Jurnal 1 Hakikat Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Modern Dan Islam Siti Makhmudah STAIM Nglawak Kertosono E-Mail
Jurnal 1 Hakikat Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Modern Dan Islam Siti Makhmudah STAIM Nglawak Kertosono E-Mail
Jurnal 1 Hakikat Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Modern Dan Islam Siti Makhmudah STAIM Nglawak Kertosono E-Mail
Pendahuluan
1
Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang merefleksi, radikal dan
integral mengenai hakikat imu pengetahuan itu sendiri. Filsafat ilmu merupakan
penelusuran dalam pengembangan filsafat pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam
suatu kesatuan menampakkan diri secara dimensional. Filsafat merupakan
kegiatan olah pikir manusia yang terarah pada upaya mencari sebab musabab atas
segala sesuatu dan bagaimana upaya manusia setelah mengetahui hal tersebut.
Saat ini, manusia cenderung tidak mempunyai pengertian yang mendalam tentang
hakikat ilmu yang sebenarnya sumber utamanya berasal dari filsafat. Potensi
berfikir manusia yang sebenarnya sangat mendalam begitu terabaikan dan
Pembahasan
h. Pengertian Pengetahuan
2
persentuhan panca indera terhadap objek tertentu. Pengetahuan pada dasarnya
merupakan hasil dari proses melihat, mendengar, merasakan, dan berfikir yang
menjadi dasar manusia dan bersikap dan bertindak.
b. Pengertian ilmu
Asal kata ilmu adalah dari bahasa Arab, ‘alima.Arti dari kata ini adalah
pengetahuan. Dalam bahasa Indonesia, ilmu sering disamakan dengan sains yang
berasal dari bahasa Inggris “science”. Kata “science” itu sendiri berasal dari
bahasa Yunani yaitu “s cio”, “scire” yang artinya pengetahuan.Science (dari
bahasa Latin “scientia”, yang berarti “pengetahuan” adalah aktivitas sistematis
yang membangun dan mengatur pengetahuan dalam bentuk penjelasan dan
prediksi tentang alam semesta.
3
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya.
4
3) Ditinjau dari kebenarannya, ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif dan
bersifat nisbi atau relatif. Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut),
karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Benar, Maha
Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah SWT.
4) Ilmu pengetahuan dimulai dari sikap sanksi atau tidak percaya, dimana
keraguan ialah syarat mutlak yang pertama bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan
agama dimulai dengan sikap percaya dan iman.9 Namun dibalik perbedaan
terdapat juga kesamaan antara ilmu pengetahuan dan agama bertujuan yang sama
yaitu berbicara tentang kebenaran. Selain itu, ilmu pengetahuan dan agama
dengan metodenya dan karakteristiknya masing-masing, memberikan jawaban
atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam
maupun tentang manusia ataupun tentang Tuhan.
5
191 yang artinya : ض َر ْ ٱ ْل َ تى و َٰ َ ََ َٰ َو َ َّم قى ٱ لس ْ َل ى َ َٰ ي ى ٱ ل
ْ ف َتىل ْ ٱ خ َ ى و َّ اَََّ ٱ
َّ ْ لن َ لى و
ف َّن
ِ خ
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha
Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Karena itu, ada beberapa definisi al-‘ilmu yang disodorkan para ulama
sebagaimana dikemukakan Syarief ‘Ali bin Muhammad al-Jarjani, yaitu:
“keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataan”, “sampainya gambaran sesuatu
terhadap akal”, “hilangnya keraguan setelah diketahui”, “hilangnya kebodohan”,
“merasa cukup setelah tahu”.
6
Islam12.Selain itu dalam al-Qur’an seperti dalam surat al Mujadalah ayat 11 telah
banyak membicarakan tentang ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan
dalam Islam yang artinya:
7
tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan.
Sebabnya, ilmu bukan bebas-nilai, tetapi sarat nilai.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu:
4) Bahwa temuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan patut dihargai. Namun
tidak sepatutnya membawa dirinya menjadi sombong dibandingkan dengan
kebenaran al Qur’an. Temuan manusia tersebut terbatas dan tidak selamanya
benar, sedangkan al Qur’an bersifat mutlak dan berlaku sepanjang zaman.
6) Kemajuan yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan harus
ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini akan
terjadi manakala tujuan dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak
dilepaskan dari dasar peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak tersebut.
8
dan ruang lingkup ilmu pengetahuan, cara menemukan dan mengembangkannya,
tujuan penggunaanya, serta sifat dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam Islam sumber ilmu itu pada garis besarnya ada dua yaitu ilmu yang
bersumber pada wahyu (al Qur’an) yang menghasikan ilmu naqli, seperti ilmu-
ilmu agama ilmu tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf dan sejarah. Dan ilmu yang
bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli seperti
filsafat, ilmu sosial, teknik, biologi, sejarah, dan lain-lain. Ilmu naqli dihasilkan
dengan cara memikirkan secara mendalam (berijtihad) dengan metode tertentu
dan persayaratan tertentu. Sedangkan ilmu aqli dihasilkan melalui penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif. Ilmu-ilmu tersebut harus diabadikan untuk
beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.
e. Teori Kebenaran
2. Teori koherensi. Kebenaran atau keadaan benar apabila ada persesuaian antara
pernyataan dengan pernyataan yang lain yang sudah lebih dulu diketahui, diterima
dan diakui sebagai hal yang benar dan berdasarkan pada penyaksian/justifikasi
tentang kebenaran, karena putusan dianggap benar apabila mendapatkan
persaksian oleh putusan yang lainnya yang sudah di ketahui/tahan uji;
3. Teori pragmatism. Menurut teori ini kebenaran atau keadaan benar semata mata
tergantung dari kemanfaatannya.
f. Sumber-Sumber Pengetahuan.
9
Paham yang pertama disebut sebagai rasionalisme sedangkan paham yang kedua
disebut dengan empirisme.
10
para utusan Tuhan tanpa upaya dan usaha yang payah.Pengetahuan mereka atas
kehendak Tuhan, Tuhan mensucikan jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran.
g. Batas Pengetahuan
11
h. Struktur Pengetahuan
pertama, Ditinjau dari sumbernya, ilmu pengetahuan bersumber dari ra’yu yaitu
akal, budi, rasio manusia. Sedangkan agama bersumber dari wahyu dari Allah.
12
Ketiga, ditinjau dari kebenarannya, ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif
dan bersifat nisbi atau relatif. Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak
(absolut), karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha
Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu Allah SWT.
Keempat, ilmu pengetahuan dimulai dari sikap sanksi atau tidak percaya, dimana
keraguan ialah syarat mutlak yang pertama bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan
agama dimulai dengan sikap percaya dan iman.
Kelima, Islam sebagai agama yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tidak
diragukan lagi. Banyak argumen yang dapat dirujuk, di samping ada ayat-ayat al-
Qur`an dan hadits Nabi saw. Yang mengangkat derajat orang berilmu, juga di
dalam al-Qur`an mengandung banyak rasionalisasi, bahkan menempati bagian
terbesar.
JURNAL 2
Rahmat
Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora
13
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Alamat: BTN Pao-pao Permai Blok E2 No 15 Gowa
Abstrak
Pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena memenuhi
persyaratan sebagai ilmu pengetahuan, baik menyangkut objek, metode maupun
tujuan.Dalam terminologi filsafat, ketiga persyaratan itu disebut ontologi,
epistimologi dan aksiologi. Dalam ajaran Islam realitas tidak hanya terbatas pada
yang lahiriah dalam bentuk alam nyata, melainkan menyangkut realitas yang gaib.
Realitas yang lahiriyah dan yang gaib itu berawal dari yang tunggal, yaitu Tuhan.
Dalam pemahaman seperti ini maka dapat dikatakan obyek pendidikan Islam itu
tidak hanya terbatas pada alam fisik (alam dan manusia), melainkan menyangkut
Tuhan. Berbicara seputar Tuhan, alam dan manusiadalam keterkaitan dengan
filsafat pendidikan Islam tidak telepas dengan kajian teologi,kosmologi dan
antropologi. Dalam konsep epistimologi Islam yang berdemensi tauhid, tercermin
pada pandangan bahwa ilmu-ilmu pada hakekatnya merupakan perpanjangan
dari ayat-ayat Allah yang terkandung dalam semua ciptaan-Nya, serta ayat-ayat
Allahyang tersurat dalam Al-Qur’an. Ilmu dibangun atas dasar kemampuan
membaca dan mengenal ayat-ayat, baik ayat kauniyah (alam dan manusia)
maupun ayat qauliyah. Ketika seseorang ingin menyingkap rahasia Tuhan lewat
ayat-ayat kauniyah maka lahirlah berbagai disiplin ilmu eksakta dan ilmu sosial.
Ketika seseorang ingin menyingkap rahasia Tuhan lewat ayat-ayat qauliyah maka
lahirlah ilmu-ilmu agama.Tujuan pendidikan termasuk masalah sentral dalam
pendidikan, sebab tanpa perumusan tujuan pendidikan yang baik, maka perbuatan
mendidik bisa menjadi tidak jelas tanpa arah dan bahkan bisa tersesat atau salah
langkah. Semakin jelas bahwa tujuan pendidikan Islam bukan saja diarahkan
menjadi manusia dalam bentuk mengamalkan ajaran beragama dan berakhlak
mulia, melainkan juga mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya
terutama aspek fisik, psikis, intelektual, kepribadian dan sosial sesuai dengan
tuntutan kehidupan, perkembangan masyarakat serta harapan ajaran Islam itu
sendiri, terutama dalam menjadikannya mampu menunaikan tugas sebagai
khalifah, dan insan yang mengabdi kepada Allah Swt.
14
Keywords
Pendidikan Islam, Ilmu, Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi
I. Pendahuluan
Kemajuan suatu umat dan bangsa sangat tergantung pada jenis ilmu yang
dikembangkannya. Dalam kenyataan sejarah, abad ke-8 sampai abad ke-13 umat
Islam mengalami kemajuan. Salah satu penyebab sehingga umat Islam mengalami
kemajuan pada masa itu karena umat Islam mengembangkan ilmu integralistitik.
Setelah abad ke-13 peradaban Islam mengalami kemunduran, disebabkan umat
Islam tidak lagi mengembangkan ilmu seperti di era kejayaannya. Bahkan di era
kini umat Islam mengalami problema pengembangan ilmu, disebabkan
munculnya jenis ilmu baru di dunia Islam.
Dunia Islam mulai terputus hubungannya dalam aliran utama dalam ilmu
menjelang akhir abad ke-16. Akibatnya, bangsa Eropa Barat dan Amerika secara
dinamis mengayungkan langkah ke depan seiring dengan kemajuan ipteknya,
sementara umat Islam menutup diri dan berpuas hati dengan hidup keterpencilan
intelektualnya. Ketika dunia Barat mulai mengusik mereka secara tiba-tiba, umat
Islam mulai terbangun dan mendapati dirinya dalam ketidakberdayaan.
Kemerdekaan politik, ekonomi dan intelektual terganggu oleh idiologi sekuler.
Masa ini dikenal sebagai masa penjajahan.1
Dalam menyikapi masa penjajahan ini, para intelektual muslim juga
terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menyatakan, bahwa
sekalipun penjajah, mereka dinilai membawa kemajuan bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, mengikuti pola pikir barat dapat dijadikan jalan alternatif, yaitu
untuk membangun wacana pendidikannya. Kelompok kedua lebih bersifat curiga
terhadap segala yang berasal dari Barat. Mereka akhirnya berusaha menjauhkan
diri dari apa yang ingin diajarkan para penjajah itu. Sikap ini didorong oleh
anggapan bahwa pendidikan baru oleh bangsa Barat dimaksudkan untuk
menghancurkan warisan budaya tradisional. 2Kedua respon inilah yang menjadi
embrio problem pendidikan Islam, khususnya problem dikotomi.
Menurut Mastuhu, untuk merebut dan meraih kejayaan, umat Islam harus
terus menerus mencari paradigma pendidikan dengan berusaha menggali kembali
15
ajaran Islam, baik Al-Qur’an, al-sunnah, sejarah Islam maupun tulisan para ulama
dan sarjana muslim dari berbagai disiplin ilmu. 3Pencarian paradigma pendidikan
Islam dimaksudkan agar ditemukan konsep dan sistem pendidikan Islam secara
utuh. Yang terpenting adalah agar tidak sulit mengembangkan teori ilmu yang
tidak bebas nilai dari ajaran Islam, kemudian mengoperasionalkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an dan al-sunnah
sebenarnya kaya akan fundamental doctrines dan fundamental values dalam
berbagai aspek kehidupan manusia, yang dapat digali dan ditangkap sesuai
disiplin keilmuan atau bidang keahlian seseorang. Para pemerhati dan
pengembang pendidikan Islam akan berusaha mengungkap dan menggalinya dari
aspek kependidikan. Salah satu upaya penggalian dan pengkajian fundamental
doctrines dan fundamentalis values dari Al-Qur’an dan al-sunnah yang dilakukan
oleh para pemerhati dan pengembang pendidikan Islam, yakni upaya memahami
ajaran-ajaran dan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan al-
sunnah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual
muslim klasik di bidang pendidikan.
Salah satu kelemahan pendidikan Islam yang dirasakan adalah kaya
konsep fundasional atau kajian teoritis, tetapi miskin demensi operasional atau
praktisnya, atau sebaliknya kaya operasional tetapi lepas dari konsep
fundasionalnya. Untuk mencegah timbulnya kesenjangan antara teori dan praktek,
maka salah satu cara yang ditempuh adalah mencari konsep-konsep filosofis
pendidikan Islam.
Berbicara konsep-konsep filosofis setiap bidang ilmu, termasuk
pendidikan Islam tertuju pada ontologi, epistimologi dan aksiologi ilmu.
Penguatan pada setiap disiplin ilmu sangat ditentukan ketiga hal tersebut. Artinya
syarat keilmiahan sebuah ilmu sangat ditentukan ketiga sasaran kajian filsafat
tersebut. Dalam rangka mengembankan ilmu pendidikan Islam diperlukan
kejelasan kerangka ontologis, epistimologis dan aksiologisnya terlebih dahulu.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah pokok yang akan
dibahas dalam tulisan ini adalah: ”Mengapa pendidikan Islam dianggap sebagai
16
ilmu pengetahuan?” Dari pokok permasalahan ini, dapat dikemukakan sub
masalah, yaitu:
Bagaimana konsep ontologi, epistimologi, dan aksiologi pendidikan Islam?
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka tulisan ini bertujuan
mengelaborasi konsep-konsep pendidikan Islam sebagai ilmu dalam kajian filsafat
dengan fokus utama ontologi, epistimologi dan aksiologi pendidikan. Disamping
itu tulisan ini diharapkan berguna untuk memahami lebih lanjut kajian-kajian
filsafat pendidikan Islam.
II. Pembahasan.
A. Konsep Ontologi Pendidikan Islam
Persoalan tentang obyek ilmu pengetahuan dalam kajian filsafat disebut
ontologi.4 Ontologi adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang
mempermasalahkan akar-akar (akar yang paling mendasar tentang apa yang
disebut dengan ilmu pengetahuan itu). Jadi dalam ontologi yang dipermasalahkan
adalah akar-akarnya hingga sampai menjadi ilmu. 5 Ilmu menyadari bahwa
masalah yang dihadapi adalah masalah yang bersifat kongkret yang terdapat
dalam dunia nyata. Secara ontologis, ilmu membatasi masalah yang dikajinya
hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia. 6
Hal ini harus disadari karena inilah yang memisahkan daerah ilmu dengan agama.
Agama mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada di luar pengalaman
manusia. Perbedaan antara lingkup permasalahan yang dihadapi juga
menyebabkan perbedaan metode. Hal ini harus diketahui dengan benar untuk
dapat menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa
mengetahui hal ini maka mudah sekali kita terjatuh dalam kebingungan. Padahal
dengan menguasai hakekat ilmu dan agama secara baik, akan memungkinkan
pengetahuan berkembang lebih sempurna, karena kedua pengetahuan itu justeru
saling melengkapi. Di satu pihak, agama akan memberikan landasan moral bagi
aksiologi keilmuan, sedangkan di pihak lain, ilmu akan memperdalam keyakinan
beragama.
Dalam kajian beberapa pendapat, ontologi dapat dikatakan sebagai
metafisika. Pengertian sederhana dari metafisika yaitu kajian tentang sifat paling
17
dalam dan radikal dari kenyataan. Metafisika dan ilmu pengetahuan merupakan
dua hal yang berbeda. Keduany berusaha menyusun pertanyaan-pertanyaan
umum. Tetapi, metafisika berkaitan dengan konsep-konsep yang kejadiannya
tidak dapat diukur secara empiris. Dalam hal ini tidak berarti bahwa metafisika
menolak ilmu pengetahuan. Sebaliknya ilmu pengetahuan sendiri menimbulkan
masalah tentang hakekat realitas. Metafisika berusaha untuk memecahkan
masalah hakekat yang tidak mampu ilmu pengetahuan memecahkannya.
Metafisika secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan.
Karena peserta didik bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan
yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Peserta didik, baik di
sekolah maupun di masyarakat, selalu menghadapi realitas, mengalami segala
macam kejadian dalam kehidupannya. Di sini terlihat tujuan mempelajari
metafisika bagi filsafat pendidikan untuk mengontrol secara implisit tujuan
pendidikan, untuk mengetahui dunia pesrta didik. Seorang pendidik, terutama
filosof pendidikan, tidak hanya tahu tentang hakekat dunia di mana ia tinggal,
melainkan juga ia harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat peserta didik.
Oleh karena itu metafisika memiliki implikasi-implikasi penting untuk pendidikan
karena kurikulum sekolah berdasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai
realitas. Dalam ajaran Islam realitas tidak hanya terbatas pada yang lahiriah dalam
bentuk alam nyata, melainkan menyangkut realitas yang gaib. Realitas yang
lahiriyah dan yang gaib itu berawal dari yang tunggal, yaitu Tuhan. Dalam
pemahaman seperti ini maka dapat dikatakan obyek pendidikan Islam itu tidak
hanya terbatas pada alam fisik (alam dan manusia), melainkan menyangkut
Tuhan. Berbicara seputar Tuhan, alam dan manusia dalam keterkaitan dengan
filsafat pendidikan Islam tidak telepas dengan kajian teologi, kosmologi dan
antropologi.
Pembicaraan tentang Tuhan merupakan hal yang mendasar dalam
pendidikan Islam, karena manusia adalah ciptaan-Nya. Oleh karena itu sebelum
manusia melaksanakan pendidikan perlu memahami terlebih dahulu bagaimana
konsep tentang Tuhan dan hubungannya dengan realitas yang menjadi ciptaan-
Nya.
18
Pemahaman penghubungan persoalan transenden dengan dunia empirik
akan melahirkan ilmu pendidikan Islam yang memiliki karakteristik tersendiri,
yang berasumsi bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah Allah, yang disampaikan
melalui pengalaman batin Nabi Muhammad Saw., yang mewujud dalam bentuk
fenomenaqauliyah, serta disampaikan melalui penciptaan yang mewujud dalam
bentuk fenomena kauniyah. Dari kedua fenomena tersebut dapat digali dan dikaji
konsepkonsep pendidikan yang bersifat universal, sehingga melahirkan
pemikiran-pemikiran filosofis dan asas-asas pendidikan Islam, yang kemudian di-
break down ke dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, yang pada gilirannya melahirkan
teori-teori atau ilmu pendidikan Islam. Konsep dasar pendidikan Islam bertumpu
pada unsur-unsur utama yang disebut tauhid. Semua harus merujuk pada tauhid.
Tauhid dalam pandangan Islam, merupakan landasan seluruh konsep dan aturan
hidup ini dibangun. Adapun sumber pokok pembangunan tauhid adalah wahyu
yang dinukilkan dalam Al-Qur’an dan alsunnah.
Pada tataran awal, tauhid bersinggungan dengan kosmologi.12 Kosmologi
pendidikan Islam yang berkembang selama ini, pada umumnya diposisikan pada
dikotomi dunia akhirat. Ruang dunia adalah ruang pendidikan umum dan ruang
akhirat adalah ruang pendidikan agama. Ruang dunia adalah ruang empirik dalam
waktu kini, sedang ruang akhirat adalah ruang spiritual yang ada di balik
kehidupan dunia ini, dalam waktu esok yang sangat jauh, yaitu kehidupan setelah
kematian.
Pendidikan Islam yang bercorak dikotomik, pada hakekatnya bertentangan
dengan Islam itu sendiri yang fundamental visinya adalah tauhid, yang tidak
mengenal adanya pemisahan antara pendidikan umum dan pendidikan agama,
keduanya merupakan kesatuan pendidikan Islam, yaitu penguasaan ilmu dunia
untuk tujuan akhirat. Oleh karena itu, visi tauhid dalam pendidikan Islam perlu
diaktualisasikan lebih kongkret dalam keterlibatanya yang intensif dengan
dinamika perubahan dan pluralitas, karena pendidikan pada dasarnya adalah
bagian dari dinamika perubahan kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, visi
tauhid sesungguhnya diperlukan untuk menemukan kesatuan akar dari pluralitas
yang harus dijaga, dikembangkan dan ditransendensikan sehingga pluralitas
menjadi bagian dari proses pengayaan kehidupan spiritual.
19
Pada tataran kedua, tauhid bersinggungan dengan manusia. Dalam filsafat
pendidikan, antropologi merupakan ilmu yang memberlakukan manusia sebagai
satu keseluruhan. Manusia tidak hanya objek, tetapi juga subyek ilmu. Manusia
dipelajari dalam ilmu ini dari fisik dan metafisika, pikiran dan perasaan. Ilmu ada
sebagaimana manusia menciptakannya. Yang ontologi – tanpa keberadaan
manusia, tidak ada ilmu, karena ilmu adalah bentukan manusia. Ilmu pengetahuan
tentang manusia lebih rumit dan kompleks karena mempelajari obyek yang
dirinya adalah bagian dari obyek itu sendiri.
20
Prinsip ketauhidan dalam pendidikan Islam menjadi dasar bagi penyusunan
bahan-bahan, kurikulum, metode dan tujuan pendidikan.
21
Ilmu dibangun atas dasar kemampuan membaca dan mengenal ayat-ayat,
baik ayat kauniyah (alam dan manusia) maupun ayat qauliyah. Ketika seseorang
ingin menyingkap rahasia Tuhan lewat ayat-ayat kauniyah maka lahirlah berbagai
disiplin ilmu eksakta dan ilmu sosial. Ketika seseorang ingin menyingkap rahasia
Tuhan lewat ayat-ayat qauliyah maka lahirlah ilmu-ilmu agama.
Dalam Kaitan itu, sehingga konsep ilmu-ilmu dalam Islam pada
hakekatnya bercorak integratif, yaitu pada pandangan filosofiknya yang melihat
kajian ilmu-ilmu itu pada dasarnya bermuara dari prinsip kebenaran Allah yang
ditetapkan dalam setiap ciptaan-Nya. Dalam dimensi ini prinsip kebenaran itu
pada hakekatnya bersifat tunggal, dan menjadi landasan untuk menyatukan kajian-
kajian ilmu yang berkembang ke arah lebih spesialis dan parsial, karena tanpa
landasan integratif, spesialisasi ilmu akan mengakibatkan hilangnya dimensi
transenden. Oleh karena itu, dalam visi tauhid, ilmu, filsafat dan agama pada
hakekatnya merupakan kesatuan yang saling melengkapi, kesemuanya
berhubungan dengan kebenaran-kebenaran yang menjadi penjelmaan dari tanda-
tanda kebesaran-Nya.
Persoalan selanjutnya dalam kajian epistimologi pendidikan Islam adalah
pengembangan teori. Berbicara mengenai epistimologi ilmu pendidikan Islam
akan timbul pertanyaan, bagaimana cara mengembangkan ilmu pendidikan?
Dalam mengembangkan sebuah disiplin ilmu dapat dilakukan dengan cara
mengembangkan teori-teori ilmu tersebut, begitu pula dalam mengembangkan
ilmu pendidikan Islam. Mengembangkan teori berarti merivisi teori yang ada,
memahami teori yang lama atau membuat teori baru. Merevisi teori yang ada
dalam pendidikan Islam berarti menyempurnakan teori yang telah ada agar sesuai
dengan kebutuhan. Sedangkan membuat teori berarti merncang teori yang sama
sekali baru.
Cara mengembangkan teori dalam pendidikan Islam sangat tergantung
pada karakteristik materinya, apakah materi itu berada dalam pengalaman yang
empiris, rasional, hermeneutis. Jika karakteristik adalah empiris maka metode
yang digunakan adalah observasi, eksperimen, dan induktif inferensial. Jika
karakteristik materinya adalah rasional maka metode analisis yang digunakan
adalah metode deduktif. Jika karakteristik materinya hermeneutis, maka metode
22
yang digunakan adalah verstehen, yakni untuk menangkap makna lebih dalam,
sehinga diperoleh kesimpulan kasus, atau metode yang reflektif, yakni metode
analisis yang prosesnya mondar-mandir antara yang empirik dengan yang abstrak.
Cara pengembangan ilmu pendidikan Islam bisa menggunakan metode
penelitian ilmiah, metode penelitian filosofis, dan menggunakan metode
penelitian sufistik. Hal ini tergantung pada apa yang diteliti. Agaknya ilmu
pendidikan Islam tidak mungkin hanya berisi ilmu pendidikan Islam. Pada bagian-
bagian tertentu memerlukan teori-teori filosofis, sehingga pengembangannya
menggunakan metode penelitian filosofis. Kadang-kadang juga memerlukan teori-
teori yang non-empirik atau tidak terjangkau oleh logika, sehingga perlu
menggunakan metode penelitian mistik atau sufitistik.
Sendangkan cara membangun ilmu pendidikan Islam bisa dilakukan
dengan cara: Pertama, cara deduksi, yakni dimulai dari teks wahyu atau sabda
Rasul, kemudian ditafsirkan, dari sini muncul teori pendidikan pada tingkat
filsafat, teori itu dieksperimenkan, dari sini akan muncul teori pendidikan pada
tingkat ilmu.Selanjutnya diuraikan secara operasional, sehingga langsung dapat
dijadikan petunjuk teknis. Kedua, cara induksi, dengan cara seseorang mengambil
teori yang sudah ada, kemudian dikonsultasikan ke Al-Qur’an dan hadis, jika
tidak berlawanan, maka teori itu didaftarkan ke dalam khazanah ilmu pendidikan
Islam.
Dalam mengembangkan ilmu pendidikan Islam diperlukan beberapa hal,
antara lain: Pertama, landasan atau basis filsafat yang akan dijadikan dasar
pengembangan ilmu pendidikan Islam. Kedua, paradigma bagi penyusunan
metodologi pengembangan ilmu pendidikan Islam. Paradigma yang dimaksud di
sini ialah kerangka logika pengembangan ilmu pendidikan Islam. Ketiga,
metodologi pengembangan ilmu pendidikan Islam. Metodologi tersebut
merupakan cara membangun dan mengembangkan ilmu pendidikan Islam. Empat,
model-model penelitian untuk digunakan dalam penelitian pendidikan Islam.
Teori-teori ilmu pendidikan Islam secara berangsur-angsur dapat diperoleh
melalui penelitianpenelitian.
23
Persoalan tentang tujuan ilmu dalam kajian filosofis merupakan lahan
aksiologi. Aksiologi sebagai cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai
buruk, indah dan tidak indah. Hal ini erat kaitannya dengan pendidikan, karena
dunia nilai akan selalu dipertimbangkan, atau akan menjadi dasar pertimbangan
dalam menentukan tujuan pendidikan.
Upaya pendidikan dalam konsep ajaran Islam pada hakekatnya merupakan
suatu amanah dari Tuhan. Oleh karena itu, manusia harus
mempertanggungjawabkan semua upaya pendidikan kepada-Nya. Oleh karena itu,
setiap upaya pendidikan tidak hanya dilandasi oleh nilai-nilai yang dihasilkan
manusia sebagai hasil renungan dari pengalamannya, lebih jauh nilai-nilai
ketuhidan dan nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan harus dijadikan landasan
untuk menilai pendidikan, dan untuk menentukan nilai mana yang baik dan tidak
baik dalam pendidikan.
Dalam pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan Islam diperlukan
etika profetik, yakni etika yang dikembangkan atas dasar nilai-nilai Ilahiyah. Ada
beberapa butir nilai, hasil deduksi dari Al-Qur’an yang dapat dikembangkan untuk
etika profetik pengembangan dan penerapan ilmu. Pertama, nilai ibadah, yakni
bagi pemangku ilmu pendidikan Islam. Pengembangan dan penerapannya
merupakan ibadah (QS. al-Dzariyat/51: 56, Ali Imran/3: 190-191). Kedua, nilai
ihsan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya dikembangkan untuk berbuat baik
kepada semua pihak pada setiap generasi, disebabkan karena Allah telah berbuat
baik kepada manusia dengan aneka nikmat-Nya, dan dilarang berbuat kerusakan
dalam bentuk apapun. (QS. al-Qashash/28: 77). Ketiga, nilai masa depan, yakni
ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan untuk mengantisipasi masa depan
yang lebih baik, karena mendidik berarti menyiapkan generasi yang akan hidup
dan akan menghadapi tantangan-tantangan masa depan yang jauh berbeda dengan
periode sebelumnya (QS.al-Hasyr/59: 18). Keempat, nilai kerahmatan, yakni ilmu
pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi kepentingan dan kemaslahatan
seluruh umat manusia dan alam semesta (QS. al-Anbiya’/21: 107). Kelima, nilai
amanah, yakni ilmu pendidikan Islam itu adalah amanah Allah bagi
pemangkunya, sehingga pengembangan penerapannya dilakukan dengan niat, cara
dan tujuan sebagaimana dikehendaki-Nya (QS. al- Ahzab/33: 72). Keenam, nilai
24
dakwah, yakni pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan Islam merupakan
wujud dialog dakwah menyampaikan kebenaran Islam (QS. Fushshilat/41: 33).
Ketujuh, Nilai tabsyir, yakni pemangku ilmu pendidikan Islam senantiasa
memberikan harapan baik kepada umat manusia tentang masa depan mereka,
termasuk menjaga kseimbanagan atau kelestarian alam (QS. al-Baqarah/2:119).
Persoalan pendidikan adalah persoalan yang menyangkut hidup dan
kehidupan manusia yang senantiasa terus berproses dalam perkembangan
kehidupannya. Di antara persoalan pendidikan yang cukup penting dan mendasar
adalah mengenai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan termasuk masalah sentral
dalam pendidikan, sebab tanpa perumusan tujuan pendidikan yang baik, maka
perbuatan mendidik bisa menjadi tidak jelas tanpa arah dan bahkan bisa tersesat
atau salah langkah.28 Oleh karena itu, tujuan pendidikan merupakan problem inti
dalam aktivitas pendidikan. Dengan demikian, tujuan pendidikan merupakan
faktor yang sangat penting dan menentukan jalannya aktivitas pendidikan.
Tujuan pendidikan pada dasarnya adalah tujuan tertinggi atau terakhir
yaitu tujuan yang tidak ada lagi tujuan di atasnya. Omar Mohammad al-Toumy al-
Syaibani menjelaskan, kalau kita pandang tentang bentuk yang digambarkan oleh
ungkapan tentang tujuan terakhir pendidikan dengan pandangan Islam, maka kita
dapatkan tidak ada pertentangan dalam makna dan tidak didapati di dalamnya apa
yang bertentangan dengan jiwa Islam. Pandangan ini akan mengajak kita
mengembalikan semua kepada tujuan terakhir, yaitu persiapan untuk kehidupan
dunia dan akhirat. Tujuan terakhir dengan pengertian ini tidak terbatas
pelaksanaannya pada institusiinstitusi pendidikan, tetapi wajib dilaksanakan oleh
semua institusi yang ada di masyarakat.
Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi yang dikutip Omar Mohammad al-
Toumy al- Syaibani, telah merumuskan tujuan pendidikan Islam secara umum ke
dalam lima tujuan, yaitu : (1) Untuk membentuk akhlak mulia. Kaum muslimin
dari dulu sepakat bahwa pendidikan akhlak yang sempurna adalah tujuan
pendidikan yang sebenarnya; (2) persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam bukan hanya menitikberatkan pada keagamaan atau keduniaan
saja, melainkan pada keduanya dan memandang kesiapan keduanya sebagai
tujuan yang asasi; (3) persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi
25
kemanfaatan. Pendidikan Islam tidak saja segi agama, akhlak dan spiritual semata,
tetapi juga menyeluruh bagi kesempurnaan kehidupan atau yang lebih dikenal
sekarang ini dengan nama tujuan-tujuan vokasional dan profesional; (4)
menumbuhkan semangat ilmiah (scientific spirit) pada para pelajar, dan
memuaskan rasa ingin tahu (curiosity), serta memungkinkan mereka mengkaji
ilmu demi ilmu itu sendiri; dan (5) menyiapkan pelajar dari segi profesi, tehnik
dan perusahaan supaya dapat menguasai profesi tertentu dan keterampilan
pekerjaan tertentu, agar dapat mencari rezeki dalam hidup, di samping
memelihara dari segi kerohanian atau keagamaan.30
Di sini terlihat jelas, bahwa tujuan pendidikan Islam merupakan usaha
dalam membangun manusia yang utuh dalam rangka pembentukan kepribadian
moralitas, sikap ilmiah dan keilmuan, kemampuan berkarya, profesionalisasi
sehingga mampu menunjukkan iman dan amal saleh sesuai dengan nilai-nilai
keagamaan dan kehidupan.
Menurut Muhaimin dan Abdullah Mujib bahwa perumusan tujuan
pendidikan Islam itu harus berorientasi pada hakekat pendidikan yang meliputi
beberapa aspek seperti : (1) Tujuan dan tugas hidup manusia, yakni manusia tidak
diciptakan secara kebetulan melainkan mempunyai tujuan dan tugas hidup
tertentu; (2) memperhatikan sifat dasar (nature) manusia yaitu konsep penciptaan
manusia dengan bermacam fitrah, mempunyai kemampuan untuk beribadah dan
mentaati khalifah di bumi; (3) tuntutan masyarakat baik berupa pelestarian nilai
budaya, pemenuhan kebutuhan hidup maupun antisipasi perkembangan dan
tuntutan modern; (4) dimensi-deminsi kehidupan ideal Islam. Dalam hal ini
terkandung nilai dalam mengelola kehidupan bagi kesejahteraan di dunia dan
akhirat, keseimbangan dan keserasian keduanya.
Dengan demikian, jelas sekali perumusan tujuan pendidikan Islam harus
sesuai dengan hakekat kemanusiaan dan tugas-tugas kehidupan, sesuai dengan
sifatsifat dasar manusia yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan dan
sesuai pula dengan tuntutan masyarakat yang harus mengalami kemajuan serta
sesuai dengan nilai-nilai ideal ajaran Islam bagi kehidupan manusia.
Menurut Abuddin Nata, tujuan pendidikan Islam itu memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: (1) Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka
26
bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan
mengolah bumi sesuai kehendak Tuhan; (2) mengarahkan manusia agar seluruh
tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah
kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan; (3)
mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak menyalah gunakan
fungsi kekhalifahnya; (4) membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan
jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan keterampilan. Semua ini dapat
digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya, dan (5)
mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.
Ciri-ciri tujuan pendidikan yang dikemukakan Abuddin Nata, telah
memberikan gambaran bahwa arah pendidikan Islam dalam rangka menjadikan
manusia sebagai khalifah yang mampu menjalankan tugas kehidupan di
permukaan bumi, mampu beribadah sebagai hamba Allah, mampu berakhlak
mulia, dan mampu mengembangkan segenap potensinya serta mampu mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan demikian, telah jelas tujuan pendidikan
pada dasarnya menjadikan manusia muslim mampu menjalankan tugas dengan
baik di permukaan dunia ini, baik dalam kerangka kehidupan individu maupun
masyarakat.
Semakin jelas bahwa tujuan pendidikan Islam bukan saja diarahkan
menjadi manusia dalam bentuk mengamalkan ajaran beragama dan berakhlak
mulia, melainkan juga mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya
terutama aspek fisik, psikis, intelektual, kepribadian, dan sosial sesuai dengan
tuntutan kehidupan, perkembangan masyarakat dan harapan ajaran Islam itu
sendiri, terutamadalam menjadikannya mampu menunaikan tugas sebagai khalifah
dan insan yang mengabdi kepada Allah Swt.
Karena tujuan yang telah dikemukakan itu, dapat dikatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam mengarah kepada tujuan hidup manusia ialah beribadah kepada
Allah. Abdul Fatah Jalal menjelaskan, ibadah itu mencakup segala amal, pikiran
atau perasaan manusia, selama semua itu dihadapkan kepada Allah Swt. Dia
menambahkan, bahwa ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek
kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan,
27
perasaan bahkan seluruh perilaku yang dikaitkan dengan Allah Swt.33
Ibadah kepada Allah dalam arti luas mempunyai dampak edukatif yang
sangat signifikansi dalam membetuk insan yang bertaqwa (muttaqin). Dampak
edukatif dari ibadah diantaranya: (1) Ibadah mendidik diri untuk selalu
berkesadaran berpikir; (2) ibadah menanamkan hubungan jamaah muslim; (3)
menanamkan kemulian diri; (4) mendidik keutuhan selaku umat Islam yang
berserah diri kepada Allah; (5) keutamaan mendidik; (6) membekali manusia
dengan kekuatan rohaniah; dan (7) memperbaharui dengan taubat.34
Sampai di sini dapat dilihat bahwa para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa
tujuan umum (sebagian menyebutkan tujuan akhir) pendidikan Islam ialah
manusia yang baik itu adalah manusia yang beribadah kepada Allah.
28
HASIL ANALISIS JURNAL
Ilmu adalah dari bahasa Arab, ‘alima. Arti dari kata ini adalah
pengetahuan.dan ilmu pengetahuan secara terminologi adalah seluruh usaha sadar
untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
29
Letak perbedaannya yaitu ilmu merupakan rangkuman dari sekumpulan
pengetahuan atau hasil pengetahuan dan fakta berdasarkan teori-teori yang
disepakati / berlaku umum, diperoleh melalui serangkaian prosedur sistematik,
diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu,
Sedangkan agama yaitu suatu tata keimanan atau tata keyakinan atas adanya
sesuatu yang mutlak di luar manusia dan sistem norma (tata kaidah) yang
mengatur hubungan manusia dengan alam lainya, sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadatan.
Ciri pokok ilmu pengetahuan dalam islam bahwa ilmu itu membutuhkan
pembuktian (dalil, hujjah atau argumen) sebagai hasil dari sebuah pencarian, dan
alQur`an mengisyaratkan mengenai hal ini. Adapun ciri-ciri pokok ilmu adalah
sebagi berikut: 1) Sistematis, 2) Keumuman, 3) Rasionalitas, 4) Objektivitas, 5)
Verifiabilitas, dan 6) Komunalitas.
30
adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia dan sistem norma (tata kaidah) yang
mengatur hubungan manusia dengan alam lainya, sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadatan.
Disamping ketiga syarat tersebut diatas maka dapat ditambahkan syarat – syarat
yang lain, yaitu :
31
Dalam ajaran Islam realitas tidak hanya terbatas pada yang lahiriah dalam
bentuk alam nyata, melainkan menyangkut realitas yang gaib. Realitas yang
lahiriyah dan yang gaib itu berawal dari yang tunggal, yaitu Tuhan. Dalam
pemahaman seperti ini maka dapat dikatakan obyek pendidikan Islam itu tidak
hanya terbatas pada alam fisik (alam dan manusia), melainkan menyangkut
Tuhan.
Berbicara seputar Tuhan, alam dan manusia dalam keterkaitan dengan
filsafat pendidikan Islam tidak telepas dengan kajian teologi, kosmologi dan
antropologi.
Agama mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada di luar
pengalaman manusia. Perbedaan antara lingkup permasalahan yang dihadapi juga
menyebabkan perbedaan metode. Hal ini harus diketahui dengan benar untuk
dapat menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa
mengetahui hal ini maka mudah sekali kita terjatuh dalam kebingungan. Padahal
dengan menguasai hakekat ilmu dan agama secara baik, akan memungkinkan
pengetahuan berkembang lebih sempurna, karena kedua pengetahuan itu justeru
saling melengkapi. Di satu pihak, agama akan memberikan landasan moral bagi
aksiologi keilmuan, sedangkan di pihak lain, ilmu akan memperdalam keyakinan
beragama.
Dalam Islam sumber ilmu itu pada garis besarnya ada dua yaitu ilmu yang
bersumber pada wahyu (al Qur'an) yang menghasikan ilmu naqli, seperti ilmu-
ilmu agama ilmu tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf dan sejarah. Dan ilmu yang
bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli seperti
filsafat, ilmu sosial, teknik, biologi, sejarah, dan lain-lain. Ilmu Jika dalam uraian
ontologi pendidikan Islam menolak adanya dikotomi pendidikan Islam, maka
persoalan selanjutnya adalah implementasinya dalam konsep ilmu-ilmu yang akan
dikembangkan dalam penyelenggaraan pendidikan. Tanpa adanya penegasan
konsep ilmu-ilmu, maka lembaga pendidikan Islam sebagai pusat pengembangan
dan kajian ilmu akan makin sulit berhadapan dengan tantangan dan tuntutan
adanya kecenderungan spealisasi ilmu-ilmu yang makin menyempit dan parsial.
32
Naqli dihasilkan dengan cara memikirkan secara mendalam (berijtihad)
dengan metode tertentu dan persayaratan tertentu. Sedangkan ilmu aqli dihasilkan
melalui penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Ilmu-ilmu tersebut harus
diabadikan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.
33
kemudian menjadi khasanah dunia keilmuan tidak akan disimpan atau
disembunyikan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu
34
serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan
yang ada.
Sampai di sini dapat dilihat bahwa para ahli pendidikan Islam sepakat
bahwa tujuan umum (sebagian menyebutkan tujuan akhir) pendidikan Islam ialah
manusia yang baik itu adalah manusia yang beribadah kepada Allah.
35
khalifah, dan insan yang mengabdi kepada Allah Swt. Al – Ghozali ( Dalam buku
Drs.H. Moh. Ihcsan Hafi,S.Pd., MA) berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah
mendekatkan diri kepada Allah, bukan pangkat dan bermegah – megah, dan
janganlah seseorang pelajar itu belajar untyk mencari pangkat, harta , menipu
orang – orang bodoh atau bermegah – megah dengan sahabat dan tak keluar dari
pendidikan akhlaq senada dengan Al – ghozali, Al – Abrosyi juga menyatakan
bahwa tujuan pokok dan terutama dari pendidikan islam ialah mendidik budi
pekerti dan pendidikan jiwa. Semua mata pelajaran haruslah mengandung
pelajaran – pelajaran Akhlaq. Setiap guru harus memperhatikan akhlaq yang
mulia itu adalah tiang dari pendidikan islam. Dari berbagai pendapat diatas
ternyata bahwa tujuan utama pendidikan islam secara individu adalah
mewujudkan manusia – manusia yang cerdas akal – pikirnya. Yang
berketrampilan dan yang berakhlaq mulia.
Di sini terlihat jelas, bahwa tujuan pendidikan Islam merupakan usaha
dalam membangun manusia yang utuh dalam rangka pembentukan kepribadian
moralitas,sikap ilmiah dan keilmuan, kemampuan berkarya, profesionalisasi
sehingga mampu menunjukkan iman dan amal saleh sesuai dengan nilai-nilai
keagamaan dan kehidupan.
Ciri pokok ilmu pengetahuan dalam islam bahwa ilmu itu membutuhkan
pembuktian (dalil, hujjah atau argumen) sebagai hasil dari sebuah pencarian, dan
alQur`an mengisyaratkan mengenai hal ini. Adapun ciri-ciri pokok ilmu adalah
sebagi berikut: 1) Sistematis, 2) Keumuman, 3) Rasionalitas, 4) Objektivitas, 5)
Verifiabilitas, dan 6) Komunalitas.
36
Sumber ilmu pengetahuan manusia menggunakan dua cara dalam
memperoleh pengetahuan yang benar, pertama melalui rasio dan kedua melalui
pengalaman. Paham yang pertama disebut sebagai rasionalisme sedangkan paham
yang kedua disebut dengan empirisme.
DAFTAR RUJUKAN
37
http://pusdiklat-dewandakwah.com Lubis, Akhyar Yusuf , 2011, Pengantar
Filsafat Pengetahuan, Depok: Penerbit Koekoesan Nata, Abudin, 2002,Tafsir Ayat
ayat Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada. S, Soejono, 1978, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta : Nurcahya. Suriasumantri, J. S, 2001, Ilmu Dalam
Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suriasumantri, Jujun S, 2010,
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Van
Peursen, 2008, Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, Dikutip dari buku B, Arief
Sidharta. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?, Pustaka Sutra, Bandung.
Wibisono, Koento , 1997, Gagasan Strategic Tentang Kultur Keilmuan Pada
Pendidikan Tinggi, Jurnal Filsafat, Edisi Khusus Agustus. Yusuf Qaradhawi,
2003, Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam, terj. Al
38
Muliawan, Jasa Ungguh, Pendidikan Islam Integratif. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.
Nata, Abuddin Filsafat Pendidikan Islam I, Jilid I. Cet. I; Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997. Sadulloh, Uyoh, Pengantar filsafat Pendidikan. Cet. VI; Bandung:
Alfabeta, 2009. SM., Ismail dan Nurul Huda (Ed.), Paradigma Pendidikan Islam.
Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Soetriono dan Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Cet. I;
Yogyakarta: ANDI, 2007.
Solihin, M., Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga modern. Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Cet. XVIII;
Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2007.
Tafsir, Ahmad, Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam. Cet. I; Bandung:
Sunan Gunung Jati, 1995.
Hatta, Mohammad. 1960. Alam Pikir Yunani, I dan II. Jakarta: Tintamas
39