in vivo. Options Mediterraneennes, Serie B n.
33: 67-72. http://ressources.ciheam.org/om/pdf/b33/02001695.pdf 1
Maret 2012.
Catană R, Mitoi EM, Helepciuc F, Holobiuc I. 2010. In vitro conservation under
slow growth conditions of two rare plant species from Caryophyllaceae
family. Elec J Biol 6: 86-91.
Chaney WR. 2004. Paclobutrazol: More than just a growth retardant. Pro-Hort
Conference, Peoria, Illinois, February 4th 2004. http://www.ina-
online.org/prohort/TreeGrowth.pdf 20 April 2009.
Davies PJ. 2004. The plant hormones : Their Nature, Occurrence, and Functions.
Di dalam: Davies PJ, editor. Plant Hormones Biosynthesis, Signal
Transduction, Action! London: Kluwer Academic Publisher. hlm 1-35.
Desbrunais AB, Noirot M, Charrier A. 1992. Slow growth in vitro conservation
of coffee (Coffea spp.). Plant Cell Tissue Organ Cult 31:105-110.
Dewi IS, Jawak G, Roostika I, Sabda M, Purwoko BS, Adil WH. 2010.
Konservasi in vitro tanaman jeruk besar (Citrus maxima (Burm.) Merr.)
kultivar Sri Nyonya menggunakan osmotikum dan retardan. J Agro Biogen
6 : 84-90.
Dewi N. 2002. Perbanyakan dan Pelestarian Plasma Nutfah Talas (Colocasia
esculenta (L.) Schott) secara In vitro [tesis]. Bogor: Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Dewitte W, Murray J. 2002. Regulation of cell division in plants. Di dalam:
Mcmanus MT, Veit BE, editor. Meristematic Tissues in Plant Growth and
Development. London: Sheffield Academic Press. hlm 255-278.
Dianxiang Z, Mabberley DJ. 2008. Citrus Linnaeus, Sp. Pl. 2: 782. 1753.
Fl Ch 11: 90–96. http://flora.huh.harvard.edu/china/PDF/PDF11/
Citrus.pdf. (2 Mei 2011).
Gaba VP. 2005. Plant growth regulators in plant tissue culture and development.
Di dalam Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and
Biotechnology. New York: CRC Press. hlm 87-99.
Gahan PB, George EF. 2008. Adventitious Regeneration. Di dalam: George EF,
Hall MA, De Klerk GJ, editor. Plant Propagation by Tissue Culture Vol. I.
The Background. Dordrecht: Springer. p 355–402.
Gahan PB. 2007. Totipotency and the cell cycle. Di dalam: S.M. Jain dan H.
Häggman (eds). Protocols for Micropropagation of Woody Trees and
Fruits. The Netherlands : Springer. p 3-14.
Hamilton A, Hamilton P. 2006. Plant Conservation: An Ecosystem Approach.
USA: Earthscan. 324 p.
Hazarika BN, 2003. Acclimatization of tissue cultured plants. Curr Sci 85: 1704-
1711.
Hazarika BN, Parthasarathy VA, Nagaraju V. 2002. Action of paclobutrazol in
acclimatizing micropropagated citrus planlets. Indian J Agric Res, 36 : 57–
60.
Hilae A, Te-chato S. 2005. Effects of carbon sources and strength of MS medium
on germination of somatic embryos of oil palm (Elaeis quineensis Jacq.).
Songklanakarin J Sci Technol 27(Suppl. 3) : 629-635.
Hossain MA, Hossain MT, Ali MR, Rahman SMM. 2005. Effect of different
carbon sources on in vitro regeneration of Indian Pennywort (Centella
asiatica L.). Pak J Biol Sc 8: 963-965.
Hu CY, Wang PJ 1983. Meristem, shoot tip, and bud culture. Di dalam: Evans
DA, Sharp WR, Amirato PV, Yamada Y, editor. Handbook of Plant Cell
Culture Vol. I Techniques for Propagation and Breeding. New York:
McMilan Publishing. hlm 177-227.
Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. 625 hlm

78
Ibrahim MSD. 2005. Pengaruh pemberian paklobutrasol terhadap pertumbuhan
Bangle (Zingiber purpureum) dalam penyimpanan in vitro. Bul Tan
Rempah dan Obat 16: 49-55.
Imin N, Nizamidin M, Wu T, Rolfe BG. 2007. Factors involved in root formation
in Medicago trunculata. J Exp Bot 58: 439-451.
Javed F, Ikram S. 2008. Effect of sucrose induced osmotic stress on callus growth
and biochemical aspect of two wheat genotypes. Pak J Bot 40: 1487-1495.
Kane ME. 2005. Shoot culture procedures. Di dalam Trigiano RN, Gray DJ,
editor. Plant Development and Biotechnology. New York: CRC Press. hlm
145-172.
Kartha KK. 1985. Meristem culture and germplasm preservation. Di dalam Kartha
KK, editor. Cryopreservation of Plant Cell and Organs. Florida: Cue
Press. hlm 116-134.
Khan EU, Fu XZ, Wang J, Fan QJ, Huang XS, Zhang GN, Shi J, Liu JH. 2009.
Regeneration and characterization of plants derived from leaf in vitro
culture of two sweet orange (Citrus sinensis (L.) Osbeck) cultivars. Scient
Hort 120: 70-76.
Leunufna S. 2004. Improvement of the in vitro maintenance and cryopreservation
of yams (Dioscorea spp.) [Dissertation]. Berlin: Martin-Luther–
Universitat Halle-Wittenberg. Unpublished. 12 p.
Mabberley DJ. 1997. A classification for edible Citrus. Telopea 7: 167–172.
Machakova I, Zazimalova E, George EF. 2008. Plant growth regulator I:
Introduction, Auxin, their analogues and inhibitor. Di dalam George EF,
Hall MA, De Klerk GJ, editor. Plant Propagation by Tissue Culture Vol. I
The Background. Dordrecht: Springer. hlm 175-204.
Manner HI, Buker RS, Smith VE, Ward D, Elevitch CR. 2006. Citrus (citrus)
and Fortunella (kumquat), Rutaceae (true family). Species Profiles for
Pacific Island Agroforestry. www.traditionaltree.org. 12 Des 2009.
Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plant. Cambridge: Academic
Press. 859 hlm.
Milfont ML, Martins JMF, Antonino ACD, Gouveia ER, Netto AM, Guiné V,
Mas H, Freire MBGS. 2008. Reactivity of the plant growth regulator
paclobutrazol (Cultar) with two tropical soils of the northeast semiarid
region of Brazil. J. Environ. Qual. 37:90–97.
Moges AD, Karam NS, Shibli RA. 2003. Slow growth in vitro of African violet
(Saintpaulia ionantha Wendl.) shoot tips. Adv Hort Sci 17:1-8.
Montalvo-Peniche MC, Iglesias-Andreu LG, Mijangos-Cortes JO, Nahuat-Dzib
SL, Barahona-Perez F, Canto-Flick A, Santana-Buzzy N. 2007. In vitro
germplasm conservation of Habanero Pepper (Capsicum chinense Jacq.).
HortSci 42: 1247-1252.

79
Morton J. 1987. Pummelo. Di dalam Morton JF, editor. Fruits of warm climates.
Miami: FL. hlm 147–151 http://www.hort.purdue.edu/newcrop/morton/
pummelo.html 23 Maret 2011.
Moshkov IE, Novikova GV, Hall MA, George EF. 2008. Plant growth regulator
III: Gibberellins, Ethylene, Absisic Acid, their analogues and inhibitor;
miscellaneous compounds. Di dalam George EF, Hall MA, De Klerk GJ,
editor. Plant Propagation by Tissue Culture Vol. I The Background.
Dordrecht: Springer. hlm 227-282.
Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay
with tobacco tissue cultures. Physiol Plant 15: 473-497.
Neto VB de P, Otoni WC. 2003. Carbon sources and their osmotic potential in
plant tissue culture: does it matter? Sci Hort 97: 193–202.
Niyomdham C. 1997. Citrus maxima (Burm.) Merr. Di dalam Verheij EWM,
Coronel E, editor. Plant Resources of South-East Asia 2: Edible Fruits and
Nuts. Bogor: Prosea Foundation. hlm 153-157.
Normah MN, Hamidah S, Ghani FD. 1997. Micropropagation of Citrus halimii –
an endangered spesies of South East Asia. Plant Cell Tissue Organ Cult
50: 225-227.
Pandey VP, Cherian E, Patani G. 2010. Effect of growth regulators and culture
conditions on direct root induction of Rauwolfia serpentina L.
(Apocynaceae) Benth. by leaf explants. Trop J Pharm Res 9 : 27-34.
Peer WA, Blakeslee JJ, Yang H, Murphy AS. 2011. Seven things we think we
know about auxin transport. Mol Plant 4: 487–504.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. 2006. Katalog teknologi
unggulan hortikultura, tanaman sayuran, tanaman buah, tanaman hias.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Rahayu A. 2012. Karakterisasi dan Evaluasi Aksesi Pamelo (Citrus maxima
(Burm.) Merr. Berbiji dan Tidak Berbiji Asli Indonesia [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana IPB, Institut Pertanian Bogor.
Rao NK. 2004. Plant genetic resources: Advancing conservation and use through
biotechnology. Afr J Biotech 3: 136-145.
Read DB, Bengough AG, Gregory PJ, Crwford JW, Robinson D, Scrimgeour CM,
Young IM, Zhang K, Zhang X. 2003. Plant root release phospholipid
surfactants that modify the physical and chemical properties of soil. New
Phytol 157 : 315–326.
Roostika I, Sunarlim N, Arief VN. 2005. Penyimpanan kentang hitam (Coleus
tuberosus) secara kultur in vitro. J Pen Pert 24: 46-52.
Rose RJ, Wang XD, Nolan KE, Rolfe BG. 2006. Root meristem in Medicago
trunculata tissue culture arise from vascular-derived procambial-like cells
in a process regulated by ethylene. J Exp Bot 57: 2227-2235.

80
Sandmann G, Scherr H. 1998. Chloroplast pigment: chlorophylls and carotenoids.
Di dalam Raghavendra, editor. Photosynthesis A Comprehensive Treatise.
New York: Cambridge University Press. hlm 44-57.
Schwart OJ, Sharma AR, Beaty RM. 2005. Propagation from non meristimatic
tissues: Organogenesis. Di dalam Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant
Development and Biotechnology. New York: CRC Press. hlm 159-172.
Shibli RA, Shatnawi MA, Subaih WS, Ajlouni MM. 2006. In vitro conservation
of plant genetic resources: A review. World J Agric Sci 2: 372–382.
Silva RP da, Almeida WAB de, Souza ES ES, Filho FAAM. 2006. In vitro
organogenesis from adult tissue of „Bahia‟ Sweet Orange (Citrus sinensis
(L.) Osbeck). Fruit 61: 367-371.
Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development, Hormon and Environment.
London: Academic Press. 772 p.
Staden J van, Zazimalova E, George EF. 2008. Plant growth regulator II:
Cytokinin, their analogues and antagonists. Di dalam George EF, Hall
MA, De Klerk GJ, editor. Plant Propagation by Tissue Culture Vol. I The
Background. Dordrecht: Springer. hlm 205–226.
Sunarlim N, Roostika I, Arief VN. 2004. Penyimpanan in vitro gembili melalui
pertumbuhan minimal. Prosiding Seminar Kinerja Penelitian Mendukung
Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. BALITKABI. Malang.
Sunarlim N, Zuraida N. 2001. Penyimpanan ubi kayu secara in vitro dengan
pertumbuhan minimal. Bul Plasma Nutfah 7: 7-12.
Susanto S. 2004. Perubahan kualitas buah jeruk besar (Citrus grandis (L.)
Osbeck) yang disimpan dan dibiarkan di pohon. Hayati 11: 25-29.
Susanto S. 2010. Laporan Penelitian Program Insentif Riset Terapan 2010:
Perbaikan Potensi Pembentukan Buah Jeruk Pamelo Tanpa Biji untuk
Meningkatkan Daya Saing Buah Nasional. Bogor: Departemen Agronomi
dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB (tidak diterbitkan).
Sutopo, Supriyanto A, Suhariyono. 2006. Penentuan dosis pupuk NPK
berdasarkan hasil panen pada tanaman pamelo (Citrus grandis (L). Osbeck).
Prosiding Seminar Nasional Jeruk Tropika Indonesia; Batu, 28-29 Juli 2005.
hlm 243-251.
Syahid SF. 2007. Pengaruh retardan paklobutrazol terhadap pertumbuhan temu
lawak (Curcuma xanthorriza) selama konservasi in vitro. J Litrri 13: 93-97.
Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. New York: The Benjamin/Cummings
Publishing Co. Inc. 672 hlm.
Thorpe T, Stasolla C, Yeung EC, Klerk G-J de, Roberts A, George EF. 2008. The
Components of Plant Tissue Culture Media II : Organic Additions, Osmotic
and pH Effects, and Support Systems. Di dalam George EF, Hall MA, De
Klerk GJ, editor. Plant Propagation by Tissue Culture Vol. I The
Background. Dordrecht: Springer. hlm 115–174.

81
Towill LE. 2005. Germplasm preservation. Di dalam Trigiano RN, Gray DJ,
editor. Plant Development and Biotechnology. New York: CRC Press. hlm
277-284.
Traore A, Guiltinan MJ. 2006. Effect of carbon source and explant type on
somatic embryogenesis of four cacao genotypes. Hort Sci 41: 753-758.
Trigiano RN, Gray DJ. 2005. A brief introduction to plant anatomy. Di dalam
Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology.
New York: CRC Press. hlm 87-99.
Tsegaw T, Hammes S, Robbertse J. 2005. Paclobutrazol-induced leaf, stem and
root anatomical modification in potato. Hort Sci 40: 1343-1346.
Usman M, Muhammad S, Fatima B. 2005. In vitro multiple shoot induction from
nodal explants of Citrus cultivars. J Central Eur Agric 6: 435-442.
Wang SY, Sun T, Faust M. 1986. Translocation of paclobutrazol, a gibberellin
biosynthesis inhibitor, in Apple seedlings. Plant Physiol 82: 11-14.
Wattimena GA, Gunawan LW, Matjik NA, Syamsudin E, Wiendi NMA, Ernawati
A. 1992. Bioteknologi tanaman. Bogor : PAU IPB. 306 hal.
Whiters LA. 1985. Cryopreservation and storage of germplasm. Di dalam Dixon
DA, editor. Plant Cell Culture. Washington: IRL Press. p. 169-190.
Yamaguci M, Kato H, Yoshida S, Yamamura S, Uchimiya H, Umeda M. 2004.
Control of in vitro organogenesis by cyclin-dependent kinase activities in
plants. PNAS 100 : 8019-8023.
Yelnitis, Bermawie N. 2001. Konservasi tanaman Lada (Piper nigrum L.) secara
in vitro. J Littri 7: 88-92.
Zhang S, Lemaux PG. 2005. Molecular aspects of in vitro shoot organogenesis. Di
dalam Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and
Biotechnology. New York: CRC Press. p 173-185.
Ziv M, Chen J. 2008. The anatomy and morphology of tissue cultured plant. Di
dalam George EF, Hall MA, De Klerk GJ, editor. Plant Propagation by
Tissue Culture Vol. I The Background. Dordrecht: Springer. hlm 465-477.

82
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pamelo Adas Duku dari Magetan, Jawa Timur.

b c

d e
Gambar 1. Pamelo Adas Duku dari Magetan Jawa Timur, daging buah
merah, rasa buah manis. a. habitus pohon, b. daun, c. buah, d.
bunga, e. irisan membujur buah dengan biji (Foto : KN Tyas)

84
Lampiran 2. Karakter pamelo adas duku (Rahayu 2012)

Tabel 2.1 Karakteristik pohon pamelo‟Adas Duku‟ (Rahayu 2012)


Pohon Karakter
Bentuk tajuk obloid
Penyebaran cabang menyebar
Kerapatan cabang sedang
Sudut percabangan lebar
Kerapatan duri pada tanaman dewasa rendah
Panjang duri < 5 mm
Bentuk duri lurus
Warna trubus hijau
Permukaan trubus halus

Tabel 2.2 Karakteristik daun pamelo‟Adas Duku‟ (Rahayu 2012)


Daun Karakter
Pembagian daun tunggal
Intensitas warna sedang
Nisbah tangkai/helai lebih pendek
Panjang helai daun (cm) 13,8
Lebar helai daun (cm) 5,9
Panjang/lebar helai daun 2,4
Bentuk helai daun elliptic-ovate-hati
Tepi daun rata
Sayap daun ada
Lebar sayap sempit
Bentuk sayap daun hati-segitiga
Posisi helai dan sayap terpisah
Trikoma di bawah daun tidak ada

Tabel 2.3 Karakteristik bunga pamelo‟Adas Duku‟ (Rahayu 2012)


Bunga Karakter
Panjang tangkai (mm) 10,7
Diameter kelopak 11,3
Perbandingan panjang anther/stigma setara
Tipe bunga hermaprodit
Warna bunga mekar putih
Warna anther kuning
Jumlah petal per bunga 5
Panjang petal (mm) 19,6
Lebar petal (mm) 12,4
Jumlah stamen > 4 per bunga

85
Tabel 2.4 Karakteristik buah pamelo‟Adas Duku‟ (Rahayu 2012)
Buah Karakter
Bobot buah (g) 1394,68
Bentuk buah spheroid
Bentuk pangkal buah convex
Bentuk ujung buah truncate
Tebal epikarp 1,18
Warna kulit buah kuning
Tekstur permukaan buah agak kasar
Kelekatan albedo dengan kantung jus kuat
Keberadaan kelenjar minyak jelas
Tebal mesokarp 13,27
Warna albedo merah muda
Ujung buah tertutup
Jumlah juring per buah 15,5
Kelekatan antar juring kuat
Keseragaman bentuk juring tidak
Ketebalan dinding juring sedang
Axis (inti buah) padat
Bentuk potongan melintang inti tidak teratur
Warna kantong jus merah muda
Intensitas warna kantong jus terang
Keseragan warna kantong jus tidak seragam
Ketegaran kantong jus sedang
Tekstur kantong jus berdaging
Panjang kantong jus pendek
Tebal kantong jus tipis
Jumlah biji rata-rata per buah 55,6
Bentuk biji fusiform, semi-deltoid
Permukaan biji keriput
Warna biji krem
Warna kotiledon putih
Warna titik kalaza krem
Embrioni biji mono-embrioni
Panjang biji (mm) 15,4
Lebar biji (mm) 8,2

Tabel 2.5 Karakteristik kimia pamelo‟Adas Duku‟ (Rahayu 2012)


Karakter Kimia
Vitamin C (mg.100g-1) 37,88
Ph 3,97
PTT 9,60
ATT 0,58
PTT/ATT 16,56
Naringin 131,20

86
Tabel 2.6 Karakteristik fisik pamelo‟Adas Duku‟ (Rahayu 2012)
Karakter fisik %
Bobot kulit 30,80
Bobot bagian dapat dimakan 58,82
Sekat 8,02
Aksis 0,88
Biji 1,48

87
Lampiran 3. Komposisi Media MS (Murashige dan Skoog 1962)

Tabel 3.1 Komposisi media Murashige dan Skoog (MS)


Konsentrasi
Larutan Bahan Konsentrasi Volume larutan stok senyawa
Stok Kimia Larutan (g L-1) yang digunakan
dalam media
(ml L-1)
(mg L-1)
A NH4NO3 82,500 20 1650,000
B KNO3 95,000 20 1900,000
C KH2PO4 34,000 5 170,000
H3BO3 1,240 6,200
Na2MoO4.2H2O 0,050 0,250
CoCl2.H2O 0,005 0,025
KI 0,166 0,830
D CaCl2.2H2O 88,000 5 440,000
E MgSO4.7H2O 74,000 5 370,000
MnSO4.4H2O 4,460 22,300
ZnSO4.7H2O 1,720 8,600
CuSO4 0,050 0,025
F NaEDTA 3,730 37,300
FeSO4.7H2O 2,780 10 27,800
Vitamin Thiamine 0,010 10 0,100
Nicotinic acid 0,050 0,500
Pyridoxine 0,050 0,500
Glycin 0,200 2,000
Myo Myo inositol 10,000 10 100,000

88
Lampiran 4. Hasil Uji pada konservasi dengan pengenceran media MS dan
konsentrasi sukrosa

Tabel 4.1 Rekapitulasi hasil sidik ragam peubah konservasi dengan pengenceran
media MS dan konsentrasi sukrosa
Peubah Macam media Konsentrasi Media x Sukrosa
MS Sukrosa
Penambahan jumlah daun 25,79** 11,60** 9,65**
Pemanjangan tunas 1,14** 0,37** 0,17tn
Panjang akar 193,51** 137,84** 55,25tn
Jumlah akar 0,06** 0,01tn 0,03*
Waktu muncul akar 0,49** 0,26tn 0,48**
Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata, tn = tidak nyata

Tabel 4.2 Rekapitulasi hasil uji kontras konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa
Contrast Panjang tunas Panjang akar
½ MS vs MS 1,14** 193,51**
0 vs 10 20 30 0,75** 311,88**
10 vs 20 0,03tn 67,12tn
10 vs 30 0,34* 84,36tn
20 vs 30 0,1tn 0,98tn
Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata, tn = tidak nyata

Tabel 4.3 Rekapitulasi hasil uji DMRT konservasi dengan penurunan konsentrasi
media MS dan sukrosa
Peubah yang diamati Komposisi Konsentrasi sukrosa
Media (%)
0 1 2 3
Penambahan 1/2MS 4,07d 6,21bc 5,50cd 5,00cd
jumlah daun MS 5,14cd 5,43cd 7,50b 8,14a
Jumlah akar 1/2MS 1,25abc 1,35a 1,30ab 1,27ab
MS 1,22bc 1,16c 1,30ab 1,22bc
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah tidak berbeda nyata
pada taraf 5% DMRT.

89
Tabel 4.4 Interaksi antara konsentrasi media MS dan sukrosa terhadap tinggi
tunas pamelo „Adas Duku‟ selama periode konservasi
BSK Konsentrasi Konsentrasi sukrosa (%)
media MS 0 1 2 3
2 1/2MS 0.66b 0.49b 0.65b 0.71b
MS 0.47b 0.61b 0.66b 0.96a

3 1/2MS 0.78 bc 0.91b 0.83bc 0.96b


MS 0.64c 0.82bc 0.91b 1.29a

5 1/2MS 0.94bc 1.04bc 1.07bc 1.14bc


MS 0.87c 1.31b 1.30b 2.09a

6 1/2MS 0.98c 1.05bc 1.13bc 1.14bc


MS 0.92c 1.55b 1.49b 2.49a

7 1/2MS 0.99c 1.06c 1.18bc 1.26bc


MS 0.96c 1.87b 1.74bc 2.89a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap BSK tidak berbeda nyata
pada taraf 5% DMRT. BSK = bulan setelah kultur

90
Lampiran 5. Hasil uji pada konservasi dengan osmotikum dan retardan

Tabel 5.1 Rekapitulasi hasil sidik ragam peubah konservasi dengan osmotikum
dan retardan
Peubah Macam Macam Eksplan x Media
Eksplan Media
Penambahan jumlah daun 5,96** 1,87** 0,42**
Pemanjangan tunas 1,65** 0,09** 0,09**
Panjang akar 1,53** 2,14** 0,59*
Jumlah akar 0,15* 0,22** 0,13**
Keterangan : ** = sangat nyata, * = nyata

Tabel 5.2 Rekapitulasi uji DMRT konservasi dengan osmotikum dan retardan
Peubah yang Macam Macam Media
diamati Eksplan
Sukrosa 3% Sorbitol 2%
Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo Paklo
0ppm 7,5 ppm 15 ppm 0 ppm 7,5 ppm 15 ppm
Penambahan Pucuk 10,50a 7,83ab 6,50bc 4,67bcd 5,17bc 4,67bcd
jumlah daun Tunas 6,50bc 6,00bc 2,50de 4,00cd 1,00ef 0,00f
Pemanjangan Pucuk 2,60a 2,30a 2,20a 1,80a 1,70a 2,00a
batang Tunas 1,72ab 1,33bc 0,43e 0,93cd 0,60de 0,23e
Panjang akar Pucuk 4,97b 2,33bcd 2,45bcd 0,58d 0,50d 1,50cd
Tunas 11,83a 1,82bcd 2,45bcd 3,83 bc 2,25bcd 1,00d
Jumlah akar Pucuk 2,8a 1,3b 1,2bc 0,2d 0,7bcd 1,0bc
Tunas 1,0bc 0,8bcd 1,0bc 0,7bcd 0,8bc 0,5cd
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap peubah tidak berbeda nyata
pada taraf 5% DMRT.

91

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy