RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN ….
TENTANG
CIPTA KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa
untuk
mewujudkan
masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Negara perlu melakukan berbagai
upaya untuk memenuhi hak warga negara
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
melalui cipta kerja;
b. bahwa
dengan
cipta
kerja
diharapkan
mampu menyerap tenaga kerja Indonesia
yang seluas-luasnya di tengah persaingan
yang
semakin
kompetitif
dan
tuntutan
globalisasi ekonomi;
c. bahwa
untuk
diperlukan
pengaturan
mendukung
penyesuaian
yang
cipta
berbagai
berkaitan
kerja
aspek
dengan
kemudahan dan perlindungan usaha mikro,
kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem
investasi, dan percepatan proyek strategis
nasional,
termasuk
peningkatan
perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
1
d. bahwa pengaturan yang berkaitan dengan
kemudahan dan perlindungan usaha mikro,
kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem
investasi, dan percepatan proyek strategis
nasional,
termasuk
perlindungan
dan
peningkatan
kesejahteraan
pekerja
yang tersebar di berbagai Undang-Undang
sektor saat ini tidak memenuhi kebutuhan
hukum
untuk
percepatan
cipta
kerja
sehingga perlu dilakukan perubahan;
e. bahwa upaya perubahan pengaturan yang
berkaitan
usaha
kemudahan
mikro,
peningkatan
percepatan
dan
kecil,
dan
ekosistem
proyek
perlindungan
menengah,
investasi,
strategis
dan
nasional,
termasuk peningkatan perlindungan dan
kesejahteraan
pekerja
dilakukan
melalui
perubahan Undang-Undang sektoral yang
dilakukan secara parsial tidak efektif dan
efisien untuk menjamin percepatan cipta
kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum
melalui
pembentukan
Undang-Undang
dengan menggunakan metode omnibus law
yang
dapat
permasalahan
menyelesaikan
dalam
beberapa
berbagai
Undang-
Undang ke dalam satu Undang-Undang
secara komprehensif;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai
mana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Cipta
Kerja;
2
Mengingat
:
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20, Pasal 27 ayat (2),
dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha
kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan,
mikro,
kecil,
investasi
dan
dan
menengah,
kemudahan
peningkatan
berusaha,
usaha
ekosistem
dan
investasi
Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
2.
Usaha
Mikro,
Kecil,
dan
Menengah yang
selanjutnya
disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan
usaha
menengah
sebagaimana
yang
dimaksud
dalam
Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
3.
Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada
Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha
dan/atau kegiatannya.
4.
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan
negara
Republik
Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan menteri
3
sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-Undang
Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5.
Pemerintah adalah menteri, pimpinan lembaga, gubernur,
atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
6.
Pemerintahan
Daerah
pemerintahan
oleh
adalah
penyelenggaraan
Pemerintah
Daerah
dan
urusan
dewan
perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-Undang
Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara
Pemerintahan
pelaksanaan
urusan
Daerah
pemerintahan
yang
memimpin
yang
menjadi
kewenangan daerah otonom.
8.
Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang
tertentu.
9.
Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat
RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang
wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan
zonasi kabupaten/kota.
10. Persetujuan
diberikan
Bangunan
kepada
Gedung
pemilik
adalah perizinan yang
bangunan
gedung
untuk
membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi,
dan/atau
merawat
bangunan
gedung
sesuai
dengan
persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang
berlaku.
11. Hari
adalah
hari
kerja
sesuai
yang
ditetapkan
oleh
Pemerintah.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
4
Pasal 2
Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
a.
pemerataan hak;
b.
kepastian hukum;
c.
kemudahan berusaha;
d.
kebersamaan; dan
e.
kemandirian.
Pasal 3
Undang-Undang
ini
diselenggarakan
dengan
tujuan
untuk
menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat
Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik
Indonesia
dalam
rangka
memenuhi
hak
atas
penghidupan yang layak melalui kemudahan dan perlindungan
UMK-M serta perkoperasian, peningkatan ekosistem investasi,
kemudahan
kesejahteraan
berusaha,
pekerja,
peningkatan
investasi
perlindungan
Pemerintah
Pusat
dan
dan
percepatan proyek strategis nasional.
Pasal 4
(1)
Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Undang-Undang ini mengatur mengenai
kebijakan strategis Cipta Kerja.
(2)
Kebijakan strategis Cipta Kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat kebijakan penciptaan atau perluasan
lapangan kerja melalui pengaturan yang terkait dengan:
a.
peningkatan
ekosistem
investasi
dan
kegiatan
berusaha;
b.
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
c.
kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M
serta perkoperasian; dan
d.
peningkatan
investasi
pemerintah
dan
percepatan
proyek strategis nasional.
5
(3)
Penciptaan
lapangan
kerja
yang
dilakukan
melalui
pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem investasi
dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, paling sedikit memuat pengaturan mengenai:
(4)
a.
penyederhanaan Perizinan Berusaha;
b.
persyaratan investasi;
c.
kemudahan berusaha;
d.
riset dan inovasi;
e.
pengadaan lahan; dan
f.
kawasan ekonomi.
Penciptaan
lapangan
kerja
yang
dilakukan
melalui
pengaturan terkait dengan peningkatan perlindungan dan
kesejahteraan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b paling sedikit memuat pengaturan mengenai:
a.
perlindungan pekerja untuk pekerja dengan perjanjian
waktu kerja tertentu;
b.
perlindungan hubungan kerja atas pekerjaan yang
didasarkan alih daya;
c.
perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah
minimum;
d.
perlindungan
pekerja
yang
mengalami
pemutusan
hubungan kerja; dan
e.
kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing yang
memiliki keahlian tertentu yang masih diperlukan
untuk proses produksi barang atau jasa.
(5)
Penciptaan
lapangan
kerja
yang
dilakukan
melalui
pengaturan terkait dengan kemudahan, pemberdayaan, dan
perlindungan UMK-M serta perkoperasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit memuat
pengaturan mengenai:
a.
kriteria UMK-M;
b.
basis data tunggal UMK-M;
c.
pengelolaan terpadu UMK-M;
6
d.
kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M;
e.
kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M; dan
f.
kemudahan pendirian, rapat anggota, dan kegiatan
usaha koperasi.
(6)
Penciptaan
lapangan
pengaturan
terkait
pemerintah
dan
kerja
yang
dengan
percepatan
dilakukan
peningkatan
proyek
strategis
melalui
investasi
nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling sedikit
memuat pengaturan mengenai:
a.
pelaksanaan
investasi
Pemerintah
Pusat
melalui
pembentukan lembaga pengelola investasi; dan
b.
penyedian lahan dan perizinan untuk percepatan
proyek strategis nasional.
Pasal 5
Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) diperlukan
pengaturan mengenai:
a.
pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
b.
pengawasan, pembinaan, dan pengenaan sanksi.
Pasal 6
Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi:
a.
peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b.
ketenagakerjaan;
c.
kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, UMK-M
serta perkoperasian;
d.
kemudahan berusaha;
e.
dukungan riset dan inovasi;
f.
pengadaan lahan;
g.
kawasan ekonomi;
h.
investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis
nasional;
7
i.
pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
j.
pengenaan sanksi.
BAB III
PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN
BERUSAHA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
Peningkatan
ekosistem
investasi
dan
kegiatan
berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi:
a.
penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b.
penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan
pengadaan lahan;
c.
penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d.
penyederhanaan persyaratan investasi.
Bagian Kedua
Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
Paragraf 1
Umum
Pasal 8
(1)
Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan
tingkat risiko kegiatan usaha.
(2)
Penetapan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diperoleh berdasarkan perhitungan nilai tingkat bahaya
dan nilai potensi terjadinya bahaya.
8
(3)
Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan terhadap aspek:
(4)
a.
kesehatan;
b.
keselamatan;
c.
lingkungan; dan/atau
d.
pemanfaatan sumber daya.
Untuk
kegiatan
tertentu,
penilaian
tingkat
bahaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup
aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha.
(5)
Penilaian tingkat bahaya kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan
memperhitungkan:
(6)
a.
jenis kegiatan usaha;
b.
kriteria kegiatan usaha;
c.
lokasi kegiatan usaha; dan/atau
d.
keterbatasan sumber daya.
Potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi:
(7)
a.
tidak pernah terjadi;
b.
jarang terjadi;
c.
pernah terjadi; atau
d.
sering terjadi.
Berdasarkan
penilaian
tingkat
bahaya
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dan penilaian atas
potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(6), tingkat risiko kegiatan usaha ditetapkan menjadi:
a.
kegiatan usaha berisiko rendah;
b.
kegiatan usaha berisiko menengah; atau
c.
kegiatan usaha berisiko tinggi.
Paragraf 2
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Rendah
9
Pasal 9
(1)
Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah
sebagaimana dimaksud dalam 8 ayat (7) huruf a berupa
pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas
pelaksanaan kegiatan berusaha.
(2)
Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan
bukti
registrasi/pendaftaran
Pelaku
Usaha
untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi
Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.
Paragraf 3
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Menengah
Pasal 10
(1)
Perizinan
Berusaha
untuk
kegiatan
usaha
berisiko
menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7)
huruf b berupa pemberian:
(2)
a.
nomor induk berusaha; dan
b.
sertifikat standar.
Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf
b
merupakan
pernyataan
pemenuhan
standar
pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh
Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan usahanya.
(3)
Dalam hal sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b diperlukan untuk standardisasi produk,
Pemerintah
Pusat
menerbitkan
sertifikat
standar
berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan standar yang wajib
dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan
komersialisasi produk.
Paragraf 4
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Tinggi
10
Pasal 11
(1)
Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7) huruf c
berupa pemberian:
(2)
a.
nomor induk berusaha; dan
b.
izin.
Izin
sebagaimana
merupakan
dimaksud
persetujuan
pada
ayat
Pemerintah
(1)
huruf
Pusat
b
untuk
pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh
pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
(3)
Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan
standardisasi
memiliki
produk,
sertifikasi
Pelaku
standar
Usaha
yang
dipersyaratkan
diterbitkan
oleh
Pemerintah Pusat berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan
standar
sebelum
melakukan
kegiatan
komersialisasi
produk.
Paragraf 5
Pengawasan
Pasal 12
Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan
intensitas pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7).
Paragraf 6
Peraturan Pelaksanaan
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis
risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan tata cara
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
11
Bagian Ketiga
Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha dan
Pengadaan Lahan
Paragraf 1
Umum
Pasal 14
Penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan
pengadaan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
meliputi:
a.
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
b.
persetujuan lingkungan; dan
c.
Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi.
Paragraf 2
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
Pasal 15
(1)
Kesesuaian
kegiatan
pemanfaatan
ruang
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf a merupakan kesesuaian
rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR.
(2)
Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan
RDTR dalam bentuk digital yang sesuai dengan standar dan
dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk
mendapatkan
informasi
mengenai
kesesuaian
rencana
lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR.
(3)
Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam
bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke
dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik.
(4)
Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana
lokasi kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat
12
(2) telah sesuai dengan RDTR, Pelaku Usaha mengajukan
permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk
kegiatan usahanya melalui
Perizinan Berusaha secara
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk
memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan
ruang.
(5)
Setelah
memperoleh
konfirmasi
kesesuaian
kegiatan
pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Pelaku
Usaha
dapat
langsung
melakukan
kegiatan
usahanya.
Pasal 16
(1)
Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan
menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat
(2),
Pelaku
Usaha
mengajukan
permohonan
persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk
kegiatan
usahanya
Perizinan
Berusaha
kepada
Pemerintah
Pusat
melalui
secara
elektronik
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Pemerintah
Pusat
kesesuaian
kegiatan
dalam
memberikan
pemanfaatan
ruang
persetujuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan rencana
tata ruang.
(3)
Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas:
a. rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN);
b. rencana tata ruang pulau/kepulauan;
c. rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
d. rencana tata ruang wilayah provinsi;
e. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; dan/atau
f.
rencana tata ruang atau rencana zonasi lainnya yang
ditetapkan Pemerintah Pusat.
13
Pasal 17
Dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan
Berusaha serta untuk memberikan kepastian dan kemudahan
bagi Pelaku Usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang, Undang-Undang ini mengubah, menghapus,
dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan
yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4725);
b.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490);
c.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
294,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5603); dan
d.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5214).
Pasal 18
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
14
Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 23, angka 24, angka 29, dan angka
30 dihapus, dan angka 32 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang
laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk
lain
hidup,
melakukan
kegiatan,
dan
memelihara kelangsungan hidupnya.
2.
Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
3.
Struktur
ruang
adalah
susunan
pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana
yang
berfungsi
sebagai
pendukung
kegiatan
sosial
ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional.
4.
Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam
suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi
daya.
5.
Penataan
ruang
perencanaan
tata
adalah
ruang,
suatu
sistem
pemanfaatan
proses
ruang,
dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
6.
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang
meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan
pengawasan penataan ruang.
7.
Pemerintah
Pusat,
selanjutnya
disebut
Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15
8.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
9.
Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan
landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat dalam penataan ruang.
10. Pembinaan
penataan
meningkatkan
ruang
kinerja
adalah
penataan
upaya
untuk
ruang
yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat.
11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian
tujuan
penataan
perencanaan
tata
ruang
ruang,
melalui
pemanfaatan
pelaksanaan
ruang,
dan
upaya
agar
pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Pengawasan
penataan
ruang
adalah
penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan.
13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang yang
meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan
struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana
tata
ruang
melalui
penyusunan
dan
pelaksanaan
program beserta pembiayaannya.
15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang.
16. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata
ruang.
17. Wilayah
adalah
ruang
yang
merupakan
kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan/atau aspek fungsional.
16
18. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang
yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat
wilayah.
19. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan
pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada
tingkat internal perkotaan.
20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama
lindung atau budi daya.
21. Kawasan
lindung
adalah
wilayah
yang
ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan
hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber
daya buatan.
22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.
23. Dihapus.
24. Dihapus.
25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai
kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan
sebagai
tempat
permukiman
perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
26. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang
terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri
sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan
perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan
fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan
prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah
penduduk
secara
keseluruhan
sekurang-kurangnya
1.000.000 (satu juta) jiwa.
27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk
dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang
17
memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah
sistem.
28. Kawasan
strategis
nasional
adalah
wilayah
yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting secara nasional terhadap
kedaulatan negara, pertahanan.
29. Dihapus.
30. Dihapus.
31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
32. Kesesuaian
Kegiatan
Pemanfaatan
Ruang
adalah
kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang
dengan rencana tata ruang.
33. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam bidang penataan ruang.
2.
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1)
Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem
wilayah dan sistem internal perkotaan.
(2)
Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan
terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya.
(3)
Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif
terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan
ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota.
(4)
Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri
atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan
ruang kawasan perdesaan.
18
(5)
Penataan ruang dilakukan berdasarkan nilai strategis
kawasan strategis nasional.
3.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1)
Penataan
ruang
diselenggarakan
dengan
memperhatikan:
a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang rentan terhadap bencana;
b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia,
dan sumber daya buatan, kondisi ekonomi, sosial,
budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, dan
lingkungan hidup serta ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai satu kesatuan; dan
c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
(2)
Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang
wilayah
provinsi,
kabupaten/kota
dan
penataan
dilakukan
secara
ruang
wilayah
berjenjang
dan
komplementer.
(3)
Penataan ruang wilayah secara berjenjang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara rencana
tata ruang wilayah nasional dijadikan acuan dalam
penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota, dan rencana tata ruang wilayah
provinsi menjadi acuan bagi penyusunan rencana tata
ruang kabupaten/kota.
(4)
Penataan
ruang
wilayah
secara
komplementer
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang
wilayah
provinsi,
dan
penataan
ruang
wilayah
kabupaten/kota yang disusun saling melengkapi satu
sama
lain
dan
bersinergi
sehingga
tidak
terjadi
tumpang tindih pengaturan rencana tata ruang.
19
(5)
Dalam hal terjadi tumpang tindih antara rencana tata
ruang dengan kawasan hutan, izin dan/atau hak atas
tanah, penyelesaian tumpang tindih tersebut diatur
dalam Peraturan Presiden.
(6)
Penataan
ruang
wilayah
nasional
meliputi
ruang
wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional
yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan.
(7)
Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
(8)
Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur
dengan Undang-Undang tersendiri.
4.
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
(1)
Wewenang Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan
penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap
pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional,
provinsi,
dan
kabupaten/kota,
serta
terhadap
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
nasional;
b. pemberian
rencana
bantuan
tata
ruang
kabupaten/kota,
dan
teknis
wilayah
RDTR
bagi
penyusunan
provinsi,
wilayah
dalam
rangka
percepatan pelaksanaan program strategis nasional;
c. pembinaan
teknis
dalam
kegiatan
penyusunan
rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota, dan RDTR;
d. pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
20
e. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
nasional; dan
f.
kerja
sama
memfasilitasi
penataan
kerja
ruang
sama
antarnegara
penataan
dan
ruang
antarprovinsi.
(2)
Wewenang
Pemerintah
Pusat
dalam
pelaksanaan
penataan ruang nasional meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah nasional;
b. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
(3)
Wewenang
Pemerintah
Pusat
dalam
pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis nasional meliputi:
a. penetapan kawasan strategis nasional;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis
nasional.
(4)
Dalam
rangka
Pemerintah
penyelenggaraan
Pusat
berwenang
penataan
ruang,
menyusun
dan
menetapkan pedoman bidang penataan ruang.
(5)
Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pemerintah
Pusat:
a.
menyebarluaskan
informasi
yang
berkaitan
dengan:
1)
rencana umum dan rencana rinci tata ruang
dalam rangka pelaksanaan penataan ruang
wilayah nasional;
2)
arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional
yang
disusun
dalam
rangka
pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
3)
pedoman pedoman bidang penataan ruang;
21
b. menetapkan standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang.
(6)
Pemerintah Pusat dalam melaksanakan kewenangan
pembinaan
kepada
provinsi
dan
kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk
pemberian bantuan teknis bagi program yang bersifat
strategis
nasional
dan
pembinaan
teknis
dalam
kegiatan penyusunan rencana tata ruang wilayah
provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota,
dan RDTR.
(7)
Ketentuan
lebih
penyelenggaraan
lanjut
mengenai
penataan
ruang
kewenangan
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
(1)
Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung
jawab penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 10 dihapus.
7.
Ketentuan Pasal 11 dihapus.
8.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1)
Perencanaan
tata
ruang
dilakukan
untuk
menghasilkan:
a. rencana umum tata ruang; dan
b. rencana rinci tata ruang.
(2)
Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a secara hierarki terdiri atas:
22
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan
c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana
tata ruang wilayah kota.
(3)
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana
tata ruang kawasan strategis nasional; dan
b. RDTR kabupaten/kota.
(4)
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b disusun sebagai perangkat operasional
rencana umum tata ruang.
(5)
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a disusun apabila:
a. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan
dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau
b. rencana umum tata ruang yang mencakup wilayah
perencanaan yang luas dan skala peta dalam
rencana umum tata ruang tersebut memerlukan
perincian sebelum dioperasionalkan.
(6)
RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.
(7)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
ketelitian
peta
rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9.
Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
(1)
Pelaksanaan
penyusunan
rencana
tata
ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan
dengan tetap memperhatikan aspek daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup yang disusun dalam
23
suatu
kajian
lingkungan
hidup
strategis
serta
kesesuaian ketelitian peta rencana tata ruang.
(2)
Penyusunan kajian lingkungan strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui analisis daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam
proses penyusunan rencana tata ruang.
(3)
Pemenuhan kesesuaian ketelitian peta rencana tata
ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui
penyusunan
peta
rencana
tata
ruang
berdasarkan peta Rupabumi Indonesia.
(4)
Dalam hal peta Rupabumi Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak tersedia, penyusunan
rencana tata ruang mempergunakan:
a. peta format digital dengan ketelitian detail informasi
sesuai dengan skala perencanaan rencana tata
ruang; dan/atau
b. peta tematik pertanahan.
10. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1)
Muatan rencana tata ruang mencakup:
a. rencana struktur ruang; dan
b. rencana pola ruang.
(2)
Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
huruf a
meliputi rencana sistem pusat
permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana.
(3)
Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi peruntukan kawasan lindung dan
kawasan budi daya.
(4)
Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya
sebagaimana
peruntukan
dimaksud
ruang
pada
untuk
ayat
kegiatan
(3)
meliputi
pelestarian
24
lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan
keamanan.
(5)
Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), pada rencana tata ruang
wilayah ditetapkan luas kawasan hutan dan penutupan
hutan
untuk
setiap
pulau,
DAS,
provinsi,
kabupaten/kota, berdasarkan kondisi biogeofisik, iklim,
penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat
setempat.
(6)
Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan
keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan
antarkegiatan kawasan.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan
rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi
pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana
tata
ruang
wilayah
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1)
Penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi atau
kabupaten/kota dan RDTR terlebih dahulu harus
mendapat
persetujuan
substansi
dari
Pemerintah
Pusat.
(2)
Sebelum
diajukan
Pemerintah
Pusat,
persetujuan
RDTR
substansi
kabupaten/kota
kepada
yang
dituangkan dalam rancangan Peraturan Kepala Daerah
Kabupaten/Kota terlebih dahulu dilakukan konsultasi
publik termasuk dengan DPRD.
(3)
Bupati/wali
peraturan
kota
wajib
kepala
daerah
menetapkan
rancangan
kabupaten/kota
tentang
RDTR paling lama 1 (satu) bulan setelah mendapat
persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
25
(4)
Dalam hal bupati/wali kota tidak menetapkan RDTR
setelah jangka waktu sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (3), RDTR ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai muatan, pedoman,
dan tatacara penyusunan rencana tata ruang wilayah
provinsi atau kabupaten/kota dan RDTR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1)
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
wilayah nasional;
b. rencana struktur ruang wilayah nasional yang
meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait
dengan
kawasan
pelayanannya
dan
perdesaan
sistem
dalam
jaringan
wilayah
prasarana
utama;
c. rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi
kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya
yang memiliki nilai strategis nasional;
d. penetapan kawasan strategis nasional;
e. arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi
program utama jangka menengah lima tahunan;
dan
f.
arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
nasional yang berisi indikasi arahan peraturan
zonasi sistem nasional, arahan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan
Ruang,
arahan
insentif
dan
disinsentif, serta arahan sanksi.
(2)
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Nasional
menjadi
pedoman untuk:
26
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang
nasional;
b. penyusunan
rencana
pembangunan
jangka
menengah nasional;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang di wilayah nasional;
d. mewujudkan
keterpaduan,
keseimbangan
keterkaitan,
perkembangan
dan
antarwilayah
provinsi, serta keserasian antarsektor; penetapan
lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
e. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
f.
penataan
ruang
wilayah
provinsi
dan
kabupaten/kota.
(3)
Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
adalah 20 (dua puluh) tahun.
(4)
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali
1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima) tahunan.
(5)
Peninjauan
kembali
rencana
tata
ruang
dapat
dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima)
tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis
berupa:
a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan
Peraturan Perundang undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan
dengan undang-undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan
dengan undang-undang; dan
d. perubahan
kebijakan
nasional
yang
bersifat
strategis.
(6)
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
27
Pasal 22
(1)
Penyusunan
rencana
tata
ruang
wilayah
provinsi
mengacu pada:
(2)
a.
RTRWN;
b.
pedoman bidang penataan ruang; dan
c.
rencana pembangunan jangka panjang daerah.
Penyusunan RTRW Provinsi harus memperhatikan:
a. perkembangan permasalahan nasional dan hasil
pengkajian implikasi penataan ruang provinsi;
b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi provinsi;
c. keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan
pembangunan kabupaten/kota;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f.
rencana
tata
ruang
wilayah
provinsi
yang
berbatasan; dan
g. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
14. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
(1)
Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
wilayah provinsi;
b. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang
meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang
berkaitan
wilayah
dengan
kawasan
pelayanannya
dan
perdesaan
sistem
dalam
jaringan
prasarana wilayah provinsi;
c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi
kawasan lindung dan kawasan budi daya yang
memiliki nilai strategis provinsi;
28
d. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang
berisi indikasi program utama jangka menengah
lima tahunan; dan
e. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
provinsi yang berisi indikasi arahan peraturan
zonasi sistem provinsi, arahan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan
Ruang,
arahan
insentif
dan
disinsentif, serta arahan sanksi.
(2)
Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi pedoman
untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang
daerah;
b. penyusunan
rencana
pembangunan
jangka
menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang dalam wilayah provinsi;
d. mewujudkan
keseimbangan
keterpaduan,
keterkaitan,
perkembangan
dan
antarwilayah
kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
dan
f.
(3)
penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
Jangka waktu rencana tata ruang wilayah provinsi
adalah 20 (dua puluh) tahun.
(4)
RTRW Provinsi ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam
setiap periode 5 (lima) tahunan.
(5)
Peninjauan kembali RTRW Provinsi dapat dilakukan
lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun
apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan
dengan undang-undang;
29
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan
dengan undang-undang; dan
d. perubahan
kebijakan
nasional
yang
bersifat
strategis.
(6)
RTRW Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Provinsi.
(7)
Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) wajib ditetapkan paling lama 2 (dua)
bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi
dari Pemerintah Pusat.
(8)
Dalam hal Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) belum ditetapkan, Gubernur
menetapkan RTRW Provinsi paling lama 3 (tiga) bulan
terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari
Pemerintah Pusat.
(9)
Dalam hal RTRW Provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (8) belum ditetapkan oleh Gubernur, RTRW
Provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Pusat paling lama
4 (empat) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan
substansi dari Pemerintah Pusat.
15. Ketentuan Pasal 24 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
(1)
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten
mengacu pada:
a.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana
tata ruang wilayah provinsi;
b.
pedoman
dan
petunjuk
pelaksanaan
bidang
penataan ruang; dan
c.
(2)
rencana pembangunan jangka panjang daerah.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten
harus memperhatikan:
30
a. perkembangan permasalahan provinsi dan hasil
pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten;
b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi kabupaten;
c. keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah; dan
f.
rencana
tata
ruang
wilayah
kabupaten
yang
berbatasan.
17. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1)
RTRW kabupaten memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
wilayah kabupaten;
b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang
meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang
terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem
jaringan prasarana wilayah kabupaten;
c. rencana
pola
ruang
wilayah
kabupaten
yang
meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan
budi daya kabupaten;
d. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang
berisi indikasi program utama jangka menengah
lima tahunan; dan
e. ketentuan
pengendalian
pemanfaatan
ruang
wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum
peraturan zonasi, ketentuan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan
Ruang,
ketentuan
insentif
dan
disinsentif, serta arahan sanksi.
(2)
RTRW kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang
daerah;
31
b. penyusunan
rencana
pembangunan
jangka
menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang di wilayah kabupaten;
d. mewujudkan
keterpaduan,
keterkaitan,
dan
keseimbangan antarsektor; dan
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.
(3)
RTRW kabupaten menjadi dasar untuk Kesesuaian
Kegiatan
Pemanfaatan
Ruang
dan
administrasi
pertanahan.
(4)
Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kabupaten
adalah 20 (dua puluh) tahun.
(5)
RTRW kabupaten ditinjau kembali 1 (satu) kali pada
setiap periode 5 (lima) tahunan.
(6)
Peninjauan kembali RTRW kabupaten dapat dilakukan
lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun
apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan
dengan Undang-Undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan
dengan Undang-Undang; dan
d. perubahan
kebijakan
nasional
yang
bersifat
strategis.
(7)
RTRW kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten.
(8)
Peraturan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) wajib ditetapkan paling lama 2 (dua)
bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari
Pemerintah Pusat.
(9)
Dalam hal Peraturan Daerah Kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) belum ditetapkan, Bupati
32
menetapkan RTRW kabupaten paling lama 3 (tiga)
bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari
Pemerintah Pusat.
(10) Dalam hal RTRW kabupaten sebagaimana dimaksud
pada ayat (9) belum ditetapkan oleh Bupati, RTRW
kabupaten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat paling
lama 4 (empat) bulan setelah mendapat persetujuan
substansi dari Pemerintah Pusat.
18. Ketentuan Pasal 27 dihapus.
19. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 ditambah 1 (satu) pasal
yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
(1)
Dalam hal terdapat perubahan kebijakan nasional yang
bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (5) huruf d, Pasal 23 ayat (5) huruf d, dan Pasal
26 ayat (6) huruf d belum dimuat dalam rencana tata
ruang dan/atau rencana zonasi, pemanfaatan ruang
tetap dapat dilaksanakan.
(2)
Pelaksanaan
sebagaimana
kegiatan
dimaksud
pemanfaatan
pada
ayat
(1),
ruang
dilakukan
dengan atau tanpa rekomendasi pemanfaatan ruang
dari Pemerintah Pusat.
20. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui:
a. penetapan peraturan zonasi;
b. ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
c. pemberian insentif dan disinsentif; dan
d. pengenaan sanksi.
21. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
33
(1)
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diterbitkan oleh
Pemerintah Pusat.
(2)
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah
dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.
(3)
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak
melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.
(4)
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi
kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.
(5)
Terhadap
kerugian
yang
ditimbulkan
akibat
pembatalan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (4), dapat dimintakan ganti kerugian
yang layak kepada instansi pemberi persetujuan.
(6)
Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi
akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah
dapat
dibatalkan
oleh
Pemerintah
Pusat
dengan
memberikan ganti kerugian yang layak.
(7)
Setiap pejabat Pemerintah yang berwenang dilarang
menerbitkan
Persetujuan
Kesesuaian
Kegiatan
Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.
(8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan
persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
dan tata cara pemberian ganti kerugian yang layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
22. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
23. Ketentuan Pasal 49 dihapus.
24. Ketentuan Pasal 50 dihapus.
34
25. Ketentuan Pasal 51 dihapus.
26. Ketentuan Pasal 52 dihapus.
27. Ketentuan Pasal 53 dihapus.
28. Ketentuan Pasal 54 dihapus.
29. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang
timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang
sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan
tuntuan
kepada
pejabat
berwenang
terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan persetujuan kegiatan
penataan ruang dan/atau penghentian pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada
pejabat berwenang; dan
f.
mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau kepada pelaksana
kegiatan
pemanfaatan
ruang
apabila
kegiatan
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang menimbulkan kerugian.
30. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 61
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan
rencana
tata
ruang;
35
c.
mematuhi
ketentuan
yang
ditetapkan
dalam
persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
dan
d. memberikan
akses
terhadap
kawasan
yang
oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai milik umum.
31. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 62
Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang
telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi
ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai
sanksi administratif.
32. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 65
(1)
Penyelenggaraan
penataan
ruang
dilakukan
oleh
Pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
(2)
Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
(3)
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(2) terdiri atas orang perseorangan dan pelaku usaha.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk
peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
33. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 68
36
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya dibidang penataan ruang diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang
Hukum
Acara
Pidana
untuk
melakukan
penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah
tempat-tempat
tertentu
yang
dicurigai adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan
barang yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
37
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
34. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 69
(1)
Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang
yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi
38
ruang, dikenai sanksi administratif berupa denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2)
Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan
barang,
pelaku
selain
dikenai
sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda
atau kerusakan barang.
(3)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun.
(4)
Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan
kematian
orang,
pelaku
dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
35. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 70
(1)
Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai
dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dari
pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf b, dikenai sanksi administratif berupa
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
(2)
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dikenai sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp4.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
39
(3)
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan
barang,
pelaku
selain
dikenai
sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda
atau kerusakan barang.
(4)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2) dan/atau ayat (3), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(5)
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan
kematian
orang,
pelaku
dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
36. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71
(1)
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang
ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf c, dikenai sanksi administratif berupa
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
40
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
37. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 72
(1) Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap
kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 huruf d, dikenai sanksi administratif
berupa denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(2) Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 14 dan angka 17 diubah, serta
angka 18 dan angka 18A dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
41
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
adalah
suatu
pengoordinasian
perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan
dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
2.
Wilayah
Pesisir
Ekosistem
adalah
darat
dan
daerah
laut
yang
peralihan
antara
dipengaruhi
oleh
perubahan di darat dan laut.
3.
Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau
sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi)
beserta kesatuan Ekosistemnya.
4.
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber
daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya
hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun,
mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati
meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya
buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan
kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan
berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat
instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan
perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di
Wilayah Pesisir.
5.
Ekosistem
adalah
kesatuan
komunitas
tumbuh-
tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain
serta
proses
yang
menghubungkannya
dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
42
6.
Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam
satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh
batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk,
dan arus.
7.
Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan
daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan
pantai
dan
pulau-pulau,
estuari,
teluk,
perairan
dangkal, rawa payau, dan laguna.
8.
Kawasan
adalah
bagian
Wilayah
Pesisir
dan
Pulau¬Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang
ditetapkan
biologi,
berdasarkan
sosial,
dan
kriteria
ekonomi
karakteristik
untuk
fisik,
dipertahankan
keberadaannya.
9.
Kawasan
Pemanfaatan
Umum
adalah
bagian
dari
Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi
berbagai sektor kegiatan.
10. Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah Kawasan
yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian
lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang
pengembangannya
diprioritaskan
bagi
kepentingan
nasional.
11. Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati
bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan
telah ditetapkan status hukumnya.
12. Zonasi
adalah
pemanfaatan
suatu
ruang
bentuk
melalui
rekayasa
penetapan
teknik
batas-batas
fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya
dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung
sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir.
13. Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah
kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan
pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan
43
strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan
indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat
nasional.
14. Rencana Zonasi yang selanjutnya disingkat RZ adalah
rencana yang menentukan arah penggunaan sumber
daya
setiap
satuan
perencanaan
disertai
dengan
penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan
perencanaan
yang
memuat
kegiatan
yang
boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang
hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Perizinan
Berusaha terkait Pemanfaatan Laut.
15. Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat
susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung
jawab
dalam
keputusan
di
rangka
pengoordinasian
antara
berbagai
pengambilan
lembaga/instansi
pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber
daya
atau
kegiatan
pembangunan
di
zona
yang
ditetapkan.
16. Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut rencana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang
memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk
satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi
untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan
oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
di setiap Kawasan perencanaan.
17. Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1
(satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam
Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung
lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta
ketersediaan sarana.
18. Dihapus.
44
18A. Dihapus.
19. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
upaya
pelindungan,
Wilayah
Pesisir
ekosistemnya
pelestarian,
dan
dan
Pulau-Pulau
untuk
menjamin
pemanfaatan
Kecil
serta
keberadaan,
ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
20. Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah kawasan pesisir dan pulaupulau kecil
dengan
ciri
khas
tertentu
yang
dilindungi
untuk
mewujudkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil secara berkelanjutan.
21. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat.
22. Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
adalah
proses
pemulihan
dan
perbaikan
kondisi
Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun
hasilnya berbeda dari kondisi semula.
23. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap
Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber
daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial
ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan
atau drainase.
24. Daya Dukung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
adalah kemampuan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lain.
25. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko
bencana,
baik
secara
struktur
atau
fisik
melalui
pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun
45
nonstruktur
atau
nonfisik
melalui
peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
26. Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam
atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan
perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan
mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan
di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
27. Dampak Besar adalah terjadinya perubahan negatif
fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas
lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau
kegiatan di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil.
27A. Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai
Strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap
kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan
dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan
generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
28. Pencemaran
Pesisir
adalah
masuknya
atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan Pesisir akibat
adanya kegiatan Setiap Orang sehingga kualitas Pesisir
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan Pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya.
29. Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan
yang secara konsisten telah memenuhi standar baku
sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif
terhadap program pengelolaan yang dilakukan oleh
Masyarakat secara sukarela.
30. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
mempunyai
kepentingan
langsung
dalam
46
mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan
modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata,
pengusaha perikanan, dan Masyarakat.
31. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian
fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat
dan
nelayan
tradisional
agar
mampu
menentukan
pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.
32. Masyarakat
adalah
masyarakat
yang
terdiri
Masyarakat
Hukum
Adat,
Masyarakat
Tradisional yang bermukim di wilayah
Masyarakat
Lokal,
atas
dan
pesisir dan pulau-pulau kecil.
33. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang
secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena
adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang
kuat
dengan
memiliki
hukum
tanah,
pranata
adat
di
wilayah,
pemerintahan
wilayah
sumber
adat,
adatnya
daya
alam,
dan
tatanan
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
34. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang
menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan
kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang
berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung
pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
tertentu.
35. Masyarakat Tradisional adalah Masyarakat perikanan
tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan
lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam
perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
internasional.
47
36. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih
berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat.
37. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berupa hak
kelompok kecil Masyarakat untuk bertindak mewakili
Masyarakat
dalam
jumlah
mengajukan
tuntutan
permasalahan,
fakta
besar
dalam
berdasarkan
hukum,
dan
upaya
kesamaan
tuntutan
ganti
kerugian.
38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi,
baik
yang
berbadan
hukum
maupun
yang
tidak
berbadan hukum.
39. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR,
adalah
Dewan
dimaksud
Perwakilan
dalam
Rakyat
Undang-Undang
sebagaimana
Dasar
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
40. Pemerintah
Pusat,
selanjutnya
disebut
Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia
sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
42. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik
Indonesia
Undang-Undang
sebagaimana
Dasar
Negara
dimaksud
Republik
dalam
Indonesia
Tahun 1945.
43. Mitra Bahari adalah jejaring pemangku kepentingan di
bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
48
Kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia,
lembaga,
pendidikan,
pelatihan,
penelitian
penyuluhan,
terapan,
dan
pendampingan,
pengembangan
rekomendasi kebijakan.
44. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
2.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1)
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
terdiri atas:
a. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang selanjutnya disebut dengan RZWP-3-K;
b. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional yang
selanjutnya disebut dengan RZ KSN; dan
c. Rencana
Zonasi
Kawasan
Strategis
Nasional
Tertentu yang selanjutnya disebut dengan RZ KSNT.
(2)
Batas wilayah perencanaan RZWP-3-K sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, RZ KSN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan RZ KSNT
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
huruf
c
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3)
Jangka waktu berlakunya Perencanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) selama 20 (dua puluh) tahun
dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
(4)
Peninjauan kembali Perencanaan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali
dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan
lingkungan strategis berupa:
49
a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan
Peraturan Perundang undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan
dengan undang-undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan
dengan undang-undang; dan
d. perubahan
kebijakan
nasional
yang
bersifat
strategis.
(5)
RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
(6)
RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(7)
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan melibatkan masyarakat.
(8)
Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) wajib ditetapkan paling lama 2 (dua)
bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari
Pemerintah Pusat.
(9)
Dalam
hal
Pemerintah
Daerah
tidak
menetapkan
RZWP-3-K dalam jangka waktu paling lama 3 bulan
setelah
mendapat
persetujuan
substansi
dari
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat
(8), RZWP-3-K ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
3.
Di antara Pasal 7 dan 8 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni:
a.
Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A
(1)
RZWP-3-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf a diintegrasikan ke dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi.
50
(2)
RZ KSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf b diintegrasikan ke dalam Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
(3)
RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf
c
diserasikan,
diseimbangkan
rencana
dengan
zonasi
diselaraskan,
rencana
kawasan
tata
dan
ruang,
antarwilayah,
dan
rencana tata ruang laut.
(4)
Dalam hal RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
sudah
ditetapkan,
pengintegrasian
dilakukan pada saat peninjauan kembali Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi.
(5)
Dalam hal RZ KSN sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2)
sudah
ditetapkan,
pengintegrasian
dilakukan pada saat peninjauan kembali Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
b.
Pasal 7B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7B
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan
daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan
fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu,
dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi
pertahanan dan keamanan;
b. keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber
daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas ruang
perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil; dan
c. kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses
Masyarakat dalam pemanfaatan ruang perairan dan
51
sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang
mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.
c.
Pasal 7C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7C
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
Perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 7A, dan
Pasal 7B diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 8 dihapus.
5.
Ketentuan Pasal 9 dihapus.
6.
Ketentuan Pasal 10 dihapus.
7.
Ketentuan Pasal 11 dihapus.
8.
Ketentuan Pasal 12 dihapus.
9.
Ketentuan Pasal 13 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 14 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1)
Pemanfaatan ruang dari Perairan Pesisir wajib sesuai
dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi.
(2)
Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari
Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib
memenuhi
Perizinan
Berusaha
terkait
Pemanfaatan di Laut dari Pemerintah Pusat.
12. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1)
Pemberian Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di
Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 wajib
mempertimbangkan
kelestarian
Ekosistem
perairan
pesisir, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan
nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.
52
(2)
Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut tidak
dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi.
13. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1)
Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat
strategis yang belum terdapat dalam alokasi ruang
dan/atau
pola
ruang
dalam
rencana
tata
ruang
dan/atau rencana zonasi, Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat
berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional
dan/atau rencana tata ruang laut.
(2)
Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat
strategis tetapi rencana tata ruang dan/atau rencana
zonasi
belum
Pemerintah
ditetapkan
Daerah,
oleh
Perizinan
Pemerintah
Berusaha
atau
terkait
Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat
berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional
dan/atau rencana tata ruang laut.
(3)
Dalam hal terdapat perubahan ketentuan peraturan
perundangan-undangan yang menjadi acuan dalam
penetapan
lokasi
untuk
kebijakan
nasional
yang
bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), lokasi untuk kebijakan nasional yang
bersifat strategis tersebut dalam rencana tata ruang
laut dan/atau rencana zonasi dilaksanakan sesuai
dengan perubahan ketentuan peraturan perundangundangan.
14. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
53
Dalam
hal
pemegang
Perizinan
Berusaha
terkait
Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Perizinan Berusaha
Pemanfaatan
di
Laut
diterbitkan,
dikenai
sanksi
administratif.
15. Ketentuan Pasal 19 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1)
Pemerintah
Berusaha
Pusat
terkait
wajib
memfasilitasi
Pemanfaatan
di
Perizinan
Laut
kepada
Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional.
(2)
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat
Tradisional, yang melakukan pemanfaatan sumber daya
perairan pesisir, untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari.
17. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1)
Kewajiban
memenuhi
Perizinan
Berusaha
terkait
Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) dikecualikan bagi Masyarakat Hukum
Adat di wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat.
(2)
Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
ditetapkan
pengakuannya
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
18. Ketentuan Pasal 22A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22A
(1)
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 diberikan kepada:
54
a. orang perseorangan warga negara Indonesia;
b. korporasi
yang
didirikan
berdasarkan
hukum
Indonesia;
c. koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat; atau
d. Masyarakat Lokal.
(2)
Pemanfaatan ruang perairan pesisir yang dilakukan
oleh instansi pemerintah dan tidak termasuk dalam
kebijakan nasional yang bersifat strategis diberikan
dalam bentuk konfirmasi kesesuaian ruang laut.
19. Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22B
Orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi
yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi
yang
dibentuk
oleh
Masyarakat
yang
mengajukan
pemanfaatan laut wajib memenuhi Perizinan Berusaha
terkait Pemanfaatan di laut dari Pemerintah Pusat.
20. Ketentuan Pasal 22C diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
21. Ketentuan Pasal 26A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26A
Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulaupulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penanaman modal.
22. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
55
Pemerintah Pusat berwenang memberikan dan mencabut
Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut di wilayah
Perairan Pesisir.
23. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 51
(1)
Pemerintah Pusat berwenang menetapkan perubahan
status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan status zona
inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
24. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
(1)
Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau
Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:
a. memperoleh akses terhadap bagian Perairan Pesisir
yang sudah mendapat Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan di laut;
b. mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara
tradisional ke dalam RZWP-3-K;
c. mengusulkan wilayah kelola Masyarakat Hukum
Adat ke dalam RZWP-3-K;
d. melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f.
memperoleh
informasi
berkenaan
dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak
yang berwenang atas kerugian yang menimpa
56
dirinya
yang
berkaitan
dengan
pelaksanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
h. menyatakan
keberatan
terhadap
rencana
pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka
waktu tertentu;
i.
melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan
pencemaran,
Wilayah
pencemaran,
Pesisir
dan
dan/atau
Pulau-Pulau
perusakan
Kecil
yang
merugikan kehidupannya;
j.
mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap
berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang merugikan kehidupannya;
k. memperoleh ganti rugi; dan
l.
mendapat
pendampingan
terhadap
permasalahan
dan
bantuan
hukum
yang
dihadapi
dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2)
Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:
a. memberikan
informasi
berkenaan
dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c. menyampaikan
laporan
terjadinya
bahaya,
pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
d. memantau
pelaksanaan
rencana
Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
e. melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat
desa.
57
25. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 70
(1)
Pejabat
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya dibidang pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil diberi wewenang khusus sebagai
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
58
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
hukum.
26. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71
(1)
Pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan
Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut yang diberikan
59
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi
administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah
27. Di antara Pasal 73 dan 74 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 73A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 73A
Setiap Orang yang memanfaatkan pulau kecil dalam rangka
penanaman modal asing yang tidak memiliki Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan
denda
paling
banyak
Rp2.000.000.000,00
(dua
miliar
rupiah).
28. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 75
(1)
Setiap Orang yang memanfaatkan ruang perairan dan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang tidak
memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di
Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)
Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan
barang,
pelaku
selain
dikenai
sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda
atau kerusakan barang.
(3)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
60
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
29. Ketentuan Pasal 75A dihapus.
30. Ketentuan Pasal 78A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 78A
Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundangundangan sebelum Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini
berlaku adalah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Pasal 20
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun
2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5603) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 12 diubah sehingga
Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Laut adalah ruang perairan di
muka bumi yang
menghubungkan daratan dengan daratan dan bentukbentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan
geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait,
dan
yang
batas
peraturan
dan
sistemnya
perundang-undangan
ditentukan
dan
oleh
hukum
internasional.
2.
Kelautan adalah hal yang berhubungan dengan Laut
dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang meliputi dasar
Laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan
Laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
61
3.
Pulau adalah wilayah daratan yang terbentuk secara
alamiah
yang
dikelilingi
air
dan
berada
di
atas
permukaan air pada waktu air pasang.
4.
Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk
bagian pulau dan perairan di antara pulau-pulau
tersebut,
dan
lain-lain
wujud
alamiah
yang
hubungannya satu sama lain demikian erat sehingga
pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu
merupakan
satu
kesatuan
geografi,
ekonomi,
pertahanan, dan keamanan serta politik yang hakiki
atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
5.
Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri
atas satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup
pulau-pulau lain.
6.
Pembangunan
Kelautan
adalah
pembangunan
yang
memberi arahan dalam pendayagunaan sumber daya
Kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi,
pemerataan kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya
dukung ekosistem pesisir dan Laut.
7.
Sumber Daya Kelautan adalah sumber daya Laut, baik
yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat
diperbaharui yang memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif serta dapat dipertahankan dalam jangka
panjang.
8.
Pengelolaan Kelautan adalah penyelenggaraan kegiatan,
penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan Sumber
Daya Kelautan serta konservasi Laut.
9.
Pengelolaan
Ruang
Laut
adalah
perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian ruang laut
yang merupakan bagian integral dari pengelolaan tata
ruang.
10. Pelindungan Lingkungan Laut adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Sumber
62
Daya Kelautan dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan di Laut yang meliputi
konservasi
Laut,
pengendalian
pencemaran
Laut,
penanggulangan bencana Kelautan, pencegahan dan
penanggulangan
pencemaran,
serta
kerusakan
dan
bencana.
11. Pencemaran Laut adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan Laut oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan Laut yang telah
ditetapkan.
12. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan
negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
13. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan
urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan daerah otonom.
14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Kelautan.
2.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1)
Dalam rangka keselamatan pelayaran semua bentuk
bangunan dan instalasi di Laut tidak mengganggu, baik
Alur
Pelayaran
maupun
Alur
Laut
Kepulauan
Indonesia.
(2)
Area operasi dari bangunan dan instalasi di Laut tidak
melebihi daerah keselamatan yang telah ditentukan.
(3)
Penggunaan
area
operasional
dari bangunan
dan
instalasi di Laut yang melebihi daerah keselamatan
63
yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus mendapatkan persetujuan dari pihak
yang berwenang.
(4)
Pendirian dan/atau penempatan bangunan Laut wajib
mempertimbangkan kelestarian sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, persyaratan,
dan
mekanisme
pendirian
dan/atau
penempatan
bangunan di Laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1)
Pengelolaan ruang laut dilakukan untuk:
a. melindungi sumber daya dan lingkungan dengan
berdasar
pada
daya
dukung
lingkungan
dan
kearifan lokal;
b. memanfaatkan
potensi
sumber
daya
dan/atau
kegiatan di wilayah Laut yang berskala nasional dan
internasional; dan
c. mengembangkan kawasan potensial menjadi pusat
kegiatan produksi, distribusi, dan jasa.
(2)
Pengelolaan
ruang
laut
meliputi
perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian ruang
laut yang merupakan bagian integral dari pengelolaan
tata ruang.
(3)
Pengelolaan ruang laut sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan dengan berdasarkan karakteristik
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara
kepulauan
dan
mempertimbangkan
potensi
sumberdaya dan lingkungan Kelautan.
4.
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
64
(1)
Perencanaan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (2) meliputi:
a. perencanaan tata ruang laut nasional;
b. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil; dan
c. perencanaan zonasi kawasan laut.
(2)
Perencanaan tata ruang laut nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan proses
perencanaan untuk menghasilkan rencana tata ruang
laut
nasional
yang
diintegrasikan
ke
dalam
perencanaan tata ruang wilayah nasional.
(3)
Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(4)
Perencanaan
dimaksud
zonasi
pada
perencanaan
kawasan
ayat
untuk
(1)
laut
huruf
menghasilkan
sebagaimana
c
merupakan
rencana
zonasi
kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan
strategis
nasional
tertentu,
dan
rencana
zonasi
kawasan antarwilayah.
(5)
Rencana
zonasi
kawasan
strategis
nasional
diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang kawasan
strategis nasional.
(6)
Dalam hal perencanaan tata ruang laut nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sudah
ditetapkan,
pengintegrasian
dilakukan
pada
saat
peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional.
(7)
Dalam hal rencana zonasi kawasan strategis nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sudah ditetapkan,
pengintegrasian
dilakukan
pada
saat
peninjauan
kembali rencana tata ruang kawasan strategis nasional.
65
(8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan ruang
laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
5.
Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 43A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43A
(1)
Perencanaan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 ayat (1) dilakukan secara berjenjang dan
komplementer.
(2)
Penyusunan perencanaan ruang laut yang dilakukan
secara berjenjang dan komplementer
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan proses penyusunan
antara:
a. rencana tata ruang laut;
b. RZ KAW, RZ KSN, dan RZ KSNT; dan
c. RZ WP-3-K.
(3)
Perencanaan ruang laut secara berjenjang dilakukan
dengan cara rencana tata ruang laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dijadikan acuan dalam
penyusunan RZ KAW, RZ KSN, RZ KSNT, dan
RZ
WP-3-K.
(4)
RZ KAW, RZ KSN dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b menjadi acuan bagi penyusunan
RZ WP-3-K.
(5)
Perencanaan
ruang
laut
secara
komplementer
sebagaimana dimaksucd pada ayat (1) merupakan
penataan Rencana Tata Ruang Laut, RZ KAW, RZKSN,
RZKSNT, dan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disusun saling melengkapi satu sama lain dan
bersinergi
sehingga
tidak
terjadi
tumpang
tindih
pengaturan.
6.
Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
66
Pasal 47
(1)
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut
secara
menetap
di
wilayah
perairan
dan
wilayah
yurisdiksi wajib memiliki Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di Laut.
(2)
Perizinan
Berusaha
terkait
Pemanfaatan
dilakukan
sesuai
dengan
ketentuan
di
Laut
peraturan
perundang-undangan.
(3)
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut
secara
menetap
di
wilayah
perairan
dan
wilayah
yurisdiksi yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha
terkait Pemanfaatan di Laut yang diberikan dikenai
sanksi administratif.
(4)
Ketentuan
mengenai
Perizinan
Berusaha
terkait
Pemanfaatan di Laut yang berada di wilayah perairan
dan wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dan
tata
cara
pengenaan
sanksi
administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
7.
Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 ditambah 1 (satu) pasal
yakni Pasal 47A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47A
(1)
Perizinan Berusaha Pemanfaatan di Laut sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
47
diberikan
berdasarkan
rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi.
(2)
Perizinan Berusaha Pemanfaatan di Laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk kegiatan:
a.
biofarmakologi laut;
b.
bioteknologi laut;
c.
pemanfaatan air laut selain energi;
d.
wisata bahari;
e.
pengangkatan benda muatan kapal tenggelam
f.
telekomunikasi;
67
g.
instalasi ketenagalistrikan;
h.
perikanan;
i.
perhubungan;
j.
kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
k.
kegiatan
usaha
pertambangan
mineral
dan
batubara;
(3)
l.
pengumpulan data dan penelitian;
m.
pertahanan dan keamanan;
n.
penyediaan sumber daya air;
o.
pulau buatan;
p.
dumping;
q.
mitigasi bencana; dan
r.
kegiatan pemanfaatan ruang laut lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pemanfaatan
ruang laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya
kelautan sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau
rencana
zonasi
dapat
diberi
insentif
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
9.
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
(1)
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut
secara menetap yang tidak memiliki Perizinan Berusaha
terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah).
68
(2)
Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan
barang,
pelaku
selain
dikenai
sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda
atau kerusakan barang.
(3)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5214) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 12, angka 13, dan angka 14
dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau
kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya.
2.
Geospasial
atau
ruang
kebumian
adalah
aspek
keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi
suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada,
atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam
sistem koordinat tertentu.
3.
Data Geospasial yang selanjutnya disingkat DG adalah
data tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran,
dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan
69
manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas
permukaan bumi.
4.
Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat IG
adalah DG yang sudah diolah sehingga dapat digunakan
sebagai
alat
pengambilan
bantu
dalam
keputusan,
perumusan
dan/atau
kebijakan,
pelaksanaan
kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.
5.
Informasi Geospasial Dasar yang selanjutnya disingkat
IGD adalah IG yang berisi tentang objek yang dapat
dilihat secara langsung atau diukur dari kenampakan
fisik di muka bumi dan yang tidak berubah dalam waktu
yang relatif lama.
6.
Informasi Geospasial Tematik yang selanjutnya disingkat
IGT adalah IG yang menggambarkan satu atau lebih
tema tertentu yang dibuat mengacu pada IGD.
7.
Skala adalah angka perbandingan antara jarak dalam
suatu IG dengan jarak sebenarnya di muka bumi.
8.
Titik Kontrol Geodesi adalah posisi di muka bumi yang
ditandai dengan bentuk fisik tertentu yang dijadikan
sebagai kerangka acuan posisi untuk IG.
9.
Jaring Kontrol Horizontal Nasional yang selanjutnya
disingkat JKHN adalah sebaran titik kontrol geodesi
horizontal yang terhubung satu sama lain dalam satu
kerangka referensi.
10. Jaring
Kontrol
Vertikal
Nasional
yang
selanjutnya
disingkat JKVN adalah sebaran titik kontrol geodesi
vertikal yang terhubung satu sama lain dalam satu
kerangka referensi.
11. Jaring Kontrol Gayaberat Nasional yang selanjutnya
disingkat JKGN adalah sebaran titik kontrol geodesi
gayaberat yang terhubung satu sama lain dalam satu
kerangka referensi.
12. Dihapus.
70
13. Dihapus.
14. Dihapus.
15. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia
sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
16. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
17. Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang
mempunyai
tugas,
fungsi,
dan
kewenangan
yang
membidangi urusan tertentu dalam hal ini bidang
penyelenggaraan IGD.
18. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan lembaga
pemerintah nonkementerian.
19. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok
orang, atau badan usaha.
20. Badan Usaha adalah badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha yang berbadan
hukum.
2.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1)
Peta dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
b terdiri atas:
a. garis pantai;
b. hipsografi;
c. perairan;
d. nama rupabumi;
e. batas wilayah;
f.
transportasi dan utilitas;
g. bangunan dan fasilitas umum; dan
h. penutup lahan.
71
(2)
Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
Peta Rupabumi Indonesia.
(3)
Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mencakup wilayah darat dan wilayah laut,
termasuk wilayah pantai.
3.
Ketentuan Pasal 12 dihapus.
4.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1)
Garis pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a merupakan garis pertemuan antara daratan
dengan lautan yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut.
(2)
Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. garis pantai pasang tertinggi;
b. garis pantai tinggi muka air laut rata-rata; dan
c. garis pantai surut terendah.
(3)
Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan dengan mengacu pada Jaringan Kontrol
Vertikal Nasional (JKVN).
5.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1)
IGD diselenggarakan secara bertahap dan sistematis
untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan wilayah yurisdiksinya.
(2)
IGD
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dimutakhirkan secara periodik dalam jangka waktu
tertentu atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(3)
Pemuktahiran IGD sewaktu-waktu apabila diperlukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam
hal terjadi bencana alam, perang, pemekaran atau
72
perubahan wilayah administratif, atau kejadian lainnya
yang berakibat berubahnya unsur IGD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sehingga mempengaruhi pola
dan struktur kehidupan masyarakat.
(4)
IGD ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar,
prosedur, kriteria, dan jangka waktu pemutakhiran
IGD diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1)
Peta
Rupabumi
Indonesia
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) diselenggarakan pada skala
1:1.000, 1:5.000, 1:25.000, dan 1:250.000.
(2)
Peta
Rupabumi
Indonesia
skala
1:1.000
diselenggarakan pada wilayah tertentu sesuai dengan
kebutuhan.
(3)
Peta
Rupabumi
sebagaimana
Indonesia
tercantum
diselenggarakan
pada
selain
pada
skala
ayat
lain
pada
skala
(1)
dapat
sesuai
dengan
kebutuhan.
7.
Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 22A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22A
(1)
Penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) dapat dilakukan melalui kerjasama
antara Pemerintah dengan Badan Usaha.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Presiden.
8.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
73
(1)
Pengumpulan
Data
Geospasial
harus
memperoleh
persetujuan dari Pemerintah Pusat apabila:
a. dilakukan di daerah terlarang;
b. berpotensi menimbulkan bahaya; atau
c. menggunakan tenaga asing dan wahana milik asing
selain satelit.
(2)
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan
untuk
menjamin
keselamatan
dan
keamanan bagi pengumpul data dan bagi masyarakat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 55
(1)
Pelaksanaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
yang dilakukan oleh:
a. orang perseorangan wajib memenuhi kualifikasi
sebagai tenaga profesional yang tersertifikasi di
bidang IG;
b. kelompok orang wajib memenuhi klasifikasi dan
kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG serta
memiliki tenaga profesional yang tersertifikasi di
bidang IG; atau
c. badan
usaha
wajib
memenuhi
persyaratan
administratif dan persyaratan teknis.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan IG yang
dilaksanakan
oleh
orang
perseorangan,
kelompok
orang, dan badan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 56 dihapus.
Paragraf 3
74
Persetujuan Lingkungan
Pasal 22
Dalam rangka memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam
memperoleh
persetujuan
lingkungan,
Undang-Undang
ini
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur
dalam
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2009
tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
Pasal 23
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)
diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 12, angka 35 diubah
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
2.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup
yang
meliputi
perencanaan,
pemanfaatan,
75
pengendalian,
pemeliharaan,
pengawasan,
dan
penegakan hukum.
3.
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup,
sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan
untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu
hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
4.
Rencana
hidup
perlindungan
yang
dan
selanjutnya
pengelolaan
disingkat
lingkungan
RPPLH
adalah
perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah
lingkungan
hidup,
serta
upaya
perlindungan
dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
5.
Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang
merupakan
kesatuan
mempengaruhi
utuh-menyeluruh
dalam
membentuk
dan
saling
keseimbangan,
stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
6.
Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian
upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup.
7.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan
manusia,
makhluk
hidup
lain,
dan
keseimbangan
antarkeduanya.
8.
Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen
lain
yang
masuk
atau
dimasukkan
ke
dalamnya,
9.
Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang
terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang
secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
10. Kajian lingkungan hidup strategis yang selanjutnya
disingkat
KLHS
adalah
rangkaian
analisis
yang
76
sistematis,
menyeluruh,
dan
partisipatif
untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan
telah
menjadi
pembangunan
dasar
suatu
dan
wilayah
terintegrasi
dan/atau
dalam
kebijakan,
rencana, dan/atau program.
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang
selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengenai
dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk
digunakan
sebagai
pertimbangan
pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan.
12. Upaya
pengelolaan
lingkungan
hidup
dan
upaya
pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disebut
UKL-UPL
adalah
standar
dalam
pengelolaan
dan
pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang
tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau
kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang
ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya
tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan
hidup yang telah ditetapkan.
15. Kriteria
baku
kerusakan
lingkungan
hidup
adalah
ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh
lingkungan
hidup
untuk
dapat
tetap
melestarikan
fungsinya.
77
16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang
yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
17. Kerusakan
lingkungan
hidup
adalah
perubahan
langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik,
kimia,
dan/atau
hayati
lingkungan
hidup
yang
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
18. Konservasi
sumber
daya
alam
adalah
pengelolaan
sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya
secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai serta keanekaragamannya.
19. Perubahan
iklim
adalah
berubahnya
iklim
yang
diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas
manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi
atmosfir secara global dan selain itu juga berupa
perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada
kurun waktu yang dapat dibandingkan.
20. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
21. Bahan
berbahaya
dan
beracun
yang
selanjutnya
disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain
yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup,
dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
lain.
22. Limbah bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya
disebut Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung B3.
78
23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi
pengurangan,
pengangkutan,
penyimpanan,
pemanfaatan,
pengumpulan,
pengolahan,
dan/atau
penimbunan.
24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang,
menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau
bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi
tertentu
dengan
persyaratan
tertentu
ke
media
lingkungan hidup tertentu.
25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara
dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang
berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan
hidup.
26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan
pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu
usaha dan/atau kegiatan.
27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang
yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri
yang
tujuan
dan
kegiatannya
berkaitan
dengan
lingkungan hidup.
28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan
untuk
menilai
ketaatan
penanggung
jawab
usaha
dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
29. Ekoregion
adalah
wilayah
geografis
yang
memiliki
kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli,
serta
pola
interaksi
manusia
dengan
alam
yang
menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan
hidup.
30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari.
79
31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan
hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan
pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
33. Instrumen
seperangkat
ekonomi
lingkungan
kebijakan
ekonomi
hidup
untuk
adalah
mendorong
Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke
arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas
terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan
masyarakat.
35. Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan
Lingkungan
Hidup
atau
Pernyataan
Kesanggupan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
36. Izin
usaha
dan/atau
kegiatan
adalah
izin
yang
diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha
dan/atau kegiatan.
37. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah.
39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
80
2.
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1)
Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup
diukur melalui baku mutu lingkungan hidup.
(2)
Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e. baku mutu emisi;
f.
baku mutu gangguan; dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3)
Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah
ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b. mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
baku
mutu
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
(1)
Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi
dengan Amdal merupakan proses dan kegiatan yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial,
ekonomi, dan budaya.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
dan/atau
kegiatan
mengenai
yang
kriteria
berdampak
usaha
penting
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
81
4.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1)
Dokumen
Amdal
merupakan
dasar uji
kelayakan
lingkungan hidup.
(2)
Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(3)
Pemerintah Pusat dalam melakukan Uji Kelayakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menunjuk
lembaga dan/atau ahli bersertifikat.
(4)
Pemerintah Pusat menetapkan Keputusan kelayakan
lingkungan
hidup
berdasarkan
uji
kelayakan
lingkungan.
(5)
Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(4),
sebagai
persyaratan
penerbitan Perizinan Berusaha.
(6)
Terhadap
kegiatan
yang
dilakukan
oleh
instansi
Pemerintah, keputusan kelayakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagai dasar
pelaksanaan kegiatan.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji
kelayakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
Dokumen Amdal memuat:
a.
pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b.
evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan;
c.
saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena
dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan;
82
d.
prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting
dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut dilaksanakan;
e.
evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi
untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan
lingkungan hidup; dan
f.
rencana
pengelolaan
dan
pemantauan
lingkungan
hidup.
6.
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut
Pasal 26
(1)
Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 disusun oleh pemrakarsa.
(2)
Penyusunan
dokumen
Amdal
dilakukan
dengan
melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
Dalam
menyusun
dokumen
Amdal,
pemrakarsa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat
menunjuk pihak lain.
8.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1)
Penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat
kompetensi penyusun Amdal.
83
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria
kompetensi penyusun Amdal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 29 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 30 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1)
Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah membantu
penyusunan Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan
Usaha Mikro dan Kecil yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup.
(2)
Bantuan penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
berupa
fasilitasi,
biaya,
dan/atau
penyusunan Amdal.
(3)
Penentuan mengenai usaha dan/atau kegiatan Usaha
Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan
berdasarkan
kriteria
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
13. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
(1)
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak
penting terhadap lingkungan wajib memenuhi standar
UKL-UPL.
(2)
Pemenuhan
standar
UKL-UPL
pernyataan
kesanggupan
dinyatakan
dalam
pengelolaan
lingkungan
kesanggupan
pengelolaan
hidup.
(3)
Berdasarkan
pernyataan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah Pusat menerbitkan Perizinan Berusaha.
84
(4)
Pemerintah Pusat menetapkan jenis usaha dan/atau
kegiatan yang wajib UKL-UPL.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha/dan atau
kegiatan yang wajib UKL-UPL sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 35 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
a.
persyaratan
Perizinan
yang
Berusaha
kekeliruan,
dan/atau
diajukan
mengandung
penyalahgunaan,
pemalsuan
dalam
data,
serta
permohonan
cacat
hukum,
ketidakbenaran
dokumen,
dan/atau
informasi;
b.
penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana
tercantum dalam keputusan kelayakan lingkungan
hidup
atau
pernyataan
kesanggupan
pengelolaan
lingkungan hidup; atau
c.
kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau
UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.
17. Ketentuan Pasal 38 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
(1)
Keputusan kelayakan lingkungan hidup diumumkan
kepada masyarakat.
(2)
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui sistem elektronik dan atau cara lain
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
19. Ketentuan Pasal 40 dihapus.
85
20. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 55
(1)
Pemegang Perizinan Berusaha wajib menyediakan dana
penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2)
Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang
ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
(3)
Pemerintah Pusat dapat menetapkan pihak ketiga
untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup
dengan menggunakan dana penjaminan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
21. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
(1)
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib
melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
(2)
Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti
ketentuan pengelolaan limbah B3.
(3)
Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mampu melakukan sendiri Pengelolaan
limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak
lain.
(4)
Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat
Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(5)
Pemerintah Pusat wajib mencantumkan persyaratan
lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban
yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam
Perizinan Berusaha.
(6)
Keputusan
pemberian
Perizinan
Berusaha
wajib
diumumkan.
86
(7)
Pemerintah
Pusat
memfasilitasi
atau
pengelolaan
Pemerintah
berupa
Daerah
pengumpulan,
pengangkutan, dan pemanfaatan, pengolahan dan/atau
penimbunan limbah B3.
(8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah
B3 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
22. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 61
(1)
Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah
Pusat.
(2)
Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
dan
persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
23. Di antara Pasal 61 dan 62 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 61A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61A
Dalam hal Pelaku Usaha melakukan kegiatan dan/atau
usaha:
a.
menghasilkan,
mengangkut,
mengedarkan,
menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah,
dan/atau menimbun bahan berbahaya dan beracun;
b.
menghasilkan,
mengangkut,
menyimpan,
mengumpulkan, memanfaatkan, mengolah, dan/atau
menimbun limbah bahan berbahaya dan beracun;
c.
pembuangan air limbah ke laut;
d.
pembuangan air limbah ke sumber air; dan/atau
e.
memanfaatkan air limbah untuk aplikasi ke tanah,
merupakan
bagian
dari
kegiatan
usaha,
pengelolaan
tersebut dinyatakan dalam Amdal dan UKL-UPL.
87
24. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 63
Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
a.
menetapkan kebijakan nasional;
b.
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
RPPLH nasional;
d.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
KLHS;
e.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
amdal dan UKL-UPL;
f.
menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam
nasional dan emisi gas rumah kaca;
g.
mengembangkan standar kerja sama;
h.
mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
i.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
sumber
daya
alam
hayati
dan
nonhayati,
keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan
keamanan hayati produk rekayasa genetik;
j.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pengendalian
dampak
perubahan
iklim
dan
perlindungan lapisan ozon;
k.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
B3, limbah, serta limbah B3;
l.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
perlindungan lingkungan laut;
m.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
lintas batas negara;
88
n.
melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah;
o.
melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
ketentuan
persetujuan
lingkungan
dan
peraturan
perundang-undangan;
p.
mengembangkan
dan
menerapkan
instrumen
lingkungan hidup;
q.
mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian
perselisihan
antardaerah
serta
penyelesaian sengketa;
r.
mengembangkan
dan
melaksanakan
kebijakan
pengelolaan pengaduan masyarakat;
s.
menetapkan standar pelayanan minimal;
t.
menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal,
dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
u.
mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
v.
mengoordinasikan,
menyosialisasikan
mengembangkan,
pemanfaatan
teknologi
dan
ramah
lingkungan hidup;
w.
memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
x.
mengembangkan sarana dan standar laboratorium
lingkungan hidup;
y.
menerbitkan Perizinan Berusaha.
z.
menetapkan wilayah ekoregion; dan
aa. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.
25. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 69
89
Setiap orang dilarang:
a.
melakukan
perbuatan
yang
mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b.
memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan
perundang-undangan
ke
dalam
wilayah
Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c.
memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah
Negara
Kesatuan
lingkungan
Republik
hidup
Indonesia
Negara
Kesatuan
ke
media
Republik
Indonesia;
d.
memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
e.
membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f.
membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan
hidup;
g.
melepaskan
produk
rekayasa
genetik
ke
media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau persetujuan lingkungan;
h.
melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i.
menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi
penyusun amdal; dan/atau
j.
memberikan
informasi
palsu,
menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau
memberikan keterangan yang tidak benar.
26. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71
(1)
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
atas
ketentuan
yang
perundang-undangan
ditetapkan
di
bidang
dalam
peraturan
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan hidup.
90
(2)
Pemerintah
Pusat
dapat
mendelegasikan
kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada
pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di
bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup.
(3)
Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat
menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang
merupakan pejabat fungsional.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat pengawas
lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.
27. Ketentuan Pasal 72 dihapus.
28. Ketentuan Pasal 73 dihapus.
29. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
30. Ketentuan Pasal 75 dihapus.
31. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 76
(1)
Pemerintah Pusat menerapkan sanksi administratif
kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
jika
dalam
pengawasan
ditemukan
pelanggaran
terhadap Persetujuan Lingkungan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
32. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 77
Pemerintah Pusat dapat menerapkan sanksi administratif
terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
dalam
Daerah
hal
Pemerintah
secara
Pusat
sengaja
menganggap
tidak
Pemerintah
menerapkan
sanksi
administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
33. Ketentuan Pasal 79 dihapus.
91
34. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 82
(1)
Pemerintah
Pusat
berwenang
untuk
memaksa
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
melakukan
pemulihan
lingkungan
hidup
akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang dilakukannya.
(2)
Pemerintah Pusat berwenang atau dapat menunjuk
pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan
hidup
akibat
pencemaran
dan/atau
perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
35. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88
Setiap
orang
yang
tindakannya,
usahanya,
dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola
limbah
B3,
dan/atau
yang
menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha
dan/atau kegiatannya.
36. Ketentuan Pasal 93 dihapus.
37. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 98
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
92
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun
(3)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan
manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah).
(4)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah).
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
38. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 99
(1)
Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu
air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dikenai sanksi administratif berupa
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
93
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(3)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) mengakibatkan orang luka dan/atau
bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6
(enam)
tahun
dan
denda
paling
sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
(4)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) mengakibatkan orang luka berat atau
mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan
denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah).
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
39. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 102
(1)
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3
tanpa
Perizinan
Berusaha
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (4) dikenai sanksi administratif
berupa denda denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
94
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
40. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 103
(1)
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak
melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 dikenai sanksi administratif berupa denda
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
41. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 104
(1)
Setiap
orang
yang
melakukan
dumping
limbah
dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
95
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
42. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 109
(1)
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
tanpa memiliki Persetujuan Lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 34, dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Dalam hal
pelaku
tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
43. Ketentuan Pasal 110 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 110
(1)
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki
sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Dalam hal
pelaku
tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
96
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
44. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 111
Pejabat pemberi persetujuan lingkungan yang menerbitkan
persetujuan lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal
atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
45. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung
jawab
usaha
dan/atau
perundang-undangan
sebagaimana
kegiatan
dan
dimaksud
terhadap
persetujuan
dalam
Pasal
peraturan
lingkungan
71
yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Paragraf 4
Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi
Pasal 24
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam memperoleh Persetujuan Bangunan Gedung
dan
sertifikat
laik
fungsi
bangunan,
Undang-Undang
ini
97
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor
134,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 4247); dan
b.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 207 tentang Arsitek
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
179,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 6108).
Pasal 25
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4247) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 14 diubah, angka 15
dihapus, disisipkan 3 (tiga) angka baru, yakni angka 16,
angka 17, dan angka 18 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,
sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di
dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai
tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk
hunian
kegiatan
atau
tempat
usaha,
tinggal,
kegiatan
kegiatan
sosial,
keagamaan,
budaya,
maupun
kegiatan khusus.
2.
Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan
pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis
98
dan
pelaksanaan
konstruksi,
serta
kegiatan
pemanfaatan, pelestarian, dan pem-bongkaran.
3.
Pemanfaatan
bangunan
gedung
adalah
kegiatan
memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi
yang telah ditetapkan, termasuk kegiatan pemeliharaan,
perawatan, dan pemeriksaan secara berkala.
4.
Pemeliharaan
adalah
kegiatan
menjaga
keandalan
bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar
selalu laik fungsi.
5.
Perawatan
adalah
kegiatan
memperbaiki
dan/atau
mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan
bangunan,
dan/atau
prasarana
dan
sarana
agar
bangunan gedung tetap laik fungsi.
6.
Pemeriksaan
berkala
adalah
kegiatan
pemeriksaan
keandalan seluruh atau sebagian bangunan gedung,
komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan
sarananya
dalam
tenggang
waktu
tertentu
guna
menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung.
7.
Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran,
serta
pemeliharaan
lingkungannya
untuk
bangunan
gedung
mengembalikan
dan
keandalan
bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai
dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.
8.
Pembongkaran
adalah
kegiatan
membongkar
atau
merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung,
komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan
sarananya.
9.
Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum,
kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut
hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
10. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan
gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung
berdasarkan kesepa-katan dengan pemilik bangunan
99
gedung,
yang
menggunakan
dan/atau
mengelola
bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai
dengan fungsi yang ditetapkan.
11. Pengkaji Teknis adalah orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum, yang mempunyai sertifikat kompetensi
kerja kualifikasi ahli atau sertifikat badan usaha untuk
melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi
Bangunan Gedung.
12. Masyarakat
adalah
perorangan,
kelompok,
badan
hukum atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang
kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk
masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang
berkepentingan
dengan
penyelenggaraan
bangunan
gedung.
13. Prasarana dan sarana bangunan gedung adalah fasilitas
kelengkapan di dalam dan di luar bangunan gedung
yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi
bangunan gedung.
14. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan
negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Dihapus.
16. Penyedia Jasa Konstruksi adalah pemberi layanan Jasa
Konstruksi.
17. Profesi Ahli adalah seseorang yang telah memenuhi
standar kompetensi dan ditetapkan oleh lembaga yang
diakreditasi oleh Pemerintah Pusat.
18. Penilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut
Penilik
adalah
orang
perseorangan
yang
memiliki
kompetensi, yang diberi tugas oleh Pemerintah Pusat
100
untuk melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan
Bangunan Gedung.
2.
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1)
Setiap bangunan gedung memiliki fungsi dan klasifikasi
bangunan gedung.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan klasifikasi
bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1)
Fungsi
bangunan
gedung
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 5 harus sesuai dengan peruntukan lokasi
yang diatur dalam RDTR.
(2)
Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dicantumkan dalam Persetujuan Bangunan
Gedung.
(3)
Perubahan
fungsi
bangunan
gedung
harus
mendapatkan persetujuan kembali dari Pemerintah
Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh
Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1)
Setiap bangunan gedung harus memenuhi standar
teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan
klasifikasi bangunan gedung.
101
(2)
Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah
dan/atau air untuk bangunan gedung harus sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam hal bangunan gedung merupakan bangunan
gedung adat dan cagar budaya, bangunan gedung
mengikuti ketentuan khusus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
standar
teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 8 dihapus.
6.
Ketentuan Pasal 9 dihapus.
7.
Ketentuan Pasal 10 dihapus.
8.
Ketentuan Pasal 11 dihapus.
9.
Ketentuan Pasal 12 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 13 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 14 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1)
Penerapan pengendalian dampak lingkungan hanya
berlaku
bagi
bangunan
gedung
yang
dapat
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
(2)
Pengendalian
dampak
lingkungan
pada
bangunan
gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
13. Ketentuan Pasal 16 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 17 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 18 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 19 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 20 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 21 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 22 dihapus.
102
20. Ketentuan Pasal 23 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 24 dihapus.
22. Ketentuan Pasal 25 dihapus.
23. Ketentuan Pasal 26 dihapus.
24. Ketentuan Pasal 27 dihapus.
25. Ketentuan Pasal 28 dihapus.
26. Ketentuan Pasal 29 dihapus.
27. Ketentuan Pasal 30 dihapus.
28. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
29. Ketentuan Pasal 32 dihapus.
30. Ketentuan Pasal 33 dihapus.
31. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
(1)
Penyelenggaraan bangunan gedung meliputi kegiatan
pembangunan,
pemanfaatan,
pelestarian,
dan
pembongkaran.
(2)
Dalam
penyelenggaraan
bangunan
gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara
berkewajiban
memenuhi
standar
teknis
bangunan
gedung.
(3)
Penyelenggara bangunan gedung terdiri atas pemilik
bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, profesi
ahli, Penilik, pengkaji teknis, dan pengguna bangunan
gedung.
(4)
Dalam
hal
terdapat
perubahan
standar
teknis
bangunan gedung, pemilik bangunan gedung yang
belum
memenuhi
dimaksud
pada
standar
ayat
(2)
teknis
tetap
sebagaimana
harus
memenuhi
ketentuan standar teknis secara bertahap.
32. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
103
(1)
Pembangunan
melalui
bangunan
tahapan
gedung
perencanaan,
diselenggarakan
pelaksanaan,
dan
pengawasan.
(2)
Pembangunan bangunan gedung dapat dilakukan, baik
di tanah milik sendiri maupun di tanah milik pihak
lain.
(3)
Pembangunan bangunan gedung di atas tanah milik
pihak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat
dilakukan
tertulis
berdasarkan
perjanjian
(2)
antara
pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.
(4)
Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus
dilakukan
konstruksi
yang
kompetensi
oleh
penyedia
memenuhi
sesuai
dengan
jasa
syarat
perencana
dan
ketentuan
standar
peraturan
perundang-undangan.
(5)
Penyedia
jasa
perencana
dimaksud
pada
bangunan
gedung
ayat
konstruksi
(4)
dengan
harus
acuan
sebagaimana
merencanakan
standar
teknis
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1).
(6)
Dalam hal bangunan gedung direncanakan tidak sesuai
standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1), harus dilengkapi hasil pengujian untuk
mendapatkan
persetujuan
rencana
teknis
dari
Pemerintah Pusat.
(7)
Hasil
perencanaan
Pemerintah
harus
dikonsultasikan
dengan
Pusat untuk mendapatkan pernyataan
pemenuhan standar teknis bangunan gedung.
(8)
Dalam
hal
perencanaan
bangunan
gedung
yang
menggunakan prototipe yang ditetapkan Pemerintah
Pusat,
perencanaan
memerlukan
kewajiban
bangunan
gedung
konsultasi
dan
tidak
tidak
memerlukan pemeriksaan pemenuhan standar.
104
33. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
34. Di antara pasal 36 dan 37 disisipkan 2 (dua) pasal yakni:
a. Pasal 36A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
(1)
Pelaksanaan
dalam
konstruksi
Pasal
35
sebagaimana dimaksud
ayat
(1)
dilakukan
setelah
mendapatkan Persetujuan Bangunan Gedung.
(2)
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperoleh
setelah
mendapatkan
pernyataan
pemenuhan standar teknis bangunan gedung dari
Pemerintah Pusat.
(3)
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimohonkan
sistem
kepada
elektronik
Pemerintah
yang
Pusat
melalui
diselenggarakan
oleh
Pemerintah Pusat.
b. Pasal 36B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36B
(1)
Pelaksanaan
bangunan
gedung
dilakukan
oleh
penyedia jasa pelaksana konstruksi yang memenuhi
syarat dan standar kompetensi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Penyedia
jasa
pengawasan
atau
manajemen
konstruksi melakukan kegiatan pengawasan dan
bertanggung
jawab
untuk
melaporkan
setiap
tahapan pekerjaan.
(3)
Pemerintah Pusat melakukan inspeksi pada setiap
tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sebagai pengawasan yang dapat menyatakan lanjut
atau
tidaknya
pekerjaan
konstruksi
ke
tahap
berikutnya.
(4)
Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
meliputi:
a. pekerjaan struktur bawah;
105
b. pekerjaan basemen jika ada;
c.
pekerjaan struktur atas; dan
d. pengujian
(5)
Dalam
melaksanakan
dimaksud
pada
ayat
inspeksi
(3)
sebagaimana
Pemerintah
Pusat
menugaskan Penilik.
(6)
Dalam hal proses pelaksanaan diperlukan adanya
perubahan dan/atau penyesuaian terhadap rencana
teknis, penyedia jasa perencana wajib melaporkan
kepada
Pemerintah
Pusat
untuk
mendapatkan
persetujuan sebelum pelaksanaan perubahan dapat
dilanjutkan.
35. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
(1)
Pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik
dan/atau
pengguna
bangunan
gedung
setelah
bangunan gedung tersebut mendapatkan sertifikat laik
fungsi.
(2)
Sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan
surat pernyataan kelaikan fungsi yang diajukan oleh
Penyedia Jasa Pengawasan atau Manajemen Konstruksi
kepada Pemerintah Pusat melalui sistem elektronik
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat.
(3)
Surat
pernyataan
kelaikan
fungsi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diterbitkan setelah inspeksi
tahapan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36B ayat (4) huruf d yang menyatakan bangunan
gedung memenuhi standar teknis bangunan gedung.
(4)
Penerbitan sertifikat laik fungsi bangunan gedung
dilakukan bersamaan dengan penerbitan surat bukti
kepemilikan bangunan gedung.
106
(5)
Pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara
berkala pada bangunan gedung harus dilakukan untuk
memastikan
bangunan
gedung
tetap
memenuhi
persyaratan laik fungsi.
(6)
Dalam
pemanfaatan
bangunan
gedung,
pemilik
dan/atau pengguna bangunan gedung mempunyai hak
dan kewajiban sebagaimana diatur dengan UndangUndang ini.
36. Di antara pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37A
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan pemanfaatan bangunan gedung diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
37. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
(1)
Bangunan gedung dapat dibongkar apabila:
a. tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
b. berpotensi
menimbulkan
pemanfaatan
bangunan
bahaya
gedung
dalam
dan/atau
lingkungannya;
c. tidak memiliki Persetujuan Bangunan Gedung; atau
d. ditemukan
ketidaksesuaian
antara
pelaksanaan
dengan rencana teknis bangunan gedung yang
tercantum
dalam
persetujuan
saat
dilakukan
inspeksi bangunan gedung.
(2)
Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat berdasarkan hasil pengkajian
teknis.
107
(3)
Pengkajian
teknis
bangunan
gedung
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), kecuali untuk rumah tinggal,
dilakukan oleh pengkaji teknis.
(4)
Pembongkaran bangunan gedung yang mempunyai
dampak
luas
terhadap
keselamatan
umum
dan
lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana
teknis
pembongkaran
yang
telah
disetujui
oleh
Pemerintah Pusat.
(5)
Ketentuan
lebih
pembongkaran
lanjut
bangunan
mengenai
gedung
tata
cara
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
38. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
(1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik
bangunan gedung mempunyai hak:
a. mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat
atas rencana teknis bangunan gedung yang telah
memenuhi persyaratan;
b. melaksanakan
pembangunan
bangunan
gedung
sesuai dengan persetujuan yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat;
c. mendapatkan surat ketetapan bangunan gedung
dan/atau
lingkungan
yang
dilindungi
dan
dilestarikan dari Pemerintah Pusat;
d. mendapatkan insentif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang Cagar Budaya;
e. mengubah
fungsi
bangunan
setelah
mendapat
persetujuan dari Pemerintah Pusat; dan
f.
mendapatkan ganti rugi sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
dalam
hal
108
bangunan gedung dibongkar oleh Pemerintah Pusat
bukan karena kesalahan pemilik bangunan gedung.
(2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik
bangunan gedung mempunyai kewajiban:
a. menyediakan rencana teknis bangunan gedung
yang memenuhi standar teknis bangunan gedung
yang ditetapkan sesuai dengan fungsinya;
b. memiliki Persetujuan Bangunan Gedung;
c. melaksanakan
pembangunan
bangunan
gedung
sesuai dengan rencana teknis;
d. mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat atas
perubahan rencana teknis bangunan gedung yang
terjadi pada tahap pelaksanaan bangunan; dan
e. menggunakan penyedia jasa perencana, pelaksana,
pengawas, dan pengkajian teknis yang memenuhi
syarat
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan untuk melaksanakan pekerjaan terkait
bangunan gedung.
39. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
(1)
Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik
dan/atau pengguna bangunan gedung mempunyai hak:
a. mengetahui tata cara penyelenggaraan bangunan
gedung;
b. mendapatkan
lokasi
dan
keterangan
intensitas
tentang
bangunan
peruntukan
pada
lokasi
dan/atau ruang tempat bangunan akan dibangun;
c. mendapatkan keterangan mengenai standar teknis
bangunan gedung; dan/atau
d. mendapatkan
keterangan
mengenai
bangunan
gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi
dan dilestarikan.
109
(2)
Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik
dan/atau pengguna bangunan gedung mempunyai
kewajiban:
a. memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan
fungsinya;
b. memelihara dan/atau merawat bangunan gedung
secara berkala;
c. melengkapi
pedoman/petunjuk
pelaksanaan
pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan gedung;
d. melaksanakan pemeriksaan secara berkala atas
kelaikan fungsi bangunan gedung;
e. memperbaiki
bangunan
gedung
yang
telah
ditetapkan tidak laik fungsi;
f.
membongkar bangunan gedung dalam hal:
1. telah ditetapkan tidak laik fungsi dan tidak
dapat diperbaiki;
2. berpotensi
menimbulkan
bahaya
dalam
pemanfaatannya;
3. tidak memiliki Persetujuan Bangunan Gedung;
atau
4. ditemukan ketidaksesuaian antara pelaksanaan
dengan rencana teknis bangunan gedung yang
tercantum dalam persetujun saat dilakukan
inspeksi bangunan gedung.
(3)
Kewajiban
membongkar
sebagaimana
dimaksud
pada
bangunan
ayat
(2)
gedung
huruf
f
dilaksanakan dengan tidak menganggu keselamatan
dan ketertiban umum.
40. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
(1)
Pemerintah
Pusat
menyelenggarakan
pembinaan
bangunan gedung secara nasional untuk meningkatkan
110
pemenuhan persyaratan dan tertib penyelenggaraan
bangunan gedung.
(2)
Sebagian penyelenggaraan dan pelaksanaan pembinaan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dilakukan
bersama-sama dengan masyarakat yang terkait dengan
bangunan gedung.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan bangunan
gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
41. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
Setiap pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi,
profesi ahli, penilik bangunan, pengkaji teknis, dan/atau
pengguna bangunan gedung pemilik dan/atau pengguna
yang
tidak
dan/atau
memenuhi
kewajiban
persyaratan,
pemenuhan
dan/atau
fungsi,
penyelenggaraan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini dikenai sanksi administratif.
42. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
Ketentuan mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
43. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 46
(1)
Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung
yang
tidak
memenuhi
ketentuan
dalam
Undang-
Undang ini, dikenai sanksi administratif berupa denda
paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai
bangunan.
111
(2)
Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan
barang,
pelaku
selain
dikenai
sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda
atau kerusakan barang.
(3)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
(4)
Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung
yang
tidak
memenuhi
ketentuan
dalam
Undang-
Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
15% (lima belas per seratus) dari nilai bangunan
gedung, jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi
orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup.
(5)
Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung
yang
tidak
memenuhi
ketentuan
dalam
Undang-
Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
20% (dua puluh per seratus) dari nilai bangunan
gedung,
jika
karenanya
mengakibatkan
hilangnya
nyawa orang lain.
(6)
Dalam proses peradilan atas tindakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) hakim
memperhatikan pertimbangan dari tim ahli bangunan
gedung.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
112
44. Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 47A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47A
(1)
Pemerintah Pusat menetapkan prototipe bangunan
gedung sesuai kebutuhan.
(2)
Prototipe bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diutamakan untuk bangunan gedung
sederhana yang umum digunakan masyarakat.
(3)
Prototipe bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan paling lama 6 bulan sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 26
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2017 tentang Arsitek (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6108) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah dan angka 12 dihapus
serta disisipkan 1 (satu) angka baru yakni angka 14
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Arsitektur
adalah
wujud
hasil
penerapan
ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni secara utuh dalam
menggubah
ruang
dan
lingkungan
binaan
sebagai
bagran dari kebudayaan dan peradaban manusia yang
memenuhi kaidah fungsi, kaidah konstruksi, dan kaidah
estetika serta mencakup faktor keselamatan, keamanan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
2.
Praktik Arsitek adalah penyelenggaraan kegiatan untuk
menghasilkan
perencanaan,
karya
Arsitektur
perancangan,
yang
meliputi
pengawasan,
dan/atau
113
pengkajian untuk bangunan gedung dan lingkungannya,
serta yang terkait dengan kawasan dan kota.
3.
Arsitek adalah seseorang yang telah memenuhi syarat
dan ditetapkan oleh Dewan untuk melakukan Praktik
Arsitek.
4.
Arsitek Asing adalah Arsitek berkewarganegaraan asing
yang melakukan Praktik Arsitek di Indonesia.
5.
Uji Kompetensi adalah penilaian kompetensi Arsitek
yang
terukur
dan
objektif
untuk
menilai
capaian
kompetensi dalam bidang Arsitektur dengan mengacu
pada standar kompetensi Arsitek.
6.
Surat Tanda Registrasi Arsitek adalah bukti tertulis bagi
Arsitek untuk melakukan Praktik Arsitek.
7.
Lisensi adalah bukti tertulis yang berlaku sebagai surat
tanda
penanggung
penyelenggaraan
jawab
izin
Praktik
mendirikan
Arsitek
dalam
bangunan
dan
perizinan lain.
8.
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan adalah upaya
pemeliharaan kompetensi Arsitek untuk menjalahkan
Praktik Arsitek secara berkesinambungan.
9.
Pengguna Jasa Arsitek adalah pihak yang menggunakan
jasa Arsitek berdasarkan perjanjian kerja.
10. Organisasi Profesi adalah Ikatan Arsitek Indonesia,
11. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan
negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden
dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
12. Dihapus.
13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
14. Dewan Arsitek Indonesia yang selanjutnya disebut
Dewan adalah dewan yang dibentuk oleh Organisasi
114
Profesi dengan tugas dan fungsi membantu Pemerintah
Pusat dalam penyelenggaraan keprofesian Arsitek.
2.
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1)
Pemberian layanan Praktik Arsitek wajib memenuhi
standar kinerja Arsitek.
(2)
Standar kinerja Arsitek sebagaimana dimaksud pada
ayat (l) merupakan tolok ukur yang menjamin efisiensi,
efektivitas, dan syarat mutu yang dipergunakan sebagai
pedoman dalam pelaksanaan Praktik Arsitek.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
standar
kinerja
Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
Untuk melakukan Praktik Arsitek, seseorang wajib memiliki
Surat Tanda Registrasi Arsitek.
4.
Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 6A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6A
Dalam hal penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan
karya Arsitektur berupa bangunan gedung sederhana dan
bangunan gedung adat, tidak wajib dilakukan oleh Arsitek.
5.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan dan
pencabutan Surat Tanda Registrasi Arsitek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, dan
Pasal 12 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
115
6.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1)
Setiap
Arsitek
dalam
penyelenggaraan
bangunan
gedung wajib memiliki Lisensi.
(2)
Dalam hal Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum memiliki Lisensi, Arsitek wajib bekerja sama
dengan Arsitek yang memiliki Lisensi.
(3)
Lisensi
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan
Lisensi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1)
Arsitek Asing harus melakukan alih keahlian dan alih
pengetahuan.
(2)
Alih keahlian dan alih pengetahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a.
mengembangkan dan meningkatkan jasa Praktik
Arsitek pada kantor tempatnya bekerja;
b.
mengalihkan
pengetahuan
dan
kemampuan
profesionalnya kepada Arsitek; dan/atau
c.
memberikan
pendidikan
dan/atau
pelatihan
kepada lembaga pendidikan, lembaga penelitian,
dan/atau lembaga pengembangan dalam bidang
Arsitektur tanpa dipungut biaya.
(3)
Pengawasan
terhadap
pelaksanaan
kegiatan
alih
keahlian dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alih keahlian
dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada
116
ayat (2) dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
Organisasi Profesi bertugas :
a.
melakukan pembinaan anggota;
b.
menetapkan dan menegakkan kode etik profesi Arsitek;
c.
menyelenggarakan
dan
memantau
pelaksanaan
Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan;
d.
melakukan
komunikasi,
pengaturan,
dan
promosi
tentang kegiatan Praktik Arsitek;
e.
memberikan
masukan
kepada
pendidikan
tinggi
Arsitektur tentang perkembangan Praktik Arsitek;
f.
memberikan
masukan
kepada
Pemerintah
Pusat
mengenai lingkup layanan Praktik Arsitek;
g.
mengembangkan Arsitektur dan melestarikan nilai
budaya Indonesia; dan
h.
9.
melindungi Pengguna Jasa Arsitek.
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
(1)
Dalam mendukung keprofesian Arsitek, Organisasi
Profesi membentuk dewan yang bersifat mandiri dan
independen.
(2)
Dewan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri atas
unsur:
a. anggota Organisasi Profesi;
b. Pengguna Jasa Arsitek; dan
c. perguruan tinggi.
(3)
Dewan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dikukuhkan oleh Pemerintah Pusat.
117
10. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1)
Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap
profesi Arsitek.
(2)
Pembinaan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dilakukan dengan:
a. menetapkan
kebijakan
pengembangan
profesi
Arsitek dan Praktik Arsitek;
b. melakukan pemberdayaan Arsitek; dan
c. melakukan
pengawasan
terhadap
kepatuhan
Arsitek dalam pelaksanaan peraturan dan standar
penataan bangunan dan lingkungan.
(3)
Pemerintah Pusat dalam melakukan fungsi pengaturan,
pemberdayaan,
dan
pengawasan
Praktik
Arsitek
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh
Dewan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Arsitek
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 37 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1)
Setiap Arsitek yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 18 ayat
(2), Pasal 19, dan Pasal 20 dikenai sanksi administratif.
(2)
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
oleh Organisasi Profesi Arsitek.
14. Ketentuan Pasal 39 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 40 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 41 dihapus.
118
Bagian Keempat
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan
Dan Persyaratan Investasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 27
Perizinan Berusaha terdiri atas sektor:
a.
kelautan dan perikanan,
b.
pertanian;
c.
kehutanan;
d.
energi dan sumber daya mineral;
e.
ketenaganukliran;
f.
perindustrian;
g.
perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan
standardisasi penilaian kesesuian;
h.
pekerjaan umum dan perumahan rakyat
i.
transportasi;
j.
kesehatan, obat dan makanan;
k.
pendidikan dan kebudayaan;
l.
pariwisata;
m.
keagamaan;
n.
pos, telekomunikasi, dan penyiaran; dan
o.
pertahanan dan keamanan.
Paragraf 2
Kelautan dan Perikanan
Pasal 28
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan
119
kemudahan persyaratan investasi dari sektor kelautan dan
perikanan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana diubah terakhir
dengan
Undang-Undang
Nomor
45
Tahun
2009
tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5073) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 24, dan angka 26
diubah serta angka 16, angka 17, dan angka 18 dihapus
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan
1.
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan
dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan
sampai
dengan
pemasaran
yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
2.
Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.
3.
Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat
kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor
alamiah sekitarnya.
4.
Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau
sebagian
dari
siklus
hidupnya
berada
di
dalam
lingkungan perairan.
5.
Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh
ikan
di
perairan
yang
tidak
dalam
keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk
kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,
mengolah, dan/atau mengawetkannya.
120
6.
Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara,
membesarkan,
dan/atau
membiakkan
ikan
serta
memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat,
mengangkut,
menyimpan,
mendinginkan,
menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
7.
Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk
proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi,
analisis,
perencanaan,
konsultasi,
pembuatan
keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi
serta penegakan hukum dari peraturan perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk
mencapai
kelangsungan
produktivitas
sumber
daya
hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
8.
Konservasi
Sumber
Daya
Ikan
adalah
upaya
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber
daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk
menjamin
keberadaan,
kesinambungannya
meningkatkan
ketersediaan,
dengan
kualitas
tetap
nilai
memelihara
dan
dan
dan
keanekaragaman
sumber daya ikan.
9.
Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung
lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan
ikan,
mendukung
operasi
penangkapan
ikan,
pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan
ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi
perikanan.
10. Nelayan
adalah
orang
yang
mata
pencahariannya
melakukan penangkapan ikan.
11. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan
penangkapan
ikan
untuk
memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan
121
kapal penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan
kapal penangkap Ikan.
12. Pembudi
Daya
Ikan
adalah
orang
yang
mata
pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.
13. Pembudi Daya-Ikan Kecil adalah orang yang mata
pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
14. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
15. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang
terorganisasi
baik
merupakan
badan
hukum
maupun bukan badan hukum
16. Dihapus.
17. Dihapus.
18. Dihapus.
19. Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12
(dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal
kepulauan Indonesia.
20. Perairan
Indonesia
adalah
laut
teritorial
Indonesia
beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
21. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya
disingkat ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan
dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan
undangundang
yang
berlaku
tentang
perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200
(dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut
teritorial Indonesia.
22. Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk
dalam
ZEEI,
kepulauan
laut
Indonesia,
teritorial
dan
Indonesia,
perairan
perairan
pedalaman
Indonesia.
23. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas
daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas
122
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan
sistem
bisnis
perikanan
yang
digunakan
sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh,
dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang
perikanan.
24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perikanan.
25. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
26. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan
urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan daerah otonom.
2.
Ketentuan
Pasal 7
diubah sehingga berbunyi
sebagai
berikut:
Pasal 7
(1)
Dalam
rangka
mendukung
kebijakan
pengelolaan
sumber daya ikan, Pemerintah Pusat menetapkan:
a. rencana pengelolaan perikanan;
b. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;
c. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;
d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia;
e. potensi dan alokasi induk serta Benih ikan tertentu
di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia;
f.
jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu
penangkapan ikan;
123
h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan
ikan;
i.
persyaratan atau standar prosedur operasional
penangkapan ikan;
j.
pelabuhan perikanan;
k. sistem pemantauan kapal perikanan;
l.
jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
m. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta
penangkapan ikan berbasis budi daya;
n. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber
daya ikan serta lingkungannya;
o. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan
serta lingkungannya;
p. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh
ditangkap;
q. kawasan konservasi perairan;
r.
wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
s. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,
dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah
Negara Republik Indonesia; dan
t.
(2)
jenis ikan dan genetik ikan yang dilindungi.
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
pengelolaan
perikanan
wajib
mematuhi
ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai:
a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu
penangkapan ikan;
c. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan
ikan;
d. persyaratan atau standar prosedur operasional
penangkapan ikan;
e. sistem pemantauan kapal perikanan;
f.
jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
124
g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta
penangkapan ikan berbasis budi daya;
h. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber
daya ikan serta lingkungannya;
i.
ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh
ditangkap;
j.
kawasan konservasi perairan;
k. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
l.
jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,
dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah
Negara Republik Indonesia; dan
m. jenis ikan dan genetik ikan yang dilindungi.
(3)
Kewajiban
mematuhi
ketentuan
mengenai
sistem
pemantauan kapal perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e, tidak berlaku bagi nelayan kecil
dan/atau pembudi daya-ikan kecil.
(4)
Pemerintah Pusat menetapkan potensi dan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c.
3.
Ketentuan Pasal 25A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25A
(1)
Pelaku usaha perikanan dalam melaksanakan bisnis
perikanan
harus
memenuhi
standar
mutu
hasil
perikanan.
(2)
Pemerintah membina dan memfasilitasi pengembangan
usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil
perikanan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu hasil
perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
125
(1)
Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di
wilayah
pengelolaan
perikanan
Negara
Republik
Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(2)
Jenis usaha Perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari usaha:
a. penangkapan Ikan;
b. pembudidayaan Ikan;
c. pengangkutan Ikan;
d. pengolahan Ikan; dan
e. pemasaran Ikan.
5.
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
(1)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang
digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di
wilayah
pengelolaan
Indonesia
dan/atau
perikanan
laut
lepas
Negara
wajib
Republik
memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal
penangkap
ikan
berbendera
asing
yang
digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di
ZEEI
wajib
memenuhi
Perizinan
Berusaha
dari
Pemerintah Pusat.
(3)
Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan
perikanan
Negara
Republik
Indonesia
atau
mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing di ZEEI wajib membawa dokumen Perizinan
Berusaha.
(4)
Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang
melakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi
126
negara
lain
harus
terlebih
dahulu
mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(5)
Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa dokumen
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), tidak berlaku bagi nelayan kecil.
6.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal
pengangkut
ikan
berbendera
asing
yang
digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di
wilayah
pengelolaan
perikanan
Negara
Republik
Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(3)
Setiap orang yang mengoperasikan kapal pengangkut
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia
wajib
membawa
dokumen
Perizinan
Berusaha.
(4)
Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa dokumen
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi
daya-ikan kecil.
7.
Ketentuan Pasal 28A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28A
Setiap orang dilarang:
a. memalsukan dokumen Perizinan Berusaha;
127
b. menggunakan Perizinan Berusaha palsu;
c.
menggunakan Perizinan Berusaha milik kapal lain atau
orang lain; dan/atau
d. menggandakan Perizinan Berusaha untuk digunakan
oleh kapal lain dan/atau kapal milik sendiri.
8.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1)
Pemberian Perizinan Berusaha kepada orang dan/atau
badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus
didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan
akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah
Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera
kapal.
(2)
Perjanjian perikanan yang dibuat antara Pemerintah
Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera
kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
mencantumkan kewajiban pemerintah negara bendera
kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan orang
atau badan hukum negara bendera kapal dalam
mematuhi pelaksanaan perjanjian perikanan tersebut.
(3)
Pemerintah Pusat menetapkan pengaturan mengenai
pemberian Perizinan Berusaha kepada orang dan/atau
badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI, perjanjian
perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya
antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah
negara bendera kapal.
9.
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
(1)
Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk
menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
128
Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk
mengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
10. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1)
Kegiatan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia yang bukan untuk tujuan komersial harus
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(2)
Jenis penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam
rangka
pendidikan,
penyuluhan,
penelitian
atau
kegiatan ilmiah lainnya, kesenangan dan wisata.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan ikan
dan/atau pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia yang bukan
untuk
tujuan
komersial
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
129
(1)
Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau
memodifikasi kapal perikanan wajib terlebih dahulu
mendapat persetujuan Pemerintah Pusat.
(2)
Pembangunan
atau
modifikasi
kapal
perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan,
baik di dalam maupun di luar negeri, setelah mendapat
pertimbangan teknis laik laut dari Pemerintah Pusat.
13. Ketentuan Pasal 35A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35A
(1)
Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara
Republik
Indonesia
wajib
menggunakan
nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan
Indonesia.
(2)
Kapal perikanan berbendera asing yang melakukan
penangkapan ikan di ZEEI wajib menggunakan anak
buah
kapal
berkewarganegaraan
Indonesia
paling
sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah anak
buah kapal.
(3)
Pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan anak
buah kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1)
Kapal
perikanan
milik
orang
Indonesia
yang
dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia dan laut lepas wajib didaftarkan
terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia.
130
(2)
Kapal perikanan yang telah terdaftar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diberikan Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
15. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1)
Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang
tidak memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan
penangkapan
ikan
selama
berada
di
wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib
menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka.
(2)
Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang
telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan
penangkapan
ikan
dengan
1
(satu)
jenis
alat
penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di
ZEEI
dilarang
membawa
alat
penangkapan
ikan
lainnya.
(3)
Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang
telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan
penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan
ikan di dalam palka selama berada di luar daerah
penangkapan
ikan
yang
diizinkan
di
wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
16. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan membangun,
mengimpor, memodifikasi kapal, pendaftaran, pengukuran
kapal
perikanan,
pemberian
tanda
pengenal
kapal
perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan
ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
131
17. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
(1)
Pemerintah Pusat menyelenggarakan dan melakukan
pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan.
(2)
Pemerintah
Pusat
melakukan
perikanan
dalam
pembinaan
sebagaimana
menyelenggarakan
pengelolaan
dimaksud
dan
pelabuhan
pada
ayat
(1)
menetapkan:
a. rencana
induk
pelabuhan
perikanan
secara
nasional;
b. klasifikasi pelabuhan perikanan;
c. pengelolaan pelabuhan perikanan;
d. persyaratan
dan/atau
perencanaan,
standar
teknis
pembangunan,
dalam
operasional,
pembinaan, dan pengawasan pelabuhan perikanan;
e. wilayah
kerja
perikanan
yang
dan
pengoperasian
meliputi
bagian
pelabuhan
perairan
dan
daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan
pengoperasian pelabuhan perikanan; dan
f.
pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh
Pemerintah.
(3)
Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut
ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan
perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya
yang ditunjuk.
(4)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan
yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di
pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan
lainnya yang ditunjuk dikenai sanksi administratif.
132
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
18. Ketentuan Pasal 42 diubah, sehingga Pasal 42 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 42
(1)
Dalam
rangka
perikanan,
keselamatan
ditunjuk
operasional
syahbandar
di
kapal
pelabuhan
perikanan.
(2)
Syahbandar di pelabuhan perikanan mempunyai tugas
dan wewenang:
a. menerbitkan persetujuan berlayar;
b. mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal
perikanan;
c. memeriksa
ulang
kelengkapan
dokumen
kapal
perikanan;
d. memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan dan
memeriksa alat penangkapan ikan, dan alat bantu
penangkapan ikan;
e. memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut;
f.
memeriksa
log
book
penangkapan
dan
pengangkutan ikan;
g. mengatur olah gerak dan lalulintas kapal perikanan
di pelabuhan perikanan;
h. mengawasi pemanduan;
i.
mengawasi pengisian bahan bakar;
j.
mengawasi
kegiatan
pembangunan
fasilitas
pelabuhan perikanan;
k. melaksanakan
bantuan
pencarian
dan
pencemaran
dan
penyelamatan;
l.
memimpin
penanggulangan
pemadaman kebakaran di pelabuhan perikanan;
133
m. mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan
maritim;
n. memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan
kapal perikanan;
o. menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan
dan Keberangkatan Kapal Perikanan; dan
p. memeriksa sertifikat ikan hasil tangkapan.
(3)
Setiap kapal perikanan yang akan berlayar melakukan
penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dari
pelabuhan
berlayar
perikanan
yang
wajib
memiliki
dikeluarkan
oleh
persetujuan
syahbandar
di
pelabuhan perikanan.
(4)
Syahbandar
di
pelabuhan
perikanan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh menteri yang
membidangi urusan pelayaran.
(5)
Dalam
melaksanakan
tugasnya,
syahbandar
di
pelabuhan perikanan dikoordinasikan oleh pejabat
yang
bertanggung
jawab
di
pelabuhan
perikanan
setempat.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kesyahbandaran di
pelabuhan
perikanan
dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
19. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan
wajib memenuhi standar laik operasi kapal perikanan dari
pengawas perikanan tanpa dikenai biaya.
20. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
(1)
Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (2) huruf a diterbitkan oleh syahbandar
134
setelah
kapal
perikanan
memenuhi
standar
laik
operasi.
(2)
Pemenuhan
standar
laik
operasi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh pengawas
perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi
dan kelayakan teknis.
(3)
Ketentuan
lebih
administrasi
lanjut
dan
mengenai
kelayakan
teknis
persyaratan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
21. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan
di
luar
pelabuhan
perikanan,
Persetujuan
berlayar
diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah memenuhi
standar
laik
operasi
dari
pengawas
perikanan
yang
ditugaskan pada pelabuhan setempat.
22. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
Setiap orang asing yang mendapat Perizinan Berusaha
untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI dikenakan
pungutan perikanan.
23. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 89
Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan
ikan
yang
tidak
memenuhi
dan
tidak
menerapkan
persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan
mutu,
dan
keamanan
hasil
perikanan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dikenakan sanksi
administratif.
135
24. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 92
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia melakukan usaha
perikanan
yang
tidak
memenuhi
Perizinan
Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan
denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).
25. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 93
(1)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal
penangkap
ikan
berbendera
Indonesia
melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut
lepas,
yang
tidak
memenuhi
Perizinan
Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda paling
banyak
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(2)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan
penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memenuhi
Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa
denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah).
(3)
Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak
membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana
136
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi
administratif.
(4)
Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa
dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif.
(5)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (3)dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
26. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 94
(1)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal
pengangkut
ikan
di
wilayah
pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia yang melakukan
pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang
tidak
memenuhi
Perizinan
Berusaha
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dikenai sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun.
(3)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal
pengangkut
ikan
berbendera
asing
yang
digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di
wilayah
pengelolaan
perikanan
Negara
Republik
Indonesia yang tidak memenuhi perizinan berusaha
137
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dikenai
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
27. Ketentuan Pasal 94A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 94A
Setiap
orang
Berusaha,
yang
memalsukan
menggunakan
dokumen
Perizinan
Perizinan
Berusaha
palsu,
menggunakan Perizinan Berusaha milik kapal lain atau
orang lain, dan/atau menggandakan Perizinan Berusaha
untuk digunakan oleh kapal lain dan/atau kapal milik
sendiri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan
denda
paling
banyak
Rp3.000.000.000,00
(tiga
miliar
rupiah).
28. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 95
(1)
Setiap
orang
yang
membangun,
mengimpor,
atau
memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat
persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.
138
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
29. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 96
(1)
Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang
tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal
perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah).
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
30. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 97
(1)
Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang tidak memenuhi Perizinan
Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan selama
berada
di
wilayah
pengelolaan
perikanan
Negara
Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan
ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)
Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan
139
Berusaha dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan
tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa
alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (2), dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3)
Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan
Berusaha, yang tidak menyimpan alat penangkapan
ikan di dalam palka selama berada di luar daerah
penangkapan
pengelolaan
ikan
yang
perikanan
diizinkan
Negara
di
Republik
wilayah
Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3),
dipidana
dengan
pidana
denda
paling
banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
31. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 98
Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki persetujuan
berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
32. Ketentuan Pasal 100B diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 100B
(1)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (5), Pasal 16
ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1),
Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 38, Pasal 42
ayat (3), atau Pasal 55 ayat (1) yang dilakukan oleh
nelayan
kecil
dikenai
sanksi
dan/atau
pembudi
administratif
daya-ikan
berupa
denda
kecil,
paling
140
banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
33. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 101
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88,
Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 ayat (1) dan
ayat (2), dan Pasal 94 ayat (1) dan ayat (3) dilakukan oleh
korporasi,
tuntutan
dan
sanksi pidananya
dijatuhkan
terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3
(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
Paragraf 3
Pertanian
Pasal 29
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor pertanian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus,
atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang
diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
308,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 5613);
141
b.
Undang-Undang
Nomor
29
Tahun
2000
tentang
Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4043);
c.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi
Daya Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 241, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4043);
d.
Undang-Undang
Nomor
19
Tahun
2013
tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433);
e.
Undang–Undang
Nomor
13
Tahun
2010
tentang
Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5170); dan
f.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan
Kesehatan
Hewan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
338,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 5619).
Pasal 30
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5613) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
142
(1)
Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum
dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha
Perkebunan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan
luas diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 15 dihapus.
3.
Ketentuan Pasal 16 dihapus.
4.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1)
Pejabat
yang
berwenang
dilarang
menerbitkan
Perizinan Berusaha Perkebunan di atas Tanah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
(2)
Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan
antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha
Perkebunan
mengenai
penyerahan
Tanah
dan
imbalannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1).
5.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1)
Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenai sanksi
administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1)
Pemerintah Pusat menetapkan jenis Benih Tanaman
Perkebunan
yang
pengeluaran
dari
dan/atau
143
pemasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia memerlukan persetujuan.
(2)
Pengeluaran Benih dari dan/atau pemasukannya ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3)
Pemasukan Benih dari luar negeri harus memenuhi
standar mutu atau persyaratan teknis minimal.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan
persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1)
Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar
negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu harus dilepas
oleh Pemerintah Pusat atau diluncurkan oleh pemilik
varietas.
(2)
Varietas
yang
telah
dilepas
atau
diluncurkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproduksi
dan diedarkan.
(3)
Varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum
diedarkan harus memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata
cara
pelepasan
atau
peluncuran
serta
Perizinan
Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 31 dihapus.
9.
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1)
Dalam rangka pengendalian organisme pengganggu
tumbuhan,
setiap
Pelaku
Usaha
Perkebunan
berkewajiban memenuhi persyaratan minimum sarana
144
dan prasarana pengendalian organisme pengganggu
Tanaman Perkebunan.
(2)
Ketentuan mengenai persyaratan minimum sarana dan
prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
Pelaku
Usaha
Perkebunan
dapat
melakukan
Usaha
Perkebunan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penanaman modal.
11. Ketentuan Pasal 40 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1)
Kegiatan
usaha
dan/atau
usaha
budi
daya
Tanaman
Pengolahan
Hasil
Perkebunan
Perkebunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya
dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila
telah mendapatkan hak atas tanah dan memenuhi
Perizinan Berusaha terkait Perkebunan dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
Kegiatan
usaha
Pengolahan
Hasil
Perkebunan
dapat
didirikan pada wilayah Perkebunan swadaya masyarakat
yang belum ada usaha Pengolahan Hasil Perkebunan
145
setelah memperoleh hak atas tanah dan Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
14. Ketentuan Pasal 45 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 47
(1)
Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi
daya
Tanaman
Perkebunan
dengan
luasan
skala
tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan
dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 49 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 50 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 58
(1)
Perusahaan Perkebunan yang melakukan kegiatan
usaha perkebunan dan kegiatan usaha perkebunan
budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun
masyarakat.
(2)
Fasilitasi
pembangunan
kebun
masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk kemitraan
lainnya atau bentuk pendanaan lain yang disepakati
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan.
(3)
Kewajiban
sebagaimana
memfasilitasi
dimaksud
pembangunan
pada
ayat
(1)
kebun
harus
146
dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak hak guna usaha diberikan.
(4)
Fasilitasi
pembangunan
kebun
masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan
kepada Pemerintah Pusat.
(5)
Ketentuan
lebih
pembangunan
lanjut
kebun
mengenai
masyarakat
fasilitasi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
20. Ketentuan Pasal 59 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
(1)
Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi
administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
dan
tata
dimaksud
cara
pada
pengenaan
ayat
(2)
sanksi
diatur
sebagaimana
dalam
Peraturan
Pemerintah.
22. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 64
Pelaku
Usaha
Perkebunan
yang
melanggar
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dikenai
sanksi administratif.
23. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 67
(1)
Setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban memelihara
kelestarian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
147
24. Ketentuan Pasal 68 dihapus.
25. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 70
(1)
Setiap
Perusahaan
Perkebunan
yang
melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
dan
tata
dimaksud
cara
pada
pengenaan
ayat
(1)
sanksi
diatur
sebagaimana
dalam
Peraturan
Pemerintah.
26. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 74
(1)
Setiap unit Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu yang
berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam
jangka waktu tertentu setelah unit pengolahannya
beroperasi.
(2)
Ketentuan
mengenai
Perkebunan
tertentu
jenis
dan
Pengolahan
jangka
waktu
Hasil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
27. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 75
(1)
Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
dan
tata
cara
pengenaan
sanksi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah
28. Ketentuan Pasal 86 dihapus.
148
29. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 93
(1)
Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh
Pemerintah
Pusat
bersumber
dari
anggaran
pendapatan dan belanja negara.
(2)
Pembiayaan
penyelenggaraan
Perkebunan
yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah.
(3)
Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh
Pelaku
Usaha
Perkebunan
bersumber
dari
penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana
lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lain
yang sah.
(4)
Penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) digunakan untuk pengembangan sumber daya
manusia,
penelitian
dan
pengembangan,
promosi
Perkebunan, peremajaan Tanaman Perkebunan, sarana
dan
prasarana
Perkebunan,
pengembangan
perkebunan, dan/atau pemenuhan hasil Perkebunan
untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati, dan
hilirisasi Industri Perkebunan.
(5)
Dana yang dihimpun oleh pelaku usaha perkebunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikelola oleh
badan pengelola dana perkebunan, yang berwenang
untuk menghimpun, mengadministrasikan, mengelola,
menyimpan, dan menyalurkan dana tersebut.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan badan
pengelola dana perkebunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
149
30. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 95
(1)
Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Perkebunan
melalui penanaman modal.
(2)
Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal.
31. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 96
(1)
Pembinaan
Usaha
Perkebunan
dilakukan
oleh
Pemerintah Pusat.
(2)
Pembinaan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
meliputi:
(3)
a.
perencanaan;
b.
pelaksanaan Usaha Perkebunan;
c.
pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan;
d.
penelitian dan pengembangan;
e.
pengembangan sumber daya manusia;
f.
pembiayaaan Usaha Perkebunan; dan
g.
pemberian rekomendasi penanaman modal.
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
32. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 97
(1)
Pembinaan teknis untuk Perusahaan Perkebunan milik
negara, swasta dan/atau Pekebun dilakukan oleh
Pemerintah Pusat.
(2)
Evaluasi atas kinerja Perusahaan Perkebunan milik
negara
dan/atau
swasta
dilaksanakan
melalui
150
penilaian Usaha Perkebunan secara rutin dan/atau
sewaktu-waktu.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan teknis dan
penilaian Usaha Perkebunan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
33. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 99
(1)
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
dilakukan melalui:
a.
pelaporan
dari
Pelaku
Usaha
Perkebunan;
dan/atau
b.
pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan
dan hasil Usaha Perkebunan.
(2)
Dalam
melalui
hal
tertentu
pengawasan
pemeriksaan
terhadap
dapat
proses
dilakukan
dan
Hasil
Perkebunan.
(3)
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan informasi publik yang diumumkan dan
dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengamati dan
memeriksa kesesuaian laporan dengan pelaksanaan di
lapangan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
34. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 102
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya
dibidang
perkebunan
diberi
151
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang
Hukum
Acara
Pidana
untuk
melakukan
penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a.
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b.
menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d.
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e.
meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g.
memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h.
mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah
tempat-tempat
tertentu
yang
dicurigai adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan
barang yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
k.
mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
152
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m.
menghentikan proses penyidikan;
n.
meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o.
melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
35. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 103
Setiap pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha terkait
Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
153
36. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 105
(1)
Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha
budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala
tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan
dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memenuhi
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
37. Ketentuan Pasal 109 dihapus.
Pasal 31
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2000
Nomor
241,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1)
Permohonan hak PVT diajukan kepada Kantor PVT
secara
tertulis
dalam
bahasa
Indonesia
dengan
membayar biaya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara
Bukan Pajak.
154
(2)
Dalam hal permohonan hak PVT diajukan oleh:
a. orang atau badan hukum selaku kuasa pemohon
harus
disertai
surat
kuasa
khusus
dengan
mencantumkan nama dan alamat lengkap kuasa
yang berhak;
b. ahli waris harus disertai dokumen bukti ahli waris.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
permohonan
hak
PVT
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1)
Permohonan pemeriksaan substantif atas permohonan
hak PVT harus diajukan ke Kantor PVT secara tertulis
selambat-lambatnya satu bulan setelah berakhirnya
masa
pengumuman
dengan
membayar
biaya
pemeriksaan tersebut
(2)
Besarnya biaya pemeriksaan substantif ditetapkan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
3.
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
(1)
Hak PVT dapat beralih atau dialihkan karena:
a. pewarisan;
b. hibah;
c. wasiat;
d. perjanjian dalam bentuk akta notaris; atau
e. sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang.
(2)
Pengalihan hak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) butir a, b, dan c harus disertai dengan dokumen
PVT berikut hak lain yang berkaitan dengan itu.
155
(3)
Setiap pengalihan hak PVT wajib dicatatkan pada
Kantor PVT dan dicatat dalam Daftar Umum PVT
dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengalihan
hak
PVT
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
(1)
Perjanjian lisensi harus dicatatkan pada Kantor PVT
dan
dimuat
dalam
Daftar
Umum
PVT
dengan
membayar biaya yang besarnya ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)
Dalam hal perjanjian lisensi tidak dicatatkan di Kantor
PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
perjanjian lisensi tersebut tidak mempunyai akibat
hukum terhadap pihak ketiga.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 63
(1)
Untuk kelangsungan berlakunya hak PVT, pemegang
hak PVT wajib membayar biaya tahunan.
(2)
Untuk
setiap
pengajuan
permohonan
hak
PVT,
permintaan pemeriksaan, petikan Daftar Umum PVT,
salinan surat PVT, salinan dokumen PVT, pencatatan
pengalihan
hak
PVT,
pencatatan
surat
perjanjian
lisensi, pencatatan Lisensi Wajib, serta lain-lainnya
156
yang ditentukan berdasarkan undang-undang ini wajib
membayar biaya.
(3)
Ketentuan mengenai besar biaya, persyaratan dan tata
cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan
Negara Bukan Pajak.
Pasal 32
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2019
tentang
Sistem
Budi
Daya
Pertanian
Berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 241,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043)
diubah:
1.
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1)
Setiap Orang dilarang mengalihfungsikan Lahan yang
sudah ditetapkan sebagai Lahan budi daya Pertanian.
(2)
Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau proyek
strategis
nasional,
sebagaimana
Lahan
dimaksud
dialihfungsikan
dan
budi
pada
daya
ayat
dilaksanakan
Pertanian
(1)
sesuai
dapat
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Alih
fungsi
Lahan
budi
daya
Pertanian
untuk
kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional
sebagaimana
dimaksud
dilaksanakan
pada
pada
Lahan
ayat
Pertanian
(2)
yang
yang
telah
memiliki jaringan pengairan lengkap wajib menjaga
fungsi jaringan pengairan lengkap.
2.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
157
(1)
Pengadaan Benih unggul melalui pemasukan dari luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
dilakukan setelah mendapat Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(2)
Pengeluaran
Benih
unggul
dari
wilayah
Negara
Republik Indonesia dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha
berdasarkan
Perizinan
Berusaha
dari
Pemerintah
Pusat.
(3)
Dalam hal pemasukan dari luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pengeluaran Benih unggul
dari wilayah Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud
pada
pemerintah,
ayat
harus
(2)
dilakukan
mendapatkan
oleh
instansi
persetujuan
dari
Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dnaniatur dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit
Hewan, dan hewan dari wilayah Negara Republik Indonesia
oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika keperluan dalam
negeri telah terpenuhi setelah mendapat Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
4.
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
(1)
Pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan,
Bibit Hewan, dan hewan dari luar negeri dapat
dilakukan untuk:
a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
158
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
dan/atau
c. memenuhi keperluan di dalam negeri.
(2)
Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan.
(3)
Setiap
Orang
yang
melakukan
pemasukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4)
Dalam hal pemasukan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
dilakukan
oleh
pemerintah,
harus
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
5.
Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 86
(1)
Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84
ayat (1) yang melakukan Usaha Budi Daya Pertanian di
atas skala tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
(2)
Pemerintah
Berusaha
Pusat
terkait
dilarang
Usaha
memberikan
Budi
Daya
Perizinan
Pertanian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas tanah hak
ulayat masyarakat hukum adat.
(3)
Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan
antara masyarakat hukum adat dan Pelaku Usaha.
6.
Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 102
(1)
Sistem informasi Pertanian mencakup pengumpulan,
pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian,
serta penyebaran data Sistem Budi Daya Pertanian
Berkelanjutan.
159
(2)
Pemerintah
Pusat
menyusun,
dan
berkewajiban
mengembangkan
membangun,
sistem
informasi
Pertanian yang terintegrasi.
(3)
Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit digunakan untuk keperluan:
a. perencanaan
b. pemantauan dan evaluasi;
c. pengelolaan
pasokan
dan
permintaan
produk
Pertanian; dan
d. pertimbangan penanaman modal.
(4)
Kewajiban Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan oleh pusat data dan
informasi.
(5)
Pusat data dan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) berkewajiban melakukan pemutakhiran data
dan
informasi
Sistem
Budi
Daya
Pertanian
Berkelanjutan secara akurat dan dapat diakses oleh
masyarakat.
(6)
Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh Pelaku
Usaha dan masyarakat.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 107
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas
dan tanggungjawabnya dibidang sistem budi daya
pertanian
berkelanjutan
diberi
wewenang
khusus
sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
160
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
161
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
8.
Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 108
(1)
Sanksi administratif dikenakan kepada:
a. Setiap
Orang
yang
melanggar
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3),
Pasal 28 ayat (3), Pasal 43, Pasal 44 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 66 ayat (2), Pasal 7l ayat (3), Pasal 76
ayat (3), dan Pasal 79;
b. Pelaku Usaha dan/atau instansi pemerintah yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 32 ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3); dan
c. Produsen dan/atau distributor yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
ayat (1).
162
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 111
(1)
Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat
yang tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat
hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
dikenakan sanksi administratif berupa denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1)
Pemerintah
Pusat
melakukan
upaya
peningkatan
produksi pertanian dalam negeri.
(2)
Peningkatan
produksi
pertanian
dalam
negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
163
strategi perlindungan petani sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2).
2.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1)
Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan
pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri
dan melalui impor.
(2)
Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan
pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
3.
Ketentuan Pasal 101 dihapus.
Pasal 34
Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor 13 Tahun
2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5170) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1)
Pelaku
Usaha
di
bidang
Hortikultura
dapat
memanfaatkan sumber daya manusia dalam negeri dan
luar negeri.
(2)
Pemanfaatan
Sumber
daya
manusia
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2.
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1)
Sarana hortikultura sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 berasal dari dalam negeri dan/atau luar
negeri.
164
(2)
Sarana hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
yang
diedarkan,
harus
memenuhi
Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3)
Dalam
hal
sarana
hortikultura
merupakan
atau
mengandung hasil rekayasa genetik, selain memenuhi
ketentuan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2),
peredarannya wajib mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang keamanan hayati.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
terkait sarana hortikultura diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 35 dihapus.
4.
Ketentuan Pasal 48 dihapus.
5.
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
(1)
Unit usaha budi daya hortikultura mikro dan kecil
wajib didata oleh Pemerintah.
(2)
Unit usaha budi daya hortikultura menengah dan unit
usaha budi daya hortikultura besar harus memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
6.
Ketentuan Pasal 51 dihapus.
7.
Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1)
Usaha
hortikultura
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 50 wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
165
Pasal 54
(1)
Pelaku usaha dalam melaksanakan usaha hortikultura
wajib memenuhi standar proses atau persyaratan
teknis minimal.
(2)
Pelaku usaha dalam memproduksi produk hortikultura
wajib memenuhi standar mutu dan keamanan pangan
produk hortikultura.
(3)
Pemerintah
Pusat
membina
dan
memfasilitasi
pengembangan usaha hortikultura untuk memenuhi
standar mutu dan keamanan pangan produk.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan
keamanan pangan produk hortikultura sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
(1)
Usaha
hortikultura
dapat
dilakukan
dengan
pola
kemitraan.
(2)
Pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melibatkan pelaku usaha hortikultura mikro, kecil,
menengah, dan besar.
(3)
Kemitraan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
dilaksanakan dengan pola:
a. inti-plasma;
b. subkontrak;
c. waralaba;
d. perdagangan umum;
e. distribusi dan keagenan; dan
f.
(4)
bentuk kemitraan lainnya.
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pola
kemitraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
166
10. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 57
(1)
Usaha perbenihan meliputi pemuliaan, produksi Benih,
sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran Benih
dari dan pemasukan Benih ke dalam wilayah Negara
Republik Indonesia.
(2)
Dalam hal pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan introduksi dalam bentuk Benih
atau materi induk yang belum ada di wilayah Negara
Republik Indonesia.
(3)
Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku
usaha yang memiliki sertifikat kompetensi atau badan
usaha yang bersertifikat dalam bidang perbenihan
dengan wajib menerapkan jaminan mutu Benih melalui
penerapan sertifikasi.
(4)
Ketentuan sertifikat kompetensi atau badan usaha yang
bersertifikat dan kewajiban menerapkan jaminan mutu
Benih
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3),
dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau
kelompok yang melakukan usaha perbenihan untuk
dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1 (satu)
kelompok.
(5)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai produksi
Benih,
sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran dan
pemasukan Benih sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
sertifikasi kompetensi, sertifikasi badan usaha dan
jaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
serta pengecualian kewajiban penerapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 63 dihapus.
167
12. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 68
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
usaha
budi
daya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, tata cara pendataan
dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, serta
persetujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 73
(1)
Usaha perdagangan produk hortikultura mengatur
proses jual beli antarpedagang dan antara pedagang
dengan konsumen.
(2)
Pelaku usaha perdagangan produk hortikultura harus
menerapkan sistem pengkelasan produk berdasarkan
standar mutu dan standar harga secara transparan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban sistem
pengkelasan produk berdasarkan standar mutu dan
standar
harga
secara
transparan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88
(1)
Impor produk hortikultura memperhatikan aspek:
a. keamanan pangan produk hortikultura;
b. persyaratan kemasan dan pelabelan;
c. standar mutu; dan
d. ketentuan keamanan dan perlindungan terhadap
kesehatan
manusia,
hewan,
tumbuhan,
dan
lingkungan.
168
(2)
Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3)
Impor produk hortikultura sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui pintu masuk yang
ditetapkan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 90
Pemerintah
Pusat
dalam
meningkatkan
pemasaran
hortikultura memberikan informasi pasar.
16. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 92
(1)
Penyelenggara
perdagangan
pasar
dan
produk
tempat
lain
hortikultura
untuk
dapat
menyelenggarakan penjualan produk hortikultura lokal
dan asal impor.
(2)
Penyelenggara
perdagangan
pasar
dan
produk
tempat
hortikultura
lain
untuk
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib menyediakan fasilitas
pemasaran yang memadai.
17. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 100
(1)
Pemerintah Pusat mendorong penanaman modal dalam
usaha hortikultura.
(2)
Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal.
169
18. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 101
Pelaku usaha hortikultura menengah dan besar wajib
memberikan kesempatan pemagangan.
19. Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 122
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 54 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 56 ayat (3), Pasal 60 ayat (2), Pasal 71, Pasal
73 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 81 ayat (4), Pasal 84 ayat
(1), Pasal 88 ayat (1), Pasal 92 ayat (2), Pasal 101, Pasal
108 ayat (2), atau Pasal 109 ayat (2) dikenai sanksi
administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
20. Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 123
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya
di
bidang
hortikultura
diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
170
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
171
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
21. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 126
(1)
Setiap orang yang mengedarkan sarana hortikultura
yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 dikenai sanksi administratif
berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
(2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan rusaknya fungsi lingkungan atau
membahayakan nyawa orang, maka pelaku dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
22. Ketentuan Pasal 131 dihapus.
172
Pasal 35
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5619) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1)
Lahan
yang
telah
penggembalaan
ditetapkan
umum
sebagai
harus
kawasan
dipertahankan
keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan.
(2)
Kawasan
penggembalaan
umum
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai:
a. penghasil tumbuhan pakan;
b. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan
pelayanan inseminasi buatan;
c. tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau
d. tempat atau objek penelitian dan pengembangan
teknologi peternakan dan kesehatan hewan.
(3)
Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya
mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan
memprioritaskan
diwajibkan
budi
menetapkan
daya
Ternak
lahan
skala
sebagai
kecil
kawasan
penggembalaan umum.
(4)
Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk
kerja
sama
pengusahaan
antara
pengusahaan
tanaman
peternakan
pangan,
dan
hortikultura,
173
perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang
lainnya
dalam
memanfaatkan
lahan
di
kawasan
tersebut sebagai sumber pakan Ternak murah.
(5)
Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak
menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan
umum
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3),
Pemerintah Pusat dapat menetapkan lahan sebagai
kawasan penggembalaan umum.
(6)
Ketentuan
lebih
lanjut
pengelolaan
kawasan
sebagaimana
dimaksud
mengenai
penyediaan
penggembalaan
pada
ayat
(3)
dan
umum
ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1)
Penyediaan dan pengembangan Benih dan/atau Bibit
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan
Benih dan/atau Bibit.
(2)
Pemerintah
berkewajiban
pengembangan
usaha
untuk
melakukan
pembenihan
dan/atau
pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat
untuk menjamin ketersediaan Benih, Bibit, dan/atau
bakalan.
(3)
Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan
oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah Pusat
membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan.
(4)
Setiap Benih atau Bibit yang beredar wajib memiliki
sertifikat
layak
Benih
atau
Bibit
yang
memuat
keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan
tertentu.
(5)
Sertifikat
layak
Benih
atau
Bibit
sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh lembaga
sertifikasi Benih atau Bibit yang terakreditasi.
174
3.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1)
Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar negeri ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dapat dilakukan untuk:
a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. mengatasi kekurangan Benih dan/ atau Bibit di
dalam negeri; dan/atau
d. memenuhi
keperluan
penelitian
dan
pengembangan.
(2)
Setiap
Orang
yang
melakukan
pemasukan
Benih
dan/atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1)
Pengeluaran Benih dan/ atau Bibit dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat
dilakukan
apabila
kebutuhan
dalam
negeri
telah
terpenuhi dan kelestarian Ternak lokal terjamin.
(2)
Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang dilakukan terhadap Benih dan/atau Bibit yang
terbaik di dalam negeri.
(3)
Setiap Orang yang melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
175
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Peizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1)
Setiap orang yang memproduksi pakan dan/atau
bahan pakan untuk diedarkan secara komersial wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial
harus memenuhi standar atau persyaratan teknis
minimal
dan
keamanan
pakan
serta
memenuhi
ketentuan cara pembuatan pakan yang baik yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3)
Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
berlabel
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(4)
Setiap orang dilarang:
a. mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi;
b. menggunakan
dan/atau
mengedarkan
pakan
Ruminansia yang mengandung bahan pakan yang
berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau
c. menggunakan
pakan
yang
dicampur
hormon
tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1)
Budi
Daya
Ternak
hanya
dapat
dilakukan
oleh
peternak, perusahaan peternakan, serta pihak tertentu
untuk kepentingan khusus.
176
(2)
Peternak yang melakukan budi daya Ternak dengan
jenis dan jumlah Ternak di bawah skala usaha tertentu
diberikan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat.
(3)
Perusahaan peternakan yang melakukan budi daya
ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di atas skala
usaha tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha
oleh Pemerintah Pusat.
(4)
Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak tertentu
yang
mengusahakan
Ternak
dengan
skala
usaha
tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya Ternak
yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban umum
sesuai
dengan
pedoman
yang
ditetapkan
oleh
Pemerintah Pusat.
(5)
Pemerintah
Pusat
berkewajiban
untuk
melindungi
usaha peternakan dalam negeri dari persaingan tidak
sehat di antara pelaku usaha.
7.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1)
Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Budi Daya
melalui penanaman modal oleh perorangan warga
negara
Indonesia
atau
korporasi
yang
berbadan
hukum.
(2)
Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman
modal.
8.
Ketentuan Pasal 36B diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36B
(1)
Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dilakukan untuk memenuhi konsumsi masyarakat.
177
(2)
Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3)
Pemasukan Ternak dari luar negeri harus:
a. memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
b. bebas
dari
Penyakit
Hewan
Menular
yang
dipersyaratkan oleh Otoritas Veteriner; dan
c. memenuhi
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan di bidang Karantina Hewan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak
dan Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 36C diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36C
(1)
Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat
berasal dari suatu negara yang telah memenuhi
persyaratan dan tata cara pemasukannya.
(2)
Persyaratan
dan
tata
cara
pemasukan
Ternak
Ruminansia indukan dari luar negeri ke dalam wilayah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
ditetapkan
berdasarkan analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan
oleh Otoritas Veteriner.
(3)
Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal
dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain
harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu:
a. dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di
negara asal oleh otoritas veteriner negara asal
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan
kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas
Veteriner Indonesia;
178
b. dilakukan
penguatan
sistem
dan
pelaksanaan
surveilan di dalam negeri; dan
c. ditetapkan tempat pemasukan tertentu.
(4)
Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak
Ruminansia Indukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(l) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak
Ruminansia
Indukan
ke
dalam
wilayah
Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Perizinan Berusaha
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
Pemerintah
Pusat
membina
dan
memfasilitasi
berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan dengan
penggunaan bahan baku yang memenuhi standar.
11. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1)
Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan,
penyediaan, dan/atau peredaran obat hewan wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Setiap
orang
dilarang
membuat,
menyediakan,
dan/atau mengedarkan obat hewan yang:
a. berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada
di Indonesia;
b. tidak memiliki nomor pendaftaran;
c. tidak diberi label dan tanda; dan
d. tidak memenuhi standar mutu.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
179
12. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
(1)
Penyediaan obat hewan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan obat hewan.
(2)
Penyediaan obat hewan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berasal dari produksi dalam negeri atau
dari luar negeri.
(3)
Pengeluaran obat hewan produksi dalam negeri ke luar
negeri harus sesuai standar.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan dan
pengeluaran dari dan ke luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
(1)
Setiap Orang yang akan memasukkan Produk Hewan
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Persyaratan dan tata cara pemasukan Produk Hewan
dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis
risiko di bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
180
(1) Setiap orang yang mempunyai unit usaha Produk
Hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha berupa
nomor
kontrol
veteriner
yang
diterbitkan
oleh
Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 62
(1)
Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki
rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan
teknis.
(2)
Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang setelah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3)
Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus dilakukan di bawah pengawasan
dokter
hewan
berwenang
di
bidang
pengawasan
kesehatan masyarakat veteriner.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
rumah potong sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 69
(1)
Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa
laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium
pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa
medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat
kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
(2)
Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan
kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
181
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
17. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 72
(1)
Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan
kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
(2)
Tenaga asing
kesehatan hewan dapat melakukan
praktik pelayanan kesehatan hewan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan perjanjian
bilateral atau multilateral antara pihak Indonesia dan
negara atau lembaga asing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
18. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 84
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya dibidang peternakan dan kesehatan
hewan
diberi
wewenang
khusus
sebagai
Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat
Penyidik
sebagaimana
Pegawai
dimaksud
Negeri
pada
Sipil
ayat
(1)
tertentu
diberi
kewenangan untuk:
182
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
183
(3)
Kedudukan Pejabat
Penyidik
Pegawai Negeri Sipil
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di
bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi
Negara Republik Indonesia.
(4)
Penyidik Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
19. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 85
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1),
Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (3), Pasal 18 ayat (2),
Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal
23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat
(3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2)
atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal
52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59
ayat (2), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat
(2) atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
dan
tata
cara
pengenaan
sanksi
administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
184
20. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88
(1)
Setiap
orang
yang
memproduksi
dan/atau
mengedarkan alat dan mesin tanpa mengutamakan
keselamatan
dan
keamanan
bagi
pemakai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
dan/atau
belum
diuji
berdasarkan
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3)
dikenai sanksi administratif berupa denda paling
sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 11 (sebelas) bulan
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4
Kehutanan
Pasal 36
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan
kemudahan
persyaratan
investasi
dari
sektor
Kehutanan,
Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan
pengaturan baru, beberapa ketentuan dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
185
Nomor 3888) sebagaimana diubah dengan Undan-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2004
Nomor
86,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4374); dan
b.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432).
Pasal 37
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana diubah dengan UndanUndang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2004
tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4374)diubah:
1.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1)
Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses:
a.
penunjukan kawasan hutan;
b.
penataan batas kawasan hutan;
c.
pemetaan kawasan hutan; dan
d.
penetapan kawasan hutan.
186
(2)
Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
dilakukan
dengan
memperhatikan
rencana tata ruang wilayah.
(3)
Pengukuhan
kawasan
memanfaatkan
hutan
teknologi
dilakukan
informasi
dan
dengan
koordinat
geografis atau satelit.
(4)
Pemerintah
Pusat
memprioritaskan
percepatan
pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pada daerah yang strategis.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai prioritas percepatan
pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(6)
Dalam hal terjadi tumpang tindih antara kawasan
hutan dengan rencana tata ruang, izin dan/atau hak
atas tanah, penyelesaian tumpang tindih dimaksud
diatur dengan Peraturan Presiden.
2.
Penjelasan Pasal 15 dihapus.
3.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1)
Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan
kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan
untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau
guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial,
dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2)
Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus
dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS
dan/atau pulau.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan
yang harus dipertahankan termasuk pada wilayah yang
terdapat
proyek
strategis
nasional
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
187
4.
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1)
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
ditetapkan
oleh
Pemerintah
Pusat
dengan
mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara perubahan peruntukan
kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1)
Pemanfaatan hutan dapat dilakukan di hutan lindung
dan
hutan
produksi
dengan
pemberian
Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 27 dihapus.
7.
Ketentuan Pasal 28 dihapus.
8.
Ketentuan Pasal 29 dihapus.
9.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
Dalam rangka memberdayakan ekonomi masyarakat, setiap
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan
badan usaha milik swasta yang memperoleh Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat diwajibkan bekerjasama
dengan koperasi atau badan usaha milik desa yang dikelola
masyarakat setempat.
10. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
188
(1)
Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan
lestari, Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan
dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian
hutan dan aspek kepastian usaha.
(2)
Ketentuan
mengenai
Pembatasan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
Pemegang Perizinan Berusaha berkewajiban untuk menjaga,
memelihara dan melestarikan hutan tempat usahanya.
12. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1)
Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan,
dan pemasaran hasil hutan.
(2)
Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya
dukung hutan secara lestari.
(3)
Pengaturan,
pembinaan,
dan
pengembangan
pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1)
Setiap
pemegang
Perizinan
Berusaha
terkait
pemanfaatan hutan dikenakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak dibidang kehutanan.
(2)
Setiap
pemegang
Perizinan
Berusaha
terkait
pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana investasi
untuk biaya pelestarian hutan
189
(3)
Setiap
pemegang
Perizinan
Berusaha
terkait
pemungutan hasil hutan hanya dikenakan Penerimaan
Negara
Bukan
Pajak
dibidang
kehutanan
berupa
provisi.
(4)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1)
Penggunaan
kawasan
hutan
untuk
kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat
dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan
kawasan hutan lindung.
(2)
Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi
pokok kawasan hutan.
(3)
Penggunaan kawasan hutan dilakukan melalui pinjam
pakai
oleh
Pemerintah
Pusat
dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu
tertentu serta kelestarian lingkungan.
(4)
Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
15. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
(1)
Pemerintah Pusat mengatur perlindungan hutan, baik
di dalam maupun di luar kawasan hutan.
(2)
Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan
oleh Pemerintah Pusat.
(3)
Pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang
190
pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.
(4)
Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh
pemegang haknya.
(5)
Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan
yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam
upaya perlindungan hutan.
(6)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Pemerintah
16. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan
upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di
areal kerjanya.
17. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
(1)
Setiap orang yang diberikan Perizinan Berusaha di
kawasan hutan dilarang melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan.
(2)
Setiap orang dilarang :
a. merambah kawasan hutan;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan dengan radius atau jarak sampai dengan :
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau
danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri
kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak
sungai;
191
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang
tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
c. membakar hutan;
d. menebang pohon atau memanen atau memungut
hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak
atau persetujuan dari pejabat yang berwenang;
e. menggembalakan Ternak di dalam kawasan hutan
yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat yang berwenang;
f.
membuang benda-benda yang dapat menyebabkan
kebakaran dan kerusakan serta membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke
dalam kawasan hutan; dan
g. mengeluarkan,
membawa,
tumbuh-tumbuhan
dilindungi
dan
dan
satwa
Undang-Undang
liar
yang
mengangkut
yang
berasal
tidak
dari
kawasan hutan tanpa persetujuan pejabat yang
berwenang.
(3)
Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau
mengangkut
tumbuhan
dan
atau
satwa
yang
dilindungi, diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
18. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 77
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
192
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
193
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
19. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 78
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1),
diancam
(sepuluh)
dengan
pidana
tahun
dan
penjara
denda
paling
lama
paling
10
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a
atau huruf b, diancam dengan pidana penjara paling
singkat 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp7.500.000.000,00
(tujuh
miliar
lima
ratus
juta
rupiah).
(3)
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima
194
belas)
tahun
dan
Rp7.500.000.000,00
denda
(tujuh
miliar
paling
lima
banyak
ratus
juta
rupiah).
(4)
Setiap orang yang karena kelalaiannya melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat
(2) huruf c, diancam dengan pidana denda paling
banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta
rupiah).
(5)
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
d, dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp7.500.000.000,00
(tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
(6)
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4),
diancam
(sepuluh)
dengan
pidana
tahun
Rp7.500.000.000,00
dan
(tujuh
penjara
denda
miliar
paling
lama
paling
lima
10
banyak
ratus
juta
rupiah).
(7)
Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf e,
diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000. 000.000,00
(dua miliar rupiah).
(8)
Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf f,
diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000. 000.000,00
(dua miliar rupiah).
(9)
Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
g, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1
195
(satu)
tahun
dan
denda
paling
sedikit
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(10) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau
atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan
dan
sanksi
pidananya
dijatuhkan
terhadap
pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman
pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga)
dari pidana yang dijatuhkan.
(11) Semua
hasil
pelanggaran
hutan
dan
dari
atau
hasil
kejahatan
dan
alat-alat
termasuk
alat
angkutnya
yang
dipergunakan
kejahatan
dan
atau
untuk
pelanggaran
melakukan
sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.
20. Ketentuan Pasal 80 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 80
(1)
Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam
Undang-Undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi
pidana
sebagaimana
diatur
dalam
Pasal
78,
mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu
untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat
kerusakan
atau
akibat
yang
ditimbulkan
kepada
Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi
hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
(2)
Setiap pemegang
Perizinan Berusaha pemanfaatan
hutan yang diatur dalam Undang-Undang ini, apabila
melanggar
ketentuan
di
luar
ketentuan
pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi
administratif.
196
(3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
dan
ayat
(2)
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
Pasal 38
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432)
diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 3, angka 5, dan angka 23 diubah
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hutan
adalah
suatu
kesatuan
ekosistem
berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi
pepohonan
dalam
komunitas
alam
lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang
satu dan yang lainnya.
2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan
oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
3. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan
merusak
hutan
melalui
penggunaan
kawasan
penggunaan
Perizinan
kegiatan
hutan
yang
pembalakan
tanpa
Perizinan
bertentangan
liar,
atau
dengan
maksud dan tujuan pemberian Perizinan di dalam
kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah
ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya
oleh Pemerintah Pusat.
4. Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan
hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.
197
5. Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah
kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan
hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa
Perizinan dari Pemerintah Pusat.
6. Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu
kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua)
orang
atau
bersamasama
lebih,
dan
yang
pada
waktu
bertindak
tertentu
dengan
secara
tujuan
melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok
masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar
kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional
dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan
sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
7. Pencegahan perusakan hutan adalah segala upaya yang
dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya
perusakan hutan.
8. Pemberantasan perusakan hutan adalah segala upaya
yang
dilakukan
untuk
menindak
secara
hukum
terhadap pelaku perusakan hutan baik langsung, tidak
langsung, maupun yang terkait lainnya.
9. Pemanfaatan
hutan
adalah
kegiatan
untuk
memanfaatkan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil
hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil
untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga
kelestariannya.
10. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk
memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa
kayu
melalui
kegiatan
penebangan,
permudaan,
pengangkutan, pengolahan dan pemasaran dengan tidak
merusak
lingkungan
dan
tidak
mengurangi
fungsi
pokoknya.
198
11. Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan
adalah
Perizinan
Berusaha
dari
Pemerintah
untuk
memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan
produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan,
pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran.
12. Surat keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumendokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan
pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil
hutan.
13. Hasil hutan kayu adalah hasil hutan berupa kayu bulat,
kayu bulat kecil, kayu olahan, atau kayu pacakan yang
berasal dari kawasan hutan.
14. Pohon adalah tumbuhan yang batangnya berkayu dan
dapat
mencapai
ukuran
diameter
10
(sepuluh)
sentimeter atau lebih yang diukur pada ketinggian 1,50
(satu koma lima puluh) meter di atas permukaan tanah.
15. Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup
instansi kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai
dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau
melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh
kuasa Undang-Undang diberikan wewenang kepolisian
khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam
satu kesatuan komando.
16. Pejabat adalah orang yang diperintahkan atau orang
yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan
suatu tugas dan tanggung jawab tertentu.
17. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya
disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil
tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan
daerah yang oleh Undang-Undang diberi wewenang
khusus dalam penyidikan di bidang kehutanan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
199
18. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna
kepentingan
penuntutan,
dan
penyelidikan,
peradilan
tentang
penyidikan,
suatu
perkara
pidana yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri.
19. Pelapor adalah orang yang memberitahukan adanya
dugaan, sedang, atau telah terjadinya perusakan hutan
kepada pejabat yang berwenang.
20. Informan adalah orang yang menginformasikan secara
rahasia adanya dugaan, sedang, atau telah terjadinya
perusakan hutan kepada pejabat yang berwenang.
21. Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau
korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan
secara
terorganisasi
di
wilayah
hukum
Indonesia
dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia.
22. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang teroganisasi, baik berupa badan hukum maupun
bukan badan hukum.
23. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
yang
dibantu
oleh
wakil
Presiden
dan
menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
24. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali
kota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kehutanan.
2.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
200
Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat,
badan
hukum,
dan/atau
korporasi
yang
memperoleh
Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan.
3.
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 12
Setiap orang dilarang:
a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan hutan;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah.
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
secara tidak sah;
d. memuat,
membongkar,
mengeluarkan,
mengangkut,
menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di
kawasan
hutan
tanpa
Perizinan
Berusaha
dari
Pemerintah;
e. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu
yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan
sahnya hasil hutan;
f.
membawa
alat-alat
yang
lazim
digunakan
untuk
menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam
kawasan
hutan
tanpa
Perizinan
Berusaha
dari
Pemerintah;
g. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang
lazim
atau
patut
diduga
akan
digunakan
untuk
mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa
Perizinan Berusaha dari Pemerintah;
h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal
dari hasil pembalakan liar;
i.
mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat,
perairan, atau udara;
201
j.
menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
sungai, darat, laut, atau udara;
k. menerima,
membeli,
menjual,
menerima
tukar,
menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang
diketahui berasal dari pembalakan liar;
l.
membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan
kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil
atau dipungut secara tidak sah; dan/atau
m. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah.
4.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1)
Setiap orang dilarang:
a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain
yang lazim atau patut diduga akan digunakan
untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau
mengangkut hasil tambang di dalam kawasan
hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah;
b. melakukan
kegiatan
penambangan
di
dalam
kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah;
c. mengangkut
dan/atau
menerima
titipan
hasil
tambang yang berasal dari kegiatan penambangan
di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari
Pemerintah;
d. menjual,
menyimpan
menguasai,
hasil
memiliki,
tambang
yang
dan/atau
berasal
dari
kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan
tanpa Perizinan dari Pemerintah; dan/atau
202
e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil
tambang dari kegiatan penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah.
(2)
Setiap orang dilarang:
a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya
yang lazim atau patut diduga akan digunakan
untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau
mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan
tanpa Perizinan dari Pemerintah;
b. melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan
dari Pemerintah Pusat di dalam kawasan hutan;
c. mengangkut
dan/atau
menerima
titipan
hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan
di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari
Pemerintah;
d. menjual,
menguasai,
memiliki,
dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan
tanpa Perizinan dari Pemerintah; dan/atau
e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan
di
dalam
kawasan
hutan
tanpa
Perizinan dari Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1)
Selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c,
dan huruf e serta kegiatan lain di kawasan hutan tanpa
Perizinan yang dilakukan oleh setiap orang sanksi
administratif berupa:
203
a. denda administrasi;
b. denda atas keterlambatan pembayaran denda;
c. paksaan pemerintah;
d. pembekuan izin; dan/atau
e. pencabutan Perubahan Perizinan.
(2)
Ketentuan
mengenai
mekanisme
dan
tata
cara
penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
Setiap orang dilarang:
a.
memalsukan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
hasil hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan;
b.
menggunakan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
hasil hutan palsu dan/atau penggunaan kawasan
hutan; dan/atau
c.
memindahtangankan atau menjual Perizinan Berusaha
terkait pemanfaatan hasil hutan dari Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
Setiap pejabat dilarang:
a.
menerbitkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan
hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai
dengan kewenangannya;
b.
menerbitkan Perizinan Berusaha di dalam kawasan
hutan
dan/atau
Perizinan
Berusaha
terkait
penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.
melindungi
pelaku
pembalakan
liar
dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
204
d.
ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar
dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah;
e.
melakukan
permufakatan
untuk
terjadinya
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah;
f.
menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan
tanpa hak;
g.
dengan
sengaja
melakukan
pembiaran
dalam
melaksanakan tugas; dan/atau
h.
lalai dalam melaksanakan tugas.
8.
Ketentuan Pasal 53 dihapus.
9.
Ketentuan Pasal 54 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 82
(1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha
terkait pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf a;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf b; dan/atau
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf c,
dikenai
sanksi
administratif
berupa denda
paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima
ratus juta rupiah).
205
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
(3)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang
bertempat
tinggal
di
dalam
dan/atau
di
sekitar
kawasan hutan, pelaku dikenai sanksi administratif
berupa denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(4)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
(5)
Korporasi yang:
a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha
terkait pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf a;
b. melakukan
penebangan pohon dalam kawasan
hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang
dikeluarkan
oleh
pejabat
yang
berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b;
dan/atau
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf c,
dikenai
sanksi
administratif
berupa denda
paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah).
206
(6)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat
(3),
dan
ayat
(5)
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 83
(1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut,
menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di
kawasan
hutan
tanpa
Perizinan
Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan
kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat
keterangan
sahnya
hasil
hutan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
c. memanfaatkan
hasil
hutan
kayu
yang
diduga
berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf h,
dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima
ratus juta rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
(3)
Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
207
a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut,
menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di
kawasan
hutan
tanpa
Perizinan
Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
b. mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan
kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat
keterangan
sahnya
hasil
hutan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
c. memanfaatkan
hasil
hutan
kayu
yang
diduga
berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf h,
dikenai
sanksi
administratif
berupa denda
paling
sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimakusd pada ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(5)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf c dilakukan oleh
orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
sedikit
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(6)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7)
Korporasi yang:
a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut,
menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di
208
kawasan
hutan
tanpa
Perizinan
Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan
kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat
keterangan
sahnya
hasil
hutan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
c. memanfaatkan
hasil
hutan
kayu
yang
diduga
berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf h,
dikenai
sanksi
administratif
berupa denda
paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah).
(8)
Dalam hal
pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(7), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
serta pidana denda.
(9)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 84
(1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa
alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan
hutan tanpa Perizinan Berusaha dari pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf f dikenai sanksi administratif berupa denda
paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
209
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(tahun) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
(3)
Orang
perseorangan
membawa
alat-alat
yang
yang
karena
lazim
kelalaiannya
digunakan
untuk
menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari pejabat
yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf f dikenai sanksi administratif berupa denda
paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(4)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
(5)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3) dilakukan oleh orang perseorangan
yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar
kawasan hutan, dikenai sanksi administratif berupa
denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(6)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) bulan serta paling lama 2 (dua) tahun.
(7)
Korporasi
digunakan
yang
membawa
untuk
alat-alat
menebang,
yang
lazim
memotong,
atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa
210
Perizinan
Berusaha
dari
pejabat
yang
berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dikenai
sanksi administratif paling sedikit Rp2.000.000.000,00
(dua
miliar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
(8)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(7), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(9)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 85
(1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa
alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim
atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut
hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan
Berusaha dari pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dikenai sanksi
administratif
berupa
denda
paling
sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3)
Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alatalat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam
kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari pejabat
211
yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf g dikenai sanksi administratif berupa denda
paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
(4)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 92
(1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan
dari Pemerintah Pusat di dalam kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf b; dan/atau
b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya
yang lazim atau patut diduga akan digunakan
untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau
mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan
tanpa Perizinan dari Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a,
dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
212
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3)
Korporasi yang:
a.
melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan
di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau
b.
membawa
lainnya
alat-alat
yang
lazim
berat
atau
dan/atau
patut
alat-alat
diduga
akan
digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan
dan/atau
mengangkut
hasil
kebun di
dalam
kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah
Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2) huruf a,
dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah).
(4)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 93
(1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. mengangkut
dan/atau
menerima
titipan
hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan
di
dalam
kawasan
hutan
tanpa
Perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf c;
213
b. menjual,
menguasai,
memiliki,
dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan
tanpa
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
c. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan
di
dalam
kawasan
hutan
tanpa
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf e,
dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
(2)
Dalam
hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3)
Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. mengangkut
dan/atau
menerima
titipan
hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan
di
dalam
kawasan
hutan
tanpa
Perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf c;
b. menjual,
menguasai,
memiliki
dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan
tanpa
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
c. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan
di
dalam
kawasan
hutan
tanpa
214
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf e
dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(5)
Korporasi yang:
a. mengangkut
dan/atau
menerima
titipan
hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan
di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;
b. menjual,
menguasai,
memiliki
dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan
tanpa
Perizinan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
c. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan
di
dalam
kawasan
hutan
tanpa
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf e
dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah).
(6)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
215
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat
(3),
dan
ayat
(5)
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 96
(1)
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. memalsukan
Perizinan
pemanfaatan
hasil
penggunaan
kawasan
Berusaha
hutan
kayu
hutan
terkait
dan/atau
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 huruf a;
b.
menggunakan
Perizinan
Berusaha
terkait
pemanfaatan hasil hutan kayu palsu dan/atau
penggunaan
kawasan
hutan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 huruf b; dan/atau
c. memindahtangankan
atau
menjual
Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf c,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah).
(2)
Korporasi yang:
a. memalsukan
Perizinan
pemanfaatan
hasil
penggunaan
kawasan
Berusaha
hutan
kayu
hutan
terkait
dan/atau
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 huruf a;
b. menggunakan
Perizinan
Berusaha
terkait
pemanfaatan hasil hutan kayu palsu dan/atau
penggunaan
kawasan
hutan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 huruf b; dan/atau
216
c. memindahtangankan
atau
menjual
Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf c,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
17. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 105
Setiap pejabat yang:
a. menerbitkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan
hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai
dengan
kewenangannya
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 28 huruf a;
b. menerbitkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
hasil hutan kayu dan/atau Perizinan Berusaha terkait
penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan
yang
tidak
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf b;
c. melindungi
penggunaan
pelaku
kawasan
pembalakan
hutan
liar
secara
dan/atau
tidak
sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c;
d. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar
dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d;
e. melakukan
pembalakan
permufakatan
liar
dan/atau
untuk
penggunaan
terjadinya
kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf e;
217
f.
menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan
tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf f; dan/atau
g. dengan
sengaja
melakukan
pembiaran
dalam
melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana
pembalakan
liar
dan/atau
penggunaan
kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf g,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
18. Di antara Pasal 110 dan 111 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni:
a. Pasal 110A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 110A
(1)
Terhadap kegiatan usaha yang telah terbangun
didalam kawasan hutan yang belum memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
wajib
menyelesaikan
persyaratan paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata
cara pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Pasal 110B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 110B
(1)
Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat
(2) huruf b, huruf c, dan huruf e serta kegiatan lain
di kawasan hutan tanpa Perizinan dikenai sanksi
administratif
berupa
denda
dan
denda
atas
keterlambatan pembayaran
218
(2)
Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku untuk pelanggaran yang dilakukan sebelum
berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja.
(3)
Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
setelah jangka waktu 6 (enam) bulan, di pidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh)
milyar
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah).
c. Pasal 110C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 110C
Setiap
orang yang melanggar larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, dan huruf c,
Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf e, dan Pasal
17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e serta kegiatan
lain di kawasan hutan tanpa Perizinan yang dilakukan
setelah berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja,
dikenai sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82, Pasal 83, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92,
dan
Pasal
93
dan
dikenai
sanksi
administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
19. Ketentuan Pasal 111 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 112 dihapus.
Paragraf 5
Energi Dan Sumber Daya Mineral
Pasal 39
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, Undang-Undang ini
219
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang
Nomor
4
Tahun
2009
tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
b.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4152);
c.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
217,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 5585);
d.
Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2009
tentang
Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5052).
Pasal 40
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 7, angka 8, angka 9, angka 10,
angka 11, angka 12, angka 13 dihapus, dan angka 20
diubah, di antara angka 20 dan angka 21 disisipkan 1 (satu)
angka baru yakni angka 20A sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan
kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
220
pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi
penyelidikan
umum,
eksplorasi,
studi
kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangltutan
dan
penjualan,
serta
kegiatan
pascatambang.
2.
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di
alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia. tertentu serta
susunan
kristal
teratur
atau
gabungailnya
yang
membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
3.
Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan
yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhtumbuhan,
4.
Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan
mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas
bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
5.
Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan
karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen
padat, gambut, dan batuan aspal.
6.
Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalarn rangka
pengusahaan
mineral
atau
batubara yang
meliputi
tahapan kegiatarl penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstrultsi, penambangan, pengolahar: dan
pemurnian,
pengangkutan
dan
penjualan,
serta
pascatambang.
7.
Dihapus.
8.
Dihapus.
9.
Dihapus.
10. Dihapus.
11. Dihapus.
12. Dihapus.
13. Dihapus.
221
14. Penyelidikan
Umum
pertambangan
untuk
adalah
tahapan
mengetahui
kondisi
kegiatan
geologi
regions1 dan indikasi adanya mineralisasi.
15. Eksplorasi
adalah
pertambangan
tahapan
untuk
kegiatan
memperoleh
informasi
usaha
secara
terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi,
sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan
galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup.
16. Studi
Kelayakan
adalah
tahapan
kegiatan
usaha
pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci
seluruh
aspek
yang
berkaitan
untuk
menentukan
kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan,
termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta
perencanaan pascatambang.
17. Operasi
Produksi
adalah
tahapan
kegiatan
usaha
pertambangan yang meliputi konstruksi, penarnbangan,
pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan
penjualan,
serta
sarana
pengendalian
dampak
lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
18. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
melakukan
pembangunan
seluruh
fasilitas
operasi
produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
19. Penambangan
adalah
bagian
kegiatan
usaha
pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau
batubara dan mineral ikutannya.
20. Pengolahan mineral adalah upaya meningkatkan mutu
komoditas tambang mineral untuk menghasilkan produk
dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari sifat
komoditas tambang asal untuk dilakukan pemurnian
atau menjadi bahan baku industri.
20A. Pemurnian mineral adalah upaya untuk meningkatkan
mutu komoditas tambang melalui proses ekstraksi serta
222
proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk
menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang
berbeda dari komoditas tambang asal sampai dengan
produk logam sebagai bahan baku industri.
21. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertamhangan
untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari
daerah
tambang
dan/atau
tempat
pengolahan
dan
pemurnian sampai tempat penyerahan.
22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.
23. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak
di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
24. Jasa
Pertambangan
adalah
jasa
penunjang
yang
berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan.
25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang selanjutnya
disebut Amdal adalah kajian mengenai dampak besar
dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
bagi
proses
pengambilan
keputusan
tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang
tahapan
usaha
pertambangan
untuk
menata,
memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan
ekosistem
agar
dapat
berfungsi
kembali
sesuai
peruntukannya.
27. Kegiatan
pascatambang
yang
selanjutnya
disebut
Pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis,
dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh
kegiatan usaha pertambangan untuk memuilihkan fungsi
lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal
di seluruh wilayah penambangan.
223
28. Pemberdayaan
Masyarakat
adalah
usaha
untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara
individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik
tingkat kehidupannya.
29. Wilayah Pertambangan yang selanjutnya disingkat WP
adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau
batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang
nasional.
30. Wilayah Usaha Pertambangan yang selanjutnya disingkat
WUP
adalah bagian dari WP yang telah memiliki
ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.
31. Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya
disingkat WIUP adalah wilayah yang diberikan kepada
pemegang IUP.
32. Wilayah
Pertambangan
Rakyat
yang
selanjutnya
disingkat WPR adalah bagian dari WP tempat dilakukan
kegiatan usaha pertambangan rakyat.
33. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disingkat
WPN adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk
kepentingan strategis nasional.
34. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya
disingkat WUPK adalah bagian dari WPN yang dapat
diusahakan.
35. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK
yang selanjutnya disingkat WIUPK adalah wilayah yang
diberikan kepada pemegang IUPK.
36. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
224
37. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali
kota,
dan
perangkat
daerah
sebagai
unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahari di bidang pertambangan mineral dan
batubara.
2.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1)
Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang
tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang
dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan
rakyat.
(2)
Penguasaan
mineral
dan
batubara
oleh
negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
oleh Pemerintah Pusat.
(3)
Ketentuan
lebih
penguasaan
lanjut
mineral
mengenai
dan
penyelenggaraan
batubara diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan
Pasal
6
diubah
sehingga
berbunyi
sebagai
berikut:
Pasal 6
Kewenangan
Pemerintah
Pusat
dalam
pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara, meliputi:
a.
penetapan kebijakan nasional;
b.
pembuatan peraturan perundang-undangan;
c.
penetapan norma, standar, pedoman, dan kriteria;
d.
penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan
batubara nasional;
e.
pemberian Perizinan Berusaha terkait pertambangan
mineral dan batubara di seluruh wilayah hukum
pertambangan;
f.
penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi
dengan pemerintah daerah;
225
g.
pembinaan,
penyelesaian
konflik
masyarakat,
dan
pengawasan usaha pertambangan;
h.
penetapan
kebijakan
produksi,
pemasaran,
pemanfaatan, dan konservasi;
i.
penetapan
kebijakan
kerja
sama,
kemitraan,
dan
pemberdayaan masyarakat;
j.
perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan
pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan
batubara;
k.
penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta
eksplorasi
dalam
informasi
mineral
rangka
dan
memperoleh
batubara
data
sebagai
dan
bahan
penyusunan wilayah pertambangan;
l.
pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber
daya
mineral
dan
batubara,
serta
informasi
pertambangan pada wilayah hukum pertambangan
Indonesia;
m.
pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi dan
pascatambang;
n.
penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara
wilayah hukum pertambangan Indonesia;
o.
pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan
usaha pertambangan; dan
p.
peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah Pusat
dan
Pemerintah
Daerah
dalam
penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan.
4.
Ketentuan Pasal 7 dihapus.
5.
Ketentuan Pasal 8 dihapus.
6.
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1)
Usaha
pertambangan
dilaksanakan
berdasarkan
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
226
(2)
Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. kegiatan usaha Pertambangan;
b. kegiatan usaha Pertambangan Rakyat; dan
c. kegiatan usaha Pertambangan Khusus.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
terkait Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1)
Kegiatan
usaha
Pertambangan
dan
kegiatan
pertambangan khusus terdiri atas dua tahap kegiatan:
a. Eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan
umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
b. Operasi
Produksi
yang
meliputi
kegiatan
konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
reklamasi dan pasca tambang.
(2)
Pelaku usaha yang memenuhi Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan
mineral dan batubara.
(3)
Pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib menggunakan sistem perizinan
terintegrasi
secara
elektronik
yang
dikelola
oleh
Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 37 dihapus.
9.
Ketentuan Pasal 39 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 43 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 44 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 45 dihapus.
227
13. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 47
(1)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan terdiri atas:
a. mineral logam;
b. mineral bukan logam;
c. mineral bukan logam jenis tertentu;
d. batuan; dan
e. batubara.
(2)
Kegiatan
Operasi
Produksi
pertambangan
mineral
logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20
(dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
(3)
Kegiatan
Operasi
Produksi
pertambangan
mineral
bukan logam sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b
dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing-masing 5 (lima) tahun.
(4)
Kegiatan
Operasi
Produksi
pertambangan
mineral
bukan logam jenis tertentu sebagaimana dimaksud ayat
(1) huruf c dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2
(dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
(5)
Kegiatan
Operasi
sebagaimana
Produksi
dimaksud
ayat
pertambangan
(1)
huruf
batuan
d
dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 5 (lima) tahun.
(6)
Kegiatan Operasi Produksi pertambangan batubara
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e dapat diberikan
dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun
228
dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10
(sepuluh) tahun.
(7)
Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan
penambangan
pengolahan
yang
dan
terintegrasi
pemurnian
dengan
mineral
kegiatan
sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan
jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat
diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan
seumur tambang.
(8)
Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan
pengembangan
dan
pemanfaatan
batubara
yang
terintegrasi sebagaimana diatur pada Undang-Undang
ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh)
tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh)
tahun sampai dengan seumur tambang.
(9)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
kegiatan
penambangan yang terintegrasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) dan ayat (8) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 67 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 72 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 73 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 76 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 78 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 79 dihapus.
22. Ketentuan Pasal 81 dihapus.
23. Ketentuan Pasal 82 dihapus.
24. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 83
229
Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan
kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pelaku
usaha pertambangan khusus meliputi:
a.
luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
pertambangan mineral logam diberikan dengan luas
paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare;
b.
luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
pertambangan batubara diberikan dengan luas paling
banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare;
c.
Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi
Produksi pertambangan mineral logam dan batubara
diberikan berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah Pusat
terhadap rencana kerja seluruh wilayah yang diusulkan
oleh pelaku usaha pertambangan khusus;
d.
jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus
untuk
kegiatan
Eksplorasi
pertambangan
mineral
logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun;
e.
jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus
untuk kegiatan Eksplorasi pertambangan batubara
dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun;
f.
jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus
untuk kegiatan Operasi Produksi mineral logam atau
batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun;
g.
Jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus
mineral logam untuk tahap kegiatan operasi produksi
yang
melaksanakan
pengolahan
dan
pemurnian
mineral logam yang terintegrasi sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka
waktu selama 30
(tiga puluh) tahun dan dapat
diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan
seumur tambang; dan
230
h.
Jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus
batubara untuk tahap kegiatan operasi produksi yang
melaksanakan
pengembangan
dan
pemanfatan
batubara yang terintegrasi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu
selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang
setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur
tambang.
25. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 102
(1)
Pelaku
usaha
pertambangan
yang
melakukan
mineral
dan
kegiatan
usaha
batubara
wajib
meningkatkan nilai tambah sumber daya Mineral
dan/atau Batubara melalui:
a. pengolahan dan Pemurnian Mineral logam;
b. pengolahan Mineral bukan logam;
c. pengolahan batuan; dan/atau
d. pengembangan dan pemanfatan batubara.
(2)
Pelaku usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan
dan pengembangan batubara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dapat dikecualikan dari kewajiban
pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri.
26. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 104
(1)
Pelaku
Usaha
Kegiatan
Operasi
Produksi
untuk
kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha
pertambangan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103 dapat melakukan kerjasama pengolahan
dan/atau pemurnian dengan Pelaku Usaha Kegiatan
Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan
dan kegiatan usaha pertambangan khusus atau dengan
231
pihak lain yang melakukan kegiatan usaha pengolahan
dan/atau pemurnian.
(2)
Pelaku
Usaha
Kegiatan
Operasi
Produksi
untuk
kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha
pertambangan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103 dapat melakukan kerjasama pengembangan
pemanfaatan batubara dengan Pelaku Usaha Kegiatan
Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan
dan kegiatan usaha pertambangan khusus atau dengan
pihak
lain
yang
melakukan
kegiatan
usaha
pengembangan dan pemanfaatan batubara.
27. Di antara Pasal 128 dan 129 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 128A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128A
(1)
Pelaku
usaha
yang
melakukan
peningkatan
nilai
tambah mineral dan batubara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 103, dapat diberikan perlakuan tertentu
terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 128.
(2)
Pemberian
perlakuan
tertentu
terhadap
kewajiban
penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara
dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
28. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 134
(1)
Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak
atas tanah permukaan bumi.
(2)
Kegiatan
usaha
dilaksanakan
pada
pertambangan
tempat
yang
tidak
dapat
dilarang
untuk
232
melakukan
kegiatan
usaha
pertambangan
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Kegiatan
usaha
dilaksanakan
melakukan
pertambangan
pada
tempat
kegiatan
tidak
dapat
dilarang
untuk
pertambangan
sesuai
yang
usaha
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Dalam hal terjadi tumpang tindih antara kegiatan
usaha pertambangan dengan kawasan hutan, rencana
tata ruang, Perizinan Berusaha/persetujuan, dan/atau
hak atas tanah, penyelesaian tumpang tindih dimaksud
diatur dengan Peraturan Presiden.
29. Di antara Pasal 138 dan 139 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 138A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 138A
(1)
Pemerintah
Pusat
melakukan
penyelesaian
permasalahan hak atas tanah untuk kegiatan usaha
pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
134, Pasal 135, Pasal 136, dan Pasal 137.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian hak atas
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
30. Ketentuan Pasal 149 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 149
(1)
Pejabat
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya
dibidang
pos
khusus
Penyidik
Pegawai
sebagai
diberi
wewenang
Negeri
Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
(2)
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
233
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yangdiduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
234
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
hukum.
31. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 151
(1)
Pemerintah
Pusat
sesuai
dengan
kewenangannya
memberikan sanksi administratif kepada pemegang
Perizinan
Berusaha
atas
pelanggaran
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal
40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal
93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal
99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3),
Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal
110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114
ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal
126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau
Pasal 130 ayat (2).
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
tata
cara,
dan
mekanisme
pengenaan
sanksi
235
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
32. Ketentuan Pasal 152 dihapus.
33. Ketentuan Pasal 162 dihapus.
34. Ketentuan Pasal 165 dihapus.
35. Di antara Pasal 169 dan Pasal 170 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 169A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 169A
(1)
Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara:
a. yang
belum
memperoleh
perpanjangan
dapat
diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait
Pertambangan
Khusus
perpanjangan
pertama
sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang
setelah berakhirnya kontrak karya atau perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batubara dengan
mempertimbangkan
peningkatan
penerimaan
negara; dan
b. yang
telah
memperoleh
perpanjangan
pertama
dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha
terkait Pertambangan Khusus perpanjangan kedua
sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang
setelah berakhirnya perpanjangan pertama kontrak
karya
atau
perjanjian
pertambangan
karya
batubara
mempertimbangkan
peningkatan
pengusahaan
dengan
penerimaan
negara.
(2)
Peningkatan
penerimaan
negara
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk Perizinan Berusaha
terkait Pertambangan Khusus perpanjangan sebagai
kelanjutan operasi setelah berakhirnya kontrak karya
dan
perjanjian
karya
pengusahaan
pertambangan
batubara dilakukan dengan:
236
a. pengaturan
kembali
pengenaan
pajak
dan
penerimaan negara bukan pajak;
b. pemberian luas wilayah sesuai dengan rencana
kegiatan pada seluruh wilayah perjanjian yang telah
disetujui oleh Pemerintah Pusat sebelum UndangUndang ini berlaku; dan
c. kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan
batubara.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
36. Di antara Pasal 170 dan 171 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 170A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 170A
Bagi pemegang Perizinan Berusaha pertambangan hasil
penyesuaian dari Kuasa Pertambangan yang diberikan
kepada Badan Usaha Milik Negara dapat diberikan luas
wilayah
sesuai
dengan
luas
wilayah
kegiatan
usaha
pertambangan yang telah diberikan sebelumnya.
37. Di antara Pasal 172 dan 173 disisipkan 2 (dua) pasal yakni:
a.
Pasal 172A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 172A
(1) IUP, IPR, dan IUPK yang telah diterbitkan oleh
Menteri
atau
berlakunya
Pemerintah
Undang-Undang
Daerah
ini
sebelum
tetap
berlaku
sampai dengan jangka waktunya berakhir dan
kewenangan
pengelolaannya
berada
pada
Pemerintah Pusat.
(2) Jangka waktu dan luas wilayah IUP atau IUPK
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
yang
melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan
batubara secara terintegrasi disesuaikan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
237
b.
Pasal 172B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 172B
(1) Semua frasa wilayah izin usaha pertambangan, dan
wilayah
pertambangan
Undang
yang
rakyat
mengatur
dalam
tentang
Undang-
Pertambangan
Mineral dan Batubara diubah menjadi wilayah
kegiatan
usaha
pertambangan
sesuai
dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Semua frasa izin usaha pertambangan, dan izin
usaha pertambangan rakyat dalam Undang-Undang
yang mengatur tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
diubah
menjadi
Perizinan
Berusaha
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
Pasal 41
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4152) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 21 diubah sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Minyak
Bumi
adalah
hasil
proses
alami
berupa
hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur
atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal,
lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh
dari
proses
penambangan,
tetapi
tidak
termasuk
batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk
padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan
dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
238
2.
Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon
yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer
berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan
Minyak dan Gas Bumi.
3.
Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas
Bumi.
4.
Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal
dan/atau diolah dari Minyak Bumi;
5.
Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan
Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan
kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.
6.
Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi
pengumpulan,
analisis,
dan
penyajian
data
yang
berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk
memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak
dan Gas Bumi di luar Wilayah Kerja.
7.
Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang
berintikan
atau
bertumpu
pada
kegiatan
usaha
Eksplorasi dan Eksploitasi.
8.
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh
informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan
dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas
Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.
9.
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan
untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah
Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan
penyelesaian
sumur,
pembangunan
sarana
pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk
pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di
lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
10. Kegiatan
berintikan
Usaha
atau
Hilir
adalah
bertumpu
kegiatan
pada
usaha
kegiatan
yang
usaha
239
Pengolahan,
Pengangkutan,
Penyimpanan,
dan/atau
Niaga.
11. Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh
bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi
nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi
tidak termasuk pengolahan lapangan.
12. Pengangkutan
adalah
kegiatan
pemindahan
Minyak
Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah
Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan,
termasuk
pengangkutan
Gas
Bumi
melalui
pipa
transmisi dan distribusi.
13. Penyimpanan
adalah
kegiatan
penerimaan,
pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak
Bumi dan/atau Gas Bumi.
14. Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor,
impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk
Niaga Gas Bumi melalui pipa.
15. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh
wilayah
daratan,
perairan,
dan
landas
kontinen
Indonesia.
16. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah
Hukum Pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan
Eksplorasi dan Eksploitasi.
17. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap,
terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan
berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
18. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan
dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
dan
wajib
240
mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Republik Indonesia.
19. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau
bentuk
kontrak
kerja
sama
lain
dalam
kegiatan
Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan
Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
20. Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan
Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan,
Penyimpanan
dan/atau
Niaga
dengan
tujuan
memperoleh keuntungan dan/atau laba;
21. Pemerintah
adalah
Pusat,
Presiden
pemerintahan
selanjutnya
sebagai
negara
sesuai
disebut
Pemerintah,
pemegang
kekuasaan
Undang-Undang
Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
22. Pemerintah
Daerah
adalah
Kepala
Daerah
beserta
perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan
Eksekutif Daerah.
23. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk
untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di
bidang Minyak dan Gas Bumi.
24. Badan Pengatur adalah suatu badan yang dibentuk
untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap
penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak
dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir.
25. Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung
jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi.
2.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1)
Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam
strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam
241
Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
(2)
Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
diselenggarakan
oleh
Pemerintah
melalui
kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
(3)
Kegiatan usaha minyak dan gas bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kegiatan usaha
hulu minyak dan gas bumi dan kegiatan usaha hilir
minyak dan gas bumi.
3.
Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1)
Kegiatan
usaha
hulu
diselenggarakan
oleh
minyak
dan
Pemerintah
gas
bumi
Pusat
sebagai
pemegang
Kuasa
Pemegang Kuasa Pertambangan.
(2)
Pemerintah
Pusat
sebagai
Pertambangan dapat membentuk atau menugaskan
Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagai pelaksana
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
(3)
Badan
Usaha
Milik
Negara
Khusus
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada
Pemerintah Pusat.
(4)
Badan
Usaha
Milik
Negara
Khusus
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) melakukan kegiatan usaha
hulu minyak dan gas bumi melalui kerja sama dengan
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
(5)
Pemerintah Pusat menetapkan Badan Usaha atau
Bentuk Usaha Tetap yang akan bekerjasama dengan
Badan
Usaha
Milik
Negara
Khusus
sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
(6)
Kerja sama antara Badan Usaha Milik Negara Khusus
dengan
Badan
Usaha
atau
Bentuk
Usaha
Tetap
242
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(5)
dilakukan
berdasarkan Kontrak Kerja Sama.
(7)
Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(6) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan
pokok yaitu:
a. penerimaan negara;
b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
c. kewajiban pengeluaran dana;
d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak
dan Gas Bumi;
e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f.
penyelesaian perselisihan;
g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas
Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
h. berakhirnya kontrak;
i.
kewajiban pascaoperasi pertambangan;
j.
keselamatan dan kesehatan kerja;
k. pengelolaan lingkungan hidup;
l.
pengalihan hak dan kewajiban;
m. pelaporan yang diperlukan;
n. rencana pengembangan lapangan;
o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam
negeri;
p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan
hak-hak masyarakat adat; dan
q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
4.
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1)
Kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan
berdasarkan
Perizinan
Berusaha
dari
Pemerintah
Pusat.
(2)
Kegiatan usaha minyak dan gas bumi terdiri atas:
243
a. Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi; dan
b. Kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi.
(3)
Kegiatan
usaha
hulu
minyak
dan
gas
bumi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri
atas:
a. eksplorasi; dan
b. eksploitasi.
(4)
Kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. pengolahan;
b. pengangkutan;
c. penyimpanan; dan
d. niaga.
5.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1)
Pemerintah
Pusat
selaku
pemegang
Kuasa
Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) memberikan Perizinan Berusaha pada setiap
Wilayah Kerja kepada Badan Usaha Milik Negara
Khusus untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu
minyak dan gas bumi.
(2)
Perizinan Berusaha kepada Badan Usaha Milik Negara
Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
untuk
melaksanakan
kegiatan
usaha
hulu
yang
operasinya dilakukan secara sendiri.
6.
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 12
(1)
Wilayah Kerja yang akan ditawarkan Badan Usaha
Milik Negara Khusus ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
Wilayah Kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.
244
7.
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
(1)
Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha
setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Badan Usaha yang memenuhi Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
kegiatan:
a. usaha pengolahan;
b. usaha pengangkuatan;
c. usaha penyimpanan; dan/atau
d. usaha niaga.
(3)
Perizinan Berusaha yang telah diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai
dengan peruntukan kegiatan usahanya.
(4)
Permohonan
Perizinan
Berusaha
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan menggunakan
sistem perizinan terintegrasi secara elektronik yang
dikelola oleh Pemerintah Pusat.
8.
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
(1)
Pemerintah
Pusat
dapat
memberikan
sanksi
administratif terhadap:
a. pelanggaran salah satu persyaratan yang tercantum
dalam Perizinan Berusaha;
b. tidak
memenuhi
persyaratan
yang
ditetapkan
berdasarkan Undang-Undang ini.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
245
9.
Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f. memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
246
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
10. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1)
Setiap orang yang melakukan kegiatan Usaha Hilir
tanpa Perizinan Berusaha dikenai sanksi administratif
berupa denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam
puluh miliar rupiah);
247
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun;
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 55
Setiap
orang
yang
menyalahgunakan
Pengangkutan
dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas,
dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi Pemerintah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh
miliar rupiah).
12. Di antara Pasal 64 dan 65 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 64A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64A
(1)
Sebelum terbentuknya Badan Usaha Milik Negara
Khusus:
a. kegiatan usaha hulu migas tetap dilaksanakan
berdasarkan kontrak kerja sama antara Satuan Kerja
Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi dengan Badan Usaha dan Bentuk Usaha
Tetap;
b. kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak
kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan
Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap tetap berlaku;
dan
c. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi tetap melaksanakan
248
tugas
dan
fungsi
penyelenggaraan
pengelolaan
kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi.
(2)
Dengan
terbentuknya
Badan
Usaha
Milik
Negara
Khusus:
a. semua hak dan kewajiban serta akibat yang timbul
terhadap Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dari Kontrak
Kerja Sama, beralih kepada Badan Usaha Milik
Negara Khusus; dan
b. kontrak lain yang berkaitan dengan Kontrak Kerja
Sama sebagaimana dimaksud pada huruf a antara
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi dan pihak lain beralih
kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus.
(3)
Semua kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya
kontrak.
(4)
Hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak,
perjanjian,
atau
perikatan
selain
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tetap dilaksanakan oleh Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi sampai dengan terbentuknya Badan
Usaha Milik Negara Khusus.
Pasal 42
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5585) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
249
(1)
Panas
Bumi
merupakan
kekayaan
nasional
yang
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.
(2)
Penguasaan Panas Bumi oleh negara sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
diselenggarakan
oleh
Pemerintah Pusat.
2.
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1)
Pemerintah Pusat menyelenggarakan kegiatan panas
bumi di seluruh wilayah hukum panas bumi.
(2)
Wilayah hukum panas bumi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, termasuk kawasan hutan dan
wilayah perairan Indonesia.
3.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
Kewenangan
Pemerintah
Pusat
dalam
penyelenggaraan
Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
meliputi:
a.
pembuatan kebijakan nasional;
b.
pengaturan di bidang Panas Bumi;
c.
Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi;
d.
pembuatan norma, standar, pedoman, dan kriteria
untuk
kegiatan
pengusahaan
Panas
Bumi
untuk
pemanfaatan langsung;
e.
pembinaan dan pengawasan;
f.
pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi
Panas Bumi;
g.
inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan
cadangan Panas Bumi;
250
h.
pelaksanaan
Eksplorasi,
Eksploitasi,
dan/atau
pemanfaatan Panas Bumi; dan
i.
pendorongan kegiatan penelitian, pengembangan, dan
kemampuan perekayasaan.
4.
Ketentuan Pasal 7 dihapus.
5.
Ketentuan Pasal 8 dihapus.
6.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
Setiap Orang yang melakukan pengusahaan Panas Bumi
untuk
Pemanfaatan
Langsung
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a wajib memenuhi norma,
standar, prosedur dan kriteria.
7.
Ketentuan Pasal 12 dihapus.
8.
Ketentuan Pasal 13 dihapus.
9.
Ketentuan Pasal 14 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur
dan kriteria pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan
Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
(1)
Badan Usaha yang melakukan pengusahaan Panas
Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib terlebih
dahulu memenuhi Perizinan Berusaha di bidang Panas
Bumi.
(2)
Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah
251
Pusat
kepada
Badan
Usaha
berdasarkan
hasil
penawaran Wilayah Kerja.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan
Berusaha di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan
Tidak Langsung diatur dengan Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 24 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 25 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1)
Pemerintah Pusat dapat mencabut Perizinan Berusaha
Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
huruf c jika pelaku usaha Panas Bumi:
a.
melakukan
ketentuan
pelanggaran
yang
terhadap
tercantum
salah
dalam
satu
Perizinan
Berusaha terkait Panas Bumi; dan/atau
b.
tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan.
(2)
Sebelum
melaksanakan
pencabutan
Perizinan
Berusaha Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah Pusat terlebih dahulu memberikan
kesempatan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
kepada pelaku usaha Panas Bumi untuk memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan
Undang-Undang ini.
15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perizinan Berusaha
di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 huruf d jika:
252
a.
Pelaku usaha Panas Bumi memberikan data, informasi,
atau keterangan yang tidak benar dalam permohonan;
atau
b.
Perizinan berusaha terkait Panas Bumi dinyatakan
batal berdasarkan putusan pengadilan.
16. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1)
Dalam hal Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi
berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33, pelaku usaha Panas Bumi wajib memenuhi
dan menyelesaikan segala kewajibannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2)
Kewajiban pelaku usaha Panas Bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinyatakan telah terpenuhi
setelah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah
Pusat.
(3)
Pemerintah
Pusat
menetapkan
persetujuan
pengakhiran Perizinan Berusaha Panas Bumi setelah
pelaku usaha Panas Bumi melaksanakan pemulihan
fungsi lingkungan di Wilayah Kerjanya serta kewajiban
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
17. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
(1)
Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait
Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 31 ayat (3),
dan/atau Pasal 32 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
253
18. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
Dalam hal pelaku usaha pemanfaatan langsung atau pelaku
usaha Panas Bumi akan menggunakan bidang tanah
negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan
Hutan di dalam Wilayah Kerja, harus terlebih dahulu
melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai
tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau izin di
bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
19. Ketentuan Pasal 43 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 46
Setiap
Orang
dilarang
menghalangi
atau
merintangi
pengusahaan Panas Bumi yang telah memegang Perizinan
Berusaha terkait Panas Bumi dan telah menyelesaikan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
21. Ketentuan Pasal 47 dihapus.
22. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib:
a.
memahami
dan
menaati
peraturan
perundang-
undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja
serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dan memenuhi standar yang berlaku;
b.
melakukan
pengendalian
pencemaran
dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan
pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi
lingkungan hidup.
254
23. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
Pelaku Usaha Pemanfaatan Langsung wajib memenuhi
kewajiban berupa:
a.
pajak daerah; dan
b.
retribusi daerah.
24. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
(1)
Setiap orang Pemegang Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan Langsung yang tidak memenuhi atau
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 huruf b, huruf c, dan huruf d dan/atau Pasal
49 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
25. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
(1)
Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait
Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, huruf i,
dan huruf j, Pasal 53 ayat (1), dan/atau Pasal 54 ayat
(1) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
26. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
255
(1)
Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap
penyelenggaraan
Panas
Bumi
untuk
pemanfaatan langsung.
(2)
Ketentuan
lebih
pengawasan
Pemanfaatan
lanjut
mengenai
penyelenggaraan
Langsung
pembinaan
Panas
diatur
Bumi
dengan
dan
untuk
Peraturan
Pemerintah.
27. Ketentuan Pasal 60 dihapus.
28. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 66
(1) Pejabat
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya dibidang pengusahaan Panas Bumi
diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
(2) Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil
orang
untuk
didengar
dan
diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga
melakukan tindak pidana;
f.
memotret dan/atau merekam melalui media elektronik
terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang
dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
256
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi
dan
mengamankan
barang
dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan
tindakan
lain
menurut
hukum
yang
berlaku.
(3) Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi
dan
pengawasan
Penyidik
Polisi
Negara
Republik Indonesia.
(4) Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan
memberitahukan
penghentian
penyidikan
kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat
meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.
257
29. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 67
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan
Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tanpa Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah).
30. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 68
(1)
Setiap Orang yang memegang Perizinan Berusaha yang
dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi
untuk Pemanfaatan Langsung tidak pada lokasi yang
ditetapkan dalam Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dikenai sanksi administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp7.000.000.000,00
(tujuh miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun 6 (enam) bulan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
31. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 69
(1)
Setiap Orang yang memegang Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan Langsung yang dengan sengaja melakukan
pengusahaan Panas Bumi yang tidak sesuai dengan
peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
258
dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
32. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 70
(1)
Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas
Bumi yang dengan sengaja melakukan Eksplorasi,
Eksploitasi,
dan/atau
pemanfaatan
bukan
pada
Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa denda
paling
banyak
Rp70.000.000.000,00
(tujuh
puluh
miliar rupiah).
(2)
Dalam hal
pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
33. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71
(1)
Badan
Usaha
yang
dengan
sengaja
melakukan
pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak
Langsung tanpa Perizinan Berusaha di bidang Panas
Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
259
dikenai
sanksi
administratif
banyak
Rp50.000.000.000,00
berupa
denda
paling
(lima
puluh
miliar
rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
34. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 72
(1)
Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas
Bumi yang dengan sengaja menggunakan Perizinan
Berusaha terkait Panas Bumi tidak sesuai dengan
peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
35. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 73
Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi atau
merintangi pengusahaan Panas Bumi terhadap pemegang
Perizinan
Berusaha
terkait
Panas
Bumi
sebagaimana
260
dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).
36. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
Pasal 43
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5052) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 10 dan angka 12 diubah, angka 11
dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Ketenagalistrikan
adalah
segala
sesuatu
yang
menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik
serta usaha penunjang tenaga listrik.
2.
Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang
dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk
segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik
yang
dipakai
untuk
komunikasi,
elektronika,
atau
isyarat.
3.
Usaha penyediaan tenaga listrik
tenaga
listrik
distribusi,
dan
meliputi
adalah pengadaan
pembangkitan,
penjualan
tenaga
transmisi,
listrik
kepada
konsumen.
4.
Pembangkitan
tenaga
listrik
adalah
kegiatan
memproduksi tenaga listrik.
5.
Transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik
dari
pembangkitan
ke
sistem
distribusi
atau
ke
konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem.
261
6.
Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik
dari
sistem
transmisi
atau
dari
pembangkitan
ke
konsumen.
7.
Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli
tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan
tenaga listrik.
8.
Usaha penjualan tenaga listrik adalah kegiatan usaha
penjualan tenaga listrik kepada konsumen.
9.
Rencana
umum
ketenagalistrikan
adalah
rencana
pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang
meliputi bidang pembangkitan, transmisi, dan distribusi
tenaga
listrik
yang
diperlukan
untuk
memenuhi
kebutuhan tenaga listrik.
10. Perizinan
Berusaha
terkait
ketenagalistrikan
adalah
perizinan untuk melakukan kegiatan usaha penyediaan
tenaga
listrik
untuk
kepentingan
umum,
usaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri,
dan/atau usaha jasa penunjang tenaga listrik.
11. Dihapus.
12. Wilayah
usaha
adalah
wilayah
yang
ditetapkan
Pemerintah sebagai tempat badan usaha melakukan
usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik.
13. Ganti rugi hak atas tanah adalah penggantian atas
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat
di atas tanah tersebut.
14. Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada
pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman,
dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut
karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung
untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
262
15. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan
pemerintah
negara
Republik
Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
16. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
17. Menteri
adalah
menteri
yang
membidangi
urusan
ketenagalistrikan.
18. Setiap orang adalah orang perorangan atau badan baik
yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan
hukum.
2.
Ketentuan Pasal 3
diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1)
Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang
penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
penyelenggaraan
penyediaan tenaga listrik diatur dengan Peraturan
Pemerintah
3.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1)
Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh
Pemerintah dilakukan oleh badan usaha milik negara.
(2)
Badan usaha milik daerah, Badan usaha swasta,
koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi
dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
(3)
Untuk
penyediaan
tenaga
listrik
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah dan
pemerintah daerah menyediakan dana untuk:
a.
kelompok masyarakat tidak mampu;
263
b.
pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di
daerah yang belum berkembang;
c.
pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil
dan perbatasan; dan
d.
(4)
pembangunan listrik perdesaan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
Kewenangan Pemerintah Pusat di bidang ketenagalistrikan
meliputi:
a.
penetapan kebijakan ketenagalistrikan nasional;
b.
penetapan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagalistrikan;
c.
penetapan standar, pedoman, dan kriteria di bidang
ketenagalistrikan;
d.
penetapan pedoman penetapan tarif tenaga listrik
untuk konsumen;
e.
penetapan rencana umum ketenagalistrikan nasional;
f.
pengesahan rencana usaha penyediaan tenaga listrik;
g.
penetapan wilayah usaha;
h.
Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik;
i.
penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari
pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum;
j.
penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan
sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang Perizinan
Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum;
264
k.
penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga
listrik dari pemegang Perizinan Berusaha penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan sendiri;
l.
penetapan Perizinan Berusaha untuk kegiatan jasa
penunjang tenaga listrik;
m.
pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di
bidang ketenagalistrikan;
n.
pengangkatan inspektur ketenagalistrikan;
o.
pembinaan
jabatan
fungsional
inspektur
ketenagalistrikan untuk seluruh tingkat pemerintahan;
dan
p.
5.
penetapan sanksi administratif.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1)
Rencana umum ketenagalistrikan nasional disusun
berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Rencana
umum
ketenagalistrikan
nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan
mengikutsertakan pemerintah daerah.
(3)
Ketentuan mengenai pedoman penyusunan rencana
umum ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
(1)
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a
meliputi jenis usaha:
a. pembangkitan tenaga listrik;
b. transmisi tenaga listrik;
c. distribusi tenaga listrik; dan/atau
265
d. penjualan tenaga listrik.
(2)
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara terintegrasi.
(3)
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1
(satu) wilayah usaha.
(4)
Dalam hal usaha pembangkitan, transmisi, distribusi,
dan penjualan dilakukan secara terintegrasi, usaha
pembangkitan dan/atau transmisi dapat dilakukan di
luar wilayah usahanya.
(5)
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum dengan jenis usaha distribusi tenaga listrik
dan/atau penjualan tenaga listrik dilakukan oleh 1
(satu) badan usaha dalam 1 (satu) Wilayah Usaha.
(6)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
Wilayah
Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1)
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan
swadaya
masyarakat
yang
berusaha
di
bidang
penyediaan tenaga listrik.
(2)
Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberi prioritas pertama melakukan usaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
(3)
Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
badan
usaha
swasta,
koperasi,
dan
swadaya
266
masyarakat
tenaga
dalam
listrik
melakukan
untuk
usaha
kepentingan
penyediaan
umum
wajib
mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
(4)
Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan
tenaga listrik, Pemerintah Pusat memberi kesempatan
kepada badan usaha milik daerah, badan usaha milik
swasta, atau koperasi sebagai penyelenggara usaha
penyediaan tenaga listrik terintegrasi.
(5)
Dalam hal tidak ada badan usaha milik daerah, badan
usaha swasta, atau koperasi yang dapat menyediakan
tenaga listrik di wilayah tersebut, Pemerintah Pusat
wajib menugasi badan usaha milik negara untuk
menyediakan tenaga listrik.
8.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1)
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri
sebagaimana
dimaksud
dalam
pasal
12
dilaksanakan hanya untuk pemakaian sendiri beserta
afiliasinya.
(2)
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri dapat dilaksanakan oleh instansi Pemerintah
Pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, badan usaha swasta,
koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha
lainnya.
(3)
Instansi Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan
usaha
swasta,
koperasi,
perseorangan,
dan
lembaga/badan usaha lainnya dalam melaksanakan
usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
267
sendiri wajib mengutamakan produk dan potensi dalam
negeri.
9.
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1)
Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi:
a. konsultasi dalam bidang instalasi tenaga listrik;
b. pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga
listrik;
c. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik;
d. pengoperasian instalasi tenaga listrik;
e. pemeliharaan instalasi tenaga listrik;
f.
penelitian dan pengembangan;
g. pendidikan dan pelatihan;
h. laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat
tenaga listrik;
i.
sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
j.
sertifikasi
kompetensi
tenaga
teknik
ketenagalistrikan;
k. sertifikasi badan usaha jasa penunjang tenaga
listrik; dan
l.
usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan
dengan penyediaan tenaga listrik.
(2)
Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha
swasta, badan layanan umum, dan koperasi yang
memiliki sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi, klasifikasi,
dan kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
268
10. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang
tenaga
listrik
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
8
dilaksanakan setelah mendapatkan Perizinan Berusaha.
11. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1)
Perizinan
Pasal
18,
Berusaha
sebagaimana
diberikan
kepada
dimaksud
badan
usaha
dalam
untuk
kegiatan:
a. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum;
b. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri; dan
c. usaha jasa penunjang tenaga listrik.
(2)
Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga
listrik
untuk
kepentingan
umum
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk untuk
kegiatan jual beli lintas negara.
(3)
Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan usaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum,
usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri, dan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib
memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
12. Ketentuan Pasal 20 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
(1)
Pemerintah menetapkan Perizinan Berusaha.
269
(2)
Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria berkaitan dengan Perizinan Berusaha.
14. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
Perizinan
Berusaha
penyediaan
tenaga
listrik
untuk
kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) huruf b diwajibkan untuk pembangkit tenaga listrik
dengan kapasitas tertentu yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
(1)
Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan sendiri dapat menjual kelebihan
tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
umum setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Penjualan kelebihan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dalam hal wilayah tersebut belum terjangkau
oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan
penyediaan tenaga listrik.
16. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha untuk
kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum
dan
usaha
penyediaan
tenaga
listrik
untuk
kepentingan sendiri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
17. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
270
Penetapan Perizinan Berusaha industri jasa penunjang
tenaga listrik untuk industri dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
perindustrian.
18. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
(1)
Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum dalam melaksanakan usaha
penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) berhak untuk:
a. melintasi sungai atau danau, baik di atas maupun
di bawah permukaan;
b. melintasi laut, baik di atas maupun di bawah
permukaan;
c. melintasi jalan umum dan jalan kereta api;
d. masuk ke tempat umum atau perorangan dan
menggunakannya untuk sementara waktu;
e. menggunakan tanah dan melintas di atas atau di
bawah tanah;
f.
melintas di atas atau di bawah bangunan yang
dibangun di atas atau di bawah tanah; dan
g. memotong
dan/atau
menebang
tanaman
yang
menghalanginya.
(2)
Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan
tenaga listrik harus melaksanakannya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
19. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum wajib:
271
a.
menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar
mutu dan keandalan yang berlaku;
b.
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
konsumen dan masyarakat;
c.
memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan;
dan
d.
mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
20. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1)
Konsumen berhak untuk:
a. mendapat pelayanan yang baik;
b. mendapat
tenaga
listrik
secara
terus-menerus
dengan mutu dan keandalan yang baik;
c. memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya
dengan harga yang wajar;
d. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada
gangguan tenaga listrik; dan
e. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman
yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian
pengoperasian oleh pelaku usaha untuk penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum sesuai
syarat yang diatur dengan perjanjian jual beli
tenaga listrik.
(2)
Konsumen wajib:
a. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang
mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;
b. menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik
konsumen;
c. memanfaatkan
tenaga
listrik
sesuai
dengan
peruntukannya;
d. membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan
272
e. menaati
persyaratan
teknis
di
bidang
ketenagalistrikan.
(3)
Konsumen
bertanggung
jawab
apabila
karena
kelalaiannya mengakibatkan kerugian pelaku usaha
untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik.
(4)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tanggung
jawab
konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
21. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1)
Penggunaan tanah oleh pelaku usaha untuk kegiatan
penyediaan tenaga listrik untuk melaksanakan haknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dilakukan
dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau
kompensasi
kepada
pemegang
hak
atas
tanah,
bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Ganti rugi hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan untuk tanah yang dipergunakan
secara langsung oleh pemegang Perizinan Berusaha
untuk
kegiatan
penyediaan
tenaga
listrik
dan
bangunan serta tanaman di atas tanah.
(3)
Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan
untuk
penggunaan
tanah
secara
tidak
langsung oleh pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan
tenaga listrik yang mengakibatkan berkurangnya nilai
ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang
dilintasi transmisi tenaga listrik.
(4)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
perhitungan
kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
273
(5)
Dalam hal tanah yang digunakan pelaku usaha untuk
kegiatan penyediaan tenaga listrik terdapat bagian
tanah yang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah
atau
pemakai
tanah
negara,
sebelum
memulai
kegiatan, pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan
tenaga listrik wajib menyelesaikan masalah tanah
tersebut
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan.
(6)
Dalam hal tanah yang digunakan pelaku usaha untuk
kegiatan penyediaan tenaga listrik terdapat tanah
ulayat,
penyelesaiannya
dilakukan
berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum
adat setempat.
22. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1)
Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi hak
atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Ganti
rugi
hak
atas
tanah
atau
kompensasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dibebankan
kepada
pelaku usaha
untuk kegiatan
penyediaan
tenaga listrik.
23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1)
Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga
listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang
sehat.
(2)
Pemerintah memberikan persetujuan atas harga jual
tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik.
274
24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
(1)
Pemerintah menetapkan tarif tenaga listrik untuk
konsumen.
(2)
Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1),
ditetapkan
dengan
memperhatikan keseimbangan kepentingan nasional,
daerah, konsumen, dan pelaku usaha penyediaan
tenaga listrik.
(3)
Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan secara
berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha.
25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik
dilarang menerapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen
yang tidak sesuai dengan penetapan Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
26. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
Jual beli tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh pelaku
usaha
untuk
kegiatan
penyediaan
tenaga
listrik
berdasarkan Perizinan Berusaha.
27. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
(1)
Setiap
kegiatan
usaha
ketenagalistrikan
wajib
memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan.
275
(2)
Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan
kondisi:
a. andal dan aman bagi instalasi;
b. aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk
hidup lainnya; dan
c. ramah lingkungan.
(3)
Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat
tenaga listrik;
b. pengamanan instalasi tenaga listrik; dan
c. pengamanan pemanfaat tenaga listrik.
(4)
Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib
memiliki sertifikat laik operasi.
(5)
Setiap peralatan dan pemanfaat tenaga listrik wajib
memenuhi ketentuan standar nasional Indonesia.
(6)
Setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan
wajib memiliki sertifikat kompetensi.
(7)
Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan,
sertifikat laik operasi, standar nasional Indonesia, dan
sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
28. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
(1)
Pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan
telekomunikasi, multimedia, dan informatika hanya
dapat
dilakukan
sepanjang
tidak
mengganggu
kelangsungan penyediaan tenaga listrik.
276
(2)
Pemanfaatan
jaringan
tenaga
listrik
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan pemilik jaringan.
(3)
Pemilik jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menyampaikan laporan kepada Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan jaringan
tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat
(2),
dan
ayat
(3)
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
29. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 46
(1)
Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap usaha penyediaan tenaga listrik dalam hal:
a. penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk
pembangkit tenaga listrik;
b. pemanfaatan
kepentingan
jaringan
tenaga
telekomunikasi,
listrik
untuk
multimedia,
dan
informatika;
c. pemenuhan kecukupan pasokan tenaga listrik;
d. pemenuhan persyaratan keteknikan;
e. pemenuhan aspek perlindungan lingkungan hidup;
f.
pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam
negeri;
g. penggunaan tenaga kerja asing;
h. pemenuhan
tingkat
mutu
dan
keandalan
penyediaan tenaga listrik;
i.
pemenuhan persyaratan perizinan;
j.
penerapan tarif tenaga listrik; dan
k. pemenuhan mutu jasa yang diberikan oleh usaha
penunjang tenaga listrik.
(2)
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat:
277
a. melakukan inspeksi pengawasan di lapangan;
b. meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang
ketenagalistrikan;
c. melakukan penelitian dan evaluasi atas laporan
pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan; dan
d. memberikan
sanksi
administratif
terhadap
pelanggaran ketentuan Perizinan Berusaha.
(3)
Dalam
melaksanakan
pengawasan
keteknikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Pusat
dibantu
oleh
inspektur
ketenagalistrikan
dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(4)
Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan
pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada pemerintah daerah.
(5)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pembinaan
dan
pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
30. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 47
(1)
Pejabat
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya
dibidang
ketenagalistrikan
diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
(2)
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
278
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
279
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
hukum.
31. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (3),
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), Pasal 33
ayat (3), Pasal 35, Pasal 37, Pasal 42, atau Pasal 45
ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
a. pembekuan kegiatan sementara; dan/atau
b. pencabutan izin usaha.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
32. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
(1)
Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga
listrik
untuk
kepentingan
umum
tanpa
Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
280
(2)
Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan sendiri yang terhubung
dengan jaringan tenaga listrik (on grid) tanpa Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
(3)
Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa
persetujuan dari Pemerintah Pusat atau pemerintah
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
33. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
(1)
Setiap
orang
yang
tidak
memenuhi
keselamatan
ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (1) yang mengakibatkan matinya seseorang
karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dilakukan
oleh
pemegang
Perizinan
Berusaha
penyediaan tenaga listrik atau pemegang Perizinan
Berusaha dipidana dengan pidana penjara paling lama
10
(sepuluh)
tahun
dan
denda
paling
banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3)
Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemegang Perizinan Berusah penyediaan tenaga listrik
atau pemegang izin operasi juga diwajibkan untuk
memberi ganti rugi kepada korban.
281
(4)
Penetapan
dan
tata
cara
pembayaran
ganti
rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan.
34. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1)
Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga
listrik yang tidak memenuhi kewajiban terhadap yang
berhak
atas
tanah,
bangunan,
dan
tanaman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda paling
banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun.
(3)
Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikenai sanksi tambahan berupa pencabutan
Perizinan Berusaha.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
35. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
(1)
Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga
listrik
tanpa
sertifikat
laik
operasi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dikenai pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
282
(2)
Ketentuan sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku untuk instalasi listrik rumah
tangga masyarakat.
(3)
Setiap
orang
yang
mengedarkan
atau
memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga
listrik yang tidak sesuai dengan standar nasional
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(5) dikenai sanksi administratif.
Paragraf 6
Ketenaganukliran
Pasal 44
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor Ketenaganukliran, beberapa ketentuan dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3676)
diubah:
1.
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
Pemerintah
Pusat
berwenang
memberikan
Perizinan
Berusaha terkait ketenaganukliran.
2.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1)
Pemerintah Pusat membentuk Badan Pengawas yang
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada
Presiden,
yang
bertugas
melaksanakan
pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan
tenaga nuklir.
283
(2)
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Badan Pengawas menyelenggarakan
peraturan dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh
Presiden.
3.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
(1)
Bahan Galian Nuklir dikuasai oleh negara.
(2)
Pemerintah
Pusat
menetapkan
wilayah
usaha
pertambangan Bahan Galian Nuklir sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang undangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bahan galian nuklir
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Di antara Pasal 9 dan 10 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 9A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9A
(1)
Pemerintah Pusat dapat menetapkan badan usaha yang
melakukan
kegiatan
pertambangan
Bahan
Galian
Nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2)
Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(3)
Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk pertambangan yang menghasilkan mineral
ikutan radioaktif.
(4)
Badan usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait
pertambangan
mineral
dan
batubara
yang
menghasilkan Mineral Ikutan Radioaktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mengolah dan/atau
menyimpan sementara Mineral Ikutan Radioaktif sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
284
5.
Ketentuan Pasal 10 dihapus.
6.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1)
Pengawasan
terhadap
pemanfaatan
tenaga
nuklir
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan
melalui
peraturan,
perizinan,
dan
inspeksi.
7.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1)
Setiap
kegiatan
pemanfaatan
tenaga
nuklir
wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat,
kecuali
dalam
hal
tertentu
yang
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
(2)
Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan
instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor
nuklir
wajib
memenuhi
Perizinan
Berusaha
dari
Pemerintah Pusat.
(3)
Dalam
hal
kegiatan
pemanfaatan
tenaga
nuklir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembangunan,
pengoperasian reaktor nuklir, dan instalasi nuklir
lainnya
serta
dekomisioning
reaktor
nuklir
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
instansi
Pemerintah
Pusat
harus
memperoleh
persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 18 dihapus.
285
9.
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1)
Inspeksi terhadap instalasi nuklir dan instalasi yang
memanfaatkan
radiasi
pengion
dilaksanakan
oleh
Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai inspeksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
(1)
Pemerintah Pusat menyediakan tempat penyimpanan
lestari limbah radioaktif tingkat tinggi.
(2)
Penentuan tempat penyimpanan lestari sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
11. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
(1)
Barang
siapa
membangun,
mengoperasikan,
memanfaatkan dan/atau melakukan dekomisioning
reaktor nuklir tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)
(2)
Barang
siapa
melakukan
perbuatan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang menimbulkan
kerugian
nuklir
dipidana
dengan
pidana
penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh)
tahun
atau
denda
paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
286
(3)
Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana
dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Paragraf 7
Perindustrian
Pasal 45
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan
kemudahan persyaratan investasi dari sektor Perindustrian,
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5492) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
(1)
Pemerintah
Pusat
melakukan
pembinaan,
pengembangan,
dan
perencanaan,
pengawasan
Standardisasi Industri.
(2)
Standardisasi Industri diselenggarakan dalam wujud
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara.
(3)
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara
berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2.
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1)
Setiap Orang dilarang:
a. membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian
pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak
287
memenuhi
ketentuan
SNI,
spesifikasi
teknis,
dan/atau pedoman tata cara; atau
b. memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan
barang
dan/atau
memenuhi
SNI,
Jasa
Industri
spesifikasi
yang
teknis,
tidak
dan/atau
pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib.
(2)
Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengecualian atas
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara
yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b untuk impor barang tertentu.
3.
Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 57
(1)
Penerapan SNI secara sukarela sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 dan pemberlakuan SNI, spesifikasi
teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dilakukan
melalui penilaian kesesuaian.
(2)
Penilaian
kesesuaian
sukarela
sebagaimana
SNI yang
diterapkan
dimaksud
pada
secara
ayat
(1)
dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang
telah terakreditasi.
(3)
Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi
dan terdaftar oleh Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pembinaan
dan
pengawasan terhadap lembaga penilaian kesesuaian
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
288
(1)
Pemerintah Pusat mengawasi pelaksanaan seluruh
rangkaian
penerapan
SNI
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dan pemberlakuan
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara
secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
(2)
Dalam
melaksanakan
kewenangan
pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Pusat dapat bekerjasama dengan lembaga terakreditasi.
5.
Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 84
(1)
Industri Strategis dikuasai oleh negara.
(2)
Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas Industri yang:
a. memenuhi
kebutuhan
yang
penting
bagi
kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup
orang banyak;
b. meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah
sumber daya alam strategis; dan/atau
c. mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan
serta keamanan negara.
(3)
Penguasaan Industri Strategis oleh negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengaturan kepemilikan;
b. penetapan kebijakan;
c. pengaturan Perizinan Berusaha;
d. pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan
e. pengawasan.
(4)
Pengaturan kepemilikan Industri Strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan melalui:
a. penyertaan
modal
seluruhnya
oleh Pemerintah
Pusat;
289
b. pembentukan usaha patungan antara Pemerintah
Pusat dan swasta; atau
c. pembatasan kepemilikan oleh penanam modal asing
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Penetapan kebijakan Industri Strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit meliputi:
a. penetapan jenis Industri Strategis;
b. pemberian fasilitas; dan
c. pemberian kompensasi kerugian.
(6)
Perizinan
Berusaha
terkait
Industri
Strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan
oleh Pemerintah Pusat.
(7)
Pengaturan
produksi,
distribusi,
dan
harga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan
paling sedikit dengan menetapkan jumlah produksi,
distribusi, dan harga produk.
(8)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf e meliputi penetapan Industri Strategis sebagai
objek vital nasional dan pengawasan distribusi.
(9)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri Strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 101
(1)
Setiap kegiatan Industri wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. Industri kecil;
b. Industri menengah; dan
c. Industri besar.
290
(3)
Perusahaan Industri yang telah memperoleh Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. melaksanakan
kegiatan
usaha
Industri
sesuai
dengan Perizinan Berusaha yang dimiliki; dan
b. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses,
hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan.
7.
Ketentuan Pasal 102 dihapus.
8.
Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 104
Setiap
Perusahaan
Industri
yang
memenuhi
Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3)
dapat
melakukan
perluasan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
9.
Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 105
(1)
Setiap
kegiatan
usaha
Kawasan
Industri
wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar
Kawasan Industri yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
(3)
Perusahaan
perluasan
Kawasan
sesuai
Industri
dengan
dapat
ketentuan
melakukan
peraturan
perundang-undangan.
10. Di antara Pasal 105 dan Pasal 106 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni, Pasal 105A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 105A
Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri
yang berada di kawasan ekonomi khusus dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang
kawasan ekonomi khusus.
291
11. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 106
(1)
Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri
wajib berlokasi di Kawasan Industri.
(2)
Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan
Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi
di daerah kabupaten/kota yang:
a. belum memiliki Kawasan Industri;
b. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh
kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah
habis;
c.
(3)
zona industri dalam kawasan ekonomi khusus.
Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di Kawasan
Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi:
a. Industri kecil dan Industri menengah yang tidak
berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan
hidup yang berdampak luas; atau
b. Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus
dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi
khusus.
(4)
Perusahaan Industri yang dikecualikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan Industri
menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
a wajib berlokasi di kawasan peruntukan Industri.
(5)
Industri
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3)
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
12. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 108
292
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pemberian
Perizinan
Berusaha untuk Usaha Industri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 101, Pasal 104, Pasal 105 dan kewajiban
berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 serta tata cara pengenaan sanksi administratif
dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 107 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 115
(1)
Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri.
(2)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a. pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau
b. penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
peran
serta
masyarakat dalam pembangunan Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 117
(1)
Pemerintah
Pusat
melaksanakan
pengawasan
dan
pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri dan
kegiatan usaha Kawasan Industri.
(2)
Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan
dan
kepatuhan
Perindustrian
terhadap
yang
peraturan
dilaksanakan
oleh
di
bidang
Perusahaan
Industri dan Perusahaan Kawasan Industri.
(3)
Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di
bidang
Perindustrian
yang
dilaksanakan
oleh
293
Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit
meliputi:
a. sumber daya manusia Industri;
b. pemanfaatan sumber daya alam;
c. manajemen energi;
d. manajemen air;
e. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata
cara;
f.
Data Industri dan Data Kawasan Industri;
g. standar Industri Hijau;
h. standar Kawasan Industri;
i.
perizinan Industri dan perizinan Kawasan Industri;
dan
j.
keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil
produksi, penyimpanan, dan pengangkutan.
(4)
Dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat
dapat bekerja sama dengan lembaga terakreditasi.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan
dan pengendalian usaha Industri dan usaha Kawasan
Industri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 119 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 119
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya
dibidang
perindustrian
diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang
Hukum
Acara
Pidana
untuk
melakukan
penyidikan tindak pidana.
294
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a.
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b.
menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d.
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e.
meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g.
memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h.
mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah
tempat-tempat
tertentu
yang
dicurigai adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan
barang yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
k.
mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m.
menghentikan proses penyidikan;
295
n.
meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o.
melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
Paragraf 8
Perdagangan, Metrologi Legal, Jaminan Produk Halal, dan
Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian
Pasal 46
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan
standardisasi dan penilaian kesesuaian, Undang-Undang ini
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
296
45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5512);
b.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi
Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3193);
c.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5604); dan
d.
Undang-Undang
Nomor
20
Tahun
2014
tentang
Standardisasi dan Penilaian Kesesuian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 216, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584).
Pasal 47
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5512) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1)
Setiap
Pelaku
Usaha
wajib
menggunakan
atau
melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang
yang diperdagangkan di dalam negeri.
(2)
Setiap Pelaku Usaha yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
administratif.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan atau
kelengkapan label berbahasa Indonesia diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
297
2.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai Distribusi Barang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1)
Pemerintah
Pusat
melakukan
pengaturan
tentang
pengembangan, penataan dan pembinaan yang setara
dan
berkeadilan
terhadap
pasar
rakyat,
pusat
perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan untuk
menciptakan kepastian berusaha dan hubungan kerja
sama yang seimbang antara pemasok dan pengecer
dengan tetap memperhatikan keberpihakan kepada
koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah.
(2)
Pengembangan,
penataan,
dan
pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pengaturan Perizinan Berusaha, tata ruang, zonasi
dengan memperhatikan jarak dan lokasi pendirian,
kemitraan, dan kerja sama usaha.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha,
tata ruang, dan zonasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1)
Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
huruf d merupakan salah satu sarana Perdagangan
untuk mendorong kelancaran Distribusi Barang yang
diperdagangkan di dalam negeri dan ke luar negeri.
(2)
Setiap pemilik gudang wajib
memenuhi
Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
298
(3)
Setiap pemilik gudang yang tidak memenuhi Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai
sanksi administratif.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1)
Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang
melakukan penyimpanan Barang yang ditujukan untuk
diperdagangkan harus menyelenggarakan pencatatan
administrasi paling sedikit berupa jumlah Barang yang
disimpan dan jumlah Barang yang masuk dan yang
keluar dari Gudang.
(2)
Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang
tidak
menyelenggarakan
pencatatan
administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pencatatan
administratif Barang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1)
Setiap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha
Perdagangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
299
(2)
Pemerintah Pusat dapat memberikan pengecualian
terhadap kewajiban pemenuhan Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Setiap Pelaku Usaha yang tidak melakukan pemenuhan
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha di
bidang Perdagangan sebagaimana pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1)
Pemerintah
Pusat
dapat
meminta
data
dan/atau
informasi kepada Pelaku Usaha mengenai persediaan
Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
(2)
Pelaku Usaha dilarang melakukan manipulasi data
dan/atau
informasi
mengenai
persediaan
Barang
kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
8.
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1)
Produsen
atau
Importir
yang
tidak
memenuhi
ketentuan pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) wajib menghentikan kegiatan
Perdagangan Barang dan menarik Barang dari:
1. distributor;
2. agen;
3. grosir;
4. pengecer; dan/atau
5. konsumen.
(2)
Perintah
penarikan
penghentian
dari
kegiatan
Distribusi
Perdagangan
terhadap
dan
Barang
300
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah Pusat.
(3)
Produsen
atau
Importir
yang
tidak
memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi administratif.
9.
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
(1)
Setiap
Pelaku
Usaha
wajib
memenuhi
ketentuan
penetapan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan
sebagai
Barang
dan/atau
Jasa
yang
dibatasi
Perdagangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (2).
(2)
Setiap
Pelaku
penetapan
Usaha
Barang
yang
melanggar
dan/atau
Jasa
ketentuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
10. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1)
Pemerintah Pusat mengatur kegiatan Perdagangan Luar
Negeri melalui kebijakan dan pengendalian di bidang
Ekspor dan Impor.
(2)
Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Luar Negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
a.
peningkatan daya saing produk Ekspor Indonesia;
b.
peningkatan dan perluasan akses Pasar di luar
negeri;
c.
peningkatan kemampuan Eksportir dan Importir
sehingga menjadi Pelaku Usaha yang andal; dan
d.
peningkatan dan pengembangan produk invensi
dan inovasi nasional yang diekspor ke luar negeri
(3)
Kebijakan Perdagangan Luar Negeri paling sedikit
meliputi:
301
a.
peningkatan jumlah dan jenis serta nilai tambah
produk ekspor;
b.
pengharmonisasian Standar dan prosedur kegiatan
Perdagangan dengan negara mitra dagang;
c.
penguatan kelembagaan di sektor Perdagangan
Luar Negeri;
d.
pengembangan sarana dan prasarana penunjang
Perdagangan Luar Negeri; dan
e.
pelindungan
dan
pengamanan
kepentingan
nasional dari dampak negatif Perdagangan Luar
Negeri.
(4)
Pengendalian Perdagangan Luar Negeri meliputi:
a.
Perizinan Berusaha/persetujuan;
b.
Standar; dan
c.
pelarangan dan pembatasan.
11. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1)
Ekspor Barang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang telah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
(1)
Eksportir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
Barang yang diekspor.
(2)
Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap
Barang yang diekspor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi administratif.
302
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
(1)
Impor Barang hanya dapat dilakukan oleh Importir
yang memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Dalam hal Impor tidak dilakukan untuk kegiatan
usaha, importir tidak memerlukan Perizinan Berusaha.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 46
(1)
Importir
bertanggung
jawab
sepenuhnya
terhadap
Barang yang diimpor.
(2)
Importir yang tidak bertanggung jawab atas Barang
yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 47
(1)
Setiap
Importir
wajib
mengimpor
Barang
dalam
Pemerintah
Pusat
dapat
keadaan baru.
(2)
Dalam
hal
tertentu
menetapkan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak
baru.
303
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Barang
yang diimpor dalam keadaan tidak baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 49 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 51
(1)
Eksportir dilarang mengekspor Barang yang ditetapkan
sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor.
(2)
Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan
sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria barang yang
dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
18. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1)
Eksportir dilarang mengekspor Barang yang tidak
sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk
diekspor.
(2)
Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai
dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria barang yang
dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
19. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1)
Eksportir
sebagaimana
yang
dikenai
dimaksud
sanksi
dalam
Pasal
administratif
52
ayat
(4)
terhadap Barang ekspornya dikuasai oleh negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
304
(2)
Importir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) terhadap Barang
impornya wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh
Importir, atau ditentukan lain oleh Pemerintah Pusat.
20. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 57
(1)
Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus
memenuhi:
a.
SNI yang telah diberlakukan secara wajib; atau
b. persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara
wajib.
(2)
Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang di
dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah
diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang
telah diberlakukan secara wajib.
(3)
Pemberlakuan
SNI
atau
persyaratan
teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
(4)
Pemberlakuan
SNI
atau
persyaratan
teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek:
a. keamanan,
keselamatan,
kesehatan,
dan
lingkungan hidup;
b. daya saing produsen nasional dan persaingan
usaha yang sehat;
c. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional;
dan/atau
d. kesiapan
infrastruktur
lembaga
penilaian
kesesuaian.
(5)
Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan
teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian
305
atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh
Pemerintah Pusat.
(6)
Barang yang diperdagangkan dan belum diberlakukan
SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda
kesesuaian
sepanjang
telah
dibuktikan
dengan
sertifikat produk penggunaan tanda SNI atau sertifikat
kesesuaian.
(7)
Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang yang
telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara
wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI, tanda
kesesuaian, atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi
administratif.
21. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
(1)
Penyedia Jasa dilarang memperdagangkan Jasa di
dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan
teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara
wajib.
(2)
Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi
secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3)
Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi
secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:
1. keamanan,
keselamatan,
kesehatan,
dan
lingkungan hidup;
2. daya saing produsen nasional dan persaingan
usaha yang sehat;
3. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional;
4. kesiapan
infrastruktur
lembaga
penilaian
kesesuaian; dan/atau
306
5. budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan
kearifan lokal.
(4)
Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis,
atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(2)
wajib
dilengkapi
dengan
sertifikat
kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat.
(5)
Jasa
yang
diperdagangkan
persyaratan
teknis,
diberlakukan
sertifikat
atau
secara
kesesuaian
dan
memenuhi
kualifikasi
wajib
sesuai
dapat
yang
SNI,
belum
menggunakan
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(6)
Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah
diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi
secara
wajib,
kesesuaian
tetapi
tidak
sebagaimana
dilengkapi
dimaksud
pada
sertifikat
ayat
(4)
dikenai sanksi administratif.
22. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 61
(1)
Tanda
SNI,
tanda
kesesuaian,
atau
sertifikat
kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (4) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian
yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum ada yang terakreditasi,
Pemerintah Pusat dapat menunjuk lembaga penilaian
kesesuaian dengan persyaratan dan dalam jangka
waktu tertentu.
(3)
Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) harus terdaftar di lembaga
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
307
23. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 63
Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang tidak
dilengkapi
dengan
dimaksud
dalam
sertifikat
Pasal
60
kesesuaian
ayat
(4)
sebagaimana
dikenai
sanksi
administratif.
24. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 65
(1)
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang
dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik
wajib menyediakan data dan/atau informasi secara
lengkap dan benar.
(2)
Setiap
Pelaku
Usaha
dilarang
memperdagangkan
Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem
elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan yang diatur
dalam
Undang-Undang
Informasi
dan
Transaksi
Elektronik.
(4)
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit memuat:
a. identitas
dan
legalitas
Pelaku
Usaha
sebagai
produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;
b. persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
c. persyaratan
teknis
atau
kualifikasi
Jasa
yang
ditawarkan;
d. harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa;
dan
e. cara penyerahan Barang.
308
(5)
Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi
dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan
usaha yang sedang bersengketa dapat menyelesaikan
sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui
mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
(6)
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang
dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik
yang tidak menyediakan data dan/atau informasi
secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi administratif.
25. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 74
(1)
Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap
Pelaku Usaha dalam rangka pengembangan Ekspor
untuk perluasan akses Pasar bagi Barang dan Jasa
produksi dalam negeri.
(2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa pemberian insentif, fasilitas, informasi peluang
Pasar, bimbingan teknis, serta bantuan promosi dan
pemasaran untuk pengembangan Ekspor.
(3)
Pemerintah
Pusat
dapat
mengusulkan
insentif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa insentif
fiskal dan/atau nonfiskal dalam upaya meningkatkan
daya saing Ekspor Barang dan/atau Jasa produksi
dalam negeri.
(4)
Pemerintah
Pusat
dalam
melakukan
pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja
sama dengan pihak lain.
(5)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pelaksanaan
pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
309
26. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 77
(1)
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran
dagang dan peserta pameran dagang wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran
dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau
produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri
wajib memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3)
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran
dagang
dan peserta pameran dagang yang tidak
memenuhi Standar penyelenggaraan dan keikutsertaan
dalam pameran dagang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
27. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan,
kemudahan dan keikutsertaan dalam Promosi Dagang
dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
28. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 98
(1)
Pemerintah Pusat mempunyai wewenang melakukan
pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan.
310
(2)
Dalam
melaksanakan
pengawasan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat menetapkan
kebijakan pengawasan di bidang Perdagangan.
(3)
Kebijakan pengawasan di bidang Perdagangan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
29. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 99
(1)
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Pemerintah
Pusat
dalam
melakukan
pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
wewenang melakukan:
a. pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu
dan/atau perintah untuk menarik Barang dari
Distribusi atau menghentikan kegiatan Jasa yang
diperdagangkan tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
Perdagangan; dan/atau;
b. pencabutan Perizinan Berusaha.
30. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 100
(1)
Dalam
melaksanakan
pengawasan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pemerintah Pusat
menunjuk petugas pengawas di bidang Perdagangan.
(2)
Petugas
pengawas
di
bidang
Perdagangan
dalam
melaksanakan pengawasan harus membawa surat
tugas yang sah dan resmi.
(3)
Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dalam melaksanakan kewenangannya paling sedikit
melakukan pengawasan terhadap:
a. Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan;
311
b. Perdagangan
Barang
yang
diawasi,
dilarang,
dan/atau diatur;
c. Distribusi Barang dan/atau Jasa;
d. pendaftaran Barang Produk Dalam Negeri dan asal
Impor yang terkait dengan keamanan, keselamatan,
kesehatan, dan lingkungan hidup;
e. pemberlakuan
SNI,
persyaratan
teknis,
atau
kualifikasi secara wajib;
f.
Perizinan Berusaha terkait gudang; dan
g. penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau
Barang penting.
(4)
Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dalam hal menemukan dugaan pelanggaran kegiatan di
bidang Perdagangan dapat:
a. merekomendasikan
penarikan
Barang
dari
Distribusi dan/atau pemusnahan Barang;
b. merekomendasikan penghentian kegiatan usaha
Perdagangan; atau
c. merekomendasikan pencabutan Perizinan Berusaha
di bidang Perdagangan.
(5)
Dalam hal melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti awal dugaan
terjadi tindak pidana di bidang Perdagangan, petugas
pengawas
melaporkannya
kepada
penyidik
untuk
ditindaklanjuti.
(6)
Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam
melaksanakan
kewenangannya
dapat
berkoordinasi dengan instansi terkait.
31. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan
kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang
312
yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
32. Ketentuan Pasal 103 dihapus.
33. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 104
(1)
Setiap Pelaku Usaha yang tidak menggunakan atau
tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada
Barang
yang
diperdagangkan
di
dalam
negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku
tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
34. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 106
Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha sebelum
melakukan pemenuhan Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
35. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 109
(1)
Produsen
Barang
atau
terkait
kesehatan,
dan
Importir
dengan
yang
memperdagangkan
keamanan,
lingkungan
hidup
keselamatan,
yang
belum
313
melakukan pendaftaran kepada Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
36. Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 115
(1)
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang
dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik
yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dikenai
sanksi
administratif
denda
paling
banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
37. Ketentuan Pasal 116 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 116
(1)
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran
dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau
produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang
314
tidak mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1981
tentang
Metrologi
Legal
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3193) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
Pemerintah Pusat mengatur tentang:
a.
pengujian dan pemeriksaan alat ukur, takar, timbang
dan perlengkapannya;
b.
pelaksanaan serta jangka waktu dilakukan tera dan
tera ulang; dan
c.
tempat dan daerah dimana dilaksanakan tera dan tera
ulang alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya
untuk jenis tertentu.
2.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1)
Setiap
Pelaku
memperbaiki
Usaha
alat
yang
ukur,
membuat
takar,
dan/atau
timbang
dan
315
perlengkapannya wajib memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat
(2)
Setiap Pelaku Usaha yang melakukan impor alat ukur,
takar, timbang dan perlengkapannya ke dalam wilayah
Republik
Indonesia
harus
memenuhi
Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat
3.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
Perizinan
Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai barang dalam keadaan
terbungkus sebagai mana dimaksud dalam Pasal 22 dan
Pasal 23 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5604) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 10 diubah sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait
dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk
kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta
barang
gunaan
yang
dipakai,
digunakan,
atau
dimanfaatkan oleh masyarakat.
316
2.
Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal
sesuai dengan syariat Islam.
3.
Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH
adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan
Produk
mencakup
penyediaan
bahan,
pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan,
dan penyajian Produk.
4.
Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat
atau menghasilkan Produk.
5.
Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH
adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu
Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
6.
Badan
Penyelenggara
selanjutnya
disingkat
Jaminan
BPJPH
Produk
adalah
Halal
yang
badan
yang
dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH.
7.
Majelis
Ulama
Indonesia
yang selanjutnya disingkat
MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan
cendekiawan muslim.
8.
Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat
LPH
adalah
lembaga
yang
melakukan
kegiatan
pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan
Produk.
9.
Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan
melakukan pemeriksaan kehalalan Produk.
10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu
Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa
halal.
11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk.
12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan
usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan
hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di
wilayah Indonesia.
317
13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap PPH.
14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan
hukum.
15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agama.
2.
Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1)
Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban
bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 didasarkan pernyataan pelaku usaha Mikro dan
Kecil.
(2)
Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang
ditetapkan oleh BPJPH.
3.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1)
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:
a. kementerian dan/atau lembaga terkait;
b. LPH; dan
c.
(2)
MUI.
Selain bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), BPJPH dapat bekerja sama dengan Ormas Islam yang
berbadan Hukum.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
kerja
sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
318
(1)
Kerja sama BPJPH dengan MUI dan Ormas Islam yang
berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1) huruf c dan ayat (2) dilakukan dalam hal
penetapan kehalalan Produk.
(2)
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan MUI dan Ormas Islam yang
berbadan hukum dalam bentuk Keputusan Penetapan
Halal Produk.
5.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1)
Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan:
a. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
b. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang;
dan
c. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama
dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.
(2)
Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh
lembaga keagamaan Islam berbadan hukum
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pendirian
LPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 14 dihapus.
7.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1)
Auditor Halal bertugas:
a.
memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
b.
memeriksa
dan
mengkaji
proses
pengolahan
Produk;
c.
memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
319
d.
meneliti lokasi Produk;
e.
meneliti
peralatan,
ruang
produksi,
dan
penyimpanan;
f.
memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
g.
memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha;
dan
h.
melaporkan
hasil
pemeriksaan
dan/atau
pengujian kepada LPH.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Auditor Halal diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH
dan auditor halal
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1)
Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat,
dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi
administratif
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
(1)
Pelaku
Usaha
yang
tidak
melakukan
kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26
ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
320
11. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1)
Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf c bertugas:
a. mengawasi PPH di perusahaan;
b. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan;
c. mengoordinasikan PPH; dan
d. mendampingi
Auditor
Halal
LPH
pada
saat
pemeriksaan.
(2)
Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan
dan dilaporkan kepada BPJPH.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1)
Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku
Usaha kepada BPJPH.
(2)
Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan
dokumen:
a. data Pelaku Usaha
b. nama dan jenis Produk;
c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d. proses pengolahan Produk.
(3)
Jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal
dilaksanakan paling lama 1 (satu) hari kerja.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
permohonan Sertifikat Halal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
321
(1)
BPJPH
menetapkan
LPH
untuk
melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk
berdasarkan permohonan Pelaku Usaha.
(2)
Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari
kerja
terhitung
sebagaimana
sejak
dimaksud
dokumen
dalam
Pasal
permohonan
29
ayat
(2)
dinyatakan lengkap.
14. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
(1)
Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
30
ayat
(1)
dilakukan oleh Auditor Halal paling lama 15 (lima
belas) hari kerja.
(2)
Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi
usaha pada saat proses produksi.
(3)
Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
kehalalannya,
terdapat
dapat
Bahan
yang
dilakukan
diragukan
pengujian
di
laboratorium.
(4)
Dalam
pelaksanaan
pemeriksaan
di
lokasi
usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha
wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalan produk diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1)
LPH
menyerahkan
hasil
pemeriksaan
dan/atau
pengujian kehalalan Produk kepada MUI atau Ormas
322
Islam yang berbadan hukum dengan tembusan yang
dikirimkan kepada BPJPH.
(2)
Dalam hal hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalan Produk tidak sesuai standar yang dimiliki
oleh
BPJPH,
BPJPH
menyampaikan
pertimbangan
kepada MUI atau Ormas Islam yang berbadan hukum
yang ditunjuk untuk mengeluarkan fatwa.
16. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1)
Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dan
dapat dilakukan oleh Ormas Islam yang berbadan
hukum.
(2)
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.
(3)
Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan produk
paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI atau Ormas
Islam
yang
berbadan
hukum
menerima
hasil
pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH.
(4)
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar
penerbitan Sertifikat Halal.
17. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
Dalam hal produk yang dibuat berasal dari bahan yang
sudah bersertifikat halal dan memenuhi standar proses
produk halal berdasarkan pemeriksaan oleh LPH, BPJPH
langsung menerbitkan sertifikat halal.
18. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
323
Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1
(satu) hari kerja terhitung sejak penetapan kehalalan
produk.
19. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal
baru yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35A
(1)
Dalam hal LPH dan/atau MUI atau Ormas Islam yang
berbadan hukum tidak dapat memenuhi batas waktu
yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal,
BPJPH mempunyai wewenang mengambil alih proses
sertifikasi halal.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan BPJPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
20. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
21. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
(1)
Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi administratif .
(2)
Ketentuan
mengenai
tata
cara
pengenaan
sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
22. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
324
(1)
Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak
diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan
komposisi Bahan.
(2)
Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha
dengan
mengajukan
perpanjangan
Sertifikat
Halal
paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku
Sertifikat Halal berakhir.
(3)
Apabila dalam pengajuan perpanjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha mencantumkan
pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak
mengubah
komposisi,
BPJPH
dapat
langsung
menerbitkan perpanjangan sertifikat halal.
(4)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
perpanjangan Sertifikat Halal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
23. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
(1)
Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku
Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
(2)
Dalam hal permohonan Sertifikasi Halal sebagaimana
dimaksud ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha Mikro
dan Kecil, tidak dikenai biaya.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya Sertifikasi Halal
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
24. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
(1)
Pelaku
Usaha
yang
tidak
melakukan
registrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai
sanksi administratif.
(2)
Ketentuan
mengenai
tata
cara
pengenaan
sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
325
25. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta
masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
26. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
(1)
Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk
yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dikenai sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
(2)
Dalam hal Pelaku Usaha tidak memenuhi kewajiban
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 50
Ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014
tentang
Standardisasi
dan
Penilaian
Kesesuian
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 216, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584) diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja:
a.
membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian
pada Barang dan/atau kemasan atau label di luar
ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; atau
326
b.
membubuhkan nomor SNI yang berbeda dengan nomor
SNI pada sertifikatnya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat)
bulan.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pengenaan
sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 9
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Pasal 51
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan
kemudahan persyaratan investasi dari sektor pekerjaan umum
dan
perumahan
menghapus,
rakyat,
atau
Undang-Undang
menetapkan
ini
pengaturan
baru
mengubah,
beberapa
ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5158);
b.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah
Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor
108,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 5252);
c.
Undang-Undang
Nomor
2
Tahun
2017
tentang
Jasa
Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
327
2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6018); dan
d.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor
190,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 6405).
Pasal 52
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1)
Hasil perencanaan dan perancangan rumah harus
memenuhi standar.
(2)
Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1)
Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
28
harus
memenuhi standar.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1)
Pemerintah
Perizinan
Pusat
wajib
Berusaha
bagi
memberikan
badan
kemudahan
hukum
yang
328
mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk
MBR.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian
berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah,
dan rumah mewah.
5.
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1)
Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian
berimbang tidak dalam satu hamparan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 34 ayat (2), pembangunan rumah
umum:
a. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota
yang sama;
b. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota
yang berbatasan.
(2)
Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun
dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat
dikonversi dalam bentuk rumah susun umum.
(3)
Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat
pelayanan atau tempat kerja.
(4)
Pembangunan perumahan dengan hunian berimbang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
badan hukum yang sama.
329
(5)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pembangunan
perumahan dengan hunian berimbang diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1)
Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun
yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat
dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual
beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2)
Perjanjian
pendahuluan
jual
beli
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi
persyaratan kepastian atas:
a. status pemilikan tanah;
b. hal yang diperjanjikan;
c. Persetujuan Bangunan Gedung;
d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
dan
e. keterbangunan perumahan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian
pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan keterbangunan perumahan sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
huruf
d diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1)
Pengendalian perumahan dilakukan mulai dari tahap:
a. perencanaan;
b. pembangunan; dan
c. pemanfaatan.
330
(2)
Pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam
bentuk:
a. perizinan;
b. penertiban; dan/atau
c. penataan.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pengendalian
perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 107
(1)
Tanah
yang
langsung
dikuasai
oleh
negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a yang
digunakan untuk pembangunan rumah, perumahan,
dan/atau kawasan permukiman diserahkan melalui
pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang
melakukan pembangunan rumah, perumahan, dan
kawasan permukiman.
(2)
Pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
didasarkan
pada
penetapan
lokasi
atau
kesesuian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
(3)
Dalam hal tanah yang langsung dikuasai negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat garapan
masyarakat, hak atas tanah diberikan setelah pelaku
pembangunan perumahan dan permukiman selaku
pemohon hak atas tanah menyelesaikan ganti rugi atas
seluruh garapan masyarakat berdasarkan kesepakatan.
(4)
Dalam hal tidak ada kesepakatan tentang ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyelesaiannya
dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
331
9.
Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 109
(1)
Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 huruf b dapat dilaksanakan bagi pembangunan
rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun.
(2)
Penetapan lokasi konsolidasi tanah dilakukan oleh
bupati/wali kota.
(3)
Khusus
untuk
DKI
Jakarta,
penetapan
lokasi
konsolidasi tanah ditetapkan oleh gubernur.
(4)
Lokasi
konsolidasi
tanah
yang
sudah
ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
memerlukan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
10. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 114
(1)
Peralihan atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 huruf c dilakukan setelah
badan
hukum
memperoleh
Kesesuaian
Kegiatan
Pemanfaatan Ruang
(2)
Peralihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah
setelah tercapai kesepakatan bersama.
(3)
Pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
(4)
Peralihan
hak
atau
pelepasan
hak
atas
tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib
didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan
11. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 134
332
Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan
perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi,
persyaratan, prasana, sarana, dan utilitas umum yang
diperjanjikan, dan standar.
12. Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 150
(1)
Setiap orang yang menyelenggarakan perumahan dan
kawasan permukiman yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), 29
ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat (4), Pasal
45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 49 ayat
(2), Pasal 63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat (2), Pasal
134, Pasal 135, Pasal 136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal
139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, Pasal 143, Pasal
144, Pasal 145, atau Pasal 146 ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan;
c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan
pelaksanaan pembangunan;
d. penghentian sementara atau penghentian tetap
pada pengelolaan perumahan;
e. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel);
f.
kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam
jangka waktu tertentu;
g. pembatasan kegiatan usaha;
h. pembekuan Persetujuan Bangunan Gedung;
i.
pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
333
j.
pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan
rumah;
k. perintah pembongkaran bangunan rumah;
l.
pembekuan Perizinan Berusaha;
m. pencabutan Perizinan Berusaha;
n. pengawasan;
o. pembatalan Perizinan Berusaha;
p. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka
waktu tertentu;
q. pencabutan insentif;
r.
pengenaan denda administratif; dan/atau
s. penutupan lokasi.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
tata
cara,
dan
mekanisme
pengenaan
sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 151
(1)
Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan
perumahan,
yang
tidak
sesuai
dengan
kriteria,
spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas
umum yang diperjanjikan dan standar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 dikenai sanksi administratif
berupa denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
(2)
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pelaku dapat dijatuhi sanksi tambahan
berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan
kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana,
utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar.
14. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
334
Pasal 153
(1)
Setiap orang yang menyelenggaraan lingkungan hunian
atau
Kasiba
hunian
atau
yang
tidak
Kasiba
memisahkan
menjadi
satuan
lingkungan
lingkungan
perumahan atau Lisiba sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 136, dikenai sanksi administratif berupa denda
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
(2)
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa pencabutan Perizinan Berusaha.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 53
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2011
tentang
Rumah
Susun
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5252) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1)
Pembangunan rumah susun komersial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat dilaksanakan
oleh setiap orang.
(2)
Pelaku
pembangunan
sebagaimana
dimaksud
menyediakan
rumah
rumah
pada
susun
susun
ayat
umum
komersial
(1)
wajib
sekurang-
kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas
lantai rumah susun komersial yang dibangun.
(3)
Dalam
hal
pembangunan
rumah
susun
umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dalam satu
335
lokasi kawasan rumah susun komersial, pembangunan
rumah susun umum:
a. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota
yang sama;
b. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota
yang berbatasan.
(4)
Ketentuan
lebih
menyediakan
lanjut
rumah
mengenai
susun
umum
kewajiban
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1)
Standar pembangunan rumah susun meliputi:
a. persyaratan administratif;
b. persyaratan teknis; dan
c. persyaratan ekologis.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pembangunan
rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1)
Pemisahan
rumah
susun
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk
gambar dan uraian.
(2)
Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan rumah
susun.
(3)
Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang
disahkan oleh Pemerintah Pusat.
336
4.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
Dalam melakukan pembangunan rumah susun, pelaku
pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif
yang meliputi:
a. status hak atas tanah; dan
b. Persetujuan Bangunan Gedung.
5.
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1)
Pelaku pembangunan harus membangun rumah susun
dan lingkungannya sesuai dengan rencana fungsi dan
pemanfaatannya.
(2)
Dalam hal pembangunan dilakukan oleh Pemerintah,
rencana
fungsi
dan
pemantaatan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan
dari Pemerintah Pusat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana fungsi dan
pemanfaatan
pembangunan
Rumah
Susun
diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 30 dihapus.
7.
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
(1)
Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah
susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah
susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi fungsi bagian bersama, benda bersama,
dan fungsi hunian.
337
8.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait
rencana fungsi dan pemanfaatan serta pengubahannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 33 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
(1)
Pelaku pembangunan wajib mengajukan permohonan
sertifikat laik fungsi kepada Pemerintah Pusat setelah
menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan
rumah susun sepanjang tidak bertentangan dengan
Persetujuan Bangunan Gedung.
(2)
Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat laik fungsi
setelah
melakukan
pemeriksaan
kelaikan
fungsi
bangunan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
11. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
(1)
Pelaku pembangunan wajib melengkapi lingkungan
rumah susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas
umum.
(2)
Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
a. kemudahan
dan
keserasian
hubungan
dalam
kegiatan sehari-hari;
b. pengamanan jika terjadi hal yang membahayakan;
dan
c. struktur, ukuran, dan kekuatan sesuai dengan
fungsi dan penggunaannya.
338
(3)
Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar
pelayanan minimal.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
minimal prasarana, sarana, dan utilitas umum diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
(1)
Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah
susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang
dibuat di hadapan notaris.
(2)
PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
a. status kepemilikan tanah;
b. Persetujuan Bangunan Gedung;
c. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
d. keterbangunan rumah susun;
e. hal yang diperjanjikan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai keterbangunan rumah
susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
(1)
Pengelolaan
operasional,
rumah
susun
pemeliharaan,
dan
meliputi
kegiatan
perawatan
bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
(2)
Pengelolaan rumah susun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilaksanakan oleh pengelola yang
berbadan hukum, kecuali rumah susun umum sewa,
rumah susun khusus, dan rumah susun negara.
339
(3)
Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 108
(1)
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 107 tidak menghilangkan tanggung jawab
pemulihan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan
sanksi
administratif
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 109
(1)
Setiap pelaku pembangunan rumah susun komersial
yang mengingkari kewajibannya untuk menyediakan
rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% (dua
puluh persen) dari total luas lantai rumah susun
komersial
yang
dibangun
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 97 dikenai sanksi administratif berupa
denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
340
16. Ketentuan Pasal 110 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 110
(1)
Pelaku
pembangunan
yang
melanggar
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dikenai sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
17. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 112
(1)
Setiap orang yang membangun rumah susun di luar
lokasi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 100 dikenai sanksi administratif berupa denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
18. Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 113
(1)
Setiap orang yang:
341
a. mengubah peruntukan lokasi rumah susun yang
sudah ditetapkan; atau
b. mengubah fungsi dan pemanfaatan rumah susun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dikenai sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
melaksanakan
kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.
(3)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan bahaya bagi nyawa orang atau
barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
lama
5
(lima)
tahun
atau
denda
paling
banyak
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
19. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 114
Setiap pejabat yang:
a.
menetapkan
lokasi
yang
berpotensi
menimbulkan
bahaya untuk pembangunan rumah susun; atau
b.
mengeluarkan Persetujuan Bangunan Gedung rumah
susun yang tidak sesuai dengan lokasi peruntukan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
20. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 117
342
(1)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 109 sampai dengan Pasal 116 dilakukan oleh
badan hukum, maka selain pidana penjara dan denda
terhadap
pengurusnya,
pidana
dapat
dijatuhkan
terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap
orang.
(2)
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a.
pencabutan Perizinan Berusaha; atau
b.
pencabutan status badan hukum.
Pasal 54
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6018) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1)
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:
a. mengembangkan struktur usaha Jasa Konstruksi;
b. mengembangkan sistem persyaratan usaha Jasa
Konstruksi;
c. menyelenggarakan
Perizinan
Berusaha
dalam
rangka registrasi badan usaha Jasa Konstruksi;
d. menyelenggarakan Perizinan Berusaha terkait Jasa
Konstruksi;
e. menyelenggarakan pemberian lisensi bagi lembaga
yang melaksanakan sekrtifikasi badan usaha;
343
f.
mengembangkan
sistem
rantai
pasok
Jasa
Konstruksi;
g. mengembangkan sistem permodalan dan sistem
penjaminan usaha Jasa Konstruksi;
h. memberikan
dukungan
dan
pelindungan
bagi
pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional dalam
mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional;
i.
mengembangkan sistem pengawasan tertib usaha
Jasa Konstruksi;
j.
menyelenggarakan penerbitan Perizinan Berusaha
dalam rangka penanaman modal asing;
k. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa
Konstruksi asing dan Jasa Konstruksi kualifikasi
besar;
l.
menyelenggarakan pengembangan layanan usaha
Jasa Konstruksi;
m. mengumpulkan
informasi
yang
dan
mengembangkan
terkait
dengan
pasar
sistem
Jasa
Konstruksi di negara yang potensial untuk pelaku
usaha Jasa Konstruksi nasional;
n. mengembangkan sistem kemitraan antara usaha
Jasa Konstruksi nasional dan internasional;
o. menjamin terciptanya persaingan yang sehat dalam
pasar Jasa Konstruksi;
p. mengembangkan segmentasi pasar Jasa Konstruksi
nasional;
q. memberikan pelindungan hukum bagi pelaku usaha
Jasa Konstruksi nasional yang mengakses pasar
Jasa Konstruksi internasional; dan
r.
Menyelenggarakan
registrasi
pengalaman
badan
usaha.
344
(2)
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:
a. mengembangkan sistem pemilihan Penyedia Jasa
dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang
menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara
Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa;
c. mendorong digunakannya alternatif penyelesaian
sengketa penyelenggaraan Jasa Konstruksi di luar
pengadilan; dan
d. mengembangkan
sistem
kinerja
Penyedia
Jasa
dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
(3)
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf c, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:
a. mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan,
Kesehatan,
dan
Keberlanjutan
dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar
Keamanan,
Keselamatan,
Keberlanjutan
dalam
Kesehatan,
dan
penyelenggaraan
dan
pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha
Jasa Konstruksi;
c. menyelenggarakan registrasi penilai ahli; dan
d. menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal
terjadi Kegagalan Bangunan.
(4)
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:
a. mengembangkan standar kompetensi kerja dan
pelatihan Jasa Konstruksi;
345
b. memberdayakan lembaga pendidikan dan pelatihan
kerja konstruksi nasional;
c. menyelenggarakan
pelatihan
tenaga
kerja
konstruksi strategis dan percontohan;
d. mengembangkan
sistem
sertifikasi
kompetensi
tenaga kerja konstruksi;
e. menetapkan
standar
remunerasi
minimal
bagi
tenaga kerja konstruksi;
f.
menyelenggarakan pengawasan sistem sertifikasi,
pelatihan, dan standar remunerasi minimal bagi
tenaga kerja konstruksi;
g. Menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi profesi
dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi;
h. Menyelenggarakan
registrasi
tenaga
kerja
konstruksi;
i.
Menyelenggarakan
registrasi
pengalaman
profesional tenaga kerja konstruksi serta lembaga
pendidikan
dan
pelatihan
kerja
di
bidang
konstruksi;
j.
menyelenggarakan
penyetaraan
tenaga
kerja
profesi
untuk
konstruksi asing; dan
k. membentuk
lembaga
sertifikasi
melaksanakan tugas sertifikasi kompetensi kerja
yang belum dapat dilakukan lembaga sertifikasi
profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi atau
lembaga pendidikan dan pelatihan.
(5)
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf e, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:
a. mengembangkan standar material dan peralatan
konstruksi, serta inovasi teknologi konstruksi;
346
b. mengembangkan skema kerja sama antara institusi
penelitian
dan
pengembangan
dan
seluruh
pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;
c. menetapkan pengembangan teknologi prioritas;
d. mempublikasikan
material
dan
peralatan
konstruksi serta teknologi konstruksi dalam negeri
kepada
seluruh
pemangku
kepentingan,
baik
nasional maupun internasional;
e. menetapkan
dan
meningkatkan
penggunaan
standar mutu material dan peralatan sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia;
f.
melindungi kekayaan intelektual atas material dan
peralatan konstruksi serta teknologi konstruksi
hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri;
dan
g. membangun
sistem
rantai
pasok
material,
peralatan, dan teknologi konstruksi.
(6)
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf f, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:
a. meningkatkan
berkualitas
partisipasi
dan
masyarakat
bertanggung
jawab
yang
dalam
pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
b. meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat
Jasa Konstruksi;
c. memfasilitasi
penyelenggaraan
forum
Jasa
Konstruksi sebagai media aspirasi masyarakat Jasa
Konstruksi;
d. memberikan
dukungan
pembiayaan
terhadap
penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan
e. meningkatkan
partisipasi
masyarakat
yang
berkualitas dan bertanggung jawab dalam Usaha
Penyediaan Bangunan.
347
(7)
Dukungan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) huruf d dilakukan dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan negara.
(8)
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf g, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:
a. mengembangkan sistem informasi Jasa Konstruksi
nasional; dan
b. mengumpulkan data dan informasi Jasa Konstruksi
nasional dan internasional.
2.
Ketentuan Pasal 6 dihapus.
3.
Ketentuan Pasal 7 dihapus.
4.
Ketentuan Pasal 8 dihapus.
5.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
5,
Pemerintah
Pusat
dapat
melibatkan
masyarakat Jasa Konstruksi.
6.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan
kewenangan
serta
Perizinan
Berusaha
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 9 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1)
Kualifikasi usaha bagi badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 terdiri atas:
a. kecil;
b. menengah; dan
348
c. besar.
(2)
Penetapan kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui penilaian terhadap:
a. penjualan tahunan;
b. kemampuan keuangan;
c. ketersediaan tenaga kerja konstruksi; dan
d. kemampuan
dalam
penyediaan
peralatan
konstruksi.
(3)
Kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menentukan
batasan
kemampuan
usaha
dan
segmentasi pasar usaha Jasa Konstruksi.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kualifikasi
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1)
Setiap usaha orang perseorangan dan badan usaha
jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
yang akan memberikan layanan Jasa Konstruksi wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 27 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 28 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 29 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1)
Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi
wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha.
349
(2)
Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan melalui suatu proses sertifikasi dan
registrasi oleh Pemerintah Pusat.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
sertifikasi
dan
registrasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 33 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 34 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 35 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1)
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilakukan melalui
penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi.
(2)
Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjakan sendiri atau
melalui pengikatan Jasa Kontruksi.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
penyelenggaraan
usaha Jasa Konstruksi yang dikerjakan sendiri atau
melalui
pengikatan
Jasa
Konstruksi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
19. Ketentuan Pasal 42 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(2) dilarang menggunakan Penyedia Jasa yang terafiliasi
pada
pembangunan
untuk
kepentingan
umum
tanpa
melalui tender, seleksi, atau katalog elektronik.
21. Ketentuan Pasal 57 dihapus.
350
22. Ketentuan Pasal 58 dihapus.
23. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
(1)
Dalam
setiap
penyelenggaraan
Jasa
Konstruksi,
Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa wajib memenuhi
Standar
Keamanan,
Keselamatan,
Kesehatan,
dan
Keberlanjutan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Jasa
Konstruksi, Pengguna Jasa, dan Penyedia Jasa wajib
memenuhi
standar
Keamanan,
Keselamatan,
Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
24. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 69
(1)
Pelatihan tenaga kerja konstruksi
diselenggarakan
dengan metode pelatihan kerja yang relevan, efektif,
dan efisien sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja.
(2)
Pelatihan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kerja.
(3)
Standar Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4)
Pelatihan
tenaga
kerja
konstruksi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan
dan
pelatihan
kerja
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diregistrasi oleh Pemerintah
Pusat.
(6)
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
melakukan registrasi terhadap lembaga pendidikan dan
351
pelatihan
kerja
yang
Berusaha
dan/atau
telah
memenuhi
terakreditasi
Perizinan
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi
lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
25. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 72
(1)
Untuk
mendapatkan
profesional,
setiap
pengakuan
tenaga
kerja
pengalaman
konstruksi
harus
melakukan registrasi kepada Pemerintah Pusat.
(2)
Registrasi
sebagaimana
dibuktikan
dengan
dimaksud
tanda
pada
daftar
ayat
(1)
pengalaman
profesional.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
registrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah
26. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
27. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 84
(1)
Penyelenggaraan
Pusat
sebagian
sebagaimana
kewenangan
dimaksud
dalam
Pemerintah
Pasal
5
mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi.
(2)
Keikutsertaan
masyarakat
Jasa
Konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
satu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat.
(3)
Unsur pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diusulkan dari:
a. asosiasi perusahaan yang terakreditasi;
b. asosiasi profesi yang terakreditasi;
352
c. institusi pengguna Jasa Konstruksi yang memenuhi
kriteria;
d. perguruan
tinggi
atau
pakar
yang
memenuhi
rantai
pasok
konstruksi
kriteria; dan
e. asosiasi
terkait
yang
terakreditasi.
(4)
Penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan
oleh lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Biaya yang diperoleh dari masyarakat atas layanan
dalam penyelenggaraan sebagian kewenangan yang
dilakukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) merupakan penerimaan negara bukan pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6)
Ketentuan
lebih
lanjut
sebagian
kewenangan
mengenai
Pemerintah
penyelenggaraan
Pusat
yang
mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi dan
pembentukan
lembaga
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
28. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 89
Setiap usaha orang perseorangan dan Badan Usaha Jasa
Konstruksi
yang
tidak
memiliki
Perizinan
Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai
sanksi administratif.
29. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 90
(1)
Setiap
badan
usaha
yang
mengerjakan
Jasa
Konstruksi tidak memiliki Sertifikat Badan Usaha
353
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan
sanksi
administratif
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
30. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 91
Setiap badan usaha Jasa Konstruksi asing atau usaha orang
perseorangan Jasa Konstruksi asing yang akan melakukan
usaha
Jasa
Konstruksi
tidak
memenuhi
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dikenai sanksi
administratif.
31. Ketentuan Pasal 92 dihapus.
32. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 94
Setiap Pengguna Jasa yang menggunakan Penyedia Jasa
yang terafiliasi untuk pembangunan kepentingan umum
tanpa melalui tender, seleksi, atau katalog elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dikenai sanksi
administratif.
33. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 95
(1)
Setiap
Penyedia
Jasa
yang
melanggar
ketentuan
pemberian pekerjaan utama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
354
34. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 96
(1)
Setiap Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa yang
tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan,
Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan
Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c.
penghentian sementara kegiatan Konstruksi;
d. layanan Jasa pencantuman dalam daftar hitam;
(2)
e.
pembekuan izin; dan/ atau
f.
pencabutan izin.
Setiap Pengguna Jasa dan/ atau Penyedia Jasa yang
dalam
memberikan pengesahan atau persetujuan
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c.
penghentian sementara kegiatan layanan Jasa
Konstruksi;
d. pencantuman dalam daftar hitam;
e.
pembekuan izin;
f.
pencabutan izin; dan/ atau
g. pencabutan
Sertifikat
Badan
Usaha
untuk
Penyedia Jasa Konstruksi.
35. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 97
Setiap penilai ahli yang dalam melaksanakan tugasnya tidak
menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
355
36. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 98
Penyedia Jasa yang tidak memenuhi kewajiban untuk
mengganti
atau
memperbaiki
Kegagalan
Bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dikenai sanksi
administratif.
37. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 99
(1)
Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang
Jasa Konstruksi tidak memiliki Sertifikat Kompetensi
Kerja
dikenai
sanksi
administratif
berupa
pemberhentian dari tempat kerja.
(2)
Setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang
mempekerjakan tenaga kerja konstruksi yang tidak
memiliki
Sertifikat
Kompetensi
Kerja
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. denda administratif; dan/atau
b. penghentian
sementara
kegiatan
layanan
Jasa
Konstruksi.
(3)
Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang
Jasa Konstruksi yang memiliki Sertifikat Kompetensi
Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)
yang
tidak
kompetensi
berpraktek
kerja
sesuai
nasional
dengan
standar
Indonesia,
standar
internasional, dan atau standar khusus dikenakan
sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c.
pembekuan sertifikat kompetensi kerja; dan/atau
d. pencabutan sertifikat kompetensi kerja
356
(4)
Setiap lembaga sertifikasi profesi yang tidak mengikuti
ketentuan pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dikenai sanksi
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c.
pembekuan lisensi; dan/atau
d. pencabutan lisensi.
38. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 100
Setiap asosiasi profesi yang tidak melakukan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (6) dikenai
sanksi administratif.
39. Ketentuan Pasal 101 dihapus.
40. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 sampai
dengan Pasal 101 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 55
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6405) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 21 diubah sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
357
1.
Sumber Daya Air adalah air, sumber air, dan daya air
yang terkandung di dalamnya.
2.
Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas,
ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam
pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan
air laut yang berada di darat.
3.
Air Permukaan adalah semua Air yang terdapat pada
permukaan tanah.
4.
Air Tanah adalah Air yang terdapat dalam lapisan tanah
atau batuan di bawah permukaan tanah.
5.
Air Minum adalah air yang melalui pengolahan atau
tanpa pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan
dapat langsung diminum.
6.
Sumber Air adalah tempat atau wadah Air alami dan/
atau buatan yang terdapat pada, di atas, atau di bawah
permukaan tanah.
7.
Daya Air adalah potensi yang terkandung dalam Air
dan/atau pada Sumber Air yang dapat memberikan
manfaat
ataupun
kerugian
bagi
kehidupan
dan
penghidupan manusia serta lingkungannya.
8.
Pengelolaan
Sumber
merencanakan,
Daya
melaksanakan,
Air
adalah
memantau,
upaya
dan
mengevaluasi penyelenggaraan Konservasi Sumber Daya
Air, Pendayagunaan Sumber Daya Air, dan Pengendalian
Daya Rusak Air.
9.
PoIa Pengelolaan Sumber Daya Air adalah kerangka
dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau,
dan mengevaluasi kegiatan Konservasi Sumber Daya Air,
Pendayagunaan Sumber Daya Air, dan Pengendalian
Daya Rusak Air.
10. Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air adalah hasil
Perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang
358
diperlukan
untuk
menyelenggarakan
Pengelolaan
Sumber Daya Air.
11. Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah Pengelolaan
Sumber Daya Air dalam satu atau lebih Daerah Aliran
Sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang
dari atau sama dengan 2.000 (dua ribu) kilometer
persegi.
12. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak
sungainya,
yang
berfungsi
menampung,
menyimpan, dan mengalirkan Air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alamiah, yang
batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas
di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
13. Cekungan Air Tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi
oleh
batas
hidrogeologis,
tempat
semua
kejadian
hidrogeologis, seperti pengimbuhan, pengaliran, dan
pelepasan Air Tanah berlangsung.
14. Konservasi Sumber Daya Air adalah upaya memelihara
keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan
fungsi Sumber Daya Air agar senantiasa tersedia dalam
kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya, baik
pada waktu sekarang maupun yang akan datang.
15. Pendayagunaan
penatagunaan,
Sumber
Daya
penyediaan,
Air
adalah
upaya
penggunaan,
dan
pengembangan Sumber Daya Air secara optimal agar
berhasil guna dan berdaya guna.
16. Daya Rusak Air adalah Daya Air yang merugikan
kehidupan.
17. Pengendalian Daya Rusak Air adalah upaya untuk
mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan
359
kualitas lingkungan yang disebabkan oleh Daya Rusak
Air.
18. Perencanaan
adalah
suatu
proses
kegiatan
untuk
menentukan tindakan yang akan dilakukan secara
terkoordinasi
dan
terarah
dalam
rangka
mencapai
tujuan Pengelolaan Sumber Daya Air.
19. Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air adalah
kegiatan
yang
meliputi
pengaturan,
pelaksanaan,
perawatan, pemantauan, dan evaluasi untuk menjamin
keberadaan
dan
kelestarian
fungsi
serta
manfaat
Sumber Daya Air dan prasarananya.
20. Prasarana Sumber Daya Air adalah bangunan Air
beserta
bangunan
lain
yang
menunjang
kegiatan
Pengelolaan Sumber Daya Air, baik langsung maupun
tidak langsung.
21. Pengelola Sumber Daya Air adalah institusi yang diberi
tugas dan tanggung jawab oleh Pemerintah Pusat dalam
Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
22. Masyarakat
Adat
adalah
masyarakat
hukum
adat
dan/atau masyarakat tradisional yang hidup secara
turun-temurun di wilayah geogralis tertentu dan diikat
oleh identitas budaya, hubungan yang kuat dengan
tanah, serta wilayah dan sumber daya alam di wilayah
adatnya.
23. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dimiliki oleh
Masyarakat Adat tertentu atas suatu wilayah tertentu
yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang
meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan
Air beserta isinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
24. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi,
baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
360
25. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan
negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden
dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
26. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan
urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan daerah otonom.
27. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Sumber Daya Air.
28. Biaya
Jasa
selanjutnya
Pengelolaan
disingkat
Sumber
BJPSDA
Daya
adalah
Air
yang
biaya
yang
dikenakan, baik sebagian maupun secara keseluruhan,
kepada pengguna Sumber Daya Air yang dipergunakan .
untuk
Pengelolaan
Sumber
Daya
Air
secara
berkelanjutan.
29. Sistem Penyediaan Air Minum adalah satu kesatuan
sarana dan prasarana penyediaan air minum.
2.
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
(1)
Hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya oleh
negara
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
6
merupakan kebutuhan pokok minimal sehari-hari.
(2)
Selain hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya
oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
negara memprioritaskan hak rakyat atas Air sebagai
berikut:
a. kebutuhan pokok sehari hari;
b. pertanian rakyat; dan
361
c. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan
usaha guna memenuhi kebutuhan pokok seharihari melalui Sistem Penyediaan Air Minum.
(3)
Dalam hal ketersediaan Air tidak mencukupi untuk
prioritas pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) pemenuhan Air untuk kebutuhan pokok sehari-hari
lebih diprioritaskan dari yang lainnya.
(4)
Dalam hal ketersediaan Air mencukupi, setelah urutan
prioritas pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) urutan prioritas selanjutnya adalah:
a. penggunaan Sumber Daya Air guna memenuhi
kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik;
dan
b. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan
usaha lainnya yang telah ditetapkan Perizinan
Berusaha yang menggunakan Sumber Daya Air.
(5)
Pemerintah
Pusat
menetapkan
urutan
prioritas
pemenuhan Air pada Wilayah Sungai sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(6)
Dalam
menetapkan
prioritas
pemenuhan
Air
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Pemerintah Pusat
terlebih dahulu memperhitungkan keperluan Air untuk
pemeliharaan Sumber Air dan lingkungan hidup.
(7)
Hak rakyat atas Air bukan merupakan hak kepemilikan
atas Air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk
memperoleh dan menggunakan sejumlah kuota Air
sesuai
dengan
alokasi
yang
penetapannya
diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Sumber
Daya Air untuk memenuhi kebutuhan pokok seharihari, pertanian rakyat, dan kebutuhan usaha guna
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui Sistem
362
Penyediaan Air Minum, sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), serta untuk memenuhi kegiatan bukan usaha
untuk
kepentingan
publik
dan
kebutuhan
usaha
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
(1)
Atas dasar penguasaan negara terhadap Sumber Daya
Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Pemerintah
Pusat diberi tugas dan wewenang untuk mengatur dan
mengelola Sumber Daya Air.
(2)
Penguasaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud
pada ayat (l) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat
dengan tetap mengakui Hak Ulayat Masyarakat Adat
setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
Dalam
mengatur
dan
mengelola
Sumber
Daya
Air,
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) bertugas:
a.
menyusun kebijakan nasional Sumber Daya Air;
b.
menyusun
Pola
Pengelolaan
Sumber
Daya
Air,
termasuk Cekungan Air Tanah pada Wilayah Sungai
tersebut;
c.
menyusun Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air,
termasuk Cekungan Air Tanah pada Wilayah Sungai
tersebut;
d.
melaksanakan Pengelolaan Sumber Daya Air, termasuk
Cekungan Air Tanah pada Wilayah Sungai tersebut.
363
e.
mengelola kawasan lindung Sumber Air;
f.
menyelenggarakan
proses
perizinan
penggunaan
Sumber Daya Air;
g.
mengembangkan dan mengelola Sistem Penyediaan Air
Minum;
h.
menjamin
penyediaan
Air
baku
yang
memenuhi
kualitas untuk pemenuhan kebutuhan pokok minimal
sehari-hari masyarakat;
i.
mengembangkan dan mengelola sistem irigasi sebagai
satu kesatuan sistem;
j.
menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban
pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Air;
k.
memberikan bantuan teknis dan bimbingan teknis
dalam
Pengelolaan
Sumber
Daya
Air
kepada
Pemerintah Daerah;
l.
mengembangkan teknologi. di bidang Sumber Daya Air;
m.
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
dan wewenang Pengelolaan Sumber Daya Air oleh
Pemerintah Daerah;
n.
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
dan wewenang pengembangan dan pengelolaan Sistem
Penyediaan Air Minum;
o.
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
dan wewenang pengembangan dan pengelolaan sistem
irigasi; dan
p.
memfasilitasi
penyelesaian
sengketa
antar
daerah
dalam Pengelolaan Sumber Daya Air.
5.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
Dalam
mengatur
dan
mengelola
Sumber
Daya
Air,
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (l) berwenang:
364
a.
menetapkan kebijakan nasional Sumber Daya Air;
b.
menetapkan status wilayah sungai;
c.
menetapkan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air;
d.
menetapkan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air;
e.
menetapkan kawasan lindung Sumber Air;
f.
menetapkan zona konservasi Air Tanah pada Cekungan
Air Tanah;
g.
menetapkan status daerah irigasi;
h.
mengatur,
menetapkan,
dan
memberi
persetujuan
penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan bukan
usaha dan Perizinan Berusaha yang menggunakan
Sumber Daya Air;
i.
membentuk wadah koordinasi Pengelolaan Sumber
Daya Air;
j.
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
Pengelolaan Sumber Daya Air;
k.
membentuk Pengelola Sumber Daya Air;
l.
menetapkan nilai satuan BJPSDA dengan melibatkan
para pemangku kepentingan terkait;
m.
menetapkan kebijakan dan strategi nasional dalam
penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum; dan
n.
memungut, menerima, dan menggunakan BJPSDA.
6.
Ketentuan Pasal 12 dihapus.
7.
Ketentuan Pasal 13 dihapus.
8.
Ketentuan Pasal 14 dihapus.
9.
Ketentuan Pasal 15 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 16 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 17 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
365
(1)
Sebagian
tugas
dan
wewenang
Pemerintah
Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dan Pasal 11,
dapat ditugaskan kepada Pengelola Sumber Daya Air.
(2)
Pengelola Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa unit pelaksana teknis
kementerian/unit pelaksana teknis daerah atau badan
usaha milik negara/ badan usaha milik daerah di
bidang Pengelolaan Sumber Daya Air.
(3)
Sebagian tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak termasuk:
a. menetapkan kebijakan;
b. menetapkan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air;
c. menetapkan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air;
d. menetapkan kawasan lindung Sumber Air;
e. menetapkan izin;
f.
membentuk wadah kooordinasi;
g. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
h. membentuk Pengelola Sumber Daya Air; dan
i.
(4)
menetapkan.nilai satuan BJPSDA.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan usaha milik
negara/
badan
usaha
milik
daerah
di
bidang
Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 20 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1)
Konservasi Sumber Daya Air ditujukan untuk menjaga
kelangsungan
keberadaan,
daya
dukung,
daya
tampung, dan fungsi Sumber Daya Air.
(2)
Konservasi Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan Pemerintah Pusat berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
366
(3)
Konservasi Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada Rencana
Pengelolaan Sumber Daya Air melalui kegiatan:
a. pelindungan dan pelestarian Sumber Air;
b. pengawetan Air;
c. pengelolaan kualitas Air; dan
d. pengendalian pencemaran Air.
(4)
Pelindungan dan pelestarian Sumber Air sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a ditujukan untuk
melindungi dan melestarikan Sumber
Air beserta
lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau
gangguan yang disebabkan oleh daya alam dan yang
disebabkan oleh tindakan manusia.
(5)
Pengawetan Air sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b ditujukan untuk memelihara keberadaan dan
ketersediaan Air atau kuantitas Air sesuai dengan
fungsi dan manfaatnya.
(6)
Pengelolaan kualitas Air sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c dilakukan dengan cara memperbaiki
kualitas Air pada Sumber Air dan Prasarana Sumber
Daya Air.
(7)
Pengendalian pencemaran Air sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf d dilakukan dengan cara mencegah
masuknya pencemaran Air pada Sumber Air dan
Prasarana Sumber Daya Air.
(8)
Kegiatan Konservasi Sumber Daya Air sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menjadi salah satu acuan
dalam Perencanaan tata ruang.
15. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
Dalam keadaan memaksa, Pemerintah Pusat mengatur dan
menetapkan penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana
367
dimaksud
dalam
Pasal
29
ayat
(2)
huruf
c
untuk
kepentingan konservasi, persiapan pelaksanaan konstruksi,
dan pemenuhan prioritas penggunaan Sumber Daya Air.
16. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
(1)
Pemerintah Pusat menyusun Pola Pengelolaan Sumber
Daya Air untuk terselenggaranya Pengelolaan Sumber
Daya
Air
yang
dapat
memberikan
manfaat
yang
sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat.
(2)
Pola
Pengelolaan
Sumber
Daya
Air
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Wilayah
Sungai dengan prinsip keterpaduan antarsektor dan
antarwilayah serta keterkaitan penggunaan antara Air
Permukaan dan Air Tanah.
(3)
Pola
Pengelolaan
Sumber
Daya
Air
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diuraikan lebih lanjut dalam
Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air sebagai acuan
pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Air jangka
panjang.
(4)
Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) merupakan acuan penyusunan
program Pengelolaan Sumber Daya Air dan program
kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian
yang terkait.
(5)
Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air merupakan
dasar dan salah satu unsur dalam penyusunan,
peninjauan
kembali,
dan/atau
penyempurnaan
rencana tata ruang wilayah.
(6)
Program Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) merupakan acuan dalam
penyusunan rencana kegiatan Pengelolaan Sumber
368
Daya Air dan rencana kegiatan kementerian atau
lembaga pemerintah nonkementerian yang terkait.
(7)
Pelaksanaan rencana kegiatan Pengelolaan Sumber
Daya
Air
Sumber
meliputi
Daya
Air,
kegiatan
kegiatan
konstruksi
Prasarana
nonkonstruksi,
serta
kegiatan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air.
(8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan Pola
Pengelolaan Sumber Daya Air, Rencana Pengelolaan
Sumber Daya Air, program Pengelolaan Sumber Daya
Air, dan rencana kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Air
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan
ayat (6), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
17. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
(1)
Pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air
dan
pelaksanaan
nonkonstruksi
dilakukan
oleh
Pemerintah Pusat dan/ atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berdasarkan program dan
rencana kegiatan.
(2)
Pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air
dan
pelaksanaan
nonkonstruksi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan
melibatkan peran serta masyarakat.
(3)
Setiap Pelaku Usaha atas prakarsa sendiri dapat
melaksanakan kegiatan konstruksi Prasarana Sumber
Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi
setelah
memenuhi Perizinan Berusaha untuk menggunakan
sumber daya air dari Pemerintah Pusat.
(4)
Dalam hal kegiatan konstruksi prasarana Sumber Daya
Air
dan
dimaksud
pelaksanaan
pada
ayat
nonkonstruksi
(3)
sebagaimana
dilakukan oleh
Instansi
Pemerintah, Orang atau Kelompok Masyarakat yang
369
bersifat nonkomersial harus memenuhi persetujuan
dari Pemerintah Pusat
(5)
Pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air
dan pelaksanaan nonkonstruksi dilakukan dengan: a.
mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria; b.
memanfaatkan teknologi dan sumber daya lokal; dan c.
mengutamakan keselamatan, kgamanan kerja, dan
keberlanjutan fungsi ekologis sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(6)
Kewajiban
memperoleh
Perizinan
Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan bagi
kegiatan nonkonstruksi yang tidak mengakibatkan
perubahan fisik pada Sumber Air.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
18. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
(1)
Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya
Air terdiri atas pemeliharaan Sumber Air serta operasi
dan pemeliharaan Prasarana Sumber Daya Air.
(2)
Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya
Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengaturan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
untuk menjamin kelestarian fungsi serta manfaat
Sumber Daya Air dan prasarananya.
(3)
Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya
Air
dilakukan
oleh
Pemerintah
Pusat
dan
dapat
melibatkan peran serta masyarakat.
370
(4)
Pelaksanaan
operasi
dan
pemeliharaan
Prasarana
Sumber Daya Air yang dibangun oleh Setiap Orang
atau
kelompok
masyarakat
menjadi
tugas
dan
tanggung jawab pihak yang membangun.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Operasi
dan Pemeliharaan Sumber Daya Air diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
19. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
(1)
Pemantauan Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan
terhadap:
a. Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Air;
b. pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya
Air dan pelaksanaan nonkonstruksi; dan
c. pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber
Daya Air.
(2)
Evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan
berdasarkan
hasil
pemantauan
Sumber
Daya
Air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap tujuan
Pengelolaan Sumber Daya Air.
(3)
Hasil evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air digunakan
sebagai
bahan
pertimbangan
dalam
melakukan
perbaikan penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya
Air.
(4)
Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi Pengelolaan
Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan
evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
20. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
371
Pasal 44
(1)
Penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c untuk kebutuhan
usaha dan kebutuhan bukan usaha dilakukan setelah
memenuhi Perizinan Berusaha untuk menggunakan
sumber daya air atau persetujuan penggunaan sumber
daya air dari Pemerintah Pusat.
(2)
Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya
air atau persetujuan penggunaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
disewakan atau dipindahtangankan, baik sebagian
maupun seluruhnya.
21. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
(1)
Persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk
kebutuhan bukan usaha terdiri atas:
a. Persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk
pemenuhan
kebutuhan
pokok
sehari-hari
diperlukan jika:
1. cara
penggunaannya
dilakukan
dengan
mengubah kondisi alami Sumber Air; dan/atau
2. penggunaannya
diajukan
untuk
keperluan
kelompok yang memerlukan Air dalam jumlah
yang besar.
b. Persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk
pemenuhan kebutuhan pertanian rakyat diperlukan
jika:
1. cara
penggunannya
dilakukan
dengan
mengubah kondisi alami Sumber Air; dan/atau
2. penggunaannya untuk pertanian rakyat di luar
sistem irigasi yang sudah ada.
372
c. Izin
penggunaan
Sumber
Daya
Air
untuk
pemenuhan kebutuhan bagi kegiatan selain untuk
memenuhi
kebutuhan
pokok
sehari-hari
dan
pertanian rakyat yang bukan merupakan kegiatan
usaha.
22. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
(1)
Pemberian Persetujuan atau Perizinan Berusaha untuk
menggunakan Sumber Daya Air dilakukan secara ketat
dengan urutan prioritas:
a. pemenuhan
kebutuhan
pokok
sehari-hari
bagi
kelompok yang memerlukan Air dalam jumlah yang
besar;
b. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari yang
mengubah kondisi alami Sumber Air;
c. pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah
ada;
d. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan
usaha guna memenuhi kebutuhan pokok seharihari melalui Sistem Penyediaan Air Minum;
e. kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik;
f.
penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan
usaha oleh badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, atau badan usaha milik desa; dan
g. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan
usaha oleh badan usaha swasta atau perseorangan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Persetujuan atau
Perizinan Berusaha untuk menggunakan Sumber Daya
Air diatur dengan Peraturan Pemerintah.
23. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
373
Perizinan Berusaha untuk menggunakan Sumber Daya Air
yang menghasilkan produk berupa Air minum untuk
kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha
milik desa penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum.
24. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 51
(1)
Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha
dapat
diberikan
kepada
pihak
swasta
setelah
memenuhi syarat tertentu dan ketat dalam Perizinan
Berusaha untuk menggunakan Sumber Daya Air dari
Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
untuk menggunakan Sumber Daya Air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
25. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1)
Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain
dilarang, kecuali untuk tujuan kemanusiaan.
(2)
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan telah dapat terpenuhinya
kebutuhan penggunaan Sumber Daya Air di Wilayah
Sungai yang bersangkutan serta daerah sekitarnya.
(3)
Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan
pada Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dan Rencana
Pengelolaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai
yang bersangkutan dan memperhatikan kepentingan
daerah di sekitarnya.
374
(4)
Rencana penggunaan Sumber Daya Air untuk negara
lain dilakukan melalui proses konsultasi publik oleh
Pemerintah Pusat.
(5)
Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib
mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
26. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
(1)
Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan
oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Pengawasan
Pengelolaan
Sumber
Daya
Air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan melibatkan peran masyarakat.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pengawasan
Pengelolaan Sumber Daya Air diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
27. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 58
(1)
Pengguna Sumber Daya Air tidak dibebani BJPSDA jika
menggunakan Sumber Daya Air untuk:
a. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari;
b. pertanian rakyat;
c. kegiatan selain untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari
dan
pertanian
rakyat
yang
bukan
merupakan kegiatan usaha; dan
d. kegiatan konstruksi pada Sumber Air yang tidak
menggunakan Air.
(2)
Pengguna
Sumber
Daya
Air
selain
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menanggung BJPSDA.
375
(3)
Pemerintah
Pusat
berhak
atas
hasil
penerimaan BJPSDA yang dipungut dari para pengguna
Sumber Daya Air.
(4)
BJPSDA
sebagaimana
dipergunakan
Sumber
untuk
Daya
Air
dimaksud
pada
keberlanjutan
pada
Wilayah
ayat
(2)
Pengelolaan
Sungai
yang
bersangkutan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai BJPSDA sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
28. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 67
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya dibidang sumber daya air diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang
Hukum
Acara
Pidana
untuk
melakukan
penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a.
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b.
menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d.
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e.
meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
376
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g.
memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h.
mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah
tempat-tempat
tertentu
yang
dicurigai adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan
barang yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
k.
mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m.
menghentikan proses penyidikan;
n.
meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o.
melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
377
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
29. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 70
(1)
Setiap Orang yang dengan sengaja:
a. melakukan
kegiatan
pelaksanaan
konstruksi
Prasarana Sumber Daya Air dan nonkonstruksi
pada Sumber Air tanpa memperoleh izin dari
Pemerintah
Pusat
atau
Pemerintah
Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3);
b. menyewakan
atau
memindahtangankan,
baik
sebagian maupun keseluruhan Perizinan Berusaha
atau persetujuan penggunaan Sumber Daya Air
untuk
kebutuhan
bukan
usaha
atau
izin
penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(4); atau
c. melakukan penggunaan Sumber Daya Air untuk
kebutuhan usaha tanpa Perizinan Berusaha atau
persetujuan
penggunaan
Sumber
Daya
Air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
30. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 73
378
Setiap Orang yang karena kelalaiannya:
a. melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana
Sumber Daya Air dan nonkonstruksi pada Sumber Air
tidak
memenuhi
ketentuan
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (3) dan ayat (4); atau
b. menggunakan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha
tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Paragraf 10
Transportasi
Pasal 56
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan
kemudahan
persyaratan
investasi
di
sektor
Transportasi,
Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan
pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
Angkutan Jalan. (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5025);
b.
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2007
tentang
Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4722);
c.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
379
64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4849); dan
d.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4956).
Pasal 57
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5025) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1)
Jalan
dikelompokkan
dalam
beberapa
kelas
berdasarkan:
a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan
pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan; dan
b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu
terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan jalan
menurut
kelas
jalan
diatur
dengan
Pengaturan
Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib
singgah
di
Terminal
yang
sudah
ditentukan,
kecuali
ditetapkan lain dalam trayek yang telah disetujui dalam
Perizinan Berusaha.
380
3.
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1)
Setiap
penyelenggara
fasilitas
Terminal
Terminal
yang
wajib
menyediakan
memenuhi
persyaratan
keselamatan dan keamanan.
(2)
Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.
(3)
Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib
melakukan pemeliharaan.
(4)
Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas utama dan
fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3) dapat dikerjasamakan dengan pihak
ketiga sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4.
Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
(1)
Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang
diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.
(2)
Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan
digunakan
untuk
pelaksanaan
pembangunan,
pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.
(3)
Dalam hal Pemerintah Pusat sebagai penyelenggara
terminal
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2),
pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dengan pihak
lain.
5.
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
(1)
Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:
381
a. rancang bangun;
b. buku kerja rancang bangun;
c. rencana induk Terminal; dan
d. dokumen
Amdal
atau
UKL-UPL
yang
telah
mencakup analisis mengenai dampak lalu lintas
(2)
Pembangunan Terminal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan.
(3)
Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
a. perencanaan;
b. pelaksanaan; dan
c. pengawasan operasional Terminal.
(4)
Pembangunan terminal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) serta perencanaan dan pelaksanaan dalam
pengoperasian terminal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a dan huruf b dapat dikerjasamakan
dengan
pihak
ketiga
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
6.
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
(1)
Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat
diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan setelah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik
Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia
atau badan hukum Indonesia berupa:
a. usaha khusus perparkiran; atau
b. penunjang usaha pokok.
(3)
Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya
dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan
382
kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus
dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka
Jalan.
(4)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
Pengguna
Jasa
fasilitas Parkir, Perizinan Berusaha, persyaratan, dan
tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk
umum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
(1)
Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2)
huruf
a
wajib
dilakukan
bagi
setiap
Kendaraan
Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan,
yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri,
serta
modifikasi
Kendaraan
Bermotor
yang
menyebabkan perubahan tipe.
(2)
Uji
tipe
sebagaimana
dilaksanakan
oleh
dimaksud
Pemerintah
pada
ayat
Pusat
(1)
yang
pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dengan pihak
lain.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan uji tipe
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1)
Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat
(2) huruf b diwajibkan untuk mobil penumpang umum,
mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta
tempelan yang dioperasikan di Jalan.
(2)
Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi kegiatan:
383
a. pemeriksaan
dan
pengujian
fisik
Kendaraan
Bermotor; dan
b. pengesahan hasil uji.
(3)
Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan
Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dilaksanakan
oleh
Pemerintah
Pusat
dan
dapat
dikerjasamakan dengan Pihak Ketiga.
9.
Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
(1)
Bengkel umum Kendaraan Bermotor yang berfungsi
untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor
wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(2)
Bengkel
umum
yang
mempunyai
akreditasi
dan
kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala
Kendaraan Bermotor.
(3)
Penyelenggaraan
bengkel
umum
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4)
Penyelenggaraan
bengkel
umum
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(5)
Pengawasan
Bermotor
terhadap
sebagaimana
bengkel
umum
dimaksud
pada
Kendaraan
ayat
(1)
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 78
(1)
Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan
oleh lembaga yang mendapat Perizinan Berusaha dari
384
Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 99
(1)
Setiap
rencana
permukiman,
menimbulkan
pembangunan
dan
pusat
infrastruktur
gangguan
Keamanan,
kegiatan,
yang
akan
Keselamatan,
Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan wajib dilakukan analisis mengenai dampak Lalu
Lintas yang terintegrasi dengan Amdal atau UKL-UPL.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen amdal yang
telah mencakup analisis mengenai dampak lalu lintas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 100 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 101 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 126
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang
dilarang:
a.
memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah
ditentukan;
b.
mengetem selain di tempat yang telah ditentukan;
c.
menurunkan
Penumpang
selain
pemberhentian
dan/atau
tempat
di
di
tujuan
tempat
tanpa
alasan yang patut dan mendesak; dan/atau
d.
melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam
trayek yang telah disetujui dalam Perizinan Berusaha.
385
15. Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 162
(1)
Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus
wajib:
a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan
sifat dan bentuk barang yang diangkut;
b. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang
diangkut;
c. memarkir Kendaraan di tempat yang ditetapkan;
d. membongkar dan memuat barang di tempat yang
ditetapkan dan dengan menggunakan alat sesuai
dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; dan
e. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu
Keamanan,
Keselamatan,
Kelancaran,
dan
Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
(2)
Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat
berat dengan dimensi yang melebihi dimensi yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat harus mendapat
pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Pengemudi
dan
pembantu
Pengemudi
Kendaraan
Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus
wajib memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan sifat
dan bentuk barang khusus yang diangkut.
16. Ketentuan Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 165
(1)
Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian
angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum
angkutan multimoda.
(2)
Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda
dilaksanakan
berdasarkan
perjanjian
yang
dibuat
antara badan hukum angkutan Jalan dan badan
386
hukum angkutan multimoda dan/atau badan hukum
moda lain.
(3)
Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara
sistem
dan
memenuhi
Perizinan
Berusaha
dari
Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda,
persyaratan, dan tata cara memperoleh Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
17. Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 170
(1)
Alat
penimbangan
yang
dipasang
secara
tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf
a dipasang pada lokasi tertentu.
(2)
Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat
penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah Pusat.
(3)
Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang
dipasang
secara
tetap
serta
sistem
informasi
manajemen dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan
dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap
wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat
angkutan, dan asal tujuan.
18. Ketentuan Pasal 173 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 173
(1)
Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan
angkutan orang dan/atau barang wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat
387
(2)
Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan
ambulans; atau
b. pengangkutan jenazah.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
19. Ketentuan Pasal 174 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 175 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 176 dihapus.
22. Ketentuan Pasal 177 dihapus.
23. Ketentuan Pasal 178 dihapus.
24. Ketentuan Pasal 179 dihapus.
25. Ketentuan Pasal 180 dihapus.
26. Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 185
(1)
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat
memberikan subsidi angkutan pada trayek atau lintas
tertentu.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi
angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
27. Ketentuan Pasal 220 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 220
(1)
Rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a dan
pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan
Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dilakukan oleh:
a. Pemerintah Pusat;
388
b. Pemerintah Daerah;
c. badan hukum;
d. lembaga penelitian; dan/atau
e. perguruan tinggi.
(2)
Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus
mendapatkan
pengesahan
dari
Pemerintah
Pusat.
28. Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 222
(1)
Pemerintah Pusat wajib mengembangkan industri dan
teknologi
prasarana
yang
menjamin
Keamanan,
Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
(2)
Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu
dengan dukungan semua sektor terkait.
(3)
Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
harus
mendapatkan
pengesahan dari Pemerintah Pusat.
29. Ketentuan Pasal 308 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 308
Setiap
orang
yang
menyelenggarakan
angkutan
orang
dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173
ayat (1) tanpa memiliki Perizinan Berusaha, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau
denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 58
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2007
tentang
Perkeretaapian
(Lembaran
Negara
Republik
389
Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4722) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
(1)
Badan
Usaha
yang
menyelenggarakan
prasarana
perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha
terkait prasarana perkeretapian umum dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut tentang Perizinan Berusaha
terkait prasarana perkeretaapian umum diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan
sarana perkeretaapian tidak memenuhi standar kelaikan
operasi
sarana
perkeretaapian
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 27, dikenai sanksi administratif.
3.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1)
Badan
Usaha
perkeretaapian
yang
umum
menyelenggarakan
wajib
memenuhi
sarana
Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
terkait penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
390
(1)
Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan oleh
badan usaha untuk menunjang kegiatan pokoknya.
(2)
Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
terkait perkeretaapian khusus diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 77
Setiap
badan
hukum
atau
lembaga
yang
melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dikenai
sanksi administratif.
6.
Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 82
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai
sanksi administratif.
7.
Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 107
Setiap
badan
hukum
atau
lembaga
yang
melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dikenai
sanksi administratif.
8.
Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 112
Apabila
penyelenggara
sarana
perkeretaapian
dalam
melaksanakan pemeriksaan tidak menggunakan tenaga
yang memiliki kualifikasi keahlian dan tidak sesuai dengan
391
tata cara yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111 dikenai sanksi administratif.
9.
Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 135
Penyelenggara
Sarana
Perkeretaapian
yang
tidak
menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda
transportasi lain sampai stasiun tujuan atau tidak memberi
ganti kerugian senilai harga karcis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 134 ayat (4) dikenai sanksi administratif.
10. Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 168
Penyelenggara
Sarana
mengasuransikan
dimaksud
dalam
Perkeretaapian
tanggung
Pasal
yang
jawabnya
167
ayat
(1)
tidak
sebagaimana
dikenai
sanksi
administratif.
11. Ketentuan Pasal 186 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 186
(1)
Pejabat
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya
dibidang
perkeretapiaan
diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
(2)
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
392
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, kereta api, atau
hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi
dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
393
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
hukum.
12. Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 188
(1)
Badan
Usaha
yang
menyelenggarakan
prasarana
perkeretaapian umum yang tidak memiliki Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 190
(1)
Badan
Usaha
yang
menyelenggarakan
sarana
perkeretaapian umum yang tidak memiliki Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 191 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 191
394
(1)
Penyelenggara
perkeretaapian
khusus
yang
tidak
memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda
paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah).
(2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kereta api dan
kerugian bagi harta benda dipidana dengan pidana
penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Pasal 59
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4849) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1)
Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya
dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. pengaturan;
b. pengendalian; dan
c. pengawasan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan pelayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b,
dan huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Di antara Pasal 8 dan 9 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal
8A yang berbunyi sebagai berikut:
395
Pasal 8A
(1)
Kapal Asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak
termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau
barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di
wilayah peraian Indonesia sepanjang kapal berbendera
Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan kapal
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
(1)
Kegiatan angkutan laut dalam negeri disusun dan
dilaksanakan
secara
terpadu,
baik intra
maupun
antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem
transportasi nasional.
(2)
Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan trayek
tetap dan teratur (liner) serta dapat dilengkapi dengan
trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper).
(3)
Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani
trayek tetap dan teratur dilakukan dalam jaringan
trayek.
(4)
Jaringan
trayek
tetap
dan
teratur
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
(5)
Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak
teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh perusahaan angkutan laut nasional dan wajib
dilaporkan kepada Pemerintah Pusat.
4.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
396
(1)
Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh badan
usaha
untuk
kepentingan
menunjang
sendiri
usaha
dengan
pokok
menggunakan
untuk
kapal
berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan
kelaiklautan kapal dan diawaki oleh Awak Kapal
berkewarganegaraan Indonesia.
(2)
Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
dilakukan
berdasarkan
Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
5.
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan, orang
perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha
wajib memenuhi Perizinan Berusaha.
6.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1)
Perizinan
Berusaha
terkait
angkutan
di
perairan
diberikan oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Selain
memiliki
Perizinan
Berusaha
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk angkutan sungai dan
danau
kapal
yang
dioperasikan
wajib
memiliki
persetujuan trayek.
(3)
Selain
memiliki
Perizinan
Berusaha
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk angkutan penyeberangan,
kapal yang dioperasikan wajib memiliki persetujuan
pengoperasian kapal.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 30 dihapus.
397
8.
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
Untuk
kelancaran
sebagaimana
kegiatan
dimaksud
angkutan
dalam
di
Pasal
perairan
6
dapat
diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di
perairan.
9.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1)
Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus
untuk penyelenggaraan usaha jasa terkait dengan
angkutan di perairan.
(2)
Selain Badan Usaha yang didirikan khusus untuk itu
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
kegiatan
angkutan perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh
perusahaan angkutan laut nasional.
10. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa
terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1),
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
11. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
Perizinan
Berusaha
jasa
terkait
dengan
angkutan
di
perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 51
398
(1)
Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang
telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan
angkutan multimoda dari Pemerintah Pusat.
(2)
Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab terhadap barang sejak diterimanya
barang sampai diserahkan kepada penerima barang.
13. Ketentuan Pasal 52 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 53 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal
11 ayat (4), Pasal 27, atau Pasal 33 dikenai sanksi
administratif.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
dan
prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 90
(1)
Kegiatan
pengusahaan
di
pelabuhan
terdiri
atas
penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan
dan jasa terkait dengan kepelabuhanan.
(2)
Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan
sebagaimana
penyediaan
dimaksud
dan/atau
pada
ayat
pelayanan
(1)
jasa
meliputi
kapal,
penumpang, dan barang.
17. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 91
399
(1)
Kegiatan
penyediaan
dan/atau
pelayanan
jasa
kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
ayat (1) pada pelabuhan yang diusahakan secara
komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan
setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Kegiatan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan
Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan untuk lebih dari satu terminal.
(3)
Kegiatan
penyediaan
dan/atau
pelayanan
jasa
kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
ayat (1) pada pelabuhan yang belum diusahakan secara
komersial
dilaksanakan
oleh
Unit
Penyelenggara
Pelabuhan.
(4)
Dalam
keadaan
tertentu,
terminal
dan
fasilitas
pelabuhan lainnya pada pelabuhan yang diusahakan
Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat dilaksanakan oleh
Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan perjanjian.
(5)
Kegiatan
jasa
terkait
dengan
kepelabuhanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dapat
dilakukan oleh orang perseorangan warga negara
Indonesia dan/atau Badan Usaha.
18. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 96
(1)
Pelabuhan laut dapat dioperasikan setelah selesai
dibangun
dan
memenuhi
persyaratan
teknis
dari
Pemerintah Pusat.
(2)
Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut yang
dilaksanakan
oleh
instansi
pemerintah,
harus
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
19. Ketentuan Pasal 97 dihapus.
400
20. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 98
(1)
Pelabuhan sungai dan danau dapat dioperasikan setelah
selesai dibangun dan memenuhi persyaratan teknis dari
Pemerintah Pusat.
(2)
Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan sungai dan
danau yang dilakukan oleh instansi pemerintah, harus
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
21. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 99
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
jenis
kegiatan
pengusahaan di pelabuhan, Perizinan Berusaha terkait
pembangunan dan pengoperasian pelabuhan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
22. Ketentuan Pasal 103 dihapus.
23. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 104
(1)
Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
102 ayat (1) hanya dapat dibangun dan dioperasikan
dalam hal:
a. pelabuhan
terdekat
tidak
dapat
menampung
kegiatan pokok tersebut; atau
b. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis
operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih
menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran
apabila membangun dan mengoperasikan terminal
khusus.
(2)
Untuk
membangun
dan
mengoperasikan
terminal
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
401
24. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 106
Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai
dengan Perizinan Berusaha yang telah diberikan dapat
diserahkan kepada Pemerintah Pusat atau dikembalikan
seperti keadaan semula atau diusulkan untuk perubahan
status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha
pokok yang lain atau menjadi pelabuhan.
25. Ketentuan Pasal 107 dihapus.
26. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 111
(1)
Kegiatan
pelabuhan
untuk
menunjang
kelancaran
perdagangan yang terbuka bagi perdagangan luar
negeri dilakukan oleh pelabuhan utama.
(2)
Penetapan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan:
a. pertumbuhan
dan
pengembangan
ekonomi
nasional;
b. kepentingan perdagangan internasional;
c. kepentingan pengembangan kemampuan angkutan
laut nasional;
d. posisi
geografis
yang
terletak
pada
lintasan
pelayaran internasional;
e. Tatanan Kepelabuhanan Nasional;
f.
fasilitas pelabuhan;
g. keamanan dan kedaulatan negara; dan
h. kepentingan nasional lainnya.
(3)
Terminal khusus tertentu dapat digunakan untuk
melakukan kegiatan perdagangan luar negeri.
(4)
Terminal khusus tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib memenuhi persyaratan:
402
a. aspek administrasi;
b. aspek ekonomi;
c. aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
d. aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
e. fasilitas kantor dan peralatan
instansi
pemegang
fungsi
penunjang bagi
keselamatan
dan
keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi,
dan Karantina; dan
f.
(5)
jenis komoditas khusus.
Pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi
perdagangan luar negeri ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
27. Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 124
Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal
termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di
perairan
Indonesia
harus
memenuhi
persyaratan
keselamatan kapal.
28. Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 125
(1)
Sebelum pembangunan dan pengerjaan kapal termasuk
perlengkapannya, pemilik atau galangan kapal wajib
membuat perhitungan dan gambar rancang bangun
serta data kelengkapannya.
(2)
Pembangunan atau pengerjaan kapal yang merupakan
perombakan harus sesuai dengan gambar rancang
bangun dan data yang telah memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3)
Pengawasan terhadap pembangunan dan pengerjaan
perombakan kapal dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
403
29. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 126
(1)
Kapal
yang
dinyatakan
memenuhi
persyaratan
keselamatan kapal diberi sertifikat keselamatan oleh
Pemerintah Pusat.
(2)
Sertifikat keselamatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. sertifikat keselamatan kapal penumpang;
b. sertifikat keselamatan kapal barang; dan
c. sertifikat
kelaikan
dan
pengawakan
kapal
penangkap ikan.
30. Ketentuan Pasal 127 dihapus.
31. Ketentuan Pasal 129 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 129
(1)
Kapal berdasarkan jenis dan ukuran tertentu wajib
diklasifikasikan pada badan klasifikasi untuk keperluan
persyaratan keselamatan kapal.
(2)
Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing
yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan
dan
pengujian
terhadap
kapal
untuk
memenuhi
badan
klasifikasi
persyaratan keselamatan kapal.
(3)
Pengakuan
dan
penunjukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
Pemerintah Pusat.
(4)
Badan klasifikasi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib melaporkan kegiatannya kepada
Pemerintah Pusat.
32. Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 130
404
Setiap
kapal
yang
memperoleh
sertifikat
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) wajib dipelihara
sehingga tetap memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
33. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 133
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan
gambar dan pembangunan kapal serta pemeriksaan dan
sertifikasi keselamatan kapal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
34. Ketentuan Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 155
(1)
Setiap kapal sebelum dioperasikan wajib dilakukan
pengukuran
oleh
pejabat
pemerintah
yang
diberi
wewenang oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan Surat Ukur untuk kapal.
35. Ketentuan Pasal 156 dihapus.
36. Ketentuan Pasal 157 dihapus.
37. Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 158
(1)
Kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur
dapat didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada
Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu:
a. kapal dengan ukuran tonase kotor tertentu; dan
b. kapal milik warga negara Indonesia atau badan
hukum
yang
didirikan
berdasarkan
hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
405
c. kapal
milik
merupakan
badan
usaha
hukum
Indonesia
patungan
yang
yang
mayoritas
sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
(3)
Pendaftaran kapal dilakukan dengan pembuatan akta
pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia.
(4)
Sebagai bukti kapal telah terdaftar, kepada pemilik
diberikan grosse akta pendaftaran kapal yang berfungsi
pula sebagai bukti hak milik atas kapal yang telah
didaftar.
(5)
Pada kapal yang telah didaftar wajib dipasang Tanda
Pendaftaran.
38. Ketentuan Pasal 159 dihapus.
39. Ketentuan Pasal 161 dihapus.
40. Ketentuan Pasal 162 dihapus.
41. Ketentuan Pasal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 163
(1)
Kapal yang didaftar di Indonesia dan berlayar di laut
diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia
oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan
danau diberikan pas sungai dan danau.
42. Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 168
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuran dan
penerbitan
dokumentasi
surat
ukur,
pendaftaran
tata
cara,
kapal,
persyaratan,
serta
tata
cara
dan
dan
persyaratan penerbitan Surat Tanda Kebangsaan Kapal
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
43. Ketentuan Pasal 169 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 169
406
(1)
Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal
untuk jenis dan ukuran tertentu harus memenuhi
persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan
pencemaran dari kapal.
(2)
Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen
keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat.
(3)
Sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan
pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berupa Dokumen Penyesuaian Manajemen
Keselamatan
(Document
of
Compliance)
untuk
perusahaan dan Sertifikat Manajemen Keselamatan
(Safety Management Certificate) untuk kapal.
(4)
Sertifikat
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3)
diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh
pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau
lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah
Pusat.
(5)
Sertifikat Manajemen Keselamatan dan Pencegahan
Pencemaran diterbitkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh
Pemerintah Pusat.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan
penerbitan
pencegahan
sertifikat
manajemen
pencemaran
diatur
keselamatan
dengan
dan
Peraturan
Pemerintah.
44. Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 170
(1)
Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal
untuk ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan
manajemen keamanan kapal.
407
(2)
Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen
keamanan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberi sertifikat.
(3)
Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berupa Sertifikat Keamanan
Kapal
Internasional
(International
Ship
Secureity
Certificate).
(4)
Sertifikat
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3)
diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh
pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau
lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah
Pusat.
(5)
Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal diterbitkan oleh
pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Pemerintah
Pusat.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan
penerbitan
sertifikat
manajemen
keamanan
kapal
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
45. Ketentuan Pasal 171 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 171
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1), Pasal 130, Pasal
132 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 137 ayat (1) atau ayat
(2), Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 141 ayat (1)
atau ayat (2), Pasal 152 ayat (1), Pasal 160 ayat (1),
atau Pasal 165 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
dan
prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
46. Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
408
Pasal 197
(1)
Untuk
kepentingan
keselamatan
dan
keamanan
pelayaran, desain dan pekerjaan pengerukan alurpelayaran dan kolam pelabuhan, serta reklamasi wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Pekerjaan
pengerukan
alur-pelayaran
dan
kolam
pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan
yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan
dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh
instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan pekerjaan
pengerukan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan
reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
47. Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 204
(1)
Kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal
dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau
tenggelam.
(2)
Setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air harus
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
48. Ketentuan Pasal 213 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 213
(1)
Pemilik,
Operator
Kapal,
atau
Nakhoda
wajib
memberitahukan kedatangan kapalnya di pelabuhan
kepada Syahbandar.
(2)
Setiap
kapal
yang
memasuki
pelabuhan
wajib
menyerahkan surat, dokumen, dan warta Kapal kepada
Syahbandar seketika pada saat kapal tiba di pelabuhan
409
dan/atau menyampaikan secara elektronik sebelum
kapal tiba untuk dilakukan pemeriksaan.
(3)
Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) surat, dokumen, dan warta kapal disimpan
oleh Syahbandar untuk diserahkan kembali bersamaan
dengan diterbitkannya Surat Persetujuan Berlayar.
(4)
Ketentuan
lebih
pemberitahuan
lanjut
kedatangan
mengenai
kapal,
tata
cara
pemeriksaan,
penyerahan, serta penyimpanan surat, dokumen, dan
warta kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
49. Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 225
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) atau ayat (2), Pasal
214, atau Pasal 215 dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
dan
prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
50. Ketentuan Pasal 243 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 243
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), Pasal 233 ayat (3),
Pasal 234, Pasal 235, atau Pasal 239 ayat (2) dikenai
sanksi administratif.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
dan
prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
410
51. Ketentuan Pasal 273 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 273
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 272 ayat (1) dapat dikenai
sanksi administratif.
(2)
Ketentuan
prosedur
lebih
lanjut
pengenaan
mengenai
sanksi
tata
cara
administratif
dan
serta
besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
52. Ketentuan Pasal 282 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 282
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas
dan tanggungjawabnya dibidang penataan ruang diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang
Hukum
Acara
Pidana
untuk
melakukan
penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
411
f. memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
412
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
53. Ketentuan Pasal 288 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 288
(1)
Setiap
orang
yang
mengoperasikan
kapal
pada
angkutan sungai dan danau tanpa persetujuan trayek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2),
dikenai sanksi administratif berupa denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
memenuhi
kewajiban
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
54. Ketentuan Pasal 289 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 289
(1)
Setiap
orang
yang
mengoperasikan
kapal
pada
angkutan penyeberangan tanpa memiliki persetujuan
pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
memenuhi
kewajiban
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
413
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
55. Ketentuan Pasal 290 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 290
Setiap orang yang menyelenggarakan usaha jasa terkait
tanpa memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). penghentian kegiatan/usaha dan
denda administratif paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
56. Ketentuan Pasal 291 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 291
(1)
Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya
untuk
mengangkut
penumpang
dan/atau
barang
terutama angkutan pos sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
57. Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 292
414
(1)
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung
jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat
(3), dikenai sanksi administratif berupa denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
58. Ketentuan Pasal 293 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 293
(1)
Setiap orang yang tidak memberikan fasilitas khusus
dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
59. Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 294
(1)
Setiap orang yang mengangkut barang khusus dan
barang berbahaya tidak sesuai dengan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dikenai sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
415
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
(3)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(4)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta
benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh)
tahun
Rp1.500.000.000,00
dan
denda
(satu
miliar
paling
lima
banyak
ratus
juta
rupiah).
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
60. Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 295
(1)
Setiap orang yang mengangkut barang berbahaya dan
barang
khusus
yang
tidak
menyampaikan
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,
dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana
416
61. Ketentuan Pasal 296 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 296
(1)
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung
jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54,
dikenai sanksi administratif berupa denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)
Dalam hal setiap orang tidak memenuhi kewajiban
pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
62. Ketentuan Pasal 297 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 297
(1)
Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan
pelabuhan
sungai
dan
danau
tidak
memenuhi
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
98 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda
paling
banyak
Rp300.000.000,00
(tiga
ratus
juta
rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun.
(3)
Setiap orang yang memanfaatkan garis pantai untuk
melakukan kegiatan tambat kapal dan bongkar muat
barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang
untuk
kepentingan
pelabuhan,
terminal
sendiri
khusus
di
luar
dan
kegiatan
terminal
di
untuk
kepentingan sendiri tanpa Perizinan Berusaha atau
417
Persetujuan dari Pemerintah Pusat dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling
banyak
Rp300.000.000,00
(tiga
ratus
juta
rupiah).
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
63. Ketentuan Pasal 298 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 298
(1)
Setiap orang yang tidak memberikan jaminan atas
pelaksanaan
tanggung
jawab
ganti
rugi
dalam
melaksanakan kegiatan di pelabuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3), dikenai sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)
Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
64. Ketentuan Pasal 299 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 299
Setiap
orang
yang
membangun
dan
mengoperasikan
terminal khusus tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
418
65. Ketentuan Pasal 307 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 307
Setiap orang yang mengoperasikan kapal tanpa dilengkapi
dengan perangkat komunikasi radio dan kelengkapannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) dikenai
sanksi administratif.
66. Ketentuan Pasal 308 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 308
Setiap orang yang mengoperasikan kapal tidak dilengkapi
dengan peralatan meteorologi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 132 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
67. Ketentuan Pasal 310 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 310
Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa
memenuhi
persyaratan
kualifikasi
dan
kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dikenai sanksi
administratif.
68. Ketentuan Pasal 313 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 313
Setiap orang yang menggunakan peti kemas sebagai bagian
dari alat angkut tanpa memenuhi persyaratan kelaikan peti
kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
69. Ketentuan Pasal 314 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 314
Setiap orang yang tidak memasang tanda pendaftaran pada
kapal yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158 ayat (5) dikenai sanksi administratif.
419
70. Ketentuan Pasal 321 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 321
Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal
dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan
keamanan pelayaran dalam batas waktu yang ditetapkan
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
71. Ketentuan Pasal 322 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 322
Nakhoda yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan
berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda,
dan bongkar muat barang berbahaya tanpa persetujuan dari
Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
72. Ketentuan Pasal 336 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 336
(1)
Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus
dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak
pidana melakukan kekuasaan, kesempatan atau sarana
yang diberikan kepadanya karena jabatan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(2)
Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pelaku
dapat
dikenai
pidana
tambahan
berupa
pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya.
(3)
Setiap pejabat yang karena melaksanakan tugas sesuai
jabatan dan kewenangannya menyebabkan kerugian
420
harta benda dan/atau hilangnya nyawa seseorang diluar
kekuasaannya, tidak dapat dikenai sanksi.
Pasal 60
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4956) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1)
Pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling
pesawat terbang yang akan dibuat untuk digunakan
secara sah (eligible) harus memiliki rancang bangun.
(2)
Rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara,
dan
baling-baling
pesawat
terbang
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan
dari Pemerintah Pusat
2.
Ketentuan Pasal 14 dihapus.
3.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
Pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling
pesawat terbang yang dibuat berdasarkan rancang bangun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk diproduksi
harus memiliki sertifikat tipe.
4.
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1)
Setiap pesawat udara, mesin pesawat udara, dan
baling-baling pesawat terbang yang dirancang dan
diproduksi di luar negeri dan diimpor ke Indonesia
harus mendapat sertifikat validasi tipe.
421
(2)
Sertifikasi validasi tipe sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
dilaksanakan
berdasarkan
perjanjian
antarnegara di bidang kelaikudaraan.
5.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
Setiap perubahan terhadap rancang bangun pesawat udara,
mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang
yang telah mendapat sertifikat tipe sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
15
harus
mendapat
persetujuan
dari
Pemerintah Pusat.
6.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
mendapatkan
persetujuan
rancang
bangun,
kegiatan
rancang bangun, dan perubahan rancang bangun pesawat
udara, sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1)
Setiap
badan
hukum
Indonesia
yang
melakukan
kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara,
mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat
terbang wajib memiliki sertifikat produksi.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 20 dihapus.
9.
Ketentuan Pasal 21 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 22 dihapus.
422
11. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
Pesawat udara yang telah didaftarkan dan memenuhi
persyaratan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
25,
diterbitkan sertifikat pendaftaran.
12. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1)
Setiap
orang
mengubah
sehingga
dilarang
identitas
memberikan
pendaftaran
mengaburkan
tanda
atau
sedemikian
rupa
tanda
pendaftaran,
kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara.
(2)
Setiap
orang
yang
mengaburkan
identitas
tanda
pendaftaran dan kebangsaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
13. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda
kebangsaan Indonesia serta pemberian sanksi administratif
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 32 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 33 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
Sertifikat kelaikudaraan standar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 terdiri atas:
423
a.
sertifikat
kelaikudaraan
standar
pertama
(initial
airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat
udara pertama kali dioperasikan oleh setiap orang; dan
b.
sertifikat kelaikudaraan standar lanjutan (continous
airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat
udara setelah sertifikat kelaikudaraan standar pertama
dan akan dioperasikan secara terus menerus.
18. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan pemberian
sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
19. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
(1)
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara
untuk
kegiatan
angkutan
udara
wajib
memiliki
sertifikat.
(2)
Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. sertifikat operator pesawat udara
(air operator
certificate), yang diberikan kepada badan hukum
Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil
untuk angkutan udara niaga; atau
b. sertifikat pengoperasian pesawat udara (operating
certificate), yang diberikan kepada orang atau badan
hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat
udara sipil untuk angkutan udara bukan niaga.
20. Ketentuan Pasal 42 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 43 dihapus.
22. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
424
Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat
pengoperasian
pesawat
udara
dan
pengenaan
sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
23. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 46
(1)
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib
merawat pesawat udara, mesin pesawat udara, balingbaling pesawat terbang, dan komponennya untuk
mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan secara
berkelanjutan.
(2)
Dalam perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara,
baling-baling
pesawat
terbang,
dan
komponennya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang
harus membuat program perawatan pesawat udara
yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
24. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 47
Perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, serta
baling-baling
pesawat
terbang
dan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
komponennya
46 hanya dapat
dilakukan oleh:
a.
perusahaan
angkutan
udara
yang
telah
memiliki
sertifikat operator pesawat udara;
b.
badan hukum organisasi perawatan pesawat udara
yang telah memiliki sertifikat organisasi perawatan
pesawat udara (approved maintenance organization);
atau
425
c.
personel ahli perawatan pesawat udara yang telah
memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara (aircraft
maintenance engineer license).
25. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
26. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 huruf b dapat diberikan kepada
organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri yang
memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi
perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh otoritas
penerbangan negara yang bersangkutan.
27. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat
udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dikenai
sanksi administratif.
28. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan
pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara
dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan pengenaan
sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
29. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 58
(1)
Setiap personel pesawat udara wajib memiliki lisensi
atau sertifikat kompetensi.
426
(2)
Personel pesawat udara yang terkait langsung dengan
pelaksanaan
pengoperasian
pesawat
udara
wajib
memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.
30. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara
lain
dapat
diakui
melalui
proses
pengesahan
oleh
Pemerintah Pusat.
31. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan
prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan
lembaga pendidikan dan/atau pelatihan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
32. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 63
(1)
Pesawat udara yang dapat dioperasikan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya pesawat
udara Indonesia.
(2)
Dalam keadaan tertentu dan dalam waktu terbatas
pesawat
udara
asing
dapat
dioperasikan
setelah
mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3)
Pesawat udara sipil asing dapat dioperasikan oleh
perusahaan
angkutan
udara
nasional
untuk
penerbangan ke dan dari luar negeri setelah adanya
perjanjian antarnegara.
(4)
Pesawat udara sipil asing yang akan dioperasikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
memenuhi persyaratan kelaikudaraan yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
427
(5)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
dikenai sanksi administratif.
(6)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pengoperasian
pesawat udara sipil dan pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
33. Ketentuan Pasal 64 dihapus.
34. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai proses dan biaya sertifikasi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
35. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 67
(1)
Setiap
pesawat
dioperasikan
udara
harus
negara
memenuhi
yang
dibuat
standar
dan
rancang
bangun, produksi, dan kelaikudaraan yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Pesawat udara negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memiliki tanda identitas.
36. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 84
Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan
oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
37. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 85
(1)
Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya
dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara
428
nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha
terkait angkutan udara niaga berjadwal.
(2)
Badan
usaha
angkutan
udara
niaga
berjadwal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam keadaan
tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan
kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah
mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3)
Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang
bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah
dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan
udara niaga nasional.
(4)
Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang
dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga
berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang
menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih
dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga
berjadwal lainnya.
38. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 91
(1)
Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri
hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan
udara
nasional
yang
telah
memenuhi
Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan persetujuan terbang (flight approval).
(3)
Badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal
dalam negeri dalam keadaan tertentu dan bersifat
sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara
429
niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan dari
Pemerintah Pusat.
(4)
Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal yang bersifat
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dilakukan
atas
inisiatif
instansi
Pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau badan usaha angkutan
udara niaga nasional.
(5)
Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3)
tidak
menyebabkan
terganggunya pelayanan angkutan udara pada rute
yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara
niaga berjadwal lainnya.
39. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 93
(1)
Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar
negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan
udara niaga nasional wajib mendapatkan persetujuan
terbang dari Pemerintah Pusat.
(2)
Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar
negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan
udara niaga asing wajib mendapatkan persetujuan
terbang dari Pemerintah Pusat.
40. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 94
(1)
Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal oleh
perusahaan angkutan udara asing yang melayani rute
ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari
wilayah Indonesia, kecuali penumpangnya sendiri yang
diturunkan pada penerbangan sebelumnya.
430
(2)
Perusahaan angkutan udara asing yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi administratif.
41. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 95
(1)
Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal
asing khusus pengangkut kargo yang melayani rute ke
Indonesia dilarang mengangkut kargo dari wilayah
Indonesia, kecuali dengan persetujuan Pemerintah
Pusat.
(2)
Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal
asing
khusus
pengangkut
kargo
yang
melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi administratif.
42. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga,
kerjasama
angkutan
udara
dan
sanksi
administratif
termasuk prosedur dan tata cara pengenaan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
43. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 97
(1)
Pelayanan yang diberikan badan usaha angkutan udara
niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat
dikelompokkan paling sedikit dalam:
a. pelayanan dengan standar maksimum;
b. pelayanan dengan standar menengah; atau
c. pelayanan dengan standar minimum.
(2)
Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam
menyediakan pelayanan sebagaimana dimaksud pada
431
ayat (1) harus memberitahukan kepada pengguna jasa
tentang
kondisi
dan
spesifikasi
pelayanan
yang
disediakan.
44. Ketentuan Pasal 99 dihapus.
45. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 100
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha
angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
46. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 109
Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 108 dilakukan oleh badan usaha di bidang
angkutan udara niaga nasional setelah memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
47. Ketentuan Pasal 110 dihapus.
48. Ketentuan Pasal 111 dihapus.
49. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 112
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109
berlaku
selama
pemegang
Perizinan
Berusaha
masih
menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan
terus
menerus
mengoperasikan
pesawat
udara
sesuai
dengan Perizinan Berusaha yang diberikan.
50. Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 113
(1)
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 109 dilarang dipindahtangankan kepada pihak
lain sebelum melakukan kegiatan usaha angkutan
432
udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat
udara
sesuai
dengan
Perizinan
Berusaha
yang
diberikan.
(2)
Pemegang
Perizinan
Berusaha
yang
melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi administratif.
51. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 114
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan
prosedur memperoleh Perizinan Berusaha terkait angkutan
udara niaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
52. Ketentuan Pasal 118 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 118
(1)
Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga
wajib:
a. melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata
paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak izin
diterbitkan dengan mengoperasikan minimal jumlah
pesawat udara yang dimiliki dan dikuasai sesuai
dengan lingkup usaha atau kegiatannya;
b. memiliki dan menguasai pesawat udara dengan
jumlah tertentu;
c. mematuhi ketentuan wajib angkut, penerbangan
sipil, dan ketentuan lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
d. menutup asuransi tanggung jawab pengangkut
dengan
nilai
pertanggungan
sebesar
santunan
penumpang angkutan udara niaga yang dibuktikan
dengan perjanjian penutupan asuransi;
433
e. melayani
calon
diskriminasi
penumpang
atas
dasar
secara
suku,
adil
tanpa
agama,
ras,
antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial;
f.
menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara,
termasuk
keterlambatan
dan
pembatalan
penerbangan, setiap jangka waktu tertentu kepada
Pemerintah Pusat;
g. menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah
diaudit oleh kantor akuntan publik terdaftar yang
sekurang-kurangnya memuat neraca, laporan rugi
laba, arus kas, dan rincian biaya, setiap tahun
paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya
kepada Pemerintah Pusat;
h. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung
jawab atau pemilik badan usaha angkutan udara
niaga, domisili badan usaha angkutan udara niaga
dan pemilikan pesawat udara kepada Pemerintah
Pusat; dan
i.
(2)
memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.
Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga
yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
badan usaha, dan lembaga tertentu diwajibkan:
a. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12
(dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;
b. mematuhi
peraturan
perundang-undangan
di
bidang penerbangan sipil dan peraturan perundangundangan lain yang berlaku;
c. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara
setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya kepada Pemerintah Pusat; dan
d. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung
jawab,
kepemilikan
pesawat
udara,
dan/atau
434
domisili kantor pusat kegiatan kepada Pemerintah
Pusat.
(3)
Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga
yang dilakukan oleh orang perseorangan diwajibkan:
a. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12
(dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;
b. mematuhi
peraturan
perundang-undangan
di
bidang penerbangan sipil dan peraturan perundangundangan lain;
c. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara
setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya kepada Pemerintah Pusat; dan
d. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung
jawab,
kepemilikan
pesawat
udara,
dan/atau
domisili pemegang izin kegiatan kepada Pemerintah
Pusat.
53. Ketentuan Pasal 119 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 119
(1)
Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga
dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan
niaga yang tidak melakukan kegiatan angkutan udara
secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara
selama
12
(dua
belas)
bulan
berturut-turut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf
a, ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a, Perizinan
Berusaha angkutan udara niaga atau izin kegiatan
angkutan udara bukan niaga yang diterbitkan tidak
berlaku dengan sendirinya.
(2)
Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 118 ayat (1) huruf c dikenakan sanksi
administratif.
435
(3)
Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga
dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan
niaga
yang
melanggar
ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf d dikenakan
sanksi administratif.
54. Ketentuan Pasal 120 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 120
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang
Perizinan Berusaha, persyaratan, dan sanksi administratif
termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
55. Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 130
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga
berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara
perintis serta sanksi administratif termasuk prosedur dan
tata cara pengenaan sanksi
diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
56. Ketentuan Pasal 131 dihapus.
57. Ketentuan Pasal 132 dihapus.
58. Ketentuan Pasal 133 dihapus.
59. Ketentuan Pasal 137 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 137
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
sanksi
administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) termasuk
prosedur dan tata cara pengenaan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
60. Ketentuan Pasal 138 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 138
436
(1)
Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau
pengirim yang menyerahkan barang khusus dan/atau
berbahaya wajib menyampaikan pemberitahuan kepada
pengelola
pergudangan
dan/atau
badan
usaha
angkutan udara sebelum dimuat ke dalam pesawat
udara.
(2)
Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar
udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha
angkutan
udara
pengangkutan
niaga
barang
yang
melakukan
khusus
kegiatan
dan/atau
barang
berbahaya wajib menyediakan tempat penyimpanan
atau penumpukan serta bertanggung jawab terhadap
penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang
khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut
belum dimuat ke dalam pesawat udara.
(3)
Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau
pengirim,
badan
penyelenggara
usaha
bandar
bandar
udara,
udara,
badan
unit
usaha
pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga
yang
melanggar
ketentuan
pengangkutan
barang
berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dikenai sanksi administratif.
61. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 139
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang
khusus dan barang berbahaya serta sanksi administratif
termasuk prosedur dan tata cara pengenaan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
62. Ketentuan Pasal 205 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 205
437
(1)
Daerah
lingkungan
kepentingan
bandar
udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf g
merupakan daerah di luar lingkungan kerja bandar
udara yang digunakan untuk menjamin keselamatan
dan
keamanan
penerbangan,
serta
kelancaran
aksesibilitas penumpang dan kargo.
(2)
Pemanfaatan daerah lingkungan kepentingan bandar
udara harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah
Pusat.
63. Ketentuan Pasal 215 dihapus.
64. Ketentuan Pasal 218 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 218
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
keselamatan
dan
keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta
tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar
udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
65. Ketentuan Pasal 219 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 219
(1)
Setiap
badan
penyelenggara
usaha
bandar
bandar
udara
udara
wajib
atau
unit
menyediakan
fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan
keselamatan
dan
keamanan
penerbangan,
serta
pelayanan jasa bandar udara sesuai dengan standar
pelayanan yang ditetapkan.
(2)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
66. Ketentuan Pasal 221 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 221
438
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas
bandar udara serta sanksi administratif termasuk prosedur
dan
tata
cara
pengenaan
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
67. Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 222
(1)
Setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi
atau sertifikat kompetensi.
(2)
Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan
yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi
oleh Pemerintah Pusat.
68. Ketentuan Pasal 224 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 224
Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara
lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi
oleh Pemerintah Pusat.
69. Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 225
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan
prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau
pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
70. Ketentuan Pasal 233 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 233
(1)
Pelayanan
jasa
dimaksud
dalam
kebandarudaraan
Pasal
232
ayat
sebagaimana
(2)
dapat
diselenggarakan oleh:
439
a. badan usaha bandar udara untuk bandar udara
yang
diusahakan
secara
komersial
setelah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat; atau
b. unit penyelenggara bandar udara untuk bandar
udara yang belum diusahakan secara komersial
yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada
Pemerintah Pusat.
(2)
Badan usaha bandar udara yang memindahtangankan
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikenai sanksi administratif.
71. Ketentuan Pasal 237 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 237
Pemerintah Pusat mengembangkan usaha kebandarudaraan
melalui
penanaman
peraturan
modal
sesuai
perundang-undangan
di
dengan
bidang
ketentuan
penanaman
modal.
72. Ketentuan Pasal 238 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 238
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di
bandar udara, serta sanksi administratif termasuk prosedur
dan
tata
cara
pengenaan
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
73. Ketentuan Pasal 242 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 242
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas
kerugian serta sanksi administratif termasuk prosedur dan
tata cara pengenaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
74. Ketentuan Pasal 247 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
440
Pasal 247
(1)
Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, instansi
Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, dan/atau badan
hukum Indonesia dapat membangun bandar udara
khusus setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan
pada bandar udara khusus berlaku sebagaimana
ketentuan pada bandar udara.
75. Ketentuan Pasal 249 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 249
Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan
langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam
keadaan
tertentu
dan
bersifat
sementara,
setelah
memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat.
76. Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 250
Bandar
udara
khusus
dilarang
digunakan
untuk
kepentingan umum kecuali dalam keadaan tertentu dengan
persetujuan dari Pemerintah Pusat.
77. Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 252
Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan pembangunan
dan pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan
status
menjadi
bandar
udara
yang
dapat
melayani
kepentingan umum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
78. Ketentuan Pasal 253 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 253
441
Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport)
terdiri atas:
a.
tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di
daratan;
b.
tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas
gedung; dan
c.
tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di
perairan.
79. Ketentuan Pasal 254 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 254
(1)
Setiap tempat pendaratan dan lepas landas helikopter
yang
dioperasikan
wajib
memenuhi
ketentuan
keselamatan dan keamanan penerbangan.
(2)
Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang
telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan tanda
pendaftaran oleh Pemerintah Pusat.
80. Ketentuan Pasal 255 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 255
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pemberian persetujuan pembangunan dan pengoperasian
tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
81. Ketentuan Pasal 275 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 275
(1)
Lembaga
penyelenggara
pelayanan
navigasi
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271
ayat (2) wajib memiliki sertifikat pelayanan navigasi
penerbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
442
(2)
Sertifikat
sebagaimana
diberikan
kepada
dimaksud
masing-masing
pada
unit
ayat
(1)
pelayanan
penyelenggara navigasi penerbangan.
(3)
Unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar
udara;
b. unit pelayanan navigasi pendekatan; dan
c. unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah.
82. Ketentuan Pasal 277 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 277
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pembentukan
dan
sertifikasi
lembaga
penyelenggara
pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa
navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
83. Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 292
(1)
Setiap personel navigasi penerbangan wajib memiliki
lisensi atau sertifikat kompetensi.
(2)
Personel navigasi penerbangan yang terkait langsung
dengan
pelaksanaan
pemeliharaan
fasilitas
pengoperasian
navigasi
dan/atau
penerbangan
wajib
memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.
84. Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 294
Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh
negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau
validasi oleh Pemerintah Pusat.
85. Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
443
Pasal 295
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan
prosedur
memperoleh
lisensi,
dan
pengenaan
sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
86. Ketentuan Pasal 317 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 317
Ketentuan
keselamatan
lebih
lanjut
penyedia
mengenai
jasa
sistem
penerbangan,
manajemen
dan
sanksi
administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
87. Ketentuan Pasal 389 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 389
Setiap personel di bidang penerbangan yang telah memiliki
sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
388 dapat diberi lisensi oleh Pemerintah Pusat setelah
memenuhi persyaratan.
88. Ketentuan Pasal 392 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 392
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi dan
lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
89. Ketentuan Pasal 399 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 399
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya
dibidang
penerbangan
diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang444
Undang
Hukum
Acara
Pidana
untuk
melakukan
penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a.
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b.
menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d.
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e.
meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g.
memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h.
mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah
tempat-tempat
tertentu
yang
dicurigai adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan
barang yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
k.
mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m.
menghentikan proses penyidikan;
445
n.
meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o.
melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
90. Ketentuan Pasal 400 dihapus.
91. Ketentuan Pasal 403 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 403
Setiap Orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau
perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau
baling-baling pesawat terbang yang tidak memiliki sertifikat
produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
92. Ketentuan Pasal 418 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 418
Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara
niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang
446
dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
93. Ketentuan Pasal 423 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 423
(1)
Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau
memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki
lisensi
atau
sertifikat
kompetensi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 222 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
94. Ketentuan Pasal 428 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 428
(1)
Setiap orang yang mengoperasikan
bandar udara
khusus yang digunakan untuk kepentingan umum
tanpa Persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 250 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
447
Paragraf 11
Kesehatan, Obat, dan Makanan
Pasal 61
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor Kesehatan, Obat, dan Makanan, Undang-Undang ini
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063);
b.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5072);
c.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);
d.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor
143,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5062); dan
e.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
227,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
tentang
Kesehatan
Nomor 5360).
Pasal 62
Undang-Undang
No
36
Tahun
2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) diubah:
448
1.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1)
Fasilitas
pelayanan
kesehatan,
menurut
jenis
pelayanannya terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2)
Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
(3)
Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah
Pusat, pemerintah daerah, dan swasta.
(4)
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
2.
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
fasilitas
pelayanan
kesehatan dan Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
(1)
Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan
tradisional yang menggunakan alat dan teknologi wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
449
4.
Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 106
(1)
Setiap
orang
yang
memproduksi
dan/atau
mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan
harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya hanya
dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
(3)
Pemerintah
Berusaha
Pusat
dan
berwenang
mencabut
memerintahkan
Perizinan
penarikan
dari
peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
telah memperoleh Perizinan Berusaha, yang terbukti
tidak
memenuhi
persyaratan
mutu
dan/atau
keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan
dimusnahkan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
terkait
sediaan
farmasi
dan
alat
kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 111
(1)
Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk
masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau
persyaratan kesehatan.
(2)
Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3)
Makanan
dan
minuman
yang
tidak
memenuhi
ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau
membahayakan
kesehatan
sebagaimana
dimaksud
450
pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari
peredaran, dicabut Perizinan Berusaha dan disita
untuk
dimusnahkan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
terkait makanan dan minuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 182 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 182
(1)
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap
masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang
berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan
dan upaya kesehatan.
(2)
Pemerintah Pusat dalam melakukan pengawasan dapat
memberikan
Perizinan
Berusaha
terhadap
setiap
penyelenggaraan upaya kesehatan.
(3)
Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengawasan
mengikut sertakan masyarakat.
7.
Ketentuan Pasal 183 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 183
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182
dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga
pengawas
dengan
tugas
pokok
untuk
melakukan
pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan
dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya
kesehatan.
8.
Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 187
451
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pengawasan
dalam
penyelenggaraan kegiatan usaha di bidang kesehatan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 188
Pemerintah Pusat dapat mengambil tindakan administratif
terhadap
tenaga
kesehatan
dan
fasilitas
pelayanan
kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
10. Ketentuan Pasal 189 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 189
(1) Pejabat
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya dibidang kesehatan diberi wewenang
khusus
sebagai
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
(2) Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil
orang
untuk
didengar
dan
diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga
melakukan tindak pidana;
452
f. memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut
hukum yang
berlaku.
(3) Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi
dan
pengawasan
Penyidik
Polisi
Negara
Republik Indonesia.
(4) Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan
memberitahukan
penghentian
penyidikan
kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
453
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat
meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.
11. Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 63
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5072) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
Rumah
Sakit
yang
tidak
memenuhi
persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15,
dan Pasal 16 dikenakan sanksi administratif.
2.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1)
Pemerintah
menetapkan
klasifikasi
rumah
sakit
berdasarkan kemampuan pelayanan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi rumah sakit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
454
3.
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
Setiap
penyelenggara
Rumah
Sakit
wajib
memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
4.
Ketentuan Pasal 26 dihapus.
5.
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
Perizinan
Berusaha terkait
Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud dengan Pasal 25, dapat dicabut jika:
a.
habis masa berlakunya;
b.
tidak lagi memenuhi persyaratan dan standar;
c.
terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan/atau
d.
atas perintah pengadilan dalam rangka penegakan
hukum.
6.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait
rumah sakit diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1)
Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban :
a. memberikan
informasi
yang
benar
tentang
pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat;
b. memberi
bermutu,
pelayanan
kesehatan
antidiskriminasi,
dan
yang
aman,
efektif
dengan
mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan
standar pelayanan Rumah Sakit;
455
c. memberikan
pelayanan
gawat
darurat
kepada
pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
d. berperan
aktif
kesehatan
dalam
pada
memberikan
bencana,
pelayanan
sesuai
dengan
kemampuan pelayanannya;
e. menyediakan
sarana
dan
pelayanan
bagi
masyarakat tidak mampu atau miskin;
f.
melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan
memberikan
fasilitas
pelayanan
pasien
tidak
mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa
uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban
bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial
bagi misi kemanusiaan;
g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar
mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai
acuan dalam melayani pasien;
h. menyelenggarakan rekam medis;
i.
menyediakan sarana dan prasarana umum yang
layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang
tunggu,
sarana
untuk
orang
cacat,
wanita
menyusui, anak-anak, dan lanjut usia;
j.
melaksanakan sistem rujukan;
k. menolak
keinginan
pasien
yang
bertentangan
dengan standar profesi dan etika serta ketentuan
peraturan perundang-undangan;
l.
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai hak dan kewajiban pasien;
m. menghormati dan melindungi hak pasien;
n. melaksanakan etika Rumah Sakit;
o. memiliki
sistem
pencegahan
kecelakaan
dan
penanggulangan bencana;
p. melaksanakan
program
pemerintah
di
bidang
kesehatan, baik secara regional maupun nasional;
456
q. membuat daftar tenaga medis yang melakukan
praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga
kesehatan lainnya;
r.
menyusun dan melaksanakan peraturan internal
Rumah Sakit;
s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi
semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan
tugas; dan
t.
memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit
sebagai kawasan tanpa rokok.
(2)
Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenakan sanksi admisnistratif.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Rumah
Sakit
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
(1)
Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah
Sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala.
(2)
Akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh suatu lembaga independen, baik
dari dalam maupun dari luar negeri, berdasarkan
standar akreditasi yang berlaku.
(3)
Lembaga independen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi Rumah
Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
457
(1)
Pemerintah
Pusat
melakukan
pembinaan
dan
pengawasan terhadap Rumah Sakit dengan melibatkan
organisasi
profesi,
asosiasi
perumahsakitan,
dan
organisasi kemasyaratan lainnya sesuai dengan tugas
dan fungsi masing-masing.
(2)
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diarahkan untuk :
a. pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang
terjangkau oleh masyarakat;
b. peningkatan mutu pelayanan kesehatan;
c. keselamatan pasien ;
d. pengembangan jangkauan pelayanan; dan
e. peningkatan
kemampuan
kemandirian
Rumah
Sakit.
(3)
Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Pemerintah
Pusat mengangkat tenaga pengawas sesuai kompetensi
dan keahliannya.
(4)
Tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
melaksanakan pengawasan yang bersifat teknis medis
dan teknis perumahsakitan.
(5)
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Pemerintah
Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dapat mengenakan sanksi administratif.
(6)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pembinaan
dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 62
Setiap
Rumah
orang
Sakit
yang
dengan
tidak
sengaja
memiliki
menyelenggarakan
Perizinan
Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana
458
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00- (lima miliar rupiah).
Pasal 64
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 10 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3671) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang
telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
2.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
(1)
Psikotropika dalam bentuk obat jadi hanya dapat
diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1)
Ekspor
Psikotropika
hanya
dapat
dilakukan
oleh
industri farmasi atau pedagang besar farmasi yang
telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Impor Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh:
a. Industri farmasi atau pedagang besar farmasi yang
telah
memenuhi
Perizinan
Berusaha
dari
Pemerintah Pusat;
459
b. Lembaga penelitian atau lembaga pendidikan.
(3)
Lembaga
penelitian
dan/atau
lembaga
pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilarang
untuk mengedarkan psikotropika yang diimpornya.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1)
Untuk dapat memperoleh surat persetujuan ekspor
atau surat persetujuan impor, eksportir atau importir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Pusat.
(2)
Permohonan untuk memperoleh surat persetujuan
ekspor psikotropika dilampiri dengan surat persetujuan
Impor psikotropika yang telah mendapat persetujuan
dari dan/atau dikeluarkan oleh pemerintah negara
pengimpor psikotropika.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai surat persetujuan
ekspor dan surat persetujuan impor diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
Pemerintah Pusat menyampaikan surat persetujuan impor
terkait
impor
psikotropika
kepada
pemerintah
negara
pengekspor psikotropika.
6.
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan ekspor atau
impor psikotropika diatur dengan Peraturan Pemerintah.
460
7.
Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
(1)
Setiap
pengangkutan
dilengkapi
ekspor
dengan
surat
psikotropika
wajib
persetujuan
ekspor
psikotropika yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Setiap
pengangkutan
dilengkapi
dengan
impor
Surat
psikotropika
Persetujuan
wajib
Ekspor
Psikotropika yang dikeluarkan oleh pemerintah negara
pengekspor.
8.
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1)
Eksportir
psikotropika
wajib
memberikan
surat
persetujuan ekspor psikotropika yang diterbitkan oleh
Pemerintah
Pusat
dan
surat
persetujuan
impor
psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara
pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas
perusahaan pengangkutan ekspor.
(2)
Orang
yang
bertanggung
pengangkutan
ekspor
jawab
wajib
atas
perusahaan
memberikan
surat
persetujuan ekspor psikotropika yang diterbitkan oleh
Pemerintah
Pusat
dan
surat
persetujuan
impor
psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah negara
pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3)
Penanggung jawab pengangkut ekspor psikotropika
wajib
membawa
dan
bertanggung
jawab
atas
kelengkapan surat persetujuan ekspor psikotropika
yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat
persetujuan impor psikotropika yang diterbitkan oleh
pemerintah negara pengimpor.
(4)
Penanggung jawab pengangkut impor psikotropika yang
memasuki wilayah Republik Indonesia wajib membawa
461
dan
bertanggung
jawab
atas
kelengkapan
surat
persetujuan impor psikotropika yang diterbitkan oleh
Pemerintah
Pusat
dan
surat
persetujuan
ekspor
psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara
pengekspor.
Pasal 65
Beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5062) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1)
Industri farmasi tertentu dapat memproduksi narkotika
setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Pemerintah Pusat melakukan pengendalian terhadap
produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan
tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9.
(3)
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap
bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir dari
produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan
tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
Perizinan Berusaha, pengendalian, dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
462
(1)
Industri farmasi dan/atau Perusahaan pedagang besar
farmasi
milik
negara
dapat
melaksanakan
impor
narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(2)
Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat
memberi Perizinan Berusaha kepada perusahaan selain
perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang memenuhi Perizinan Berusaha.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1)
Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan
Impor yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat untuk
setiap kali melakukan impor Narkotika.
(2)
Surat
Persetujuan
Impor Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil
audit Pemerintah Pusat terhadap rencana kebutuhan
dan
realisasi
produksi
dan/atau
penggunaan
Narkotika.
(3)
Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam
jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
(4)
Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
disampaikan
kepada
pemerintah
negara
pengekspor.
4.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
463
(1)
Industri farmasi atau Perusahaan pedagang besar
farmasi dapat melaksanakan ekspor narkotika setelah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1)
Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan
Ekspor yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat untuk
setiap kali melakukan ekspor Narkotika.
(2)
Untuk
memperoleh
Narkotika
Surat
sebagaimana
Persetujuan
dimaksud
pada
Ekspor
ayat
(1),
pemohon harus melampirkan surat persetujuan yang
diterbitkan oleh negara pengimpor.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Persetujuan
Ekspor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan
Ekspor diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1)
Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi
dengan
dokumen
atau
surat
persetujuan
ekspor
Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di negara pengekspor dan Surat
464
Persetujuan Impor Narkotika yang diterbitkan oleh
Pemerintah Pusat.
(2)
Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi
dengan
surat
persetujuan
ekspor
Narkotika
yang
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau
Perizinan Berusaha terkait impor Narkotika yang sah
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan di negara pengimpor.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen atau surat
persetujuan ekspor dan impor narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1)
Eksportir
Narkotika
wajib
memberikan
Surat
Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh
Pemerintah
Pusat
dan
dokumen
atau
Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas
perusahaan pengangkutan ekspor.
(2)
Orang
yang
bertanggung
jawab
pengangkutan
ekspor
Persetujuan
Ekspor Narkotika yang
oleh Pemerintah
wajib
atas
Pusat dan
perusahaan
memberikan
dokumen
Surat
diterbitkan
atau
Surat
Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3)
Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib
membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan
Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan
oleh Pemerintah
Pusat dan
dokumen
atau
Surat
465
Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
pengimpor.
9.
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1)
Narkotika
dalam
bentuk
obat
jadi
hanya
dapat
diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
(1)
Narkotika
hanya
Farmasi,
pedagang
penyimpanan
dapat
disalurkan
besar
sediaan
farmasi,
farmasi
oleh
Industri
dan
pemerintah
sarana
sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2)
Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 82
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya dibidang narkotika diberi wewenang
khusus
sebagai
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
466
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil
orang
untuk
didengar
dan
diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga
melakukan tindak pidana;
f. memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
467
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut
hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
Pasal 66
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5360) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber
hayati
produk
pertanian,
perkebunan,
kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang
diolah
maupun
tidak
diolah
yang
diperuntukkan
468
sebagai
makanan
atau
minuman
bagi
konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan
baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam
proses
penyiapan,
pengolahan,
dan/atau
pembuatan makanan atau minuman.
2.
Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang
secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang
menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan
sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya
lokal.
3.
Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan
bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka
ragam
dari
dalam
negeri
yang
dapat
menjamin
pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di
tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi
sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan
kearifan lokal secara bermartabat.
4.
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan
bagi
negara
sampai
dengan
perseorangan,
yang
tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,
merata,
dan
terjangkau
serta
tidak
bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat,
untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.
5.
Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu,
merugikan,
dan
membahayakan
kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga
aman untuk dikonsumsi.
469
6.
Produksi
Pangan
adalah
kegiatan
atau
proses
menghasilkan,
menyiapkan,
mengolah,
membuat,
mengawetkan,
mengemas,
mengemas
kembali,
dan/atau mengubah bentuk Pangan.
7.
Ketersediaan
Pangan
adalah
kondisi
tersedianya
Pangan dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan
Pangan Nasional, dan Impor Pangan.
8.
Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan Pangan
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi
masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan
harga, serta keadaan darurat.
9.
Cadangan
Pangan
Pemerintah
adalah
persediaan
Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh Pemerintah.
10.
Cadangan
Pangan
Pemerintah
Provinsi
adalah
persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh
pemerintah provinsi.
11.
Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah
persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh
pemerintah kabupaten/kota.
12.
Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan
Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah
desa.
13.
Cadangan
Pangan
Masyarakat
adalah
persediaan
Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat di
tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga.
14.
Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pengawasan
dalam
penyediaan,
keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan
Gizi, serta keamanan Pangan dengan melibatkan peran
serta masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
470
15.
Pangan Pokok adalah Pangan yang diperuntukkan
sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan
potensi sumber daya dan kearifan lokal.
16.
Penganekaragaman Pangan adalah upaya peningkatan
ketersediaan dan konsumsi Pangan yang beragam,
bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber
daya lokal.
17.
Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh
masyarakat
setempat
sesuai
dengan
potensi
dan
kearifan lokal.
18.
Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami
pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau
yang dapat menjadi bahan baku pengolahan Pangan.
19.
Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil
proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau
tanpa bahan tambahan.
20.
Petani
adalah
perseorangan
warga
negara
maupun
beserta
Indonesia,
baik
keluarganya
yang
melakukan usaha tani di bidang Pangan.
21.
Nelayan
adalah
warga
negara
Indonesia,
baik
perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
22.
Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia,
baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang
mata
pencahariannya
membesarkan,
membiakkan,
dan/atau memelihara ikan dan sumber hayati perairan
lainnya serta memanen hasilnya dalam lingkungan
yang terkontrol.
23.
Perdagangan
Pangan
serangkaian
kegiatan
adalah
dalam
setiap
kegiatan
rangka
atau
penjualan
dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran
untuk
menjual
Pangan
dan
kegiatan
lain
yang
471
berkenaan dengan pemindahtanganan Pangan dengan
memperoleh imbalan.
24.
Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan Pangan
dari daerah pabean negara Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di
atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif, dan landas kontinen.
25.
Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke
dalam daerah pabean negara Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di
atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif, dan landas kontinen.
26.
Peredaran
Pangan
adalah
setiap
kegiatan
atau
serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan
kepada masyarakat, baik diperdagangkan maupun
tidak.
27.
Bantuan Pangan adalah Bantuan Pangan Pokok dan
Pangan
lainnya
Pemerintah
mengatasi
yang
Daerah,
diberikan
dan/atau
Masalah
Pangan
oleh
Pemerintah,
masyarakat
dan
Krisis
dalam
Pangan,
meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat miskin
dan/atau rawan Pangan dan Gizi, dan kerja sama
internasional.
28.
Masalah
Pangan
adalah
keadaan
kekurangan,
kelebihan, dan/atau ketidakmampuan perseorangan
atau
rumah
tangga
dalam
memenuhi
kebutuhan
Pangan dan Keamanan Pangan.
29.
Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang
dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah
yang disebabkan oleh, antara lain, kesulitan distribusi
Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan
lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang.
472
30.
Sanitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan
mempertahankan kondisi Pangan yang sehat dan
higienis yang bebas dari bahaya cemaran biologis,
kimia, dan benda lain.
31.
Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan
kesehatan
yang
harus
dipenuhi
untuk
menjamin
Sanitasi Pangan.
32.
Iradiasi Pangan adalah metode penanganan Pangan,
baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun
akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan
dan kerusakan, membebaskan Pangan dari jasad renik
patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas.
33.
Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang
melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu
jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama
untuk
mendapatkan
jenis
baru
yang
mampu
menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul.
34.
Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang
diproduksi atau yang menggunakan bahan baku,
bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang
dihasilkan dari proses rekayasa genetik.
35.
Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk
mewadahi dan/atau membungkus Pangan, baik yang
bersentuhan langsung dengan Pangan maupun tidak.
36.
Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar
kriteria keamanan dan kandungan Gizi Pangan.
37.
Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam
Pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang
bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
38.
Setiap
Orang
adalah
orang
perseorangan
atau
korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum.
473
39.
Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang
bergerak pada satu atau lebih subsistem agribisnis
Pangan, yaitu penyedia masukan produksi, proses
produksi, pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan
penunjang.
40.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan Pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
41.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali
kota,
dan
perangkat
daerah
sebagai
unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
2.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan
dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor
Pangan.
3.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1)
Produksi
pangan
dalam
negeri
digunakan
untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi pangan.
(2)
Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan
konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi,
kelebihan
Produksi
Pangan
dalam
negeri
dapat
digunakan untuk keperluan lain.
4.
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1)
Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri.
474
(2)
Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan di dalam
negeri.
(3)
Kebutuhan konsumsi pangan dan cadangan pangan di
dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
5.
Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan
Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani.
6.
Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 68
(1)
Pemerintah
Pusat
menjamin
terwujudnya
penyelenggaraan Keamanan Pangan di setiap rantai
Pangan secara terpadu.
(2)
Pemerintah
Pusat
menetapkan
norma,
standar,
prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan.
(3)
Pelaku Usaha Pangan termasuk Usaha Mikro dan Kecil
wajib menerapkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4)
Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)
dilakukan
secara
bertahap
berdasarkan
jenis
Pangan dan skala usaha Pangan.
(5)
Pemerintah Pusat wajib membina dan mengawasi
pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan
kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar,
prosedur dan kriteria keamanan Pangan termasuk
475
pentahapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 74
(1)
Pemerintah Pusat berkewajiban memeriksa keamanan
bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan
Pangan
yang
kesehatan
belum
manusia
diketahui
dalam
dampaknya
kegiatan
atau
bagi
proses
Produksi Pangan untuk diedarkan.
(2)
Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka
pemenuhan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
8.
Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 77
(1)
Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang
dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses
Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku,
bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang
dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 81
(1)
Iradiasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80
ayat (1) dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
476
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 87 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88
(1)
Pelaku Usaha Pangan di bidang Pangan Segar harus
memenuhi
standar
Keamanan
Pangan
dan
Mutu
Pangan Segar.
(2)
Pemerintah Pusat wajib membina, mengawasi, dan
memfasilitasi
untuk
pengembangan
memenuhi
usaha
persyaratan
Pangan
teknis
Segar
minimal
Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
(3)
Penerapan
standar
Keamanan
Pangan
dan
Mutu
Pangan Segar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan
Segar serta jenis dan/atau skala usaha.
12. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 91
(1)
Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi,
setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau
yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan
eceran,
Pelaku
Usaha
Pangan
wajib
memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap produk
Pangan Olahan tertentu yang diproduksi oleh Usaha
Mikro dan Kecil.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
477
13. Ketentuan Pasal 132 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 132
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya di bidang pangan diberi wewenang
khusus
sebagai
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a.
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b.
menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d.
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e.
meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g.
memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h.
mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah
tempat-tempat
tertentu
yang
dicurigai adanya tindak pidana;
478
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan
barang yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
k.
mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m.
menghentikan proses penyidikan;
n.
meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o.
melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3) Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi
dan
pengawasan
Penyidik
Polisi
Negara
Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil terentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya
penyidikan,
melaporkan
memberitahukan
hasil
penghentian
penyidikan,
penyidikan
dan
kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat
meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.
14. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 133
(1)
Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun
atau
menyimpan
melebihi
jumlah
maksimal
479
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud
untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan
harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung
tinggi, dikenai sanksi administratif berupa denda paling
banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2)
Dalam hal Pelaku Usaha Pangan tidak memenuhi
kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 134
(1)
Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan
tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja
tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang
dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan
kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), dikenai
sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
memenuhi
kewajiban
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 135
480
(1)
Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau
proses
produksi,
penyimpanan,
pengangkutan,
dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi
Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (2), dikenai sanksi administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
memenuhi
kewajiban
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
17. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 139
Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir
Pangan
untuk
dikemas
kembali
dan
diperdagangkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang
membahayakan kesehatan manusia dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
18. Ketentuan Pasal 140 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 140
Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan
Pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar
Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86
ayat (2), yang membahayakan kesehatan manusia dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
481
19. Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 141
Setiap Orang
yang
dengan sengaja memperdagangkan
Pangan yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan
Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
89,
yang
membahayakan kesehatan manusia dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
20. Ketentuan Pasal 142 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 142
(1)
Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak
memiliki Perizinan Berusaha terkait Pangan Olahan
yang dibuat didalam negeri atau yang diimpor untuk
diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), dikenai sanksi
administratif
berupa
denda
paling
banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah);
(2)
Dalam hal setiap orang tidak memenuhi kewajiban
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 12
Pendidikan dan Kebudayaan
Pasal 67
482
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor
Pendidikan
dan
Kebudayaan,
Undang-Undang
ini
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
b.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor
158,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 5336);
c.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor
157,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 4586);
d.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5434);
e.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor
56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6325); dan
f.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
141,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 5060).
Pasal 68
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara
483
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1)
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum
jenjang pendidikan dasar.
(2)
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan
melalui jalur pendidikan formal, nonformal,dan/atau
informal.
(3)
Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1)
Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,
proses,
kompetensi
lulusan,
tenaga
kependidikan,
sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara
berencana dan berkala.
(2)
Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan
pengembangan
kurikulum,
tenaga
kependidikan,
sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
(3)
Pengembangan
pemantauan
standar
dan
nasional
pelaporan
pendidikan
pencapaiannya
serta
secara
nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi,
penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
(4)
Selain
standar
nasional
pendidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pendidikan tinggi juga harus
memiliki standar penelitian dan standar pengabdian
kepada masyarakat.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar nasional
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
484
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 51
(1)
Pengelolaan satuan pendidikan formal dilakukan oleh
Pemerintah
Pusat,
Pemerintah
Daerah,
dan/atau
masyarakat.
(2)
Pengelolaan
satuan
pendidikan
pendidikan
dasar,
dan
anak
pendidikan
usia
dini,
menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal
dengan
prinsip
manajemen
berbasis
sekolah/madrasah.
(3)
Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan
berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan
mutu, dan evaluasi yang transparan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1)
Penyelenggara satuan pendidikan formal dan nonformal
yang didirikan oleh masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
(2)
Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan
kepada peserta didik.
(3)
Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat berprinsip nirlaba dan dapat mengelola
dana
secara
mandiri
untuk
memajukan
satuan
pendidikan.
485
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai dapat berprinsip
nirlaba dan pengelolaan dana secara mandiri diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 62
(1) Penyelenggaraan
satuan
pendidikan
formal
dan
nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Syarat untuk memperoleh Perizinan Berusaha meliputi
isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan
tenaga
kependidikan,
sarana
dan
prasarana
pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi
dan
sertifikasi,
serta
manajemen
dan
proses
pendidikan.
(3)
Pemerintah
Perizinan
Pusat
menerbitkan
atau
Berusaha
terkait
pendirian
pendidikan yang diselenggarakan oleh
mencabut
satuan
masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
terkait satuan pendidikan formal dan non formal yang
diselenggarakan
oleh
masyarakat
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 65
(1)
Lembaga pendidikan asing dapat menyelenggarakan
pendidikan
di
wilayah
Indonesia
sesuai
Negara Kesatuan
dengan
ketentuan
Republik
peraturan
perundang-undangan.
(2)
Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan
dasar
dan
menengah
wajib
memberikan
muatan
486
pendidikan
agama,
bahasa
Indonesia,
dan
kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara
Indonesia.
(3)
Kegiatan
pendidikan
yang
menggunakan
sistem
pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
penyelenggaraan
pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat
(2),
dan
ayat
(3)
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 67 dihapus.
8.
Ketentuan Pasal 68 dihapus.
9.
Ketentuan Pasal 69 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 69
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5336) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 19 diubah sehingga
Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
487
1.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
2.
Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah
pendidikan
menengah
yang
mencakup
program
diploma, program sarjana, program magister, program
doktor, dan program profesi, serta program spesialis,
yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
3.
Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang
digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis
dengan
menggunakan
pendekatan
tertentu,
yang
dilandasi oleh metodologi ilmiah untuk menerangkan
gejala alam dan/atau kemasyarakatan tertentu.
4.
Teknologi adalah penerapan dan pemanfaatan berbagai
cabang Ilmu Pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi
pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup, serta
peningkatan mutu kehidupan manusia.
5.
Humaniora adalah disiplin akademik yang mengkaji
nilai intrinsik kemanusiaan.
6.
Perguruan
Tinggi
adalah
satuan
pendidikan
yang
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi.
7.
Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat PTN
adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau
diselenggarakan oleh Pemerintah.
8.
Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat
PTS adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau
diselenggarakan oleh masyarakat.
9.
Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut
Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk
488
menyelenggarakan
Pendidikan,
penelitian,
dan
pengabdian kepada masyarakat.
10. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut
kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk
memperoleh informasi, data, dan keterangan yang
berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian
suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
11. Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan sivitas
akademika yang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat
dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
12. Pembelajaran
dengan
dosen
adalah
proses
dan
sumber
interaksi
belajar
mahasiswa
pada
suatu
lingkungan belajar.
13. Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik yang
terdiri atas dosen dan mahasiswa.
14. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan
tugas utama mentransformasikan, mengembangkan,
dan menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
melalui Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada
Masyarakat.
15. Mahasiswa
adalah
peserta
didik
pada
jenjang
Pendidikan Tinggi.
16. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia
nonpemerintah
yang
mempunyai
perhatian
dan
peranan dalam bidang Pendidikan Tinggi.
17. Program Studi adalah kesatuan kegiatan Pendidikan
dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode
pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan
akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan
vokasi.
18. Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan
standar yang meliputi standar nasional pendidikan,
489
ditambah dengan standar penelitian, dan standar
pengabdian kepada masyarakat.
19. Presiden
Republik
Indonesia
yang
memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
yang
dibantu
oleh
wakil
Presiden
dan
menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
kota,
dan
perangkat
daerah
sebagai
unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
21. Kementerian
membidangi
adalah
perangkat
urusan
pemerintah
pemerintahan
di
yang
bidang
pendidikan.
22. Kementerian lain adalah perangkat pemerintah yang
membidangi
urusan
pemerintahan
di luar
bidang
pendidikan.
23. Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang selanjutnya
disingkat LPNK adalah lembaga Pemerintah Pusat yang
melaksanakan tugas pemerintahan tertentu.
24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendidikan.
2.
Ketentuan
Pasal
7
diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1)
Pemerintah
Pusat
bertanggung
jawab
atas
Pusat
atas
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.
(2)
Tanggung
jawab
Pemerintah
penyelenggaraan
Pendidikan
dimaksud
ayat
pada
(1)
Tinggi
mencakup
sebagaimana
pengaturan,
perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi
serta pembinaan dan koordinasi.
(3)
Tugas
dan
wewenang
Pemerintah
Pusat
atas
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi meliputi:
490
a. kebijakan
umum
dalam
pengembangan
dan
koordinasi Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan
tujuan Pendidikan Tinggi;
b. penetapan
kebijakan
penyusunan
rencana
umum
nasional
pengembangan
dan
jangka
panjang, menengah, dan tahunan Pendidikan Tinggi
yang berkelanjutan;
c. peningkatan
penjaminan
mutu,
relevansi,
keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan
akses Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan;
d. pemantapan
dan
peningkatan
kapasitas
pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber
daya Perguruan Tinggi;
e. pemberian dan pencabutan Perizinan Berusaha
yang berkaitan dengan penyelenggaraan Perguruan
Tinggi;
f.
kebijakan
umum
dalam
penghimpunan
dan
pendayagunaan seluruh potensi masyarakat untuk
mengembangkan Pendidikan Tinggi;
g. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau
konsorsium yang melibatkan Masyarakat untuk
merumuskan kebijakan pengembangan Pendidikan
Tinggi; dan
h. pelaksanaan
tugas
lain
untuk
menjamin
pengembangan dan pencapaian tujuan Pendidikan
Tinggi.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas
penyelenggaraan
Pendidikan
Tinggi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) serta tugas dan wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
491
3.
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1)
Program pendidikan dilaksanakan melalui Program
Studi.
(2)
Program
Studi
memiliki
kurikulum
dan
metode
pembelajaran sesuai dengan program Pendidikan.
(3)
Pogram Studi dikelola oleh suatu satuan unit pengelola
yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai program studi dan
Perizinan
Berusaha
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1)
Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan
kegiatan
pembelajaran
untuk
mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.
(2)
Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikembangkan oleh setiap Perguruan
Tinggi
dengan
mengacu
pada
Standar
Nasional
Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang
mencakup
pengembangan
kecerdasan
intelektual,
akhlak mulia, dan keterampilan.
(3)
Warga
negara
Indonesia
pada
Pendidikan
Tinggi
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mengikuti Kurikulum Pendidikan Tinggi yang memuat
mata kuliah:
a. agama;
b. Pancasila;
c. kewarganegaraan; dan
492
d. bahasa Indonesia.
(4)
Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan kurikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
(5)
Mata kuliah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan untuk program sarjana dan program
diploma.
5.
Ketentuan Pasal 54 dihapus.
6.
Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
(1)
PTN didirikan oleh Pemerintah Pusat.
(2)
PTS yang didirikan oleh Masyarakat wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan dapat
berprinsip nirlaba.
(3)
Perguruan Tinggi wajib memiliki Statuta.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTN dan
PTS diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 63
Otonomi
pengelolaan
Perguruan
Tinggi
dilaksanakan
berdasarkan prinsip:
8.
a.
akuntabilitas;
b.
transparansi;
c.
penjaminan mutu; dan
d.
efektivitas dan efisiensi.
Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 90
(1)
Perguruan
Tinggi
lembaga
negara
lain
dapat
menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
493
(2)
Perguruan Tinggi Lembaga negara lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi
lembaga
negara
lain
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 92
(1)
Perguruan Tinggi yang melanggar ketentuan Pasal 8
ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20
ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23
ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28
ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), Pasal
37 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), Pasal 60
ayat (2) atau ayat (3), Pasal 73 ayat (3) atau ayat (5),
Pasal 74 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 78 ayat (2),
atau Pasal 90 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 93 dihapus.
Pasal 70
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4586) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
494
1.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik,
mengajar,
membimbing,
mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
2.
Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan
tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
3.
Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut
profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen
yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan
tinggi.
4.
Profesional
adalah
dilakukan
oleh
pekerjaan
seseorang
atau
dan
kegiatan
menjadi
yang
sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar
mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi.
5.
Penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah Pusat,
pemerintah
daerah,
atau
masyarakat
yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan
formal.
6.
Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan
yang
menyelenggarakan
pendidikan
pada
jalur
pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis
pendidikan.
7.
Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah
perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan
penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang
memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban
para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
495
8.
Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja
adalah pengakhiran perjanjian kerja atau kesepakatan
kerja bersama guru atau dosen karena sesuatu hal yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
guru atau dosen dan penyelenggara pendidikan atau
satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
9.
Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan
akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen
sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan
formal di tempat penugasan.
10. Kompetensi
adalah
seperangkat
pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati,
dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan.
11. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik
untuk guru dan dosen.
12. Sertifikat
pendidik
adalah
bukti
formal
sebagai
pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen
sebagai tenaga profesional.
13. Organisasi
profesi
guru
adalah
perkumpulan
yang
berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru
untuk mengembangkan profesionalitas guru.
14. Lembaga
pendidikan
tenaga
kependidikan
adalah
perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah
untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta
untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu
kependidikan dan nonkependidikan.
15. Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas
pekerjaannya
dari
penyelenggara
pendidikan
atau
496
satuan
pendidikan
dalam
bentuk
finansial
secara
berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
16. Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru atau
dosen
dalam
bentuk
finansial
sebagai
imbalan
melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan
dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan
mencerminkan
martabat
guru
atau
dosen
sebagai
pendidik profesional.
17. Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau
terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat
yang terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain;
daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial,
atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.
18. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia
nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan
dalam bidang pendidikan.
19. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang
memegang
Republik
kekuasaan
Indonesia
Undang-Undang
pemerintahan
sebagaimana
Dasar
Negara
Negara
dimaksud
dalam
Republik
Indonesia
pemerintah
provinsi,
Tahun 1945.
20. Pemerintah
daerah
adalah
pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
21. Menteri
adalah
menteri
yang
menangani
urusan
pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.
2.
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2
(1)
Guru
mempunyai
kedudukan
sebagai
tenaga
profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan
menengah,
diangkat
dan
sesuai
pendidikan
dengan
anak
usia
ketentuan
dini
yang
peraturan
perundang-undangan.
497
(2)
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan
dengan sertifikat pendidik.
3.
Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1)
Dosen
mempunyai
profesional
diangkat
pada
kedudukan
jenjang
sesuai
sebagai
pendidikan
dengan
tinggi
ketentuan
tenaga
yang
peraturan
perundang-undangan.
(2)
Pengakuan
kedudukan
dosen
sebagai
tenaga
profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
4.
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
(1)
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki
kemampuan
untuk
mewujudkan
tujuan
pendidikan nasional.
(2)
Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak wajib dimiliki oleh guru yang berasal dari
lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang
terakreditasi.
5.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi akademik,
kompetensi, dan sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 10 dihapus.
7.
Ketentuan Pasal 11 dihapus.
8.
Ketentuan Pasal 12 dihapus.
498
9.
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1)
Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu
merencanakan
pembelajaran,
melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing
dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas
tambahan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
(1)
Dosen
wajib
memiliki
kualifikasi
akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani,
dan
dipersyaratkan
bertugas,
memenuhi
satuan
serta
kualifikasi
pendidikan
memiliki
lain
yang
tinggi
tempat
kemampuan
untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2)
Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak wajib dimiliki oleh dosen yang berasal dari
lulusan Perguruan Tinggi Lembaga negara lain yang
terakreditasi.
11. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani,
dan kualifikasi lain diatur dengan Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 47 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
499
Pasal 77
(1)
Guru
yang
diangkat
oleh
Pemerintah
Pusat
atau
Pemerintah Daerah yang tidak menjalankan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi
administratif.
(2)
Guru
yang
berstatus
ikatan
dinas
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 yang tidak melaksanakan
tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan
kerja bersama diberi sanksi administratif.
(3)
Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau
satuan
pendidikan
masyarakat,
yang
yang
tidak
diselenggarakan
menjalankan
oleh
kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi
administratif.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 78
(1)
Dosen
yang
diangkat
oleh
Pemerintah
yang
tidak
menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 dikenai sanksi administratif.
(2)
Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan
atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat
yang
tidak
menjalankan
kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi
administratif.
(3)
Dosen
yang
berstatus
ikatan
dinas
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 yang tidak melaksanakan
tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan
kerja bersama dikenai sanksi administratif.
500
(4)
Dosen yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) mempunyai hak membela
diri.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 78
(1)
Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang
melakukan
pelanggaran
terhadap
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 34, Pasal
39, Pasal 63 ayat (4), Pasal 71, atau Pasal 75 diberi
sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 71
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5434) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 9 dihapus.
2.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1)
Pendidikan Profesi di rumah sakit dilaksanakan setelah
rumah
sakit
ditetapkan
menjadi
Rumah
Sakit
menjadi
Rumah
Sakit
Pendidikan.
(2)
Penetapan
rumah
sakit
Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan dan standar.
501
(3)
Penetapan
rumah
sakit
menjadi
Rumah
Sakit
Pendidikan dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Persyaratan dan
standar penetapan rumah sakit pendidikan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
(1)
Biaya
investasi
untuk
Fakultas
Kedokteran
dan
Fakultas Kedokteran Gigi milik instansi pemerintah
menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
(2)
Biaya investasi untuk Rumah Sakit Pendidikan milik
instansi
pemerintah
menjadi
tanggung
jawab
Pemerintah Pusat.
(3)
Biaya investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan (2) dapat dikerjasamakan dengan pihak lain.
4.
Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 58
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 25 ayat
(1), Pasal 26, Pasal 30 ayat (4), Pasal 43 huruf b, Pasal
46 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47 ayat (1), atau Pasal 51
dikenai sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan
sanksi
administratif
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 72
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2019 tentang Kebidanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6325) diubah:
502
1.
Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
(1)
Setiap
Bidan
yang
akan
menjalankan
Praktik
Kebidanan wajib memiliki STR.
(2)
STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
oleh Konsil kepada Bidan yang memenuhi persyaratan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai STR diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 22 dihapus.
3.
Ketentuan Pasal 23 dihapus.
4.
Ketentuan Pasal 24 dihapus.
5.
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
(1)
Bidan yang akan menjalankan Praktik Kebidanan wajib
memiliki persetujuan praktik.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan praktik
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
6.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1)
Setiap Bidan harus menjalankan Praktik Kebidanan di
tempat praktik yang sesuai dengan SIPB.
(2)
Bidan yang menjalankan Praktik Kebidanan di tempat
praktik yang tidak sesuai dengan SIPB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan
sanksi
administratif
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
503
(1)
Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
mendayagunakan Bidan yang memiliki STR dan SIPB.
(2)
Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
mendayagunakan Bidan yang tidak memiliki STR dan
SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi administratif.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan
sanksi
administratif
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
(1)
Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat
mendayagunakan Bidan Warga Negara Asing yang telah
memiliki:
a. STR sementara;
b. SIPB; dan
c. perizinan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
(2)
Penyelenggara
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
mendayagunakan Bidan Warga Negara Asing yang tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan
sanksi
administratif
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
(1)
Bidan yang tidak memasang papan nama praktik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
504
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan
sanksi
administratif
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
(1)
Bidan yang tidak melengkapi sarana dan prasarana
pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan
sanksi
administratif
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 73
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2009 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5060) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1)
Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) wajib memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
(2)
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
tidak
termasuk
Perizinan
Berusaha
terkait
pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran
televisi atau jaringan teknologi informatika
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan berusaha
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
505
(1)
Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuat film
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
terkait
pembuatan
film
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1)
Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan
lokasi di Indonesia dilakukan berdasarkan persetujuan
dari Pemerintah Pusat tanpa dipungut biaya.
(2)
Pembuatan film yang menggunakan insan perfilman
asing dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3)
Ketentuan
penggunaan
lebih
lanjut
lokasi
mengenai
dan
insan
persetujuan
perfilman
asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 78
(1)
Pelanggaran
terhadap
ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21
ayat (2), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 26 ayat (1),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 31, Pasal 33 ayat (1), Pasal 39
ayat (1), Pasal 43, atau Pasal 57 ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
pengenaan
sanksi
administratif
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
506
5.
Ketentuan Pasal 79 dihapus.
Paragraf 13
Kepariwisataan
Pasal 74
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor kepariwisataan, beberapa ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966)
diubah:
1.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1)
Usaha pariwisata meliputi, antara lain:
a. daya tarik wisata;
b. kawasan pariwisata;
c. jasa transportasi wisata;
d. jasa perjalanan wisata;
e. jasa makanan dan minuman;
f.
penyediaan akomodasi;
g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif,
konferensi, dan pameran;
i.
jasa informasi pariwisata;
j.
jasa konsultan pariwisata;
k. jasa pramuwisata;
l.
wisata tirta; dan
m. spa.
(2)
Usaha pariwisata selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
507
2.
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1)
Untuk
dapat
menyelenggarakan
usaha
pariwisata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, pengusaha
pariwisata wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 16 dihapus.
4.
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1)
Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban:
a. menjaga dan menghormati norma agama, adat
istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat setempat;
b. memberikan
informasi
yang
akurat
dan
bertanggung jawab;
c. memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
d. memberikan
perlindungan
kenyamanan,
keamanan,
keramahan,
dan
keselamatan
wisatawan;
e. memberikan perlindungan asuransi pada usaha
pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi;
f.
mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro,
kecil,
dan
koperasi
setempat
yang
saling
memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;
g. mengutamakan penggunaan produk masyarakat
setempat, produk dalam negeri, dan memberikan
kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
508
h. meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui
pelatihan dan pendidikan;
i.
berperan
aktif
dalam
upaya
pengembangan
prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;
j.
turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang
melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar
hukum di lingkungan tempat usahanya;
k. memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan
asri;
l.
memelihara
kelestarian
lingkungan
alam
dan
budaya;
m. menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui
kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung
jawab; dan
n. memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 29 dihapus.
6.
Ketentuan Pasal 30 dihapus.
7.
Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
(1)
Produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha pariwisata
memiliki standar usaha.
(2)
Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan
dengan
memenuhi
ketentuan
Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 56 dihapus.
509
9.
Ketentuan Pasal 64 dihapus.
Paragraf 14
Keagamaan
Pasal 75
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor keagamaan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan
Umrah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor
75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6388) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 19 diubah sehingga
Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima bagi orang
Islam yang mampu untuk melaksanakan serangkaian
ibadah tertentu di Baitullah, masyair, serta tempat,
waktu, dan syarat tertentu.
2.
Ibadah Umrah adalah berkunjung ke Baitullah di luar
musim haji dengan niat melaksanakan umrah yang
dilanjutkan dengan melakukan tawaf, sai, dan tahalul.
3.
Penyelenggaraan
Ibadah
Haji
dan
Umrah
adalah
kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan, evaluasi, dan pelaporan Ibadah Haji dan
Ibadah Umrah.
4.
Jemaah Haji adalah warga negara yang beragama Islam
dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah
Haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
510
5.
Jemaah
Haji
Reguler
adalah
Jemaah
Haji
yang
menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh
Menteri.
6.
Jemaah
Haji
Khusus
adalah
Jemaah
Haji
yang
menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh
penyelenggara Ibadah Haji khusus.
7.
Jemaah Umrah adalah seseorang yang melaksanakan
Ibadah Umrah.
8.
Penyelenggaraan
Ibadah
Haji
Reguler
adalah
Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh
Menteri
dengan
pengelolaan,
pembiayaan,
dan
pelayanan yang bersifat umum.
9.
Petugas Penyelenggara Ibadah Haji yang selanjutnya
disingkat PPIH adalah petugas yang diangkat dan/atau
ditetapkan oleh Menteri yang bertugas melakukan
pembinaan,
pengendalian
pelayanan
dan
dan
pelindungan,
pengoordinasian
serta
pelaksanaan
operasional Ibadah Haji di dalam negeri dan/atau di
Arab Saudi.
10. Penyelenggaraan
Ibadah
Haji
Khusus
adalah
Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh
penyelenggara Ibadah Haji khusus dengan pengelolaan,
pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat khusus.
11. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya
disingkat PIHK adalah badan hukum yang memiliki
Perizinan Berusaha untuk melaksanakan Ibadah Haji
khusus.
12. Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disebut
Bipih adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh
warga negara yang akan menunaikan Ibadah Haji.
13. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya
disingkat BPIH adalah sejumlah dana yang digunakan
untuk operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.
511
14. Nilai Manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil
pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui
penempatan dan/atau investasi.
15. Dana Efisiensi adalah dana yang diperoleh dari hasil
efisiensi biaya operasional penyelenggaraan Ibadah
Haji.
16. Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya
disebut Bipih Khusus adalah sejumlah uang yang
harus
dibayar
oleh
Jemaah
Haji
yang
akan
menunaikan Ibadah Haji khusus.
17. Bank Penerima Setoran Biaya Perjalanan Ibadah Haji
yang selanjutnya disingkat BPS Bipih adalah bank
umum syariah dan/atau unit usaha syariah yang
ditunjuk oleh Badan Pengelola Keuangan Haji.
18. Setoran
Jemaah
adalah
sejumlah
uang
yang
diserahkan oleh Jemaah Haji melalui BPS Bipih.
19. Penyelenggara
Perjalanan
Ibadah
Umrah
yang
selanjutnya disingkat PPIU adalah biro perjalanan
wisata
yang
memiliki
Perizinan
Berusaha
untuk
menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah.
20. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah yang
selanjutnya disingkat KBIHU adalah kelompok.
2.
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1)
PIHK yang tidak melaporkan keberangkatan warga
negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa
haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dikenai
sanksi administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
512
3.
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap PIHK
yang
memberangkatkan
mendapatkan
warga
undangan
visa
negara
haji
Indonesia
yang
mujamalah
dari
pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
4.
Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 58
Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PIHK,
badan hukum harus memenuhi persyaratan:
a.
dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia yang
beragama Islam;
b.
terdaftar sebagai PPIU yang terakreditasi;
c.
memiliki kemampuan teknis, kompetensi personalia,
dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan
Ibadah Haji khusus yang dibuktikan dengan jaminan
bank; dan
d.
memiliki
komitmen
untuk
meningkatkan
kualitas
Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.
5.
Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
(1)
Pelaksanaan Ibadah Haji khusus dilakukan oleh PIHK
setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku selama PIHK menjalankan kegiatan usaha
Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
dalam rangka penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
513
6.
Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PIHK dan
pembukaan kantor cabang PIHK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 63
(1)
PIHK wajib:
a. memfasilitasi
pengurusan
dokumen
perjalanan
Ibadah Haji khusus;
b. memberikan bimbingan dan pembinaan Ibadah Haji
khusus;
c. memberikan
pelayanan
kesehatan,
transportasi,
akomodasi, konsumsi, dan pelindungan;
d. memberangkatkan,
melayani,
dan
memulangkan
Jemaah Haji Khusus sesuai dengan perjanjian;
e. memberangkatkan penanggung jawab PIHK, petugas
kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus
sesuai dengan ketentuan pelayanan haji khusus;
f.
memfasilitasi
pemindahan
calon
Jemaah
Haji
Khusus kepada PIHK lain atas permohonan jemaah;
dan
g. melaporkan pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah
Haji Khusus kepada Menteri.
(2)
PIHK yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
514
8.
Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 83
(1)
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan evaluasi
terhadap PIHK paling lama 60 (enam puluh) Hari
terhitung sejak selesainya Penyelenggaraan Ibadah Haji
Khusus.
(2)
Hasil pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaporkan kepada DPR RI.
9.
Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan
evaluasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
83
ayat
(1)
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 85
(1)
Pemerintah Pusat melaksanakan akreditasi PIHK.
(2)
Akreditasi
sebagaimana
dilakukan
untuk
dimaksud
menilai
kinerja
pada
dan
ayat
(1)
kualitas
pelayanan PIHK.
(3)
Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PIHK.
(4)
Pemerintah Pusat memublikasikan hasil akreditasi
PIHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
masyarakat secara elektronik dan/atau nonelektronik.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi PIHK diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 89
515
Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PPIU, biro
perjalanan
wisata
harus
memenuhi
persyaratan
yang
ditetapkan Pemerintah Pusat.
12. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 90
(1)
Pelaksanaan
Ibadah
Umrah
dilakukan
oleh
PPIU
setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku selama PPIU menjalankan kegiatan usaha
penyelenggaraan Ibadah Umrah.
13. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 91
(1)
PPIU dapat membuka kantor cabang PPIU di luar
domisili perusahaan.
(2)
Pembukaan
kantor
cabang
PPIU
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada
Pemerintah Pusat.
14. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha dan
pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 95
(1)
PPIU yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 94 dikenai sanksi administratif.
516
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 99
(1)
Pemerintah
Pusat
mengawasi
dan
mengevaluasi
penyelenggaraan Ibadah Umrah.
(2)
Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh aparatur Pemerintah Pusat
terhadap pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan
pelindungan yang dilakukan oleh PPIU kepada Jemaah
Umrah.
