Implementasi Kebijakan Pengembangan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 13

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) PUBLIK


DI KOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Muhammad Daffa Ryandana


NPP. 29.1134
Asdaf Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur
Program Studi Studi Kebijakan Publik

Email: 29.1134@praja.ipdn.ac.id

ABSTRACT

Problem Statement/Background (GAP): Policy Regarding the Public Green


Open Space, the proportion has been regulated in the Law of the Republic of
Indonesia Number 26 of 2007 concerning Spatial Planning at a minimum of 20%
of the city area, but the City of Samarinda has not been able to fulfill this
proportion. Purpose: This study was to determine the implementation of public
green open space (RTH) development policies in the city of Samarinda, as well as
to find out the obstacles in implementing policies in the development of public
green open spaces (RTH) in the city of Samarinda. Method: This study uses a
descriptive qualitative method on policy implementation according to the theory
of Van Meter and Carl E. Van Horn. Data collection techniques were carried out
by interview (20 informants), observation, and documentation.. Result: The
findings obtained by the authors in this study are that the implementation of
public green open space development policies is adequate, in economic, social,
and political conditions, and the attitude of implementing agents is quite good,
although in terms of standards and policy objectives, communication between
organizations and enforcement activities , and the characteristics of implementing
agents are quite adequate, while the resources are classified as lacking. There are
constrains that stand out especially on the availability of land and human
resources. Conclusion: The implementation of public green open space
development policies is known to be in sufficient condition. This can be proven by
the existence of unmet factors that have an influence on determining the success of
policy programs. The obstacles found from research often arise in the quality and
quantity of human resources as well as constraints on land availability.

Keywords: Participation; Policy Implementation ; Spatial planning ; Green open


space.

1
2

ABSTRAK

Permasalahan/Latar Belakang (GAP): Kebijakan mengenai Ruang Terbuka


Hijau Publik telah diatur proporsinya dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang minimal sebesar 20% dari luas
wilayah kota, namun Kota Samarinda belum dapat memenuhi proporsi tersebut.
Tujuan: Penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi kebijakan
pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik di Kota Samarinda, serta
untuk mengetahui hal-hal yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan
dalam pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik di Kota Samarinda.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskrptif terhadap
implementasi kebijakan menurut Teori Van Meter dan Carl E. Van Horn. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan wawancara (20 informan), observasi, dan
dokumentasi. Hasil/Temuan: Temuan yang diperoleh penulis dalam penelitian
ini yaitu implementasi kebijakan pengembangan RTH publik tergolong cukup,
pada kondisi ekonomi, sosial, dan politik, serta sikap agen pelaksana tergolong
baik, meskipun pada sisi standar dan tujuan kebijakan, komunikasi antar
organisasi dan penegakan kegiatan, serta karakteristik agen pelaksana tergolong
cukup, sedangkan pada sumber daya tergolong kurang. Ada kendala yang
menonjol terutama pada ketersediaan lahan serta sumber daya manusia.
Kesimpulan: Implementasi kebijakan pengembangan ruang terbuka hijau publik
diketahui berada pada kondisi cukup. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
faktor-faktor yang belum terpenuhi yang memiliki pengaruh terhadap penentuan
keberhasilan program kebijakan. Adapun kendala yang ditemukan dari penelitian
kerap kali timbul pada kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta kendala
ketersediaan lahan.

Kata kunci: Implementasi Kebijakan ; Penataan Ruang ; Ruang Terbuka Hijau.

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otonomi daerah tidak terlepas dari berlakunya Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjelaskan bahwa pemerintahan daerah
berperan penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjawab
permasalahan yang terjadi, sehingga peran pemerintah harus mampu membuat
kebijakan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat, mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat, serta memberikan respon terhadap aspirasi
masyarakat demi terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Salah satu upaya pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat
diwujudkan dalam pembangunan. Nilai-nilai kebangsaan, otonomi, dan demokrasi
harus ada dalam prinsip penyusunan pembangunan. Nilai otonomi menjelaskan
bahwa pembangunan dilaksanakan dengan berorientasi kepada rakyat, karena
sesungguhnya pembangunan itu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal ini
dimaksudkan supaya pembangunan dapat menyejahterakan rakyatnya.
Pelaksanaan pembangunan perlu memiliki perencanaan yang benar-benar matang,
untuk itu perlu dibuat suatu rencana tata ruang wilayah dengan memperhatikan
3

aspek sumber daya alam, sumber daya manusia, ekonomi, serta kearifan lokal
daerah dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Walikota Samarinda telah membuat serangkaian kebijakan dalam upaya
mengarahkan pembangunan di Kota Samarinda yang dituangkan dalam Peraturan
Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Samarinda Tahun 2014-2034 yang beracuan pada Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Salah satu arahan dalam
peraturan tersebut adalah dibuatnya program pembangunan Ruang Terbuka Hijau
(RTH).
Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 29 Ayat (1) yang menjelaskan
pemberian proporsi minimal RTH sebesar 30 % dari luas wilayah kota, dimana
20% merupakan RTH publik dan 10% merupakan RTH privat. Diketahui Kota
Samarinda merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki luas
wilayah sebesar 71.800 Ha. Dari seluruh luas wilayah kota, sebesar 50.260 Ha
(70% dari luas wilayah kota) akan digunakan untuk bangunan, lalu 14.360 Ha
(20% dari luas wilayah kota) akan menjadi RTH publik, dan 7.180 Ha (10% dari
luas wilayah kota) akan menjadi RTH privat.

1.2. Kesenjangan Masalah yang Diambil (GAP Penelitian)


Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Samarinda berbeda dengan yang
diharapkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Effendi (2020) bahwa
RTH publik yang terlaksana adalah 4.308 Ha dari 71.800 Ha (sekitar 7%).
Penelitian tersebut diperkuat dengan pernyataan dari media massa Kaltim Today
menyatakan bahwa RTH publik Kota Samarinda baru mencapai 9,5%. Berbeda
dengan RTH Privat, pada penelitian yang dilakukan oleh Nuraini (2020) RTH
privat yang telah ada sebesar 31.096,44 Ha (43,31% dari luas wilayah kota) yang
mana telah melebihi proporsi minimal 10% dari luas wilayah kota.
Penentuan lokasi RTH publik mengalami kendala dikarenakan pembangunan di
Kota Samarinda lebih banyak yang bersifat individu, bukan tanah milik Negara.
Selain itu, ada juga RTH yang mengalami konversi guna lahan untuk kebutuhan
ruang menampung penduduk tanpa memperhatikan lingkungan sekitar sehingga
daerah sekitar mengalami masalah, seperti banjir karena kurangnya daerah
resapan air dan polusi udara meningkat.
Pemerintah Kota Samarinda melaksanakan beberapa upaya dalam mengatasi
permasalahan yang terjadi, khususnya dalam upaya pemenuhan proporsi minimal
RTH publik. Hal ini direalisasikan dengan pembangunan RTH Publik berupa
taman kota yang berlokasi di sepanjang jalan tepian Sungai Mahakam yang telah
dibuka pada November 2021, dengan luas area kurang lebih 4,00 Ha (0,006% dari
luas wilayah Kota Samarinda) (Sumber: https://youtu.be/fxyF_A7uEH8).
Diharapkan kedepannya Pemerintah Kota Samarinda dapat memenuhi proporsi
minimal RTH publik sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
4

1.3. Penelitian Terdahulu


Penelitian ini terinspirasi oleh beberapa penelitian terdahulu, baik dalam konteks
regulasi terkait maupun konteks pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Penelitian
Jaka Effendi berjudul Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Terkait Penataan Ruang Terbuka Hijau Di
Kota Samarinda (Effendi 2020), menemukan bahwa implementasi Peraturan
Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Terkait Penataan Ruang Terbuka HIjau, menurut data yang diambil dari
Dinas PUPR Kota Samarinda hanya tercapai kurang kebih 10% dari target sebesar
30%. Penelitian Nuraini menemukan bahwa kegiatan pengawasan oleh Dinas
Perumahan dan Pemukiman sudah berjalan dengan baik, evaluasi dilakukan setiap
tahunnya (Nuraini 2020). Penelitian Effendi menemukan bahwa yang menjadi
kendala dalam implementasinya antara lain: keterbatasan lahan, sumber daya
anggaran, lemahnya pengawasan, agen pelaksana, serta tingkat kepatuhan dan
daya tanggap masyarakat dan pelaksana terhadap terhadap Perda Rencana Tata
Ruang Wilayah (Effendi 2020). Penelitian Nuraini selanjutnya menemukan
kendala dalam pengelolaan berupa penentuan lokasi RTH yang tepat, kurangnya
koordinasi OPD terkait dan pihak pengelola, ketidakselarasan RTH yang
menyulitkan ekspansi pelakiu usaha, kebutuhan ruang mengatasi kepadatan
penduduk, tidak sinkronnya tata ruang dengan aturan sebelumnya, kurangnya
dukungan masyarakat, kurangnya ketegasan pihak pengelola dalam menegur
masyarakat yang menyalahgunakan taman kota (Nuraini 2020).

1.4. Pernyataan Kebaruan Ilmiah


Penulis melakukan penelitian yang berbeda dan belum dilakukan oleh penelitian
terdahulu, dimana konteks penelitian yang dilakukan yakni berfokus pada
implementasi kebijakan pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) khususnya
RTH publik. Selain itu pengukuran/indikator yang digunakan juga berbeda dari
penelitian sebelumnya yakni menggunakan pendapat dari Van Meter dan Carl E.
Van Horn (1975) yang menyatakan keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh
enam dimensi, yaitu standar dan tujuan kebijakan, sumber daya, komunikasi antar
organisasi dan penegakan kegiatan, karakteristik agen pelaksana, kondisi
ekonomi, sosial, dan politik, disposisi pelaksana.

1.5. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan memperoleh gambaran yang jelas
mengenai implementasi kebijakan pengembangan Ruang Terbuka Hijau Publik di
Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur.

II. METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif serta pendekatan induktif
dalam melaksanakan penelitian. Metode penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang tebaik untuk mendalami pengalaman subjektif seseorang yang
dapat dilakukan melalui wawancara terhadap seseorang yang berkegiatan atau
memiliki pengalaman terhadap fenomena yang terjadi (Auerbach, C. F., &
Silverstein 2003). Metode desktiptif dirancang guna memudahkan pengumpulan
5

informasi tentang keadaan yang sebenarnya atau sedang berlangsung di lapangan.


Pendekatan induktif berupaya menarik kesimpulan dengan mengumpulkan
pernyataan-pernyataan sebagai ruang lingkup dalam menyusun argumentasi untuk
kemudian berguna dalam membuat pernyataan akhir yang bersifat umum.
(Nursapiah 2020).
Penulis mengumpulkan data melaui wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Dalam melakukan pengumpulan data kualitatif, penulis melakukan wawancara
secara mendalam terhadap 20 orang informan yang terdiri dari pihak Dinas
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Samarinda (Kepala Seksi Pengaturan
dan Pembinaan, Kepala Seksi Pelaksanaan Penataan Ruang, serta Kepala Seksi
Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang), Developer Ruang Terbuka
Hijau Publik sebanyak 2 pihak, dan masyarakat yang sedang melaksanakan
aktivitas di Ruang Terbuka Hijau Publik Kota Samarinda sebanyak 15 orang.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN (60-70%)

Penulis menganalisis implementasi kebijakan pengembangan ruang terbuka hijau


publik di Kota Samarinda menggunakan pendapat dari Van Meter dan Carl E. Van
Horn yang menyatakan bahwa keberhasilan implementasi suatu kebijakan dapat
diukur pada standar dan tujuan kebijakan, sumber daya, komunikasi antar
organisasi dan penegakan kegiatan, karakteristik agen pelaksana, kondisi
ekonomi, sosial, dan politik, serta sikap agen pelaksana. Adapun pembahasan
dapat dilihat pada subbab berikut.

3.1. Implementasi Kebijakan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik Di


Kota Samarinda
Penulis mengukur implementasi kebijakan pengembangan ruang terbuka hijau
publik di Kota Samarinda menggunakan pendapat dari Van Meter dan Carl E. Van
Horn, sebagai berikut.

A. Standar dan Tujuan Kebijakan


Penulis melakukan analisis terhadap standar kebijakan dan ketercapaian dalam
tujuan pada implementasi kebijakan pengembangan RTH publik di Kota
Samarinda. RTH publik di Kota Samarinda beracuan pada Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, selain itu terdapat peraturan
turunan yakni Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 11 Tahun
2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penertiban
Persetujuan Substansi Rancana Tata Ruang Wiayah Provinsi, Kabupaten, Kota,
dan Rencana Detail Tata Ruang yang mengatur proporsi RTH publik minimal
sebesar 20% dari luas wilayah kota.
Kota Samarinda merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki
luas wilayah administratif sebesar 71.696,65 Ha. Adapun Kawasan Non-
Terbangun sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor
11 Tahun 2021 adalah kawasan hutan, kawasan pertanian (LP2B, holtikultura,
perkebunan), badan air, dan kawasan lindung gambut tidak bisa untuk dijadikan
RTH publik. Diketahui Kawasan Non-Terbangun Kota Samarinda sebesar
6

16.473,09 Ha, sehingga RTH publik Kota Samarinda ditargetkan sebesar


11.044,71 Ha, yang formulasinya dijelaskan pada gambar berikut.

Gambar 1.
RTH PUBLIK = 20% (LUAS WILAYAH ADMINISTRATIF – KAWASAN NON TERBANGUN)
= 20% (71.696,65 Ha – 16.473,09 Ha)
= 20% (55.223,56 Ha)
= 11. 044, 71 Ha
Sumber : Draft Revisi RTRW Kota Samarinda Tahun 2021-2041
Berdasarkan data dokumentasi yang ditemukan oleh penulis saat ini RTH publik
Kota Samarinda sebesar baru tercapai sebesar 4.832,85 Ha atau sekitar 6,74%
terhadap luas total kota (71.696,65 Ha). Data dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.
Rencana Pola Ruang Kota Samarinda 2021
NO POLA RUANG LUAS (Ha) PERSENTASE
1 Badan Air 3.492,97 4,87
2 Badan Jalan 239,62 0,33
3 Kawasan Fasilitas Umum Dan Sosial 386,87 0,54
4 Kawasan Hortikultura 10.715,72 14,95
5 Kawasan Hutan Produksi Terbatas 547,81 0,76
6 Kawasan Infrastruktur Perkotaan 113,66 0,16
7 Kawasan Pariwisata 184,88 0,26
8 Kawasan Pembangkitan Tenaga Listrik 12,23 0,02
9 Kawasan Perdagangan Dan Jasa 7.348,24 10,25
10 Kawasan Perkantoran 84,55 0,12
11 Kawasan Perlindungan Setempat 398,17 0,56
12 Kawasan Pertahanan Dan Keamanan 136,87 0,19
13 Kawasan Perumahan 36.409,26 50,78
14 Kawasan Peruntukan Industri 3.772,41 5,26
15 Kawasan Peternakan 87,54 0,12
16 Kawasan Tanaman Pangan 1.230,88 1,72
17 Kawasan Transportasi 1.702,20 2,37
18 Ruang Terbuka Hijau 4.832,85 6,74
Grand Total 71.696,65 100,00
Sumber : Draft Revisi RTRW Kota Samarinda Tahun 2021-2041

Setelah dilakukan pengurangan terhadap kawasan non terbangun, maka luas total
kota dikurangi kawasan non terbangun (55.223,56 Ha) pencapaian RTH Publik
masih sebesar 8,75%. Sehingga RTH publik masih membutuhkan sekitar 6.211,86
Ha untuk mencapai proporsi minimal.
Penulis menyimpulkan bahwa standar kebijakan sudah jelas,namun ketercapaian
dalam tujuan pada implementasi kebijakan pengembangan RTH publik di Kota
Samarinda masihlah tergolong kurang karena belum mencapai target.

B. Sumber Daya
Penulis melakukan pengukuran sumber daya dengan melihat pada sarana
prasarana, ketersediaan dana, dan sumber daya manusia.
7

Penulis melakukan wawancara kepada pihak Dinas Pekerjaan Umum dan


Penataan Ruang Kota Samarinda dan pihak developer RTH publik dan
mendapatkan fakta mengenai sarana dan prasarana yang belum mendukung
implementasi kebijakan terutama pada kekurangan penunjang utama (prasarana)
dalam pelaksanaan kebijakan terutama ketersediaan lahan. Lahan di wilayah Kota
Samarinda kebanyakan telah ditempati warga untuk menjadi wilayah tempat
tinggal. Adapun dari pihak developer juga ikut membantu dari penyediaan lahan
berupa lahan tambang yang dapat dimanfaatkan kemudian menjadi RTH publik.
Wawancara juga dilakukan pada informan yang sama untuk mendapatkan data
terkait ketersediaan dana. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh pihak
developer, bahwasanya Kota Samarinda baru saja mendapatkan bantuan sebesar
Rp. 6 Milliar demi keberlanjutan pengembangan RTH publik namun
perencanaannya masih menunggu dari OPD terkait. Dapat disimpulkan bahwa
ketersediaan dana sudah terbantu namun harus dapat ditanggapi secara cepat oleh
OPD terkait.
Penulis melakukan studi dokumentasi untuk mendapatkan data berupa sumber
daya manusia, ditemukan informasi mengenai data kualifikasi pendidikan pegawai
dan jumlah pegawai teknis dan non-teknis yang disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2.
Data Kualifikasi Pendidikan Pegawai
NO TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH
1 Magister/Strata 2 20
2 Diploma IV/ Strata 1 45
3 Diploma III 6
4 Diploma II 0
5 Diploma I 0
6 SMA/SMK/Sederajat 54
7 SMP 0
8 SD 1
Jumlah 126
Sumber : Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Samarinda, 2021

Tabel 3.
Jumlah Pegawai Teknis Dan Non-Teknis
NO JENIS PEGAWAI JUMLAH
1 Teknis 36
2 Non Teknis 90
JUMLAH 126
Sumber : Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Samarinda, 2021

Diketahui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Samarinda


kebanyakan berpendidikan Sekolah Menengah Atas, perlu ada peningkatan
sumber daya manusia dengan merekrut pegawai dengan pendidikan minimal
Diploma III dengan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan pekerjaan yang
diberikan. Adapun latar belakang pendidikan pegawai non teknis terlalu banyak,
yakni sekitar 72 persen dari keseluruhan jumlah pegawai. Hal tersebut dapat
menghambat kiinerja Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota
8

Samarinda untuk melaksanakan pekerjaannya yang kebanyakan berkaitan dengan


bidang teknis.
Sehingga dapat disimpulkan dari ketiga indikator diatas bahwa sumber daya
terkait implementasi kebijakan pengembangan RTH publik Kota Samarinda
tergolong kurang.

C. Komunikasi Antar Organisasi Dan Penegakan Kegiatan


Implementasi kebijakan membutuhkan standar dan tujuan yang dimengerti oleh
pelaksana sehingga perlu adanya kejelasan dalam standar dan tujuan, akurasi
komunikasi oleh pelaksana, dan konsistensi dengan melakukan komunikasi dari
berbagai sumber informasi. Selain itu, perlu ada upaya penegakan kegiatan oleh
pelaksana, hal ini dilaksanakan dengan melakukan pemberian sanksi terhadap
para pelanggarnya.
Berdasarkan data wawancara yang dilakukan terhadap Kepala Seksi Pengaturan
Dan Pembinaan bahwa Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota
Samarinda bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perumahan
dan Pemukiman Kota Samarinda.
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Samarinda memiliki
komunikasi yang lancar dan cukup sering dengan OPD lainnya dan developer
dalam pengembangan RTH publik. Namun, komunikasi dengan pihak kecamatan
dan kelurahan mengalami masalah khususnya dalam pelaporan oleh pihak
kecamatan dan kelurahan. Untuk penegakan kegiatan oleh pelaksana sudah
terlaksana dengan baik, para pelaksana melakukan tindak lanjut terhadap
masyarakat yang diindikasikan melakukan pelanggaran terhadap RTH publik.

D. Karakteristik Agen Pelaksana


Karakteristik agen pelaksana, dapat dilihat melalui tindakan kontrol agen
pelaksana terhadap pelaksanaan kebijakan serta keterbukaan komunikasi
organisasi terkait pelaksanaan kebijakan.
Penulis melakukan wawancara terhadap pihak Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang Kota Samarinda (Kepala Seksi Pengaturan dan Pembinaan,
Kepala Seksi Pelaksanaan Penataan Ruang, serta Kepala Seksi Pengawasan dan
Pengendalian Pemanfaatan Ruang), Developer Ruang Terbuka Hijau Publik
sebanyak 2 pihak, dan masyarakat yang sedang melaksanakan aktivitas di Ruang
Terbuka Hijau Publik Kota Samarinda sebanyak 15 orang. Berdasarkan data
wawancara yang didapatkan kontrol agen pelaksana dalam pelaksanaan kebijakan
menanggapi RTH publik yang belum mencapai target dilakukan dengan
mendirikan komitmen bahwa pada 2034 RTH publik sudah mencapai target, yang
direalisasikan melalui penetapan target pertahun. Adapun mengenai tingkat
keterbukaan komunikasi organisasi berada pada kondisi cukup, hal ini dibuktikan
dengan adanya usaha untuk bersifat terbuka kepada masyarakat dengan
melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat terkait pentingnya RTH publik,
namun tidak setiap masyarakat mengetahui adanya sosialisasi tersebut.
Kontrol agen pelaksana sudah baik, namun keterbukaan komunikasi organisasi
berada pada tingkatan cukup. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa karakteristik
agen pelaksana berada pada tingkat cukup.
9

E. Kondisi Ekonomi, Sosial, Dan Politik


Tujuan pelaksanaan kebijakan harus sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat sehingga dapat mendukung pelaksanaan kebijakan. Selain itu, opini
publik menentukan keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang dapat berupa
penerimaan maupun penolakan. Terakhir tapi tidak kalah penting adalah pengaruh
pemerintah daerah sebagai elite yang memiliki kekuasaan atas jalannya suatu
kebijakan.
Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada
seluruh informan maka didapatkan data bahwa RTH publik ditargetkan untuk
wilayah perkotaan sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap ekosistem
perkotaan yang penuh dengan polusi dan sering terjadi banjir. Masyarakat di kota
tinggal dengan kondisi wilayah yang penuh dengan polusi dan kurang daerah
resapan air, sehingga pembangunan RTH publik di wilayah kota dapat
dilaksanakan dengan baik karena dapat berdampak positif pada wilayah kota.
Kebijakan pengembangan RTH publik mendapat dukungan dari publik, hal ini
disebabkan karena pemahaman masyarakat terhadap pentingnya RTH publik
sudah baik sehingga menimbulkan dukungan terhadap pelaksanaan program. Elite
pemerintahan juga memberikan dukungan terhadap pelaksanaan program,
dibuktikan dengan komitmen ketercapaian target RTH publik, selain itu,
diselenggarakan juga program unggulan yakni Program Pengembangan RTH,
Taman Rekreasi, dan 1 Kelurahan 1 Playground.
Seluruh dimensi yang berupa kondisi ekonomi dan sosial masyarakat, opini
publik, serta pengaruh elite terhadap implementasi program berada dalam kondisi
untuk mendukung pelaksanaan kebijakan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
kondisi ekonomi, sosial, dan politik berada pada tingkatan baik yang berpengaruh
terhadap keberhasilan kebijakan.

F. Sikap Agen Pelaksana


Sikap agen pelaksana yang dapat ditentukan dari tingkat kesadaran agen
pelaksana terhadap standar dan tujuan kebijakan, serta arah respon pelaksana
berupa penerimaan maupun penolakan yang sangat menentukan keberhasilan
pelaksanaan kebijakan.
Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan didapatkan data bahwa
para pelaksana kebijakan memiliki kesadaran terhadap standar dan tujuan
kebijakan. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang memahami bahwa aturan
kewajiban penyediaan RTH publik itu ada sehingga melakukan pengendalian
terkait RTH publik setiap tahunnya. Kemudian, arah respon pelaksana berupa
dukungan terhadap implementasi kebijakan dilihat dari pentingnya manfaat RTH
publik. Pelaksana memberikan perhatian pada pengelolaan RTH publik seperti
pemasangan plang dan penertiban lingkungan sekitar RTH publik
Para pelaksana sadar terhadap standar dan tujuan kebijakan, selain itu pelaksana
memiliki respon untuk mendukung pelaksanaan kebijakan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa sikap agen pelaksana ada pada tingkat baik karena
mendukung pelaksanaan kebijakan yang berpengaruh pada peningkatan
keberhasilan program kebijakan.
10

3.2. Diskusi Temuan Utama Penelitian


Penulis menemukan data mengenai ketercapaian RTH sebagaimana dijelaskan
pada tabel 1 diatas, bahwa Kota Samarinda memiliki luas total 71.696,65 Ha
yang dapat dimanfaatkan dalam rencana pola ruang. Diketahui, ketersediaan RTH
publik terhadap luas total kota (71.696,65 Ha) sebesar 4.832,85 Ha atau sekitar
6,74%. Setelah dilakukan pengurangan terhadap kawasan non terbangun, maka
luas total kota dikurangi kawasan non terbangun (55.223,56 Ha) pencapaian RTH
Publik masih sebesar 8,75%. Sehingga RTH publik masih membutuhkan sekitar
6.211,86 Ha untuk mencapai proporsi minimal. Hal ini menjelaskan rincian lebih
detail mengenai hasil penelitian oleh Effendi (2020) yang menunjukkan bahwa
implementasi Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Terkait Penataan Ruang Terbuka Hijau, menurut
data yang diambil dari Dinas PUPR Kota Samarinda hanya tercapai kurang kebih
10%.
Melihat ketercapaian tujuan belum mencapai target, Walikota Samarinda meminta
komitmen untuk dinas terkait menetapkan target sepersekian persen tiap tahunnya
untuk ruang terbuka hijau publik, hingga saat 2034 nanti target sudah harus
tercapai. Selain itu Kepala Dinas juga ikut berpartisipasi untuk mendukung
pelaksanaan program melalui APIS Planning. Dalam hal pengawasan, Dinas
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang mengawasi lahan publik yang digunakan
sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga apabila ditemukan indikasi
pelanggaran, maka akan diberikan tindakan secara administratif. Hal ini sejalan
sebagaimana dikemukakan oleh Nuraini (2020) bahwa kegiatan pengawasan oleh
Dinas Perumahan dan Pemukiman sudah berjalan dengan baik, evaluasi dilakukan
setiap tahunnya.
Penulis juga menemukan fakta bahwa elite dalam hal ini adalah Pemerintah
Daerah Kota Samarinda memiliki pengaruh dalam pelaksanaan kebijakan
pengembangan ruang terbuka hijau publik. Hal ini direalisasikan dengan
berjalannya salah satu program unggulan dari Walikota Samarinda yakni Program
Pengembangan RTH, Taman Rekreasi, dan 1 Kelurahan 1 Playground.
Diharapkan dengan adanya program tersebut ketercapaian RTH publik dapat
mencapai target sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

3.3. Diskusi Temuan Menarik Lainnya


Kendala dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan ruang terbuka hijau publik
di Kota Samarinda kerap ada berdasarkan temuan oleh penulis, Adapun beberapa
temuan sebagai kendala dari implementasi kebijakan tersebut berupa kendala
sumber daya manusia dan kendala ketersediaan lahan.
Kendala terkait kurangnya sumber daya manusia dapat dilihat dari dua sisi yakni
sisi kualitas dan sisi kuantitas. Kendala pada kualitas dapat dilihat dari latar
belakang pendidikan yang kebanyakan berpendidikan terakhir SMA dan
kebanyakan pegawai merupakan pegawai non-teknis sebagaimana dijelaskan pada
Tabel 2 dan 3. Selanjutnya, pada sisi kuantitas penulis melakukan wawancara
dengan Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang
mengungkapkan bahwa “Untuk menangani RTH publik kami kekurangan
11

anggota. Personil 20 orang mengawasi 10 kecamatan 59 kelurahan menurut saya


sangatlah kurang.” Hal tersebut menunjukkan bahwa kurangnya pegawai dalam
pengurusan terkait RTH publik pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
Kota Samarinda.
Masalah berikutnya timbul dari ketersediaan lahan dikarenakan Kota Samarinda
merupakan kota yang padat penduduk, sehingga pemerintah dalam hal ini
bersaing dengan masyarakat untuk mendapat lahan kosong. Kota Samarinda
memiliki program bahwa setiap kecamatan diwajibkan memenuhi RTH publik
minimal 20% dari luas wilayah kecamatan dalam rangka untuk pemenuhan
proposi minimal RTH publik untuk kota. Saat ini Kota Samarinda mengalami
masalah dalam mencari lahan kosong untuk dijadikan RTH Publik. Lahan kosong
yang tersedia harus segera dikelola oleh pihak Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang Kota Samarinda untuk dijadikan RTH publik, sebelum
masyarakat mengambil alih untuk dijadikan sebagai daerah tempat tinggal.

IV. KESIMPULAN (5-10%)


Implementasi kebijakan pengembangan ruang terbuka hijau publik di Kota
Samarinda dilaksanakan dengan mengacu pada Undang- Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur proporsi minimal sebanyak
20% dari luas wilayah kota. Implementasi kebijakan diukur dengan menggunakan
teori Van Meter dan Carl E. Van Horn yang menjelaskan terdapat enam dimensi
dalam mengukur tingkat keberhasilan implementasi suatu kebijakan.
Implementasi kebijakan pengembangan ruang terbuka hijau publik diketahui
berada pada kondisi cukup. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya faktor-faktor
yang belum terpenuhi yang memiliki pengaruh terhadap penentuan keberhasilan
program kebijakan. Kendala dalam implementasi kebijakan pengembangan ruang
terbuka hijau publik Kota Samarinda kerap kali ditemukan oleh penulis. Pertama,
sumber daya manusia yang masih belum memadai. Kedua, yang tidak kalah
penting, adalah kurangnya lahan kosong. Kota Samarinda merupakan kota yang
padat penduduk sehingga sulit untuk menentukan daerah yang akan dijadikan
ruang terbuka hijau publik.
Keterbatasan Penelitian. Penelitian ini memiliki keterbatasan utama yakni waktu
dan biaya penelitian. Penelitian juga kekurangan informan khususnya masyarakat
yang hanya berada pada lingkup masyarakat yang sedang melakukan aktivitas
pada RTH publik.
Arah Masa Depan Penelitian (future work). Penulis menyadari masih awalnya
temuan penelitian, oleh karena itu penulis menyarankan agar dapat dilakukan
penelitian lanjutan pada lokasi serupa namun dengan Organisasi Perangkat Daerah
(OPD) yang berbeda yang masih berkaitan dengan implementasi kebijakan
pengembangan RTH publik di Kota Samarinda untuk menemukan hasil yang
lebih mendalam.

V. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih terutama ditujukan kepada seluruh pihak Dinas Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang Kota Samarinda yang telah memberikan kesempatan
penulis untuk melaksanakan penelitian, kepada pihak developer RTH publik Kota
12

Samarinda, serta seluruh pihak yang membantu dan menyukseskan pelaksanaan


penelitian.

VI. DAFTAR PUSTAKA


Agustino, Leo. 2012. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta
Anggara, Sahya. 2014. Kebijakan Publik. 2nd ed. Bandung: CV. Pustaka Setia
Auerbach, C. F., & Silverstein, L. B. 2003. Qualitative Data. New York: New
York University Press
Creswell, John W. 2016. Research Design : Pendekatan Metode Kualitatif,
Kuantitatif, Dan Campuran. Edisi Keem. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Darlington, Y., & Scott, D. 2002. Qualitative Research in Practice: Stories.
Australia: Allen & Unwin
Dunn, William N. 2008. Public Policy Analysis : An Introduction. 4th ed. edited
by M. Diana. New Jersey
Effendi, Jaka. 2020. “Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Terkait Pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau
Di Kota Samarinda.” Universitas Islam Indonesia. dspace.uii.ac.id
Eko Handoyo. 2012. Kebijakan Publik. edited by Mustrose. Semarang: Widya
Karya
George, R. Terry. 1999. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara
Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
Hamdi, and Ismaryati. 2014. “Metodologi Penelitian Administrasi.” Universitas
Terbuka Tangerang Selatan 6
Meter, Donald S. Van, and Carl E. Van Horn. 1975. “The Policy Implementation
Process: A Conceptual Framework.” Administration & Society 6(4):445
Moore, Frazier H. 2004. Humas : Membangun Citra Dengan Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Nugraha, R. & S. Rahayu. 2014. “Kajian Perubahan Ketersediaan Ruang Terbuka
Hijau Di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Berbasis Interpretasi Citra
Satelit.” Geoplanning 1(1):13–20. ejournal.undip.ac.id
Nugroho, R. 2014. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Nuraini. 2020. “Pengelolaan Ruang Terbuka Hiaju Kota Samarinda (Studi Dinas
Perumahan dan Pemukiman Kota Samarinda.” eJurnal Ilmu Pemerintahan.
ejournal.ipfisip-unmul.ac.id
Nursapiah. 2020. Penelitian Kualitatif. 1st ed. edited by Dr. Hasan Sazali. Medan:
Wal ashri Publishing
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penertiban Persetujuan
Substansi Rancana Tata Ruang Wiayah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Rencana
Detail Tata Ruang
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Samarinda Tahun 2014-2034
13

Siyoto, Sandu, and M. Ali Sodik. 2015. Dasar Metodologi Penelitian. 1st ed. edited by Ayup.
Yogyakarta: Literasi Media Publishing
Sugiyono, Prof. Dr. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. 19th ed. Bandung:
Penerbit Alfabeta
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Penerbit AIPI Bandung
Taufiqurakhman. 2014. Kebijakan Publik : Pendelegasian Tanggungjawab Negara Kepada Presiden
Selaku Penyelenggara Pemerintahan. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Moestopo Beragama (Pers)
Today, Kaltim. n.d. “Infrastruktur Jalan Dan RTH Di Samarinda Belum Maksimal, Ini Komitmen
Para Calon Wakil Wali Kota - Kaltim Today.” Diakses 27 September, 2021
(https://kaltimtoday.co/infrastruktur-jalan-dan-rth-di-samarinda-belum-maksimal-ini-komitmen-
para-calon-wakil-wali-kota/)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Vanderstoep, S. W., & Johnston, D. D. 2009. Research Methods for Everyday Life. San Fransisco:
Jossey-Bass
Widodo, Joko. 2011. Analisis Kebijakan Publik: Konsep Dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan
Publik. Malang: Bayumedia Publishing
Youtube.com “Taman Tepian Samarinda.” Diakses 27 September, 2021
(https://www.youtube.com/watch?v=fxyF_A7uEH8)

Anda mungkin juga menyukai

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy