Konsep Filsafat Pendidikan Islam Menurut Hamka
Konsep Filsafat Pendidikan Islam Menurut Hamka
Konsep Filsafat Pendidikan Islam Menurut Hamka
FILSAFAT PENDIDIKAN
Disusun Oleh :
Khaliza Deffiani
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang atas rahmat-nya sehingga kami
dapat menyesesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Filsafat Pendidikan Islam Menurut
Hamka”. Makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan oleh bapak Dr. H. Taufik
Abdillah Syukur, Lc. MA dalam mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam di STAI ALHIKMAH
JAKARTA.
Dalam penulisan ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis maupun
materi. Mengingat akan kemampuan yang dimiliki. Untuk ini, kritik dan saran dari semua
pihak, kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan penulisan ini.
Dalam penulisan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih. Khususnya kepada
dosen saya yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat
menyesaikan tugas ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan.............................................................................................................................4
BAB II.......................................................................................................................................5
A. Biografi Singkat Buya Hamka........................................................................................5
B. Pentingnya Pendidikan Islam Menurut Buya Hamka.....................................................5
C. Prinsip Pendidikan Menurut Buya Hamka......................................................................8
BAB III....................................................................................................................................10
A. Kesimpulan...................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesungguhnya pendidikan yang kita laksanakan sekarang ini tidaklah terlepas dari
usaha-usaha para tokoh pendidikan yang dahulu telah merintisnya dengan perjuangan yang
sangat berat dan tidak mengenal lelah. Oleh karena itu, bila kita berbicara tentang pendidikan
yang kini berlangsung tidaklah arif bila tidak membicarakan sosok dan tokoh-tokoh
pendidikan tersebut, dengan hanya menerima jerih payah dan karya mereka. Pada dasarnya
cukup banyak tokoh pelaku sejarah yang sangat berjasa dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Tokoh pendidikan Islam di Indonesia pun sangat banyak, dimana mereka meninggalkan buah
perjuangan dan jasa-jasa mereka yang sampai saat ini dinikmati oleh masyarakat Islam di
Indonesia terutama dalam hal pendidikan Islam. Namun dalam kesempatan ini hanya satu
tokoh yang bisa dikemukakan, dengan tidak mengurangi dan mengecilkan arti perjuangan
dan jasa- jasa tokoh lain.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
Nasihuddin, M. (2016). Percikan Pemikiran Pendidikan Hamka. Al-Lubab: Jurnal Penelitian Pendidikan dan
Keagamaan Islam, 2(1), 166-180.
3. Memahami prinsip pendidikan menurut Hamka
BAB II
PEMBAHASAN
Hamka (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin
Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang
amat terkenal di alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau
dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Hamka
merupakan salah satu pemikir pendidikan yang banyak memberikan tawaran-tawaran konsep
pendidikan Islam yang benar, yaitu yang sejalur dengan al-Qur’an dan Hadis. Berdasarkan
kajian-kajian yang pernah dilakukan, hampir semua aspek pemikirannya pernah disoroti oleh
para peneliti. Hanya saja, kajian yang khusus membicarakan pemikirannya tentang
pendidikan Islam, secara utuh hampir belum pernah ditemukan, terutama tentang pendidik.
Meskipun dalam bentuk penyajian yang tidak utuh dan spesifik, pemikirannya tentang
pendidik, sebagai komponen pendidikan Islam dapat dilacak melalui karyanya, terutama
dalam Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, dan Lembaga Budi. Inilah yang kemudian melandasi
dan menginspirasi banyak generasi untuk menerapkan pemikirannya terkait dengan
pendidikan Islam, yang menurut hemat penulis; sederhana namun masih sangat relevan untuk
dihadapkan pada zaman sekarang..2
a. Urgensi Pendidikan
Kedua unsur jasmani dan ruhani tersebut memiliki kecenderungan untuk berkembang,
dan untuk menumbuhkembangkan keduanya adalah melalui pendidikan karena pendidikan
merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua
unsur tersebut. Dalam pandangan Islam, kedua unsur tersebut dikenal dengan istilah fitrah.
Artinya, setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan dan
untuk mengabdi kepada khaliqnya.
3
Hamka, Lembaga Hidup, Op. Cit, h. 202.
4
Ibid, h. 202.
Adapun tujuan pendidikan menurut Hamka adalah memiliki dua dimensi; bahagia di
dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia harus menjalankan tugasnya
dengan baik, yaitu beribadah. Oleh karena itu, segala proses pendidikan pada akhirnya
bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah.
c. Materi Pendidikan
Mengenai materi pendidikan, dalam pandangan Hamka pada dasarnya berkisar antara
ilmu, amal, akal dan keadilan. Ketiga konsep tersebut sangat mendasari proses pendidikan
tersebut.
Pertama, ilmu. Menurut Hamka ilmu terbagi dua macam, yaitu ilmu yang bersumber
dari wahyu yang mutlak kebenarannya, yang disebut dengan al-‘ulum annaqliyah, dan ilmu
yang bersumber dari akal manusia yang relatif kebenarannya, biasanya disebut dengan
al-‘ulum al-‘aqliyah.
Ilmu yang pertama mencakup segala ruang dan dimensi waktu yang meliputi suatu
yang gaib (tidak tampak) dan yang tampak. Ilmu kedua hanya mencakup sebagian kecil dari
gejala-gejala alam yang bersifat nyata dan tidak menembus perkara yang gaib, sekalipun ia
seorang Nabi. Adapun ilmu yang pertama diperoleh melalui kebenaran wahyu yang
dipindahkan dari generasi ke generasi berikutnya. Ilmu kedua dapat diperoleh melalui
kecerdasan akal pada tahap intelek dan rasio. Menurutnya, ilmu manusia tidak dapat
menandingi ilmu Allah, sehingga selayaknya manusia menyadari bahwa ilmunya tidak
seberapa jika dibandingkan dengan ilmu Allah
Kedua, amal dan akhlak. Ilmu yang hanya dibarengi dengan iman tidaklah cukup,
namun harus pula dibarengi dengan amal, kerja dan usaha. Ilmu yang tidak diikuti dengan
amal perbuatan baik tidak berguna bagi kehidupan. Ilmu yang baik, seharusnya bisa
membekas ke luar diri individu dan orang lain. Ilmu pengetahuan harus diamalkan dan agama
Islam adalah agama ilmu dan sekaligus amal. Hubungan antara iman dengan amal, adalah
hubungan antara budi dan perangai. Jadi, berbudi dan bergaul yang baik termasuk amal.
Materi sebagaimana ditafsirkan Hamka pada surah Luqman ayat 14-15. Menurutnya,
maksud kedua ayat (14-15) tersebut adalah berkaitan perintah dari Allah kepada manusia agar
menghormati dan memuliakan kepada kedua ibu bapaknya. Melalui keduanyalah manusia
dilahirkan ke muka bumi, sewajarnyalah jika keduanya dihormati. Juga harus menghormati
ibu yang telah mengandung dalam berpayah-payah sampai puncak kepayahan saat
melahirkan. Kemudian mengasuh anak sampai dua tahun. Oleh karena itu, bersyukurlah
kepada Allah yang telah menciptakan manusia, dan kemudian bersyukurlah kepada kedua
orang tuamu. Pentingnya hal ini karena anak itu, kemudian juga akan berumah tangga, dan
akan merasakan pula menjadi orang tua. Untuk semuanya akhirnya kembali kepada Tuhan.
Ketiga, keadilan. Defenisi keadilan adalah ‘tegak di tengah’. Jelasnya keadilan adalah
sebagai pertahanan yang memikat hati dan menyebabkan orang takluk dan patuh dengan
segala kerendahan hati. Dalam konsep keadilan ini terkandung unsur persamaan,
kemerdekaan dan kepemilikan. Persamaan adalah hak segenap manusia.5
Bagi Hamka, prinsip utama dalam pendidikan adalah tauhid. Tauhid berarti mengakui
bahwa Tuhan hanya satu. Keesaan Allah merupakan satu-satunya zat yang dipertuhankan
oleh manusia dan menjadi titik tolak seorang muslim dalam memandang hidupnya. Apabila
orang telah memiliki tauhid, niscaya kepercayaannya akan mendorong dirinya agar
senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang diterima dengan relah oleh Tuhan dan
niscaya di dalam hidupnya senantiasa menempuh jalan lurus.
Bagi orang yang tidak menjadikan tauhid saebagai dasar pendidikan, maka ia seakan
kehilangan tempat berpijak. Keimanan akan menjadikan si pemiliknya mampu untuk
mengendalikan hawa nafsu, dan menempatkan pada ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul,
tempat memulangkan segala persoalan yang diperselisihkan. Dalam membahas persoalan
jiwa tauhid ini, kemudian Hamka secara panjang lebar mengaitkannya dengan zuhud.
Menurutnya, dunia sebagai tempat manusia bekerja dan berusaha itu hendaklah tetap dijaga
agar tidak menguasainya, serta tidak membuatnya mengingkari Tuhannya. Karena itulah
zuhud di dalam Islam tidak identik dengan kemiskinan atau kemelaratan. Artinya seseorang
itu boleh bekerja mencari penghasilan (tidak disuruh berpangku tangan atau bermalas-
malasan) demi memenuhi kebutuhan kehidupan dunia ini, tetapi harta yang dicari hendaklah
bisa mendatangkan ketenangan hati dan tetap ingat akan kehidupan akhirat dan Tuhannya
yang memberikan ia rezeki.6
Perilaku zuhud bagi Hamka ialah orang yang sudi miskin, sudi kaya, sudi tidak
beruang sepeser pun, dan sudi jadi milyuner, namun harta itu tidak menjadi sebab
5
Khaliq, A. (2013). PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HAMKA. Tarbiyah Islamiyah: Jurnal Ilmiah
Pendidikan Agama Islam, 3(1).
6
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2001), h. 219
melupakan Tuhan dan lalai terhadap kewajibannya. Zuhud tidak berarti eksklusif dari
kehidupan duniawi, sebab hal itu dilarang oleh Islam, Islam menganjurkan semangat
berjuang, semangat berkorban, dan bekerja, bukan malas-malasan.
Kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang sudah ada, sudi menerima walaupun
berlipat ganda beratus milyar, sebab dia nikmat Tuhan. Dan tidak pula kecewa jika
jumlahnya berkurang, sebab dia datang dari sana dan akan kembali pula kesana. Jika
kekayaan melimpah kepada diri, walalupun bagaimanapun banyaknya, kita teringat bahwa
gunanya ialah untuk menyokong amal dan ibadah, iman dan untuk membina keteguhan hati
menyembah Tuhan. Harta tidak dicintai karena dia harta harta hanya dicintai sebab dia
pemberian Tuhan. Dipergunakan yang berfaedah.
Jadi Hamka mengingatkan kepada umat Islam agar harta tidak menguasai kehidupan
seseorang, tetapi harus dipergunakan kepada hal yang bermanfaat, kebaikan dan diinfakkan
secara proposional. Mengumpulkan harta tidak dilarang dalam Islam. (Dengan mengambil
kata hukama) Hamka menyatakan dengan harta seseorang dapat menjaga derajat kehormatan,
untuk menunaikan kewajiban, menghindarkan sikap minta-minta, dan hutang. Kurang harta
bias mengurangi kepercayaan, perhatian seseorang, harga diri jatuh.
Manusia itu sendiri terbagi ke dalam tiga bagian, sebagian lebih mementingkan
akhiratnya daripada duniawinya, orang ini akan memperoleh kemenangan. Sebagian lagi
lebih mementingkan kehidupan dunianya daripada akhiratnya, orang ini akan binasa. Dan
sebagian lagi mementingkan kedua-duanya, dan kehidupan dijadikan sebagai tangga
mencapai kebahagian akhirat. Orang yang ketiga inilah yang menempuh jalan yang paling
sukar dan orang yang ketiga inilah yang mau berjuang dengan harta dan jiwanya. Sikap
golongan ketiga ini adalah sejalan dengan al-Qur’an, yakni hidup seimbang antara dunia dan
akhirat Padangan Hamka tentang kehidupan adalah sejalan dengan kehendak Tuhan dalam
firman-Nya yang terkandung dalam al-Qur’an. Islam adalah agama yang menyeru umatnya
mencari rezki dan mencari sebab-sebab yang mengarah tercapainya kemuliaan dan
kehormatan dalam kehidupan duniawi. Zuhud baginya berarti dinamis, bekerja keras untuk
memperoleh kenikmatan dunia dengan tidak melupakan Tuhan. Mencari harta untuk
kesempurnaan jiwanya, bukan untuk kesempurnaan harta benda itu sendiri.7
7
Shafiah, S., & Mukhlis, M. (2012). URGENSI DAN PRINSIP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HAMKA. Tarbiyah
Islamiyah: Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam, 2(2).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hamka (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin
Abdul Karim Amrullah. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau,
Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali
sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Berdasarkan
kajian-kajian yang pernah ia lakukan, hampir semua aspek pemikirannya pernah disoroti
oleh para peneliti. Hanya saja, kajian yang khusus membicarakan pemikirannya tentang
pendidikan Islam, secara utuh hampir belum pernah ditemukan, terutama tentang pendidik.
Meskipun dalam bentuk penyajian yang tidak utuh dan spesifik, pemikirannya tentang
pendidik, sebagai komponen pendidikan Islam dapat dilacak melalui karyanya, terutama
dalam Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, dan Lembaga Budi. Inilah yang kemudian
melandasi dan menginspirasi banyak generasi untuk menerapkan pemikirannya terkait
dengan pendidikan Islam.
3. Materi Pendidikan
Bagi Hamka, prinsip utama dalam pendidikan adalah tauhid. Tauhid berarti mengakui
bahwa Tuhan hanya satu. Karena Keesaan Allah-lah merupakan satu-satunya zat yang
dipertuhankan oleh manusia dan menjadi titik tolak seorang muslim dalam memandang
hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasihuddin, M. (2016). Percikan Pemikiran Pendidikan Hamka. Al-Lubab: Jurnal Penelitian Pendidikan dan
Keagamaan Islam, 2(1), 166-180.
Alfian, M. (2019). Pemikiran Pendidikan Islam Buya HAMKA. Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 19(02),
89-98.
Hamka, Lembaga Hidup, Op. Cit, h. 202.
Ibid, h. 202.
Khaliq, A. (2013). PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HAMKA. Tarbiyah Islamiyah: Jurnal
Ilmiah Pendidikan Agama Islam, 3(1).
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2001), h. 219
Shafiah, S., & Mukhlis, M. (2012). URGENSI DAN PRINSIP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HAMKA.
Tarbiyah Islamiyah: Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam, 2(2).