Oksaloasetik Transaminase (Sgot) Dan Serum Glutamik Pyruvik Transaminase (SGPT) Pada
Oksaloasetik Transaminase (Sgot) Dan Serum Glutamik Pyruvik Transaminase (SGPT) Pada
Oksaloasetik Transaminase (Sgot) Dan Serum Glutamik Pyruvik Transaminase (SGPT) Pada
ABSTRAK
Penyakit hepatitis B merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia dan jenis yang paling serius dari
virus hepatitis, yang mengenai dua kali lipat lebih banyak dibandingkan hepatitis C. Penyakit hepatitis B
sebagian besar akan sembuh dengan baik dan hanya sekitar 5-10 persen yang akan menjadi kronik. Bila
hepatitis B menjadi kronik maka sebagian penderita hepatitis B kronik ini akan menjadi sirosis hati dan
kanker hati. Namun hanya sebagian kecil saja penderita Hepatitis B yang berkembang menjadi kanker hati.
Cara mendeteksi adanya penyakit hepatitis, perlu dilakukan serangkaian tes fungsi hati yang sifatnya
enzimatik (menguji kadar enzim), yaitu: Enzim yang berkaitan dengan kerusakan hati, antara lain SGOT
dan SGPT. Indikator paling awal untuk mendiagnosa infeksi virus hepatitis B adalah antigen permukaan
hepatitis B/HBsAg. Penanda serum ini dapat muncul paling cepat dua minggu setelah individu terinfeksi,
dan akan tetap ada selama fase akut infeksi. Jika penanda serum ini tetap ada setelah 6 bulan, maka klien
dapat menderita hepatitis kronis dan menjadi carrier. Vaksin hepatitis B tidak akan menyebabkan HBsAg
positif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Gambaran Hasil Pemeriksaan SGOT
dan SGPT pada Pasien dengan Hasil HBsAg Positif di Rumah Sakit Umum Daerah Praya diperoleh jumlah
hasil pemeriksaan SGOT yang meningkat dengan hasil HBsAg positif adalah 72.8%, sedangkan hasil
SGPT meningkat dengan hasil HBsAg positif adalah 64%.
Pendahuluan
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk membantu menegakkan diagnosis dan memantau perkembangan
penyakit selama pengobatan. Maka sebelum melakukan pemeriksaan harus tahu tujuan agar bisa memberikan
petunjuk diagnosis suatu penyakit (Kosasih, 2004). Salah satu pemeriksaan laboratorium klinik ialah
pemeriksaan urin. Pemeriksaan urin ada beberapa macam, yaitu urinalisis, tes kehamilan, tes narkoba,
biakan kuman, kepekaan obat, dan lain lain. Urinalisis atau tes urin rutin digunakan untuk mengetahui fungsi
ginjal dan mengetahui adanya infeksi pada ginjal atau saluran kemih (Donoseputro,2003).
Tes urin terdiri dari dua macam, yaitu tes makroskopik dan tes mikroskopik. Tes makroskopik dilakukan
dengan cara visual. Pada tes ini biasanya menggunakan reagen strip yang dicelupkan sebentar ke dalam urine
lalu mengamati perubahan warna yang terjadi pada strip dan membandingkannya dengan grafik warna
standar. Tes urin bertujuan mengetahui pH, berat jenis (BJ), glukosa, protein, bilirubin, urobilinogen, darah,
keton, nitrit dan lekosit esterase. Tes mikroskopik dilakukan dengan memutar (I) urin lalu mengamati
endapan urin di bawah mikroskop. Tes ini bertujuan untuk mengetahui : unsur-unsur organik (sel-sel :
eritrosit, lekosit, epitel), silinder, silindroid, benang lendir; unusur anorganik (kristal, garam amorf); elemen
lain (bakteri, sel jamur, parasit Trichomonas sp., spermatozoa) (Donoseputro,2003).
Terdapat dua pemeriksaan dengan metode carik celup dan mikroskopis yang sama yaitu pemeriksaan lekosit
dan eritrosit.Eritrosit. Dalam keadaan normal, terdapat 0 – 2 sel eritrosit dalam urine. Jumlah eritrosit yang
meningkat menggambarkan adanya trauma atau perdarahan pada ginjal dan saluran kemih infeksi, tumor,
batu ginjal. Lekosit dalam keadaan normal, jumlah lekosit dalam urine adalah 0 – 4 sel. Peningkatan jumlah
lekosit menunjukkan adanya peradangan, infeksi atau tumor (Donoseputro,2003).
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk menunjang diagnosa ISK adalah pemeriksaan urin lengkap.
Pasien yang datang berkonsultasi ke dokter dengan keluhan hanya demam ( tanpa tanda infeksi lain yang
ditemukan saat pemeriksaan) dianjuran untuk dilakukan pemeriksaan urin lengkap. Pemeriksaan urin lengkap
dapat ditemukan leukosit 80-90% positif pada ISK, protein, darah , nitrit (normal nitrit tidak ada dalam urin,
tapi bila ada bakteri maka nitrat di urin akan dirubah oleh bakteri tersebut menjadi nitrit) ,leukosit esterase
(enzim dalam leukosit yang dapat menggambarkan banyaknya jumlah leukosit pada urin). Pemeriksaan lain
adalah pemeriksaan darah dapat ditemukan leukosit darah yang tinggi ( Bint, B., 2003).
Bahaya ISK lebih kepada komplikasi yang disebabkan seperti parut ginjal, hipertensi, gagal ginjal akut
ataupun meningitis pada infeksi berat yang disebabkan keterlambatan pemberian antibiotik dalam tatalaksana
ISK, atau adanya infeksi yang berulang-ulang serta adanya kelainan pada saluran kemih ataupun sumbatan.
Infeksi saluran kemih merupakan penyakit yang sering ditemukan pada anak. Mengenali gejala klinis dan
deteksi dini serta terapi dan tatalaksana yang tepat sangat penting dilakukan agar penyakit tidak berlanjut
kepada kerusakan ginjal serta komplikasi lain (Bint, B., 2003)
Dengan menggunakan metode carik celup, pemeriksaan sel darah merah dalam urin dapat dilakukan dengan
mudah, cepat dan praktis. Tetapi masih banyak laboratorium yang menggunakan metode mikroskopis untuk
pemeriksaan sel darah merah dan lekosit dalam urin. Oleh karena itu, perlu diteliti apakah ada perbedaan
hasil pemeriksaan sel darah merah dalam urin bila melalui pengamatan metode carik celup dan metode
mikroskopis.
MetodePenelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional, penelitian observasional adalah suatu metode
penelitian dimana peneliti hanya melakukan observasi tanpa memberikan intervensi pada variabel yang akan
diteliti dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan secara obyektif (Supardi,
2006)
ISSN: 2656-2456 (Online)
ISSN: 2356-4075 (Print)
Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah ada perbedaan hasil metode carik celup dengan metode
mikroskopis pemeriksaan sel darah merah dan lekosit dalam urin. Populasi dalam penelitian semua orang
yang datang di Laboratorium RSUD Praya selama bulan April sampai dengan bulan Mei 2018 sedangkan
sampel berupa wanita dengan gejala klinis Infeksi Saluran Kemih (ISK) jumlah sampel sebanyak 16 orang,
Adapun data hasil pemeriksaan urin Metode Carik celup dan mikroskopis dapat dilihat pada table 1.
Hasil pemeriksaan carik celup urin wanita dengan gejala klinis ISK menunjukkan terdapat 13 orang (81,2%)
dengan jumlah lekosit dan eritrosit diatas normal dan 3 orang (3,75%) orang yang memiliki jumlah lekosit
dan eritrosit normal.
Dengan pemeriksaan urin metode mikroskopik didapatka jumlah lekosit dan eritrosit yang diatas normal
sebanyak 3 sampel.Dari data yang diperoleh, menunjukkan bahwa pemeriksaan sel darah merah dalam urin
dengan menggunakan metode carik celup dapat dilakukan dengan mudah, cepat, dan sensitif. Pada
pemeriksaan sel darah merah dalam urin dengan menggunakan carik celup, tidak terdapat hasil yang negatif
bila spesimen urin memang mengandung sel darah merah walaupun dalam jumlah yang sedikit. Hal ini
ditunjukkan dengan tidak ada data hasil pemeriksaan sel darah merah dalam urin yang diperiksa
menggunakan metode mikroskopis hasilnya positif, sedangkan hasil pemeriksaan sel darah merah dalam urin
menggunakan metode carik celup hasilnya negatif. Untuk pemeriksaan sel darah merah dalam urin dengan
metode mikroskopis, membutuhkan ketelitian pemeriksa. Sebab dari data yang diperoleh, sebagian besar
hasil pemeriksaan sel darah merah dalam urin dengan menggunakan metode mikroskopis hasilnya negatif,
tetapi bila diperiksa dengan metode carik celup hasilnya positif. Juga tidak ditemukan hasil pemeriksaan sel
darah merah dalam urin yang diperiksa dengan kedua metode hasilnya sama negatif.
Pembahasan
Dari 16 data yang diperoleh, terdapat beberapa tingkat perbedaan hasil pemeriksaan sel darah merah dalam
urin dengan menggunakan kedua metode. Dimulai dari perbedaan (+1) yaitu ditemukan pada pemeriksaan sel
darah merah dalam urin dengan mikroskopis hasil negatif sedangkan pemeriksaan sel darah merah dalam urin
dengan carik celup hasilnya positif sebanyak 13 data, pada pemeriksaan sel darah merah dengan mikroskopis
hasil negatif sedangkan pemeriksaan sel darah merah dalam urin dengan carik celup hasilnya (+2) sebanyak 3
data, juga ditemukan sebanyak 3 data yang menunjukkan hasil pemeriksaan sel darah merah dalam urin
dengan mikroskopis hasil (+1) sedangkan pemeriksaan sel darah merah dalam urin dengan carik celup
hasilnya (+1). Untuk perbedaan (+1) ditemukan pada hasil pemeriksaan sel darah merah dalam urin dengan
mikroskopis negatif sedangkan pemeriksaan sel darah merah dalam urin dengan carik celup hasilnya (+1)
sebanyak 13 data, hasil pemeriksaan sel darah merah dalam urin dengan mikroskpis hasil negatif sedangkan
pemeriksaan sel darah merah dalam urin dengan carik celup hasilnya (+1) sebanyak 13 data.
ISSN: 2656-2456 (Online)
ISSN: 2356-4075 (Print)
Perbedaan yang terakhir yaitu perbedaan (+1) pada pemeriksaan sel darah merah dalam urin dengan
mikroskopis hasil negatif .
Kesimpulan
Hasil pemeriksaan laboratorium sel darah merah dan lekosit dalam urine dengan metode carik celup
menunjukkan terdapat 13 orang (81,2%) dengan jumlah lekosit dan eritrosit diatas normal dan 3 orang
(3,75%) orang yang memiliki jumlah lekosit dan eritrosit normal.
Hasil pemeriksaan laboratorium sel darah merah dan lekosit dalam urine dengan metode carik celup
menunjukkan jumlah lekosit dan eritrosit yang diatas normal sebanyak 3 sampel. Dari 16 data yang
diperoleh, terdapat beberapa tingkat perbedaan hasil pemeriksaan sel darah merah dalam urin dengan
menggunakan kedua metode.
Referensi
Direktorat Laboratorium Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Pedoman Praktek Laboratorium Yang Benar
(Good Laboratory Practice) Cetakan ke-3 Jakarta, 2004
Donoseputro, M. , Suhadi, B. ,2OO3 . Pemeriksaan Urin Umum dan Pemeriksaan Urin Sebagai Suatu
Pembantu Dalam Diagnostik Penyakit Ginjal, PT Rajawali Nusindo, Jakarta, Hal 5 – 26
Gandasoebrata, R. 2000. Penuntun Laboratorium Klinik, Dian Rakyat, Jakarta, Hal 82 – 83, 111 – 116
Ganong, WF, Fisiologi Kedokteran EGC, alih bahasa oleh dr. Petrus Andrianto, 2002
Hoffbrand, A.V, Pettit, J. E,2001. Kapita Selekta Hematologi ( Essential Haematologi ), Edisi 2, EGC,
Jakarta, Hal 8
Joyce Le Fever Kee. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik, EGC, Jakarta, 2007
Kosasih, E. N, DR, 2004. Urinalisis Dalam Praktek, Cetakan Ketiga, Alumni, Bandung, Hal 23 – 32
Lehman, R.,2005. Modern Urine Chemistry, Cetakan Ketujuh. Inc, Miles, Hal 13 – 85
Price, A. S, Wilson, M. L, 2001. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta,
Hal 102 – 103
PUSDIKLAT KES,2000. Buku Petunjuk Praktikum Kimia Klinik, Edisi 1. Depkes, Jakarta.
Ravel, R. , 2004. Clinical Laboratory Medicine, Edisi 3, Year Book Medical INC, Chicago London, Hal 111
– 118.
Roehrborn CG. 2011. Benign Prostatic Hiperplasia. Urology. 10th ed. WB saunders Co. 2570-610
Subowo,2007. Histologi Umum, Cetakan pertama, Bumi Aksara, Jakarta, Hal 102 – 104
Widmann, K. F, 2000. Tinjauan klinis atas hasil Pemeriksaan Laboratorium Terjemahan oleh Siti Boedina
Kresno, R. Gandasoebrata, J. Latu ), Edisi 9, EGC, Jakarta, Hal 519 – 524.