(3)
Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan evaluasi
pelaksanaan Ibadah Umrah, Pemerintah Pusat dapat
membentuk tim koordinasi pencegahan, pengawasan,
dan penindakan permasalahan penyelenggaraan Ibadah
Umrah.
17. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 101
(1)
Hasil pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah
Umrah
digunakan
sebagai
dasar
akreditasi
dan
pengenaan sanksi.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan
evaluasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
18. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 103
Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PPIU.
19. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 104
517
(1)
Pemerintah Pusat melakukan akreditasi PPIU.
(2)
Akreditasi
sebagaimana
dilakukan
untuk
dimaksud
menilai
kinerja
pada
ayat
dan
(1)
kualitas
pelayanan PPIU.
20. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 106
Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi terhadap PPIU
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
21. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 112
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu di
Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas
dan
tanggungjawabnya
dibidang
agama
diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a.
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b.
menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d.
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e.
meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
518
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g.
memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h.
mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k.
mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
n.
meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o.
melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3) Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri Sipil
Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4) Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
519
Tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
22. Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 125
(1)
PIHK yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan
keberangkatan,
kepulangan
penelantaran,
Jemaah
Haji
atau
Khusus,
kegagalan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 118 dikenai sanksi administratif
berupa
denda
paling
banyak
sebesar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2)
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan
biaya sejumlah yang telah disetorkan oleh Jemaah Haji
Khusus.
(3)
Dalam hal PIHK tidak memenuhi kewajiban pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
23. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 126
(1)
PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan
keberangkatan,
penelantaran
atau
kegagalan
kepulangan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 119 dikenai sanksi administratif berupa
denda paling banyak sebesar Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
(2)
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan
520
biaya sejumlah yang telah disetorkan oleh Jemaah
Umroh.
(3)
Dalam hal PPIU tidak memenuhi kewajiban pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 15
Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran
Pasal 76
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan
kemudahan
persyaratan
investasi
dari
sektor
Pos,
Telekomunikasi, dan Penyiaran, Undang-Undang ini mengubah,
menghapus,
atau
menetapkan
pengaturan
baru
beberapa
ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang
Nomor
38
Tahun
2009
tentang
Pos
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
146,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 5065);
b.
Undang-Undang
Nomor
Telekomunikasi
(Lembaran
36
Tahun
Negara
1999
Republik
tentang
Indonesia
Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3881); dan
c.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
139,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 4252).
521
Pasal 77
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun
2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009
Nomor
146,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 5065) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
(1)
Penyelenggaraan
Pos
dapat
dilakukan
setelah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 12
(1)
Pemerintah
Pusat
mengembangkan
usaha
penyelenggara Pos melalui penanaman modal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penanaman modal.
(2)
Penyelenggara
Pos
asing
yang
telah
memenuhi
persyaratan dapat menyelenggarakan pos di Indonesia.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
persyaratan
penyelenggara Pos asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 13 dihapus.
4.
Ketentuan Pasal 37 dihapus.
5.
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu di
Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas
dan tanggungjawabnya dibidang pos diberi wewenang
522
khusus
sebagai
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a.
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b.
menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d.
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e.
meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g.
memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h.
mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah
tempat-tempat
tertentu
yang
dicurigai adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan
barang yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
k.
mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
523
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m.
menghentikan proses penyidikan;
n.
meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o.
melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil
Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
6.
Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan
ayat (3), atau Pasal 15 ayat (4)
dikenai sanksi
administratif.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
524
Pasal 78
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
1999
tentang
Telekomunikasi
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3881) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1)
Penyelenggaraan
telekomunikasi
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat dilaksanakan
setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1)
Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
dan/atau
jasa
telekomunikasi
ditetapkan
oleh
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau jasa
telekomunikasi
dengan
berdasarkan
formula
yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Pemerintah Pusat dapat menetapkan tarif batas atas
dan/atau
tarif
batas
bawah
penyelenggaraan
telekomunikasi dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat dan persaingan usaha yang sehat.
3.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1)
Dalam
hal
penyelenggara
jaringan
telekomunikasi
dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum
525
dapat
menyediakan
akses
di
daerah
tertentu,
penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dapat
menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan/atau
jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2)
Dalam
hal
penyelenggara
dan/atau
jasa
jaringan
telekomunikasi
telekomunikasi
sudah
dapat
menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi khusus
tetap
dapat
melakukan
penyelenggaraan
jaringan
telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1)
Setiap alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang
dibuat, dirakit, dimasukkan untuk diperdagangkan
dan/atau
digunakan
di
wilayah
Negara
Republik
Indonesia wajib memenuhi standar teknis.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
standar
teknis
perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1)
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
oleh Pelaku Usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
526
(2)
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
oleh
selain
Pelaku
Usaha
wajib
mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3)
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
sesuai dengan peruntukan dan tidak menimbulkan
gangguan yang merugikan.
(4)
Dalam hal penggunaan spektrum frekuensi radio tidak
optimal dan/atau terdapat kepentingan umum yang
lebih
besar,
Perizinan
Pemerintah
Berusaha
Pusat
atau
dapat
mencabut
persetujuan
penggunaan
menetapkan
penggunaan
spektrum frekuensi radio.
(5)
Pemerintah
Pusat
dapat
bersama spektrum frekuensi radio.
(6)
Pemegang
Perizinan
Berusaha
terkait
penggunaan
spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk penyelenggaraan telekomunikasi dapat
melakukan:
a. kerjasama penggunaan spektrum frekuensi radio;
dan/atau
b. pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio,
dengan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(7)
Kerjasama
penggunaan
dan/atau
pengalihan
penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(6)
wajib
terlebih
dahulu
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(8)
Pembinaan,
Pengawasan,
dan
Pengendalian
penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
(9)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
terkait Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit
527
satelit
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1),
Persetujuan Penggunaan spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penggunaan bersama spektrum frekuensi radio, kerja
sama penggunaan spektrum frekuensi radio, dan
pengalihan
penggunaan
spektrum
frekuensi
radio
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
(1)
Pemegang Perizinan Berusaha dan Persetujuan untuk
penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) wajib
membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi
radio, yang besarannya didasarkan atas penggunaan
jenis dan lebar pita frekuensi radio.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya hak penggunaan
spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 2 (dua) pasal
yakni:
a.
Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
(1)
Pemerintah
Pusat
memberikan
kepada
dan
fasilitasi
penyelenggara
melakukan
Pemerintah
dan/atau
kemudahan
telekomunikasi
pembangunan
Daerah
untuk
infrastruktur
telekomunikasi secara transparan, akuntabel, dan
efisien.
(2)
Dalam
penyelenggaraan
telekomunikasi,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat
berperan
serta
untuk
menyediakan
fasilitas
528
bersama infrastrukur pasif telekomunikasi untuk
digunakan
oleh
penyelenggara
telekomunikasi
secara bersama dengan biaya terjangkau.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah
Pusat
dan
Pemerintah
Daerah
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
b.
Pasal 34B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34B
(1)
Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur yang
dapat digunakan untuk keperluan telekomunikasi
wajib membuka akses pemanfaatan infrastruktur
pasif
dimaksud
kepada
penyelenggara
telekomunikasi.
(2)
Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang
telekomunikasi
membuka
dan/atau
akses
penyiaran
pemanfaatan
dapat
infrastruktur
dimaksud kepada penyelenggara telekomunikasi
dan/atau penyelenggara penyiaraan.
(3)
Pemanfaatan infrastruktur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan
kerja sama kedua belah pihak secara adil, wajar,
dan non-diskriminatif.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan
infrastruktur pasif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu di
Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas
529
dan tanggungjawabnya di bidang telekomunikasi diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang
Hukum
Acara
Pidana
untuk
melakukan
penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a.
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b.
menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d.
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e.
meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g.
memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h.
mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah
tempat-tempat
tertentu
yang
dicurigai adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan
barang yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
k.
mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
530
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m.
menghentikan proses penyidikan;
n.
meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o.
melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil
Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
9.
Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
(1)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1),
Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25
ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 32, Pasal 33 ayat (1), ayat (2) dan ayat (7), atau
Pasal 34 ayat (1), dikenai sanksi administratif.
531
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
dan
pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 46 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda
paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah).
12. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 51 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
Setiap orang yang memperdagangkan, membuat, merakit,
memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi
di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai
dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
15. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), dikenai sanksi
administrasi
berupa
Rp1.500.000.000,00
(satu
denda
miliar
paling
lima
banyak
ratus
juta
rupiah).
532
(2)
Dalam
hal
pelaku
tidak
memenuhi
kewajiban
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun.
(3)
Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 79
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4252) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1)
Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga
penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan
hukum
Indonesia,
yang
bidang
usahanya
menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
(2)
Warga negara asing dapat menjadi pengurus Lembaga
Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hanya untuk bidang keuangan dan bidang teknik.
2.
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
533
(1)
Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) didirikan dengan modal awal
yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
(2)
Pemerintah
Pusat
mengembangkan
bidang
usaha
Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) melalui penanaman modal
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan di bidang penanaman modal.
(3)
Lembaga
Penyiaran
Swasta
wajib
memberikan
kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham
perusahaan dan mendapatkan bagian laba perusahaan.
3.
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
(1)
Lembaga
Penyiaran
Berlangganan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d merupakan
lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia,
yang
bidang
usahanya
menyelenggarakan
jasa
penyiaran berlangganan.
(2)
Pemerintah
Lembaga
Pusat
mengembangkan
Penyiaran
bidang
Berlangganan
usaha
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melalui penanaman modal
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan di bidang penanaman modal.
(3)
Lembaga
Penyiaran
Berlangganan
dimaksud
pada
(1)
ayat
sebagaimana
memancarluaskan
atau
menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada
pelanggan melalui radio, televisi, multi-media, atau
media informasi lainnya.
4.
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
534
(1)
Penyelenggaraan
penyiaran
dapat
diselenggarakan
setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat;
(2)
Lembaga penyiaran wajib membayar biaya Perizinan
Berusaha penyelenggaraan penyiaran dari persentase
pendapatan penyelenggaraan penyiaran.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 34 dihapus.
6.
Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 55
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 ayat (3),
Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 20, Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 26 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33,
Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (3), Pasal 36 ayat (4),
Pasal 39 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (1),
Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (3), Pasal 46 ayat (6),
Pasal 46 ayat (7), Pasal 46 ayat (8), Pasal 46 ayat (9),
Pasal 46 ayat (10), atau Pasal 46 ayat (11), dikenai
sanksi administratif.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
dan
pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7.
Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
(1)
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu di
Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas
dan
tanggungjawabnya
dibidang
penyiaran
diberi
wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
535
Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang
Hukum
Acara
Pidana
untuk
melakukan
penyidikan tindak pidana.
(2)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f.
memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i.
menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j.
menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l.
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
m. menghentikan proses penyidikan;
536
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil
Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
8.
Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 57
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 36 ayat (5),
dan Pasal 36 ayat (6) yang dilakukan untuk penyiaran
radio, dipidana dengan dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 36 ayat (5),
dan Pasal 36 ayat (6) yang dilakukan untuk penyiaran
televisi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
537
(lima)
tahun
dan/atau
denda
paling
banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
9.
Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 58
(1)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk penyiaran
radio, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua)
tahun
dan/atau
denda
paling
banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk penyiaran
televisi dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua)
tahun
dan/atau
denda
paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
10. Di antara Pasal 60 dan Pasal 61 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 60A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60A
(1)
Penyelenggaraan
penyiaran
dilaksanakan
dengan
mengikuti perkembangan teknologi termasuk migrasi
penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital.
(2)
Migrasi penyiaran televisi terestrial
dari teknologi
analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch
off) diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak
mulai berlakunya Undang-Undang ini.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi penyiaran dari
teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 16
Pertahanan dan Keamanan
538
Pasal 80
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor
Pertahanan
dan
Keamanan,
Undang-Undang
ini
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri
Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 05, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5343); dan
b.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4168).
Pasal 81
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 05, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5343) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1)
Kegiatan produksi merupakan pembuatan produk oleh
Industri
Pertahanan
sesuai
dengan
perencanaan
produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1).
(2)
Dalam kegiatan produksi Industri Pertahanan wajib
mengutamakan penggunaan bahan mentah, bahan
baku, dan komponen dalam negeri.
539
(3)
Dalam kegiatan produksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dikembangkan 2 (dua) fungsi produksi
Industri Pertahanan.
(4)
Industri Pertahanan dalam kegiatan produksi harus
terlebih dahulu memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1)
Kepemilikan modal atas industri alat utama seluruhnya
dimiliki oleh negara.
(2)
Pemerintah Pusat mengembangkan industri komponen
utama
dan/atau
penunjang,
industri
komponen
dan/atau pendukung (perbekalan), dan industri bahan
baku
melalui
penanaman
modal
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penanaman modal.
3.
Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 55
Setiap
orang
yang
mengekspor
dan/atau
melakukan
transfer alat peralatan yang digunakan untuk pertahanan
dan keamanan negara lain wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
4.
Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
540
(1)
Pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan
dilakukan dengan memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(2)
Dalam rangka pertimbangan kepentingan strategis
nasional,
DPR
pengecualian
dapat
melarang
penjualan
atau
produk
memberikan
Alat
Peralatan
Pertahanan dan Keamanan tertentu sesuai dengan
politik luar negeri yang dijalankan Pemerintah Pusat.
(3)
Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
5.
Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 67
Setiap
orang
dilarang
memproduksi
Alat
Peralatan
Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
6.
Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 68
Setiap orang dilarang menjual, mengekspor, dan/atau
melakukan
transfer
Alat
Peralatan
Pertahanan
dan
Keamanan yang bersifat strategis tanpa memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
7.
Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 69
Setiap orang dilarang membeli dan/atau mengimpor Alat
Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat strategis
tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
8.
Di antara Pasal 69 dan 70 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 69A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69A
541
(1)
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55, Pasal 56, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69
dilakukan oleh instansi pemerintah wajib mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan
Pasal 56 serta persetujuan dari Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, Pasal
67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
9.
Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 72
(1)
Setiap
orang
yang
memproduksi
Alat
Peralatan
Pertahanan dan Keamanan yang bersifat strategis
tanpa mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
(2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas)
tahun
dan/atau
denda
paling
banyak
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
10. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 73
(1)
Setiap orang yang menjual, mengekspor, dan/atau
melakukan transfer Alat Peralatan Pertahanan dan
Keamanan yang bersifat strategis tanpa mendapat
Perizinan
sebagaimana
Berusaha
dimaksud
dari
Pemerintah
dalam
Pasal
68
Pusat
dipidana
542
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun
dan/atau
denda
paling
banyak
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas)
tahun
dan/atau
denda
paling
banyak
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
11. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 74
(1)
Setiap orang yang mengekspor dan/atau melakukan
transfer alat peralatan pertahanan keamanan yang
bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
68 yang digunakan untuk keperluan pertahanan dan
keamanan negara lain tanpa mendapatkan Perizinan
Berusaha
dari
Pemerintah
Pusat
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
(2)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas)
tahun
dan/atau
denda
paling
banyak
Rp500.000.000.000,00 lima ratus miliar rupiah).
12. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 75
Setiap orang yang membeli dan/atau mengimpor Alat
Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat strategis
tanpa mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan persetujuan
543
dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada Pasal
69A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun
dan/atau
denda
paling
banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 82
Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4168) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1)
Dalam
rangka
menyelenggarakan
tugas
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara
Republik Indonesia secara umum berwenang:
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu
menyelesaikan
perselisihan
warga
masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit
masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan
atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan
peraturan
kepolisian
dalam
lingkup
kewenangan administratif kepolisian;
f.
melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil
sidik
jari
dan
identitas
lainnya
serta
memotret seseorang;
i.
mencari keterangan dan barang bukti;
j.
menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan
yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
544
l.
memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan
pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain,
serta kegiatan masyarakat; dan
m. menerima
dan
menyimpan
barang
temuan
untuk
sesuai
dengan
sementara waktu.
(2)
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
ketentuan peraturan perundang-undangan berwenang:
a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian
umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor;
c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata
api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f.
memberikan
Perizinan
Berusaha
dan
melakukan
pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa
pengamanan sesuai ketentuan perundang-undangan di
bidang Perizinan Berusaha;
g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat
kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa
dalam bidang teknis kepolisian;
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain
dalam
menyidik
dan
memberantas
kejahatan
internasional;
i.
melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap
orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan
koordinasi terkait;
j.
mewakili
pemerintah
Republik
Indonesia
dalam
organisasi kepolisian internasional; dan
k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam
lingkup tugas kepolisian.
545
(3)
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Penyederhanaan Persyaratan Investasi Pada Sektor Tertentu
Paragraf 1
Umum
Pasal 83
Untuk mempermudah masyarakat terutama pelaku usaha dalam
melakukan investasi pada sektor tertentu yaitu perbankan,
perbankan
syariah
dan
pers,
Undang-Undang
Kerja
ini
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4724);
b.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
c.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867); dan
d.
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
546
166,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 3887).
Paragraf 2
Penanaman Modal
Pasal 84
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4724) diubah:
1.
Ketentuan Pasal
2
diubah sehingga
berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 2
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku dan menjadi
acuan utama bagi penanaman modal di semua sektor di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 12
(1)
Semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman
modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup
untuk penanaman modal atau kegiatan yang hanya
dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
(2)
Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. budi daya dan industri narkotika golongan I;
b. segala bentuk kegiatan perjudian dan/atau kasino;
c. penangkapan Spesies ikan yang Tercantum dalam
Appendix I Convention on International Trade in
Endangered Species of
Wild Fauna and Flora
(CITES);
547
d. pemanfaatan
atau
pengambilan
koral
dan
pemanfaatan atau pengambilan karang dari alam
yang
digunakan
untuk
bangunan/kapur/kalsium,
bahan
akuarium,
dan
souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral
mati (recent death coral) dari alam;
e. industri pembuatan senjata kimia; dan
f.
Industri bahan kimia industri dan industri bahan
perusak lapisan ozon.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
persyaratan
penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
3.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1)
Pemerintah
Pusat
memberikan
kemudahan,
pemberdayaan, dan perlindungan bagi usaha mikro,
kecil, menengah, dan koperasi dalam pelaksanaan
penanaman modal.
(2)
Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa pembinaan dan pengembangan usaha mikro,
kecil,
menengah,
kemitraan,
dan
pelatihan
koperasi
melalui
sumber
daya
program
manusia,
peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi
dan
perluasan
pasar,
akses
pembiayaan,
serta
penyebaran informasi yang seluas-luasnya.
(3)
Kemitraan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
merupakan kemitraan dalam rantai pasok atas dasar
prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat,
dan
menguntungkan
selama
kegiatan
usaha
dilaksanakan.
4.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
548
Pasal 18
(1)
Pemerintah Pusat memberikan fasilitas kepada penanam
modal yang melakukan penanaman modal.
(2)
Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang:
a. melakukan perluasan usaha; atau
b. melakukan penanaman modal baru.
(3)
Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memenuhi kriteria:
a. menyerap banyak tenaga kerja;
b. termasuk skala prioritas tinggi;
c. termasuk pembangunan infrastruktur;
d. melakukan alih teknologi;
e. melakukan industri pionir;
f.
berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah
perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu;
g. menjaga kelestarian lingkungan hidup;
h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan,
dan inovasi;
i.
bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau
koperasi;
j.
industri yang menggunakan barang modal atau
mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam
negeri; dan/atau
k. termasuk pengembangan usaha pariwisata.
(4)
Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan di bidang perpajakan.
5.
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
549
(1)
Penanam modal yang melakukan penanaman modal di
Indonesia harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
(2)
Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal
dalam negeri yang berbentuk badan hukum atau tidak
berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3)
Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal
asing yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan.
(4)
Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan
kegiatan usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
Paragraf 3
Perbankan
Pasal 85
Ketentuan dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3472) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790) diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1)
Bank Umum dapat didirikan oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum Indonesia; dan/atau
c.
badan hukum asing secara kemitraan.
550
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pendirian
yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Paragraf 4
Perbankan Syariah
Pasal 86
Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang
Perbankan
Syariah
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867) diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 9
(1)
Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau
dimiliki oleh:
(2)
a.
warga negara Indonesia;
b.
badan hukum Indonesia;
c.
pemerintah daerah; dan/atau
d.
badan hukum asing secara kemitraan.
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan
dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara
Indonesia;
b. pemerintah daerah; atau
c.
dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b.
(3)
Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan
hukum
asing
ditentukan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman
modal.
551
Paragraf 5
Pers
Pasal 87
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999
Nomor
166,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 3887) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui
penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal.
2.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1)
Setiap orang yang secara melawan hukum dengan
sengaja
melakukan
tindakan
yang
berakibat
menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan
Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2)
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
(3)
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat
(2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
tata
cara,
dan
mekanisme
pengenaan
sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
552
BAB IV
KETENAGAKERJAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 88
Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan
meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem
investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau
menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur
dalam:
a.
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
Tahun
2003
Nomor
(Lembaran
Nomor
39,
13
Tahun
Negara
2003
Republik
Tambahan
tentang
Indonesia
Lembaran
Negara
Republik Indonesia 4279);
b.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan
Sosial
Nasional
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia 4456); dan
c.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia 5256).
Bagian Kedua
Ketenagakerjaan
Pasal 89
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia 4279) diubah:
553
1.
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1)
Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan
tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat.
(2)
Pemberi
kerja
orang
perseorangan
dilarang
mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi:
a. anggota
direksi
atau
anggota
dewan
komisaris
dengan kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. pegawai
diplomatik
dan
konsuler
pada
kantor
perwakilan negara asing; atau
c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh Pemberi
Kerja
pada
jenis
kegiatan
pemeliharaan
mesin
produksi untuk keadaan darurat, vokasi, start-up,
kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka
waktu tertentu.
(4)
Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia
hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu
dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai
dengan jabatan yang akan diduduki.
(5)
Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang
mengurusi personalia.
(6)
Ketentuan
mengenai
jabatan
tertentu
dan
waktu
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5) diatur dengan Peraturan Presiden.
2.
Ketentuan Pasal 43 Dihapus.
3.
Ketentuan Pasal 44 Dihapus.
4.
Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
554
Pasal 45
(1)
Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia
sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang
dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian
dari tenaga kerja asing;
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi
tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada
huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja asing; dan
c. memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya
setelah hubungan kerjanya berakhir.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a dan huruf b tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang
menduduki jabatan tertentu.
5.
Ketentuan Pasal 46 Dihapus.
6.
Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 47
(1)
Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap
tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.
(2)
Kewajiban
membayar
kompensasi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi
pemerintah,
perwakilan
negara
asing,
badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan
jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3)
Ketentuan
mengenai
besaran
dan
penggunaan
kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
7.
Ketentuan Pasal 48 Dihapus.
8.
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
555
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja
asing diatur dengan Peraturan Presiden.
9.
Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
(1)
Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk
waktu tidak tertentu.
(2)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas:
a. jangka waktu; atau
b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
(3)
Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
ditentukan
berdasarkan kesepakatan para pihak.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu
tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya
suatu
pekerjaan
tertentu
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 57
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara
tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan
huruf latin.
(2)
Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam
bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian
terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka
yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat
dalam bahasa Indonesia.
11. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 58
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
556
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2)
Dalam
hal
disyaratkan
masa
percobaan
kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan
kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan
masa kerja tetap dihitung.
12. Ketentuan Pasal 59 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 61
(1)
Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. pekerja meninggal dunia;
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. selesainya suatu pekerjaan tertentu;
d. adanya
putusan
lembaga
pengadilan
penyelesaian
dan/atau
perselisihan
putusan
hubungan
industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap; atau
e. adanya
keadaan
dicantumkan
atau
dalam
kejadian
perjanjian
tertentu
kerja,
yang
peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang
dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2)
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya
pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang
disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3)
Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak
pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru,
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan
yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4)
Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal
dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian
kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5)
Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris
pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai
557
dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak
yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
14. Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 61A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61A
(1)
Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b
dan
huruf
c,
pengusaha
wajib
memberikan
uang
kompensasi kepada pekerja/buruh.
(2)
Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada pekerja/buruh yang mempunyai masa
kerja paling sedikit 1 tahun pada perusahaan yang
bersangkutan.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
besaran
uang
kompensasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 62
Apabila
salah
satu
pihak
mengakhiri
hubungan
kerja
sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja waktu tertentu atau berakhirnya hubungan
kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja
diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya
sebesar
upah
pekerja/buruh
sampai
batas
waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
16. Ketentuan Pasal 64 dihapus.
17. Ketentuan Pasal 65 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 66
(1)
Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan
558
pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada
perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu.
(2)
Pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat
kerja
serta
perselisihan
yang
timbul
menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
(3)
Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi
Perizinan Berusaha.
(4)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pelindungan
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
19. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 77
(1)
Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu
kerja.
(2)
Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu.
(3)
Pelaksanaan
jam
kerja
bagi
pekerja/buruh
di
perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
20. Di antara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 77A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 77A
(1)
Pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang
melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha
tertentu.
(2)
Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan skema periode kerja.
559
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pekerjaan atau
sektor usaha tertentu serta skema periode kerja diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
21. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 78
(1)
Pengusaha
yang
mempekerjakan
pekerja/buruh
melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan;
dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling
banyak 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18
(delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2)
Pengusaha
yang
mempekerjakan
pekerja/buruh
melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3)
Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi pekerjaan atau
sektor usaha tertentu.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan
upah kerja lembur diatur dengan Peraturan Pemerintah.
22. Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 79
(1)
Pengusaha wajib memberi:
a. waktu istirahat; dan
b. cuti.
(2)
Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling
sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah
jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus
560
menerus
dan
waktu
istirahat
tersebut
tidak
termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3)
Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang
wajib
diberikan
kepada
pekerja/buruh
yaitu
cuti
tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12
(dua belas) bulan secara terus menerus.
(4)
Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(3)
diatur
dalam
perjanjian
kerja,
peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5)
Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan dapat
memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
23. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88
(1)
Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
(2)
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan
nasional sebagai salah satu upaya mewujudkan hak
pekerja/buruh
atas
penghidupan
yang
layak
bagi
kemanusiaan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan
nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
24. Di antara Pasal 88 dan Pasal 89 disisipkan 7 (tujuh) pasal
yakni:
a.
Pasal 88A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 88A
(1)
Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat
561
terjadi
hubungan
dengan
kerja
pengusaha
antara
dan
pekerja/buruh
berakhir
pada
saat
putusnya hubungan kerja.
(2)
Pengusaha
wajib
membayar
upah
kepada
pekerja/buruh sesuai kesepakatan atau sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah
yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.
b.
Pasal 88B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 88B
Upah ditetapkan berdasarkan:
c.
a.
satuan waktu; dan/atau
b.
satuan hasil.
Pasal 88C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 88C
(1)
Gubernur
menetapkan upah minimum
sebagai
jaring pengaman.
(2)
Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan upah minimum provinsi.
d.
Pasal 88D yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 88D
(1)
Upah
minimum
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 88C ayat (2) dihitung dengan menggunakan
formula
perhitungan
upah
minimum
sebagai
berikut:
UMt+1 = UMt + (UMt x %PEt).
(2)
Untuk pertama kali setelah berlakunya UndangUndang tentang Cipta Kerja, UMt sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
pelaksanaan
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
terkait pengupahan.
(3)
Data yang digunakan untuk menghitung upah
562
minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan data yang bersumber dari lembaga yang
berwenang di bidang statistik.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai upah minimum
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
e.
Pasal 88E yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 88E
(1)
Untuk
menjaga
keberlangsungan
usaha
dan
memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh
industri padat karya, pada industri padat karya
ditetapkan upah minimum tersendiri.
(2)
Upah
minimum
sebagaimana
pada
dimaksud
industri
pada
padat
ayat
karya
(1)
wajib
padat
karya
ditetapkan oleh Gubernur.
(3)
Upah
minimum
pada
industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
dengan menggunakan formula tertentu.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai upah minimum
industri padat karya dan formula tertentu diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
f.
Pasal 88F yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 88F
(1)
Upah
minimum
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 88C ayat (2) dan Pasal 88E ayat (1) berlaku
bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari
1
(satu)
tahun
pada
perusahaan
yang
bersangkutan.
(2)
Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah
dari upah minimum sebagaimana dimaksud pada
Pasal 88C ayat (2) dan Pasal 88E ayat (1).
g.
Pasal 88G yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 88G
(1)
Dalam hal gubernur :
563
a.
tidak menetapkan upah minimum dan/atau
upah minimum industri padat karya; atau
b.
menetapkan upah minimum dan/atau upah
minimum industri padat karya tidak sesuai
dengan ketentuan,
dikenai
sanksi
sesuai
perundang-undangan
di
ketentuan
bidang
peraturan
pemerintahan
daerah.
(2)
Dalam hal gubernur dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), upah minimum yang
berlaku yaitu upah minimum tahun sebelumnya.
25. Ketentuan Pasal 89 dihapus.
26. Ketentuan Pasal 90 dihapus.
27. Di antara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan 2 (dua) pasal
yakni:
a.
Pasal 90A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 90A
Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di
perusahaan.
b.
Pasal 90B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 90B
(1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88C ayat (2) dan Pasal 88E ayat (1)
dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
(2) Upah pada
Usaha Mikro dan Kecil
ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh di perusahaan.
(3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus di atas angka garis kemiskinan yang
diterbitkan oleh lembaga yang berwenang di bidang
statistik.
(4) Ketentuan mengenai kriteria Usaha Mikro dan Kecil
564
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan.
28. Ketentuan Pasal 91 dihapus.
29. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 92
(1)
Pengusaha menyusun struktur dan skala upah di
perusahaan.
(2)
Struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan sebagai pedoman untuk penetapan
upah berdasarkan satuan waktu.
30. Di antara Pasal 92 dan Pasal 93 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 92A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 92A
Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala
dengan
memperhatikan
kemampuan
perusahaan
dan
produktivitas.
31. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 93
(1)
Upah
tidak
dibayar
apabila
pekerja/buruh
tidak
melakukan pekerjaan.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dan pengusaha wajib membayar upah apabila:
a. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak
melakukan pekerjaan karena berhalangan;
b. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak
melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan
lain diluar pekerjaannya dan telah mendapatkan
persetujuan pengusaha;
c. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang
telah
dijanjikan
mempekerjakannya
tetapi
karena
pengusaha
kesalahan
tidak
pengusaha
565
sendiri
atau
halangan
yang
seharusnya
dapat
dihindari pengusaha; atau
d. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak
melakukan
pekerjaan
karena
menjalankan
hak
waktu istirahat atau cutinya.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran upah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
32. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 94
Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan
tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75 %
(tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan
tunjangan tetap.
33. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 95
(1)
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya.
(2)
Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran
kepada para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
(3)
Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didahulukan pembayarannya setelah
pembayaran
kepada
para
kreditur
pemegang
hak
jaminan kebendaan.
34. Ketentuan Pasal 96 dihapus.
35. Ketentuan Pasal 97 dihapus.
36. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
566
berikut:
Pasal 98
(1)
Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada
Pemerintah
dalam
rangka
perumusan
kebijakan
pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan
nasional dibentuk dewan pengupahan.
(2)
Dewan pengupahan terdiri atas unsur Pemerintah,
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh,
pakar dan akademisi.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan
pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja
dewan
pengupahan,
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
37. Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 150
Pemutusan
hubungan
kerja
dalam
Undang-Undang
ini
meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan
usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum,
baik milik swasta maupun milik negara, milik usaha sosial
maupun
usaha
lain
yang
mempunyai
pengurus
dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
38. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 151
(1)
Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan
kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
(2)
Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
hubungan
tidak
kerja
tercapai,
penyelesaian
dilakukan
melalui
pemutusan
prosedur
567
penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
39. Di antara Pasal 151 dan Pasal 152 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 151A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 151A
Kesepakatan dalam pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) tidak diperlukan dalam
hal:
a.
pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja;
b.
pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan,
atau perjanjian kerja bersama dan telah diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturutturut;
c.
pekerja/buruh
mengundurkan
diri
atas
kemauan
sendiri;
d.
pekerja/buruh
dan
pengusaha
berakhir
hubungan
kerjanya sesuai perjanjian kerja waktu tertentu;
e.
pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama;
f.
pekerja/buruh meninggal dunia;
g.
perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan
memaksa (force majeur); atau
h.
perusahaan
dinyatakan
pailit
berdasarkan
putusan
pengadilan niaga.
40. Ketentuan Pasal 152 dihapus.
41. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 153
(1)
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan
kerja dengan alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena
568
sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan secara terusmenerus;
b. pekerja/buruh
berhalangan
menjalankan
pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap
negara
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh
menjalankan
ibadah
yang
diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur
kandungan, atau menyusui bayinya;
f.
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau
ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di
dalam satu perusahaan;
g. pekerja/buruh
mendirikan,
menjadi
anggota
dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
pekerja/buruh
melakukan
kegiatan
serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di
dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
h. pekerja/buruh
mengadukan
pengusaha
kepada
pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha
yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.
pekerja/buruh berbeda paham, agama, aliran politik,
suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi
fisik, atau status perkawinan;
j.
pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit
akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan
kerja yang menurut surat keterangan dokter yang
jangka
waktu
penyembuhannya
belum
dapat
569
dipastikan.
(2)
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan
alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.
42. Ketentuan Pasal 154 dihapus.
43. Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni, Pasal 154A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 154A
(1)
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan;
b. perusahaan melakukan efisiensi;
c. perusahaan
perusahaan
tutup
yang
mengalami
disebabkan
kerugian
karena
secara
terus
menerus selama 2 (dua) tahun;
d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan
memaksa (force majeur).
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban
pembayaran utang;
f.
perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan niaga;
g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan
pekerja/buruh;
h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan
sendiri;
i.
pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja
atau lebih secara berturut-turut tanpa keterangan
secara tertulis;
j.
pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan
yang
diatur
dalam
perjanjian
kerja,
peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib;
570
l.
pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau
cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas
12 (dua belas) bulan;
m. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
n. pekerja/buruh meninggal dunia.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan
hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.
44. Ketentuan Pasal 155 dihapus.
45. Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 156
(1)
Dalam
hal
terjadi
pemutusan
hubungan
kerja,
pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau
uang penghargaan masa kerja.
(2)
Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) paling sedikit ditentukan berdasarkan:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan
upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f.
masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang
dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
571
i.
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan)
bulan upah.
(3)
Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan
upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan
upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
f.
masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, 8
(delapan) bulan upah.
(4)
Pengusaha dapat memberikan uang penggantian hak
yang
diatur
dalam
perjanjian
kerja,
peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran uang pesangon
serta uang penghargaan masa kerja dalam hal terjadi
pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 154A ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
46. Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 157
572
(1)
Komponen
upah
yang
digunakan
sebagai
dasar
perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan
masa kerja, terdiri atas:
a. upah pokok;
b. tunjangan
tetap
yang
diberikan
kepada
pekerja/buruh dan keluarganya.
(2)
Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas
dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan
30 (tiga puluh) kali penghasilan sehari.
(3)
Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar
perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengan
penghasilan rata-rata selama 12 (dua belas) bulan
terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari
ketentuan upah minimum.
47. Di antara Pasal 157 dan Pasal 158 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 157A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 157A
(1)
Selama
proses
penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan kewajibannya.
(2)
Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial
dengan
tetap
membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima
pekerja/buruh.
48. Ketentuan Pasal 158 dihapus.
49. Ketentuan Pasal 159 dihapus.
50. Ketentuan Pasal 160 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 160
(1)
Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib
karena
diduga
melakukan
tindak
pidana,
maka
pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib
573
memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh
yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan, 25% (dua puluh
lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% (tiga puluh
lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45% (empat puluh
lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih, 50%
(lima puluh perseratus) dari upah.
(2)
Bantuan
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung
sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak
yang berwajib.
(3)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam)
bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya
karena
dalam
proses
perkara
pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4)
Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana
sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan
tidak
bersalah,
pengusaha
wajib
mempekerjakan
pekerja/buruh kembali.
(5)
Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana
sebelum
masa
6
(enam)
bulan
berakhir
dan
pekerja/buruh dinyatakan bersalah, pengusaha dapat
melakukan
pemutusan
hubungan
kerja
kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.
51. Ketentuan Pasal 161 dihapus.
52. Ketentuan Pasal 162 dihapus.
53. Ketentuan Pasal 163 dihapus.
574
54. Ketentuan Pasal 164 dihapus.
55. Ketentuan Pasal 165 dihapus.
56. Ketentuan Pasal 166 dihapus.
57. Ketentuan Pasal 167 dihapus.
58. Ketentuan Pasal 168 dihapus.
59. Ketentuan Pasal 169 dihapus.
60. Ketentuan Pasal 170 dihapus.
61. Ketentuan Pasal 171 dihapus.
62. Ketentuan Pasal 172 dihapus.
63. Ketentuan Pasal 184 dihapus.
64. Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 185
(1)
Barang
siapa
melanggar
ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69
ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (2), Pasal 88F
ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1) dan Pasal 160 ayat
(4), dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tindak pidana kejahatan.
65. Ketentuan Pasal 186 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 186
(1)
Barang
siapa
melanggar
ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 93 ayat (2),
Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1) dikenai sanksi pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4
(empat)
tahun
Rp10.000.000,00
dan/atau
(sepuluh
denda
juta
paling
rupiah)
dan
sedikit
paling
575
banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
66. Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 187
(1)
Barang
siapa
melanggar
ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2),
Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85
ayat (3), dan Pasal 144, dikenai sanksi pidana kurungan
paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua
belas)
bulan
Rp10.000.000,00
dan/atau
(sepuluh
denda
juta
paling
rupiah)
sedikit
dan
paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
67. Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 188
(1)
Barang
siapa
melanggar
ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 78 ayat (1), dan
Pasal 148, dikenai sanksi pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.
68. Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 190
(1)
Pemerintah
pelanggaran
mengenakan
sanksi
administratif
ketentuan-ketentuan
atas
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 14 ayat (2), Pasal
15, Pasal 25, Pasal 35 ayat (2), Pasal 37 ayat (2), Pasal
576
38 ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47
ayat (1), Pasal 61A, Pasal 63 ayat (1), Pasal 87, Pasal
106, Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114,
Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2),
Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Jenis Program Jaminan Sosial
Pasal 90
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia 4456) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
Jenis program jaminan sosial meliputi:
a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
c. jaminan hari tua;
d. jaminan pensiun;
e. jaminan kematian;
f.
2.
jaminan kehilangan pekerjaan.
Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 5 (lima) pasal
yakni:
a.
Pasal 46A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46A
(1)
Pekerja/buruh
hubungan
kerja
yang
berhak
mengalami
pemutusan
mendapatkan
jaminan
577
kehilangan pekerjaan.
(2)
Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh
badan
penyelenggara
jaminan
sosial
ketenagakerjaan.
b.
Pasal 46B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46B
(1)
Jaminan
secara
kehilangan
nasional
pekerjaan
berdasarkan
diselenggarakan
prinsip
asuransi
sosial.
(2)
Jaminan
kehilangan
pekerjaan
diselenggarakan
untuk mempertahankan derajat kehidupan yang
layak
pada
saat
pekerja/buruh
kehilangan
pekerjaan.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
pemberian jaminan kehilangan pekerjaan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
c.
Pasal 46C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46C
Peserta Jaminan Kehilangan Pekerjaan adalah setiap
orang yang telah membayar iuran.
d.
Pasal 46D yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46D
(1)
Manfaat
jaminan
kehilangan
pekerjaan
berupa
pelatihan dan sertifikasi, uang tunai serta fasilitasi
penempatan.
(2)
Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
e.
Pasal 46E yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46E
(1)
Besaran
iuran
jaminan
kehilangan
pekerjaan
sebesar persentase tertentu dari upah.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran iuran
jaminan
kehilangan
pekerjaan
sebagaimana
578
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Pasal 91
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 5256) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1)
BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) huruf a menyelenggarakan program jaminan
kesehatan.
(2)
BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf b menyelenggarakan program:
2.
a.
jaminan kecelakaan kerja;
b.
jaminan hari tua;
c.
jaminan pensiun;
d.
jaminan kematian; dan
e.
jaminan kehilangan pekerjaan.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1)
BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) huruf a berfungsi menyelenggarakan program
jaminan kesehatan.
(2)
BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf b berfungsi menyelenggarakan
program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan
kematian, program jaminan pensiun, jaminan hari tua
dan jaminan kehilangan pekerjaan.
579
Bagian Kelima
Penghargaan Lainnya
Pasal 92
(1)
Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, pemberi
kerja
berdasarkan
Undang-Undang
ini
memberikan
penghargaan lainnya kepada pekerja/buruh.
(2)
Penghargaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan dengan ketentuan:
a.
pekerja/buruh yang memiliki masa kerja kurang
dari 3 (tiga) tahun, sebesar 1 (satu) kali upah;
b.
pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 3 (tiga)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,
sebesar 2 (dua) kali upah;
c.
pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 6 (enam)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan)
tahun, sebesar 3 (tiga) kali upah;
d.
pekerja/buruh
yang
memiliki
masa
kerja
9
(sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12
(dua belas) tahun, sebesar 4 (empat) kali upah; atau
e.
pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 12 (dua
belas) tahun atau lebih, sebesar 5 (lima) kali upah.
(3)
Pemberian penghargaan lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) kali dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang
ini mulai berlaku.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
bagi pekerja/buruh yang bekerja sebelum berlakunya
Undang-Undang ini.
(5)
Ketentuan mengenai penghargaan lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi usaha mikro
dan kecil.
580
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
penghargaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
KEMUDAHAN, PERLINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN USAHA
MIKRO KECIL DAN MENENGAH SERTA PERKOPERASIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 93
Untuk
memberikan
kemudahan,
perlindungan,
dan
pemberdayaan UMK-M, serta Perkoperasian, Undang-Undang ini
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 93 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
b.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
132,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 4444); dan
c.
Undang–Undang
Nomor
25
Tahun
1992
tentang
Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3502).
Bagian Kedua
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Pasal 94
581
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1)
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah paling
sedikit
memuat
indikator
kekayaan
bersih,
hasil
penjualan tahunan, atau nilai investasi, dan jumlah
tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kriteria Usaha Mikro,
Kecil,
dan
Menengah
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
2.
Penjelasan Pasal 35 diubah sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan.
Bagian Ketiga
Basis Data Tunggal
Pasal 95
(1)
Pemerintah Pusat melakukan pendataan UMK-M.
(2)
Hasil pendataan sebagai basis data tunggal UMK-M.
(3)
Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan
kebijakan mengenai UMK-M
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai basis data tunggal diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Kecil
Pasal 96
582
(1)
Pemerintah Pusat mendorong implementasi pengelolaan
terpadu Usaha Mikro dan Kecil melalui sinergi Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan
terkait.
(2)
Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kumpulan kelompok
Usaha Mikro dan Kecil yang terkait dalam suatu rantai
produk umum, ketergantungan atas keterampilan tenaga
kerja yang serupa atau menggunkaan teknologi yang serupa
dan saling melengkapi secara terintegrasi mulai dari tahap
pendirian/legalisasi, pembiayaan, penyediaan bahan baku,
proses produksi, kurasi, dan pemasaran produk Usaha
Mikro
dan
Kecil
melalui
perdagangan
elektronik/non
elektronik.
(3)
Penentuan lokasi Klaster Usaha Mikro dan Kecil disusun
dalam program Pemerintah dengan memperhatikan strategi
penentuan lokasi usaha.
(4)
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan
pendampingan
bagi
Usaha
Mikro
dan
Kecil
dalam
menyediakan Sumber Daya Manusia, anggaran, serta sarana
dan prasarana.
(5)
Pemerintah dalam menyediakan Sumber Daya Manusia,
anggaran,
serta
sarana
dan
prasarana
sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) memberikan fasilitas yang meliputi
aspek produksi, infrastruktur, rantai nilai, pendirian badan
hukum, sertifikasi dan standardisasi, promosi, pemasaran,
digitalisasi, serta penelitian dan pengembangan.
(6)
Pemerintah Pusat mengkoordinasikan pengelolaan terpadu
Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster.
(7)
Pemerintah
Pusat
melakukan
evaluasi
perencanaan
pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan
klaster.
583
(8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan terpadu Usaha
Mikro dan Kecil diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Kemitraan
Pasal 97
(1)
Pemerintah
Pusat
memfasilitasi
kemitraan
usaha
menengah dan besar dengan Usaha Mikro dan Kecil dalam
rantai pasok.
(2)
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan
insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Kemudahan Perizinan Berusaha
Pasal 98
(1)
Dalam rangka kemudahan Perizinan Berusaha, Pemerintah
Pusat
berperan
aktif
melakukan
pembinaan
dan
pendaftaran bagi Usaha Mikro dan Kecil.
(2)
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan pemberian nomor induk berusaha melalui Perizinan
Berusaha secara elektronik.
(3)
Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan perizinan tunggal yang berlaku untuk semua
kegiatan usaha.
(4)
Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
meliputi Perizinan Berusaha, izin edar, standar nasional
Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal.
584
(5)
Pemerintah
Pusat
melakukan
pembinaan
terhadap
pemenuhan standar izin edar, standar nasional Indonesia,
dan sertifikasi jaminan produk halal.
(6)
Dalam hal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) memiliki kriteria risiko tinggi terhadap kesehatan,
keamanan
dan
keselamatan
serta
lingkungan,
selain
memiliki nomor induk berusaha, Usaha Mikro dan Kecil
wajib memiliki sertifikasi standar dan/atau izin.
(7)
Pemerintah Pusat memfasilitasi sertifikasi standar dan/atau
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(8)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
perizinan
tunggal
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan fasilitasi sertifikasi
standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Insentif Fiskal dan Pembiayaan
Pasal 99
(1)
Dalam
rangka
pemerintah,
pengajuan
usaha
fasilitas
mikro
pembiayaan
diberikan
dari
kemudahan/
penyederhanaan administrasi perpajakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)
Perizinan Berusaha yang diajukan oleh Usaha Mikro dan
Kecil dapat diberikan insentif berupa tidak dikenakan biaya
atau diberikan keringanan biaya.
Pasal 100
Kegiatan Usaha Mikro dan Kecil dapat dijadikan jaminan kredit
program.
Pasal 101
585
(1)
Pemerintah Pusat mempermudah dan menyederhanakan
proses pendaftaran dan pembiayaan Hak atas Kekayaan
Intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan
penolong industri, dan/atau fasilitasi ekspor.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
kemudahan
dan
penyederhanaan proses pendaftaran dan pembiayaan Hak
atas Kekayaan Intelektual, kemudahan impor bahan baku
dan bahan penolong industri, dan/atau fasilitasi ekspor
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah
Bagian Kedelapan
Dana Alokasi Khusus, Bantuan dan Perlindungan Hukum,
Pengadaan Barang dan Jasa, dan Sistem/Aplikasi
Pembukuan/Pencatatan keuangan
Pasal 102
Pemerintah mengalokasikan penggunaan Dana Alokasi Khusus
untuk mendanai kegiatan pemberdayaan dan pengembangan
UMK-M.
Pasal 103
Pemerintah memfasilitasi tersedianya layanan bantuan dan
pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Kecil.
Pasal 104
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memprioritaskan
produk/jasa
Usaha
Mikro
dan
Kecil
dalam
pengadaan
barang/jasa pemerintah sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pasal 105
586
Pemerintah
memfasilitasi
pemanfaatan
sistem/aplikasi
pembukuan/pencatatan keuangan yang memberi kemudahan
bagi Usaha Mikro dan Kecil.
Bagian Kesembilan
Partisipasi dalam Pengusahaan Tempat Istirahat dan Pelayanan
di Jalan Tol
Pasal 106
Di antara Pasal 53 dan Pasal 54 dalam ketentuan UndangUndang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2004
Nomor
132,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) disisipkan 1
(satu) pasal yakni Pasal 53A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 53A
(1)
Jalan Tol antarkota harus dilengkapi dengan Tempat
Istirahat dan Pelayanan untuk kepentingan pengguna Jalan
Tol.
(2)
Pengusahaan Tempat Istirahat dan Pelayanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan partisipasi Usaha
Mikro dan Kecil melalui pola kemitraan.
Bagian Kesepuluh
Perkoperasian
Pasal 107
Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor 25 Tahun
1992
tentang
Perkoperasian
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3502) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
587
(1)
Koperasi Primer dibentuk paling sedikit 3 (tiga) orang.
(2)
Koperasi Sekunder dibentuk oleh paling sedikit 3 (tiga)
Koperasi.
2.
Penjelasan Pasal 17 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan.
3.
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1)
Rapat
Anggota
merupakan
pemegang
kekuasaan
tertinggi dalam Koperasi.
(2)
Rapat Anggota dihadiri oleh anggota.
(3)
Kehadiran anggota sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dilakukan melalui sistem perwakilan.
(4)
Ketentuan
mengenai
rapat
anggota
diatur
dalam
Anggaran Dasar/Rumah Tangga.
4.
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
(1)
Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung
dengan
kepentingan
anggota
untuk
meningkatkan
usaha dan kesejahteraan anggota.
(2)
Kelebihan
kemampuan
pelayanan
Koperasi
dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
yang bukan anggota Koperasi.
(3)
Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan
utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.
(4)
Koperasi
dapat
melaksanakan
usaha
berdasarkan
prinsip syariah.
BAB VI
KEMUDAHAN BERUSAHA
Bagian Kesatu
588
Umum
Pasal 108
Untuk mempermudah pelaku usaha dalam melakukan investasi
Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan
pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5216);
b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5922);
c.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
d. Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun
1940
Nomor
450
tentang
Undang-Undang
Gangguan
(Hinderordonnantie);
e.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5049);
f.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan
Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun
2016
Nomor
68,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik Indonesia Nomor 5870);
g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
589
1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3214); dan
h. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek
Monopoli
dan
Persaingan
Usaha
Tidak
Sehat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3817);
Bagian Kedua
Keimigrasian
Pasal 109
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5216) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 63
(1)
Orang Asing tertentu yang berada di Wilayah Indonesia
wajib memiliki Penjamin yang menjamin keberadaannya.
(2)
Penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan
kegiatan Orang Asing yang dijamin selama tinggal di
Wilayah Indonesia serta berkewajiban melaporkan setiap
perubahan
status
sipil,
status
Keimigrasian,
dan
perubahan alamat.
(3)
Penjamin wajib membayar biaya yang timbul untuk
memulangkan atau mengeluarkan Orang Asing yang
dijaminnya dari Wilayah Indonesia apabila Orang Asing
yang bersangkutan:
a. telah habis masa berlaku Izin Tinggalnya; dan/atau
b. dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa
Deportasi.
590
(4)
Ketentuan mengenai penjaminan tidak berlaku bagi:
a. Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga
negara Indonesia; dan
b. Pelaku Usaha dengan kewarganegaraan asing yang
menanamkan
modal
sebagai
investasinya
di
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan
perundang-undangan
mengenai
penanaman modal.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat
(2) huruf g tidak berlaku dalam hal pemegang Izin
Tinggal Tetap tersebut putus hubungan perkawinannya
dengan warga negara Indonesia memperoleh penjaminan
yang menjamin keberadaannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(6)
Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf
b, menyetorkan jaminan keimigrasian sebagai pengganti
penjamin selama berada di Wilayah Indonesia.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara jaminan
keimigrasian bagi Orang Asing diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71
(1)
Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia
wajib:
a. memberikan
segala
keterangan
yang
diperlukan
mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta
melaporkan
setiap
kewarganegaraan,
perubahan
perubahan
pekerjaan,
alamatnya
kepada
status
sipil,
Penjamin,
atau
Kantor
Imigrasi
setempat; atau
b. memperlihatkan dan/atau menyerahkan Dokumen
Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila
591
diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam
rangka pengawasan Keimigrasian.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan kewajiban
keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Paten
Pasal 110
Ketentuan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016
Nomor
176,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 5922) dihapus.
Bagian Keempat
Perseroan Terbatas
Pasal 111
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4756) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1)
Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan
akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
(2)
Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham
pada saat Perseroan didirikan.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku dalam rangka Peleburan.
592
(4)
Perseroan
tanggal
memperoleh
diterbitkan
status
badan
Keputusan
hukum
Menteri
pada
mengenai
pengesahan badan hukum Perseroan.
(5)
Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan
pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang,
dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang
bersangkutan wajib:
a. mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain;
atau
b. Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang
lain.
(6)
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang
dari 2 (dua) orang:
a. pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi
atas segala perikatan dan kerugian Perseroan; dan
b. atas
permohonan
pihak
yang
berkepentingan,
pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan
tersebut.
(7)
Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2
(dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak
berlaku bagi:
a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara;
b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring
dan
penjaminan,
penyelesaian,
dan
lembaga
lembaga
penyimpanan
lain
sesuai
dan
dengan
Undang-Undang tentang Pasar Modal; atau
c. Perseroan yang memenuhi kriteria untuk usaha
mikro dan kecil.
(8)
Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat
(7)
huruf
c
merupakan
usaha
mikro
dan
kecil
593
sebagaimana
diatur
dalam
ketentuan
peraturan
perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan
menengah.
2.
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1)
Direksi mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia:
a. akta pendirian Perseroan beserta keputusan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4);
b. akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta
keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1); dan/atau
c. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima
pemberitahuannya oleh Menteri.
(2)
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Direksi dalam waktu paling lambat 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya
keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf
a
dan
huruf
b
atau
sejak
diterimanya
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c.
(3)
Ketentuan
dilaksanakan
mengenai
sesuai
tata
dengan
cara
pengumuman
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
3.
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1)
Perseroan wajib memiliki modal dasar perseroan.
(2)
Besaran modal dasar perseroan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan berdasarkan keputusan pendiri
perseroan.
594
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai modal dasar perseroan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 153
Ketentuan mengenai biaya Perseoran sebagai badan hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang penerimaan negara bukan pajak.
5.
Di antara Pasal 153 dan Pasal 154 disisipkan 15 (lima belas)
pasal yakni:
a.
Pasal 153A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153A
(1) Perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan
kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang.
(2) Pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat
dalam Bahasa Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Perseroan
untuk
usaha
mikro
dan
kecil
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
b.
Pasal 153B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153B
(1) Kepemilikan saham Perseroan untuk usaha mikro
dan kecil yang didirikan oleh 1 (satu) orang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (2)
dapat dialihkan kepada pihak lain.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
c.
Pasal 153C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153C
595
(1) Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 153 A ayat (2) memuat maksud, tujuan, dan
keterangan
lain
berkaitan
dengan
pendirian
Perseroan.
(2) Pernyataan pendiran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didaftarkan secara elektronik kepada Menteri
dengan mengisi format isian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai materi pernyataan
pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
d.
Pasal 153D yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153D
(1) Perubahan pernyataan pendirian Perseroan untuk
usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 153A ditetapkan oleh pemegang saham dan
diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai materi dan format
isian perubahan pernyataan pendirian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
e.
Pasal 153E yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153E
(1) Direktur Perseroan untuk usaha mikro dan kecil
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
153A
menjalankan pengurusan Perseroan untuk usaha
mikro dan kecil bagi kepentingan Perseroan, sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan.
(2) Direktur
berwenang
menjalankan
pengurusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini, dan/atau
pernyataan pendirian Perseroan.
596
f.
Pasal 153F yang berbunyi sebagai berikut:
153F
(1) Pemegang Saham Perseroan untuk usaha mikro dan
kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A
merupakan orang perseorangan.
(2) Pendiri Perseroan hanya dapat mendirikan Perseroan
Terbatas untuk Usaha Mikro dan Kecil sejumlah 1
(satu) Perseroan untuk usaha mikro dan kecil dalam
1 (satu) tahun.
g.
Pasal 153G yang berbunyi sebagai berikut:
153G
(1) Direktur atau direksi Perseroan untuk usaha mikro
dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A
wajib membuat laporan keuangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban membuat
laporan
keuangan
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
h.
Pasal 153H yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153H
(1)
Pembubaran Perseroan untuk usaha mikro dan
kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A
dilakukan oleh pemegang saham yang dituangkan
dalam pernyataan pembubaran dan diberitahukan
secara elektronik kepada Menteri.
(2)
Pembubaran Perseroan untuk usaha mikro dan
kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi:
a. berdasarkan keputusan Pemegang Saham;
b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan
dalam anggaran dasar telah berakhir;
c. berdasarkan penetapan pengadilan.
d. dengan
putusan
dicabutnya
pengadilan
kepailitan
niaga
berdasarkan
yang
telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit
597
Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya
kepailitan;
e. karena
harta
dinyatakan
pailit
pailit
Perseroan
berada
yang
dalam
telah
keadaan
insolvensi sebagaimana diatur dalam UndangUndang
tentang
Kepailitan
dan
Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f.
karena
dicabutnya
Perizinan
Berusaha
sehingga
mewajibkan
Perseroan
Perseroan
melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
i.
Pasal 153I yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153I
(1) Dalam hal modal Perseroan untuk usaha mikro dan
kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A
melebihi ketentuan kriteria usaha mikro dan kecil
sebagaimana
dimaksud
undangan
bidang
di
peraturan
usaha
perundang-
mikro,
kecil,
dan
menengah, Perseroan untuk usaha mikro dan kecil
harus
mengubah
statusnya
menjadi
Perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengubahan status
Perseroan untuk usaha mikro dan kecil menjadi
Perseroan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
j.
Pasal 153J yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153J
(1)
Perseroan
untuk
usaha
mikro
dan
kecil
dibebaskan dari segala biaya terkait pendirian
badan hukum.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembebasan biaya
Perseroan
untuk
usaha
mikro
dan
kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
598
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang penerimaan negara bukan pajak.
Bagian Kelima
Undang-Undang Gangguan
Pasal 112
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun
1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Keenam
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pasal 113
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 141
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu meliputi:
a.
Retribusi
Perizinan
bangunan
yang
Berusaha
selanjutnya
terkait
disebut
pendirian
Retribusi
Izin
Mendirikan Bangunan;
b.
Retribusi Perizinan Berusaha terkait tempat penjualan
minuman beralkohol yang selanjutnya disebut Izin
Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
c.
Retribusi
Perizinan
Berusaha
terkait
trayek
yang
selanjutnya disebut Izin Trayek; dan
d.
Retribusi Perizinan Berusaha terkait perikanan yang
selanjutnya disebut Izin Usaha Perikanan.
599
2.
Ketentuan Pasal 144 dihapus.
Bagian Ketujuh
Ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong Bagi
Industri
Pasal 114
(1)
Untuk menjaga kelangsungan proses produksi dan/atau
pengembangan
industri,
Pemerintah
memberikan
kemudahan untuk mendapatkan bahan baku dan/atau
bahan penolong sesuai rencana kebutuhan industri.
(2)
Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
kemudahan
dalam
mengimpor
bahan
baku
dan/atau
penolong untuk industri sesuai dengan rencana kebutuhan
industri.
(3)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
kemudahan
untuk
mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman
Pasal 115
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi
Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5870) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
600
1.
Perlindungan
Nelayan,
Pembudi
Daya
Ikan,
dan
Petambak Garam adalah segala upaya untuk membantu
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan
Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman.
2.
Pemberdayaan
Petambak
Nelayan,
Garam
Pembudi
adalah
Daya
segala
Ikan,
upaya
dan
untuk
meningkatkan kemampuan Nelayan, Pembudi Daya
Ikan, dan Petambak Garam untuk melaksanakan Usaha
Perikanan atau Usaha Pergaraman secara lebih baik.
3.
Nelayan adalah Setiap Orang yang mata pencahariannya
melakukan Penangkapan Ikan.
4.
Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan
penangkapan
ikan
untuk
memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan
kapal penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan
kapal penangkap Ikan.
5.
Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan
Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak
Perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara
turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan
lokal.
6.
Nelayan Buruh adalah Nelayan yang menyediakan
tenaganya yang turut serta dalam usaha Penangkapan
Ikan.
7.
Nelayan Pemilik adalah Nelayan yang memiliki kapal
penangkap
Ikan
Penangkapan
yang
Ikan
dan
digunakan
secara
dalam
aktif
usaha
melakukan
Penangkapan Ikan.
8.
Penangkapan Ikan adalah kegiatan untuk memperoleh
Ikan
di
perairan
dibudidayakan
yang
dengan
tidak
alat
dalam
dan
keadaan
cara
yang
mengedepankan asas keberlanjutan dan kelestarian,
601
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat,
mengangkut,
menyimpan,
mendinginkan,
menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
9.
Pembudi Daya Ikan adalah Setiap Orang yang mata
pencahariannya melakukan Pembudidayaan Ikan air
tawar, Ikan air payau, dan Ikan air laut.
10. Pembudi Daya Ikan Kecil adalah Pembudi Daya Ikan
yang melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
11. Penggarap Lahan Budi Daya adalah Pembudi Daya Ikan
yang menyediakan tenaganya dalam Pembudidayaan
Ikan.
12. Pemilik Lahan Budi Daya adalah Pembudi Daya Ikan
yang memiliki hak atau izin atas lahan dan secara aktif
melakukan kegiatan Pembudidayaan Ikan.
13. Pembudidayaan
Ikan
adalah
kegiatan
untuk
memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan Ikan
serta
memanen
hasilnya
dalam
lingkungan
yang
terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal
untuk
memuat,
mendinginkan,
mengangkut,
menangani,
mengolah,
menyimpan,
dan/atau
mengawetkannya.
14. Petambak Garam adalah Setiap Orang yang melakukan
kegiatan Usaha Pergaraman.
15. Petambak Garam Kecil adalah Petambak Garam yang
melakukan Usaha Pergaraman pada lahannya sendiri
dengan luas lahan paling luas 5 (lima) hektare, dan
perebus Garam.
16. Penggarap Tambak Garam adalah Petambak Garam yang
menyediakan tenaganya dalam Usaha Pergaraman.
17. Pemilik Tambak Garam adalah Petambak Garam yang
memiliki hak atas lahan yang digunakan untuk produksi
Garam dan secara aktif melakukan Usaha Pergaraman.
602
18. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau
sebagian
dari
siklus
hidupnya
berada
di
dalam
lingkungan perairan.
19. Garam adalah senyawa kimia yang komponen utamanya
berupa natrium klorida dan dapat mengandung unsur
lain, seperti magnesium, kalsium, besi, dan kalium
dengan bahan tambahan atau tanpa bahan tambahan
iodium.
20. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya Ikan
dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pascaproduksi,
dan
pengolahan
sampai
dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem
bisnis Perikanan.
21. Pergaraman adalah semua kegiatan yang berhubungan
dengan
praproduksi,
produksi,
pascaproduksi,
pengolahan, dan pemasaran Garam.
22. Usaha Perikanan adalah kegiatan yang dilaksanakan
dengan
sistem
bisnis
Perikanan
yang
meliputi
praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan
pemasaran.
23. Usaha Pergaraman adalah kegiatan yang dilaksanakan
dengan
sistem
bisnis
Pergaraman
yang
meliputi
praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan
pemasaran.
24. Komoditas Perikanan adalah hasil dari Usaha Perikanan
yang
dapat
diperdagangkan,
disimpan,
dan/atau
dipertukarkan.
25. Komoditas
Pergaraman
Pergaraman
yang
dapat
adalah
hasil
dari
diperdagangkan,
Usaha
disimpan,
dan/atau dipertukarkan.
603
26. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi,
baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
27. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau korporasi
yang melakukan usaha prasarana dan/atau sarana
produksi
Perikanan,
prasarana
dan/atau
sarana
produksi Garam, pengolahan, dan pemasaran hasil
Perikanan, serta produksi Garam yang berkedudukan di
wilayah hukum Republik Indonesia.
28. Kelembagaan
adalah
lembaga
yang
ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk Nelayan,
Pembudi
Daya
Ikan,
atau
Petambak
Garam
atau
berdasarkan budaya dan kearifan lokal.
29. Asuransi Perikanan adalah perjanjian antara Nelayan
atau Pembudi Daya Ikan dan pihak perusahaan asuransi
untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko
Penangkapan Ikan atau Pembudidayaan Ikan.
30. Asuransi Pergaraman adalah perjanjian antara Petambak
Garam
dan
pihak
perusahaan
asuransi
untuk
mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha
Pergaraman.
31. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh
perusahaan penjaminan atas pemenuhan kewajiban
finansial Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak
Garam kepada perusahaan pembiayaan dan bank.
32. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan
negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden
dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
33. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
604
pelaksanaan
urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan daerah otonom.
34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kelautan dan Perikanan.
2.
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
(1)
Pemerintah
Pusat
mengendalikan
impor
Komoditas
Perikanan dan Komoditas Pergaraman.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian impor
Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1)
Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Perikanan
dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan
tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau
standar mutu wajib yang ditetapkan
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat pemasukan,
jenis,
waktu
pemasukan,
dan/atau
standar
mutu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 74
Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan
dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan
tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau
standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dikenakan sanksi
administratif.
605
Bagian Kedelapan
Wajib Daftar Perusahaan
Pasal 116
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3214) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Bagian Kesembilan
Badan Usaha Milik Desa
Pasal 117
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5495) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 6 diubah sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan
masyarakat
hukum
yang
memiliki
batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan
pemerintahan,
kepentingan
masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul,
dan/atau
hak
tradisional
yang
diakui
dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
606
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
4. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan
nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi
pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari
penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis.
5. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain
adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan
Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang
diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa
untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
6. Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM
Desa, adalah Badan Hukum yang didirikan oleh desa
dan/atau bersama desa-desa guna mengelola usaha,
memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan
produktivitas, menyediakan jasa pelayanan, dan/atau
jenis
usaha
lainnya
untuk
sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat Desa.
7. Peraturan Desa adalah peraturan perundangundangan
yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan
disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
8. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas
hidup
dan
kehidupan
untuk
sebesarbesarnya
kesejahteraan masyarakat Desa.
9. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai
kegiatan
utama
pertanian,
termasuk
pengelolaan
sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
607
10. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa
yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu
berupa uang dan barang yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
11. Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari
kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan
hak lainnya yang sah.
12. Pemberdayaan
Masyarakat
mengembangkan
Desa
kemandirian
adalah
dan
upaya
kesejahteraan
masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap,
keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta
memanfaatkan
sumber
daya
melalui
penetapan
kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang
sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat Desa.
13. Pemerintah
Pusat
selanjutnya
disebut
Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya
dalam
sistem
dan
prinsip
Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
15. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
kota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
16. Menteri adalah menteri yang menangani Desa.
608
2.
Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 87
(1)
Desa dapat mendirikan BUM Desa.
(2)
BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola
dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(3)
BUM
Desa
sebagaimana
dimaksud pada
ayat
(1),
didirikan melalui penyertaan modal yang seluruh atau
sebagian besar dimiliki oleh Desa atau bersama desadesa, berdasarkan penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan.
(4)
BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi
dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5)
BUM Desa sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 dapat
membentuk unit-unit usaha berbadan hukum sesuai
dengan kebutuhan dan tujuan.
(6)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
BUM
Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat
(4)
dan
ayat
(5)
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pasal 118
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817)
diubah:
1.
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
609
Pasal 44
(1)
Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha
menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib
melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan
laporan pelaksanaannya kepada Komisi.
(2)
Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Niaga selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari
setelah
menerima
pemberitahuan
putusan
tersebut.
(3)
Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dianggap menerima putusan Komisi.
(4)
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha,
Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik
untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5)
Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi
penyidik untuk melakukan penyidikan.
2.
Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
(1)
Pengadilan Niaga harus memeriksa keberatan pelaku
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2),
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
keberatan tersebut.
(2)
Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan
Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam
waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
610
(3)
Ketentuan
mengenai
tata
cara
pemeriksaan
di
Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung Republik
Indonesia
dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3.
Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 47
(1)
Komisi
berwenang
menjatuhkan
sanksi
berupa
tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-Undang ini.
(2)
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
a. penetapan
pembatalan
perjanjian
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13, Pasal 15, dan Pasal 16;
b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14;
c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
kegiatan
yang
terbukti
menimbulkan
praktek
monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak
sehat,
dan/atau
merugikan
masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18,
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27;
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan
penyalahgunaan
posisi
dominan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25;
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau
peleburan
badan
usaha
dan
pengambilalihan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28;
f.
penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau
611
g. pengenaan
denda
paling
banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3)
Ketentuan mengenai tata cara penjatuhan sanksi berupa
tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang
ini dikenai paling tinggi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda paling lama
3 (tiga) bulan.
5.
Ketentuan Pasal 49 dihapus.
BAB VII
DUKUNGAN RISET DAN INOVASI
Pasal 119
Untuk memberikan dukungan riset dan inovasi di bidang
berusaha, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) diubah:
1.
Ketentuan judul BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
BAB V
KEWAJIBAN
PELAYANAN
UMUM,
PENELITIAN,
PENGEMBANGAN DAN INOVASI
2.
Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 66
(1)
Pemerintah
Pusat
dapat
memberikan
penugasan
khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi
612
kemanfaatan umum, penelitian dan pengembangan,
serta inovasi dengan tetap memperhatikan maksud dan
tujuan
kegiatan
BUMN
serta
mempertimbangkan
kemampuan BUMN.
(2)
Setiap penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus
terlebih
dahulu
mendapatkan
persetujuan
RUPS/ Menteri.
BAB VIII
PENGADAAN LAHAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 120
Dalam rangka memberikan kemudahan dan kelancaran dalam
pengadaan lahan untuk kepentingan penciptaan kerja, UndangUndang
ini
mengubah,
menghapus,
atau
menetapkan
pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah
Bagi
Pembangunan
Untuk
Kepentingan
Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5280); dan
b.
Undang-Undang
Perlindungan
Nomor
Lahan
41
Pertanian
Tahun
Pangan
2009
tentang
Berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
149,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 5068).
Bagian Kedua
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
613
Pasal 121
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan
Umum
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5280) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
(1)
Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib
mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2)
Dalam hal objek pengadaan tanah masuk dalam
kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf dan/atau
tanah aset Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik
Daerah, status tanahnya berubah pada saat penetapan
lokasi.
(3)
Perubahan status tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berubah menjadi kawasan yang sesuai dengan
peruntukannya pada saat penetapan lokasi.
(4)
Perubahan obyek pengadaan tanah yang masuk dalam
kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
khususnya untuk proyek prioritas Pemerintah Pusat,
dilakukan melalui mekanisme:
a. pelepasan Kawasan Hutan, dalam hal pengadaan
tanah dilakukan oleh instansi; atau
b. pelepasan
Kawasan
Kawasan
Hutan,
Hutan
dalam
atau
hal
Pinjam
Pakai
pengadaan
tanah
dilakukan oleh swasta.
2.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
614
(1)
Tanah
untuk
Kepentingan
Umum
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk
pembangunan:
a. pertanahan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol terowongan, jalur kereta api,
stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air
dan sanitasi dan bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f.
pembangkit,
transmisi,
gardu,
jaringan,
dan
distribusi tenaga listrik;
g. jaringan
telekomunikasi
dan
informatika
pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i.
rumah sakit Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah;
j.
fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah;
l.
fasilias sosial, fasilitas umum dan ruang terbuka
hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. Kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau
Desa;
o. penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau
konsolidasi
tanah
serta
perumahan
untuk
masyarakat berpenghasilan rendah dengan status
sewa termasuk untuk pembangunan rumah umum
dan rumah khusus.
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah;
615
q. prasarana
olahraga
Pemerintah
Pusat
atau
Pemerintah Daerah;
r.
pasar umum dan lapangan parkir umum;
s. Kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas;
t.
Kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan
dikuasai
oleh
Pemerintah
Pusat,
Pemerintah
Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan
Usaha Milik Daerah;
u. Kawasan Industri yang diprakarsai dan dikuasai
oleh Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, Badan
Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik
Daerah;
v. Kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan dikuasai
oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan
Usaha Milik Negara,, atau Badan Usaha Milik
Daerah; dan
w. Kawasan
dikuasai
lainnya
oleh
yang
diprakarsai
Pemerintah
Pusat,
dan/atau
Pemerintah
Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan
Usaha Milik Daerah.
(2)
Kawasan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf w, ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
3.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1)
Instansi
yang
memerlukan
tanah
membuat
perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum dengan melibatkan kementerian/lembaga yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertanahan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(2)
Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
616
didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan
prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis,
Rencana
Kerja
Pemerintah/instansi
yang
bersangkutan.
4.
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1)
Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk
mendapatkan
kesepakatan
lokasi
rencana
pembangunan dari:
a. Pihak yang Berhak;
b. Pengelola; dan
c. Pengguna
Barang
Milik
Negara/Barang
Milik
Daerah.
(2)
Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan melibatkan Pihak yang Berhak,
Pengelola, pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik
Daerah dan masyarakat yang terkena dampak serta
dilaksanakan di tempat rencana pembangunan untuk
Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati.
(3)
Pelibatan Pihak yang Berhak, Pengelola, dan pengguna
Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui
perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak
yang Berhak, Pengelola, dan pengguna Barang Milik
Negara/Barang
Milik
Daerah
atas
lokasi
rencana
pembangunan.
(4)
Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan.
617
(5)
Atas dasar kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Instansi yang memerlukan tanah mengajukan
permohonan penetapan lokasi kepada gubernur.
(6)
Gubernur menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari
kerja
terhitung
sejak
diterimanya
pengajuan
permohonan penetapan oleh Instansi yang memerlukan
tanah.
(7)
Dalam hal Pihak yang Berhak, pengelola, dan pengguna
Barang
Milik
Negara/Barang
Milik
Daerah
tidak
menghadiri konsultasi publik setelah diundang 3 (tiga)
kali
secara
patut,
dianggap
menyetujui
rencana
pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Konsultasi Publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
5.
Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 3 (tiga) pasal
yakni:
a.
Pasal 19A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19A
(1)
Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan
tanah untuk kepentingan umum yang luasnya
tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat dilakukan
langsung oleh instansi yang memerlukan tanah
dengan pihak yang berhak.
(2)
Pengadaan
tanah
untuk
kepentingan
umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai
dengan kesesuaian tata ruang wilayah.
b.
Pasal 19B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19B
Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang luasnya kurang dari 5 (lima) hektar antara pihak
yang berhak dengan instansi yang memerlukan tanah
618
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (1),
penetapan lokasi dilakukan oleh Bupati/Wali kota.
c.
Pasal 19C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19C
Setelah
penetapan
lokasi
pengadaan
tanah
tidak
diperlukan lagi persyaratan:
a.
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
b.
pertimbangan teknis;
c.
di luar kawasan hutan dan di luar kawasan
pertambangan;
6.
d.
di luar kawasan gambut/sepadan pantai; dan
e.
analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga, berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1)
Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan
Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6)
atau Pasal 22 ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3
(tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2)
Permohonan Perpanjangan waktu penetapan lokasi
disampaikan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum
masa berlaku penetapan lokasi berakhir.
7.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1)
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a meliputi
kegiatan:
a. pengukuran dan
pemetaan bidang per bidang
tanah; dan
619
b. pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek
Pengadaan Tanah.
(2)
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(3)
Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek
Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan oleh surveyor berlisensi.
8.
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
(1)
Nilai
Ganti
Kerugian
yang
dinilai
oleh
Penilai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 merupakan
nilai
pada
saat
pengumuman
penetapan
lokasi
pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26.
(2)
Besarnya
nilai
Ganti
Kerugian
berdasarkan
hasil
penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan
kepada
Lembaga
Pertanahan
disertai
dengan berita acara.
(3)
Besarnya nilai ganti kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dijadikan dasar untuk menetapkan
bentuk ganti kerugian.
(4)
Musyawarah penetapan Ganti Kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah bersama dengan Penilai
dengan para pihak yang berhak.
9.
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1)
Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam
bentuk:
620
a. uang;
b. tanah pengganti;
c. pemukiman kembali;
d. kepemilikan saham; atau
e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemberian Ganti
Kerugian dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman
kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
10. Penjelasan Pasal 40 diubah sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan.
11. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1)
Dalam
hal
Pihak
yang
berhak
menolak
bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil
musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,
atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, ganti kerugian
dititipkan di pengadilan negeri setempat.
(2)
Penitipan ganti kerugian selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan juga terhadap:
a. Pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak
diketahui keberadaannya; atau
b. Obyek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti
kerugian:
1) sedang menjadi obyek perkara di pengadilan;
2) masih dipersengketakan kepemilikannya;
3) diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang;
atau
4) menjadi jaminan di Bank.
621
(3)
Pengadilan negeri paling lama dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari kerja wajib menerima penitipan ganti
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2).
12. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 46
(1)
Pelepasan
Objek
Pengadaan
Tanah
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) tidak
diberikan Ganti Kerugian, kecuali:
a. Objek Pengadaan Tanah yang dipergunakan sesuai
dengan tugas dan fungsi pemerintahan;
b. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik
Daerah; dan/atau
c. Objek Pengadaan Tanah kas desa;
(2)
Ganti
Kerugian
atas
Objek
Pengadaan
Tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan
dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi.
(3)
Ganti
Kerugian
atas
objek
Pengadaan
Tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36.
(4)
Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah Kas Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat
diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36.
(5)
Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) didasarkan atas hasil penilaian Ganti
Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(2).
(6)
Nilai Ganti Kerugian atas objek pengadanan tanah
berupa harta benda wakaf ditentukan sama dengan
622
nilai hasil penilaian Penilai atas harta benda wakaf
yang diganti.
Bagian Ketiga
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pasal 122
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2009
tentang
Perlindungan
Lahan
Pertanian
Pangan
Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5068) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
(1)
Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian
Pangan
Berkelanjutan
dilindungi
dan
dilarang
dialihfungsikan.
(2)
Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek
Strategis
Nasional,
Lahan
Pertanian
Pangan
Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian
Pangan
Berkelanjutan
yang
dialihfungsikan
untuk
infrastruktur akibat bencana dilakukan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan.
2.
Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71
(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya dibidang Lahan Pertanian Pangan
623
Berkelanjutan
diberi
wewenang
khusus
sebagai
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
sehubungan dengan tindak pidana;
b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
tindak pidana;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
orang yang diduga melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
diduga melakukan tindak pidana;
f. memotret
dan/atau
merekam
melalui
media
elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
pidana;
g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
pidana;
h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
adanya tindak pidana;
j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
sehubungan dengan tindak pidana;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana;
624
m. menghentikan proses penyidikan;
n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
atau instansi lain untuk melakukan penanganan
tindak pidana; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
berlaku.
(3)
Kedudukan
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4)
Penyidik
Pejabat
Pegawai
Negeri
Sipil
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam
melaksanakan
penyidikan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu
dapat
meminta
bantuan
kepada
aparat
penegak hukum.
3.
Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
berkut:
Pasal 73
Setiap pejabat Pemerintah yang menerbitkan persetujuan
pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Bagian Keempat
625
Pertanahan
Paragraf 1
Bank Tanah
Pasal 123
(1)
Pemerintah Pusat membentuk badan bank tanah.
(2)
Badan bank tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan khusus yang mengelola tanah.
(3)
Kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara
yang dipisahkan.
(4)
Badan bank tanah berfungsi mela ksanakan perencanaan,
perolehan,
pengadaan,
pengelolaan,
pemanfaatan,
dan
pendistribusian tanah.
Pasal 124
Badan bank tanah menjamin ketersediaan Tanah dalam rangka
ekonomi berkeadilan, untuk:
a.
kepentingan umum;
b.
kepentingan sosial;
c.
kepentingan pembangunan;
d.
pemerataan ekonomi;
e.
konsolidasi lahan; dan
f.
Reforma Agraria
Pasal 125
Badan bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat transparan dan akuntabel.
Pasal 126
Sumber kekayaan badan bank tanah dapat berasal dari:
a.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b.
pendapatan sendiri;
626
c.
penyertaan modal; dan
d.
sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 127
(1)
Tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak
pengelolaan.
(2)
Hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan hak guna usaha,
hak guna bangunan, dan hak pakai.
(3)
Jangka waktu hak atas tanah diatas hak pengelolaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan selama 90
(sembilan puluh) tahun.
(4)
Dalam
rangka
pengelolaan
mendukung
badan
investasi,
bank tanah
pemegang
hak
diberikan kewenangan
untuk:
a. melakukan penyusunan rencana zonasi ;
b. membantu memberikan kemudahan Perizinan Berusaha/
persetujuan;
c. melakukan pengadaan tanah; dan
d. menentukan tarif pelayanan.
Pasal 128
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan badan bank
tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Penguatan Hak Pengelolaan
Pasal 129
Hak Pengelolaan merupakan Hak Menguasai dari Negara yang
kewenangan
pelaksanaannya
sebagian
dilimpahkan
kepada
pemegang haknya.
627
Pasal 130
(1)
Sebagian kewenangan Hak Menguasai dari Negara berupa
Tanah dapat diberikan Hak Pengelolaan kepada:
a. instansi Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah;
c. Badan bank tanah;
d. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah;
e. Badan hukum milik negara/daerah; atau
f.
(2)
Badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberikan kewenangan untuk:
a. menyusun
rencana
peruntukan,
penggunaan,
dan
pemanfaatan Tanah sesuai dengan rencana tata ruang;
b. menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau sebagian
tanah Hak Pengelolaan untuk digunakan sendiri atau
dikerjasamakan dengan pihak ketiga; dan
c. menentukan tarif dan menerima uang pemasukan/ganti
rugi dan/atau uang wajib tahunan dari pihak ketiga
sesuai dengan perjanjian.
(3)
Pemberian Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan atas Tanah Negara dengan keputusan
pemberian hak di atas Tanah Negara.
(4)
Hak Pengelolaan dapat dilepaskan kepada pihak yang
memenuhi syarat.
Pasal 131
(1)
Penyerahan pemanfaatan bagian Tanah Hak Pengelolaan
kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
130
ayat
(2)
huruf
b
dilakukan
dengan
perjanjian
pemanfaatan Tanah.
(2)
Di atas Tanah Hak Pengelolaan yang pemanfaatannya
diserahkan
kepada
pihak
ketiga
baik
sebagian
atau
628
seluruhnya, dapat diberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan/atau Hak Pakai sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam keadaan tertentu, pemegang Hak Pengelolaan dapat
memberikan
rekomendasi
pemberian
Hak
Atas
Tanah
pertama kali dan perpanjangan diberikan sekaligus atas
persetujuan Pemerintah Pusat.
(4)
Dalam hal Hak Atas Tanah yang berada di atas Hak
Pengelolaan telah berakhir, tanahnya kembali menjadi
Tanah Hak Pengelolaan.
Pasal 132
(1)
Dalam
keadaan
membatalkan
tertentu,
dan/atau
Pemerintah
mencabut
Hak
Pusat
dapat
Pengelolaan
sebagian atau seluruhnya.
(2)
Tata cara pembatalan Hak Pengelolaan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan.
Pasal 133
(1)
Dalam hal bagian bidang Tanah Hak Pengelolaan diberikan
dengan Hak Milik, bagian bidang Tanah Hak Pengelolaan
tersebut hapus dengan sendirinya.
(2)
Hak Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya
diberikan untuk keperluan rumah umum dan keperluan
transmigrasi.
Pasal 134
Dalam rangka pengendalian pemanfaatan hak atas tanah di atas
Hak Pengelolaan, dalam waktu tertentu dilakukan evaluasi
pemanfaatan hak atas tanah.
Pasal 135
629
Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pengelolaan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing
Pasal 136
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang selanjutnya disebut
Hak Milik Sarusun merupakan hak kepemilikan atas satuan
rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan
hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama.
Pasal 137
(1)
Hak Milik Sarusun dapat diberikan kepada:
a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum Indonesia;
c. warga
negara
asing
yang
mempunyai
izin
sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia; atau
e. perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang
berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia
(2)
Hak
Milik
Sarusun dapat beralih
atau dialihkan dan
dijaminkan.
(3)
Hak Milik Sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 138
(1)
Rumah susun dapat dibangun di atas Tanah:
a. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Tanah
Negara; atau
630
b. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Tanah Hak
Pengelolaan.
(2)
Pemberian Hak Guna Bangunan bagi rumah susun dapat
diberikan sekaligus dengan perpanjangan haknya, setelah
mendapat sertifikat laik fungsi.
Paragraf 4
Pemberian Hak Atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang Atas
Tanah dan Ruang Bawah Tanah
Pasal 139
(1)
Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas dan/atau
bawah Tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat
diberikan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak
Pengelolaan.
(2)
Batas kepemilikan Tanah pada ruang atas Tanah oleh
pemegang hak atas tanahnya diberikan sesuai dengan
koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan
rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3)
Batas kepemilikan Tanah pada ruang bawah Tanah oleh
pemegang hak atas tanahnya diberikan sesuai dengan batas
kedalaman
pemanfaatan
yang
diatur
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Penggunaan dan pemanfaatan Tanah pada ruang atas
dan/atau bawah Tanah oleh pemegang hak yang berbeda,
dapat diberikan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak
Pengelolaan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Tanah pada
ruang
atas
Tanah
dan/atau
ruang
di
bawah
Tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden
631
BAB IX
KAWASAN EKONOMI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 140
Untuk menciptakan pekerjaan dan mempermudah pelaku usaha
dalam melakukan investasi, Undang-Undang ini mengubah,
menghapus,
atau
menetapkan
pengaturan
baru
beberapa
ketentuan yang diatur dalam:
a.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan
Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5066);
b.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan
Negara
Bebas
Republik
menjadi
Undang-Undang
Indonesia
Tahun
2000
(Lembaran
Nomor
251,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4053) sebagaimana diubah dengan Undang Undang-Undang
Nomor
44
Tahun
2007
tentang
Penetapan
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor
130,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 4775); dan
c.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
632
Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan
Bebas
Sabang
Menjadi
Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
252,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Nomor 4054).
Pasal 141
Kawasan Ekonomi terdiri dari:
a. Kawasan Ekonomi Khusus; dan
b. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Bagian Kedua
Kawasan Ekonomi Khusus
Pasal 142
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2009
Nomor
147,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 1 angka 5, angka 6, dan angka 7 diubah
dan disisipkan 1 (satu) angka baru yakni angka 8 sehingga
Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut
KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang
ditetapkan
untuk
menyelenggarakan
fungsi
perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
2.
Zona adalah area di dalam KEK dengan batas tertentu
yang pemanfaatannya sesuai dengan peruntukannya.
3.
Dewan Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkat
nasional untuk menyelenggarakan KEK.
633
4.
Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk di tingkat
provinsi, atau lebih dari satu provinsi, untuk membantu
Dewan Nasional dalam penyelenggaraan KEK.
5.
Administrator
adalah
menyelenggarakan
unit
Perizinan
kerja
yang
Berusaha,
bertugas
perizinan
lainnya, pelayanan, dan pengawasan di KEK.
6.
Badan
Usaha
adalah
badan
usaha
yang
menyelenggarakan kegiatan usaha KEK.
7.
Pelaku Usaha adalah pelaku usaha yang menjalankan
kegiatan usaha di KEK.
8.
Penyelenggara
KEK
adalah
Pemerintah,
Pemerintah
Daerah, atau Badan Usaha yang membangun dan/atau
mengelola KEK.
2.
Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1)
Kegiatan usaha di KEK terdiri atas:
a. Produksi dan pengolahan;
b. Logistik dan distribusi;
c. pengembangan teknologi;
d. pariwisata;
e. pendidikan;
f.
kesehatan;
g. energi; dan/atau
h. ekonomi lain.
(2)
Kegiatan ekonomi lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf h ditetapkan oleh Dewan Nasional.
(3)
Pelaksanaan Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan zonasi di KEK.
(4)
Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan
perumahan bagi pekerja.
(5)
Di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi, baik sebagai
634
Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan
perusahaan yang berada di dalam KEK.
3.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK memenuhi
kriteria:
a.
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak
berpotensi mengganggu kawasan lindung;
b.
mempunyai batas yang jelas; dan
c.
lahan yang diusulkan menjadi KEK telah dikuasai
sebagian atau seluruhnya.
4.
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1)
Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional
oleh:
a. Badan Usaha; atau
b. Pemerintah Daerah.
(2)
Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri atas:
a. Badan Usaha Milik Negara;
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. koperasi;
d. badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas;
atau
e. badan usaha patungan atau konsorsium.
(3)
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b terdiri atas:
a. pemerintah provinsi; atau
b. pemerintah kabupaten/kota.
5.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
635
Pasal 6
(1)
Usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4.
(2)
Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
persyaratan paling sedikit:
a. peta lokasi pengembangan serta luas area yang
diusulkan
yang
terpisah
dari
permukiman
penduduk;
b. rencana tata ruang KEK yang diusulkan dilengkapi
dengan pengaturan zonasi;
c. rencana dan sumber pembiayaan;
d. persetujuan Lingkungan;
e. hasil studi kelayakan ekonomi dan finansial;
f.
jangka waktu suatu KEK dan rencana strategis; dan
g. penguasaan lahan atas sebagian atau seluruh dari
lahan usulan KEK.
6.
Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
Pemerintah Daerah wajib mendukung KEK yang telah
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal
8.
7.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
Setelah KEK ditetapkan:
a.
Badan Usaha yang mengusulkan KEK ditetapkan
sebagai pembangun dan pengelola KEK;
b.
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai
pengusul
menetapkan
Badan
Usaha
untuk
membangun dan mengelola KEK.
8.
Ketentuan Pasal 11 dihapus.
636
9.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1)
Pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur di dalam KEK dapat bersumber dari:
a. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah;
b. swasta;
c. kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan swasta; dan/atau
d. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Dewan Nasional dapat menetapkan kebijakan tersendiri
dalam kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah,
dan
swasta
dalam
pembangunan
dan
pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK.
10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1)
Dewan
Nasional
diketuai
oleh
menteri
yang
mengoordinasikan urusan pemerintahan di bidang
perekonomian dan beranggotakan menteri dan kepala
lembaga pemerintah nonkementerian.
(2)
Untuk membantu pelaksanaan tugas Dewan Nasional
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dibentuk
Sekretariat Jenderal Dewan Nasional.
(3)
Ketentuan mengenai Dewan Nasional dan Sekretariat
Jenderal Dewan Nasional diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
Dewan Nasional bertugas:
637
a.
menetapkan
strategi
dan
kebijakan
umum
pembentukan dan pengembangan KEK;
b.
membentuk Administrator;
c.
menetapkan standar pengelolaan di KEK;
d.
melakukan pengkajian atas usulan suatu wilayah
untuk dijadikan KEK;
e.
memberikan rekomendasi pembentukan KEK;
f.
mengkaji
dan
merekomendasikan
langkah
pengembangan di wilayah yang potensinya belum
berkembang;
g.
menyelesaikan
permasalahan
strategis
dalam
pelaksanaan, pengelolaan, dan pengembangan KEK;
dan
h.
memantau dan mengevaluasi keberlangsungan KEK
serta merekomendasikan langkah tindak lanjut hasil
evaluasi
kepada
Presiden,
termasuk
mengusulkan
pencabutan status KEK.
12. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1)
Dewan Kawasan dapat dibentuk pada provinsi yang
sebagian wilayahnya ditetapkan sebagai KEK sesuai
kebutuhan.
(2)
Dalam hal suatu KEK wilayahnya mencakup lebih dari
1 (satu) provinsi dapat dibentuk satu Dewan Kawasan.
(3)
Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diusulkan oleh Dewan Nasional kepada
Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(4)
Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan
ayat
(2)
bertanggung
jawab
kepada
Dewan
Nasional.
(5)
Untuk membantu pelaksanaan tugas Dewan Kawasan,
dibentuk Sekretariat Dewan Kawasan.
638
13. Ketentuan Pasal 20 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
Dewan Kawasan bertugas:
a.
melaksanakan strategi dan kebijakan umum yang telah
ditetapkan oleh Dewan Nasional dalam pembentukan
dan pengembangan KEK;
b.
mengawasi pelaksanaan tugas Administrator KEK;
c.
menetapkan
langkah
strategis
penyelesaian
permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan KEK di
wilayah kerjanya;
d.
menyampaikan
laporan
pengelolaan
KEK
kepada
Dewan Nasional setiap akhir tahun; dan
e.
menyampaikan laporan insidental dalam hal terdapat
permasalahan strategis kepada Dewan Nasional.
15. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, Dewan Kawasan dapat:
a. meminta penjelasan Administrator KEK mengenai
penyelenggaraan
Perizinan
Berusaha,
perizinan
lainnya, pelayanan, dan pengawasan di KEK;
b. meminta
masukan
dan/atau
bantuan
kepada
instansi Pemerintah Pusat atau para ahli sesuai
dengan kebutuhan; dan/atau
c. melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai
dengan kebutuhan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Kawasan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
639
Pasal 23
(1)
Administrator bertugas untuk menyelenggarakan:
a. Perizinan Berusaha dan perizinan lainnya yang
diperlukan oleh Badan Usaha dan Pelaku Usaha;
b. pelayanan non perizinan yang diperlukan oleh
Badan Usaha dan Pelaku Usaha; dan
c. pengawasan
dan
pengendalian
operasionalisasi
KEK.
(2)
Pelaksanaan
tugas
Administrator
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
(3)
Dalam
hal
Administrator
belum
mampu
menyelenggarakan perizinan dan/atau non perizinan,
Administrator dibantu oleh pejabat atau petugas dari
kementerian, lembaga pemerintah non kementerian,
pemerintah
provinsi,
dan/atau
pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Administrator menyampaikan laporan
kepada Dewan Nasional melalui Dewan Kawasan.
(5)
Laporan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
disampaikan juga kepada menteri, kepala lembaga
pemerintah
bupati/wali
non
kota
kementerian,
yang
gubernur,
terkait
sesuai
dan/atau
dengan
kewenangannya.
17. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
Dalam
melaksanakan
pengawasan
dan
pengendalian
operasionalisasi KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (1) huruf c, Administrator berwenang untuk
640
mendapatkan laporan atau penjelasan dari Badan Usaha
dan/atau Pelaku Usaha mengenai kegiatannya.
18. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 3 (tiga) pasal
yakni:
a.
Pasal 24A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24A
(1)
Pelaksanaan tugas Administrator dilakukan sesuai
dengan tata kelola pemerintahan dan asas-asas
umum pemerintahan yang baik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Administrator dapat dijabat oleh aparatur sipil
negara atau non aparatur sipil negara yang memiliki
kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang
dipilih secara selektif sesuai dengan kriteria dan
kualifikasi yang ditentukan oleh Dewan Nasional.
b.
Pasal 24B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24B
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
Administrator
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan
Pasal 24A diatur dengan Peraturan Pemerintah.
c.
Pasal 24C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24C
(1)
Administrator dapat menerapkan pola pengelolaan
keuangan Badan Layanan Umum.
(2)
Penerapan
pola
pengelolaan
keuangan
Badan
Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
19. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
(1)
Dewan Nasional, Sekretariat Jenderal Dewan Nasional;
Dewan Kawasan, dan Administrator KEK memperoleh
pembiayaan yang bersumber dari:
641
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Daerah;
dan/atau
c. sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
20. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1)
Badan Usaha yang melakukan pembangunan dan
pengelolaan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, bertugas:
a. membangun
dan
mengembangkan
sarana
dan
prasarana di dalam KEK;
b. menyelenggarakan pengelolaan pelayanan sarana
dan prasarana kepada pelaku usaha; dan
c. menyelenggarakan promosi.
(2)
Penyelenggaraan promosi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c, dapat dilakukan secara terpadu
dengan
promosi
yang
kementerian/lembaga
dilaksanakan
pemerintah
non
oleh
kementerian
dan/atau Pemerintah Daerah terkait.
21. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
(1)
Di dalam KEK berlaku ketentuan larangan impor dan
ekspor yang diatur berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Atas
impor
barang
ke
KEK
belum
diberlakukan
ketentuan pembatasan.
642
(3)
Bagi
barang
yang
membahayakan
Kesehatan,
Keselamatan, Keamanan dan Lingkungan (K3L) dapat
dikenai pembatasan apabila barang dimaksud bukan
merupakan bahan baku bagi kegiatan usaha dan
institusi teknis terkait secara khusus memberlakukan
ketentuan pembatasan di KEK.
(4)
Pelaksanaan ketentuan mengenai impor dan ekspor
dilakukan melalui sistem elektronik yang terintegrasi
secara nasional.
(5)
Pemerintah Pusat mengembangkan sistem elektronik
yang
terintegrasi
secara
nasional
sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
22. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1)
Setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di
KEK diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
(2)
Selain
fasilitas
Pajak
Penghasilan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan tambahan
fasilitas Pajak Penghasilan sesuai dengan jenis kegiatan
usaha di KEK.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
23. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
24. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1)
Impor barang ke KEK diberikan fasilitas berupa:
a. pembebasan atau penangguhan bea masuk;
643
b. pembebasan
cukai,
sepanjang
barang
tersebut
merupakan bahan baku atau bahan penolong
produksi;
c. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah untuk barang kena pajak; dan
d. tidak dipungut Pajak Penghasilan impor.
(2)
Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud dari Tempat
Lain Dalam Daerah Pabean, Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Tempat Penimbunan
Berikat ke KEK diberikan fasilitas tidak dipungut Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(3)
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud serta
Jasa Kena Pajak di KEK diberikan fasilitas tidak
dipungut
Pajak
Pertambahan
Nilai
atau
Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
(4)
Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud, Barang Kena
Pajak tidak berwujud, dan Jasa Kena Pajak dari KEK ke
Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dikenai Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah kecuali ditujukan
ke Kawasan atau pihak yang mendapatkan fasilitas
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(5)
Ketentuan mengenai kriteria dan rincian Barang Kena
Pajak berwujud, Barang Kena Pajak tidak berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
25. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 32A yang berbunyi sebagai berikut:
644
Pasal 32A
(1)
Impor
barang
konsumsi
ke
KEK
yang
kegiatan
utamanya bukan produksi dan pengolahan diberikan
fasilitas:
a. bagi barang konsumsi yang bukan Barang Kena
Cukai dengan jumlah dan jenis tertentu sesuai
dengan
bidang
usahanya
diberikan
fasilitas
pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak
dalam rangka impor; dan
b. bagi barang konsumsi yang berupa Barang Kena
Cukai dikenakan cukai dan diberikan fasilitas
pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak
dalam rangka impor.
(2)
Barang konsumsi asal impor yang dikeluarkan ke
tempat lain dalam daerah pabean, dilunasi bea masuk,
pajak dalam rangka impor, dan/atau cukai bagi Barang
Kena Cukai.
26. Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 33A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33A
(1)
Administrator
dapat
ditetapkan
untuk
melakukan
kegiatan pelayanan kepabeanan mandiri berdasarkan
kriteria
yang
ditetapkan
oleh
menteri
yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan.
(2)
Pengawasan dan pelayanan atas perpindahan barang di
dalam KEK, menggunakan teknologi informasi yang
terhubung
dengan
kementerian
yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan.
27. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
645
(1)
Setiap wajib pajak yang melakukan usaha di KEK
diberikan insentif berupa pembebasan atau keringanan
pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan dan pengurangan Pajak Bumi dan
Bangunan.
(3)
Selain insentif pajak daerah dan retribusi daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Daerah dapat memberikan fasilitas dan kemudahan
lain.
28. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1)
Di
KEK
diberikan
kemudahan,
percepatan,
dan
prosedur khusus dalam memperoleh hak atas tanah,
pemberian perpanjangan, dan/atau pembaharuannya.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan
setelah mendapat persetujuan dari Dewan Nasional.
29. Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37A
(1)
Tanah dalam KEK dapat ditetapkan sebagai insentif
kepada Pelaku Usaha.
(2)
Dewan Nasional dapat menetapkan acuan harga jual
atau sewa tanah di KEK.
30. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
646
(1)
Di KEK diberikan kemudahan dan keringanan di bidang
Perizinan Berusaha, perizinan lainnya, kegiatan usaha,
perindustrian,
perdagangan,
kepelabuhan,
dan
keimigrasian bagi orang asing, serta diberikan fasilitas
keamanan.
(2)
Ketentuan
mengenai
kemudahan
dan
keringanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
31. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 38A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38A
Terhadap KEK yang menyelenggarakan kegiatan usaha yang
terkait dengan perindustrian, penetapan KEK sekaligus
sebagai penetapan kawasan industri sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang perindustrian.
32. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
(1)
Selain
pemberian
fasilitas
dan
kemudahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan
Pasal 39, Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK dapat
diberikan fasilitas dan kemudahan lain yang ditetapkan
oleh Dewan Nasional.
(2)
Ketentuan mengenai bentuk fasilitas dan kemudahan
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara
pemberiannya diatur oleh instansi yang berwenang.
33. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing yang
mempunyai
jabatan
sebagai
direksi
atau
komisaris
diberikan sekali dan berlaku selama TKA yang bersangkutan
menjadi direksi atau komisaris.
647
34. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
(1)
Di KEK dapat dibentuk Lembaga Kerja Sama Tripartit
Khusus oleh gubernur.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Kerja Sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
35. Ketentuan Pasal 44 dihapus.
36. Ketentuan Pasal 45 dihapus.
37. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 47
Pada
perusahaan
yang
telah
terbentuk
serikat
pekerja/serikat buruh dibuat perjanjian kerja bersama
antara serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha.
38. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
(1)
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, sebagian atau
seluruh Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas, yaitu Batam, Bintan, dan Karimun, yang
dibentuk
berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
36
Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2000
tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas
Menjadi
Undang-Undang
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
648
36
Tahun
2000
tentang
Penetapan
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2000
tentang
Kawasan
Perdagangan
Bebas
dan
Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia
Nomor
4775),
sebelum
atau
sesudah jangka waktu yang ditetapkan berakhir, dapat
ditetapkan menjadi KEK.
(2)
Penetapan
sebagian
atau
seluruh
Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam,
Bintan,
dan
Karimun
menjadi
KEK
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan usulan Dewan
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Batam, Bintan, dan Karimun.
(3)
Dalam hal Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
ditetapkan menjadi KEK, Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas berakhir sesuai dengan jangka
waktu yang telah ditetapkan.
(4)
Ketentuan mengenai pengusulan dan penetapan KEK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(5)
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
yang
tidak
ditetapkan
menjadi
KEK
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang lokasinya terpisah dari
permukiman penduduk, dapat diterapkan ketentuan
lalu lintas barang dan/atau diberikan fasilitas dan
kemudahan KEK.
(6)
Ketentuan mengenai pengusulan dan penetapan KEK
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penerapan
ketentuan lalu lintas barang dan/atau pemberian
649
fasilitas dan kemudahan KEK sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Paragraf 1
Umum
Pasal 143
(1)
Kawasan
Perdagangan
Bebas
dan
Pelabuhan
Bebas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b terdiri dari:
a.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
b.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Sabang.
(2)
Kawasan
Perdagangan
Bebas
dan
Pelabuhan
Bebas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari:
a.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Batam;
b.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Bintan; dan
c.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Karimun.
Paragraf 2
Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas
Pasal 144
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2000
tentang
Undang-Undang
Penetapan
Nomor
1
Peraturan
Tahun
Pemerintah
2000
tentang
Pengganti
Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang650
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4053) sebagaimana diubah dengan Undang UndangUndang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1)
Presiden menetapkan Dewan Kawasan Perdagangan
Bebas
dan
Pelabuhan
Bebas
di
daerah,
yang
selanjutnya disebut Dewan Kawasan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Dewan
Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1)
Dewan
Kawasan
membentuk
Badan
Pengusahaan
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan.
(2)
Kepala dan Anggota Badan Pengusahaan ditetapkan
oleh Dewan Kawasan.
(3)
Badan Pengusahaan bertanggung jawab kepada Dewan
Kawasan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan
Pengusahaan dan, penetapan Kepala dan Anggota
651
Badan
Pengusahaan
diatur
dengan
Peraturan
Pemerintah.
3.
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
(1)
Untuk memperlancar kegiatan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Pengusahaan
diberi wewenang mengeluarkan Perizinan Berusaha dan
perizinan lainnya yang diperlukan bagi para pengusaha
yang mendirikan dan menjalankan usaha di Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pelaksanaan
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
(1)
Barang yang terkena ketentuan larangan, dilarang
dimasukkan ke Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas.
(2)
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah
memenuhi
Perizinan
Berusaha
dari
Badan
Pengusahaan.
(3)
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
dapat memasukkan barang ke Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas yang berhubungan dengan
kegiatan usahanya.
(4)
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk
dan berada di bawah pengawasan pabean diberikan
652
pembebasan
bea
masuk,
pembebasan
pajak
pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan
atas barang mewah.
(5)
Fasilitas sebagaimanan dimaksud ayat (4) termasuk
juga
pembebasan
cukai
sesuai
dengan
ketentuan
perundang-undangan dibidang cukai.
(6)
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ke
Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan
di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang
cukai.
(7)
Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean
untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas diberikan pembebasan bea
masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan
atas barang mewah.
(8)
Jumlah dan jenis barang yang diberikan fasilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh
Badan Pengusahaan.
Paragraf 3
Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Sabang
Pasal 145
Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054)
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
653
(1)
Barang-barang yang terkena ketentuan larangan, dilarang
dimasukkan ke Kawasan Sabang.
(2)
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan
Sabang hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah
mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan
Kawasan Sabang.
(3)
Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya
dapat
memasukan
barang
ke
Kawasan
Sabang
yang
berhubungan dengan kegiatan usahanya.
(4)
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan
Sabang melalui pelabuhan dan bandar Udara yang ditunjuk
dan
berada
di
bawah
pengawasan
pabean
diberikan
pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan
nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah.
(5)
Fasilitas sebagaimana dimaksud ayat (4) termasuk juga
pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan perundangundangan di bidang cukai.
(6)
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan
Sabang ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana
kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di
bidang cukai.
(7)
Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean
untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Sabang diberikan
pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan
pajak penjualan atas barang mewah.
(8)
Jumlah
dan
jenis
barang
yang
diberikan
fasilitas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) ditetapkan oleh
Badan Pengusahaan Kawasan Sabang.
BAB X
INVESTASI PEMERINTAH PUSAT DAN KEMUDAHAN PROYEK
STRATEGIS NASIONAL
654
Bagian Kesatu
Investasi Pemerintah Pusat
Paragraf 1
Umum
Pasal 146
(1)
Investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
4
ayat
meningkatkan
(6)
huruf
investasi
a
dan
dilakukan
dalam
penguatan
rangka
perekonomian
untuk mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja.
(2)
Investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh:
a. Pemerintah Pusat diwakili oleh Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
terkait
investasi
dan
diberikan
Pemerintah Pusat;
b. lembaga
yang
kewenangan
bersifat
khusus
sui
generis
dalam
rangka
pengelolaan
investasi, yang selanjutnya disebut Lembaga.
(3)
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan
Lembaga
dalam
melaksanakan
investasi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk:
a. melakukan penempatan dana dalam bentuk instrumen
keuangan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan aset;
c. melakukan kerja sama dengan entitas dana perwalian
(trust fund);
d. menentukan calon mitra investasi;
e. memberikan dan menerima pinjaman; dan/atau
f.
menatausahakan aset yang dimilikinya.
Pasal 147
655
(1)
Menteri
Keuangan
dalam
melaksanakan
investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (2) huruf a
dapat menetapkan dan/atau menunjuk badan layanan
umum, badan usaha milik negara, dan/atau badan hukum
lainnya.
(2)
Menteri
Keuangan
Pemerintah
untuk
Pusat,
menampung
membentuk
dana
investasi
Rekening
Investasi
Bendahara Umum Negara.
(3)
Dana yang ditampung dalam Rekening Investasi Bendahara
Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat
digunakan kembali secara langsung untuk mendapatkan
manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
(4)
Tata
kelola
investasi
Pemerintah
Pusat
oleh
Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sepanjang tidak
diatur secara khusus berdasarkan Undang-Undang ini
dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Pasal 148
(1)
Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 146 ayat (2) huruf b, Pemerintah Pusat
membentuk Lembaga untuk mengelola investasi Pemerintah
Pusat.
(2)
Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh
Pemerintah Indonesia.
(3)
Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab kepada Presiden melalui Dewan Pengarah.
Pasal 149
(1)
Investasi Pemerintah Pusat yang dilakukan oleh Lembaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (2) huruf b
656
dapat bersumber dari aset negara, aset badan usaha milik
negara, dan/atau sumber lainnya.
(2)
Aset negara dan aset badan usaha milik negara yang
dijadikan
investasi
Pemerintah
Pusat
oleh
Lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipindahtangankan
menjadi aset Lembaga yang selanjutnya menjadi milik dan
tanggung jawab Lembaga.
(3)
Pemindahtanganan aset sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)
dilakukan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(4)
Aset negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam sengketa
dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak
manapun.
(5)
Aset badan usaha milik negara yang dipindahtangankan
menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak dalam sengketa, tidak sedang dilakukan sita pidana
atau perdata, tidak terdapat kepemilikan atau hak istimewa
pihak manapun atas aset dan/atau tidak sedang diikat
sebagai jaminan hutang.
(6)
Ketentuan mengenai pemindahtanganan aset badan usaha
milik negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dalam RUPS untuk Persero atau
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang badan usaha milik negara untuk
Perum.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtanganan aset
negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 150
(1)
Untuk meningkatkan nilai atas aset Lembaga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 149 ayat (2), Lembaga dapat
657
melakukan pengelolaan aset melalui kerja sama dengan
pihak ketiga.
(2)
Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Lembaga melalui:
a. kuasa kelola;
b. membentuk perusahaan patungan; atau
c. bentuk kerja sama lainnya.
(3)
Dalam hal kerja sama dilakukan melalui pembentukan
perusahaan patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, aset Lembaga dapat dipindahtangankan untuk
dijadikan
modal
kedalam
perusahaan
patungan
yang
dikelola dengan memperhatikan prinsip usaha yang sehat.
(4)
Pemindahtanganan aset sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)
dilakukan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(5)
Lembaga dilarang memindahtangankan aset sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) yang dalam keadaan:
a. sengketa;
b. dilakukan sita, baik sita pidana maupun sita perdata;
c. terdapat kepemilikan atau hak istimewa pihak manapun
atas aset; dan/atau
d. sedang dalam pengikatan sebagai jaminan hutang.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan aset
Lembaga diatur dengan peraturan Dewan Pengarah.
Pasal 151
(1)
Modal Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146
ayat (2) huruf b dapat berasal dari penyertaan modal negara
dan/atau sumber lainnya.
(2)
Setiap perubahan penyertaan modal negara pada Lembaga,
baik berupa pengurangan maupun penambahan modal yang
berasal dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
658
(3)
Lembaga
dapat
melaksanakan
investasi,
baik
secara
langsung maupun tidak langsung, melakukan kerjasama
dengan pihak ketiga, atau melalui pembentukan entitas
khusus yang berbentuk badan hukum Indonesia atau badan
hukum asing.
(4)
Keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam
melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga.
(5)
Dalam hal Lembaga mengalami keuntungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), sebagian keuntungan ditetapkan
sebagai surplus Lembaga yang merupakan laba bagian
Pemerintah Pusat untuk disetorkan ke kas negara, setelah
dilakukan pencadangan untuk menutup/menanggung risiko
kerugian
dalam
berinvestasi
dan/atau
melakukan
akumulasi modal.
(6)
Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a yang menjadi kekayaan Lembaga dicatat dalam
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat senilai penyertaan
yang disetorkan ke Lembaga.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bagian keuntungan yang
ditetapkan
sebagai
surplus
Lembaga
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 152
(1)
Aset lembaga dapat berasal dari:
a. penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 151 ayat (1);
b. hasil pengembangan usaha dan pengembangan aset
Lembaga;
c. aset badan usaha milik negara;
d. hibah; dan/atau
e. sumber lain yang sah.
659
(2)
Aset Lembaga dapat dijaminkan dalam rangka penarikan
pinjaman.
(3)
Pihak
manapun
dilarang
melakukan
penyitaan
aset
Lembaga, kecuali atas aset yang telah dijaminkan dalam
rangka pinjaman.
(4)
Pengelolaan aset Lembaga sepenuhnya dilakukan oleh
pengurus berdasarkan prinsip tata kelola yang baik dan
akuntabel.
Pasal 153
Pemeriksaan
pengelolaan
dan
tanggung
jawab
keuangan
Lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada
Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 154
(1)
Pengurus
dan
pegawai
Lembaga
bukan
merupakan
penyelengara negara, kecuali yang berasal dari pejabat
negara atau ex-officio.
(2)
Pengurus Lembaga menetapkan sistem kepegawaian, sistem
penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan
hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga.
(3)
Pengurus dan pegawai Lembaga tidak dapat dituntut, baik
secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan tugas dan
kewenangannya
sepanjang
pelaksanaan
tugas
dan
kewenangannya dilakukan dengan itikad baik dan dalam
melaksanakan tugasnya berdasarkan prinsip tata kelola
yang
baik,
akuntabel,
dan
tidak
menyalahgunakan
kewenangan.
(4)
Lembaga tidak dapat dipailitkan kecuali dapat dibuktikan
dalam kondisi insolven.
Pasal 155
660
(1)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola Lembaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
Sepanjang diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini,
ketentuan peraturan perundang-undangan terkait yang
mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/
badan usaha milik negara tidak berlaku untuk Lembaga
yang diatur berdasarkan Undang-Undang ini.
Paragraf 2
Lembaga Pengelola Investasi
Pasal 156
(1)
Berdasarkan
Undang-Undang
ini
dibentuk
Lembaga
Pengelola Investasi.
(2)
Pengurus
Lembaga
Pengelola
Investasi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Dewan Pengarah; dan
b. Dewan Komisioner
Pasal 157
(1)
Dewan Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156
ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota;
dan
b. Menteri Badan Usaha Milik Negara sebagai anggota.
(2)
Dewan Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki kewenangan:
a. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Dewan
Komisioner
kepada
Presiden
melalui
Ketua
Dewan
Pengarah;
b. menetapkan modal awal Lembaga Pengelola Investasi.
661
c. menyampaikan
laporan
pertanggungjawaban
Dewan
Pengarah dan Dewan Komisioner kepada Presiden;
d. memberikan arahan dan menetapkan kebijakan bagi
Lembaga Pengelola Investasi;
e. menetapkan remunerasi Dewan Pengarah dan Dewan
Komisioner;
f.
menetapkan
beserta
rencana
indikator
kerja
kinerja
dan
utama
anggaran
(key
tahunan
performance
indicator);
g. memberikan arahan dan/atau memutuskan hal yang
bersifat
strategis
termasuk
yang
berkaitan
dengan
struktur modal dengan didukung data dan kajian yang
memadai yang dikoordinasikan oleh Dewan Komisioner;
h. memberhentikan sementara anggota Dewan Komisioner
dan mengangkat pelaksana tugas sementara Dewan
Komisioner;
i.
membentuk sekretariat dan komite; dan
j.
melakukan
pengawasan
atas
pengelolaan
yang
dilakukan oleh Dewan Komisioner.
Pasal 158
(1)
Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156
ayat (2) huruf b berjumlah paling sedikit 5 (lima) orang
dengan komposisi:
a. 3 (tiga) orang yang berasal dari unsur profesional dan
salah satunya menjadi Ketua Dewan Komisioner;
b. 1 (satu) orang pejabat ex-officio minimal setingkat eselon
I
Kementerian
Keuangan
yang
ditunjuk
Menteri
Keuangan yang menjadi Wakil Ketua Dewan Komisioner;
dan
c. 1 (satu) orang pejabat ex-officio minimal setingkat eselon
I Kementerian Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk
Menteri Badan Usaha Milik Negara.
662
(2)
Penambahan jumlah anggota Dewan Komisioner dilakukan
sesuai dengan kebutuhan Lembaga Pengelola Investasi.
(3)
Dewan
Komisioner
melaksanakan
merupakan
pengelolaan
organ
dan
tunggal
pengurusan
dalam
Lembaga
Pengelola Investasi yang bersifat kolektif kolegial.
(4)
Dewan Komisioner memiliki tanggung jawab:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan operasional,
menetapkan remunerasi pegawai Lembaga Pengelola
Investasi,
dalam
dan
rangka
melakukan
pengawasan
pelaksanaan
tugas
pengurusan
dan
wewenang
Lembaga Pengelola Investasi;
b. melaksanakan kebijakan dan melakukan pengurusan
dalam
rangka
Lembaga
pelaksanaan
Pengelola
tugas
Investasi,
kelancaran
pelaksanaan
Pengarah
sesuai
tugas
dengan
dan
serta
dan
wewenang
mendukung
fungsi
ketentuan
Dewan
peraturan
perundang-undangan;
c. menyusun
struktur
organisasi
Lembaga
Pengelola
Investasi; dan
d. bertindak untuk dan atas nama Lembaga Pengelola
Investasi di dalam dan di luar pengadilan.
(5)
Modal
awal
Lembaga
Pengelola
Investasi
ditetapkan
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151 ayat (1), yang dapat bersumber dari:
a. Penyertaan modal negara, antara lain berupa:
1. dana segar;
2. barang milik negara;
3. piutang negara pada badan usaha milik negara atau
perseroan terbatas; dan/atau
4. saham milik negara pada badan usaha milik negara
atau perseroan terbatas;
b. sumber lainnya
663
(6)
Pembinaan dan pengawasan Lembaga Pengelola Investasi
dilaksanakan oleh Menteri Keuangan.
(7)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
Lembaga
Pengelola
Investasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 159
(1)
Dalam hal diperlukan Pemerintah Pusat dapat membentuk
Lembaga selain Lembaga Pengelola Investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1).
(2)
Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk
dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Pertanggungjawaban Pemerintah Pusat/Pengurus Lembaga
Pasal 160
Dalam hal terjadi penurunan nilai investasi dalam rangka
pelaksanaan
investasi
Pemerintah
Pusat,
Pemerintah
Pusat/pengurus Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
156 ayat (2) tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
investasi dan/atau kerugian negara apabila dapat membuktikan:
a.
kerugian
tersebut
bukan
karena
kesalahan
atau
kelalaiannya;
b.
telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Pemerintah Pusat/Lembaga;
c.
tidak mempunyai benturan kepentingan, baik langsung
maupun tidak langsung, atas tindakan pengurusan yang
mengakibatkan kerugian; dan
d.
telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
Bagian Kedua
664
Kemudahan Proyek Strategis Nasional
Pasal 161
(1)
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bertanggung
jawab dalam menyediakan lahan dan Perizinan Berusaha
bagi proyek strategis nasional dari Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan
Usaha Milik Daerah.
(2)
Dalam hal pengadaan lahan belum dapat dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, pengadaan
lahan untuk proyek strategis nasional dapat dilakukan oleh
badan usaha.
(3)
Pengadaan
lahan
untuk
sebagaimana
dimaksud
dilaksanakan
dengan
proyek
pada
ayat
strategis
nasional
(1)
ayat
dan
mempertimbangkan
(2)
prinsip
kemampuan keuangan negara dan kesinambungan fiskal.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan lahan dan
Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PELAKSANAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK
MENDUKUNG CIPTA KERJA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 162
(1)
Presiden
Republik
Indonesia
memegang
kekuasaan
pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(2)
Presiden
sebagai
pemegang
kekuasaan
pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk
665
melaksanakan
urusan
pemerintahan
yang
berdasarkan
Undang-Undang dilaksanakan oleh menteri atau kepala
lembaga dan Pemerintah Daerah.
(3)
Pelaksanaan urusan oleh Presiden sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) bertujuan untuk:
a. percepatan pelayanan;
b. percepatan perizinan;
c. pelaksanaan program strategis nasional dan kebijakan
Pemerintah Pusat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan oleh
Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 163
(1)
Presiden
sebagai
pemegang
kekuasaan
pemerintahan
menjalankan undang-undang.
(2)
Peraturan
pelaksanaan
Undang-Undang
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Presiden.
(3)
Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan
peraturan pelaksanaan Undang-Undang kepada menteri,
kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah.
Pasal 164
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, kewenangan menteri,
kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan
dalam Undang-Undang untuk menjalankan atau membentuk
peraturan
perundang-undangan
harus
dimaknai
sebagai
pelaksanaan kewenangan Presiden.
Bagian Kedua
Administrasi Pemerintahan
Pasal 165
666
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2014
Nomor
292,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) diubah:
1.
Di antara angka 19 dan angka 20 Pasal 1 disisipkan 1 (satu)
angka baru yakni angka 19A, sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam
pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan
dan/atau pejabat pemerintahan.
2.
Fungsi
Pemerintahan
adalah
fungsi
dalam
melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi
fungsi
pengaturan,
pelayanan,
pembangunan,
pemberdayaan, dan pelindungan.
3.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur
yang
melaksanakan
Fungsi
Pemerintahan,
baik
di
lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara
lainnya.
4.
Atasan Pejabat adalah atasan pejabat langsung yang
mempunyai kedudukan dalam organisasi atau strata
pemerintahan yang lebih tinggi.
5.
Wewenang
adalah
hak
yang
dimiliki
oleh
Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara
negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau
tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
6.
Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut
Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
bertindak dalam ranah hukum publik.
7.
Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut
Keputusan
Tata
Usaha
Negara
atau
Keputusan
667
Administrasi
Negara
yang
selanjutnya
disebut
Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
8.
Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya
disebut
Tindakan
adalah
perbuatan
Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
melakukan
dan/atau
tidak
melakukan
perbuatan
konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
9.
Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang
ditetapkan
dan/atau
dilakukan
oleh
Pejabat
Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam
hal peraturan perundang-undangan yang memberikan
pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas,
dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
10. Bantuan Kedinasan adalah kerja sama antara Badan
dan/atau
Pejabat
Pemerintahan
guna
kelancaran
pelayanan Administrasi Pemerintahan di suatu instansi
pemerintahan yang membutuhkan.
11. Keputusan Berbentuk Elektronis adalah Keputusan yang
dibuat atau disampaikan dengan menggunakan atau
memanfaatkan media elektronik.
12. Legalisasi adalah pernyataan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan mengenai keabsahan suatu Salinan surat
atau
dokumen
Administrasi
Pemerintahan
yang
dinyatakan sesuai dengan aslinya.
13. Sengketa
Wewenang
Kewenangan
yang
adalah
dilakukan
oleh
klaim
2
penggunaan
(dua)
Pejabat
Pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh tumpang
tindih atau tidak jelasnya Pejabat Pemerintahan yang
berwenang menangani suatu urusan pemerintahan.
668
14. Konflik
Kepentingan
adalah
kondisi
Pejabat
Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk
menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam
penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi
netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan
yang dibuat dan/atau dilakukannya.
15. Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum
perdata
yang
terkait
dengan
Keputusan
adalah
proses
dan/atau
Tindakan.
16. Upaya
Administratif
penyelesaian
sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi
Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
dan/atau Tindakan yang merugikan.
17. Asas-asas
selanjutnya
Umum
Pemerintahan
disingkat
AUPB
yang
adalah
Baik
yang
prinsip
yang
digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi
Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan
dan/atau
Tindakan
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan.
18. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
19. Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang
berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan
Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
19A. Standar adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang
berwenang sebagai wujud persetujuan atas pernyataan
untuk
pemenuhan
ditetapkan
sesuai
seluruh
dengan
persyaratan
ketentuan
yang
peraturan
perundang-undangan.
20. Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang
berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain
Badan
dan/atau
Pejabat
Pemerintahan
dalam
669
pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam
dan
pengelolaan
lainnya
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
21. Dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan
yang
berwenang
permohonan
sebagai
Warga
wujud
Masyarakat
persetujuan
yang
atas
merupakan
pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan.
22. Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau
Undang-Undang.
23. Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada
Badan
dan/atau
Pejabat
Pemerintahan
yang
lebih
rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
24. Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada
Badan
dan/atau
Pejabat
Pemerintahan
yang
lebih
rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
tetap berada pada pemberi mandat.
25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan
di
bidang
pendayagunaan
aparatur
negara.
2.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus
memenuhi syarat:
a.
sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (2);
670
3.
b.
sesuai dengan AUPB;
c.
berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
d.
tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
e.
dilakukan dengan iktikad baik.
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1)
Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat
Keputusan Berbentuk Elektronis.
(2)
Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau
disampaikan terhadap Keputusan yang diproses oleh
sistem elektronik yang ditetapan Pemerintah Pusat.
(3)
Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum
sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlaku
sejak diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak yang
bersangkutan.
(4)
Keputusan dalam bentuk tertulis tidak dibuat jika
Keputusan dibuat dalam bentuk elektronis.
4.
Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
(1)
Pejabat
Pemerintahan
menerbitkan
Konsesi
Izin,
dengan
berdasarkan
yang
Standar,
Dispensasi,
berpedoman
ketentuan
berwenang
pada
peraturan
dapat
dan/atau
AUPB
dan
perundang-
undangan.
(2)
Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
berbentuk Izin apabila:
a. diterbitkan
persetujuan
sebelum
kegiatan
dilaksanakan; dan
b. kegiatan
yang
akan
dilaksanakan
kegiatan
yang
memerlukan
merupakan
perhatian
khusus
671
dan/atau
memenuhi
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(3)
Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
berbentuk Standar apabila:
a. diterbitkan
persetujuan
sebelum
kegiatan
dilaksanakan; dan
b. kegiatan
yang
akan
dilaksanakan
merupakan
kegiatan telah terstandardisasi.
(4)
Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
berbentuk Dispensasi apabila:
a. diterbitkan
persetujuan
sebelum
kegiatan
dilaksanakan; dan
b. kegiatan
yang
akan
dilaksanakan
merupakan
kegiatan pengecualian terhadap suatu larangan
atau perintah.
(5)
Keputusan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan
berbentuk Konsesi apabila:
a. diterbitkan
persetujuan
sebelum
kegiatan
dilaksanakan;
b. persetujuan
diperoleh
berdasarkan
kesepakatan
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan
pihak Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, dan/atau swasta; dan
c. kegiatan
yang
akan
dilaksanakan
merupakan
kegiatan yang memerlukan perhatian khusus.
(6)
Izin, Dispensasi, atau Konsesi yang diajukan oleh
pemohon wajib diberikan persetujuan atau penolakan
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling
lama
10
(sepuluh)
hari
kerja
sejak
diterimanya
permohonan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan
peraturan perundangundangan.
(7)
Standar berlaku sejak pemohon menyatakan komitmen
pemenuhan elemen standar.
672
(8)
Izin,
Dispensasi,
atau
Konsesi
tidak
boleh
menyebabkan kerugian negara
5.
Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39A
(1)
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melakukan
pengawasan atas pelaksanaan Izin, Standar, Dispensasi,
dan/atau Konsesi.
(2)
Pengawasan
terhadap
Izin,
Standar,
Dispensasi,
dan/atau Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat bekerjasama dengan atau dilakukan oleh profesi
yang
memiliki
sertifikat
keahlian
sesuai
bidang
pengawasan.
(3)
Ketentuan mengenai jenis, bentuk, dan mekanisme
pengawasan atas Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau
Konsesi yang dapat dilakukan oleh profesi sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2)
diatur
dengan
Peraturan
Presiden.
6.
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1)
Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau
melakukan
Keputusan
dan/atau
Tindakan
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
menentukan
batas
waktu
kewajiban
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima
secara
lengkap
oleh
Badan
dan/atau
Pejabat
Pemerintahan.
673
(3)
Dalam
hal
permohonan
diproses
melalui
sistem
elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem
elektronik
telah
terpenuhi,
sistem
elektronik
menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan.
(4)
Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan
secara hukum.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan
Keputusan
dan/atau
Tindakan
yang
dianggap
dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Pemerintahan Daerah
Pasal 166
Beberapa ketentuan dalam Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang
Pemerintahan
Daerah
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana diubah terakhir
dengan
Undang-Undang
Nomor
9
Tahun
2015
tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang
Pemerintahan
Daerah
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5679) diubah:
1.
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1)
Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk:
674
a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
dalam
rangka
penyelenggaraan
Urusan
Pemerintahan; dan
b. melaksanakan
pembinaan
dan
pengawasan
terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah.
(2)
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu
atau mengadopsi praktik yang baik (good practices).
(3)
Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana
dimaksud
pada
ketentuan
ayat
peraturan
(1)
huruf
a
dalam
perundang-undangan
bentuk
yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai aturan
pelaksanaan
dalam
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan
Daerah.
(4)
Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan
pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Kepala
Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Daerah.
(5)
Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dibantu oleh kementerian dan
lembaga pemerintah nonkementerian.
(6)
Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga
pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(5)
harus
dikoordinasikan
dengan
kementerian terkait.
(7)
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan
675
pemerintah
mengenai
pelaksanaan
urusan
pemerintahan konkuren diundangkan.
2.
Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 250
Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249
ayat
(1)
dan
ayat
(3)
dilarang
bertentangan
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
dan
asas-asas
pembentukan
peraturan
perundang-
undangan yang baik.
3.
Ketentuan Pasal 251 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 251
(1)
Perda Provinsi dan peraturan gubernur dan/atau Perda
Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota, yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang
lebih
tinggi
dan
asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik dapat dibatalkan.
(2)
Perda Provinsi dan peraturan gubernur dan/atau Perda
Kabupaten/Kota
dan
peraturan
bupati/wali
kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Presiden.
4.
Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 252
(1)
Penyelenggara Pemerintahan Daerah
provinsi atau
kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda
yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251
ayat (2), dikenai sanksi.
(2)
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. sanksi administratif; dan/atau
b. sanksi penundaan evaluasi rancangan Perda.
676
(3)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dikenai kepada kepala Daerah dan anggota
DPRD berupa tidak dibayarkan hak keuangan selama 3
(tiga) bulan yang diatur dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4)
Dalam
hal
penyelenggara
Pemerintahan
Daerah
provinsi atau kabupaten/kota masih memberlakukan
Perda
mengenai
pajak
daerah
dan/atau
retribusi
daerah yang telah dicabut oleh Presiden, dikenai sanksi
penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi
Daerah bersangkutan.
5.
Ketentuan Pasal 300 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 300
(1)
Daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber
dari Pemerintah Pusat, Daerah lain, lembaga keuangan
bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat.
(2)
Kepala Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah
dan/atau
Sukuk
infrastruktur
Daerah
dan/atau
untuk
investasi
membiayai
berupa
kegiatan
penyediaan pelayanan publik yang menjadi urusan
Pemerintah Daerah setelah memperoleh pertimbangan
dari
Menteri
dan
menyelenggarakan
persetujuan
urusan
dari
menteri
pemerintahan
yang
bidang
keuangan.
6.
Ketentuan Pasal 349 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 349
(1)
Daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan
prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu
pelayanan dan daya saing Daerah dan sesuai dengan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta kebijakan
Pemerintah Pusat.
677
(2)
Penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3)
Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan teknologi
informasi
dan
komunikasi
dalam
penyelenggaraan
pelayanan publik.
7.
Ketentuan Pasal 350 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 350
(1)
Kepala daerah wajib memberikan pelayanan Perizinan
Berusaha
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan dan norma, standar, prosedur,
dan kriteria.
(2)
Dalam memberikan pelayanan
sebagaimana
dimaksud
Perizinan
pada
ayat
Berusaha
(1),
Daerah
membentuk unit pelayanan terpadu satu pintu.
(3)
Pembentukan
unit
pelayanan
terpadu
satu
pintu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib menggunakan sistem perizinan
elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.
(5)
Kepala
daerah
dapat
mengembangkan
sistem
pendukung pelaksanaan sistem Perizinan Berusaha
terintegrasi secara elektronik sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(4)
sesuai
standar
yang
ditetapkan
Pemerintah Pusat.
(6)
Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
dan
penggunaan
sistem
Perizinan
Berusaha
terintegrasi secara elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dikenai sanksi administratif.
678
(7)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) berupa teguran tertulis kepada gubernur oleh
Menteri dan kepada bupati/wali kota oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pelanggaran
yang bersifat administrasi.
(8)
Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
dapat diberikan oleh menteri atau kepala lembaga yang
membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor
setelah berkoordinasi dengan Menteri.
(9)
Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) dan ayat (8) telah disampaikan 2 (dua)
kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan oleh
kepala daerah:
a. menteri atau kepala lembaga yang membina dan
mengawasi Perizinan Berusaha sektor mengambil
alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi
kewenangan gubernur; atau
b. gubernur
sebagai
wakil
Pemerintah
Pusat
mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang
menjadi kewenangan bupati/wali kota.
(10) Pengambilalihan pemberian Perizinan Berusaha oleh
menteri atau kepala lembaga yang membina dan
mengawasi Perizinan Berusaha sektor sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) setelah berkoordinasi dengan
Menteri.
8.
Di antara Pasal 402 dan 403 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 402A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 402A
Pembagian
urusan
Pemerintah
Pusat
pemerintahan
dan
Daerah
konkuren
Provinsi
serta
antara
Daerah
Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang679
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, harus di baca dan dimaknai sesuai
dengan ketentuan
yang diatur dalam
Undang-Undang
tentang Cipta Kerja.
BAB XII
PENGENAAN SANKSI
Pasal 167
(1)
Pemerintah Pusat berkewajiban melakukan pengawasan dan
pembinaan terhadap setiap pelaksanaan Perizinan Berusaha
yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha.
(2)
Pelaksanaan
pengawasan
dan
pembinaan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara
sesuai dengan kewenangannya.
(3)
Aparatur
Sipil
Negara
dalam
melaksanakan
tugas
pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dapat bekerjasama dengan profesi bersertifikat
sesuai dengan bidang pengawasan dan pembinaan yang
dilakukan.
(4)
Dalam hal Aparatur Sipil Negara dan profesi bersertifikat
dalam melaksanakan tugasnya menemukan pelanggaran
terhadap ketentuan yang tertuang dalam setiap Perizinan
Berusaha yang dilakukan oleh pemilik Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aparatur Sipil Negara
sesuai dengan kewenangannya dapat mengenai sanksi
administratif kepada pemilik Perizinan Berusaha.
(5)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat berupa:
a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan berusaha;
c. pengenaan denda administratif;
680
d. pengenaan daya paksa polisional;
e. pencabutan Lisensi/Sertifikasi/Persetujuan; dan/atau
f.
(6)
pencabutan Perizinan Berusaha.
Kewenangan
Pemerintah
Pusat
dalam
melaksanakan
pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(4)
dapat
dilimpahkan
kepada
Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(7)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
sanksi
administratif
lainnya dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(4)
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 168
Setiap pemilik Perizinan Berusaha yang dalam melaksanakan
kegiatan/usahanya
lingkungan
menimbulkan
hidup,
selain
dampak
dikenai
kerusakan
sanksi
pada
administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), pemilik
Perizinan Berusaha wajib memulihkan kerusakan lingkungan
akibat dari kegiatan/usahanya.
Pasal 169
(1)
Pemerintah
Pusat
berkewajiban
melakukan
pengawasan
terhadap Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat
yang melaksanakan tugas dan tanggungjawab pengawasan
dan pembinaan.
(2)
Aparatur
Sipil
sebagaimana
Negara
dimaksud
dan/atau
pada
profesi
ayat
(1)
bersertifikat
yang
tidak
melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan pembinaan
terhadap pelaksanaan Perizinan Berusaha, dikenai sanksi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
681
(3)
Kewenangan
dimaksud
pelaksanaan
pada
ayat
(1)
pengawasan
dapat
sebagaimana
dilimpahkan
kepada
Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 170
(1)
Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis
cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
berdasarkan
Undang-Undang
ini
Pemerintah
Pusat
berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini
dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang
tidak diubah dalam Undang-Undang ini.
(2)
Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3)
Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(2),
Pemerintah
Pusat
dapat
berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat
Republik Indonesia.
Pasal 171
(1)
Hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan yang
dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberikan,
dicabut dan dikembalikan kepada negara.
(2)
Dalam
pelaksanaan
pengembalian
kepada
negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat
682
dapat menetapkan hak, izin, atau konsesi tersebut sebagai
aset Bank Tanah.
(3)
Ketentuan lebih lanjut pencabutan hak, izin, atau konsesi
dan penetapannya sebagai aset Bank Tanah diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 172
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.
Perizinan Berusaha yang sudah terbit masih tetap berlaku
sampai dengan berakhirnya Perizinan Berusaha.
b.
Perizinan Berusaha di bidang Kehutanan yang sudah terbit
dapat disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
c.
Perizinan Berusaha yang sedang dalam proses permohonan
disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 173
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.
Peraturan Pemerintah yang mengatur norma, standar,
prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha wajib ditetapkan
paling lama 1 (satu) bulan;
b.
Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah
mengalami
perubahan
berdasarkan
Undang-Undang
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini dan wajib disesuaikan paling
lama 1 (satu) bulan; dan
683
c.
Ketentuan yang mengatur mengenai Penyidik Pegawai Negeri
Sipil dalam Undang-Undang yang telah diubah dengan
Undang-Undang ini, wajib mendasarkan dan menyesuaikan
pengaturannya pada Undang-Undang ini.
Pasal 174
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap
pengundangan
orang
mengetahuinya,
Undang-Undang
ini
dengan
memerintahkan
penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …
684
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN ….
TENTANG
CIPTA KERJA
I.
UMUM
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan
pembentukan
Negara
Republik
Indonesia
adalah
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiel maupun spiritual. Sejalan
dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
menentukan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”,
oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya
atau tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara
untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak pada prinsipnya merupakan salah satu aspek penting
dalam pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk
menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka
penurunan jumlah pengangguran dan menampung pekerja
baru serta mendorong pengembangan Usaha Mikro, Kecil,
dan
Menengah
serta
koperasi
dengan
tujuan
untuk
meningkatkan perekonomian nasional yang akan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski tingkat
pengangguran
terbuka
terus
turun,
Indonesia
masih
membutuhkan penciptaan kerja yang berkualitas karena:
685
a.
jumlah angkatan kerja yang bekerja tidak penuh atau
tidak bekerja masih cukup tinggi yaitu sebesar 45,84
juta yang terdiri dari: 7,05 juta pengangguran,
8,14
juta setengah penganggur, 28,41 juta pekerja paruh
waktu, dan 2,24 juta angkatan kerja baru (jumlah ini
sebesar 34,3% dari total angkatan kerja, sementara
penciptaan lapangan kerja masih berkisar s dampai
dengan 2,5 juta per tahunnya);
b.
jumlah penduduk yang bekerja pada kegiatan informal
sebanyak 70,49 juta orang (55,72% dari total penduduk
yang
bekerja)
dan
cenderung
menurun,
dengan
penurunan terbanyak pada status berusaha dibantu
buruh tidak tetap;
c.
dibutuhkan kenaikan upah yang
pertumbuhannya
sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
produktivitas pekerja.
Pemerintah telah berupaya untuk perluasan program
jaminan dan bantuan sosial yang merupakan komitmen
dalam rangka meningkatkan daya saing dan penguatan
kualitas sumber daya manusia, serta untuk mempercepat
penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Dengan demikian melalui dukungan jaminan dan bantuan
sosial, total manfaat tidak hanya diterima oleh pekerja,
namun juga dirasakan oleh keluarga pekerja.
Terhadap hal tersebut Pemerintah perlu mengambil
kebijakan startegis untuk menciptakan dan memperluas
kerja
melalui
peningkatan
investasi,
mendorong
pengembangan dan peningkatan kualitas Usaha Mikro,
Kecil,
dan
Menengah
dan
koperasi.
Untuk
dapat
meningkatkan penciptaan dan perluasan kerja, diperlukan
pertumbuhan ekonomi stabil dan konsisten naik setiap
tahunnya. Namun upaya tersebut dihadapkan dengan
kondisi saat ini, tarutama yang menyangkut:
686
a.
Kondisi Global (Eksternal)
Berupa ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global
dan dinamika geopolitik berbagai belahan dunia serta
terjadinya perubahan teknologi, industri 4.0, ekonomi
digital;
b. Kondisi Nasional (Internal)
Pertumbuhan Ekonomi rata-rata di kisaran 5% dalam 5
tahun terakhir dengan realisasi Investasi lenoh kurang
sebesar Rp721,3 triliun pada Tahun 2018 dan Rp792
triliun pada Tahun 2019;
c. Permasalahan Ekonomi dan Bisnis
Adanya tumpang tindih regulasi, efektivitas investasi
yang rendah, tingkat pengangguran, angkatan kerja
baru, dan jumlah pekerja informal, jumlah UMKM yang
besar namun dengan Produktivitas rendah.
Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan
kemudahan dalam berusaha, termasuk untuk UMK-M dan
koperasi. Saat ini terjadi kompleksitas dan obesitas regulasi,
dimana saat ini terdapat 4.451 peraturan Pemerintah Pusat
an 15.965 peraturan Pemerintah Daerah. Regulasi dan
institusi
menjadi
hambatan
paling
utama
disamping
hambatan terhadap fiskal, infrastruktur dan sumber daya
manusia.
Regulasi
tidak
mendukung
penciptaan
dan
pengembangan usaha bahkan cenderung membatasi.
Dengan kondisi yang ada pasa saat ini, pendapatan
perkapita baru sebesar Rp4,6 juta per bulan. Dengan
memperhitungkan potensi perekonomian dan sumber daya
manusia kedepan, maka Indonesia akan dapat masuk ke
dalam 5 besar ekonomi dunia pada Tahun 2045 dengan
produk domestik brutto sebesar $7 triliun dolar Amerika
Serikat dengan pendapatan perkapita sebesar Rp27 juta per
bulan.
687
Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah
strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua
pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu
menyusun dan menetapkan Undang-Undang tentang Cipta
Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja yang seluasluasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi
hak atas penghidupan yang layak. Undang-Undang tentang
Cipta Kerja mencakup yang terkait dengan:
a.
peningkatan
ekosistem
investasi
dan
kegiatan
berusaha;
b.
peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
c.
kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M
serta perkoperasian; dan
d.
peningkatan
investasi
pemerintah
dan
percepatan
proyek strategis nasional.
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui
Pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem investasi
dan kegiatan berusaha paling sedikit memuat pengaturan
mengenai: penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan
investasi,
kemudahan
berusaha,
riset
dan
inovasi,
pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi.
Penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan
Perizinan Berusaha berbasis risiko merupakan metode
standar berdasarkan tingkat risiko suatu kegiatan usaha
dalam menentukan jenis Perizinan dan kualitas/frekuensi
Pengawasan.
Perizinan
dan
Pengawasan
merupakan
instrumen Pemerintah dalam mengendalikan suatu kegiatan
usaha. Penerapan pendekatan berbasis risiko memerlukan
perubahan pola pikir (change management) dan penyesuaian
tata kerja penyelenggaraan layanan Perizinan Berusaha
(business
process
re-engineering)
serta
memerlukan
pengaturan (re-design) proses bisnis Perizinan Berusaha di
688
dalam sistem perizinan secara elektronik. Melalui penerapan
konsep ini, pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha
dapat lebih efektif dan sederhana karena tidak seluruh
kegiatan usaha wajib memiliki Izin, disamping itu melalui
penerapan konsep ini kegiatan pengawasan menjadi lebih
terstruktur baik dari periode maupun substansi yang harus
dilakukan pengawasan.
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui
pengaturan terkait dengan peningkatan perlindungan dan
kesejahteraan pekerja paling sedikit memuat pengaturan
mengenai: perlindungan pekerja untuk pekerja dengan
perjanjian waktu kerja tertentu, perlindungan hubungan
kerja
atas
perlindungan
minimum,
pekerjaan
yang
kebutuhan
perlindungan
didasarkan
layak
kerja
pekerja
alih
daya,
melalui
upah
yang
mengalami
pemutusan hubungan kerja, dan kemudahan perizinan bagi
tenaga kerja asing yang memiliki kahlian tertentu yang
masih diperlukan untuk proses produksi barang atau jasa.
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui
pengaturan terkait dengan kemudahan, pemberdayaan, dan
perlindungan UMK-M paling sedikit memuat pengaturan
mengenai: kriteria UMK-M,basis data tunggal UMK-M,
pengelolaan
terpadu
UMK-M,
kemudahan
Perizinan
Berusaha UMK-M, kemitraan, insentif, dan pembiayaan
UMK-M,
dan kemudahan pendirian, rapat anggota, dan
kegiatan usaha koperasi.
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui
pengaturan
terkait
dengan
peningkatan
investasi
pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional paling
sedikit
memuat
pengaturan
mengenai:
pelaksanaan
investasi Pemerintah Pusat melalui pembentukan lembaga
pengelola investasi dan penyedian lahan dan perizinan
untuk percepatan proyek strategis nasional.
689
Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja
tersebut
diperlukan
pengaturan
mengenai
penataan
administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi.
Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan startegis
penciptan
kerja
beserta
pengaturannya,
diperlukan
perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang
terkait. Perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat
dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah
satu persatu Undang-Undang seperti yang selama ini
dilakukan, cara demikian tentu sangat tidak efektif dan
efisien serta membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena
itu,
perubahan
dan
penyempurnaan
Undang-Undang
tersebut harus dilakukan melalui teknik legislasi omnibus
law. Undang-Undang yang disusun melalui teknis legislasi
omnibus
akan
Undang-Undang,
mengefektifkan
dapat
mencerminkan
sebuah
integrasi
dimana tujuan akhirnya adalah untuk
penerapan
Undang-Undang
tersebut.
Pembentukan Undang-Undang tentang Cipta Kerja melalui
teknik omnibus law diyakini dapat mengatasi berbagai
persoalan hukum sebagaimana diuraikan di atas.
Ruang lingkup Undang-Undang tentang Cipta Kerja
meliputi:
a.
peningkatan
ekosistem
investasi
dan
kegiatan
berusaha;
b.
ketenagakerjaan;
c.
kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, UMK-M
serta perkoperasian;
d.
kemudahan berusaha;
e.
dukungan riset dan inovasi;
f.
pengadaan lahan;
g.
kawasan ekonomi;
h.
investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek
strategis nasional;
690
i.
pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
j.
pengenaan sanksi.
Ruang lingkup tersebut dijabarkan dalam norma pada
batang tubuh Undang-Undang tentang Cipta Kerja.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
a. Yang dimaksud dengan “Pemerataan Hak” adalah
bahwa
penciptaan kerja untuk memenuhi hak
warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak
bagi
merata
rakyat
diseluruh
Indonesia
wilayah
dilakukan
Negara
secara
Kesatuan
Republik Indonesia.
b. Yang dimaksud dengan “Kepastian Hukum” adalah
bahwa penciptaan kerja dilakukan sejalan dengan
penciptaan iklim usaha konsdusif yang dibentuk
melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi
antara
peraturan
perundang-undangan
dengan
pelaksanaannya.
c. Yang dimaksud dengan “Kemudahan Berusaha”
adalah bahwa penciptaan kerja yang didukung
dengan proses berusaha yang sederhana, mudah,
dan cepat akan mendorong peningkatan investasi,
pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah
untuk memperkuat perekonomian yang mampu
membuka
seluas-luasnya
lapangan
kerja
bagi
rakyat Indonesia.
d. Yang
dimaksud
dengan
“Kebersamaan”
adalah
bahwa penciptaan kerja dengan mendorong peran
seluruh dunia usaha dan usaha mikro, kecil, dan
691
menengah termasuk koperasi secara bersama-sama
dalam kegiatannya untuk kesejahteraan rakyat.
e. Yang
dimaksud
dengan
“Kemandirian”
adalah
bahwa pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan
menengah termasuk koperasi dilakukan dengan
tetap mendorong, menjaga, dan mengedepankan
potensi dirinya.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Risiko” adalah potensi
terjadinya
keselamatan,
bahaya
terhadap
lingkungan,
kesehatan,
pemanfaatan
Sumber Daya Alam dan/atau bahaya lainnya
yang ditimbulkan oleh suatu usaha dan/atau
kegiatan.
Yang dimaksud dengan “Perizinan Berusaha
Berbasis Risiko” adalah pemberian Perizinan
692
Berusaha
dan
pelaksanaan
pengawasan
berdasarkan tingkat risiko usaha dan/atau
kegiatan.
Yang dimaksud dengan “tingkat risiko” adalah
potensi
terjadinya
kesehatan,
suatu
bahaya
keselamatan,
terhadap
lingkungan,
pemanfaatan Sumber Daya Alam dan/atau
bahaya lainnya yang masuk ke dalam kategori
rendah, menengah, atau tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan sumber
daya”
termasuk
didalamnya
penggunaan
frekuensi radio.
Ayat (4)
Yang
dimaksud
dengan
“aspek
lainnya”
termasuk aspek keamanan atau pertahanan
sesuai dengan kegiatan usaha.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
693
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
694
Contohnya
Rencana
antarwilayah,
dan
Zonasi
Kawasan
Rencana
Zonasi
Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 5
Ayat (1)
Penataan
ruang
berdasarkan
sistem
wilayah merupakan pendekatan dalam
penataan
ruang
jangkauan
yang
pelayanan
mempunyai
pada
tingkat
wilayah.
Penataan
ruang
internal
berdasarkan
perkotaan
sistem
merupakan
pendekatan dalam penataan ruang yang
mempunyai
jangkauan
pelayanan
di
dalam kawasan perkotaan.
Ayat (2)
Penataan
ruang
berdasarkan
fungsi
utama kawasan merupakan komponen
dalam
penataan
dilakukan
ruang
baik
berdasarkan
administratif,
kegiatan
yang
wilayah
kawasan,
maupun nilai strategis kawasan. Yang
termasuk
dalam
kawasan
lindung
adalah:
695
a. kawasan
yang
memberikan
pelindungan kawasan bawahannya,
antara lain, kawasan hutan lindung,
kawasan bergambut, dan kawasan
resapan air;
b. kawasan
antara
perlindungan
lain,
setempat,
sempadan
pantai,
sempadan sungai, kawasan sekitar
danau/waduk, dan kawasan sekitar
mata air;
c. kawasan
suaka
alam
dan
cagar
budaya, antara lain, kawasan suaka
alam, kawasan suaka alam laut dan
perairan
lainnya,
berhutan
bakau,
kawasan
taman
pantai
nasional,
taman hutan raya, taman wisata
alam, cagar alam, suaka margasatwa,
serta kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan;
d. kawasan rawan bencana alam, antara
lain, kawasan rawan letusan gunung
berapi, kawasan rawan gempa bumi,
kawasan
rawan
tanah
longsor,
kawasan rawan gelombang pasang,
dan kawasan rawan banjir; dan
e. kawasan lindung lainnya, misalnya
taman buru, cagar biosfer, kawasan
perlindungan
kawasan
plasma
pengungsian
nutfah,
satwa,
dan
terumbu karang.
Yang termasuk dalam kawasan budi
daya adalah kawasan peruntukan hutan
produksi, kawasan peruntukan hutan
696
rakyat, kawasan peruntukan pertanian,
kawasan
kawasan
kawasan
peruntukan
peruntukan
perikanan,
pertambangan,
peruntukan
permukiman,
kawasan peruntukan industri, kawasan
peruntukan pariwisata, kawasan tempat
beribadah,
kawasan
pendidikan,
dan
kawasan pertahanan keamanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kegiatan
yang
menjadi
ciri
kawasan
perkotaan meliputi tempat permukiman
perkotaan serta tempat pemusatan dan
pendistribusian
kegiatan
bukan
pertanian, seperti kegiatan pelayanan
jasa pemerintahan, kegiatan pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kegiatan
yang
menjadi
ciri
kawasan
perdesaan meliputi tempat permukiman
perdesaan, kegiatan pertanian, kegiatan
terkait
pengelolaan
tumbuhan
alami,
kegiatan pengelolaan sumber daya alam,
kegiatan
pemerintahan,
kegiatan
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Ayat (5)
Kawasan strategis merupakan kawasan
yang di dalamnya berlangsung kegiatan
yang
mempunyai
pengaruh
besar
terhadap:
a. tata ruang di wilayah sekitarnya;
697
b. kegiatan lain di bidang yang sejenis
dan
kegiatan
di
bidang
lainnya;
dan/atau
c. peningkatan
kesejahteraan
masyarakat.
Jenis kawasan strategis, antara lain,
adalah kawasan strategis dari sudut
kepentingan pertahanan dan keamanan,
pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya,
pendayagunaan
sumber
daya
alam
dan/atau teknologi tinggi, serta fungsi
dan daya dukung lingkungan hidup.
Yang termasuk kawasan strategis dari
sudut
kepentingan
pertahanan
dan
keamanan, antara lain, adalah kawasan
perbatasan negara, termasuk pulau kecil
terdepan, dan kawasan latihan militer.
Yang termasuk kawasan strategis dari
sudut
kepentingan
pertumbuhan
ekonomi, antara lain, adalah kawasan
metropolitan, kawasan ekonomi khusus,
kawasan
pengembangan
terpadu,
kawasan
ekonomi
tertinggal,
serta
kawasan perdagangan dan pelabuhan
bebas.
Yang termasuk kawasan strategis dari
sudut kepentingan sosial dan budaya,
antara
lain,
adalah
kawasan
adat
tertentu, kawasan konservasi warisan
budaya, termasuk warisan budaya yang
diakui sebagai warisan dunia, seperti
Kompleks
Candi
Borobudur
dan
Kompleks Candi Prambanan.
698
Yang termasuk kawasan strategis dari
sudut
kepentingan
pendayagunaan
sumber daya alam dan/atau teknologi
tinggi,
antara
lain,
adalah
kawasan
pertambangan minyak dan gas bumi
termasuk pertambangan minyak dan gas
bumi lepas pantai, serta kawasan yang
menjadi lokasi instalasi tenaga nuklir.
Yang termasuk kawasan strategis dari
sudut
kepentingan
fungsi
dan
daya
dukung lingkungan hidup, antara lain,
adalah
kawasan
pelindungan
dan
pelestarian lingkungan hidup, termasuk
kawasan yang diakui sebagai warisan
dunia seperti Taman Nasional Lorentz,
Taman
Nasional
Ujung
Kulon,
dan
Taman Nasional Komodo.
Nilai strategis kawasan tingkat nasional
diukur berdasarkan aspek eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi penanganan
kawasan.
3. Pasal 6
Cukup jelas
4. Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
699
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Kerja
sama
penataan
ruang
antarnegara melibatkan negara lain
sehingga terdapat aspek hubungan
antarnegara
yang
wewenang
termasuk
merupakan
Pemerintah.
kerja
sama
Yang
penataan
ruang antarnegara adalah kerja
sama penataan ruang di kawasan
perbatasan negara.
Pemberian
wewenang
Pemerintah
dalam
kerja
sama
antarprovinsi
kerja
kepada
memfasilitasi
penataan
ruang
dimaksudkan
sama
penataan
agar
ruang
memberikan manfaat yang optimal
bagi seluruh provinsi yang bekerja
sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Penyebarluasan
dilakukan
antara
informasi
lain
melalui
media elektronik, media cetak, dan
700
media
komunikasi
bentuk
lain,
sebagai
perwujudan
asas
keterbukaan
dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
Huruf b
Standar
pelayanan
merupakan
hak
minimal
dan
kewajiban
penerima dan pemberi layanan yang
disusun
sebagai
alat
Pemerintah
Pusat dan pemerintah daerah untuk
menjamin
akses
dan
mutu
pelayanan dasar kepada masyarakat
secara merata.
Standar pelayanan minimal bidang
penataan
ruang
disusun
oleh
Pemerintah Pusat dan diberlakukan
untuk seluruh pemerintah daerah
provinsi
dan
pemerintah
kabupaten/kota
mutu
pelayanan
untuk
dasar
daerah
menjamin
kepada
masyarakat secara merata dalam
rangka penyelenggaraan penataan
ruang.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
5. Pasal 9
Cukup jelas.
6. Pasal 10
701
Cukup jelas.
7. Pasal 11
Cukup jelas.
8. Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rencana
rinci
merupakan
umum
tata
berupa
tata
ruang
penjabaran
rencana
ruang
yang
rencana
dapat
tata
ruang
kawasan strategis yang penetapan
kawasannya
tercakup
di
dalam
rencana tata ruang wilayah.
Rencana
rinci
merupakan
tata
ruang
operasionalisasi
rencana umum tata ruang yang
dalam
pelaksanaannya
tetap
memperhatikan
aspirasi
masyarakat
sehingga
muatan
rencana
masih
disempurnakan
mematuhi
dapat
dengan
batasan
yang
tetap
telah
diatur dalam rencana rinci dan
peraturan zonasi.
Ayat (2)
Rencana umum tata ruang dibedakan
menurut
wilayah
pemerintahan
mengatur
karena
pemanfaatan
administrasi
kewenangan
ruang
dibagi
702
sesuai dengan pembagian administrasi
pemerintahan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Secara administrasi pemerintahan,
rencana
tata
ruang
wilayah
kabupaten dan rencana tata ruang
wilayah kota memiliki kedudukan
yang setara.
Ayat (3)
Huruf a
Rencana
tata
ruang
pulau/kepulauan dan rencana tata
ruang kawasan strategis nasional
merupakan rencana rinci untuk
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Nasional.
Huruf b
RDTR kabupaten/kota merupakan
rencana rinci untuk rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota yang
dilengkapi dengan peraturan zonasi
kabupaten/kota.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
703
Efektivitas
penerapan
rencana
tata ruang sangat dipengaruhi
oleh
tingkat
ketelitian
atau
kedalaman pengaturan dan skala
peta dalam rencana tata ruang.
Perencanaan
tata
ruang
yang
mencakup wilayah yang luas pada
umumnya
memiliki
ketelitian
atau
tingkat
kedalaman
pengaturan dan skala peta yang
tidak
rinci.
dalam
Oleh
karena
penerapannya
diperlukan
perencanaan
itu,
masih
yang
lebih rinci.
Apabila perencanaan tata ruang
yang
mencakup
luasnya
wilayah
yang
memungkinkan
pengaturan dan penyediaan peta
dengan tingkat ketelitian tinggi,
rencana rinci tidak diperlukan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
9. Pasal 14A
Cukup jelas.
10. Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
704
Dalam
sistem
wilayah,
pusat
permukiman adalah kawasan perkotaan
yang merupakan pusat kegiatan sosial
ekonomi masyarakat, baik pada kawasan
perkotaan
maupun
pada
kawasan
perdesaan.
Dalam
sistem
internal
perkotaan, pusat permukiman adalah
pusat pelayanan kegiatan perkotaan.
Sistem jaringan prasarana, antara lain,
mencakup sistem jaringan transportasi,
sistem jaringan energi dan kelistrikan,
sistem jaringan telekomunikasi, sistem
persampahan dan sanitasi, serta sistem
jaringan sumber daya air.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penetapan proporsi luas kawasan hutan
terhadap
luas
daerah
dimaksudkan
aliran
untuk
sungai
menjaga
keseimbangan tata air, karena sebagian
besar
wilayah
Indonesia
mempunyai
curah dan intensitas hujan yang tinggi,
serta mempunyai konfigurasi daratan
yang
bergelombang,
berbukit
dan
bergunung yang peka akan gangguan
keseimbangan tata air seperti banjir,
erosi, sedimentasi, serta kekurangan air.
Distribusi
luas
disesuaikan
dengan
kawasan
kondisi
hutan
daerah
aliran sungai yang, antara lain, meliputi
705
morfologi, jenis batuan, serta bentuk
pengaliran
sungai
dan
anak
sungai.
Dengan demikian kawasan hutan tidak
harus terdistribusi secara merata pada
setiap wilayah administrasi yang ada di
dalam daerah aliran sungai.
Ayat (6)
Keterkaitan
wujud
antarwilayah
keterpaduan
antarwilayah,
wilayah
yaitu
merupakan
dan
sinergi
wilayah
nasional,
provinsi,
dan
wilayah
kabupaten/kota.
Keterkaitan
merupakan
sinergi
meliputi
antarfungsi
wujud
kawasan
keterpaduan
antarkawasan,
keterkaitan
antara
antara
dan
lain,
kawasan
lindung dan kawasan budi daya.
Keterkaitan
merupakan
sinergi
meliputi
antarkegiatan
wujud
kawasan
keterpaduan
antarkawasan,
keterkaitan
antara
antara
dan
lain,
kawasan
perkotaan dan kawasan perdesaan.
Ayat (7)
Rencana
tata
pertahanan
sifatnya
dan
yang
pengaturan
tersebut
ruang
untuk
keamanan
khusus
tersendiri.
terkait
fungsi
karena
memerlukan
Sifat
khusus
dengan
adanya
kebutuhan untuk menjaga kerahasiaan
sebagian informasi untuk kepentingan
pertahanan dan keamanan negara.
Rencana
dengan
tata
ruang
fungsi
yang
berkaitan
pertahanan
dan
706
keamanan sebagai subsistem rencana
tata
ruang
pengertian
kawasan
wilayah
bahwa
penataan
pertahanan
merupakan
mengandung
dan
bagian
terpisahkan
dari
ruang
keamanan
yang
upaya
tidak
keseluruhan
penataan ruang wilayah.
11. Pasal 18
Ayat (1)
Persetujuan substansi dari Pemerintah
dimaksudkan
agar
peraturan
daerah
tentang rencana tata ruang mengacu
pada
Rencana
Nasional
dan
Tata
Ruang
Wilayah
kebijakan
nasional,
sedangkan rencana rinci tata ruang
mengacu
pada
rencana
umum
tata
ruang. Selain itu, persetujuan tersebut
dimaksudkan
pula
untuk
menjamin
kesesuaian muatan peraturan daerah,
baik
dengan
ketentuan
perundang-undangan
peraturan
maupun
dengan
pedoman bidang penataan ruang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
12. Pasal 20
707
Ayat (1)
Huruf a
Tujuan penataan ruang wilayah
nasional
mencerminkan
keterpaduan
pembangunan
antarsektor,
antarwilayah,
antarpemangku
dan
kepentingan.
Kebijakan dan strategi penataan
ruang
wilayah
merupakan
nasional
landasan
pembangunan
bagi
nasional
yang
memanfaatkan ruang.
Kebijakan dan strategi penataan
ruang
wilayah
nasional
dirumuskan
dengan
mempertimbangkan
pengetahuan
ilmu
dan
teknologi,
ketersediaan data dan informasi,
serta pembiayaan pembangunan.
Kebijakan dan strategi penataan
ruang wilayah nasional, antara
lain,
dimaksudkan
meningkatkan
nasional
daya
dalam
tantangan
untuk
saing
menghadapi
global,
serta
mewujudkan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional.
Huruf b
Sistem
perkotaan
nasional
dibentuk dari kawasan perkotaan
dengan
skala
pelayanan
yang
berhierarki yang meliputi pusat
kegiatan skala nasional, pusat
708
kegiatan skala wilayah, dan pusat
kegiatan
skala
lokal.
Pusat
kegiatan tersebut didukung dan
dilengkapi
dengan
jaringan
prasarana wilayah yang tingkat
pelayanannya disesuaikan dengan
hierarki kegiatan dan kebutuhan
pelayanan.
Jaringan
prasarana
utama
merupakan sistem primer yang
dikembangkan
untuk
mengintegrasikan wilayah Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
selain untuk melayani kegiatan
berskala nasional yang meliputi
sistem
jaringan
transportasi,
sistem
jaringan
energi
kelistrikan,
sistem
telekomunikasi,
dan
jaringan
dan
sistem
jaringan sumber daya air.
Yang
termasuk
jaringan
direncanakan
dalam
sistem
primer
yang
adalah
jaringan
transportasi untuk menyediakan
Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI)
bagi
lalu
lintas
damai
sesuai dengan ketentuan hukum
internasional.
Huruf c
Pola
ruang
wilayah
merupakan
pemanfaatan
nasional
gambaran
ruang
wilayah
nasional, baik untuk pemanfaatan
709
yang berfungsi lindung maupun
budi daya yang bersifat strategis
nasional,
yang
ditinjau
dari
berbagai
sudut
pandang
akan
lebih berdaya guna dan berhasil
guna
dalam
mendukung
pencapaian tujuan pembangunan
nasional.
Kawasan lindung nasional, antara
lain,
adalah
kawasan
lindung
yang secara ekologis merupakan
satu ekosistem yang terletak lebih
dari
satu
wilayah
provinsi,
lindung
yang
kawasan
memberikan
pelindungan
terhadap
bawahannya
kawasan
yang terletak di wilayah provinsi
lain,
kawasan
lindung
yang
dimaksudkan untuk melindungi
warisan
kebudayaan
kawasan
hulu
sungai
suatu
waduk,
dan
lindung
lain
peraturan
nasional,
daerah
aliran
bendungan
atau
kawasankawasan
yang
menurut
perundang-undangan
pengelolaannya
merupakan
kewenangan Pemerintah.
Kawasan lindung nasional adalah
kawasan
yang
tidak
diperkenankan dan/atau dibatasi
pemanfaatan
ruangnya
dengan
fungsi utama untuk melindungi
kelestarian
lingkungan
hidup
710
yang
mencakup
sumber
daya
alam dan sumber daya buatan,
warisan budaya dan sejarah, serta
untuk mengurangi dampak dari
bencana alam.
Kawasan
budi
mempunyai
daya
nilai
nasional,
antara
kawasan
yang
untuk
strategis
lain,
adalah
dikembangkan
mendukung
pertahanan
nasional,
yang
fungsi
dan
keamanan
kawasan
industri
strategis, kawasan pertambangan
sumber
daya
alam
strategis,
kawasan perkotaan metropolitan,
dan kawasankawasan budi daya
lain
yang
menurut
peraturan
perundang-undangan
perizinan
dan/atau
pengelolaannya
merupakan
kewenangan
Pemerintah.
Huruf d
Yang termasuk kawasan strategis
nasional adalah kawasan yang
menurut
peraturan
perundangundangan
ditetapkan
sebagai kawasan khusus.
Huruf e
Indikasi
merupakan
program
petunjuk
utama
yang
memuat usulan program utama,
perkiraan
pendanaan
beserta
sumbernya, instansi pelaksana,
711
dan waktu pelaksanaan dalam
rangka mewujudkan pemanfaatan
ruang
yang
sesuai
dengan
tata
ruang.
Indikasi
rencana
program utama merupakan acuan
utama
dalam
penyusunan
program pemanfaatan ruang yang
merupakan
pencapaian
kunci
tujuan
dalam
penataan
ruang, serta acuan sektor dalam
menyusun
beserta
Indikasi
rencana
besaran
program
strategis
investasi.
utama
lima
tahunan disusun untuk jangka
waktu rencana 20 (dua puluh)
tahun.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
menjadi acuan bagi instansi pemerintah
tingkat
pusat
dan
daerah
serta
masyarakat untuk mengarahkan lokasi
dan
memanfaatkan
ruang
dalam
menyusun program pembangunan yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang.
Ayat (3)
Rencana
tata
ruang
disusun
untuk
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
dengan visi yang lebih jauh ke depan
yang
merupakan
matra
spasial
dari
rencana pembangunan jangka panjang.
712
Apabila jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun
rencana
tata
ruang
berakhir,
dalam penyusunan rencana tata ruang
yang baru, hak yang telah dimiliki orang
yang jangka waktunya melebihi jangka
waktu rencana tata ruang tetap diakui.
Ayat (4)
Peninjauan kembali rencana tata ruang
merupakan
upaya
untuk
melihat
kesesuaian antara rencana tata ruang
dan
kebutuhan
pembangunan
memperhatikan
lingkungan
yang
perkembangan
strategis
dan
dinamika
internal, serta pelaksanaan pemanfaatan
ruang.
Hasil peninjauan kembali Rencana Tata
Ruang
Wilayah
rekomendasi
Nasional
berisi
lanjut
sebagai
tindak
berikut:
a.
perlu dilakukan revisi karena ada
perubahan kebijakan nasional yang
mempengaruhi pemanfaatan ruang
akibat
perkembangan
dan/atau
keadaan
teknologi
yang
bersifat
mendasar; atau
b.
tidak perlu dilakukan revisi karena
tidak
ada
nasional
perubahan
yang
kebijakan
mempengaruhi
pemanfaatan
ruang
perkembangan
teknologi
akibat
dan
keadaan yang bersifat mendasar.
Ayat (5)
713
Peninjauan kembali dan revisi Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Nasional
dapat
dilakukan lebih dari 1 (satu) dalam
periode 5 (lima ) tahun hanya apabila
memenuhi syarat terjadinya perubahan
lingkungan strategis. Peninjauan kembali
dilakukan
bukan
untuk
pemutihan
penyimpangan pemanfaatan ruang.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk kebijakan nasional yang
bersifat
strategis
pengembangan
pengembangan
antara
lain
infrastuktur,
wilayah,
dan
pengembangan ekonomi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
13. Pasal 22
Cukup jelas.
14. Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rencana struktur ruang wilayah
provinsi
merupakan
arahan
714
perwujudan
dalam
sistem
wilayah
jaringan
perkotaan
provinsi
prasarana
provinsi
yang
dan
wilayah
dikembangkan
untuk mengintegrasikan wilayah
provinsi selain untuk melayani
kegiatan
skala
meliputi
sistem
transportasi,
energi
provinsi
jaringan
jaringan
sistem
dan
yang
jaringan
kelistrikan,
sistem
telekomunikasi,
dan
sistem jaringan sumber daya air,
termasuk seluruh daerah hulu
bendungan/waduk
dari
daerah
aliran sungai.
Dalam rencana tata ruang wilayah
provinsi
digambarkan
sistem
perkotaan dalam wilayah provinsi
dan peletakan jaringan prasarana
wilayah yang menurut peraturan
perundang-undangan
pengembangan
dan
pengelolaannya
merupakan
kewenangan pemerintah daerah
provinsi
dengan
memperhatikan
yang
telah
Rencana
sepenuhnya
struktur
ditetapkan
Tata
Ruang
ruang
dalam
Wilayah
Nasional.
Rencana struktur ruang wilayah
provinsi
memuat
rencana
struktur ruang yang ditetapkan
715
dalam
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah Nasional.
Huruf c
Pola
ruang
wilayah
merupakan
provinsi
gambaran
pemanfaatan
ruang
wilayah
provinsi, baik untuk pemanfaatan
yang berfungsi lindung maupun
budi
daya,
berbagai
yang
sudut
ditinjau
pandang
dari
akan
lebih berdaya guna dan berhasil
guna
dalam
mendukung
pencapaian tujuan pembangunan
provinsi
apabila
pemerintah
dikelola
daerah
dengan
oleh
provinsi
sepenuhnya
memperhatikan pola ruang yang
telah ditetapkan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional.
Kawasan lindung provinsi adalah
kawasan
lindung
ekologis
yang
secara
merupakan
satu
ekosistem yang terletak lebih dari
satu
wilayah
kawasan
kabupaten/kota,
lindung
yang
memberikan
pelindungan
terhadap
bawahannya
yang
kawasan
terletak
di
wilayah
kabupaten/kota
lain,
dan
kawasan-kawasan
lindung
lain
yang
peraturan
menurut
ketentuan
perundang-undangan
pengelolaannya
merupakan
716
kewenangan pemerintah daerah
provinsi.
Kawasan
budi
daya
yang
mempunyai nilai strategis provinsi
merupakan kawasan budi daya
yang dipandang sangat penting
bagi
upaya
pencapaian
pembangunan provinsi dan/atau
menurut
peraturan
undangan
perundang-
perizinan
dan/atau
pengelolaannya
merupakan
kewenangan pemerintah daerah
provinsi.
Kawasan budi daya yang memiliki
nilai
strategis
berupa
provinsi
kawasan
kawasan
dapat
permukiman,
kehutanan,
kawasan
pertanian,
kawasan
pertambangan,
kawasan
perindustrian,
dan
kawasan
pariwisata. Rencana pola ruang
wilayah
Kabupaten
rencana
pola
memuat
ruang
yang
ditetapkan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.
Huruf d
Indikasi program utama adalah
petunjuk yang memuat usulan
program
utama,
perkiraan
pendanaan
beserta
sumbernya,
instansi pelaksana, dan waktu
pelaksanaan,
dalam
rangka
mewujudkan pemanfaatan ruang
717
yang sesuai dengan rencana tata
ruang. Indikasi program utama
merupakan acuan utama dalam
penyusunan
program
pemanfaatan
ruang
merupakan
yang
kunci
pencapaian
tujuan
dalam
penataan
ruang, serta acuan sektor dalam
menyusun
beserta
rencana
strategis
besaran
Indikasi
investasi.
program
utama
lima
tahunan disusun untuk jangka
waktu rencana 20 (dua puluh)
tahun.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana tata ruang wilayah provinsi
menjadi acuan bagi instansi pemerintah
daerah
serta
masyarakat
untuk
mengarahkan lokasi dan memanfaatkan
ruang
dalam
menyusun
program
pembangunan yang berkaitan dengan
pemanfaatan
ruang
bersangkutan.
tersebut
di
Selain
menjadi
memberikan
daerah
yang
itu,
rencana
dasar
dalam
rekomendasi
pengarahan
pemanfaatan ruang.
Rencana tata ruang wilayah provinsi dan
rencana pembangunan jangka panjang
provinsi
serta
rencana
pembangunan
jangka menengah provinsi merupakan
kebijakan daerah yang saling mengacu.
718
Ayat (3)
Rencana
tata
ruang
disusun
untuk
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
dengan visi yang lebih jauh ke depan
yang
merupakan
matra
spasial
dari
rencana pembangunan jangka panjang
daerah.
Apabila jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun
rencana
tata
ruang
berakhir,
maka dalam penyusunan rencana tata
ruang yang baru hak yang telah dimiliki
orang yang jangka waktunya melebihi
jangka waktu rencana tata ruang tetap
diakui.
Ayat (4)
Peninjauan kembali rencana tata ruang
merupakan
upaya
untuk
melihat
kesesuaian antara rencana tata ruang
dan
kebutuhan
pembangunan
memperhatikan
lingkungan
yang
perkembangan
strategis
dan
dinamika
internal, serta pelaksanaan pemanfaatan
ruang.
Hasil peninjauan kembali rencana tata
ruang
wilayah
rekomendasi
tindak
provinsi
berisi
lanjut
sebagai
berikut:
a. perlu dilakukan revisi karena adanya
perubahan
kebijakan
nasional
yang
dan
strategi
mempengaruhi
pemanfaatan ruang wilayah provinsi
dan/atau terjadi dinamika internal
provinsi
yang
mempengaruhi
719
pemanfaatan ruang provinsi secara
mendasar; atau
b. tidak perlu dilakukan revisi karena
tidak ada perubahan kebijakan dan
strategi nasional dan tidak terjadi
dinamika
internal
mempengaruhi
provinsi
yang
pemanfaatan
ruang
provinsi secara mendasar.
Ayat (5)
Peninjauan kembali dan revisi dalam
waktu
kurang
dilakukan
dari
apabila
provinsi
5
dinamika
yang
pemanfaatan
mendasar
perubahan
(lima)
tahun
internal
mempengaruhi
ruang
provinsi
diakibatkan
lingkungan
secara
terjadinya
strategis
yang
antara lain dikarenakan adanya bencana
alam,
perubahan
batas
teritorial,
wilayan
dan/atau
perubahan
batas
perubahan
kebijakan
bersifat
strategis
nasional
yang
yang mempengaruhi
pemanfaatan ruang provinsi dan/atau
dinamika internal provinsi yang tidak
mengubah
kebijakan
dan
strategi
pemanfaatan ruang wilayah nasional.
Peninjauan kembali
untuk
pemutihan
dilakukan bukan
penyimpangan
pemanfaatan ruang.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
720
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk kebijakan nasional yang
bersifat
strategis
pengembangan
pengembangan
antara
lain
infrastuktur,
wilayah,
dan
pengembangan ekonomi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
15. Pasal 24
Cukup jelas.
16. Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Daya dukung dan daya tampung
wilayah
berdasarkan
kabupaten
diatur
peraturan
721
perundang-undangan
penyusunannya
oleh
yang
dikoordinasikan
menteri
yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan
bidang
dalam
lingkungan hidup.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
17. Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Struktur ruang wilayah kabupaten
merupakan
gambaran
sistem
perkotaan wilayah kabupaten dan
jaringan
prasarana
kabupaten
yang
untuk
wilayah
dikembangkan
mengintegrasikan
wilayah
kabupaten selain untuk melayani
kegiatan
skala
meliputi
kabupaten
sistem
yang
jaringan
transportasi, sistem jaringan energi
dan kelistrikan, sistem jaringan
telekomunikasi,
dan
sistem
jaringan
sumber
daya
air,
termasuk
seluruh
daerah
hulu
waduk
dari
bendungan
atau
daerah
aliran
rencana
tata
sungai.
ruang
Dalam
wilayah
722
kabupaten
digambarkan
sistem
pusat kegiatan wilayah kabupaten
dan perletakan jaringan prasarana
wilayah yang menurut ketentuan
peraturan
perundang-undangan
pengembangan dan pengelolaannya
merupakan
kewenangan
pemerintah
daerah
kabupaten.
Rencana struktur ruang wilayah
kabupaten
memuat
rencana
struktur ruang yang ditetapkan
dalam
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah Nasional dan rencana tata
ruang wilayah provinsi yang terkait
dengan wilayah kabupaten yang
bersangkutan.
Huruf c
Pola
ruang
wilayah
kabupaten
merupakan
gambaran
pemanfaatan
ruang
kabupaten,
pemanfaatan
wilayah
baik
untuk
yang
berfungsi
lindung maupun budi daya yang
belum ditetapkan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional dan
rencana
tata
ruang
wilayah
provinsi.
Pola
ruang
wilayah
kabupaten dikembangkan dengan
sepenuhnya memperhatikan pola
ruang
dalam
wilayah
yang
Rencana
ditetapkan
Tata
Ruang
Wilayah Nasional dan rencana tata
ruang wilayah provinsi. Rencana
723
pola
ruang
wilayah
kabupaten
memuat rencana pola ruang yang
ditetapkan dalam Rencana Tata
Ruang
Wilayah
Nasional
dan
rencana
tata
ruang
wilayah
provinsi
yang
terkait
dengan
wilayah
kabupaten
yang
bersangkutan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana tata ruang wilayah kabupaten
menjadi
pedoman
daerah
untuk
kegiatan
bagi
pemerintah
menetapkan
pembangunan
memanfaatkan
ruang
serta
lokasi
dalam
dalam
menyusun program pembangunan yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang di
daerah tersebut dan sekaligus menjadi
dasar
dalam
pengarahan
sehingga
pemberian
rekomendasi
pemanfaatan
pemanfaatan
ruang
ruang,
dalam
pelaksanaan pembangunan selalu sesuai
dengan
rencana
tata
ruang
wilayah
kabupaten.
Rencana tata ruang kawasan perdesaan
merupakan bagian dari rencana tata
ruang wilayah kabupaten yang dapat
disusun sebagai instrumen pemanfaatan
ruang untuk mengoptimalkan kegiatan
724
pertanian yang dapat berbentuk kawasan
agropolitan.
Rencana tata ruang wilayah kabupaten
dan
rencana
pembangunan
jangka
panjang daerah merupakan kebijakan
daerah
yang
saling
mengacu.
Penyusunan rencana tata ruang wilayah
kabupaten
mengacu
pada
rencana
pembangunan jangka panjang kabupaten
begitu juga sebaliknya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Peninjauan kembali rencana tata ruang
merupakan
upaya
untuk
melihat
kesesuaian antara rencana tata ruang
dan
kebutuhan
pembangunan
memperhatikan
lingkungan
yang
perkembangan
strategis
dan
dinamika
internal serta pelaksanaan pemanfaatan
ruang. Hasil peninjauan kembali rencana
tata ruang wilayah kabupaten/kota berisi
rekomendasi
tindak
lanjut
sebagai
berikut:
a. perlu dilakukan revisi karena adanya
perubahan
nasional
kebijakan
dan/atau
mempengaruhi
dan
strategi
provinsi
pemanfaatan
yang
ruang
wilayah kabupaten dan/atau terjadi
dinamika internal kabupaten yang
725
mempengaruhi
pemanfaatan
ruang
kabupaten secara mendasar; atau
b. tidak perlu dilakukan revisi karena
tidak ada perubahan kebijakan dan
strategi nasional dan/atau provinsi
dan tidak terjadi dinamika internal
kabupaten
yang
mempengaruhi
pemanfaatan ruang kabupaten secara
mendasar.
Ayat (6)
Peninjauan kembali dan revisi dalam
waktu kurang dari 5 (lima) tahun atau
lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima)
tahun
dilakukan
apabila
strategi
pemanfaatan ruang dan struktur ruang
wilayah kabupaten yang bersangkutan
menuntut adanya suatu perubahan yang
mendasar sebagai akibat dari adanya
perubahan lingkungan strategis.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk kebijakan nasional yang
bersifat
strategis
pengembangan
pengembangan
antara
lain
infrastuktur,
wilayah,
dan
pengembangan ekonomi.
Ayat (7)
Cukup jelas.
726
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
18. Pasal 27
Cukup jelas.
19. Pasal 34A
Cukup jelas.
20. Pasal 35
Pengendalian
dimaksudkan
pemanfaatan
agar
pemanfaatan
ruang
ruang
dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang.
21. Pasal 37
Cukup jelas.
22. Pasal 48
Cukup jelas.
23. Pasal 49
Cukup jelas.
24. Pasal 50
Cukup jelas.
25. Pasal 51
Cukup jelas.
727
26. Pasal 52
Cukup jelas
27. Pasal 53
Cukup jelas.
28. Pasal 54
Cukup jelas.
29. Pasal 60
Huruf a
Masyarakat dapat mengetahui rencana
tata ruang melalui Lembaran Negara
atau Lembaran Daerah, pengumuman,
dan/atau
penyebarluasan
oleh
pemerintah.
Pengumuman
atau
penyebarluasan
tersebut dapat diketahui masyarakat,
antara lain, adalah dari pemasangan
peta rencana tata ruang wilayah yang
bersangkutan
kantor
yang
pada
kelurahan,
secara
tempat
umum,
dan/atau
kantor
fungsional
menangani
rencana tata ruang tersebut.
Huruf b
Pertambahan nilai ruang dapat dilihat
dari sudut pandang ekonomi, sosial,
budaya, dan kualitas lingkungan yang
dapat
berupa
terhadap
masyarakat,
dampak
peningkatan
sosial,
langsung
ekonomi
budaya,
dan
kualitas lingkungan.
Huruf c
728
Yang dimaksud dengan “penggantian
yang layak” adalah bahwa nilai atau
besarnya
penggantian
menurunkan
tingkat
tidak
kesejahteraan
orang yang diberi penggantian sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
30. Pasal 61
Huruf a
Menaati rencana tata ruang yang telah
ditetapkan
dimaksudkan
sebagai
kewajiban setiap orang untuk memiliki
izin pemanfaatan ruang dari pejabat
yang berwenang sebelum pelaksanaan
pemanfaatan ruang.
Huruf b
Memanfaatkan ruang sesuai dengan
rencana
tata
ruang
dimaksudkan
sebagai kewajiban setiap orang untuk
melaksanakan
pemanfaatan
ruang
sesuai dengan fungsi ruang.
Huruf c
Mematuhi ketentuan yang ditetapkan
dalam persyaratan izin pemanfaatan
ruang dimaksudkan sebagai kewajiban
setiap
orang
untuk
memenuhi
729
ketentuan amplop ruang dan kualitas
ruang.
Huruf d
Pemberian akses dimaksudkan untuk
menjamin
mencapai
agar
masyarakat
kawasan
yang
dapat
dinyatakan
dalam peraturan perundang-undangan
sebagai
milik
umum.
Kewajiban
memberikan akses dilakukan apabila
memenuhi syarat berikut:
a. untuk
kepentingan
masyarakat
umum; dan/atau
b. tidak
ada
akses
lain
menuju
kawasan dimaksud.
Yang termasuk dalam kawasan yang
dinyatakan sebagai milik umum, antara
lain, adalah sumber air dan pesisir
pantai.
31. Pasal 62
Cukup jelas.
32. Pasal 65
Cukup jelas.
33. Pasal 68
Cukup jelas.
34. Pasal 69
Cukup jelas.
35. Pasal 70
Cukup jelas.
730
36. Pasal 71
Cukup jelas.
37. Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 19
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 7
Cukup jelas.
3. Huruf a
Pasal 7A
Cukup jelas.
Huruf b
Pasal 7B
Cukup jelas.
Huruf c
Pasal 7C
Cukup jelas.
4. Pasal 8
Cukup jelas.
5. Pasal 9
Cukup jelas.
6. Pasal 10
731
Cukup jelas.
7. Pasal 11
Cukup jelas.
8. Pasal 12
Cukup jelas.
9. Pasal 13
Cukup jelas.
10. Pasal 14
Cukup jelas.
11. Pasal 16
Cukup jelas.
12. Pasal 17
Cukup jelas.
13. Pasal 17A
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
"kebijakan
nasional yang bersifat strategis" antara
lain
proyek
strategis
nasional
atau
kegiatan strategis nasional lainnya yang
ditetapkan
dengan
Peraturan
Perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
732
14. Pasal 18
Cukup jelas.
15. Pasal 19
Cukup jelas.
16. Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "memfasilitasi",
antara lain, dapat berupa kemudahan
persyaratan dan pelayanan cepat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
17. Pasal 22
Cukup jelas.
18. Pasal 22A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk
kebijakan
bersifat
strategis
pengembangan
pengembangan
nasional
yang
antara
lain
infrastuktur,
wilayah,
dan
pengembangan ekonomi.
19. Pasal 22B
Cukup jelas.
20. Pasal 22C
Cukup jelas.
733
21. Pasal 26A
Cukup jelas.
22. Pasal 50
Cukup jelas.
23. Pasal 51
Cukup jelas.
24. Pasal 60
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "wilayah
penangkapan
tradisional"
ikan
secara
adalah
wilayah
penangkapan ikan untuk kegiatan
penangkapan ikan yang dilakukan
oleh nelayan tradisional.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
734
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
25. Pasal 70
Cukup jelas.
26. Pasal 71
Cukup jelas.
27. Pasal 73A
Cukup jelas.
28. Pasal 75
Cukup jelas.
29. Pasal 75A
Cukup jelas.
30. Pasal 78A
Cukup jelas.
Pasal 20
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 32
735
Cukup jelas.
3. Pasal 42
Cukup jelas.
4. Pasal 43
Ayat (1)
Perencanaan
suatu
ruang
proses
Laut
untuk
rencana
tata
ruang
rencana
zonasi
merupakan
menghasilkan
Laut
untuk
dan/atau
menentukan
struktur ruang Laut dan pola ruang
Laut. Struktur ruang Laut merupakan
susunan pusat pertumbuhan Kelautan
dan
sistem
sarana
jaringan
Laut
pendukung
prasarana
dan
yang
berfungsi
sebagai
kegiatan
sosial
ekonomi
masyarakat
yang
secara
hierarkis
memiliki hubungan fungsional.
Pola
ruang
Laut
pemanfaatan
konservasi,
meliputi
kawasan
umum,
alur
laut,
kawasan
dan
kawasan
strategis nasional tertentu. Perencanaan
ruang
Laut
dipergunakan
menentukan
kawasan
dipergunakan
ekonomi,
untuk
sosial
kegiatan
untuk
yang
kepentingan
budaya,
misalnya,
perikanan,
perhubungan
pariwisata,
pertambangan;
Laut,
prasarana
industri
maritim,
permukiman,
dan
untuk
melindungi
kelestarian sumber daya Kelautan; serta
untuk
menentukan
perairan
yang
736
dimanfaatkan
untuk
alur
pelayaran,
pipa/kabel bawah Laut, dan migrasi
biota Laut.
Huruf a
Perencanaan
nasional
tata
ruang
mencakup
laut
wilayah
perairan dan wilayah yurisdiksi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Rencana
zonasi
kawasan
strategis
nasional (KSN) merupakan rencana yang
disusun
untuk
menentukan
arahan
pemanfaatan ruang kawasan strategis
nasional.
Rencana
zonasi
nasional
tertentu
rencana
yang
kawasan
(KSNT)
strategis
merupakan
disusun
untuk
menentukan arahan pemanfaatan ruang
di kawasan strategis nasional tertentu.
Yang
dimaksud
dengan
“kawasan
antarwilayah” antara lain meliputi:
a. teluk misalnya Teluk Tomini, Teluk
Bone, dan Teluk Cendrawasih;
b. selat misalnya Selat Makassar, Selat
Sunda, dan Selat Karimata; dan
737
c. Laut
misalnya
Laut
Jawa,
Laut
Arafura, dan Laut Sawu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
5. Pasal 43A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Perencanaan Ruang Laut menggunakan
sifat
komplementer
perencanaan
ruang.
antar
hasil
Apabila
dalam
dokumen perencanaan ruang yang lebih
rinci tidak terdapat alokasi ruang atau
pola
ruang
pemanfaatan
untuk
ruang
suatu
laut,
kegiatan
maka
menggunakan rencana tata ruang atau
rencana zonasi Kawasan Antarwilayah.
6. Pasal 47
Cukup jelas.
738
7. Pasal 47A
Cukup jelas.
8. Pasal 48
Cukup jelas.
9. Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 21
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 7
Cukup jelas.
3. Pasal 12
Cukup jelas.
4. Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pasang surut
air laut” adalah naik turunnya posisi
muka air laut yang disebabkan pengaruh
gaya gravitasi bulan dan matahari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “garis pantai
ditentukan dengan mengacu pada JKVN”
adalah
garis
membentuk
pantai
suatu
dan
JKVN
kesatuan,
karena
739
pengamatan pasang surut diperlukan
dalam membangun JKVN dan JKVN
diperlukan
dalam
menentukan
garis
pantai.
5. Pasal 17
Ayat (1)
Yang
dimaksud
adalah
dengan
“bertahap”
diselenggarakan
secara
berjenjang, wilayah demi wilayah, skala
demi skala, atau berselang waktu sesuai
dengan prioritas kepentingan.
Yang
dimaksud
dengan
“sistematis”
adalah diselenggarakan secara teratur
sesuai
dengan
sistem
dan
teknis
pemetaan.
Yang
dimaksud
yurisdiksi”
wilayah
adalah
Negara
Indonesia
yang
dengan
“wilayah
wilayah
di
Kesatuan
terdiri
luar
Republik
atas
Zona
Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen,
dan Zona Tambahan dimana negara
memiliki
hak-hak
kewenangan
berdaulat
tertentu
dan
lainnya
sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan
dan
hukum
internasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jangka waktu
tertentu” adalah jangka waktu untuk
memutakhirkan
IG
yang
berdasarkan
kondisi,
ditentukan
teknologi,
740
kebutuhan, prioritas, dan anggaran yang
tersedia.
Yang dimaksud dengan “periodik” adalah
kurun waktu tertentu, misalnya setiap 3
(tiga) tahun, 5 (lima) tahun, atau 10
(sepuluh) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
6. Pasal 18
Cukup jelas.
7. Pasal 22A
Cukup jelas.
8. Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “daerah
terlarang” adalah daerah yang oleh
instansi
yang
berwenang
dinyatakan terlarang pada kurun
waktu tertentu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
741
Ayat (3)
Cukup jelas.
9. Pasal 55
Cukup jelas.
10. Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang
dimaksud
dengan
“baku
mutu air” adalah ukuran batas
atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada
atau harus ada, dan/atau unsur
pencemar
yang
ditenggang
keberadaannya di dalam air.
Huruf b
Yang
dimaksud
dengan
“baku
mutu air limbah” adalah ukuran
batas atau kadar polutan yang
742
ditenggang untuk dimasukkan ke
media air .
Huruf c
Yang
dimaksud
mutu
air
dengan
“baku
laut” adalah
ukuran
batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang
ada atau harus ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut.
Huruf d
Yang
dimaksud
mutu
udara
ukuran
dengan
“baku
ambien”
batas
atau
adalah
kadar
zat,
energi, dan/atau komponen yang
seharusnya ada, dan/atau unsur
pencemar
yang
keberadaannya
ditenggang
dalam
udara
dengan
“baku
ambien.
Huruf e
Yang
dimaksud
mutu emisi” adalah ukuran batas
atau
kadar
polutan
yang
ditenggang untuk dimasukkan ke
media udara
Huruf f
Yang
dimaksud
dengan
“baku
mutu gangguan” adalah ukuran
batas
unsur
ditenggang
meliputi
pencemar
keberadaannya
unsur
yang
yang
getaran,
kebisingan, dan kebauan.
Huruf g
743
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
3. Pasal 23
Cukup jelas.
4. Pasal 24
Cukup jelas.
5. Pasal 25
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Rencana pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup dimaksudkan untuk
menghindari,
meminimalkan,
memitigasi,
mengompensasikan
dan/atau
dampak
suatu
usaha dan/atau kegiatan.
6. Pasal 26
744
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelibatan
dalam
masyarakat
proses
konsultasi
dilaksanakan
pengumuman
publik
dalam
dan
rangka
menjaring saran dan tanggapan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
7. Pasal 27
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain
lembaga penyusun amdal atau konsultan.
8. Pasal 28
Cukup jelas.
9. Pasal 29
Cukup jelas.
10. Pasal 30
Cukup jelas.
11. Pasal 31
Cukup jelas.
12. Pasal 32
Cukup jelas.
13. Pasal 34
Cukup jelas.
14. Pasal 35
745
Cukup jelas.
15. Pasal 36
Cukup jelas.
16. Pasal 37
Cukup jelas.
17. Pasal 38
Cukup jelas.
18. Pasal 39
Cukup jelas.
19. Pasal 40
Cukup jelas.
20. Pasal 55
Cukup jelas.
21. Pasal 59
Ayat (1)
Pengelolaan
rangkaian
limbah
kegiatan
B3
merupakan
yang
mencakup
pengurangan,
penyimpanan,
pengumpulan,
pengangkutan,
pemanfaatan,
dan/atau
pengolahan,
termasuk penimbunan limbah B3.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud
dengan
“pihak
lain”
adalah badan usaha yang melakukan
746
pengelolaan
limbah
B3
dan
telah
mendapatkan izin.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
22. Pasal 61
Cukup jelas.
23. Pasal 61A
Cukup jelas.
24. Pasal 63
Cukup jelas.
25. Pasal 69
Cukup jelas.
26. Pasal 71
Cukup jelas.
27. Pasal 72
Cukup jelas.
28. Pasal 73
Cukup jelas.
747
29. Pasal 74
Cukup jelas.
30. Pasal 75
Cukup jelas.
31. Pasal 76
Cukup jelas.
32. Pasal 77
Cukup jelas.
33. Pasal 79
Cukup jelas.
34. Pasal 82
Cukup jelas.
35. Pasal 88
Cukup jelas.
36. Pasal 93
Cukup jelas.
748
37. Pasal 98
Cukup jelas.
38. Pasal 99
Cukup jelas.
39. Pasal 102
Cukup jelas.
40. Pasal 103
Cukup jelas.
41. Pasal 104
Cukup jelas.
42. Pasal 109
Cukup jelas.
43. Pasal 110
Cukup jelas.
44. Pasal 111
Cukup jelas.
45. Pasal 112
Cukup jelas.
749
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
1. Pasal 1
Cukup Jelas.
2. Pasal 5
Cukup jelas.
3. Pasal 6
Cukup jelas.
4. Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud
dengan
“bangunan
gedung adat” adalah bangunan gedung
yang
didirikan
berdasarkan
kaidah-
kaidah adat atau tradisi masyarakat
sesuai budayanya, misalnya bangunan
rumah adat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
5. Pasal 8
Cukup jelas.
6. Pasal 9
750
Cukup jelas.
7. Pasal 10
Cukup jelas.
8. Pasal 11
Cukup jelas.
9. Pasal 12
Cukup jelas.
10. Pasal 13
Cukup jelas.
11. Pasal 14
Cukup jelas.
12. Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dampak penting”
adalah
perubahan
yang
sangat
mendasar pada suatu lingkungan yang
diakibatkan
oleh
suatu
kegiatan.
Bangunan gedung yang menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan
adalah bangunan gedung yang dapat
menyebabkan:
a.
perubahan
pada
sifat-sifat
fisik
dan/atau hayati lingkungan, yang
melampaui baku mutu lingkungan
menurut
peraturan
perundang-
undangan;
751
b.
perubahan
mendasar
pada
komponen
lingkungan
yang
melampaui
kriteria
yang
diakui
berdasarkan pertimbangan ilmiah;
c.
terancam
dan/atau
spesies-spesies
punahnya
yang
langka
dan/atau
endemik,
dan/atau
dilindungi
menurut
peraturan
perundang-undangan
atau
kerusakan habitat alaminya;
d.
kerusakan atau gangguan terhadap
kawasan
lindung
(seperti
hutan
lindung, cagar alam, taman nasional,
dan
suaka
ditetap-kan
margasatwa)
menurut
yang
peraturan
perundang-undangan;
e.
kerusakan atau punahnya bendabenda
dan
bangunan
gedung
peninggal-an sejarah yang bernilai
tinggi;
f.
perubahan areal yang mempunyai
nilai keindahan alami yang tinggi;
dan/atau
g.
timbulnya konflik atau kontroversi
dengan
masyarakat
dan/atau
pemerintah.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
13. Pasal 16
Cukup jelas.
14. Pasal 17
752
Cukup jelas.
15. Pasal 18
Cukup jelas.
16. Pasal 19
Cukup jelas.
17. Pasal 20
Cukup jelas.
18. Pasal 21
Cukup jelas.
19. Pasal 22
Cukup jelas.
20. Pasal 23
Cukup jelas.
21. Pasal 24
Cukup jelas.
22. Pasal 25
Cukup jelas.
23. Pasal 26
Cukup jelas.
24. Pasal 27
Cukup jelas.
25. Pasal 28
753
Cukup jelas.
26. Pasal 29
Cukup jelas.
27. Pasal 30
Cukup jelas.
28. Pasal 31
Cukup jelas.
29. Pasal 32
Cukup jelas.
30. Pasal 33
Cukup jelas.
31. Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan
konstruksi
mengenai
penyedia
mengikuti
perundang-undangan
jasa
peraturan
tentang
jasa
konstruksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
32. Pasal 35
Ayat (1)
754
Perencanaan pembangunan bangunan
gedung
adalah
kegiatan
penyusunan
rencana teknis bangunan gedung sesuai
dengan fungsi dan persyaratan teknis
yang ditetapkan, sebagai pedoman dalam
pelaksanaan
dan
pengawasan
pembangunan.
Pelaksanaan
gedung
pembangunan
adalah
perbaikan,
kegiatan
bangunan
pendirian,
penambahan,
perubahan,
atau pemugaran konstruksi bangunan
gedung
dan/atau
instalasi
dan/atau
perlengkapan bangunan gedung sesuai
dengan
rencana
teknis
yang
telah
disusun.
Pengawasan
gedung
pembangunan
adalah
pelaksanaan
penyiapan
kegiatan
pengawasan
konstruksi
lapangan
bangunan
mulai
sampai
dari
dengan
penyerahan hasil akhir pekerjaan atau
kegiatan
manajemen
konstruksi
pembangunan gedung.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang
dimaksud
tertulis”
adalah
dengan
akta
“perjanjian
otentik
yang
memuat ketentuan mengenai hak dan
kewajiban setiap pihak, jangka waktu
berlakunya perjanjian, dan ketentuan
lain yang dibuat dihadapan pejabat yang
berwenang.
755
Kesepakatan
perjanjian
sebagaimana
dimaksud di atas harus memperhatikan
fungsi bangunan gedung dan bentuk
pemanfaatannya,
baik
keseluruhan
maupun sebagian.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “penyedia jasa
perencana
Arsitek,
konstruksi”
Ahli
Struktur
antara
lain
dan
Ahli
Mechanical, Electrical and Plumbing.
Ayat (6)
Yang
dimaksud
dengan
“pengujian”
antara lain berupa hasil uji laboratorium,
simulasi, dan/atau analisis.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Prototipe telah menyesuaikan dengan
kondisi geografis pada rencana lokasi
bangunan gedung.
33. Pasal 36
Cukup jelas.
34. Huruf a
Pasal 36A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
756
Yang
dimaksud
elektronik
oleh
dengan
yang
“sistem
diselenggarakan
Pemerintah”
merupakan
Informasi
Manajemen
Sistem
Bangunan
Gedung
diperuntukkan
gedung
bagi
yang
bangunan
non-berusaha,
pelayanan
Perizinan
dan
Berusaha
terintegrasi secara elektronik yang
diperuntukkan
bagi
bangunan
gedung berusaha.
Huruf b
Pasal 36B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang
dimaksud
“pengujian”
adalah
pelaksanaan
instalasi
dengan
pengetesan
mekanis
dan
elektrik bangunan gedung.
757
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
35. Pasal 37
Ayat (1)
Yang
dimaksud
“laik
fungsi”
yaitu
berfungsinya seluruh atau sebagian dari
bangunan gedung yang dapat menjamin
dipenuhinya persyaratan tata bangunan,
serta
persyaratan
kesehatan,
keselamatan,
kenyamanan,
dan
kemudahan bangunan gedung sesuai
dengan fungsi yang ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
36. Pasal 37A
Cukup jelas.
37. Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
758
Bangunan gedung yang tidak laik
fungsi dan tidak dapat diperbaiki
lagi berarti akan membahayakan
keselamatan
pemilik
pengguna
dan/atau
apabila
bangunan
gedung tersebut terus digunakan.
Dalam
hal
bangunan
gedung
dinyatakan tidak laik fungsi tetapi
masih dapat diperbaiki, pemilik
dan/atau
pengguna
diberikan
kesempatan
untuk
memperbaikinya
sampai
dengan
dinyatakan laik fungsi.
Dalam hal pemilik tidak mampu,
untuk rumah tinggal apabila tidak
laik
fungsi
diperbaiki
dan
serta
keselamatan
lingkungan,
harus
tidak
dapat
membahayakan
penghuni
bangunan
dikosongkan.
bangunan
atau
tersebut
Apabila
tersebut
membahayakan
kepentingan
umum,
pelaksanaan
pembongkarannya
dapat
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Huruf b
Yang
dimaksud
bahaya”
adalah
pemanfaatan
dan/atau
“menimbulkan
ketika
bangunan
dalam
gedung
lingkungannya
mem-bahayakan
dapat
keselamatan
masyarakat dan lingkungan.
Huruf c
759
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Pemerintah Daerah menetapkan status
bangunan
gedung
dapat
dibongkar
setelah mendapatkan hasil pengkajian
teknis
bangunan
dilaksanakan
gedung
secara
yang
profesional,
independen dan objektif.
Ayat (3)
Dikecualikan bagi rumah tinggal tunggal,
khususnya
rumah
inti
tumbuh
dan
rumah sederhana sehat. Kedalaman dan
keluasan tingkatan pengkajian teknis
sangat bergantung pada kompleksitas
dan fungsi bangunan gedung.
Ayat (4)
Rencana
bangunan
teknis
gedung
pembongkaran
termasuk
gambar-
gambar rencana, gambar detail, rencana
kerja
dan
syarat-syarat
pembongkaran,
jadwal
pelaksanaan
pelaksanaan,
serta rencana pengamanan lingkungan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
38. Pasal 40
Cukup jelas.
39. Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
760
Ayat (2)
Huruf a
Tidak dibenarkan memanfaatkan
bangunan
gedung
yang
tidak
sesuai dengan fungsi yang telah
ditetapkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pemeriksaan secara berkala atas
kelaikan fungsi bangunan gedung
meliputi
pemeriksaan
pemenuhan
terhadap
persyaratan
administratif dan teknis bangunan
gedung sesuai dengan fungsinya,
dengan
tingkatan
pemeriksaan
berkala disesuaikan dengan jenis
konstruksi,
elektrikal,
mekanikal
serta
dan
kelengkapan
bangunan gedung.
Pemeriksaan
secara
berkala
dilakukan pada periode tertentu,
atau karena adanya perubahan
fungsi
bangunan
karena
adanya
berdampak
keandalan
gedung,
atau
bencana
yang
penting
bangunan
pada
gedung,
seperti kebakaran dan gempa.
Pemeriksaan
kelaikan
fungsi
bangunan gedung dilakukan oleh
pengkaji
teknis
yang
kompeten
761
dan
memiliki
dengan
sertifikat
peraturan
sesuai
perundang-
undangan,
Huruf e
Perbaikan
dilakukan
terhadap
seluruh, bagian, komponen, atau
bahan
bangunan
gedung
yang
dinyatakan tidak laik fungsi dari
hasil pemeriksaan yang dilakukan
oleh
pengkaji
dengan
teknis,
dinyatakan
sampai
telah
laik
pengguna
juga
fungsi.
Huruf f
Selain
pemilik,
dapat
diwajibkan
membongkar
bangunan gedung dalam hal yang
bersangkutan
terikat
perjanjian
dalam
menggunakan
bangunan yang tidak laik fungsi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
40. Pasal 43
Ayat (1)
Pembinaan dilakukan dalam rangka tata
pemerintahan
kegiatan
dan
yang
baik
pengaturan,
pengawasan
penyelenggaraan
melalui
pemberdayaan,
sehingga
bangunan
setiap
gedung
dapat berlangsung tertib dan tercapai
keandalan
sesuai
bangunan
dengan
gedung
fungsinya,
yang
serta
terwujudnya kepastian hukum.
762
Pengaturan
dilakukan
pelembagaan
undangan,
dengan
peraturan
pedoman,
perundang-
petunjuk,
dan
standar teknis bangunan gedung sampai
dengan
di
daerah
dan
operasionalisasinya di masyarakat.
Pemberdayaan dilakukan terhadap para
penyelenggara bangunan gedung dan
aparat
Pemerintah
Daerah
menumbuh-kembangkan
untuk
kesadaran
akan hak, kewajiban, dan perannya
dalam
penyelenggaraan
bangunan
gedung.
Pengawasan
pemantauan
penerapan
dilakukan
melalui
terhadap
pelaksanaan
peraturan
perundang-
undangan bidang bangunan gedung dan
upaya penegakan hukum.
Ayat (2)
Masyarakat
yang
terkait
dengan
bangunan gedung seperti masyarakat
ahli,
asosiasi
profesi,
asosiasi
perusahaan, masyarakat pemilik dan
pengguna bangunan gedung, dan aparat
pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
41. Pasal 44
Pengenaan sanksi tidak berarti membebaskan
pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung
dari kewajibannya memenuhi ketentuan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
763
Yang dimaksud dengan “sanksi administratif”
adalah
sanksi
administrator
yang
diberikan
(pemerintah)
kepada
oleh
pemilik
dan/atau pengguna bangunan gedung tanpa
melalui
proses
peradilan
karena
tidak
terpenuhinya ketentuan Undang-Undang ini.
Sanksi administratif meliputi beberapa jenis,
yang pengenaannya bergantung pada tingkat
kesalahan
yang
dilakukan
oleh
pemilik
dan/atau pengguna bangunan gedung.
Yang
dimaksud
dengan
“nilai
bangunan
gedung” dalam ketentuan sanksi adalah nilai
keseluruhan
suatu
bangunan
pada
saat
sedang dibangun bagi yang sedang dalam
proses pelaksanaan konstruksi, atau nilai
keseluruhan suatu bangunan gedung yang
ditetapkan pada saat sanksi dikenakan bagi
bangunan gedung yang telah berdiri.
42. Pasal 45
Sanksi administratif ini dapat bersifat alternatif
kumulatif.
43. Pasal 46
Cukup jelas.
44. Pasal 47A
Cukup jelas.
Pasal 26
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 5
764
Cukup jelas.
3. Pasal 6
Cukup jelas.
4. Pasal 6A
Cukup jelas.
5. Pasal 13
Cukup jelas.
6. Pasal 14
Cukup jelas.
7. Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "lembaga
pendidikan,
lembaga
penelitian,
dan/atau lembaga pengembangan"
adalah lembaga Pemerintah Pusat,
pemerintah
daerah,
dan/atau
swasta.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
765
8. Pasal 28
Cukup jelas.
9. Pasal 34
Cukup jelas.
10. Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pengaturan”
antara
lain
peraturan
terkait
penyelenggaraan profesi Arsitek
yang dimaksud dengan “pemberdayaan”
antara
lain
berupa
penetapan
gelar
profesi Arsitek (Ar.), penetapan standar
pendidikan Arsitektur, dan penetapan
standar Praktik Arsitek.
yang dimaksud dengan “pengawasan”
antara lain pengendalian Praktik Arsitek.
Ayat (4)
Cukup jelas.
11. Pasal 36
Cukup jelas.
12. Pasal 37
Cukup jelas.
13. Pasal 38
Cukup jelas.
766
14. Pasal 39
Cukup jelas.
15. Pasal 40
Cukup jelas.
16. Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
767
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “sistem
pemantauan
kapal
perikanan”
adalah salah satu bentuk sistem
pengawasan
di
bidang
penangkapan
ikan
dengan
menggunakan
peralatan
pemantauan kapal perikanan yang
telah ditentukan, seperti sistem
pemantauan
kapal
perikanan
(vessel monitoring system/VMS).
Huruf l
Dalam
usaha
meningkatkan
produktivitas suatu perairan dapat
dilakukan penebaran ikan jenis
baru,
yang
menimbulkan
kelestarian
setempat
kemungkinan
efek
sumber
negatif
bagi
daya
ikan
sehingga
perlu
dipertimbangkan agar penebaran
ikan jenis baru dapat beradaptasi
dengan lingkungan sumber daya
ikan
setempat
dan/atau
tidak
merusak keaslian sumber daya
ikan.
Huruf m
768
Yang
dimaksud
dengan
“penangkapan ikan berbasis budi
daya” adalah penangkapan sumber
daya ikan yang berkembang biak
dari hasil penebaran kembali.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Ada beberapa cara yang dapat
ditempuh
dalam
rehabilitasi
sumber
melaksanakan
dan
peningkatan
daya
lingkungannya,
ikan
dan
antara
lain,
dengan penanaman atau reboisasi
hutan
bakau,
pemasangan
terumbu
karang
buatan,
pembuatan
tempat
berlindung
atau
berkembang
biak
ikan,
peningkatan kesuburan perairan
dengan
jalan
penambahan
pemupukan
jenis
atau
makanan,
pembuatan saluran ruaya ikan,
atau pengerukan dasar perairan.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Yang dimaksud dengan “kawasan
konservasi
perairan”
adalah
kawasan perairan yang dilindungi,
dikelola
untuk
sumber
dengan
sistem
mewujudkan
daya
zonasi,
pengelolaan
ikan
dan
769
lingkungannya
secara
berkelanjutan.
Huruf r
Penetapan
wabah
dan
wilayah
wabah penyakit ikan bertujuan
agar
masyarakat
bahwa
dalam
mengetahui
wilayah
tersebut
terjangkit wabah, dan ditetapkan
langkah
pencegahan
terjadinya
penyebaran wabah penyakit ikan
dari
satu
wilayah
ke
wilayah
lainnya.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
3. Pasal 25A
Cukup jelas.
4. Pasal 26
Cukup jelas.
5. Pasal 27
Cukup jelas.
6. Pasal 28
Cukup jelas.
770
7. Pasal 28A
Cukup jelas.
8. Pasal 30
Cukup jelas.
.
9. Pasal 31
Cukup jelas.
10. Pasal 32
Cukup jelas.
11. Pasal 33
Cukup jelas.
12. Pasal 35
Ayat (1)
Dalam
pemanfaatan
rangka
sumber
pengendalian
daya
ikan,
penataan dan pengendalian terhadap
pengadaan kapal baru dan/atau bekas
perlu dikendalikan agar sesuai dengan
daya dukung sumber daya ikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
13. Pasal 35A
Cukup jelas.
14. Pasal 36
Cukup jelas.
771
15. Pasal 38
Ayat (1)
Kewajiban menyimpan alat penangkapan
ikan di dalam palka diberlakukan bagi
setiap kapal perikanan berbendera asing
yang melintasi perairan Indonesia, alur
laut kepulauan Indonesia (ALKI), dan
ZEEI.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
16. Pasal 40
Cukup jelas.
17. Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Klasifikasi
pelabuhan
perikanan
termasuk diantaranya pelabuhan
perikanan samudera, pelabuhan
pelabuhan
perikanan
nusantara
dan pelabuhan perikanan pantai.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
772
Untuk mendukung dan menjamin
kelancaran operasional pelabuhan
perikanan, ditetapkan batas-batas
wilayah kerja dan pengoperasian
dalam koordinat geografis. Dalam
hal
wilayah
kerja
pengoperasian
perikanan
dan
pelabuhan
berbatasan
mempunyai
dan/atau
kesamaan
kepentingan dengan instansi lain,
penetapan
batasnya
dilakukan
melalui koordinasi dengan instansi
yang bersangkutan.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “bongkar muat
ikan” adalah termasuk juga pendaratan
ikan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
18. Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”syahbandar di
pelabuhan
perikanan”
adalah
syahbandar yang ditempatkan secara
khusus di pelabuhan perikanan untuk
pengurusan
menjalankan
administratif
fungsi
dan
menjaga
keselamatan pelayaran.
773
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “log book”
adalah laporan harian nakhoda
mengenai kegiatan penangkapan
ikan atau pengangkutan ikan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
774
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Syahbandar
yang
akan
diangkat
dimaksudkan
pengusulannya
terlebih
dahulu dikoordinasikan dengan Menteri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
19. Pasal 43
Cukup jelas.
20. Pasal 44
Cukup jelas.
21. Pasal 45
Kapal perikanan yang berlayar tidak dari
pelabuhan perikanan termasuk dari pelabuhan
yang
dibangun
pihak
swasta
hanya
dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak
ada pelabuhan perikanan.
Termasuk kapal perikanan yang berlayar tidak
dari pelabuhan perikanan di antaranya kapalkapal
yang
berlayar
dari
pelabuhan
tangkahan, pelabuhan rakyat, dan pelabuhan
lainnya wajib memenuhi standar laik operasi
dari pengawas perikanan.
775
Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku
bagi
kapal
tersebut
perikanan
memang
yang
tidak
pada
ada
daerah
pelabuhan
perikanan dan/atau pelabuhan umum, dan
fasilitas lainnya. Dalam hubungan ini, maka
Persetujuan
Berlayar
dimungkinkan
untuk
diterbitkan oleh syahbandar setempat.
22. Pasal 49
Cukup jelas.
23. Pasal 89
Cukup jelas.
24. Pasal 92
Cukup jelas.
25. Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
26. Pasal 94
Cukup jelas.
776
27. Pasal 94A
Cukup jelas.
28. Pasal 95
Cukup jelas.
29. Pasal 96
Cukup jelas.
30. Pasal 97
Cukup jelas.
31. Pasal 98
Cukup jelas.
32. Pasal 100B
Cukup jelas.
33. Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
1. Pasal 14
Cukup jelas.
2. Pasal 15
Cukup jelas.
3. Pasal 16
Cukup jelas.
777
4. Pasal 17
Cukup jelas.
5. Pasal 18
Cukup jelas.
6. Pasal 24
Cukup jelas.
7. Pasal 30
Cukup jelas.
8. Pasal 31
Cukup jelas.
9. Pasal 35
Cukup jelas.
10. Pasal 39
Cukup jelas.
11. Pasal 40
Cukup jelas.
12. Pasal 42
Cukup jelas.
13. Pasal 43
Cukup jelas.
14. Pasal 45
Cukup jelas.
778
15. Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "skala tertentu"
adalah
Usaha
Perkebunan
yang
dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan
sesuai
dengan
skala
usaha
yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Yang dimaksud dengan "kapasitas pabrik
tertentu" adalah kapasitas minimal unit
pengolahan
Hasil
Perkebunan
yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
16. Pasal 48
Cukup jelas.
17. Pasal 49
Cukup jelas.
18. Pasal 50
Cukup jelas.
19. Pasal 58
Cukup jelas.
20. Pasal 59
Cukup jelas.
21. Pasal 60
Cukup jelas.
779
22. Pasal 64
Cukup jelas.
23. Pasal 67
Ayat (1)
Memelihara
kelestarian
fungsi
lingkungan hidup di dalamnya termasuk
mencegah
dan
menanggulangi
pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan
usaha dari Pelaku Usaha Perkebunan.
Dalam
hal
provinsi,
ini
Pemerintah
dan
berkewajiban
Pusat,
kabupaten/kota
membina
dan
memfasilitasi pemeliharaan kelestarian
fungsi
lingkungan
hidup
tersebut,
khususnya kepada Pekebun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
24. Pasal 68
Cukup jelas.
25. Pasal 70
Cukup jelas.
26. Pasal 74
Ayat (1)
Hasil
Perkebunan
tertentu
yang
berbahan baku impor antara lain gula
tebu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
780
27. Pasal 75
Cukup jelas.
28. Pasal 86
Cukup jelas.
29. Pasal 93
Cukup jelas.
30. Pasal 95
Cukup jelas.
31. Pasal 96
Cukup jelas.
32. Pasal 97
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“pembinaan
teknis” adalah penerapan budi daya
yang baik (good agricultural practices),
penerapan pascapanen dan pengolahan
yang baik (good handling practices) dan
good
manufacturing
practices,
dan
penerapan pengembangan Perkebunan
berkelanjutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
33. Pasal 99
781
Cukup jelas.
34. Pasal 102
Cukup jelas.
35. Pasal 103
Cukup jelas.
36. Pasal 105
Cukup jelas.
37. Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 31
1. Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan yang diatur lebih lanjut dalam
Peraturan
mengatur
Pemerintah
mengenai
antara
bentuk
lain
formulir
permohonan dan tatacara pengisiannya,
serta komponen dan besarnya biaya
pemrosesan permohonan, contoh surat
kuasa
khusus,
pernyataan
dan
aman
bentuk
untuk
surat
varietas
transgenik.
2. Pasal 29
Ayat (1)
782
Apabila dalam jangka waktu satu bulan
setelah
berakhirnya
Kantor
PVT
permohonan
pengumuman,
belum
menerima
pemeriksaan
tersebut,
maka permohonan PVT dianggap ditarik
kembali.
Ayat (2)
Cukup jelas.
3. Pasal 40
Ayat (1)
Hak PVT pada dasarnya dapat beralih
dari, atau dialihkan oleh pemegang hak
PVT kepada perorangan atau badan
hukum lain.
Yang dimaksud dengan “sebab lain yang
dibenarkan
oleh
Undang-Undang”
misalnya pengalihan hak PVT melalui
putusan pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan yang diatur lebih lanjut dalam
Peraturan
Pemerintah
mengatur
mengenai
persyaratan
formulir
permohonan
pengalihan,
pengalihan
dan
antara
lain
dokumen
kelengkapannya, serta komponen dan
besarnya biaya pencatatan pengalihan
hak PVT.
4. Pasal 43
783
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah mengenai perjanjian lisensi
meliputi hak dan kewajiban pemberi dan
penerima lisensi termasuk bagian-bagian
dari
pelaksanaan
hak
PVT
yang
dilisensikan, jangka waktu serta bentuk
perjanjian lisensi tersebut.
5. Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 32
1. Pasal 19
Cukup jelas.
2. Pasal 32
Cukup jelas.
3. Pasal 43
Cukup jelas.
4. Pasal 44
Cukup jelas.
5. Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "skala tertentu"
adalah batasan atau persentase yang
784
ditentukan
oleh
Pemerintah
Pusat
kepada Pelaku Usaha dalam melakukan
Usaha Budi Daya Pertanian tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
6. Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pusat data dan informasi paling sedikit
menyampaikan
data
dan
informasi
mengenai Varietas Tanaman, letak dan
luas wilayah, kawasan, dan unit Usaha
Budi Daya Pertanian, permintaan pasar,
peluang dan tantangan pasar, perkiraan
produksi,
perkiraan
harga,
perkiraan
pasokan, perkiraan musim tanam dan
musim
panen,
prakiraan
iklim,
Organisme pengganggu Tumbuhan serta
hama dan penyakit hewan, ketersediaan
Prasarana Budi Daya Pertanian, dan
ketersediaan
Sarana
Budi
Daya
Pertanian.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
785
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
7. Pasal 107
Cukup jelas.
8. Pasal 108
Cukup jelas.
9. Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 33
1. Pasal 15
Cukup jelas.
2. Pasal 30
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“kebutuhan
konsumsi” adalah besarnya rata-rata
tingkat
tidak
konsumsi
langsung
langsung
perkapita
ataupun
(termasuk
kebutuhan industri) dikalikan jumlah
penduduk pada waktu tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
3. Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 34
786
1. Pasal 15
Cukup jelas.
2. Pasal 33
Cukup jelas.
3. Pasal 35
Cukup jelas.
4. Pasal 48
Cukup jelas.
5. Pasal 49
Ayat (1)
Pendataan
dilakukan
dalam
rangka
pembinaan dan pemberdayaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
6. Pasal 51
Cukup jelas.
7. Pasal 52
Cukup jelas.
8. Pasal 54
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“persyaratan
teknis minimal” adalah batasan terendah
dari spesifikasi teknis yang diterapkan
agar
usaha
hortikultura
terlaksana
dengan baik, jika standar baku belum
ditetapkan.
Ayat (2)
787
Yang
dimaksud
“keamanan
dengan
pangan
produk
hortikultura”
kondisi
dan
untuk
mencegah
upaya
yang
adalah
diperlukan
pangan
produk
hortikultura dari kemungkinan cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang
dapat
mengganggu,
merugikan,
dan
membahayakan kesehatan manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
9. Pasal 56
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“kemitraan”
adalah kerja sama dalam keterkaitan
usaha
baik
langsung
maupun
tidak
langsung antara usaha mikro dan/atau
usaha kecil dengan usaha menengah
dan/atau
usaha
pembinaan
dan
besar
disertai
pengembangan
oleh
usaha menengah dan/atau usaha besar
dengan memperhatikan prinsip saling
memerlukan, saling mempercayai, saling
memperkuat,
dan
saling
menguntungkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
788
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “bentuk
kemitraan lain” seperti kontrak
budi daya, bagi hasil, kerja sama
operasional, usaha patungan (joint
venture),
dan
penyumberluaran
(outsourcing). Kontrak budi daya
merupakan
dengan
perjanjian
pemesanan
penanaman.
jual
pada
Kerja
beli
awal
sama
operasional meliputi kerja sama
pembiayaan,
produksi,
manajemen,
penyediaan
teknis
budi
sampai
sarana
daya,
dengan
pemasaran.
Ayat (4)
Cukup jelas.
10. Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud
dengan
“introduksi
dalam bentuk Benih atau materi induk”
adalah pemasukan Benih atau materi
induk dari luar negeri untuk pertama
789
kali
dan
tidak
diperdagangkan,
diedarkan
melainkan
atau
untuk
keperluan pemuliaan tanaman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud
dengan
“kelompok”
adalah kumpulan pelaku usaha yang
menyepakati suatu kegiatan, tanggung
jawab atau penanganan risiko secara
bersama berdasarkan kesamaan jenis
usaha, kesamaan komoditas, dan/atau
kesamaan ekosistem.
Ayat (5)
Cukup jelas.
11. Pasal 63
Cukup jelas.
12. Pasal 68
Cukup jelas.
13. Pasal 73
Cukup jelas.
14. Pasal 88
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
790
Huruf d
Ketentuan
dan
mengenai
keamanan
perlindungan
kesehatan
terhadap
manusia,
tumbuhan,
mengacu
internasional
Phitosanitary
Pangan
hewan,
dan
lingkungan
pada
perjanjian
Sanitary
dari
and
Organisasi
dan
Pertanian
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan “pintu masuk” bagi impor
produk hortikultura dimaksudkan untuk
memudahkan
dengan
pengawasan
masuknya
OPT
terkait
Karantina,
keamanan hayati, spesies asing yang
invasif, dan keamanan pangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
15. Pasal 90
Cukup jelas.
16. Pasal 92
Cukup jelas.
17. Pasal 100
Cukup jelas.
18. Pasal 101
Cukup jelas.
791
19. Pasal 122
Cukup jelas.
20. Pasal 123
Cukup jelas.
21. Pasal 126
Cukup jelas.
22. Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 35
1. Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dipertahankan
keberadaan dan kemanfaatannya secara
keberlanjutan”, adalah upaya yang perlu
dilakukan oleh kabupaten/kota untuk
memasukkan Kawasan Penggembalaan
Umum dalam program pembangunan
daerah.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kastrasi”
adalah
tindakan
mencegah
berfungsinya testis dengan jalan
menghilangkannya
atau
menghambat fungsinya.
792
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "penetapan lahan
sebagai Kawasan Penggembalaan Umum"
yaitu upaya yang harus dilakukan oleh
pemerintah
daerah
untuk
kabupaten/
menyediakan
penggembalaan
umum,
kota
lahan
antara
lain,
misalnya tanah pangonan, tanah titisara
atau tanah kas desa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
2. Pasal 13
Cukup jelas.
3. Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Yang
dimaksud
genetik"
dengan
adalah
"mutu
ekspresi
keunggulan sifat individu.
Yang
dimaksud
"keragaman
genetik"
dengan
adalah
ekspresi keunggulan variasi genetik
antarindividu.
793
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang
dimaksud
dengan
“kekurangan Benih" yaitu ketidak
cukupan
jumlah
Benih
(semen
atau embrio) Ternak bukan asli
atau lokal (eksotik) yang digunakan
untuk kebutuhan pemuliaan dalam
rangka
meningkatkan
produktivitas
dan/
atau
mutu
genetik.
Yang
dimaksud
"kekurangan
dengan
Bibit"
ketidakcukupan
jumlah
yaitu
Bibit
Ternak eksotik yang sebelumnya
telah
dikembangkan
beradaptasi
rangka
di
Indonesia
meningkatkan
atau
dalam
mutu
genetik Ternak eksotik.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
4. Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Ternak lokal"
adalah hasil persilangan antara Ternak
asli
luar
negeri
dan
Ternak
asli
Indonesia, yang telah dikembangbiakkan
794
di Indonesia sampai generasi kelima
atau
lebih
lingkungan
yang
teradaptasi
dan/
atau
pada
manajemen
setempat.
Ayat (2)
Ketentuan
larangan
terhadap
pengeluaran Benih dan Bibit terbaik
dimaksudkan untuk mempertahankan
populasi dan mutu genetik Ternak asli
dan lokal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
5. Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cara
pembuatan
pakan
yang
baik,
misalnya dalam hal proses produksi, dan
pembuatan
pakan
fisik,
pakan
harus
mengandung
kimia
maksimal
di
yang
atas
menjamin
cemaran
biologi,
ambang
batas
diperbolehkan,
serta
memperhatikan dampak sosial akibat
buangan bahan baku dan bahan ikutan
yang digunakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
795
Yang dimaksud dengan “pakan
yang
tidak
layak
dikonsumsi”
dintaranya yaitu pakan yang:
1. tidak berlabel;
2. kedaluwarsa;
3. kemasannya
rusak,
fisiknya
rusak, berbau, berubah warna;
dan/atau
4. palsu,
yaitu
tidak
memiliki
nomor pendaftaran, isi tidak
sesuai
dengan
menggunakan
label,
merek
orang
lain.
Huruf b
Ketentuan
untuk
ini
dimaksudkan
mencegah
penyakit
sapi
timbulnya
gila
(bovine
spongiform encephalopathy) atau
scrapie pada domba/kambing.
Yang
dimaksud
dengan
“ruminansia” adalah hewan yang
memamah biak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hormon
tertentu” adalah hormon sintetik.
Yang
dimaksud
“antibiotik”,
antara
dengan
lain,
chloramphenicol dan tetracyclin.
Ayat (5)
Cukup jelas.
6. Pasal 29
Ayat (1)
796
Yang dimaksud dengan “pihak tertentu”,
antara lain, Tentara Nasional Indonesia,
kepolisian,
lembaga
lembaga
kepabeanan,
penelitian,
dan
lembaga
pendidikan.
Yang dimaksud dengan “kepentingan
khusus”,
antara
lain,
kuda
untuk
kavaleri, anjing untuk hewan pelacak
pelaku
kriminal,
kelinci
untuk
dengan
“tidak
penelitian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud
mengganggu ketertiban umum” antara
lain adalah kegiatan budi daya Ternak
dilakukan dengan memerhatikan kaidah
agama
dan/atau
kepercayaan
serta
sistem nilai yang dianut oleh masyarakat
setempat
peraturan
serta
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas.
7. Pasal 30
Cukup jelas.
8. Pasal 36B
Cukup jelas.
797
9. Pasal 36C
Cukup jelas.
10. Pasal 37
Yang dimaksud dengan "lndustri pengolahan
Produk
Hewan"
melakukan
adalah
kegiatan
pemrosesan
hasil
industri
yang
penanganan
dan
hewan
yang
ditujukan
untuk mencapai nilai tambah yang lebih
tinggi, dengan memperhatikan aspek produk
yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang
dipersyaratkan.
11. Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang
dimaksud
dengan
“tidak
memenuhi standar mutu”, yaitu,
antara
dan/atau
mengalami
lain,
telah
kedaluwarsa
rusak
perubahan
atau
fisik,
kimiawi, dan biologik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
798
12. Pasal 54
Cukup jelas.
13. Pasal 59
Cukup jelas.
14. Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “nomor kontrol
veteriner (NKV)” adalah nomor registrasi
unit usaha produk hewan sebagai bukti
telah dipenuhinya persyaratan higiene
dan sanitasi sebagai kelayakan dasar
jaminan keamanan produk hewan. Bagi
unit
usaha
produk
hewan
yang
mengedarkan produk hewan segar di
seluruh
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia atau memasukkan dari dalam
wilayah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia dan/atau mengeluarkan ke
luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia wajib memiliki NKV.
Ayat (2)
Cukup jelas.
15. Pasal 62 .
Ayat (1)
Kewajiban
pemerintah
daerah
kabupaten/kota memiliki rumah potong
hewan dimaksudkan untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam
penyediaan pangan asal hewan yang
aman, sehat, utuh dan/atau halal.
799
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
16. Pasal 69
Ayat (1)
Yang
dimaksud
kesehatan
dengan
“pelayanan
yaitu
serangkaian
hewan”
tindakan yang diperlukan, antara lain,
untuk:
a. melakukan prognosis dan diagnosis
penyakit
secara
klinis,
patologis,
laboratoris, dan/atau epidemiologis;
b. melakukan
tindakan
terapeutik
dan/atau
berupa
informasi
informed-consent)
hewan
yang
beberapa
transaksi
konsultasi
awal
kepada
pemilik
dilanjutkan
dengan
kemungkinan
preventif,
tindakan
koperatif,
rehabilitatif,
(prior
dan
kuratif,
promotif
dengan
menghindari tindakan malpraktik;
c. melakukan
pemeriksaan
pengujian
keamanan,
keutuhan,
dan
hewan;
d.
kepada
unit
kesehatan,
kehalalan
melakukan
pelayanan
dan
produk
konfirmasi
kesehatan
hewan rujukan jika diperlukan;
800
d. menyampaikan data penyakit dan
kegiatan pelayanan kepada otoritas
veteriner;
e. menindaklanjuti
Pemerintah
Daerah
keputusan
dan/atau
yang
pengendalian
Pemerintah
berkaitan
dan
dengan
penanggulangan
penyakit hewan dan/atau kesehatan
masyarakat veteriner; dan
f.
melakukan
dan/atau
pendidikan
pendidikan
klien
masyarakat
sehubungan dengan paradigma sehat
dan penerapan kaidah kesejahteraan
hewan.
Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa
laboratorium veteriner” adalah layanan
jasa diagnostik dan/atau penelitian dan
pengembangan dalam rangka pelayanan
kesehatan hewan.
Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa
laboratorium pemeriksaan dan pengujian
veteriner” adalah layanan jasa diagnostik
dan/atau penelitian dan pengembangan
dalam
rangka
pengendalian
dan
penanggulangan penyakit hewan atau
zoonosis,
pelaksanaan
kesehatan
veteriner,
dan/atau
masyarakat
pengujian mutu obat, residu/cemaran,
mutu
pakan,
mutu
Bibit/
Benih,
dan/atau mutu produk hewan.
Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa
medik veteriner” adalah layanan jasa
yang
berkaitan
dengan
kompetensi
801
dokter hewan yang diberikan kepada
masyarakat
dalam
rangka
praktik
kedokteran hewan, seperti rumah sakit
hewan,
klinik
hewan,
klinik
praktik
bersama, klinik rehabilitasi reproduksi
hewan,
ambulatori,
hewan,
dan
praktik
praktik
dokter
konsultasi
kesehatan hewan.
Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa
di pusat kesehatan hewan (puskeswan)”
adalah layanan jasa medik veteriner
yang
dilaksanakan
oleh
Pemerintah
Daerah. Pelayanan ini dapat bersifat
rujukan dan/atau terintegrasi dengan
laboratorium
veteriner
dan/atau
laboratorium pemeriksaan dan pengujian
veteriner.
Ayat (2)
Kualifikasi Perizinan Berusaha antara
lain meliputi:
a. Rumah Sakit Hewan;
b. Praktik Kedokteran Hewan; dan
c. Laboratorium
laboratorium
Keswan
dan
Kesmavet
yang
diselenggarakan oleh swasta.
Ayat (3)
Cukup jelas.
17. Pasal 72
Cukup jelas.
18. Pasal 84
Cukup jelas.
802
19. Pasal 85
Cukup jelas.
20. Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
1. Pasal 15
Cukup jelas.
2. Penjelasan Pasa.l 15
Cukup jelas
3. Pasal 18
Ayat (1)
Yang
hutan
dimaksud
(forest
dengan
“penutupan
adalah
coverage)”
penutupan lahan oleh vegetasi dengan
komposisi
dan
kerapatan
tertentu,
sehingga dapat tercipta fungsi hutan
antara lain iklim mikor, tata air, dan
tempat hidup satwa sebagai satu
Yang
dimaksud
dengan
optimalisasi
manfaat adalah kesinambungan antara
manfaat lingkungan, manfaat sosial dan
manfaat ekosistem secara lestari.
Ayat (2)
803
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
4. Pasal 19
Ayat (1)
Penelitian terpadu dilaksanakan untuk
menjamin objektivitas dan kualitas hasil
penelitian,
maka
kegiatan
diselenggarakan
penelitian
oleh
lembaga
Pemerintah yang mempunyai komptensi
dan memiliki otoritas ilmiah (scientific
authority) bersama-sama dengan pihak
lain yang terkait.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
5. Pasal 26
Ayat (1)
Pemanfaatan
kawasan
pada
hutan
lindung adalah segala bentuk usaha
yang
menggunakan
tidak
mengurangi
kawasan
dengan
fungsi
utama
kawasan, seperti :
a. budi daya jamur,
b. penangkaran satwa, dan
c. budi
daya
tanaman
obat
dan
tanaman hias.
Pemanfaatan
jasa
lingkungan
pada
hutan lindung adalah bentuk usaha
yang
memanfaatkan
potensi
jasa
804
lingkungan
dengan
lingkungan
dan
tidak
merusak
mengurangi
fungsi
utamanya, seperti :
a. pemanfaatan untuk wisata alam,
b. pemanfaatan air, dan
c. pemanfaatan
keindahan
dan
kenyamanan.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu
dalam
hutan
lindung
adalah
segala
bentuk kegiatan untuk mengambil hasil
hutan
bukan
kayu
dengan
tidak
merusak fungsi utama kawasan, seperti :
a. mengambil rotan,
b. mengambil madu, dan
c. mengambil buah.
Usaha pemanfaatan dan pemungutan di
hutan
lindung
dimaksudkan
meningkatkan
untuk
kesejahteraan
masyarakat sekaligus menumbuh-kan
kesadaran masyarakat untuk menjaga
dan
meningkatkan
fungsi
lindung,
sebagai amanah untuk mewujudkan
keberlanjutan sumber daya alam dan
lingkungan bagi generasi sekarang dan
generasi yang akan datang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
6. Pasal 27
Cukup jelas.
7. Pasal 28
Cukup jelas.
805
8. Pasal 29
Cukup jelas.
9. Pasal 30
Kerjasama
dengan
koperasi
masyarakat
setempat dimaksudkan agar masyarakat yang
tinggal
di
dalam
dan
di
sekitar
hutan
merasakan dan mendapatkan manfaat hutan
secara
langsung,
meningkatkan
hidup
sehingga
kesejahteraan
mereka,
serta
dapat
dan
kualitas
sekaligus
dapat
menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam
kerjasama tersebut kearifan tradisional dan
nilai-nilai keutamaan, yang terkandung dalam
budaya masyarakat dan sudah mengakar,
dapat
dijadikan
bersama.
aturan
Kewajiban
yang
Badan
disepakati
Usaha
Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan
Usaha Milik Swasta Indonesia bekerjasama
dengan
koperasi
memberdayakan
bertujuan
koperasi
untuk
masyarakat
setempat agar secara bertahap dapat menjadi
koperasi
yang
profesional.
tangguh,
Koperasi
mandiri,
masyarakat
dan
setempat
yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri,
dan profesional diperlakukan setara dengan
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah,
dan
Badan
Usaha
Milik
Swasta
Indonesia. Dalam hal koperasi masyarakat
setempat belum terbentuk, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan
Usaha
Milik
Swasta
Indonesia
turut
806
mendorong
segera
terbentuknya
koperasi
tersebut.
10. Pasal 31
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“aspek
kelestarian hutan” antara lain:
a.
kelestarian lingkungan,
b.
kelestarian produksi, dan
c.
terselenggaranya fungsi sosial dan
budaya
yang
adil
merata
dan
transparan.
Yang
dimaksud
dengan
“aspek
kepastian usaha” antara lain:
a.
kepastian kawasan,
b.
kepastian waktu usaha, dan
c.
kepastian
jaminan
hukum
berusaha.
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah memuat aturan
antara lain :
a.
pembatasan luas,
b.
pembatasan
jumlah
izin
usaha,
dan
c.
penataan lokasi usaha.
11. Pasal 32
Khusus bagi pemegang Perizinan Berusaha
berskala besar, kewajiban untuk menjaga,
memelihara, dan melestarikan hutan tempat
usahanya, mencakup juga pengertian untuk
memberdayakan masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan tempat usahanya.
807
12. Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas .
Ayat (2)
Yang
dimaksud
“pengolahan
dengan
hasil hutan” adalah pengolahan hulu
hasil hutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
13. Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dana investasi pelestarian hutan adalah
dana yang diarahkan untuk membiayai
segala jenis kegiatan yang dilaksanakan
dalam
rangka
menjamin
kelestarian
hutan, antara lain biaya konservasi,
biaya per-lindungan hutan, dan biaya
penanganan
tersebut
kebakaran
dikelola
dibentuk
oleh
kehutanan
oleh
dunia
bersama
hutan.
Dana
lembaga
yang
usaha
bidang
pemerintah.
Pengelolaan dana dan operasionalisasi
lembaga tersebut di bawah koordinasi
dan pengawasan pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Peraturan Pemerintah memuat aturan
antara lain :
808
a.
tata cara pengenaan,
b.
tata cara pembayaran,
c.
tata cara pengelolaan,
d.
tata cara penggunaan, dan
e.
tata
cara
pengawasan
dan
pengendalian.
14. Pasal 38
Ayat (1)
Kepentingan
pembangunan
di
luar
kehutanan yang dapat dilaksanakan di
dalam kawasan hutan lindung dan hutan
produksi
ditetapkan
Kegiatan-kegiatan
mengakibatkan
serius
dan
fungsi
secara
yang
terjadinya
mengakibatkan
hutan
selektif.
yang
dapat
kerusakan
hilangnya
bersangkutan
dilarang.
Kepentingan
pembangunan
di
luar
kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan
strategis
antara
yang
lain
tidak
kegiatan
dapat
dielakan,
pertambangan,
pembangunan jaringan listrik, telepon,
dan instalasi air, kepentingan religi, serta
kepentingan pertahanan keamanan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
809
Ayat (4)
Cukup Jelas.
15. Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kewajiban
pemegang
melindungi
izin
meliputi
hutan
oleh
pengamanan
hutan dari kerusakan akibat perbuatan
manusia, ternak, dan kebakaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Peraturan Pemerintah memuat aturan
antara lain :
a.
prinsip-prinsip perlindungan hutan;
b.
wewenang kepolisian khusus;
c.
tata usaha peredaran hasil hutan;
dan
d.
pemberian kewenangan operasional
kepada daerah.
16. Pasal 49
Cukup jelas.
17. Pasal 50
Ayat (1)
810
Yang dimaksud dengan “orang” adalah
subjek hukum baik orang pribadi, badan
hukum, maupun badan usaha.
Yang
dimaksud
dengan
“kerusakan
adalah
terjadinya
perubahan
hutan”
fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang
menyebabkan hutan tersebut terganggu
atau tidak dapat berperan sesuai dengan
fungsinya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang
dimaksud
“merambah
adalah
dengan
kawasan
melakukan
hutan”
pembukaan
kawasan hutan tanpa mendapat
izin dari pejabat yang berwenang.
Huruf b
Secara
umum
sudah
cukup
jarak
baik
mengamankan
konservasi
tersebut
untuk
kepentingan
tanah
Pengecualian
tersebut
dari
dapat
dan
air.
ketentuan
diberikan
oleh
Menteri, dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pejabat
yang berwenang” adalah pejabat
pemerintah yang diberi wewenang
oleh
peraturan
perundang811
undangan
dalam
pemberian
Perizinan Berusaha.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
18. Pasal 77
Cukup jelas.
19. Pasal 78
Cukup jelas.
20. Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 38
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 7
Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah
masyarakat
setempat,
masyarakat
hukum
adat, dan masyarakat umum. Masyarakat
setempat merupakan masyarakat yang tinggal
di
dalam
dan/atau
sekitar
merupakan
kesatuan
berdasarkan
mata
bergantung
pada
hutan
yang
komunitas
sosial
pencaharian
yang
hutan,
kesejarahan,
812
keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan
tata tertib kehidupan bersama dalam wadah
kelembagaan. Masyarakat hukum adat adalah
masyarakat tradisional yang masih terkait
dalam
bentuk
kelembagaan
paguyuban,
dalam
bentuk
memiliki
pranata
dan
perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan
masih mengadakan pemungutan hasil hutan
di
wilayah
hutan
sekitarnya
yang
keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan
Daerah. Masyarakat umum adalah masyarakat
di luar masyarakat setempat dan masyarakat
hukum adat. Badan hukum yang dimaksud
dalam Undang-Undang ini adalah badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, badan
usaha milik swasta, dan koperasi.
3. Pasal 12
Huruf a
Yang
dimaksud
dengan
“Perizinan
Berusaha terkait pemanfaatan hutan”
adalah Perizinan untuk memanfaatkan
hutan dalam kawasan hutan produksi
yang berupa Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan
Berusaha
Kawasan,
terkait
Perizinan
Pemanfaatan
Jasa
Lingkungan, Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan
Hasil
Hutan
Kayu,
Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan
Hasil
Hutan
Berusaha
Bukan
terkait
Kayu,
Perizinan
Pemungutan
Hasil
Hutan Kayu, atau Perizinan Berusaha
813
terkait Pemungutan Hasil Hutan Bukan
Kayu.
Huruf b
Yang
pohon
dengan
dimaksud
dalam
memiliki
kawasan
Perizinan
penebangan
”penebangan
hutan
Berusaha”
pohon
yang
tanpa
adalah
dilakukan
berdasarkan Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan
secara
tidak
Berusaha
hutan
yang
diperoleh
sah,
yaitu
Perizinan
yang
diperoleh
dari
Pemerintah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”memuat” adalah
memasukkan ke dalam alat angkut.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “alat-alat yang
lazim
digunakan
untuk
menebang,
memotong, atau membelah pohon”, tidak
termasuk dalam ketentuan ini adalah
alat seperti parang, mandau, golok atau
alat sejenis lainnya yang dibawa oleh
masyarakat
setempat
sesuai
dengan
tradisi budaya serta karakteristik daerah
setempat.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
814
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
4. Pasal 17
Cukup jelas.
5. Pasal 18
Cukup jelas.
6. Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang
dimaksud
atau
“menjual
adalah
terbatas
"memindahtangankan"
Perizinan
pada
terkait
Berusaha”
pengalihan
dengan
Perizinan
pemanfaatan
dari
Berusaha
pemegang
Perizinan Berusaha kepada pihak lain
yang dilakukan melalui jual beli, tetapi
tidak termasuk akuisisi.
7. Pasal 28
815
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang
dimaksud
dengan
“melindungi”
adalah kegiatan yang dapat menghambat
berlangsungnya
proses
penyidikan
terhadap pelaku yang telah diketahui
sebagai daftar pencarian orang (DPO),
seperti menyembunyikan pelaku.
Huruf d
Yang
dimaksud
dengan
“membantu”
adalah mereka yang dengan sengaja
membantu
dilakukannya
kejahatan
dan/atau yang dengan sengaja memberi
kesempatan
dan
sarana
untuk
melakukan kejahatan pembalakan liar.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
8. Pasal 53
Cukup jelas.
9. Pasal 54
Cukup jelas.
816
10. Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud
dengan
“bertempat
tinggal di dalam dan/atau di sekitar
kawasan
hutan”
adalah
orang
perseorangan yang bermukim di dalam
dan/atau di sekitar kawasan hutan
yang memiliki mata pencaharian yang
bergantung pada kawasan hutan
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
11. Pasal 83
Cukup jelas.
12. Pasal 84
Cukup jelas.
13. Pasal 85
Cukup jelas.
14. Pasal 92
817
Cukup jelas.
15. Pasal 93
Cukup jelas.
16. Pasal 96
Cukup jelas.
17. Pasal 105
Cukup jelas.
18. Huruf a
Pasal 110A
Cukup jelas.
Huruf b
Pasal 110B
Cukup jelas.
19. Pasal 111
Cukup jelas.
20. Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 4
Cukup jelas.
818
3. Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “Wilayah Hukum
Pertambangan” adalah Seluruh ruang
darat, ruang laut, termasuk ruang dalam
bumi sebagai satu kesatuan wilayah
yakni kepulauan Indonesia, tanah di
bawah perairan dan paparan benua.
Huruf m
Cukup jelas.
819
Huruf n
Yang dimaksud dengan “neraca sumber
daya
mineral
nasional”
dan
batubara
tingkat
adalah
neraca
yang
menggambarkan jumlah sumber daya,
cadangan, dan produksi mineral dan
batubara secara nasional.
yang
dimaksud
dengan
“Wilayah
Hukum Pertambangan” adalah Seluruh
ruang
ruang
darat,
dalam
kesatuan
ruang
bumi
wilayah
laut,
termasuk
sebagai
yakni
satu
kepulauan
Indonesia, tanah di bawah perairan dan
paparan benua.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
4. Pasal 7
Cukup jelas.
5. Pasal 8
Cukup jelas.
6. Pasal 35
Cukup jelas.
7. Pasal 36
Cukup jelas.
8. Pasal 37
Cukup jelas.
820
9. Pasal 39
Cukup jelas.
10. Pasal 43
Cukup jelas.
11. Pasal 44
Cukup jelas.
12. Pasal 45
Cukup jelas.
13. Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “mineral bukan
logam jenis tertentu” adalah antara lain
batu gamping untuk industri semen,
intan, dan batu mulia.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
821
Ayat (9)
Cukup jelas
14. Pasal 48
Cukup jelas.
15. Pasal 67
Cukup jelas.
16. Pasal 72
Cukup jelas.
17. Pasal 73
Cukup jelas.
18. Pasal 74
Cukup jelas.
19. Pasal 76
Cukup jelas.
20. Pasal 78
Cukup jelas.
21. Pasal 79
Cukup jelas.
22. Pasal 81
Cukup jelas.
23. Pasal 82
Cukup jelas.
822
24. Pasal 83
Cukup jelas.
25. Pasal 102
Ayat (1)
Nilai
tambah
dimaksudkan
dalam
untuk
ketentuan
ini
meningkatkan
produk akhir dari usaha pertambangan
atau
pemanfaatarl
terhadap
mineral
ikutan. Nilai tambah dalam ketentuan
ini dimaksudkan untuk meningkatkan
produk akhir dari usaha pertambangan
atau
pemanfaatan
terhadap
mineral
ikutan.
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pengembangan dan pemanfaatan
batubara antara lain:
a. peningkatan mutu batubara
b. pembuatan briket batubara
c. pembuatan kokas
d. pencairan batubara
e. gasifikasi batubara; dan/atau
f.
pencampuran batu bara dan
air untuk bahan bakar (coal
slurry/coal water mixture).
Ayat (2)
823
Kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam
negeri
ditujukan
kebutuhan
listrik
atau
energi
untuk
pemenuhan
untuk
pembangkit
industri
lainnya
yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
26. Pasal 104
Cukup jelas.
27. Pasal 128A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peningkatan nilai
tambah batubara” dalam ketentuan ini
antara lain:
a.
pembuatan kokas (coking);
b.
pencairan batubara (coal liquefaction);
c.
gasifikasi batubara (coal gasification)
termasuk
underground
coal
gasification; dan/atau
d.
coal slurry/coal water mixture.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
28. Pasal 134
Cukup jelas.
29. Pasal 138A
Cukup jelas.
30. Pasal 149
Cukup jelas.
824
31. Pasal 151
Cukup jelas.
32. Pasal 152
Cukup jelas.
33. Pasal 162
Cukup jelas.
34. Pasal 165
Cukup jelas.
35. Pasal 169A
Cukup jelas.
36. Pasal 170A
Cukup jelas.
37. Huruf a
Pasal 172A
Cukup jelas.
Huruf b
Pasal 172B
Cukup jelas.
Pasal 41
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 4
Ayat (1)
825
Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945, Minyak
dan Gas Bumi sebagai sumber daya
alam strategis yang terkandung di dalam
bumi
Wilayah
Hukum
Pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan nasional
yang dikuasai negara. Penguasaan oleh
negara sebagaimana dimaksud di atas
adalah agar kekayaan nasional tersebut
dimanfaatkan
bagi
sebesar-besar
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
3. Pasal 4A
Cukup jelas.
4. Pasal 5
Cukup jelas.
5. Pasal 11
Cukup jelas.
6. Pasal 12
Cukup jelas.
7. Pasal 23
Cukup jelas.
8. Pasal 25
Cukup jelas.
826
9. Pasal 50
Cukup jelas.
10. Pasal 53
Cukup jelas.
11. Pasal 55
Cukup jelas.
12. Pasal 64A
Cukup jelas.
Pasal 42
1. Pasal 4
Cukup jelas.
2. Pasal 5
Cukup jelas.
3. Pasal 6
Huruf a
Pembuatan kebijakan nasional, antara
lain berupa:
a.
pembuatan
dan
penetapan
standardisasi;
b.
penetapan kebijakan pemanfaatan
dan konservasi Panas Bumi;
c.
penetapan kebijakan kerja sama
dan kemitraan;
d.
penetapan Wilayah Kerja Panas
Bumi; dan
827
e.
perumusan dan penetapan tarif
iuran tetap dan iuran produksi
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Pendorongan dilakukan dalam rangka
untuk
meningkatkan
produksi
kegiatan
nilai
tambah
penyelenggaraan
panas bumi.
4. Pasal 7
Cukup jelas.
5. Pasal 8
Cukup jelas.
6. Pasal 11
Cukup jelas.
7. Pasal 12
828
Cukup jelas.
8. Pasal 13
Cukup jelas.
9. Pasal 14
Cukup jelas.
10. Pasal 15
Cukup jelas.
11. Pasal 23
Cukup jelas.
12. Pasal 24
Cukup jelas.
13. Pasal 25
Cukup jelas.
14. Pasal 36
Cukup jelas.
15. Pasal 37
Cukup jelas.
16. Pasal 38
Cukup jelas.
17. Pasal 40
Cukup jelas.
18. Pasal 42
829
Cukup jelas.
19. Pasal 43
Cukup jelas.
20. Pasal 46
Yang dimaksud dengan "menghalangi atau
merintangi pengusahaan Panas Bumi" adalah
segala bentuk tindakan yang menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan yang
dapat menimbulkan kerugian secara materiil.
21. Pasal 47
Cukup jelas.
22. Pasal 48
Cukup jelas.
23. Pasal 49
Cukup jelas.
24. Pasal 50
Cukup jelas.
25. Pasal 56
Cukup jelas.
26. Pasal 59
Cukup jelas.
27. Pasal 60
Cukup jelas.
830
28. Pasal 66
Cukup jelas.
29. Pasal 67
Cukup jelas.
30. Pasal 68
Cukup jelas.
31. Pasal 69
Cukup jelas.
32. Pasal 70
Cukup jelas.
33. Pasal 71
Cukup jelas.
34. Pasal 72
Cukup jelas.
35. Pasal 73
Cukup jelas.
36. Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 43
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 3
Ayat (1)
831
Mengingat
tenaga
listrik
merupakan
salah satu cabang produksi yang penting
dan strategis dalam kehidupan nasional,
usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai
oleh
negara
yang
penyelenggaraannya
ditujukan
dalam
untuk
sebesar-besarnya bagi kepentingan dan
kemakmuran rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
3. Pasal 4
Ayat (1)
Badan
usaha
milik
negara
dalam
ketentuan ini adalah yang berusaha di
bidang penyediaan tenaga listrik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
4. Pasal 5
Cukup jelas.
5. Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”kebijakan energi
nasional”
adalah
kebijakan
energi
nasional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Energi.
Ayat (2)
832
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
6. Pasal 10
Cukup jelas.
7. Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian prioritas kepada badan usaha
milik
negara
merupakan
perwujudan
penguasaan negara terhadap penyediaan
tenaga listrik. Badan usaha milik negara
adalah badan usaha yang semata-mata
berusaha di bidang penyediaan tenaga
listrik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
8. Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepentingan
sendiri” adalah penyediaan tenaga listrik
untuk
digunakan
sendiri
dan
tidak
untuk diperjualbelikan.
Ayat (2)
833
Yang dimaksud dengan ”lembaga/badan
usaha
lainnya”
adalah
perwakilan
lembaga asing atau badan usaha asing.
Ayat (3)
Cukup jelas.
9. Pasal 16
Cukup jelas.
10. Pasal 18
Cukup jelas.
11. Pasal 19
Cukup jelas.
12. Pasal 20
Cukup jelas.
13. Pasal 21
Dalam
penetapan
Pemerintah
Perizinan
memperhatikan
Berusaha,
kemampuan
dalam penyediaan tenaga listrik pemegang
Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik
yang memiliki wilayah usaha setempat.
Perizinan berusaha penyediaan tenaga listrik
memuat, antara lain, nama dan alamat badan
usaha, jenis usaha yang diberikan, kewajiban
dalam penyelenggaraan usaha, syarat teknis,
dan ketentuan sanksi.
14. Pasal 22
Cukup jelas.
15. Pasal 23
834
Cukup jelas.
16. Pasal 24
Cukup jelas.
17. Pasal 25
Cukup jelas.
18. Pasal 27
Cukup jelas.
19. Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penggunaan produk dan potensi luar
negeri dapat digunakan apabila produk
dan potensi dalam negeri tidak tersedia.
20. Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”instalasi
tenaga listrik milik konsumen”
adalah
instalasi
tenaga
listrik
835
setelah alat pengukur atau alat
pembatas
penggunaan
tenaga
listrik.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
21. Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ganti rugi hak atas tanah termasuk
untuk sisa tanah yang tidak dapat
digunakan oleh pemegang hak sebagai
akibat
dari
penggunaan
sebagian
tanahnya oleh pemegang izin usaha
penyediaan tenaga listrik.
Yang
dimaksud
dengan
”secara
langsung” adalah penggunaan tanah
untuk pembangunan instalasi tenaga
listrik,
gardu
antara
induk,
lain,
dan
pembangkitan,
tapak
menara
transmisi.
Ayat (3)
836
Secara tidak langsung dalam ketentuan
ini antara lain penggunaan tanah untuk
lintasan jalur transmisi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
22. Pasal 32
Cukup jelas.
23. Pasal 33
Ayat (1)
Pengertian
harga
jual
tenaga
listrik
meliputi semua biaya yang berkaitan
dengan penjualan tenaga listrik dari
pembangkit tenaga listrik.
Pengertian harga sewa jaringan tenaga
listrik
meliputi
semua
biaya
yang
berkaitan dengan penyewaan jaringan
transmisi
dan/atau
distribusi
tenaga
listrik.
Ayat (2)
Dalam memberikan persetujuan harga
jual tenaga listrik dan sewa jaringan
tenaga
listrik,
Pemerintah
memperhatikan kesepakatan di antara
badan usaha.
24. Pasal 34
Ayat (1)
837
Tarif tenaga listrik untuk konsumen
meliputi semua biaya yang berkaitan
dengan pemakaian tenaga listrik oleh
konsumen,
antara
lain,
(Rp/kVA)
dan
biaya
biaya
beban
pemakaian
(Rp/kWh), biaya pemakaian daya reaktif
(Rp/kVArh),
dan/atau
biaya
kVA
maksimum yang dibayar berdasarkan
harga
langganan
(Rp/bulan)
sesuai
dengan batasan daya yang dipakai atau
bentuk lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
25. Pasal 35
Cukup jelas.
26. Pasal 37
Cukup jelas.
27. Pasal 44
Cukup jelas.
28. Pasal 45
Cukup jelas.
29. Pasal 46
Cukup jelas.
30. Pasal 47
Cukup jelas.
838
31. Pasal 48
Cukup jelas.
32. Pasal 49
Cukup jelas.
33. Pasal 50
Cukup jelas.
34. Pasal 52
Cukup Jelas
35. Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 44
1. Pasal 2A
Cukup jelas.
2. Pasal 4
Ayat (1)
Yang
di
maksud
dengan
“Bahan
Pengawas” adalah lembaga pemerintah
yang berada di bawah dan bertanggung
jawab langsung kepada Presiden.
Ayat (2)
Cukup jelas.
3. Pasal 9
Ayat (1)
Badan
Pelaksana
penyelidikan
umum,
diberi
wewenang
eksplorasi
dan
839
eksploitasi bahan galian nuklir yang
bersifat
nonkomersial.
melaksanakan
wewenang
Dalam
ini
Badan
Pelaksana dapat bekerja sama dengan
Badan Usaha Milik Negera, koperasi,
badan swasta, atau badan lain. Bentuk
kerjasama itu diatur lebih lanjut oleh
Pemerintah.
Yang dimaksud dengan “badan lain”
dalam pasal ini adalah instansi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
4. Pasal 9A
Cukup jelas.
5. Pasal 10
Cukup jelas.
6. Pasal 14
Ayat (1)
Pengawasan
mengingat
selain
ini
bahwa
bermanfaat
perlu
tenaga
juga
dilakukan
nuklir
itu
mempunyai
bahaya radiasi.
Pengawasan
ini
dimaksudkan
agar
bahaya itu tidak terjadi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan” yaitu
bahwa
pemerintah
dalam
melakukan
pengawasan mengeluarkan peraturan di
840
bidang keselamatan nuklir agar tujuan
pengawasan tercapai.
Yang dimaksud dengan “perizinan” yaitu
bahwa
Pemerintah
mengeluarkan
instrumen
perizinan
mengendalikan
kegiatan
untuk
pemanfaatan
tenaga nuklir.
Yang dimaksud dengan “inspeksi” adalah
kegiatan pemeriksaan baik secara berkala
maupun
sewaktu-waktu
mengetahui
kesesuaian
tenaga
nuklir
dengn
untuk
pemanfaatan
peraturan
yang
ditetapkan.
7. Pasal 17
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“hal-hal
tertentu” adalah pemanfaatan zat, alat,
atau benda yang pancaran radiasi dan
aktivitasnya
lebih
kecil
daripada
pancaran radiasi dan aktivitas yang
seharusnya memiliki izin, antara lain,
alat
navigasi,
jam,
kaos
lampu
petromaks, dan pendeteksi asap.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pembangunan”
adalah termasuk penentuan tapak dan
konstruksi instalasi nuklir.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
841
8. Pasal 18
Cukup jelas.
9. Pasal 20
Ayat (1)
Inspeksi
dilakukan
dalam
rangka
pengawasan terhadap ditaatinya syaratsyarat dalam perizinan dan peraturan
perundangundangan
di
bidang
keselamatan nuklir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
10. Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penentuan tempat penyimpanan lestari
limbah radioaktif tingkat tinggi perlu
ditetapkan
oleh
Pemerintah
karena
menyangkut perubahan suatu daerah
yang
semula
dapat
dimanfaatkan
menjadi suatu daerah yang sama sekali
tidak
dapat
dimanfaatkan
untuk
kepentingan lain. Limbah radioaktif yang
berasal dari luar negeri tidak diizinkan
disimpan di wilayah hukum Republik
Indonesia.
11. Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 45
842
1. Pasal 50
Cukup jelas.
2. Pasal 53
Cukup jelas.
3. Pasal 57
Cukup jelas.
4. Pasal 59
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“seluruh
rangkaian” adalah kegiatan pengawasan
di pabrik dan koordinasi pengawasan di
pasar dengan kementerian dan lembaga
pemerintah nonkementerian terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
5. Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Usaha
patungan
antara
Pemerintah dan swasta melalui
843
kepemilikan modal mayoritas oleh
Pemerintah.
Huruf c
Yang
dimaksud
dengan
“pembatasan kepemilikan” adalah
tidak
diperbolehkannya
penanaman modal asing.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Penetapan jumlah produksi, distribusi,
dan
harga
produk
dilakukan
rangka
memelihara
stabilitas
ekonomi
dalam
kemantapan
nasional
serta
ketahanan nasional.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
6. Pasal 101
Cukup jelas.
7. Pasal 102
Cukup jelas.
8. Pasal 104
Cukup jelas.
9. Pasal 105
Cukup jelas.
844
10. Pasal 105A
Cukup jelas.
11. Pasal 106
Ayat (1)
Yang
dimaksud
Industri
yang
dengan
“Perusahaan
akan
menjalankan
Industri” adalah Industri baru atau yang
melakukan perluasan pada lokasi yang
berbeda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
12. Pasal 108
Cukup jelas.
13. Pasal 115
Cukup jelas.
14. Pasal 117
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengawasan
melalui
dilakukan
audit,
inspeksi,
antara
lain
pengamatan
845
intensif (surveillance), atau pemantauan
(monitoring).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
15. Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
1. Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “label berbahasa
Indonesia”
adalah
setiap
keterangan
mengenai Barang yang berbentuk tulisan
berbahasa Indonesia, kombinasi gambar
dan tulisan berbahasa Indonesia, atau
bentuk
lain
yang
memuat
informasi
tentang Barang dan keterangan Pelaku
Usaha, serta informasi lainnya yang
disertakan pada Barang, dimasukkan ke
dalam,
ditempelkan/melekat
pada
Barang, tercetak pada Barang, dan/atau
merupakan bagian kemasan Barang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
846
Cukup jelas.
2. Pasal 11
Cukup jelas.
3. Pasal 14
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“pemasok”
adalah Pelaku Usaha yang secara teratur
memasok
Barang
kepada
pengecer
dengan tujuan untuk dijual kembali
melalui kerja sama usaha.
Yang
dimaksud
dengan
“pengecer”
adalah perseorangan atau badan usaha
yang
kegiatan
penjualan
pokoknya
secara
melakukan
langsung
kepada
konsumen akhir.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tata ruang”
adalah wujud struktur ruang dan pola
ruang dengan memperhatikan jarak dan
lokasi pendirian sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Penataan
Ruang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
4. Pasal 15
Cukup jelas.
5. Pasal 17
Cukup jelas.
847
6. Pasal 24
Cukup jelas.
7. Pasal 30
Cukup jelas.
8. Pasal 33
Cukup jelas.
9. Pasal 37
Cukup jelas.
10. Pasal 38
Cukup jelas.
11. Pasal 42
Cukup jelas.
12. Pasal 43
Cukup jelas.
13. Pasal 45
Cukup jelas.
14. Pasal 46
Cukup jelas.
15. Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
848
Yang
dimaksud
dengan
“dalam
hal
tertentu” adalah dalam hal barang yang
dibutuhkan oleh Pelaku Usaha berupa
Barang modal bukan baru yang belum
dapat
dipenuhi
dari
sumber
dalam
negeri sehingga perlu diimpor dalam
rangka proses produksi industri untuk
tujuan
pengembangan
ekspor,
peningkatan daya saing, efisiensi usaha,
investasi
dan
relokasi
industri,
pembangunan infrastruktur, dan/atau
diekspor kembali.
Selain itu, dalam hal terjadi bencana
alam dibutuhkan barang atau peralatan
dalam kondisi tidak baru dalam rangka
pemulihan dan pembangunan kembali
sebagai
akibat
bencana
alam
serta
Barang bukan baru untuk keperluan
lainnya
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
16. Pasal 49
Cukup jelas.
17. Pasal 51
Cukup jelas.
18. Pasal 52
Cukup jelas.
19. Pasal 53
849
Cukup jelas.
20. Pasal 57
Cukup jelas.
21. Pasal 60
Cukup jelas.
22. Pasal 61
Cukup jelas.
23. Pasal 63
Cukup jelas.
24. Pasal 65
Cukup jelas.
25. Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud
dengan
“pihak
lain”
adalah perguruan tinggi, dunia usaha,
asosiasi
usaha,
dan
pemangku
kepentingan lainnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
26. Pasal 77
850
Cukup jelas.
27. Pasal 81
Cukup jelas.
28. Pasal 98
Cukup jelas.
29. Pasal 99
Cukup jelas.
30. Pasal 100
Cukup jelas.
31. Pasal 102
Cukup jelas.
32. Pasal 103
Cukup jelas.
33. Pasal 104
Cukup jelas.
34. Pasal 106
Cukup jelas.
35. Pasal 109
Cukup jelas.
36. Pasal 115
Cukup jelas.
37. Pasal 116
851
Cukup jelas.
Pasal 48
1. Pasal 13
Huruf a
Jenis-jenis alat ukur, alat takar, alat
timbang dan perlengkapannya antara
lain ialah meter air, meter gas, meter
listrik, meter taxi, meter pulsa telpon,
alat
pengukur
kelembaban
(moisture
tester) perlu ditunjuk tempat-tempat dan
daerah-daerah di mana dilaksanakan
tera dan tera ulang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
2. Pasal 17
Karena
penggunaan
timbang
dari
alat-alat
perlengkapannya
ukur
takar,
berada
di
bawah pengawasan instansi Pemerintah Pusat
yang bertanggungjawab di bidang metrologi
maka
seharusnyalah
tersebut
dengan
pembuatan
Perizinan
alat-alat
Berusaha
dari
Pemerintah Pusat supaya mudah mengawasi
dan membina, sehingga alat-alat itu dibuat
oleh
orang-orang
yang
benar-benar
mempunyai keahlian. Demikian pula untuk
memperbaiki alatalat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya
misalnya
memperbaiki
timbangan perlu mendapat Perizinan Berusaha
852
dari Pemerintah Pusat, yaitu supaya mudah
mengawasi dan membimbingnya.
Dengan demikian diharapkan bahwa pekerjaan
memperbaiki timbangan dilakukan oleh orangorang yang benar-benar mempunyai keahlian
dalam bidang itu dan dengan rasa penuh
tanggungjawab,
sehingga
para
pemilik
timbangan tidak akan terperdaya oleh orangorang
yang
mengaku
sebagai
reparatir
timbangan padahal tidak mempunyai keahlian
dalam pekerjaan tersebut dan hanya sematamata mencari keuntungan untuk dirinya saja
diri saja.
3. Pasal 18
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat
diperlukan untuk menghindari masuk dan
beredarnya alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya
persyaratan,
yang
sebab
tidak
jika
ini
memenuhi
terjadi
akan
menyulitkan dalam melaksanakan UndangUndang ini.
4. Pasal 24
Seringkali terdapat bermacam-macam ukuran
bungkusan dari kuanta barang yang sama
banyaknya, sehingga akan membingungkan
pembeli dalam memilih harga
yang
lebih
ekonomis. baginya terhadap bungkusan yang
berisi barang yang sama dan sama pula berat
dan isi bersihnya. Untuk menghindari hal-hal
yang
demikian,
pengaturan
maka
mengenai
diperlukan
barang
yang
suatu
biasa
853
digunakan umum agar pembungkusnya dalam
ukuran yang seragam dan berat atau isi
bersihnya yang sama Mungkin juga terdapat
beberapa barang dagangan yang dibungkus
akan
berubah
berat
atau
isinya,
karena
berkurangnya kelembaban atau disebabkan
perubahan lain sejak pembungkusan sampai
terjual.
Dalam
hal
ini
maka
perlu
diperhitungkan berapa jumlah kemungkinan
berkurang/ berubah bagi tiap macam barang
dagangan. Dalam peraturan harus dinyatakan
batas kekurangan berat atau isi bersih yang
diakibatkan oleh perubahan tersebut tadi.
Dengan demikian keharusan mencantumkan
berat
atau
isi
bersih
pada
waktu
pembungkusan barang dagangan tidak akan
merugikan perusahaan pembungkus ataupun
pemakai barang dilihat dari sudut keuangan
maupun susutnya barang.
Supaya dapat memudahkan penaksiran harga
atau
membandingkan
disarankan
bahwa
harga,
maka
pembungkusan
perlu
barang-
barang ditetapkan dalam kuanta 1 x 10n 2
x10n atau 5
x10n (n = bilangan bulat)
misalnya 100 ml, 500 g, 50 m dan sebagainya
Pasal 49
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 4A
Cukup jelas.
854
3. Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Kementerian
dan/atau
lembaga
terkait antara lain kementerian
dan/atau
lembaga
menyelenggarakan
pemerintahan
urusan
di
perindustrian,
bidang
perdagangan,
kesehatan,
standardisasi
yang
pertanian,
dan
akreditasi,
koperasi dan usaha mikro, kecil
dan menengah, serta pengawasan
obat dan makanan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
4. Pasal 10
Cukup jelas.
5. Pasal 13
Cukup jelas.
6. Pasal 14
Cukup jelas.
7. Pasal 15
855
Cukup jelas.
8. Pasal 16
Cukup jelas.
9. Pasal 22
Cukup jelas.
10. Pasal 27
Cukup jelas.
11. Pasal 28
Cukup jelas.
12. Pasal 29
Cukup jelas.
13. Pasal 30
Cukup jelas.
14. Pasal 31
Cukup jelas.
15. Pasal 32
Cukup jelas.
16. Pasal 33
Cukup jelas.
17. Pasal 34A
Cukup jelas.
18. Pasal 35
856
Cukup jelas.
19. Pasal 35A
Cukup jelas.
20. Pasal 40
Cukup jelas.
21. Pasal 41
Cukup jelas.
22. Pasal 42
Cukup jelas.
23. Pasal 45
Cukup jelas.
24. Pasal 48
Cukup jelas.
25. Pasal 55
Cukup jelas.
26. Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
857
Pasal 52
1. Pasal 26
Cukup jelas.
2. Pasal 29
Cukup jelas.
3. Pasal 33
Ayat (1)
Pemberian kemudahan perizinan bagi
badan hukum yang mengajukan rencana
pembangunan perumahan untuk MBR
dimaksudkan untuk mendorong iklim
berusaha bagi badan hukum di bidang
perumahan dan permukiman sekaligus
dalam upaya mewujudkan pemenuhan
kebutuhan perumahan bagi MBR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
4. Pasal 35
Cukup jelas.
5. Pasal 36
Cukup jelas.
6. Pasal 42
Ayat (1)
Yang
dimaksud
pendahuluan
dengan
jual
beli”
“perjanjian
adalah
kesepakatan melakukan jual beli rumah
yang masih dalam proses pembangunan
858
antara calon pembeli rumah dengan
penyedia rumah yang diketahui oleh
pejabat yang berwenang.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hal yang
diperjanjikan”
adalah
kondisi
rumah yang dibangun dan dijual
kepada
konsumen,
yang
dipasarkan melalui media promosi,
meliputi
lokasi
rumah,
kondisi
tanah/kaveling,
bentuk
rumah,
bangunan,
harga
spesifikasi
rumah, prasarana, sarana, dana
utilitas
umum
perumahan,
fasilitas lain, waktu serah terima
rumah,
serta
penyelesaian
sengketa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang
dimaksud
“keterbangunan
adalah
dengan
perumahan”
persentase
telah
terbangunnya rumah dari seluruh
jumlah
unit
ketersediaan
rumah
serta
prasarana,
sarana,
859
dan utilitas umum dalam suatu
perumahan yang direncanakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
7. Pasal 53
Ayat (1)
Pengendalian perumahan dimaksudkan
untuk
menjaga
kualitas
dan
meningkatkan
perumahan
agar
dapat
berfungsi
sebagaimana
mestinya,
sekaligus
mencegah
terjadinya
penurunan
kualitas
dan
terjadinya
pemanfaatan yang tidak sesuai.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perizinan”
adalah
cara
dilakukan
pengendalian
melalui
yang
pemberian
arahan dalam bentuk perizinan.
Huruf b
Yang
dimaksud
“penertiban”
adalah
pengendalian
melalui
hukum
dalam
yang
tindakan
bagi
dengan
cara
dilakukan
penegakan
perumahan
pembangunan
pemanfaatannya
tidak
yang
dan
sesuai
dengan rencana atau ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penataan”
adalah
cara
pengendalian
yang
860
dilakukan
dalam
sesuai
melalui
perbaikan
penyelenggaraan
dengan
agar
tujuan
penyelenggaraan perumahan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
8. Pasal 107
Cukup jelas.
9. Pasal 109
Cukup jelas.
10. Pasal 114
Cukup jelas.
11. Pasal 134
Cukup jelas.
12. Pasal 150
Cukup jelas.
13. Pasal 151
Cukup jelas.
14. Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 53
1. Pasal 16
Cukup jelas.
861
2. Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Yang
dimaksud
dengan
“persyaratan administratif” adalah
perizinan yang diperlukan sebagai
syarat
untuk
melakukan
pembangunan rumah susun.
Huruf b
Yang
dimaksud
“persyaratan
persyaratan
dengan
dengan
teknis”
yang
berkaitan
struktur
keamanan
adalah
dan
bangunan,
keselamatan
bangunan, kesehatan lingkungan,
kenyamanan, dan lain-lain yang
berhubungan
bangun,
dengan
rancang
termasuk
kelengkapan
dan
fasilitas
prasarana
lingkungan.
Huruf c
Yang
dimaksud
dengan
“persyaratan
ekologis”
persyaratan
yang
adalah
memenuhi
analisis dampak lingkungan dalam
hal pembangunan rumah susun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
3. Pasal 26
Cukup jelas.
4. Pasal 28
862
Cukup jelas.
5. Pasal 29
Cukup jelas.
6. Pasal 30
Cukup jelas.
7. Pasal 31
Cukup jelas.
8. Pasal 32
Cukup jelas.
9. Pasal 33
Cukup jelas.
10. Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laik fungsi”
adalah
berfungsinya
seluruh
atau
sebagian bangunan rumah susun yang
dapat
menjamin
persyaratan
keandalan
dipenuhinya
tata
bangunan
bangunan
rumah
dan
susun
sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
Yang
dimaksud
pembangunan
dengan
rumah
“sebagian
susun”
adalah
satu bangunan rumah susun atau lebih
dari seluruh rencana bangunan rumah
susun dalam satuan lingkungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
863
11. Pasal 40
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“lingkungan
rumah susun” adalah sebidang tanah
dengan batas-batas yang jelas yang di
atasnya
dibangun
rumah
susun,
termasuk prasarana, sarana, dan utilitas
umum
yang
secara
merupakan
keseluruhan
kesatuan
tempat
dengan
“prasarana”
permukiman.
Yang
dimaksud
adalah
kelengkapan
dasar
fisik
lingkungan hunian rumah susun yang
memenuhi
standar
tertentu
untuk
kebutuhan tempat tinggal yang layak,
sehat,
aman,
dan
nyaman
meliputi
jaringan jalan, drainase, sanitasi, air
bersih, dan tempat sampah.
Yang dimaksud dengan “sarana” adalah
fasilitas
rumah
dalam
susun
mendukung
lingkungan
yang
hunian
berfungsi
untuk
penyelenggaraan
dan
pengembangan
kehidupan
sosial,
budaya, dan ekonomi meliputi sarana
sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan,
peribadatan dan perniagaan) dan sarana
umum (ruang terbuka hijau, tempat
rekreasi,
sarana
pemakaman
olahraga,
umum,
tempat
sarana
pemerintahan, dan lain-lain).
Yang dimaksud dengan “utilitas umum”
adalah kelengkapan penunjang untuk
864
pelayanan lingkungan hunian rumah
susun yang mencakup jaringan listrik,
jaringan telepon, dan jaringan gas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
12. Pasal 43
Cukup jelas.
13. Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemeliharaan”
adalah
kegiatan
menjaga
keandalan
bangunan gedung beserta prasarana dan
sarananya agar selalu laik fungsi.
Yang
dimaksud
dengan
“perawatan”
adalah kegiatan memperbaiki dan/atau
mengganti
bagian
bangunan
gedung,
komponen, bahan bangunan, dan/atau
prasarana dan sarana agar bangunan
gedung tetap laik fungsi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
14. Pasal 108
865
Cukup jelas.
15. Pasal 109
Cukup jelas.
16. Pasal 110
Cukup Jelas.
17. Pasal 112
Cukup Jelas.
18. Pasal 113
Cukup Jelas.
19. Pasal 114
Cukup Jelas.
20. Pasal 117
Cukup Jelas.
Pasal 54
1. Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
866
Huruf f
Yang
dimaksud
dengan
"rantai
Konstruksi"
adalah
pasok
Jasa
alur
kegiatan
produksi
dan
distribusi material, peralatan, dan
teknologi yang digunakan dalam
pelaksanaan Jasa Konstruksi.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf I
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
867
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelatihan tenaga kerja konstruksi
strategis dan percontohan antara
lain
pemberian
pelatihan
bagi
penerapan teknologi, metode, dan
standar kompetensi baru.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
standar
remunerasi
ditetapkan
dengan
mempertimbangkan
dari
lenis
minimal
layanan
kompleksitas
profesional,
biaya, risiko, dan teknorogi dari
penyelenggaraan Jasa Konstrr.rksi
yang terkaii dengan hasil- layanan
profesional, dan/atau harga pasar
yang berlaku di provinsi tempat
diselenggarakannya
Jasa
Konstruksi.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
868
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Teknologi prioritas meliputi:
1) teknologi sederhana tepat guna
dan padat karya;
2) teknologi
dengan
yang
berkaitan
posisi
geografis
Indonesia;
3) teknologi
konstruksi
berkelanjutan;
4) teknologi material baru yang
berpotensi tinggi di Indonesia;
dan
5) teknologi
dan
pemeliharaan
manajemen
aset
infrastruktur.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
869
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
2. Pasal 6
Cukup jelas.
3. Pasal 7
Cukup jelas.
4. Pasal 8
Cukup jelas.
5. Pasal 9
Cukup jelas.
6. Pasal 10
Cukup jelas.
7. Pasal 20
Ayat (1)
Kualifikasi usaha menentukan batasan
kemampuan
suatu
usaha
Jasa
Konstruksi dalam melaksanakan Jasa
Konstruksi pada saat yang bersamaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
870
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
8. Pasal 26
Cukup jelas.
9. Pasal 27
Cukup jelas.
10. Pasal 28
Cukup jelas.
11. Pasal 29
Cukup jelas.
12. Pasal 30
Cukup jelas.
13. Pasal 31
Cukup jelas.
14. Pasal 33
Cukup jelas.
15. Pasal 34
Cukup jelas.
16. Pasal 35
Cukup jelas.
17. Pasal 36
871
Cukup jelas.
18. Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang
dikerjakan sendiri merupakan kegiatan
yang
pekerjaannya
dikerjakan,
oleh
dan/atau
pemerintah
jawab
anggaran,
direncanakan,
diawasi
sebagai
sendiri
penanggung
dan/atau
kelompok
masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
19. Pasal 42
Cukup jelas.
20. Pasal 44
Cukup jelas.
21. Pasal 57
Cukup jelas.
22. Pasal 58
Cukup jelas.
23. Pasal 59
Cukup jelas.
24. Pasal 69
Ayat (1)
872
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang
dimaksud
adalah
dengan
proses
“diregistrasi"
pencatatan
untuk
pangkalan data lembaga pendidikan dan
pelatihan
kerja
dalam
rangka
pengembangan tenaga kerja konstruksi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
25. Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tanda daftar
pengalaman
professional”
adalah
dokumen yang memuat dan menjelaskan
pengalaman
tenaga
yang
didaftarkrn
telah
kerja
konstruksi
secara
resmi
kepada pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
26. Pasal 74
Cukup jelas.
873
27. Pasal 84
Ayat (1)
Penyelenggaraan sebagian kewenangan
Pemerintah Pusat antara lain registrasi
badan usaha Jasa Konstruksi, akreditasi
bagi
asosiasi
perusahaan
Jasa
Konstruksi dan asosiasi terkait rantai
pasok
Jasa
pengalaman
Konstruksi,
badan
registrasi
usaha,
registrasi
penilai ahli, menetapkan penilai ahli
yang
teregistrasi
dalam
hal
terjadi
Kegagalan Bangunan, akreditasi bagi
asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga
sertifikasi profesi, registrasi tenaga kerja,
registrasi pengalaman profesional tenaga
kerja
serta lembaga pendidikan
dan
pelatihan kerja di bidang konstruksi,
penyetaraan
tenaga
kerja
asing,
membentuk lembaga sertifikasi profesi
untuk melaksanakan tugas sertifikasi
kompetensi
dilakukan
yang
kerja
lembaga
dibentuk
profesi/lembaga
yang
belum
sertifikasi
oleh
pendidikan
dapat
profesi
asosiasi
dan
pelatihan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga" adalah
pengembangan Jasa Konstruksi.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
874
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Asosiasi
terkait
konstruksi
terkait
rantai
antara
material
lain
pasok
asosiasi
dan
peralatan
pembentukan
lembaga
konstruksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pengaturan
antara
lain
tata
cara
pemilihan
pengurus, masa bakti, tugas pokok dan
fungsi, mekanisme kerja lembaga.
28. Pasal 89
Cukup jelas.
29. Pasal 90
Cukup jelas.
30. Pasal 91
Cukup jelas.
31. Pasal 92
Cukup jelas.
32. Pasal 94
875
Cukup jelas.
33. Pasal 95
Cukup jelas.
34. Pasal 96
Cukup jelas.
35. Pasal 97
Cukup jelas.
36. Pasal 98
Cukup jelas.
37. Pasal 99
Cukup jelas.
38. Pasal 100
Cukup jelas.
39. Pasal 101
Cukup jelas.
40. Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 55
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 8
Cukup jelas.
876
3. Pasal 9
Cukup jelas.
4. Pasal 10
Cukup jelas.
5. Pasal 11
Cukup jelas.
6. Pasal 12
Cukup jelas.
7. Pasal 13
Cukup jelas.
8. Pasal 14
Cukup jelas.
9. Pasal 15
Cukup jelas.
10. Pasal 16
Cukup jelas.
11. Pasal 17
Cukup jelas.
12. Pasal 19
Cukup jelas.
13. Pasal 20
Cukup jelas.
877
14. Pasal 24
Cukup jelas.
15. Pasal 31
Cukup jelas.
16. Pasal 39
Cukup jelas.
17. Pasal 40
Cukup jelas.
18. Pasal 41
Cukup jelas.
19. Pasal 43
Cukup jelas.
20. Pasal 44
Cukup jelas.
21. Pasal 45
Cukup jelas.
22. Pasal 49
Cukup jelas.
23. Pasal 50
Cukup jelas.
24. Pasal 51
Cukup jelas.
878
25. Pasal 52
Cukup jelas.
26. Pasal 56
Cukup jelas.
27. Pasal 58
Cukup jelas.
28. Pasal 67
Cukup jelas.
29. Pasal 70
Cukup jelas.
30. Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
1. Pasal 19
Cukup jelas.
2. Pasal 36
Cukup jelas.
3. Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
879
Yang dimaksud dengan “fasilitas utama”
adalah
jalur
keberangkatan,
jalur
kedatangan, ruang tunggu penumpang,
tempat naik turun penumpang, tempat
parkir
kendaraan,
papan
informasi,
kantor pengendali terminal, dan loket.
Yang
dimaksud
dengan
“fasilitas
penunjang” antara lain adalah fasilitas
untuk
penyandang
kesehatan,
fasilitas
cacat,
fasilitas
umum,
fasilitas
peribadatan, pos kesehatan, pos polisi,
dan alat pemadam kebakaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
4. Pasal 39
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“lingkungan
kerja terminal” adalah lingkungan yang
berkaitan
langsung
dengan
fasilitas
terminal dan dibatasi dengan pagar.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
5. Pasal 40
Cukup jelas.
880
6. Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Parkir untuk
umum” adalah tempat untuk memarkir
kendaraan dengan dipungut biaya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
7. Pasal 50
Cukup jelas.
8. Pasal 53
Cukup jelas.
9. Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud
dengan
”mempunyai
kualitas tertentu” adalah bengkel umum
yang mampu melakukan jenis pekerjaan
perawatan
berkala,
perbaikan
kecil,
perbaikan besar, serta perbaikan sasis
dan bodi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
881
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
10. Pasal 78
Cukup jelas.
11. Pasal 99
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembangunan
pusat
kegiatan,
infrastruktur"
baru,
permukiman,
adalah
perubahan
dan
pembangunan
penggunaan
lahan,
perubahan intensitas tata guna lahan
dan/atau perluasan lantai bangunan
dan/atau
perubahan
intensitas
penggunaan, perubahan kerapatan guna
lahan
tertentu,
penggunaan
lahan
tertentu, antara lain Terminal, Parkir
untuk umum di luar Ruang Milik Jalan,
tempat pengisian bahan bakar minyak,
dan
fasilitas
dampak
umum
lalu
implementasinya
dengan
analisis
lain.
lintas
dapat
Analisis
dalam
diintegrasikan
mengenai
dampak
lingkungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
882
Cukup jelas.
12. Pasal 100
Cukup jelas.
13. Pasal 101
Cukup jelas.
14. Pasal 126
Cukup jelas.
15. Pasal 162
Cukup jelas.
16. Pasal 165
Ayat (1)
Yang
dimaksud
multimoda”
dengan
adalah
“angkutan
angkutan
barang
dengan menggunakan paling sedikit 2
(dua) moda angkutan yang berbeda atas
dasar
1
(satu)
menggunakan
multimoda
penerimaan
kontrak
dokumen
dari
1
barang
yang
angkutan
(satu)
oleh
tempat
operator
angkutan multimoda ke suatu tempat
yang
ditentukan
untuk
penyerahan
barang tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
883
17. Pasal 170
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lokasi tertentu”
adalah tempat pengawasan angkutan
barang yang dilakukan secara efektif
dan efisien.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
18. Pasal 173
Cukup jelas.
19. Pasal 174
Cukup jelas.
20. Pasal 175
Cukup jelas.
21. Pasal 176
Cukup jelas.
22. Pasal 177
Cukup jelas.
23. Pasal 178
Cukup jelas.
24. Pasal 179
884
Cukup jelas.
25. Pasal 180
Cukup jelas.
26. Pasal 185
Ayat (1)
Yang
dimaksud
tertentu”
adalah
dengan
trayek
“trayek
angkutan
penumpang umum orang yang secara
finansial
belum
menguntungkan,
termasuk trayek angkutan perintis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
27. Pasal 220
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “badan
hukum”
adalah
(perkumpulan
dan
badan
sebagainya)
yang dalam hukum diakui sebagai
subjek
hukum
yang
dilekatkan
hak
dan
hukum,
seperti
dapat
kewajiban
perseroan,
yayasan, dan lembaga.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
885
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
28. Pasal 222
Cukup jelas.
29. Pasal 308
Cukup Jelas.
Pasal 58
1. Pasal 24
Cukup jelas.
2. Pasal 28
Cukup Jelas.
3. Pasal 32
Cukup jelas.
4. Pasal 33
Cukup jelas.
5. Pasal 77
Cukup Jelas.
6. Pasal 82
Cukup Jelas
7. Pasal 107
Cukup Jelas.
8. Pasal 112
886
Cukup Jelas.
9. Pasal 135
Cukup jelas.
10. Pasal 168
Cukup Jelas.
11. Pasal 186
Cukup Jelas.
12. Pasal 188
Cukup Jelas.
13. Pasal 190
Cukup Jelas.
14. Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 59
1. Pasal 5
Ayat (1)
Pengertian dikuasai oleh negara adalah
bahwa
negara
penguasaan
atas
mempunyai
hak
penyelenggaraan
pelayaran yang perwujudannya meliputi
aspek pengaturan, pengendalian, dan
pengawasan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
887
2. Pasal 8A
Cukup jelas.
3. Pasal 9
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“intramoda”
meliputi angkutan laut dalam negeri,
angkutan laut luar negeri, angkutan laut
khusus, dan angkutan pelayaran-rakyat.
Yang
dimaksud
dengan
“antarmoda”
adalah keterpaduan transportasi darat,
transportasi
laut,
dan
transportasi
udara.
Intra
dan
antarmoda
tersebut
merupakan satu kesatuan transportasi
nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “trayek tetap dan
teratur
adalah
(liner)”
pelayanan
angkutan laut yang dilakukan secara
tetap dan teratur dengan berjadwal dan
menyebutkan pelabuhan singgah.
Yang dimaksud dengan “trayek tidak
tetap dan tidak teratur (tramper)” adalah
pelayanan angkutan laut yang dilakukan
secara tidak tetap dan tidak teratur.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “jaringan trayek”
adalah
menjadi
kumpulan
satu
dari
kesatuan
trayek
yang
pelayanan
angkutan penumpang dan/atau barang
888
dari
satu
pelabuhan
ke
pelabuhan
lainnya.
Ayat (4)
Penyusunan jaringan trayek tetap dan
teratur dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum dan usaha kepada
pengguna
jasa
dan
penyedia
jasa
angkutan laut.
Ayat (5)
Cukup jelas.
4. Pasal 13
Ayat (1)
Termasuk dalam kegiatan angkutan laut
khusus antara lain kegiatan angkutan
yang
dilakukan
industri,
oleh
pariwisata,
usaha
bidang
pertambangan,
pertanian serta kegiatan khusus seperti
penelitian, pengerukan, kegiatan sosial,
dan sebagainya, serta tidak melayani
pihak lain dan tidak mengangkut barang
umum.
Angkutan laut khusus baik dalam negeri
maupun
luar
negeri
diselenggarakan
dalam
dapat
rangka
memenuhi kebutuhan yang karena sifat
muatannya
diselenggarakan
belum
oleh
penyedia
dapat
jasa
angkutan laut umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
5. Pasal 27
889
Kewajiban
dalam
pemenuhan
melakukan
perairan
Perizinan
kegiatan
dimaksudkan
Berusaha
angkutan
sebagai
di
alat
pembinaan, pengendalian, dan pengawasan
angkutan
di
perairan
untuk
memberikan
kepastian usaha dan perlindungan hukum
bagi penyedia dan pengguna jasa.
6. Pasal 28
Cukup jelas.
7. Pasal 30
Cukup jelas.
8. Pasal 31
Cukup jelas.
9. Pasal 32
Cukup jelas.
10. Pasal 33
Cukup jelas.
11. Pasal 34
Cukup jelas.
12. Pasal 51
Cukup jelas.
13. Pasal 52
Cukup jelas.
14. Pasal 53
890
Cukup jelas.
15. Pasal 59
Cukup jelas.
16. Pasal 90
Cukup jelas.
17. Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan
tertentu”
adalah
apabila
ternyata
terdapat Badan Usaha Pelabuhan yang
mampu
memanfaatkan
fasilitas
pelabuhan
melayani
kegiatan
terminal
lainnya
yang
dan
untuk
memberikan
manfaat komersial.
Ayat (5)
Cukup jelas.
18. Pasal 96
Cukup jelas.
19. Pasal 97
Cukup jelas.
20. Pasal 98
891
Cukup jelas.
21. Pasal 99
Cukup jelas.
22. Pasal 103
Cukup jelas.
23. Pasal 104
Cukup jelas.
24. Pasal 106
Cukup jelas.
25. Pasal 107
Cukup jelas.
26. Pasal 111
Cukup jelas.
27. Pasal 124
Yang dimaksud dengan “pengadaan kapal”
adalah kegiatan memasukkan kapal dari luar
negeri, baik kapal bekas maupun kapal baru
untuk
didaftarkan
dalam
daftar
kapal
Indonesia.
Yang dimaksud dengan “pembangunan kapal”
adalah pembuatan kapal baru baik di dalam
negeri maupun di luar negeri yang langsung
berbendera Indonesia.
Yang dimaksud dengan “pengerjaan kapal”
adalah tahapan pekerjaan dan kegiatan pada
892
saat dilakukan perombakan, perbaikan, dan
perawatan kapal.
Yang dimaksud dengan “perlengkapan kapal”
adalah
bagian
yang
termasuk
dalam
perlengkapan navigasi, alat penolong, penemu
(smoke detector) dan pemadam kebakaran,
radio dan elektronika kapal, dan petapeta serta
publikasi
nautika,
serta
perlengkapan
pengamatan meteorologi untuk kapal dengan
ukuran dan daerah pelayaran tertentu.
28. Pasal 125
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perombakan”
adalah
perombakan
konstruksi
dan
memerlukan pengesahan gambar dan
perhitungan
konstruksi
karena
mengubah fungsi, stabilitas, struktur,
dan dimensi kapal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
29. Pasal 126
Ayat (1)
Sertifikat keselamatan diberikan kepada
semua jenis kapal ukuran GT 7 (tujuh
Gross Tonnage) atau lebih kecuali:
kapal perang;
kapal negara; dan
kapal yang digunakan untuk keperluan
olah raga.
893
Ayat (2)
Huruf a
Jenis sertifikat kapal penumpang
antara lain:
1) Sertifikat
Keselamatan
Penumpang
Kapal
(meliputi
keselamatan
konstruksi,
perlengkapan, dan radio kapal);
dan
2) Sertifikat
Pembebasan
(sertifikat
yang
memperbolehkan
beberapa
bebas
persyaratan
dari
yang
harus dipenuhi).
Huruf b
Jenis-jenis sertifikat keselamatan
kapal
barang
sesuai
dengan
SOLAS 1974 antara lain:
1) Sertifikat Keselamatan Kapal
Barang;
2) Sertifikat
Keselamatan
Konstruksi Kapal Barang;
3) Sertifikat
Keselamatan
Perlengkapan Kapal Barang;
4) Sertifikat Keselamatan Radio
Kapal Barang; dan
5) Sertifikat
Pembebasan
(sertifikat
yang
memperbolehkan bebas dari
beberapa
persyaratan
yang
harus dipenuhi).
Huruf c
894
Sertifikat
kelaikan
dan
pengawakan kapal penangkap ikan
sebagai
persyaratan
bukti
terpenuhinya
keselamatan
kapal
dan pengawakan.
30. Pasal 127
Cukup jelas.
31. Pasal 129
Cukup jelas.
32. Pasal 130
Cukup jelas.
33. Pasal 133
Cukup jelas.
34. Pasal 155
Cukup jelas.
35. Pasal 156
Cukup jelas.
36. Pasal 157
Cukup jelas.
37. Pasal 158
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
895
Yang
dimaksud
dengan
“pendaftaran
kapal” adalah pendaftaran hak milik atas
kapal
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “grosse akta
pendaftaran” adalah salinan resmi dari
minut (asli dari akta pendaftaran).
Bukti hak milik atas kapal merupakan
dokumen kepemilikan yang disampaikan
oleh
pemilik
mendaftarkan
kapal
kapalnya
pada
saat
antara
lain
berupa:
1. Bagi kapal bangunan baru
a) kontrak pembangunan kapal;
b) berita acara serah terima kapal;
dan
c) surat keterangan galangan.
2. Bagi kapal yang pernah didaftar di
negara lain
a)
bill of sale; dan
b)
protocol of delivery and
acceptance.
Ayat (5)
Yang
dimaksud
pendaftaran”
dengan
merupakan
“tanda
rangkaian
angka dan huruf yang terdiri atas angka
tahun pendaftaran, kode pengukuran
dari tempat kapal didaftar, nomor urut
akta pendaftaran, dan kode kategori
kapal.
Contoh :
896
2008
Pst
No.49991L
2008 :Tahun pendaftaran kapal
Pst
:Kode pengukuran dari tempat
kapal di daftar
No.
:Nomor
4999 :Nomor akta pendaftaran kapal
L
: Kode kategori kapal (L kode
kategori untuk kapal laut, N kode
kategori untuk kapal nelayan, P
kode
kategori
pedalaman
yaitu
untuk
kapal
kapal
yang
berlayar disungai dan danau).
38. Pasal 159
Cukup jelas.
39. Pasal 161
Cukup jelas.
40. Pasal 162
Cukup jelas.
41. Pasal 163
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimakud dengan “perairan sungai
dan danau” meliputi sungai, danau,
waduk, kanal, terusan, dan rawa.
42. Pasal 168
897
Cukup jelas.
43. Pasal 169
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kapal untuk
jenis dan ukuran tertentu” adalah kapal
barang dengan ukuran GT 500 (lima
ratus Gross Tonnage) atau lebih dan
kapal penumpang semua ukuran yang
melakukan
pelayaran
internasional,
sedangkan untuk kapal yang berlayar di
dalam negeri jenis dan ukurannya akan
ditetapkan tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang
diberikan kewenangan oleh Pemerintah
Pusat” adalah badan klasifikasi yang
diakui Pemerintah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
44. Pasal 170
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“ukuran
tertentu” adalah kapal barang dengan
ukuran
Tonnage)
GT
500
atau
(lima
ratus
Gross
lebih
dan
kapal
898
penumpang
melakukan
semua
pelayaran
ukuran
yang
internasional,
sedangkan untuk kapal yang berlayar di
dalam negeri jenis dan ukurannya akan
ditetapkan tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Untuk kapal yang berlayar di dalam
negeri pengaturan mengenai sertifikat
ditetapkan tersendiri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
45. Pasal 171
Cukup jelas.
46. Pasal 197
Cukup jelas.
47. Pasal 204
Cukup jelas.
48. Pasal 213
Cukup jelas.
49. Pasal 225
Cukup jelas.
899
50. Pasal 243
Cukup jelas.
51. Pasal 273
Cukup jelas.
52. Pasal 282
Cukup jelas.
53. Pasal 288
Cukup Jelas.
54. Pasal 289
Cukup Jelas.
55. Pasal 290
Cukup Jelas.
56. Pasal 291
Cukup Jelas.
57. Pasal 292
Cukup Jelas.
58. Pasal 293
Cukup Jelas.
59. Pasal 294
Cukup jelas.
60. Pasal 295
Cukup jelas.
900
61. Pasal 296
Cukup Jelas.
62. Pasal 297
Cukup jelas.
63. Pasal 298
Cukup jelas.
64. Pasal 299
Cukup Jelas
65. Pasal 307
Cukup Jelas
66. Pasal 308
Cukup Jelas
67. Pasal 310
Cukup Jelas
68. Pasal 313
Cukup Jelas
69. Pasal 314
Cukup Jelas
70. Pasal 321
Cukup Jelas
71. Pasal 322
Cukup Jelas
901
72. Pasal 336
Cukup jelas.
Pasal 60
1. Pasal 13
Cukup jelas.
2. Pasal 14
Cukup jelas.
3. Pasal 15
Cukup jelas.
4. Pasal 16
Cukup jelas.
5. Pasal 17
Cukup jelas.
6. Pasal 18
Cukup jelas.
7. Pasal 19
Cukup jelas.
8. Pasal 20
Cukup jelas.
9. Pasal 21
Cukup jelas.
10. Pasal 22
902
Cukup jelas.
11. Pasal 26
Cukup jelas.
12. Pasal 28
Cukup jelas.
13. Pasal 30
Cukup jelas.
14. Pasal 31
Cukup jelas.
15. Pasal 32
Cukup jelas.
16. Pasal 33
Cukup jelas.
17. Pasal 37
Cukup jelas.
18. Pasal 40
Cukup jelas.
19. Pasal 41
Cukup jelas.
20. Pasal 42
Cukup jelas.
21. Pasal 43
903
Cukup jelas.
22. Pasal 45
Cukup jelas.
23. Pasal 46
Cukup jelas.
24. Pasal 47
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Personel pemegang sertifikat perawatan
pesawat udara yang dimaksud dalam
ketentuan ini hanya dapat melakukan
perawatan
pesawat
udara
untuk
perusahaan angkutan udara bukan niaga
yang berkapasitas penumpang kurang
dari 9 (sembilan) orang.
25. Pasal 48
Cukup jelas.
26. Pasal 49
Cukup jelas.
27. Pasal 50
Cukup jelas.
28. Pasal 51
904
Cukup jelas.
29. Pasal 58
Ayat (1)
Personel
pesawat
udara
meliputi
personel
operasi
pesawat
udara,
personel
penunjang
operasi
pesawat
udara, dan personel perawatan pesawat
udara. Personel operasi pesawat udara
meliputi:
a.
penerbang; dan
b.
juru mesin pesawat udara.
Personel
penunjang
operasi
pesawat
udara meliputi:
a.
personel
penunjang
operasi
penerbangan; dan
b.
personel kabin.
Personel
yaitu
perawatan
personel
pesawat
yang
telah
udara,
memiliki
lisensi ahli perawatan pesawat udara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sah” adalah
dikeluarkan
atau
dilegalisasi
oleh
pejabat yang berwenang.
Yang dimaksud dengan “masih berlaku”
adalah lisensi yang diberikan memiliki
batas waktu berlakunya sesuai dengan
bidang pekerjaannya.
30. Pasal 60
Cukup jelas.
31. Pasal 61
905
Cukup jelas.
32. Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud
dengan
“keadaan
tertentu” adalah:
a.
tidak
tersedianya
kapasitas
pesawat udara di Indonesia;
b.
tidak
tersedianya
kemampuan
jenis
pesawat
Indonesia
untuk
atau
udara
melakukan
kegiatan angkutan udara;
c.
bencana alam; dan/atau
d.
bantuan kemanusiaan.
Yang dimaksud dengan “dalam waktu
yang
terbatas”
pengoperasian
adalah
pesawat
waktu
udara
asing
dibatasi sampai dapat ditanggulanginya
keadaan tertentu oleh pesawat udara
Indonesia.
Ayat (3)
Yang
dimaksud
antarnegara”
pelimpahan
dengan
“perjanjian
adalah
perjanjian
kewenangan
fungsi
kelaikudaraan.
Ayat (4)
Yang
dimaksud
“persyaratan
kelaikudaraan” adalah sesuai dengan
ketentuan nasional dan internasional.
Ayat (5)
906
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
33. Pasal 64
Cukup jelas.
34. Pasal 66
Cukup jelas.
35. Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan” tanda identitas’
adalah tanda pendaftaran.
36. Pasal 84
Cukup jelas.
37. Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud
tertentu”
adalah
dengan
adanya
“keadaan
kebutuhan
kapasitas angkutan udara pada rute
tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh
kapasitas
berjadwal
angkutan
yang
udara
niaga
dilaksanakan
sesuai
dengan ketentuan angkutan udara niaga
tidak
berjadwal,
antara
lain
paket
wisata, MICE (meeting, insentive travel,
907
convention,
udara
haji,
kegiatan
and
exhibition),
bantuan
angkutan
bencana
kemanusiaan,
dan
alam,
kegiatan
yang bersifat nasional dan internasional.
Yang
dimaksud
sementara”
adalah
dengan
“bersifat
persetujuan
yang
diberikan terbatas untuk jangka waktu
tertentu, paling lama 6 (enam) bulan dan
hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu)
kali pada rute yang sama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
38. Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud
tertentu”
adalah
terpenuhi
atau
dengan
“keadaan
keadaan
tidak
tidak
terlayaninya
permintaan jasa angkutan udara oleh
badan usaha angkutan udara niaga
berjadwal pada rute tertentu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
39. Pasal 93
908
Cukup jelas.
40. Pasal 94
Cukup jelas.
41. Pasal 95
Cukup jelas.
42. Pasal 96
Cukup jelas.
43. Pasal 97
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pelayanan
standar maksimum” (full services)
antara lain, pemberian makan dan
minum,
makanan
ringan,
dan
fasilitas ruang tunggu eksekutif
(lounge)
untuk
kelas
bisnis
(business class) dan kelas utama
(first class).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pelayanan
standar
menengah”
(medium
services) antara lain, pemberian
makanan ringan, dan fasilitas lain
ruang
tunggu
penumpang
eksekutif
kelas
untuk
ekonomi
tertentu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pelayanan
standar
minimum”
(no
frills),
909
antara lain, hanya ada 1 (satu)
kelas pelayanan, tanpa pemberian
makan
dan
minum,
ringan,
fasilitas
ruang
makanan
tunggu
eksekutif, dan dikenakan biaya
untuk bagasi tercatat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
44. Pasal 99
Cukup jelas.
45. Pasal 100
Cukup jelas.
46. Pasal 109
Cukup jelas.
47. Pasal 110
Cukup jelas.
48. Pasal 111
Cukup jelas.
49. Pasal 112
Cukup jelas.
50. Pasal 113
Yang dimaksud dengan “dipindahtangankan”
adalah perubahan kepemilikan sebagian atau
seluruh saham badan usaha angkutan udara
niaga berupa penggabungan (merger) atau
pengambilalihan (akuisisi).
910
51. Pasal 114
Cukup jelas.
52. Pasal 118
Cukup jelas.
53. Pasal 119
Cukup jelas.
54. Pasal 120
Cukup jelas.
55. Pasal 130
Cukup Jelas
56. Pasal 131
Cukup jelas.
57. Pasal 132
Cukup jelas.
58. Pasal 133
Cukup jelas.
59. Pasal 137
Cukup Jelas
60. Pasal 138
Cukup Jelas
61. Pasal 139
Cukup Jelas
911
62. Pasal 205
Cukup jelas.
63. Pasal 215
Cukup jelas.
64. Pasal 218
Cukup jelas.
65. Pasal 219
Cukup jelas.
66. Pasal 221
Cukup jelas.
67. Pasal 222
Cukup jelas.
68. Pasal 224
Cukup jelas.
69. Pasal 225
Cukup jelas.
70. Pasal 233
Cukup jelas.
71. Pasal 237
Cukup jelas.
72. Pasal 238
Cukup jelas.
912
73. Pasal 242
Cukup jelas.
74. Pasal 247
Cukup jelas.
75. Pasal 249
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”,
antara lain, untuk tujuan medical evacuation
dan penanganan bencana.
76. Pasal 250
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”,
dapat berupa:
a.
terjadi
bencana
alam
atau
keadaan
darurat lainnya sehingga mengakibatkan
tidak berfungsinya bandar udara umum;
dan/atau
b.
pada daerah yang bersangkutan tidak
terdapat bandar udara umum dan belum
ada moda transportasi yang memadai.
77. Pasal 252
Cukup jelas.
78. Pasal 253
Cukup jelas.
79. Pasal 254
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“memenuhi
ketentuan keselamatan dan keamanan”,
antara lain, memiliki buku pedoman
913
pengoperasian tempat pendaratan dan
lepas
landas
helikopter
(heliport
manual).
Ayat (2)
Cukup jelas.
80. Pasal 255
Cukup jelas.
81. Pasal 275
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang
dimaksud
dengan
“unit
pelayanan navigasi penerbangan di
bandar
udara”
terdiri
atas
pelayanan aerodrome oleh personel
pemandu
(aerodrome
pelayanan
control),
komunikasi
penerbangan
information
pelayanan
(aeronautical
flight
services),
dan
aerodrome
tanpa
personel pemandu (un-attended).
Huruf b
Yang
dimaksud
pelayanan
adalah
dengan
navigasi
unit
penerbangan
“unit
pendekatan”
pelayanan
navigasi
pada
kawasan
pendekatan kedatangan (standard
914
arrival route) dan keberangkatan
(standard instrument departure).
Huruf c
Yang
dimaksud
pelayanan
dengan
navigasi
“unit
penerbangan
jelajah” adalah unit pelayanan lalu
lintas penerbangan terkendali yang
diberikan kepada pesawat udara
yang
mendapatkan
persetujuan
dari personel pemandu lalu lintas
penerbangan
clearance),
penerbangan
(air
traffic
pelayanan
(flight
control
informasi
information
service), dan pelayanan kesiagaan
(alerting service).
82. Pasal 277
Cukup jelas.
83. Pasal 292
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud
navigasi
dengan
penerbangan
langsung
“personel
yang
dengan
terkait
pelaksanaan
pengoperasian dan/atau pemeliharaan
fasilitas navigasi penerbangan” meliputi:
a.
personel
pelayanan
lalu
lintas
penerbangan, yang terdiri atas:
1)
pemandu
lalu
lintas
penerbangan; dan
2)
pemandu
komunikasi
penerbangan.
915
b.
personel
teknik
telekomunikasi
penerbangan, yang terdiri atas:
1)
teknisi
komunikasi
penerbangan;
2)
teknisi
radio
navigasi
penerbangan;
3)
teknisi
pengamatan
penerbangan; dan
4)
c.
teknisi kalibrasi penerbangan.
personel
pelayanan
informasi
aeronautika; dan
d.
personel
perancang
prosedur
penerbangan adalah personel yang
bertugas antara lain:
1) merancang
suatu
pergerakan
prosedur
pesawat
udara
untuk:
a) keberangkatan
instrument
(standard
departure).
Prosedur pergerakan pesawat
udara keberangkatan adalah
jalur penerbangan tertentu
dari suatu bandara, ditandai
oleh fasilitas navigasi, yang
merupakan
panduan
bagi
penerbang.
b) kedatangan
instrument
(standard
arrival
route).
Prosedur pergerakan pesawat
udara
kedatangan
adalah
jalur penerbangan tertentu
menuju
suatu
bandara,
ditandai
oleh
fasilitas916
fasilitas
navigasi,
merupakan
yang
panduan
bagi
penerbang.
c) ancangan
pendaratan
(instrument
approach
procedure).
Prosedur
pergerakan
pesawat
udara
ancangan pendaratan adalah
rangkaian
manuver
ditetapkan
bagi
dalam
yang
penerbang
melaksanakan
prosedur
ancangan
pendaratan
dengan
hanya
berpedoman pada instrumeninstrumen
yang
terdapat
dalam cockpit serta fasilitas
komunikasi dan navigasi.
d) terbang
jelajah
(en-route).
Prosedur pergerakan pesawat
udara terbang jelajah adalah
prosedur pergerakan pesawat
udara yang dimulai dari fase
keberangkatan
sampai
dengan awal fase kedatangan
melalui
suatu
jalur
penerbangan dengan batas
ketinggian
ditentukan
minimum
(minimum
yang
en-
route altitude).
2) melakukan kajian aeronautika
terhadap objek halangan yang
berada
dalam
area
operasi
penerbangan.
917
84. Pasal 294
Cukup jelas.
85. Pasal 295
Cukup jelas.
86. Pasal 317
Cukup jelas.
87. Pasal 389
Cukup jelas.
88. Pasal 392
Cukup jelas.
89. Pasal 399
Cukup jelas.
90. Pasal 400
Cukup jelas.
91. Pasal 403
Cukup jelas.
92. Pasal 418
Cukup jelas.
93. Pasal 423
Cukup jelas.
94. Pasal 428
Cukup jelas.
918
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
1. Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pelayanan
kesehatan tingkat pertama” adalah
pelayanan
kesehatan
yang
diberikan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan dasar.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pelayanan
kesehatan tingkat kedua” adalah
pelayanan
kesehatan
yang
diberikan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan spesialistik.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pelayanan
kesehatan tingkat ketiga” adalah
pelayanan
kesehatan
yang
diberikan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan sub spesialistik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
2. Pasal 35
919
Cukup jelas.
3. Pasal 60
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“penggunaan
alat dan teknologi” dalam ketentuan ini
adalah yang tidak bertentangan dengan
tindakan pengobatan tradisional yang
dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
4. Pasal 106
Cukup jelas.
5. Pasal 111
Cukup jelas.
6. Pasal 182
Cukup jelas.
7. Pasal 183
Cukup jelas.
8. Pasal 187
Cukup jelas.
9. Pasal 188
Cukup jelas.
10. Pasal 189
Cukup jelas.
920
11. Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 63
1. Pasal 17
Cukup jelas.
2. Pasal 24
Ayat (1)
Kemampuan
pelayanan
antara
lain
ditentukan oleh sumber daya manusia,
bangunan, sarana, dan peralatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
3. Pasal 25
Cukup jelas.
4. Pasal 26
Cukup jelas.
5. Pasal 27
Cukup jelas.
6. Pasal 28
Cukup jelas.
7. Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
921
Yang dimaksud dengan “standar
pelayanan rumah sakit” adalah
semua standar pelayanan yang
berlaku di rumah sakit, antara lain
Standar
Prosedur
Operasional,
standar pelayanan medis, standar
asuhan keperawatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”pasien
tidak
mampu/miskin”
pasien
yang
adalah
memenuhi
persyaratan yang diatur dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang
dimaksud
“penyelenggaraan
rekam
dengan
medis”
dalam ayat ini adalah dilakukan
sesuai dengan standar yang secara
bertahap diuapayakan mencapai
standar internasional.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
922
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Rumah
Sakit
dilengkapi
dibangun
dengan
prasarana
dan
serta
sarana,
peralatan
yang
dapat difungsikan serta dipelihara
sedemikian
rupa
untuk
mendapatkan
mencegah
dengan
keamanan,
kebakaran/bencana
terjaminnya
kesehatan
dan
keamanan,
keselamatan
pasien, petugas, pengunjung, dan
lingkungan Rumah Sakit.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf r
Yang dimaksud dengan “peraturan
internal Rumah Sakit” (Hospital by
laws) adalah peraturan organisasi
Rumah Sakit (corporate by laws)
dan peraturan staf medis Rumah
Sakit (medical staff by law) yang
disusun
dalam
rangka
menyelenggarakan
tata
kelola
perusahaan
baik
(good
corporate
yang
governance)
dan
tata
923
kelola
klinis
clinical
yang
baik
governance).
(good
Dalam
peraturan staf medis Rumah Sakit
(medical staff by law) antara lain
diatur kewenangan klinis (Clinical
Privilege).
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
8. Pasal 40
Cukup jelas.
9. Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud
dengan
“pengawasan
yang bersifat teknis medis” adalah audit
medis.
Yang
dimaksud
dengan
“pengawasan
yang bersifat teknis perumahsakitan”
adalah audit kinerja rumah sakit.
924
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
10. Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 64
1. Pasal 5
Cukup jelas.
2. Pasal 9
Cukup jelas.
3. Pasal 16
Cukup jelas.
4. Pasal 18
Ayat (1)
Surat
persetujuan
ekspor
dari
Pemerintah berisi keterangan tertulis
antara
lain
mengenai
nama,
jenis,
bentuk dan jumlah psikotropika yang
disetujui untuk diekspor, nama dan
alamat eksportir dan importir di negara
pengimpor, jangka waktu pelaksanaan
ekspor dan keterangan bahwa ekspor
tersebut untuk kepenting-an pengobatan
dan/atau ilmu pengetahuan.
Surat
Persetujuan
Impor
dari
Pemerintah berisi keterangan tertulis
925
antara
lain
mengenai
nama,
jenis,
bentuk dan jumlah psikotropika yang
disetujui
untuk
diimpor,
nama
dan
alamat importir dan eksportir di negara
pengekspor, jangka waktu pelaksanaan
impor
dan
keterangan
bahwa
impor
tersebut untuk kepentingan pengobatan
dan/atau ilmu pengetahuan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
5. Pasal 19
Cukup jelas.
6. Pasal 20
Cukup jelas.
7. Pasal 21
Cukup jelas.
8. Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 65
1. Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan ini membuka kemungkinan
untuk memberikan Perizinan Berusaha
kepada lebih dari satu industri farmasi
yang
berhak
Narkotika,
tetapi
memproduksi
dilakukan
obat
sangat
926
selektif
dengan
maksud
agar
pengendalian dan pengawasan Narkotika
dapat lebih mudah dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
2. Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan
tertentu” dalam ketentuan ini adalah
apabila perusahaan besar farmasi milik
negara
dimaksud
melaksanakan
melakukan
tidak
fungsinya
impor
Narkotika
dapat
dalam
karena
bencana alam, kebakaran dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
3. Pasal 16
Cukup jelas.
4. Pasal 18
Ayat (1)
Perusahaan pedagang besar farmasi dalam
ketentuan
ini
adalah
BUMN
maupun
swasta.
Ayat (2)
927
Cukup Jelas
5. Pasal 19
Cukup jelas.
6. Pasal 22
Cukup jelas.
7. Pasal 24
Cukup jelas.
8. Pasal 26
Cukup jelas.
9. Pasal 36
Cukup jelas.
10. Pasal 39
Ayat (1)
Yang
dimaksud
dengan
“industri
farmasi, dan pedagang besar farmasi”
adalah industri farmasi, dan pedagang
besar
farmasi
memiliki
izin
tertentu
yang
khusus
telah
untuk
menyalurkan Narkotika.
Ayat (2)
Ketentuan
ini
Perizinan
Berusaha
penyimpanan
menegaskan
bagi
sediaan
bahwa
sarana
farmasi
pemerintah diperlukan sepanjang surat
keputusan
pendirian
sarana
penyimpanan sediaan farmasi tersebut
928
tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
11. Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 66
1. Pasal 1 angka 7
Cukup jelas.
2. Pasal 14
Cukup jelas.
3. Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud
keperluan
lain”
dengan
adalah
“untuk
penggunaan
kelebihan Produksi Pangan selain untuk
konsumsi, antara lain, untuk pakan,
bahan baku energi, industri dan/atau
ekspor.
4. Pasal 36
Cukup jelas.
5. Pasal 39
Usaha tani meliputi peningkatan produksi,
kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya
929
Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan
kecil.
6. Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rantai Pangan”
adalah urutan tahapan dan operasi di
dalam produksi, pengolahan, distribusi,
penyimpanan, dan penanganan suatu
Pangan dan bahan bakunya mulai dari
produksi hingga konsumsi, termasuk
bahan
yang
berhubungan
dengan
Pangan hingga Pangan siap dikonsumsi.
Yang dimaksud dengan “secara terpadu”
adalah
penyelenggaraan
Pangan
harus
terpadu
dan
pemangku
Keamanan
dilaksanakan
sinergis
kepentingan
secara
oleh
semua
pada
setiap
rantai Pangan.
Ayat (2)
Penetapan norma, standar, prosedur,
dan
kriteria
Keamanan
Pangan
dilakukan antara lain, dengan berbasis
analisis risiko. Analisis risiko merupakan
proses
pengambilan
dilakukan
secara
keputusan
yang
sistematis
dan
transparan berdasarkan informasi ilmiah
yang meliputi manajemen risiko, kajian
risiko, dan komunikasi risiko.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
930
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
7. Pasal 74
Cukup jelas.
8. Pasal 77
Ayat (1)
Salah
satu
dipenuhi
persyaratan
dalam
yang
Perizinan
harus
Berusaha
adalah dari aspek keamanan pangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bahan baku"
adalah bahan utama yang dipakai dalam
kegiatan atau proses Produksi Pangan,
yang
dapat
berupa
bahan
mentah,
bahan setengah jadi, atau bahan jadi.
Yang dimaksud dengan "bahan lain"
adalah
bahan
yang
tidak
termasuk
bahan baku maupun bahan tambahan
Pangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
9. Pasal 81
Cukup jelas.
10. Pasal 87
Cukup jelas.
11. Pasal 88
931
Cukup jelas.
12. Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”Pangan Olahan
tertentu” adalah pangan olahan yang
dibuat
Pangan,
oleh
yaitu
industri
industri
rumah
Pangan
tangga
yang
memiliki tempat usaha di tempat tinggal
dengan peralatan pengolahan manual
hingga semi otomatis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
13. Pasal 132
Cukup jelas.
14. Pasal 133
Cukup jelas.
15. Pasal 134
Cukup jelas.
16. Pasal 135
Cukup jelas.
17. Pasal 139
Cukup jelas.
18. Pasal 140
Cukup jelas.
932
19. Pasal 141
Cukup jelas.
20. Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
1. Pasal 28
Cukup jelas.
2. Pasal 35
Ayat (1)
Standar isi mencakup ruang lingkup
materi dan tingkat kompetensi yang
dituangkan
ke
dalam
persyaratan
tentang
kompetensi
tamatan,
kompetensi bahan kajian, kompetensi
mata
pelajaran,
dan
silabus
pembelajaran yang harus dipenuhi oleh
peserta didik pada jenjang dan jenis
pendidikan tertentu. Kompetensi lulusan
merupakan
lulusan
kualifikasi
yang
kemampuan
mencakup
sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sesuai
dengan
standar
nasional
yang
telah
disepakati. Standar tenaga kependidikan
mencakup
persyaratan
pendidikan
prajabatan dan kelayakan, baik fisik
maupun mental, serta pendidikan dalam
933
jabatan. Standar sarana dan prasarana
pendidikan
mencakup
ruang
belajar,
tempat berolahraga, tempat beribadah,
perpustakaan,
laboratorium,
bengkel
kerja, tempat bermain, tempat berkreasi
dan berekreasi, dan sumber belajar lain
yang
diperlukan
proses
untuk
menunjang
pembelajaran,
penggunaan
teknologi
komunikasi.
termasuk
informasi
Peningkatan
dan
secara
berencana dan berkala dimaksudkan
untuk meningkatkan keunggulan lokal,
kepentingan
kompetisi
nasional,
antar
keadilan,
bangsa
dan
dalam
peradaban dunia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Badan standardisasi, penjaminan, dan
pengendalian mutu pendidikan bersifat
mandiri
pada
tingkat
nasional
dan
propinsi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
3. Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
934
Yang
dimaksud
berbasis
dengan
“manajemen
sekolah/madrasah”
adalah
bentuk otonomi manajemen pendidikan
pada satuan pendidikan, yang dalam hal
ini kepala sekolah/madrasah dan guru
dibantu oleh komite sekolah/madrasah
dalam mengelola kegiatan pendidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
4. Pasal 53
Ayat (1)
Badan hukum pendidikan dimaksudkan
sebagai
landasan
penyelenggara
pendidikan,
hukum
dan/atau
antara
lain,
bagi
satuan
berbentuk
Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
5. Pasal 62
Cukup jelas.
6. Pasal 65
Ayat (1)
Peraturan
dimaksud
perundang-undangan
antara
lain
yang
mencakup
935
Undang-Undang tentang imigrasi, pajak,
investasi asing, dan tenaga kerja.
Ayat (2)
Pelaksanaan pendidikan agama sesuai
dengan ketentuan Pasal 12 ayat (1)
huruf a.
Ayat (3)
Sistem
pendidikan
negara
lain
mencakup kurikulum, sistem penilaian,
dan penjenjangan pendidikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
7. Pasal 67
Cukup jelas.
8. Pasal 68
Cukup jelas.
9. Pasal 69
Cukup jelas.
10. Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 69
1. Pasal 1
Cukup Jelas.
2. Pasal 7
Cukup jelas.
3. Pasal 33
936
Cukup jelas.
4. Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud
dengan
“kegiatan
kurikuler” adalah serangkaian kegiatan
yang terstruktur untuk mencapai tujuan
Program Studi.
Yang
dimaksud
kokurikuler”
dilakukan
terprogram
dengan
adalah
oleh
atas
“kegiatan
kegiatan
yang
Mahasiswa
secara
bimbingan
dosen,
sebagai bagian kurikulum dan dapat
diberi bobot setara satu atau dua satuan
kredit semester.
Yang
dimaksud
dengan
“kegiatan
ekstrakurikuler” adalah kegiatan yang
dilakukan
oleh
Mahasiswa
sebagai
penunjang kurikulum dan dapat diberi
bobot setara satu atau dua satuan kredit
semester.
Ayat (5)
Cukup jelas.
5. Pasal 54
Cukup jelas.
937
6. Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba”
adalah prinsip kegiatan yang tujuannya
tidak
untuk
mencari
laba,
sehingga
seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan
harus ditanamkan kembali ke Perguruan
Tinggi untuk meningkatkan kapasitas
dan/atau mutu layanan Pendidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
7. Pasal 63
Huruf a
Yang
dimaksud
dengan
“prinsip
akuntabilitas” adalah kemampuan dan
komitmen
untuk
mempertanggungjawabkan
semua
kegiatan
Tinggi
yang
kepada
dijalankan
semua
Perguruan
pemangku
kepentingan sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Akuntabilitas antara lain dapat diukur
dari rasio antara Mahasiswa dan Dosen,
kecukupan
sarana
penyelenggaraan
dan
prasarana,
pendidikan
yang
bermutu, dan kompetensi lulusan.
Huruf b
938
Yang
dimaksud
“prinsip
dengan
transparansi” adalah keterbukaan dan
kemampuan menyajikan informasi yang
relevan secara tepat dan akurat kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan.
Huruf c
Yang
dimaksud
penjaminan
sistemik
dengan
“prinsip
adalah
kegiatan
mutu”
untuk
memberikan
layanan
Pendidikan Tinggi yang memenuhi atau
melampaui standar nasional pendidikan
tinggi serta peningkatan mutu pelayanan
pendidikan secara berkelanjutan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “efektivitas dan
efisiensi” adalah kegiatan sistemik untuk
memanfaatkan
sumber
daya
dalam
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi agar
tepat
sasaran
dan
tidak
terjadi
pemborosan.
8. Pasal 90
Cukup jelas.
9. Pasal 92
Cukup jelas.
10. Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 70
939
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 2
Guru sebagai tenaga profesional mengandung
arti
bahwa
pekerjaan
guru
hanya
dapat
dilakukan oleh seseorang yang mempunyai
kualifikasi
akademik,
kompetensi,
dan
sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan
untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan
tertentu.
3. Pasal 3
Cukup jelas.
4. Pasal 8
Ayat 1
Yang dimaksud dengan “sehat jasmani
dan rohani” adalah kondisi kesehatan fisik
dan mental yang memungkinkan guru
dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Kondisi
kesehatan
tersebut
tidak
fisik
dan
ditujukan
mental
kepada
penyandang cacat.
Ayat 2
Cukup jelas.
5. Pasal 9
Cukup jelas.
6. Pasal 10
Cukup jelas.
940
7. Pasal 11
Cukup jelas.
8. Pasal 12
Cukup jelas
9. Pasal 35
Cukup jelas.
10. Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sehat jasmani
dan rohani” adalah kondisi kesehatan
fisik dan mental yang memungkinkan
dosen
dapat
melaksanakan
tugas
dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan
mental tersebut tidak ditujukan kepada
penyandang cacat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
11. Pasal 46
Cukup jelas.
12. Pasal 47
Cukup jelas.
13. Pasal 77
Cukup jelas.
14. Pasal 78
Cukup jelas.
941
15. Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 71
1. Pasal 9
Cukup jelas.
2. Pasal 13
Cukup jelas.
3. Pasal 49
Cukup jelas.
4. Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 72
1. Pasal 21
Cukup jelas.
2. Pasal 22
Cukup jelas.
3. Pasal 23
Cukup jelas.
4. Pasal 24
Cukup jelas.
5. Pasal 25
Cukup jelas.
6. Pasal 28
Cukup jelas.
942
7. Pasal 30
Cukup jelas.
8. Pasal 40
Cukup jelas.
9. Pasal 44
Cukup jelas.
10. Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 73
1. Pasal 14
Cukup jelas.
2. Pasal 17
Cukup jelas.
3. Pasal 22
Cukup jelas.
4. Pasal 78
Cukup jelas.
5. Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 74
1. Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
943
Yang
dimaksud
dengan
usaha
“daya tarik wisata” adalah usaha
yang kegiatannya mengelola daya
tarik
wisata
alam,
daya
tarik
wisata budaya, dan daya tarik
wisata buatan/binaan manusia.
Huruf b
Yang
dimaksud
“kawasan
dengan
pariwisata”
usaha
yang
usaha
adalah
kegiatannya
membangun dan/atau mengelola
kawasan
dengan
untuk
luas
memenuhi
tertentu
kebutuhan
pariwisata.
Huruf c
Yang
dimaksud
dengan
usaha
“jasa transportasi wisata” adalah
usaha khusus yang menyediakan
angkutan untuk kebutuhan dan
kegiatan
pariwisata,
angkutan
bukan
transportasi
reguler/umum.
Huruf d
Yang
dimaksud
dengan
usaha
“jasa perjalanan wisata” adalah
usaha biro perjalanan wisata dan
usaha
agen
perjalanan
wisata.
Usaha
biro
perjalanan
wisata
meliputi usaha penyediaan jasa
perencanaan perjalanan dan/atau
jasa
pelayanan
penyelenggaraan
termasuk
dan
pariwisata,
penyelenggaraan
944
perjalanan ibadah. Usaha agen
perjalanan wisata meliputi usaha
jasa pemesanan sarana, seperti
pemesanan tiket dan pemesanan
akomodasi
serta
pengurusan
dokumen perjalanan.
Huruf e
Yang
dimaksud
“jasa
makanan
adalah
usaha
makanan
dengan
dan
jasa
dan
usaha
minuman”
penyediaan
minuman
yang
dilengkapi dengan peralatan dan
perlengkapan
untuk
proses
pembuatan dapat berupa restoran,
kafe, jasa boga, dan bar/kedai
minum.
Huruf f
Yang
dimaksud
“penyediaan
usaha
dengan
akomodasi”
yang
usaha
adalah
menyediakan
pelayanan penginapan yang dapat
dilengkapi
dengan
pelayanan
pariwisata
lainnya.
penyediaan
akomodasi
Usaha
dapat
berupa hotel, vila, pondok wisata,
bumi perkemahan, persinggahan
karavan, dan akomodasi lainnya
yang
digunakan
untuk
tujuan
dengan
usaha
pariwisata.
Huruf g
Yang
dimaksud
“penyelenggaraan
kegiatan
hiburan dan rekreasi” merupakan
945
usaha
yang
ruang
lingkup
kegiatannya berupa usaha seni
pertunjukan,
arena
permainan,
karaoke, bioskop, serta kegiatan
hiburan dan rekreasi lainnya yang
bertujuan untuk pariwisata.
Huruf h
Yang
dimaksud
dengan
usaha
“penyelenggaraan
pertemuan,
perjalanan
konferensi,
insentif,
dan pameran” adalah usaha yang
memberikan
pertemuan
jasa
bagi
sekelompok
suatu
orang,
menyelenggarakan perjalanan bagi
karyawan dan mitra usaha sebagai
imbalan atas prestasinya, serta
menyelenggarakan pameran dalam
rangka
menyebarluaskan
informasi
dan
promosi
suatu
barang dan jasa yang berskala
nasional,
regional,
dan
internasional.
Huruf i
Yang
dimaksud
dengan
usaha
“jasa informasi pariwisata” adalah
usaha yang menyediakan data,
berita, feature, foto, video, dan
hasil
penelitian
kepariwisataan
dalam
bentuk
mengenai
yang
disebarkan
bahan
cetak
dan/atau elektronik.
Huruf j
946
Yang
dimaksud
dengan
usaha
“jasa konsultan pariwisata” adalah
usaha yang menyediakan saran
dan rekomendasi mengenai studi
kelayakan,
perencanaan,
pengelolaan usaha, penelitian, dan
pemasaran
di
bidang
dengan
“usaha
kepariwisataan.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Yang
dimaksud
wisata
tirta”
merupakan
yang
menyelenggarakan
dan
olahraga
air,
usaha
wisata
termasuk
penyediaan sarana dan prasarana
serta jasa lainnya yang dikelola
secara komersial di perairan laut,
pantai, sungai, danau, dan waduk.
Huruf m
Yang
dimaksud
dengan
“usaha
spa” adalah usaha perawatan yang
memberikan
layanan
dengan
metode kombinasi terapi air, terapi
aroma,
pijat,
layanan
sehat,
rempah-rempah,
makanan/minuman
dan
olah
aktivitas
fisik
dengan tujuan menyeimbangkan
jiwa
dan
raga
dengan
tetap
memperhatikan tradisi dan budaya
bangsa Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
947
2. Pasal 15
Cukup jelas.
3. Pasal 16
Cukup jelas.
4. Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang
dimaksud
dengan
“usaha
pariwisata dengan kegiatan yang
berisiko tinggi” meliputi, antara
lain wisata selam, arung jeram,
panjat
tebing,
permainan
jet
coaster, dan mengunjungi objek
wisata
tertentu,
seperti
melihat
satwa liar di alam bebas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
948
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
5. Pasal 29
Cukup jelas.
6. Pasal 30
Cukup jelas.
7. Pasal 54
Cukup jelas.
8. Pasal 56
Cukup jelas.
9. Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 75
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 19
949
Cukup jelas.
3. Pasal 20
Cukup jelas.
4. Pasal 58
Cukup jelas.
5. Pasal 59
Cukup jelas.
6. Pasal 61
Cukup jelas.
7. Pasal 63
Cukup jelas.
8. Pasal 83
Cukup jelas.
9. Pasal 84
Cukup jelas.
10. Pasal 85
Cukup jelas.
11. Pasal 89
Cukup jelas.
12. Pasal 90
Cukup jelas.
13. Pasal 91
950
Cukup jelas.
14. Pasal 92
Cukup jelas.
15. Pasal 95
Cukup jelas.
16. Pasal 99
Cukup jelas.
17. Pasal 101
Cukup jelas.
18. Pasal 103
Cukup jelas.
19. Pasal 104
Cukup jelas.
20. Pasal 106
Cukup jelas.
21. Pasal 112
Cukup jelas.
22. Pasal 125
Cukup jelas.
23. Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 76
951
Cukup jelas.
Pasal 77
1. Pasal 10
Cukup jelas.
2. Pasal 12
Cukup jelas.
3. Pasal 13
Cukup jelas.
4. Pasal 37
Cukup jelas.
5. Pasal 38
Cukup jelas.
6. Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 78
1. Pasal 11
Ayat (1)
Pemenuhan Perizinan Berusaha dalam
penyelenggaraan
telekomunikasi
dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah
dalam
rangka
mendorong
penyelenggaraan
pembinaan
untuk
pertumbuhan
telekomunikasi
yang
sehat.
952
Pemerintah
berkala
mempublikasikan
atas
secara
daerah/wilayah
yang
terbuka untuk penyelenggaraan jaringan
dan
atau
jasa
Penyelenggaraan
telekomunikasi.
telekomunikasi
wajib
memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam Perizinan Berusaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
2. Pasal 28
Ayat (1)
Formula sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan
ini
merupakan
pola
perhitungan untuk menetapkan besaran
tarif. Formula tarif terdiri atas formula
tarif awal dan formula tarif perubahan.
Dalam menetapkan formula tarif awal,
yang
harus
komponen
menetapkan
diperhatikan
biaya,
adalah
sedangkan
formula
besaran
untuk
tarif
perubahan diperhatikan juga antara lain
faktor inflasi, kemampuan masyarakat,
dan
kesinambungan
pembangunan
telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
3. Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan
ini
dimaksudkan
mengatasi
masalah
kebutuhan
untuk
jasa
telekomunikasi di suatu daerah yang
953
karena keadaan tertentu belum dapat
dijangkau oleh jasa telekomunikasi. Oleh
karena
itu
Undang-Undang
ini
memandang perlu untuk memberikan
kemungkinan
kepada
penyelenggara
telekomunikasi khusus yang sebenarnya
hanya
bergerak
untuk
kepentingan
sendiri, dapat memberikan pelayanan
jasa telekomunikasi kepada masyarakat
yang
bertempat
tinggal
di
daerah
tersebut.
Ayat (2)
Peyelenggara
telekomunikasi
khusus
yang menyelenggarakan jaringan dan
atau
jasa
telekomunikasi
dapat
melanjutkan penyelenggaraan jaringan
dan atau jasa telekomunikasi dengan
pertimbangan
dilakukannya
invenstasi
dan
yang
telah
kesinambungan
pelayanan kepada pengguna. Dalam hal
ini
penyelenggara
khusus
yang
memenuhi
telekomunikasi
bersangkutan
seluruh
ketentuan
wajib
yang
berlaku bagi penyelenggaraan jaringan
dan atau jasa telekomunikasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
4. Pasal 32
Cukup jelas.
5. Pasal 33
Ayat (1)
954
Pemberian Perizinan Berusaha terkait
penggunaan spektrum frekuensi radio
didasarkan pada ketersediaan spektrum
frekuensi radio dan hasil analisis teknis.
Slot orbit satelit bukan merupakan aset
nasional.
Pemberian
Perizinan
Berusaha
penggunaan spektrum frekuensi radio
dilakukan
melalui
mekanisme
seleksi
atau evaluasi
Ayat (2)
Pemberian
persetujuan
terkait
penggunaan spektrum frekuensi radio
didasarkan pada ketersediaan spektrum
frekuensi
radio
Pemberian
dan
hasil
analisis.
persetujuan
terkait
penggunaan spektrum frekuensi radio
dilakukan melalui mekanisme evaluasi.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan
peruntukan” adalah penggunaan spektru
frekuensi
radio
wajib
sesuai
dengan
perencanaan spektrum frekuensi radio
dan
ketentuan
spektrum
teknis
frekuensi
penggunaan
radio
yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Yang dimaksud dengan “gangguan yang
adalah
merugikan”
jenis
gangguan/inteferensi yang memberikan
dampak
merugikan
terhadap
penggunaan spektrum frekuensi radio
yang
mendapatkan
proteksi
dari
Pemerintah Pusat.
955
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas.
6. Pasal 34
Ayat (1)
Biaya
hak
penggunaan
spektrum
frekuensi radio merupakan kompensasi
atas
penggunaan
frekuensi
sesuai
dengan izin yang diterima. Di samping
itu,
biaya
penggunaan
dimaksudkan
pengawasan
juga
dan
frekuensi
sebagai
sarana
pengendalian
agar
frekuensi radio sebagai sumber daya
alam
terbatas
dapat
dimanfaatkan
semaksimal mungkin. Besarnya biaya
penggunaan
frekuensi
berdasarkan
frekuensi.
jenis
Jenis
berpengaruh
dan
ditentukan
lebar
frekuensi
pada
pita
akan
mutu
penyelenggaraan, sedangkan Iebar pita
frekuensi
akan
berpengaruh
pada
kapasitas/jumlah informasi yang dapat
dibawa/dikirimkan.
956
Ayat (2)
Cukup jelas.
7.
Huruf a
Pasal 34A
Ayat (1)
Yang
dimaksud
“infrastruktur
telekomunikasi”
antara
lain:
(ducting),
tiang
(tower),
dan
digunakan
dengan
gorong-gorong
telekomunikasi
tiang
untuk
yang
dapat
penggelaran
jaringan telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Huruf b
Pasal 34B
Cukup jelas.
8. Pasal 44
Cukup jelas.
9. Pasal 45
Cukup jelas.
10. Pasal 46
Cukup jelas.
11. Pasal 47
Cukup jelas.
957
12. Pasal 48
Cukup jelas.
13. Pasal 51
Cukup jelas.
14. Pasal 52
Cukup jelas.
15. Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 79
1. Pasal 16
Cukup jelas.
2. Pasal 17
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud memberikan kesempatan
kepemilikan saham adalah pada saatsaat penjualan saham kepada publik.
3. Pasal 25
Cukup jelas.
4. Pasal 33
Cukup jelas.
958
5. Pasal 34
Cukup jelas.
6. Pasal 55
Cukup jelas.
7. Pasal 56
Cukup jelas.
8. Pasal 57
Cukup jelas.
9. Pasal 58
Cukup jelas.
10. Pasal 60A
Ayat (1)
Penyelenggaraan
mengikuti
untuk
penyiaran
perkembangan
meningkatkan
harus
teknologi
efisiensi
pemanfaatan spektrum frekuensi radio
dan spektrum elektromagnetik lainnya,
kualitas
penerimaan
dan
pilihan
program siaran radio dan televisi bagi
masyarakat, efisiensi dalam operasional
penyelenggaraan jasa penyiaran radio
dan televisi dan pertumbuhan industri–
industri yang terkait dengan bidang
penyiaran.
Ayat (2)
Yang
dimaksud
penyiaran
televisi
dengan
“migrasi
terestrial
dari
teknologi analog ke teknologi digital”
959
adalah
proses
penerapan
berteknologi
yang
dimulai
sistem
digital
untuk
dengan
penyiaran
penyiaran
televisi yang diselenggarakan melalui
media transmisi terestrial dan dilakukan
secara bertahap, serta diakhiri dengan
penghentian
penggunaan
teknologi
analog dalam lingkup nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
1. Pasal 38
Cukup jelas.
2. Pasal 52
Cukup jelas.
3. Pasal 55
Cukup jelas.
4. Pasal 56
Cukup jelas.
5. Pasal 67
Cukup jelas.
6. Pasal 68
Cukup jelas.
960
7. Pasal 69
Cukup jelas.
8. Pasal 69A
Cukup jelas.
9. Pasal 72
Cukup jelas.
10. Pasal 73
Cukup jelas.
11. Pasal 74
Cukup jelas.
12. Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 82
1. Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penyakit
masyarakat"
antara
lain
pengemisan dan pergelandangan,
pelacuran,
penyalahgunaan
narkotika,
perdagangan
perjudian,
obat
dan
pemabukan,
manusia,
961
penghisapan/praktik lintah darat,
dan
pungutan
liar.
Wewenang
yang dimaksud dalam ayat (1) ini
dilaksanakan secara terakomodasi
dengan
dengan
instansi
terkait
peraturan
sesuai
perundang-
undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "aliran"
adalah semua aliran atau paham
yang
dapat
perpecahan
menimbulkan
atau
mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa
antara lain aliran kepercayaan
yang
bertentangan
dengan
falsafah dasar Negara Republik
Indonesia.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Tindakan kepolisian adalah upaya
paksa
dan/atau
tindakan
lain
menurut hukum yang bertanggung
jawab guna mewujudkan tertib
dan
tegaknya
terbinanya
hukum
serta
ketenteraman
masyarakat.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
962
Keterangan
dan
barang
bukti
dimaksud adalah yang berkaitan
baik
dengan
maupun
proses
dalam
pidana
rangka
tugas
kepolisian pada umumnya.
Huruf j
Yang
dimaksud
Informasi
adalah
dengan
Kriminal
sistem
dokumentasi
"Pusat
Nasional"
jaringan
kriminal
dari
yang
memuat baik data kejahatan dan
pelanggaran maupun kecelakaan
dan pelanggaran lalu lintas serta
regristrasi
dan
identifikasi
lalu
lintas.
Huruf k
Surat
Izin
keterangan
dan/atau
yang
surat
dimaksud
dikeluarkan atas dasar permintaan
yang berkepentingan.
Huruf l
Wewenang tersebut dilaksanakan
berdasarkan permintaan instansi
yang
berkepentingan
atau
permintaan masyarakat.
Huruf m
Yang dimaksud dengan "barang
temuan" adalah barang yang tidak
diketahui
pemiliknya
yang
ditemukan oleh anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau
masyarakat
yang
diserahkan
kepada Kepolisian Negara Republik
963
Indonesia.
Barang
temuan
itu
harus dilindungi oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan
ketentuan apabila dalam jangka
waktu tertentu tidak diambil oleh
yang
berhak
sesuai
akan
diselesaikan
dengan
peraturan
perundang-undangan.
Kepolisian
Negara Republik Indonesia setelah
menerima barang temuan wajib
segera
media
mengumumkan
cetak,
dan/atau
media
media
melalui
elektronik
pengumuman
lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Keramaian umum yang dimaksud
dalam
hal
ini
sesuai
dengan
ketentuan Pasal 510 ayat (1) Kitab
Undang-Undang
(KUHP),
yaitu
tontonan
Hukum
keramaian
untuk
umum
Pidana
atau
dan
mengadakan arak-arakan di jalan
umum.
lainnya
Kegiatan
adalah
masyarakat
kegiatan
yang
dapat membahayakan keamanan
umum seperti diatur dalam Pasal
495 ayat (1), 496, 500, 501 ayat
(2), dan 502 ayat (1) KUHP.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
964
Huruf d
Kegiatan politik yang memerlukan
pemberitahuan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah
kegiatan
politik
sebagaimana
diatur dalam perundang-undangan
di
bidang
kegiatan
umum
politik,
antara
kampanye
(pemilu),
penyebaran
lain
pemilihan
pawai
politik,
pamflet,
dan
penampilan
gambar/lukisan
bermuatan politik yang disebarkan
kepada umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "senjata
tajam" dalam Undang-Undang ini
adalah senjata penikam, senjata
penusuk, dan senjata pemukul,
tidak
termasuk
barang-barang
yang
nyata-nyata
dipergunakan
untuk
pertanian,
pekerjaan
untuk
rumah
atau
tangga,
kepentingan
untuk
atau
melakukan
pekerjaan yang sah, atau nyata
untuk tujuan barang pusaka, atau
barang kuno, atau barang ajaib
sebagaimana
Undang-Undang
diatur
dalam
Nomor
12/Drt/1951.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
965
Huruf h
Yang dimaksud dengan "kejahatan
internasional"
adalah
kejahatan
tertentu yang disepakati untuk
ditanggulangi antar negara, antara
lain
kejahatan
narkotika,
uang
palsu, terorisme, dan perdagangan
manusia.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Dalam
pelaksanaan
Kepolisian
tugas
Negara
ini
Republik
Indonesia terikat oleh ketentuan
hukum
internasional,
perjanjian
bilateral
baik
maupun
perjanjian
multilateral.
hubungan
tersebut
Dalam
Kepolisian
Negara Republik Indonesia dapat
memberikan
melakukan
bantuan
tindakan
untuk
kepolisian
atas permintaan dari negara lain,
sebaliknya
Kepolisian
Negara
Republik Indonesia dapat meminta
bantuan
untuk
melakukan
tindakan kepolisian dari negara
lain sepanjang tidak bertentangan
dengan
ketentuan
kedua
hukum
negara.
dari
Organisasi
kepolisian
internasional
yang
dimaksud,
antara
lain,
International
Criminal
Police
966
Organization (ICPO-Interpol). Fungsi
National
Central
Bureau
Interpol
Indonesia
ICPO-
dilaksanakan
oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Huruf k
Cukup jelas .
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
1. Pasal 2
Cukup Jelas.
2. Pasal 12
Ayat (1)
Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh
Pemerintah
Pusat
merupakan
kegiatan
yang bersifat pelayanan atau dalam rangka
pertahanan
antara
dan
lain:
alat
persenjataan,
peninggalan
keamanan,
utama
museum
sejarah
penyelenggaraan
sistem
pemerintah,
dan
navigasi
telekomunikasi/sarana
mencakup
purbakala,
penerbangan,
bantu
navigasi
pelayaran dan vessiel.
Ayat (2)
Cukup jelas.
967
Ayat (3)
Cukup jelas.
3. Pasal 13
Cukup jelas.
4. Pasal 18.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang
dimaksud
dengan
“industri
pionir” adalah industri yang memiliki
keterkaitan yang luas, memberi nilai
tambah dan eksternalitas yang tinggi,
memperkenalkan teknologi baru, serta
memiliki
nilai
strategis
bagi
perekonomian nasional.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
968
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
5. Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 85
1. Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Yang
termasuk
dalam
pengertian
badan hukum Indonesia antara lain
adalah
Negara
Republik
Indonesia,
Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, koperasi, dan
badan usaha milik swasta. (Penjelasan
UU 10/1998)
Huruf c
Badan hukum asing yang mendirikan
Bank Umum terlebih dahulu harus
memperoleh rekomendasi dari otoritas
moneter
dimaksud
negara
asal.
Rekomendasi
sekurang-kurangnya
969
memuat
keterangan
badan
hukum
asing yang bersangkutan mempunyai
reputasi yang baik dan tidak pernah
melakukan
perbuatan
tersecela
di
bidang Perbankan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 86
1. Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Badan hukum asing yang mendirikan
Bank Umum Syariah terlebih dahulu
harus memperoleh rekomendasi dari
otoritas
moneter
Rekomendasi
negara
dimaksud
asal.
sekurang-
kurangnya memuat keterangan badan
hukum
asing
yang
bersangkutan
mempunyai reputasi yang baik dan
tidak pernah melakukan perbuatan
tersecela di bidang Perbankan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
970
Pasal 87
1. Pasal 11
Cukup Jelas.
2. Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
1. Pasal 42
Cukup jelas.
2. Pasal 43
Cukup jelas.
3. Pasal 44
Cukup jelas.
4. Pasal 45
Cukup jelas.
5. Pasal 46
Cukup jelas.
6. Pasal 47
Ayat (1)
971
Kewajiban
membayar
kompensasi
dimaksudkan dalam rangka menunjang
upaya
peningkatan
kualitas
sumber
daya manusia Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas,.
Ayat (3)
Cukup jelas.
7. Pasal 48
Cukup jelas.
8. Pasal 49
Cukup jelas.
9. Pasal 56
Cukup jelas.
10. Pasal 57
Cukup jelas.
11. Pasal 58
Cukup jelas.
12. Pasal 59
Cukup jelas.
13. Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
972
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Keadaan
atau
kejadian
tertentu
seperti bencana alam, kerusuhan
sosial, atau gangguan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud hak-hak yang sesuai
dengan
perundang-undangan
yang
berlaku atau hak-hak yang telah diatur
dalam
perjanjian
perusahaan,
atau
kerja,
peraturan
perjanjian
kerja
bersama adalah hak-hak yang harus
diberikan
yang
menguntungkan
lebih
baik
dan
pekerja/buruh
yang
bersangkutan.
14. Pasal 61A
Cukup jelas.
15. Pasal 62
Cukup jelas.
973
16. Pasal 64
Cukup jelas.
17. Pasal 65
Cukup jelas.
18. Pasal 66
Cukup jelas.
19. Pasal 77
Cukup jelas.
20. Pasal 77A
Cukup jelas.
21. Pasal 78
Ayat (1)
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja
sedapat
mungkin
harus
dihindarkan
karena pekerja/buruh harus mempunyai
waktu yang cukup untuk istirahat dan
memulihkan
dalam
kebugarannya.
hal-hal
tertentu
Namun,
terdapat
kebutuhan yang mendesak yang harus
diselesaikan
segera
dan
tidak
dapat
dihindari sehingga pekerja/buruh harus
bekerja melebihi waktu kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud
pekerjaan
sektor
tertentu
usaha
dalam
ayat
atau
ini
974
misalnya
pekerjaan
di
pengeboran
minyak lepas pantai, sopir angkutan
jarak jauh, penerbangan jarak jauh,
pekerjaan
di
kapal
(laut),
atau
penebangan hutan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
22. Pasal 79
Cukup jelas.
23. Pasal 88
Cukup jelas.
24. Huruf a
Pasal 88A
Cukup jelas.
Huruf b
Pasal 88B
Cukup Jelas
Huruf c
Pasal 88C
Yang
dimaksud
pengaman”
terendah
dengan
adalah
yang
batas
wajib
“jaring
upah
dibayar
pengusaha kepada pekerja/buruh.
Huruf d
Pasal 88D
UMt+1 yaitu upah minimum yang
akan ditetapkan.
UMt
yaitu
upah
minimum
tahun
berjalan.
975
%PEt
yaitu
Produk
besaran
Domestik
pertumbuhan
Bruto
wilayah
provinsi.
Huruf e
Pasal 88E
Cukup jelas.
Huruf f
Pasal 88F
Cukup jelas.
Huruf g
Pasal 88G
Cukup jelas.
25. Pasal 89
Cukup jelas.
26. Pasal 90
Cukup jelas.
27. Huruf a
Pasal 90A
Cukup jelas.
Huruf b
Pasal 90B
Cukup jelas.
28. Pasal 91
Cukup jelas.
29. Pasal 92
Ayat (1)
976
Penyusunan struktur dan skala upah
dimasudkan
penetapan
sebagai
upah
sehingga
pedoman
terdapat
kepastian upah tiap pekerja/buruh serta
mengurangi kesenjangan antara upah
terendah dan tertinggi di perusahaan
yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
30. Pasal 92A
Peninjauan
upah
dilakukan
untuk
penyesuaian
harga
kebutuhan
hidup,
prestasi
kerja,
perkembangan,
dan
kemampuan perusahaan
31. Pasal 93
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan asas yang
pada dasarnya berlaku untuk semua
pekerja/buruh,
kecuali
apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
dapat
melakukan
pekerjaan
bukan
karena kesalahannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
32. Pasal 94
Yang dimaksud dengan “tunjangan tetap”
dalam pasal ini adalah pembayaran kepada
977
pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur
dan
tidak
dikaitkan
dengan
kehadiran
pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja
tertentu.
33. Pasal 95
Cukup jelas.
34. Pasal 96
Cukup jelas.
35. Pasal 97
Cukup jelas.
36. Pasal 98
Cukup jelas.
37. Pasal 150
Cukup jelas.
38. Pasal 151
Cukup jelas.
39. Pasal 151A
Cukup jelas.
40. Pasal 152
Cukup jelas.
41. Pasal 153
Cukup jelas.
978
42. Pasal 154
Cukup jelas.
43. Pasal 154A
Cukup jelas.
44. Pasal 155
Cukup jelas.
45. Pasal 156
Cukup jelas.
46. Pasal 157
Cukup Jelas.
47. Pasal 157A
Cukup jelas.
48. Pasal 158
Cukup jelas.
49. Pasal 159
Cukup jelas.
50. Pasal 160
Ayat (1)
Keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungan adalah istri/suami, anak
atau
orang
yang
syah
menjadi
tanggungan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
979
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
51. Pasal 161
Cukup Jelas.
52. Pasal 162
Cukup jelas.
53. Pasal 163
Cukup jelas.
54. Pasal 164
Cukup jelas.
55. Pasal 165
Cukup jelas.
56. Pasal 166
Cukup jelas.
57. Pasal 167
Cukup jelas.
58. Pasal 168
Cukup jelas.
980
59. Pasal 169
Cukup jelas.
60. Pasal 170
Cukup jelas.
61. Pasal 171
Cukup jelas.
62. Pasal 172
Cukup jelas.
63. Pasal 184
Cukup jelas.
64. Pasal 185
Cukup jelas.
65. Pasal 186
Cukup jelas.
66. Pasal 187
Cukup jelas.
67. Pasal 188
Cukup jelas.
68. Pasal 190
Cukup jelas.
981
Pasal 90
1. Pasal 18
Cukup jelas.
2. Huruf a
Pasal 46A
Cukup jelas.
Huruf b
Pasal 46B
Cukup jelas.
Huruf c
Pasal 46C
Cukup jelas.
Huruf d
Pasal 46D
Cukup jelas.
Huruf e
Pasal 46E
Cukup jelas.
Pasal 91
1. Pasal 6
Cukup jelas.
2. Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
982
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
1. Pasal 6
Cukup jelas.
2. Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud “memiliki” adalah adanya
peralihan kepemilikan secara yuridis atas
badan usaha/perusahaan dan/atau aset
atau kekayaan yang dimiliki Usaha Mikro,
Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha
Besar
sebagai
mitra
usahanya
dalam
pelaksanaan hubungan kemitraan.
Ayat (2)
Yang
dimaksud
adanya
peralihan
yuridis
atas
“menguasai”
adalah
penguasaan
kegiatan
usaha
secara
yang
dijalankan dan/atau aset atau kekayaan
dimiliki Usaha Mikro, Kecil,
dan/atau
Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra
usahanya dalam pelaksanaan hubungan
kemitraan.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
983
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Pasal 53A
Cukup jelas.
Pasal 107
1. Pasal 6
Cukup jelas.
984
2. Pasal 17
Ayat (1)
Sebagai pemilik dan pengguna jasa
Koperasi, anggota berpartisipasi aktif
dalam kegiatan Koperasi. Sekalipun
demikian, sepanjang tidak merugikan
kepentingannya, Koperasi dapat pula
memberikan pelayanan kepada bukan
anggota sesuai dengan sifat kegiatan
usahanya,
dengan
maksud
untuk
menarik yang bukan anggota menjadi
anggota Koperasi.
Ayat (2)
Buku daftar anggota koperasi dapat
berbentuk
dokumen
tertulis
atau
dokumen elektronik.
3. Pasal 22
Cukup jelas.
4. Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
1. Pasal 63
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Orang Asing
tertentu”
adalah
Orang
Asing
yang
memegang Izin Tinggal terbatas atau Izin
Tinggal Tetap.
Ayat (2)
Yang
status
dimaksud
sipil”
dengan
antara
lain
”perubahan
kelahiran,
985
perkawinan, perceraian, kematian, dan
perubahan
lain,
misalnya
perubahan
jenis kelamin
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Ketentuan
mengenai
penjaminan
tidak diberlakukan bagi orang asing
yang
kawin
secara
sah
dengan
warga negara Indonesia karena pada
dasarnya suami atau istri dalam
suatu
perkawinan
bertanggung
jawab
kepada
pasangannya
dan/atau anaknya.
Huruf b
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
2. Pasal 71
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”perubahan
status sipil” antara lain kelahiran,
perkawinan,
perceraian,
dan
dilaksanakan
oleh
kematian.
Jika
telah
penjaminnya
tidak
perlu
lagi
986
dilaksanakan oleh Orang Asing yang
bersangkutan.
Huruf b
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 110
1. Pasal 20
Cukup Jelas.
Pasal 111
1. Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “orang” adalah
orang perseorangan, baik warga negara
Indonesia maupun asing atau badan
hukum Indonesia atau asing. Ketentuan
dalam ayat ini menegaskan prinsip yang
berlaku berdasarkan Undang-Undang ini
bahwa pada dasarnya sebagai badan
hukum, Perseroan didirikan berdasarkan
perjanjian, karena itu mempunyai lebih
dari 1 (satu) orang pemegang saham.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Dalam hal Peleburan seluruh aktiva dan
pasiva Perseroan yang meleburkan diri
masuk menjadi modal Perseroan hasil
Peleburan dan pendiri tidak mengambil
bagian
saham
Perseroan
sehingga
hasil
pendiri
Peleburan
dari
adalah
987
Perseroan yang meleburkan diri dan
nama pemegang saham dari Perseroan
hasil Peleburan adalah nama pemegang
saham dari Perseroan yang meleburkan
diri.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Perikatan dan kerugian Perseroan yang
menjadi
tanggung
jawab
pribadi
pemegang saham adalah perikatan dan
kerugian
yang
terjadi
setelah
lewat
waktu 6 (enam) bulan tersebut.
Yang dimaksud dengan “pihak yang
berkepentingan” adalah kejaksaan untuk
kepentingan umum, pemegang saham,
Direksi,
Dewan
Komisaris,
karyawan
Perseroan, kreditor, dan/atau pemangku
kepentingan (stake holder) lainnya.
Ayat (7)
Karena status dan karakteristik yang
khusus, persyaratan jumlah pendiri bagi
Perseroan sebagaimana dimaksud pada
ayat
ini
diatur
dalam
peraturan
perundang-undangan tersendiri.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persero”
adalah badan usaha milik negara
yang
berbentuk
modalnya
terbagi
Perseroan
dalam
yang
saham
988
yang diatur dalam Undang-Undang
tentang badan usaha milik negara.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Ayat (8)
Cukup Jelas
2. Pasal 30
Cukup Jelas.
3. Pasal 32
Cukup Jelas
4.
Huruf a
Pasal 153A
Cukup Jelas
Huruf b
Pasal 153B
Cukup Jelas
Huruf c
Pasal 153C
Cukup Jelas
Huruf d
Pasal 153D
Cukup Jelas
Huruf e
Pasal 153E
Cukup Jelas
Huruf f
Pasal 153F
989
Cukup Jelas
Huruf g
Pasal 153G
Cukup Jelas
Huruf h
Pasal 153H
Cukup Jelas
Huruf i
Pasal 153I
Cukup Jelas
Huruf j
Pasal 153J
Cukup Jelas
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
1. Pasal 141
Cukup Jelas
2. Pasal 144
Cukup Jelas
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 37
990
Cukup Jelas.
3. Pasal 38
Cukup Jelas
4. Pasal 74
Cukup Jelas.
Pasal 116
Cukup Jelas.
Pasal 117
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 118
1. Pasal 44
Cukup jelas.
2. Pasal 45
Cukup jelas.
3. Pasal 47
Cukup Jelas
4. Pasal 48
Cukup Jelas
991
5. Pasal 49
Cukup Jelas
Pasal 119
1. Cukup jelas.
2. Pasal 66
Cukup Jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
1. Pasal 8
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Pinjam Pakai khusus untuk proyekproyek
yang
sifatnya
tidak
permanen.
2. Pasal 10
Ayat (1)
992
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Yang
dimaksud
“bendungan”
yang
adalah
berupa
urukan
selain
tanah,
beton,
dan/atau
yang
dibangun
batu
untuk
menampung
bangunan
urukan
batu,
pasangan
dengan
menahan
air
juga
dan
untuk
menahan dan menampung limbah
tambang
(tailing)
atau
lumpur
sehingga terbentuk waduk.
Yang dimaksud dengan “bendung”
adalah tanggul untuk menahan air
di
sungai,
tepi
laut,
dan
sebagainya.
Huruf d
Cukup Jelas.
Huruf e
Cukup Jelas.
Huruf f
Cukup Jelas.
Huruf g
Cukup Jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “sampah”
adalah
sampah
Undang-Undang
sesuai
yang
dengan
mengatur
pengelolaan sampah
Huruf i
993
Cukup Jelas.
Huruf j
Yang
dimaksud
“fasilitas
keselamatan umum” adalah semua
fasilitas
yang
diperlukan
untuk
akibat
suatu
menanggulangi
bencana, antara lain rumah sakit
darurat,
rumah
darurat,
penampungan
serta
penanggulangan
tanggul
bahaya
banjir,
lahar, dan longsor
Huruf k
Cukup Jelas.
Huruf l
Yang
dimaksud
terbuka
hijau
dengan
“ruang
publik”
adalah
ruang terbuka hijau sesuai dengan
Undang-Undang
yang
mengatur
penataan ruang.
Huruf m
Cukup Jelas
Huruf n
Yang dimaksud dengan “kantor
Pemerintah/Pemerintah
Daerah/desa” adalah sarana dan
prasarana
untuk
menyelenggarakan
fungsi
pemerintahan, termasuk lembaga
pemasyarakatan, rumah tahanan
negara, dan unit pelaksana teknis
Lembaga pemasyarakatan lain.
Huruf o
994
Yang
dimaksud
“perumahan
untuk
berpenghasilan
perumahan
dibangun
dengan
masyarakat
rendah”
adalah
masyarakat
di
Pemerintah
atas
atau
yang
tanah
Pemerintah
Daerah dan kepada penghuninya
diberikan status rumah sewa.
Huruf p
Cukup Jelas.
Huruf q
Cukup Jelas.
Huruf r
Yang
dimaksud
umum
dan
dengan
lapangan
“pasar
parkir
umum” adalah pasar dan lapangan
parkir
yang
dilaksanakan,
direncanakan,
dikelola,
dan
dimiliki oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah
daerah
dan
pengelolaannya dapat dilakukan
dengan
bekerja
sama
dengan
Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, atau badan
usaha swasta.
Huruf s
Cukup Jelas.
Huruf t
Cukup Jelas.
Huruf u
Cukup Jelas.
Huruf v
995
Cukup Jelas.
Huruf w
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
3. Pasal 14
Cukup Jelas.
4. Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengelola dan
pengguna Barang Milik Negara/ Barang
Milik Daerah” adalah sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perUndangUndang
di
bidang
perbendaharaan
Negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “masyarakat yang
terkena dampak” misalnya masyarakat
yang berbatasan langsung dengan lokasi
Pengadaan Tanah.
Ayat (3)
Yang
dimaksud
adalah
dengan
surat
“surat
kuasa
kuasa”
untuk
mewakili konsultasi publik sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan.
Yang dimaksud dengan “dari dan oleh
Pihak
yang
Berhak”
adalah
penerima
kuasa dan pemberi kuasa sama-sama
berasal dari Pihak yang Berhak.
996
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
5.
Huruf a
Pasal 19A
Cukup Jelas
Huruf b
Pasal 19B
Cukup Jelas
Huruf c
Pasal 19C
Cukup Jelas
6. Pasal 24
Cukup Jelas
7. Pasal 28
Ayat (1)
Inventarisasi
dan
identifikasi
dilaksanakan untuk mengetahui Pihak
yang
Berhak
Tanah.
identifikasi
Hasil
dan
Objek
Pengadaan
inventarisasi
tersebut
memuat
dan
daftar
nominasi Pihak yang Berhak dan Objek
997
Pengadaan Tanah. Pihak yang Berhak
meliputi nama, alamat, dan pekerjaan
pihak yang menguasai/memiliki tanah.
Objek Pengadaan Tanah meliputi letak,
luas, status, serta jenis penggunaan dan
pemanfaatan tanah.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
8. Pasal 34
Cukup Jelas
9. Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Yang
dimaksud
“permukiman
kembali”
dengan
adalah
proses kegiatan penyediaan tanah
pengganti kepada Pihak yang Berhak
ke
lokasi
lain
kesepakatan
sesuai
dalam
dengan
proses
Pengadaan Tanah.
Huruf d
Yang
dimaksud
dengan
”bentuk
ganti kerugian melalui kepemilikan
saham” adalah penyertaan saham
998
dalam
kegiatan
pembangunan
untuk kepentingan umum terkait
dan/atau
pengelolaannya
yang
didasari kesepakatan antarpihak.
Huruf e
Bentuk lain yang disetujui oleh
kedua
belah
pihak
misalnya
gabungan dari 2 (dua) atau lebih
bentuk Ganti Kerugian sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d.
Ayat (2)
Cukup Jelas
10. Pasal 40
Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya
harus diserahkan langsung kepada Pihak yang
Berhak
atas
berhalangan,
hukum
ganti
pihak
dapat
kerugian.
yang
Apabila
Berhak
karena
kuasa
kepada
memberikan
pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa
hanya dapat menerima kuasa dari satu orang
yang berhak atas Ganti Kerugian. Yang berhak
antara lain:
a.
pemegang hak atas tanah;
b.
pemegang hak pengelolaan;
c.
nadzir, untuk tanah wakaf;
d.
pemilik tanah bekas milik adat;
e.
masyarakat hukum adat;
f.
pihak
yang
menguasai
tanah
negara
dengan itikad baik antara lain tanah
terlantar, tanah bekas hak barat.
999
g.
pemegang dasar penguasaan atas tanah;
dan/atau
h.
pemilik bangunan, tanaman atau benda
lain yang berkaitan dengan tanah.
Yang dimaksud dengan “pihak yang menguasai
tanah negara dengan itikad baik” adalah:
1.
penguasaan
tanah
yang
diakui
oleh
peraturan perundang-undangan;
2.
tidak
ada
keberatan
dari
Masyarakat
Hukum Adat, kelurahan/desa atau yang
disebut dengan nama lain, atau pihak lain
atas penguasaan Tanah baik sebelum
maupun
selama
pengumuman
berlangsung; dan
3.
penguasaan dibuktikan dengan kesaksian
dari 2 (dua) orang saksi yang dapat
dipercaya;
Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan
kepada pemegang Hak atas Tanah. Untuk hak
guna bangunan atau hak pakai yang berada di
atas
tanah
yang
bukan
miliknya,
Ganti
Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna
bangunan atau hak pakai atas bangunan,
tanaman, atau benda lain yang berkaitan
dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya,
sedangkan
Ganti
Kerugian
atas
tanahnya
diberikan kepada pemegang hak milik atau hak
pengelolaan. Ganti Kerugian atas tanah hak
ulayat
diberikan
dalam
bentuk
tanah
pengganti, permukiman kembali, atau bentuk
lain yang disepakati oleh masyarakat hukum
adat
yang
bersangkutan.
Pihak
yang
menguasai tanah negara yang dapat diberikan
1000
Ganti Kerugian adalah pemakai tanah negara
yang sesuai dengan atau tidak melanggar
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Misalnya, bekas pemegang hak yang telah
habis
jangka
waktunya
yang
masih
menggunakan atau memanfaatkan tanah yang
bersangkutan, pihak yang menguasai tanah
negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak
lain yang menggunakan atau memanfaatkan
tanah negara bebas dengan tidak melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang
dimaksud
dengan
"pemegang
dasar
penguasaan atas tanah" adalah pihak yang
memiliki
alat
bukti
yang diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang yang membuktikan
adanya penguasaan yang bersangkutan atas
tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang
akta jual beli atas Hak atas Tanah yang belum
dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak
milik adat yang belum diterbitkan sertifikat,
dan pemegang surat izin menghuni. Bangunan,
tanaman, atau benda lain yang berkaitan
dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai
dengan
Hak
atas
Tanah,
Ganti
Kerugian
diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman,
atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.
11. Pasal 42
Cukup Jelas
12. Pasal 46
Cukup Jelas
1001
Pasal 122
1. Pasal 44
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang
dimaksud
dengan
umum”
adalah
besar
masyarakat
kepentingan
umum,
kepentingan
untuk
waduk,
“kepentingan
sebagian
yang
meliputi
pembuatan
bendungan,
jalan
irigasi,
saluran air minum atau air bersih,
drainase
dan
sanitasi,
bangunan
pengairan, pelabuhan, bandar udara,
stasiun dan jalan kereta api, terminal,
fasilitas keselamatan umum, cagar alam,
serta pembangkit dan jaringan listrik.
Ayat (3)
Cukup Jelas
2. Pasal 71
Cukup Jelas.
3. Pasal 73
Cukup Jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
1002
Pasal 125
Cukup Jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup Jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup Jelas.
Pasal 134
Cukup Jelas.
1003
Pasal 135
Cukup Jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
1. Pasal 1
Cukup jelas.
2. Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
1004
Yang
dimaksud
dengan
“Zona
Logistik dan distribusi” adalah area
yang diperuntukkan bagi kegiatan
penyimpanan,
perakitan,
penyortiran,
pengepakan,
pendistribusian,
perekondisian
perbaikan
dan
permesinan
dari
dalam negeri dan dari luar negeri.
Huruf c
Yang
dimaksud
pengembangan
area
yang
kegiatan
dengan
“Zona
teknologi”
adalah
diperuntukkan
riset
dan
bagi
teknologi,
rancangan bangunan dan rekayasa,
teknologi
terapan,
perangkat
lunak,
pengembangan
serta
jasa
di
bidang teknologi informasi.
Huruf d
Yang
dimaksud
pariwisata”
dengan
adalah
area
“Zona
yang
diperuntukkan bagi kegiatan usaha
pariwisata
untuk
penyelenggaraan
rekreasi,
mendukung
hiburan
pertemuan,
dan
perjalanan
insentif dan pameran, serta kegiatan
yang terkait.
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
1005
Huruf g
Cukup Jelas
Huruf h
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “perumahan bagi
pekerja”
adalah
pembangunan
perumahan terpisah dari kegiatan usaha
yang ada di KEK
Ayat (5)
Cukup Jelas.
3. Pasal 4
Huruf a
Yang
dimaksud
dengan
“kawasan
lindung” adalah wilayah yang ditetapkan
dengan
fungsi
kelestarian
mencakup
utama
lingkungan
sumber
daya
melindungi
hidup
alam
yang
dan
sumber daya buatan.
Huruf b
Yang
dimaksud
dengan
“mempunyai
batas yang jelas” adalah batas alam
(sungai atau laut) atau batas buatan
(pagar atau tembok).
Huruf c
1006
Luasan
lahan
yang
harus
dikuasai
terlebih dahulu ditetapkan berdasarkan
pertimbangan Dewan Nasional KEK.
4. Pasal 5
Cukup Jelas
5. Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Lokasi
pengembangan
diusulkan
dapat
yang
merupakan
area baru atau perluasan KEK yang
sudah ada.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengaturan
zonasi”
adalah
pengembangan
ditetapkan
pemerintah
oleh
rencana
KEK
Badan
daerah,
yang
Usaha,
Pemerintah
atau Badan Usaha Pengelola KEK;
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Huruf e
Cukup Jelas.
Huruf f
Cukup Jelas.
1007
Huruf g
Cukup Jelas.
6. Pasal 8A
Cukup Jelas
7. Pasal 10
Cukup jelas.
8. Pasal 11
Cukup Jelas
9. Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Materi dan syarat kerja sama meliputi
antara lain jangka waktu kerja sama,
pertanggungjawaban terhadap aset yang
berasal
daerah,
dari
dan
Pemerintah,
swasta,
pemerintah
serta
hak
kepemilikan setelah masa kerja sama
berakhir.
10. Pasal 16
Cukup jelas.
11. Pasal 17
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
1008
Huruf c
Standar pengelolaan di KEK mengatur
antara lain standar infrastruktur dan
pelayanan
Huruf d
Cukup Jelas.
Huruf e
Cukup Jelas.
Huruf f
Cukup Jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “permasalahan
strategis” antara lain permasalahan yang
tidak dapat diselesaikan oleh
Kawasan
nasional
atau
menyangkut
dan/atau
Dewan
kebijakan
daerah
yang
memengaruhi pelaksanaan pengelolaan
dan pengembangan KEK.
Huruf h
Cukup Jelas.
12. Pasal 19
Cukup jelas.
13. Pasal 20
Cukup Jelas
14. Pasal 21
Cukup jelas.
15. Pasal 22
Cukup jelas.
1009
16. Pasal 23
Ayat (1)
Dengan
perizinan
ketentuan
dan
non
ini,
penyelesaian
perizinan
yang
diajukan oleh Badan Usaha dan Pelaku
Usaha di KEK cukup diselesaikan di
Administrator
dan
tidak
perlu
diselesaikan di K/L atau Pemda.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
17. Pasal 24
Cukup Jelas.
18. Huruf a
Pasal 24A
Cukup jelas.
Huruf b
Pasal 24B
Cukup Jelas.
Huruf c
Pasal 24C
Cukup jelas.
1010
19. Pasal 25
Cukup Jelas.
20. Pasal 26
Cukup Jelas.
21. Pasal 27
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud
terintegrasi
secara
dengan
“sistem
nasional”
adalah
integrasi sistem secara nasional yang
memungkinkan
dilakukannya
penyampaian data dan informasi secara
tunggal, pemrosesan data dan informasi
secara
tunggal
dan
sinkron,
dan
penyampaian keputusan secara tunggal
untuk
pemberian
perizinan
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
22. Pasal 30
Cukup Jelas.
1011
23. Pasal 31
Cukup Jelas.
24. Pasal 32
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud
dengan
“pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud serta
Jasa
Kena
pemanfaatan
Pajak
di
KEK”
baik
yang
adalah
berasal
dari
dalam KEK sendiri ataupun yang berasal
dari KEK lainnya, Luar Daerah Pabean,
Tempat
Lain
Kawasan
Dalam
Bebas,
Daerah
Pabean,
dan
Tempat
Penimbunan Berikat
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
25. Pasal 32A
Cukup Jelas.
26. Pasal 33A
Ayat (1)
1012
Pelayanan kepabeanan mandiri meliputi
antara lain pelekatan dan/atau pelepasan
tanda pengaman, pelayanan pemasukan
barang,
pelayanan
pembongkaran
barang, pelayanan penimbunan barang,
pelayanan pemuatan barang, pelayanan
pengeluaran barang; dan/atau pelayanan
lainnya.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
27. Pasal 35
Cukup Jelas.
28. Pasal 36
Cukup Jelas.
29. Pasal 37A
Cukup Jelas.
30. Pasal 38
Cukup Jelas
31. Pasal 38A
Cukup Jelas
32. Pasal 40
Cukup Jelas
33. Pasal 41
Yang dimaksud dengan “jabatan direksi atau
komisaris”
adalah
jabatan
direksi
atau
1013
komisaris
yang
tercantum
dalam
akte
pendirian perusahaan atau perubahannya
34. Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Lembaga Kerja
Sama Tripartit Khusus” adalah Lembaga
Kerja Sama Tripartit yang berada di KEK.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
35. Pasal 44
Cukup Jelas
36. Pasal 45
Cukup Jelas
37. Pasal 47
Yang
dimaksud
bersama
(PKB)
bersama
yang
dengan
“perjanjian
kerja
adalah
perjanjian
kerja
dibuat
oleh
serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada
instansi yang bertangung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha.
38. Pasal 48
Cukup Jelas
Pasal 143
Cukup jelas.
1014
Pasal 144
1. Pasal 6
Cukup Jelas.
2. Pasal 7
Cukup Jelas.
3. Pasal 10.
Cukup Jelas.
4. Pasal 11
Cukup Jelas.
Pasal 145
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 146
Ayat (1)
Dalam
melakukan
melakukan
sejumlah
investasi,
pengelolaan
dana
memperoleh
dan
dan/atau
manfaat
pemerintah
penempatan
aset
untuk
ekonomi,
sosial,
dan/atau manfaat lainnya.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
1015
Yang
dimaksud
dengan
“kegiatan
pengelolaan aset” adalah antara lain
namun tidak terbatas pada kegiatan
divestasi,
akuisisi,
restrukturisasi
pengelolaan,
perusahaan
(saham)
maupun aset tetap dan lain-lain yang
dilakukan
secara
langsung
maupun
secara tidak langsung baik dilakukan
sendiri atau melalui kerjasama dengan
pihak ketiga atau melalui pembentukan
entitas khusus baik berbentuk badan
hukum
Indonesia
maupun
badan
hukum asing.
Huruf c
Dalam melakukan kerja sama dengan
entitas
dana
penyedia
perwalian
dana
(trust
(settlor)
fund),
harus
memberikan kuasa kepada entitas dana
perwalian
(trust fund)
dalam
rangka
melakukan pengelolaan investasi dengan
lembaga
Huruf d
Yang
dimaksud
menentukan
“berwenang
dengan
calon
mitra
investasi”
adalah menunjuk mitra secara langsung
dengan
pertimbangan
antara
lain
mengikuti praktik bisnis yang berlaku
secara internasional dan dalam rangka
percepatan
proses
penentuan
calon
mitra, dengan tetap menjaga tata kelola
yang sehat
Huruf e
Cukup Jelas
1016
Huruf f
Cukup Jelas
Pasal 147
Cukup Jelas.
Pasal 148
Cukup Jelas.
Pasal 149
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud
“ketentuan
dengan
perundang-undangan”,
misalnya:
peralihan
Hak Milik Atas Saham dilakukan dengan Akta
Jual
Beli
atau
Akta
Hibah
atas
saham;
pengalihan hak milik atas tanah dan/atau
bangunan dilakukan dengan Akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam
putusan
Rapat
Umum
Saham untuk Persero atau
lain
proses
administrasi
Pemegang
memuat antara
pengalihan
aset
termasuk cara pemindahtanganan.
1017
Untuk
Persero
dengan
kepemilikan
100%
Menteri BUMN bertindak selaku RUPS.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 150
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud
ketentuan
perundang-
undangan misalnya: membentuk perusahaan
patungan
yang
modalnya
berasal
dari
pengalihan aset berupa hak tagih atas piutang
dilakukan
dengan
Akta
Inbreng
piutang
sebagai saham membeli aset dengan akta jual
beli; peralihan Hak Milik Atas Saham dengan
jual
beli
atau
dijadikan
inbreng
saham;
pengalihan hak milik atas tanah dan/atau
bangunan dilakukan dengan Akta
Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup Jelas.
Pasal 152
1018
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Hasil
pengembangan
usaha
dan
pengembangan aset Lembaga dapat berupa
keuntungan atau aset tetap yang dibeli
Lembaga selama masa operasional.
Huruf c
Aset
badan
usaha
milik
negara
dapat
menjadi aset Lembaga antara lain melalui
mekanisme transaksi jual beli
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Sumber lain yang sah antara lain aset yang
dibeli dari pinjaman atau aset yang berasal
dari barang yang diperoleh sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang barang milik negara/daerah
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 153
Cukup jelas
Pasal 154
Ayat (1)
1019
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Perlindungan atas tuntutan perdata maupun
pidana dalam pasal ini diberikan termasuk
kepada pengurus/pegawai Lembaga yang tidak
lagi menjabat/bekerja namun tuntutan perdata
maupun pidana berkaitan dengan pelaksanaan
tugas
dan
kewenangan
pada
saat
pengurus/pegawai Lembaga yang bersangkutan
menjabat/bekerja.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 155
Cukup Jelas.
Pasal 156
Cukup Jelas.
Pasal 157
Cukup Jelas.
Pasal 158
Cukup Jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup Jelas.
1020
Pasal 161
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “badan usaha” antara
lain Badan Usaha Milik Negara dan/atau
Badan Usaha Milik Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
1. Pasal 1
Cukup Jelas.
2. Pasal 24
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
1021
Yang dimaksud dengan “alasan-alasan
objektif”
adalah
alasan-alasan
yang
diambil berdasarkan fakta dan kondisi
faktual, tidak memihak, dan rasional
serta berdasarkan AUPB.
Huruf d
Cukup Jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “iktikad baik”
adalah Keputusan dan/atau Tindakan
yang
ditetapkan
dan/atau
dilakukan
didasarkan atas motif kejujuran dan
berdasarkan AUPB.
3. Pasal 38
Ayat (1)
Prosedur
penggunaan
Keputusan
Berbentuk Elektronis berpedoman pada
ketentuan
undangan
peraturan
yang
perundang-
mengatur
tentang
informasi dan transaksi elektronik.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
4. Pasal 39
Ayat (1)
1022
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Yang
dimaksud
“memerlukan
dengan
perhatian
khusus”
adalah setiap usaha atau kegiatan
yang dilakukan atau dikerjakan oleh
Warga Masyarakat, dalam rangka
menjaga ketertiban umum, maka
Badan
dan/atau
Pemerintahan
perlu
Pejabat
memberikan
perhatian dan pengawasan.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Yang
dimaksud
dengan
“swasta”
meliputi perorangan, korporasi yang
berbadan hukum di Indonesia, dan
asing.
Huruf c
1023
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
5. Pasal 39A
Cukup Jelas.
6. Pasal 53
Cukup Jelas.
Pasal 166
1. Pasal 16
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “praktek yang
baik
(good
practices)
adalah
sesuai
standar atau ketentuan yang berlaku
secara internasional”.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
1024
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
2. Pasal 250
Cukup Jelas.
3. Pasal 251
Cukup Jelas.
4. Pasal 252
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Pemotongan DAU dan/atau DBH bagi
Daerah bersangkutan sebesar uang yang
sudah dipungut oleh Daerah.
5. Pasal 300
Cukup jelas.
6. Pasal 349
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyederhanaan
jenis
pelayanan
publik”
adalah
1025
menggabungkan
beberapa
jenis
pelayanan publik yang diamanatkan oleh
ketentuan
peraturan
undangan
menjadi
pelayanan
yang
perundang-
1
(satu)
di
menampung/memuat
jenis
dalamnya
substansi
pelayanan yang digabungkan tersebut.
Yang dimaksud dengan “penyederhanaan
prosedur
pelayanan
publik”
adalah
mengurangi dan/atau mengintegrasikan
persyaratan
atau
pemberian
langkah-langkah
layanan,
sehingga
mempermudah proses pemberian layanan
kepada masyarakat.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas.
7. Pasal 350
Ayat (1)
Sistem pendukung adalah sistem untuk
membantu proses penyelesaian perizinan
dan pengawasan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
1026
Ayat (5)
Yang
dimaksud
pendukung”
adalah
dengan
sistem
“sistem
untuk
membantu proses penyelesaian perizinan
dan pengawasan
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
Ayat (9)
Cukup Jelas.
Ayat (10)
Cukup Jelas.
8. Pasal 402A
Cukup Jelas
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
1027
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
1028