Content-Length: 560244 | pFad | https://www.academia.edu/12075079/Fathul_Baari
Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
…
440 pages
1 file
Merupakan kitab syarah hadits Bukhari Muslim
Abdul Ghofar al jawi, 2020
Terjemah sarah hadist bukhori muslim
Jurnal Respirasi, 2018
Diffusion capacity is useful for measuring ability of pulmonary microcirculation to transfer oxygen and carbon dioxide from alveoli to capillaries. Physiological examination of diffusion is a continuation of physiological examination of ventilation. Diffusion capacity is measured by DLCO (Diffusing capacity for Carbon Monoxide). Measurement of oxygen diffusion capacity directly is very difficult so that indirect methods are used using carbonmonoxide (DLCO). Diffusion capacity of oxygen is equivalent to DLCO multiplied by 1.23. Normal value of DLCO is 20-30 ml/minute mmHg. Some factors that affect DLCO are Hb levels, COHb in smokers, and alveolar volume. Some techniques for measuring DLCO include Steady-state, Three-equation Single-breath, Nitrogen Washout, and Intra-breath DLCO. This test is indicated in pulmonary parenchymal disease (pulmonary fibrosis, asbestosis, sarcoidosis, interstitial lung disease), cystic fibrosis, pulmonary hypertension, and pulmonary bleeding. DLCO is incr...
Fatwa berasal dari kata Arab al fatâ dan al-futyâ. Secara etimologis, fatwa berasal dari bahasa Arab dari kata aftâ, yang berarti petuah, nasihat, dan jawaban pertanyaan hukum. Fatwa merupakan metode Alqur'an dan As Sunnah dalam menjelaskan hukum, ajaran, bimbingan, dan doktrin Islam. Bahkan secara eksplisit permintaan sebuah fatwa disebutkan dalam Al Qur'an dengan redaksi يس )ألونك mereka bertanya kepadamu) dan )يس88تفتونك mereka meminta fatwa kepadamu)Penelitian ini Menggunakan metode kualitatif sedangkan jenis penlitian ini menggunakan normatif. Normatif yang dimaksud oleh penulis yaitu yang didapatkan dari skripsi, jurnal atau artikel seorang mufti sebagai pemberi fatwa harus kuat menghadapi pertanyaan yang diajukan seseorang atau kelompok dengan jawaban yang baru dengan argumentasiargumentasi yang kuat. Al-futyâ, berarti jawaban terhadap sesuatu yang problematik (musykil) dalam bidang hukum.Fatwa adalah salah satu jenis produk pemikiran hukum Islam.Fatwa berarti jawaban atas pertanyaan, atau "hasil ijtihad" atau ketetapan hukum.Yaitu ketetapan hukum tentang sesuatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh seorang mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya. Hingga era kontemporer saat ini.Nabi Muhammad SAW. Adalah orang yang pertamakali memberikan fatwa kepada manusia dalam agama Islam, beliau member fatwa dengan wahyu yang diturunkan kepadanya, sepeninggal beliau. Kata kunci : fatwa,perkembangan fatwa dalam lintasan Sejarah islam 1 Kalosara: Family Law Review https://ejournal.iainkendari.ac.id/index.php/kalosara September2023,
PENGANTAR PENERBIT
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya kebaikan menjadi sempurna, dan dengan rahmat-Nya kebaikan akan berlipat ganda dan dosadosa akan diampuni. Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap terlimpahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAWyang telah diutus oleh Allah sebagai rahmat, petunjuk, nikmat dan pelita yang menerangi hati umat manusia, sehingga mereka dapat melihat kebenaran dan memperoleh hidayah-Nya.
Hadits (sunnah) dalam agama Islam merupakan sumber syariat yang kedua setelah Al Qur'an. Dalam hal ini fungsi Sunnah adalah untuk menguatkan apa yang ada dalam Al Qur'an, menjelaskan apa yang ada dalam Al Quf an dan menerangkan hukum-hukum yang tidak tersebut dalam Al Qur'an. Begitulah urgensi sunnah dalam syariat Islam, sehingga kita umat Islam berkewajiban untuk mengetahui, mempelajari dan mendalaminya. Hal itu telah diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya, "Barangsiapa yang menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah menaati Al lak." (Qs. An-Nisaa' <4): 80) dan firman-Nya pula, "Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu ambillah, dan apa yang dilarangnya hentikanlah" (Qs. Al Hasyr (59): 7)
Untuk itu sangat penting kiranya upaya untuk menerjemahkan bukubuku hadits, khususnya buku hadits yang telah diakui oleh para ulama akan keabsahan dan keotentikannya, terutama Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Adapun buku yang ada di hadapan pembaca ini, adalah terjemahan buku Fathul Baari syarah hadits Shahih Bukhari, karangan Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani.
Perlu kami beritahukan bahwa dalam terjemahan ini tidak semua isi buku kami tulis sesuai dengan buku aslinya, diantaranya:
1.
Sanad Hadits (perawi) hanya ditulis nama perawi yang awal (sahabat) sebelum Rasulullah SAW.
Bantahan kepada kelompok Murji'ah yang mengingkari bahwa amal perbuatan dalam agama adalah iman. Riwayat dari Nasa'i hampir sama dengan riwayat yang ada di atas, hanya saja beliau menggunakan kata "Azlafahaa".
Menurut Al Khaththabi kedua bentuk tersebut memiliki satu arti, yaitu yang telah lewat.
Dalam kitab Al Jami' disebutkan bahwa kata "Az-Zulfaa" (perbuatan yang telah lalu) dapat dipergunakan baik dalam kebaikan maupun keburukan. Dalam kitab Al Masyariq dikatakan, "Zalafa " berarti mengumpulkan atau mencari (Jama'a au Kasaba). Arti ini mencakup hal-hal yang baik dan buruk. Sedangkan arti "Qurbah " (mendekati) hanya untuk hal-hal yang baik saja. Dari sini, maka riwayat-riwayat selain Ahu Dzarr menjadi kuat dan hanya perkataan Al Khaththabi saja yang menguatkan riwayat Abu Dzarr tersebut.
Dalam semua riwayat disebutkan, lafazh yang dihilangkan oleh Bukhari adalah masalah pencatatan kebaikan yang dilakukan seseorang sebelum masuk Islam. Dalam sebuah riwayat disebutkan "Kataballahu " (Allah telah mencatat), maksudnya Allah menyuruh malaikat untuk mencatatnya.
Imam Daruquthni juga meriwayatkan dari jalur Zaid bin Syu'aib dari Malik dengan lafazh, :^-'^4 & Jyi (Allah mengatakan kepada para malaikatnya, "Catatlah!"). Ada yang berpendapat bahwa Imam Bukhari sengaja menghilangkan kalimat yang diriwayatkan oleh perawiperawi lainnya, karena kalimat tersebut bertentangan dengan kaidah yang telah disepakati. Al Mazari berkata, "Upaya mendekatkan diri yang dilakukan oleh orang kafir tidak dapat diterima, maka perbuatan shalih yang telah dilakukannya dalam kondisi syirik tidak akan mendapat pahala. Hal itu disebabkan karena salah satu dari syarat orang yang melakukan pendekatan diri adalah harus mengetahui siapa yang didekatinya. Dalam hal ini, orang kafir tidak termasuk dalam golongan tersebut."
Pendapat ini didukung oleh Qadhi Iyadh dan dianggap lemah oleh Imam Nawawi. Beliau berkata, "Pendapat yang didukung oleh para ulama adalah pendapat yang menyatakan bahwa seorang kafir yang telah melakukan kebaikan seperti sedekah atau silaturahim kemudian ia masuk Islam dan meninggal dalam keislamannya, maka pahala atas seluruh kebaikannya akan diberikan. Oleh karena itu, pernyataan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan kaidah tidak dapat diterima, karena telah disepakati bahwa jika seorang kafir telah membayar kafarat zhihar misalnya, maka ketika masuk Islam ia tidak diwajibkan untuk mengulanginya kembali."
Dalam hal ini, pendapat yang benar adalah bahwa pemberian pahala kepada seseorang yang telah memeluk Islam sebagai karunia dari Allah SWT tidak berarti bahwa kebaikan yang dilakukannya pada saat ia kafir akan diterima oleh Allah. Hadits tersebut hanya mengindikasikan diberinya pahala tanpa menjelaskan apakah kebaikannya itu diterima atau tidak. Akan tetapi, dimungkinkan bahwa diterima atau tidaknya kebaikan itu tergantung keislamannya. Maka jika ia masuk Islam kebaikannya akan diterima, dan jika tidak maka akan ditolak. Pendapat ini merupakan pendapat yang kuat.
Pendapat Imam Nawawi ini juga didukung oleh Ibrahim Al Harbi, Ibnu Baththal dan lainnya dari kalangan ulama terdahulu, dan juga Al Qurthubi serta Ibnu Munir dari kalangan ulama modern. Ibnu Munir berkata, "Yang bertentangan dengan kaidah adalah anggapan bahwa pahala atas perbuatannya itu dicatat pada waktu ia masih kafir. Adapun Allah memberikan pahala kepada seseorang atas kebaikannya dalam Islam, itu tidak dipertentangkan, sebagaimana Allah dapat memberikan karunia kepada seseorang meskipun ia tidak melakukan kebaikan. Allah juga dapat memberikan pahala kepada orang yang lemah, sama seperti memberikan pahala kepada orang yang kuat. Oleh karena itu, jika Allah dapat memberikan pahala kepada orang yang belum melakukan kebaikan (hanya sekedar niat), maka Dia juga dapat memberikan pahala atas perbuatan yang tidak memenuhi syarat." Ibnu Baththal berkata, "Allah dapat memberikan sesuatu kepada hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, dan tidak ada seorang pun yang dapat menghalanginya."
Ulama-ulama lainnya berargumen bahwa seorang ahli kitab jika telah beriman, maka ia akan diberi pahala dua kali lipat sebagaimana dijelaskan dalam Al Qurian dan Hadits shahih. Sedangkan jika ia mati ketika masih mengikuti agamanya yang dulu maka semua kebaikannya tidak akan bermanfaat atau sia-sia. Hal ini mengindikasikan bahwa pahala atas perbuatan yang dilakukan pada saat ia masih mengikuti agamanya yang dulu, juga diberikan dan digabungkan dengan pahala atas perbuatannya setelah masuk Islam.
Pendapat tersebut juga diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW ketika ditanya oleh Aisyah RA tentang Ibnu Jad'an, "Apakah perbuatan baiknya akan bermanfaat baginya?" Rasulullah menjawab, "Tidak, sekalipun berkata, 'Wahai Tuhanku, ampuni kesalahanku pada hari kiamat.'"' Hadits ini menunjukkan bahwa jika ia mengatakan kalimat tersebut setelah masuk Islam, maka apa yang dilakukannya di waktu kafir akan bermanfaat.
-'«aii\ iLJi j_Ju' 01-f j (Setelah itu, ia akan diberi balasan).
Maksudnya adalah, bahwa amal perbuatannya di dunia akan ditulis dan akan dibalas di akhirat nanti. Kalimat ini diungkapkan dalam bentuk madhi (kata kerja bentuk lampau) untuk menunjukkan bahwa hal itu benar-benar terjadi, seperti dalam firman Allah SWT, "Dan penghunipenghuni surga berseru... "(Qs. Al A'raaf (7): 44) Al Mawardi mengatakan bahwa sebagian ulama menafsirkan kata llaa Sabi
Mi'atin (sampai 700) berdasarkan zhahir lafazhnya saja, sehingga mereka berpendapat bahwa kelipatannya itu tidak akan melebihi 700. Pendapat ini dibantah oleh firman Allah SWT, "Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki." (Qs. Al Baqarah (2): 261) Ayat ini mengandung dua kemungkinan, yaitu bisa jadi Allah melipatgandakan kelipatan tersebut hingga mencapai 700 atau Aliah akan menggandakan 700 hingga melampaui jumlah tersebut.
Pendapat tersebut juga dibantah secara jelas oleh hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Abbas dalam bab "Ar-Riqaq" yang berbunyi, "Allah menuliskan untuknya W sampai 700 kali lipat kebaikan dan akan melipatgandakannya." Dalam bab ini, Imam Bukhari ingin menjelaskan bahwa amal dapat disebut sebagai "Iman", karena maksud dari kata Ad-Din (agama) dalam hadits tersebut adalah amal; sebab arti Ad-Din (agama) yang sebenarnya adalah Islam, sedangkan Islam yang hakiki adalah sama pengertiannya dengan iman. Dari sini, maka pemahaman Imam Bukhari tersebut dapat dibenarkan. Adapun korelasi antara hadits ini "Tetapi kerjakanlah semampumu" dengan hadits sebelumnya adalah, bahwa dalam hadits sebelumnya telah menjelaskan keislaman seseorang yang dapat ditingkatkan dengan melakukan amal shalih, maka di sini Imam Bukhari ingin menekankan bahwa usaha untuk meningkatkan keislaman secara berlebihan tidak dianjurkan. Hal ini telah dijelaskan dalam bab "Agama itu mudah".
•j-s 'j '* JUJ (Lalu Nabi bersabda, "Siapa wanita itu?")-Dalam Perempuan ini, menurut riwayat Malik di atas, berasal dari bani Asad. Sedangkan dalam riwayat Muslim dari Zuhri dari Urwah, bahwa wanita tersebut adalah Al Haula' binti Tuwait bin Habib Asad bin Abdul Izzi yang termasuk keluarga Khadijah RA. Dalam riwayat itu, hadits tersebut diriwayatkan dengan lafazh, "Dan mereka mengatakan bahwa wanita tersebut tidak pernah tidur pada malam hari." Riwayat ini menguatkan riwayat kedua yang mengatakan bahwa kalimat tersebut bukan berasal dari Aisyah.
Jika ada yang mengatakan, bahwa dalam hadits Hisyam pada bab ini disebutkan "ketika Nabi SAW pulang ke rumah Aisyah dan beliau melihat ada seorang wanita di dekatnya", sedangkan dalam riwayat Az-Zuhri disebutkan "Bahwa Al Haula' bertemu dengan Rasulullah", maka kedua riwayat tersebut nampak saling bertentangan. Akan tetapi kedua hadits itu dapat disatukan, yaitu bahwa wanita yang bertemu dengan Rasulullah adalah selain Al Haula' yang berasal dari bani Asad, atau dimungkinkan juga ada beberapa kisah tentang hal itu.
Pernyataan semacam itu dapat dibantah, karena kisah yang berkenaan dengan hadits di atas hanya satu, seperti yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dari Hisyam "Al Haula binti Tuwait lewat di depan Rasulullah". Riwayat ini dikeluarkan oleh Muhammad bin Nashr dalam bab "Bangun Malam". Dari sini dapat dijelaskan bahwa Al Haula' pada mulanya berada di rumah Aisyah, tetapi ketika Rasulullah SAW pulang ke rumah Aisyah, Al Haula' bangun seperti yang dijelaskan dalam riwayat Hamad bin Salmah yang akan kita sebutkan nanti. Kemudian ketika wanita tersebut bangun dan hendak pergi, ia bertemu dengan Rasulullah. Maka setelah ia pergi, Rasulullah pun menanyakan kepada Aisyah tentang wanita tersebut. Dengan demikian, riwayat-riwayat tersebut dapat disatukan.
1_J> (Jangan begitu), maksudnya adalah cukuplah. Teguran ini ditujukan kepada Aisyah dengan maksud untuk melarangnya agar tidak memuji seseorang dengan cara seperti itu, atau untuk melarangnya agar ia tidak melakukan perbuatan seperti itu. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ahli fikih, sehingga mereka berpendapat bahwa melakukan shalat sepanjang malam hukumnya makruh, seperti yang akan diterangkan kemudian.
oj LWi jU-iO* (Kerjakanlah semampumu), maksudnya kerjakanlah amal yang dapat kamu lakukan secara terus menerus. Secara eksplisit, kalimat tersebut mengandung perintah untuk melakukan ibadah sesuai dengan kemampuan. Sedangkan secara implisit, kalimat tersebut mengandung larangan untuk membebani seseorang dengan melakukan ibadah yang berada di luar kemampuannya. Qadhi Iyadh berkata, "Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah khusus dalam masalah shalat malam atau bersifat umum yang menyangkut seluruh amalan syariah." Dalam hal ini saya berpendapat, bahwa latar belakang keluarnya hadits tersebut bersifat khusus dalam masalah shalat, akan tetapi lafazhnya bersifat l aam (umum), dan inilah pendapat yang kuat. Dalam hadits ini Rasulullah SAW menggunakan kata "Alaikum" (atas kamu sekalian), padahal lawan bicaranya adalah kaum wanita. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa hukum tersebut bersifat umum, baik bagi kaum lakilaki maupun wanita.
i-U i y' (Demi Allah). Kalimat ini menunjukkan bahwa bersumpah tanpa diminta adalah dibolehkan, bahkan menjadi sunah jika dilakukan dalam rangka menegaskan atau memberikan dorongan kepada seseorang untuk melakukan suatu perintah agama dan menjauhkan diri dari larangan.
-Llf ^-^ *i> JII N (Dia tidak bosan untuk memberikan pahala, hingga kamu sendiri yang malas berbuat amal). Maksud dari kata malai (bosan) adalah merasa berat atau enggan untuk melakukan suatu perbuatan setelah sebelumnya menyukai perbuatan tersebut. Sifat inimenurut kesepakatan ulama-adalah mustahil terdapat dalam dzat Allah SWT. Al Ismaili dan para ulama berpendapat bahwa penggunaan lafazh tersebut dalam arti yang berbeda adalah sebagai bentuk majaz (kiasan), seperti halnya firman Allah SWT, "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. " (Qs. Asy-Syuuraa (42): 40)
Al Qurthubi berkata, "Ungkapan tersebut merupakan majaz karena Allah memutuskan pahala bagi orang yang bosan beribadah, maka Allah pun mengungkapkannya dengan kata malai (bosan), dan hal ini termasuk dalam kategori menamakan sesuatu dengan sebabnya."
Al Harawi berkata, "Maksudnya adalah, Allah tidak akan menghentikan karunia-Nya kepadamu, kecuali jika kalian merasa bosan untuk memintanya atau tidak menginginkannya." Yang lain berkata, "Kewajiban kalian untuk mentaati-Nya tidak akan terputus sampai habis kekuatan kalian." Hal tersebut berdasarkan bahwa kata "hatta " dalam hadits tersebut bermakna akhir dari tujuan. Akan tetapi sebagian dari mereka berusaha untuk menakwilkannya. Mereka berkata, "Allah tidak bosan walaupun kalian bosan" dan ungkapan seperti ini telah dipakai dalam percakapan orang Arab. Mereka berkata, "Saya tidak akan mengerjakan pekerjaan ini sampai burung gagak beruban." Al Mazari berkata, "Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata "hatta" disini berarti "waw", oleh karena itu arti dari kalimat tersebut menjadi "Laa Yamullu wa Tamullun" (Dia (Allah) tidak jemu dan kalian merasa jemu). Dengan demikian, mereka menghilangkan sifat bosan dari Allah dan menisbatkannya kepada mereka. Kemudian beliau berkata, "Pendapat lain mengatakan bahwa kata "hatta" berarti hina.
Pendapat pertama lebih sesuai dengan kaidah bahasa. Pendapat ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan dari jalur Aisyah dengan lafazh, "Kerjakan amalan sesuai dengan kemampuan kalian karena sesungguhnya Allah tidak akan jemu memberikan pahala sampai kalian yang jemu melakukannya."
Akan tetapi dalam rangkaian sanadnya terdapat Musa bin Ubaidah, dan dia termasuk perawi yang lemah. Ibnu Hibban berkata dalam shahihnya, "Ini adalah lafazh ta'aruf, yang menjadikan lawan bicara tidak dapat mengerti apa yang dibicarakan kecuali dengan kata tersebut." Inilah pendapat beliau dalam semua kata yang ada kemiripan. Imam Nawawi berkata, "Amal yang sedikit tapi dilakukan secara terus menerus menunjukkan ketaatan seseorang kepada Allah SWT, yaitu dengan mengingat-Nya, melakukan koreksi diri, ikhlas dan menerima apa yang ditakdirkan Allah kepadanya, berbeda halnya dengan amalan yang banyak tapi memberatkan. Sebab amal yang sedikit tapi dilakukan secara terus menerus itu akan bertambah, sedangkan amal yang banyak tapi memberatkan akan terhenti atau terputus di tengah jalan."
Ibnu Jauzi berkata, bahwa Allah mencintai amal yang dilakukan secara terus menerus karena dua hal:
Pertama, karena orang yang meninggalkan amal yang telah dilakukannya adalah seperti orang yang berputar kembali setelah sampai ke tempat tujuan. Orang seperti ini adalah orang yang tercela. Oleh karena itu, Allah memberikan ancaman kepada orang yang hafal Al Qur'an kemudian melupakannya, padahal ancaman itu tidak ditujukan kepadanya sebelum ia menghafal Al Qur'an.
Kedua, karena melakukan kebaikan secara terus menerus adalah menunjukkan pengabdian seseorang. Maka orang yang selalu mengkaji ilmu selama beberapa jam saja tapi dilakukan setiap hari, tidaklah sama nilainya dengan orang yang melakukannya dalam satu hari penuh tapi setelah itu ia berhenti dan tidak meneruskannya.
Kemudian Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari jalur Abu Salmah dari Aisyah, "Sesungguhnya amal yang paling disukai oleh Allah adalah yang terus menerus walaupun sedikit."
2.
Tinjauan Nahwu (grama tikal), kecuali yang berkaitan dengan matan hadits.
Hal itu karena kita lebih menfokuskan pada syarah (keterangan) matan hadits, supaya isi hadits dapat dipahami dengan mudah, utuh dan jelas. Disamping itu, pembahasan mengenai sanad hadits Bukhari secara panjang lebar dapat mempersulit dan membingungkan pemahaman orang yang belum begitu mengenal ilmu musthalahul hadits. Sementara bagi yang sudah mempelajari dan ingin mengetahui lebih dalam, dapat merujuk kepada buku aslinya.
Selanjutnya, kami beritahukan bahwa buku ini telah mengalami beberapa kali proses pengoreksian, maka kami mohon maaf kepada para pembaca budiman apabila mendapatkan kesalahan dan kekurangan baik dalam isi maupun bahasa terjemahan buku ini. Saran dan masukan untuk kebaikan dan kemajuan dakwah kita semua di masa yang akan datang selalu kami harapkan dari semua pihak, dan tak lupa kami haturkan banyak terima kasih.
PERMULAAN TURUNNYA WAHYU
Syaikh Al Imam Al Hafidz Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al Bukhari berkata:
BAB CARA PERMULAAN TURUNNYA WAHYU KEPADA RASULULLAH
Allah berfirman dalam Al Qur'an, "Sesungguhnya Kami menurunkan wahyu kepadamu (Muhammad) seperti Kami menurunkan wahyu kepada Nabi Nuh dan nabi-nabi selelahnya.'" (Qs. An-Nisaa' (4): 163) Imam Bukhari berkata, "BismiUahirrahmaamrrahiim, cara permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW."
Ada pertanyaan yang ditujukan kepada Imam Bukhari tentang tidak dimulainya penulisan kitab ini dengan kalimat hamdalah dan syahadat, sebagai pengamalan dari hadits Nabi SAW, "Setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan membaca hamdalah (memuji Allah), maka pekerjaan itu terputus (dari rahmat-Nya)" Pada hadits yang lain disebutkan, "Setiap khutbah yang tidak terdapat di dalamnya syahadat, maka khutbah itu seperti tangan yang terpotong." Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah. Jawaban pertama, bahwa yang terpenting dalam khutbah adalah memulainya dengan apa yang dimaksudkan. Imam Bukhari telah memulai kitab ini dengan membahas "Permulaan Turunnya Wahyu" dan menjelaskan, bahwa maksud pekerjaan itu harus sesuai dengan niatnya, seakan-akan beliau mengatakan, "Aku memulai pembahasan wahyu yang berasal dari Allah untuk menunjukkan ketulusan pekerjaan dan niatku. Sesungguhnya perbuatan yang dilakukan setiap manusia adalah tergantung niat yang ada dalam hatinya, maka cukuplah kita memahami masalah ini dengan makna yang tersirat." Cara seperti ini banyak kita temukan dalam metode penulisan kitab-kitab yang lain.
Jawaban kedua, bahwa kedua hadits tersebut bukan hadits yang memenuhi syarat Bukhari, bahkan kedua hadits tersebut masih mendapat kritikan. Kita setuju dengan kedua hadits ini sebagai hujjah, akan tetapi maksud hadits ini bukan berarti harus diucapkan dan ditulis. Mungkin beliau telah mengucapkan hamdalah dan syahadat ketika menulis, sehingga setelah itu beliau hanya cukup menulis basmalah saja, karena maksud ketiga hal tersebut {hamdalah, syahadat dan basmalah) adalah mengingat Allah SWT, dan itu cukup dengan mengucapkan basmalah.
Sebagaimana ayat Al Qur'an yang pertama turun, jJi-^JJ' ilfj J-L, Ki i "Bacalah dengan nama Allah." (Qs. Al 'Alaq (96): 1) yang berarti, bahwa mengawali suatu perbuatan dengan basmalah telah mewakili hamdalah dan syahadah.
Kemudian juga surat-surat Rasulullah yang dikirimkan kepada beberapa raja, beliau hanya menulis di awal surat tersebut dengan basmalah tidak dengan hamdalah dan syahadah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sufyan tentang cerita Raja Hercules dalam bab ini, hadits yang diriwayatkan oleh Barra' tentang kisah Suhail bin Amar dalam bab "Perjanjian Hudaibiyah ", dan hadits-hadits lainnya.
Untuk itu kita dapat memahami bahwa, hamdalah dan syahadah hanya dianjurkan ketika khutbah bukan dalam penulisan surat atau dokumen, maka Imam Bukhari dalam memulai tulisannya memakai metode penulisan surat kepada ulama, dengan tujuan agar mereka dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya.
Para penyarah kitab Bukhari telah mengemukakan pendapat dalam masalah ini, meskipun pendapat mereka masih harus diteliti kembali. Mereka berpendapat bahwa memulai kitab ini dengan menyebut basmalah dan hamdalah adalah termasuk dua hal yang bertentangan menurut Imam Bukhari, karena jika ia memulai dengan hamdalah, hal itu akan bertentangan dengan adat (kebiasaan), dan seandainya ia memulai dengan basmalah, maka ia telah meninggalkan hamdalah, dengan demikian ia hanya memulai dengan basmalah.
Seluruh penulis mushhaf di setiap negara juga mengikuti cara ini, baik mereka yang mengatakan bahwa basmalah adalah termasuk ayat surah Al Fatihah, atau mereka yang tidak berpendapat seperti itu. Disamping itu ada juga yang konsisten dengan firman Allah, 'Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya" (Qs. Al Hujuraat (49): 1), sehingga beliau tidak mendahului perkataan Allah dan Rasul-Nya kecuali dengan perkataan-Nya.
Adapun pendapat yang sangat jauh dari kebenaran adalah pendapat yang mengatakan, bahwa Imam Bukhari memulai tulisan ini dengan khutbah, yang di dalamnya ada hamdalah dan syahadah, akan tetapi telah dihapus oleh orang yang meriwayatkannya.
Seakan-akan orang yang berpendapat seperti ini belum pernah membaca kitab yang ditulis oleh guru-guru Imam Bukhari dan ahli hadits pada waktu itu, seperti Imam Malik dalam kitab Muwaththa', Abd. Razaq dalam kitab Mushannif, Imam Ahmad dalam kitab MusnadAhmad, Abu Daud dalam kitab Sunan Abu Daud, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dimulai dengan khutbah dan hanya dimulai dengan basmalah. Golongan ini adalah mayoritas, sedangkan mereka yang memulai dengan khutbah hanya golongan minoritas. Apakah mungkin dikatakan setiap perawi kitab-kitab tersebut telah menghapus khutbah? Sama sekali tidak mungkin, karena menurut pendapat mereka hamdalah hanya diucapkan saja, sebagaimana diriwayatkan oleh Syaikh Khatib dalam Kitab Al Jam?, bahwa Imam Ahmad hanya membaca shalawat Nabi dan tidak menulisnya ketika menulis hadits, hal ini menunjukkan hamdalah dan syahadah hanya dianjurkan untuk dibaca bukan ditulis. Akan tetapi mereka yang memulainya seperti metode khutbah, yaitu dengan menyebut hamdalah dan basmalah, seperti yang dilakukan oleh Imam Muslim, hal itu kita serahkan kepada Allah, karena Dia yang Maha Mengetahui akan suatu kebenaran.
Sudah menjadi kebiasaan para pengarang kitab, untuk memulai penulisan dengan lafazh basmalah, tetapi dalam penulisan syair ada perbedaan pendapat jika dimulai dengan basmalah. Menurut Imam Sya'bi, itu tidak boleh. Imam Zuhri mengatakan, "Telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu untuk tidak mencantumkan basmalah dalam penulisan syair," sedangkan Sa'id bin Juba'ir dan Jumhur Ulama membolehkan hal itu. Adapun Al Khatib membenarkan kedua pendapat tersebut.
Permulaan Turunnya Wahyu
Wahyu menurut etimologi (bahasa) adalah memberitahukan secara samar, atau dapat diartikan juga dengan tulisan, tertulis, utusan, ilham, perintah dan isyarat. Sedangkan menurut terminologi (syariat) adalah memberitahukan hukum-hukum syariat, namun terkadang yang dimaksud dengan wahyu adalah sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun pengertian "permulaan turunnya wahyu" adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan permulaan turunnya wahyu.
iii u£-jf L'; (Sesungguhnya kami menurunkan wahyu kepadamu
Ada pendapat yang mengatakan, disebutkannya nama nabi Nuh dalam ayat tersebut, menunjukkan bahwa nabi Nuh adalah nabi yang pertama diutus oleh Allah atau nabi pertama yang kaumnya mendapat siksaan, sehingga dengan demikian tidak menyalahi nabi Adam sebagai nabi pertama. Masalah ini akan dibahas secara panjang lebar dalam masalah syafa'at.
Sedangkan korelasi ayat ini dengan pembahasan tentang wahyu, adalah menjelaskan bahwa turunnya wahyu kepada nabi Muhammad tidak berbeda dengan cara turunnya wahyu kepada nabi-nabi sebelumnya. Seperti cara turunnya wahyu pertama kali kepada para nabi adalah dengan mimpi, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitab Dalail dengan sanad hasan dari Alqamah bin Qais, teman Ibnu Mas'ud, dia berkata, "Sesungguhnya wahyu yang pertama turun kepada para nabi adalah dengan cara mimpi sehingga hati mereka menjadi tenang, setelah itu Allah menurunkan wahyu kepada mereka dalam keadaan sadar" ^ Is^j v^^to J. 'J** y- Seperti orang yang melakukan perbuatan dengan motivasi ingin mendapat ridha Allah dan apa yang dijanjikan kepadanya, atau ingin menjauhkan diri dari ancaman-Nya.
Sebagian riwayat menggunakan Jafazh C 1 ' dalam bentuk mufrad (tunggal) dengan alasan, bahwa tempat niat adalah dalam hati, sedangkan hati itu satu, maka kata niyat disebutkan dalam bentuk tunggal. Berbeda dengan perbuatan yang sangat tergantung kepada hal-hal yang bersifat lahiriah yang jumlahnya sangat banyak dan beragam, sehingga dalam hadits tersebut kata 'amal menggunakan lafazhjama' (plural) yaitu JiiiVi selain itu niat hanya akan kembali kepada Dzat Yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Lafazh hadits yang tertulis dalam kitab Ibnu Hibban adalah Jili ^ oLJX tidak tertulis lafazh,'-'J] dan ini juga terdapat dalam kitab Asy-Syihab karangan Al Qudha'i. Akan tetapi Abu Musa Al Madini dan Imam Nawawi menentang riwayat ini.
Lafazh "oi-% JUi^i lift" mengandung arti hashr (pembatasan) menurut para muhaqqiq (peneliti).
Setiap perbuatan pasti membutuhkan pelaku, maka kalimat Jil^S 1 ' oi-secara lengkap adalah cr--jiOi 'JA «jsilaji JiliS'1 perbuatan yang berasal dari orang-orang mukallaf (orang yang dikenai beban syariat). Dengan demikian apakah perbuatan orang kafir termasuk dalam kategori ini? Jawabnya, tidak termasuk, karena maksud perbuatan dalam hadits ini adalah ibadah, sehingga orang kafir tidak termasuk dalam hadits ini, meskipun mereka diperintahkan untuk melaksanakan dan akan mendapat hukuman apabila meninggalkannya. cjlliij (dengan niat).
Huruf ha' menunjukkan arti mushahabah (menyertai), dan ada juga yang mengartikan sababiyah (menunjukkan sebab). Imam Nawawi mengatakan, bahwa niat berarti maksud, yaitu keinginan yang ada dalam hati. Tetapi Syaikh Al Karmani menambahkan, bahwa keinginan hati adalah melebihi maksud.
Para ahli fikih berselisih pendapat untuk menentukan apakah niat itu termasuk rukun atau syarat? Dalam hal ini pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan, bahwa mengucapkan niat di awal pekerjaan adalah rukun, sedangkan menyertakannya dalam pekerjaan adalah syarat.
Dalam lafazh hadits tersebut ada kata yang dihilangkan {mahdzuj) sebelum jar majrur (binniyyaat), ada yang mengatakan bahwa lafazh tersebut adalah, tu'tabar (tergantung), takmulu (sempurna), iashihhu (menjadi sah) dan tastaqirru (langgeng).
Ath-Thibi berkata, "Perkataan Allah adalah berfungsi untuk menjelaskan hukum syariat, karena perkataan tersebut ditujukan kepada orang yang mengerti, seakan-akan mereka mendapat perintah apa yang tidak mereka ketahui kecuali dari Allah."
Baidhawi berkata, "Niat adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan, baik mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan yang diridhai Allah dan mengamalkan segala perintah-Nya."
Niat dalam hadits ini menunjukkan makna etimologi (bahasa), seakan-akan hadits ini mengatakan, "Tidak ada perbuatan kecuali berdasarkan niat." Tetapi niat bukan inti dari perbuatan tersebut, karena ada beberapa perbuatan yang tidak didasari dengan niat, maka maksud penafian tersebut adalah penafian hukumnya, seperti sah atau kesempurnaan perbuatan.
Guru kami Syaikh Islam berkata, "Yang paling baik adalah menakdirkan bahwa suatu perbuatan tergantung kepada niatnya, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits, "Barang siapa melakukan hijrah... " Dengan demikian lafazh yang dihilangkan menunjukkan isim fa 'U dan fi 'U. Kemudian lafazh 'amal (perbuatan) mencakup perkataan (lisan). Ibnu Daqiq Al Td berkata, "Sebagian ulama mengatakan, bahwa perkataan tidak termasuk dalam perbuatan. Pendapat ini adalah pendapat yang salah, karena bagi saya hadits ini telah memberi penjelasan bahwa perkataan termasuk perbuatan. Karena sikap seseorang yang meninggalkan sesuatu dapat juga dikategorikan dalam perbuatan, meskipun hanya menahan diri untuk tidak melakukan suatu perbuatan."
Memang akan terjadi suatu kontradiksi bagi orang yang mengatakan, bahwa perkataan adalah suatu perbuatan, ketika menjumpai orang yang bersumpah untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan, tapi orang itu tetap berbicara. Di sini saya katakan, bahwa masalah sumpah sangat tergantung kepada kebiasaan ('urf), sedangkan perkataan menurut kebiasaan bukan termasuk perbuatan. Adapun pendapat yang benar, adalah secara hakikat perkataan tidak termasuk dalam perbuatan, akan tetapi secara majaz (kiasan) perkataaan termasuk dalam perbuatan, berdasarkan firman Allah, "Seandainya Allah menginginkan maka mereka tidak akan melakukannya." dimana ayat tersebut berada setelah ayat zukhrufal qauli (perkataan yang indah), (yaitu sebagian manusia ada yang membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indahindah dengan maksud menipu -ed.) Ibnu Daqiq Al 'Id berkata, "Orang yang mensyaratkan niat dalam suatu perbuatan, maka kalimat yang dihapus dalam hadits tersebut diperkirakan adalah kalimat shihhatat a 'maali (sahnya perbuatan), dan bagi yang tidak mensyaratkan niat, ia memperkirakan kalimat kamaalal a'maali (kesempurnaan perbuatan). Adapun pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama. demikian, kita dapat membedakan apakah niat shalat atau bukan, shalat fardhu atau sunnah, dhuhur atau ashar, diqashar (diringkas) atau tidak dan seterusnya. Namun demikian, apakah masih diperlukan penegasan jumlah rakaat shalat yang akan dikerjakan? Dalam hal ini memerlukan pembahasan yang panjang. Tapi pendapat yang paling kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan jumlah bilangan rakaatnya, seperti seorang musafir yang berniat melakukan shalat qashar, ia tidak perlu menegaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah dua, karena hal itu sudah merupakan konsekuensi dari shalat qashar. wallahu a jam.
^s'y ^ \sr 1 i^Ij (dan balasan bagi setiap amal manusia sesuai dengan apa yang niatkan). Imam Al Qurthubi berkata, "Kalimat ini menguatkan bahwa suatu perbuatan harus disertai dengan niat dan keikhlasan yang mendalam."
Sedangkan ulama lain berkata, "Kalimat ini membahas permasalahan yang berbeda dengan kalimat pertama (cjCtlu JLJsS'i CJV) karena kalimat pertama menjelaskan bahwa suatu perbuatan harus disertai dengan niat.
Adapun kalimat kedua l -• iSj-^J^,^,}) mempunyai arti bahwa seseorang tidak mendapatkan dari perbuatannya kecuali apa yang diniatkan. Ibnu Daqiq Al 'Id berkata, "Kalimat kedua memiliki arti bahwa barangsiapa yang berniat, maka akan mendapatkan pahala, baik niat itu dilaksanakan ataupun tidak sebab alasan syariat, dan setiap perbuatan yang tidak diniatkan tidak akan mendapatkan pahala." Maksud tidak diniatkan di sini adalah tidak ada niat baik secara khusus ataupun umum. Tapi jika seseorang hanya berniat secara umum, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
Terkadang seseorang mendapat pahala dari perbuatannya tanpa disertai dengan niat sebelumnya, tapi ia mendapat pahala karena melakukan perbuatan yang lain, seperti orang yang melaksanakan shalat ketika masuk masjid, baik shalat fardhu atau sunnah rawatib, maka orang itu mendapat pahala mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid, baik diniatkan atau tidak, karena yang dilakukannya termasuk dalam kategori penghormatan (tahiyat) terhadap masjid. Berbeda dengan mandi junub pada hari jum'at, ia tidak mendapat pahala mandi sunnah pada hari jum'at menurut pendapat yang kuat (rajih), karena mandi pada hari jum'at merupakan ibadah, bukan hanya membersihkan badan, sehingga memerlukan niat khusus. Permasalahan ini juga berbeda dengan shalat tahiyatul masjid. Wallahu a'lam.
Imam Nawawi berkata, "Kalimat kedua menunjukkan arti bahwa suatu pekerjaan harus disertai niat tertentu, seperti orang yang mengqadha shalat, ia tidak cukup hanya berniat melakukan qadha shalat, akan tetapi harus disertai niat mengqadha shalat yang akan dilaksanakan, apakah shalat ashar atau zhuhur. Ibnu Sam'ani berkata, "Perbuatan di luar ibadah tidak akan mendapatkan pahala kecuali disertai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah (ibadah). Seperti makan, jika diniati untuk menambah kekuatan tubuh agar kuat untuk beribadah, maka ia akan mendapat pahala.
Ibnu Salam berkata, "Kalimat pertama (OLJU j'-li^'i \-'S) menjelaskan apa yang termasuk dalam kategori perbuatan, sedangkan kalimat kedua (USVJ ^ isj^ ^b) menjelaskan tentang akibat dari suatu perbuatan. Setiap ibadah yang hanya dapat dibedakan dengan niat, maka niat termasuk syarat dalam perbuatan itu, sedangkan perbuatan yang dapat dibedakan dengan sendirinya, maka tidak disyaratkan adanya niat, seperti dzikir, doa dan membaca Al Qur'an, karena perbuatan ini jelas telah membedakan antara ibadah dan kebiasaan sehari-hari ('adat). Sudah barang tentu semua ini harus dilihat hukum asalnya. Sedangkan apabila seseorang membaca tashbih (subhanallah) ketika takjub, maka ia tidak mendapatkan pahala, kecuali jika membacanya dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka ia akan mendapat pahala.
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ghazali, "Berdzikir dengan menggerakkan lidah tanpa disertai hati yang khusyu' tetap akan mendapat pahala, karena berdzikir adalah lebih baik daripada membicarakan orang lain (ghibah), dan lebih baik daripada diam tanpa bertafakkur." Kemudian dia menambahkan, "Adapun berdzikir dengan lisan saja tidak cukup untuk dikategorikan dalam amalan hati."
Pendapat tersebut diperkuat dengan hadits Nabi Muhammad SAW, "Setiap sendi kalian adalah shadaqah, " seorang sahabat bertanya, "Apakah salah satu dari kami yang menyalurkan syahwatnya akan mendapatkan pahala?" Nabi menjawab, "Bagaimana menurut kalian apabila orang itu menyalurkan syahwatnya pada tempat yang haram. "
Imam Ghazali juga mengatakan, bahwa seorang akan mendapatkan pahala dari perbuatan mubah yang dilakukannya, karena perbuatan mubah adalah lebih baik dari perbuatan haram. Secara umum hadits ini menunjukkan tidak diperlukannya niat secara khusus, seperti halnya shalat sunnah tahiyatul masjid, atau suami yang meninggal dan tidak diketahui oleh istrinya, kecuali setelah lewat masa iddah (4 bulan). Maka masa iddah sang istri telah habis dengan sendirinya, karena maksud masa iddah adalah untuk mengetahui bahwa dalam rahim istri tidak ada janin dari suami yang telah meninggal, dan hal itu sudah diketahui oleh sang istri dalam waktu tersebut, dengan demikian tidak wajib bagi sang istri untuk niat iddah lagi. Imam Al Karmani menentang pendapat Muhyiddin yang mengatakan, bahwa meninggalkan suatu perbuatan tertentu tidak memerlukan niat, karena meninggalkan itu sendiri termasuk perbuatan, yaitu menahan diri untuk tidak melakukannya, sehingga apabila hal itu dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dengan menaati perintah syariat, maka harus ada niat untuk meninggalkannya. Sedangkan pernyataan bahwa "altarku fl'lun" (Tidak melakukan sesuatu (meninggalkan) merupakan suatu perbuatan) masih diperselisihkan, sedangkan untuk menjadikan nash sebagai dalil yang diakui, diperlukan adanya kesepakatan yang bebas dari perselisihan. Adapun pengambilan dalil yang kedua tidak sesuai dengan konteks pembahasan, karena masalah yang dibahas adalah apakah meninggalkan suatu perbuatan harus disertai niat, sebagaimana pelakunya akan mendapat dosa jika meninggalkan niat itu? Namun yang diungkapkan Ghazali adalah apakah orang yang meninggalkan niat tetap akan mendapatkan pahala? Dengan demikian perbedaan masalah ini sangat jelas.
Kesimpulannya, bahwa meninggalkan suatu perbuatan yang tidak disertai niat, tidak akan mendapat pahala, akan tetapi yang mendapatkan pahala adalah menahan diri. Karena orang yang tidak terdetik sama sekali dalam hatinya untuk melakukan suatu perbuatan maksiat, tidak sama dengan orang yang terdetik dalam hatinya untuk melakukan perbuatan maksiat, kemudian ia berusaha menahan diri untuk tidak melakukannya karena takut kepada Allah.
Dari uraian di atas kita dapat mengambil intisari, bahwa semua perbuatan membutuhkan niat, dan bukan hanya meninggalkan (tidak melakukan perbuatan tertentu) saja yang perlu niat. Wallahu a 'lam.
^J J\
'J** (Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan dunia).
Kalimat seperti ini hampir terdapat dalam semua kitab hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengan menghapus sebagian (matan) hadits, yaitu (*Jj_Ijj ii '<^J'J** LJiT Imam Khaththabi berkata, "Hadits ini terdapat dalam riwayat kami dan kitab hadits para sahabat kami, tetapi baris hadits (*Jj -jj iii J\ i';'}*? '^J\t 'Jj) hilang (makhruman) dan tidak tercantum dalam hadits tersebut, saya tidak mengetahui sebab kelalaian ini? Karena Imam Bukhari telah menyebutkan secara lengkap dari jalur selain Humaidi, dan Humaidi juga telah meriwayatkan kepada kami secara lengkap. Ibnu At-Tin menukil perkataan Khaththabi secara ringkas, dan ia memahami dari perkataan makhruuman (hilang) adalah maqtuu 'an (terputus) sanadnya, kemudian ibnu At-Tin mengatakan, bahwa hal itu dikarenakan Imam Bukhari tidak pernah bertemu dengan Humaidi, sehingga tampak aneh dari perkataan Bukhari ^.i-LiJi \-(Humaidi telah menceritakan kepada kami) yang disebutkan berulang kali dalam kitab ini. Tetapi banyak orang yang mengatakan dari biografi Imam Bukhari, bahwa Humaidi adalah salah satu guru Imam Bukhari dalam bidang fikih dan hadits. Ibnu Arabi berkata tentang guru Imam Bukhari, "Tidak ada alasan bagi Bukhari untuk menghilangkan riwayat dari Humaidi, karena Humaidi adalah salah satu guru beliau dalam bidang hadits, dan riwayat ini telah disebutkan dalam kitab musnadnya secara lengkap." Dia mengatakan, "Beberapa orang mengatakan, "Mungkin saja Imam Bukhari dibacakan atau diriwayatkan beberapa hadits riwayat Humaidi secara lengkap, tetapi sebagian baris hadits hilang dari hafalan Imam Bukhari." Imam Dawudi berkata, Hilangnya sebagian matan hadits tersebut berasal dari Imam Bukhari, karena riwayat tersebut dapat ditemukan secara lengkap dari para gurunya."
Kita telah meriwayatkan hadits ini dari jalur Bisyr bin Musa dan Abu Ismail At-Tirmidzi dari Humaidi secara lengkap, seperti dalam Kitab Mushannif karangan Qasim bin Ashbagh, Kitab Mustakhraj karangan Abu Nu'aim, Shahih Abu Awanah dari jalur Humaidi. Jika ditanyakan bahwa hilangnya sebagian baris hadits bukan dari Bukhari, kenapa beliau memulai penulisan kitab ini dengan hadits yang tidak lengkap? Jawabnya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Bukhari memilih Humaidi karena beliau adalah gurunya yang terkemuka di kota Makkah. Akan tetapi apabila hilangnya dari Bukhari, maka jawabannya sebagaimana dikatakan oleh Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id Al Hafizh, "bahwa sebaik-baiknya jawaban adalah, dimungkinkan Imam Bukhari memulai penulisan kitab ini dengan mengikuti pengarang-pengarang lain yang memulainya dengan metode penulisan khutbah, yang mencakup maksud dari penulisan kitab ini, seakan-akan beliau memulainya dengan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah. Seandainya beliau mempunyai niat mencari dunia atau maksud-maksud yang lain, maka hanya itu yang akan beliau dapatkan." Kesimpulannya, bahwa kalimat pertama yang dihilangkan menggambarkan ketulusan niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan kalimat yang tidak dihilangkan mencerminkan adanya tarik menarik antara ketulusan niat dan tidak. Maka ketika Imam Bukhari ingin menggambarkan apa yang ada dalam jiwanya dengan menyebutkan hadits ini, beliau menghilangkan makna hadits yang menunjukkan ketulusan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan beliau menulis bagian hadits yang menggambarkan adanya tarik menarik antara ketulusan niat dan tidak. Beliau menyerahkan segalanya kepada Allah untuk memberi balasan niatnya. Disarnping itu sudah menjadi kebiasaan para pengarang kitab untuk mengumpulkan istilah madzhab yang dianutnya dalam isi khutbah kitab, maka imam Bukhari berpendapat, bahwa meringkas sebuah hadits dan meriwayatkan dengan maknanya, mendahulukan yang samar daripada yang jelas, dan menguatkan isnad dengan shighah (bentuk) sama' (mendengar) daripada yang lainnya adalah diperbolehkan, sebagaimana yang kita lihat dalam periwayatan hadits ini baik dari segi sanad maupun matannya. Bukhari seperti konteks hadits di atas, yaitu dihilangkan bagian akhirnya, sebagaimana dilakukan oleh orang yang sering meringkas hadits. Dengan demikian tidak bisa dikatakan bahwa Imam Bukhari membolehkan meringkas hadits secara sembarangan walaupun untuk dirinya sendiri. Inilah pendapat yang paling kuat. Wallahu a lam. Imam Al Karmani mempunyai pandangan lain dalam hal ini, "Seandainya Bukhari meriwayatkan hadits secara lengkap, kenapa beliau meringkasnya di awal kitab, sedangkan hukum boleh tidaknya meringkas hadits masih diperselisihkan? Tidak mungkin Bukhari menghilangkan sebagian isi hadits, karena konteks pembahasannya berbeda. Mungkin saja ketika menjelaskan "iman itu harus didasari dengan niat dan keyakinan hati" beliau mendengar riwayat hadits ini secara lengkap, sedangkan ketika meriwayatkan "setiap amal perbuatan itu tergantung niatnya" beliau hanya mendengar seperti yang diriwayatkan di atas. Dengan demikian hilangnya sebagian kalimat hadits berasal dari sebagian guru Imam Bukhari, bukan dari Imam Bukhari. Apabila memang hilangnya dari beliau, maka konteks hadits ini sesuai dengan isi yang dimaksud.
Apabila kamu mengatakan, bahwa kalimat yang dihilangkan sangat sesuai dengan maksud isi hadits tersebut, yaitu bahwa niat harus karena Allah atau Rasul-Nya, maka saya katakan pula, bahwa yang damikian itu adalah pendapat mayoritas kaum muslimin. Pendapat ini dikatakan oleh orang yang tidak melihat dan meneliti perkataan para ulama yang telah saya sebutkan, khususnya Ibnu Arabi. Imam Al Karmani juga mengatakan, "Hadits ini terkadang diriwayatkan secara lengkap dan terkadang tidak, hal itu disebabkan perawi yang meriwayatkannya juga berbeda. Memang setiap perawi telah meriwayatkan hadits sesuai dengan apa yang dia dengar tanpa ada yang dihilangkan, sedang Bukhari menulis riwayat hadits ini sesuai dengan judul bab yang dibicarakan."
Seakan-akan Imani Al Karmani menjumpai hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari ini tidak hanya »atu riwayat saja, melainkan terkadang ia mendapatkannya secara lengkap dan terkadang tidak, dan ini dapat dijumpai dalam kitab Jarrn" Ash-Shahih. Karena prinsip Imam Bukhari dalam menulis sebuah hadits adalah tidak menulis satu hadits yang berbeda periwayatannya dalam satu tempat. Apabila ada satu hadits yang mempunyai sanad lebih dari satu, maka ia menulisnya pada tempat yang berbeda dengan sanad yang berbeda pula. dan tidak pernah beliau menulis hadits dengan menghilangkan sebagiannya, sedang pada tempat yang lain beliau menulis secara lengkap, juga tidak dijumpai satu hadits pun dengan sanad dan matan yang sama dan lengkap ditulis pada beberapa tempat, kecuali sebagian kecil saja. Saya menjumpai orang yang selalu meneliti dan mengkaji hadits Bukhari, dimana mereka mendapatkan hal seperti ini kurang lebih dua puluh tempat,
Hijrah berani meninggalkan, dan hijrah kepada suatu tempat berati pindai i dari satu tempat ke tempat yang lam. Menuiut s\anat, .uijrah berarti meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah. Dala.m i^iam iujiah i"tiumpun\ai dua pengertian. Panumu, pindah duri tumpat \ ang menakutkan ke tumpat yang tenang, seperti hijrah ku Negeri 1 l,iba^\aii dari hij;;;h yang pertama kaii dyn Makkah ke Madinah, hedua. ni^ih ja/i negeri Kafir ke negeri iman, seperti hijrahnya kaum muslimin ke Madinah setelah Rasulullah menetap di sana. Hijrah pada iaat itu khusus berpindah ke Madinah, sjmpai dibukanya kota Makkah (Fmini Mukkah).
Setelah itu hijrah tidak dikhususkan lagi, melainkan mempunyai makna umum, yaitu berpindah dari negeri kafir bagi siapa yang memiliki kemampuan.
dekat, dinamakan demikian karena dunia lebih dahulu daripada akhirat, atau karena dunia sangat dekat dengan kehancuran atau kebinasaan. Namun dalam hal ini ada perbedaan pendapat mengenai hakikat dunia. Sebagian orang mengatakan, bahwa hakikat dunia adalah apa yang ada di atas bumi berupa udara dan angkasa, dan sebagian lain mengatakan, bahwa dunia adalah setiap makhluk yang diciptakan, tapi pendapat yang lebih kuat adalah semua apa yang ada di atas bumi berupa udara dan angkasa sebelum datang hari kiamat. Adapun bila disebutkan salah satu bagian dari dunia tanpa disebutkan secara keseluruhan adalah termasuk bentuk majaz (kiasan).
141^' (mengharapkan) atau mendapatkannya.
't-* 1 J' ( a * au perempuan) Disebutkannya kata perempuan secara khusus setelah kata umum (dunia) adalah untuk menekankan bahwa bahaya dan fitnah yang ditimbulkan oleh perempuan sangat besar. Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, bahwa sebab munculnya hadits ini adalah cerita seorang muslim yang ikut berhijrah dengan maksud ingin mengawini seorang perempuan sehingga ia disebut Muhajir Ummu Qais. Ibnu Dihyah meriwayatkan, bahwa nama perempuan itu adalah Qailah.
Ibnu Baththal meriwayatkan dari Ibnu Siraj tentang manfaat disebutkannya kata mar 'ah (perempuan) secara khusus dalam hadits ini. Hal itu disebabkan kebiasaan orang Arab yang tidak mau mengawinkan anak perempuan mereka dengan hamba sahaya, karena mereka sangat menjaga kehormatan keturunannya. Ketika Islam datang membawa ajaran yang tidak membedakan kedudukan kaum muslimin dalam masalah pernikahan, maka banyak bangsa Arab yang pergi ke Madinah untuk menikahi perempuan tersebut, dimana sebelum itu mereka tidak dapat melakukannya. Tetapi dalam hal ini masih dibutuhkan riwayat yang kuat untuk menyatakan bahwa orang laki-laki yang ikut berhijrah itu adalah seorang hamba sahaya sedangkan perempuan tersebut adalah orang Arab yang terhormat. Karena banyak orang Arab sebelum datangnya Islam telah mengawinkan anak perempuannya dengan hamba sahaya, maka kedatangan Islam di sini telah menghapus kesetaraan yang tidak pada tempatnya.
;-^] j*-1 *-* 1 * J>\ «i^j (maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkan).
Fungsi kata ganti (dhamir) dalam kalimat "-v~$> adalah untuk mencakup semuanya, baik perempuan atau lainnya, adapun kata ganti (dhamir) pada kalimat yang dihilangkan sebelumnya J>> ^) IzJiS'
^.j--JJ ^J 1 *-v*** *0-'"ji adalah untuk mengingat kebesaran Allah dan Rasul-Nya, berbeda dengan perkataan dunya (dunia) dan mar 'ah (wanita), karena konteksnya adalah untuk menghimbau agar manusia selalu berhati-hati dan menjauhinya. Imam Al Karmani berkata, "Kalimat £\ il J\ berhubungan dengan dengan lafazh a! hijrah, maka khabar (predikat) nya dihilangkan dan ditaqdirkan dengan kalimat gabihah (buruk) atau ghairu shahihah (tidak benar), atau dimungkinkan yang menjadi predikat adalah lafazh 4-dan kalimat 0 J\ adalah sebagai predikat dari (mubtada)
subyek kalimat oli-T J-. Pendapat yang kedua adalah pendapat yang paling kuat, karena pendapat yang pertama menunjukkan bahwa setiap hijrah itu secara mutlak adalah tercela, padahal tidak demikian. Kecuali terjadi penduaan dalam niat seperti seseorang yang niat hijrah untuk menjauhi kekufuran dan mengawini seorang wanita, maka hal ini bukan sesuatu yang tercela dan tidak sah, akan tetapi hijrah seperti ini kurang sempurna dibandingkan dengan orang yang berhijrah dengan niat yang tulus. Seseorang yang berhijrah disertai dengan niat untuk menikahi seorang perempuan, maka ia tidak akan mendapatkan pahala seperti orang yang hanya berniat hijrah, atau seorang yang mempunyai keinginan menikah saja tanpa melakukan hijrah kepada Allah, maka orang itu tetap mendapatkan pahala apabila pernikahan yang dilakukannya untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata 'ala, karena pernikahan adalah anjuran agama Islam.
Hal ini seperti peristiwa masuk Islamnya shahabat Thalhah, sebagaimana diriwayatkan oleh Nasa'i dan Anas, ia berkata, "Abu Thalhah telah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar masuk Islam, karena Ummu Sulaim telah masuk Islam lebih dahulu dari pada Abu Thalhah. Maka ketika Abu Thalhah melamarnya, Ummu Sulaim berkata. "Aku sudah masuk Islam, seandainya kamu masuk Islam, maka saya bersedia dikawini." Lalu Abu Thalhah masuk islam dan menikahi ummu Sulaim. Hal ini dilakukan atas dasar keinginannya untuk masuk Islam dan menikahi ummu Sulaim, seperti juga orang yang melakukan puasa dengan niat ibadah dan menjaga kesehatan.
Imam Ghazali menggaris bawahi apabila keinginan untuk memperoleh dunia lebih besar dari keinginannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang itu tidak mendapatkan pahala, begitu pula apabila terjadi keseimbangan antara keduanya antara keinginan untuk mendapatkan dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, ia tetap tidak mendapatkan pahala. Akan tetapi apabila seseorang berniat untuk ibadah dan mencampurnya dengan keinginan selain ibadah yang dapat mengurangi keikhlasan, maka Abu Ja'far bin Jarir Ath-Thabari telah menukil perkataan ulama salaf, bahwa yang harus menjadi tolak ukur adalah niat awal, apabila ia memulai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka perubahan niat tidak menggugurkan pahalanya. Wallahu a'lam.
Kesimpulan dalam hadits ini, adalah larangan untuk melakukan sesuatu perbuatan sebelum mengetahui hukumnya secara jelas, karena suatu pekerjaan yang tidak didasari niat, maka pekerjaan itu akan sia-sia, dan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan tidak mengetahui hukumnya secara jelas, maka niatnya tidak sah. Akan tetapi orang yang lalai tidak termasuk dalam hukum ini, karena setiap perbuatan harus dikerjakan dengan kesadaran diri, sedangkan orang yang lalai tidak mempunyai maksud. Contoh, orang melakukan puasa sunah dengan niat sebelum tergelincirnya matahari, maka orang itu akan mendapat pahala dari waktu dia memulai niatnya. Akan tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa dia tetap mendapat pahala puasa yang sempurna berdasarkan sebuah hadits, "Bamngsiapa mendapatkan sebagian dari rakaat (shalat jama 'ah), maka dia telah mendapatkan/iya" artinya mendapatkan keutamaan jama'ah atau waktunya.
Dapat juga diambil kesimpulan dari pemahaman hadits di atas, bahwa yang tidak termasuk dalam kategori pekerjaan tidak memerlukan niat, seperti shalat jama' tagdim menurut pendapat yang paling benar tidak diperlukannya niat tertentu, berbeda dengan pendapat ulama madzhab Syafi'i, tapi guru kami Syaikh Islam berkata, bahwa jama' (mengumpulkan shalat) bukanlah termasuk perbuatan, tetapi yang termasuk dalam perbuatan adalah shalat itu sendiri." Pendapat ini dikuatkan dengan apa yang telah dipraktekkan Rasulullah yaitu men-jama' shalat pada waktu perang Tabuk tanpa diberitahukan terlebih dahulu kepada para sahabat. Sekiranya hal itu merupakan syarat maka Rasulullah akan memberitahukan terlebih dahulu kepada sahabat sebelum melakukan shalat. Seperti seorang membebaskan budak dengan niat membayar kafarat, tanpa menyebutkan jenis kafaratnya, apakah kafarat zhihar atau lainnya, maka hal ini diperbolehkan, karena makna hadits di atas mengindikasikan bahwa setiap perbuatan tergantung kepada niatnya. Sedangkan dalam masalah kafarat yang harus dilakukan adalah mengeluarkan kafarat yang diwajibkan tanpa harus menentukan sebabnya.
Dalam nash hadits tersebut ada tambahan "sebab," karena konteks hadits di atas adalah mengisahkan orang yang berhijrah dengan tujuan untuk menikahi seorang perempuan, maka disebutkannya "dunia" dalam hadits ini bertujuan untuk memberi peringatan kepada manusia untuk selalu berhati-hati terhadap gemerlapnya dunia. Syaikh Islam mengatakan. "Konteks penjelasan hadits tersebut adalah umum walaupun mempunyai sebab khusus." maka kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa yang menjadi dasar dalam menentukan hukum adalah lafazh nash secara umum, bukan sebab-sebab yang khusus, dan penjelasan pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini akan diterangkan lebih luas dalam kitab •Iman". sesuai apabila diletakkan pada bab ini, tetapi yang lebih cocok adalah hadits setelannya, sedangkan hadits ini cocok dimasukkan dalam bab "Cara Turunnyc Wahyu" bukan bab "Permulaan Turunnya Wahyu." Imam Al Karmani berkata. "Mungkin saja pertanyaan ini mengenai bagaimana cara permulaan turunnya wahyu, sehingga hadits tersebut cocok diletakkan dalam bab ini.*' Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Tidak seperti itu. karena konteks kalimat yang ada dalam hadits tersebut adalah kalimat yang digunakan untuk menunjukkan masa yang akan datang (mustaqbal) bukan masa lalu (madhi), meskipun demikian kita dapat melihat adanya korelasi antara hadits dan pembahasan di atas dari jawaban Rasulullah, karena jawaban beliau telah menunjukkan sifat wahyu dan sifat pembawanya, dimana kedua hal tersebut mengindikasikan permulaan turunnya wahyu. Dengan demikian kita mengetahui adanya korelasi yang jelas antara hadits dengan judul pembahasan. Disamping itu Imam Bukhari sendiri ingin mengawali penulisan hadits dalam kitabnya dengan riwayat orang-orang Hijaz, maka dimulailah dengan Makkah kemudian Madinah. Demikian juga bukan merupakan suatu keharusan, bahwa seluruh isi hadits yang ada dalam bab ini harus sesuai dengan permulaan turunnya wahyu, tapi cukup dengan hadits yang berhubungan dengan pembahasan bab ini. Sedangkan hadits ini berhubungan erat dengan topik pembahasan yang sedang kita bicarakan, begitu pula dengan ayat-ayat Al Qurian yang membicarakan tentang turunnya wahyu kepada para nabi sebelum Muhammad SAW, juga masih berhubungan dengan pembahasan ini.
(Kadang-kadang) i-adalah bentuk jama' (plural) dari jj-yang berarti waktu yang banyak atau sedikit. Akan tetapi maksud kata tersebut dalam hadits ini adalah waktu, seakan-akan Nabi berkata, "auqaatan ya'tiinii (beberapa kali dia datang kepadaku). Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Hisyam dalam bab "bad'ul khalqi" (Permulaan penciptaan), ia mengatakan, "Dalam semua kondisi itu telah datang kepadaku malaikat." Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'id dari jalur Abi Salmah Al Majisyun, dia menyampaikan bahwa Rasulullah bersabda, "Bahwa wahyu datang kepadaku dengan dua cara, yaitu malaikat Jibril datang dan menyampaikan wahyu kepadaku sebagaimana seorang menyampaikan berita kepada orang lain. dan ini tidak membuatku takut. Atau datang kepadaku dengan suara lonceng, dan hal ini membuat aku takut."
Disamping itu malaikat juga datang dalam bentuk manusia, seperti ketika datang kepada Nabi dalam rupa sahabat Nabi yang bernama Dihyah, atau seorang laki-laki berbangsa Arab atau lainnya yang semuanya telah dijelaskan dalam hadits shahih.
Sebenarnya inti hadits ini, yaitu Pertama, menjelaskan sifat wahyu seperti turunnya wahyu dengan cara desingan tawon, bisikan hati, ilham, mimpi, dan berbicara langsung pada malam Isra' Mi'raj dengan tanpa hijab. Kedua, sifat pembawa wahyu, hakikat malaikat Jibril yang memiliki 600 sayap, Nabi melihatnya duduk di antara langit dan bumi. Nabi melihat malaikat Jibril dalam bentuknya yang asli hanya dua kali menurut Aisyah.
Adapun turunnya wahyu dengan cara membisikkan dalam hati Rasulullah dimungkinkan ada dua cara, yaitu pertama-tama malaikat datang kepada Nabi seperti suara lonceng kemudian membisikkan wahyu ke dalam hati Nabi. Adapun turunnya wahyu melalui Ilham tidak dipertanyakan, karena yang ditanyakan adalah sifat wahyu yang dibawa oleh malaikat, begitu juga turunnya wahyu pada malam Isra' Mi'raj.
Al Hulaimi berkata, bahwa wahyu turun kepada Nabi dalam 46 macam cara --kemudian ia menyebutkan semuanya-dan yang paling banyak adalah mengenai sifat pembawa wahyu, yang telah disebutkan dalam hadits "Sesungguhnya Ruh Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam hati," Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam bab. Qana 'ah, hadits ini shahih menurut Hakim dari jalur Ibnu Mas'ud. Dalam riwayat Muslim dikatakan J}^ j£aL> Ji. j Shalshalah arti-nya suara yang dihasilkan dari benturan antara besi, kemudian kata tersebut dinisbahkan kepada semua suara yang menimbulkan denging. Sedangkan Jaras adalah lonceng kecil atau kerincingan yang digantungkan pada kepala hewan. Al Karmani mengatakan, bahwa jaras adalah gentongan atau lonceng kecil yang di dalamnya ada potongan kuningan dan digantungkan di leher onta, apabila onta itu bergerak maka lonceng itu akan berbunyi. Ada juga yang mengatakan, bahwa shalshalah adalah suara malaikat ketika menyampaikan wahyu, atau suara sayap malaikat.
'J* »jif (Itulah yang sangat berat bagiku)
Kita dapat memahami dari statement di atas bahwa semua wahyu itu berat, akan tetapi wahyu yang diterima nabi dengan disertai bunyi lonceng adalah yang paling berat, karena memahami perkataan dengan bunyi lonceng lebih sulit dari pada memahami perkataan secara langsung. Sebagian ulama mengatakan, bahwa berat atau sulitnya menerima wahyu bertujuan agar Nabi lebih berkonsentrasi dalam menerima wahyu. Ulama lain mengatakan, bahwa cara turunnya wahyu seperti ini biasanya membicarakan masalah adzab dan ancaman, meskipun pendapat ini masih diperselisihkan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Ya'la bin Umayah pada masalah "Pemakai jubah yang dibauri Minyak wangi pada waktu haji, " dia berkata, bahwa beliau melihat keadaan Nabi ketika menerima wahyu dalam keadaan pucat. Adapun hikmah itu semua adalah untuk mendekatkan kepada Allah dan meninggikan derajat Rasulullah di sisi-Nya.
t^ii (Setelah bunyi itu berhenti) Hilang ketakutanku.
Ju U. ili c4^j JJj (aku baru mengerti apa yang disampaikannya) Artinya aku (Rasul) mengerti perkataan yang disampaikan kepadaku setelah bunyi itu berhenti. Inilah yang menguatkan bahwa turunnya wahyu melalui perantara malaikat. Hadits ini sesuai dengan ayat Al Qur'an yang menentang orang-orang kafir yang mengatakan, "Sesungguhnya ini adalah perkataan manusia biasa." Karena orangorang kafir menentang adanya wahyu dan turunnya malaikat yang menyampaikan wahyu kepada Rasulullah. y^J*j il_XJi ^-1 jii' (Kadang-kadang malaikat menjelma seperti seorang laki-laki) Alif lam pada lafazh 'JJ-itJi menunjukkan sesuatu yang telah diketahui, yaitu malaikat Jibril. Hadits ini sebagai dalil bahwa malaikat dapat menyerupai manusia. Para ahli teologi berkata, "Malaikat memiliki wujud yang halus dan tinggi, serta dapat berubah dalam berbagai bentuk yang diinginkannya." Para filosof mengatakan, bahwa malaikat adalah partikel terkecil yang bersifat ruhaniah. Imam Haramain berkata, "Jibril dapat menyerupai kita," hal itu berarti Allah memusnahkan hamba-Nya ke-mudian mengembalikan lagi. Ibnu Salam mengatakan, bahwa hal itu tidak berarti memusnahkan, tapi hanya menghilangkan, dalam arti bahwa perubahan malaikat Jibril tidak menyebabkan kematian hamba itu, karena kematian adalah berpisahnya ruh dari tubuh berdasarkan kehendak Allah bukan kehendak manusia. Syaikh Islam berkata, apa yang dikatakan Imam Haramain tidak dapat dibenarkan, karena mungkin saja yang datang adalah malaikat jibril dengan wujud yang asli kemudian berubah menjadi manusia dan setelah itu kembali lagi kepada bentuknya yang semula, seperti bahan katun apabila dijadikan baju, maka akan berubah namanya tapi tidak berubah zatnya. Artinya perubahan malaikat hanya dalam bentuknya saja bukan dzatnya. Wailahu a 'lam.
1>S UKJ (menyampaikan kepadaku) Lafazh inilah yang banyak digunakan oleh para perawi hadits, berbeda dengan riwayat Baihaqi dari jalur Al Qa'nabi dari Malik yang menggunakan lafazh ^-ui'v (maka dia mengajarkan kepadaku). Tapi dalam kitab Muwaththa' mengunakan lafazh dari jalur Al Qa'nabi, begitu juga yang diriwayatkan olah Daruquthni dari jalur Al Qa'nabi.
J^i' C ^(i (dan aku mengerti apa yang disampaikannya)
Abu Awanah menambahkan dalam kitab Shahihnya ''J*i jii y> j ada juga perubahan pada kalimat ini dengan mengunakan kalimat(^ Ji) dengan bentuk lampau (madhi), sedangkan di sini mengunakan ^Lj bentuk masa yang akan datang (niustaqbal). Kalau lafazh pertama J-j J-S mengandung arti bahwa nabi memahami apa yang disampaikan oleh malaikat Jibril sebelum berpisah, sedangkan pada bentuk yang kedua dengan memakai kata kerja muslaqbal menunjukkan bahwa nabi memperoleh pamahaman ketika berbicara dengan malaikat Jibril.
UJUV LJIJ (Aisyah berkata)
Sanadnya sama dengan sebelumnya. Daruquthni meriwayatkan hadits Malik, dari jalur Atiq bin Ya'qub dari Malik secara terpisah dari hadits sebelumnya, begitu juga riwayat Imam Muslim dari Usamah dan Hisyam. Terjadinya pemisahan dalam hadits ini, karena adanya perbedaan, bahwa hadits pertama meriwayatkan tentang Harits, sedangkan hadits kedua meriwayatkan tentang kesaksian Aisyah untuk menguatkan hadits pertama.
iUiD (bersimpah)
Al fashdu berarti keringat berhenti akibat darah keluar. Dahi nabi disamakan dengan keringat, karena banyaknya keringat beliau yang keluar. Dalam hadits yang berbunyi ^-S' ^A 51 ^ J (pada hari yang sangat dingin), menunjukkan betapa lelahnya beliau ketika menerima wahyu, karena dalam keadaan dingin keringat beliau tetap keluar, yang berarti bahwa beliau sedang menghadapi perkara yang sangat besar. Ibnu Abu Zinad dari Hisyam yang diriwayatkan oleh Baihaqi menambahkan riwayat hadits ini dengan "Apabila Nabi mendapatkan wahyu ketika berada di atas kuda, maka beliau akan menarik tali kendali kuda itu karena begitu beratnya." * *, * ' y' ' I , •* " i j ''-Si, " t ' * t ' , 3 tlj->-jl rj ji>ij jlS'j t!^iJl 4JI 1 ^ ^ ^tJ^aJl jjJi Ji» C-s-li- Nabi menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Berkata Waraqah, "Inilah Namus (malaikat) yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih diberi kehidupan ketika kamu diusir kaummu, "Nabi bertanya, "Apakah mereka akan mengusirku," Jawab Waraqah, "Ya betul, Belum ada seorang pun yang diberi wahyu seperti mu tidak dimusuhi orang. Apabila saya masih mendapati hari ini niscaya saya akan menolong anda sekuat-kuatnya. " Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus untuk sementara.
LJ-(tertarik)
Subjek dalam kalimat tersebut tidak disebutkan, karena motivasi yang mendorong (Rasulullah) untuk melakukan hal itu tidak ada, meskipun kita mengetahui bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Disamping itu juga untuk memberi peringatan kepada manusia, bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah bukan berasal dari motivasi manusia, tetapi dari ilham dan wahyu.
Lafazh (">lJJI artinya mengosongkan hati dengan mengonsentrasikan diri terhadap apa yang akan dihadapi. Sedangkan gua hira' adalah salah satu gua yang ada di Makkah.
o-^j (mengasingkan diri) o-I^ berarti li^i'i yaitu mengikuti ajaran agama Nabi Ibrahim.
ii^1 'j*j (yaitu beribadah)
Kalimat ini adalah kalimat tambahan dalam hadits, yaitu penafsiran dari Az-Zuhri sebagaimana yang dikatakan Ath-Thibbi. jj^I yJCii (beberapa malam)
Dalam hal ini tidak disebutkan jumlah hari secara pasti, karena masih diperselisihkan. Ada yang mengatakan satu bulan, sebagaimana Ibnu lshaq, karena waktu itu adalah bulan Ramadhan.
Sedangkan lafazh z/J-i artinya membawa bekal. Khadijah adalah Umul Mukminin anak Khuwailid bin Asad bin Abdul Izzi.
itii Ji-(hingga suatu ketika datang kepadanya al haq kebenaran atau wahyu) Atau hingga datang kepadanya perkara yang benar. Disebut dengan haq karena wahyu tersebut berasal dari Allah. Dalam riwayat Abu Aswad dari Urwah dari Aisyah disebutkan, bahwa Nabi pertama kali melihat Jibril dalam mimpi, kemudian Nabi melihat Jibril secara sadar pertama kali di Ajyad. Ketika mendengar panggilan Jibril, "'Ya Muhammad," Nabi melihat ke kanan dan kiri namun tidak menemukan siapa pun, lalu ketika beliau melihat ke atas beliau melihat Jibril di langit. Kemudian Jibril berkata, "Ya Muhammad, ini Jibril," kemudian Nabi lari menuju tempat keramaian dan beliau tidak melihat lagi. Tapi ketika keluar dari keramaian beliau melihat Jibril kembali sambil memanggilmanggil Nabi dan Nabi pun lari. Kemudian Jibril baru menemui Nabi di Gua Hira', sebagaimana telah diceritakan dalam kisah tersebut.
Nabi melihat bahwa Jibril memiliki dua sayap yang terbuat dari Yaqut, menurut riwayat Ibnu Lahi'ah dari Abu Aswad. Telah disebutkan dalam Shahih Muslim riwayat lain dari Aisyah, Nabi berkata, "Aku belum pernah melihat Jibril dalam bentuknya yang asli kecuali hanya dua kali." Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits Ibnu Mas'ud, bahwa pertemuan Nabi dengan Jibril dalam bentuknya yang asli hanya dua kali, Pertama, ketika bertemu pertama kali, dan kedua ketika peristiwa Isra' Mi'raj. Begitu juga Tirmidzi meriwayatkan dari jalur Masruq dari Aisyah, bahwa Nabi tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk yang asli kecuali dua kali. Pertama di Sidratul Muntaha, dan kedua di Ajyad. Dalam kitab Sirah yang ditulis oleh Sulaiman At-Taimi, diriwayatkan oleh Muhammad bin Abdul ATa uari anaknya Mu'lamir bin Sulaiman dari bapaknya, bahwa Jibril datang kepada Nabi di Gua Hira. la menyuruh nabi membaca "Iqra bismirabbika.." lalu pergi dan Nabi terdiam kebingungan, kemudian Jibril menampakkan rupanya yang asli di hadapan Nabi.
istij (datang kepadanya)
Huruf fa' di sini sebagai fa' tafsiriyah (menjelaskan), karena datangnya malaikat bukan setelah turunnya wahyu, akan tetapi malaikat datang ketika wahyu turun.
^jti u' C (Aku tidak bisa membaca)
Nabi mengatakan kalimat ini sebanyak tiga kali, dan ketika beliau mengucapkan yang ketiga kalinya, maka malaikat berkata, "Bacalah dengan nama Allah." Yakni janganlah membaca dengan kemampuan dan pengetahuanmu, akan tetapi bacalah dengan pertolongan Allah, karena Dialah yang akan mengajarkan kepadamu, sebagaimana Dia telah menciptakan kamu dan mengeluarkan segumpal darah tempat bersarangnya syaitan ketika kamu masih kecil. Dia juga yang mengajarkan kepada umatmu cara menulis setelah mereka hidup buta huruf, demikian kata Suhaili.
Ath-Thibi menyebutkan bahwa susunan kalimat (aku tidak bisa membaca) menunjukkan penguat (ta'kid), seakan-akan Nabi berkata, "Aku sama sekali tidak bisa membaca." Apabila dikatakan kenapa Nabi mengucapkannya sebanyak tiga kali? Abu Syamah menjawab, dimungkinkan jawaban pertama (aku tidak bisa membaca) mengandung arti menolak (imtina'), adapun ucapan kedua mengandung arti ketidakmampuan, sedangkan ucapan ketiga mengandung arti pertanyaan apa yang harus dibaca.
Abu Aswad dan Zuhri meriwayatkan bahwa ucapan Nabi, "Bagaimana saya harus membaca?" (kaifa aqra'), Ubaid bin Umair S^If (yang telah memeluk agama Nasrani) Beliau dan Zaid bin Amru bin Nufail pergi ke Syam karena benci terhadap praktek peganisme yang ada, untuk mencari agama baru, sehingga Waraqah tertarik dan masuk agama Nasrani. Waraqah bertemu para pendeta yang masih berpegang teguh kepada ajaran agama Nasrani yang benar, maka di sanalah dia mendapat kabar akan kedatangan nabi terakhir, yaitu kabar yang disembunyikan oleh para pendeta pada saat itu. Pada kesempatan lain Waraqah juga menyebutkan "Namus Isa", sebagaimana diriwayatkan oleh Zubair bin Bakar dari jalur Abdullah bin Muadz dari Zuhri. Tapi pendapat yang benar adalah ucapan pertama, yaitu "Namus Musa", karena Abdullah bin Muadz termasuk periwayat yang lemah. Akan tetapi dalam riwayat lain dari Abu Nu'airn dengan sanad hasan tentang riwayat ini bahwa khadijah datang kepada Waraqah dan menceritakan apa yang terjadi dengan nabi Muhammad, kemudian Waraqah berkata kepadanya, "Jika kamu mempercayaiku, maka sesungguhnya telah datang kepadanya namus Isa yang tidak diajarkan oleh Bani Israil kepada anak-anak mereka." Dengan demikian terkadang Waraqah mengatakan, "Namus Isa" dan terkadang mengatakan "Namus Musa". Ketika Waraqah berbicara kepada Khadijah, ia mengatakan "Namus Isa," karena Waraqah adalah orang Nasrani, sedang ketika berbicara dengan Nabi dia mengatakan "Namus Musa" karena apa yang akan dihadapi Nabi sama dengan yang dihadapi nabi Musa, dan kedua pendapat ini benar. Wallahu a'lam. ul* L^j L' (Duhai, semoga saya masih diberi kehidupan) Jadz' adalah binatang kecil, seakan-akan Waraqah beranganangan jika saja waktu datangnya dakwah Islam, dia masih berusia muda, sehingga dapat membantu perjuangan Nabi, maka kita dapat mengetahui rahasia dijelaskannya bahwa Waraqah adalah orang yang sudah tua dan buta pada saat itu.
ili^kj" ij (ketika kamu diusir) Ibnu Malik berkata bahwa makna lafazh i; menunjukkan masa yang akan datang seperti makna lafazh bi sebagaimana firman Allah, "Peringatilah mereka akan hari kebangkitan ketika akan dilaksanakan pengadilan."
Pada saat itu Waraqah mengharapkan agar kembali menjadi muda sehingga dapat membantu perjuangan Nabi, tapi hal itu sangat mustahil.
Pelajaran yang dapat diambil adalah kita boleh mempunyai angan-angan dan cita-cita yang baik. Akan tetapi menurut saya maksud Waraqah mengatakan hal itu bukan mengharapkan agar kembali menjadi muda, melainkan meyakinkan kepada Nabi akan kebenaran dakwahnya.
Jfi A* V (Apakah mereka akan mengusirku)
Nabi mempertanyakan apakah mungkin mereka akan mengusirnya, karena tidak ada sebab yang menjadikan mereka malakukan perbuatan itu. apalagi kalau melihat bahwa beliau mepunyai perangai yang sangat mulia.
Waraqah mengatakan hal itu, karena melihat sejarah-sejarah terdahulu dari kitab Injil dan Taurat bahwa mereka akan melakukan penyiksaan, penentangan dan permusuhan kepada para nabi.
2)-'y. ^-•S'jjS 0} (Apabila saya masih mendapati hari ini) Artinya apabila aku masih hidup di saat kamu diusir, maka aku pasti akan menolongmu.
Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia. Berbeda dengan riwayat Ibnu Ishaq yang mengatakan, bahwa Waraqah menyaksikan ketika Bilal disiksa, hal itu berarti Waraqah masih menyaksikan dakwah Islam. Kita dapat menggabungkan kedua pendapat ini, dengan mengatakan huruf j pada kalimat ^--»j bukan menunjukkan rangkaian kejadian (tartib), karena mungkin saja para perawi tidak menyebutkan kehidupan Waraqah selanjutnya berdasarkan pengetahuan mereka bukan menurut realita kejadian Pelajaran yang dapat diambil Dalam kitab sejarah karangan Ahmad bin Hambal terdapat riwayat dari Sya'bi yang mengatakan, bahwa masa tidak turunnya wahyu adalah 3 tahun, pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Ishaq. Sedangkan menurut Baihaqi adalah 6 bulan, dan Nabi mendapatkan wahyu lewat mimpi pada bulan kelahirannya yaitu Rabi'ul Awal ketika umur beliau 40 tahun, sedangkan turunnya wahyu dalam keadaan sadar pada bulan Ramadhan.
Bukanlah yang dimaksud dengan terputusnya wahyu selama tiga tahun berarti tidak turunnya malaikat Jibril kepada Muhammad setelah turunnya ayat "Iqra bismirabbika..." sampai turunnya ayat, "Ya Ayyuhal Muddatstsir," melainkan hanya diperlambat turunnya Al Qur'an kepada beliau.
Asy-Sya'bi berkata, "Turunnya kenabian kepada Muhammad, ketika beliau berusia 40 tahun yang ditemani oleh malaikat Israfil selama 3 tahun yang mengajari beliau, dan pada saat itu belum turun Al Qur'an kepadanya. Setelah tiga tahun selanjutnya Nabi ditemani oleh Malaikat Jibril, dan turunlah Al Qur'an selama 20 tahun kepadanya.
Ibnu Tin mempunyai pendapat lain, yaitu bahwa yang menemani Nabi adalah malaikat Mika'il bukan Israfil, akan tetapi pendapat ini ditolak oleh Waqidi karena riwayatnya mursal, dia mengatakan, "Tidak ada yang menemani Nabi kecuali malaikat Jibril." i s. ,
'Ajt bl* ) alJ&j ±)j.L^> ^ ifJJ aa*a-JL* ( aj lyj a**^-LUp Jl '^Jrj (Maka Nabi menggerakkan kedua bibirnya) sedangkan dalam firman Allah disebutkan, "Jangan kamu gerakkan lidahmu." Kedua dalil ini tidak ada yang bertentangan, karena menggerakkan kedua bibir untuk mengatakan sesuatu yang hanya dapat diungkapkan dengan lisan mengharuskan adanya gerakan lisan itu sendiri, atau cukup disebutkan "kedua bibir" tanpa menyebutan "lisan" karena lisan merupakan sumber dari pembicaraan, sedangkan pembicaraan berasal dari gerakan mulut, keduanya baik gerakan lisan maupun bibir berasal dari gerakan mulut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Jarir dalam kitab Tafsirnya, "Nabi menggerakkan lisan dan kedua bibirnya." Maka ketika malaikat Jibril turun untuk menyampaikan ayat-ayat Al Qur'an, Nabi tidak sabar, bahkan beliau langsung membaca dan menghafalnya agar tidak hilang dari ingatannya, seperti dikatakan oleh Hasan dan ulama lainnya. Dalam riwayat Tirmidzi dikatakan, "Rasulullah menggerakkan lidahnya agar dapat menghafalnya," dalam riwayat Nasa'i, "Nabi buru-buru membacanya agar dapat menghafalnya," dan dalam riwayat Abu Hatim, "Nabi menggerakkan lidahnya karena takut lupa sebelum Jibril menyelesaikan bacaannya." Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua dalil di atas. Hikmah membaca dan mempelajari Al Qur'an adalah dapat menambah kekayaan hati, karena kekayaan dapat menyebabkan orang menjadi dermawan atau murah hati. Lafazh j j-^ menurut terminologi adalah memberikan sesuatu kepada yang berhak menerima, kata ini lebih umum daripada sedekah. Karena bulan Ramadhan merupakan bulan kebaikan, dimana Allah memberikan kenikmatan yang lebih banyak kepada hamba-Nya, maka Nabi mengisi bulan Ramadhan dengan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. *J-'"'J^[ berarti berhembus dengan cepat, maksudnya Rasulullah benar-benar cepat berikap dermawan atau murah hati melebihinya cepatnya hembusan angin. Dalam hal ini Nabi disamakan dengan mursalah (angin yang berhembus) karena sifat itu (kasih sayang, murah hati) selalu ada pada diri Nabi seperti hembusan angin yang selalu ada. Dalam riwayat Ahmad dikatakan, 'Tidak ada sesuatu yang diminta darinya kecuali beliau memberikannya," atau dalam hadits Jabir dengan riwayat yang shahih dikatakan, "Tidak ada sesuatu yang diminta darinya, kemudian beliau mengatakan 'tidak'." Imam Nawawi berkata dalam hadits tentang 'Faidah', "Sifat murah hati selalu ada pada dirinya dalam setiap waktu, lebih-lebih ketika bulan Ramadhan dan saat beliau berkumpul dengan orang-orang yang senang kedamaian. Beliau juga membiasakan diri memperbanyak membaca Al Qur'an pada bulan Ramadhan, karena membaca Al Qur'an adalah dzikir yang paling baik. Maksud mudarasah adalah menghafal Al Qur'an. Maka saya katakan, ini merupakan bukti bahwa Al Qur'an pertama kali turun pada bulan Ramadhan, sebagaimana dikatakan dalam hadits Ibnu Abbas, dan pada bulan itu Jibril selalu menyimak bacaan Nabi, bahkan sebelum wafat beliau membacanya dua kali kepada Jibril. Dengan demikian sudah terjawab mengapa hadits ini diletakkan pada bab ini. oJ->-j aIH Ij-)-P1 J^j cuii yL' li£ Jl* «u* jLJj iL. JLv JUk^- ' v ^ JaJj J; >-jLc'yi VLiiS'j 'y jl cJf& AJ ji-Jy jl iL' OJlJ Begitu juga Bukhari dalam menafsirkan masalah "Zakat", bahwa disebutkan shalat dengan zakat, adalah merupakan kebiasaan syariat, ditambah lagi sebelum kalimat ini telah diterangkan bahwa mereka sangat tidak senang dengan kebohongan. Saya katakan, bahwa hal itu tidak menjadi masalah sebagaimana perintah kepada mereka untuk menepati janji dan menjaga amanah. Dalam kitab Jihad Bukhari meriwayatkan dari Abu Dzarr, dia berkata, "dengan shalat, jujur dan sedekah." Adapun perkataan, "dia memerintahkan kepada kami" setelah perkataan, "Sembahlah Allah" menunjukkan bahwa menyalahi atau melanggar kedua hal tersebut berdampak buruk pada pelakunya, karena orang yang melanggar shalat akan menjadi kafir, dan orang yang tidak jujur berarti telah berbuat dosa dan maksiat. ,ji-i^i '}>\ ilJis'j (Begitu juga dengan keimanan) Artinya masalahmasalah yang berhubungan dengan keimanan, karena dari keimanan akan tampak cahaya yang akan terus bertambah dengan melakukan ibadah seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain, oleh karena itu Allah menurunkan ayat Al Qur'an di akhir kehidupan Nabi, "Hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan Aku sempurnakan kepadamu nikmat-nikmat-Ku, " atau dalam ayat yang lain, "Allah menolaknya kecuali telah sempurna cahaya-Nya," begitu juga pengikut Nabi Muhammad akan terus bertambah sehingga apa yang dikehendaki Allah benar-benar sempurna.
_R
j-LiJi ii-iiiJ -kJLij 'o*-(Ketika tercampur dengan cahaya hati), dalam arti bahwa keimanan telah menimbulkan kesenangan hati. Ibnu Sakan menambahkan, "Keimanan akan menambah kekaguman dan kebahagiaan." jj-JJ 'i 1 J-l^Ji ii-iis"j (begitu juga Rasul tidak menipu), karena mereka tidak menginginkan dari dakwahnya kenikmatan dunia melainkan apa yang mereka harapkan hanyalah kenikmatan akhirat, sehingga tidak mungkin mereka melakukan penipuan.
Al Mazini berkata, bahwa pertanyaan yang diajukan oleh Hercules bukanlah pertanyaan yang berkenaan dengan kenabian, ia hanya menanyakan tentang tanda-tanda kenabian sesuai dengan apa yang diketahuinya, seperti perkataannya, "Aku menyangka Nabi yang akan datang bukan dari golongan kalian." -ii Llj^i) (Aku berusaha agar dapat bertemu dengannya). Aku berusaha agar dapat bertemu dengannya, ini menunjukkan bahwa dia tidak selamat dari pembunuhan apabila mengikuti agama Islam, seperti cerita "dhaqatir" yang dibunuh oleh kaumnya karena masuk Islam. Dalam riwayat Thabari dari Abdullah bin Syadad dari Dihyah tentang cerita ini secara singkat, Kaisar berkata, "Aku mengetahui dia itu benar, tapi aku tidak dapat melakukan apa-apa karena apabila aku melakukannya, maka kerajaanku akan lenyap dan orang-orang Romawi akan membunuhku."' Dalam riwayat Ibnu Ishaq dikatakan, Hercules berkata, "Celaka kamu! Demi tuhan aku tahu bahwa dia memang seorang Nabi yang diutus, tapi aku takut kepada orang-orang Romawi. Seandainya mereka tidak mencelakai diriku, aku pasti akan mengikutinya."
Akan tetapi jika Hercules benar-benar memahami isi surat yang ditulis Rasulullah yang berbunyi "Masuklah ke dalam agama Islam maka kamu akan selamat," maka dia tidak akan khawatir akan keselamatan dirinya, bahkan dia akan mendapatkan balasan pahala di dunia dan di akhirat.
Adapun perkataan Hercules, "Aku akan mencuci kakinya." Menunjukkan kesungguhan beribadah dan pengabdian kepada ajaran Islam. Abdullah menambahkan, "Sekiranya benar dia seorang nabi aku pasti akan pergi kepadanya, akan aku cium kepalanya dan aku cuci kakinya." Dari perkataan Hercules ini menunjukkan adanya keraguan dalam dirinya, apakah Muhammad benar-benar seorang Nabi yang diutus atau bukan. Ditambah juga dengan perkataan Abu Sufyan, "Aku melihat jidatnya mengeluarkan keringat ketika membaca surat dari Muhammad." Dari perkataan, "Aku cuci kakinya" menunjukkan juga bahwa jika Hercules masuk Islam, maka ia tidak menginginkan kekuasaan dan kedudukan, tetapi hanya mengharapkan keberkahan semata.
Dalam riwayat lain dikatakan beliau berkata, '^JJ '•C^ iiii j^>s (Pasti kerajaannya atau kekuasaan Muhammad ada dalam kekuasaanku). Yang dimaksud adalah Masjidil Aqsha, karena Hercules ingin menguasai negera Syam seluruhnya. Pendapat ini dikuatkan oleh sebagian ulama yang menyatakan, bahwa pertama kali Hercules memimpin kerajaannya dengan keimanan akan tetapi lama kelamaan dia memerangi kaum muslimin pada peperangan Mu'tah tahun ke-8 H yang berlangsung kurang dari 2 tahun.
Dalam kitab Al Maghazi Ibnu Ishaq meriwayatkan, "Ketika kaum muslimin sampai di kota Ma'an, salah satu kota di Syam, raja Hercules mengirim pasukannya sebanyak 100.000 orang musyrikin. Begitu juga diriwayatkan oJeh Ibnu Hibban dari Anas, dia mengatakan bahwa Nabi menuliskan surat kepadanya di Tabuk, tapi dia tidak menjawabnya walaupun tempatnya dekat. Hal ini menunjukkan bahwa Hercules tetap hidup dalam kekafiran, tapi dimungkinkan dia menyembunyikan keimanannya untuk menjaga kekuasaan dan kerajaannya, serta takut ada upaya pembunuhan terhadap dirinya yang dilakukan oleh orang-orang Romawi.
Dalam Musnad imam Ahmad dikatakan, "Hercules menulis surat dari Tabuk kepada Nabi yang berbunyi, "Saya seorang muslim," Nabi berkata, "Dia bohong, dia tetap dalam agama Nasrani." Dalam kitab Al Amwal karangan Abu Ubaid dari Mursal Bakar bin Abdullah Al Mazini dengan sanad yang shahih, Nabi berkata, "Musuh Allah telah berbohong, dia bukan seorang muslim."
Dihyah adalah orang yang sangat menguasai bahasa Yaman, dia anak Khalifah Kalbi, salah seorang sahabat Nabi yang mulia, memiliki wajah yang tampan, dan termasuk golongan sahabat yang masuk Islam pada periode pertama. Dialah sahabat yang diutus oleh Nabi untuk menyampaikan surat kepada Raja Hercules setelah pulang dari Hudaibiyah.
Dihyah ^-'SJ ji_J (Apabila kamu berpaling), atau tidak mau mengikuti ajaran Islam. Memang pada hakikatnya kata berpaling dipakai untuk muka, kemudian kata itu dipakai dengan pengertian menentang sesuatu.
'J* -JJVI Menurut Ibnu Sayyidah 'iris' artinya pembajak, sedangkan menurut Tsa'lab artinya petani, sementara menurut Kuta 1 berarti pemim-pin. Al Jauhari mengatakan, bahwa kata itu berasal dari bahasa Syamiah, akan tetapi pendapat ini ditentang oleh Ibnu Faris yang mengatakan, bahwa kata tersebut berasa! dari bahasa Arab. Dalam riwayat Ibnu Ishaq dikatakan, "Maka kamu menanggung dosa para pembajak," dalam riwayat Al Madaini, "Kamu mananggung dosa para Petani (Fallahin)," atau dalam kitab Al Amwal, Ubaid meriwayatkan dari Abduilah bin Syadad, "Apabila kamu tidak masuk ke dalam agama Islam, maka kamu tidak akan dibiarkan oleh para petani dan kaum muslimin" Abu Ubaid berkata, maksud dari "para petani" adalah rakyat, karena setiap yang bercocok tanam disebut dengan petani dalam bahasa Arab, baik bekerja untuk sendiri atau untuk orang lain. Menurut Al Khaththabi maksudnya adalah kamu akan menanggung dosa orang-orang yang lemah dan pengikut-pengikutmu apabila mereka tidak masuk agama Islam, sebab orang-orang kecil (rakyat) selalu mengikuti orang-orang yang besar (pemimpin). J_*n ; ... (Wahai Ahli Kitab...) Ada yang mengatakan bahwa Nabi menulis surat ini sebelum turunnya ayat tersebut, akan tetapi lafazhnya cocok dengan ayat yang diturunkan oleh Allah, karena sebab turunnya ayat ini mengenai utusan Nazaret (Najran) yang terjadi pada tahun ke-9, sedang cerita Abu Sufyan pada tahun ke-6. Pembahasan ini diulas secara panjang lebar dalam pembahasan tentang Al Maghazi. Ada yang mengatakan ayat ini turun diawal hijrah sesuai dengan perkataan ibnu Ishaq, dan ada pula yang mengatakan, bahwa turunnya ayat ini bekenaan dengan orang-orang Yahudi, sedangkan pendapat terakhir mengatakan, bahwa ayat int turun dua kali, tapi pendapat ini tidak benar.
Pelajaran yang dapat diambil
Hadits ini mengindikasikan bahwa orang yang sedang junub boleh membaca satu atau dua ayat Al Qur'an, atau mengirim sebagian ayat-ayat Al Qur'an kepada musuh dan membawanya ketika bepergian. Berbeda dengan pendapat Ibnu Baththal yang mengatakan, bahwa hukum ayat ini telah dihapus (Nasakh) dan tidak diperbolehkan membawa Al Qur*an ketika pergi ke daerah musuh. Dimungkinkan dari larangan tersebut adalah membawa mushhaf Al Qur'an ke daerah musuh. Adapun bagi orang yang junub diperbolehkan apabila tidak diniatkan untuk membaca Al Qur'an, tetapi diniatkan untuk berdzikir. Romawi. Diceritakan bahwa kakek mereka, yaitu Rum bin 'Aish kawin dengan anak perempuan raja Habasyah (Ethiopia), maka anaknya memiliki kulit antara hitam dan putih, yaitu kekuning-kuningan. Ibnu Hisyam dalam kitab At-Tijani mengatakan bahwa gelar "Asfar" tersebut dikarenakan istri Nabi Ibrahim yang bernama Saran mengusap badan Rum dengan emas.
f^--y '^-^ '*-U1 J^j l J**-(Sampai Allah memasukkan ke dalam hatiku cahaya keislaman) atau menumbuhkan keyakinan pada diriku.
Kata suqfu berasal dari bahasa asing ('ajam) yang berarti pimpinan agama Nasrani.
(i-1| f JJ lo-(Ketika Hercules datang ke kota Iliya), yaitu ketika pasukan Romawi mengalahkan pasukan Persia dan mengusir mereka. Peristiwa itu terjadi bertepatan dengan kcberangkatan Nabi dan para sahabat untuk mengerjakan Umrah setelah perjanjian Hudaibiyah. Kaum muslimin bergembira ketika mendengar berita kemenangan bangsa Romawi, sebagaimana disebutkan oleh Tirmidzi dalam menafsirkan ayat, "Pada hari itu kaum mukminin mendapat kemenangan dari Allah. "
^~-«Si ~-(keadaannya sangat jelek) artinya keadaan Hercules pada waktu itu sangat menyedihkan. Kalimat ini sering digunakan untuk menunjukkan rasa malas. Nabi bersabda dalam haditsnya, "Janganlah mengatakan di antara kamu keadaanku sangat jelek (Khabatstu Nafsi), " Nabi sangat membenci perkataan itu. Sedangkan apa yang dialami oleh Hercules menggambarkan perubahan dalam dirinya dari keadaan yang selalu senang kepada keadaan yang sangat menyedihkan.
(Peramal, dukun) keadaan Hercules seperti seorang peramal.
Kalimat "dia melihat bintang-bintang" merupakan penjelasan dari kata peramal, karena para peramal mengandalkan dua kemampuan, pertama dengan bantuan setan dan kedua dengan melihat bintang-bintang. Perkara ini merupakan salah satu kebiasaan pada zaman jahiliyah.
Hercules meramal kedatangan dakwah Nabi dengan bintangbintang, yaitu bintang komet, bintang ini muncul setiap 20 tahun sekali. Bintang ini muncul pertama kali (20 tahun pertama) ketika Nabi Muhammad lahir, dan yang kedua muncul (di akhir 20 tahun kedua) ketika malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad, serta muncul yang ketiga (20 tahun ketiga) waktu kemenangan Kota Khaibar, Fathul Makkah dan tersebarnya agama Islam ke setiap penjuru, inilah yang diramalkan oleh Raja Hercules. Disamping itu bintang komet telah menunjukkan akan munculnya seorang pemimpin bagi orang-orang yang sudah disunat (khitan). Hal itu menunjukkan bahwa kekuasaan atau kerajaan akan pindah ke tangan bangsa Arab.
Apabila dikatakan mengapa Bukhari mengangkat permasalahan ahli Nujum (peramal) dan mempercayai apa yang dikatakannya? Jawabnya, Bukhari tidak bermaksud seperti itu, akan tetapi beliau bermaksud unmk menunjukkan \epada kita bahwa banyak sumber yang membenarkan akan datangnya kenabian kepadaNabi Muhammad, baik dari seorang dukun, peram?.l, orang yang benar, orang yang bathil, manusia atau jin.
Ada yang mengatakan bahwa lafazh Hiza' mengandung arti seorang neramal yang dapat mencangkan tentang nasib seseorang hanya dengan melihat anggota tubuh dan wajahnya.
'fk-1J J-* (telah nampak) Artinya mendapat kemenangan, hal itu menurut pandangan ahli Nujum bahwa raja yang disunat akan mendapat kemenangan, sebagaimana dikatakan bahwa pada hari itu adalah permulaan munculnya kenabian Muhammad. Ketika orang-orang kafir melakukan perjanjian dengan kaum muslimin dalam perjanjian Hudaibiyah, maka Allah menurunkan ayat Al Qur'an, "Sesungguhnya kami telah memberikan kemenangan kepada kalian dengan kemenangan yang nyata," dimana Fathu Makkah terjadi karena orang-orang kafir mengingkari perjanjian Hudaibiyah. seorang dari kaumnya yang mengaku dirinya sebagai Nabi, banyak orang yang mengikutinya dan banyak pula yang menentangnya, diantara mereka ada ikatan yang sangat kuat. Dalam suatu riwayat Raja Ghassan berkata, "Telanjangi dia apakah dia sudah disunat!," utusan itu berkata, "Demi tuhan aku melihatnya dia sudah disunat." Rumiyah adalah Kota terkenal di Romawi.
<-^u> j* ^iif M J~ (sampai datang kepadanya kitab dari temannya). Menurut cerita Dihyah, ketika mereka keluar dia disuruh masuk oleh Hercules dan meminta pemimpin agama Nasrani (pendeta) untuk datang sambil memberi kabar apa yang didengarnya, pendeta itu berkata, "Inilah yang kami tunggu-tunggu, sebagaimana Nabi Isa telah mengabarkan dan aku mempercayai serta mengikuti ajarannya." Hercules berkata, "Kalau aku mengikutinya maka kekuasaanku akan hilang," maka pendeta menyerahkan surat itu kepadaku dan berkata, "Pergilah ke temanmu (Muhammad) sampaikan salamku kepadanya dan katakan aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, sesungguhnya aku telah mempercayai serta membenarkannya, walaupun orang-orang Romawi akan menentangku setelah ini," dan ketika pendeta itu keluar, orang-orang Romawi membunuhnya. Raja Hercules juga memerintahkanku untuk mendatangi sesepuh bangsa Romawi. Setelah surat itu disampaikan kepada sesepuh Romawi, dia memproklamirkan keislamannya dengan menanggalkan pakaian yang dikenakan dan menggantinya dengan pakaian berwarna putih, kemudian keluar dan menyeru rakyat Romawi untuk memeluk agama Islam dan mengucapkan kalimat syahadat, lalu orang-orang Romawi langsung membunuhnya. Setelah Dihyah kembali ke Hercules, dia berkata kepada Dihyah, "Sudah aku katakan kepadamu bahwa aku takut akan keselamatan diriku, karena sesepuh Romawi yang lebih terpandang di mata mereka, tetap dibunuh." Ibnu Hajar berkata, "Dimungkinkan surat yang dibawa oleh Dihyah bukan surat yang ditulis setelah perjanjian Hudaibiyah, tetapi surat yang ditulis ketika perang Tabuk yang tidak ada kata "masuklah ke dalam agama Islam maka kamu akan selamat." Sedangkan cerita tentang sesepuh bangsa Romawi ada dua versi. Pertama dikatakan, bahwa dia tidak masuk Islam dan tidak dibunuh, pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Nathur, sedangkan yang kedua dikatakan bahwa dia masuk Islam dan dibunuh, pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Ishaq. Wallahu a'lam. Hercules memanggil pembesar-pembesar dan para pendeta bangsa Romawi, kemudian dia menceritakan apa yang disampaikan oleh Rasulullah, mereka kebingungan sehingga sebagian mereka ada yang keluar dari perkumpulan itu. Hercules berkata, "Kalian diam dulu, aku hanya ingin mengetahui akan keimanan kalian kepada agama kita." Ibnu Ishaq dari Khalid bin Bisyr meriwayatkan, bahwa ketika Hercules ingin keluar dari Syam untuk pindah ke Kostantinopel, bangsa Romawi diberi pilihan. Pertama masuk agama Islam, kedua membayar jizyah (pajak) dan ketiga melakukan perdamaian kepada Nabi tanpa ada peperangan lagi, akan tetapi mereka menentangnya. Kemudian Hercules pergi meninggalkan negeri Syam, ketika sampai di perbatasan dia mengucapkan salam kepada negeri Syam, yaitu salam perpisahan dan setelah itu dia hidup di Kostantinopel.
Dalam hadits ini kata jihad disebutkan setelah iman, sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr tidak disebutkan kata jihad, tapi yang disebutkan adalah Al ltqu (membebaskan budak). Dalam hadits Ibnu Mas'ud urutannya dimulai dengan shalat, berbakti kepada orang tua kemudian jihad, dan dalam hadits yang lalu telah disebutkan "selamat dari tangan dan mulut,"
Para ulama mengatakan, bahwa perbedaan jawaban tersebut disebabkan karena perbedaan kondisi dan kebutuhan para pendengar. Maka para penanya dan pendengar diberitahukan tentang hal-hal yang belum mereka ketahui. Atau karena hadits tersebut mengandung kata "min" yang berarti "bagian ", sebagaimana hadits Nabi "Khairukum khairukum U ahlihi (sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang paling baik kepada keluarganya). "Jika ada pertanyaan, "Mengapa jihad yang tidak termasuk dalam rukun Islam lebih didahulukan daripada haji yang merupakan rukun Islam?" Jawabnya adalah, bahwa manfaat haji sifatnya terbatas, sedangkan manfaat jihad sangat luas." Atau mungkin karena hukum jihad adalah fardhu 'ain. Hal ini telah berulang kali disebutkan, sehingga jihad lebih penting dan harus dikedepankan daripada haji. Wallahu a 'lam. Dalam riwayat Ibnu Arabi disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, "Jangan katakan mukmin tapi katakanlah muslim." Dari perkataan tersebut jelaslah bahwa arti kata "au" adalah untuk menunjukkan pengelompokkan. Maka ungkapan tersebut bukan untuk mengingkari, tetapi untuk menjelaskan bahwa memanggil seseorang yang tidak diketahui apa yang ada dalam hatinya dengan sebutan "muslim " adalah lebih baik daripada memanggilnya dengan sebutan "mukmin. " Karena, Islam dapat diketahui dengan perbuatan zhahir. Itulah yang disampaikan secara ringkas oleh Syaikh Muhyiddin.
Al Bazzar dalam musnadnya menyatakan, bahwa hadits dengan redaksi seperti ini hanya diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ketika mendengar pendapat tersebut, At-Tirmidzi berkata, "Hadits tersebut ditemukan pula dalam bab ini dari Abu Hurairah." Kemudian dia mengisyaratkan kepada hadits pendek dari Abu Hurairah yang disebutkan oleh Abdu bin Humaid dalam tafsirnya dengan redaksi, "Perumpamaan seorang muslim adalah seperti pohon kurma." Demikian pula menurut Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibnu Hibban bahwa ketika Rasulullah membacakan firman Allah, "Perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik" (Qs. Ibraahhm (14): 24) beliau melanjutkan, "Yang dimaksud dengan pohon tersebut adalah pohon kurma" Dalam riwayat sebelum ini dari Mujahid dari Ibnu Umar diketahui bahwa umur Ibnu Umar pada saat itu adalah 10 tahun. Untuk itu dapat kita simpulkan, bahwa diantara sahabat yang hadir adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Umar, ditambah Abu Hurairah dan Anas bin Malik jika keduanya benar-benar mendengar hadits ini dalam majelis tersebut.
Imam Bukhari tidak menyebutkan metode penyampaian hadits dengan cara ijazah yang terlepas dari metode Munawaiah ataupun Mukatabah. beliau juga tidak menyebutkan metode Wijadah (penemuan kitab). Wasiat serta metode I'lam (pemberitahuan) yang terlepas dari metode ijazah-Hal itu dapat disimpulkan, bahwa beliau tidak membolehkan metode-metode tersebut.
Ibnu Mundih berpendapat, bahwa semua perkataan Imam Bukhari yang menggunakan j J'j (berkata kepada saya) merupakan bentuk ijazah dan tidak dapat diterima, karena saya menemukan banyak hadits yang terdapat dalam kitab Al Jami' dengan menggunakan j Jii ternyata dalam kitab lain beliau menggunakan kata (menceritakan kepadaku).
Imam Bukhari tidak membolehkan metode Ijazah yang berarti tahdits (dengan menggunakan haddatsa), karena metode tersebut -menurut beliau-termasuk dalam kategori masmu ' (didengar). Akan tetapi alasan penggunaan metode ini adalah untuk membedakan antara hadits yang memenuhi syarat dan hadits yang tidak memenuhi syarat.
J-
Ada perbedaan pendapat, apakah dia yang diperangi oleh kaum muslimin pada masa Abu Bakar, Umar dan Ibnu Umar? Pendapat yang kuat mengatakan bahwa dialah orangnya yang diperangi kaum muslimin.
Catatan
Keimanan Hercules menjadi samar dalam pandangan kaum muslimin karena dua kemungkian, pertama Hercules tidak ingin memproklamirkan keislamannya karena takut dirinya dibunuh, dan kedua Hercules masih ragu akan kenabian Muhammad sehingga dia meninggal dalam keadaan kafir. Imam Bukhari hanya meriwayatkan cerita ini dengan perkataan "inilah keadaan terakhir Hercules." Beliau menutup bab ini dengan perkataan tersebut setelah dibuka dengan hadits "Sesungguhnya amal perbuatan tergantung niatnya," seakan-akan Bukhari ingin mengatakan apabila niat Hercules benar maka akan memberikan kepadanya sesuatu yang baik, tapi sebaliknya apabila niatnya tidak benar, maka dia akan merugi.
Dari sini terlihat kesesuaian hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Nathur tentang permulaan turunnya wahyu dengan hadits yang membicarakan niat sebagai dasar suatu perbuatan.
Apabila ada yang bertanya dari sisi mana korelasi antara hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sufyan tentang Hercules dengan permulaan turunnya wahyu? Jawabnya adalah, bahwa dalam hadits itu digambarkan keadaan orang-orang terhadap Nabi pada awal dakwahnya, karena ayat Al Qur'an yang dituliskan kepada Hercules berisikan seruan kepada agama Islam yang mengandung makna yang sama dengan ayat yang ada di permulaan bab ini, "Sesungguhnya kami berikan wahyu kepadamu sebagaimana kami memberikan wahyu kepada Nabi Nuh, " atau "Allah telah mensyariatkan ajaran-ajaran agama kepada kalian seperti Allah wasiatkan kepada Nuh," sehingga inti ayat ini adalah seruan untuk menengakkan agama Islam. Suhaili mengatakan bahwa Hercules meletakkan surat itu di kotak yang terbuat dari emas sebagai penghormatan bagi Rasulullah, dan kotak ini diwariskan turun temurun sampai kepada Raja Francs (Francs adalah nama salah satu kabilah Jerman yang bertempat di Perancis pada abad ke 5 dan mendirikan kerajaan pertama, sedangkan di Timur nama tersebut dikenal sebagai sebutan orang-orang salib atau orang Eropa secara umum). Beberapa sahabat saya menceritakan kepada saya bahwa Abdul Malik bin Sa'ad salah saru panglima kaum muslimin, bertemu dengan Raja Francs, dan dia perlihatkan surat itu oleh Raja Francs. Ketika Abdul Malik melihat surat itu, dia meminta izin untuk dapat mencium surat itu, tapi tidak diperbolehkan.
Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa beberapa orang meriwayatkan kepadaku dari Qadhi Nuruddin bin Shaiq Dimasqi dia berkata, telah menceritakan kepadaku Saifuddin Falih Al Masyhuri dia berkata, "Aku diutus oleh raja Manshur Qa\awun untuk membawa hadiah ke raja Maghribi, setelah sampai di sana aku dipertemukan dengan Raja Francs. Aku ingin tinggal disana sementara waktu, tapi dia melarangnya, dia berkata, "Aku akan memberikan hadiah yang sangat berharga," dia mengeluarkan kotak yang terbuat dari emas yang dikeluarkan dari kotak itu kotak yang terbuat dari emas, dan dikeluarkan dari kotak itu surat yang terlihat sudah lama sekali. Dia berkata, "Ini adalah surat dari Nabimu yang dikirimkan kepada kakekku (Kaisar Hercules), kami mewarisinya turun temurun dan menyembunyikan dari rakyat kami. Bapakku mengatakan kepada kami, selama surat ini ada pada kami, maka kekuasaan tetap berada pada kami."
Ini sesuai dengan perkataan Nabi kepada utusan Hercules, "Wahai saudara Tanukh, aku telah menulis kepada rajamu dan dia menjaganya, surat itu akan tetap ada pada mereka tapi tidak ada keberanian dari mereka walaupun telah mencapai kehidupan bahagia," atau dalam riwayat Abu Ubaid dalam kitab Amwal, bahwa Rasulullah menulis ke raja Kisra dan Kaisar Romawi, kemudian Raja Kisra merobek-robek surat itu sedangkan Kaisar (Romawi) menjaganya," Rasulullah berkata, "Adapun mereka (Kisra) akan merobek-robek, sedangkan mereka (Romawi) surat itu akan selalu ada pada mereka. " Ketika Nabi menerima jawaban dari Raja Kisra, beliau berkata, "Allah akan menghancurkan kerajaannya," sedangkan ketika datang jawaban dari Raja Romawi, beliau berkata, "Allah akan menjaga kerajaannya." Wallahu a'lam. Mencintai dan membenci seseorang karena Allah adalah termasuk tanda-tanda iman. Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Adi bin Adi yang berbunyi, "Sesungguhnya iman itu terdiri dari kewajibankewajiban, syariat-syariat, hukum-hukum dan sunah-sunah. Barangsiapa yang menyempurnakan semua hal tersebut maka telah sempurna imannya, dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya maka belum sempurna imannya. Jika aku panjang umur, sungguh aku akan menjelaskannya kepada kalian hingga kalian semua mengetahuinya, akan tetapi jika aku meninggal maka aku tidak dapat menjelaskannya kepadamu.
-FATHUL BAARI
Nabi Ibrahim berkata, "Akan tetapi agar hatiku tetap mantapdengan imanku-," (Qs. Al Baqarah (2): 260) Muadz berkata, "Duduklah bersama kami, mari kita memperbarui iman kita dengan berdzikir sejenak." Ibnu Mas'ud berkata, "Keyakinan adalah sumber keimanan."
Ibnu Umar berkata, "Seorang hamba tidak akan mencapai ketakwaan yang hakiki hingga ia meninggalkan keraguan di dalam hatinya. " Dan Mujahid menafsirkan ayat, "Disyariatkan kepada kalian, " (Qs. Asy-Syuura (26): 13) bahwa maksudnya adalah "Kami telah mewasiatkan kepadamu wahai Muhammad dan kepadanya satu agama. "Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud dari "Aturan dan jalan yang terang, " (Qs. Al Maa'idah (5): 48) adalah jalan dan sunnah. " Iman menurut bahasa adalah tashdiig (mempercayai), sedangkan menurut istilah adalah mempercayai Rasulullah dan berita yang dibawanya dari Allah. Perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah mengenai mengenai, apakah disyaratkan mengucapkan iman dengan lisan, atau harus diwujudkan dalam bentuk perbuatan seperti mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan? Permasalahan ini akan kami jelaskan Insya Allah.
Ungkapan "Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang" terdiri dari dua kalimat, yaitu; pertama iman adalah perkataan dan perbuatan, dan yang kedua iman adalah dapat bertambah dan berkurang. Yang dimaksud dengan "perkataan" adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, sedangkan yang dimaksud dengan "perbuatan" adalah mencakup perbuatan hati (keyakinan) dan perbuatan anggota badan (ibadah). Dalam hal ini, ada perbedaan sudut pandang di antara para ulama, sehingga sebagian mereka memasukkan "perbuatan" dalam definisi "iman " dan sebagian yang lain tidak memasukkannya. Ulama terdahulu mengatakan bahwa iman adalah mempercayai dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Menurut mereka, mengamalkan dengan anggota badan adalah merupakan syarat kesempurnaan iman, sehingga muncullah pernyataan bahwa iman dapat bertambah dan berkurang seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Golongan Murji'ah berpendapat, bahwa iman adalah mempercayai dengan hati dan mengucapkan dengan lisan. Sedangkan golongan Karramiyah mengatakan, bahwa iman cukup diucapkan dengan lisan saja. Adapun gologan Mu'tazilah berpendapat, bahwa iman adalah perbuatan, ucapan dan keyakinan. Letak perbedaan mereka dengan ulama terdahulu adalah karena mereka menjadikan amal (perbuatan) sebagai syarat sahnya iman, sedangkan para ulama terdahulu menjadikan "perbuatan" sebagai syarat kesempurnaan iman. Hal ini disebabkan perbedaan sudut pandang mereka berdasarkan hukum Allah SWT. Tetapi jika berdasarkan hukum manusia, maka iman hanya cukup dengan pengakuan saja. Oleh karena itu, barangsiapa yang sudah berikrar (percaya kepada Allah) maka ia dianggap sebagai mukmin, kecuali ia terbukti melakukan perbuatan yang menyebabkan kekufuran seperti menyembah berhala.
Jika perbuatan yang dilakukannya dapat menyebabkan kefasikan, maka ia dianggap sebagai orang yang beriman berdasarkan pengakuan yang diucapkan mulutnya, tetapi ia dianggap tidak beriman berdasarkan kesempurnaan imannya. Untuk itu ia dianggap sebagai orang kafir jika terbukti melakukan perbuatan kufur dan dianggap sebagai orang yang beriman berdasarkan hakikat keimanan itu sendiri. Dalam hal ini kelompok moderat mu'tazilah mengatakan, bahwa orang fasik tidak beriman dan tidak pula kafir.
Sedangkan masalah kedua, ulama salaf berpendapat bahwa iman dapat bertambah dan berkurang. Pendapat ini ditentang oleh ahli kalam, karena menurut mereka hal itu berarti ketika iman belum bertambah dan berkurang, maka masih ada keraguan di dalamnya. Syaikh Muhyiddin mengatakan yang benar adalah bahwa keyakinan dapat bertambah dan berkurang sesuai dengan banyaknya melihat dan mengkaji serta adanya dalil-dalil yang jelas. Oleh karena keimanan Abu Bakar lebih kuat dari pada keimanan orang lain karena keimanan beliau tidak bercampur keraguan sedikit pun. Dia menguatkan pendapat ini dengan mengatakan, bahwa setiap orang mengetahui bahwa apa yang ada dalam hatinya selalu pasang surut, dimana pada suatu saat ia merasa imannya lebih kuat dan ikhlas serta lebih bertawakkal.
Begitu juga yang diriwayatkan Abui Qasim dalam Kitab Sunnah dari Imam Syafi 'i dan Ahmad bin Hambal serta Ishaq bin Rahawaih dan Abu Ubaid dan ulama lainnya. Dia meriwayatkan dari Iman Bukhari dengan sanad shahih, bahwa Imam Bukhari mengatakan, "Saya sudah menemui lebih dari seribu Ulama di berbagai penjuru, namun saya tidak menemukan satu pun dari mereka yang berbeda pendapat bahwa Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang." Ibnu Abi Hatim menjelaskan tentang periwayatan hal tersebut dengan sanad-sanad dari para shahabat dan Tabiin dan semua Ulama yang mengadakan ijma' (konsensus) dalam masalah ini. Fudhail bin Iyadh dan Imam Waki' meriwayatkan juga dari Ahlu Sunnah wal Jama'ah, dan Hakim mengatakan di dalam manaqib Syafi 'i, "Abu Al Abbas Al Asham menceritakan kepada kami, bahwa Rabi'mengatakan, "Saya mendengar Imam Syafi 'i mengatakan, bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang." Abu Nua'im menambahkan bahwa iman akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Kemudian beliau membacakan firman Allah, "Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya. " Kemudian Imam Bukhari membuktikan dengan Ayat-ayat Al Qur'an yang me-nerangkan bahwa iman itu bisa bertambah, yang dengan sendirinya dia dapat membuktikan sebaliknya, yaitu iman bisa berkurang.
"Cinta dan benci karena mencari keridhaan Allah adalah sebagian dari iman. Ini adalah hadits yang dikeluarkan Abu Daud dari hadits Abu Umamah dan hadits Abu Dzarr. Adapun hadits Abu Dzarr adalah, "Perbuatan paling baik adalah cinta dan benci karena Allah." Sedangkan hadits Abu Umamah, "Barangsiapa cinta, benci, memberi dan menolak karena Allah, maka sesungguhnya imannya telah sempurna."
Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Mu'adz bin Anas seperti hadits Abu Umamah namun Ahmad menambahkan, "Dan memberi nasehat karena Allah." Dalam hadits lain dia menambahkan, "Dan menggerakkan lisannya untuk menyebut nama Allah." Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Amru bin Al Jumuh, "Seorang hamba tidak akan mendapatkan realitas iman hingga dia mencintai sesuatu karena Allah dan membenci sesuatu karena Allah." Sedangkan Al Bazar meriwayatkan, "Ciri-ciri iman paling kuat adalah cinta dan benci karena Allah"
Dalam haditsnya, Imam Bukhari menyebutkan, "Tanda-tanda iman adalah mencintai kaum Anshar." Hadits ini dijadikan dalil oleh Imam Bukhari untuk mengatakan, bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, karena cinta dan benci mempunyai tingkatan yang berbeda.
Adi bin Adi atau Ibnu Umairah Al Kindi adalah seorang tabi'in dan putra salah seorang sahabat, dia adalah pegawai Umar bin Abdul Aziz di kawasan jazirah, oleh karena Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepadanya yang isinya, (Amma ba'du, sesungguhnya Iman itu mempunyai kewajiban-kewajiban dan syariat-syariat) sampai akhir.
Maksud kewajiban adalah perbuatan yang diwajibkan, sedangkan syariat adalah ajaran atau akidah agama. Adapun Hudud (hukum) adalah larangan-larangan yang diharamkan, dan sunan adalah hal-hal yang disunnahkan.
Tujuan riwayat ini untuk menyatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah termasuk orang yang mengatakan bahwa iman itu bertambah dan berkurang, hal ini berdasarkan perkataannya, "Iman bisa mencapai titik kesempurnaan dan bisa juga tidak." "Nabi Ibrahim berkata, "Akan tetapi agar hatiku tetap mantapdengan imanku-" (Qs. Al Baqarah (2): 260) Penafsiran Said bin Jubair, Mujahid dan lainnya telah mengacu kepada ayat ini. Ibnu Jarir meriwayatkan kepada Said dengan sanadnya yang shahih, dia mengatakan, "Perkataan Ibrahim "agar hatiku tetap mantap" mempunyai arti agar keyakinanku bertambah. Sedangkan riwayat dari Mujahid, dia mengatakan, "Supaya aku menambah keimanan disamping keimananku yang sudah ada."
Apabila hal tersebut benar-benar perkataan Nabi Ibrahim sedangkan Nabi Muhammad telah diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim maka seakan-akan hal tersebut juga berasal dari Nabi Muhammad. Tetapi Imam Bukhari memisahkan ayat "Akan tetapi agar hatiku tetap mantap dengan imanku " dengan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang iman dapat bertambah dan berkurang, hal itu karena Imam Bukhari mengambil dalil dari ayat-ayat sebelumnya secara tekstual, sedangkan beliau mengambil dalil dari ayat ini secara kontekstual.
Perkataan Mu'adz bin Jabal kepada Al Aswad bin Hilal, "Duduklah bersama kami untuk beriman sejenak." Kemudian keduanya duduk berdzikir dan memuji Allah. Dari perkataan ini jelas bahwa maksud Mu'adz adalah untuk menambah keimanan dengan berdzikir kepada Allah bukan untuk mulai beriman, karena Mu'adz adalah orang yang sudah beriman. Qadhi Abu Bakar bin Arabi mengatakan, "Hal itu tidak ada hubungannya dengan usaha untuk menambah keimanan, karena maksud Mu'adz adalah ingin memperbaharui keimanannya. Sebab seorang hamba diwajibkan untuk beriman pada awalnya saja, selanjurnya ia hanya memperbaharui dan memperbaikinya setiap kali melihat dan berfikir." Ibnu Mas'ud berkata, "Keyakinan keseluruhannya adalah iman." Ini adalah potongan hadits yang disampaikan oleh Thabrani dengan sanad shahih, dimana potongan berikutnya adalah "Dan kesabaran adalah setengah dari iman." Imam Ahmad meriwayatkan dari jalur Abdullah bin Hakim dari Ibnu Mas'ud, bahwa dia berkata, "Ya Allah, tambahlah keimanan, keyakinan dan pemahaman kami."
Bab ini sengaja dibuat sebagai bantahan khusus terhadap aliran Murji'ah walaupun banyak dari bab-bab sebelumnya yang mengandung bantahan terhadap mereka, akan tetapi bantahan tersebut selalu berkaitan dengan bantahan terhadap selain mereka seperti ahli bid'ah, berbeda dengan hadits ini.
Kata Al Murji'ah berasal dari kata irja' yang berarti menunda atau mengakhirkan. Hal tersebut dikarenakan mereka mengakhirkan amal daripada iman. Mereka berkata, "Iman adalah keyakinan dalam hati saja dan tidak harus diucapkan." Seseorang yang berbuat maksiat tetap dalam kondisi sempurna imannya, karena mereka beranggapan bahwa perbuatan dosa sama sekali tidak merusak keimanan seseorang. Pertanyaan ini sangat populer dalam kitab-kitab akidah.
Hubungan tema ini dengan sebelumnya tentang mengantarkan jenazah, adalah momen untuk memperhatikan atau menyatukan dua perkara. Konteks hadits tersebut mengindikasikan bahwa ganjaran yang dijanjikan akan didapat dengan mengerjakan hal tersebut dengan penuh keikhlasan dan hanya mengharapkan ridha Allah semata, oleh karena Imam Bukhari menyambungnya dengan apa yang mengisyaratkan bahwa bisa saja terpampang di hadapan seseorang apa yang dapat menghalangi niat tulusnya, sehingga dia tidak mendapatkan pahala tanpa merasakan hal tersebut.
Maksud "Amalnya akan hilang" adalah tidak mendapatkan pahala dari amalan yang dikerjakannya, karena pahala akan didapatkan hanya dengan keikhlasan semata. Pernyataan ini menguatkan pendapat aliran Al Ihbathiyah yang mengatakan, "Kejelekan akan membatalkan kebaikan."
Al Qadhi Abu Bakar bin Arabi membantah dan mengatakan, bahwa pembatalan terbagi menjadi dua. Pertama, membatalkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dan membuang seluruhnya seperti batalnya keimanan karena kekafiran dan sebaliknya. Kedua, pembatalan dengan cara menimbang yaitu menjadikan yang jelek di timbangan kiri dan yang baik di timbangan kanan. Barangsiapa yang kuat kebaikannya, maka dia akan sukses. Sedangkan yang kuat kejelekannya, maka dia akan berhenti pada kehendak Allah; bisa jadi diampuni atau diadzab.
Kata berhenti bisa berarti berhenti dalam hal yang bermanfaat saat memerlukannya. Ini merupakan pembatalan, sedangkan berhenti dalam hal yang disiksa juga merupakan pembatalan yang lebih kuat untuk keluar dari neraka. Pada kedua pembatalan relatif ini dipakai istilah "ihbath" secara kiasan, bukan arti yang sebenarnya; karena kalau seseorang telah keluar dari neraka dan masuk ke surga, maka pahala dari amalnya telah diterima. Pendapat ini berseberangan dengan madzhab Ihbathiyah yang menyamakan hukum seorang yang berbuat maksiat dengan hukum orang kafir, dan mayoritas mereka adalah aliran
i-i jUi S[ ij^f Jji^i' 'i' (Mereka hanya membaca surat yang dicap atau distempel). Dari sini dapat diketahui bahwa syarat diperbolehkannya metode Mukatabah adalah surat tersebut harus berstempel (bercap), dengan maksud agar terhindar dari perubahan atau pemalsuan. Akan tetapi, terkadang syarat ini tidak diperlukan jika si pembawa surat itu adalah orang yang adil dan dapat dipercaya.
oii> (Maka aku bertanya). Yang mengatakan ini adalah Syu'bah, dan pembahasan selanjutnya tentang hadits ini insya Allah akan dibicarakan pada bab "Jihad" dan bab "Libas" (pakaian).
Maka hadits mi menunjukkan, bahwa ia malu untuk meninggalkan majelis seperti yang dilakukan oleh temannya yang ketiga.
'.-U' L^JI-'J (Maka Allah pun malu kepadanya). Artinya Allah tidak akan memberinya rahmat, tetapi juga tidak akan menyiksanya. Adapun fungsi penisbatan itu adalah untuk menerangkan sesuatu secara jelas. Hadits tersebut juga membolehkan untuk memberitakan keadaan orang-orang yang berbuat maksiat dengan maksud untuk mencela perbuatan tersebut. Hal semacam ini tidak dianggap ghihah.
-PATHUL BAARI
Catatan:
Hadits ini berkaitan erat dengan pendapat yang mengatakan, bahwa iman hanya sekedar keyakinan. Untuk itu saya katakan, bahwa maksud Ibnu Mas'ud adalah, keyakinan merupakan dasar daripada iman. Jika keyakinan itu telah tertanam dalam hati, maka semua anggota tubuh termotivasi untuk melakukan perbuatan yang baik. Untuk itu Sufyan Tsauri mengatakan, "Seandainya keyakinan benar-benar bersemayam dalam hati, maka ia akan terbang ke surga dan menjauhi api neraka"
Yang dimaksud dengan takwa dalam hadits Ibnu Umar "Seorang hamba tidak akan mencapai ketakwaan yang hakiki hingga ia meninggalkan keraguan di dalam hatinya " adalah menjaga diri dari kesyirikan dan menekuni perbuatan-perbuatan yang baik. Kalimat "keraguan" dalam hadits ini mengindikasikan bahwa sebagian kaum muslimin telah mencapai hakikat keimanan dan sebagian yang lain belum mencapai tingkatan tersebut. 2. (Kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah). Apabila dikatakan, "Kenapa dalam syahadat tidak disebutkan iman kepada para Nabi dan Malaikat dan lainnya sebagaimana yang ditanyakan oleh Jibril? Jawabnya, bahwa maksud dari syahadah adalah membenarkan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah, dengan begitu kalimat syahadah telah mencakup semua masalah yang berhubungan dengan akidah. Ismaili mengatakan, "Hal ini merupakan penamaan sesuatu dengan menyebutkan bagiannya, seperti seseorang mengatakan, "Aku membaca Aihamdu", maksudnya aku membaca surat A! Fatihah. Maka jika dikatakan "Aku bersaksi atas kebenaran risalah Muhammad" berarti aku bersaksi atas kebenaran semua ajaran yang dibawa oleh Muhammad."
Maksud mendirikan shalat adalah menjalankan atau melaksanakan shalat, sedang maksud mengeluarkan zakat adalah mengeluarkan sebagian harta dengan cara khusus.
Untuk menentukan keabsahan keislaman seseorang, Al Baqillani mensyaratkan terlebih dahulu pengakuan terhadap keesaan Allah (tauhid) sebelum mengakui risalah.
Kesimpulan yang dapat diambil dari hadits di atas adalah bahwa pemahaman makna umum sunnah Rasul, dapat dikhususkan dengan arti tekstual Al Qur'an. Arti hadits secara umum menyatakan bahwa orang yang melaksanakan semua hal yang disebutkan, maka Islamnya sah. Sebaliknya orang yang tidak melaksanakan semua yang disebutkan, maka Islamnya tidak sah. Pemahaman ini dikhususkan dengan firman Allah, "Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan. " (Qs. Ath-Thuur(52): 21)
Dalam hadits di atas, Imam Bukhari lebih dahulu menyebutkan haji dari pada puasa. Namun pada hadits Imam Muslim dari riwayat Sa'ad bin Ubaidah dari Ibnu Umar, puasa disebutkan lebih dahulu daripada haji. Seseorang berkata, "Haji dan puasa Ramadhan," lalu Ibnu Umar berkata, "Tidak, puasa Ramadhan dan haji." Ini menunjukkan bahwa hadits riwayat Handhalah yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari merupakan hadits bil makna, yaitu hadits yang diriwayatkan berdasarkan maknanya, bukan berdasarkan lafazh yang diriwayatkan dari Rasulullah. Hal ini bisa jadi disebabkan beliau tidak mendengar sanggahan Ibnu Umar pada hadits di atas, atau karena ia lupa.
Kemungkinan ini lebih tepat dibandingkan pendapat yang menyatakan bahwa Ibnu Umar mendengar hadits tersebut dari Rasul dua kali dalam bentuk yang berbeda, namun beliau lupa salah satu dari kedua hadits tersebut ketika memberikan sanggahan kepada pernyataan seseorang dalam hadits di atas tadi.
Sebenarnya adanya hadits yang diriwayatkan secara berbeda menunjukkan bahwa matan hadits tersebut disampaikan secara maknawi. Pendapat ini juga dikuatkan adanya tafsir Bukhari yang lebih mendahulukan lafazh puasa dari pada zakat. Apa mungkin para sahabat mendapatkan hadits ini dalam tiga bentuk? Hal ini mustahil terjadi. Wallahu A 'lam. Hadits ini diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya, namun Imam Bukhari tidak menyebutkan hadits tersebut karena tidak sesuai dengan syarat-syarat hadits beliau. Adapun alasan pengambilan dalil dari ayat di atas, karena ayat tersebut membatasi pengertian takwa kepada orang-orang yang memenuhi sifat-sifat yang terkandung dalam ayat. Maksudnya adalah orang-orang yang menjaga dirinya dari kesyirikan dan perbuatan yang buruk. Apabila mereka melaksanakan semua bentuk prilaku yang disebutkan dalam ayat, kemudian meninggalkan perbuatan syirik dan dosa, maka mereka adalah orang-orang yang sempurna imannya. Untuk itu kita dapat menggabungkan antara makna ayat dan hadits, bahwa semua prilaku yang diiringi dengan tashdiq (keimanan) termasuk dalam kategori perbuatan yang baik dan iman.
Semua sanad hadits ini adalah orang Bashrah. Hadits ini menjadi dalil akan keutamaan membenci kekufuran. Hadits ini dicantumkan pada bab adab dan keutamaan cinta kepada Allah dengan lafazh, J>lil J J-j
Dalam riwayat Shanabahi dari Ubadah ditambahkan lafazh, 'jangan merampas," dan ini yang menjadi dalil bahwa baiat tersebut tidak dilakukan pada saat itu, karena jihad belum menjadi suatu kewajiban pada waktu baiat Aqabah. Sedangkan yang dimaksud dengan merampas di sini adalah merampas harta setelah perang. Dalam riwayat tersebut juga ditambahkan lafazh, "jika kita melakukan semua itu maka kita akan masuk surga." Kemudian Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam bab wufudul Anshar (utusan Anshar) dari Qutaibah dari Laits dengan lafazh, "ij Sebenarnya penulisan kata tersebut keliru, hanya saja beberapa orang telah menjadikannya sebagai sandaran dan mengatakan, "Secara zhahir riwayat tersebut melarang seseorang untuk menjadi qadhi. Akan tetapi, larangan tersebut dibatalkan dengan diangkatnya Ubadah radhiallahu anhu menjadi Qadhi di Palestina pada masa pemerintahan Umar. Ada yang berpendapat bahwa kata, "bil jannah"
(dengan surga) berkaitan dengan keputusan atau pengadilan, artinya jangan mengadili manusia untuk masuk surga." Cukuplah riwayat Muslim dari Qutaibah yang membuktikan kekeliruan tersebut, dan juga riwayat Al Ismaili dari Hasan bin Sufyan serta Abi Nu'aim dari Musa bin Harun yang keduanya berasal dari Qutaibah. Demikian pula hadits tersebut menurut Al Bukhari dalam kitab Ad-Diyaat dari Abdullah bin Yusuf dari Al-Laits dalam sebagian besar riwayat.
Al Maksud Al Qadar adalah Allah SWT memiliki pengetahuan tentang nasib sesuatu dan zamannya sebelum terjadi, kemudian dengan ilmu-Nya sesuatu itu diwujudkan. Oleh karena itu semua yang baru berasal dari ilmu-Nya, kekuasaan-Nya dan kehendak-Nya. Inilah yang telah diketahui secara umum dalam agama berdasarkan dalil-dalil yang qath'i (pasti). Pendapat tersebut diambil oleh para ulama salaf dari golongan sahabat dan tabiin yang terpilih hingga munculnya fitnah qadar pada akhir zaman para sahabat.
Imam Muslim meriwayatkan cerita tentang kasus tersebut dari jalur Kahmas dari Abdul Buraidah dari Yahya bin Ya'mar, dia berkata, "Yang pertama kali berbicara tentang qadar di Bashrah adalah Ma'bad Al Juhani, kemudian pergilah aku bersama Humaid Al Humairi." Kemudian diceritakan bahwa mereka mendatangi Abdullah bin Umar dan menayakan tentang hal tersebut, lalu Ibnu Umar menjawab bahwa dia tidak terlibat dengan orang yang mengatakan demikian, dan Allah tidak akan menerima orang yang tidak benar-benar percaya terhadap qadar.
Beberapa pengarang menceritakan, bahwa beberapa sekte dalam aliran Qadariyah mengingkari bahwa Allah mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh hamba-Nya. Al Qurthubi dan lainnya berkata, "Aliran ini telah punah dan kami tidak pernah mengetahui seseorang dari golongan mutaakhirin yang dinisbatkan kepada aliran tersebut." Kemudian dia melanjutkan, "Aliran Qadariyah pada saat ini mengakui bahwa Allah mengetahui apa yang hendak dilakukan hamba-Nya sebelum terjadi, hanya saja pertentangan mereka dengan golongan salaf terjadi akibat klaim mereka yang mengatakan bahwa perbuatan seorang hamba ditentukan oleh diri mereka sendiri."
Walaupun aliran ini sesat akan tetapi kadarnya lebih rendah dari aliran sebelumnya. Sedangkan golongan mutaakhirin, mereka mengingkari adanya kaitan antara perbuatan hamba dengan kehendak Ilahi sebagai efek dari pengingkaran mereka terhadap kaitan antara yang baru dengan yang gadiim (abadi). Mereka adalah kelompok yang dikatakan oleh Imam Syafi'i secara khusus, "Jika orang-orang Qadariyah menerima adanya ilmu Allah, maka mereka dapat dibantah." Maksudnya mereka bertanya kepada beliau, "Dapatkah terjadi ketidaksesuaian antara ilmu Allah dengan apa yang terjadi dalam wujud ini?" Jika jawabannya tidak, maka jawaban tersebut sesuai dengan Ahlu Sunnah. Sedangkan jika jawabannya dapat, maka berarti telah menisbatkan kebodohan kepada Allah. Maha Suci Allah dari kebodohan.
Imam Muslim menambahkan dalam riwayat Umarah bin Qa'qa' dengan kata "Shadaqta" (engkau benar) setelah Nabi menyebutkan ketiga jawaban yang ditanyakan. Al Qurthubi berkata, "Maksud dari pertanyaan ini adalah agar orang-orang tidak menanyakan tentang hal tersebut, karena mereka sering bertanya tentang hal itu seperti yang diceritakan dalam ayat-ayat Al Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah. Ketika keluar jawaban atas persoalan tersebut, maka timbul keputusasaan untuk mengetahuinya lebih lanjut. Berbeda dengan pertanyaan sebelumnya yang bermaksud memancing jawaban untuk mengajari orang yang mendengar dan memperingatkan mereka dengan pertanyaan ini secara detail mana yang dapat mereka ketahui dan mana yang tidak." Jii-Jj) 'j* (Daripada yang bertanya). Rasulullah mengubah kalimat "Aku tidak lebih mengetahui daripada engkau" dengan kalimat yang lebih umum, untuk memberi isyarat kepada para sahabat yang mendengarkan pada waktu itu, artinya yang bertanya dan yang ditanya sama (tidak mengetahui) dalam hal ini.
Tanya jawab ini juga terjadi antara Isa bin Maryam dengan Jibril, hanya saja pada saat itu yang bertanya adalah Isa dan yang menjawab Jibril. Al Humaidi berkata dalam kitab Nawadir, "Sufyan telah menceritakan kepada kami, Malik bin Mughawil dari Ismail bin Raja' dari Syu'bi, dia berkata, "Isa bin maryam bertanya kepada Jibril tentang hari kiamat, maka berkatalah Jibril, "Yang ditanya tidak lebih mengetahui dari yang bertanya."
'j-* i^t-j (Akan kuberitahukan kepadamu tandatandanya). Dalam riwayat Abu Farwah disebutkan, "Akan tetapi hari tersebut memiliki tanda-tanda yang dapat diketahui dari tanda-tanda tersebut." dan dalam riwayat Kahmas, "Kemudian orang tersebut berkata, "Jika demikian beritaku aku tanda-tandanya, kemudian dia memberitahukan kepadanya sehingga kamu menjadi ragu-ragu" Apakah munculnya keraguan tersebut karena disebutkan tanda-tanda (hari kiamat) atau penanya bertanya tentang tanda-tanda tersebut? Kedua riwayat tersebut dapat disatukan bahwa hadits tersebut dimulai dengan kalimat "Fa akhbartuka" (aku beritahukan kepadamu) kemudian si penanya pun berkata, "Jika demikian maka beritahu aku."
Yang memperkuat pendapat tersebut adalah riwayat Sulaiman At-Taimi yang berbunyi, "...akan tetapi jika engkau mau akan kuberitahukan kepadamu tanda-tandanya." Orang tersebut menjawab, "Ya...." Kalimat yang sama dapat ditemukan pada hadits Ibnu Abbas dengan penambahan kalimat, "HaddatsanF (telah menceritakan kepadaku). Penjelasan secara mendetail tentang tanda-tanda hari kiamat tersebut dapat ditemukan dalam riwayat lain.
Al Qurthubi berkata, "Tanda-tanda kiamat terbagi menjadi dua, yaitu tanda-tanda sudah biasa terjadi dan tanda-tanda yang tidak biasa terjadi. Adapun tanda-tanda yang disebutkan termasuk tanda-tanda yang pertama, sedangkan yang termasuk dalam kelompok kedua seperti munculnya matahari dari arah barat. Wallahu A 'lam.
OJJJ bi (Jika melahirkan). Penggunaan kata "idza" dalam kalimat tersebut berfungsi untuk menunjukkan bahwa peristiwa tersebut pasti akan terjadi. Kalimat ini merupakan keterangan tanda-tanda tersebut apabila dilihat dari segi maknanya.
I^J'J **H\ OJJJ bi (Apabila budak melahirkan tuannya). Dalam tafsir diriwayatkan dengan "Rabbataha", begitu pula dalam hadits Umar dan Muhammad bin Bisyr. Kemudian ditambah dengan "Ya 'ni As-Sarari." Dalam riwayat Umarah bin Qa'qa'disebutkan, "Apabila kamu melihat perempuan melahirkan tuannya." Lafazh yang serupa ditemukan dalam riwayat Abu Farwah dan riwayat Utsman bin Ghayyats, "Budak perempuan (melahirkan) tuan-tuan mereka" dengan menggunakan pola plural. Arti dari kata "Ar-Rabb" adalah tuan.
Para ulama, baik sekarang ataupun dahulu telah berbeda pendapat tentang hal tersebut, bahkan perbedaan tersebut mencapai 7 pendapat menurut Ibnu At-Tin. Akan tetapi saya meringkasnya menjadi 4 pendapat. Pertama, adalah apa yang dikatakan oleh Khaththabi, yaitu makin meluasnya negara Islam dan ditaklukkannya negara-negara musyrik kemudian menahan tawanan mereka, sehingga para tuan memiliki budak perempuan yang melahirkan anaknya. Maka anak yang berasal dari budak itu sama dengan posisi tuannya, karena dia adalah anak tuannya.
Kemudian An-Nawawi dan yang lainnya berpendapat, "Pendapat tersebut merupakan pendapat mayoritas." Saya berpendapat untuk menjadikan pendapat tersebut sebagai interpretasi maksud dari hadits harus diteliti terlebih dahulu, karena penguasaan hamba sahaya telah ada pada saat hadits ini dikeluarkan. Bahkan penaklukan negara-negara musyrik dan penahanan tawanan perang banyak terjadi pada masa permulaan Islam. Konteks kalimat tersebut mengindikasikan, bahwa peristiwa yang akan terjadi pada saat hari kiamat sudah dekat.
Waqi' dalam riwayat Ibnu Majah telah menafsirkannya lebih khusus dengan mengatakan, "Orang asing (ajam) akan melahirkan orang Arab." Sebagian dari mereka berpendapat bahwa budak-budak perempuan tersebut melahirkan tuan atau raja dan seorang ibu menjadi bagian dari rakyat, sedangkan raja adalah pemimpin rakyatnya. Inilah pendapat Ibrahim Al Harbi. Kemudian dia berusaha mendekatkannya dengan fakta bahwa para pemimpin pada masa permulaan Islam enggan untuk menggauli para budak perempuannya, bahkan mereka bersaing untuk mendapatkan wanita yang merdeka. Hanya saja kondisi tersebut berbalik hingga pada masa bani Abbasiyah. Riwayat yang menggunakan ta' ta 'nits (rabbataha) tidak dapat menguatkan pendapat tersebut.
Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penggunaan kata (tuan) untuk menunjukkan anaknya adalah merupakan bentuk majaz (kiasan), karena ketika bayi itu menjadi sebab merdekanya budak tersebut akibat ditinggal mati bapaknya, maka pembatasan seperti itu diperbolehkan.
Kemudian sebagian yang lain lebih mengkhususkannya, bahwa perbudakan jika meluas dapat menjadikan anak sebagai budak. Kemudian ia dibebaskan pada saat dewasa dan menjadi tuan atau pemimpin lalu dia memperbudak ibunya dengan cara membelinya karena dia telah mengetahui hal tersebut atau tidak mengetahui. Selanjutnya dia menjadikan wanita tersebut sebagai budaknya dan menyetubuhinya, atau dia memerdekakan dan mengawininya.
Pada beberapa riwayat ditemukan, "budak perempuan akan melahirkan suaminya." Salah saru dari riwayat tersebut adalah riwayat Imam Muslim. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan suami dalam riwayat tersebut adalah tuannya, dan pendapat ini yang lebih sesuai dengan riwayat yang ada.
Kedua, para tuan tersebut menjual para budak perempuan (ibu dan anak) mereka. Karena terlalu banyaknya, sehingga dia tidak tahu bahwa yang membelinya adalah anaknya. Berdasarkan penafsiran ini, yang dimaksudkan dengan tanda-tanda hari kiamat adalah mendominasinya sikap meremehkan hukum syariat.
Jika ada yang berpendapat bahwa dalam masalah ini ada perbedaan sehingga tidak dapat dipahami seperti di atas, karena tidak ada kebodohan dan kehinaan bagi orang yang membolehkannya. Menurut kita masalah tersebut masih dapat dipahami sesuai dengan apa yang disepakati oleh konsensus ulama, seperti haram menjualnya pada saat hamil.
Ketiga, mengikuti model yang sebelumnya. An-Nawawi berkata, "Hadits tersebut tidak dikhususkan kepada anak yang membeli ibunya, akan tetapi hadits tersebut memiliki gambaran lain, yaitu seorang budak melahirkan seorang anak dari orang yang merdeka dengan watha' syubhah (hubungan yang tidak jelas) atau dengan sesama budak baik dengan nikah maupun zina. Kemudian budak tersebut diperjualbelikan dan terus berputar kepemilikannya sampai akhirnya dia dibeli oleh anaknya."
Muhammad bin Bisyr tidak menyetujui pendapat ini, karena menurutnya pengkhususan tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat.
Jawaban di atas melebihi apa yang ditanyakan, hal itu agar umat memperhatikannya dan menjadi petunjuk bahwa mengetahui hal tersebut dapat mendatangkan manfaat. Jika ada yang mengatakan, "Dalam ayat tersebut tidak ditemukan adatul hashr (kalimat yang menunjukkan pengkhususan atau pembatasan) seperti dalam hadits," maka Ath-Thibi berkata, bahwa suatu perbuatan yang mengindikasikan perkara yang sangat penting, maka kita dapat memahami adanya pembatasan (hashr) secara kinayah (kiasan). Apalagi jika kita memperhatikan sebab turunnya ayat tersebut, yaitu bangsa Arab mengaku mengetahui turunnya hujan, sehingga ayat tersebut turun menjelaskan bahwa mereka tidak mengetahui hal itu dan hanya Allah yang mengetahuinya.
Pertama, riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak mengetahui bahwa yang ada di hadapannya adalah Jibril sampai terakhir. Jibril mendatangi mereka dalam bentuk seorang laki-laki yang berperawakan gagah dan tidak dikenal oleh mereka. Kemudian yang ditemukan dalam hadits Nasa'i dari jalur Abi Farwah pada akhir haditsnya menyebutkan, "Dia adalah Jibril yang turun dalam rupa Dihyah Al Kalbi." Ungkapan "Dalam rupa Dihyah Al Kalbi" mengandung ketidakjelasan, karena Dihyah Al Kalbi adalah orang yang mereka kenal, sedangkan Umar berkata, "Tidak seorang pun yang mengetahuinya."
Muhammd bin Nasar Al Marwazi meriwayatkan dalam kitabnya Al Iman melalui jalur yang sama dengan riwayat An-Nasa'i, dimana pada akhir hadits disebutkan, "Dia adalah Jibril yang datang mengajarkan agamamu." Riwayat inilah yang dapat dijadikan pegangan karena sesuai dengan riwayat yang lain.
Ibnu Munir menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk membolehkan tetapnya hukum "mujmal" setelah Rasulullah. Adapun dalam menjadikannya sebagai dalil, masih harus diteliti kembali. Kecuali jika yang dimaksud adalah bahwa hal tersebut mujmal dalam hak sebagian tanpa sebagian yang lain, atau dimaksudkan untuk membantah kelompok yang mengingkari qiyas. Demikianlah yang ditemukan dalam setiap teks Imam Bukhari dengan dihapuskannya jawab syarth apabila kata 'j (orang) dianggap berfungsi sebagai syarth. Penghapusan tersebut juga dikuatkan dalam riwayat Ad-Darimi dari Abu Nu'aim Syaikh Imam Bukhari. Dalam riwayat tersebut adalah,^-^' *fjJ> f^-j-1 ^> £-b ^JJ' ^ 'g 3 ji (Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang diragukan maka dia terjatuh ke dalam yang haram seperti penggembala yang menggembalakan).
Akan tetapi kata j --dalam lafazh Bukhari dapat pula dianggap sebagai man maushulah (sambung). Dengan demikian maka tidak ada penghapusan di dalamnya, sehingga artinya menjadi barangsiapa yang melakukan sesuatu yang diragukan, maka orang tersebut seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya.
Pendapat pertama lebih utama untuk diterima, karena penghapusan tersebut diperkuat dengan riwayat Muslim dan yang lainnya dari jalur Zakaria yang juga merupakan riwayat Imam Bukhari. Berdasarkan hal ini, maka perkataannya JSjl ^'S berfungsi sebagai kata awal untuk menarik perhatian terhadap sesuatu yang belum terjadi dengan sesuatu yang ada.
Ada anekdot dalam perumpamaan tersebut, yaitu raja-raja Arab melindungi para pengembala mereka di suatu tempat khusus dengan ancaman hukuman berat bagi orang yang menggembalakan ternaknya di tempat itu tanpa izinnya. Oleh karena itu, Rasulullah mengumpamakannya dengan sesuatu yang masyhur atau dikenal oleh mereka.
Orang yang takut akan hukuman dan mengharapkan ridha sang raja, maka dia akan menjauhi tempat tersebut karena khawatir ternaknya akan masuk ke dalam daerah tersebut. Oleh sebab itu, betapapun ketatnya pengawasan seseorang terhadap binatang gembalaannya, menjauh dan tempat itu adalah lebih selamat baginya. Sedangkan orang yang tidak takut, akan menggembalakan ternaknya di dekat tempat tersebut tanpa ada jaminan bahwa tak ada satupun ternaknya yang memisahkan diri dan masuk ke dalam daerah tersebut. Atau tempat yang ditempatinya sudah gersang dan tidak ada tumbuhan, sedangkan daerah larangan masih subur sehingga dia tidak dapat menguasai dirinya dan masuk ke dalam daerah tersebut.
" lt , Sebagian ulama mengklaim bahwS^terumpamaan tersebut adalah perkataan Sya'bi dan ia termasuk mudarri/ dalam hadits. Pendapat tersebut diceritakan oleh Abu Amru Ad-Dani, dan saya tidak memperhatikan dalil-dalil mereka kecuali yang dimiliki oleh Ibnu Jarud dan Ismaili dari riwayat Ibnu 'Aun dari Sya'bi. Ibnu 'Aun berkata dalam akhir hadits, '"Saya tidak tahu apakah perumpamaan itu berasal dari perkataan Nabi atau perkataan Sya'bi." Menurut saya, keragu-raguan Ibnu 'Aun menetapkannya sebagai hadits marfu' tidak menjadikannya sebagai hadits yang berstatus mudarraj, karena beberapa perawi yakin bahwa hadits tersebut berstatus marfu'. Oleh karena itu, keragu-raguan sebagian mereka tidak mempengaruhi hal tersebut. Begitu pula dengan tidak dituliskannya perumpamaan tersebut dalam riwayat beberapa perawi -seperti Abu Farwah dari Sya'bi-juga tidak berpengaruh terhadap perawi yang mencantumkannya, karena mereka adalah huffazh (para penghafal hadits). (kemaksiatan) sebagai ganti dari kata *j^S^ (yang diharamkan).
Sedangkan kata S 1 ', berfungsi memperingatkan bahwa setelahnya adalah kebenaran.
-iiUi (Segumpal darah) dinamakan hati (l1»), karena sifatnya yang selalu berubah atau karena dia adalah bagian badan yang paling bersih, atau juga karena dia diletakkan terbalik dalam badan.
^--^iU> lij dan -'-j iji. Penggunaan kata lii menunjukkan hal tersebut biasa terjadi dan bisa juga berarti "jika" seperti yang ada di riwayat ini. Dikhususkannya hati dalam hal ini, karena hati adalah pemimpin badan. Jika pemimpinnya baik maka rakyat pun akan baik, demikian pula sebaliknya. Hadits ini mengandung peringatan akan pentingnya hati, dorongan untuk memperbaikinya dan isyarat bahwa naflah yang baik memiliki efek terhadap hati, yaitu pemahaman yang diberikan oleh Allah. Pendapat tersebut dapat dijadikan dalil bahwa akal berada di hati berdasarkan firman Allah, "Mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami." dan firman Allah, "Sesungguhnya dalam semua itu terdapat peringatan bagi orang yang memiliki hati. " Para ahli tafsir mengartikan hati dengan "akal". Adapun disebutkannya hati, karena hati adalah tempat bersemayamnya akal.
Abu Aliyah di sini adalah Abu Rayyahi dan namanya adalah rufi'. Jika ada yang berpendapat hadits ini diriwayatkan dari Al Barra' maka dia teiah keliru, kaiena hadits yang disebutkan telah dikenal berasal dari riwayat Ar-Rayyahi. Jika ada pertanyaan apa hubungan antara hadits Ibnu Umar dengan tema bab yang menyatakan bahwa kata-kata tersebut memiliki satu arti, sedangkan secara eksplisit hadits tersebut tidak menunjukkan hal itu? Jawabannya adalah, pengertian tersebut didapat dari perbedaaan hadits-hadits yang telah disebutkan, dimana hal itu akan lebih jelas jika semua jalurnya disebutkan. Karena jika tidak, maka tidak ada jaminan untuk tidak terjadi percampuran antara yang didengar dengan majaz setelah mengetahui pengertian dalam segi istilah. Dengan demikian, apa yang disampaikan oleh para salaf dapat diinterpretasikan dengan satu makna, berbeda dengan apa yang disampaikan oleh ulama yang datang kemudian (mutakhiriin). Riwayat Imam Bukhari dalam kitab Ath 'imah (tentang makanan) dari jalur A'masy dikatakan, "Telah menceritakan kepadaku Mujahid dari Ibnu Umar yang berkata, 'Ketika kami sedang bersama Rasulullah SAW, datanglah seseorang membawa kurma.'" Kemudian Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya kurma adalah pohon yang kuberkahi sebagaimana orang muslim kuberkahi."
Dalam riwayat Karimah terdapat kalimat tersebut "Ibnu lshaq berkata...'' Sesungguhnya Syaikh Al lraqi menguatkan lafazh ini (Ibnu Ishaq), walaupun saya belum pernah mendengar hal itu dari beliau. Sedangkan dalam riwayat Ash-Shaghani juga ada, "Ishaq berkata dari Abu Usamah." Riwayat ini telah menguatkan riwayat yang pertama. Keterangan Hadits: Bab ini merupakan anjuran untuk menuntut ilmu Sesungguhnya ilmu tidak akan punah kecuali dengan kemalian ulama, seperti yang akan ditegaskan nanti, dan selama masih aJa utang \ ang mempelajari ilmu, maka kepunahan ilmu tidak .ikan tenadi. Scsungguhnv,1 :ekih dijelaskan dalam hadits bab ini bahwasanya diangkatnya ilmu adalah diantara tanda liari kiamat.
Rabi'ah adalah Abu Abdurrahman, seorang Ulama fikih dari Madinah. Dia dikenal dengan ahli rayu karena banyaknya melakukan ijtihad.
Maksud perkataan Rabi'ah adalah, bahwa orang-orang yang memiliki pemahaman dan mendapatkan ilmu tidak seharusnya mengabaikan dirinya sehingga meninggalkan kesibukannya, supaya hal tersebut tidak membawa kepada kesirnaan ilmu. Atau maksudnya adalah anjuran untuk menyebarkan ilmu pengetahuan di kalangan keluarga, supaya seorang yang berpengetahuan tidak mati sebelum mengajarkan hal tersebut, sehingga mengakibatkan kelangkaan ilmu pengetahuan. Atau seorang yang berpengetahuan hendaknya memperkenalkan diri agar ilmunya dipelajari oleh orang-orang supaya tidak sia-sia. keturunan, karena perzinaan akan merusak keturunan, Terakhir adalah jiwa dan harta, karena dengan banyaknya peperangan akan merusak keduanya.
Al Karmani mengatakan, bahwa kerusakan lima perkara ini merupakan tanda runmhnya dunia karena manusia telah meremehkannya dan tidak ada nabi lagi setelah Nabi kita Muhammad SAW. maka hal-hal tersebut akan menjadi kenyataan.
Al Qurtubi mengatakan, bahwa hadits ini memberitahukan akan ilmu kenabian, karena Nabi memberitakan apa >ang akan terjadi dan hal ini sungguh-sungguh terjadi, khususnya pada zaman sekarang.
Dalam kitab Tadzkirah, Al Cjurtubi juga mengatakan. "Mungkin yang dimaksud dengan "Al (Javvim" adalah orang yang mengurusi urusan perempuan, terlepas apakah dia seorang istri atau tidak. Mungkin juga hal itu terjadi pada zaman dimana tidak tersisa lagi orang yang mengucapkan Allah, sehingga dia mengawini hanya seorang istri karena tidak tahu hukum syar'i." Saya katakan, bahwa hal tersebut telah kita jumpai pada beberapa umara (penguasa) dan urang-orung selam mereka pada masa sekarang. Adalah merupakan kebiasaan Rasulullah mengulanginya sampai tiga kali. Maksudnya, Anas menceritakan kebiasaan Rasulullah SAW yang dia ketahui, lalu dia memberi saksi akan hal itu, bukan Nabi yang memberitahunya.
Pertama, dalam syarak ibnu At-Tin dan selainnya, dijelaskan bahwa ayal tersebut diturunkan mengenai Ka'ab Al Ahbar dan Abdullah bin Salam, namun ayat ini bukan berkenaan dengan Ka'ab bin Al Ahbar tetapi berkenaan dengan Abdullah bin Salam karena Ka'ab bukan termasuk sahabat, sebab dia masuk Islam pada zaman Umar bin Kbathlhab. Adapun yang terdapat dalam Tafsir Ath-thaban dan lainnya, dari Qatadah, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Salam dan Salman Al Karisi; dan ini benar, karena Abdullah adalah seorang Yahudi kemudian masuk Islam seperti akan diterangkan dalam pembahasan Hijrah. Sedangkan Salinan adalah seorang Nasrani kemudian masuk Islam, seperti akan diterangkan dalam pembahasan Jual-bcli. Keduanya adalah para sahabat yang terkenal.
Kedua, A! Qurtubi berpendapat bahwa ahli kitab yang diberi pahala dua kali adalah orang yang benar akidah dan perbuatannya, hingga dia beriman dengan Nabi kita Muhammad. Maka, Allah hanya memberi pahala atas kebenaran akidah dan perbuatannya.
Yang membingungkan dalam pendapat ini, bahwa Nabi telah mengirim surat kepada raja Hercules. "Masuklah Islam maka Allah Akan memberimu pahala dua kali" Padahal Hercules, adalah pemeluk agama Nasrani setelah diselewengkan ajarannya oieh para pemeluknya. Pembahasan ini telah disinggung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hadits Abu Sufyan tentang permulaan turunnya wahyu.
Ketiga, Abu Abdul Malik Al Buni dan lainnya berpendapat, bahwa hadits ini sama sekali tidak mencakup agama Yahudi sebagaimana yang telah kita singgung di muka. Sedangkan Ad-Dawudi dan pengikutnya mengatakan bahwa kemungkinan hadits ini mencakup Pendapat ini tidak dibenarkan, karena hadits ini berkaitan dengan Ahli kitab, maka dengan sendirinya tidak mencakup selain Ahli kitab, kecuali dengan menganalogikan kebajikan dengan iman. Adapun dalam perkataan N'abi "yang beriman kepada \'abi-\'ya." dimana hadits ini menggambarkan ketinggian pahala atau sebab dia mendapatkan dua pahala, adalah karena mengimani seluruh nabi-nabi.
Perbedaan antara Ahli kitab dengan orang-orang kafir, bahwa Ahli kitab mengetahui kenabian Muhammad, seperti dalam firman Allah Hal >ang serupa adalah masalah hak istri-istri Rasulullah, karena wahvu telah diturunkan di tempat atau rumah mereka sebagaimana dijelaskan dalam hadiis belum Jika ada \ ang mengatakan; mengapa masalah istri-istri Raval tidak disebutkan dalam hadits ini. sehingga jumlahmu menjadi empat'' Syuikh Islam Ibnu laimivah menjawab, bahwa sesuimi.uilinva masalah vang berkenaan dengan istri-istri nabi adalah khusus bagi mereka tidak untuk vang lain. sedangkan liga poin dalam hadits di atas, hukumnya berlaku sampai hari kiamat. I ial ini teluh diterangkan oleh oleh Syuikh. bahwa permasalahan orang yang beriman dari Ahli Kitab akan terus berlangsung sampai hari kiamat. Al Karmani berpendapat, bahwa h.il itu khusus bagi siapa yang beriman pada masa bi 't sah (diutusi 1 .) a rasul), hal itu dikarenakan nabi mereka setelah hi 'tsah adalah \h•iu^mmad SAW berdasarkan uni\ersahtas dakwah beliau.
Maksud penisbatan mereka kepada selain Nabi Muhammad, adalah berdasarkan keadaan mereka sebelumnya. Al Karmani mengatakan, bahwa konteks lata/b hadits jelas berbeda, dimana orang mukim-1 Alih Kitab dikatakan r ajui i seorang laki-laki) dalam bentuk nakirah i indehinu, sedangkan, mengenai 'Abdun (hamba sahaya) digunakan. .•!/,'/ tam t untuk mcn\ atakan orang yang telali diketahui) dan ditambahkan padati},, kata-kata Idzu i apabila) \ang mengandung arti pada masa yang akan datang. Dengar, demikian menunjukkan, bahwa dua pahala untuk ahli kitab >ang beriman tidak terjadi pada masa vang akan datang, berbeda dengan hamba sahaya. Pendapat ini kurang benar, karena ia hanya melihat lafazh sebara lahiriyah saja.
Adapun perbedaan antara tankir dan ta 'n/tidak ada hubungannya di sini, karena ta 'rif dengan lam jinsi menunjukkan makna nakirah. Wallahu A 'lam.
Keempat, hukum perempuan ahli kitab dalam masalah ini sama dengan hukum laki-laki seperti yang telah berlaku, bahwa kaum perempuan masuk dalam golongan laki-laki kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.
Pembahasan (hamba sahaya laki-laki) akan dijelaskan dalam bab "Memerdekakan Budak ", sedangkan pembahasan (hamba sahaya) pada bab "Nikah". Dengan judul bab ini. Imam Bukhari menjelaskan bahwa anjuran untuk memberikan nasihat kepada keluarga -sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya-bukan hanya merupakan tugas kepala keluarga saja, akan tetapi juga dianjurkan kepada seorang pemimpin ataupun wakilnya untuk memberikan nasihat kepada mereka. Hal ini diambil dari perkataan Ibnu Abbas, "Kemudian beliau memberikan kepada nasihat kepada kaum wanita." Nasihat tersebut berupa sabdanya. "Saya melihat bahwa sebagian besar dari kamu (kaum wanita) menjadi penghuni neraka, disebutkan bagian pertama («-~ 'I, \ ) saja, maka hai itu sudah cukup, karena bagian pertama sudah mewakili bagian kedua kalimat tersebut. 1 1=1* (Benar-benar ikhlas). Kalimat ini dimaksudkan untuk menghindari orang munafik. Kata J»_J-' berarti manusia yang paling bahagia, sebagaimana dalam firman-Nya "Dan paling indah tempa! istirahatnya."
Penulis telah menyusun hadits dalam bab ini dengan baik, dimana penulis telah menyebutkan terlebih dahulu hadits Ali RA yang menjadi tujuan utama bab ini. Kemudian kedua, ia mencantumkan hadits Zubair yang menunjukkan sikap para sahabat yang menjauhi segala macam bentuk dusta kepada Rasulullah. Sedangkan ketiga, hadits Anas yang menjelaskan keengganan para sahabat untuk banyak meriwayatkan hadits yang menyebabkan kesalahan. Hal itu bukan berarti mereka enggan untuk meriwayatkan hadits. karena mereka telah diperintahkan untuk menyampaikan apa yang mereka dapatkan dari Rasulullah. Kemudian penulis mengakhiri bab ini dengan memaparkan hadits Abu Hurairah yang mengisyaratkan, bahwa dusta kepada Rasulullah dengan dakwaan telah mendengar dan beliau baik dalam keadaan sadar atau tidur adalah sama hukumnya, yaitu haram.
Imam Bukhari juga telah meriwayatkan hadits, "Barangsiapa dus t u atas namaku" dan hadus Al Mughirah dalam bab "Janaiz". dan hadits Abdullah bin Amru bin Ash dalam kisah bani Israil, dan dari hadits Watsilah bin Al Asu,a' dalam manaqib Ouraisy, namun dia tidak menyebutkan dengan jelas ancaman masuk neraka bagi para pelakunya.
3-MASALAH IMAN DAN FIRMAN ALLAH
<-?-^-£ j£j
Apabila dikatakan, bahwa dalam matan (isi) hadits ini tidak disebutkan kata Tashdig, maka Jawabnya kata tersebut telah disebutkan dalam hadits yang asli, seperti hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, sedangkan Imam Bukhari hanya mengemukakan sebagian besar atau inti dari isi haditsnya saja dan tidak mencantumkan keseluruhannya.
Dimungkinkan ayat "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman" merupakan penafsiran tentang orang-orang yang bertakwa yang dijelaskan pada ayat sebelumnya. Artinya bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang disifati dalam ayat di atas, yaitu orang yang beriman, berbahagia dan seterusnya sampai akhir ayat. 9. Dari Abi Hurairah RA, Nabi SAW bersabda," Iman mempunyai lebih dari enam puluh cabang. Adapun malu adalah salah satu cabang dari iman. "
Imam
Baihaqi lebih menguatkan riwayat Bukhari, karena menurutnya Sulaiman bin Bilal tidak ragu dalam mengucapkan angka tersebut, pendapat ini masih dapat dikritik mengingat Bisyr bin Amru dalam riwayatnya sempat mengalami keraguan, namun kemudian beliau meyakinkan kembali angka tersebut. Sedang riwayat Tirmidzi yang menyebutkan angka enam puluh empat adalah riwayat yang cacat, tapi sebenarnya riwayat ini tidak bertentangan dengan riwayat Bukhari. Adapun upaya untuk menguatkan pendapat yang menyatakan "tujuh puluh," sebagaimana disebutkan Hulaimi dan Iyad adalah berdasarkan banyaknya perawi yang dapat dipercaya, tetapi Ibnu Shalah menguatkan pendapat yang menyebutkan bilangan (angka) yang lebih sedikit, karena yang lebih sedikit adalah yang diyakini.
Arti kata adalah potongan, tapi maksud kata tersebut adalah cabang, bagian, atau perangai.
• •
Secara etimologi t L_IiJi berarti perubahan yang ada pada diri seseorang karena takut melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan aib. Kata tersebut juga berarti meninggalkan sesuatu dengan alasan tertentu, atau adanya sebab yang memaksa kita harus meninggalkan sesuatu. Sedangkan secara terminologi, berarti perangai yang mendorong untuk menjauhi sesuatu yang buruk dan mencegah untuk tidak memberikan suatu hak kepada pemiliknya, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, "Malu itu baik keseluruhannya." Apabila dikatakan, bahwa sesungguhnya sifat malu merupakan insting manusia, lalu bagaimana bisa dikategorikan sebagai cabang dari iman? Jawabnya, bahwa malu bisa menjadi insting dan bisa menjadi sebuah prilaku moral, akan tetapi penggunaan rasa malu agar sesuai dengan jalur syariat membutuhkan usaha, pengetahuan dan niat, maka dari sinilah dikatakan bahwa malu adalah bagian dari iman, karena malu dapat menjadi faktor stimulus yang melahirkan perbuatan taat dan membentengi diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikain tidak dibenarkan kita mengatakan, "Ya tuhan aku malu untuk mengucapkan kata kebenaran atau malu untuk melakukan berbuatan baik, " karena yang seperti ini tidak sesuai dengan syariat.
Apabila ada pendapat yang mengatakan, "Kenapa hanya malu yang disebutkan?" Jawabnya, karena sifat malu adalah motivator yang akan memunculkan cabang iman yang lain, sebab dengan malu seseorang merasa takut melakukan perbuatan yang buruk di dunia dan akhirat, sehingga malu dapat berfungsi untuk memerintah dan menghindari atau mencegah.
Pelajaran Yang dapat diambil
Ibnu Iyad berpendapat, "Semua orang telah berusaha untuk menentukan cabang atau bagian iman dengan ijtihad. Karena menentukan hukumnya secara pasti sangat sulit untuk dilakukan. Tetapi tidak berarti keimanan seseorang akan cacat bila tidak mampu menentukan batasan tersebut secara terperinci." Orang-orang yang mencoba menghitung semua cabang tersebut tidak menemukan suatu kesepakatan, tetapi yang mendekati kebenaran adalah metode yang dikemukakan oleh Ibnu Hibban. Namun hal itu tidak menjelaskannya secara rinci, hanya saja saya telah meringkas apa yang mereka paparkan dan apa yang saya sebutkan, bahwa iman terbagi menjadi beberapa cabang, yaitu:
MEMBERI MAKAN ADALAH PERANGAI ISLAM
12-Dari Abdullah bin Umar katanya, "Seorang laki-laki bertanya kepada Rasul, dia berkata, "Islam bagaimanakah yang lebih utama?" Nabi menjawab, "Memberi makan (orang-orang miskin), mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal. " Setelah Imam Bukhari memaparkan hadits tentang cabangcabang iman yang diintisarikan dari Al Qur'an dan Sunnah, beliau melanjutkan pada bab-bab selanjutnya untuk memaparkan pembahasan ini agar lebih jelas lagi. Maka dengan sengaja beliau memberi judul pada bab ini dengan "memberi makan" bukan "Islam bagaimanakah". Hal itu menunjukkan adanya perbedaan kedua bahasan tersebut seperti yang kita lihat dari perbedaan pertanyaan yang ada dalam redaksi haditsnya.
Laki-laki yang bertanya dalam hadits di atas tidak disebutkan namanya, tetapi ada yang mengatakan bahwa dia adalah Abu Dzarr, sedang dalam riwayat Ibnu Hibban adalah Hanik bin Yazid, orang tua Syuraikh.
(Islam bagaimanakah yang lebih utama). Pertanyaan ini sama dengan hadits sebelumnya, lalu kenapa ada dua pertanyaan yang sama dalam dua hadits tersebut sedang jawabannya berbeda? Al Karmani menjawab, "Sebenarnya kedua jawaban itu tidak berbeda, karena memberi makan berarti selamat dari bencana yang diakibatkan oleh tangan, dan mengucapkan salam berarti selamat dari bencana yang diakibatkan oleh lisan. Mungkin jawaban yang berbeda ini karena adanya pertanyaan yang berbeda tentang keutamaan suatu perbuatan atas perbuatan yang lain.
Hal ini dapat kita lihat dari perbedaan makna afdhal (lebih utama) dan khair (baik). Menurut Al Karmani. kata afdhal berarti yang paling banyak pahalanya, sedang kata khair berarti manfaat, jadi kata yang pertama adalah berkenaan dengan kuantitas sedang pertanyaan kedua berkenaan dengan kualitas. Tapi menurut pendapat yang masyhur, bahwa pertanyaan yang sama dalam dua hadits di atas adalah disebabkan perbedaan kondisi penanya dan pendengarnya. Mungkin jawaban dalam hadits pertama dimaksudkan memberi peringatan kepada mereka yang takut menerima bencana yang diakibatkan oleh tangan atau lisan, maka hadits tersebut memberikan jalan untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan jawaban yang kedua, adalah memberikan motivasi kepada orang yang mengharapkan manfaat dengan perbuatan atau perkataan, maka hadits tersebut menunjukkan bentuk konkrit perihal tersebut. Dengan demikian disebutkannya dua bentuk atau perangai tersebut adalah sesuai dengan kebutuhan si penanya pada waktu itu agar mereka tertarik untuk masuk agama Islam. Disamping itu para sahabat pada waktu itu sedang semangat melaksanakan perintah syariat, sehingga mereka selalu menanyakan kepada nabi perbuatan apa saja yang dapat mendatangkan kebaikan kepada mereka. Ha! itu menunjukkan bahwa Rasulullah menekankan kedua prilaku tersebut pada awal masuk kota Madinah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan lainnya dari Abdullah bin Salam.
'r-(memberi makan), berarti juga perintah untuk memberi makan kepada fakir miskin, termasuk juga menjamu tamu yang datang.
untuk meninggikan syiar Islam dan menjaga hubungan ukhuwah Islami-yah, bukan untuk kesombongan dan basa-basi belaka. Apabila ada pendapat yang menyatakan bahwa konteks kalimat ini masih umum sehingga mencakup orang kafir, orang munafik dan orang fasik. Jawabnya, memang konteks hadits ini masih umum, tapi hadits ini dikhususkan dengan hadits lain yang memberikan larangan. -?v ^-(sampai mencintai) hal ini bukan berarti bahwa tidak adanya keimanan menyebabkan adanya rasa cinta.
4
~i3 LJJ U (sebagaimana mencintai diri sendiri) dari kabaikan.
Kata khair (kebaikan) mencakup semua ketaatan dan semua hal yang dibolehkan di dunia dan akhirat, sedangkan hal-hal yang dilarang oleh agama tidak termasuk dalam kategori al khair. Adapun cinta adalah menginginkan sesuatu yang diyakini sebagai suatu kebaikan.
Imam Nawawi mengatakan, "Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang diinginkan. Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang dapat diindera, seperti bentuk, atau dapat juga berupa perbuatan seperti kesempurnaan, keutaman, mengambil manfaat atau menolak bahaya. Kecenderungan di sini bersifat ikhtiyari (kebebasan), bukan bersifat alami atau paksaan.
Maksud lain dari cinta di sini adalah cinta dan senang jika saudaranya mendapatkan seperti apa yang dia dapatkan, baik dalam halhal yang bersifat indrawi atau maknawi." Abu Zinad bin Siraj mengatakan, "Secara zhahir hadits ini menuntut kesamaan, sedang pada realitasnya menuntut pengutamaan, karena setiap orang senang jika ia lebih dari yang lainnya. Maka apabila dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, berarti ia termasuk orang-orang yang utama." Saya berpendapat, "Imam Iyad juga mengatakan demikian. Namun pendapat ini masih berpeluang untuk dikritik, karena maksudnya adalah menekankan untuk bersikap tawadhu' (rendah hati), sehingga dia tidak senang untuk melebihi orang lain, karena hal ini menuntut adanya persamaan, sebagaimana firman Allah, "Negeri akhirat itu. Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi." Semua ini tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan perbuatan dengki, iri, berlebihan, kecurangan dan lainnya yang termasuk dalam perangai buruk.
Kalimat
^ ^-u ^sj-lij (Demi diriku yang berada dalam kekuasaan-Nya) adalah ungkapan sumpah. Ungkapan ini menunjukkan diperbolehkannya bersumpah terhadap sesuatu, yang penting untuk menguatkannya.
SAIJJ SJJ)J 'j* (dari kedua orang tua dan anaknya) Kata "kedua orang tua" disebutkan terlebih dahulu, karena setiap anak pasti mempunyai orang tua dan tidak sebaliknya, setiap orang tua mempunyai anak. Sedangkan dalam hadits riwayat Nasa'i dari Anas kata "anak" disebutkan terlebih dahulu, hal ini dikarenakan orang tua lebih mencintai anaknya daripada anak mencintai orang tuanya. y f 15. Dari Anas RA berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Demi diriku yang berada dalam kekuasaan-Nya, tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia lebih mencintai aku dari pada kedua orang tuanya, anaknya dan manusia semua. "
Apabila ada pertanyaan, apakah hawa nafsu masuk dalam kalimat "manusia semua"? Jawabnya, hawa nafsu masuk dalam kalimat tersebut, jika dilihat secara zhahir. Adapun maksud cinta di sini adalah cinta yang berdasarkan kebebasan (memilih) bukan cinta dalam pengertiannya sebagai tabiat. Menurut Imam Nawawi, hadits tersebut mengisyaratkan masalah nafsu ammarah (nafsu yang cenderung untuk melakukan hal-hal yang dilarang) dan nafsu muthmainnah (nafsu yang cenderung melakukan hal-hal yang baik dan dapat menenangkan hati). Maka orang yang nafsu muthmainnahnya lebih dominan dalam dirinya, ia akan lebih mencintai Rasulullah, demikian juga sebaliknya dengan orang yang dirinya dikuasai oleh nafsu ammarah.
Hadits ini juga mengisyaratkan keutamaan berfikir, sebab cinta yang telah disebutkan di atas dapat diketahui dengan berfikir. Hal itu dikarenakan apa yang dicintai dari manusia dapat berupa dirinya atau halhal lain. Adapun apa yang dicintai dari dirinya, maka ia akan menginginkan keselamatannya dari berbagai macam penyakit dan bencana, dan itulah sebenarnya hakikat yang diinginkan, sedangkan apa yang dicintai dari selain dirinya, adalah tercapainya suatu manfaat yang diinginkannya. Untuk itu orang yang memikirkan manfaat yang diperoleh dari Rasulullah yang telah mengeluarkan dari gelapnya kekufuran menuju terangnya cahaya keimanan, maka ia akan mengetahui bahwa manfaat yang diperoleh dari Rasulullah akan lebih besar dari pada manfaat yang diperoleh dari selainnya. Memang manusia berbeda-beda dalam hal ini, tapi tidak diragukan bahwa para sahabat memiliki kecintaan yang sempurna terhadap Rasulullah, karena kecintaan tersebut merupakan buah dari pengetahuan, dan mereka telah mengetahui hal ini. Iman Qurthubi mengatakan, "Setiap orang yang beriman kepada nabi Muhammad dengan sebenar-benarnya iman, maka dirinya tidak akan pernah hampa dari rasa cinta kepadanya, meskipun kecintaan mereka itu berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang cintanya kepada Rasulullah telah mencapai tingkat yang tinggi, dan sebagian yang lain hanya mencapai tingkat yang rendah. Tetapi sebagian besar mereka jika disebut nama Rasulullah, maka hasrat mereka untuk melihatnya sangat besar, karena menurut mereka melihat beliau sangat berpengaruh terhadap diri, keluarga, anak-anak, harta dan orang tua mereka. Maka tidak jarang kita mendapatkan sebagian mereka yang mengeluarkan tenaga, harta dan kemampuannya untuk berziarah ke makam Rasulullah dan melihat tempat-tempat sejarah beliau.
MENCINTAI KAUM ANSHAR ADALAH TANDA KEIMANAN
17. "Dari Anas radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi SAW bersabda, "Di antara tanda-tanda iman adalah mencintai kaum Anshar dan di antara tanda-tanda munafik adalah membencinya."
Dalam bab yang lalu telah dijelaskan, bahwa di antara tandatanda iman adalah mencintai sesamanya karena Allah, sedangkan di sini Imam Bukhari menyebutkan hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar juga termasuk salah satu tanda iman, sebab mencintai mereka -karena mereka telah menolong Rasulullah-adalah termasuk mencintai seseorang karena Allah. Sebenarnya mereka sudah termasuk dalam sabda Nabi, "Mencintai seseorang karena Allah," akan tetapi disebutkannya mereka secara khusus dalam hadits ini menunjukkan adanya perhatian terhadap mereka.
Ji-ty\ C 1 (tanda-tanda iman), Demikianlah penulisan kata tersebut yang terdapat dalam semua riwayat, baik dalam shahih Bukhari dan Muslim, kitab-kitab sunan, mustakhraj maupun musnad. Kata V berarti "tanda" seperti yang disebutkan oleh Imam Bukhari. Dalam kitab "I'rab Al Hadits" karya Abu Al Baqa' Al Akbari disebutkan dengan lafazh "innahul iiman" yaitu dengan menggunakan kata "innahu " dan "a/ iman" dalam keadaan marfu'. Kemudian Abu Al Baqa' Al Akbari meng 'irabnya dengan mengatakan bahwa kata "inna"berfungsi sebagai ta'kid (penguat), kata ganti "hu" adalah sebagai kata ganti keadaan "dhamir asy-sya'ni", sedangkan kata iman adalah sebagai mubtada' (subyek) dan kata selelahnya adalah sebagai khabar (predikat). Dengan demikian, hadits tersebut mengandung pengertian bahwa yang dinamakan iman adalah mencintai kaum Anshar, Hal ini adalah merupakan kesalahan dalam penulisan karenadari segi maknanya-menimbulkan kesan bahwa iman hanya terbatas pada mencintai kaum Anshar saja, padahal sebenarnya tidak demikian. Ada yang berpendapat bahwa lafazh yang masyhur dari hadits ter-sebut juga mengindikasikan bahwa iman hanya terbatas pada mencintai kaum Anshar saja, demikian pula dengan hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari dalam bab "Fadha'ilul Anshar (keutamaan kaum Anshar)" dari Al Barra bin 'Azib yang berbunyi, "Tidak ada yang men-cintal golongan Anshar kecuali orang yang beriman."
Mengenai hadits pertama, dapat dijawab bahwa tanda-tanda ('alamah) adalah seperti khashah (istilah dalam ilmu manthiq yang berarti ciri khusus) yang terdapat dalam beberapa benda dan tidak bisa diterapkan sebaliknya. Kita juga dapat menerima dakwaan adanya pembatasan tersebut, akan tetapi bukan secara hakiki melainkan hanya sebagai penekanan pada maknanya saja. Atau bisa jadi pembatasan itu bersifat hakiki, akan tetapi dikhususkan bagi orang yang membenci kaum Anshar karena mereka telah memberikan pertolongan kepada Rasulullah SAW. Sedangkan mengenai hadits kedua, dapat dijawab bahwa maksud dari hadits tersebut adalah mencintai kaum Anshar hanya terdapat dalam diri orang mukmin. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa orang yang tidak mencintai kaum Anshar tidak termasuk orang mukmin, akan tetapi, maksudnya adalah bahwa orang yang tidak beriman tidak akan mencintai mereka.
Apabila ada sebuah pertanyaan, "Apakah orang yang membencinya termasuk dalam golongan munafik, meskipun ia telah berikrar dan percaya kepada Allah?" Maka jawabannya adalah bahwa berdasarkan zhahirnya kalimat tersebut memang mengandung pemahaman seperti itu. Akan tetapi maksud sebenarnya tidak demikian, karena kata "bughdhun (benci)" dalam hadits tersebut memiliki batasan, yaitu jika seseorang membenci mereka hanya karena mereka telah memberikan pertolongan kepada Rasulullah SAW, maka ia termasuk orang munafik. Penafsiran semacam ini sesuai dengan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Naim dari Barra' bin 'Azib, "barang siapa yang mencintai kaum Anshar, maka aku akan mencintainya dengan sepenuh hati, dan barang siapa yang membenci kaum Anshar, maka aku akan membencinya dengan sepenuh hati" Tambahan seperti ini juga terdapat dalam bab "AJ Hub (cinta)" seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Imam Muslim juga telah meriwayatkan dari Abu Sa'id secara marfu' (dinisbatkan kepada Rasul) dengan lafazh, "Tak ada seorang mukmin pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nyayang membenci kaum Anshar," dan dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan, "mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan." Ada kemungkinan kata tersebut disebutkan dengan fungsi sebagai peringatan (tahdzir), sehingga yang dimaksud bukanlah makna zhahimya dan oleh karena itu iman yang ada tidak digantikan dengan kekafiran yang merupakan kebalikan, tapi dengan kemunafikan yang mengisyaratkan bahwa janji dan ancaman tersebut ditujukan kepada orang yang menampakkan keimanannya. Sedangkan yang menampakkan kekafiran tidak termasuk dalam apa yang dimaksud, karena yang dilakukannya lebih keras dari itu.
j'
^JVi merupakan bentuk jamak (plural) dari kata atau 1^ yang berarti "penolong." Huruf lam dalam kata tersebut berfungsi untuk menunjukkan arti yang telah diketahui, maksudnya adalah para penolong Rasulullah. Mereka adalah suku Aus dan Khazraj yang sebelumnya dikenal dengan Ibnay Qailah atau dua anak Qailah yang merupakan nenek moyang mereka. Kemudian Rasulullah SAW menamakannya dengan "Anshar", sehingga kata tersebut menjadi sebutan bagi mereka. Nama ini juga digunakan untuk menyebut keturunan, sekum dan pengikut mereka. Pemberian gelar agung tersebut dikarenakan mereka telah memberikan pertolongan yang lebih besar kepada Rasulullah SAW dan para pengikutnya (Muhajirin,) dari pada kepada kabilah-kabilah lainnya. Mereka menolongnya dengan jiwa, harta dan bahkan mereka mendahulukan kepentingan kaum Muhajirin daripada kepentingan mereka sendiri.
Perbuatan mereka ini menyebabkan mereka dimusuhi oleh kabilah-kabilah Arab maupun non-Arab dan juga menimbulkan kedengkian dalam diri kabilah-kabilah tersebut. Permusuhan dan kedengkian ini sebenarnya disebabkan karena kebencian kepada mereka. Oleh karena itu, Rasulullah SAW memperingatkan kepada manusia agar tidak membenci kaum Anshar akan tetapi harus mencintainya, bahkan Rasulullah menjadikan hal itu sebagai tanda keimanan atau kemunafikan dengan maksud untuk mengingatkan akan keutamaan dan kemuliaan kaum Anshar. Bahkan orang yang ikut serta dalam apa yang mereka perbuat, juga masuk dalam keutamaan mereka yang disebutkan di atas. Ditemukan dalam shahih Muslim dari Ali, bahwa Nabi berkata kepadanya, "Tidak ada yang mencintaimu kecuali orang mukmin dan tak ada yang membencimu kecuali orang munafik? Hadits ini disampaikan di depan para sahabat yang menunjukkan kesetaraan mereka dalam kemuliaan karena kontribusi yang mereka berikan kepada agama. Pengarang Al Mafhum berkata, "Perang yang terjadi di antara mereka bukan karena hal ini, akan tetapi dikarenakan suatu perkara yang menyebabkan perselisihan, oleh karena itu kedua belah pihak tidak dapat divonis munafik, karena kondisi mereka pada saat itu adalah seperti hukum 2 orang mujtahid dalam berijtihad, yaitu bagi yang benar akan mendapatkan dua pahala, sedangkan yang salah mendapatkan satu pahala.
"Dari Ubadah bin
j(Berbaiatlah
[berjanji] kalian semua kepadaku). Dalam bab "wufud anshar" (para utusan kaum Anshar) kalimat tersebut ditambah dengan, J^ ' (kemarilah dan berjanjilah kepadaku). Penggunaan kata iiAl* dari kata ^(jual beli) yang berarti perjanjian adalah termasuk bentuk majaz yaitu diqiaskan dengan transaksi barang seperti dalam firman Allah, «£di '^i ^ '^'pj j*4-^ iWi-^ 'j* <s 'P~] jjs'iV j\ \Jh S'j (tidak membunuh anak-anakmu)
Muhammad bin Al Ismaili dan yang lainnya berkata, "Hadits ini menjelaskan tentang membunuh anak-anak, karena ha! itu mengandung unsur pembunuhan dan memutuskan tali silaturrahim. Hal ini bertujuan untuk menekankan larangan tersebut, karena mengubur anak perempuan atau membunuh anak laki-laki -karena takut lapar-adalah merupakan kebiasaan kaum Jahiliyah. Atau bisa saja dikhususkannya penyebutan kata tersebut dengan tujuan agar mereka menghindari perbuatan tersebut.
ji^i
S j (Tidak membuat fitnah di antara kalian).
Kata berarti kebohongan yang dapat menjadikan pendengarnya tersentak. Kata Sy-w (bohong) digunakan secara khusus bagi tangan dan kaki, karena mayoritas perbuatan dilakukan dengan menggunakan tangan dan kaki yang merupakan alat untuk melakukan secara langsung. Oleh karena itu perbuatan yang dihasilkan disebut dengan perbuatan tangan. Bahkan ada orang yang dihukum akibat perbuatan mulutnya, tapi dikatakan kepadanya, "Ini yang dihasilkan tanganmu." Kemungkinan maksud larangan untuk berbohong di sini adalah jangan berusaha membohongi manusia dan saling bersaksi diantara kalian, seperti berkata, "Aku berkata seperti ini di depan (dengan saksi) si fulan."
Inilah pendapat Al Khaththabi, namun yang harus diperhatikan dalam pendapat tersebut adalah disebutkannya kata "arjur (kaki-kaki). Al Karamani mengatakan bahwa disebutkannya kata kaki adalah sebagai penguat, karena yang dimaksudkan adalah tangan. Artinya disebutkannya kata "arjuF (kaki) jika tidak dikehendaki, maka tidak dilarang.
Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah apa yang ada antara kaki dan tangan yaitu hati, karena apa yang ada dalam hati adalah diterjemahkan oleh lidah. Oleh karena itu kata iftira'
(bohong) dinisbatkan kepada lidah, seakan-akan maknanya adalah jangan kalian membohongi seseorang dan mengguncang orang tersebut dengan lidah kalian.
Abu Muhammad bin Abu Hamzah berkata, "Mungkin maksud kalimat "baina aidiikum" adalah seketika, sedangkan kata "arjulikum" adalah masa yang akan datang, karena berjalan adalah perbuatan yang dilakukan kaki. Pendapat lain mengatakan, "Asalnya kata ini dipergunakan dalam jual beli wanita. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al Harawi dalam kitab Al Gharbiyiin, bahwa yang dijuluki dengan kata tersebut adalah wanita yang melahirkan anak dari hasil zina, lalu menisbatkan anak tersebut kepada suaminya. Ketika kata ini dipergunakan untuk jual beli laki-laki, maka makna kata tersebut diperluas kepada selain makna pertama.
'j-iaii M j (tidak durhaka) dalam riwayat Al Ismaili disebutkan V j jj-Ui; (jangan mendurhakaiku) dan kalimat tersebut sesuai dengan ayat diatas, sedangkan kata <->ji-^' maksudnya adalah kebaikan yang berasal dari Allah baik berupa perintah maupun larangan.
-^i'j" j (terhadap perintah kebaikan)
FATHUL BAARI -109
An-Nawawi berkata, "Kemungkinan maksudnya adalah jangan kalian menentangku atau salah seorang pemimpin kalian dalam kebaikan." Maka kata ^/J^ terikat dengan sesuatu setelannya. Ada yang berpendapat dengan kalimat tersebut Rasulullah SAW mengingatkan, bahwa ketaatan kepada makhluk diwajibkan sebatas kebaikan, bukan dalam berbuat maksiat kepada Allah. Pendapat semacam ini sesuai dengan perintah untuk meninggalkan kemaksiatan kepada Allah.
'•Si* j; 'J** (Barangsiapa yang menepati), maksudnya berpegang teguh pada isi perjanjian.
Jss (maka ia akan diberi pahala oleh Allah)
Kalimat tersebut diucapkan untuk menunjukkan penghormatan, karena ketika penyebutan "sumpah" berefek kepada keharusan adanya balasan, maka menyebutkan ganjaran kepada salah satu di antara kedua topik tersebut sangat sesuai.
Adapun balasan tersebut, disebutkan dengan menggunakan kata "surga" dalam riwayat Ash-Shanabahi dari Ubadah yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari Muslim. Kemudian penggunaan kata "ala " adalah untuk menunjukkan arti "penekanan" bahwa hal tersebut benar-benar akan terwujud. Akan tetapi berdasarkan dalil-dalil yang ada Allah tidak wajib melakukan sesuatu apapun, maka kata tersebut tidak dapat ditafsirkan secara zhahiraya saja. Hal ini akan dijelaskan dalam hadits Muadz yang menjelaskan tentang hak Allah atas hamba-Nya.
Jika ada pertanyaan, "Mengapa hadits ini hanya menyebutkan tentang larangan saja dan tidak menyebutkan perintahi" Maka jawabnya, bahwa Rasulullah tidak mengabaikan perintah-perintah tersebut, akan tetapi beliau menyebutkannya secara global dalam sabdanya U-Jai; V j (tidak durhaka) karena maksud durhaka, adalah tidak melaksanakan perintah. Adapun hikmah disebutkannya larangan yang tidak disertai perintah adalah karena meninggalkan larangan lebih mudah dari pada melakukan suatu perbuatan, atau karena menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mencari kemaslahatan, atau juga meninggalkan kejelekan lebih dianjurkan sebelum melakukan kebaikan. ; uL_i 2JJi J. ^CI 'j* J (barangsiapa yang melanggar salah satu dari perjanjian itu maka ia akan dihukum), Imam Ahmad menambahkan dalam riwayatnya dengan lafazh *J sehingga menjadi u_i iUi j* <_JU-I J*J f' 0"
ijUf (menjadi tebusan) Imam Ahmad menambahkan dengan kata "lahu" (baginya). Imam Bukhari dalam bab "masyi'ah (kehendak)" juga menambahkan kata lJ dan kata fj&j (pembersih dari dosa). An-Nawawi berkata, "Hadits ini dikhususkan dengan firman Ailah, "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni orang yang menyekutukan-Nya" Oleh karena itu, orang murtad yang dibunuh dalam kondisi murtad, maka pembunuhan itu bukan merupakan kafarat baginya. Menurut saya, pendapat ini disebabkan karena kalimat, li-i ii-J> ^ (salah satu dari perjanjian itu) jelas-jelas mencakup seluruh yang disebutkan.
Ada yang berpendapat bahwa yang disebutkan adalah selain perbuatan syirik, karena hadits tersebut ditujukan kepada kaum muslimin. Dengan demikian, syirik tidak perlu disebutkan di dalamnya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari jalur Abu Asy'asy dari Ubadah, "dan barangsiapa yang melakukan perbuatan yang mengharuskan ia dihukumi dengan hukuman had''' karena hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang berbuat syirik tidak dinamakan had. Akan tetapi pendapat tersebut dapat dibantah karena huruffa' dalam kalimat "fa man" berfungsi untuk menunjukkan arti "kemudian", disamping itu tidak menutup kemungkinan bahwa Nabi melarang kaum muslimin agar tidak berbuat syirik. Sedangkan istilah had hanyalah merupakan istilah modern saja. Maka pendapat yang benar adalah pendapat Imam Nawawi.
Ath-Thibi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan syirik adalah syirik kecil, yaitu riya \ Hal ini diperkuat dengan disebutkannya kata "syai'an (sesuatu)" dalam bentuk nakirah {indefinite), sehingga maksudnya adalah syirik dalam bentuk apapun. Pendapat ini dibantah karena Allah jika menyebut kata "syirik", maka maksudnya adalah lawan dari tauhid {mengesakan Allah), sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat maupun hadits dengan maksud seperti itu.
Al Qadhi Iyadh berkata, "Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hudud (hukuman-hukuman) adalah sebagai kafarah (tebusan dosa), dan mereka mengambil kesimpulan dari hadits ini. Akan tetapi, ada sebagian ulama tidak mengatakannya secara pasti bahwa hudud adalah sebagai kafarat. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, "Saya tidak mengetahui apakah hudud adalah sebagai kafarat bagi penderitanya atau tidak" Dalam hal ini, hadits Ubadah itu memiliki sanad yang lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah. Kedua hadits tersebut juga dapat disatukan sehingga tidak terjadi kontradiksi, yaitu bahwa hadits Abu Hurairah disampaikan oleh Rasulullah SA W sebelum Allah memberitahukan tentang hal tersebut, dan kemudian setelah itu Allah mengajarinya.
Saya berpendapat, bahwa hadits Abu Hurairah diriwayatkan oleh Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak dan Al Bazzar dari riwayat Ma'mar dari Ibnu Ubai Za'bi dari Sa'id Al Maqrabi dari Abu Hurairah, dan hadits tersebut dinyatakan shahih 'ala syarti syaikhani. Kemudian Ahmad telah meriwayatkan hadits ini dari Abd Razak dari Ma'mar, hanya saja Daruquthni mengatakan bahwa Abd. Razak seorang diri yang menyampaikan hadits tersebut. Hisyam bin Yusuf meriwayatkannya dari Ma'mar yang kemudian memursalkmnya.
Saya berpendapat hadits tersebut telah dimaushulkan dari Adam bin Abi Iyas dari Abi Dzi'bi yang juga diriwayatkan oleh Hakim, sehingga riwayat Ma'mar menjadi kuat. Jika hadits tersebut shahih, maka penggabungan yang dilakukan oleh Qadhi Iyadh baik sekali. Akan tetapi Qadhi Iyadh dan para pengikutnya berpendapat, bahwa hadits Ubadah ini disampaikan di Makkah pada malam Aqabah ketika Rasulullah sedang menerima bait yang pertama di Mina, sedangkan Abu Hurairah memeluk Islam setelah 7 tahun dari peristiwa tersebut pada tahun Khaibar, lalu bagaimana mungkin haditsnya lebih dahulu dari pada keislamannya?" Dalam menjawab pertanyaan itu ada yang berpendapat, "Kemungkinan Abu Hurairah tidak mendengarkan hadits tersebut dari Rasulullah, akan tetapi dari sahabat lainnya yang mendengar dari Rasulullah, dan setelah itu Abu Hurairah tidak pernah mendengar dari Rasulullah bahwa hudud memiliki kafarah (denda) seperti yang didengar oleh Ubadah, hanya saja pendapat ini terdapat kekeliruan.
Saya berpendapat, yang benar adalah hadits Abu Hurairah disampaikan lebih dulu daripada hadits Ubadah. Pembaiatan yang disebutkan dalam hadits Ubadah tidak terjadi pada malam Aqabah, dan sesungguhnya teks yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi pada malam Aqabah adalah riwayat Abu Ishaq, yakni bahwa Rasulullah berkata kepada kaum Anshar yang hadir, "Aku baiat kalian dengan syarat melindungiku sebagaimana kalian melindungi istri dan anak kalian." Mereka pun membaiat beliau dengan syarat tersebut dan agar Rasul dan para sahabatnya pindah ke negeri mereka. Kita akan menemui kembali hadits Ubadah dalam kitab fitan dan yang lainnya-beliau berkata, "Kami pun membaiat Rasulullah untuk mendengarkan dan taat dalam kesulitan, kemudahan, kerelaan dan paksaan..."
Lebih jelas lagi maksud hadits di atas adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dari Ubadah, bahwa ketika terjadi pertemuan antara dia dan Abu Hurairah di hadapan Muawiyah di Syam, dia berkata, "Wahai Abu Hurairah, engkau belum bersama kami ketika kami membaiat Rasulullah untuk mendengar dan patuh dalam aktivitas dan kemalasan, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, berkata jujur dan tidak takut kepada celaan dijalan Allah, mendukung
Rasulullah jika musuh-musuh mendatangi kami serta melindungi beliau sebagaimana kami melindungi jiwa, istri dan anak kami, dan bagi kami surga. Inilah baiat yang kami lakukan dengan Rasulullah," kemudian dia menyebutkan sisa hadits tersebut. Ath-Thabrani memiliki jalur lain dengan lafazh yang mirip dengan riwayat di atas. Dengan demikian jelaslah bahwa inilah hal-hal yang terjadi pada baiat pertama kemudian muncullah baiat-baiat lainnya yang akan kita kemukakan Insya Allah pada kitab "Ahkam", termasuk di dalamnya hadits tentang baiat ini.
Yang menguatkan bahwa pembaiatan tersebut terjadi setelah fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) adalah turunnya ayat dalam surah Mumtahanah yaitu firman Allah, "Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia." Telah disepakati bahwa ayat ini diturunkan setelah ayat perjanjian Hudaibiyah. Adapun yang mendasarinya adalah riwayat Imam Bukhari dalam masalah "Al Hudud" dari jalur Sufyan bin Uyainah dari Zuhri dalam hadits Ubadah, bahwa ketika Rasulullah SAW membaiat mereka, beliau membacakan ayat tersebut secara lengkap. Kemudian Imam Bukhari dalam tafsir Al Mumtahanah menyebutkan riwayat dari jalur yang sama bahwa Rasulullah SAW membaca ayat surah An-Nisaa'.
Menurut riwayat Muslim dari jalur Ma'mar dari Az-Zuhri, "Kemudian beliau membacakan kepada kami ayat dari surah An-Nisaa' dan kemudian Nabi bersabda, "janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun." Dalam riwayat An-Nasa'i dari jalur Al Harits bin Fudhail dari Az-Zuhri disebutkan bahwa Rasulullah SA W bersabda, "Apakah kalian tidak ingin membaiatku dengan apa yang dilakukan oleh para wanita yaitu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun." Dan dalam riwayat Thabrani dari jalur lain dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama, "Kemudian kami pun membaiat Rasulullah sebagaimana yang dilakukan oleh para wanita pada hari fathu Makkah (penaklukan Makkah)." Imam Muslim meriwayatkan dari jalur Abu Asy'asy dari Ubadah dalam hadits ini, "Rasulullah mengambil (janji) dari kami apa yang diambilnya dari para wanita." Semua ini merupakan dalil yang jelas bahwa baiat tersebut terjadi setelah turunnya ayat di atas, bahkan setelah ditaklukkannya kota Makkah, dan semua itu terjadi tak lama setelah keislaman Abu Hurairah. Pendapat ini diperkuat dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam kitab sejarahnya dari ayahnya dari Muhammad bin Abdurrahman At-Thafawi dari Ayub dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya yang berkata, Rasulullah bersabda, "Aku baiat kalian untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun." Kemudian dia menyebutkan hadits yang mirip dengan hadits Ubadah dan orang-orang dalam sanadnya termasuk golongan yang tsigat.
Ishaq bin Rawahah berkata, "jika shahih rangkaian sanad kepada Amru bin Syuaib, maka sanad tersebut seperti Ayub bin Nafi'dari Ibnu Umar. Jika Abdullah bin Amru salah seorang yang menghadiri baiat ini sedangkan dia bukan termasuk golongan Anshar bahkan keislamannya tak lama setelah keislaman Abu Hurairah, maka jelaslah perbedaan antara kedua bai'at ini, baiat kaum Anshar pada malam Aqabah yang terjadi sebelum Hijrah dan baiat lain yang terjadi setelah fathu Makkah yang disaksikan oleh Abdullah bin Amru yang keislamannya setelah hijrah.
Yang mirip dengan riwayat tersebut adalah hadits Jarir yang diriwayatkan oleh Thabrani, dia berkata, "kami membaiat Rasulullah seperti para wanita membaiatnya," kemudian dia menyebutkan hadits tersebut.
Keislaman Jarir telah disepakati terjadi setelah keislaman Abu Hurairah. Kerancuan yang terjadi berasal dari pernyataan bahwa Ubadah bin Shamit menghadiri kedua baiat tersebut. Baiat Aqabah adalah berfungsi untuk dipuji kemudian dia menyebutkan baiat tersebut-jika benar terjadi-merujuk kepada 2 baiat sebelumnya. Ketika dia menyebutkan baiat ini dengan menyamakannya dengan baiat para wanita, timbullah kesalahpahaman bagi orang yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Yang sama dengan riwayat tersebut adalah riwayat Ahmad dari jalur Muhammad bin Ishaq, dari Ubadah bin Walid, dari Ubadah bin Shamit, dari ayah dari kakeknya -yang merupakan salah seorang utusandia berkata, "Kami membaiat Rasulullah dengan baiat perang" Ubadah adalah salah seorang dari 12 orang yang melaksanakan baiat Aqabah pertama yaitu, "seperti baiat para wanita itu dan untuk mendengar dan patuh pada saat sulit dan mudah." (Al Hadits). Hal itu jelas dalam penyatuan dua baiat tersebut. Akan tetapi hadits yang terdapat dalam 2 kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) yang akan ditemukan dalam kitab ahkam, tidak ditemukan penambahan tersebut.
Hadits tersebut berasal dari jalur Yahya bin Sa'id Al Anshari dari Ubadah bin Walid. Faktanya adalah baiat harb (perang) terjadi setelah baiat Aqabah, karena peperangan dalam Islam disyariatkan setelah hijrah. Dengan demikian riwayat Ibnu Ishaq dapat ditakwilkan dengan merujuk apa yang disebutkan tadi. Riwayat tersebut mencakup 3 baiat, yaitu baiat Aqabah yang telah disebutkan dengan jelas dalam riwayat Ubadah yang diriwayatkan oleh Ahmad yang terjadi sebelum diwajibkannya peperangan.
Yang kedua adalah baiat harb yang akan dijumpai dalam kitab jihad yaitu berjanji untuk tidak akan lari dari peperangan. Yang ketiga baiat nisa' (para wanita) atau yang seperti baiat nisa'. Yang benar bahwa penjelasan tentang hal tersebut merupakan kesalahan dari beberapa perawi. Wallahu A 'lam.
Penjelasan yang terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dari Ubadah bahwa baiat Aqabah seperti baiat nisa' dapat dibantah, karena telah disepakati bahwa baiat tersebut terjadi sebelum turunnya ayat (nisa')-Hal yang semisal juga ditemukan dalam Shahihain dari jalur Ash-Shanabahi dari Ubadah yang berkata, "Aku adalah salah seorang utusan yang membaiat Rasulullah." Kemudian dia berkata, "Kami baiat Rasulullah untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun."
Jelaslah bahwa hadits ini merupakan penggabungan dari dua baiat di atas, hanya saja maksudnya sebagaimana yang saya sebutkan yaitu, "Aku adalah salah seorang utusan yang membaiat -pada malam Aqabah-untuk melindungi dan mendukung beliau,'''' serta yang berkaitan dengan perkataan tersebut. Kemudian dia berkata *i ZJL' (kami membaiatnya), maksudnya pada lain waktu. Hal tersebut diisyaratkan oleh penggunaan "waw athifah" dalam kalimatnya, JL»j (Dan dia berkata, "kami bai'at beliau..."). Hendaknya anda mengembalikan riwayat yang mengindikasikan bahwa baiat tersebut terjadi pada malam Aqabah kepada ta'wil ini, karena kita tidak menemukan adanya pertentangan antara kedua hadits di atas, yaitu hadits Abu Hurairah dan hadits Ubadah bin Shamit. Dengan demikian tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa hudud memiliki kafarah. Yang patut untuk diketahui, Ubadah bin Shamit bukan satusatunya yang meriwayatkan makna tersebut, akan tetapi Ali bin Abi Thalib pun meriwayatkannya dalam riwayat At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Hakim, dalam riwayat tersebut terdapat kalimat, "barangsiapa yang melaksanakan dosa kemudian mendapatkan balasan di dunia, maka Allah Maha Mulia dan Pemurah untuk menjatuhkan hukuman tersebut kedua kalinya di akhirat."
Kemudian dalam riwayat Ath-Thabrani dengan rangkaian sanad yang hasan dari hadits Abu Hamimah Al Jahimi dan riwayat Ahmad dari hadits Khuzaimah bin Tsabit dengan sanad hasan, "Barangsiapa yang berbuat dosa dan diberi hukuman (di dunia), maka hukuman tersebut merupakan kafarah baginya." Kemudian dari Ath-Thabrani dari Ibnu Amru, "Seseorang yang diberi balasan atas dosanya berarti ia telah diberi oleh Allah kafarah terhadap dosa tersebut."
1-(Maka ia akan dihukum). Ibnu Tin berkata, "Maksud hukuman di sini adalah hukuman potong tangan dalam kasus pencurian dan hukuman cambuk atau rajam (dilempari batu) dalam kasus zina. Sedangkan dalam kasus membunuh anak kecil tidak terdapat hukuman yang pasti, akan tetapi dapat dianalogikan dengan membunuh jiwa. Sebagaimana dalam riwayat Shanabahi dari Ubadah yang berkaitan dengan hadits ini, "Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan yang haq" akan tetapi hukuman dalam hadits "fa uuqiba bihi" bersifat umum dan tidak hanya terbatas pada hukuman had ataupun ta'zir. "Ini adalah pendapat Ibnu Tin.
Diriwayatkan dari Al Qadhi Ismail dan yang lainnya bahwa membunuh seorang pembunuh adalah tindakan preventif bagi orang lain. Sedangkan di akhirat nanti, tuntutan dari orang yang terbunuh akan tetap ada, karena ia belum mendapatkan haknya. Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa orang yang terbunuh telah mendapatkan haknya, lalu hak apalagi yang belum terpenuhi? Karena orang yang terbunuh secara zhalim, dosanya telah diampuni dengan pembunuhan tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat yang disahihkan oleh Ibnu Hibban dan yang lainnya, "Sesungguhnya pedang adalah penghapus kesalahan." Diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Mas'ud, dia berkata, "jika terjadi pembunuhan maka segala (dosanya) terhapus." Dalam riwayat Al Bazzar dari Aisyah disebutkan secara marfu', "seseorang yang terbunuh, maka akan dihapus dosanya. "Jika tidak karena terbunuh, maka dosanya itu tidak akan terhapus.
Kemudian jika hukuman had diberikan kepada pembunuh hanya untuk tujuan preventif saja, lalu mengapa pengampunan kepada pembunuh juga disyariatkan? Apakah termasuk dalam hukuman tersebut musibah dunia, seperti sakit dan lainnya? Dalam hal ini masih diperselisihkan. Karena Sabda Rasul, "Barangsiapa yang tertimpa sesuatu darinya kemudian Allah, menghapusnya" maka musibah tidak menghilangkan apa yang ditutup oleh Allah. Akan tetapi dalam banyak hadits disebutkan bahwa musibah dapat menghapus dosa, sehingga ada kemungkinan bahwa penghapusan di sini berlaku bagi dosa yang tidak memiliki had (hukuman).
Dari hadits tersebut dapat disimpulkan, bahwa pelaksanaan had (hukuman) dapat menghapus dosa walaupun tanpa disertai dengan taubat. Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama. Namun sebagian Tabi'in mengharuskan adanya taubat, demikian pula pendapat Mu'tazilah yang didukung oleh Ibnu Hazm. Mereka berargumen kepada pengecualian terhadap orang yang bertaubat dalam firman Allah, J' Jii 'j* j^JJi Vi maka jawabnya, bahwa yang dimaksud disini adalah hukuman dunia.
•-Lii .J\ (Maka perkaranya terserah kepada Allah). Al Muzani berpendapat bahwa kalimat ini mengandung bantahan kepada kaum Khawarij yang mengafirkan seseorang karena telah berbuat dosa dan juga bantahan kepada kaum Mu'tazilah yang berpendapat bahwa orang fasik yang tidak bertaubat sebelum meninggal dunia, maka ia akan disiksa. Sebab Rasulullah SAW menjelaskan bahwa hal itu di bawah kehendak Allah. At-Thibi berkata, "Kalimat tersebut mengindikasikan larangan untuk memvonis seseorang masuk neraka atau surga, kecuali ada nash khusus yang menunjukkan hal tersebut." i-i* c L-i j ( u-i o; (Jika Allah berhendak untuk menyiksanya maka Dia akan menyiksanya, dan jika berkehendak untuk mengampuni dosanya maka Dia akan mengampuninya) Menurut satu pendapat, kalimat tersebut mencakup orang yang bertaubat dan yang tidak. Sedangkan menurut jumhur ulama, kalimat tersebut tidak mencakup orang yang bertaubat. Oleh karena itu orang yang berbuat makar kepada Allah tidak akan merasa aman, karena ia tidak dapat mengetahui apakah taubatnya diterima atau tidak.
Ada yang berpendapat bahwa untuk mengetahui hal itu, dibedakan terlebih dahulu antara orang yang wajib diberi hukuman had dan yang tidak wajib. Kemudian mereka juga berbeda pendapat tentang orang yang wajib diberi hukuman had, ada yang berpendapat, bahwa ia dapat saja bertaubat secara sembunyi-sembunyi, dan itu sudah cukup baginya. Sedangkan sebagian orang berpendapat bahwa ia harus menghadap seorang imam dan mengakui kesalahannya serta minta pelaksanaan had atas dirinya seperti yang dilakukan oleh Ma'iz dan Al Ghamidiah. Selain itu ada juga sebagian ulama yang merincikannya, yaitu jika ia berbuat dosa secara terang-terangan, maka ia harus bertaubat secara terang-terangan pula, begitu pula sebaliknya.
MENGHINDAR DARI FITNAH MERUPAKAN BAGIAN DARI AGAMA
19. "Dari Abu Sa'id Al Khudri RA. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Akan datang suatu masa dimana sebaik-baiknya harta orang muslim adalah kambing (biri-biri). Digembalakan di puncak-puncak bukit dan di tempat-tempat air hujan berkumpul (lembah-lembah). Dia menghindarkan agamanya dari bencana. "
Rasulullah bersabda, "Aku Adalah Orang Yang Paling Mengetahui tentang Allah." Makrifat adalah Perbuatan Hati Berdasarkan Firman Allah,
"Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan oleh sumpahmu yang disengaja untuk bersumpah oleh hatimu. " (Qs. A! Baqarah (2): 225)
Pelajaran yang dapat diambil:
Imam Al Haramain berkata, "Para ulama sepakat bahwa mengetahui Allah adalah merupakan suatu kewajiban. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah itu kewajiban yang utama? Ada yang berpendapat bahwa kewajiban yang pertama adalah makrifah (mengetahui), tapi pendapat lain mengatakan, bahwa kewajiban yang pertama adalah mencari atau melihat." Al Muqtarih berkata, "Telah disepakati bahwa kewajiban yang pertama menurut maksudnya adalah makrifah dan kewajiban pertama kali yang harus dilakukan dari maksud tersebut adalah mencari."
Dalam menukil ijma' (konsensus ulama), banyak yang harus diperhatikan. Karena dalam masalah ini banyak perbedaan pendapat, sampai-sampai ada golongan yang menukil pendapat yang bertolak belakang dalam masalah ijma'. Mereka berargumentasi dengan diterapkannya prinsip tersebut pada generasi pertama Islam ketika menerima orang yang ingin masuk Islam tanpa harus diuji, dan riwayat yang menjelaskan masalah ini banyak sekali. Jawaban kelompok pertama, bahwa golongan kafir mempertahankan dan berperang demi agamanya. Maka mundurnya mereka dari agamanya menunjukkan bahwa mereka telah mengetahui kebenaran. Oleh karena itu maka Firman Allah 4-^ ^-^l j ->'M {J^~ j&U '^4* serta hadits, "Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah" secara eksplisit mendorong masalah ini keluar dari asalnya. Keterangan lebih lanjut Insya Allah akan ditemukan dalam kitab Tauhid.
Telah dinukil dari Al Qudwah Abu Muhammad bin Abi Hamzah dari Abu Walid Al Baaji dari Abu Ja'far As-Sam'ani -yang merupakan salah seorang penyair besar-bahwa dia mendengar Abu Walid Al Baaji berkata, "Masalah ini adalah salah satu masalah Mu'tazilah yang tersisa dalam madzhab (Ahlu Sunnah)." An-Nawawi berkata, "Dalam ayat tersebut terdapat bukti bahwa perbuatan hati dihitung jika benar-benar ada dalam hati. Adapun sabda Rasulullah, "Allah mengampuni apa yang ada dalam jiwa umatku selama tidak dikatakan atau dilakukan," mengandung pengertian jika perbuatan atau niat tersebut belum tertanam dalam hati. Menurut saya, pendapat tersebut dapat didasarkan pada keumuman sabdanya, J-(atau tidak dikerjakan), karena keyakinan adalah perbuatan hati. Untuk lebih lengkapnya, masalah ini dapat ditemukan dalam kitab Ar-Riqaaq. 'J*'fA b| (Apabila Rasulullah menyuruh para sahabatnya, maka beliau akan menyuruhnya....), demikianlah lafazh yang terdapat dalam banyak riwayat. Akan tetapi, ada beberapa riwayat yang menyebutkan lafazh "amarahum " sekali saja sebagaimana dijelaskan oleh Al Qadhi Abu Bakar bin Al Arabi tentang sebuah riwayat dari jalur Ubadah, dan dari jalur Ibnu Numair dan yang lainnya dari Hisyam yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dan juga riwayat yang disebutkan oleh Al Ismaili dari Abu Usamah dari Hisyam dengan lafazh, tjili ^ >' jtT (Jika beliau memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu)." Mereka mengatakan, bahwa maksud hadits tersebut adalah jika Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabat, maka beliau akan memerintahkan sesuatu yang mudah, karena beliau khawatir mereka tidak akan mampu melakukannya secara terus menerus. Akan tetapi, para sahabat meminta kewajiban yang lebih berat, karena mereka berasumsi bahwa berlebihan dalam beramal dapat meningkatkan derajat mereka. Oleh karena itu, mereka berkata, "kami ini tidak sepertimu" Perkataan ini menyebabkan Rasulullah SAW marah, karena ketinggian derajat seseorang tidak hanya diperoleh dengan ibadah saja, akan tetapi dapat diperoleh juga dengan menambah rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat sebagaimana sabda Nabi, "Bukankah aku seorang hamba yang bersyukur?"
Adapun maksud Rasulullah memerintahkan kepada mereka untuk mengerjakan sesuatu yang mudah adalah agar mereka dapat melaksanakannya secara terus menerus sebagaimana disebutkan dalam hadits lain, "Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan terus menerus?'
Dengan pengulangan kata J-»yi dalam riwayat ini, maka maksud hadits tersebut adalah jika beliau memerintahkan sesuatu kepada mereka maka beliau akan memerintahkan kepada mereka yang dapat dilakukan terus menerus. Dengan demikian kata amarahum yang kedua berfungsi sebagai jawab syarth.
dl^rf-? (sepertimu), maksudnya bahwa status kami tidaklah sama dengan statusmu wahai Rasulullah. Penggunaan kata hai'ah hanya sebagai penguat saja. Ada beberapa pelajaran penting yang dapat diintisarikan dari hadits ini, yaitu: 1. Perbuatan shalih dapat meningkatkan derajat orang yang melakukannya dan menghapuskan dosa-dosanya.
Hal ini disebabkan karena Rasulullah SAW tidak mengingkari pendapat dan argumentasi para sahabat tersebut dari segi ini. 2. Seorang hamba yang telah mencapai puncak ibadah dan dapat menikmatinya, maka ia akan terus melaksanakannya dengan maksud untuk menjaga nikmat tersebut dan menambah rasa syukur kepada Allah. 3. Dianjurkan untuk melaksanakan hukum azimah (tmkum asal) ataupun rukhshah (keringanan) sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan syariat (Allah), dan berkeyakinan bahwa melaksanakan sesuatu yang lebih ringan tapi sesuai dengan syariat adalah lebih baik daripada melakukan sesuatu yang lebih berat tapi bertentangan dengan syariat. 4. Ibadah yang paling utama adalah yang dilakukan secara sederhana akan tetapi dilakukan secara terus menerus, bukan ibadah yang berlebih-lebihan sehingga dapat menyebabkan rasa bosan dan ingin meninggalkannya.
5. Hadits ini menunjukkan betapa besarnya semangat para sahabat dalam beribadah dan keinginan mereka untuk menambah kebaikan.
6. Marah dibolehkan bagi seseorang jika ia melihat sesuatu yang bertentangan dengan syariat agama, dan dianjurkan untuk mengingatkan orang yang pintar jika ia lupa atau tidak dapat memahami sesuatu dengan maksud untuk menyadarkannya. 7. Seseorang dibolehkan untuk membicarakan tentang kelebihan dirinya sesuai dengan kebutuhan, dengan syarat tidak berniat untuk membesar-besarkan dirinya.
Kata U-UI!' , (nasihat) dalam hadits ini dikhususkan untuk orang Islam, karena memang yang mendominasi pertemuan tersebut adalah orang muslim. Jika tidak, maka nasihat tersebut ditujukan kepada orang kafir untuk menyeru mereka kepada Islam.
Imam Bukhari menutup pembahasan Iman dengan bab "Nasihat", hal itu menunjukkan bahwa dia mengamalkan apa yang terkandung dalam hadits tersebut sebagai anjuran untuk mengamalkan hadits yang shahih.
Kemudian dia menutupnya dengan khutbah Jarir yang menjelaskan kondisinya pada saat menyusun khutbah, maka redaksi "Sesungguhnya telah datang kepada kalian saat ini" menunjukkan kewajiban berpegang pada syariat yang ada hingga datang orang yang menegakkannya.
Lalu ucapan "Mohonkan kepada Allah untuk mengampuninya", mengisyaratkan agar dia didoakan karena perbuatan baik yang pernah dilakukannya. Kemudian khutbah tersebut ditutup dengan perkataan, "Mohon ampunlah kalian! Kemudian dia turun" Dengan demikian, timbullah perasaan bahwa ini adalah akhir bab. Kemudian Imam Bukhari melanjutkan dengan bab "Ilmu", sebagaimana yang terkandung dalam hadits nasihat bahwa sebagian besar didapat dengan belajar dan mengajar.
Rasulullah
SAW adalah orang yang mencapai tingkat kesempurnaan karena dalam dirinya terdapat dua hal sekaligus yaitu, ilmu dan amal. Beliau telah mengisyaratkan tentang hal pertama (ilmu) dengan sabdanya, "Aku yang lebih mengetahui,'" dan tentang hal yang kedua dalam sabdanya, "yang paling takwa." Dalam riwayat AbuNu'aim lafazhnya adalah, *JJu IS-lcij Hadits ini telah dibahas sebelumnya, sedangkan korelasi antara judul bab dengan hadits ini sangatlah jelas. Seluruh rangkaian sanadnya adalah orang-orang Bashrah. Dalam bab ini, -seperti biasanya-Imam Bukhari memberikan judul bab dengan matan dari hadits lain dengan sanad yang berbeda.
TINGKATAN ORANG-ORANG YANG
MALU ADALAH SEBAGIAN DARI IMAN
24. Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, "Nabi lewat di hadapan seorang Anshar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW. bersabda, "Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. "
Keempat,
bisa jadi maksud dari syahadah dan lainnya yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah menegakkan kalimat Allah dan menundukkan para pembangkang. Tujuan ini terkadang dapat dicapai dengan berperang, jizyah atau dengan mu 'ahadah.
Kelima, bahwa tuntutan dari perang tersebut adalah agar mereka mengakui ajaran tauhid atau membayar jizyah sebagai pengganti.
Keenam, tujuan diwajibkannya jizyah adalah mendesak mereka untuk memeluk Islam. Seakan-akan Rasulullah bersabda, "hingga mereka memeluk Islam atau melaksanakan perbuatan yang mengharuskan mereka memeluk Islam." Inilah jawaban yang paling baik. adalah Sj*f (kamu beriman), yaitu dengan makna yang lebih khusus.
Sedangkan firman-Nya, o } -LJJ i ili (tentang apa yang kamu kerjakan dahulu) adalah khusus bagi perbuatan mulut, sebagaimana dinukil oleh Imam Bukhari. Adapun firman Allah, jj_UiJi J-J^ (berusahalah orang-orang yang bekerja) juga bersifat umum. Demikian pula dengan sabda Nabi dalam hadits, "Iman kepada Allah" sebagai jawaban dari pertanyaan, "Perbuatan apa yang paling utama?" mengindikasikan bahwa keyakinan dan perkataan termasuk dalam kategori perbuatan.
Jika ada orang yang berpendapat bahwa karena kata ^ di dalam hadits tersebut menunjukkan perbedaan dan urutan, maka jihad dan haji tidak termasuk bagian daripada iman. Jawabnya bahwa yang dimaksud dengan iman di sini adalah hakikatnya yaitu at-tashdiq (meyakini), sedangkan iman sendiri -sebagaimana telah dijelaskan sebelumnyamencakup perbuatan fisik, karena perbuatan tersebut termasuk pelengkap iman.
-Li_ji£j_}i (yang diwariskan kepadamu), maksudnya adalah menjadi warisan bagimu. Kata "irts" sering digunakan untuk menunjukkan "pemberian," karena sama-sama mengandung pengertian memiliki.
Huruf i-* dalam kata LL dapat berupa "ma mashdariah" sehingga artinya adalah dengan perbuatan kalian, atau dapat berupa "ma maushulah" yang berarti dengan apa yang telah engkau kerjakan. Sedangkan huruf menunjukkan arti "pengganti atau balasan" 1 .
Jika ada pertanyaan, "Bagaimana menyatukan antara ayat ini dengan hadits, "Tidak seorang pun masuk surga dengan amalnya?" Jawabnya adalah bahwa maksud dari amal dalam hadits tersebut adalah amal yang tidak diterima, sedangkan amal dalam ayat di atas adalah amal yang diterima. Dalam hal ini, diterimanya amal tersebut hanya diperoleh dengan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta 'aala. Oleh karena itu, tidak ada Yang benar adalah ba' dalam kalimat ini berfungsi menunjukkan sebab musabab (sababiah), FATHUL BAAR1 -137 yang masuk surga kecuali dengan rahmat Allah. Ada yang berpendapat, bahwa jawabannya bukan itu seperti yang akan kami jelaskan.
' r '^itJi
(Kami pasti akan menanyai mereka)
Menurut Imam Nawawi, maksud kalimat tersebut adalah seluruh perbuatan mereka atau yang berkaitan dengan taklif (kewajiban). Maka mengkhususkan kalimat tersebut hanya pada tauhid saja, adalah pendapat yang tidak mempunyai landasan dalil. Dalam ha! ini, saya berpendapat bahwa pengkhususan kalimat tersebut -seperti yang mereka lakukantetap mempunyai landasan dalil, karena firman Allah "Ajma 'iiri" (mereka semua) bersifat umum hingga firman-Nya "...dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman" (Qs, Al Hijr (15): 88) Oleh karena itu, baik orang muslim maupun orang kafir termasuk dalam pengertian ayat tersebut, sebab menurut kesepakatan ulama orang kafir juga terkena perintah untuk bertauhid. Sedangkan untuk amal-amal lainnya, terdapat perbedaan pendapat.
Ada yang berpendapat bahwa mereka terkena perintah (mukhathab) dan mereka akan ditanya tentang semua amal perbuatannya, dan ada pula yang berpendapat bahwa mereka tidak dikenai perintah tersebut sehingga orang-orang kafir tersebut hanya akan ditanya tentang tauhid saja. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat dalam pertanggungjawaban masalah tauhid. Inilah dalil takhsish (pengkhususan), dimana ayat di atas sebaiknya ditafsirkan seperti itu dan tidak ditafsirkan dengan "seluruh perbuatan" yang masih menjadi bahan perdebatan. Wallahu A 'lam.
Allah berfirman 'J-* J-uJ (untuk kemenangan serupa ini), yaitu kemenangan yang besar. OjL.Wi J^4> (hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja) di dunia. Jelas bahwa Imam Bukhari menakwilkan ayat tersebut sebagaimana beliau menakwilkan dua ayat sebelumnya, yaitu dengan maksud "Berimanlah orang-orang mukmin." Atau beliau menafsirkannya secara umum, karena setiap orang yang beriman harus menerima apa yang datang dari Rasulullah. Setiap orang yang telah menerimanya, maka ia wajib beramal, dan setiap orang yang beramal, maka ia pasti akan mendapatkan ganjaran. Jika telah mendapatkan ganjaran tersebut, maka ia akan berkata, "Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja. " (Qs. Ash-Shaffat (37):
61)
Ada kemungkinan bahwa orang yang mengatakan hal tersebut adalah seorang mukmin dengan memperhatikan bukti atau tanda-tanda yang ada. Juga ada kemungkinan bahwa perkataannya hanya sampai pada firman Allah, -^ (Kemenangan yang besar) sedangkan kalimat selelahnya adalah firman Allah atau perkataan malaikat yang bukan merupakan cerita tentang perkataan seorang mukmin. Ketiga kemungkinan tersebut dapat ditemukan dalam kitab tafsir, dan agaknya inilah rahasia mengapa pengarang tidak menyebutkan dengan jelas orang yang mengatakan. Wallahu A jam.
(
KEISLAMAN YANG DISEBABKAN SIKAP MENYERAH ATAU TAKUT DIBUNUH ADALAH KEISLAMAN YANG TIDAK SEBENARNYA
Tapi Al Karmani mengkritiknya dengan mengatakan, bahwa jika demikian maka isi hadits tersebut tidak sesuai dengan judul bab, dan jawaban Rasulullah kepada Sa'ad tidak bermanfaat. Kritikan ini tidak dapat diterima, karena kita telah menjelaskan tentang titik temu antara hadits dan judul bab tersebut.
Dalam kisah ini Rasulullah membagi-bagikan hadiah kepada orang yang baru memeluk Islam (muallaj) untuk menarik hati mereka. Ketika Rasulullah membagi-bagikan hadiah tersebut, beliau tidak memberikannya kepada Ja'il yang berasal dari golongan muhajirin. Lalu Sa'ad bertanya kepada Rasulullah tentang Ja'il, karena berdasarkan pengetahuannya Ja'il lebih berhak untuk menerima hadiah tersebut. Maka, Sa'ad pun berulang kali menanyakan hal itu kepada Rasulullah.
Kemudian Rasulullah memberitahukan kepada Sa'ad tentang dua perkara, Pertama adalah hikmah Rasulullah memberikan hadiah kepada kelompok tersebut dan tidak memberikannya kepada Ja'il, padahal ia lebih disukai oleh Nabi daripada mereka. Sebab jika Rasulullah tidak memberikan hadiah kepada mereka, maka dikhawatirkan mereka akan murtad sehingga menjadi penghuni neraka. Kedua, Rasulullah menasihati Sa'ad agar tidak memuji seseorang dengan menilai batinnya.
Dengan demikian, kita mengetahui manfaat jawaban Rasulullah kepada Sa'ad yang lebih merupakan musyawarah (meminta pertimbangan) atau pemberian maaf kepadanya. Jika ada pertanyaan, "Mengapa kesaksian Sa'ad atas keimanan Ja'il tidak diterima, tetapi jika ia bersaksi dengan keadilan Ja'il pasti diterima. Padahal, keadilan itu dapat menunjukkan keimanan seseorang?" Jawabnya adalah bahwa perkataan Sa'ad itu tidak termasuk syahadah (kesaksian) tetapi hanya merupakan pujian kepada Ja'il dan sebagai permohonan Sa'ad agar Rasulullah memberikan hadiah kepada Ja'il, meskipun Saad menggunakan kata syahadah, akan tetapi memberikan suatu anjuran untuk melakukan hal yang lebih baik tidak berarti menolak kesaksiannya. Bahkan bila dilihat dari konteksnya, Rasulullah menerima perkataan Sa'ad dengan bukti bahwa beliau memberi maaf kepada Sa'ad. Kami telah meriwayatkan dalam Musnad Muhammad bin Harun Ar-Rayani dengan sanad yang shahih dari Abu Salim Al Jaisyani dari Abu Dzarr, bahwa Rasulullah bertanya kepadanya, "Bagaimana pendapatmu tentang Ja'il?" Aku menjawab, "Seperti muhajirin lainnya." Kemudian Rasulullah bertanya, "Bagaimana pendapatmu tentang si fulan?" Aku pun menjawab, "Dia adalah pemimpin suatu kaum." Kemudian Rasulullah bersabda, "Jika demikian, maka Ja'il lebih baik dari si fulan." Lalu aku bertanya kepadanya, "Jika demikian, mengapa engkau memperlakukan si fulan seperti itu?" Rasulullah menjawab, "Ia adalah pemimpin sukunya, dan dengan perbuatanku itu aku dapat menarik hati kaumnya."
Demikianlah kedudukan Ja'il sebagaimana dijelaskan oleh hadits tersebut, maka jelaslah hikmah tindakan Rasulullah yang tidak memberikan hadiah kepada Ja'il dan memberikan kepada yang lain. Hikmah tersebut adalah untuk menarik hati mereka sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Mengucapkan salam mencerminkan akhlak yang mulia, sifat tawadhu' (rendah hati) dan menghormati serta tidak mencela orang lain, sehingga dengan demikian dapat terjalin hubungan saling mencintai antar sesama. Kemudian berinfak dalam kesusahan adalah merupakan perbuatan yang benar-benar mulia, sebab jika seseorang mau berinfak pada saat ia membutuhkan, maka pada waktu lapang ia akan lebih banyak lagi berinfak. Pengertian "berinfak" dalam hadits ini bersifat umum atau tidak hanya terbatas pada keluarga dan tamu, yang wajib maupun yang sunnah. Berinfak pada saat membutuhkan merupakan manifestasi dari keimanan kepada Allah, zuhud terhadap kehidupan dunia dan tidak banyak berangan-angan. Hal ini membuktikan bahwa hadits tersebut adalah hadits marfu' (dinisbatkan kepada Rasulullah), karena perkataan semacam itu hanya berasal dari lisan orang yang memiliki jawami 'ul kalim, Wallahu 'Alam."
DURHAKA KEPADA SUAMI ADALAH PERBUATAN KUFUR
Dalam masalah ini terdapat riwayat Abu Sa'id Al Khudri dari Nabi SAW
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Diperlihatkan kepadaku neraka. Ketika itu aku melihat di antara penghuninya adalah wanita pendurhaka. " Kemudian seseorang bertanya kepada Rasulullah "Apakah mereka durhaka kepada Allah?" Rasulullah menjawab, "Mereka kafir (durhaka) kepada suami dan tidak mau berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya. Walaupun sepanjang masa engkau telah berbuat baik kepada salah seorang dari mereka dan kemudian ia melihat sedikit kesalahan darimu, maka ia akan berkata, "Aku tidak pernah melihat kebaikan dari dirimu. "
Qadhi Abu Bakar bin Al Arabi dalam syarah-nya. berkata, "Maksud Imam Bukhari dalam bab ini adalah untuk menerangkan, bahwa maksiat dapat dikatakan sebagai kekufuran sebagaimana taat dapat disebut iman. Akan tetapi, maksud kufur di sini adalah bukan kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari agama." Kemudian dia berkata, "Durhaka kepada suami termasuk perbuatan dosa sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, 'Jika aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka aku akan menyuruh seorang istri untuk bersujud kepada suaminya." Dalam hadits ini, Rasulullah mensejajarkan hak suami dengan hak Allah, maka jika seorang istri durhaka kepada suaminya -padahal sang suami telah melakukan kewajibannya-maka perbuatan tersebut merupakan bukti penghinaan terhadap hak Allah. Untuk itu perbuatan tersebut dapat dikatagorikan sebagai kekufuran, hanya saja kekufuran tersebut tidak sampai mengeluarkannya dari agama.
Kita dapat melihat dua hal penting dalam hadits ini, Pertama bahwa Imam Bukhari membolehkan memotong hadits jika tidak akan merusak maknanya, baik dengan kalimat sebelumnya maupun sesudahnya. Hal semacam ini dapat menimbulkan kesan bagi orang yang tidak hafal hadits tersebut, bahwa pemotongan hadits semacam ini tidak sempurna, terutama jika pemotongannya berada di tengah-tengah hadits seperti dalam sabda Nabi, JL_3I i--,ji Sedangkan permulaannya yang lengkap seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas adalah, "Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah..,.(di sini disebutkan pula kisah tentang shalat khusuf (gerhana matahari) dan khutbah Rasulullah termasuk dalam bagian ini).
Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang mengira bahwa kedua hadits itu tidak sama karena memiliki permulaan yang berbeda. Sehingga diantara mereka ada yang mengatakan bahwa jumlah hadits dalam kitab shahih Bukhari adalah empat ribu hadits tanpa pengulangan, seperti Ibnu Shalah, Syaikh Muhyiddin dan lain sebagainya. Pendapat ini tidak benar, karena setelah diteliti jumlahnya adalah 1513 hadits, seperti yang telah saya jelaskan dalam pembukaan kitab ini.
Kedua, bahwa Imam Bukhari tidak mengulang sebuah hadits kecuali jika ada manfaatnya baik dalam matan atau sanad. Jika terdapat dalam matan, maka beliau tidak mengulangnya dalam bentuk yang sama, akan tetapi beliau akan membedakannya. Jika jalur sanad-nya banyak, maka beliau akan menyebutkan satu jalur sanad dalam setiap bab. Sedangkan jika jalur sanad-nya sedikit, maka beliau akan meringkas sanad atau matan hadits tersebut. Hal semacam ini dapat kita lihat dalam hadits ini, dimana beliau meriwayatkannya dari Abdullah bin Maslamah (maksudnya Al Qa'nabi) secara ringkas dan terbatas pada judul bab saja, sebagaimana telah dijelaskan bahwa maksiat dapat dikatakan sebagai kekufuran. Kemudian matan ini juga disebutkan oleh beliau dalam bab jt-' '* ^IJJJ 'J~? 'J dengan sanad tersebut. Tetapi karena tidak merubah sanad-nya, maka beliau meringkas matan-nya. sesuai dengan judul bab.
Beliau juga memaparkannya kembali secara lengkap dalam bab "Shalat Khusuf" dengan sanad yang sama, dan dalam bab "Penciptaan Makhluk" ketika menjelaskan tentang matahari dan bulan. Beliau ada sebuah hadits yang disebutkan pada dua tempat dalam bentuk yang sama. Mengenai pelajaran dan nasehat yang terkandung dalam hadits ini, akan dijelaskan dalam pembahasan hadits ini secara lengkap. Al Karmani mengatakan, bahwa mengambil dalil dari perkataan Abu Dzarr (engkau memaki dia dengan mencela ibunya) masih harus diteliti kembali, karena ia'bir (ungkapan) dalam hadits tersebut bukan dosa besar dan juga mereka tidak menganggap kafir orang yang melakukan dosa kecil. Untuk itu saya katakan, bahwa zhahir ayat tersebut merupakan dalil untuk menolak pendapat mereka, dan cukup bagi saya pendapat ibnu Baththal. Adapun kisah Abu Dzarr, merupakan dalil yang menyatakan bahwa orang yang masih mempunyai sifat jahiliyah selain syirik, mereka tidak keluar dari iman meskipun sifat itu tergolong dosa besar atau pun dosa kecil.
Imam Bukhari juga berargumentasi, bahwa seorang mukmin yang melakukan perbuatan maksiat tidak dikafirkan, karena Allah tetap menyebutnya sebagai orang mukmin dalam firman-Nya, "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang." Kemudian Allah juga berfirman, "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu itu." Beliau juga berargumentasi dengan sabda Rasulullah, "jika ada dua orang muslim berkelahi dengan pedang mereka..." dimana dalam hadits tersebut Rasulullah menyebut mereka dengan sebutan orang muslim walaupun disertai ancaman neraka. Maksudnya, jika pertengkaran tersebut terjadi bukan karena alasan yang dapat dibenarkan. Argumen lainnya adalah sabda Rasulullah kepada Abu Dzarr, "Dalam dirimu masih terdapat karakter Jahiliyah" padahal Abu Dzarr adalah orang yang telah mencapai derajat iman yang tinggi.
Rabadzah adalah nama tempat di sebuah perkampungan yang berjarak 3 mil dari Madinah.
ii'Lj (kemudian aku bertanya kepadanya) Maksudnya, bertanya tentang sebab mengapa beliau memberi pakaian kepada budaknya sama seperti pakaian yang dikenakannya, karena hal itu sangat aneh. Kemudian beliau menjawabnya dengan menceritakan kisah yang mendasari perbuatannya itu. Ada riwayat lain yang dinisbatkan kepada Rasulullah (hadits marfu') yang lebih jelas dalam menerangkan tentang sebab mengapa Abu Dzarr memberikan pakaian yang sama kepada budaknya, yaitu riwayat Thabrani dari jalur Abu Ghalib dari Abu Umamah, dimana Rasulullah memberikan budak kepada Abu Dzarr seraya bersabda, "Beri dia makanan yang engkau makan dan pakaian yang engkau pakai." Pada waktu itu Abu Dzarr memiliki kain, dan beliau langsung merobeknya menjadi dua lalu memberikan setengah dari robekan tersebut kepada budaknya. Kemudian Rasulullah melihatnya dan menanyakan tentang hal itu, maka Abu Dzarr pun menjawab, "Bukankah engkau pernah bersabda, beri mereka makanan yang engkau makan dan pakaian yang engfajH pakai. "Rasulullah menjawab, "Benar."
KEZHALIMAN YANG PALING BESAR
Dari Abdullah bahwa ia berkata, "Ketika turun ayat, "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), " (Qs. Al An'aam (6): 83) para sahabat bertanya, "Siapa diantara kita yang tidak berbuat zhalim?" Maka Allah menurunkan ayat, "Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezhaliman yang besar. "(Qs. Luqmaan (31): 13) Lafazh hadits yang menafsirkan surah Al An'aam adalah lafazh Bisyr (Ibnu Khalid Al Asykari), sedangkan lafazh Abu Walid dipaparkan oleh Imam Bukhari dalam kisah Luqman dengan lafazh, "Siapakah diantara kita yang tidak menodai imannya dengan kezhaliman'!" Abu Nu'aim dalam riwayatnya dari jalur Sulaiman bin Harb dari Syu'bah menambahkan kalimat, "fa thaabat anfusana (maka kami menjadi tenang)" setelah firman Allah, "Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezhaliman yang besar. " Riwayat Syu'bah ini menunjukkan, bahwa pertanyaan tersebut menjadi sebab turunnya ayat lain dalam surah Luqman. Akan tetapi hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalur lain, yaitu dari Al A'masy (Sulaiman) yang disebutkan pada hadits bab ini. Adapun lafazh riwayat Jarir dari Syu'bah adalah, "Maka mereka berkata, siapa di antara kita yang tidak menodai imannya dengan kezhaliman'? Beliau berkata, "Bukan begitu, tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman..."
Dalam riwayat Waqi' dari Syu'bah "beliau pun berkata, "Tidak seperti yang kalian kira" Dalam riwayat Isa bin Yunus, "Maksudnya adalah syirik, apakah kalian tidak mendengar perkataan Luqman." Semua ini menjelaskan bahwa ayat yang ada dalam surah Luqman telah diketahui oleh mereka, maka Rasulullah pun memperingatkan mereka dengan ayat tersebut. Atau ada kemungkinan bahwa ayat itu diturunkan pada saat itu, kemudian Rasulullah menyampaikan dan memperingatkan mereka dengan ayat tersebut. Dari sini, maka kedua riwayat di atas dapat disatukan.
Al Khaththabi berkata, "Syirik menurut para sahabat lebih besar daripada kezhaliman, maka mereka menafsirkan kata "zhulmun" dengan selain syirik (perbuatan maksiat lainnya) dan mereka menanyakan tentang hal tersebut sehingga turunlah ayat ini. "Menurut hemat saya, mereka menafsirkan kata "zhulmun "secara umum yaitu mencakup syirik dan perbuatan maksiat lainnya, hal itu juga sebagaimana yang dikehendaki oleh Imam Bukhari. Alasan mereka menafsirkannya secara umum adalah, karena kata tersebut dalam bentuk nakirah (indefinit) dan dalam konteks kalimat negatif.
\jLS
(dan tidak mencampuradukkan)
Muhammad bin Ismail At-Taimi dalam penjelasannya berkata, "Mencampuradukkan antara syirik dan iman tidak mungkin dapat dilaksanakan. Maka maksud dari ayat tersebut adalah, mereka tidak memiliki dua sifat secara bersamaan, yaitu kekafiran setelah keimanan atau keimanan itu sendiri." Mungkin pula mereka tidak menggabungkan antara keduanya, baik secara zhahir maupun batin atau dengan kata lain tidak munafik. Inilah arti yang paling tepat, oleh karena itu Imam Bukhari menyambungnya dengan bab "Tanda-tanda Orang Munafik." Hal ini menunjukkan kepandaiannya dalam merangkai bab. Kemudian dalam sanad ini terdapat 3 orang dari golongan tabi'in, dimana salah seorang dari mereka meriwayatkan dari yang lain, yaitu Al A'masy dari syaikhnya, Ibrahim bin Yazid An-Nakha'i dari pamannya 'Alqamah bin Qais An-Nakha'i. Ketiga orang tersebut merupakan ahli fikih dari Kufah. Adapun yang dimaksud dengan Abdullah adalah Abdullah Ibnu Mas'ud, dan sanad ini merupakan sanad yang paling shahih.
Ada pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini, antara lain: 1. Menafsirkan nash secara umum, selama tidak ada nash yang mengkhususkannya. 2. Bentuk nakirah (indefinit) dalam konteks kalimat negatif menunjukkan arti umum.
3.
Kata yang mempunyai arti lebih khusus (khash) mengganti posisi kata yang mempunyai arti umum. 4.
Sebuah lafazh dapat diartikan berbeda dengan arti zhahirnya dengan maksud untuk menghindari adanya kontradiksi (pertentangan) arti.
Akan selalu ada sebagian orang yang tetap berpegang teguh kepada kebenaran (agama Islam).
Pelajaran pertama adalah berkaitan dengan bab "ilmu" dan pelajaran kedua berkaitan dengan permasalahan shadaqat (sedekah), oleh karena itu Imam Muslim meriwayatkan hadits tersebut dalam bab "Zakat", yaitu bab "Khumus" (seperlima rampasan perang). Sedangkan pelajaran ketiga berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat, maka Imam Bukhari meletakkannya dalam bab "I'tisham" (berpegang teguh pada agama), karena hal itu mengisyaratkan bahwa seorang mujtahid akan tetap ada sepanjang masa.
Adapun yang dimaksud dengan J-JJ' U\ di sini adalah angin yang mencabut jiwa setiap orang yang beriman dan membiarkan orang-orang jahat tetap hidup sehingga mereka akan menyaksikan dahsyatnya hari kiamat.
Ketiga hadits di atas sangat berkaitan dengan bab "Ilmu", karena hadits tersebut menjelaskan bahwa orang yang mendalami agama Allah akan selalu mendapatkan kebaikan, dan hal ini tidak hanya dapat dicapai oleh manusia dengan usaha saja, tetapi dapat dicapai juga oleh orang yang hatinya telah dibukakan oleh Allah, dan orang semacam itu akan tetap ada sampai hari kiamat nanti. Imam Bukhari berpendapat, bahwa orang-orang tersebut adalah para ulama hadits. Ahmad bin Hambal berkata, "Jika bukan ulama hadits, maka saya tidak tahu siapa selain mereka." Al Qadhi Iyadh berkata, "Yang dimaksud oleh Imam Ahmad adalah ahli sunah wal jama'ah dan orang-orang yang mengikuti jejak para ulama hadits. Dalam hal ini. Imam Ahmad berpendapat bahwa kelompok tersebut adalah kelompok kaum mukminin yang terdiri dari orang-orang yang menjalankan perintah Allah seperti para mujahid (orang yang berjihad), ahli fikih, ahli hadits, orang yang zuhud, orang yang melaksanakan amar ma 'ruf nahi munkar dan kebaikan-kebaikan lainnya." Maksud <-'^A. adalah. Allah akan menjadikannya sebagai orang yang memahami agama -seperti yang telah dijelaskan. Penggunaan kata \'j.
* (kebaikan) menggunakan bentuk nakirah (indefinit) yang menunjukkan arti yang lebih umum, yaitu mencakup kebaikan yang sedikit maupun yang banyak. Dari hadits ini dapat dipahami secara implisit, bahwa orang yang tidak mendalami agama atau tidak mempelajari dasar-dasar dan masalah-masalah furu 'iyyah (cabang) dalam Islam, maka ia tidak akan mendapatkan kebaikan.
Abu Ali telah meriwayatkan hadits Muawiyah tersebut dari jalur lain dengan sanad dha '(/(lemah) yang berbunyi, i' J'J 'J J-AJI J> '<i^_ i 'y *-J (barangsiapa yang tidak mendalami agama, maka Allah tidak akan memperhatikannya). Meskipun lafazhnya berbeda, akan tetapi maksudnya dapat dibenarkan. Karena orang yang tidak mengetahui permasalahan agamanya, maka ia tidak dapat disebut sebagai orang yang mendalami agama. Oleh karena itu. ia dapat dikatakan sebagai orang yang tidak menginginkan kebaikan.
Hadits ini juga menerangkan tentang keutamaan para ulama dibanding manusia lainnya, dan keutamaan memperdalam ilmu-ilmu agama dibanding ilmu-ilmu lainnya. Adapun korelasi antara hadits dengan judul bab ini, bahwa ketika Nabi SAW bertanya kepada sekelompok orang. Ibnu Umar telah mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah pohon kurma.
5.
Perbuatan zhalim bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. 6. Perbuatan maksiat tidak dikategorikan sebagai perbuatan syirik. 7. Orang yang tidak berbuat syirik; maka ia akan mendapatkan rasa aman dan petunjuk. Apabila ada orang mengatakan, "Orang yang berbuat maksiat akan diadzab, lalu rasa aman dan petunjuk seperti apakah yang akan didapatnya?" Jawabnya adalah, bahwa yang dimaksud dengan rasa aman di sini adalah tidak kekal di dalam neraka dan akan diberi petunjuk menuju surga. Pada bab sebelumnya Imam Bukhari telah menjelaskan, bahwa kekufuran dan kezhaliman mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Maka dalam bab selanjutnya ia menjelaskan, bahwa kemunafikan juga mempunyai tingkat yang berbeda-beda, sebagaimana kekufuran dan kezhaliman.
Syaikh Muhyiddin mengatakan, "Maksud Imam Bukhari adalah untuk menjelaskan bahwa kemaksiatan akan mengurangi keimanan, sebagaimana kataatan dapat menambah iman seseorang." Al Karmani menambahkan, "Korelasi pembahasan ini dengan bab "Iman" adalah untuk menjelaskan, bahwa kemunafikan adalah tanda tidak adanya iman, atau untuk mengetahui bahwa sebagian kemunafikan adalah kufur. Nifaq (kemunafikan) menurut bahasa adalah, tidak adanya kesamaan atau kesesuaian antara lahir dan batin. Apabila hal ini terjadi dalam masalah akidah dan keimanan, maka disebut sebagai Nifaqul Kufri. Tapi jika terjadi dalam selain iman, maka dinamakan Nafaau! 'Amal (nifaq dalam perbuatan), dan dalam hal ini kemunafikan tersebut mempunyai tingkatan yang berbeda.
jL-j "ji^j (membenarkan Rasul-Ku)
FATHUL BAARI -165
Ibnu Malik berkata, "Hadits tersebut seharusnya berbunyi iimanun bihi (iman kepada-Nya), akan tetapi hal ini dapat ditafsirkan bahwa ada pembuangan ism fa 'U (kata benda pelaku). Jadi asal hadits itu adalah, "intadaballahu liman kharaja fii sabiilihi qaa'ilan laa yakhrujuhu illaa iimanun bihi (Allah menggembirakan hati orang yang berperang di jalan Allah dengan berkata, "yaitu orang yang berperang semata-mata karena iman kepada-Ku."
Perhatian:
Hadits ini berasal dari jalur Abu Zar'ah dan mencakup tiga masalah tersebut. Imam Bukhari banyak meringkas masalah yang kedua. Masalah tersebut disebutkan secara lengkap oleh Al Ismaili dan Abu Nu'aim dalam riwayatnya dari jalur Abdul Wahid bin Ziyad. Begitu pula dengan riwayat Muslim dalam hadits ini dari jalur yang lain, yaitu dari Umarah bin Qa'qa'. Kemudian hadits tersebut muncul secara terpisah dari riwayat Al A'raj dan yang lainnya dari Abu Hurairah yang akan disampaikan oleh Imam Bukhari dalam bab "Jihad"-Insya Allah. Begitu pula telah disebutkan, bahwa pembahasan tentang shalat dan puasa pada bulan Ramadhan akan ditemukan pada bab "Shiyam" (puasa). Maksudnya, agama Islam adalah agama yang memiliki kemudahan, atau disebut dengan agama yang mudah karena berbeda dengan agama-agama lainnya, dimana Allah telah menghilangkan kesulitan-kesulitan seperti yang dibebankan kepada umat-umat terdahulu. Sebagai contoh, cara taubat umat terdahulu adalah dengan jalan bunuh diri, sedangkan taubat umat ini hanya dengan meninggalkan perbuatan tersebut dan menyesalinya serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi.
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini, diantaranya adalah:
Secara eksplisit, teks tersebut mengindikasikan bahwa iman seseorang tidak sempurna kecuali ia meyakini seluruh rukun Iman yang telah disebutkan. Sedangkan para fuqaha telah sepakat, bahwa seseorang dapat dikatakan beriman jika ia beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Ha! tersebut dikarenakan maksud Iman kepada Rasulullah, adalah meyakini keberadaannya dan apa yang disampaikan dari Tuhannya. Oleh karena itu, semua yang disebutkan tercakup dalam keimanan tersebut.
* Ui J-2J JI (Untuk menyembah Allah). An-Nawawi berkata, "Mungkin saja yang dimaksud dengan ibadah adalah mengetahui Allah (ma'rifatullah).
Oleh karena itu, dianeksasikannya (athaj) shalat dan yang lain kepada Iman kepada Allah untuk dimasukkannya (selain Islam) ke dalam Islam. Mungkin juga yang dimaksud dengan ibadah adalah ketaatan secara mutlak, maka seluruh kewajiban sudah termasuk di dalamnya. Berdasarkan ini maka pengathafan antara shalat dan yang lainnya masuk dalam kategori 'Athaf Al Khas Ila Al 'Aam"
Saya berpendapat bahwa kemungkinan pertama sangat jauh kebenarannya, karena ma'rifah merupakan efek dari Iman sedangkan Islam adalah perbuatan lahir dan batin.
Dalam hadits Umar hal tersebut ditafsirkan sebagai berikut, "Engkau bersaksi Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah," Hal ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan ibadah dalam hadits ini adalah mengucapkan syahadatain.
Dengan demikian merupakan bantahan terhadap kemungkinan kedua. Ketika perawi mengibaratkan ibadah, maka dia harus menjelaskannya dengan kalimat, "tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun" Kalimat tersebut tidak dibutuhkan dalam riwayat Umar, karena kata-kata yang ada di dalamnya telah mencakup hal tersebut.
Jika ada pertanyaan, "Pertanyaan tersebut bersifat umum karena dia bertanya tentang inti keislaman sedangkan jawaban yang diberikan bersifat khusus yaitu menyembah dan bersyahadat kepada Allah. Demikian pula ketika ditanya tentang iman, maka jawabnya hendaknya kamu beriman; dan juga tentang ihsan, hendaknya kamu menyembah?" Jawabnya, permasalahan tersebut merupakan daerah pemisah antara mashdar (gerund) dengan kata o* danfi 'U (kata kerja), karena kalimat Ji J_Jui; mengindikasikan istiqbaal (waktu yang akan datang) sedangkan mashdar tidak mengindikasikan waktu atau zaman. Hanya saja, beberapa perawi meriwayatkannya dengan menggunakan bentuk mashdar.
Konteks hadits tersebut mengindikasikan bahwa melihat Allah di dunia dengan mata telanjang tidak mungkin terjadi. Sedangkan penglihatan Nabi, adalah karena adanya dalil yang menjelaskan tentang hal itu. Imam Muslim menerangkan hal tersebut dalam riwayatnya dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah bersabda, "Kalian tidak akan melihat Tuhan kalian hingga kalian meninggal dunia" Beberapa orang sufi yang berlebihan menakwilkan hadits tersebut tanpa ilmu pengetahuan yang dapat dijadikan sandaran akan kebenarannya, mereka berkata, "Dalam hadits tersebut terdapat isyarat kepada maqam mahwi dan fana. Maka pengertiannya, jika kamu tidak dapat menjadi sesuatu dan kamu telah fana dari dirimu atau seakan-akan kamu tidak ada, maka pada saat itu kamu akan melihat-Nya."
Pengertian seperti itu menunjukkan bahwa mereka tidak menguasai bahasa Arab. Takwil mereka dapat dibantah oleh riwayat Kahmas dan Sulaiman At-Taimi yang berbunyi, "Fainnaka In Laa Taraahu Fainnahu Yaraaka" (kalaupun kamu tidak melihatnya, maka Dia selalu melihatmu). Dalam riwayat Abu Farwah, "Jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu," dan yang serupa lafazhnya ditemukan dalam hadits Anas dan Ibnu Abbas. Semua ini membantah takwil tersebut. Wallahu 'Alam.
Pertama, An-Nawawi berkata, "Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil untuk melarang atau membolehkan menjual budak yang menjadi ibu, maka orang yang mempergunakannya sebagai argumen pada salah satu dari dua kasus di atas adalah salah. Hal tersebut dikarenakan jika sesuatu dijadikan sebagai tanda untuk sesuatu yang lain, maka sesuatu itu tidak menunjukkan kepada pembolehan atau pelarangan.
Kedua, apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu mengartikan kata "Ar-Rab" dengan kata "As-Sayid" (tuan) dapat digabungkan dengan apa yang ada dalam hadits lain yang terdapat dalam kitab Shahih, yaitu: Disifatinya gembala unta dengan kata, "Al Buhmu", karena mereka tidak memiliki nasab yang jelas. Al Qurthubi berkata, "Interpretasi yang paling baik adalah kata tersebut bermakna bahwa mereka berkulit hitam, karena warna tersebut mendominasi kulit mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa makna kata itu adalah mereka tidak memiliki sesuatu seperti sabda Rasulullah saw, ;t«-'j^k."
Al Qurthubi berpendapat bahwa ada yang harus diperhatikan dalam interpretasi di atas karena unta-unta telah dinisbatkan kepada mereka, lalu bagaimana mereka tidak memiliki apa-apa? Menurut saya, penisbatan tersebut dapat diartikan sebagai penggabungan (aneksasi) yang menunjukkan kekhususan, bukan kepemilikan. Kondisi yang biasa terjadi yaitu seorang penggembala menggembalakan hewan milik orang lain dengan menerima upah, jarang sekali yang memiliki ternak turun tangan menggembalakan miliknya.
Perkataan Iman Bukhari dalam kitab tafsir '»<jf-iLb-, ditambahkan oleh Ismaili dalam riwayatnya dengan J-53 jLtJi (Tuh dan bisu). Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut menunjukkan kebodohan yang sangat, artinya mereka tidak mempergunakan pendengaran dan penglihatan mereka untuk urusan agama walaupun panca indera mereka sehat. JL_U^I ^-» jj-laiti JUil-Al Qurthubi berkata, "Maksudnya adalah berubahnya kondisi, yaitu orang-orang badui menguasai negeri-negeri dengan kekerasan sehingga harta mereka bertambah banyak. Kemudian perhatian mereka bergeser kepada pembangunan istana dan mereka membanggakannya, hal tersebut telah kita saksikan pada saat ini."
IKHLAS MENGERJAKAN SHALAT MALAM
.ji^1 t-j-i (agama yang paling disukai)
Yang dimaksud adalah karakter agamanya, karena seluruh karakter agama -pada dasarnya-disukai, akan tetapi yang paling disukai Allah adalah yang paling mudah. Hal ini diperkuat oleh hadits Ahmad dengan sanad yang shahih dari seorang badui -tidak disebutkan namanya-bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Yangpaling baik dari agamamu adalah yang paling mudah."
Atau yang dimaksudkan, agama yang paling disenangi Allah adalah agama yang lurus. Pengertian agama di sini adalah, seluruh syariat pada masa lalu sebelum mengalami perubahan dan penghapusan. (*X^-1 ') adalah sebutan bagi agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS.
Sedangkan liliJ \ (menurut bahasa) adalah orang yang memeluk agama Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim dijuluki dengan Al Haniif (orang yang lurus) karena kecenderungannya kepada kebenaran, sebab asal kata "hanafa" berarti cenderung.
Kata *iJV_JJ I artinya mudah, maksudnya adalah agama Islam didasarkan atas kemudahan berdasarkan firman Allah, "Dia sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama sesuatu kesempitan, (ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim." (Qs. Al Hajj (22): 78) i-pi-jii 'jiJd\ jCiJ 'J* (maka orang yang menyusahkan dirinya dalam agama ia tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna) Seseorang yang terlalu tenggelam dalam amalan-amalan agama (spiritual) dan tidak memperhatikan aspek kemudahan dalam agama, maka 'ia tidak akan mampu melakukannya dengan sempurna. Ibnu Mundzir berkata, "Dalam hadits ini terdapat ilmu para nabi. Kita dan para pendahulu telah melihat, bahwa setiap orang yang bersikap konservatif dalam agama, maka ia tidak akan dapat melaksanakan ajaran agamanya secara sempurna. Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk menghalangi seseorang dalam menyempurnakan ibadahnya, karena hal itu termasuk perbuatan yang terpuji. Akan tetapi, dimaksudkan untuk mencegah sikap mengasingkan diri yang dapat menyebabkan rasa bosan atau berlebihlebihan dalam melaksanakan ibadah sunah, sehingga ibadah yang wajib ditinggalkan. Atau tidak melaksanakan yang fardhu pada waktunya, seperti seseorang yang tidak tidur sepanjang malam untuk melakukan shalat sunah. Akan tetapi kemudian ia merasa ngantuk ketika akhir malam tiba, sehingga ia tertidur dan tidak dapat melaksanakan shalat subuh dengan berjamaah, bahkan tidak melaksanakannya sampai matahari terbit. Dalam hadits Mahjan bin Al Adra' dari Ahmad, "Kalian tidak akan mendapatkan perkara ini dengan berlebih-lebihan, karena sebaik-baiknya agama kalian adalah yang mudah."
Hadits ini merupakan anjuran untuk melaksanakan rukhshah (keringanan atau dispensasi) yang diberikan dalam agama, karena melaksanakan Azimah (hukum asal) pada waktu dibolehkan melakukan rukhshah adalah perbuatan yang memberatkan. Sebagai contoh, orang yang tidak melaksanakan tayammum pada saat tidak mampu menggunakan air, maka akan membahayakan dan memberatkan dirinya. "yaitu waktu di antara shalat ghadah (zhuhur) dan terbitnya matahari." Sedangkan kata "Ar-Rauhah" artinya waktu setelah terbenamnya matahari, dan kata < artinya pada akhir malam. Ada yang berpendapat, bahwa kata tersebut berarti seluruh maiam, maka hadits tersebut menggunakan kata "min "yang menunjukkan arti sebagian. Hal ini disebabkan karena amalan yang dilakukan pada malam hari lebih berat bila dibandingkan dengan amalan pada siang hari. Waktu-waktu ini merupakan yang paling baik bagi para musafir. Seakan-akan Rasulullah SAW mengingatkan kepada seorang musafir agar ia mempergunakan waktunya dengan baik dan tepat, karena seorang musafir jika berjalan sepanjang siang dan malam maka ia tidak akan sanggup. Akan tetapi jika ia memilih untuk berjalan pada sebagian waktu tersebut, maka ia akan sanggup meneruskan perjalanannya tanpa ada kesulitan. Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa dunia -pada hakikatnya-adalah sebagai tempat persinggahan menuju akhirat, dan waktu-waktu tersebut adalah waktu yang paling nyaman bagi fisik untuk melaksanakan ibadah.
Korelasi antara hadits ini dengan hadits-hadits sebelumnya, bahwa hadits-hadits tersebut mengajak kepada kita untuk melaksanakan shalat, puasa dan jihad. Sedangkan dalam hadits ini, Imam Bukhari ingin menjelaskan bahwa dalam melakukan perbuatan-perbuatan (amalanamalan) tersebut sebaiknya tidak berlebihan, akan tetapi sebaiknya dilakukan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga dapat melaksanakannya secara terus menerus.
Berikutnya, Imam Bukhari kembali membahas tentang haditshadits yang menjelaskan perbuatan baik yang merupakan bagian dari iman. Keragu-raguan ini terdapat dalam riwayat Zuhair dalam bab ini dan juga dalam bab "Shalat", dari Abu Nu'aim dari Zuhair, dan juga dalam riwayat Ats-Tsauri serta riwayat Israil yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Tirmidzi. Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Abu Awanah dalam Shahihnya dari Ammar bin Raja' dan perawi-perawi lainnya dari Abu Nu'aim dengan lafazh, "sittata 'asyara (enam belas)" tanpa ada keraguan. Demikian pula yang terdapat dalam riwayat Muslim dari Abu Ahwash, An-Nasa'i dari riwayat Zakaria bin Abu Zaidah, riwayat Abu Awanah dari Ammar bin Zuraiq dari Abu Ishaq, dan juga riwayat Ahmad dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas. Sedangkan dalam riwayat Bazzar dan Thabrani dari Amru bin Auf dengan lafazh "sab 'ata 'asyara (tujuh belas)", demikian pula dengan riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas.
SHALAT ADALAH BAGIAN DARI IMAN
Sebenarnya kita dapat memadukan kedua riwayat tersebut dengan mudah, yaitu bahwa enam belas bulan itu diperoleh dengan menghitung bulan kedatangan Rasulullah di Madinah dan bulan perpindahan Kiblat, satu bulan dengan menghilangkan tambahannya. Adapun tujuh belas bulan diperoleh dengan menghitung kedua bulan tersebut menjadi dua bulan. Sedangkan orang yang ragu-ragu, ia berada di antara kedua hal tersebut. Karena telah disepakati bahwa bulan kedatangan Rasulullah SAW di Madinah adalah bulan Rabi'ul Awal sedangkan bulan perpindahan Kiblat terjadi pada pertengahan bulan Rajab di tahun kedua. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama dan diriwayatkan oleh Hakim dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas.
Ibnu Hibban berpendapat, "17 bulan 3 hari, karena kedatangan Rasulullah pada tanggal 12 Rabi'ul Awal." Pendapat-pendapat selain itu adalah pendapat yang lemah seperti riwayat Ibnu Majah dari jalur Abu Bakar bin Ayas dari Abu Ishaq yang menyebutkan 18 bulan. Abu Bakar adalah orang yang lemah hafalannya dan telah melakukan kerancuan dalam meriwayatkan hadits, karena dalam riwayat Ibnu Jarir dari jalurnya disebutkan "17 bulan" dan dalam riwayat lain disebutkan 16 bulan.
Sebagian perawi meriwayatkan dari pendapat Muhammad bin Habib bahwa perpindahan Kiblat tersebut terjadi pada pertengahan Sya'ban. Pendapat inilah yang disebutkan dan didukung oleh Imam Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah padahal dalam keterangan Shahih Muslim ia menguatkan riwayat yang menyebutkan "16 bulan. "Dari sini, maka perpindahan Kiblat tidak mungkin terjadi pada bulan Sya'ban kecuali jika bulan kedatangan dan peralihan tidak dihitung.
Sedangkan Musa bin Uqbah mendukung pendapat yang mengatakan, bahwa perpindahan itu terjadi pada bulan Jumadil Akhir. Termasuk diantara pendapat yang lemah adalah riwayat yang mengatakan 13 bulan, 9 bulan, 10 bulan, 2 bulan atau 2 tahun. Riwayatriwayat ini adalah lemah, maka pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama. Pada masa tersebut wafat pula Iyas bin Muadz, hanya saja keislamannya diperselisihkan. Saya tidak menemukan informasi yang mengatakan bahwa ada orang muslim yang terbunuh sebelum kiblat berpindah, akan tetapi bukan berarti peristiwa itu tidak pernah terjadi. Jika lafazh ini memang telah dihafal, maka bisa jadi beberapa kaum muslimin yang tidak terkenal pada saat itu terbunuh di luar jihad dan namanya tidak dicatat, karena kurangnya perhatian terhadap sejarah pada saat itu.
Kemudian dalam kitab Al Maghazi disebutkan bahwa seorang yang diperselisihkan keislamannya yaitu Suwaid bin Shamad, bertemu dengan Rasulullah SAW sebelum kaum Anshar bertemu dengan beliau di Aqabah. Pada saat itu Rasulullah menyerukan Islam kepadanya, ia pun berkata, "Perkataan ini adalah baik." Kemudian ia kembali ke Madinah dan terbunuh pada Perang Bu'ats yang berlangsung sebelum hijrah. Dikatakan bahwa golongannya mengatakan, "Dia dalam keadaan muslim ketika terbunuh." Oleh karena itu, kemungkinan dialah yang dimaksud. Beberapa pakar mengatakan juga kepada saya, bisa jadi yang dimaksud adalah golongan lemah yang berada di Makkah seperti kedua orang tua Ammar. Saya berpendapat masih diperlukan bukti-bukti yang kuat, bahwa kematian mereka terjadi setelah peristiwa Isra'.
BERTAMBAH DAN BERKURANGNYA IMAN
ZAKAT ADALAH SEBAGIAN DARI ISLAM
Pendapat ini dibantah oleh Ath-Thibi dan dianggap sebagai pendapat yang keliru, karena istitsna' (pengecualian) dalam kalimat ini bukan berasal dari jenis yang sama. Sebab dalam menyebutkan amalan sunnah, Rasulullah SAW tidak menggunakan kata "Alaika" yang mengandung arti wajib. Dari sini maka seakan-akan Rasulullah bersabda, "Tidak ada amalan lain yang wajib bagimu kecuali jika kamu ingin mengerjakan amalan sunah, maka itu merupakan tambahan pahala bagimu."
Hal ini disebabkan karena tidak ada amalan sunnah yang merupakan kewajiban, maka tidak ada kewajiban lain selain yang telah disebutkan. Demikianlah pendapat Ath-Thibi.
Sebenarnya, perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena perbedaan ulama dalam menafsirkan huruf istitsna' (VI). Orang yang menganggap bahwa huruf tersebut bersifat muttashil atau berkaitan dengan kalimat sebelumnya, maka ia berpegang pada hukum asal, yaitu bahwa wajib untuk menyempurnakan amalan sunnah yang dikerjakannya. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa huruf tersebut bersifat munqathi' atau tidak berkaitan dengan kalimat sebelumnya, maka ia harus mempunyai dalil yang menguatkan. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa'i dan perawi-perawi lainnya, bahwa terkadang Rasulullah SAW berniat untuk berpuasa sunnah, tetapi kemudian beliau membatalkan puasanya sebelum waktu maghrib datang.
Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan kepada Juwairiyah binti Harits untuk membatalkan puasa sunah yang sedang dilakukannya pada hari Jum'at, maka teks ini menunjukkan bahwa tidak diwajibkan untuk menyempurnakan puasa sunah dan juga amalan-amalan lainnya.
Jika ada pernyataan, "Apakah hal itu juga berlaku dalam ibadah haji?" Jawabnya tidak, karena haji berbeda dengan ibadah yang lain, yaitu diwajibkan untuk meneruskan atau menyempurnakannya. Hanya saja dalam argumen madzhab Hanafi perlu diteliti kembali, karena mereka tidak mengatakan bahwa hukum menyempurnakannya adalah fardhu tapi mereka mengatakan wajib. Sedangkan mengecualikan wajib dari fardhu adalah pengecualian (istitsna' munqathi') atau tidak bersambung, karena keduanya berbeda. Begitu pula dengan istitsna" nafyi (menafikan) adalah bukan untuk menetapkan (itsbat), maka kalimat J' VI £j -merupakan pengecualian dari kata V yang artinya tidak ada kewajiban bagi kamu atas yang lainnya.
;L_r> yV, Jn JjL] il ^rlj (Kemudian Rasulullah SAW meneruskan ucapannya, "dan zakat"). Dalam riwayat Abdullah bin Ja'far diriwayatkan bahwa orang tersebut berkata, "Kabarkan kepadaku, zakat apa yang diwajibkan Allah kepadaku?" Rasulullah SAW memberitahukan tentang syariat tersebut.
Riwayat tersebut hanya menyebutkan beberapa kewajiban secara global saja dan tidak menjelaskan tentang kadar zakat ataupun namanama shalat. Ha! ini mungkin disebabkan karena permasalahan seperti itu telah diketahui oleh mereka, atau karena maksudnya adalah bahwa orang yang telah melaksanakan hal-hal yang fardhu saja maka ia akan selamat dari api neraka, meskipun ia tidak mengerjakan hal-hal yang sunah. Jika ada sebuah pertanyaan, "Bagaimanakah cara menggabungkan antara riwayat ini dengan larangan bersumpah yang menggunakan nama orang tua?" Jawabnya, bahwa hal itu dilakukan Rasulullah SAW sebelum turunnya larangan tersebut, atau karena kalimat tersebut merupakan perkataan yang sering digunakan tanpa ada maksud bersumpah, seperti halnya perkataan mereka "Aqari "atau "Halagi"yang berarti semoga Allah menghinakannya. Bisa juga karena pembuangan kata rabbun (Tuhan), sehingga asal kalimat tersebut adalah (dan demi Tuhan ayahnya). Kemudian ada yang berpendapat bahwa kalimat tersebut termasuk dalam kategori kalimat khusus, oleh karena itu masih membutuhkan adanya dalil.
I-Uij
Imam Suhaili meriwayatkan dari syaikhnya bahwa ia berkata, "Hal tersebut merupakan tashhiif (salah penulisan), dan yang benar adalah wallahi (dan demi Allah)." Imam Qurthubi membantah pendapat tersebut dan berkata, "Riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat yang shahih." Sedangkan Al Qarafi keliru ketika menyatakan riwayat dengan lafazh "Wa Abiihi", dengan alasan bahwa riwayat tersebut tidak ditemukan dalam kitab Al Muwaththa'.
Agaknya beliau belum puas dengan jawaban yang ada sehingga ia mencari kesalahan dari segi riwayatnya, padahal riwayat tersebut termasuk riwayat yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Adapun jawaban yang paling kuat adalah dua jawaban yang pertama.
Ibnu Baththal berpendapat, bahwa perkataan Rasulullah jj £dii mengindikasikan bahwa jika orang tersebut tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya maka ia tidak akan beruntung, berbeda dengan pendapat golongan Murji'ah. jika ada pertanyaan, "Bagaimana seseorang dapat beruntung atau selamat hanya dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang disebutkan, padahal dalam hadits tersebut tidak disebutkan laranganlarangan?" Dalam hal ini Ibnu Baththal menjawab, bahwa -mungkin-Rasulullah mengatakan hal tersebut sebelum disyariatkannya laranganlarangan.
Jawaban ini sangatlah aneh, karena Ibnu Baththal berkeyakinan bahwa si penanya adalah Dhammam, seorang utusan yang menghadap Rasulullah pada tahun ke-5 hijriyah bahkan ada yang mengatakan setelah itu. Padahal banyak larangan yang telah disyariatkan sebelum itu. Adapun pendapat yang benar adalah, bahwa larangan-larangan tersebut tersirat dalam hadits, "Maka Rasulullah SAW memberitahukan tentang syariat tersebut," sebagaimana telah kita jelaskan di atas.
Jika ada orang yang bertanya, "Pernyataan bahwa ia beruntung karena ia tidak mengurangi (kewajiban yang ditetapkan) adalah sangat jelas, akan tetapi bagaimana dengan pernyataannya bahwa ia akan beruntung karena ia tidak menambahnya?" Imam Nawawi menjelaskan, bahwa keberuntungan tersebut diberikan karena ia mengerjakan apa yang diwajibkan kepadanya dan bukan berarti bahwa jika ia melakukan hal-hal lainnya (sunah) maka ia tidak akan beruntung. Hal ini disebabkan karena dengan melakukan hal-hal yang wajib saja seseorang dapat beruntung, maka ia akan lebih beruntung jika ia juga melakukan hal-hal yang sunnah.
Kemudian apabila ada pertanyaan, "Bagaimana Rasulullah membiarkan sumpahnya padahal ada bantahan terhadap orang yang bersumpah untuk tidak berbuat baik?" Saya jawab, bahwa hal tersebut berbeda sesuai dengan orang dan tempat yang berbeda, dan hal ini berlaku bagi asal masalah bahwa tidak ada dosa bagi yang meninggalkan sesuatu yang tidak fardhu dan dia masuk dalam golongan yang beruntung walaupun yang lain lebih besar keuntungannya dibandingkan dirinya.
Adt-Thibi berkata, "Kemungkinan perkataan ini keluar dari dirinya dengan maksud tidak berlebih-lebihan mempercayai dan menerima, dalam artian saya terima perkataanmu tidak lebih dari apa vang kutanyakan dan tidak kurang dari yang kuterima." Ibnu Munir berkata, "Kemungkinan bertambah dan berkurangnya tergantung pada penyampaiannya, karena ia adalah utusan kaumnya untuk belajar dan mengajari mereka." Saya berpendapat, kedua kemungkinan tersebut tidak dapat diterima dengan riwayat Ibrahim bin Ja'far, karena teksnya adalah; ul_i 'Pi. & 'je'j-* LJL.
V. uL_j. U V (Aku tidak akan menambahkan yang sunnah dan tidak mengurangi apa yang diwajibkan oleh Allah terhadap diriku). Ada juga yang berpendapat, bahwa maksud dari "Tidak menambah dan menguranginya" adalah saya tidak akan merubah kewajiban, seperti mengurangi shalat zhuhur menjadi satu rakaat atau menambahkan rakaat maghrib. Saya jawab, bahwa hal tersebut juga dibantah oleh riwayat Ismail bin Ja'far. j\j *ij (Hingga selesai). Ada yang meriwayatkan dengan lafazh tj-^j-Riwayat ini menunjukkan, bahwa pahala sebesar dua qirath itu diperoleh dengan ikut menshalatkan dan mengantarkan ke kuburannya. Sedangkan orang yang hanya melakukan shalat saja, maka ia hanya mendapatkan pahala satu qirath.
MELAYAT JENAZAH MERUPAKAN BAGIAN
Pendapat ini adalah pendapat yang kuat, berbeda dengan pendapat yang berpegang pada zhahir hadits. Mereka berpendapat, bahwa orang tersebut memperoleh pahala sebesar tiga qirath setelah digabungkan. Pembahasan lain tentang hadits ini, insya Allah akan dijelaskan pada pembahasan tentang jenazah.
SEORANG MUKMIN TAKUT AMALNYA AKAN HILANG TANPA DISADARI
Ibrahim An-Nakha'i berkata, "Perkataan dan perbuatan saya tidak pernah bertentangan, karena saya takut menjadi seorang pembohong." Ibnu Abi Mulaikah berkata, "Aku mengetahui 30 orang sahabat Rasulullah yang takut akan kemunafikan dirinya. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa iman mereka serupa dengan iman Jibril dan Mikail." Kemudian disebutkan dari Hasan, "Hanya orang yang beriman yang takut akan kemunafikan, dan hanya orang munafik yang selalu dalam kemunafikan."
Hanya taubat yang dapat mengingatkan orang munafik dari perbuatan maksiat dan kemunafikan. Allah SWT berfirman, "Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui." (Qs. Aali Imraan (3)
Qadariyah. Wallahu A 'lam
Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan kadar keimanannya sama dengan Jibril dan Mikail, artinya tidak seorang pun dari mereka yakin bahwa mereka tidak disentuh oleh kemunafikan seperti keimanan Jibril. Hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah golongan yang berpendapat adanya tingkatan keimanan dalam diri seorang mukmin, berlawanan dengan golongan Murji'ah yang berpendapat bahwa iman para shiddigin dan yang lainnya berada pada satu level. Telah diriwayatkan hadits dalam marfu' dari Aisyah dengan makna senada dengan hadits Ibnu Mulaikah yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam kitab AlAusath, hanya saja rangkaian sanadnya lemah.
Ibrahim Al Harbi berkata, bahwa (Memaki) lebih kasar daripada i-H (Mencela).
i4-(Orang muslim). Kata tersebut dipakai dalam mayoritas riwayat. Akan tetapi riwayat Ahmad dari Ghandar dari Syu'bah, kata yang dipergunakan adalah j->y dimana agaknya beliau meriwayatkan hadits dengan maknanya.
Secara etimologi, j-~> berarti Al Khuruuj (Keluar). Secara terminologi berarti keluar dari taat kepada Allah dan rasul-Nya. Kata "fasik" dalam syariat lebih tinggi tingkatannya daripada kata maksiat. Allah SWT berfirman, "...dan menjadikan kamu kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan (kemaksiatan)" (Qs. Al Hujuraat (49) 1
. 7)
Dalam hadits ini menunjukkan penghormatan hak seorang muslim. Apabila seseorang memakinya tanpa bukti, maka hukumannya adalah kefasikan.
r-& Q-^i^.
J' J~*j (Mudah-mudahan berguna bagi kalian).
Maksudnya jika Rasulullah tidak lupa, maka niscaya akan bertambah dan lebih utama dari pada kondisi tersebut karena apa yang diharapkan akan terwujud. Akan tetapi dalam kelupaannya ada kebaikan yang diharapkan, yaitu pahala yang lebih banyak karena hal tersebut menjadi sebab bertambahnya usaha dalam mencarinya. Hal tersebut didapat dengan berkah Rasulullah SAW. j*^1 J (Pada ke tujuh dan ke sembilan). Demikianlah yang terdapat dalam mayoritas riwayat, mendahulukan tujuh daripada sembilan. Dalam mendahulukan kata "tujuh" menunjukkan bahwa angka tersebut lebih diharapkan. Abu Nu'aim dalam kitab Al Mustakhraj mendahulukan kata sembilan daripada tujuh, sesuai dengan urutan ke bawah. Kemudian muncul polemik mengenai arti dari sembilan. Ada yang berpendapat bahwa artinya adalah 9 hari dari sepuluh hari pertama, ada pula yang berpendapat 9 hari yang tersisa dari satu bulan. Detail (rincian) pembahasannya insya Allah akan dipaparkan oleh Imam Bukhari dalam kitab I'tikaf.
PERTANYAAN JIBRIL KEPADA NABI SAW TENTANG IMAN, ISLAM, IHSAN, HARI AKHIR DAN PENJELASAN NABI KEPADANYA
Kemudian Rasulullah berkata, "Jibril AS datang untuk mengajarkan kepadamu agamamu."
Oleh karena itu, dia jadikan semua itu sebagai agama. Sedangkan apa yang diterangkan oleh Nabi SAW kepada utusan Abdil Qais, adalah bagian dari iman. Firman Allah SWT, "Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima agama itu daripadanya, dan dia di akhirat termasuk golongan orang-orang yang rugi.'" (Qs. Aali Imraan (3) Rasul kemudian bersabda, "Itulah Jibril, dia mengajarkan agama kepada umat manusia" Sebelum ini telah disebutkan, bahwa Imam Bukhari menganggap Islam dan Iman adalah satu makna. Secara eksplisit pertanyaan Jibril mengindikasikan adanya perbedaan antara Iman dan Islam dengan menganggap bahwa Iman adalah keyakinan terhadap perkara tertentu, sedangkan Islam adalah menampakkan amalan-amalan khusus.
Penjelasan dalam hadits tersebut, bahwa keyakinan dan amal adalah agama, sedangkan apa yang diterangkan oleh Nabi SAW kepada Abdul Qais bahwa Iman adalah Islam. Hal itu dikuatkan dengan penjelasan ayat dan berdasarkan riwayat dari Abu Sufyan yang menyatakan bahwa Islam adalah agama, maka Islam dan Iman adalah satu.
Abu Awanah Al Isfaraini dalam kitab Shahihnya dari Al Muzani -salah seorang sahabat Imam Syafi'i-mendukung pendapat yang mengatakan bahwa kedua kata tersebut merupakan satu arti, dan dia mendengar hal tersebut dari Imam Syafi'i. Sedangkan Imam Ahmad mendukung pendapat yang mengatakan, bahwa keduanya memiliki arti yang berbeda. Masing-masing pendapat memiliki dalil yang menguatkan.
Al Khaththabi berkata bahwa dalam masalah ini antara dua imam besar -Imam Syafi'i dan Imam Ahmad-masing-masing memberikan dalil, sehingga nampak perbedaan di antara mereka. Perbedaan tersebut antara umum dan khusus, bahwa setiap mukmin pasti muslim, bukan sebaliknya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kata Islam tidak mencakup keyakinan dan amalan sekaligus, sedangkan kata Iman mencakup keduanya. Allah SWT berfirman, "Dan Kuridhai Islam sebagai agamamu." Kata "Islam" dalam ayat ini mencakup iman dan amal, karena yang mengerjakan tanpa keyakinan maka perbuatannya bukan termasuk perbuatan agama yang diridhai.
Berdasarkan ini, Al Muzani dan Abu Muhammad Al Baghawi mengomentari tentang pertanyaan Jibril, dan Rasulullah SAW menjadikan kata "Islam" di sini sebagai nama setiap perbuatan yang tampak, dan kata "Iman" sebagai nama bagi keyakinan yang tersembunyi di dalam hati. Ini tidak berarti bahwa perbuatan tersebut bukan termasuk bagian iman dan bukan berarti pembenaran hati tidak termasuk bagian dari Islam, akan tetapi sebagai penjelasan bahwa semuanya adalah satu dan penggabungan antara keduanya dinamakan agama. (Qs. Aali Imraan (3); 85) Dengan demikian, agama yang diridhai dan diterima hanyalah yang disertai dengan At-Tashdiq (pembenaran hati).
Yang jelas dari masing-masing dalil mempunyai hakikat syariat dan hakikat bahasa, keduanya tidak terpisahkan dan saling melengkapi. Seperti seseorang yang melakukan suatu perbuatan, dia tidak dapat dikatakan muslim yang sempurna kalau tidak disertai dengan suatu keyakinan; dan orang yang berkeyakinan tidak dapat dikatakan mukmin yang sempurna kalau tidak mengerjakannya. Karena kata iman sering digunakan dalam kata Islam dan sebaliknya, atau salah satu kata dipakai untuk arti keduanya sebagai kiasan, yaitu makna yang dimaksud dapat diketahui lewat konteks kalimat. Artinya, kalau dipakai dua kata tersebut bersamaan dalam kalimat pertanyaan, maka fungsinya sebagai kata sebenarnya. Kalau kedua kata tidak dipakai bersamaan atau dipakai tapi tidak dalam kalimat pertanyaan, maka pemakaiannya boleh sebagai fungsi kata sebenarnya atau kata kiasan sesuai dengan konteks kalimat.
Al Ismaili meriwayatkan dari Ahlu Sunnah yang mengatakan bahwa kedua kata itu berbeda sesuai dengan konteks kalimat. Jika dipakai salah satu kata dari keduanya, maka satu kata yang lain masuk ke dalamnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Muhammad bin Nasr yang diikuti oleh Ibnu Abdul Barr yang menyatakan, bahwa kedua kata tersebut memiliki satu makna seperti yang disebutkan dalam hadits Abdul Qais. Begitu pula dengan apa yang diriwayatkan oleh AI-Lalikai dan Ibnu Sam'ani dan Ahlu Sunnah, bahwa mereka membedakan arti keduanya (Iman dan Islam) berdasarkan hadits Jibril. Wallahu A jam. ^-UJ u ji i; j'-j-j <uU ^ji ^Ji jiy (Dan Nabi sedang tampak di hadapan orang-orang). Maksudnya, Rasul benar-benar berada di hadapan mereka tanpa penghalang. Hal tersebut diterangkan dalam riwayat Abu Farwah yang telah kita sebutkan. Awal riwayat tersebut adalah, "Ketika Rasulullah sedang duduk bersama para sahabatnya, datanglah orang asing bergabung bersama mereka. Rasulullah tidak dapat membedakan dengan yang lain. Akhirnya kami meminta izin kepada Rasulullah untuk membuatkan tempat duduk bagi beliau, agar dapat mengetahui siapa yang datang. Setelah itu kami buatkan untuknya tempat duduk dari tanah."
Dari riwayat tersebut, Al Qurthubi menyimpulkan tentang disunahkannya bagi orang alim untuk duduk di tempat khusus yang ditinggikan, jika hal tersebut memang dibutuhkan untuk kepentingan mengajar dan semisalnya.
Kemudian datanglah seorang pria, maksudnya malaikat dalam wujud manusia. Imam Bukhari dalam kitab tafsir menyebutkan, bahwa orang tersebut datang dengan berjalan. Sedangkan dalam riwayat Abu Farwah lafazhnya adalah, "Kami sedang duduk bersama beliau ketika datang seorang pria yang tampan, wangi badannya, dan pakaiannya tidak tersentuh debu."
Dalam riwayat Muslim dari jalur Kahmas tentang hadits Umar, "Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah, datanglah seorang pria yang putih kulitnya dan hitam rambutnya."
Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan, "Sangat hitam janggutnya, tidak ada bekas perjalanan dan tidak seorang pun mengetahui siapa dirinya. Kemudian dia duduk di hadapan Rasul dengan mempertemukan lututnya dengan lutut Rasul dan meletakkan tangannya di atas paha Rasulullah."
Dalam riwayat Sulaiman At-Taimi, "Tidak tampak pada dirinya bekas perjalanan dan dia meletakkan tangannya di atas paha Rasulullah."
Dari riwayat ini dapat disimpulkan, bahwa Dhamir (kata ganti) dalam kalimat "Fakhidzaihi" kembali kepada Rasul. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Al Baghawi dan Ibrahim At-Taimi, dan dikuatkan oleh Ath-Thibi dengan mengomentari bahwa riwayat tersebut berlawanan dengan apa yang disetujui oleh An-Nawawi. At-Turbusyti juga sependapat karena dia menafsirkannya dengan, "Dia duduk dalam posisi seorang murid di hadapan guru."
Walaupun secara eksplisit posisi duduknya dipahami seperti seorang murid, akan tetapi perbuatan meletakkan tangan di paha Rasulullah bertujuan untuk menarik perhatian agar orang-orang mendengarkannya. Disamping itu hadits ini juga mengindikasikan agar seorang yang ditanya tentang suatu permasalahan bersikap rendah diri dan simpatik terhadap penanya.
Secara implisit apa yang dilakukan olehnya (Jibril) bertujuan untuk menyembunyikan jati diri dan memperkuat citra bahwa dirinya berasal dari Arab Badui, hingga dapat menerobos orang-orang ke hadapan Rasulullah. Oleh karena itu para sahabat merasa asing dengan prilakunya, dia bukan penduduk daerah setempat tiba-tiba muncul tanpa meninggalkan bekas telapak kaki.
Jika ada pertanyaan, "Bagaimana Umar mengetahui bahwa dia bukan salah satu dari mereka?" Jawabnya adalah kemungkinan Umar mengetahui hal tersebut dari dugaannya atau berdasarkan pendapat orang yang hadir dalam majelis itu. Menurut saya kemungkinan kedua lebih kuat karena hal yang serupa ditemukan pada riwayat Ustman bin Ghiyats, "'Mereka saling berpandangan lalu berkata kami tidak mengetahui orang ini." Imam Muslim dalam riwayat Umarah bin Qa'qa' menjelaskan sebab munculnya hadits ini, bahwa pertama kali Rasulullah SAW berkata, "Bertanyalah kepadaku. " Akan tetapi mereka segan untuk bertanya kepada beliau, maka datanglah pria tersebut.
Dalam riwayat Yazid bin Zari' dari Kahmas disebutkan, "Ketika Rasulullah sedang berkhutbah, datanglah seorang pria -agaknya permintaan beliau kepada mereka untuk bertanya kepadanya dilakukan pada saat berkhutbah." Dari riwayat tersebut jelaslah bahwa pria tersebut datang pada saat beliau sedang berkhutbah terlepas apakah beliau sedang berdiri atau duduk.
(maka berkatalah). Ditambahkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Tafsir dengan lafazh, "Ya Rasulullah, Apakah Iman itu?" Jika ada pertanyaan, "Bagaimana mungkin pria tersebut mengajukan pertanyaan sebelum menyampaikan salam?" Jawabnya, kemungkinan hal tersebut dilakukan untuk menyamarkan penampilannya atau untuk menerangkan bahwa hal tersebut bukan suatu yang wajib, atau dia telah menyampaikannya tapi tidak dinukil oleh para perawi.
Menurut saya, jawaban ketiga dapat dijadikan sandaran karena hal yang serupa juga ditemukan dalam riwayat Abu Farwah. Dalam riwayat itu disebutkan setelah perkataan, "Pakaiannya tidak berdebu" sampai kepada kalimat, "Kemudian di sudut karpet dia menyampaikan salam dengan berkata, "Assalamualaika ya Muhammad", dan dijawab oleh Rasul. Kemudian dia berkata, "Bolehkah aku mendekat ya Muhammad?" "Mendekatlah!" jawab Rasul. Lalu dia mengatakan hal tersebut dan Nabi juga menjawab dengan jawaban yang sama."
Hadits serupa terdapat dalam riwayat Atha' dari Ibnu Umar hanya saja lafazhnya, "Assalamualaika ya Rasulullah." Dalam riwayat Mathar Al Warraq dia berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku mendekat kepadamu?" "Mendekatlah!" jawab Rasul. Pria itu mendekat tanpa memberikan salam terlebih dulu.
Oleh karena itu, terdapat perbedaan riwayat apakah pria tersebut mengatakan, "Ya, Rasulullah" atau "Ya Muhammad", dan apakah pria tersebut mengucapkan salam atau tidak. Pendapat yang mengatakan bahwa pria itu mengucapkan salam adalah lebih kuat daripada yang mengatakan tidak.
Al Qurthubi berpendapat bahwa pria itu tidak mengucapkan salam dan langsung berkata, "Wahai Muhammad," maksudnya untuk menutupi jati dirinya dan berbuat seperti layaknya orang badui.
Menurut saya dengan menggabungkan kedua riwayat tersebut, yaitu bahwa pertama kali dia memanggil nama Muhammad lalu bertanya kepadanya dengan memanggil, "Wahai Rasulullah." Al Qurthubi berpendapat bahwa perkataan pria tersebut berbunyi, "Assalamu alaika ya Muhammad." Hadits ini mengindikasikan disunahkan bagi orang yang masuk dalam suatu majelis untuk mengucapkan salam secara umum, setelah itu mengkhususkan siapa yang dituju. Saya menguatkan riwayat yang mengatakan, "Assalamu alaika ya Muhammad." (Apakah Iman?). Ada yang berpendapat bahwa pertanyaan pertama tentang Iman, karena Iman adalah dasar atau pokok. Pertanyaan kedua tentang Islam, karena Islam sebagai tanda keyakinan atas apa yang dinyatakan dan diyakininya. Pertanyaan ketiga tentang Ihsan, karena hal tersebut tergantung kepada Iman dan Islam.
Dalam riwayat Umarah bin Qa'qa' disebutkan bahwa pertanyaan pertama tentang Islam, karena berkaitan dengan perkara lahiriah; dan pertanyaan kedua tentang Iman, karena berkaitan dengan perkara batin. Pendapat ini dikuatkan oleh At-Thibi.
Sebenarnya kisah hadits ini adalah satu, hanya saja para perawi berbeda dalam meriwayatkannya, dan dalam konteks kalimat tidak menunjukkan urutan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Terbukti dalam riwayat Mathar Al Warraq, hadits ini dimulai dengan Islam, Ihsan, lalu Iman. Adapun urutan pertama dan terakhir hanya dari perawi, wallahu A Jam. eJJi__. 'j-*'/, J. ^-jj Jiiijj JJL j*'y ! 'J kjy Jii (Iman adalah beriman Iman adalah beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kebangkitan). Jawaban tersebut membuktikan bahwa pria tersebut menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan iman, bukan tentang makna lafazhnya. Jika tidak maka jawabannya adalah "Iman adalah keyakinan (At-Tashdiq)"
Ath-Thibi berkata, "Pendapat ini sepertinya memberikan asumsi pengulangan, padahal tidak. Karena perkataan Rasul (beriman kepada Allah) mencakup pengakuan terhadap Allah." Menurut saya, pengulangan kata Iman, karena pentingnya hal itu supaya diperhatikan. Sebagaimana firman Allah, "Katakanlah, siapakah yang menghidupkan (tulang-belulang yang hancur), yaitu yang menciptakan pertama kali, " sebagai jawaban dari pertanyaan, "Siapa yang menghidupkan tulang yang telah hancur."
Beriman kepada malaikat berarti meyakini keberadaan mereka, sebagaimana firman Allah SWT bahwa mereka adalah hamba-Nya yang mulia. Kata malaikat disebutkan terlebih dahulu daripada kitab dan rasul.
Hal itu merujuk kepada kronologi kejadiannya, karena Allah mengutus malaikat dengan membawa kitab kepada para rasul-Nya.
Iman kepada kitab Allah adalah keyakinan bahwa kitab tersebut adalah kaiamullah, dan apa yang terkandung di dalamnya adalah benar.
Dalam riwayat ini lafazh *JUL_, ditemukan diantara kata "Kutub" dan "KusuP'. Demikian pula dengan riwayat Muslim yang berasal dari dua jalur dan tidak ditemukan pada riwayat-riwayat lain. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bangkit adalah bangkit dari kubur, sedangkan yang dimaksud dengan kata tUJ (bertemu) adalah setelah dibangkitkan. Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa "pertemuan" itu akan terjadi dengan berpindah dari dunia, sedangkan kebangkitan terjadi setelah itu. Pendapat tersebut berdasarkan riwayat Mathar Al Warraq, J-« JJJI-> j o^Jl,j "Dengan kematian serta kebangkitan setelah kematian." Demikian pula yang disebutkan dalam hadits Anas dan Ibnu Abbas. Ada yang berpendapat bahwa maksud dari kata iiqaa' (bertemu) adalah melihat Allah, pendapat ini disampaikan oleh Al Khaththabi. Akan tetapi dibantah oleh An-Nawawi dengan mengatakan bahwa seseorang tidak dapat begitu saja melihat Allah, karena hal tersebut dikhususkan bagi orang yang meninggal dalam keadaan beriman dan seseorang tidak mengetahui akhir dari hidupnya. Lalu bagaimana hal tersebut menjadi syarat keimanan? Jawabnya, karena hal itu benar-benar akan terjadi. Hal ini merupakan dalil kuat bagi Ahlu Sunnah bahwa melihat Allah pada hari akhir merupakan dasar keimanan. J-i-j j Menurut riwayat Al Ushaili lafazhnya adalah *C> Dalam hadits Anas dan Ibnu Abbas menggunakan lafazh j v i3Ji b iirjCJij (dan para malaikat, kitab dan para nabi). Kedua teks tersebut terdapat dalam surah Al Baqarah. Pengungkapan dengan kata "Nabiyiin" mencakup para rasul dan tidak sebaliknya. Keimanan kepada para rasul adalah keyakinan terhadap apa yang disampaikan mereka tentang Allah. Disebutkannya malaikat, kitab dan rasul secara global menunjukkan bahwa beriman terhadap mereka sudah cukup, kecuali ada hal yang dikhususkan. Urutan ini sesuai dengan ayat, "Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya" (Qs. Al Baqarah (2): 285) Kata "Rasul" dalam ayat tersebut disebutkan di muka. Hal itu merupakan kebaikan dan rahmat dari Allah, dan termasuk salah satu rahmat yang paling besar adalah diturunkannya kitab-kitab-Nya kepada semua hamba-Nya. Yang menerimanya adalah para nabi, kemudian mediator diantara mereka adalah malaikat.
•P^-1 -'j*Pi (Beriman kepada hari kebangkitan). Dalam kitab tafsir ditambahkan kata "Hari akhir". Dalam riwayat Muslim dari hadits Umar, wal yaumil aakhir (dan hari akhir). Sedangkan kata "Aakhir " disebutkan sebagai penguat. Ada pendapat yang mengatakan, kata itu disebutkan karena kebangkitan itu terjadi dua kali. Pertama, keluar dari yang tidak ada kepada yang ada, yaitu dari perut ibu ke alam dunia. Kedua, bangkit dari dalam kubur ke tempat yang abadi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa dinamakan yaumul akhir, karena pada saat itu adalah akhir dari hari dunia dan masa yang ditentukan.
Maksud beriman kepada hari akhir adalah percaya terhadap apa yang terjadi di hari akhir yang berupa hisab (perhitungan), penimbangan, surga dan neraka. Keempat hal tersebut secara terang-terangan disebutkan setelah kata "Al Ba'tsu" dalam riwayat Sulaiman At-Taimi dan hadits Ibnu Abbas.
Dalam riwayat Utsman bin Ghayyats lafazhnya adalah, V o' iiCji.
%\ VJ'-\ (Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah) dan lafazh tersebut juga dapat ditemukan dalam hadits Anas. Hal ini bukan berarti bahwa dengan menggunakan pola tunggal (singular) dalam berbicara berfungsi untuk mengkhususkan pembahasan kepada hal tersebut, akan tetapi maksudnya adalah mengajarkan kepada pendengar tentang hukum agama yang masuk dalam kategori mukallaf. Hal tersebut telah diterangkan pada akhir hadits tersebut yaitu, "mengajarkan kepada manusia tentang agama-Nya."
Apabila ada pertanyaan, "Mengapa haji tidak disebutkan?" Sebagian ulama menjawab, bahwa hal tersebut tidak masuk dalam kategori fardhu.
Jawaban ini tidak dapat diterima berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam kitab Al Iman dengan sanadnya yang menggunakan syarat Muslim dari jalur Sulaiman At-Taimi pada awal hadits Umar, "Datanglah seorang pria pada akhir hayat Rasulullah" kemudian ia menyebutkan hadits tersebut.
Kemungkinan yang dimaksud dengan kalimat "Akhir umur Rasulullah" adalah setelah beliau menunaikan haji wada', karena ibadah tersebut merupakan perjalanannya yang terakhir. Kemudian beliau wafat kurang dari 3 bulan setelah melaksanakannya, seakan-akan hadits tersebut datang setelah semua hukum diturunkan dan untuk menyatukan perkara-perkara agama yang terpisah-pisah dalam satu majelis agar lebih teratur.
Dari kasus tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa bertanya kepada orang alim tentang suatu perkara yang telah diketahui, dengan tujuan agar orang lain mengetahuinya adalah diperbolehkan. Sedangkan masalah haji telah disebutkan, hanya saja mungkin beberapa perawinya sengaja tidak menuliskan atau lupa menuliskannya. Argumentasi atas pendapat tersebut adalah adanya polemik diantara mereka tentang disebutkannya sebagian amalan tanpa sebagian yang lain, bahkan dalam riwayat Kahmas dan dalam hadits Anas disebutkan, "Dan melaksanakan ibadah haji jika mampu."
Dalam riwayat Atha' Al Khurasani tidak disebutkan puasa, dan dalam hadits Amir yang disebutkan hanya shalat dan zakat, bahkan dalam hadits Ibnu Abbas yang disebutkan hanyalah syahadatain.
Yang menyebutkan semuanya adalah riwayat Sulaiman At-Taimi, dan dia menambahkan setelah perkataan £-'^j dengan kalimat ^ J-^j i'^g'jW ^.i-j CiLi-i (Berumrah dan mandi dari junub serta menyempurnakan wudhu Ihsan di sini adalah ihsan dalam ibadah, sedangkan bentuk ihsan dalam ibadah adalah ikhlas, khusu' dan berkonsentrasi penuh pada saat melaksanakannya, dan selalu dimonitor oleh Yang disembah. Jawaban tersebut mengisyaratkan dua hal, yang paling tinggi diantara keduanya adalah ketika seseorang didominasi oleh Musyahadah Al Haq dengan batinnya sampai seakan-akan dia melihat-Nya dengan kedua matanya berdasarkan kalimat, "Seakan-akan kamu melihatnya". Yang kedua untuk selalu diingat bahwa Allah selalu melihat setiap perbuatan yang dilakukan, ini yang dimaksud dengan kalimat, "Sesungguhnya Dia melihatmu". Kedua hal ini melahirkan ma'rifatullah (pengetahuan tentang Allah) dan kekhusyuan.
Dalam riwayat Umarah bin Qa'qa', juga dalam hadits Anas diriwayatkan dengan lafazh, «V 'sSk &\ J (Hendaklah kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya). An-Nawawi berkata, "Artinya anda akan selalu menjaga etika jika merasa bahwa Dia selalu melihat anda dan anda selalu melihat-Nya. Dalam kondisi Dia melihat anda, anda tidak dapat melihat-Nya; dan seseorang harus selalu memperbaiki ibadahnya karena Dia selalu melihat anda. Oleh karena itu, maka pengertian hadits tersebut adalah jika engkau tidak dapat melihat-Nya teruslah beribadah, karena Dia selalu melihatmu."
Kemudian dia melanjutkan, "Pengertian ini adalah prinsip penting dalam prinsip-prinsip teologi Islam dan merupakan dasar yang sangat penting bagi kaum muslimin. Prinsip tersebut merupakan rangkuman dari seluruh perkataan Rasulullah.
Jika Ahlu Tahqiiq mensunahkan kita untuk menghadiri majelis para ulama karena hal itu dapat mencegah kita untuk melakukan sesuatu yang kurang sopan karena rasa hormat dan malu kita kepada mereka, lalu bagaimana dengan orang yang selalu merasakan kehadiran Allah pada segala perbuatannya baik yang tersembunyi maupun yang terangterangan? Prinsip ini telah dikomentari sebelumnya oleh Qadhi Iyadh dan insya Allah akan kita bahas lebih lanjut dalam tafsir Luqman.
FATHUL BAARI -223
Keempat, adalah karena banyaknya kedurhakaan terhadap orang tua hingga sang anak memperlakukan orang tuanya seperti budak dengan memaki, memukul dan mempekerjakannya. Sehingga kata "tuannya" diqiyaskan kepada anak tersebut atas perlakuannya terhadap orang ma. Atau bisa jadi yang dimaksud dengan kata "Ar-Rab" adalah pengawas, maka maknanya menjadi hakikat bukan kiasan.
Inilah pendapat-pendapat mengenai kasus tersebut. Menurut saya, berdasarkan keumumannya hadits tersebut menunjukkan ke kondisi kerusakan pada masa yang tidak diketahui. Intinya isyarat tersebut menunjukkan dekatnya hari kiamat dimana semuanya menjadi berbalik, yaitu yang seharusnya diawasi menjadi yang mengawasi dan yang buruk menjadi yang terhormat.
> • i r
Pendapat ini dikuatkan oleh hadits lain yang berbunyi, "Tidak akan datang hari kiamat hingga orang yang paling bahagia di dunia menjadi orang yang paling hina" dan hadits lain, "jika suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggu saja waktu (kehancuran) nya. " Kedua hadits tersebut ada dalam kitab Shahih.
ini Jibril yang datang mengajarkan kepada manusia agama-Nya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tak sekalipun dia datang kecuali aku mengetahuinya kecuali pada saat ini."
Dalam riwayat At-Taimi disebutkan, "Kemudian pria tersebut bangkit dan pergi. Lalu Rasulullah berkata, 'Panggil pria tersebuti' Kemudian kami mengejar tapi kami tidak mendapatkannya. Rasulullah pun bersabda, "Tahukah kalian siapa orang tersebut, dia adalah Jibril yang datang mengajarkan agama kalian, ambillah darinya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tak pernah dia menyerupai orang sebelum ini, dan aku tidak mengetahuinya sampai dia pergi."
Ibnu Hibban mengatakan, bahwa hanya Sulaiman At-Taimi yang meriwayatkan kalimat "ambil darinya." Menurut saya, dia adalah salah seorang yang paling tsiaah (terpercaya An-Nawawi menyatukan 2 hadits tersebut dengan mengatakan bahwa Umar tidak hadir pada waktu Rasulullah berbicara dalam majelis. Akan tetapi dia termasuk kelompok yang mengejar orang tersebut dan tidak kembali lagi. Kemudian Rasulullah memberitahukan kepada yang hadir saat itu dan Umar tidak memastikan berita tersebut kecuali setelah 3 hari berdasarkan perkataannya, "Kemudian beliau menemuiku" dan perkataannya, "Kemudian Rasulullah berkata kepadaku, wahai Umar" hanya ditujukan kepadanya secara khusus, berlawanan dengan khabar yang pertama. Ini adalah penggabungan yang baik.
Kedua,
Ibnu Munir berkata bahwa dalam sabda Rasul, "Mengajarkan kepada kalian agama kalian" merupakan dalil bahwa pertanyaan yang baik dapat dinamakan ilmu dan pengajaran, karena yang keluar dari Jibril hanyalah pertanyaan, meskipun demikian dia disebut sebagai pengajar. Hal itu sebagaimana pepatah masyhur mengatakan, "Pertanyaan yang baik adalah setengah dari ilmu," Pepatah tersebut dapat diterapkan dalam hadits ini, dimana kita dapat mengambil faidahnya dari tanya jawab (antara Jibril dan Nabi).
Ketiga, Al Qurthubi berkata, "Hadits ini dapat disebut sebagai ummu sunnah (induk sunnah) karena mengandung ilmu sunnah secara global." Ath-Thibi berkata, "Berdasarkan hal inilah maka Al Baghawi mengawali kitabnya Al Mashabih dan Syarh As-Sunnah dengan hadits tersebut, sebagaimana Al Qur'an dimulai dengan Al Faatihah karena surah tersebut mengandung ilmu Al Qur'an secara global." Qadhi Iyadh berkata, "Seluruh hadits ini mencakup seluruh kewajiban ibadah secara lahir dan batin mulai dari iman, waktu, harta, perbuatan anggota tubuh, ikhlas dan konsisten untuk melaksanakan amalan sampai-sampai seluruh ilmu syariat merujuk kepadanya dan menjadi cabangnya. Menurut saya, dengan ini saya telah puas membahasnya, karena apa yang saya sebutkan walaupun banyak akan tetapi masih sedikit jika dibandingkan dengan apa yang dikandung oleh hadits tersebut, oleh karena itu saya tidak menentang metode peringkasan.
4-\i\ j-s. j-,i jii (Abu Abdullah berkata). Yang dimaksud adalah
Imam Bukhari yang menyatakan "Semua itu merupakan sebagian dari Iman", yaitu Iman yang sempurna yang mencakup seluruh perkara ini.
Bab
KEUTAMAAN ORANG YANG
Yang dimaksud adalah tidak mengetahui hukumnya. Hal tersebut dijelaskan dalam riwayat At-Tirmidzi dengan lafazh, "Banyak orang yang tidak mengetahui apakah perkara tersebut halal atau haram." Yang dapat dipahami dari kata 'J..-'S adalah bahwa yang mengetahui hukum perkara tersebut hanya sebagian kecil manusia, yaitu para Mujtahid, sehingga orang yang ragu-ragu adalah selain mereka. Namun, terkadang syubhat itu timbul dalam diri para mujtahid jika mereka tidak dapat mentarjih (menguatkan) salah satu diantara dua dalil.
c^t. .'.lu yi;i J*i (Barangsiapa yang menghindarkan diri dari halhal syubhat) artinya berhati-hati dengan perkara yang syubhat. Perbedaan antara para perawi dalam lafazh hadits, adalah seperti sebelumnya. Tapi menurut Muslim dan Ismaili adalah oi^i, bentuk jamak (plural) dari kata i'JLl.\ Maksudnya adalah, agamanya selamat dari kekurangan dan perilakunya selamat dari celaan, karena orang yang tidak menghindari hal-hal syubhat, maka dia tidak akan selamat dari perkataan orang yang mencelanya. Hadits ini menjelaskan, bahwa orang yang tidak menjauhkan diri dari syubhat dalam pencaharian dan kehidupannya, maka dia telah menyerahkan dirinya untuk dicemooh dan dicela. Hal ini mengandung petunjuk untuk selalu menjaga hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kemanusiaan.
•JLA^IAVI j> g. 'J. (Dan barangsiapa yang terjatuh dalam syubhat).
Perbedaan para perawi dalam kalimat ini seperti yang telah kami kemukakan. Disamping itu para ulama juga berselisih tentang hukum Syubhat, ada yang mengatakan haram dan ada yang mengatakan makruh. Kasus ini sama dengan perbedaan pendapat tentang hukum sebelum turunnya syariat. Ringkasnya, ada empat penafsiran tentang syubhat.
Pertama, terjadinya pertentangan dalil-dalil yang ada, seperti disebutkan di atas.
Kedua, perbedaan ulama yang bermula dari adanya dalil-dalil yang saling bertentangan.
Ketiga, yang dimaksud dengan kata tersebut (syubhat) adalah yang disebut dengan makruh, karena kata tersebut mengandung unsur "melakukan" dan "meninggalkan".
Keempat, yang dimaksud dengan syubhat adalah yang mubah (yang diperbolehkan). Telah dinukil dari Ibnu Munir dalam Manaqib Syaikh Al Qabari, beliau berkata, "Makruh merupakan pembatas antara hamba dan hal-hal yang haram. Barangsiapa banyak melaksanakan perbuatan yang makruh, maka dia berjalan menuju yang haram. Sedangkan mubah adalah pembatas antara hamba dengan yang makruh. Barangsiapa yang banyak melakukan hal yang mubah, maka dia telah menuju kepada hal yang dimakruhkan."
Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Hibban dengan jalur yang disebutkan oleh Imam Muslim tanpa menyebutkan lafazhnya, dan dalam hadits tersebut terdapat tambahan, "Buatlah pemisah antara yang halal dengan yang haram. Yang melakukan hal tersebut, maka perilaku dan agamanya akan selamat. Orang yang menikmati hal tersebut seolaholah menikmati yang dilarang, ditakutkan akan jatuh ke dalam yang dilarang.'" Artinya bahwa hal mubah yang dikhawatirkan akan menjadi makruh atau haram, maka harus dijauhi. Misalnya berlebihan dalam halhal yang baik, karena hal itu akan menuntut seseorang untuk banyak bekerja yang terkadang dapat menyebabkannya mengambil sesuatu yang bukan haknya atau melalaikan ibadahnya.
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang banyak melakukan sesuatu yang makruh, akan berani melakukan sesuatu yang haram atau kebiasaannya melakukan sesuatu yang tidak diharamkan tersebut menyebabkannya melakukan sesuatu yang diharamkan. Atau dikarenakan ada syubhat di dalamnya sehingga orang yang mengerjakan sesuatu yang dilarang, hatinya akan gelap karena kehilangan sifat wara ' (kehati-hatian) dalam dirinya, dimana hal itu akan menyebabkannya jatuh ke dalam hal yang haram.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al Buyu' (jual beli) dari Abu Farwah dari Sya'bi yang berkaitan dengan hadits ini, "Orang yang meninggalkan dosa yang diragukan, maka sesuatu yang jelas baginya adalah harus lebih ditinggalkan.
Sedangkan orang yang mengerjakan suatu dosa yang diragukannya, maka dikhawatirkan akan jatuh kepada sesuatu yang jelas (dilarang)" Hadits ini merujuk kepada pendapat pertama sebagaimana yang saya isyaratkan.
Pelajaran Yang Dapat Diambil
Kalimat i-i^i JUJI j t j\ } vi hanya ditemukan dalam riwayat As-Sya'bi, bahkan kebanyakan riwayat yang berasal dari Sya'bi tidak ada kalimat tersebut. Penambahan tersebut hanya ditemukan dalam riwayat Zakariya dari As-Sya'bi. Kemudian Ibnu Shalah berkata, "Asal kata terjemah digunakan untuk mengungkapkan satu bahasa ke dalam bahasa lain. Sedangkan menurut saya, di sini kata tersebut memiliki arti yang lebih umum, karena dia menyampaikan perkataan Ibnu Abbas kepada orang yang tidak mengerti dan dia menyampaikan kepadanya perkataan mereka yang disebabkan oleh terlalu banyaknya orang yang berbicara atau pemahaman yang kurang." Menurut saya, kemungkinan yang kedua lebih kuat karena Abu Jamrah duduk bersamanya, maka tidak ada perbedaan antara keduanya pada saat berhadapan dengan banyak orang. Tapi dapat ditafsirkan, bahwa Ibnu Abbas duduk di tengah dan Abu Jamrah duduk di pinggir tempat tidur di sebelah orang-orang yang diterjemahkan.
Ada yang mengatakan bahwa Abu Jamrah mengetahui bahasa Persia dan menerjemahkannya untuk Ibnu Abbas. Al Qurthubi berpendapat, "Dalam hadits ini ditemukan dalil, bahwa Ibnu Abbas hanya menggunakan satu penterjemah." Menurut saya, Imam Bukhari membahas kasus tersebut dalam bab khusus pada akhir kitab Al Ahkam.
Dari hadits tersebut, Ibnu Tin mengambil kesimpulan diperbolehkannya mengambil upah mengajar berdasarkan kalimat, "Ambillah sebagian dari hartaku".
Dengan kemungkinan bahwa pemberian tersebut disebabkan mimpi yang dilihatnya dalam umrah sebelum haji, seperti yang akan disampaikan oleh Imam Bukhari dalam "Kitab Haji". __, ^ i*j J'J ~~ (Kemudian berkata, "Sesungguhnya utusan Abdul Qais."), Imam Muslim menjelaskan sebab terjadinya percakapan antara Ibnu Abbas dan Abu Jamrah dalam suatu riwayat Ghundar dari Syu'bah. Beliau berkata setelah kalimat y-~>' J-(dan diantara orang-orang), "Datanglah seorang perempuan yang menanyakan tentang anggur Al Jar, Ibnu Abbas pun melarang hal tersebut," Wanita tersebut berkata, "Wahai Ibnu Abbas aku memeras anggur yang manis dalam sebuah belanga dan meminumnya, akan tetapi perutku bergejolak." Ibnu Abbas pun berkata, "Jangan engkau minum walaupun lebih manis dari madu."
Dalam riwayat Bukhari pada akhir kitab Al Maghazi disebutkan dari jalur Qurrah dari Abu Jamrah yang berkata, "Wanita tersebut berkata, 'Saya memiliki belanga yang berisi anggur perasanku untuk kuminum, jika terlalu banyak minum maka orang-orang akan duduk karena takut muntah."' Berkatalah Ibnu Abbas, "Hadapkan kepadaku utusan Abdul Qais." Ketika Abu Jamrab datang dari Abdul Qais, dimana mereka membicarakan tentang larangan memeras anggur dalam bejana, maka penyebutan namanya di sini mempunyai korelasi yang cukup kuat. Hal ini membuktikan bahwa Ibnu Abbas belum mendengar tentang penghapusan larangan memeras anggur, tapi penghapusan tersebut tercantum pada hadits Buraidah bin Al Hashib dalam riwayat Muslim dan lainnya.
Al Cmrthubi berkata, "Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang mufti harus menyebutkan dalil jika penanya mengetahui dalilnya."
mendatangi nabi, maka beliau bersabda, "Siapakah suku ini?" atau "Utusan siapa ini?"). Terdapat keraguan pada salah satu perawi, Abu Jumrah atau yang di bawahnya. Saya menduga Syu'bah, karena dalam riwayat Qurrah dan lainnya tidak disebutkan keragu-raguan beliau. Agak aneh jika Al Karmani berkata, "Keragu-raguan tersebut berasal dari Ibnu Abbas." An-Nawawi berkata, "Kata J j->j adalah kelompok pilihan yang Tidak ada dalil dalam menyebutkan, bahwa utusan tersebut berjumlah 14 orang. Dalam kitab Al Ma 'rifah dari jalur Hud Al 'Ashri yang dinisbatkan kepada Ashr Bathan dari kakeknya dari ibunya Mazidah, ia berkata, "Ketika Rasulullah sedang duduk berbicara dengan para sahabatnya tiba-tiba beliau berkata, 'Dari jurusan ini akan muncul para pengendara kuda yang merupakan orang-orang terbaik di wilayah barat."' Kemudian berdirilah Umar dan menemukan 13 orang pengendara kuda. Lalu dia bertanya, "Siapakah kalian?" Mereka menjawab, bahwa mereka adalah delegasi dari Abdul Qais, dan ada kemungkinan di antara mereka ada yang tidak menunggang kuda.
Sedangkan apa yang diriwayatkan oleh Ad-Daulabi dan yang lainnya dari jalur Abu Khairah Ash-Shu'bah yang dinisbatkan kepada Shubah Bathan yang berasal dari Abdul Qais dikatakan. "Saya salah seorang dari delegasi yang menghadap Rasulullah dengan jumlah 40 orang. Kemudian beliau melarang kami akan...."
Di sini, kita dapat memadukan riwayat ini dengan riwayat lainnya yang menyebutkan bahwa delegasi tersebut berjumlah 13 orang, dengan mengatakan bahwa 13 orang tersebut adalah para pemimpin delegasi. Oleh sebab itu, mereka menunggang kuda sedangkan yang lainnya adalah para pengikut mereka. Kemudian dalam beberapa riwayat disebutkan nama lain delegasi Abdul Qais, diantaranya adalah Akhu Zarra' yang bernama Mathar dan keponakannya yang tidak disebutkan namanya. Tambahan ini diriwayatkan oleh Al Baghawi dalam kamusnya.
Kemudian Ibnu Sakan meriwayatkan nama Musyammaraj As-Sa'di yang datang bersama dengan delegasi Abdul Qais. Diantara mereka juga terdapat Jabir bin Harits, Khuzaimah bin Abdu bin Amru, Hammam bin Rabi'ah dan Jariah bin Jabir. Semuanya disebutkan oleh Ibnu Syahin dalam Mu'jamnya.
Lalu ada pula Nuh bin Makhlad -kakek Abi Jamrah-dan juga Abi Khairah As-Shubahi seperti yang disebutkan di atas. Panjangnya pembahasan ini karena pengarang At-Tahrir berpendapat, bahwa hanya merekalah yang ditaklukkan. Ibnu Abi Jamrah berkata, bahwa kalimat j* ^-.u 'i 1 j (Tidak sedih). Ditemukan dalam riwayat An-Nasa'i dari jalur Qurrah, "Selamat datang kepada para delegasi yang tidak ada kesedihan dan penyesalan.'' Ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari jalur Syu'bah. Ibnu Abu Jamrah berkata. "Diberitakan kepada mereka kebaikan pada saat ini (dunia) atau nanti (akhirat), karena penyesalan itu timbul di belakang atau kemudian hari. Jika tidak ada penvesalan, maka yang timbul adalah sebaliknya (kegembiraan). L'ntuk itu hadits ini menjadi dalil diperbolehkannya memuji orang lain di hadapannya jika tidak menimbulkan fitnah." Ada yang berpendapat bahwa huruf lain dalam kalimat tersebut menunjukkan sesuatu, yaitu bulan Rajab. Penjelasannya ditemukan dalam riwayat
Baihaqi. Hai tersebut karena kabilah Mudhar selalu mengagungkan bulan Rajab, maka dalam hadits Abi Bakrah dikatakan. "Rajab Mudhar".
Secara eksplisit, mereka mengkhususkan bulan Rajab dengan keagungannya meskipun dilarang berperang pada 3 bulan yang lain. Hal ini membuktikan bahwa kabilah Abdul Qais lebih dulu memeluk Islam daripada kabilah Mudhar. Daerah yang didiami oleh Abdul Qais terletak di Bahrain. Berdasarkan hal ini, mereka berkata -seperti yang ditemukan dalam riwayat Syu'bah dalam kitab Al 'llm, "Kami mendatangi anda dari jarak yang jauh."
Kemudian yang dapat dijadikan dalil bahwa keislaman mereka lebih dahulu, adalah riwayat dalam masalah shalat Jum'at dari jalur Abu jamrah dari Ibnu Abbas yang berkata, "Shalat Jum 'a r yang aku lakukan kedua setelah di masjid Rasul adalah di masjid Abdul Qais di Juwatsi Bahrain."
Juwatsi adalah nama kampung mereka yang terkenal. Pelaksanaan shalat Jum'at setelah kepulangan utusan mereka mengisyaratkan bahwa mereka telah lebih dahulu memeluk agama Islam.
J-Ui & (Pengajaran yang jelas dan tegas). "Perintahkanlah kami untuk melaksanakan sesuatu." Dalam riwayat Hammad bin Zaid dan vang lainnya, Rasulullah bersabda, "Kuperintahkan kalian" dan dalam riwayat Bukhari dari Abi Tayyah bahwa kata tersebut disebutkan dalam bentuk (kerjakan).
berarti J>^i -seperti jliil'i berarti -yaitu yang memisahkan antara yang benar dan yang salah atau berarti yang memisahkan, menerangkan atau yang menjelaskan. Demikian yang diriwayatkan oleh Ath-Thibi. Al Khaththabi mengatakan, ,\-J^ j_UiJi (pembeda yang jelas), dan ada yang mengatakan •iCkii.
»J 'J>J (Kami mengabarkan). Ibnu Abi Jamrah mengatakan, bahwa ungkapan tersebut mengandung dalil untuk menyatakan udzur jika tidak mampu melaksanakan yang hak, baik wajib maupun sunah. Atau mengandung anjuran untuk menanyakan terlebih dahulu persoalan yang lebih penting, dan setiap perbuatan yang baik akan masuk surga jika diterima. Diterima atau tidaknya amal perbuatan tergantung rahmat Allah.
pji-; jU^ii (Kemudian memerintahkan mereka akan empat) Yang dimaksud adalah empat perkara berdasarkan ucapan mereka, "Kami diperintahkan dengan sejumlah perintah" Ucapan tersebut adalah riwayat Qurrah dalam kitab Al Maghazi.
Al Qurthubi berkata, "Ada yang mengatakan bahwa yang pertama dari keempat perkara tersebut adalah menegakkan Shalat. Adapun disebutkannya dua kalimat syahadat, adalah untuk tabarru' (mencari berkah) berdasarkan firman Allah, "Ketahuilah apapun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang maka ketahuilah bahwa 1/5 nya adalah milik Allah" (Qs. Al Anfaal (8) : 41) Ath-Thibi bersandar kepada pendapat mi dan berkata, "Merupakan kebiasaan kaum sastrawan jika menisbatkan suatu tertentu, maka mereka menjadikan teksnya khusus bagi sesuatu itu dan membuang yang lainnya. Untuk itu di sini bukanlah bertujuan untuk menyebutkan dua kalimat syahadat, karena mereka telah beriman dan berikrar dengan kelimat syahadah. Tetapi ada kemungkinan mereka menyangka bahwa iman hanya sebatas itu, seperti yang terjadi pada masa awal Islam. Oleh karena itu, dua kalimat syadahat tidak dimasukkan dalam perintah." Ada yang berpendapat, bahwa disebutkannya huruf athaf (sambung) tidak dapat membantah hal tersebut, karena yang dibutuhkan adalah makna bukan lafazhnya.
Al Qadhi Abu bakar Ibnu Arabi berkata, "Jika tidak ada huruf athaf, maka kami menduga penyebutan kedua kalimat syahadat tersebut berfungsi untuk menunjukkan awal kalimat. Akan tetapi sabda beliau -'iij IH-UJi (Dan menegakkan shalat), dapat dibaca kasrah yang diathafkan pada kalimat, jL_tyu i-i^l (Aku perintahkan kepada mereka untuk beriman).
Maknanya adalah, perintah kepada mereka untuk beriman bersumber dan disyaratkan dengan dua kalimat syahadat. Begitu juga perintah mendirikan shalat dan yang lainnya. Yang menguatkannya adalah penghapusan keduanya pada riwayat Imam Bukhari dalam kitab Adab yang berasal dari jalur Abi Tayyah dari Abi Jamrah dengan lafazh, ... iy^\ \'Jli\ i^ui^ji (empat perkara, menegakkan shalat...)."
Jika ada yang mengatakan bahwa tema yang disebutkan oleh Imam Bukhari -melaksanakan 1/5 harta rampasan perang adalah sebagian dari iman-mengharuskan untuk dimasukkan dalam perangai yang lain dalam penafsiran Iman, sedang makna yang disebutkan bertentangan dengan hal tersebut. Ibnu Rasyid menjawab, bahwa kesesuaian antara tema dengan hadits terletak pada segi yang lain, yaitu mereka bertanya kepada Rasul tentang amalan yang dapat memasukkan mereka semua ke dalam surga. Beliau pun menjawab, bahwa amalan yang dapat memasukkan mereka ke dalam surga, diantaranya melaksanakan 1/5 dari rampasan perang. Adapun amalan yang dapat memasukkan pelakunya ke dalam surga adalah amalan iman, sehingga melaksanakan 1/5 rampasan perang adalah sebagian dari iman dengan pernyataan ini.
Jika ada yang mengatakan, "Bagaimana dapat dikatakan bahwa syahadat masuk dalam salah satu dari empat perkara sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Hammad bin Zaid dari Abu Jamrah, "Aku perintahkan kepada kalian empat perkara, yaitu beriman kepada Allah dan bersaksi Tiada Tuhan selain Allah dan keyakinan adalah satu," yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Al Maghazi, dan riwayat tentang kewajiban melaksanakan 1/5 rampasan perang sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhari, "Dan lakukan dengan kedua tanganmu." Sedangkan yang ditemukan dalam kitab Zakat dari jalur ini adalah adanya tambahan huruf waw dalam ucapannya *ii Vj *J\ i' JI SM+i Jt dimana tambahan tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat selain Hajjaj bin Manhal dan tidak ada yang mengikutinya."
Yang dimaksud dengan persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad adalah utusan Allah adalah seperti yang diterangkan dalam riwayat Ubadah bin Ibad pada awal kitab Al Mawaqit, "Aku perintahkan kepadamu empat perkara dan melarangmu empat perkara, yaitu beriman kepada Allah," kemudian ditafsirkan dengan "Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah." Disebutkannya syahadat ilahiah (bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah) dengan maksud dua kalimat syahadat (bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah) adalah sebagai pengetahuan akan hal itu seperti yang telah dijelaskan dalam kitab Ziyadatul Iman. Hal ini juga menjadi dalil bahwa syahadat termasuk dalam empat perkara tersebut, karena kata ganti dalam perkataan j-Ij \-' disebutkan dalam bentuk cSy (feminim) yang kata gantinya kembali kepada empat perkara tersebut. Jika yang diinginkan adalah menafsirkan kata iman, maka seharusnya kata ganti yang digunakan adalah kata ganti (maskulin).
Berdasarkan hal ini, bagaimana dikatakan empat sedang yang disebutkan adalah lima? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Qadhi Iyadmengikuti Ibnu Baththal-bahwa pembagian 1/5 merupakan pengecualian dari empat perkara tersebut. Dia berkata, "Seakan-akan dia hendak memberitahukan kepada mereka kaidah-kaidah keimanan dan apa yang harus mereka lakukan jika terjadi jihad karena mereka berhadapan dengan kabilah Mudhar yang kafir. Maka di sini tidak dimaksudkan menyebutkan pembagian harta rampasan perang secara khusus, karena hal itu adalah akibat dari jihad, sedangkan jihad pada saat itu belum menjadi fardhu 'ain. Begitu pula tidak disebutkan ibadah haji, karena haji belum diwajibkan pada waktu itu. " Yang lainnya berpendapat, bahwa kalimat i ji j berkaitan dengan ^jl, maka artinya adalah "Aku perintahkan kepada kalian empat perkara untuk ditaati". Ibnu Tin berkata, "Walaupun ganjaran telah didapat dengan melaksanakan empat perkara tersebut, bukan berarti tidak diperbolehkan adanya penambahan." Menurut saya, hal tersebut juga berdasarkan lafazh riwayat Muslim dalam hadits Abu Sa'id Al Khudri dalam kisah ini, "Aku perintahkan kepada kalian empat perkara, menyembah kepada Allah dan jangan menyekutukannya dengan yang lain, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat dan berpuasa pada bulan Ramadhan serta melaksanakan pembagian 1/5 dari rampasan perang."
Qadhi Abu Bakar bin Arabi berkata, ""Kemungkinan dia menghitung shalat dan zakat sebagai satu perbuatan karena keduanya saling bergandengan dalam Kitabuliah.
Lalu keempatnya adalah melaksanakan pembagian 1/5 rampasan perang. Atau dia tidak menghitung pembagian 1/5 rampasan perang, karena termasuk dalam keumuman mengeluarkan zakat, yaitu keduanya sama-sama mengeluarkan harta dalam jumlah tertentu pada waktu tertentu." Al Baidhawi berkata, "Secara eksplisit, kelima perkara yang ada di sini adalah penafsiran dari iman yang merupakan salah satu dari empat perkara yang dijanjikan akan disebutkan. Sedangkan tiga perkara lainnya dihapus oleh perawi, bisa jadi karena lupa atau diringkas." Sebagian pendapat mengatakan bahwa apa yang disebutkan di atas adalah berdasarkan apa yang tampak (zhahir), jika tidak maka kezhahiran tersebut didapat dari teks yang mengatakan bahwa syahadat merupakan salah satu dari empat perkara tersebut berdasarkan kalimat, ji-iij. Seakan-akan Qadhi lyadh ingin menghapus masalah bahwa iman sebagai satu perkara, padahal yang dijanjikan untuk disebut adalah empat perkara.
Jawabannya adalah, penyebutan tersebut berdasarkan empat bagian yang saling terpisah, dimana pada hakikatnya adalah satu. Artinya iman merupakan kata penyatu dari empat perkara yang disebutkan. Iman adalah satu, tetapi banyak berdasarkan kewajibannya. Begitu pula dengan larangan, ia adalah satu yang bisa menjadi banyak sesuai dengan peringatannya. Hikmah disebutkannya secara global sebelum ditafsirkan, adalah agar orang-orang mencari detailnya dan orang yang mendengar berusaha untuk menghafalnya. Jika dia lupa akan detailnya maka dia dapat merujuk kepada angka tersebut, jika tidak sesuai maka dia mengetahui bahwa ada yang tidak didengarnya.
Apa yang dikatakan oleh Qadhi lyadh tentang tidak disebutkannya haji, karena belum diwajibkan untuk dapat dijadikan sandaran; dan kita telah memaparkan dalil keislaman mereka sebelum hal tersebut. Akan tetapi keyakinan Qadhi lyadh dan Al Waqidi bahwa keislaman mereka terjadi pada tahun ke delapan, adalah pernyataan yang kurang dapat diterima, karena haji diwajibkan pada tahun ke-6 menurut pendapat yang kuat sebagaimana yang insya Allah akan kita sebutkan. Akan tetapi Qadhi lyadh memilih pendapat yang mengatakan bahwa haji diwajibkan pada tahun kc-9, sehingga tidak bertentangan dengan mazhabnya bahwa haji harus dilaksanakan dengan segera (J'U' ji).
Sedangkan Imam Syafi'i berargumen, bahwa kewajiban haji dapat ditunda {^'P J*), karena haji diwajibkan pada tahun ke-9 H dan Nabi baru melaksanakannya pada tahun ke-10 H. Pendapat yang mengatakan tidak disebutkannya haji dalam hadits tersebut karena haji adalah kewajiban yang dapat ditunda (^'J^< J*) tidak dapat diterima, karena penundaan pelaksanaan haji tidak menggugurkan perintah haji itu sendiri. Begitu pula dengan pendapat yang mengatakan bahwa tidak disebutkannya haji adalah karena haji telah dikenal oleh mereka, pendapat ini juga tidak kuat, karena haji lebih dikenal oleh orang-orang selain mereka.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa tidak disebutkannya haji dalam riwayat tersebut karena mereka tidak memiliki jalan untuk menunaikannya disebabkan adanya kaum kafir Mudhar. juga tidak dapat diterima, karena ketidakmampuan mereka dalam melaksanakan haji tidak harus menjadi penghalang untuk memberitahukan hal tersebut kepada mereka agar dapat melaksanakan haji pada saat yang memungkinkan seperti yang disebutkan dalam ayat. Bahkan tuduhan yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki jalan untuk melaksanakan haji, juga tidak dapat diterima, karena pada bulan-bulan tersebut mereka dalam keadaan aman.
Dapat dikatakan bahwa disebutkannya sebagian perkara kepada mereka, adalah karena mereka bertanya kepada Rasulullah tentang amalan yang dapat memasukkan mereka ke dalam surga, sehingga Rasulullah membatasi jawabannya pada ibadah yang dapat dilakukan oleh mereka pada saat itu. Rasulullah tidak bermaksud mengabarkan kepada mereka seluruh hukum yang wajib dan yang harus ditinggalkan oleh mereka. Hal itu dikuatkan oleh larangan Rasul untuk memeras anggur, padahal masih banyak perbuatan yang lebih dari itu yang harus dilarang. Di sini larangan Rasul tersebut berdasarkan pada apa yang sering mereka lakukan.
Apa yang ditemukan pada bab "Puasa" dari Sunan Al Kubra karya Al Baihaqi berupa penambahan dari jalur Abi Qilabah Ar-Raqqasyi dari Abu Yazid Al Harawi dari Qurrah, "Dan menunaikan haji ke Baitul Haram" merupakan riwayat yang syadz (cacat), karena orang yang meriwayatkan dari keduanya dan Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, ibnu Hibban dari jalur Ourrah tidak menemukan kata haji. Agaknya kalimat di atas disebabkan oleh perubahan yang dilakukan oleh Abu Qilabah, ini yang berkaitan dengan riwayat Abi Jamrah. Penyebutan haji juga didapati dalam Musnad Imam Ahmad dari riwayat Abban Al Aththar, dari Qatadah, dari Sa'id bin Musayyab, dari Ikrimah dan dari Ibnu Abbas dalam kisah delegasi Abdul Qais.
^-I'JJU ^-*3u tiijij
J. 'y liLp : _, (Dan melarang mereka tentang empat perkara, dari hantam, dubba', naqir dan muzaffat...), merupakan jawaban dari "Dia bertanya tentang minuman'" dan masuk dalam kategori Jt_^Ji «u_. Ji-kji jy-&\ (yang dimaksudkan adalah kandungannya) alias apa yang ada dalam hantam dan lainnya. Maksud tersebut diterangkan dalam riwayat Nasa'i dari jalur Qurrah, "Aku larang kalian akan empat perkara, apa yang diperas dalam hantam. "Yang dimaksud dengan kata hantam adalah periuk atau wadah, lalu ditafsirkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa hantam adalah wadah hijau.
Al Harbi meriwayatkan dalam kitab Al Gharaib dari Al Atha' bahwa hantam adalah periuk yang dibuat dari tanah, darah dan rambut. Kata Dubba' adalah sejenis tumbuh-tubuhan seperti labu. An-Nawawi berkata yang dimaksud adalah yang basahnya.
Naqiir adalah inti lebah yang diiubagi dan dijadikan wadah. Al Muzaffat adalah apa yang dilapisi dengan aspal, dan Al Muqayyar adalah apa yang dilapisi dengan pernis, yaitu sejenis tumbuhan yang terbakar iika kering dan dipakai untuk melapisi kapal dan yang lainnya. Hal tersebut dikatakan oleh pengarang Al Muhkam.
Dalam Musnad Abu Daud Ath-Thayalisi
dari Abi Bakrah dikatakan tentang Dubba', bahwa penduduk Yamamah mengambil qar' dan mencampurkannya dengan anggur kemudian memendamnya hingga bergejolak sampai mati. Sedangkan naqir, penduduk Yamamah melubangi sarang lebah dan memeraskan ruthub dan busur (jenis kurma yang belum masak) kemudian dibiarkan sampai bergejolak dan mati. Sementara hantam adalah wadah untuk membawa khamer, dan Muzaffat adalah wadah yang terkandung di dalamnya zaffat (ter atau pernis).
Rangkaian sanad ini hasan. Lagipula penafsiran para sahabat lebih kuat dari yang lain, karena mereka yang mengerti maksudnya. Sedangkan dikhususkannya larangan memeras anggur pada wadah ini, karena peragian yang ada di dalamnya sangat kuat. Kemungkinan ada yang meminumnya tanpa sadar, kemudian setelah itu ada keringanan untuk memeras di setiap wadah dengan mengharamkan apa yang memabukkan sebagaimana yang akan ditemui dalam kitab Asyrihah, insya Allah.
°-isSj. [,-i 2* ''i'j^i (Sampaikan kepada orang kampung anda).
i ---Kata 'S*\j -mencakup semua yang datang dan tempat mereka, jika dilihat dari tempat. Adapun jika dilihat dari masa, maka termasuk anak-anak. Oleh karena itu dapat dinterpretasikan kepada keduanya, yaitu hakiki dan majazi.
Imam Bukhari mengambil kesimpulan diperbolehkannya bersadar kepada khabar ahad, seperti yang akan diterangkan.
SETIAP PERBUATAN HARUS DISERTAI NIAT DAN INGIN MENDAPATKAN PAHALA, KARENA SETIAP ORANG TERGANTUNG KEPADA NIATNYA
Maka tema ini mencakup shalat, wudhu ; zakat, haji, puasa dan berbagai hukum. Allah berfirman, "Katakanlah setiap orang berbual menurut kebiasaannya masing-masing," (Qs. Al Israa' (17): 85) maksudnya tergantung niatnya. Nafkah seorang pria kepada keluarganya dihitung sebagai shadaqah, dan ada yang berkata, "Bahkan jihad dan niat."
54.
Dan Umar, Rasulullah bersabda, "Setiapperbuatan dengan niat, dan setiap orang tergantung dengan apa yang diniatkan. Barangsiapa hijrahnya demi Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya demi dunia yang dikejarnya dan perempuan yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang dimaksud."
BAB SABDA RASULULLAH SAW,
"Agama adalah keikhlasan bagi Allah, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslim dan kaum awamnya" Firman Allah,
.AJJ^j* Ali Iy^Sj Oj
"Apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. "
.jOlJ ^Uilj SIS^I ftll-lj e^Jl 57, £ata /an'r bin Abdullah, "Saya bersumpah kepada Rasulullah SAW akan menegakkan shalat, membayar zakat dan berlaku jujur terhadap semua orang muslim.' 1
''
Keterangan Hadits:
FATHUL BAARI -255
Sabda Rasulullah SAW, "Agama adulah keikhlasan" Had dicantumkan oleh Imam Bukhari sebagai tema. Tidak diriwayatkannya dengan rangkaian sanad, karena tidak masuk dalam syarat Imam Bukhari. Disebutkannya di sini menunjukkan keabsahan hadits tersebut. Ayat dan hadits yang disebutkannya dari Jarir juga mencakup isi hadits berikutnya.
Imam Muslim meriwayatkan, telah diceritakan dari Muhammad bin Ubbad dan Sufyan. Ia berkata, "Saya katakan kepada Suhail bin Abi Shalih bahwa Umar menceritakan kepada kami dari Al Oja^a' dari ayahmu tentang hadits ini. Saya menduga ada salah seorang dan rawi yang terlewati." Kemudian dia berkata, "Saya mendengarnya dari orang yang mendengar dari ayahku, yang merupakan salah seorang sahabatnya di Syam, yaitu Atha' bin Yazid, dari Tamim Ad-Dari, bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Agama adalah keikhlasan,'" maka kami be "Untuk siapa ya Rasulullah?" Beliau bersabda, "Untuk Allah azza jalla. "
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur Rauh bin Al Qasim. Ia berkata, bahwa Suhail menceritakan kepada kami dari Atha' bin Yazid, dimana ia mendengarnya pada saat beliau berkata kepada Abu Shalih dan menyebutkan hadits tersebut.
i-kl^D'i 'jt^ (Agama adalah keikhlasan). Kemungkinan digunakan untuk mubalagah (melebih-lebihkan), maka artinya adalah sebagian besar agama adalah keikhlasan seperti yang disebutkan dalam hadits "Haji adalah Arafah" Ada pula kemungkinan untuk diinterpretasi secara zhahir, karena setiap pekerjaan tanpa keikhlasan dari pelakunya bukan bagian dari agama.
Al Mazi berkata, bahwa i-^r 1 -11 berarti membersihkan, mengikhlaskan, atau berasal dari kata JJUIii yang berarti menjahit dengan jarum. Maksudnya, dia menyatukan kembali saudaranya dengan nasihat, seperti kain jahitan yang disatukan dengan jarum. Termasuk dalam hal ini adalah ^.--Oi ;-' ' yj\ seakan-akan dosa telah merobek agama, dan taubat telah menjahitnya.
Kata 3-kl-il'i adalah kata yang masih mengandung pengertian umum, yang berarti memperoleh keuntungan bagi orang yang dinasehati. Arti ini merupakan ringkasan dari makna kata tersebut, bahkan tidak ada kata tunggal yang dapat mengartikan kata tesebut. Hadits ini termasuk dalam hadits yang dikatakan sebagai salah satu dari empat pilar agama, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Muhammad bin Aslam Ath-Thusi.
An-Nawawi berkata, "Bahkan dengan satu hadits tersebut, tujuan agama dapat tercapai, karena tujuan agama terbatas pada hal-hal yang di sebutkan oleh hadits. Ol eh karena itu, ikhlas kepada Allah adal ah tunduk kepada-Nya secara lahir dan batin, cinta kepada-Nya dengan mentaati perintah-Nya, takut akan kemurkaan-Nya dengan menjauhi segala macam perbuatan maksiat, dan berusaha untuk mengembal i kan orang-orang yang berbuat maksi at kepada-Nya.
Ats-Tsauri meri wayatkan dari Abdul Aziz bi n Rafi' dari Abu Tsumamah, sahabat Ali, dia berkata, "Kel ompok Hawariyin berkata kepada Isa AS, ' Wahai Ruh Allah, si apakah yang ikhlas kepada Allah?' Beliau menjawab. "Yang mendahul ukan hak Allah dari pada hak manusi a. "
Adapun ikhlas kepada ki tab Allah, adal ah mempel ajari dan mengajarkannya, membetul kan huruf yang kel uar ketika membaca, memahami maknanya, mengerti batasan-batasannya, mengamal kan apa yang ada di dal amnya dan menjauhkan penyi mpangan yang di l akukan oleh golongan batil.
Ikhlas kepada Rasul, adal ah dengan memul i akannya dan mendukungnya bai k waktu hi dup maupun setelah wafat, menghi dupkan Sunnahnya dengan belajar dan mengajarkannya, mengi kuti beliau dal am perbuatan dan perkataan, dan menci ntai beliau serta para pengikutnya.
Kei khl asan terhadap para pemi mpi n musl i m adal ah menol ong mereka dal am mel aksanakan apa yang harus mereka l aksanakan, mengi ngatkan mereka ketika l upa atau lalai, memperbai ki kel akuan mereka ketika khilaf, menyatukan mereka, dan yang paling berharga adal ah mengembal i kan mereka dari kezhal i man kepada yang lebih baik. Termasuk dal am kategori para pemi mpi n umat adal ah para ul ama mujtahi d. Kei khl asan terhadapnya dapat dengan menyebarkan i l munya dan sejarah hi dupnya, serta berbai k sangka (husnu zhari) kepada mereka.
Sedangkan keikhlasan kepada golongan musl i m awam adal ah dengan mengasihi mereka, mengusahakan yang bermanfaat bagi mereka, mengajarkan apa yang bermanfaat bagi mereka, mencegah penyi ksaan terhadap diri mereka dan menci ntai mereka sebagai mana di a mencintai dirinya sendiri serta membenci apa yang mereka benci. Dengan demikian, kita dapat mengatakan agama dapat juga di arti kan dengan perbuatan, karena Rasul menamakan keikhlasan dengan agama.
Berdasarkan hal ini, maka Imam Bukhari paling banyak menjel askan tentang i man. Hadi ts ini juga mengi syaratkan di perbol ehkannya mengakhi rkan keterangan setelah waktu khitah (perintah atau pembi caraan) berdasarkan ucapan, jli lili (Kami berkata untuk siapa?) Ki ta dapat menyaksi kan semangat kaum salaf dal am mencari sanad yang paling tinggi, hal tersebut dapat kita lihat dari kisah Sufyan dengan Suhail.
U-j ^-1^ ^'
^' J~j ^-iv (Aku berjanji kepada Rasulullah).
Qadhi lyadh berkata, bahwa pembaiatan Rasulullah dalam hadits ini hanya terbatas pada shalat dan zakat saja, hal itu karena shalat dan zakat merupakan dua hal yang sangat masyhur. Adapun tidak disebutkannya puasa dan lainnya, karena hal itu telah masuk dalam kalimat i&uaJ'j ,)JJ~J l (mendengar dan mematuhi). Menurut saya, kalimat tersebut ditemukan pula pada riwayat Imam Bukhari dalam kitab Al Buyu' (jual beli) dari jalur Sufyan dari Ismail seperti yang telah disebutkan, kemudian dalam kitab Ahkam melalui riwayat milik Muslim dari jalur Sya'bi dari Jarir, "Aku berjanji kepada Rasulullah untuk mendengar dan patuh," kemudian Beliau berkata kepadaku.
"Semampumu dan berlaku ikhlas kepada seluruh muslim."
Kemudian hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalur Abu Zar'ah bin Amru bin Jarir dari kakeknya dengan tambahan, "Jika Jarir membeli atau menjual sesuatu selalu berkata kepada temannya, "Ketahuilah bahwa yang kami ambil durimu lebih kami sukai dari apa yang kami berikan kepadamu, oleh karena itu pilihlah."
Diriwayatkan juga dari Thabrani dalam biografinya bahwa budaknya membelikan kuda untuknya seharga 300. Ketika ia melihat kuda yang dibeli oleh budaknya, maka dia mendatangi pemiliknya dan berkata, "Kuda milikmu ini harganya lebih dari 300 dan dia menambah lagi hingga harganya mencapai 800." Al Qurthubi berkata, "Baiat yang dilakukan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya adalah untuk memperbaharui janji dan menegaskan suatu perintah, maka redaksinya berbeda-beda. Maksud ungkapan "Sesuai dengan kemampuanmu" adalah bahwa perkara yang dibaiatkan harus berupa sesuatu yang mampu dilaksanakan, sebagaimana syarat dalam taklif (pembebanan kewajiban). Redaksi tersebut mengindiksikan pemberian maaf bila terjadi suatu kesalahan atau kealpaan." "T^,\-J (penasihat). Kalimat ini mengandung isyarat bahwa dia mematuhi apa yang disepakati dalam baiat dengan Rasulullah, dan apa yang diucapkannya tidak menyimpan maksud tertentu.
Jj-0 (Kemudian turun) menunjukkan bahwa khutbah tersebut dilakukannya di atas mimbar atau dimaksudkan duduk, karena kalimat tersebut merupakan lawan dari berdiri.
Penutup:
Kitab Iman dan pembukaannya, mulai bab diturunkannya wahyu mencakup 81 hadits marfu' dengan pengulangan. Dalam bab "Bad'ul Wahyi " terdapat 15 hadits dan dalam bab "Iman" terdapat 66 hadits dan 33 hadits yang diulang. Kemudian dalam bentuk mutaha 'ah atau komentar terdapat 22 hadits, dengan rincian: dalam bab "Wahyu" 8 hadits, dalam bab "Iman" 14 hadits dan yang maushul yang diulang berjumlah 8 hadits. Lalu dari ta 'liq (komentar) yang tidak dimaushulkan hingga akhir ada 3 hadits, dan sisanya adalah 48 hadits maushul yang tidak diulang. Semua hadits tersebut telah disepakati oleh Muslim kecuali tujuh:
KEUTAMAAN ILMU
Firman Allah, Imam Bukhari memulai pembahasan ini dengan keutamaan ilmu bukan dengan hakikatnya, karena beliau menganggap hakikat ilmu telah diketaui oleh banyak orang; atau bisa jadi pembahasan tentang hakikat sesuatu bukanlah tujuan dari kitab ini. Kedua makna ini dapat diterima karena Imam Bukhari tidak mengarang kitabnya untuk menentukan definisi sesuatu, akan tetapi kitab ini berlandaskan gaya Arab klasik yang memulai tulisan dengan menyebutkan keutamaan sesuatu untuk menarik perhatian jika hakikatnya telah diketahui.
Ibnu Arabi dalam kitab Syarh At-Tirmidzimembantah siapapun yang berusaha untuk mendefinisikan ilmu dan berkata, "Ilmu lebih jelas daripada upaya untuk menjelaskannya." Menurut saya, ini adalah metode Al Ghazali dan gurunya yang berpendapat bahwa ilmu tidak dapat didefinisikan karena kesukarannya atau kejelasannya sehingga tidak membutuhkan penjelasan.
^-=r ji
i yy JJOJI j (.i-, ly^i y>ji\ &\ o j_ (Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat). Ada yang berpendapat bahwa penafsiran ayat tersebut adalah, "Allah meninggikan orang mukmin yang alim di atas orang mukmin yang tidak alim." Ketinggian derajat ilmu menunjukkan keutamaannya. Maksudnya adalah banyaknya pahala, yang mana dengan banyaknya pahala tersebut, maka derajat seseorang akan terangkat. Derajat yang tinggi mempunyai dua konotasi, yaitu maknawiyah di dunia dengan memperoleh kedudukan yang tinggi dan reputasi yang bagus, dan Hissiyyah di akhirat dengan kedudukan yang tinggi di surga.
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Nafi'bin Abdul Harits Al Khuza'i (pegawai Umar di Makkah), bahwa dia bertemu dengannya di Usfan dan berkata, "Siapakah yang memimpin kamu?" Ia menjawab, "Yang memimpin segala urusanku adalah Ibnu Abza, hamba sahaya kami." Umar berkata, "Apakah kamu menjadikan seorang hamba sahaya sebagai pemimpin?" Ia menjawab, "Dia adalah seorang yang ahli dalam kitab Allah (Al Qur'an) dan ilmu Faraidh (ilmu waris)." Maka Umar pun berkata, "Sesungguhnya Nabi kamu sekalian telah menyatakan, "Sesungguhnya Allah telah mengangkat derajat suatu kaum dan menghinakan kaum yang lain dengan kitab ini (Al Quran)" Dalam sebuah riwayat dari Zaid bin Aslam menafsirkan firman Allah, "Kami (Allah) meninggikan derajat orang yang Kami kehendaki," dengan Ilmu. i lip gr-' J J (Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku ilmu pengetahuan). Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu pengetahuan, karena Allah tidak pernah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk mencari sesuatu kecuali menuntut ilmu. Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah, ilmu-ilmu syariat yang berfungsi untuk menjelaskan apa-apa yang wajib bagi seorang mukallaf tentang urusan agama yang meliputi ibadah, muamalah, ilmu tentang Allah dan sifatsifat-Nya baik yang wajib maupun yang mustahil bagi-Nya yang semuanya itu terdapat dalam kitab tafsir, hadits dan fikih. Jika ada pertanyaan, "Mengapa Imam Bukhari tidak mencantumkan hadits dalam bab ini?" jawabnya, bisa jadi 2 ayat ini sudah cukup untuk dijadikan sebagai penjelasan. Atau disebutkannya hadits Ibnu Umar dalam bab setelah ini merupakan perbuatan beberapa perawi. Dalam pendapat tersebut ada yang harus diperhatikan dan akan kita terangkan kemudian, insya Allah.
Al Karmani menukilkan dari beberapa ahli Syam, bahwa susunan bab dalam Shahih Bukhari ini dan penghapusan yang dilakukan olehnya bisa jadi disebabkan karena dia akan menggantikannya. Sedangkan beberapa pakar Irak mengatakan, bahwa hadits yang tidak disebutkan setelah penyebutan judul, adalah karena hadits tersebut tidak sesuai dengan syarat Bukhari."
Menurut saya, apa yang dilakukan oleh Imam Bukhari memang sudah sepantasnya, dimana ia tidak menyebutkan ayat atau riwayat hadits. Jika ada ayat atau atsar yang dicantumkan dalam judul, maka ayat atau atsar tersebut merupakan isyarat terhadap penafsiran ayat tersebut.
Hadits yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu sangat banyak, diantaranya hadits yang dishahihkan oleh Muslim, yaitu hadits Abu Hurairah, "Barangsiapa yang berjalan di jalan ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya ke surga" Hadits tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, karena Al A'masy dalam hadits ini masih diperselisihkan. Yang kuat adalah, bahwa diantara dia dengan Abi Shalih ada seorang perawi lagi sebagai perantara.
SESEORANG YANG
'j-^'i
A*-J (Jika diserahkan atau disandarkan). Hubungan antara matan ini dengan bab "Ilmu" adalah, bahwa sesungguhnya menyandarkan sesuatu kepada orang yang bukan ahlinya adalah akibat kebodohan yang telah mendominasi dan dicabutnya ilmu, dimana hal itu merupakan tanda-tanda dekatnya hari kiamat. Seakan-akan Imam Bukhari ingin menunjukkan bahwa ilmu dapat diperoleh dari para senior, berdasarkan riwayat Abi Umayyah Al Jumahi, bahwa Rasulullah bersabda, "Salah satu tanda kiamat adalah ilmu diambil dari orangorang kecil." Pembahasan selanjutnya tentang hadits ini akan ditemukan dalam kitab Ar-Riqaq, insya Allah. Hadits ini dijadikan dalil oleh Imam Bukhari untuk mengulangi pembicaraan agar dapat dipahami. Kemudian pembahasan tentang matan hadits ini akan disampaikan dalam "Kitab Wudhu", insya Allah. Menurut saya, hal ini dapat dijadikan dalil akan keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat secara mursal, karena tidak diragukan lagi bahwa perantara antara Allah dan Rasul pada malam isra' adalah Jibril. Begitupula yang menjadi perantara antara Nabi dan sahabatnya adalah sahabat yang lain. Semua ini berlaku khusus bagi hadits-hadits hukum, karena dikhawatirkan sebagian sahabat meriwayatkannya dari beberapa tabiin seperti Ka ab Al Ahbar.
MENINGGIKAN SUARA UNTUK MEMBERITAHU
PERKATAAN AHLI HADITS <i&*, u>f, isbf) C-JL*_--j ULJI J U J UJJJ-«U_P JJ| JL^ jii I^JL-^^JI U) JLij
Dari Ibnu Umar RA, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Diantara beberapa pohon ada pohon yang tidak gugur daunnya; pohon itulah perumpamaan orang muslim. Terangkan kepadaku pohon apakah itu?" Yang hadir pada saat itu menebak, "Pohon dalam hutan belukar. " Ibnu Umar berkata, "Saya menebak
Hadits ini lebih umum dari hadits sebelumnya. Keberkahan kurma terdapat pada setiap bagiannya, mulai dari muncul buahnya hingga dikeringkan dan dapat dimakan. Selain itu setiap bagian pohon tersebut dapat dimanfaatkan, bijinya dapat digunakan sebagai makanan ternak dan tangkai buahnya dapat dibuat tali serta masih banyak lagi kegunaannya. Begitu juga dengan berkah orang muslim yang berlaku umum pada seluruh kondisi, juga manfaatnya bagi diri dan oning lain yang akan berlangsung terus-menerus hingga setelah wafatnya. Dalam riwayat Malik bin Dinar dalam bab "A!Haya'ftlIlmi"\ Abdullah berkata, "Kemudian aku mengatakan kepada ayahku apa yang terpikirkan olehku. Beliaupun berkata,'Apa yang engkau katakan lebih baik dari apa yang aku pikirkan yaitu " Ibnu Hibban menambahkan dalam Shahihnya, "Saya mengira bahwa dia mengatakan, 'J^~ (unta yang berharga)." Selain yang telah diterangkan, dalam hadits ini juga terdapat pelajaran lain, yaitu seorang pengajar dapat menguji kemampuan muridnya dengan apa yang tersembunyi dan memberitahukannya jika mereka tidak mengetahui hal tersebut. Sedangkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadits Muawiyah yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang pertanyaan yang sulit, dapat diinterpretasikan bahwa i' ^-»^-jjj (Dan terbetik dalam hatiku). Peristiwa tersebut maksudnya adalah pertanyaan yang tidak bermanfaat atau pertanyaan untuk menyakiti si pengajar atau orang yang akan menjawab.
Dalam hadits tersebut terdapat dorongan untuk memahami sebuah ilmu, untuk itu Imam Bukhari membuat bab khusus yaitu bab "Al Fahm fil 'Ilmi" yang terdapat dalam kitab Al 'Ilm dan kitab Al Adab. Kemudian di dalamnya juga terdapat bukti akan barakah kurma dan dalil diperbolehkannya seseorang untuk menjual kurma panggang, karena semua yang halal dimakan, halal juga diperjualbelikan dan hal ini telah dibahas dalam bab khusus oleh Imam Bukhari dalam kitab Al Buyu\
Hal tersebut disebutkan oleh Imam Bukhari dalam tafsir firman Allah, "Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik..." (Qs. Ibrahim (14): 24) yang mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan pohon dalam kalimat tersebut adalah pohon kurma.
Secara gamblang hal ini dijelaskan dalam riwayat Al Bazzar dari jalur Musa bin Uqbah dari Nafi' dari Ibnu Umar yang berkata, "Rasulullah membacakan ayat ini kemudian bersabda, "tahukah kalian pohon apakah itu?" Ibnu Umar berkata, "Aku yakin bahwa yang dimaksud adalah kurma, akan tetapi umurku menahanku untuk tidak berbicara.
Lalu Rasulullah SAW bersabda, "pohon tersebut adalah pohon kurma?'
Jika hadits ini dipadukan dengan hadits sebelumnya, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Rasulullah datang dengan membawa kurma yang dipanggang, kemudian beliau memakannya selelah membacakan ayat tersebut dan bersabda, "Diantara pohon-pohon terdapat sebuah pohon " Dalam riwayat Ibnu Hibban dari Abdul Aziz bin Muslim dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah berkata, "Siapa yang dapat memberitahukan kepadaku pohon apa yang seperti orang muslim, akarnya kokoh dalam tanah dan batangnya menjulang ke angkasa?"
Kemudian dia menyebutkan hadits tersebut. Riwayat ini menguatkan riwayat Al Bazzar.
Al Qurthubi berkata, "Maka terlihatlah persamaan antara keduanya, yaitu dasar agama orang Islam sangat kuat dan apa yang dihasilkannya berupa ilmu dan kebaikan merupakan makanan bagi ruh, sedang dia tetap dijaga oleh agamanya. Dia dapat memanfaatkan setiap apa yang dihasilkan oleh agama tersebut, baik pada saat hidup atau setelah meninggal dunia.
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa maksud dari cabangnya di langit, adalah amal perbuatan mereka diangkat dan diterima. Al Bazzar juga meriwayatkan dari jalur Sufyan bin Hushain dari Abi Bisyr dari Mujahid dari Ibnu Umar bahwa dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Orang mukmin seperti pohon kurma, setiap yang dihasilkan olehnya bermanfaat bagimu." Demikianlah disebutkan secara ringkas dengan sanad yang shahih.
Sedangkan orang yang mengklaim bahwa persamaan antara orang muslim dengan pohon kurma adalah, bahwa pohon kurma tidak akan mati kecuali dipotong kepalanya dan tidak akan berbuah kecuali jika dibuahi. Pohon tersebut tidak akan mati kecuali jika ditenggelamkan, serbuknya berbau seperti sperma manusia, pohon tersebut berpasangpasangan dan pohon tersebut minum dari atas. Semua persamaan yang disebutkan adalah lemah, karena semua persamaan terdapat pada seluruh manusia tidak khusus orang muslim, Pendapat yang lebih lemah mengatakan bahwa pohon tersebut diciptakan dari kelebihan tanah penciptaan Adam, karena tak pernah ditemukan hadits yang menegaskan hal tersebut.
Dalam hadits tersebut terdapat cara menggunakan contoh dan permisalan untuk menambah pemahaman dan menggambarkan suatu makna agar lebih meresap dalam pikiran. Terdapat pula indikasi bahwa memisalkan sesuatu dengan sesuatu yang lain tidak harus sama dalam segala aspek, karena orang mukmin tidak dapat dimisalkan dan dibandingkan dengan benda mati. Kita juga mendapatkan dalam hadits tersebut penghormatan terhadap yang lebih tua dan mendahulukan ayah dalam menjawab serta tidak tergesa-gesa menyampaikan apa yang dipahami olehnya, walaupun dia menduga jawabannya benar. Kemudian seorang pakar dapat saja tidak mengetahui sesuatu yang diketahui oleh orang yang status keilmuannya lebih rendah, karena ilmu adalah anugerah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki oleh-Nya.
imam Malik menjadikan hadits ini sebagai dalil diperbolehkan adanya keinginan untuk dipuji atas perbuatan baik yang dilakukan, dengan syarat perbuatan tersebut karena Allah. Pendapat tersebut diambil dari harapan Umar di atas, yang merupakan instink (naluri) manusia untuk dipuji atas perbutan baik yang dilakukan oleh dirinya dan anaknya. Juga untuk menunjukkan bahwa si anak semenjak kecil telah memiliki kelebihan dalam pemahaman agar Rasulullah mendoakan anak tersebut. Dalam hadits tersebut tampak pula betapa hinanya dunia di mata Umar, karena dia membandingkan pendapat anaknya dalam satu masalah dengan unta yang sangat berharga.
BERTANYA UNTUK MENGUJI ILMU
HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN ILMU
Firman Allah, "Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan. "<Qs. Thaahaa(20): 114) Qira'at dan 'Ardh kepada seorang muhaddits (ahli hadits). Hasan, Tsauri dan Malik memandang bahwa membaca adalah diperbolehkan. Sebagian mereka mengambil dalil dalam membacakan sesuatu kepada orang yang berilmu dengan hadits Dhimam bin Tsa'labah yang berkata kepada Nabi SAW, "Apakah Allah memerintahkan kamu untuk mengerjakan shalat?" Nabi menjawab, "Ya {benar)"
Mereka berkata, "Maka ini adalah bacaan kepada Nabi yang dikhabarkan Dhimam kepada kaumnya, maka mereka membolehkannya." Malik mengambil dalil dengan kitab yang dibacakan kepada kaumnya, maka mereka mengatakan, "Kita mendapatkan ijazah dari fulan." Jika seorang qan membacakan bacaannya kepada seorang muqri', maka dia boleh mengatakan, "fulan telah membacakan atau mengajarkan kepada saya."
Muhammad bin Salam, Muhammad bin Hasan Al Wasith meriwayatkan dari 'Auf dan dari Hasan, ia berkata, "Tidak apa-apa membacakan kepada orang yang berilmu." Sufyan berkata, "Apabila dibacakan pada seseorang muhadits, tidak apa-apa mengatakan,'Telah menceritakan kepada saya (^^-).'" Saya mendengar Abu Ashim berkata dari Malik dan Sufyan, "Membaca kepada orang yang berilmu adalah sama dengan bacaannya."
63.
Dari Syarik bin Abdullah bin Abi Namir bahwa beliau mendengar Anas bin Malik berkata, "Saat kita duduk bersama Rasulullah di dalam masjid, masuklah seorang laki-laki yang turun dari atas unta dan menghentikan untanya di depan masjid dan mengikatnya, " Kemudian dia berkata kepada mereka yang ada di situ, "Siapakah diantara kalian yang bernama Muhammad. " Nabi SA W berada diantara mereka, maka kami berkata, "Laki-laki putih yang bersandar. " Lalu orang itu berkata kepada Nabi, "Anak Abdul Muthalib? Nabi SAW berkata kepadanya, "Saya telah mendengarmu. " Maka laki-laki itu berkata pada Nabi SAW, "Saya bertanya kepadamu, yang mungkin pertanyaan saya ini agak sukar, maka janganlah anda gusar! "jawab Nabi, "Tanyakan apa yang ada pada diri anda. " Maka ia berkata, "Saya bertanya dengan nama tuhanmu dan tuhan orang-orang sebelum kamu, apakah Allah yang mengutusmu kepada semua manusia? "Nabi menjawab, "Ya Allah.' Benar (iya). " la lalu berkata, "Saya bertanya dengan nama Allah, adakah Allah memerintahkan anda untuk menegakkan shalat 5 waktu sehari semalam?" Jawab Nabi. "Ya, benar. " Tanyanya pula, "Adakah Allah memerintahmu untuk berpuasa pada bulan ini (Ramadhan) setiap tahun? Jawab Nabi, "Ya, benar "la berkata lagi, "Saya bersumpah padamu atas nama Allah, adakah Allah yang memerintahmu untuk mengambil shadaqah dari orang-orang kaya dan membagikannya untuk orang-orang miskin?" Nabi berkata, "Ya, benar. " Maka ia berkala, "Saya beriman pada apa yang kamu bawa, dan saya adalah seorang utusan dari kaum saya. Saya Dhimam bin Tsa labah, saudara bani Sa ad bin Bakr."
Sebagian orang memperluas
pengertian 'ardh, yaitu jika seseorang menghadirkan syaikhnya yang asli dan melihatnya serta ia mengetahui kebenarannya, lalu ia mengizinkan untuk meriwayatkan darinya. Sebenarnya, pengertian semacam ini disebut dengan 'Ardhul Munawalah.
Sebagian ulama salaf tidak menambah apa yang mereka dengar dari para syaikhnya, tanpa harus membaca kepada syaikhnya. Untuk itu, Bukhari menulis bab khusus tentang bolehnya hal tersebut dan mengemukakan perkataan Hasan Al Bashri yang membolehkan qira'ah kepada orang yang berilmu, kemudian Imam Bukhari bersandar kepadanya setelah mengkritiknya. Kemudian diriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri, dan Malik berpendapat bahwa mendengar dari orang-orang berilmu adalah sama dengan membaca kepadanya.
Hal itu dijadikan dalil oleh Humaidi, guru Imam Bukhari yang dijelaskan dalam bukunya An-Nawadir. Ini juga dikatakan sebagian orang yang bertemu dengannya atau mengikutinya. Kemudian saya melihat ada perbedaan dalam hal ini, bahwa yang mengatakannya adalah Abu Said Al Haddad yang diriwayatkan Baihaqi dalam kitab Ma 'rifah dari Ibnu Kliuzaimah. Ia berkata, "Saya mendengar Muhammad bin Ismail Al Bukhari mengatakan bahwa, Abu Said Al Haddad berkata, 'Saya mempunyai berita dari Nabi tentang membaca kepada orang yang berilmu.' Maka ditanyakan kepadanya, dan ia menceritakan kisah Dhimam bin Tsa'labah."
Dalam matan hadits yang dijelaskan oleh Imam Bukhari, tidak terdapat hadits Anas dalam kisah Dhimum yang memhentahu kaumnya tentang masalah tersebut. Tetapi hal itu terdapat dalam jalur lain yang disebutkan Ahmad dan lainnya dari jalur Ibnu lshaq. la berkala, "Dari Ibnu Abbas, bahwa Bani Saad Bin Bakar mengutus Dhimam bin Tsa'labah, maka disebutkan hadits panjang dan diakhimya Dhimam berkata pada kaumnya saat kembali pada mereka, Sesungguhnya Allah telah mengutus rasul dan menurunkan kitab kepadanya. Saya telah dalang kepada kalian dengan apa yang dibawanya dan dengan apa-apa yang diperintahkan dan dilarang untuk kalian. Demi Allah, tidak ada pada hari itu dan selelahnya laki-laki dan perempuan, kecuali lelah menjadi muslim'." Perkataan Bukhari "membolehkan" atau memberi izin, tidak dimaksudkan memberi ijazah seperti istilah yang digunakan diantara ahli hadits.
Perkataannya (Malik berdalil dengan buku atau tulisan) Imam Jauhari berkata,bahwa kata HUJI berarti buku, kata tersebut berasal dari bahasa Persia yang teiah masuk ke dalam kosa kata Arab. Adapun maksudnya di sini, adalah sesuatu yang tertulis di dalamnya pengakuan seseorang apabila dibacakan sesuatu kepadanya, kemudian ia mengatakan, "Ya atau benar". Maka boleh bersaksi dengannya atau memberi izin, meskipun orang itu belum melafazhkan apa-apa. Begitu juga apabila dibacakan kepada orang-orang berilmu dan ia mengakuinya, maka dibenarkan untuk meriwayatkan darinya.
Sedangkan Imam Malik dalam menganalogikan membaca hadits dengan membaca Al Qur'an seperti yang diriwayatkan Khatib dalam kitab Kifayah dari jalur Ibnu Wahab, ia berkata, "Saya mendengar Malik ditanya tentang buku yang dibacakan kepadanya, apakah seseorang akan mengatakan ^ (dia telah menceritakan kepadaku)?' 1 Maka ia menjawab, "Ya, begitu juga dengan Al Qur'an." Bukankah hal ini juga benar jika seorang membaca kepada orang lain, lalu ia berkata, "Fulan telah membacakan untuk saya?" Diriwayatkan hakim dalam Ulumul Hadits dari jalur Mutharrif, ia mengatakan, "Saya berteman dengan Malik selama 17 tahun. Saya tidak melihat dia membacakan Al Muwatha' kepada seorang pun, bahkan merekalah yang membacakan kepadanya, dan saya mendengar dia menolak keras siapa yang mengatakan, 'Tidak cukup, kecuali mendengar dari lafazh syaikh.'" Beliau berkata, "Bagaimana hal ini tidak cukup bagi anda, sesuatu yang telah disebutkan dalam hadits dan dibenarkan dalam Al Qur'an, padahal Al Qur'an adalah lebih mulia dan agung?" Sesungguhnya sebagian perawi yang berhaluan keras dari Irak mengatakan, bahwa telah diriwayatkan oleh Khatib dari Ibrahim bin Sa'ad, "Janganlah kamu menganggap bahwa membaca seperti mendengar, karena sebagian penduduk Madinah dan lainnya berbeda pendapat dengan mereka dan mengatakan, 'Sesungguhnya membaca pada syaikh lebih mulia dari pada mendengar lafazhnya."' Dari Abu Ubaid, ia berkata, "Membaca pada saya lebih melekat dan lebih paham daripada saya yang membacakan. Tetapi yang masyhur dari Malik sebagaimana dinukil oleh Bukhari dan Sufyan Tsauri bahwa dua hal mi adalah sama. Adapun yang masyhur dari jumhur ulama, bahwa mendengar dari syaikh lebih mulia tingkatannya daripada membacakan kepadanya." Adapun perkataan I lasan, "Membaca kepada orang yang berilmu adalah diperbolehkan." Hadits ini diriwayatkan oleh Khatib. Dikeluarkan dan Jalur Ahmad bin Hambal dari Muhammad bin Hasan Al Wasilh dan Auf Al A'rabi, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Hasan, maka ia berkata, "Wahai Abu Said, rumah saya jauh, sehingga membuat saya susah. Apabila kamu mengizinkan, maka saya akan membaca (belajar) kepadamu. Saya tidak peduli, saya membacakan padamu atau kamu membacakan pada saya." Ia berkata, "Maka saya mengatakan Hasan telah menceritakan kepada saya?" la menjawab, "Ya, katakan bahwa Hasan berbicara kepada saya." Diriwayatkan oleh Abu Fadhl Sulaimani dalam Kitab Al Hatstsu 'ala Thalabil Hadits dari jalur Sahal bin Mutawakkil, ia berkata, "Muhammad bin Salam mengatakan kepada saya dengan lafazh,'Kita berkata kepada Hasan, apakah yang patut kita katakan untuk buku yang kita bacakan kepadamu?'" Ia mengatakan, "Katakanlah, Hasan telah menceritakan kepada kami," Dalam riwayat Ismail dari jalur Yunus bin Muhammad dari Laits, Laits. Hal ini mengandung dalil bahwa riwayat Imam Nasa'i dari jalur Ya'qub bin Ibrahim bin Sa'ad dari Laits, "Muhammad bin Al 'Ajlani dan lainnya menceritakan kepada saya dari Said," adalah riwayat yang masih diragukan dan banyak tambahan dalam sanad-sanadnya, atau mungkin Imam Laits mendengar dari Sa'id dengan perantara, kemudian ia bertemu dengannya dan berbicara.
Dalam perbedaan yang lain, apa yang diriwayatkan oleh Nasa'i dan Baghawi dari jalur Harits bin Umair dari Ubaidillah bin Umar, disebutkan oleh Ibnu Mundih dari jalur Adh-Dhahhak bin Utsman yang keduanya dari Said dari Abu Hurairah. Namun menurut Imam Bukhari perbedaan ini tidak mengapa, karena Laits lebih menguatkan Said Al Maqburi dengan kemungkinan bahwa Said memiliki dua guru. Tetapi riwayat Laits yang dikuatkan, karena riwayat Al Maqburi dari Abu Hurairah telah dikenal.
Imam Daruquthni mengatakan, bahwa telah diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Umar dan saudaranya -Abdullah dan Adh-Dhahhak bin Utsman-dari Maqburi dari Abu Hurairah, namun mereka meragukan bahwa perkataan tersebut adalah perkataan Laits.
Sedangkan Imam Muslim tidak meriwayatkan dan" jalur ini, tetapi ia meriwayatkanya dari jalur Sulaiman bin Mughirah dari Tsabit dari Anas. Hal itu telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar setelah jalur ini.
Tidak diketahui nama sebenarnya dari Ibnu Abi Namtr, namun Ibnu Saad menyebutkan bahwa ia termasuk salah seorang sahabat.
Yang dimaksud dengan masjid dalam hadits ini, adalah masjid Rasulullah.
Keberadaan Rasulullah bersama para sahabatnya menandakan bahwa beliau telah meninggalkan sifat takabur. Beliau dikelilingi oleh mereka dari segala sisi. Dalam riwayat Musa bin Ismail disebutkan, "Dari Anas, ia berkata, "Kami dilarang untuk bertanya kepada Nabi mengenai Al Qur'an. Kemudian terjadi sesuatu yang mengejutkan kita, yaitu datangnya seorang laki-laki badui yang cerdas yang bertanya kepada Muhammad SAW dan kita mendengarkannya," seakan-akan Anas mengisyaratkan kepada suatu ayat dalam surah Al Maa'idah. Pembicaraan lebih luas tentang hal ini akan dibahas dalam tafsir, insya Ibnu Baththal mengambil kesimpulan dari kalimat (Dalam Masjid), bahwa air kencing dan tahi unta adalah suci, karena Nabi tidak menolak keberadaannya dalam masjid. Pendapat ini hanya sebuah kemungkinan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'aim, "Dia Demikian juga Ibnu Mundih dari jalur Ibnu Wahab dari Allah. membawa untanya sampai mendatangi masjid, lalu turun dari unta dan mengikatnya kemudian masuk ke dalam masjid." Hal itu dijelaskan lagi dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Hakim, "Dia turun dari untanya di depan pintu masjid kemudian mengikatnya dan masuk."
Kalimat putih atau kemerah-merahan terdapat dalam riwayat Harits bin Umair. Hamzah bin Harits berkata, "Dia putih kemerahmerahan." Riwayat ini untuk menguatkan sifat Nabi SAW, bahwa beliau tidak putih dan tidak pula sawo matang atau tidak putih sekali. kepada para sahabat untuk memberitahukan sesuatu dari beliau. Konon dikatakan bahwa beliau belum mengatakan "Ya", karena orang badui im tidak berbicara kepada Nabi sesuai dengan kedudukan beliau yang mulia, sebagaimana firman Allah, "Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain. "(<>. An-Nuur {24); 63) Merupakan sesuatu yang dimaafkan, jika kita mengatakan bahwa dia datang dalam keadaan muslim dan larangan itu belum sampai kepadanya, karena perbuatan tersebut merupakan sisa-sisa tabiat kasar orang Arab. Kita dapat melihatnya dalam ucapannya setelah itu, "Saya mendesak kamu dalam masalah," dan perkataannya dalam riwayat Tsabit, "Utusanmu menganggap bahwa kamu menduga." Inilah yang terdapat pada awal riwayat Tsabit dari Anas, "Kita dilarang dalam Al Qur'an untuk bertanya kepada Rasulullah tentang sesuatu, dan yang mengejutkan kita adalah datangnya seorang laki-laki dari badui yang cerdas dan bertanya kepada Rasul sedangkan kita mendengarkan." Abu Awanah menambahkan dalam Shahihnya, "Mereka lebih berani daripada kita." Para sahabat berhenti saat ada larangan, dan mereka mendapatkan keringanan karena ketidaktahuan mereka. Sahabat berangan-angan supaya badui yang cerdas itu tahu apa-apa yang ditanyakannya.
Dalam riwayat Tsabit dari Ziyad bahwa dia membenarkan apa yang ia tanyakan dan mengulang sumpah dalam setiap masalah sebagai penguat ketetapannya, semua itu merupakan dalil atas tingkah lakunya yang baik dan kecerdasan akalnya. Maka Umar berkata dalam riwayat Abu Hurairah, "Saya tidak melihat seorang pun yang lebih teliti dan kritis dalam setiap permasalahan daripada Dhimam."
Perkataannya ilU^ii (Meninggikan suara), artinya saya bertanya padamu dengan meninggikan suara, sebagaimana perkataaan Al Baghawi mendengarmu) atau turunnya ketetapan Nabi dalam Syarah Sunnah. Jauhari berkata, "Kamu meminta kepada Allah, seolah-olah kamu mengingat dan diingat." Sebenarnya jawaban Rasul itu menggunakan kata "Ya" (na'am). Tetapi dalam hadits ini Rasul menyebutkan Allahumma, karena untuk mencari berkah, seakan-akan beliau bersaksi kepada Allah untuk menguatkan keimanannya.
Dalam riwayat Musa dikatakan, "Kamu benar". Kemudian ia bertanya, "Siapa yang menciptakan langit?" Dijawab, "Allah." Siapa yang menciptakan bumi dan gunung? Dijawab, "Allah." Siapa yang menciptakan manfaat? Dijawab, "Allah." Siapa yang menciptakan langit, bumi, mendirikan gunung dan menciptakan manfaat di dalamnya, apakah Allah yang mengutusmu? Rasul menjawab, "Ya." Demikianlah yang dijelaskan dalam riwayat Imam Bukhari. Kemungkinan ungkapan ini adalah khabar dan merupakan pilihan Bukhari yang dikuatkan Qadhi 'lyadh, bahwa dia (orang badui) datang setelah masuk Islam untuk meyakinkan kepada Rasul apa yang dikhabarkan utusan beliau kepada mereka (Dhimam bin Tsa'labah).
Dalam riwayat Tsabit dari Muslim dikatakan, "Utusan kamu menduga." Dalam riwayat Karib dari Ibnu Abbas dan Thabrani, "Telah datang kepada kita kitabmu dan urusanmu." Hakim mengambil kesimpulan dari kisah tersebut, yaitu anjuran untuk mengambil hadits dari sanad yang paling tinggi. Dalam hal ini orang badui tersebut tidak hanya mempercayai apa yang didengar dari Rasulullah SAW, tetapi dia ingin mendengarkan langsung dari Rasulullah. Imam Al Qurtubi mengatakan, bahwa kata V**^ adalah perkataan yang tidak dapat dipercaya, demikian juga kata Ibnu Sakir. Namun saya mengatakan, bahwa pedapat itu masih harus diteliti kembali, karena juga digunakan dalam perkataan yang benar atau yang terjadi, seperti yang dinukil Abu Umar Zaid dalam menjelaskan kefasihan Syaikh Tsa'lab. Adapun Syibawaih banyak mengatakan J^i-1 ,Uj untuk dijadikan dasar dalil. Hal itu telah kami jelaskan dalam hadits Abu Sufyan tentang permulaan turunnya wahyu.
Sedangkan penyusunan bab "Orang Musyrik Masuk Masjid" oleh Abu Daud, bukan berarti bahwa Dhimam datang dalam keadaan musyrik, tetapi maksudnya adalah mereka membiarkan seseorang datang dan masuk masjid. Adapun perkatannya (Saya beriman) merupakan pemberitahuan bahwa dia tidak menanyakan tentang tauhid, tetapi menanyakan keumuman risalah dan syariat Islam. Sebaliknya, Al Ojjrtubi mengambil kesimpulan dari hadits tersebut untuk menyatakan keabsahan iman seorang muqallid (orang yang bertaqlid) kepada rasul, walaupun belum nampak mukjizatnya. Demikian yang diisyaratkan oleh Ibnu Shalah.
Peringatan
Dalam riwayat Syarik tidak disebutkan (haji), tapi Muslim dan yang lainnya menyebutkannya. Musa mengatakan dalam riwayatnya, "Melaksanakan haji ke Baitullah merupakan kewajiban bagi yang mampu?" Hal ini diriwayatkan juga oleh Muslim dalam hadits Abu Hurairah dan Ibnu Abbas.
Ibnu Tin menjadi kaget dan berkala, "Sesungguhnya tidak disebutkannya haji, adalah karena haji belum diwajibkan pada saat itu. Seakan-akan hal itu sebagaimana yang diungkapkan Al Waqidi dan Muhammad bin Habib, bahwa datangnya Dhimam adalah tahun kelima, dimana pada tahun itu belum diwajibkan haji. Tetapi, pendapat ini tidak dapat diterima dari berbagai segi. Pertama, dalam riwayat Muslim bahwa kedatangannya adalah setelah turunnya larangan dalam Al Qur'an untuk bertanya kepada Nabi, dan ayat larangan ini (surah Al Maa'idah) turunnya terakhir. Kedua, bahwa pengiriman utusan untuk menyerukan kepada Islam dimulai setelah perjanjian Hudaibiyah dan pengiriman sebagian besar utusan itu setelah fathu Makkah. Ketiga, dalam hadits Ibnu Abbas bahwa kaumnya mentaati dan masuk Islam setelah dia kembali kepada mereka, dan Bani Saad -yaitu Ibnu Bakr bin Hawazinbelum masuk Islam, kecuali setelah terjadinya perang Hunain dan itu pada bulan syawal tahun ke-8. Maka benar bahwa kedatangan Dhimam terjadi pada tahun ke-9 yang dikuatkan Ibnu Ishaq dan Abu Ubaid serta lainnya.
Badar Zarkasyi lupa dan mengatakan, bahwa tidak disebutkannya haji dalam riwayat tersebut, karena haji telah diketahui mereka dalam syariat Ibrahim. Seakan-akan dia belum merujuk kepada Shahih Muslim, apalagi yang lainnya. ^-I) jj 'j-'• J Y'j tfj (Saya utusan dari kaum saya). Dalam riwayat Karib dari Ibnu Abbas dikatakan, bahwa seorang laki-laki dari bani Saad bin Bakr datang menemui Rasulullah yang sedang bersama dengan mereka, maka ia berkata, "Saya utusan kaum saya." Dalam riwayat Ahamd dan Hakim dikatakan, "Bani Saad bin Bakr mengutus Dhimam bin Tsa'labah sebagai utusan menemui Rasulullah yang sedang bertemu dengan kami," maka disebutkan hadits ini.
Perkataan Ibnu Abbas "Lalu datang bertemu dengan kami" menunjukkan keterlambatan datangnya utusan itu, karena Ibnu Abbas datang ke Madinah setelah fathu Makkah. Imam Muslim pada akhir hadits mengatakan, "Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan mengurangi atau menambah." Maka Nabi berkata, "Kalau seandainya ia benar beriman, maka akan masuk surga. "Hadits ini juga diriwayatkan Musa bin Ismail.
Dalam riwayat Ubaidillah bin Umar dari Makburi dari Abu Hurairah yang ditujukan kepadanya sebelum tambahan dalam kisah ini, Dhimam berkata, "Sedangkan larangan-larangan ini, demi Allah .sesungguhnya kami telah mensucikan sejak zaman jahiliyah," yakni keburukan. Ini diucapkannya setelah perkataan, "Saya Dhimam bin Tsa'labah". Setelah dia pergi. Nabi berkala, "Laki-laki yang cerdas." Umar bin Khaththab berkata, "Saya tidak melihat seseorang lebih baik dan teliti dari Dhimam." Dalam akhir hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Daud dikatakan, "Kita tidak mendengar utusan kaum yang lebih baik dari Dhimam." Dari hadils ini terdapat beberapa faidah yang lain, diantaranya kedatangan Dhimam yang bertujuan untuk bertemu dan berbicara kepada Rasulullah seperti yang dipaparkan oleh Hakim. Kemudian kembalinya Dhimam kepada kaumnya dan mereka mempercayainya, seperti dalam hadits Ibnu Abbas. Disamping itu boleh menisbatkan seseorang kepada kakeknya apabila ia lebih masyhur dari bapaknya, diantara perkataan Rasulullah SAW pada saat perang Hunain, "Saya anak Abdul Muthalib." Hal lain adalah diperbolehkannya bersumpah untuk menguatkan apa yang terjadi.
Al Mukaatabah
merupakan salah satu metode penyampaian hadits, yaitu seorang guru menulis hadits dengan tulisannya sendiri, atau ia mengizinkan orang lain yang dipercaya untuk menulis hadits tersebut. Kemudian setelah selesai, ia mengirimnya kepada si murid dan mengizinkannya untuk meriwayatkan hadits tersebut.
Dalam hal ini Imam Bukhari menyamakan antara metode Mukatabah dengan Munawalah.
Meskipun ada sebagian orang yang mengutamakan metode Munawalah daripada Mukatabah, karena dalam metode Munawalah terdapat pemberian l/in secara lisan, sedangkan dalam metode mukutabah tidak. Sebagian ulama terdahulu telah membolehkan penyampaian hadits dengan kedua metode tersebut secara mutlak. Pendapat yang lebih utama adalah pendapat ulama modem yang membolehkan dengan memberikan pengiasan.
Hadits ini adalah potongan dari hadits panjang yang insya Allah akan dibicarakan pada bab "Fadhailul Qur'an" (keutamaan-keutamaan Al Our'an). Potongan hadits tersebut sangat jelas membolehkan periwayatan dengan metode Mukatahah, karena L'tsman telah memerintahkan kepada mereka untuk berpegang teguh pada isi Mushhaj tersebut dan menolak yang lain. Dari kisah pengiriman Mushhaj oleh Utsman dapat diambil pelajaran, bahwa penisbatan Mushhnf kepada l'tsman hanya terbatas pada penulisannya saja, bukan pada asal Al Qur'an itu sendiri karena Al Qur'an lelah diriwayatkan secara Mutawatir. Ar-Ramahurmuzi meriwayatkan dari jalur Ibnu Abi Uwaisjuga dari Malik tentang metode-metode periwayatan hadits. Ia berkata, "Tingkau membaca hadits kepada seorang ulama, atau ia yang membaca dan engkau yang mendengarkannya, atau ia memberi kitab kepadamu sambil berkata, 'Riwayatkan ini dariku."
Orang yang memberi argumen ini adalah scorany penduduk Hijaz yang bernama Al Humaidi. Hal ini telah disebutkan dalam kitabnya, yaitu membolehkan periwayatan hadits dengan metode Munawaiah.
Hadits yang menunjukkan pembolehan tersebut tidak dituliskan secara maushul (bersambung sanadnya) dalam kitab ini. padahal hadits ini termasuk hadits shahih.
Saya telah menemukannya dari dua jalur. Satu diantaranya adalah hadits mursal yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq dalam kitab Al Maghazi dari Yazid bin Ruman, dan juga disebutkan oleh Abu Yaman dalam kitabnya dari Syu'aib dari Zuhri yang keduanya dari Urwah bin Zubair. Jalur lainnya adalah hadits maushul yang dikeluarkan oleh Thabrani dari Hadits Jundub Al Rajli dengan sanad hasan. Kemudian saya menemukan hadits lain dari Ibnu Abbas yang terdapat dalam Tafsir At-Thabari. Dengan terkumpulnya jalur-jalur itu, maka hadits tersebut menjadi shahih.
Adapun komandan sariyyah (pasukan) adalah Abdullah bin Jahsy Al Asadi, saudara lelaki Zainab Ummu] Mukminin, yang diangkat sebagai raja pada tahun kedua sebelum perang Badar. Sariyyah adalah peleton pasukan tentara, dan mereka terdiri dari dua belas orang laki-laki dari kaum Muhajirin. Pengulangan ini disebabkan adanya keragu-raguan dari perawi hadits. Adapun penisbatan surat tersebut kepada Nabi merupakan majaz (kiasan), dengan maksud untuk menjelaskan bahwa yang menulis adalah orang tam atas perintah beliau.
DUDUK PALING BELAKANG DALAM SUATU MAJELIS DAN MENEMPATI TEMPAT YANG KOSONG
-__ill
Jli J
j-L»ij
Lg-j j~i>>-» ^iJj-Ji ^ 4>-\i <yt (Tiga orang). Nafar adalah kelompok yang terdiri dari 3 sampai 10 orang. Sedangkan makna dari "tsalat.su nafar" adalah tiga orang yang merupakan satu kelompok.
J\--J' 1 JLJL-i (Dua orang diantaranya masuk) diletakkan setelah kalimat .-u «JSC JJ' menunjukkan bahwa mereka bertiga -pada awalnyabaru datang dan kemudian masuk ke dalam masjid seperti disebutkan dalam hadits Anas. Maka, ketiga orang tersebut masuk ke dalam masjid. Akan tetapi setelah mereka melihat majelis Nabi, kedua orang dari mereka terus masuk ke dalam masjid sedangkan salah seorang dari mereka keluar.
•ii'Jj--j js-Lu^i (Setelah keduanya sampai di hadapan Rasulullah), maksudnya keduanya sampai dalam majelis Rasulullah. Li^-l-'i (Orang yang kedua merasa malu-malu). Maksudnya, ia tidak mau berdesak-desakan seperti yang dilakukan oleh orang pertama, karena ia malu kepada Rasulullah dan hadirin dalam majelis itu, menurut pendapat Qadhi "Iyadh. Sedangkan Anas telah menjelaskan penyebab rasa malu orang tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim, "Dan orang kedua itu berlalu kemudian ia dalang dan mengambil tempat duduk"
*-'J-'-L' ^ '/' i (Maka
Hadits ini juga menerangkan tentang keutamaan orang yang mengikuti majelis ilmu dan majelis dzikir, serta duduk bersama orang yang berilmu dan berdzikir di dalam masjid. Hadits ini juga memuji orang yang malu dan duduk di tempat paling akhir (belakang). Analogi yang terdapat dalam sabda Nabi, '-^ 'S-'* '<*'jS adalah karena hal-hal tersebut muncul di hadapan para pendengar, sebab penyucian negara, bulan, dan hari telah tertanam dalam benak mereka; berbeda dengan jiwa, harta dan kehormatan yang dihalalkan pada masa Jahiliyah. Maka hukum syura' menjelaskan bahwa penyucian darah, harta dan kehormatan seorang muslim lebih penting daripada penyucian negeri Makkah, bulan Dzulhijjah dan hari Nahr.
SABDA RASULULLAH, (
Dalam riwayat Imam Bukhari dan riwayat-riwayat lainnya disebutkan, bahwa mereka (para sahabat) menjawab setiap pertanyaan Rasulullah dengan perkataan ,-'J i -i' (Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui Hadits yang terdapat pada bab ini juga diriwayatkan oleh Abu Darda' dan perawi-perawi lainnya. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan tersebut merupakan perkataan Bukhari adalah pendapat yang tidak benar. Adapun maksud dari hadits ini adalah, bahwa ilmu yang diakui adalah ilmu yang berasal dari para nabi dan para pewarisnya (ulama) dengan cara belajar. Pada hakikatnya yang memberi segala sesuatu adalah Allah.
14-KEUTAMAAN MEMAHAMI ILMU
Karena definisi Al Fahmu (pemahaman) adalah kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat memahami suatu perkataan dengan memperhatikan konteksnya, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Abu Sa'id mengenai wafatnya Nabi, yaitu Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah telah memilih seorang hamba-Nya -dengan memanggilnya.'''' Maka seketika itu Abu Bakar menangis dan berkata, "Kami pertaruhkan untukmu ya Rasulullah dengan segala kemampuan kami" sehingga semua orang yang hadir terkesima. Hal itu dikarenakan Abu Bakar telah memahami dari konteks hadits yang diucapkan oleh Rasulullah bahwa beliau adalah orang yang dimaksud dalam sabdanya itu. Oleh karena itu, Abu Said berkata, "Abu Bakar adalah orang yang paling mengetahui dengan maksud perkataan Nabi tersebut."
Sesungguhnya Allah adalah Sang Pemberi petunjuk kepada kebenaran. Ada sehagian orang yang berpendapat bahwa Umar ingin menghilangkan sifat rakus terhadap kekuasaan, karena seseorang yang telah mendalami agama maka ia akan mengetahui bahaya kekuasaan, dengan demikian ia akan berusaha menjauhinya. Pendapat ini sangat jauh dari apa yang dimaksudkan, karena yang dimaksud dengan "Tusawwaduu" adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah lebih umum daripada pernikahan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi seseorang untuk mengkhususkan makna kata tersebut, karena faktor yang menghalangi seseorang untuk mencari ilmu dapat berupa pernikahan ataupun hal-hal lainnya.
15-TEKUN DALAM MENCARI ILMU DAN HIKMAH
Al
Karmani menafsirkan kata "Tusawwaduu" dengan arti "tumbuh jenggotnya", sehingga hadits tersebut ditujukan kepada para pemuda agar mereka mendalami agama sebelum tumbuh jenggotnya atau bisa juga ditujukan kepada orang dewasa sebelum putih jenggotnya.
Ibnu Munir berkata, ""Kesesuaian antara perkataan Umar tersebut dengan judul bab adalah, bahwa Umar menjadikan kekuasaan sebagai salah satu hasil yang dicapai dari mencari ilmu. Oleh karena itu, beliau mewasiatkan kepada para muridnya agar menggunakan waktunya dengan baik dalam mencari ilmu sebelum menjadi pemimpin. Hal ini sangat mendorong seseorang dalam mencari ilmu, karena jika seseorang mengetahui bahwa ilmu merupakan perantara untuk mencapai kekuasaan, maka ia akan menjadi giat belajar."
Dalam hal ini. saya berpendapat bahwa maksud Imam Bukhari adalah menjelaskan, sesungguhnya jabatan kepemimpinan menurut kebiasaan sering menimbulkan iri hati dan dengki, namun ada hadits yang menunjukkan bahwasanya iri dan dengki tidak boleh terjadi kecuali dalam dua hal, yaitu ilmu dan kebaikan.
Tapi suatu kebaikan tidak dapat dikatakan sebagai hal yang terpuji jika tidak berdasarkan ilmu. Seolah-olah Imam Bukhari ingin mengatakan, "Belajarlah sebelum mendapat jabatan agar kalian bisa berlomba-lomba dalam kebaikan."" Dia juga mengatakan, "Apabila sebuah jabatan menurut kebiasaan bisa menghalangi pemiliknya untuk menuntut ilmu, maka tinggalkan kebiasaan tersebut dan pelajarilah ilmu agar kalian benar-benar mendapatkan ghibthah yang sebenarnya."
Adapun arti ghibthah adalah, seseorang berharap mendapatkan apa (nikmat) yang ada pada orang lain tanpa menginginkan hilangnya nikmat dari orang tersebut.
Hasad adalah sifat yang terdapat dalam diri seseorang, sehingga ia menginginkan hilangnya nikmat yang dimiliki orang lain.
Sebagian orang berpendapat bahwa hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain untuk menjadi miliknya sendiri. Akan tetapi pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa hasad adalah bersifat umum. Hal ini disebabkan karena manusia mempunyai tabiat selalu ingin mengungguli orang lain sehingga apabila ia melihat orang lain memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya, maka ia akan berharap agar benda itu lepas dari tangannya, dengan demikian ia akan lebih unggul atau paling tidak dapat menyamainya.
Orang yang mempunyai sifat semacam ini adalah orang yang tercela, jika hal itu terdetik dalam hati atau diungkapkan dengan perkataan dan perbuatannya. Oleh karena itu. sifat tersebut harus dijauhi sebagaimana larangan-larangan lainnya.
Sifat hasad dibolehkan jika nikmat tersebut dimiliki oleh orang kafir atau fasik yang dijadikan sebagai sarana untuk berbuat maksiat kepada Allah. Ini adalah definisi hasad secara umum. Adapun yang dimaksud dengan hasad dalam hadits di atas adalah ghibihah. Maksud ghibthah adalah perasaan ingin memiliki sesuatu yang dimiliki orang lain tanpa ada perasaan ingin menghilangkannya dari pemiliknya. Hai semacam ini juga disebut dengan persaingan yang jika dilakukan untuk ketaatan, maka termasuk perbuatan yang mulia sebagaimana firman Allah. "Untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba" (Qs. Al Muthaffifiin (83) Kata "hasad" dalam hadits tersebut juga dapat ditafsirkan secara hakiki (bukan kiasan), akan tetapi huruf istitsna ' (pengecualian) di sini bersifat mungathi'
(terpisah dengan kalimat sebelumnya). Dengan demikian, maksud dari hadits ini adalah meniadakan sifat hasad secara mutlak, dan kedua hal ini (ilmu dan kebaikan) merupakan hal yang terpuji atau tidak mengandung unsur hasad. j-li' 1 j V) (Kecuali kepada dua orang). Demikianlah disebutkan dalam banyak riwayat, yaitu dengan huruf /a' la 'nits (yang menunjukkan bentuk mu annats (feminin). Maksudnya adalah, sifat hasad (iri) tidak dibolehkan kecuali dalam dua hal. Sedangkan dalam bab "I'tisham" (berpegang teguh pada agama), Imam Bukhari menyebutkan dengan lafazh j£\ J> V|.
"ii-^ (harta). Lafazh ini disebutkan dalam bentuk nakirah (indeftnit) agar mencakup seluruh jenis harta, baik dalam jumlah banyak atau sedikit. Imam Tirmidzi mengatakan, bahwa sanad hadits ini adalah hasan shahih. Adapun penamaan kedua orang tersebut mempunyai ganjaran yang sama, merupakan jawaban atas pernyataan Al Khaththabi yang mengatakan, bahwa orang kaya yang mengindahkan syarat-syarat dalam membelanjakan harta adalah lebih baik daripada orang miskin. Memang dia lebih baik jika dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki harta, dan dia sama sekali tidak berharap bisa seperti orang tadi. Kita akan membahas masalah ini pada hadits /UaJi ^J^i'S ^"LU 1 .
insya Allah. Bab ini menunjukkan bahwa baligh bukan menjadi syarat dalam tahammul (meriwayatkan) hadits. Tapi Al Karmani mengatakan, "Sesungguhnya makna "pembolehan" di sini adalah dibolehkannya menerima apa yang telah didengarkan oleh anak yang belum baligh." Menurut saya, penafsiran ini merupakan hasil pembolehan bukan pembolehan itu sendiri.
MUSA PERGI KE LAUT UNTUK MENEMUI NABI KHIDHVR
Imam Bukhari dengan pernyataan di atas ingin menunjukkan adanya perbedaan antara Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma"in yang diriwayatkan Khatib dalam kitab Kifayah dari Abdullah bin Ahmad dan yang lainnya, bahwasanya Yahya mengatakan, "Tidak boleh kurang dari lima belas tahun bagi seseorang untuk meriwayatkan hadits. Hal itu berdasarkan sikap Nabi yang menolak Ibnu Umar untuk ikut dalam perang Uhud, karena umurnya belum mencapai lima belas tahun. "
Ketika pendapat tersebut sampai kepada Imam Ahmad, dia berkata, "Namun (yang benar) hal tersebut diperbolehkan apabila dia sudah memahami apa yang dia dengar, berbeda dengan cerita Ibnu Umar yang minta izin untuk ikut perang." Kemudian Al Khatib menjelaskan tentang apa yang dihafal sejumlah sahabat dan orang-orang setelah mereka di masa kecil, lalu mereka menyampaikan hadits tersebut dan diterima. Inilah pendapat yang dapat dijadikan sandaran.
Jika yang dimaksud dengan perkataan Ibnu Ma'in adalah batasan mulai diperbolehkannya seseorang untuk meriwayatkan hadits, maka pendapat itu dapat diterima. Tapi jika yang dia maksudkan adalah menolak hadits seseorang yang disepakati bahwa dia telah mendengar hadits tersebut pada masa kanak-kanak, maka pendapat tersebut tidak bisa diterima. •-'•} berarti memakan apa yang disukainya, atau berjalan dengan cepat. ^_Lt eui> 'J5Z! U* (Namun tak seorang pun menegur perbuatan saya itu). Ada yang berpendapat bahwa hadits ini membolehkan mengutamakan kemaslahatan yang penting daripada keburukan yang ringan, karena berjalan melewati shaf shalat adalah kesalahan ringan, sedangkan ikut masuk shaf untuk shalat mempunyai kemaslahatan yang lebih besar.
Dari hadits ini, Ibnu Abbas menarik kesimpulan dibolehkan untuk tidak menegur (mengingkari) karena tidak adanya penghalang. Tapi bukan berarti larangan untuk mengingkari atau menegur itu disebabkan mereka sedang melakukan shalat, karena hadits ini secara mutlak menafikan adanya teguran baik sedang shalat maupun setelah shalat. Lagi pula teguran tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan isyarat.
Bila ada yang mengatakan, bahwa pembatasan definisi anak kecil dan yang belum baligh dalam bab ini adalah tidak sesuai dengan hadits Ibnu Abbas, maka Al Karmani menjawab bahwa yang dimaksud dengan anak kecil adalah anak yang belum mencapai usia baligh, sehingga disebutkannya lafazh tersebut adalah sebagai penjelas. Ada juga kemungkinan bahwa lafazh "Ash-Shaghir" berkenaan dengan kisah Mahmud yang akan dijelaskan nanti, sedangkan lafazh "Shabiy" berkenaan dengan keduanya. Hal ini akan dijelaskan dalam masalah "Shalat" insya Allah. (semburan). Perbuatan Nabi terhadap Mahmud bisa jadi hanya bercanda atau untuk memberikan keberkahan kepadanya dengan semburan itu, seperti yang sering beliau lakukan terhadap anak-anak para sahabat.
Ji--_-U-_-•,-(Sedangkan saya waktu itu anak yang baru berumur 'ima tahun). Saya tidak melihat adanya keterkaitan usia dalam penyampaian hadits. baik dalam shahihaini atau pun kitab-kitab kumpulan shahih dan musnad-musnad yang lain, kecuali pada jalur Zubaidi.
Zubaidi adalah seorang yang sangat teliti dalam meriwayatkan hadits dari Zuhri, hingga Al Walid bin Muslim mengatakan, "Sesungguhnya Al Auza'i lebih mengutamakan Zubaidi daripada semua orang yang mendengar dari Zuhri." Abu Daud mengatakan, "Tidak terdapat kesalahan dalam haditsnya (Zubaidi)."
Sesungguhnya Abdurrahman bin Namir telah menambahkan riwayat yang berasal dari Zuhri. Hanya saja lafazhnya dalam riwayat Thabrani dan Al Khatib dalam kitab Al Kifayah dari jalur Abdurrahman bin Namir dari Zuhri dan yang lain-lain, dimana dia mengatakan, "Saya diberitakan Mahmud bin Arrabi', ketika Nabi wafat dia baru berumur lima tahun." Maka dapat dipastikan dari riwayat ini, bahwasanya kejadian yang kita sebutkan terjadi pada akhir hayat Nabi.
Ibnu Hibban dan yang lainnya menyebutkan, bahwa Mahmud bin Arrabi' meninggal pada tahun 99 setelah Hijrah pada saat umurnya mencapai 94 tahun, hal ini sesuai dengan riwayat di atas. Dalam kitab Al lima', Qadhi Iyadh dan yang lain-lain menyebutkan bahwa dalam sebagian riwayat dia baru berumur empat tahun. Tapi setelah melakukan penelitian, saya tidak menemukan pernyataan ini secara eksplisit dalam satu riwayat pun kecuali apabila pernyataan tersebut diambil dari perkataan sang pengarang kitab Al Isti db, dimana disebutkan bahwa dia ingat penyemburan itu terjadi pada saat dia berumur empat atau lima tahun.
Sesungguhnya penyebab keraguannya ini adalah kibat perkataan Al Waqidi, dimana dia mengatakan bahwa Mahmud meninggal ketika berumur 93 tahun. Pendapat pertama lebih baik satu, karena sanadnya shahih.
Apabila diperhatikan lebih jauh maka sesungguhnya Al Muhallab telah memberi sanggahan kepada Bukhari, karena beliau di sini tidak menyebutkan dan merujuk kepada hadits Ibnu Zubair yang berkenaan dengan apa yang dilihatnya dari ayahnya di Bani Quraizhah. Pada saat itu dia mendengar riwayat dan ayahnya, sedang umur dia. waktu itu berkisar antara 3 sampai 4 tahun. Oleh karena itu. dia lebih muda dari Mahmud.
Akan tetapi, dalam kisah Mahmud tidak tcre.ipat penegasan bahwa dia pernah mendengarkan sesuatu. Sebab itulah, penyebutan hadits Ibnu Zubair sebenarnya lebih utama daripada kedua hadits yang diriwayatkan secara makna ini. Namun Ibnu Munir menjawab bahwa yang diinginkan oleh Al Bukhari adalah menyampaikan sunnah-sunnah Nabi, bukan keadaan atau peristiwa yang ada.
Dalam menukil hadits bahwa Nabi menyemburkan air ke mukanya, terdapat faidah syar'i yang membuktikan bahwa Mahmud adalah salah seorang sahabat. Adapun dalam kisah Ibnu Zubair, tidak terdapat pesan sunnah Nabawiyah yang dapat memasukkan kisah tersebut ke dalam bah ini. "Menurut saya, "pemilik rumah'lebih mengetahui isi rumahnya. "Inilah jawaban Musaddad.
Al Badr Az-Zarkasyi lupa ketika dia mengatakan, bahwa Al Muhallab membutuhkan bukti untuk menyatakan bahwa kisah Ibnu Zubair adalah benar-benar shahih menurut syarat Imam Bukhari.
Bukhari telah meriwayatkan kisah Ibnu Zubair tersebut pada pembahasan "Perangai Zubair" dalam kitab Shahih, dengan demikian kita akan mengetahui jawabannya dengan pasti. Anehnya orang yang mengkritik lalai, sehingga mereka menyangkal dari seorang yang mengkritisi bahwa dia lupa akan kandungan yang terdapat dalam judulnya dan dia menyangkalnya seolah-seolah hal itu tidak disebutkan dalam kitab ini.
--(Dengan satu timba). Imam Bukhari mempunyai lafazh lain dalam bab "Ar-Riqaaq" dari riwayat Ma'mar, yaitu ^ LJii* >J 'j* \-(dengan timba yang ada di rumah mereka). Demikian pula dalam riwayat lain dalam bab "Thaharah" dan "Shalat" dan lainnya , Bukhari menyebutkan lafazh \-sebagai pengganti V Kedua hal ini dapat dipadukan, karena air diambil dari dalam sumur dengan menggunakan timba dan Nabi mengambilnya dan dalam timba tersebut. Dalam hadits ini ada faidah yang belum disebutkan, yaitu diperbolehkannya membawa anak kecil dalam majelis pengajian dan diperbolehkan bagi seorang imam mengunjungi rumah para sahabatnya serta bercanda dengan anak-anak mereka yang masih kecil. Sebagian mereka berpendapat, bahwa hadits ini menunjukkan tasmi' (hal mendengarkan) anak yang berumur lima tahun dalam suatu majelis, sedangkan anak yang di bawah lima tahun hanya dikatakan hadir (dalam majelis itu) dan tidak dapat dikatakan mendengar.
Akan tetapi pengertian seperti ini tidak terdapat dalam hadits ini dan juga hadits shahih Bukhari yang lainnya, bahkan menurut Bukhari yang menjadi pijakan dalam hal ini adalah pemahaman. Oleh karena itu. barangsiapa yang memahami objek pembicaraan berarti dia mendengar, meskipun dia anak yang herumur dt bawah lima tahun. Tapi jika dia tidak memahami, maka kita tidak dapat mengatakan bahwa dia telah mendengar.
Ibnu Rasyid mengatakan, "Secara zhahir mereka ingin membatasi umur lima tahun tersebut, karena diperkirakan pada usia itu anak bisa mendengar dengan baik. Ini bukan berarti bahwa umur lima tahun merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi."
Pendapat yang mirip dengan pendapat Ibnu Rasyid adalah pembatasan yang dilakukan oleh para ulama fikih yang menyatakan bahwa umur tamyiz (yang sudah bisa membedakan mana yang benar dan yang salah) adalah umur 6 atau 7 tahun.
Diantara pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah pemahaman, maka akan ada perbedaan antara satu orang dengan yang lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Khatib dari jalur Abu Ashim. Dia mengatakan, "Saya pergi bersama anak saya yang berumur 3 tahun menuju Ibnu Juraij dan dia membacakan hadits kepada anak saya, lalu Ibnu Juraij mengatakan, 'Tidaklah mengapi mengajarkan AJ Qur'an dan hadits kepada anak seusianya.' Maksudnya apabila dia dapat memahami apa yang disampaikan kepadanya."
Dalam hai ini kita bisa melihat kisah masyhur tentang Abu Bakar bin Al Maqri Al Hafizh yang mendengarkan seorang anak yang berusia 4 tahun setelah mengujinya untuk menghafal beberapa surah dalam Al Qur'an.
19-PERGI MENUNTUT ILMU
Jabir bin Abdullah menghabiskan waktu satu bulan untuk pergi menemui
Abdullah bin i'nais demi mendapatkan satu buah hadits. Dalam pembahasan ini tidak disebutkan sesuatu yang menerangkan secara jelas bahwa hadits ini termasuk hadits marfu '. Akan tetapi Imam Muslim telah meriwayatkan hadits Abu Hurairah yang dianggap marfu ' olehnya, yaitu * i.' u< J^->Lt Li]> Ju~-'jj-!iJi J\ "Barangsiapa yang menempuh jalan demi menuntut ilmu, maka yang banyak ilmunya atau pergi merantau?" Ahmad berkata. "Sebaiknya dia pergi dan menulis ilmu tersebut dari para ulama di berbagai daerah. " Dalam hadits ini digambarkan bagaimana antusiasnya para sahabat Rasulullah untuk mendapatkan sunnah-sunnah beliau. Disamping itu juga diperbolehkan merangkul orang yang datang jika tidak ada keraguan.
'j-i-J" j 'j* 'S (Sesungguhnya dia berbeda pendapat dengan Al Hurr). Dalam riwayat Ibnu Asakir, lafazh j * ditiadakan dan dianeksasikan kepada subjek tanpa ada penguat {ta 'kid) dan huruf pemisah (fashl), dan ini diperbolehkan menurut sebagian orang. Pembahasan hadits ini telah dikemukakan dalam dua bab sebelumnya, dan tidak ada perbedaan antara dua riwayat tersebut kecuali perbedaan sedikit yang tidak sampai merubah maknanya.
Riwayat ini menjelaskan keutamaan menambah dan menuntut ilmu, walaupun harus menghadapi kesulitan dalam memperolehnya, dan perinlah untuk bersikap tawadhu' (merendahkan diri) bagi seseorang terhadap orang \ang menuntut ilmu kepadanya. Adapun yang menunjukkan hal ini adalah tirman Allah kepada Nabi-Nya, "Mereka itulah orang-orang vang lelah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. "(Qs. Al An'aam (6) Abu Abdillah berkata, bahwa lshaq berkata, "Dan ada diantara bagian bumi yang digenangi air. tapi tidak menyerap." Keterangan Hadits:
Perumpamaan yang dimaksudkan adalah, gambaran yang menakjubkan dan bukan kata-kata biasa pada umumnya.
o 'A !l adalah petunjuk yang mengantarkan kepada yang diinginkan, sedangkan ilmu yang dimaksud adalah pengetahuan tentang dalil-dalil syariah. j' «J yaitu tanah datar yang licin dan tidak bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
--" dengan mendhammahkan huruf qaf yang berarti menjadikan dia sebagai orang yang mengerti dan memahami. Al Qurtubi dan yang lain-lain mengatakan, bahwa Rasulullah ketika datang membawa ajaran agama, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang diperlukan ketika mereka membutuhkannya.
Demikianlah kondisi manusia sebelum Rasulullah diutus. Seperti hujan menghidupkan tanah yang mati, demikian pula ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati.
Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai macam tanah yang terkena air hujan, diantara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajar. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.
Diantara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengerjakan, akan tetapi dia mengajakannya untuk orang lain, maka dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang diindikasikan dalam sabda beliau, "Allah n u mpenndah seseorang yang mendengar perkatan-perkataanku dan dia mengerjakannya seperti yang dia dengar" Diantara mereka ada juga yang mendengar iimu namun tidak menghafal atau menjaganya serta mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya kepada orang lain, maka dia seperti tanah yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya.
Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama dan kedua, adalah karena keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga karena tercela dan tidak bermanfaat.
Kemudian dalam setiap perumpamaan terdiri d;.:i dua kelompok. Perumpamaan pertama telah kita jelaskan tadi, sedang perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk agama (Islam) namun tidak mendengarkan ilmu atau mendengarkan tapi tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah tandus sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi Shallaliahu Alaihi Wasaliam dalam sabdanya, 1 -.i^A »y. 'j* (Orang yang tidak mau memikirkan) atau dia berpaling dari ilmu sehingga dia tidak bisa memanfaatkannya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain. Adapun bagian kedua adalah orang yang sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tapi ia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah datar yang keras, dimana air mengalir di atasnya tapi tidak dapat memanfaatkannya. Hal ini diisyaratkan dengan perkataan beliau, *-'-^-rj ^ ^ *s'-** ji (Dan tidak peduli dengan petunjuk Allah). At-Thibi mengatakan, "Manusia terbagi menjadi dua. Perama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkannya kepada orang lain. Kedua, manusia yang tidak memanfaatkan untuk dirinya, tapi ia mengajarkan kepada orang lain. Menurut saya kategori pertama masuk dalam kelompok pertama, karena secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatnya berbeda. Begitu juga dengan tanaman yang tumbuh, diantaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang kering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk dalam kelompok kedua seperti yang telah kita jelaskan; dan seandainya dia meninggalkan hal-hal wajib, maka dia adalah orang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya. Orang semacam ini termasuk dalam, ^ i Wj >'<J> j*.
Wallahu A 'lum. "
^-Li i-. .j jS', JJ (Ishaq berkata. "Dan ada diantara bagian bumi yang digenangi air). I.shaq adalah Ibnu Rahawaih. Dia meriwayatkan haditN mi dan Abu LVamah dengan menyangkal keberadaan kalimat ini. Al Ushaili mengatakan hal tersebut merupakan kekeliruan dan lshaq. Yang lain mengatakan, "Kalimat itu benar, dan artinya adalah menyerap. Sedangkan Al Qailu artinya minum di tengah hari."' Al Qurthubi membantah, karena maksudnya tidak terbatas minum di tengah hari. Menurut saya. itu adalah makna asal dari kata tersebut, dan tidak ada larangan untuk menggunakannya selain makna aslinya.
• J y~~^' 1 •; -) A ~ J (Tanah yang digenangi air).
Lafa/1 ini terdapat dalam riwayat Al Mustamli. Lafazh jt^J dalam hadits di atas adalah bentuk plural dan '-~>. yaitu lembah yang tidak menampung air.
22-KEUTAMAAN ILMU
Pendapat ini diperkuat dengan riwayat yang dikeluarkan oleh mushannij pada pembahasan izin, dan hadits lshaq dan Abd Shamad dengan sanad yang serupa dari Anas.
-^•ij 'V (Apabila beliau berbicara) Al Karmani mengatakan, bahwa susunan kalimat seperti ini menurut para ulama Ushul fiqih (Ushuliyin), mengisyaratkan bahwa Nabi jika berbicara selalu mengulang sebanyak tiga kali.
Tujuan Nabi mengulang perkataannya sebanyak tiga kali adalah supaya agar dipahami, begitu juga Tirmidzi dan Hakim menyebutkan dalam kitab A! Mustadrak.
Ibnu Munir mengatakan, bahwa Imam Bukhari dengan bab ini bertujuan untuk memberi peringatan terhadap orang yang enggan mengulangi pembicaraan, dan beliau mengingkari bahwa orang yang meminta pengulangan termasuk orang yang bodoh. Kemudian dia mengatakan, bahwa yang benar adalah hal ini tergantung perbedaan masing-masing tabiat manusia, makanya tidak tercela bagi seorang pendengar yang belum bisa mengingat pada kali pertama untuk meminta pengulangan.
Begitu juga si pembicara, tidak mengapa tidak mengulangnya kembali, namun jika dia mengulangnya berarti sebagai penekanan terhadap apa yang dikatakan pada pertama kali. Bapak Abu Burdah adalah Abu Musa Al Asy'ari, seperti yang dikatakan mushannif'dalam pembahasan .-1/ 'itqu (memerdekakan budak) dan lainnya.
w'-3o J*' 'y (dari ahli kitab). Lafazh kitab berlaku untuk umum, namun di sini berarti khusus, yaitu apa yang diturunkan dari Allah tanpa Taurat dan Injil, seperti yang dijelaskan dalam Al Qur'an dan hadits.
Ada yang berpendapat, bahwa maksud kitab di sini adalah kitab Injil, hal itu jika kita mengatakan bahwa agama Nasrani adalah penghapus agama Yahudi. Namun sebenarnya tidak disyaratkan adanya penghapusan, karena tidak ada perselisihan bahwa Isa AS telah diutus kepada bani Israil. Maka bagi orang-orang Yahudi yang mengikuti ajaran Isa, mereka dinisbatkan kepada Injil, dan bagi yang mendustaiuya dan tetap dalam agama Yahudi, maka mereka tidak termasuk orang yang beriman sehingga mereka tidak termasuk dalam ahli kitab, karena syarat ahli kitab adalah mengakui kenabian Isa Benar, seorang yang bukan keturunan bani israil dan bukan pula termasuk masyarakat Nabi Isa yang mendapat seruannya sedang dia bukan bani kiaii. maka dia juga dianggap orang Yahudi y anu. beriman. Karena dia mengimani kenabian nabi Musa alaihissalum dan tidak mengingkari seorang nabi \ang lain. Barangsiapa dan kelompok ini yang mengetahui dakw ah Muhammad dan mempercayainya, maka dia termasuk dalam hiulah ahli kitab. Termabuk dalam conloh ini adalah orang-orang Arab >ang beragamu Yahudi di negeri Yaman ilan negerinegeri lain dan tidak sampai kepada mereka dakwah nabi Isa "(Qs. Qashash (28): 52) Mereka adalah bani Israil yang tidak mengimani Isa AS, bahkan mereka tetap beragama Yahudi hingga mereka mengakui kenabian Muhammad, maka mereka diberi pahala dua kali oleh Allah. Ath-Thibi mengatakan, bahwa kemungkinan konteks hadits ini adalah umum. Karena tidak mustahil mereka menjadi lunak dengan Muhammad, akibat mereka menerima agama Yahudi walaupun telah dihapus dengan Nasrani. Atau mungkin yang termasuk diantara mereka, adalah orangorang Yahudi yag tinggal di Madinah. Sesungguhnya dakwah nabi Isa alaihissalam tidak sampai kepada mereka, karena dakwah ini belum tersebar di banyak wilayah, sehingga mereka tetap beragama Yahudi dan beriman kepada Nabi mereka, yaitu Musa AS, hingga datang fslamjalu mereka beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan demikian tidak ada iagi kerancuan mengenai hal ini.
MEMBERIKAN NESEHAT DAN
(Qs. Al Furqaan (25): 24) Tapi mungkin juga berarti/M/ tafdhil, karena setiap orang pasti akan bahagia jika mendapatkan syafaat dari Rasul, namun dalam kasus ini orang mukmin yang ikhlas adalah orang yang paling bahagia. Rasulullah memberikan syafaat kepada manusia pada hari kiamat, yaitu dengan memberikan ketenangan pada waktu mereka berada dalam ketakutan.
Rasul juga memberikan syafaat dengan memohon keringanan adzab untuk sebagian orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi pada diri paman beliau Abu Thalib. Rasul juga memberikan syafaatnya dengan memohon kepada Allah untuk mengeluarkan sebagian orang mukmin liari siksa api nereka. atau memohonkan mereka untuk tidak dimasukkan ke dalam api neiaku setelah ditetapkan bahwa mereka akan masuk neraka Rasul juga dapai memberikan syafaat bagi seseorang untuk masuk surga tanpa melalui proses lu-ab atau dengan mengangkat derajat sebagian uieieka untuk bisa tinggal dalam surga vang lebih tinggi. Demikianlah nampak adanya dualisme pengertian dari hadits ini antara kebahagiaan dan svalaat, dan orang yang paling bahagia karena itu semua adalah orang mukmin yang benar-benar ikhlas.
--; ' -J J 'y (Dari dalam lubuk hatinya atau seluruh jiwanya).
Ada keraguan dari permuvat mengenai kalimat di atas. karena menurut Imam Bukhari dalam kitab Ar-Riqaq kalimat tersebut berbunyi 'y lU'Ujj. slaksud beliau menyebutkan kedua kalimat di atas adalah untuk menunjukkan adany:' penekanan arti pada kalimat tersebut, sebagaimana Firman Alhh "Orang vang berdosa hatinya " (Qs. Al Baqarah (2): 273) Hadits ini menunjukkan dalil disyaratkannya mengucapkan kedua kalimat syahadat berdasarkan kalimat "J 'y dalam hadits di atas. Secara singkat kisah tersebut, bahwa Muawiyah menyerahkan kursi keklulafahan kepada Ya/id bin Muawivah Seluruh masyarakat membaiat kepemimpinannya kecuali liusain bm Ah dan /ubair. sedang anaknya Abu Bakar meninggal terlebih dahulu sebelum meninggalnya Muawiyah. Anaknya Umar turut serta membaiat Ya/id selelah kematian ayahnya, sedang Husein pergi menuju Kufah untuk mencari dukungan yang mau membaiat beliau. Inilah yang menjadi akar masalah yang menyebabkan pembunuhan Husein.
CARA ALLAH MENCABUT ILMU
J-t $
Uain halnya dengan Ibnu Zubair yang tetap bersiteguh meminta perlindungan kepada Makkah. kemudian Yazid bm Muawiyah memerintahkan kepada para stafnya untuk mempersiapkan pasukan perang. Demikian kisah singkat yang diakhiri dengan kesepakatan para penduduk kota Madinah untuk melepas jabatan kekhilafahan dari tangan Yazid bin Muawiyah. ^-; j-e 1 (Izinkan saya). Kalimat ini menunjukkan adab dan etika yang halus untuk mengingkari para pemimipin vang menyimpang dan zhalim.
L--J' (Keesokan hari). Nabi berkhutbah pada hari kedua setelah fathu Makkah (pembukaan kota Makkah).
(Aku mendengarnya dengan kedua telingaku). Hal ini menunjukkan, bahwa selain mendengarkan sendiri khutbah tersebut secara langsung, dia hafal dan yakin tidak salah dalam mendengarkannya.
'^i (Tidak diharamkan oleh manusia). Diharamkannya kota Makkah itu berdasarkan wahyu Allah, bukan hukum yang dibuat oleh manusia. yaitu menumpahkan darah atau melakukan pembunuhan, yaitu memotong dengan alat pemotong seperti kapak.
^>--(waktu). Maksud dalam hadits ini adalah waktu pada hari jathu Makkah. Dalam musnad Imam Ahmad disebutkan rentang waktu tersebut adalah dari terbitnya matahari sampai waktu ashar, dan izin yang diberikan kepada Nabi adalah izin berperang, bukan izin memotong pepohonan. riwayat hadits yang tidak dapat dikukuhkan kebenarannya karena adanya akan dijelaskan dalam masalah "Janaiz" dari hadits Al Mughirah, dimana Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya dusta kepadaku (atas namaku) tidaklah sama dengan dusta kepada selainku " Dalam hal ini kami menjelaskan perbedaan taubat orang yang sengaja melakukan dusta terhadap beliau, apakah diterima atau tidak?
PENULISAN ILMU
cUi JU ijLpwill y L-_jl J^rj y ^! masuk Islam, maka larangan tersebut bertambah keras. Bahkan hadits d. atas dengan jelas menyebutkan, bahwa Nabi secara khusus memerang. tentara gajah tersebut. Pembahasan mengenai masalah ini, insya Allah akan dilanjutkan secara terperinci pada bab "Haji".
y~^: S (Tidak dihalalkan). Al Kasymihani menyebutkan j?J 'J.
Imam Bukhari pada bab "Luqathah"(baTang temuan) dari Al Auza'i dari Yahya menggunakan redaksi (mustahil dihalalkan sampai kapan pun).
Redaksi ini dianggap lebih sesuai untuk masa mendatang. y--• y ; (Seorang laki-laki dari suku Quraisy berkata).
Pada bab "Luqathah," orang tersebut bernama Abbas bin Abdul Muthalib. y'^i" adalah jenis tumbuhan yang digunakan untuk menutup liang lahat.
°j-.j* y jii \y-\ y-y : ^ j-*" 1 J V* Jy-Z
UJ^-
.Lk\ Vy jir % ^ J. di ^ j oir c* v» 113. Abu Hurairah berkata, "Tidak seorang pun diantara sahabat Nabi yang lebih banyak dari saya dalam mengumpulkan hadits, kecuali Abdullah Bin Amru bin Ash. Beliau menulis hadits-hadits yang tidak aku tulis. "
MALU DALAM MENUNTUT ILMU
Mujahid berkata, '"Orang yang malu dan sombong tidak menuntut ilmu." Aisyah berkata, "Kaum wanita yang paling beruntung adalah wanita Anshar. rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memahami masalah-masalah agama." Nabi bersabda, "Ya wajib, jika dia melihat air (keluar mani)" Maka Ummu Salamah menutup -mukanya-karena malu dan berkata, "Wahai Rasulullah, apakah seorang wanita juga bermimpi?" Nabi bersabda. "Benar, berlumuran tanahlah tanganmu. Kalau tidak, kenapa anaknya serupa dengan dia?"
Journal of Islamic Review / İslam Tetkikleri Dergisi, 2024
International Journal of Biological and Chemical Sciences, 2015
portal.veracruz.gob.mx
Ethnographisch-archaologische Zeitschrift, 1997
The Theory and Practice of Zen Buddhism, 2022
2018
Molecular Crystals and Liquid Crystals, 2010
Journal of Clinical Microbiology, 2009
Revue des sciences de l'eau, 1996
Developmental Brain Research, 1985
Frontiers in Sustainable Tourism
Disease Prevention and Public Health Journal
Acta gastroenterologica Latinoamericana, 2010
Fetched URL: https://www.academia.edu/12075079/Fathul_Baari
Alternative Proxies: