Tarikh Tasyri
Tarikh Tasyri
Tarikh Tasyri
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada periode pertengahan abad keempat inilah terjadi fase taqlid dan
kejumudan, yang membuat gerakan ijtihad dan upaya perumusan undang-
undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berfikir para
ulama sudah mati, mereka tidak lagi menjadikan Al-Quran dan hadits menjadi
sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara
bertaqlid, dan usaha-usaha bagi para Ulama didalam meneliti illat-illat hukum
dan mentarjjih pendapat-pendapat yang bertentangan didalam madzhab.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kondisi Sosial Politik pada masa pertengahan abad ke 4 H?
2. Jelaskan munculnya doktrin tertutupnya pintu ijtihad?
3. Sebuutkan sebab-sebab kebekuan pemikiran fiqih?
4. Apa sajakah usaha-usaha para Ulama’ pada periode ini?
5. Jelaskan Karakteristik fiqih pada periode ini?
C. Tujuan Masalah
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas
tentang Kondisi Sosial Politik dari Pertengahan Abad ke 4 H, dengan munculya
doktrin tertutupnya pintu Ijtihad, dan usaha-usaha para ulama dalam meneliti
illat-illat hukum, serta karakteristik fiqih didalam periode ini.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2. Para penguasa yang sibuk dengan urusan politik dan peperangan sehingga
kurang memberikan kepada ilmu dan ulama. Negeri-negeri Islam sangat
lemah dari aspek kebebasan berpolitik sehingga mempengaruhi kebebasan
berpikir dan membuat syariat yang merupakan tonggak utama bagi para
fuqaha’ untuk mengembangkan fiqh islam pada zaman sebelumnya. Padahal
spirit kebebasan berpikir inilah yang mendorong Imam Abu Hanifah untuk
mengatakan tentang orang-orang sebelumnya dalam masalah ijtihad dan
istinbat “Mereka lelaki dan kita pun lelaki” dan memotivasi Imam Malik
untuk mengatakan, “semua orang berhak diterima dan ditolak ucapannya
kecuali Rasulullah SAW.”1
1
Rasad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2009), h. 118
2
Ulama-ulama yang berperan penting dalam perkembangan fiqih itu sendiri,
mereka berseru antara umat islam, agar umat islam meninggalkan taklid dan
kembali kepada Al-Quran, hadits dan mengikuti jejak para ulama terdahulu.
Mereka inlah yang disebut sebagai golongan salaf.2
2
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 137
3
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 276
3
1. Ulama merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada didalam madzab,
dari pada mengikuti metode yang dikembangkan oleh imam madzhabnya
untuk melakukan ijtihad.
2. Munculnya buku fiqih yang disusun oleh masing-masing madzhab, dan hal
ini pun yang menyebabkan umat islam hanya mencukupkan diri untuk
mengikuti yang tertulis dari buku-buku tersebut.
Dan pada periode ini banyak orang berani berfatwa, dan menggali hukum
sedangkan mereka sangat jauh dari kefahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil
fiqih, yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama yang tanpa ilmu.
Keadaan inilah yang menyebabkan Ulama untuk menutup pintu ijtihad pada
pertengahan abad keempat hijriyah, agar mereka yang mengklaim diri sebagai
mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan dapat menyelamatkan masyarakat
umum dari fatwa yang menyesatkan.4
Dan faktor lain yang menyebabkan tertutupnya pintu ijtihad adalah Para Ulama
dilanda krisis moral yang menghambat mereka, sehingga tidak bisa sampai
pada level orang-orang yang melakukan ijtihad, seperti halnya dikalangan
mereka terjadi saling menghasut dan egois, kalau salah seorang diantara
mereka berusaha mengetuk pntu ijtihad yang berarti akan membuka pintu
kemasyhuran bagi dirinya, dan merendahkan rekan-rekan lainnya, kalau ia
berani berfatwa mengenai suatu masalah menurut pendapatnya, maka para
ulama lainnya meremehkn pendapatnya dan merusk fatwanya dengan berbagai
macam cara. Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk tetap menjaga diri
dari adanya tipu daya dari rekan-rekannya dan dari celaan mereka dengan
mengatakan bahwa dia itu tukang taqlid dan tukang kutip saja, dan bukanlah
seorang mujtahid, dengan demikian semangat ijtihad berhenti dan mati,
sehingga tidak ada yang lahir dan tidak terangkat menjadi tokoh-tokoh dalam
dunia fiqih islam, dan kepercayaan ulama terhadap dirinya sendiri menjadi
lemah dan kurang. Demikian pula, kepercayaan masyarakat kepadanya juga
lemah dan kurang, sehingga dengan demikian mereka bertaqlid kepada
madzhab-madzhab imam mujtahid terdahulu
4
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 121
4
C. Sebab-sebab kebekuan pemikiran fiqih
Telah disebutkan diawal bahwa kebekuan ijtihad yang disebabkan oleh
beberapa faktor yang sangat komplek, telah menyebabkan kejumu dan
pemikiran fiqih.Berbagai faktor, baik faktor politik, mental, sosial dan
sebagainya. Telah mempengaruhi kegiatan pemikiran ulama pada saat itu
dalam lapangan hukum, sehingga membawa sikap mereka menjadi tidak
sanggup mempunyai orisinalitas kepribadian dan pemikiran sendiri, melainkan
mereka harus selalu bertaqliq, beberapa faktor tersebut antara lain :
5
Roibin, Sosio -Antropologis penetapan hukum islam dalam lintasan sejarah (Malang: UIN Maliki
PRESS, 2010), h. 93
5
Abdul Wahhab Khallaf menambahkan satu lagi penyebab kebekuan
pemikiran fiqih yaitu :
6. Bahwasanya sudah tersebar luas dikalangan para ulama berbagai penyakit
moral yang menghalangi mereka dari ketinggian derajat ijtihad. Dikalangan
mereka sudah merata penyakit saling menghasut dan egoisme
(mementingkan diri sendiri atau pun kelompoknya), serta ta’ashub
(fanatisme madzhab).6
Derajat dan otoritas keilmuan para ulama madzhab yang telah menelurkan
berbagai produk fiqih monumental ketika itu, tidak sedikit melahirkan
berbagai pengaruh signifikan di eranya, baik pengaruh dinamis berupa gerakan
berijtihad pada satusisi, maupun berupa pengaruh sikap puas dan merasa final
dalam berijtihad pada sisi lain.
Namun di sisi lain gerakan dinamis yang sarat dengan kerangka metodelogis
yang komperehensif dan holistic itu, tanpa terasa telah menaklukan,
6
Roibin, Sosio -Antropologis penetapan hukum islam dalam lintasan sejarah (Malang: UIN Maliki
PRESS, 2010), h. 94
6
melumpuhkan, dan menenggelamkan sederet kemauan dan kemampuan nalar
kritis tradisi berijtihad para fuqaha pasca ulama madzhab.
Sayangnya para ulama muqallidun ini model dan karakteristik para ulama
madzhab tidak banyak di antara mereka justru berbeda pada komunitas yang
pembelaan-pembelaan dan justifikasi-justifikasi ulama madzhab yang telah
muncul sebelumnya. Inilah yang menyebabkan produktifitas karya-
karyastagnan.
Namun demikian pada masa yang dapat dianggap kabut gelap tersebut,
masih ada secercah situasi positif pada daerah-daerah tertentu, dimana
7
Roibin, Sosio -Antropologis penetapan hukum islam dalam lintasan sejarah (Malang: UIN Maliki
PRESS, 2010), h. 87
7
beberapa komunitas ulama tertentu tetap konsisten dan teguh keilmuannya,
yang pada akhirnya memunculkan hasil-hasil karya terbaik mereka.8
Ada pula gambaran hukum islam dan keadaan ulama pada masa taqlid,
yakni:
Zaman kejayaan umat islam yang terbanagun sebelumny apada saat itu mulai
berangsur-angsur menemukan titik kesuramanya. Kemunduran itu mulai
terlihat sejak abad keempat hijriah atau sejak tahun 351 H. setelah imam-imam
mujtahidin berlalu, datanglah zaman kemunduran, taqlid dan kebekuan.
Demikian pada zaman tersebut pudarlah semangat ijtihad, meraja lelanya taqlid
buta dan timbulnya kebekuan dalam studi hukum islam. Kebanyakan
perkembangan yang bersifat teoritis ini sangat bebas dari Al-Qur’an ,hadits dan
ijma’ yang secara teknis menggambarkan bagaimana cara pemikiran hukum
islam, masih perlu untuk diselidiki.
Menurut pandanagan tarikh tasyri’, zaman taqlid ini telah mengurungi tiga
priode di dalam sejarah islam.
8
Roibin, Sosio -Antropologis penetapan hukum islam dalam lintasan sejarah (Malang: UIN Maliki
PRESS, 2010), h. 89
8
Dari rentang waktu yang relatif lama itu, masa yang terkenal dengan fase
kemunduran hukum islam berada pada abad keempat sampai abad ketiga belas
Hijriah. Mereka merasa sudah cukup mengikuti pendapat-pendapat yang
ditinggalkan oleh imam-imam mujtahidin yang sebelumnya.
Dengan demikian pembentukan hukum pada saat itu hanya terbatas pada
apa yang disampaikan oleh para imam-imam mujtahid periode terdahulu, tidak
memperhatikan perjalanan yang ada atau terjadi serta tidak mengamati
perkembangan masyarakat, kemajuan ilmiah dan muamalah, urusan peradilan-
peradilan dan kejadian-kejadian problematicka hukum yang baru.9
Pada masa ini semangat taklid sudah mulai tumbuh, para ulama membatasi
dirinya dalam berijtihad. Namun demikian para ulama waktu itu banyak pula
yang menjalankan usaha yang menonjol di bidang fiqih., yang mana usaha
tersebut menunjukkan besarnya tekad mereka.
9
sebagainya. Untuk itu pengikut-pengikut mazhab hanafi itu harus dapat
mempertahankan dan memperkuat alasan hukum yang mereka tetapkan
dengan dalil-dalil dan kaidahnya. Sehinggah mampu menghadapi lawan
diskusi mereka.
Adapun pengikut-pengikut mazhab syafi’I tidaklah begitu disubukkan
untuk mendapatkan ilat hukumnya. Sebab imam syafi’I telah menyusun
kitab-kitanya yang jadi pegangan dengan dilengkapi dasar-dasar
kaidahnya. Kitabnya itu terutama “ al-risalah” yang menjadi induk ilmu
usul fiqh dan kitab “al um” yang menjadi induk ilmu fiqh mazhab syafi’I.
adapun paara pengikut mazhab hanafi dan maliki mereka tidak terdesak
untuk mendapatkan ilat-ilat hukumnya.10
2. Mentarjih pendapat-pendapat yang bertentangan dalam mazhab
Yaitu usaha untuk riwayat atau isi kandungan riwayat, mengenai apa-
apa yang dikutip dari imam-imam mazhab, sehungga mendapatkan yang
lebih kuat dan benar. Ulama-ulama yang menjalankan usaha ini dinamakan
Murajjih.
a. Dalam tarjih segi riwayat, adalah muncul setelah stabilnya berbagai
mazhab. Kemudian para mencari di antara beberapa riwayat yang
palimg unggul, tentang adanya pendapat imam mazhab terdapat suatu
masalah. Tahrih ini sesuai dengan besar atau kecilnya kepercayaan
terhadap pembawa riwayat itu. Dalam mazhab hanafi misalnya, para
ulama mengunggulkan riwayat-riwayat yang dibawakan oleh
Mumammad Bn Hasan, dibandingkan dengan yang dibawakan olehnya.
Dalam mazhab syafi’I misalnya, para ulama yang mengunggulkan
riwayat yang dibawakan oleh Rabie Al Muradi sekalipun bertentangan
dengan riwayat yang dibawakan oleh Ismail bin Yahya Al Muzani.
Padahal Muzani lebih unggul pengetahuan fiqhnya dbandingkan dengan
Rabie. Dalam mazhab maliki misalnya, para ulamanya menggunkan
riwayat yang dibawakan oleh ibnul Qosim di bandingkan dengan
lainya.
10
Rasad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2009), h. 122
10
b. Dalam tarjih isi kandungan riwayat yaitu apabila terdepat perbedaan
antara bagaimana yang dikaitkan oleh sahabat imam tersebut. Tarjih di
segi ini memerlukan adanya kemampuan ilmu fiqh yang tahguh bagi
ulama yang menjalankan usaha ini. Selanjutnya para ulama itu
mengadakan penelitian dan perbandingan, antara isi kandundungan
riwayat riwayat itu lebih medekati dalil-dalil alquran, hadist, kaidah-
kaidah umum syariah, qiyas dan sebagainya. Dariitu semua di
tetapkanlah mana yang di anggap unggul dari pada yang lain.11
c. Merumuskan dasar-dasar dan kaidah-kaidah usul fiqih
Para ulama pada periode ini mengembangkan kerangka ushul fiqih
yang sudah dirumuskan oleh para ulama sebelumnya, terutama yang
telah dilakukan oleh Imam Syafi’ie. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa Imam Syafi’ie telah merumuskan prinsip-prinsip
ushul fiqih dalam bukunya, al-Risalah, dan telah mendapatkan
pengakuan dari para sejarawan bahwa buku al-Risalah adalah buku
pertama yang berisi prinsip-prinsip dasar ushul fiqih. Para fuqaha pada
periode ini mengembangkan ushul fiqih sebagai kelanjutan dari apa
yang sudah dirumuskan oleh Imam Syfi’ie. Dan pada periode ini justru
bermunculan buku-buku ushul fiqih dengan dua kategori (metodologi)
yaitu metodologi yang cenderung teoretis (nazhari) yang tidak berubah
walaupun diterapkan dalam fiqih madzhab manapun dan metodologi
yang berubah menurut forma dan hukum-hukum juz’iyyah. Buku-buku
dalam kategori pertama misalnya al-mu’tamad karya Abu Hasan
Muhammad Ali al-bashri (seorang tokoh Mu’tazilah yang wafat pada
tahun 413 H), al-burhan karya Imam al-haramain (wafat 487 H), dan al-
mustashfa karya Imam al-Ghazali.
Di samping penulisan buku-buku fiqih dan ushul fiqih, pada
periode ini penulisan fatwa juga mulai semarak, terutama abad ke 8 H
hingga akhir abad ke 10 H. Diantara buku-buku fatwa yang sangat
berpengaruh adalah fatawa ibnu taimiyah (wafat 728 H), buku lain
11
Rasad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2009), h. 124
11
dalam masalah ini adalah al-hawi li al-fatawi karya al-sayuti (wafat 911
H), fatawa karya Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H).
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa
kemunduran bukan berarti tidak ada kerja para ulama atau fuqaha dala
bidang fiiqih, akan tetapi meraka masih tetap melakukan aktivitas,
meskipun tidak seperti pendahulu mereka. 12
12
sebelumnya telah menolak, bahkan menganggapnya sebagai ajaran yang sesat.
Hal ini dapat dipahami karena kondisi jumud dan taqlid yang melanda fiqih
menjadikan mereka berpaling pada kehidupan tasawuf.14
14
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 277
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa pertengahan abad ke 4 H sebagai penutupan periode ijtihad atau
periode tadwin (pembukuan). Kondisi sosial politik yang terjadi pada masa
pertengahan abad keempat ini sangat tidak mungkin bagi fiqh islam untuk maju
seperti zaman yang sebelumnya, dan beberapa faktor yang menyebabkan
kebekuan pemikiran fiqih adalah adanya pergolongan politik, dan pada fase
ketiga adanya ( pembangunan, perkembangan, dan kordifikasi hukum islam).
Dan usaha-usaha para Ulama’ dalam periode ini adalah dengan meneliti illat-
illat hukum (tahrijh) dan dengan mentarjih pendapat-pendapat yang
bertentangan didalam madzhab. Perundang-undangan islam pada masa ini
memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan fase-fase sebelumnya,
yakni pada masa pertengahan abad ke-4 H ini kondisi perjalanan fiqih islam
sangat buruk sekali, padahal pada periode ini adalah fase terpanjang dalam
sejarah fiqih islam, pada fase ini telah mengalami kemunduran dan jumud. Dan
pada periode ini para ulamanya sudah beralih profesi menjadi tqlid buta,
padahal memiliki kemampuan untuk menempuh jalan para pendahulunya
sehingga terhentinya kegiatan ijtihad, dimana semangat ijtihad mutlak para
ulama sudah pudar dan pendek dan mereka hanya mengikuti hukum-hukum
yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu, dan muncullah
bidang keislaman yang lain yakn tasawuf, dan dengan perkembangan tasawuf
yang begitu pesat, kerja ulama fiqih menjadi amat terbatas.
B. Saran
Makalah ini dibuat agar penulis dan pembaca dapat mengetahui kondisi
sosial politik pada abad pertengahan ke 4 H dengan adanya doktrin tertutupnya
pintu ijtihad, dan juga dapat mengetahui sebab-sebab kebekuan pemikiran fiqih
islam pada masa ini, dan juga usaha-usaha para ulama pada abad pertengahan
ke-4 H, serta karakteristik fiqih islam didalam periode ini. Apabila makalah ini
14
terdapat banyak kekeliruan baik dari segi kalimat ataupun dari segi kosa kata
yang tidak baku, sehingga kritik dan saran yang membangun untuk penulisan
makalah-makalah selanjutnya sangat diharapkan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Khalil, Rasyad. 2009. Tarikh Tasyri’ ( Sejarah legislasi hhukum islam).
Jakarta: Sinar Grafika Offset.
16