ADAPTASI KONSEP LEAN MANAGEMENT
UNTUK PENINGKATAN MUTU SEKOLAH
Lina
Pascasarjana Manajemen Pendidikan
Universitas Negeri Malang
Email: fransiskalina@gmail.com
Abstrak: Tujuan dari artikel ini adalah untuk menganalisa pengaruh manajemen operasional harian
(daily management) dalam mendukung upaya peningkatan mutu sekolah. Konsep mutu yang berfokus
pada ekspektasi (kebutuhan, keinginan, harapan) pelanggan melalui perbaikan terus menerus
merupakan prinsip dalam manajemen mutu, salah satunya konsep lean. Konsep lean berfokus pada
standarisasi, stabilitas, dan keterlibatan anggota organisasi sebagai pilar-pilar utama dalam
penerapannya. Studi kasus berdasarkan hasil asesmen kebutuhan di KB-TK Pelita Kasih Lawang
membuktikan hal tersebut. Masalah standarisasi dan keterlibatan dapat diperbaiki dengan perencanaan
yang baik, salah satunya menggunakan siklus Deming (PDCA), sementara stabilitas dapat diperbaiki
menggunakan manajemen visual.
Kata kunci: perbaikan, manajemen visual, manajemen mutu, lean, siklus Deming
Abstract: The Aim of this article is to analyze the impact of daily management to support the efforts of
school quality improvement using a lean management perspective. The main concepts of lean concept
as one of the total quality management are customer satisfaction (including needs, wants, and hopes)
and continuous improvement. Standardization, stability, and involvement of human resources are the
basic elements of lean implementation. Case study based on needs assessment results in Pelita Kasih
Lawang Early Chilhood Education proved the significance of those basic elements. Standardization
and involvement issues can be improved with a good planning using Deming Cycle (PDCA), while the
stability issues can be improved by using visual management.
Key words: improvement, visual management, quality management, lean, Deming cycle
Memasuki tahun milenium, kualitas telah dan diperkirakan akan terus menjadi fokus strategis
bagi keberhasilan bisnis di abad ke-21, karena kondisi pasar saat ini didorong oleh keinginan pasar
dan pelanggan yang selalu berubah (Dombrowski, Ebentreich, & Krenkel, 2016; Gaspersz, 2001;
Rauch, Dallasega, & Matt, 2017). Semenjak kemunculannya di Jepang pada 1950an dan
popularitasnya di Amerika Serikat serta Eropa pada 1990an, konsep manajemen mutu (quality
management) telah berkembang dengan pesat dan senantiasa diperbaharui. Fowley (dalam Andersson
et al., 2006) menyatakan bahwa manajemen mutu dapat dianggap sebagai revolusi manajemen, filosofi
revolusioner dalam manajemen, sudut pandang baru dalam manajemen organisasi, perubahan
paradigma, cara komprehensif untuk meningkatkan kinerja organisasi secara terpadu, alternatif bagi
manajemen untuk melakukan pengawasan, atau sebuah kerangka untuk manajemen yang kompetitif.
Sesuai dengan filosofinya, yaitu perbaikan terus menerus (continuous improvement), konsep
manajemen mutu juga mengalami perbaikan melalui evaluasi praktik secara nyata dalam dunia industri
(barang maupun jasa). Namun, menurut peneliti dari seluruh konsep yang berkembang luas tersebut,
1
secara umum ada tiga hal yang menjadi dasar penerapan manajemen mutu, yaitu pelanggan, produk,
dan mutu. Selain itu, tujuan dari berbagai konsep manajemen kualitas juga tetap sama, yaitu untuk
meminimalkan pemborosan (waste) dan sumber daya melalui perbaikan-perbaikan (improvements)
yang berdampak pada meningkatnya kepuasan pelanggan serta keuntungan finansial lembaga
(Andersson et al., 2006).
Menurut Gaspersz (2001), pelanggan adalah semua orang yang menuntut pihak lain untuk
memenuhi standar kualitas tertentu, sehingga memberikan pengaruh pada kinerja pihak tersebut.
Pelanggan terdiri atas: (1) pelanggan internal, yaitu orang yang berada di dalam lingkungan organisasi
dan memiliki pengaruh pada kinerja organisasi maupun anggota organisasi lainnya; (2) pelanggan
eksternal, yaitu pembeli atau pemakai akhir produk (Gaspersz, 2001; Sallis, 2015). Ekspektasi
pelanggan, yang mencakup kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan, dapat diidentifikasi melalui:
(1) karakteristik produk yang diinginkan pelanggan; (2) tingkat kinerja (performance level) untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan; (3) urutan prioritas dari setiap karakteristik produk; (4) kepuasan
pelanggan dengan tingkat kinerja produk yang ada sekarang (Gaspersz, 2001). Secara sederhana,
apabila seluruh ekspektasi pelanggan dapat terpenuhi melalui produk yang dikonsumsi maka
pelanggan akan cenderung puas. Kepuasan pelanggan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
kebutuhan atau keinginan pribadi pelanggan; pengalaman masa lalu; pengalaman dari orang lain;
strategi pemasaran (Gaspersz, 2001).
Produk merupakan hasil dari suatu aktivitas atau proses dan dapat berbentuk (tangible), tak
berbentuk (intangible), dan kombinasi keduanya. Oleh karena itu, produk dapat berupa barang,
perangkat lunak (software), maupun jasa (Gaspersz, 2001; Sallis, 2015). Mutu telah menjadi perhatian
yang penting bagi setiap organisasi (Andersson et al., 2006), sejak sebelum dan sesudah revolusi
industri. Perhatian mengenai mutu mengalami sejumlah evolusi, mulai dari sekedar inspeksi,
pengendalian kualitas (quality control), jaminan kualitas (quality assurance), hingga manajemen mutu
terpadu (total quality management) (Sallis, 2015).
Secara konvensional, mutu biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk,
seperti estetika dan spesifikasi produk. Secara strategis, mutu mencakup segala sesuatu yang
memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (Gaspersz, 2001). Oleh karena itu, menurut Sallis
(2015), mutu suatu produk dapat diukur berdasarkan dua hal yaitu terpenuhinya standar pembuatan
produk atau terpenuhinya kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
Lean
Di antara beberapa konsep manajemen kualitas yang berkembang, konsep lean merupakan
salah satu konsep yang berhasil dan dikenal luas. Konsep lean dikenal juga sebagai lean management,
2
lean manufacturing, atau lean production (Andersson et al., 2006). Konsep lean bukanlah sesuatu yang
baru dalam dunia industri produksi barang, tetapi merupakan hal yang baru dalam dunia layanan jasa
(Kadarova & Demecko, 2016).
Secara garis besar, lean memiliki konsep yang hampir sama dengan manajemen pada
umumnya, yaitu melakukan lebih dalam mencapai tujuan yang ditentukan dengan memanfaatkan
sumber daya secara efektif dan efisien. Singkatnya, lean merupakan sebuah manajemen mutu
sistematis yang berfokus pada identifikasi dan penghilangan pemborosan (waste) melalui perbaikan
terus menerus (continuous improvement) (Andersson et al., 2006; Dennis, 2007; Kadarova &
Demecko, 2016; Rauch, Damian, Holzner, & Matt, 2016; Rochman, Suryana, & Rahayu, 2013). Lean
menggunakan alat-alat (tools) yang bersifat analitis dibanding dengan metode-metode manajemen
mutu lainnya seperti six-sigma yang menggunakan statistika (Andersson et al., 2006). Alat Analisa
tersebut digunakan untuk mengidentifikasi masalah, mencari penyebab atau akar masalah hingga
menemukan solusi (Groys, 2016).
Organisasi yang mengadopsi lean harus menjadikan keinginan dan nilai-nilai yang dianut oleh
pelanggan sebagai tolok ukur terhadap segala aktivitas produksi organisasi, sehingga apa yang tidak
memiliki nilai atau berharga bagi pelanggan, tidak boleh diproduksi oleh organisasi (Andersson et al.,
2006; Andrés-López, González-Requena, & Sanz-Lobera, 2015; Dennis, 2007; Kadarova & Demecko,
2016; Minh & Ha, 2016). Hal ini dengan sendirinya akan membuat organisasi untuk menganalisa dan
menghilangkan pemborosan (waste) serta melakukan perbaikan terus menerus untuk memenuhi dan
memuaskan keinginan pelanggan (Rauch et al., 2016).
Berikut ini adalah gambaran dasar mengenai konsep lean yang disebut The House of Lean
Production atau Basic Image of Lean Production.
Gambar 1. The House of Lean Production atau Basic Image of Lean
Peningkatan mutu menggunakan konsep lean sebagai salah satu manajemen mutu,
menunjukkan bahwa perlu adanya stabilitas dan standarisasi sebagai dasar penerapan manajemen
mutu. Penerapan diperkuat dengan dua pilar, yaitu distribusi produk tepat waktu (just-in-time) dan
3
pencarian akar masalah (build-in-quality) sebagai solusi pemecahan masalah. Keseluruhan proses
perningkatan mutu menggunakan konsep lean dinaungi oleh satu fokus tujuan, yaitu mengirimkan
produk pada pelanggan dengan kualitas terbaik dan harga yang rendah dalam waktu (lead time) yang
cepat. Terakhir, pusat dari keseluruhan konsep lean terletak pada keterlibatan anggota organisasi yang
senantiasa termotivasi dan fleksibel secara terus-menerus, terutama dalam mencari cara-cara terbaik
melakukan pekerjaan mereka (Asnan, Nordin, & Othman, 2015; Dennis, 2007; Minh & Ha, 2016;
Rauch et al., 2017).
Penting diperhatikan bahwa konsep lean meletakkan keterlibatan sumber daya manusia sebagai
inti dari keseluruhan konsep (Asnan et al., 2015; Dennis, 2007; Minh & Ha, 2016). Hal ini menegaskan
bahwa perbaikan terus-menerus yang dicita-citakan tidak akan dapat berjalan tanpa adanya partisipasi
aktif dari anggota organisasi, terutama mereka yang berhadapan langsung dengan pelanggan maupun
yang melakukan produksi. Sumber daya manusia disadari sebagai faktor yang paling berharga dalam
industri serta menjadi modal bagi organisasi manapun (Saremi, 2015). Sejalan dengan pendapat ini,
Gaspersz (2001) menyatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan organisasi salah satunya dipengaruhi
oleh sumber daya manusia serta bagaimana pemberdayaan terhadap sumber daya manusia tersebut
difokuskan untuk memenuhi tujuan-tujuan organisasi.
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan
manajemen mutu membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten dan mau berperan aktif.
Menurut Gaspersz (2001), beberapa kegagalan manajemen mutu yang disebabkan oleh sumber daya
manusia antara lain dalam hal: distribusi data dan informasi; koordinasi, yaitu adanya koordinasi kerja
yang tidak jelas dan tidak terintegrasi di antara kelompok; serta kegagalan dalam mendefinisikan
sasaran dan ekspektasi yang berkaitan dengan hasil yang diharapkan serta tujuan perbaikan.
Penelitian dalam artikel ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan peneliti bersama
dengan satu orang rekan lainnya pada mata kuliah Asesmen Kebutuhan dan Perencanaan. Penelitian
tersebut (selanjutnya disebut penelitian awal) dilakukan sebagai bagian dari Rencana Pengembangan
Peningkatan Motivasi Guru KB-TK Pelita Kasih Lawang. Rencana pengembangan tersebut
merupakan salah satu upaya sekolah dan yayasan dalam meningkatkan mutu pembelajaran (secara
khusus) dan sekolah KB-TK (secara umum). Upaya peningkatan mutu ini diawali dengan mencari
penyebab utama terjadinya kesenjangan antara ekspektasi (harapan, keinginan, dan kebutuhan) pihak
yayasan dan orang tua terhadap kinerja guru. Kesenjangan ini diwujudkan dalam anggapan bahwa
guru KB-TK Pelita Kasih Lawang dianggap kurang termotivasi untuk mau berbuat lebih dalam rangka
mencapai kinerja yang maksimal, sementara pihak guru merasa telah memberikan kinerja yang
maksimal.
4
Untuk mengetahui aspek kesenjangan yang menjadi sorotan, maka peneliti melakukan diskusi
bersama dengan kepala sekolah dan koordinator sekolah. Berdasarkan diskusi ini didapatkan ekspektasi
yang menjadi idealisme pihak yayasan sebagai pelanggan internal sekaligus evaluasi terhadap kepuasan
kinerja guru. Sementara itu, untuk sudut pandang pelanggan eksternal, yaitu orang tua siswa, disebarkan
kuisioner kepada empat perwakilan orang tua di masing-masing KB dan TK.
Kuisioner berisikan sejumlah indikator yang merujuk pada empat kompetensi guru PAUD
berdasarkan Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru (Permendiknas 16/2007), dimana
setiap orang tua diminta untuk mengisikan harapan dan aktual yang dialami dari setiap indikator
tersebut. Untuk mengetahui perspektif guru, peneliti menyebarkan kuisioner kepada para guru yang
dibagi ke dalam tiga kelompok penilaian, yaitu kinerja, kepemimpinan, dan motivasi. Setiap item
pertanyaan dengan tingkat variasi jawaban yang sangat berbeda dari keenam guru tersebut,
mengindikasikan adanya masalah yang perlu diekplorasi lebih lanjut.
Kuisioner guru ini digunakan sebagai alat validasi fakta yang diungkapkan oleh koordinator
sekolah dan orang tua terhadap kepuasan kinerja guru. Kesenjangan yang menjadi sorotan kemudian
dikelompokkan ke dalam empat kompetensi guru berdasarkan Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru (Permendiknas 16/2007). Kemudian kesenjangan ini didiskusikan dalam sebuah
diskusi grup antara peneliti bersama kepala sekolah dan keenam guru KB-TK Pelita Kasih
menggunakan teknik 5whys dari metode analisa akar masalah (Root cause analysis). Pemilihan teknik
5whys dikarenakan tujuan dari penelitian adalah untuk mencari tahu kendala pada guru yang menjadi
penyebab timbulnya kesenjangan tersebut.
Root cause analysis merupakan metode pencarian akar atau penyebab utama dari suatu masalah
untuk mendapatkan solusi atas masalah tersebut. Metode ini dapat digunakan hampir pada setiap
masalah dengan tingkat kerumitan sederhana hingga medium, baik itu tentang proses, produk, sistem,
organisasi, atau sumber daya manusia. Teknik 5whys mengharuskan adanya pertanyaan penyebab dari
penyebab suatu masalah. Pada saat menghadapi suatu masalah, pertanyaan why digunakan untuk
mencari sumber penyebabnya. Kemudian pertanyaan why diajukan kembali pada jawaban pertama
tersebut, demikian seterusnya hingga penyebab lainnya tidak dapat diidentifikasi, yaitu sampai
menemukan sumber pokok masalahnya.
Selanjutnya, menggunakan hasil diskusi grup dan analisa data dengan teknik 5whys tersebut,
disusunlah empat mekanisme dan rancangan program pengembangan. Dikarenakan keterbatasan
tujuan dan ruang lingkup penelitian pada saat itu, maka peneliti tidak dapat mendalami lebih lanjut
beberapa aspek dari hasil penelitian untuk mencapai perbaikan KB-TK Pelita Kasih Lawang yang
maksimal. Oleh karena itu, penelitian dalam artikel kali ini akan mendalami secara terfokus hasil
penelitian awal Rencana Pengembangan Peningkatan Motivasi Guru KB-TK Pelita Kasih Lawang
5
yang menjadi salah satu mekanisme dan rancangan usulan program pengembangan, yaitu manajemen
operasional sehari-hari (daily management) yang lebih terstruktur dan sistematis. Menggunakan
konsep lean, peneliti bertujuan untuk mendeskripsikan penelitian Rencana Pengembangan
Peningkatan Motivasi Guru KB-TK Pelita Kasih Lawang serta menganalisa keakuratan salah satu
mekanisme dan rancangan usulan program pengembangan, yaitu manajemen operasional sehari-hari
(daily management), dari sudut pandang manajemen mutu.
METODE
Penelitian dalam artikel ini merupakan penelitian studi kasus yang berfokus pada Rencana
Pengembangan Peningkatan Motivasi Guru KB-TK Pelita Kasih Lawang (penelitian awal) dalam
peningkatan mutu pembelajaran dan sekolah di KB-TK Pelita Kasih Lawang. Penelitian studi kasus
memberikan penjelasan rinci mengenai suatu kejadian, subjek, dokumen atau keadaan tertentu
(Bogdan & Biklen, 2003; Johnson & Christensen, 2004). Hasil penelitian studi kasus dapat digunakan
untuk menjawab pertanyaan penelitian yang bersifat deskriptif, penyelidikan, dan menjelaskan karena
melalui penelitian studi kasus, peneliti mendapat pemahaman mendalam mengenai seseorang,
kelompok, atau situasi tertentu (Johnson & Christensen, 2004; Lodico, Spaulding, & Voegtle, 2006).
Penelitian dalam artikel ini merupakan lanjutan dari penelitian awal. Teknik yang digunakan
dalam penelitian lanjutan ini adalah (1) studi dokumentasi terhadap data-data dari penelitian awal yang
berupa hasil kuisioner, wawancara, diskusi grup, serta analisa 5whys; (2) pengalaman peneliti ketika
melakukan penelitian awal; (3) studi literatur yang relevan. Data-data kemudian dibahas secara
deskriptif pada bagian hasil dan pembahasan dengan didasarkan pada konsep lean sebagai konsep
manajemen mutu.
HASIL
Pelanggan, Produk dan Mutu
Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator dan kepala sekolah, diketahui bahwa
Rencana Pengembangan Peningkatan Motivasi Guru KB-TK Pelita Kasih Lawang merupakan salah
satu upaya meningkatkan mutu pembelajaran dan sekolah KB-TK melalui perbaikan kinerja guru.
Oleh karena itu, penelitian awal dan penelitian lanjutan dalam artikel ini akan berfokus pada guru.
Inti dari konsep manajemen mutu adalah pelanggan dan ekspektasinya, maka sebelum
menganalisa lebih lanjut, penting mengetahui siapa saja pelanggan serta produk dan mutu dari guru
KB-TK Pelita Kasih Lawang.
Dalam dunia pendidikan, pelanggan internal adalah siswa dan seluruh pendidik serta tenaga
kependidikan; sedangkan pelanggan eksternal adalah siswa, masyarakat, serta institusi lainnya tempat
siswa melanjutkan karir pendidikannya (Dahlgaard et al., 1995). Pada kasus ini, dikarenakan fokus
6
rencana pengembangan adalah untuk guru KB-TK, maka (1) siswa sebagai pelanggan internal dan
eksternal yang masih tergolong usia dini akan diwakilkan oleh orang tua dan termasuk dalam kategori
pelanggan eksternal; (2) pihak yayasan merupakan pelanggan internal guru karena kinerja guru berada
di bawah pengawasan dan tanggung jawab yayasan yang pengawasannya diwakilkan oleh Koordinator
SKPK (Gambar 2); (3) kepala sekolah merupakan fasilitator atau penghubung antara guru dan kedua
pelanggan. Secara garis besar, hubungan antara guru dan kedua pelanggan diperlihatkan pada Gambar
3.
Gambar 2. Struktur Organisasi KB-TK Pelita Kasih Lawang
Gambar 3. Hubungan Antara Guru KB-TK Pelita Kasih Lawang Dengan Pelanggan
Kedua ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh guru akan berdampak
pada pelanggan internal dan eksternal (panah bewarna orange pada Gambar 3) dan dipengaruhi oleh
masukan dari kedua pelanggan (panah bewarna biru pada Gambar 3). Sementara itu, hubungan antara
7
sesama pelanggan tampak dari masukan yang langsung dapat diberikan oleh orang tua kepada pihak
yayasan.
Selanjutnya, perlu diketahui ekspektasi dari kedua pelanggan yang mencakup kebutuhan,
keinginan, dan harapan pelanggan. Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator sekolah dan
kuisioner kepada perwakilan orang tua siswa, maka ekspektasi ini diidentifikasi melalui tiga hal.
Pertama, karakteristik produk yang diinginkan pelanggan. Baik pelanggan internal maupun ekternal
sama-sama menginginkan agar guru menguasai kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan
kepribadian dalam praktik mengajar.
Kedua, tingkat kinerja (performance level) yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan tersebut adalah kreativitas, motivasi, dan komitmen yang tinggi dari guru. Ketiga, urutan
prioritas dari setiap tuntutan penguasaan kompetensi memiliki prioritas yang sama karena keempat
kompetensi tersebut digunakan secara bersamaan pada saat melakukan praktik mengajar.
Keempat, kepuasan pelanggan dengan tingkat kinerja produk yang ada sekarang secara garis
besar berada pada kategori rendah. Hal ini dibuktikan dengan beberapa pola kejadian dimana guru: (1)
bersungut-sungut dalam mengikuti semua program wajib yang diselenggarakan oleh Yayasan; (2)
tidak mau mengikuti program kegiatan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan; (3)
menyelesaikan administrasi kelas dengan asal-asalan, padahal sudah jelas menjadi tanggung jawab
guru; (4) kurang kreatif dan memotivasi diri untuk memberikan yang terbaik bagi peserta didik; (5)
kurang peka terhadap lingkungan sekitar, seperti dalam hal kebersihan sekitar kelas serta pemeliharaan
sarana-prasarana; (6) kurang mau terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan di luar sekolah; (7) tidak
mau meluangkan waktu mengikuti kegiatan pengembangan profesi di luar jam dan hari kerja resmi.
Produk yang dihasilkan oleh Guru KB-TK Pelita Kasih Lawang termasuk dalam kategori jasa
dan dapat dilihat melalui kinerja yang dihasilkan guru. Oleh karena itu, dalam hal ini mutu yang
dihasilkan oleh guru diukur melalui kepuasan atau terpenuhinya kebutuhan pelanggan.
Perubahan, Konflik, dan Perilaku
Hasil diskusi grup dan analisa 5whys menunjukkan bahwa penyebab terjadinya kesenjangan
antara ekspektasi pelanggan dan guru KB-TK Pelita Kasih Lawang adalah adanya ketidakpuasan dari
guru pada aspek manajemen penilaian kinerja dan kepemimpinan. Ketidakpuasan itu sendiri muncul
karena adanya perubahan organisasi yang signifikan dan berulang dalam periode waktu yang singkat,
sehingga memunculkan konflik pribadi dan kelompok. Perubahan dan konflik tersebut tidak dikelola
dengan baik sejak awal dan terbuka (antara kepala sekolah saat itu dan guru) sehingga berdampak pada
penerimaan guru terhadap konflik dan perubahan yang terjadi (perilaku organisasi) hingga saat ini.
8
Pada akhirnya, hal ini mempengaruhi perilaku guru dalam menjalankan profesinya sebagai bagian dari
motivasi ektrinsik guru.
Secara garis besar, penyebab utama munculnya kesenjangan tersebut dapat dikelompokkan
dalam beberapa aspek manajemen sumber daya manusia. Pertama adalah aspek kepemimpinan,
terutama gaya dan peran pemimpin (hasil FGD Kompetensi Sosial dan Kepribadian poin 1). Kedua,
indikator penilaian kinerja (hasil FGD Kompetensi Sosial dan Kepribadian poin 1). Ketiga, kompetensi
guru yang bukan dari latar belakang PAUD (hasil FGD Kompetensi Profesional dan Pedagogik poin
1). Empat, Manajemen operasional KB-TK (berdasarkan keseluruhan hasil FGD).
Oleh karena itu, mekanisme dan rancangan usulan program Pengembangan Peningkatan
Motivasi Guru KB-TK Pelita Kasih Lawang, pada penelitian awal, lebih banyak dilakukan melalui
kegiatan yang bersifat personal dan manajemen operasional sehari-hari, yaitu: (1) peningkatan
kompetensi guru melalui kegiatan studi banding serta seminar kompetensi dan keahlian guru PAUD;
(2) manajemen operasional sehari-hari (daily management) yang lebih terstruktur dan sistematis; (3)
peningkatan peran dan gaya kepemimpinan kepala sekolah melalui supervisi; (4) pembuatan indikator
penilaian kinerja melalui penyusunan job description.
PEMBAHASAN
Stabilitas dan Standarisasi
Hasil penelitian awal menunjukkan adanya ketidakseimbangan di dalam KB-TK Pelita Kasih
Lawang, sebagai akibat dari perubahan organisasi yang sering terjadi yang mengarah pada akibat
lainnya, yaitu terjadinya konflik dan mempengaruhi perilaku guru. Berdasarkan keseluruhan hasil
5whys, dapat dilihat bahwa ketidakseimbangan ini mengakibatkan guru seakan enggan terlibat dalam
aktivitas pengembangan maupun peningkatan mutu personal dan sekolah, seperti sertifikasi, pelatihan
dan kegiatan di luar lingkungan serta jam sekolah bahkan dari dinas pendidikan, kerapian dan
ketepatan waktu dalam administrasi, serta kreatifitas metode mengajar.
Selain itu, juga terlihat bahwa belum adanya standarisasi terhadap beberapa hal, seperti
penilaian kinerja; pengajuan komplain terhadap para guru; pengelolaan operasional KB-TK seharihari, baik mengenai distribusi data dan informasi, koordinasi kerja, definisi sasaran dan ekspektasi dari
pelanggan. Melalui diskusi grup dan wawancara dengan kepala sekolah, diketahui bahwa pengelolaan
atau manajemen terhadap hal tersebut dilakukan secara ad hoc bahkan terkesan reaktif. Akibatnya,
guru mendapat kesan bahwa komunikasi organisasi berjalan satu arah (top-down) tanpa ada
kesempatan untuk melakukan klarifikasi.
Jika menggunakan konsep lean sebagai konsep penerapan manajemen mutu dalam organisasi,
maka stabilitas dan standarisasi merupakan dua hal yang harus ada pada organisasi tersebut. Hal ini
9
dikarenakan keduanya menjadi dasar dalam penerapan konsep lean sebagai manajemen mutu.
Berdasarkan hasil penelitian awal, terlihat bahwa kedua aspek ini masih belum terpenuhi di KB-TK
Pelita Kasih Lawang, sehingga diduga menjadi penyebab sulitnya proses peningkatan mutu di sekolah.
Standarisasi merupakan cara termudah, teraman dan paling efektif dalam melakukan pekerjaan
yang sudah ada. Tujuan dari standarisasi adalah (1) menyediakan dasar bagi perbaikan (improvement);
(2) memungkinkan abnormalitas segera diketahui sehingga tindakan perbaikan dapat dilakukan
dengan cepat. Perbaikan menjadi hal yang tidak mungkin tanpa adanya stabilitas terhadap empat aspek
4M berikut dalam organisasi: Manusia (man), Mesin (machine), Bahan (material), dan Metode
(method) (Andrés-López et al., 2015; Dennis, 2007).
Pengamatan stabilitas keempat aspek ini dalam kasus peningkatan mutu KB-TK Pelita Kasih
Lawang dapat diidentifikasi sebagai berikut. Aspek manusia yaitu guru yang tidak berasal dari latar
belakang pendidikan anak usia dini, cukup membuat guru kewalahan dalam menjalankan profesinya.
Aspek mesin yang dapat diadaptasi sebagai alat bagi peningkatan mutu, seperti SOP (standard
operating procedure), job description, pengukuran dan penilaian kinerja, juga masih belum dibakukan
secara sistematis dan teratur. Aspek bahan seharusnya dapat diwujudkan dalam bentuk materi
pengembangan dan peningkatan sumber daya, ide-ide perbaikan atau informasi masih belum
terdistribusi dengan baik. Terakhir, aspek metode peningkatan mutu, baik menggunakan konsep
manajemen mutu terpadu, manajemen berbasis objektif, manajemen strategis, atau lainnya masih
sering berganti seiring pergantian kepemimpinan.
Standar merupakan sebuah gambaran tegas dan jelas dari suatu kondisi yang diinginkan.
Standar yang efektif dan baik hendaknya sederhana, jelas, dan dapat dilihat (visual). Oleh karena itu,
standar dapat berbentuk bagan kerja (work chart), sebuah gambaran grafis, jadwal (schedule), ataupun
tampilan visual lainnya. Dalam konsep lean, standarisasi harus mengarah pada terciptanya sebuah
tindakan. Standar tertulis memiliki pengaruh yang rendah terhadap tindakan seseorang, standar dalam
bentuk gambar memiliki pengaruh yang lebih tinggi, sedangkan contoh nyata tindakan yang baik dan
benar memiliki pengaruh paling tinggi dibanding yang lainnya (Dennis, 2007; Kadarova & Demecko,
2016).
Keterlibatan Guru dalam Peningkatan Mutu
Keterlibatan dalam konsep lean harus dikelola dengan sangat baik sebaik pengelolaan kualitas
dan produksi (Asnan et al., 2015; Dennis, 2007; Minh & Ha, 2016; Rauch et al., 2017). Anggota
organisasi yang terlibat secara langsung dalam proses produksi merupakan pemecah masalah paling
tepat, sehingga harus diikutsertakan dalam proses pencarian solusi dan perbaikan terhadap masalah
10
terkait. Keterlibatan juga meningkatkan kemampuan anggota sehingga mereka menjadi percaya diri
dalam menghadapi tantangan ke depannya.
Peningkatan mutu menggunakan konsep lean dimulai dengan dibentuknya sebuah tim yang
harus dilatih agar memiliki pengetahuan mengenai konsep manajemen mutu dan kemampuan di bidang
administratif, brainstorming, pemecahan masalah, dan presentasi. Setiap anggota dari tim tersebut
memilik peran dan tanggung jawab masing-masing sebagai anggota, fasilitator, penasihat, pelatih,
dan koordinator. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi dan peran pengawasan dari manajemen
puncak agar penerapan peningkatan mutu dapat berhasil.
Apabila dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi di KB-TK Pelita Kasih Lawang, terlihat
bahwa penerapan peningkatan mutu belum diawali dengan benar sesuai konsep. Pertama, pihak
sekolah dan yayasan memang telah menyadari perlunya perbaikan terus-menerus dalam hal
peningkatan mutu untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, akan tetapi program-program yang
dilakukan masih belum terintegrasi sebagai satu kesatuan program peningkatan mutu. Kedua,
meskipun materi pelatihan dan kegiatan peningkatan mutu guru sebenarnya baik, namun
pelaksanaannya masih dilakukan secara acak dengan materi dan jadwal yang tidak terintegrasi. Ketiga,
kegiatan peningkatan mutu juga masih cenderung berjalan satu arah secara top-down, bukannya dari
inisiatif guru sesuai kebutuhan. Keempat, kegiatan peningkatan mutu tidak dikelola secara
komprehensif oleh satu tim sebagai penanggung jawab utama.
Usulan Solusi
Perencanaan untuk Standarisasi dan Keterlibatan Guru
Salah satu cara mencapai standarisasi dalam konsep lean yaitu melalui perencanaan atau biasa
dikenal dengan istilah Hoshin Planning. Pemimpin terbaik melakukan praktik perencanaan setiap
harinya. Perencanaan harus mampu menjawab dua pertanyaan mengenai arah (kemana) dan cara
mencapai (bagaimana). Perencanaan hendaknya memperhatikan beberapa hal berikut agar dapat
berhasil: (1) realistis dalam meramalkan masa depan atau ekspektasi pelanggan; (2) tujuan atau sasaran
yang terlalu banyak akan mempengaruhi fokus; (3) SMART, yaitu spesifik (specific) – terukur
(measureable) – dapat dicapai (achieveable) – realistis (realistic) – tepat waktu (timely); (4)
berdasarkan pada data; (5) perencanaan harus dianggap sebagai sebuah proses, bukan kejadian
tertentu; (6) ditinjau secara berkala; (7) komunikasi yang memadai antara individu maupun tim, baik
secara horizontal maupun vertikal (Dennis, 2007).
Perencanaan dalam manajemen mutu dapat dilakukan dengan menggunakan Siklus Deming,
yang terdiri dari Plan, Do, Check/Study, Action (PDCA). Untuk kasus KB-TK Pelita Kasih Lawang,
maka usulan model perencanaan peningkatan mutu dari peneliti dapat dilihat pada Gambar 4. Usulan
11
model ini menggabungkan antara metode asesmen kebutuhan yang telah dilakukan di penelitian awal
dan siklus Deming.
Pertanyaan mengenai arah peningkatan mutu yang menjadi sasaran dan tujuan KB-TK Pelita
Kasih Lawang harus dengan tegas dinyatakan pada bagian Plan. Empat mekanisme dan rancangan
usulan program dari penelitian awal dapat menjadi rekomendasi langkah awal peningkatan mutu
kendati dibuat berdasarkan analisa terhadap kebutuhan dan kondisi guru. Namun, usulan program ini
dapat saja ditambah dan disusun lebih lanjut menyesuaikan dengan kebutuhan pelanggan internal
(pihak yayasan) serta pelanggan eksternal (orang tua).
Pada bagian plan hendaknya juga sudah dibentuk suatu tim khusus peningkatan mutu yang
terdiri dari anggota, fasilitator, penasihat, pelatih, dan koordinator. Pelatih dan penasihat hendaknya
melibatkan pihak luar untuk memberi sudut pandang dan pengetahuan baru bagi tim. Namun, anggota,
fasilitator serta koordinator haruslah dari guru atau Kepala Sekolah KB-TK Pelita Kasih sendiri. Hal
ini sesuai dengan prinsip keterlibatan dalam lean, dimana tim perbaikan harus melibatkan mereka yang
menjalankan langsung proses produksi karena pengetahuan dan pengalaman mereka merupakan
sumber berharga bagi pemecahan masalah dan pencarian solusi. Penting diingat bahwa peran fasilitator
harus mampu mengarahkan tim dalam proses pencarian solusi serta membuat laporan mengenai
keseluruhan proses peningkatan mutu yang dilakukan. Peran ini tentu saja berbeda dengan koordinator
yang bertanggung jawab memimpin tim. Oleh karena itu, pemilihan fasilitator harus dilakukan dengan
serius dan merupakan orang yang kompeten.
Sementara itu, pertanyaan mengenai bagaimana cara menuju ke arah yang telah ditetapkan di
bagian Plan, dilakukan pada bagian Do. Pada bagian ini tim peningkatan mutu menentukan prioritas
dari empat mekanisme, kemudian menyusun program kegiatan dari setiap mekanisme tersebut beserta
jadwal pelaksanaannya. Berdasarkan evaluasi pada penelitian awal, maka penting diingat bahwa setiap
program kegiatan haruslah terintegrasi sesuai mekanisme masing-masing, sehingga dapat mencapai
tujuan peningkatan mutu yang ditetapkan di awal.
Selanjutnya, rincian program dan jadwal pelaksanaan tersebut diperiksa dan diuji kembali
sebelum diimplemantasikan. Pada bagian Check/Study dapat menggunakan metode diskusi grup atau
data-data yang relevan. Dikarenakan rincian program bersifat administrative dan pengembangan, maka
data-data dapat berupa studi lapangan (study tour), hasil penelitian, ataupun studi kasus di sekolah lain.
Setelah data dikumpulkan maka dibandingkan dengan rencana dan kondisi KB-TK yang ada sekarang.
Terakhir, apabila tim telah sepakat dan menyetujui rincian program serta jadwal pelaksanaan
perbaikan mutu, maka dapat diimplementasikan pada tahap Act. Rincian program dan jadwal
pelaksanaan tersebut dapat dirinci lagi menjadi beberapa bagian rencana tindakan (action plan), yang
dapat dibagi dalam rincian mingguan, bulanan, atau kuartal. Hal ini untuk memudahkan pengukuran
12
dan evaluasi efektivitas program perbaikan mutu. Informasi dan data yang diperoleh kemudian
dijadikan umpan balik untuk melakukan perbaikan selanjutnya, sehingga diperoleh suatu proses
perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement).
Gambar 4. Usulan Model Perencanaan Peningkatan Mutu KB-TK Pelita Kasih Lawang
13
Manajemen Visual untuk Stabilitas
Keseluruhan proses PDCA terutama rincian program kegiatan dan jadwal pelaksanaan
hendaknya ditampilkan secara visual agar dapat dilihat dan diawasi oleh semua pihak. Kecenderungan
peningkatan kinerja organisasi menggunakan manajemen visual diakibatkan oleh penggabungan dan
penyelarasan antara visi organisasi, nilai inti (core value), tujuan dan budaya organisasi dengan sistem
manajemen lainnya, proses kerja, elemen-elemen yang ada di lingkungan kerja, serta stakeholders.
Penyelarasan ini dilakukan melalui rangsangan, yang secara langsung menggunakan satu atau lebih
dari lima indra manusia (Tezel, Koskela, & Tzortzopoulos, 2009).
Beberapa fungsi utama manajemen visual sebagai berikut: (1) transparansi; (2) disiplin,
kebiasaan melakukan prosedur yang benar; (3) perbaikan terus-menerus; (4) mempermudah
pekerjaan, melalui berbagai visualisasi alat bantu mampu meningkatkan kesadaran fisik dan/atau
mental setiap orang dalam usaha menjalani rutinitas tugasnya; (5) pengelolaan berdasarkan pada
fakta, (6) penyederhanaan, melalui manajemen visual terjadi distribusi informasi serta pengawasan
secara merata kepada individu dan tim, hingga pada akhirnya (7) mampu menciptakan empati dan
menghilangkan batasan dalam organisasi (Andrés-López et al., 2015; LDI of Highways Agency UK,
2010; Tezel et al., 2009).
Menurut Dennis (2007), pembuatan manajemen visual hendaknya memenuhi prinsip pada
Gambar 5, yaitu: (1) gambaran sebagai sebuah tim (seeing as a group); (2) bertindak sebagai sebuah
tim (acting as a group); (3) pengetahuan sebagai sebuah tim (knowing as a group).
Gambar 5. Prinsip Manajemen Visual (Dennis, 2007)
14
Manajemen visual terdiri atas tiga elemen, yaitu (1) tampilan visual; (2) stand-up meeting; (3)
perbaikan kinerja (Hundt, 2015; LDI of Highways Agency UK, 2010; Williamson, 2014). Tampilan
visual diwujudkan dalam bentuk papan manajemen visual atau visual management board (VMB), yang
berisikan informasi spesifik mengenai kemajuan kinerja tim, ide-ide perbaikan, jadwal, tujuan tim,
serta masalah-masalah yang dihadapi. VMB dapat menggunakan papan tulis biasa atau papan
magnetik yang harus dapat diakses oleh seluruh anggota tim. Oleh karena itu, bentuk VMB harus
disesuaikan dengan kebutuhan tim serta diletakkan sedekat mungkin dengan area kerja tim. Pembuatan
VMB harus memperhatikan prinsip-prinsip sederhana, dapat diakses, mudah dilihat, aktual, serta
memiliki format yang baku (LDI of Highways Agency UK, 2010; Williamson, 2014).
Elemen kedua dalam manajemen visual adalah stand-up meeting di lokasi VMB. Pertemuan
ini harus dilaksanakan secara teratur, dihadiri oleh seluruh anggota tim, berlangsung selama 10 hingga
maksimal 15 menit dengan agenda (1) update dari tim mengenai kemajuan terhadap target sebelumnya,
proyek atau pekerjaan yang akan dilakukan, serta masalah-masalah yang dihadapi; (2) peninjauan
terhadap masalah-masalah prioritas yang mengganggu tim sebagai satu kesatuan; (3) ide-ide atau saran
perbaikan serta pemecahan masalah bersama (LDI of Highways Agency UK, 2010). Stand-up meeting
memberikan kesempatan kepada tim untuk mendiskusikan secara teratur kemajuan dan masalah yang
mereka alami serta komitmen terhadap target yang telah ditetapkan.
Elemen ketiga, yaitu perbaikan kinerja. VMB dan stand-up meeting menyediakan pendekatan
yang sistematis untuk mewujudkan peningkatan kinerja karena ide-ide perbaikan diperoleh langsung
dari proses diskusi bersama oleh tim. Gambar 6 berikut ini adalah model desain VMB untuk
perencanaan peningkatan mutu di KB-TK Pelita Kasih Lawang.
Bagian 1
Bagian 2
Indikator
Kemajuan
Bagian 3
Bagian 4
Gambar 6. Model Desain VMB Untuk Perencanaan Peningkatan Mutu Di KB-TK Pelita Kasih
15
Bagian 1 untuk menggambarkan masalah serta kemajuan yang dialami tim pada setiap aktivitas
kerja yang dilakukan. Kemajuan kinerja kemudian diukur pada bagian kolom status menggunakan
indikator yang menarik, sederhana, dan informatif. Pada desain di atas indikator menggunakan
persentase yang dibagi ke dalam empat bagian.
Bagian 2 merupakan identitas tim, berisikan visi dan misi tim, moto kerja serta hirarki tim itu
sendiri. Ketiganya penting ditampilkan pada VMB sebagai dasar bagi setiap aktivitas dan strategi yang
ditetapkan oleh tim. Bagian 3 digunakan untuk membahas masalah yang menjadi prioritas tim
(maksimal 3). Bagian 4 memberikan kesempatan kepada tim untuk mengemukakan serta
mendiskusikan ide-ide perbaikan yang dimiliki secara terbuka di hadapan tim.
Bagian 1 dan 3 merupakan bagian dimana tim mendapatkan gambaran tentang kondisi aktual
tim saat itu melalui pemantauan kinerja (seeing as a group). Bagian 2 merupakan bagian dimana tim
mendapatkan pengetahuan yang diperlukan ketika bergabung dengan tim tersebut, yaitu dasar-dasar
yang menjadi tujuan, aturan, serta komitmen bersama (knowing as a group). Sementara bagian 4
merupakan bagian dari bertindak sebagai sebuah tim (acting as a group).
SIMPULAN
Keberhasilan atau kegagalan organisasi salah satunya dipengaruhi oleh sumber daya manusia
serta bagaimana pemberdayaan terhadap sumber daya manusia tersebut difokuskan untuk memenuhi
tujuan-tujuan organisasi. Beberapa kegagalan manajemen mutu yang disebabkan oleh sumber daya
manusia antara lain dalam hal: distribusi data dan informasi; koordinasi, yaitu adanya koordinasi kerja
yang tidak jelas dan tidak terintegrasi di antara kelompok; serta kegagalan dalam mendefinisikan
sasaran dan ekspektasi yang berkaitan dengan hasil yang diharapkan serta tujuan perbaikan. Perubahan
organisasi yang tidak ditangani dengan baik oleh pemimpin dapat mengakibatkan konflik internal
dalam diri anggotanya yang berpengaruh pada perilaku organisasi. Pada akhirnya, rantai masalah ini
dapat mengganggu stabilitas organisasi. Apabila diperparah dengan tidak adanya suatu standar
pelaksanaan yang jelas (standarisasi) dalam operasional organisasi, maka aktivitas peningkatan mutu
dapat menemui kegagalan dan penolakan.
Konsep lean sebagai salah satu manajemen mutu menunjukkan bahwa perlu adanya stabilitas
dan standarisasi sebagai dasar penerapan manajemen mutu, serta keterlibatan anggota organisasi
sebagai pusat dari keseluruhan konsep lean. Lean merupakan sebuah manajemen mutu sistematis yang
berfokus pada identifikasi dan penghilangan pemborosan (waste) melalui perbaikan terus menerus
(continuous improvement). Stabilitas dapat diperbaiki dengan menggunakan manajemen visual (visual
management), sementara masalah standarisasi dan keterlibatan karyawan dapat diperbaiki dengan
menggunakan perencanaan yang sistematis, salah satunya melalui siklus Deming (PDCA).
16
Perencanaan dalam manajemen mutu mengharuskan adanya data dan analisa ilmiah untuk
menghasilkan keputusan yang tepat.
Saran
Usulan solusi dalam penelitian masih bersifat konseptual dalam dunia pendidikan, meskipun
dalam dunia industri profit telah menunjukkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, efektifitas
solusi perlu diteliti lebih lanjut sehingga benar-benar dapat menjadi sebuah rekomendasi dalam
pengelolaan organsisasi sehari-hari. Konsep lean sebagai salah satu pengembangan konsep
manajemen mutu terbaru juga belum banyak dibahas atau diteliti dalam dunia pendidikan, terutama
pada jenjang pendidikan di bawah perguruan tinggi. Dalam penelitian ini hanya dibahas 3 bagian dari
pilar konsep lean, padahal masih banyak konsep lean lainnya yang dapat diteliti dan dikembangkan
untuk menjawab permasalahan pada aspek-aspek lain hasil Asesmen Kebutuhan Rencana
Pengembangan Peningkatan Motivasi Guru KB-TK Pelita Kasih Lawang.
17
DAFTAR RUJUKAN
Andersson, R., Eriksson, H., & Torstensson, H. (2006). Similarities and differences between TQM,
six sigma and lean. The TQM Magazine, 18(3), 282–296.
https://doi.org/10.1108/09544780610660004
Andrés-López, E., González-Requena, I., & Sanz-Lobera, A. (2015). Lean Service: Reassessment of
Lean Manufacturing for Service Activities. Procedia Engineering, 132, 23–30.
https://doi.org/10.1016/j.proeng.2015.12.463
Asnan, R., Nordin, N., & Othman, S. N. (2015). Managing Change on Lean Implementation in
Service Sector. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 211, 313–319.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.040
Bogdan, R. C., & Biklen, S. K. (2003). Qualitative Research for Education: An Introduction to
Theories and Methods (4th ed). Boston: Pearson Education Group, Inc.
Dahlgaard, J. J., Kristensen, K., & Kanji, G. K. (1995). Total quality management and education.
Total Quality Management, 6(5), 445–456.
https://doi.org/10.1080/09544129550035116
Dennis, P. (2007). Lean Production Simplified (2nd ed.). Florida: Taylor & Francis Group.
Dombrowski, U., Ebentreich, D., & Krenkel, P. (2016). Impact Analyses of Lean Production
Systems. Procedia CIRP, 57, 607–612. https://doi.org/10.1016/j.procir.2016.11.105
Gaspersz, V. (2001). Total Quality Management. Jakarta: Gramedia.
Groys, B. (2016). In the Flow: Interview with Masaaki Imai. (online). Dari
http://www.versobooks.com/books/2090-in-the-flow, diakses 9 Maret 2018.
Hundt, K. (2015). Creating a Visual Management System Three Keys to Lean. (online). Dari
www.gamep.org, diakses 9 Maret 2018.
Johnson, B., & Christensen, L. (2004). Educational Research: Quantitative, Qualitative, and Mixed
Approaches (2nd editio). Boston: Pearson Education Group, Inc.
Kadarova, J., & Demecko, M. (2016). New Approaches in Lean Management. Procedia Economics
and Finance, 39(November 2015), 11–16. https://doi.org/10.1016/S22125671(16)30234-9
LDI of Highways Agency UK. (2010). Lean Improvement Division: An Introduction to Lean Visual
Management. (online). Dari www.ha-partnernet.org.uk, diakses 9 Maret 2018.
Lodico, M. G., Spaulding, D. T., & Voegtle, K. H. (2006). Methods in Educational Research: From
Theory to Practice. San Fransisco: Jossey-Bass, A Wiley Imprint.
Minh, N. D., & Ha, N. T. Van. (2016). “Made in Vietnam” Lean Management Model for Sustainable
Development of Vietnamese Enterprises. Procedia CIRP, 40, 603–608.
https://doi.org/10.1016/j.procir.2016.01.141
Rauch, E., Dallasega, P., & Matt, D. T. (2017). Critical Factors for Introducing Lean Product
Development to Small and Medium sized Enterprises in Italy. Procedia CIRP, 60, 362–
367. https://doi.org/10.1016/j.procir.2017.01.031
Rauch, E., Damian, A., Holzner, P., & Matt, D. T. (2016). Lean Hospitality-Application of Lean
Management Methods in the Hotel Sector. Procedia CIRP, 41, 614–619.
https://doi.org/10.1016/j.procir.2016.01.019
18
Rochman, D. D., Suryana, H., & Rahayu, A. (2013). Model Konseptual Implementasi Lean
Manufacturing Antara Operational dan Dynamic Capability Perusahaan. National
Industrial Engineering COnference, 7(1).
Sallis, E. (2015). Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan. Yogyakarta: IRCiSoD.
Saremi, H. (2015). Empowerment as a New Approach in the Management. ResearchGate, (April),
20–22. https://doi.org/DOI: 10.24924/ijabm/2015.04/v3.iss1/209.221
Tezel, B. A., Koskela, L. J., & Tzortzopoulos, P. (2009). The functions of visual management.
International Research Symposium, (January), 201–219. http://usir.salford.ac.uk/10883/
Williamson, G. (2014). Case Study – Implementing visual management. Kangan Institute. (online).
Dari https://www.kangan.edu.au, diakses 9 Maret 2018.
19