Kiblat
Kiblat (dari bahasa Arab: قبلة, translit. qiblah yang berarti "arah") adalah arah yang dituju umat Islam dalam sebagian konteks ibadah, termasuk dalam salat. Arah ini menuju kepada bangunan Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, yang menurut umat Islam adalah bangunan suci yang dibangun dua orang Nabi, yaitu Ibrahim dan anaknya Ismail. Menurut kepercayaan umat Islam, arah kiblat ini diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur'an, Surat Al-Baqarah ayat 144, 149, dan 150 yang diwahyukan kepada Nabi Islam Muhammad pada tahun ke-2 Hijriyah; sebelumnya Muhammad dan pengikutnya di Madinah berkiblat ke arah Yerusalem. Namun setelah Muhammad mendengar bahwa orang-orang Yahudi berkata, "Demi Tuhan, Muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak tahu di mana kiblat mereka sampai kita mengarahkan mereka kepadanya"; yang mana menyebabkan ketidaksenangan pada diri beliau, kiblat pun akhirnya dipindahkan ke Ka'bah,[1] hal ini terjadi pada bulan ke-16 atau 17 setelah Muhammad dan umat muslim tiba di Madinah.[2][3]
Selain untuk salat, kiblat juga merupakan arah berihram dalam haji, arah wajah hewan saat disembelih, arah jenazah seorang Muslim saat dimakamkan, arah yang dianjurkan untuk berdoa, serta arah yang dihindari untuk buang air serta membuang dahak. Dalam arsitektur masjid, umumnya terdapat mihrab yaitu relung pada salah satu dinding masjid untuk menunjukkan sisi yang mengarah ke kiblat. Pada praktiknya, dikenal dua cara menghadap kiblat, yaitu 'ainul ka'bah (persis mengarah ke bangunan Ka'bah) atau jihatul ka'bah (kira-kira mengarah ke Ka'bah tanpa harus persis). Kebanyakan ulama berpendapat 'ainul ka'bah hanya dituntut jika memungkinkan (misalnya di lokasi Masjidil Haram dan sekitarnya), dan jika tidak jihatul ka'bah dapat dilakukan.
Secara teknis, definisi kiblat yang paling umum digunakan pakar astronomi Muslim adalah: arah yang ditunjukkan lingkaran besar pada bola dunia yang menghubungkan suatu tempat dengan Ka'bah. Arah ini menunjukkan jarak terpendek yang dapat ditarik dari tempat tersebut ke arah Ka'bah. Definisi ini memungkinkan perhitungan (hisab) arah kiblat secara tepat melalui rumus trigonometri berdasarkan menggunakan koordinat lintang dan bujur setempat serta koordinat Ka'bah. Rumus trigonometri ini juga mendasari perangkat lunak seperti aplikasi telepon cerdas penunjuk arah kiblat, dan untuk menyusun tabel-tabel yang dapat digunakan dalam alat bantu seperti kompas kiblat. Selain itu, dalam dua kali setahun (yaitu 28 Mei pukul 12.18 Waktu Arab Saudi/16.18 Waktu Indonesia Barat dan 16 Juli pukul 12.27 WAS/16.27 WIB) Ka'bah berada tepat di bawah posisi matahari sehingga bayangan benda tegak pada kedua saat tersebut menunjukkan arah kiblat.
Sebelum astronomi atau ilmu falak dikenal di Dunia Islam, umat Islam juga sempat menggunakan berbagai metode tradisional untuk menentukan arah kiblat, seperti mengikuti kebiasaan sahabat Nabi, mengikuti posisi terbit dan terbenam benda langit, atau arah angin. Setelah masuknya karya-karya astronomi Yunani, rumus-rumus matematis untuk mencari arah kiblat mulai dikembangkan ilmuwan Muslim, dan pada abad ke-9 dan ke-10 metode-metode yang setara dengan rumus kiblat modern telah ditemukan oleh para ilmuwan termasuk Habasy al-Hasib, An-Nairizi, dan Ibnu Yunus. Awalnya, metode matematis ini digunakan bersama-sama dengan berbagai metode tradisional sehingga kota-kota Muslim banyak memiliki masjid dengan bermacam-macam arah kiblat. Sejak abad ke-18 dan ke-19 metode penentuan posisi koordinat yang akurat telah tersedia, sehingga memungkinkan penghitungan arah kiblat secara matematis dengan hasil yang lebih akurat dibanding sebelumnya. Akan tetapi, masjid-masjid dengan beragam arah kiblat lama masih berdiri di kota-kota berpenduduk Muslim hingga saat ini. Menjelang misi antariksawan Malaysia Sheikh Muszaphar Shukor ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada Oktober 2007, muncul pembahasan mengenai arah kiblat dari luar angkasa. Menanggapi permintaan panduan dari Muszaphar, para ulama Malaysia mengurutkan prioritas arah yang dapat diikuti jika mungkin: 1) Ka'bah 2) "proyeksi Ka'bah" ke luar angkasa 3) Bumi 4) "ke mana saja". Mereka juga menyebutkan pentingnya mengutamakan "apa yang memungkinkan", senada dengan pendapat beberapa pemikir Muslim lainnya.
Lokasi kiblat
Ka'bah, yang berada di tengah-tengah Masjidil Haram, Makkah, adalah lokasi kiblat umat Islam. Selain menjadi kiblat, tempat suci umat Islam yang juga disebut Baitullah ("Rumah Allah") ini adalah tempat pelaksanaan tawaf (salah satu rangkaian ibadah dalam haji dan umrah). Ka'bah berbentuk bangunan segi empat, dan keempat sudut temboknya kira-kira searah dengan empat penjuru mata angin.[4] Al-Qur'an menyebutkan bahwa bangunan Ka'bah didirikan oleh Ibrahim dan anaknya Ismail (keduanya adalah Nabi dalam Islam).[5] Pada generasi sebelum Muhammad, Ka'bah digunakan sebagai pusat peribadatan agama Arab pra-Islam, tetapi tidak terdapat banyak catatan sejarah tentang Ka'bah sebelum munculnya Islam.[5]
Status Ka'bah atau Masjidil Haram sebagai kiblat umat Islam berasal dari Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 144, 149, dan 150, yang semuanya memuat perintah "palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram" (fawalli wajhaka syathra l-masjidil haram).[6] Menurut tradisi Islam, ayat ini diwahyukan pada bulan Rajab atau Syakban tahun ke-2 Hijriyah (624 M),[7][8] bertepatan sekitar 16 atau 17 bulan setelah hijrahnya Muhammad ke kota Madinah.[2][3] Sebelum turunnya ayat ini, diketahui selama di Madinah umat Islam berkiblat ke arah Yerusalem, sama seperti umat Yahudi Madinah ketika itu. Menurut riwayat yang dipercayai umat Islam, saat perintah memindahkan kiblat ini diwahyukan, Muhammad dan para pengikutnya yang sedang salat langsung memutar arah. Tempat peristiwa ini terjadi dikenal dengan nama Masjid Qiblatain ("Masjid Dua Kiblat").[8]
Terdapat beberapa riwayat yang berbeda tentang arah kiblat pada masa Muhammad di Mekkah (sebelum hijrah ke Madinah). Menurut satu riwayat (disebutkan oleh sejarawan Ibnu Jarir ath-Thabari dan ahli tafsir Al-Baidhawi), Muhammad salat menghadap Ka'bah, sedangkan riwayat lain (juga disebutkan oleh ath-Thabari serta Ahmad al-Baladzuri) menyebutkan bahwa ketika di Makkah ia berkiblat ke Yerusalem. Ada pula riwayat (disebutkan dalam sirah karya Ibnu Hisyam) yang menyebutkan bahwa pada masa itu, Muhammad selalu salat sedemikian rupa sehingga sekaligus menghadap Ka'bah dan Yerusalem.[8] Kini umat Islam, baik Sunni maupun Syiah, semuanya berkiblat ke Ka'bah. Satu-satunya pengecualian besar dalam sejarah adalah kaum Qaramithah, sebuah aliran sempalan Syiah yang pada tahun 930 sempat menyerang Ka'bah dan merampas batu Hajar Aswad dari Ka'bah ke pusat kekuasaannya di Al-Ahsa dengan niat memulai era baru dalam Islam.[9][10][a]
Dalam ibadah dan adab Islam
Secara etimologi, kata kiblat berasal dari kata bahasa Arab قبلة (qiblah) yang berarti "arah", tetapi dalam konteks Islam istilah ini mengacu kepada arah khusus yang terkait dengan ibadah.[12] Para ulama sepakat bahwa dalam keadaan normal, salat hanya sah jika dilakukan menghadap kiblat.[12] Pengecualian untuk syarat ini di antaranya salat dalam keadaan takut atau peperangan, atau salat sunah dalam perjalanan.[13] Selain arah salat, hadis juga menyebutkan perlunya menghadap kiblat saat berihram dalam haji, dan setelah melempar jumratul wustha.[8] Menurut aturan adab, kiblat juga menjadi arah wajah hewan saat disembelih, serta arah wajah jenazah saat dimakamkan.[8] Hadis juga menganjurkan berdoa ke arah kiblat dan melarang buang air atau membuang dahak ke arah kiblat.[8]
Dalam arsitektur masjid, arah kiblat biasanya ditunjukkan oleh sebuah relung atau lekukan di tembok masjid yang mengarah ke depan. Relung ini disebut mihrab; di sinilah imam berdiri di depan barisan makmum saat memimpin salat berjemaah.[14] Mihrab baru mulai menjadi bagian arsitektur masjid pada masa Umayyah dan bentuknya diseragamkan pada awal masa Abbasiyah. Pada masa sebelum itu, arah kiblat dapat diketahui dari arah salah satu tembok masjid. Kata mihrab tidak muncul di dalam Al-Qur'an dan hadis; satu-satunya penyebutan kata ini hanya mengacu pada tempat beribadat kaum Bani Israil.[14][b] Masjid Amr bin al-Ash di Fustat, Mesir, salah satu masjid tertua dalam sejarah Islam, awalnya dibangun tanpa mihrab, walaupun kini relung tersebut telah ditambahkan.[15]
'Ainul ka'bah dan jihatul ka'bah
'Ainul ka'bah adalah cara menghadap kiblat dengan tepat sehingga jika ditarik garis searah posisi depan orang tersebut, garis tersebut akan mengenai bangunan Ka'bah. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah di Masjidil Haram dan sekitarnya, tetapi untuk lokasi yang jauh dari Mekkah hal ini sangat sulit dilakukan mengingat lebar Ka'bah yang hanya belasan meter.[16] Semakin jauh suatu lokasi dari Ka'bah maka semakin besar peluang ketidaktepatan arah 'ainul ka'bah.[17] Dari Jakarta, Indonesia yang berjarak sekitar 7.900 km dari Mekkah, pergeseran arah sebesar 1 detik busur (1⁄3600 derajat) saja akan mengakibatkan penyimpangan sejauh >100 meter dari bangunan Ka'bah.[18] Pergeseran sebesar 1°, yang kemungkinan tidak terasa oleh seorang yang sedang salat dan jauh lebih kecil dari rentang kesalahan alat-alat pengukuran, menghasilkan pergeseran >100 km.[17] Sebagai perbandingan, dalam proses pembangunan masjid lumrah saja terjadi pergeseran hingga 5° dari arah yang dikehendaki (tergantung teknik yang digunakan), dan dalam penggelaran karpet atau sajadah dapat terjadi lagi pergeseran arah hingga 5°.[18]
Sebagian ulama seperti Ibnu Arabi menganggap bahwa 'ainul ka'bah wajib dilakukan dalam salat, sedangkan ulama-ulama lain hanya mewajibkannya jika mampu. Untuk lokasi yang jauh dari Mekkah, ulama seperti Imam Hanafi dan Al-Qurthubi membolehkan cara jihatul ka'bah, yaitu sekadar mengarah ke kiblat.[19] Menurut sebagian penafsiran, seseorang sudah bisa dikatakan menghadap kiblat untuk keperluan ibadah selama bangunan Ka'bah masih berada di dalam sektor proyeksi penglihatan orang tersebut (medan penglihatan manusia biasanya mencapai lebih dari 90° atau seperempat dari satu lingkaran penuh).[20] Misalnya, sebagian ulama Al-Andalus (Spanyol dan Portugal pada masa Islam) menganggap satu kuadran penuh (dari timur ke selatan searah arah jarum jam) sebagai arah kiblat yang sah.[21] Di antara alasan yang dikemukakan ulama yang mendukung jihatul ka'bah adalah bunyi teks Al-Qur'an yang hanya memerintahkan "palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram", dan menghindari beban yang tidak mungkin dilakukan seandainya 'ainul ka'bah dianggap wajib di seluruh tempat.[22] Mazhab Syafi'i, sebagaimana ditulis dalam Kitab al-Tanbih fil-Fiqh oleh Abu Ishaq asy-Syirazi, mengharuskan mengikuti kiblat yang telah ada di masjid jika tidak berada di dekat Mekkah, dan bertanya pada orang yang dapat dipercaya jika tidak berada di dekat masjid. Jika tidak ada juga, menurut mazhab Syafi'i seseorang dapat berijtihad (mencari tahu sendiri) atau menggunakan alat-alat seadanya.[23][24]
Penentuan arah kiblat
Landasan teoretis: "lingkaran besar"
Secara teoretis, model yang paling umum digunakan dalam penentuan arah kiblat secara ilmiah adalah menggunakan arah lingkaran besar yang menghubungkan lokasi setempat dengan lokasi kiblat.[25][26] Lingkaran besar (disebut juga ortodrom) adalah lingkaran pada permukaan bola yang titik pusatnya sama dengan titik pusat bola tersebut. Setiap lingkaran yang dibentuk garis bujur adalah contoh lingkaran besar, tetapi garis lintang tidak membentuk lingkaran besar (karena pusatnya berada di utara atau selatan pusat bumi) kecuali garis khatulistiwa.[27] Salah satu sifat istimewa dari lingkaran besar adalah jalur terpendek yang dapat menghubungkan dua titik pada sebuah bola ditunjukkan oleh lingkaran besar yang menghubungkan kedua titik tersebut. Selain untuk mencari arah kiblat, sifat ini dimanfaatkan misalnya untuk menemukan jalur pesawat terpendek yang menghubungkan dua tempat. Karena itu, arah kiblat dari suatu tempat yang dihitung berdasarkan model lingkaran besar biasanya mirip dengan arah penerbangan langsung dari kota tersebut ke Mekkah.[28] Karena bentuk bumi sebenarnya bukanlah bola sempurna dan sedikit berbentuk elipsoid, para peneliti modern juga menggunakan model-model sesuai bentuk elipsoid untuk menghitung kiblat, yaitu dengan mengganti lingkaran besar dengan geodesik elipsoid. Hal ini membutuhkan perhitungan yang jauh lebih rumit, sedangkan peningkatan keakuratannya jauh lebih kecil dibandingkan ketepatan yang mungkin dicapai saat menggelar sajadah atau membangun masjid.[29] Sebagai contoh, perhitungan menggunakan model elipsoid GRS 80 menghasilkan kiblat dengan arah 18°47′06″ untuk sebuah lokasi di San Francisco, Amerika Serikat, sedangkan perhitungan menggunakan model lingkaran besar menghasilkan arah yang tidak jauh berbeda yaitu 18°51′05″.[30]
Hisab dengan trigonometri bola
Model lingkaran besar yang disebut di atas diterapkan dalam hisab atau perhitungan arah kiblat yang menggunakan rumus-rumus trigonometri bola. Trigonometri bola adalah cabang geometri yang menyangkut hubungan antara sudut dan sisi segitiga yang dibentuk oleh lingkaran-lingkaran besar pada permukaan bola (alih-alih trigonometri biasa yang menyangkut segitiga datar). Dalam gambar bola bumi di bawah ini, lokasi suatu tempat disebut , lokasi kiblat adalah , dan kutub utara adalah , dan ketiga titik tersebut membentuk sebuah segitiga pada permukaan bumi. Arah kiblat adalah arah , atau searah lingkaran besar yang melewati dan . Arah ini dapat juga dinyatakan sebagai sudut terhadap arah utara (inhiraf al-qiblat) yaitu atau . Arah ini dapat dihitung sebagai fungsi dari posisi lintang setempat , posisi lintang kiblat , serta selisih bujur antara lokasi setempat .[31] Fungsi ini diturunkan dari rumus umum segitiga bola dengan tiga sudut , , dan tiga sisi , , (disebut juga hukum kotangen):
Dengan menggunakan rumus tersebut terhadap segitiga bola (substitusi )[33] dapat diturunkan:
atau
Contoh berikut menghitung arah kiblat dari Yogyakarta (7,801389° LS; 110,364444° BT) dengan lokasi Ka'bah diketahui 21,422478° LU; 39,825183 BT. Selisih bujur kedua tempat adalah 110,364444° - 39,825183° = 70,539261°. Dengan memasukkan angka-angka ini ke dalam rumus
sehingga . Hal ini mengartikan bahwa arah kiblat dari Yogyakarta adalah sekitar 295° (searah jarum jam dari utara), atau miring sekitar 25° dari titik barat ke arah utara.[34]
Rumus ini diturunkan pada masa modern, tetapi metode-metode yang ekivalen dengan rumus ini telah diketahui oleh para ahli falak Muslim sejak abad ke-3 Hijriyah (abad ke-9 Masehi). Ilmuwan-ilmuwan awal yang menemukan cara-cara tersebut diantaranya adalah Habasy al-Hasib (aktif di Damaskus dan Bagdad sekitar 850 M),[35] An-Nairizi (Bagdad, sekitar 900 M),[36] Ibnu Yunus (abad 10-11 M),[35] Ibnu al-Haitsam (abad ke-11 M),[35] dan Al-Biruni (abad ke-11 M).[37] Penggunaan trigonometri bola menjadi dasar hampir seluruh aplikasi atau situs penghitung arah kiblat.[25]
Setelah besar sudut ini dihitung, arah utara sejati perlu diketahui untuk menunjukkan arah tersebut di lapangan. Di antara cara yang digunakan adalah mengamati bayangan pada saat matahari tepat melintasi garis meridian setempat (garis khayal yang menguhubungkan kutub utara dan kutub selatan). Pada saat tersebut bayangan benda tegak akan tepat memiliki orientasi utara-selatan. Hasil pengamatan ini cukup akurat tetapi membutuhkan perhitungan akurat waktu terjadinya perlintasan meridian di tempat tersebut, dan pengamatan hanya bisa dilakukan tepat pada waktu tersebut.[38] Cara lainnya adalah menggunakan kompas, yang dapat dilakukan kapan saja, tetapi kendalanya adalah arah yang ditunjukkan kutub utara magnet tidak sama dengan arah utara sejati.[39] Besar deklinasi (penyimpangan) ini dapat mencapai 20° dan berbeda dari tempat ke tempat dan dari tahun ke tahun.[18]
Pengamatan bayangan
Dari setiap lokasi di bumi, matahari mengalami gerak semu harian yaitu tampak bergerak dari timur ke barat setiap hari. Pada saat tertentu di tengah hari, terjadi titik kulminasi atas atau transit meridian atas, yaitu saat matahari berada di titik puncaknya dan matahari melalui garis bujur setempat. Namun, matahari juga memiliki gerak semu tahunan yaitu bergerak antara 23,5° lintang utara dan 23,5° lintang selatan (titik balik matahari), sehingga pada saat kulminasi atas matahari tidak selalu berada persis di atas, dan lebih sering berada tepat di utara atau selatannya. Untuk setiap tempat dengan lokasi di bawah 23,5° lintang utara atau selatan, pada saat tertentu dalam setahun posisi lintang matahari akan sama dengan posisi lintang setempat. Hanya pada masa itulah, pada saat kulminasi atas terjadi, matahari berada persis di atas tempat tersebut.[40]
Kota Mekkah termasuk tempat yang mengalami hal ini, karena posisinya berada di sekitar 21°25’ lintang utara. Peristiwa ini terjadi dua kali setahun, pada 28 Mei sekitar pukul 12.18 Waktu Arab Saudi (WAS) atau 16.18 WIB dan 16 Juli pukul 12.27 WAS (16.27 WIB).[41][40] Pada kedua saat tersebut, matahari berada kira-kira di atas Ka'bah sehingga semua benda tegak yang terkena cahaya matahari akan memiliki bayangan yang menunjukkan arah Ka'bah (lihat gambar).[40] Dalam ilmu falak, peristiwa ini disebut istiwa a'zham (kulminasi utama), dan metode menemukan arah kiblat ini disebut rashd al-qiblat ("mengamati arah kiblat").[42][34] Sekitar separuh bumi (termasuk Indonesia Timur, Australia, Samudra Pasifik dan kebanyakan Benua Amerika) mengalami malam saat peristiwa ini terjadi sehingga tidak bisa mengamati bayangan.[43] Di belahan bumi tersebut, bayangan yang menunjukkan arah kiblat dapat diamati pada waktu matahari berada tepat di bawah kiblat (atau tepat berada di atas titik antipode dari Ka'bah).[44] Arah bayangan yang terbentuk tepat berlawanan dengan arah bayangan pada saat rashd al-qiblat.[40] Peristiwa ini terjadi pada 14 Januari 00.30 WAS (06.30 WIT) dan 29 November 00.09 WAS (06.09 WIT).[45][c] Baik untuk saat rashd al-qiblat maupun saat sebaliknya, rentang waktu kurang lebih lima menit pada hari yang sama, atau kurang lebih dua hari pada saat yang sama masih menunjukkan pengamatan arah kiblat yang cukup akurat.[40][41]
Penggunaan peta datar
Metode trigonometri bola menghasilkan garis lurus terdekat yang mengubungkan Ka'bah dengan lokasi apa pun di dunia, tetapi arah ini kadang terasa aneh jika membayangkan bumi dalam bentuk peta datar. Contohnya, arah kiblat Alaska (dekat kutub utara) justru hampir lurus ke utara.[25] Garis lurus antara dua tempat dalam peta dunia berproyeksi Merkator (disebut loksodrom atau rhumb line) sering berbeda dengan arah kiblat yang ditunjukkan kalkulasi (ortodrom atau great circle).[46] Perbedaan ini tampak di lokasi seperti sebagian Amerika Utara (peta datar menunjukkan Mekkah di arah tenggara sedangkan perhitungan kiblat menunjukkan timur laut)[25] atau Jepang (peta datar menunjukkan barat daya sedangkan kalkukasi menunjukkan barat laut).[47] Kebanyakan umat Muslim mengikuti arah ortodrom (sesuai hasil kalkulasi) dan hanya sebagian kecil yang mengikuti arah loksodrom (garis lurus peta bumi datar).[25][d]
Metode tradisional non-astronomi
Catatan sejarah maupun bukti masjid-masjid tua menunjukkan bahwa kiblat juga sering ditentukan dengan metode-metode sederhana berdasarkan tradisi atau ilmu populer yang tidak berdasarkan astronomi. Sebagian Muslim awal selalu berkiblat ke arah selatan karena secara harfiah mengikuti hadis bahwa Muhammad berkiblat ke arah selatan ketika berada di Madinah. Beberapa masjid tua di Al-Andalus (kini Spanyol) dan Asia Tengah mengarah ke selatan walaupun kedua tempat tersebut berada jauh di barat dan timur Mekkah (sehingga dari tempat itu selatan tidak mengarah ke Mekkah).[48] Selain itu, terdapat "kiblat para sahabat" (qiblat ash-shahabah), yaitu arah kiblat yang pernah digunakan para sahabat Nabi (generasi Muslim pertama yang dianggap panutan oleh umat Islam) di tempat tersebut. Arah ini sering tetap diikuti selama berabad-abad, walaupun para ahli falak Muslim kemudian menggunakan perhitungan astronomi dan menemukan arah kiblat yang berbeda. Contohnya, kiblat para sahabat di Syam dan Palestina mengarah ke selatan,[49] di Mesir mengarah ke arah terjauh matahari terbit musim dingin, dan di Irak mengarah ke matahari terbenam pada saat yang sama.[50] Arah matahari terbenam dan matahari terbit di musim dingin juga dipilih karena kedua arah ini sejajar dengan orientasi tembok Ka'bah.[51]
Alat bantu
Umat Islam menggunakan berbagai alat bantu untuk menentukan arah kiblat jika tidak berada di dekat masjid. Kompas kiblat adalah sebuah kompas biasa yang dilengkapi tabel atau daftar arah kiblat dari kota-kota besar. Selain itu terdapat kompas elektronik yang menggunakan satelit untuk memperoleh koordinat setempat sehingga dapat menunjukkan arah kiblat secara otomatis.[52] Kompas kiblat telah dibuat paling tidak sejak sekitar 1300, disertai arah kiblat dari berbagai kota yang ditulis atau diukir pada kompas-kompas tersebut.[53] Pada bangunan-bangunan seperti hotel dengan banyak tamu Muslim, stiker bertanda panah yang menunjukkan arah kiblat sering ditempel di langit-langit atau sebuah laci di ruangan.[18] Dengan perkembangan teknologi informasi, berbagai aplikasi telepon cerdas dan situs web dibuat untuk menunjukkan arah kiblat yang dihitung dengan rumus.[25][54]
Perkembangan ilmu penentuan arah kiblat
Pra-astronomi
Umat Muslim dituntut mengetahui arah kiblat untuk salat yang dilakukan setiap hari, maupun untuk menentukan arah bangunan masjid. Karena itu, penentuan arah kiblat adalah masalah penting yang berusaha dipecahkan komunitas-komunitas Islam dalam sejarah.[55] Pada saat Muhammad hidup bersama-sama umat Islam di Madinah (yang masih berada di daerah Hijaz seperti halnya Mekkah), ia salat ke arah selatan, sesuai arah Mekkah yang telah diketahui dari Madinah.[48] Dalam beberapa generasi setelah meninggalnya Muhammad pada tahun 632, umat Islam telah menjangkau tempat-tempat yang jauh dari Mekkah sehingga dibutuhkan metode untuk menentukan arah kiblat.[56] Metode-metode matematis berdasarkan ilmu falak baru mulai ditemukan di akhir abad ke-8 atau awal abad ke-9 (dan pada awalnya metode-metode tersebut tidak begitu populer), sehingga pada awalnya umat Muslim menggunakan metode-metode tradisional.[57]
Metode-metode tradisional yang berkembang pada awal masa perluasan Islam cukup beragam dan menghasilkan arah kiblat yang berbeda-beda pula. Di antara arah-arah yang umum digunakan adalah arah selatan (sesuai arah Muhammad salat di Madinah) atau arah yang pernah digunakan sahabat Nabi di tempat tersebut ("kiblat para sahabat", berbeda-beda tergantung tempat).[56] Bangsa Arab juga mengenal ilmu-ilmu perbintangan tradisional (disebut folk astronomy atau "astronomi rakyat" oleh David A. King untuk membedakan dengan astronomi sesungguhnya yang bersifat ilmu pasti) yang berasal dari tradisi sebelum masa Islam.[50] Ilmu-ilmu ini menggunakan fenomena alam, seperti pengamatan matahari, bulan, bintang-bintang, dan angin tanpa didasari perhitungan matematika. Berbagai tempat memiliki petunjuk arah kiblatnya sendiri berdasarkan posisi terbit atau terbenam bintang-bintang tertentu (yang terbit atau tenggelam di posisi yang sama sepanjang tahun di tempat yang sama), maupun posisi terbit atau terbenamnya matahari saat ekuinoks (menunjukkan arah persis timur dan barat) atau titik balik (menunjukkan sudut-sudut tertentu terhadap timur atau barat).[58] Arah kiblat seperti ini yang tercatat dalam naskah yang ditemukan di antaranya: kiblat di Afrika Maghrib ke arah terbitnya matahari saat ekuinoks (lurus ke timur), dari Yaman ke arah bintang Polaris atau ke arah asal angin utara (menunjukkan utara), dari Syam ke arah terbitnya bintang Suhail (Canopus), dari Irak ke arah terbenamnya matahari saat titik balik selatan di musim dingin, dan dari India ke arah terbenamnya matahari saat ekuinoks (lurus di barat).[58] Petunjuk-petunjuk ini banyak ditulis di teks-teks fikih maupun teks astronomi rakyat, dan di tempat yang sama bisa saja terdapat banyak petunjuk arah dengan sumber yang berbeda-beda. Para ahli astronomi (di luar astronomi rakyat) biasanya tidak berkomentar tentang metode-metode ini, tetapi metode ini tidak ditentang oleh para ahli fikih.[59] Metode ini bahkan terus dipakai ketika para ahli astronomi mulai menemukan cara menghitung arah ke Mekkah menggunakan matematika, yang berbeda dengan arah kiblat yang diketahui sebelumnya. Arah kiblat dengan metode-metode ini juga banyak ditemukan di masjid-masjid tua yang masih berdiri saat ini.[49]
Dengan astronomi
Ilmu astronomi yang sesungguhnya (disebut ilmu falak) mulai dipelajari di Dunia Islam pada akhir abad ke-8, terutama di Bagdad, kota utama Kekhalifahan Abbasiyah. Awalnya, ilmuwan-ilmuwan Muslim mempelajari astronomi dari karya-karya penulis India, tetapi pada abad ke-9 karya-karya ahli falak Yunani seperti Ptolemaeus mulai diterjemahkan dan menjadi rujukan utama di bidang ini.[60] Ilmu falak yang dikembangkan Ptolemaeus dianggap lebih utama oleh para ilmuwan di Dunia Islam karena didukung oleh penjelasan teoretis sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai ilmu pasti, tetapi astronomi India tetap memiliki pengaruh berarti terutama dalam bidang penyusunan tabel-tabel astronomi.[61] Metode penentuan arah kiblat pun mulai dikembangkan berdasarkan ilmu ini. Konsep utama yang digunakan adalah koordinat lintang dan bujur yang diperkenalkan Ptolemaeus dalam buku Geografi, serta rumus-rumus trigonometri yang dikembangkan para ilmuwan Muslim dan diterapkan untuk menghitung arah kiblat.[62] Kebanyakan buku-buku teks astronomi yang ditulis di Dunia Islam pada Abad Pertengahan mengandung satu bab yang membahas masalah penentuan arah kiblat, yang dianggap sebagai salah satu dari banyak hal yang menghubungkan ilmu astronomi dengan syariah Islam.[31][63] Menurut sejarawan astronomi David A. King, berbagai solusi yang ditemukan para ilmuwan Muslim "menjadi saksi perkembangan metode matematika dari abad ke-3 hingga ke-8 H (abad ke-9 hingga ke-14 M) dan tingkat kecanggihan trigonometri dan teknik perhitungan yang dicapai oleh ilmuwan-ilmuwan ini."[31]
Metode-metode matematis yang awalnya ditemukan pada awal abad ke-9 adalah metode hampiran (bukan metode akurat, tetapi hanya menghasilkan arah yang mendekati arah sesungguhnya) yang umumnya menggunakan peta datar atau geometri dua dimensi sederhana. Karena bumi berbentuk tiga dimensi, hasil perhitungan ini tidak persis sama dengan arah sesungguhnya, tetapi untuk lokasi yang masih dekat dengan Mekkah (seperti Mesir atau Iran) metode ini dapat menghasilkan arah yang hanya meleset 1°–2° dari arah sesungguhnya.[64]
Metode-metode yang akurat yang didasarkan geometri tiga dimensi atau trigonometri bola muncul sejak pertengahan abad ke-9.[65] Habasy al-Hasib (hidup sekitar 850 M) mencatat salah satu contoh awal metode seperti ini, yaitu dengan menggunakan "analema" (kini disebut proyeksi ortografi) yaitu penggunaan bidang datar untuk menurunkan rumus-rumus rumit dalam trigonometri bola. Dalam metode ini, sejumlah titik dan garis digambar pada sebuah lingkaran dengan teknik tertentu, dan hasilnya dapat dibuktikan sesuai dengan arah kiblat yang dihitung melalui rumus modern.[66][e] Selanjutnya ditemukan penggunaan rumus-rumus trigonometri untuk menemukan arah kiblat dengan perhitungan. An-Nayrizi (hidup sekitar 900 M) menulis contoh awal metode ini, yang menggunakan aturan sinus dari Menelaos dalam empat langkah sehingga arah kiblat akhirnya dapat dihitung dari posisi lintang dan bujur setempat.[67][f] Ilmuwan-ilmuwan Muslim selanjutnya (seperti Ibnu Yunus, Abu al-Wafa, Ibnu al-Haitsam, dan Al-Biruni) menemukan metode-metode lainnya yang juga dapat dibuktikan akurat, baik dengan menggunakan analema maupun menggunakan rumus matematika secara langsung.[68]
Berdasarkan metode-metode hisab tersebut, para ilmuwan Muslim membuat tabel-tabel yang menunjukkan arah kiblat dari berbagai tempat di dunia, yang disusun menurut selisih bujur (ΔB) dan lintang (ΔL) dari Mekkah.[69] Contoh tertua yang diketahui adalah tabel yang dibuat di Bagdad sekitar abad ke-9 untuk setiap derajat dan menit busur dari 1° hingga 20°.[70] Pada abad ke-14 Syamsuddin al-Khalili, ilmuwan yang menjabat sebagai muwaqqit (ahli waktu) di Masjid Agung Damaskus, membuat tabel arah kiblat untuk setiap titik koordinat dengan rentang ΔB dari 1° hingga 60° dan lintang dari 10° hingga 50° LU.[68][70] Menurut King, tabel ini adalah "yang paling mengesankan dari segi kelengkapan dan ketepatan", dan sebagian besar angkanya sudah tepat sesuai perhitungan modern.[70]
Walaupun metode perhitungan yang tepat sudah ditemukan sejak abad ke-9, ketepatan hasil perhitungan untuk lokasi tertentu juga tergantung data koordinat bujur dan lintang yang dimasukkan ke dalam rumus-rumus tersebut. Pada masa itu, posisi lintang suatu lokasi dapat ditentukan dengan ketepatan hingga beberapa menit, tetapi posisi bujur yang belum dapat ditentukan dengan tepat.[71] Salah satu cara yang digunakan untuk menghitung ΔB adalah membandingkan waktu terjadinya gerhana bulan di Mekkah dan lokasi setempat, atau menghitung jarak rute kafilah dagang.[68][37] Ilmuwan Asia Tengah Al-Biruni merata-ratakan data ΔB dari berbagai metode yang diketahui.[68] Karena kurang tepatnya data koordinat bujur pada masa itu, masjid-masjid tua (bahkan yang telah dibangun berdasarkan perhitungan matematika yang benar) umumnya memiliki arah kiblat yang berbeda dengan hasil perhitungan modern. Misalnya, Masjid al-Azhar di Kairo dibangun sesuai hisab ilmiah menggunakan rumus yang tepat, tetapi karena nilai ΔB yang digunakan meleset sebesar 3° dari nilai yang benar, arah kiblat masjid itu (127°) berbeda dengan arah hasil perhitungan modern (135°).[72]
Angka koordinat bujur yang akurat di Dunia Islam baru ditemukan pada abad ke-18 dan ke-19 dengan penerapan ilmu ukur kartografi. Angka koordinat modern ini, beserta teknologi modern seperti satelit GPS dan alat-alat elektronik, memungkinkan pembuatan alat-alat yang dapat menghitung kiblat secara praktis.[52] Arah ini dapat berbeda dengan arah masjid-masjid yang ada karena berbagai sebab, misalnya karena masjid tersebut dibangun sebelum munculnya data-data dan perhitungan modern atau karena masjid itu tidak dibangun secara akurat.[52][23] Kadang arah mihrab masjid tersebut tetap diikuti, atau kadang dibuat penanda seperti garis atau tali sehingga jemaah salat menurut penanda tersebut alih-alih sesuai arah mihrab masjid.[23]
Keragaman
Dunia Islam awal
Karena sepanjang sejarah terdapat beragam metode penentuan arah kiblat, masjid yang didirikan (termasuk masjid-masjid yang berdiri hingga saat ini) memiliki kiblat yang berbeda-beda pula.[73] Metode-metode yang ditemukan ilmuwan tidak selalu digunakan dalam pembangunan masjid.[74] Perhitungan matematika dengan prinsip yang sama pun dapat memiliki hasil yang berbeda karena perbedaan keakuratan data atau perhitungan.[75] Misalnya, sejarawan Mesir Al-Maqrizi (wafat 1442 M) mencatat berbagai arah kiblat yang digunakan masjid-masjid di Kairo pada saat itu: 90° (lurus ke timur), 117° (posisi terjauh matahari terbit di musim dingin, sesuai "kiblat para sahabat"), 127° (hasil perhitungan ilmuwan, misalnya Ibnu Yunus), 141° (masjid Ibnu Thulun), 156° (posisi terbit bintang Suhail/Canopus), 180° (lurus ke selatan, sesuai arah salat Muhammad dari Madinah), dan 204° (posisi terbenam Canopus).[76] Selain itu, kiblat menurut hasil perhitungan modern adalah 135°, yang tidak diketahui pada masa itu.[77] Sebagian perbedaan ini dapat diamati saat ini dari perbedaan orientasi masjid-masjid maupun jalanan-jalanan kota Kairo yang sering diatur agar sesuai dengan arah kiblat. Catatan sejarah para penulis Muslim menyebutkan adanya keragaman seperti ini di kota-kota Muslim lainnya seperti Kordoba dan Samarkand.[76] Menurut konsep jihatul ka'bah, berbagai arah yang masih berdekatan ini tidak dianggap sebagai masalah karena yang diwajibkan dalam ibadah hanyalah mengarah kira-kira ke arah Ka'bah tanpa harus tepat persis.[21]
Nusantara
Di Nusantara, variasi arah kiblat juga terjadi karena pengetahuan tradisional yang menganggap Mekkah berada di arah barat sehingga masjid didirikan lurus ke barat atau sesuai arah matahari terbenam (yang tidak persis di barat tetapi bergeser terus sepanjang tahun), atau kadang disesuaikan arah jalan dan tanah yang tersedia. Kiblat hasil perhitungan astronomi berkisar antara 291°—295° (serong 21°–25° mendekati utara dari arah barat), tergantung lokasi persis.[78] Para ahli falak Indonesia memiliki tanggapan berbeda terhadap hal ini: Tono Saksono et al. berpendapat bahwa persyaratan menghadap kiblat adalah "persyaratan spiritual" alih-alih persyaratan fisika dan penentuan arah yang persis ke bangunan Ka'bah dari jarak ribuan kilometer membutuhkan ketepatan terlalu tinggi yang tidak mungkin terpenuhi dalam pembangunan masjid maupun saat berdiri salat.[18] Sementara itu, Muhammad Hadi Bashori berpendapat bahwa "meluruskan arah kiblat sesungguhnya hal yang sangat urgen", dan dapat dipandu dengan metode sederhana yang cukup tepat seperti metode pengamatan bayangan.[79] Dalam sejarah, perselisihan arah kiblat yang serius pernah terjadi di Yogyakarta pada tahun 1890-an. Ahmad Dahlan yang kembali setelah mempelajari ilmu Islam dan astronomi di Mekkah mendapati bahwa masjid-masjid di Yogyakarta memiliki arah kiblat yang tidak tepat, termasuk Masjid Gedhe Kauman yang menghadap lurus ke barat. Upaya Dahlan mengubah arah kiblat sempat ditentang keras oleh para ulama tradisional keraton, dan masjid baru yang dibangun Dahlan dengan arah kiblat yang ia hitung dihancurkan oleh warga. Kelak, masjid itu didirikan kembali dan arah kiblat Masjid Gedhe Kauman pun diubah sesuai hasil perhitungan astronomi.[80][81]
Amerika Utara
Di tempat-tempat yang telah lama ditempati komunitas Muslim, persoalan arah kiblat biasanya sudah tidak diperdebatkan lagi. Beberapa tempat, seperti Amerika Serikat dan Kanada, baru memiliki komunitas Islam yang besar pada beberapa dasawarsa terakhir sehingga arah kiblat terkadang menjadi sebuah persoalan.[83] Sebuah masjid yang didirikan di Washington, D.C. pada 1953 menghadap timur laut sesuai perhitungan astronomi dan sempat membingungkan jemaah karena kota tersebut berada di posisi lebih utara dibandingkan dengan Mekkah.[82] Kebanyakan masjid yang didirikan komunitas imigran Muslim awal di Amerika Serikat menghadap ke timur atau tenggara, sesuai dengan arah yang tampak pada peta datar.[83] Pada tahun 1978, seiring bertumbuhnya jumlah Muslim dan masjid di Amerika Utara, S. Kamal Abdali, seorang ilmuwan Muslim Amerika Serikat, menulis hasil kajiannya yang menyebutkan bahwa kiblat yang tepat untuk Amerika Utara adalah arah utara atau timur laut, sesuai dengan garis terdekat yang menghubungkan Mekkah dengan tempat-tempat di benua tersebut (garis "lingkaran besar").[84][25] Kesimpulan ini diterima luas oleh komunitas Muslim dan masjid-masjid mengubah arah kiblatnya.[83] Pada 1990, dua ulama bernama Riad Nachef dan Samir Kadi menulis sebuah buku yang berpendapat bahwa arah yang benar adalah tenggara, sesuai dengan yang terlihat dalam peta bumi datar. Kedua penulis menyebut salat dengan kiblat utara atau timur laut tidak sah dan diakibatkan oleh kurangnya ilmu agama.[85][28] Hal ini memicu perdebatan antara kedua versi penentuan arah kiblat ini.[85] Pada akhirnya, kebanyakan ulama dan umat Islam di Amerika Serikat memilih arah kiblat utara/timur laut, walaupun sebagian kecil masih mengikuti kiblat timur/tenggara.[25][86]
Luar angkasa
Penentuan kiblat dari luar angkasa pertama kali mengemuka menjelang misi Sheikh Muszaphar Shukor, seorang dokter bedah Malaysia yang beragama Islam, ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada Oktober 2007.[87] ISS adalah fasilitas penelitian luar angkasa yang mengorbit di atas permukaan bumi dengan kecepatan tinggi, sehingga arah Ka'bah berubah dari detik ke detik.[25] Sebelum berangkat Sheikh Muszaphar meminta panduan dari ulama Malaysia mengenai cara menentukan arah kiblat dan aspek-aspek ibadah Islam lainnya seperti penentuan waktu salat dan puasa. Mengenai arah kiblat, Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia berpendapat bahwa penentuan arah kiblat haruslah berdasarkan "apa yang memungkinkan" bagi seorang antariksawan, dan menyebutkan urutan prioritas sebagai berikut: 1) Ka'bah 2) "proyeksi Ka'bah" ke luar angkasa 3) Bumi 4) "ke mana saja" (wherever).[25] Fatwa ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan para penulisnya bermaksud agar panduan ini dapat digunakan antariksawan-antariksawan Muslim selanjutnya.[87] Senada dengan fatwa ulama Malaysia, cendekiawan-cendekiawan Muslim lainnya menekankan perlunya fleksibilitas dan menyesuaikan arah kiblat dengan apa yang mampu dilakukan seorang antariksawan. Khaleel Mohammed, pakar agama dari Universitas Negeri San Diego menyebut "Tuhan tidak membebani seseorang di luar kesanggupannya", dan Abdali menekankan bahwa khusyuk atau sungguh-sungguh dalam salat lebih penting daripada menepatkan arah dari luar angkasa, dan "salat bukanlah olahraga akrobat".[25] Sebelum Sheikh Muszaphar, telah ada paling tidak delapan orang Muslim yang berangkat ke luar angkasa, tetapi mereka tidak membicarakan isu-isu terkait menjalankan ibadah di luar angkasa secara terbuka.[88]
Lihat pula
- Mizrah, arah berdoa umat Yahudi di luar Tanah Israel
- Qiblih, tempat yang menjadi arah berdoa umat Baha'i
- Ad orientem, posisi liturgi dalam agama Kristen
Catatan penjelas
- ^ Tindakan ini dikecam keras baik oleh Khalifah Abbasiyah yang Suni maupun Khalifah Fatimiyah yang Syiah. Pemimpin kaum Qaramithah Abu Thahir al-Jannabi menolak permintaan kedua khalifah tersebut untuk mengembalikan Hajar Aswad, dan batu tersebut baru dikembalikan pada 951 setelah kematian Abu Thahir dan pembayaran uang dari Kekhalifahan Abbasiyah.[11]
- ^ Penyebutan ini berada dalam Surat Maryam, 19:11
- ^ Dalam Waktu Indonesia Barat, kedua peristiwa ini terjadi pada 04.30 dan 04.09, saat matahari belum terbit.[44]
- ^ Contohnya, sekelompok Muslim Amerika Utara mengikuti arah loksodrom, lihat bagian #Kiblat dari Amerika Utara.
- ^ Rincian metode ini dan pembuktiannya dijelaskan dalam King 1996, hlm. 144–145
- ^ Rincian metode ini dan pembuktiannya dijelaskan dalam King 1996, hlm. 145–146
Referensi
Catatan kaki
- ^ al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. The History of Al-Tabari Volume 7: The Foundation of the Community. hlm. 25. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-24. Diakses tanggal 2022-07-22.
- ^ a b "Sahih al-Bukhari 7252 - Accepting Information Given by a Truthful Person - كتاب أخبار الآحاد - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-22. Diakses tanggal 2022-07-22.
- ^ a b "Sahih al-Bukhari 399 - Prayers (Salat) - كتاب الصلاة - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-26. Diakses tanggal 2022-07-22.
- ^ Wensinck 1978, hlm. 317.
- ^ a b Wensinck 1978, hlm. 318.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 97–98.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 104.
- ^ a b c d e f Wensinck 1986, hlm. 82.
- ^ Wensinck 1978, hlm. 321.
- ^ Daftary 2007, hlm. 149.
- ^ Daftary 2007, hlm. 149–151.
- ^ a b Hadi Bashori 2015, hlm. 103.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 91.
- ^ a b Kuban 1974, hlm. 3.
- ^ Kuban 1974, hlm. 4.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 104–105.
- ^ a b Saksono, Fulazzaky & Sari 2018, hlm. 134.
- ^ a b c d e Saksono, Fulazzaky & Sari 2018, hlm. 136.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 92, 95.
- ^ King 1996, hlm. 134.
- ^ a b King 1996, hlm. 134–135.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 95.
- ^ a b c Wensinck 1986, hlm. 83.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 94.
- ^ a b c d e f g h i j k Di Justo 2007.
- ^ King 2004, hlm. 166.
- ^ Abo-Zahhad, Ahmed & Mourad 2013, hlm. 172.
- ^ a b Almakky & Snyder 1996, hlm. 31.
- ^ Saksono, Fulazzaky & Sari 2018, hlm. 132–134.
- ^ Almakky & Snyder 1996, hlm. 35.
- ^ a b c d King 1986, hlm. 83.
- ^ Rumus ekivalen terdapat dalam Hadi Bashori 2015, hlm. 119
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 119.
- ^ a b Hadi Bashori 2015, hlm. 123.
- ^ a b c King 1986, hlm. 85.
- ^ King 1986, hlm. 85–86.
- ^ a b King 1986, hlm. 86.
- ^ Ilyas 1984, hlm. 171–172.
- ^ Ilyas 1984, hlm. 172.
- ^ a b c d e Raharto & Surya 2011, hlm. 25.
- ^ a b Hadi Bashori 2015, hlm. 125.
- ^ Raharto & Surya 2011, hlm. 24.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 125–126.
- ^ a b Hadi Bashori 2015, hlm. 126–127.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 127.
- ^ Almakky & Snyder 1996, hlm. 31–32.
- ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 110.
- ^ a b King 1996, hlm. 130.
- ^ a b King 1996, hlm. 130–131.
- ^ a b King 1996, hlm. 132.
- ^ King 1996, hlm. 132 dan gambar 4.2 di hal. 131.
- ^ a b c King 2004, hlm. 177.
- ^ King 2004, hlm. 171.
- ^ MacGregor 2018, hlm. 130.
- ^ King 1996, hlm. 128.
- ^ a b King 1996, hlm. 130–132.
- ^ King 1996, hlm. 128–129.
- ^ a b King 1996, hlm. 133.
- ^ King 1996, hlm. 132–133.
- ^ Morelon 1996b, hlm. 20–21.
- ^ Morelon 1996b, hlm. 21.
- ^ King 1996, hlm. 141.
- ^ Morelon 1996a, hlm. 15.
- ^ King 1996, hlm. 142-143.
- ^ King 1996, hlm. 143–144.
- ^ King 1996, hlm. 144–145.
- ^ King 1996, hlm. 145–146.
- ^ a b c d King 1996, hlm. 147.
- ^ King 2004, hlm. 169–170.
- ^ a b c King 2004, hlm. 170.
- ^ King 1996, hlm. 153.
- ^ King 1996, hlm. 153–154.
- ^ Almakky & Snyder 1996, hlm. 29.
- ^ King 2004, hlm. 175.
- ^ Almakky & Snyder 1996, hlm. 32.
- ^ a b King 2004, hlm. 175–176.
- ^ King 1996, hlm. 146.
- ^ Hadi Bashori 2014, hlm. 59–60.
- ^ Hadi Bashori 2014, hlm. 60–61.
- ^ Kersten 2017, hlm. 130.
- ^ Nashir 2015, hlm. 77.
- ^ a b May 1953, hlm. 367.
- ^ a b c Bilici 2012, hlm. 54.
- ^ Bilici 2012, hlm. 54–55.
- ^ a b Bilici 2012, hlm. 55–56.
- ^ Bilici 2012, hlm. 57.
- ^ a b Lewis 2013, hlm. 114.
- ^ Lewis 2013, hlm. 109.
Daftar pustaka
- Abo-Zahhad, Mohammed; Ahmed, Sabah M.; Mourad, Mohamed (2013). "Services and Applications Based on Mobile User's Location Detection and Prediction". International Journal of Communications, Network and System Sciences. Scientific Research Publishing. 6 (4): 167–175. doi:10.4236/ijcns.2013.64020. ISSN 1913-3723.
- Almakky, Ghazy; Snyder, John (1996). "Calculating an Azimuth from One Location to Another A Case Study in Determining the Qibla to Makkah". Cartographica: The International Journal for Geographic Information and Geovisualization. University of Toronto Press. 33 (2): 29–36. doi:10.3138/C567-3003-1225-M204. ISSN 0317-7173.
- Bilici, Mucahit (2012). Finding Mecca in America: How Islam Is Becoming an American Religion. University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-92287-4.
- Daftary, Farhad (2007). The Isma'ilis: Their History and Doctrines. Cambridge University Press. ISBN 978-1-139-46578-6.
- Di Justo, Patrick (2007). "A Muslim Astronaut's Dilemma: How to Face Mecca From Space". WIRED.
- Hadi Bashori, Muhammad (2014). Penanggalan Islam. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-02-3675-9.
- Hadi Bashori, Muhammad (2015). Pengantar Ilmu Falak. Jakarta: Pustaka Al Kautsar. ISBN 978-979-592-701-3.
- Ilyas, Mohammad (1984). A modern guide to astronomical calculations of Islamic calendar, times & qibla. Kuala Lumpur: Berita Publishing. ISBN 9789679690095. OCLC 13512629.
- Kersten, Carool (2017). History of Islam in Indonesia: Unity in Diversity. Edinburgh University Press. ISBN 978-0-7486-8187-7.
- King, David A. (1986). "Ḳibla: Astronomical Aspects". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume V: Khe–Mahi (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 83–88. ISBN 978-90-04-07819-2.
- King, David A. (1996). "Astronomy and Islamic Society". Dalam Rashed, Roshdi. Encyclopedia of the History of Arabic Science. I. Routledge. hlm. 128–184.
- King, David A. (2004). "The Sacred Geography of Islam". Dalam Koetsier, Teun; Bergmans, Luc. Mathematics and the Divine: A Historical Study. Elsevier. hlm. 161–178.
- Kuban, Doğan (1974). The Mosque and Its Early Development. BRILL. ISBN 90-04-03813-2.
- Lewis, Cathleen S. (2013). "Muslims in Space: Observing Religious Rites in a New Environment" (PDF). Astropolitics. 11 (1–2): 108–115. doi:10.1080/14777622.2013.802622. ISSN 1477-7622.
- MacGregor, Neil (2018). Living with the Gods: On Beliefs and Peoples. Penguin Books. ISBN 978-0-241-30830-1.
- May, Don (1953). "You Can't Build That Mosque With a Compass". Surveying and Mapping. Washington, D.C.: American Congress on Surveying and Mapping. 13 (1): 367–368.
- Morelon, Régis (1996a). "General survey of Arabic astronomy". Dalam Rashed, Roshdi. Encyclopedia of the History of Arabic Science. I. Routledge. hlm. 1–19.
- Morelon, Régis (1996b). "Eastern Arabic astronomy between the eight and the eleventh centuries". Dalam Rashed, Roshdi. Encyclopedia of the History of Arabic Science. I. Routledge. hlm. 20–57.
- Nashir, Haedar (2015). Muhammadiyah: a Reform Movement. Surakarta: Muhammadiyah University Press. ISBN 978-602-361-012-9.
- Raharto, Moedji; Surya, Dede Jaenal Arifin (2011). "Telaah Penentuan Arah Kiblat dengan Perhitungan Trigonometri Bola dan Bayang-Bayang Gnomon oleh Matahari". Jurnal Fisika Himpunan Fisika Indonesia. Universitas Indonesia. 11 (1): 23–29. ISSN 0854-3046.
- Saksono, Tono; Fulazzaky, Mohamad Ali; Sari, Zamah (2018). "Geodetic analysis of disputed accurate qibla direction". Journal of Applied Geodesy. De Gruyter. 12 (2): 129–138. doi:10.1515/jag-2017-0036. ISSN 1862-9024.
- Wensinck, Arent Jan (1978). "Kaʿba". Dalam van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch.; Bosworth, C. E. Encyclopaedia of Islam. Volume IV: Iran–Kha (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 317–322. OCLC 758278456.
- Wensinck, Arent Jan (1986). "Ḳibla: Ritual and Legal Aspects". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Lewis, B.; Pellat, Ch. Encyclopaedia of Islam. Volume V: Khe–Mahi (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 82–83. ISBN 978-90-04-07819-2.