Perkembangan Puisi Arab Modern

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 26

PERKEMBANGAN PUISI ARAB MODERN

Oleh: Taufiq A. Dardiri


Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga
Jl. Marsda Adisutjipto Yogyakarta 55281
e-mail: ta.dardiri@yahoo.com

Abstract
This article aims to study the development of Arabic poetry from
its early phase to its modern one. Having used a historical-
diachronic study of form and content of Arabic poetry, this article
concludes that Arabic poetry, as the oldest genre in the Arabic
literary tradition, has hardly developed. Not until the 20th
century, more commonly known in the history of Arabic literature
as As}r al-Nahd}ah, that the awareness of the absence of creativity
in Arabic poetry and external factors due to the interaction of
Arab with the West have given birth the seeds of modern Arabic
poetry. At least, there are five schools of modern Arabic poetry,
namely: Neo Classical (al-Muhāfizun) with such its central
figures as Mahmud Sami and Ahmad al-Barudi Syauqy; Western
Romanticism, which was pioneered by Khalil Mutran; Madrasah
Dīwān, which was propagandized by Abd al-Rahman Shukri,
Abbas Mahmud al-'Aqad, and Ibrahim Abd al-Qadir al-Mazini;
Madrasah Apollo, which was carried by Ahmad Zaki Abu
Syadi; and Madrasah al-Muhajir, which is pioneered by Jibran
Khalil Jibran. Each has contributed their part in Arabic poetry
formally as well as contentially. Those schools have became a
tradition of modern Arabic poetry. The emergence of modern
Arabic poetic tradition has been accompanied by three general
pattern- the influence of literary patterns of the more advanced
cultures, the escapism, and the search for identity.

Tulisan ini melihat perkembangan puisi Arab dari masa


awal sampai masa modern. Melalui telaah historis-
diakronis atas bentuk dan isi puisi Arab, tulisan ini
berkesimpulan bahwa puisi Arab, sebagai genre tertua
dalam tradisi kesusastraan Arab, nyaris tidak mengalami
perkembangan. Hanya saja, pada abad ke-20 atau, lebih
dikenal dalam sejarah kesusastraan Arab, Ashr al-Nahdlah,
Taufiq A. Dardiri

kesadaran internal atas absennya kreativitas dalam puisi


Arab dan stimulan eksternal akibat interaksi Arab dengan
Barat telah melahirkan benih-benih puisi Arab modern.
Paling tidak, ada lima aliran puisi Arab modern, yaitu: Neo
Klasik (al-Muhāfizun) dengan tokoh utamanya Mahmud
Sami al-Barudi dan Ahmad Syauqy; Romantisme Barat
yang dipelopori Khalil Mutran; Madrasah Dīwān yang
diusung oleh Abd al-Rahman Syukri, Abbas Mahmud al-
‘Aqad, dan Ibrahim Abd al-Qadir al-Mazini; Madrasah
Apollo yang dibidani Ahmad Zaki Abu Syadi; dan Madrasah
al-Muhājir yang dikomandoi oleh Jibran Khalil Jibran.
Masing-masing aliran membawa pembaruan dalam puisi
Arab, baik bentuk maupun isi, yang kemudian menjadi
tradisi bagi puisi Arab modern. Kemunculan tradisi puisi
Arab modern ini disertai dengan tiga pola umum, yaitu
pengaruh pola kesusastraan dari kebudayaan yang lebih
maju, pola eskapisme, dan pencarian identitas diri.
Kata kunci: puisi Arab modern; genre sastra; sastra Barat.

A. PENDAHULUAN
Tidak dimungkiri bahwa sastra menempati posisi yang sangat
penting dan istimewa dalam struktur kebudayaan Arab. Jika
peradaban-peradaban besar dunia, seperti Yunani, Romawi, dan
Mesir, mewariskan keagungan artefak-artefak megalitik, seni
bangunan yang indah, dan istana-istana yang megah, maka
peradaban Arab mewariskan karya sastra yang sarat nilai.
Philip K. Hitti (2002) dengan tegas mengungkapkan
kekagumannya pada warisan Arab itu: “No people in the world
manifest such enthusiastic admiration for literary expression as the
Arabs ‘tidak ada satu pun penduduk di dunia ini yang sanggup
menandingi kegairahan ekspresif dalam bersastra dibanding
orang Arab’. Inilah sebabnya sastra Arab mampu bertahan dan
terus berkembang dalam struktur kebudayaan Arab hingga saat
ini.
Dalam tradisi sastra Arab, puisi (syi’r) merupakan suatu
genre sastra yang paling tua dan paling kuat sebagai suatu media
kesadaran estetis bangsa Arab. Tidak ada satu pun bentuk

284 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

ungkapan estetis lainnya yang menyamai atau melebihi


kedudukan genre puisi di mata masyarakat Arab, terutama pada
masa pra-Islam (Umar, 1992: 70—71). Sebuah puisi Arab dapat
membuat perasaan pendengarnya sangat terharu, bahkan
walaupun seluruh isinya tidak ia pahami.
Tradisi genre puisi ini mampu membentuk sistem konvensi
yang begitu kuat. Sejak masa pra-Islam hingga abad ke-20 sistem
puisi Arab sulit untuk melepaskan diri dari konvensi yang telah
berurat berakar dalam kebudayaan Arab. Konvensi puisi Arab
lama yang dimaksud adalah: ‘adad al-bait (jumlah bait), aqsa>m al-
bait (bagian-bagian bait), al-‘arūd: al-wahdah al-shautiyah (kesatuan
bunyi), al-taf’ilah (struktur pengulangan kesatuan bunyi dalam
penggalan bait, al-bahr (metrum), dan al-qāfiyah (struktur bunyi
akhir suatu bait atau rima).
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan
sastra Arab lambat laun mulai terpengaruh oleh sastra Barat.
Setelah beberapa abad sebelumnya sempat mengalami
kemunduran, maka memasuki abad modern sastra Arab mulai
bangkit kembali. Masa ini disebut dengan ‘As}r al-Nahd}ah. Dalam
periode ini, mulai berkembang genre baru dalam sastra Arab,
yaitu prosa dan drama.
Zainal Abidin membagi era kebangkitan ini dalam dua fase,
yaitu fase tradisional dan fase pembaruan (Abidin, 1987: 176).
Fase pertama, perkembangan sastra masih meneruskan tradisi
masa Usmani. Akan tetapi, fenomena-fenomena kebangkitan
sudah tampak sedikit dalam perluasan tema, cara deskripsi, dan
penggunaan bahasa. Sebagai contoh puisi pada fase ini adalah
puisi Ismail al-Khasyab (w.1834 M). Sedangkan fase kedua mulai
pada pertengahan abad ke-19 yang dipelopori oleh Mahmud
Sami al-Barudi dan Ahmad Syauqy dengan alirannya yang
terkenal neoklasik atau al-Muhāfiz}u>n.
Tahap selanjutnya muncul gerakan pembaruan yang
dipengaruhi oleh aliran romantisme Barat yang dipelopori Khalil
Mutran. Kemudian dilanjutkan dengan munculnya madrasah-

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 285


Taufiq A. Dardiri

madrasah, seperti Madrasah Diwan, Madrasah Apollo, dan Madrasah


al-Muhajir atau aliran sastrawan migran. Semua aliran ini
memiliki peran penting dalam gerakan pembaruan kesusasteraan
Arab.
Mengingat perjalanan sejarah sastra Arab yang begitu
panjang, maka tentu saja berbagai aspek yang melatari dan
mengiringi perkembangannya sangat kompleks. Dengan
demikian, pengkajiannya dimungkinkan untuk didekati dari
berbagai sisi dan sudut pandang. Tulisan ini akan mengkajinya
dengan pembatasan pada aspek historis. Aspek historis
dimaksudkan untuk membatasi lingkup waktu kajian hanya pada
periode modern. Namun untuk dapat menemukan fakta
konklusif, maka akan dibahas juga latar belakang
perkembangannya, tokoh, dan konsep pembaruannya.

B. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN PUISI ARAB


MODERN
Untuk dapat memahami kehidupan puisi Arab modern secara
lebih baik, diperlukan pengetahuan mengenai latar belakangnya,
baik dari sudut politik, agama, sosial, maupun ekonomi. Bahkan
lebih dari itu, menurut Haywood, diperlukan juga pengetahuan
yang baik tentang sastra Arab klasik (Haywood, 1971: 2). Namun,
karena semua aspek tersebut tidak mungkin dipaparkan
seluruhnya, maka tulisan ini hanya akan mengupas secara singkat
latar belakang perkembangan puisi Arab modern.
Munculnya suatu pola perpuisian yang mencoba lepas dari
tradisi dan konvensi perpuisian Arab lama, umumnya didorong
oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal dan eksternal. Yang
dimaksud faktor internal ialah suatu dorongan yang muncul dari
kesadaran masyarakat Arab sendiri terhadap kondisi yang ada,
sedangkan faktor eksternal ialah suatu dorongan yang muncul
karena adanya persentuhan dengan kebudayaan bangsa lain.

286 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

1. Faktor Internal
Dalam setiap kebudayaan, selalu ada saling hubung antara segala
bidang kegiatan manusia dan saling mempengaruhi antara tiap-
tiap bagian masyarakat pendukung suatu kebudayaan yang satu
dengan lainnya. Karena itu, secara historis, segala usaha, tujuan,
dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembaruan puisi Arab—
sebagai titik awal pertumbuhan sastra Arab modern—tidak dapat
dipisahkan dari usaha, tujuan, dan hasil-hasil yang telah dicapai
dalam pembaruan masyarakat Arab oleh para pemikir Arab
modern dan kontemporer. Sekadar contoh, di antara tokoh
pembaru dalam kebudayaan Arab Islam adalah Muhammad
Abduh dan Mahmud Sami al-Barudi. Abduh, sebagai seorang
cendekiawan, bergerak untuk mendobrak pola dan kerangka
pemikiran dan pemahaman masyarakatnya yang dipenjara oleh
taklid dan mistisitas irasional. Sementara, al-Barudi sebagai
penyair, bergerak untuk mendobrak tradisi puisi yang dipenjara
oleh kebagusan yang dibuat-buat dan arkaisme palsu
(Andangdjaja, 1983: 17).
Dengan demikian, munculnya gerakan pembaruan
pemikiran di bidang pemahaman agama dan sosial bersinergi
dengan pembaruan di bidang sastra dan budaya. Keduanya
bertitik bertolak dari ketidakpuasan atas kondisi yang ada.
Kondisi infrastruktural yang mengakibatkan stagnasi, bahkan
kemunduran budaya, telah menjadikan momok bagi mereka yang
menyadari dan memahaminya. Kondisi infrastruktural yang
dimaksud adalah pola-pola pemahaman dan pelaksanaan agama
yang diwarnai oleh sikap taklid, mistik, dan irasional. Sedangkan
pada bidang sastra, puisi-puisi pada saat itu telah kehilangan
nuansanya; tidak lagi memancarkan bobot keindahan total dan
koherensial, yang meliputi keterpaduan bentuk, ide, pola
musikalitas, ekspresivitas, dan sebaliknya menunjukkan adanya
kemandegan kreativitas.

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 287


Taufiq A. Dardiri

Keadaan seperti di atas disadari betul oleh Al-Barudi, yang


kemudian memberi dorongan pada dirinya untuk mengadakan
pembaruan di bidang sastra. Pembaruan yang dirintis al-Barudi
ini kemudian lebih dipertegas lagi oleh Khalil Mutran, melalui
karya-karyanya yang juga mendapat pengaruh dari kebudayaan
Barat.

2. Faktor Eksternal
Selain faktor internal di atas, ada faktor lain yang menciptakan
arus pembaruan di bidang sastra, yaitu faktor eksternal yang
muncul sebagai hasil dari interaksi budaya Arab dan Barat.
Meskipun interaksi antara dua kebudayaan ini sebenarnya telah
berlangsung lama, namun interaksi yang kemudian membawa
pengaruh besar bagi perkembangan kebudayaan Arab bermula
dari kedatangan Napoleon ke Mesir pada tahun 1798 (Haywood,
1971: 14 cf Andangdjaja, 1983: 14). Napoleon yang datang beserta
para sarjana orientalis, misionaris, dan diikuti dengan pendirian
percetakan, telah membuka era baru bagi kehidupan kebudayaan
bangsa Arab.
Sebenarnya, tujuan kedatangan Napoleon tersebut semula
bersifat politik dan pragmatik, namun tidak disangka
pengaruhnya kemudian sangat luas pada kehidupan bangsa
Arab. Karena itu, kedatangan Napoleon dapat dipandang sebagai
awal penyerapan budaya Barat ke dunia Arab, dan sebagai
penyebab proses modernisasi dengan segala permasalahannya,
baik positif maupun negatif. Walaupun sikap terhadap Barat
berbeda-beda—terkadang dibenci sebagai ancaman dan pada saat
yang sama juga dikagumi sebagai model—kenyataannya Barat
senantiasa hadir dalam kesadaran bangsa Arab hingga kini. Mulai
dari sinilah terjadi proses yang melibatkan serangkaian
perubahan-perubahan dalam kehidupan politik, sosial, dan
termasuk sastra di dunia Arab.
Dapat ditunjukkan di sini beberapa gejala perubahan yang
timbul segera setelah kedatangan Napoleon ke Mesir. Di

288 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

antaranya, terbit surat kabar pertama di dunia Arab yang


bernama Courier de l’Egypte pada 29 Agustus 1798 (Haywood,
1971: 30), terbit majalah ilmu pengetahuan dan sastra La Decade
Egyptienne pada bulan November 1798, yang kemudian disusul
oleh munculnya surat kabar lain, seperti Jurnal al-Khadyu (1827)
dan al-Waqa’i al-Mishriyah (1828) terbitan Bulaq Press yang
didirikan oleh Muhammad Ali, gubernur Mesir saat itu. Pada
masa yang sama pihak pemerintah juga banyak mengirimkan
para mahasiswa untuk belajar ke Italia, Perancis, dan Inggris.
Adanya perkembangan seperti di atas, bagi kehidupan
kesusastraan jelas besar sekali pengaruhnya. Terutama penerbitan
surat kabar yang di dalamnya memuat juga kolom sastra, telah
menyebabkan terjadinya suatu peralihan dari penyebaran karya
sastra lewat mulut ke mulut, ke penyebaran lewat media cetak. Di
sisi lain, program pengiriman mahasiswa untuk belajar di negara-
negara Eropa, telah memungkinkan mereka untuk membawa
konsep, persepsi, dan pemikiran baru di bidang sastra. Sebut saja
misalnya Tahtawi (1803-1873), seorang alumnus Al-Azhar yang
kemudian belajar di Paris. Ia banyak membaca kesusastraan
Perancis seperti karya-karya Voltaire, Montesquieu, dan
Rousseau (Haywood, 1971: 32), yang hal itu kemudian membawa
wawasan baru bagi pemikiran kesusastraan Arab.
Para sarjana lulusan Barat ini juga berkontribusi besar bagi
perkembangan sastra Arab modern melalui kegiatan
penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab. Banyak karya-
karya sastra Barat, terutama karya sastra Perancis, yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti Paul et Virginie,
dongeng-dongeng La Fontain, dan Victor Hugo. Nama-nama
sastrawan mulai dari Villon sampai pada angkatan Sartre dalam
sastra Perancis, atau Marlowe sampai angkatan Auden dalam
sastra Inggris, akhirnya populer di kalangan penikmat sastra
waktu itu.

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 289


Taufiq A. Dardiri

C. TOKOH-TOKOH DAN MAZHAB PUISI ARAB MODERN


Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang
perkembangan puisi Arab modern, secara singkat akan diulas
beberapa tokoh pembaru puisi Arab dan konsep pembaruan yang
digagasnya. Hal ini penting untuk mengetahui titik tolok adanya
perkembangan puisi, karena dari sinilah tumbuh berbagai ragam
corak, bentuk, aliran, wawasan, dan sebagainya, yang pada
akhirnya membawa misi tunggal, yaitu pencarian atau penemuan
identitas diri kesusastraan Arab yang selaras dengan napas
kehidupan masyarakat dan zamannya.
Berikut beberapa tokoh sastrawan Arab yang berhasil
memberikan warna tersendiri bagi perkembangan puisi Arab
modern sehingga terbentuk aliran atau mazhab khusus.

1. Aliran Neo Klasik


Pelopor aliran neoklasik puisi Arab atau biasa disebut al-
Muhāfizu>n adalah Mahmud Sami al-Barudi dan Ahmad Syauqi.
Fenomena kemunculan pemikiran dan gerakan neoklasik
memiliki peranan penting dalam sejarah Arab modern,
sebagaimana halnya gerakan yang sama terjadi dalam
kebudayaan Barat. Apabila neoklasik dalam kebudayaan Barat
berorientasi menghidupkan sastra Yunani dan Latin kuno, maka
neoklasik Arab berkeinginan untuk membangkitkan kembali
keindahan puisi Abbasiyah, seperti puisi Abu Nuwas, Abu
Tamam, Ibnu Rumi, al-Mutanabbi, al-Ma’arri, dan al-Buhturi.
Keindahan puisi Abbasiyah secara stilistika dikombinasikan
dengan semangat baru (Umar, 1992: 70―75).
Kemunculan aliran neoklasik ini mulanya sebagai reaksi
atas kedatangan Napoleon ke Mesir tahun 1798, yang menandai
masuknya kebudayaan Perancis ke dunia Arab. Gerakan yang
dipelopori al-Barudi dan Syauqi ini disambut dan didukung para
sastrawan lain di Mesir seperti Hafiz Ibrahim, Ismail Sobri, dan
Ali al-Jarim; Ma’ruf al-Rasasi dan Jamil Sidqi di Irak; serta
Basyarah al-Khauri di Lebanon.

290 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

Masa ini juga merupakan periode antologi (diwani) dan


publikasi teks-teks Arab klasik. Hal ini dilakukan antara lain oleh
penerbit Bulaq Press, Jamiyat al-Ma’arif, dan majalah al-Jawaib
yang dipimpin oleh Ahmad Faris al-Shidyaq, salah seorang
penyair Lebanon di Istanbul. Penerbitan teks-teks klasik bukan
semata-mata untuk kepentingan dunia sastra dan kepenyairan,
akan tetapi juga bagian dari upaya menumbuhkan jiwa
nasionalisme Arab. Nasionalisme saat itu dibutuhkan sebagai
penegas identitas bangsa Arab dan sebagai benteng dari derasnya
budaya barat (western culture) yang mulai membanjiri wilayah
Arab.
Aliran ini memang tidak terlalu banyak melakukan inovasi
pada teknik pengungkapan puisi. Namun demikian, melalui
tokohnya, al-Barudi, ia berhasil menghidupkan kembali unsur
subjektivitas dalam berpuisi yang telah lama ditinggalkan dalam
tradisi puisi Arab saat itu. Al-Barudi membawa kembali style,
bentuk, dan musikalitas puisi Arab pada masa keemasannya
bukan untuk taklid buta atau larut dalam romantisme kejayaan
penyair masa lampau. Akan tetapi langkah ini sebagai otokritik
bagi penyair sezamannya untuk menjaga tradisi dan peradaban
bangsa Arab, terlebih lagi mengembalikan kepercayaan penyair
sezamannya untuk percaya diri dan muncul dengan karyanya
yang baru.
Aliran Neo Klasik umumnya masih memelihara kaidah
puisi Arab secara kuat, misalnya keharusan
menggunakan wazan (pola) dan qāfiyah (rima), jumlah katanya
sangat banyak, uslūb-nya (gaya atau cara seseorang
mengungkapkan dirinya dalam tulisan) sangat kuat, tema-
temanya masih mengikuti masa sebelumnya, seperti madah
(pujian-pujian), ritsa (ratapan), ghazal (percintaan), fakhr
(membanggakan diri atau kelompok), dan adanya perpindahan
dari satu topik ke topik yang lain dalam satu qasidah (ode).
Namun dalam perkembangannya, mulai ada beberapa inovasi
yang dilakukan sejumlah penyair.

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 291


Taufiq A. Dardiri

Secara global, ada beberapa karakteristik puisi aliran ini


sebagai berikut:
a. Para penyair mengangkat tema-tema puisi Arab klasik serta
mengusung tema-tema baru dengan cara merespons
tuntutan zamannya seperti tema patriotisme dan tema-tema
sosial.
b. Ada beberapa penyair yang mengakui pola qasidah klasik
dengan meletakkan atlal dan ghazal di awal, namun ada juga
yang mengabaikan pembukaan semacam ini sehingga
dalam puisinya tampak ada kesatuaan tematik seperti puisi-
puisi Ahmad Syauqi dan Hafiz Ibrahim.
c. Larik tetap merupakan kesatuan makna dan seni,
sedangkan qasidah semacam ini belum bisa mewujudkan
satu kesatuaan struktur karya yang otonom.
d. Referensi qasidahnya adalah kamus puisi Arab klasik, tetapi
ada juga beberapa penyair yang mengambil kata-kata baru
dari realitas kehidupan yang ada.
e. Aspek didaktis dan etis sangat mendominasi.
f. Sejumlah penyair mencoba menandingi puisi-puisi popular
Arab klasik dan meniru tema, metrik, dan rimanya.
Kesimpulannya, para penyair Neo Klasik ini tidak tunggal
dan padu. Ada penyair yang meniru pola klasik dan tidak
menambahkan inovasi sedikit pun, namun ada juga yang
menambahkan dengan pola pengalaman subjektif, membuat
bentuk inovasi baru, dan ada yang mendekati aliran romantik.
Begitu juga ada penyair yang mengangkat tema baru tetapi
dengan style lama.

2. Khalil Mutran (1872―1949)


Khalil Mutran adalah penyair kelahiran Lebanon yang kemudian
tinggal di Mesir. Namun sebelumnya, ia sempat tinggal lama di
Prancis dan banyak mempelajari bidang keilmuan dan sastra
Prancis. Mutran membawa konsep Baru di bidang perpuisian

292 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

Arab, yaitu asas kesatuan organik dan struktur yang


memperlihatkan hubungan dalam suatu konteks. Pandangan ini
dipengaruhi teori strukturalisme Jean Piaget.
Dalam hal ini, Mutran berada di bawah pengaruh langsung
puisi romantik Prancis, terutama puisi-puisi naratif Hugo, lirik-
lirik Mussel dan Baudelaire (Andangdjaja, 1983: 19). Di samping
itu, Mutran juga berhasil menghancurkan pola qasidah yang telah
kehabisan potensi-potensi politiknya dan diganti dengan pola
perpuisian yang lebih bebas. Dalam karya-karyanya ada
kecenderungan untuk mengungkapkan visi pribadinya yang
bersifat individualistik, introspekstif, dan ekspresif. Hal ini dapat
dimengerti, karena ia berpandangan bahwa puisi adalah seni
yang berhubungan dengan kesadaran.
Khalil Mutran merupakan orang yang pertama kali
mengembangkan aliran romantik dalam perpuisian Arab.
Meskipun syair-syairnya sangat bernuansa romantik yang
mengekspresikan pengalaman-pengalaman pribadi seputar cinta,
kenangan masa kecil, sejarah jamannya, dan impian-impiannya,
namun Mutran juga kritis terhadap situasi sosial yang
melingkupinya. Melalui pementingan makna dalam puisi-
puisinya, ia menyerang despotisme, tirani, perbedaan kelas,
kebodohan, ketidakadilan sosial, dan membela perjuangan ke
arah kemajuan dan kebebasan berpikir (Andangdjaja, 1983: 19).
Melalui karya-karyanya, terutama yang berjudul Nayrun, Khalil
Mutran telah berhasil melepaskan diri dari dan berhasil
menghancurkan pola qasidah.

3. Kelompok Diwan (1921)


Kelompok ini dipelopori tiga sastrawan, yaitu Abd al-Rahman
Syukri (1889-1958), Abbas Mahmud al-‘Aqad (1889-1964), dan
Ibrahim Abd al-Qadir al-Mazini (1890-1949). Grup ini telah
membawa perkembangan yang cukup berarti bagi perpuisian
Arab, meskipun dalam banyak hal masih bergantung pada aliran
romantik yang dikembangkan Khalil Mutran dan banyak

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 293


Taufiq A. Dardiri

dipengaruhi oleh romantisme sastra Inggris. Akan tetapi, dengan


konsep-konsepnya, mereka telah membawa puisi Arab pada
bentuk dan citra yang lain, baik dari Mutran maupun neoklasik.
Menurut Ahmad Qabbisy, ada tujuh ciri pembaruan
mereka, yang terpenting di antaranya ialah: memberi tekanan
pada kesatuan organisme puisi, menolak adanya pola kesatuan
qāfiyah atau qāfiyah tunggal, menekankan pada variasi dan
kebebasan qāfiyah, dan yang jauh lebih ditekankan lagi adalah
makna. Tidak jarang kelompok Diwan ini juga memasukkan
pemikiran-pemikiran filsafat pada puisi-puisinya (Qabbisy, 1971:
223). Kecenderungan ini telah menandai terjadinya perpisahan
positif dari tradisi neoklasik menuju era baru aliran romantik
dalam puisi Arab modern.
Selain itu, dalam aliran ini terdapat adanya pembaharuan
dalam topiknya, khususnya dalam hal yang menyangkut tentang
masyarakat dan kehidupan, serta kasus-kasus yang terjadi di
masyarakat; adanya pembaharuan dalam deskripsi dan majaz-
nya; dan adanya pengaruh aliran simbolis dalam kesusastraan
Arab, di mana para sastrawan atau penyair menggunakan simbol-
simbol sebagai sarana pengungkapan perasaan dan pikiran
mereka.
Kelompok Diwan sesungguhnya merupakan antitesis dari
aliran Neo Klasik. Kelompok ini melakukan kritikan tajam
terhadap aliran Neo Klasik. Sejumlah kritik yang mereka ajukan
antara lain:
a. Al-Tafakfuk, yaitu puisi-puisi yang dihasilkan aliran Neo
Klasik dinilai tidak memiliki kesatuan tema.
b. Al-Ihalah, yaitu upaya yang dilakukan Neo-Klasik justru
membuat makna puisi menjadi rusak karena berisikan
sesuatu yang bombastis, tidak realistis, dan tidak masuk
akal.
c. Al-Taqlid, yaitu puisi-puisi Neo Klasik tidak lebih dari
pengulangan apa yang sudah dilakukan para sastrawan

294 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

Arab sebelumnya dengan cara membolak-balikkan kata dan


makna.
d. Para pengusung Neo Klasik dinilai memiliki kecenderungan
yang lebih mementingkan eksistensi (al-I’rad) daripada
substansi karya yang dihasilkan.
e. Aliran Neo Klasik dikritik karena banyak mengumpulkan
tauriyah, kinayah, dan jinas.
Karena kelompok Diwan lebih menonjolkan kritik dan
sanggahan terhadap Neo Klasik yang muncul terlebih dahulu,
maka sesungguhnya lebih tepat dikatakan kelompok ini sebagai
aliran kritik, atau dengan kata lain dapat dikatakan para
pengusung aliran ini sebagai aliran kritikus daripada sebagai
sastrawan atau penyair dalam upaya mereka memberi perubahan
yang berarti bagi perkembangan dan apresiasi sastra.
Terlepas dari itu, madrasah Diwān memang memiliki
karakteristik sendiri yang membedakannya dengan kelompok
sastra Arab modern lainnya. Karakteristik itu antara lain:
menolak kesatuan bait dan memberi penekanan pada kesatuan
organis puisi, mempertahankan kejelasan, kesederhanaan, dan
keindahan bahasa puisi yang tenang, mengambil segala macam
sumber untuk memperluas dan memperdalam persepsi dan
sensitivitas rasa penyair. Karakteristik lainnya, tema-tema yang
diangkat dalam karya-karya kelompok ini berkaitan dengan
persoalan-persoalan kontemporer seperti humanisme,
nasionalisme, dan Arabisme; karya-karya yang dihasilkan juga
banyak dipengaruhi romantisme dan model kritik Inggris.

4. Aliran Apollo (1922)


Kelompok yang namanya diambil dari nama majalah ini
dipelopori oleh Ahmad Zaki Abu Syadi (1892—1955). Ia seorang
dokter dan ahli bakteriologi yang lama tinggal di Inggris dan
Amerika. Ia banyak mempelajari sastra Inggris dan Perancis,
khususnya karya-karya Keats, Shelly, Woordsworth, Dickens,
Arnold Bennett, dan G.G. Shaw. Setelah kembali ke Mesir, Abu

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 295


Taufiq A. Dardiri

Syadi menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama “Apollo”


dengan dua bahasa pengantar, Inggris dan Arab, yang di
antaranya memuat karya-karya sastra jenis puisi.
Apollo sesungguhnya adalah nama dewa puisi bangsa
Yunani. Nama Apollo dipilih agar menjadi sumber inspirasi bagi
para sastrawan. Selain Abu Syadi, sastrawan yang tergabung
dalam aliran ini antara lain Ibrahim Naji, Kamil Kaylani, dan
Sayyid Ibrahim (Saqr, 1981: 84—85). Apollo memiliki obsesi untuk
menyatukan dan memberikan wadah bagi para penyair untuk
mengembangkan bakat seninya. Apabila modernisasi aliran
Diwan banyak menghasilkan karya baik puisi maupun prosa,
maka modernisasi kelompok Apollo lebih banyak menghasilkan
konsep tentang karya sastra.
Menurut Abu Syadi, Apollo mempunyai lima tujuan: (1)
mengangkat puisi Arab dan mengarahkan kegiatan para penyair
kepada arah yang baik; (2) membantu kebangkitan seni di dunia
puisi; (3) mengangkat derajat puisi baik di mata sastra, sosial, dan
ekonomi, serta mencegah eksklusivitasnya; (4) menumbuhkan
sikap tolong menolong dan persaudaran di kalangan sastrawan;
(5) memerangi monopoli dan menciptakan kebebasan puisi.
Menurut al-Shabi, Apollo memang tidak menjadi aliran yang
jelas, akan tetapi merupakan revolusi yang dahsyat untuk
mewujudkan kebebasan dan kesempurnaan puisi. Artinya,
kelompok ini berhasil menjadikan prinsip-prinsip kelompok
menjadi akar gerakan dalam mewujudkan tujuan (Adonis, 1986:
114—115).
Dengan melihat tokoh dan latar belakang kehidupan
kesastraannya, sudah barang tentu kelompok ini akan membawa
sikap dan napas tersendiri dalam kehidupan sastra Arab modern.
Ide pembaruan atau ciri khas yang paling pokok, yang kemudian
banyak pengaruhnya dalam kehidupan perpuisian Arab modern,
ialah pembebasan diri dari konvensi qafiah tunggal dengan
dukungan musikalitas yang rapi dan kemampuan ekspresi yang
dalam.

296 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

Baik kelompok Diwan maupun aliran Apollo sama-sama


melakukan counter attack terhadap gerakan neoklasik yang masih
mempertahankan corak puisi lama. Mereka mengajak pada
perubahan yang total. Aliran ini mengkritik metode taklid pada
karya klasik yang dilakukan kelompok neoklasik. Menurut
kelompok ini, hal itu seharusnya tidak boleh dilakukan. Adapun
sikap yang baik adalah mengambil aspek yang baik saja sebagai
bahan pertimbangan untuk menciptakan karya sendiri, sehingga
tetap orisinal. Syukri menekankan bahwa ketika penyair Arab
membaca sastra bangsa lain, mereka seharusnya hanya ingin
memperbarui makna dan menemukan kreativitas baru, bukan
menjiplak (Brugman, 1984: 96).
Ada sejumlah ciri khas puisi hasil kreasi kelompok Apollo.
Pertama, puisi sentimentil atau curahan hati, namun dengan
kadar yang berlainan antar penyair sesuai dengan faktor milieu,
kebudayaan, dan pembentukan kejiwaan masing-masing. Kedua,
puisi kecintaan pada alam sebagaimana kecintaan para penyair
Mahjar dan Romantik dengan menjadikannya alat pengkonkretan
kondisi kejiwaan dan sikap mereka pada kehidupan dan manusia.
Ketiga, puisi bebas (al-Syi’r al-Mursal) dengan mengabaikan rima.
Keempat, beberapa penyair menyatakan emosi cinta dalam
kerangka pengalaman subjektifnya. Kelima, beberapa penyair
mengekspresikan kegagalannya menarik dan mendapatkan
wanita lalu melukiskannya sebagai orang yang gegabah, kurang
pertimbangan, dan suka berkhianat (Ridwan
http://jurnalpenawordpress.com)
Di samping itu, pembaharuan yang dilakukan kelompok
Apollo adalah perhatiannya terhadap data-data sejarah, simbol-
simbol istilah, nama-nama asing, dan mitologi. Mereka juga
mengembangkan puisi naratif (al-Syi’r al-Mantsur) tanpa wazan
dan banyak memperkaya puisinya dengan sumber-sumber
(refrensi) baik dari Timur maupun Barat yang berkaitan dengan
bentuk maupun isi puisi.

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 297


Taufiq A. Dardiri

5. Penyair Mahjar
Kelompok penyair Mahjar (The Emigran Poet) ini hidup di
Amerika, terutama Amerika Utara dan Selatan. Mereka
kebanyakan datang dari Lebanon dan Syiria. Di Amerika Utara,
tepatnya di New York berdiri perkumpulan sastrawan al-Rabitah
al-Qalamiyah atau Liga Pena (1920). Sedang di Amerika Selatan,
yaitu di Sau Paulo berdiri al-‘Ushbah al-Andalusiyah atau Liga
Andalusia (1923).
Konsep pembaruan yang paling menonjol dan cukup
matang digagas oleh kelompok al-Rabitah al-Qalamiyah.
Sedangkan pada al-‘Ushbah al-Andalusiyah lebih bersifat
konservatif. Anggota dari kelompok pertama antara lain Jibran
Khalil Jibran (1883-1931), Mikhail Nu’aimah (1889), Iliya Abu
Madhi (1894-1957), Rasyid Ayub (1871-1941), dan lain-lain.
Sastrawan paling popuer dalam kelompok ini adalah Jibran Khalil
Jibran, yang kebetulan juga pendiri dan ketua kelompok ini.
Penulis-penulis kelompok ini pada umumnya mendapat
pengaruh dari sastra romantik dan sastra kaum transendentalis
Amerika, terutama Emerson, Longfellow, Whittier, clan Whitman.
Namun warna kepenyairan yang kuat pengaruhnya dan paling
menonjol adalah karya dan konsep yang dilontarkan Jibran.
Karya-karya Jibran banyak diwarnai oleh pemberontakan
terhadap modus pemikiran yang telah mapan, dan mendapat
pengaruh dari Nietzsche, Blake, Rodin, aliran romantik dan
transendentalis Amerika, dan mistisisme Timur. Selain itu, ia juga
berhasil menciptakan gaya penulisan puisi baru, yaitu bentuk
puisi-prosa. Model Jibran ini kemudian populer dengan istilah
Jubraniyyah atau Gibranisme yang di antara cirinya tidak mau
terikat pada aturan-aturan baku tata bahasa Arab.
Selain tokoh-tokoh dan aliran yang disebut di atas,
sesungguhnya masing-masing negara berbahasa Arab
mempunyai caranya sendiri dalam membenahi budayanya
sehingga tidak ada keseragaman mutlak. Sebagai contoh,
perkembangan sastra di Irak lebih sering diwarnai oleh agitasi

298 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

politik dan ideologi yang mengakibatkan timbulnya pergolakan


dan revolusi, seperti terjadi pada 1958 dan 1960 sampai pada
Revolusi 1968 yang dikatakan membawa angin baru kepada seni
dan budaya dengan diterbitkannya kembali buku-buku sastra.
Banyak pengarang Irak yang terpengaruh oleh suasana demikian
sehingga pernah lahir yang disebut Penulis Angkatan 60, dan
sebagainya. Namun demikian, semua aliran di berbagai penjuru
tanah Arab spiritnya tetap sama, yaitu perubahan dan
pembaruan.
Para sastrawan mahjar di atas menginginkan suatu bentuk
baru yang cenderung bebas yang kini dikenal dengan sebutan al-
Syi’r al-Hur atau al Mursal (bebas sajak dan wazan), dan al-Syi’r al-
Mantsur (bebas wazan tetapi terkadang masih bersajak). Langkah
ini sebagai bentuk gugatan terhadap kemapanan sastra Arab
klasik yang tidak diekspresikan dengan penuh perasaan,
emosi, dan perlu diperbaharui sesuai dengan perkembangan
dunia sastra modern (Dasuki, 1973).
Sastra Arab Mahjar merupakan hasil akulturasi dua budaya
(Timur-Barat) bahkan akulturasi multikultural yang ditopang
oleh kekuatan ruhani dan daya imajinasi sastrawan diaspora.
Secara umum karya kelompok ini dapat dicirikan sebagai karya
sastra romantis, humanistis, dan seringkali mistis. Dari segi
bentuk pengungkapannya, sastra Arab diaspora lebih
menekankan pada isi pesan sebuah karya daripada diksi, dan
lebih cenderung bebas dan terlepas dari kaidah-kaidah
penciptaan karya sastra Arab terutama pada genre puisi yang
selalu berwazan dan bersajak (bermatra).
Lebih spesifik lagi, karakteristik sastra Mahjar terutama
puisi, antara lain: campuran dari unsur dinamis spiritualitas
Timur dan romantisme Barat, penuh nada kerinduan pada tanah
air, keluhan atas perasaan terasing di tempat baru, concern
terhadap masalah-masalah politik dan sosial tanah air, reflektif
terutama puisi-puisi kelompok al-Rabitah al-Qalamiyah,
humanitarianisme yang tidak mengenal batas dan perbedaan
makhluk, cinta alam, dan pengungkapannya sederhana.

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 299


Taufiq A. Dardiri

D. FENOMENA UMUM PERKEMBANGAN SASTRA ARAB


Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu pola umum yang
mendorong terjadinya perkembangan puisi Arab modern. Yaitu,
adanya pengaruh pola kesusastraan dari kebudayaan yang lebih
maju, pola eskapisme, dan pencarian identitas diri. Ketiga pola ini
dapat saja terjadi pada perkembangan kesusastraan lainnya
(Dardiri, 1989: 57-70). Berikut uraian dari ketiga pola tersebut.

1. Pengaruh Pola Kesusastraan dari Kebudayaan yang Lebih


Maju
Gejala keterpengaruhan pola kesusastraan dari kebudayaan yang
lebih maju dalam kehidupan sastra Arab modern begitu jelas.
Kiblat keterpengaruhan ini adalah kesusastraan Barat, terutama
Perancis, Inggris, dan Amerika. Hal ini terjadi, karena pada saat
itu, bahkan sampai sekarang, bagi sebagian orang Arab bahkan
masyarakat dunia, Amerika dan Eropa merupakan model
kemajuan dan modernitas peradaban manusia.
Pengaruh Barat terhadap sastra Arab paling nyata tampak
pada masuknya aliran romantik, transendentalisme, modus
pembebasan ekspresi, dan sikap kritis terhadap kompleksitas
problematika kehidupan manusia. Aliran romantik dapat dilihat
pada karya-karya Khalil Mutran, kelompok Diwan, baik pada
karya-karya Syukri, ‘Aqad, maupun Mazini, dan pada karya-
karya para penyair Mahjar.
Keterpengaruhan modus kebebasan ekspresi, yaitu suatu
hasrat pembebasan dari berbagai keterikatan dan konvensi yang
mengganggu kelancaran ekspresi dengan penekanan pada
intensitas makna, korespondensi unsur, dan organisme
koherensial, dapat dilihat, misalnya, pada karya-karya Ahmad
Zaki Abu Syadi.
Mengenai pola sikap kritis terhadap kompleksitas
problematika kehidupan, dapat dilihat, misalnya, pada karya-
karya Jibran Khalil Jibran, yang dilatarbelakangi oleh
pemberontakan yang intens terhadap modus pemikiran yang

300 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

sudah mapan. Hal yang sama juga dapat dijumpai pada karya-
karya Khalil Mutran, yaitu muatan yang menyerang despotisme,
tirani, perbedaan kelas, kebodohan, ketidakadilan sosial, dan
membela perjuangan untuk kemajuan dan kebebasan berpikir.

2. Aspek Eskapisme
Pola-pola penciptaan yang terus-menerus dipatuhi pada akhirnya
akan mengkonvensi, yaitu menjadi suatu aturan yang kaku dan
baku. Suatu konvensi yang terus-menerus hidup dalam
masyarakat, pada akhirnya akan menjadi tradisi. Suatu tradisi
biasanya akan disakralkan, tidak boleh dilanggar dan tidak boleh
dicemari atau dinodai oleh unsur asing atau unsur lain di luar
dirinya. Suatu tradisi yang gambaran prosesnya semacam itu,
akan menjadikan stagnasi dan kemandegan kreativitas yang
hakiki. Mungkin dalam suasana konvensi dan tradisi, penciptaan
akan tetap ada, tetapi penciptaan tersebut merupakan kreativitas
semu, karena penciptaan itu hanya mengikuti keseluruhan pola
yang sudah ada.
Lambat laun konvensi semacam itu pada suatu saat akan
menimbulkan kejenuhan, kebosanan, kegerahan, serta kegeraman
kreativitas. Jenuh dan bosan karena monoton, gerah dan geram
karena kebirahian kreativitas dihambat, ditekan dan dikungkung.
Kondisi struktural semacam itu, suatu saat akan meledak dalam
bentuk aksi eskapisme, yakni pembebasan dan pelepasan diri dari
belenggu tradisi dan konvensi.
Gambaran proses seperti di atas terjadi dalam kebudayaan
Arab. Aspek eskapisme pada sastra Arab modern dapat dilihat,
misalnya, pada konsep perpuisian dan karya konkret penyair
Khalil Mutran yang telah melepaskan diri dari pola qasidah; atau
penyair kelompok Diwan yang menekankan pada variasi dan
kebebasan pola qafiah; penyair grup Apollo yang membebaskan
diri dari konvensi qafiah tunggal; dan para penyair Mahjar yang
melepaskan diri dari konvensi perpuisian yang telah mapan
dengan konsep visionalitas, tipografi visual, dan juga struktural
(bentuk).

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 301


Taufiq A. Dardiri

Dalam contoh lain, misalnya, sastra Indonesia juga


mengalami eskapisme. Misalnya karakter perpuisian Angkatan
Balai Pustaka yang berusaha melepaskan diri dari konvensi syair
dan madah yang meliputi bentuk matsnawi, ruba'i, gazal, dan
nazam; juga Angkatan Pujangga Baru dan angkatan ‘45 yang
berusaha lari dari pola untaian tersina, kwartet, kwint, dan sektet;
dan Chairil Anwar yang berusaha lari meninggalkan pola
romantisme dan naturalisme dengan menerapkan konsep
humanisme universal.

3. Aspek Pencarian Identitas Diri


Seorang kreator sejati, apakah itu pematung, pelukis, arsitek, dan
tidak terkecuali penyair, akan selalu berusaha mencari identitas
dirinya melalui penciptaan yang belum pernah diciptakan, dan
melalui penciptaan yang lain dari yang lain, atau penciptaan yang
khas. Hal itu dilakukan agar ia mendapatkan pengakuan dari
lingkungannya atau dunia dalam bidangnya. Apresiasi dari
lingkungan atau dunia terhadap karya dan penciptanya adalah
cita-cita terbesar dan kepuasan batin yang paling tinggi nilainya
bagi seorang kreator.
Dorongan semacam itu akan membawa seorang kreator
(penyair) pada pencarian modus-modus penciptaan baru yang
pada akhirnya akan menghasilkan suatu karya yang mempribadi,
sesuai dengan idealitas dan visionalitas dirinya, serta mampu
mengekspresikan totalitas imajinasi penciptaannya. Hasil dari
usaha semacam itu merupakan suatu karya baru (baru sama
sekali, inovatif, tambal sulam) yang lain dari yang sudah ada.
Pada perpuisian Arab modern gejala semacam itu juga
tampak jelas misalnya pada karya-karya Nizar Qabbani1 yang
banyak mengangkat masalah kewanitaan. Karya-karyanya

1 Beberapa studi tentang puisi-puisi Nizar Qabbani antara lain dilakukan

oleh Ahmad Zulfiqor, Analisis Struktur dan Isi Tiga Puisi Nizar Qabbani (Jakarta:
Skripsi FIB UI, 2011); dan Sarah Tazkia, Aspek Sosiopolitik dalam Dua Puisi Nizar
Qabbani (Jakarta: Skripsi FIB UI, 2009). Dalam studi yang pertama terungkap
aspek pencarian jati diri dalam puisi-puisi Nizar Qabbani.

302 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

mempunyai ketajaman pemikiran dan keberanian ekspresi yang


luar biasa serta intensitas maknanya mengagumkan. Yang lebih
penting dalam hal ini adalah, ia sudah menggunakan bentuk
yang bebas sama sekali, yang tidak lagi mengenal aturan qafiyah,
apalagi rawi, taf’ilah, atau bahr. Bentuk bebas tersebut tidak
banyak menggunakan pola pembaitan, tetapi sebaliknya banyak
menggunakan sarana retorik-retisense atau titik-titik sebagai
pengganti perasaan yang tidak dapat terekspresikan. Corak dan
bentuk sedemikian merupakan warna yang betul-betul baru bagi
perpuisian Arab saat itu. Mungkin kalau di Indonesia bisa
disejajarkan dengan Chairil Anwar dalam segi corak ekspresinya.
Ketiga fenomena umum tersebut, dimungkinkan sekali
untuk saling terkait, dan tidak berdiri sendiri sebagai motif
pemacu perkembangan sastra Arab modern. Karena itu untuk
membedakan dan menentukan ketiga jenis gejala tersebut pada
masing-masing penyair adalah tidak mudah dan tidak bisa secara
pasti, sebab kita hanya bisa menangkap gejalanya.
Hal lain yang juga perlu dikemukakan di sini adalah,
perubahan gaya sastra Arab modern membawa konsekuensi pada
perubahan bahasa sastra Arab dari gaya tradisional yang biasa
menggunakan kalimat panjang-panjang dan berbunga-bunga
akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosakata klasik,
berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, yaitu serba
singkat dan serba cepat. Ciri khas perkembangan bahasa dalam
sastra Arab Modern ialah digunakannya bahasa percakapan
(vernacularism) dalam dialog, sekalipun dalam pemerian tetap
dengan bahasa baku.
Di samping itu, ada yang lebih ekstrem lagi, yaitu
kecenderungan sebagian kalangan yang ingin mengubah huruf
Arab sedemikian rupa supaya dapat juga dibaca dalam huruf
Latin. Di Lebanon malah ada sekelompok sastrawan yang
mencoba menggantikan huruf Arab dengan huruf Latin. Bahkan
sudah ada novel yang terbit dalam bahasa Arab dengan
menggunakan huruf Latin.

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 303


Taufiq A. Dardiri

E. KESIMPULAN
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas.
Pertama, Latar belakang pertumbuhan dan perkembangan sastra
Arab modern menurut perspektif kesejarahannya didorong oleh:
(1) faktor internal, yaitu kondisi yang ada di masyarakat Arab
yang menimbulkan keprihatinan dan ketidakpuasan bagi yang
menyadari dan memahaminya; (2) faktor eksternal, yaitu adanya
keterpengaruhan akibat interaksi dengan kebudayaan Barat.
Kedua faktor tersebut tidak terpisah sama sekali, tetapi saling
menopang, mendukung, saling melengkapi, dan terkait satu sama
lain.
Kedua, sikap kreativitas dan pola pembaruan tokoh-tokoh
sastra Arab modern dapat digambarkan sebagai mengacu pada
keinginan untuk lepas dari konvensi; keinginan memberi napas
baru; keinginan menanamkan paham dan aliran yang dianut;
kekaguman terhadap sastra Barat sehingga tumbuh keinginan
untuk mencoba menerapkannya pada sastra Arab; dan keinginan
untuk mendapatkan wahana ekspresi yang sesuai dengan ide dan
visinya.
Ketiga, aspek gejala umum pada perkembangan sastra Arab
modern adalah berupa pengaruh pola kesusastraan dari
kebudayaan yang lebih maju, eskapisme, dan pencarian identitas
diri.
Keempat, jika dilihat dari segi tema, sastra Arab modern
dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, mereproduksi tema-
tema lama, seperti wasf (deskripsi), fakhr (membanggakan diri),
madah (puji-pujian), dan religius, namun dengan nuansa dan
konteks yang baru. Kedua, tema-tema lama yang mengalami
sedikit perubahan, antara lain: Naqa’id (kritikan), kepahlawanan,
ritsa (ratapan), dan ghazal (cinta). Tema-tema tersebut diperluas
sesuai dengan konteks zamannya. Ketiga, tema-tema yang betul-
betul baru muncul pada masa modern, antara lain: patriotik
(kebebasan, kemerdekaan, dan persatuan), kemasyarakatan
(masalah kemiskinan, buta huruf, anak yatim, anak telantar, dan

304 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

kaum wanita), kejiwaan (penderitaan, kesengsaraan, harapan,


dan cita-cita), dan puisi drama yang merupakan sebuah tema
baru sekaligus genre baru dalam kesusastraan Arab.
Tulisan yang sederhana ini tentu saja masih jauh dari
sempurna. Hal ini penulis sadari, karena dalam membahas soal
ini, variabelnya hanya bertolak dari fenomena asumsional tanpa
disertai contoh-contoh konkret, tetapi hanya dengan acuan
referensial belaka. Selain itu, pembahasan sastra Arab modern
dalam tulisan ini lebih banyak menekankan pada genre puisi.
Karena itu, pembahasan yang lebih komprehensif lagi yang
meliputi semua genre sastra Arab modern perlu dikaji lebih lanjut
oleh para peminat studi sastra Arab.

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 305


Taufiq A. Dardiri

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 1987. Muzakirah fī Tarikh al-Adab al-Arabi.


Kualalumpur: DBP Kementerian Pendidikan Malaysia.
Adonis. 1986. Al-S|abit wal-Mutahawil. Jilid II. Beirut: Dar al-Fikri.
Andangdjaja, Hartojo. 1983. Puisi Arab Modern. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Arberry, Arthur J. 1950. Modern Arabic Poetry. London: Taylor's
Foreign Press.
Brugman, J. 1984. An Introduction to the History of Modern Arabic
Literature in Egypt. Leiden: E.J. Brill.
Dardiri, Taufik Ahmad. 1989. “Gejala Universalitas dalam
Perkembangan Puisi Arab Modern,” dalam Jurnal Al-Jamiah,
No. 39.
Dasuki, Umar. 1973. Fi al-Adab al-Hadis\. Kairo: Dar Al Fikri.
Haywood, John A. 1971. Modern Arabic Literature 1800-1970.
London: Lund Humpries.
Hitti, Philip K. 2002. History of the Arabs. New York: Palgrave
MacMillan.
Husein, Thaha. 1969. Min Hadits al-Syi'r wa al-Natsr. cet. X. Kairo:
Dar al-Ma'arif.
Isma'il, 'Az al-Din. 1978. Al-Syi'r al-'Arabi al-Mu'ashir. cet. III.
Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi.
Qabbisy, Ahmad. 1971. Tarikh al-Syi'r al-'Arabi al-Hadits. Beirut:
Dar al-Jil.
Ridwan, “Menelusuri Jejak Kesusastraan Arab Kontemporer
(Sebuah Tinjauan Historis),” dalam
http://jurnalpenawordpress.com.

306 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011


Perkembangan Puisi Arab Modern

Saqr, Ahmad, dkk. 1981. Adwa’ ala al-Lughah al-Arabiyah. Kairo:


Dar Nahdat Misra.
Tazkia, Sarah. 2009. Aspek Sosiopolitik dalam Dua Puisi Nizar
Qabbani. Jakarta: Skripsi FIB UI.
Umar, HA Muin. 1992. Ilmu Pengetahuan dan Kesusasteraan dalam
Islam. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
Zulfiqor, Ahmad. 2011. Analisis Struktur dan Isi Tiga Puisi Nizar
Qabbani. Jakarta: Skripsi FIB UI.

SK Akreditasi No: 64a/DIKTI/Kep/2010 307


Taufiq A. Dardiri

308 Adabiyyāt, Vol. X, No. 2, Desember 2011

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy