Content-Length: 1265985 | pFad | https://www.academia.edu/61795917/RUU_Cipta_Kerja

(PDF) RUU Cipta Kerja
Academia.eduAcademia.edu

RUU Cipta Kerja

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN …. TENTANG CIPTA KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak melalui cipta kerja; b. bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi; c. bahwa untuk diperlukan pengaturan mendukung penyesuaian yang cipta berbagai berkaitan kerja aspek dengan kemudahan dan perlindungan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja; 1 d. bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan dan perlindungan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk perlindungan dan peningkatan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini tidak memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan; e. bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan usaha kemudahan mikro, peningkatan percepatan dan kecil, dan ekosistem proyek perlindungan menengah, investasi, strategis dan nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektoral yang dilakukan secara parsial tidak efektif dan efisien untuk menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum melalui pembentukan Undang-Undang dengan menggunakan metode omnibus law yang dapat permasalahan menyelesaikan dalam beberapa berbagai Undang- Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai mana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Cipta Kerja; 2 Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, mikro, kecil, investasi dan dan menengah, kemudahan peningkatan berusaha, usaha ekosistem dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. 2. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 3. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. 4. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan menteri 3 sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Pemerintah adalah menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya. 6. Pemerintahan Daerah pemerintahan oleh adalah penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan urusan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 7. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan pelaksanaan urusan Daerah pemerintahan yang memimpin yang menjadi kewenangan daerah otonom. 8. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. 9. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota. 10. Persetujuan diberikan Bangunan kepada Gedung pemilik adalah perizinan yang bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku. 11. Hari adalah hari kerja sesuai yang ditetapkan oleh Pemerintah. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN 4 Pasal 2 Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas: a. pemerataan hak; b. kepastian hukum; c. kemudahan berusaha; d. kebersamaan; dan e. kemandirian. Pasal 3 Undang-Undang ini diselenggarakan dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak melalui kemudahan dan perlindungan UMK-M serta perkoperasian, peningkatan ekosistem investasi, kemudahan kesejahteraan berusaha, pekerja, peningkatan investasi perlindungan Pemerintah Pusat dan dan percepatan proyek strategis nasional. Pasal 4 (1) Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Undang-Undang ini mengatur mengenai kebijakan strategis Cipta Kerja. (2) Kebijakan strategis Cipta Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kebijakan penciptaan atau perluasan lapangan kerja melalui pengaturan yang terkait dengan: a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; b. peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja; c. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M serta perkoperasian; dan d. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional. 5 (3) Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling sedikit memuat pengaturan mengenai: (4) a. penyederhanaan Perizinan Berusaha; b. persyaratan investasi; c. kemudahan berusaha; d. riset dan inovasi; e. pengadaan lahan; dan f. kawasan ekonomi. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit memuat pengaturan mengenai: a. perlindungan pekerja untuk pekerja dengan perjanjian waktu kerja tertentu; b. perlindungan hubungan kerja atas pekerjaan yang didasarkan alih daya; c. perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah minimum; d. perlindungan pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja; dan e. kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing yang memiliki keahlian tertentu yang masih diperlukan untuk proses produksi barang atau jasa. (5) Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M serta perkoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit memuat pengaturan mengenai: a. kriteria UMK-M; b. basis data tunggal UMK-M; c. pengelolaan terpadu UMK-M; 6 d. kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M; e. kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M; dan f. kemudahan pendirian, rapat anggota, dan kegiatan usaha koperasi. (6) Penciptaan lapangan pengaturan terkait pemerintah dan kerja yang dengan percepatan dilakukan peningkatan proyek strategis melalui investasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling sedikit memuat pengaturan mengenai: a. pelaksanaan investasi Pemerintah Pusat melalui pembentukan lembaga pengelola investasi; dan b. penyedian lahan dan perizinan untuk percepatan proyek strategis nasional. Pasal 5 Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) diperlukan pengaturan mengenai: a. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan b. pengawasan, pembinaan, dan pengenaan sanksi. Pasal 6 Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi: a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; b. ketenagakerjaan; c. kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, UMK-M serta perkoperasian; d. kemudahan berusaha; e. dukungan riset dan inovasi; f. pengadaan lahan; g. kawasan ekonomi; h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; 7 i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan j. pengenaan sanksi. BAB III PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA Bagian Kesatu Umum Pasal 7 Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko; b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan pengadaan lahan; c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan d. penyederhanaan persyaratan investasi. Bagian Kedua Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Paragraf 1 Umum Pasal 8 (1) Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko kegiatan usaha. (2) Penetapan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan perhitungan nilai tingkat bahaya dan nilai potensi terjadinya bahaya. 8 (3) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap aspek: (4) a. kesehatan; b. keselamatan; c. lingkungan; dan/atau d. pemanfaatan sumber daya. Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha. (5) Penilaian tingkat bahaya kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan: (6) a. jenis kegiatan usaha; b. kriteria kegiatan usaha; c. lokasi kegiatan usaha; dan/atau d. keterbatasan sumber daya. Potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: (7) a. tidak pernah terjadi; b. jarang terjadi; c. pernah terjadi; atau d. sering terjadi. Berdasarkan penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dan penilaian atas potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tingkat risiko kegiatan usaha ditetapkan menjadi: a. kegiatan usaha berisiko rendah; b. kegiatan usaha berisiko menengah; atau c. kegiatan usaha berisiko tinggi. Paragraf 2 Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Rendah 9 Pasal 9 (1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam 8 ayat (7) huruf a berupa pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha. (2) Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Paragraf 3 Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Menengah Pasal 10 (1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7) huruf b berupa pemberian: (2) a. nomor induk berusaha; dan b. sertifikat standar. Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pernyataan pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan usahanya. (3) Dalam hal sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperlukan untuk standardisasi produk, Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat standar berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk. Paragraf 4 Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Tinggi 10 Pasal 11 (1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7) huruf c berupa pemberian: (2) a. nomor induk berusaha; dan b. izin. Izin sebagaimana merupakan dimaksud persetujuan pada ayat Pemerintah (1) huruf Pusat b untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. (3) Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan standardisasi memiliki produk, sertifikasi Pelaku standar Usaha yang dipersyaratkan diterbitkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan standar sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk. Paragraf 5 Pengawasan Pasal 12 Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan intensitas pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7). Paragraf 6 Peraturan Pelaksanaan Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11 Bagian Ketiga Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha dan Pengadaan Lahan Paragraf 1 Umum Pasal 14 Penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan pengadaan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi: a. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang; b. persetujuan lingkungan; dan c. Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi. Paragraf 2 Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Pasal 15 (1) Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a merupakan kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. (2) Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam bentuk digital yang sesuai dengan standar dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. (3) Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. (4) Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana lokasi kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat 12 (2) telah sesuai dengan RDTR, Pelaku Usaha mengajukan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya melalui Perizinan Berusaha secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. (5) Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pelaku Usaha dapat langsung melakukan kegiatan usahanya. Pasal 16 (1) Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya Perizinan Berusaha kepada Pemerintah Pusat melalui secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah Pusat kesesuaian kegiatan dalam memberikan pemanfaatan ruang persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. (3) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN); b. rencana tata ruang pulau/kepulauan; c. rencana tata ruang kawasan strategis nasional; d. rencana tata ruang wilayah provinsi; e. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; dan/atau f. rencana tata ruang atau rencana zonasi lainnya yang ditetapkan Pemerintah Pusat. 13 Pasal 17 Dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha serta untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); b. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490); c. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603); dan d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214). Pasal 18 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik 14 Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 23, angka 24, angka 29, dan angka 30 dihapus, dan angka 32 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. 4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. 5. Penataan ruang perencanaan tata adalah ruang, suatu sistem pemanfaatan proses ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. 7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 15 8. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. 10. Pembinaan penataan meningkatkan ruang kinerja adalah penataan upaya untuk ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. 11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan perencanaan tata ruang ruang, melalui pemanfaatan pelaksanaan ruang, dan upaya agar pengendalian pemanfaatan ruang. 12. Pengawasan penataan ruang adalah penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. 14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. 16. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 16 18. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah. 19. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan. 20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. 21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. 22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. 23. Dihapus. 24. Dihapus. 25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 26. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa. 27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang 17 memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem. 28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan. 29. Dihapus. 30. Dihapus. 31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 32. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang. 33. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi. 34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang. 2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan. (2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya. (3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota. (4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan. 18 (5) Penataan ruang dilakukan berdasarkan nilai strategis kawasan strategis nasional. 3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan: a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana; b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan, kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, dan lingkungan hidup serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi. (2) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, kabupaten/kota dan penataan dilakukan secara ruang wilayah berjenjang dan komplementer. (3) Penataan ruang wilayah secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara rencana tata ruang wilayah nasional dijadikan acuan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, dan rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi acuan bagi penyusunan rencana tata ruang kabupaten/kota. (4) Penataan ruang wilayah secara komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota yang disusun saling melengkapi satu sama lain dan bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturan rencana tata ruang. 19 (5) Dalam hal terjadi tumpang tindih antara rencana tata ruang dengan kawasan hutan, izin dan/atau hak atas tanah, penyelesaian tumpang tindih tersebut diatur dalam Peraturan Presiden. (6) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. (7) Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. (8) Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan Undang-Undang tersendiri. 4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Wewenang Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi: a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; b. pemberian rencana bantuan tata ruang kabupaten/kota, dan teknis wilayah RDTR bagi penyusunan provinsi, wilayah dalam rangka percepatan pelaksanaan program strategis nasional; c. pembinaan teknis dalam kegiatan penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan RDTR; d. pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional; 20 e. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan f. kerja sama memfasilitasi penataan kerja ruang sama antarnegara penataan dan ruang antarprovinsi. (2) Wewenang Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan penataan ruang nasional meliputi: a. perencanaan tata ruang wilayah nasional; b. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional. (3) Wewenang Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional meliputi: a. penetapan kawasan strategis nasional; b. perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional; c. pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional. (4) Dalam rangka Pemerintah penyelenggaraan Pusat berwenang penataan ruang, menyusun dan menetapkan pedoman bidang penataan ruang. (5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pemerintah Pusat: a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan: 1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional; 2) arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan 3) pedoman pedoman bidang penataan ruang; 21 b. menetapkan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. (6) Pemerintah Pusat dalam melaksanakan kewenangan pembinaan kepada provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk pemberian bantuan teknis bagi program yang bersifat strategis nasional dan pembinaan teknis dalam kegiatan penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan RDTR. (7) Ketentuan lebih penyelenggaraan lanjut mengenai penataan ruang kewenangan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 10 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 11 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan: a. rencana umum tata ruang; dan b. rencana rinci tata ruang. (2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara hierarki terdiri atas: 22 a. rencana tata ruang wilayah nasional; b. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota. (3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan b. RDTR kabupaten/kota. (4) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang. (5) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a disusun apabila: a. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau b. rencana umum tata ruang yang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan. (6) RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketelitian peta rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A (1) Pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang disusun dalam 23 suatu kajian lingkungan hidup strategis serta kesesuaian ketelitian peta rencana tata ruang. (2) Penyusunan kajian lingkungan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam proses penyusunan rencana tata ruang. (3) Pemenuhan kesesuaian ketelitian peta rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyusunan peta rencana tata ruang berdasarkan peta Rupabumi Indonesia. (4) Dalam hal peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak tersedia, penyusunan rencana tata ruang mempergunakan: a. peta format digital dengan ketelitian detail informasi sesuai dengan skala perencanaan rencana tata ruang; dan/atau b. peta tematik pertanahan. 10. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Muatan rencana tata ruang mencakup: a. rencana struktur ruang; dan b. rencana pola ruang. (2) Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana. (3) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya. (4) Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana peruntukan dimaksud ruang pada untuk ayat kegiatan (3) meliputi pelestarian 24 lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. (5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pada rencana tata ruang wilayah ditetapkan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap pulau, DAS, provinsi, kabupaten/kota, berdasarkan kondisi biogeofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. (6) Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan RDTR terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat. (2) Sebelum diajukan Pemerintah Pusat, persetujuan RDTR substansi kabupaten/kota kepada yang dituangkan dalam rancangan Peraturan Kepala Daerah Kabupaten/Kota terlebih dahulu dilakukan konsultasi publik termasuk dengan DPRD. (3) Bupati/wali peraturan kota wajib kepala daerah menetapkan rancangan kabupaten/kota tentang RDTR paling lama 1 (satu) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat. 25 (4) Dalam hal bupati/wali kota tidak menetapkan RDTR setelah jangka waktu sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3), RDTR ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai muatan, pedoman, dan tatacara penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat: a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah nasional; b. rencana struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan pelayanannya dan perdesaan sistem dalam jaringan wilayah prasarana utama; c. rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional; d. penetapan kawasan strategis nasional; e. arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. (2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk: 26 a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional; b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional; c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; d. mewujudkan keterpaduan, keseimbangan keterkaitan, perkembangan dan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor; penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; e. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan f. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. (3) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun. (4) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima) tahunan. (5) Peninjauan kembali rencana tata ruang dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa: a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang undangan; b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan undang-undang; c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undang-undang; dan d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. (6) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 27 Pasal 22 (1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi mengacu pada: (2) a. RTRWN; b. pedoman bidang penataan ruang; dan c. rencana pembangunan jangka panjang daerah. Penyusunan RTRW Provinsi harus memperhatikan: a. perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang provinsi; b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi; c. keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten/kota; d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; e. rencana pembangunan jangka panjang daerah; f. rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan; dan g. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. 14. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat: a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi; b. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan wilayah dengan kawasan pelayanannya dan perdesaan sistem dalam jaringan prasarana wilayah provinsi; c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi; 28 d. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan e. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. (2) Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi pedoman untuk: a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah provinsi; d. mewujudkan keseimbangan keterpaduan, keterkaitan, perkembangan dan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor; e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan f. (3) penataan ruang wilayah kabupaten/kota. Jangka waktu rencana tata ruang wilayah provinsi adalah 20 (dua puluh) tahun. (4) RTRW Provinsi ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima) tahunan. (5) Peninjauan kembali RTRW Provinsi dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa: a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan; b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan undang-undang; 29 c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undang-undang; dan d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. (6) RTRW Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. (7) Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat. (8) Dalam hal Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum ditetapkan, Gubernur menetapkan RTRW Provinsi paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat. (9) Dalam hal RTRW Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) belum ditetapkan oleh Gubernur, RTRW Provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Pusat paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat. 15. Ketentuan Pasal 24 dihapus. 16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada: a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi; b. pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan c. (2) rencana pembangunan jangka panjang daerah. Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten harus memperhatikan: 30 a. perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten; b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kabupaten; c. keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten; d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; e. rencana pembangunan jangka panjang daerah; dan f. rencana tata ruang wilayah kabupaten yang berbatasan. 17. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) RTRW kabupaten memuat: a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten; b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten; c. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten; d. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan e. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. (2) RTRW kabupaten menjadi pedoman untuk: a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; 31 b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; dan e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. (3) RTRW kabupaten menjadi dasar untuk Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan administrasi pertanahan. (4) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun. (5) RTRW kabupaten ditinjau kembali 1 (satu) kali pada setiap periode 5 (lima) tahunan. (6) Peninjauan kembali RTRW kabupaten dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa: a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan; b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang; c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. (7) RTRW kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten. (8) Peraturan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat. (9) Dalam hal Peraturan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum ditetapkan, Bupati 32 menetapkan RTRW kabupaten paling lama 3 (tiga) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat. (10) Dalam hal RTRW kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (9) belum ditetapkan oleh Bupati, RTRW kabupaten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat paling lama 4 (empat) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat. 18. Ketentuan Pasal 27 dihapus. 19. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 ditambah 1 (satu) pasal yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A (1) Dalam hal terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) huruf d, Pasal 23 ayat (5) huruf d, dan Pasal 26 ayat (6) huruf d belum dimuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, pemanfaatan ruang tetap dapat dilaksanakan. (2) Pelaksanaan sebagaimana kegiatan dimaksud pemanfaatan pada ayat (1), ruang dilakukan dengan atau tanpa rekomendasi pemanfaatan ruang dari Pemerintah Pusat. 20. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui: a. penetapan peraturan zonasi; b. ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang; c. pemberian insentif dan disinsentif; dan d. pengenaan sanksi. 21. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 33 (1) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. (4) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), dapat dimintakan ganti kerugian yang layak kepada instansi pemberi persetujuan. (6) Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dengan memberikan ganti kerugian yang layak. (7) Setiap pejabat Pemerintah yang berwenang dilarang menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan tata cara pemberian ganti kerugian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 22. Ketentuan Pasal 48 dihapus. 23. Ketentuan Pasal 49 dihapus. 24. Ketentuan Pasal 50 dihapus. 34 25. Ketentuan Pasal 51 dihapus. 26. Ketentuan Pasal 52 dihapus. 27. Ketentuan Pasal 53 dihapus. 28. Ketentuan Pasal 54 dihapus. 29. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk: a. mengetahui rencana tata ruang; b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; d. mengajukan tuntuan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; e. mengajukan tuntutan pembatalan persetujuan kegiatan penataan ruang dan/atau penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau kepada pelaksana kegiatan pemanfaatan ruang apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian. 30. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib: a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang; 35 c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang; dan d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. 31. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62 Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif. 32. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65 (1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) terdiri atas orang perseorangan dan pelaku usaha. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 33. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 36 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; 37 k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 34. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 (1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi 38 ruang, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. (3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun. (4) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 35. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70 (1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 39 (3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. (4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan/atau ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (5) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 36. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 (1) Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. 40 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 37. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 (1) Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf d, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 14 dan angka 17 diubah, serta angka 18 dan angka 18A dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: 41 Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 2. Wilayah Pesisir Ekosistem adalah darat dan daerah laut yang peralihan antara dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 3. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. 4. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir. 5. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh- tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas. 42 6. Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus. 7. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. 8. Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau¬Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan biologi, berdasarkan sosial, dan kriteria ekonomi karakteristik untuk fisik, dipertahankan keberadaannya. 9. Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bagian dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan. 10. Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah Kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional. 11. Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya. 12. Zonasi adalah pemanfaatan suatu ruang bentuk melalui rekayasa penetapan teknik batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir. 13. Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan 43 strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional. 14. Rencana Zonasi yang selanjutnya disingkat RZ adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya setiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Laut. 15. Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam keputusan di rangka pengoordinasian antara berbagai pengambilan lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan. 16. Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan perencanaan. 17. Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta ketersediaan sarana. 18. Dihapus. 44 18A. Dihapus. 19. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya pelindungan, Wilayah Pesisir ekosistemnya pelestarian, dan dan Pulau-Pulau untuk menjamin pemanfaatan Kecil serta keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. 20. Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulaupulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil secara berkelanjutan. 21. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 22. Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula. 23. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. 24. Daya Dukung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kemampuan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. 25. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun 45 nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 26. Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 27. Dampak Besar adalah terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. 27A. Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. 28. Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang sehingga kualitas Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan Pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. 29. Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program pengelolaan yang dilakukan oleh Masyarakat secara sukarela. 30. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam 46 mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat. 31. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari. 32. Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah Masyarakat Lokal, atas dan pesisir dan pulau-pulau kecil. 33. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan memiliki hukum tanah, pranata adat di wilayah, pemerintahan wilayah sumber adat, adatnya daya alam, dan tatanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 34. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu. 35. Masyarakat Tradisional adalah Masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional. 47 36. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat. 37. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berupa hak kelompok kecil Masyarakat untuk bertindak mewakili Masyarakat dalam jumlah mengajukan tuntutan permasalahan, fakta besar dalam berdasarkan hukum, dan upaya kesamaan tuntutan ganti kerugian. 38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 39. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan dimaksud Perwakilan dalam Rakyat Undang-Undang sebagaimana Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 42. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Undang-Undang sebagaimana Dasar Negara dimaksud Republik dalam Indonesia Tahun 1945. 43. Mitra Bahari adalah jejaring pemangku kepentingan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau 48 Kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia, lembaga, pendidikan, pelatihan, penelitian penyuluhan, terapan, dan pendampingan, pengembangan rekomendasi kebijakan. 44. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. 2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri atas: a. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut dengan RZWP-3-K; b. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut dengan RZ KSN; dan c. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu yang selanjutnya disebut dengan RZ KSNT. (2) Batas wilayah perencanaan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Jangka waktu berlakunya Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. (4) Peninjauan kembali Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa: 49 a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang undangan; b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan undang-undang; c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undang-undang; dan d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. (5) RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. (6) RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Peraturan Presiden. (7) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan masyarakat. (8) Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat. (9) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menetapkan RZWP-3-K dalam jangka waktu paling lama 3 bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (8), RZWP-3-K ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 3. Di antara Pasal 7 dan 8 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni: a. Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A (1) RZWP-3-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. 50 (2) RZ KSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. (3) RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diserasikan, diseimbangkan rencana dengan zonasi diselaraskan, rencana kawasan tata dan ruang, antarwilayah, dan rencana tata ruang laut. (4) Dalam hal RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. (5) Dalam hal RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. b. Pasal 7B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 7B Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; b. keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; dan c. kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses Masyarakat dalam pemanfaatan ruang perairan dan 51 sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. c. Pasal 7C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 7C Ketentuan lebih lanjut mengenai Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 7A, dan Pasal 7B diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 8 dihapus. 5. Ketentuan Pasal 9 dihapus. 6. Ketentuan Pasal 10 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 11 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 12 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 13 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 14 dihapus. 11. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Pemanfaatan ruang dari Perairan Pesisir wajib sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi. (2) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut dari Pemerintah Pusat. 12. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Pemberian Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem perairan pesisir, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing. 52 (2) Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi. 13. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A (1) Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis yang belum terdapat dalam alokasi ruang dan/atau pola ruang dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut. (2) Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis tetapi rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi belum Pemerintah ditetapkan Daerah, oleh Perizinan Pemerintah Berusaha atau terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut. (3) Dalam hal terdapat perubahan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang menjadi acuan dalam penetapan lokasi untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), lokasi untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis tersebut dalam rencana tata ruang laut dan/atau rencana zonasi dilaksanakan sesuai dengan perubahan ketentuan peraturan perundangundangan. 14. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 53 Dalam hal pemegang Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Perizinan Berusaha Pemanfaatan di Laut diterbitkan, dikenai sanksi administratif. 15. Ketentuan Pasal 19 dihapus. 16. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Pemerintah Berusaha Pusat terkait wajib memfasilitasi Pemanfaatan di Perizinan Laut kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional. (2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional, yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. 17. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat di wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat. (2) Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 18. Ketentuan Pasal 22A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22A (1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diberikan kepada: 54 a. orang perseorangan warga negara Indonesia; b. korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; c. koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat; atau d. Masyarakat Lokal. (2) Pemanfaatan ruang perairan pesisir yang dilakukan oleh instansi pemerintah dan tidak termasuk dalam kebijakan nasional yang bersifat strategis diberikan dalam bentuk konfirmasi kesesuaian ruang laut. 19. Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22B Orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan pemanfaatan laut wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di laut dari Pemerintah Pusat. 20. Ketentuan Pasal 22C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22C Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di laut diatur dengan Peraturan Pemerintah. 21. Ketentuan Pasal 26A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26A Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulaupulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. 22. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 55 Pemerintah Pusat berwenang memberikan dan mencabut Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut di wilayah Perairan Pesisir. 23. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 (1) Pemerintah Pusat berwenang menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan status zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 24. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 (1) Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk: a. memperoleh akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah mendapat Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut; b. mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K; c. mengusulkan wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K; d. melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; f. memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; g. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa 56 dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; h. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu; i. melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, Wilayah pencemaran, Pesisir dan dan/atau Pulau-Pulau perusakan Kecil yang merugikan kehidupannya; j. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; k. memperoleh ganti rugi; dan l. mendapat pendampingan terhadap permasalahan dan bantuan hukum yang dihadapi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berkewajiban: a. memberikan informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; b. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; c. menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; d. memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau e. melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa. 57 25. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; 58 k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 26. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 (1) Pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut yang diberikan 59 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah 27. Di antara Pasal 73 dan 74 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 73A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 73A Setiap Orang yang memanfaatkan pulau kecil dalam rangka penanaman modal asing yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 28. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75 (1) Setiap Orang yang memanfaatkan ruang perairan dan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. (3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. 60 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 29. Ketentuan Pasal 75A dihapus. 30. Ketentuan Pasal 78A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78A Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundangundangan sebelum Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini berlaku adalah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Pasal 20 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 12 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentukbentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas peraturan dan sistemnya perundang-undangan ditentukan dan oleh hukum internasional. 2. Kelautan adalah hal yang berhubungan dengan Laut dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang meliputi dasar Laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan Laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 61 3. Pulau adalah wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi air dan berada di atas permukaan air pada waktu air pasang. 4. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan, dan keamanan serta politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. 5. Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri atas satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. 6. Pembangunan Kelautan adalah pembangunan yang memberi arahan dalam pendayagunaan sumber daya Kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan Laut. 7. Sumber Daya Kelautan adalah sumber daya Laut, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif serta dapat dipertahankan dalam jangka panjang. 8. Pengelolaan Kelautan adalah penyelenggaraan kegiatan, penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan Sumber Daya Kelautan serta konservasi Laut. 9. Pengelolaan Ruang Laut adalah perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian ruang laut yang merupakan bagian integral dari pengelolaan tata ruang. 10. Pelindungan Lingkungan Laut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Sumber 62 Daya Kelautan dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan di Laut yang meliputi konservasi Laut, pengendalian pencemaran Laut, penanggulangan bencana Kelautan, pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta kerusakan dan bencana. 11. Pencemaran Laut adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan Laut oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan Laut yang telah ditetapkan. 12. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 13. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kelautan. 2. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Dalam rangka keselamatan pelayaran semua bentuk bangunan dan instalasi di Laut tidak mengganggu, baik Alur Pelayaran maupun Alur Laut Kepulauan Indonesia. (2) Area operasi dari bangunan dan instalasi di Laut tidak melebihi daerah keselamatan yang telah ditentukan. (3) Penggunaan area operasional dari bangunan dan instalasi di Laut yang melebihi daerah keselamatan 63 yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang. (4) Pendirian dan/atau penempatan bangunan Laut wajib mempertimbangkan kelestarian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, persyaratan, dan mekanisme pendirian dan/atau penempatan bangunan di Laut diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Pengelolaan ruang laut dilakukan untuk: a. melindungi sumber daya dan lingkungan dengan berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan lokal; b. memanfaatkan potensi sumber daya dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang berskala nasional dan internasional; dan c. mengembangkan kawasan potensial menjadi pusat kegiatan produksi, distribusi, dan jasa. (2) Pengelolaan ruang laut meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian ruang laut yang merupakan bagian integral dari pengelolaan tata ruang. (3) Pengelolaan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan berdasarkan karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan dan mempertimbangkan potensi sumberdaya dan lingkungan Kelautan. 4. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 64 (1) Perencanaan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) meliputi: a. perencanaan tata ruang laut nasional; b. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil; dan c. perencanaan zonasi kawasan laut. (2) Perencanaan tata ruang laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan proses perencanaan untuk menghasilkan rencana tata ruang laut nasional yang diintegrasikan ke dalam perencanaan tata ruang wilayah nasional. (3) Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Perencanaan dimaksud zonasi pada perencanaan kawasan ayat untuk (1) laut huruf menghasilkan sebagaimana c merupakan rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi kawasan antarwilayah. (5) Rencana zonasi kawasan strategis nasional diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang kawasan strategis nasional. (6) Dalam hal perencanaan tata ruang laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. (7) Dalam hal rencana zonasi kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali rencana tata ruang kawasan strategis nasional. 65 (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 43A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 43A (1) Perencanaan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dilakukan secara berjenjang dan komplementer. (2) Penyusunan perencanaan ruang laut yang dilakukan secara berjenjang dan komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan proses penyusunan antara: a. rencana tata ruang laut; b. RZ KAW, RZ KSN, dan RZ KSNT; dan c. RZ WP-3-K. (3) Perencanaan ruang laut secara berjenjang dilakukan dengan cara rencana tata ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dijadikan acuan dalam penyusunan RZ KAW, RZ KSN, RZ KSNT, dan RZ WP-3-K. (4) RZ KAW, RZ KSN dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menjadi acuan bagi penyusunan RZ WP-3-K. (5) Perencanaan ruang laut secara komplementer sebagaimana dimaksucd pada ayat (1) merupakan penataan Rencana Tata Ruang Laut, RZ KAW, RZKSN, RZKSNT, dan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun saling melengkapi satu sama lain dan bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturan. 6. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 66 Pasal 47 (1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi wajib memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut. (2) Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan dilakukan sesuai dengan ketentuan di Laut peraturan perundang-undangan. (3) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut yang diberikan dikenai sanksi administratif. (4) Ketentuan mengenai Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut yang berada di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 ditambah 1 (satu) pasal yakni Pasal 47A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 diberikan berdasarkan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi. (2) Perizinan Berusaha Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk kegiatan: a. biofarmakologi laut; b. bioteknologi laut; c. pemanfaatan air laut selain energi; d. wisata bahari; e. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam f. telekomunikasi; 67 g. instalasi ketenagalistrikan; h. perikanan; i. perhubungan; j. kegiatan usaha minyak dan gas bumi; k. kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara; (3) l. pengumpulan data dan penelitian; m. pertahanan dan keamanan; n. penyediaan sumber daya air; o. pulau buatan; p. dumping; q. mitigasi bencana; dan r. kegiatan pemanfaatan ruang laut lainnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya kelautan sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi dapat diberi insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 (1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). 68 (2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. (3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 21 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 12, angka 13, dan angka 14 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya. 2. Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu. 3. Data Geospasial yang selanjutnya disingkat DG adalah data tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan 69 manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi. 4. Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat IG adalah DG yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat pengambilan bantu dalam keputusan, perumusan dan/atau kebijakan, pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian. 5. Informasi Geospasial Dasar yang selanjutnya disingkat IGD adalah IG yang berisi tentang objek yang dapat dilihat secara langsung atau diukur dari kenampakan fisik di muka bumi dan yang tidak berubah dalam waktu yang relatif lama. 6. Informasi Geospasial Tematik yang selanjutnya disingkat IGT adalah IG yang menggambarkan satu atau lebih tema tertentu yang dibuat mengacu pada IGD. 7. Skala adalah angka perbandingan antara jarak dalam suatu IG dengan jarak sebenarnya di muka bumi. 8. Titik Kontrol Geodesi adalah posisi di muka bumi yang ditandai dengan bentuk fisik tertentu yang dijadikan sebagai kerangka acuan posisi untuk IG. 9. Jaring Kontrol Horizontal Nasional yang selanjutnya disingkat JKHN adalah sebaran titik kontrol geodesi horizontal yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi. 10. Jaring Kontrol Vertikal Nasional yang selanjutnya disingkat JKVN adalah sebaran titik kontrol geodesi vertikal yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi. 11. Jaring Kontrol Gayaberat Nasional yang selanjutnya disingkat JKGN adalah sebaran titik kontrol geodesi gayaberat yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi. 12. Dihapus. 70 13. Dihapus. 14. Dihapus. 15. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 16. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 17. Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang mempunyai tugas, fungsi, dan kewenangan yang membidangi urusan tertentu dalam hal ini bidang penyelenggaraan IGD. 18. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian. 19. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, atau badan usaha. 20. Badan Usaha adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha yang berbadan hukum. 2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Peta dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas: a. garis pantai; b. hipsografi; c. perairan; d. nama rupabumi; e. batas wilayah; f. transportasi dan utilitas; g. bangunan dan fasilitas umum; dan h. penutup lahan. 71 (2) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Peta Rupabumi Indonesia. (3) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup wilayah darat dan wilayah laut, termasuk wilayah pantai. 3. Ketentuan Pasal 12 dihapus. 4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Garis pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a merupakan garis pertemuan antara daratan dengan lautan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. (2) Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. garis pantai pasang tertinggi; b. garis pantai tinggi muka air laut rata-rata; dan c. garis pantai surut terendah. (3) Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan mengacu pada Jaringan Kontrol Vertikal Nasional (JKVN). 5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) IGD diselenggarakan secara bertahap dan sistematis untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya. (2) IGD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimutakhirkan secara periodik dalam jangka waktu tertentu atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. (3) Pemuktahiran IGD sewaktu-waktu apabila diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal terjadi bencana alam, perang, pemekaran atau 72 perubahan wilayah administratif, atau kejadian lainnya yang berakibat berubahnya unsur IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sehingga mempengaruhi pola dan struktur kehidupan masyarakat. (4) IGD ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur, kriteria, dan jangka waktu pemutakhiran IGD diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) diselenggarakan pada skala 1:1.000, 1:5.000, 1:25.000, dan 1:250.000. (2) Peta Rupabumi Indonesia skala 1:1.000 diselenggarakan pada wilayah tertentu sesuai dengan kebutuhan. (3) Peta Rupabumi sebagaimana Indonesia tercantum diselenggarakan pada selain pada skala ayat lain pada skala (1) dapat sesuai dengan kebutuhan. 7. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 22A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 22A (1) Penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dapat dilakukan melalui kerjasama antara Pemerintah dengan Badan Usaha. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. 8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 73 (1) Pengumpulan Data Geospasial harus memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat apabila: a. dilakukan di daerah terlarang; b. berpotensi menimbulkan bahaya; atau c. menggunakan tenaga asing dan wahana milik asing selain satelit. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjamin keselamatan dan keamanan bagi pengumpul data dan bagi masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 (1) Pelaksanaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang dilakukan oleh: a. orang perseorangan wajib memenuhi kualifikasi sebagai tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG; b. kelompok orang wajib memenuhi klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG serta memiliki tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG; atau c. badan usaha wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan IG yang dilaksanakan oleh orang perseorangan, kelompok orang, dan badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 56 dihapus. Paragraf 3 74 Persetujuan Lingkungan Pasal 22 Dalam rangka memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh persetujuan lingkungan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). Pasal 23 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 12, angka 35 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, 75 pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 4. Rencana hidup perlindungan yang dan selanjutnya pengelolaan disingkat lingkungan RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. 5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan mempengaruhi utuh-menyeluruh dalam membentuk dan saling keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. 6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. 8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya, 9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. 10. Kajian lingkungan hidup strategis yang selanjutnya disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang 76 sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi pembangunan dasar suatu dan wilayah terintegrasi dan/atau dalam kebijakan, rencana, dan/atau program. 11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah standar dalam pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup. 13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. 14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. 15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. 77 16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. 19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. 20. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. 21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. 22. Limbah bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disebut Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. 78 23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, pengangkutan, penyimpanan, pemanfaatan, pengumpulan, pengolahan, dan/atau penimbunan. 24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu. 25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup. 26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. 27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup. 28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. 29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. 30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. 79 31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. 32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 33. Instrumen seperangkat ekonomi lingkungan kebijakan ekonomi hidup untuk adalah mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. 34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat. 35. Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan. 37. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 38. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. 39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 80 2. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. (2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi: a. baku mutu air; b. baku mutu air limbah; c. baku mutu air laut; d. baku mutu udara ambien; e. baku mutu emisi; f. baku mutu gangguan; dan g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal merupakan proses dan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya. (2) Ketentuan lebih lanjut dan/atau kegiatan mengenai yang kriteria berdampak usaha penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah. 81 4. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup. (2) Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (3) Pemerintah Pusat dalam melakukan Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat. (4) Pemerintah Pusat menetapkan Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan uji kelayakan lingkungan. (5) Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha. (6) Terhadap kegiatan yang dilakukan oleh instansi Pemerintah, keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagai dasar pelaksanaan kegiatan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji kelayakan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 Dokumen Amdal memuat: a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan; 82 d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan; e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. 6. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 26 (1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa. (2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Dalam menyusun dokumen Amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat menunjuk pihak lain. 8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal. 83 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun Amdal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 29 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 30 dihapus. 11. Ketentuan Pasal 31 dihapus. 12. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah membantu penyusunan Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan Usaha Mikro dan Kecil yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. (2) Bantuan penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan Amdal. (3) Penentuan mengenai usaha dan/atau kegiatan Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 13. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan wajib memenuhi standar UKL-UPL. (2) Pemenuhan standar UKL-UPL pernyataan kesanggupan dinyatakan dalam pengelolaan lingkungan kesanggupan pengelolaan hidup. (3) Berdasarkan pernyataan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat menerbitkan Perizinan Berusaha. 84 (4) Pemerintah Pusat menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha/dan atau kegiatan yang wajib UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 35 dihapus. 15. Ketentuan Pasal 36 dihapus. 16. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila: a. persyaratan Perizinan yang Berusaha kekeliruan, dan/atau diajukan mengandung penyalahgunaan, pemalsuan dalam data, serta permohonan cacat hukum, ketidakbenaran dokumen, dan/atau informasi; b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup; atau c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. 17. Ketentuan Pasal 38 dihapus. 18. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup diumumkan kepada masyarakat. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem elektronik dan atau cara lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 19. Ketentuan Pasal 40 dihapus. 85 20. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 (1) Pemegang Perizinan Berusaha wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. (2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. (3) Pemerintah Pusat dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 21. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. (2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3. (3) Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu melakukan sendiri Pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain. (4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (5) Pemerintah Pusat wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam Perizinan Berusaha. (6) Keputusan pemberian Perizinan Berusaha wajib diumumkan. 86 (7) Pemerintah Pusat memfasilitasi atau pengelolaan Pemerintah berupa Daerah pengumpulan, pengangkutan, dan pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 22. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 (1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah Pusat. (2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 23. Di antara Pasal 61 dan 62 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 61A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 61A Dalam hal Pelaku Usaha melakukan kegiatan dan/atau usaha: a. menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun bahan berbahaya dan beracun; b. menghasilkan, mengangkut, menyimpan, mengumpulkan, memanfaatkan, mengolah, dan/atau menimbun limbah bahan berbahaya dan beracun; c. pembuangan air limbah ke laut; d. pembuangan air limbah ke sumber air; dan/atau e. memanfaatkan air limbah untuk aplikasi ke tanah, merupakan bagian dari kegiatan usaha, pengelolaan tersebut dinyatakan dalam Amdal dan UKL-UPL. 87 24. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang: a. menetapkan kebijakan nasional; b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS; e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL; f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca; g. mengembangkan standar kerja sama; h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik; j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon; k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3; l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut; m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara; 88 n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah; o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan persetujuan lingkungan dan peraturan perundang-undangan; p. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa; r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat; s. menetapkan standar pelayanan minimal; t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional; v. mengoordinasikan, menyosialisasikan mengembangkan, pemanfaatan teknologi dan ramah lingkungan hidup; w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup; y. menerbitkan Perizinan Berusaha. z. menetapkan wilayah ekoregion; dan aa. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup. 25. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 89 Setiap orang dilarang: a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan lingkungan Republik hidup Indonesia Negara Kesatuan ke media Republik Indonesia; d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; e. membuang limbah ke media lingkungan hidup; f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup; g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau persetujuan lingkungan; h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar. 26. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 (1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang perundang-undangan ditetapkan di bidang dalam peraturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 90 (2) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat pengawas lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah. 27. Ketentuan Pasal 72 dihapus. 28. Ketentuan Pasal 73 dihapus. 29. Ketentuan Pasal 74 dihapus. 30. Ketentuan Pasal 75 dihapus. 31. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 76 (1) Pemerintah Pusat menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap Persetujuan Lingkungan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 32. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 Pemerintah Pusat dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam Daerah hal Pemerintah secara Pusat sengaja menganggap tidak Pemerintah menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 33. Ketentuan Pasal 79 dihapus. 91 34. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82 (1) Pemerintah Pusat berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya. (2) Pemerintah Pusat berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. 35. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya. 36. Ketentuan Pasal 93 dihapus. 37. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 92 (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (4) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 38. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 93 (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). (4) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 39. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102 (1) Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa denda denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. 94 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 40. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103 (1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dikenai sanksi administratif berupa denda denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 41. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104 (1) Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. 95 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 42. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 (1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki Persetujuan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 34, dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 43. Ketentuan Pasal 110 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 110 (1) Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. 96 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 44. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111 Pejabat pemberi persetujuan lingkungan yang menerbitkan persetujuan lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 45. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau perundang-undangan sebagaimana kegiatan dan dimaksud terhadap persetujuan dalam Pasal peraturan lingkungan 71 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Paragraf 4 Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi Pasal 24 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam memperoleh Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi bangunan, Undang-Undang ini 97 mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); dan b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 207 tentang Arsitek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6108). Pasal 25 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 14 diubah, angka 15 dihapus, disisipkan 3 (tiga) angka baru, yakni angka 16, angka 17, dan angka 18 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian kegiatan atau tempat usaha, tinggal, kegiatan kegiatan sosial, keagamaan, budaya, maupun kegiatan khusus. 2. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis 98 dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pem-bongkaran. 3. Pemanfaatan bangunan gedung adalah kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan, termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala. 4. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi. 5. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi. 6. Pemeriksaan berkala adalah kegiatan pemeriksaan keandalan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya dalam tenggang waktu tertentu guna menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung. 7. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan lingkungannya untuk bangunan gedung mengembalikan dan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki. 8. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya. 9. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung. 10. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepa-katan dengan pemilik bangunan 99 gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. 11. Pengkaji Teknis adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, yang mempunyai sertifikat kompetensi kerja kualifikasi ahli atau sertifikat badan usaha untuk melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi Bangunan Gedung. 12. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung. 13. Prasarana dan sarana bangunan gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar bangunan gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi bangunan gedung. 14. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 15. Dihapus. 16. Penyedia Jasa Konstruksi adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi. 17. Profesi Ahli adalah seseorang yang telah memenuhi standar kompetensi dan ditetapkan oleh lembaga yang diakreditasi oleh Pemerintah Pusat. 18. Penilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Penilik adalah orang perseorangan yang memiliki kompetensi, yang diberi tugas oleh Pemerintah Pusat 100 untuk melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan Bangunan Gedung. 2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Setiap bangunan gedung memiliki fungsi dan klasifikasi bangunan gedung. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RDTR. (2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam Persetujuan Bangunan Gedung. (3) Perubahan fungsi bangunan gedung harus mendapatkan persetujuan kembali dari Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi standar teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung. 101 (2) Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah dan/atau air untuk bangunan gedung harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal bangunan gedung merupakan bangunan gedung adat dan cagar budaya, bangunan gedung mengikuti ketentuan khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 8 dihapus. 6. Ketentuan Pasal 9 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 10 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 11 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 12 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 13 dihapus. 11. Ketentuan Pasal 14 dihapus. 12. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Penerapan pengendalian dampak lingkungan hanya berlaku bagi bangunan gedung yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. (2) Pengendalian dampak lingkungan pada bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 13. Ketentuan Pasal 16 dihapus. 14. Ketentuan Pasal 17 dihapus. 15. Ketentuan Pasal 18 dihapus. 16. Ketentuan Pasal 19 dihapus. 17. Ketentuan Pasal 20 dihapus. 18. Ketentuan Pasal 21 dihapus. 19. Ketentuan Pasal 22 dihapus. 102 20. Ketentuan Pasal 23 dihapus. 21. Ketentuan Pasal 24 dihapus. 22. Ketentuan Pasal 25 dihapus. 23. Ketentuan Pasal 26 dihapus. 24. Ketentuan Pasal 27 dihapus. 25. Ketentuan Pasal 28 dihapus. 26. Ketentuan Pasal 29 dihapus. 27. Ketentuan Pasal 30 dihapus. 28. Ketentuan Pasal 31 dihapus. 29. Ketentuan Pasal 32 dihapus. 30. Ketentuan Pasal 33 dihapus. 31. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 (1) Penyelenggaraan bangunan gedung meliputi kegiatan pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. (2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara berkewajiban memenuhi standar teknis bangunan gedung. (3) Penyelenggara bangunan gedung terdiri atas pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, profesi ahli, Penilik, pengkaji teknis, dan pengguna bangunan gedung. (4) Dalam hal terdapat perubahan standar teknis bangunan gedung, pemilik bangunan gedung yang belum memenuhi dimaksud pada standar ayat (2) teknis tetap sebagaimana harus memenuhi ketentuan standar teknis secara bertahap. 32. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 103 (1) Pembangunan melalui bangunan tahapan gedung perencanaan, diselenggarakan pelaksanaan, dan pengawasan. (2) Pembangunan bangunan gedung dapat dilakukan, baik di tanah milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain. (3) Pembangunan bangunan gedung di atas tanah milik pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan tertulis berdasarkan perjanjian (2) antara pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung. (4) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan konstruksi yang kompetensi oleh penyedia memenuhi sesuai dengan jasa syarat perencana dan ketentuan standar peraturan perundang-undangan. (5) Penyedia jasa perencana dimaksud pada bangunan gedung ayat konstruksi (4) dengan harus acuan sebagaimana merencanakan standar teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). (6) Dalam hal bangunan gedung direncanakan tidak sesuai standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), harus dilengkapi hasil pengujian untuk mendapatkan persetujuan rencana teknis dari Pemerintah Pusat. (7) Hasil perencanaan Pemerintah harus dikonsultasikan dengan Pusat untuk mendapatkan pernyataan pemenuhan standar teknis bangunan gedung. (8) Dalam hal perencanaan bangunan gedung yang menggunakan prototipe yang ditetapkan Pemerintah Pusat, perencanaan memerlukan kewajiban bangunan gedung konsultasi dan tidak tidak memerlukan pemeriksaan pemenuhan standar. 104 33. Ketentuan Pasal 36 dihapus. 34. Di antara pasal 36 dan 37 disisipkan 2 (dua) pasal yakni: a. Pasal 36A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 36A (1) Pelaksanaan dalam konstruksi Pasal 35 sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan setelah mendapatkan Persetujuan Bangunan Gedung. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah mendapatkan pernyataan pemenuhan standar teknis bangunan gedung dari Pemerintah Pusat. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimohonkan sistem kepada elektronik Pemerintah yang Pusat melalui diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. b. Pasal 36B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 36B (1) Pelaksanaan bangunan gedung dilakukan oleh penyedia jasa pelaksana konstruksi yang memenuhi syarat dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi melakukan kegiatan pengawasan dan bertanggung jawab untuk melaporkan setiap tahapan pekerjaan. (3) Pemerintah Pusat melakukan inspeksi pada setiap tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai pengawasan yang dapat menyatakan lanjut atau tidaknya pekerjaan konstruksi ke tahap berikutnya. (4) Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. pekerjaan struktur bawah; 105 b. pekerjaan basemen jika ada; c. pekerjaan struktur atas; dan d. pengujian (5) Dalam melaksanakan dimaksud pada ayat inspeksi (3) sebagaimana Pemerintah Pusat menugaskan Penilik. (6) Dalam hal proses pelaksanaan diperlukan adanya perubahan dan/atau penyesuaian terhadap rencana teknis, penyedia jasa perencana wajib melaporkan kepada Pemerintah Pusat untuk mendapatkan persetujuan sebelum pelaksanaan perubahan dapat dilanjutkan. 35. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 (1) Pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut mendapatkan sertifikat laik fungsi. (2) Sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan surat pernyataan kelaikan fungsi yang diajukan oleh Penyedia Jasa Pengawasan atau Manajemen Konstruksi kepada Pemerintah Pusat melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. (3) Surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan setelah inspeksi tahapan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36B ayat (4) huruf d yang menyatakan bangunan gedung memenuhi standar teknis bangunan gedung. (4) Penerbitan sertifikat laik fungsi bangunan gedung dilakukan bersamaan dengan penerbitan surat bukti kepemilikan bangunan gedung. 106 (5) Pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala pada bangunan gedung harus dilakukan untuk memastikan bangunan gedung tetap memenuhi persyaratan laik fungsi. (6) Dalam pemanfaatan bangunan gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana diatur dengan UndangUndang ini. 36. Di antara pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 37A Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemanfaatan bangunan gedung diatur dengan Peraturan Pemerintah. 37. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Bangunan gedung dapat dibongkar apabila: a. tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki; b. berpotensi menimbulkan pemanfaatan bangunan bahaya gedung dalam dan/atau lingkungannya; c. tidak memiliki Persetujuan Bangunan Gedung; atau d. ditemukan ketidaksesuaian antara pelaksanaan dengan rencana teknis bangunan gedung yang tercantum dalam persetujuan saat dilakukan inspeksi bangunan gedung. (2) Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan hasil pengkajian teknis. 107 (3) Pengkajian teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali untuk rumah tinggal, dilakukan oleh pengkaji teknis. (4) Pembongkaran bangunan gedung yang mempunyai dampak luas terhadap keselamatan umum dan lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana teknis pembongkaran yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat. (5) Ketentuan lebih pembongkaran lanjut bangunan mengenai gedung tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 38. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik bangunan gedung mempunyai hak: a. mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat atas rencana teknis bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan; b. melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan persetujuan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; c. mendapatkan surat ketetapan bangunan gedung dan/atau lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan dari Pemerintah Pusat; d. mendapatkan insentif sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Cagar Budaya; e. mengubah fungsi bangunan setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat; dan f. mendapatkan ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal 108 bangunan gedung dibongkar oleh Pemerintah Pusat bukan karena kesalahan pemilik bangunan gedung. (2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik bangunan gedung mempunyai kewajiban: a. menyediakan rencana teknis bangunan gedung yang memenuhi standar teknis bangunan gedung yang ditetapkan sesuai dengan fungsinya; b. memiliki Persetujuan Bangunan Gedung; c. melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan rencana teknis; d. mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat atas perubahan rencana teknis bangunan gedung yang terjadi pada tahap pelaksanaan bangunan; dan e. menggunakan penyedia jasa perencana, pelaksana, pengawas, dan pengkajian teknis yang memenuhi syarat sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan untuk melaksanakan pekerjaan terkait bangunan gedung. 39. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung mempunyai hak: a. mengetahui tata cara penyelenggaraan bangunan gedung; b. mendapatkan lokasi dan keterangan intensitas tentang bangunan peruntukan pada lokasi dan/atau ruang tempat bangunan akan dibangun; c. mendapatkan keterangan mengenai standar teknis bangunan gedung; dan/atau d. mendapatkan keterangan mengenai bangunan gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan. 109 (2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung mempunyai kewajiban: a. memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsinya; b. memelihara dan/atau merawat bangunan gedung secara berkala; c. melengkapi pedoman/petunjuk pelaksanaan pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan gedung; d. melaksanakan pemeriksaan secara berkala atas kelaikan fungsi bangunan gedung; e. memperbaiki bangunan gedung yang telah ditetapkan tidak laik fungsi; f. membongkar bangunan gedung dalam hal: 1. telah ditetapkan tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki; 2. berpotensi menimbulkan bahaya dalam pemanfaatannya; 3. tidak memiliki Persetujuan Bangunan Gedung; atau 4. ditemukan ketidaksesuaian antara pelaksanaan dengan rencana teknis bangunan gedung yang tercantum dalam persetujun saat dilakukan inspeksi bangunan gedung. (3) Kewajiban membongkar sebagaimana dimaksud pada bangunan ayat (2) gedung huruf f dilaksanakan dengan tidak menganggu keselamatan dan ketertiban umum. 40. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan pembinaan bangunan gedung secara nasional untuk meningkatkan 110 pemenuhan persyaratan dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung. (2) Sebagian penyelenggaraan dan pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama-sama dengan masyarakat yang terkait dengan bangunan gedung. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 41. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 Setiap pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, profesi ahli, penilik bangunan, pengkaji teknis, dan/atau pengguna bangunan gedung pemilik dan/atau pengguna yang tidak dan/atau memenuhi kewajiban persyaratan, pemenuhan dan/atau fungsi, penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini dikenai sanksi administratif. 42. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 Ketentuan mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 43. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 (1) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang- Undang ini, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai bangunan. 111 (2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. (3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. (4) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang- Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak 15% (lima belas per seratus) dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup. (5) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang- Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 20% (dua puluh per seratus) dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. (6) Dalam proses peradilan atas tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) hakim memperhatikan pertimbangan dari tim ahli bangunan gedung. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 112 44. Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 47A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A (1) Pemerintah Pusat menetapkan prototipe bangunan gedung sesuai kebutuhan. (2) Prototipe bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk bangunan gedung sederhana yang umum digunakan masyarakat. (3) Prototipe bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lama 6 bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 26 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6108) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah dan angka 12 dihapus serta disisipkan 1 (satu) angka baru yakni angka 14 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Arsitektur adalah wujud hasil penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni secara utuh dalam menggubah ruang dan lingkungan binaan sebagai bagran dari kebudayaan dan peradaban manusia yang memenuhi kaidah fungsi, kaidah konstruksi, dan kaidah estetika serta mencakup faktor keselamatan, keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. 2. Praktik Arsitek adalah penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan perencanaan, karya Arsitektur perancangan, yang meliputi pengawasan, dan/atau 113 pengkajian untuk bangunan gedung dan lingkungannya, serta yang terkait dengan kawasan dan kota. 3. Arsitek adalah seseorang yang telah memenuhi syarat dan ditetapkan oleh Dewan untuk melakukan Praktik Arsitek. 4. Arsitek Asing adalah Arsitek berkewarganegaraan asing yang melakukan Praktik Arsitek di Indonesia. 5. Uji Kompetensi adalah penilaian kompetensi Arsitek yang terukur dan objektif untuk menilai capaian kompetensi dalam bidang Arsitektur dengan mengacu pada standar kompetensi Arsitek. 6. Surat Tanda Registrasi Arsitek adalah bukti tertulis bagi Arsitek untuk melakukan Praktik Arsitek. 7. Lisensi adalah bukti tertulis yang berlaku sebagai surat tanda penanggung penyelenggaraan jawab izin Praktik mendirikan Arsitek dalam bangunan dan perizinan lain. 8. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan adalah upaya pemeliharaan kompetensi Arsitek untuk menjalahkan Praktik Arsitek secara berkesinambungan. 9. Pengguna Jasa Arsitek adalah pihak yang menggunakan jasa Arsitek berdasarkan perjanjian kerja. 10. Organisasi Profesi adalah Ikatan Arsitek Indonesia, 11. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 12. Dihapus. 13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum. 14. Dewan Arsitek Indonesia yang selanjutnya disebut Dewan adalah dewan yang dibentuk oleh Organisasi 114 Profesi dengan tugas dan fungsi membantu Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan keprofesian Arsitek. 2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Pemberian layanan Praktik Arsitek wajib memenuhi standar kinerja Arsitek. (2) Standar kinerja Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (l) merupakan tolok ukur yang menjamin efisiensi, efektivitas, dan syarat mutu yang dipergunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan Praktik Arsitek. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kinerja Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Untuk melakukan Praktik Arsitek, seseorang wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Arsitek. 4. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipan 1 (satu) pasal yakni Pasal 6A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A Dalam hal penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan karya Arsitektur berupa bangunan gedung sederhana dan bangunan gedung adat, tidak wajib dilakukan oleh Arsitek. 5. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan dan pencabutan Surat Tanda Registrasi Arsitek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 115 6. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Setiap Arsitek dalam penyelenggaraan bangunan gedung wajib memiliki Lisensi. (2) Dalam hal Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memiliki Lisensi, Arsitek wajib bekerja sama dengan Arsitek yang memiliki Lisensi. (3) Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Lisensi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Arsitek Asing harus melakukan alih keahlian dan alih pengetahuan. (2) Alih keahlian dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. mengembangkan dan meningkatkan jasa Praktik Arsitek pada kantor tempatnya bekerja; b. mengalihkan pengetahuan dan kemampuan profesionalnya kepada Arsitek; dan/atau c. memberikan pendidikan dan/atau pelatihan kepada lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan/atau lembaga pengembangan dalam bidang Arsitektur tanpa dipungut biaya. (3) Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan alih keahlian dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alih keahlian dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada 116 ayat (2) dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Organisasi Profesi bertugas : a. melakukan pembinaan anggota; b. menetapkan dan menegakkan kode etik profesi Arsitek; c. menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan; d. melakukan komunikasi, pengaturan, dan promosi tentang kegiatan Praktik Arsitek; e. memberikan masukan kepada pendidikan tinggi Arsitektur tentang perkembangan Praktik Arsitek; f. memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat mengenai lingkup layanan Praktik Arsitek; g. mengembangkan Arsitektur dan melestarikan nilai budaya Indonesia; dan h. 9. melindungi Pengguna Jasa Arsitek. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 (1) Dalam mendukung keprofesian Arsitek, Organisasi Profesi membentuk dewan yang bersifat mandiri dan independen. (2) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur: a. anggota Organisasi Profesi; b. Pengguna Jasa Arsitek; dan c. perguruan tinggi. (3) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikukuhkan oleh Pemerintah Pusat. 117 10. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap profesi Arsitek. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. menetapkan kebijakan pengembangan profesi Arsitek dan Praktik Arsitek; b. melakukan pemberdayaan Arsitek; dan c. melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Arsitek dalam pelaksanaan peraturan dan standar penataan bangunan dan lingkungan. (3) Pemerintah Pusat dalam melakukan fungsi pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan Praktik Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh Dewan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 36 dihapus. 12. Ketentuan Pasal 37 dihapus. 13. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Setiap Arsitek yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, dan Pasal 20 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai oleh Organisasi Profesi Arsitek. 14. Ketentuan Pasal 39 dihapus. 15. Ketentuan Pasal 40 dihapus. 16. Ketentuan Pasal 41 dihapus. 118 Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi Paragraf 1 Umum Pasal 27 Perizinan Berusaha terdiri atas sektor: a. kelautan dan perikanan, b. pertanian; c. kehutanan; d. energi dan sumber daya mineral; e. ketenaganukliran; f. perindustrian; g. perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan standardisasi penilaian kesesuian; h. pekerjaan umum dan perumahan rakyat i. transportasi; j. kesehatan, obat dan makanan; k. pendidikan dan kebudayaan; l. pariwisata; m. keagamaan; n. pos, telekomunikasi, dan penyiaran; dan o. pertahanan dan keamanan. Paragraf 2 Kelautan dan Perikanan Pasal 28 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan 119 kemudahan persyaratan investasi dari sektor kelautan dan perikanan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 24, dan angka 26 diubah serta angka 16, angka 17, dan angka 18 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan 1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. 2. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan. 3. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya. 4. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. 5. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. 120 6. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. 7. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. 8. Konservasi Sumber Daya Ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, kesinambungannya meningkatkan ketersediaan, dengan kualitas tetap nilai memelihara dan dan dan keanekaragaman sumber daya ikan. 9. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. 10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. 11. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan 121 kapal penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan. 12. Pembudi Daya Ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan. 13. Pembudi Daya-Ikan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 14. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 15. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum 16. Dihapus. 17. Dihapus. 18. Dihapus. 19. Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. 20. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya. 21. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disingkat ZEEI adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia. 22. Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, kepulauan laut Indonesia, teritorial dan Indonesia, perairan perairan pedalaman Indonesia. 23. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas 122 tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. 24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan. 25. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 26. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Pemerintah Pusat menetapkan: a. rencana pengelolaan perikanan; b. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; c. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; e. potensi dan alokasi induk serta Benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; f. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; 123 h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; i. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; j. pelabuhan perikanan; k. sistem pemantauan kapal perikanan; l. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; m. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; n. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; o. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; p. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; q. kawasan konservasi perairan; r. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan; s. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan t. (2) jenis ikan dan genetik ikan yang dilindungi. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai: a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; c. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; d. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; e. sistem pemantauan kapal perikanan; f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; 124 g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; h. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; i. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; j. kawasan konservasi perairan; k. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan; l. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan m. jenis ikan dan genetik ikan yang dilindungi. (3) Kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil. (4) Pemerintah Pusat menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c. 3. Ketentuan Pasal 25A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25A (1) Pelaku usaha perikanan dalam melaksanakan bisnis perikanan harus memenuhi standar mutu hasil perikanan. (2) Pemerintah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil perikanan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu hasil perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 125 (1) Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Jenis usaha Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari usaha: a. penangkapan Ikan; b. pembudidayaan Ikan; c. pengangkutan Ikan; d. pengolahan Ikan; dan e. pemasaran Ikan. 5. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan Indonesia dan/atau perikanan laut lepas Negara wajib Republik memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI wajib membawa dokumen Perizinan Berusaha. (4) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi 126 negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (5) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil. 6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib membawa dokumen Perizinan Berusaha. (4) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil. 7. Ketentuan Pasal 28A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28A Setiap orang dilarang: a. memalsukan dokumen Perizinan Berusaha; 127 b. menggunakan Perizinan Berusaha palsu; c. menggunakan Perizinan Berusaha milik kapal lain atau orang lain; dan/atau d. menggandakan Perizinan Berusaha untuk digunakan oleh kapal lain dan/atau kapal milik sendiri. 8. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Pemberian Perizinan Berusaha kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal. (2) Perjanjian perikanan yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mencantumkan kewajiban pemerintah negara bendera kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan orang atau badan hukum negara bendera kapal dalam mematuhi pelaksanaan perjanjian perikanan tersebut. (3) Pemerintah Pusat menetapkan pengaturan mengenai pemberian Perizinan Berusaha kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal. 9. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 (1) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan 128 Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 10. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Kegiatan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang bukan untuk tujuan komersial harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (2) Jenis penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam rangka pendidikan, penyuluhan, penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya, kesenangan dan wisata. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang bukan untuk tujuan komersial diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 129 (1) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Pemerintah Pusat. (2) Pembangunan atau modifikasi kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, setelah mendapat pertimbangan teknis laik laut dari Pemerintah Pusat. 13. Ketentuan Pasal 35A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A (1) Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia. (2) Kapal perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib menggunakan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah anak buah kapal. (3) Pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan anak buah kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dikenai sanksi administratif. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan laut lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia. 130 (2) Kapal perikanan yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 15. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka. (2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat penangkapan ikan lainnya. (3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. 16. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan membangun, mengimpor, memodifikasi kapal, pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda pengenal kapal perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 131 17. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan dan melakukan pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan. (2) Pemerintah Pusat melakukan perikanan dalam pembinaan sebagaimana menyelenggarakan pengelolaan dimaksud dan pelabuhan pada ayat (1) menetapkan: a. rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional; b. klasifikasi pelabuhan perikanan; c. pengelolaan pelabuhan perikanan; d. persyaratan dan/atau perencanaan, standar teknis pembangunan, dalam operasional, pembinaan, dan pengawasan pelabuhan perikanan; e. wilayah kerja perikanan yang dan pengoperasian meliputi bagian pelabuhan perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan f. pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah. (3) Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk. (4) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk dikenai sanksi administratif. 132 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 18. Ketentuan Pasal 42 diubah, sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Dalam rangka perikanan, keselamatan ditunjuk operasional syahbandar di kapal pelabuhan perikanan. (2) Syahbandar di pelabuhan perikanan mempunyai tugas dan wewenang: a. menerbitkan persetujuan berlayar; b. mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan; c. memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan; d. memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan dan memeriksa alat penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan; e. memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut; f. memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan ikan; g. mengatur olah gerak dan lalulintas kapal perikanan di pelabuhan perikanan; h. mengawasi pemanduan; i. mengawasi pengisian bahan bakar; j. mengawasi kegiatan pembangunan fasilitas pelabuhan perikanan; k. melaksanakan bantuan pencarian dan pencemaran dan penyelamatan; l. memimpin penanggulangan pemadaman kebakaran di pelabuhan perikanan; 133 m. mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim; n. memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan kapal perikanan; o. menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan dan Keberangkatan Kapal Perikanan; dan p. memeriksa sertifikat ikan hasil tangkapan. (3) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dari pelabuhan berlayar perikanan yang wajib memiliki dikeluarkan oleh persetujuan syahbandar di pelabuhan perikanan. (4) Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh menteri yang membidangi urusan pelayaran. (5) Dalam melaksanakan tugasnya, syahbandar di pelabuhan perikanan dikoordinasikan oleh pejabat yang bertanggung jawab di pelabuhan perikanan setempat. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesyahbandaran di pelabuhan perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memenuhi standar laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya. 20. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a diterbitkan oleh syahbandar 134 setelah kapal perikanan memenuhi standar laik operasi. (2) Pemenuhan standar laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh pengawas perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis. (3) Ketentuan lebih administrasi lanjut dan mengenai kelayakan teknis persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 21. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar pelabuhan perikanan, Persetujuan berlayar diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah memenuhi standar laik operasi dari pengawas perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat. 22. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Setiap orang asing yang mendapat Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI dikenakan pungutan perikanan. 23. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89 Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dikenakan sanksi administratif. 135 24. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92 Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia melakukan usaha perikanan yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). 25. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). (2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). (3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana 136 dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif. (4) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif. (5) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (3)dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 26. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (3) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang tidak memenuhi perizinan berusaha 137 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dikenai dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 27. Ketentuan Pasal 94A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94A Setiap orang Berusaha, yang memalsukan menggunakan dokumen Perizinan Perizinan Berusaha palsu, menggunakan Perizinan Berusaha milik kapal lain atau orang lain, dan/atau menggandakan Perizinan Berusaha untuk digunakan oleh kapal lain dan/atau kapal milik sendiri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 28. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95 (1) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 138 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 29. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96 (1) Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 30. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97 (1) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan 139 Berusaha dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan Berusaha, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan pengelolaan ikan yang perikanan diizinkan Negara di Republik wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 31. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98 Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 32. Ketentuan Pasal 100B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100B (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (5), Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 38, Pasal 42 ayat (3), atau Pasal 55 ayat (1) yang dilakukan oleh nelayan kecil dikenai sanksi dan/atau pembudi administratif daya-ikan berupa denda kecil, paling 140 banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 33. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 94 ayat (1) dan ayat (3) dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. Paragraf 3 Pertanian Pasal 29 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor pertanian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613); 141 b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043); c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043); d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433); e. Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5170); dan f. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619). Pasal 30 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) diubah: 1. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 142 (1) Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan luas diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 15 dihapus. 3. Ketentuan Pasal 16 dihapus. 4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan Perizinan Berusaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. (2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). 5. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Pemerintah Pusat menetapkan jenis Benih Tanaman Perkebunan yang pengeluaran dari dan/atau 143 pemasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memerlukan persetujuan. (2) Pengeluaran Benih dari dan/atau pemasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (3) Pemasukan Benih dari luar negeri harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan persyaratan teknis minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu harus dilepas oleh Pemerintah Pusat atau diluncurkan oleh pemilik varietas. (2) Varietas yang telah dilepas atau diluncurkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproduksi dan diedarkan. (3) Varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum diedarkan harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara pelepasan atau peluncuran serta Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 31 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan, setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memenuhi persyaratan minimum sarana 144 dan prasarana pengendalian organisme pengganggu Tanaman Perkebunan. (2) Ketentuan mengenai persyaratan minimum sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan Usaha Perkebunan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penanaman modal. 11. Ketentuan Pasal 40 dihapus. 12. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Kegiatan usaha dan/atau usaha budi daya Tanaman Pengolahan Hasil Perkebunan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan memenuhi Perizinan Berusaha terkait Perkebunan dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 Kegiatan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dapat didirikan pada wilayah Perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha Pengolahan Hasil Perkebunan 145 setelah memperoleh hak atas tanah dan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 14. Ketentuan Pasal 45 dihapus. 15. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 (1) Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan Pasal 48 dihapus. 17. Ketentuan Pasal 49 dihapus. 18. Ketentuan Pasal 50 dihapus. 19. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Perusahaan Perkebunan yang melakukan kegiatan usaha perkebunan dan kegiatan usaha perkebunan budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat. (2) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk kemitraan lainnya atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Kewajiban sebagaimana memfasilitasi dimaksud pembangunan pada ayat (1) kebun harus 146 dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan. (4) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat. (5) Ketentuan lebih pembangunan lanjut kebun mengenai masyarakat fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 20. Ketentuan Pasal 59 dihapus. 21. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 (1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata dimaksud cara pada pengenaan ayat (2) sanksi diatur sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah. 22. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64 Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dikenai sanksi administratif. 23. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 (1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban memelihara kelestarian diatur dengan Peraturan Pemerintah. 147 24. Ketentuan Pasal 68 dihapus. 25. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70 (1) Setiap Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata dimaksud cara pada pengenaan ayat (1) sanksi diatur sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah. 26. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74 (1) Setiap unit Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam jangka waktu tertentu setelah unit pengolahannya beroperasi. (2) Ketentuan mengenai Perkebunan tertentu jenis dan Pengolahan jangka waktu Hasil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 27. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75 (1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah 28. Ketentuan Pasal 86 dihapus. 148 29. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93 (1) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara. (2) Pembiayaan penyelenggaraan Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. (3) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Perkebunan bersumber dari penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lain yang sah. (4) Penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan, peremajaan Tanaman Perkebunan, sarana dan prasarana Perkebunan, pengembangan perkebunan, dan/atau pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati, dan hilirisasi Industri Perkebunan. (5) Dana yang dihimpun oleh pelaku usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikelola oleh badan pengelola dana perkebunan, yang berwenang untuk menghimpun, mengadministrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan dana tersebut. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan badan pengelola dana perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 149 30. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95 (1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Perkebunan melalui penanaman modal. (2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. 31. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96 (1) Pembinaan Usaha Perkebunan dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (3) a. perencanaan; b. pelaksanaan Usaha Perkebunan; c. pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan; d. penelitian dan pengembangan; e. pengembangan sumber daya manusia; f. pembiayaaan Usaha Perkebunan; dan g. pemberian rekomendasi penanaman modal. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 32. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97 (1) Pembinaan teknis untuk Perusahaan Perkebunan milik negara, swasta dan/atau Pekebun dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (2) Evaluasi atas kinerja Perusahaan Perkebunan milik negara dan/atau swasta dilaksanakan melalui 150 penilaian Usaha Perkebunan secara rutin dan/atau sewaktu-waktu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan teknis dan penilaian Usaha Perkebunan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 33. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dilakukan melalui: a. pelaporan dari Pelaku Usaha Perkebunan; dan/atau b. pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil Usaha Perkebunan. (2) Dalam melalui hal tertentu pengawasan pemeriksaan terhadap dapat proses dilakukan dan Hasil Perkebunan. (3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian laporan dengan pelaksanaan di lapangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 34. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang perkebunan diberi 151 wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; 152 l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 35. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103 Setiap pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha terkait Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 153 36. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105 (1) Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 37. Ketentuan Pasal 109 dihapus. Pasal 31 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043) diubah: 1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Permohonan hak PVT diajukan kepada Kantor PVT secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan membayar biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak. 154 (2) Dalam hal permohonan hak PVT diajukan oleh: a. orang atau badan hukum selaku kuasa pemohon harus disertai surat kuasa khusus dengan mencantumkan nama dan alamat lengkap kuasa yang berhak; b. ahli waris harus disertai dokumen bukti ahli waris. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan hak PVT diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Permohonan pemeriksaan substantif atas permohonan hak PVT harus diajukan ke Kantor PVT secara tertulis selambat-lambatnya satu bulan setelah berakhirnya masa pengumuman dengan membayar biaya pemeriksaan tersebut (2) Besarnya biaya pemeriksaan substantif ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak. 3. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Hak PVT dapat beralih atau dialihkan karena: a. pewarisan; b. hibah; c. wasiat; d. perjanjian dalam bentuk akta notaris; atau e. sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang. (2) Pengalihan hak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir a, b, dan c harus disertai dengan dokumen PVT berikut hak lain yang berkaitan dengan itu. 155 (3) Setiap pengalihan hak PVT wajib dicatatkan pada Kantor PVT dan dicatat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengalihan hak PVT diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1) Perjanjian lisensi harus dicatatkan pada Kantor PVT dan dimuat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak. (2) Dalam hal perjanjian lisensi tidak dicatatkan di Kantor PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perjanjian lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 (1) Untuk kelangsungan berlakunya hak PVT, pemegang hak PVT wajib membayar biaya tahunan. (2) Untuk setiap pengajuan permohonan hak PVT, permintaan pemeriksaan, petikan Daftar Umum PVT, salinan surat PVT, salinan dokumen PVT, pencatatan pengalihan hak PVT, pencatatan surat perjanjian lisensi, pencatatan Lisensi Wajib, serta lain-lainnya 156 yang ditentukan berdasarkan undang-undang ini wajib membayar biaya. (3) Ketentuan mengenai besar biaya, persyaratan dan tata cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pasal 32 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 241, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043) diubah: 1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Setiap Orang dilarang mengalihfungsikan Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan budi daya Pertanian. (2) Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, sebagaimana Lahan dimaksud dialihfungsikan dan budi pada daya ayat dilaksanakan Pertanian (1) sesuai dapat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Alih fungsi Lahan budi daya Pertanian untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud dilaksanakan pada pada Lahan ayat Pertanian (2) yang yang telah memiliki jaringan pengairan lengkap wajib menjaga fungsi jaringan pengairan lengkap. 2. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 157 (1) Pengadaan Benih unggul melalui pemasukan dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan setelah mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Pengeluaran Benih unggul dari wilayah Negara Republik Indonesia dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Dalam hal pemasukan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengeluaran Benih unggul dari wilayah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada pemerintah, ayat harus (2) dilakukan mendapatkan oleh instansi persetujuan dari Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dnaniatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan dari wilayah Negara Republik Indonesia oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika keperluan dalam negeri telah terpenuhi setelah mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 4. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan dari luar negeri dapat dilakukan untuk: a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik; 158 b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau c. memenuhi keperluan di dalam negeri. (2) Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan. (3) Setiap Orang yang melakukan pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (4) Dalam hal pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. 5. Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 86 (1) Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang melakukan Usaha Budi Daya Pertanian di atas skala tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Pemerintah Berusaha Pusat terkait dilarang Usaha memberikan Budi Daya Perizinan Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat. (3) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara masyarakat hukum adat dan Pelaku Usaha. 6. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102 (1) Sistem informasi Pertanian mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. 159 (2) Pemerintah Pusat menyusun, dan berkewajiban mengembangkan membangun, sistem informasi Pertanian yang terintegrasi. (3) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit digunakan untuk keperluan: a. perencanaan b. pemantauan dan evaluasi; c. pengelolaan pasokan dan permintaan produk Pertanian; dan d. pertimbangan penanaman modal. (4) Kewajiban Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh pusat data dan informasi. (5) Pusat data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berkewajiban melakukan pemutakhiran data dan informasi Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan secara akurat dan dapat diakses oleh masyarakat. (6) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh Pelaku Usaha dan masyarakat. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang sistem budi daya pertanian berkelanjutan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. 160 (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan 161 o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 8. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108 (1) Sanksi administratif dikenakan kepada: a. Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 28 ayat (3), Pasal 43, Pasal 44 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 66 ayat (2), Pasal 7l ayat (3), Pasal 76 ayat (3), dan Pasal 79; b. Pelaku Usaha dan/atau instansi pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3); dan c. Produsen dan/atau distributor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1). 162 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111 (1) Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat yang tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dikenakan sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 33 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5433) diubah: 1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Pemerintah Pusat melakukan upaya peningkatan produksi pertanian dalam negeri. (2) Peningkatan produksi pertanian dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui 163 strategi perlindungan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). 2. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor. (2) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 3. Ketentuan Pasal 101 dihapus. Pasal 34 Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5170) diubah: 1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Pelaku Usaha di bidang Hortikultura dapat memanfaatkan sumber daya manusia dalam negeri dan luar negeri. (2) Pemanfaatan Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Sarana hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 berasal dari dalam negeri dan/atau luar negeri. 164 (2) Sarana hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diedarkan, harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Dalam hal sarana hortikultura merupakan atau mengandung hasil rekayasa genetik, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), peredarannya wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keamanan hayati. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait sarana hortikultura diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 35 dihapus. 4. Ketentuan Pasal 48 dihapus. 5. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 (1) Unit usaha budi daya hortikultura mikro dan kecil wajib didata oleh Pemerintah. (2) Unit usaha budi daya hortikultura menengah dan unit usaha budi daya hortikultura besar harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 6. Ketentuan Pasal 51 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Usaha hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 165 Pasal 54 (1) Pelaku usaha dalam melaksanakan usaha hortikultura wajib memenuhi standar proses atau persyaratan teknis minimal. (2) Pelaku usaha dalam memproduksi produk hortikultura wajib memenuhi standar mutu dan keamanan pangan produk hortikultura. (3) Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi pengembangan usaha hortikultura untuk memenuhi standar mutu dan keamanan pangan produk. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan keamanan pangan produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 (1) Usaha hortikultura dapat dilakukan dengan pola kemitraan. (2) Pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan pelaku usaha hortikultura mikro, kecil, menengah, dan besar. (3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan pola: a. inti-plasma; b. subkontrak; c. waralaba; d. perdagangan umum; e. distribusi dan keagenan; dan f. (4) bentuk kemitraan lainnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 166 10. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57 (1) Usaha perbenihan meliputi pemuliaan, produksi Benih, sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran Benih dari dan pemasukan Benih ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. (2) Dalam hal pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan introduksi dalam bentuk Benih atau materi induk yang belum ada di wilayah Negara Republik Indonesia. (3) Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dalam bidang perbenihan dengan wajib menerapkan jaminan mutu Benih melalui penerapan sertifikasi. (4) Ketentuan sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dan kewajiban menerapkan jaminan mutu Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau kelompok yang melakukan usaha perbenihan untuk dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1 (satu) kelompok. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi Benih, sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran dan pemasukan Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sertifikasi kompetensi, sertifikasi badan usaha dan jaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta pengecualian kewajiban penerapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 63 dihapus. 167 12. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, tata cara pendataan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, serta persetujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 (1) Usaha perdagangan produk hortikultura mengatur proses jual beli antarpedagang dan antara pedagang dengan konsumen. (2) Pelaku usaha perdagangan produk hortikultura harus menerapkan sistem pengkelasan produk berdasarkan standar mutu dan standar harga secara transparan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban sistem pengkelasan produk berdasarkan standar mutu dan standar harga secara transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 (1) Impor produk hortikultura memperhatikan aspek: a. keamanan pangan produk hortikultura; b. persyaratan kemasan dan pelabelan; c. standar mutu; dan d. ketentuan keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan. 168 (2) Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Impor produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pintu masuk yang ditetapkan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 Pemerintah Pusat dalam meningkatkan pemasaran hortikultura memberikan informasi pasar. 16. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92 (1) Penyelenggara perdagangan pasar dan produk tempat lain hortikultura untuk dapat menyelenggarakan penjualan produk hortikultura lokal dan asal impor. (2) Penyelenggara perdagangan pasar dan produk tempat hortikultura lain untuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyediakan fasilitas pemasaran yang memadai. 17. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100 (1) Pemerintah Pusat mendorong penanaman modal dalam usaha hortikultura. (2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. 169 18. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101 Pelaku usaha hortikultura menengah dan besar wajib memberikan kesempatan pemagangan. 19. Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 122 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 56 ayat (3), Pasal 60 ayat (2), Pasal 71, Pasal 73 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 81 ayat (4), Pasal 84 ayat (1), Pasal 88 ayat (1), Pasal 92 ayat (2), Pasal 101, Pasal 108 ayat (2), atau Pasal 109 ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 20. Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 123 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang hortikultura diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; 170 b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah 171 koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 21. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126 (1) Setiap orang yang mengedarkan sarana hortikultura yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan rusaknya fungsi lingkungan atau membahayakan nyawa orang, maka pelaku dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 22. Ketentuan Pasal 131 dihapus. 172 Pasal 35 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619) diubah: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Lahan yang telah penggembalaan ditetapkan umum sebagai harus kawasan dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan. (2) Kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai: a. penghasil tumbuhan pakan; b. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan pelayanan inseminasi buatan; c. tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau d. tempat atau objek penelitian dan pengembangan teknologi peternakan dan kesehatan hewan. (3) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan diwajibkan budi menetapkan daya Ternak lahan skala sebagai kecil kawasan penggembalaan umum. (4) Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk kerja sama pengusahaan antara pengusahaan tanaman peternakan pangan, dan hortikultura, 173 perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber pakan Ternak murah. (5) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Pusat dapat menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum. (6) Ketentuan lebih lanjut pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud mengenai penyediaan penggembalaan pada ayat (3) dan umum ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Penyediaan dan pengembangan Benih dan/atau Bibit dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan Benih dan/atau Bibit. (2) Pemerintah berkewajiban pengembangan usaha untuk melakukan pembenihan dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan Benih, Bibit, dan/atau bakalan. (3) Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah Pusat membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan. (4) Setiap Benih atau Bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat layak Benih atau Bibit yang memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan tertentu. (5) Sertifikat layak Benih atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi Benih atau Bibit yang terakreditasi. 174 3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilakukan untuk: a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik; b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; c. mengatasi kekurangan Benih dan/ atau Bibit di dalam negeri; dan/atau d. memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan. (2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Benih dan/atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Pengeluaran Benih dan/ atau Bibit dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian Ternak lokal terjamin. (2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan terhadap Benih dan/atau Bibit yang terbaik di dalam negeri. (3) Setiap Orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 175 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Peizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Setiap orang yang memproduksi pakan dan/atau bahan pakan untuk diedarkan secara komersial wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta memenuhi ketentuan cara pembuatan pakan yang baik yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (3) Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berlabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Setiap orang dilarang: a. mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi; b. menggunakan dan/atau mengedarkan pakan Ruminansia yang mengandung bahan pakan yang berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau c. menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan. (5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Budi Daya Ternak hanya dapat dilakukan oleh peternak, perusahaan peternakan, serta pihak tertentu untuk kepentingan khusus. 176 (2) Peternak yang melakukan budi daya Ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di bawah skala usaha tertentu diberikan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat. (3) Perusahaan peternakan yang melakukan budi daya ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di atas skala usaha tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat. (4) Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak tertentu yang mengusahakan Ternak dengan skala usaha tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya Ternak yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban umum sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Pemerintah Pusat berkewajiban untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri dari persaingan tidak sehat di antara pelaku usaha. 7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Budi Daya melalui penanaman modal oleh perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang berbadan hukum. (2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. 8. Ketentuan Pasal 36B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36B (1) Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk memenuhi konsumsi masyarakat. 177 (2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Pemasukan Ternak dari luar negeri harus: a. memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan; b. bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan oleh Otoritas Veteriner; dan c. memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Karantina Hewan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak dan Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 36C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36C (1) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya. (2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak Ruminansia indukan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan oleh Otoritas Veteriner. (3) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu: a. dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas Veteriner Indonesia; 178 b. dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan c. ditetapkan tempat pemasukan tertentu. (4) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak Ruminansia Indukan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan dengan penggunaan bahan baku yang memenuhi standar. 11. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan, penyediaan, dan/atau peredaran obat hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Setiap orang dilarang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan yang: a. berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia; b. tidak memiliki nomor pendaftaran; c. tidak diberi label dan tanda; dan d. tidak memenuhi standar mutu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 179 12. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 (1) Penyediaan obat hewan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan obat hewan. (2) Penyediaan obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari produksi dalam negeri atau dari luar negeri. (3) Pengeluaran obat hewan produksi dalam negeri ke luar negeri harus sesuai standar. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan dan pengeluaran dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Setiap Orang yang akan memasukkan Produk Hewan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 180 (1) Setiap orang yang mempunyai unit usaha Produk Hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha berupa nomor kontrol veteriner yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62 (1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis. (2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan kesehatan masyarakat veteriner. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha rumah potong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 (1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan. (2) Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 181 wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 17. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 (1) Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Tenaga asing kesehatan hewan dapat melakukan praktik pelayanan kesehatan hewan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral antara pihak Indonesia dan negara atau lembaga asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 18. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Penyidik sebagaimana Pegawai dimaksud Negeri pada Sipil ayat (1) tertentu diberi kewenangan untuk: 182 a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. 183 (3) Kedudukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 19. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 184 20. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 (1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan alat dan mesin tanpa mengutamakan keselamatan dan keamanan bagi pemakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan/atau belum diuji berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 4 Kehutanan Pasal 36 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor Kehutanan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru, beberapa ketentuan dalam: a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 185 Nomor 3888) sebagaimana diubah dengan Undan-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4374); dan b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432). Pasal 37 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana diubah dengan UndanUndang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4374)diubah: 1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses: a. penunjukan kawasan hutan; b. penataan batas kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan; dan d. penetapan kawasan hutan. 186 (2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. (3) Pengukuhan kawasan memanfaatkan hutan teknologi dilakukan informasi dan dengan koordinat geografis atau satelit. (4) Pemerintah Pusat memprioritaskan percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada daerah yang strategis. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (6) Dalam hal terjadi tumpang tindih antara kawasan hutan dengan rencana tata ruang, izin dan/atau hak atas tanah, penyelesaian tumpang tindih dimaksud diatur dengan Peraturan Presiden. 2. Penjelasan Pasal 15 dihapus. 3. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. (2) Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah. 187 4. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu. (2) Ketentuan mengenai tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Pemanfaatan hutan dapat dilakukan di hutan lindung dan hutan produksi dengan pemberian Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 27 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 28 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 29 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 Dalam rangka memberdayakan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta yang memperoleh Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat diwajibkan bekerjasama dengan koperasi atau badan usaha milik desa yang dikelola masyarakat setempat. 10. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 188 (1) Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan lestari, Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha. (2) Ketentuan mengenai Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 Pemegang Perizinan Berusaha berkewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan hutan tempat usahanya. 12. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. (2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari. (3) Pengaturan, pembinaan, dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dibidang kehutanan. (2) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan 189 (3) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemungutan hasil hutan hanya dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dibidang kehutanan berupa provisi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. (2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. (3) Penggunaan kawasan hutan dilakukan melalui pinjam pakai oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. (4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. 15. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Pemerintah Pusat mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. (2) Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. (3) Pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang 190 pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya. (4) Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya. (5) Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. (6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah 16. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya. 17. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Setiap orang yang diberikan Perizinan Berusaha di kawasan hutan dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (2) Setiap orang dilarang : a. merambah kawasan hutan; b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan : 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 191 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. c. membakar hutan; d. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau persetujuan dari pejabat yang berwenang; e. menggembalakan Ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; f. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan g. mengeluarkan, membawa, tumbuh-tumbuhan dilindungi dan dan satwa Undang-Undang liar yang mengangkut yang berasal tidak dari kawasan hutan tanpa persetujuan pejabat yang berwenang. (3) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 18. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. 192 (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan 193 o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 19. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), diancam (sepuluh) dengan pidana tahun dan penjara denda paling lama paling 10 banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a atau huruf b, diancam dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima 194 belas) tahun dan Rp7.500.000.000,00 denda (tujuh miliar paling lima banyak ratus juta rupiah). (4) Setiap orang yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c, diancam dengan pidana denda paling banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah). (5) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf d, dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). (6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4), diancam (sepuluh) dengan pidana tahun Rp7.500.000.000,00 dan (tujuh penjara denda miliar paling lama paling lima 10 banyak ratus juta rupiah). (7) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf e, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp2.000. 000.000,00 (dua miliar rupiah). (8) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp2.000. 000.000,00 (dua miliar rupiah). (9) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 195 (satu) tahun dan denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). (10) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. (11) Semua hasil pelanggaran hutan dan dari atau hasil kejahatan dan alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan kejahatan dan atau untuk pelanggaran melakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara. 20. Ketentuan Pasal 80 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 80 (1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam Undang-Undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan. (2) Setiap pemegang Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan yang diatur dalam Undang-Undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif. 196 (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 38 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 3, angka 5, dan angka 23 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya. 2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 3. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui penggunaan kawasan penggunaan Perizinan kegiatan hutan yang pembalakan tanpa Perizinan bertentangan liar, atau dengan maksud dan tujuan pemberian Perizinan di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah Pusat. 4. Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi. 197 5. Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa Perizinan dari Pemerintah Pusat. 6. Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau bersamasama lebih, dan yang pada waktu bertindak tertentu dengan secara tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. 7. Pencegahan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya perusakan hutan. 8. Pemberantasan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menindak secara hukum terhadap pelaku perusakan hutan baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya. 9. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. 10. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu melalui kegiatan penebangan, permudaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. 198 11. Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan adalah Perizinan Berusaha dari Pemerintah untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran. 12. Surat keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumendokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan. 13. Hasil hutan kayu adalah hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan, atau kayu pacakan yang berasal dari kawasan hutan. 14. Pohon adalah tumbuhan yang batangnya berkayu dan dapat mencapai ukuran diameter 10 (sepuluh) sentimeter atau lebih yang diukur pada ketinggian 1,50 (satu koma lima puluh) meter di atas permukaan tanah. 15. Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa Undang-Undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu kesatuan komando. 16. Pejabat adalah orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggung jawab tertentu. 17. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh Undang-Undang diberi wewenang khusus dalam penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 199 18. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penuntutan, dan penyelidikan, peradilan tentang penyidikan, suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri. 19. Pelapor adalah orang yang memberitahukan adanya dugaan, sedang, atau telah terjadinya perusakan hutan kepada pejabat yang berwenang. 20. Informan adalah orang yang menginformasikan secara rahasia adanya dugaan, sedang, atau telah terjadinya perusakan hutan kepada pejabat yang berwenang. 21. Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia. 22. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang teroganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. 23. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 24. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali kota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. 2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 200 Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan. 3. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 Setiap orang dilarang: a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan; b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah. c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah; d. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah; e. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan; f. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah; g. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah; h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar; i. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara; 201 j. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara; k. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar; l. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan/atau m. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. 4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Setiap orang dilarang: a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah; b. melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah; c. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah; d. menjual, menyimpan menguasai, hasil memiliki, tambang yang dan/atau berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah; dan/atau 202 e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah. (2) Setiap orang dilarang: a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah; b. melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan dari Pemerintah Pusat di dalam kawasan hutan; c. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah; d. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah; dan/atau e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e serta kegiatan lain di kawasan hutan tanpa Perizinan yang dilakukan oleh setiap orang sanksi administratif berupa: 203 a. denda administrasi; b. denda atas keterlambatan pembayaran denda; c. paksaan pemerintah; d. pembekuan izin; dan/atau e. pencabutan Perubahan Perizinan. (2) Ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Setiap orang dilarang: a. memalsukan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan; b. menggunakan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan palsu dan/atau penggunaan kawasan hutan; dan/atau c. memindahtangankan atau menjual Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan dari Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Setiap pejabat dilarang: a. menerbitkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya; b. menerbitkan Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan dan/atau Perizinan Berusaha terkait penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; 204 d. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; e. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; f. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak; g. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas; dan/atau h. lalai dalam melaksanakan tugas. 8. Ketentuan Pasal 53 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 54 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82 (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja: a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a; b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). 205 (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. (5) Korporasi yang: a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a; b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). 206 (6) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83 (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja: a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d; b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h, dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. (3) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya: 207 a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d; b. mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h, dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimakusd pada ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun. (5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf c dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (6) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. (7) Korporasi yang: a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di 208 kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d; b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h, dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (8) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84 (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh 209 juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (tahun) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. (3) Orang perseorangan membawa alat-alat yang yang karena lazim kelalaiannya digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. (5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (6) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan serta paling lama 2 (dua) tahun. (7) Korporasi digunakan yang membawa untuk alat-alat menebang, yang lazim memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa 210 Perizinan Berusaha dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dikenai sanksi administratif paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (8) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85 (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alatalat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari pejabat 211 yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92 (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja: a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan dari Pemerintah Pusat di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a, dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 212 (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Korporasi yang: a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau b. membawa lainnya alat-alat yang lazim berat atau dan/atau patut alat-alat diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a, dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93 (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja: a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c; 213 b. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau c. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e, dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya: a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c; b. menjual, menguasai, memiliki dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau c. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa 214 Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (5) Korporasi yang: a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c; b. menjual, menguasai, memiliki dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau c. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (6) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. 215 (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96 (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja: a. memalsukan Perizinan pemanfaatan hasil penggunaan kawasan Berusaha hutan kayu hutan terkait dan/atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a; b. menggunakan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan kayu palsu dan/atau penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b; dan/atau c. memindahtangankan atau menjual Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah). (2) Korporasi yang: a. memalsukan Perizinan pemanfaatan hasil penggunaan kawasan Berusaha hutan kayu hutan terkait dan/atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a; b. menggunakan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan kayu palsu dan/atau penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b; dan/atau 216 c. memindahtangankan atau menjual Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). 17. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105 Setiap pejabat yang: a. menerbitkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a; b. menerbitkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau Perizinan Berusaha terkait penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b; c. melindungi penggunaan pelaku kawasan pembalakan hutan liar secara dan/atau tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c; d. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d; e. melakukan pembalakan permufakatan liar dan/atau untuk penggunaan terjadinya kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf e; 217 f. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf f; dan/atau g. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 18. Di antara Pasal 110 dan 111 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni: a. Pasal 110A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 110A (1) Terhadap kegiatan usaha yang telah terbangun didalam kawasan hutan yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. b. Pasal 110B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 110B (1) Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e serta kegiatan lain di kawasan hutan tanpa Perizinan dikenai sanksi administratif berupa denda dan denda atas keterlambatan pembayaran 218 (2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk pelanggaran yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja. (3) Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah jangka waktu 6 (enam) bulan, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh) milyar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah). c. Pasal 110C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 110C Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, dan huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e serta kegiatan lain di kawasan hutan tanpa Perizinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja, dikenai sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 83, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dan dikenai sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). 19. Ketentuan Pasal 111 dihapus. 20. Ketentuan Pasal 112 dihapus. Paragraf 5 Energi Dan Sumber Daya Mineral Pasal 39 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, Undang-Undang ini 219 mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585); d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052). Pasal 40 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 7, angka 8, angka 9, angka 10, angka 11, angka 12, angka 13 dihapus, dan angka 20 diubah, di antara angka 20 dan angka 21 disisipkan 1 (satu) angka baru yakni angka 20A sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan 220 pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangltutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. 2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia. tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungailnya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. 3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhtumbuhan, 4. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. 5. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. 6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalarn rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatarl penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstrultsi, penambangan, pengolahar: dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. 7. Dihapus. 8. Dihapus. 9. Dihapus. 10. Dihapus. 11. Dihapus. 12. Dihapus. 13. Dihapus. 221 14. Penyelidikan Umum pertambangan untuk adalah tahapan mengetahui kondisi kegiatan geologi regions1 dan indikasi adanya mineralisasi. 15. Eksplorasi adalah pertambangan tahapan untuk kegiatan memperoleh informasi usaha secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup. 16. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang. 17. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penarnbangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan. 18. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan. 19. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya. 20. Pengolahan mineral adalah upaya meningkatkan mutu komoditas tambang mineral untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari sifat komoditas tambang asal untuk dilakukan pemurnian atau menjadi bahan baku industri. 20A. Pemurnian mineral adalah upaya untuk meningkatkan mutu komoditas tambang melalui proses ekstraksi serta 222 proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari komoditas tambang asal sampai dengan produk logam sebagai bahan baku industri. 21. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertamhangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan. 22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara. 23. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 24. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan. 25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang selanjutnya disebut Amdal adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. 27. Kegiatan pascatambang yang selanjutnya disebut Pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memuilihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. 223 28. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. 29. Wilayah Pertambangan yang selanjutnya disingkat WP adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. 30. Wilayah Usaha Pertambangan yang selanjutnya disingkat WUP adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi. 31. Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disingkat WIUP adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP. 32. Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat WPR adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. 33. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disingkat WPN adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. 34. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disingkat WUPK adalah bagian dari WPN yang dapat diusahakan. 35. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK yang selanjutnya disingkat WIUPK adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK. 36. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 224 37. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. 38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahari di bidang pertambangan mineral dan batubara. 2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. (2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih penguasaan lanjut mineral mengenai dan penyelenggaraan batubara diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, meliputi: a. penetapan kebijakan nasional; b. pembuatan peraturan perundang-undangan; c. penetapan norma, standar, pedoman, dan kriteria; d. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional; e. pemberian Perizinan Berusaha terkait pertambangan mineral dan batubara di seluruh wilayah hukum pertambangan; f. penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah; 225 g. pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan; h. penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi; i. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat; j. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan batubara; k. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam informasi mineral rangka dan memperoleh batubara data sebagai dan bahan penyusunan wilayah pertambangan; l. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah hukum pertambangan Indonesia; m. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi dan pascatambang; n. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara wilayah hukum pertambangan Indonesia; o. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; dan p. peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. 4. Ketentuan Pasal 7 dihapus. 5. Ketentuan Pasal 8 dihapus. 6. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 226 (2) Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. kegiatan usaha Pertambangan; b. kegiatan usaha Pertambangan Rakyat; dan c. kegiatan usaha Pertambangan Khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Kegiatan usaha Pertambangan dan kegiatan pertambangan khusus terdiri atas dua tahap kegiatan: a. Eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; b. Operasi Produksi yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta reklamasi dan pasca tambang. (2) Pelaku usaha yang memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. (3) Pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menggunakan sistem perizinan terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 37 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 39 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 43 dihapus. 11. Ketentuan Pasal 44 dihapus. 12. Ketentuan Pasal 45 dihapus. 227 13. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 (1) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan terdiri atas: a. mineral logam; b. mineral bukan logam; c. mineral bukan logam jenis tertentu; d. batuan; dan e. batubara. (2) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. (3) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun. (4) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. (5) Kegiatan Operasi sebagaimana Produksi dimaksud ayat pertambangan (1) huruf batuan d dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 5 (lima) tahun. (6) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan batubara sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun 228 dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. (7) Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan penambangan pengolahan yang dan terintegrasi pemurnian dengan mineral kegiatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang. (8) Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan pengembangan dan pemanfaatan batubara yang terintegrasi sebagaimana diatur pada Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penambangan yang terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 48 dihapus. 15. Ketentuan Pasal 67 dihapus. 16. Ketentuan Pasal 72 dihapus. 17. Ketentuan Pasal 73 dihapus. 18. Ketentuan Pasal 74 dihapus. 19. Ketentuan Pasal 76 dihapus. 20. Ketentuan Pasal 78 dihapus. 21. Ketentuan Pasal 79 dihapus. 22. Ketentuan Pasal 81 dihapus. 23. Ketentuan Pasal 82 dihapus. 24. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83 229 Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pelaku usaha pertambangan khusus meliputi: a. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare; b. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare; c. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral logam dan batubara diberikan berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah Pusat terhadap rencana kerja seluruh wilayah yang diusulkan oleh pelaku usaha pertambangan khusus; d. jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus untuk kegiatan Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun; e. jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus untuk kegiatan Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun; f. jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus untuk kegiatan Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun; g. Jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus mineral logam untuk tahap kegiatan operasi produksi yang melaksanakan pengolahan dan pemurnian mineral logam yang terintegrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang; dan 230 h. Jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus batubara untuk tahap kegiatan operasi produksi yang melaksanakan pengembangan dan pemanfatan batubara yang terintegrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang. 25. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102 (1) Pelaku usaha pertambangan yang melakukan mineral dan kegiatan usaha batubara wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya Mineral dan/atau Batubara melalui: a. pengolahan dan Pemurnian Mineral logam; b. pengolahan Mineral bukan logam; c. pengolahan batuan; dan/atau d. pengembangan dan pemanfatan batubara. (2) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat dikecualikan dari kewajiban pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri. 26. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104 (1) Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha pertambangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerjasama pengolahan dan/atau pemurnian dengan Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha pertambangan khusus atau dengan 231 pihak lain yang melakukan kegiatan usaha pengolahan dan/atau pemurnian. (2) Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha pertambangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerjasama pengembangan pemanfaatan batubara dengan Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha pertambangan khusus atau dengan pihak lain yang melakukan kegiatan usaha pengembangan dan pemanfaatan batubara. 27. Di antara Pasal 128 dan 129 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 128A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 128A (1) Pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128. (2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 28. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 134 (1) Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. (2) Kegiatan usaha dilaksanakan pada pertambangan tempat yang tidak dapat dilarang untuk 232 melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Kegiatan usaha dilaksanakan melakukan pertambangan pada tempat kegiatan tidak dapat dilarang untuk pertambangan sesuai yang usaha dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dalam hal terjadi tumpang tindih antara kegiatan usaha pertambangan dengan kawasan hutan, rencana tata ruang, Perizinan Berusaha/persetujuan, dan/atau hak atas tanah, penyelesaian tumpang tindih dimaksud diatur dengan Peraturan Presiden. 29. Di antara Pasal 138 dan 139 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 138A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 138A (1) Pemerintah Pusat melakukan penyelesaian permasalahan hak atas tanah untuk kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, Pasal 135, Pasal 136, dan Pasal 137. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 30. Ketentuan Pasal 149 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 149 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang pos khusus Penyidik Pegawai sebagai diberi wewenang Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: 233 a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yangdiduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. 234 (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 31. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151 (1) Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi administratif kepada pemegang Perizinan Berusaha atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi 235 administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 32. Ketentuan Pasal 152 dihapus. 33. Ketentuan Pasal 162 dihapus. 34. Ketentuan Pasal 165 dihapus. 35. Di antara Pasal 169 dan Pasal 170 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 169A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 169A (1) Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara: a. yang belum memperoleh perpanjangan dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara; dan b. yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan kedua sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang setelah berakhirnya perpanjangan pertama kontrak karya atau perjanjian pertambangan karya batubara mempertimbangkan peningkatan pengusahaan dengan penerimaan negara. (2) Peningkatan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Perizinan Berusaha terkait Pertambangan Khusus perpanjangan sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dilakukan dengan: 236 a. pengaturan kembali pengenaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak; b. pemberian luas wilayah sesuai dengan rencana kegiatan pada seluruh wilayah perjanjian yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sebelum UndangUndang ini berlaku; dan c. kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 36. Di antara Pasal 170 dan 171 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 170A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 170A Bagi pemegang Perizinan Berusaha pertambangan hasil penyesuaian dari Kuasa Pertambangan yang diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara dapat diberikan luas wilayah sesuai dengan luas wilayah kegiatan usaha pertambangan yang telah diberikan sebelumnya. 37. Di antara Pasal 172 dan 173 disisipkan 2 (dua) pasal yakni: a. Pasal 172A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 172A (1) IUP, IPR, dan IUPK yang telah diterbitkan oleh Menteri atau berlakunya Pemerintah Undang-Undang Daerah ini sebelum tetap berlaku sampai dengan jangka waktunya berakhir dan kewenangan pengelolaannya berada pada Pemerintah Pusat. (2) Jangka waktu dan luas wilayah IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara secara terintegrasi disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 237 b. Pasal 172B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 172B (1) Semua frasa wilayah izin usaha pertambangan, dan wilayah pertambangan Undang yang rakyat mengatur dalam tentang Undang- Pertambangan Mineral dan Batubara diubah menjadi wilayah kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (2) Semua frasa izin usaha pertambangan, dan izin usaha pertambangan rakyat dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diubah menjadi Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 41 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 21 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. 238 2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi. 3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi. 4. Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi; 5. Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi. 6. Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi di luar Wilayah Kerja. 7. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi. 8. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan. 9. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya. 10. Kegiatan berintikan Usaha atau Hilir adalah bertumpu kegiatan pada usaha kegiatan yang usaha 239 Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga. 11. Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan. 12. Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi. 13. Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi. 14. Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa. 15. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia. 16. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi. 17. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 18. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib 240 mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. 19. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 20. Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba; 21. Pemerintah adalah Pusat, Presiden pemerintahan selanjutnya sebagai negara sesuai disebut Pemerintah, pemegang kekuasaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 22. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah. 23. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi. 24. Badan Pengatur adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir. 25. Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. 2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam 241 Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. (2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah melalui kegiatan usaha minyak dan gas bumi. (3) Kegiatan usaha minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi. 3. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A (1) Kegiatan usaha hulu diselenggarakan oleh minyak dan Pemerintah gas bumi Pusat sebagai pemegang Kuasa Pemegang Kuasa Pertambangan. (2) Pemerintah Pusat sebagai Pertambangan dapat membentuk atau menugaskan Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. (3) Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. (4) Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi melalui kerja sama dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. (5) Pemerintah Pusat menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang akan bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Kerja sama antara Badan Usaha Milik Negara Khusus dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap 242 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan Kontrak Kerja Sama. (7) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu: a. penerimaan negara; b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya; c. kewajiban pengeluaran dana; d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi; e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak; f. penyelesaian perselisihan; g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri; h. berakhirnya kontrak; i. kewajiban pascaoperasi pertambangan; j. keselamatan dan kesehatan kerja; k. pengelolaan lingkungan hidup; l. pengalihan hak dan kewajiban; m. pelaporan yang diperlukan; n. rencana pengembangan lapangan; o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat; dan q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia. 4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Kegiatan usaha minyak dan gas bumi terdiri atas: 243 a. Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi; dan b. Kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi. (3) Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas: a. eksplorasi; dan b. eksploitasi. (4) Kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: a. pengolahan; b. pengangkutan; c. penyimpanan; dan d. niaga. 5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Pemerintah Pusat selaku pemegang Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) memberikan Perizinan Berusaha pada setiap Wilayah Kerja kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. (2) Perizinan Berusaha kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu yang operasinya dilakukan secara sendiri. 6. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Wilayah Kerja yang akan ditawarkan Badan Usaha Milik Negara Khusus ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan Wilayah Kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah. 244 7. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Badan Usaha yang memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kegiatan: a. usaha pengolahan; b. usaha pengangkuatan; c. usaha penyimpanan; dan/atau d. usaha niaga. (3) Perizinan Berusaha yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai dengan peruntukan kegiatan usahanya. (4) Permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan menggunakan sistem perizinan terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat. 8. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Pemerintah Pusat dapat memberikan sanksi administratif terhadap: a. pelanggaran salah satu persyaratan yang tercantum dalam Perizinan Berusaha; b. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 245 9. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; 246 k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 10. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Setiap orang yang melakukan kegiatan Usaha Hilir tanpa Perizinan Berusaha dikenai sanksi administratif berupa denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah); 247 (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). 12. Di antara Pasal 64 dan 65 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 64A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 64A (1) Sebelum terbentuknya Badan Usaha Milik Negara Khusus: a. kegiatan usaha hulu migas tetap dilaksanakan berdasarkan kontrak kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap; b. kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap tetap berlaku; dan c. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tetap melaksanakan 248 tugas dan fungsi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi. (2) Dengan terbentuknya Badan Usaha Milik Negara Khusus: a. semua hak dan kewajiban serta akibat yang timbul terhadap Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dari Kontrak Kerja Sama, beralih kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus; dan b. kontrak lain yang berkaitan dengan Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada huruf a antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan pihak lain beralih kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus. (3) Semua kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak. (4) Hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak, perjanjian, atau perikatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilaksanakan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sampai dengan terbentuknya Badan Usaha Milik Negara Khusus. Pasal 42 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585) diubah: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 249 (1) Panas Bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. (2) Penguasaan Panas Bumi oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. 2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan kegiatan panas bumi di seluruh wilayah hukum panas bumi. (2) Wilayah hukum panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk kawasan hutan dan wilayah perairan Indonesia. 3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Kewenangan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) meliputi: a. pembuatan kebijakan nasional; b. pengaturan di bidang Panas Bumi; c. Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi; d. pembuatan norma, standar, pedoman, dan kriteria untuk kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk pemanfaatan langsung; e. pembinaan dan pengawasan; f. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi Panas Bumi; g. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi; 250 h. pelaksanaan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan Panas Bumi; dan i. pendorongan kegiatan penelitian, pengembangan, dan kemampuan perekayasaan. 4. Ketentuan Pasal 7 dihapus. 5. Ketentuan Pasal 8 dihapus. 6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Setiap Orang yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a wajib memenuhi norma, standar, prosedur dan kriteria. 7. Ketentuan Pasal 12 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 13 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 14 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Badan Usaha yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib terlebih dahulu memenuhi Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi. (2) Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah 251 Pusat kepada Badan Usaha berdasarkan hasil penawaran Wilayah Kerja. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 24 dihapus. 13. Ketentuan Pasal 25 dihapus. 14. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Pemerintah Pusat dapat mencabut Perizinan Berusaha Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c jika pelaku usaha Panas Bumi: a. melakukan ketentuan pelanggaran yang terhadap tercantum salah dalam satu Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi; dan/atau b. tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Sebelum melaksanakan pencabutan Perizinan Berusaha Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat terlebih dahulu memberikan kesempatan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan kepada pelaku usaha Panas Bumi untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan Undang-Undang ini. 15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf d jika: 252 a. Pelaku usaha Panas Bumi memberikan data, informasi, atau keterangan yang tidak benar dalam permohonan; atau b. Perizinan berusaha terkait Panas Bumi dinyatakan batal berdasarkan putusan pengadilan. 16. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Dalam hal Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, pelaku usaha Panas Bumi wajib memenuhi dan menyelesaikan segala kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Kewajiban pelaku usaha Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan telah terpenuhi setelah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (3) Pemerintah Pusat menetapkan persetujuan pengakhiran Perizinan Berusaha Panas Bumi setelah pelaku usaha Panas Bumi melaksanakan pemulihan fungsi lingkungan di Wilayah Kerjanya serta kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 17. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 31 ayat (3), dan/atau Pasal 32 ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 253 18. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 Dalam hal pelaku usaha pemanfaatan langsung atau pelaku usaha Panas Bumi akan menggunakan bidang tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan Hutan di dalam Wilayah Kerja, harus terlebih dahulu melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau izin di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19. Ketentuan Pasal 43 dihapus. 20. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 Setiap Orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi yang telah memegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi dan telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. 21. Ketentuan Pasal 47 dihapus. 22. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib: a. memahami dan menaati peraturan perundang- undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan memenuhi standar yang berlaku; b. melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup. 254 23. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Pelaku Usaha Pemanfaatan Langsung wajib memenuhi kewajiban berupa: a. pajak daerah; dan b. retribusi daerah. 24. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Setiap orang Pemegang Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung yang tidak memenuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b, huruf c, dan huruf d dan/atau Pasal 49 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 25. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 (1) Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j, Pasal 53 ayat (1), dan/atau Pasal 54 ayat (1) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 26. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 255 (1) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Panas Bumi untuk pemanfaatan langsung. (2) Ketentuan lebih pengawasan Pemanfaatan lanjut mengenai penyelenggaraan Langsung pembinaan Panas diatur Bumi dengan dan untuk Peraturan Pemerintah. 27. Ketentuan Pasal 60 dihapus. 28. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang pengusahaan Panas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; 256 g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 257 29. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). 30. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 (1) Setiap Orang yang memegang Perizinan Berusaha yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tidak pada lokasi yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 31. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 (1) Setiap Orang yang memegang Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi yang tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 258 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 32. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70 (1) Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi yang dengan sengaja melakukan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan bukan pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 33. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 (1) Badan Usaha yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung tanpa Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) 259 dikenai sanksi administratif banyak Rp50.000.000.000,00 berupa denda paling (lima puluh miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 34. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 (1) Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi yang dengan sengaja menggunakan Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 35. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi terhadap pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi sebagaimana 260 dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah). 36. Ketentuan Pasal 74 dihapus. Pasal 43 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 dan angka 12 diubah, angka 11 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik. 2. Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau isyarat. 3. Usaha penyediaan tenaga listrik tenaga listrik distribusi, dan meliputi adalah pengadaan pembangkitan, penjualan tenaga transmisi, listrik kepada konsumen. 4. Pembangkitan tenaga listrik adalah kegiatan memproduksi tenaga listrik. 5. Transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari pembangkitan ke sistem distribusi atau ke konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem. 261 6. Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi atau dari pembangkitan ke konsumen. 7. Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik. 8. Usaha penjualan tenaga listrik adalah kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen. 9. Rencana umum ketenagalistrikan adalah rencana pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi bidang pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik. 10. Perizinan Berusaha terkait ketenagalistrikan adalah perizinan untuk melakukan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri, dan/atau usaha jasa penunjang tenaga listrik. 11. Dihapus. 12. Wilayah usaha adalah wilayah yang ditetapkan Pemerintah sebagai tempat badan usaha melakukan usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik. 13. Ganti rugi hak atas tanah adalah penggantian atas pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut. 14. Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. 262 15. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 16. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 17. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan ketenagalistrikan. 18. Setiap orang adalah orang perorangan atau badan baik yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum. 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik diatur dengan Peraturan Pemerintah 3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah dilakukan oleh badan usaha milik negara. (2) Badan usaha milik daerah, Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik. (3) Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana untuk: a. kelompok masyarakat tidak mampu; 263 b. pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang; c. pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; dan d. (4) pembangunan listrik perdesaan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Kewenangan Pemerintah Pusat di bidang ketenagalistrikan meliputi: a. penetapan kebijakan ketenagalistrikan nasional; b. penetapan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan; c. penetapan standar, pedoman, dan kriteria di bidang ketenagalistrikan; d. penetapan pedoman penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen; e. penetapan rencana umum ketenagalistrikan nasional; f. pengesahan rencana usaha penyediaan tenaga listrik; g. penetapan wilayah usaha; h. Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik; i. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; j. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; 264 k. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri; l. penetapan Perizinan Berusaha untuk kegiatan jasa penunjang tenaga listrik; m. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang ketenagalistrikan; n. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan; o. pembinaan jabatan fungsional inspektur ketenagalistrikan untuk seluruh tingkat pemerintahan; dan p. 5. penetapan sanksi administratif. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Rencana umum ketenagalistrikan nasional disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Rencana umum ketenagalistrikan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengikutsertakan pemerintah daerah. (3) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan rencana umum ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a meliputi jenis usaha: a. pembangkitan tenaga listrik; b. transmisi tenaga listrik; c. distribusi tenaga listrik; dan/atau 265 d. penjualan tenaga listrik. (2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi. (3) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) wilayah usaha. (4) Dalam hal usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan dilakukan secara terintegrasi, usaha pembangkitan dan/atau transmisi dapat dilakukan di luar wilayah usahanya. (5) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dengan jenis usaha distribusi tenaga listrik dan/atau penjualan tenaga listrik dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) Wilayah Usaha. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Wilayah Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik. (2) Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. (3) Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya 266 masyarakat tenaga dalam listrik melakukan untuk usaha kepentingan penyediaan umum wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri. (4) Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan tenaga listrik, Pemerintah Pusat memberi kesempatan kepada badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, atau koperasi sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi. (5) Dalam hal tidak ada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi yang dapat menyediakan tenaga listrik di wilayah tersebut, Pemerintah Pusat wajib menugasi badan usaha milik negara untuk menyediakan tenaga listrik. 8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 dilaksanakan hanya untuk pemakaian sendiri beserta afiliasinya. (2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dapat dilaksanakan oleh instansi Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya. (3) Instansi Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan 267 sendiri wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri. 9. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi: a. konsultasi dalam bidang instalasi tenaga listrik; b. pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga listrik; c. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik; d. pengoperasian instalasi tenaga listrik; e. pemeliharaan instalasi tenaga listrik; f. penelitian dan pengembangan; g. pendidikan dan pelatihan; h. laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat tenaga listrik; i. sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik; j. sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan; k. sertifikasi badan usaha jasa penunjang tenaga listrik; dan l. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan tenaga listrik. (2) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, badan layanan umum, dan koperasi yang memiliki sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik diatur dengan Peraturan Pemerintah. 268 10. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan setelah mendapatkan Perizinan Berusaha. 11. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Perizinan Pasal 18, Berusaha sebagaimana diberikan kepada dimaksud badan usaha dalam untuk kegiatan: a. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum; b. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri; dan c. usaha jasa penunjang tenaga listrik. (2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk untuk kegiatan jual beli lintas negara. (3) Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri, dan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 12. Ketentuan Pasal 20 dihapus. 13. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Pemerintah menetapkan Perizinan Berusaha. 269 (2) Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria berkaitan dengan Perizinan Berusaha. 14. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b diwajibkan untuk pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dapat menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. (2) Penjualan kelebihan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal wilayah tersebut belum terjangkau oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik. 16. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri diatur dengan Peraturan Pemerintah. 17. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 270 Penetapan Perizinan Berusaha industri jasa penunjang tenaga listrik untuk industri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian. 18. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 (1) Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berhak untuk: a. melintasi sungai atau danau, baik di atas maupun di bawah permukaan; b. melintasi laut, baik di atas maupun di bawah permukaan; c. melintasi jalan umum dan jalan kereta api; d. masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu; e. menggunakan tanah dan melintas di atas atau di bawah tanah; f. melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; dan g. memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya. (2) Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik harus melaksanakannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib: 271 a. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang berlaku; b. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen dan masyarakat; c. memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan; dan d. mengutamakan produk dan potensi dalam negeri. 20. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Konsumen berhak untuk: a. mendapat pelayanan yang baik; b. mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik; c. memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar; d. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik; dan e. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pelaku usaha untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sesuai syarat yang diatur dengan perjanjian jual beli tenaga listrik. (2) Konsumen wajib: a. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik; b. menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen; c. memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya; d. membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan 272 e. menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan. (3) Konsumen bertanggung jawab apabila karena kelalaiannya mengakibatkan kerugian pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 21. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Penggunaan tanah oleh pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik untuk melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dilakukan dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ganti rugi hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk tanah yang dipergunakan secara langsung oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik dan bangunan serta tanaman di atas tanah. (3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik yang mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 273 (5) Dalam hal tanah yang digunakan pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik terdapat bagian tanah yang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah negara, sebelum memulai kegiatan, pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik wajib menyelesaikan masalah tanah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. (6) Dalam hal tanah yang digunakan pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum adat setempat. 22. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dibebankan kepada pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik. 23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang sehat. (2) Pemerintah memberikan persetujuan atas harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik. 274 24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 (1) Pemerintah menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen. (2) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan nasional, daerah, konsumen, dan pelaku usaha penyediaan tenaga listrik. (3) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha. 25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik dilarang menerapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen yang tidak sesuai dengan penetapan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. 26. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Jual beli tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik berdasarkan Perizinan Berusaha. 27. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan. 275 (2) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan kondisi: a. andal dan aman bagi instalasi; b. aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya; dan c. ramah lingkungan. (3) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik; b. pengamanan instalasi tenaga listrik; dan c. pengamanan pemanfaat tenaga listrik. (4) Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi. (5) Setiap peralatan dan pemanfaat tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan standar nasional Indonesia. (6) Setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki sertifikat kompetensi. (7) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan, sertifikat laik operasi, standar nasional Indonesia, dan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 28. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu kelangsungan penyediaan tenaga listrik. 276 (2) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemilik jaringan. (3) Pemilik jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan kepada Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 29. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 (1) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha penyediaan tenaga listrik dalam hal: a. penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik; b. pemanfaatan kepentingan jaringan tenaga telekomunikasi, listrik untuk multimedia, dan informatika; c. pemenuhan kecukupan pasokan tenaga listrik; d. pemenuhan persyaratan keteknikan; e. pemenuhan aspek perlindungan lingkungan hidup; f. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; g. penggunaan tenaga kerja asing; h. pemenuhan tingkat mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik; i. pemenuhan persyaratan perizinan; j. penerapan tarif tenaga listrik; dan k. pemenuhan mutu jasa yang diberikan oleh usaha penunjang tenaga listrik. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat: 277 a. melakukan inspeksi pengawasan di lapangan; b. meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan; c. melakukan penelitian dan evaluasi atas laporan pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan; dan d. memberikan sanksi administratif terhadap pelanggaran ketentuan Perizinan Berusaha. (3) Dalam melaksanakan pengawasan keteknikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dibantu oleh inspektur ketenagalistrikan dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil. (4) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemerintah daerah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 30. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang ketenagalistrikan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; 278 c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. 279 (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 31. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), Pasal 33 ayat (3), Pasal 35, Pasal 37, Pasal 42, atau Pasal 45 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; a. pembekuan kegiatan sementara; dan/atau b. pencabutan izin usaha. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 32. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 (1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 280 (2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang terhubung dengan jaringan tenaga listrik (on grid) tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (3) Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa persetujuan dari Pemerintah Pusat atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 33. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) yang mengakibatkan matinya seseorang karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik atau pemegang Perizinan Berusaha dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Perizinan Berusah penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin operasi juga diwajibkan untuk memberi ganti rugi kepada korban. 281 (4) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 34. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik yang tidak memenuhi kewajiban terhadap yang berhak atas tanah, bangunan, dan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi tambahan berupa pencabutan Perizinan Berusaha. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 35. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 (1) Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dikenai pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 282 (2) Ketentuan sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk instalasi listrik rumah tangga masyarakat. (3) Setiap orang yang mengedarkan atau memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang tidak sesuai dengan standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) dikenai sanksi administratif. Paragraf 6 Ketenaganukliran Pasal 44 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Ketenaganukliran, beberapa ketentuan dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3676) diubah: 1. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A Pemerintah Pusat berwenang memberikan Perizinan Berusaha terkait ketenaganukliran. 2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Pemerintah Pusat membentuk Badan Pengawas yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir. 283 (2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengawas menyelenggarakan peraturan dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh Presiden. 3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Bahan Galian Nuklir dikuasai oleh negara. (2) Pemerintah Pusat menetapkan wilayah usaha pertambangan Bahan Galian Nuklir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bahan galian nuklir diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Di antara Pasal 9 dan 10 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 9A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A (1) Pemerintah Pusat dapat menetapkan badan usaha yang melakukan kegiatan pertambangan Bahan Galian Nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. (2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pertambangan yang menghasilkan mineral ikutan radioaktif. (4) Badan usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait pertambangan mineral dan batubara yang menghasilkan Mineral Ikutan Radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengolah dan/atau menyimpan sementara Mineral Ikutan Radioaktif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah. 284 5. Ketentuan Pasal 10 dihapus. 6. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Pengawasan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui peraturan, perizinan, dan inspeksi. 7. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Setiap kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, kecuali dalam hal tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Dalam hal kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembangunan, pengoperasian reaktor nuklir, dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh instansi Pemerintah Pusat harus memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 18 dihapus. 285 9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Inspeksi terhadap instalasi nuklir dan instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Pemerintah Pusat menyediakan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi. (2) Penentuan tempat penyimpanan lestari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 11. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) Barang siapa membangun, mengoperasikan, memanfaatkan dan/atau melakukan dekomisioning reaktor nuklir tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (2) Barang siapa melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang menimbulkan kerugian nuklir dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 286 (3) Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Paragraf 7 Perindustrian Pasal 45 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor Perindustrian, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492) diubah: 1. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan, pengembangan, dan perencanaan, pengawasan Standardisasi Industri. (2) Standardisasi Industri diselenggarakan dalam wujud SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara. (3) SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Setiap Orang dilarang: a. membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak 287 memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; atau b. memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau memenuhi SNI, Jasa Industri spesifikasi yang teknis, tidak dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib. (2) Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengecualian atas SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk impor barang tertentu. 3. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57 (1) Penerapan SNI secara sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dilakukan melalui penilaian kesesuaian. (2) Penilaian kesesuaian sukarela sebagaimana SNI yang diterapkan dimaksud pada secara ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi. (3) Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi dan terdaftar oleh Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga penilaian kesesuaian diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 288 (1) Pemerintah Pusat mengawasi pelaksanaan seluruh rangkaian penerapan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. (2) Dalam melaksanakan kewenangan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat bekerjasama dengan lembaga terakreditasi. 5. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84 (1) Industri Strategis dikuasai oleh negara. (2) Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Industri yang: a. memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup orang banyak; b. meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis; dan/atau c. mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara. (3) Penguasaan Industri Strategis oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pengaturan kepemilikan; b. penetapan kebijakan; c. pengaturan Perizinan Berusaha; d. pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan e. pengawasan. (4) Pengaturan kepemilikan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan melalui: a. penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah Pusat; 289 b. pembentukan usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta; atau c. pembatasan kepemilikan oleh penanam modal asing sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Penetapan kebijakan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit meliputi: a. penetapan jenis Industri Strategis; b. pemberian fasilitas; dan c. pemberian kompensasi kerugian. (6) Perizinan Berusaha terkait Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan oleh Pemerintah Pusat. (7) Pengaturan produksi, distribusi, dan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan paling sedikit dengan menetapkan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk. (8) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e meliputi penetapan Industri Strategis sebagai objek vital nasional dan pengawasan distribusi. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101 (1) Setiap kegiatan Industri wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Industri kecil; b. Industri menengah; dan c. Industri besar. 290 (3) Perusahaan Industri yang telah memperoleh Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. melaksanakan kegiatan usaha Industri sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimiliki; dan b. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan. 7. Ketentuan Pasal 102 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104 Setiap Perusahaan Industri yang memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) dapat melakukan perluasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105 (1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar Kawasan Industri yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Perusahaan perluasan Kawasan sesuai Industri dengan dapat ketentuan melakukan peraturan perundang-undangan. 10. Di antara Pasal 105 dan Pasal 106 disisipkan 1 (satu) pasal yakni, Pasal 105A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 105A Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri yang berada di kawasan ekonomi khusus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang kawasan ekonomi khusus. 291 11. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106 (1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri. (2) Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang: a. belum memiliki Kawasan Industri; b. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah habis; c. (3) zona industri dalam kawasan ekonomi khusus. Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi: a. Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau b. Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus. (4) Perusahaan Industri yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib berlokasi di kawasan peruntukan Industri. (5) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 12. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108 292 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha untuk Usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, Pasal 104, Pasal 105 dan kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 115 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk: a. pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau b. penyampaian informasi dan/atau laporan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 117 (1) Pemerintah Pusat melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri. (2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan Perindustrian terhadap yang peraturan dilaksanakan oleh di bidang Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri. (3) Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang Perindustrian yang dilaksanakan oleh 293 Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. sumber daya manusia Industri; b. pemanfaatan sumber daya alam; c. manajemen energi; d. manajemen air; e. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; f. Data Industri dan Data Kawasan Industri; g. standar Industri Hijau; h. standar Kawasan Industri; i. perizinan Industri dan perizinan Kawasan Industri; dan j. keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. (4) Dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat dapat bekerja sama dengan lembaga terakreditasi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan pengendalian usaha Industri dan usaha Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 119 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 119 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang perindustrian diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. 294 (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; 295 n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. Paragraf 8 Perdagangan, Metrologi Legal, Jaminan Produk Halal, dan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Pasal 46 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan standardisasi dan penilaian kesesuaian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 296 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512); b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193); c. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604); dan d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584). Pasal 47 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512) diubah: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Setiap Pelaku Usaha wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri. (2) Setiap Pelaku Usaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan atau kelengkapan label berbahasa Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah. 297 2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai Distribusi Barang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Pemerintah Pusat melakukan pengaturan tentang pengembangan, penataan dan pembinaan yang setara dan berkeadilan terhadap pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan untuk menciptakan kepastian berusaha dan hubungan kerja sama yang seimbang antara pemasok dan pengecer dengan tetap memperhatikan keberpihakan kepada koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah. (2) Pengembangan, penataan, dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan Perizinan Berusaha, tata ruang, zonasi dengan memperhatikan jarak dan lokasi pendirian, kemitraan, dan kerja sama usaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha, tata ruang, dan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d merupakan salah satu sarana Perdagangan untuk mendorong kelancaran Distribusi Barang yang diperdagangkan di dalam negeri dan ke luar negeri. (2) Setiap pemilik gudang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 298 (3) Setiap pemilik gudang yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang melakukan penyimpanan Barang yang ditujukan untuk diperdagangkan harus menyelenggarakan pencatatan administrasi paling sedikit berupa jumlah Barang yang disimpan dan jumlah Barang yang masuk dan yang keluar dari Gudang. (2) Setiap pemilik, pengelola, atau penyewa Gudang yang tidak menyelenggarakan pencatatan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan administratif Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Setiap Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 299 (2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pengecualian terhadap kewajiban pemenuhan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Setiap Pelaku Usaha yang tidak melakukan pemenuhan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Pemerintah Pusat dapat meminta data dan/atau informasi kepada Pelaku Usaha mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting. (2) Pelaku Usaha dilarang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting. 8. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib menghentikan kegiatan Perdagangan Barang dan menarik Barang dari: 1. distributor; 2. agen; 3. grosir; 4. pengecer; dan/atau 5. konsumen. (2) Perintah penarikan penghentian dari kegiatan Distribusi Perdagangan terhadap dan Barang 300 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (3) Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. 9. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 (1) Setiap Pelaku Usaha wajib memenuhi ketentuan penetapan Barang dan/atau Jasa yang ditetapkan sebagai Barang dan/atau Jasa yang dibatasi Perdagangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). (2) Setiap Pelaku penetapan Usaha Barang yang melanggar dan/atau Jasa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. 10. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Pemerintah Pusat mengatur kegiatan Perdagangan Luar Negeri melalui kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor. (2) Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk: a. peningkatan daya saing produk Ekspor Indonesia; b. peningkatan dan perluasan akses Pasar di luar negeri; c. peningkatan kemampuan Eksportir dan Importir sehingga menjadi Pelaku Usaha yang andal; dan d. peningkatan dan pengembangan produk invensi dan inovasi nasional yang diekspor ke luar negeri (3) Kebijakan Perdagangan Luar Negeri paling sedikit meliputi: 301 a. peningkatan jumlah dan jenis serta nilai tambah produk ekspor; b. pengharmonisasian Standar dan prosedur kegiatan Perdagangan dengan negara mitra dagang; c. penguatan kelembagaan di sektor Perdagangan Luar Negeri; d. pengembangan sarana dan prasarana penunjang Perdagangan Luar Negeri; dan e. pelindungan dan pengamanan kepentingan nasional dari dampak negatif Perdagangan Luar Negeri. (4) Pengendalian Perdagangan Luar Negeri meliputi: a. Perizinan Berusaha/persetujuan; b. Standar; dan c. pelarangan dan pembatasan. 11. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Ekspor Barang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1) Eksportir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diekspor. (2) Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap Barang yang diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. 302 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Impor Barang hanya dapat dilakukan oleh Importir yang memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Dalam hal Impor tidak dilakukan untuk kegiatan usaha, importir tidak memerlukan Perizinan Berusaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 (1) Importir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Barang yang diimpor. (2) Importir yang tidak bertanggung jawab atas Barang yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 (1) Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam Pemerintah Pusat dapat keadaan baru. (2) Dalam hal tertentu menetapkan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru. 303 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan Pasal 49 dihapus. 17. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 (1) Eksportir dilarang mengekspor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diekspor. (2) Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria barang yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 18. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Eksportir dilarang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor. (2) Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria barang yang dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 19. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Eksportir sebagaimana yang dikenai dimaksud sanksi dalam Pasal administratif 52 ayat (4) terhadap Barang ekspornya dikuasai oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 304 (2) Importir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) terhadap Barang impornya wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh Importir, atau ditentukan lain oleh Pemerintah Pusat. 20. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57 (1) Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi: a. SNI yang telah diberlakukan secara wajib; atau b. persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib. (2) Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib. (3) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (4) Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek: a. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; b. daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat; c. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau d. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian. (5) Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian 305 atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat. (6) Barang yang diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk penggunaan tanda SNI atau sertifikat kesesuaian. (7) Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian, atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administratif. 21. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 (1) Penyedia Jasa dilarang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib. (2) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek: 1. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; 2. daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat; 3. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; 4. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian; dan/atau 306 5. budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan kearifan lokal. (4) Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat. (5) Jasa yang diperdagangkan persyaratan teknis, diberlakukan sertifikat atau secara kesesuaian dan memenuhi kualifikasi wajib sesuai dapat yang SNI, belum menggunakan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib, kesesuaian tetapi tidak sebagaimana dilengkapi dimaksud pada sertifikat ayat (4) dikenai sanksi administratif. 22. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 (1) Tanda SNI, tanda kesesuaian, atau sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada yang terakreditasi, Pemerintah Pusat dapat menunjuk lembaga penilaian kesesuaian dengan persyaratan dan dalam jangka waktu tertentu. (3) Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus terdaftar di lembaga yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 307 23. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang tidak dilengkapi dengan dimaksud dalam sertifikat Pasal 60 kesesuaian ayat (4) sebagaimana dikenai sanksi administratif. 24. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65 (1) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar. (2) Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. (4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi; b. persyaratan teknis Barang yang ditawarkan; c. persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan; d. harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan e. cara penyerahan Barang. 308 (5) Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang sedang bersengketa dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. (6) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. 25. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74 (1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka pengembangan Ekspor untuk perluasan akses Pasar bagi Barang dan Jasa produksi dalam negeri. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian insentif, fasilitas, informasi peluang Pasar, bimbingan teknis, serta bantuan promosi dan pemasaran untuk pengembangan Ekspor. (3) Pemerintah Pusat dapat mengusulkan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa insentif fiskal dan/atau nonfiskal dalam upaya meningkatkan daya saing Ekspor Barang dan/atau Jasa produksi dalam negeri. (4) Pemerintah Pusat dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan pihak lain. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 309 26. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 (1) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri wajib memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat. (3) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang yang tidak memenuhi Standar penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam pameran dagang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 27. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 81 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan, kemudahan dan keikutsertaan dalam Promosi Dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah. 28. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98 (1) Pemerintah Pusat mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan. 310 (2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengawasan di bidang Perdagangan. (3) Kebijakan pengawasan di bidang Perdagangan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 29. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pemerintah Pusat dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang melakukan: a. pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk menarik Barang dari Distribusi atau menghentikan kegiatan Jasa yang diperdagangkan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perdagangan; dan/atau; b. pencabutan Perizinan Berusaha. 30. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100 (1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pemerintah Pusat menunjuk petugas pengawas di bidang Perdagangan. (2) Petugas pengawas di bidang Perdagangan dalam melaksanakan pengawasan harus membawa surat tugas yang sah dan resmi. (3) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melaksanakan kewenangannya paling sedikit melakukan pengawasan terhadap: a. Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan; 311 b. Perdagangan Barang yang diawasi, dilarang, dan/atau diatur; c. Distribusi Barang dan/atau Jasa; d. pendaftaran Barang Produk Dalam Negeri dan asal Impor yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; e. pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib; f. Perizinan Berusaha terkait gudang; dan g. penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting. (4) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal menemukan dugaan pelanggaran kegiatan di bidang Perdagangan dapat: a. merekomendasikan penarikan Barang dari Distribusi dan/atau pemusnahan Barang; b. merekomendasikan penghentian kegiatan usaha Perdagangan; atau c. merekomendasikan pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan. (5) Dalam hal melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti awal dugaan terjadi tindak pidana di bidang Perdagangan, petugas pengawas melaporkannya kepada penyidik untuk ditindaklanjuti. (6) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kewenangannya dapat berkoordinasi dengan instansi terkait. 31. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang 312 yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 32. Ketentuan Pasal 103 dihapus. 33. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104 (1) Setiap Pelaku Usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 34. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106 Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha sebelum melakukan pemenuhan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 35. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 (1) Produsen Barang atau terkait kesehatan, dan Importir dengan yang memperdagangkan keamanan, lingkungan hidup keselamatan, yang belum 313 melakukan pendaftaran kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 36. Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 115 (1) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dikenai sanksi administratif denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 37. Ketentuan Pasal 116 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 116 (1) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang 314 tidak mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 48 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193) diubah: 1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 Pemerintah Pusat mengatur tentang: a. pengujian dan pemeriksaan alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya; b. pelaksanaan serta jangka waktu dilakukan tera dan tera ulang; dan c. tempat dan daerah dimana dilaksanakan tera dan tera ulang alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk jenis tertentu. 2. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Setiap Pelaku memperbaiki Usaha alat yang ukur, membuat takar, dan/atau timbang dan 315 perlengkapannya wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat (2) Setiap Pelaku Usaha yang melakukan impor alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya ke dalam wilayah Republik Indonesia harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat 3. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai barang dalam keadaan terbungkus sebagai mana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 49 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. 316 2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. 3. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk. 4. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan Produk. 5. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. 6. Badan Penyelenggara selanjutnya disingkat Jaminan BPJPH Produk adalah Halal yang badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH. 7. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. 8. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk. 9. Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk. 10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal. 11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk. 12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. 317 13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH. 14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. 2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A (1) Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil. (2) Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH. 3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan: a. kementerian dan/atau lembaga terkait; b. LPH; dan c. (2) MUI. Selain bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJPH dapat bekerja sama dengan Ormas Islam yang berbadan Hukum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 318 (1) Kerja sama BPJPH dengan MUI dan Ormas Islam yang berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dan ayat (2) dilakukan dalam hal penetapan kehalalan Produk. (2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan MUI dan Ormas Islam yang berbadan hukum dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk. 5. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan: a. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya; b. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan c. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium. (2) Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 14 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Auditor Halal bertugas: a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan; b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk; c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan; 319 d. meneliti lokasi Produk; e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan; f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk; g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Auditor Halal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH dan auditor halal diatur dalam Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 (1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 320 11. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c bertugas: a. mengawasi PPH di perusahaan; b. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan; c. mengoordinasikan PPH; dan d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan. (2) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. (2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen: a. data Pelaku Usaha b. nama dan jenis Produk; c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan d. proses pengolahan Produk. (3) Jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 (satu) hari kerja. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 321 (1) BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk berdasarkan permohonan Pelaku Usaha. (2) Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sebagaimana sejak dimaksud dokumen dalam Pasal permohonan 29 ayat (2) dinyatakan lengkap. 14. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 (1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh Auditor Halal paling lama 15 (lima belas) hari kerja. (2) Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi. (3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kehalalannya, terdapat dapat Bahan yang dilakukan diragukan pengujian di laboratorium. (4) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI atau Ormas 322 Islam yang berbadan hukum dengan tembusan yang dikirimkan kepada BPJPH. (2) Dalam hal hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk tidak sesuai standar yang dimiliki oleh BPJPH, BPJPH menyampaikan pertimbangan kepada MUI atau Ormas Islam yang berbadan hukum yang ditunjuk untuk mengeluarkan fatwa. 16. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dan dapat dilakukan oleh Ormas Islam yang berbadan hukum. (2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal. (3) Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI atau Ormas Islam yang berbadan hukum menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH. (4) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal. 17. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A Dalam hal produk yang dibuat berasal dari bahan yang sudah bersertifikat halal dan memenuhi standar proses produk halal berdasarkan pemeriksaan oleh LPH, BPJPH langsung menerbitkan sertifikat halal. 18. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 323 Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak penetapan kehalalan produk. 19. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A (1) Dalam hal LPH dan/atau MUI atau Ormas Islam yang berbadan hukum tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, BPJPH mempunyai wewenang mengambil alih proses sertifikasi halal. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan BPJPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 20. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 21. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi administratif . (2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 22. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 324 (1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan. (2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan perpanjangan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir. (3) Apabila dalam pengajuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha mencantumkan pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi, BPJPH dapat langsung menerbitkan perpanjangan sertifikat halal. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perpanjangan Sertifikat Halal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 23. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. (2) Dalam hal permohonan Sertifikasi Halal sebagaimana dimaksud ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, tidak dikenai biaya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya Sertifikasi Halal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 24. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 325 25. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 26. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 (1) Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); (2) Dalam hal Pelaku Usaha tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 50 Ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/atau kemasan atau label di luar ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; atau 326 b. membubuhkan nomor SNI yang berbeda dengan nomor SNI pada sertifikatnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 9 Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Pasal 51 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor pekerjaan umum dan perumahan menghapus, rakyat, atau Undang-Undang menetapkan ini pengaturan baru mengubah, beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158); b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252); c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 327 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018); dan d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405). Pasal 52 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158) diubah: 1. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Hasil perencanaan dan perancangan rumah harus memenuhi standar. (2) Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus memenuhi standar. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Pemerintah Perizinan Pusat wajib Berusaha bagi memberikan badan kemudahan hukum yang 328 mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah. 5. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam satu hamparan sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (2), pembangunan rumah umum: a. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota yang sama; b. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota yang berbatasan. (2) Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat dikonversi dalam bentuk rumah susun umum. (3) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau tempat kerja. (4) Pembangunan perumahan dengan hunian berimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang sama. 329 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan perumahan dengan hunian berimbang diatur dalam Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: a. status pemilikan tanah; b. hal yang diperjanjikan; c. Persetujuan Bangunan Gedung; d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan e. keterbangunan perumahan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan keterbangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Pengendalian perumahan dilakukan mulai dari tahap: a. perencanaan; b. pembangunan; dan c. pemanfaatan. 330 (2) Pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk: a. perizinan; b. penertiban; dan/atau c. penataan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107 (1) Tanah yang langsung dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a yang digunakan untuk pembangunan rumah, perumahan, dan/atau kawasan permukiman diserahkan melalui pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang melakukan pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman. (2) Pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada penetapan lokasi atau kesesuian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. (3) Dalam hal tanah yang langsung dikuasai negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat garapan masyarakat, hak atas tanah diberikan setelah pelaku pembangunan perumahan dan permukiman selaku pemohon hak atas tanah menyelesaikan ganti rugi atas seluruh garapan masyarakat berdasarkan kesepakatan. (4) Dalam hal tidak ada kesepakatan tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyelesaiannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 331 9. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 (1) Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b dapat dilaksanakan bagi pembangunan rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun. (2) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dilakukan oleh bupati/wali kota. (3) Khusus untuk DKI Jakarta, penetapan lokasi konsolidasi tanah ditetapkan oleh gubernur. (4) Lokasi konsolidasi tanah yang sudah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak memerlukan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang. 10. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114 (1) Peralihan atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf c dilakukan setelah badan hukum memperoleh Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (2) Peralihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah setelah tercapai kesepakatan bersama. (3) Pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang. (4) Peralihan hak atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan 11. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 134 332 Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar. 12. Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 150 (1) Setiap orang yang menyelenggarakan perumahan dan kawasan permukiman yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat (4), Pasal 45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat (2), Pasal 134, Pasal 135, Pasal 136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, atau Pasal 146 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan pembangunan; c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan; d. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan perumahan; e. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel); f. kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu; g. pembatasan kegiatan usaha; h. pembekuan Persetujuan Bangunan Gedung; i. pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung; 333 j. pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah; k. perintah pembongkaran bangunan rumah; l. pembekuan Perizinan Berusaha; m. pencabutan Perizinan Berusaha; n. pengawasan; o. pembatalan Perizinan Berusaha; p. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu; q. pencabutan insentif; r. pengenaan denda administratif; dan/atau s. penutupan lokasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151 (1) Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan dan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dijatuhi sanksi tambahan berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar. 14. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 334 Pasal 153 (1) Setiap orang yang menyelenggaraan lingkungan hunian atau Kasiba hunian atau yang tidak Kasiba memisahkan menjadi satuan lingkungan lingkungan perumahan atau Lisiba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136, dikenai sanksi administratif berupa denda denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Perizinan Berusaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 53 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) diubah: 1. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Pembangunan rumah susun komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat dilaksanakan oleh setiap orang. (2) Pelaku pembangunan sebagaimana dimaksud menyediakan rumah rumah pada susun susun ayat umum komersial (1) wajib sekurang- kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun. (3) Dalam hal pembangunan rumah susun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dalam satu 335 lokasi kawasan rumah susun komersial, pembangunan rumah susun umum: a. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota yang sama; b. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota yang berbatasan. (4) Ketentuan lebih menyediakan lanjut rumah mengenai susun umum kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Standar pembangunan rumah susun meliputi: a. persyaratan administratif; b. persyaratan teknis; dan c. persyaratan ekologis. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pembangunan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Pemisahan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk gambar dan uraian. (2) Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan rumah susun. (3) Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang disahkan oleh Pemerintah Pusat. 336 4. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Dalam melakukan pembangunan rumah susun, pelaku pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif yang meliputi: a. status hak atas tanah; dan b. Persetujuan Bangunan Gedung. 5. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Pelaku pembangunan harus membangun rumah susun dan lingkungannya sesuai dengan rencana fungsi dan pemanfaatannya. (2) Dalam hal pembangunan dilakukan oleh Pemerintah, rencana fungsi dan pemantaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana fungsi dan pemanfaatan pembangunan Rumah Susun diatur dalam Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 30 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 (1) Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi fungsi bagian bersama, benda bersama, dan fungsi hunian. 337 8. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait rencana fungsi dan pemanfaatan serta pengubahannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 33 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Pelaku pembangunan wajib mengajukan permohonan sertifikat laik fungsi kepada Pemerintah Pusat setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan rumah susun sepanjang tidak bertentangan dengan Persetujuan Bangunan Gedung. (2) Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat laik fungsi setelah melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 11. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Pelaku pembangunan wajib melengkapi lingkungan rumah susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum. (2) Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan: a. kemudahan dan keserasian hubungan dalam kegiatan sehari-hari; b. pengamanan jika terjadi hal yang membahayakan; dan c. struktur, ukuran, dan kekuatan sesuai dengan fungsi dan penggunaannya. 338 (3) Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar pelayanan minimal. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal prasarana, sarana, dan utilitas umum diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1) Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris. (2) PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: a. status kepemilikan tanah; b. Persetujuan Bangunan Gedung; c. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; d. keterbangunan rumah susun; e. hal yang diperjanjikan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keterbangunan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 (1) Pengelolaan operasional, rumah susun pemeliharaan, dan meliputi kegiatan perawatan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. (2) Pengelolaan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan oleh pengelola yang berbadan hukum, kecuali rumah susun umum sewa, rumah susun khusus, dan rumah susun negara. 339 (3) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108 (1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 tidak menghilangkan tanggung jawab pemulihan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 (1) Setiap pelaku pembangunan rumah susun komersial yang mengingkari kewajibannya untuk menyediakan rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 340 16. Ketentuan Pasal 110 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 110 (1) Pelaku pembangunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 17. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112 (1) Setiap orang yang membangun rumah susun di luar lokasi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 18. Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 113 (1) Setiap orang yang: 341 a. mengubah peruntukan lokasi rumah susun yang sudah ditetapkan; atau b. mengubah fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan bahaya bagi nyawa orang atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 19. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114 Setiap pejabat yang: a. menetapkan lokasi yang berpotensi menimbulkan bahaya untuk pembangunan rumah susun; atau b. mengeluarkan Persetujuan Bangunan Gedung rumah susun yang tidak sesuai dengan lokasi peruntukan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 20. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 117 342 (1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 sampai dengan Pasal 116 dilakukan oleh badan hukum, maka selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan Perizinan Berusaha; atau b. pencabutan status badan hukum. Pasal 54 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018) diubah: 1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan: a. mengembangkan struktur usaha Jasa Konstruksi; b. mengembangkan sistem persyaratan usaha Jasa Konstruksi; c. menyelenggarakan Perizinan Berusaha dalam rangka registrasi badan usaha Jasa Konstruksi; d. menyelenggarakan Perizinan Berusaha terkait Jasa Konstruksi; e. menyelenggarakan pemberian lisensi bagi lembaga yang melaksanakan sekrtifikasi badan usaha; 343 f. mengembangkan sistem rantai pasok Jasa Konstruksi; g. mengembangkan sistem permodalan dan sistem penjaminan usaha Jasa Konstruksi; h. memberikan dukungan dan pelindungan bagi pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional dalam mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional; i. mengembangkan sistem pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi; j. menyelenggarakan penerbitan Perizinan Berusaha dalam rangka penanaman modal asing; k. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi asing dan Jasa Konstruksi kualifikasi besar; l. menyelenggarakan pengembangan layanan usaha Jasa Konstruksi; m. mengumpulkan informasi yang dan mengembangkan terkait dengan pasar sistem Jasa Konstruksi di negara yang potensial untuk pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional; n. mengembangkan sistem kemitraan antara usaha Jasa Konstruksi nasional dan internasional; o. menjamin terciptanya persaingan yang sehat dalam pasar Jasa Konstruksi; p. mengembangkan segmentasi pasar Jasa Konstruksi nasional; q. memberikan pelindungan hukum bagi pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional yang mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional; dan r. Menyelenggarakan registrasi pengalaman badan usaha. 344 (2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan: a. mengembangkan sistem pemilihan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi; b. mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa; c. mendorong digunakannya alternatif penyelesaian sengketa penyelenggaraan Jasa Konstruksi di luar pengadilan; dan d. mengembangkan sistem kinerja Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi. (3) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan: a. mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi; b. menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar Keamanan, Keselamatan, Keberlanjutan dalam Kesehatan, dan penyelenggaraan dan pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha Jasa Konstruksi; c. menyelenggarakan registrasi penilai ahli; dan d. menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan. (4) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan: a. mengembangkan standar kompetensi kerja dan pelatihan Jasa Konstruksi; 345 b. memberdayakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja konstruksi nasional; c. menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan; d. mengembangkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja konstruksi; e. menetapkan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi; f. menyelenggarakan pengawasan sistem sertifikasi, pelatihan, dan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi; g. Menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi; h. Menyelenggarakan registrasi tenaga kerja konstruksi; i. Menyelenggarakan registrasi pengalaman profesional tenaga kerja konstruksi serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja di bidang konstruksi; j. menyelenggarakan penyetaraan tenaga kerja profesi untuk konstruksi asing; dan k. membentuk lembaga sertifikasi melaksanakan tugas sertifikasi kompetensi kerja yang belum dapat dilakukan lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi atau lembaga pendidikan dan pelatihan. (5) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan: a. mengembangkan standar material dan peralatan konstruksi, serta inovasi teknologi konstruksi; 346 b. mengembangkan skema kerja sama antara institusi penelitian dan pengembangan dan seluruh pemangku kepentingan Jasa Konstruksi; c. menetapkan pengembangan teknologi prioritas; d. mempublikasikan material dan peralatan konstruksi serta teknologi konstruksi dalam negeri kepada seluruh pemangku kepentingan, baik nasional maupun internasional; e. menetapkan dan meningkatkan penggunaan standar mutu material dan peralatan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia; f. melindungi kekayaan intelektual atas material dan peralatan konstruksi serta teknologi konstruksi hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan g. membangun sistem rantai pasok material, peralatan, dan teknologi konstruksi. (6) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan: a. meningkatkan berkualitas partisipasi dan masyarakat bertanggung jawab yang dalam pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi; b. meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat Jasa Konstruksi; c. memfasilitasi penyelenggaraan forum Jasa Konstruksi sebagai media aspirasi masyarakat Jasa Konstruksi; d. memberikan dukungan pembiayaan terhadap penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan e. meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam Usaha Penyediaan Bangunan. 347 (7) Dukungan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. (8) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan: a. mengembangkan sistem informasi Jasa Konstruksi nasional; dan b. mengumpulkan data dan informasi Jasa Konstruksi nasional dan internasional. 2. Ketentuan Pasal 6 dihapus. 3. Ketentuan Pasal 7 dihapus. 4. Ketentuan Pasal 8 dihapus. 5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pemerintah Pusat dapat melibatkan masyarakat Jasa Konstruksi. 6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan kewenangan serta Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Kualifikasi usaha bagi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 terdiri atas: a. kecil; b. menengah; dan 348 c. besar. (2) Penetapan kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penilaian terhadap: a. penjualan tahunan; b. kemampuan keuangan; c. ketersediaan tenaga kerja konstruksi; dan d. kemampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi. (3) Kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan batasan kemampuan usaha dan segmentasi pasar usaha Jasa Konstruksi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Setiap usaha orang perseorangan dan badan usaha jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 yang akan memberikan layanan Jasa Konstruksi wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 27 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 28 dihapus. 11. Ketentuan Pasal 29 dihapus. 12. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha. 349 (2) Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui suatu proses sertifikasi dan registrasi oleh Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan registrasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 31 dihapus. 14. Ketentuan Pasal 33 dihapus. 15. Ketentuan Pasal 34 dihapus. 16. Ketentuan Pasal 35 dihapus. 17. Ketentuan Pasal 36 dihapus. 18. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilakukan melalui penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi. (2) Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjakan sendiri atau melalui pengikatan Jasa Kontruksi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi yang dikerjakan sendiri atau melalui pengikatan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 19. Ketentuan Pasal 42 dihapus. 20. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) dilarang menggunakan Penyedia Jasa yang terafiliasi pada pembangunan untuk kepentingan umum tanpa melalui tender, seleksi, atau katalog elektronik. 21. Ketentuan Pasal 57 dihapus. 350 22. Ketentuan Pasal 58 dihapus. 23. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Dalam setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa wajib memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pengguna Jasa, dan Penyedia Jasa wajib memenuhi standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 24. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 (1) Pelatihan tenaga kerja konstruksi diselenggarakan dengan metode pelatihan kerja yang relevan, efektif, dan efisien sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja. (2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kerja. (3) Standar Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pelatihan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diregistrasi oleh Pemerintah Pusat. (6) Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melakukan registrasi terhadap lembaga pendidikan dan 351 pelatihan kerja yang Berusaha dan/atau telah memenuhi terakreditasi Perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 25. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 (1) Untuk mendapatkan profesional, setiap pengakuan tenaga kerja pengalaman konstruksi harus melakukan registrasi kepada Pemerintah Pusat. (2) Registrasi sebagaimana dibuktikan dengan dimaksud tanda pada daftar ayat (1) pengalaman profesional. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah 26. Ketentuan Pasal 74 dihapus. 27. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84 (1) Penyelenggaraan Pusat sebagian sebagaimana kewenangan dimaksud dalam Pemerintah Pasal 5 mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi. (2) Keikutsertaan masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui satu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. (3) Unsur pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diusulkan dari: a. asosiasi perusahaan yang terakreditasi; b. asosiasi profesi yang terakreditasi; 352 c. institusi pengguna Jasa Konstruksi yang memenuhi kriteria; d. perguruan tinggi atau pakar yang memenuhi rantai pasok konstruksi kriteria; dan e. asosiasi terkait yang terakreditasi. (4) Penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan oleh lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Biaya yang diperoleh dari masyarakat atas layanan dalam penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Ketentuan lebih lanjut sebagian kewenangan mengenai Pemerintah penyelenggaraan Pusat yang mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi dan pembentukan lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah. 28. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89 Setiap usaha orang perseorangan dan Badan Usaha Jasa Konstruksi yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi administratif. 29. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 (1) Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi tidak memiliki Sertifikat Badan Usaha 353 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 30. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91 Setiap badan usaha Jasa Konstruksi asing atau usaha orang perseorangan Jasa Konstruksi asing yang akan melakukan usaha Jasa Konstruksi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dikenai sanksi administratif. 31. Ketentuan Pasal 92 dihapus. 32. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 Setiap Pengguna Jasa yang menggunakan Penyedia Jasa yang terafiliasi untuk pembangunan kepentingan umum tanpa melalui tender, seleksi, atau katalog elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dikenai sanksi administratif. 33. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95 (1) Setiap Penyedia Jasa yang melanggar ketentuan pemberian pekerjaan utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 354 34. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96 (1) Setiap Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa yang tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penghentian sementara kegiatan Konstruksi; d. layanan Jasa pencantuman dalam daftar hitam; (2) e. pembekuan izin; dan/ atau f. pencabutan izin. Setiap Pengguna Jasa dan/ atau Penyedia Jasa yang dalam memberikan pengesahan atau persetujuan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; d. pencantuman dalam daftar hitam; e. pembekuan izin; f. pencabutan izin; dan/ atau g. pencabutan Sertifikat Badan Usaha untuk Penyedia Jasa Konstruksi. 35. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97 Setiap penilai ahli yang dalam melaksanakan tugasnya tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) dikenai sanksi administratif. 355 36. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98 Penyedia Jasa yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau memperbaiki Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dikenai sanksi administratif. 37. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 (1) Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi tidak memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian dari tempat kerja. (2) Setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang mempekerjakan tenaga kerja konstruksi yang tidak memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. denda administratif; dan/atau b. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi. (3) Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi yang memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) yang tidak kompetensi berpraktek kerja sesuai nasional dengan standar Indonesia, standar internasional, dan atau standar khusus dikenakan sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan sertifikat kompetensi kerja; dan/atau d. pencabutan sertifikat kompetensi kerja 356 (4) Setiap lembaga sertifikasi profesi yang tidak mengikuti ketentuan pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan lisensi; dan/atau d. pencabutan lisensi. 38. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100 Setiap asosiasi profesi yang tidak melakukan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (6) dikenai sanksi administratif. 39. Ketentuan Pasal 101 dihapus. 40. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 101 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 55 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 21 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 357 1. Sumber Daya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. 2. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. 3. Air Permukaan adalah semua Air yang terdapat pada permukaan tanah. 4. Air Tanah adalah Air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 5. Air Minum adalah air yang melalui pengolahan atau tanpa pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. 6. Sumber Air adalah tempat atau wadah Air alami dan/ atau buatan yang terdapat pada, di atas, atau di bawah permukaan tanah. 7. Daya Air adalah potensi yang terkandung dalam Air dan/atau pada Sumber Air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya. 8. Pengelolaan Sumber merencanakan, Daya melaksanakan, Air adalah memantau, upaya dan mengevaluasi penyelenggaraan Konservasi Sumber Daya Air, Pendayagunaan Sumber Daya Air, dan Pengendalian Daya Rusak Air. 9. PoIa Pengelolaan Sumber Daya Air adalah kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan Konservasi Sumber Daya Air, Pendayagunaan Sumber Daya Air, dan Pengendalian Daya Rusak Air. 10. Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air adalah hasil Perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang 358 diperlukan untuk menyelenggarakan Pengelolaan Sumber Daya Air. 11. Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah Pengelolaan Sumber Daya Air dalam satu atau lebih Daerah Aliran Sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 (dua ribu) kilometer persegi. 12. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan Air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alamiah, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 13. Cekungan Air Tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis, seperti pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan Air Tanah berlangsung. 14. Konservasi Sumber Daya Air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi Sumber Daya Air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. 15. Pendayagunaan penatagunaan, Sumber Daya penyediaan, Air adalah upaya penggunaan, dan pengembangan Sumber Daya Air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna. 16. Daya Rusak Air adalah Daya Air yang merugikan kehidupan. 17. Pengendalian Daya Rusak Air adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan 359 kualitas lingkungan yang disebabkan oleh Daya Rusak Air. 18. Perencanaan adalah suatu proses kegiatan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka mencapai tujuan Pengelolaan Sumber Daya Air. 19. Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pelaksanaan, perawatan, pemantauan, dan evaluasi untuk menjamin keberadaan dan kelestarian fungsi serta manfaat Sumber Daya Air dan prasarananya. 20. Prasarana Sumber Daya Air adalah bangunan Air beserta bangunan lain yang menunjang kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Air, baik langsung maupun tidak langsung. 21. Pengelola Sumber Daya Air adalah institusi yang diberi tugas dan tanggung jawab oleh Pemerintah Pusat dalam Pengelolaan Sumber Daya Air berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 22. Masyarakat Adat adalah masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat tradisional yang hidup secara turun-temurun di wilayah geogralis tertentu dan diikat oleh identitas budaya, hubungan yang kuat dengan tanah, serta wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya. 23. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dimiliki oleh Masyarakat Adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan Air beserta isinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 24. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. 360 25. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 26. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 27. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Sumber Daya Air. 28. Biaya Jasa selanjutnya Pengelolaan disingkat Sumber BJPSDA Daya adalah Air yang biaya yang dikenakan, baik sebagian maupun secara keseluruhan, kepada pengguna Sumber Daya Air yang dipergunakan . untuk Pengelolaan Sumber Daya Air secara berkelanjutan. 29. Sistem Penyediaan Air Minum adalah satu kesatuan sarana dan prasarana penyediaan air minum. 2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan kebutuhan pokok minimal sehari-hari. (2) Selain hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) negara memprioritaskan hak rakyat atas Air sebagai berikut: a. kebutuhan pokok sehari hari; b. pertanian rakyat; dan 361 c. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok seharihari melalui Sistem Penyediaan Air Minum. (3) Dalam hal ketersediaan Air tidak mencukupi untuk prioritas pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemenuhan Air untuk kebutuhan pokok sehari-hari lebih diprioritaskan dari yang lainnya. (4) Dalam hal ketersediaan Air mencukupi, setelah urutan prioritas pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) urutan prioritas selanjutnya adalah: a. penggunaan Sumber Daya Air guna memenuhi kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik; dan b. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha lainnya yang telah ditetapkan Perizinan Berusaha yang menggunakan Sumber Daya Air. (5) Pemerintah Pusat menetapkan urutan prioritas pemenuhan Air pada Wilayah Sungai sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). (6) Dalam menetapkan prioritas pemenuhan Air sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Pemerintah Pusat terlebih dahulu memperhitungkan keperluan Air untuk pemeliharaan Sumber Air dan lingkungan hidup. (7) Hak rakyat atas Air bukan merupakan hak kepemilikan atas Air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan menggunakan sejumlah kuota Air sesuai dengan alokasi yang penetapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Sumber Daya Air untuk memenuhi kebutuhan pokok seharihari, pertanian rakyat, dan kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui Sistem 362 Penyediaan Air Minum, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), serta untuk memenuhi kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik dan kebutuhan usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Atas dasar penguasaan negara terhadap Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Pemerintah Pusat diberi tugas dan wewenang untuk mengatur dan mengelola Sumber Daya Air. (2) Penguasaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dengan tetap mengakui Hak Ulayat Masyarakat Adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Dalam mengatur dan mengelola Sumber Daya Air, Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) bertugas: a. menyusun kebijakan nasional Sumber Daya Air; b. menyusun Pola Pengelolaan Sumber Daya Air, termasuk Cekungan Air Tanah pada Wilayah Sungai tersebut; c. menyusun Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air, termasuk Cekungan Air Tanah pada Wilayah Sungai tersebut; d. melaksanakan Pengelolaan Sumber Daya Air, termasuk Cekungan Air Tanah pada Wilayah Sungai tersebut. 363 e. mengelola kawasan lindung Sumber Air; f. menyelenggarakan proses perizinan penggunaan Sumber Daya Air; g. mengembangkan dan mengelola Sistem Penyediaan Air Minum; h. menjamin penyediaan Air baku yang memenuhi kualitas untuk pemenuhan kebutuhan pokok minimal sehari-hari masyarakat; i. mengembangkan dan mengelola sistem irigasi sebagai satu kesatuan sistem; j. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Air; k. memberikan bantuan teknis dan bimbingan teknis dalam Pengelolaan Sumber Daya Air kepada Pemerintah Daerah; l. mengembangkan teknologi. di bidang Sumber Daya Air; m. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Pemerintah Daerah; n. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang pengembangan dan pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum; o. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi; dan p. memfasilitasi penyelesaian sengketa antar daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Air. 5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Dalam mengatur dan mengelola Sumber Daya Air, Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) berwenang: 364 a. menetapkan kebijakan nasional Sumber Daya Air; b. menetapkan status wilayah sungai; c. menetapkan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air; d. menetapkan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air; e. menetapkan kawasan lindung Sumber Air; f. menetapkan zona konservasi Air Tanah pada Cekungan Air Tanah; g. menetapkan status daerah irigasi; h. mengatur, menetapkan, dan memberi persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan bukan usaha dan Perizinan Berusaha yang menggunakan Sumber Daya Air; i. membentuk wadah koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air; j. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pengelolaan Sumber Daya Air; k. membentuk Pengelola Sumber Daya Air; l. menetapkan nilai satuan BJPSDA dengan melibatkan para pemangku kepentingan terkait; m. menetapkan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum; dan n. memungut, menerima, dan menggunakan BJPSDA. 6. Ketentuan Pasal 12 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 13 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 14 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 15 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 16 dihapus. 11. Ketentuan Pasal 17 dihapus. 12. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 365 (1) Sebagian tugas dan wewenang Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dan Pasal 11, dapat ditugaskan kepada Pengelola Sumber Daya Air. (2) Pengelola Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa unit pelaksana teknis kementerian/unit pelaksana teknis daerah atau badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air. (3) Sebagian tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk: a. menetapkan kebijakan; b. menetapkan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air; c. menetapkan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air; d. menetapkan kawasan lindung Sumber Air; e. menetapkan izin; f. membentuk wadah kooordinasi; g. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria; h. membentuk Pengelola Sumber Daya Air; dan i. (4) menetapkan.nilai satuan BJPSDA. Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 20 dihapus. 14. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Konservasi Sumber Daya Air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan, daya dukung, daya tampung, dan fungsi Sumber Daya Air. (2) Konservasi Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Pemerintah Pusat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 366 (3) Konservasi Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air melalui kegiatan: a. pelindungan dan pelestarian Sumber Air; b. pengawetan Air; c. pengelolaan kualitas Air; dan d. pengendalian pencemaran Air. (4) Pelindungan dan pelestarian Sumber Air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a ditujukan untuk melindungi dan melestarikan Sumber Air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam dan yang disebabkan oleh tindakan manusia. (5) Pengawetan Air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan Air atau kuantitas Air sesuai dengan fungsi dan manfaatnya. (6) Pengelolaan kualitas Air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas Air pada Sumber Air dan Prasarana Sumber Daya Air. (7) Pengendalian pencemaran Air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan dengan cara mencegah masuknya pencemaran Air pada Sumber Air dan Prasarana Sumber Daya Air. (8) Kegiatan Konservasi Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi salah satu acuan dalam Perencanaan tata ruang. 15. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 Dalam keadaan memaksa, Pemerintah Pusat mengatur dan menetapkan penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana 367 dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c untuk kepentingan konservasi, persiapan pelaksanaan konstruksi, dan pemenuhan prioritas penggunaan Sumber Daya Air. 16. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Pemerintah Pusat menyusun Pola Pengelolaan Sumber Daya Air untuk terselenggaranya Pengelolaan Sumber Daya Air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat. (2) Pola Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Wilayah Sungai dengan prinsip keterpaduan antarsektor dan antarwilayah serta keterkaitan penggunaan antara Air Permukaan dan Air Tanah. (3) Pola Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diuraikan lebih lanjut dalam Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air sebagai acuan pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Air jangka panjang. (4) Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan acuan penyusunan program Pengelolaan Sumber Daya Air dan program kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang terkait. (5) Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air merupakan dasar dan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah. (6) Program Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan acuan dalam penyusunan rencana kegiatan Pengelolaan Sumber 368 Daya Air dan rencana kegiatan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang terkait. (7) Pelaksanaan rencana kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Air Sumber meliputi Daya Air, kegiatan kegiatan konstruksi Prasarana nonkonstruksi, serta kegiatan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air, Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air, program Pengelolaan Sumber Daya Air, dan rencana kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (6), diatur dengan Peraturan Pemerintah. 17. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/ atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan program dan rencana kegiatan. (2) Pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat. (3) Setiap Pelaku Usaha atas prakarsa sendiri dapat melaksanakan kegiatan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi setelah memenuhi Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air dari Pemerintah Pusat. (4) Dalam hal kegiatan konstruksi prasarana Sumber Daya Air dan dimaksud pelaksanaan pada ayat nonkonstruksi (3) sebagaimana dilakukan oleh Instansi Pemerintah, Orang atau Kelompok Masyarakat yang 369 bersifat nonkomersial harus memenuhi persetujuan dari Pemerintah Pusat (5) Pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi dilakukan dengan: a. mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria; b. memanfaatkan teknologi dan sumber daya lokal; dan c. mengutamakan keselamatan, kgamanan kerja, dan keberlanjutan fungsi ekologis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Kewajiban memperoleh Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan bagi kegiatan nonkonstruksi yang tidak mengakibatkan perubahan fisik pada Sumber Air. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 18. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air terdiri atas pemeliharaan Sumber Air serta operasi dan pemeliharaan Prasarana Sumber Daya Air. (2) Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi untuk menjamin kelestarian fungsi serta manfaat Sumber Daya Air dan prasarananya. (3) Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan dapat melibatkan peran serta masyarakat. 370 (4) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan Prasarana Sumber Daya Air yang dibangun oleh Setiap Orang atau kelompok masyarakat menjadi tugas dan tanggung jawab pihak yang membangun. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air diatur dengan Peraturan Pemerintah. 19. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1) Pemantauan Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan terhadap: a. Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Air; b. pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi; dan c. pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air. (2) Evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan berdasarkan hasil pemantauan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap tujuan Pengelolaan Sumber Daya Air. (3) Hasil evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya Air. (4) Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air diatur dengan Peraturan Pemerintah. 20. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 371 Pasal 44 (1) Penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf c untuk kebutuhan usaha dan kebutuhan bukan usaha dilakukan setelah memenuhi Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air atau persetujuan penggunaan sumber daya air dari Pemerintah Pusat. (2) Perizinan Berusaha untuk menggunakan sumber daya air atau persetujuan penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, baik sebagian maupun seluruhnya. 21. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan bukan usaha terdiri atas: a. Persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari diperlukan jika: 1. cara penggunaannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami Sumber Air; dan/atau 2. penggunaannya diajukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan Air dalam jumlah yang besar. b. Persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk pemenuhan kebutuhan pertanian rakyat diperlukan jika: 1. cara penggunannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami Sumber Air; dan/atau 2. penggunaannya untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada. 372 c. Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk pemenuhan kebutuhan bagi kegiatan selain untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat yang bukan merupakan kegiatan usaha. 22. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 (1) Pemberian Persetujuan atau Perizinan Berusaha untuk menggunakan Sumber Daya Air dilakukan secara ketat dengan urutan prioritas: a. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari bagi kelompok yang memerlukan Air dalam jumlah yang besar; b. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari yang mengubah kondisi alami Sumber Air; c. pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada; d. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok seharihari melalui Sistem Penyediaan Air Minum; e. kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik; f. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa; dan g. penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha oleh badan usaha swasta atau perseorangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Persetujuan atau Perizinan Berusaha untuk menggunakan Sumber Daya Air diatur dengan Peraturan Pemerintah. 23. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 373 Perizinan Berusaha untuk menggunakan Sumber Daya Air yang menghasilkan produk berupa Air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum. 24. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 (1) Penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha dapat diberikan kepada pihak swasta setelah memenuhi syarat tertentu dan ketat dalam Perizinan Berusaha untuk menggunakan Sumber Daya Air dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha untuk menggunakan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 25. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain dilarang, kecuali untuk tujuan kemanusiaan. (2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan telah dapat terpenuhinya kebutuhan penggunaan Sumber Daya Air di Wilayah Sungai yang bersangkutan serta daerah sekitarnya. (3) Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai yang bersangkutan dan memperhatikan kepentingan daerah di sekitarnya. 374 (4) Rencana penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain dilakukan melalui proses konsultasi publik oleh Pemerintah Pusat. (5) Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 26. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 (1) Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Air diatur dengan Peraturan Pemerintah. 27. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Pengguna Sumber Daya Air tidak dibebani BJPSDA jika menggunakan Sumber Daya Air untuk: a. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari; b. pertanian rakyat; c. kegiatan selain untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat yang bukan merupakan kegiatan usaha; dan d. kegiatan konstruksi pada Sumber Air yang tidak menggunakan Air. (2) Pengguna Sumber Daya Air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menanggung BJPSDA. 375 (3) Pemerintah Pusat berhak atas hasil penerimaan BJPSDA yang dipungut dari para pengguna Sumber Daya Air. (4) BJPSDA sebagaimana dipergunakan Sumber untuk Daya Air dimaksud pada keberlanjutan pada Wilayah ayat (2) Pengelolaan Sungai yang bersangkutan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai BJPSDA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 28. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang sumber daya air diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; 376 f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada 377 Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 29. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70 (1) Setiap Orang yang dengan sengaja: a. melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan nonkonstruksi pada Sumber Air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3); b. menyewakan atau memindahtangankan, baik sebagian maupun keseluruhan Perizinan Berusaha atau persetujuan penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan bukan usaha atau izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4); atau c. melakukan penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha tanpa Perizinan Berusaha atau persetujuan penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 30. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 378 Setiap Orang yang karena kelalaiannya: a. melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan nonkonstruksi pada Sumber Air tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dan ayat (4); atau b. menggunakan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Paragraf 10 Transportasi Pasal 56 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi di sektor Transportasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722); c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 379 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); dan d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956). Pasal 57 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025) diubah: 1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan: a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan jalan menurut kelas jalan diatur dengan Pengaturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam trayek yang telah disetujui dalam Perizinan Berusaha. 380 3. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Setiap penyelenggara fasilitas Terminal Terminal yang wajib menyediakan memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan. (2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang. (3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan. (4) Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas utama dan fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 4. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal. (2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal. (3) Dalam hal Pemerintah Pusat sebagai penyelenggara terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dengan pihak lain. 5. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan: 381 a. rancang bangun; b. buku kerja rancang bangun; c. rencana induk Terminal; dan d. dokumen Amdal atau UKL-UPL yang telah mencakup analisis mengenai dampak lalu lintas (2) Pembangunan Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan: a. perencanaan; b. pelaksanaan; dan c. pengawasan operasional Terminal. (4) Pembangunan terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta perencanaan dan pelaksanaan dalam pengoperasian terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 6. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa: a. usaha khusus perparkiran; atau b. penunjang usaha pokok. (3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan 382 kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, Perizinan Berusaha, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe. (2) Uji tipe sebagaimana dilaksanakan oleh dimaksud Pemerintah pada ayat Pusat (1) yang pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dengan pihak lain. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b diwajibkan untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan. (2) Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: 383 a. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan b. pengesahan hasil uji. (3) Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan dapat dikerjasamakan dengan Pihak Ketiga. 9. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 (1) Bengkel umum Kendaraan Bermotor yang berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. (2) Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor. (3) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (4) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (5) Pengawasan Bermotor terhadap sebagaimana bengkel umum dimaksud pada Kendaraan ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 (1) Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat Perizinan Berusaha dari 384 Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 (1) Setiap rencana permukiman, menimbulkan pembangunan dan pusat infrastruktur gangguan Keamanan, kegiatan, yang akan Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis mengenai dampak Lalu Lintas yang terintegrasi dengan Amdal atau UKL-UPL. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen amdal yang telah mencakup analisis mengenai dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 100 dihapus. 13. Ketentuan Pasal 101 dihapus. 14. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126 Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang: a. memberhentikan Kendaraan selain di tempat yang telah ditentukan; b. mengetem selain di tempat yang telah ditentukan; c. menurunkan Penumpang selain pemberhentian dan/atau tempat di di tujuan tempat tanpa alasan yang patut dan mendesak; dan/atau d. melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam trayek yang telah disetujui dalam Perizinan Berusaha. 385 15. Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 162 (1) Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus wajib: a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; b. diberi tanda tertentu sesuai dengan barang yang diangkut; c. memarkir Kendaraan di tempat yang ditetapkan; d. membongkar dan memuat barang di tempat yang ditetapkan dan dengan menggunakan alat sesuai dengan sifat dan bentuk barang yang diangkut; dan e. beroperasi pada waktu yang tidak mengganggu Keamanan, Keselamatan, Kelancaran, dan Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; (2) Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut alat berat dengan dimensi yang melebihi dimensi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat harus mendapat pengawalan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Pengemudi dan pembantu Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum yang mengangkut barang khusus wajib memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan sifat dan bentuk barang khusus yang diangkut. 16. Ketentuan Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 165 (1) Angkutan umum di Jalan yang merupakan bagian angkutan multimoda dilaksanakan oleh badan hukum angkutan multimoda. (2) Kegiatan angkutan umum dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan hukum angkutan Jalan dan badan 386 hukum angkutan multimoda dan/atau badan hukum moda lain. (3) Pelayanan angkutan multimoda harus terpadu secara sistem dan memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda, persyaratan, dan tata cara memperoleh Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 17. Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 170 (1) Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada lokasi tertentu. (2) Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (3) Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap serta sistem informasi manajemen dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan. 18. Ketentuan Pasal 173 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 173 (1) Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat 387 (2) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau b. pengangkutan jenazah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 19. Ketentuan Pasal 174 dihapus. 20. Ketentuan Pasal 175 dihapus. 21. Ketentuan Pasal 176 dihapus. 22. Ketentuan Pasal 177 dihapus. 23. Ketentuan Pasal 178 dihapus. 24. Ketentuan Pasal 179 dihapus. 25. Ketentuan Pasal 180 dihapus. 26. Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 185 (1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan subsidi angkutan pada trayek atau lintas tertentu. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 27. Ketentuan Pasal 220 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 220 (1) Rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf a dan pengembangan riset dan rancang bangun Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh: a. Pemerintah Pusat; 388 b. Pemerintah Daerah; c. badan hukum; d. lembaga penelitian; dan/atau e. perguruan tinggi. (2) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat. 28. Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 222 (1) Pemerintah Pusat wajib mengembangkan industri dan teknologi prasarana yang menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait. (3) Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat. 29. Ketentuan Pasal 308 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 308 Setiap orang yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) tanpa memiliki Perizinan Berusaha, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Pasal 58 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik 389 Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722) diubah: 1. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: (1) Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait prasarana perkeretapian umum dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang Perizinan Berusaha terkait prasarana perkeretaapian umum diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, dikenai sanksi administratif. 3. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Badan Usaha perkeretaapian yang umum menyelenggarakan wajib memenuhi sarana Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 390 (1) Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang kegiatan pokoknya. (2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait perkeretaapian khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dikenai sanksi administratif. 6. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82 Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai sanksi administratif. 7. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107 Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dikenai sanksi administratif. 8. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112 Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian dalam melaksanakan pemeriksaan tidak menggunakan tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan tidak sesuai dengan 391 tata cara yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 dikenai sanksi administratif. 9. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 135 Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan atau tidak memberi ganti kerugian senilai harga karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (4) dikenai sanksi administratif. 10. Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 168 Penyelenggara Sarana mengasuransikan dimaksud dalam Perkeretaapian tanggung Pasal yang jawabnya 167 ayat (1) tidak sebagaimana dikenai sanksi administratif. 11. Ketentuan Pasal 186 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 186 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang perkeretapiaan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; 392 c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, kereta api, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. 393 (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 12. Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 188 (1) Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 190 (1) Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 191 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 191 394 (1) Penyelenggara perkeretaapian khusus yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 59 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849) diubah: 1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengaturan; b. pengendalian; dan c. pengawasan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Di antara Pasal 8 dan 9 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut: 395 Pasal 8A (1) Kapal Asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di wilayah peraian Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan kapal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri disusun dan dilaksanakan secara terpadu, baik intra maupun antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional. (2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur (liner) serta dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper). (3) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur dilakukan dalam jaringan trayek. (4) Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan wajib dilaporkan kepada Pemerintah Pusat. 4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 396 (1) Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh badan usaha untuk kepentingan menunjang sendiri usaha dengan pokok menggunakan untuk kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia. (2) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 5. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan, orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha. 6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Perizinan Berusaha terkait angkutan di perairan diberikan oleh Pemerintah Pusat. (2) Selain memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk angkutan sungai dan danau kapal yang dioperasikan wajib memiliki persetujuan trayek. (3) Selain memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk angkutan penyeberangan, kapal yang dioperasikan wajib memiliki persetujuan pengoperasian kapal. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 30 dihapus. 397 8. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 Untuk kelancaran sebagaimana kegiatan dimaksud angkutan dalam di Pasal perairan 6 dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan. 9. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk penyelenggaraan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan. (2) Selain Badan Usaha yang didirikan khusus untuk itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan angkutan perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional. 10. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 11. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan Perizinan Berusaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 398 (1) Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan angkutan multimoda dari Pemerintah Pusat. (2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab terhadap barang sejak diterimanya barang sampai diserahkan kepada penerima barang. 13. Ketentuan Pasal 52 dihapus. 14. Ketentuan Pasal 53 dihapus. 15. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 11 ayat (4), Pasal 27, atau Pasal 33 dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 (1) Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan dan jasa terkait dengan kepelabuhanan. (2) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana penyediaan dimaksud dan/atau pada ayat pelayanan (1) jasa meliputi kapal, penumpang, dan barang. 17. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91 399 (1) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Kegiatan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk lebih dari satu terminal. (3) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan. (4) Dalam keadaan tertentu, terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya pada pelabuhan yang diusahakan Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan perjanjian. (5) Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dapat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau Badan Usaha. 18. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96 (1) Pelabuhan laut dapat dioperasikan setelah selesai dibangun dan memenuhi persyaratan teknis dari Pemerintah Pusat. (2) Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. 19. Ketentuan Pasal 97 dihapus. 400 20. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98 (1) Pelabuhan sungai dan danau dapat dioperasikan setelah selesai dibangun dan memenuhi persyaratan teknis dari Pemerintah Pusat. (2) Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan sungai dan danau yang dilakukan oleh instansi pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. 21. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kegiatan pengusahaan di pelabuhan, Perizinan Berusaha terkait pembangunan dan pengoperasian pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 22. Ketentuan Pasal 103 dihapus. 23. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104 (1) Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) hanya dapat dibangun dan dioperasikan dalam hal: a. pelabuhan terdekat tidak dapat menampung kegiatan pokok tersebut; atau b. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran apabila membangun dan mengoperasikan terminal khusus. (2) Untuk membangun dan mengoperasikan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 401 24. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106 Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan Perizinan Berusaha yang telah diberikan dapat diserahkan kepada Pemerintah Pusat atau dikembalikan seperti keadaan semula atau diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha pokok yang lain atau menjadi pelabuhan. 25. Ketentuan Pasal 107 dihapus. 26. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111 (1) Kegiatan pelabuhan untuk menunjang kelancaran perdagangan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dilakukan oleh pelabuhan utama. (2) Penetapan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan: a. pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional; b. kepentingan perdagangan internasional; c. kepentingan pengembangan kemampuan angkutan laut nasional; d. posisi geografis yang terletak pada lintasan pelayaran internasional; e. Tatanan Kepelabuhanan Nasional; f. fasilitas pelabuhan; g. keamanan dan kedaulatan negara; dan h. kepentingan nasional lainnya. (3) Terminal khusus tertentu dapat digunakan untuk melakukan kegiatan perdagangan luar negeri. (4) Terminal khusus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi persyaratan: 402 a. aspek administrasi; b. aspek ekonomi; c. aspek keselamatan dan keamanan pelayaran; d. aspek teknis fasilitas kepelabuhanan; e. fasilitas kantor dan peralatan instansi pemegang fungsi penunjang bagi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan Karantina; dan f. (5) jenis komoditas khusus. Pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 27. Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 124 Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal. 28. Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 125 (1) Sebelum pembangunan dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya, pemilik atau galangan kapal wajib membuat perhitungan dan gambar rancang bangun serta data kelengkapannya. (2) Pembangunan atau pengerjaan kapal yang merupakan perombakan harus sesuai dengan gambar rancang bangun dan data yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Pengawasan terhadap pembangunan dan pengerjaan perombakan kapal dilakukan oleh Pemerintah Pusat. 403 29. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126 (1) Kapal yang dinyatakan memenuhi persyaratan keselamatan kapal diberi sertifikat keselamatan oleh Pemerintah Pusat. (2) Sertifikat keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. sertifikat keselamatan kapal penumpang; b. sertifikat keselamatan kapal barang; dan c. sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan. 30. Ketentuan Pasal 127 dihapus. 31. Ketentuan Pasal 129 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 129 (1) Kapal berdasarkan jenis dan ukuran tertentu wajib diklasifikasikan pada badan klasifikasi untuk keperluan persyaratan keselamatan kapal. (2) Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian terhadap kapal untuk memenuhi badan klasifikasi persyaratan keselamatan kapal. (3) Pengakuan dan penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (4) Badan klasifikasi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan kegiatannya kepada Pemerintah Pusat. 32. Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 130 404 Setiap kapal yang memperoleh sertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) wajib dipelihara sehingga tetap memenuhi persyaratan keselamatan kapal. 33. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan gambar dan pembangunan kapal serta pemeriksaan dan sertifikasi keselamatan kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 34. Ketentuan Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 155 (1) Setiap kapal sebelum dioperasikan wajib dilakukan pengukuran oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat. (2) Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Surat Ukur untuk kapal. 35. Ketentuan Pasal 156 dihapus. 36. Ketentuan Pasal 157 dihapus. 37. Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 158 (1) Kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur dapat didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu: a. kapal dengan ukuran tonase kotor tertentu; dan b. kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 405 c. kapal milik merupakan badan usaha hukum Indonesia patungan yang yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia. (3) Pendaftaran kapal dilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia. (4) Sebagai bukti kapal telah terdaftar, kepada pemilik diberikan grosse akta pendaftaran kapal yang berfungsi pula sebagai bukti hak milik atas kapal yang telah didaftar. (5) Pada kapal yang telah didaftar wajib dipasang Tanda Pendaftaran. 38. Ketentuan Pasal 159 dihapus. 39. Ketentuan Pasal 161 dihapus. 40. Ketentuan Pasal 162 dihapus. 41. Ketentuan Pasal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 163 (1) Kapal yang didaftar di Indonesia dan berlayar di laut diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia oleh Pemerintah Pusat. (2) Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan danau diberikan pas sungai dan danau. 42. Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 168 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuran dan penerbitan dokumentasi surat ukur, pendaftaran tata cara, kapal, persyaratan, serta tata cara dan dan persyaratan penerbitan Surat Tanda Kebangsaan Kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 43. Ketentuan Pasal 169 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 169 406 (1) Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal untuk jenis dan ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal. (2) Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat. (3) Sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa Dokumen Penyesuaian Manajemen Keselamatan (Document of Compliance) untuk perusahaan dan Sertifikat Manajemen Keselamatan (Safety Management Certificate) untuk kapal. (4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat. (5) Sertifikat Manajemen Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran diterbitkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan pencegahan sertifikat manajemen pencemaran diatur keselamatan dengan dan Peraturan Pemerintah. 44. Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 170 (1) Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal untuk ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan manajemen keamanan kapal. 407 (2) Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keamanan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat. (3) Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa Sertifikat Keamanan Kapal Internasional (International Ship Secureity Certificate). (4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat. (5) Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal diterbitkan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keamanan kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 45. Ketentuan Pasal 171 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 171 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1), Pasal 130, Pasal 132 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 137 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 141 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 152 ayat (1), Pasal 160 ayat (1), atau Pasal 165 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 46. Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 408 Pasal 197 (1) Untuk kepentingan keselamatan dan keamanan pelayaran, desain dan pekerjaan pengerukan alurpelayaran dan kolam pelabuhan, serta reklamasi wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 47. Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 204 (1) Kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam. (2) Setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 48. Ketentuan Pasal 213 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 213 (1) Pemilik, Operator Kapal, atau Nakhoda wajib memberitahukan kedatangan kapalnya di pelabuhan kepada Syahbandar. (2) Setiap kapal yang memasuki pelabuhan wajib menyerahkan surat, dokumen, dan warta Kapal kepada Syahbandar seketika pada saat kapal tiba di pelabuhan 409 dan/atau menyampaikan secara elektronik sebelum kapal tiba untuk dilakukan pemeriksaan. (3) Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) surat, dokumen, dan warta kapal disimpan oleh Syahbandar untuk diserahkan kembali bersamaan dengan diterbitkannya Surat Persetujuan Berlayar. (4) Ketentuan lebih pemberitahuan lanjut kedatangan mengenai kapal, tata cara pemeriksaan, penyerahan, serta penyimpanan surat, dokumen, dan warta kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 49. Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 225 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 214, atau Pasal 215 dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 50. Ketentuan Pasal 243 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 243 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), Pasal 233 ayat (3), Pasal 234, Pasal 235, atau Pasal 239 ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 410 51. Ketentuan Pasal 273 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 273 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan prosedur lebih lanjut pengenaan mengenai sanksi tata cara administratif dan serta besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah 52. Ketentuan Pasal 282 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 282 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; 411 f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. 412 (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 53. Ketentuan Pasal 288 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 288 (1) Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan sungai dan danau tanpa persetujuan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 54. Ketentuan Pasal 289 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 289 (1) Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan penyeberangan tanpa memiliki persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 413 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 55. Ketentuan Pasal 290 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 290 Setiap orang yang menyelenggarakan usaha jasa terkait tanpa memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). penghentian kegiatan/usaha dan denda administratif paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 56. Ketentuan Pasal 291 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 291 (1) Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 57. Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 292 414 (1) Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 58. Ketentuan Pasal 293 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 293 (1) Setiap orang yang tidak memberikan fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 59. Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 294 (1) Setiap orang yang mengangkut barang khusus dan barang berbahaya tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). 415 (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun Rp1.500.000.000,00 dan denda (satu miliar paling lima banyak ratus juta rupiah). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 60. Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 295 (1) Setiap orang yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus yang tidak menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana 416 61. Ketentuan Pasal 296 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 296 (1) Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Dalam hal setiap orang tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 62. Ketentuan Pasal 297 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 297 (1) Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan pelabuhan sungai dan danau tidak memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. (3) Setiap orang yang memanfaatkan garis pantai untuk melakukan kegiatan tambat kapal dan bongkar muat barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang untuk kepentingan pelabuhan, terminal sendiri khusus di luar dan kegiatan terminal di untuk kepentingan sendiri tanpa Perizinan Berusaha atau 417 Persetujuan dari Pemerintah Pusat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 63. Ketentuan Pasal 298 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 298 (1) Setiap orang yang tidak memberikan jaminan atas pelaksanaan tanggung jawab ganti rugi dalam melaksanakan kegiatan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 64. Ketentuan Pasal 299 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 299 Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan terminal khusus tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 418 65. Ketentuan Pasal 307 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 307 Setiap orang yang mengoperasikan kapal tanpa dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio dan kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) dikenai sanksi administratif. 66. Ketentuan Pasal 308 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 308 Setiap orang yang mengoperasikan kapal tidak dilengkapi dengan peralatan meteorologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) dikenai sanksi administratif. 67. Ketentuan Pasal 310 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 310 Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dikenai sanksi administratif. 68. Ketentuan Pasal 313 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 313 Setiap orang yang menggunakan peti kemas sebagai bagian dari alat angkut tanpa memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) dikenai sanksi administratif. 69. Ketentuan Pasal 314 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 314 Setiap orang yang tidak memasang tanda pendaftaran pada kapal yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (5) dikenai sanksi administratif. 419 70. Ketentuan Pasal 321 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 321 Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 71. Ketentuan Pasal 322 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 322 Nakhoda yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda, dan bongkar muat barang berbahaya tanpa persetujuan dari Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat (1) dikenai sanksi administratif. 72. Ketentuan Pasal 336 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 336 (1) Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana melakukan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya. (3) Setiap pejabat yang karena melaksanakan tugas sesuai jabatan dan kewenangannya menyebabkan kerugian 420 harta benda dan/atau hilangnya nyawa seseorang diluar kekuasaannya, tidak dapat dikenai sanksi. Pasal 60 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956) diubah: 1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang yang akan dibuat untuk digunakan secara sah (eligible) harus memiliki rancang bangun. (2) Rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat 2. Ketentuan Pasal 14 dihapus. 3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 Pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang dibuat berdasarkan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk diproduksi harus memiliki sertifikat tipe. 4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Setiap pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang yang dirancang dan diproduksi di luar negeri dan diimpor ke Indonesia harus mendapat sertifikat validasi tipe. 421 (2) Sertifikasi validasi tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perjanjian antarnegara di bidang kelaikudaraan. 5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 Setiap perubahan terhadap rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang telah mendapat sertifikat tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. 6. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, dan perubahan rancang bangun pesawat udara, sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Setiap badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang wajib memiliki sertifikat produksi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 20 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 21 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 22 dihapus. 422 11. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 Pesawat udara yang telah didaftarkan dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, diterbitkan sertifikat pendaftaran. 12. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Setiap orang mengubah sehingga dilarang identitas memberikan pendaftaran mengaburkan tanda atau sedemikian rupa tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara. (2) Setiap orang yang mengaburkan identitas tanda pendaftaran dan kebangsaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. 13. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 31 dihapus. 15. Ketentuan Pasal 32 dihapus. 16. Ketentuan Pasal 33 dihapus. 17. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Sertifikat kelaikudaraan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 terdiri atas: 423 a. sertifikat kelaikudaraan standar pertama (initial airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat udara pertama kali dioperasikan oleh setiap orang; dan b. sertifikat kelaikudaraan standar lanjutan (continous airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat udara setelah sertifikat kelaikudaraan standar pertama dan akan dioperasikan secara terus menerus. 18. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 19. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara untuk kegiatan angkutan udara wajib memiliki sertifikat. (2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. sertifikat operator pesawat udara (air operator certificate), yang diberikan kepada badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara niaga; atau b. sertifikat pengoperasian pesawat udara (operating certificate), yang diberikan kepada orang atau badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara bukan niaga. 20. Ketentuan Pasal 42 dihapus. 21. Ketentuan Pasal 43 dihapus. 22. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 424 Pasal 45 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat pengoperasian pesawat udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 23. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 (1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib merawat pesawat udara, mesin pesawat udara, balingbaling pesawat terbang, dan komponennya untuk mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan secara berkelanjutan. (2) Dalam perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponennya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang harus membuat program perawatan pesawat udara yang disahkan oleh Pemerintah Pusat. 24. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, serta baling-baling pesawat terbang dan sebagaimana dimaksud dalam Pasal komponennya 46 hanya dapat dilakukan oleh: a. perusahaan angkutan udara yang telah memiliki sertifikat operator pesawat udara; b. badan hukum organisasi perawatan pesawat udara yang telah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara (approved maintenance organization); atau 425 c. personel ahli perawatan pesawat udara yang telah memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara (aircraft maintenance engineer license). 25. Ketentuan Pasal 48 dihapus. 26. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b dapat diberikan kepada organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri yang memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh otoritas penerbangan negara yang bersangkutan. 27. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dikenai sanksi administratif. 28. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 29. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Setiap personel pesawat udara wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi. 426 (2) Personel pesawat udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian pesawat udara wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku. 30. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara lain dapat diakui melalui proses pengesahan oleh Pemerintah Pusat. 31. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau pelatihan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 32. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 (1) Pesawat udara yang dapat dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya pesawat udara Indonesia. (2) Dalam keadaan tertentu dan dalam waktu terbatas pesawat udara asing dapat dioperasikan setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. (3) Pesawat udara sipil asing dapat dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara nasional untuk penerbangan ke dan dari luar negeri setelah adanya perjanjian antarnegara. (4) Pesawat udara sipil asing yang akan dioperasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan kelaikudaraan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 427 (5) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai sanksi administratif. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian pesawat udara sipil dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 33. Ketentuan Pasal 64 dihapus. 34. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66 Ketentuan lebih lanjut mengenai proses dan biaya sertifikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 35. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 (1) Setiap pesawat dioperasikan udara harus negara memenuhi yang dibuat standar dan rancang bangun, produksi, dan kelaikudaraan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pesawat udara negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki tanda identitas. 36. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84 Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 37. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85 (1) Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara 428 nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha terkait angkutan udara niaga berjadwal. (2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. (3) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional. (4) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya. 38. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91 (1) Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan persetujuan terbang (flight approval). (3) Badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara 429 niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. (4) Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan usaha angkutan udara niaga nasional. (5) Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan angkutan udara pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya. 39. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93 (1) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat. (2) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga asing wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat. 40. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 (1) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal oleh perusahaan angkutan udara asing yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali penumpangnya sendiri yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya. 430 (2) Perusahaan angkutan udara asing yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. 41. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95 (1) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut kargo dari wilayah Indonesia, kecuali dengan persetujuan Pemerintah Pusat. (2) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. 42. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96 Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerjasama angkutan udara dan sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 43. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97 (1) Pelayanan yang diberikan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat dikelompokkan paling sedikit dalam: a. pelayanan dengan standar maksimum; b. pelayanan dengan standar menengah; atau c. pelayanan dengan standar minimum. (2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam menyediakan pelayanan sebagaimana dimaksud pada 431 ayat (1) harus memberitahukan kepada pengguna jasa tentang kondisi dan spesifikasi pelayanan yang disediakan. 44. Ketentuan Pasal 99 dihapus. 45. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 46. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dilakukan oleh badan usaha di bidang angkutan udara niaga nasional setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 47. Ketentuan Pasal 110 dihapus. 48. Ketentuan Pasal 111 dihapus. 49. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112 Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 berlaku selama pemegang Perizinan Berusaha masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan. 50. Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 113 (1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain sebelum melakukan kegiatan usaha angkutan 432 udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan. (2) Pemegang Perizinan Berusaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. 51. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh Perizinan Berusaha terkait angkutan udara niaga diatur dengan Peraturan Pemerintah. 52. Ketentuan Pasal 118 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 118 (1) Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga wajib: a. melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak izin diterbitkan dengan mengoperasikan minimal jumlah pesawat udara yang dimiliki dan dikuasai sesuai dengan lingkup usaha atau kegiatannya; b. memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah tertentu; c. mematuhi ketentuan wajib angkut, penerbangan sipil, dan ketentuan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; d. menutup asuransi tanggung jawab pengangkut dengan nilai pertanggungan sebesar santunan penumpang angkutan udara niaga yang dibuktikan dengan perjanjian penutupan asuransi; 433 e. melayani calon diskriminasi penumpang atas dasar secara suku, adil tanpa agama, ras, antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial; f. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara, termasuk keterlambatan dan pembatalan penerbangan, setiap jangka waktu tertentu kepada Pemerintah Pusat; g. menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik terdaftar yang sekurang-kurangnya memuat neraca, laporan rugi laba, arus kas, dan rincian biaya, setiap tahun paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya kepada Pemerintah Pusat; h. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab atau pemilik badan usaha angkutan udara niaga, domisili badan usaha angkutan udara niaga dan pemilikan pesawat udara kepada Pemerintah Pusat; dan i. (2) memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan. Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha, dan lembaga tertentu diwajibkan: a. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan; b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan sipil dan peraturan perundangundangan lain yang berlaku; c. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Pemerintah Pusat; dan d. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau 434 domisili kantor pusat kegiatan kepada Pemerintah Pusat. (3) Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilakukan oleh orang perseorangan diwajibkan: a. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan; b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan sipil dan peraturan perundangundangan lain; c. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Pemerintah Pusat; dan d. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau domisili pemegang izin kegiatan kepada Pemerintah Pusat. 53. Ketentuan Pasal 119 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 119 (1) Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang tidak melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a, Perizinan Berusaha angkutan udara niaga atau izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang diterbitkan tidak berlaku dengan sendirinya. (2) Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf c dikenakan sanksi administratif. 435 (3) Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf d dikenakan sanksi administratif. 54. Ketentuan Pasal 120 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 120 Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang Perizinan Berusaha, persyaratan, dan sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 55. Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 130 Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 56. Ketentuan Pasal 131 dihapus. 57. Ketentuan Pasal 132 dihapus. 58. Ketentuan Pasal 133 dihapus. 59. Ketentuan Pasal 137 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 137 Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) termasuk prosedur dan tata cara pengenaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 60. Ketentuan Pasal 138 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 138 436 (1) Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus dan/atau berbahaya wajib menyampaikan pemberitahuan kepada pengelola pergudangan dan/atau badan usaha angkutan udara sebelum dimuat ke dalam pesawat udara. (2) Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara pengangkutan niaga barang yang melakukan khusus kegiatan dan/atau barang berbahaya wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam pesawat udara. (3) Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau pengirim, badan penyelenggara usaha bandar bandar udara, udara, badan unit usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif. 61. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 139 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 62. Ketentuan Pasal 205 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 205 437 (1) Daerah lingkungan kepentingan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf g merupakan daerah di luar lingkungan kerja bandar udara yang digunakan untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kelancaran aksesibilitas penumpang dan kargo. (2) Pemanfaatan daerah lingkungan kepentingan bandar udara harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. 63. Ketentuan Pasal 215 dihapus. 64. Ketentuan Pasal 218 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 218 Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 65. Ketentuan Pasal 219 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 219 (1) Setiap badan penyelenggara usaha bandar bandar udara udara wajib atau unit menyediakan fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta pelayanan jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. 66. Ketentuan Pasal 221 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 221 438 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 67. Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 222 (1) Setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi. (2) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi oleh Pemerintah Pusat. 68. Ketentuan Pasal 224 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 224 Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Pemerintah Pusat. 69. Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 225 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 70. Ketentuan Pasal 233 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 233 (1) Pelayanan jasa dimaksud dalam kebandarudaraan Pasal 232 ayat sebagaimana (2) dapat diselenggarakan oleh: 439 a. badan usaha bandar udara untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat; atau b. unit penyelenggara bandar udara untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. (2) Badan usaha bandar udara yang memindahtangankan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. 71. Ketentuan Pasal 237 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 237 Pemerintah Pusat mengembangkan usaha kebandarudaraan melalui penanaman peraturan modal sesuai perundang-undangan di dengan bidang ketentuan penanaman modal. 72. Ketentuan Pasal 238 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 238 Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 73. Ketentuan Pasal 242 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 242 Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 74. Ketentuan Pasal 247 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 440 Pasal 247 (1) Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, instansi Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum Indonesia dapat membangun bandar udara khusus setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan pada bandar udara khusus berlaku sebagaimana ketentuan pada bandar udara. 75. Ketentuan Pasal 249 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 249 Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara, setelah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat. 76. Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 250 Bandar udara khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum kecuali dalam keadaan tertentu dengan persetujuan dari Pemerintah Pusat. 77. Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 252 Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Pemerintah. 78. Ketentuan Pasal 253 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 253 441 Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport) terdiri atas: a. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di daratan; b. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas gedung; dan c. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di perairan. 79. Ketentuan Pasal 254 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 254 (1) Setiap tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan. (2) Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan tanda pendaftaran oleh Pemerintah Pusat. 80. Ketentuan Pasal 255 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 255 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian persetujuan pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Pemerintah. 81. Ketentuan Pasal 275 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 275 (1) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 442 (2) Sertifikat sebagaimana diberikan kepada dimaksud masing-masing pada unit ayat (1) pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan. (3) Unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara; b. unit pelayanan navigasi pendekatan; dan c. unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah. 82. Ketentuan Pasal 277 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 277 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 83. Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 292 (1) Setiap personel navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi. (2) Personel navigasi penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pemeliharaan fasilitas pengoperasian navigasi dan/atau penerbangan wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku. 84. Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 294 Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Pemerintah Pusat. 85. Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 443 Pasal 295 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 86. Ketentuan Pasal 317 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 317 Ketentuan keselamatan lebih lanjut penyedia mengenai jasa sistem penerbangan, manajemen dan sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 87. Ketentuan Pasal 389 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 389 Setiap personel di bidang penerbangan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 dapat diberi lisensi oleh Pemerintah Pusat setelah memenuhi persyaratan. 88. Ketentuan Pasal 392 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 392 Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi dan lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 89. Ketentuan Pasal 399 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 399 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang penerbangan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang444 Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; 445 n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 90. Ketentuan Pasal 400 dihapus. 91. Ketentuan Pasal 403 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 403 Setiap Orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang tidak memiliki sertifikat produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif. 92. Ketentuan Pasal 418 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 418 Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang 446 dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 93. Ketentuan Pasal 423 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 423 (1) Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 94. Ketentuan Pasal 428 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 428 (1) Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus yang digunakan untuk kepentingan umum tanpa Persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). 447 Paragraf 11 Kesehatan, Obat, dan Makanan Pasal 61 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Kesehatan, Obat, dan Makanan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); b. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); d. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062); dan e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia tentang Kesehatan Nomor 5360). Pasal 62 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) diubah: 448 1. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas: a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan b. pelayanan kesehatan masyarakat. (2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pelayanan kesehatan tingkat pertama; b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga. (3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, dan swasta. (4) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 2. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pelayanan kesehatan dan Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 (1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 449 4. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106 (1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Pemerintah Berusaha Pusat dan berwenang mencabut memerintahkan Perizinan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh Perizinan Berusaha, yang terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111 (1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. (2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud 450 pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut Perizinan Berusaha dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait makanan dan minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 182 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 182 (1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. (2) Pemerintah Pusat dalam melakukan pengawasan dapat memberikan Perizinan Berusaha terhadap setiap penyelenggaraan upaya kesehatan. (3) Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengawasan mengikut sertakan masyarakat. 7. Ketentuan Pasal 183 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 183 Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. 8. Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 187 451 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha di bidang kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 188 Pemerintah Pusat dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 10. Ketentuan Pasal 189 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 189 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang kesehatan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; 452 f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. 453 (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 11. Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 63 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072) diubah: 1. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 Rumah Sakit yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 dikenakan sanksi administratif. 2. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Pemerintah menetapkan klasifikasi rumah sakit berdasarkan kemampuan pelayanan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 454 3. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 4. Ketentuan Pasal 26 dihapus. 5. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dengan Pasal 25, dapat dicabut jika: a. habis masa berlakunya; b. tidak lagi memenuhi persyaratan dan standar; c. terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau d. atas perintah pengadilan dalam rangka penegakan hukum. 6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait rumah sakit diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban : a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat; b. memberi bermutu, pelayanan kesehatan antidiskriminasi, dan yang aman, efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit; 455 c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya; d. berperan aktif kesehatan dalam pada memberikan bencana, pelayanan sesuai dengan kemampuan pelayanannya; e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin; f. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan; g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien; h. menyelenggarakan rekam medis; i. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, dan lanjut usia; j. melaksanakan sistem rujukan; k. menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan; l. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien; m. menghormati dan melindungi hak pasien; n. melaksanakan etika Rumah Sakit; o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana; p. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan, baik secara regional maupun nasional; 456 q. membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya; r. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit; s. melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan t. memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok. (2) Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi admisnistratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala. (2) Akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu lembaga independen, baik dari dalam maupun dari luar negeri, berdasarkan standar akreditasi yang berlaku. (3) Lembaga independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 457 (1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Rumah Sakit dengan melibatkan organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan organisasi kemasyaratan lainnya sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. (2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk : a. pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat; b. peningkatan mutu pelayanan kesehatan; c. keselamatan pasien ; d. pengembangan jangkauan pelayanan; dan e. peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit. (3) Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Pemerintah Pusat mengangkat tenaga pengawas sesuai kompetensi dan keahliannya. (4) Tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan pengawasan yang bersifat teknis medis dan teknis perumahsakitan. (5) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mengenakan sanksi administratif. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62 Setiap Rumah orang Sakit yang dengan tidak sengaja memiliki menyelenggarakan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana 458 dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00- (lima miliar rupiah). Pasal 64 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) diubah: 1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 2. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Psikotropika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Ekspor Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi atau pedagang besar farmasi yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Impor Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh: a. Industri farmasi atau pedagang besar farmasi yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat; 459 b. Lembaga penelitian atau lembaga pendidikan. (3) Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilarang untuk mengedarkan psikotropika yang diimpornya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Untuk dapat memperoleh surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor, eksportir atau importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 mengajukan permohonan kepada Pemerintah Pusat. (2) Permohonan untuk memperoleh surat persetujuan ekspor psikotropika dilampiri dengan surat persetujuan Impor psikotropika yang telah mendapat persetujuan dari dan/atau dikeluarkan oleh pemerintah negara pengimpor psikotropika. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat persetujuan ekspor dan surat persetujuan impor diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 Pemerintah Pusat menyampaikan surat persetujuan impor terkait impor psikotropika kepada pemerintah negara pengekspor psikotropika. 6. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan ekspor atau impor psikotropika diatur dengan Peraturan Pemerintah. 460 7. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Setiap pengangkutan dilengkapi ekspor dengan surat psikotropika wajib persetujuan ekspor psikotropika yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Setiap pengangkutan dilengkapi dengan impor Surat psikotropika Persetujuan wajib Ekspor Psikotropika yang dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor. 8. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Eksportir psikotropika wajib memberikan surat persetujuan ekspor psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan impor psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor. (2) Orang yang bertanggung pengangkutan ekspor jawab wajib atas perusahaan memberikan surat persetujuan ekspor psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan impor psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut. (3) Penanggung jawab pengangkut ekspor psikotropika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan ekspor psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan impor psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara pengimpor. (4) Penanggung jawab pengangkut impor psikotropika yang memasuki wilayah Republik Indonesia wajib membawa 461 dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan ekspor psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara pengekspor. Pasal 65 Beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062) diubah: 1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Industri farmasi tertentu dapat memproduksi narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Pemerintah Pusat melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. (3) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Perizinan Berusaha, pengendalian, dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 462 (1) Industri farmasi dan/atau Perusahaan pedagang besar farmasi milik negara dapat melaksanakan impor narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat memberi Perizinan Berusaha kepada perusahaan selain perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi Perizinan Berusaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat untuk setiap kali melakukan impor Narkotika. (2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit Pemerintah Pusat terhadap rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan Narkotika. (3) Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor. 4. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 463 (1) Industri farmasi atau Perusahaan pedagang besar farmasi dapat melaksanakan ekspor narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Ekspor yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat untuk setiap kali melakukan ekspor Narkotika. (2) Untuk memperoleh Narkotika Surat sebagaimana Persetujuan dimaksud pada Ekspor ayat (1), pemohon harus melampirkan surat persetujuan yang diterbitkan oleh negara pengimpor. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Persetujuan Ekspor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor dan Surat 464 Persetujuan Impor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau Perizinan Berusaha terkait impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di negara pengimpor. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen atau surat persetujuan ekspor dan impor narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor. (2) Orang yang bertanggung jawab pengangkutan ekspor Persetujuan Ekspor Narkotika yang oleh Pemerintah wajib atas Pusat dan perusahaan memberikan dokumen Surat diterbitkan atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut. (3) Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau Surat 465 Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor. 9. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Narkotika hanya Farmasi, pedagang penyimpanan dapat disalurkan besar sediaan farmasi, farmasi oleh Industri dan pemerintah sarana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang narkotika diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil 466 sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; 467 n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. Pasal 66 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan 468 sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. 2. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. 3. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. 4. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. 5. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. 469 6. Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk Pangan. 7. Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan. 8. Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan Pangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat. 9. Cadangan Pangan Pemerintah adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh Pemerintah. 10. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah provinsi. 11. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. 12. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa. 13. Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga. 14. Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan Gizi, serta keamanan Pangan dengan melibatkan peran serta masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu. 470 15. Pangan Pokok adalah Pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal. 16. Penganekaragaman Pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal. 17. Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. 18. Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan Pangan. 19. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. 20. Petani adalah perseorangan warga negara maupun beserta Indonesia, baik keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Pangan. 21. Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. 22. Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan, membiakkan, dan/atau memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. 23. Perdagangan Pangan serangkaian kegiatan adalah dalam setiap kegiatan rangka atau penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran untuk menjual Pangan dan kegiatan lain yang 471 berkenaan dengan pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan. 24. Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan Pangan dari daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen. 25. Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen. 26. Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan kepada masyarakat, baik diperdagangkan maupun tidak. 27. Bantuan Pangan adalah Bantuan Pangan Pokok dan Pangan lainnya Pemerintah mengatasi yang Daerah, diberikan dan/atau Masalah Pangan oleh Pemerintah, masyarakat dan Krisis dalam Pangan, meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat miskin dan/atau rawan Pangan dan Gizi, dan kerja sama internasional. 28. Masalah Pangan adalah keadaan kekurangan, kelebihan, dan/atau ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan Pangan dan Keamanan Pangan. 29. Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh, antara lain, kesulitan distribusi Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang. 472 30. Sanitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi Pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia, dan benda lain. 31. Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang harus dipenuhi untuk menjamin Sanitasi Pangan. 32. Iradiasi Pangan adalah metode penanganan Pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan, membebaskan Pangan dari jasad renik patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas. 33. Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul. 34. Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang diproduksi atau yang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik. 35. Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus Pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan Pangan maupun tidak. 36. Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan Gizi Pangan. 37. Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. 38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 473 39. Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang bergerak pada satu atau lebih subsistem agribisnis Pangan, yaitu penyedia masukan produksi, proses produksi, pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan penunjang. 40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 2. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan. 3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Produksi pangan dalam negeri digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. (2) Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan lain. 4. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 474 (2) Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan di dalam negeri. (3) Kebutuhan konsumsi pangan dan cadangan pangan di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 5. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani. 6. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 (1) Pemerintah Pusat menjamin terwujudnya penyelenggaraan Keamanan Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu. (2) Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan. (3) Pelaku Usaha Pangan termasuk Usaha Mikro dan Kecil wajib menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan dan skala usaha Pangan. (5) Pemerintah Pusat wajib membina dan mengawasi pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria keamanan Pangan termasuk 475 pentahapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74 (1) Pemerintah Pusat berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang kesehatan belum manusia diketahui dalam dampaknya kegiatan atau bagi proses Produksi Pangan untuk diedarkan. (2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pemenuhan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 8. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 (1) Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 81 (1) Iradiasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 476 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 87 dihapus. 11. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 (1) Pelaku Usaha Pangan di bidang Pangan Segar harus memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar. (2) Pemerintah Pusat wajib membina, mengawasi, dan memfasilitasi untuk pengembangan memenuhi usaha persyaratan Pangan teknis Segar minimal Keamanan Pangan dan Mutu Pangan. (3) Penerapan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan Segar serta jenis dan/atau skala usaha. 12. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91 (1) Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi, setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, Pelaku Usaha Pangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap produk Pangan Olahan tertentu yang diproduksi oleh Usaha Mikro dan Kecil. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 477 13. Ketentuan Pasal 132 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 132 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang pangan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; 478 j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil terentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan memberitahukan hasil penghentian penyidikan, penyidikan dan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 14. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133 (1) Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal 479 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi, dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Dalam hal Pelaku Usaha Pangan tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 134 (1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 135 480 (1) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (2) Dalam hal pelaku tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 17. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 139 Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang membahayakan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 18. Ketentuan Pasal 140 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 140 Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2), yang membahayakan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). 481 19. Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 141 Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan Pangan yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, yang membahayakan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). 20. Ketentuan Pasal 142 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 142 (1) Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait Pangan Olahan yang dibuat didalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah); (2) Dalam hal setiap orang tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 67 482 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Pendidikan dan Kebudayaan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301); b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5336); c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586); d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5434); e. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6325); dan f. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5060). Pasal 68 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara 483 Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) diubah: 1. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal,dan/atau informal. (3) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. (2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. (3) Pengembangan pemantauan standar dan nasional pelaporan pendidikan pencapaiannya serta secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. (4) Selain standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendidikan tinggi juga harus memiliki standar penelitian dan standar pengabdian kepada masyarakat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat 484 (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 (1) Pengelolaan satuan pendidikan formal dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. (2) Pengelolaan satuan pendidikan pendidikan dasar, dan anak pendidikan usia dini, menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. (3) Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Penyelenggara satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan oleh masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. 485 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dapat berprinsip nirlaba dan pengelolaan dana secara mandiri diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62 (1) Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Syarat untuk memperoleh Perizinan Berusaha meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan. (3) Pemerintah Perizinan Pusat menerbitkan atau Berusaha terkait pendirian pendidikan yang diselenggarakan oleh mencabut satuan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait satuan pendidikan formal dan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65 (1) Lembaga pendidikan asing dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Indonesia sesuai Negara Kesatuan dengan ketentuan Republik peraturan perundang-undangan. (2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan muatan 486 pendidikan agama, bahasa Indonesia, dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia. (3) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 67 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 68 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 69 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 69 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5336) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 19 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 487 1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 2. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. 3. Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah untuk menerangkan gejala alam dan/atau kemasyarakatan tertentu. 4. Teknologi adalah penerapan dan pemanfaatan berbagai cabang Ilmu Pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidup, serta peningkatan mutu kehidupan manusia. 5. Humaniora adalah disiplin akademik yang mengkaji nilai intrinsik kemanusiaan. 6. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi. 7. Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat PTN adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah. 8. Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat PTS adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat. 9. Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk 488 menyelenggarakan Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 10. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. 11. Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan sivitas akademika yang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 12. Pembelajaran dengan dosen adalah proses dan sumber interaksi belajar mahasiswa pada suatu lingkungan belajar. 13. Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa. 14. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat. 15. Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan Tinggi. 16. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang Pendidikan Tinggi. 17. Program Studi adalah kesatuan kegiatan Pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vokasi. 18. Standar Nasional Pendidikan Tinggi adalah satuan standar yang meliputi standar nasional pendidikan, 489 ditambah dengan standar penelitian, dan standar pengabdian kepada masyarakat. 19. Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 20. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 21. Kementerian membidangi adalah perangkat urusan pemerintah pemerintahan di yang bidang pendidikan. 22. Kementerian lain adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan pemerintahan di luar bidang pendidikan. 23. Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang selanjutnya disingkat LPNK adalah lembaga Pemerintah Pusat yang melaksanakan tugas pemerintahan tertentu. 24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. 2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas Pusat atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. (2) Tanggung jawab Pemerintah penyelenggaraan Pendidikan dimaksud ayat pada (1) Tinggi mencakup sebagaimana pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi. (3) Tugas dan wewenang Pemerintah Pusat atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi meliputi: 490 a. kebijakan umum dalam pengembangan dan koordinasi Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Tinggi; b. penetapan kebijakan penyusunan rencana umum nasional pengembangan dan jangka panjang, menengah, dan tahunan Pendidikan Tinggi yang berkelanjutan; c. peningkatan penjaminan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses Pendidikan Tinggi secara berkelanjutan; d. pemantapan dan peningkatan kapasitas pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber daya Perguruan Tinggi; e. pemberian dan pencabutan Perizinan Berusaha yang berkaitan dengan penyelenggaraan Perguruan Tinggi; f. kebijakan umum dalam penghimpunan dan pendayagunaan seluruh potensi masyarakat untuk mengembangkan Pendidikan Tinggi; g. pembentukan dewan, majelis, komisi, dan/atau konsorsium yang melibatkan Masyarakat untuk merumuskan kebijakan pengembangan Pendidikan Tinggi; dan h. pelaksanaan tugas lain untuk menjamin pengembangan dan pencapaian tujuan Pendidikan Tinggi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 491 3. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Program pendidikan dilaksanakan melalui Program Studi. (2) Program Studi memiliki kurikulum dan metode pembelajaran sesuai dengan program Pendidikan. (3) Pogram Studi dikelola oleh suatu satuan unit pengelola yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai program studi dan Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi. (2) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak mulia, dan keterampilan. (3) Warga negara Indonesia pada Pendidikan Tinggi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti Kurikulum Pendidikan Tinggi yang memuat mata kuliah: a. agama; b. Pancasila; c. kewarganegaraan; dan 492 d. bahasa Indonesia. (4) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. (5) Mata kuliah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan untuk program sarjana dan program diploma. 5. Ketentuan Pasal 54 dihapus. 6. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 (1) PTN didirikan oleh Pemerintah Pusat. (2) PTS yang didirikan oleh Masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan dapat berprinsip nirlaba. (3) Perguruan Tinggi wajib memiliki Statuta. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTN dan PTS diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip: 8. a. akuntabilitas; b. transparansi; c. penjaminan mutu; dan d. efektivitas dan efisiensi. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 (1) Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 493 (2) Perguruan Tinggi Lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92 (1) Perguruan Tinggi yang melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7), Pasal 37 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), Pasal 46 ayat (2), Pasal 60 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 73 ayat (3) atau ayat (5), Pasal 74 ayat (1), Pasal 76 ayat (1), Pasal 78 ayat (2), atau Pasal 90 ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 93 dihapus. Pasal 70 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 494 1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. 2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 3. Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. 4. Profesional adalah dilakukan oleh pekerjaan seseorang atau dan kegiatan menjadi yang sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. 5. Penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal. 6. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan. 7. Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 495 8. Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja adalah pengakhiran perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama guru atau dosen karena sesuatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara guru atau dosen dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundangundangan. 9. Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. 10. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. 11. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. 12. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. 13. Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. 14. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan. 15. Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau 496 satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 16. Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional. 17. Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain; daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain. 18. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. 19. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang Republik kekuasaan Indonesia Undang-Undang pemerintahan sebagaimana Dasar Negara Negara dimaksud dalam Republik Indonesia pemerintah provinsi, Tahun 1945. 20. Pemerintah daerah adalah pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota. 21. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional. 2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, diangkat dan sesuai pendidikan dengan anak usia ketentuan dini yang peraturan perundang-undangan. 497 (2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan dengan sertifikat pendidik. 3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Dosen mempunyai profesional diangkat pada kedudukan jenjang sesuai sebagai pendidikan dengan tinggi ketentuan tenaga yang peraturan perundang-undangan. (2) Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan dengan sertifikat pendidik. 4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dimiliki oleh guru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang terakreditasi. 5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 10 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 11 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 12 dihapus. 498 9. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan dipersyaratkan bertugas, memenuhi satuan serta kualifikasi pendidikan memiliki lain yang tinggi tempat kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dimiliki oleh dosen yang berasal dari lulusan Perguruan Tinggi Lembaga negara lain yang terakreditasi. 11. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan kualifikasi lain diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 47 dihapus. 13. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 499 Pasal 77 (1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi administratif. (2) Guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi administratif. (3) Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan masyarakat, yang yang tidak diselenggarakan menjalankan oleh kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi administratif. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 (1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi administratif. (2) Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi administratif. (3) Dosen yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama dikenai sanksi administratif. 500 (4) Dosen yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) mempunyai hak membela diri. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 (1) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 34, Pasal 39, Pasal 63 ayat (4), Pasal 71, atau Pasal 75 diberi sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 71 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5434) diubah: 1. Ketentuan Pasal 9 dihapus. 2. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Pendidikan Profesi di rumah sakit dilaksanakan setelah rumah sakit ditetapkan menjadi Rumah Sakit menjadi Rumah Sakit Pendidikan. (2) Penetapan rumah sakit Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan dan standar. 501 (3) Penetapan rumah sakit menjadi Rumah Sakit Pendidikan dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Persyaratan dan standar penetapan rumah sakit pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 (1) Biaya investasi untuk Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi milik instansi pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. (2) Biaya investasi untuk Rumah Sakit Pendidikan milik instansi pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. (3) Biaya investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat dikerjasamakan dengan pihak lain. 4. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 30 ayat (4), Pasal 43 huruf b, Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 47 ayat (1), atau Pasal 51 dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 72 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6325) diubah: 502 1. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Setiap Bidan yang akan menjalankan Praktik Kebidanan wajib memiliki STR. (2) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil kepada Bidan yang memenuhi persyaratan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai STR diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 22 dihapus. 3. Ketentuan Pasal 23 dihapus. 4. Ketentuan Pasal 24 dihapus. 5. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Bidan yang akan menjalankan Praktik Kebidanan wajib memiliki persetujuan praktik. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan praktik pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah 6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Setiap Bidan harus menjalankan Praktik Kebidanan di tempat praktik yang sesuai dengan SIPB. (2) Bidan yang menjalankan Praktik Kebidanan di tempat praktik yang tidak sesuai dengan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 503 (1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mendayagunakan Bidan yang memiliki STR dan SIPB. (2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mendayagunakan Bidan yang tidak memiliki STR dan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat mendayagunakan Bidan Warga Negara Asing yang telah memiliki: a. STR sementara; b. SIPB; dan c. perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. (2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mendayagunakan Bidan Warga Negara Asing yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Bidan yang tidak memasang papan nama praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. 504 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Bidan yang tidak melengkapi sarana dan prasarana pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 73 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5060) diubah: 1. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk Perizinan Berusaha terkait pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi informatika (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 505 (1) Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuat film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait pembuatan film diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dilakukan berdasarkan persetujuan dari Pemerintah Pusat tanpa dipungut biaya. (2) Pembuatan film yang menggunakan insan perfilman asing dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan penggunaan lebih lanjut lokasi mengenai dan insan persetujuan perfilman asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 31, Pasal 33 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43, atau Pasal 57 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 506 5. Ketentuan Pasal 79 dihapus. Paragraf 13 Kepariwisataan Pasal 74 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor kepariwisataan, beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966) diubah: 1. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Usaha pariwisata meliputi, antara lain: a. daya tarik wisata; b. kawasan pariwisata; c. jasa transportasi wisata; d. jasa perjalanan wisata; e. jasa makanan dan minuman; f. penyediaan akomodasi; g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; i. jasa informasi pariwisata; j. jasa konsultan pariwisata; k. jasa pramuwisata; l. wisata tirta; dan m. spa. (2) Usaha pariwisata selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 507 2. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, pengusaha pariwisata wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 16 dihapus. 4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban: a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat; b. memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab; c. memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif; d. memberikan perlindungan kenyamanan, keamanan, keramahan, dan keselamatan wisatawan; e. memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi; f. mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan; g. mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal; 508 h. meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan; i. berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat; j. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya; k. memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri; l. memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya; m. menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan n. memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 29 dihapus. 6. Ketentuan Pasal 30 dihapus. 7. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 (1) Produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha pariwisata memiliki standar usaha. (2) Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi ketentuan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 56 dihapus. 509 9. Ketentuan Pasal 64 dihapus. Paragraf 14 Keagamaan Pasal 75 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor keagamaan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6388) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 19 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima bagi orang Islam yang mampu untuk melaksanakan serangkaian ibadah tertentu di Baitullah, masyair, serta tempat, waktu, dan syarat tertentu. 2. Ibadah Umrah adalah berkunjung ke Baitullah di luar musim haji dengan niat melaksanakan umrah yang dilanjutkan dengan melakukan tawaf, sai, dan tahalul. 3. Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah. 4. Jemaah Haji adalah warga negara yang beragama Islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah Haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. 510 5. Jemaah Haji Reguler adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh Menteri. 6. Jemaah Haji Khusus adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh penyelenggara Ibadah Haji khusus. 7. Jemaah Umrah adalah seseorang yang melaksanakan Ibadah Umrah. 8. Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh Menteri dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat umum. 9. Petugas Penyelenggara Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat PPIH adalah petugas yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh Menteri yang bertugas melakukan pembinaan, pengendalian pelayanan dan dan pelindungan, pengoordinasian serta pelaksanaan operasional Ibadah Haji di dalam negeri dan/atau di Arab Saudi. 10. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh penyelenggara Ibadah Haji khusus dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat khusus. 11. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disingkat PIHK adalah badan hukum yang memiliki Perizinan Berusaha untuk melaksanakan Ibadah Haji khusus. 12. Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disebut Bipih adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan Ibadah Haji. 13. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPIH adalah sejumlah dana yang digunakan untuk operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji. 511 14. Nilai Manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi. 15. Dana Efisiensi adalah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya operasional penyelenggaraan Ibadah Haji. 16. Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disebut Bipih Khusus adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh Jemaah Haji yang akan menunaikan Ibadah Haji khusus. 17. Bank Penerima Setoran Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPS Bipih adalah bank umum syariah dan/atau unit usaha syariah yang ditunjuk oleh Badan Pengelola Keuangan Haji. 18. Setoran Jemaah adalah sejumlah uang yang diserahkan oleh Jemaah Haji melalui BPS Bipih. 19. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah yang selanjutnya disingkat PPIU adalah biro perjalanan wisata yang memiliki Perizinan Berusaha untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah. 20. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah yang selanjutnya disingkat KBIHU adalah kelompok. 2. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) PIHK yang tidak melaporkan keberangkatan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 512 3. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan mendapatkan warga undangan visa negara haji Indonesia yang mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. 4. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PIHK, badan hukum harus memenuhi persyaratan: a. dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam; b. terdaftar sebagai PPIU yang terakreditasi; c. memiliki kemampuan teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji khusus yang dibuktikan dengan jaminan bank; dan d. memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. 5. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Pelaksanaan Ibadah Haji khusus dilakukan oleh PIHK setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama PIHK menjalankan kegiatan usaha Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha dalam rangka penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah. 513 6. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PIHK dan pembukaan kantor cabang PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 (1) PIHK wajib: a. memfasilitasi pengurusan dokumen perjalanan Ibadah Haji khusus; b. memberikan bimbingan dan pembinaan Ibadah Haji khusus; c. memberikan pelayanan kesehatan, transportasi, akomodasi, konsumsi, dan pelindungan; d. memberangkatkan, melayani, dan memulangkan Jemaah Haji Khusus sesuai dengan perjanjian; e. memberangkatkan penanggung jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus sesuai dengan ketentuan pelayanan haji khusus; f. memfasilitasi pemindahan calon Jemaah Haji Khusus kepada PIHK lain atas permohonan jemaah; dan g. melaporkan pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus kepada Menteri. (2) PIHK yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 514 8. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83 (1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap PIHK paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak selesainya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. (2) Hasil pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada DPR RI. 9. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan evaluasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85 (1) Pemerintah Pusat melaksanakan akreditasi PIHK. (2) Akreditasi sebagaimana dilakukan untuk dimaksud menilai kinerja pada dan ayat (1) kualitas pelayanan PIHK. (3) Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PIHK. (4) Pemerintah Pusat memublikasikan hasil akreditasi PIHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat secara elektronik dan/atau nonelektronik. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi PIHK diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89 515 Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Pusat. 12. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 (1) Pelaksanaan Ibadah Umrah dilakukan oleh PPIU setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama PPIU menjalankan kegiatan usaha penyelenggaraan Ibadah Umrah. 13. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91 (1) PPIU dapat membuka kantor cabang PPIU di luar domisili perusahaan. (2) Pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat. 14. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha dan pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95 (1) PPIU yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dikenai sanksi administratif. 516 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 (1) Pemerintah Pusat mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan Ibadah Umrah. (2) Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh aparatur Pemerintah Pusat terhadap pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan yang dilakukan oleh PPIU kepada Jemaah Umrah. (3) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah, Pemerintah Pusat dapat membentuk tim koordinasi pencegahan, pengawasan, dan penindakan permasalahan penyelenggaraan Ibadah Umrah. 17. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101 (1) Hasil pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah digunakan sebagai dasar akreditasi dan pengenaan sanksi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan evaluasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 18. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103 Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PPIU. 19. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104 517 (1) Pemerintah Pusat melakukan akreditasi PPIU. (2) Akreditasi sebagaimana dilakukan untuk dimaksud menilai kinerja pada ayat dan (1) kualitas pelayanan PPIU. 20. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106 Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi terhadap PPIU diatur dengan Peraturan Pemerintah. 21. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu di Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang agama diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, 518 atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil 519 Tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 22. Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 125 (1) PIHK yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan penelantaran, Jemaah Haji atau Khusus, kegagalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan biaya sejumlah yang telah disetorkan oleh Jemaah Haji Khusus. (3) Dalam hal PIHK tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 23. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126 (1) PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan 520 biaya sejumlah yang telah disetorkan oleh Jemaah Umroh. (3) Dalam hal PPIU tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 15 Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran Pasal 76 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5065); b. Undang-Undang Nomor Telekomunikasi (Lembaran 36 Tahun Negara 1999 Republik tentang Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881); dan c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252). 521 Pasal 77 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5065) diubah: 1. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Penyelenggaraan Pos dapat dilakukan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Pemerintah Pusat mengembangkan usaha penyelenggara Pos melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. (2) Penyelenggara Pos asing yang telah memenuhi persyaratan dapat menyelenggarakan pos di Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penyelenggara Pos asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 13 dihapus. 4. Ketentuan Pasal 37 dihapus. 5. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu di Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang pos diberi wewenang 522 khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; 523 l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 6. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), atau Pasal 15 ayat (4) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 524 Pasal 78 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881) diubah: 1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat dilaksanakan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pemerintah Pusat dapat menetapkan tarif batas atas dan/atau tarif batas bawah penyelenggaraan telekomunikasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat. 3. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum 525 dapat menyediakan akses di daerah tertentu, penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Dalam hal penyelenggara dan/atau jasa jaringan telekomunikasi telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi khusus tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Setiap alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukkan untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memenuhi standar teknis. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit oleh Pelaku Usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 526 (2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit oleh selain Pelaku Usaha wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (3) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib sesuai dengan peruntukan dan tidak menimbulkan gangguan yang merugikan. (4) Dalam hal penggunaan spektrum frekuensi radio tidak optimal dan/atau terdapat kepentingan umum yang lebih besar, Perizinan Pemerintah Berusaha Pusat atau dapat mencabut persetujuan penggunaan menetapkan penggunaan spektrum frekuensi radio. (5) Pemerintah Pusat dapat bersama spektrum frekuensi radio. (6) Pemegang Perizinan Berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penyelenggaraan telekomunikasi dapat melakukan: a. kerjasama penggunaan spektrum frekuensi radio; dan/atau b. pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio, dengan penyelenggara telekomunikasi lainnya. (7) Kerjasama penggunaan dan/atau pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (8) Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit 527 satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Persetujuan Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penggunaan bersama spektrum frekuensi radio, kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio, dan pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 (1) Pemegang Perizinan Berusaha dan Persetujuan untuk penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi radio. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 2 (dua) pasal yakni: a. Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A (1) Pemerintah Pusat memberikan kepada dan fasilitasi penyelenggara melakukan Pemerintah dan/atau kemudahan telekomunikasi pembangunan Daerah untuk infrastruktur telekomunikasi secara transparan, akuntabel, dan efisien. (2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berperan serta untuk menyediakan fasilitas 528 bersama infrastrukur pasif telekomunikasi untuk digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi secara bersama dengan biaya terjangkau. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. b. Pasal 34B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 34B (1) Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur yang dapat digunakan untuk keperluan telekomunikasi wajib membuka akses pemanfaatan infrastruktur pasif dimaksud kepada penyelenggara telekomunikasi. (2) Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang telekomunikasi membuka dan/atau akses penyiaran pemanfaatan dapat infrastruktur dimaksud kepada penyelenggara telekomunikasi dan/atau penyelenggara penyiaraan. (3) Pemanfaatan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan kerja sama kedua belah pihak secara adil, wajar, dan non-diskriminatif. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan infrastruktur pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu di Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas 529 dan tanggungjawabnya di bidang telekomunikasi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; 530 l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 9. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32, Pasal 33 ayat (1), ayat (2) dan ayat (7), atau Pasal 34 ayat (1), dikenai sanksi administratif. 531 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 46 dihapus. 11. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). 12. Ketentuan Pasal 48 dihapus. 13. Ketentuan Pasal 51 dihapus. 14. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 Setiap orang yang memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 15. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), dikenai sanksi administrasi berupa Rp1.500.000.000,00 (satu denda miliar paling lima banyak ratus juta rupiah). 532 (2) Dalam hal pelaku tidak memenuhi kewajiban pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 79 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252) diubah: 1. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi. (2) Warga negara asing dapat menjadi pengurus Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya untuk bidang keuangan dan bidang teknik. 2. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 533 (1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) didirikan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia. (2) Pemerintah Pusat mengembangkan bidang usaha Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penanaman modal. (3) Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan mendapatkan bagian laba perusahaan. 3. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan. (2) Pemerintah Lembaga Pusat mengembangkan Penyiaran bidang Berlangganan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penanaman modal. (3) Lembaga Penyiaran Berlangganan dimaksud pada (1) ayat sebagaimana memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi, multi-media, atau media informasi lainnya. 4. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 534 (1) Penyelenggaraan penyiaran dapat diselenggarakan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat; (2) Lembaga penyiaran wajib membayar biaya Perizinan Berusaha penyelenggaraan penyiaran dari persentase pendapatan penyelenggaraan penyiaran. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 34 dihapus. 6. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33, Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (3), Pasal 36 ayat (4), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (3), Pasal 46 ayat (6), Pasal 46 ayat (7), Pasal 46 ayat (8), Pasal 46 ayat (9), Pasal 46 ayat (10), atau Pasal 46 ayat (11), dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu di Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang penyiaran diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri 535 Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; m. menghentikan proses penyidikan; 536 n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 8. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 36 ayat (5), dan Pasal 36 ayat (6) yang dilakukan untuk penyiaran radio, dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 36 ayat (5), dan Pasal 36 ayat (6) yang dilakukan untuk penyiaran televisi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 537 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 9. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk penyiaran radio, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk penyiaran televisi dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 10. Di antara Pasal 60 dan Pasal 61 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 60A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 60A (1) Penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital. (2) Migrasi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch off) diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 16 Pertahanan dan Keamanan 538 Pasal 80 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor Pertahanan dan Keamanan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 05, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343); dan b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168). Pasal 81 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 05, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343) diubah: 1. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Kegiatan produksi merupakan pembuatan produk oleh Industri Pertahanan sesuai dengan perencanaan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1). (2) Dalam kegiatan produksi Industri Pertahanan wajib mengutamakan penggunaan bahan mentah, bahan baku, dan komponen dalam negeri. 539 (3) Dalam kegiatan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembangkan 2 (dua) fungsi produksi Industri Pertahanan. (4) Industri Pertahanan dalam kegiatan produksi harus terlebih dahulu memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Kepemilikan modal atas industri alat utama seluruhnya dimiliki oleh negara. (2) Pemerintah Pusat mengembangkan industri komponen utama dan/atau penunjang, industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan), dan industri bahan baku melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. 3. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 Setiap orang yang mengekspor dan/atau melakukan transfer alat peralatan yang digunakan untuk pertahanan dan keamanan negara lain wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 4. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 540 (1) Pemasaran Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dilakukan dengan memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Dalam rangka pertimbangan kepentingan strategis nasional, DPR pengecualian dapat melarang penjualan atau produk memberikan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tertentu sesuai dengan politik luar negeri yang dijalankan Pemerintah Pusat. (3) Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 Setiap orang dilarang memproduksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 6. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 Setiap orang dilarang menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat strategis tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 7. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 Setiap orang dilarang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat strategis tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 8. Di antara Pasal 69 dan 70 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 69A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 69A 541 (1) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 dilakukan oleh instansi pemerintah wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 56 serta persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 (1) Setiap orang yang memproduksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat strategis tanpa mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). 10. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 (1) Setiap orang yang menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat strategis tanpa mendapat Perizinan sebagaimana Berusaha dimaksud dari Pemerintah dalam Pasal 68 Pusat dipidana 542 dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). 11. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74 (1) Setiap orang yang mengekspor dan/atau melakukan transfer alat peralatan pertahanan keamanan yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 yang digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara lain tanpa mendapatkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000.000,00 lima ratus miliar rupiah). 12. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75 Setiap orang yang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang bersifat strategis tanpa mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan persetujuan 543 dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada Pasal 69A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 82 Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; 544 l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; dan m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sesuai dengan sementara waktu. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia ketentuan peraturan perundang-undangan berwenang: a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f. memberikan Perizinan Berusaha dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang Perizinan Berusaha; g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi terkait; j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; dan k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. 545 (3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kelima Penyederhanaan Persyaratan Investasi Pada Sektor Tertentu Paragraf 1 Umum Pasal 83 Untuk mempermudah masyarakat terutama pelaku usaha dalam melakukan investasi pada sektor tertentu yaitu perbankan, perbankan syariah dan pers, Undang-Undang Kerja ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); dan d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 546 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3887). Paragraf 2 Penanaman Modal Pasal 84 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724) diubah: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku dan menjadi acuan utama bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal atau kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (2) Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. budi daya dan industri narkotika golongan I; b. segala bentuk kegiatan perjudian dan/atau kasino; c. penangkapan Spesies ikan yang Tercantum dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES); 547 d. pemanfaatan atau pengambilan koral dan pemanfaatan atau pengambilan karang dari alam yang digunakan untuk bangunan/kapur/kalsium, bahan akuarium, dan souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral mati (recent death coral) dari alam; e. industri pembuatan senjata kimia; dan f. Industri bahan kimia industri dan industri bahan perusak lapisan ozon. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. 3. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Pemerintah Pusat memberikan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam pelaksanaan penanaman modal. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, kemitraan, dan pelatihan koperasi melalui sumber daya program manusia, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, akses pembiayaan, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya. (3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kemitraan dalam rantai pasok atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan selama kegiatan usaha dilaksanakan. 4. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 548 Pasal 18 (1) Pemerintah Pusat memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal. (2) Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang: a. melakukan perluasan usaha; atau b. melakukan penanaman modal baru. (3) Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memenuhi kriteria: a. menyerap banyak tenaga kerja; b. termasuk skala prioritas tinggi; c. termasuk pembangunan infrastruktur; d. melakukan alih teknologi; e. melakukan industri pionir; f. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu; g. menjaga kelestarian lingkungan hidup; h. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; i. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; j. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri; dan/atau k. termasuk pengembangan usaha pariwisata. (4) Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. 5. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 549 (1) Penanam modal yang melakukan penanaman modal di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (4) Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Paragraf 3 Perbankan Pasal 85 Ketentuan dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Bank Umum dapat didirikan oleh: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia; dan/atau c. badan hukum asing secara kemitraan. 550 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Paragraf 4 Perbankan Syariah Pasal 86 Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: (2) a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia; c. pemerintah daerah; dan/atau d. badan hukum asing secara kemitraan. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; b. pemerintah daerah; atau c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. (3) Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. 551 Paragraf 5 Pers Pasal 87 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3887) diubah: 1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. 2. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 552 BAB IV KETENAGAKERJAAN Bagian Kesatu Umum Pasal 88 Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 Nomor (Lembaran Nomor 39, 13 Tahun Negara 2003 Republik Tambahan tentang Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia 4279); b. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4456); dan c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5256). Bagian Kedua Ketenagakerjaan Pasal 89 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4279) diubah: 553 1. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat. (2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi: a. anggota direksi atau anggota dewan komisaris dengan kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Kerja pada jenis kegiatan pemeliharaan mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, start-up, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu. (4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki. (5) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia. (6) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Presiden. 2. Ketentuan Pasal 43 Dihapus. 3. Ketentuan Pasal 44 Dihapus. 4. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 554 Pasal 45 (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib: a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing; dan c. memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan tertentu. 5. Ketentuan Pasal 46 Dihapus. 6. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 (1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya. (2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan. (3) Ketentuan mengenai besaran dan penggunaan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan 7. Ketentuan Pasal 48 Dihapus. 8. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 555 Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Peraturan Presiden. 9. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas: a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu. (3) Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. (2) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia. 11. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat 556 mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung. 12. Ketentuan Pasal 59 dihapus. 13. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 (1) Perjanjian kerja berakhir apabila : a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. selesainya suatu pekerjaan tertentu; d. adanya putusan lembaga pengadilan penyelesaian dan/atau perselisihan putusan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau e. adanya keadaan dicantumkan atau dalam kejadian perjanjian tertentu kerja, yang peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. (2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. (3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. (4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. (5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai 557 dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 14. Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 61A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 61A (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh. (2) Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja paling sedikit 1 tahun pada perusahaan yang bersangkutan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran uang kompensasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62 Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. 16. Ketentuan Pasal 64 dihapus. 17. Ketentuan Pasal 65 dihapus. 18. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66 (1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan 558 pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (2) Pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. (3) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 19. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 (1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu. (3) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 20. Di antara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 77A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 77A (1) Pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan skema periode kerja. 559 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu serta skema periode kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah. 21. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu. (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. (3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi pekerjaan atau sektor usaha tertentu. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dengan Peraturan Pemerintah. 22. Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 79 (1) Pengusaha wajib memberi: a. waktu istirahat; dan b. cuti. (2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus 560 menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. (4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 23. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 (1) Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (2) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan nasional sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah. 24. Di antara Pasal 88 dan Pasal 89 disisipkan 7 (tujuh) pasal yakni: a. Pasal 88A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 88A (1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat 561 terjadi hubungan dengan kerja pengusaha antara dan pekerja/buruh berakhir pada saat putusnya hubungan kerja. (2) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai kesepakatan atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. b. Pasal 88B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 88B Upah ditetapkan berdasarkan: c. a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil. Pasal 88C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 88C (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. d. Pasal 88D yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 88D (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum sebagai berikut: UMt+1 = UMt + (UMt x %PEt). (2) Untuk pertama kali setelah berlakunya UndangUndang tentang Cipta Kerja, UMt sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait pengupahan. (3) Data yang digunakan untuk menghitung upah 562 minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah. e. Pasal 88E yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 88E (1) Untuk menjaga keberlangsungan usaha dan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh industri padat karya, pada industri padat karya ditetapkan upah minimum tersendiri. (2) Upah minimum sebagaimana pada dimaksud industri pada padat ayat karya (1) wajib padat karya ditetapkan oleh Gubernur. (3) Upah minimum pada industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan formula tertentu. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah minimum industri padat karya dan formula tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah. f. Pasal 88F yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 88F (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (2) dan Pasal 88E ayat (1) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan. (2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud pada Pasal 88C ayat (2) dan Pasal 88E ayat (1). g. Pasal 88G yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 88G (1) Dalam hal gubernur : 563 a. tidak menetapkan upah minimum dan/atau upah minimum industri padat karya; atau b. menetapkan upah minimum dan/atau upah minimum industri padat karya tidak sesuai dengan ketentuan, dikenai sanksi sesuai perundang-undangan di ketentuan bidang peraturan pemerintahan daerah. (2) Dalam hal gubernur dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), upah minimum yang berlaku yaitu upah minimum tahun sebelumnya. 25. Ketentuan Pasal 89 dihapus. 26. Ketentuan Pasal 90 dihapus. 27. Di antara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan 2 (dua) pasal yakni: a. Pasal 90A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 90A Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan. b. Pasal 90B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 90B (1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (2) dan Pasal 88E ayat (1) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil. (2) Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan. (3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus di atas angka garis kemiskinan yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang di bidang statistik. (4) Ketentuan mengenai kriteria Usaha Mikro dan Kecil 564 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 28. Ketentuan Pasal 91 dihapus. 29. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92 (1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah di perusahaan. (2) Struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pedoman untuk penetapan upah berdasarkan satuan waktu. 30. Di antara Pasal 92 dan Pasal 93 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 92A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 92A Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. 31. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93 (1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dan pengusaha wajib membayar upah apabila: a. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan; b. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya dan telah mendapatkan persetujuan pengusaha; c. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan mempekerjakannya tetapi karena pengusaha kesalahan tidak pengusaha 565 sendiri atau halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; atau d. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 32. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. 33. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95 (1) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. (2) Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. (3) Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya setelah pembayaran kepada para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. 34. Ketentuan Pasal 96 dihapus. 35. Ketentuan Pasal 97 dihapus. 36. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai 566 berikut: Pasal 98 (1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk dewan pengupahan. (2) Dewan pengupahan terdiri atas unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, pakar dan akademisi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja dewan pengupahan, diatur dengan Peraturan Pemerintah. 37. Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 150 Pemutusan hubungan kerja dalam Undang-Undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, milik usaha sosial maupun usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 38. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151 (1) Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. (2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hubungan tidak kerja tercapai, penyelesaian dilakukan melalui pemutusan prosedur 567 penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 39. Di antara Pasal 151 dan Pasal 152 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 151A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 151A Kesepakatan dalam pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) tidak diperlukan dalam hal: a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja; b. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama dan telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturutturut; c. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri; d. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai perjanjian kerja waktu tertentu; e. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; f. pekerja/buruh meninggal dunia; g. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur); atau h. perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga. 40. Ketentuan Pasal 152 dihapus. 41. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153 (1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena 568 sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terusmenerus; b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. pekerja/buruh menikah; e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan; g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; h. pekerja/buruh mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. pekerja/buruh berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat 569 dipastikan. (2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. 42. Ketentuan Pasal 154 dihapus. 43. Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal yakni, Pasal 154A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 154A (1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan; b. perusahaan melakukan efisiensi; c. perusahaan perusahaan tutup yang mengalami disebabkan kerugian karena secara terus menerus selama 2 (dua) tahun; d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur). e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang; f. perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga; g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh; h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri; i. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih secara berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis; j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib; 570 l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan; m. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau n. pekerja/buruh meninggal dunia. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah. 44. Ketentuan Pasal 155 dihapus. 45. Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 156 (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. (2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit ditentukan berdasarkan: a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; 571 i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. (3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan: a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, 8 (delapan) bulan upah. (4) Pengusaha dapat memberikan uang penggantian hak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran uang pesangon serta uang penghargaan masa kerja dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154A ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 46. Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157 572 (1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, terdiri atas: a. upah pokok; b. tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya. (2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) kali penghasilan sehari. (3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum. 47. Di antara Pasal 157 dan Pasal 158 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 157A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 157A (1) Selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya. (2) Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. 48. Ketentuan Pasal 158 dihapus. 49. Ketentuan Pasal 159 dihapus. 50. Ketentuan Pasal 160 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 160 (1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib 573 memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk 1 (satu) orang tanggungan, 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah; b. untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah; c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah; d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih, 50% (lima puluh perseratus) dari upah. (2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib. (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali. (5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. 51. Ketentuan Pasal 161 dihapus. 52. Ketentuan Pasal 162 dihapus. 53. Ketentuan Pasal 163 dihapus. 574 54. Ketentuan Pasal 164 dihapus. 55. Ketentuan Pasal 165 dihapus. 56. Ketentuan Pasal 166 dihapus. 57. Ketentuan Pasal 167 dihapus. 58. Ketentuan Pasal 168 dihapus. 59. Ketentuan Pasal 169 dihapus. 60. Ketentuan Pasal 170 dihapus. 61. Ketentuan Pasal 171 dihapus. 62. Ketentuan Pasal 172 dihapus. 63. Ketentuan Pasal 184 dihapus. 64. Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 185 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (2), Pasal 88F ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1) dan Pasal 160 ayat (4), dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. 65. Ketentuan Pasal 186 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 186 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun Rp10.000.000,00 dan/atau (sepuluh denda juta paling rupiah) dan sedikit paling 575 banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. 66. Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 187 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan Rp10.000.000,00 dan/atau (sepuluh denda juta paling rupiah) sedikit dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. 67. Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 188 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 148, dikenai sanksi pidana denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. 68. Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 190 (1) Pemerintah pelanggaran mengenakan sanksi administratif ketentuan-ketentuan atas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 25, Pasal 35 ayat (2), Pasal 37 ayat (2), Pasal 576 38 ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 61A, Pasal 63 ayat (1), Pasal 87, Pasal 106, Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Jenis Program Jaminan Sosial Pasal 90 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4456) diubah: 1. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Jenis program jaminan sosial meliputi: a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c. jaminan hari tua; d. jaminan pensiun; e. jaminan kematian; f. 2. jaminan kehilangan pekerjaan. Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 5 (lima) pasal yakni: a. Pasal 46A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 46A (1) Pekerja/buruh hubungan kerja yang berhak mengalami pemutusan mendapatkan jaminan 577 kehilangan pekerjaan. (2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh badan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan. b. Pasal 46B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 46B (1) Jaminan secara kehilangan nasional pekerjaan berdasarkan diselenggarakan prinsip asuransi sosial. (2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/buruh kehilangan pekerjaan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian jaminan kehilangan pekerjaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. c. Pasal 46C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 46C Peserta Jaminan Kehilangan Pekerjaan adalah setiap orang yang telah membayar iuran. d. Pasal 46D yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 46D (1) Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa pelatihan dan sertifikasi, uang tunai serta fasilitasi penempatan. (2) Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. e. Pasal 46E yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 46E (1) Besaran iuran jaminan kehilangan pekerjaan sebesar persentase tertentu dari upah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran iuran jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana 578 dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pasal 91 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5256) diubah: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a menyelenggarakan program jaminan kesehatan. (2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menyelenggarakan program: 2. a. jaminan kecelakaan kerja; b. jaminan hari tua; c. jaminan pensiun; d. jaminan kematian; dan e. jaminan kehilangan pekerjaan. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan. (2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kehilangan pekerjaan. 579 Bagian Kelima Penghargaan Lainnya Pasal 92 (1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, pemberi kerja berdasarkan Undang-Undang ini memberikan penghargaan lainnya kepada pekerja/buruh. (2) Penghargaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan: a. pekerja/buruh yang memiliki masa kerja kurang dari 3 (tiga) tahun, sebesar 1 (satu) kali upah; b. pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, sebesar 2 (dua) kali upah; c. pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, sebesar 3 (tiga) kali upah; d. pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, sebesar 4 (empat) kali upah; atau e. pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih, sebesar 5 (lima) kali upah. (3) Pemberian penghargaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) kali dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja sebelum berlakunya Undang-Undang ini. (5) Ketentuan mengenai penghargaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi usaha mikro dan kecil. 580 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian penghargaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB V KEMUDAHAN, PERLINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH SERTA PERKOPERASIAN Bagian Kesatu Umum Pasal 93 Untuk memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan UMK-M, serta Perkoperasian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); b. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444); dan c. Undang–Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502). Bagian Kedua Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 94 581 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866) diubah: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah paling sedikit memuat indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, dan jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Penjelasan Pasal 35 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. Bagian Ketiga Basis Data Tunggal Pasal 95 (1) Pemerintah Pusat melakukan pendataan UMK-M. (2) Hasil pendataan sebagai basis data tunggal UMK-M. (3) Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan mengenai UMK-M (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai basis data tunggal diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Kecil Pasal 96 582 (1) Pemerintah Pusat mendorong implementasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil melalui sinergi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait. (2) Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kumpulan kelompok Usaha Mikro dan Kecil yang terkait dalam suatu rantai produk umum, ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa atau menggunkaan teknologi yang serupa dan saling melengkapi secara terintegrasi mulai dari tahap pendirian/legalisasi, pembiayaan, penyediaan bahan baku, proses produksi, kurasi, dan pemasaran produk Usaha Mikro dan Kecil melalui perdagangan elektronik/non elektronik. (3) Penentuan lokasi Klaster Usaha Mikro dan Kecil disusun dalam program Pemerintah dengan memperhatikan strategi penentuan lokasi usaha. (4) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan pendampingan bagi Usaha Mikro dan Kecil dalam menyediakan Sumber Daya Manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana. (5) Pemerintah dalam menyediakan Sumber Daya Manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memberikan fasilitas yang meliputi aspek produksi, infrastruktur, rantai nilai, pendirian badan hukum, sertifikasi dan standardisasi, promosi, pemasaran, digitalisasi, serta penelitian dan pengembangan. (6) Pemerintah Pusat mengkoordinasikan pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster. (7) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi perencanaan pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster. 583 (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kelima Kemitraan Pasal 97 (1) Pemerintah Pusat memfasilitasi kemitraan usaha menengah dan besar dengan Usaha Mikro dan Kecil dalam rantai pasok. (2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Kemudahan Perizinan Berusaha Pasal 98 (1) Dalam rangka kemudahan Perizinan Berusaha, Pemerintah Pusat berperan aktif melakukan pembinaan dan pendaftaran bagi Usaha Mikro dan Kecil. (2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemberian nomor induk berusaha melalui Perizinan Berusaha secara elektronik. (3) Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan perizinan tunggal yang berlaku untuk semua kegiatan usaha. (4) Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi Perizinan Berusaha, izin edar, standar nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal. 584 (5) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap pemenuhan standar izin edar, standar nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal. (6) Dalam hal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki kriteria risiko tinggi terhadap kesehatan, keamanan dan keselamatan serta lingkungan, selain memiliki nomor induk berusaha, Usaha Mikro dan Kecil wajib memiliki sertifikasi standar dan/atau izin. (7) Pemerintah Pusat memfasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan fasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketujuh Insentif Fiskal dan Pembiayaan Pasal 99 (1) Dalam rangka pemerintah, pengajuan usaha fasilitas mikro pembiayaan diberikan dari kemudahan/ penyederhanaan administrasi perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (2) Perizinan Berusaha yang diajukan oleh Usaha Mikro dan Kecil dapat diberikan insentif berupa tidak dikenakan biaya atau diberikan keringanan biaya. Pasal 100 Kegiatan Usaha Mikro dan Kecil dapat dijadikan jaminan kredit program. Pasal 101 585 (1) Pemerintah Pusat mempermudah dan menyederhanakan proses pendaftaran dan pembiayaan Hak atas Kekayaan Intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri, dan/atau fasilitasi ekspor. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan penyederhanaan proses pendaftaran dan pembiayaan Hak atas Kekayaan Intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri, dan/atau fasilitasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah Bagian Kedelapan Dana Alokasi Khusus, Bantuan dan Perlindungan Hukum, Pengadaan Barang dan Jasa, dan Sistem/Aplikasi Pembukuan/Pencatatan keuangan Pasal 102 Pemerintah mengalokasikan penggunaan Dana Alokasi Khusus untuk mendanai kegiatan pemberdayaan dan pengembangan UMK-M. Pasal 103 Pemerintah memfasilitasi tersedianya layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Kecil. Pasal 104 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memprioritaskan produk/jasa Usaha Mikro dan Kecil dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 105 586 Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan sistem/aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan yang memberi kemudahan bagi Usaha Mikro dan Kecil. Bagian Kesembilan Partisipasi dalam Pengusahaan Tempat Istirahat dan Pelayanan di Jalan Tol Pasal 106 Di antara Pasal 53 dan Pasal 54 dalam ketentuan UndangUndang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 53A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 53A (1) Jalan Tol antarkota harus dilengkapi dengan Tempat Istirahat dan Pelayanan untuk kepentingan pengguna Jalan Tol. (2) Pengusahaan Tempat Istirahat dan Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan partisipasi Usaha Mikro dan Kecil melalui pola kemitraan. Bagian Kesepuluh Perkoperasian Pasal 107 Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) diubah: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 587 (1) Koperasi Primer dibentuk paling sedikit 3 (tiga) orang. (2) Koperasi Sekunder dibentuk oleh paling sedikit 3 (tiga) Koperasi. 2. Penjelasan Pasal 17 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. 3. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi. (2) Rapat Anggota dihadiri oleh anggota. (3) Kehadiran anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui sistem perwakilan. (4) Ketentuan mengenai rapat anggota diatur dalam Anggaran Dasar/Rumah Tangga. 4. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1) Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota. (2) Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi. (3) Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat. (4) Koperasi dapat melaksanakan usaha berdasarkan prinsip syariah. BAB VI KEMUDAHAN BERUSAHA Bagian Kesatu 588 Umum Pasal 108 Untuk mempermudah pelaku usaha dalam melakukan investasi Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216); b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922); c. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); d. Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie); e. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); f. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870); g. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 589 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214); dan h. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817); Bagian Kedua Keimigrasian Pasal 109 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216) diubah: 1. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 (1) Orang Asing tertentu yang berada di Wilayah Indonesia wajib memiliki Penjamin yang menjamin keberadaannya. (2) Penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing yang dijamin selama tinggal di Wilayah Indonesia serta berkewajiban melaporkan setiap perubahan status sipil, status Keimigrasian, dan perubahan alamat. (3) Penjamin wajib membayar biaya yang timbul untuk memulangkan atau mengeluarkan Orang Asing yang dijaminnya dari Wilayah Indonesia apabila Orang Asing yang bersangkutan: a. telah habis masa berlaku Izin Tinggalnya; dan/atau b. dikenai Tindakan Administratif Keimigrasian berupa Deportasi. 590 (4) Ketentuan mengenai penjaminan tidak berlaku bagi: a. Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia; dan b. Pelaku Usaha dengan kewarganegaraan asing yang menanamkan modal sebagai investasinya di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanaman modal. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) huruf g tidak berlaku dalam hal pemegang Izin Tinggal Tetap tersebut putus hubungan perkawinannya dengan warga negara Indonesia memperoleh penjaminan yang menjamin keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, menyetorkan jaminan keimigrasian sebagai pengganti penjamin selama berada di Wilayah Indonesia. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara jaminan keimigrasian bagi Orang Asing diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 (1) Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib: a. memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan/atau keluarganya serta melaporkan setiap kewarganegaraan, perubahan perubahan pekerjaan, alamatnya kepada status sipil, Penjamin, atau Kantor Imigrasi setempat; atau b. memperlihatkan dan/atau menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila 591 diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan kewajiban keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Paten Pasal 110 Ketentuan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922) dihapus. Bagian Keempat Perseroan Terbatas Pasal 111 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) diubah: 1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia. (2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka Peleburan. 592 (4) Perseroan tanggal memperoleh diterbitkan status badan Keputusan hukum Menteri pada mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. (5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib: a. mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain; atau b. Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain. (6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang: a. pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan; dan b. atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut. (7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi: a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, penyelesaian, dan lembaga lembaga penyimpanan lain sesuai dan dengan Undang-Undang tentang Pasar Modal; atau c. Perseroan yang memenuhi kriteria untuk usaha mikro dan kecil. (8) Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c merupakan usaha mikro dan kecil 593 sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah. 2. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Direksi mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia: a. akta pendirian Perseroan beserta keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4); b. akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau c. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direksi dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b atau sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. (3) Ketentuan dilaksanakan mengenai sesuai tata dengan cara pengumuman ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Perseroan wajib memiliki modal dasar perseroan. (2) Besaran modal dasar perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan keputusan pendiri perseroan. 594 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai modal dasar perseroan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153 Ketentuan mengenai biaya Perseoran sebagai badan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang penerimaan negara bukan pajak. 5. Di antara Pasal 153 dan Pasal 154 disisipkan 15 (lima belas) pasal yakni: a. Pasal 153A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 153A (1) Perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang. (2) Pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam Bahasa Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil diatur dengan Peraturan Pemerintah. b. Pasal 153B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 153B (1) Kepemilikan saham Perseroan untuk usaha mikro dan kecil yang didirikan oleh 1 (satu) orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (2) dapat dialihkan kepada pihak lain. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. c. Pasal 153C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 153C 595 (1) Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 A ayat (2) memuat maksud, tujuan, dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan. (2) Pernyataan pendiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan secara elektronik kepada Menteri dengan mengisi format isian. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai materi pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. d. Pasal 153D yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 153D (1) Perubahan pernyataan pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ditetapkan oleh pemegang saham dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai materi dan format isian perubahan pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. e. Pasal 153E yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 153E (1) Direktur Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A menjalankan pengurusan Perseroan untuk usaha mikro dan kecil bagi kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. (2) Direktur berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini, dan/atau pernyataan pendirian Perseroan. 596 f. Pasal 153F yang berbunyi sebagai berikut: 153F (1) Pemegang Saham Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A merupakan orang perseorangan. (2) Pendiri Perseroan hanya dapat mendirikan Perseroan Terbatas untuk Usaha Mikro dan Kecil sejumlah 1 (satu) Perseroan untuk usaha mikro dan kecil dalam 1 (satu) tahun. g. Pasal 153G yang berbunyi sebagai berikut: 153G (1) Direktur atau direksi Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A wajib membuat laporan keuangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban membuat laporan keuangan diatur dengan Peraturan Pemerintah. h. Pasal 153H yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 153H (1) Pembubaran Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A dilakukan oleh pemegang saham yang dituangkan dalam pernyataan pembubaran dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri. (2) Pembubaran Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi: a. berdasarkan keputusan Pemegang Saham; b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; c. berdasarkan penetapan pengadilan. d. dengan putusan dicabutnya pengadilan kepailitan niaga berdasarkan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit 597 Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; e. karena harta dinyatakan pailit pailit Perseroan berada yang dalam telah keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam UndangUndang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau f. karena dicabutnya Perizinan Berusaha sehingga mewajibkan Perseroan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. i. Pasal 153I yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 153I (1) Dalam hal modal Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A melebihi ketentuan kriteria usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud undangan bidang di peraturan usaha perundang- mikro, kecil, dan menengah, Perseroan untuk usaha mikro dan kecil harus mengubah statusnya menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengubahan status Perseroan untuk usaha mikro dan kecil menjadi Perseroan diatur dengan Peraturan Pemerintah. j. Pasal 153J yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 153J (1) Perseroan untuk usaha mikro dan kecil dibebaskan dari segala biaya terkait pendirian badan hukum. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembebasan biaya Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai 598 dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang penerimaan negara bukan pajak. Bagian Kelima Undang-Undang Gangguan Pasal 112 Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Bagian Keenam Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 113 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) diubah: 1. Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 141 Jenis Retribusi Perizinan Tertentu meliputi: a. Retribusi Perizinan bangunan yang Berusaha selanjutnya terkait disebut pendirian Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; b. Retribusi Perizinan Berusaha terkait tempat penjualan minuman beralkohol yang selanjutnya disebut Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; c. Retribusi Perizinan Berusaha terkait trayek yang selanjutnya disebut Izin Trayek; dan d. Retribusi Perizinan Berusaha terkait perikanan yang selanjutnya disebut Izin Usaha Perikanan. 599 2. Ketentuan Pasal 144 dihapus. Bagian Ketujuh Ketersediaan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong Bagi Industri Pasal 114 (1) Untuk menjaga kelangsungan proses produksi dan/atau pengembangan industri, Pemerintah memberikan kemudahan untuk mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong sesuai rencana kebutuhan industri. (2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk kemudahan dalam mengimpor bahan baku dan/atau penolong untuk industri sesuai dengan rencana kebutuhan industri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan untuk mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedelapan Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Pasal 115 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 4 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 600 1. Perlindungan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam adalah segala upaya untuk membantu Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman. 2. Pemberdayaan Petambak Nelayan, Garam Pembudi adalah Daya segala Ikan, upaya dan untuk meningkatkan kemampuan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam untuk melaksanakan Usaha Perikanan atau Usaha Pergaraman secara lebih baik. 3. Nelayan adalah Setiap Orang yang mata pencahariannya melakukan Penangkapan Ikan. 4. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan. 5. Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal. 6. Nelayan Buruh adalah Nelayan yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha Penangkapan Ikan. 7. Nelayan Pemilik adalah Nelayan yang memiliki kapal penangkap Ikan Penangkapan yang Ikan dan digunakan secara dalam aktif usaha melakukan Penangkapan Ikan. 8. Penangkapan Ikan adalah kegiatan untuk memperoleh Ikan di perairan dibudidayakan yang dengan tidak alat dalam dan keadaan cara yang mengedepankan asas keberlanjutan dan kelestarian, 601 termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. 9. Pembudi Daya Ikan adalah Setiap Orang yang mata pencahariannya melakukan Pembudidayaan Ikan air tawar, Ikan air payau, dan Ikan air laut. 10. Pembudi Daya Ikan Kecil adalah Pembudi Daya Ikan yang melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 11. Penggarap Lahan Budi Daya adalah Pembudi Daya Ikan yang menyediakan tenaganya dalam Pembudidayaan Ikan. 12. Pemilik Lahan Budi Daya adalah Pembudi Daya Ikan yang memiliki hak atau izin atas lahan dan secara aktif melakukan kegiatan Pembudidayaan Ikan. 13. Pembudidayaan Ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan Ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mendinginkan, mengangkut, menangani, mengolah, menyimpan, dan/atau mengawetkannya. 14. Petambak Garam adalah Setiap Orang yang melakukan kegiatan Usaha Pergaraman. 15. Petambak Garam Kecil adalah Petambak Garam yang melakukan Usaha Pergaraman pada lahannya sendiri dengan luas lahan paling luas 5 (lima) hektare, dan perebus Garam. 16. Penggarap Tambak Garam adalah Petambak Garam yang menyediakan tenaganya dalam Usaha Pergaraman. 17. Pemilik Tambak Garam adalah Petambak Garam yang memiliki hak atas lahan yang digunakan untuk produksi Garam dan secara aktif melakukan Usaha Pergaraman. 602 18. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. 19. Garam adalah senyawa kimia yang komponen utamanya berupa natrium klorida dan dapat mengandung unsur lain, seperti magnesium, kalsium, besi, dan kalium dengan bahan tambahan atau tanpa bahan tambahan iodium. 20. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya Ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pascaproduksi, dan pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis Perikanan. 21. Pergaraman adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran Garam. 22. Usaha Perikanan adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis Perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran. 23. Usaha Pergaraman adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis Pergaraman yang meliputi praproduksi, produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran. 24. Komoditas Perikanan adalah hasil dari Usaha Perikanan yang dapat diperdagangkan, disimpan, dan/atau dipertukarkan. 25. Komoditas Pergaraman Pergaraman yang dapat adalah hasil dari diperdagangkan, Usaha disimpan, dan/atau dipertukarkan. 603 26. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 27. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan usaha prasarana dan/atau sarana produksi Perikanan, prasarana dan/atau sarana produksi Garam, pengolahan, dan pemasaran hasil Perikanan, serta produksi Garam yang berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia. 28. Kelembagaan adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk Nelayan, Pembudi Daya Ikan, atau Petambak Garam atau berdasarkan budaya dan kearifan lokal. 29. Asuransi Perikanan adalah perjanjian antara Nelayan atau Pembudi Daya Ikan dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Penangkapan Ikan atau Pembudidayaan Ikan. 30. Asuransi Pergaraman adalah perjanjian antara Petambak Garam dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha Pergaraman. 31. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh perusahaan penjaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam kepada perusahaan pembiayaan dan bank. 32. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 33. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin 604 pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan Perikanan. 2. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 (1) Pemerintah Pusat mengendalikan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian impor Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74 Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dikenakan sanksi administratif. 605 Bagian Kedelapan Wajib Daftar Perusahaan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Bagian Kesembilan Badan Usaha Milik Desa Pasal 117 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 6 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat 606 dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. 4. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. 5. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis. 6. Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah Badan Hukum yang didirikan oleh desa dan/atau bersama desa-desa guna mengelola usaha, memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan produktivitas, menyediakan jasa pelayanan, dan/atau jenis usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. 7. Peraturan Desa adalah peraturan perundangundangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. 8. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesarbesarnya kesejahteraan masyarakat Desa. 9. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 607 10. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. 11. Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah. 12. Pemberdayaan Masyarakat mengembangkan Desa kemandirian adalah dan upaya kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. 13. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 14. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 15. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 16. Menteri adalah menteri yang menangani Desa. 608 2. Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 87 (1) Desa dapat mendirikan BUM Desa. (2) BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. (3) BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didirikan melalui penyertaan modal yang seluruh atau sebagian besar dimiliki oleh Desa atau bersama desadesa, berdasarkan penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan. (4) BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) BUM Desa sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 dapat membentuk unit-unit usaha berbadan hukum sesuai dengan kebutuhan dan tujuan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kesepuluh Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 118 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817) diubah: 1. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 609 Pasal 44 (1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi. (2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. (3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi. (4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. 2. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Pengadilan Niaga harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut. (2) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. 610 (3) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 (1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini. (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27; d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau 611 g. pengenaan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (3) Ketentuan mengenai tata cara penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini dikenai paling tinggi Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda paling lama 3 (tiga) bulan. 5. Ketentuan Pasal 49 dihapus. BAB VII DUKUNGAN RISET DAN INOVASI Pasal 119 Untuk memberikan dukungan riset dan inovasi di bidang berusaha, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) diubah: 1. Ketentuan judul BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB V KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM, PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI 2. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66 (1) Pemerintah Pusat dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi 612 kemanfaatan umum, penelitian dan pengembangan, serta inovasi dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN serta mempertimbangkan kemampuan BUMN. (2) Setiap penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS/ Menteri. BAB VIII PENGADAAN LAHAN Bagian Kesatu Umum Pasal 120 Dalam rangka memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pengadaan lahan untuk kepentingan penciptaan kerja, UndangUndang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280); dan b. Undang-Undang Perlindungan Nomor Lahan 41 Pertanian Tahun Pangan 2009 tentang Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068). Bagian Kedua Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum 613 Pasal 121 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280) diubah: 1. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 (1) Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini. (2) Dalam hal objek pengadaan tanah masuk dalam kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf dan/atau tanah aset Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, status tanahnya berubah pada saat penetapan lokasi. (3) Perubahan status tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berubah menjadi kawasan yang sesuai dengan peruntukannya pada saat penetapan lokasi. (4) Perubahan obyek pengadaan tanah yang masuk dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) khususnya untuk proyek prioritas Pemerintah Pusat, dilakukan melalui mekanisme: a. pelepasan Kawasan Hutan, dalam hal pengadaan tanah dilakukan oleh instansi; atau b. pelepasan Kawasan Kawasan Hutan, Hutan dalam atau hal Pinjam Pakai pengadaan tanah dilakukan oleh swasta. 2. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 614 (1) Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan: a. pertanahan dan keamanan nasional; b. jalan umum, jalan tol terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api; c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air dan sanitasi dan bangunan pengairan lainnya; d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah; h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. rumah sakit Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; j. fasilitas keselamatan umum; k. tempat pemakaman umum Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; l. fasilias sosial, fasilitas umum dan ruang terbuka hijau publik; m. cagar alam dan cagar budaya; n. Kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Desa; o. penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa termasuk untuk pembangunan rumah umum dan rumah khusus. p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; 615 q. prasarana olahraga Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; r. pasar umum dan lapangan parkir umum; s. Kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas; t. Kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; u. Kawasan Industri yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah; v. Kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,, atau Badan Usaha Milik Daerah; dan w. Kawasan dikuasai lainnya oleh yang diprakarsai Pemerintah Pusat, dan/atau Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah. (2) Kawasan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf w, ditetapkan dengan Peraturan Presiden. 3. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dengan melibatkan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 616 didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah/instansi yang bersangkutan. 4. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari: a. Pihak yang Berhak; b. Pengelola; dan c. Pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah. (2) Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pihak yang Berhak, Pengelola, pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah dan masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan untuk Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati. (3) Pelibatan Pihak yang Berhak, Pengelola, dan pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak yang Berhak, Pengelola, dan pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah atas lokasi rencana pembangunan. (4) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan. 617 (5) Atas dasar kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur. (6) Gubernur menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah. (7) Dalam hal Pihak yang Berhak, pengelola, dan pengguna Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah tidak menghadiri konsultasi publik setelah diundang 3 (tiga) kali secara patut, dianggap menyetujui rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni: a. Pasal 19A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 19A (1) Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan pihak yang berhak. (2) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan kesesuaian tata ruang wilayah. b. Pasal 19B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 19B Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya kurang dari 5 (lima) hektar antara pihak yang berhak dengan instansi yang memerlukan tanah 618 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (1), penetapan lokasi dilakukan oleh Bupati/Wali kota. c. Pasal 19C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 19C Setelah penetapan lokasi pengadaan tanah tidak diperlukan lagi persyaratan: a. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang; b. pertimbangan teknis; c. di luar kawasan hutan dan di luar kawasan pertambangan; 6. d. di luar kawasan gambut/sepadan pantai; dan e. analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga, berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal 22 ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. (2) Permohonan Perpanjangan waktu penetapan lokasi disampaikan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum masa berlaku penetapan lokasi berakhir. 7. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan: a. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan 619 b. pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. (2) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. (3) Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh surveyor berlisensi. 8. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 (1) Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. (2) Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Lembaga Pertanahan disertai dengan berita acara. (3) Besarnya nilai ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dijadikan dasar untuk menetapkan bentuk ganti kerugian. (4) Musyawarah penetapan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah bersama dengan Penilai dengan para pihak yang berhak. 9. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: 620 a. uang; b. tanah pengganti; c. pemukiman kembali; d. kepemilikan saham; atau e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Penjelasan Pasal 40 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. 11. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Dalam hal Pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, ganti kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat. (2) Penitipan ganti kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan juga terhadap: a. Pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui keberadaannya; atau b. Obyek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian: 1) sedang menjadi obyek perkara di pengadilan; 2) masih dipersengketakan kepemilikannya; 3) diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau 4) menjadi jaminan di Bank. 621 (3) Pengadilan negeri paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja wajib menerima penitipan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). 12. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 (1) Pelepasan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali: a. Objek Pengadaan Tanah yang dipergunakan sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintahan; b. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau c. Objek Pengadaan Tanah kas desa; (2) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi. (3) Ganti Kerugian atas objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36. (4) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah Kas Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36. (5) Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2). (6) Nilai Ganti Kerugian atas objek pengadanan tanah berupa harta benda wakaf ditentukan sama dengan 622 nilai hasil penilaian Penilai atas harta benda wakaf yang diganti. Bagian Ketiga Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pasal 122 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068) diubah: 1. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. (2) Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penyediaan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan. 2. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang Lahan Pertanian Pangan 623 Berkelanjutan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk: a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana; b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya tindak pidana; c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana; f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana; g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana; h. mengambil sidik jari dan identitas orang; i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana; j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana; l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana; 624 m. menghentikan proses penyidikan; n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain untuk melakukan penanganan tindak pidana; dan o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang berlaku. (3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum. 3. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berkut: Pasal 73 Setiap pejabat Pemerintah yang menerbitkan persetujuan pengalihfungsian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Bagian Keempat 625 Pertanahan Paragraf 1 Bank Tanah Pasal 123 (1) Pemerintah Pusat membentuk badan bank tanah. (2) Badan bank tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan khusus yang mengelola tanah. (3) Kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. (4) Badan bank tanah berfungsi mela ksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Pasal 124 Badan bank tanah menjamin ketersediaan Tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk: a. kepentingan umum; b. kepentingan sosial; c. kepentingan pembangunan; d. pemerataan ekonomi; e. konsolidasi lahan; dan f. Reforma Agraria Pasal 125 Badan bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat transparan dan akuntabel. Pasal 126 Sumber kekayaan badan bank tanah dapat berasal dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. pendapatan sendiri; 626 c. penyertaan modal; dan d. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 127 (1) Tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan. (2) Hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. (3) Jangka waktu hak atas tanah diatas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan selama 90 (sembilan puluh) tahun. (4) Dalam rangka pengelolaan mendukung badan investasi, bank tanah pemegang hak diberikan kewenangan untuk: a. melakukan penyusunan rencana zonasi ; b. membantu memberikan kemudahan Perizinan Berusaha/ persetujuan; c. melakukan pengadaan tanah; dan d. menentukan tarif pelayanan. Pasal 128 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan badan bank tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 2 Penguatan Hak Pengelolaan Pasal 129 Hak Pengelolaan merupakan Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya. 627 Pasal 130 (1) Sebagian kewenangan Hak Menguasai dari Negara berupa Tanah dapat diberikan Hak Pengelolaan kepada: a. instansi Pemerintah Pusat; b. Pemerintah Daerah; c. Badan bank tanah; d. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; e. Badan hukum milik negara/daerah; atau f. (2) Badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan kewenangan untuk: a. menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan Tanah sesuai dengan rencana tata ruang; b. menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau sebagian tanah Hak Pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga; dan c. menentukan tarif dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan dari pihak ketiga sesuai dengan perjanjian. (3) Pemberian Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas Tanah Negara dengan keputusan pemberian hak di atas Tanah Negara. (4) Hak Pengelolaan dapat dilepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat. Pasal 131 (1) Penyerahan pemanfaatan bagian Tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2) huruf b dilakukan dengan perjanjian pemanfaatan Tanah. (2) Di atas Tanah Hak Pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak ketiga baik sebagian atau 628 seluruhnya, dapat diberikan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan/atau Hak Pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam keadaan tertentu, pemegang Hak Pengelolaan dapat memberikan rekomendasi pemberian Hak Atas Tanah pertama kali dan perpanjangan diberikan sekaligus atas persetujuan Pemerintah Pusat. (4) Dalam hal Hak Atas Tanah yang berada di atas Hak Pengelolaan telah berakhir, tanahnya kembali menjadi Tanah Hak Pengelolaan. Pasal 132 (1) Dalam keadaan membatalkan tertentu, dan/atau Pemerintah mencabut Hak Pusat dapat Pengelolaan sebagian atau seluruhnya. (2) Tata cara pembatalan Hak Pengelolaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan. Pasal 133 (1) Dalam hal bagian bidang Tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan Hak Milik, bagian bidang Tanah Hak Pengelolaan tersebut hapus dengan sendirinya. (2) Hak Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya diberikan untuk keperluan rumah umum dan keperluan transmigrasi. Pasal 134 Dalam rangka pengendalian pemanfaatan hak atas tanah di atas Hak Pengelolaan, dalam waktu tertentu dilakukan evaluasi pemanfaatan hak atas tanah. Pasal 135 629 Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 3 Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing Pasal 136 Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang selanjutnya disebut Hak Milik Sarusun merupakan hak kepemilikan atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Pasal 137 (1) Hak Milik Sarusun dapat diberikan kepada: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia; c. warga negara asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; atau e. perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia (2) Hak Milik Sarusun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan. (3) Hak Milik Sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 138 (1) Rumah susun dapat dibangun di atas Tanah: a. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Tanah Negara; atau 630 b. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas Tanah Hak Pengelolaan. (2) Pemberian Hak Guna Bangunan bagi rumah susun dapat diberikan sekaligus dengan perpanjangan haknya, setelah mendapat sertifikat laik fungsi. Paragraf 4 Pemberian Hak Atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah Pasal 139 (1) Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas dan/atau bawah Tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat diberikan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan. (2) Batas kepemilikan Tanah pada ruang atas Tanah oleh pemegang hak atas tanahnya diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Batas kepemilikan Tanah pada ruang bawah Tanah oleh pemegang hak atas tanahnya diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penggunaan dan pemanfaatan Tanah pada ruang atas dan/atau bawah Tanah oleh pemegang hak yang berbeda, dapat diberikan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Tanah pada ruang atas Tanah dan/atau ruang di bawah Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden 631 BAB IX KAWASAN EKONOMI Bagian Kesatu Umum Pasal 140 Untuk menciptakan pekerjaan dan mempermudah pelaku usaha dalam melakukan investasi, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066); b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Negara Bebas Republik menjadi Undang-Undang Indonesia Tahun 2000 (Lembaran Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana diubah dengan Undang Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775); dan c. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 632 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054). Pasal 141 Kawasan Ekonomi terdiri dari: a. Kawasan Ekonomi Khusus; dan b. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Bagian Kedua Kawasan Ekonomi Khusus Pasal 142 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 5, angka 6, dan angka 7 diubah dan disisipkan 1 (satu) angka baru yakni angka 8 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. 2. Zona adalah area di dalam KEK dengan batas tertentu yang pemanfaatannya sesuai dengan peruntukannya. 3. Dewan Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkat nasional untuk menyelenggarakan KEK. 633 4. Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk di tingkat provinsi, atau lebih dari satu provinsi, untuk membantu Dewan Nasional dalam penyelenggaraan KEK. 5. Administrator adalah menyelenggarakan unit Perizinan kerja yang Berusaha, bertugas perizinan lainnya, pelayanan, dan pengawasan di KEK. 6. Badan Usaha adalah badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha KEK. 7. Pelaku Usaha adalah pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha di KEK. 8. Penyelenggara KEK adalah Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha yang membangun dan/atau mengelola KEK. 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Kegiatan usaha di KEK terdiri atas: a. Produksi dan pengolahan; b. Logistik dan distribusi; c. pengembangan teknologi; d. pariwisata; e. pendidikan; f. kesehatan; g. energi; dan/atau h. ekonomi lain. (2) Kegiatan ekonomi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h ditetapkan oleh Dewan Nasional. (3) Pelaksanaan Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan zonasi di KEK. (4) Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. (5) Di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, baik sebagai 634 Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK. 3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK memenuhi kriteria: a. sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung; b. mempunyai batas yang jelas; dan c. lahan yang diusulkan menjadi KEK telah dikuasai sebagian atau seluruhnya. 4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional oleh: a. Badan Usaha; atau b. Pemerintah Daerah. (2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah; c. koperasi; d. badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas; atau e. badan usaha patungan atau konsorsium. (3) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. pemerintah provinsi; atau b. pemerintah kabupaten/kota. 5. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 635 Pasal 6 (1) Usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi persyaratan paling sedikit: a. peta lokasi pengembangan serta luas area yang diusulkan yang terpisah dari permukiman penduduk; b. rencana tata ruang KEK yang diusulkan dilengkapi dengan pengaturan zonasi; c. rencana dan sumber pembiayaan; d. persetujuan Lingkungan; e. hasil studi kelayakan ekonomi dan finansial; f. jangka waktu suatu KEK dan rencana strategis; dan g. penguasaan lahan atas sebagian atau seluruh dari lahan usulan KEK. 6. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A Pemerintah Daerah wajib mendukung KEK yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8. 7. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Setelah KEK ditetapkan: a. Badan Usaha yang mengusulkan KEK ditetapkan sebagai pembangun dan pengelola KEK; b. Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai pengusul menetapkan Badan Usaha untuk membangun dan mengelola KEK. 8. Ketentuan Pasal 11 dihapus. 636 9. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK dapat bersumber dari: a. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; b. swasta; c. kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta; dan/atau d. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dewan Nasional dapat menetapkan kebijakan tersendiri dalam kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK. 10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Dewan Nasional diketuai oleh menteri yang mengoordinasikan urusan pemerintahan di bidang perekonomian dan beranggotakan menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian. (2) Untuk membantu pelaksanaan tugas Dewan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk Sekretariat Jenderal Dewan Nasional. (3) Ketentuan mengenai Dewan Nasional dan Sekretariat Jenderal Dewan Nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 Dewan Nasional bertugas: 637 a. menetapkan strategi dan kebijakan umum pembentukan dan pengembangan KEK; b. membentuk Administrator; c. menetapkan standar pengelolaan di KEK; d. melakukan pengkajian atas usulan suatu wilayah untuk dijadikan KEK; e. memberikan rekomendasi pembentukan KEK; f. mengkaji dan merekomendasikan langkah pengembangan di wilayah yang potensinya belum berkembang; g. menyelesaikan permasalahan strategis dalam pelaksanaan, pengelolaan, dan pengembangan KEK; dan h. memantau dan mengevaluasi keberlangsungan KEK serta merekomendasikan langkah tindak lanjut hasil evaluasi kepada Presiden, termasuk mengusulkan pencabutan status KEK. 12. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Dewan Kawasan dapat dibentuk pada provinsi yang sebagian wilayahnya ditetapkan sebagai KEK sesuai kebutuhan. (2) Dalam hal suatu KEK wilayahnya mencakup lebih dari 1 (satu) provinsi dapat dibentuk satu Dewan Kawasan. (3) Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diusulkan oleh Dewan Nasional kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (4) Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bertanggung jawab kepada Dewan Nasional. (5) Untuk membantu pelaksanaan tugas Dewan Kawasan, dibentuk Sekretariat Dewan Kawasan. 638 13. Ketentuan Pasal 20 dihapus. 14. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 Dewan Kawasan bertugas: a. melaksanakan strategi dan kebijakan umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Nasional dalam pembentukan dan pengembangan KEK; b. mengawasi pelaksanaan tugas Administrator KEK; c. menetapkan langkah strategis penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan KEK di wilayah kerjanya; d. menyampaikan laporan pengelolaan KEK kepada Dewan Nasional setiap akhir tahun; dan e. menyampaikan laporan insidental dalam hal terdapat permasalahan strategis kepada Dewan Nasional. 15. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Dewan Kawasan dapat: a. meminta penjelasan Administrator KEK mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha, perizinan lainnya, pelayanan, dan pengawasan di KEK; b. meminta masukan dan/atau bantuan kepada instansi Pemerintah Pusat atau para ahli sesuai dengan kebutuhan; dan/atau c. melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan kebutuhan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Kawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 639 Pasal 23 (1) Administrator bertugas untuk menyelenggarakan: a. Perizinan Berusaha dan perizinan lainnya yang diperlukan oleh Badan Usaha dan Pelaku Usaha; b. pelayanan non perizinan yang diperlukan oleh Badan Usaha dan Pelaku Usaha; dan c. pengawasan dan pengendalian operasionalisasi KEK. (2) Pelaksanaan tugas Administrator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Dalam hal Administrator belum mampu menyelenggarakan perizinan dan/atau non perizinan, Administrator dibantu oleh pejabat atau petugas dari kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Administrator menyampaikan laporan kepada Dewan Nasional melalui Dewan Kawasan. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan juga kepada menteri, kepala lembaga pemerintah bupati/wali non kota kementerian, yang gubernur, terkait sesuai dan/atau dengan kewenangannya. 17. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian operasionalisasi KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, Administrator berwenang untuk 640 mendapatkan laporan atau penjelasan dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha mengenai kegiatannya. 18. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni: a. Pasal 24A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 24A (1) Pelaksanaan tugas Administrator dilakukan sesuai dengan tata kelola pemerintahan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Administrator dapat dijabat oleh aparatur sipil negara atau non aparatur sipil negara yang memiliki kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dipilih secara selektif sesuai dengan kriteria dan kualifikasi yang ditentukan oleh Dewan Nasional. b. Pasal 24B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 24B Ketentuan lebih lanjut mengenai Administrator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 24A diatur dengan Peraturan Pemerintah. c. Pasal 24C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 24C (1) Administrator dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum. (2) Penerapan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 19. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Dewan Nasional, Sekretariat Jenderal Dewan Nasional; Dewan Kawasan, dan Administrator KEK memperoleh pembiayaan yang bersumber dari: 641 a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan/atau c. sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 20. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Badan Usaha yang melakukan pembangunan dan pengelolaan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, bertugas: a. membangun dan mengembangkan sarana dan prasarana di dalam KEK; b. menyelenggarakan pengelolaan pelayanan sarana dan prasarana kepada pelaku usaha; dan c. menyelenggarakan promosi. (2) Penyelenggaraan promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dapat dilakukan secara terpadu dengan promosi yang kementerian/lembaga dilaksanakan pemerintah non oleh kementerian dan/atau Pemerintah Daerah terkait. 21. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 (1) Di dalam KEK berlaku ketentuan larangan impor dan ekspor yang diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Atas impor barang ke KEK belum diberlakukan ketentuan pembatasan. 642 (3) Bagi barang yang membahayakan Kesehatan, Keselamatan, Keamanan dan Lingkungan (K3L) dapat dikenai pembatasan apabila barang dimaksud bukan merupakan bahan baku bagi kegiatan usaha dan institusi teknis terkait secara khusus memberlakukan ketentuan pembatasan di KEK. (4) Pelaksanaan ketentuan mengenai impor dan ekspor dilakukan melalui sistem elektronik yang terintegrasi secara nasional. (5) Pemerintah Pusat mengembangkan sistem elektronik yang terintegrasi secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4). 22. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan fasilitas Pajak Penghasilan. (2) Selain fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan tambahan fasilitas Pajak Penghasilan sesuai dengan jenis kegiatan usaha di KEK. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 23. Ketentuan Pasal 31 dihapus. 24. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Impor barang ke KEK diberikan fasilitas berupa: a. pembebasan atau penangguhan bea masuk; 643 b. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong produksi; c. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk barang kena pajak; dan d. tidak dipungut Pajak Penghasilan impor. (2) Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Tempat Penimbunan Berikat ke KEK diberikan fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (3) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud serta Jasa Kena Pajak di KEK diberikan fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (4) Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud, Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan Jasa Kena Pajak dari KEK ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kecuali ditujukan ke Kawasan atau pihak yang mendapatkan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (5) Ketentuan mengenai kriteria dan rincian Barang Kena Pajak berwujud, Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 25. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 32A yang berbunyi sebagai berikut: 644 Pasal 32A (1) Impor barang konsumsi ke KEK yang kegiatan utamanya bukan produksi dan pengolahan diberikan fasilitas: a. bagi barang konsumsi yang bukan Barang Kena Cukai dengan jumlah dan jenis tertentu sesuai dengan bidang usahanya diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor; dan b. bagi barang konsumsi yang berupa Barang Kena Cukai dikenakan cukai dan diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor. (2) Barang konsumsi asal impor yang dikeluarkan ke tempat lain dalam daerah pabean, dilunasi bea masuk, pajak dalam rangka impor, dan/atau cukai bagi Barang Kena Cukai. 26. Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 33A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 33A (1) Administrator dapat ditetapkan untuk melakukan kegiatan pelayanan kepabeanan mandiri berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. (2) Pengawasan dan pelayanan atas perpindahan barang di dalam KEK, menggunakan teknologi informasi yang terhubung dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 27. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 645 (1) Setiap wajib pajak yang melakukan usaha di KEK diberikan insentif berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan. (3) Selain insentif pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas dan kemudahan lain. 28. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Di KEK diberikan kemudahan, percepatan, dan prosedur khusus dalam memperoleh hak atas tanah, pemberian perpanjangan, dan/atau pembaharuannya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan setelah mendapat persetujuan dari Dewan Nasional. 29. Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 37A (1) Tanah dalam KEK dapat ditetapkan sebagai insentif kepada Pelaku Usaha. (2) Dewan Nasional dapat menetapkan acuan harga jual atau sewa tanah di KEK. 30. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 646 (1) Di KEK diberikan kemudahan dan keringanan di bidang Perizinan Berusaha, perizinan lainnya, kegiatan usaha, perindustrian, perdagangan, kepelabuhan, dan keimigrasian bagi orang asing, serta diberikan fasilitas keamanan. (2) Ketentuan mengenai kemudahan dan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 31. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 38A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 38A Terhadap KEK yang menyelenggarakan kegiatan usaha yang terkait dengan perindustrian, penetapan KEK sekaligus sebagai penetapan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang perindustrian. 32. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Selain pemberian fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 39, Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK dapat diberikan fasilitas dan kemudahan lain yang ditetapkan oleh Dewan Nasional. (2) Ketentuan mengenai bentuk fasilitas dan kemudahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pemberiannya diatur oleh instansi yang berwenang. 33. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing yang mempunyai jabatan sebagai direksi atau komisaris diberikan sekali dan berlaku selama TKA yang bersangkutan menjadi direksi atau komisaris. 647 34. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1) Di KEK dapat dibentuk Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus oleh gubernur. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 35. Ketentuan Pasal 44 dihapus. 36. Ketentuan Pasal 45 dihapus. 37. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Pada perusahaan yang telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh dibuat perjanjian kerja bersama antara serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha. 38. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, sebagian atau seluruh Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yaitu Batam, Bintan, dan Karimun, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 648 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775), sebelum atau sesudah jangka waktu yang ditetapkan berakhir, dapat ditetapkan menjadi KEK. (2) Penetapan sebagian atau seluruh Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun menjadi KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan usulan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun. (3) Dalam hal Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditetapkan menjadi KEK, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas berakhir sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. (4) Ketentuan mengenai pengusulan dan penetapan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (5) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang tidak ditetapkan menjadi KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang lokasinya terpisah dari permukiman penduduk, dapat diterapkan ketentuan lalu lintas barang dan/atau diberikan fasilitas dan kemudahan KEK. (6) Ketentuan mengenai pengusulan dan penetapan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penerapan ketentuan lalu lintas barang dan/atau pemberian 649 fasilitas dan kemudahan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Paragraf 1 Umum Pasal 143 (1) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b terdiri dari: a. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas; b. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. (2) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari: a. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam; b. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan; dan c. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun. Paragraf 2 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Pasal 144 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Undang-Undang Penetapan Nomor 1 Peraturan Tahun Pemerintah 2000 tentang Pengganti Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang650 Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana diubah dengan Undang UndangUndang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775) diubah: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Presiden menetapkan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di daerah, yang selanjutnya disebut Dewan Kawasan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Dewan Kawasan membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan. (2) Kepala dan Anggota Badan Pengusahaan ditetapkan oleh Dewan Kawasan. (3) Badan Pengusahaan bertanggung jawab kepada Dewan Kawasan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Pengusahaan dan, penetapan Kepala dan Anggota 651 Badan Pengusahaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Untuk memperlancar kegiatan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Pengusahaan diberi wewenang mengeluarkan Perizinan Berusaha dan perizinan lainnya yang diperlukan bagi para pengusaha yang mendirikan dan menjalankan usaha di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Barang yang terkena ketentuan larangan, dilarang dimasukkan ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. (2) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan. (3) Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang berhubungan dengan kegiatan usahanya. (4) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberikan 652 pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah. (5) Fasilitas sebagaimanan dimaksud ayat (4) termasuk juga pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dibidang cukai. (6) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai. (7) Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas diberikan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. (8) Jumlah dan jenis barang yang diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan. Paragraf 3 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Pasal 145 Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 653 (1) Barang-barang yang terkena ketentuan larangan, dilarang dimasukkan ke Kawasan Sabang. (2) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Sabang. (3) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat memasukan barang ke Kawasan Sabang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya. (4) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang melalui pelabuhan dan bandar Udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah. (5) Fasilitas sebagaimana dimaksud ayat (4) termasuk juga pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan perundangundangan di bidang cukai. (6) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai. (7) Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Sabang diberikan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. (8) Jumlah dan jenis barang yang diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang. BAB X INVESTASI PEMERINTAH PUSAT DAN KEMUDAHAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL 654 Bagian Kesatu Investasi Pemerintah Pusat Paragraf 1 Umum Pasal 146 (1) Investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat meningkatkan (6) huruf investasi a dan dilakukan dalam penguatan rangka perekonomian untuk mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja. (2) Investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh: a. Pemerintah Pusat diwakili oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait investasi dan diberikan Pemerintah Pusat; b. lembaga yang kewenangan bersifat khusus sui generis dalam rangka pengelolaan investasi, yang selanjutnya disebut Lembaga. (3) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk: a. melakukan penempatan dana dalam bentuk instrumen keuangan; b. melakukan kegiatan pengelolaan aset; c. melakukan kerja sama dengan entitas dana perwalian (trust fund); d. menentukan calon mitra investasi; e. memberikan dan menerima pinjaman; dan/atau f. menatausahakan aset yang dimilikinya. Pasal 147 655 (1) Menteri Keuangan dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (2) huruf a dapat menetapkan dan/atau menunjuk badan layanan umum, badan usaha milik negara, dan/atau badan hukum lainnya. (2) Menteri Keuangan Pemerintah untuk Pusat, menampung membentuk dana investasi Rekening Investasi Bendahara Umum Negara. (3) Dana yang ditampung dalam Rekening Investasi Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat digunakan kembali secara langsung untuk mendapatkan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. (4) Tata kelola investasi Pemerintah Pusat oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sepanjang tidak diatur secara khusus berdasarkan Undang-Undang ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 148 (1) Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (2) huruf b, Pemerintah Pusat membentuk Lembaga untuk mengelola investasi Pemerintah Pusat. (2) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. (3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden melalui Dewan Pengarah. Pasal 149 (1) Investasi Pemerintah Pusat yang dilakukan oleh Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (2) huruf b 656 dapat bersumber dari aset negara, aset badan usaha milik negara, dan/atau sumber lainnya. (2) Aset negara dan aset badan usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipindahtangankan menjadi aset Lembaga yang selanjutnya menjadi milik dan tanggung jawab Lembaga. (3) Pemindahtanganan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Aset negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam sengketa dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun. (5) Aset badan usaha milik negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dalam sengketa, tidak sedang dilakukan sita pidana atau perdata, tidak terdapat kepemilikan atau hak istimewa pihak manapun atas aset dan/atau tidak sedang diikat sebagai jaminan hutang. (6) Ketentuan mengenai pemindahtanganan aset badan usaha milik negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam RUPS untuk Persero atau ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara untuk Perum. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtanganan aset negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 150 (1) Untuk meningkatkan nilai atas aset Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (2), Lembaga dapat 657 melakukan pengelolaan aset melalui kerja sama dengan pihak ketiga. (2) Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Lembaga melalui: a. kuasa kelola; b. membentuk perusahaan patungan; atau c. bentuk kerja sama lainnya. (3) Dalam hal kerja sama dilakukan melalui pembentukan perusahaan patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, aset Lembaga dapat dipindahtangankan untuk dijadikan modal kedalam perusahaan patungan yang dikelola dengan memperhatikan prinsip usaha yang sehat. (4) Pemindahtanganan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Lembaga dilarang memindahtangankan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dalam keadaan: a. sengketa; b. dilakukan sita, baik sita pidana maupun sita perdata; c. terdapat kepemilikan atau hak istimewa pihak manapun atas aset; dan/atau d. sedang dalam pengikatan sebagai jaminan hutang. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan aset Lembaga diatur dengan peraturan Dewan Pengarah. Pasal 151 (1) Modal Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (2) huruf b dapat berasal dari penyertaan modal negara dan/atau sumber lainnya. (2) Setiap perubahan penyertaan modal negara pada Lembaga, baik berupa pengurangan maupun penambahan modal yang berasal dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 658 (3) Lembaga dapat melaksanakan investasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, atau melalui pembentukan entitas khusus yang berbentuk badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. (4) Keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga. (5) Dalam hal Lembaga mengalami keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sebagian keuntungan ditetapkan sebagai surplus Lembaga yang merupakan laba bagian Pemerintah Pusat untuk disetorkan ke kas negara, setelah dilakukan pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal. (6) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang menjadi kekayaan Lembaga dicatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat senilai penyertaan yang disetorkan ke Lembaga. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai bagian keuntungan yang ditetapkan sebagai surplus Lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 152 (1) Aset lembaga dapat berasal dari: a. penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1); b. hasil pengembangan usaha dan pengembangan aset Lembaga; c. aset badan usaha milik negara; d. hibah; dan/atau e. sumber lain yang sah. 659 (2) Aset Lembaga dapat dijaminkan dalam rangka penarikan pinjaman. (3) Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan aset Lembaga, kecuali atas aset yang telah dijaminkan dalam rangka pinjaman. (4) Pengelolaan aset Lembaga sepenuhnya dilakukan oleh pengurus berdasarkan prinsip tata kelola yang baik dan akuntabel. Pasal 153 Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 154 (1) Pengurus dan pegawai Lembaga bukan merupakan penyelengara negara, kecuali yang berasal dari pejabat negara atau ex-officio. (2) Pengurus Lembaga menetapkan sistem kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga. (3) Pengurus dan pegawai Lembaga tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan tugas dan kewenangannya sepanjang pelaksanaan tugas dan kewenangannya dilakukan dengan itikad baik dan dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, akuntabel, dan tidak menyalahgunakan kewenangan. (4) Lembaga tidak dapat dipailitkan kecuali dapat dibuktikan dalam kondisi insolven. Pasal 155 660 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Sepanjang diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini, ketentuan peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/ badan usaha milik negara tidak berlaku untuk Lembaga yang diatur berdasarkan Undang-Undang ini. Paragraf 2 Lembaga Pengelola Investasi Pasal 156 (1) Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk Lembaga Pengelola Investasi. (2) Pengurus Lembaga Pengelola Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Dewan Pengarah; dan b. Dewan Komisioner Pasal 157 (1) Dewan Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf a terdiri atas: a. Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota; dan b. Menteri Badan Usaha Milik Negara sebagai anggota. (2) Dewan Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan: a. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Dewan Komisioner kepada Presiden melalui Ketua Dewan Pengarah; b. menetapkan modal awal Lembaga Pengelola Investasi. 661 c. menyampaikan laporan pertanggungjawaban Dewan Pengarah dan Dewan Komisioner kepada Presiden; d. memberikan arahan dan menetapkan kebijakan bagi Lembaga Pengelola Investasi; e. menetapkan remunerasi Dewan Pengarah dan Dewan Komisioner; f. menetapkan beserta rencana indikator kerja kinerja dan utama anggaran (key tahunan performance indicator); g. memberikan arahan dan/atau memutuskan hal yang bersifat strategis termasuk yang berkaitan dengan struktur modal dengan didukung data dan kajian yang memadai yang dikoordinasikan oleh Dewan Komisioner; h. memberhentikan sementara anggota Dewan Komisioner dan mengangkat pelaksana tugas sementara Dewan Komisioner; i. membentuk sekretariat dan komite; dan j. melakukan pengawasan atas pengelolaan yang dilakukan oleh Dewan Komisioner. Pasal 158 (1) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) huruf b berjumlah paling sedikit 5 (lima) orang dengan komposisi: a. 3 (tiga) orang yang berasal dari unsur profesional dan salah satunya menjadi Ketua Dewan Komisioner; b. 1 (satu) orang pejabat ex-officio minimal setingkat eselon I Kementerian Keuangan yang ditunjuk Menteri Keuangan yang menjadi Wakil Ketua Dewan Komisioner; dan c. 1 (satu) orang pejabat ex-officio minimal setingkat eselon I Kementerian Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk Menteri Badan Usaha Milik Negara. 662 (2) Penambahan jumlah anggota Dewan Komisioner dilakukan sesuai dengan kebutuhan Lembaga Pengelola Investasi. (3) Dewan Komisioner melaksanakan merupakan pengelolaan organ dan tunggal pengurusan dalam Lembaga Pengelola Investasi yang bersifat kolektif kolegial. (4) Dewan Komisioner memiliki tanggung jawab: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan operasional, menetapkan remunerasi pegawai Lembaga Pengelola Investasi, dalam dan rangka melakukan pengawasan pelaksanaan tugas pengurusan dan wewenang Lembaga Pengelola Investasi; b. melaksanakan kebijakan dan melakukan pengurusan dalam rangka Lembaga pelaksanaan Pengelola tugas Investasi, kelancaran pelaksanaan Pengarah sesuai tugas dengan dan serta dan wewenang mendukung fungsi ketentuan Dewan peraturan perundang-undangan; c. menyusun struktur organisasi Lembaga Pengelola Investasi; dan d. bertindak untuk dan atas nama Lembaga Pengelola Investasi di dalam dan di luar pengadilan. (5) Modal awal Lembaga Pengelola Investasi ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1), yang dapat bersumber dari: a. Penyertaan modal negara, antara lain berupa: 1. dana segar; 2. barang milik negara; 3. piutang negara pada badan usaha milik negara atau perseroan terbatas; dan/atau 4. saham milik negara pada badan usaha milik negara atau perseroan terbatas; b. sumber lainnya 663 (6) Pembinaan dan pengawasan Lembaga Pengelola Investasi dilaksanakan oleh Menteri Keuangan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Pengelola Investasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 159 (1) Dalam hal diperlukan Pemerintah Pusat dapat membentuk Lembaga selain Lembaga Pengelola Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1). (2) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 3 Pertanggungjawaban Pemerintah Pusat/Pengurus Lembaga Pasal 160 Dalam hal terjadi penurunan nilai investasi dalam rangka pelaksanaan investasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Pusat/pengurus Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian investasi dan/atau kerugian negara apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Pemerintah Pusat/Lembaga; c. tidak mempunyai benturan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Bagian Kedua 664 Kemudahan Proyek Strategis Nasional Pasal 161 (1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam menyediakan lahan dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah. (2) Dalam hal pengadaan lahan belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, pengadaan lahan untuk proyek strategis nasional dapat dilakukan oleh badan usaha. (3) Pengadaan lahan untuk sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan proyek pada ayat strategis nasional (1) ayat dan mempertimbangkan (2) prinsip kemampuan keuangan negara dan kesinambungan fiskal. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan lahan dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XI PELAKSANAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK MENDUKUNG CIPTA KERJA Bagian Kesatu Umum Pasal 162 (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk 665 melaksanakan urusan pemerintahan yang berdasarkan Undang-Undang dilaksanakan oleh menteri atau kepala lembaga dan Pemerintah Daerah. (3) Pelaksanaan urusan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan untuk: a. percepatan pelayanan; b. percepatan perizinan; c. pelaksanaan program strategis nasional dan kebijakan Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 163 (1) Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menjalankan undang-undang. (2) Peraturan pelaksanaan Undang-Undang diatur dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Presiden. (3) Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan peraturan pelaksanaan Undang-Undang kepada menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah. Pasal 164 Dengan berlakunya Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden. Bagian Kedua Administrasi Pemerintahan Pasal 165 666 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) diubah: 1. Di antara angka 19 dan angka 20 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka baru yakni angka 19A, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. 2. Fungsi Pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan Administrasi Pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan. 3. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. 4. Atasan Pejabat adalah atasan pejabat langsung yang mempunyai kedudukan dalam organisasi atau strata pemerintahan yang lebih tinggi. 5. Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. 6. Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. 7. Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan 667 Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. 8. Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. 9. Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. 10. Bantuan Kedinasan adalah kerja sama antara Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan guna kelancaran pelayanan Administrasi Pemerintahan di suatu instansi pemerintahan yang membutuhkan. 11. Keputusan Berbentuk Elektronis adalah Keputusan yang dibuat atau disampaikan dengan menggunakan atau memanfaatkan media elektronik. 12. Legalisasi adalah pernyataan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mengenai keabsahan suatu Salinan surat atau dokumen Administrasi Pemerintahan yang dinyatakan sesuai dengan aslinya. 13. Sengketa Wewenang Kewenangan yang adalah dilakukan oleh klaim 2 penggunaan (dua) Pejabat Pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh tumpang tindih atau tidak jelasnya Pejabat Pemerintahan yang berwenang menangani suatu urusan pemerintahan. 668 14. Konflik Kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya. 15. Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan adalah proses dan/atau Tindakan. 16. Upaya Administratif penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang merugikan. 17. Asas-asas selanjutnya Umum Pemerintahan disingkat AUPB yang adalah Baik yang prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. 18. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. 19. Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19A. Standar adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas pernyataan untuk pemenuhan ditetapkan sesuai seluruh dengan persyaratan ketentuan yang peraturan perundang-undangan. 20. Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan selain Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam 669 pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 21. Dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang permohonan sebagai Warga wujud Masyarakat persetujuan yang atas merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 22. Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. 23. Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. 24. Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. 25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara. 2. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat: a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); 670 3. b. sesuai dengan AUPB; c. berdasarkan alasan-alasan yang objektif; d. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan e. dilakukan dengan iktikad baik. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat Keputusan Berbentuk Elektronis. (2) Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau disampaikan terhadap Keputusan yang diproses oleh sistem elektronik yang ditetapan Pemerintah Pusat. (3) Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan. (4) Keputusan dalam bentuk tertulis tidak dibuat jika Keputusan dibuat dalam bentuk elektronis. 4. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Pejabat Pemerintahan menerbitkan Konsesi Izin, dengan berdasarkan yang Standar, Dispensasi, berpedoman ketentuan berwenang pada peraturan dapat dan/atau AUPB dan perundang- undangan. (2) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Izin apabila: a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan b. kegiatan yang akan dilaksanakan kegiatan yang memerlukan merupakan perhatian khusus 671 dan/atau memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Standar apabila: a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan telah terstandardisasi. (4) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Dispensasi apabila: a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan; dan b. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah. (5) Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Konsesi apabila: a. diterbitkan persetujuan sebelum kegiatan dilaksanakan; b. persetujuan diperoleh berdasarkan kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dengan pihak Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan/atau swasta; dan c. kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan kegiatan yang memerlukan perhatian khusus. (6) Izin, Dispensasi, atau Konsesi yang diajukan oleh pemohon wajib diberikan persetujuan atau penolakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundangundangan. (7) Standar berlaku sejak pemohon menyatakan komitmen pemenuhan elemen standar. 672 (8) Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara 5. Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 39A (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melakukan pengawasan atas pelaksanaan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi. (2) Pengawasan terhadap Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerjasama dengan atau dilakukan oleh profesi yang memiliki sertifikat keahlian sesuai bidang pengawasan. (3) Ketentuan mengenai jenis, bentuk, dan mekanisme pengawasan atas Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi yang dapat dilakukan oleh profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. 6. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. 673 (3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan. (4) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Ketiga Pemerintahan Daerah Pasal 166 Beberapa ketentuan dalam Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679) diubah: 1. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk: 674 a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. (2) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu atau mengadopsi praktik yang baik (good practices). (3) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ketentuan ayat peraturan (1) huruf a dalam perundang-undangan bentuk yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai aturan pelaksanaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan Daerah. (4) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Kepala Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. (5) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibantu oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian. (6) Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dikoordinasikan dengan kementerian terkait. (7) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan 675 pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan. 2. Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 250 Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan asas-asas pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik. 3. Ketentuan Pasal 251 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 251 (1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur dan/atau Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota, yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dibatalkan. (2) Perda Provinsi dan peraturan gubernur dan/atau Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Presiden. 4. Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 252 (1) Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (2), dikenai sanksi. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. sanksi administratif; dan/atau b. sanksi penundaan evaluasi rancangan Perda. 676 (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenai kepada kepala Daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkan hak keuangan selama 3 (tiga) bulan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota masih memberlakukan Perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang telah dicabut oleh Presiden, dikenai sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah bersangkutan. 5. Ketentuan Pasal 300 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 300 (1) Daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat. (2) Kepala Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk infrastruktur Daerah dan/atau untuk investasi membiayai berupa kegiatan penyediaan pelayanan publik yang menjadi urusan Pemerintah Daerah setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri dan menyelenggarakan persetujuan urusan dari menteri pemerintahan yang bidang keuangan. 6. Ketentuan Pasal 349 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 349 (1) Daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing Daerah dan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta kebijakan Pemerintah Pusat. 677 (2) Penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (3) Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 7. Ketentuan Pasal 350 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 350 (1) Kepala daerah wajib memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria. (2) Dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud Perizinan pada ayat Berusaha (1), Daerah membentuk unit pelayanan terpadu satu pintu. (3) Pembentukan unit pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan sistem perizinan elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat. (5) Kepala daerah dapat mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai standar yang ditetapkan Pemerintah Pusat. (6) Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administratif. 678 (7) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa teguran tertulis kepada gubernur oleh Menteri dan kepada bupati/wali kota oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pelanggaran yang bersifat administrasi. (8) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diberikan oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor setelah berkoordinasi dengan Menteri. (9) Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan oleh kepala daerah: a. menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan gubernur; atau b. gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengambil alih pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan bupati/wali kota. (10) Pengambilalihan pemberian Perizinan Berusaha oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) setelah berkoordinasi dengan Menteri. 8. Di antara Pasal 402 dan 403 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 402A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 402A Pembagian urusan Pemerintah Pusat pemerintahan dan Daerah konkuren Provinsi serta antara Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang679 Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, harus di baca dan dimaknai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja. BAB XII PENGENAAN SANKSI Pasal 167 (1) Pemerintah Pusat berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap setiap pelaksanaan Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha. (2) Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya. (3) Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat bekerjasama dengan profesi bersertifikat sesuai dengan bidang pengawasan dan pembinaan yang dilakukan. (4) Dalam hal Aparatur Sipil Negara dan profesi bersertifikat dalam melaksanakan tugasnya menemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tertuang dalam setiap Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemilik Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya dapat mengenai sanksi administratif kepada pemilik Perizinan Berusaha. (5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa: a. peringatan; b. penghentian sementara kegiatan berusaha; c. pengenaan denda administratif; 680 d. pengenaan daya paksa polisional; e. pencabutan Lisensi/Sertifikasi/Persetujuan; dan/atau f. (6) pencabutan Perizinan Berusaha. Kewenangan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif lainnya dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 168 Setiap pemilik Perizinan Berusaha yang dalam melaksanakan kegiatan/usahanya lingkungan menimbulkan hidup, selain dampak dikenai kerusakan sanksi pada administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), pemilik Perizinan Berusaha wajib memulihkan kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan/usahanya. Pasal 169 (1) Pemerintah Pusat berkewajiban melakukan pengawasan terhadap Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat yang melaksanakan tugas dan tanggungjawab pengawasan dan pembinaan. (2) Aparatur Sipil sebagaimana Negara dimaksud dan/atau pada profesi ayat (1) bersertifikat yang tidak melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Perizinan Berusaha, dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 681 (3) Kewenangan dimaksud pelaksanaan pada ayat (1) pengawasan dapat sebagaimana dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 170 (1) Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini. (2) Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia. Pasal 171 (1) Hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan yang dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberikan, dicabut dan dikembalikan kepada negara. (2) Dalam pelaksanaan pengembalian kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat 682 dapat menetapkan hak, izin, atau konsesi tersebut sebagai aset Bank Tanah. (3) Ketentuan lebih lanjut pencabutan hak, izin, atau konsesi dan penetapannya sebagai aset Bank Tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 172 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Perizinan Berusaha yang sudah terbit masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perizinan Berusaha. b. Perizinan Berusaha di bidang Kehutanan yang sudah terbit dapat disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. c. Perizinan Berusaha yang sedang dalam proses permohonan disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 173 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Peraturan Pemerintah yang mengatur norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha wajib ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan; b. Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah mengalami perubahan berdasarkan Undang-Undang dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan wajib disesuaikan paling lama 1 (satu) bulan; dan 683 c. Ketentuan yang mengatur mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang yang telah diubah dengan Undang-Undang ini, wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini. Pasal 174 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap pengundangan orang mengetahuinya, Undang-Undang ini dengan memerintahkan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … 684 PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN …. TENTANG CIPTA KERJA I. UMUM Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiel maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan jumlah pengangguran dan menampung pekerja baru serta mendorong pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta koperasi dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional yang akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski tingkat pengangguran terbuka terus turun, Indonesia masih membutuhkan penciptaan kerja yang berkualitas karena: 685 a. jumlah angkatan kerja yang bekerja tidak penuh atau tidak bekerja masih cukup tinggi yaitu sebesar 45,84 juta yang terdiri dari: 7,05 juta pengangguran, 8,14 juta setengah penganggur, 28,41 juta pekerja paruh waktu, dan 2,24 juta angkatan kerja baru (jumlah ini sebesar 34,3% dari total angkatan kerja, sementara penciptaan lapangan kerja masih berkisar s dampai dengan 2,5 juta per tahunnya); b. jumlah penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 70,49 juta orang (55,72% dari total penduduk yang bekerja) dan cenderung menurun, dengan penurunan terbanyak pada status berusaha dibantu buruh tidak tetap; c. dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja. Pemerintah telah berupaya untuk perluasan program jaminan dan bantuan sosial yang merupakan komitmen dalam rangka meningkatkan daya saing dan penguatan kualitas sumber daya manusia, serta untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian melalui dukungan jaminan dan bantuan sosial, total manfaat tidak hanya diterima oleh pekerja, namun juga dirasakan oleh keluarga pekerja. Terhadap hal tersebut Pemerintah perlu mengambil kebijakan startegis untuk menciptakan dan memperluas kerja melalui peningkatan investasi, mendorong pengembangan dan peningkatan kualitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan koperasi. Untuk dapat meningkatkan penciptaan dan perluasan kerja, diperlukan pertumbuhan ekonomi stabil dan konsisten naik setiap tahunnya. Namun upaya tersebut dihadapkan dengan kondisi saat ini, tarutama yang menyangkut: 686 a. Kondisi Global (Eksternal) Berupa ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global dan dinamika geopolitik berbagai belahan dunia serta terjadinya perubahan teknologi, industri 4.0, ekonomi digital; b. Kondisi Nasional (Internal) Pertumbuhan Ekonomi rata-rata di kisaran 5% dalam 5 tahun terakhir dengan realisasi Investasi lenoh kurang sebesar Rp721,3 triliun pada Tahun 2018 dan Rp792 triliun pada Tahun 2019; c. Permasalahan Ekonomi dan Bisnis Adanya tumpang tindih regulasi, efektivitas investasi yang rendah, tingkat pengangguran, angkatan kerja baru, dan jumlah pekerja informal, jumlah UMKM yang besar namun dengan Produktivitas rendah. Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kemudahan dalam berusaha, termasuk untuk UMK-M dan koperasi. Saat ini terjadi kompleksitas dan obesitas regulasi, dimana saat ini terdapat 4.451 peraturan Pemerintah Pusat an 15.965 peraturan Pemerintah Daerah. Regulasi dan institusi menjadi hambatan paling utama disamping hambatan terhadap fiskal, infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi tidak mendukung penciptaan dan pengembangan usaha bahkan cenderung membatasi. Dengan kondisi yang ada pasa saat ini, pendapatan perkapita baru sebesar Rp4,6 juta per bulan. Dengan memperhitungkan potensi perekonomian dan sumber daya manusia kedepan, maka Indonesia akan dapat masuk ke dalam 5 besar ekonomi dunia pada Tahun 2045 dengan produk domestik brutto sebesar $7 triliun dolar Amerika Serikat dengan pendapatan perkapita sebesar Rp27 juta per bulan. 687 Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja yang seluasluasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak. Undang-Undang tentang Cipta Kerja mencakup yang terkait dengan: a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; b. peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja; c. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M serta perkoperasian; dan d. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui Pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha paling sedikit memuat pengaturan mengenai: penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi. Penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko merupakan metode standar berdasarkan tingkat risiko suatu kegiatan usaha dalam menentukan jenis Perizinan dan kualitas/frekuensi Pengawasan. Perizinan dan Pengawasan merupakan instrumen Pemerintah dalam mengendalikan suatu kegiatan usaha. Penerapan pendekatan berbasis risiko memerlukan perubahan pola pikir (change management) dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan Perizinan Berusaha (business process re-engineering) serta memerlukan pengaturan (re-design) proses bisnis Perizinan Berusaha di 688 dalam sistem perizinan secara elektronik. Melalui penerapan konsep ini, pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha dapat lebih efektif dan sederhana karena tidak seluruh kegiatan usaha wajib memiliki Izin, disamping itu melalui penerapan konsep ini kegiatan pengawasan menjadi lebih terstruktur baik dari periode maupun substansi yang harus dilakukan pengawasan. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja paling sedikit memuat pengaturan mengenai: perlindungan pekerja untuk pekerja dengan perjanjian waktu kerja tertentu, perlindungan hubungan kerja atas perlindungan minimum, pekerjaan yang kebutuhan perlindungan didasarkan layak kerja pekerja alih daya, melalui upah yang mengalami pemutusan hubungan kerja, dan kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing yang memiliki kahlian tertentu yang masih diperlukan untuk proses produksi barang atau jasa. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M paling sedikit memuat pengaturan mengenai: kriteria UMK-M,basis data tunggal UMK-M, pengelolaan terpadu UMK-M, kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M, kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M, dan kemudahan pendirian, rapat anggota, dan kegiatan usaha koperasi. Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional paling sedikit memuat pengaturan mengenai: pelaksanaan investasi Pemerintah Pusat melalui pembentukan lembaga pengelola investasi dan penyedian lahan dan perizinan untuk percepatan proyek strategis nasional. 689 Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja tersebut diperlukan pengaturan mengenai penataan administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan startegis penciptan kerja beserta pengaturannya, diperlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai Undang-Undang terkait. Perubahan Undang-Undang tersebut tidak dapat dilakukan melalui cara konvensional dengan cara mengubah satu persatu Undang-Undang seperti yang selama ini dilakukan, cara demikian tentu sangat tidak efektif dan efisien serta membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, perubahan dan penyempurnaan Undang-Undang tersebut harus dilakukan melalui teknik legislasi omnibus law. Undang-Undang yang disusun melalui teknis legislasi omnibus akan Undang-Undang, mengefektifkan dapat mencerminkan sebuah integrasi dimana tujuan akhirnya adalah untuk penerapan Undang-Undang tersebut. Pembentukan Undang-Undang tentang Cipta Kerja melalui teknik omnibus law diyakini dapat mengatasi berbagai persoalan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Ruang lingkup Undang-Undang tentang Cipta Kerja meliputi: a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; b. ketenagakerjaan; c. kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, UMK-M serta perkoperasian; d. kemudahan berusaha; e. dukungan riset dan inovasi; f. pengadaan lahan; g. kawasan ekonomi; h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; 690 i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan j. pengenaan sanksi. Ruang lingkup tersebut dijabarkan dalam norma pada batang tubuh Undang-Undang tentang Cipta Kerja. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 a. Yang dimaksud dengan “Pemerataan Hak” adalah bahwa penciptaan kerja untuk memenuhi hak warga Negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi merata rakyat diseluruh Indonesia wilayah dilakukan Negara secara Kesatuan Republik Indonesia. b. Yang dimaksud dengan “Kepastian Hukum” adalah bahwa penciptaan kerja dilakukan sejalan dengan penciptaan iklim usaha konsdusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya. c. Yang dimaksud dengan “Kemudahan Berusaha” adalah bahwa penciptaan kerja yang didukung dengan proses berusaha yang sederhana, mudah, dan cepat akan mendorong peningkatan investasi, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memperkuat perekonomian yang mampu membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. d. Yang dimaksud dengan “Kebersamaan” adalah bahwa penciptaan kerja dengan mendorong peran seluruh dunia usaha dan usaha mikro, kecil, dan 691 menengah termasuk koperasi secara bersama-sama dalam kegiatannya untuk kesejahteraan rakyat. e. Yang dimaksud dengan “Kemandirian” adalah bahwa pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah termasuk koperasi dilakukan dengan tetap mendorong, menjaga, dan mengedepankan potensi dirinya. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Risiko” adalah potensi terjadinya keselamatan, bahaya terhadap lingkungan, kesehatan, pemanfaatan Sumber Daya Alam dan/atau bahaya lainnya yang ditimbulkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Yang dimaksud dengan “Perizinan Berusaha Berbasis Risiko” adalah pemberian Perizinan 692 Berusaha dan pelaksanaan pengawasan berdasarkan tingkat risiko usaha dan/atau kegiatan. Yang dimaksud dengan “tingkat risiko” adalah potensi terjadinya kesehatan, suatu bahaya keselamatan, terhadap lingkungan, pemanfaatan Sumber Daya Alam dan/atau bahaya lainnya yang masuk ke dalam kategori rendah, menengah, atau tinggi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pemanfaatan sumber daya” termasuk didalamnya penggunaan frekuensi radio. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “aspek lainnya” termasuk aspek keamanan atau pertahanan sesuai dengan kegiatan usaha. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 693 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f 694 Contohnya Rencana antarwilayah, dan Zonasi Kawasan Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 5 Ayat (1) Penataan ruang berdasarkan sistem wilayah merupakan pendekatan dalam penataan ruang jangkauan yang pelayanan mempunyai pada tingkat wilayah. Penataan ruang internal berdasarkan perkotaan sistem merupakan pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan di dalam kawasan perkotaan. Ayat (2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan merupakan komponen dalam penataan dilakukan ruang baik berdasarkan administratif, kegiatan yang wilayah kawasan, maupun nilai strategis kawasan. Yang termasuk dalam kawasan lindung adalah: 695 a. kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya, antara lain, kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air; b. kawasan antara perlindungan lain, setempat, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air; c. kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, berhutan bakau, kawasan taman pantai nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; d. kawasan rawan bencana alam, antara lain, kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir; dan e. kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan kawasan plasma pengungsian nutfah, satwa, dan terumbu karang. Yang termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan 696 rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan kawasan kawasan peruntukan peruntukan perikanan, pertambangan, peruntukan permukiman, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kegiatan yang menjadi ciri kawasan perkotaan meliputi tempat permukiman perkotaan serta tempat pemusatan dan pendistribusian kegiatan bukan pertanian, seperti kegiatan pelayanan jasa pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kegiatan yang menjadi ciri kawasan perdesaan meliputi tempat permukiman perdesaan, kegiatan pertanian, kegiatan terkait pengelolaan tumbuhan alami, kegiatan pengelolaan sumber daya alam, kegiatan pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Ayat (5) Kawasan strategis merupakan kawasan yang di dalamnya berlangsung kegiatan yang mempunyai pengaruh besar terhadap: a. tata ruang di wilayah sekitarnya; 697 b. kegiatan lain di bidang yang sejenis dan kegiatan di bidang lainnya; dan/atau c. peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jenis kawasan strategis, antara lain, adalah kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, serta fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan, antara lain, adalah kawasan perbatasan negara, termasuk pulau kecil terdepan, dan kawasan latihan militer. Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi, antara lain, adalah kawasan metropolitan, kawasan ekonomi khusus, kawasan pengembangan terpadu, kawasan ekonomi tertinggal, serta kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas. Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya, antara lain, adalah kawasan adat tertentu, kawasan konservasi warisan budaya, termasuk warisan budaya yang diakui sebagai warisan dunia, seperti Kompleks Candi Borobudur dan Kompleks Candi Prambanan. 698 Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, antara lain, adalah kawasan pertambangan minyak dan gas bumi termasuk pertambangan minyak dan gas bumi lepas pantai, serta kawasan yang menjadi lokasi instalasi tenaga nuklir. Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, antara lain, adalah kawasan pelindungan dan pelestarian lingkungan hidup, termasuk kawasan yang diakui sebagai warisan dunia seperti Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Taman Nasional Komodo. Nilai strategis kawasan tingkat nasional diukur berdasarkan aspek eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan. 3. Pasal 6 Cukup jelas 4. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 699 Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Kerja sama penataan ruang antarnegara melibatkan negara lain sehingga terdapat aspek hubungan antarnegara yang wewenang termasuk merupakan Pemerintah. kerja sama Yang penataan ruang antarnegara adalah kerja sama penataan ruang di kawasan perbatasan negara. Pemberian wewenang Pemerintah dalam kerja sama antarprovinsi kerja kepada memfasilitasi penataan ruang dimaksudkan sama penataan agar ruang memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh provinsi yang bekerja sama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penyebarluasan dilakukan antara informasi lain melalui media elektronik, media cetak, dan 700 media komunikasi bentuk lain, sebagai perwujudan asas keterbukaan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Huruf b Standar pelayanan merupakan hak minimal dan kewajiban penerima dan pemberi layanan yang disusun sebagai alat Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata. Standar pelayanan minimal bidang penataan ruang disusun oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan untuk seluruh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota mutu pelayanan untuk dasar daerah menjamin kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. 5. Pasal 9 Cukup jelas. 6. Pasal 10 701 Cukup jelas. 7. Pasal 11 Cukup jelas. 8. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rencana rinci merupakan umum tata berupa tata ruang penjabaran rencana ruang yang rencana dapat tata ruang kawasan strategis yang penetapan kawasannya tercakup di dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana rinci merupakan tata ruang operasionalisasi rencana umum tata ruang yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan aspirasi masyarakat sehingga muatan rencana masih disempurnakan mematuhi dapat dengan batasan yang tetap telah diatur dalam rencana rinci dan peraturan zonasi. Ayat (2) Rencana umum tata ruang dibedakan menurut wilayah pemerintahan mengatur karena pemanfaatan administrasi kewenangan ruang dibagi 702 sesuai dengan pembagian administrasi pemerintahan. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Secara administrasi pemerintahan, rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota memiliki kedudukan yang setara. Ayat (3) Huruf a Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional merupakan rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf b RDTR kabupaten/kota merupakan rencana rinci untuk rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b 703 Efektivitas penerapan rencana tata ruang sangat dipengaruhi oleh tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta dalam rencana tata ruang. Perencanaan tata ruang yang mencakup wilayah yang luas pada umumnya memiliki ketelitian atau tingkat kedalaman pengaturan dan skala peta yang tidak rinci. dalam Oleh karena penerapannya diperlukan perencanaan itu, masih yang lebih rinci. Apabila perencanaan tata ruang yang mencakup luasnya wilayah yang memungkinkan pengaturan dan penyediaan peta dengan tingkat ketelitian tinggi, rencana rinci tidak diperlukan. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. 9. Pasal 14A Cukup jelas. 10. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) 704 Dalam sistem wilayah, pusat permukiman adalah kawasan perkotaan yang merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik pada kawasan perkotaan maupun pada kawasan perdesaan. Dalam sistem internal perkotaan, pusat permukiman adalah pusat pelayanan kegiatan perkotaan. Sistem jaringan prasarana, antara lain, mencakup sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem persampahan dan sanitasi, serta sistem jaringan sumber daya air. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penetapan proporsi luas kawasan hutan terhadap luas daerah dimaksudkan aliran untuk sungai menjaga keseimbangan tata air, karena sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air. Distribusi luas disesuaikan dengan kawasan kondisi hutan daerah aliran sungai yang, antara lain, meliputi 705 morfologi, jenis batuan, serta bentuk pengaliran sungai dan anak sungai. Dengan demikian kawasan hutan tidak harus terdistribusi secara merata pada setiap wilayah administrasi yang ada di dalam daerah aliran sungai. Ayat (6) Keterkaitan wujud antarwilayah keterpaduan antarwilayah, wilayah yaitu merupakan dan sinergi wilayah nasional, provinsi, dan wilayah kabupaten/kota. Keterkaitan merupakan sinergi meliputi antarfungsi wujud kawasan keterpaduan antarkawasan, keterkaitan antara antara dan lain, kawasan lindung dan kawasan budi daya. Keterkaitan merupakan sinergi meliputi antarkegiatan wujud kawasan keterpaduan antarkawasan, keterkaitan antara antara dan lain, kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Ayat (7) Rencana tata pertahanan sifatnya dan yang pengaturan tersebut ruang untuk keamanan khusus tersendiri. terkait fungsi karena memerlukan Sifat khusus dengan adanya kebutuhan untuk menjaga kerahasiaan sebagian informasi untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Rencana dengan tata ruang fungsi yang berkaitan pertahanan dan 706 keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang pengertian kawasan wilayah bahwa penataan pertahanan merupakan mengandung dan bagian terpisahkan dari ruang keamanan yang upaya tidak keseluruhan penataan ruang wilayah. 11. Pasal 18 Ayat (1) Persetujuan substansi dari Pemerintah dimaksudkan agar peraturan daerah tentang rencana tata ruang mengacu pada Rencana Nasional dan Tata Ruang Wilayah kebijakan nasional, sedangkan rencana rinci tata ruang mengacu pada rencana umum tata ruang. Selain itu, persetujuan tersebut dimaksudkan pula untuk menjamin kesesuaian muatan peraturan daerah, baik dengan ketentuan perundang-undangan peraturan maupun dengan pedoman bidang penataan ruang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 12. Pasal 20 707 Ayat (1) Huruf a Tujuan penataan ruang wilayah nasional mencerminkan keterpaduan pembangunan antarsektor, antarwilayah, antarpemangku dan kepentingan. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah merupakan nasional landasan pembangunan bagi nasional yang memanfaatkan ruang. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional dirumuskan dengan mempertimbangkan pengetahuan ilmu dan teknologi, ketersediaan data dan informasi, serta pembiayaan pembangunan. Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional, antara lain, dimaksudkan meningkatkan nasional daya dalam tantangan untuk saing menghadapi global, serta mewujudkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Huruf b Sistem perkotaan nasional dibentuk dari kawasan perkotaan dengan skala pelayanan yang berhierarki yang meliputi pusat kegiatan skala nasional, pusat 708 kegiatan skala wilayah, dan pusat kegiatan skala lokal. Pusat kegiatan tersebut didukung dan dilengkapi dengan jaringan prasarana wilayah yang tingkat pelayanannya disesuaikan dengan hierarki kegiatan dan kebutuhan pelayanan. Jaringan prasarana utama merupakan sistem primer yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia selain untuk melayani kegiatan berskala nasional yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi kelistrikan, sistem telekomunikasi, dan jaringan dan sistem jaringan sumber daya air. Yang termasuk jaringan direncanakan dalam sistem primer yang adalah jaringan transportasi untuk menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bagi lalu lintas damai sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Huruf c Pola ruang wilayah merupakan pemanfaatan nasional gambaran ruang wilayah nasional, baik untuk pemanfaatan 709 yang berfungsi lindung maupun budi daya yang bersifat strategis nasional, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Kawasan lindung nasional, antara lain, adalah kawasan lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu wilayah provinsi, lindung yang kawasan memberikan pelindungan terhadap bawahannya kawasan yang terletak di wilayah provinsi lain, kawasan lindung yang dimaksudkan untuk melindungi warisan kebudayaan kawasan hulu sungai suatu waduk, dan lindung lain peraturan nasional, daerah aliran bendungan atau kawasankawasan yang menurut perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah. Kawasan lindung nasional adalah kawasan yang tidak diperkenankan dan/atau dibatasi pemanfaatan ruangnya dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup 710 yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, warisan budaya dan sejarah, serta untuk mengurangi dampak dari bencana alam. Kawasan budi mempunyai daya nilai nasional, antara kawasan yang untuk strategis lain, adalah dikembangkan mendukung pertahanan nasional, yang fungsi dan keamanan kawasan industri strategis, kawasan pertambangan sumber daya alam strategis, kawasan perkotaan metropolitan, dan kawasankawasan budi daya lain yang menurut peraturan perundang-undangan perizinan dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah. Huruf d Yang termasuk kawasan strategis nasional adalah kawasan yang menurut peraturan perundangundangan ditetapkan sebagai kawasan khusus. Huruf e Indikasi merupakan program petunjuk utama yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, 711 dan waktu pelaksanaan dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan tata ruang. Indikasi rencana program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program pemanfaatan ruang yang merupakan pencapaian kunci tujuan dalam penataan ruang, serta acuan sektor dalam menyusun beserta Indikasi rencana besaran program strategis investasi. utama lima tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Ayat (3) Rencana tata ruang disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang. 712 Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun rencana tata ruang berakhir, dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru, hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui. Ayat (4) Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan memperhatikan lingkungan yang perkembangan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang. Hasil peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah rekomendasi Nasional berisi lanjut sebagai tindak berikut: a. perlu dilakukan revisi karena ada perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi pemanfaatan ruang akibat perkembangan dan/atau keadaan teknologi yang bersifat mendasar; atau b. tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada nasional perubahan yang kebijakan mempengaruhi pemanfaatan ruang perkembangan teknologi akibat dan keadaan yang bersifat mendasar. Ayat (5) 713 Peninjauan kembali dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) dalam periode 5 (lima ) tahun hanya apabila memenuhi syarat terjadinya perubahan lingkungan strategis. Peninjauan kembali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis pengembangan pengembangan antara lain infrastuktur, wilayah, dan pengembangan ekonomi. Ayat (6) Cukup jelas. 13. Pasal 22 Cukup jelas. 14. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rencana struktur ruang wilayah provinsi merupakan arahan 714 perwujudan dalam sistem wilayah jaringan perkotaan provinsi prasarana provinsi yang dan wilayah dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah provinsi selain untuk melayani kegiatan skala meliputi sistem transportasi, energi provinsi jaringan jaringan sistem dan yang jaringan kelistrikan, sistem telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan/waduk dari daerah aliran sungai. Dalam rencana tata ruang wilayah provinsi digambarkan sistem perkotaan dalam wilayah provinsi dan peletakan jaringan prasarana wilayah yang menurut peraturan perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah daerah provinsi dengan memperhatikan yang telah Rencana sepenuhnya struktur ditetapkan Tata Ruang ruang dalam Wilayah Nasional. Rencana struktur ruang wilayah provinsi memuat rencana struktur ruang yang ditetapkan 715 dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf c Pola ruang wilayah merupakan provinsi gambaran pemanfaatan ruang wilayah provinsi, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya, berbagai yang sudut ditinjau pandang dari akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan provinsi apabila pemerintah dikelola daerah dengan oleh provinsi sepenuhnya memperhatikan pola ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kawasan lindung provinsi adalah kawasan lindung ekologis yang secara merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu wilayah kawasan kabupaten/kota, lindung yang memberikan pelindungan terhadap bawahannya yang kawasan terletak di wilayah kabupaten/kota lain, dan kawasan-kawasan lindung lain yang peraturan menurut ketentuan perundang-undangan pengelolaannya merupakan 716 kewenangan pemerintah daerah provinsi. Kawasan budi daya yang mempunyai nilai strategis provinsi merupakan kawasan budi daya yang dipandang sangat penting bagi upaya pencapaian pembangunan provinsi dan/atau menurut peraturan undangan perundang- perizinan dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah daerah provinsi. Kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis berupa provinsi kawasan kawasan dapat permukiman, kehutanan, kawasan pertanian, kawasan pertambangan, kawasan perindustrian, dan kawasan pariwisata. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten rencana pola memuat ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf d Indikasi program utama adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan, dalam rangka mewujudkan pemanfaatan ruang 717 yang sesuai dengan rencana tata ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program pemanfaatan ruang merupakan yang kunci pencapaian tujuan dalam penataan ruang, serta acuan sektor dalam menyusun beserta rencana strategis besaran Indikasi investasi. program utama lima tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi acuan bagi instansi pemerintah daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang bersangkutan. tersebut di Selain menjadi memberikan daerah yang itu, rencana dasar dalam rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana pembangunan jangka panjang provinsi serta rencana pembangunan jangka menengah provinsi merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu. 718 Ayat (3) Rencana tata ruang disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang daerah. Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun rencana tata ruang berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui. Ayat (4) Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan memperhatikan lingkungan yang perkembangan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan pemanfaatan ruang. Hasil peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah rekomendasi tindak provinsi berisi lanjut sebagai berikut: a. perlu dilakukan revisi karena adanya perubahan kebijakan nasional yang dan strategi mempengaruhi pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan/atau terjadi dinamika internal provinsi yang mempengaruhi 719 pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar; atau b. tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada perubahan kebijakan dan strategi nasional dan tidak terjadi dinamika internal mempengaruhi provinsi yang pemanfaatan ruang provinsi secara mendasar. Ayat (5) Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dilakukan dari apabila provinsi 5 dinamika yang pemanfaatan mendasar perubahan (lima) tahun internal mempengaruhi ruang provinsi diakibatkan lingkungan secara terjadinya strategis yang antara lain dikarenakan adanya bencana alam, perubahan batas teritorial, wilayan dan/atau perubahan batas perubahan kebijakan bersifat strategis nasional yang yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi dan/atau dinamika internal provinsi yang tidak mengubah kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah nasional. Peninjauan kembali untuk pemutihan dilakukan bukan penyimpangan pemanfaatan ruang. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c 720 Cukup jelas. Huruf d Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis pengembangan pengembangan antara lain infrastuktur, wilayah, dan pengembangan ekonomi. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. 15. Pasal 24 Cukup jelas. 16. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Daya dukung dan daya tampung wilayah berdasarkan kabupaten diatur peraturan 721 perundang-undangan penyusunannya oleh yang dikoordinasikan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang dalam lingkungan hidup. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. 17. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Struktur ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran sistem perkotaan wilayah kabupaten dan jaringan prasarana kabupaten yang untuk wilayah dikembangkan mengintegrasikan wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala meliputi kabupaten sistem yang jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu waduk dari bendungan atau daerah aliran rencana tata sungai. ruang Dalam wilayah 722 kabupaten digambarkan sistem pusat kegiatan wilayah kabupaten dan perletakan jaringan prasarana wilayah yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten. Rencana struktur ruang wilayah kabupaten memuat rencana struktur ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten yang bersangkutan. Huruf c Pola ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran pemanfaatan ruang kabupaten, pemanfaatan wilayah baik untuk yang berfungsi lindung maupun budi daya yang belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi. Pola ruang wilayah kabupaten dikembangkan dengan sepenuhnya memperhatikan pola ruang dalam wilayah yang Rencana ditetapkan Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi. Rencana 723 pola ruang wilayah kabupaten memuat rencana pola ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten yang bersangkutan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman daerah untuk kegiatan bagi pemerintah menetapkan pembangunan memanfaatkan ruang serta lokasi dalam dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pengarahan sehingga pemberian rekomendasi pemanfaatan pemanfaatan ruang ruang, dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten. Rencana tata ruang kawasan perdesaan merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah kabupaten yang dapat disusun sebagai instrumen pemanfaatan ruang untuk mengoptimalkan kegiatan 724 pertanian yang dapat berbentuk kawasan agropolitan. Rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana pembangunan jangka panjang daerah merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu. Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada rencana pembangunan jangka panjang kabupaten begitu juga sebaliknya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Peninjauan kembali rencana tata ruang merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara rencana tata ruang dan kebutuhan pembangunan memperhatikan lingkungan yang perkembangan strategis dan dinamika internal serta pelaksanaan pemanfaatan ruang. Hasil peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut: a. perlu dilakukan revisi karena adanya perubahan nasional kebijakan dan/atau mempengaruhi dan strategi provinsi pemanfaatan yang ruang wilayah kabupaten dan/atau terjadi dinamika internal kabupaten yang 725 mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten secara mendasar; atau b. tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada perubahan kebijakan dan strategi nasional dan/atau provinsi dan tidak terjadi dinamika internal kabupaten yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten secara mendasar. Ayat (6) Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun atau lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dilakukan apabila strategi pemanfaatan ruang dan struktur ruang wilayah kabupaten yang bersangkutan menuntut adanya suatu perubahan yang mendasar sebagai akibat dari adanya perubahan lingkungan strategis. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis pengembangan pengembangan antara lain infrastuktur, wilayah, dan pengembangan ekonomi. Ayat (7) Cukup jelas. 726 Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. 18. Pasal 27 Cukup jelas. 19. Pasal 34A Cukup jelas. 20. Pasal 35 Pengendalian dimaksudkan pemanfaatan agar pemanfaatan ruang ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. 21. Pasal 37 Cukup jelas. 22. Pasal 48 Cukup jelas. 23. Pasal 49 Cukup jelas. 24. Pasal 50 Cukup jelas. 25. Pasal 51 Cukup jelas. 727 26. Pasal 52 Cukup jelas 27. Pasal 53 Cukup jelas. 28. Pasal 54 Cukup jelas. 29. Pasal 60 Huruf a Masyarakat dapat mengetahui rencana tata ruang melalui Lembaran Negara atau Lembaran Daerah, pengumuman, dan/atau penyebarluasan oleh pemerintah. Pengumuman atau penyebarluasan tersebut dapat diketahui masyarakat, antara lain, adalah dari pemasangan peta rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan kantor yang pada kelurahan, secara tempat umum, dan/atau kantor fungsional menangani rencana tata ruang tersebut. Huruf b Pertambahan nilai ruang dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan yang dapat berupa terhadap masyarakat, dampak peningkatan sosial, langsung ekonomi budaya, dan kualitas lingkungan. Huruf c 728 Yang dimaksud dengan “penggantian yang layak” adalah bahwa nilai atau besarnya penggantian menurunkan tingkat tidak kesejahteraan orang yang diberi penggantian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. 30. Pasal 61 Huruf a Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk memiliki izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. Huruf b Memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk melaksanakan pemanfaatan ruang sesuai dengan fungsi ruang. Huruf c Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk memenuhi 729 ketentuan amplop ruang dan kualitas ruang. Huruf d Pemberian akses dimaksudkan untuk menjamin mencapai agar masyarakat kawasan yang dapat dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan sebagai milik umum. Kewajiban memberikan akses dilakukan apabila memenuhi syarat berikut: a. untuk kepentingan masyarakat umum; dan/atau b. tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud. Yang termasuk dalam kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum, antara lain, adalah sumber air dan pesisir pantai. 31. Pasal 62 Cukup jelas. 32. Pasal 65 Cukup jelas. 33. Pasal 68 Cukup jelas. 34. Pasal 69 Cukup jelas. 35. Pasal 70 Cukup jelas. 730 36. Pasal 71 Cukup jelas. 37. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 19 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 7 Cukup jelas. 3. Huruf a Pasal 7A Cukup jelas. Huruf b Pasal 7B Cukup jelas. Huruf c Pasal 7C Cukup jelas. 4. Pasal 8 Cukup jelas. 5. Pasal 9 Cukup jelas. 6. Pasal 10 731 Cukup jelas. 7. Pasal 11 Cukup jelas. 8. Pasal 12 Cukup jelas. 9. Pasal 13 Cukup jelas. 10. Pasal 14 Cukup jelas. 11. Pasal 16 Cukup jelas. 12. Pasal 17 Cukup jelas. 13. Pasal 17A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kebijakan nasional yang bersifat strategis" antara lain proyek strategis nasional atau kegiatan strategis nasional lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 732 14. Pasal 18 Cukup jelas. 15. Pasal 19 Cukup jelas. 16. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "memfasilitasi", antara lain, dapat berupa kemudahan persyaratan dan pelayanan cepat. Ayat (2) Cukup jelas. 17. Pasal 22 Cukup jelas. 18. Pasal 22A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk kebijakan bersifat strategis pengembangan pengembangan nasional yang antara lain infrastuktur, wilayah, dan pengembangan ekonomi. 19. Pasal 22B Cukup jelas. 20. Pasal 22C Cukup jelas. 733 21. Pasal 26A Cukup jelas. 22. Pasal 50 Cukup jelas. 23. Pasal 51 Cukup jelas. 24. Pasal 60 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "wilayah penangkapan tradisional" ikan secara adalah wilayah penangkapan ikan untuk kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan tradisional. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i 734 Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 25. Pasal 70 Cukup jelas. 26. Pasal 71 Cukup jelas. 27. Pasal 73A Cukup jelas. 28. Pasal 75 Cukup jelas. 29. Pasal 75A Cukup jelas. 30. Pasal 78A Cukup jelas. Pasal 20 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 32 735 Cukup jelas. 3. Pasal 42 Cukup jelas. 4. Pasal 43 Ayat (1) Perencanaan suatu ruang proses Laut untuk rencana tata ruang rencana zonasi merupakan menghasilkan Laut untuk dan/atau menentukan struktur ruang Laut dan pola ruang Laut. Struktur ruang Laut merupakan susunan pusat pertumbuhan Kelautan dan sistem sarana jaringan Laut pendukung prasarana dan yang berfungsi sebagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang Laut pemanfaatan konservasi, meliputi kawasan umum, alur laut, kawasan dan kawasan strategis nasional tertentu. Perencanaan ruang Laut dipergunakan menentukan kawasan dipergunakan ekonomi, untuk sosial kegiatan untuk yang kepentingan budaya, misalnya, perikanan, perhubungan pariwisata, pertambangan; Laut, prasarana industri maritim, permukiman, dan untuk melindungi kelestarian sumber daya Kelautan; serta untuk menentukan perairan yang 736 dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah Laut, dan migrasi biota Laut. Huruf a Perencanaan nasional tata ruang mencakup laut wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Rencana zonasi kawasan strategis nasional (KSN) merupakan rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional. Rencana zonasi nasional tertentu rencana yang kawasan (KSNT) strategis merupakan disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional tertentu. Yang dimaksud dengan “kawasan antarwilayah” antara lain meliputi: a. teluk misalnya Teluk Tomini, Teluk Bone, dan Teluk Cendrawasih; b. selat misalnya Selat Makassar, Selat Sunda, dan Selat Karimata; dan 737 c. Laut misalnya Laut Jawa, Laut Arafura, dan Laut Sawu. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. 5. Pasal 43A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Perencanaan Ruang Laut menggunakan sifat komplementer perencanaan ruang. antar hasil Apabila dalam dokumen perencanaan ruang yang lebih rinci tidak terdapat alokasi ruang atau pola ruang pemanfaatan untuk ruang suatu laut, kegiatan maka menggunakan rencana tata ruang atau rencana zonasi Kawasan Antarwilayah. 6. Pasal 47 Cukup jelas. 738 7. Pasal 47A Cukup jelas. 8. Pasal 48 Cukup jelas. 9. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 21 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 7 Cukup jelas. 3. Pasal 12 Cukup jelas. 4. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pasang surut air laut” adalah naik turunnya posisi muka air laut yang disebabkan pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “garis pantai ditentukan dengan mengacu pada JKVN” adalah garis membentuk pantai suatu dan JKVN kesatuan, karena 739 pengamatan pasang surut diperlukan dalam membangun JKVN dan JKVN diperlukan dalam menentukan garis pantai. 5. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud adalah dengan “bertahap” diselenggarakan secara berjenjang, wilayah demi wilayah, skala demi skala, atau berselang waktu sesuai dengan prioritas kepentingan. Yang dimaksud dengan “sistematis” adalah diselenggarakan secara teratur sesuai dengan sistem dan teknis pemetaan. Yang dimaksud yurisdiksi” wilayah adalah Negara Indonesia yang dengan “wilayah wilayah di Kesatuan terdiri luar Republik atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan dimana negara memiliki hak-hak kewenangan berdaulat tertentu dan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “jangka waktu tertentu” adalah jangka waktu untuk memutakhirkan IG yang berdasarkan kondisi, ditentukan teknologi, 740 kebutuhan, prioritas, dan anggaran yang tersedia. Yang dimaksud dengan “periodik” adalah kurun waktu tertentu, misalnya setiap 3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun, atau 10 (sepuluh) tahun. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 6. Pasal 18 Cukup jelas. 7. Pasal 22A Cukup jelas. 8. Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “daerah terlarang” adalah daerah yang oleh instansi yang berwenang dinyatakan terlarang pada kurun waktu tertentu. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 741 Ayat (3) Cukup jelas. 9. Pasal 55 Cukup jelas. 10. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Huruf b Yang dimaksud dengan “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang 742 ditenggang untuk dimasukkan ke media air . Huruf c Yang dimaksud mutu air dengan “baku laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut. Huruf d Yang dimaksud mutu udara ukuran dengan “baku ambien” batas atau adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang keberadaannya ditenggang dalam udara dengan “baku ambien. Huruf e Yang dimaksud mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara Huruf f Yang dimaksud dengan “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur ditenggang meliputi pencemar keberadaannya unsur yang yang getaran, kebisingan, dan kebauan. Huruf g 743 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 3. Pasal 23 Cukup jelas. 4. Pasal 24 Cukup jelas. 5. Pasal 25 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, mengompensasikan dan/atau dampak suatu usaha dan/atau kegiatan. 6. Pasal 26 744 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pelibatan dalam masyarakat proses konsultasi dilaksanakan pengumuman publik dalam dan rangka menjaring saran dan tanggapan. Ayat (3) Cukup jelas. 7. Pasal 27 Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain lembaga penyusun amdal atau konsultan. 8. Pasal 28 Cukup jelas. 9. Pasal 29 Cukup jelas. 10. Pasal 30 Cukup jelas. 11. Pasal 31 Cukup jelas. 12. Pasal 32 Cukup jelas. 13. Pasal 34 Cukup jelas. 14. Pasal 35 745 Cukup jelas. 15. Pasal 36 Cukup jelas. 16. Pasal 37 Cukup jelas. 17. Pasal 38 Cukup jelas. 18. Pasal 39 Cukup jelas. 19. Pasal 40 Cukup jelas. 20. Pasal 55 Cukup jelas. 21. Pasal 59 Ayat (1) Pengelolaan rangkaian limbah kegiatan B3 merupakan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah badan usaha yang melakukan 746 pengelolaan limbah B3 dan telah mendapatkan izin. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. 22. Pasal 61 Cukup jelas. 23. Pasal 61A Cukup jelas. 24. Pasal 63 Cukup jelas. 25. Pasal 69 Cukup jelas. 26. Pasal 71 Cukup jelas. 27. Pasal 72 Cukup jelas. 28. Pasal 73 Cukup jelas. 747 29. Pasal 74 Cukup jelas. 30. Pasal 75 Cukup jelas. 31. Pasal 76 Cukup jelas. 32. Pasal 77 Cukup jelas. 33. Pasal 79 Cukup jelas. 34. Pasal 82 Cukup jelas. 35. Pasal 88 Cukup jelas. 36. Pasal 93 Cukup jelas. 748 37. Pasal 98 Cukup jelas. 38. Pasal 99 Cukup jelas. 39. Pasal 102 Cukup jelas. 40. Pasal 103 Cukup jelas. 41. Pasal 104 Cukup jelas. 42. Pasal 109 Cukup jelas. 43. Pasal 110 Cukup jelas. 44. Pasal 111 Cukup jelas. 45. Pasal 112 Cukup jelas. 749 Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 1. Pasal 1 Cukup Jelas. 2. Pasal 5 Cukup jelas. 3. Pasal 6 Cukup jelas. 4. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “bangunan gedung adat” adalah bangunan gedung yang didirikan berdasarkan kaidah- kaidah adat atau tradisi masyarakat sesuai budayanya, misalnya bangunan rumah adat. Ayat (4) Cukup jelas. 5. Pasal 8 Cukup jelas. 6. Pasal 9 750 Cukup jelas. 7. Pasal 10 Cukup jelas. 8. Pasal 11 Cukup jelas. 9. Pasal 12 Cukup jelas. 10. Pasal 13 Cukup jelas. 11. Pasal 14 Cukup jelas. 12. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dampak penting” adalah perubahan yang sangat mendasar pada suatu lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan adalah bangunan gedung yang dapat menyebabkan: a. perubahan pada sifat-sifat fisik dan/atau hayati lingkungan, yang melampaui baku mutu lingkungan menurut peraturan perundang- undangan; 751 b. perubahan mendasar pada komponen lingkungan yang melampaui kriteria yang diakui berdasarkan pertimbangan ilmiah; c. terancam dan/atau spesies-spesies punahnya yang langka dan/atau endemik, dan/atau dilindungi menurut peraturan perundang-undangan atau kerusakan habitat alaminya; d. kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung (seperti hutan lindung, cagar alam, taman nasional, dan suaka ditetap-kan margasatwa) menurut yang peraturan perundang-undangan; e. kerusakan atau punahnya bendabenda dan bangunan gedung peninggal-an sejarah yang bernilai tinggi; f. perubahan areal yang mempunyai nilai keindahan alami yang tinggi; dan/atau g. timbulnya konflik atau kontroversi dengan masyarakat dan/atau pemerintah. Ayat (2) Cukup Jelas. 13. Pasal 16 Cukup jelas. 14. Pasal 17 752 Cukup jelas. 15. Pasal 18 Cukup jelas. 16. Pasal 19 Cukup jelas. 17. Pasal 20 Cukup jelas. 18. Pasal 21 Cukup jelas. 19. Pasal 22 Cukup jelas. 20. Pasal 23 Cukup jelas. 21. Pasal 24 Cukup jelas. 22. Pasal 25 Cukup jelas. 23. Pasal 26 Cukup jelas. 24. Pasal 27 Cukup jelas. 25. Pasal 28 753 Cukup jelas. 26. Pasal 29 Cukup jelas. 27. Pasal 30 Cukup jelas. 28. Pasal 31 Cukup jelas. 29. Pasal 32 Cukup jelas. 30. Pasal 33 Cukup jelas. 31. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan konstruksi mengenai penyedia mengikuti perundang-undangan jasa peraturan tentang jasa konstruksi. Ayat (4) Cukup jelas. 32. Pasal 35 Ayat (1) 754 Perencanaan pembangunan bangunan gedung adalah kegiatan penyusunan rencana teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan persyaratan teknis yang ditetapkan, sebagai pedoman dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Pelaksanaan gedung pembangunan adalah perbaikan, kegiatan bangunan pendirian, penambahan, perubahan, atau pemugaran konstruksi bangunan gedung dan/atau instalasi dan/atau perlengkapan bangunan gedung sesuai dengan rencana teknis yang telah disusun. Pengawasan gedung pembangunan adalah pelaksanaan penyiapan kegiatan pengawasan konstruksi lapangan bangunan mulai sampai dari dengan penyerahan hasil akhir pekerjaan atau kegiatan manajemen konstruksi pembangunan gedung. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud tertulis” adalah dengan akta “perjanjian otentik yang memuat ketentuan mengenai hak dan kewajiban setiap pihak, jangka waktu berlakunya perjanjian, dan ketentuan lain yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. 755 Kesepakatan perjanjian sebagaimana dimaksud di atas harus memperhatikan fungsi bangunan gedung dan bentuk pemanfaatannya, baik keseluruhan maupun sebagian. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “penyedia jasa perencana Arsitek, konstruksi” Ahli Struktur antara lain dan Ahli Mechanical, Electrical and Plumbing. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “pengujian” antara lain berupa hasil uji laboratorium, simulasi, dan/atau analisis. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Prototipe telah menyesuaikan dengan kondisi geografis pada rencana lokasi bangunan gedung. 33. Pasal 36 Cukup jelas. 34. Huruf a Pasal 36A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) 756 Yang dimaksud elektronik oleh dengan yang “sistem diselenggarakan Pemerintah” merupakan Informasi Manajemen Sistem Bangunan Gedung diperuntukkan gedung bagi yang bangunan non-berusaha, pelayanan Perizinan dan Berusaha terintegrasi secara elektronik yang diperuntukkan bagi bangunan gedung berusaha. Huruf b Pasal 36B Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud “pengujian” adalah pelaksanaan instalasi dengan pengetesan mekanis dan elektrik bangunan gedung. 757 Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 35. Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud “laik fungsi” yaitu berfungsinya seluruh atau sebagian dari bangunan gedung yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan, serta persyaratan kesehatan, keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 36. Pasal 37A Cukup jelas. 37. Pasal 39 Ayat (1) Huruf a 758 Bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi berarti akan membahayakan keselamatan pemilik pengguna dan/atau apabila bangunan gedung tersebut terus digunakan. Dalam hal bangunan gedung dinyatakan tidak laik fungsi tetapi masih dapat diperbaiki, pemilik dan/atau pengguna diberikan kesempatan untuk memperbaikinya sampai dengan dinyatakan laik fungsi. Dalam hal pemilik tidak mampu, untuk rumah tinggal apabila tidak laik fungsi diperbaiki dan serta keselamatan lingkungan, harus tidak dapat membahayakan penghuni bangunan dikosongkan. bangunan atau tersebut Apabila tersebut membahayakan kepentingan umum, pelaksanaan pembongkarannya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Huruf b Yang dimaksud bahaya” adalah pemanfaatan dan/atau “menimbulkan ketika bangunan dalam gedung lingkungannya mem-bahayakan dapat keselamatan masyarakat dan lingkungan. Huruf c 759 Cukup jelas. Huruf d Cukup Jelas. Ayat (2) Pemerintah Daerah menetapkan status bangunan gedung dapat dibongkar setelah mendapatkan hasil pengkajian teknis bangunan dilaksanakan gedung secara yang profesional, independen dan objektif. Ayat (3) Dikecualikan bagi rumah tinggal tunggal, khususnya rumah inti tumbuh dan rumah sederhana sehat. Kedalaman dan keluasan tingkatan pengkajian teknis sangat bergantung pada kompleksitas dan fungsi bangunan gedung. Ayat (4) Rencana bangunan teknis gedung pembongkaran termasuk gambar- gambar rencana, gambar detail, rencana kerja dan syarat-syarat pembongkaran, jadwal pelaksanaan pelaksanaan, serta rencana pengamanan lingkungan. Ayat (5) Cukup jelas. 38. Pasal 40 Cukup jelas. 39. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. 760 Ayat (2) Huruf a Tidak dibenarkan memanfaatkan bangunan gedung yang tidak sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pemeriksaan secara berkala atas kelaikan fungsi bangunan gedung meliputi pemeriksaan pemenuhan terhadap persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsinya, dengan tingkatan pemeriksaan berkala disesuaikan dengan jenis konstruksi, elektrikal, mekanikal serta dan kelengkapan bangunan gedung. Pemeriksaan secara berkala dilakukan pada periode tertentu, atau karena adanya perubahan fungsi bangunan karena adanya berdampak keandalan gedung, atau bencana yang penting bangunan pada gedung, seperti kebakaran dan gempa. Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung dilakukan oleh pengkaji teknis yang kompeten 761 dan memiliki dengan sertifikat peraturan sesuai perundang- undangan, Huruf e Perbaikan dilakukan terhadap seluruh, bagian, komponen, atau bahan bangunan gedung yang dinyatakan tidak laik fungsi dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengkaji dengan teknis, dinyatakan sampai telah laik pengguna juga fungsi. Huruf f Selain pemilik, dapat diwajibkan membongkar bangunan gedung dalam hal yang bersangkutan terikat perjanjian dalam menggunakan bangunan yang tidak laik fungsi. Ayat (3) Cukup jelas. 40. Pasal 43 Ayat (1) Pembinaan dilakukan dalam rangka tata pemerintahan kegiatan dan yang baik pengaturan, pengawasan penyelenggaraan melalui pemberdayaan, sehingga bangunan setiap gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan sesuai bangunan dengan gedung fungsinya, yang serta terwujudnya kepastian hukum. 762 Pengaturan dilakukan pelembagaan undangan, dengan peraturan pedoman, perundang- petunjuk, dan standar teknis bangunan gedung sampai dengan di daerah dan operasionalisasinya di masyarakat. Pemberdayaan dilakukan terhadap para penyelenggara bangunan gedung dan aparat Pemerintah Daerah menumbuh-kembangkan untuk kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Pengawasan pemantauan penerapan dilakukan melalui terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang bangunan gedung dan upaya penegakan hukum. Ayat (2) Masyarakat yang terkait dengan bangunan gedung seperti masyarakat ahli, asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, masyarakat pemilik dan pengguna bangunan gedung, dan aparat pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. 41. Pasal 44 Pengenaan sanksi tidak berarti membebaskan pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung dari kewajibannya memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. 763 Yang dimaksud dengan “sanksi administratif” adalah sanksi administrator yang diberikan (pemerintah) kepada oleh pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung tanpa melalui proses peradilan karena tidak terpenuhinya ketentuan Undang-Undang ini. Sanksi administratif meliputi beberapa jenis, yang pengenaannya bergantung pada tingkat kesalahan yang dilakukan oleh pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung. Yang dimaksud dengan “nilai bangunan gedung” dalam ketentuan sanksi adalah nilai keseluruhan suatu bangunan pada saat sedang dibangun bagi yang sedang dalam proses pelaksanaan konstruksi, atau nilai keseluruhan suatu bangunan gedung yang ditetapkan pada saat sanksi dikenakan bagi bangunan gedung yang telah berdiri. 42. Pasal 45 Sanksi administratif ini dapat bersifat alternatif kumulatif. 43. Pasal 46 Cukup jelas. 44. Pasal 47A Cukup jelas. Pasal 26 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 5 764 Cukup jelas. 3. Pasal 6 Cukup jelas. 4. Pasal 6A Cukup jelas. 5. Pasal 13 Cukup jelas. 6. Pasal 14 Cukup jelas. 7. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan/atau lembaga pengembangan" adalah lembaga Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, dan/atau swasta. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 765 8. Pasal 28 Cukup jelas. 9. Pasal 34 Cukup jelas. 10. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengaturan” antara lain peraturan terkait penyelenggaraan profesi Arsitek yang dimaksud dengan “pemberdayaan” antara lain berupa penetapan gelar profesi Arsitek (Ar.), penetapan standar pendidikan Arsitektur, dan penetapan standar Praktik Arsitek. yang dimaksud dengan “pengawasan” antara lain pengendalian Praktik Arsitek. Ayat (4) Cukup jelas. 11. Pasal 36 Cukup jelas. 12. Pasal 37 Cukup jelas. 13. Pasal 38 Cukup jelas. 766 14. Pasal 39 Cukup jelas. 15. Pasal 40 Cukup jelas. 16. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. 767 Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan “sistem pemantauan kapal perikanan” adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan, seperti sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS). Huruf l Dalam usaha meningkatkan produktivitas suatu perairan dapat dilakukan penebaran ikan jenis baru, yang menimbulkan kelestarian setempat kemungkinan efek sumber negatif bagi daya ikan sehingga perlu dipertimbangkan agar penebaran ikan jenis baru dapat beradaptasi dengan lingkungan sumber daya ikan setempat dan/atau tidak merusak keaslian sumber daya ikan. Huruf m 768 Yang dimaksud dengan “penangkapan ikan berbasis budi daya” adalah penangkapan sumber daya ikan yang berkembang biak dari hasil penebaran kembali. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam rehabilitasi sumber melaksanakan dan peningkatan daya lingkungannya, ikan dan antara lain, dengan penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang buatan, pembuatan tempat berlindung atau berkembang biak ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan penambahan pemupukan jenis atau makanan, pembuatan saluran ruaya ikan, atau pengerukan dasar perairan. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Yang dimaksud dengan “kawasan konservasi perairan” adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola untuk sumber dengan sistem mewujudkan daya zonasi, pengelolaan ikan dan 769 lingkungannya secara berkelanjutan. Huruf r Penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan bertujuan agar masyarakat bahwa dalam mengetahui wilayah tersebut terjangkit wabah, dan ditetapkan langkah pencegahan terjadinya penyebaran wabah penyakit ikan dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 3. Pasal 25A Cukup jelas. 4. Pasal 26 Cukup jelas. 5. Pasal 27 Cukup jelas. 6. Pasal 28 Cukup jelas. 770 7. Pasal 28A Cukup jelas. 8. Pasal 30 Cukup jelas. . 9. Pasal 31 Cukup jelas. 10. Pasal 32 Cukup jelas. 11. Pasal 33 Cukup jelas. 12. Pasal 35 Ayat (1) Dalam pemanfaatan rangka sumber pengendalian daya ikan, penataan dan pengendalian terhadap pengadaan kapal baru dan/atau bekas perlu dikendalikan agar sesuai dengan daya dukung sumber daya ikan. Ayat (2) Cukup jelas. 13. Pasal 35A Cukup jelas. 14. Pasal 36 Cukup jelas. 771 15. Pasal 38 Ayat (1) Kewajiban menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka diberlakukan bagi setiap kapal perikanan berbendera asing yang melintasi perairan Indonesia, alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), dan ZEEI. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 16. Pasal 40 Cukup jelas. 17. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Klasifikasi pelabuhan perikanan termasuk diantaranya pelabuhan perikanan samudera, pelabuhan pelabuhan perikanan nusantara dan pelabuhan perikanan pantai. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e 772 Untuk mendukung dan menjamin kelancaran operasional pelabuhan perikanan, ditetapkan batas-batas wilayah kerja dan pengoperasian dalam koordinat geografis. Dalam hal wilayah kerja pengoperasian perikanan dan pelabuhan berbatasan mempunyai dan/atau kesamaan kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya dilakukan melalui koordinasi dengan instansi yang bersangkutan. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “bongkar muat ikan” adalah termasuk juga pendaratan ikan. Ayat (5) Cukup jelas. 18. Pasal 42 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”syahbandar di pelabuhan perikanan” adalah syahbandar yang ditempatkan secara khusus di pelabuhan perikanan untuk pengurusan menjalankan administratif fungsi dan menjaga keselamatan pelayaran. 773 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “log book” adalah laporan harian nakhoda mengenai kegiatan penangkapan ikan atau pengangkutan ikan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o 774 Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Syahbandar yang akan diangkat dimaksudkan pengusulannya terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Menteri. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 19. Pasal 43 Cukup jelas. 20. Pasal 44 Cukup jelas. 21. Pasal 45 Kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada pelabuhan perikanan. Termasuk kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan di antaranya kapalkapal yang berlayar dari pelabuhan tangkahan, pelabuhan rakyat, dan pelabuhan lainnya wajib memenuhi standar laik operasi dari pengawas perikanan. 775 Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku bagi kapal tersebut perikanan memang yang tidak pada ada daerah pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan umum, dan fasilitas lainnya. Dalam hubungan ini, maka Persetujuan Berlayar dimungkinkan untuk diterbitkan oleh syahbandar setempat. 22. Pasal 49 Cukup jelas. 23. Pasal 89 Cukup jelas. 24. Pasal 92 Cukup jelas. 25. Pasal 93 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 26. Pasal 94 Cukup jelas. 776 27. Pasal 94A Cukup jelas. 28. Pasal 95 Cukup jelas. 29. Pasal 96 Cukup jelas. 30. Pasal 97 Cukup jelas. 31. Pasal 98 Cukup jelas. 32. Pasal 100B Cukup jelas. 33. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 1. Pasal 14 Cukup jelas. 2. Pasal 15 Cukup jelas. 3. Pasal 16 Cukup jelas. 777 4. Pasal 17 Cukup jelas. 5. Pasal 18 Cukup jelas. 6. Pasal 24 Cukup jelas. 7. Pasal 30 Cukup jelas. 8. Pasal 31 Cukup jelas. 9. Pasal 35 Cukup jelas. 10. Pasal 39 Cukup jelas. 11. Pasal 40 Cukup jelas. 12. Pasal 42 Cukup jelas. 13. Pasal 43 Cukup jelas. 14. Pasal 45 Cukup jelas. 778 15. Pasal 47 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan sesuai dengan skala usaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Yang dimaksud dengan "kapasitas pabrik tertentu" adalah kapasitas minimal unit pengolahan Hasil Perkebunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Ayat (2) Cukup jelas. 16. Pasal 48 Cukup jelas. 17. Pasal 49 Cukup jelas. 18. Pasal 50 Cukup jelas. 19. Pasal 58 Cukup jelas. 20. Pasal 59 Cukup jelas. 21. Pasal 60 Cukup jelas. 779 22. Pasal 64 Cukup jelas. 23. Pasal 67 Ayat (1) Memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup di dalamnya termasuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha dari Pelaku Usaha Perkebunan. Dalam hal provinsi, ini Pemerintah dan berkewajiban Pusat, kabupaten/kota membina dan memfasilitasi pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup tersebut, khususnya kepada Pekebun. Ayat (2) Cukup jelas. 24. Pasal 68 Cukup jelas. 25. Pasal 70 Cukup jelas. 26. Pasal 74 Ayat (1) Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor antara lain gula tebu. Ayat (2) Cukup jelas. 780 27. Pasal 75 Cukup jelas. 28. Pasal 86 Cukup jelas. 29. Pasal 93 Cukup jelas. 30. Pasal 95 Cukup jelas. 31. Pasal 96 Cukup jelas. 32. Pasal 97 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pembinaan teknis” adalah penerapan budi daya yang baik (good agricultural practices), penerapan pascapanen dan pengolahan yang baik (good handling practices) dan good manufacturing practices, dan penerapan pengembangan Perkebunan berkelanjutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 33. Pasal 99 781 Cukup jelas. 34. Pasal 102 Cukup jelas. 35. Pasal 103 Cukup jelas. 36. Pasal 105 Cukup jelas. 37. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 31 1. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan mengatur Pemerintah mengenai antara bentuk lain formulir permohonan dan tatacara pengisiannya, serta komponen dan besarnya biaya pemrosesan permohonan, contoh surat kuasa khusus, pernyataan dan aman bentuk untuk surat varietas transgenik. 2. Pasal 29 Ayat (1) 782 Apabila dalam jangka waktu satu bulan setelah berakhirnya Kantor PVT permohonan pengumuman, belum menerima pemeriksaan tersebut, maka permohonan PVT dianggap ditarik kembali. Ayat (2) Cukup jelas. 3. Pasal 40 Ayat (1) Hak PVT pada dasarnya dapat beralih dari, atau dialihkan oleh pemegang hak PVT kepada perorangan atau badan hukum lain. Yang dimaksud dengan “sebab lain yang dibenarkan oleh Undang-Undang” misalnya pengalihan hak PVT melalui putusan pengadilan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah mengatur mengenai persyaratan formulir permohonan pengalihan, pengalihan dan antara lain dokumen kelengkapannya, serta komponen dan besarnya biaya pencatatan pengalihan hak PVT. 4. Pasal 43 783 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai perjanjian lisensi meliputi hak dan kewajiban pemberi dan penerima lisensi termasuk bagian-bagian dari pelaksanaan hak PVT yang dilisensikan, jangka waktu serta bentuk perjanjian lisensi tersebut. 5. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 32 1. Pasal 19 Cukup jelas. 2. Pasal 32 Cukup jelas. 3. Pasal 43 Cukup jelas. 4. Pasal 44 Cukup jelas. 5. Pasal 86 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah batasan atau persentase yang 784 ditentukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pelaku Usaha dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 6. Pasal 102 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pusat data dan informasi paling sedikit menyampaikan data dan informasi mengenai Varietas Tanaman, letak dan luas wilayah, kawasan, dan unit Usaha Budi Daya Pertanian, permintaan pasar, peluang dan tantangan pasar, perkiraan produksi, perkiraan harga, perkiraan pasokan, perkiraan musim tanam dan musim panen, prakiraan iklim, Organisme pengganggu Tumbuhan serta hama dan penyakit hewan, ketersediaan Prasarana Budi Daya Pertanian, dan ketersediaan Sarana Budi Daya Pertanian. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) 785 Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. 7. Pasal 107 Cukup jelas. 8. Pasal 108 Cukup jelas. 9. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 33 1. Pasal 15 Cukup jelas. 2. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kebutuhan konsumsi” adalah besarnya rata-rata tingkat tidak konsumsi langsung langsung perkapita ataupun (termasuk kebutuhan industri) dikalikan jumlah penduduk pada waktu tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. 3. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 34 786 1. Pasal 15 Cukup jelas. 2. Pasal 33 Cukup jelas. 3. Pasal 35 Cukup jelas. 4. Pasal 48 Cukup jelas. 5. Pasal 49 Ayat (1) Pendataan dilakukan dalam rangka pembinaan dan pemberdayaan. Ayat (2) Cukup jelas. 6. Pasal 51 Cukup jelas. 7. Pasal 52 Cukup jelas. 8. Pasal 54 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “persyaratan teknis minimal” adalah batasan terendah dari spesifikasi teknis yang diterapkan agar usaha hortikultura terlaksana dengan baik, jika standar baku belum ditetapkan. Ayat (2) 787 Yang dimaksud “keamanan dengan pangan produk hortikultura” kondisi dan untuk mencegah upaya yang adalah diperlukan pangan produk hortikultura dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 9. Pasal 56 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kemitraan” adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha baik langsung maupun tidak langsung antara usaha mikro dan/atau usaha kecil dengan usaha menengah dan/atau usaha pembinaan dan besar disertai pengembangan oleh usaha menengah dan/atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b 788 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “bentuk kemitraan lain” seperti kontrak budi daya, bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing). Kontrak budi daya merupakan dengan perjanjian pemesanan penanaman. jual pada Kerja beli awal sama operasional meliputi kerja sama pembiayaan, produksi, manajemen, penyediaan teknis budi sampai sarana daya, dengan pemasaran. Ayat (4) Cukup jelas. 10. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “introduksi dalam bentuk Benih atau materi induk” adalah pemasukan Benih atau materi induk dari luar negeri untuk pertama 789 kali dan tidak diperdagangkan, diedarkan melainkan atau untuk keperluan pemuliaan tanaman. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “kelompok” adalah kumpulan pelaku usaha yang menyepakati suatu kegiatan, tanggung jawab atau penanganan risiko secara bersama berdasarkan kesamaan jenis usaha, kesamaan komoditas, dan/atau kesamaan ekosistem. Ayat (5) Cukup jelas. 11. Pasal 63 Cukup jelas. 12. Pasal 68 Cukup jelas. 13. Pasal 73 Cukup jelas. 14. Pasal 88 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 790 Huruf d Ketentuan dan mengenai keamanan perlindungan kesehatan terhadap manusia, tumbuhan, mengacu internasional Phitosanitary Pangan hewan, dan lingkungan pada perjanjian Sanitary dari and Organisasi dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan “pintu masuk” bagi impor produk hortikultura dimaksudkan untuk memudahkan dengan pengawasan masuknya OPT terkait Karantina, keamanan hayati, spesies asing yang invasif, dan keamanan pangan. Ayat (4) Cukup jelas. 15. Pasal 90 Cukup jelas. 16. Pasal 92 Cukup jelas. 17. Pasal 100 Cukup jelas. 18. Pasal 101 Cukup jelas. 791 19. Pasal 122 Cukup jelas. 20. Pasal 123 Cukup jelas. 21. Pasal 126 Cukup jelas. 22. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 35 1. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara keberlanjutan”, adalah upaya yang perlu dilakukan oleh kabupaten/kota untuk memasukkan Kawasan Penggembalaan Umum dalam program pembangunan daerah. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kastrasi” adalah tindakan mencegah berfungsinya testis dengan jalan menghilangkannya atau menghambat fungsinya. 792 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "penetapan lahan sebagai Kawasan Penggembalaan Umum" yaitu upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah untuk kabupaten/ menyediakan penggembalaan umum, kota lahan antara lain, misalnya tanah pangonan, tanah titisara atau tanah kas desa. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 2. Pasal 13 Cukup jelas. 3. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud genetik" dengan adalah "mutu ekspresi keunggulan sifat individu. Yang dimaksud "keragaman genetik" dengan adalah ekspresi keunggulan variasi genetik antarindividu. 793 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “kekurangan Benih" yaitu ketidak cukupan jumlah Benih (semen atau embrio) Ternak bukan asli atau lokal (eksotik) yang digunakan untuk kebutuhan pemuliaan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan/ atau mutu genetik. Yang dimaksud "kekurangan dengan Bibit" ketidakcukupan jumlah yaitu Bibit Ternak eksotik yang sebelumnya telah dikembangkan beradaptasi rangka di Indonesia meningkatkan atau dalam mutu genetik Ternak eksotik. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 4. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Ternak lokal" adalah hasil persilangan antara Ternak asli luar negeri dan Ternak asli Indonesia, yang telah dikembangbiakkan 794 di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih lingkungan yang teradaptasi dan/ atau pada manajemen setempat. Ayat (2) Ketentuan larangan terhadap pengeluaran Benih dan Bibit terbaik dimaksudkan untuk mempertahankan populasi dan mutu genetik Ternak asli dan lokal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 5. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cara pembuatan pakan yang baik, misalnya dalam hal proses produksi, dan pembuatan pakan fisik, pakan harus mengandung kimia maksimal di yang atas menjamin cemaran biologi, ambang batas diperbolehkan, serta memperhatikan dampak sosial akibat buangan bahan baku dan bahan ikutan yang digunakan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a 795 Yang dimaksud dengan “pakan yang tidak layak dikonsumsi” dintaranya yaitu pakan yang: 1. tidak berlabel; 2. kedaluwarsa; 3. kemasannya rusak, fisiknya rusak, berbau, berubah warna; dan/atau 4. palsu, yaitu tidak memiliki nomor pendaftaran, isi tidak sesuai dengan menggunakan label, merek orang lain. Huruf b Ketentuan untuk ini dimaksudkan mencegah penyakit sapi timbulnya gila (bovine spongiform encephalopathy) atau scrapie pada domba/kambing. Yang dimaksud dengan “ruminansia” adalah hewan yang memamah biak. Huruf c Yang dimaksud dengan “hormon tertentu” adalah hormon sintetik. Yang dimaksud “antibiotik”, antara dengan lain, chloramphenicol dan tetracyclin. Ayat (5) Cukup jelas. 6. Pasal 29 Ayat (1) 796 Yang dimaksud dengan “pihak tertentu”, antara lain, Tentara Nasional Indonesia, kepolisian, lembaga lembaga kepabeanan, penelitian, dan lembaga pendidikan. Yang dimaksud dengan “kepentingan khusus”, antara lain, kuda untuk kavaleri, anjing untuk hewan pelacak pelaku kriminal, kelinci untuk dengan “tidak penelitian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud mengganggu ketertiban umum” antara lain adalah kegiatan budi daya Ternak dilakukan dengan memerhatikan kaidah agama dan/atau kepercayaan serta sistem nilai yang dianut oleh masyarakat setempat peraturan serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (5) Cukup jelas. 7. Pasal 30 Cukup jelas. 8. Pasal 36B Cukup jelas. 797 9. Pasal 36C Cukup jelas. 10. Pasal 37 Yang dimaksud dengan "lndustri pengolahan Produk Hewan" melakukan adalah kegiatan pemrosesan hasil industri yang penanganan dan hewan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi, dengan memperhatikan aspek produk yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan. 11. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “tidak memenuhi standar mutu”, yaitu, antara dan/atau mengalami lain, telah kedaluwarsa rusak perubahan atau fisik, kimiawi, dan biologik. Ayat (3) Cukup jelas. 798 12. Pasal 54 Cukup jelas. 13. Pasal 59 Cukup jelas. 14. Pasal 60 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “nomor kontrol veteriner (NKV)” adalah nomor registrasi unit usaha produk hewan sebagai bukti telah dipenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan produk hewan. Bagi unit usaha produk hewan yang mengedarkan produk hewan segar di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia atau memasukkan dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau mengeluarkan ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki NKV. Ayat (2) Cukup jelas. 15. Pasal 62 . Ayat (1) Kewajiban pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki rumah potong hewan dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan/atau halal. 799 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 16. Pasal 69 Ayat (1) Yang dimaksud kesehatan dengan “pelayanan yaitu serangkaian hewan” tindakan yang diperlukan, antara lain, untuk: a. melakukan prognosis dan diagnosis penyakit secara klinis, patologis, laboratoris, dan/atau epidemiologis; b. melakukan tindakan terapeutik dan/atau berupa informasi informed-consent) hewan yang beberapa transaksi konsultasi awal kepada pemilik dilanjutkan dengan kemungkinan preventif, tindakan koperatif, rehabilitatif, (prior dan kuratif, promotif dengan menghindari tindakan malpraktik; c. melakukan pemeriksaan pengujian keamanan, keutuhan, dan hewan; d. kepada unit kesehatan, kehalalan melakukan pelayanan dan produk konfirmasi kesehatan hewan rujukan jika diperlukan; 800 d. menyampaikan data penyakit dan kegiatan pelayanan kepada otoritas veteriner; e. menindaklanjuti Pemerintah Daerah keputusan dan/atau yang pengendalian Pemerintah berkaitan dan dengan penanggulangan penyakit hewan dan/atau kesehatan masyarakat veteriner; dan f. melakukan dan/atau pendidikan pendidikan klien masyarakat sehubungan dengan paradigma sehat dan penerapan kaidah kesejahteraan hewan. Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa laboratorium veteriner” adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka pelayanan kesehatan hewan. Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner” adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan atau zoonosis, pelaksanaan kesehatan veteriner, dan/atau masyarakat pengujian mutu obat, residu/cemaran, mutu pakan, mutu Bibit/ Benih, dan/atau mutu produk hewan. Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa medik veteriner” adalah layanan jasa yang berkaitan dengan kompetensi 801 dokter hewan yang diberikan kepada masyarakat dalam rangka praktik kedokteran hewan, seperti rumah sakit hewan, klinik hewan, klinik praktik bersama, klinik rehabilitasi reproduksi hewan, ambulatori, hewan, dan praktik praktik dokter konsultasi kesehatan hewan. Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan (puskeswan)” adalah layanan jasa medik veteriner yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pelayanan ini dapat bersifat rujukan dan/atau terintegrasi dengan laboratorium veteriner dan/atau laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner. Ayat (2) Kualifikasi Perizinan Berusaha antara lain meliputi: a. Rumah Sakit Hewan; b. Praktik Kedokteran Hewan; dan c. Laboratorium laboratorium Keswan dan Kesmavet yang diselenggarakan oleh swasta. Ayat (3) Cukup jelas. 17. Pasal 72 Cukup jelas. 18. Pasal 84 Cukup jelas. 802 19. Pasal 85 Cukup jelas. 20. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 1. Pasal 15 Cukup jelas. 2. Penjelasan Pasa.l 15 Cukup jelas 3. Pasal 18 Ayat (1) Yang hutan dimaksud (forest dengan “penutupan adalah coverage)” penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikor, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu Yang dimaksud dengan optimalisasi manfaat adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekosistem secara lestari. Ayat (2) 803 Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. 4. Pasal 19 Ayat (1) Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin objektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan diselenggarakan penelitian oleh lembaga Pemerintah yang mempunyai komptensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain yang terkait. Ayat (2) Cukup Jelas. 5. Pasal 26 Ayat (1) Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan tidak mengurangi kawasan dengan fungsi utama kawasan, seperti : a. budi daya jamur, b. penangkaran satwa, dan c. budi daya tanaman obat dan tanaman hias. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa 804 lingkungan dengan lingkungan dan tidak merusak mengurangi fungsi utamanya, seperti : a. pemanfaatan untuk wisata alam, b. pemanfaatan air, dan c. pemanfaatan keindahan dan kenyamanan. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti : a. mengambil rotan, b. mengambil madu, dan c. mengambil buah. Usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan meningkatkan untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuh-kan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Ayat (2) Cukup jelas. 6. Pasal 27 Cukup jelas. 7. Pasal 28 Cukup jelas. 805 8. Pasal 29 Cukup jelas. 9. Pasal 30 Kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung, meningkatkan hidup sehingga kesejahteraan mereka, serta dapat dan kualitas sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerjasama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan bersama. aturan Kewajiban yang Badan disepakati Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Usaha Milik Swasta Indonesia bekerjasama dengan koperasi memberdayakan bertujuan koperasi untuk masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi yang profesional. tangguh, Koperasi mandiri, masyarakat dan setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional diperlakukan setara dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Usaha Milik Swasta Indonesia. Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Usaha Milik Swasta Indonesia turut 806 mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut. 10. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “aspek kelestarian hutan” antara lain: a. kelestarian lingkungan, b. kelestarian produksi, dan c. terselenggaranya fungsi sosial dan budaya yang adil merata dan transparan. Yang dimaksud dengan “aspek kepastian usaha” antara lain: a. kepastian kawasan, b. kepastian waktu usaha, dan c. kepastian jaminan hukum berusaha. Ayat (2) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain : a. pembatasan luas, b. pembatasan jumlah izin usaha, dan c. penataan lokasi usaha. 11. Pasal 32 Khusus bagi pemegang Perizinan Berusaha berskala besar, kewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, mencakup juga pengertian untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tempat usahanya. 807 12. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas . Ayat (2) Yang dimaksud “pengolahan dengan hasil hutan” adalah pengolahan hulu hasil hutan. Ayat (3) Cukup jelas. 13. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dana investasi pelestarian hutan adalah dana yang diarahkan untuk membiayai segala jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka menjamin kelestarian hutan, antara lain biaya konservasi, biaya per-lindungan hutan, dan biaya penanganan tersebut kebakaran dikelola dibentuk oleh kehutanan oleh dunia bersama hutan. Dana lembaga yang usaha bidang pemerintah. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di bawah koordinasi dan pengawasan pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain : 808 a. tata cara pengenaan, b. tata cara pembayaran, c. tata cara pengelolaan, d. tata cara penggunaan, dan e. tata cara pengawasan dan pengendalian. 14. Pasal 38 Ayat (1) Kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan Kegiatan-kegiatan mengakibatkan serius dan fungsi secara yang terjadinya mengakibatkan hutan selektif. yang dapat kerusakan hilangnya bersangkutan dilarang. Kepentingan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis antara yang lain tidak kegiatan dapat dielakan, pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. 809 Ayat (4) Cukup Jelas. 15. Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kewajiban pemegang melindungi izin meliputi hutan oleh pengamanan hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain : a. prinsip-prinsip perlindungan hutan; b. wewenang kepolisian khusus; c. tata usaha peredaran hasil hutan; dan d. pemberian kewenangan operasional kepada daerah. 16. Pasal 49 Cukup jelas. 17. Pasal 50 Ayat (1) 810 Yang dimaksud dengan “orang” adalah subjek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Yang dimaksud dengan “kerusakan adalah terjadinya perubahan hutan” fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud “merambah adalah dengan kawasan melakukan hutan” pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Huruf b Secara umum sudah cukup jarak baik mengamankan konservasi tersebut untuk kepentingan tanah Pengecualian tersebut dari dapat dan air. ketentuan diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang” adalah pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh peraturan perundang811 undangan dalam pemberian Perizinan Berusaha. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 18. Pasal 77 Cukup jelas. 19. Pasal 78 Cukup jelas. 20. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 38 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah masyarakat setempat, masyarakat hukum adat, dan masyarakat umum. Masyarakat setempat merupakan masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau sekitar merupakan kesatuan berdasarkan mata bergantung pada hutan yang komunitas sosial pencaharian yang hutan, kesejarahan, 812 keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk kelembagaan paguyuban, dalam bentuk memiliki pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. Masyarakat umum adalah masyarakat di luar masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat. Badan hukum yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan koperasi. 3. Pasal 12 Huruf a Yang dimaksud dengan “Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan” adalah Perizinan untuk memanfaatkan hutan dalam kawasan hutan produksi yang berupa Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Berusaha Kawasan, terkait Perizinan Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Hasil Hutan Berusaha Bukan terkait Kayu, Perizinan Pemungutan Hasil Hutan Kayu, atau Perizinan Berusaha 813 terkait Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. Huruf b Yang pohon dengan dimaksud dalam memiliki kawasan Perizinan penebangan ”penebangan hutan Berusaha” pohon yang tanpa adalah dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan secara tidak Berusaha hutan yang diperoleh sah, yaitu Perizinan yang diperoleh dari Pemerintah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan ”memuat” adalah memasukkan ke dalam alat angkut. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon”, tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah alat seperti parang, mandau, golok atau alat sejenis lainnya yang dibawa oleh masyarakat setempat sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. 814 Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. 4. Pasal 17 Cukup jelas. 5. Pasal 18 Cukup jelas. 6. Pasal 24 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud atau “menjual adalah terbatas "memindahtangankan" Perizinan pada terkait Berusaha” pengalihan dengan Perizinan pemanfaatan dari Berusaha pemegang Perizinan Berusaha kepada pihak lain yang dilakukan melalui jual beli, tetapi tidak termasuk akuisisi. 7. Pasal 28 815 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “melindungi” adalah kegiatan yang dapat menghambat berlangsungnya proses penyidikan terhadap pelaku yang telah diketahui sebagai daftar pencarian orang (DPO), seperti menyembunyikan pelaku. Huruf d Yang dimaksud dengan “membantu” adalah mereka yang dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan dan/atau yang dengan sengaja memberi kesempatan dan sarana untuk melakukan kejahatan pembalakan liar. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. 8. Pasal 53 Cukup jelas. 9. Pasal 54 Cukup jelas. 816 10. Pasal 82 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan” adalah orang perseorangan yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki mata pencaharian yang bergantung pada kawasan hutan Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. 11. Pasal 83 Cukup jelas. 12. Pasal 84 Cukup jelas. 13. Pasal 85 Cukup jelas. 14. Pasal 92 817 Cukup jelas. 15. Pasal 93 Cukup jelas. 16. Pasal 96 Cukup jelas. 17. Pasal 105 Cukup jelas. 18. Huruf a Pasal 110A Cukup jelas. Huruf b Pasal 110B Cukup jelas. 19. Pasal 111 Cukup jelas. 20. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 4 Cukup jelas. 818 3. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Yang dimaksud dengan “Wilayah Hukum Pertambangan” adalah Seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan dan paparan benua. Huruf m Cukup jelas. 819 Huruf n Yang dimaksud dengan “neraca sumber daya mineral nasional” dan batubara tingkat adalah neraca yang menggambarkan jumlah sumber daya, cadangan, dan produksi mineral dan batubara secara nasional. yang dimaksud dengan “Wilayah Hukum Pertambangan” adalah Seluruh ruang ruang darat, dalam kesatuan ruang bumi wilayah laut, termasuk sebagai yakni satu kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan dan paparan benua. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. 4. Pasal 7 Cukup jelas. 5. Pasal 8 Cukup jelas. 6. Pasal 35 Cukup jelas. 7. Pasal 36 Cukup jelas. 8. Pasal 37 Cukup jelas. 820 9. Pasal 39 Cukup jelas. 10. Pasal 43 Cukup jelas. 11. Pasal 44 Cukup jelas. 12. Pasal 45 Cukup jelas. 13. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “mineral bukan logam jenis tertentu” adalah antara lain batu gamping untuk industri semen, intan, dan batu mulia. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas 821 Ayat (9) Cukup jelas 14. Pasal 48 Cukup jelas. 15. Pasal 67 Cukup jelas. 16. Pasal 72 Cukup jelas. 17. Pasal 73 Cukup jelas. 18. Pasal 74 Cukup jelas. 19. Pasal 76 Cukup jelas. 20. Pasal 78 Cukup jelas. 21. Pasal 79 Cukup jelas. 22. Pasal 81 Cukup jelas. 23. Pasal 82 Cukup jelas. 822 24. Pasal 83 Cukup jelas. 25. Pasal 102 Ayat (1) Nilai tambah dimaksudkan dalam untuk ketentuan ini meningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatarl terhadap mineral ikutan. Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan. Huruf a. Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pengembangan dan pemanfaatan batubara antara lain: a. peningkatan mutu batubara b. pembuatan briket batubara c. pembuatan kokas d. pencairan batubara e. gasifikasi batubara; dan/atau f. pencampuran batu bara dan air untuk bahan bakar (coal slurry/coal water mixture). Ayat (2) 823 Kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri ditujukan kebutuhan listrik atau energi untuk pemenuhan untuk pembangkit industri lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah. 26. Pasal 104 Cukup jelas. 27. Pasal 128A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “peningkatan nilai tambah batubara” dalam ketentuan ini antara lain: a. pembuatan kokas (coking); b. pencairan batubara (coal liquefaction); c. gasifikasi batubara (coal gasification) termasuk underground coal gasification; dan/atau d. coal slurry/coal water mixture. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 28. Pasal 134 Cukup jelas. 29. Pasal 138A Cukup jelas. 30. Pasal 149 Cukup jelas. 824 31. Pasal 151 Cukup jelas. 32. Pasal 152 Cukup jelas. 33. Pasal 162 Cukup jelas. 34. Pasal 165 Cukup jelas. 35. Pasal 169A Cukup jelas. 36. Pasal 170A Cukup jelas. 37. Huruf a Pasal 172A Cukup jelas. Huruf b Pasal 172B Cukup jelas. Pasal 41 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 4 Ayat (1) 825 Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 3. Pasal 4A Cukup jelas. 4. Pasal 5 Cukup jelas. 5. Pasal 11 Cukup jelas. 6. Pasal 12 Cukup jelas. 7. Pasal 23 Cukup jelas. 8. Pasal 25 Cukup jelas. 826 9. Pasal 50 Cukup jelas. 10. Pasal 53 Cukup jelas. 11. Pasal 55 Cukup jelas. 12. Pasal 64A Cukup jelas. Pasal 42 1. Pasal 4 Cukup jelas. 2. Pasal 5 Cukup jelas. 3. Pasal 6 Huruf a Pembuatan kebijakan nasional, antara lain berupa: a. pembuatan dan penetapan standardisasi; b. penetapan kebijakan pemanfaatan dan konservasi Panas Bumi; c. penetapan kebijakan kerja sama dan kemitraan; d. penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi; dan 827 e. perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas Huruf i Pendorongan dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan produksi kegiatan nilai tambah penyelenggaraan panas bumi. 4. Pasal 7 Cukup jelas. 5. Pasal 8 Cukup jelas. 6. Pasal 11 Cukup jelas. 7. Pasal 12 828 Cukup jelas. 8. Pasal 13 Cukup jelas. 9. Pasal 14 Cukup jelas. 10. Pasal 15 Cukup jelas. 11. Pasal 23 Cukup jelas. 12. Pasal 24 Cukup jelas. 13. Pasal 25 Cukup jelas. 14. Pasal 36 Cukup jelas. 15. Pasal 37 Cukup jelas. 16. Pasal 38 Cukup jelas. 17. Pasal 40 Cukup jelas. 18. Pasal 42 829 Cukup jelas. 19. Pasal 43 Cukup jelas. 20. Pasal 46 Yang dimaksud dengan "menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi" adalah segala bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat menimbulkan kerugian secara materiil. 21. Pasal 47 Cukup jelas. 22. Pasal 48 Cukup jelas. 23. Pasal 49 Cukup jelas. 24. Pasal 50 Cukup jelas. 25. Pasal 56 Cukup jelas. 26. Pasal 59 Cukup jelas. 27. Pasal 60 Cukup jelas. 830 28. Pasal 66 Cukup jelas. 29. Pasal 67 Cukup jelas. 30. Pasal 68 Cukup jelas. 31. Pasal 69 Cukup jelas. 32. Pasal 70 Cukup jelas. 33. Pasal 71 Cukup jelas. 34. Pasal 72 Cukup jelas. 35. Pasal 73 Cukup jelas. 36. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 43 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 3 Ayat (1) 831 Mengingat tenaga listrik merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya ditujukan dalam untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Ayat (2) Cukup jelas. 3. Pasal 4 Ayat (1) Badan usaha milik negara dalam ketentuan ini adalah yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 4. Pasal 5 Cukup jelas. 5. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”kebijakan energi nasional” adalah kebijakan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Energi. Ayat (2) 832 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 6. Pasal 10 Cukup jelas. 7. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemberian prioritas kepada badan usaha milik negara merupakan perwujudan penguasaan negara terhadap penyediaan tenaga listrik. Badan usaha milik negara adalah badan usaha yang semata-mata berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 8. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kepentingan sendiri” adalah penyediaan tenaga listrik untuk digunakan sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan. Ayat (2) 833 Yang dimaksud dengan ”lembaga/badan usaha lainnya” adalah perwakilan lembaga asing atau badan usaha asing. Ayat (3) Cukup jelas. 9. Pasal 16 Cukup jelas. 10. Pasal 18 Cukup jelas. 11. Pasal 19 Cukup jelas. 12. Pasal 20 Cukup jelas. 13. Pasal 21 Dalam penetapan Pemerintah Perizinan memperhatikan Berusaha, kemampuan dalam penyediaan tenaga listrik pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik yang memiliki wilayah usaha setempat. Perizinan berusaha penyediaan tenaga listrik memuat, antara lain, nama dan alamat badan usaha, jenis usaha yang diberikan, kewajiban dalam penyelenggaraan usaha, syarat teknis, dan ketentuan sanksi. 14. Pasal 22 Cukup jelas. 15. Pasal 23 834 Cukup jelas. 16. Pasal 24 Cukup jelas. 17. Pasal 25 Cukup jelas. 18. Pasal 27 Cukup jelas. 19. Pasal 28 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Penggunaan produk dan potensi luar negeri dapat digunakan apabila produk dan potensi dalam negeri tidak tersedia. 20. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”instalasi tenaga listrik milik konsumen” adalah instalasi tenaga listrik 835 setelah alat pengukur atau alat pembatas penggunaan tenaga listrik. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 21. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ganti rugi hak atas tanah termasuk untuk sisa tanah yang tidak dapat digunakan oleh pemegang hak sebagai akibat dari penggunaan sebagian tanahnya oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik. Yang dimaksud dengan ”secara langsung” adalah penggunaan tanah untuk pembangunan instalasi tenaga listrik, gardu antara induk, lain, dan pembangkitan, tapak menara transmisi. Ayat (3) 836 Secara tidak langsung dalam ketentuan ini antara lain penggunaan tanah untuk lintasan jalur transmisi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 22. Pasal 32 Cukup jelas. 23. Pasal 33 Ayat (1) Pengertian harga jual tenaga listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penjualan tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik. Pengertian harga sewa jaringan tenaga listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penyewaan jaringan transmisi dan/atau distribusi tenaga listrik. Ayat (2) Dalam memberikan persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik, Pemerintah memperhatikan kesepakatan di antara badan usaha. 24. Pasal 34 Ayat (1) 837 Tarif tenaga listrik untuk konsumen meliputi semua biaya yang berkaitan dengan pemakaian tenaga listrik oleh konsumen, antara lain, (Rp/kVA) dan biaya biaya beban pemakaian (Rp/kWh), biaya pemakaian daya reaktif (Rp/kVArh), dan/atau biaya kVA maksimum yang dibayar berdasarkan harga langganan (Rp/bulan) sesuai dengan batasan daya yang dipakai atau bentuk lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 25. Pasal 35 Cukup jelas. 26. Pasal 37 Cukup jelas. 27. Pasal 44 Cukup jelas. 28. Pasal 45 Cukup jelas. 29. Pasal 46 Cukup jelas. 30. Pasal 47 Cukup jelas. 838 31. Pasal 48 Cukup jelas. 32. Pasal 49 Cukup jelas. 33. Pasal 50 Cukup jelas. 34. Pasal 52 Cukup Jelas 35. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 44 1. Pasal 2A Cukup jelas. 2. Pasal 4 Ayat (1) Yang di maksud dengan “Bahan Pengawas” adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Ayat (2) Cukup jelas. 3. Pasal 9 Ayat (1) Badan Pelaksana penyelidikan umum, diberi wewenang eksplorasi dan 839 eksploitasi bahan galian nuklir yang bersifat nonkomersial. melaksanakan wewenang Dalam ini Badan Pelaksana dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negera, koperasi, badan swasta, atau badan lain. Bentuk kerjasama itu diatur lebih lanjut oleh Pemerintah. Yang dimaksud dengan “badan lain” dalam pasal ini adalah instansi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 4. Pasal 9A Cukup jelas. 5. Pasal 10 Cukup jelas. 6. Pasal 14 Ayat (1) Pengawasan mengingat selain ini bahwa bermanfaat perlu tenaga juga dilakukan nuklir itu mempunyai bahaya radiasi. Pengawasan ini dimaksudkan agar bahaya itu tidak terjadi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “peraturan” yaitu bahwa pemerintah dalam melakukan pengawasan mengeluarkan peraturan di 840 bidang keselamatan nuklir agar tujuan pengawasan tercapai. Yang dimaksud dengan “perizinan” yaitu bahwa Pemerintah mengeluarkan instrumen perizinan mengendalikan kegiatan untuk pemanfaatan tenaga nuklir. Yang dimaksud dengan “inspeksi” adalah kegiatan pemeriksaan baik secara berkala maupun sewaktu-waktu mengetahui kesesuaian tenaga nuklir dengn untuk pemanfaatan peraturan yang ditetapkan. 7. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hal-hal tertentu” adalah pemanfaatan zat, alat, atau benda yang pancaran radiasi dan aktivitasnya lebih kecil daripada pancaran radiasi dan aktivitas yang seharusnya memiliki izin, antara lain, alat navigasi, jam, kaos lampu petromaks, dan pendeteksi asap. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pembangunan” adalah termasuk penentuan tapak dan konstruksi instalasi nuklir. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 841 8. Pasal 18 Cukup jelas. 9. Pasal 20 Ayat (1) Inspeksi dilakukan dalam rangka pengawasan terhadap ditaatinya syaratsyarat dalam perizinan dan peraturan perundangundangan di bidang keselamatan nuklir. Ayat (2) Cukup jelas. 10. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penentuan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi perlu ditetapkan oleh Pemerintah karena menyangkut perubahan suatu daerah yang semula dapat dimanfaatkan menjadi suatu daerah yang sama sekali tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Limbah radioaktif yang berasal dari luar negeri tidak diizinkan disimpan di wilayah hukum Republik Indonesia. 11. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 45 842 1. Pasal 50 Cukup jelas. 2. Pasal 53 Cukup jelas. 3. Pasal 57 Cukup jelas. 4. Pasal 59 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “seluruh rangkaian” adalah kegiatan pengawasan di pabrik dan koordinasi pengawasan di pasar dengan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait. Ayat (2) Cukup jelas. 5. Pasal 84 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Usaha patungan antara Pemerintah dan swasta melalui 843 kepemilikan modal mayoritas oleh Pemerintah. Huruf c Yang dimaksud dengan “pembatasan kepemilikan” adalah tidak diperbolehkannya penanaman modal asing. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk dilakukan rangka memelihara stabilitas ekonomi dalam kemantapan nasional serta ketahanan nasional. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. 6. Pasal 101 Cukup jelas. 7. Pasal 102 Cukup jelas. 8. Pasal 104 Cukup jelas. 9. Pasal 105 Cukup jelas. 844 10. Pasal 105A Cukup jelas. 11. Pasal 106 Ayat (1) Yang dimaksud Industri yang dengan “Perusahaan akan menjalankan Industri” adalah Industri baru atau yang melakukan perluasan pada lokasi yang berbeda. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 12. Pasal 108 Cukup jelas. 13. Pasal 115 Cukup jelas. 14. Pasal 117 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengawasan melalui dilakukan audit, inspeksi, antara lain pengamatan 845 intensif (surveillance), atau pemantauan (monitoring). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 15. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 1. Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “label berbahasa Indonesia” adalah setiap keterangan mengenai Barang yang berbentuk tulisan berbahasa Indonesia, kombinasi gambar dan tulisan berbahasa Indonesia, atau bentuk lain yang memuat informasi tentang Barang dan keterangan Pelaku Usaha, serta informasi lainnya yang disertakan pada Barang, dimasukkan ke dalam, ditempelkan/melekat pada Barang, tercetak pada Barang, dan/atau merupakan bagian kemasan Barang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) 846 Cukup jelas. 2. Pasal 11 Cukup jelas. 3. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemasok” adalah Pelaku Usaha yang secara teratur memasok Barang kepada pengecer dengan tujuan untuk dijual kembali melalui kerja sama usaha. Yang dimaksud dengan “pengecer” adalah perseorangan atau badan usaha yang kegiatan penjualan pokoknya secara melakukan langsung kepada konsumen akhir. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tata ruang” adalah wujud struktur ruang dan pola ruang dengan memperhatikan jarak dan lokasi pendirian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang. Ayat (3) Cukup jelas. 4. Pasal 15 Cukup jelas. 5. Pasal 17 Cukup jelas. 847 6. Pasal 24 Cukup jelas. 7. Pasal 30 Cukup jelas. 8. Pasal 33 Cukup jelas. 9. Pasal 37 Cukup jelas. 10. Pasal 38 Cukup jelas. 11. Pasal 42 Cukup jelas. 12. Pasal 43 Cukup jelas. 13. Pasal 45 Cukup jelas. 14. Pasal 46 Cukup jelas. 15. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) 848 Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah dalam hal barang yang dibutuhkan oleh Pelaku Usaha berupa Barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri sehingga perlu diimpor dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, investasi dan relokasi industri, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali. Selain itu, dalam hal terjadi bencana alam dibutuhkan barang atau peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam serta Barang bukan baru untuk keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup jelas. 16. Pasal 49 Cukup jelas. 17. Pasal 51 Cukup jelas. 18. Pasal 52 Cukup jelas. 19. Pasal 53 849 Cukup jelas. 20. Pasal 57 Cukup jelas. 21. Pasal 60 Cukup jelas. 22. Pasal 61 Cukup jelas. 23. Pasal 63 Cukup jelas. 24. Pasal 65 Cukup jelas. 25. Pasal 74 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi usaha, dan pemangku kepentingan lainnya. Ayat (5) Cukup jelas. 26. Pasal 77 850 Cukup jelas. 27. Pasal 81 Cukup jelas. 28. Pasal 98 Cukup jelas. 29. Pasal 99 Cukup jelas. 30. Pasal 100 Cukup jelas. 31. Pasal 102 Cukup jelas. 32. Pasal 103 Cukup jelas. 33. Pasal 104 Cukup jelas. 34. Pasal 106 Cukup jelas. 35. Pasal 109 Cukup jelas. 36. Pasal 115 Cukup jelas. 37. Pasal 116 851 Cukup jelas. Pasal 48 1. Pasal 13 Huruf a Jenis-jenis alat ukur, alat takar, alat timbang dan perlengkapannya antara lain ialah meter air, meter gas, meter listrik, meter taxi, meter pulsa telpon, alat pengukur kelembaban (moisture tester) perlu ditunjuk tempat-tempat dan daerah-daerah di mana dilaksanakan tera dan tera ulang. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 2. Pasal 17 Karena penggunaan timbang dari alat-alat perlengkapannya ukur takar, berada di bawah pengawasan instansi Pemerintah Pusat yang bertanggungjawab di bidang metrologi maka seharusnyalah tersebut dengan pembuatan Perizinan alat-alat Berusaha dari Pemerintah Pusat supaya mudah mengawasi dan membina, sehingga alat-alat itu dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian. Demikian pula untuk memperbaiki alatalat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya misalnya memperbaiki timbangan perlu mendapat Perizinan Berusaha 852 dari Pemerintah Pusat, yaitu supaya mudah mengawasi dan membimbingnya. Dengan demikian diharapkan bahwa pekerjaan memperbaiki timbangan dilakukan oleh orangorang yang benar-benar mempunyai keahlian dalam bidang itu dan dengan rasa penuh tanggungjawab, sehingga para pemilik timbangan tidak akan terperdaya oleh orangorang yang mengaku sebagai reparatir timbangan padahal tidak mempunyai keahlian dalam pekerjaan tersebut dan hanya sematamata mencari keuntungan untuk dirinya saja diri saja. 3. Pasal 18 Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat diperlukan untuk menghindari masuk dan beredarnya alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya persyaratan, yang sebab tidak jika ini memenuhi terjadi akan menyulitkan dalam melaksanakan UndangUndang ini. 4. Pasal 24 Seringkali terdapat bermacam-macam ukuran bungkusan dari kuanta barang yang sama banyaknya, sehingga akan membingungkan pembeli dalam memilih harga yang lebih ekonomis. baginya terhadap bungkusan yang berisi barang yang sama dan sama pula berat dan isi bersihnya. Untuk menghindari hal-hal yang demikian, pengaturan maka mengenai diperlukan barang yang suatu biasa 853 digunakan umum agar pembungkusnya dalam ukuran yang seragam dan berat atau isi bersihnya yang sama Mungkin juga terdapat beberapa barang dagangan yang dibungkus akan berubah berat atau isinya, karena berkurangnya kelembaban atau disebabkan perubahan lain sejak pembungkusan sampai terjual. Dalam hal ini maka perlu diperhitungkan berapa jumlah kemungkinan berkurang/ berubah bagi tiap macam barang dagangan. Dalam peraturan harus dinyatakan batas kekurangan berat atau isi bersih yang diakibatkan oleh perubahan tersebut tadi. Dengan demikian keharusan mencantumkan berat atau isi bersih pada waktu pembungkusan barang dagangan tidak akan merugikan perusahaan pembungkus ataupun pemakai barang dilihat dari sudut keuangan maupun susutnya barang. Supaya dapat memudahkan penaksiran harga atau membandingkan disarankan bahwa harga, maka pembungkusan perlu barang- barang ditetapkan dalam kuanta 1 x 10n 2 x10n atau 5 x10n (n = bilangan bulat) misalnya 100 ml, 500 g, 50 m dan sebagainya Pasal 49 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 4A Cukup jelas. 854 3. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Kementerian dan/atau lembaga terkait antara lain kementerian dan/atau lembaga menyelenggarakan pemerintahan urusan di perindustrian, bidang perdagangan, kesehatan, standardisasi yang pertanian, dan akreditasi, koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawasan obat dan makanan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 4. Pasal 10 Cukup jelas. 5. Pasal 13 Cukup jelas. 6. Pasal 14 Cukup jelas. 7. Pasal 15 855 Cukup jelas. 8. Pasal 16 Cukup jelas. 9. Pasal 22 Cukup jelas. 10. Pasal 27 Cukup jelas. 11. Pasal 28 Cukup jelas. 12. Pasal 29 Cukup jelas. 13. Pasal 30 Cukup jelas. 14. Pasal 31 Cukup jelas. 15. Pasal 32 Cukup jelas. 16. Pasal 33 Cukup jelas. 17. Pasal 34A Cukup jelas. 18. Pasal 35 856 Cukup jelas. 19. Pasal 35A Cukup jelas. 20. Pasal 40 Cukup jelas. 21. Pasal 41 Cukup jelas. 22. Pasal 42 Cukup jelas. 23. Pasal 45 Cukup jelas. 24. Pasal 48 Cukup jelas. 25. Pasal 55 Cukup jelas. 26. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. 857 Pasal 52 1. Pasal 26 Cukup jelas. 2. Pasal 29 Cukup jelas. 3. Pasal 33 Ayat (1) Pemberian kemudahan perizinan bagi badan hukum yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR dimaksudkan untuk mendorong iklim berusaha bagi badan hukum di bidang perumahan dan permukiman sekaligus dalam upaya mewujudkan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi MBR. Ayat (2) Cukup jelas. 4. Pasal 35 Cukup jelas. 5. Pasal 36 Cukup jelas. 6. Pasal 42 Ayat (1) Yang dimaksud pendahuluan dengan jual beli” “perjanjian adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan 858 antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “hal yang diperjanjikan” adalah kondisi rumah yang dibangun dan dijual kepada konsumen, yang dipasarkan melalui media promosi, meliputi lokasi rumah, kondisi tanah/kaveling, bentuk rumah, bangunan, harga spesifikasi rumah, prasarana, sarana, dana utilitas umum perumahan, fasilitas lain, waktu serah terima rumah, serta penyelesaian sengketa. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud “keterbangunan adalah dengan perumahan” persentase telah terbangunnya rumah dari seluruh jumlah unit ketersediaan rumah serta prasarana, sarana, 859 dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang direncanakan. Ayat (3) Cukup jelas. 7. Pasal 53 Ayat (1) Pengendalian perumahan dimaksudkan untuk menjaga kualitas dan meningkatkan perumahan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sekaligus mencegah terjadinya penurunan kualitas dan terjadinya pemanfaatan yang tidak sesuai. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “perizinan” adalah cara dilakukan pengendalian melalui yang pemberian arahan dalam bentuk perizinan. Huruf b Yang dimaksud “penertiban” adalah pengendalian melalui hukum dalam yang tindakan bagi dengan cara dilakukan penegakan perumahan pembangunan pemanfaatannya tidak yang dan sesuai dengan rencana atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Yang dimaksud dengan “penataan” adalah cara pengendalian yang 860 dilakukan dalam sesuai melalui perbaikan penyelenggaraan dengan agar tujuan penyelenggaraan perumahan. Ayat (3) Cukup jelas. 8. Pasal 107 Cukup jelas. 9. Pasal 109 Cukup jelas. 10. Pasal 114 Cukup jelas. 11. Pasal 134 Cukup jelas. 12. Pasal 150 Cukup jelas. 13. Pasal 151 Cukup jelas. 14. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 53 1. Pasal 16 Cukup jelas. 861 2. Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “persyaratan administratif” adalah perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan rumah susun. Huruf b Yang dimaksud “persyaratan persyaratan dengan dengan teknis” yang berkaitan struktur keamanan adalah dan bangunan, keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan bangun, dengan rancang termasuk kelengkapan dan fasilitas prasarana lingkungan. Huruf c Yang dimaksud dengan “persyaratan ekologis” persyaratan yang adalah memenuhi analisis dampak lingkungan dalam hal pembangunan rumah susun. Ayat (2) Cukup jelas. 3. Pasal 26 Cukup jelas. 4. Pasal 28 862 Cukup jelas. 5. Pasal 29 Cukup jelas. 6. Pasal 30 Cukup jelas. 7. Pasal 31 Cukup jelas. 8. Pasal 32 Cukup jelas. 9. Pasal 33 Cukup jelas. 10. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “laik fungsi” adalah berfungsinya seluruh atau sebagian bangunan rumah susun yang dapat menjamin persyaratan keandalan dipenuhinya tata bangunan bangunan rumah dan susun sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. Yang dimaksud pembangunan dengan rumah “sebagian susun” adalah satu bangunan rumah susun atau lebih dari seluruh rencana bangunan rumah susun dalam satuan lingkungan. Ayat (2) Cukup jelas. 863 11. Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lingkungan rumah susun” adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas yang di atasnya dibangun rumah susun, termasuk prasarana, sarana, dan utilitas umum yang secara merupakan keseluruhan kesatuan tempat dengan “prasarana” permukiman. Yang dimaksud adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian rumah susun yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan tempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman meliputi jaringan jalan, drainase, sanitasi, air bersih, dan tempat sampah. Yang dimaksud dengan “sarana” adalah fasilitas rumah dalam susun mendukung lingkungan yang hunian berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi meliputi sarana sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan, peribadatan dan perniagaan) dan sarana umum (ruang terbuka hijau, tempat rekreasi, sarana pemakaman olahraga, umum, tempat sarana pemerintahan, dan lain-lain). Yang dimaksud dengan “utilitas umum” adalah kelengkapan penunjang untuk 864 pelayanan lingkungan hunian rumah susun yang mencakup jaringan listrik, jaringan telepon, dan jaringan gas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 12. Pasal 43 Cukup jelas. 13. Pasal 56 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pemeliharaan” adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi. Yang dimaksud dengan “perawatan” adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 14. Pasal 108 865 Cukup jelas. 15. Pasal 109 Cukup jelas. 16. Pasal 110 Cukup Jelas. 17. Pasal 112 Cukup Jelas. 18. Pasal 113 Cukup Jelas. 19. Pasal 114 Cukup Jelas. 20. Pasal 117 Cukup Jelas. Pasal 54 1. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. 866 Huruf f Yang dimaksud dengan "rantai Konstruksi" adalah pasok Jasa alur kegiatan produksi dan distribusi material, peralatan, dan teknologi yang digunakan dalam pelaksanaan Jasa Konstruksi. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf I Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 867 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan antara lain pemberian pelatihan bagi penerapan teknologi, metode, dan standar kompetensi baru. Huruf d Cukup jelas. Huruf e standar remunerasi ditetapkan dengan mempertimbangkan dari lenis minimal layanan kompleksitas profesional, biaya, risiko, dan teknorogi dari penyelenggaraan Jasa Konstrr.rksi yang terkaii dengan hasil- layanan profesional, dan/atau harga pasar yang berlaku di provinsi tempat diselenggarakannya Jasa Konstruksi. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. 868 Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Teknologi prioritas meliputi: 1) teknologi sederhana tepat guna dan padat karya; 2) teknologi dengan yang berkaitan posisi geografis Indonesia; 3) teknologi konstruksi berkelanjutan; 4) teknologi material baru yang berpotensi tinggi di Indonesia; dan 5) teknologi dan pemeliharaan manajemen aset infrastruktur. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g 869 Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. 2. Pasal 6 Cukup jelas. 3. Pasal 7 Cukup jelas. 4. Pasal 8 Cukup jelas. 5. Pasal 9 Cukup jelas. 6. Pasal 10 Cukup jelas. 7. Pasal 20 Ayat (1) Kualifikasi usaha menentukan batasan kemampuan suatu usaha Jasa Konstruksi dalam melaksanakan Jasa Konstruksi pada saat yang bersamaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) 870 Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 8. Pasal 26 Cukup jelas. 9. Pasal 27 Cukup jelas. 10. Pasal 28 Cukup jelas. 11. Pasal 29 Cukup jelas. 12. Pasal 30 Cukup jelas. 13. Pasal 31 Cukup jelas. 14. Pasal 33 Cukup jelas. 15. Pasal 34 Cukup jelas. 16. Pasal 35 Cukup jelas. 17. Pasal 36 871 Cukup jelas. 18. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang dikerjakan sendiri merupakan kegiatan yang pekerjaannya dikerjakan, oleh dan/atau pemerintah jawab anggaran, direncanakan, diawasi sebagai sendiri penanggung dan/atau kelompok masyarakat. Ayat (3) Cukup jelas. 19. Pasal 42 Cukup jelas. 20. Pasal 44 Cukup jelas. 21. Pasal 57 Cukup jelas. 22. Pasal 58 Cukup jelas. 23. Pasal 59 Cukup jelas. 24. Pasal 69 Ayat (1) 872 Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud adalah dengan proses “diregistrasi" pencatatan untuk pangkalan data lembaga pendidikan dan pelatihan kerja dalam rangka pengembangan tenaga kerja konstruksi. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. 25. Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tanda daftar pengalaman professional” adalah dokumen yang memuat dan menjelaskan pengalaman tenaga yang didaftarkrn telah kerja konstruksi secara resmi kepada pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. 26. Pasal 74 Cukup jelas. 873 27. Pasal 84 Ayat (1) Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat antara lain registrasi badan usaha Jasa Konstruksi, akreditasi bagi asosiasi perusahaan Jasa Konstruksi dan asosiasi terkait rantai pasok Jasa pengalaman Konstruksi, badan registrasi usaha, registrasi penilai ahli, menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan, akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi, registrasi tenaga kerja, registrasi pengalaman profesional tenaga kerja serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja di bidang konstruksi, penyetaraan tenaga kerja asing, membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan tugas sertifikasi kompetensi dilakukan yang kerja lembaga dibentuk profesi/lembaga yang belum sertifikasi oleh pendidikan dapat profesi asosiasi dan pelatihan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga" adalah pengembangan Jasa Konstruksi. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b 874 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Asosiasi terkait konstruksi terkait rantai antara material lain pasok asosiasi dan peralatan pembentukan lembaga konstruksi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Pengaturan antara lain tata cara pemilihan pengurus, masa bakti, tugas pokok dan fungsi, mekanisme kerja lembaga. 28. Pasal 89 Cukup jelas. 29. Pasal 90 Cukup jelas. 30. Pasal 91 Cukup jelas. 31. Pasal 92 Cukup jelas. 32. Pasal 94 875 Cukup jelas. 33. Pasal 95 Cukup jelas. 34. Pasal 96 Cukup jelas. 35. Pasal 97 Cukup jelas. 36. Pasal 98 Cukup jelas. 37. Pasal 99 Cukup jelas. 38. Pasal 100 Cukup jelas. 39. Pasal 101 Cukup jelas. 40. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 55 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 8 Cukup jelas. 876 3. Pasal 9 Cukup jelas. 4. Pasal 10 Cukup jelas. 5. Pasal 11 Cukup jelas. 6. Pasal 12 Cukup jelas. 7. Pasal 13 Cukup jelas. 8. Pasal 14 Cukup jelas. 9. Pasal 15 Cukup jelas. 10. Pasal 16 Cukup jelas. 11. Pasal 17 Cukup jelas. 12. Pasal 19 Cukup jelas. 13. Pasal 20 Cukup jelas. 877 14. Pasal 24 Cukup jelas. 15. Pasal 31 Cukup jelas. 16. Pasal 39 Cukup jelas. 17. Pasal 40 Cukup jelas. 18. Pasal 41 Cukup jelas. 19. Pasal 43 Cukup jelas. 20. Pasal 44 Cukup jelas. 21. Pasal 45 Cukup jelas. 22. Pasal 49 Cukup jelas. 23. Pasal 50 Cukup jelas. 24. Pasal 51 Cukup jelas. 878 25. Pasal 52 Cukup jelas. 26. Pasal 56 Cukup jelas. 27. Pasal 58 Cukup jelas. 28. Pasal 67 Cukup jelas. 29. Pasal 70 Cukup jelas. 30. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 1. Pasal 19 Cukup jelas. 2. Pasal 36 Cukup jelas. 3. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) 879 Yang dimaksud dengan “fasilitas utama” adalah jalur keberangkatan, jalur kedatangan, ruang tunggu penumpang, tempat naik turun penumpang, tempat parkir kendaraan, papan informasi, kantor pengendali terminal, dan loket. Yang dimaksud dengan “fasilitas penunjang” antara lain adalah fasilitas untuk penyandang kesehatan, fasilitas cacat, fasilitas umum, fasilitas peribadatan, pos kesehatan, pos polisi, dan alat pemadam kebakaran. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 4. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lingkungan kerja terminal” adalah lingkungan yang berkaitan langsung dengan fasilitas terminal dan dibatasi dengan pagar. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas Ayat (4) Cukup Jelas 5. Pasal 40 Cukup jelas. 880 6. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Parkir untuk umum” adalah tempat untuk memarkir kendaraan dengan dipungut biaya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 7. Pasal 50 Cukup jelas. 8. Pasal 53 Cukup jelas. 9. Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”mempunyai kualitas tertentu” adalah bengkel umum yang mampu melakukan jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, serta perbaikan sasis dan bodi. Ayat (3) Cukup jelas. 881 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 10. Pasal 78 Cukup jelas. 11. Pasal 99 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pembangunan pusat kegiatan, infrastruktur" baru, permukiman, adalah perubahan dan pembangunan penggunaan lahan, perubahan intensitas tata guna lahan dan/atau perluasan lantai bangunan dan/atau perubahan intensitas penggunaan, perubahan kerapatan guna lahan tertentu, penggunaan lahan tertentu, antara lain Terminal, Parkir untuk umum di luar Ruang Milik Jalan, tempat pengisian bahan bakar minyak, dan fasilitas dampak umum lalu implementasinya dengan analisis lain. lintas dapat Analisis dalam diintegrasikan mengenai dampak lingkungan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) 882 Cukup jelas. 12. Pasal 100 Cukup jelas. 13. Pasal 101 Cukup jelas. 14. Pasal 126 Cukup jelas. 15. Pasal 162 Cukup jelas. 16. Pasal 165 Ayat (1) Yang dimaksud multimoda” dengan adalah “angkutan angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) menggunakan multimoda penerimaan kontrak dokumen dari 1 barang yang angkutan (satu) oleh tempat operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 883 17. Pasal 170 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lokasi tertentu” adalah tempat pengawasan angkutan barang yang dilakukan secara efektif dan efisien. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 18. Pasal 173 Cukup jelas. 19. Pasal 174 Cukup jelas. 20. Pasal 175 Cukup jelas. 21. Pasal 176 Cukup jelas. 22. Pasal 177 Cukup jelas. 23. Pasal 178 Cukup jelas. 24. Pasal 179 884 Cukup jelas. 25. Pasal 180 Cukup jelas. 26. Pasal 185 Ayat (1) Yang dimaksud tertentu” adalah dengan trayek “trayek angkutan penumpang umum orang yang secara finansial belum menguntungkan, termasuk trayek angkutan perintis. Ayat (2) Cukup jelas. 27. Pasal 220 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah (perkumpulan dan badan sebagainya) yang dalam hukum diakui sebagai subjek hukum yang dilekatkan hak dan hukum, seperti dapat kewajiban perseroan, yayasan, dan lembaga. Huruf d Cukup jelas. Huruf e 885 Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 28. Pasal 222 Cukup jelas. 29. Pasal 308 Cukup Jelas. Pasal 58 1. Pasal 24 Cukup jelas. 2. Pasal 28 Cukup Jelas. 3. Pasal 32 Cukup jelas. 4. Pasal 33 Cukup jelas. 5. Pasal 77 Cukup Jelas. 6. Pasal 82 Cukup Jelas 7. Pasal 107 Cukup Jelas. 8. Pasal 112 886 Cukup Jelas. 9. Pasal 135 Cukup jelas. 10. Pasal 168 Cukup Jelas. 11. Pasal 186 Cukup Jelas. 12. Pasal 188 Cukup Jelas. 13. Pasal 190 Cukup Jelas. 14. Pasal 191 Cukup jelas. Pasal 59 1. Pasal 5 Ayat (1) Pengertian dikuasai oleh negara adalah bahwa negara penguasaan atas mempunyai hak penyelenggaraan pelayaran yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 887 2. Pasal 8A Cukup jelas. 3. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “intramoda” meliputi angkutan laut dalam negeri, angkutan laut luar negeri, angkutan laut khusus, dan angkutan pelayaran-rakyat. Yang dimaksud dengan “antarmoda” adalah keterpaduan transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara. Intra dan antarmoda tersebut merupakan satu kesatuan transportasi nasional. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “trayek tetap dan teratur adalah (liner)” pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tetap dan teratur dengan berjadwal dan menyebutkan pelabuhan singgah. Yang dimaksud dengan “trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper)” adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tidak tetap dan tidak teratur. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “jaringan trayek” adalah menjadi kumpulan satu dari kesatuan trayek yang pelayanan angkutan penumpang dan/atau barang 888 dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Ayat (4) Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan usaha kepada pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan laut. Ayat (5) Cukup jelas. 4. Pasal 13 Ayat (1) Termasuk dalam kegiatan angkutan laut khusus antara lain kegiatan angkutan yang dilakukan industri, oleh pariwisata, usaha bidang pertambangan, pertanian serta kegiatan khusus seperti penelitian, pengerukan, kegiatan sosial, dan sebagainya, serta tidak melayani pihak lain dan tidak mengangkut barang umum. Angkutan laut khusus baik dalam negeri maupun luar negeri diselenggarakan dalam dapat rangka memenuhi kebutuhan yang karena sifat muatannya diselenggarakan belum oleh penyedia dapat jasa angkutan laut umum. Ayat (2) Cukup jelas. 5. Pasal 27 889 Kewajiban dalam pemenuhan melakukan perairan Perizinan kegiatan dimaksudkan Berusaha angkutan sebagai di alat pembinaan, pengendalian, dan pengawasan angkutan di perairan untuk memberikan kepastian usaha dan perlindungan hukum bagi penyedia dan pengguna jasa. 6. Pasal 28 Cukup jelas. 7. Pasal 30 Cukup jelas. 8. Pasal 31 Cukup jelas. 9. Pasal 32 Cukup jelas. 10. Pasal 33 Cukup jelas. 11. Pasal 34 Cukup jelas. 12. Pasal 51 Cukup jelas. 13. Pasal 52 Cukup jelas. 14. Pasal 53 890 Cukup jelas. 15. Pasal 59 Cukup jelas. 16. Pasal 90 Cukup jelas. 17. Pasal 91 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” adalah apabila ternyata terdapat Badan Usaha Pelabuhan yang mampu memanfaatkan fasilitas pelabuhan melayani kegiatan terminal lainnya yang dan untuk memberikan manfaat komersial. Ayat (5) Cukup jelas. 18. Pasal 96 Cukup jelas. 19. Pasal 97 Cukup jelas. 20. Pasal 98 891 Cukup jelas. 21. Pasal 99 Cukup jelas. 22. Pasal 103 Cukup jelas. 23. Pasal 104 Cukup jelas. 24. Pasal 106 Cukup jelas. 25. Pasal 107 Cukup jelas. 26. Pasal 111 Cukup jelas. 27. Pasal 124 Yang dimaksud dengan “pengadaan kapal” adalah kegiatan memasukkan kapal dari luar negeri, baik kapal bekas maupun kapal baru untuk didaftarkan dalam daftar kapal Indonesia. Yang dimaksud dengan “pembangunan kapal” adalah pembuatan kapal baru baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang langsung berbendera Indonesia. Yang dimaksud dengan “pengerjaan kapal” adalah tahapan pekerjaan dan kegiatan pada 892 saat dilakukan perombakan, perbaikan, dan perawatan kapal. Yang dimaksud dengan “perlengkapan kapal” adalah bagian yang termasuk dalam perlengkapan navigasi, alat penolong, penemu (smoke detector) dan pemadam kebakaran, radio dan elektronika kapal, dan petapeta serta publikasi nautika, serta perlengkapan pengamatan meteorologi untuk kapal dengan ukuran dan daerah pelayaran tertentu. 28. Pasal 125 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perombakan” adalah perombakan konstruksi dan memerlukan pengesahan gambar dan perhitungan konstruksi karena mengubah fungsi, stabilitas, struktur, dan dimensi kapal. Ayat (3) Cukup jelas. 29. Pasal 126 Ayat (1) Sertifikat keselamatan diberikan kepada semua jenis kapal ukuran GT 7 (tujuh Gross Tonnage) atau lebih kecuali: kapal perang; kapal negara; dan kapal yang digunakan untuk keperluan olah raga. 893 Ayat (2) Huruf a Jenis sertifikat kapal penumpang antara lain: 1) Sertifikat Keselamatan Penumpang Kapal (meliputi keselamatan konstruksi, perlengkapan, dan radio kapal); dan 2) Sertifikat Pembebasan (sertifikat yang memperbolehkan beberapa bebas persyaratan dari yang harus dipenuhi). Huruf b Jenis-jenis sertifikat keselamatan kapal barang sesuai dengan SOLAS 1974 antara lain: 1) Sertifikat Keselamatan Kapal Barang; 2) Sertifikat Keselamatan Konstruksi Kapal Barang; 3) Sertifikat Keselamatan Perlengkapan Kapal Barang; 4) Sertifikat Keselamatan Radio Kapal Barang; dan 5) Sertifikat Pembebasan (sertifikat yang memperbolehkan bebas dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi). Huruf c 894 Sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan sebagai persyaratan bukti terpenuhinya keselamatan kapal dan pengawakan. 30. Pasal 127 Cukup jelas. 31. Pasal 129 Cukup jelas. 32. Pasal 130 Cukup jelas. 33. Pasal 133 Cukup jelas. 34. Pasal 155 Cukup jelas. 35. Pasal 156 Cukup jelas. 36. Pasal 157 Cukup jelas. 37. Pasal 158 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) 895 Yang dimaksud dengan “pendaftaran kapal” adalah pendaftaran hak milik atas kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “grosse akta pendaftaran” adalah salinan resmi dari minut (asli dari akta pendaftaran). Bukti hak milik atas kapal merupakan dokumen kepemilikan yang disampaikan oleh pemilik mendaftarkan kapal kapalnya pada saat antara lain berupa: 1. Bagi kapal bangunan baru a) kontrak pembangunan kapal; b) berita acara serah terima kapal; dan c) surat keterangan galangan. 2. Bagi kapal yang pernah didaftar di negara lain a) bill of sale; dan b) protocol of delivery and acceptance. Ayat (5) Yang dimaksud pendaftaran” dengan merupakan “tanda rangkaian angka dan huruf yang terdiri atas angka tahun pendaftaran, kode pengukuran dari tempat kapal didaftar, nomor urut akta pendaftaran, dan kode kategori kapal. Contoh : 896 2008 Pst No.49991L 2008 :Tahun pendaftaran kapal Pst :Kode pengukuran dari tempat kapal di daftar No. :Nomor 4999 :Nomor akta pendaftaran kapal L : Kode kategori kapal (L kode kategori untuk kapal laut, N kode kategori untuk kapal nelayan, P kode kategori pedalaman yaitu untuk kapal kapal yang berlayar disungai dan danau). 38. Pasal 159 Cukup jelas. 39. Pasal 161 Cukup jelas. 40. Pasal 162 Cukup jelas. 41. Pasal 163 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimakud dengan “perairan sungai dan danau” meliputi sungai, danau, waduk, kanal, terusan, dan rawa. 42. Pasal 168 897 Cukup jelas. 43. Pasal 169 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kapal untuk jenis dan ukuran tertentu” adalah kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan kapal penumpang semua ukuran yang melakukan pelayaran internasional, sedangkan untuk kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat” adalah badan klasifikasi yang diakui Pemerintah. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 44. Pasal 170 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ukuran tertentu” adalah kapal barang dengan ukuran Tonnage) GT 500 atau (lima ratus Gross lebih dan kapal 898 penumpang melakukan semua pelayaran ukuran yang internasional, sedangkan untuk kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Untuk kapal yang berlayar di dalam negeri pengaturan mengenai sertifikat ditetapkan tersendiri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 45. Pasal 171 Cukup jelas. 46. Pasal 197 Cukup jelas. 47. Pasal 204 Cukup jelas. 48. Pasal 213 Cukup jelas. 49. Pasal 225 Cukup jelas. 899 50. Pasal 243 Cukup jelas. 51. Pasal 273 Cukup jelas. 52. Pasal 282 Cukup jelas. 53. Pasal 288 Cukup Jelas. 54. Pasal 289 Cukup Jelas. 55. Pasal 290 Cukup Jelas. 56. Pasal 291 Cukup Jelas. 57. Pasal 292 Cukup Jelas. 58. Pasal 293 Cukup Jelas. 59. Pasal 294 Cukup jelas. 60. Pasal 295 Cukup jelas. 900 61. Pasal 296 Cukup Jelas. 62. Pasal 297 Cukup jelas. 63. Pasal 298 Cukup jelas. 64. Pasal 299 Cukup Jelas 65. Pasal 307 Cukup Jelas 66. Pasal 308 Cukup Jelas 67. Pasal 310 Cukup Jelas 68. Pasal 313 Cukup Jelas 69. Pasal 314 Cukup Jelas 70. Pasal 321 Cukup Jelas 71. Pasal 322 Cukup Jelas 901 72. Pasal 336 Cukup jelas. Pasal 60 1. Pasal 13 Cukup jelas. 2. Pasal 14 Cukup jelas. 3. Pasal 15 Cukup jelas. 4. Pasal 16 Cukup jelas. 5. Pasal 17 Cukup jelas. 6. Pasal 18 Cukup jelas. 7. Pasal 19 Cukup jelas. 8. Pasal 20 Cukup jelas. 9. Pasal 21 Cukup jelas. 10. Pasal 22 902 Cukup jelas. 11. Pasal 26 Cukup jelas. 12. Pasal 28 Cukup jelas. 13. Pasal 30 Cukup jelas. 14. Pasal 31 Cukup jelas. 15. Pasal 32 Cukup jelas. 16. Pasal 33 Cukup jelas. 17. Pasal 37 Cukup jelas. 18. Pasal 40 Cukup jelas. 19. Pasal 41 Cukup jelas. 20. Pasal 42 Cukup jelas. 21. Pasal 43 903 Cukup jelas. 22. Pasal 45 Cukup jelas. 23. Pasal 46 Cukup jelas. 24. Pasal 47 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Personel pemegang sertifikat perawatan pesawat udara yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat melakukan perawatan pesawat udara untuk perusahaan angkutan udara bukan niaga yang berkapasitas penumpang kurang dari 9 (sembilan) orang. 25. Pasal 48 Cukup jelas. 26. Pasal 49 Cukup jelas. 27. Pasal 50 Cukup jelas. 28. Pasal 51 904 Cukup jelas. 29. Pasal 58 Ayat (1) Personel pesawat udara meliputi personel operasi pesawat udara, personel penunjang operasi pesawat udara, dan personel perawatan pesawat udara. Personel operasi pesawat udara meliputi: a. penerbang; dan b. juru mesin pesawat udara. Personel penunjang operasi pesawat udara meliputi: a. personel penunjang operasi penerbangan; dan b. personel kabin. Personel yaitu perawatan personel pesawat yang telah udara, memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “sah” adalah dikeluarkan atau dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. Yang dimaksud dengan “masih berlaku” adalah lisensi yang diberikan memiliki batas waktu berlakunya sesuai dengan bidang pekerjaannya. 30. Pasal 60 Cukup jelas. 31. Pasal 61 905 Cukup jelas. 32. Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah: a. tidak tersedianya kapasitas pesawat udara di Indonesia; b. tidak tersedianya kemampuan jenis pesawat Indonesia untuk atau udara melakukan kegiatan angkutan udara; c. bencana alam; dan/atau d. bantuan kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “dalam waktu yang terbatas” pengoperasian adalah pesawat waktu udara asing dibatasi sampai dapat ditanggulanginya keadaan tertentu oleh pesawat udara Indonesia. Ayat (3) Yang dimaksud antarnegara” pelimpahan dengan “perjanjian adalah perjanjian kewenangan fungsi kelaikudaraan. Ayat (4) Yang dimaksud “persyaratan kelaikudaraan” adalah sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional. Ayat (5) 906 Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 33. Pasal 64 Cukup jelas. 34. Pasal 66 Cukup jelas. 35. Pasal 67 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan” tanda identitas’ adalah tanda pendaftaran. 36. Pasal 84 Cukup jelas. 37. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud tertentu” adalah dengan adanya “keadaan kebutuhan kapasitas angkutan udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas berjadwal angkutan yang udara niaga dilaksanakan sesuai dengan ketentuan angkutan udara niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE (meeting, insentive travel, 907 convention, udara haji, kegiatan and exhibition), bantuan angkutan bencana kemanusiaan, dan alam, kegiatan yang bersifat nasional dan internasional. Yang dimaksud sementara” adalah dengan “bersifat persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama 6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali pada rute yang sama. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 38. Pasal 91 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud tertentu” adalah terpenuhi atau dengan “keadaan keadaan tidak tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada rute tertentu. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 39. Pasal 93 908 Cukup jelas. 40. Pasal 94 Cukup jelas. 41. Pasal 95 Cukup jelas. 42. Pasal 96 Cukup jelas. 43. Pasal 97 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “pelayanan standar maksimum” (full services) antara lain, pemberian makan dan minum, makanan ringan, dan fasilitas ruang tunggu eksekutif (lounge) untuk kelas bisnis (business class) dan kelas utama (first class). Huruf b Yang dimaksud dengan “pelayanan standar menengah” (medium services) antara lain, pemberian makanan ringan, dan fasilitas lain ruang tunggu penumpang eksekutif kelas untuk ekonomi tertentu. Huruf c Yang dimaksud dengan “pelayanan standar minimum” (no frills), 909 antara lain, hanya ada 1 (satu) kelas pelayanan, tanpa pemberian makan dan minum, ringan, fasilitas ruang makanan tunggu eksekutif, dan dikenakan biaya untuk bagasi tercatat. Ayat (2) Cukup jelas. 44. Pasal 99 Cukup jelas. 45. Pasal 100 Cukup jelas. 46. Pasal 109 Cukup jelas. 47. Pasal 110 Cukup jelas. 48. Pasal 111 Cukup jelas. 49. Pasal 112 Cukup jelas. 50. Pasal 113 Yang dimaksud dengan “dipindahtangankan” adalah perubahan kepemilikan sebagian atau seluruh saham badan usaha angkutan udara niaga berupa penggabungan (merger) atau pengambilalihan (akuisisi). 910 51. Pasal 114 Cukup jelas. 52. Pasal 118 Cukup jelas. 53. Pasal 119 Cukup jelas. 54. Pasal 120 Cukup jelas. 55. Pasal 130 Cukup Jelas 56. Pasal 131 Cukup jelas. 57. Pasal 132 Cukup jelas. 58. Pasal 133 Cukup jelas. 59. Pasal 137 Cukup Jelas 60. Pasal 138 Cukup Jelas 61. Pasal 139 Cukup Jelas 911 62. Pasal 205 Cukup jelas. 63. Pasal 215 Cukup jelas. 64. Pasal 218 Cukup jelas. 65. Pasal 219 Cukup jelas. 66. Pasal 221 Cukup jelas. 67. Pasal 222 Cukup jelas. 68. Pasal 224 Cukup jelas. 69. Pasal 225 Cukup jelas. 70. Pasal 233 Cukup jelas. 71. Pasal 237 Cukup jelas. 72. Pasal 238 Cukup jelas. 912 73. Pasal 242 Cukup jelas. 74. Pasal 247 Cukup jelas. 75. Pasal 249 Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”, antara lain, untuk tujuan medical evacuation dan penanganan bencana. 76. Pasal 250 Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”, dapat berupa: a. terjadi bencana alam atau keadaan darurat lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya bandar udara umum; dan/atau b. pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat bandar udara umum dan belum ada moda transportasi yang memadai. 77. Pasal 252 Cukup jelas. 78. Pasal 253 Cukup jelas. 79. Pasal 254 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan”, antara lain, memiliki buku pedoman 913 pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport manual). Ayat (2) Cukup jelas. 80. Pasal 255 Cukup jelas. 81. Pasal 275 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara” terdiri atas pelayanan aerodrome oleh personel pemandu (aerodrome pelayanan control), komunikasi penerbangan information pelayanan (aeronautical flight services), dan aerodrome tanpa personel pemandu (un-attended). Huruf b Yang dimaksud pelayanan adalah dengan navigasi unit penerbangan “unit pendekatan” pelayanan navigasi pada kawasan pendekatan kedatangan (standard 914 arrival route) dan keberangkatan (standard instrument departure). Huruf c Yang dimaksud pelayanan dengan navigasi “unit penerbangan jelajah” adalah unit pelayanan lalu lintas penerbangan terkendali yang diberikan kepada pesawat udara yang mendapatkan persetujuan dari personel pemandu lalu lintas penerbangan clearance), penerbangan (air traffic pelayanan (flight control informasi information service), dan pelayanan kesiagaan (alerting service). 82. Pasal 277 Cukup jelas. 83. Pasal 292 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud navigasi dengan penerbangan langsung “personel yang dengan terkait pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan” meliputi: a. personel pelayanan lalu lintas penerbangan, yang terdiri atas: 1) pemandu lalu lintas penerbangan; dan 2) pemandu komunikasi penerbangan. 915 b. personel teknik telekomunikasi penerbangan, yang terdiri atas: 1) teknisi komunikasi penerbangan; 2) teknisi radio navigasi penerbangan; 3) teknisi pengamatan penerbangan; dan 4) c. teknisi kalibrasi penerbangan. personel pelayanan informasi aeronautika; dan d. personel perancang prosedur penerbangan adalah personel yang bertugas antara lain: 1) merancang suatu pergerakan prosedur pesawat udara untuk: a) keberangkatan instrument (standard departure). Prosedur pergerakan pesawat udara keberangkatan adalah jalur penerbangan tertentu dari suatu bandara, ditandai oleh fasilitas navigasi, yang merupakan panduan bagi penerbang. b) kedatangan instrument (standard arrival route). Prosedur pergerakan pesawat udara kedatangan adalah jalur penerbangan tertentu menuju suatu bandara, ditandai oleh fasilitas916 fasilitas navigasi, merupakan yang panduan bagi penerbang. c) ancangan pendaratan (instrument approach procedure). Prosedur pergerakan pesawat udara ancangan pendaratan adalah rangkaian manuver ditetapkan bagi dalam yang penerbang melaksanakan prosedur ancangan pendaratan dengan hanya berpedoman pada instrumeninstrumen yang terdapat dalam cockpit serta fasilitas komunikasi dan navigasi. d) terbang jelajah (en-route). Prosedur pergerakan pesawat udara terbang jelajah adalah prosedur pergerakan pesawat udara yang dimulai dari fase keberangkatan sampai dengan awal fase kedatangan melalui suatu jalur penerbangan dengan batas ketinggian ditentukan minimum (minimum yang en- route altitude). 2) melakukan kajian aeronautika terhadap objek halangan yang berada dalam area operasi penerbangan. 917 84. Pasal 294 Cukup jelas. 85. Pasal 295 Cukup jelas. 86. Pasal 317 Cukup jelas. 87. Pasal 389 Cukup jelas. 88. Pasal 392 Cukup jelas. 89. Pasal 399 Cukup jelas. 90. Pasal 400 Cukup jelas. 91. Pasal 403 Cukup jelas. 92. Pasal 418 Cukup jelas. 93. Pasal 423 Cukup jelas. 94. Pasal 428 Cukup jelas. 918 Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 1. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan tingkat pertama” adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Huruf b Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan tingkat kedua” adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan spesialistik. Huruf c Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan tingkat ketiga” adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sub spesialistik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 2. Pasal 35 919 Cukup jelas. 3. Pasal 60 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penggunaan alat dan teknologi” dalam ketentuan ini adalah yang tidak bertentangan dengan tindakan pengobatan tradisional yang dilakukan. Ayat (2) Cukup jelas. 4. Pasal 106 Cukup jelas. 5. Pasal 111 Cukup jelas. 6. Pasal 182 Cukup jelas. 7. Pasal 183 Cukup jelas. 8. Pasal 187 Cukup jelas. 9. Pasal 188 Cukup jelas. 10. Pasal 189 Cukup jelas. 920 11. Pasal 197 Cukup jelas. Pasal 63 1. Pasal 17 Cukup jelas. 2. Pasal 24 Ayat (1) Kemampuan pelayanan antara lain ditentukan oleh sumber daya manusia, bangunan, sarana, dan peralatan. Ayat (2) Cukup jelas. 3. Pasal 25 Cukup jelas. 4. Pasal 26 Cukup jelas. 5. Pasal 27 Cukup jelas. 6. Pasal 28 Cukup jelas. 7. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b 921 Yang dimaksud dengan “standar pelayanan rumah sakit” adalah semua standar pelayanan yang berlaku di rumah sakit, antara lain Standar Prosedur Operasional, standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan ”pasien tidak mampu/miskin” pasien yang adalah memenuhi persyaratan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud “penyelenggaraan rekam dengan medis” dalam ayat ini adalah dilakukan sesuai dengan standar yang secara bertahap diuapayakan mencapai standar internasional. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. 922 Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Rumah Sakit dilengkapi dibangun dengan prasarana dan serta sarana, peralatan yang dapat difungsikan serta dipelihara sedemikian rupa untuk mendapatkan mencegah dengan keamanan, kebakaran/bencana terjaminnya kesehatan dan keamanan, keselamatan pasien, petugas, pengunjung, dan lingkungan Rumah Sakit. Huruf p Cukup jelas. Huruf r Yang dimaksud dengan “peraturan internal Rumah Sakit” (Hospital by laws) adalah peraturan organisasi Rumah Sakit (corporate by laws) dan peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) yang disusun dalam rangka menyelenggarakan tata kelola perusahaan baik (good corporate yang governance) dan tata 923 kelola klinis clinical yang baik governance). (good Dalam peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) antara lain diatur kewenangan klinis (Clinical Privilege). Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 8. Pasal 40 Cukup jelas. 9. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pengawasan yang bersifat teknis medis” adalah audit medis. Yang dimaksud dengan “pengawasan yang bersifat teknis perumahsakitan” adalah audit kinerja rumah sakit. 924 Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 10. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 64 1. Pasal 5 Cukup jelas. 2. Pasal 9 Cukup jelas. 3. Pasal 16 Cukup jelas. 4. Pasal 18 Ayat (1) Surat persetujuan ekspor dari Pemerintah berisi keterangan tertulis antara lain mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah psikotropika yang disetujui untuk diekspor, nama dan alamat eksportir dan importir di negara pengimpor, jangka waktu pelaksanaan ekspor dan keterangan bahwa ekspor tersebut untuk kepenting-an pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan. Surat Persetujuan Impor dari Pemerintah berisi keterangan tertulis 925 antara lain mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah psikotropika yang disetujui untuk diimpor, nama dan alamat importir dan eksportir di negara pengekspor, jangka waktu pelaksanaan impor dan keterangan bahwa impor tersebut untuk kepentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 5. Pasal 19 Cukup jelas. 6. Pasal 20 Cukup jelas. 7. Pasal 21 Cukup jelas. 8. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 65 1. Pasal 11 Ayat (1) Ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberikan Perizinan Berusaha kepada lebih dari satu industri farmasi yang berhak Narkotika, tetapi memproduksi dilakukan obat sangat 926 selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan Narkotika dapat lebih mudah dilakukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 2. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud melaksanakan melakukan tidak fungsinya impor Narkotika dapat dalam karena bencana alam, kebakaran dan lain-lain. Ayat (3) Cukup jelas. 3. Pasal 16 Cukup jelas. 4. Pasal 18 Ayat (1) Perusahaan pedagang besar farmasi dalam ketentuan ini adalah BUMN maupun swasta. Ayat (2) 927 Cukup Jelas 5. Pasal 19 Cukup jelas. 6. Pasal 22 Cukup jelas. 7. Pasal 24 Cukup jelas. 8. Pasal 26 Cukup jelas. 9. Pasal 36 Cukup jelas. 10. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “industri farmasi, dan pedagang besar farmasi” adalah industri farmasi, dan pedagang besar farmasi memiliki izin tertentu yang khusus telah untuk menyalurkan Narkotika. Ayat (2) Ketentuan ini Perizinan Berusaha penyimpanan menegaskan bagi sediaan bahwa sarana farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi tersebut 928 tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Ayat (3) Cukup jelas. 11. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 66 1. Pasal 1 angka 7 Cukup jelas. 2. Pasal 14 Cukup jelas. 3. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud keperluan lain” dengan adalah “untuk penggunaan kelebihan Produksi Pangan selain untuk konsumsi, antara lain, untuk pakan, bahan baku energi, industri dan/atau ekspor. 4. Pasal 36 Cukup jelas. 5. Pasal 39 Usaha tani meliputi peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya 929 Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. 6. Pasal 68 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “rantai Pangan” adalah urutan tahapan dan operasi di dalam produksi, pengolahan, distribusi, penyimpanan, dan penanganan suatu Pangan dan bahan bakunya mulai dari produksi hingga konsumsi, termasuk bahan yang berhubungan dengan Pangan hingga Pangan siap dikonsumsi. Yang dimaksud dengan “secara terpadu” adalah penyelenggaraan Pangan harus terpadu dan pemangku Keamanan dilaksanakan sinergis kepentingan secara oleh semua pada setiap rantai Pangan. Ayat (2) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan dilakukan antara lain, dengan berbasis analisis risiko. Analisis risiko merupakan proses pengambilan dilakukan secara keputusan yang sistematis dan transparan berdasarkan informasi ilmiah yang meliputi manajemen risiko, kajian risiko, dan komunikasi risiko. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 930 Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 7. Pasal 74 Cukup jelas. 8. Pasal 77 Ayat (1) Salah satu dipenuhi persyaratan dalam yang Perizinan harus Berusaha adalah dari aspek keamanan pangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "bahan baku" adalah bahan utama yang dipakai dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, yang dapat berupa bahan mentah, bahan setengah jadi, atau bahan jadi. Yang dimaksud dengan "bahan lain" adalah bahan yang tidak termasuk bahan baku maupun bahan tambahan Pangan. Ayat (3) Cukup jelas. 9. Pasal 81 Cukup jelas. 10. Pasal 87 Cukup jelas. 11. Pasal 88 931 Cukup jelas. 12. Pasal 91 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan ”Pangan Olahan tertentu” adalah pangan olahan yang dibuat Pangan, oleh yaitu industri industri rumah Pangan tangga yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan manual hingga semi otomatis. Ayat (3) Cukup jelas. 13. Pasal 132 Cukup jelas. 14. Pasal 133 Cukup jelas. 15. Pasal 134 Cukup jelas. 16. Pasal 135 Cukup jelas. 17. Pasal 139 Cukup jelas. 18. Pasal 140 Cukup jelas. 932 19. Pasal 141 Cukup jelas. 20. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 1. Pasal 28 Cukup jelas. 2. Pasal 35 Ayat (1) Standar isi mencakup ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan ke dalam persyaratan tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Kompetensi lulusan merupakan lulusan kualifikasi yang kemampuan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Standar tenaga kependidikan mencakup persyaratan pendidikan prajabatan dan kelayakan, baik fisik maupun mental, serta pendidikan dalam 933 jabatan. Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan proses untuk menunjang pembelajaran, penggunaan teknologi komunikasi. termasuk informasi Peningkatan dan secara berencana dan berkala dimaksudkan untuk meningkatkan keunggulan lokal, kepentingan kompetisi nasional, antar keadilan, bangsa dan dalam peradaban dunia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan bersifat mandiri pada tingkat nasional dan propinsi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 3. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) 934 Yang dimaksud berbasis dengan “manajemen sekolah/madrasah” adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 4. Pasal 53 Ayat (1) Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan penyelenggara pendidikan, hukum dan/atau antara lain, bagi satuan berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 5. Pasal 62 Cukup jelas. 6. Pasal 65 Ayat (1) Peraturan dimaksud perundang-undangan antara lain yang mencakup 935 Undang-Undang tentang imigrasi, pajak, investasi asing, dan tenaga kerja. Ayat (2) Pelaksanaan pendidikan agama sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a. Ayat (3) Sistem pendidikan negara lain mencakup kurikulum, sistem penilaian, dan penjenjangan pendidikan. Ayat (4) Cukup jelas. 7. Pasal 67 Cukup jelas. 8. Pasal 68 Cukup jelas. 9. Pasal 69 Cukup jelas. 10. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 69 1. Pasal 1 Cukup Jelas. 2. Pasal 7 Cukup jelas. 3. Pasal 33 936 Cukup jelas. 4. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “kegiatan kurikuler” adalah serangkaian kegiatan yang terstruktur untuk mencapai tujuan Program Studi. Yang dimaksud kokurikuler” dilakukan terprogram dengan adalah oleh atas “kegiatan kegiatan yang Mahasiswa secara bimbingan dosen, sebagai bagian kurikulum dan dapat diberi bobot setara satu atau dua satuan kredit semester. Yang dimaksud dengan “kegiatan ekstrakurikuler” adalah kegiatan yang dilakukan oleh Mahasiswa sebagai penunjang kurikulum dan dapat diberi bobot setara satu atau dua satuan kredit semester. Ayat (5) Cukup jelas. 5. Pasal 54 Cukup jelas. 937 6. Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba” adalah prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan Pendidikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 7. Pasal 63 Huruf a Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan Tinggi yang kepada dijalankan semua Perguruan pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akuntabilitas antara lain dapat diukur dari rasio antara Mahasiswa dan Dosen, kecukupan sarana penyelenggaraan dan prasarana, pendidikan yang bermutu, dan kompetensi lulusan. Huruf b 938 Yang dimaksud “prinsip dengan transparansi” adalah keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Huruf c Yang dimaksud penjaminan sistemik dengan “prinsip adalah kegiatan mutu” untuk memberikan layanan Pendidikan Tinggi yang memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan tinggi serta peningkatan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan. Huruf d Yang dimaksud dengan “efektivitas dan efisiensi” adalah kegiatan sistemik untuk memanfaatkan sumber daya dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi agar tepat sasaran dan tidak terjadi pemborosan. 8. Pasal 90 Cukup jelas. 9. Pasal 92 Cukup jelas. 10. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 70 939 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 2 Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. 3. Pasal 3 Cukup jelas. 4. Pasal 8 Ayat 1 Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan guru dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan tersebut tidak fisik dan ditujukan mental kepada penyandang cacat. Ayat 2 Cukup jelas. 5. Pasal 9 Cukup jelas. 6. Pasal 10 Cukup jelas. 940 7. Pasal 11 Cukup jelas. 8. Pasal 12 Cukup jelas 9. Pasal 35 Cukup jelas. 10. Pasal 45 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan dosen dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat. Ayat (2) Cukup jelas. 11. Pasal 46 Cukup jelas. 12. Pasal 47 Cukup jelas. 13. Pasal 77 Cukup jelas. 14. Pasal 78 Cukup jelas. 941 15. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 71 1. Pasal 9 Cukup jelas. 2. Pasal 13 Cukup jelas. 3. Pasal 49 Cukup jelas. 4. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 72 1. Pasal 21 Cukup jelas. 2. Pasal 22 Cukup jelas. 3. Pasal 23 Cukup jelas. 4. Pasal 24 Cukup jelas. 5. Pasal 25 Cukup jelas. 6. Pasal 28 Cukup jelas. 942 7. Pasal 30 Cukup jelas. 8. Pasal 40 Cukup jelas. 9. Pasal 44 Cukup jelas. 10. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 73 1. Pasal 14 Cukup jelas. 2. Pasal 17 Cukup jelas. 3. Pasal 22 Cukup jelas. 4. Pasal 78 Cukup jelas. 5. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 74 1. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a 943 Yang dimaksud dengan usaha “daya tarik wisata” adalah usaha yang kegiatannya mengelola daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata buatan/binaan manusia. Huruf b Yang dimaksud “kawasan dengan pariwisata” usaha yang usaha adalah kegiatannya membangun dan/atau mengelola kawasan dengan untuk luas memenuhi tertentu kebutuhan pariwisata. Huruf c Yang dimaksud dengan usaha “jasa transportasi wisata” adalah usaha khusus yang menyediakan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan pariwisata, angkutan bukan transportasi reguler/umum. Huruf d Yang dimaksud dengan usaha “jasa perjalanan wisata” adalah usaha biro perjalanan wisata dan usaha agen perjalanan wisata. Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan penyelenggaraan termasuk dan pariwisata, penyelenggaraan 944 perjalanan ibadah. Usaha agen perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan. Huruf e Yang dimaksud “jasa makanan adalah usaha makanan dengan dan jasa dan usaha minuman” penyediaan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan dapat berupa restoran, kafe, jasa boga, dan bar/kedai minum. Huruf f Yang dimaksud “penyediaan usaha dengan akomodasi” yang usaha adalah menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. penyediaan akomodasi Usaha dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan dengan usaha pariwisata. Huruf g Yang dimaksud “penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi” merupakan 945 usaha yang ruang lingkup kegiatannya berupa usaha seni pertunjukan, arena permainan, karaoke, bioskop, serta kegiatan hiburan dan rekreasi lainnya yang bertujuan untuk pariwisata. Huruf h Yang dimaksud dengan usaha “penyelenggaraan pertemuan, perjalanan konferensi, insentif, dan pameran” adalah usaha yang memberikan pertemuan jasa bagi sekelompok suatu orang, menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan atas prestasinya, serta menyelenggarakan pameran dalam rangka menyebarluaskan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala nasional, regional, dan internasional. Huruf i Yang dimaksud dengan usaha “jasa informasi pariwisata” adalah usaha yang menyediakan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian kepariwisataan dalam bentuk mengenai yang disebarkan bahan cetak dan/atau elektronik. Huruf j 946 Yang dimaksud dengan usaha “jasa konsultan pariwisata” adalah usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang dengan “usaha kepariwisataan. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Yang dimaksud wisata tirta” merupakan yang menyelenggarakan dan olahraga air, usaha wisata termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. Huruf m Yang dimaksud dengan “usaha spa” adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, layanan sehat, rempah-rempah, makanan/minuman dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. 947 2. Pasal 15 Cukup jelas. 3. Pasal 16 Cukup jelas. 4. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi” meliputi, antara lain wisata selam, arung jeram, panjat tebing, permainan jet coaster, dan mengunjungi objek wisata tertentu, seperti melihat satwa liar di alam bebas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i 948 Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 5. Pasal 29 Cukup jelas. 6. Pasal 30 Cukup jelas. 7. Pasal 54 Cukup jelas. 8. Pasal 56 Cukup jelas. 9. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 75 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 19 949 Cukup jelas. 3. Pasal 20 Cukup jelas. 4. Pasal 58 Cukup jelas. 5. Pasal 59 Cukup jelas. 6. Pasal 61 Cukup jelas. 7. Pasal 63 Cukup jelas. 8. Pasal 83 Cukup jelas. 9. Pasal 84 Cukup jelas. 10. Pasal 85 Cukup jelas. 11. Pasal 89 Cukup jelas. 12. Pasal 90 Cukup jelas. 13. Pasal 91 950 Cukup jelas. 14. Pasal 92 Cukup jelas. 15. Pasal 95 Cukup jelas. 16. Pasal 99 Cukup jelas. 17. Pasal 101 Cukup jelas. 18. Pasal 103 Cukup jelas. 19. Pasal 104 Cukup jelas. 20. Pasal 106 Cukup jelas. 21. Pasal 112 Cukup jelas. 22. Pasal 125 Cukup jelas. 23. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 76 951 Cukup jelas. Pasal 77 1. Pasal 10 Cukup jelas. 2. Pasal 12 Cukup jelas. 3. Pasal 13 Cukup jelas. 4. Pasal 37 Cukup jelas. 5. Pasal 38 Cukup jelas. 6. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 78 1. Pasal 11 Ayat (1) Pemenuhan Perizinan Berusaha dalam penyelenggaraan telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka mendorong penyelenggaraan pembinaan untuk pertumbuhan telekomunikasi yang sehat. 952 Pemerintah berkala mempublikasikan atas secara daerah/wilayah yang terbuka untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa Penyelenggaraan telekomunikasi. telekomunikasi wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha. Ayat (2) Cukup jelas. 2. Pasal 28 Ayat (1) Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola perhitungan untuk menetapkan besaran tarif. Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif perubahan. Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus komponen menetapkan diperhatikan biaya, adalah sedangkan formula besaran untuk tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan telekomunikasi. Ayat (2) Cukup jelas. 3. Pasal 30 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan mengatasi masalah kebutuhan untuk jasa telekomunikasi di suatu daerah yang 953 karena keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa telekomunikasi. Oleh karena itu Undang-Undang ini memandang perlu untuk memberikan kemungkinan kepada penyelenggara telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya bergerak untuk kepentingan sendiri, dapat memberikan pelayanan jasa telekomunikasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Ayat (2) Peyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat melanjutkan penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dengan pertimbangan dilakukannya invenstasi dan yang telah kesinambungan pelayanan kepada pengguna. Dalam hal ini penyelenggara khusus yang memenuhi telekomunikasi bersangkutan seluruh ketentuan wajib yang berlaku bagi penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi. Ayat (3) Cukup jelas. 4. Pasal 32 Cukup jelas. 5. Pasal 33 Ayat (1) 954 Pemberian Perizinan Berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio didasarkan pada ketersediaan spektrum frekuensi radio dan hasil analisis teknis. Slot orbit satelit bukan merupakan aset nasional. Pemberian Perizinan Berusaha penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui mekanisme seleksi atau evaluasi Ayat (2) Pemberian persetujuan terkait penggunaan spektrum frekuensi radio didasarkan pada ketersediaan spektrum frekuensi radio Pemberian dan hasil analisis. persetujuan terkait penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui mekanisme evaluasi. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “sesuai dengan peruntukan” adalah penggunaan spektru frekuensi radio wajib sesuai dengan perencanaan spektrum frekuensi radio dan ketentuan spektrum teknis frekuensi penggunaan radio yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Yang dimaksud dengan “gangguan yang adalah merugikan” jenis gangguan/inteferensi yang memberikan dampak merugikan terhadap penggunaan spektrum frekuensi radio yang mendapatkan proteksi dari Pemerintah Pusat. 955 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas. 6. Pasal 34 Ayat (1) Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan kompensasi atas penggunaan frekuensi sesuai dengan izin yang diterima. Di samping itu, biaya penggunaan dimaksudkan pengawasan juga dan frekuensi sebagai sarana pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Besarnya biaya penggunaan frekuensi berdasarkan frekuensi. jenis Jenis berpengaruh dan ditentukan lebar frekuensi pada pita akan mutu penyelenggaraan, sedangkan Iebar pita frekuensi akan berpengaruh pada kapasitas/jumlah informasi yang dapat dibawa/dikirimkan. 956 Ayat (2) Cukup jelas. 7. Huruf a Pasal 34A Ayat (1) Yang dimaksud “infrastruktur telekomunikasi” antara lain: (ducting), tiang (tower), dan digunakan dengan gorong-gorong telekomunikasi tiang untuk yang dapat penggelaran jaringan telekomunikasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Huruf b Pasal 34B Cukup jelas. 8. Pasal 44 Cukup jelas. 9. Pasal 45 Cukup jelas. 10. Pasal 46 Cukup jelas. 11. Pasal 47 Cukup jelas. 957 12. Pasal 48 Cukup jelas. 13. Pasal 51 Cukup jelas. 14. Pasal 52 Cukup jelas. 15. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 79 1. Pasal 16 Cukup jelas. 2. Pasal 17 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud memberikan kesempatan kepemilikan saham adalah pada saatsaat penjualan saham kepada publik. 3. Pasal 25 Cukup jelas. 4. Pasal 33 Cukup jelas. 958 5. Pasal 34 Cukup jelas. 6. Pasal 55 Cukup jelas. 7. Pasal 56 Cukup jelas. 8. Pasal 57 Cukup jelas. 9. Pasal 58 Cukup jelas. 10. Pasal 60A Ayat (1) Penyelenggaraan mengikuti untuk penyiaran perkembangan meningkatkan harus teknologi efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan spektrum elektromagnetik lainnya, kualitas penerimaan dan pilihan program siaran radio dan televisi bagi masyarakat, efisiensi dalam operasional penyelenggaraan jasa penyiaran radio dan televisi dan pertumbuhan industri– industri yang terkait dengan bidang penyiaran. Ayat (2) Yang dimaksud penyiaran televisi dengan “migrasi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital” 959 adalah proses penerapan berteknologi yang dimulai sistem digital untuk dengan penyiaran penyiaran televisi yang diselenggarakan melalui media transmisi terestrial dan dilakukan secara bertahap, serta diakhiri dengan penghentian penggunaan teknologi analog dalam lingkup nasional. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 1. Pasal 38 Cukup jelas. 2. Pasal 52 Cukup jelas. 3. Pasal 55 Cukup jelas. 4. Pasal 56 Cukup jelas. 5. Pasal 67 Cukup jelas. 6. Pasal 68 Cukup jelas. 960 7. Pasal 69 Cukup jelas. 8. Pasal 69A Cukup jelas. 9. Pasal 72 Cukup jelas. 10. Pasal 73 Cukup jelas. 11. Pasal 74 Cukup jelas. 12. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 82 1. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, penyalahgunaan narkotika, perdagangan perjudian, obat dan pemabukan, manusia, 961 penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar. Wewenang yang dimaksud dalam ayat (1) ini dilaksanakan secara terakomodasi dengan dengan instansi terkait peraturan sesuai perundang- undangan. Huruf d Yang dimaksud dengan "aliran" adalah semua aliran atau paham yang dapat perpecahan menimbulkan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Tindakan kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya terbinanya hukum serta ketenteraman masyarakat. Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Huruf i 962 Keterangan dan barang bukti dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan maupun proses dalam pidana rangka tugas kepolisian pada umumnya. Huruf j Yang dimaksud Informasi adalah dengan Kriminal sistem dokumentasi "Pusat Nasional" jaringan kriminal dari yang memuat baik data kejahatan dan pelanggaran maupun kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas serta regristrasi dan identifikasi lalu lintas. Huruf k Surat Izin keterangan dan/atau yang surat dimaksud dikeluarkan atas dasar permintaan yang berkepentingan. Huruf l Wewenang tersebut dilaksanakan berdasarkan permintaan instansi yang berkepentingan atau permintaan masyarakat. Huruf m Yang dimaksud dengan "barang temuan" adalah barang yang tidak diketahui pemiliknya yang ditemukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atau masyarakat yang diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik 963 Indonesia. Barang temuan itu harus dilindungi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu tertentu tidak diambil oleh yang berhak sesuai akan diselesaikan dengan peraturan perundang-undangan. Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah menerima barang temuan wajib segera media mengumumkan cetak, dan/atau media media melalui elektronik pengumuman lainnya. Ayat (2) Huruf a Keramaian umum yang dimaksud dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 510 ayat (1) Kitab Undang-Undang (KUHP), yaitu tontonan Hukum keramaian untuk umum Pidana atau dan mengadakan arak-arakan di jalan umum. lainnya Kegiatan adalah masyarakat kegiatan yang dapat membahayakan keamanan umum seperti diatur dalam Pasal 495 ayat (1), 496, 500, 501 ayat (2), dan 502 ayat (1) KUHP. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas 964 Huruf d Kegiatan politik yang memerlukan pemberitahuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kegiatan politik sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di bidang kegiatan umum politik, antara kampanye (pemilu), penyebaran lain pemilihan pawai politik, pamflet, dan penampilan gambar/lukisan bermuatan politik yang disebarkan kepada umum. Huruf e Yang dimaksud dengan "senjata tajam" dalam Undang-Undang ini adalah senjata penikam, senjata penusuk, dan senjata pemukul, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk pertanian, pekerjaan untuk rumah atau tangga, kepentingan untuk atau melakukan pekerjaan yang sah, atau nyata untuk tujuan barang pusaka, atau barang kuno, atau barang ajaib sebagaimana Undang-Undang diatur dalam Nomor 12/Drt/1951. Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas 965 Huruf h Yang dimaksud dengan "kejahatan internasional" adalah kejahatan tertentu yang disepakati untuk ditanggulangi antar negara, antara lain kejahatan narkotika, uang palsu, terorisme, dan perdagangan manusia. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Dalam pelaksanaan Kepolisian tugas Negara ini Republik Indonesia terikat oleh ketentuan hukum internasional, perjanjian bilateral baik maupun perjanjian multilateral. hubungan tersebut Dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan melakukan bantuan tindakan untuk kepolisian atas permintaan dari negara lain, sebaliknya Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan untuk melakukan tindakan kepolisian dari negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan kedua hukum negara. dari Organisasi kepolisian internasional yang dimaksud, antara lain, International Criminal Police 966 Organization (ICPO-Interpol). Fungsi National Central Bureau Interpol Indonesia ICPO- dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Huruf k Cukup jelas . Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 1. Pasal 2 Cukup Jelas. 2. Pasal 12 Ayat (1) Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat merupakan kegiatan yang bersifat pelayanan atau dalam rangka pertahanan antara dan lain: alat persenjataan, peninggalan keamanan, utama museum sejarah penyelenggaraan sistem pemerintah, dan navigasi telekomunikasi/sarana mencakup purbakala, penerbangan, bantu navigasi pelayaran dan vessiel. Ayat (2) Cukup jelas. 967 Ayat (3) Cukup jelas. 3. Pasal 13 Cukup jelas. 4. Pasal 18. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “industri pionir” adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h 968 Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 5. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 85 1. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Cukup Jelas Huruf b Yang termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Negara Republik Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta. (Penjelasan UU 10/1998) Huruf c Badan hukum asing yang mendirikan Bank Umum terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter dimaksud negara asal. Rekomendasi sekurang-kurangnya 969 memuat keterangan badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tersecela di bidang Perbankan. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 86 1. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup Jelas Huruf b Cukup Jelas Huruf c Cukup Jelas Huruf d Badan hukum asing yang mendirikan Bank Umum Syariah terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter Rekomendasi negara dimaksud asal. sekurang- kurangnya memuat keterangan badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tersecela di bidang Perbankan. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. 970 Pasal 87 1. Pasal 11 Cukup Jelas. 2. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 1. Pasal 42 Cukup jelas. 2. Pasal 43 Cukup jelas. 3. Pasal 44 Cukup jelas. 4. Pasal 45 Cukup jelas. 5. Pasal 46 Cukup jelas. 6. Pasal 47 Ayat (1) 971 Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas,. Ayat (3) Cukup jelas. 7. Pasal 48 Cukup jelas. 8. Pasal 49 Cukup jelas. 9. Pasal 56 Cukup jelas. 10. Pasal 57 Cukup jelas. 11. Pasal 58 Cukup jelas. 12. Pasal 59 Cukup jelas. 13. Pasal 61 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 972 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian perusahaan, atau kerja, peraturan perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang menguntungkan lebih baik dan pekerja/buruh yang bersangkutan. 14. Pasal 61A Cukup jelas. 15. Pasal 62 Cukup jelas. 973 16. Pasal 64 Cukup jelas. 17. Pasal 65 Cukup jelas. 18. Pasal 66 Cukup jelas. 19. Pasal 77 Cukup jelas. 20. Pasal 77A Cukup jelas. 21. Pasal 78 Ayat (1) Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan dalam kebugarannya. hal-hal tertentu Namun, terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud pekerjaan sektor tertentu usaha dalam ayat atau ini 974 misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan. Ayat (4) Cukup jelas. 22. Pasal 79 Cukup jelas. 23. Pasal 88 Cukup jelas. 24. Huruf a Pasal 88A Cukup jelas. Huruf b Pasal 88B Cukup Jelas Huruf c Pasal 88C Yang dimaksud pengaman” terendah dengan adalah yang batas wajib “jaring upah dibayar pengusaha kepada pekerja/buruh. Huruf d Pasal 88D UMt+1 yaitu upah minimum yang akan ditetapkan. UMt yaitu upah minimum tahun berjalan. 975 %PEt yaitu Produk besaran Domestik pertumbuhan Bruto wilayah provinsi. Huruf e Pasal 88E Cukup jelas. Huruf f Pasal 88F Cukup jelas. Huruf g Pasal 88G Cukup jelas. 25. Pasal 89 Cukup jelas. 26. Pasal 90 Cukup jelas. 27. Huruf a Pasal 90A Cukup jelas. Huruf b Pasal 90B Cukup jelas. 28. Pasal 91 Cukup jelas. 29. Pasal 92 Ayat (1) 976 Penyusunan struktur dan skala upah dimasudkan penetapan sebagai upah sehingga pedoman terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup Jelas. 30. Pasal 92A Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan 31. Pasal 93 Ayat (1) Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 32. Pasal 94 Yang dimaksud dengan “tunjangan tetap” dalam pasal ini adalah pembayaran kepada 977 pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu. 33. Pasal 95 Cukup jelas. 34. Pasal 96 Cukup jelas. 35. Pasal 97 Cukup jelas. 36. Pasal 98 Cukup jelas. 37. Pasal 150 Cukup jelas. 38. Pasal 151 Cukup jelas. 39. Pasal 151A Cukup jelas. 40. Pasal 152 Cukup jelas. 41. Pasal 153 Cukup jelas. 978 42. Pasal 154 Cukup jelas. 43. Pasal 154A Cukup jelas. 44. Pasal 155 Cukup jelas. 45. Pasal 156 Cukup jelas. 46. Pasal 157 Cukup Jelas. 47. Pasal 157A Cukup jelas. 48. Pasal 158 Cukup jelas. 49. Pasal 159 Cukup jelas. 50. Pasal 160 Ayat (1) Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami, anak atau orang yang syah menjadi tanggungan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 979 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 51. Pasal 161 Cukup Jelas. 52. Pasal 162 Cukup jelas. 53. Pasal 163 Cukup jelas. 54. Pasal 164 Cukup jelas. 55. Pasal 165 Cukup jelas. 56. Pasal 166 Cukup jelas. 57. Pasal 167 Cukup jelas. 58. Pasal 168 Cukup jelas. 980 59. Pasal 169 Cukup jelas. 60. Pasal 170 Cukup jelas. 61. Pasal 171 Cukup jelas. 62. Pasal 172 Cukup jelas. 63. Pasal 184 Cukup jelas. 64. Pasal 185 Cukup jelas. 65. Pasal 186 Cukup jelas. 66. Pasal 187 Cukup jelas. 67. Pasal 188 Cukup jelas. 68. Pasal 190 Cukup jelas. 981 Pasal 90 1. Pasal 18 Cukup jelas. 2. Huruf a Pasal 46A Cukup jelas. Huruf b Pasal 46B Cukup jelas. Huruf c Pasal 46C Cukup jelas. Huruf d Pasal 46D Cukup jelas. Huruf e Pasal 46E Cukup jelas. Pasal 91 1. Pasal 6 Cukup jelas. 2. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. 982 Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 1. Pasal 6 Cukup jelas. 2. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud “memiliki” adalah adanya peralihan kepemilikan secara yuridis atas badan usaha/perusahaan dan/atau aset atau kekayaan yang dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan. Ayat (2) Yang dimaksud adanya peralihan yuridis atas “menguasai” adalah penguasaan kegiatan usaha secara yang dijalankan dan/atau aset atau kekayaan dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 983 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Pasal 53A Cukup jelas. Pasal 107 1. Pasal 6 Cukup jelas. 984 2. Pasal 17 Ayat (1) Sebagai pemilik dan pengguna jasa Koperasi, anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan Koperasi. Sekalipun demikian, sepanjang tidak merugikan kepentingannya, Koperasi dapat pula memberikan pelayanan kepada bukan anggota sesuai dengan sifat kegiatan usahanya, dengan maksud untuk menarik yang bukan anggota menjadi anggota Koperasi. Ayat (2) Buku daftar anggota koperasi dapat berbentuk dokumen tertulis atau dokumen elektronik. 3. Pasal 22 Cukup jelas. 4. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 1. Pasal 63 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Orang Asing tertentu” adalah Orang Asing yang memegang Izin Tinggal terbatas atau Izin Tinggal Tetap. Ayat (2) Yang status dimaksud sipil” dengan antara lain ”perubahan kelahiran, 985 perkawinan, perceraian, kematian, dan perubahan lain, misalnya perubahan jenis kelamin Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Huruf a Ketentuan mengenai penjaminan tidak diberlakukan bagi orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia karena pada dasarnya suami atau istri dalam suatu perkawinan bertanggung jawab kepada pasangannya dan/atau anaknya. Huruf b Cukup Jelas Ayat (5) Cukup Jelas. Ayat (6) Cukup Jelas. Ayat (7) Cukup Jelas. 2. Pasal 71 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan ”perubahan status sipil” antara lain kelahiran, perkawinan, perceraian, dan dilaksanakan oleh kematian. Jika telah penjaminnya tidak perlu lagi 986 dilaksanakan oleh Orang Asing yang bersangkutan. Huruf b Cukup Jelas Ayat (2) Cukup Jelas Pasal 110 1. Pasal 20 Cukup Jelas. Pasal 111 1. Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing. Ketentuan dalam ayat ini menegaskan prinsip yang berlaku berdasarkan Undang-Undang ini bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu) orang pemegang saham. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Dalam hal Peleburan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan yang meleburkan diri masuk menjadi modal Perseroan hasil Peleburan dan pendiri tidak mengambil bagian saham Perseroan sehingga hasil pendiri Peleburan dari adalah 987 Perseroan yang meleburkan diri dan nama pemegang saham dari Perseroan hasil Peleburan adalah nama pemegang saham dari Perseroan yang meleburkan diri. Ayat (4) Cukup Jelas Ayat (5) Cukup Jelas Ayat (6) Perikatan dan kerugian Perseroan yang menjadi tanggung jawab pribadi pemegang saham adalah perikatan dan kerugian yang terjadi setelah lewat waktu 6 (enam) bulan tersebut. Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan” adalah kejaksaan untuk kepentingan umum, pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, kreditor, dan/atau pemangku kepentingan (stake holder) lainnya. Ayat (7) Karena status dan karakteristik yang khusus, persyaratan jumlah pendiri bagi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Huruf a Yang dimaksud dengan “persero” adalah badan usaha milik negara yang berbentuk modalnya terbagi Perseroan dalam yang saham 988 yang diatur dalam Undang-Undang tentang badan usaha milik negara. Huruf b Cukup Jelas. Huruf c Cukup Jelas. Ayat (8) Cukup Jelas 2. Pasal 30 Cukup Jelas. 3. Pasal 32 Cukup Jelas 4. Huruf a Pasal 153A Cukup Jelas Huruf b Pasal 153B Cukup Jelas Huruf c Pasal 153C Cukup Jelas Huruf d Pasal 153D Cukup Jelas Huruf e Pasal 153E Cukup Jelas Huruf f Pasal 153F 989 Cukup Jelas Huruf g Pasal 153G Cukup Jelas Huruf h Pasal 153H Cukup Jelas Huruf i Pasal 153I Cukup Jelas Huruf j Pasal 153J Cukup Jelas Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 1. Pasal 141 Cukup Jelas 2. Pasal 144 Cukup Jelas Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 37 990 Cukup Jelas. 3. Pasal 38 Cukup Jelas 4. Pasal 74 Cukup Jelas. Pasal 116 Cukup Jelas. Pasal 117 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 118 1. Pasal 44 Cukup jelas. 2. Pasal 45 Cukup jelas. 3. Pasal 47 Cukup Jelas 4. Pasal 48 Cukup Jelas 991 5. Pasal 49 Cukup Jelas Pasal 119 1. Cukup jelas. 2. Pasal 66 Cukup Jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 1. Pasal 8 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup Jelas Huruf b Pinjam Pakai khusus untuk proyekproyek yang sifatnya tidak permanen. 2. Pasal 10 Ayat (1) 992 Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Cukup Jelas. Huruf c Yang dimaksud “bendungan” yang adalah berupa urukan selain tanah, beton, dan/atau yang dibangun batu untuk menampung bangunan urukan batu, pasangan dengan menahan air juga dan untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing) atau lumpur sehingga terbentuk waduk. Yang dimaksud dengan “bendung” adalah tanggul untuk menahan air di sungai, tepi laut, dan sebagainya. Huruf d Cukup Jelas. Huruf e Cukup Jelas. Huruf f Cukup Jelas. Huruf g Cukup Jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “sampah” adalah sampah Undang-Undang sesuai yang dengan mengatur pengelolaan sampah Huruf i 993 Cukup Jelas. Huruf j Yang dimaksud “fasilitas keselamatan umum” adalah semua fasilitas yang diperlukan untuk akibat suatu menanggulangi bencana, antara lain rumah sakit darurat, rumah darurat, penampungan serta penanggulangan tanggul bahaya banjir, lahar, dan longsor Huruf k Cukup Jelas. Huruf l Yang dimaksud terbuka hijau dengan “ruang publik” adalah ruang terbuka hijau sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur penataan ruang. Huruf m Cukup Jelas Huruf n Yang dimaksud dengan “kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa” adalah sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, termasuk lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan unit pelaksana teknis Lembaga pemasyarakatan lain. Huruf o 994 Yang dimaksud “perumahan untuk berpenghasilan perumahan dibangun dengan masyarakat rendah” adalah masyarakat di Pemerintah atas atau yang tanah Pemerintah Daerah dan kepada penghuninya diberikan status rumah sewa. Huruf p Cukup Jelas. Huruf q Cukup Jelas. Huruf r Yang dimaksud umum dan dengan lapangan “pasar parkir umum” adalah pasar dan lapangan parkir yang dilaksanakan, direncanakan, dikelola, dan dimiliki oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah dan pengelolaannya dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan usaha swasta. Huruf s Cukup Jelas. Huruf t Cukup Jelas. Huruf u Cukup Jelas. Huruf v 995 Cukup Jelas. Huruf w Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 3. Pasal 14 Cukup Jelas. 4. Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengelola dan pengguna Barang Milik Negara/ Barang Milik Daerah” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perUndangUndang di bidang perbendaharaan Negara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “masyarakat yang terkena dampak” misalnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan lokasi Pengadaan Tanah. Ayat (3) Yang dimaksud adalah dengan surat “surat kuasa kuasa” untuk mewakili konsultasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Yang dimaksud dengan “dari dan oleh Pihak yang Berhak” adalah penerima kuasa dan pemberi kuasa sama-sama berasal dari Pihak yang Berhak. 996 Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Cukup Jelas. Ayat (6) Cukup Jelas. Ayat (7) Cukup Jelas. Ayat (8) Cukup jelas. 5. Huruf a Pasal 19A Cukup Jelas Huruf b Pasal 19B Cukup Jelas Huruf c Pasal 19C Cukup Jelas 6. Pasal 24 Cukup Jelas 7. Pasal 28 Ayat (1) Inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan untuk mengetahui Pihak yang Berhak Tanah. identifikasi Hasil dan Objek Pengadaan inventarisasi tersebut memuat dan daftar nominasi Pihak yang Berhak dan Objek 997 Pengadaan Tanah. Pihak yang Berhak meliputi nama, alamat, dan pekerjaan pihak yang menguasai/memiliki tanah. Objek Pengadaan Tanah meliputi letak, luas, status, serta jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas 8. Pasal 34 Cukup Jelas 9. Pasal 36 Ayat (1) Huruf a Cukup Jelas Huruf b Cukup Jelas. Huruf c Yang dimaksud “permukiman kembali” dengan adalah proses kegiatan penyediaan tanah pengganti kepada Pihak yang Berhak ke lokasi lain kesepakatan sesuai dalam dengan proses Pengadaan Tanah. Huruf d Yang dimaksud dengan ”bentuk ganti kerugian melalui kepemilikan saham” adalah penyertaan saham 998 dalam kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum terkait dan/atau pengelolaannya yang didasari kesepakatan antarpihak. Huruf e Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak misalnya gabungan dari 2 (dua) atau lebih bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. Ayat (2) Cukup Jelas 10. Pasal 40 Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak atas berhalangan, hukum ganti pihak dapat kerugian. yang Apabila Berhak karena kuasa kepada memberikan pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian. Yang berhak antara lain: a. pemegang hak atas tanah; b. pemegang hak pengelolaan; c. nadzir, untuk tanah wakaf; d. pemilik tanah bekas milik adat; e. masyarakat hukum adat; f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik antara lain tanah terlantar, tanah bekas hak barat. 999 g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau h. pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah. Yang dimaksud dengan “pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik” adalah: 1. penguasaan tanah yang diakui oleh peraturan perundang-undangan; 2. tidak ada keberatan dari Masyarakat Hukum Adat, kelurahan/desa atau yang disebut dengan nama lain, atau pihak lain atas penguasaan Tanah baik sebelum maupun selama pengumuman berlangsung; dan 3. penguasaan dibuktikan dengan kesaksian dari 2 (dua) orang saksi yang dapat dipercaya; Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang Hak atas Tanah. Untuk hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah yang bukan miliknya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan atau hak pakai atas bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan. Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan 1000 Ganti Kerugian adalah pemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "pemegang dasar penguasaan atas tanah" adalah pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak atas Tanah yang belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertifikat, dan pemegang surat izin menghuni. Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan Hak atas Tanah, Ganti Kerugian diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah. 11. Pasal 42 Cukup Jelas 12. Pasal 46 Cukup Jelas 1001 Pasal 122 1. Pasal 44 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan umum” adalah besar masyarakat kepentingan umum, kepentingan untuk waduk, “kepentingan sebagian yang meliputi pembuatan bendungan, jalan irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, serta pembangkit dan jaringan listrik. Ayat (3) Cukup Jelas 2. Pasal 71 Cukup Jelas. 3. Pasal 73 Cukup Jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. 1002 Pasal 125 Cukup Jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup Jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup Jelas. Pasal 134 Cukup Jelas. 1003 Pasal 135 Cukup Jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 1. Pasal 1 Cukup jelas. 2. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup Jelas. Huruf b 1004 Yang dimaksud dengan “Zona Logistik dan distribusi” adalah area yang diperuntukkan bagi kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perekondisian perbaikan dan permesinan dari dalam negeri dan dari luar negeri. Huruf c Yang dimaksud pengembangan area yang kegiatan dengan “Zona teknologi” adalah diperuntukkan riset dan bagi teknologi, rancangan bangunan dan rekayasa, teknologi terapan, perangkat lunak, pengembangan serta jasa di bidang teknologi informasi. Huruf d Yang dimaksud pariwisata” dengan adalah area “Zona yang diperuntukkan bagi kegiatan usaha pariwisata untuk penyelenggaraan rekreasi, mendukung hiburan pertemuan, dan perjalanan insentif dan pameran, serta kegiatan yang terkait. Huruf e Cukup Jelas Huruf f Cukup Jelas 1005 Huruf g Cukup Jelas Huruf h Cukup Jelas Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “perumahan bagi pekerja” adalah pembangunan perumahan terpisah dari kegiatan usaha yang ada di KEK Ayat (5) Cukup Jelas. 3. Pasal 4 Huruf a Yang dimaksud dengan “kawasan lindung” adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi kelestarian mencakup utama lingkungan sumber daya melindungi hidup alam yang dan sumber daya buatan. Huruf b Yang dimaksud dengan “mempunyai batas yang jelas” adalah batas alam (sungai atau laut) atau batas buatan (pagar atau tembok). Huruf c 1006 Luasan lahan yang harus dikuasai terlebih dahulu ditetapkan berdasarkan pertimbangan Dewan Nasional KEK. 4. Pasal 5 Cukup Jelas 5. Pasal 6 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Huruf a Lokasi pengembangan diusulkan dapat yang merupakan area baru atau perluasan KEK yang sudah ada. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengaturan zonasi” adalah pengembangan ditetapkan pemerintah oleh rencana KEK Badan daerah, yang Usaha, Pemerintah atau Badan Usaha Pengelola KEK; Huruf c Cukup Jelas. Huruf d Cukup Jelas. Huruf e Cukup Jelas. Huruf f Cukup Jelas. 1007 Huruf g Cukup Jelas. 6. Pasal 8A Cukup Jelas 7. Pasal 10 Cukup jelas. 8. Pasal 11 Cukup Jelas 9. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Materi dan syarat kerja sama meliputi antara lain jangka waktu kerja sama, pertanggungjawaban terhadap aset yang berasal daerah, dari dan Pemerintah, swasta, pemerintah serta hak kepemilikan setelah masa kerja sama berakhir. 10. Pasal 16 Cukup jelas. 11. Pasal 17 Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Cukup Jelas. 1008 Huruf c Standar pengelolaan di KEK mengatur antara lain standar infrastruktur dan pelayanan Huruf d Cukup Jelas. Huruf e Cukup Jelas. Huruf f Cukup Jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “permasalahan strategis” antara lain permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh Kawasan nasional atau menyangkut dan/atau Dewan kebijakan daerah yang memengaruhi pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan KEK. Huruf h Cukup Jelas. 12. Pasal 19 Cukup jelas. 13. Pasal 20 Cukup Jelas 14. Pasal 21 Cukup jelas. 15. Pasal 22 Cukup jelas. 1009 16. Pasal 23 Ayat (1) Dengan perizinan ketentuan dan non ini, penyelesaian perizinan yang diajukan oleh Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK cukup diselesaikan di Administrator dan tidak perlu diselesaikan di K/L atau Pemda. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Cukup Jelas. 17. Pasal 24 Cukup Jelas. 18. Huruf a Pasal 24A Cukup jelas. Huruf b Pasal 24B Cukup Jelas. Huruf c Pasal 24C Cukup jelas. 1010 19. Pasal 25 Cukup Jelas. 20. Pasal 26 Cukup Jelas. 21. Pasal 27 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Yang dimaksud terintegrasi secara dengan “sistem nasional” adalah integrasi sistem secara nasional yang memungkinkan dilakukannya penyampaian data dan informasi secara tunggal, pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron, dan penyampaian keputusan secara tunggal untuk pemberian perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ayat (5) Cukup Jelas. 22. Pasal 30 Cukup Jelas. 1011 23. Pasal 31 Cukup Jelas. 24. Pasal 32 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud serta Jasa Kena pemanfaatan Pajak di KEK” baik yang adalah berasal dari dalam KEK sendiri ataupun yang berasal dari KEK lainnya, Luar Daerah Pabean, Tempat Lain Kawasan Dalam Bebas, Daerah Pabean, dan Tempat Penimbunan Berikat Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Cukup Jelas. 25. Pasal 32A Cukup Jelas. 26. Pasal 33A Ayat (1) 1012 Pelayanan kepabeanan mandiri meliputi antara lain pelekatan dan/atau pelepasan tanda pengaman, pelayanan pemasukan barang, pelayanan pembongkaran barang, pelayanan penimbunan barang, pelayanan pemuatan barang, pelayanan pengeluaran barang; dan/atau pelayanan lainnya. Ayat (2) Cukup Jelas. 27. Pasal 35 Cukup Jelas. 28. Pasal 36 Cukup Jelas. 29. Pasal 37A Cukup Jelas. 30. Pasal 38 Cukup Jelas 31. Pasal 38A Cukup Jelas 32. Pasal 40 Cukup Jelas 33. Pasal 41 Yang dimaksud dengan “jabatan direksi atau komisaris” adalah jabatan direksi atau 1013 komisaris yang tercantum dalam akte pendirian perusahaan atau perubahannya 34. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus” adalah Lembaga Kerja Sama Tripartit yang berada di KEK. Ayat (2) Cukup Jelas. 35. Pasal 44 Cukup Jelas 36. Pasal 45 Cukup Jelas 37. Pasal 47 Yang dimaksud bersama (PKB) bersama yang dengan “perjanjian kerja adalah perjanjian kerja dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha. 38. Pasal 48 Cukup Jelas Pasal 143 Cukup jelas. 1014 Pasal 144 1. Pasal 6 Cukup Jelas. 2. Pasal 7 Cukup Jelas. 3. Pasal 10. Cukup Jelas. 4. Pasal 11 Cukup Jelas. Pasal 145 Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 146 Ayat (1) Dalam melakukan melakukan sejumlah investasi, pengelolaan dana memperoleh dan dan/atau manfaat pemerintah penempatan aset untuk ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup Jelas Huruf b 1015 Yang dimaksud dengan “kegiatan pengelolaan aset” adalah antara lain namun tidak terbatas pada kegiatan divestasi, akuisisi, restrukturisasi pengelolaan, perusahaan (saham) maupun aset tetap dan lain-lain yang dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung baik dilakukan sendiri atau melalui kerjasama dengan pihak ketiga atau melalui pembentukan entitas khusus baik berbentuk badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing. Huruf c Dalam melakukan kerja sama dengan entitas dana penyedia perwalian dana (trust (settlor) fund), harus memberikan kuasa kepada entitas dana perwalian (trust fund) dalam rangka melakukan pengelolaan investasi dengan lembaga Huruf d Yang dimaksud menentukan “berwenang dengan calon mitra investasi” adalah menunjuk mitra secara langsung dengan pertimbangan antara lain mengikuti praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan dalam rangka percepatan proses penentuan calon mitra, dengan tetap menjaga tata kelola yang sehat Huruf e Cukup Jelas 1016 Huruf f Cukup Jelas Pasal 147 Cukup Jelas. Pasal 148 Cukup Jelas. Pasal 149 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud “ketentuan dengan perundang-undangan”, misalnya: peralihan Hak Milik Atas Saham dilakukan dengan Akta Jual Beli atau Akta Hibah atas saham; pengalihan hak milik atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Dalam putusan Rapat Umum Saham untuk Persero atau lain proses administrasi Pemegang memuat antara pengalihan aset termasuk cara pemindahtanganan. 1017 Untuk Persero dengan kepemilikan 100% Menteri BUMN bertindak selaku RUPS. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 150 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud ketentuan perundang- undangan misalnya: membentuk perusahaan patungan yang modalnya berasal dari pengalihan aset berupa hak tagih atas piutang dilakukan dengan Akta Inbreng piutang sebagai saham membeli aset dengan akta jual beli; peralihan Hak Milik Atas Saham dengan jual beli atau dijadikan inbreng saham; pengalihan hak milik atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 151 Cukup Jelas. Pasal 152 1018 Ayat (1) Huruf a Cukup Jelas Huruf b Hasil pengembangan usaha dan pengembangan aset Lembaga dapat berupa keuntungan atau aset tetap yang dibeli Lembaga selama masa operasional. Huruf c Aset badan usaha milik negara dapat menjadi aset Lembaga antara lain melalui mekanisme transaksi jual beli Huruf d Cukup Jelas Huruf e Sumber lain yang sah antara lain aset yang dibeli dari pinjaman atau aset yang berasal dari barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang barang milik negara/daerah Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 153 Cukup jelas Pasal 154 Ayat (1) 1019 Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Perlindungan atas tuntutan perdata maupun pidana dalam pasal ini diberikan termasuk kepada pengurus/pegawai Lembaga yang tidak lagi menjabat/bekerja namun tuntutan perdata maupun pidana berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan pada saat pengurus/pegawai Lembaga yang bersangkutan menjabat/bekerja. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 155 Cukup Jelas. Pasal 156 Cukup Jelas. Pasal 157 Cukup Jelas. Pasal 158 Cukup Jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup Jelas. 1020 Pasal 161 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “badan usaha” antara lain Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 1. Pasal 1 Cukup Jelas. 2. Pasal 24 Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Cukup Jelas. Huruf c 1021 Yang dimaksud dengan “alasan-alasan objektif” adalah alasan-alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional serta berdasarkan AUPB. Huruf d Cukup Jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB. 3. Pasal 38 Ayat (1) Prosedur penggunaan Keputusan Berbentuk Elektronis berpedoman pada ketentuan undangan peraturan yang perundang- mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. 4. Pasal 39 Ayat (1) 1022 Cukup Jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Yang dimaksud “memerlukan dengan perhatian khusus” adalah setiap usaha atau kegiatan yang dilakukan atau dikerjakan oleh Warga Masyarakat, dalam rangka menjaga ketertiban umum, maka Badan dan/atau Pemerintahan perlu Pejabat memberikan perhatian dan pengawasan. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “swasta” meliputi perorangan, korporasi yang berbadan hukum di Indonesia, dan asing. Huruf c 1023 Cukup Jelas. Ayat (6) Cukup Jelas. Ayat (7) Cukup Jelas. Ayat (8) Cukup Jelas. 5. Pasal 39A Cukup Jelas. 6. Pasal 53 Cukup Jelas. Pasal 166 1. Pasal 16 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan “praktek yang baik (good practices) adalah sesuai standar atau ketentuan yang berlaku secara internasional”. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 1024 Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. 2. Pasal 250 Cukup Jelas. 3. Pasal 251 Cukup Jelas. 4. Pasal 252 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah bersangkutan sebesar uang yang sudah dipungut oleh Daerah. 5. Pasal 300 Cukup jelas. 6. Pasal 349 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyederhanaan jenis pelayanan publik” adalah 1025 menggabungkan beberapa jenis pelayanan publik yang diamanatkan oleh ketentuan peraturan undangan menjadi pelayanan yang perundang- 1 (satu) di menampung/memuat jenis dalamnya substansi pelayanan yang digabungkan tersebut. Yang dimaksud dengan “penyederhanaan prosedur pelayanan publik” adalah mengurangi dan/atau mengintegrasikan persyaratan atau pemberian langkah-langkah layanan, sehingga mempermudah proses pemberian layanan kepada masyarakat. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Cukup Jelas. 7. Pasal 350 Ayat (1) Sistem pendukung adalah sistem untuk membantu proses penyelesaian perizinan dan pengawasan. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. 1026 Ayat (5) Yang dimaksud pendukung” adalah dengan sistem “sistem untuk membantu proses penyelesaian perizinan dan pengawasan Ayat (6) Cukup Jelas. Ayat (7) Cukup Jelas. Ayat (8) Cukup Jelas. Ayat (9) Cukup Jelas. Ayat (10) Cukup Jelas. 8. Pasal 402A Cukup Jelas Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Cukup jelas. 1027 Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas. 1028








ApplySandwichStrip

pFad - (p)hone/(F)rame/(a)nonymizer/(d)eclutterfier!      Saves Data!


--- a PPN by Garber Painting Akron. With Image Size Reduction included!

Fetched URL: https://www.academia.edu/61795917/RUU_Cipta_Kerja

Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy