Implementasi Pembelajaran Berbasis Industri Di SMK

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

PEMBELAJARAN BERBASIS PRODUKSI SEBAGAI IMPLEMENTASI

PEMBELAJARAN BERBASIS INDUSTRI DI SMK


(Disadur dari Jurnal MEDIA ELEKTRIK, Vol. 17, No. 2, April 2020 p-ISSN:1907-1728, e-ISSN:2721-9100)

Anwar Muhaimin
Disampaikan Pada Workshop Penyusunan Program Pembelajaran
SMK Negeri 1 Gangga Kabupaten Lombok Utara
4 – 6 Oktober 2021

A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan kunci utama dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia
(SDM), untuk itu Bangsa Indonesia menyelenggarakan pendidikan secara berkesi-
nambungan di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah menetapkan
tujuan pendidikan nasional secara konstitusional melalui Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Tujuan pendidikan nasional
untuk mengembangkan kemampuan dan memben-tuk watak dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, sehat, berilmu, kreativitas serta bertanggung jawab.
Pemerintah membuat regulasi standar kompetensi lulusan secara khusus dicantum-
kan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) pada pasal 1 butir 4 yang berbunyi “Standar kompetensi lulusan
adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang menca- kup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan” [2]. Menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
era global dunia pendidikan, salah satu lembaga pendidi-kan yaitu Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dituntut antisipatif untuk mempersiap-kan tenaga kerja yang mampu
bersaing di masa datang, kompetensi yang dimiliki berda-sarkan kebutuhan dunia kerja
(demand driven) yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam
kehidup-an. Terdapat dua prinsip pendidikan yang yang mampu menghadapi
perkembang-an masa yang akan datang dan harus menjadi acuan dalam merencanakan
pendidikan oleh semua negara. Pertama pendidikan harus berorientasi empat pilar yaitu:
learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar melakukan),
learning to be (belajar menjadi dirinya sendiri) dan learning to live together (belajar
untuk bekerjasama). Prinsip yang kedua adalah live long learning (belajar sepanjang
hayat), (UNESCO, 1996) [3].
Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM khususnya pendidikan kejuruan, pemerintah
mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2016 yang dikeluarkan pada tanggal 9
September 2016 tentang revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Inpres tersebut
ditujukan kepada 12 Menteri Kabinet Kerja antara lain: Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi, Menteri Perindustrian, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Perhubungan, Menteri
Kelautan dan Perikanan, Menteri BUMN, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,
serta Menteri Kesehatan, 34 Gubernur, dan Kepala Badan Nasional Sertifikasi
Profesi (BNSP), tujuannya untuk menguatkan sinergi antarpemangku kepentingan dalam
merevitalisasi SMK guna meningkatkan kualitas dan daya saing SDM Indonesia [4].
Pembelajaran Berbasis Industri di SMK diselenggarakan sejak tahun 1990 dalam bentuk
pengembangan unit produksi menurut Direktorat Pendidikan Sekolah Menengah
Kejuruan [5]. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang
pelaksanaan unit produksi di SMK, pada pasal 29 ayat 2, yang menyatakan bahwa;
“untuk mempersiapkan siswa SMK menjadi tenaga kerja, pada SMK dapat didirikan unit
produksi yang beroperasi secara profesional”. Tujuan pelaksanaan unit produksi pada
SMK menurut Dikmenjur (2007) [6] adalah: (1) wahana pelatihan berbasis produksi/jasa
bagi siswa; (2) wahana menumbuhkan dan mengembangkan jiwa wirausaha guru dan
siswa pada SMK/MAK; (3) sarana praktik produktif secara langsung bagi siswa; (4)
membantu pendanaan untuk pemeliharaan, penambahan fasilitas dan biaya-biaya
operasional pendidikan lainnya; (5) menambah semangat kebersamaan karena dapat
menjadi wahana peningkatan aktivitas produktif guru dan siswa serta memberikan
‘income‟ serta peningkatan kesejahteraan warga sekolah; (6) mengembangkan sikap
mandiri dan percaya diri dalam pelaksanaan kegiatan praktik siswa.

B. LANDASAN FILOSOFIS PEMBELAJARAN BERBASIS INDUSTRI DI


SMK
Konsep Pembelajaran Berbasis Industri sebagai tempat belajar akademik dan tempat
belajar keterampilan menghasilkan barang atau jasa pada dasarnya mengacu pada aliran
filsafat Pragmatisme yang banyak mempengaruhi pendidikan kejuruan di dunia. Miller
(1986) menganjur-kan bahwa filosofi pragmatism adalah filosofi terefektif untuk
pendidikan dunia kerja (education- forwork). Pragmatisme mencari tindakan yang tepat
untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula [7]. Miller menyatakan pendidik
pendidik-an kejuruan akan berhasil jika mampu mempraktekkan dan mempertahankan
prinsip pragmatisme sebagai referensi dan dasar pendidikan di tempat kerja
(workplace education). Pragmatisme menyatakan bahwa diantara pendidik dan peserta
didik bersama- sama melakukan learning process, menekankan kepada kenyataan atau
situasi dunia nyata, konteks dan pengalaman menjadi bagian sangat penting, pendidiknya
progresif kaya akan ide-ide baru.
Menurut Tilaar (2002:184) [8] pragmatisme melihat nilai pengetahuan ditentukan oleh
kegunaannya di dalam praktik. Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan
alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam
teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, siap pakai, dan dalam
kenyataan-nya berlaku serta memungkinkan manusia bertindak secara praktis.
Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak,
melainkan dida-sarkan pada pengalaman, pada konse-kuensi praktisnya, dan pada
kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia
kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme tanggap terhadap perkembangan inovasi-inovasi program seperti tech-
preparation yang menyediakan pendidikan kejuruan/vokasi bertemu dengan kebutuhan
tuntutan tempat kerja. Praktisi pendidikan untuk dunia kerja (education- forwork) dapat
menerapkan filosofi pragma- tisme atau dipadukan dengan filosofi esensialisme dan
eksistensialisme untuk merefleksikan kegiatan dan membentuk atau mengadopsi visi
lembaganya (Strom, 2006).
Pemikiran filsafat pendidikan yang lain yang dapat dijadikan dasar dari Pembelajaran
Berbasis Industri adalah Progresivisme sebagai sebuah teori pendidikan muncul sebagai
bentuk reaksi terbatas terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode-metode
formal pengajar-an, belajar mental (kejiwaan), dan kesusastraan klasik peradaban Barat.
Menurut progresivisme proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan
sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau
daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologisnya seperti
yang ada di Amerika, yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan Pragmatisme. Dari
segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbing.
Metode saintifik lebih dipentingkan daripada memorisasi. Praktek kerja di laboratorium,
di bengkel, di kebun/lapangan, merupakan kegiatan yang dianjurkan dalam rangka
terlaksananya “learning by doing” (belajar sambil bekerja, terintegrasi dalam satu unit).
Sikap progresivisme yang memandang segala sesuatu berdasarkan fleksibilitas, dinamika
dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum
sebagai pengalaman yang edukatif, bersikap eksperimental dan adanya rencana dan
susunan yang teratur.
Prosser (1925) [9] telah menetapkan Prinsip pendidikan kejuruan yang dikenal dengan
16 dalil prosser, dan beberapa butir yang relevan dengan konsep Pembelajaran Berbasis
Industri di SMK antara lain: (1) Pendidikan kejuruan akan efektif jika melatih seseorang
dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu
sendiri, (2) Pendidikan kejuruan akan efektif jika dapat memampukan setiap individu
memodali minatnya, pengetahuannya, dan keterampilannya pada tingkat yang paling
tinggi, (3) melatih seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang
diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri, (4) Proses pembinaan kebiasaan yang efektif
pada siswa akan tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan yang nyata
(pengalaman sarat nilai), (5) Pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah
mempunyai pengalaman yang sukses dalam penerapan keterampilan dan pengetahuan
pada operasi dan proses kerja yang akan dilakukan.

C. COMPETENCE BASED TRAINING (CBT) DAN PRODUCTION BASED


TRAINING (PBT)
Competence Based Training (CBT) sudah diprogramkan oleh pemerintah di Indonesia
melalui Kementerian Pendidikan Nasional dengan meluncurkan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK), sebagai salah satu unsur kebijakan yang perlu diwujudkan dalam
pembaharuan pendidikan di Indonesia. Ide KBK telah diperkenalkan sejak tahun 2000
kepada masyarakat Indonesia, terutama para pemangku kepentingan pendidikan
(Somantrie,
2010) [10]. Amanat yang terdapat dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa strategi
pembangunan pendidikan nasional dilaksa- nakan antara lain melalui “pengembangan
dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi”. Kompetensi hanya bisa diperoleh
seseorang melalui pembelajaran baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang.
Menurut McClelland (1973) [11], competency can be learned and developed over time.
Pada dasarnya, kompetensi yang dimiliki seseorang bukan pembawaan atau tidak
melekat dan/atau tidak dibawa sejak ia dilahirkan. Oleh karena itu, kompetensi harus
dipelajari terlebih dahulu pada kurun waktu tertentu di dalam masa kehidupannya
(lifespan) yang berlangsung secara terus menerus sepanjang hayat seseorang.
Definition and Selection of Competencies (Deseco, 2005) [12] mendefiniskan
kompetensi sebagai “A competency is more than just knowledge and skills. It involves
the ability to meet complex demands, by drawing on and mobilising psychosocial
resources (including skills and attitudes) in a particular context”.
The Northern Territory Public Sector Australia (2003) [13] mendefiniskan “Competency
as: the necessary knowledge and skills to perform a particular work role to the standard
required within industry (http://www.ncver.edu.au). Kom-petensi adalah pengetahuan
yang diperlukan dan keterampilan untuk melakukan peran peker- jaan tertentu sesuai
dengan standar yang dibu- tuhkan dalam industri. Competence is ability to meet
successfully complex demands in particular context (Rychen, D.S., 2009). Kompetensi
merupakan gabungan kecakapan atau kemampuan yang terdiri dari pengetahuan,
keterampilan, dan sikap. McClelland (1973) mempertegas bahwa “competency
comprises of knowledge, skill, and attitude” [11]. Konsep pembelajaran CBT
berfokus pada apa yang dapat dilakukan siswa (kompetensi) sebagai kemampuan
bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki oleh siswa. CBT menempatkan
siswa atau peserta didik sebagai subyek belajar yang aktif merencanakan
pembelajarannya, mengga-li dan mengintepretasikan materi pembelajaran yang
diperlukan. Pembelajaran berbasis kompetensi mencakup prinsip-prinsip: (1) terpusat
pada siswa; (2) berfokus pada pengua- saan kompetensi; (3) tujuan pembelajaran
spesifik; (4) penekanan pembelajaran pada unjuk kerja/kinerja; (5) pembelajaran lebih
bersifat individual; (6) interaksi menggunakan multi metoda, aktif, pemecahan masalah
dan kontekstual; (7) pengajar lebih berfungsi sebagai fasilitator; (8) berorientasi pada
kebutuhan individu, (9) umpan balik langsung; (10) menggunakan panduan; (11) belajar
di lapangan (praktek); (12) kriteria penilaian menggunakan acuan patokan (PAP).
(Sudira dkk., 2009) [14].
Production Based Training (PBT) merupakan salah satu strategi pembelajaran dengan
prinsip strategi dan pendekatan serta metode berupa sinkronisasi/paduan antara
penguasaan konsep dan prinsip terhadap suatu obyek serta penerapannya dalam kegiatan
produksi, dengan memperhatikan fakta dan menggunakan prosedur tetap untuk
menghasilkan suatu produk barang atau jasa standar industri (Sudira, dkk.2009)[14].
Ketentuan ini diacu dalam rangka pembelajaran untuk membentuk kompetensi dan sikap
profesionalisme siswa, sehingga pembelajaran berbasis produksi akan menghasilkan
luaran peserta didik yang profesional di bidangnya.
Menurut Medhat dalam Pardjono (2011) [15] bahwa PBT adalah "a process for
recognizing, creating, and applying knowledge through, for, and at work which forms
part (credits) or all of a higher education qualification". PBT merupakan proses
pengakuan, penciptaan, dan penerapan pengetahuan melalui, untuk dan pada dunia kerja.
Jadi siswa mempraktikkan pengetahuan kejuruan untuk pekerjaan riil yang memiliki
standar mutu pasaran sehingga produk praktiknya laku dijual. PBT di sekolah kejuruan
juga didasari oleh prinsip pendidikan kejuruan sebagai tempat melatih peserta didik
untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan berdasarkan kebutuhan dunia kerja.
Menurut Thompson (1973) [16] ”Vocational education as education designed to
develop skills, abilities, understandings, attitudes, work habits, and appreciations
needed by workers to enter and make progress in employment on useful and productive
basis”. Pendidikan vokasi adalah pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan
keterampilan, kemampuan/kecakapan, pemahaman, sikap, kebiasaan-kebiasaan kerja,
dan apresiasi yang diperlukan oleh pekerja dalam mamasuki pekerjaan dan
membuat kemajuan-kemajuan dalam peker-jaan penuh makna dan produktif.
Pembelajaran PBT merupakan proses pendidikan dan pelatihan yang menyatu pada
proses produksi, secara kontekstual peserta didik diberikan pengalaman belajar pada
situasi yang nyata dengan suasana industri mulai dari perencanaan, proses, dan produksi
berdasarkan pesanan, pelaksanaan, dan evaluasi produk/kendali mutu produk,
pemasaran hingga pelayanan pengguna. Konsep pembelajaran PBT difokuskan pada
potensi sekolah, peserta didik, dan kerja sama industri untuk menghasilkan produk yang
berkualitas standar industri, luaran yang profesional, dan mempunyai relevansi yang
tinggi, dengan memperhatikan prinsipprinsip efektifitas dan efisiensi.
Penelitian yang dilaksanakan oleh Widodo (2017) menyatakan “Needs to think about
how to design an Industrial Work Practice model more oriented toward preparing
graduates to become entrepreneurs or business people”. Kompetensi yang telah
dimiliki oleh peserta didik perlu diperkuat dan dipastikan keterampilannya dengan
memberikan pengalaman pembuatan produk nyata yang dibutuhkan dunia kerja (industri
dan masyarakat). Pembelajaran PBT membutuhkan sarana dan prasarana yang standar
industri, jika sekolah tidak memiliki peralatan yang sesuai, maka dapat menjalin
kerja sama deng industri.
Agar pembelajaran berbasis produksi dapat efektif, maka beberapa sintaks atau tahapan
yang perlu diperhatikan meliputi: (1) Merencanakan produk yaitu dapat berupa
benda hasil produksi atau jasa berbasis kebutuhan, (2) Melaksanakan proses produksi
dalam konteks dan proses standar industri, (3) Mengevaluasi produk (melakukan kendali
mutu), yaitu peserta didik diarahkan untuk memeriksa hasil produk sesuai standar mutu.
(4) Membuat konsep pemasaran, peserta didik diajak mempersiapkan konsep pemasaran
misalnya media yang dikgunakan, dan bentuk promosi yang dilakukan.
Secara garis besar menurut Pardjono (2011) [15] tujuan dari PBT adalah: (l) membekali
siswa dengan kompetensi yang sesuai dengan tuntutan dunia kerja, sekaligus
menghasilkan produk/jasa yang laku dijual; (2) menanamkan pengalaman produktif dan
mengembangkan sikap wirausaha, melalui pengalaman langsung memproduksi barang
atau jasa yang berorientasi pasar.

C. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS INDUSTRI DI SMK


Pembelajaran Berbasis Industri di SMK selama ini terdiri atas beberapa model menurut
Dit.PSMK (2015) [17] sebagai berikut :
1. Model Pembelajaran 1: Dual System atau Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
Prinsip model pembelajaran Dual System adalah sebagai berikut: (1) SMK
menerapkan kurikulum sinkronisasi dengan industri; (2) mengirimkan siswa untuk
prakerinkurang lebih 6 bulan pada industri, subdivisi industri dan posisi yang
relevan dengan paket keahlian pilihan siswa, (5) uji kompetensi oleh industri dan
atau Lembaga Sertifikasi Keahlian/Profesi. Pengelolaan dilakukan oleh sekolah dan
industri berdasarkan regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Berdasarkan data hasil
survei, model ini yang paling banyak digunakan oleh SMK.
Kelebihan model ini adalah lebih mudah implementasinya karena biaya yang lebih
murah, dan akses lebih cepat dengan dukungan industri. Perencanaan, pengorga-
nisasian, pelaksanaan, pengontrolan, pela-poran, dan evaluasi kegiatan PSG
dilakukan oleh sekolah dan berkoordinasi dengan pihak DUDIKA Dengan
model ini, beberapa sekolah mendapatkan kepercayaan dari DUDI untuk terus
menjadi mitra dalam implementasi PSG bahkan bersedia merekrut siswa untuk
bekerja di instansinya kelak setelah menamatkan pendidikan di SMK.
Kekurangan dari model ini adalah: (1) kadang sekolah mengalami kesulitan mencari
perusahaan mitra yang sesuai dengan kompetensi keahlian siswa di sekolah; (2)
masih ada perusahaan yang enggan menerima siswa pendidikan PSG dengan dalih
kurangnya kepercayaan akan kompetensi yang dimilki oleh siswa SMK; (3)
kadang siswa ditempatkan pada bidang yang tidak relevan dengan kompetensinya;
(4) keterbatasan waktu praktek siswa di industri; (5) kadang siswa mengalami
kebingungan karena menemukan situasi kerja yang tidak pernah didapatkan
sebelumnya.
2. Model Pembelajaran 2: SMK mendirikan unit usaha di dalam sekolah di mana
unit usaha dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)/industri untuk
mendukung proses pembelajaran. Produk yang dihasilkan bisa berupa barang
maupun jasa. Dalam model ini Siswa sebagai employee melakukan praktik kerja
sesuai paket keahliannya yang dibimbing oleh guru, maupun perusahaan mitra.
Pengelolaan dilakukan oleh sekolah secara mandiri. Perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengontrolan, pelaporan, dan evaluasi dilakukan oleh sekolah atau
program keahlian penyelenggara, SDM dari guru sebagai instriktur/pengajar
dan siswa sebagai tenaga kerja sekaligus pembelajar, menggunakan sarpras yang ada
di sekolah dan pembiayaan diadakan oleh sekolah, sponsor, atau bantuan komite
sekolah. Kelebihan model ini lebih mudah diselenggara-kan dengan memanfaatkan
sarana dan prasara-na yang ada di laboratorium. Namun yang menjadi
kekurangannya adalah mekanisme kerja, proses, SDM, manajemen, produk yang
dihasilkan, dan pemasaran dilakukan belum terstandar industri. Kadang kegiatan
tidak berkesinambungan karena sangat tergantung pada orderan pengguna.
3. Model Pembelajaran 3: teaching industry yaitu SMK bekerjasama dengan Industri
dalam penyediaan tempat produksi industri melakukan transfer knowledge dan
teknologi kepada SMK, SMK memiliki lisensi terbatas untuk memasarkan dan
produk hasil kerjasama, Contoh: Kanzen-SMK, Zyrex- SMK, dvanSMK, Focus-
Esemka. Pihak sekolah menjalin kerja sama dengan industri dalam bentuk membuka
kelas khusus di sekolah, industri memberikan pelatihan/ magang kepada guruguru di
industrinya, menyediakan peralatan/prasarana standar industri yang ditempatkan di
sekolah, melaksanakan proses pembelajaran dan produksi di SMK seperti layaknya
di industri. Semua kegiatan dalam pengawasan industri mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengontrolan, dan evaluasi dilakukan bersama
industri.
4. Model pembelajaran 4: teaching factory (TEFA) disebut dalam Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 2015 menyatakan ”pabrik dalam sekolah (teaching
factory) adalah sarana produksi yang dioperasikan berdasarkan prosedur dan standar
bekerja yang sesungguhnya untuk menghasilkan produk sesuai dengan kondisi nyata
Industri dan tidak berorientasi mencari keuntungan”[18]. Dit.PSMK (2015)
menyebutkan TEFA SMK adalah suatu konsep pembelajaran di SMK berbasis
produksi/jasa yang mengacu kepada standar dan prosedur yang berlaku di industri
dan dilaksanakan dalam suasana seperti yang terjadi di industri. TEFA juga harus
melibatkan Pemda/Pemkot/provinsi maupun orang tua dan masyarakat dalam
perencanaan, regulasi maupun implementasinya.

D. FUNGSI PEMBELAJARAN BERBASIS INDUSTRI DI SMK


Pembelajaran Berbasis Industri harus mampu memenuhi tiga fungsi utama menurut Singh
(1998) [19] antara lain:
1. Fungsi akademik: Tempat siswa belajar langsung seperti halnya di industri dan
pengembangan dirinya, misalanya: kemampuan manajerial, akuntansi,
kepemimpinan, kreatifitas, pembentukan karakter, budaya kerja, motivasi, dan etos
kerja.
2. Fungsi Ekonomi: (1) menjadi unit usaha yang menjadi sumber dana bagi sekolah,
menjadi unit bisnis, untuk meningkatkan kesejahteraan warga sekolah, dan (2)
Penyedia lapangan kerja bagi warga sekolah maupun masyarakat sekitar.
3. Fungsi Sosial: (1) Meningkatkan performansi sekolah di mata masyarakat
sehingga akan menjadi kebanggan warga sekolah, dan (2) Meningkatkan keperca-
yaan masyarakat dan DUDI terhadap kualitas lulusan SMK
Berdasarkan hasil kajian teori yang telah dipaparkan bahwa Pembelajaran Berbasis
Industri di SMK merupakan sebuah kebutuhan utama untuk meningkatkan kualitas
lulusan SMK. Pembelajaran Berbasis Industri merupakan program pembajaran yang
dilaksanakan dalam konsep CBT dan PBT agar kualitas lulusan SMK memiliki kualitas
lulusan sesuai kebutuhan dunia kerja dan daya saing golobal. Apabila pendidikan
kejuruan mampu menerapkan CBT dengan serius, maka penguasaan kompetensi yang
mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara seimbang akan memungkinkan
seseorang menjadi kompe-ten dan menunjukkan aksi yang optimal sebagai puncak
pencapaian (millestone) dari kompetensi.
Kompetensi pembelajaran barbasis industri dapat terbangun atau tercipta dengan adanya
3 unsur yaitu sikap (attitude), pengetahuan (knowledge) untuk berpikir, dan keterampilan
(skill) dalam melakukan sesuatu. Model-model Pembelajaran Berbasis Industri yang telah
diuraikan merupakan program pemerintah untuk untuk meningkatkan kompetensi lulusan
SMK yang relevan dengan kebutuhan industri, sehingga berdampak kepada penguatan
daya saing industri di Indonesia dalam menghadapi era industri 4.0 dan masyarakat 5.0
baik nasional maupun global. Kompetensi yang dihantarkan secara integratif melalui
penerapan Pembelajaran Berbasis Industri adalah kompetensi yang “comphrehensive”
skills/psikomotoric, affective/attitude dan cognitive dalam konteks Higher-Order
Thinking Skills (HOTS) yang mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah (“critical
thinking/evaluation” dan “problem solving”). Sehingga pendidikan di SMK akan
menghasilkan lulusan yang tidak hanya kompeten dari sisi keterampilan (hard skill),
namun sikap, mental, dan motivasi yang kuat.
Dari keempat model yang ada, TEFA merupakan program yang paling intens
dikembangkan saaat ini, karena TEFA dianggap lebih efektif, efisien, dan praktis
diterapkan dan diharapkan mampu mewakili tiga program yang lainnya. Dengan
implementasi TEFA di SMK diharapkan menjadi tempat penerapan prinsip dual system,
unit produksi, dan kelas industri. Prinsip ketiga model dapat teratasi melalui program
TEFA. Proses pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur,
standar dan urutan kerja seperti yang diterapkan di industri dalam menghasilkan suatu
produk (barang/jasa), sehingga diharapkan peserta didik dapat menguasai suatu
kompetensi tertentu sekaligus memiliki standar perilaku yang dibutuhkan dalam suatu
sistem dan proses kerja industri. Sebagai contoh dinegara tetangga di Singapura dikenal
“factory school” yaitu model sekolah industri yang dirancang khusus dalam kerja sama
vocational education and training (VET) dengan perusahaan

DAFTAR PUSTAKA
[1] C. A. Prosser, Vocational education.Chicago, U.S.A: American Technical
Society. 1950.

[2] D. C. McClelland, Testing for competence rather than for intelligence. American
Psychologist. 1973.

[3] Deseco. Defining and selecting key competencies. Diambil pada tanggal 25 Mei
2020 dari https://www.oecd.org/pisa/35070367.pdf , 2005.

[4] Dit.PSMK, Konsep teaching factory Jakarta: Kementerian Pendidikan dan


Kebudayaan. 2015.

[5] H. A. R.Tilaar, Perubahan sosial dan pendidikan, pengantar pedagogik


transformatif untuk Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. 2002.
[6] H. Somantrie, “Kompetensi” sebagai landasan konseptual kebijakan kurikulum
sekolah di Indonesia, Pusat Kurikulum Balitbang, Depdiknas, 2010.

[7] J.F. Thompson, Foundations of vocational education, Englewood Cliffs, New


Jersey: Prentice-Hall Inc. 1973.
[8] M. D. Miller, Principles and a philosophy for vocational education. Colombus-Ohio:
NCRVE. 1986.
[9] M. Singh, School enterprises; Combining vocational learning with
production, Germany: The International Project on Technical and Vocational
Education (UNEVOC) - UNESCO. 1998.

[10] P. Sudira, TVET abad XXI. Yogyakarta: UNY Press, (2017).

[11] Pardjono dan A. Murdianto, Pembelajaran berbasis produksi untuk


peningkatan kompetensi membuat gambar kerja teknik mesin siswa SMK [Versi
elektronik]. Jurnal Pendidikan Vokasi, Vol. 1 No. 1, edisi Februari 2011.

[12] Presiden, Peraturan Pemerintah RI Nomor 13, Tahun 2015, tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan. 2015

[13] Presiden, Instruksi Presiden Nomor 9, Tahun 2016, tentang Revitalisasi


SMK dalam Rangka Peningkatan Kualitas SDM Indonesia. 2016

[14] Presiden, Peraturan Pemerintah RI Nomor 29, Tahun 1990, tentang


Pendidikan Menengah. 1990.

[15] Presiden, Peraturan Pemerintah RI Nomor 41, Tahun 2015, tentang


Pembangunan Sumber Daya Industri. 2015.

[16] PMTK Depdiknas. Pedoman Manajemen teaching factory/jasa sebagai sumber


belajar siswa dan penggalian dana pendidikan persekolahan. Jakarta: Depdiknas.
2007

[17] Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem


Pendidikan Nasional, 2003.

[18] S. M. Tucker, The Phoenix; Vocational education and training in Singapore.


International comparative study of leading vocational education systems. Center On
International Education Banchmarking. www.ncee.org/cieb. 2012.

[19] UNESCO, Learning; the treasure within, 1996. Report to UNESCO of the
international comission on education for the twenty-first century. The Australian
National Commission for UNESCO: UNESCO. 1996

Anda mungkin juga menyukai

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy