Perkembangan Puisi Arab Modern
Perkembangan Puisi Arab Modern
Perkembangan Puisi Arab Modern
Abstract
This article aims to study the development of Arabic poetry from
its early phase to its modern one. Having used a historical-
diachronic study of form and content of Arabic poetry, this article
concludes that Arabic poetry, as the oldest genre in the Arabic
literary tradition, has hardly developed. Not until the 20th
century, more commonly known in the history of Arabic literature
as As}r al-Nahd}ah, that the awareness of the absence of creativity
in Arabic poetry and external factors due to the interaction of
Arab with the West have given birth the seeds of modern Arabic
poetry. At least, there are five schools of modern Arabic poetry,
namely: Neo Classical (al-Muhāfizun) with such its central
figures as Mahmud Sami and Ahmad al-Barudi Syauqy; Western
Romanticism, which was pioneered by Khalil Mutran; Madrasah
Dīwān, which was propagandized by Abd al-Rahman Shukri,
Abbas Mahmud al-'Aqad, and Ibrahim Abd al-Qadir al-Mazini;
Madrasah Apollo, which was carried by Ahmad Zaki Abu
Syadi; and Madrasah al-Muhajir, which is pioneered by Jibran
Khalil Jibran. Each has contributed their part in Arabic poetry
formally as well as contentially. Those schools have became a
tradition of modern Arabic poetry. The emergence of modern
Arabic poetic tradition has been accompanied by three general
pattern- the influence of literary patterns of the more advanced
cultures, the escapism, and the search for identity.
A. PENDAHULUAN
Tidak dimungkiri bahwa sastra menempati posisi yang sangat
penting dan istimewa dalam struktur kebudayaan Arab. Jika
peradaban-peradaban besar dunia, seperti Yunani, Romawi, dan
Mesir, mewariskan keagungan artefak-artefak megalitik, seni
bangunan yang indah, dan istana-istana yang megah, maka
peradaban Arab mewariskan karya sastra yang sarat nilai.
Philip K. Hitti (2002) dengan tegas mengungkapkan
kekagumannya pada warisan Arab itu: “No people in the world
manifest such enthusiastic admiration for literary expression as the
Arabs ‘tidak ada satu pun penduduk di dunia ini yang sanggup
menandingi kegairahan ekspresif dalam bersastra dibanding
orang Arab’. Inilah sebabnya sastra Arab mampu bertahan dan
terus berkembang dalam struktur kebudayaan Arab hingga saat
ini.
Dalam tradisi sastra Arab, puisi (syi’r) merupakan suatu
genre sastra yang paling tua dan paling kuat sebagai suatu media
kesadaran estetis bangsa Arab. Tidak ada satu pun bentuk
1. Faktor Internal
Dalam setiap kebudayaan, selalu ada saling hubung antara segala
bidang kegiatan manusia dan saling mempengaruhi antara tiap-
tiap bagian masyarakat pendukung suatu kebudayaan yang satu
dengan lainnya. Karena itu, secara historis, segala usaha, tujuan,
dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembaruan puisi Arab—
sebagai titik awal pertumbuhan sastra Arab modern—tidak dapat
dipisahkan dari usaha, tujuan, dan hasil-hasil yang telah dicapai
dalam pembaruan masyarakat Arab oleh para pemikir Arab
modern dan kontemporer. Sekadar contoh, di antara tokoh
pembaru dalam kebudayaan Arab Islam adalah Muhammad
Abduh dan Mahmud Sami al-Barudi. Abduh, sebagai seorang
cendekiawan, bergerak untuk mendobrak pola dan kerangka
pemikiran dan pemahaman masyarakatnya yang dipenjara oleh
taklid dan mistisitas irasional. Sementara, al-Barudi sebagai
penyair, bergerak untuk mendobrak tradisi puisi yang dipenjara
oleh kebagusan yang dibuat-buat dan arkaisme palsu
(Andangdjaja, 1983: 17).
Dengan demikian, munculnya gerakan pembaruan
pemikiran di bidang pemahaman agama dan sosial bersinergi
dengan pembaruan di bidang sastra dan budaya. Keduanya
bertitik bertolak dari ketidakpuasan atas kondisi yang ada.
Kondisi infrastruktural yang mengakibatkan stagnasi, bahkan
kemunduran budaya, telah menjadikan momok bagi mereka yang
menyadari dan memahaminya. Kondisi infrastruktural yang
dimaksud adalah pola-pola pemahaman dan pelaksanaan agama
yang diwarnai oleh sikap taklid, mistik, dan irasional. Sedangkan
pada bidang sastra, puisi-puisi pada saat itu telah kehilangan
nuansanya; tidak lagi memancarkan bobot keindahan total dan
koherensial, yang meliputi keterpaduan bentuk, ide, pola
musikalitas, ekspresivitas, dan sebaliknya menunjukkan adanya
kemandegan kreativitas.
2. Faktor Eksternal
Selain faktor internal di atas, ada faktor lain yang menciptakan
arus pembaruan di bidang sastra, yaitu faktor eksternal yang
muncul sebagai hasil dari interaksi budaya Arab dan Barat.
Meskipun interaksi antara dua kebudayaan ini sebenarnya telah
berlangsung lama, namun interaksi yang kemudian membawa
pengaruh besar bagi perkembangan kebudayaan Arab bermula
dari kedatangan Napoleon ke Mesir pada tahun 1798 (Haywood,
1971: 14 cf Andangdjaja, 1983: 14). Napoleon yang datang beserta
para sarjana orientalis, misionaris, dan diikuti dengan pendirian
percetakan, telah membuka era baru bagi kehidupan kebudayaan
bangsa Arab.
Sebenarnya, tujuan kedatangan Napoleon tersebut semula
bersifat politik dan pragmatik, namun tidak disangka
pengaruhnya kemudian sangat luas pada kehidupan bangsa
Arab. Karena itu, kedatangan Napoleon dapat dipandang sebagai
awal penyerapan budaya Barat ke dunia Arab, dan sebagai
penyebab proses modernisasi dengan segala permasalahannya,
baik positif maupun negatif. Walaupun sikap terhadap Barat
berbeda-beda—terkadang dibenci sebagai ancaman dan pada saat
yang sama juga dikagumi sebagai model—kenyataannya Barat
senantiasa hadir dalam kesadaran bangsa Arab hingga kini. Mulai
dari sinilah terjadi proses yang melibatkan serangkaian
perubahan-perubahan dalam kehidupan politik, sosial, dan
termasuk sastra di dunia Arab.
Dapat ditunjukkan di sini beberapa gejala perubahan yang
timbul segera setelah kedatangan Napoleon ke Mesir. Di
5. Penyair Mahjar
Kelompok penyair Mahjar (The Emigran Poet) ini hidup di
Amerika, terutama Amerika Utara dan Selatan. Mereka
kebanyakan datang dari Lebanon dan Syiria. Di Amerika Utara,
tepatnya di New York berdiri perkumpulan sastrawan al-Rabitah
al-Qalamiyah atau Liga Pena (1920). Sedang di Amerika Selatan,
yaitu di Sau Paulo berdiri al-‘Ushbah al-Andalusiyah atau Liga
Andalusia (1923).
Konsep pembaruan yang paling menonjol dan cukup
matang digagas oleh kelompok al-Rabitah al-Qalamiyah.
Sedangkan pada al-‘Ushbah al-Andalusiyah lebih bersifat
konservatif. Anggota dari kelompok pertama antara lain Jibran
Khalil Jibran (1883-1931), Mikhail Nu’aimah (1889), Iliya Abu
Madhi (1894-1957), Rasyid Ayub (1871-1941), dan lain-lain.
Sastrawan paling popuer dalam kelompok ini adalah Jibran Khalil
Jibran, yang kebetulan juga pendiri dan ketua kelompok ini.
Penulis-penulis kelompok ini pada umumnya mendapat
pengaruh dari sastra romantik dan sastra kaum transendentalis
Amerika, terutama Emerson, Longfellow, Whittier, clan Whitman.
Namun warna kepenyairan yang kuat pengaruhnya dan paling
menonjol adalah karya dan konsep yang dilontarkan Jibran.
Karya-karya Jibran banyak diwarnai oleh pemberontakan
terhadap modus pemikiran yang telah mapan, dan mendapat
pengaruh dari Nietzsche, Blake, Rodin, aliran romantik dan
transendentalis Amerika, dan mistisisme Timur. Selain itu, ia juga
berhasil menciptakan gaya penulisan puisi baru, yaitu bentuk
puisi-prosa. Model Jibran ini kemudian populer dengan istilah
Jubraniyyah atau Gibranisme yang di antara cirinya tidak mau
terikat pada aturan-aturan baku tata bahasa Arab.
Selain tokoh-tokoh dan aliran yang disebut di atas,
sesungguhnya masing-masing negara berbahasa Arab
mempunyai caranya sendiri dalam membenahi budayanya
sehingga tidak ada keseragaman mutlak. Sebagai contoh,
perkembangan sastra di Irak lebih sering diwarnai oleh agitasi
sudah mapan. Hal yang sama juga dapat dijumpai pada karya-
karya Khalil Mutran, yaitu muatan yang menyerang despotisme,
tirani, perbedaan kelas, kebodohan, ketidakadilan sosial, dan
membela perjuangan untuk kemajuan dan kebebasan berpikir.
2. Aspek Eskapisme
Pola-pola penciptaan yang terus-menerus dipatuhi pada akhirnya
akan mengkonvensi, yaitu menjadi suatu aturan yang kaku dan
baku. Suatu konvensi yang terus-menerus hidup dalam
masyarakat, pada akhirnya akan menjadi tradisi. Suatu tradisi
biasanya akan disakralkan, tidak boleh dilanggar dan tidak boleh
dicemari atau dinodai oleh unsur asing atau unsur lain di luar
dirinya. Suatu tradisi yang gambaran prosesnya semacam itu,
akan menjadikan stagnasi dan kemandegan kreativitas yang
hakiki. Mungkin dalam suasana konvensi dan tradisi, penciptaan
akan tetap ada, tetapi penciptaan tersebut merupakan kreativitas
semu, karena penciptaan itu hanya mengikuti keseluruhan pola
yang sudah ada.
Lambat laun konvensi semacam itu pada suatu saat akan
menimbulkan kejenuhan, kebosanan, kegerahan, serta kegeraman
kreativitas. Jenuh dan bosan karena monoton, gerah dan geram
karena kebirahian kreativitas dihambat, ditekan dan dikungkung.
Kondisi struktural semacam itu, suatu saat akan meledak dalam
bentuk aksi eskapisme, yakni pembebasan dan pelepasan diri dari
belenggu tradisi dan konvensi.
Gambaran proses seperti di atas terjadi dalam kebudayaan
Arab. Aspek eskapisme pada sastra Arab modern dapat dilihat,
misalnya, pada konsep perpuisian dan karya konkret penyair
Khalil Mutran yang telah melepaskan diri dari pola qasidah; atau
penyair kelompok Diwan yang menekankan pada variasi dan
kebebasan pola qafiah; penyair grup Apollo yang membebaskan
diri dari konvensi qafiah tunggal; dan para penyair Mahjar yang
melepaskan diri dari konvensi perpuisian yang telah mapan
dengan konsep visionalitas, tipografi visual, dan juga struktural
(bentuk).
oleh Ahmad Zulfiqor, Analisis Struktur dan Isi Tiga Puisi Nizar Qabbani (Jakarta:
Skripsi FIB UI, 2011); dan Sarah Tazkia, Aspek Sosiopolitik dalam Dua Puisi Nizar
Qabbani (Jakarta: Skripsi FIB UI, 2009). Dalam studi yang pertama terungkap
aspek pencarian jati diri dalam puisi-puisi Nizar Qabbani.
E. KESIMPULAN
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas.
Pertama, Latar belakang pertumbuhan dan perkembangan sastra
Arab modern menurut perspektif kesejarahannya didorong oleh:
(1) faktor internal, yaitu kondisi yang ada di masyarakat Arab
yang menimbulkan keprihatinan dan ketidakpuasan bagi yang
menyadari dan memahaminya; (2) faktor eksternal, yaitu adanya
keterpengaruhan akibat interaksi dengan kebudayaan Barat.
Kedua faktor tersebut tidak terpisah sama sekali, tetapi saling
menopang, mendukung, saling melengkapi, dan terkait satu sama
lain.
Kedua, sikap kreativitas dan pola pembaruan tokoh-tokoh
sastra Arab modern dapat digambarkan sebagai mengacu pada
keinginan untuk lepas dari konvensi; keinginan memberi napas
baru; keinginan menanamkan paham dan aliran yang dianut;
kekaguman terhadap sastra Barat sehingga tumbuh keinginan
untuk mencoba menerapkannya pada sastra Arab; dan keinginan
untuk mendapatkan wahana ekspresi yang sesuai dengan ide dan
visinya.
Ketiga, aspek gejala umum pada perkembangan sastra Arab
modern adalah berupa pengaruh pola kesusastraan dari
kebudayaan yang lebih maju, eskapisme, dan pencarian identitas
diri.
Keempat, jika dilihat dari segi tema, sastra Arab modern
dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, mereproduksi tema-
tema lama, seperti wasf (deskripsi), fakhr (membanggakan diri),
madah (puji-pujian), dan religius, namun dengan nuansa dan
konteks yang baru. Kedua, tema-tema lama yang mengalami
sedikit perubahan, antara lain: Naqa’id (kritikan), kepahlawanan,
ritsa (ratapan), dan ghazal (cinta). Tema-tema tersebut diperluas
sesuai dengan konteks zamannya. Ketiga, tema-tema yang betul-
betul baru muncul pada masa modern, antara lain: patriotik
(kebebasan, kemerdekaan, dan persatuan), kemasyarakatan
(masalah kemiskinan, buta huruf, anak yatim, anak telantar, dan
DAFTAR PUSTAKA