666 584 2 PB
666 584 2 PB
666 584 2 PB
PENDAHULUAN
2.1 Data
Data Indeks Dipole Mode (IDM) yang ditentukan dari perbedaan anomali
SPL di Lautan Hindia bagian b a r a t (50BT-70BT, 10LS-10LU, kotak A
p a d a Gambar 2-1) d a n anomali SPL di Lautan Hindia bagian timur (90BT110 o BT,10LS-equator, kotak B pada g a m b a r yang sama). Data tersebut
m e r u p a k a n d a t a b u l a n a n selama bulan J a n u a r i 1980 hingga Desember 1999
yang diperoleh d a r i : http://w3.jamstec.go.jp/frsgc/research/dl/saji/dmi.html.
93
Gambar 2 - 1 : Lokasi Fenomena Dipole Mode (DM) yang dideflnisikan berd a s a r k a n Saji d a n Yamagata (2001) di S a m u d e r a Hindia
94
96
Gambar 3-1: Energi spektral curah hujan di Stasiun Batu Sangkar (a), Bukit
Tinggi (b), Maninjau (c), dan Padang (d)
Untuk stasiun Maninjau (Gambar 3-lc) ternyata memiliki puncak
energi spektral terkuatnya pada saat periode 100 bulanan. Namun demikian
juga ditemukan dua puncak energi spektral yang memiliki kekuatan yang
hampir sama yaitu pada saat periode 6 bulanan dan periode 50-100 bulanan.
Sementara stasiun Padang (Gambar 3-Id) memiliki dua puncak energi
spektral yang kuat dan beberapa puncak energi spektral yang lemah.
Siklus 12 bulanan mendominasi daerah ini hal ini terlihat dari
puncaknya pada saat periode 12 bulanan, sedangkan siklus 6 bulanan
merupakan siklus kedua yang mendominasi daerah ini. Puncak-puncak lain
juga ditemukan pada saat periode 18-36 bulanan serta 50-100 bulanan.
Seperti hal-nya Padang, Padang-panjang ternyata memiliki dua
puncak energi spektral yang kuat dan beberapa puncak energi spektral yang
lemah (Gambar 3-2e) dengan puncak energi spektral terkuat terjadi pada
saat periode 12 bulanan, kemudian diikuti oleh periode 6 bulanan. Selain itu
juga ditemukan beberapa puncak lain pada saat periode 36 bulanan, 50-100
bulanan, dan 100 bulanan. Sementara stasiun Sicincin (Gambar 3-2f) puncak
energi spektral yang mendominasinya terjadi pada saat periode 6 bulanan
kemudian yang kedua adalah pada saat periode 12 bulanan. Beberapa
puncak juga ditemukan pada saat periode 100 bulanan.
97
Stasiun
Bukit Tinggi
Maninjau
Sicincin
Padang Panjang
Padang
Batu Sangkar
Solok
Tabing
Gambar 3-3: Energi spektral curah hujan di Stasiun Bengkulu (i), J a m b i (j),
Kotabumi (k), dan Palembang (1)
Dari rangkaian penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah
Sumatera Selatan didominasi oleh Osilasi T a h u n a n . Untuk jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 3-2 berikut :
Tabel 3-2: MODE OSILASI CURAH HUJAN DI SUMATERA SELATAN
100
x 10
f '
5 6
12
^ 36 50
Periods (bulan)
100
500
1000
-0.7
-0.6
-0.5 -0.4
-0.3
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Gambar 3-5: Korelasi a n t a r a Indeks Dipole Mode (IDM) d a n Presipitasi (19801999) di Sumatera Barat d a n Selatan p a d a t a h u n Dipole Mode
(+). Interval kontur 0,1 dengan koefisien korelasi signifikan \r\ ^ 0 . 3
Dari Gambar 3-5 terlihat bahwa p a d a bulan Juni-Juli-Agustus (JJA)
kawasan Indonesia, k h u s u s n y a u n t u k Sumatera Barat d a n Selatan memiliki
curah hujan di bawah normal. Daerah-daerah yang memiliki respon k u a t
terhadap kondisi DM (+) ini ditunjukkan melalui korelasi a n t a r a Indeks
Dipole Mode (IDM) dengan presipitasi (Gambar 3-5) Daerah-daerah yang
memiliki respon k u a t di Sumatera Barat d a n Selatan adalah Bukit Tinggi,
Maninjau, Tabing, Solok, Batu Sangkar, Padang Panjang, Padang, Sicincin,
102
Gambar3-6 : Korelasi a n t a r a Indeks Dipole Mode (IDM) dan Presipitasi (19801999) di Sumatera Barat d a n Selatan p a d a t a h u n Dipole Mode (-).
Interval kontur 0.1 dengan koefisien korelasi signifikan i > 0.3
Sementara pada bulan September-Oktober-November (SON) merupakan
masa peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Pada periode ini
masih terlihat adanya peningkatan c u r a h hujan dari normalnya k h u s u s n y a
di Sumatera Selatan seperti halnya p a d a periode JJA. Hasil korelasi
menunjukkan bahwa daerah-daerah di Sumatera Barat tidak menunjukkan
respon kuat terhadap kejadian DM (-), hal ini diperlihatkan dari tidak adanya
korelasi a n t a r a IDM d a n presipitasi (-0.3 < r < 0.3). Sedangkan daerah-daerah
di Sumatera Selatan memiliki respon yang c u k u p kuat dengan kondisi DM (-).
Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang c u k u p signifikan dan
bervariasi. Nilai koefisien korelasi r < - 0.3 diperoleh u n t u k daerah yang berada
di paling selatan di Sumatera.
Sementara hasil gambar dari komposit anomali keluaran Radiasi
Gelombang Panjang (RGP) menunjukkan bahwa p a d a periode ini terjadi
anomali negatif di Sumatera Barat d a n Selatan sedangkan di Samudera
Hindia tropis bagian timur terdapat anomali positif. Anomali negatif keluaran
RGP tersebut semakin meluas ke selatan d a n membesar daripada periode
JJA yang mengindikasikan bahwa kehadiran awan konvektif yang semakin
kuat.
Dari keseluruhan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
Kejadian DM (+) dan DM (-) mempengaruhi c u r a h hujan di Sumatera Barat
104
KESIMPULAN
106