Attachment PDF
Attachment PDF
Attachment PDF
Abu Tamrin1
Program Doktor Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Institut PTIQ Jakarta
10.15408/sjsbs.v6i1.10490
Abstract:
Philosophy is one of the fields of science that examines how to think deeply about
something. Understanding of science comes from the Arabic words ‘science, English
science, Dutch watenchap, and German wissenchap. Knowledge can be a science if it
has special characteristics, arranged methodically, systematically, electronically
(related) about a particular field and reality. Classification of science classification
has developed according to its era. There are 5 truth theories according to Williams.
Besides that there are positivistic, essentialistic, constructivist, and requistic theories.
One field of philosophy is epistimologi often called the theory of knowledge. There
are two theories of knowledge, namely realism and idealism. The method of gaining
knowledge: empiricism, rationalism, phenomenalogical teachings of Khan. Methods
in the theory of knowledge: Inductive, contemplative and dialectical. The next paper
discusses religion which is an Indonesian term. Religion (English), religion (Dutch),
and din (Arabic). There is a word between religion and life. In Islam there is a
religion of heaven (samawi) or "religion of revelation" and there is "religion of the
earth" (ardhi) or "religion of non-revelation". According to Max Weber, there is no
society without religion. Science, philosophy, and religion have their respective
functions and have differences and coherence.
Keywords: Science, Philosophy, Religion, Comparison.
Abstrak:
Filsafat merupakan salah satu bidang ilmu yang mengkaji cara berpikir secara
mendalam tentang sesuatu. Pengertian ilmu berasal dari kata bahasa Arab ‘ilmu,
Inggris science, Belanda watenchap, dan Jerman wissenchap. Pengetahuan dapat
menjadi ilmu apabila mempunyai karakteristik khusus, disusun secara metodis,
sistematis, kohern (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dan kenyataan (realitas).
Klasifikasi penggolongan ilmu mengalami perkembangan sesuai zamannya. Ada 5
teori kebenaran menurut Williams. Selain itu ada teori positivistik, esensialistik,
Diterima:
23 September 2018, Revisi: 22 Desember 2018, Dipublikasi 12 Januari 2019.
Abu Tamrin adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Institut PTIQ
1
Jakarta. Jalan Raya Pasar Jum'at Lebak Bulus No. 2 Jakarta selatan. Sekaligus Dosen Tetap Bidang
Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta email:
abutamrin@uinjkt.ac.id.
71
Abu Tamrin
konstruktivitik, dan requistik. Salah satu bidang filsafat adalah epistimologi sering
disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Ada dua teori pengetahuan, yaitu
realisme dan idealisme. Metode memperoleh pengetahuan: empirisme, rasionalisme,
fenomenalogis ajaran Khan. Metode dalam teori pengetahuan: Induktif,
kontemplatif, dan dialektis. Makalah selanjutnya membahas agama yang merupakan
istilah Indonesia. Religion (bahasa Inggris), religi (bahasa Belanda), dan din (bahasa
Arab). Ada kata antara agama dengan kehidupan. Dalam agama Islam ada agama
langit (samawi) atau “agama wahyu” dan ada “agama bumi” (ardhi) atau “agama non
wahyu”. Menurut Max Weber, tidak ada masyarakat tanpa agama. Ilmu, filsafat, dan
agama punya fungsi masing-masing dan mempunyai perbedaan dan pesamaan.
Kata kunci: Ilmu, Filsafat, Agama, Perbandingan.
Pendahuluan
Filsafat adalah salah satu bidang kajian yang mengkaji cara berpikir
sampai mendalam tentang hakikat sesuatu. Filsafat merupakan induk dari
berbagai ilmu pengetahuan. Oleh karena ada salah cabang filsafat salah satunya
adalah epistimologi.
Menurut penulis minimal ada 3 jenis pengetahuan: 1). Pengetahuan biasa,
yaitu hasil dari pengalaman kehidupan sehari-hari, nama lain pengetahuan biasa
adalah commonsense. 2). Pengetahuan yang disusun secara sistematis dengan
metode yang telah ditetapkan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan disebut
ilmu pengetahuan berasal dari ilmu (science). 3). Pengetahuan yang diuraikan
dalam filsafat ilmu.
Dalam makalah ini penulis fokuskan: pengetahuan yang disusun secara
sistematis dengan metode yang telah ditetapkan dan syarat-syarat yang telah
ditetapkan disebut ilmu pengetahuan, pengetahuan yang diuraikan dalam
filsafat ilmu epistimologi dan agama dan apa perbedaan-perbedaan dan
persamaan-persamaan antara ilmu pengetahuan yang dijelaskan dalam filsafat
ilmu, salah satu cabang epistimologi dengan agama.
Adapun rumusan masalah yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut: Bagaimana deskripsi tentang ilmu
pengetahuan? Bagaimana deskripsi tentang epistimologi yang merupakan salah
satu cabang filsafat ilmu? Bagaimana deskripsi tentang agama? Apa perbedaan
dan persamaan ilmu pengetahuan epistimologi, filsafat, dan agama?
Ilmu Pengetahuan
Pengertian ilmu berasal dari kata bahasa Arab ‘ilm, Inggris science,
Belanda watenchap, dan Jerman wissenchaf.2 Ilmu merupakan hal yang urgen
dalam kehidupan manusia di dunia agar manusia meningkat kualitas dan
kemampuan diri serta mengangkat eksistensinya.
2 Imam Syafi’i, Konsep Pengetahuan dalam al-Qur’an, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 26
Definisi ilmu yang dikemukakan oleh pakar luar negeri salah satunya
yaitu R. Harre. Ilmu menurut Harre, yaitu: a collection of well a sested theoris which
explain the patterns regulaties and irregulaties among carefully studied fenomeno.3
Definisi ilmu menurut Harre adalah kumpulan teori-teori yang sudah
diuji coba yang menjelaskan pola teratur ataupun tidak teratur diantara
fenomena yang dipelajari secara hati-hati. Definisi pemikir Marxis bangsa Rusia
bernama Alfensyef menjelaskan ilmu pengetahuan: Science is the society and
thought, if reflect the word corecctness, categories and laus the recivied by proctical
experince.4 Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan manusia tentang alam,
masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori-
kategori, dan kebenarannya diuji dengan praktis.
Salah satu pakar Indonesia yang mendefinisikan ilmu pengetahuan
adalah A. Baiquni, Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Menurut
A. Baiquni: Science merupakan general consensus dari masyarakat yang terdiri
dari para scientifis.5
Para ahli baik pakar luar negeri maupun pakar Indonesia yang telah
dipaparkan di atas tidak ada yang sama dalam mendefinisikan ilmu
pengetahuan. Menurut pendapat penulis disebabkan luasnya obyek kajian ilmu
pengetahuan.
Definisi ilmu pengetahuan secara umum adalah suatu pengetahuan
tentang objek tertentu yang disusun secara sistematis objektif rasional dan
empiris sebagai hasil.6
Tidak semua pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, namun
mempunyai karakteristik khusus. Adapun karakteristik khusus ilmu
pengetahuan adalah sebagai berikut:7
a. Disusun secara metodis, sistematis, dan kohern (bertalian) tentang suatu
bidang tertentu dan kenyataan (realitas).
b. Dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) tersebut. Unsur penting ilmu pengetahuan adalah
penataan secara terperinci dan mampu memperjelas sebuah bidang
pengetahuan. Semakin dalam ilmu pengetahuan menggali dan menekuni
3 R. Harre, The Philoshopies of Science and Introdictory Survey, (London: The Ford University
Press, 1995), h. 62
4 Afanesyev, Mareit Phisolophy, (Moskow: 1965), h. 342
5 A. Baiquni dalam Endang Syaifudin Ansari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT. Bina
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 73
Abu Tamrin
8 Charles Paterson, Western Philosopy, (Nebrska: Chiff’s Notes Inc, 1971), Volume Kedua, h.
53-54
yang terkenal yaitu: kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, dan
kritik atas daya pertimbangan.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 75
Abu Tamrin
c. Thomas S. Kuhn
Pandangan Thomas S. Khun merespon pendapat Popper yang lebih
dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesa untuk
kemudian diberlakukan prinsip-prinsip klasifikasi. Sejarah ilmu pengetahuan
hanya digunakan Popper sebagai bukti untuk mempertahankan pendapatnya.10
Kuhn justru lebih mementingkan sejarah, ilmu sebagai titik tolak
penyelidikan. Kuhn berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah
bersifat revolusioner, bukan komulatif sebagaimana anggapan sebelumnya
revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara
pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah
kongkret. Menurut Kuhn cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah
dapat digambarkan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut:11
Tahap pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas
ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science).
Di sini para ilmuan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan
paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya (kursif penulis) ditekuninya
Verhaliki dan Imam Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah Kerja Ilmu-Ilmu, (Jakarta:
10
164
secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini para ilmuan tidak bersikap kritis
terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalani
aktivitas ilmiah, para ilmuan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat
diterangkan (kursif penulis dijelaskan) dengan paradigma yang dipergunakan
sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya, ini dinamakan anomal.
Anomaly adalah suatu keadaan yang mempertahankan adanya ketidakcocokan
antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahapan kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis
kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. Paradigma dimulai diperiksa
dan dipertanyakan. Para ilmuan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahapan ketiga, para ilmuan dapat kembali lagi dengan cara-cara ilmiah
yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma
tandingan yang dipandang dapat memecahkan masalah dan membimbing
aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma
baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
12 A, Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis Epistimologi dan Aksiologis,
(Jakarta: Bumi Aksara, tth) Cetakan kedua, h. 80-88
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 77
Abu Tamrin
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 79
Abu Tamrin
yang terdiri dari bagian-bagian dan antar bagian saling berhubungan satu
sama lain.
c. Dapat membuat hipotesa yang akan diuji kebenarannya.
d. Dapat mengendalikan berbagai hal berdasarkan teori-teori dalam ilmu
pengetahuan.
Menurut Deskrates, fungsi ilmu pengetahuan agar supaya mengetahui
dan dapat membedakan antara yang benar dan palsu (tidak benar kursif penulis)
hingga sejelas-jelasnya.14 Menurut R.B.S Fudyartanto, Dosen Psikologi
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menyebutkan ada empat macam fungsi
ilmu pengetahuan, yaitu:15
a. Fungsi deskriptif: Menggambarkan, melukiskan dan memaparkan suatu
objek atau masalah sehingga mudah dipelajari oleh peneliti.
b. Fungsi pengembangan: melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan
menemukan hasil ilmu pengetahuan yang baru.
c. Fungsi prediksi: Meramalkan kejadian-kejadian yang besar kemungkinan
terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan yang perlu dalam
usaha menghadapinya.
d. Fungsi kontrol: Berusaha mengendalikan peristiwa yang tidak
dikehendaki.
Epistimologi
Epistimologi sering juga disebut dengan teori pengetahuan (theory of
knowledge). Secara etimologi, istilah epistimologi berasal dari kata Yunani,
epistimologi artinya pengetahuan dan logos artinya ilmu atau teori. Secara
epistimologi, yang disebut epistimologi yaitu cabang filsafat yang mempunyai
asal mula atau sumber struktur, metode, dan syahnya (validity) pengetahuan.16
Menurut Commy Setiawan, dkk, episimologi adalah cabang filsafat yang
menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori pengetahuan.
Epistimologi memfokuskan pada makna pengetahuan yang dihubungkan
dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan dan
sebagainya.17
Epistimologi merupakan cabang filsafat yang memiliki asal-usul susunan
metode-metode, dah sahnya pengetahuan. Pertanyaan mendasar yang dikaji
17 Conny Setiawan, dkk., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, (Bandung: PT. Remaja
antara lain:18 a). Apakah pengetahuan itu? b). Apakah yang merupakan asal-usul
pengetahuan itu? c). Bagaimanakah cara kita mengetahui apabila kita
mempunyai pengetahuan? d). Bagaimana cara kita membedakan antara
pengetahuan dan pendapat? e). Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan?
f). Corak-corak pengetahuan apakah yang ada? g). Bagaimana cara kita
memperoleh pengetahuan? h). Bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu?
i). Dimana pengetahuan dapat diperoleh? j). Bagaimana validitas pengetahuan
itu dapat dinilai?
Di samping pertanyaan-pertanyaan di atas, pertanyaan mendasar
epistimologi, yaitu:19 a). Berkenaan dengan proses ditimbunnya ilmu? b).
Bagaimana prosedurnya? c). Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? d). Apa yang disebut kebenaran? e).
Apa kriterianya? f). Cara teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan?
Menurut pendapat penulis, pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam
pengetahuan adalah luas cakupannya. Seseorang yang dapat memahami dan
memperhatikan pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dapat memperoleh
pengetahuan yang sempurna dan komprehensif.
Secara sistematis, Horald Titus menjelaskan tiga persoalan pokok dalam
bidang epistimologi, sebagai berikut:20
a. Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan
yang benar? Bagaimana cara mengetahuinya?
b. Apa sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar
pikiran kita? Kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya?
c. Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat
membedakan yang benar dan yang salah?
Menurut Kattsoff, secara umum pertanyaan-pertanyaan epistimologi
menyangkut dua macam yaitu: Epistimologi kefilsafatan yang erat hubungannya
dengan psikologi dan pertanyaan-pertanyaan semantic yang menyangkut
hubungan antara pengetahuan dan objek pengetahuan tersebut.21
Manusia selalu ingin mengetahui dan selalu mengembangkan
pengetahuannya. Manusia mempunyai tujuan yang hendak dicapai.
Pengetahuan manusia mampu dikembangkan disebabkan dua hal, yakni
pertama, mempunyai Bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan
1984), h. 187-188
21 Lois Kattsoff, Element of Philosophy, (New York: The Rohold Press Co, 1953), h. 76
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 81
Abu Tamrin
Jujun. S. Surisumantri, Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, (Jakarta: Pustaka Pelajar Sinar
22
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 83
Abu Tamrin
pemikiran dari suatu sudut pandang atau suatu kerangka acuan dan pelukisan
kejadian yang berhubungan dengan sudut pandang serta kerangka acuan
tersebut. Dengan cara demikian, kita memperoleh pengetahuan mengenai suatu
segi atau bagian dari kejadian tadi, tetapi tidak pernah mengenai kejadian
seluruhnya.
Intuitif mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang ada pada
dasarnya bersifat analitis dan memberikan kepada kita keseluruhan yang
bersahaja, yang mutlak tanpa sesuatu degnan terjemahan atau penggambaran
secara simbolis. Menurut Henry Bergson, intuisi ialah suatu yang sarang untuk
mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa atau pelukisan yang diperoleh
dengan jalan pelukisan tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara
langsung dari pengetahuan intuitif.
Hendaklah diingat, intuisionasme tidak mengingkari nilai pengalaman
inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya.
Institusionisme setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk hanya mengatakan
bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui instituisi sebagai lawan dari
pengalaman nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan oleh analisa. Ada
yang berpendirian bahwa apa-apa yang diberikan oleh instituisi, yaitu kenyataan
mereka menyatakan barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti
yang menampak kepada kita dan hanyalah instituisilah yang dapat menyingkapi
kepada kita keadaan yang senyatanya.
Untuk melengkapi dan memperjelas uraian teori untuk mengetahui
hakikat pengetahuan, penulis uraikan metode dalam teori pengetahuan di
antaranya sebagai berikut:27
a. Metode induktif: Metode induktif adalah suatu metode yang
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan hasil observasi dan disimpulkan
dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Bertolak dari pernyataan-
pernyataan tunggal sampai pernyataan universal.
b. Metode Deduktif: Suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data
empiris diolah lebih lanjut dalam suatu system pernyataan yang runtut.
Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif adanya perbandingan
logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk
logis teori itu dengan tujuan apakah tersebut mempunyai sifat empiris
atau ilmiah ada perbandingan dengan teori-teori lain da nada pengujian
teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan
yang dapat ditarik dari kesimpulan tersebut.
c. Metode kontemplatif: Metode kontemplatif menjelaskan adanya
keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan
sehingga objek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda harusnya
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 85
Abu Tamrin
Agama
Agama merupakan istilah bahasa Indonesia secara etimologi selain
bahasa Indonesia berbeda-beda istilah. Religion (bahasa Inggris), religic (bahasa
Belanda), dan din (bahasa Arab). Tidak mudah untuk membuat definitive
agama. Menurut penulis definitive agama adalah kepecayaan seseorang
terhadap sesuatu yang bersifat spiritual dan hal-hal yang ghaib (tidak dapat
dilihat oleh mata), dalam agama Islam disebut keimanan.
Pengertian agama yang paling umum, bahwa agama dituju A dan Gama.
A tidak dan gama berarti kacau. Berarti agama berarti tidak kacau, hidup
menjadi lurus dan benar.30
Pengertian agama menunjukkan kepada jalan atau cara yang ditempuh
untuk mencari keridhaan tuhan. Dalam agama ada suatu yang dianggap
berkuasa yaitu tuhan, zat yang memiliki segala yang ada, yang berkuasa, yang
mengatur seluruh alam beserta isinya.31
Agama merupakan produk kebudayaan atau pegembangan dari aktivitas
sebagai makhluk pencipta kebudayaan. Agama dapat dianggap sebagai suatu
sarana kebudayaan bagi manusia. Dengan sarana yang ada, manusia mampu
menyesuaikan diri dengan pengalamannya dalam keseluruhan lingkungan
hidupnya termasuk dirinya sendiri, anggota-anggota kelompok alam, dan
lingkungan lain yang dia rasakan sebagai sesuatu yang transendental (tidak
terjangkau oleh penalaran manusuia).32
Agama ada kaitannya dengan kehidupan. Kehidupan beragama pada
dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib,
luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu
dan masyarakat bahkan terhadap gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan
perilaku tertentu seperti berdoa, memuja dan lain-lain serta menimbulkan sikap
mental tertentu seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu
dan masyarakat yang mempercayainya.33
Sebagai umat yang beragama, manusia wajib berdoa kepada Allah Swt
karena manusia merupakan makhluk yang lemah. Doa ada yang dikabulkan
segera setelah manusia berdoa, ada yang dikabulkan di dunia, dan ada yang
dikabulkan di akhirat yang merupakan kehidupan abadi.
Di kalangan umat Islam, muncul tipologi yang sangat popular tentang
agama, yaitu “agama langit” (samawi) atau agama “agama wahyu” dan “agama
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 87
Abu Tamrin
34 Kautsar Azhari Noer, Agama Langit Versus Agama Bumi; Sebuah Telaah atas Klasifikasi
QS. Al Bayyinah: 5
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus”
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 89
Abu Tamrin
Secara subtantif kata “millah” memiliki arti sebagai “jalan atau gaya
hidup” yang dikembangkan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad. Oleh
sebab itu keluasan cakupan Millah tidak dapat melebihi cakupan Ad Dien,
karena Millah bisa saja dikembangkan berdasarkan nilai subtansial dari Ad Dien,
sedangkan Ad Dien terkadang tidak memasukkan millah dari beberapa Nabi
atau Rasul sebelumnya, misalnya Dienul Islam yang dibawa Nabi Muhammad
tidak memasukkan ajaran atau berpuasa sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
Dawud.
Sifat atau ciri-ciri kepercayaan religious secara umum manusia hidup di
dunia menerima berbagai macam kesan, pendapat atau rangsangan banyak yang
kontradiktif satu sama lain. Dalam mencerna segala macam rangsangan dan
kesan yang datang dari luar sejak kecil manusia telah diberi modal berupa
pegangan kepastian prinsip-prinsip dasar atau keyakinan hidup oleh orang tua
dan masyarakatnya. Modal dasar yang diberikan orang tua dan masyarakat
dapat berupa pandangan filosofis, nilai budaya atau kepercayaa religious.37
Keyakinan-keyakinan keagamaan yang diajarkan oleh keluarga dan
masyarakat didasarkan kepada kitab suci atau berupa petunjuk dari kekuatan
ghaib yang dipecayai. Kepercayaan kepada adanya kekuatan ghaib, supranatural
atau supranatural yang dipercayai berpengaruh dalam kehidupan masyarakat
yang bersangkutan.38
Sebagai prinsip dan pegangan hidup keprecayaan religious diyakini
sebagai kebenaran mutlak. Penganut agama apalagi yang fanatic biasa
mempercayai agama sebagai ajaran mutlak benar karena berasal dari Tuhan
Yang Maha Mengetahui. Yang Mutlak dalam ajaran agama adalah ajaran yang
diungkapkan oleh wahyu yang jelas dan tegas, yang tidak mengandung
penafsiran yaitu yang menyangkut ajaran-ajaran pokok dalam agama,
sedangkan pendapat, fatwa, dan penafsiran pemuka agama atau suatu aliran
keagamaan bersifat relatif.39
Agama memberikan ketenangan dari segi batin, karena ada janji
kehidupan setelah mati. Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu.40
Hampir semua kitab suci, menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak
mungkin (kursif penulis sebanyak-banyaknya).
Keanekaragaman (pluralisme) agama yang hidup di Indonesia termasuk
di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh
intern umat beragama adalah merupakan kenyataan historis yang tidak dapat
disangkal oleh siapapun.41
Dalam studi agama (religious study) terutama dalam psikologi agama
tidak dapat meninggalkan bahasan religious experience (pengalaman
beragama).42
Dalam konsepsi agama Islam terdapat konsep iman, Islam, ikhsan yang
dapat diuraikan dalam uraian rincian pembahasannya, tetapi merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan beragama.43
Selama rentang panjang itu, manusia menjalani agama mereka dalam
modus yang sungguh berbeda, sehingga pastilah perbedaan itu membentuk
indera-indera yang signifikan kita akan menyebut modus ini sebagai modus
prismol (purba) karena sifatnya sebagai yang pertama.44
Agama thabiat berarti agama yang sesuai dengan kemauan atau agama
yang sesuai dengan kemauan alam.45
Agama merupakan ajaran tentang philosophy and way life. Pandangan
filosofis adalah gambaran menyeluruh prinsip dasar atau word view
(weltanchoung) tentang kehidupan yang dijadikan pedoman atau pegangan oleh
pribadi dan masyarakat dalam menjalani hidup dan kehidupan mereka.
Pandangan filosofis tersebut mengandung hakikat hidup, fungsi utama
44 Husto Smit, Agama-Agama Manusia, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015), h. 40
45 Zaenal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 91
Abu Tamrin
(manusia), dan tujuan hidup, ajaran agama menyangkut ajaran yang ghaib dan
nyata.46
Menurut Max Weber, tidak ada masyarakat tanpa agama, kalau
masyarakat ingin bertahan lama, harus ada Tuhan yang disembah. Masyarakat
manusia dari zaman kuno sampai dewasa ini menyembah Tuhan, walaupun
berbagai bentuk dan rumusannya. Agama menurutnya dalam bentuk konsepsi
tentang supernatural, jiwa, ruh, Tuhan atau kekuatan ghaib lainnya.47
Fungsi Agama
Agama diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Adapun fungsi agama
dalam kehidupan individu dan masyarakat antara lain:48
a. Fungsi Edukatif
Penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut
memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama yang secara
yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur tersebut mempunyai
latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi lebih
baik menurut ajaran agama masing-masing.
b. Fungsi penyelamat
Di manapun manusia berada selalu menginginkan diri selamat.
Keselamatan yang meliputi bidang luas adalah keselamatan yang diberikan oleh
agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu
dunia dan akhirat.
c. Fungsi sebagai perdamaian
Melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai
kedamaian batin melalui tuntutan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan
segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang pelanggar telah menebus
dosa melalui taubat, penyucian ataupun penebus dosa.
d. Fungsi sosial kontrol
Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya
terikat batin kepada tuntunan agama tersebut, baik secara pribadi maupun
secara kelompok. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma,
sehingga dalam hal ini agama mempunyai fungsi sebagai pengawas sosial secara
individu maupun kelompok.
e. Sebagai Pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki
kesamaan dalam satu kesatuan: Iman dan kepecayaan. Rasa kesamaan ini akan
memberi rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang
dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh.
f. Fungsi Transformatif
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan keperibadian seseorang atau
kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya
kehidupan baru yang diterimanya berdasar ajaran agama yang dipeluknya itu
kadangkala mampu mengubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan
yang dianutnya.
g. Fungsi kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja
produktif bukan saja untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja
disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga
dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.
h. Fungsi sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia bukan saja yang
bersifat agama ukhrawi melainkan juga bersifat duniawi. Segala usaha manusia
selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, apabila dilakukan atas
niat yang tulus, karena dan untuk Allah Swt merupakan ibadah.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 93
Abu Tamrin
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan penulis, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Tidak semua pengetahuan dapat menjadi ilmu pengetahuan, namun
pengetahuan yang mempunyai karakteristik tertentu, disusun secara
sistematis, metodis, dan syarat-syarat tertentu.
2. Epistimologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas
pengetahuan. Di dalam epistimologi dibahas hakikat pengetahuan dan
metode pengetahuan.
3. Agama merupakan hal yang urgen untuk membimbing dan sebagai
pedoman hidup agar manusia hidup tenang di dunia karena tuntunan
yang diajarkan masing-masing agama. Agama berfungsi bagi manusia
baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan masyarakat. Bagi
umat Islam kehidupan di dunia bersifat sementara dan hanya permainan
adapun kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang kekal.
4. Ada perbedaan dan persamaan ilmu, filsafat, dan agama yaitu tentang
kebenaran.
Daftar Pustaka
A, Susanto. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis Epistimologi dan
Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, Etty, Cetakan kedua.
Ansari, Endang Syaifudin. Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987,
cetakan ketujuh.
Afanesyev, Mareit Phisolophy, Moskow: 1965.
Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam
di Indonesia, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.
Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum
Islam, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012.
Aji, Rizqon H Syah; Yunus, Nur Rohim. Filsafat Ilmu Pengetahuan Dalam Dimensi
Transendental, Bandung: Fajar Media, 2012.
Aji, Rizqon H Syah; Yunus, Nur Rohim. Filsafat Manusia Dalam Dimensi
Transendental, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2013.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama, Jakarta: Logos, 1997, Cetakan Pertama
Agus, Bustanudin. Agama dan Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Paterson, Charles. Western Philosopy, Nebrska: Chiff’s Notes Inc, 1971, Volume
Kedua.
Setiawan, Conny. dkk., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002.
Motingkhan, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi Agama,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cetakan Kedua.
Suseno, Frans Magnis. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,
Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Jrink, G. Stehpens. Psycologi and Religion, London: Butler and Tanur LTD, 1963.
Titus, Horlad. Persoalan-Persoalan Filsafat, (terjemah) M. Rasyidi, Jakarta: Bulan
BIntang, 1984.
Smit, Husto. Agama-Agama Manusia, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015.
Syafi’i, Imam. Konsep Pengetahuan dalam al-Qur’an, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Surisumantri, Jujun. S. Filsafat Ilmu Suatu Pengantar, Jakarta: Pustaka Pelajar Sinar
Harapan, 1998, Cetakan Kedua.
Noer, Kautsar Azhari. Agama Langit Versus Agama Bumi; Sebuah Telaah atas
Klasifikasi Agama, Titik Temu, Jurnal Dialog Peradaban 3 No. 3, 2011.
Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. Volume 6 Nomor 1 (2019). ISSN: 2356-1459. E-ISSN: 2654-9050 - 95
Abu Tamrin