Hutan rakyat
Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat; meskipun ada pula yang berada di atas tanah negara atau kawasan hutan negara.
Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani; yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam.
Macam Hutan Rakyat
[sunting | sunting sumber]Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya. Di antaranya:
- Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, mulai dari seperempat hektare atau kurang, sampai sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa dan bahkan melebihinya.
- Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.
- Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.
Namun kini ada pula bentuk-bentuk peralihan atau gabungan. Yakni model-model pengelolaan hutan secara bermitra, misalnya antara perusahaan-perusahaan kehutanan (Perhutani, HPH, HPHTI) dengan warga masyarakat sekitar; atau juga antara pengusaha-pengusaha perkebunan dengan petani di sekitarnya. Model semacam ini, contohnya PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), biasanya juga tidak digolongkan sebagai hutan rakyat; terutama karena dominasi kepentingan pengusaha.
Produk-produk Hutan Rakyat
[sunting | sunting sumber]Hutan rakyat zaman sekarang telah banyak yang dikelola dengan orientasi komersial, untuk memenuhi kebutuhan pasar komoditas hasil hutan. Tidak seperti pada masa lampau, utamanya sebelum tahun 1980an, di mana kebanyakan hutan rakyat berorientasi subsisten, untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga petani sendiri.
Pengelolaan hutan rakyat secara komersial telah dimulai semenjak beberapa ratus tahun yang silam, terutama dari wilayah-wilayah di luar Jawa. Hutan-hutan—atau tepatnya, kebun-kebun rakyat dalam rupa hutan—ini menghasilkan aneka komoditas perdagangan dengan nilai yang beraneka ragam. Terutama hasil-hasil hutan bukan kayu (HHBK). Bermacam-macam jenis getah dan resin, buah-buahan, kulit kayu dan lain-lain. Bahkan kemungkinan aneka rempah-rempah yang menarik kedatangan bangsa-bangsa Eropah ke Nusantara, sebagian besarnya dihasilkan oleh hutan-hutan rakyat ini.
Belakangan ini hutan-hutan rakyat juga dikenal sebagai penghasil kayu yang handal. Sebetulnya, semua jenis hutan rakyat juga menghasilkan kayu. Akan tetapi pada masa lalu perdagangan kayu ini ‘terlarang’ bagi rakyat jelata. Kayu mulai menjadi komoditas diperkirakan semenjak zaman VOC, yakni pada saat kayu-kayu jati dari Jawa diperlukan untuk membangun kapal-kapal samudera dan benteng-benteng bagi kepentingan perang dan perdagangan. Pada saat itu kayu jati dikuasai dan dimonopoli oleh VOC dan raja-raja Jawa. Rakyat jelata terlarang untuk memperdagangkannya, meski tenaganya diperas untuk menebang dan mengangkut kayu-kayu ini untuk keperluan raja dan VOC.
Monopoli kayu oleh penguasa ini dilanjutkan hingga pada masa kemerdekaan. Di Jawa, hingga saat ini petani masih diharuskan memiliki semacam surat pas, surat izin menebang kayu dan surat izin mengangkut kayu; terutama jika kayu yang ditebang atau diangkut adalah jenis yang juga ditanam oleh Perum Perhutani. Misalnya jati, mahoni, sonokeling, pinus dan beberapa jenis lainnya. Di luar Jawa, setali tiga uang. Hak untuk memperdagangkan kayu sampai beberapa tahun yang lalu masih terbatas dipunyai oleh HPH-HPH, sebagai perpanjangan tangan negara.
Beberapa contoh produk hutan-hutan rakyat dan wilayah penghasilnya, di antaranya:
Getah dan resin:
- Karet (Hevea brasiliensis); terutama di Sumatra bagian timur dan Kalimantan
- Jelutung (Dyera spp.); Sumatra dan Kalimantan
- Nyatoh (Palaquium spp., Payena spp.); terutama Kalimantan
- Damar mata-kucing (Hopea spp., Shorea javanica); Sumatera Selatan dan Lampung, terutama Lampung Barat
- Damar batu (Shorea spp.); Sumatra dan Kalimantan
- Kemenyan (Styrax benzoin); Sumatera Utara terutama Tapanuli Utara
Buah-buahan:
- Durian (Durio spp., terutama D. zibethinus); Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Maluku.
- Jambu mente (Anacardium occidentale); Sulawesi Tenggara dan Sumbawa
- Kluwek atau kepayang (Pangium edule); banyak tempat, terutama di Jawa.
- Kemiri (Aleurites moluccana); Sumatra, Sumbawa dan Sulawesi Selatan
- Kopi (Coffea spp.); banyak tempat, termasuk Bali dan Lombok.
- Lada (Piper nigrum); Sumatra, Kalimantan
- Pala (Myristica fragrans); Aceh dan Maluku
- Petai (Parkia speciosa); Sumatra, Kalimantan dan Jawa
- Tengkawang (Shorea spp.); Kalimantan
Rempah-rempah lain:
- Kulit manis atau kayu manis (Cinnamomum spp.); Sumatra, terutama Sumatera Barat dan Kerinci
- Cengkeh (Syzygium aromaticum), banyak tempat.
- Aneka jahe-jahean (empon-empon); Jawa.
Kayu-kayuan:
- Jeunjing (Paraserianthes falcataria); Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa Tengah
- Jati (Tectona grandis); Jawa, terutama Gunungkidul di Yogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah, Pacitan di Jawa Timur, dan Kuningan serta Indramayu di Jawa Barat; juga di Muna, Sulawesi Tenggara
- Mahoni (Swietenia macrophylla); dari banyak tempat di Jawa Barat dan Jawa Tengah
Lain-lain:
- Rotan (banyak jenis); Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi; terutama dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
- Cendana (Santalum album); Sumba dan Timor
- Sagu (Metroxylon sago); Maluku dan Papua.
Artikel terkait
[sunting | sunting sumber]Lihat pula artikel Wanatani.