Content-Length: 202204 | pFad | https://www.academia.edu/30269174/PENDEKATAN_ANTROPOLOGI_DALAM_STUDI_ISLAM

(PDF) PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI ISLAM
Academia.eduAcademia.edu

PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI ISLAM

2011, Menara Tebuireng

The fact shows that among Muslims on the one hand there is a diversity of religious, political, cultural and other diversity which are understood as the "Muslim world" which is then reduced to an entity that is coherent with the "Islam" itself. In fact, Islam is not only can be viewed as a political ideology, social and economic practices, but also a cultural system that is interpreted and understood, then to be believed and done in the form of actions by the followers. With the help of the theories and methods of Social Sciences, Islam as a religion not as a construction placed normative doctrine (das Sein), but religion is seen in reality (das sollen) its interaction with the social life in society. It means that religion can not be seen as an autonomous system that is not affected by other social practices. In this case it can not be neglected to use anthropology approach as an instrument in view of religion. The way how it works anthropological approach to religion can be explained by: (1) model description that begins from field work, then (2) the most important thing is the local practices, (3) always look for relationships and linkages among various domains of life holistically (connections across social domains), and (4) it is really necessary to do comparison toward many kinds of traditions, social, cultural, and religions.

B. Antropologi Sebagai Pendekatan

Secara etimologis, Antropologi tersusun dari terma Latin anthropos yang artinya manusia dan terma Yunani logos yang berarti wacana. Antropologi berarti "berbicara tentang manusia". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Antropologi diartikan sebagai: Ilmu tentang manusia khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau. 2 Pendekatan Antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan mampu memberikan jawabannya. 3 Dalam kajian ini, Islam sebagai agama diletakkan bukan sebagai konstruksi normatif ajaran (das sein), tetapi agama dilihat dalam realitas (das sollen) interaksinya dengan kehidupan sosial masyarakat.

Dalam buku Seven Theories of Religion, Daniel L. Pals menyatakan bahwa pada awalnya orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama, sebab antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama tidak dapat disinkronkan. 4 Kasus seperti ini juga terjadi di Indonesia pada awal tahun 1970-an, di mana penelitian agama masih dianggap sesuatu yang tabu. Kebanyakan orang berkata: mengapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti, agama adalah wahyu Allah yang tidak dapat diutak-atik lagi. Namun. seiring dengan perkembangan zaman akhirnya sebagian besar orang dapat memahami bahwa agama dapat diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri. Kini, penelitian terhadap agama bukanlah hal yang asing lagi, malah orang "berlomba-lomba" melakukannya dengan berbagai pendekatan. Salah satunya dengan pendekatan Antropologis.

Melalui pendekatan Antropologi ini, kita dapat melihat hubungan agama dengan bidang lainnya. Seperti hubungan agama dengan ekonomi, yang digambarkan oleh Maxime Rodinson dalam bukunya Islam and Capitalism. Hubungan agama dengan mekanisme pengorganisasian masyarakat sosial, seperti dalam karya Clifford Geertz yang berjudul The Religion of Java. Hubungan agama dengan negara, misalnya dalam buku Islam and The Seculer State in Indonesia oleh Lutfie Assyaukanie. Keterkaitan antara agama dan psikoterapi seperti temuan Sigmun Freud yang menunjukan beberapa kasus keberagamaan tertentu lebih terkait dengan patologi sosial maupun kejiwaan. 5

C. Sekilas Tentang Perkembangan Antropologi

Kajian Antropologi ini setidaknya dapat ditelusuri pada zaman kolonialisme yang dilakukan bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin serta suku Indian. Selain menjajah, mereka juga menyebarkan agama Nasrani. Setiap daerah jajahan, ditugaskan pegawai kolonial dan misionaris. Selain melaksanakan tugasnya, mereka juga membuat laporan mengenai bahasa, ras, adat istiadat, upacara-upacara, sistem kekerabatan dan lainnya yang dimanfaatkan untuk kepentingan jajahan.

Perhatian serius terhadap Antropologi dimulai pada abad 19. Pada abad ini, Antropologi sudah digunakan sebagai pendekatan penelitian yang difokuskan pada kajian asal usul manusia. Penelitian Antropologi ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada waktu itu, semua dilakukan dengan ide kunci, ide tentang evolusi. 6 Antropolog pada masa itu beranggapan bahwa seluruh masyarakat manusia tertata dalam keteraturan seolah sebagai eskalator historis raksasa dan mereka (bangsa Barat) menganggap bahwa mereka sudah menempati posisi puncak, sedangkan bangsa Eropa dan Asia masih berada pada posisi tengah, dan sekelompok lainnya yang masih primitif terdapat pada posisi bawah. Pandangan antropolog ini mendapat dukungan dari karya Darwin tentang evolusi biologis, namun pada akhirnya teori tersebut ditolak oleh para fundamentalis populis di USA.

Selain perdebatan seputar masyarakat, Antropolog juga tertarik mengkaji tentang agama. Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di kalangan mereka, seperti pertanyaan tentang: Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan, suatu bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif itu sangat digemari pembacanya pada abad ke 19. Sebagai contoh, terdapat dua karya besar yang masing-masing ditulis Sir James Frazer tentang "The Golden Bough" dan Emil Durkheim tentang "The Element Forms of Religious Life".

Dalam karyanya tersebut, Frazer menampilkan contoh-contoh magic dan ritual dari teks klasik. Frazer berkesimpulan bahwa seluruh agama itu sebagai bentuk sihir (magic) fertilitas. Dalam karyanya yang lain, Frazer mengemukakan skema evolusi sederhana yaitu suatu ekspresi dari keyakinan rasionalismenya bahwa sejarah manusia melewati tiga fase yang secara berurutan didominasi oleh magic (sihir), agama dan ilmu. Berbeda dengan Durkheim, dia kurang sependapat jika mengambil contoh dari semua agama di dunia dengan kurang memperhatikan konteks aslinya seperti yang dilakukan oleh Frazer, karena itu adalah metode Antropologi yang keliru. Menurutnya, "eksperimen yang dilakukan dengan baik dapat membuktikan adanya aturan tunggal, dan mengatakan perlunya menguji sebuah contoh secara mendalam, seperti agama Aborigen di Arunto Australia Tengah. Terlepas dari kontroversi terhadap penelitiannya, yang jelas Durkheim telah memberikan inspirasi kepada para Antropolog untuk menggunakan studi kasus dalam mengungkap sebuah kebenaran.

Setelah Frazer dan Durkheim, kajian Antropologi agama terus mengalami perkembangan dengan beragam pendekatan penelitiannya. Beberapa Antropolog ada yang mengorientasikan kajian agamanya pada psikologi kognitif, sebagian lain pada feminisme, dan sebagian lainnya pada secara sejarah Sosiologis.

Seperti disinggung di atas, timbulnya Antropologi modern tidak terlepas dari kepentingan kolonialisme. Ketika Napoleon menjajah Mesir, ia membawa serta sebanyak 150 ahli ilmu pengetahuan, sebagian dari mereka adalah ahli Sosiologi dan Antropologi. Dari tangan mereka kemudian diawali kajian-kajian Antropologis terhadap negara-negara jajahan di Asia dan Afrika. Bukanlah sebuah kebetulan jika pakar-pakar Antropologi Inggris yang paling terkemuka pasca perang dunia I dan II adalah mantan pegawai di negara-negara jajahan Inggris. Seperti Evan Pritchard, Leach dan Nadel. Bahkan yang terakhir, menggunakan kekuasaannya sebagai pejabat administrasi kolonial dalam penelitian antropologisnya dengan memerintahkan polisi kolonial untuk mengumpulkan penduduk sebagai objek questioner yang ia buat.

Pengaruh

D. Karakteristik Dasar Pendekatan Antropologi

Salah satu konsep kunci terpenting dalam Antropologi modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para Antropolog harus melihat agama dan praktik pertanian, kekeluargaan, politik, magic, dan pengobatan secara bersama-sama. Maksudnya agama tidak dapat dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya.

Beberapa tahun terakhir, ketika dekonstruksi postmodernisme yang sedang digemari menjalar melalui ilmu sosial, pendekatan holistik mendapat serangan. Jika ada masa-masa keemasannya, kerangka kerja fungsionalisme struktural lebih membesarkan watak sistematik yang ditelitinya, namun saat ini sudah dibuka peluang terhadap fungsionalis struktural. Karya yang melakukan hal ini dapat dilihat dalam Lugbara Religion hasil penelitian Middleton. Dalam karyanya tersebut, dia lebih senang memilih istilah Inggris daripada bahasa Lugbara itu sendiri, misalnya ancertor (nenek moyang), ghost (hantu), witchcraft (ilmu ghaib) dan sorcery (ilmu sihir). Kendatipun demikian, karya Middleton tidak mengurangi kekayaan etnografi, buktinya siapa saja yang membaca hasil karyanya masih merasakan proses aksi sosial dan agama seperti yang benar-benar dipraktikan. Dengan caranya ini, terlihat adanya pergeseran karakteristik penelitian, dari karakteristik struktural ke "makna".

Karakteristik Antropologi bergeser lagi dari Antropologi "makna" ke Antropologi interpretatif yang lebih global, seperti yang dilakukan oleh C. Geertz. Ide kuncinya bahwa apa yang sesungguhnya penting adalah kemungkinan menafsirkan peristiwa menurut cara pandang masyarakat itu sendiri. Penelitian seperti ini harus dilakukan dengan cara tinggal di tempat penelitian dalam waktu yang lama, agar mendapatkan tafsiran dari masyarakat tentang agama yang diamalkannya. Jadi, pada intinya setiap penelitian yang dilakukan oleh antropolog, memiliki karakteristik masing-masing, dan bagi siapa saja yang ingin melakukan penelitian dengan pendekatan Antropologi, dapat memilih contoh yang telah ada atau menggunakan pendekatan baru yang diinginkan.

E. Pendekatan Antropologi untuk Studi Agama

Setidaknya ada 4 ciri fundamendal cara kerja pendekatan antropologi terhadap agama. Pertama, bercorak descriptive, yaitu pendekatan yang diawali dari kerja lapangan (field work), berhubungan dengan orang, masyarakat, kelompok setempat yang diamati dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam. Inilah yang biasa disebut dengan thick description (pengamatan dan observasi di lapangan yang dilakukan secara serius, terstruktur, mendalam dan berkesinambungan). Thick description dilakukan dengan cara antara lain living in, yaitu hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama; berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, jika ingin memperoleh hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. John R Bowen, misalnya, melakukan penelitian antropologi masyrakat muslim Gayo, di Sumatra, selama bertahun-tahun. 10 Begitu juga yang dilakukan oleh para antropolog kenamaan yang lain, seperti Clifford Geertz. Field note research (penelitian melalui pengumpulan catatan lapangan) dan bukannya studi teks atau filologi seperti yang biasa dilakukan oleh para orientalis adalah andalan utama Antropolog.

Kedua, yang terpokok dilihat oleh pendekatan antropologi adalah local practices, yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan. 11 Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih-lebih ketika manusia melewati hari-hari atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati peristiwa penting dalam kehidupan tersebut ( Ketika disebut local practices (praktik-praktik keagamaan lokal, sebagai hasil interpretasi teks keagamaan ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat), maka muncul masalah. Dari literatur hadis dikenal istilah "bid'ah" -baik yang hasanah maupun sayyiah. Dengan sedikit menyederhanakan, praktik lokal dianggap keluar dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan menurut antropolog justru praktik lokal inilah yang harus diteliti dan dicermati dengan sungguh-sungguh untuk dapat mememahami tindakan dan kosmologi keagamaan manusia secara lebih utuh. dilakukan oleh manusia ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan yang sangat penting tersebut?

Ketiga, antropologi selalu mencari keterhubungan dan keterkaitan antar berbagai domain kehidupan secara lebih utuh (connections across social domains). Bagaimana hubungan antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Kehidupan tidak dapat dipisah-pisah. Keutuhan dan kesalingterkaitan antar berbagai domain kehidupan manusia. Hampir-hampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri, terlepas dan tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.

Keempat, comparative. Studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. Talal Asad menegaskan disini bahwa "What is distinctive about modern anthropology is the comparisons of embedded concepts (representation) between societies differently located in time or space. The important thing in this comparative analysis is not their origen (Western or non-Western), but the forms of life that articulate them, the power they release or disable." 12 Setidaknya, Cliffort Geertz pernah memberi contoh bagaimana dia membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dan Marokko. Bukan sekedar untuk mencari kesamaan dan perbedaan, tetapi yang terpokok adalah untuk memperkaya perspektif dan memperdalam bobot kajian. Dalam dunia global seperti saat sekarang ini, studi komparatif sangat membantu memberi perspektif baru baik dari kalangan insider maupun outsider. 13 Dengan demikian, pendekatan antropologi dalam studi Islam sangatlah diperlukan. kehidupan konkrit di lapangan akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman antar berbagai paham dan penghayatan keberagamaan yang sangat bermacam-macam dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.

F. Objek Kajian dalam Pendekatan Antropologi

Berdasarkan uraian tentang perkembangan Antropologi di atas, maka secara umum obyek kajian Antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu Antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme biologis, dan Antropologi budaya dengan tiga cabangnya: arkeologi, linguistik dan etnografi. Meski Antropologi fisik menyibukkan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi umat manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia. 14 Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari langit. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral, 15 wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar,16 2. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya. 3. Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. 4. Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya. 5. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan.

G. Kajian Empirik Relasi Agama Dan Sosial

Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam transformasi sosial. Sejarah lahirnya agama-agama langit (semitic religion) membuktikan hal tersebut.

Sepanjang yang diceritakan al-Qur'an, kali pertama misi pengangkatan Musa sebagai nabi adalah "Idhhab ila Fir'aun innahu t} agha", legitimasinya diwahyukan melalui firman politis Allah. Maka begitu ketemu Fir'aun, ia langsung mengatakan, "Arsil Ma'ana bani Israil!" Sebab saat itu orang-orang Israel dijadikan objek perbudakan untuk melanggengkan kekuasaan dan menopang perekonomian Mesir. Jadi motivasi awalnya adalah membebaskan Bangsa Israel dari belenggu tirani.

Pada masa Nabi Isa, keterlibatan sosialnya juga sangat tinggi. Ia berjuang melawan struktur kerahiban Yahudi yang mulai kaku dan konservatif serta keagungan Roma yang agung meskipun kalah dalam perjuangan politik. Sehingga nasibnya bukan kerajaan di dunia (civitas terrena) melainkan kerajaan tuhan di langit (civitas dei). Kehadiran Islam, bila ditilik lewat dialektikanya dengan Quraysh, sebenarnya misi utama Nabi Muhammad bukanlah mengenalkan kembali tentang Tuhan-sebagaimana telah diletakkan oleh nabi Ibrahim-melainkan mengenalkan Teologi Islam yang merupakan serangan umum terhadap sistem Jahilisme. Maka seluruh proses dakwah yang dilakukan Rasul merupakan suatu proses transformasi sosial dari komunitas biadab jahilisme menuju struktur masyarakat madani.

Begitu juga Protestanisme, pada dasarnya adalah gerakan reformasi keagamaan untuk melepaskan ketergantungan dari penguasa politik terhadap kekuasaan Gereja yang berwujud dalam sistem kependetaan dan ritual. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kehadiran agama berperan besar dalam perubahan sosial, dengan demikian titik berat religiusitas beralih dari ritus keagamaan ke etos sosial yang sebenarnya bersumber dari ajaran agama itu sendiri.

Beberapa penelitian para ilmuan semakin meneguhkan hal tersebut. Tak kurang dari Robert N Bellah telah melakukan studi tentang Jepang, Albert Feuerwerker mengenai China, Gustav Papanek mengenai Pakistan dan Clifford Geertz mengenai Indonesia (Jawa). Bellah menemukan bahwa nilai-nilai yang terdapat pada agama Tokugawa di Jepang dalam kondisi tertentu dapat menjadi faktor pendorong perkembangan ekonomi. Begitu pula dalam berbagai agama ternyata ditemukan ajaran mengenai "kerja sebagai panggilan" yang disosialisasikan dengan keberhasilan dalam ekonomi. David Mc Clelland, salah seorang penganut Max Weber, menarik kesimpulan mengenai apa yang disebutnya "mistisisme positif", yaitu mistisisme yang mendorong perkembangan ekonomi, tidak hanya melalui nilainilai materealistik, tetapi juga etika penghematan (austerity ethic).

Aspek Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa manusia adalah khalifah (wakil, pengganti atau duta) Tuhan di bumi. 18 Secara Antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an selalu menggunakan "orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, al-Qur'an menunjuk pada konsep "muttaqin", untuk menjelaskan konsep sabar, al-Qur'an menggunakan kata "orang sabar" dan seterusnya. Al-Qur'an adalah kitab petunjuk yang banyak menggunakan bahasa simbolis-metaforis yang sarat makna dan faktafakta sejarah yang sangat berharga. Sayangnya, produk-produk tafsir yang ada selama ini terkesan mengabaikannya, dan justru cenderung mengikuti kepentingan-kepentingan ideologi dan politik kekuasaan tertentu. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis Semiotis dan Antropologis untuk dapat menyingkap makna yang terkandung di dalamnya dan juga untuk membebaskan wacana Qur'aniah dari belenggu-belenggu ideologi dan politik kekuasaan. 19 18 Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 30. Drama kosmis yang juga mengisahkan reaksi keras para malaikat atas kehendak Tuhan untuk menjadikan manusia sebagai khalifah menunjukkan martabat manusia yang sangat tinggi. 19 Ini dapat dilakukan dengan mengembalikan wahyu sebagai sumber Antropologi. Dari al-Qur'an dan Hadis ditelusuri konsep-konsep maupun petunjuk tentang antropologi Islam. Nash-nash tersebut, sebagian memberikan kata putus pada beberapa masalah antropologis, dan sebagian lain hanya memberikan tuntunan dalam kajian antropologi. Di sini dibutuhkan suatu usaha untuk mengklasifikasikan sumber-sumber tersebut dan kemudian menyimpulkan inti sari dari petunjukpetunjuk tersebut, sehingga dihasilkan petunjuk konsep antropologi Islami yang utuh. Tentang awal penciptaan manusia, misalnya, dan bagaimana manusia kemudian berkembang. Tentu saja teori evolusi Darwin akan menjadi bagian kajian point ini. Juga pertanyaan tentang apakah sebelum Adam AS. ada Adam-Adam lain. Seperti kecenderungan Iqbal yang mengatakan bahwa Adam yang disebut dalam al-Qur'an lebih banyak bersifat konsep daripada historis. Lihat: Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, 2 nd .ed. (Lahore, 1989), h.6.

H. Agama Sebagai Sistem Budaya

Dalam pandangan antropologis, agama didefinisikan sebagai sistem budaya (religion as cultural system). Menurut Clifford Geertz dalam bukunya The Interpretation of Culture, agama adalah sebuah sistem simbol yang bertindak untuk membangun kekuatan, meresap dan mempengaruhi keadaan jiwa dan motivasi orang membuat konsepsi-konsepsi tatanan umum dan membungkus konsepsi-konsepsi tersebut dengan semacam pancaran faktual bahwa keadaan jiwa dan motivasi tersebut secara unik tampak realistis. 20 Sebagai sebuah simbol, tentu diikuti oleh makna-makna yang kemudian dihayati oleh masyarakat dalam menjawab setiap persoalan hidupnya. Sementara Melford E. Spiro dalam tulisannya Religion: Problem of Definition and Explanation menjelaskan bahwa berpijak pada asumsi agama sebagai institusi budaya, ia mendefinisikan agama sebagai institusi yang terdiri atas pola-pola interaksi budaya, dengan pengertian "super budaya" (superhuman being). 21 Dalam konteks agama sebagai sistem budaya atau institusi budaya ini, Suparlan menyatakan bahwa pada hakikatnya agama sama dengan kebudayaan, yaitu suatu sistem simbol atau sistem pengetahuan yang menciptakan, menggolongkan, meramu atau merangkaikan dan menggunakan simbol-simbol tersebut untuk berkomunikasi dan menghadapi lingkungannya. Simbol suci dalam agama tersebut kemudian mengejawantah di dalam tradisi masyarakat yang disebut sebagai keagamaan. Yang dimaksud dengan tradisi keagamaan ialah kumpulan atau hasil perkembangan sepanjang sejarah: ada unsur baru yang masuk, ada yang ditinggalkan. 22 Di Indonesia usaha para Antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960-an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi (abangan, santri dan priyayi) di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis, baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik.

Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isuisu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.

Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masyarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.

I. Menemukan Kembali Antropologi Islam

Jika Antropologi modern lahir di tangan ilmuwan Barat, terutama kalangan misionaris dan pegawai administrasi kolonial, itu tidak berarti bahwa Antropologi adalah karya mutlak ilmuwan Barat. Sejarah ilmu pengetahuan justru mengukir dengan tinta emas bahwa ilmuan Islam-lah yang telah membangun dan menyusun konstruksi ilmu Antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Tercatat nama-nama Ibn Khaldun, al-Biruni, Ibn Bathuthah, al-Mas'udi, al-Idrisi, Ibn Zubair. Generasi agak belakang mungkin dapat disebutkan adalah Raghib al-Asfahani yang menulis kitab Tafs} i> l al-Nash'atayn wa Tahs} i> l al-Sa'adatayn. Pada era modern ini, terdapat beberapa ilmuan Islam yang telah melakukan kajian antropologis, seperti Aishah bint Shat} i, 'Abbas Mahmud al 'Aqqad, Aminah Nushair, 'Abd al-Mun'im 'Allam, Muhammad Khadar, Zaki Isma'il, Akbar S. Ahmad, Kurshid Ahmad, Muhammad Iqbal, Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Abu al-Wafa al-Taftazani, dan Malinowski dan Geertz, al-Biruni telah membangun dahulu antropologi.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, adalah ilmu-ilmu yang lahir di tangan ilmuan muslim sekitar seribu tahun sebelum ilmuan Barat mempelajari ilmu-ilmu itu. Maka ketika umat Islam kembali mempelajari ilmu-ilmu tersebut, yang dilakukannya adalah semacam "menemukan kembali" apa yang sebelumnya dimiliki.

J. Ke Arah Rekonstruksi Antropologi Islam

Usaha terberat ilmuwan muslim untuk membangun Antropologi Islam adalah bagaimana mengelaborasi warisan Antropologis yang telah ditinggalkan oleh ilmuwan muslim terdahulu, kemudian merekonstruksi warisan keilmuan itu dalam format keilmuan modern. Oleh karena itu, seperti disarankan oleh Akbar S. Ahmad, kita memang tidak harus membuang seluruh kajian ilmuan Barat. Setidaknya, kreatifitas yang telah mereka hasilkan dapat dijadikan bahan komparatif untuk langkah-langkah yang akan dilakukan oleh antropologi Islam. Yang dapat dilakukan kemudian adalah melakukan -meminjam gagasan al-Faruqi-Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan tujuan-tujuan, seperti didefinisikan oleh al-Faruqi: (1) penguasaan disiplin ilmu modern, (2) penguasaan warisan Islam, (3) penentuan relevensi khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern, (4) pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan dan pengetahuan modern, (5) pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiah dari Allah. 24 Oleh al-Faruqi, konsep tersebut dijabarkan dalam 12 langkah sistematis untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Kedua belas langkah tersebut yaitu: Meskipun gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan seperti yang ditawarkan al-Faruqi tersebut dikritik oleh beberapa orang ilmuan muslim sendiri, 25 namun gaung gagasannya tersebut telah menggema ke seluruh dunia Islam. Di Malaysia telah didirikan ISTAC, di Indonesia didirikan ISTECS, dan untuk skala internasional telah berdiri International Institute of Islamic Thought (IIIT), atau di dunia Arab dikenal dengan Ma'had 'Alami li al-Fikr al-Islami untuk mengembangkan lebih lanjut gagasan Al Faruqi untuk mengislamkan ilmu pengetahuan tersebut. Alternatif lainnya adalah merekonstruksi antropologi Islam dengan secara kreatif menciptakan teori, metodologi dan teknis sendiri. Tanpa menafikan secara total pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Untuk mewujudkan hal itu, kita dapat menggunakan tiga ciri pembeda pengetahuan, yakni tentang: apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut diketahui, disusun dan dimanfaatkan. Seperti yang dilakukan oleh Ziauddin Sardar dan Kuntowijoyo .

K. Penutup

Jika kembali pada pendekatan Antropologi bagi studi Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan Antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia.

Kedua, Antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.

Kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi.

Pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia.









ApplySandwichStrip

pFad - (p)hone/(F)rame/(a)nonymizer/(d)eclutterfier!      Saves Data!


--- a PPN by Garber Painting Akron. With Image Size Reduction included!

Fetched URL: https://www.academia.edu/30269174/PENDEKATAN_ANTROPOLOGI_DALAM_STUDI_ISLAM

Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy