WILDAWELIShubhbdanlari5K PDF
WILDAWELIShubhbdanlari5K PDF
WILDAWELIShubhbdanlari5K PDF
net/publication/313349553
CITATIONS READS
0 2,452
4 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
A STUDY ON OVERWEIGHT AND OBESITY AMONG SCHOOL CHILDREN AND EFFORTS TO OVERCOME THROUGH NUTRITIONAL EDUCATION AND TRADITIONAL GAME
INTERVENTIONS IN URBAN AREAS IN WEST JAVA View project
INCOME CONTRIBUTION, FOOD CONSUMPTION, IRON DEFICIENCY ANEMIA AMONG WOMEN WORKERS IN TEA PLANTATION AND EFFECT OF MULTINUTRIENTS
SUPPLEMENTATION WITH NUTRITION EDUCATION View project
All content following this page was uploaded by Hadi Riyadi on 05 February 2017.
Jurnal Ilmiah
Surabaya ISSN
MGI Vol. 2 No. 9 Hal. 1458 - 1541 Agustus 2012 1693 7228
DEWAN REDAKSI
Dewan Redaksi : Prof Bambang W, dr, MS, MCN, PhD, SpGK (FKM Unair)
Prof. Dr. dr. Arsiniati M.B. Arbai, DAN (FK-UHT)
Dr. dr. Boerhan Hidayat, Sp.A (FK Unair/RSPT-Unair)
Purwaningsih, S.KM., M.Kes (RSUD Dr. Soetomo)
Dr. drh.Haryo Puntodewo, M.Sc. (FKH Unair)
Media Gizi Indonesia diterbitkan sejak 2004, merupakan jurnal ilmiah yang menyajikan
artikel mengenai hasil penelitian serta perkembangan tentang gizi yang meliputi gizi
masyarakat, gizi klinis, gizi institusi, teknologi pangan serta tema-tema gizi yang sedang
populer.
Jurnal ini terbit setiap 6 bulan sekali: Januari dan Agustus
Media Gizi Indonesia (MGI) merupakan Jurnal Ilmiah terbitan berkala setiap 6
bulan sekali. MGI sebagai media komunikasi penyebarluasan informasi hasil-hasil
penelitian, artikel ulas balik dan ulasan tentang gizi kesehatan masyarakat, gizi klinis,
gizi institusi dan teknologi pangan yang senantiasa berkembang. MGI mencoba untuk
selalu menyajikan aneka ragam artikel ilmiah dalam ruang lingkup Gizi Kesehatan yang
menarik dan terkini.
Dalam edisi kali ini, MGI menyajikan beberapa artikel dengan topik utama di
bidang gizi masyarakat, antara lain Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat
Pengetahuan dan Keterampilan Kader Posyandu, Hubungan Antara Konsumsi
Minuman Berkalori Dalam Kemasan dengan Asupan Energi dan BMI Pada
Remaja, Hubungan Antara Pengetahuan Gizi dan Asupan Zat Gizi dengan Status
Gizi dan Risiko Osteoporosis Pada Kelompok Lacto Ovo Vegetarian, Hubungan
Karies Gigi dengan Tingkat Konsumsi dan Status Gizi Anak Usia Sekolah Dasar,
Hubungan Pola Konsumsi, Tingkat Konsumsi dan Frekuensi Sakit Infeksi dengan
Status Gizi (IMT/U) Anak Sekolah serta Hubungan Hemoglobin, Lemak Tubuh
dan Vo2maks dengan Performa Lari 5 Km.
Keberadaan jurnal ilmiah MGI ini diharapkan dapat menjadi daya ungkit
pengembangan budaya menulis dan pengkajian ilmiah yang komunikatif serta sebagai
daya pikat para pembaca dan penulis untuk berpartisipasi dalam MGI pada terbitan
mendatang. Semoga pemikiran-pemikiran dan karya-karya yang ditampilkan MGI saat
ini dan mendatang dapat memberikan manfaat dan memperkaya khasanah pengetahuan
bagi pembaca.
Redaksi
ISSN 1693 7228
MEDIA GIZI INDONESIA
Volume 2 Nomor 9
DAFTAR ISI
1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRAK
Posyandu merupakan sarana untuk melakukan penapisan terhadap balita gizi
buruk melalui penimbangan seluruh balita setiap bulan. Kader merupakan faktor
terpenting dari operasional Posyandu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor
yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan kader posyandu.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Populasi
penelitian adalah kader yang ada di wilayah kerja Puskesmas Jagir sebanyak 460 orang,
dengan sampel sebanyak 83 orang yang dipilih dengan systematic random sampling.
Penelitian dilakukan dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner dan form
penilaian. Hubungan antar variabel yang berskala ordinal diketahui dengan melakukan uji
korelasi Spearman sedangkan variabel yang berskala nominal dianalisis dengan koefisien
kontingensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 79,5% kader memiliki
tingkat pengetahuan yang baik, namun sebanyak 67,5% kader masih memiliki tingkat
keterampilan kader yang kurang. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa faktor yang
berhubungan dengan tingkat pengetahuan kader adalah umur (p=0,028), pendidikan
(p=0,005), lama menjadi kader (p=0,000), keaktifan (p=0,000), pelatihan (p=0,000) dan
pembinaan (p=0,000), sedangkan faktor yang berhubungan dengan keterampilan kader
adalah paritas (p=0,026), pendidikan (p=0,013), pekerjaan (p=0,033), lama menjadi kader
(p=0,003), tugas di posyandu (p=0,003), keaktifan (p=0,021), pelatihan (p=0,029) dan
pembinaan (p=0,003). Berdasarkan penelitian ini disimpulkan faktor yang berhubungan
dengan tingkat pengetahuan kader adalah umur, pendidikan, lama menjadi kader,
keaktifan, pelatihan dan pembinaan, sedangkan faktor yang berhubungan dengan
keterampilan kader adalah paritas, pendidikan, pekerjaan, lama menjadi kader, tugas di
posyandu, keaktifan, pelatihan dan pembinaan. Dibutuhkan regenerasi dan pelatihan yang
fokus agar diperoleh hasil yang optimal supaya pengetahuan dan keterampilan kader
meningkat sehingga kinerja kader menjadi lebih baik.
ABSTRACT
Posyandu is a facility for screening of malnutrition among children by weighing
children every month. Cadres are the most important factors of Posyandu. The objective
of this study was to find out factors that correlate to knowledge level and skills of
Posyandu cadres. This study was analitycal observation using cross sectional design.
Population of this study were cadres under the coverage area of Puskesmas Jagir with
the number of sample was 83 cadres who were chosen by systematic random sampling
method. Data was collected by questionnaire and assessment form. Correlation among
variables was tested by Spearman correlation for variables with ordinal data scale and
contingency coefficient for variables with nominal data scale. The result of this study
* corresponding author
1458
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466
showed that most cadres (79.5%) had good knowledge level, in contast, about 67.5%
cadres still had low skill level. Result of statistical analysis showed that factors which
correlate to knowledge level of cadres were age (p=0,028), education (p=0,005),
duration of being cadre (p=0,000), activity (p=0,000), training (p=0,000) and
development (p=0,000), whereas factors which correlate to skills of cadres were parity
(p=0,026), education (p=0,013), occupation (p=0,033), duration of being cadre
(p=0,003), duties in posyandu (p=0,003), activity (p=0,021), training (p=0,029) and
development (p=0,003). It can be concluded that factors which correlate to knowledge
level of cadres are age, education, duration of being cadre, activity, training and
development, whereas factors that correlate to cadre skills are parity, education,
occupation, duration of being cadre, duties in posyandu, activity, training and
development. This study recommended the need of cadre regeneration and conducting
more focus training in order to accelerate the improvement of cadres’ knowledge and
skills.
1459
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466
menggunakan form penilaian untuk Puskesmas Jagir Kota Surabaya Tahun
mengetahui keterampilan kader 2012. Tabel 2 menunjukkan variabel
Posyandu. Hubungan antar variabel imbalan jasa tidak dapat dianalisis
diketahui dengan melakukan uji korelasi secara statistik karena seluruh kader
Spearman untuk variabel yang skala Posyandu menyatakan menerima
datanya ordinal sedangkan variabel yang imbalan jasa berupa uang dan kartu
skala datanya nominal dianalisis dengan berobat gratis ke puskesmas. Pada Tabel
koefisien kontingensi. 3 tersaji hasil analisis statistik faktor
yang berhubungan dengan keterampilan
HASIL PENELITIAN kader Posyandu namun variabel imbalan
Distribusi kader Posyandu jasa tidak dapat dianalisis secara statistik
menurut tingkat pengetahuan dan karena seluruh kader Posyandu
ketrampilan di Puskesmas Jagir Kota menyatakan menerima imbalan jasa
Surabaya Tahun 2012 terlihat pada berupa uang dan kartu berobat gratis ke
Tabel 1. Tabel 2 memperlihatkan hasil puskesmas.
analisis statistik faktor yang
berhubungan dengan tingkat
pengetahuan kader Posyandu di
Variabel
Skor Pengetahuan, Mean ± SD 82,17± 9,6
Tingkat Pengetahuan, n (%)
Baik 66 (79,5)
Cukup 14 (16,9)
Kurang 3 (3,6)
Skor Keterampilan Mean ± SD 46,39±20,5
Tingkat Keterampilan, n (%)
Baik 56 (67,5)
Cukup 19 (22,9)
Kurang 8 (9,6)
1460
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466
Tabel 3. Hasil Analisis Statistik Faktor yang Berhubungan
dengan Keterampilan Kader Posyandu
PEMBAHASAN
Umur Paritas
Berdasarkan hasil uji statistik, Hasil uji statistik terhadap
terdapat hubungan yang bermakna paritas menunjukkan bahwa tidak ada
antara umur dengan tingkat pengetahuan hubungan yang bermakna antara paritas
kader Posyandu (p< α 0,05), dalam dengan tingkat pengetahuan kader
kategori rendah (r = 0,241) dan satu arah Posyandu (p> α 0,05), dan nilai
(nilai r positif), artinya semakin tua koefisien korelasi (r) adalah berlawanan
umur kader Posyandu maka semakin arah (nilai r negatif) artinya semakin
baik tingkat pengetahuannya, demikian banyak paritas kader Posyandu maka
juga sebaliknya. Menurut Notoatmodjo semakin kurang tingkat
(2007), usia mempengaruhi daya pengetahuannya, demikian juga
tangkap dan pola pikir seseorang. sebaliknya. Hal ini dapat dijelaskan
Semakin bertambah usia, akan semakin bahwa semakin banyak jumlah anak
berkembang pula daya tangkap dan pola yang dimiliki kader Posyandu maka
pikirnya sehingga pengetahuan yang waktu yang dimiliki semakin sempit
diperolehnya semakin membaik. Namun sehingga tidak ada kesempatan untuk
hasil uji statistik umur terhadap belajar. Menurut Nursalam dan Pariani
keterampilan menunjukkan bahwa tidak (2001), semakin kecil jumlah anak maka
ada hubungan yang bermakna antara waktu yang tersedia untuk mendapatkan
umur dengan tingkat keterampilan kader informasi semakin besar karena beban
Posyandu (p> α 0,05), akan tetapi kerja lebih sedikit dibandingkan dengan
berdasarkan nilai koefisien korelasi (r) yang mempunyai banyak anak.
adalah satu arah (nilai r positif), artinya Hasil uji statistik menunjukkan
semakin tua umur kader Posyandu maka bahwa terdapat hubungan yang
semakin baik tingkat keterampilan kader bermakna antara paritas dengan tingkat
Posyandu, demikian juga sebaliknya. keterampilan kader Posyandu
Hal ini dapat dijelaskan bahwa saat (p< α 0,05), dalam kategori sangat
semakin cukup umur, tingkat tinggi (r = 0,830) dan satu arah
kematangan dan kekuatan seseorang (nilai r positif), artinya semakin banyak
akan lebih matang dalam berfikir dan paritas kader Posyandu maka semakin
bekerja tetapi ada faktor fisik yang dapat baik tingkat keterampilannya, demikian
menghambat proses belajar pada orang juga sebaliknya. Hal ini dapat dijelaskan
dewasa sehingga membuat penurunan bahwa semakin banyak jumlah anak,
pada suatu waktu dalam kekuatan kader Posyandu mampu meningkatkan
berfikir dan bekerja. keterampilan kader Posyandu dalam
merawatnya.
1461
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466
Pendidikan kategori rendah (Cc = 0,275) dan satu
Berdasarkan hasil uji statistik, arah (nilai Cc positif) artinya kader
diketahui hubungan yang bermakna Posyandu yang bekerja mempunyai
antara pendidikan dengan tingkat keterampilan yang lebih baik
pengetahuan kader Posyandu dibandingkan dengan kader Posyandu
(p< α 0,05), dalam kategori rendah yang tidak bekerja
(r = 0,307) dan satu arah, artinya Adanya pekerjaan membuat
semakin tinggi tingkat pendidikan kader seseorang memerlukan banyak waktu
Posyandu maka semakin baik tingkat dan tenaga untuk menyelesaikan
pengetahuannya, demikian juga pekerjaan yang dianggap penting dan
sebaliknya. Demikian juga hasil uji memerlukan perhatian. Masyarakat yang
statistik menunjukkan bahwa terdapat sibuk hanya memiliki sedikit waktu
hubungan yang bermakna antara tingkat untuk memperoleh informasi sehingga
pendidikan dengan tingkat keterampilan pengetahuan yang mereka peroleh
kader Posyandu (p< α 0,05), dalam berkurang (Nursalam dan Pariani, 2001).
kategori rendah ( r = 0,272) dan satu Menurut Notoatmodjo (2003), pekerjaan
arah, artinya semakin tinggi tingkat adalah kebutuhan yang harus dilakukan
pendidikan kader Posyandu maka untuk menunjang kehidupan dan
semakin baik tingkat keterampilan kader kehidupan keluarganya. Dengan bekerja
Posyandu, demikian juga sebaliknya. seseorang dapat berbuat sesuatu yang
Pendidikan seseorang bernilai, bermanfaat dan memperoleh
mempengaruhi cara pandang. Semakin berbagai pengalaman sehingga dapat
tinggi tingkat pendidikan seseorang meningkatkan keterampilannya.
maka akan semakin mudah menerima
informasi sehingga makin banyak pula Pendapatan
pengetahuan yang dimiliki dan Hasil penelitian menunjukkan
sebaliknya pendidikan yang kurang akan bahwa tidak ada hubungan yang
menghambat perkembangan sikap bermakna antara pendapatan keluarga
seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dengan tingkat pengetahuan kader
diperkenalkan (Nursalam dan Pariani, Posyandu (p> α 0,05). Demikian juga
2001). Menurut Notoatmojo (2005), hasil penelitian antara pendapatan
pendidikan dapat mempengaruhi keluarga dengan keterampilan kader
seseorang, termasuk juga perilaku Posyandu menunjukkan bahwa tidak ada
seseorang akan pola hidup terutama hubungan yang bermakna (p> α 0,05)
dalam memotivasi untuk bersikap dan dan dalam kategori sangat rendah
berperan serta dalam pembangunan (r = 0,084).
kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan dan keterampilan kader
Pekerjaan Posyandu tidak banyak dipengaruhi oleh
Hasil penelitian menunjukkan pendapatan keluarga tetapi lebih banyak
bahwa tidak ada hubungan yang dipengaruhi oleh intensitas informasi
bermakna antara pekerjaan dengan dan pengalaman kader Posyandu dalam
tingkat pengetahuan kader Posyandu melaksanakan kegiatan di Posyandu.
(p> α 0,05). Berdasarkan nilai koefisien Keadaan tersebut juga sesuai dengan
kontigensi (Cc) adalah satu arah, artinya penelitian yang dilakukan oleh Widagdo
kader Posyandu yang bekerja (2009) yang menunjukkan bahwa tidak
mempunyai kemungkinan untuk ada hubungan yang signifikan antara
mempunyai pengetahuan baik lebih pendapatan keluarga dengan
besar dari pada kader Posyandu yang keterampilan kader Posyandu dalam
tidak bekerja, demikian juga sebaliknya. menggunakan buku KIA di wilayah
Sedangkan terhadap keterampilan, kerja Puskesmas Kedungadem
terdapat hubungan yang bermakna Kabupaten Bojonegoro (p=0,551).
antara pekerjaan dengan keterampilan
kader Posyandu (p< α 0,05), dalam
1462
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466
Lama Menjadi Kader keterampilan professional serta
Hasil penelitian menunjukkan pengalaman belajar selama bekerja akan
bahwa terdapat hubungan yang dapat mengembangkan kemampuan
bermakna antara lama menjadi kader mengambil keputusan yang merupakan
dengan tingkat pengetahuan kader manifestasi dari keterpaduan menalar
Posyandu (p< α 0,05), dalam kategori secara ilmiah dan etik yang bertolak dari
tinggi (r = 0,776 ), dan satu arah masalah nyata dalam bidang kerjanya.
(nilai r positif), artinya semakin lama
menjadi kader Posyandu maka semakin Motivasi Menjadi Kader
baik tingkat pengetahuannya, demikian Hasil penelitian menunjukkan
juga sebaliknya. Selain itu hasil bahwa tidak ada hubungan yang
penelitian juga menunjukkan bahwa bermakna antara motivasi menjadi kader
terdapat hubungan yang bermakna dengan tingkat pengetahuan kader
antara lama menjadi kader dengan Posyandu (p > α 0,05), satu arah karena
tingkat keterampilan kader Posyandu nilai Cc positif, artinya kalau kader
(p< α 0,05), dalam kategori rendah Posyandu bertugas mempunyai motivasi
(r = 0,317) dan satu arah, artinya beribadah akan semakin baik tingkat
semakin lama menjadi kader Posyandu pengetahuannya, demikian juga
maka semakin baik tingkat sebaliknya. Demikian juga hubungan
keterampilannya, demikian juga antara motivasi dengan keterampilan
sebaliknya. Menurut teori Lawrence kader Posyandu. Hasil penelitian
Green dalam Notoatmodjo (2007), menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
karakteristik sangat berpengaruh pada yang bermakna antara motivasi menjadi
perilakunya, yaitu predisposing faktor kader dengan tingkat keterampilan kader
yang salah satunya adalah lama menjadi Posyandu (p > α0,05), satu arah karena
kader Posyandu. Semakin lama menjadi nilai Cc positif , artinya kalau kader
kader Posyandu diharapkan akan Posyandu bertugas mempunyai motivasi
semakin banyak pengalaman dan beribadah akan semakin baik tingkat
pengetahuannya sehingga akan dapat keterampilannya daripada kader
melayani masyarakat yang datang ke Posyandu yang mempunyai motivasi
pelayanan Posyandu dengan baik dan lain, demikian juga sebaliknya.
bermutu. Dari sisi lain dengan masa Keadaan tersebut menunjukkan
kerja yang lama otomatis umur kader bahwa motivasi bukan hanya satu-
Posyandu juga semakin menjadi tua. satunya faktor yang mempengaruhi
Pada usia tua terjadi proses degeneratif tingkat prestasi seseorang. Dua faktor
yang berdampak pada kemampuan lainnya yang terlibat adalah kemampuan
pemanfaatan sarana di Posyandu juga individu dan pemahaman tentang
menurun. perilaku yang diperlakukan untuk
mencapai prestasi yang tinggi atau
Tugas di Posyandu disebut persepsi peranan. Motivasi,
Hasil penelitian menunjukkan kemampuan dan persepsi peranan adalah
bahwa ada hubungan yang bermakna saling berhubungan. Jadi bila salah satu
antara kebiasaan bertugas secara faktor rendah, maka tingkat prestasi
bergantian dengan tingkat keterampilan akan rendah walaupun faktor-faktor
kader Posyandu dalam bertugas di lainnya tinggi (Brantas, 2009).
Posyandu (p< α 0,05), dalam kategori
rendah (Cc = 0,354 ) dan satu arah, Dukungan Keluarga
artinya kalau kader Posyandu bertugas Hasil penelitian menunjukkan
secara bergantian maka semakin baik bahwa tidak ada hubungan yang
tingkat keterampilannya, demikian juga bermakna antara dukungan keluarga
sebaliknya. Menurut Notoatmodjo dengan tingkat pengetahuan kader
(2007), pengalaman belajar dalam Posyandu (p > α 0,05), berlawanan arah
bekerja yang dikembangkan karena nilai koefisien korelasi (r)
memberikan pengetahuan dan negatif, artinya semakin baik dukungan
1463
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466
keluarga kader Posyandu maka semakin kader Posyandu yang aktif ke Posyandu
kurang tingkat pengetahuannya, akan semakin sering berinteraksi dengan
demikian juga sebaliknya. Hasil pengunjung dan pembina Posyandu
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada sehingga dimungkinkan untuk
hubungan yang bermakna antara mendapatkan tambahan pengetahuan
dukungan keluarga dengan tingkat dan keterampilan jika setiap kegiatan
keterampilan kader Posyandu Posyandu ada kegiatan pembinaan dari
(p> α 0,05), berlawanan arah karena petugas kesehatan. Hal ini didukung
nilai koefisien korelasi (r) negatif, oleh Dinkes (2010), keaktifan kader
artinya semakin baik dukungan keluarga Posyandu dalam kegiatan Posyandu
kader Posyandu maka semakin kurang akan meningkatkan keterampilan karena
tingkat keterampilannya, demikian juga dengan selalu hadir dalam kegiatan
sebaliknya. Hal ini terjadi karena Posyandu. Kader Posyandu akan
sebesar apapun motivasi yang diberikan mendapat tambahan keterampilan dari
keluarga kalau tidak diimbangi pembinaan petugas maupun dengan
keinginan atau motivasi yang kuat dari belajar dari teman sekerjanya.
kader itu sendiri untuk meningkatkan
pengetahuan maupun keterampilan, Pelatihan Kader
dukungan itu akan sia-sia. Peningkatan Hasil penelitian menunjukkan
pengetahuan dan keterampilan akan bahwa ada hubungan yang bermakna
tercapai apabila ada keinginan dari kader antara pelatihan dengan tingkat
sendiri dan didukung oleh fasilitas yang pengetahuan kader Posyandu
ada seperti mengikuti pelatihan, (p< α 0,05), dalam kategori cukup
pembinaan, tukar pendapat dengan (r = 0,436), dan satu arah, artinya
sesama kader dan aktif dalam kegiatan semakin sering mengikuti pelatihan
Posyandu. Dalam hubungannya dengan maka semakin baik tingkat
lingkungan kerja, motivasi merupakan pengetahuannya, demikian juga
salah satu faktor yang mempengaruhi sebaliknya. Demikian juga antara
kinerja seseorang. Motivasi kerja dapat pelatihan dengan keterampilan kader
didefinisikan sebagai sesuatu hal yang terdapat hubungan yang bermakna
berasal dari internal individu yang (p< α 0,05), dalam kategori rendah
menimbulkan dorongan atau semangat (r = 0,239) dan satu arah (nilai r positif),
untuk bekerja keras (Ilyas, 2002). artinya semakin sering mengikuti
pelatihan maka semakin baik tingkat
Keaktifan keterampilannya, demikian juga
Hasil penelitian menunjukkan sebaliknya. Pelatihan adalah salah satu
bahwa terdapat hubungan yang usaha mengembangkan sumber daya
bermakna antara keaktifan dengan manusia terutama dalam hal
tingkat pengetahuan kader Posyandu pengetahuan, keahlian, kemampuan dan
(p< α 0,05), dalam kategori tinggi sikap. Pengetahuan yang di maksud
(r = 0,662) dan satu arah, artinya adalah pengetahuan tentang ilmu yang
semakin aktif kader Posyandu maka harus dikuasai pada satu posisi.
semakin baik tingkat pengetahuannya, Kemampuan yang dimaksud adalah
demikian juga sebaliknya. Selain itu kemampuan untuk menangani tugas-
hasil penelitian menunjukkan bahwa tugas yang diamanahkan dan keahlian
terdapat hubungan yang bermakna yang diharapkan adalah beberapa
antara keaktifan dengan tingkat keahlian yang diperlukan agar suatu
keterampilan kader Posyandu pekerjaan dapat diselesaikan dengan
(p< α 0,05), dalam kategori rendah baik sedangkan sikap adalah emosi dan
(r = 0,253) dan satu arah, artinya kepribadian yang harus dimiliki agar
semakin aktif kader Posyandu maka suatu pekerjaan berhasil dengan sukses
semakin baik tingkat keterampilannya, (Arep dan Tanjung, 2003).
demikian juga sebaliknya.
Keadaan tersebut terjadi karena
1464
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466
Pembinaan Kader diterima.
Berdasarkan hasil penelitian
terdapat hubungan yang bermakna SARAN
antara pembinaan yang diberikan Saran untuk Puskesmas Jagir
dengan tingkat pengetahuan kader dan Dinas Kesehatan sebagai tempat
Posyandu (p< α 0,05), dalam kategori penelitian adalah perlu adanya
rendah (r = 0,389), dan satu arah (nilai r regenerasi kader. Upaya yang dapat
positif), artinya semakin sering dilakukan untuk percepatan proses
memperoleh pembinaan maka semakin regenerasi kader adalah dengan
baik tingkat pengetahuannya, demikian meningkatkan imbalan jasa (insentif)
juga sebaliknya. Pembinaan terhadap kader yang telah ada dan pemberian
keterampilan juga menunjukkan adanya sertifikat pengabdian sebagai bentuk
hubungan yang bermakna antara pengakuan keberadaan kader. Untuk
pembinaan yang diberikan dengan mempercepat peningkatan keterampilan
tingkat keterampilan kader Posyandu kader perlu dilakukan pelatihan atau
(p< α 0,05), dalam kategori rendah (r = pembinaan kader yang lebih difokuskan
0,325), dan satu arah (nilai r positif), tentang tugas kader diposyandu
artinya semakin sering memperoleh sehingga kinerja posyandu menjadi lebih
bimbingan maka semakin baik tingkat baik. Hal ini dapat dilakukan dengan
keterampilannya, demikian juga cara mengoptimalkan pembinaan kader
sebaliknya. yang sudah dilakukan Puskesmas selama
Sebagaimana diungkapkan oleh ini serta perlu adanya penelitian serupa
Mangunhardjana (1996), pembinaan yaitu tentang faktor yang berhubungan
adalah suatu proses belajar dengan dengan tingkat pengetahuan dan
melepas hal-hal yang sudah dimiliki dan keterampilan kader dengan area dan
mempelajari hal-hal yang belum dimiliki populasi lebih besar (misalkan lingkup
dengan tujuan membantu orang yang Kota Surabaya).
menjalaninya, untuk membetulkan dan
mengembangkan pengetahuan dan DAFTAR PUSTAKA
kecakapan yang sudah ada dan Arep, I dan Tanjung, H. 2003.
mendapat pengetahuan dan kecakapan Manajemen Motivasi. Jakarta :
baru untuk mencapai tujuan hidup dan PT. Gramedia
kerja yang dijalaninya secara efektif. Brantas. 2009. Dasar – dasar
Manajemen. Bandung : Alfabet
KESIMPULAN Depkes RI. 2005. Pedoman Umum
a. Sebagian besar kader Posyandu Pengelolaan Posyandu. Jakarta:
(79,5%) sudah mempunyai tingkat Direktorat Jenderal
pengetahuan baik dan hanya 3,6% Bina Kesehatan Masyarakat
yang mempunyai pengetahuan Depdagri RI. 2011. Peraturan Menteri
kurang, sedangkan tingkat Dalam Negeri No. 19 Tentang
keterampilan kader Posyandu Pedoman Pengintegrasian
sebagian besar (67,5%) masih kurang Layanan Sosial Dasar di
dan hanya 9,6% yang mempunyai Posyandu. Jakarta
keterampilan baik. Dinkes. 2006. Pedoman Operasional
b. Faktor yang berhubungan dengan Revitalisasi Posyandu di Jawa
tingkat pengetahuan kader adalah Timur Tahun 2006. Surabaya :
umur, pendidikan, lama menjadi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
kader, keaktifan, pelatihan kader dan Timur
pembinaan yang diterima sedangkan Dinkes. 2010. Pedoman Pengukuran
faktor yang berhubungan dengan Tingkat Perkembangan UKBM.
keterampilan kader adalah paritas, Surabaya : Dinas Kesehatan
pendidikan, pekerjaan, lama menjadi Propinsi Jawa Timur
kader, tugas di posyandu, keaktifan,
pelatihan kader dan pembinaan yang
1465
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1458‐1466
Ilyas, Y. 2002. Kinerja, Teori,
Penilaian, dan Penelitian. Jakarta
: Universitas Indonesia
Mangunhardjana. 1996. Pembinaan Arti
dan Metodenya. Jakarta : Kanisius
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu
Pengetahuan Masyarakat dan
Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta
: PT Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. 2005. Promosi
Kesehatan Teori dan Aplikasinya.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : PT Rineka
Cipta
Notoatmodjo, S. 2007. Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Nursalam, Pariani. S. 2001. Pendekatan
Praktis Metodologi Riset
Keperawatan. Jakarta :
Infomedika
Widagdo, Husodo. 2009. Pemanfaatan
Buku Kia Oleh Kader Posyandu:
Studi Pada Kader Posyandu Di
Wilayah Kerja Puskesmas
Kedungadem Kabupaten
Bojonegoro. Makara, Kesehatan,
Vol. 13, No. 1, Juni 2009: 39-47.
1466
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475
ABSTRAK
Hampir 50% dari kenaikan kalori total berasal dari minuman berkalori.
Kecenderungan kebiasaan makan yang kurang sehat seperti konsumsi minuman berkalori,
berkaitan dengan kecenderungan kegemukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara konsumsi minuman berkalori dalam kemasan dengan asupan energi
total dan BMI (Body Mass Index) pada remaja. Penelitian ini merupakan penelitian
observasional dengan rancangan cross sectional. Penelitian dilakukan terhadap 69 remaja
berusia 15-18 tahun di SMA (Sekolah menengah Atas) Trimurti Surabaya yang dipilih
secara acak dengan prinsip probability proportional to size. Analisis statistik
menggunakan uji korelasi Pearson dan Spearman. Hasil penelitian menunjukkan ada
hubungan (p = 0,000) antara konsumsi minuman berkalori dalam kemasan dengan asupan
kalori total dan ada hubungan (p = 0,037) antara konsumsi minuman berkalori dalam
kemasan dengan BMI (Body Mass Index) pada remaja. Namun, tidak ada hubungan (p =
0,157) jumlah uang saku dengan frekuensi konsumsi minuman berkalori dalam kemasan,
tidak ada hubungan (p = 0,102) jumlah uang saku dengan asupan energi minuman
berkalori dalam kemasan, tidak ada hubungan (p = 0,997) tingkat pengetahuan dengan
frekuensi konsumsi minuman berkalori dalam kemasan, tidak ada hubungan (p = 0,157)
tingkat pengetahuan dengan asupan energi minuman berkalori dalam kemasan. Dapat
disimpulkan ada hubungan antara konsumsi minuman berkalori dalam kemasan dengan
asupan energi dan BMI (Body Mass Index) pada remaja. Perlu dilakukan pengurangan
konsumsi minuman berkalori yang memiliki kalori cukup tinggi serta melakukan
peningkatan aktivitas fisik, terutama untuk remaja yang menderita obesitas.
ABSTRACT
Nearly 50% of the increment in total calories comes from caloric beverages.
Tendency of unhealthy dietary habit such as consumption of caloric beverages tend to
associated to obesity. The study was conducted to determine whether caloric beverages
consumption associated with total energy intake and BMI in adolescents. This study was
an observational research with cross sectional design. The study involved 69 adolescents
aged 15-18 years at Trimurti High School Surabaya, who were selected randomly by
using probability proportional to size principle. Statistical analysis was performed by
using Pearson correlation and Spearman correlation test. The results found significant
association (p = 0.000) between consumption of caloric beverages and total caloric
intake, as well as between consumption of caloric beverages (p = 0.037) and BMI.
* corresponding author
1467
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475
However, no association (p = 0.157) was found between the amount of pocket money with
frequency of consuming caloric beverages, between the amount of pocket money with
energy intake from caloric beverages (p = 0.102), between level of knowledge with
frequency of consuming caloric beverages (p = 0.997), and between level of knowledge
with energy intake from caloric beverages (p = 0.157). It can be concluded that there is
an association between the consumption of caloric beverages with energy intake and BMI
among adolescents. There needs to be a reduction in consumption of caloric beverages
that have high calories and increasing physical activity, especially for adolescents who
suffer from obesity.
1468
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475
1469
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475
1470
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475
4000
3000
total asupan energi seluruhnya
2000
1000
0
0 100 200 300 400 500 600
30
20
10
0
10 20 30 40 50
bmi
1471
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475
1472
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475
dari minuman berkalori itu sendiri. Honigman dan Castle (2002) dalam Rini
Selain itu, kontribusi yang lebih rendah (2004), sebenarnya apa yang dia
juga dikarenakan perbedaan jenis pikirkan dan rasakan mengenai bentuk
minuman berkalori yang diteliti. Pada tubuhnya belum tentu benar-benar
penelitian ini, jenis minuman berkalori mempresentasikan keadaan yang aktual
yang diteliti hanya terbatas pada namun lebih merupakan hasil penilaian
minuman berkalori dalam kemasan saja diri yang subyektif. Pada umumnya,
sedangkan pada penelitian lain lebih body image dialami oleh mereka yang
luas. Namun bila dilihat anjuran menganggap bahwa penampilan adalah
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, faktor yang paling penting dalam
2003) yang menyebutkan bahwa kehidupan. Hal ini terutama terjadi pada
pasokan kalori dari makanan dan usia remaja. Mereka beranggapan bahwa
minuman manis maksimal 10% dari tubuh yang kurus dan langsing adalah
kebutuhan kalori tubuh per hari, maka yang ideal bagi wanita sedangkan tubuh
persentase ini sudah termasuk tinggi dan yang kekar dan berotot adalah yang
melebihi ketentuan sehingga perlu untuk ideal bagi pria (Germov dan Williams,
diwaspadai. 2004).
Jenis minuman berkalori yang Asupan energi minuman berkalori
paling besar berkontribusi terhadap berhubungan dengan total konsumsi
asupan energi total adalah susu energi dengan nilai p=0,000. Hal ini
kemasan. Susu dalam kemasan menunjukkan konsumsi minuman
berkotribusi paling besar, selain karena berkalori yang tinggi akan
frekuensi konsumsinya yang memang mempengaruhi asupan energi menjadi
paling besar bila dibanding dengan tinggi pula. Semakin tinggi konsumsi
minuman berkalori lainnya, juga karena minuman berkalori maka asupan energi
jumlah kalori per takaran saji yang total akan semakin tinggi pula, begitu
paling besar bila dibandingkan jenis juga sebaliknya. Energi dari minuman
minuman berkalori lainnya yaitu 200 berkalori (yang umumnya memiliki
ml/g. Sebagian besar responden senang kandungan gula tinggi) kurang dirasakan
mengkonsumsi susu kemasan karena dibandingkan asupan energi dari
dapat dianggap sebagai pengganti makanan padat karena efek fisiologis
makan, memiliki rasa yang enak dan asupan energi terhadap kekenyangan
manis serta telah tersedia di rumah. terlihat berbeda antara makanan padat
Rata-rata BMI pada responden dan cairan serta berkurangnya
remaja adalah 23 dengan kisaran BMI penggelembungan lambung dan waktu
antara 14,7-42,2 dengan rata-rata z-score transit yang lebih cepat (Gibney, 2009)
adalah 0,4 dengan kisaran z-score antara padahal 30% dari asupan karbohidrat di
-3SD – 3,9SD. Apabila diartikan status Amerika Serikat berasal dari minuman
gizinya, maka rata-rata status gizi yang dipermanis dengan gula (Popkin
responden adalah normal (nilai z-score dan Nielsen, 2006). Konsumsi minuman
antara -2SD – 1SD). Status gizi remaja berkalori berhubungan dengan BMI
yang sebagian besar normal dengan nilai p=0,037 yang berarti
dilatarbelakangi karena persepsi mereka asupan minuman berkalori akan
mengenai bentuk tubuh yang ideal atau mempengaruhi jumlah asupan energi
yang biasa disebut body image. Body total. Apabila hal ini terjadi terus
image adalah gambaran seseorang menerus maka akan mempengaruhi
mengenai bentuk dan ukuran tubuhnya peningkatan berat badan yang akan
sendiri. Gambaran ini dipengaruhi oleh mengakibatkan kenaikan BMI. Asupan
bentuk dan ukuran tubuh aktualnya, tinggi gula dalam minuman berkalori
perasaannya tentang bentuk tubuhnya dan jus buah mempunyai potensi untuk
serta harapan terhadap bentuk dan berkontribusi terhadap peningkatan
ukuran tubuh yang diinginkannya risiko kegemukan (Mann dan Stewart,
(Germov dan Williams, 2004). Menurut 2007). Asupan minuman berkalori ini
1473
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475
1474
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1467‐1475
1475
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
ABSTRAK
Hasil penelitian pendahuluan menyatakan osteoporosis pada wanita usia >50
tahun mencapai 32,3% sementara pada pria >50 tahun mencapai 28,8%. Kelompok lakto
ovo vegetarian yang hanya mengkonsumsi susu, telur dan produk nabati dapat memiliki
risiko mengalami osteoporosis apabila memiliki pengetahuan gizi yang kurang dalam
pemenuhan menu seimbang yang dapat berakibat pada permasalahan status gizi
kelompok lakto ovo vegetarian. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan
pengetahuan gizi dan asupan zat gizi dengan status gizi dan risiko osteoporosis pada
kelompok lakto ovo vegetarian. Penelitian ini merupakan penelitian observasional
analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel sebanyak 31 orang yang
didapatkan dengan teknik simple random sampling. Data dianalisis menggunakan uji
korelasi Pearson, Spearman dan uji Chi-Square yang disesuaikan dengan skala variabel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi risiko osteoporosis tinggi sebesar 38,7%,
sebagian besar memiliki status gizi normal (84%), tingkat pengetahuan gizi sedang
(64,9%) dan kecukupan zat gizi yang tergolong kurang. Terdapat hubungan antara
pengetahuan gizi (p=0,002), asupan protein (p=0,006), asupan kalsium (p=0,046), dan
asupan fosfor (p=0,021) dengan indeks massa tubuh. Selain itu terdapat hubungan antara
pengetahuan gizi (p=0,000), asupan protein (p=0,001), asupan kalsium (p=0,005), asupan
fosfor (p=0,002) dan indeks massa tubuh (p=0,000) dengan skor ORAT kelompok lakto
ovo vegetarian. Lebih lanjut, perlu adanya peningkatan pengetahuan gizi kelompok lakto
ovo vegetarian terkait pentingnya asupan zat gizi (protein, vitamin D, kalsium, dan
fosfor) untuk kesehatan tulang.Selain itu penyuluhan mengenai menu seimbang asupan
zat gizi untuk pembentukan status gizi normal dan mengurangi risiko osteoporosis pada
kelompok lakto ovo vegetarian.
Kata-kata Kunci : lakto ovo vegetarian, risiko osteoporosis, status gizi, asupan zat gizi,
pengetahuan gizi.
ABSTRACT
Based on the analysis of Department of Health Center for Nutrition, it was found that
osteoporosis reached 32.3% in women aged> 50 years reached 32.3% and 28.8% in
men> 50 year. The llacto ovo vegetarians, who only eat milk, eggs and vegetable
products, may have a high risk of osteoporosis especially if they have lack of nutrition
knowledge such as nutrient intake of protein, calcium, vitamin D and phosphorus. Lack of
nutrition knowledge may be associated with the lack of fulfillment a balanced diet that
will lead to problems of the nutritional status of lacto ovo vegetarian. The aim of this
research was to analyze the relationship between nutrition knowledge and nutrient intake
with nutritional status and the risk of osteoporosis of lacto ovo vegetarian.
* corresponding author
1476
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
This research was an observational analytic with cross sectional design. The total
samples of 31 people were obtained using simple random sampling technique. Data were
analyzed using Pearson correlation test, Spearman correlation test and Chi-Square test
which depends on the scale of variable data. The results showed that the prevalence of
osteoporosis risk was 38.7%, most of them have normal nutritional status (84%), precise
level of nutritional knowledge (64.9%) and less level of nutrients adequacy (protein was
58. 1%, calcium was 87.1%, vitamin D was 100% and phosphorus was 41.9%). There
was a significant relationship between nutrition knowledge (p = 0.002), protein intake (p
= 0.006), calcium intake (p = 0.046), and phosphorus intake (p = 0.021) with body mass
index. In addition there was a relationship between nutrition knowledge (p = 0.000),
protein intake (p = 0.001), calcium intake (p = 0.005), phosphorus intake (p = 0.002) and
body mass index (p = 0.000) with a score ORAT the lacto ovo vegetarian. Based on the
results of the study, it is need for increasing the knowledge of lacto ovo vegetarian
member about the important of nutrient intake (protein, vitamin D, calcium, and
phosphorus) for their bone health. Besides, counselling on nutrient intake of a balanced
diet for the formation of normal nutritional status and reducing the risk of osteoporosis of
lacto ovo vegetarian also needed.
Keywords: lacto ovo vegetarian, risk of osteoporosis, nutritional status, nutrient intake,
nutrition knowledge
1477
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
1478
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
METODE
Penelitian ini merupakan
penelitian observasional analitik dengan
desain cross sectional. Populasinya
adalah pengunjung kegiatan Meat Free
Monday selama bulan Februari-April di
Pusdiklat IVS Surabaya yang menganut
lacto ovo vegetarian dan berusia > 50
tahun yang berjumlah 43 orang.Dari
hasil perhitungan, diperoleh sampel
sebanyak 31 orang. Pengambilan sampel
menggunakan teknik simple random
sampling. Variabel yang diteliti adalah
karakteristik responden, gaya hidup,
asupan makanan, kecukupan zat gizi dan
risiko osteoporosis. Instrumen
pengumpulan data yang digunakan
antara lain: lembar kuesioner,
mikrotoise, timbangan elektrik,
Formulir Semi Food Frequency
Quantitative, Food Model, Tabel
AKG tahun 2004, DKBM, Blanko
Osteoporosis Risk Assesment Test
(ORAT), dan kamera. Data dianalisis
dengan menggunakan uji statistik
Kolmogrov Smirnov, Chi Square, uji
Spearman, dan Uji Pearson.
HASIL PENELITIAN
Data distribusi menurut
karakteristik mayoritas respon tersaji
pada Tabel 1. Tabel 2 dan 3
memperlihatkan distribusi menurut
tingkat pengetahuan dan tingkat
kecukupan zat gizi responden.
Tabel 4 dan 5 menggambarkan
distribusi status gizi dan risiko
osteoporosis responden. Tabel 6
menyajikan coefficient correlation
antara pengetahuan gizi dengan asupan
protein, kalsium, vitamin D dan fosfor
responden. Tabel 7 dan 8
memperlihatkan coefficient correlation
asupan protein, kalsium, vitamin D dan
fosfor dengan Indeks Massa Tubuh dan
skor ORAT.
1479
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
Tingkat n %
Pengetahuan Gizi
Kurang 7 2,6
Sedang 20 64,5
Baik 4 12,9
Total 31 100,0
Kalsium
Kurang 27 87,1
Baik 1 3,2
Lebih 3 9,7
Total 31 100,0
Vitamin D
Kurang 31 100,0
Total 31 100,0
Fosfor
Kurang 13 41,9
Baik 6 19,4
Lebih 12 38,7
Total 31 100,0
1480
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
Status Gizi n %
Normal (IMT 18,5-25,0) 26 84,0
Oveweight (IMT > 25,0-27,0) 3 10,0
Obesitas (IMT > 27,0) 2 6,0
Total 31 100,0
Risiko Osteoporosis n %
Rendah (Skor ORAT < 9) 19 61,3
Tinggi (Skor ORAT ≥ 9) 12 38,7
Total 31 100,0
1481
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
1482
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
terhadap ransangan syaraf di seluruh berbeda antara wanita dan laki-laki yaitu
tubuh (Suprapto, 2009). Kalsium juga 15 mg/hari. Semua responden memiliki
berfungsi dalam pengaturan fungsi sel tingkat kecukupan vitamin D kurang
pada cairan ekstraseluler dan (87,1%) memiliki status gizi normal
intraseluler, seperti untuk transmisi (83,9%) dan risiko osteoporosis rendah
syaraf, kontraksi otot, penggumpalan (61,3%). Berdasarkan penelitian
darah, dan menjaga permeabilitas diketahui bahwa tidak terdapat
membran sel serta mengatur pekerjan hubungan antara asupan vitamin D
hormon pertumbuhan (Almatsier, 2004). dengan indeks massa tubuh (p=0,710)
Kekurangan kalsium dapat dan skor ORAT (p=0,585) (Tabel 7 dan
menyebabkan sering terjadinya sakit 8).
pinggang, gelisah, merasa tidak enak, Tanpa asupan vitamin D yang
tidak bisa tidur, dan kekuatan syaraf mencukupi, pertumbuhan tulang akan
menurun (Suprapto, 2009). Apabila lamban dan kurang padat karena vitamin
tubuh mengalami kekurangan kalsium D bertugas menjadikan timbunan
dalam waktu lama maka akan kalsium dalam tulang lebih mampat,
meningkatkan risiko terjadinya sehingga tulang menjadi padat, kuat dan
osteoporosis seperti pada wanita yang massif (Apriadji, 2007). Apabila tubuh
menopause. Wanita yang mengalami kekurangan vitamin D maka kadar
menopause dapat mengalami kalsium dan fosfat dalam darah
kekurangan kalsium lebih tinggi menurun. Hal itu dapat menyebabkan
dikarenakan selain absorbsi kalsium penyakit tulang karena tidak terdapatnya
yang semakin turun, juga karena kalsium dan fosfat yang cukup untuk
hormone estrogen diproduksi sangat mempertahankan kesehatan tulang.
sedikit (Deprtemen Gizi dan Kesehatan Keadaan ini disebut rakhitis (pada anak-
Masyarakat FKM UI, 2010). anak) dan osteomalacia (pada dewasa)
Sebagian besar responden memiliki (Muchtadi, 2009; Kristanti, 2010),
tingkat kecukupan kalsium kurang dimana tulang–tulang menjadi lunak
(87,1%) memiliki status gizi normal sehingga mudah berubah bentuk,
(85,2%) dan risiko osteoporosis rendah misalnya menjadi bengkok. Selain itu
(63%). Berdasarkan penelitian diketahui juga mengakibatkan reckersia dan
bahwa terdapat hubungan antara asupan penyakit tulang yang lain, kerusakan
kalsium dengan indeks massa tubuh gigi dan gusi, insomnia dan kegugupan
(p=0,046) dan skor ORAT (p=0,005) yang ekstrim (Suprapto, 2009).
(Tabel 7 dan 8). Vegan yang tidak memakan
Jika pelaku vegetarian makanan/pil yang difortifikasi dengan
mengkonsumsi makanan berkalsium vitamin D sintetik dan kurang terpapar
kurang dari kebutuhan kalsium dalam sinar matahari sangat rentan terhadap
tubuh yaitu sekitar 0,8 gr sehari (bagi defisiensi vitamin D (Kusharisupeni dan
orang dewasa normal yang sesuai Setiorini, 2010). Kekurangan vitamin D
dengan hasil-hasil Vuthonse, Mitchell, dapat disebabkan oleh pemaparan sinar
Steg-Gerda, yang menyimpulkan bahwa matahari yang tidak mencukupi maupun
kebutuhan akan kalsium bagi orang oleh sedikitnya vitamin D dalam
dewasa adalah antara 7-7.5 mg makanan. Kekurangan vitamin D selama
perkilogram berat benda atau ± 0,5 kehamilan dapat menyebabkan
sampai 0,7 gram seharinya) osteomalacia pada ibu hamil dan rakitis
(Kartasapoetra dkk, 2005) dapat pada bayi yang akan dilahirkannya
meningkatkan risiko osteoporosis (Kristanti, 2010). Secara umum di
melalui kecepatan pengurangan massa Indonesia penyakit ini tidak perlu
tulang setelah usia 30 tahun (Freitag dan dirisaukan, tetapi kasus sporadik
Oktaviani, 2010). mungkin masih dijumpai pada anak-
AKG Indonesia mencantumkan nilai anak atau para wanita yang karena adat
kecukupan vitamin D yang tidak istiadat, sedikit sekali terkena sinar
1483
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
1484
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
1485
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
b. 2x24 jam untuk mendapatkan data CDC. 2011. Osteoporosis Data are For
yang lebih akurat mengenai US).
kandungan zat gizi (protein, http://www.cdc.gov/nchs/fastats/o
kalsium, fosfor dan vitamin D) steoporosis.htm (Sitasi 15
dalam makanan. Selanjutnya dapat Desember 2011)
diketahui hubungan antara asupan CDC. 2011. Data and Statistic.
zat gizi kalsium dengan risiko http://www.cdc.gov/genomics/res
osteoporosis secara akurat pula. ources/data_stats/data/NHANES.
c. Sebaiknya peneliti selanjutnya htm (Sitasi 15 Desember 2012)
dapat menggunakan diagnosa Depkes RI. 2009.
pemeriksaan densitas tulang TegakBicaraLantangKalahkan
sehingga signifikansi osteoporosis Osteoporosis.
dibandingkan dengan asupan http://www.depkes.go.id/index.ph
makanan pada responden lebih p/be rita/press-release/404-
diketahui secara akurat. berdiri-tegak-bicara-lantang-
d. Sebaiknya peneliti selanjutnya juga kalahkan-osteoporosis.html
mencantumkan variabel aktivitas (Sitasi 22 November 2011)
tubuh termasuk olahraga untuk Departemen Gizi dan Kesehatan
mengetahui faktor aktivitas tubuh Masyarakat FKM UI. 2010. Gizi
termasuk olahraga dalam dan Kesehatan Masyarakat.
mempengaruhi status gizi yang Jakarta: PT. Raja Grafindo
selanjutnya dapat mempengaruhi Persada Fakultas Kesehatan
risiko osteoporosis. Masyarakat Universitas Indonesia
e. Sebaiknya peneliti selanjutnya juga Fox-spencer, Rebecca dan Pam Brown.
mencantumkan variabel konsumsi 2007. Osteoporosis. Jakarta :
suplemen sebagai upaya seseorang Erlangga
untuk mencukupi kebutuhan Freitag H dan Oktaviani P.
kalsium dalam tubuh dan 2010.Bebas Kanker Tanpa
mengetahui hubungan antara Daging. Yogyakarta : Penerbit
konsumsi suplemen dengan Yogya Great
risiko osteoporosis pada IOF. 2011. What Is osteoporosis.
seseorang. http://www.iofbonehealth.org/pa
tients-public/about-
osteoporosis/what-is-
DAFTAR PUSTAKA osteoporosis.html (Sitasi 25
American Dietetic Association. 2009. November 2011)
Position of the American Dietetic IOF. 2011. Fact About Bone.
Association (ADA). Vegetarian http://www.iofbonehealth.org/pa
Diets. tients-public/about-
http://www.vrg.org/nutrition/2009 osteoporosis/facts-about-
_A DA_position_paper.pdf (Sitasi bones.html (Sitasi 15 Desember
15 Desember 2012) 2011)
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar IOF. 2011. Facts and Statistic.
Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia http://www.iofbonehealth.org/fa
Pustaka Utama cts-and-statistics.html (Sitasi 15
Apriadji, Wied Harry. 2007. Hidup Desember 2011)
Sehat, Bahagia dan Awet Muda. Kristanti, Handriani. 2010. Penyakit
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Akibat Kelebihan dan
CDC. 2011. Calcium and Bone Health. kekurangan Vitamin, Mineral
http://www.cdc.gov/nutrition/ever dan Elektrolit. Yogyakarta :
yone/basics/vitamins/calcium.htm Citra Pustaka
l (Sitasi 22 November 2011) Kusharisupeni dan Setiorini, A. 2010.
Vegetarian Gaya Hiduo Sehat
1486
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1476‐1481
1487
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494
HUBUNGAN KARIES GIGI DENGAN TINGKAT
KONSUMSI DAN STATUS GIZI ANAK USIA
SEKOLAH DASAR
1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRAK
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, secara nasional, penduduk
Indonesia yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal (kurang dari 70% dari
angka kecukupan gizi bagi orang Indonesia) adalah sebanyak 40,7%. Masalah
kekurangan konsumsi energi dan protein terjadi pada semua kelompok umur, terutama
pada anak usia sekolah (6–12 tahun). Salah satu faktor penyebab anak kekurangan gizi
berasal dari gangguan pengunyahan yang disebabkan dengan adanya karies gigi.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan karies gigi dengan tingkat
konsumsi dan status gizi anak usia sekolah dasar. Penelitian ini termasuk dalam penelitian
analitik observasional dengan rancangan cross sectional. Sampel berjumlah 49 anak
Sekolah Dasar Hang Tuah I Surabaya. Pengambilan sampel dengan cara simpel random
sampling. Variabel bebas penelitian adalah karies gigi sedangkan variabel terikat adalah
status gizi dan tingkat konsumsi makan. Penelitian ini menggunakan uji Spearman. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara karies gigi dengan tingkat
konsumsi (p=0,000;p<0,05), koefisien korelasi sebesar -0,517. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa hubungan antara jumlah karies gigi dengan tingkat konsumsi
bersifat kuat dan memiliki arah negatif. Karies gigi dengan status gizi juga memiliki
hubungan yang signifikan (p=0,013;p<0,05), koefisien korelasi sebesar -0,353. Hal
tersebut memperlihatkan bahwa hubungan signifikan antara jumlah karies gigi dengan
status gizi bersifat cukup kuat dan memiliki arah negatif. Kesimpulannya adalah ada
hubungan antara karies gigi dengan tingkat konsumsi dan status gizi. Penderita karies gigi
hendaknya melakukan pengobatan ke dokter gigi untuk menjaga kesehatan giginya.
ABSTRACT
Based on the results of Basic Health Research on 2010, a nationally population
of Indonesia energy consumption was under minimal requirements (less than 70% of the
nutritional adequacy rate for Indonesia) was as much as 40,7%. The problem of less
energy and protein consumption happened to all of age groups, especially in school age
(6-12 years). One of the factor child malnutrition came from mastication disorders
caused by dental caries. The aim of this research was to analyzed tthe relation of dental
caries and level of consumption and nutritional status of school age children. This study
was an analytical observational research with cross sectional design. The samples were
49 children from Hang Tuah I elementary school Surabaya that was taken by simple
random sampling. The independent variable was dental caries. Dependent variables were
nutritional status and food consumption level. Spearman test was used to examine the
relation between dependent and independent variables. The result of the statistic showed
* corresponding author
1488
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494
that there was a significant relation between dental caries and food consumption level
(p = 0,000;p<0,05) with correlation coefficient -0,517. It means there was a strong
relation and negative direction. There was a significant relation between dental caries
and nutritional status (p = 0,013;p<0,05) with correlation coefficient -0,353. It means
there was a medium relation and negative direction. The conclusion is that there is a
relation between dental caries and food consumption level and nutritional status.
Recommendation is that patient with dental caries should check to the dentist to keep the
healthy teeth.
1489
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494
diukur dengan menggunakan food recall didapatkan hubungan yang signifikan
24 jam (selama 2 hari) dan diolah dengan antara jumlah karies gigi dengan tingkat
software Nutrisurvey sedangkan untuk konsumsi (signifikansi = 0,000;p<0,05).
karies gigi dengan cara obsevarsi Pada analisis hubungan tersebut
langsung oleh dokter gigi menggunakan didapatkan koefisien korelasi sebesar -
kaca mulut dan sonde. Analisis data 0,517. Hal tersebut memperlihatkan
menggunakan korelasi Spearman untuk bahwa hubungan antara jumlah karies
mengetahui ada tidaknya hubungan gigi dengan tingkat konsumsi bersifat
karies gigi dengan tingkat konsumsi dan kuat (koefisien lebih besar dari 0,5) dan
karies gigi dengan status gizi anak usia memiliki arah negatif. Peningkatan
sekolah dasar.. jumlah karies gigi akan diikuti oleh
penurunan kualitas tingkat konsumsi.
HASIL PENELITIAN Pada uji korelasi Spearman
Data distribusi responden di SD antara jumlah karies gigi dengan status
Hant Tuah 1 Surabaya berdasarkan gizi (Tabel 5), didapatkan hubungan
tingkat konsumsi dam status gizi di tahun yang signifikan antara jumlah karies gigi
2012 tersaji pada Tabel 1 dan 2. dengan status gizi (signifikansi =
Tabel 3 menyajikan distribusi 0,013;p<0,05). Pada analisis hubungan
responden di SD Hang Tuah 1 Surabaya tersebut didapatkan koefisien korelasi
berdasarkan karies gigi Tahun 2012. sebesar - 0,353. Hal tersebut
Data mengenai rerata, standard deviasi memperlihatkan bahwa hubungan antara
dan signifikansi uji korelasi antar jumlah karies gigi dengan status gizi
variable penelitian karies gigi dengan bersifat cukup kuat (koefisien lebih kecil
tingkat konsumsi terlihat pada Tabel 4. dari 0,5) dan memiliki arah negatif.
Pada uji korelasi Spearman antara jumlah Peningkatan jumlah karies gigi akan
karies gigi dengan tingkat konsumsi, diikuti oleh penurunan status gizi.
1490
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494
1491
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494
Adanya masalah gigi berlubang dapat Karies gigi akan mempengaruhi
mengurangi penampilan sehingga tidak nafsu makan dan asupan gizi sehingga
ingin tersenyum. Anak yang memiliki dapat mengakibatkan gangguan
masalah pada gigi akan susah untuk tidur pertumbuhan yang pada gilirannya akan
serta berakibat pada ketidakhadiran saat mempengaruhi status gizi anak yang
sekolah (Nowak, 2001). berimplikasi pada kualitas sumber daya
Penyakit mulut berdampak pada (Saleh dalam Damanik, 2009).
kehidupan sehari-hari dan kualitas hidup Berdasarkan hasil penelitian lainnya
dengan memberikan pengaruh pada fisik, diketahui bahwa kelompok siswa dengan
sosial dan psikologis (Shah, 2011). status karies gigi sangat rendah memiliki
Penyakit pada mulut seperti karies gigi status gizi normal dengan persentase
atau penyakit periodontal sangat tinggi terbesar yaitu 55% sedangkan kelompok
prevalensinya dan tidak hanya memiliki siswa dengan status karies gigi sangat
konsekuensi pada fisik namun juga pada tinggi hanya terdapat status gizi normal
sosial dan psikologi. Mereka dapat sebesar 6,66 %. Adapun pada status gizi
mengurangi kualitas hidup pada sejumlah kurus terdapat kelompok karies tinggi
besar individu dan dapat mempengaruhi yaitu 1,66 % dan dari hasil uji didapatkan
berbagai aspek kehidupan, termasuk bahwa ada hubungan antara karies gigi
fungsi gigi, penampilan dan interpersonal dengan status gizi (Asmawati, 2007).
(Locker dalam Naito, 2006). Salah satu faktor penyebab anak
Berdasarkan hasil penelitian kekurangan gizi berasal dari gangguan
pada siswa SD Hang Tuah 1 Surabaya pengunyahan yang disebabkan dengan
diketahui terdapat hubungan karies gigi adanya karies gigi. Akibat dari karies
dengan status gizi dengan koefisien gigi tentunya menyebabkan rasa sakit
korelasi sebesar -0,353. Hal tersebut dan ketidaknyamanan pada anak, berupa
memperlihatkan bahwa hubungan antara rasa sakit spontan maupun karena adanya
jumlah karies gigi dengan status gizi rangsang mekanis dari makanan itu
bersifat cukup kuat (koefisien lebih kecil sendiri, yang pada akhirnya akan
dari 0,5) dan memiliki arah negatif. menganggu fungsi pengunyahan dan
Peningkatan jumlah karies gigi akan kondisi kesahatan secara umum. Anak-
diikuti oleh penurunan status gizi. Pada anak akan menjadi trauma dengan rasa
penderita dengan karies gigi, sering sakit sehingga kemampuan untuk dapat
terjadi gangguan asupan zat makanan mengkonsumsi berbagai jenis makanan
yang merupakan faktor penyebab yang kaya akan sumber gizi menjadi
kurangnya gizi sehingga dapat terbatas, sehingga hal tersebut akan dapat
menyebabkan menurunnya fungsi berpengaruh terhadap status gizi anak
biologis tubuh atau malnutrisi (Anderson (Sitmorang, 2005).
dan Brown dalam Arum, 2011). Masa Adanya karies gigi dapat
anak-anak merupakan masa tumbuh menyebabkan rasa sakit sehingga akan
kembang, maka kesehatan gigi dan mulut mengakibatkan susah tidur, menghambat
harus mendapat perhatian optimal. pertumbuhan anak. Anak yang menderita
Apabila keadaan gigi tidak baik, misal karies gigi cenderung menghindari
terjadi karies, akan menyebabkan fungsi mengunyah makanan yang keras dan
pengunyahan menjadi tidak optimal. Hal makanan yang menjadi menu utama
ini apabila berkelanjutan akan sehingga menyebabkan penurunan berat
menyebabkan penurunan berat badan badan dan kekurangan gizi
anak (Sulton dalam Supartinah, 2003). (Lueangpainsamut, 2011). Karies gigi
Anak yang kehilangan beberapa giginya mempengaruhi pertumbuhan anak. Anak
tidak dapat makan dengan baik dan yang karies gigi memiliki berat badan
seringkali sampai tidak bisa makan kurang (Dent, 2007). Gigi yang karies
kecuali makan yang lunak. Oleh karena dan sakit dapat menyebabkan
itu, karies gigi pada akhirnya dapat kekurangan gizi pada anak karena
menyebabkan keadaan kurang gizi kesulitan dalam pengunyahan (Bedwani,
(Burgers dalam Puri, 2010). 2008). Keadaan kesehatan gigi ikut
1492
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494
memberikan pengaruh terhadap Puskesmas setempat.
pertumbuhan anak. Dibuktikan dalam 2. Guru di sekolah diharapkan
studi yang telah dilakukan dengan mendukung program UKGS yang
membandingkan antara anak yang merupakan bagian dari UKS untuk
memiliki karies gigi dengan yang tidak memotivasi anak-anak sekolah
memiliki karies gigi didapatkan bahwa mengenai kesehatan gigi.
anak yang karies gigi memiliki berat 3. Perlunya peningkatan penyuluhan
badan yang lebih rendah daripada anak oleh petugas kesehatan tentang
yang tidak karies gigi. Anak yang pemeliharaan kesehatan gigi melalui
memiliki karies gigi akan memiliki berat program UKS.
badan kurang dari 80 % dari berat badan
yang ideal sesuai dengan umur mereka DAFTAR PUSTAKA
(Malek, 2012). Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar
Karies gigi akan mengurangi Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia
kualitas hidup anak-anak, mereka akan Pustaka Utama
mengalami rasa sakit, ketidaknyamanan, Arum, Sekar. 2011. Hubungan Pola
gangguan makan, nutrisi, pertumbuhan Pemberian Makan dan Kebersihan
dan berat badan. Kesehatan mulut yang Mulut dengan Indeks Karies Anak
buruk dapat memiliki pengaruh buruk Paud Yang Positif Karies. Skripsi.
terhadap prestasi anak-anak di sekolah FKM Universitas Airlangga
dan keberhasilan mereka dikemudian Asmawati. 2007. Analisis Hubungan
hari. Karies gigi dapat mempengaruhi KariesGigi dan Status Gizi Anak
asupan gizi anak-anak dan berakibat pada Usia 10-11 tahun di SD Athirah,
pertumbuhan dan perkembangan mereka SDN 1 Bawakaraeng dan SDN 3
(WHO, 2003). Bangkalan. Jurnal Dentofasial
Vol.6, No.2, Oktober 2007, Hal :
KESIMPULAN 78-84
1. Didapatkan hubungan yang signifikan Damanik, Noverini. 2009. Gambaran
antara jumlah karies gigi dengan konsumsi makanan dan status gizi
tingkat konsumsi dengan koefisien pada anak penderita karies gigi di
korelasi sebesar -0,517. Hal tersebut SDN 091285 Panei tongah
memperlihatkan bahwa hubungan Kecamatan Panei. Diakses dari
antara jumlah karies gigi dengan http://repository.usu.ac.id/bitstrea
tingkat konsumsi bersifat kuat dan m/123456789/14650/1/10E00010.
memiliki arah negatif. Peningkatan pdf (sitasi 4 Januari 2012)
jumlah karies gigi akan diikuti oleh Bedwani. 2008. A Pilot Educational
penurunan kualitas tingkat konsumsi. Intervention For Dental Caries
2. Didapatkan hubungan yang signifikan Prevention Among 6 to 12 Years
antara jumlah karies gigi dengan Old Schoolchildren in Alexandria
status gizi dengan koefisien korelasi (Egypt). Egyptian Dental Journal
sebesar -0,353. Hal tersebut Vol. 54, No.2, April 2008, Hal
memperlihatkan bahwa hubungan 1449-1454 (sitasi 12 Mei 2012)
antara jumlah karies gigi dengan Dent, J. 2007. Dental Caries Affect
status gizi bersifat cukup kuat dan Bodyweight, Growth and Quality
memiliki arah negatif. Peningkatan of Life in Pre-School Children.
jumlah karies gigi akan diikuti oleh Diakses dari
penurunan status gizi. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub
med/17128231 (sitasi 12 Mei
SARAN 2012)
1. Sekolah sebaiknya mengupayakan EUFIC. 2003. Food, Dietary Habits and
pemeriksaan kesehatan gigi minimal Dental Health. Diakses dari
6 bulan sekali atau minimal 1 tahun http://www.eufic.org/article/en/die
sekali baik secara mandiri atau trelated-diseases/dental
bekerjasama dengan pihak care/expid/review-food-dietary-
1493
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1488‐1494
habits-dental-health/ (sitasi 12 Mei Gigi dan Frekuensi Konsumsi
2012) Makanan Kariogenik Terhadap
Malek, Tayebeh. 2012. Effect of Dental Kejadian Karies Gigi di SDN
Caries on Children Growth. Geluran III Kecamatan Taman
Diakses dari Kabupaten Sidoarjo. Skripsi. FKM
http://www.intechopen.com/books/ Universitas Airlangga
contemporary-approach-to-dental Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
caries/effect-of-dental-caries-on- 2010. Diakses dari
children-growth (sitasi 12 Mei http://www.riskesdas.litbang.depk
2012) es.go.id/2010/ (sitasi 14 Januari
Lueangpainsamut, Juthamas. 2011. 2012)
Dental Caries Status and Seminario, Lucia. 2012. Caries Risk
Nutritional Status in Assessment for Children. Diakses
Children.Diakses dari dari
http://home.kku.ac.th/kdj/kdj14.1/j http://www.cdeworld.com/courses/
utamasEng.pdf (sitasi 22 Mei 4293caries-risk-assessment-
2012) forchildren. (sitasi 12 Mei 2012)
Maine. 2009. Tooth Decay May Affect a Shah, Mishal. 2011. Improvement of
Child’s Quality of Life. Diakses Oral Health Related Quality of
dari Life in Periodontitis Patients after
http://www.mainecshp.com/PD Non-Surgical Periodontal
Fs/Tooth_Decay.pdf (sitasi 12 Therapy. Journal of International
Mei 2012) Oral Health. Vol. 3. December
Moehji, Sjahmien. 2003. Ilmu Gizi. 2011. Hal : 15-22. (sitasi 5 Januari
Jakarta : Bharatara Niaga Media 2012)
Naito, Mariko. 2006. Oral Health Status Sheiham, Aubrey. 2005. Oral Health,
and Health-Related Quality of Life General Health and Quality of
: a Systematic Review. Journal of Life. Bulletine of the WHO Vol.
Oral Science. Vol.48, No. 1 83, No.9, September 2005, Hal :
January, Hal : 1-7 (sitasi 5 Juni 641-720. (sitasi 12 Mei 2012)
2012) Situmorang, Nurmala. 2005. Dampak
Nowak, Arthur. 2001. Oral Management Karies Gigi dan Penyakit
of Pediatric Patients for Non- Periodontal Terhadap Kualitas
Dental Professionals. Diakses dari Hidup. Diakses dari
http://www.uiowa.edu/~c090247/S http://www.usu.ac.id/id/files//ppgb
tudy_Guide.pdf (sitasi 12 Mei /2005/ppgb_2005_nurmala_situmo
2012) rang.pdf.
Ogata, Beth. 2003. Nutrition and Oral (sitasi 11 Januari 2012)
Health for Children. Journal of Supartinah. 2003. Saliva dan Kaitannya
Nutrition Focus. Vol.18, No.6 Dengan Penyakit Rongga Mulut
December, Hal : 2-9 (sitasi 5 Anak. Diakses dari
Januari 2012) http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload
Prangdimurti, Endang. 2008. Teh Hijau /998_pp0911162.pdf (sitasi 9 Mei
dan Kesehatan Gigi. Diakses dari 2012)
http://4 WHO. 2003. WHO Information Series
healthyfood.blogspot.com/2008_0 On School Health. Diakses dari
4_01_archive.html. (sitasi 16 http://new.paho.org/hq/dmdocume
Januari 2012) nts/2009/OH-st-sch.pdf (sitasi 12
Puri, Kristina. 2010. Hubungan Tingkat
Mei 2012)
Pengetahuan, Cara Menggosok
1494
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505
ABSTRAK
Anak sekolah merupakan aset yang penting bagi kehidupan suatu bangsa namun
mereka juga merupakan kelompok usia yang rentan mengalami masalah gizi dan
terserang penyakit infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara
pola konsumsi, tingkat konsumsi dan frekuensi sakit infeksi dengan status gizi (IMT/U)
anak sekolah. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dan deskriptif analitik
dengan desain cross sectional. Besar sampel adalah 78 siswa yang dipilih menggunakan
simple random sampling. Uji statististik yang digunakan adalah uji Pearson dan uji
Spearman (α = 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
jumlah konsumsi energi (p = 0,000), jumlah konsumsi protein (p = 0,000), jumlah
konsumsi lemak (p = 0,001), jumlah konsumsi karbohidrat (p = 0,000), tingkat konsumsi
energi (p = 0,002), tingkat konsumsi protein (p = 0,000), dan tingkat konsumsi lemak (p =
0,005) dengan status gizi anak sekolah. Tidak terdapat hubungan antara tingkat konsumsi
karbohidrat (p = 0.325) dan frekuensi sakit infeksi (p = 0.243) dengan status gizi anak
sekolah. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara pola konsumsi
(jumlah konsumsi energi, protein, lemak, dan karbohidrat) dan tingkat konsumsi energi,
protein, dan lemak dengan status gizi (IMT/U) anak sekolah namun tidak terdapat
hubungan antara tingkat konsumsi karbohidrat dan frekuensi sakit infeksi dengan status
gizi (IMT/U) anak sekolah. Perlu ditingkatkan asupan makanan dan pola hidup bersih
bagi anak sekolah sehingga pertumbuhan berjalan optimal, tercipta status gizi yang baik,
dan mencegah terkena penyakit infeksi.
Kata-kata kunci: anak sekolah, pola konsumsi, tingkat konsumsi, frekuensi sakit infeksi,
status gizi
ABSTRACT
School-age children are an important asset for the life of a nation but they are
also a vulnerable age group to had nutritional problems and affected infectious diseases.
The purpose of this research was to analyze the relationship between consumption
pattern, consumption level and frequency of infection with nutritional status (BMI for
age) of school-age children. This research was an observational and descriptive analytic
study with cross sectional design. The respondents as much as 78 students were selected
by simple random sampling. The test statistic in used are Pearson and Spearman test (α
= 0.05). The results showed that there was a relationship between amount of energy
intake (p = 0.000), amount of protein intake (p = 0.000), amount of fat intake (p =
0.001), amount of carbohydrate intake (p = 0.000), energy consumption level (p =
0.002), protein consumption level (p = 0.000) and fat consumption level (p = 0.005) with
*
corresponding author
1495
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505
1496
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505
analitik dengan desain cross sectional. memiliki pendapatan lebih dari Rp.
Penelitian dilakukan di SDN Geluran 1.252.000,00 setiap bulannya (82,05 %).
III, Taman, Sidoarjo. Pengumpulan data Pola konsumsi terdiri dari jenis
dilakukan mulau bulan Februari hingga konsumsi, frekuensi konsumsi, dan
bulan Mei tahun 2012. Populasi dalam jumlah konsumsi. Sebagian besar
penelitian ini adalah semua siswa kelas responden dalam penelitian ini (58,97
V SDN Geluran III, Taman, Sidoarjo %) mengkonsumsi nasi, lauk, dan sayur
yang berjumlah 136 siswa. Sampel setiap kali makan.
dalam penelitian ini adalah sebagian Makanan pokok yang sering
siswa kelas V SDN Geluran III, Taman, dikonsumsi responden secara harian
Sidoarjo, yang terpilih secara acak dan adalah nasi dengan frekuensi 3x sehari
bersedia menjadi responden serta hadir (76,9 %). Lauk hewani yang sering
pada saat penelitian dilakukan. dikonsumsi responden secara harian
Pengambilan sampel menggunakan adalah telur dengan frekuensi 1x sehari
metode simple random sampling dan (11,5 %). Lauk nabati yang sering
setelah dilakukan perhitungan besar dikonsumsi responden secara harian
sampel maka diperoleh besar sampel adalah tempe dan tahu dengan frekuensi
sejumlah 78 siswa. Data yang telah masing-masing 1x sehari (10,3 %)
diperoleh melalui pengumpulan data namun ada sebagian responden yang
primer selanjutnya diolah menggunakan juga mengkonsumsi tempe dengan
program Nutrisurvey, SPSS dan WHO frekuensi 2x sehari (10,3 %). Sayuran
AnthroPlus. Untuk mengetahui ada atau yang sering dikonsumsi responden
tidaknya hubungan antara pola secara harian adalah kangkung dan
konsumsi, tingkat konsumsi, dan wortel dengan frekuensi masing-masing
frekuensi sakit infeksi dengan status gizi 1x sehari (7,7 %). Buah-buahan yang
(IMT/U) digunakan uji Pearson dan uji sering dikonsumsi responden secara
Spearman. harian adalah apel dengan frekuensi 3x
sehari (6,4 %), tomat dan anggur dengan
HASIL frekuensi masing-masing 1x sehari (6,4
Karakteristik anak sekolah dan %). Susu dan olahannya yang sering
keluarga anak sekolah dapat dilihat pada dikonsumsi responden secara harian
Tabel 1. Sebagian besar anak sekolah adalah susu bubuk dengan frekuensi 1x
yang menjadi responden berumur 11 sehari (30,8 %). Serba aneka yang sering
tahun (71,80 %), berjenis kelamin laki- dikonsumsi responden secara harian
laki (60,26 %), memiliki tinggi badan di adalah teh dan chiki dengan frekuensi 1x
atas rata-rata (51,28 %), dan memiliki sehari dengan persentase masing-masing
berat badan di bawah rata-rata (70,51 30,8 % dan 24,4 %.
%). Rata-rata yang digunakan adalah Jumlah konsumsi merupakan
rata-rata tinggi badan dan berat badan rata-rata jumlah bahan makanan yang
pada usia 10-12 tahun yang tertera dikonsumsi responden selama 2x24 jam
dalam AKG 2004 sedangkan rata-rata dengan menggunakan metode food
tinggi badan dan berat badan responden recall 2x24 hours, kemudian dikonversi
adalah 139+6 cm dan 34+10 kg (laki- dalam bentuk nilai zat gizi dan
laki) ; 143+8 cm dan 34+9 kg dinyatakan dalam kkal untuk energi dan
(perempuan). Sebagian besar ayah dan gram untuk protein, lemak, dan
ibu responden telah menempuh jenjang karbohidrat. Jumlah konsumsi kemudian
pendidikan hingga SMA/SMK/MA ditabulasi silang dengan status gizi
dengan persentase masing-masing 43,60 responden untuk melihat adanya
% dan 51,28 %. Sebagian besar ayah hubungan antara pola konsumsi dengan
responden bekerja sebagai pegawai status gizi (IMT/U). Uji statistik yang
swasta (65,38 %), sebagian besar ibu digunakan untuk melihat hubungan
responden tidak bekerja (67,95 %), dan antara kedua variabel tersebut adalah uji
sebagian besar orang tua responden Pearson. Jumlah konsumsi zat gizi
1497
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505
Tabel 2. Jumlah Konsumsi Zat Gizi Berdasarkan Status Gizi (IMT/U) Responden
di SDN Geluran III, Taman, Sidoarjo pada Tahun 2012
Konsumsi Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obesitas p
Gizi (Mean+SD) (Mean+SD) (Mean+SD) (Mean+SD) (Mean+SD) value
Energi 567,86+207,89 753,33+114,98 1235,15+290,44 1320,80+193,74 1580,81+491,08 0,000
Protein 23,85+7,38 31,29+8,29 46,22+12,55 51,03+20,86 56,71+18,49 0,000
Lemak 26,76+7,08 32,49+13,95 42,71+14,91 39,00+2,95 55,32+16,17 0,001
Karbohidrat 104,55+15,56 132,32+54,66 188,52+50,86 200,23+42,44 216,60+78,43 0,000
1498
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505
1499
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505
besar responden yang gemuk dan memiliki tingkat konsumsi lemak yang
obesitas sama-sama memiliki tingkat lebih. Analisis statistik menggunakan uji
konsumsi protein yang baik dengan Spearman, menghasilkan nilai p = 0,005
persentase masing-masing sebesar 50,00 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa
% dan 55,56 %. Analisis statistik terdapat hubungan antara tingkat
menggunakan uji Spearman, konsumsi lemak dengan status gizi
menghasilkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) (IMT/U).
yang menunjukkan bahwa terdapat Sebagian besar responden yang
hubungan antara tingkat konsumsi berstatus gizi sangat kurus, kurus,
protein dengan status gizi (IMT/U). normal, gemuk, dan obesitas memiliki
Sebagian besar responden yang tingkat konsumsi karbohidrat yang
sangat kurus, kurus, normal, dan gemuk kurang dengan persentase masing-
sama-sama memiliki tingkat konsumsi masing sebesar 100 %, 91,67 %, 87,76
lemak yang kurang dengan persentase %, 100, 00 %, dan 77,78 %. Analisis
masing-masing 100,00 %, 83,33 %, statistik menggunakan uji Spearman,
57,14 %, dan 100,00%. Namun, pada menghasilkan nilai p = 0,325 (p > 0,05)
responden yang berstatus gizi normal, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat
terdapat 24,49 % responden yang hubungan antara tingkat konsumsi
memiliki tingkat konsumsi lemak yang karbohidrat dengan status gizi (IMT/U).
baik. Sebagian besar responden yang
berstatus gizi obesitas (44,45 %)
Tabel 3. Tingkat Konsumsi Zat Gizi Berdasarkan Status Gizi (IMT/U) Responden
di SDN Geluran III, Taman, Sidoarjo pada Tahun 2012
Sangat
Tingkat Konsumsi Kurus Normal Gemuk Obesitas p
kurus
Zat Gizi value
n % n % n % N % n %
Energi
Baik 0 0,00 0 0,00 1 2,04 0 0,00 2 22,22
Sedang 0 0,00 0 0,00 5 10,20 0 0,00 2 22,22 0,002
Kurang 0 0,00 0 0,00 7 14,29 1 25,00 1 11,11
Defisit 4 100,00 12 100,00 36 73,47 3 75,00 4 44,45
Protein
Baik 0 0,00 0 0,00 14 28,57 2 50,00 5 55,56
Sedang 0 0,00 3 25,00 19 38,77 0 0,00 2 22,22 0,000
Kurang 0 0,00 1 8,33 7 14,29 1 25,00 1 11,11
Defisit 4 100,00 8 66,67 9 18,37 1 25,00 1 11,11
Lemak
Kurang 4 100,00 10 83,33 28 57,14 4 100,00 2 22,22
0,005
Baik 0 0,00 2 16,67 12 24,49 0 0,00 3 33,33
Lebih 0 0,00 0 0,00 9 18,37 0 0,00 4 44,45
Karbohidrat
Kurang 4 100,00 11 91,67 43 87,76 4 100,00 7 77,78
0,325
Baik 0 0,00 1 8,33 4 8,16 0 0,00 0 0,00
Lebih 0 0,00 0 0,00 2 4,08 0 0,00 2 22,22
1500
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505
Kuat hubungan antara pola kuat dengan status gizi, terutama jumlah
konsumsi, tingkat konsumsi, dan konsumsi energi karena memiliki nilai
frekuensi sakit infeksi dengan status gizi koefisien korelasi yang paling besar (r =
(IMT/U) dapat dilihat pada Tabel 5. Pola 0,619) dibandingkan dengan koefisien
konsumsi yang meliputi jumlah korelasi variabel lainnya.
konsumsi memiliki hubungan yang lebih
Tabel 5. Hasil Analisis Statistik Kuat Hubungan Pola Konsumsi, Tingkat Konsumsi,
dan Frekuensi Sakit Infeksi dengan Status Gizi (IMT/U) Responden
di SDN Geluran III, Taman, Sidoarjo pada Tahun 2012
Variabel
Variabel Indenpendent R
Dependent
Pola konsumsi :
Jumlah konsumsi energi 0,619
Jumlah konsumsi protein 0,545
Jumlah konsumsi lemak Status gizi 0,374
Jumlah konsumsi karbohidrat (IMT/U) 0,462
Tingkat konsumsi energi -0,351
Tingkat konsumsi protein -0,458
Tingkat konsumsi lemak 0,313
1501
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505
1502
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505
1503
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505
1504
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1495‐1505
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Macronutrients: The Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan
Importance of Carbohydrate, Aplikasinya untuk Keluarga dan
Protein, and Fat. McKinley Masyarakat Jakarta : Direktorat
Health Center. University of Jenderal Dikti Departemen
Illinois at Urbana-Champaign Pendidikan Nasional
Anonim. 2010. Hubungan Jajanan Anak Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang
Usia Sekolah (6-12 Tahun) Anak. Jakarta, Indonesia: Buku
dengan Infeksi Saluran Kedokteran EGC
Pernafasan Atas Di SDN Depok Suhardjo. 2005. Perencanaan Pangan
Jaya 7. Skripsi. Universitas dan Gizi. Jakarta, Indonesia: PT
Pembangunan “Veteran”, Bumi Aksara.
Jakarta Sulistyoningsih, Hariyani. 2011. Gizi
Dariyo, A. 2004. Psikologi untuk Kesehatan Ibu dan Anak.
Perkembangan Remaja. Jakarta, Jakarta : Graha Ilmu
Indonesia : Ghalia Indonesia Supariasa, I Dewa Nyoman. 2002.
Depkes RI. 2000. Pedoman Perbaikan Penilaian Status Gizi. Jakarta :
Gizi di Panti Sosial Asuhan Buku Kedokteran EGC
Anak. Jakarta : Direktorat Whandi. 2009. Karakteristik Anak Usia
Jendral Bina Kesehatan Sekolah Dasar. Diakses dari
Masyarakat Direktorat Gizi http://whandi.net/2009/09/e-
Masyarakat dukasi/karakteristik-anak-usia-
Depkes RI. 2001. Pedoman sekolah-dasar.html
Penyuluhan Gizi Pada Anak Wildans. 2009. Teh (Kandungan Teh,
Sekolah bagi Petugas Manfaat Teh, Jenis Teh dan
Puskesmas. Jakarta : Karakteristiknya, Kekurangan
Direktorat Jendral Bina Teh, Anjuran Minum Teh).
Diakses dari
Kesehatan Masyarakat http://unkick.wordpress.com/20
Direktorat Gizi Masyarakat 09/09/12/teh-kandungan-teh-
Gibney, Michael J., et all. 2008. Gizi manfaat-teh-jenis-teh-dan-
Kesehatan Masyarakat. Jakarta, karakteristiknya-kekurangan-
Indonesia : ECG teh-anjuran-minum-teh/
Kemenkes RI. 2010. Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS)
Nasional 2010.
http://riskesdas.litbang.depke
s.go.id/download/tabelriskesd
as2010.pdf (sititasi pada 6
Desember 2011).
Mattes, Richard D. 2007. Energy
Balanced and Shape
Management. Canadian Journal
of Dietetic Parctice and
Research. Vol. 68 No. 2
Moehji, Sjahmien. 2002. Ilmu Gizi I.
Jakarta, Indonesia: Bhratara
Karya Aksara
Soediaoetama, A. D. 2008. Ilmu Gizi
jilid I. Jakarta, Indonesia: Dian
Rakyat.
1505
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI PROTEIN, ZAT
BESI, VITAMIN C DAN TABLET BESI DENGAN
ANEMIA PADA IBU HAMIL
1* 2
Dwi Lestari , Bambang Wirjatmadi
1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRAK
Anemia Gizi Besi (AGB) merupakan salah satu dari empat masalah utama
kekurangan gizi pada masyarakat Indonesia. Kejadian anemia pada Wanita Usia Subur
(WUS), sebagian besar terjadi pada ibu hamil yaitu sebesar 50,9%. Tujuan dari penelitian
ini adalah mengetahui hubungan tingkat konsumsi protein, zat besi, vitamin C dan tablet
besi dengan status anemia pada ibu hamil. Penelitian ini bersifat cross sectional dan
observasional. Analisis dilakukan pada 34 responden ibu hamil yang memeriksakan
kehamilannya di Puskesmas Jagir Surabaya. Variabel bebas penelitian adalah umur,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengeluaran pangan, pola konsumsi, tingkat konsumsi
protein, zat besi, vitamin C, konsumsi tablet besi. Hubungan antara variabel dianalisis
menggunakan uji statistik Chi-square, Fisher Exact Test, Kolmogorov-Smirnov Test.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara umur, pendidikan,
pekerjaan, pendapatan, pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi zat besi dengan status
anemia. Terdapat hubungan antara tingkat konsumsi protein (p = 0,017 ), vitamin C (p =
0,000) dan tablet besi (p = 0,006) dengan status anemia. Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa tingkat konsumsi protein, vitamin C dan konsumsi tablet besi
memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya anemia. Oleh karena itu perlu
adanya upaya peningkatan pengetahuan terutama peningkatan perbaikan pola konsumsi
dan perbaikan tingkat konsumsi protein, vitamin C serta konsumsi tablet besi secara
teratur guna mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil yang dapat berdampak buruk
terhadap kehamilan.
Kata kunci : anemia, ibu hamil, pola konsumsi, tingkat konsumsi, tablet besi
ABSTRACT
Iron Deficiency Anemia (IDA) is one of four main problems of malnutrition for
many Indonesians. Incidence of anemia in productive-aged women, mostly happens in
pregnant women is equal to 50.9%. The purpose of this study was to find out the
relationshipbetween intake of protein, iron, vitamin C and iron tablets with the status of
anemia in the pregnant women. The research was a cross sectional and observational
study. Analysis was done to 34 pregnant women who checked their health at the Jagir
Health Center, Surabaya. The independent variables of the study were age, education,
employment, income, food expenditure, consumption patterns, consumption levels of
protein, iron, vitamin C, iron tablet consumption. The relations between variables were
analyzed using Chi-square statistical test, Fisher Exact Test, or Kolmogorov-Smirnov
Test. The results of study showed that there was no relationship among age, education,
employment, income, food expenditure and the level of iron intake with anemia status.
* corresponding author
1506
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
There was relationship between the level of protein intake (p = 0.017), vitamin C (p =
0.000) and iron tablets (p = 0.006) with anemia status. Based on this result, it can be
concluded that the level of protein intake, vitamin C and iron tablets consumption has a
significant relationship with the occurrence of anemia. Therefore, there is need an effort
to increase knowledge, especially in increasing food consumption patterns and the
improvement of the level of protein intake, vitamin C and consumption of iron tablets
regularly to prevent anemia in pregnant women which can cause a negative impact to the
pregnancy
1507
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
kecil apabila dibandingkan dengan HASIL
prevalensi anemia pada ibu hamil yang Berdasarkan umur sebagian besar
ditargetkan turun pada program responden ibu hamil memiliki umur 20-
Indonesia Sehat 2010 yaitu turun 35 tahun pada kedua kelompok baik
menjadi 20%. Puskesmas Jagir dengan status anemia maupun tidak
merupakan salah satu Puskesmas yang anemia masing-masing dengan
terdapat di Kota Surabaya, dimana persentase 82,4% dan 76,5%. Hasil uji
prevalensi anemia ibu hamil pada statistik menunjukkan bahwa tidak ada
Puskesmas Jagir adalah sebesar 16,33% hubungan (p = 1,000) antara umur ibu
pada tahun 2011 dan 15,57% pada tahun hamil dengan status anemia.
2010. Adapun cakupan tablet tambah Tingkat pendidikan terakhir
darah sebagai program penanggulangan sebagian besar dari ibu dan ayah pada
anemia sampai dengan akhir tahun 2011 kedua kelompok responden anemia dan
tercatat di Puskesmas Jagir terdapat tidak anemia adalah tamat SMA,
cakupan tablet Fe1 dan Fe3 yang belum masing-masing sebesar 64,7% dan
mencapai standar yaitu berturut-turut 70,5%. Hasil uji statistik menunjukkan
sebesar 70,56% dan 61,64% dan bahwa tidak ada hubungan (p = 0,954)
hasilnya menunjukkan masih belum antara pendidikan ibu dengan status
dapat memenuhi target Standar anemia pada ibu hamil dan tidak ada
Pelayanan Minimal (SPM) secara hubungan (p = 1.000) antara pendidikan
nasional yaitu sebesar 80%. Tujuan dari ayah dengan status anemia pada ibu
penlitian ini adalah menganalisis hamil.
hubungan tingkat konsumsi protein, zat Hasil penelitian berdasarkan
besi, vitamin C dan tablet Fe dengan pekerjaan ibu menunjukkan sebagian
anemia pada ibu hamil di wilayah kerja besar responden ibu hamil baik yang
Puskesmas Jagir, Kota Surabaya. berstatus anemia dan tidak anemia
adalah tidak bekerja yaitu sebesar 52,9%
METODE dan 70,6%. Hasil uji statistik
Penelitian ini merupakan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
penelitian observasional dengan desain (p = 0,954) antara pekerjaan ibu dengan
cross sectional. Sampel pada penelitian status anemia pada ibu hamil. Hasil
ini sebesar 34 ibu hamil trimester II dan penelitian menunjukkan bahwa sebagian
III. Teknik pengambilan sampel besar suami responden ibu hamil yang
dilakukan secara simple random berstatus anemia adalah bekerja pada
sampling. Penelitian ini dilaksanakan sektor informal dengan pendapatan tidak
pada bulan Mei- Juni 2012 di Wilayah tetap (41,2%) sedangkan sebagian besar
Kerja Puskesm as Jagir, Kota Surabaya. pekerjaan suami responden ibu hamil
Variabel yang diteliti meliputi yang tidak anemia adalah pegawai
karakteristik responden, tingkat swasta (53%). Hasil uji statistik
konsumsi dan konsumsi tablet besi. menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
Instrumen yang digunakan adalah (p = 0,954) antara pekerjaan ayah
kuesioner karakteristik responden, dengan status anemia pada ibu hamil.
kuesioner food frequency, kuesioner Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian
food recall 24 jam, kuesioner tablet besi. besar pendapatan responden ibu hamil
Data yang diperoleh melalui baik yang berstatus anemia maupun
pengumpulan data primer dan sekunder tidak anemia adalah < UMR (Rp
selanjutnya diolah menggunakan 1.257.000,00) masing-masing sebesar
software SPSS dan Nutri Survey 94,1 % dan 82,4%. Hasil uji statistik
kemudian untuk menganalisis hubungan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
menggunakanuji Chi-square, uji Fisher (p = 0,601) antara pendapatan ibu
Exact dan uji Kolmogorov-Smirnov dengan status anemia pada ibu hamil
dengan menggunakan α = 0,05. sedangkan sebagian besar pendapatan
ayah baik yang berstatus anemia
maupun tidak anemia adalah ≥ UMR
1508
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
(Rp 1.257.000,00) masing-masing 563.600,00 dan Rp 563.600,00 – Rp
sebesar 52,9 % dan 64,7%. Hasil uji 766.599,00 yaitu sebanyak 5 responden
statistik menunjukkan bahwa tidak ada (29,4%) sedangkan sebagian besar
hubungan (p = 0,727) antara pendapatan pengeluaran pangan pada responden ibu
ayah dengan status anemia pada ibu hamil tidak anemia berada pada kategori
hamil. Rp 827.200,00 – Rp 961.599,00 yaitu
Pengeluaran pangan dihitung sebanyak 5 responden (29,4%). Hasil uji
berdasarkan kuintil. Pengeluaran pangan statistik menunjukkan bahwa tidak ada
menunjukkan bahwa sebagian besar hubungan (p = 0,954) antara
pengeluaran pangan pada responden ibu pengeluaran pangan dengan status
hamil anemia berada pada kategori < Rp anemia pada ibu hamil.
Pendidikan Ibu
Tamat SD 1 5,9 1 5,9 0,954
Tamat SMP 5 29,4 2 11,8
Tamat SMA 11 64,7 12 70,5
Tamat PT 0 0 2 11,8
Pendidikan Ayah
Tamat SD 1 5,9 2 11,8 1,000
Tamat SMP 3 17,6 0 0
Tamat SMA 11 64,7 12 70,6
Tamat PT 2 11,8 3 17,6
Pekerjaan Ibu
Tidak Bekerja 9 52,9 12 70,6 0,954
Sektor informal 5 29,5 1 5,9
Wiraswasta 0 0 0 0
PegawaiSwasta 3 17,6 4 23,5
PNS/TNI/POLRI 0 0 0 0
Pekerjaan Ayah
Tidak Bekerja 0 0 0 0 0,954
Sektor informal 7 41,2 4 23,5
Wiraswasta 4 23,5 4 23,5
PegawaiSwasta 6 35,3 9 53,0
PNS/TNI/POLRI 0 0 0 0
Pendapatan Ibu
< Rp 1.257.000,00 16 94,1 14 82,4 0,601
≥ Rp 1.257.000,00 1 5,9 3 17,6
Pendapatan Ayah
< Rp 1.257.000,00 16 94,1 14 82,4 0,727
≥ Rp 1.257.000,00 1 5,9 3 17,6
Pengeluaran Pangan
< Rp 563.600,00 5 29,4 2 11,8 0,954
Rp 563.600,00–Rp 766.599,00 5 29,4 4 23,5
Rp 766.600,00–Rp 827.199,00 1 5,9 3 17,7
Rp 827.200,00–Rp 961.599,00 2 11,8 5 29,4
1509
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
Jenis makanan merupakan jenis yang dikonsumsi setiap harinya adalah
bahan makanan yang dikonsumsi oleh nasi, lauk, sayur, buah dengan
responden setiap harinya. Hasil presentase sebesar 47,1%. Selain jenis
penelitian menunjukkan bahwa pada makanan, jumlah konsumsi zat gizi
responden ibu hamil kelompok anemia, juga mempengaruhi pola konsumsi.
sebagian besar jenis makanan yang Hasil analisis terhadap jumlah
dikonsumsi setiap harinya adalah nasi, konsumsi zat gizi disajikan pada
lauk, sayur (58,8%) sedangkan pada Tabel 2.
responden ibu hamil kelompok tidak
anemia sebagian besar jenis makanan
Jumlah Konsumsi
Zat Gizi
Anemi Tidak Anemia
Energi (kkal), mean ± SD 1.477 ± 263,19 1.769± 182 ,24
Protein (gram), mean ± SD 60,69 ± 9,47 73,59± 10,1
Zat Besi (mg), median (min – max) 14,1(7,30-75) 21,3 (10,4 -77,80)
Vitamin C (mg), mean ± SD 59,84 ± 23,30 114,89 ± 37, 59
1510
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
Hasil analisis terhadap tingkat antara tingkat konsumsi zat besi dengan
konsumsi zat gizi responden ibu hamil status anemia pada ibu hamil.
disajikan pada Tabel 3. Responden ibu Responden dengan status
hamil dengan status anemia, terbanyak anemia, terbanyak mempunyai tingkat
mempunyai tingkat konsumsi protein konsumsi vitamin C baik yaitu sebesar
sedang yaitu sebesar 64,7% dan 11,8% dan responden dengan tingkat
terendah dengan tingkat konsumsi konsumsi vitamin C defisit yaitu sebesar
defisit, yaitu sebesar 5,9%. Responden 58,8%. Responden yang berstatus tidak
ibu hamil yang berstatus tidak anemia anemia, yang mempunyai tingkat
terbanyak memiliki tingkat konsumsi konsumsi vitamin C baik yaitu sebesar
protein baik, yaitu sebesar 70,6% dan 88,2% dan responden dengan tingkat
terendah dengan tingkat konsumsi konsumsi vitamin C defisit, yaitu
proten sedang yaitu sebesar 29,4%. sebesar 5,9%. Hasil uji statistik
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa ada hubungan (p =
ada hubungan (p = 0,017) antara tingkat 0,000) antara tingkat konsumsi vitamin
konsumsi protein dengan status anemia C dengan status anemia pada ibu hamil.
pada ibu hamil. Hasil analisis terhadap
Responden dengan status konsumsi tablet besi disajikan pada
anemia, terbanyak mempunyai tingkat Tabel 4. Responden dengan status
konsumsi zat besi baik yaitu sebesar anemia, terbanyak mengkonsumsi tablet
23,5% dan responden dengan tingkat besi dengan kategori < 30 tablet Fe,
konsumsi zat besi defisit yaitu sebesar yaitu sebesar 82,4%. Responden yang
64,7%. Responden yang berstatus tidak berstatus tidak anemia, terbanyak
anemia, yang mempunyai tingkat mengkonsumsi tablet besi dengan
konsumsi zat besi baik yaitu sebesar kategori 30-89 tablet Fe, yaitu sebesar
41,2% dan responden dengan tingkat 64,7%. Hasil uji statistik menunjukkan
konsumsi zat besi defisit yaitu sebesar bahwa ada hubungan (p = 0,006) antara
29,4%, Hasil uji statistik menunjukkan jumlah konsumsi tablet besi dengan
bahwa tidak ada hubungan (p = 0,454) status anemia pada ibu hamil.
1511
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
PEMBAHASAN pada hakikatnya berfungsi sebagai
Menurut Departemen Kesehatan sarana pemberdayaan individu untuk
RI (2006), seseorang hendaknya hamil meningkatkan pengetahuan dalam
pada usia 20-35 tahun karena pada usia rangka pengembangan potensi diri.
tersebut tubuh wanita telah siap secara Sebagian besar responden ibu
fisik maupun mental untuk hamil hamil merupakan ibu rumah tangga
maupun melahirkan. Khomsan (2003) dimana pendapatan tergantung dari
menyatakan bahwa remaja yang berusia kepala keluarga. Sebagian besar
kurang dari 20 tahun mempunyai pekerjaan ayah pada ibu hamil anemia
kecenderungan melahirkan bayi dengan mempunyai pekerjaan pada sektor
berat badan lahir rendah. Manuaba informal dengan pendapatan tidak tetap.
(2001) mengemukakan bahwa masih Menurut Suhardjo (2003), jenis
banyak dijumpai wanita hamil dengan pekerjaan juga berpengaruh terhadap
usia lebih dari 35 tahun sehingga penghasilan yang kemudian menyangkut
membahayakan keselamatan saat hamil dalam pemilihan sumber pangan.
dan persalinan. Hasil penelitian Semakin tinggi pendidikan seseorang
menunjukkan bahwa tidak ada maka semakin tinggi pula tingkat
hubungan antara umur ibu hamil dengan pekerjaannya dan semakin besar
status anemia pada ibu hamil. Hal ini peluang untuk meraih status ekonomi
dikarenakan pada kelompok umur yang yang baik untuk dapat melakukan
tidak berisiko tinggi terdapat 82,4% pemilihan pangan sumber zat gizi yang
yang mengalami anemia. Kondisi baik pula. Pendapatan yang dimiliki ibu
tersebut juga ditemukan pada penelitian hamil pada kedua kelompok sebagian
yang dilakukan Fairus (2008) di wilayah besar di bawah UMR karena merupakan
kerja Puskesmas Antara Kota Makasar ibu rumah tangga sedangkan pendapatan
yang menyatakan bahwa ibu hamil yang ayah sebgaian besar pada kedua
memiliki umur tidak berisiko, ternyata kelompok di atas UMR. Menurut Berg
masih banyak yang menderita anemia. (1986), walaupun pengeluaran untuk
Keterbatasan penelitian yang tidak makan bertambah tetapi penambahan
melihat faktor paritas dan jarak pendapatan tidak selalu membawa
kelahiran sebagai faktor risiko dapat perbaikan pada susunan makanan.
menjadi salah satu penyebabnya. Terlalu Seseorang lebih banyak membelanjakan
sering malahirkan dapat mengurangi uangnya untuk makanan mungkin akan
cadangan besi begitu juga jika jarak lebih banyak, tapi belum tentu kualitas
anak yang dekat. Responden yang makannya lebih baik.
memiliki umur yang tidak berisiko Dalam penelitian ini, diketahui
mungkin telah mengalami kehamilan tidak ada hubungan antara pengeluaran
sebelumnya yang menyebabkan pangan dengan status anemia ibu hamil.
cadangan besi berkurang. Hal ini dimungkinkan karena
Kedua kelompok respoden ibu terdistribusinya pengeluaran dalam
hamil maupun ayah dengan ibu hamil setiap kategori secara merata.
status anemia maupun tidak anemia, Pengeluaran pangan khususnya secara
sebagian besar memiliki tingkat kuntitatif setiap keluarga relatif hampir
pendidikan tamat SMA, yaitu sebesar sama. Yang membedakan hanya kualitas
64,7% dan 70,6%. Kondisi tersebut bahan makan yang dibeli. Pengeluaran
ditemukan pada penelitian yang pangan, merupakan salah satu indikator
dilakukan (Aisyah dkk, 2010) yang ketahanan pangan (Suharjo,2003).
berpendapat bahwa jenjang pendidikan Menurut Zein (2005), pengeluaran akan
SMA sudah merupakan level menengah meningkat seiring dengan meningkatnya
sehingga pemikiran dan dalam pendapatan rumah tangga. Akan tetapi
mencerna suatu pengalaman baru untuk peningkatan tidak selalu sejalan dengan
menambah pengetahuan lebih mudah kuantitas dan kualitas dari konsumsi
diterima. Pada penelitian juga pangan. Jika kuantitas dan kualitas
menyebutkan bahwa pendidikan formal sudah terpenuhi, maka pendapatan akan
1512
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
dialokasikan untuk kebutuhan lain non sebesar 67 gram per hari. Pada
pangan. kelompok tidak anemia, jumlah
Berdasarkan susunan hidangan konsumsi protein sudah diatas AKG
yang disajikan oleh responden dalam yang dianjurkan. Soekirman (2006)
konsumsi sehari-hari, diketahui bahwa menyebutkan bahwa dalam masa
pada responden tidak anemia, jenis kehamilan, ibu memerlukan tambahan
bahan makanan yang dikonsumsi lebih berbagai zat gizi terutama protein,
beragam. Keragaman kelompok dimana protein digunakan komponen
makanan yang dikonsumsi oleh terbesar dalam pembentukan komponen
seseorang selama periode tertentu sel tubuh ibu dan janin. Selain itu,
terutama pada individu yang memiliki protein juga digunakan dalam
diet yang lebih beragam akan pembentukan plasenta.
menujukkan hasil yang baik pula pada Berdasarkan hasil penelitian, data
kadar hemoglobin, kecukupan protein untuk jumlah konsumsi zat besi adalah
serta status gizi yang baik pula tidak berdistribusi normal sehingga
(Swindale dkk, 2006). menggunakan median, minimum dan
Persamaan frekuensi bahan maksimum. Median jumlah konsumsi
makanan yang dikonsumsi oleh kedua zat besi untuk kelompok responden
kelompok responden merupakan bahan anemia adalah sebesar 14,1 mg dengan
makanan yang mempunyai daya jumlah konsumsi minimum 7,3 mg dan
absorbsi zat besi yang rendah karena maksimum 75 mg. Jumlah konsumsi zat
termasuk dalam golongan non heme- besi untuk kelompok responden tidak
iron, dimana yang membedakan adalah anemia adalah sebesar 21,3 mg dengan
konsumsi sumber vitamin yaitu buah- jumlah konsumsi minimum 10,4 mg dan
buahan lebih dominan pada responden maksimum 77,80 mg. Menurut
tidak anemia. Menurut Daniels dkk Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
(2007), kelompok makanan yang lebih (2004) dalam FKM UI (2007), konsumsi
banyak dijadikan sebagai kebiasaan zat besi pada wanita usia 16-49 tahun
konsumsi dari urutan yang paling tinggi AKG yang dianjurkan adalah 26 mg zat
sampai terendah berturut–turut adalah besi per hari. Menurut Soekirman
karbohidrat, pangan hewani dan juga (2006), kebutuhan zat besi selama masa
pangan nabati. kehamilan sangat tinggi, khususnya
Konsumsi energi pada keduan pada trimester dua dan tiga. Zat besi
kelompok sebagian besar kurang dari penting untuk pembentukan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) dimana haemoglobin. Untuk meningkatkan
konsumsi energi yang tidak adekuat massa hemoglobin diperlukan zat besi
akan mempengaruhi status gizi sekitar 500 mg (termasuk simpanan)
seseorang. Hal ini terkait dengan jumlah karena selama kehamilan volume darah
energi yang dikeluarkan untuk kegiatan meningkat sampai 50%.
sehari-hari. Apabila makanan yang Rata-rata konsumsi dari vitamin C
dikonsumsi tersebut menyuplai energi untuk kelompok ibu hamil anemia 59,84
kurang dari yang diperlukan, mg dengan standar deviasi 23,3 mg
kekurangan kalori akan diambil dari sedangkan untuk kelompok ibu hamil
cadangan lemak tubuh. Apabila hal ini tidak anemia adalah 114,89 mg dengan
berlangsung terus menerus, akhirnya standar deviasi 37,59 mg. Hal ini
dapat mempengaruhi status gizi menunjukkan bahwa jumlah konsumsi
individu. Karena ketidakseimbangan rata-rata vitamin C pada kelompok ibu
intake energi yang terlalu lama akan hamil anemia masih kurang mencukupi
menimbulkan beberapa masalah apabila dibandingkan dengan AKG ibu
kesehatan (FKM UI, 2007). hamil usia 19-49 tahun yaitu sebesar 85
Konsumsi protein rata-rata pada mg per hari sedangkan pada kelompok
kelompok ibu hamil anemia masih tidak anemia jumlah konsumsi vitamin
kurang mencukupi apabila dibandingkan C sudah diatas AKG yang dianjurkan.
AKG ibu hamil usia 19-49 tahun yaitu Husaini (1989) menyebutkan bahwa
1513
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
konsumsi bahan makanan sumber anemia memiliki tingkat konsumsi
vitamin C sangat berperan dalam vitamin C defisit yaitu sebesar 58,8%
absorbsi besi dengan jalan sedangkan sebagian responden dengan
meningkatkan absorbsi zat besi non status tidak anemia memiliki tingkat
heme hingga empat kali lipat. Vitamin C konsumsi zat besi baik yaitu sebesar
dan zat besi membentuk senyawa 88,2%. Hasil uji statistik menunjukkan
askorbat besi komplek yang mudah larut bahwa ada hubungan antara tingkat
dan diabsorbsi. konsumsi vitamin C dengan status
Berdasarkan tingkat konsumsi anemia pada ibu hamil. Konsumsi
protein, sebagian besar responden vitamin C pada kelompok anemia
dengan status anemia memiliki tingkat cenderung rendah, hal ini dapat
konsumsi protein sedang yaitu sebesar diketahui bahwa frekuensi makanan
64,7% sedangkan sebagian besar sumber vitamin C terutama buah
responden dengan status tidak anemia dikonsumsi hanya pada mingguan.
memiliki tingkat konsumsi protein baik Konsumsi vitamin C sangat diperlukan
yaitu sebesar 70,6%. Hal ini sesuai dalam peningkatan penyerapan untuk
dengan penelitian Fatimah (2011) yang besi dalam tubuh. Pengetahuan yang
memperlihatkan dalam penelitiannya kurang tentang sumber vitamin C,
asupan protein ibu hamil anemia masih pengaruhnya terhadap penyerapan zat
dibawah AKG ibu hamil yaitu sebesar besi, pola makan yang tidak beragam di
72,26%. Hal ini sesuai dengan penelitian duga menjadi penyebab rendahnya
Misterianingtiyas (2007) yang konsumsi vitamin C pada ibu hamil
menyebutkan dari hasil uji statistik anemia.
Regresi Linier pada tingkat kepercayaan Menurut Lynch dalam Pavord dkk
95% diketahui adanya hubungan tingkat (2011), vitamin C atau yang biasa
konsumsi protein terhadap kejadian disebut asam askorbat secara signifikan
anemia (kadar Hb) diperoleh OR=0,286 meningkatkan penyerapan zat besi non-
yang berarti bahwa setiap penambahan 1 heme dari makanan, hal ini akan berefek
gram protein akan meningkatkan kadar secara baik tergantung dari kuantitas dan
Hb sebesar 28,6% dari kadar Hb awal. kualitas vitamin C dalam makanan.
Berdasarkan tingkat konsumsi Berdasar data konsumsi tablet besi
zat besi, terlihat bahwa sebagian besar diketahui bahwa ada hubungan antara
responden dengan status anemia jumlah konsumsi tablet besi dengan
memiliki tingkat konsumsi zar besi status anemia pada ibu hamil. Hal ini
defisit yaitu sebesar 64,7% sedangkan disebabkan pada responden ibu hamil
sebagian besar responden dengan status tidak anemia, rata-rata sudah
tidak anemia memiliki tingkat konsumsi mengkonsumsi tablet besi 30-89 tablet
zat besi baik yaitu sebesar 41,2%. Hasil Fe sedangkan ibu hamil anemia
statatistik menunjukkan tidak ada mengkonsumsi tablet besi <30 tablet Fe.
hubungan antara konsumsi zat besi Sebagian besar baik ibu hamil anemia
dengan anemia (p = 0,454). Kondisi ini maupun tidak anemi sudah mendapatkan
sesuai dengan hasil penelitian Argana tablet besi 30 - 90 tablet Fe. Akan tetapi
(2004) yang menyebutkan bahwa dalam kenyataan, tidak semua ibu hamil
konsumsi zat besi responden yang mendapat tablet besi
menunjukkan hubungan yang tidak mengkonsumsi tablet tersebut secara
bermakna dengan kadar Hb (p = 0,06). teratur. Ketidakteraturan ini disebabkan
Namun bentuk positif dimana ada oleh rasa dan aroma tablet besi yang
kecenderungan semakin tinggi konsumsi cenderung amis, kondisi fisiologis ibu
besi semakin tinggi kadar Hb (setiap yang tidak dapat menerima aroma tablet
penambahan 1 mg konsumsi besi kadar besi karena merangsang mual, tidak ada
Hb bertambah 0,0365 g/dl). pengawasan kembali pada kunjungan
Berdasarkan data tingkat berikutnya terhadap konsumsi tablet
konsumsi vitamin C, diketahui bahwa besi, dan adanya anggapan tablet
sebagian besar responden dengan status tambah darah dapat meningkatkan
1514
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
tekanan darah. Dalam mengatasi status anemia dan tidak ada
keluhan ibu hamil, petugas kesehatan hubungan (p = 0,454) antara tingkat
menyarankan untuk mengkonsumsi konsumsi zat besi dan status anemia.
tablet besi pada malam hari sebelum Ada hubungan (p = 0,000) antara
tidur untuk mengatasi rasa dan aroma tingkat konsumsi vitamin C dan
amis pada tablet besi. Aikawa dalam status anemia dan ada hubungan (p =
Fatimah (2011) membuktikan bahwa ibu 0,006) antara konsumsi tablet besi
hamil yang memperoleh suplemen zat dan status anemia.
besi (60 mg) dapat menaikkan kadar Hb
secara signifikan diantara ibu yang SARAN
mempunyai usia kehamilan trimester Komunikasi yang efektif
kedua dan trimester ketiga masing- tentang pemberian informasi terkait
masing 0,4 dan 0,7 g/dL (p = 0,0017; p anemia pada ibu hamil oleh petugas
< 0,001). Penelitian lain yang berkaitan kesehatan sangat diperlukan.
dengan kegagalan penanganan anemia Peningkatan pengetahuan tentang
terutama ketidakpatuhan dalam bahaya serta pencegahan dan
mengkonsumsi tablet Fe yaitu penanggulangannya anemia serta perlu
disebabkan oleh berbagai faktor adanya upaya peningkatan pengetahuan
diantaranya adalah pengetahuan, terutama peningkatan perbaikan pola
motivasi dan peran serta keluarga konsumsi makan terutama untuk
(Muliaty, 2007). mencapai tingkat konsumsi zat gizi
(protein, zat besi dan vitamin C) yang
KESIMPULAN normal, guna mencegah terjadinya
1. Tingkat konsumsi protein pada anemia pada ibu hamil trimester dua dan
sebagian besar responden kelompok tiga yang dapat berdampak buruk
anemia adalah kategori sedang terhadap kehamilan. Konsumsi zat gizi
sedangkan pada pada kelompok tidak sebagai fasilitator diharapkan dapat
anemia adalah kategori baik. dikonsumsi secara baik dalam frekuensi
2. Tingkat konsumsi zat besi pada harian untuk pencegahan anemia serta
sebagian besar responden kelompok membantu penyerapan zat besi secara
anemia adalah kategori defisit optimal.
sedangkan pada pada kelompok tidak Perlunya modifikasi tablet besi
anemia adalah kategori baik, sehingga mengurangi keluhan ibu hamil
3. Tingkat konsumsi vitamin C pada akan tablet besi dengan aroma dan rasa
sebagian besar responden kelompok ami serta memberikan informasi tentang
anemia adalah kategori defisit fungsi dan peran tablet besi secara tepat.
sedangkan pada pada kelompok tidak Perlu dilakukan pengecekan kembali
anemia adalah kategori baik. pada saat kunjungan ulang terhadap
4. Sebagian besar responden kelompok tablet besi yang dikonsumsi, dengan
anemia mengkonsumsi < 30 tablet cara memperlihatkan bungkus tablet Fe
Fe, sedangkan sebagian besar sebagai upaya mengurangi
responden kelompok tidak anemia ketidakteraturan mengkonsumsi tablet
mengkonsumsi 30 - 90 tablet Fe. besi.
Ketidakteraturan menyebabkan Perlunya pemeriksaan kadar
rendahnya konsumsi tablet besi Hb dilakukan lebih dari satu kali, hal
diantaanya adalah rasa dan aroma ini untuk mengetahui perkembangan
tablet besi yang cenderung amis, kadar Hb selama masa kehamilan dan
kondisi fisiologis ibu hamil, tidak perlu adanya screening awal sebelum
ada pengawasan konsumsi tablet masa kehamilan pada Wanita Usia
besi, ibu hamil menganggap tablet Subur (WUS) untuk mengetahui
tambah darah dapat meningkatkan kejadian anemia secara dini, sehingga
tekanan darah. penanggulangan dapat lebih dini diatasi.
5. Ada hubungan (p = 0,017) antara
tingkat konsumsi protein dengan
1515
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
DAFTAR PUSTAKA http://journal.umi.ac.id/pdfs/Fak
Aisyah, S. dkk. (2010). Pengaruh tor_Faktor_Yang_Berhubungan
Edukasi Kelompok Sebaya _Dengan_Kejadian_Anemia_Pa
Terhadap Perubahan Perilaku da_Ibu_Hamil_di_Wilayah_Ker
Pencegahan Anemia Gizi Besi ja_Puskesmas_Antara_Kota_Ma
Pada Wanita Usia Subur Di kassar_ Tahun_2005.pdf. (Sitasi
Kota Semarang. 14 Juni 2012)
http://jurnal.unimus.ac.id/index. Fatimah, Veni, Bahar.B,. 2011. Pola
php/FIKkeS/article/view/232/24 Konsumsi dan kadar
1&ei=gwjgT9iTE Hemoglobin Pada Ibu Hamil di
YLnrAeysfWEDQ&usg=AFQj Kabupaten Maros, Sulawesi
CNGDmtQxvl9D6teioT1WnL7 Selatan. Makara Kesehatan,
H6ykHew. Sitasi 16 Juni 2012. Vol.15,No.1, Juni 2011:31-36
Argana, K. D. 2004. Vitamin C Sebagai FKM UI. 2007. Gizi dan Kesehatan
Faktor Dominan Untuk Kadar Masyarakat. Jakarta : PT Raja
Hemoglobin Pada Wanita Usia Grafindo Persada
20–35 Tahun. Gibney,Michael dan M. Bariie. 2009.
http://www.univmed.org/wpcont Pubic Health Nutrition. Jakarta :
ent/uploads/2011/02/Guntur.pdf EGC
(Sitasi 17 Juni 2012) Husaini, M.A. 1989. Study Nutrition
Berg, A. 1986. Peranan Gizi dalam Anemia an Assessment of
Pembangunan Nasional. Information Compilation for
Jakarta: PT. Rajawali Supporting and Formulating
Daniels, M.C., L.S.Adair, B.M.Popkin, National Policy and Program.
dan Y.K. Truong. 2007. Dietary Pusat Litbang Gizi Depkes.
Diversity Scores Can Be Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi
Improved Through The Use Of untuk Kesehatan. Jakarta : PT
Portion Requirements: An Raja Grafindo Persada
Analysis In Young Filipino Manuaba, IBG. 2001. Kapita Selecta
Children. European Jurnal of Penatalaksanaan Rutin Obstetri
Clinical Nutrition, 1-10 Ginekologi dan KB. Jakarta :
Depkes RI. 1996. Pedoman Operasional EGC
Penanggulangan Anemia Gizi di Misterianingtiyas, W. 2007. Hubungan
Indonesia. Jakarta : Ditjen Tingkat Konsumsi Energi dan
pembinaan Kesehatan Zat Gizi dengan Kejadian
Masyarakat Anemia pada Ibu Hamil
Depkes RI. 2001. Program Trimester III Di Desa Jatiguwi,
Penanggulangan Anemia Gizi Kecamatan Sumberpucung,
pada Wanita Usia Subur Kabupaten Malang.
(WUS); (Safe Motherhood http:i//lib.ub.ac.id/jurnal/#hl=id
Project : A Patnership and &sclient=psyab&q+hubungan+t
Family Approach). Jakarta: ingkat+konsumsi+dengan+anem
Direktorat Gizi Masyarakat, ia+ibu+hamil+l=hp.3...10109.22
Direktorat Jendral Bina 496.3.23152.47.36.2.0.0.10.102
Kesehatan Masyarakat. 9.10717.1j0j28j5j61j1.36.0...1.0.
Depkes RI. 2006. Glosarium Data dan ..1c.gex3KUCvP04&psj=1&bav
Informasi Kesehatan. Jakarta: =on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb
Pusat Data dan Informasi &fp=63d2b467a9ef5e0&biw=1
Depkes RI 280&bih=637. (Sitasi 14 Juni
Fairus, I. (2008). Faktor – Faktor Yang 2012)
Berhubungan Dengan Kejadian Muliaty,T. 2007. Faktor yang
An emia Pada Ibu Hamil di Berhubungan dengan
Wilayah Kerja Puskesmas Kepatuhan Ibu Hamil dalam
Antara Kota Makassar. Mengkonsumsi Tablet Besi di
1516
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1506‐1517
RSUD Arifin Nu’mang Rappang
Kabupaten Sidrap. Makasar :
Jurusan Kebidanan Poltekkes
Nurmiyati, I. 2006. Hubungan Tingkat
Konsumsi Protein dan Zat besi
dengan Kadar Hemoglobin
pada Ibu Hamil di Puskesmas
Kandangan Tahun 2005.
http://lib.atmajaya.ac.id/default.
aspx?tabID=61&src=a&id=123
264. (Sitasi 13 Desember 2011)
Pavord, S. dkk. 2011. UK Guidelines on
The Management of Iron
Deficiency in
Pregnancy.http://www.bcshguid
elines.co.id/documents/UK_Gui
delines_iron_deficiency_
in_pregnancy.pdf. (Sitasi 17 juni
2012)
Soekirman, Susana.H, Giarno. 2006.
Hidup Sehat Gizi Seimbang
dalam Siklus Kehidupan
Manusia. Jakarta: PT Prima
Media
Suhardjo. 2003. Berbagai Cara
Pendidikan Gizi. Jakarta:
Penerbit Buku Aksara
Susilo, J dan Hadi. 2002. Hubungan
Asupan Zat Besi dan
Inhibitornya sebagai Prediktor
Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di
Kabupaten Bantul Propinsi DIY.
http:i//lib.ugm.ac.id/jurnal/detail
.php?dataId=8353. (Sitasi 28
November 2011)
Swindale, Anne dan P.Blinsky. 2006.
Household Dietary Diversity
Score (HDDS) for Measurement
of Household Food Access:
Indicator Guide. Washington,
D.C: Food and Nutrition
Technical Assistance Project
Zein, A. 2005. The Role of Fishermen
and Women on Food Security at
the Traditional Fisherman
Household of West Sumatra,
Indonesia. Padang: Bung Hatta
University Press
1517
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527
ABSTRAK
Prevalensi gizi lebih menjadi masalah di seluruh dunia. Gizi lebih terjadi karena
ketidakseimbangan antara asupan energi dan keluaran energi sehingga terjadi kelebihan
energi yang disimpan dalam jaringan lemak. Pola konsumsi yang berlebih dan aktivitas
fisik yang kurang menyebabkan gizi lebih pada remaja. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis hubungan pola konsumsi dan aktivitas fisik dengan gizi lebih pada siswa
sekolah menengah atas (SMA) di SMA Negeri 2 Surabaya. Penelitian ini bersifat
observasional analitik dengan desain cross sectional. Kriteria sampel pada penelitian ini
adalah siswa kelas X dan XI yang memiliki status gizi lebih. Terdapat 72 sampel yang
ditentukan dengan teknik simple random sampling. Data dikumpulkan dengan mengukur
tinggi dan berat badan, mencatat pola konsumsi dan aktivitas fisik. Analisis data
menggunakan uji kolerasi Pearson untuk data berskala rasio dan berdistribusi normal dan
uji kolerasi Spearman jika data berdistribusi tidak normal dan berskala data ordinal. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jumlah asupan protein memiliki hubungan yang
signifikan terhadap status gizi lebih (p=0,022) sedangkan jumlah asupan lemak
(p=0,060), jumlah asupan karbohidrat (p=0,320), jumlah asupan energi (p=0,082) dan
aktivitas fisik (p=0,376) tidak berhubungan dengan status gizi lebih. Kesimpulan yang
dapat diambil adalah jumlah asupan protein berhubungan dengan status gizi lebih tetapi
jumlah asupan lemak, karbohidrat, energi dan aktivitas fisik tidak berhubungan dengan
status gizi lebih. Remaja diharapkan untuk meningkatkan konsumsi makanan yang
beragam dan seimbang dan berolahraga secara teratur untuk meningkatkan kesehatan.
ABSTRACT
Over nutrition prevalency becomes world-wide problem. Over nutrition occurs
because of the imbalance between energy intake and energy expenditure causes exessive
energy which is saved beneath the fat layer. Over consumption pattern and lacking of
physical acivities cause obesity for teenagers. This study analyzed the relationship of
consumption patterns and physical activity with over nutrition at high school students of
SMAN 2 Surabaya. This study was an observational analytic with cross sectional design.
The criteria of the sample in this study were class X and XI which had obesity status.
There were 72 samples determined by simple random sampling technique. Data were
collected by measuring height and weight, noting consumption patterns and physical
activity. The data analysis used Pearson correlation test for the ratio scale data and
normal distribution. It also used Spearman correlation test if the data were not normally
*
corresponding author
1518
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527
distributed and ordinal scale. The results showed that the amount of protein intake had a
significant relationship to over nutrition (p = 0.022) while total intake of fat intake (p =
0.060), the amount of carbohydrate intake (p = 0.320), the amount of energy intake (p =
0.082) and physical activity (p = 0.376) were not associated with over nutrition. In
conclusion, the amount of protein intake is associated with over nutrition. But the amount
of fat, carbohydrate, energy intake and physical activity are not associated with over
nutrition. Teenagers are expected to increase and balance the diet consumption and
exercise regularly for health.
1519
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527
1520
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527
1521
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527
Karakteristik n % Mean±SD
Jenis Kelamin
Laki-laki 35 48,6 -
Perempuan 37 51,4
Umur responden
15 Tahun 23 31,9 -
16 Tahun 39 54,2
17 Tahun 10 13,9
Uang Saku Responden
Uang saku perhari 44 61,1 12.386,36 ± 3.948,599
Uang saku perminggu 18 25,0 78.055,56 ± 40.225,061
Uang saku perbulan 10 13,9 295.000,00 ± 153.568,66
Pengeluaran Pangan 72 100 7.416,67 ± 3.330,398
Pengeluaran Non Pangan 72 100 5.676,39 ± 4.227,925
Tingkat Pendidikan Ayah
Tamat PT/Institut 45 12,3 -
Tamat Akademi / Diploma 16 24,6
Tamat SMU 29 44,6
Tamat SMP 12 18,5
Tamat SD 0 0
Tingkat Pendidikan Ibu -
Tamat PT/Institut 36 50,0
Tamat Akademi / Diploma 20 27,8
Tamat SMU 15 20,8
Tamat SMP 1 1,4
Tamat SD 0 0
Pekerjaan Ayah -
PNS 16 22,2
Pegawai Swasta 32 44,4
Pedagang /Wiraswasta 19 26,4
TNI/POLRI 4 5,6
Tidak Bekerja 1 1,4
Pekerjaan Ibu -
PNS 19 26,4
Pegawai Swasta 13 18,1
Pedagang /Wiraswasta 10 13,9
TNI/POLRI 0 0
Tidak Bekerja 30 41,7
Pendapatan Orang Tua 72 100,0 5.954.166,67 ± 4.979.718,67
Tingkat Konsumsi Energi -
Baik (> 100 % AKG) 22 30,6
Sedang (80 – 99 % AKG) 34 47,2
Kurang (70 – 79 % AKG) 5 6,9
Defisit (< 70 % AKG) 11 15,3
Tingkat Konsumsi Lemak -
Lebih (> 25 energi total) 69 95,8
Baik (20 – 25 % energi total) 2 2,8
Kurang (< 20 % energi total) 1 1,4
Tingkat Konsumsi Karbohidrat -
Lebih (> 60 energi total) 5 6,9
Baik (50 – 60% energi total) 14 19,4
Kurang (< 50% energi total) 53 73,6
Tingkat Konsumsi Protein -
Baik (> 100 % AKG) 57 79,2
Sedang (80 – 99 % AKG) 11 15,3
Kurang (70 – 79 % AKG) 4 5,6
Defisit (< 70 % AKG) 0 0
1522
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527
Tabel 2. Rata-rata Asupan Zat Gizi dan Berhubungan dengan Status Gizi
Responden
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, diperoleh tersebut digunakan untuk membeli air
jumlah responden laki-laki sebanyak minum atau snack. Uang saku non
48,6% dan responden perempuan pangan yang diberikan orang tua
sebanyak 51,4%. Penelitian Loretta et responden yaitu rata-rata Rp5.676,39,
al. (2009) pada anak Amerika digunakan responden untuk membeli
keturunan Cina di kota New York alat tulis, membeli bensin, dan fotocopy
menunjukkan bahwa anak laki-laki buku. Namun ada juga responden yang
memiliki dua kali kemungkinan kebutuhan non pangannya tidak
kelebihan berat badan atau obesitas termasuk dalam uang saku resonden.
daripada perempuan. Penelitian Penelitian yang dilakukan Indriani dkk.
Manurung (2009) pada siswa SMA di (2009) pada remaja putri di Bogor
Medan menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa remaja SMA yang
persentase kejadian obesitas pada mengkonsumsi jajanan di sekolah adalah
laki-laki lebih besar (11,6%) sebesar 87,9% dan diluar sekolah
daripada perempuan. sebesar 47,7%.
Uang saku pemberian orang tua Sebagian besar pendidikan terakhir
responden untuk membeli makanan orang tua responden adalah tamat
cukup banyak yaitu rata-rata Rp perguruan tinggi atau institute yaitu
7.416,67. Hal ini menyebabkan sebanyak 62,5% untuk ayah dan 50%
responden dapat membeli makananan untuk ibu. Berdasarkan Riskesdas tahun
gorengan lebih dari satu buah, seharga 2010 (Depkes RI, 2010), masalah
Rp 700,00–Rp 1.500,00 yang dijual di kegemukan memiliki keterkaitan dengan
kantin sekolah. Responden juga dapat tingkat pendidikan kepala rumah tangga
membeli satu produk fast food dengan dan keadaan ekonomi rumah tangga.
harga paling murah yaitu Rp5.000,00. Semakin tinggi tingkat pendidikan
Namun ada juga responden yang hanya kepala rumah tangga dan semakin baik
memiliki uang saku minimal untuk keadaan ekonomi rumah tangganya
pangan dalam sehari sebesar Rp maka prevalensi kegemukan akan
1.500,00. Hal ini dikarenakan responden cenderung meningkat. Pendapatan orang
membawa bekal makanan yang sudah tua terbesar karena kedua orang tua
disiapkan dari rumah sehingga uang responden bekerja sebagai pegawai
1523
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527
BUMN dan wiraswasta yang bergerak padahal energi diperlukan tubuh untuk
dibidang home industry sedangkan mencukupi kebutuhan kalori dalam
pendapatan minimal didapatkan karena melakukan segala aktivitas baik di
pekerjaan orang tua responden sebagai sekolah maupun di rumah. Tingkat
sopir panggilan. Semakin baik pekerjaan konsumsi lemak yang dikonsumsi
dan semakin tinggi penghasilan orang responden dalam kategori lebih karena
tua, maka orang tua cenderung lebih responden menyukai makanan cepat saji
sering untuk membeli makanan yang dan gorengan yang lemaknya tidak
cepat, enak dan praktis tanpa melihat berasal dari bahan dasar makanan
kandungan gizi makananya (fast food). tersebut melainkan juga minyak yang
Penghasilan orang tua yang tinggi juga digunakan untuk menggorengnya.
akan mempengaruhi jumlah uang saku Menurut Sediaoetama (2008), lemak
yang diberikan kepada siswa sehingga didalam makanan memberikan rasa
dapat membeli makanan yang mereka renyah dan kalori yang tinggi apabila
inginkan seperti gorengan dan fast food makanan tersebut digoreng.
yang dapat dijangkau dengan uang saku Pola konsumsi yang dianalisis
mereka. terdiri dari jumlah konsumsi energi,
Rata-rata asupan energi responden lemak, karbohidrat dan protein. Hasil uji
adalah 2098,8 kkal dan rata-rata asupan pada jumlah konsumsi protein memiliki
lemak sebesar 101,2 gram, asupan hubungan positif lemah terhadap status
protein sebesar 74,1 gram dan asupan gizi lebih responden di SMA Negeri 2
karbohidrat sebesar 236,1 gram. Asupan Surabaya (p=0,022) sedangkan jumlah
lemak dan protein responden cukup asupan asupan lemak (p=0,060), jumlah
tinggi karena sebagian besar responden asupan karbohidrat (p=0,320), jumlah
mempunyai kebiasaan jajan di sekolah asupan energi (p=0,082) tidak
dan responden lebih menyukai berhubungan dengan status gizi lebih
mengkonsumsi daging daripada responden di SMA Negeri 2 Surabaya.
makanan berserat. Asupan karbohidrat Makanan yang tinggi protein juga
responden kurang karena porsi makan mengandung tinggi lemak sehingga
responden lebih banyak lauk pauk dapat menyebabkan obesitas. Protein
(daging dan telur) daripada nasi. dalam jumlah berlebihan dapat dirubah
Sebagian besar responden memiliki menjadi lemak tubuh dan menyebabkan
tingkat konsumsi energi sedang (yaitu kegemukan. Asam amino yang akan
47,2%) . tingkat konsumsi lemak lebih diubah menjadi lemak tubuh harus
sebesar 95,8%, tingkat konsumsi protein mengalami deaminase. Nitrogen dan
baik sebesar 79,2% namun terdapat sisa-sisa ikatan karbon akan berubah
responden dengan tingkat konsumsi menjadi jaringan lemak dan disimpan
karbohidrat kurang sebesar 73,6%. dalam tubuh (Almatsier,2009). Menurut
Penelitian Salamah (2011) pada siswa Sediaoetama (2008), masyarakat yang
SMA yang berstatus gizi obesitas di mempunyai tingkat ekonomi tinggi akan
Surabaya menunjukkan bahwa tingkat menunjukkan pergeseran sumber energi
konsumsi energi kurang sebesar 37,5%, dari karbohidrat ke arah protein dan
tingkat konsumsi lemak lebih sebesar lemak. Menurut penelitian Salamah
93,7% dan tingkat konsumsi karbohidrat (2011) pada siswa SMA di Surabaya,
kurang sebesar 75%. Jumirah dkk. tidak ada hubungan tingkat konsumsi
(2005) yang melakukan penelitian pada energi dan protein responden yang
siswa SMA di Medan menjelaskan berstatus gizi obesitas dan responden
bahwa sebagian besar remaja yang berstatus gizi normal. Hal ini
mengkonsumsi lemak dalam katagori sejalan dengan penelitian Sanggarsari
cukup sebanyak 44,74% tetapi yang (2010) pada siswa SMP di Surabaya
mengkonsumsi lemak melebihi anjuran yaitu tidak ada hubungan tingkat
adalah 36,84%. Sebagian besar tingkat konsumsi energi, protein dan
konsumsi energi dalam kategori sedang karbohidrat dengan status gizi lebih
1524
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527
antara responden SMP Santa Maria dan Mujur (2011) pada siswa SMA di
SMP Santa Clara. Semarang, yang mennyebutkan bahwa
Remaja mudah sekali terpengaruh terdapat hubungan yang signifikan
oleh lingkungan sehingga mereka lebih antara aktivitas fisik dan berat badan
memilih makan diluar atau memakan lebih (p<0,00), dimana anak yang
jajanan. Menurut Khomsan (2004), beraktivitas fisik ringan mempunyai
aktivitas yang banyak dilakukan di luar risiko untuk mempunyai berat badan
rumah membuat remaja sering lebih. Menurut Sjostrom et al. dalam
dipengaruhi oleh teman sebayanya Gibney (2009), aktivitas fisik
dalam memilih makanan. Pemiihan merupakan salah satu faktor yang dapat
makanan tidak didasarkan pada meningkatkan kebutuhan energi (energy
kandungan gizi tetapi untuk expenditure) sehingga obesitas akan
bersosialisasi dengan teman-temannya. tinggi dan meningkat apabila aktivitas
Nusa (2011) menjelaskan peran teman yang dilakukan dalam kategori rendah.
sebaya dalam memberikan dukungan Berbagai keterbatasan yang terdapat
terhadap keputusan responden untuk dalam penelitian ini antara lain:
mengkonsumsi fast food sebanyak 1. Penelitian ini menggunakan
52,9%. desain cross sectional yang
Sebagian besar responden artinya data yang dikumpulkan
melakukan aktivitas dalam kategori pada suatu waktu tertentu atau
ringan sebesar 70,8% dan tidak ada hanya sekilas untuk mengetahui
responden yang melakukan aktivitas masalah yang terjadi padahal
berat. Hal ini berbeda dengan penelitian masalah gizi lebih terjadi pada
dari Hartini (2009) pada remaja SMP di waktu anak-anak sampai dewasa
Yogjakarta yang menunjukkan bahwa sehingga sulit untuk mengetahui
sebesar 65,6% responden memiliki pola hubungan yang terjadi.
aktivitas fisik sedang. Hasil uji statistik 2. Pengumpulan data primer
aktivitas fisik diperoleh nilai p = 0,376 menggunakan kuesioner berupa
dengan α = 0,05. Hal ini menunjukkan food record dan activity record.
bahwa tidak ada hubungan antara Kuisioner ini diberikan kepada
aktivitas fisik dengan status gizi lebih responden dan dibawa pulang
responden di SMA Negeri 2 Surabaya. sehingga data sangat bergantung
Aktivitas fisik ringan yang paling sering dan terbatas pada kejujuran
dilakukan responden adalah duduk, responden dalam mengisi
main game, menonton televise dan kuisioner dan memperkirakan
belajar sedangkan aktivitas sedang porsi makanannya walaupun
meliputi kegiatan jalan-jalan, Responden sebelumnya sudah dilakukan
melakukan kegiatan menonton televise briefing pada responden dalam
dan bermain game di komputer selama ≥ pengisian food record dan
1,5 jam pada hari sekolah dan ≥ 3 jam activity record.
pada hari libur.
Hal ini sejalan dengan penelitian
Manurung (2009) yang dilakukan pada KESIMPULAN
siswa SMA yaitu tidak ada pengaruh 1. Sebagian besar pendidikan
aktivitas fisik terhadap kejadian orang tua responden adalah
obesitas. Tarigan (2007) menyebutkan tamat perguruan tinggi atau
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan institut, sebagian besar
antara ketidakpuasan citra tubuh dengan pekerjaan orang tua responden
aktivitas ringan, aktivitas sedang, dan adalah pegawai swasta untuk
aktivitas tidur sehingga remaja yang ayah dan ibu tidak bekerja dan
tidak puas terhadap tubuhnya tidak rata-rata penghasilan orang tua
membuat remaja meningkatkan responden sebesar Rp
aktivitasnya. Berbeda dengan penelitian
1525
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527
5.954.166,67.
2. Sebagian besar responden DAFTAR PUSTAKA
berumur 16 tahun, berjenis Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu
kelamin perempuan dan rata- Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
rata uang saku harian responden Utama
sebesar Rp 12.386,36, rata-rata Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur
uang saku mingguan responden Kehidupan. Jakarta : Buku
sebesar Rp 78.055,56 dan rata- Kedokteran ECG
rata uang saku bulanan Depkes. R.I., 2007. Laporan Riset
responden sebesar Rp Kesehatan Dasar Propinsi
295.000,00. Jawa Timur. Jakarta.
3. Jumlah asupan energi dan Depkes. R.I., 2010. Riset Kesehatan
karbohidrat responden kurang
tetapi jumlah asupan lemak dan
Dasar (RISKESDAS). Jakarta
Hartini, Titin. 2009. Hubungan Aktivitas
protein responden cukup tinggi
Fisik Dengan Usia Menarkhe
4. Sebagian besar tingkat
Pada Siswi SMP 6 Yogyakarta.
konsumsi protein dan lemak
(Skripsi, Universitas Gadjah
responden terkategori baik dan
Mada, Yogyakarta, Indonesia).
lebih.
Diakses dari http://
5. Sebagian besar tingkat aktivitas
images.titinhartini.multiply.mult
fisik responden termasuk dalam
iplycontent.com/
kategori ringan.
Indriani, Yaktiworo., Mellova Amir,
6. Jumlah asupan protein memiliki Iskandar Mirza. (2009).
hubungan yang signifikan
Kebiasaan Makan yang
terhadap status gizi lebih
Berhubungan Dengan
sedangkan jumlah asupan
Kesehatan Reproduksi Remaja
lemak, jumlah asupan
Putri Di Kabupaten Bogor.
karbohidrat, jumlah asupan
Jurnal Gizi dan Pangan, 4(3):
energi dan aktivitas fisik tidak
132 – 139. Diakses dari
berhubungan dengan status gizi
http://journal.ipb.ac.id/index.ph
lebih.
p/jgizipangan/article/view/4534
Jumirah, Lubis1,Z, Firdaus, M., 2005.
SARAN Kecukupan dan Status Gizi
Pihak sekolah dapat Siswa SMU Dharma Pancasila
mengadakan penyuluhan pada remaja Medan Serta Kaitannya Dengan
mengenai status gizi dengan materi Indeks Prestasi. INFO
tentang dampak gizi lebih bagi KESEHATAN
kesehatan dan pola makan yang banyak MASYARAKAT, 9(2): 91-96.
mengandung protein dapat Diakses dari
mengakibatkan gizi lebih serta http://repository.usu.ac.id/handl
memperbanyak makan makanan yang e/123456789/18862
bergizi, beragam, seimbang dan aman Kementerian Kesehatan Republik
(B2SA). Diharapkan dilakukan Indonesia. 2007. Riset
pemantauan status gizi melalui Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
pengukuran berat badan dan tinggi Nasional 2007. Diakses dari
badan secara rutin terutama pada http://
waktu tahun ajaran baru untuk www.ppid.depkes.go.id/index.p
mennagtasi tingginya prevalensi hp?option=com
statusgizi lebih pada siswa. Lebih lanjut, Kementerian Kesehatan Republik
perlu dilakukan analisis lebih lanjut Indonesia. 2010. Riset kesehatan
mengenai factor genetik dan stress yang dasar tahun 2010. Diakses dari
dapat menyebabkan gizi lebih. http://www.riskesdas.litbang.de
1526
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1518‐1527
1527
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI
KARBOHIDRAT, LEMAK, DAN DIETARY FIBER
DENGAN KADAR GULA DARAH PADA
PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2
1* 2
Fauzi Dharma Putra , Trias Mahmudiono
1
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
2
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRAK
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang disebabkan oleh
gangguan insulin dalam tubuh, obesitas dan gangguan metabolisme zat gizi makro seperti
karbohidrat, protein dan lemak. Perubahan gaya hidup termasuk perubahan pola konsumsi
seperti tinggi karbohidrat dan lemak serta kurangnya konsumsi serat pangan dapat
menyebabkan seseorang terkena risiko DM. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara tingkat konsumsi dietary fiber (serat pangan) dengan kadar
gula darah pada penderita DM. Penelitian dilakukan dengan rancangan cross sectional
dengan pendekatan kuantitatif. Populasi penelitian adalah pasien DM tipe 2 di Instalasi
Rawat Jalan Poli Diabetes Mellitus di RSUD dr. Soetomo. Sebanyak 35 sampel dipilih
dengan metode simple random sampling. Penelitian menggunakan food recall 2x24 hours
dan semi quantitative food frequency untuk menilai tingkat konsumsi dietary fiber dan
mendapatkan gambaran mengenai pola konsumsi sampel penelitian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat konsumsi dietary fiber sebagian besar responden masih
kurang dari anjuran yaitu 25-30 gram/hari. Sebagian besar responden memiliki kadar gula
darah tinggi (>110 mg/dL). Rata-rata umur responden yaitu lebih dari 65 tahun baik
responden laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan uji korelasi Pearson (p>0.05)
diketahui bahwa tidak ada hubungan antara tingkat konsumsi karbohidrat, lemak dan
dietary fiber terhadap kadar gula darah puasa baik berdasarkan hasil semi quantitative
food frequency dan food recall. Saran yang dapat diberikan untuk penderita DM tipe 2
adalah melakukan pengaturan pola makan tinggi dietary fiber untuk mempertahankan
kadar gula darah normal dan mencegah komplikasi dari DM.
Kata-kata kunci : Tingkat konsumsi dietary fiber, karbohidrat, lemak, kadar gula darah,
diabetes mellitus
* corresponding author.
1528
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
ABSTRACT
Diabetes Mellitus (DM) is a degenerative disease caused by insulin disorder,
obesity, and chronic abnormality assigned by metabolism disorder of macro nutrient such
as carbohydrate, protein, and fat. The changes of food consumptions such as high
consumption of carbohydrate and fat also less of dietary fiber consumption could increase
the risk of suffering DM. Hence, the observation is established to find out the correlation
between the intake levels of dietary fiber to blood glucose of DM sufferer. This research
was a cross sectional study with quantitative approach. The populations were Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) patients who were taken care in out patients
service RSUD dr. Soetomo Surabaya. There was 35 subjects that selected by simple
random sampling. This research used Recall 2x24 hours food recall and Semi
Quantitative Food Frequency method to assess the intake level of dietary fiber and to get
more detailed information about pattern of consumption. The result show that dietary
fiber intake of most NIDDM patients are less than the fiber requirement 25-30 gram/day,
blood glucose level fasting patients are higher than 110 mg/dL. Both male and female
patients are about >65 years old. There is no correlation of carbohydrate, fat, and
dietary fiber intake to blood glucose of DM patients (pearson p value > 0.05) both of the
result semi quantitative food frequency and food recall. Suggestion for DM type 2 patients
is consuming a high dietary fiber foods for diet to reach the normal blood glucose level
and to prevent the complication of DM.
Keywords: Dietary fiber intake, carbohydrate intake, fat intake, blood glucose, Diabetes
Mellitus
METODE
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian analitik dengan desain cross
sectional. Populasi penelitian adalah
penderita DM tipe 2 di Instalasi Rawat
Jalan Poli DM RSUD dr. Soetomo
dengan registrasi baru bulan Oktober
tahun 2011-Januari 2012, berjumlah 53
orang. Metode penentuan sampel
menggunakan simple random sampling
sehingga didapatkan 35 sampel
penderita DM tipe 2. Karakteristik
responden dan kebiasaan makan
responden didapatkan menggunakan
general information form. Untuk
mendapatkan tingkat konsumsi
karbohidrat, lemak dan dietary fiber,
digunakan metode food recall 2x24hours
dan semi quantitative food frequency.
Berdasarkan hasil tersebut didapatkan
1530
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
Tabel 1. Karakteristik Responden
Kategori N %
Usia
30-49tahun 5 14,29
50-64tahun 14 40
>65tahun 16 45,71
Jenis Kelamin
Laki-laki 12 34,28
Perempuan 23 65,71
Pendidikan
Rendah (SD-SMP) 18 51,4
Menengah (SMA) 7 20
Tinggi (D3-S2) 10 28,6
Pekerjaan
PNS 1 2,9
Swasta 4 11,4
Wiraswasta 5 14,3
Pengangguran/Ibu Rumah
Tangga
22 62,9
Guru/Dosen 3 8,6
Pendapatan
Rendah (>1jt) 21 60
Sedang(1-2jt) 9 25,7
Tinggi (>2jt) 5 14,3
Frekuensi Makan
1kali 3 8.57
2kali 5 14.29
3kali 14 40
Lebih dari 3kali 1 2.86
Pengaturan Makan
Melakukan Diet 24 68,57
Tidak Melakukan 11 31,43
Berdasarkan tabel diatas, pendidikan sekolah dasar sampai
diketahui bahwa mayoritas responden dengan lulusan perguruan tinggi.
berjenis kelamin perempuan. Untuk Berdasarkan tabel diatas, diketahui
distribusi usia, sebagian besar bahwa sebagian besar responden
responden berada pada usia 65 tahun memiliki tingkat pendidikan rendah
keatas (45,71%). Distribusi usia 50-64 atau lulus sekolah dasar dan sekolah
tahun sebesar 40%. Dari data distribusi menengah pertama yaitu sebesar 51,4%.
responden menurut jenis kelamin Responden yang berpendidikan
diketahui bahwa responden perempuan menengah atau lulus sekolah menengah
(65,78%) lebih banyak dibandingkan atas sebesar 20 % dan tingkat
responden laki-laki (34,28%). Tingkat pendidikan tinggi atau lulusan D3, S1,
pendidikan responden dalam penelitian serta S2 sebesar 28,6%.
ini bervariasi, mulai dari lulus Tingkat pekerjaan responden
1531
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
yang didapat dari hasil kuesioner dalam Frekuensi makan yang
penelitian ini menunjukkan bahwa dimaksud dalam hal ini adalah frekuensi
sebagian besar responden tidak bekerja atau tingkat keseringan untuk konsumsi
dan untuk pekerjaan responden lainnya makanan utama seperti makan pagi,
yaitu bekerja dalam bidang swasta, makan siang dan makan malam pada
wiraswasta dan guru/dosen. Pada responden. Berdasarkan tabel diatas,
penelitian ini, sebagian besar responden distribusi frekuensi makan pada sebagian
tidak bekerja yaitu 20 responden dari besar responden adalah makan sebanyak
total 35 responden sedangkan responden 3 kali (40%). Diketahui pula bahwa
yang bekerja berjumlah 15 dari 35 sebagian besar responden DM tidak ada
responden. Tingkat pendapatan minimal pembatasan frekuensi makanan.
responden yaitu Rp.0,00 karena tidak Responden masih makan sebanyak 3 kali
bekerja dan pendapatan maksimal seperti halnya frekuensi makan orang
responden yaitu Rp. 4.600.000,00 pada umumnya. Berdasarkan data primer
dengan rata-rata atau mean pendapatan yang didapat dari responden, sebanyak
sebesar Rp. 972.285,71 dan standar 24 responden (68,6%) melakukan
deviasi sebesar Rp. 1.183.638,671. pengaturan pola makan atau diet untuk
Pendapatan yang didapat dari hasil mengkontrol kadar gula darah.
kuesioner dapat diklasifikasikan menjadi Pengaturan pola makan yang dilakukan
3 kategori dengan interval yang didapat oleh responden yaitu dengan
dari pendapatan minimal dan maksimal. pengurangan porsi makan baik
Berdasarkan tabel diatas maka dapat pengurangan porsi nasi maupun merubah
diketahui bahwa sebagian besar konsumsi lauk dan pauk. Pengaturan
responden dalam penelitian ini makan lainnya yang dilakukan oleh
berpendapatan rendah dengan persentase responden yaitu dengan mengikuti
60%, baik responden tersebut tidak petunjuk diet dari ahli gizi RSUD dr.
bekerja maupun bekerja dengan Soetomo.
pendapatan rendah.
1532
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
3. Jumlah Asupan Berdasarkan grafik scatterplot dapat
a. Hubungan Jumlah Asupan diketahui bahwa tidak ada hubungan
Karbohidrat, Lemak dan antara tingkat konsumsi dietary fiber
Dietary Fiber dari hasil Recall dan Semi Quantitative
600
FFQ dengan kadar gula darah puasa.
500 Signifikansi (p) 0,607 dan 0,554 dengan
400
alfa (α) 0,05 (Gambar 2).
Kadar 300
b. Hubungan Jumlah Asupan
Gula 200
Karbohidrat, Lemak dan Dietary
Darah 100 Fiber.
Puasa 0
300
Konsumsi
Gambar 1. Scatterplot Hubungan Jumlah
Asupan Karbohidrat FFQ Dengan 100
500
Tingkat Konsumsi Dietary Fiber FFQ
400
Kadar 300
Gambar 3. Scatterplot Hubungan Jumlah
Asupan Karbohidrat FFQ
Gula 200 Dengan Tingkat Konsumsi
Darah 100
Dietary Fiber FFQ.
Puasa 0
-10 0 10 20 30 40
Ti
Tingkat Konsumsi Dietary Fiber FFQ ng
100
ka
t
Gambar 2. Scatterplot Hubungan Jumlah ko
ns
Asupan Dietary Fiber Recall u
Dengan Kadar Gula Darah ms
i
Puasa Le
m
ak 0
1534
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
hasil penelitian, sebagian responden
600
400
dalam penentuan jenis kelamin yang
Kadar 300 rentan terkena DM tipe 2. Penelitian
Gula 200
Pratiwi (2007) menunjukkan bahwa
Darah
prevalensi kejadian DM tipe 2 untuk
jenis kelamin laki-laki dan perempuan
100
PUasa 0
-.2 0.0 .2 .4 .6 .8 1.0 1.2 hampir sama dalam proporsi penderita
laki-laki dan perempuan, hanya berbeda
Konsumsi Mangga Dalam Musiman/Tahunan pada umur 70-80 tahun.
Tingkat pendidikan adalah
Gambar 6. Scatterplot Hubungan Pola pendidikan formal yang ditempuh oleh
Konsumsi Mangga Dalam
Tahunan/Musiman Dengan
responden. Meskipun tingkat
Kadar Gula Darah Puasa pengetahuan gizi tidak diukur dalam
penelitian ini tetapi hasil penelitian
Berdasarkan analisis data menunjukkan bahwa responden yang
dengan menggunakan uji korelasi memiliki pendidikan tinggi atau lulusan
Spearman dengan tingkat kemaknaan D3 sampai dengan S2 masih ada yang
(α) 0,05 didapatkan hasil bahwa tidak memiliki kadar gula darah puasa yang
ada hubungan antara pola konsumsi tinggi. Kadar gula darah puasa yang
bahan makanan lemak dengan kadar tinggi dapat disebabkan karena
gula darah puasa responden DM tipe 2 responden kurang memahami pola
(Gambar 5). Berdasarkan analisis data makan penderita DM. Hal ini dapat
dengan menggunakan uji korelasi mencerminkan bahwa meski tingkat
Spearman dengan tingkat kemaknaan pendidikan yang dimiliki tinggi, tingkat
(α) 0,05 didapatkan tingkat signifikansi pengetahuan gizi responden masih
(p) sebesar 0,031 sehingga ada kurang. Tingkat pendidikan berbanding
hubungan antara konsumsi mangga lurus dengan pekerjaan responden.
dengan kadar gula darah puasa Sebagian responden berada pada tingkat
responden DM tipe 2 (Gambar 6). pendidikan rendah sehingga sebanyak
22 responden dari 35 total responden
PEMBAHASAN tidak bekerja (62,9%). Tingkat
1. Karakteristik Responden pekerjaan berhubungan dengan
Usia merupakan faktor yang pendapatan responden. Berdasarkan
berpengaruh terhadap DM tipe 2. Pada hasil penelitian, sebagian besar
umumnya, gejala pada penderita DM responden atau 21 dari 35 total
tipe 2 dapat muncul pada anak-anak dan responden berada pada tingkat
orang dewasa muda namun pada orang pendapatan rendah yaitu kurang dari
dewasa tua (> 40 tahun), gejala dapat satu juta rupiah (60%).
muncul tanpa disadari. Berdasarkan 2. Kadar Gula Darah Responden
1535
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
Berdasarkan hasil penelitian, ada hubungan antara jumlah asupan
sebagian besar responden memiliki lemak dengan kadar gula darah. Hal ini
kadar gula darah yang tinggi berbeda dengan hasil penelitian Harding
(>110mg/dL), baik responden laki-laki (2001) yang menyatakan bahwa terdapat
maupun perempuan (82,85%). Rata-rata hubungan antara jumlah dan jenis
kadar gula darah responden yaitu 204,20 asupan lemak dengan kadar HbA1c.
mg/dL sedangkan kadar gula darah Pemeriksaan Hemoglobin terglikasi
normal dalam keadaan puasa berkisar (HbA1c) merupakan salah satu
antara 70-110 mg/dL. Kadar gula darah pemeriksaan yang memberikan
puasa yang tinggi pada responden gambaran rata-rata gula darah selama
dipengaruhi berbagai faktor salah periode waktu enam sampai dua belas
satunya adalah faktor asupan gizi pada minggu. Ketika kadar gula darah tinggi,
penderita DM yang tidak terkontrol gula darah akan berikatan dengan
sehingga kadar gula darah tetap tinggi. hemoglobin. Oleh karena itu, bila kadar
gula darah tinggi maka kadar HbA1c
3. Jumlah Asupan juga tinggi. HbA1c mencerminkan rata-
Karbohidrat memegang peranan rata kadar gula darah dalam jangka
penting dalam alam karena merupakan waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan.
sumber energi utama. Semua jenis Faktor-faktor yang menyebabkan
karbohidrat berasal dari tumbuh- tingkat konsumsi lemak yang berlebih
tumbuhan. Produk yang dihasilkan pada sebagian besar responden adalah
terutama dalam bentuk gula sederhana responden memiliki frekuensi makan
yang mudah larut dalam air dan mudah sumber lemak yang cukup sering dalam
diangkut ke seluruh sel-sel guna seminggu. Disamping itu, jenis
penyediaan energi (Almatsier, 2004). makanan yang digoreng akan
Kelebihan kalori yang masuk ke tubuh menyebabkan peningkatan konsumsi
yang berasal dari karbohidrat akan lemak harian penderita DM.
diubah menjadi glukosa dalam darah. Peningkatan kadar lemak merupakan
Glukosa memerlukan insulin untuk faktor risiko aterosklerosis (Harding,
sampai kedalam sel-sel jaringan 2001).
sehingga glukosa dalam darah Hasil penelitian menunjukkan
meningkat jika konsumsi karbohidrat bahwa semua responden konsumsi
dalam kategori tinggi (>60%). dietary fiber dalam kategori kurang dari
Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson anjuran yaitu 30 gram per hari, baik dari
dari variabel tingkat konsumsi hasil Semi Quantitative FFQ dengan
karbohidrat baik yang didapatkan dari Food Recall. Berdasarkan hasil
hasil Semi Quantitative Food Frequency penelitian didapatkan signifikansi (p)
dan Food Recall dengan kadar gula sebesar 0,554 yang menunjukkan bahwa
darah puasa responden DM tipe 2, tidak ada hubungan antara jumlah
didapatkan signifikansi 0,409 dan 0,226 asupan dietary fiber dengan kadar gula
dengan alfa (α) 5 % . Hal ini tidak darah puasa responden DM. Hal ini
menunjukkan adanya hubungan antara disebabkan tingkat konsumsi dietary
jumlah asupan karbohidrat dengan kadar fiber responden dalam penelitian masuk
gula darah puasa responden Diabetes dalam kategori kurang sehingga tidak
Mellitus tipe 2. Hal ini disebabkan dapat dilihat hubungannya dengan kadar
sebagian besar responden memiliki gula darah puasa.
jumlah asupan karbohidrat dalam jumlah Jumlah asupan karbohidrat dan
yang lebih dan kenaikan kadar gula lemak berhubungan dengan jumlah
darah tidak ditunjukkan dengan asupan dietary fiber. Dalam hal ini
peningkatan konsumsi karbohidrat yang adalah responden mengkonsumsi bahan
dikonsumsi harian. pangan sumber dietary fiber dalam
Berdasarkan hasil uji korelasi jumlah sedikit tetapi mengkonsumsi
Pearson antara jumlah asupan lemak bahan pangan sumber karbohidrat dan
dengan kadar gula darah didapatkan lemak dalam jumlah banyak sehingga
tingkat signifikansi 0,721 sehingga tidak secara tidak langsung tingkat konsumsi
1536
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
dietary fiber menjadi meningkat bahan pangan yang termasuk dietary
meskipun masih dalam kategori kurang fiber yang dikonsumsi adalah mangga.
dari anjuran yaitu 30 gram per hari. Menurut uji korelasi Spearman tentang
hubungan konsumsi mangga dengan
4. Pola Konsumsi kadar gula darah, didapatkan signifikasi
Karbohidrat merupakan rantai (p) yaitu 0,0031 berarti ada hubungan
gula yang panjang. Oleh karena itu, antara konsumsi mangga dengan kadar
penderita DM tipe 2 perlu melakukan gula darah responden DM tipe 2.
pengendalian jumlah karbohidrat yang Semakin tinggi frekuensi konsumsi
dikonsumsi. Pengurangan konsumsi mangga semakin tinggi peningkatan
karbohidrat dalam jumlah besar kadar gula darah penderita DM tipe 2.
dimaksudkan untuk mengendalikan Sebagian besar energi mangga
kadar gula darah dan tingkat hormon berasal dari karbohidrat berupa gula.
insulin (Smith, 2005). Semua responden Kandungan gula dalam mangga
DM tipe 2 mengkonsumsi nasi sebagai didominasi oleh sukrosa dengan GI yang
sumber karbohidrat utama sedangkan berkisar 7-12%, namun pada jenis
sumber karbohidrat lainnya adalah mangga manis, kandungan sukrosa dapat
kentang dan singkong. Responden mencapai 16-18%. Kandungan sukrosa
mengkonsumsi nasi sebagai sumber yang tinggi dalam mangga dapat
karbohidrat utama dengan frekuensi 3 menyebabkan kenaikan kadar gula darah
kali dalam sehari dengan persentase penderita DM tipe 2. Pada buah lain
sebesar 71,4%. Melalu uji korelasi seperti pepaya, kandungan gula
Spearman dengan alfa (α) 5 %, didominasi oleh gula buah atau fruktosa
didapatkan signifikansi sebesar 0,778. yang dapat dicerna oleh tubuh dan aman
Artinya tidak ada hubungan antara bagi penderita DM (Sutomo, 2011).
konsumsi nasi dengan kadar gula darah
puasa responden. Hal ini mungkin KESIMPULAN
dikarenakan responden tidak membatasi 1. Tidak ada hubungan antara jumlah
frekuensi makan harian meskipun asupan karbohidrat, lemak dan
membatasi porsi nasi dalam sekali dietary fiber dengan kadar gula darah
makan. puasa responden DM tipe 2 (p>0.05),
Lemak merupakan salah satu baik dari hasil Semi Quantitative
unsur yang terdapat dalam makanan. FFQ dan Food Recall.
Lemak tidak dapat larut dalam plasma 2. Terdapat hubungan antara jumlah
darah kecuali bila berikatan dengan asupan karbohidrat dan lemak
protein tertentu. Tubuh sangat dengan dietary fiber (p<0.05).
membutuhkan lemak terutama untuk 3. Terdapat hubungan antara pola
proses produksi berbagai hormon dan konsumsi mangga dalam
pemeliharaan jaringan saraf dalam tahunan/musiman menunjukkan
tubuh. Kadar lemak yang berlebihan hubungan dengan kadar gula darah
akan memberikan efek samping yaitu puasa (p<0.05).
merusak pembuluh koroner (Baraas,
1996). Hasil korelasi masing masing SARAN
variabel sumber lemak yang dikonsumsi 1. Perlu adanya penyuluhan maupun
responden dengan kadar gula darah konseling gizi kepada penderita
puasa dengan tingkat kemaknaan (α) DM untuk meningkatkan
0,05 menunjukkan tidak ada hubungan pengetahuan gizi tentang
antara konsumsi tahu, tempe, dan telur pengaturan pola makan yang tepat
ayam dalam seminggu dengan kadar untuk mempertahankan kadar gula
gula darah puasa responden DM tipe 2. darah.
Hal ini dikarenakan frekuensi konsumsi 2. Meningkatkan kesadaran
bahan pangan sumber lemak yang penderita DM untuk mengikuti
rendah sehingga tidak dapat dilihat anjuran diet yang diberikan oleh
korelasi dengan kadar gula darah puasa. rumah sakit.
Pada penelitian ini, salah satu 3. Meningkatkan pola konsumsi
1537
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
bahan makanan sumber dietary
fiber seperti whole grain, oatmeal,
roti gandum dan lain-lain yang
diharapkan dapat menurunkan
kadar gula darah secara bertahap.
4. Membatasi konsumsi buah
mangga meskipun dalam musiman
karena konsumsi mangga dalam
jumlah sedikit berhubungan
dengan peningkatan kadar gula
darah.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu dengan Konsumsi Serat pada
Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Penderita DM di Poli Penyakit
Pustaka Utama. Baraas, F. 1996. Dalam RSUD Dr.Moewardi
Mencegah Serangan Jantung Surakarta. Karya Tulis Ilmiah
dengan Menekan Kolesterol. D3 Gizi. Surakarta
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Pratiwi, A.D, 2007. Epidemiologi
Utama, Jakarta. Program Penanggulangan
Brunner dan Suddart, 1996. Buku Ajar Diabetes Mellitus dan Isu
Keperawatan Medikal Bedah Mutakhir Diabetes Mellitus.
(Textbook of Medical-Surgical Skripsi. Makassar: Universitas
Nursing). Jakarta: EGC. Hassanudin
Budiyanto, 2002.Gizi dan Kesehatan. Rizky, Dita Novalinda Nindya.,2009.
Malang: Bayu Media. Hubungan Pola Makan Sumber
Dinkes RI,. 2007. Riset Kesehatan Energi dan Tingkat Konsumsi
Daerah tahun 2007. Jakarta Serat dengan Kadar Gula
(Sitasi tanggal 20 Oktober 2011) Darah Pada Penderita Diabetes
Harris, M.I. and Zimmet, P. 1992. Mellitus tipe 2. Skripsi.
Classification of Diabetes Yogyakarta: Universitas
Mellitus and Other Categories Gajahmada
of Glucose Intolerance. Oxford: Sulistijani, DA. 2001. Sehat dengan
John Wiley and Son. Menu Berserat. Jakarta :
Herminingsih A. 2009. Manfaat Serat Trubus Agriwijaya Sutomo, B.
dalam Menu Makanan. 2011. 1001 Manfaat Buah
http://puslit.mercubuana.ac.id. Pepaya.
(sitasi tanggal 27 November http://sahabatnestle.co.id//page/
2011). arsip/artikel/1001-manfaat-
Mansjoer, A, 2001.Kapita Selekta buah-pepaya (sitasi 13 Mei
Kedokteran, Jilid 1, Ed.3. 2012 19:36)
Jakarta: Media Aesculapius
FKUI
Prabowo, S., 2004. Hubungan Antara
Pengetahuan tentang Serat
1538
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
ABSTRAK
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi performa atlet diantaranya hemoglobin,
indek massa tubuh dan VO2maks. Belum banyak bukti ilmiah yang meneliti hubungan
antara hemoglobin, indek massa tubuh, persen lemak tubuh dan VO2maks terhadap
performa lari 5 km. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan hemoglobin,
VO2maks, persen lemak tubuh dan indek massa tubuh dengan performa lari 5 km.
Penelitian ini menggunakan desain crosssectional. Subjek dalam penelitian ini adalah
mahasiswa IPB yang aktif pada unit kegiatan olahraga. Jumlah subjek yang terlibat dalam
penelitian ini adalah 15 orang, berumur 18 hingga 22 tahun. Pengukuran berat badan,
tinggi badan, persen lemak tubuh dan performa lari 5 km dilakukan di Pusat Kebugaran
Jasmani IPB sedangkan hemoglobin diukur di Laboratorium Fisiologi FKH IPB. Hasil
penelitian menunjukkan rata-rata waktu mencapai finish adalah 25,9 ± 7,2 menit, waktu
tercepat adalah 22,5 menit dan terlama adalah 30,3 menit. Ada hubungan yang signifikan
antara persen lemak tubuh, IMT dan VO2maks dengan performa lari 5 km. Namun tidak
ada hubungan yang signifikan antara hemoglobin dengan performa lari 5 km. Persen
lemak tubuh merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap performa lari 5 km.
Kata-kata Kunci : IMT, persen lemak tubuh, VO2maks, hemoglobin, performa lari
ABSTRACT
Various factors contribute to an athlete's performance. Among these factors the
role of hemoglobin, body mass index and VO2max are important factors to be considered.
Limited evidences analyzed the relation between haemoglobin, BMI, percent body fat and
VO2max on the performance of sports, especially running 5 km. The research objective
was to analyze the relationship of hemoglobin, VO2max, percent body fat and BMI with the
performance of running 5 km, as well as predicting variables that most influence on the
performance of running 5 km. This study was an observational study, by using cross-
sectional design. Subjects were IPB students who were actively involved in sports activity
unit. Fifteen individuals who the age were ranged from 18 to 22 years old were engaged
in this study. Measurement of body weight, height, percent body fat and running 5 km on
the treadmill were conducted at the fitness center of IPB and hemoglobin was measured
in the Physiology Laboratorium of Veterinary Faculty, IPB. Results showed that the
average time to finish the running was 25,9 ± 7,2 minutes with the fastest time was 22,5
minutes and the longest was 30,3 minutes. There was significant relationship between
percent body fat, BMI and VO2max with the performance of running 5 km, but no relation
of hemoglobin with the performance of running 5 km. Percent body fat is the most
influence variables on the performance of running 5 km.
*corresponding author
1539
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
1540
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
Desember 2011. Subjek penelitian dilakukan dengan test lari multi tahap
adalah mahasiswa IPB laki-laki yang (bleep test) dan pengukuran persen
berumur antara 18 – 22 tahun yang aktif lemak tubuh dilakukan dengan
melakukan latihan olahraga. Kriteria menggunakan pengukur tebal lemak
inklusi subjek adalah sudah melakukan digital Merk Omron. Pemeriksaan kadar
latihan olahraga secara rutin minimal 6 hemoglobin dilakukan dengan metode
bulan, menyetujui mengikuti penelitian cyanmethemoglobin, dilakukan di
hingga selesai dengan menandatangani Laboratorium Fisiologi, Fakultas
informed consent, tidak dalam keadaan Kedokteran Hewan IPB. Protokol
sakit dan tidak sedang dalam penelitian ini sudah mendapat
pengobatan selama sebulan terakhir, persetujuan etik dari Komisi Etik Badan
tidak merokok dan tidak minum Penelitian dan Pengembangan
alkohol/narkoba. Kriteria eksklusi Kesehatan Kementerian Kesehatan
adalah berumur diatas 22 tahun, sedang nomor KE.01.07/EC/433/2011 tanggal
dalam kondisi sakit atau cedera, tidak 24 Juli 2011.
dapat bekerjasama dengan baik, tidak
bersedia mengikuti rangkaian penelitian
secara lengkap, mempunyai riwayat HASIL
penyakit stroke, penyakit jantung, Karakteristik Subjek
diabetes melitus, dan kanker. Jumlah Subjek penelitian adalah
subjek yang mengikuti penelitian ini mahasiswa IPB yang mengikuti unit
adalah 15 orang. kegiatan olahraga futsal dan sepak bola.
Data yang diambil dalam Jumlah subjek yang diambil adalah 20
penelitian ini adalah umur, berat badan, orang berdasarkan kriteria inklusi dan
tinggi badan, IMT, VO2maks, persen kesediaan mengikuti penelitian yang
lemak tubuh, sampel darah untuk dinyatakan dengan mengisi inform
analisis hemoglobin dan data waktu consent. Namun jumlah data yang
tempuh lari 5 km (performa). diolah adalah 15 karena 5 data tidak
Pengambilan sampel darah dan lengkap. Karakteristik subjek yang
pengukuran performa lari 5 km pada diambil adalah umur, berat badan, tinggi
treadmill dilakukan di Pusat Kebugaran badan, denyut nadi, hematokrit dan
Jasmani IPB, pengukuran berat badan, frekuensi latihan olahraga dalam
tinggi badan dan VO2maks dilakukan di seminggu. Karakteristik subjek dapat
Gymnasium IPB. Pengukuran VO2maks dilihat pada Tabel 1.
Deskripsi Rata-rata+SD
Umur (tahun) 19,0+0,8
Berat Badan (kg) 56,2+8,9
Tinggi badan (cm) 163,8+6,8
Nadi Latihan (kali/menit) 173,0+9,0
Frekuensi Olahraga (kali/minggu) 4,1+1,5
1541
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
Waktu tercepat yang dicapai oleh subjek 53,3% subjek waktu tempuh mencapai
untuk menyelesaikan lari 5 km adalah finis adalah dibawah nilai rata-rata yaitu
22,5 menit dan terlama adalah 30,3 kurang dari 25,9 menit. Profil performa
menit. Sedangkan rata-rata waktu yang lari subjek peneliian dapat dilihat pada
dibutuhkan subjek untuk menyelesaikan Tabel 2.
lari 5 km adalah 25,9 + 2,7 menit. Ada
1542
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
PEMBAHASAN
Faktor umur akan pada penelitian ini adalah homogen
mempengaruhi tingkat kematangan otot dengan rata-rata 19 tahun, sehingga
seseorang. Tingkat kematangan otot diharapkan tidak ada perbedaan
merupakan salah satu indikator pengaruh umur terhadap kematangan
kemampuan kekuatan tegangan otot, otot. Menurut deVries et al. (1994),
tingkat kematangan yang homogen umur 17 hingga umur hampir 19 tahun
berarti kekuatan tegangan otot adalah mempunyai kapasitas training yang
sama ( Robert et al. 2002). Umur subjek relatif sama.
1543
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
1544
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
1545
Media Gizi Indonesia
Vol. 2 No. 9 Agustus 2012 hal 1528‐1538
1546
Media Gizi Indonesia
PEDOMAN BAGI PENULIS
PETUNJUK UMUM
Makalah yang dikirim ke redaksi Media Gizi Indonesia (MGI) merupakan makalah hasil pemikiran
sendiri, bersifat ilmiah, mengandung unsur kekinian dan belum pernah dipublikasi. Untuk menghindari
duplikasi, MGI tidak menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan
untuk publikasi. Setiap pengirim makalah harus melampirkan lembar pernyataan orisinalitas (bahwa
tulisan yang dikirimkan tidak memuat unsur plagiarism), dan dikirim ke medgizi.airlangga@yahoo.com
atau dien_ra@yahoo.com
SISTEMATIKA PENULISAN
JUDUL
Nama Penulis (tanpa gelar)
Afiliasi, Kota
Judul singkat, padat, informatif dan mudah dipahami. Nama-nama penulis dan identitasnya (afiliasi, kota)
dicantumkan pada bagian bawah judul artikel. Corresponding author diberi tanda angka superscript
Abstrak (Abstract) dan Kata-kata Kunci (keys word): ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris, jenis huruf Times New Roman, font 11 pt. Jumlah kata maksimal 300, disusun dalam 1 (satu)
paragraf, mencantumkan 3-5 kata kunci (keywords).
Pendahuluan: Berisi latar belakang, alasan penelitian, rumusan masalah, dan pernyataan tujuan
Metode: Berisi langkah peneliti dalam melakukan penelitian, disajikan secara lengkap namun padat,
mulai dari rancangan penelitian (termasuk metode pengambilan sampel (jika ada), sampel, bahan yang
digunakan, alat yang digunakan, cara kerja, pengumpulan data dan teknik analisis data.
Hasil Penelitian: Dapat dilengkapi dengan tabel dan grafik. Nomor dan judul tabel ditempatkan di bagian
atas tabel dan dicetak tebal. Garis yang digunakan pada tabel hanya bagian row kepala tabel dan bawah
saja (tanpa garis kolom). Nomor dan judul gambar diletakkan di bawah gambar dan dicetak tebal. Gambar
akan dicetak hitam putih sehingga perlu diperhatikan penggunaan warna/tekstur untuk membedakan
series pada grafik/diagram.
Pembahasan: Gunakan referensi (hasil penelitian lain atau teori) untuk mendukug penjelasan hasil
penelitian anda. Jika ada singkatan, gunakan singkatan yang standar.
Kesimpulan dan Saran: Kesimpulan memaparkan hal-hal penting yang didiskusikan dalam hasil dan
pembahasan secara singkat, padat dan jelas, dan menjawab tujuan penelitian. Kesimpulan dapat diakhiri
dengan saran (jika dianggap perlu).
Daftar Pustaka: Penulisan mengacu pada APA Referencing Guide 6th edition. Secara umum, penulisan
daftar pustaka sebagai berikut:
Penulis, A.A., Penulis, B.B, & Penulis, C.C.(tahun publikasi). Judul publikasi: sub judul. (Edisi
[jika bukan edisi pertama]). Tempat diterbitkan: Penerbit.
Minimal 80% dari pustaka, diterbitkan tidak lebih dari 10 tahun sebelum karya ilmiah disampaikan ke
MGI).